STRUKTUR SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DOFONSORO : Sebuah Tinjauan Budaya dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Sekitar Danau Sentani
oleh Irma Yeny dan Hidayat Alhamid RINGKASAN Keragaman suatu budaya amat dipengaruhi oleh keragaman ekologi dan ekosistem dimana kelompok masyarakat tersebut berdiam. Beragamnya keadaan tersebut mengkondisikan masyarakat meragamkan pemanfaatan sumberdaya alam sesuai kebutuhan hidup mereka. Untuk melahirkan sikap mendukung dan menghargai dari masyarakat terhadap usaha rehabilitasi lahan kritis pada DAS sentani, sudah selayaknya bila informasi tentang struktur budaya masyarakat sentani diinventarisir. Penelitian dilakukan pada tiga desa, yang berada disekitar Daerah Tangkapan Air (DTA) Sentani Jayapura, yaitu meliputi kampung Asai Kecil (Kleublou) yang mewakili ekosistem danau sentani, Kampung Amay yang mewakili ekosistem laut and Kampung Buper yang mewakili ekosistem pegunungan dofonsoro. Penelitian ini bertujuan menyajikan informasi dan pemahaman tentang struktur budaya masyarakat Sentani dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Metode penelitian yang digunakan adalah secara deskriptif dengan teknik survey. Dari hasil penelitian menunjukkan ditemukan tatanan kehidupan masyarakat yang memegang posisi kunci dalam menggerakkkan masyarakat. Tidak terjadi struktur sosial antara masyarakat pendatang (suku Dani dari Lembah Baliem). Rehabilitasi yag dilakukan selama ini tidak menunjukkan hasil akibat pemerintah tidak menjawab kebutuhan dasar dari masyarakat. Perubahan sosial terjadi pada semua sendi kehidupan di Sentani baik perubahan positive maunpun perubahan negative yang menimbulkan menurunnya kualitas hidup. Kata Kunci : Struktur Sosial Budaya, Management Pengelolaan, Masyarakat Sentani
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Strategi pengelolaan sumberdaya alam (hutan) di wilayah Provinsi Papua1 termasuk Irian Jaya Barat dijabarkan dalam beberapa butir kebijaksanaan pembangun-an kehutanan Propinsi Papua. Satu diantaranya adalah peningkatan daya dukung lahan melalui upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan serta perbaikan mutu lingkungan hidup, yang antara lain dapat dicapai melalui peningkatan 1
Dalam tulisan ini, term Papua digunakan untuk merujuk ke seluruh wilayah sebelah barat Pulau New Guinea, termasuk wilayah Provinsi Irian Jaya Barat, wilayah yang dahulu disebut Irian Jaya atau Irian Barat.
1
konservasi tanah dan pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) (Kanwil Dephut Propinsi Irian Jaya, 1997). Perkembangan program rehabilitasi lahan di Papua baru dimulai sejak tahun 1991 - 2000 dalam bentuk Inpres Reboisasi dan Penghijauan, namun terbatas hanya pada 3 Kabupaten. Selanjutnya melalui DAK-DR, program GNRHL baru dimulai di Papua pada tahun 2004 di 12 Kabupaten/Kota dengan luasan terbatas. Pelaksanaan kegiatan ini dinilai belum optimal jika dibandingkan dengan luas lahan kritis di Papua seluas 3,6 Juta Ha2 sebagaimana disajikan pada Gambar 1. Daerah Tangkapan Air/DTA (water catchment area) Sentani yang terletak di Kabupaten Jayapura, mendapat perhatian serius dalam penanganannya, dimana DTA dengan luasan 80.188 ha, sekitar 27 persen (21.292 ha) diantaranya telah mengalami degradasi menjadi lahan kritis yang menyebar mengelilingi tepi danau (Setiasa, 1995 dalam Rizal dkk., 1997). Menurut SK Menhutbun No. 284/KptsII/1999, DAS Sentani termasuk kategori prioritas I dengan prioritas penanganan erosi sedimentasi yang relatif tinggi. Kawasan ini tergolong pula sebagai kawasan tertinggal (daerah sasaran IDT) (Biro Hukum dan Organisasi Dephutbun, 2000).
Gambar 1. Peta Sebaran Lahan Kritis di Provinsi Papua 2
Data diambil dari presentasi Ir. M. Kayoi, MM, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua tentang “Arah dan Kebijakan Pembangunan Kehutanan Provinsi Papua”
2
Figure 1. Map of Distribution Critical land in Papua
Sesungguhnya upaya rehabilitasi DTA Danau Sentani telah dilakukan sejak tahun 1989 melalui penghijauan seluas 1041 ha dan reboisasi seluas 852 ha. Luasan ini sesungguhnya baru mencakup 9% dari luasan lahan kritis DAS Sentani (Setiasa, 1995; Rizal dkk, 1997). Permasalahan yang dihadapi dalam merehabilitasi lahan kritis di DAS Sentani lebih banyak bersumber pada kurangnya perhatian dan dukungan masyarakat terhadap upaya reboisasi dan penghijauan yang dilakukan pemerintah, serta kurangnya pemahaman pemerintah terhadap struktur budaya masyarakat adat Sentani dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Oleh karena itu, sudah selayaknya bila informasi tentang struktur budaya masyarakat Sentani dikaji dan kemudian diadaptasikan dalam kerangka kebijakan rehabilitasi, untuk melahirkan sikap partisipatif masyarakat terhadap usaha rehabilitasi lahan kritis di sekitar DAS Sentani. B.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan informasi dan pemahaman tentang struktur budaya masyarakat Sentani dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Dengan diketahuinya struktur budaya Sentani diharapkan setiap pelaksanaan rehabilitasi DTA Sentani memperhatikan dan menghargai unsur-unsur adat yang memegang peranan penting dalam masyarakat. Sehingga masyarakat akan dengan mudah melibatkan diri dalam usaha rehabilitasi, yang pada akhirnya dapat mensukseskan program tersebut.
II.
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan September 2001 berlokasi pada dua kampung yang berada disekitar Daerah Tangkapan Air (DTA) Sentani Jayapura, yakni Kampung Asai Kecil (Kleublou) dan kawasan Buper yang mewakili ekosistem Danau Sentani, serta Kampung Amay di pesisir pantai yang mewakili ekosistem Pegunungan Dofonsoro (Gambar 1).
3
Gambar 2. Lokasi penelitian Struktur Sosial Budaya Masyarakat Dofonsoro Figure 2.
Reasearch Area Sosioculture Structure of Dofonsoro Customary Community
B. Bahan dan Peralatan Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulismenulis, alat rekam (minicassete dan tape recorder), alat dokumentasi (kamera) dan panduan kuisioner. C. Prosedur Penelitian Pendekatan terhadap masalah yang diteliti dilakukan secara interpretive deskriptif dengan teknik survey. Metoda penelitian interpretive mengambil sudut pandang bahwa our knowledge of reality is a social construction by human actors. Tugas penelitian interpretive adalah mengungkap kondisi realita sosial lewat pemahaman tentang bagaimana manusia bersikap dan memberi makna dalam hidupnya (Neuman, 1994:61-66). Kampung-Kampung sampel ditentukan secara purposif setelah tahap observasi dengan mempertimbangkan aksesibilitas dan kemungkinan masih diterapkannya nilai-nilai budaya tradisional dalam
4
pengelolaan sumberdaya alam di sekitar DTA Sentani. Sebagai responden adalah kepala keluarga masyarakat lokal yang dicuplik secara acak yang terdiri dari tokoh agama, tokoh masyarakat/adat dan tokoh formal/aparat. Data kemudian diolah secara tabulasi dan dianalisis secara deskriptif (Anonimous, 1996). III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
1.
Lokasi Penelitian
Secara administratif lokasi penelitian Kampung Asai Kecil termasuk kawasan Buper dan Kampung Amay termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Sentani, Kabupaten Jayapura. Berdasarkan pembagian wilayah kerja Dinas Kehutanan Tingkat I Propinsi Papua, lokasi tersebut termasuk dalam wilayah kerja Dinas Kehutanan Kabupaten Jayapura. 2.
Iklim, Tanah dan Tumbuhan
Berdasarkan klasifikasi iklim SCHMIDT-FERGUSON (1951), kondisi iklim di sekitar Danau Sentani termasuk tipe A, dengan rata-rata curah hujan tahunan sebanyak ± 1.755 mm. Jenis tanah pada lahan kritis di sekitar Danau Sentani umumnya podsolik merah kecoklatan, coklat gelap kemerahan, hingga merah gelap. Tekstur tanah adalah pasir berlempung sampai liat berpasir, dan pada bagian permukaan banyak dijumpai kerikil dan batu-batu besar. Konsistensi tanah agak gembur di lapisan atas, namun agak lekat dan plastis. Tumbuhan bawah umumnya didominasi oleh Imperata contracta Hitch, dan Ischaemum anstantum L. Selain itu terdapat juga jenis Borreria hispida K. sech, Croton glandulosus, Hymenache aurita Backer dan lain-lain. 3.
Karakteristik Ekosistem
Kawasan DTA Sentani memiliki ekosistem unik dan lengkap, mulai dari Danau Sentani, kawasan pebukitan di sekitar danau serta Pegunungan Dafonsoro di bagian selatan. Lingkungan utama kawasan Pegunungan Dofonsoro termasuk dalam tipe hutan basah yang ditandai dengan kaki-kaki bukit dan pegunungan rendah dengan ketinggian antara 100 - 1.000 meter. Hasil penelitian sebelumnya memperlihatkan pada kawasan ini terdapat sekitar 273 jenis burung dan 86 jenis mamalia. Jenis binatang buruan antara lain : babi hutan (Sus scrofa), tikus tanah/bandicot, kasuari (Casuarius sp.), burung cenderawasih (Paradisae spp) dan kus-kus (Phalanger sp). Sedangkan jenis pohon yang terdapat di kawasan ini antara lain : matoa (Pometia spp), suang (Xanthostemon sp), bintangur (Callopyllum inopyllum), kayu besi (Intsia spp), rotan serta berbagai jenis anggrek dan ephifit. Surat
Berdasarkan gambaran umum potensi diatas, Menteri Kehutanan lewat Keputusan No.365/Kpts-22/87, menetapkan kawasan Pegunungan
5
Dofonsoro, khususnya daerah sekitar Gunung Cycloops sebagai kawasan konservasi dengan status sebagai kawasan Cagar Alam. 4. Penduduk dan Bahasa Berdasarkan data sensus tahun 1997, jumlah penduduk yang tersebar di Daerah Aliran Danau Sentani adalah sebanyak 1.208 jiwa yang mendiami Kampung Asai Kecil dan Amay (Depapre). Sedangkan jumlah penduduk yang mendiami daerah Buper belum terdata pada data populasi tahun 1997. Sebaran penduduk dalam tiap wilayah berdasarkan kelamin disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Sebaran Penduduk dalam Wilayah Penelitian Table 1. Resident distribution of reaseach area
No.
Kampung
Jumlah Penduduk Laki-laki
Jumlah
Perempuan
1.
Asai Kecil
522
484
1.006
2.
Amay
106
96
202
Jumlah
622
580
1.208
Jika usia kerja produktif adalah berkisar antara 15 sampai 55 tahun, maka tercatat penduduk usia kerja yang bermukim di sekeliling Daerah Aliran Danau Sentani sebanyak 629 orang dengan rincian sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.
6
Tabel 2. Sebaran Jumlah Penduduk Menurut Kelas Umur Table 2. Resident Distribution Base on Age Kampung
0 – 15 thn
15– 55 thn
> 55 thn
Jumlah
Asai Kecil
416
548
42
1.006
Amay
58
81
63
202
Jumlah
474
629
105
1.208
Ditinjau dari segi ratio ketergantungan dengan membandingkan jumlah penduduk angkatan kerja dengan jumlah penduduk diluar usia kerja, maka ratio ketergantungan untuk Kampung Asai Kecil adalah sebesar 1,19 sementara di Kampung Amay sebesar 0,66. Angka ini menunjukkan jumlah beban yang harus ditanggung per jumlah orang kerja. Di Kampung Asai Kecil, contohnya, satu orang usia kerja menanggung 1 – 2 orang yang tidak bekerja, sementara di Kampung Amay satu orang usia kerja menanggung satu orang yang tidak bekerja. Semakin tinggi ratio ketergantungan menunjukkan semakin berat beban yang ditanggung penduduk usia kerja. Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam, semakin tinggi angka ketergantungan, akan cenderung mempertinggi pula tekanan pada sumberdaya alam yang ada. Di Papua terdapat 240 etnis dimana sebagai pembeda etnis tersebut adalah bahasa dimana tiap bahasa mempunyai penutur rata-rata 4.000 orang. Masyarakat Sentani adalah penutur Bahasa Sentani (Gambar 3). Bahasa ini tergolong dalam Trans-New Guinea phylum yang menyebar dari Nafri hingga daerah sebelum Maribu. Sementara masyarakat Ormu yang mendiami sebelah timur mempercakapkan Bahasa Ormu yang tergolong Austronesian Languages. Di sisi Barat, masyarakat Sabron Dosay, Mekwei dan Kemtuk serta Gresi menggunakan bahasa yang tergolong dalam sub Phylum Nimboran.
7
Sumber : Pacific Linguistics, The Australian National University, Canberra, Australia3 Gambar 3. Wilayah Penutur Bahasa di sekitar DTA Sentani Figure 3. SpeakerAround The Sentani Cacthment Area B.
Arti Nama Sentani
Istilah Sentani tidak terdapat dalam stuktur Bahasa Sentani. Menurut Ramandei (1997), nama asli Sentani adalah Puyakha. Pengertian Puyakha dalam kosa kata Bahasa Sentani adalah ciri nyata, sementara Puyakhapu4 adalah kawasan danau/air yang dimiliki dan kuasai oleh Puyakha. Nama ini bermula dari cerita pembelian air di Gunung Dofonsoro oleh dua orang leluhur yang berdiam di Pulau Yonokhom (Ramandei, 1997). Sedangkan perkataan Sentani sendiri berasal dari kata Hedam yang berubah menjadi Setam dan kemudian menjadi Sentani. Kata Hedam masih di jumpai pada Ondofolo Suku Ohei (Ramandei, 1997). 3
Di download dari http://www. papuaweb.org, Januari 2005
4
Puyakhapu selanjutnya akan digunakan dalam tulisan ini sebagai kata ganti masyarakat adat Sentani
8
Hedam atau Setam bermakna luas, yang mungkin dihubungkan dengan luasnya bentangan Danau Sentani. Penduduk yang bermukim di wilayah tersebut dikenal dengan sebutan penduduk Sentani yang secara administrartif kini telah di satukan dalam satu wilayah Kecamatan yang terdiri dari 27 Kampung dan 4 Kelurahan (data tahun 2001), bahkan bahasa yang digunakan pun dikenal dengan sebutan Bahasa Sentani (Gambar 2). C.
Struktur Budaya Masyarakat Sentani
Menurut penuturan sejarah penyebaran masyarakat Puyakhapu, pada awalnya penduduk Sentani berpusat di tiga tempat yaitu : 1.
Bukit Yamokho kemudian menyebar ke Pulau Ohei (Kampung Asei) lalu ke Ayopo Kecil, Waena, dan Yoka.
2.
Pulau Ajau dengan kampung Ifar Besar kemudian menyebar ke Ifar Kecil, Sibaobai, Yabuai, Sereh, Puyoh Kecil, Ifar Babrongko dan Abar.
3.
Pulau Yonokhom dengan kampung Kwadeware kemudian menyebar ke Doyo, Sosiri, Yakonde dan Dondai.
Masyarakat adat yang menghuni dan memiliki hak ulayat pada kawasan Pegunungan Dofonsoro (Dofonsoro Utara) dapat dikelompokkan ke dalam tiga lingkungan bahasa yang masing-masing memilki lingkungan wilayah adat terpisah. Ketiga lingkungan wilayah adat diatas adalah penduduk yang berbahasa Tapera dengan wilayah adat di sekitar daerah Depapre (Demta), penduduk berbahasa Moi (Sentani) dengan wilayah adat sekitar Sentani dan penduduk berbahasa Ormu dengan wilayah adat sekitar pesisir Ormuwari (Gambar 2). Penduduk yang berbahasa Tepera dan Ormu mempunyai sruktur kelembagaan adat yang sama yakni struktur kelembagaan yang melekat pada clan (marga). Sedangkan penduduk yang berbahasa Moi, stuktur kelembagaan adatnya berdasarkan suku yang merupakan gabungan beberapa clan. Karena itu dalam kelompok masyakat yang berbahasa Moi di kenal sebutan Ondofolo (Ondoafi) yaitu kepala suku besar (tribal chief) yang membawahi sejumlah clan, sementara bagi masyarakat berbahasa Tapera dan Ormu hanya mengenal kepala clan (clan leader). Meski memiliki perbedaan namun dalam hal pembagian tugas, kedua system ini relatif sama. Misalnya dalam hal pembagian kekuasan Ondofolo membawahi beberapa kepala suku dan masing-masing kepala suku dibantu oleh beberapa orang pembantu yang mempunyai tugas khusus seperti urusan keamanan, urusan ekonomi, urusan perselisihan dan sebagainya. Struktur organisasi Ondoafi secara ringkas ditampilkan pada Gambar 3. Dalam masyarakat Sentani, struktur tatanan masyarakat adat terdiri dari : 1. Apu Along/Apu Afaa yang bertugas sebagai penasehat Ondofolo (yodo yado = yang dituakan dalam adat).
9
2. Ondofolo adalah pucuk pimpinan adat dalam kampung 3. Khoselo/Khotelo adalah kepala clan (marga) yang berada dalam satu keOndofolo-an dan bertanggung jawab kepada Ondofolo. 4. Akhona adalah kepala keluarga dari satu silsilah/keturunan (lineage) dan bertanggung jawab kepada Khoselo/Khotelo (kepala clan) 5. Akha pakhe adalah mayarakat adat yang dibawahi oleh suatu Ondofolo.
Ondofolo (tribal chief) Koshelo (clan leader)
Akhona (lineage leader)
Akhona (lineage leader)
Koshelo (clan leader)
Akhona (lineage leader)
Akhona (lineage leader)
Akha pekhe (customary community)
Gambar 4. Struktur Adat Masyarakat Sentani Figure 4. Traditional Structure of Sentani Costumary Community
Jabatan tertinggi dalam pemerintahan adat dipegang oleh Ondofolo (Gambar 4). Meskipun demikian, dari sisi fungsi, Ondofolo harusnya memberikan pelayanan dan pengayoman kepada warganya, bukan sebaliknya menjadi tuan yang dilayani. Jabatan Ondofolo adalah jabatan warisan yang diturunkan kepada anak lelaki Ondofolo tertua. Ondofolo berasal kata dari Ondowai yang artinya kemuliaan, kebesaran dan kehormatan. Karenanya seorang yang baru diangkat menjadi Ondofolo sering dipanggil Ondiwai. Proses pelantikan Ondofolo ditandai dengan pemasangan Yomalo, yakni ikat pinggang/sabuk yang terbuat dari kulit kayu, yang diberikan kepadanya sebagai pelambang pemegang kekuasan keturunan. Proses pewarisan dilakukan berdasarkan prinsip patrilineal, dimana hanya anak lelaki yang berhak mewarisi tahta kepemimpinan Ondofolo. Sebagaimana di kelompok masyarakat patrilineal lainnya, anak laki-laki meneruskan marga (clan) ayah, sementara anak gadis hanya menjadi anggota clan ayahnya selama ia belum menikah atau berkeluarga. Tetapi manakala ia menikah, maka ia segera ditarik ke dalam clan suaminya. Selain proses pewarisan clan seperti digambarkan diatas, ada juga pewarisan kekayaan, jabatan adat, nilai-nilai spiritual dan keterampilan
10
di bidang seni (ukir, tari dan suara) yang menggunakan jalur patrilineal. Kekayaan kolektif terutama sumberdaya tanah, hutan dan laut, pengaturan pemakaiannya dilakukan oleh anak laki-laki tertua yang biasanya sekaligus mewarisi jabatan adat (khoselo atau akhona). Selain dalam aspek kepemilikan sumberdaya, dalam aspek pengelolaan sumberdaya juga masih diwarnai oleh berkembangnya nilai-nilai maskulinitas yang cenderung menempatkan perempuan dalam posisi marginal, baik menyangkut pembagian peran maupun pengambilan keputusan. Pembagian peran dan pengambilan keputusan diatas berpengaruh negatif terhadap upaya-upaya pemberdayaan perempuan yang emansipatif dan partisipatif dengan kebijakan konservasi sumberdaya alam. Proses pewarisan adat yang masih kuat hingga saat ini memungkinkan adanya dualisme kepemimpinan didalam wilayah kampung. Kehadiran pemerintahan formal, tidak menyebabkan peran lembaga adat terpinggirkan. Bersama dengan proses ini, masuk pula berbagai institusi yang bersifat struktural lainnya seperti Desa (Kampung), LKMD, Koperasi, kelompok usaha tani yang mengambil alih hampir seluruh peran institusi adat, yang ujungnya semakin memperkuat dominasi peran lembaga formal maupun informal diluar lembaga adat. Meski sebagai mekanisme peran lembaga adat dapat dikatakan semakin melemah, namun secara prinsip pemerintahan adat masih memiliki wibawa dan pengaruh besar dibandingkan pemerintahan formal. Hal ini disebabkan karena (1) pemerintahan adat disamping bertumbuh dan berakar dalam masyarakat setempat, juga diarahkan untuk melayani kepentingan masyarakat, sedangkan pemerintahan dan kepemimpinan formal cenderung dikondisikan untuk dan berfungsi melayani kepentingan birokrasi dari atas; (2) kepercayaan magico-religius penduduk setempat bahwa ondoafi memiliki kekuatan magis, sesuatu yang tidak dimiliki oleh kepala kampung (kepala desa/lurah). D.
Kearifan Tradisional
Kelompok masyarakat yang menghuni kedua wilayah pengamatan sangat heterogen ditinjau dari sisi etnis maupun mata pencahariannya. Selain penduduk asli setempat (masyarakat Puyakhapu), kawasan ini dihuni pula oleh penduduk lainnya baik yang berasal dari Papua seperti Suku Dani yang mendiami daerah kaki Cagar Alam Pegunungan Dofonsoro, maupun kelompok etnis non-Papua seperti Toraja, Bugis, Buton dan Jawa yang berkonsentrasi di kampung-kampung dalam wilayah Kecamatan Sentani. Dari sisi potensial ancaman yang ditimbulkan terhadap keberlangsungan fungsi ekosistem Dafonsoro dalam wilayah adat Sentani, masyarakat migran etnis Dani menjadi ancaman serius karena aktivitas mereka sebagai petani peladang berpindah yang secara ekspansif membuka wilayah hutan dalam wilayah Cagar Alam Pegunungan Cycloops. Sementara pola pemanfaatan sumberdaya hayati penduduk asli Sentani (puyakhapu), sebagaimana yang dicontohkan masyarakat
11
yang mendiami wilayah Buper, masih bersifat tradisional dan tidak seekstensif masyarakat etnis Dani. Orientasi pemanfaatan hasil hutanpun masih subsisten, sebatas memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun beberapa pola pemanfaatan hasil hutan terlihat cukup destruktif seperti pengambilan kulit kayu sebagai bahan dasar pembuatan lukisan bermotif adat Sentani. Dengan mengupas kulit hingga melukai kambium batang, dipastikan pola kerja seperti ini mengancam keberlangsungan sumberdaya kayu sekaligus fungsi hutan adat yang berada dalam wilayah adat Puyakhapu. Berbeda dengan masyarakat Buper, masyarakat yang mendiami pesisir Danau Sentani seperti masyarakat Kampung Asai Kecil (Kleublou) lebih menggantungkan hidupnya pada hasil ikan Danau Sentani dibanding hasil hutan. Dalam kaitannya dengan upaya pemanfaatan yang konservatif, masyarakat Asai Kecil telah mengadopsi inovasi keramba yang dibawa oleh Dinas Perikanan setempat. Pola pemanfaatan hasil laut juga terlihat sangat konservatif di kelompok masyarakat Kampung Amay. Upaya perlindungan biota laut seperti yang umum dikenal di Maluku dengan sebutan Sasi juga dikenal disini. Kegiatan ini diawali dengan membebaskan perairan Pantai Sarmabo dan Bunyatemee dari kegiatan penangkapan ikan selama kurang lebih satu tahun. Kawasan sasi laut itu ditandai dengan menancapkan sebatang pohon cemara. Setelah setahun akan dilakukan penangkapan ikan diawali dengan upacara adat yang dipimpin oleh kepala suku laut dari marga Sorontouw dan Yerisetouw. Penjelasan diatas memperlihatkan bahwa penduduk asli Sentani sesungguhnya masih memiliki budaya yang konservatif dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Alasan-alasan lainnya untuk mengatakan bahwa budaya masyarakat adat Sentani cukup partisipatif dengan upaya perlindungan kelestarian sumberdaya alam adalah : 1. Dikenalnya zone wilayah jelajah yang dibuat untuk manusia dan nonmanusia. Dalam kepercayaan masyarakat Puyakhapu, wilayah jelajah manusia hanya sebatas lapis kedua Pegunungan Dofonsoro, karena pada lapisan ketiga, kawasan pegunungan tersebut menjadi zona tempat tinggal leluhur yang diyakini dijaga oleh seekor ular. 2. Ada pemaknaan manusia terhadap makhluk non-manusia di alam. Kayu suang (Xanthostemon sp.) yang banyak digunakan sebagai tiang rumah panggung, dalam kepercayaan tradisional masyarakat Puyakhapu dianggap jelmaan manusia. Karenanya dalam ritus pemanenannya diawali dengan meminta ijin kepada si penghuni kayu. Perlakuan ini diyakini akan membuat kayu lebih mudah ditebang. Setelah ditebang, si penebang meminta agar mahluk penghuni kayu tersebut keluar dari batang kayu agar kayu lebih ringan dipikul. Ketika ditancapkan kembali ke air, kembali si penghuni kayu diminta untuk kembali menempati kayu yang telah tertancap
12
agar memberi kekuatan terhadap serangan marine borer5. Pandangan seperti ini telah membantu upaya konservasi sumberdaya alam. 3. Kenyataan bahwa yang melakukan perladangan di kawasan Pegunungan Dofonsoro adalah warga non-Sentani (non-Puyakhapu), sedangkan masyarakat adat (Puyakhapu) sendiri merupakan masyarakat nelayan dan peramu sagu yang tidak tergantung pada kebun (kebun sebagai penyedia pangan alternatif). 4. Masyarakat adat Puyakhapu sesungguhnya secara aktif telah ikut melindungi kawasan-kawasan konservasi yang dari perspektif masyarakat adat Puyakhapu dipandang sebagai kawasan-kawasan sakral. Saat wawancara kelompok, seorang Khoselo Yoku menuturkan tentang upaya mereka untuk mengusir perambah dan peladang berpindah yang membuka kebun di kawasan sakral di kaki Pegunungan Dofonsoro. 5. Pengambilan hasil hutan kayu maupun sagu hanya sebatas kebutuhan hidup saja. Contohnya pada kayu hanya yang berdiameter kecil dan sebanyak kebutuhan satu buah rumah, sedangkan untuk sagu hanya sagu yang sudah matang6 saja yang boleh dipanen. Meski demikian, ada ketidaksepahaman yang ditemui di kalangan masyarakat adat Puyakhapu dalam melihat aktivitas penghijauan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Kehutanan Propinsi Papua. Setidaknya ada dua moment yang dikomentari saat wawancara sebagai kesalahpahaman Dinas Kehutanan dalam menilai aktivitas masyarakat. Pertama, masyarakat yang bekerja menambang batu di depan Hotel Sentani Indah menganggap anjuran Dinas Kehutanan untuk menghijaukan kawasan penambangannya sebagai hal yang irasional dan tidak bersandar pada argumentasi yang kuat. Beberapa pertanyaan yang tidak memperoleh penjelasan adalah seberapa besar manfaat penghijauan jika dibandingkan dengan menambang batu7, dan dari mana sumber penghidupan mereka jika anjuran pemerintah untuk menghijaukan kawasan dituruti8. Kedua, attitude pemerintah yang menganggap 5
Penulis diajak untuk melihat kayu suang yang digunakan sebagai bangunan rumah yang telah berusia 5 generasi (sekitar 200-an tahun). Si pemilik rumah meyakini hal ini bisa berlangsung karena adanya mahluk yang menghuni bagian dalam kayu suang tersebut. 6 Sagu yang sudah mencapai kematangan fisiologis ditandai dengan keluarnya tandan bunga. 7 Jumlah uang yang diterima dari hasil menambang batu selama seminggu berkisar antara satu sampai dua juta rupiah. Karenanya mereka menganggap sia-sia jika anjuran penghijauan tidak bisa mencarikan alternatif hidup dengan pemasukan mendekati jumlah tersebut. 8 Masyarakat penambang batu malah menganggap Dinas Kehutanan terjebak pada syndrome “colour favoritism”, hanya menyukai warna hijau, dan tidak senang pada warna coklat lahan bekas menambang. Saran Dinas Kehutanan untuk menghijaukan lokasi alang-alang tanpa menyediakan alternatif mencari uang lainnya dianggap sebagai upaya membunuh masyarakat penambang. Jika mereka diminta untuk harus menunggu hingga lahan penghijauan tersebut subur untuk digunakan bercocok tanam, maka mereka menganggap program penghijauan sebagai program ilusi yang tak berpijak pada kenyataan bahwa menghijaukan kawasan lahan kritis Sentani sesungguhnya membutuhkan waktu yang sangat lama. Ini dibuktikan oleh gagalnya program Sentani Darling (sadar lingkungan) pada pertengahan tahun 1990-an.
13
kawasan lahan kritis tidak memiliki pemilik petuanan. Attitude ini diwujudkan dengan melakukan upaya penghijauan tanpa meminta ijin warga sama sekali. Attiude ini juga berangkat dari asumsi bahwa warga pasti lebih menyukai lahannya dihijaukan dari pada dibiarkan merangas ditumbuhi alang-alang. Padahal warga menganggap penanaman tanaman reboisasi/penghijauan adalah awal mula invasi negara atas tanah-tanah milik adat. Warga kuatir jika tanaman semakin besar, claim negara atas tanah tersebut akan semakin kuat, dan itu pertanda mereka akan kehilangan hak atas kawasan tersebut untuk selamanya9. Semua pembahasan diatas tidak bermaksud untuk menutup-nutupi fenomena perubahan sosial yang kini tengah berlangsung di tengah masyarakat adat Puyakhapu. Sebagaimana yang terjadi di berbagai kelompok masyarakat lainnya, masyarakat adat Puyakhapu pun mengalami perubahan sosial di berbagai sisi kehidupan, mulai dari pola makan hingga bentuk rumah. Masyarakat Puyakhapu yang mengkonsumsi sagu kini sebagian besar telah beralih menjadi pemakan beras. Alhamid (1994) yang meneliti pola pemanfaatan hutan sagu tradisional di Maribu menunjukkan perubahan ini bahkan sampai ke tingkat menjual sagu untuk membeli beras.
A
B
Sumber : Alhamid, H., 2001 Sumber: Alhamid, H., 2001 Gambar 4. Perubahan Gaya Rumah di Kalangan Masyarakat Puyakhapu (A) Rumah gaba-gaba; (B) Rumah Papan Figure 4.
Change Home Style Puyakhapu Costumary Community (A) Rumah gaba-gaba (B) Rumah Papan
Dampak perubahan style rumah lebih dramatis dibanding perubahan pola makan. Semula penduduk menggunakan rumah gaba-gaba yang mengapung diatas (ditepi) danau (Gambar 4-A). Rumah ini memanfaatkan material dari lingkungan sekitar, seperti kayu suang (Xanthostemon sp), gaba-gaba (pelepah daun sagu, Metroxylon sp.) dan atap rumbia (daun sagu, Metroxylon sp). Dengan teknologi rumah seperti ini, setiap pasangan yang baru menikah dapat langsung 9
Persepsi ini pula yang mendasari warga di beberapa daerah di Papua untuk menolak kehadiran kawasan konservasi diatas wilayah tanah adatnya.
14
memiliki rumah sendiri. Namun lambat laun style rumah gaba-gaba berganti menjadi rumah papan (Gambar 4-B) yang biayanya relatif lebih mahal karena bahan baku dan teknik pengerjaannya harus didatangkan dari luar (harus dibayar). Akibatnya tidak banyak keluarga yang mampu membangun rumah seperti itu. Pasangan yang baru menikah pun sering tinggal bersama keluarga orang tua/mertua-nya. Walhasil sering dijumpai rumah yang dihuni oleh dua hingga tiga keluarga. Rumah yang semula berfungsi sebagai tempat belajar dan istirahat, kini terbatas hanya sebagai tempat tidur saja karena terlampau banyak orang yang berdiam didalamnya. Hal ini berdampak pada penurunan kualitas anak sekolah dan berakhir pada meningkatnya jumlah anak putus sekolah. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan beberapa simpulan data sebagai berikut : 1. Lembaga adat meski mengalami tekanan namun masih eksis di kalangan masyarakat adat Puyakhapu. Ondofolo , Khoselo dan Akhona memegang posisi kunci dalam lembaga adat sehingga pelibatan unsur adat ini dalam setiap bagian dalam kegiatan rehabilitasi sangat penting untuk diperhatikan. 2. Meski terdapat beberapa praktek yang destruktif terhadap keberlangsungan fungsi ekosistem, namun secara umum dapat disimpulkan bahwa budaya masyarakat Sentani (Puyakhapu) dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam cukup konservatif. 3. Misinterpretasi Pemerintah terhadap sikap masyarakat yang tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan reboisasi sering diakibatkan ketidakmampuan pemerintah untuk menjawab kebutuhan warga. Pemerintah perlu merubah paradigma dalam melihat warga dan kepemilikan lahan adatnya, serta dalam mengukur tingkat partisipasi warga dalam menunjang kegiatan reboisasi/penghijauan. 4. Perubahan sosial di sekitar Danau Sentani meski membawa sejumlah perubahan positif namun juga berdampak pada penurunan kualitas hidup warga setempat.
B. Saran Beberapa saran teknis untuk menyempurnakan kegiatan rehabilitasi lahan di sekitar DTA Sentani di tinjau dari sisi sosiokultur masyarakat Sentani adalah : 1.
Rehabilitasi lahan sebaiknya menggunakan tanaman yang diminati warga seperti tanaman buah-buahan dan penanaman dilakukan pada lokasi lahan sesuai dusun yang telah berlangsung selama ini. Misalnya jika wilayah yang akan ditanam dahulunya dusun pinang maka jenis tanaman yang dominan ditanam adalah tanaman pinang (Arenga sp).
2.
Perencanaan penanaman hingga penanaman dan pemeliharaan diharapkan melibatkan warga setempat sesuai dengan struktur masyarakat yang terdapat pada wilayah tersebut.
15
3.
Saat ini di kawasan penggunungan Dofonsoro Utara telah terbentuk Dewan Persukutuan Masyarakat Adat – Dofonsoro Utara (DPMA - DU) yang kendatipun masih dirasakan terbatas, namun jika diberdayakan secara sistematis akan sangat berpotensi menjadi wadah gerakan rakyat yang efektif untuk memperjuangkan kepentingan bersama termasuk kepentingan melestarikan lingkungan biofisik dan sosial. DAFTAR PUSTAKA
Alhamid, H. 1994. Indigenous Utilization and Management Systems of Communal Sago Forest in Irian Jaya : a Case Study on Maribu Village. Master Thesis at Forestry Dept., Wageningen Agricultural University , The Netherlands. Tidak diterbitkan. Alhamid, H. 2001. Dokumentasi perjalanan ke Jayapura. Manuskrip penelitian BPK Manokwari. Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2000. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Bidang Kehutanan dan Perkebunan Tahun 1999. Dephutbun. Jakarta. Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah. 1995. Petunjuk dan Pengolahan Data Stasiun Pengamat Arus Sungai di Areal Pengusahaan Hutan. Jakarta. Huka, M. 1996. Penduduk Desa Tablasupa, andalkan Hidup pada Tanah Hutan dan Laut. Buletin Kabar dari Kampung Nomor 79/Th.XIV, Oktober 1996. Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-IRJA). Kanwil Dephut Kehutanan Prop. Irian Jaya. 1997. Kebijaksanaan Pembangunan Kehutanan di Irian Jaya dalam Prosiding Ekspose Hasil BPK Manokwari 1997. BPK Manokwari. Mackinnon, J. dan K. Mackinnon. 1986. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Majelis Permusyawaratan Rakyat. 1993. Tap-tap MPR 1993. Lubuk Agung. Bandung. Meteray, R.J. 1995. Panduan Sosial Budaya untuk Pembangunan Irian Jaya. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Prop. Daerah Tk. I Irian Jaya. Jayapura. Neuman, W.L. 1994. Social Research Methods. Qualitatitative and Quantitative Approach. 2nd edition. Allyn and Bacon. Needham Heights, Massachusetts, p:538
16
Ramandei. 1997. Negeri Puyakha. Dinas Pendidikan dan Pengajaran Dati I Irian Jaya. Jayapura. Rex Suebu. 2001. Cenderawasih Pos edisi Agustus 2001. Rizal A.H.B, Y.O. Lekitoo, B. Yafid. 1997. Pertumbuhan Empat Jenis Tanaman di Lahan Kritis Daerah Tangkapan Air Danau Sentani Jayapura. Buletin Penelitian Kehutanan Manokwari No. 1 Tahun 1997. Manokwari. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Balai Pustaka. Jakarta.
17