70
V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU 5.1 Kebergantungan Masyarakat terhadap Danau Rawa Pening Danau Rawa Pening memiliki peran penting dalam menciptakan keseimbangan ekologi dan tata air. Dari aspek ekologi, danau merupakan ekosistem yang terdiri dari komponen air, kehidupan akuatik, dan daratan. Oleh sebab itu keberadaan danau akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem di sekitarnya. Perubahan ekosistem di sekitar danau juga berpengaruh terhadap ekosistem danau. Dari aspek tata air, danau memiliki peran sebagai penampungan air yang dapat dimanfaatkan untuk penyedia sumber air baku, irigasi pertanian, daerah tangkapan air, pengendali banjir, dan perikanan darat. Fungsi sosial ekonomi terkait dengan manfaat langsung dalam memenuhi kehidupan masyarakat di sekitar danau. Kebergantungan masyarakat dari aspek ekonomi dapat dilihat dari distribusi jenis mata pencaharian penduduk. Jenis mata pencaharian penduduk di sekitar Danau Rawa Pening dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu mata pencaharian yang bergantung pada sumberdaya alam dan mata pencaharian yang tidak bergantung pada sumberdaya alam. Kebergantungan mata pencaharian masyarakat terhadap sumberdaya alam dan lingkungan terkait dengan empat fungsi pokok sebagaimana dinyatakan Dahuri et.al. (2001) yang meliputi 1) penyedia sumberdaya alam, 2) penyedia jasa pendukung kehidupan, 3) penyedia jasa-jasa kenyamanan, dan 4) penerima limbah. Fungsi danau sebagai penyedia sumberdaya adalah dengan memanfaatkan sumberdaya danau untuk kegiatan mata pencaharian. Seiring pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat dengan keterbatasan sumberdaya, maka masyarakat tidak dapat hanya menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam yang ada. Oleh sebab itu telah berkembang beberapa jenis mata pencaharian alternatif, yaitu jasa pariwisata, perdagangan, serta industri kecil skala rumahtangga. Masyarakat merasa memiliki kebergantungan terhadap sumberdaya danau terkait dengan mata pencahariannya. Tingkat kebergantungan masyarakat atau perceived value of dependency terhadap sumberdaya danau menurut jenis mata pencaharian disajikan pada Gambar 12.
71
Tingkat Kebergantungan
5 4 3 2 1 0 Nelayan
Petani
Pemanfaat Pemanfaat Gambut Eceng Gondok
Sewa Perahu
Pedagang
PNS
Jenis Mata Pencaharian Keterangan: 1 = sangat rendah 2 = rendah 3 = cukup tinggi
4 = tinggi 5 = sangat tinggi
Gambar 12 Perceived value of dependency terkait dengan jenis mata pencaharian penduduk di sekitar Rawa Pening, Tahun 2010 (n = 69) Gambar 12 menunjukkan bahwa jenis mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada sumberdaya alam adalah terutama di sektor perikanan dan pertanian. Kebergantungan masyarakat terkait dengan kondisi ekologis danau, seperti potensi perikanan, potensi perairan, serta potensi lainnya yang memiliki nilai guna bagi masyarakat sekitar danau. Masyarakat nelayan dan petani memiliki tingkat kebergantungan yang sangat tinggi terhadap sumberdaya danau. Dalam hal ini, nelayan dan petani merupakan masyarakat yang secara langsung memanfaatkan sumberdaya danau. Temuan ini sejalan dengan pendapat Nasution et al. (2007), yang menyatakan bahwa masyarakat nelayan dikenal memiliki tingkat kebergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya perikanan. Kegiatan produksi tidak hanya diartikan sebagai upaya dalam pemenuhan kebutuhan keseharian (subsistensi) tetapi lebih diartikan sebagai upaya untuk memperoleh hasil yang berorientasi pasar. Tingkat kebergantungan masyarakat terhadap sumberdaya Danau Rawa Pening juga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan danau. Hasil survai menunjukkan
72 adanya hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat kebergantungan masyarakat terhadap sumberdaya danau, seperti disajikan pada Gambar 13.
Tingkat Kebergantungan
5 4 3 2 1 0 -
1,000,000
2,000,000
3,000,000
4,000,000
Tingkat Pendapatan (Rp)
Keterangan: 1 = sangat rendah 2 = rendah 3 = cukup tinggi
4 = tinggi 5 = sangat tinggi
Gambar 13 Perceived value of dependency terkait dengan tingkat pendapatan masyarakat di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 (n = 78) Gambar 13 menunjukkan, bahwa terdapat pengaruh negatif antara tingkat pendapatan masyarakat dengan tingkat kebergantungan masyarakat terhadap sumberdaya danau. Dalam hal ini, masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi memiliki tingkat kebergantungan yang rendah terhadap sumberdaya danau. Masyarakat nelayan, petani, dan pencari Eceng Gondok dengan tingkat pendapatan rendah memiliki tingkat kebergantungan yang sangat tinggi terhadap sumberdaya danau. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi memiliki tingkat kebergantungan yang sangat tinggi terhadap sumberdaya danau, seperti masyarakat pedagang pengumpul Eceng Gondok dan pengumpul gambut. Tingkat kebergantungan masyarakat pada sumberdaya danau juga berpengaruh terhadap tingkat keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan Danau Rawa Pening. Dalam hal ini, tingkat keterlibatan masyarakat dilihat dari peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam menjaga dan melestarikan ekosistem danau. Hasil survai menunjukkan adanya hubungan antara tingkat partisipasi masyarakat dengan tingkat kebergantungan masyarakat terhadap sumberdaya danau, seperti disajikan pada Gambar 14.
73
Tingkat Kebergantungan
5 4 3 2 1 0 0
1
2
3
4
5
Tingkat Partisipasi
Keterangan: 1 = sangat rendah 2 = rendah 3 = cukup tinggi
4 = tinggi 5 = sangat tinggi
Gambar 14 Perceived value of dependency terkait dengan tingkat partisipasi masyarakat sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 (n = 80) Gambar 14 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif antara tingkat kebergantungan masyarakat dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Danau Rawa Pening. Semakin tinggi tingkat kebergantungan masyarakat terhadap sumberdaya danau, akan meningkatkan peranserta mereka dalam pengelolaan danau. Hal ini merupakan modal dasar dalam membangun model pengelolaan kolaboratif yang menekankan adanya partisipasi aktif dari seluruh stakeholders yang terlibat. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan telah diatur dalam pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang menyatakan: Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peranserta masyarakat. Peranserta masyarakat merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan yang dikaitkan dengan keputusan atau tindakan yang lebih baik dan menentukan kesejahteraan mereka yang berperanserta (Riyanto 2005). Lebih lanjut, peranserta masyarakat dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan diharapkan dapat menjamin terselenggaranya pengelolaan danau yang lebih optimal dan berkelanjutan.
74 Kendala dalam pelibatan masyarakat terutama terkait dengan persepsi masyarakat yang merasa tidak perlu terlibat dalam pengelolaan karena tidak menjadi anggota kelompok tani nelayan. Hal ini terjadi, terutama pada masyarakat pemanfaat sumberdaya yang tidak menjadi anggota kelompok tani nelayan Sedyo Rukun, karena masyarakat menganggap bahwa pengelolaan Danau Rawa Pening merupakan tanggung jawab pemerintah dan untuk pelaksanaan tugas di lapangan merupakan tanggung jawab pemerintah dengan kelompok Satuan Tugas Rawa Pening. Menurut Hubeis (2010), kesulitan untuk berpartisipasi di dalam kelompok ada hubungannya dengan perasaan-perasaan di dalam diri seseorang. Terdapat delapan perasaan dalam diri seseorang yang dapat menghambat untuk berpartisipasi di dalam kelompok, yaitu (1) perasaan takut, (2) perasaan tidak aman, (3) perasaan kurang akrab dengan kelompok, (4) perasaan kekurangan waktu, (5) perasaan tidak terampil, (6) perasaan keterasingan, (7) perasaan tidak cocok, serta (8) perasaan dituntut berlebihan. Dari delapan hambatan dalam berpartisipasi, faktor kendala adanya perasaan
kurang
akrab
dengan
kelompok
menjadi
penghambat
untuk
berpartisipasi dalam kelompok. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat merasa terampil untuk terlibat dalam pengelolaan dan memiliki waktu apabila dilibatkan. Tetapi, dalam kenyataan mereka menyatakan tidak selalu dilibatkan dan bahkan terkadang tidak tahu adanya rencana kegiatan di Danau Rawa Pening yang sebenarnya perlu keterlibatan mereka sebagai masyarakat lokal yang memanfaatkan sumberdaya danau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
5.2 Kerentanan Masyarakat sekitar Danau Rawa Pening Penentuan tingkat kerentanan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi tingkat pertumbuhan populasi penduduk, degradasi lahan terbangun, dan tingkat keterbukaan ekonomi. Uraian dari masing-masing tahap dalam analisis kerentanan adalah sebagai berikut. 5.2.1 Pertumbuhan Populasi Penduduk Angka pertumbuhan penduduk di empat kecamatan studi dipengaruhi oleh jumlah kelahiran dan kematian penduduk, serta migrasi penduduk. Kerentanan populasi penduduk merupakan ukuran tekanan populasi penduduk terhadap
75 sumberdaya dan lingkungan dalam waktu tertentu. Hasil perhitungan indeks pertumbuhan populasi penduduk pada empat kecamatan studi disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Nilai indeks pertumbuhan populasi penduduk di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 Kepadatan Pertumbuhan Indeks No Kecamatan Penduduk Penduduk Pertumbuhan (orang/km2) (%) Populasi Penduduk 1 Tuntang 1.057 0,54 5,71 2 Banyubiru 747 0,52 3,87 3 Ambarawa 2.002 0,10 2,00 4 Bawen 1.095 1,14 12,48 Sumber: Analisis data BPS Kabupaten Semarang (2010)
Tabel 12 menunjukkan, bahwa Kecamatan Bawen memiliki indeks pertumbuhan populasi penduduk tertinggi apabila dibandingkan dengan tiga kecamatan lainnya. Faktor utama yang berpengaruh terhadap tingginya indeks pertumbuhan populasi penduduk di Kecamatan Bawen adalah tingginya angka pertumbuhan penduduk di kecamatan tersebut. Kecamatan Ambarawa memiliki angka kepadatan tertinggi dibandingkan dengan tiga kecamatan lainnya. Namun demikian, tingginya angka kepadatan penduduk di Kecamatan Ambarawa bukan merupakan faktor penentu utama terhadap tingginya nilai indeks pertumbuhan populasi penduduk. Faktor lain yang berpengaruh terhadap tingginya indeks pertumbuhan populasi penduduk adalah tingkat pertumbuhan penduduk suatu wilayah. Semakin tinggi nilai pertumbuhan penduduk, maka semakin tinggi nilai indeks pertumbuhan populasi penduduk. Hal ini berarti bahwa semakin berbahaya wilayah tersebut dalam hal tekanan pertumbuhan populasi penduduk
5.2.2 Degradasi Lahan Terbangun Lahan terbangun adalah lahan berupa pekarangan dan/atau sawah yang telah terkonversi untuk kegiatan permukiman penduduk atau fasilitas lainnya. Faktor utama yang berpengaruh terhadap indeks degradasi lahan terbangun adalah luas lahan yang ada serta luas lahan yang telah terbangun. Hasil perhitungan indeks degradasi lahan terbangun pada empat kecamatan studi disajikan pada Tabel 13.
76 Tabel 13 Nilai indeks degradasi lahan terbangun di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 Luas Lahan Indeks Luas Lahan No Kecamatan Terbangun Degradasi Lahan 2 (km ) (km2) Terbangun 1 Tuntang 56,24 11,79 20,96 2 Banyubiru 54,41 6,07 11,16 3 Ambarawa 28,22 6,52 23,10 4 Bawen 46,57 6,36 13,66 Sumber: Analisis data BPS Kabupaten Semarang (2010)
Kecamatan Ambarawa memiliki indeks degradasi lahan terbangun tertinggi. Faktor utama yang mempengaruhi tingginya nilai indeks degradasi lahan terbangun di Kecamatan Ambarawa adalah tingginya luas lahan terbangun dibandingkan dengan luas ketersediaan lahan. Semakin tingginya kebutuhan pemanfaatan lahan telah mengakibatkan meningkatnya alih fungsi lahan produktif menjadi kawasan permukiman penduduk. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi luas lahan terbangun, maka semakin tinggi indeks degradasi lahan terbangun. Kecamatan Tuntang memiliki indeks degradasi lahan terbangun tertinggi kedua setelah Ambarawa. Jumlah penduduk yang terus meningkat di Kecamatan Tuntang berpengaruh pada pola pemanfaatan lahan. Tingginya kebutuhan pemenuhan lahan untuk permukiman penduduk di Kecamatan Tuntang telah menimbulkan permasalahan pemanfaatan lahan sehingga mendorong masyarakat untuk bermukim di daerah yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung yang sebenarnya tidak sesuai untuk dijadikan area permukiman. Alih fungsi kawasan lindung menjadi kawasan permukiman atau kawasan peruntukan lainnya bertentangan dengan pasal 17 dan 18 Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, yang menyatakan: Pasal 17 Perlindungan terhadap kawasan sekitar danau/waduk dilakukan untuk melindungi danau/ waduk dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestarian fungsi danau/waduk. Pasal 18 Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah daratan sepanjang tepian danau/ waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50 – 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
77 Kasus aktual adalah pemanfaatan kawasan lindung seluas 1,1 hektar di Dusun Cikal, Desa Tuntang, Kecamatan Tuntang untuk kawasan permukiman. Rencana pembangunan tersebut sampai penilitian ini dilaksanakan masih menimbulkan konflik kepentingan antara pihak swasta, dalam hal ini pengembang dengan Pemerintah Kabupaten Semarang, dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya telah menimbulkan permasalahan, baik dari aspek lingkungan maupun sosial yaitu dengan munculnya konflik kepentingan antar stakeholders. Sesuai dengan peruntukannya, perlindungan terhadap kawasan resapan air di sekitar danau sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir, baik untuk kawasan tersebut maupun kawasan di bawahnya.
5.2.3 Keterbukaan Ekonomi Keterbukaan ekonomi di Kecamatan Tuntang, Banyubiru, Ambarawa, dan Bawen dinilai dengan membandingkan total nilai perdagangan tiap kecamatan dengan besarnya PDRB tingkat kecamatan pada tahun tertentu. Hal ini untuk melihat paparan perekonomian dan besarnya indeks keterbukaan ekonomi pada masing-masing kecamatan. Hasil analisis indeks keterbukaan ekonomi di empat kecamatan studi disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Nilai indeks keterbukaan ekonomi di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 Nilai Indeks Nilai PDRB No Kecamatan Perdagangan Keterbukaan (Rp) (Rp) Ekonomi 1 Tuntang 78.518.160.000 159.986.860.000 24,54 2 Banyubiru 62.234.570.000 132.263.180.000 23,53 3 Ambarawa 121.216.490.000 276.893.590.000 21,89 4 Bawen 146.422.420.000 1.020.397.950.000 7,17 Sumber: Analisis data BPS Kabupaten Semarang (2010)
Tabel 14 menunjukkan, bahwa nilai indeks keterbukaan ekonomi tertinggi adalah di Kecamatan Tuntang, walaupun nilai indeks tidak berbeda jauh dengan Kecamatan Banyubiru dan Ambarawa. Tingginya nilai indeks keterbukaan ekonomi di Kecamatan Tuntang dipengaruhi oleh nilai perdagangan di Kecamatan Tuntang pada Tahun 2009, yaitu sebesar Rp.78.518.160.000 dan angka PDRB
78 tingkat Kecamatan Tuntang sebesar Rp.159.986.860.000. Selanjutnya, nilai indeks keterbukaan ekonomi terendah adalah di Kecamatan Bawen. Faktor utama penentu rendahnya nilai indeks keterbukaan ekonomi di Kecamatan Bawen adalah tingginya nilai perdagangan tingkat kecamatan.
5.2.4 Komposit Indeks Kerentanan Tujuan dari penilaian komposit indeks kerentanan (CVI) adalah untuk menaksir tingkat gangguan eksternal pada suatu sistem. Berbagai potensi kerusakan dapat mempengaruhi integritas biologi atau kesehatan dari ekosistem. Semakin besar tingkat kerentanan, pada gilirannya akan menjadi penghalang yang lebih besar pada pembangunan berkelanjutan (Adrianto dan Matsuda 2002, 2004). Nilai CVI terdiri atas variabel indeks pertumbuhan populasi penduduk, indeks degradasi lahan terbangun, dan indeks keterbukaan ekonomi. Hasil standarisasi masing-masing variabel disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Nilai komposit indeks kerentanan masyarakat di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 Komposit Indeks Indeks Indeks No Kecamatan Keterbukaan Indeks Degradasi Pertumbuhan Kerentanan Ekonomi Populasi Lahan 1 Tuntang 0,35 0,82 1,00 0,72 2 Banyubiru 0,18 0,00 0,94 0,37 3 Ambarawa 0,00 1.00 0,85 0,62 4 Bawen 1,00 0,21 0,00 0,40 Tabel 15 menunjukkan, bahwa Kecamatan Tuntang memiliki komposit indeks kerentanan tertinggi. Faktor penentu tingginya tingkat kerentanan di Kecamatan Tuntang adalah tingginya indeks keterbukaan ekonomi dan indeks degradasi lahan terbangun. Selanjutnya komposit indeks kerentanan terendah adalah di Kecamatan Banyubiru yang ditentukan oleh rendahnya indeks degradasi lahan terbangun dan indeks pertumbuhan populasi penduduk. Gambaran secara diagramatis nilai komposit indeks kerentanan di empat kecamatan studi disajikan pada Gambar 15.
79
Kecamatan
Tuntang Ambarawa Bawen Banyubiru 0
0.2
0.4 0.6 0.8 Komposit Indeks Kerentanan
1
Gambar 15 Nilai komposit indeks kerentanan, Tahun 2010 Tujuan utama dari penilaian kerentanan adalah untuk mengidentifikasi masyarakat atau tempat yang paling rentan terhadap bahaya dan mengidentifikasi tindakan untuk mengurangi kerentanan. Kompleksitas sistem sosial-ekologi sering menyulitkan dalam mengidentifikasi kerentanan. Hal ini menjadi tantangan terutama untuk penilaian di tingkat lokal dan nasional yang berfokus pada evaluasi kerentanan masyarakat atau tempat yang disebabkan oleh satu atau banyak tekanan, tanpa secara eksplisit menyatakan karakteristik masyarakat dan tempat yang dianggap rentan (Luers 2005). Mengacu pendapat Briguglio (1995), Adrianto dan Matsuda (2002, 2004), penentuan tingkatan kerentanan secara kuantitatif dan kualitatif adalah didasarkan pada nilai komposit indeks kerentanan (CVI) yang memiliki kisaran nilai dari 0 hingga 1 atau 0≤CVI≤1. Nilai yang mendekati batas bawah memiliki tingkat kerentanan rendah, nilai sekitar pertengahan dengan tingkat kerentanan sedang, dan nilai yang mendekati batas atas memiliki tingkat kerentanan tinggi. Berdasarkan kriteria penilaian tersebut, Kecamatan Tuntang dengan nilai CVI = 0,72 dan Kecamatan Ambarawa dengan nilai CVI = 0,62 dapat dikategorikan pada wilayah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi, yaitu suatu kondisi dengan potensi ancaman bahaya yang sudah tergolong tinggi untuk terjadinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan. Selanjutnya Kecamatan Bawen dengan nilai CVI = 0,40 dan Kecamatan Banyubiru dengan nilai CVI = 0,37 dapat dikategorikan ke dalam wilayah yang memiliki tingkat kerentanan sedang, yaitu suatu kondisi dengan potensi ancaman bahaya tingkatan sedang untuk terjadinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan.
80 5.3 Resiliensi Masyarakat sekitar Danau Rawa Pening Resiliensi bertujuan menghindarkan sistem sosial-ekologi berpindah ke formasi yang tidak dikehendaki. Kemampuan tersebut bergantung pada kemampuan suatu sistem lingkungan dalam menanggulangi berbagai tingkat gangguan yang bersifat eksternal. Dalam pengelolaan kolaboratif, pendekatan sistem sosial-ekologi diharapkan dapat meningkatkan resiliensi dan mengurangi tingkat kerentanan melalui tindakan-tindakan tertentu, baik dalam kerangka kerja tingkat lokal maupun nasional. Tahapan analisis untuk mengidentifikasikan tingkat resiliensi di suatu masyarakat adalah 1) mendeskripsikan sistem, 2) mengkaji gangguan eksternal dan kebijakan, 3) analisis resiliensi, serta 4) evaluasi stakeholders. Uraian dari empat tahapan analisis tersebut adalah sebagai berikut.
1) Deskripsi sistem Tujuan mendeskripsikan sistem adalah untuk mengembangkan suatu model konseptual dari sistem sosial-ekologi dengan berdasarkan masukan stakeholders. Dalam penelitian ini, sistem sosial-ekologi terdiri dari dua komponen utama, yaitu (1) sumberdaya Danau Rawa Pening, dan (2) masyarakat di sekitar Danau Rawa Pening. Pola hubungan antar komponen adalah bahwa keberadaan danau merupakan tempat bergantung berbagai aktivitas masyarakat. Hal ini, terkait dengan kebergantungan masyarakat terhadap sumberdaya danau, terutama pada jenis mata pencaharian penduduk sekitar danau. Kondisi lingkungan danau juga dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat sekitar danau. Menurut Carpenter dan Cottingham (1997), integrasi antara masyarakat dan danau harus mempertimbangkan proses kontrol terhadap kerusakan sumberdaya danau. Dalam hal ini, diperlukan beberapa pola hubungan untuk memahami proses interaksi antara masyarakat dan danau. Hasil analisis kerentanan masyarakat terhadap sumberdaya Danau Rawa Pening mengidentifikasikan bahwa Kecamatan Tuntang dan Ambarawa dapat dikategorikan pada wilayah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi, yaitu suatu kondisi dengan potensi ancaman bahaya yang sudah tergolong tinggi untuk terjadinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan. Selanjutnya Kecamatan
81 Bawen dan Banyubiru dapat dikategorikan ke dalam wilayah yang memiliki tingkat kerentanan sedang, yaitu suatu kondisi dengan potensi ancaman bahaya tingkatan sedang untuk terjadinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan
2) Mengkaji gangguan eksternal dan kebijakan Tujuan mengkaji gangguan eksternal dan kebijakan adalah untuk mengembangkan batasan skenario di masa depan, termasuk hasil yang tidak terkontrol. Beberapa tindakan skala lokal dalam meningkatkan resiliensi masyarakat di sekitar Danau Rawa Pening disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Tindakan untuk meningkatkan resiliensi terkait kerentanan Danau Rawa Pening, Tahun 2010 No Kerentanan 1 Sensitivitas terhadap bencana dan kerusakan sumberdaya alam
2 Kapasitas adaptif
Tindakan Skala Lokal a) Pengembangan usaha kecil berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. b) Penegakan hukum terhadap pelanggaran kawasan yang dilindungi. c) Konservasi tanah dan rehabilitasi lahan. d) Penatagunaan dan pendayagunaan lahan berdasarkan keseimbangan dan kelestarian lingkungan. e) Menjaga dan mempertahankan Rawa Pening sehingga bermanfaat bagi semua pihak. f) Pengaturan alat tangkap atau jaring nelayan. g) Membuat karantina Eceng Gondok. h) Membuat rumpon untuk berkembangbiak ikan. i) Melarang penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, setrum, dan racun. j) Normalisasi kawasan Danau Rawa Pening. k) Pengembangan wisata berbasis masyarakat nelayan l) Pemberdayaan masyarakat di sekitar Rawa Pening. m) Memelihara kelestarian daerah tangkapan air n) Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memanfaatkan Eceng Gondok dan gambut. o) Pengendalian perijinan pemanfaatan potensi Danau Rawa Pening. a) Memelihara keanekaragaman dalam konteks sistem ekologi danau. b) Mengembangkan modal sosial dan kelembagaan lokal yang memiliki legitimasi.
3) Analisis resiliensi Tujuan analisis resiliensi adalah mengidentifikasi variabel dan proses dalam sistem yang menentukan dinamika variabel stakeholders yang dianggap penting dalam sistem ketahanan masyarakat terhadap gangguan eksternal.
82 Berdasarkan kajian terhadap gangguan eksternal, ditentukan dua skenario yang dianggap penting untuk meningkatkan resiliensi masyarakat, yaitu (1) memelihara keanekaragaman dalam konteks sistem ekologi danau, serta (2) mengembangkan modal sosial dan kelembagaan lokal yang memiliki legitimasi. Tindakan untuk memelihara keanekaragaman dalam konteks sistem ekologi danau dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat dalam memperbaiki kerusakan sumberdaya danau. Beberapa strategi dalam memelihara keanekaragaman dalam konteks sistem ekologi adalah (1) belajar dari krisis sumberdaya danau, (2) memelihara keragaman, (3) membangun kapasitas dalam merespon kerusakan sumberdaya alam, dan (4) mengembangkan strategi penanggulangan kerusakan sumberdaya danau. Penilaian kriteria dalam memelihara keanekaragaman hayati ekosistem danau disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Penilaian kriteria dalam memelihara keanekaragaman dalam konteks sistem ekologi Danau Rawa Pening, Tahun 2010 No Indikator Uraian 1 Belajar dari krisis sumberdaya a) Krisis sumberdaya perikanan akibat danau eksploitasi dan rusaknya ekosistem danau. b) Rusaknya ekosistem danau akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat. 2 Memelihara keragaman a) Penganekaragaman mata pencaharian selain di sektor perikanan. b) Mengembangkan mata pencaharian masyarakat berbasis sumberdaya lokal. 3 Membangun kapasitas dalam a) Melakukan evaluasi terhadap kondisi merespon kerusakan sumberdaya danau. sumberdaya danau b) Melibatkan seluruh stakeholders. 4 Mengembangkan strategi a) Pemanfaatan sumberdaya danau dengan penanggulangan kerusakan memperhatikan kelestarian lingkungan. sumberdaya danau b) Pemanfaatan sumberdaya danau berbasis pengetahuan lokal yang dimiliki. Mengembangkan modal sosial dan kelembagaan lokal yang sudah memiliki legitimasi dimaksudkan untuk memperbaiki sistem kelembagaan di masyarakat yang sudah ada. Pemberdayaan masyarakat melalui penguatan modal sosial berbasis penguatan nilai budaya dan kelembagaan lokal yang sudah dibangun harus dipandang sebagai bagian utama dalam perbaikan sistem ketahanan masyarakat di sekitar Danau Rawa Pening.
83 Menurut Pranadji (2006), apabila penguatan modal sosial hanya dianggap sebagai pengembangan jaringan hubungan fisik antara komponen kepercayaan atau trust, jaringan hubungan kerja atau network, dan kerjasama atau cooperation, maka belum menyentuh langsung inti dari penguatan modal sosial itu sendiri. Oleh sebab itu penguatan modal sosial harus diawali dari nilai-nilai budaya setempat. Elemen modal sosial lain yang dinilai penting dikembangkan dalam pemberdayaan masyarakat adalah kompetensi sumberdaya manusia, manajemen sosial dan organisasi masyarakat madani, kepeminpinan lokal yang kuat, sistem moral dan hukum yang kuat, serta penyelenggaran pemerintahan yang baik. Indikator-indikator dalam memelihara keanekaragaman dalam konteks sistem ekologi adalah (1) membangun kapasitas pengorganisasian masyarakat, serta (2) menentukan tujuan kelembagaan. Penilaian kriteria dalam pengembangan modal sosial dan kelembagaan lokal yang sudah memiliki legitimasi disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Penilaian kriteria pengembangan modal sosial dan kelembagaan lokal yang sudah memiliki legitimasi No Indikator Uraian 1 Membangun kapasitas a) Melibatkan seluruh stakeholders. pengorganisasian masyarakat b) Meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia melalui pendidikan dan latihan. c) Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan danau. 2 Menentukan tujuan a) Menentukan tujuan yang akan dicapai kelembagaan dengan melibatkan masyarakat. b) Memperkuat kelembagaan lokal yang sudah dibangun. c) Mengusahakan adanya pengakuan terhadap kelembagaan masyarakat yang sudah dibangun. Kelembagaan lokal yang sudah memiliki legitimasi dalam pengelolaan Danau Rawa Pening adalah kelompok nelayan Sedyo Rukun. Seiring dengan dinamika beroganisasi, kelompok nelayan tersebut mengalami beberapa permasalahan terkait dengan konflik kepentingan. Salah satu penyebabnya adalah hilangnya sistem nilai dalam budaya berorganisasi. Hal ini dapat mengurangi keterikatan anggota kelompok terhadap organisasi yang telah dibangun dan memiliki legitimasi. Hilangnya keterikatan dengan organisasi mengakibatkan
84 berkurangnya motivasi anggota kelompok, serta kepatuhan terhadap aturan organisasi yang telah disepakati. Menurut Mangkuprawira (2012), untuk membangun keterikatan antara individu dengan organisasi adalah melalui pendekatan sistem nilai. Sistem budaya organisasi yang efisien, transparan, dan akuntabilitas harus ditanamkan, sehingga sistem nilai sudah menjadi kebutuhan pada sebuah organisasi. Pendekatan sistem nilai untuk membangun kapasitas berorganisasi masyarakat pemanfaat sumberdaya di Danau Rawa Pening adalah dengan berpedoman pada prinsip-prinsip sebagai berikut (1) sumberdaya alam adalah milik Allah SWT, (2) alam sudah diciptakan serba sempurna oleh Allah SWT, (3) pemanfaatan sumberdaya alam oleh manusia, akan tetapi tanpa harus merusaknya, (4) adanya niat yang bersih dalam pemanfaatan sumberdaya alam, serta (5) adanya perbaikan kinerja dalam kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (Hartoto DI 28 September 2011, komunikasi pribadi).
4) Evaluasi stakeholders Tujuan evaluasi stakeholders adalah untuk mengevaluasi seluruh proses dan implikasi pemahaman untuk tindakan pengelolaan dan kebijakan. Berdasarkan hasil evaluasi diharapkan dapat menentukan model pengelolaan adaptif yang tahan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat berdasarkan peran dan wewenang pihakpihak yang terlibat dalam pengelolaan Danau Rawa Pening adalah: (1) Peran dan wewenang pemerintah adalah (a) pengembangan usaha kecil berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, (b) penegakan hukum terhadap pelanggaran kawasan yang dilindungi, (c) konservasi tanah dan rehabilitasi lahan, (d) penatagunaan dan pendayagunaan lahan berdasarkan keseimbangan dan kelestarian lingkungan, (e) normalisasi kawasan Danau Rawa Pening, (f) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memanfaatkan Eceng Gondok dan gambut, serta (g) pengendalian perijinan pemanfaatan potensi Danau Rawa Pening. (2) Peran dan wewenang masyarakat pemanfaat sumberdaya adalah (a) menjaga dan mempertahankan Danau Rawa Pening sehingga dapat bermanfaat bagi
85 semua pihak, (b) pengaturan alat tangkap ikan atau jaring nelayan, (c) membuat karantina Eceng Gondok, (d) membuat rumpon untuk tempat berkembangbiak ikan, (e) melarang penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, setrum, dan racun, (f) pengembangan wisata berbasis masyarakat nelayan, (g) pemberdayaan masyarakat sekitar Danau Rawa Pening, serta (h) memelihara kelestarian daerah tangkapan air.