V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN Pada tahap pertama pengolahan data, dilakukan transfer data dari Podes 2003 ke Susenas 2004. Ternyata, dari 14.011 desa pada sample SUSENAS 13.349 diantaranya mempunyai informasi yang sesuai dengan PODES. Hanya 4.7 persen desa SUSENAS yang tidak mempunyai informasi pada PODES. Hal ini disebabkan adanya pemekaran desa baru pada SUSENAS dan tidak terdapat kesesuaian kode desa antar kedua sumber data tersebut. Jumlah rumahtangga nasional berdasarkan agroekosistem dapat dilihat pada Tabel 3 yakni jumlah rumahtangga yang dimasukkan dalam analisis dan merupakan nilai hasil pembobotan. Tabel 3. Jumlah Rumahtangga berdasarkan Agroekosistem Tahun 2005 Lokasi
Jumlah
Nasional
53 200 353
Lahan Basah
2 126 747
Lahan Kering
36 477 953
Lahan Campuran
14 595 653
Pantai/Pesisir
5 024 955
Dataran Tinggi
37 072 835
Sekitar Hutan
7 475 226
Sumber: BPS (2003) dan BPS (2004) data diolah
5.1. Nasional 5.1.1. Indikator Kemiskinan 5.1.1.1. Insiden Kemiskinan Nasional Insiden kemiskinan nasional berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount Index (P0) sebesar 13.1 persen dari total rumahtangga nasional (53 200 353 rumahtangga) atau sebanyak 6 969 246 rumahtangga
miskin. Jika dibanding P0 di Cina yang hanya sebesar 12.49 persen (Ravalion, 2005), P0 di Indonesia lebih besar. Tetapi jika di banding dengan P0 di Bangladesh sebesar 40.9 persen, atau P0 di Nepal sebesar 34.6 persen (SAARC, 2005), maka insiden kemiskinan di Indonesia jauh lebih baik. Meskipun metoda pengukuran dan indikator kemiskinan berbagai negara di atas berbeda karena standar garis kemiskinan antar negara bisa berbeda, tetapi perbandingan insiden kemiskinan antar negara tersebut bertujuan untuk mengilustrasikan magnitutnya. Kemiskinan berkaitan dengan banyak dimensi, tidak hanya rendahnya tingkat pendapatan, tetapi juga kesenjangan meraih peluang ekonomi. Kemiskinan umumnya berasosiasi juga dengan tingkat distribusi dari aset, seperti lahan, sumberdaya kapital dan peluang-peluang pasar. Lebih lanjut, Yudhoyono dan Harniati (2004) menyatakan bahwa permasalahan kemiskinan dapat ditinjau dari dimensi sosial, ekonomi dan bahkan politik. Dari dimensi ekonomi, kemiskinan terkait erat antara lain dengan tingkat upah kerja, tingkat pengangguran, produktivitas tenaga kerja, kesempatan kerja dan gerak sektor riil. Dari dimensi sosial, kemiskinan terkait erat antara lain dengan pendidikan, kesehatan,
kondisi
fisik
alam
dan
budaya.
Dengan
demikian,
untuk
penanggulangan kemiskinan, pertumbuhan (growth) ekonomi memang sangat dibutuhkan, tetapi tidak cukup. Pertumbuhan ekonomi harus dibarengi dengan distribusi pendapatan ke arah pemerataan serta terselenggaranya good governance sebagai prasyarat awal. Mukherjee et al (2002) menyebutkan kerangka matapencarian yang berkelanjutan dengan dasar lima aset kehidupan (sumberdaya manusia, alam, finansial, fisik dan sosial) untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan, interaksi antar faktor dan keberlanjutan upaya menyambung hidup. Selanjutnya Dhanani dan Islam (2000), menyebutkan bahwa respon terhadap
75
krisis yang mempengaruhi terjadinya kemiskinan, seperti mekanisme individu, perlindungan sosial informal dari teman dan keluarga, jaringan pengaman sosial, serta kegiatan makroekonomi untuk menjaga inflasi dan menstabilkan nilai tukar. Tingginya insiden kemiskinan di Indonesia sebagaimana tersebut di atas mengindikasikan adanya masalah dalam ekonomi makro, diantaranya berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian BAPPENAS (2004) yang menjelaskan bahwa penurunan insiden kemiskinan berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Sebagai salah satu bukti empirik bahwa pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan penurunan kemiskinan. Ketika terjadi krisis ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi menurun dengan drastis, angka kemiskinan juga meningkat cukup tajam, tetapi ketika pertumbuhan ekonomi kembali seperti semula maka angka kemiskinan kembali seperti sebelum kritis. Kemiskinan berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi juga dihasilkan dari ketimpangan distribusi pendapatan. Hasil analisis dekomposisi indeks kemiskinan yang dilakukan oleh Bappenas dan JICA (2004) menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang mengarah untuk memperkecil kesenjangan dalam beberapa kasus tertentu dapat mempercepat penurunan kemiskinan baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Selanjutnya, penurunan kemiskinan dapat tercapai jika laju pertumbuhan ekonomi meningkat dan pemerataan dapat diperbaiki. Kalaupun terjadi trade off dengan pemerataan, sepanjang pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan peningkatan indeks ketidak merataan yang moderat masih dapat ditolelir, atau sebaliknya (Bappenas dan JICA, 2004). Dengan demikian, kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki distribusi pendapatan harus dilakukan bersamaan dan merupakan keharusan (necessary condition).
76
5.1.1.2. Kedalaman Kemiskinan Hasil analisis mengenai indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P1) nasional menunjukkan angka sebesar 2.3. Indeks kedalaman kemiskinan
mengindikasikan
kesenjangan atau besarnya jarak rata-rata
pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan, dimana semakin besar nilainya maka semakin dalam kemiskinan yang terjadi. Indeks kedalaman kemiskinan menyiratkan juga seberapa kritis kemiskinan terjadi. Pemahaman tentang indeks kedalaman kemiskinan nasional dapat dijadikan acuan dalam menentukan seberapa serius persoalan kemiskinan terjadi. Namun, jika dibandingkan dengan P1 di Cina sebesar 3.32 (The Word Bank, 2004), atau P1 di Bangladesh sebesar 10.9 (BBS Poverty Monitoring Survey, 2004), atau P1 di Nepal sebesar 7.55 (The Word Bank, 2004), maka P1 di Indonesia menunjukkan jarak yang lebih mendekati garis kemiskinan. Adanya jarak yang lebih kecil terhadap garis kemiskinan ini menggambarkan bahwa kesenjangan kemiskinan di Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan dengan tiga negara tersebut. 5.1.1.3. Keparahan Kemiskinan Hasil analisis indeks keparahan kemiskinan atau Poverty Severity Gap Index (P2) nasional sebesar 0.7. Indeks keparahan kemiskinan menjelaskan ragam pengeluaran diantara rumahtangga miskin, dimana semakin kecil kesenjangannya (mendekati 0) menunjukkan kondisi yang seragam. Jika dibanding dengan P2 di Cina sebesar 1.21 (The Word Bank, 2004), atau P2 di Bangladesh sebesar 3.8 (BBS Poverty Monitoring Survey, 2004), atau P2 di Nepal sebesar 2.7 (The Word Bank, 2004), maka P2 di Indonesia lebih kecil daripada negara-negara tersebut. Hal ini menunjukkan indeks keparahan kemiskinan nasional yang memberikan indikasi bahwa distribusi pengeluaran
77
rumahtangga miskin secara nasional
relatif lebih merata di banding negara-
negara tersebut. 5.1.2. Kerentanan Kemiskinan 5.1.2.1. Elastisitas Kemiskinan Untuk mengetahui kerentanan kemiskinan nasional yakni sensitivitas indikator kemiskinan terhadap perubahan Garis Kemiskinan (GK) maka disimulasikan garis kemiskinan (GK) naik 10 persen dan 20 persen. Jika bundel harga barang dan jasa naik karena misalnya faktor inflasi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan lain-lain, maka secara riil nilai dari kebutuhan minimum naik, sementara penyesuaian pendapatan akibat dari kenaikan harga tersebut tidak segera mengikuti perubahan harga. Sebagai akibatnya, proporsi rumahtangga miskin akan bertambah. Dengan menggunakan skenario ini, pada GK*110 persen, proporsi penduduk miskin nasional naik dari 13.1 menjadi 18.9, dan pada GK*120 persen naik dari 13.1 menjadi 25.0. (Tabel 4). Tabel 4. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Nasional Tahun 2005 Indikator
GK
GK*110 %
GK*120 %
Nilai
Nilai
Elastisitas
Nilai
Elastisitas
P0
13.1
18.9
4.35
25.0
4.54
P1
2.3
3.6
5.65
5.1
6.09
P2
0.7
1.1
5.71
1.6
6.43
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = Garis Kemiskinan (versi BPS); P0 = headcount index (dalam%) P1 = poverty gap index (kedalaman atau kesenjangan pengeluaran terhadap GK) P2 = Poverty Severity Gap Index/Distributionally Sensitive Index (keparahan kemiskinan)
Indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P1) secara nasional sebesar 3.6 pada GK*110 persen dan 5.1 pada GK*120 persen. Hal ini
78
berarti bahwa jika terjadi gejolak ekonomi yang menyebabkan terjadi perubahan garis kemiskinan sebesar 10 persen atau 20 persen, ternyata rumahtangga yang jatuh miskin akan naik sebesar 1.3 pada GK*110 persen, atau naik sebesar 2.8 pada GK*120 persen (Tabel 4). Hal yang sama terjadi juga pada indeks keparahan (Poverty Severity Index), dimana Poverty Severity Gap Index (P2) sebesar 1,1 pada GK*110 persen dan 1,6 pada GK*120 persen. Hasil analisis kerentanan tersebut diatas menjelaskan bahwa insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan nasional rentan terhadap perubahan harga barang dan jasa. Selanjutnya, hasil analisis nilai elastisitas perubahan insiden kemiskinan nasional sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen adalah 4.35, dan pada GK*120 persen sebesar 4.54. Dengan elastisitas lebih besar dari satu seperti terlihat pada Tabel 4, maka indikator kemiskinan nasional ini sensitif terhadap gejolak harga. Sebagai ilustrasi, jika terjadi perubahan harga barang dan jasa yang mendorong bundel kebutuhan minimum sebesar 1 persen, maka pada GK*110 persen insiden kemiskinan naik menjadi 4.35 persen, kedalaman kemiskinan naik 5.65 persen, dan keparahan kemiskinan 5.71 persen. Hal ini memberi makna bahwa perubahan harga barang dan jasa kebutuhan minimum sebesar satu persen mengakibatkan jumlah rumahtangga miskin akan naik sebesar 303 162 rumahtangga, sehingga rumahtangga miskin menjadi 7 272 408. Jika diasumsikan rata-rata rumahtangga memiliki anggota sebanyak empat jiwa, maka akan terdapat 29 089 633 jiwa yang berada di bawah garis kemiskinan. Hasil analisis nilai elastisitas indeks kedalaman kemiskinan nasional sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan juga lebih besar dari satu, yaitu sebesar 5.65 pada GK*110 persen, dan sebesar 6.09 pada GK*120 persen, yang
79
berarti
elastis.
Dua
skenario
tersebut
menunjukkan
bahwa
kedalaman
kemiskinan responsif terhadap perubahan harga barang dan jasa. Hal yang serupa terjadi pada nilai elastisitas indeks keparahan kemiskinan nasional, dimana sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK* 110 persen adalah sebesar 5.71 dan pada GK*120 persen sebesar 6.43. Dengan demikian, maka keparahan kemiskinan sensitif terhadap perubahan harga barang dan jasa. Hal ini memberi makna pula bahwa jika terjadi perbaikan situasi ekonomi, misalnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dapat mengurangi pengeluaran rumahtangga miskin maka akan cukup memberi dampak yang signifikan dalam penurunan angka keparahan kemiskinan. Kerentanan kemiskinan yang terjadi di Indonesia sesuai dengan penelitian Sumaryadi (2001) menunjukkan bahwa sekitar 38-50 persen rumahtangga di Indonesia sangat rentan terhadap gejolak ekonomi. Selanjutnya The World Bank (2003) juga menunjukkan bukti-bukti yang memperlihatkan bahwa jumlah penduduk miskin akan naik dua kali lipat, jika garis kemiskinan naik dari US$1 menjadi US$ 2 per hari. Kerentanan kemiskinan menjelaskan bahwa walaupun dari kemampuan konsumsinya di atas garis kemiskinan tetapi berpotensi besar untuk jatuh ke golongan rumahtangga miskin. Untuk rumahtangga seperti ini diperlukan adanya suatu sistem keterjaminan sosial. Sebagaimana diungkap oleh Crescent (2003) yang menyatakan bahwa sistem keterjaminan sosial, seperti asuransi sosial, sistem ketahanan lokal, dan program pembangunan ekonomi dan sosial merupakan antisipasi yang baik dalam menangani kemiskinan. Secara grafis distribusi frekuensi pengeluaran rumahtangga secara nasional dapat dilihat pada Gambar 5.
80
5.1.2.2. Sifat Kemiskinan Untuk mengetahui sifat kemiskinan, maka dilakukan analisis regresi model pengeluaran konsumsi rumahtangga miskin dan rentan yang dilanjutkan dengan analisis regresi dengan variabel seperti pada Lampiran 1. Hasil regresi ini memperlihatkan bahwa dari 13.1 persen rumahtangga miskin (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis dan 10.9 persen tidak kronis. Dengan demikian, 10.9 persen rumahtangga ini berpontensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Seperti diketahui, dua hal yang akan dapat menurunkan kemiskinan, yakni adanya penurunan rata-rata pengeluaran rumahtangga dan atau adanya peningkatan pendapatan.
Rumahtangga
GK = Rp 90.500 GK 110 % = Rp 100.800 GK 120 % = Rp 111.400
Distribusi Frekuensi
Kurva Normal
Pengeluaran (Rp) Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004. Data Diolah
Gambar 5. Distribusi Pengeluaran Rumahtangga Secara Nasional
81
Dari sisi peningkatan pendapatan, variabel yang berpengaruh antara lain adalah insvestasi, penciptaan iklim usaha dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini sejalan dengan hasil studi dampak kebijakan ekonomi makro terhadap pengentasan
kemiskinan
di
Indonesia
(BAPPENAS-JICA,
2004),
yang
menyatakan bahwa penciptaan lapangan pekerjaan dan investasi di bidang infrastruktur dan sumberdaya manusia telah memberikan dampak yang signifikan. Dengan demikian, kebijakan seperti Usaha Mikro Kecil Menengah yang memberi kemudahan untuk investasi dan pemberdayaan masyarakat menjadi relevan untuk dilakukan. Sedangkan 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang untuk dientaskan dari kemiskinan relatif lebih memerlukan penanganan yang lebih kompleks. Untuk kemiskinan yang tergolong kronis, diperlukan intervensi jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan minimum, seperti pangan. Sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini bahwa lebih dari dua per tiga pengeluaran penduduk miskin adalah untuk makanan, karena itu kebijakan untuk subsidi pangan, seperti Beras Miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT) relevan untuk dilakukan. Tabel 5. Sifat Kemiskinan Nasional Aspek
Sifat
GK
GK*110%
GK*120%
Penelitian % RT Miskin
Miskin
(menurut sifat) Sumber Keterangan
10.9
14.1
16.3
Miskin kronis
2.2
4.8
8.7
Total miskin
13.1
18.9
25.0
: Hasil Perhitungan : GK = Garis Kemiskinan RT = rumah tangga
Untuk mengetahui sifat kemiskinan rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan naik sebesar 10 persen.
82
Akibatnya, jumlah penduduk miskin akan bertambah cukup besar. Setelah dilakukan pemilihan variabel, maka dilakukan kembali regresi konsumsi rumahtangga dengan variabel dummy yang dibuat dari variabel-variabel terpilih. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis, dari 18.9 persen rumahtangga miskin di seluruh Indonesia terdapat 4.8 persen rumahtangga yang miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 18. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 25 persen rumahtangga miskin di seluruh Indonesia terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 8.7 persen dan 16.3 persen miskin tidak kronis. Sejumlah 16.3 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 8.7 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang memerlukan effort yang besar, bertahap dan berkelanjutan untuk mengentaskannya. Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin nasional. Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya besar sekali terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin. Tabel 6 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis sebesar 116.2 persen, artinya meningkatnya garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah keluarga miskin kronis bertambah lebih dari dua kali lipat dari angka
83
sebelumnya. Jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis akan mendekati 300 persen (291.9 persen). Tabel 6. Perubahan Sifat Kemiskinan Nasional Aspek Penelitian
Sifat
GK*110%
GK*120%
29.0 116.2 43.1
49.1 291.9 90.3
% perubahan akibat GK
Miskin Miskin kronis Total miskin Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan : GK = Garis Kemiskinan
Tabel 7 menggambarkan perbedaan pengeluaran per kapita dengan garis kemiskinan, relatif terhadap garis kemiskinan (persentase Beda) dan juga ratio pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan (Ratio). Secara umum, dengan garis kemiskinan biasa ternyata persen perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) adalah - 42.2 persen (Tabel 7). Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Tabel 7.
Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Nasional terhadap Garis Kemiskinan
Berdasarkan
Sifat
GK % beda
Nasional Rataan
Median
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
- 42.2 - 13.2 138.6 - 40.0 - 12.1 85.8
ratio 0.578 0.868 2.386 0.600 0.879 1.858
GK*110% % beda ratio - 39.6 -12.6 126.4 - 37.3 -12.0 76.6
0.604 0.874 2.264 0.627 0.880 1.766
GK*120% % beda ratio - 38.3 -12.2 118.0 - 35.8 -11.9 70.4
0.617 0.878 2.180 0.642 0.881 1.704
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan : GK = Garis Kemiskinan
Jika garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, ternyata persen perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis
84
(berdasarkan rataan) sebesar 39.6 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 76.6 persen. Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, ternyata perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) dibawah 40 persen atau -38.3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran per kapita golongan miskin kronis ini berbeda dengan garis kemiskinan. Sedangkan untuk golongan tidak miskin seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen.
5.1.3. Uji Proporsi Kemiskinan antar Agroekosistem Dalam penelitian ini diajukan hipotesis bahwa insiden kemiskinan di Indonesia berasosiasi kuat dengan faktor lokasi (spatial) berdasarkan ekonomi agroekosistem, atau secara matematis diformulasikan sebagai berikut : Ho: p1= p2 = p3 H1: tidak semua pi sama Untuk menguji hipotesis tersebut maka dilakukan pengujian dengan Uji proporsi insiden kemiskinan (Walpole, 1995) antar agroekosistem. Akan tetapi karena data yang mutually exclusive hanya lahan basah, campuran dan lahan kering, maka pengujian hanya bisa dilakukan antar agroekosistem tersebut. Hasil analisis proporsi insiden kemiskinan antar agroekosistem memperlihatkan nilai X2 sebesar 11 189 907. Nilai X2 tersebut lebih besar dari nilai X2 tabel pada alpha 0.025 dengan v = 2 derajat bebas yang sebesar 7.378. Dengan demikian, maka H1 diterima; yang berarti ada perbedaan proporsi insiden kemiskinan yang sangat signifikan antar agroekosistem. Data insiden kemiskinan pada tiap agroekosistem disajikan pada Tabel 8.
85
Tabel 8. Insiden Kemiskinan Nasional per Agroekosistem Tahun 2005 LB Insiden Tidak Miskin Miskin Total
1856650 270097 2126747
LK 31845253 4632700 36477953
LC 12493879 2101774 14595653
Total 46195782 7004571 53200353
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan : LB = Lahan Basah LK = Lahan Kering LC = Lahan Campuran
Berdasarkan hasil
analisis tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa insiden kemiskinan yang terjadi di Indonesia ternyata berasosiasi kuat dengan tipe agroekosistem. Dengan demikian, hipotesis penelitian ini yang menyatakan bahwa ”insiden kemiskinan di Indonesia berasosiasi kuat dengan faktor lokasi (spasial) berdasarkan agroekosistem” ternyata terbukti benar.
5.2. Lahan Basah 5.2.1. Indikator kemiskinan 5.2.1.1. Insiden Kemiskinan Insiden kemiskinan pada agroekosistem lahan basah berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount Index (P0) sebesar 12.7 persen dari total rumahtangga yang tinggal di agroekosistem lahan basah (2 126 747 rumahtangga) atau sebanyak 270 096 rumahtangga miskin, sementara insiden kemiskinan nasional (P0) sebesar 13.1 persen dari total rumahtangga nasional (53 200 353 rumahtangga) atau sebanyak 6 969 246 rumahtangga miskin. Jika dibandingkan dengan angka nasional, nilai P0 agroekosistem lahan basah lebih kecil dari P0 Nasional, namun jika dibandingkan besarannya dengan angka nasional rumahtangga miskin yang sebesar (6 969 246 rumahtangga) maka proporsi insiden kemiskinan di lahan basah hanya 3.88 persen dari total
86
rumahtangga miskin nasional. Data ini menjelaskan bahwa lahan basah bukan merupakan kantong kemiskinan. Pemahaman tentang besarnya insiden kemiskinan di lahan basah akan memberi makna dalam penentuan lokasi sasaran penanggulangan kemiskinan. Data diatas menjelaskan bahwa dengan memperhatikan magnitude-nya, lahan basah bukan merupakan prioritas utama penanggulangan kemiskinan karena dampak yang relatif kecil dalam konteks nasional. 5.2.1.2. Kedalaman Kemiskinan Hasil analisis mengenai indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P1) di lahan basah menunjukkan angka sebesar 1.9 persen. Jika dibandingkan dengan angka nasional maka P1 lahan basah lebih kecil dari P1 nasional. Hal ini menyiratkan bahwa kontribusi lahan basah terhadap indeks kedalaman kemiskinan nasional relatif kecil. Indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan
besarnya
jarak
rata-rata
kesenjangan
pengeluaran
rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan, dimana semakin besar nilainya maka semakin dalam kemiskinan yang terjadi. Pemahaman tentang indeks kedalaman kemiskinan dapat dijadikan acuan dalam memilih area prioritas penanggulangannya. Dengan demikian, maka hasil analisis di atas menjelaskan bahwa jarak rata-rata pengeluaran rumahtangga miskin di agroekosistem lahan basah yang sebesar 1.9 persen sudah mendekati garis kemiskinan. Kedekatan jarak terhadap garis kemiskinan ini menyiratkan bahwa kondisi kemiskinan di lahan basah kurang kritis dan jika ada perlakuan yang tepat terhadap agroekosistem ini, maka lebih besar peluang bagi rumahtangga miskin di agroekosistem lahan basah untuk dapat dientaskan.
87
5.2.1.3. Keparahan Kemiskinan Hasil analisis indeks keparahan kemiskinan atau Poverty Severity Gap Index (P2) di agroekosistem lahan basah sebesar 0.5 persen. Jika dibandingkan dengan angka nasional maka nilai P2 lahan basah lebih kecil dari P2 nasional. Indeks keparahan kemiskinan menjelaskan ketimpangan pengeluaran antar rumahtangga miskin, dimana semakin kecil kesenjangannya (mendekati 0) menunjukkan kondisi yang tidak parah. Dengan demikian, maka indeks keparahan kemiskinan di agroekosistem lahan basah yang sebesar 0.5 persen menunjukkan ketimpangan yang relatif kecil. Hal ini memberikan indikasi bahwa distribusi pengeluaran rumahtangga miskin di agroekosistem lahan basah relatif merata. Hal ini berarti juga kemiskinan yang terjadi di lahan basah kurang belum memerlukan langkah emergency. 5.2.2. Kerentanan Kemiskinan 5.2.2.1. Elastisitas kemiskinan Untuk mengetahui bagaimana insiden kemiskinan sekitar garis kemiskinan yang diasumsikan rentan terhadap garis kemiskinan maka disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Jika bundel harga barang dan jasa naik karena misalnya faktor inflasi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan lainlain, maka secara riil nilai dari kebutuhan minimum naik, sementara penyesuaian pendapatan akibat dari kenaikan harga tersebut tidak segera mengikuti perubahan harga. Sebagai akibatnya, garis kemiskinan juga akan naik. Jika diasumsikan akibat kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen diketahui bahwa dampak kenaikan harga barang dan jasa terhadap proporsi penduduk miskin pada lahan basah ternyata relatif lebih besar (Tabel 9). Dengan mencermati nilai-
88
nilai P0 dan simulasi perubahan-perubahan indeks harga kebutuhan minimum, maka persentase rumahtangga yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 19.3 persen pada GK*110 persen dan 26.7 persen rumahtangga miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen ceteris paribus. Tabel 9. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan pada Lahan Basah Tahun 2005 Indikator
GK
GK*110 %
Nilai Lb P0
12.7
P1
1.9 0.5
P2
Nilai
GK*120 %
Elastisitas
Nilai
Elastisitas
Nas
Lb
Nas
Lb
Nas
Lb
Nas
13.1
19.3
18.8
5.20
4.35
26.7
25.0
5.51 4.54
2.3
3.2
3.6
6.84
5.65
4.8
5.1
7.63 6.09
0.7
0.8
1.1
6.00
5.71
1.3
1.6
8.00 6.43
Sumber
: Hasil Perhitungan
Keterangan
: GK= Garis Kemiskinan; Lb= lahan basah; Nas= nasional
Lb
Nas
Dibanding angka nasional, dimana persentase rumahtangga yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 18.8 persen pada GK*110 persen dan 25.0 persen rumahtangga miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen, maka nilai P0 masih lebih besar. Pola laju perubahan persentase penduduk miskin berubah drastis menjadi lebih dari dua kali lipat jika dampak kenaikan harga barang dan jasa mendorong kenaikan nilai rupiah kebutuhan minimum atau GK sebesar 20 persen.
Secara
grafis
distribusi
frekuensi pengeluaran rumahtangga di lahan basah disajikan pada Gambar 6. Indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P1) yang terjadi di lahan basah sebesar 3.2 pada GK*110 persen dan 4,8 pada GK*120 persen lebih kecil dari Poverty Gap Index (P1) di tingkat nasional. Hal ini berarti jika terjadi gejolak ekonomi yang menyebabkan terjadi perubahan garis kemiskinan sebesar 10 persen atau 20 persen, ternyata masyarakat yang tinggal di lahan
89
basah lebih kecil merasakan shock akibat dari gejolak ekonomi ini dibandingkan dengan tingkat nasional sebagaimana dapat terlihat dari perubahan Poverty Gap Index.
Rumahtangga
GK = Rp 92.600 GK 110 % = Rp 102.200 GK 120 % = Rp 112.000
Distribusi Frekuensi
Kurva Normal
Pengeluaran (Rp) Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004; Data Diolah
Gambar 6. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan Basah
Pola yang sama juga terjadi pada indeks keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index), dimana gejolak ekonomi akan berdampak lebih kecil pada masyarakat yang tinggal di lahan basah dibandingkan nasional, dimana Poverty Severity Gap Index (P2) sebesar 0.8 pada GK*110 persen dan 1.3 pada GK*120 persen. Hal ini berarti keparahan kemiskinan pada lahan basah lebih kecil dari keparahan di tingkat nasional. Dengan demikian, insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di lahan basah relatif kurang rentan dibanding nasional .
90
Hasil analisis nilai elastisitas perubahan insiden kemiskinan di lahan basah sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen dan GK*120 persen sebesar 5.20 dan 5.51. Angka ini menjelaskan bahwa insiden kemiskinan di lahan basah termasuk katagori elastis. Dibanding angka nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 4.35 pada GK*110 persen dan 4.54 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di lahan basah lebih besar. Hal ini berarti dengan dua skenario tersebut diketahui bahwa dampak kenaikan harga barang dan jasa terhadap insiden kemiskinan di lahan basah akan lebih besar dibanding tingkat nasional. Hasil analisis nilai elastisitas indeks kedalaman kemiskinan di lahan basah sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen, dan GK*120 persen masing-masing sebesar 6.84 dan 7.63 yang berarti elastis. Dibanding angka nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 5.65 pada GK*110 persen dan 6.09 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di lahan basah relatif lebih besar. Artinya, dampak pada dua skenario tersebut terhadap kedalaman kemiskinan di lahan basah akan lebih besar dari tingkat nasional. Hasil analisis nilai elastisitas indeks keparahan kemiskinan di lahan basah sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen dan GK*120 persen masing-masing sebesar 6.00 dan 8.00. Angka ini menjelaskan keparahan kemiskinan di lahan basah termasuk katagori elastis. Dibanding angka nasional, maka besaran nilai elastisitasnya lebih besar, sehingga dampak pada dua skenario tersebut terhadap keparahan kemiskinan di lahan basah akan lebih besar dibandingkan tingkat nasional. Namun karena keduanya sama termasuk katagori elastis maka faktor perubahan harga besar dampaknya terhadap peningkatan keparahan kemiskinan. Nilai elastisitas insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di lahan basah seperti diuraikan diatas memberi makna
91
pula bahwa jika terjadi perbaikan situasi ekonomi, maka akan memberi dampak yang relatif besar bagi pengentasan kemiskinan di agroekosistem tersebut. Rumahtangga rentan miskin di agroekosistem lahan basah ini umumnya tidak memiliki aset produktif yang bisa dijadikan agunan saat membutuhkan modal dari lembaga keuangan formal serta umumnya tidak memiliki dana saving, sehingga saat ada shock
akan jatuh miskin. Dengan demikian, penanganan
yang bersifat preventif seperti asuransi, atau pemberdayaan sumberdaya manusia menjadi relevan bagi rumahtangga yang rentan ini. 5.2.2.2. Sifat Kemiskinan Untuk memperoleh gambaran tentang sifat kemiskinan, maka dilakukan analisis regresi model pengeluaran konsumsi rumahtangga miskin. Hasil regresi memperlihatkan bahwa dari 13.1 persen rumahtangga miskin menurut BPS (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis sebesar 2.2 persen dan miskin tidak kronis sebesar 10.9 persen. Sebesar 10.9 persen rumahtangga ini berpontensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 2.2 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan tantangan yang sangat besar untuk mengentaskannya karena merupakan kemiskinan struktural. Hasil regresi untuk lahan basah, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 10. Hasil analisis sifat kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini adalah dari 12.7 persen rumahtangga miskin di daerah lahan basah terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis sebesar 2.5 persen dan miskin tidak kronis sebesar 10,21 persen. Sebanyak 10.21 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan
92
dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Secara teoritis, investasi dan kualitas sumberdaya manusia akan memberi pengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan. Dengan demikian kebijakan seperti UMKM, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat menjadi relevan untuk dilakukan. Sedangkan 2.5 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang memerlukan penyangga kebutuhan minimum hariannya maka kebijakan subsidi pangan seperti Raskin relevan untuk dilakukan. Tabel 10. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Basah Aspek Penelitian % RT Miskin (menurut sifat)
Sifat Miskin Miskin kronis Total miskin
GK Lahan Basah 10.2 2.5 12.7
Nas 10.9 2.2 13.1
GK*110 % GK*120 % Lahan Nas Lahan Nas Basah Basah 14.2 14.1 17.5 16.3 5.1 4.8 9.2 8.7 19.3 18.9 26.7 25
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan; Nas= nasional; RT = rumahtangga
Untuk mengetahui sifat kemiskinan pada rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan dengan meningkatkan sebesar 10%. Akibatnya, jumlah penduduk miskin akan bertambah cukup besar. Setelah dilakukan pemilihan variabel, maka dilakukan kembali regresi konsumsi rumah tangga dengan variabel dummy yang dibuat dari variabel-variabel terpilih. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada
Lampiran
11.
Berdasarkan
hasil
analisis
terdapat
18.9
persen
rumahtangga miskin di seluruh Indonesia terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 4.8 persen dan 14.1 persen miskin tidak kronis. Sejumlah 14.1
93
persen rumahtangga ini berpontensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 4.8 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural (Tabel 10). Hasil regresi untuk lahan basah dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 10. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa 18.3 persen rumahtangga miskin (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 5.6 persen dan miskin tidak kronis sebesar 12.8 persen. Sejumlah 12.8 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 5.6 persen rumahtangga yang miskin ini adalah kemiskinan struktural dengan permasalahan yang kompleks untuk dientaskan. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 18. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa dari 25 persen rumahtangga miskin di seluruh Indonesia terdapat rumahtangga yang miskin kronis yaitu 8.7 persen dan 16.3 persen miskin tidak kronis. Sebanyak 16.3 persen rumahtangga ini berpontensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 8.7 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural dengan probabilitas untuk dientaskan relatif kecil. Hasil regresi untuk lahan basah dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model
94
seperti pada Tabel 10. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 24.6 persen rumahtangga miskin (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 9.5 persen dan 15.1 persen miskin tidak kronis. Sebesar 15.1 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 9.5 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang relatif membutuhkan upaya yang lebih besar untuk dientaskan. Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin, pada lahan basah (Tabel 11). Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya
besar
sekali terhadap
keluarga
miskin
kronis
dan
jumlah
rumahtangga miskin itu sendiri. Tabel 11 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis melebihi angka 100 persen; artinya dengan meningkatkan garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah keluarga miskin kronis bertambah lebih dari 2 kali lipat dari angka sebelumnya. Apalagi jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis melebihi 200 persen. Untuk mengetahui perbedaan pengeluaran rumah tangga dengan garis kemiskinan, maka pengeluaran rumah tangga dikonversi dahulu ke pengeluaran per kapita karena garis kemiskinan sendiri satuannya adalah per kapita. Tabel 11 menggambarkan persentase perbedaan pengeluaran per kapita dengan garis kemiskinan, relatif terhadap garis kemiskinan (Beda) dan juga ratio pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan (Ratio). Secara umum, ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) adalah 34,9 persen (Tabel 11).
95
Tabel 11. Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Lahan Basah Aspek Penelitian % perubahan akibat GK
GK*110 % Lahan Nasional Basah 39.4 29.0 104.0 116.2 52.1 116.2
Sifat Miskin Miskin kronis Total miskin
GK*120 % Lahan Nasional Basah 71.7 49.1 268.0 291.9 110.4 90.3
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= Garis Kemiskinan
Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Sementara lahan basah memiliki beda 65,4 persen yang artinya terdapat jarak yang lebih dekat antara yang tidak miskin dengan miskin, dibanding dengan nasional. Pada garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) di agroekosistem lahan basah sebesar 34,3 persen sekaligus dibawah beda nasional. Tabel 12. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Basah Berdasarkan
Sifat
GK % beda ratio
Lahan Basah Rataan Miskin Kronis - 34.9 Miskin - 10.7 Tidak Miskin 94.5 Median Miskin Kronis - 32.4 Miskin - 10.0 Tidak Miskin 65.4 Nasional Rataan Miskin Kronis - 42.2 Miskin - 13.2 Tidak Miskin 138.6 Median Miskin Kronis - 40.0 Miskin - 12.1 Tidak Miskin 85.8 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan
GK*110% % ratio beda
0.651 0.893 1.945 0.676 0.900 1.654
- 34.3 - 10.6 84.3 - 32.2 - 9.9 56.9
0.578 0.868 2.386 0.600 0.879 1.858
- 39.6 -12.6 126.4 - 37.3 -12.0 76.6
96
0.657 0.894 1.843 0.678 0.901 1.569 0.604 0.874 2.264 0.627 0.880 1.766
GK*120% % beda
ratio
- 33.7 - 10.3 78.0 - 31.3 - 9.9 52.1
0.663 0.897 1.780 0.687 0.901 1.521
- 38.3 -12.2 118.0 - 35.8 -11.9 70.4
0.617 0.878 2.180 0.642 0.881 1.704
Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 76.6 persen. Lahan Basah sebesar 56,9 persen, artinya terdapat jarak yang lebih dekat antara yang tidak miskin dengan miskin. Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, di lahan basah ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) sebesar 33,7 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen. Lahan Basah 52,1 persen, artinya jarak pengeluaran per kapita yang lebih dekat antara yang tidak miskin dengan miskin. 5.3. Lahan Kering 5.3.1. Indikator Kemiskinan 5.3.1.1. Insiden Kemiskinan Insiden kemiskinan pada lahan kering berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount Index (P0) sebesar 12.7 persen dari total rumahtangga yang tinggal di lahan kering (36 477 953 rumahtangga) atau sebanyak 4 632 700 rumahtangga miskin, sementara insiden kemiskinan nasional (P0) sebesar 13.1 persen dari total rumahtangga nasional (53 200 353 rumahtangga) atau sebanyak 6 969 246 rumahtangga miskin. Jika dibandingkan dengan angka nasional, nilai P0 lahan kering lebih kecil P0 nasional, namun jika dibandingkan besarannya dengan angka nasional keluarga miskin yang sebesar (6 969 246 rumahtangga) maka proporsi insiden kemiskinan di lahan kering mencapai 66.46 persen dari total rumahtangga miskin nasional. Data ini menjelaskan bahwa agroekosistem lahan kering menjadi kantong kemiskinan.
97
Tingginya insiden kemiskinan di agroekosistem ini menggambarkan perlunya memfokuskan penanggulangan kemiskinan di lahan kering tersebut. Sumber pendapatan rumahtangga di lahan kering cukup beragam. Penduduk sangat tergantung kehidupannya dari aktivitas pertanian. Kegiatan yang diandalkan adalah usahatani lahan kering dan pekarangan. Pemilikan lahan relatif sempit dan orientasi usahatani adalah untuk pemenuhan kebutuhan pokok/subsisten. Kondisi lahan yang bergelombang hingga berbukit-bukit, dengan penguasaan teknologi dan luas lahan usahatani yang sangat terbatas merupakan kesulitan yang dihadapi penduduk. Kemiskinan pada agroekosistem ini sering terkait dengan tidak tersedianya sumber daya alam yang mendukung dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (PSE, 1995). 5.3.1.2. Kedalaman Kemiskinan Hasil analisis mengenai Indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P1) di agroekosistem lahan kering menunjukkan angka sebesar 1,9 persen. Jika dibandingkan dengan angka nasional maka P1 Lahan kering sama dengan P1 Nasional. Hal ini menyiratkan bahwa indeks kedalaman kemiskinan nasional banyak ditentukan oleh kondisi di agroekosistem lahan kering ini. Indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan besarnya jarak ratarata kesenjangan pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan, dimana semakin mendekati nol, kondisinya semakin baik. Dengan demikian maka jarak rata-rata pengeluaran rumahtangga miskin di agroekosistem lahan kering yang sebesar 1.9 persen sudah mendekati garis kemiskinan. Kedekatan jarak terhadap garis kemiskinan ini menggambarkan bahwa jika ada perlakuan yang tepat ke agroekosistem ini, maka lebih besar peluangnya bagi rumahtangga miskin pada lahan kering untuk dapat dientaskan.
98
5.3.1.3. Keparahan Kemiskinan Hasil analisis indeks keparahan kemiskinan atau Poverty Severity Gap Index (P2) di agroekosistem lahan kering sebesar 0.5 persen. Jika dibandingkan dengan angka nasional maka nilai P2 lahan kering sama dengan P2 nasional. Ini berarti keparahan kemiskinan di agroekosistem lahan kering gambarannya identik dengan kondisi kemiskinan nasional. Indeks keparahan kemiskinan menjelaskan ketimpangan pengeluaran antar rumahtangga miskin, dimana semakin kecil kesenjangannya (mendekati 0) menunjukkan kondisi yang semakin baik. Dengan demikian, maka indeks keparahan kemiskinan di agroekosistem lahan kering yang sebesar 0.5 persen menunjukkan ketimpangan yang relatif kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi pengeluaran rumahtangga miskin di agroekosistem lahan kering relatif merata. 5.3.2. Kerentanan Kemiskinan 5.3.2.1. Elastisitas kemiskinan Untuk mengetahui kerentanan kemiskinan di agroekosistem lahan kering maka disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Jika bundel harga barang dan jasa naik karena misalnya faktor inflasi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan lain-lain, maka nilai dari kebutuhan minimum naik, sementara penyesuaian pendapatan akibat dari kenaikan harga tersebut tidak segera mengikuti perubahan harga. Sebagai akibatnya, garis kemiskinan (dalam rupiah) juga akan naik. Diasumsikan bahwa akibat kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Dengan menggunakan skenario ini diketahui bahwa dampak kenaikan harga barang dan jasa terhadap proporsi penduduk miskin di lahan kering ternyata cukup besar sebagaimana dirinci padaTabel 13.
99
Tabel 13. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Pada Lahan Kering Indikator
GK
GK*110 %
Nilai
Nilai
GK*120 %
Elastisitas
Nilai
Elastisitas
Lk
Nas
Lk
Nas
Lk
Nas
Lk
Nas
Lk
Nas
P0
12,7
13.1
18.0
18.8
4.17
4.35
23,7
25.0
4.33
4.54
P1
2,3
2.3
3,5
3.6
5.22
5.65
4,9
5.1
5.65
6.09
P2
0,7
0.7
1,1
1.1
5.71
5.71
1,60
1.6
6.43
6.43
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= Garis Kemiskinan (versi BPS); Lk= lahan kering; Nas= nasional P0 = headcount index P1 = poverty gap index(kedalaman atau kesenjangan pengeluaran terhadap GK) P2 = Poverty Severity Gap Index/Distributionally Sensitive Index (keparahan kemiskinan)
Dengan mencermati nilai-nilai P0 dan simulasi perubahan-perubahan indeks harga kebutuhan minimum, maka persentase penduduk yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 18.0 persen pada GK*110 persen dan 23.7 persen penduduk miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen ceteris paribus. Dibanding nasional, dimana persentase penduduk yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 18.8 persen pada GK*110 persen dan 25.0 persen penduduk miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen, maka nilai P0 di agroekosistem lahan kering masih lebih kecil. Ini berarti dampak peningkatan proporsi penduduk miskin pada dua skenario tersebut terhadap insiden kemiskinan di agroekosistem lahan kering akan kurang berpengaruh dengan besaran yang lebih kecil dari angka nasional. Pola laju perubahan persentase penduduk miskin berubah cukup besar jika dampak kenaikan harga barang dan jasa mendorong kenaikan nilai rupiah kebutuhan minimum atau GK sebesar 20 persen. Secara grafis distribusi pengeluaran rumahtangga di Lahan Kering dapat dilihat pada Gambar 7.
100
Rumahtangga GK = Rp 89.600 GK 110 % = Rp 99.700 GK 1 20 % = Rp 110.300
Distribusi Frekuensi
Kurva Normal
Pengeluaran (Rp) Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004. Data Diolah
Gambar 7. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan Kering
Indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P1) yang terjadi di lahan kering dengan index sebesar 3.5 pada GK*110 persen dan 4.9 pada GK* 120 persen lebih kecil dari pada Poverty Gap Index (P1) di tingkat nasional. Hal ini berarti jika terjadi gejolak ekonomi yang menyebabkan terjadi perubahan garis kemiskinan sebesar 10 persen atau 20 persen, ternyata masyarakat yang tinggal di lahan kering merasakan akibat yang sedikit lebih kecil dari gejolak ekonomi ini dibandingkan dengan tingkat nasional. Tidak demikian halnya pada indeks keparahan (Poverty Severity Index), dimana gejolak ekonomi akan berdampak sama pada masyarakat yang tinggal di lahan kering dan nasional, dimana Poverty Severity Gap Index (P2) sebesar 1.1 pada GK*110 persen dan 1.6 pada GK*120 persen. Hal ini berarti keparahan kemiskinan di lahan kering sama dengan keparahan di tingkat nasional. Hasil
analisis
nilai
elastisitas
perubahan
insiden
kemiskinan
di
agroekosistem lahan kering sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110
101
persen sebesar 4.17, dan GK*120 persen sebesar 4.33. Angka ini menjelaskan bahwa insiden kemiskinan di agroekosistem lahan kering adalah elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 4.35 pada GK*110 persen dan sebesar 4.54 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di agroekosistem lahan kering lebih kecil. Ini berarti dampak dari dua skenario tersebut terhadap insiden kemiskinan di agroekosistem lahan kering akan lebih kecil dari tingkat nasional. Hasil analisis nilai elastisitas indeks kedalaman kemiskinan pada lahan kering sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan pada GK*110 persen sebesar 5.22, dan pada GK*120 persen sebesar 5.65 yang berarti elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 5.65 pada GK*110 persen dan sebesar 6.09 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di lahan kering masih lebih kecil. Ini berarti dampak pada dua skenario tersebut terhadap kedalaman kemiskinan pada lahan kering akan
persen lebih kecil dibanding
tingkat nasional. Hasil analisis nilai elastisitas indeks keparahan kemiskinan pada lahan kering sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen sebesar 5.71 dan GK*120 persen sebesar 6.43. Angka ini menjelaskan keparahan kemiskinan pada lahan kering masuk katagori elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sama yaitu sebesar 5.71 pada GK*110 persen, dan sebesar 6.43 pada GK*120 persen maka dampak dari dua skenario tersebut terhadap keparahan kemiskinan pada lahan kering akan sama dengan tingkat nasional. Karena keduanya termasuk katagori elastis maka mempertahankan stabilitas harga barang dan jasa menjadi penting dilakukan karena akan menghasilkan dampak cukup besar terhadap peningkatan keparahan kemiskinan.
102
Kerentanan kemiskinan di agroekosistem lahan kering memberi arti bahwa rumahtangga ini walaupun dari kemampuan konsumsinya di atas garis kemiskinan tetapi berpotensi besar untuk jatuh ke golongan rumah tangga miskin. Rumahtangga yang rentan ini membutuhkan sistem keterjaminan sosial, sehingga pada saat ada shock, akan mampu untuk bertahan. Dengan demikian, penanganan yang bersifat preventif seperti jaringan pengaman sosial menjadi relevan bagi rumahtangga yang rentan ini. 5.3.2.2. Sifat Kemiskinan Untuk mengidentifikasi sifat kemiskinan, maka disusun regresi model pengeluaran konsumsi rumahtangga miskin dan rentan. Hasil regresi ini memperlihatkan bahwa dari 13.1 persen rumahtangga miskin menurut BPS (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis dan 10.9 persen tidak kronis. Dengan demikian 10.9 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumah tangga ini bisa meningkat; sedangkan 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis relatif lebih sulit untuk dientaskan. Hasil regresi untuk lahan kering, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 14. Hasil analisis kerentanan kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini diketahui dari 12.7 persen rumahtangga miskin di lahan kering terdiri dari 2.3 persen rumahtangga yang miskin kronis dan sebesar 10.4 persen miskin tidak kronis. Sejumlah 10.4 persen rumahtangga
ini
berpotensi
untuk
meningkatkan
pendapatan
dengan
meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Pembukaan kesempatan usaha, peningkatan keterampilan akan memberi peluang bagi rumahtangga miskin untuk keluar dari
103
kemiskinan.
Dengan
demikian,
kebijakan
seperti
pengembangan
dan
pemberdayaan masyarakat menjadi relevan untuk dilakukan. Sedangkan 2.3 persen rumahtangga yang miskin kronis ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang kemungkinan untuk dientaskan dari kemiskinan sangat kecil, kecuali dengan intervensi yang tepat. Untuk jangka pendek terhadap golongan ini perlu disubsidi untuk pengeluaran makanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar dua per tiga pengeluaran rumahtangga adalah untuk makanan. Untuk mengetahui sifat kemiskinan rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan naik sebesar 10%. Akibatnya, jumlah penduduk miskin akan bertambah cukup besar. Setelah dilakukan pemilihan variabel, maka dilakukan kembali regresi konsumsi rumah tangga dengan variabel dummy yang dibuat dari variabel-variabel terpilih. Tabel 14. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Kering Aspek Penelitian
Sifat
% RT Miskin (menurut sifat
Miskin Miskin kronis Total miskin
GK GK*110 % GK*120 % Lahan Nas Lahan Nas Lahan Nas kering kering kering 10.4 10.9 13.4 14.1 15.4 16.3 2.3 2.2 4.6 4.8 8.3 8.7 13.1 18.0 18.9 23.7 25 12.7
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = Garis Kemiskinan Nas= Nasional
Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis, dari sejumlah 18.9 persen rumahtangga miskin seluruh Indonesia terdapat 4.8 persen rumahtangga yang miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis. Sebanyak 14.1 persen rumahtangga
ini
berpotensi
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
dengan
meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi
104
rumahtangga ini bisa meningkat; sedangkan 4.8 persen rumahtangga yang miskin kronis memerlukan penanganan segera untuk memenuhi kebutuhan minimum. Hasil regresi untuk lahan kering dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 14. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa 18.0 persen rumahtangga miskin terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis sebesar 4,6 persen dan miskin tidak kronis sebesar 13,4. Dengan demikian, maka sebanyak 13,4 persen rumahtangga ini berpotensi untuk dientaskan kemiskinannya dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 14. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 25 persen rumahtangga miskin seluruh Indonesia terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 8.7 persen dan 16.3 persen miskin tidak kronis. Sejumlah 16.3 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 8.7 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang perlu penanganan yang lebih besar untuk mengentaskan kemiskinan pada kelompok masyarakat ini Hasil regresi untuk lahan kering dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 14. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 23.7 persen rumahtangga miskin terdiri dari rumah tangga yang miskin kronis sebesar 8.3 persen dan miskin tidak kronis sebesar 15.4 persen.
105
Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin, pada lahan kering. Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya besar sekali terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin. Tabel 15 menunjukkan bahwa laju pertambahan rumahtangga miskin kronis sebesar 100 persen, artinya dengan meningkatkan garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah keluarga miskin kronis bertambah 2 kali lipat (100 persen) dari angka sebelumnya, dan jumlah rumahtangga miskin tidak kronis meningkat dengan laju sebesar 29.1 persen. Pertambahan rumahtangga miskin jauh lebih tinggi jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen yakni terjadi peningkatan keluarga miskin kronis dengan laju 260.9 persen dan miskin tidak kronis dengan laju 48.4 persen. Dengan demikian, laju perubahan insiden kemiskinan tidak linear dengan laju kenaikan harga barang dan jasa yang mendorong kenaikan garis kemiskinan.
Tabel 15. Perubahan Kerentanan Kemiskinan Pada Lahan Kering Aspek Penelitian % perubahan akibat GK
Sifat
Miskin Miskin kronis Total miskin Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan
GK*110 % Nasional Lahan kering 29.1 29.0 100.0 42.0
116.2 116.2
GK*120 % Lahan Nasional kering 48.4 49.1 260.9 86.9
291.9 90.3
Untuk mengetahui perbedaan pengeluaran rumahtangga dengan garis kemiskinan, maka pengeluaran rumahtangga dikonversi dahulu ke pengeluaran per kapita karena garis kemiskinan sendiri satuannya adalah per kapita. Tabel 16 menggambarkan persen perbedaan pengeluaran per kapita dengan garis kemiskinan, relatif terhadap garis kemiskinan (Beda) dan juga ratio pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan (Ratio).
106
Secara umum, dengan kondisi garis kemiskinan BPS ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) adalah dibawah 40 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Lahan kering memiliki beda 65.4 persen; yang artinya pada agroekosistem ini terdapat jarak yang lebih dekat antara yang tidak miskin dengan miskin, dibanding dengan Nasional. Untuk
kondisi
garis
kemiskinan
ditingkatkan
10
persen,
ternyata
persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) sebesar 34.3 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 76.6 persen. Pada agroekosistem lahan kering sebesar 56,9 persen, artinya terdapat jarak yang dekat antara yang tidak miskin dengan miskin. Tabel 16. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Kering Berdasarkan
GK % beda
ratio
- 34.9 - 10.7 94.5 - 32.4 - 10.0 65.4
0.651 0.893 1.945 0.676 0.900 1.654
- 34.3 - 10.6 84.3 - 32.2 - 9.9 56.9
- 42.2
0.578
- 39.6
0.604
- 38.3
- 13.2 Tidak Miskin 138.6 Median Miskin Kronis - 40.0 Miskin - 12.1 Tidak Miskin 85.8 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= garis kemiskinan
0.868 2.386 0.600 0.879 1.858
-12.6 126.4 - 37.3 -12.0 76.6
0.874 2.264 0.627 0.880 1.766
-12.2 118.0 - 35.8 -11.9 70.4
Lahan kering Rataan
Median
Nasional Rataan
Sifat
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
GK*110 % % beda ratio 0.657 0.894 1.843 0.678 0.901 1.569
GK*120 % % beda ratio - 33.7 - 10.3 78.0 - 31.3 - 9.9 52.1
0.663 0.897 1.780 0.687 0.901 1.521
Miskin Kronis Miskin
107
0.617 0.878 2.180 0.642 0.881 1.704
Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, pada lahan kering ternyata
persentase
perbedaan
pengeluaran
perkapita
terhadap
garis
kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) sebesar 33.7 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen. Pada agroekosistem lahan kering, P2 dibawah 60 persen, artinya pada agroekosistem lahan kering terdapat jarak pengeluaran per kapita yang lebih dekat antara yang tidak miskin dengan miskin dibanding dengan nasional. 5.4. Lahan Campuran 5.4.1. Indikator Kemiskinan 5.4.1.1. Insiden Kemiskinan Insiden
kemiskinan
pada
lahan
campuran
berdasarkan
hasil
penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount Index (P0) sebesar 14.4 persen dari total rumahtangga yang tinggal di lahan campuran (14 595 653 rumahtangga) atau sebanyak 2 101 774 rumahtangga miskin, sementara insiden kemiskinan nasional (P0) sebesar 13.1 persen dari total rumahtangga nasional (53 200 353 rumahtangga) atau sebanyak 6 969 246 rumahtangga miskin. Jika dibandingkan dengan angka nasional, nilai P0 lahan campuran lebih besar dari P0 nasional, namun jika dibandingkan besarannya dengan angka nasional rumah tangga miskin yang sebesar (6 969 246 rumahtangga) maka insiden kemiskinan di lahan campuran sebesar 30.16 persen dari total rumahtangga miskin nasional. Data ini menjelaskan bahwa adanya konsentrasi rumahtangga miskin di agroekosistem lahan campuran yang cukup besar. Pemahaman tentang besarnya insiden kemiskinan di lahan campuran akan memberi makna dalam penentuan lokasi sasaran penanggulangan
108
kemiskinan. Data di atas menyiratkan perlunya memfokuskan penanggulangan kemiskinan di agroekosistem lahan campuran tersebut. Dengan penerapan strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat pada agroekosistem ini, maka akan memberi dampak yang cukup besar dalam konteks nasional. 5.4.1.2. Kedalaman Kemiskinan Hasil analisis mengenai indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P1) di lahan campuran menunjukkan angka sebesar 2.4 persen. Jika dibandingkan dengan angka nasional, maka P1 lahan campuran lebih besar dari P1 nasional. Hal ini menjelaskan bahwa indeks kedalaman kemiskinan nasional turut ditentukan oleh kondisi di lahan campuran ini. Indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan besarnya jarak rata-rata kesenjangan pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan, dimana semakin besar nilainya maka semakin dalam kemiskinan yang terjadi. Indeks kedalaman kemiskinan menjelaskan juga seberapa kritis kemiskinan terjadi. Pemahaman tentang indeks kedalaman kemiskinan dapat dijadikan acuan dalam memilih area prioritas penanggulangannya. Dengan demikian, maka hasil analisis di atas menjelaskan bahwa jarak rata-rata pengeluaran rumah tangga miskin di lahan campuran yang sebesar 2.4 persen belum mendekati garis kemiskinan. Adanya jarak terhadap garis kemiskinan ini memperlihatkan bahwa kondisi kemiskinan di lahan campuran cukup kritis sehingga diperlukan upaya yang serius ke agroekosistem ini, agar rumahtangga miskin di lahan campuran dapat memenuhi kebutuhan minimum. 5.4.1.3. Keparahan Kemiskinan Hasil analisis indeks keparahan kemiskinan atau Poverty Severity Gap Index (P2) di lahan campuran sebesar 0.6 persen. Jika dibandingkan dengan
109
angka nasional maka nilai P2 lahan campuran lebih besar dari P2 nasional. Ini berarti keparahan kemiskinan di lahan campuran gambarannya sedikit lebih baik dari kondisi kemiskinan nasional. Indeks keparahan kemiskinan menjelaskan ketimpangan pengeluaran antar rumahtangga miskin, dimana semakin kecil kesenjangannya (mendekati (0) menunjukkan kondisi yang tidak parah. Dengan demikian, maka indeks keparahan kemiskinan di lahan campuran yang sebesar 0.6% menunjukkan ketimpangan yang relatif lebih kecil. Hal ini memberikan indikasi bahwa distribusi pengeluaran rumahtangga miskin di lahan campuran relatif agak merata. 5.4.2. Kerentanan Kemiskinan 5.4.2.1. Elastisitas kemiskinan Untuk mengetahui kerentanan kemiskinan di agroekosistem lahan campuran maka disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Jika bundel harga barang dan jasa naik karena misalnya terjadinya kenaikan harga bahan bakar minyak dan lain-lain, maka kebutuhan minimum naik, sementara penyesuaian pendapatan akibat dari kenaikan harga tersebut tidak segera mengikuti perubahan harga. Tabel 17. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Pada Lahan Campuran Indikator
GK
GK*110%
Nilai LC P0 P1 P2
14.4 2.4 0.5
Nas 13.1 2.3 0.7
Nilai LC 20.9
GK*120%
Elastisitas
Nilai
Elastisitas
Nas
LC
Nas
LC
Nas
LC
Nas
18.8
4.51
4.35
27.9
25.0
4.69
4.54
3.6
5.83
5.65
5.5
5.1
6.46
6.09
1.1
12.00
5.71
1.6
1.6
11.00
6.43
3.8 1.1
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan LC = lahan campuran Nas= nasional
110
Diasumsikan, akibat kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Dengan menggunakan skenario ini diketahui bahwa dampak inflasi terhadap proporsi rumahtangga miskin di lahan campuran ternyata cukup besar (Tabel 17). Secara grafis distribusi frekuensi pengeluaran rumahtangga di lahan campuran dapat dilihat pada Gambar 8. Dengan mencermati nilai-nilai P0 dan simulasi perubahan-perubahan indeks harga kebutuhan minimum, maka persentase rumahtangga yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 20.9 persen pada GK*110 persen dan 27.9 persen rumahtangga miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen ceteris paribus. Dibanding angka nasional, dimana persentase rumahtangga yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 18.8 persen pada GK*110 persen dan 25.0 persen rumahtangga miskin maka angka di lahan campuran lebih besar. Hal ini berarti perubahan garis kemiskinan, akan memberi dampak peningkatan proporsi rumahtangga miskin yang lebih besar pada lahan campuran ini dibandingkan dengan nasional. Pola laju perubahan persentase rumahtangga miskin berubah lebih besar jika dampak kenaikan harga barang dan jasa mendorong kenaikan nilai rupiah kebutuhan minimum atau GK sebesar 20 persen. Poverty Gap Index (P1) yang terjadi di lahan campuran dengan indeks sebesar 3.8 pada GK*110 persen dan 5.5 pada GK*120 persen lebih besar dari Poverty Gap Index (P1) di tingkat nasional. Hal ini berarti jika terjadi gejolak ekonomi yang menyebabkan terjadi perubahan garis kemiskinan sebesar 10 persen atau 20 persen, ternyata masyarakat yang tinggal pada lahan campuran lebih besar merasakan akibat dari gejolak ekonomi ini dari pada tingkat nasional sebagaimana dapat terlihat dari perubahan Poverty Gap Index.
111
Rumahtangga 300000
GK = Rp 92.800 GK 110 % = Rp 103.100 GK 120 % = Rp 113.400
250000
Distribusi Frekuensi
Frequency
200000
Kurva Normal
150000
100000
50000 Mean = 180828.78 Std. Dev. = 81864.417 N = 14,293,697 0 100000
200000
300000
400000
expcap
500000
Pengeluaran (Rp)
Cases weighted by wert04
Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004; Data Diolah
Gambar 8. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan Campuran Namun tidak demikian halnya yang terjadi pada indeks keparahan (Poverty Severity Index), dimana gejolak ekonomi akan berdampak sama pada masyarakat yang tinggal pada lahan campuran dan nasional, dimana P2 sebesar 1.1 pada GK*110 persen dan 1.6 pada GK*120 persen. Hasil analisis nilai elastisitas perubahan insiden kemiskinan di lahan campuran sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen, dan GK*120 persen masing-masing sebesar 4.51 dan 4.69. Angka ini menjelaskan bahwa insiden kemiskinan di lahan campuran termasuk kategori elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 4.35 pada GK*110 persen dan 4.54 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di lahan campuran sedikit lebih besar. Ini berarti dampak dari dua skenario tersebut terhadap insiden kemiskinan di lahan campuran akan sedikit lebih besar dari tingkat nasional.
112
Hasil analisis nilai elastisitas indeks kedalaman kemiskinan di lahan campuran sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen, dan GK*120 persen masing-masing sebesar 5.83 dan 6.46 yang berarti elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 5.65 pada GK*110 persen dan 6.09 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di lahan campuran lebih besar. Ini berarti dampak pada lahan campuran akan lebih besar dari tingkat nasional. Hasil analisis nilai elastisitas indeks keparahan kemiskinan di lahan campuran sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen, dan GK*120 persen masing-masing sebesar 12.00 dan 11.00. Angka ini menjelaskan keparahan kemiskinan di lahan campuran lebih elastis dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya 5.71 dan 6.43, sehingga dampak terhadap keparahan kemiskinan di lahan campuran akan besar dari tingkat nasional. Nilai elastisitas insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di lahan campuran seperti diuraikan diatas memberi makna pula bahwa jika terjadi perbaikan situasi ekonomi, maka akan cukup memberi dampak bagi pengentasan kemiskinan di agroekosistem tersebut dan akan memberi dampak yang cukup signifikan dalam kontek nasional. Untuk golongan rumahtangga rentan terhadap kemiskinan ini walaupun dari kemampuan konsumsinya di atas garis kemiskinan tetapi berpotensi besar untuk jatuh ke golongan rumahtangga miskin. Agar rumahtangga yang rentan ini mampu bertahan terhadap shock, maka perlu adanya upaya pencegahan. Dengan demikian, penanganan yang bersifat preventif seperti asuransi, pemberdayaan sumberdaya manusia menjadi relevan bagi rumahtangga yang rentan ini.
113
5.4.2.2. Sifat Kemiskinan Hasil regresi memperlihatkan bahwa dari 13.1 persen rumahtangga miskin (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari rumahtangga yang kronis terhadap kemiskinan sebesar 2.2 persen dan rumahtangga yang tidak kronis sebesar 10.9 persen. Dengan demikian maka sebesar 10.9 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis ini adalah kemiskinan struktural yang relatif kompleks. Hasil regresi untuk lahan campuran, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 18. Hasil analisis sifat kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini adalah 14.4 persen rumahtangga miskin (di bawah garis kemiskinan) di lahan campuran terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis sebesar 2.3 persen dan sebesar 12.1 persen miskin tidak kronis. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa usaha kecil menengah cukup tahan dalam menghadapi krisis ekonomi. Sedangkan 2.3 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang memerlukan barang dan jasa untuk segera dapat memenuhi kebutuhan minimumnya; sehingga kebijakan subsidi seperti Raskin, BLT masih relevan untuk dilakukan. Tabel 18. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Campuran Aspek Penelitian
% RT Miskin (menurut sifat)
Sifat
Miskin Miskin kronis Total miskin
GK Lahan campuran 12.1 2.3 14.4
Nas
10.9 2.2 13.1
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan; Nas= nasional
114
GK*110 % Lahan Nas campuran 15.7 14.1 5.3 4.8 20.9 18.8
GK*120 % Lahan Nas campuran 18.1 16.3 9.8 8.7 27.9 25
Untuk mengetahui sifat kemiskinan untuk rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan dengan meningkatkan sebesar 10 persen. Setelah dilakukan pemilihan variabel, dilakukan kembali regresi konsumsi rumahtangga dengan variabel dummy yang dibuat dari variabelvariabel terpilih. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis terdapat 18.8 persen rumahtangga miskin seluruh Indonesia terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 4.8 persen dan 14.1 miskin tidak kronis. Hasil regresi pada lahan campuran dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 18. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa 27.9 persen rumahtangga miskin terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 9.8 persen dan 18.1 persen miskin tidak kronis. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 18. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 25 persen rumahtangga miskin seluruh Indonesia terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 8.7 persen dan 16.3 persen miskin tidak kronis. Hasil regresi pada lahan campuran dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 19. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 27.9 persen rumahtangga miskin terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 9.8 persen dan 18.1 persen miskin tidak kronis. Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin,
115
pada lahan campuran (Tabel 19). Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata berdampak besar terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin itu sendiri. Tabel 19 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis melebihi angka 100 persen (135.6 persen), artinya dengan meningkatkan garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah keluarga miskin kronis bertambah lebih dari 2 kali lipat dari angka sebelumnya. Jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis melebihi 200 persen yakni 291.9 persen. Tabel 19. Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Lahan Campuran Aspek Penelitian % perubahan Akibat GK
Sifat Miskin Miskin kronis Total miskin
GK*110% Lahan Nasional Campuran 29.6 29.0 135.6 116.2 45.5 116.2
GK*120% Lahan Nasio Campuran nal 49.5 49.1 335.6 291.9 94.3 90.3
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= garis kemiskinan
Untuk mengetahui perbedaan pengeluaran rumahtangga dengan garis kemiskinan, maka pengeluaran rumahtangga dikonversi dahulu ke pengeluaran per kapita karena garis kemiskinan satuannya adalah per kapita. Tabel 20 menggambarkan persentase perbedaan pengeluaran per kapita dengan garis kemiskinan, relatif terhadap garis kemiskinan (Beda) dan juga ratio pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan (Ratio). Secara umum, ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) adalah diatas 40 persen (Tabel 20). Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Sementara untuk lahan campuran memiliki
116
beda 69.4 persen yang artinya jarak yang lebih rendah antara yang tidak miskin dengan miskin dibanding dengan nasional. Untuk
kondisi
garis
kemiskinan
ditingkatkan
10
persen,
ternyata
persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) sebesar 37.3 persen untuk lahan campuran. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan
golongan
tidak
miskin
terhadap
garis
kemiskinan
sebesar
76.6 persen. Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) sebesar 36.2 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen; sementara pada lahan campuran di bawah 60 persen (55.2 persen), artinya terdapat jarak pengeluaran per kapita yang lebih rendah antara yang tidak miskin dengan miskin dibanding dengan nasional. Tabel 20. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Campuran Berdasarkan
Sifat
GK
% beda Lahan campuran Rataan Miskin Kronis - 40.1 Miskin - 12.4 Tidak Miskin 100.7 Median Miskin Kronis - 38.4 Miskin - 11.4 Tidak Miskin 69.4 Nasional Rataan Miskin Kronis - 42.2 Miskin - 13.2 Tidak Miskin 138.6 Median Miskin Kronis - 40.0 Miskin - 12.1 Tidak Miskin 85.8 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= garis kemiskinan
ratio 0.599 0.876 2.007 0.616 0.886 1.694 0.578 0.868 2.386 0.600 0.879 1.858
117
GK*110 % % beda Ratio
GK*120 % % beda ratio
- 37.3 - 11.9 91.2 - 35.1 - 11.3 61.0
0.627 0.881 1.912 0.649 0.887 1.610
- 36.2 - 11.6 84.5 - 33.9 - 11.5 55.2
- 39.6 -12.6 126.4 - 37.3 -12.0 76.6
0.604 0.874 2.264 0.627 0.880 1.766
- 38.3 -12.2 118.0 - 35.8 -11.9 70.4
0.638 0.884 1.845 0.661 0.885 1.552 0.617 0.878 2.180 0.642 0.881 1.704
5.5. Dataran Tinggi 5.5.1. Indikator Kemiskinan 5.5.1.1. Insiden Kemiskinan Insiden kemiskinan pada dataran tinggi berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount index (P0) sebesar 11.6 persen. Hal ini berarti bahwa 11.6 persen populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan pada dataran tinggi, atau sebanyak 4 300 449 rumahtangga miskin (61.71 persen) dari total rumahtangga miskin nasional. Dengan kondisi seperti ini, dataran tinggi menjadi salah satu target area untuk pengentasan kemiskinan. Pemahaman tentang besarnya insiden kemiskinan di dataran tinggi akan memberi makna dalam penentuan lokasi sasaran penanggulangan kemiskinan. Dalam rangka menanggulangi kemiskinan di dataran tinggi, secara mikro haruslah dilihat tidak hanya indikator kemiskinannya yakni insiden, kedalaman dan keparahannya tetapi juga karakteristik kemiskinannya. Data di atas menyiratkan perlunya memfokuskan penanggulangan kemiskinan
di
agroekosistem
tersebut.
Dengan
penerapan
strategi
penanggulangan kemiskinan yang tepat pada agroekosistem ini, maka akan memberi dampak yang besar dalam skala nasional. P0 dataran tinggi menunjukkan dibawah rata-rata P0 nasional (13.1 persen); artinya, persentase rumahtangga miskin di dataran tinggi lebih kecil daripada rata-rata proporsi nasional. 5.5.1.2. Kedalaman Kemiskinan Selanjutnya, Poverty Gap Index (P1) sebesar 2.0 lebih kecil daripada Poverty Gap Index (P1) nasional (2.3). Ini berarti rata-rata pendapatan rumah
118
tangga miskin pada dataran tinggi memiliki kedalaman kemiskinan yang lebih kecil daripada nasional. Artinya, jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan di kawasan dataran tinggi lebih dibanding P1 nasional. Kedalaman ini terkait dengan tingkat jumlah rumahtangga yang jatuh dalam kemiskinan kronis. Adanya jarak terhadap garis kemiskinan ini mengindikasikan bahwa kondisi kemiskinan di dataran tinggi cukup kritis dan diperlukan perlakuan yang tepat pada agroekosistem ini. 5.5.1.3. Keparahan Kemiskinan Distributionally Sensitive Index atau disebut juga Poverty Severity Gap Index (P2) sebesar 0.5 persen pada dataran tinggi, ternyata lebih kecil dari nasional (0.7). Ini berarti indeks keparahan kemiskinan yang memperhitungkan tidak hanya jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan tetapi juga kesenjangan diantara orang miskin lebih kecil dibanding nasional. Indikasi lebih kecilnya keparahan ini dalam konteks penanggulangan kemiskinan, dimensi sosial khususnya equity belum mendesak dalam pengentasan kemiskinan pada agroekosistem dataran tinggi. 5.5.2. Kerentanan Kemiskinan 5.5.2.1. Elastisitas kemiskinan Dengan menggunakan garis kemiskinan BPS, ternyata 11.6 persen masyarakat
pada
dataran
tinggi
termasuk
kedalam
kelompok
miskin.
Selanjutnya, untuk mengetahui bagaimana insiden kemiskinan sekitar garis kemiskinan
yang diasumsikan
rentan terhadap
garis kemiskinan maka
disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Dari simulasi tersebut diperoleh hasil perubahan indikator-indikator kemiskinan, persentase perubahan dan elastisitasnya disajikan pada Tabel 21.
119
Tabel 21. Indikator dan Elastisitas Indikator Kemiskinan di Dataran Tinggi Indikator
GK
GK*110 %
Nilai DTT P0 P1 P2
11.6 2.0 0.5
Nas 13.1 2.3 0.7
Nilai DTT 16.9 3.1 0.9
GK*120 %
Elastisitas
Nilai
Elastisitas
Nas
DTT
Nas
DTT
Nas
DTT
Nas
18.8
4.57
4.35
22.6
25.0
4.74
4.54
3.6
5.50
5.65
4.5
5.1
6.25
6.09
1.1
8.00
5.71
1.3
1.6
8.00
6.43
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: DTT = dataran tinggi; DTT = Dataran tinggi Nas = Nasional
Dengan skenario GK naik 10 persen (GK*110 persen), yang terjadi pada Headcount Index (P0) pada dataran tinggi adalah peningkatan proporsi insiden kemiskinan dari 11.6 persen menjadi 16.9 persen, yang menunjukkan bahwa agroekosistem ini mempunyai peluang terjadinya gejolak peningkatan insiden kemiskinan bila terjadi bencana/goncangan, kecenderungan, dan pengaruh musim yang mendorong kenaikan harga-harga kebutuhan hidup sebesar 10 persen. Secara grafik distribusi frekuensi pengeluaran rumahtangga di dataran tinggi dapat dilihat pada Gambar 9. Lebih lanjut, dengan skenario GK*110 persen, yang terjadi pada Poverty Gap Index (P1) meningkat dari 2.0 menjadi 3.1. Hal ini menunjukkan bahwa adanya peluang terjadinya gejolak peningkatan kedalaman kemiskinan di dataran tinggi bila terjadi bencana/goncangan eksternal yang mendorong kenaikan harga barang dan jasa sehingga mendorong garis kemiskinan naik sebesar 10 persen. Artinya, selain makin banyak yang jatuh miskin, kondisi mereka pun makin jauh dari garis kemiskinan, sehingga makin banyak upaya yang diperlukan untuk mengangkat mereka lepas dari kemiskinan. Walaupun dibanding dengan nasional presentase perubahan P1 dataran tinggi (55.0 persen) lebih kecil dari pada persentase P1 nasional (56.0 persen). Pola yang sama terjadi pada Poverty
120
Severity Gap Index (P2) yang meningkat dari 0.5 menjadi sebesar 0.9 pada GK*110 persen. Presentase perubahan P2 dataran tinggi (80.0 persen) lebih besar daripada persentase P1 nasional (57.1 persen). Dengan skenario GK naik 20 persen (GK*120 persen), yang terjadi pada Headcount Index (P0) pada dataran tinggi adalah peningkatan proporsi insiden kemiskinan dari 11.6 persen menjadi 22.6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa agroekosistem ini mengalami peningkatan insiden kemiskinan bila terjadi kenaikan harga barang dan jasa selanjutnya akan mendorong kenaikan garis kemiskinan sebesar 20 persen. Sehingga pada dataran tinggi, menjaga stabilitas harga agar tidak terjadi gejolak harga-harga kebutuhan hidup menjadi sangat penting. Persentase laju perubahan insiden kemiskinan naik 32.1 persen pada GK*110 persen; dibanding dengan nasional, presentase perubahan P0 dataran tinggi lebih besar daripada persentase perubahan P0 nasional (29.0 persen).
Rumahtangga 700000
GK = Rp 92.000 GK 10 % = Rp 103.100 GK 20 % = Rp 113.000
Frekuensi (Rumah Tangga)
600000
500000
Distribusi Frekuensi
400000
Kurva Normal 300000
200000
100000 Mean = 210721.27 Std. Dev. = 111485.315 N = 35,832,803 0 100000
200000
300000
400000
500000
Pengeluaran 600000
(Rp)
Pengeluaran (Rp)
Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004. Data Diolah
Gambar 9. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Dataran Tinggi
121
Kemudian, yang terjadi pada Poverty Gap Index (P1) meningkat dari 2.0 menjadi 4.5, hal ini menunjukkan bahwa mempunyai peluang terjadinya gejolak peningkatan kedalaman kemiskinan di dataran tinggi bila terjadi external shock yang mendorong kenaikan garis kemiskinan sebesar 20 persen. Artinya, selain makin banyak yang jatuh miskin, kondisi mereka pun makin jauh dari garis kemiskinan, sehingga makin banyak upaya yang diperlukan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan P1 juga meningkat dari 2.0 menjadi 3.1 pada GK*110 persen. Sementara perubahan P1 pada GK*120 persen meningkat dari 2.0 menjadi 4.5. Pola yang sama terjadi pada Poverty Severity Gap Index (P2) yang meningkat dari 0.5 menjadi sebesar 1.3 pada GK*120 persen. Artinya, pada dataran tinggi ini terjadi gejolak peningkatan keparahan kemiskinan bila terjadi guncangan
eksternal
seperti
bencana/goncangan,
kecenderungan,
dan
pengaruh musim yang mendorong kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang pada gilirannya mendorong kenaikan garis kemiskinan sebesar 20 persen. Laju perubahan peningkatan kemiskinan kronis meningkat lebih dari dua kali lipat pada GK*110 persen yakni 126.7 persen dan perubahan pada GK*120 persen sebesar 324.4 persen masing-masing lebih besar daripada angka nasional. Jika dicermati lebih jauh, dengan menggunakan dua skenario ini, dimana diasumsikan akibat kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen, maka pada GK*110 persen diperoleh elastisitas terhadap perubahan garis kemiskinan ini sebesar 4.57 untuk P0, 5.50 untuk P1, dan 8.00 untuk P2. Kemudian pada GK*120 persen, diperoleh elastisitas terhadap perubahan garis kemiskinan ini sebesar 4.74 untuk P0, dan 6.25 untuk P1, serta 8.00 untuk P2. Dengan elastisitas lebih besar dari satu, maka dataran tinggi dapat dikatakan memiliki sensitivitas peningkatan proposi
122
kemiskinan, kedalaman dan keparahan yang tinggi terhadap harga barang dan jasa naik karena misalnya faktor inflasi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan lain-lain. Dibanding dengan nasional, terutama pada GK*120 persen elastisitas untuk P0, P1 dan P2 menunjukkan sensitivitas yang lebih besar. 5.5.2.2. Sifat kemiskinan Model regresi pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin dirancang untuk menyusun sifat kemiskinan. Hasil regresi untuk daerah kawasan dataran tinggi, menghasilkan model yang nyata secara statistik (Lampiran 10). Hasil analisis sifat kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini memperoleh gambaran 1.7 persen miskin kronis dan 9.8 persen miskin tidak kronis. Hal ini berarti 9.8 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumah tangga ini bisa meningkat. Dibanding model nasional, terlihat bahwa persentase proporsi rumah tangga dataran tinggi lebih kecil daripada model nasional yang memperlihatkan bahwa 2.2 persen miskin kronis, dan 10.9 persen tidak kronis. Untuk mengetahui sifat kemiskinan untuk rumah tangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan meningkat sebesar 10 persen, dimana menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 16. Tabel 22. Sifat Kemiskinan Pada Dataran Tinggi Aspek Penelitian % perubahan Akibat GK
Sifat Miskin Miskin kronis Total miskin
GK DTT Nas 9,8 10.9 1,7 2.2 11,5 13.1
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan DTT = dataran tinggi Nas = nasional
123
GK*110% DTT Nas 13,0 14.1 3,9 4.8 16,9 18.8
GK*120% DTT Nas 15,3 16.3 7,3 8.7 22,6 25
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat peningkatan persentase rumahtangga miskin menjadi sebesar 16.9 persen rumahtangga miskin yang terdiri dari 4.8 persen miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis. Ini berarti bahwa proposi persentase rumahtangga miskin masih sensitif terhadap perubahan garis kemiskinan dengan meningkatkan sebesar 10 persen. Walaupun dibanding dengan model nasional, peningkatan proporsi persentase sifat rumahtangga miskin ini masih lebih kecil, dimana model nasional menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 18.8 persen rumahtangga miskin (4.8 persen miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis),. Hasil regresi pada dataran tinggi dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 23. Berdasarkan
hasil
analisis
diketahui
bahwa
terdapat
peningkatan
persentase menjadi sebesar 22.6 persen rumahtangga miskin (7.3 persen miskin kronis dan 15.3 persen miskin tidak kronis). Walaupun dibanding dengan model nasional, peningkatan proporsi persentase klasifikasi rumahtangga miskin ini masih lebih kecil, dimana model nasional menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 25 persen rumahtangga miskin (8.7 persen miskin kronis dan 16.3 persen miskin tidak kronis). Jika dianalisis lebih jauh, terdapat pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin pada dataran tinggi. Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya besar sekali terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin itu sendiri. Tabel 23 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis melebihi angka 100 persen, termasuk secara nasional, artinya dengan meningkatkan garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah keluarga miskin kronis bertambah lebih dari dua kali lipat dari angka
124
sebelumnya. Apalagi jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis mencapai lebih dari 300 persen.
Tabel 23. Perubahan Sifat Kemiskinan di Dataran Tinggi Aspek
Sifat
Penelitian
GK*110% DTT
%
Miskin
perubahan
Miskin kronis
akibat GK
Total miskin
GK*120%
Nas
DTT
Nas
32.1
29.0
55.5
49.1
126.7
116.2
324.4
291.9
46.2
116.2
95.5
90.3
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan DTT= dataran tinggi Nas= nasional
Selanjutnya, berdasarkan hasil perhitungan perbedaan pengeluaran, ternyata
persentase
perbedaan
pengeluaran
per
kapita
terhadap
garis
kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) lebih besar dari 40 persen (Tabel 24). Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), perbedaan golongan tidak miskin nasional terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Pada dataran tinggi memiliki beda di atas 70 persen yang artinya, terdapat jarak tinggi antara yang tidak miskin dengan miskin. Jika kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, ternyata persenase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) di bawah 40 persen untuk dataran tinggi. Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), pada tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 76.6 persen; sementara pada dataran tinggi lebih besar dari 40 persen. Jadi tidak terdapat jarak yang besar antara yang tidak miskin dengan miskin, dibanding tingkat nasional. Pada kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, pada dataran tinggi ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis
125
kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) diatas 40. Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), pada tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen, dan pada agroekosistem di bawah 60 persen yang artinya terdapat jarak pengeluaran per kapita yang lebih tinggi antara yang tidak miskin dengan miskin dibanding nasional. Tabel 24. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan (GK) Pada Dataran Tinggi Berdasarkan
Sifat
GK
GK*110 %
GK*120 % % beda ratio
% beda
ratio
- 42,4
0,576
- 39,7
0,603
- 42,4
- 13,1
0,869 2,472
- 12,7
0,873
- 13,1
133,8
2,338
147,2
- 40,5
0,595
- 37,3
0,627
- 40,5
- 11,9
0,881
- 12,0
0,880
- 11,9
0,881
90,6
1,906
80,8
1,808
90,6
1,906
% beda
ratio
Dataran tinggi Rataan
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
Median
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
147,2
0,576 0,869 2,472 0,595
Nasional Rataan
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
Median
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
0.617
(42.2)
0.578
(39.6)
0.604
(38.3)
(13.2)
0.868 2.386
(12.6)
0.874
(12.2)
126.4
2.264
118.0
(40.0)
0.600
(37.3)
0.627
(35.8)
(12.1)
0.879
(12.0)
0.880
(11.9)
0.881
85.8
1.858
76.6
1.766
70.4
1.704
138.6
0.878 2.180 0.642
Sumber: Hasil Perhitungan
5.6. Hutan 5.6.1. Indikator Kemiskinan 5.6.1.1. Insiden Kemiskinan Insiden kemiskinan pada agroekosistem berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount index (P0) sebesar 18.3 persen. Hal ini berarti 18.3 persen populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran
126
konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan pada hutan, atau sebanyak 1 367 966 rumahtangga miskin (2.57 persen dari total rumahtangga nasional). Lebih lanjut, P0 hutan ini di atas rata-rata P0 nasional (13.1 persen) yang berarti persentase/proporsi rumahtangga miskin pada hutan lebih besar dari pada ratarata proporsi nasional. Agroekosistem hutan pada hakekatnya bukanlah kawasan miskin karena komoditas pada agroekosistem ini adalah komoditas unggulan (kayu) yang bernilai ekonomi tinggi. Hutan di Indonesia dikenal sebagai sumberkayu perdagangan internasional, dimana terdapat sekitar 120 famili kayu yang berkualitas tinggi yang mendominasi perdagangan kayu internasional. Selain itu, hutan mempunyai berbagai manfaat dan nilai ekonomi, sosial dan lingkungan (Bappenas, 2003). Tetapi di sisi lain, hutan ditengarai tidak lagi dijadikan sumber mata pencarian, antara lain karena: (1) lokasi yang terpencil jauh dari pasar, (2) menjadi wilayah yang ’tertutup’ yang hanya dapat diakses oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan (3) kehidupan masyarakat untuk ketahanan pangan,
kebutuhan
rumahtangga
dan
peningkatan
pendapatan
sangat
tergantung pada hutan, dimana peluang peluang ekonomi relatif terbatas. Hal tersebut sejalan dengan CESS-ODI (2005) yang menyatakan bahwa kemiskinan sering terjadi pada wilayah hutan dengan kebijakan yang mengeksploitasi sumberdaya alam. Dengan kondisi seperti ini, hutan menjadi salah satu target area untuk pengentasan kemiskinan. Menurut Justianto (2005), pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan harus diarahkan untuk meningkatkan akses pendanaan masyarakat (baik perbankan maupun lembaga keuangan alternatif lainnya), akses informasi pasar dan introduksi teknologi, akses pembinaan kelembagaan usaha masyarakat serta aspek legal
127
yang mendukung dan menjamin keterlibatan masyarakat dalam usaha pemanfaatan sumberdaya hutan. 5.6.1.2. Kedalaman Kemiskinan Selanjutnya, Poverty Gap Index (P1) sebesar 3.4 lebih besar daripada Poverty Gap Index (P1) nasional (2.3). Ini berarti rata-rata pendapatan rumahtangga miskin pada agroekosistem hutan memiliki kedalaman kemiskinan yang lebih besar daripada nasional (jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan) di hutan lebih jauh jaraknya dari garis kemiskinan dibanding P1 nasional. Kedalaman ini terkait dengan tingkat jumlah rumahtangga yang jatuh dalam kemiskinan kronis. 5.6.1.3. Keparahan Kemiskinan Distributionally Sensitive Index atau disebut juga Poverty Severity Gap Index (P2) sebesar 1.0 % di kawasan hutan lebih besar dari nasional (0.7). Ini berarti indeks keparahan kemiskinan yang memperhitungkan tidak hanya jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan tetapi juga kesenjangan diantara orang miskin (perbedaan diantara rumahtangga
miskin) lebih besar
dibanding di tingkat nasional. Dengan indikasi terjadinya keparahan di ekosistem ini, maka dimensi sosial terkait dengan equity menjadi fokus penting dalam pengentasan kemiskinan pada agroekosistem ini. 5.6.2. Kerentanan Kemiskinan 5.6.2.1. Elastisitas Dengan
menggunakan
garis
kemiskinan
BPS,
ternyata
18.3%
masyarakat pada hutan termasuk kedalam kelompok miskin. Selanjutnya, untuk mengetahui bagaimana insiden kemiskinan sekitar garis kemiskinan yang
128
diasumsikan rentan terhadap garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Dari simulasi tersebut diperoleh hasil perubahan
indikator-indikator
kemiskinan,
persentase
perubahan
dan
elastisitasnya disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan di Hutan Indikator
GK
GK*110%
Nilai
Nilai
GK&*120%
Elastisitas
Nilai
Elastisitas
HTN
Nas
HTN
Nas
HTN
Nas
HTN
Nas
HTN
Nas
P0
18,3
13.1
25,5
18.8
3.93
4.35
33,2
25.0
4.07
4.54
P1
3,4
2.3
5,1
3.6
5.00
5.65
7,1
5.1
5.44
6.09
P2
1,0
0.7
1,5
1.1
5.00
5.71
2,3
1.6
6.50
6.43
Sumber Keterangan
: Hasil Perhitungan : HTN = Hutan;GK= garis kemiskinan Nas = Nasional
Dengan skenario GK naik 10 persen (GK*110 persen), yang terjadi pada Headcount Index (P0) pada hutan adalah peningkatan proporsi insiden kemiskinan dari 18.3 persen menjadi 25.5 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa terjadinya gejolak peningkatan insiden kemiskinan bila garis kemiskinan naik. Secara grafik, distribusi pengeluaran rumahtangga di Hutan dapat dilihat pada Gambar 10. Lebih lanjut, dengan skenario GK*110 persen, yang terjadi pada Poverty Gap Index (P1) meningkat dari 3.4 menjadi 5.1. Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan kesenjangan, misalnya bila terjadi bencana/goncangan, kecenderungan, dan pengaruh musim yang menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa yang termasuk di dalam bundel garis kemiskinan sehingga mendorong GK naik 10 persen. Artinya, selain makin banyak yang jatuh miskin, kondisi mereka pun makin menjauh dari garis kemiskinan dan semakin mengecil peluang mereka untuk melampaui garis kemiskinan.
129
Pola yang sama terjadi pada Poverty Severity Gap Index (P2) yang meningkat dari 1.0 menjadi sebesar 1.5 pada GK*110 persen. Artinya, pada hutan ini, mempunyai peluang terjadinya gejolak peningkatan keparahan di kawasan hutan bila terjadi bencana/goncangan, kecenderungan, dan pengaruh musim yang menyebabkan kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang mendorong GK naik sebesar 10 persen. Walaupun dibanding dengan nasional, presentase perubahan P2 Hutan (50 persen) lebih kecil dari pada persentase P2 Nasional (57.1 persen). Dengan skenario GK naik 20 persen (GK*120 persen), yang terjadi pada Headcount Index (P0) adalah peningkatan proporsi insiden kemiskinan dari 18.3 persen menjadi 33.2 persen. Walaupun dibanding dengan nasional, presentase perubahan P0 Hutan (81.4 persen) lebih kecil dari pada persentase perubahan P0 Nasional (90.8 persen).
Rumahtangga 150000
GK = Rp 89.100 GK 10 % = Rp 98.800 GK 20 % = Rp 122.800
Frekuensi (Rumah Tangga)
120000
Distribusi Frekuensi 90000
Kurva Normal 60000
30000
Mean = 161261.37 Std. Dev. = 71762.222 N = 7,222,145 0 100000
200000
300000
Pengeluaran (Rp)
400000
Pengeluaran (Rp)
Sumber : Susenas 2004 Keterangan: GK= Garis Kemiskinan P
Gambar 10. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Hutan
130
Kemudian, yang terjadi pada Poverty Gap Index (P1) meningkat dari 3.4 menjadi 7.1 yang menunjukkan bahwa dengan ekosistem ini mempunyai peluang terjadinya gejolak peningkatan kedalaman di kawasan hutan bila terjadi bencana/goncangan, kecenderungan dan pengaruh musim yang mendorong batas kebutuhan minimum sebesar 20 persen. Artinya, rumahtangga makin jauh dari garis kemiskinan. Laju perubahan peningkatan persentase P1 juga meningkat dua kali laju perubahan P1 pada GK*110 persen. Dibanding dengan nasional, persentase perubahan P1 Hutan (108.8 persen) lebih kecil dari pada persentase P1 nasional (121.7 persen). Pola yang sama terjadi pada Poverty Severity Gap Index (P2) yang meningkat dari 1.0 menjadi sebesar 2.3 pada GK*120 persen. Jadi, terjadi ketimpangan yang makin parah. Laju perubahan peningkatan persentase P2 meningkat 2.5 kali laju perubahan P2 pada GK*110 persen. Persentase perubahan P2 Hutan (130 persen) sedikit lebih besar dari pada persentase P2 nasional (128.5 persen). Jika dicermati lebih jauh dengan menggunakan dua skenario ini, dimana diasumsikan akibat kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen, maka pada GK*110 persen diperoleh elastisitas terhadap perubahan garis kemiskinan ini sebesar 3.93 untuk P0; dan 5.00 untuk P1, serta 5.00 untuk P2. Kemudian pada GK*120 persen, diperoleh elastisitas terhadap perubahan garis kemiskinan ini sebesar 4.07 untuk P0, 5.44 untuk P1, dan 6.50 untuk P2. Dengan elastisitas lebih besar dari satu, maka
pada
agroekosistem
hutan
dapat
dikatakan
memiliki
sensitivitas
peningkatan proposi kemiskinan, kedalaman dan keparahan yang elastis. Tetapi dibanding dengan nasional, elastisitas untuk P0, P1, dan P2, baik pada GK 110 persen maupun GK*120 persen menunjukkan sensitivitas yang lebih kecil.
131
Pernyataan tersebut diperkuat oleh The World Bank (2006): “the poor and near poor in Indonesia are particulary vulnerable to price and other shock given the income distribution profile in Indonesia. Orang miskin dan yang mendekati miskin (rentan) biasanya sensitif terhadap harga dan gejolak lainnya. Sesuai dengan pernyataan The World Bank (2006) bahwa “although income proverty is relatively low, vulnerability to income poverty is high”. Hal ini mengisyaratkan mengapa pemahaman tentang kerentanan menjadi penting untuk mengurangi kemiskinan. Fakta memperlihatkan bahwa meskipun kemiskinan adalah rendah, tetapi kerentanan terhadap kemiskinan adalah tinggi. Kerentanan juga disebut sebagai ancaman baru yang menciptakan peningkatan kemiskinan, didukung oleh Hebel (2002) yang menyatakan bahwa, ”how dynamic are livelihood strategy; how do they adapt permanent shock, what temporary coping strategies do different actors develop and how do these become more permanent adaptive strategies”. Hebel lebih menekankan antara lain untuk melihat seberapa jauh mereka menyusun strategi perikehidupannya, dan bagaimana mereka beradaptasi terhadap gejolak yang permanen. 5.6.2.2. Sifat Kemiskinan Model regresi pengeluaran konsumsi rumahtangga miskin dirancang untuk mengetahui sifat kemiskinan. Hasil regresi untuk daerah kawasan hutan, menghasilkan model yang nyata secara statistik (Lampiran 10). Hasil analisis sifat kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini memperoleh gambaran kemiskinan bahwa 3.81 persen tergolong miskin kronis dan 14.51 persen miskin tidak kronis.
Dibanding model nasional, persentase proporsi rumahtangga
miskin dan miskin kronis di agroekosistem hutan lebih besar daripada model nasional.
132
Tabel 26. Sifat Kemiskinan di Hutan Aspek
Sifat
Penelitian % perubahan Akibat GK
Garis Kemiskinan (GK) Hutan Nas
Miskin
GK*110%
GK*120%
Hutan
Nas
Hutan
Nas
14.5
10.9
17.9
14.1
19.8
16.3
Miskin kronis
3.8
2.2
7.7
4.8
13.4
8.7
Total miskin
18.3
13.1
25.5
18.8
33.2
25.0
Sumber: Hasil Perhitungan Kerangan : Nas = nasional
Untuk mengetahui sifat kemiskinan rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan meningkat sebesar 10 persen. Hasil regresi untuk daerah kawasan hutan dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, adalah nyata secara statistik sebagaimana pada Lampiran 17. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat peningkatan persentase rumahtangga miskin menjadi sebesar 25.5 persen rumahtangga miskin (7.7 persen miskin kronis dan 17.9 persen miskin tidak kronis). Ini berari 17.9 persen rumahtangga
ini
dapat
didorong
meningkatkan
pendapatan
dengan
meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Selanjutnya, 7.7 persen rumahtangga terjebak dalam kemiskinan (Poverty Trap) atau dikenal dengan kemiskinan struktural. Untuk mengentaskan katagori kemiskinan ini diperlukan effort yang besar, bertahap dan berkelanjutan. Dibanding dengan model nasional, peningkatan proporsi persentase rumahtangga miskin ini masih lebih besar, dimana model nasional menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 18.8 persen rumahtangga miskin (4.8 persen miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis), jadi proporsi persentase rumahtangga miskin relatif sensitive terhadap perubahan garis kemiskinan dengan meningkatkan sebesar 10 persen.
133
Hasil regresi untuk kawasan hutan dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20%, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 24. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat peningkatan persentase menjadi sebesar 33.2 persen rumahtangga miskin (13.4 persen miskin kronis dan 19.8 persen miskin tidak kronis). Artinya 19.8 persen rumahtangga ini dapat ditingkatkan pendapatannya dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Selanjutnya, 13.4 persen rumahtangga yang miskin merupakan kemiskinan kronis. Dibanding dengan model nasional, peningkatan proporsi persentase rumah tangga miskin ini masih lebih besar, dimana model nasional menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 25 persen rumahtangga miskin (8.7 persen miskin kronis dan 16.3 persen miskin tidak kronis). Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin, pada agroekosistem hutan (Tabel 27). Tabel 27.
Perubahan Sifat Kemiskinan di Hutan
Aspek Penelitian % perubahan akibat Garis Kemiskinan
Sifat
Miskin
Garis Kemiskinan*110% Hutan Nasional
Garis Kemiskinan*120% Hutan Nasional
23,4
29.0
36,5
49.1
Miskin kronis
102,1
116.2
251,7
291.9
Total miskin
39,3
116.2
81,3
90.3
Sumber: Hasil Perhitungan
Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya relatif besar terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin itu sendiri, meskipun lebih kecil dari pada kondisi nasional. Tabel 27 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis melebihi angka 100 persen, dimana dengan meningkatkan garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah
134
keluarga miskin kronis bertambah lebih dari dua kali lipat dari angka sebelumnya. sementara jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis melebihi 250 persen. Selanjutnya, perbedaan pengeluaran per kapita dengan kondisi garis kemiskinan biasa ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan), secara umum diperoleh diatas 40 persen (Tabel 28). Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Agroekosistem hutan memiliki beda dibawah 70 persen dimana yang terdapat jarak relatif kecil dibanding dengan Nasional. Tabel 28. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Agroekosistem Hutan Berdasarkan
Sifat
GK
GK*110%
GK*120%
% beda
Ratio
% beda
Ratio
% beda
ratio
Miskin Kronis
(40.4)
0.596
(38.2)
0.618
(36.7)
0.633
Miskin
(12.5)
0.875
(12.0)
0.880
(11.3)
0.887
Tidak Miskin
100.1
2.000
92.1
1.921
88.0
1.880
Miskin Kronis
(38.1)
0.619
(35.9)
0.641
(34.2)
0.658
Miskin
(11.5)
0.885
(11.6)
0.884
(11.2)
0.888
57.5
1.575
54.2
1.542
Hutan Rataan
Median
Tidak Miskin
64.0
1.640
Nasional Rataan
Miskin Kronis
0.617 (42.2)
0.578
(39.6)
0.604
(38.3)
Miskin
Median
0.878 (13.2)
0.868
(12.6)
0.874
(12.2)
Tidak Miskin
138.6
2.386
126.4
2.264
118.0
Miskin Kronis
(40.0)
0.600
(37.3)
0.627
(35.8)
0.642
Miskin
(12.1)
0.879
(12.0)
0.880
(11.9)
0.881
85.8
1.858
76.6
1.766
70.4
1.704
Tidak Miskin
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= garis kemiskinan
135
2.180
Untuk
kondisi
garis
kemiskinan
ditingkatkan
10
persen,
ternyata
persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) di bawah 40 persen untuk hutan. Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), pada tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garasi kemiskinan sebesar 126.4 persen. Sementara hutan dibawah 60 persen yang artinya jarak yang relatif kecil dibanding tingkat nasional. Jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, pada agroekosistem hutan ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) di bawah 40 persen. Sementara itu untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), pada tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen lebih tinggi dibanding agroekosistem hutan (60 persen). 5.7. Pantai/Pesisir 5.7.1. Indikator Kemiskinan 5.7.1.1. Insiden Kemiskinan Insiden kemiskinan pada pantai/pesisir berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount index (P0) sebesar 12.9 persen. Hal ini berarti 12.9 persen populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan pada agroekosistem pantai pesisir, atau sebanyak 648 219 rumahtangga miskin (9.30 persen) dari total rumah tangga miskin nasional). Lebih lanjut, P0 pantai/pesisir ini di bawah ratarata P0 nasional (13.1 persen), atau persentase/proporsi rumahtangga miskinnya lebih kecil dari pada rata-rata proporsi nasional.
136
Pantai/pesisir memiliki sumberdaya perikanan sebagai sumberdaya milik umum (commons property resources) yang pemanfaatannya terbuka untuk siapapun. Akses berbagai pihak yang berkepentingan terhadap sumber daya perikanan sulit dibatasi. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki pantai terpanjang di dunia, dengan garis pantai lebih 81 000 km. Dari 67 439 desa di Indonesia, kurang lebih 9 261 desa dikatagorikan sebagai desa pesisir. Desa pesisir ini merupakan kantong-kantong kemiskinan (Kusnadi, 2002). Kesulitan mengatasi masalah kemiskinan di desa-desa pesisir telah menjadikan rumahtangga harus menanggung beban kehidupannya. Kemiskinan dan tekanan sosial ekonomi yang dihadapi rumahtangga nelayan buruh berakar pada faktor kompleks yang saling terkait. Kemiskinan di pantai/pesisir menghadapi kondisi yang khas sehubungan dengan karakteristik sumberdaya kehidupan penduduknya. Disamping itu, peluang-peluang ekonomi pada agroekosistem pantai/pesisir ini relatif terbatas karena struktur alamiah adanya musim melaut bagi rumahtangga yang menggantungkan hidupnya pada hasil laut. 5.7.1.2. Kedalaman Kemiskinan Kedalaman kemiskinan pada agroekositem pantai/pesisir berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Poverty Gap Index (P1) sebesar 2.4, lebih besar daripada Poverty Gap Index (P1) nasional (2.3). Artinya kedalaman kemiskinannya lebih besar daripada nasional, kedalaman kemiskinan yang relatif besar ini menyiratkan bahwa kondisi kemiskinan di pantai/pesisir cukup kritis. 5.7.1.3. Keparahan Kemiskinan Keparahan kemiskinan pada agroekositem pantai/pesisir berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Distributionally Sensitive Index atau
137
disebut juga Poverty Severity Gap Index (P2) sebesar 0.7 persen yang ternyata sama besar dari nasional (0.7). 5.7.2. Kerentanan Kemiskinan 5.7.2.1. Elastisitas Dengan menggunakan garis kemiskinan BPS, ternyata 18.3 persen rumahtangga pada agroekosistem pantai/pesisir termasuk kedalam kelompok miskin. Selanjutnya, untuk mengetahui bagaimana insiden kemiskinan sekitar garis kemiskinan yang diasumsikan rentan terhadap garis kemiskinan maka disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Dari simulasi tersebut diperoleh hasil perubahan indikator-indikator kemiskinan, persentase perubahan dan elastisitasnya disajikan pada tabel berikut ini. Dengan skenario GK naik 10 persen (GK*110 persen), yang terjadi pada Headcount Index (P0) di ekosistem pantai/pesisir adalah peningkatan proporsi insiden kemiskinan dari 12.9 persen menjadi 18.3 persen. Dibanding dengan nasional, presentase perubahan P0 pantai/pesisir (41.8 persen) lebih kecil dari pada persentase P0 nasional (43.5 persen). Tabel 29. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Indikator
GK
GK*110%
Nilai
Nilai
GK*120%
Elastisitas
Nilai
Elastisitas
P/P
Nas
P/P
Nas
P/P
Nas
P/P
Nas
P/P
Nas
P0
12.9
13.1
18.3
18.8
4.19
4.35
24.6
25.0
4.53
4.54
P1
2.4
2.3
3.6
3.6
5.00
5.65
5.1
5.1
5.63
6.09
P2
0.7
0.7
1.1
1.1
5.71
5.71
1.6
1.6
6.43
6.43
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan P/P= pantai/pesisir Nas = nasional
Lebih lanjut, dengan skenario GK*110 persen, yang terjadi pada Poverty Gap Index (P1) meningkat dari 2.4 menjadi 3.6. Artinya, selain makin banyak
138
yang jatuh miskin, kondisi mereka pun makin jauh dari garis kemiskinan, sehingga makin banyak effort yang diperlukan untuk mengangkat mereka melampaui batas miskin. Namun, dibanding dengan nasional, presentase perubahan P1 pantai/ pesisir (50.0 persen) relatif lebih kecil daripada persentase P1 nasional (56.0 persen). Secara grafik, distribusi frekuensi pengeluaran rumah tangga di Pantai/Pesisir dapat dilihat pada Gambar 11. Pola yang sama terjadi pada Poverty Severity Gap Index (P2) yang meningkat dari 0.7 menjadi sebesar 1.1 pada GK*110 persen. Presentase perubahan P2 pantai/pesisir (57.1 persen) sama dengan persentase P1 nasional (57.1 persen). Rumahtangga
GK = 89.100 GK 10 % = 98.800 GK 20 % = 122.800
Distribusi Frekuensi
Kurva Normal
Pengeluaran (Rp)
Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004. Data Diolah
Gambar 11: Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Pantai/Pesisir Dengan skenario GK naik 20 persen (GK*120 persen), yang terjadi pada Headcount Index (P0) pada pantai/pesisir adalah peningkatan proporsi insiden kemiskinan dari 12.9 persen menjadi 24.6 persen. Laju perubahan tersebut lebih
139
dari dua kali persentase perubahan pada GK*110 persen. Dibanding dengan nasional, presentase perubahan P0 pantai/pesisir (90.6 persen) lebih kecil persentase perubahan P0 nasional (90.8 persen). Kemudian, pada Poverty Gap Index (P1) yang meningkat dari 2.4 menjadi 5.1, jika GK naik 20 persen. Artinya, selain makin banyak yang jatuh miskin, kondisi mereka pun makin jauh dari garis kemiskinan, sehingga makin banyak upaya-upaya yang harus harus dilakukan untuk mengangkat mereka melampaui batas minimum kebutuhan hidup. Laju perubahan peningkatan persentase P1 juga meningkat dua kali laju perubahan P1 pada GK*110 persen. Namun, Pola yang sama terjadi pada Poverty Severity Gap Index (P2) yang meningkat dari 0.7 menjadi sebesar 1.6 pada GK*120 persen. Laju perubahan peningkatan persentase P2 meningkat lebih dari dua kali laju perubahan P2 pada GK*110 persen. Persentase perubahan P2 pantai/pesisir (128.5 persen) sama dengan persentase P1 nasional (128.5 persen). Jika dicermati lebih jauh, dengan menggunakan dua skenario ini, dimana diasumsikan kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen, maka pada GK*110 persen diperoleh elastisitas terhadap perubahan garis kemiskinan ini sebesar 4.19 untuk P0, 5.00 untuk P1, dan 5.71 untuk P2. Kemudian, pada GK*120 persen, diperoleh elastisitas terhadap perubahan garis kemiskinan ini sebesar 4.53 untuk P0, 5.63 untuk P1, dan 6.43 untuk P2.. Tabel 29 menunjukkan bahwa dengan elastisitas lebih besar dari satu, maka pada agroekosistem pantai/pesisir dapat dikatakan memiliki sensitivitas peningkatan proposi kemiskinan, kedalaman dan keparahan yang relatif tinggi. Dibanding dengan nasional, elastisitas untuk P0, P1, dan P2 menunjukkan sensitivitas yang lebih kecil, kecuali P2 pada GK*120 persen
140
elastisitas indikator kemiskinan pada pantai/ pesisir sama dengan elastisitas kemiskinan pada nasional. 5.7.2.2. Sifat Kemiskinan Model regresi pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin dirancang untuk mengetahui sifat kemiskinan. Hasil regresi untuk daerah kawasan pantai pesisir, menghasilkan model yang nyata secara statistik (Lampiran 7). Hasil analisis sifat kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini memperoleh gambaran kemiskinan sebagai berikut: 2.77 persen miskin kronis dan 10.11 persen miskin tidak kronis. Maknanya, 10.11 persen rumahtangga ini dapat ditingkatkan
pendapatannya
atau
dikurangi
pengeluarannya
dengan
meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh. Selanjutnya, 2.77 persen rumahtangga yang miskin ini dikatagorikan kronis atau kemiskinan struktural yang untuk pengentasannya memerlukan upaya-upaya yang lebih besar. Dibanding
model
nasional,
persentase
proporsi
rumah
tangga
pada
agroekosistem pantai/pesisir lebih kecil, dimana mempelihatkan sebanyak 13.1 persen miskin (2.2 persen miskin kronis, dan 10.9 persen tidak kronis). Tabel 30. Sifat Kemiskinan Agroekosistem Pantai/Pesisir Aspek Penelitian
% perubahan Akibat GK
Sifat Miskin
GK Pantai/ Nas pesisir 10,11 10.9
GK*110% Pantai/ Nas pesisir 12,8 14.1
GK*120% Pantai/ Nas pesisir 15,1 16.3
Miskin kronis
2,77
2.2
5,6
4.8
9,5
8.7
Total miskin
12,88
13.1
18,3
18.8
24,6
25
Sumber : Hasil Perhitungan; Keterangan : GK = Garis Kemiskinan Nas = Nasional
Untuk mengetahui sifat kemiskinan rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan meningkat sebesar 10 persen.
141
Hasil regresi untuk agroekosistem pantai/pesisir dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 15. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat peningkatan persentase rumahtangga miskin menjadi sebesar 18.3 persen rumahtangga miskin (5.6 persen miskin kronis dan 12.8 persen miskin tidak kronis). Artinya, 12.8 persen rumahtangga ini berpotensi ditingkatkan pendapatannya dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sementara itu, 5.6 persen rumahtangga dikatagorikan kronis atau terjebak dalam kemiskinan. Hasil regresi untuk agroekosistem pantai/pesisir dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 22. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat peningkatan persentase kemiskinan menjadi sebesar 24.6 persen rumahtangga miskin (15.1 persen miskin kronis dan 9.5 persen miskin tidak kronis). Namun, dibanding dengan model nasional, peningkatan proporsi persentase rumahtangga miskin ini masih lebih kecil, dimana model nasional menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 25 persen rumahtangga miskin (8.7 persen miskin kronis dan 16.3 persen miskin tidak kronis). Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin, pada agroekosistem pantai/pesisir. Tabel 31 menunjukkan, bahwa laju perubahan rumahtangga miskin kronis melebihi
angka
100
persen
pada
agroekosistem
ini.
Artinya,
dengan
meningkatnya garis kemiskinan sebesar 10 persen maka jumlah keluarga miskin kronis bertambah lebih dari dua kali lipat (102.2 persen) dari angka sebelumnya.
142
Tabel 31. Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Agroekosistem Pantai/Pesisir Aspek Penelitian
% perubahan akibat GK
Sifat
GK*110% Pantai/ pesisir
Miskin
GK*120%
Nasional
Pantai/ pesisir
Nasional
26.6
29.0
48.4
49.1
Miskin kronis
102.2
116.2
243.0
291.9
Total miskin
421
116.2
91.0
90.3
Sumber : Hasil Perhitungan Keterangan : GK = Garis Kemiskinan
Apabila garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis mencapai 243 persen, namun lebih kecil daripada nasional (291.9 persen). Selanjutnya, dari hasil perhitungan perbedaan pengeluaran per kapita dengan kondisi garis kemiskinan biasa ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan), secara umum diperoleh diatas 40 persen (Tabel 32). Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Agroekosistem pantai/pesisir memiliki beda lebih kecil (dibawah 70 persen). dibanding nasional. Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) di atas 40 persen untuk pantai/pesisir. Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), pada tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garas kemiskinan sebesar 76.6 persen, sementara pada pantai/pesisir dibawah 40 persen. Sedangkan untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, pada agroekosistem pantai/pesisir ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap
143
garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) di bawah 40 persen. Tabel 32. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Agroekosistem Pantai/Pesisir Berdasarkan
Sifat
GK % beda
GK*110% ratio
% beda
ratio
GK*120% % beda
Ratio
Pantai/Pesisir Rataan
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
Median
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
- 42,9
0,571
- 41,0
0,590
- 38,2
0,608
- 13,6
0,864 2,319
- 13,4
0,866
- 12,3
0,877
118,1
2,181
109,6
2,096
- 40,4
0,596
- 38,2
0,618
- 36,7
0,633
- 12,7
0,873
- 12,7
0,873
- 11,9
0,881
87,0
1,870
75,6
1,756
68,6
1,686
131,9
Nasional Rataan
Miskin Kronis -42.2
0.578
-39.6
0.604
-38.3
0.617
-13.2
0.868
-12.6
0.874
-12.2
0.878 2.180
Miskin Tidak Miskin Median
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
138.6
2.386
126.4
2.264
118.0
-40.0
0.600
-37.3
0.627
-35.8
0.642
-12.1
0.879
-12.0
0.880
-11.9
0.881
85.8
1.858
76.6
1.766
70.4
1.704
Sumber : Hasil Perhitungan Keterangan : GK = Garis Kemiskinan
Selanjutnya, pada golongan tidak miskin (berdasarkan median), tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen. Sementara pada pantai/pesisir besarnya di bawah 60 persen; yang artinya tidak terdapat jarak pengeluaran per kapita yang lebih tinggi antara yang tidak miskin dengan miskin, bila dibandingkan dengan nasional.
144