TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN BERBASIS AGROEKOSISTEM DAN IMPLIKASINYA PADA KEBIJAKAN PENGURANGAN KEMISKINAN
DISERTASI
HARNIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
ABSTRAK HARNIATI. Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan Berbasis Agroekosistem dan Implikasinya pada Kebijakan Pengurangan Kemiskinan (D.S. PRIYARSONO sebagai Ketua, KUNTJORO dan RINA OKTAVIANI sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Kemiskinan di Indonesia masih merupakan masalah serius meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulanginya. Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tipologi kemiskinan dan kerentanan, variabel penciri kemiskinan serta memberikan rekomendasi pengurangan kemiskinan dengan pendekatan berbasis agroekosistem. Ruang lingkup penelitian yaitu kemiskinan perdesaan dengan pendekatan agroekosistem. Tipologi kemiskinan meliputi indikator kemiskinan, sifat dan kerentanan kemiskinan. Indikator kemiskinan dihitung dengan menggunakan FGT Index. Kerentanan kemiskinan diukur dengan elastisitas indikator kemiskinan terhadap garis kemiskinan dan peluang untuk keluar dari kemiskinan. Variabel penciri kemiskinan diestimasi menggunakan regresi logit dengan pengeluaran sebagai variabel dependen. Penelitian ini menemukan bahwa kemiskinan berasosiasi kuat dengan agroekosistem. Tipologi kemiskinan berbeda pada tiap agroekosistem. Kemiskinan tidak secara acak terjadi, tetapi mengikuti pola-pola tertentu (systematic patterns). Temuan dan simulasi terhadap indikator kemiskinan memperlihatkan bahwa ada keragaman kemiskinan dan kerentanan diantara agroekosistem. Selain itu, kerentanan terhadap kemiskinan berasosiasi kuat dengan agroekosistem. Rumahtangga miskin di lahan basah lebih rentan terhadap perubahan, sedangkan rumahtangga di kawasan hutan relatif paling rendah kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Selanjutnya, penelitian ini menemukan juga, bahwa faktor-faktor penciri kemiskinan terkait erat dengan agroekosistem. Secara umum, faktor pengeluaran rumahtangga untuk makanan, pemilikan rumah sebagai modal fisik merupakan faktor penciri lainnya pada semua agroekosistem. Secara spesifik, faktor fasilitas kesehatan dan pengeluaran untuk kesehatan, sanitasi dan lingkungan merupakan ciri yang khas di lahan basah. Sumber penghasilan dari peternakan dan pertambangan, dan porsi pengeluaran yang besar untuk pendidikan terjadi di lahan campuran. Faktor bahan bakar minyak tanah merupakan penciri pengeluaran dataran tinggi, lahan kering, hutan dan pantai/pesisir. Sumber penerangan listrik merupakan faktor yang khas di pantai/pesisir. Faktor transportasi darat berpengaruh nyata terhadap pengeluaran rumahtangga di lahan campuran. Secara umum, penelitian ini memberikan rekomendasi yaitu: (1) kebijakan di bidang pangan bagi penduduk miskin, (2) kebijakan penyediaan modal fisik (physical capital) bagi rumahtangga miskin, dan (3) kebijakan pembangunan infrastruktur fisik yang berpihak pada rumahtangga miskin sebagai kebijakan prioritas utama yang harus dilaksanakan di semua agroekosistem dan nasional. Selanjutnya secara lebih spesifik, untuk lahan basah, kebijakan pembangunan infrastruktur dan fasilitas kesehatan menjadi kebutuhan prioritas. Untuk hutan dan pantai/pesisir, diperlukan penataan kelembagaan, kebijakan pengembangan sumberdaya manusia (human capital) dan alternatif matapencarian. Selanjutnya, untuk pesisir/pantai, diperlukan kebijakan khusus yang memperluas akses rumahtangga terhadap penguasaan aset fisik dan keuangan. Kata kunci : Kemiskinan, Kerentanan, Agroekosistem, Implikasi Kebijakan, Pengurangan Kemiskinan.
i
ABSTRACT HARNIATI. Typology of Poverty and Vulnerability Based on Agro-ecosystem and Their Implication on Poverty Alleviation Policies (D.S. PRIYARSONO as Chairman, KUNTJORO and RINA OKTAVIANI as Members of the Advisory Committee). Poverty has always been a serious problem in Indonesia eventhough various efforts have been conducted to alleviate poverty and its vulnerability. In general, the objectives of the research are to analyze typology and characteristics of Indonesian poverty and its vulnerability based on agroecosystem as well as to provide recommendation on poverty alleviation using agro-ecosystem approaches. Scope of the research includes poverty in Indonesia based on agroecosystem zone. Poverty indicator is analyzed by using FGT Index, while vulnerability is estimated by utilizing elasticity and probability theory. Poverty characteristic is estimated by using logarithmic regression with outputs as dependent variables. This research found that poverty is strongly related to spatial factor based on agro-ecosystem. The poverty and vulnerability typology have different characteristics at different agro-ecosystem, in which forest has the highest poverty incidence, poverty gap and poverty severity among other agroecosystems, and followed by mixed farming agro-ecosystem. Poverty is not randomly occurred, however, it follows a systematic pattern. Findings and simulation of poverty indicators show that there are various poverty indicator performance among agro-ecosystems. Besides, the vulnerability of poverty is strongly related to agro-ecosystem economy. Poor households in wet land are more vulnerable to changes, whilst those in the forest area are relatively lower than that of in other agro-ecosystems. Hence, the research also found that poverty characteristics are strongly related to agro-ecosystem. In general, household expenditure for foods and house ownership as physical capital are characteristics at all agro-ecosystems. Specifically, health facilities and expenditures for health, sanitation and environment have specific characteristics in wet land area. Income resources from livestock production and mining, and large expenditure for education occur in mixed farming agro-ecosystem. Kerosene fuel is a characteristics factor for expenditure in the upland, dry land, forest and coastal areas. Electricity factor is a specific factor in the coastal area. Land transportation factor significantly affects to household expenditures at mixed cropping area. Generally, this research provide recommendations as follows: (1) policy on food provision for poor, (2) policy on provision of physical capital for the poor, and (3) policy on pro poor infrastructure development is priority that should be nationally implemented in all agro-ecosystems. Specifically, in wet land area, policy on infrastructure development and health facilities are priority needs. In forest area, it is required a policy on human capital development in terms of attitude, knowledge and skills. While, in the coastal area, it is required specific policy which provides households access to physical assets and finance as well as human resources enhancement. Key words: Poverty, Vulnerability, Agro-ecosystem, Policy Implication, Poverty Alleviation.
ii
Hak Cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
iii
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul : TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN BERBASIS AGROEKOSISTEM DAN IMPLIKASINYA PADA KEBIJAKAN PENGURANGAN KEMISKINAN merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan ketua dan anggota Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2007
HARNIATI NRP. A5460141914/EPN
iv
TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN BERBASIS AGROEKOSISTEM DAN IMPLIKASINYA PADA KEBIJAKAN PENGURANGAN KEMISKINAN
HARNIATI
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
v
Judul Disertasi
:
TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN BERBASIS AGROEKOSISTEM DAN IMPLIKASINYA PADA KEBIJAKAN PENGURANGAN KEMISKINAN
Nama Mahasiswa
:
Harniati
Nomor Pokok
:
A 5460141914
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dominicus Savio Priyarsono, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Kuntjoro Anggota
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 18 Juni 2007
Tanggal Lulus :
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 29 Januari 1959 dari Ayah H. Haroen Sutan Mangkudun dan Ibu Hj. Husna Udin. Penulis adalah puteri pertama dari lima bersaudara. Pendidikan dasar dan menengah ditempuh penulis di SD Negeri XI (1971), SMP Negeri IV (1974) dan SMA Negeri I (1977) di Bukittinggi. Pada tahun 1978 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan (PMDK, Proyek Perintis II). Penulis meraih gelar Sarjana dari Fakultas Pertanian-IPB pada tahun 1983. Selanjutnya, gelar Master of Science diraih penulis pada bidang Agricultural Economics pada tahun 1996 dari The Ohio State University, Columbus, USA atas beasiswa dari OTO-Bappenas. Semasa menyelesaikan kuliah di Ohio, penulis mendapat penghargaan in recognition of high scholarship, outstanding achievement or service dari The Honor Society of Agriculture –Gamma Sigma Delta. Pada tahun 2002, penulis menempuh pendidikan doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Sekolah Pascasarjana, IPB di Bogor. Sejak tahun 1983 sampai dengan sekarang, penulis bekerja di Departemen Pertanian, Jakarta. Pada tahun 1984 mendapat kesempatan mengikuti Program Persahabatan Indonesia Jepang Abad ke 21 di Jepang. Pada tahun 1985 menjadi Kepala Sub Bidang Bimbingan Praktek Lapangan, pada Sub Bagian Sistem dan Metoda (1990), Sub Bidang Penyusunan Rencana Diklat (1996), Kepala Bidang Penyelenggaraan Pendidikan (2000), dan Kepala Bidang Penyelenggaraan Pelatihan (2002). Kemudian, sejak tahun 2005 penulis menjadi Sekretaris Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Selama mengabdi di Departemen Pertanian, penulis terlibat aktif dalam berbagai program antara lain pada Rural Income Generating Project atau Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Kecil dan Nelayan (P4K), Gerakan Mandiri Palawija dan Jagung (Gema Palagung), Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar, Pengembangan Lembaga Mandiri Mengakar di Masyarakat (LM3), Pengembangan Agropolitan, Pengarustamaan Gender, dan Pemberdayaan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan di Daerah Marjinal. Sepanjang bertugas di Departemen Pertanian, penulis mendapatkan berbagai kesempatan menjadi pembicara pada berbagai seminar tingkat nasional dan internasional, mengikuti pelatihan, magang, menjadi Anggota Delegasi Republik Indonesia (DELRI) dan mengikuti berbagai event internasional lainnya serta menggalang kerjasama dengan berbagai lembaga internasional. Selain mengabdi di Departemen Pertanian, penulis juga aktif sebagai Dosen Tidak Tetap pada Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti (1996-2000), Komite Ketenagakerjaan Tani, Anggota Dewan Pimpinan Pusat HKTI (20042009), Kepramukaan sebagai Ketua Harian Pimpinan Saka Tarunabumi, dan Anggota Dewan Pakar pada Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Tertinggal (The Indonesian Marginalized Community Empowerment Foundation-IMCEF), serta Ketua Bidang Pembinaan Generasi Muda pada Yayasan Mujahidin. Pada tahun 2004, penulis bersama Susilo Bambang Yudhoyono menulis karya ilmiah berupa buku yang berjudul Pengurangan Kemiskinan di Indonesia:
vii
Mengapa Tidak Cukup dengan Memacu Pertumbuhan Ekonomi?. Buku ini diterbitkan oleh Brighten Press, Bogor. PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia dan perkenan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Penghargaan dan terimakasih yang setulusnya, penulis sampaikan kepada Dr. Ir. D.S. Priyarsono, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr.Ir Kuntjoro dan Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Tanpa bimbingan dan dorongan semangat Bapak dan Ibu, maka tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Sungguh, apa yang telah ditunjukkan kepada penulis selama ini adalah keteladanan yang sangat berharga dari nilai-nilai luhur jiwa pendidik. Terimakasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, MS, Dr.Ir. Harianto, MS, dan Dr. Ir Tahlim Sudaryanto sebagai penguji luar komisi pada Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka. Saran dan kritik beliau sangat berharga demi perbaikan disertasi ini. Demikian juga terimakasih dan penghargaan penulis kepada Dekan Sekolah Pasca Sarjana dan Prof. Dr. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi, serta semua dosen EPN-IPB pengajar kelas khusus yang telah memberikan bimbingan dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik. Kepada rekan-rekan satu kelas S3-EPN Khusus angkatan pertama, penulis menyampaikan terimakasih atas kerjasama dan dorongan semangatnya. Kekompakan, persahabatan dan hari-hari indah selama masa kuliah adalah anugerah yang tidak akan terlupakan. Khususnya kepada Dr. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Dr. Agus Justianto dan Ir. Bambang Sukmananto MSc penulis sampaikan terimakasih atas dorongan dan bantuan literaturnya. Terimakasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Ahmad, MS, atas dorongan dan bantuan yang diberikan pada penulis, juga kepada pimpinan dan keluarga besar Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Penghargaan dan terimakasih untuk sahabat-sahabat penulis khususnya kepada Ir. Tunggul Iman Panuju, MSc atas doa dan dorongan semangatnya, juga kepada teman-teman penulis Ir Andi Sumarga, MSc, Drs Diding Hardedi, MSi, Ir. Deddy Mulyadi, Wahyu Sahita, Ssos dan Eko Budi atas dorongan dan bantuannya dalam penyelesaian penulisan disertasi ini.
viii
Berbagai pihak telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian disertasi ini baik secara langsung ataupun tidak langsung. Meskipun tidak semua pihak dapat penulis sebutkan satu per satu, melalui kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan atas segala dorongan dan bantuan yang diberikan. Secara khusus, penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada suami Ir. R. Totok Budi Rachman Oktaputra, putra-putri kami tercinta Ivan Rachman Eka Nugraha (alm) dan Vina Larasati Dewi yang dengan cinta kasih senantiasa berdoa, memberikan dukungan dan pengorbanannya selama penulis menyelesaikan kuliah dan disertasi. Terimakasih juga pada adik-adik penulis Harnedi, Ir. Harmemi, Ir.Harfizal, MSc, dan Harwendi atas doa dan dorongannya. Kepada ibunda Hj. Husna Udin (alm) dan ayahanda H. Haroen Sutan Mangkudun (alm), penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tidak terhingga. Meskipun telah sekian lama beliau kembali kehadiratNya, namun semangat, nilai-nilai luhur yang ditanamkan, cinta kasih dan ketulusan pengorbanannya senantiasa menjadi pelita dan teladan bagi penulis dalam menjalani kehidupan ini. Tema yang penulis pilih untuk disertasi adalah Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan
Berbasis
Agroekosistem
dan
Implikasinya
pada
Kebijakan
Pengurangan Kemiskinan. Secara orisinal tema ini dipilih, karena adanya semangat yang kuat untuk memberikan sumbang saran pemikiran bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Selain itu, adalah kecemasan dan kepedulian penulis atas fenomena kemiskinan dan kualitas kehidupan bangsa Indonesia hari ini dan esok. Realitasnya, sebagian penduduk Indonesia terperangkap dalam kemiskinan dan mewariskan kemiskinan yang parah bagi generasi berikutnya. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya insiden kemiskinan di Indonesia yakni sekitar 17.75 persen atau sekitar 39.05 juta jiwa. Kemiskinan di Indonesia merupakan fenomena perdesaan karena 75.7 persen penduduk miskin tinggal di perdesaan. Hampir 70 persen dari penduduk miskin di perdesaan menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Mereka hidup jauh di bawah garis kemiskinan dengan indeks keparahan kemiskinan di sektor pertanian 2.21 kali lebih tinggi dibanding dengan sektor non pertanian.
ix
Di
sisi
lain,
berbagai
upaya
telah
dilakukan
pemerintah
untuk
menanggulangi kemiskinan. Kebijakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata belum cukup untuk mengurangi kemiskinan. Sehingga, diperlukan pendekatan lain dalam kebijakan pengurangan kemiskinan. Pemikiran dalam disertasi ini, harapan dan doa dipersembahkan pada para pemimpin dan mereka yang peduli terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia agar dapat membantu kaum miskin untuk dapat menolong dirinya sendiri. Agar tidak ada lagi bocah-bocah yang terpaksa jadi pengemis atau pengapung jaring di jermal; agar tidak ada lagi gadis-gadis kecil yang dijual demi sesuap nasi; agar tidak ada lagi keluarga yang bunuh diri; semua karena belenggu
kemiskinan.
Kepada
saudara-saudaraku
kaum
miskin,
yang
terpinggirkan, yang matanya nanar menatap fatamorgana kehidupan, yang suaranya sering dan bahkan tak pernah didengar, disertasi ini penulis dedikasikan. Semoga
segala
upaya
penulis
dalam
menempuh
kuliah
dan
menyelesaikan disertasi ini mendapat ridho dari Allah SWT; kiranya hanya Allah SWT pula yang dapat membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis. Pada akhirnya, segala kekurangan dalam penulisan disertasi ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.
Bogor, Agustus 2007
Harniati
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
xix
I. PENDAHULUAN......................................................................................
1
1.1. Latar Belakang..................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah.........................................................................
7
1.3. Tujuan Penelitian...............................................................................
9
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian....................................
9
1.5. Manfaat Penelitian.............................................................................
10
II. TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................
12
2.1. TinjauanTeoretis................................................................................
12
2.1.1. Ekonomi Kemiskinan..............................................................
12
2.1.2. Perkembangan Konsep dan Pengukuran..............................
17
2.2. Beberapa Temuan Empirik tentang Karakteristik dan Perkembangan Kemiskinan di Indonesia..........................................
25
2.3. Agroekosistem dan Faktor-faktor yang Berkorelasi dengan Kemiskinan........................................................................................
29
2.4. Kebijakan dan Program Pengurangan Kemiskinan di Indonesia......
33
III. KERANGKA PEMIKIRAN.........................................................................
36
3.1. Aspek-Aspek Kemiskinan Berbasis Agroekosistem..........................
36
3.2. Analisis Tipologi Kemiskinan.............................................................
46
3.3. Faktor Penciri Kemiskinan dan Kerentanan......................................
49
3.3.1. Faktor Rumahtangga..............................................................
50
3.3.2. Faktor Spasial dan Infrastruktur............................................
52
3.4. Identifikasi Rumahtangga Miskin......................................................
55
xi
3.4.1. Garis Kemiskinan...................................................................
55
3.4.2. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional dan Potensi Desa .....
57
3.4.3. Kemiskinan dan Kerentanan..................................................
57
3.4.4. Karakteristik Rumahtangga Miskin.........................................
58
3.5. Opsi Kebijakan .................................................................................
59
3.6. Hipotesis............................................................................................
60
IV. METODOLOGI PENELITIAN..................................................................
61
4.1. Metoda Analisis Data.......................................................................
63
4.1.1. Pengolahan Data Awal.........................................................
66
4.1.2. Pengolahan Data Lanjutan...................................................
67
4.2. Jenis dan Sumber Data....................................................................
72
V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN......................................
74
5.1. Nasional............................................................................................
74
5.1.1. Indikator Kemiskinan .............................................................
74
5.1.2. Kerentanan Kemiskinan.........................................................
78
5.1.3. Uji Proporsi Kemiskinan antar Agroekosistem.......................
85
5.2. Lahan Basah.....................................................................................
86
5.2.1. Indikator Kemiskinan..............................................................
86
5.2.2. Kerentanan Kemiskinan.........................................................
88
5.3. Lahan Kering.....................................................................................
97
5.3.1. Indikator Kemiskinan..............................................................
97
5.3.2. Kerentanan Kemiskinan ........................................................
99
5.4. Lahan Campuran..............................................................................
108
5.4.1. Indikator Kemiskinan..............................................................
108
5.4.2. Kerentanan Kemiskinan ........................................................
110
5.5. Dataran Tinggi........................................................ ..........................
118
5.5.1. Indikator Kemiskinan..............................................................
118
5.5.2. Kerentanan Kemiskinan ........................................................
119
5.6. Hutan...................................................................... ..........................
126
5.6.1. Indikator Kemiskinan..............................................................
126
5.6.2. Kerentanan Kemiskinan.........................................................
128
5.7. Pantai/Pesisir............................................................................
xii
136
5.7.1. Indikator Kemiskinan..............................................................
136
5.7.2. Kerentanan Kemiskinan.........................................................
138
VI. FAKTOR PENCIRI KEMISKINAN..........................................................
145
6.1. Nasional...........................................................................................
146
6.2. Lahan Basah....................................................................................
151
6.3. Lahan Kering....................................................................................
155
6.4. Lahan Campuran..............................................................................
159
6.5. Dataran Tinggi..................................................................................
162
6.6. Hutan................................................................................................
164
6.7. Pantai/Pesisir...................................................................................
169
VII. KEBIJAKAN PENGURANGAN KEMISKINAN BERBASIS AGROEKOSISTEM..................................................................................
172
7.1. Kemiskinan dan Agroekosistem........................................................
172
7.2. Tinjauan Empirik Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan...............
187
7.2.1. Perode sampai dengan Tahun 2000......................................
188
7.2.2. Periode Sesudah Tahun 2000................................................
191
7.3. Pendekatan Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Agroekosistem..................................................................................
193
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................
201
8.1. Kesimpulan........................................................................................
201
8.2. Saran Kebijakan................................................................................
203
8.3. Saran Untuk Penelitian Lanjutan.......................................................
207
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
209
LAMPIRAN................................................................................................
214
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Variabel Rumahtangga..........................................................................
65
2. Variabel Infrastruktur Fisik dan Sosial...................................................
68
3. Jumlah Rumahtangga Berdasarkan Agroekosistem Tahun 2005.........
74
4. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Nasional Tahun 2005 ................................ 78 5. Sifat Kemiskinan Nasional....................................................................................... 82 6. Perubahan Sifat Kemiskinan Nasional ................................................................ 84 7. Beda Relatif Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Nasional Terhadap Garis Kemiskinan...................................................
84
8. Insiden Kemiskinan Nasional per Agroekosistem Tahun 2005.............
86
9. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Pada Lahan Basah Tahun 2005 ...........................................................................................
89
10. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Basah ..................................................
93
11. Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Lahan Basah.................................
96
12. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Basah...................................
96
13. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Pada Lahan Kering.....................
100
14. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Kering....................................................
104
15. Perubahan Kerentanan Kemiskinan Pada Lahan Kering......................
106
16. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Kering ......................... .......................... 107 17. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Pada Lahan Campuran...............
110
18. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Campuran .............................................
114
19. Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Lahan Campuran ..........................
116
20.
Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Campuran ..........................
xiv
117
21.
Indikator dan Elastisitas Indikator Kemiskinan di Dataran Tinggi ........
120
22.
Sifat Kemiskinan pada Dataran Tinggi .................................................
123
23.
Perubahan Sifat Kemiskinan di Dataran Tinggi ....................................
125
24.
Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan (GK) Pada Dataran Tinggi .....................
126
25.
Indikator dan Elastisitas Kemiskinan di Hutan.......................................
129
26.
Sifat Kemiskinan di Hutan .....................................................................
133
27.
Perubahan Sifat Kemiskinan di Hutan..................................................
134
28.
Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Agroekosistem Hutan ....................
135
29.
Indikator dan Elastisitas Kemiskinan.....................................................
138
30.
Sifat Kemiskinan Agroekosistem Pantai/Pesisir....................................
141
31.
Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Agroekosistem Pantai/Pesisir........
143
32.
Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Agroekosistem Pantai/Pesisir.........
144
33.
Hasil Regresi Logit Dengan Nilai Exponent (B) < 1...............................
147
34.
Pengaruh Beta Untuk Variabel dengan Beta lebih dari 0.10 ................
148
35.
Variabel Penciri Kemiskinan Nasional..................................................
149
36.
Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 ................
152
37.
Variabel Penciri Kemiskinan di Lahan Basah.......................................
154
38.
Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 ...............
155
39.
Variabel Penciri Kemiskinan di Lahan Kering........................................
157
40.
Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 di Lahan Campuran .............................................................................................
160
41.
Variabel Penciri Kemiskinan di Lahan Campuran.................................
161
42.
Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 di Dataran Tinggi.......................................................................................
163
xv
43.
Variabel Penciri Kemiskinan di Dataran Tinggi.....................................
163
44.
Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 di Hutan.....................................................................................................
164
45.
Variabel Penciri Kemiskinan di Hutan...................................................
166
46.
Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 di Pantai/Pesisir.........................................................................................
169
47.
Variabel Penciri Kemiskinan di Pantai/Pesisir......................................
171
48.
Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan...................................................
173
49.
Pengaruh Beta (%) Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 pada Tiap Agroekosistem ..............................................................................
185
Daftar Kebijakan/Program Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia ..........................................................................................
187
51.
Kinerja Kebijakan/Program Penanggulangan Kemiskinan....................
193
52.
Faktor Penciri Kemiskinan dan Implikasi Kebijakan..............................
198
50.
xvi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Tren Kemiskinan di Perdesaan dan Perkotaan Tahun 1981-2006 ......................... 29 2. Karakteristik Agroekosistem.................................................................................... 43 3. Kerangka Pemikiran................................................................................................ 45 4. Kerangka Kerja Penelitian............................................................................62 5. Distribusi Pengeluaran Rumahtangga Secara Nasional....................
81
6. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan Basah..................................................................................................
90
7. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan Kering......................................................................... ................................100 8. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan 111 Campuran................. .............................................................................................. 9. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Dataran Tinggi..................................................................................................
121
10. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Hutan..............
130
11. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Pantai/ Pesisir................................................................................................
140
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Hasil Estimasi Faktor Penentu Kemiskinan Dengan Menggunakan Metoda Logit Regression.................................................................
215
2. Keterangan Variabel Bebas.............................................................
219
3. Variabel Dummy dan Deskripsinya..................................................
221
4. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Basah Dengan Garis Kemiskinan Biasa............................................................................
225
5. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Kering Dengan Garis Kemiskinan Biasa............................................................................
227
6. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Campuran Dengan Garis Kemiskinan Biasa...................................................................
229
7. Variabel yang Nyata Untuk Model Pantai Dengan Garis Kemiskinan Biasa............................................................................
231
8. Variabel yang Nyata Untuk Model Dataran Tinggi Dengan Garis Kemiskinan Biasa............................................................................
233
9. Variabel yang Nyata Untuk Model Daerah Aliran Sungai Dengan Garis Kemiskinan Biasa .................................................................
235
10. Variabel yang Nyata Untuk Model Hutan Dengan Garis Kemiskinan Biasa............................................................................
237
11. Variabel yang Nyata Untuk Model Nasional Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen................................................
239
12. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Basah Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen ...............................................
241
13. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Kering Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen ...............................................
242
14. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Campuran Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen ......................................
244
15. Variabel yang Nyata Untuk Model Pantai Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen................................................
246
16. Variabel yang Nyata Untuk Model Dataran Tinggi Dengan Garis Kemiskinan Biasa Ditingkatkan 10 Persen .....................................
248
xviii
17. Variabel yang Nyata Untuk Model Hutan Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen................................................
250
18. Variabel yang Nyata Untuk Model Nasional Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen ...............................................
252
19. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Basah Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen ...............................................
254
20. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Kering Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen ..............................................
255
21. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Campuran Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen .....................................
257
22. Variabel yang Nyata Untuk Model Pantai Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen ...............................................
259
23. Variabel yang Nyata Untuk Model Dataran Tinggi Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen................................................
260
24. Variabel yang Nyata Untuk Model Hutan Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen ...............................................
262
25. Statistik Deskriptif Pengeluaran Per Kapita Menurut Agroekosistem dan Tipe Kemiskinan...............................................
264
26. Statistik Deskriptif Pengeluaran Per Kapita Menurut Agroekosistem dan Tipe Kemiskinan .............................................
265
27. Statistik Deskriptif Pengeluaran Per Kapita Menurut Agroekosistem dan Tipe Kemiskinan...............................................
266
xix
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kemiskinan telah menjadi isu dunia karena seperempat penduduk dunia dewasa ini tergolong miskin sebagaimana dilaporkan oleh The World Bank (2004). Kemiskinan di Indonesia berdasarkan standar hidup minimum dengan pengeluaran per kapita per hari di bawah US$ 1 berjumlah sekitar 35 juta orang. Jika dihitung dengan standar US$ 2, maka penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sekitar 80 persen atau lebih dari 175 juta orang; jumlah ini sama dengan jumlah total penduduk miskin di negara-negara Asia Timur tanpa Cina (The World Bank, 2006). Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Millenium Summit tahun 2000 menyepakati Millenium Development Goals (MDGs) sebagai target sekaligus indikator perbaikan dunia; yakni mengurangi kemiskinan hingga menjadi 50 persen pada tahun 2015. MDGs memuat delapan butir tujuan, salah satu di antaranya adalah Eradicate Extreme Poverty and Hunger. Kemiskinan menjadi penting mendapat perhatian karena kemiskinan akan menurunkan kualitas hidup (quality of life) masyarakat, mengakibatkan antara lain tingginya beban sosial-ekonomi masyarakat, rendahnya kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia,
serta
menurunnya ketertiban umum
(Yudhoyono dan Harniati, 2004). Di
negara-negara
berkembang,
kemiskinan
umumnya
merupakan
fenomena perdesaan dan pertanian. Demikian juga di Indonesia, sekitar 75.7 persen insiden kemiskinan terdapat di perdesaan. Lembaga Penelitian Ekonomi dan Manajemen, Universitas Indonesia (2001) melaporkan bahwa sekitar 67 persen dari penduduk miskin menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian,
1
dengan indeks kedalaman kemiskinan (squared poverty gap) di sektor pertanian dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan sektor non-pertanian. Intensitas kemiskinan atau keparahan kemiskinan di sektor pertanian 2.21 lebih tinggi dibandingkan dengan sektor non-pertanian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (Kompas, 2007), jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2006 mencapai sekitar 39.05 juta atau sekitar 17.75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Secara geografis, penduduk yang tinggal di bagian timur Indonesia yakni Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara menunjukkan persentase penduduk miskin lebih tinggi daripada penduduk di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah. Indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan di daerah tersebut juga lebih tinggi daripada daerah lain di Indonesia. Selanjutnya, sebagian penduduk Indonesia yang tidak tergolong miskin, berada di atas garis kemiskinan, namun merupakan penduduk yang rentan jatuh pada golongan miskin. Peningkatan insiden kemiskinan menunjukkan angka yang tinggi pada masa krisis yakni dari 11.3 persen pada tahun 1996 menjadi 24.2 persen pada tahun 1998 sebagaimana dilaporkan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (2007). Hal ini menggambarkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia sangat rentan terhadap gejolak perekonomian. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan pemerintah, namun
tingkat
kemiskinan
masih
tinggi.
Bermacam
program
aksi
penanggulangan kemiskinan telah dirancang dan diimplementasikan oleh berbagai instansi pemerintah dengan berbagai pendekatan. Namun, kondisi kemiskinan belum banyak berubah. Kebijakan-kebijakan yang diluncurkan pemerintah selama ini belum cukup efektif untuk mengurangi kemiskinan. Upaya pengurangan kemiskinan selama ini dicirikan oleh antara lain: (1) terlalu
2
bertumpu pada pertumbuhan ekonomi makro, (2) lebih banyak bersifat menyembuhkan (curative) bahkan lebih banyak yang bersifat karitatif (charity), (3) kebijakan yang tidak memperhitungkan indikator dan karakteristik kemiskinan, (4) kurang berkesinambungan dalam implementasinya, dan (5) kebijakan yang terpusat dan cenderung seragam. Sementara itu, Dartanto (2007) menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah selalu bersifat reaktif, parsial, dan tidak konsisten dalam
mengimplementasikan
kebijakan
pengentasan
kemiskinan
serta
kurangnya sinergi dan koordinasi antar berbagai instansi pemerintah. Selanjutnya, Center for Economic and Social Studies (CESS, 2004). melaporkan bahwa semenjak krisis ekonomi, terdapat setidaknya 28 program aksi dalam rangka pengurangan kemiskinan; yang terdiri dari 16 program aksi yang dilakukan oleh instansi pemerintah, empat oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan delapan oleh organisasi internasional. Sementara itu, Daly dan Fane (2002) memaparkan bahwa program pemerintah yang spesifik menyentuh penduduk miskin terdiri dari tiga kelompok yaitu skema bantuan langsung tunai (cash transfer schemes), subsidi dan bantuan (benefits in kind), serta penciptaan lapangan kerja (job creation). Pengeluaran pemerintah untuk program-program tersebut antara tahun 1998/1999 sampai dengan tahun 2000 rata-rata sekitar 12.84 triliun per tahun. Fenomena kemiskinan perdesaan dan pertanian menunjukkan adanya kaitan antara faktor spasial dan kemiskinan sebagaimana dilaporkan oleh beberapa studi. International Fund for Agricultural Development (2002) menemukan bahwa kemiskinan di Asia terkonsentrasi pada dua dimensi yaitu faktor geografis dan faktor sosial. Secara agregat di wilayah Asia, kemiskinan terjadi pada penduduk dengan matapencarian petani; terbanyak adalah kemiskinan pada pertanian tadah hujan dan pertanian di lahan kering.
3
Sementara
itu,
Overseas
for
Development
Institute
(ODI)
dan
Multistakeholder Forestry Program (2005) melaporkan bahwa di desa dalam dan tepi hutan terdapat lebih tinggi angka kemiskinan dibandingkan dengan desa di luar hutan. Rata-rata kemiskinan di desa dalam dan di tepi hutan adalah sekitar 37-50 persen dari kemiskinan di masing-masing wilayah; tertinggi di wilayah Papua yakni sekitar 70 persen dari jumlah penduduk miskin di wilayah tersebut. Setelah itu menyusul Nusa Tenggara yakni sebesar 66 persen dari jumlah penduduk miskin. Sedangkan di Sumatera, Jawa dan Bali serta Kalimantan, rumahtangga miskin yang tinggal pada zona agroekosistem hutan lebih rendah daripada rata-rata kemiskinan nasional. Lebih jauh, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (1995) melaporkan bahwa pada agroekosistem lahan kering dan pantai, kemiskinan dicirikan oleh mutu sumberdaya manusianya yang rendah, daya adopsi terhadap teknologi baru dan ketrampilan lebih rendah yang mengakibatkan produktivitas rendah serta aksesibilitas terhadap pasar tenaga kerja rendah. Disebutkan juga bahwa pada agroekosistem lahan kering di Lampung menunjukkan ciri desa antara lain tidak memadainya prasarana ekonomi seperti transportasi dan infrastruktur lainnya mencakup sarana komunikasi, informasi, listrik dan lain-lain sehingga berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi. Selanjutnya,
kerentanan
penduduk
terhadap
kemiskinan
juga
menunjukkan keterkaitan dengan ekosistem. Mukherjee (2002) melaporkan bahwa dalam suatu ekosistem pertanian padi pada keluarga pertanian dan kehutanan di Kalimantan Barat memperlihatkan konfigurasi kerentanan yang berbeda. Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia, konteks kerentanan kemiskinan belum merupakan fenomena yang disadari secara luas dalam analisis kemiskinan dan penanggulangannya. Dewasa ini, pada forum dunia,
4
konteks kerentanan (vulnerability) mulai dijadikan tema riset dalam menganalisis fenomena kemiskinan dan penanggulangannya. Namun, riset mengenai kerentanan terhadap kemiskinan tersebut khususnya di Indonesia jumlahnya masih terbatas. Kondisi kemiskinan sebagaimana tersebut di atas menyiratkan bahwa kemiskinan di Indonesia menunjukkan keragaman keragaan berdasarkan agroekosistem. Disamping itu, kemiskinan di Indonesia mempunyai fenomena yang khas pada tiap agroekosistem. Pada disertasi ini, agroekosistem didefinisikan sebagai sistem interaksi antara manusia dan lingkungan biofisik sumberdaya perdesaan dan pertanian guna memungkinkan kelangsungan hidup penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan pengurangan kemiskinan di Indonesia tidak sepenuhnya dapat mengacu pada resep-resep pengentasan kemiskinan negara lain, hasil kajian negara lain ataupun pendekatan spasial dengan skala agregat seperti
Asia-Pasifik dan
lain-lain.
Upaya
pengurangan
kemiskinan
dan
kerentanan di Indonesia juga tidak dapat menggunakan satu resep tertentu. Hal ini berkaitan dengan kekhasan fenomena sekaligus keragaman keragaan kemiskinan dan kerentanan khususnya berdasarkan agroekosistem. Mengingat keterbatasan sumberdaya pemerintah ataupun pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya dalam upaya pengurangan kemiskinan, maka alokasi sumberdaya haruslah tepat sasaran dan tepat jenis intervensinya. Untuk lebih mengoptimalkan daya agroekosistem dalam kelangsungan hidup dan kesejahteraan penduduknya, pengetahuan tentang tipologi kemiskinan pada agroekosistem menjadi sangat penting. Upaya-upaya pengurangan kemiskinan dapat lebih fokus dan penanganannya lebih terarah bila tipologi kemiskinan tersebut dapat diketahui. Tipologi kemiskinan pada disertasi ini didefinisikan
5
sebagai keragaan yang mempresentasikan karakter dan magnitut kemiskinan dan kerentanan. Dengan menganalisis tipologi kemiskinan, dapat diketahui: (1) kebijakan yang sesuai untuk sasaran tertentu, (2) ”titik masuk” pengurangan kemiskinan, (3) prioritas berdasarkan urgensi dan keterbatasan sumberdaya, dan (4) rentang waktu intervensi. Karena itu, analisis mengenai tipologi kemiskinan serta faktorfaktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin sangat diperlukan. Kecenderungan mengabaikan tipologi kemiskinan khususnya berdasarkan agroekosistem dengan spesifik Indonesia haruslah dikoreksi dalam kebijakan pengurangan kemiskinan pada masa yang akan datang. Selain tipologi, didapati juga bahwa adanya perbedaan daya dukung dan peluang ekonomi tiap agroekosistem untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan karakteristik atau faktor-faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin. Dengan kata lain, faktor penciri yang melekat pada kemiskinan tersebut adalah suatu archetype kemiskinan; household that is consider to be the poor because they have all their most important characteristics. Dengan demikian, maka kebijakan dalam pengurangan kemiskinan tidak dapat seragam tetapi hendaklah memperhitungkan tipologi dan faktor penciri kemiskinan terkait dengan keragaman agroekosistem di Indonesia. Jadi, kebijakan pengurangan kemiskinan tidak dapat dengan solusi one fits for all. Hal ini didasari pemikiran bahwa keragaman kemiskinan mencerminkan perbedaan peluang-peluang ekonomi; peluang usaha dan peluang kerja serta harga sumberdaya yang berbeda antara agroekosistem satu dengan yang lainnya. Namun
demikian,
dalam
upaya
pengurangan
kemiskinan
dan
kerentanan, kebijakan makro seperti pertumbuhan ekonomi dan kebijakan lain
6
yang pro poor merupakan prasyarat penting (necessary condition), tetapi belum cukup (insufficient). Untuk itu, diperlukan perspektif mikro yang selama ini terabaikan dalam upaya-upaya penanggulangan kemiskinan. Perspektif mikro dalam dimensi kemiskinan antara lain peningkatan kapabilitas individu dan rumahtangga,
pengurangan
kerentanan,
perbaikan
kelembagaan
dan
lingkungan. Dengan kata lain, pembangunan sosial dan ekonomi dapat dilakukan mulai dari tingkat bawah. Berdasarkan uraian-uraian terdahulu, maka pendekatan agroekosistem layak dipilih sebagai alternatif acuan untuk pengurangan kemiskinan. Disertasi ini menghipotesiskan bahwa kemiskinan tidak secara acak terjadi, tetapi mengikuti pola-pola sistematis (systematic patterns) yang secara struktural berkorelasi kuat dengan agroekosistem. Sebagian rumahtangga miskin pada agroekosistem tertentu terperangkap dalam kemiskinan (spatial poverty trap) yang begitu dalam, dan sulit melewati ambang batas miskin tanpa intervensi pemerintah.
1.2. Perumusan Masalah Permasalahan kemiskinan sangat kompleks; baik ditinjau dari sisi sebab dan akibat terjadinya kemiskinan, ragam dimensi pengukuran kemiskinan, dan juga dalam metoda pengukurannya. Kemiskinan bukanlah persoalan ekonomi semata, tetapi terkait erat dengan masalah sosial bahkan politik. Kebijakan makroekonomi berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap dinamika insiden kemiskinan. Kebijakan makroekonomi tersebut antara lain tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, tingkat pengangguran, distribusi pendapatan dan tingkat upah. Kemiskinan berkait dengan aspek sosial antara lain tingkat dan jenis pendidikan, tingkat kesehatan, akses terhadap sumbersumber produksi, faktor demografi, gender dan kultural. Dimensi spasial dan
7
infrastruktur merupakan faktor-faktor penting yang berasosiasi dengan insiden kemiskinan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pun beragam, berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, dari satu daerah ke daerah lain, bahkan dari satu waktu ke waktu yang lain. Karena itu, kebijakan pengurangan kemiskinan yang bersifat seragam dan karitas tidaklah tepat. Kebijakan pengurangan kemiskinan hendaknya tidak membuat ketergantungan penduduk miskin. Menurut Sharp, Register, dan Grimes (1998), para ahli ekonomi pembangunan menyatakan bahwa; Problems with the old welfare system: It was argued that most programs placed an emphasis on financial support and did not encourage recipients to remedy the causes of their poverty. Many argued that the programs were structured in ways that created a ‘welfare dependency” that resulted in a permanent culture of poverty”. Kritik Sharp dan kawan-kawan tersebut membawa perubahan terhadap penanganan kesejahteraan (welfare reform) sejak pertengahan dekade 1990-an. Dalam rangka memberikan kontribusi untuk menjawab permasalahan dan keterbatasan-keterbatasan penelitian tentang kemiskinan dengan pendekatan agroekosistem, disertasi ini dirumuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah tipologi kemiskinan di Indonesia? Adakah keragaman antar agroekosistem dalam hal tipologi kemiskinan? 2. Faktor-faktor apakah yang dapat menjelaskan kemiskinan pada tiap-tiap agroekosistem? 3. Bagaimanakah
kebijakan
pemerintah
dalam
penanggulangan
dan
pencegahan kemiskinan berdasarkan agroekosistem tersebut? Hal-hal tersebut di atas perlu dianalisis supaya kebijakan-kebijakan penanggulangan kemiskinan dapat lebih efektif karena program dirancang tepat
8
sasarannya
dan
sesuai
dengan
faktor-faktor
yang
berasosiasi
dengan
kemiskinan.
1.3. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tipologi dan variabel penciri kemiskinan Indonesia dan agroekosistem serta memberikan rekomendasi
pengurangan
kemiskinan
dengan
pendekatan
berbasis
agroekosistem. Secara lebih spesifik, tujuan penelitian adalah: 1. Mengalisis insiden kemiskinan, indeks kedalaman, dan indeks keparahan kemiskinan tiap agroekosistem. 2. Menganalisis kerentanan kemiskinan pada tiap agroekosistem. 3. Menganalisis karakteristik kemiskinan pada tiap agroekosistem. 4. Merumuskan opsi kebijakan (policy option) pengurangan kemiskinan dan kerentanan terhadap kemiskinan berdasarkan agroekosistem dan prioritas program dikaitkan dengan pencapaian MDGs khususnya tujuan pertama (eradicate extreme poverty and hunger).
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Analisis kemiskinan dibatasi dengan pendekatan pengeluaran penduduk miskin dibandingkan dengan garis kemiskinan, dihitung dengan menggunakan standar BPS. Indikator yang digunakan yaitu headcount index, poverty gap index dan severity index. Tingkat kemiskinan dihitung melalui pengeluaran konsumsi penduduk. Analisis multidimensi kemiskinan menggunakan variabel human capital atau indikator kapabilitas (tingkat pendidikan, kondisi kesehatan, jumlah dependen anggota keluarga, dan jenis kelamin), physical capital (akses fisik, kepemilikan aset produktif), dimensi spasial dan infrastruktur.
9
Kerentanan insiden kemiskinan tiap agroekosistem terhadap garis kemiskinan diukur dengan elastisitas insiden kemiskinan, kedalaman dan keparahan kemiskinan terhadap garis kemiskinan. Sifat kemiskinan yang mengindikasikan kemiskinan kronis (chronic poverty) dan tidak kronis (transient poverty) dianalisis dengan menghitung peluang penduduk keluar dari kemiskinan Sedangkan faktor penciri kemiskinan atau faktor-faktor yang berasosiasi dengan kemiskinan di estimasi dengan probabilitas rumahtangga jatuh ke bawah garis kemiskinan yang dicerminkan oleh parameter variabel bebas. Penelitian ini mempunyai keterbatasan antara lain; jumlah agroekosistem yang diteliti dibatasi di enam (6) agroekosistem yaitu pantai pesisir, dataran tinggi, hutan, lahan basah, lahan kering, lahan campuran sesuai dengan ketersediaan data yang menggunakan gabungan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Potensi Desa (Podes) dari Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, tiap agroekosistem tidak eksklusif kecuali lahan basah, lahan kering dan lahan campuran. Karena itu, untuk melihat keragaman antara agroekosistem, maka analisis uji proporsi insiden kemiskinan hanya dilakukan terhadap lahan basah, lahan kering dan lahan campuran.
1.5. Manfaat Penelitian Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
gambaran
tipologi
kemiskinan dan kerentanan serta karakteristik rumahtangga miskin di Indonesia berdasarkan agroekosistem Sehingga, dengan hasil penelitian ini diharapkan kebijakan-kebijakan pengurangan kemiskinan dapat lebih terarah, efisien dan efektif. Dengan mengetahui tipologi kemiskinan Indonesia, diharapkan insiden kemiskinan dapat dicegah (bersifat preventif) dan penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan (bersifat kuratif).
10
Dengan menganalisis variabel-variabel kemiskinan dan kerentanan serta mengestimasi kerentanan, diharapkan resiko penduduk menjadi miskin dapat diketahui dan dicegah. Dengan mengaggregasi kemiskinan dan kerentanan, diperoleh gambaran yang lebih komprehensif dan rinci tentang kemiskinan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan opsi kebijakan yang lebih tepat bagi tiap daerah baik dalam mengurangi resiko penduduk jatuh ke bawah garis kemiskinan maupun penanggulangan kemiskinan yang sudah terjadi. Hasil penelitian ini diyakini lebih bermanfaat dalam upaya pengurangan kemiskinan berdasarkan tipologi kemiskinan yang dibangun Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penelitian lanjutan dalam konteks pengurangan kemiskinan dan pencegahan bertambahnya jumlah rumahtangga miskin.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. 2.1.1.
Tinjauan Teoritis Ekonomi Kemiskinan Aspek-aspek ekonomi kemiskinan (the economic aspects of poverty)
dapat ditinjau dari tiga pendekatan yaitu tingkat pendapatan absolut, distribusi pendapatan, dan problem ekonomi yang berkorelasi dengan kemiskinan. Ketiga hal tersebut dianalisis melalui konsep ekonomi antara lain pertumbuhan ekonomi, kesenjangan
pendapatan
(income
inequality),
distribusi
pendapatan
(determinants of income distribution), permintaan terhadap tenaga kerja, penawaran tenaga kerja, kepemilikan sumberdaya (ownership pattern of resources), intervensi pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan seperti dalam penetapan harga (price floors and price ceilings) dan upah (wage rate determination) serta pelayanan umum (Sharp et al, 1998) Pada kondisi terjadi kemiskinan, dikatakan bahwa timbul problem ekonomi yang fundamental yakni keterbatasan sumberdaya
(resources)
dibandingkan dengan kebutuhan manusia. Kemiskinan dalam konteks ekonomi dapat dilihat dalam kaitannya dengan tingkat pendapatan absolut, distribusi pendapatan dan korelasi antara problem ekonomi dengan kemiskinan. Fenomena kemiskinan tidak terlepas dari hubungan berbagai variabel ekonomi; yaitu: (1) nilai atau harga sumberdaya keluarga yang dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar yaitu tenaga kerja (labor) dan modal (capital), dimana sumberdaya tenaga kerja meliputi upaya fisik dan mental manusia untuk berperan dalam aktivitas ekonomi, sedangkan capital resources meliputi sumberdaya alam dan sumberdaya lain buatan manusia termasuk teknologi dan (2) distribusi pendapatan di antara individu ataupun keluarga. Hal
ini tergantung pada distribusi kepemilikan sumberdaya dan perbedaan harga sumberdaya (Sharp et al 1998 dan Todaro, 2000). Perbedaan ekonomi yang berkontribusi terhadap pendapatan keluarga atau individu merupakan perbedaan peluang ekonomi untuk meningkatkan pendapatan. Variabel yang menentukan nilai tenaga kerja antara lain tingkat pendidikan, keahlian dan keterampilan. Upaya-upaya penurunan kemiskinan dapat diperoleh dengan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan distribusi pendapatan.
Kebijakan-kebijakan
yang
mengarah
untuk
memperkecil
kesenjangan pendapatan dapat memperkecil kemiskinan dalam jangka pendek maupun menengah. Jika pun terjadi trade off antara pertumbuhan ekonomi dengan kemerataan, sepanjang peningkatan pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada peningkatan kesenjangan dan tingkat kesenjangan tersebut masih bertahan, maka penurunan kemiskinan masih dapat diharapkan (Todaro, 2000 dan Tambunan, 2001) Dengan pertumbuhan ekonomi akan terjadi perubahan struktur ekonomi; konsumsi terhadap barang dan jasa meningkat, produksi meningkat, investasi untuk physical capital and human capital meningkat. Selanjutnya, akan meningkatkan output per tenaga kerja dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan tenaga kerja. Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh kenaikan Produk Domestik Bruto per kapita, tidak hanya merupakan peningkatan penyediaan barang dan jasa, tetapi juga meningkatkan kesempatan dan akses penduduk untuk memperoleh pilihan-pilihan yang lebih baik terhadap kesehatan, kebebasan ekonomi, kemandirian dan pendidikan. (Hayami, 2001) Dalam teori ekonomi pembangunan, dikatakan bahwa bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi melalui perbaikan produktivitas sumberdaya manusia. Hayami (2001) mengatakan
13
bahwa sebenarnya untuk pertumbuhan ekonomi, pendidikan dan kesehatan mempunyai efek yang sama dengan tangible capital dan seharusnya dipandang sebagai investasi dalam human capital. Namun dalam ekonomi, pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan diperhitungkan sebagai bagian dari konsumsi. Sebagai bagian dari konsumsi barang dan jasa, pendidikan dan kesehatan mempunyai elastisitas pendapatan yang cukup tinggi. Pendidikan dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kualitas tenaga kerja, stimulasi inovasi dan riset serta peningkatan partisipasi
masyarakat
dalam
pembangunan.
Kapabilitas
individu
dalam
menetapkan pilihannya merupakan hal yang penting untuk kesejahteraan manusia. Terdapat korelasi positif yang tinggi antara faktor pendidikan dan kesehatan dengan output per kapita atau GNP per kapita. Pada waktu bersamaan, hubungan sebab akibatnya adalah pendapatan per kapita yang tinggi mendorong penduduk membelanjakan lebih banyak pendapatannya untuk pendidikan dan kesehatan (Hayami, 2001). Pada tahun 1980-an, Robert Lucas dalam Romer (1996) membuat endogeneous growth model yang menspesifikasikan pendidikan sebagai critical force that generates technological progress in an economy. Pendidikan dan human capital dapat dilihat sebagai faktor produktif langsung dalam produksi pada Solow growth model (dalam Romer 1996). Karena itu, pendidikan disebut sebagai faktor utama pertumbuhan ekonomi. Faktor kesehatan dan pertumbuhan ekonomi berkaitan erat melalui kemampuan ekonomi untuk menyediakan fasilitas kesehatan bagi penduduk; dan dengan penduduk atau tenaga kerja yang sehat akan menghasilkan barang dan jasa yang lebih baik dalam proses produksi. Pendapatan riil per kapita dan
14
tingkat kesehatan bergerak bersama-sama ke arah yang sama dan saling mempengaruhi. Dalam
ekonomi
kesejahteraan,
pengukuran
tingkat
kesejahteraan
didasarkan pada fungsi utilitas (utility function); yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsumsi barang dan jasa (goods and services), semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Hal ini mencerminkan tingkat pendapatan atau tingkat pengeluaran terhadap barang dan jasa tertentu. Meskipun definisi kesejahteraan dapat diterima dan dipahami, secara operasional hal ini sulit dan hampir tidak mungkin dapat untuk membandingkan tingkat kesejahteraan satu individu dengan individu lainnya (Deaton,1980). Hal ini disebabkan oleh: (1) sulit menggambarkan bentuk kurva utility, karena sulit membuat model untuk kurva utilitas dengan banyak dimensi sesuai dengan dunia nyata dan (2) individu dengan pendapatan yang sama bisa saja memilih tingkat konsumsi
dengan
kombinasi
yang
berbeda;
sehingga
tidak
dapat
diperbandingkan tingkat kesejahteraannya. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam ekonomi kesejahteraan dibuat asumsi-asumsi, yaitu: (1) kurva utilitas yang dihadapi adalah sama (identical); jadi individu memiliki kesamaan preferensi terhadap barang dan jasa dan (2) semakin tinggi pendapatan atau pengeluaran terhadap konsumsi, maka semakin tinggi kepuasannya. Dengan demikian, dapat dibuat ranking kesejahteraan di antara individu. Pengukuran tingkat kesejahteraan berdasarkan pengeluaran atas bundel konsumsi (consumption expenditure) lebih sering digunakan dibandingkan dengan tingkat pendapatan karena alasan kepraktisan operasional bukan secara konseptual. Alasan tersebut dikemukakan oleh Ravallion dan Dasgupta (1992) antara lain: (1) umumnya fungsi utilitas diturunkan dari konsumsi barang dan jasa, sehingga lebih mencerminkan standar hidup, (2) pendapatan individu atau
15
rumah tangga dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk disimpan (saving) dalam rangka memelihara standar hidup, dan (3) dalam konteks statistik kemiskinan, utamanya di negara-negara berkembang, data konsumsi cenderung lebih akurat (more accurate and less severe) daripada data pendapatan (Deaton,1980). Secara menyeluruh untuk suatu negara, kesejahteraan sering diukur dengan besaran Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun hal ini belum dapat dikatakan
dapat
mencerminkan
tingkat
kesejahteraan
penduduk
yang
bersangkutan di suatu negara, namun dapat sebagai data awal untuk melihat aktivitas ekonomi suatu negara. Agar dapat mendekati keadaan nyata kesejahteraan suatu negara, PDB haruslah ada penghitungan dan penyesuaian dengan (1) tingkat inflasi yang menghasilkan PDB riil, (2) populasi yang menghasilkan PDB riil per kapita dan (3) distribusi; bagaimana kesejahteraan terdistribusikan di antara penduduk. PDB harus tumbuh dengan laju yang lebih besar daripada laju pertumbuhan penduduk. Selanjutnya, dikatakan bahwa khususnya di negara-negara berkembang, pendidikan merupakan faktor kunci untuk memperbaiki kualitas tenaga kerja. Pendidikan
dasar
dan
menengah
merupakan
prasayarat
peningkatan
keberaksaraan untuk memperbaiki keterampilan tenaga kerja, dan seterusnya memperbaiki produksi dalam aktivitas ekonomi. Tenaga kerja dengan tingkat pendidikan rendah dan tidak memiliki keterampilan karena kurangnya mengikuti pelatihan-pelatihan
(training)
maka
produktivitasnya
rendah
dan
akan
mendapatkan upah yang rendah di pasar tenaga kerja. Pendidikan tinggi dapat memperbaiki kualitas tenaga kerja utamanya untuk pemecahan masalah dan inovasi. Pengembangan sistem pendidikan dapat dicapai bila penduduk tidak kekurangan gizi dan tidak sedang kelaparan.
16
Selain faktor tenaga kerja, produksi dipengaruhi oleh rasio sumberdaya kapital dengan tenaga kerja yang selanjutnya mempengaruhi produktivitas dan kemiskinan. Negara dengan keterbatasan sumberdaya, teknologi yang belum baik, jaringan komunikasi dan transportasi yang buruk akan memiliki PDB per kapita yang rendah.
2.1.2
Perkembangan Konsep dan Pengukuran Kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi pengertian yaitu kemiskinan relatif
dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif yaitu ukuran kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, berkaitan dengan tingkat rata-rata dari distribusi, atau proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata. Sedangkan kemiskinan absolut didefinisikan sebagai derajat kemiskinan ketika kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat dipenuhi. Suatu individu atau rumahtangga didefinisikan miskin bila individu atau rumahtangga tidak dapat memenuhi kebutuhannya dan berada di bawah standar minimal tingkat kebutuhan, yang diukur dengan garis kemiskinan. Banyak metoda yang dikembangkan para ahli dalam penentuan garis kemiskinan ini, yang secara rinci dibahas tersendiri pada bab ini. Dalam kaitan dengan kemiskinan absolut, diperlukan pemahaman tentang garis kemiskinan; yang diukur berdasarkan bundel kebutuhan minimum terhadap barang dan jasa. Kemiskinan absolut terkait dengan kemampuan yang dimiliki rumahtangga ataupun individu dengan berbagai karakteristiknya untuk memanfaatkan peluang-peluang ekonomi guna memenuhi kebutuhannya. Sejak pertengahan dekade 1980-an, kemiskinan tidak lagi dipersepsikan sebagai hanya persoalan ekonomi, tetapi menyangkut kualitas hidup (The Quality of Life). Amartya Sen dalam Saragih (2003) menyatakan bahwa
17
manusia tidak boleh dipandang dari hanya sekedar tingkat pendapatan, namun juga dari kualitas hidup yang dimilikinya. Alternatif pengukuran the Quality of Life diulas oleh Berg (2001) yang mengatakan bahwa kualitas hidup itu terdiri dari komponen Gross Domestic Product (GDP) riil per kapita, life expectancy, rata-rata lama pendidikan, tingkat kematian bayi dan anak-anak. Mulai dekade 1990-an, tolok ukur kemiskinan memasukkan dimensi sosial kemiskinan. Pada Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial (World Summit for Social Development) di Kopenhagen,1995, kemiskinan didefinisikan sebagai berikut: ”Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses pada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman, serta diskriminasi dan keterasingan sosial; dan dicirikan juga oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya”. Kemiskinan merupakan sesuatu yang kompleks; bisa dipandang sebagai akibat sesuatu keadaan, namun secara bersamaan juga merupakan sebab dari suatu keadaan. Kemiskinan merupakan kombinasi ketidakcukupan daya-beli, kurangnya kapabilitas, rentan terhadap kemiskinan dan kehilangan kekuatan untuk berjuang mencari nafkah. Dalam keseharian, kemiskinan dipersepsikan dalam konteks ketidak-cukupan pendapatan dan kepemilikan uang serta aset
18
dalam dimensi ekonomi (Yudhoyono dan Harniati, 2004). Seseorang dinyatakan miskin ialah bila berpendapatan di bawah garis kemiskinan (poverty line). Berapa besaran
garis
kemiskinan
dan
bagaimana
metoda
pengukuran
atau
penghitungannya sering dijadikan bahan analisis atau studi dan banyak diperdebatkan. Dalam perkembangannya, kriteria tingkat kesejahteraan masyarakat ataupun kemiskinan mengalami perkembangan. Hingga dekade 1970-an, GDP dipakai sebagai patokan kesejahteraan. Namun berbagai studi menunjukkan bahwa banyak dijumpai kasus dimana GDP tinggi, namun banyak penduduk miskin. Pada tahun 1995 ilmuwan dari United Naton Development Programme, diprakarsai Mahbub Ul Haq mengembangkan Human Development Index (HDI) atau
Index
Pembangunan
Manusia
sebagai
indikator
perkembangan
kesejahteraan. Pada HDI ini selain dimensi ekonomi, juga dimasukkan dimensi selain ekonomi. Variabel HDI merupakan besaran agregat GNP, tingkat harapan hidup,
dan
tingkat
pendidikan.
Peringkat
HDI
menunjukkan
komparasi
kesejahteraan antarnegara. UNDP kemudian juga memperkenalkan pengukuran kemiskinan yang dikenal dengan Human Poverty Index (HPI) atau indeks kemiskinan manusia. Pada HPI, variabel-variabel kemiskinan antara lain persentase penduduk dengan usia harapan hidup di bawah 40 tahun, persentase keberaksaraan penduduk usia dewasa, rata-rata persentase penduduk tanpa akses kepada sumber air aman diminum, dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yakni kemiskinan kronis dan kemiskinan sementara. Kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang terjadi terus menerus. Sedangkan kemiskinan
19
sementara
(transient
poverty)
ialah
kemiskinan
yang
ditandai
dengan
menurunnya pendapatan sebagai akibat dari perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi kondisi krisis. Berbagai literatur mendefinisikan kemiskinan tidak hanya berkenaan dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari aspek kehidupan sosial, lingkungan bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasinya sebagaimana digambarkan oleh The World Bank (2000): Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to go to school and not knowing to know how to read. Poverty is not having job, is fear for the future, living one day at a time. Poverty is losing a child to illness bring about by unclean water. Poverty is powerlessness, lack of representation and freedom. Analisis kebijakan ataupun studi tentang kemiskinan pada masa lalu menggunakan pendekatan statistik klasik terhadap kemiskinan. Indikator kemiskinan yang digunakan yaitu pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Besaran pendapatan untuk penetapan kategori miskin atau batas miskin (poverty line) diturunkan dari survei tradisional terhadap pendapatan penduduk atau pengeluaran konsumsi rumahtangga. Menurut Robb (2003) pengukuran atau indikator tersebut gagal menangkap multidimensi kemiskinan. Untuk mengerti tentang kemiskinan, haruslah melihat bagaimana kehidupan orang miskin dengan menggunakan pendekatan multidisiplin. Dalam dimensi ekonomi, indikator kemiskinan menggunakan tingkat pendapatan, yang secara internasional besarnya pendapatan per hari per kapita US$ 1.00 bagi negara yang tergolong negara berpendapatan sangat rendah (very low-income countries). Kemiskinan diukur dengan standar pendapatan US$ 2.00 untuk negara-negara tergolong negara dengan pendapatan sedang (middle-level income countries) dan US$ 14.00 bagi negara-negara kaya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan adalah suatu kondisi
20
seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori per kapita per hari. Di Indonesia, sejak tahun 1976, BPS menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan. Untuk kebutuhan makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari, sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Komponen non-makanan ini juga dibedakan antara perkotaan dengan perdesaan. Sayogyo dalam CESS dan ODI (2003) menentukan garis kemiskinan dengan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita; yakni 320 kg beras untuk perdesaan dan 480 kg untuk perkotaan (per kapita per tahun). Indikator kemiskinan yang digunakan dalam studi-studi empiris yaitu: 1. the incidence of poverty (the poverty headcount index), yang menggambarkan persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan, 2. the depth of poverty (the poverty gap index), yang menggambarkan dalamnya kemiskinan; yakni jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan, 3. the severity of poverty, yang menunjukkan keparahan kemiskinan;
yang
memperlihatkan ketimpangan diantara orang miskin. Indikator insiden kemiskinan dapat memberikan informasi tentang proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, namun tidak dapat mengindikasikan
seberapa
miskin
penduduk
tersebut.
Besaran
insiden
kemiskinan ini tidak berubah andai seorang miskin menjadi lebih miskin lagi. Indeks kedalaman kemiskinan tidak sensitif terhadap distribusi pendapatan di
21
antara penduduk miskin, karena itu perlu diukur dengan indeks keparahan kemiskinan. Indeks kedalaman dan keparahan diturunkan dari apa yang disebut “a class of additively decomposable measures”. seperti yang diformulasikan oleh Foster, Greer dan Thorbecke dalam BPS (2005), yang dikenal dengan FGT Index. Formula FGT meliputi insiden kemiskinan, indeks kedalaman dan indeks keparahan, dirumuskan sebagai:
P
α
=
z − yi 1 n ∑ z
α
q
i =1
dimana: α = 0,1,2; adalah parameter yang menyatakan ukuran sensitivitas kedalaman dan keparahan kemiskinan. Semakin besar α semakin besar pula timbangan yang diterapkan untuk mengukur keparahan dari insiden kemiskinan yi = nilai rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita/bulan dari penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan; dimana i = (1,2,....q) untuk semua yi
22
α=1 adalah rata-rata kedalaman kemiskinan (yang dinyatakan sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan). Jika α=1 maka P1= (1/n)Σ(zyi/z)1. Misalkan P1=0,15; ini berarti bahwa gap (kesenjangan) antara total penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, jika dirata-ratakan terhadap seluruh penduduk (baik miskin maupun tidak miskin), adalah 15 pesen. P1/Po = 1/q Σ(z-yi/z) adalah rata-rata kedalaman kemiskinan sebagai proporsi dari garis kemiskinan. α=2 adalah suatu ukuran yang dalam beberapa hal sensitif terhadap perubahan distribusi pengeluaran diantara penduduk miskin. Disagregasi kemiskinan dilakukan oleh Ikhsan (1999) berdasarkan kondisi kemiskinan terhadap masyarakat miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Penelitian tersebut membangun garis kemiskinan yang baru dengan mengacu pada standar kemiskinan versi The World Bank dan berbeda dengan garis kemiskinan versi BPS. Disagregasi yang dilakukan yaitu karakteristik kemiskinan yang bersifat nasional (Indonesia). Studi tentang kerentanan yang dilakukan oleh Sumarto dan Suryahadi (2001) mengkuantifikasi kerentanan dan menghasilkan pemilahan antara kemiskinan kronik dan kemiskinan sementara pada masa sebelum dan sesudah krisis ekonomi di Indonesia. Kerentanan terhadap kemiskinan (vulnerability to poverty) didefinisikan sebagai probabilitas atau resiko rumahtangga mengalami kemiskinan setidaknya pada suatu masa dalam siklus hidupnya di masa yang akan datang. Perbedaan kerentanan terhadap kemiskinan dan insiden kemiskinan menurut Chaudhuri (2001) ialah; Vulnerability is a forward-looking ex-ante measure of a household’s well-being; poverty is an ex-post measure of a household’s well-being (or lack thereof). .
23
Suatu rumahtangga dianggap rentan (vulnerable) terhadap kemiskinan bila probabilitasnya jatuh pada kondisi kemiskinan sama atau lebih besar dari 50 persen. Kerentanan terhadap kemiskinan ini bisa dikuantifikasi, yakni dengan menghitung atau mengkuantifikasi kemungkinan atau resiko jatuh miskin atau berada dalam kondisi di bawah garis kemiskinan. Kerentanan berdasarkan Headcount Poverty Rate tersebut juga kerentanan garis kemiskinan (Vulnerability to Poverty Line). Kondisi rentan dapat menjadi jatuh di bawah garis kemiskinan bila ada faktor yang mendorong atau memicu. Menurut Islam (2001), faktor-faktor tersebut dapat berupa goncangan tingkat mikro/household seperti pencari nafkah jatuh sakit atau meninggal, pada tingkat meso/community seperti gagal panen, fluktuasi
harga
produk
dan
degradasi
lingkungan;
dan
pada
tingkat
makro/economy-wide level seperti krisis finansial tahun 1997. Penelitian yang dilakukan Ikhsan (1999) dan Pritchett et al (2000) menunjukkan bahwa jumlah rumahtangga miskin berubah signifikan dengan adanya krisis ekonomi. Selanjutnya, penelitian Sumaryadi (2001) menunjukkan bahwa 38-50 persen dari rumahtangga Indonesia sangat riskan terhadap gejolak perekonomian, dan sekitar 18 persen dari mereka tergolong pada kemiskinan absolut. Studi oleh The World Bank (2003) juga memperlihatkan bahwa jumlah penduduk miskin akan naik dua kali lipat (200 persen) jika garis kemiskinan naik dari US$ 1 ke US$ 2 per kapita per hari. Teknik ekonometri dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi resiko terhadap pendapatan atau pengeluaran pada masa yang akan datang. Persyaratan penggunaan teknik ini adalah bila tersedia dua observasi dari cross-section survey, maka dimungkinkan untuk menggunakan teknik regresi untuk pendapatan atau pengeluaran pada tiap karakteristik
24
rumahtangga. Hasil regresi juga memungkinkan untuk analisis perbedaan tingkat kerentanan. Estimasi variabilitas pendapatan menggunakan koefisien variasi pendapatan. Namun, hal ini bisa bias karena tidak mudah mencari variabilitas pendapatan dengan kemiskinan, utamanya pada yang selalu dalam kategori miskin. Dalam konteks kerentanan, penelitian bersama IPB, UGM, UI (2004) merekomendasikan agar sasaran kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak hanya pada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan tetapi juga yang nyaris atau rentan terhadap garis kemiskinan.
2.2.
Beberapa Temuan Empirik tentang Karakteristik dan Perkembangan Kemiskinan di Indonesia Potret kemiskinan Indonesia berdasarkan data BPS 2005 menunjukkan
bahwa persentase penduduk miskin di perdesaan sebanyak 22.7 juta jiwa; sementara jumlah total penduduk miskin sebesar 35.1 juta jiwa atau 15.7 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan data tahun 2003, mengalami penurunan dimana jumlah penduduk miskin di Indonesia 38.4 juta jiwa. Sekitar 65.4 persen dari penduduk miskin tersebut berada di perdesaan dan 82.1 pesen di antaranya menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Perkembangan kondisi kemiskinan menurut BPS (2002) adalah sebesar 37.7 juta jiwa (17.9 persen), yang terdistribusi sebanyak 14.3 persen di perkotaan dan 20.5 persen di perdesaan. Penyebaran penduduk miskin tersebut sebanyak 58.1 persen di Jawa dan Bali, 20.5 persen di Sumatera dan 21.4 persen di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Berdasarkan data BPS, indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan meningkat dari 2.55 pada tahun 1996 (sebelum krisis) menjadi 4.35 pada tahun 1998 (saat krisis), dan di perdesaan meningkat dari 0.71 menjadi 1.27.
25
Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan di perkotaan meningkat dari 3.53 menjadi 5.01 dan di perdesaan dari 0.96 menjadi 1.48. Peningkatan kedua indeks tersebut mengindikasikan bahwa krisis ekonomi yang terjadi telah memperdalam dan memperparah kemiskinan di Indonesia. Pada tahun 2002, indeks kedalaman kemiskinan mengalami perbaikan menjadi 3.01 dan indeks keparahan kemiskinan menjadi 0.79. Menurut data The World Bank (2001), pada awal tahun 1999 jumlah penduduk miskin di perdesaan sebanyak 36.7 juta jiwa dan di perkotaan 19.1 juta jiwa. Kemiskinan perkotaan sering dikatakan sebagai efek dan tumpahan kemiskinan di perdesaan. Selanjutnya, IFAD (2001) melaporkan bahwa 75.7 persen penduduk miskin berada di perdesaan dan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sebelumnya, pada tahun 2001, penduduk miskin yang tinggal di perdesaan sekitar 75.7 persen, sehingga dapat dikatakan bahwa pada umumnya kemiskinan merupakan fenomena perdesaan. Secara lebih spesifik, Pasaribu dalam Rusastra et al (2006) menyebutkan bahwa karakteristik penduduk miskin dicirikan oleh beberapa hal antara lain; (a) masyarakat miskin sebagian besar tinggal di perdesaan dengan mata pencarian dominan berusaha sendiri di sektor pertanian (60 persen); (b) penduduk miskin dengan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, umumnya tinggal di wilayah dengan karakteristik marjinal, dukungan infrastruktur terbatas dan tingkat adopsi teknologi yang rendah. Berdasarkan sumber penghasilannya, sebesar 63.0 persen rumahtangga miskin menggantungkan hidupnya dari kegiatan pertanian, 6.4 persen dari kegiatan industri, 27.7 persen dari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan, bangunan, pengangkutan, dan selebihnya merupakan penerima pendapatan.
26
Pada tahun 1998 dan 1999 proporsi sumber penghasilan utama tidak mengalami pergeseran (BPS, 2001). Tinjauan spasial menunjukkan bahwa 75.7 persen rumahtangga miskin berada di perdesaan dengan basis sektor pertanian dalam arti luas, mencakup pertanian pangan, perkebunan dan peternakan sebagai penghasilan utama. Sementara di perkotaan, sebanyak 75 persen rumahtangga miskin memperoleh penghasilan utama di luar sektor pertanian dan 24 persen yang mengandalkan sektor pertanian. Jumlah anggota keluarga memberikan perbedaan tingkat kemiskinan. Menurut data BPS (1999), rata-rata jumlah anggota keluarga rumahtangga miskin di Indonesia adalah 4.9 jiwa, sementara keluarga tidak miskin menanggung beban rata-rata 3.9 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa beban tanggungan keluarga miskin lebih besar daripada beban tanggungan keluarga tidak miskin. Bila dilihat tingkat pendidikan keluarga miskin, 72.1 persen rumahtangga miskin di perdesaan dipimpin oleh kepala keluarga yang tidak tamat pendidikan dasar (SD), dan 24.3 persen dipimpin oleh kepala rumahtangga berpendidikan SD. Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada rumahtangga miskin di perkotaan. Sekitar 57.0 persen rumahtangga miskin di perkotaan dipimpin oleh kepala keluarga tidak tamat SD, dan 31.4 persen berpendidikan SD. Menurut laporan riset dari The World Bank 2003, pada akhir tahun 2002 dengan menggunakan kriteria pendapatan per kapita US$ 1.00 per hari untuk negara berpendapatan sangat rendah, maka sebanyak 50 persen penduduk Indonesia tergolong miskin. Angka ini 20 persen lebih tinggi daripada kemiskinan dengan menggunakan standar BPS. Bila diukur dengan US$ 2.00 per hari yakni standar untuk negara berpendapatan sedang, maka 60 persen penduduk
27
Indonesia atau sekitar 126 juta orang penduduk Indonesia tergolong orang miskin. Sekitar 87 persen dari penduduk miskin ini berada pada 20 persen pendapatan paling rendah (the bottom quintile). Ketika krisis ekonomi melanda negeri ini, pada medio 1997 jumlah penduduk miskin meningkat tajam. Pada akhir 1998 menjadi 49.5 juta jiwa (24.23 persen) dari total penduduk; terdiri dari 17.6 juta (21.92 persen) di perkotaan dan 31.9 juta (24.23 persen) di perdesaan. Pada tahun 2000, jumlah penduduk miskin (tidak termasuk Nanggroe Aceh Darussalam dan Maluku) sebesar 37.3 juta jiwa terdiri dari 9.1 juta di perkotaan dan 25.1 juta di perdesaan. Analisis-analisis mengenai karakteristik kemiskinan sering dibahas dengan berbagai pendekatan menggunakan terminologi tipologi kemiskinan sebagaimana yang dilakukan oleh dua organisasi internasional yakni Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA) dan International Fund for Agricultural Development (IFAD). Pendekatan yang digunakan SIDA untuk membangun tipologi kemiskinan yaitu: 1. Kemiskinan berdasarkan pekerjaan: buruh tani, petani gurem, nelayan tradisional, dan lain-lain. 2. Kemiskinan yang berkaitan dengan ketidakberuntungan sosial: masyarakat dengan kasta rendah, masyarakat terasing, suku dalam atau penduduk asli. 3. Kemiskinan karena adanya diskriminasi. 4. Kemiskinan berdasarkan letak geografis. Sedangkan IFAD menggunakan lima pendekatan untuk membangun tipologi kemiskinan khususnya kemiskinan perdesaan (rural poverty) yaitu: 1. Kemiskinan karena pencabutan hak dan tersisihkan. 2. Kemiskinan karena faktor daerah terisolasi dan daerah marjinal.
28
3. Kemiskinan traumatis/sporadis karena adanya guncangan eksternal seperti kekeringan, banjir dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). 4
Kemiskinan endemik yang dicirikan oleh ketidakmandirian, terisolasi, kurangnya aksesibilitas, dan tidak memadainya teknologi.
5. Kemiskinan karena kepadatan penduduk atau keterbatasan sumberdaya. Sedangkan tren penduduk miskin baik di perkotaan maupun di pedesaan periode 1981-2006 dapat dilihat pada Gambar 1.
Juta Orang 60
50
40
30
20
10
0 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Kota
Desa
Total
Tahun
Sumber: BPS (2003, 2005 dan PSEK (2007). Data diolah
Gambar 1. Tren Kemiskinan di Perdesaan dan Perkotaan Tahun 19812006
2.3 Agroekosistem dan Faktor-Faktor yang Berkorelasi dengan Kemiskinan Tiap agroekosistem mempunyai karakteristik, nilai kemanfaatan ekonomi dan lingkungan serta nilai sosial budaya. Berbagai metoda pengelompokan agroekosistem; misalnya terdiri dari hutan, pesisir laut dan pulau-pulau kecil,
29
lahan basah, lahan kering dan karst (Bappenas, 2003). Sementara Ikhsan (1999) menyebutkan agroekosistem sebagai sistem sosio-ekonomi dan
kondisi
geografis yang sering dijumpai di Indonesia; yakni pesisir/pantai, lahan basah, lahan campuran, lahan kering dan dataran tinggi. Di dalam Potensi Desa (Podes) yang diterbitkan oleh BPS (2003) klasifikasi desa dibuat dengan empat pendekatan ekosistem yaitu hutan (di dalam dan tepi hutan), pesisir/pantai, lahan basah, lahan kering, lahan campuran dan berdasarkan topografi yakni dataran tinggi dan dataran rendah. Penduduk yang tinggal dan mencari nafkah pada tiap agroekosistem, memberikan gambaran profil kemiskinan yang berbeda. Kemiskinan perdesaan banyak ditemukan pada agroekosistem pesisir atau pantai, pertanian khususnya lahan kering dan di dalam serta di tepi hutan; Penelitian Mukherjee (2002) melaporkan bahwa konfigurasi faktor-faktor penyebab kemiskinan adalah berbeda antara pada komunitas petani padi beririgasi di Jawa Barat, komunitas sektor informal di daerah urban di Surabaya, komunitas nelayan pesisir di Lombok dan komunitas pertanian-kehutanan di Kalimantan Barat. Keluarga yang paling miskin di perdesaan adalah mereka yang tidak memiliki tanah. Penyebab kemiskinan dalam masyarakat nelayan menurut Kusnadi dalam Yustika (2003) berpangkal pada antara lain struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa dan fluktuasi musim penangkapan serta relasi tidak berimbang antara pelaku ekonomi. Kemiskinan masyarakat pada zona agroekosistem hutan dicirikan oleh kurangnya akses pada pelayanan publik, rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Faktor geografis dan kondisi topografi yang terpencil menyebabkan peluang-peluang ekonomi lainnya sulit diraih.
30
Kemiskinan di Indonesia tidak hanya memperlihatkan dikotomi desa dan kota, tetapi antarprovinsi dan regional dapat dicermati perbedaan yang signifikan. Ciri khas daerah yang terperangkap dalam kemiskinan (poverty trap) adalah daerah yang memiliki sumberdaya alam terbatas dan jauh dari pusat perdagangan utama. BPS juga membuat penetapan garis kemiskinan berdasarkan tingkat pengeluaran yang disesuaikan dengan harga di provinsi yang bersangkutan. Dilihat dari persentase jumlah penduduk miskin, provinsi Nusa Tenggara Barat mencatat rekor tertinggi yakni sekitar 22 persen dari total penduduknya dikategorikan miskin. Sedangkan angka kemiskinan terendah adalah Provinsi DKI yakni sekitar tiga persen. International Fund for Agricultural Development (IFAD, 2001) melaporkan bahwa karakteristik penduduk miskin di perdesaan adalah buruh atau buruh tani, tidak memiliki lahan/faktor produksi, petani gurem, petani tadah hujan, nelayan, peternak-penggembala, masyarakat di sekitar hutan dan lahan kritis, masyarakat di daerah terpencil (perbukitan, pergunungan, lembah) dan penduduk suku asli, masyarakat yang direlokasikan karena suatu keadaan misalnya bencana alam, konflik, serta kepala rumahtangga wanita. Penduduk miskin di perkotaan, menurut Supriatna (2000) adalah para pedagang kecil, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung, gelandangan, pengemis, pengangguran dan buruh angkutan. CESS dan ODI (2005) melaporkan bahwa sebagian masyarakat termiskin dari masyarakat miskin perdesaan tinggal di lokasi hutan terpencil, jauh dari pasar. Masyarakat miskin di hutan terpencil ini seringkali merupakan masyarakat miskin kronis, terisolasi secara geografis, tidak memiliki jaminan ketahanan pangan. Masyarakat miskin di dalam dan tepi hutan pada umumnya
31
tinggal di lahan yang lebih tinggi, curam dan kurang subur, seringkali jauh dari pasar dan pelayanan pokok. Masyarakat miskin di hutan seringkali tidak terjangkau oleh manfaat pembangunan. Pada wilayah hutan yang sangat terisolasi, sumberdaya alam adalah tulang punggung utama penyangga kehidupan masyarakat miskin. Matapencarian penduduk di hutan, selain pertanian hampir tidak ada peluang untuk diversifikasi matapencarian dan sebagian besar kehidupannya bersifat subsisten. Sedangkan Brown dalam CESS dan ODI (2005) menyimpulkan bahwa penduduk yang menempati lahan hutan negara sebanyak 27.1 persen diantaranya 5.5 juta adalah penduduk miskin. Selanjutnya, Wollenberg et al (2004) melaporkan bahwa masyarakat yang tinggal di hutan cenderung miskin secara menahun. Masyarakat miskin di hutan sulit keluar dari kemiskinannya karena terbatasnya pilihan terhadap sumber penghidupan
yang
berkaitan
dengan
tidak
adanya
prasarana,
sulitnya
berkomunikasi dan jaraknya yang jauh dari pasar, serta minimnya sarana pendidikan dan kesehatan. Disamping itu, biaya penyediaan pelayanan pemerintah menjadi sangat tinggi. Keterbatasan peluang-peluang kerja atau usaha di perdesaan pesisir karena faktor agroekosistem khususnya perdesaan pesisir juga diungkapkan Kusnadi (2002). Struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa atau karakteristik agroekosistemnya sangat menentukan peluang-peluang kerja dan usaha. Di desa-desa dengan struktur sumberdaya ekonomi yang sepenuhnya bergantung pada produksi perikanan laut, peluang kerja dan usaha sangat terbatas. Sudaryanto dan Rusastra (2006) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat sembilan dimensi kemiskinan yaitu: (a) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (sandang, papan dan perumahan), (b) aksesibilitas ekonomi yang rendah
32
terhadap kebutuhan dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi yang baik, air bersih dan transportasi), (c) lemahnya kemampuan untuk melakukan akumulasi kapital, (d) rentan terhadap goncangan faktor eksternal yang bersifat individual maupun massal, (e) rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan penguasaan sumberdaya alam, (f) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, (h) terbatasnya akses terhadap kesempatan kerja secara berkelanjutan, (i) ketidakmampuan berusaha karena cacat fisik maupun mental, dan (j) mengalami ketidakmampuan atau ketidakberuntungan sosial. 2.4. Kebijakan dan Program Pengurangan Kemiskinan di Indonesia Secara garis besar, penanggulangan kemiskinan di Indonesia sampai dengan tahun 2005 dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pengembangan masyarakat dan (2) jaringan pengaman sosial dengan pendekatan berdasarkan masyarakat,
pemerintah
mengimplementasikan
program
Pengembangan
Prasarana Perdesaan dan Program Kemiskinan Perkotaan. Sedangkan dalam Jaringan Pengaman Sosial terdapat program-program yaitu Keamanan Pangan, Perlindungan Sosial melalui pendidikan dan kesehatan, ketenagakerjaan dan peningkatan pendapatan serta pemberdayaan masyarakat. Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) dimulai pada tahun anggaran 1994/1995 meliputi konstruksi dan rehabilitasi prasarana jalan di perdesaan, jembatan, air minum dan sanitasi. Program ini menjangkau 17 persen dari jumlah desa di Indonesia atau 40 persen dari desa yang kurang berkembang. Program Pengembangan Kecamatan menyediakan dana pengembangan aktivitas ekonomi dan prasarana umum senilai 750 juta sampai 1 milyar rupiah per kecamatan. Program ini meliputi 727 kecamatan yang tergolong miskin, atau 5.100 desa dengan total penduduk 11 juta.
33
Urban Poverty Program atau program penanggulangan kemiskinan di perkotaan yang meliputi sebagian besar kota-kota di pulau Jawa, dengan target populasi 24 juta jiwa. Proyek ini menyediakan dana untuk peningkatan pendapatan penduduk miskin secara kolektif (grup) dan sebagian prasarana umum. Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan atau Integrated Movement merupakan kegiatan yang dikenal dengan Gerdu Taskin. Proyek ini menyediakan makanan gratis, perbaikan gizi, subsidi kontrasepsi, skema kredit seperti Takesra dan kredit Taskin. Social Safety Net (Jaring Pengaman Sosial) dimulai pada tahun anggaran 1998/1999 untuk menanggulangi dampak krisis ekonomi dengan budget 9.4 trilyun. Cakupan kegiatannya yaitu: (1) ketahanan pangan, operasi pasar khusus, pengembangan peternakan ayam, rehabilitasi prasarana pemijahan udang, (2) perlindungan sosial melalui pendidikan, beasiswa dan bantuan operasional sekolah, (3) perlindungan sosial melalui kesehatan kesejahteraan sosial, makanan tambahan untuk siswa SD, (4) ketenagakerjaan dan peningkatan pendapatan, dan (5) pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan daerah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi. Pada tahun 2002, pemerintah membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) melalui Keppres No 124 tahun 2002, yang diketuai oleh Menko
Kesra
dan
dengan
wakilnya
Menko
Ekonomi.
KPK
bertugas
mengkoordinasikan penyusunan dan kebijakan program penanggulangan kemiskinan. Sasaran pemerintah dalam lima tahun (2000-2004) jumlah penduduk miskin absolut berkurang 40% dari tingkat kemiskinan 1999, atau menjadi 28,86 juta
jiwa
pada
tahun
2004.
Upaya
penurunan
kemiskinan
2003-2004
dilaksanakan melalui dua pendekatan yaitu: (1) peningkatan pendapatan
34
masyarakat
miskin,
sehingga
masyarakat
miskin
memperoleh
peluang,
kemampuan pengelolaan, dan perlindungan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, sosial budaya, politik, hukum, dan keamanan dan (2) pengurangan pengeluaran masyarakat miskin dalam mengakses kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang mempermudah dan mendukung kegiatan sosial ekonomi. Namun, hingga saat ini program KPK tersebut belum terlihat implementasinya di lapangan.
35
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Aspek-Aspek Kemiskinan Berbasis Agroekosistem Kemiskinan bersifat multikompleks; dapat dipandang sebagai akibat dari
suatu keadaan, tetapi secara bersamaan juga bisa dipandang sebagai sebab dari suatu keadaan. Di Indonesia, kemiskinan bersifat multifacets; yang keragaannya dapat dijelaskan dengan berbagai pendekatan. Untuk mengerti tentang kemiskinan, haruslah dilihat bagaimana kehidupan orang miskin dengan menggunakan pendekatan multidisiplin. Penanggulangan kemiskinan dapat dicapai juga dengan berbagai pendekatan; tidak ada satu ’resep’ yang berlaku untuk semua keadaan. Kemiskinan dan berbagai upaya penanggulangannya khususnya di Indonesia memperlihatkan kompleksitas permasalahan kemiskinan. Dalam tinjauan makro, pengurangan kemiskinan dengan memacu pertumbuhan ekonomi merupakan prioritas utama. Dalam upaya pengurangan kemiskinan, perbaikan dimensi ekonomi saja tidaklah cukup; diperlukan dimensi selain ekonomi. Pertumbuhan ekonomi (growth) yang berkelanjutan (sustainable) merupakan
keharusan
(necessary)
tetapi
belumlah
cukup
(insufficient);
diperlukan upaya distribusi pendapatan yang berkeadilan. Dimensi ekonomi yang menjadi prasyarat harus dilakukan bersamaan dengan dimensi non ekonomi yang meliputi bidang sosial, politik dan hukum. Disertasi ini tidak meneliti hal tersebut, namun mengadopsi pemikiran bahwa dimensi ekonomi dan non ekonomi sebagaimana disebutkan di atas menjadi prasyarat setiap kebijakan. Opsi kebijakan pengurangan kemiskinan yang ditawarkan pada disertasi ini dapat berjalan bersamaan dengan upaya perbaikan prasyarat dimensi ekonomi dan non ekonomi tersebut.
36
Kemiskinan dengan menggunakan konsep kebutuhan dasar (basic needs) pada penelitian ini didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan yang bersifat mendasar baik pangan maupun non pangan antara lain sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Strategi kebutuhan dasar ini merupakan pendekatan langsung, bukan melalui pendekatan tidak langsung seperti melalui efek menetes ke bawah dan menyebar (trickle-down and spread effect) dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar tersebut dapat ditinjau dari dua aspek yakni aspek pendapatan dan aspek pengeluaran penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar yang timbul oleh adanya aktivitas ekonomi. Aspek pendapatan berhubungan erat dengan matapencarian atau peluang kerja dan peluang usaha. Di perdesaan, matapencarian utama pada umumnya bertumpu pada ketersediaan sumberdaya alam (resource based economy) yang erat kaitannya dengan agroekosistem. Sedangkan aspek pengeluaran berkaitan dengan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan minimum; yang pola konsumsinya dipengaruhi oleh dipengaruhi pula oleh agroekosistem. Persoalan-persoalan
kemiskinan
dapat
dianalisis
bersifat
spesifik
berdasarkan tipologi dan karakteristik rumahtangga miskin. Pemecahan masalah kemiskinan seharusnya dikaitkan dengan tipologi kemiskinan dan kerentanan serta faktor-faktor penciri kemiskinan. Tipologi tersebut diperlukan untuk pengoptimuman pencapaian tujuan, khususnya dalam penentuan sasaran kebijakan program dan penentuan jenis intervensi yang tepat. Selain itu, dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak kebijakan, perbandingan tingkat kemiskinan antarruang dan waktu. Ketepatan sasaran merupakan hal penting karena bila sasaran tidak tepat, maka manfaat program penanggulangan
37
kemiskinan dinikmati oleh penduduk yang bukan menjadi target, sehingga dapat memperparah ketimpangan ekonomi. Berdasarkan
tinjauan
pustaka
terdahulu,
kemiskinan
di
Indonesia
menunjukkan berbagai keragaan dan karakteristik serta memperlihatkan kekhasan
fenomena
berdasarkan
spasial,
khususnya
berdasarkan
agroekosistem. Pada disertasi ini, agroekosistem didefinisikan sebagai sistem interaksi antara manusia dan lingkungan biofisik sumberdaya perdesaan dan pertanian
guna
memungkinkan
kelangsungan
hidup
penduduknya.
Tipe
agroekosistem yang digunakan pada penelitian ini yaitu Lahan Basah, Lahan Kering, Lahan Campuran, Dataran Tinggi, Hutan, Pasir/Pantai. Keenam agroekosistem ini menjadi locus penelitian pada disertasi ini, sehubungan dengan kaitan, kekhasan, juga keragaman keragaannya dengan fenomena kemiskinan dan kerentanan di Indonesia. Tipologi kemiskinan pada disertasi ini didefinisikan sebagai keragaan yang mempresentasikan karakter dan magnitut kemiskinan serta kerentanan. Tipologi kemiskinan
tidak hanya
menjelaskan besaran jumlah
ataupun
persentase rumahtangga miskin, tetapi juga seberapa dalam dan parah kemiskinan tersebut. Selanjutnya, tipologi ini juga menjelaskan seberapa rentan rumahtangga miskin terhadap gejolak perekonomian dan bagaimana sifat kemiskinannya; apakah bersifat kronis ataukah tidak kronis. Tipologi kemiskinan akan menunjukkan keragaman karena interaksi faktor manusia dengan lingkungan sumberdayanya beragam, dan harga atau nilai sumberdaya yang berbeda berdasarkan pendekatan agroekosistem. Hal ini disebabkan agroekosistem di Indonesia menunjukkan karakter dan magnitut yang beragam dimana tiap agroekosistem memiliki kekhasan fenomena kemiskinan.
38
Selain dengan menganalisis tipologi kemiskinan, untuk mengetahui bagaimana kehidupan orang miskin, perlu dipelajari faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin. Faktor penciri ini merupakan suatu archetype kemiskinan yakni household that is consider to be the poor because they have all their most important characteristics. Faktor penciri kemiskinan pada tiap agroekosistem tersebut dalam disertasi ini terdiri dari faktor penciri yang melekat pada rumahtangga yakni human and social capital, dan faktor penciri yang melekat pada faktor spasial dan infrastruktur meliputi infrastruktur fisik dan sosial. Faktor penciri kemiskinan dianalisis melalui pengeluaran rumahtangga yang pada gilirannya mempengaruhi kemiskinan. Tiap agroekosistem menunjukkan model yang direpresentasikan oleh parameter pengeluaran tumahtangga yang konfigurasi dan besarannya berbeda; meskipun ada beberapa faktor diprediksi sama pada semua agroekosistem. Kondisi agroekosistem mempengaruhi kemiskinan penduduk dengan masing-masing karakteristik sosial-ekonominya melalui aktivitas ekonomi. Interaksi manusia dengan biofisik yang beragam kondisinya ini memberikan bentuk aktivitas sosial, ekonomi bahkan budaya yang beragam pula. Interaksi tersebut menjadi penting karena sebagian besar penduduk menggantungkan sumber penghidupannya pada ketersediaan lingkungan biofisiknya. Selanjutnya, keragaman agroekosistem juga menunjukkan keragaman ekonomi penduduknya yang oleh Ikhsan (1999) disebut sebagai zona agroekonomi. Kemiskinan pada umumnya terkonsentrasi pada rumahtangga yang tinggal pada agroekosistem khususnya pada kawasan hutan, pesisir/pantai dan lahan pertanian yang terdiri dari lahan kering dan lahan campuran. Kondisi agroekosistem mempengaruhi kemiskinan penduduk dengan masing-masing
39
karakteristik sosial-ekonominya melalui aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi pada suatu agroekosistem dipengaruhi oleh antara lain faktor biofisik sumberdaya alam sebagai sumberdaya utama kehidupan penduduk, faktor sumberdaya manusia (human and social capital), modal produktif (physical productive capital), infrastruktur fisik dan sosial. Keragaman aktivitas ekonomi pada tiap agroekosistem berkaitan dengan perbedaan harga atau nilai sumberdaya yang merupakan determinan untuk meraih peluang-peluang ekonomi (economic opportunities). Aktivitas ekonomi ini pada akhirnya menentukan pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. Faktor biofisik atau spasial menentukan harga sumberdaya dan peluang ekonominya. Agroekosistem yang memiliki biofisik dataran tinggi dengan kemiringan tinggi atau curam, kondisi lahan berbatuan, tidak subur, tandus sehingga rawan erosi atau longsor akan rendah harga atau nilainya sebagai sumberdaya kehidupan. Investasi akan enggan masuk pada lingkungan dengan biofisik seperti ini karena dinilai tidak menghasilkan return yang tinggi. Peluangpeluang ekonomi untuk matapencarian berkelanjutan akan sangat terbatas. Agroekosistem hutan ditandai oleh biofisik yang berhutan lebat, berbukitan, pergunungan ataupun lembah, terpencil di dalam hutan, akses terhadap pelayanan pokok seperti kesehatan dan pendidikan sangat rendah, kehidupan relatif subsisten, aksesibilitas terhadap informasi rendah. Kondisi ini akan mempengaruhi kesempatan berusaha dan bekerja yang seterusnya mempengaruhi kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh terhambat ataupun terlambatnya penyesuaian-penyesuaian dalam proses pasar tenaga kerja dan keputusan untuk migrasi atau berpindah dan mencari nafkah di tempat lain. Meskipun hutan mengandung kekayaan alam, namun penduduk di dalam hutan tidak sepenuhnya dapat mengakses sumberdaya hutan sebagai sumber
40
kehidupannya. Penduduk hampir tidak mempunyai alternatif matapencarian selain menjadi buruh perkayuan ataupun menggantungkan nafkah pada ladang berpindah. Selain itu, biaya penyediaan pelayanan kesehatan dan pendidikan serta infrastruktur fisik lainnya menjadi tinggi. Pada lahan basah dengan berpengairan relatif baik, dicirikan dengan lahan yang relatif datar, relatif subur, aksesibilitas penduduk yang relatif baik terhadap infrastruktur fisik, kondisi memadai terhadap pelayanan pokok, pasar, dan trasportasi. Dengan kondisi biofisik seperti ini, pada dasarnya dapat mendorong resource base economy. Namun, lahan dengan nilai dan harga sumberdaya yang relatif baik ini justru rawan terhadap konversi lahan. Pada
agroekosistem
pesisir/pantai
kondisi
biofisik
yang
khas
mempengaruhi kehidupan rumahtangga khususnya nelayan ialah faktor musim melaut. Pola kerja nelayan menyebabkan terbatasnya pilihan-pilihan terhadap sumber penghidupan lainnya. Selain itu, dengan sistem open access atau common property right terhadap kekayaan laut, menciptakan peluang ekonomi yang lebih tinggi bagi pemilik modal dan sumberdaya manusia yang menguasai teknologi dan pasar. Kondisi ini akan mendorong relasi yang timpang antar pelaku ekonomi. Faktor sumberdaya manusia dan modal sosialnya (human and social capital) mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran. Kepala keluarga atau pencari nafkah usia produktif dengan pendidikan yang relatif tinggi atau memiliki keahlian/ketrampilan dan dengan kondisi kesehatan yang baik, diasumsikan mempunyai peluang kerja ataupun peluang usaha yang lebih baik. Kepala keluarga atau pencari nafkah berjenis kelamin laki-laki ditengarai mempunyai peluang kerja lebih tinggi dibanding perempuan. Keluarga dengan rasio bergantung (dependency ratio) lebih tinggi, akan lebih tinggi pula peluang
41
menjadi katagori miskin. Paguyuban atau kegotongroyongan yang relatif baik antar
rumahtangga
ditengarai
lebih
dapat
mengatasi
schock
terhadap
pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. Selain itu, modal sosial yang tinggi dapat meningkatkan coping ability rumah tangga. Ketersediaan infrastruktur fisik dan sosial juga menentukan harga atau nilai sumbedaya. Infrastruktur fisik seperti listrik, jaringan air bersih, sistem transportasi, pasar, sanitasi/pengelolaan sampah menentukan nilai atau harga sumberdaya (GTZ dalam Rustiadi, 2007). Selanjutnya, harga atau nilai sumberdaya ini menjadi determinan aktivitas ekonomi yang lebih luas. Infrastruktur sosial seperti kelompok-kelompok informal, layanan kesehatan, dan layanan pendidikan juga mempengaruhi aktivitas ekonomi. Selain itu, adanya kelembagaan dapat menentukan nilai atau harga sumberdaya yang selanjutnya mempengaruhi
kesempatan
untuk
meraih
peluang-peluang
ekonomi.
Kelembagaan didefinisikan sebagai the rules of society or of organization that facilitate coordination among people by helping them from expectations which each person can reasonably hold in dealing with others (Ruttan dan Hayami dalam Harianto, 2007). Kepemilikan physical productive capital: seperti aset produksi misalnya lahan, perahu motor, kandang, alat dan mesin pengolahan, merupakan aset pendukung dalam meraih peluang ekonomi. Selain itu, aset fisik ini juga dapat dijadikan agunan bila memerlukan pinjaman uang, ataupun dapat dijual jika memerlukan uang. Jika dianalisis kondisinya, tiap agroekosistem memiliki kekhasan meliputi biofisik, kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, infrastruktur fisik dan sosial termasuk kelembagaan. Tiap agroekosistem mempunyai nilai kemanfaatan ekonomi dan lingkungan serta nilai sosial budaya yang beragam pula. Nilai
42
kemanfaatan ini mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran rumahtangga yang ada pada tiap agroekosistem. Secara menyeluruh, karakteristik setiap agroekosistem secara visual disajikan pada Gambar 2.
Lahan Basah
Pantai/Pesisir Biofisik/faktor spasial: Relatif datar, tidak berbukit/lereng, Infrastruktur : relatif baik aksesibilitas wilayah: baik, akses pd sumber daya alam ’terbuka’ Akses pada pelayanan umum: relatif baik Sosek: Gini Indeks : 0.67 Pemilikan Lahan : 0.07- 8.3 Ha Sumber penghasilan: kurang variatif
Biofisik/faktor spasial: Relatif datar, tidak berbukit/lereng, Infrastruktur : beririgasi, jalan pertanian, berpengairan > 75 % aksesibilitas wilayah relatif baik Akses terhadap pelayanan umum : relatif tersedia Sosek: Gini Indeks : 0.22 – 0.38 Pemilikan Lahan : 0.01-0.36 atau tidak berlahan Sumber penghasilan: relatif variatif
Lahan Kering Biofisik/faktor spasial: Topografi berbukit/lereng, berpengairan < 25 % Infrastruktur : beririgasi terbatas aksesibilitas wilayah kurang baik Akses terhadap pelayanan umum : relatif kurang tersedia Sosek: Gini Indeks : 0.27 -0.37 Pemilikan Lahan : 0.01-0.45 Ha Sumber penghasilan:kurang variatif
Karakteristik Agroekosistem Hutan Biofisik/faktor spasial: wilayah relatif terisolasi berbukit/datar/lereng Infrastruktur : relatif kurang baik Akses terhadap sumber daya alam ‘tertutup’ Akses terhadap pelayanan umum : kurang Sosek: Gini Indeks: relatif tinggi Pemilikan Lahan :relatif tidak ada Sumber penghasilan: relatif tidak
Lahan Campuran
Dataran Tinggi Biofisik/faktor spasial: Altitude: > 500 dpl Topografi berbukit/lereng, Infrastruktur : kurang memadai aksesibilitas wilayah kurang baik Akses pada pelayanan umum : relatif tersedia Sosek: Gini Indeks : tidak ada data Pemilikan Lahan : sekitar 0.25 Ha Sumber penghasilan: relatif variatif
Biofisik/faktor spasial: Topografi : bervariasi berpengairan 25 - 75 % aksesibilitas wilayah kurang baik Infrastruktur : beririgasi, jalan pertanian Akses pada pelayanan umum : relatif tersedia Sosek: Gini Indeks : tidak ada data Pemilikan Lahan : 0.02-0.5 Ha Sumber penghasilan: relatif variatif
Gambar 2. Karakteristik Agroekosistem
Selanjutnya, interrelasi antar faktor tersebut diatas akan merefleksikan perbedaan peluang ekonomi (economic opportunities) pada tiap agroekosistem yang ada kaitannya dengan sumber matapencarian dan pola konsumsi. Kedua aspek ini pada gilirannya diduga akan berpengaruh terhadap kemiskinan dan kerentanan.
43
Kemiskinan dan kerentanan dibentuk oleh dua aspek yaitu aspek pendapatan dan aspek pengeluaran. Aktivitas ekonomi ditimbulkan oleh pendapatan dan pengeluaran rumahtangga (RT). Dengan asumsi matapencarian utama penduduk berbasis ketersediaan sumberdaya alam, maka aktivitas ekonomi dipengaruhi oleh kondisi agroekosistem melalui konsumsi dan aktivitas matapencarian.
Dengan
pendapatannya,
rumahtangga
dapat
mengakses
pelayanan pendidikan dan kesehatan yang pada gilirannya dapat memperkuat Human Capital (HC). Di samping memenuhi kebutuhan minimum, RT dapat memperkuat aset-aset produktif (Physical Capital) dalam rangka mendukung matapencariannya. Selanjutnya, pendapatan rumahtangga akan mempengaruhi permintaan dan penawaran barang dan jasa. Di sisi lain, agroekosistem mempengaruhi pola konsumsi RT yang secara agregat menentukan aktivitas ekonomi pada suatu agroekosistem terutama menentukan peluang usaha dan peluang kerja yang menggerakkan aktivitas ekonomi RT pada agroekosistem. Aktivitas tersebut menimbulkan pengeluaran RT misalnya pengeluaran untuk transportasi, komunikasi dan sebagainya. Secara agregat, pengeluaran RT tersebut akan menimbulkan permintaan terhadap barang dan jasa, yang di respon oleh produsen. Penawaran barangbarang dan jasa akan mempengaruhi pola konsumsi RT. Kondisi kemiskinan menyebabkan suatu rumahtangga atau individu sulit mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan. Hal ini mempengaruhi kualitas tenaga kerja suatu individu. Dengan kualitas yang rendah, maka produktivitas tenaga kerja rendah; artinya modal manusia (human capital) rendah, maka, pendapatan juga rendah. Dengan pendapatan rumahtangga yang rendah (demand) rendah, perusahaan akan menyesuaikan sehingga penawarannya (supply) barang dan jasa menjadi rendah. Kemampuan ekonomi mempengaruhi
44
besarnya peluang-peluang ekonomi dan investasi serta penyediaan fasilitas pendidikan maupun kesehatan. Dengan aktivitas ekonomi yang rendah dan dengan kualitas sumber daya manusia /tenaga kerja yang rendah maka peluang kerja dan peluang usaha tidak dapat dijangkau atau diciptakan; yang pada gilirannya tidak memberikan pendapatan yang cukup bagi rumahtangga. Kondisi ini mengantarkan suatu individu atau penduduk pada kondisi dengan katagori miskin. Kerangka pemikiran penelitian ini, secara skematis disajikan pada Gambar 3.
Indikator Kemiskinan •P0 •P1 P2
Pola Konsumsi Nilai/Harga Sumberdaya - Human & Social Capital - Physical Capital - Infrastruktur Fisik dan Sosial - Spasial/SDA
Agroekosistem Lahan Basah Lahan kering Lahan Campuran Dataran Tinggi Hutan Pantai/Pesisir
Pengeluaran
Peluang ekonomi
Kerentanan
Aktivitas ekonomi
Pendapatan
Elastisitas
Sifat Kemiskinan Kronis dan Tidak Kronis
Mata Pencarian
Faktor penciri Kemiskinan
Karakteristik
Biofisik SDA SDM Infrastruktur Fisik dan Sosial/ Kelembagaan
Tinjauan Kebijakan
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Keterangan: SDA = Sumber Daya Alam SDM= Sumber Daya Manusia P0 =insiden kemiskinan P1 = kedalaman kemiskinan P2 = keparahan kemiskinan
45
Impli kasi Kebi jakan
Menguraikan mana sebab dan mana akibat dari kemiskinan pada hakikatnya adalah sulit. Kadangkala sebab-sebab kemiskinan dapat dilihat sebagai akibat-akibat dari kemiskinan. Karena itu, analisis-analisis pada kemiskinan pada umumnya mencari faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan atau hubungan-hubungan, bukan sebagai hubungan sebab-akibat. Dengan pemahaman terhadap faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan, maka dapat dirancang alternatif kebijakan penanggulangannya. Penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan menggerakkan aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi di lingkungan perdesaan dan pertanian dapat dilakukan melalui penumbuhan sentra-sentra ekonomi untuk menggerakkan matapencarian dengan meningkatkan peluang usaha dan peluang kerja yang berkelanjutan (sustainable livelihood). Hal ini penting, mengingat lebih dari tiga per empat penduduk pertanian dan perdesaan di Indonesia menggantungkan matapencarian utamanya pada ketersediaan sumberdaya alam. Selain itu, masih terbuka peluang-peluang untuk menggerakkan aktivitas ekonomi pertanian dan perdesaan dengan meningkatkan daya dukung agroekosistem melalui perbaikan modal sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik serta infrastruktur dengan memperhatikan faktor lokasinya. Perbaikanperbaikan tersebut akan efektif bila penanganannya sesuai dengan tipologi kemiskinan dan kerentanannya. Hal tersebut dapat dicapai dengan intervensi yang tepat antara lain berdasarkan analisis tipologi kemiskinan dan kerentanan berbasis agroekosistem. 3.2. Analisis Tipologi Kemiskinan Multikompleks kemiskinan dapat dijelaskan melalui analisis tipologi kemiskinan dan kerentanan dan faktor penciri atau variabel-variabel yang melekat pada rumahtangga miskin berbasis agroekosistem sebagaimana
46
diuraikan diatas. Karena itu, tipologi kemiskinan dan kerentanan rumahtangga miskin dan faktor pencirinya layak diteliti. Disamping itu, tipologi kemiskinan dan kerentanan tiap agroekosistem dapat menjelaskan bahwa kemiskinan tidak secara acak terjadi, tetapi mengikuti pola-pola sistematis (systematic patterns) yang secara struktural berkorelasi kuat dengan agroekosistem. Sebagian rumahtangga miskin pada tiap agroekosistem terperangkap dalam kemiskinan (spatial poverty trap) yang begitu dalam dan sulit melewati
ambang
batas
miskin
tanpa
upaya-upaya
sistematis
dan
berkesinambungan. Analisis tersebut di atas diyakini dapat menjadi alternatif opsi dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Tipologi ini dibangun dengan maksud memberikan arah bagi target pengurangan kemiskinan. Tipologi kemiskinan dan kerentanan pada disertasi ini mempresentasikan karakter dan magnitutnya. Tipologi tersebut meliputi: (a) Indikator kemiskinan yakni insiden kemiskinan, kedalaman kemiskinan, dan keparahan kemiskinan, (b) Kerentanan dan (c) Sifat kemiskinan. Tipologi kemiskinan menjelaskan besaran jumlah dan persentase rumahtangga miskin, seberapa dalam dan parah kemiskinan tersebut. Selanjutnya, tipologi ini juga menjelaskan
seberapa
rentan
rumahtangga
miskin
terhadap
gejolak
perekonomian dan bagaimana sifat kemiskinannya; apakah bersifat kronis ataukah tidak kronis. Keragaman
sekaligus
kekhasan
tipologi
kemiskinan
berdasarkan
pendekatan agroekosistem ini dapat dipahami mengingat agroekosistem di Indonesia menunjukkan karakter dan magnitut yang beragam dimana tiap agroekosistem memiliki kekhasan fenomena kemiskinan. Dengan menganalisis tipologi kemiskinan akan diketahui bagaimana karakter dan magnitut kemiskinan. Bagaimana kehidupan orang miskin diketahui dengan faktor penciri yang melekat
47
pada rumahtangga miskin. Upaya-upaya pengurangan kemiskinan layaknya menggunakan tipologi dan faktor penciri sebagai referensi bagi penentuan arah, sasaran dan jenis intervensi. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk pengurangan kemiskinan dilakukan melalui dua jalur yakni peningkatan pendapatan dan pengurangan pengeluaran penduduk. Pengurangan kemiskinan, baik insiden kemiskinan maupun kerentanan terhadap kemiskinan, dapat ditempuh dengan mengurangi pengeluaran penduduk miskin dan atau meningkatkan pendapatannya. Selain itu, dapat dilakukan melalui perbaikan distribusi pendapatan; antara lain memberikan subsidi, mendekatkan akses penduduk pada fasilitas publik dan usaha-usaha produktif. Penanggulangan kemiskinan didasari pemikiran bahwa pengurangan kemiskinan dalam jangka menengah dan panjang mencakup dua hal yaitu yang penting dipikirkan secara bersamaan dan dalam suatu kesatuan (unified framework) yaitu pengurangan insiden kemiskinan (poverty alleviation) dan mengurangi kerentanan terhadap kemiskinan (poverty prevention). Pengurangan jumlah penduduk miskin dengan mencegah penduduk jatuh kepada kondisi miskin
sangat penting dalam konsep pengurangan kemiskinan melalui
pemberdayaan masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri. Dengan pemberdayaan ini, upaya pengurangan kemiskinan dapat dilakukan secara berkelanjutan,
mengurangi
beban
sosial
masyarakat
dan
mengurangi
ketergantungan terhadap anggaran belanja pemerintah. Data sosial ekonomi rumahtangga dapat diperoleh dari data Susenas. Namun, untuk mempelajari insiden kemiskinan lebih spesifik dengan karakteristik sosial ekonomi pada agroekosistem tertentu, maka diperlukan data lain yakni Potensi Desa. Opsi kebijakan pengurangan kemiskinan yang mencakup upaya
48
kuratif dan upaya preventif dapat dirumuskan dengan tepat melalui pemahaman karakteristik penduduk miskin yang berbeda dari agroekosistem satu dengan agroekosistem lainnya. Karakteristik kemiskinan terkait erat dengan lokasi/ lingkungan tempat tinggalnya yang seterusnya akan mempengaruhi peluangpeluang ekonomi dan matapencariannya. Untuk merumuskan opsi kebijakan, selain berdasarkan hasil temuan dan simulasi yang dilakukan pada penelitian ini juga diperlukan tinjauan kebijakan pengurangan kemiskinan yang telah dilakukan. Untuk menghitung proporsi penduduk miskin pada lokasi penelitian yang ditetapkan, digunakan formula FGT yang akan menghasilkan gambaran insiden kemiskinan, kedalaman dan keparahan kemiskinan. 3.3. Faktor Penciri Kemiskinan dan Kerentanan Analisis awal dari identifikasi faktor penciri kemiskinan dan kerentanan ialah seleksi faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kemiskinan. Metode analisis yang digunakan adalah metode stepwise discriminant analysis ataupun dengan metode stepwise logistic regression (logit). Namun, karena metode terakhir memberikan misclasification yang rendah atau memberikan interpretasi yang lebih baik (LPEM-UI, 2001), maka pada analisis ini digunakan metode regresi logistik. Pada tahap awal, seleksi variabel-variabel yang menjadi variabel penciri kemiskinan didasarkan pada hasil analisis deskriptif insiden kemiskinan dan profil kemiskinan serta profil daerah miskin. Kemudian dilakukan review terhadap hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Potensi Desa (Podes) untuk meneliti ketersediaan data. Aspek kehidupan sosial ekonomi penduduk menyangkut keadaan demografi, kesehatan, pendidikan, perumahan, lingkungan hidup, konsumsi rumahtangga dan pengeluaran rumahtangga diperoleh dari data
49
Susenas 2003. Sedangkan data yang menyangkut aspek spasial dan agroekosistem diperoleh dari data yang tersedia pada Podes 2003. Baik data Susenas maupun Podes dikeluarkan oleh BPS. Katagori yang digunakan adalah lahan kering, lahan basah, lahan campuran, pantai/pesisir (coastal), dataran tinggi dan daerah sekitar hutan. Selanjutnya, dilakukan pemilihan variabel dengan menggunakan metoda stepwise yang menjelaskan hubungan variabel-variabel independen dengan variabel dependen. Variabel-variabel yang dipilih yang akan dimasukkan ke dalam fungsi yaitu yang mempunyai koefisien determinasi (R2) yang besar. Nilai R2 ini menunjukkan seberapa besar model dapat menjelaskan data. Sehingga validasi model dapat juga dilakukan dengan menggunakan indikator nilai R2. Variabel
dependen
yang
digunakan
adalah
status
kemiskinan
rumahtangga menurut kebutuhan dasar minimal versi BPS. Variabel ini disusun dalam bentuk diskret. Rumahtangga miskin dinotasikan dengan nilai 0 sementara rumahtangga tidak miskin dengan nilai 1. Variabel-variabel independen merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kemiskinan 3.3.1. Faktor Rumahtangga Secara garis besar, aspek-aspek yang mempengaruhi kemiskinan dalam perspektif mikro (rumahtangga) yang diteliti dikelompokkan dalam (a) variabel modal sumberdaya manusia (human capital) yang meliputi variabel profil umum kepala rumahtangga, variabel kondisi kesehatan rumahtangga, dan variabel kondisi ekonomi rumahtangga dan (b) variabel modal fisik yang dimiliki rumahtangga miskin serta (c) variabel tempat tinggal. Variabel sumberdaya manusia merupakan faktor yang mempengaruhi kapabilitas individu dalam rumahtangga untuk mencari nafkah atau memperoleh pendapatan dan memenuhi kecukupan kebutuhan keluarganya. Faktor tersebut
50
yaitu pendidikan tertinggi kepala keluarga, jenis kelamin, usia, jumlah anggota keluarga yang ditanggung (dependent) dan jumlah tahun bersekolah anggota keluarga. Tingkat pendidikan dikaitkan dengan peluang kerja dan pendapatan. Semakin tinggi pendidikan, peluang kerja dan peningkatan pendapatan semakin besar. Faktor jenis kelamin dinilai berpengaruh terhadap tingkat upah yang diperoleh oleh pencari nafkah dalam keluarga; sedangkan faktor usia dinilai dapat
menggambarkan
pengalaman
kerja.
Jumlah
anggota
keluarga
berpengaruh terhadap kesejahteraan rumahtangga; semakin banyak dependen dalam keluarga maka semakin kecil tingkat kesejahteraan individu dalam keluarga tersebut. Selanjutnya, status dan sektor berusaha rumahtangga mempengaruhi peluang dan besaran pendapatan. Kemiskinan banyak terdapat pada penduduk dengan status pekerjaan informal dan mencari nafkah di sektor pertanian. Selain itu, faktor kesehatan individu rumahtangga termasuk faktor yang mempengaruhi pendapatan rumahtangga. Pencari nafkah yang tidak atau kurang sehat dapat turun pendapatannya sebagai akibat dari menurunnya produktivitas. Apabila anggota keluarga (dependent) sakit dan memerlukan biaya besar, maka diasumsikan pengeluaran keluarga meningkat untuk upaya penyembuhan anggota keluarga tersebut. Variabel modal fisik dimasukkan dalam kelompok variabel yang menjadi penciri kemiskinan dengan pertimbangan bahwa kemiskinan banyak terdapat pada penduduk dengan status pekerjaan pada sektor informal atau berusaha sendiri (Susenas, 2003) sehingga kepemilikan modal fisik merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan untuk memperoleh pendapatan. Kepemilikan modal fisik dapat menjadi agunan apabila rumahtangga memerlukan dana pinjaman modal dari Bank atau kredit formal. Selain itu,
51
kepemilikan modal fisik dapat menjadi alternatif sumber pendapatan sementara atau cadangan apabila ada gejolak atau shock terhadap pendapatan atau pengeluaran suatu keluarga. Sehingga, suatu rumahtangga terlindung dari kemiskinan atau relatif tidak rentan terhadap goncangan terhadap pendapatan atau pengeluaran. Yang dimasukkan dalam variabel modal fisik yaitu kepemilikan aset-aset produktif seperti lahan, rumah dan kendaraan. Kenyataan bahwa kemiskinan terkait dengan modal fisik diperkuat oleh IFAD (2002) yang menyebutkan bahwa sebagian besar penduduk miskin di Asia adalah buruh tani, dan petani gurem. Variabel yang dimasukkan untuk analisis determinan rumah tangga berjumlah 37 variabel yang diolah berdasarkan data Susenas 2004 yang menggunakan instrumen core. 3.3.2. Faktor Spasial dan Infrastruktur Selain
faktor
kapasitas
sumberdaya
manusia
dan
sumberdaya
produktifnya, faktor-faktor yang berkaitan dengan spasial dan infrastruktur adalah penting. Hal ini disebabkan oleh eratnya kaitan antara insiden kemiskinan dengan faktor-faktor spasial dan infrastruktur. Kenyataannya, penduduk miskin dengan kemiskinan kronis secara geografis terkonsentrasi di suatu lokasi. Konsentrasi kemiskinan spasial ini merefleksikan perbedaan peluang ekonomi (economic opportunities). Jika kemiskinan bersifat kronis, dapat dikatakan bahwa terjadi kemiskinan struktural yang ada hubungannya dengan faktor sumberdaya alam setempat (local
resource
endowments).
Kondisi
lahan
dan
lokasi
daerah
akan
mempengaruhi lapangan kerja utama dan aksesibilitas masyarakat di daerah tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan. Sebagai contoh, daerah-daerah marginal di dataran tinggi, dengan kemiringan tinggi dan berbatuan akan mengurangi peluang usaha masyarakat di lokasi tersebut.
52
Kondisi dan lokasi daerah tertentu umpamanya daerah terpencil, daerah dengan akses transportasi dan komunikasi yang sulit, dapat meningkatkan peluang terjadinya kemiskinan. Argumen tersebut di atas diperkuat oleh referensi terdahulu bahwa suatu komunitas dalam suatu lokasi tertentu seperti terperangkap dalam kemiskinan; bahkan seperti terjadi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi. Selanjutnya, kondisi ini dipersepsikan sebagai fenomena ”spatial poverty trap”. Kajian IFAD dalam Assessment of Rural Poverty Asia and Pacific (2002) yang menyebutkan bahwa kemiskinan perdesaan terjadi di daerah marjinal, dataran tinggi terpencil utamanya di daerah lahan kering dan berbukitan kapur atau batuan serta daerah pesisir atau pantai. Mengacu pada kajian tersebut, analisis dalam penelitian ini akan difokuskan pada pengurangan kemiskinan ke dalam ruang lingkup pertanian dalam arti luas. Kondisi kemiskinan di agroekosistem erat kaitannya dengan kondisi infrastruktur; sejalan dengan Bank Dunia (2001) yang menyebutkan bahwa infrastruktur dapat mengurangi kemiskinan dengan argumentasi sebagai berikut; 1. kelompok miskin banyak terkonsentrasi di dalam sektor ekonomi dengan ”rates of return” yang tinggi terhadap infrastruktur, 2. kelompok miskin sangat terbatas aksesnya terhadap infrastruktur, sehingga dengan adanya infrastruktur yang menyentuh penduduk miskin, maka utilitas infrastruktur tersebut menjadi tinggi. Ruang lingkup infrastruktur mencakup pelayanan publik dari pemerintah seperti energi listrik, komunikasi, persediaan air dan sanitasi, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan dan jalan umum. Sesuai dengan fokus penelitian ini, maka aspek irigasi dan sistem drainase dimasukkan dalam variabel infrastruktur.
53
Selain
infrastruktur fisik yakni
perumahan dan
lingkungan, juga
infrastruktur sosial-ekonomi seperti regulasi, kebijakan dan kelembagaan masyarakat atau lebih dikenal dengan social capital dapat mempengaruhi kerentanan rumahtangga miskin. Social capital diidentifikasikan dengan ada atau tidaknya lembaga seperti lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga keuangan mikro, koperasi simpan pinjam di lokasi rumahtangga miskin. Asumsinya, masyarakat yang memiliki atau dapat mengakses lembaga tersebut, maka kemanfaatannya bagi rumahtangga relatif tinggi. Sehingga, bila ada faktor shock terhadap rumahtangga dan pendapatannya, lembaga ini dapat membantu mencarikan alternatif solusi dan membantu kebutuhan untuk sementara waktu. Karena itu, kekuatan modal sosial juga mempengaruhi kerentanan terhadap kemiskinan. Diasumsikan juga bahwa bila ikatan kelembagaan kuat, secara bersamasama sejumlah rumahtangga akan lebih efektif dibina kapasitasnya dalam menggali peluang-peluang ekonominya. Diasumsikan bahwa prospek untuk ”meninggalkan kemiskinan” dapat dipengaruhi oleh kerabat, tetangga, nilai-nilai dalam komunitas lokal dan lingkungan sosial. Kelembagaan tersebut juga dapat mempengaruhi aspirasi dan ekspektasi individu dalam upaya mencari peluangpeluang ekonomi. Variabel spasial dan infrastruktur diolah berdasarkan data Podes 2003 dengan asumsi tidak terjadi perubahan signifikan tentang kondisi penduduk antara tahun 2003 dengan 2004 dimana data Susenas menggunakan versi 2004. Data Podes menggunakan basis desa sedangkan data Susenas menggunakan basis rumahtangga. Analisis penciri kemiskinan rumahtangga pada penelitian ini menggunakan basis rumahtangga. Karena itu, untuk mengkonversikan variabel spasial dan infrastruktur pada unit analisis rumahtangga maka diasumsikan
54
semua rumahtangga menggunakan atau menikmati kondisi atau fasilitas yang ada di desa tempat tinggalnya dengan kesempatan atau peluang yang sama. Variabel yang dimasukkan untuk analisis determinan spasial dan infrastruktur berjumlah 70 variabel yang diolah berdasarkan data Podes 2003. 3.4.
Identifikasi Rumahtangga Miskin
3.4.1. Garis Kemiskinan Pada analisis ini, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang tidak dapat memenuhi kecukupan kebutuhannya; diukur dengan standar kebutuhan minimum yang ditandai dengan batas miskin atau garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS. Pada penelitian ini, kecenderungan penggunaan garis kemiskinan yaitu pada batas miskin atau garis kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS). Penggunaan standar versi BPS ini dipilih karena batas miskin yang dibangun versi ini didasarkan pada perhitungan bundel makanan dan non makanan, dan dibuat atas perhitungan standar hidup per provinsi, serta membedakan komponen bundel pengeluaran untuk perkotaan dan perdesaan. Dengan demikian, dapat diasumsikan lebih mendekati kenyataan di lapangan atau mendekati kondisi yang sebenarnya. Kebutuhan makanan menggunakan patokan 2100 kalori per hari per kapita, dan kebutuhan non makanan meliputi pengeluaran untuk sandang, perumahan, barang dan jasa termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Kebutuhan makanan menggunakan patokan 2100 kalori per hari per kapita dan kebutuhan non makanan meliputi pengeluaran untuk sandang, perumahan, barang dan jasa termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Ukuran menghitung ketidakcukupan individu memenuhi standar hidup minimum tersebut
55
menggunakan pengeluaran untuk konsumsi (consumption expenditure), bukan pendapatan dengan mengacu pada alasan sebagaimana diuraikan pada Bab II. Pengukuran tingkat kesejahteraan berdasarkan pengeluaran atas bundel konsumsi (consumption expenditure) lebih sering digunakan dibandingkan dengan tingkat pendapatan karena alasan kepraktisan operasional bukan secara konseptual. Berdasarkan tinjauan pustaka terdahulu, dapat dikatakan bahwa untuk Indonesia sebagai negara berkembang, data konsumsi relatif lebih akurat dibandingkan dengan pendapatan. Dalam penggunaan data pengeluaran konsumsi sebagai ukuran kemiskinan, digunakan asumsi-asumsi yaitu: 1. Pengeluaran untuk bundel konsumsi dalam bentuk uang sebagai upaya memenuhi
kebutuhan
minimum
hidupnya
mencerminkan
tingkat
kesejahteraan rumahtangganya. 2. Rumahtangga menggunakan sejumlah modal fisik guna mendukung aktivitas ekonominya. 3. Setiap
variabel
penciri
rumahtangga
diasumsikan
mempengaruhi
pengeluaran penduduk untuk bundel konsumsi. 4. Agroekosistem mempengaruhi pola konsumsi rumahtangga setidaknya melalui tiga jalur yaitu: (a) penggunaan infrastruktur mempengaruhi permintaan terhadap bundel konsumsi, (b) agroekosistem secara langsung mempengaruhi pola permintaan terhadap konsumsi, (c) permintaan terhadap bundel konsumsi bervariasi diantara penduduk miskin dengan penduduk tidak miskin dikarenakan faktor spasial dan faktor infrastruktur.
56
3.4.2. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional dan Potensi Desa Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Potensi Desa (Podes) ditelaah untuk mengetahui ketersediaan data dan bagaimana kedua hasil survei tersebut dapat dihubungkan untuk memenuhi analisis pada penelitian ini. Telaahan mencakup substansi informasi, sampel dan instrumen yang digunakan pada kedua survei tersebut. 3.4.3. Kemiskinan dan Kerentanan Indikator kemiskinan dianalisis dengan menghitung: (1) rasio H (Headcount Index) untuk menghitung persentase populasi yang hidup dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan, (2) indeks kedalaman kemiskinan (the depth of poverty or the poverty gap index) untuk mengukur seberapa miskin atau seberapa jauh dari garis kemiskinan suatu individu yang hidup dalam keluarga yang pengeluaran konsumsinya di bawah garis kemiskinan, dan (3) indeks keparahan kemiskinan. Insiden dan kedua indeks tersebut diukur dengan menggunakan formula Foster, Greer dan Thorbecke (FGT Index). Kerentanan terhadap kemiskinan didefinisikan sebagai kerentanan terhadap garis kemiskinan (Vulnerability to Poverty Line) yakni probabilitas rumahtangga keluar dari garis kemiskinan atau kerentanan berdasarkan Headcount Poverty Rate. Dalam penelitian ini, kerentanan diukur berdasarkan aspek ekonomi bila terjadi perubahan-perubahan akibat gangguan eksternal (fragile economic based and frequent exposure to shock and fluctuation), ataupun gangguan mencari nafkah suatu individu dalam rumahtangga. Dalam penelitian ini, diasumsikan garis kemiskinan naik sebesar 10 persen dan 20 persen; sehingga dapat dilihat laju kenaikan indikator
57
kemiskinan dan elastisitasnya. Sifat kemiskinan sementara (transient poverty) ataupun kronis (chronic poverty) diukur dengan probabilitas keluar dari kemiskinan. Seseorang dinyatakan miskin kronis apabila ia hidup dalam rumahtangga yang mempunyai probabilitas keluar dari kemiskinan atau peluang untuk keluar dari batas miskin lebih kecil dari 0.5. Untuk menganalisis elastisitas kemiskinan yakni perubahan indikator kemiskinan akibat pengaruh garis kemiskinan, diskenariokan atau disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Angka tersebut digunakan mengacu pada kecenderungan kenaikan harga barang dan jasa yang mendorong garis kemiskinan. Pada studi yang dilakukan oleh BPS juga digunakan simulasi sebesar 20 persen untuk mengukur rumahtangga katagori hampir miskin di Indonesia secara keseluruhan. Parameter kemiskinan dengan pendekatan pengeluaran konsumsi diestimasi dengan menggunakan teknik ekonometri terhadap data Susenas dan Podes. Teknik ini dipilih karena lebih memberikan keleluasaan berkreatifitas untuk
mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
risiko
terhadap
pendapatan ataupun pengeluaran pada masa yang akan datang, dan sekaligus memungkinkan untuk menganalisis magnitut tingkat kerentanan. Penggunaan teknik ini sudah memenuhi persyaratan yaitu tersedianya dua macam data dari cross-section survey yakni Susenas dan Podes. 3.4.4. Karakteristik Rumahtangga Miskin Dengan
diperolehnya
indikator
penduduk
miskin
dan
estimasi
parameternya, dapat dianalisis karakteristik penduduk miskin dan berpotensi untuk menjadi miskin. Disagregasi dimaksudkan untuk mengetahui siapa saja orang miskin, bagaimana karakteristik demografinya; mencakup jenis kelamin kepala keluarga, umur kepala keluarga, pendidikan tertinggi kepala keluarga,
58
dependensi rasio, kepemilikan aset produksi; bagaimana sosial ekonominya; termasuk apa pekerjaannya, bagaimana tingkat pendapatannya dan dimana mereka tinggal serta bagaimana kondisi-kondisi lain yang mempengaruhi kemiskinannya seperti akses mereka terhadap pelayanan publik. Untuk itu, dilakukan penghitungan per unit analisis secara statistik dengan cara memilahmilahkan,
menghitung
rerata,
mendisagregasi
dan
menghitung
agregat
berdasarkan unit analisis rumahtangga. 3.5.
Opsi Kebijakan Mengingat keterbatasan sumberdaya pemerintah ataupun pemangku
kepentingan (stakeholders) lainnya dalam upaya pengurangan kemiskinan, maka alokasi sumberdaya haruslah tepat sasaran dan tepat jenis intervensinya. Untuk lebih mengoptimalkan daya agroekosistem dalam kelangsungan hidup dan kesejahteraan penduduknya, pengetahuan tentang tipologi kemiskinan pada agroekosistem menjadi sangat penting. Upaya-upaya
pengurangan
kemiskinan
dapat
lebih
fokus
dan
penanganannya lebih terarah bila tipologi kemiskinan tersebut dapat diketahui. Tepat sasaran program penanggulangan kemiskinan dianalisis berdasarkan agroekosistem sasaran rumahtangga miskin. Analisis ini juga memberikan opsi perbaikan penanggulangan kemiskinan yang pada ada masa lalu. Intervensi pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan yang dilakukan melalui regulasi, kebijakan dan investasi publik yang dapat dibenarkan karena menghasilkan eksternalitas yang lebih besar sebagai akibat aktivitas ekonomi yang oleh sistem pasar tidak diperhitungkan. Tinjauan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang selama ini diterapkan diharapkan dapat menjawab seberapa besar kemanfaatan untuk memenuhi
tujuan
(goals)
ataupun
59
nilai-nilai
(values)
dalam
rangka
penanggulangan kemiskinan. Pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab antara lain apakah kebijakan tersebut memperbaiki economic opportunities, mengurangi kerentanan penduduk miskin dari sisi ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Berbagai
tingkatan
dan
terminologi
digunakan
dalam
upaya
penanggulangan kemiskinan, seperti strategi, kebijakan, kebijakan operasional, program, program aksi, proyek dan sebagainya. Pada telaah pustaka ditemukan bahwa penggunaan istilah tersebut tidak konsisten. Antara suatu instansi atau lembaga dengan instansi atau lembaga lainnya tidak menggunakan terminologi yang
sama
untuk
hal
atau
aspek
yang
sama.
Evaluasi
kebijakan
penanggulangan kemiskinan di dalam disertasi ini menggunakan hasil evaluasi dari studi-studi terdahulu. 3.6.
Hipotesis Berdasarkan
latar
belakang,
perumusan
masalah
dan
kerangka
pemikiran, hipotesis disusun sebagai berikut: 1. Insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di Indonesia berasosiasi kuat dengan faktor lokasi (spasial) berdasarkan ekonomi agroekosistem.
2. Kerentanan
terhadap
kemiskinan
berbeda
signifikan
antara
agroekosistem dengan agroekosistem lainnya.
3. Karakteristik kemiskinan dipengaruhi oleh ekonomi agroekosistem.
60
satu
IV. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini ditujukan sebagai riset kebijakan yang bersifat menyeluruh dan dalam skala besar dengan variabel yang banyak. Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini dikeluarkan oleh instansi resmi. Data sekunder tersebut yaitu data Susenas dan Podes yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia. Penelitian difokuskan pada agroekosistem dengan kriteria dan unit analisis mengikuti Susenas dan Podes. Terminologi yang digunakan dalam penentuan tipe biofisik agroekosistem ini mengacu pada terminologi yang digunakan BPS dalam Susenas dan Podes. Suatu lahan dikatagorikan sebagai lahan basah bila berpengairan lebih dari 75 persen, sedangkan katagori lahan campuran dan lahan kering berpengairan berturut-turut 25-75 persen dan kurang dari 25 persen. Penentuan dataran tinggi adalah dengan pendekatan topografi, yakni berada lebih dari 500 meter di atas permukaan laut. Agroekosistem dengan biofisik pantai/pesisir adalah desa yang memiliki wilayah yang berbatasan langsung dengan garis pantai/laut atau merupakan desa pulau dengan corak kehidupan rakyatnya tergantung pada potensi laut atau tidak bergantung pada potensi laut. Pada Susenas dan Podes, yang dimaksud dengan desa di dalam dan di tepi hutan yaitu desa yang termasuk di dalam hutan dan desa-desa yang berbatasan dengan hutan menurut undang-undang. Desa di dalam hutan adalah desa yang letaknya di tengah atau dikelilingi hutan. Sedangkan desa yang letaknya di tepi hutan atau di pinggir hutan atau berbatasan dengan hutan. Suatu kawasan disebut sebagai hutan adalah merujuk pada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Pada Undang-undang ini disebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah
61
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kerangka kerja penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
Mulai
Data PODES N =14.011
Data SUSENAS N= 53.200.353
Proses Penggabungan data Berdasarkan domisili
Data karakteristik Rumah Tangga per desa
Logistik Regresion
FGT
Model Rumah tangga Miskin dan Tidak Miskin
Regresi Analisis RT Miskin per Agroekosistem
Indikator Kemiskinan (P0,P1, dan P2) per Agroekosistem Uji proporsi Simulasi Kenaikan GK 110% dan GK 120%
Penciri Kemiskinan per Agroekosistem
Kerentanan Kemiskinan Elastisitas
Simulasi Kenaikan GK 110% dan GK 120% Perubahan Penciri Kemiskinan Peluang Jatuh Miskin
Pembahasan Tipologi, Kerentanan dan Penciri Kemiskinan per Agroekosistem
Implikasi Kebijakan
STOP
Gambar 4. Kerangka Kerja Penelitian
62
Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
Analisis tipologi kemiskinan menurut agroekosistem ini tidak bersifat eksklusif bagi hutan, pantai/pesisir dan dataran tinggi; dalam pengertian suatu desa dapat masuk dalam lebih dari satu katagori; misalnya masuk pada kategori dataran tinggi, saat yang lain masuk pada katagori kawasan sekitar hutan. Dalam hal ini yang ingin dianalisis adalah karakteristik, kontribusi dan magnitut kondisi masing-masing
tipologi
kemiskinan
terhadap
tipologi
kemiskinan
secara
keseluruhan. Kondisi tersebut dilakukan sesuai dengan keterbatasan yang ada pada data Podes. Agroekosistem dalam Podes yang bersifat eksklusif adalah lahan basah, lahan kering dan lahan campuran; sehingga terhadap ketiga agroekosistem ini dapat dilakukan uji beda dan dapat diperbandingkan. 4.1. Metoda Analisis Data 1.
Menganalisis, menguji variabel-variabel yang menjadi penciri kondisi kemiskinan menggunakan metoda regresi logit. Menurut Agresti dan Finlay (1997), regresi logit dapat digunakan bila sebagian ataupun semua variabel penjelas bersifat katagorik. Model logistik dirancang untuk melakukan prediksi keanggotaan grup. Regresi logistik digunakan bila variabel-variabel prediktor merupakan campuran antara variabel diskrit dan kontinyu serta distribusi data yang digunakan tidak normal. Regresi logistik tidak memiliki asumsi normalitas atas variabel bebas yang digunakan dalam model. Maksudnya, variabel penjelas tidak harus memiliki distribusi normal, linear, memiliki varian yang sama dalam setiap grup.
2.
Variabel-variabel prediktor dalam regresi logistik bisa merupakan campuran dari variabel kontinyu, diskrit dan dikotomis.
3.
Regresi logistik bermanfaat digunakan bila distribusi respon atas variabel hasil diharapkan non linear dengan satu atau lebih prediktor.
63
Variabel-variabel prediktor pada penelitian ini digolongkan menjadi empat yaitu variabel sumberdaya manusia dan sosial (human and social capital), variabel modal fisik produktif (physical productive capital) dan variabel atau dimensi spasial serta variabel infrastruktur. Alasan pemilihan variabel ini sudah diuraikan pada bab terdahulu. Variabel independen disusun dalam bentuk nilai diskret, dimana semakin tinggi nilai diskret yang diberikan pada kategori suatu variabel menunjukan kualitas atau kondisi yang semakin baik. Variabel dependen adalah status kemiskinan rumahtangga Indonesia menurut metoda baku menggunakan pendekatan kebutuhan dasar. Variabel-variabel yang diduga menjadi penciri kemiskinan rumahtangga dapat dilihat secara rinci pada Tabel 1, sedangkan penciri kemiskinan infrastruktur fisik dan sosial dapat dilihat pada Tabel 2. Variabel ini disusun dalam bentuk diskret; untuk rumahtangga miskin diberikan nilai ”0” dan untuk rumahtangga tidak miskin diberikan nilai ”1”. Data yang digunakan adalah Susenas 2004 dan PODES 2003. Data Susenas dan Podes ini merupakan data terbaru yang dikeluarkan BPS ketika penelitian ini dimulai. Sama halnya dengan analisis penciri kemiskinan rumahtangga, kondisi kemiskinan dari sisi infrastruktur disusun dalam bentuk discrete tiap pilihan dari masing-masing variabel. Hubungan antara variabel-variabel dependen dengan variabel independen menggunakan analisis regresi Logit yang disebutkan oleh Ikhsan 1999) dan LPEM-UI (2001) sebagai metoda yang memberikan misclasification yang lebih rendah daripada metoda lain. Pengolahan data dilakukan dalam dua tahap yaitu pengolahan data awal yakni proses pemilihan variabel prediktor dan tahap lanjutan yakni proses pembentukan model dengan regresi.
64
Tabel 1. Variabel Rumahtangga No.
Variabel
A 1 2
Profil Umum Kepala Rumahtangga Jenis kelamin kepala keluarga Usia kepala keluarga Ratio ketergantungan (dependency ratio) (jml anggota keluarga 0-14th + usia 65+ Th/Usia, 15-64 tahun)
3
B 4
Kondisi Fisik Rumahtangga Jenis atap terluas
5
Jenis dinding
6 7 8
Janis lantai Luas lantai per kapita Akses air minum
9
Tempat pembuangan air besar
10
Jenis kloset
11
Tempat pembuangan akhir tinja
12 C 13
14
Indikator
Sumber penerangan Kondisi Kesehatan Rumahtangga Ketersediaan jaminan pembiayaan untuk kesehatan untuk berobat jalan/inap Penggunaan alat kontrasepsi bagi wanita berstatus kawin di rumah tangga
1= ≥ 5; 2 = 2-4; 3 = 0-1
1= Sirap/ijuk; 2= Beton/genteng/ seng/asbes/lainnya 1= Bambu; 2= Tembok/kayu/lainnya Tembok/kayu/lainnya 1= Tanah; 2=Bukan tanah 1= ≤10 m2; (2) >10M2 1= Tidak aman (lawan dari kode 2) 2= Aman (air kemasan/leding/ Pompa/sumur dan mata air Terlindung dan jarak terhadap tempat pembuangan >10m 1= Tidak punya ; 2= bersama/umum 3= Sendiri 1=Tidak pakai/tidak punya 2= Plengsengan/cemplung 3= Leher angsa 1= Kolam/sawah/sungai/danau/ Lobang Kebun; 2= Tangki 1= Non-listrik, 2= Listrik
1=Tidak punya 2=JPKM/Dana Sehat/Kartu sehat Askes/astek/jamsostek/kantor 1=Tidak pakai/cara tradisional 2= Pakai dengan cara modern 1= Tidak berobat jalan; 2= Pengobatan tradisional; 3= Tenaga/ fasilitas Modern (Dokter, RS, Puskesmas, Poliklinik, Petugas Kesehatan
15
Akses ke fasilitas kesehatan bagi anggota keluarga sewaktu sakit
D 16 17
Kondisi Pendidikan Rumahtangga Rata-rata lama sekolah kepala keluarga Jenjang pendidikan tertinggi kepala Keluarga Angka melek huruf latin kepala Keluarga
18
1= Perempuan; 2=Laki-laki 1= ≤ 50 th; 2 = 20-49 th
65
1= <6; 2= 6-8; 3= 9+ 1= Tidak pernah sekolah; 2=SD 3=SMP; 4 = SMU + 1=Tidak Bisa; 2=Bisa
Tabel 1. Lanjutan No.
Variabel
E 19 20
Kondisi Ekonomi Rumahtangga Kegiatan bekerja kepala keluarga Persentase anggota keluarga yang bekerja
21 22
Persen anggota keluarga dengan status pengangguran terbuka Jumlah jam kerja seminggu kepala keluarga
23
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian
24
Kepala keluarga bekerja sebagai pekerja bebas pertanian Kepala keluarga bekerja sebagai pekerja tidak dibayar Kepala keluarga bekerja di sektor informal (self employed + unpaid family worker) Pendapatan per kapita anggota keluarga yang bekerja
25 26 27
Indikator
28
Persen pengeluaran untuk makanan
29 30
Persen pengeluaran untuk pendidikan Persen pengeluaran untuk kesehatan
F 31 32 33
Faktor Spasial Tinggal didaerah pantai/pesisir (PANTAI) Tinggal didaerah dataran tinggi (DTRNTG) Tinggal didaerah dataran lahan basah / dataran + pengairan di atas 75% (LHNBSH) Tinggal di daerah dataran lahan kering / dataran + pengairan kurang dari 25 % (LHNKRG) Tinggal di daerah campuran / dataran + pengairan antara 25% sampai 75% (LHNCPR) Tinggal di kawasan sekitar hutan Tinggal di Daerah Aliran Sungai/lembah
34
35
36 37
1= Tidak bekerja; 2 = Bekerja 1= 0%; 2 = 0.1%-20% 3= 20.1%-50%; 4 = 50%+ 1= ≥ 50%; 2 = <50% 1= Tidak bekerja atau ≤35 jam; 2= >35jam 1=Ya (termasuk yang tidak kerja) 2=Tidak 1=Ya (termasuk yang tidak kerja) 2=Tidak 1=Ya (termasuk yang tidak kerja) 2=Tidak 1=Ya; 2=Tidak 1=≤ 50%*PovLine 2= 50.1%-75%*PovLine 3= 75.1%-125%*PovLine 4= >125%*PovLine 1= ≥75%; 2= 50-75% 3= 25-50%; 4= ≤25% 1= <10%; 2= 10-20%; 3= 20%+ 1= <10%; 2= 10-20%; 3= 20%+
1= Ya; 2 = Tdk 1= Ya; 2 = Tdk 1= Ya; 2 = Tdk 1= Ya; 2 = Tdk
1= Ya; 2 = Tdk
1= Ya; 2 = Tdk 1= Ya; 2 = Tdk
4.1.1. Pengolahan Data Awal Pertama, memilih beberapa variabel dari Susenas yang akan dimasukkan ke analisis lanjutan. Membuat beberapa katagori baru untuk masing-masing
66
variabel sesuai dengan daftar variabel yang sudah dibuat sebelumnya. Satuan pengolahan data adalah rumahtangga, jadi segala informasi mengenai individu ditransfer ke data rumahtangga, seperti umur kepala keluarga, akses ke fasilitas kesehatan untuk anggota rumahtangga, jenjang pendidikan kepala rumahtangga dan sebagainya. Sedangkan informasi rumahtangga tidak perlu ditransfer karena satuan pengolahan adalah rumahtangga, misalnya jenis atap, dinding, lantai rumahtangga, persen pengeluaran pendidikan, kesehatan, pengeluaran per kapita dan sebagainya. Kedua, memilih beberapa variabel dari Podes yang akan dimasukkan ke analisis lanjutan. Membuat beberapa katagori baru untuk variabel Podes yang terpilih. Variabel-variabel Podes satuannya adalah desa. Ketiga, menggabungkan variabel-variabel terpilih dari data Susenas dan Podes. Satuan pengamatan Podes adalah desa, jadi diasumsikan bahwa satu informasi dari satu desa di Podes akan berlaku untuk semua rumahtangga di Susenas yang tinggal di desa tersebut. Misalkan, jenis permukaan jalan di satu desa adalah aspal, maka diasumsikan bahwa rumahtangga tersebut mempunyai akses jalan aspal. 4.1.2. Pengolahan Data Lanjutan Pengolahan data lanjutan berhubungan dengan metode komputasi statistika seperti yang diterangkan dalam metode penelitian. Ada dua tahap penghitungan yaitu: Pertama, memilih beberapa variabel yang digunakan dalam pembuatan model dengan menggunakan metode Regresi Logistik, dengan pemilihan variabel-variabel independen menggunakan prosedur stepwise.
67
Tabel 2. Variabel Infrastruktur Fisik dan Sosial
No
Variabel
Indikator
A.
Sumber penghasilan sebagian besar penduduk
Kehutanan; pertanian tanaman pangan; hortikultura; peternakan; perkebunan; perikanan; pertanian lain-lain; pertambangan; industri; perdagangan; sektor lain-lainnya
B
Bahan Bakar Yang digunakan sebagian besar Rumahtangga
Gas Kota/LPG=3; Minyak Tanah=2; Kayu Bakar=1
C
Tempat Buang Sampah Sebagian Besar Rumahtangga
Tempat Pembuangan sampah=3; Dalam Lubang/bakar=2; Sungai=1
D
Tempat Buang Air Besar Sebagian Besar Rumahtangga
Jamban sendiri milik rumah tangga=4; jamban bersama=3; Jamban umum=2; tidak ada jamban/non jamban=1
E
Saluran Pembuangan Limbah Cair/Air Kotor
Saluran lancar = 4; saluran tidak lancar=3; Saluran menggenang=2; tidak ada saluran =1
F
I
Sumber Air Minum/Memasak Sebagian Besar Rumahtangga Sumber Air Mandi/Cuci Sebagian Besar Rumah Tangga Lalu Lintas Sebagian Besar Rumahtangga Jenis Permukaan Jalan Terluas
J
Fasilitas Pendidikan
K L
Fasilitas Kesehatan Transportasi dan Komunikasi
Pam=1, pompa=2; sumur=3; mata air =4; sungai=5; lainnya: embung, waduk=6 Pam=1, pompa=2; sumur=3; mata air =4; sungai=5; lainnya: embung, waduk=6 Melalui air/sungai=3; melalui darat =2; melalui udara=1 Aspal=4; Batu=3; Tanah=2; Jalan lainlain =1 SD Negeri dan sederajat=4; SD Swasta dan sederajat=3; SLTP Negeri Sederajat=2; SLTP swasta dan sederajat=1 Puskesmas=2; posyandu=1 RT sbgn besar mempunyai kendaraan mesin roda 4 ; RT sbgn besar mempunyai kendaraan mesin roda 2atau 3; RT sbgn besar mempunyai telepon rumah tangga; RT sbgn besar mempunyai TV
M
Sosial Kemasyarakatan
N
Faktor Resiko Bencana Alam
O
Faktor Gangguan Lingkungan Hidup
P
Faktor Penyakit/Wabah Penyakit
G H
PKK=1; arisan, jumpitan=2; perkumpulan organisasi petani (P3A, Klp Tani, Klp usaha=3) Gempa bumi=1, Tanah longsor=2; Banjir=3 Pencemaran air=1; pencemaran udara dan bau =2; pencemaran suara=3 Kasus busung lapar/HO/kurang gizi/marasmus; Muntaber/diare; Demam Berdarah; Infeksi Saluran Pernafasan; Lainnya
68
Kedua, adalah menggunakan variabel terpilih untuk membuat fungsi regresi konsumsi per kapita dengan variabel-variabel terpilih hasil regresi logistik. Untuk tahap kedua ini, peubah bebas yang terpilih harus dibuat dummy karena semua peubah bebas bersifat kategorik Penghitungan indikator kemiskinan menggunakan FGT index; yang diukur adalah headcount index, poverty gap index dan poverty severity index yaitu:
Pα =
α
z − yi ∑ i = 1 z n
1
q
dimana: α = 0,1,2; adalah parameter yang menyatakan ukuran sensitivitas kedalaman dan keparahan kemiskinan. Semakin besar α semakin besar pula timbangan yang diterapkan untuk mengukur keparahan dari insiden kemiskinan yi = nilai rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita/bulan dari penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan; dimana i = (1,2,....q) untuk semua yi
69
α=1 adalah rata-rata kedalaman kemiskinan (yang dinyatakan sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan); jika α=1 maka P1= (1/n)Σ(zyi/z)1. Misalkan P1=0,15; ini berarti bahwa gap (kesenjangan)antara total penduduk miskin terhadap Garis Kemiskinan, jika dirataratakan terhadap seluruh rumahtangga (baik miskin maupun tidak miskin), adalah 15 pesen. P1/Po = 1/q Σ(z-yi/z) adalah rata-rata kedalaman kemiskinan sebagai proporsi dari garis kemiskinan. α=2 adalah suatu ukuran yang dalam beberapa hal sensitif terhadap perubahan distribusi pendapatan/pengeluaran diantara penduduk miskin. Kerentanan penduduk miskin jatuh ke bawah garis kemiskinan dihitung dengan melihat laju perubahan dengan simulasi kenaikan garis kemiskinan 10 persen dan 20 persen dari garis kemiskinan versi BPS. Elastisitas indikator kemiskinan meliputi insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan terhadap garis kemiskinan dilakukan untuk tiap agroekosistem. Elastisitas indikator kemiskinan (P0,1,2 ) terhadap Garis Kemiskinan didefinisikan sebagai perubahan indikator kemiskinan dibandingkan dengan perubahan garis kemiskinan. Dengan mengadopsi rumus elastisitas dalam Pindyck dan Rubinfeld (2001), maka :
Ep = (%∆Pi) / (%∆GK) atau (∆Pi/Pi) / (∆Gk/Gk ) dimana: Ep = elastisitas indikator kemiskinan Pi = indikator kemiskinan; dengan i = 0,1,2 berturut-turut adalah indsiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan. Gk = Garis Kemiskinan
70
Insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan dikatakan elastis bila nilainya lebih besar daripada satu (>1) dan disebut tidak elastis bila nilainya ≤1. Estimasi kerentanan terhadap variabel kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan menghasilkan kemiskinan kronis dan tidak kronis. Kemiskinan kronis merupakan kondisi dibawah garis kemiskinan yang mempunyai peluang lebih kecil daripada 0,5 untuk meningkatkan pendapatannya melampaui garis kemiskinan; sementara yang mempunyai peluang lebih besar dari 0,5 disebut sebagai kemiskinan tidak kronis. Pendekatan yang digunakan yaitu batas atau garis kemiskinan versi BPS. Parameter variabel bebas merupakan probabilitas penduduk jatuh pada garis kemiskinan
akibat
pengaruh
pengeluaran konsumsi.
masing-masing
variabel
bebas
terhadap
Metode estimasi kemiskinan diadopsi dari Chaudhuri
(2001) dengan model sebagai berikut:
Ln Ch = β X h + єh dimana: Ch = pengeluaran konsumsi rumahtangga h X h = bundel karakteristik rumahtangga yang dapat diamati, mencakup variabel-variabel independen sebagaimana telah diterapkan di atas. β
= vektor parameter
єh = faktor pengganggu yang berkontribusi terhadap konsumsi rumahtangga. Probabilitas rumahtangga dengan karakteristik Xh menjadi miskin dapat diketahui dari besaran vektor parameter untuk masing-masing karakteristik. Pengeluaran konsumsi rumahtangga diukur per kapita dengan membagi pengeluaran rumahtangga dengan dependen atau jumlah anggota keluarga yang
71
ditanggung oleh kepala keluarga. Hal ini untuk menghindari bias pengeluaran antara rumahtangga dengan perbedaan jumlah tertanggung. Karena garis kemiskinan dihitung per kapita, maka kembali dilakukan transfer dengan mengalikan jumlah anggota keluarga dalam rumahtangga. Logaritma terhadap pengeluaran digunakan karena rentang pengeluaran rumahtangga sangat besar yakni berkisar antara Rp. 12 925 sampai dengan Rp.
32
467
788.
Asumsi
yang
digunakan
adalah
bahwa
penduduk
membelanjakan semua pendapatannya pada bundel yang tercakup dalam batas miskin,
dan
multidimensi
kemiskinan
dikonversikan
dalam
pengeluaran
penduduk; baik untuk kesehatan, maupun untuk pendidikan dan perbaikan lingkungannya. Parameter-parameter persamaan tersebut di atas akan diestimasi dengan pendekatan
Logit
dengan
menggunakan
metoda
Maximum
Likelihood
Estimation. Dengan demikian, model yang akan dikembangkan adalah model kemiskinan menurut agroekosistem. Uji proporsi untuk menguji perbedaan insiden kemiskinan antar agroekosistem (yang bersifat eksklusif) dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
χ
2
=
∑ i
ο − e e i
2
i
i
dimana: Oi = frekwensi pengamatan .
ei = frekwensi harapan
4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang diolah adalah pengeluaran konsumsi rumahtangga dan karakteristiknya bersumber dari data hasil Susenas yang dikeluarkan oleh Badan
72
Pusat Statistik. Data karakteristik desa menggunakan data pada Potensi Desa yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik sebagai berikut: 1. Susenas Kor Tahun 2004 Informasi yang diperoleh dari Susenas adalah informasi karakteristik rumah tangga antara lain: kondisi fisik, kondisi kesehatan, kondisi pendidikan, dan keadaan ekonomi rumah tangga. Data Susenas 2004 dipilih karena data ini adalah data terbaru pada saat pengolahan data ini berlangsung. 2. Potensi Desa Tahun 2003 Informasi yang diperoleh dari Podes 2003 adalah informasi karakteristik desa di mana rumah tangga tinggal. Informasi tersebut antara lain: informasi berbagai fasilitas desa, kegiatan sosial-ekonomi desa, dan sejarah desa terhadap bencana alam. 3. Garis Kemiskinan Tahun 2004 Garis
Kemiskinan
menggunakan
73
Garis
Kemiskinan
tahun
2004.
V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN Pada tahap pertama pengolahan data, dilakukan transfer data dari Podes 2003 ke Susenas 2004. Ternyata, dari 14.011 desa pada sample SUSENAS 13.349 diantaranya mempunyai informasi yang sesuai dengan PODES. Hanya 4.7 persen desa SUSENAS yang tidak mempunyai informasi pada PODES. Hal ini disebabkan adanya pemekaran desa baru pada SUSENAS dan tidak terdapat kesesuaian kode desa antar kedua sumber data tersebut. Jumlah rumahtangga nasional berdasarkan agroekosistem dapat dilihat pada Tabel 3 yakni jumlah rumahtangga yang dimasukkan dalam analisis dan merupakan nilai hasil pembobotan. Tabel 3. Jumlah Rumahtangga berdasarkan Agroekosistem Tahun 2005 Lokasi
Jumlah
Nasional
53 200 353
Lahan Basah
2 126 747
Lahan Kering
36 477 953
Lahan Campuran
14 595 653
Pantai/Pesisir
5 024 955
Dataran Tinggi
37 072 835
Sekitar Hutan
7 475 226
Sumber: BPS (2003) dan BPS (2004) data diolah
5.1. Nasional 5.1.1. Indikator Kemiskinan 5.1.1.1. Insiden Kemiskinan Nasional Insiden kemiskinan nasional berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount Index (P0) sebesar 13.1 persen dari total rumahtangga nasional (53 200 353 rumahtangga) atau sebanyak 6 969 246 rumahtangga
miskin. Jika dibanding P0 di Cina yang hanya sebesar 12.49 persen (Ravalion, 2005), P0 di Indonesia lebih besar. Tetapi jika di banding dengan P0 di Bangladesh sebesar 40.9 persen, atau P0 di Nepal sebesar 34.6 persen (SAARC, 2005), maka insiden kemiskinan di Indonesia jauh lebih baik. Meskipun metoda pengukuran dan indikator kemiskinan berbagai negara di atas berbeda karena standar garis kemiskinan antar negara bisa berbeda, tetapi perbandingan insiden kemiskinan antar negara tersebut bertujuan untuk mengilustrasikan magnitutnya. Kemiskinan berkaitan dengan banyak dimensi, tidak hanya rendahnya tingkat pendapatan, tetapi juga kesenjangan meraih peluang ekonomi. Kemiskinan umumnya berasosiasi juga dengan tingkat distribusi dari aset, seperti lahan, sumberdaya kapital dan peluang-peluang pasar. Lebih lanjut, Yudhoyono dan Harniati (2004) menyatakan bahwa permasalahan kemiskinan dapat ditinjau dari dimensi sosial, ekonomi dan bahkan politik. Dari dimensi ekonomi, kemiskinan terkait erat antara lain dengan tingkat upah kerja, tingkat pengangguran, produktivitas tenaga kerja, kesempatan kerja dan gerak sektor riil. Dari dimensi sosial, kemiskinan terkait erat antara lain dengan pendidikan, kesehatan,
kondisi
fisik
alam
dan
budaya.
Dengan
demikian,
untuk
penanggulangan kemiskinan, pertumbuhan (growth) ekonomi memang sangat dibutuhkan, tetapi tidak cukup. Pertumbuhan ekonomi harus dibarengi dengan distribusi pendapatan ke arah pemerataan serta terselenggaranya good governance sebagai prasyarat awal. Mukherjee et al (2002) menyebutkan kerangka matapencarian yang berkelanjutan dengan dasar lima aset kehidupan (sumberdaya manusia, alam, finansial, fisik dan sosial) untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan, interaksi antar faktor dan keberlanjutan upaya menyambung hidup. Selanjutnya Dhanani dan Islam (2000), menyebutkan bahwa respon terhadap
75
krisis yang mempengaruhi terjadinya kemiskinan, seperti mekanisme individu, perlindungan sosial informal dari teman dan keluarga, jaringan pengaman sosial, serta kegiatan makroekonomi untuk menjaga inflasi dan menstabilkan nilai tukar. Tingginya insiden kemiskinan di Indonesia sebagaimana tersebut di atas mengindikasikan adanya masalah dalam ekonomi makro, diantaranya berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian BAPPENAS (2004) yang menjelaskan bahwa penurunan insiden kemiskinan berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Sebagai salah satu bukti empirik bahwa pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan penurunan kemiskinan. Ketika terjadi krisis ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi menurun dengan drastis, angka kemiskinan juga meningkat cukup tajam, tetapi ketika pertumbuhan ekonomi kembali seperti semula maka angka kemiskinan kembali seperti sebelum kritis. Kemiskinan berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi juga dihasilkan dari ketimpangan distribusi pendapatan. Hasil analisis dekomposisi indeks kemiskinan yang dilakukan oleh Bappenas dan JICA (2004) menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang mengarah untuk memperkecil kesenjangan dalam beberapa kasus tertentu dapat mempercepat penurunan kemiskinan baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Selanjutnya, penurunan kemiskinan dapat tercapai jika laju pertumbuhan ekonomi meningkat dan pemerataan dapat diperbaiki. Kalaupun terjadi trade off dengan pemerataan, sepanjang pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan peningkatan indeks ketidak merataan yang moderat masih dapat ditolelir, atau sebaliknya (Bappenas dan JICA, 2004). Dengan demikian, kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki distribusi pendapatan harus dilakukan bersamaan dan merupakan keharusan (necessary condition).
76
5.1.1.2. Kedalaman Kemiskinan Hasil analisis mengenai indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P1) nasional menunjukkan angka sebesar 2.3. Indeks kedalaman kemiskinan
mengindikasikan
kesenjangan atau besarnya jarak rata-rata
pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan, dimana semakin besar nilainya maka semakin dalam kemiskinan yang terjadi. Indeks kedalaman kemiskinan menyiratkan juga seberapa kritis kemiskinan terjadi. Pemahaman tentang indeks kedalaman kemiskinan nasional dapat dijadikan acuan dalam menentukan seberapa serius persoalan kemiskinan terjadi. Namun, jika dibandingkan dengan P1 di Cina sebesar 3.32 (The Word Bank, 2004), atau P1 di Bangladesh sebesar 10.9 (BBS Poverty Monitoring Survey, 2004), atau P1 di Nepal sebesar 7.55 (The Word Bank, 2004), maka P1 di Indonesia menunjukkan jarak yang lebih mendekati garis kemiskinan. Adanya jarak yang lebih kecil terhadap garis kemiskinan ini menggambarkan bahwa kesenjangan kemiskinan di Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan dengan tiga negara tersebut. 5.1.1.3. Keparahan Kemiskinan Hasil analisis indeks keparahan kemiskinan atau Poverty Severity Gap Index (P2) nasional sebesar 0.7. Indeks keparahan kemiskinan menjelaskan ragam pengeluaran diantara rumahtangga miskin, dimana semakin kecil kesenjangannya (mendekati 0) menunjukkan kondisi yang seragam. Jika dibanding dengan P2 di Cina sebesar 1.21 (The Word Bank, 2004), atau P2 di Bangladesh sebesar 3.8 (BBS Poverty Monitoring Survey, 2004), atau P2 di Nepal sebesar 2.7 (The Word Bank, 2004), maka P2 di Indonesia lebih kecil daripada negara-negara tersebut. Hal ini menunjukkan indeks keparahan kemiskinan nasional yang memberikan indikasi bahwa distribusi pengeluaran
77
rumahtangga miskin secara nasional
relatif lebih merata di banding negara-
negara tersebut. 5.1.2. Kerentanan Kemiskinan 5.1.2.1. Elastisitas Kemiskinan Untuk mengetahui kerentanan kemiskinan nasional yakni sensitivitas indikator kemiskinan terhadap perubahan Garis Kemiskinan (GK) maka disimulasikan garis kemiskinan (GK) naik 10 persen dan 20 persen. Jika bundel harga barang dan jasa naik karena misalnya faktor inflasi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan lain-lain, maka secara riil nilai dari kebutuhan minimum naik, sementara penyesuaian pendapatan akibat dari kenaikan harga tersebut tidak segera mengikuti perubahan harga. Sebagai akibatnya, proporsi rumahtangga miskin akan bertambah. Dengan menggunakan skenario ini, pada GK*110 persen, proporsi penduduk miskin nasional naik dari 13.1 menjadi 18.9, dan pada GK*120 persen naik dari 13.1 menjadi 25.0. (Tabel 4). Tabel 4. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Nasional Tahun 2005 Indikator
GK
GK*110 %
GK*120 %
Nilai
Nilai
Elastisitas
Nilai
Elastisitas
P0
13.1
18.9
4.35
25.0
4.54
P1
2.3
3.6
5.65
5.1
6.09
P2
0.7
1.1
5.71
1.6
6.43
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = Garis Kemiskinan (versi BPS); P0 = headcount index (dalam%) P1 = poverty gap index (kedalaman atau kesenjangan pengeluaran terhadap GK) P2 = Poverty Severity Gap Index/Distributionally Sensitive Index (keparahan kemiskinan)
Indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P1) secara nasional sebesar 3.6 pada GK*110 persen dan 5.1 pada GK*120 persen. Hal ini
78
berarti bahwa jika terjadi gejolak ekonomi yang menyebabkan terjadi perubahan garis kemiskinan sebesar 10 persen atau 20 persen, ternyata rumahtangga yang jatuh miskin akan naik sebesar 1.3 pada GK*110 persen, atau naik sebesar 2.8 pada GK*120 persen (Tabel 4). Hal yang sama terjadi juga pada indeks keparahan (Poverty Severity Index), dimana Poverty Severity Gap Index (P2) sebesar 1,1 pada GK*110 persen dan 1,6 pada GK*120 persen. Hasil analisis kerentanan tersebut diatas menjelaskan bahwa insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan nasional rentan terhadap perubahan harga barang dan jasa. Selanjutnya, hasil analisis nilai elastisitas perubahan insiden kemiskinan nasional sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen adalah 4.35, dan pada GK*120 persen sebesar 4.54. Dengan elastisitas lebih besar dari satu seperti terlihat pada Tabel 4, maka indikator kemiskinan nasional ini sensitif terhadap gejolak harga. Sebagai ilustrasi, jika terjadi perubahan harga barang dan jasa yang mendorong bundel kebutuhan minimum sebesar 1 persen, maka pada GK*110 persen insiden kemiskinan naik menjadi 4.35 persen, kedalaman kemiskinan naik 5.65 persen, dan keparahan kemiskinan 5.71 persen. Hal ini memberi makna bahwa perubahan harga barang dan jasa kebutuhan minimum sebesar satu persen mengakibatkan jumlah rumahtangga miskin akan naik sebesar 303 162 rumahtangga, sehingga rumahtangga miskin menjadi 7 272 408. Jika diasumsikan rata-rata rumahtangga memiliki anggota sebanyak empat jiwa, maka akan terdapat 29 089 633 jiwa yang berada di bawah garis kemiskinan. Hasil analisis nilai elastisitas indeks kedalaman kemiskinan nasional sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan juga lebih besar dari satu, yaitu sebesar 5.65 pada GK*110 persen, dan sebesar 6.09 pada GK*120 persen, yang
79
berarti
elastis.
Dua
skenario
tersebut
menunjukkan
bahwa
kedalaman
kemiskinan responsif terhadap perubahan harga barang dan jasa. Hal yang serupa terjadi pada nilai elastisitas indeks keparahan kemiskinan nasional, dimana sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK* 110 persen adalah sebesar 5.71 dan pada GK*120 persen sebesar 6.43. Dengan demikian, maka keparahan kemiskinan sensitif terhadap perubahan harga barang dan jasa. Hal ini memberi makna pula bahwa jika terjadi perbaikan situasi ekonomi, misalnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dapat mengurangi pengeluaran rumahtangga miskin maka akan cukup memberi dampak yang signifikan dalam penurunan angka keparahan kemiskinan. Kerentanan kemiskinan yang terjadi di Indonesia sesuai dengan penelitian Sumaryadi (2001) menunjukkan bahwa sekitar 38-50 persen rumahtangga di Indonesia sangat rentan terhadap gejolak ekonomi. Selanjutnya The World Bank (2003) juga menunjukkan bukti-bukti yang memperlihatkan bahwa jumlah penduduk miskin akan naik dua kali lipat, jika garis kemiskinan naik dari US$1 menjadi US$ 2 per hari. Kerentanan kemiskinan menjelaskan bahwa walaupun dari kemampuan konsumsinya di atas garis kemiskinan tetapi berpotensi besar untuk jatuh ke golongan rumahtangga miskin. Untuk rumahtangga seperti ini diperlukan adanya suatu sistem keterjaminan sosial. Sebagaimana diungkap oleh Crescent (2003) yang menyatakan bahwa sistem keterjaminan sosial, seperti asuransi sosial, sistem ketahanan lokal, dan program pembangunan ekonomi dan sosial merupakan antisipasi yang baik dalam menangani kemiskinan. Secara grafis distribusi frekuensi pengeluaran rumahtangga secara nasional dapat dilihat pada Gambar 5.
80
5.1.2.2. Sifat Kemiskinan Untuk mengetahui sifat kemiskinan, maka dilakukan analisis regresi model pengeluaran konsumsi rumahtangga miskin dan rentan yang dilanjutkan dengan analisis regresi dengan variabel seperti pada Lampiran 1. Hasil regresi ini memperlihatkan bahwa dari 13.1 persen rumahtangga miskin (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis dan 10.9 persen tidak kronis. Dengan demikian, 10.9 persen rumahtangga ini berpontensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Seperti diketahui, dua hal yang akan dapat menurunkan kemiskinan, yakni adanya penurunan rata-rata pengeluaran rumahtangga dan atau adanya peningkatan pendapatan.
Rumahtangga
GK = Rp 90.500 GK 110 % = Rp 100.800 GK 120 % = Rp 111.400
Distribusi Frekuensi
Kurva Normal
Pengeluaran (Rp) Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004. Data Diolah
Gambar 5. Distribusi Pengeluaran Rumahtangga Secara Nasional
81
Dari sisi peningkatan pendapatan, variabel yang berpengaruh antara lain adalah insvestasi, penciptaan iklim usaha dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini sejalan dengan hasil studi dampak kebijakan ekonomi makro terhadap pengentasan
kemiskinan
di
Indonesia
(BAPPENAS-JICA,
2004),
yang
menyatakan bahwa penciptaan lapangan pekerjaan dan investasi di bidang infrastruktur dan sumberdaya manusia telah memberikan dampak yang signifikan. Dengan demikian, kebijakan seperti Usaha Mikro Kecil Menengah yang memberi kemudahan untuk investasi dan pemberdayaan masyarakat menjadi relevan untuk dilakukan. Sedangkan 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang untuk dientaskan dari kemiskinan relatif lebih memerlukan penanganan yang lebih kompleks. Untuk kemiskinan yang tergolong kronis, diperlukan intervensi jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan minimum, seperti pangan. Sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini bahwa lebih dari dua per tiga pengeluaran penduduk miskin adalah untuk makanan, karena itu kebijakan untuk subsidi pangan, seperti Beras Miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT) relevan untuk dilakukan. Tabel 5. Sifat Kemiskinan Nasional Aspek
Sifat
GK
GK*110%
GK*120%
Penelitian % RT Miskin
Miskin
(menurut sifat) Sumber Keterangan
10.9
14.1
16.3
Miskin kronis
2.2
4.8
8.7
Total miskin
13.1
18.9
25.0
: Hasil Perhitungan : GK = Garis Kemiskinan RT = rumah tangga
Untuk mengetahui sifat kemiskinan rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan naik sebesar 10 persen.
82
Akibatnya, jumlah penduduk miskin akan bertambah cukup besar. Setelah dilakukan pemilihan variabel, maka dilakukan kembali regresi konsumsi rumahtangga dengan variabel dummy yang dibuat dari variabel-variabel terpilih. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis, dari 18.9 persen rumahtangga miskin di seluruh Indonesia terdapat 4.8 persen rumahtangga yang miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 18. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 25 persen rumahtangga miskin di seluruh Indonesia terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 8.7 persen dan 16.3 persen miskin tidak kronis. Sejumlah 16.3 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 8.7 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang memerlukan effort yang besar, bertahap dan berkelanjutan untuk mengentaskannya. Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin nasional. Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya besar sekali terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin. Tabel 6 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis sebesar 116.2 persen, artinya meningkatnya garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah keluarga miskin kronis bertambah lebih dari dua kali lipat dari angka
83
sebelumnya. Jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis akan mendekati 300 persen (291.9 persen). Tabel 6. Perubahan Sifat Kemiskinan Nasional Aspek Penelitian
Sifat
GK*110%
GK*120%
29.0 116.2 43.1
49.1 291.9 90.3
% perubahan akibat GK
Miskin Miskin kronis Total miskin Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan : GK = Garis Kemiskinan
Tabel 7 menggambarkan perbedaan pengeluaran per kapita dengan garis kemiskinan, relatif terhadap garis kemiskinan (persentase Beda) dan juga ratio pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan (Ratio). Secara umum, dengan garis kemiskinan biasa ternyata persen perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) adalah - 42.2 persen (Tabel 7). Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Tabel 7.
Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Nasional terhadap Garis Kemiskinan
Berdasarkan
Sifat
GK % beda
Nasional Rataan
Median
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
- 42.2 - 13.2 138.6 - 40.0 - 12.1 85.8
ratio 0.578 0.868 2.386 0.600 0.879 1.858
GK*110% % beda ratio - 39.6 -12.6 126.4 - 37.3 -12.0 76.6
0.604 0.874 2.264 0.627 0.880 1.766
GK*120% % beda ratio - 38.3 -12.2 118.0 - 35.8 -11.9 70.4
0.617 0.878 2.180 0.642 0.881 1.704
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan : GK = Garis Kemiskinan
Jika garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, ternyata persen perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis
84
(berdasarkan rataan) sebesar 39.6 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 76.6 persen. Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, ternyata perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) dibawah 40 persen atau -38.3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran per kapita golongan miskin kronis ini berbeda dengan garis kemiskinan. Sedangkan untuk golongan tidak miskin seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen.
5.1.3. Uji Proporsi Kemiskinan antar Agroekosistem Dalam penelitian ini diajukan hipotesis bahwa insiden kemiskinan di Indonesia berasosiasi kuat dengan faktor lokasi (spatial) berdasarkan ekonomi agroekosistem, atau secara matematis diformulasikan sebagai berikut : Ho: p1= p2 = p3 H1: tidak semua pi sama Untuk menguji hipotesis tersebut maka dilakukan pengujian dengan Uji proporsi insiden kemiskinan (Walpole, 1995) antar agroekosistem. Akan tetapi karena data yang mutually exclusive hanya lahan basah, campuran dan lahan kering, maka pengujian hanya bisa dilakukan antar agroekosistem tersebut. Hasil analisis proporsi insiden kemiskinan antar agroekosistem memperlihatkan nilai X2 sebesar 11 189 907. Nilai X2 tersebut lebih besar dari nilai X2 tabel pada alpha 0.025 dengan v = 2 derajat bebas yang sebesar 7.378. Dengan demikian, maka H1 diterima; yang berarti ada perbedaan proporsi insiden kemiskinan yang sangat signifikan antar agroekosistem. Data insiden kemiskinan pada tiap agroekosistem disajikan pada Tabel 8.
85
Tabel 8. Insiden Kemiskinan Nasional per Agroekosistem Tahun 2005 LB Insiden Tidak Miskin Miskin Total
1856650 270097 2126747
LK 31845253 4632700 36477953
LC 12493879 2101774 14595653
Total 46195782 7004571 53200353
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan : LB = Lahan Basah LK = Lahan Kering LC = Lahan Campuran
Berdasarkan hasil
analisis tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa insiden kemiskinan yang terjadi di Indonesia ternyata berasosiasi kuat dengan tipe agroekosistem. Dengan demikian, hipotesis penelitian ini yang menyatakan bahwa ”insiden kemiskinan di Indonesia berasosiasi kuat dengan faktor lokasi (spasial) berdasarkan agroekosistem” ternyata terbukti benar.
5.2. Lahan Basah 5.2.1. Indikator kemiskinan 5.2.1.1. Insiden Kemiskinan Insiden kemiskinan pada agroekosistem lahan basah berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount Index (P0) sebesar 12.7 persen dari total rumahtangga yang tinggal di agroekosistem lahan basah (2 126 747 rumahtangga) atau sebanyak 270 096 rumahtangga miskin, sementara insiden kemiskinan nasional (P0) sebesar 13.1 persen dari total rumahtangga nasional (53 200 353 rumahtangga) atau sebanyak 6 969 246 rumahtangga miskin. Jika dibandingkan dengan angka nasional, nilai P0 agroekosistem lahan basah lebih kecil dari P0 Nasional, namun jika dibandingkan besarannya dengan angka nasional rumahtangga miskin yang sebesar (6 969 246 rumahtangga) maka proporsi insiden kemiskinan di lahan basah hanya 3.88 persen dari total
86
rumahtangga miskin nasional. Data ini menjelaskan bahwa lahan basah bukan merupakan kantong kemiskinan. Pemahaman tentang besarnya insiden kemiskinan di lahan basah akan memberi makna dalam penentuan lokasi sasaran penanggulangan kemiskinan. Data diatas menjelaskan bahwa dengan memperhatikan magnitude-nya, lahan basah bukan merupakan prioritas utama penanggulangan kemiskinan karena dampak yang relatif kecil dalam konteks nasional. 5.2.1.2. Kedalaman Kemiskinan Hasil analisis mengenai indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P1) di lahan basah menunjukkan angka sebesar 1.9 persen. Jika dibandingkan dengan angka nasional maka P1 lahan basah lebih kecil dari P1 nasional. Hal ini menyiratkan bahwa kontribusi lahan basah terhadap indeks kedalaman kemiskinan nasional relatif kecil. Indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan
besarnya
jarak
rata-rata
kesenjangan
pengeluaran
rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan, dimana semakin besar nilainya maka semakin dalam kemiskinan yang terjadi. Pemahaman tentang indeks kedalaman kemiskinan dapat dijadikan acuan dalam memilih area prioritas penanggulangannya. Dengan demikian, maka hasil analisis di atas menjelaskan bahwa jarak rata-rata pengeluaran rumahtangga miskin di agroekosistem lahan basah yang sebesar 1.9 persen sudah mendekati garis kemiskinan. Kedekatan jarak terhadap garis kemiskinan ini menyiratkan bahwa kondisi kemiskinan di lahan basah kurang kritis dan jika ada perlakuan yang tepat terhadap agroekosistem ini, maka lebih besar peluang bagi rumahtangga miskin di agroekosistem lahan basah untuk dapat dientaskan.
87
5.2.1.3. Keparahan Kemiskinan Hasil analisis indeks keparahan kemiskinan atau Poverty Severity Gap Index (P2) di agroekosistem lahan basah sebesar 0.5 persen. Jika dibandingkan dengan angka nasional maka nilai P2 lahan basah lebih kecil dari P2 nasional. Indeks keparahan kemiskinan menjelaskan ketimpangan pengeluaran antar rumahtangga miskin, dimana semakin kecil kesenjangannya (mendekati 0) menunjukkan kondisi yang tidak parah. Dengan demikian, maka indeks keparahan kemiskinan di agroekosistem lahan basah yang sebesar 0.5 persen menunjukkan ketimpangan yang relatif kecil. Hal ini memberikan indikasi bahwa distribusi pengeluaran rumahtangga miskin di agroekosistem lahan basah relatif merata. Hal ini berarti juga kemiskinan yang terjadi di lahan basah kurang belum memerlukan langkah emergency. 5.2.2. Kerentanan Kemiskinan 5.2.2.1. Elastisitas kemiskinan Untuk mengetahui bagaimana insiden kemiskinan sekitar garis kemiskinan yang diasumsikan rentan terhadap garis kemiskinan maka disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Jika bundel harga barang dan jasa naik karena misalnya faktor inflasi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan lainlain, maka secara riil nilai dari kebutuhan minimum naik, sementara penyesuaian pendapatan akibat dari kenaikan harga tersebut tidak segera mengikuti perubahan harga. Sebagai akibatnya, garis kemiskinan juga akan naik. Jika diasumsikan akibat kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen diketahui bahwa dampak kenaikan harga barang dan jasa terhadap proporsi penduduk miskin pada lahan basah ternyata relatif lebih besar (Tabel 9). Dengan mencermati nilai-
88
nilai P0 dan simulasi perubahan-perubahan indeks harga kebutuhan minimum, maka persentase rumahtangga yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 19.3 persen pada GK*110 persen dan 26.7 persen rumahtangga miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen ceteris paribus. Tabel 9. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan pada Lahan Basah Tahun 2005 Indikator
GK
GK*110 %
Nilai Lb P0
12.7
P1
1.9 0.5
P2
Nilai
GK*120 %
Elastisitas
Nilai
Elastisitas
Nas
Lb
Nas
Lb
Nas
Lb
Nas
13.1
19.3
18.8
5.20
4.35
26.7
25.0
5.51 4.54
2.3
3.2
3.6
6.84
5.65
4.8
5.1
7.63 6.09
0.7
0.8
1.1
6.00
5.71
1.3
1.6
8.00 6.43
Sumber
: Hasil Perhitungan
Keterangan
: GK= Garis Kemiskinan; Lb= lahan basah; Nas= nasional
Lb
Nas
Dibanding angka nasional, dimana persentase rumahtangga yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 18.8 persen pada GK*110 persen dan 25.0 persen rumahtangga miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen, maka nilai P0 masih lebih besar. Pola laju perubahan persentase penduduk miskin berubah drastis menjadi lebih dari dua kali lipat jika dampak kenaikan harga barang dan jasa mendorong kenaikan nilai rupiah kebutuhan minimum atau GK sebesar 20 persen.
Secara
grafis
distribusi
frekuensi pengeluaran rumahtangga di lahan basah disajikan pada Gambar 6. Indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P1) yang terjadi di lahan basah sebesar 3.2 pada GK*110 persen dan 4,8 pada GK*120 persen lebih kecil dari Poverty Gap Index (P1) di tingkat nasional. Hal ini berarti jika terjadi gejolak ekonomi yang menyebabkan terjadi perubahan garis kemiskinan sebesar 10 persen atau 20 persen, ternyata masyarakat yang tinggal di lahan
89
basah lebih kecil merasakan shock akibat dari gejolak ekonomi ini dibandingkan dengan tingkat nasional sebagaimana dapat terlihat dari perubahan Poverty Gap Index.
Rumahtangga
GK = Rp 92.600 GK 110 % = Rp 102.200 GK 120 % = Rp 112.000
Distribusi Frekuensi
Kurva Normal
Pengeluaran (Rp) Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004; Data Diolah
Gambar 6. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan Basah
Pola yang sama juga terjadi pada indeks keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index), dimana gejolak ekonomi akan berdampak lebih kecil pada masyarakat yang tinggal di lahan basah dibandingkan nasional, dimana Poverty Severity Gap Index (P2) sebesar 0.8 pada GK*110 persen dan 1.3 pada GK*120 persen. Hal ini berarti keparahan kemiskinan pada lahan basah lebih kecil dari keparahan di tingkat nasional. Dengan demikian, insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di lahan basah relatif kurang rentan dibanding nasional .
90
Hasil analisis nilai elastisitas perubahan insiden kemiskinan di lahan basah sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen dan GK*120 persen sebesar 5.20 dan 5.51. Angka ini menjelaskan bahwa insiden kemiskinan di lahan basah termasuk katagori elastis. Dibanding angka nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 4.35 pada GK*110 persen dan 4.54 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di lahan basah lebih besar. Hal ini berarti dengan dua skenario tersebut diketahui bahwa dampak kenaikan harga barang dan jasa terhadap insiden kemiskinan di lahan basah akan lebih besar dibanding tingkat nasional. Hasil analisis nilai elastisitas indeks kedalaman kemiskinan di lahan basah sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen, dan GK*120 persen masing-masing sebesar 6.84 dan 7.63 yang berarti elastis. Dibanding angka nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 5.65 pada GK*110 persen dan 6.09 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di lahan basah relatif lebih besar. Artinya, dampak pada dua skenario tersebut terhadap kedalaman kemiskinan di lahan basah akan lebih besar dari tingkat nasional. Hasil analisis nilai elastisitas indeks keparahan kemiskinan di lahan basah sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen dan GK*120 persen masing-masing sebesar 6.00 dan 8.00. Angka ini menjelaskan keparahan kemiskinan di lahan basah termasuk katagori elastis. Dibanding angka nasional, maka besaran nilai elastisitasnya lebih besar, sehingga dampak pada dua skenario tersebut terhadap keparahan kemiskinan di lahan basah akan lebih besar dibandingkan tingkat nasional. Namun karena keduanya sama termasuk katagori elastis maka faktor perubahan harga besar dampaknya terhadap peningkatan keparahan kemiskinan. Nilai elastisitas insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di lahan basah seperti diuraikan diatas memberi makna
91
pula bahwa jika terjadi perbaikan situasi ekonomi, maka akan memberi dampak yang relatif besar bagi pengentasan kemiskinan di agroekosistem tersebut. Rumahtangga rentan miskin di agroekosistem lahan basah ini umumnya tidak memiliki aset produktif yang bisa dijadikan agunan saat membutuhkan modal dari lembaga keuangan formal serta umumnya tidak memiliki dana saving, sehingga saat ada shock
akan jatuh miskin. Dengan demikian, penanganan
yang bersifat preventif seperti asuransi, atau pemberdayaan sumberdaya manusia menjadi relevan bagi rumahtangga yang rentan ini. 5.2.2.2. Sifat Kemiskinan Untuk memperoleh gambaran tentang sifat kemiskinan, maka dilakukan analisis regresi model pengeluaran konsumsi rumahtangga miskin. Hasil regresi memperlihatkan bahwa dari 13.1 persen rumahtangga miskin menurut BPS (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis sebesar 2.2 persen dan miskin tidak kronis sebesar 10.9 persen. Sebesar 10.9 persen rumahtangga ini berpontensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 2.2 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan tantangan yang sangat besar untuk mengentaskannya karena merupakan kemiskinan struktural. Hasil regresi untuk lahan basah, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 10. Hasil analisis sifat kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini adalah dari 12.7 persen rumahtangga miskin di daerah lahan basah terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis sebesar 2.5 persen dan miskin tidak kronis sebesar 10,21 persen. Sebanyak 10.21 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan
92
dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Secara teoritis, investasi dan kualitas sumberdaya manusia akan memberi pengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan. Dengan demikian kebijakan seperti UMKM, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat menjadi relevan untuk dilakukan. Sedangkan 2.5 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang memerlukan penyangga kebutuhan minimum hariannya maka kebijakan subsidi pangan seperti Raskin relevan untuk dilakukan. Tabel 10. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Basah Aspek Penelitian % RT Miskin (menurut sifat)
Sifat Miskin Miskin kronis Total miskin
GK Lahan Basah 10.2 2.5 12.7
Nas 10.9 2.2 13.1
GK*110 % GK*120 % Lahan Nas Lahan Nas Basah Basah 14.2 14.1 17.5 16.3 5.1 4.8 9.2 8.7 19.3 18.9 26.7 25
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan; Nas= nasional; RT = rumahtangga
Untuk mengetahui sifat kemiskinan pada rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan dengan meningkatkan sebesar 10%. Akibatnya, jumlah penduduk miskin akan bertambah cukup besar. Setelah dilakukan pemilihan variabel, maka dilakukan kembali regresi konsumsi rumah tangga dengan variabel dummy yang dibuat dari variabel-variabel terpilih. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada
Lampiran
11.
Berdasarkan
hasil
analisis
terdapat
18.9
persen
rumahtangga miskin di seluruh Indonesia terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 4.8 persen dan 14.1 persen miskin tidak kronis. Sejumlah 14.1
93
persen rumahtangga ini berpontensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 4.8 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural (Tabel 10). Hasil regresi untuk lahan basah dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 10. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa 18.3 persen rumahtangga miskin (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 5.6 persen dan miskin tidak kronis sebesar 12.8 persen. Sejumlah 12.8 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 5.6 persen rumahtangga yang miskin ini adalah kemiskinan struktural dengan permasalahan yang kompleks untuk dientaskan. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 18. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa dari 25 persen rumahtangga miskin di seluruh Indonesia terdapat rumahtangga yang miskin kronis yaitu 8.7 persen dan 16.3 persen miskin tidak kronis. Sebanyak 16.3 persen rumahtangga ini berpontensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 8.7 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural dengan probabilitas untuk dientaskan relatif kecil. Hasil regresi untuk lahan basah dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model
94
seperti pada Tabel 10. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 24.6 persen rumahtangga miskin (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 9.5 persen dan 15.1 persen miskin tidak kronis. Sebesar 15.1 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 9.5 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang relatif membutuhkan upaya yang lebih besar untuk dientaskan. Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin, pada lahan basah (Tabel 11). Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya
besar
sekali terhadap
keluarga
miskin
kronis
dan
jumlah
rumahtangga miskin itu sendiri. Tabel 11 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis melebihi angka 100 persen; artinya dengan meningkatkan garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah keluarga miskin kronis bertambah lebih dari 2 kali lipat dari angka sebelumnya. Apalagi jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis melebihi 200 persen. Untuk mengetahui perbedaan pengeluaran rumah tangga dengan garis kemiskinan, maka pengeluaran rumah tangga dikonversi dahulu ke pengeluaran per kapita karena garis kemiskinan sendiri satuannya adalah per kapita. Tabel 11 menggambarkan persentase perbedaan pengeluaran per kapita dengan garis kemiskinan, relatif terhadap garis kemiskinan (Beda) dan juga ratio pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan (Ratio). Secara umum, ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) adalah 34,9 persen (Tabel 11).
95
Tabel 11. Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Lahan Basah Aspek Penelitian % perubahan akibat GK
GK*110 % Lahan Nasional Basah 39.4 29.0 104.0 116.2 52.1 116.2
Sifat Miskin Miskin kronis Total miskin
GK*120 % Lahan Nasional Basah 71.7 49.1 268.0 291.9 110.4 90.3
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= Garis Kemiskinan
Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Sementara lahan basah memiliki beda 65,4 persen yang artinya terdapat jarak yang lebih dekat antara yang tidak miskin dengan miskin, dibanding dengan nasional. Pada garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) di agroekosistem lahan basah sebesar 34,3 persen sekaligus dibawah beda nasional. Tabel 12. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Basah Berdasarkan
Sifat
GK % beda ratio
Lahan Basah Rataan Miskin Kronis - 34.9 Miskin - 10.7 Tidak Miskin 94.5 Median Miskin Kronis - 32.4 Miskin - 10.0 Tidak Miskin 65.4 Nasional Rataan Miskin Kronis - 42.2 Miskin - 13.2 Tidak Miskin 138.6 Median Miskin Kronis - 40.0 Miskin - 12.1 Tidak Miskin 85.8 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan
GK*110% % beda ratio
0.651 0.893 1.945 0.676 0.900 1.654
- 34.3 - 10.6 84.3 - 32.2 - 9.9 56.9
0.578 0.868 2.386 0.600 0.879 1.858
- 39.6 -12.6 126.4 - 37.3 -12.0 76.6
96
0.657 0.894 1.843 0.678 0.901 1.569 0.604 0.874 2.264 0.627 0.880 1.766
GK*120% % beda
ratio
- 33.7 - 10.3 78.0 - 31.3 - 9.9 52.1
0.663 0.897 1.780 0.687 0.901 1.521
- 38.3 -12.2 118.0 - 35.8 -11.9 70.4
0.617 0.878 2.180 0.642 0.881 1.704
Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 76.6 persen. Lahan Basah sebesar 56,9 persen, artinya terdapat jarak yang lebih dekat antara yang tidak miskin dengan miskin. Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, di lahan basah ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) sebesar 33,7 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen. Lahan Basah 52,1 persen, artinya jarak pengeluaran per kapita yang lebih dekat antara yang tidak miskin dengan miskin. 5.3. Lahan Kering 5.3.1. Indikator Kemiskinan 5.3.1.1. Insiden Kemiskinan Insiden kemiskinan pada lahan kering berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount Index (P0) sebesar 12.7 persen dari total rumahtangga yang tinggal di lahan kering (36 477 953 rumahtangga) atau sebanyak 4 632 700 rumahtangga miskin, sementara insiden kemiskinan nasional (P0) sebesar 13.1 persen dari total rumahtangga nasional (53 200 353 rumahtangga) atau sebanyak 6 969 246 rumahtangga miskin. Jika dibandingkan dengan angka nasional, nilai P0 lahan kering lebih kecil P0 nasional, namun jika dibandingkan besarannya dengan angka nasional keluarga miskin yang sebesar (6 969 246 rumahtangga) maka proporsi insiden kemiskinan di lahan kering mencapai 66.46 persen dari total rumahtangga miskin nasional. Data ini menjelaskan bahwa agroekosistem lahan kering menjadi kantong kemiskinan.
97
Tingginya insiden kemiskinan di agroekosistem ini menggambarkan perlunya memfokuskan penanggulangan kemiskinan di lahan kering tersebut. Sumber pendapatan rumahtangga di lahan kering cukup beragam. Penduduk sangat tergantung kehidupannya dari aktivitas pertanian. Kegiatan yang diandalkan adalah usahatani lahan kering dan pekarangan. Pemilikan lahan relatif sempit dan orientasi usahatani adalah untuk pemenuhan kebutuhan pokok/subsisten. Kondisi lahan yang bergelombang hingga berbukit-bukit, dengan penguasaan teknologi dan luas lahan usahatani yang sangat terbatas merupakan kesulitan yang dihadapi penduduk. Kemiskinan pada agroekosistem ini sering terkait dengan tidak tersedianya sumber daya alam yang mendukung dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (PSE, 1995). 5.3.1.2. Kedalaman Kemiskinan Hasil analisis mengenai Indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P1) di agroekosistem lahan kering menunjukkan angka sebesar 1,9 persen. Jika dibandingkan dengan angka nasional maka P1 Lahan kering sama dengan P1 Nasional. Hal ini menyiratkan bahwa indeks kedalaman kemiskinan nasional banyak ditentukan oleh kondisi di agroekosistem lahan kering ini. Indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan besarnya jarak ratarata kesenjangan pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan, dimana semakin mendekati nol, kondisinya semakin baik. Dengan demikian maka jarak rata-rata pengeluaran rumahtangga miskin di agroekosistem lahan kering yang sebesar 1.9 persen sudah mendekati garis kemiskinan. Kedekatan jarak terhadap garis kemiskinan ini menggambarkan bahwa jika ada perlakuan yang tepat ke agroekosistem ini, maka lebih besar peluangnya bagi rumahtangga miskin pada lahan kering untuk dapat dientaskan.
98
5.3.1.3. Keparahan Kemiskinan Hasil analisis indeks keparahan kemiskinan atau Poverty Severity Gap Index (P2) di agroekosistem lahan kering sebesar 0.5 persen. Jika dibandingkan dengan angka nasional maka nilai P2 lahan kering sama dengan P2 nasional. Ini berarti keparahan kemiskinan di agroekosistem lahan kering gambarannya identik dengan kondisi kemiskinan nasional. Indeks keparahan kemiskinan menjelaskan ketimpangan pengeluaran antar rumahtangga miskin, dimana semakin kecil kesenjangannya (mendekati 0) menunjukkan kondisi yang semakin baik. Dengan demikian, maka indeks keparahan kemiskinan di agroekosistem lahan kering yang sebesar 0.5 persen menunjukkan ketimpangan yang relatif kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi pengeluaran rumahtangga miskin di agroekosistem lahan kering relatif merata. 5.3.2. Kerentanan Kemiskinan 5.3.2.1. Elastisitas kemiskinan Untuk mengetahui kerentanan kemiskinan di agroekosistem lahan kering maka disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Jika bundel harga barang dan jasa naik karena misalnya faktor inflasi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan lain-lain, maka nilai dari kebutuhan minimum naik, sementara penyesuaian pendapatan akibat dari kenaikan harga tersebut tidak segera mengikuti perubahan harga. Sebagai akibatnya, garis kemiskinan (dalam rupiah) juga akan naik. Diasumsikan bahwa akibat kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Dengan menggunakan skenario ini diketahui bahwa dampak kenaikan harga barang dan jasa terhadap proporsi penduduk miskin di lahan kering ternyata cukup besar sebagaimana dirinci padaTabel 13.
99
Tabel 13. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Pada Lahan Kering Indikator
GK
GK*110 %
Nilai
Nilai
GK*120 %
Elastisitas
Nilai
Elastisitas
Lk
Nas
Lk
Nas
Lk
Nas
Lk
Nas
Lk
Nas
P0
12,7
13.1
18.0
18.8
4.17
4.35
23,7
25.0
4.33
4.54
P1
2,3
2.3
3,5
3.6
5.22
5.65
4,9
5.1
5.65
6.09
P2
0,7
0.7
1,1
1.1
5.71
5.71
1,60
1.6
6.43
6.43
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= Garis Kemiskinan (versi BPS); Lk= lahan kering; Nas= nasional P0 = headcount index P1 = poverty gap index(kedalaman atau kesenjangan pengeluaran terhadap GK) P2 = Poverty Severity Gap Index/Distributionally Sensitive Index (keparahan kemiskinan)
Dengan mencermati nilai-nilai P0 dan simulasi perubahan-perubahan indeks harga kebutuhan minimum, maka persentase penduduk yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 18.0 persen pada GK*110 persen dan 23.7 persen penduduk miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen ceteris paribus. Dibanding nasional, dimana persentase penduduk yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 18.8 persen pada GK*110 persen dan 25.0 persen penduduk miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen, maka nilai P0 di agroekosistem lahan kering masih lebih kecil. Ini berarti dampak peningkatan proporsi penduduk miskin pada dua skenario tersebut terhadap insiden kemiskinan di agroekosistem lahan kering akan kurang berpengaruh dengan besaran yang lebih kecil dari angka nasional. Pola laju perubahan persentase penduduk miskin berubah cukup besar jika dampak kenaikan harga barang dan jasa mendorong kenaikan nilai rupiah kebutuhan minimum atau GK sebesar 20 persen. Secara grafis distribusi pengeluaran rumahtangga di Lahan Kering dapat dilihat pada Gambar 7.
100
Rumahtangga GK = Rp 89.600 GK 110 % = Rp 99.700 GK 1 20 % = Rp 110.300
Distribusi Frekuensi
Kurva Normal
Pengeluaran (Rp) Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004. Data Diolah
Gambar 7. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan Kering
Indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P1) yang terjadi di lahan kering dengan index sebesar 3.5 pada GK*110 persen dan 4.9 pada GK* 120 persen lebih kecil dari pada Poverty Gap Index (P1) di tingkat nasional. Hal ini berarti jika terjadi gejolak ekonomi yang menyebabkan terjadi perubahan garis kemiskinan sebesar 10 persen atau 20 persen, ternyata masyarakat yang tinggal di lahan kering merasakan akibat yang sedikit lebih kecil dari gejolak ekonomi ini dibandingkan dengan tingkat nasional. Tidak demikian halnya pada indeks keparahan (Poverty Severity Index), dimana gejolak ekonomi akan berdampak sama pada masyarakat yang tinggal di lahan kering dan nasional, dimana Poverty Severity Gap Index (P2) sebesar 1.1 pada GK*110 persen dan 1.6 pada GK*120 persen. Hal ini berarti keparahan kemiskinan di lahan kering sama dengan keparahan di tingkat nasional. Hasil
analisis
nilai
elastisitas
perubahan
insiden
kemiskinan
di
agroekosistem lahan kering sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110
101
persen sebesar 4.17, dan GK*120 persen sebesar 4.33. Angka ini menjelaskan bahwa insiden kemiskinan di agroekosistem lahan kering adalah elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 4.35 pada GK*110 persen dan sebesar 4.54 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di agroekosistem lahan kering lebih kecil. Ini berarti dampak dari dua skenario tersebut terhadap insiden kemiskinan di agroekosistem lahan kering akan lebih kecil dari tingkat nasional. Hasil analisis nilai elastisitas indeks kedalaman kemiskinan pada lahan kering sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan pada GK*110 persen sebesar 5.22, dan pada GK*120 persen sebesar 5.65 yang berarti elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 5.65 pada GK*110 persen dan sebesar 6.09 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di lahan kering masih lebih kecil. Ini berarti dampak pada dua skenario tersebut terhadap kedalaman kemiskinan pada lahan kering akan
persen lebih kecil dibanding
tingkat nasional. Hasil analisis nilai elastisitas indeks keparahan kemiskinan pada lahan kering sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen sebesar 5.71 dan GK*120 persen sebesar 6.43. Angka ini menjelaskan keparahan kemiskinan pada lahan kering masuk katagori elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sama yaitu sebesar 5.71 pada GK*110 persen, dan sebesar 6.43 pada GK*120 persen maka dampak dari dua skenario tersebut terhadap keparahan kemiskinan pada lahan kering akan sama dengan tingkat nasional. Karena keduanya termasuk katagori elastis maka mempertahankan stabilitas harga barang dan jasa menjadi penting dilakukan karena akan menghasilkan dampak cukup besar terhadap peningkatan keparahan kemiskinan.
102
Kerentanan kemiskinan di agroekosistem lahan kering memberi arti bahwa rumahtangga ini walaupun dari kemampuan konsumsinya di atas garis kemiskinan tetapi berpotensi besar untuk jatuh ke golongan rumah tangga miskin. Rumahtangga yang rentan ini membutuhkan sistem keterjaminan sosial, sehingga pada saat ada shock, akan mampu untuk bertahan. Dengan demikian, penanganan yang bersifat preventif seperti jaringan pengaman sosial menjadi relevan bagi rumahtangga yang rentan ini. 5.3.2.2. Sifat Kemiskinan Untuk mengidentifikasi sifat kemiskinan, maka disusun regresi model pengeluaran konsumsi rumahtangga miskin dan rentan. Hasil regresi ini memperlihatkan bahwa dari 13.1 persen rumahtangga miskin menurut BPS (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis dan 10.9 persen tidak kronis. Dengan demikian 10.9 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumah tangga ini bisa meningkat; sedangkan 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis relatif lebih sulit untuk dientaskan. Hasil regresi untuk lahan kering, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 14. Hasil analisis kerentanan kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini diketahui dari 12.7 persen rumahtangga miskin di lahan kering terdiri dari 2.3 persen rumahtangga yang miskin kronis dan sebesar 10.4 persen miskin tidak kronis. Sejumlah 10.4 persen rumahtangga
ini
berpotensi
untuk
meningkatkan
pendapatan
dengan
meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Pembukaan kesempatan usaha, peningkatan keterampilan akan memberi peluang bagi rumahtangga miskin untuk keluar dari
103
kemiskinan.
Dengan
demikian,
kebijakan
seperti
pengembangan
dan
pemberdayaan masyarakat menjadi relevan untuk dilakukan. Sedangkan 2.3 persen rumahtangga yang miskin kronis ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang kemungkinan untuk dientaskan dari kemiskinan sangat kecil, kecuali dengan intervensi yang tepat. Untuk jangka pendek terhadap golongan ini perlu disubsidi untuk pengeluaran makanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar dua per tiga pengeluaran rumahtangga adalah untuk makanan. Untuk mengetahui sifat kemiskinan rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan naik sebesar 10%. Akibatnya, jumlah penduduk miskin akan bertambah cukup besar. Setelah dilakukan pemilihan variabel, maka dilakukan kembali regresi konsumsi rumah tangga dengan variabel dummy yang dibuat dari variabel-variabel terpilih. Tabel 14. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Kering Aspek Penelitian
Sifat
% RT Miskin (menurut sifat
Miskin Miskin kronis Total miskin
GK GK*110 % GK*120 % Lahan Nas Lahan Nas Lahan Nas kering kering kering 10.4 10.9 13.4 14.1 15.4 16.3 2.3 2.2 4.6 4.8 8.3 8.7 12.7 13.1 18.0 18.9 23.7 25
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = Garis Kemiskinan Nas= Nasional
Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis, dari sejumlah 18.9 persen rumahtangga miskin seluruh Indonesia terdapat 4.8 persen rumahtangga yang miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis. Sebanyak 14.1 persen rumahtangga
ini
berpotensi
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
dengan
meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi
104
rumahtangga ini bisa meningkat; sedangkan 4.8 persen rumahtangga yang miskin kronis memerlukan penanganan segera untuk memenuhi kebutuhan minimum. Hasil regresi untuk lahan kering dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 14. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa 18.0 persen rumahtangga miskin terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis sebesar 4,6 persen dan miskin tidak kronis sebesar 13,4. Dengan demikian, maka sebanyak 13,4 persen rumahtangga ini berpotensi untuk dientaskan kemiskinannya dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 14. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 25 persen rumahtangga miskin seluruh Indonesia terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 8.7 persen dan 16.3 persen miskin tidak kronis. Sejumlah 16.3 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 8.7 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang perlu penanganan yang lebih besar untuk mengentaskan kemiskinan pada kelompok masyarakat ini Hasil regresi untuk lahan kering dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 14. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 23.7 persen rumahtangga miskin terdiri dari rumah tangga yang miskin kronis sebesar 8.3 persen dan miskin tidak kronis sebesar 15.4 persen.
105
Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin, pada lahan kering. Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya besar sekali terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin. Tabel 15 menunjukkan bahwa laju pertambahan rumahtangga miskin kronis sebesar 100 persen, artinya dengan meningkatkan garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah keluarga miskin kronis bertambah 2 kali lipat (100 persen) dari angka sebelumnya, dan jumlah rumahtangga miskin tidak kronis meningkat dengan laju sebesar 29.1 persen. Pertambahan rumahtangga miskin jauh lebih tinggi jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen yakni terjadi peningkatan keluarga miskin kronis dengan laju 260.9 persen dan miskin tidak kronis dengan laju 48.4 persen. Dengan demikian, laju perubahan insiden kemiskinan tidak linear dengan laju kenaikan harga barang dan jasa yang mendorong kenaikan garis kemiskinan.
Tabel 15. Perubahan Kerentanan Kemiskinan Pada Lahan Kering Aspek Penelitian % perubahan akibat GK
Sifat
Miskin Miskin kronis Total miskin Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan
GK*110 % Nasional Lahan kering 29.1 29.0 100.0 42.0
116.2 116.2
GK*120 % Lahan Nasional kering 48.4 49.1 260.9 86.9
291.9 90.3
Untuk mengetahui perbedaan pengeluaran rumahtangga dengan garis kemiskinan, maka pengeluaran rumahtangga dikonversi dahulu ke pengeluaran per kapita karena garis kemiskinan sendiri satuannya adalah per kapita. Tabel 16 menggambarkan persen perbedaan pengeluaran per kapita dengan garis kemiskinan, relatif terhadap garis kemiskinan (Beda) dan juga ratio pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan (Ratio).
106
Secara umum, dengan kondisi garis kemiskinan BPS ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) adalah dibawah 40 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Lahan kering memiliki beda 65.4 persen; yang artinya pada agroekosistem ini terdapat jarak yang lebih dekat antara yang tidak miskin dengan miskin, dibanding dengan Nasional. Untuk
kondisi
garis
kemiskinan
ditingkatkan
10
persen,
ternyata
persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) sebesar 34.3 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 76.6 persen. Pada agroekosistem lahan kering sebesar 56,9 persen, artinya terdapat jarak yang dekat antara yang tidak miskin dengan miskin. Tabel 16. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Kering Berdasarkan
GK % beda
ratio
- 34.9 - 10.7 94.5 - 32.4 - 10.0 65.4
0.651 0.893 1.945 0.676 0.900 1.654
- 34.3 - 10.6 84.3 - 32.2 - 9.9 56.9
- 42.2
0.578
- 39.6
0.604
- 38.3
- 13.2 Tidak Miskin 138.6 Median Miskin Kronis - 40.0 Miskin - 12.1 Tidak Miskin 85.8 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= garis kemiskinan
0.868 2.386 0.600 0.879 1.858
-12.6 126.4 - 37.3 -12.0 76.6
0.874 2.264 0.627 0.880 1.766
-12.2 118.0 - 35.8 -11.9 70.4
Lahan kering Rataan
Median
Nasional Rataan
Sifat
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
GK*110 % % beda ratio 0.657 0.894 1.843 0.678 0.901 1.569
GK*120 % % beda ratio - 33.7 - 10.3 78.0 - 31.3 - 9.9 52.1
0.663 0.897 1.780 0.687 0.901 1.521
Miskin Kronis Miskin
107
0.617 0.878 2.180 0.642 0.881 1.704
Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, pada lahan kering ternyata
persentase
perbedaan
pengeluaran
perkapita
terhadap
garis
kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) sebesar 33.7 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen. Pada agroekosistem lahan kering, P2 dibawah 60 persen, artinya pada agroekosistem lahan kering terdapat jarak pengeluaran per kapita yang lebih dekat antara yang tidak miskin dengan miskin dibanding dengan nasional. 5.4. Lahan Campuran 5.4.1. Indikator Kemiskinan 5.4.1.1. Insiden Kemiskinan Insiden
kemiskinan
pada
lahan
campuran
berdasarkan
hasil
penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount Index (P0) sebesar 14.4 persen dari total rumahtangga yang tinggal di lahan campuran (14 595 653 rumahtangga) atau sebanyak 2 101 774 rumahtangga miskin, sementara insiden kemiskinan nasional (P0) sebesar 13.1 persen dari total rumahtangga nasional (53 200 353 rumahtangga) atau sebanyak 6 969 246 rumahtangga miskin. Jika dibandingkan dengan angka nasional, nilai P0 lahan campuran lebih besar dari P0 nasional, namun jika dibandingkan besarannya dengan angka nasional rumah tangga miskin yang sebesar (6 969 246 rumahtangga) maka insiden kemiskinan di lahan campuran sebesar 30.16 persen dari total rumahtangga miskin nasional. Data ini menjelaskan bahwa adanya konsentrasi rumahtangga miskin di agroekosistem lahan campuran yang cukup besar. Pemahaman tentang besarnya insiden kemiskinan di lahan campuran akan memberi makna dalam penentuan lokasi sasaran penanggulangan
108
kemiskinan. Data di atas menyiratkan perlunya memfokuskan penanggulangan kemiskinan di agroekosistem lahan campuran tersebut. Dengan penerapan strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat pada agroekosistem ini, maka akan memberi dampak yang cukup besar dalam konteks nasional. 5.4.1.2. Kedalaman Kemiskinan Hasil analisis mengenai indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P1) di lahan campuran menunjukkan angka sebesar 2.4 persen. Jika dibandingkan dengan angka nasional, maka P1 lahan campuran lebih besar dari P1 nasional. Hal ini menjelaskan bahwa indeks kedalaman kemiskinan nasional turut ditentukan oleh kondisi di lahan campuran ini. Indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan besarnya jarak rata-rata kesenjangan pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan, dimana semakin besar nilainya maka semakin dalam kemiskinan yang terjadi. Indeks kedalaman kemiskinan menjelaskan juga seberapa kritis kemiskinan terjadi. Pemahaman tentang indeks kedalaman kemiskinan dapat dijadikan acuan dalam memilih area prioritas penanggulangannya. Dengan demikian, maka hasil analisis di atas menjelaskan bahwa jarak rata-rata pengeluaran rumah tangga miskin di lahan campuran yang sebesar 2.4 persen belum mendekati garis kemiskinan. Adanya jarak terhadap garis kemiskinan ini memperlihatkan bahwa kondisi kemiskinan di lahan campuran cukup kritis sehingga diperlukan upaya yang serius ke agroekosistem ini, agar rumahtangga miskin di lahan campuran dapat memenuhi kebutuhan minimum. 5.4.1.3. Keparahan Kemiskinan Hasil analisis indeks keparahan kemiskinan atau Poverty Severity Gap Index (P2) di lahan campuran sebesar 0.6 persen. Jika dibandingkan dengan
109
angka nasional maka nilai P2 lahan campuran lebih besar dari P2 nasional. Ini berarti keparahan kemiskinan di lahan campuran gambarannya sedikit lebih baik dari kondisi kemiskinan nasional. Indeks keparahan kemiskinan menjelaskan ketimpangan pengeluaran antar rumahtangga miskin, dimana semakin kecil kesenjangannya (mendekati (0) menunjukkan kondisi yang tidak parah. Dengan demikian, maka indeks keparahan kemiskinan di lahan campuran yang sebesar 0.6% menunjukkan ketimpangan yang relatif lebih kecil. Hal ini memberikan indikasi bahwa distribusi pengeluaran rumahtangga miskin di lahan campuran relatif agak merata. 5.4.2. Kerentanan Kemiskinan 5.4.2.1. Elastisitas kemiskinan Untuk mengetahui kerentanan kemiskinan di agroekosistem lahan campuran maka disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Jika bundel harga barang dan jasa naik karena misalnya terjadinya kenaikan harga bahan bakar minyak dan lain-lain, maka kebutuhan minimum naik, sementara penyesuaian pendapatan akibat dari kenaikan harga tersebut tidak segera mengikuti perubahan harga. Tabel 17. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Pada Lahan Campuran Indikator
GK
GK*110%
Nilai LC P0 P1 P2
14.4 2.4 0.5
Nas 13.1 2.3 0.7
Nilai LC 20.9
GK*120%
Elastisitas
Nilai
Elastisitas
Nas
LC
Nas
LC
Nas
LC
Nas
18.8
4.51
4.35
27.9
25.0
4.69
4.54
3.6
5.83
5.65
5.5
5.1
6.46
6.09
1.1
12.00
5.71
1.6
1.6
11.00
6.43
3.8 1.1
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan LC = lahan campuran Nas= nasional
110
Diasumsikan, akibat kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Dengan menggunakan skenario ini diketahui bahwa dampak inflasi terhadap proporsi rumahtangga miskin di lahan campuran ternyata cukup besar (Tabel 17). Secara grafis distribusi frekuensi pengeluaran rumahtangga di lahan campuran dapat dilihat pada Gambar 8. Dengan mencermati nilai-nilai P0 dan simulasi perubahan-perubahan indeks harga kebutuhan minimum, maka persentase rumahtangga yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 20.9 persen pada GK*110 persen dan 27.9 persen rumahtangga miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen ceteris paribus. Dibanding angka nasional, dimana persentase rumahtangga yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 18.8 persen pada GK*110 persen dan 25.0 persen rumahtangga miskin maka angka di lahan campuran lebih besar. Hal ini berarti perubahan garis kemiskinan, akan memberi dampak peningkatan proporsi rumahtangga miskin yang lebih besar pada lahan campuran ini dibandingkan dengan nasional. Pola laju perubahan persentase rumahtangga miskin berubah lebih besar jika dampak kenaikan harga barang dan jasa mendorong kenaikan nilai rupiah kebutuhan minimum atau GK sebesar 20 persen. Poverty Gap Index (P1) yang terjadi di lahan campuran dengan indeks sebesar 3.8 pada GK*110 persen dan 5.5 pada GK*120 persen lebih besar dari Poverty Gap Index (P1) di tingkat nasional. Hal ini berarti jika terjadi gejolak ekonomi yang menyebabkan terjadi perubahan garis kemiskinan sebesar 10 persen atau 20 persen, ternyata masyarakat yang tinggal pada lahan campuran lebih besar merasakan akibat dari gejolak ekonomi ini dari pada tingkat nasional sebagaimana dapat terlihat dari perubahan Poverty Gap Index.
111
Rumahtangga 300000
GK = Rp 92.800 GK 110 % = Rp 103.100 GK 120 % = Rp 113.400
250000
Distribusi Frekuensi
Frequency
200000
Kurva Normal
150000
100000
50000 Mean = 180828.78 Std. Dev. = 81864.417 N = 14,293,697 0 100000
200000
300000
400000
expcap
500000
Pengeluaran (Rp)
Cases weighted by wert04
Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004; Data Diolah
Gambar 8. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan Campuran Namun tidak demikian halnya yang terjadi pada indeks keparahan (Poverty Severity Index), dimana gejolak ekonomi akan berdampak sama pada masyarakat yang tinggal pada lahan campuran dan nasional, dimana P2 sebesar 1.1 pada GK*110 persen dan 1.6 pada GK*120 persen. Hasil analisis nilai elastisitas perubahan insiden kemiskinan di lahan campuran sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen, dan GK*120 persen masing-masing sebesar 4.51 dan 4.69. Angka ini menjelaskan bahwa insiden kemiskinan di lahan campuran termasuk kategori elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 4.35 pada GK*110 persen dan 4.54 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di lahan campuran sedikit lebih besar. Ini berarti dampak dari dua skenario tersebut terhadap insiden kemiskinan di lahan campuran akan sedikit lebih besar dari tingkat nasional.
112
Hasil analisis nilai elastisitas indeks kedalaman kemiskinan di lahan campuran sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen, dan GK*120 persen masing-masing sebesar 5.83 dan 6.46 yang berarti elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 5.65 pada GK*110 persen dan 6.09 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di lahan campuran lebih besar. Ini berarti dampak pada lahan campuran akan lebih besar dari tingkat nasional. Hasil analisis nilai elastisitas indeks keparahan kemiskinan di lahan campuran sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen, dan GK*120 persen masing-masing sebesar 12.00 dan 11.00. Angka ini menjelaskan keparahan kemiskinan di lahan campuran lebih elastis dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya 5.71 dan 6.43, sehingga dampak terhadap keparahan kemiskinan di lahan campuran akan besar dari tingkat nasional. Nilai elastisitas insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di lahan campuran seperti diuraikan diatas memberi makna pula bahwa jika terjadi perbaikan situasi ekonomi, maka akan cukup memberi dampak bagi pengentasan kemiskinan di agroekosistem tersebut dan akan memberi dampak yang cukup signifikan dalam kontek nasional. Untuk golongan rumahtangga rentan terhadap kemiskinan ini walaupun dari kemampuan konsumsinya di atas garis kemiskinan tetapi berpotensi besar untuk jatuh ke golongan rumahtangga miskin. Agar rumahtangga yang rentan ini mampu bertahan terhadap shock, maka perlu adanya upaya pencegahan. Dengan demikian, penanganan yang bersifat preventif seperti asuransi, pemberdayaan sumberdaya manusia menjadi relevan bagi rumahtangga yang rentan ini.
113
5.4.2.2. Sifat Kemiskinan Hasil regresi memperlihatkan bahwa dari 13.1 persen rumahtangga miskin (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari rumahtangga yang kronis terhadap kemiskinan sebesar 2.2 persen dan rumahtangga yang tidak kronis sebesar 10.9 persen. Dengan demikian maka sebesar 10.9 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis ini adalah kemiskinan struktural yang relatif kompleks. Hasil regresi untuk lahan campuran, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 18. Hasil analisis sifat kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini adalah 14.4 persen rumahtangga miskin (di bawah garis kemiskinan) di lahan campuran terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis sebesar 2.3 persen dan sebesar 12.1 persen miskin tidak kronis. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa usaha kecil menengah cukup tahan dalam menghadapi krisis ekonomi. Sedangkan 2.3 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang memerlukan barang dan jasa untuk segera dapat memenuhi kebutuhan minimumnya; sehingga kebijakan subsidi seperti Raskin, BLT masih relevan untuk dilakukan. Tabel 18. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Campuran Aspek Penelitian
% RT Miskin (menurut sifat)
Sifat
Miskin Miskin kronis Total miskin
GK Lahan campuran 12.1 2.3 14.4
Nas
10.9 2.2 13.1
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan; Nas= nasional
114
GK*110 % Lahan Nas campuran 15.7 14.1 5.3 4.8 20.9 18.8
GK*120 % Lahan Nas campuran 18.1 16.3 9.8 8.7 27.9 25
Untuk mengetahui sifat kemiskinan untuk rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan dengan meningkatkan sebesar 10 persen. Setelah dilakukan pemilihan variabel, dilakukan kembali regresi konsumsi rumahtangga dengan variabel dummy yang dibuat dari variabelvariabel terpilih. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis terdapat 18.8 persen rumahtangga miskin seluruh Indonesia terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 4.8 persen dan 14.1 miskin tidak kronis. Hasil regresi pada lahan campuran dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 18. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa 27.9 persen rumahtangga miskin terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 9.8 persen dan 18.1 persen miskin tidak kronis. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 18. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 25 persen rumahtangga miskin seluruh Indonesia terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 8.7 persen dan 16.3 persen miskin tidak kronis. Hasil regresi pada lahan campuran dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 19. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 27.9 persen rumahtangga miskin terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 9.8 persen dan 18.1 persen miskin tidak kronis. Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin,
115
pada lahan campuran (Tabel 19). Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata berdampak besar terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin itu sendiri. Tabel 19 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis melebihi angka 100 persen (135.6 persen), artinya dengan meningkatkan garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah keluarga miskin kronis bertambah lebih dari 2 kali lipat dari angka sebelumnya. Jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis melebihi 200 persen yakni 291.9 persen. Tabel 19. Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Lahan Campuran Aspek Penelitian % perubahan Akibat GK
Sifat Miskin Miskin kronis Total miskin
GK*110% Lahan Nasional Campuran 29.6 29.0 135.6 116.2 45.5 116.2
GK*120% Lahan Nasio Campuran nal 49.5 49.1 335.6 291.9 94.3 90.3
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= garis kemiskinan
Untuk mengetahui perbedaan pengeluaran rumahtangga dengan garis kemiskinan, maka pengeluaran rumahtangga dikonversi dahulu ke pengeluaran per kapita karena garis kemiskinan satuannya adalah per kapita. Tabel 20 menggambarkan persentase perbedaan pengeluaran per kapita dengan garis kemiskinan, relatif terhadap garis kemiskinan (Beda) dan juga ratio pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan (Ratio). Secara umum, ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) adalah diatas 40 persen (Tabel 20). Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Sementara untuk lahan campuran memiliki
116
beda 69.4 persen yang artinya jarak yang lebih rendah antara yang tidak miskin dengan miskin dibanding dengan nasional. Untuk
kondisi
garis
kemiskinan
ditingkatkan
10
persen,
ternyata
persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) sebesar 37.3 persen untuk lahan campuran. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan
golongan
tidak
miskin
terhadap
garis
kemiskinan
sebesar
76.6 persen. Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) sebesar 36.2 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen; sementara pada lahan campuran di bawah 60 persen (55.2 persen), artinya terdapat jarak pengeluaran per kapita yang lebih rendah antara yang tidak miskin dengan miskin dibanding dengan nasional. Tabel 20. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Campuran Berdasarkan
Sifat
GK
% beda Lahan campuran Rataan Miskin Kronis - 40.1 Miskin - 12.4 Tidak Miskin 100.7 Median Miskin Kronis - 38.4 Miskin - 11.4 Tidak Miskin 69.4 Nasional Rataan Miskin Kronis - 42.2 Miskin - 13.2 Tidak Miskin 138.6 Median Miskin Kronis - 40.0 Miskin - 12.1 Tidak Miskin 85.8 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= garis kemiskinan
ratio 0.599 0.876 2.007 0.616 0.886 1.694 0.578 0.868 2.386 0.600 0.879 1.858
117
GK*110 % % beda Ratio
GK*120 % % beda ratio
- 37.3 - 11.9 91.2 - 35.1 - 11.3 61.0
0.627 0.881 1.912 0.649 0.887 1.610
- 36.2 - 11.6 84.5 - 33.9 - 11.5 55.2
- 39.6 -12.6 126.4 - 37.3 -12.0 76.6
0.604 0.874 2.264 0.627 0.880 1.766
- 38.3 -12.2 118.0 - 35.8 -11.9 70.4
0.638 0.884 1.845 0.661 0.885 1.552 0.617 0.878 2.180 0.642 0.881 1.704
5.5. Dataran Tinggi 5.5.1. Indikator Kemiskinan 5.5.1.1. Insiden Kemiskinan Insiden kemiskinan pada dataran tinggi berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount index (P0) sebesar 11.6 persen. Hal ini berarti bahwa 11.6 persen populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan pada dataran tinggi, atau sebanyak 4 300 449 rumahtangga miskin (61.71 persen) dari total rumahtangga miskin nasional. Dengan kondisi seperti ini, dataran tinggi menjadi salah satu target area untuk pengentasan kemiskinan. Pemahaman tentang besarnya insiden kemiskinan di dataran tinggi akan memberi makna dalam penentuan lokasi sasaran penanggulangan kemiskinan. Dalam rangka menanggulangi kemiskinan di dataran tinggi, secara mikro haruslah dilihat tidak hanya indikator kemiskinannya yakni insiden, kedalaman dan keparahannya tetapi juga karakteristik kemiskinannya. Data di atas menyiratkan perlunya memfokuskan penanggulangan kemiskinan
di
agroekosistem
tersebut.
Dengan
penerapan
strategi
penanggulangan kemiskinan yang tepat pada agroekosistem ini, maka akan memberi dampak yang besar dalam skala nasional. P0 dataran tinggi menunjukkan dibawah rata-rata P0 nasional (13.1 persen); artinya, persentase rumahtangga miskin di dataran tinggi lebih kecil daripada rata-rata proporsi nasional. 5.5.1.2. Kedalaman Kemiskinan Selanjutnya, Poverty Gap Index (P1) sebesar 2.0 lebih kecil daripada Poverty Gap Index (P1) nasional (2.3). Ini berarti rata-rata pendapatan rumah
118
tangga miskin pada dataran tinggi memiliki kedalaman kemiskinan yang lebih kecil daripada nasional. Artinya, jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan di kawasan dataran tinggi lebih dibanding P1 nasional. Kedalaman ini terkait dengan tingkat jumlah rumahtangga yang jatuh dalam kemiskinan kronis. Adanya jarak terhadap garis kemiskinan ini mengindikasikan bahwa kondisi kemiskinan di dataran tinggi cukup kritis dan diperlukan perlakuan yang tepat pada agroekosistem ini. 5.5.1.3. Keparahan Kemiskinan Distributionally Sensitive Index atau disebut juga Poverty Severity Gap Index (P2) sebesar 0.5 persen pada dataran tinggi, ternyata lebih kecil dari nasional (0.7). Ini berarti indeks keparahan kemiskinan yang memperhitungkan tidak hanya jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan tetapi juga kesenjangan diantara orang miskin lebih kecil dibanding nasional. Indikasi lebih kecilnya keparahan ini dalam konteks penanggulangan kemiskinan, dimensi sosial khususnya equity belum mendesak dalam pengentasan kemiskinan pada agroekosistem dataran tinggi. 5.5.2. Kerentanan Kemiskinan 5.5.2.1. Elastisitas kemiskinan Dengan menggunakan garis kemiskinan BPS, ternyata 11.6 persen masyarakat
pada
dataran
tinggi
termasuk
kedalam
kelompok
miskin.
Selanjutnya, untuk mengetahui bagaimana insiden kemiskinan sekitar garis kemiskinan
yang diasumsikan
rentan terhadap
garis kemiskinan maka
disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Dari simulasi tersebut diperoleh hasil perubahan indikator-indikator kemiskinan, persentase perubahan dan elastisitasnya disajikan pada Tabel 21.
119
Tabel 21. Indikator dan Elastisitas Indikator Kemiskinan di Dataran Tinggi Indikator
GK
GK*110 %
Nilai DTT P0 P1 P2
11.6 2.0 0.5
Nas 13.1 2.3 0.7
Nilai DTT 16.9 3.1 0.9
GK*120 %
Elastisitas
Nilai
Elastisitas
Nas
DTT
Nas
DTT
Nas
DTT
Nas
18.8
4.57
4.35
22.6
25.0
4.74
4.54
3.6
5.50
5.65
4.5
5.1
6.25
6.09
1.1
8.00
5.71
1.3
1.6
8.00
6.43
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: DTT = dataran tinggi; DTT = Dataran tinggi Nas = Nasional
Dengan skenario GK naik 10 persen (GK*110 persen), yang terjadi pada Headcount Index (P0) pada dataran tinggi adalah peningkatan proporsi insiden kemiskinan dari 11.6 persen menjadi 16.9 persen, yang menunjukkan bahwa agroekosistem ini mempunyai peluang terjadinya gejolak peningkatan insiden kemiskinan bila terjadi bencana/goncangan, kecenderungan, dan pengaruh musim yang mendorong kenaikan harga-harga kebutuhan hidup sebesar 10 persen. Secara grafik distribusi frekuensi pengeluaran rumahtangga di dataran tinggi dapat dilihat pada Gambar 9. Lebih lanjut, dengan skenario GK*110 persen, yang terjadi pada Poverty Gap Index (P1) meningkat dari 2.0 menjadi 3.1. Hal ini menunjukkan bahwa adanya peluang terjadinya gejolak peningkatan kedalaman kemiskinan di dataran tinggi bila terjadi bencana/goncangan eksternal yang mendorong kenaikan harga barang dan jasa sehingga mendorong garis kemiskinan naik sebesar 10 persen. Artinya, selain makin banyak yang jatuh miskin, kondisi mereka pun makin jauh dari garis kemiskinan, sehingga makin banyak upaya yang diperlukan untuk mengangkat mereka lepas dari kemiskinan. Walaupun dibanding dengan nasional presentase perubahan P1 dataran tinggi (55.0 persen) lebih kecil dari pada persentase P1 nasional (56.0 persen). Pola yang sama terjadi pada Poverty
120
Severity Gap Index (P2) yang meningkat dari 0.5 menjadi sebesar 0.9 pada GK*110 persen. Presentase perubahan P2 dataran tinggi (80.0 persen) lebih besar daripada persentase P1 nasional (57.1 persen). Dengan skenario GK naik 20 persen (GK*120 persen), yang terjadi pada Headcount Index (P0) pada dataran tinggi adalah peningkatan proporsi insiden kemiskinan dari 11.6 persen menjadi 22.6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa agroekosistem ini mengalami peningkatan insiden kemiskinan bila terjadi kenaikan harga barang dan jasa selanjutnya akan mendorong kenaikan garis kemiskinan sebesar 20 persen. Sehingga pada dataran tinggi, menjaga stabilitas harga agar tidak terjadi gejolak harga-harga kebutuhan hidup menjadi sangat penting. Persentase laju perubahan insiden kemiskinan naik 32.1 persen pada GK*110 persen; dibanding dengan nasional, presentase perubahan P0 dataran tinggi lebih besar daripada persentase perubahan P0 nasional (29.0 persen).
Rumahtangga 700000
GK = Rp 92.000 GK 10 % = Rp 103.100 GK 20 % = Rp 113.000
Frekuensi (Rumah Tangga)
600000
500000
Distribusi Frekuensi
400000
Kurva Normal 300000
200000
100000 Mean = 210721.27 Std. Dev. = 111485.315 N = 35,832,803 0 100000
200000
300000
400000
500000
Pengeluaran 600000
(Rp)
Pengeluaran (Rp)
Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004. Data Diolah
Gambar 9. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Dataran Tinggi
121
Kemudian, yang terjadi pada Poverty Gap Index (P1) meningkat dari 2.0 menjadi 4.5, hal ini menunjukkan bahwa mempunyai peluang terjadinya gejolak peningkatan kedalaman kemiskinan di dataran tinggi bila terjadi external shock yang mendorong kenaikan garis kemiskinan sebesar 20 persen. Artinya, selain makin banyak yang jatuh miskin, kondisi mereka pun makin jauh dari garis kemiskinan, sehingga makin banyak upaya yang diperlukan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan P1 juga meningkat dari 2.0 menjadi 3.1 pada GK*110 persen. Sementara perubahan P1 pada GK*120 persen meningkat dari 2.0 menjadi 4.5. Pola yang sama terjadi pada Poverty Severity Gap Index (P2) yang meningkat dari 0.5 menjadi sebesar 1.3 pada GK*120 persen. Artinya, pada dataran tinggi ini terjadi gejolak peningkatan keparahan kemiskinan bila terjadi guncangan
eksternal
seperti
bencana/goncangan,
kecenderungan,
dan
pengaruh musim yang mendorong kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang pada gilirannya mendorong kenaikan garis kemiskinan sebesar 20 persen. Laju perubahan peningkatan kemiskinan kronis meningkat lebih dari dua kali lipat pada GK*110 persen yakni 126.7 persen dan perubahan pada GK*120 persen sebesar 324.4 persen masing-masing lebih besar daripada angka nasional. Jika dicermati lebih jauh, dengan menggunakan dua skenario ini, dimana diasumsikan akibat kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen, maka pada GK*110 persen diperoleh elastisitas terhadap perubahan garis kemiskinan ini sebesar 4.57 untuk P0, 5.50 untuk P1, dan 8.00 untuk P2. Kemudian pada GK*120 persen, diperoleh elastisitas terhadap perubahan garis kemiskinan ini sebesar 4.74 untuk P0, dan 6.25 untuk P1, serta 8.00 untuk P2. Dengan elastisitas lebih besar dari satu, maka dataran tinggi dapat dikatakan memiliki sensitivitas peningkatan proposi
122
kemiskinan, kedalaman dan keparahan yang tinggi terhadap harga barang dan jasa naik karena misalnya faktor inflasi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan lain-lain. Dibanding dengan nasional, terutama pada GK*120 persen elastisitas untuk P0, P1 dan P2 menunjukkan sensitivitas yang lebih besar. 5.5.2.2. Sifat kemiskinan Model regresi pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin dirancang untuk menyusun sifat kemiskinan. Hasil regresi untuk daerah kawasan dataran tinggi, menghasilkan model yang nyata secara statistik (Lampiran 10). Hasil analisis sifat kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini memperoleh gambaran 1.7 persen miskin kronis dan 9.8 persen miskin tidak kronis. Hal ini berarti 9.8 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumah tangga ini bisa meningkat. Dibanding model nasional, terlihat bahwa persentase proporsi rumah tangga dataran tinggi lebih kecil daripada model nasional yang memperlihatkan bahwa 2.2 persen miskin kronis, dan 10.9 persen tidak kronis. Untuk mengetahui sifat kemiskinan untuk rumah tangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan meningkat sebesar 10 persen, dimana menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 16. Tabel 22. Sifat Kemiskinan Pada Dataran Tinggi Aspek Penelitian % perubahan Akibat GK
Sifat Miskin Miskin kronis Total miskin
GK DTT Nas 9,8 10.9 1,7 2.2 11,5 13.1
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan DTT = dataran tinggi Nas = nasional
123
GK*110% DTT Nas 13,0 14.1 3,9 4.8 16,9 18.8
GK*120% DTT Nas 15,3 16.3 7,3 8.7 22,6 25
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat peningkatan persentase rumahtangga miskin menjadi sebesar 16.9 persen rumahtangga miskin yang terdiri dari 4.8 persen miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis. Ini berarti bahwa proposi persentase rumahtangga miskin masih sensitif terhadap perubahan garis kemiskinan dengan meningkatkan sebesar 10 persen. Walaupun dibanding dengan model nasional, peningkatan proporsi persentase sifat rumahtangga miskin ini masih lebih kecil, dimana model nasional menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 18.8 persen rumahtangga miskin (4.8 persen miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis),. Hasil regresi pada dataran tinggi dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 23. Berdasarkan
hasil
analisis
diketahui
bahwa
terdapat
peningkatan
persentase menjadi sebesar 22.6 persen rumahtangga miskin (7.3 persen miskin kronis dan 15.3 persen miskin tidak kronis). Walaupun dibanding dengan model nasional, peningkatan proporsi persentase klasifikasi rumahtangga miskin ini masih lebih kecil, dimana model nasional menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 25 persen rumahtangga miskin (8.7 persen miskin kronis dan 16.3 persen miskin tidak kronis). Jika dianalisis lebih jauh, terdapat pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin pada dataran tinggi. Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya besar sekali terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin itu sendiri. Tabel 23 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis melebihi angka 100 persen, termasuk secara nasional, artinya dengan meningkatkan garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah keluarga miskin kronis bertambah lebih dari dua kali lipat dari angka
124
sebelumnya. Apalagi jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis mencapai lebih dari 300 persen.
Tabel 23. Perubahan Sifat Kemiskinan di Dataran Tinggi Aspek
Sifat
Penelitian
GK*110% DTT
%
Miskin
perubahan
Miskin kronis
akibat GK
Total miskin
GK*120%
Nas
DTT
Nas
32.1
29.0
55.5
49.1
126.7
116.2
324.4
291.9
46.2
116.2
95.5
90.3
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan DTT= dataran tinggi Nas= nasional
Selanjutnya, berdasarkan hasil perhitungan perbedaan pengeluaran, ternyata
persentase
perbedaan
pengeluaran
per
kapita
terhadap
garis
kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) lebih besar dari 40 persen (Tabel 24). Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), perbedaan golongan tidak miskin nasional terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Pada dataran tinggi memiliki beda di atas 70 persen yang artinya, terdapat jarak tinggi antara yang tidak miskin dengan miskin. Jika kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, ternyata persenase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) di bawah 40 persen untuk dataran tinggi. Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), pada tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 76.6 persen; sementara pada dataran tinggi lebih besar dari 40 persen. Jadi tidak terdapat jarak yang besar antara yang tidak miskin dengan miskin, dibanding tingkat nasional. Pada kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, pada dataran tinggi ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis
125
kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) diatas 40. Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), pada tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen, dan pada agroekosistem di bawah 60 persen yang artinya terdapat jarak pengeluaran per kapita yang lebih tinggi antara yang tidak miskin dengan miskin dibanding nasional. Tabel 24. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan (GK) Pada Dataran Tinggi Berdasarkan
Sifat
GK
GK*110 %
GK*120 % % beda ratio
% beda
ratio
- 42,4
0,576
- 39,7
0,603
- 42,4
- 13,1
0,869 2,472
- 12,7
0,873
- 13,1
133,8
2,338
147,2
- 40,5
0,595
- 37,3
0,627
- 40,5
- 11,9
0,881
- 12,0
0,880
- 11,9
0,881
90,6
1,906
80,8
1,808
90,6
1,906
% beda
ratio
Dataran tinggi Rataan
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
Median
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
147,2
0,576 0,869 2,472 0,595
Nasional Rataan
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
Median
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
0.617
(42.2)
0.578
(39.6)
0.604
(38.3)
(13.2)
0.868 2.386
(12.6)
0.874
(12.2)
126.4
2.264
118.0
(40.0)
0.600
(37.3)
0.627
(35.8)
(12.1)
0.879
(12.0)
0.880
(11.9)
0.881
85.8
1.858
76.6
1.766
70.4
1.704
138.6
0.878 2.180 0.642
Sumber: Hasil Perhitungan
5.6. Hutan 5.6.1. Indikator Kemiskinan 5.6.1.1. Insiden Kemiskinan Insiden kemiskinan pada agroekosistem berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount index (P0) sebesar 18.3 persen. Hal ini berarti 18.3 persen populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran
126
konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan pada hutan, atau sebanyak 1 367 966 rumahtangga miskin (2.57 persen dari total rumahtangga nasional). Lebih lanjut, P0 hutan ini di atas rata-rata P0 nasional (13.1 persen) yang berarti persentase/proporsi rumahtangga miskin pada hutan lebih besar dari pada ratarata proporsi nasional. Agroekosistem hutan pada hakekatnya bukanlah kawasan miskin karena komoditas pada agroekosistem ini adalah komoditas unggulan (kayu) yang bernilai ekonomi tinggi. Hutan di Indonesia dikenal sebagai sumberkayu perdagangan internasional, dimana terdapat sekitar 120 famili kayu yang berkualitas tinggi yang mendominasi perdagangan kayu internasional. Selain itu, hutan mempunyai berbagai manfaat dan nilai ekonomi, sosial dan lingkungan (Bappenas, 2003). Tetapi di sisi lain, hutan ditengarai tidak lagi dijadikan sumber mata pencarian, antara lain karena: (1) lokasi yang terpencil jauh dari pasar, (2) menjadi wilayah yang ’tertutup’ yang hanya dapat diakses oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan (3) kehidupan masyarakat untuk ketahanan pangan,
kebutuhan
rumahtangga
dan
peningkatan
pendapatan
sangat
tergantung pada hutan, dimana peluang peluang ekonomi relatif terbatas. Hal tersebut sejalan dengan CESS-ODI (2005) yang menyatakan bahwa kemiskinan sering terjadi pada wilayah hutan dengan kebijakan yang mengeksploitasi sumberdaya alam. Dengan kondisi seperti ini, hutan menjadi salah satu target area untuk pengentasan kemiskinan. Menurut Justianto (2005), pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan harus diarahkan untuk meningkatkan akses pendanaan masyarakat (baik perbankan maupun lembaga keuangan alternatif lainnya), akses informasi pasar dan introduksi teknologi, akses pembinaan kelembagaan usaha masyarakat serta aspek legal
127
yang mendukung dan menjamin keterlibatan masyarakat dalam usaha pemanfaatan sumberdaya hutan. 5.6.1.2. Kedalaman Kemiskinan Selanjutnya, Poverty Gap Index (P1) sebesar 3.4 lebih besar daripada Poverty Gap Index (P1) nasional (2.3). Ini berarti rata-rata pendapatan rumahtangga miskin pada agroekosistem hutan memiliki kedalaman kemiskinan yang lebih besar daripada nasional (jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan) di hutan lebih jauh jaraknya dari garis kemiskinan dibanding P1 nasional. Kedalaman ini terkait dengan tingkat jumlah rumahtangga yang jatuh dalam kemiskinan kronis. 5.6.1.3. Keparahan Kemiskinan Distributionally Sensitive Index atau disebut juga Poverty Severity Gap Index (P2) sebesar 1.0 % di kawasan hutan lebih besar dari nasional (0.7). Ini berarti indeks keparahan kemiskinan yang memperhitungkan tidak hanya jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan tetapi juga kesenjangan diantara orang miskin (perbedaan diantara rumahtangga
miskin) lebih besar
dibanding di tingkat nasional. Dengan indikasi terjadinya keparahan di ekosistem ini, maka dimensi sosial terkait dengan equity menjadi fokus penting dalam pengentasan kemiskinan pada agroekosistem ini. 5.6.2. Kerentanan Kemiskinan 5.6.2.1. Elastisitas Dengan
menggunakan
garis
kemiskinan
BPS,
ternyata
18.3%
masyarakat pada hutan termasuk kedalam kelompok miskin. Selanjutnya, untuk mengetahui bagaimana insiden kemiskinan sekitar garis kemiskinan yang
128
diasumsikan rentan terhadap garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Dari simulasi tersebut diperoleh hasil perubahan
indikator-indikator
kemiskinan,
persentase
perubahan
dan
elastisitasnya disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan di Hutan Indikator
GK
GK*110%
Nilai
Nilai
GK&*120%
Elastisitas
Nilai
Elastisitas
HTN
Nas
HTN
Nas
HTN
Nas
HTN
Nas
HTN
Nas
P0
18,3
13.1
25,5
18.8
3.93
4.35
33,2
25.0
4.07
4.54
P1
3,4
2.3
5,1
3.6
5.00
5.65
7,1
5.1
5.44
6.09
P2
1,0
0.7
1,5
1.1
5.00
5.71
2,3
1.6
6.50
6.43
Sumber Keterangan
: Hasil Perhitungan : HTN = Hutan;GK= garis kemiskinan Nas = Nasional
Dengan skenario GK naik 10 persen (GK*110 persen), yang terjadi pada Headcount Index (P0) pada hutan adalah peningkatan proporsi insiden kemiskinan dari 18.3 persen menjadi 25.5 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa terjadinya gejolak peningkatan insiden kemiskinan bila garis kemiskinan naik. Secara grafik, distribusi pengeluaran rumahtangga di Hutan dapat dilihat pada Gambar 10. Lebih lanjut, dengan skenario GK*110 persen, yang terjadi pada Poverty Gap Index (P1) meningkat dari 3.4 menjadi 5.1. Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan kesenjangan, misalnya bila terjadi bencana/goncangan, kecenderungan, dan pengaruh musim yang menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa yang termasuk di dalam bundel garis kemiskinan sehingga mendorong GK naik 10 persen. Artinya, selain makin banyak yang jatuh miskin, kondisi mereka pun makin menjauh dari garis kemiskinan dan semakin mengecil peluang mereka untuk melampaui garis kemiskinan.
129
Pola yang sama terjadi pada Poverty Severity Gap Index (P2) yang meningkat dari 1.0 menjadi sebesar 1.5 pada GK*110 persen. Artinya, pada hutan ini, mempunyai peluang terjadinya gejolak peningkatan keparahan di kawasan hutan bila terjadi bencana/goncangan, kecenderungan, dan pengaruh musim yang menyebabkan kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang mendorong GK naik sebesar 10 persen. Walaupun dibanding dengan nasional, presentase perubahan P2 Hutan (50 persen) lebih kecil dari pada persentase P2 Nasional (57.1 persen). Dengan skenario GK naik 20 persen (GK*120 persen), yang terjadi pada Headcount Index (P0) adalah peningkatan proporsi insiden kemiskinan dari 18.3 persen menjadi 33.2 persen. Walaupun dibanding dengan nasional, presentase perubahan P0 Hutan (81.4 persen) lebih kecil dari pada persentase perubahan P0 Nasional (90.8 persen).
Rumahtangga 150000
GK = Rp 89.100 GK 10 % = Rp 98.800 GK 20 % = Rp 122.800
Frekuensi (Rumah Tangga)
120000
Distribusi Frekuensi 90000
Kurva Normal 60000
30000
Mean = 161261.37 Std. Dev. = 71762.222 N = 7,222,145 0 100000
200000
300000
Pengeluaran (Rp)
400000
Pengeluaran (Rp)
Sumber : Susenas 2004 Keterangan: GK= Garis Kemiskinan P
Gambar 10. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Hutan
130
Kemudian, yang terjadi pada Poverty Gap Index (P1) meningkat dari 3.4 menjadi 7.1 yang menunjukkan bahwa dengan ekosistem ini mempunyai peluang terjadinya gejolak peningkatan kedalaman di kawasan hutan bila terjadi bencana/goncangan, kecenderungan dan pengaruh musim yang mendorong batas kebutuhan minimum sebesar 20 persen. Artinya, rumahtangga makin jauh dari garis kemiskinan. Laju perubahan peningkatan persentase P1 juga meningkat dua kali laju perubahan P1 pada GK*110 persen. Dibanding dengan nasional, persentase perubahan P1 Hutan (108.8 persen) lebih kecil dari pada persentase P1 nasional (121.7 persen). Pola yang sama terjadi pada Poverty Severity Gap Index (P2) yang meningkat dari 1.0 menjadi sebesar 2.3 pada GK*120 persen. Jadi, terjadi ketimpangan yang makin parah. Laju perubahan peningkatan persentase P2 meningkat 2.5 kali laju perubahan P2 pada GK*110 persen. Persentase perubahan P2 Hutan (130 persen) sedikit lebih besar dari pada persentase P2 nasional (128.5 persen). Jika dicermati lebih jauh dengan menggunakan dua skenario ini, dimana diasumsikan akibat kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen, maka pada GK*110 persen diperoleh elastisitas terhadap perubahan garis kemiskinan ini sebesar 3.93 untuk P0; dan 5.00 untuk P1, serta 5.00 untuk P2. Kemudian pada GK*120 persen, diperoleh elastisitas terhadap perubahan garis kemiskinan ini sebesar 4.07 untuk P0, 5.44 untuk P1, dan 6.50 untuk P2. Dengan elastisitas lebih besar dari satu, maka
pada
agroekosistem
hutan
dapat
dikatakan
memiliki
sensitivitas
peningkatan proposi kemiskinan, kedalaman dan keparahan yang elastis. Tetapi dibanding dengan nasional, elastisitas untuk P0, P1, dan P2, baik pada GK 110 persen maupun GK*120 persen menunjukkan sensitivitas yang lebih kecil.
131
Pernyataan tersebut diperkuat oleh The World Bank (2006): “the poor and near poor in Indonesia are particulary vulnerable to price and other shock given the income distribution profile in Indonesia. Orang miskin dan yang mendekati miskin (rentan) biasanya sensitif terhadap harga dan gejolak lainnya. Sesuai dengan pernyataan The World Bank (2006) bahwa “although income proverty is relatively low, vulnerability to income poverty is high”. Hal ini mengisyaratkan mengapa pemahaman tentang kerentanan menjadi penting untuk mengurangi kemiskinan. Fakta memperlihatkan bahwa meskipun kemiskinan adalah rendah, tetapi kerentanan terhadap kemiskinan adalah tinggi. Kerentanan juga disebut sebagai ancaman baru yang menciptakan peningkatan kemiskinan, didukung oleh Hebel (2002) yang menyatakan bahwa, ”how dynamic are livelihood strategy; how do they adapt permanent shock, what temporary coping strategies do different actors develop and how do these become more permanent adaptive strategies”. Hebel lebih menekankan antara lain untuk melihat seberapa jauh mereka menyusun strategi perikehidupannya, dan bagaimana mereka beradaptasi terhadap gejolak yang permanen. 5.6.2.2. Sifat Kemiskinan Model regresi pengeluaran konsumsi rumahtangga miskin dirancang untuk mengetahui sifat kemiskinan. Hasil regresi untuk daerah kawasan hutan, menghasilkan model yang nyata secara statistik (Lampiran 10). Hasil analisis sifat kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini memperoleh gambaran kemiskinan bahwa 3.81 persen tergolong miskin kronis dan 14.51 persen miskin tidak kronis.
Dibanding model nasional, persentase proporsi rumahtangga
miskin dan miskin kronis di agroekosistem hutan lebih besar daripada model nasional.
132
Tabel 26. Sifat Kemiskinan di Hutan Aspek
Sifat
Penelitian % perubahan Akibat GK
Garis Kemiskinan (GK) Hutan Nas
Miskin
GK*110%
GK*120%
Hutan
Nas
Hutan
Nas
14.5
10.9
17.9
14.1
19.8
16.3
Miskin kronis
3.8
2.2
7.7
4.8
13.4
8.7
Total miskin
18.3
13.1
25.5
18.8
33.2
25.0
Sumber: Hasil Perhitungan Kerangan : Nas = nasional
Untuk mengetahui sifat kemiskinan rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan meningkat sebesar 10 persen. Hasil regresi untuk daerah kawasan hutan dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, adalah nyata secara statistik sebagaimana pada Lampiran 17. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat peningkatan persentase rumahtangga miskin menjadi sebesar 25.5 persen rumahtangga miskin (7.7 persen miskin kronis dan 17.9 persen miskin tidak kronis). Ini berari 17.9 persen rumahtangga
ini
dapat
didorong
meningkatkan
pendapatan
dengan
meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Selanjutnya, 7.7 persen rumahtangga terjebak dalam kemiskinan (Poverty Trap) atau dikenal dengan kemiskinan struktural. Untuk mengentaskan katagori kemiskinan ini diperlukan effort yang besar, bertahap dan berkelanjutan. Dibanding dengan model nasional, peningkatan proporsi persentase rumahtangga miskin ini masih lebih besar, dimana model nasional menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 18.8 persen rumahtangga miskin (4.8 persen miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis), jadi proporsi persentase rumahtangga miskin relatif sensitive terhadap perubahan garis kemiskinan dengan meningkatkan sebesar 10 persen.
133
Hasil regresi untuk kawasan hutan dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20%, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 24. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat peningkatan persentase menjadi sebesar 33.2 persen rumahtangga miskin (13.4 persen miskin kronis dan 19.8 persen miskin tidak kronis). Artinya 19.8 persen rumahtangga ini dapat ditingkatkan pendapatannya dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Selanjutnya, 13.4 persen rumahtangga yang miskin merupakan kemiskinan kronis. Dibanding dengan model nasional, peningkatan proporsi persentase rumah tangga miskin ini masih lebih besar, dimana model nasional menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 25 persen rumahtangga miskin (8.7 persen miskin kronis dan 16.3 persen miskin tidak kronis). Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin, pada agroekosistem hutan (Tabel 27). Tabel 27.
Perubahan Sifat Kemiskinan di Hutan
Aspek Penelitian % perubahan akibat Garis Kemiskinan
Sifat
Miskin
Garis Kemiskinan*110% Hutan Nasional
Garis Kemiskinan*120% Hutan Nasional
23,4
29.0
36,5
49.1
Miskin kronis
102,1
116.2
251,7
291.9
Total miskin
39,3
116.2
81,3
90.3
Sumber: Hasil Perhitungan
Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya relatif besar terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin itu sendiri, meskipun lebih kecil dari pada kondisi nasional. Tabel 27 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis melebihi angka 100 persen, dimana dengan meningkatkan garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah
134
keluarga miskin kronis bertambah lebih dari dua kali lipat dari angka sebelumnya. sementara jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis melebihi 250 persen. Selanjutnya, perbedaan pengeluaran per kapita dengan kondisi garis kemiskinan biasa ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan), secara umum diperoleh diatas 40 persen (Tabel 28). Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Agroekosistem hutan memiliki beda dibawah 70 persen dimana yang terdapat jarak relatif kecil dibanding dengan Nasional. Tabel 28. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Agroekosistem Hutan Berdasarkan
Sifat
GK
GK*110%
% beda
Ratio
% beda
GK*120%
Ratio
% beda
ratio
Hutan Rataan
Median
Miskin Kronis
(40.4)
0.596
(38.2)
0.618
(36.7)
0.633
Miskin
(12.5)
0.875
(12.0)
0.880
(11.3)
0.887
Tidak Miskin
100.1
2.000
92.1
1.921
88.0
1.880
Miskin Kronis
(38.1)
0.619
(35.9)
0.641
(34.2)
0.658
Miskin
(11.5)
0.885
(11.6)
0.884
(11.2)
0.888
57.5
1.575
54.2
1.542
Tidak Miskin
64.0
1.640
Nasional Rataan
Miskin Kronis
0.617 (42.2)
0.578
(39.6)
0.604
(38.3)
Miskin
Tidak Miskin Median
0.878 (13.2)
0.868
(12.6)
0.874
(12.2)
138.6
2.386
126.4
2.264
118.0
2.180
Miskin Kronis
(40.0)
0.600
(37.3)
0.627
(35.8)
0.642
Miskin
(12.1)
0.879
(12.0)
0.880
(11.9)
0.881
85.8
1.858
76.6
1.766
70.4
1.704
Tidak Miskin
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= garis kemiskinan
135
Untuk
kondisi
garis
kemiskinan
ditingkatkan
10
persen,
ternyata
persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) di bawah 40 persen untuk hutan. Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), pada tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garasi kemiskinan sebesar 126.4 persen. Sementara hutan dibawah 60 persen yang artinya jarak yang relatif kecil dibanding tingkat nasional. Jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, pada agroekosistem hutan ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) di bawah 40 persen. Sementara itu untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), pada tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen lebih tinggi dibanding agroekosistem hutan (60 persen). 5.7. Pantai/Pesisir 5.7.1. Indikator Kemiskinan 5.7.1.1. Insiden Kemiskinan Insiden kemiskinan pada pantai/pesisir berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount index (P0) sebesar 12.9 persen. Hal ini berarti 12.9 persen populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan pada agroekosistem pantai pesisir, atau sebanyak 648 219 rumahtangga miskin (9.30 persen) dari total rumah tangga miskin nasional). Lebih lanjut, P0 pantai/pesisir ini di bawah ratarata P0 nasional (13.1 persen), atau persentase/proporsi rumahtangga miskinnya lebih kecil dari pada rata-rata proporsi nasional.
136
Pantai/pesisir memiliki sumberdaya perikanan sebagai sumberdaya milik umum (commons property resources) yang pemanfaatannya terbuka untuk siapapun. Akses berbagai pihak yang berkepentingan terhadap sumber daya perikanan sulit dibatasi. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki pantai terpanjang di dunia, dengan garis pantai lebih 81 000 km. Dari 67 439 desa di Indonesia, kurang lebih 9 261 desa dikatagorikan sebagai desa pesisir. Desa pesisir ini merupakan kantong-kantong kemiskinan (Kusnadi, 2002). Kesulitan mengatasi masalah kemiskinan di desa-desa pesisir telah menjadikan rumahtangga harus menanggung beban kehidupannya. Kemiskinan dan tekanan sosial ekonomi yang dihadapi rumahtangga nelayan buruh berakar pada faktor kompleks yang saling terkait. Kemiskinan di pantai/pesisir menghadapi kondisi yang khas sehubungan dengan karakteristik sumberdaya kehidupan penduduknya. Disamping itu, peluang-peluang ekonomi pada agroekosistem pantai/pesisir ini relatif terbatas karena struktur alamiah adanya musim melaut bagi rumahtangga yang menggantungkan hidupnya pada hasil laut. 5.7.1.2. Kedalaman Kemiskinan Kedalaman kemiskinan pada agroekositem pantai/pesisir berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Poverty Gap Index (P1) sebesar 2.4, lebih besar daripada Poverty Gap Index (P1) nasional (2.3). Artinya kedalaman kemiskinannya lebih besar daripada nasional, kedalaman kemiskinan yang relatif besar ini menyiratkan bahwa kondisi kemiskinan di pantai/pesisir cukup kritis. 5.7.1.3. Keparahan Kemiskinan Keparahan kemiskinan pada agroekositem pantai/pesisir berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Distributionally Sensitive Index atau
137
disebut juga Poverty Severity Gap Index (P2) sebesar 0.7 persen yang ternyata sama besar dari nasional (0.7). 5.7.2. Kerentanan Kemiskinan 5.7.2.1. Elastisitas Dengan menggunakan garis kemiskinan BPS, ternyata 18.3 persen rumahtangga pada agroekosistem pantai/pesisir termasuk kedalam kelompok miskin. Selanjutnya, untuk mengetahui bagaimana insiden kemiskinan sekitar garis kemiskinan yang diasumsikan rentan terhadap garis kemiskinan maka disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Dari simulasi tersebut diperoleh hasil perubahan indikator-indikator kemiskinan, persentase perubahan dan elastisitasnya disajikan pada tabel berikut ini. Dengan skenario GK naik 10 persen (GK*110 persen), yang terjadi pada Headcount Index (P0) di ekosistem pantai/pesisir adalah peningkatan proporsi insiden kemiskinan dari 12.9 persen menjadi 18.3 persen. Dibanding dengan nasional, presentase perubahan P0 pantai/pesisir (41.8 persen) lebih kecil dari pada persentase P0 nasional (43.5 persen). Tabel 29. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Indikator
GK
GK*110%
Nilai
Nilai
GK*120%
Elastisitas
Nilai
Elastisitas
P/P
Nas
P/P
Nas
P/P
Nas
P/P
Nas
P/P
Nas
P0
12.9
13.1
18.3
18.8
4.19
4.35
24.6
25.0
4.53
4.54
P1
2.4
2.3
3.6
3.6
5.00
5.65
5.1
5.1
5.63
6.09
P2
0.7
0.7
1.1
1.1
5.71
5.71
1.6
1.6
6.43
6.43
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan P/P= pantai/pesisir Nas = nasional
Lebih lanjut, dengan skenario GK*110 persen, yang terjadi pada Poverty Gap Index (P1) meningkat dari 2.4 menjadi 3.6. Artinya, selain makin banyak
138
yang jatuh miskin, kondisi mereka pun makin jauh dari garis kemiskinan, sehingga makin banyak effort yang diperlukan untuk mengangkat mereka melampaui batas miskin. Namun, dibanding dengan nasional, presentase perubahan P1 pantai/ pesisir (50.0 persen) relatif lebih kecil daripada persentase P1 nasional (56.0 persen). Secara grafik, distribusi frekuensi pengeluaran rumah tangga di Pantai/Pesisir dapat dilihat pada Gambar 11. Pola yang sama terjadi pada Poverty Severity Gap Index (P2) yang meningkat dari 0.7 menjadi sebesar 1.1 pada GK*110 persen. Presentase perubahan P2 pantai/pesisir (57.1 persen) sama dengan persentase P1 nasional (57.1 persen). Rumahtangga
GK = 89.100 GK 10 % = 98.800 GK 20 % = 122.800
Distribusi Frekuensi
Kurva Normal
Pengeluaran (Rp)
Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004. Data Diolah
Gambar 11: Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Pantai/Pesisir Dengan skenario GK naik 20 persen (GK*120 persen), yang terjadi pada Headcount Index (P0) pada pantai/pesisir adalah peningkatan proporsi insiden kemiskinan dari 12.9 persen menjadi 24.6 persen. Laju perubahan tersebut lebih
139
dari dua kali persentase perubahan pada GK*110 persen. Dibanding dengan nasional, presentase perubahan P0 pantai/pesisir (90.6 persen) lebih kecil persentase perubahan P0 nasional (90.8 persen). Kemudian, pada Poverty Gap Index (P1) yang meningkat dari 2.4 menjadi 5.1, jika GK naik 20 persen. Artinya, selain makin banyak yang jatuh miskin, kondisi mereka pun makin jauh dari garis kemiskinan, sehingga makin banyak upaya-upaya yang harus harus dilakukan untuk mengangkat mereka melampaui batas minimum kebutuhan hidup. Laju perubahan peningkatan persentase P1 juga meningkat dua kali laju perubahan P1 pada GK*110 persen. Namun, Pola yang sama terjadi pada Poverty Severity Gap Index (P2) yang meningkat dari 0.7 menjadi sebesar 1.6 pada GK*120 persen. Laju perubahan peningkatan persentase P2 meningkat lebih dari dua kali laju perubahan P2 pada GK*110 persen. Persentase perubahan P2 pantai/pesisir (128.5 persen) sama dengan persentase P1 nasional (128.5 persen). Jika dicermati lebih jauh, dengan menggunakan dua skenario ini, dimana diasumsikan kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen, maka pada GK*110 persen diperoleh elastisitas terhadap perubahan garis kemiskinan ini sebesar 4.19 untuk P0, 5.00 untuk P1, dan 5.71 untuk P2. Kemudian, pada GK*120 persen, diperoleh elastisitas terhadap perubahan garis kemiskinan ini sebesar 4.53 untuk P0, 5.63 untuk P1, dan 6.43 untuk P2.. Tabel 29 menunjukkan bahwa dengan elastisitas lebih besar dari satu, maka pada agroekosistem pantai/pesisir dapat dikatakan memiliki sensitivitas peningkatan proposi kemiskinan, kedalaman dan keparahan yang relatif tinggi. Dibanding dengan nasional, elastisitas untuk P0, P1, dan P2 menunjukkan sensitivitas yang lebih kecil, kecuali P2 pada GK*120 persen
140
elastisitas indikator kemiskinan pada pantai/ pesisir sama dengan elastisitas kemiskinan pada nasional. 5.7.2.2. Sifat Kemiskinan Model regresi pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin dirancang untuk mengetahui sifat kemiskinan. Hasil regresi untuk daerah kawasan pantai pesisir, menghasilkan model yang nyata secara statistik (Lampiran 7). Hasil analisis sifat kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini memperoleh gambaran kemiskinan sebagai berikut: 2.77 persen miskin kronis dan 10.11 persen miskin tidak kronis. Maknanya, 10.11 persen rumahtangga ini dapat ditingkatkan
pendapatannya
atau
dikurangi
pengeluarannya
dengan
meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh. Selanjutnya, 2.77 persen rumahtangga yang miskin ini dikatagorikan kronis atau kemiskinan struktural yang untuk pengentasannya memerlukan upaya-upaya yang lebih besar. Dibanding
model
nasional,
persentase
proporsi
rumah
tangga
pada
agroekosistem pantai/pesisir lebih kecil, dimana mempelihatkan sebanyak 13.1 persen miskin (2.2 persen miskin kronis, dan 10.9 persen tidak kronis). Tabel 30. Sifat Kemiskinan Agroekosistem Pantai/Pesisir Aspek Penelitian
% perubahan Akibat GK
Sifat Miskin
GK Pantai/ Nas pesisir 10,11 10.9
GK*110% Pantai/ Nas pesisir 12,8 14.1
GK*120% Pantai/ Nas pesisir 15,1 16.3
Miskin kronis
2,77
2.2
5,6
4.8
9,5
8.7
Total miskin
12,88
13.1
18,3
18.8
24,6
25
Sumber : Hasil Perhitungan; Keterangan : GK = Garis Kemiskinan Nas = Nasional
Untuk mengetahui sifat kemiskinan rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan meningkat sebesar 10 persen.
141
Hasil regresi untuk agroekosistem pantai/pesisir dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 15. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat peningkatan persentase rumahtangga miskin menjadi sebesar 18.3 persen rumahtangga miskin (5.6 persen miskin kronis dan 12.8 persen miskin tidak kronis). Artinya, 12.8 persen rumahtangga ini berpotensi ditingkatkan pendapatannya dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sementara itu, 5.6 persen rumahtangga dikatagorikan kronis atau terjebak dalam kemiskinan. Hasil regresi untuk agroekosistem pantai/pesisir dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 22. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat peningkatan persentase kemiskinan menjadi sebesar 24.6 persen rumahtangga miskin (15.1 persen miskin kronis dan 9.5 persen miskin tidak kronis). Namun, dibanding dengan model nasional, peningkatan proporsi persentase rumahtangga miskin ini masih lebih kecil, dimana model nasional menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 25 persen rumahtangga miskin (8.7 persen miskin kronis dan 16.3 persen miskin tidak kronis). Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin, pada agroekosistem pantai/pesisir. Tabel 31 menunjukkan, bahwa laju perubahan rumahtangga miskin kronis melebihi
angka
100
persen
pada
agroekosistem
ini.
Artinya,
dengan
meningkatnya garis kemiskinan sebesar 10 persen maka jumlah keluarga miskin kronis bertambah lebih dari dua kali lipat (102.2 persen) dari angka sebelumnya.
142
Tabel 31. Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Agroekosistem Pantai/Pesisir Aspek Penelitian
% perubahan akibat GK
Sifat
GK*110% Pantai/ pesisir
Miskin
GK*120%
Nasional
Pantai/ pesisir
Nasional
26.6
29.0
48.4
49.1
Miskin kronis
102.2
116.2
243.0
291.9
Total miskin
421
116.2
91.0
90.3
Sumber : Hasil Perhitungan Keterangan : GK = Garis Kemiskinan
Apabila garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis mencapai 243 persen, namun lebih kecil daripada nasional (291.9 persen). Selanjutnya, dari hasil perhitungan perbedaan pengeluaran per kapita dengan kondisi garis kemiskinan biasa ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan), secara umum diperoleh diatas 40 persen (Tabel 32). Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Agroekosistem pantai/pesisir memiliki beda lebih kecil (dibawah 70 persen). dibanding nasional. Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) di atas 40 persen untuk pantai/pesisir. Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), pada tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garas kemiskinan sebesar 76.6 persen, sementara pada pantai/pesisir dibawah 40 persen. Sedangkan untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, pada agroekosistem pantai/pesisir ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap
143
garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) di bawah 40 persen. Tabel 32. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Agroekosistem Pantai/Pesisir Berdasarkan
Sifat
GK % beda
GK*110% ratio
% beda
ratio
GK*120% % beda
Ratio
Pantai/Pesisir Rataan
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
Median
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
- 42,9
0,571
- 41,0
0,590
- 38,2
0,608
- 13,6
0,864 2,319
- 13,4
0,866
- 12,3
0,877
118,1
2,181
109,6
2,096
- 40,4
0,596
- 38,2
0,618
- 36,7
0,633
- 12,7
0,873
- 12,7
0,873
- 11,9
0,881
87,0
1,870
75,6
1,756
68,6
1,686
131,9
Nasional Rataan
Miskin Kronis -42.2
0.578
-39.6
0.604
-38.3
0.617
-13.2
0.868
-12.6
0.874
-12.2
0.878 2.180
Miskin Tidak Miskin Median
Miskin Kronis Miskin Tidak Miskin
138.6
2.386
126.4
2.264
118.0
-40.0
0.600
-37.3
0.627
-35.8
0.642
-12.1
0.879
-12.0
0.880
-11.9
0.881
85.8
1.858
76.6
1.766
70.4
1.704
Sumber : Hasil Perhitungan Keterangan : GK = Garis Kemiskinan
Selanjutnya, pada golongan tidak miskin (berdasarkan median), tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen. Sementara pada pantai/pesisir besarnya di bawah 60 persen; yang artinya tidak terdapat jarak pengeluaran per kapita yang lebih tinggi antara yang tidak miskin dengan miskin, bila dibandingkan dengan nasional.
144
VI. FAKTOR PENCIRI KEMISKINAN
Seleksi faktor penciri kemiskinan dilakukan dengan menggunakan metode stepwise regresi logistik terhadap variabel-variabel rumahtangga dan infrastruktur. Variabel tidak bebas dikelompokkan menjadi “Tidak Miskin” (kode =1) dan “Miskin” (kode = 0). Pengaruh variable bebas terhadap variabel tidak bebas ditunjukkan oleh nilai β, yang merupakan koefisien persamaan regresi logistik untuk masing-masing variabel bebas. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik diketahui bahwa kemiskinan dicirikan oleh variabel: jenis atap (V4), memiliki atau tidaknya jaminan kesehatan (V13), penggunaan alat kontrasepsi (V14), akses kepada fasilitas kesehatan (V15), kepala keluarga yang bekerja (V19), jumlah pengangguran terbuka dalam keluarga (V21), persentase pengeluaran untuk kesehatan (V30), keberadaan perkumpulan/organisasi petani (I59), tinggal di desa tanah rawan longsor (I61), tinggal di desa rawan banjir (I62), kasus busung lapar (I66), wabah muntaber(I67), ISPA(I69), sumber penghasilan (PENGHA), ketersediaan tempat buang air besar (TMPBB), ketersediaan saluran limbah (SLIMBAH), sumber air minum (AIRMINUM), sumber air mandi (AIRMANDI), akses jalur lalulintas (LANTAS)
dan
ketersediaan
fasilitas
pendidikan
(PENDIDIK).
Jika
dikelompokkan lagi, maka penciri kemiskinan sangat terkait dengan “sumberdaya keluarga, kondisi fisik rumahtangga, infrastruktur, kesehatan, pendidikan dan ekonomi rumahtangga”. Masuknya variabel tersebut sebagai penciri kemiskinan diindikasikan oleh nilai Odd Ratio atau Exp (β). Nilai ini merupakan ratio peluang “tidak miskin” terhadap peluang “miskin”. Dalam hal ini ketentuan yang digunakan adalah, jika nilai Exp (β) kurang dari 1, maka akibatnya adalah naiknya nilai variabel bebas
145
akan diikuti dengan menurunnya nilai variabel tidak bebas yang mendekati 0 (miskin) dan sebaliknya. Tabel 33 menyajikan variabel dengan nilai Exp (β) yang kurang dari 1 sementara hasil analisis dengan menggunakan regresi logit dapat dilihat pada Lampiran 1. Informasi yang lebih rinci mengenai penciri kemiskinan dilakukan dengan membuat analisis regresi, dimana yang menjadi peubah tidak bebasnya adalah pengeluaran rumahtangga. Tabel 33 menyajikan informasi variabel penciri yang berpengaruh secara signifikan pada taraf siginifikansi 95 persen. Mengingat jumlah variabel bebas yang cukup besar maka hanya variabel-variabel dengan nilai beta yang lebih dari 0,1 yang diperhatikan lebih lanjut. Nilai beta yang lebih rendah dari 0.1 mengindikasikan kontribusi variabel tersebut terhadap variabel tidak bebasnya tidak besar (sehingga dapat diabaikan). Dalam tabel tersebut nilai beta dikalikan dengan 100 persen. Tabel 33 memperlihatkan variabel-variabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi keluarga di Indonesia. Misalkan variabel rumahtangga yang
mempunyai
pengeluaran
untuk
makanan
sebesar
50-70
persen,
mempunyai pengaruh yang besar untuk seluruh Indonesia (97.3 persen). 6. 1. Nasional Variabel-variabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi rumah tangga pada nasional adalah variabel Jenis bahan bakar memasak: minyak tanah, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan antara 25.1 persen sampai dengan 50.1 persen, persentase
pengeluaran
untuk
makanan
25.1-
50
persen,
persentase
pengeluaran untuk makanan 50.1 - 75 persen, Secara lengkap hasil analisis regresi penciri kemiskinan dimana garis kemiskinan (GK) dinaikkan 10 persen
146
dan 20 persen disajikan pada Tabel 33. Semakin besar nilai Beta, semakin besar pengaruh variabel tersebut tehadap pengeluaran konsumsi. Tabel 33. Hasil Regresi Logit Dengan Nilai Exponent (B) < 1
Variabel
B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
V4
-.084
.021
16.171
1
.000
.919
V13
-.189
.016
146.117
1
.000
.827
V14
-.154
.016
91.989
1
.000
.857
V14(2)
-.087
.020
19.663
1
.000
.916
V15(3)
-.077
.082
.878
1
.349
.926
V19(1)
-.385
.085
20.479
1
.000
.680
V21(1)
-.194
.043
20.328
1
.000
.824
V30(1)
-.852
.168
25.660
1
.000
.427
I59(1)
-.035
.019
3.398
1
.065
.965
I61(1)
-.219
.028
60.672
1
.000
.803
I62(1)
-.018
.020
.875
1
.349
.982
I66(1)
-.073
.041
3.193
1
.074
.929
I67(1)
-.050
.021
5.427
1
.020
.951
I69(1)
-.044
.025
2.989
1
.084
.957
PENGHA(3)
-.324
.055
34.605
1
.000
.723
PENGHA(5)
-.227
.034
43.837
1
.000
.797
PENGHA(6)
-.031
.041
.576
1
.448
.969
PENGHA(8)
-.249
.106
5.574
1
.018
.779
PENGHA(9)
-.138
.053
6.680
1
.010
.871
TMPBB(1)
-.089
.017
27.671
1
.000
.915
TMPBB(2)
-.061
.038
2.610
1
.106
.941
TMPBB(3)
-.139
.036
14.429
1
.000
.871
SLIMBAH(2)
-.061
.038
2.610
1
.106
.941
AIRMINUM(2)
-.076
.046
2.725
1
.099
.927
AIRMINUM(5)
-.075
.060
1.560
1
.212
.928
AIRMANDI(1)
-.044
.066
.440
1
.507
.957
AIRMANDI(2)
-.114
.041
7.822
1
.005
.892
AIRMANDI(3)
-.003
.049
.004
1
.953
.997
AIRMANDI(4)
-.058
.038
2.368
1
.124
.944
AIRMANDI(5)
-.147
.059
6.237
1
.013
.864
LANTAS(1)
-.443
.042
112.216
1
.000
.642
PENDIDIK(2)
-.533
.303
3.092
1
.079
.587
PENDIDIK(4)
-.025
.033
.536
1
.464
.976
147
Tabel 34 menjelaskan bahwa ada empat variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan di Indonesia yaitu persentase pengeluaran untuk makanan (50.1 – 75 persen), dan persentase pengeluaran untuk makanan (25.1 - 50 persen), diikuti oleh luas lantai per kapita lebih besar dari 10m2, serta jenis bahan bakar memasak: minyak tanah. Data ini menjelaskan bahwa jika ada kenaikan harga makanan, seperti kenaikan harga bahan pokok makanan pokok atau pangan. Misalnya, harga beras sebagai makanan pokok sebagian besar penduduk, maka akan memberi dampak yang besar terhadap kemiskinan di Indonesia. Temuan ini sejalan dengan Bank Dunia (2006) yang menyatakan bahwa 33 persen kenaikan beras pada Tahun 2005-2006 menyebabkan pertumbuhan insiden kemiskinan sekitar 3.1 juta jiwa.
Tabel 34. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta (β)Lebih Dari 0.10 No
Variabel Dummy
GK
GK*110%
GK*120%
1
Jenis Kelamin Kepala Keluarga: Perempuan
100.8
2
Akses air minum : Aman
3
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
4
Jenis Lantai : Bukan Tanah
5
Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
19.8
6
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
13.8
7
Luas lantai perkapita : >10 m2
8
Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50%
23.2
24.5
9
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% 75%
97.3
100.7
10
Sumber air mandi/cuci : PAM
10.9 12.9
11.6 11.6
18.4
19.8
11.6
11.4
Sumber : Hasil Perhitungan Keterangan : GK = Garis Kemiskinan Nilai β dalam %; Sel yang kosong berarti nilai β < 0,1
Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa variabel jenis bahan bakar memasak yakni minyak tanah juga relatif besar. Hal ini memberi makna bahwa kemiskinan di Indonesia sensitif terhadap gejolak harga bahan bakar minyak dimana saat ada kenaikan harga maka jumlah rumahtangga miskin akan
148
bertambah. Selanjutnya, variabel luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2 juga berpengaruh, yang menyiratkan bahwa kemiskinan di Indonesia berasosiasi dengan kepemilikan aset produktif atau modal fisik. Pada kasus dimana GK dinaikkan 10 persen maka yang menjadi penciri utama adalah: jenis bahan bakar memasak jenis minyak tanah, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan 25.1- 50 persen, persentase pengeluaran untuk makanan 25.1–50 persen, persentase pengeluaran untuk makanan: 50.1-75 persen, serta sumber air mandi/cuci bersumber dari PAM. Jadi ada 1 (satu) penciri utama yang hilang yaitu: jenis lantai bukan tanah. Tabel 35. Variabel Penciri Kemiskinan Nasional Variabel Penciri
Kelompok
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
Infrastruktur fisik
Luas lantai perkapita : >10 m2
Kondisi fisik rumahtangga
Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50%
Kondisi ekonomi rumahtangga
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75%
Kondisi ekonomi rumahtangga
Pembahasan secara detail untuk melihat bagaimana faktor penciri berpengaruh terhadap kemiskinan, maka perlu dilihat dari sisi pengeluaran dan pendapatan. Dari sisi pengeluaran, kemiskinan sangat ditentukan oleh 4 (empat) variabel penciri yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan di Indonesia yaitu persentase pengeluaran untuk makanan 50.1 - 75 persen, diikuti oleh persentase pengeluaran untuk makanan 25.1 - 50 persen, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, serta bahan bakar memasak jenis minyak tanah. Variabel ini menjelaskan bahwa jika ada kenaikan harga makanan, seperti kenaikan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya, maka akan memberi
149
dampak yang besar terhadap peningkatan insiden kemiskinan di Indonesia. Variabel lainnya yang berpengaruh cukup besar adalah jenis bahan bakar memasak: minyak tanah. Sehingga, jika terjadi gejolak kenaikan harga bahan bakar minyak maka insiden kemiskinan akan bertambah. Selanjutnya, variabel luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, menjelaskan adanya keterkaitan antara kemiskinan dengan penguasaan modal fisik. Variabel tersebut di atas menjelaskan juga mengapa kemiskinan di Indonesia cukup rentan. Seperti diketahui, bahwa harga bahan makanan pokok, kemudian juga BBM ditentukan oleh mekanisme pasar, dimana situasi pasar fluktuatif dan unpredictable. Gejolak–gejolak pasar inilah yang antara lain menyebabkan rumahtangga Indonesia yang rentan miskin menjadi jatuh ke golongan miskin. Sementara
dari
sisi
pendapatan,
dipengaruhi
oleh
keterbatasan
penguasaan aset produktif yang dijelaskan oleh variabel luas lantai per kapita: lebih besar dari 10 m2; Dengan keterbatasan kepemilikan modal fisik, maka tidak ada yang dapat dijadikan agunan apabila rumahtangga memerlukan dana pinjaman modal dari bank atau kredit formal. Selain itu, dengan keterbatasan kepemilikan modal fisik, tidak ada yang dapat dijadikan alternatif sumber pendapatan sementara atau cadangan apabila ada gejolak atau external shock terhadap pendapatan atau pengeluaran suatu keluarga. Dengan kondisi ini rumah tangga tidak terlindung dari kemiskinan atau rentan terhadap kemiskinan. Kenyataan bahwa kemiskinan terkait dengan modal fisik diperkuat oleh IFAD (2002) yang menyebutkan bahwa sebagian besar rumahtangga miskin di Asia adalah the landless, small and marginal farmers. Selanjutnya, kemiskinan di Indonesia juga ditentukan oleh kondisi infrastruktur fisik dan sosial. Dengan keterbatasan infrastruktur maka peluang
150
ekonomi (economic opportunities) yang dapat diraih terbatas juga. Selanjutnya, peluang-peluang ekonomi akan mempengaruhi lapangan kerja utama dan aksesibilitas masyarakat terhadap kesempatan kerja dan kesempatan usaha di daerah tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan. Lebih jauh, dengan akses transportasi dan komunikasi yang sulit, maka akan menghambat penyesuaian-penyesuaian dalam proses pasar tenaga kerja dan keputusan untuk migrasi atau berpindah dan mencari nafkah di tempat lain. Sebagai implikasinya, maka perbaikan infrastruktur fisik dan sosial hendaknya
menjadi
bagian
yang
tidak
terpisahkan
dalam
kebijakan
penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Hal ini relevan dengan apa yang dikemukakan oleh Bank Dunia (2001) yang menyebutkan bahwa infrastruktur dapat mengurangi kemiskinan dengan argumentasi sebagai berikut: (1). kelompok miskin banyak terkonsentrasi di dalam sektor ekonomi dengan ”rates of return” yang tinggi terhadap infrastruktur dan (2) kelompok miskin sangat terbatas aksesnya terhadap infrastruktur, sehingga dengan adanya infrastruktur yang menyentuh rumahtangga miskin, maka utilitas infrastruktur tersebut menjadi tinggi. Merujuk pada uraian diatas maka terlihat bahwa tipologi kemiskinan di Indonesia memiliki indikator, kerentanan, klasifikasi dan karakterisitik yang spesifik, sehingga memerlukan berbagai kebijakan yang spesifik juga dalam menanggulanginya. 6.2. Lahan Basah Variabel-variabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi keluarga pada Lahan Basah antara lain variabel fasilitas kesehatan berupa puskesmas, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, adanya penyakit marasmus, persentase pengeluaran untuk kesehatan lebih besar dari 20 persen, persentase
pengeluaran
untuk
makanan
151
25.1-50
persen,
persentase
pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen, saluran pembuangan limbah cair lancar dan tempat membuang sampah-lubang/dibakar merupakan variabel penciri. Secara lengkap hasil analisis regresi penciri kemiskinan dimana garis kemiskinan (GK) dinaikkan 10 persen dan 20 persen dapat dilihat pada Tabel 36. Semakin besar nilai Beta, semakin besar pengaruh variabel tersebut tehadap pengeluaran konsumsi. Tabel 36. Pengaruh Beta Untuk Variabel dengan Beta Lebih Dari 0.10. Variabel Bencana Gempa bumi : ada Fasilitas Kesehatan : Puskesmas Luas lantai perkapita : >10 m2 Penyakit Marasmus : Ya Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
GK
GK*110%
GK*120% 11.5
26.3 22.1 19.2
21.7
20.0
29.5
30.0
30.0
114.5
119.8
119.4
24.2
32.5
32.5
14.5
15.4
16.5
13.3
Sumber : Hasil Perhitungan Keterangan : GK = Garis Kemiskinan Nilai β dalam %; Sel yang kosong berarti nilai β < 0,1
Tabel 36 menjelaskan bahwa variabel penciri yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan di agroekosistem lahan basah yaitu persentase pengeluaran untuk makanan 50.1 - 75 persen, diikuti oleh persentase pengeluaran untuk makanan 25.1 - 50 persen. Data ini menyiratkan bahwa jika ada kenaikan harga makanan, seperti kenaikan harga beras atau makanan pokok lainnya, maka akan memberi dampak yang besar terhadap kemiskinan di lahan basah. Variabel lainnya yang berpengaruh adalah fasilitas kesehatan yakni Puskesmas. Hal ini memberi makna bahwa kemiskinan di lahan basah sensitif
152
terhadap pelayanan kesehatan, misalnya jika terjadi endemik penyakit maka jumlah rumahtangga miskin akan bertambah. Dengan demikian subsidi kesehatan, misalnya penggunaan kartu sehat relevan untuk dilakukan. Pada kasus dimana GK dinaikkan 10 persen dan GK dinaikkan menjadi 20 persen, maka yang menjadi penciri utama adalah bencana gempa bumi, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan 25.1 - 50 persen, persentase pengeluaran untuk makanan 50.1 - 75 persen, saluran
pembuangan
limbah
cair
lancar,
tempat
membuang
sampah-
lubang/dibakar. Jadi, ada 2 (dua) penciri utama yang berkurang, yaitu: (1) fasilitas kesehatan berupa puskesmas, persentase pengeluaran untuk kesehatan lebih besar dari 20 persen dan (2) bertambahnya satu variabel yaitu adanya bencana gempa bumi. Pada skenario ini pengeluaran untuk makanan tetap menjadi penciri utama, sehingga faktor-faktor harga bahan makanan utama menempati posisi penting yang mempengaruhi kemiskinan. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik tersebut diketahui bahwa kemiskinan dicirikan oleh variabel tersebut di atas yang jika dikelompokkan lagi, maka penciri kemiskinan sangat terkait dengan kondisi fisik rumahtangga, infrastruktur fisik dan sosial, dan kondisi ekonomi rumahtangga. Kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi pengeluaran dan dari sisi pendapatan. Sisi pengeluaran ditentukan oleh variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan di agroekosistem lahan basah yaitu persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen, diikuti oleh persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen. Variabel ini menjelaskan bahwa jika ada kenaikan harga makanan, seperti kenaikan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya, maka akan memberi dampak yang besar terhadap peningkatan insiden kemiskinan. Variabel lainnya yang berpengaruh cukup besar adalah
153
fasilitas kesehatan berupa Puskesmas. Dengan demikian, misalnya jika terjadi endemik penyakit maka insiden kemiskinan akan meningkat. Variabel pada Tabel 37 menjelaskan juga mengapa kemiskinan di lahan basah cukup rentan. Seperti diketahui bahwa harga bahan makanan pokok, kemudian juga harga obat sangat ditentukan oleh mekanisme pasar, dimana situasi pasar terkadang ada gejolak-gejolak harga. Gejolak–gejolak pasar inilah yang antara lain menyebabkan rumahtangga di lahan basah yang rentan miskin menjadi miskin.
Tabel 37. Variabel Penciri Kemiskinan di Lahan Basah Variabel Penciri
Kelompok
Bencana Gempa bumi : ada
Infrastruktur dan spasial
Fasilitas Kesehatan: Puskesmas
Infrastruktur fisik
Luas lantai perkapita: >10 m2
Kondisi fisik rumahtangga
Penyakit Marasmus: Ya
Infrastruktur fisik
Persen pengeluaran untuk kesehatan: >20%
Kondisi ekonomi rumahtangga
Persen pengeluaran untuk makanan: 25.1% - 50%
Kondisi ekonomi rumahtangga
Persen pengeluaran untuk makanan: 50.1% - 75%
Kondisi ekonomi rumahtangga
Saluran pembuangan limbah cair: saluran lancar
Infrastruktur
Tempat membuang sampah: Lubang/dibakar
Infrastruktur fisik
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: Nilai β dalam %; Sel yang kosong berarti nilai β < 0,1
Sementara
dari
sisi
pendapatan,
berkaitan
dengan
keterbatasan
penguasaan aset produktif yang dijelaskan oleh variabel luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2. Dengan keterbatasan kepemilikan modal fisik, maka tidak ada yang dapat menjadi agunan apabila rumahtangga memerlukan dana pinjaman modal dari bank atau kredit formal. Selain itu, dengan keterbatasan kepemilikan modal fisik tidak ada yang dapat dijadikan alternatif sumber
154
pendapatan sementara atau cadangan apabila ada gejolak atau external shock terhadap pendapatan atau pengeluaran suatu keluarga, sehingga suatu rumahtangga tidak terlindung daripada jatuh miskin. 6.3. Lahan Kering Variabel-variabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi rumahtangga pada agroekosistem lahan kering adalah variabel bahan bakar memasak jenis minyak tanah, jenis lantai bukan tanah, luas lantai perkapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen, persentase
pengeluaran
untuk
makanan
25.1-50
persen,
persentase
pengeluaran untuk makanan: 50.1-75 persen. Secara lengkap hasil analisis regresi penciri kemiskinan dimana garis kemiskinan (GK) dinaikkan 10 persen dan 20 persen disajikan pada Tabel 38. Semakin besar nilai Beta, semakin besar pengaruh variabel tersebut tehadap pengeluaran konsumsi. Tabel 38. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta Lebih Dari 0.10 Variabel
GK
GK*110%
GK*120%
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
14.6
13.4
13.5
Jenis Lantai: Bukan Tanah
10.6
Lu Luas lantai perkapita: >10 m2
18.5
20.0
20.0
Persen pengeluaran untuk makanan: 25.1%-50%
22.9
24.9
24.9
Persen pengeluaran untuk makanan: 50.1%-75%
95.4
100.5
100.5
Sumber: Hasil Perhitungan
Keterangan: Nilai β dalam %; Sel yang kosong berarti nilai β < 0,1
Data di atas menjelaskan ada dua variabel penciri yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan di agroekosistem lahan kering yaitu persentase pengeluaran untuk makanan: 50.1 -75 persen, diikuti oleh persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen. Data ini menyiratkan bahwa jika
155
ada kenaikan harga makanan, seperti kenaikan harga beras, maka akan memberi dampak yang besar terhadap kemiskinan di lahan kering. Variabel lainnya yang berpengaruh adalah jenis bahan bakar memasak (minyak tanah). Hal ini memberi makna bahwa kemiskinan di lahan kering sensitif terhadap gejolak harga bahan bakar minyak dimana saat ada kenaikan harga maka jumlah rumahtangga miskin akan bertambah. Pada kasus dimana GK dinaikkan 10 persen dan GK dinaikkan menjadi 20 persen persen maka yang menjadi penciri utama adalah bahan bakar memasak jenis minyak tanah, jenis lantai bukan tanah, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen, persentase pengeluaran untuk makanan 25.1%-50%, persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen. Jadi, ada 1 (satu) penciri utama yang hilang yaitu jenis lantai bukan tanah. Tetapi pada skenario ini juga pengeluaran untuk makanan tetap menjadi penciri utama. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik tersebut diketahui bahwa kemiskinan di agroekosistem lahan kering dicirikan oleh variabel tersebut di atas yang jika dikelompokkan lagi, maka penciri kemiskinan sangat terkait dengan kondisi fisik rumahtangga, infrastruktur fisik dan sosial, dan kondisi ekonomi rumahtangga. Variabel-variabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi rumahtangga pada lahan kering adalah variabel jenis bahan bakar memasak jenis minyak tanah, jenis lantai bukan tanah, luas lantai perkapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen, persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen, persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen. Variabel tersebut merupakan variabel penciri yang ada pada lahan kering. Jika variabel-variabel tersebut dikelompokkan lagi maka
156
kemiskinan berhubungan dengan kondisi fisik rumahtangga, infrastruktur fisik dan sosial, dan kondisi ekonomi rumahtangga. Tabel 39. Variabel Penciri Kemiskinan di Lahan Kering Variabel Penciri
Kelompok
Jenis Bahan Bakar Memasak: Minyak tanah
Infrastruktur fisik
Jenis Lantai: Bukan Tanah
Kondisi fisik rumahtangga 2
Luas lantai per kapita: >10 m
Kondisi fisik rumahtangga
Persen pengeluaran untuk makanan: 25.1% - 50%
Kondisi ekonomi rumahtangga
Persen pengeluaran untuk makanan: 50.1% - 75%
Kondisi ekonomi rumahtangga
Sumber: Hasil Perhitungan
Karakteristik di atas menjelaskan bahwa insiden kemiskinan pada lahan kering berasosiasi dengan terbatasnya infrastruktur fisik dan sosial yang dijelaskan oleh variabel jenis bahan bakar memasak minyak tanah, penguasaan aset produktif yang dijelaskan oleh variabel jenis lantai bukan tanah, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, serta kondisi ekonomi rumah tangga yang dijelaskan oleh persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen, persentase
pengeluaran
untuk
makanan
25.1-50
persen,
persentase
pengeluaran untuk makanan 50.1 -75 persen, Dengan
keterbatasan
infrastruktur
fisik,
maka
aktivitas
ekonomi
rumahtangga akan terhambat seperti sulitnya memperoleh input usaha, terbatasnya akses terhadap lembaga ekonomi, sulitnya memperoleh modal usaha, sulit juga untuk memasarkan hasil usaha sehingga pada gilirannya akan sulit mengembangkan aktivitas usaha. Tanpa adanya pengembangan usaha maka sulit untuk memperoleh pendapatan. Kondisi ini diperparah dengan keterbatasan
infrastruktur
sosial
seperti
terbatasnya
sarana
prasarana
pendidikan, kesehatan dan lain-lain, sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut semakin mahal, akhirnya banyak rumah
157
tangga jatuh miskin. Kepemilikan aset produktif juga terbatas sehingga akan sulit untuk melakukan investasi, padahal investasi merupakan faktor yang akan memicu peningkatan pendapatan. Selanjutnya, kondisi ekonomi rumahtangga juga terbatas karena terbatasnya kesempatan kerja sementara disisi lain kebutuhan untuk pengeluaran makanan cukup tinggi karena harga –harga kebutuhan pokok semakin mahal, sehingga akan banyak rumahtangga yang jatuh miskin. Hasil analisis kerentanan kemiskinan pada lahan kering dengan menggunakan model regresi diketahui dari sebesar 12.7 rumahtangga miskin pada lahan kering terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis sebesar 2.3% dan miskin tidak kronis sebesar 10.4. Variabel-variabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi rumahtangga pada lahan kering adalah variabel jenis bahan bakar memasak jenis minyak tanah, jenis lantai bukan tanah, luas lantai perkapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan 25.150 persen, persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen, persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen. Variabel tersebut merupakan variabel penciri yang ada pada lahan kering. Jika variabel-variabel tersebut dikelompokkan lagi maka kemiskinan berhubungan dengan kondisi fisik rumahtangga, infrastruktur fisik dan sosial, dan kondisi ekonomi rumahtangga. . Rentannya kemiskinan di lahan kering diketahui berhubungan dengan jenis bahan bakar memasak minyak tanah, sehingga ketika ada guncangan harga bahan bakar minyak, rumahtangga yang rentan berpotensi jatuh miskin. Selain itu, kerentanan berkaitan juga dengan keterbatasan kepemilikan aset produktif, sehingga saat ada gejolak ekonomi pada tataran makro, atau guncangan musim pada tataran meso, mereka jatuh pada kategori miskin.
158
Kepemilikan aset produktif dapat meningkatkan coping ability rumahtangga terhadap perubahan-perubahan pendapatan dan pengeluaran. Merujuk pada uraian di atas, maka terlihat begitu kompleks permasalahan kemiskinan di lahan kering yang juga berkaitan dengan faktor spasial atau biofisik
sumberdaya
alam,
keterbatasan
infrastruktur
fisik
dan
sosial,
keterbatasan kepemilikan aset produktif, serta buruknya kondisi ekonomi keluarga. Karena itu, opsi kebijakan penanggulangan kemiskinan di lahan kering hendaknya merupakan kebijakan terpadu lintas sektor, yang difokuskan pada kebijakan pembangunan infrastruktur, kebijakan pengembangan modal usaha, serta kebijakan menciptakan kesempatan kerja untuk orang miskin. 6.4. Lahan Campuran Variabel-variabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi rumahtangga pada agroekosistem lahan campuran antara lain: variabel kloset jenis plengsengan/jemplung, lalu lintas sebagian keluarga melalui darat, lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan 25.150 persen, persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen, persentase pengeluaran untuk pendidikan 10.1-20 persen, sumber air mandi/cuci berasal dari PAM, sumber penghasilan dari pertambangan, sumber penghasilan dari peternakan, tempat membuang air besar di desa-jamban bersama. Secara lengkap pada Tabel 40 disajikan hasil analisis regresi penciri kemiskinan dimana garis kemiskinan (GK) dinaikkan 10 dan 20 persen. Semakin besar nilai Beta, semakin besar pengaruh variabel tersebut tehadap pengeluaran konsumsi. Hasil analisis menjelaskan bahwa beberapa variabel penciri yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan di agroekosistem lahan kering yaitu persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen, diikuti oleh sumber penghasilan dari peternakan, dan persentase pengeluaran untuk makanan
159
berkisar antara 25.1- 50 persen. Temuan ini menyiratkan bahwa jika ada kenaikan harga makanan, seperti kenaikan harga beras, maka akan memberi dampak yang besar terhadap kemiskinan di lahan campuran. Variabel lainnya yang berpengaruh adalah sumber penghasilan dari peternakan. Hal ini memberi makna bahwa kemiskinan di lahan campuran berasosiasi dengan sumber penghasilan dari peternakan, dan sensitif terhadap gejolak harga input atau sarana produksi. Tabel 40. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta Lbih Dari 0.10 di Lahan Campuran Variabel GK GK*110% GK*120% Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung 10.7 Lalu lintas sebagian keluarga : Darat 15.0 23.8 22.5 Luas lantai perkapita : >10 m2 18.4 19.4 19.3 Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% 21.6 21.4 21.5 Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% 99.6 97.2 97.1 Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20% 13.5 12.3 12.4 Sumber air mandi/cuci : PAM 19.8 Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya 12.9 Sumber penghasilan dari peternakan : Ya 33.1 31.7 31.7 Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama 10.0 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= garis kemiskinan; β = dalam persen (%), sel yang kosong berarti Beta ≤ 0.10
Pada skenario GK dinaikkan 10 persen dan GK dinaikkan 20 persen maka yang menjadi penciri utama adalah lalu lintas sebagian keluarga (darat), luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen, persentase pengeluaran untuk makanan berkisar antara 50.1-75 persen, persentase pengeluaran untuk pendidikan 10.1-20 persen, dan sumber penghasilan dari peternakan. Dengan demikian, ada empat variabel yang kurang berpengaruh yaitu kloset jenis plengsengan/jemplung, sumber air mandi/cuci PAM, sumber penghasilan dari pertambangan, tempat
160
membuang air besar di desa-jamban bersama. Pada skenario ini pengeluaran untuk makanan dan sumber penghasilan menjadi penciri utama. Tabel 41. Variabel Penciri Kemiskinan di Lahan Campuran Variabel Penciri
Kelompok
Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung
Kondisi fisik rumah tangga
Lalu lintas sebagian keluarga: Darat
Infrastruktur fisik dan sosial
Luas lantai perkapita: >10 m2
Kondisi fisik rumah tangga
Pengeluaran untuk makanan: 25.1% - 50%
Kondisi ekonomi rumahtangga
Pengeluaran untuk makanan: 50.1% - 75%
Kondisi ekonomi rumahtangga
Pengeluaran untuk pendidikan: 10.1% - 20%
Kondisi ekonomi rumahtangga
Sumber air mandi/cuci: PAM
Infrastruktur fisik dan sosial
Sumber penghasilan dari pertambangan
Infrastruktur fisik dan sosial
Sumber penghasilan dari peternakan
Infrastruktur fisik dan sosial
Tempat membuang air besar di desa: Jamban bersama
Infrastruktur fisik dan sosial
Jika dilihat dari dua sisi kemiskinan yaitu dari sisi pengeluaran dan dari sisi pendapatan, maka dari sisi pengeluaran kemiskinan sangat ditentukan oleh variabel penciri yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan di agroekosistem lahan campuran yaitu persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen, diikuti oleh sumber penghasilan dari peternakan, berikutnya persentase
pengeluaran
untuk
makanan
25.1-50
persen.
Variabel
ini
menjelaskan bahwa jika ada kenaikan harga makanan, seperti kenaikan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya, maka berpotensi besar meningkatkan insiden kemiskinan di lahan campuran. Selanjutnya, karena variabel sumber penghasilan dari peternakan juga memberikan pengaruh yang cukup besar, maka jika terjadi gejolak kenaikan harga input (sarana produksi) maka sangat berpengaruh terhadap pengeluaran rumahtangganya.
161
Kepemilikan modal fisik seperti kondisi rumah dapat mempengaruhi coping ability rumahtangga terhadap perubahan pengeluaran atau pendapatan. Coping ability yang rendah dapat mengakibatkan rumahtangga rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan. Selain itu, modal fisik rumahtangga dapat memperluas peluang-peluang kerja dan usaha keluarga, antara lain sebagai agunan pinjaman modal. Selanjutnya, baik dari sisi pengeluaran maupun pendapatan, kemiskinan di lahan campuran juga ditentukan oleh kondisi infrastruktur fisik dan sosial seperti dijelaskan oleh variabel lalu lintas darat sebagian keluarga sumber air mandi/cuci (PAM), tempat membuang air besar di desa (jamban bersama). 6.5. Dataran Tinggi Hasil identifikasi faktor penciri kemiskinan yang dilakukan dengan menggunakan metode stepwise regresi logistik terhadap variabel penciri rumahtangga dan infrastruktur sosial, diperoleh hasil bahwa variabel jenis bahan bakar minyak tanah, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan (25.1-50 persen), persentase pengeluaran untuk makanan (50.1-100 persen), dan sumber air mandi PAM, merupakan variabel penciri yang ada di agroekosistem dataran tinggi. Data pada Tabel 42 menjelaskan ada dua variabel penciri yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan di agroekosistem dataran tinggi yaitu persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen, diikuti oleh persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen. Data ini menyiratkan bahwa jika ada kenaikan harga makanan, seperti kenaikan harga beras, maka akan memberi dampak yang besar terhadap kemiskinan di dataran tinggi. Variabel lainnya yang berpengaruh adalah luas lantai per kapita dan jenis bahan bakar memasak (minyak tanah). Hal ini memberi makna bahwa kemiskinan di dataran
162
tinggi sensitif terhadap gejolak harga bahan bakar minyak dimana saat ada kenaikan harga maka jumlah rumahtangga miskin akan bertambah. Tabel 42. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta Lebih Dari 0.10 di Dataran Tinggi Variabel Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah Luas lantai perkapita : >10 m2 Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75%
GK
GK*110%
GK*120%
12.1
10.7
10.7
17.9
18.8
18.7
23.4
24.7
24.8
93.9
97.2
97.4
13.0 Sumber air mandi/cuci : PAM Sumber : Hasil Perhitungan Keterangan: GK=garis kemiskinan dan sel yang kosong menunjukkan Beta ≤0.10
Pada skenario dimana GK dinaikkan 10% dan GK dinaikkan 20%, maka yang menjadi penciri utama adalah jenis bahan bakar minyak tanah, luas lantai per kapita leih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran rumahtangga untuk makanan 25.1-50 persen, dan persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-100 persen. Jadi, ada satu penciri utama yang berkurang, yaitu sumber air mandi PAM. Pada skenario ini pengeluaran untuk makanan tetap menjadi penciri utama. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik tersebut diketahui bahwa kemiskinan dicirikan oleh variabel tersebut di atas. Jika dikelompokkan lagi, maka penciri kemiskinan sangat terkait dengan kondisi fisik rumah tangga, kondisi ekonomi keluarga, dan infrastruktur fisik dan sosial. Tabel 43. Variabel Penciri Kemiskinan di Dataran Tinggi Variabel Penciri
Kelompok
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah Luas lantai per kapita: >10 m2 Pengeluaran untuk makanan: 25.1% -50% Pengeluaran untuk makanan: 50.1% -75% Sumber air mandi/cuci: PAM Sumber :Hasil Perhitungan
163
Infrastruktur fisik Kondisi fisik rumah tangga Kondisi ekonomi keluarga Kondisi ekonomi keluarga Infrastruktur fisik
Sebagai implikasinya, maka kebijakan penanggulangan kemiskinan di agroekosistem dataran tinggi hendaknya meliputi perbaikan komponen kondisi fisik rumahtangga, kondisi ekonomi keluarga, dan infrastruktur fisik. 6.6. Hutan Hasil identifikasi faktor penciri kemiskinan menunjukkan bahwa variabelvariabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi keluarga pada agroekosistem hutan adalah variabel bahan bakar jenis minyak tanah, jenis lantai bukan tanah, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen, persentase pengeluaran untuk makanan 50.1 -100 persen, rata-rata lama sekolah kepala keluarga 6-8 tahun, dan tempat membuang sampah lubang/di bakar. Tabel 44 menjelaskan bahwa ada dua variabel penciri yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan di agroekosistem hutan yaitu persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen, diikuti oleh persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen. Variabel lainnya yang berpengaruh adalah luas lantai per kapita dan jenis bahan bakar memasak, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2.
Tabel 44. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta Lebih Dari 0.10 di Hutan Variabel Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah Jenis Lantai : Bukan Tanah Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung Luas lantai perkapita: >10 m2 Pengeluaran untuk makanan: 25.1% -50% Pengeluaran untuk makanan: 50.1% -75% Rata-rata lama sekolah kepala keluarga: 6-8 tahun Sumber air minum/masak (PAM) Sumber air minum/masak: Sungai Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: Sel yang kosong berarti Beta ≤ 0.10
164
GK 15.0 11.8 19.5 26.0 98.2 12.1
GK*110% 10.2
GK*120% 10.1
11.0 21.2 27.9 104.7
11.0 21.2 27.8 104.6
24.2 14.9 12.9
24.1 14.8 13.0
Pemilikan modal dapat melindungi rumahtangga dari kemiskinan atau kerentanan terhadap kemiskinan. Di sisi lain, ternyata variabel minyak tanah memberi makna bahwa kemiskinan di hutan sensitif terhadap gejolak harga bahan bakar minyak. Dengan simulan dimana GK dinaikkan 10 persen dan GK dinaikkan 20 persen maka yang menjadi penciri utama adalah: variabel jenis bahan bakar minyak tanah, kloset jenis plengsengan/jemplung, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen, persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-100 persen, rata-rata lama sekolah kepala keluarga 6-8 tahun, sumber air minum/masak PAM, sumber air minum sungai, sumber penghasilan dari pertambangan, dan tempat membuang sampat lubang/di bakar. Jadi,
ada
penciri
utama
yang
berbeda
yaitu
jenis
kloset
plengsengan/jemplung, sumber air minum/masak PAM, sumber air minum sungai, dan sumber penghasilan dari pertambangan) tidak muncul pada GK biasa (100 persen) tetapi muncul pada kasus dimana GK dinaikkan 10 persen dan GK dinaikkan 20 persen. Dan dua variabel penciri (jenis lantai bukan tanah, dan rata-rata lama sekolah kepala keluarga 6-8 tahun) muncul pada GK biasa, tetapi tidak muncul pada GK dinaikkan 10 persen dan GK dinaikkan 20 persen. Pada skenario ini juga pengeluaran untuk makanan menjadi penciri utama. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik tersebut diketahui bahwa kemiskinan dicirikan oleh variabel di atas yang jika dikelompokkan lagi, maka penciri kemiskinan sangat terkait dengan kondisi fisik rumahtangga, kondisi pendidikan rumahtangga, kondisi ekonomi rumahtangga, dan infrastruktur fisik dan sosial.
165
Tabel 45. Variabel Penciri Kemiskinan di Hutan Variabel penciri Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah Jenis Lantai: Bukan Tanah Jenis kloset: Plengsengan/Jemplung Luas lantai per kapita: >10 m2 Pengeluaran untuk makanan: 25.1% -50% Pengeluaran untuk makanan: 50.1%-75% Rata-rata lama sekolah kepala keluarga:6-8 tahun Sumber air minum/masak : PAM Sumber air minum/masak: Sungai Sumber penghasilan dari pertambangan Tempat membuang sampah: Lubang/dibakar Sumber: Hasil Perhitungan
Kelompok infrastruktur fisik Kondisi fisik rumah tangga Kondisi fisik rumah tangga Kondisi fisik rumah tangga Kondisi ekonomi keluarga Kondisi ekonomi keluarga Kondisi pendidikan rumahtangga Infrastruktur fisik Infrastruktur fisik Infrastruktur fisik dan spasial Infrastruktur fisik
Penelitian ini menemukan, bahwa penciri kemiskinan pada kawasan hutan sangat terkait dengan kondisi fisik rumahtangga, kondisi pendidikan rumah tangga, kondisi ekonomi rumahtangga, dan infrastruktur fisik dan sosial. Variabelvariabel ini secara nyata sangat mempengaruhi terjadinya kemiskinan di kawasan ini. Jika dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi pengeluaran dan dari sisi pendapatan,
maka
dari
sisi
pengeluaran
diketahui
bahwa
persentase
pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen, diikuti oleh persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen merupakan variabel penciri yang paling besar pengaruhnya
terhadap
kemiskinan,
sehingga
pengeluaran
rumahtangga
ditentukan oleh pengaruh harga makanan terutama makanan pokok dan jenis bahan bakar minyak tanah (Tabel 45). Infrastruktur
fisik
ditemukan
juga
sebagai
faktor
yang
sangat
mempengaruhi pendapatan rumahtangga. Akses terhadap infrastruktur sangat nyata berpengaruh kuat, hal ini sejalan dengan Zeller (2002), infrastruktur fisik antara lain membangun jaringan komunikasi dan informasi, akan meningkatkan kesempatan berusaha dan bekerja Dari sisi peningkatan pendapatan, misalnya infrastruktur sosial yang menjadi variabel penciri kemiskinan di wilayah ini, berpengaruh terhadap
166
pendapatan. Ketiadaan collective action dari suatu struktur sosial akan jadi faktor penghalang peningkatan pendapatan mereka dan menjadi faktor kerentanan (Zeller, 2002). Selanjutnya, Hebel (2004) menambahkan bahwa struktur sosial sangat
signifikan
untuk
melahirkan
rumahtangga
terbelakang.
Sistem
kekerabatan, struktur rumahtangga, struktur kelompok umur, kelompok etnik dan keagamaan, tingkat kasta dan pendidikan, dapat menghasilkan kekuatan yang memecah belah hubungan berbagai kelompok dalam masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya di satu sisi hak asasi manusia, di sisi lain tidak berkembangnya masyarakat dan terhalangnya usaha-usaha ekonomi. Seperti diungkap di atas, bahwa hutan pada hakekatnya bukan kawasan miskin karena komoditas yang di agroekosistem ini adalah komoditas unggulan yang bernilai ekonomi tinggi. Selain memungut hasil hutan dan melakukan ladang, rumahtangga di hutan relatif terbatas terhadap alternatif usaha lain. Sebagai masyarakat lokal yang hidup di lingkungan organik hutan, mereka hampir tidak mempunyai hak-hak lokal untuk mengakses sumberdaya hutan ketika mereka membutuhkan. Pada
kenyataannya,
sesuai
dengan
temuan
penelitian
bahwa
infrastruktur sosial juga menjadi penciri kemiskinan di wilayah ini, maka masyarakat miskin di agroekosistem hutan kurang atau bahkan sama sekali tidak mempunyai akses apalagi kontrol terhadap sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan minimum penghidupannya. Kondisi fisik, ekonomi dan pendidikan rumahtangga juga menjadi variabel yang
nyata
mempengaruhi
kemiskinan
di
kawasan
hutan.
Kondisi
ini
mengakibatkan berkurangnya kesempatan rumahtangga untuk meraih peluangpeluang
ekonomi
yang
melintas di
hadapan
mereka
sebagai
sumber
pendapatannya. Temuan ini juga diperkuat oleh Hebel (2004) yang menjelaskan
167
kemiskinan adalah persoalan yang multidimensi. Tidak hanya rendahnya tingkat pendapatan, tetapi juga kurangnya kesempatan dan rendahnya tingkat konsumsi rumahtangga. Hal ini pada umumnya berhubungan dengan pemilikan dan distribusi dari aset-aset fisik seperti lahan, sumberdaya manusia dan sosial, dan peluang-peluang pasar dan nilai atau harga sumberdaya yang dimiliki. Kemiskinan yang terjadi di hutan dapat dikatakan bahwa pada dasarnya terjadi karena tidak berdayanya masyarakat di agroekosistem hutan untuk mengakses dan mempengaruhi kelembagaan pemerintah dan proses sosial yang menghasilkan kebijakan publik untuk memihak masyarakat miskin. Sedang secara eksternal, terdapat pihak tertentu yang mendapatkan manfaat dari sumberdaya hutan. Ketiadaan kebijakan publik yang memihak miskin ini menyebabkan masyarakat terpinggirkan dan sulit untuk mengakses segala sumberdaya yang ada di hutan; sebagaimana diperluas oleh CESS dan ODI (2005). Dikaitkan
dengan
temuan
variabel penciri yang
signifikan
pada
agroekosistem hutan, terutama persentase pengeluaran untuk makanan sekitar 50.1–75 persen yang menunjukkan angka tertinggi diantara variabel-variabel penciri yang signifikan dan meningkat terus dari 98.2 pada GK, menjadi sebesar 104.7 pada GK*110 persen, dan sebesar 104.6 pada GK*120 persen. Artinya, variabel ini menjadi variabel penting yang sangat besar pengaruhnya terhadap insiden kemiskinan. Selain itu, variabel infrastrutur fisik dan sosial menjadi elemen penting terjadinya kerentanan pada agroekosistem ini yang mengakibatkan rumahtangga di hutan terpinggirkan dan kurang berpartisipasi, seperti yang diungkap oleh Hebel (2004), bahwa kurangnya partisipasi dan terpinggirkan menjadi penyebab
168
kemiskinan. Masyarakat yang terpinggirkan tidak dapat mengakses sumberdaya seperti lahan seperti pada banyak wilayah sebagai dampak dari suatu kebijakan. 6.7. Pantai /Pesisir Hasil identifikasi faktor penciri kemiskinan menunjukkan bahwa variabelvariabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi keluarga pada agroekosistem pantai/pesisir adalah jenis bahan bakar minyak tanah, luas lantai per kapita, persentase pengeluaran untuk makanan (25.1-50 persen), persentase pengeluaran untuk makanan (50.1 -100 persen), dan sumber penerangan listrik. Tabel 46 menjelaskan bahwa ada satu variabel penciri yang paling besar pengaruhnya
terhadap
kemiskinan
di
agroekosistem
pantai/pesisir
yaitu
pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen. Variabel lainnya yang berpengaruh adalah jenis bahan bakar memasak: minyak tanah.
Hal ini memberi makna
bahwa kemiskinan sensitif terhadap gejolak harga bahan bakar minyak dimana saat ada kenaikan harga maka jumlah rumahtangga miskin akan bertambah. Tabel 46. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta Lebih Dari 0.10 di Pantai/Pesisir Variabel Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
GK
GK*110%
13.1 15.9 Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya 11.8 Luas lantai perkapita : >10 m2 21.3 22.8 Pengeluaran untuk makanan (25.1% -50%) 21.2 23.9 Pengeluaran untuk makanan: (50.1% -75%) 117.4 120.1 Sumber Penerangan: Listrik 12.3 11.2 Sumber air minum/masak: Pompa 12.9 Sumber: Hasil Perhitungan. Keterangan: GK=Garis Kemiskinan Nilai β dalam % dansel yang kosong berarti β ≤ 0.10
GK*120% 15.9 11.8 22.8 23.9 120.3 11.1 11.9
Pada skenario GK dinaikkan 10 persen dan GK dinaikkan 20 persen maka yang menjadi penciri utama adalah: bahan bakar minyak tanah, jenis
169
dinding tembok, luas lantai per kapita, persentase pengeluaran untuk makanan (25.1-50 persen), persentase pengeluaran untuk makanan (50.1-100 persen), sumber penerangan listrik, dan sumber air minum. Jadi, ada dua penciri utama yang bertambah, yaitu jenis dinding tembok dan sumber air minum. Penelitian ini menemukan bahwa variabel penciri kemiskinan sangat terkait dengan kondisi fisik rumahtangga, kondisi ekonomi rumahtangga, dan infrastruktur fisik dan sosial. Variabel-variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap terjadinya kemiskinan di agroekosistem ini. Variabel kondisi fisik rumahtangga bisa diartikan sebagai aset fisik ataupun sebagai aset produktif. Sementara di sisi lain, karena infrastruktur fisik dan sosial juga terbatas seperti terbatasnya sarana prasarana pendidikan, kesehatan, sarana dan prasarana transfortasi, maka pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin besar akibat biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut semakin mahal. Lebih jauh, dengan akses transportasi dan komunikasi yang sulit, maka akan menghambat penyesuaian-penyesuaian dalam proses pasar tenaga kerja dan keputusan untuk migrasi atau berpindah dan mencari nafkah di tempat lain. Di lain pihak, pengeluaran sangat ditentukan oleh dua variabel penciri yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan di agroekosistem pantai yaitu pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen. Variabel ini menjelaskan bahwa jika ada kenaikan harga makanan, seperti kenaikan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya, maka akan memberi dampak yang besar terhadap peningkatan insiden kemiskinan dipantai. Variabel lainnya yang berpengaruh cukup besar adalah jenis bahan bakar memasak minyak tanah. Sehingga jika terjadi gejolak kenaikan harga bahan bakar minyak maka insiden kemiskinan akan meningkat. Tabel 47 memperlihatkan kelompok variabel penciri.
170
Tabel 47. Variabel Penciri Kemiskinan di Pantai/Pesisir Variabel Penciri
Kelompok
Jenis Bahan Bakar Memasak: Minyak tanah
Infrastruktur fisik
Jenis Dinding: Tembok/kayu/lainnya
Kondisi fisik rumahtangga
Luas lantai perkapita: >10 m
2
Kondisi fisik rumahtangga
Pengeluaran untuk makanan (25.1%- 50%)
Kondisi ekonomi keluarga
Pengeluaran untuk makanan: (50.1% - 75%)
Kondisi ekonomi keluarga
Sumber Penerangan: Listrik
Infrastruktur fisik
Sumber air minum/masak: Pompa
Infrastruktur fisik
Sumber: Hasil Perhitungan
.
171
VII.
7.1.
KEBIJAKAN PENGURANGAN KEMISKINAN BERBASIS AGROEKOSISTEM
Kemiskinan dan Agroekosistem Temuan pertama hasil penelitian ini yang dibahas adalah tentang apakah
insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di Indonesia berasosiasi dengan faktor lokasi (spasial) berdasarkan agroekosistem. Hasil analisis uji proporsi insiden kemiskinan antar agroekosistem memperlihatkan perbedaan yang sangat signifikan. Dengan demikian, terbukti bahwa insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia berasosiasi kuat dengan agroekosistem. Berdasarkan hasil analisis tipologi kemiskinan, penelitian ini menunjukkan bahwa diantara enam agroekosistem yang dianalisis, hutan memiliki insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan tertinggi. Insiden kemiskinan di hutan sebesar 18.3 persen diikuti oleh lahan campuran sebesar 14.4 persen sementara insiden nasional sebesar 13.1 persen. Sedangkan agroekosistem lainnya berada di bawah angka insiden nasional. yakni dataran tinggi (11.6 persen), lahan basah (12.7 persen) dan lahan kering (12.7) serta pesisir/pantai (12.9 persen). Hutan menunjukkan kedalaman kemiskinan dengan indeks 3.4; lebih tinggi daripada indeks kedalaman nasional (2.3). Pada lahan campuran dan pantai/pesisir (2.4), sementara di lahan kering, dataran tinggi dan lahan basah berturut-turut 2.3; 2.0 dan 1.9. Indeks kedalaman kemiskinan ini mengindikasikan bahwa besarnya kesenjangan rata-rata pengeluaran di hutan jauh di bawah indeks kebutuhan minimum atau garis kemiskinan. Hutan berkontribusi paling besar terhadap kesenjangan nasional dibandingkan dengan di agroekosistem lainnya. Keparahan kemiskinan tertinggi juga terjadi di hutan dengan indeks 1.0 dan berada di atas rata-rata nasional (0.7); sedangkan di agroekosistem lainnya
di bawah angka nasional; terendah di lahan basah dan di dataran tinggi masingmasing 0.5. Tabel 48 memperlihatkan tipologi kemiskinan dan kerentanan secara rinci. Tabel 48 . Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan Agroekosistem Tipologi Kemiskinan
Nasional
Lahan Basah
Lahan Kering
Lahan Campuran
Dataran Tinggi
Hutan
Pantai Pesisir
Insiden Kemiskinan (P0) 13.1
12,7
12,7
14,4
11,6
18,3
12.9
Skenario GK*110% Skenario GK*120%
18.9 25.0
19.3 26.7
18.0 23.7
20.9 27.9
16.9 22.6
25.5 33.2
18.3 24.6
Kedalaman Kemiskinan (P1) GK (100%) Skenario GK*110% Skenario GK*120%
2.3 3.6 5.1
1,9 3.2 4.8
2,3 3.5 4.9
2,4 3.8 5.5
2,0 3.1 4.5
3,4 5.1 7.1
2.4 3.6 5.1
Keparahan Kemiskinan (P2) GK (100%) Skenario GK*110% Skenario GK*120%
0.7 1.1 1.6
0,5 0.8 1.3
0,7 1.1 1.6
0,5 1.1 1.6
0,5 0.9 1.3
1,0 1.5 2.3
0.7 1.1 1.6
Elastisitas GK*110 % P0 P1 P2
4.35 5.65 5.7
5.20 6.84 6.00
4.17 5.22 5.71
4.51 5.83 12.00
4.57 5.50 8.00
3.93 5.00 5.00
4.19 5.00 5.71
GK*120 % P0 P1 P2
4.54 6.09 6.43
5.51 7.63 8.00
4.33 5.65 6.43
4.69 6.46 11.00
4.74 6.25 8.00
4.07 5.44 6.50
4.53 5.63 6.43
10.9 2.2
10.2 2.5
10.4 2.3
12.1 2.3
9.8 1.7
14.5 3.8
10.11 2.77
GK (100%)
Sifat Kemiskinan Miskin (Tidak Kronis) Miskin Kronis
Sumber : Hasil Perhitungan Keterangan: Po,P1,P2 = Insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan.
173
Pada agroekosistem dataran tinggi, jumlah rumahtingga miskin atau proporsi/insiden kemiskinan tinggi namun kedalaman dan keparahannya lebih rendah daripada yang lainnya. Kerentanan terhadap kemiskinan berasosiasi kuat dengan ekonomi agroekosistem. Rumahtangga miskin di lahan basah lebih rentan terhadap perubahan misalnya perubahan harga barang dan jasa yang termasuk dalam bundel garis kemiskinan. Ternyata, rumahtangga di kawasan hutan relatif paling rendah kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Hutan sebagai agroekosistem yang tertinggi insiden kemiskinannya merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Sebagaimana diungkap di atas, bahwa kawasan hutan pada hakekatnya bukan kawasan miskin karena komoditas yang ada di agroekosistem ini adalah komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Tetapi masyarakat di hutan tidak mempunyai peluang yang nyata untuk mendapatkan kayu-kayu di hutan sebagai sumber matapencariannya. Selain bekerja sebagai buruh pada perusahaan perkayuan, sebagian melakukan ladang berpindah, dan mereka kurang mempunyai alternatif usaha lain. Sebagai masyarakat lokal yang hidup di lingkungan organik hutan, mereka relatif tidak mempunyai hak-hak lokal untuk mengakses sumberdaya hutan sebagai sumber kehidupannya. Kawasan hutan dapat dibedakan menjadi dua bagian yakni hutan konservasi yang dikelola oleh negara dan hutan produksi yang pada umumnya dikelola oleh perusahaan yang ditunjuk. Dengan demikian, masyarakat miskin di agroekosistem hutan kurang atau bahkan sama sekali tidak mempunyai akses apalagi kontrol terhadap sumberdaya hutan ketika membutuhkannya karena adanya peraturan atau faktor kelembagaan. Dalam penelitian ini, kelembagaan
174
seperti peraturan dikelompokkan sebagai infrastruktur sosial, membatasi akses mereka terhadap sumber kehidupan yakni hutan. Pada kenyataannya, sesuai dengan temuan penelitian bahwa infrastruktur sosial merupakan determinan kemiskinan di wilayah ini. Hal ini sesuai dengan penelitian Justianto (2005) bahwa kemiskinan di kawasan hutan konservasi relatif lebih tinggi dibanding di kawasan produksi dimana masyarakat dapat menjadi buruh di perusahaan perkayuan sebagai sumber matapencariannya. Selanjutnya, dikatakan bahwa penduduk di hutan tidak banyak menikmati hasil dari kehutanan, karena besaran multiplier sektor kehutanan terhadap pendapatan rumahtangga relatif lebih kecil daripada sektor lainnya. Fenomena kemiskinan di hutan ini dapat dikatakan merupakan anomali dari faktor resource endowment atau dengan kelimpahruahan potensi yang diduga dapat menyediakan sumber kehidupan bagi masyarakat dengan ekonomi berbasis sumberdaya alam namun penduduknya miskin. Selain itu, faktor value sumberdaya manusia dan modal fisik yang terbatas, keterisolasian dan kurangnya akses terhadap pelayanan umum dan infrastruktur menyebabkan akses terhadap peluang-peluang ekonomi lainnya relatif kecil. Karena itu, faktor human capital dan physical capital serta infrastruktur termasuk infrastruktur sosial merupakan masalah kemiskinan di hutan dengan ke’khas’an sumberdaya alam yang relatif ”tertutup” pengelolaannya bagi masyarakat. Sehubungan dengan hal ini, intervensi pemerintah berupa aspek legal yang menjamin keterlibatan masyarakat dalam usaha pengelolaan hutan yang memihak pada penduduk miskin sangat diperlukan. Temuan penelitian tentang tingginya indeks keparahan di agroekosistem hutan yang menggambarkan tingkat kesenjangan/ketidak-merataan antara masyarakat miskin dan masyarakat tidak miskin yang makin jauh. Jika dikaitkan
175
dengan temuan penelitian tentang penciri kemiskinan di kawasan ini, maka variabel infrastruktur fisik dan sosial merupakan determinan yang sangat berpengaruh pada keparahan kemiskinan di kawasan ini. Faktor kelembagaan seperti peraturan atau aspek legalitas tidak dapat dijadikan variabel penciri yang diteliti karena keterbatasan data. Namun, berdasarkan kerangka pemikiran dapat ditelusuri alur pendapatan ataupun pengeluaran yang menjadi determinan kemiskinan berdasarkan akses terhadap peluang-peluang ekonomi, ketersediaan sumberdaya alam dan penguasaan sumberdaya ekonomi yang terdiri dari determinan rumahtangga dan infrastruktur fisik dan sosial. Seperti yang telah diungkap di atas, bahwa masyarakat miskin di agroekosistem hutan kurang atau bahkan sama sekali tidak mempunyai akses apalagi kontrol terhadap sumberdaya hutan sebagai sumber kehidupannya. Hal ini ditunjukkan pula bahwa kemiskinan terbesar terjadi di hutan konservasi dimana masyarakat tidak mempunyai akses dan kontrol terhadap sumberdaya hutan, berbeda dengan masyarakat yang hidup di hutan produksi dimana mereka masih mempunyai kesempatan meraih peluang ekonomi, misalnya sebagai buruh pabrik pengolahan kayu atau pemegang hak pengusahaan hutan untuk memperoleh pendapatannya. Jadi, besarnya perbedaan untuk meraih peluang ekonomi yang terjadi di kawasan hutan menjadi sebab keparahan kemiskinan di agroekosistem hutan. Dengan demikian, maka variabel infrastruktur fisik dan sosial menjadi elemen penting terjadinya keparahan di hutan ini yang mengakibatkan mereka terpinggirkan, kurang kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan serta tidak terjangkau oleh manfaat pembangunan. Hal ini sejalan yang diungkap oleh Hebel (2004), yang menyebutkan bahwa “lacking participation and exclusion. The
176
fact of belonging to a discriminated ethnic or social group signifies being excluded from the access to resources (e.g., land)….. barred from the access to resources (e.g., education, work, income, land), but because they are refused the rights of self-determination and physical integrity”. Kemiskinan di hutan ternyata relatif paling rendah kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Walaupun proporsi rumahtangga rentan miskin terbesar terdapat di kawasan hutan, juga kedalaman dan keparahannya, tetapi hutan relatif tidak rentan terhadap gejolak harga barang dan jasa. Hal ini berkaitan dengan relatif terbatasnya akses terhadap mekanisme pasar karena keterisolasiannya ataupun pengeluaran-pengeluaran penduduk miskin untuk memenuhi kebutuhan minimumnya pada umumnya tidak melalui mekanisme pasar berkaitan dengan kehidupan yang relatif subsisten dan akses yang terbatas terhadap pasar. Kawasan hutan juga menunjukkan jumlah miskin kronis tertinggi. kemudian
diikuti
dengan
lahan
campuran.
Bila
dilihat
magnitutnya,
agroekosistem yang merupakan kantong kemiskinan adalah lahan kering dan dataran tinggi. Lahan kering dan dataran tinggi dapat merupakan bagian dari hutan dan sebaliknya; hutan dapat berupa lahan kering dan di dataran tinggi. Namun, karena keterbatasan data, untuk mendalami kemiskinan di hutan diperlukan penelitian yang bersifat mikro dan primer dengan basis wilayah yang lebih kecil. Berdasarkan jumlah rumahtangga miskin, hutan tidak merupakan kantong kemiskinan meskipun insiden kemiskinannya tinggi. Hal ini karena kerapatan penduduk relatif rendah dibanding agroekosistem lainnya. Namun untuk ‘titik masuk’ pengurangan kemiskinan melalui sektor, maka hutan perlu mendapat prioritas perhatian.
177
Penelitian ini menemukan bahwa elastisitas insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di hutan relatif lebih rendah dibanding indikator nasional. Jadi, sensitivitas hutan terhadap perubahan harga barang dan jasa yang termasuk bundel kebutuhan minimum relatif kecil dibandingkan dengan elastisitas secara nasional. Hal ini dapat dijelaskan bila diasumsikan bahwa ratarata penduduk di hutan bertempat tinggal dan mencari nafkah relatif jauh dari pasar ataupun pusat pertumbuhan ekonomi. Mereka relatif lebih remote /terisolasi, sehingga lebih inert, kurang responsif terhadap external shock misalnya terjadinya kenaikan harga barang dan jasa. Mencermati temuan penelitian tentang penciri kemiskinan di kawasan hutan, maka selain infrastruktur fisik sosial, kemiskinan di hutan juga sangat dipengaruhi oleh variabel-variabel kondisi fisik rumahtangga, kondisi pendidikan rumahtangga, dan kondisi ekonomi rumahtangga. yang menjadi variabel nyata mempengaruhi kemiskinan di kawasan hutan. Kemiskinan di kawasan hutan bisa dikatakan bersifat multidimensional, terjadi karena tidak berdayanya masyarakat di agroekosistem hutan untuk mengakses dan mempengaruhi kelembagaan pemerintah dan proses sosial yang menghasilkan kebijakan publik yang memihak masyarakat miskin, Sehingga, mereka terperangkap dalam kemiskinan. Temuan ini juga diperkuat oleh Hebel (2004) yang menjelaskan: “Poverty is multidimensional, extending beyond low levels of income…, Lack of opportunity: low levels of consumption/income, usually relative to a national poverty line. This is generally associated with the level and distribution of physical assets such as land, human capital and social assets; and market opportunities which determine the returns to these assets. The variance in the returns to different assets is also important”.
178
Lahan kering dan dataran tinggi secara magnitut merupakan kantong kemiskinan dengan jumlah rumahtangga miskin di lahan kering dan di dataran tinggi yakni sebesar 4 632 700 dan 4 300 449 berturut-turut. Angka ini jauh lebih besar kontribusinya terhadap kemiskinan secara nasional daripada lahan basah (270 096) dan pantai/pesisir (648 219) serta hutan (1 367 966) Jadi, untuk melihat kemiskinan, angka insiden kemiskinan perlu disertai besaran (magnitude) jumlah rumahtangga miskin supaya tidak misleading dalam menganalisis kemiskinan. Agroekosistem di lahan basah menunjukkan insiden dan kedalaman kemiskinan dengan elastisitas tertinggi terhadap garis kemiskinan. Sensitivitas lahan basah ini berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran yang relatif lebih dipengaruhi keterbukaan terhadap akses pasar ataupun relatif lebih dekat dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Mobilitas penduduk yang relatif tinggi karena relatif memadainya sarana transportasi, akses yang lebih terbuka terhadap infrastruktur fisik dan sosial termasuk informasi dan teknologi, menyebabkan penduduk pada lahan basah lebih responsif terhadap sinyal pasar (market signal). Kondisi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi keputusankeputusan rumahtangga dalam pengeluarannya. Pada agroekosistem lahan basah ada empat variabel penciri yang khas antara lain: fasilitas kesehatan, puskesmas, penyakit marasmus; persentase pengeluaran untuk kesehatan lebih dari 20 persen, dan saluran pembuangan limbah cair lancar. Variabel penciri kemiskinan di lahan basah yang bersifat khas yaitu variabel fasilitas kesehatan; sejalan dengan besarnya pengeluaran untuk kesehatan dan munculnya variabel penyakit marasmus. Hal lain yang spesifik yaitu pembuangan limbah cair yang mempengaruhi pengeluaran rumahtangga. Hal ini diduga berkaitan dengan tingginya mobilitas penduduk di agroekosistem
179
ini bila diasumsikan pada lahan basah mobilitas penduduk relatif tinggi sehingga terpaparnya penduduk terhadap penyakit relatif tinggi. Dugaan lain adalah bahwa rumahtangga lebih dekat pada fasilitas kesehatan sehingga akses terhadap fasilitas kesehatan lebih tinggi yang pada gilirannya akan mempengaruhi pengeluaran. Dugaan tersebut di atas perlu diteliti lebih lanjut yang bersifat mikro mencakup komponen pengeluaran rumahtangga di lahan basah dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pengeluaran rumahtangga. Agroekosistem lahan campuran menunjukkan keragaman variabel penciri kemiskinan. Pada lahan campuran ada enam variabel penciri yang khas yaitu jenis kloset plengsengan/jemplung, lalu lintas sebagian keluarga darat, persentase pengeluaran untuk pendidikan 10,1-20 persen, sumber penghasilan dari pertambangan berupa sumber penghasilan dari peternakan dan tempat membuang air besar didesa berupa jamban bersama. Variabel yang khas di pantai/pesisir adalah sumber penerangan berupa listrik, sementara untuk agroekosistem hutan adalah rata-rata lama sekolah kepala keluarga 6-8 tahun. Variabel penciri kemiskinan yang membedakan lahan campuran dengan agroekosistem lainnya yaitu variabel pendidikan, sumber penghasilan, sanitasi dan sumber air serta alat transportasi. Variabel penciri ini jika dikelompokkan kembali, maka penciri kemiskinan di lahan campuran ini berkaitan dengan aset sumberdaya manusia dan infrastruktur fisik. Alternatif sumber penghasilan yang merupakan variabel penciri dapat dijadikan patokan untuk memperluas peluangpeluang usaha di lahan campuran dalam rangka peningkatan pendapatan. Lahan campuran menunjukkan elastisitas keparahan kemiskinan tertinggi. Artinya, dengan adanya gejolak harga barang dan jasa, maka kemiskinan akan jauh lebih parah di lahan campuran dibandingkan dengan agroekosistem lain misalnya lahan kering. Sebaliknya, bila terjadi perbaikan ekonomi, keparahan
180
kemiskinan akan memberikan respon yang lebih tinggi terhadap pengurangan keparahan kemiskinan. Untuk jangka pendek, pemerintah perlu melakukan intervensi utamanya masalah pangan bila terjadi gejolak harga; karena sebagian besar pengeluaran adalah untuk konsumsi makanan. Untuk jangka panjang, intervensi yang seharusnya dilakukan adalah memperkuat coping ability penduduk miskin terhadap shock yang terjadi terhadap perubahan pendapatan dan pengeluaran rumahtangga melalui diversifikasi usaha ataupun perluasan lapangan kerja. Agroekosistem pantai atau pesisir menunjukkan proporsi kemiskinan kronis, kedalaman dan keparahan serta kerentanan yang tertinggi setelah hutan. Dari 67 439 desa di Indonesia, sejumlah 9 261 desa dikategorikan desa pesisir (Kusnadi, 2002). Dengan pantai terpanjang di dunia, memiliki keragaman hayati dan kelimpah-ruahan sumberdaya perairan, maka kemiskinan penduduk dengan ekonomi
berbasis
sumberdaya
alam
ini
tidak
seharusnya
terjadi.
Kenyataannya, penduduk yang sebagian besar nelayan ini mengalami kemiskinan yang dalam, parah, dan kronis. Kontribusi yang besar terhadap terjadinya kemiskinan di pantai/pesisir dicirikan oleh besarnya pengeluaran untuk makanan. Penguasaan aset fisik merupakan penentu untuk dapat mengakses peluang-peluang ekonomi bagi penduduk dengan matapencarian berbasis sumberdaya perikanan laut. Karakteristik struktur sumberdaya ekonomi sangat menentukan
terjadinya
perangkap
kemiskinan
di
agroekosistem
ini.
Di
pantai/pesisir, akses terhadap peluang-peluang ekonomi seharusnya dapat optimal melalui sistim open access terhadap sumberdaya perairan, namun hal ini tidak terjadi. Meskipun sumberdaya perikanan laut merupakan sumberdaya milik umum (common property resource) namun telah menimbulkan masalah sosial
181
ekonomi serta kerawanan terhadap konflik perebutan sumberdaya (Kusnadi (2002). Permasalahan
kemiskinan
di
agroekosistem
pantai/pesisir
sangat
kompleks. Selain struktur alamiah sumberdaya ekonomi yang berkaitan dengan fluktuasi musim penangkapan, juga keterbatasan peluang kerja dan peluang usaha. Pola kerja nelayan membatasi aktivitas ekonominya di sektor lain. Selain itu, keterbatasan kapasitas sumberdaya manusia, dan penguasaan modal fisik dan finansial menjadikan nelayan kalah bersaing memperebutkan akses terhadap sumberdaya tersebut. Kondisi ini diperparah dengan minimnya aturan yang memberikan perlindungan dan jaminan terhadap relasi yang proporsional antara nelayan buruh dengan pemilik modal yang menguasai aset fisik dan finansial; bahkan terjadi hubungan yang ekploitatif. Sehubungan dengan fenomena kemiskinan di pantai/pesisir tersebut di atas, pengurangan kemiskinan di pantai/pesisir memerlukan upaya-upaya yang lebih spesifik. Agar pengurangan kemiskinan efektif, selain memperkuat kapasitas sumberdaya manusia melalui penguasaan teknologi, meningkatkan akses terhadap modal fisik dan finansial, juga akses terhadap kecukupan, ketersediaan dan keterjangkauan pangan. Selain itu, infrastruktur fisik seperti jaringan listrik dan infrastruktur sosial seperti kebijakan yang memihak penduduk msikin, aspek legal hubungan nelayan buruh dan pengusaha, dan koperasi. Sehingga diharapkan aktivitas ekonomi dapat memberikan manfaat proporsional bagi penduduk miskin utamanya nelayan. Penjelasan rasional untuk membahas mengapa kemiskinan berasosiasi dengan faktor spasial berdasarkan agroekosistem, perlu dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi pengeluaran dan dari sisi pendapatan. Dari sisi pengeluaran, maka faktor lokasi (spasial) antar agroekosistem akan mempengaruhi pola konsumsi
182
rumahtangga. Hal demikian terjadi karena perbedaan lokasi (spasial) dapat mempengaruhi perbedaan permintaan terhadap bundel konsumsi, misalnya biaya transportasi dan komunikasi, biaya untuk mengakses pendididikan dan kesehatan. Untuk lokasi yang dekat dengan pusat pertumbuhan ekonomi, maka kebutuhan konsumsi akan mudah diperoleh dengan tingkat harga yang relatif murah. Sedangkan untuk daerah terpencil, kebutuhan konsumsi akan sulit diperoleh dengan tingkat harga yang relatif lebih mahal. Selanjutnya, faktor spasial secara langsung akan mempengaruhi juga pola permintaan terhadap konsumsi, misalnya permintaan terhadap bahan makanan dan non makanan. Misalnya kebutuhan akan pakaian untuk rumahtangga di daerah dataran tinggi akan berbeda dengan di daerah sekitar pantai. Sementara dari sisi pendapatan, faktor spasial yang memiliki keragaman kondisi sumberdaya alam dan infrastruktur akan mempengaruhi jenis usaha sebagai sumber pendapatan rumahtangga. Selanjutnya faktor-faktor yang berkaitan dengan spasial akan merefleksikan perbedaan peluang ekonomi (economic opportunities). Kondisi lahan dan lokasi daerah akan mempengaruhi lapangan kerja utama dan aksesibilitas masyarakat di daerah terhadap peluang kerja dan peluang usaha tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan. Sebagai ilustrasi, daerah-daerah marjinal di dataran tinggi, dengan kemiringan tinggi dan berbatuan akan mempengaruhi peluang usaha masyarakat di lokasi tersebut. Demikian juga pada daerah terpencil, daerah dengan akses transportasi dan komunikasi yang sulit, dapat mempengaruhi terjadinya kemiskinan. Antara lain, disebabkan oleh terhambat ataupun terlambatnya penyesuaian-penyesuaian dalam proses pasar tenaga kerja dan keputusan untuk migrasi atau berpindah dan mencari nafkah di tempat lain.
183
Argumen tersebut relevan dengan IFAD (2002) yang mengemukakan bahwa kemiskinan perdesaan terjadi di daerah marjinal, dataran tinggi terpencil utamanya di daerah lahan kering dan berbukitan kapur atau batuan, serta daerah pesisir atau pantai. Kondisi kemiskinan di daerah tertentu erat kaitannya dengan kondisi infrastruktur. Hal ini juga didukung oleh penelitian Bank Dunia (2001), dimana dikemukakan bahwa kelompok miskin sangat terbatas aksesnya terhadap infrastruktur, sehingga dengan adanya infrastruktur yang menyentuh rumahtangga miskin, maka utilitas infrastruktur tersebut menjadi tinggi. Temuan selanjutnya adalah bahwa kerentanan kemiskinan juga bervariasi antar agroekosistem. Kerentanan terhadap kemiskinan (vulnerability to poverty) menjelaskan probabilitas atau resiko rumahtangga mengalami kemiskinan setidaknya pada suatu masa dalam siklus hidupnya di masa yang akan datang. Suatu rumahtangga dianggap rentan (vulnerable) terhadap kemiskinan bila probabilitasnya jatuh pada kondisi kemiskinan sama atau lebih besar dari 50 persen. Keragaman kerentanan kemiskinan antar agroekosistem seperti diuraikan di atas menjelaskan beragamnya faktor yang mendorong atau memicunya. Studi yang dilakukan oleh Islam (2001), menyatakan bahwa faktor-faktor kerentanan dapat berupa goncangan tingkat mikro/household seperti pencari nafkah jatuh sakit atau meninggal, pada tingkat meso/community seperti gagal panen, fluktuasi
harga
produk
dan
degradasi
lingkungan;
dan
pada
tingkat
makro/economy-wide level seperti krisis finansial tahun 1997. Pengaruh faktor spasial terhadap kerentanan kemiskinan nampaknya berkaitan
dengan
Rumahtangga
di
sumber
mata
agroekosistem
pencarian yang
184
di
sumber
agroekosistem
tersebut.
penghasilannya
berbasis
budidaya,
lebih
rentan
terhadap
kemiskinan
sebagai
akibat
pengaruh
iklim/musim, atau gejolak harga input maupun harga produk. Selanjutnya berdasarkan klasifikasi kemiskinan, terbukti bahwa proporsi rumahtangga miskin kronis dan miskin tidak kronis juga bervariasi antar agroekosistem. Rumahtangga yang miskin kronis ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang untuk pengentasannya relatif lebih memerlukan upaya-upaya besar, bertahap dan berkelanjutan. Penciri kemiskinan pada tiap agroekosistem disarikan pada Tabel 49. Tabel 49. Pengaruh Beta (%) Untuk Variabel Dengan Beta Lebih dari 0.10 Pada Tiap Agroekosistem Variabel Dummy
LB
Fasilitas Kesehatan : Puskesmas
LK
LC
PT
DT
13.1
12.1
HT
IN
15.0
12.9
26.3
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
14.6
Jenis Lantai : Bukan Tanah
10.6
Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung
11.8 10.7
Lalu lintas sebagian keluarga : Darat
15.0
Luas lantai perkapita : >10 m2
22.1
Penyakit Marasmus : Ya
19.2
Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20%
13.3
18.5
18.4
21.3
17.9
19.5
18.4
Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50%
29.5
22.9
21.6
21.2
23.4
26.0
23.2
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75%
114.5
95.4
99.6
117.4
93.9
98.2
97.3
Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20%
13.5
Rata-rata lama sekolah Kepala Keluarga : 6-8 tahun
12.1
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
24.2
Sumber Penerangan : Listrik
12.3
Sumber air mandi/cuci : PAM
19.8
Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya
12.9
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama
33.1
13.0
10.0
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar 14.5 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: LB : Lahan Basah LK : Lahan Kering PT : Pantai DT : Dataran Tinggi HT : Kawasan Hutan IN : Nasional (Indonesia) Sel yang kosong berarti pengaruh beta < 0,1
11.0
LC : Lahan Campuran DS : Daerah Aliran Sungai
Hal lainnya yang menarik ditemukan adalah beragamnya karakteristik penciri kemiskinan antar agroekosistem sebagaimana disajikan pada Tabel 49. Keragaman
penciri
kemiskinan
ini
185
menyiratkan
bahwa
kebijakan
penanggulangan kemiskinan tidak bisa dilakukan dengan solusi one fits for all, namun haruslah tepat sasaran sesuai dengan karakteristik kemiskinan berdasarkan ekonomi agroekosistem atau yang disebut oleh Ikhsan (1999) sebagai zona agroekonomi. Walaupun tiap agroekosistem memperlihatkan karakteristik yang spesifik, namun, hasil analisis memperlihatkan bahwa ada empat variabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi keluarga hampir pada setiap agroekosistem yaitu variabel bahan bakar memasak jenis minyak tanah, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan berkisar antara 25.1-50 persen dan persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen. Variabel tersebut merupakan variabel penciri yang ada pada semua agroekosistem meskipun pengaruhnya terhadap pengeluaran berbeda antara agroekosistem satu dengan lainnya. Hasil analisis ini menyiratkan bahwa jika ada kenaikan harga makanan, seperti kenaikan harga beras, maka akan memberi dampak yang besar terhadap kemiskinan pada semua agroekosistem. Sebagai implikasinya, maka faktor harga pangan utama haruslah mendapat prioritas perhatian dalam menanggulangi dan mencegah kemiskinan. Karena itu, kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan soal pangan utamanya beras adalah soal utama dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Faktor pangan meliputi keterjangkauan (harga), ketersediaan dan kecukupan. Hal ini hendaknya mendapat prioritas utama dari pemerintah. Selain itu, hasil analisis juga memperlihatkan bahwa variabel bahan bakar memasak jenis minyak tanah juga menjadi penciri yang signifikan pada hampir semua agroekosistem. Hal ini memberi makna bahwa kemiskinan di sebagian besar agroekosistem sensitif terhadap gejolak harga bahan bakar minyak. Sebagai implikasinya, maka masalah harga bahan bakar minyak (BBM) haruslah
186
menjadi bagian terpenting dalam upaya-upaya pengurangan kemiskinan karena berdampak besar terhadap pengeluaran
rumahtangga yang selanjutnya
berpengaruh terhadap kemiskinan. Selanjutnya, variabel luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2 juga berpengaruh signifikan pada semua agroekosistem. Karena itu, dapat dikatakan bahwa kemiskinan pada hampir seluruh agroekosistem berasosiasi dengan kepemilikan aset produktif atau modal fisik. 7.2. Tinjauan Empirik Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Untuk dapat menganalisis kebijakan penanggulangan kemiskinan secara komprehensif, maka diperlukan gambaran menyeluruh tentang kebijakan penanggulangan kemiskinan yang telah dan sedang dilakukan di Indonesia. Secara rinci, daftar kebijakan/program yang dianalisis disajikan pada Tabel 50. Tabel 50. Daftar Kebijakan/Program Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia No. 1.
Kebijakan/Program Inpres Desa Tertinggal (IDT)
2.
Pengembangan Pra sarana Perdesaan
3.
Kemiskinan Perkotaan
4.
Jaring Pengaman Sosial (JPS)
5.
Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) Program Pengembangan Kecamatan
6. 7. 8. 9. 10. 11.
Bantuan Langsung Tunai Beras Miskin (Raskin) Usaha Mikro Kecil Menengah Operasi Pasar Khusus (OPK) Beras Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE)
187
-
Substansi Kebijakan/Program Prasarana Bantuan modal Pengembangan SDM Prasarana transportasi Prasarana penunjang produksi Sarana air bersih Kesehatan Pembangunan prasarana Bantuan modal Pengembangan SDM Penyediaan pangan Subsidi pendidikan Subsidi kesehatan Prasarana
-
Infrastruktur ekonomi Pinjaman modal Kompensasi tunai kenaikan BBM Subsidi pangan Bantuan modal Subsidi pangan Dana bergulir Infrastruktur
7.2.1. Periode sampai dengan Tahun 2000 Kebijakan penanggulangan kemiskinan sangat terkait dengan kebijakan pembangunan pada umumnya. Kebijakan pembangunan pada awal dekade 1970-an bertumpu pada trilogi pembangunan yaitu: (1) pertumbuhan ekonomi, (2) stabilitas nasional dan (3) pemerataan pembangunan dan hasil hasilnya. Pada masa itu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya belum merupakan prioritas pertama, namun prioritas pembangunan lebih ditekankan kepada upaya stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi pada kurun waktu tersebut, telah mengurangi kemiskinan karena didasarkan pada kebijakan padat karya. Pada Pelita III, kebijakan penanggulangan kemiskinan menjadi prioritas utama dengan penekanan pembangunan kepada peningkatan kesejahteraan dan perluasan kesempatan kerja, walaupun masih bersifat parsial sektoral dan regional. Secara eksplisit, landasan pembangunan Pelita III berdasarkan prioritasnya adalah (1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, (2) pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi dan (3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Azas pemerataan yang menuju pada terciptanya keadilan sosial tersebut dituangkan dalam
delapan
jalur
pemerataan.
Kebijakan
delapan
jalur
pemerataan
dilaksanakan sampai dengan Pelita IV. Pada Pelita V, terdapat perubahan landasan kebijakan pembangunan, karena merupakan landasan dan pijakan bagi era tinggal landas di Pelita VI. Kebijakan Pembangunan di Pelita V adalah memadukan pertumbuhan ekonomi dan
transformasi
struktur
ekonomi
dengan
pemerataan
pembangunan,
khususnya melalui penciptaan lapangan kerja produktif yang makin luas dan
188
merata dengan pengembangan sumberdaya manusia sebagai satu wahana sentralnya. Selanjutnya pada Pelita VI pemerintah memandang perlu melakukan penanggulangan kemiskinan secara khusus bagi rumahtangga miskin. Selain penanggulangan
kemiskinan
secara
sektoral
dan
regional,
program
penanggulangan kemiskinan khusus dilakukan dengan mendorong semangat keswadayaan dan kemandirian rumahtangga miskin. Kebijakan penanggulangan kemiskinan, terdiri dari tiga kelompok yaitu: (1) kebijakan yang bersifat tidak langsung dan mengarah pada sasaran terwujudnya kondisi yang mendukung keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan, (2) kebijakan yang bersifat langsung yang ditujukan pada kelompok rumahtangga miskin yang terbatas pendapatannya dan diarahkan pada peningkatan penyediaan prasarana dan sarana yang mendukung pemenuhan kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan dan (3) kebijakan khusus yang diutamakan pada peningkatan keswadayaan dan penyiapan rumahtangga miskin agar dapat melakukan kegiatan sosial ekonomi dengan penyediaan modal kerja bergulir dan pendampingan sesuai dengan budaya setempat. Salah satu kebijakan tersebut adalah IDT (Inpres Desa Tertinggal). Kebijakan
penanggulangan
kemiskinan
tersebut,
ternyata
tidak
berlangsung lama bersamaan dengan bergantinya pemerintahan. Pada akhir dekade 90-an, kebijakan penanggulangan kemiskinan ditujukan langsung kepada rumahtangga miskin maupun yang rentan, dengan program-program bantuan sosial langsung, seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan lain lain yang sifatnya crash program dan reaktif. Namun demikian, kinerja kebijakan penanggulangan kemiskinan tersebut belum seperti yang diharapkan. Sejak awal orde baru sampai dengan Pelita V
189
kebijakan tersebut memang telah mengurangi kemiskinan secara nyata, namun laju penurunannya makin mengecil, bahkan pada kurun waktu 1990-1993, penurunan persentase rumahtangga miskin hanya sekitar 1.4 persen atau sekitar 1.3 juta orang. Fakta terakhir berdasarkan data BPS menunjukkan bahwa kemiskinan meningkat dari 15.97 persen (2005) menjadi 17,75 persen (2006), atau meningkat sebanyak 3.95 juta menjadi 39,05 juta orang (Kompas 15 November 2006 dalam Sudaryanto, 2006). Lebih spesifik, Bank Dunia (2006) melaporkan tambahan sekitar 3.1 juta penduduk miskin sebagai akibat kenaikan harga beras yang mencapai 3.,0 persen. Program Nasional
Pengembangan
diimplementasikan
dan
dalam
Pemberdayaan dua
proyek
Masyarakat
terkait
yaitu
secara Proyek
Pengembangan Kecamatan (Kecamatan Development Project/KDP) dan Proyek Penanggulangan
Kemiskinan
Perkotaan
(Urban
Proverty
Alleviation
Project/UPAP). Berbeda dengan BLT dan JPS dengan fokus pemenuhan kebutuhan primer (harian) masyarakat miskin (people daily needs), maka KDP dan UPAP memiliki karakteristik sebagai berikut (Jakarta Post, 2006 dalam Sudaryanto, 2006) yaitu: (1) berbasis masyarakat, bersifat partisipatif dan pemberdayaan;
(2)
orientasi
investasi
dengan
pendekatan
program
pengembangan dari bawah dan (3) bersifat demokratis, serta menumbuhkan transparansi dan akuntabilitas peserta program. Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat KDP dan UPAP dimulai sejak tahun 1998/1999 dengan antisipasi 10 tahun. Pendanaannya bersumber dari APBN dikomplementasi dengan dana bantuan/pinjaman luar negeri senilai US$ 1.5 milyar. Dana disalurkan secara transparan melalui kompetisi ketat antar desa dengan sistem block grant
Rp. 500 Juta sampai
dengan 1 500 juta per kecamatan. Pengambilan keputusan perencanaan dan
190
implementasi proyek bersifat partisipatif dan kontekstual sesuai dengan permasalahan dan prioritas penanganan di lapangan. Aktivitas bersifat multi sektoral yang mencakup pengembangan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, air bersih, agribisnis dan ramah lingkungan. Hasil evaluasi memperlihatkan bahwa implementasi program ini dinilai efektif, efisien, tingkat kebocoran rendah dengan tingkat keberlanjutan yang relatif tinggi. 7.2.2. Periode Sesudah Tahun 2000 Berbagai program yang barupun ternyata belum seluruhnya efektif dalam menanggulangi kemiskinan. Sebagai bukti empirik, berikut ini disajikan hasil evaluasi berbagai program penanggulangan kemiskinan seperti program Raskin (Beras Miskin), program UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah), program BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Operasi pasar khusus beras (OPK beras) yang dilaksanakan pemerintah tahun 1998 (sebagai respon dari krisis ekonomi), merupakan cikal bakal dari program Raskin (Beras untuk Rakyat Miskin). Program Raskin melakukan perubahan mendasar dari subsidi harga umum menjadi subsidi harga beras langsung bagi kaum miskin. Instruksi Presiden No 9 Tahun 2002 merupakan payung hukum yang memberikan jaminan penyediaan dan pelaksanaan program Raskin. Dalam periode tahun 1998-2003, melalui OPK beras dan program raskin, pemerintah mendistribusikan tidak kurang dari sepuluh juta ton beras (rata-rata 1.7 juta ton/tahun) kepada sekitar 7.1 juta rumahtangga miskin secara nasional. Rusastra
dan
Saliem
(2006)
dalam
evaluasinya
menyatakan
bahwa
implementasi program Raskin masih bersifat parsial, sehingga efektifitasnya belum berjalan secara maksimal.
191
Pada tahun 2005, pemerintah mengimplementasikan program aksi pengentasan kemiskinan melalui usaha mikro/kecil dan menengah (UMKM) sejalan dengan pelaksanaan ”Indonesian Micro Finance Year of 2005. Tahun 2005 terdapat 41.3 juta unit UMKM dengan target penyaluran kredit Rp 60.44 triliun. Sumber pembiayaan UMKM lainnya adalah dari alokasi keuntungan BUMN sebesar 1-3 persen (senilai Rp 1.47 triliun) dan dana kompensasi kenaikan BBM 2005 sebesar Rp 250 milyar. Total alokasi dana tersebut didedikasikan untuk pembayaran UMKM dalam rangka peningkatan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Tingkat pengembalian kredit UMKM 2004 mencapai 96.7 persen dan dinilai sukses dalam pengentasan kemiskinan. Pada tahun 2005, pemerintah mengalokasikan nilai BLT sebesar 7.3 triliun (USD 784 juta) dengan sasaran mengurangi beban masyarakat miskin sebagai dampak dari peningkatan harga BBM (Hudiono, 2005 dalam Sudaryanto, 2006). Dana BLT tersebut merupakan sebagian dari total dana Rp. 17.8 triliun sebagai hasil dari pengurangan subsidi (kenaikan harga 29.0 persen) BBM di dalam negeri. Program bantuan bagi kelompok miskin mencakup bantuan pendidikan, kebutuhan pangan (beras), pelayanan kesehatan, pengembangan infrastruktur pedesaan. Sejak sepuluh bulan terkait (sampai dengan 4 September 2006) nilai BLT telah mencapai USD 1 500 juta rumahtangga miskin (Jakarta Post, 4 September 2006 dalam Sudaryanto, 2006). Belakangan ini efektivitas program BLT dipertanyakan berbagai pihak dengan adanya peningkatan jumlah rumah tangga miskin sebesar 39.05 juta (periode Februari 2005-Maret 2006), dimana sekitar 19.2 juta orang adalah kemiskinan transient (the brink of proverty). Penyebabnya adalah adanya kenaikan harga minyak (BBM) dan tekanan inflasi sektoral. Tanpa eksistensi BLT
192
kenaikan rumahtangga miskin setahun terakhir ini diperkirakan mencapai 50 juta orang atau sekitar 22.0 persen (The Word Bank, 2006) Tinjauan
mengenai
efektivitas
kebijakan/program
penanggulangan
kemiskinan seperti dijelaskan di atas, merupakan hasil penelitian terdahulu oleh peneliti lain. Efektivitas kebijakan/program penanggulangan kemiskinan berkaitan dengan pendekatan yang digunakan. Kebijakan/program yang dinillai efektif seperti Program Kemiskinan Perkotaan, Program Pengembangan Kecamatan, dan Program Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), adalah kebijakan/program dengan pendekatan yang berbasis pada masyarakat, partisipatif, pemberdayaan, berorientasi investasi, bersifat demokratis dan bottom up. Secara rinci, hasil evaluasi kinerja kebijakan/program penanggulangan kemiskinan disajikan pada Tabel 51. Tabel 51. Kinerja Kebijakan/Program Penanggulangan Kemiskinan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kebijakan/Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) Pengembangan Prasarana Perdesaan Program Kemiskinan Perkotaan Jaring Pengaman Sosial (JPS) Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) Pengembangan Kecamatan Bantuan Langsung Tunai Beras Miskin (Raskin) Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Operasi Pasar Khusus (OPK) Beras Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Ekonomi (PDMDKE) Sumber: Berbagai Sumber
Kinerja Kurang efektif Kurang efektif Efektif Kurang efektif Kurang efektif Efektif Kurang efektif Kurang efektif Efektif Kurang efektif Kurang efektif
7.3. Pendekatan Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Agroekosistem Berdasarkan temuan dalam penelitian dan memperhatikan gambaran kinerja kebijakan penanggulangan kemiskinan Indonesia seperti diuraikan diatas, maka beberapa upaya penanggulangan kemiskinan masa lalu yang perlu
193
dikoreksi. Hal ini berkaitan dengan evaluasi yang antara lain upaya pengurangan kemiskinan selama ini yaitu: (1) kurang memperhatikan karakteristik orang miskin dan dan keragaman profil, (2) kurang memberdayakan masyarakat, (3) kebijakan yang terpusat dan seragam, (4) lebih bersifat karikatif, (5) memposisikan masyarakat
sebagai
obyek
dalam
keseluruhan
proses
penanggulangan
kemiskinan, (6) asumsi permasalahan dan penanggulangan kemiskinan yang sering dipandang sama, (7) kurang memperhatikan keragaman spasial dan (8) peranan negara yang besar tanpa melibatkan masyarakat sipil (civil society) sebagai beneficiaries dan stakeholders. Kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini belum sepenuhnya menyentuh permasalahan utama determinan kemiskinan. Hal ini terlihat pada kebijakan yang belum pro-poor dan sistem kontrol dari seluruh lapisan masyarakat belum berjalan secara efektif, khususnya dalam aspek pemanfaatan sumberdaya alam sebagai sumber penghidupan sebagian besar penduduk perdesaan. Kebijakan eksploitasi sumberdaya alam, sampai saat ini belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat miskin, bahkan memarginalkan mereka dengan tidak mengindahkan hak-hak perolehan masyarakat seperti hak ulayat dan pengetahuan tradisional lainnya.
Peraturan
perundangan
tentang
kehutanan,
perikanan,
dan
pertambangan serta perkreditan masih belum berpihak pada kelompok miskin. Diantara beberapa koreksi yang dikemukakan di atas, penelitian ini ingin mengkritisi tentang program-program penanggulangan kemiskinan selama ini yang lebih banyak bersifat top down berdasarkan generalisasi permasalahan. Penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui kebijakan yang sama untuk tiap daerah. Misalnya, kebijakan melalui pendidikan dengan memberikan beasiswa tidak memberikan manfaat yang sama bagi rumahtangga miskin dengan profil
194
rumahtangga yang berbeda ataupun tinggal di wilayah yang berbeda. Misalnya, bagi masyarakat nelayan dengan masyarakat dalam dan tepi hutan terkait dengan faktor spasial yang terpencil dan perbedaan aksesibilitas terhadap infrastruktur. Demikian pula kebijakan melalui fasilitas pengobatan gratis bagi rumahtangga miskin, kebijakan operasi pasar khusus (OPK), bantuan langsung tunai, penciptaan lapangan kerja melalui skema kredit dan padat karya. Kemanfaatan yang diterima oleh rumahtangga miskin seharusnya tergantung pada kebutuhannya yang secara umum dapat diidentifikasi melalui tipologi kemiskinan dan kerentanannya serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan pada rumahtangga di suatu masyarakat tertentu. Kebijakan subsidi pupuk misalnya, hanya akan bermanfaat bagi petani yang meiliki lahan, namun tidak bermanfaat bagi buruh tani, nelayan ataupun masyarakat di wilayah hutan.
Disamping
itu,
perhatian
ataupun
upaya-upaya
penanggulangan
kemiskinan selama ini tertuju pada rumahtangga yang sudah dikatagorikan miskin, sehingga rumahtangga yang berada pada sekitar garis kemiskinan tidak tersentuh program dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Hasil penelitian ini menawarkan pendekatan baru dalam menanggulangi kemiskinan yaitu pendekatan lokasi (spasial) berdasarkan agroekosistem. Hal ini didasarkan pada kesimpulan penelitian yang telah membuktikan bahwa insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia berasosiasi kuat dengan agroekosistem. Tiap agroekosistem juga menunjukkan model dengan penciri yang berbeda dalam mempengaruhi pengeluaran sebagai cerminan kemiskinan yang diukur dengan indikator kemiskinan. Keunggulan dari penanggulangan kemiskinan berbasis agroekosistem ini antara lain: lebih sesuai dengan urgensinya, bisa dilakukan tindakan preventif, lebih menyentuh permasalahan utama determinan kemiskinan, lebih spesifik
195
sesuai dengan kebutuhan sasaran, lebih sesuai dengan karakteristik potensi agroekosistem yang tersedia, sehingga akan lebih efektif dan lebih efisien dalam penggunaan sumberdaya. Hasil lain yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa kerentanan kemiskinan juga bervariasi antar agroekosistem. Temuan ini menyiratkan dua hal: pertama, perlunya kebijakan yang bersifat preventif, sehingga ketika ada gejolak tidak terjadi penambahan insiden kemiskinan secara drastis. Kedua, sasaran penanggulangan kemiskinan di masa depan hendaknya tidak pada rumahtangga miskin saja, tetapi juga diperluas terhadap rumahtangga rentan miskin. Dengan memperhatikan Tabel 48, yang menunjukkan bahwa kerentanan tertinggi terdapat di agroekosistem lahan basah, maka kebijakan yang bersifat preventif dalam bentuk perlindungan sosial seperti jaminan sosial, bantuan sosial, tabungan dan kearifan lokal menjadi prioritas di agroekosistem ini. Hal berbeda untuk agroekosistem hutan yang menunjukkan kerentanan terendah, tetapi dengan insiden, kedalaman dan keparahan tertinggi, maka sangat diperlukan kebijakan yang bersifat rescue (darurat), seperti penyediaan pangan, subsidi BBM, dan subsidi pendidikan. Studi ini menemukan juga bahwa kemiskinan kronis tertinggi terjadi di agroekosistem
hutan
diikuti
oleh
agroekosistem
pantai/pesisir.
Sebagai
implikasinya maka kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam jangka pendek berupa bantuan langsung perlu dilakukan, selanjutnya dalam jangka panjang perlu dilanjutkan dengan program peningkatan akses terhadap kebutuhan dasar, perbaikan aktivitas ekonomi dan produktivitas, peningkatan akses terhadap sumberdaya produktif serta pemberdayaan ekonomi.
196
Jika dilihat secara agregat menggunakan tiga indikator kemiskinan yaitu insiden, kedalaman dan keparahannya, maka kemiskinan yang paling kritis terjadi di agroekosistem hutan, diikuti oleh pesisir/pantai dan lahan campuran. Hal ini menyiratkan bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan perlu diprioritaskan ke lokasi
agroekosistem ini. Temuan lain yang akan memberi
makna terhadap penanggulangan kemiskinan adalah beragamnya karakteristik atau penciri kemiskinan pada tiap agroekosistem. Keragaman penciri kemiskinan ini menggambarkan bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan ke depan tidak bisa dilakukan dengan solusi one fits for all, namun haruslah spesifik mengacu pada tipologi dan kerentanan dan dengan memperhatikan faktor penciri kemiskinan berdasarkan agroekosistem. Tiap agroekosistem memperlihatkan karakteristik yang spesifik, namun hasil analisis memperlihatkan bahwa persentase pengeluaran untuk makanan menjadi ciri kemiskinan rumahtangga pada semua tipe agroekosistem. Oleh karena itu, aksesibilitas rumahtangga miskin terhadap pangan haruslah merupakan
prioritas
utama
intervensi
pemerintah
dalam
pengurangan
kemiskinan. Aksesibilitas tersebut meliputi aspek ketersediaan, kecukupan dan keterjangkauan pangan oleh penduduk miskin. Intervensi pemerintah secara makro dalam kebijakan pangan antara lain persediaan pangan nasional dalam jumlah yang cukup dan distribusi yang baik yang menjamin ketersediaan bagi penduduk, dan harga yang terjangkau. Secara mikro, pemerintah bersama masyarakat dapat mendorong ketahanan pangan tingkat rumahtangga ataupun desa; misalnya program lumbung desa dan desa mandiri pangan. Selain itu, perlu didorong program diversifikasi pangan dan kecukupan gizi dengan menggunakan sumberdaya lokal. Selain itu, empat variabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi keluarga hampir di setiap agroekosistem
197
yaitu variabel bahan bakar memasak jenis minyak tanah, luas lantai per kapita dan variabel modal fisik.
Tabel 52. Faktor Penciri Kemiskinan dan Implikasi Kebijakan Agroekosistem Lahan Basah
Lahan Kering
Lahan Campuran
Pantai Pesisir
Variabel Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Fasilitas Kesehatan : Puskesmas Luas lantai perkapita : >10 m2 Penyakit Marasmus
Aspek
Intervensi Pemerintah
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20%
Kondisi ekonomi rumah tangga Kondisi ekonomi keluarga Kondisi fisik rumah tangga Kondisi fisik rumah tangga infrastruktur fisik dan sosial Infrastruktur fisik dan sosial Kondisi ekonomi keluarga
1. meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan (ketersediaan, keterjangkauan dan kecukupan), 2. akses pada pelayanan kesehatan dan subsidi kesehatan 3. akses pada modal fisik dan perumahan 4. perbaikan infrastruktur fisik dan sosial, 5. perbaikan sanitasi dan lingkungan
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Luas lantai perkapita : >10 m2 Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah Jenis Lantai : Bukan Tanah Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Sumber penghasilan dari peternakan Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50%
Kondisi ekonomi keluarga Kondisi ekonomi keluarga Kondisi fisik rumah tangga infrastruktur fisik dan sosial Kondisi ekonomi keluarga Kondisi ekonomi keluarga infrastruktur fisik dan sosial Kondisi ekonomi keluarga
1. meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan (keterangkauan, ketersediaan dan kecukupan) 2. subsdi BBM atau sumber alternatif 3. akses pada modal fisik 4. Perbaikan infrastruktur fisik dan sosial 1. meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan (keterjangkauan, ketersediaan dan kecukupan) 2. akses pada modal fisik
Sumber air mandi/cuci : PAM Luas lantai perkapita : >10 m2 Lalu lintas sebagian keluarga : Darat Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Luas lantai perkapita : >10 m2 Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah Sumber Penerangan : listrik
Infrastruktur fisik dan sosial Kondisi fisik rumah tangga infrastruktur fisik dan sosial Kondisi pendidikan rumah tangga Infrastruktur fisik dan sosial Kondisi ekonomi keluarga
3. akses terhadap pelayanan pendidikan 4. infrastruktur fisik dan sosial 5. pengembangan alternatif usaha/ sumber nafkah 6. perbaikan sanitasi/lingkungan
Infrastruktur fisik dan sosial Kondisi ekonomi keluarga Kondisi fisik rumah tangga Kondisi ekonomi keluarga infrastruktur fisik dan sosial infrastruktur fisik dan sosial
198
1. meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan (keterjangkauan, ketersediaan dan kecukupan) 2. akses terhadap BBM 3. akses pada modal fisik 4. infrastruktur fisik dan sosial 5. akses terhadap listrik
Tabel 52. Lanjutan Agroekosistem Dataran Tinggi
Variabel
Aspek
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Luas lantai perkapita : >10 m2 Sumber air mandi/cuci : PAM Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Luas lantai perkapita : >10 m2 Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah Rata-rata lama sekolah Kepala Keluarga : 6-8 tahun Jenis Lantai : Bukan Tanah Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
Hutan
Intervensi Pemerintah
Kondisi ekonomi keluarga Kondisi ekonomi keluarga Kondisi fisik rumah tangga Infrastruktur fisik dan sosial infrastruktur fisik dan sosial Kondisi ekonomi keluarga Kondisi ekonomi keluarga Kondisi fisik rumah tangga infrastruktur fisik dan sosial Kondisi pendidikan rumah tangga
1.
meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan (keterjangkauan, ketersediaan dan kecukupan) 2. akses pada air bersih 3. akses pada modal fisik 4. infrastruktur fisik dan sosial
1. meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan (keterjangkauan, ketersediaan dan kecukupan) 2. akses BBM 3. modal fisik 4. akses terhadap pendidikan/ peningkatan SDM 5. infrastruktur fisik dan sosial
Kondisi fisik rumah tangga Infrastruktur fisik dan sosial
Pada Tabel 52 ditunjukkan secara rinci penciri kemiskinan dan implikasi kebijakannya. Dengan mengacu pada penciri kemiskinan disetiap agroekosistem, maka dapat ditarik kebijakan umum bagi seluruh agroekosistem yang difokuskan pada kebijakan penyediaan pangan, BBM dan perbaikan modal fisik. Faktanya, studi ini juga menemukan bahwa penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan secara mikro melalui peningkatan kapabilitas rumahtangga atau individu (human capital) dan memperkuat modal fisik (physical capital). Di sisi lain, penanggulangan kemiskinan juga harus didukung secara makro sebagai necessary
condition
dengan
memperbaiki
indikator-indikator
ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat menetes ke bawah dan menyebar (trickle down and spread effect) yang disertai perbaikan distribusi pendapatan. Sejalan
dengan
pertumbuhan
ekonomi,
diharapkan
akan
mendorong
berkembangnya dimensi lain, seperti infrastruktur fisik dan sosial, pelayanan
199
kesehatan dan pendidikan serta peluang-peluang kerja dan usaha yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
200
VIIl. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kemiskinan berasosiasi kuat dengan faktor lokasi (spasial) berdasarkan agroekosistem. Tipologi kemiskinan berbeda pada tiap agroekosistem dimana. hutan memiliki insiden kemiskinan tertinggi dibandingkan agroekosistem lainnya diikuti oleh lahan campuran. Agroekosistem dataran tinggi, lahan basah dan lahan kering serta pesisir/pantai insiden kemiskinannya berada di bawah angka insiden nasional. Namun, jumlah rumahtangga miskin di lahan kering dan di dataran tinggi jauh lebih besar daripada di lahan basah dan di pantai/pesisir. Jadi, untuk melihat kemiskinan, angka insiden kemiskinan perlu disertai besaran (magnitude) jumlah rumahtangga miskin supaya tidak misleading dalam menentukan prioritas pengurangan kemiskinan. 2.
Agroekosistem hutan menunjukkan indeks kedalaman kemiskinan tertinggi diikuti lahan campuran dan pantai/pesisir; sementara lahan kering, dataran tinggi dan lahan basah lebih rendah secara berurutan. Indeks kedalaman kemiskinan ini mengindikasikan bahwa besarnya kesenjangan rata-rata pengeluaran di hutan paling jauh di bawah indeks kebutuhan minimum atau garis kemiskinan.
3. Agroekosistem hutan juga menunjukkan indeks keparahan kemiskinan tertinggi, jauh di atas rata-rata nasional. Agroekosistem selain hutan indeks keparahan kemiskinannya di bawah angka nasional; terendah pada agroekosistem lahan basah dan di dataran tinggi. Jadi, di dataran tinggi
201
jumlah rumahtangga miskin atau proporsi/ insiden kemiskinan tinggi namun kedalaman dan keparahannya lebih rendah dari yang lainnya. 4. Jika dilihat secara agregat menggunakan tiga indikator kemiskinan yaitu insiden, kedalaman dan keparahannya, maka kemiskinan yang paling kritis terjadi di agroekosistem hutan, diikuti oleh pesisir/pantai dan lahan campuran. 5. Kerentanan
terhadap
kemiskinan
berasosiasi
kuat
dengan
ekonomi
agroekosistem. Rumahtangga miskin di lahan basah lebih rentan terhadap perubahan misalnya perubahan harga barang dan jasa yang termasuk dalam bundel garis kemiskinan. Ternyata, rumahtangga di kawasan hutan relatif paling rendah kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Agroekosistem
lahan
basah
memperlihatkan
elastisitas
insiden
dan
kedalaman kemiskinan yang tertinggi. 6. Kemiskinan kronis yang terbesar terjadi pada agroekosistem hutan, diikuti oleh pesisir/pantai. Selain peluang untuk keluar dari garis kemiskinan reatif paling kecil, jumlah rumahtangga miskin kronis terbesar juga di agrokesistem hutan diikuti dengan lahan campuran. 7. Kemiskinan tidak secara acak terjadi, tetapi mengikuti pola-pola tertentu (systematic patterns). Temuan dan simulasi terhadap indikator kemiskinan memperlihatkan bahwa ada keragaman dalam insiden kemiskinan antar agroekosistem. Kerentanan (vulnerability) yang merupakan sensitivitas indikator kemiskinan mencerminkan besaran elastisitas yang berbeda pada tiap agroekosistem. Tiap agroekosistem menunjukkan respon yang berbeda terhadap perubahan harga barang dan jasa pada bundel garis kemiskinan. Kemiskinan sementara (transient poverty) ataupun kemiskinan kronis (chronic poverty) yang diklasifikasikan berdasarkan peluang rumahtangga melewati
202
batas garis kemiskinan juga ditunjukkan oleh model yang berbeda pada tiap agroekosistem. 8. Faktor-faktor penciri kemiskinan terkait erat dengan agroekosistem. Secara umum, pengeluaran rumahtangga untuk makanan merupakan proporsi terbesar yang berkontribusi terhadap pengeluaran rumahtangga terjadi pada semua agroekosistem yakni sekitar 50-75 persen. Faktor pemilikan rumah sebagai modal fisik
merupakan
faktor
penciri
lainnya
pada
semua
agroekosistem. Sedangkan faktor fasilitas kesehatan dan pengeluaran untuk kesehatan, sanitasi dan lingkungan merupakan ciri yang khas di lahan basah. Lahan campuran menunjukkan ciri yang berbeda dari agroekosistem lainnya yakni adanya sumber penghasilan dari peternakan dan pertambangan dan porsi pengeluaran yang besar untuk pendidikan. Sedangkan di dataran tinggi, lahan kering, dan hutan serta pantai/pesisir menunjukkan faktor bahan bakar minyak
tanah
merupakan
penentu
pengeluaran.
Berbeda
dengan
agroekosistem lainnya, sumber penerangan listrik merupakan ke khas-an agroekosistem pantai/pesisir sebagai penentu nyata terhadap pengeluaran rumahtangga.
Faktor
transportasi
darat
berpengaruh
nyata
terhadap
pengeluaran rumahtangga di lahan campuran. 9. Model pengeluaran konsumsi rumahtangga yang mencerminkan kemiskinan berbeda pada tiap agroekosistem. Hal ini dijelaskan oleh besaran parameter dan
konfigurasi
parameter-parameter
yang
signifikan
pada
tiap
agroekosistem. 8.2.
Saran Kebijakan Merujuk pada kesimpulan seperti diuraikan diatas, maka insiden,
kedalaman, dan keparahan kemiskinan di Indonesia berasosiasi kuat dengan faktor spasial berdasarkan agroekosistem.
203
Karena itu, maka kebijakan
penanggulangan kemiskinan tidak bisa lagi menggunakan suatu pola umum yang sama (one fits for all) tetapi perlu mengembangkan berbagai model yang spesifik sesuai karakteristik kemiskinan di berbagai agroekosistem. Selain itu, jenis intervensi perlu memperhatikan indikator kemiskinan yang meliputi insiden kemiskinan, kedalaman kemiskinan dan keparahan keparahan pada tiap agroekosistem. Kesimpulan diatas juga menjelaskan bahwa disparitas kemiskinan cukup tinggi dimana yang paling parah terjadi di agroekosistem hutan, diikuti lahan campuran dan agroekosistem pantai/pesisir. Dengan demikian, maka penentuan sasaran secara geografis dapat lebih efektif bagi Indonesia. Pemerintah dapat mengalihkan sebagian sumberdaya dan intervensi ke lokasi dimana terdapat konsentrasi-konsentrasi kemiskinan. Implikasi lainnya dari kesimpulan tersebut adalah terhadap pemilihan lokasi prioritas penanggulangan kemiskinan. Kebijakan penanggulangan insiden kemiskinan di agroekosistem dataran tinggi dan lahan kering hendaknya dijadikan lokasi prioritas utama, diikuti oleh lahan campuran karena kontribusinya atau magnitudenya yang tinggi dalam insiden kemiskinan nasional. Untuk menangani kesenjangan dan keparahan kemiskinan, maka agroekosistem hutan merupakan prioritas intervensi. Selanjutnya, komponen kebijakan juga hendaknya dirancang sesuai dengan masalah kemiskinan yang terjadi di berbagai agroekosistem tersebut. Berdasarkan kesimpulan tentang kerentanan kemiskinan, maka sasaran kebijakan penanggulangan kemiskinan hendaknya tidak hanya terfokus pada rumahtangga miskin (yang berada dibawah garis kemiskinan) tetapi juga diperluas terhadap rumahtangga yang rentan terhadap kemiskinan. Dengan perluasan fokus/sasaran kebijakan tersebut maka berbagai tindakan preventif
204
akan memungkinkan untuk dilakukan. Kebijakan yang relevan untuk katagori yang rentan miskin ini adalah dibangunnya sistem keterjaminan sosial, yang meliputi pengembangan ketahanan lokal dan asuransi sosial. Dengan mengacu pada karakteristik serta penyebab kemiskinan di berbagai
agroekosistem,
maka
berikut
ini
disajikan
saran
kebijakan
penanggulangan kemiskinan sebagai berikut: 1.
Kebijakan dibidang pangan bagi penduduk miskin hendaknya merupakan kebijakan prioritas utama karena faktanya variabel pengeluaran untuk makanan (50-75 persen) merupakan ciri dari semua agroekosistem dan nasional.
Kebijakan
bantuan
pangan
dengan
prinsip
ketersediaan,
kecukupan dan keterjangkauan (harga) untuk penduduk miskin hendaknya tidak bersifat sporadik dan temporer tetapi dirancang dengan seksama agar rumahtangga mampu mengakses pangan. 2.
Kebijakan penyediaan modal fisik (physical capital)
bagi rumahtangga
miskin juga perlu diimplementasikan karena merupakan variabel penentu pada semua agroekosistem. Modal fisik ini merupakan salah satu entitas utama
dalam
memperoleh
opportunities) pada
peluang-peluang
rumahtangga
yang
ekonomi
mengandalkan
(economic ketersediaan
sumberdaya alam sebagai sumber nafkah utama (resource based economy). 3.
Kebijakan
pembangunan
infrastruktur
fisik
yang
berpihak
pada
rumahtangga miskin penting dilakukan. Infrastruktur fisik berfungsi sebagai katalis bagi pembangunan. Selain itu, infrastruktur dapat meningkatkan akses rumahtangga terhadap sumberdaya dan meningkatkan efektivitas intervensi
pemerintah.
Dengan
demikian,
rumahtangga
miskin
mendapatkan fasilitas yang lebih baik dalam rangka memperkuat modal
205
sosial dan produktivitasnya. Berdasarkan temuan studi, pembangunan infrastruktur difokuskan untuk pembangunan infrastruktur perdesaan. 4.
Khusus untuk lahan basah, kebijakan pembangunan infrastruktur dan fasilitas kesehatan untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia yang dapat hidup sehat dan produktif menjadi kebutuhan prioritas. Untuk lahan campuran, diperlukan kebijakan khusus pembangunan fasilitas pendidikan, dan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana usaha.
5.
Selanjutnya untuk hutan, diperlukan kebijakan pengembangan sumberdaya manusia (human capital) untuk mengembangkan mutu sumberdaya manusia yang memiliki wawasan dan pengetahuan serta keterampilan. Pengembangan ini diarahkan untuk mendapatkan usaha yang produktif dan peluang usaha alternatif serta peningkatan infrastruktur sosial. Upayaupaya tersebut antara lain dengan menata kelembagaan; misalnya aturanaturan yang memungkinkan rumahtangga mengakses sumber nafkah, serta memberikan subsidi untuk pendidikan dan pelatihan.
6.
Untuk pesisir dan pantai, diperlukan kebijakan khusus yang memperluas akses rumahtangga terhadap penguasaan aset fisik dan keuangan. Peningkatan sumberdaya manusia diprioritaskan untuk penguasaan teknologi sehingga mampu mengakses peluang-peluang ekonomi. Selain itu, diperlukan penataan kelembagaan agar tercapai hubungan yang proporsional diantara pelaku ekonomi. Dengan demikian, diharapkan aktivitas ekonomi pada agroekosistem ini memberikan manfaat bagi rumahtangga miskin yang pada umumnya nelayan kecil ataupun nelayan buruh.
206
Upaya-upaya pengurangan kemiskinan pada dasarnya terdiri dari dua pendekatan,
yaitu
melalui
peningkatan
pendapatan
dan
pengurangan
pengeluaran. Kebijakan pemerintah dapat dilakukan pada tataran makro, meso dan mikro. Kebijakan tersebut dapat disusun menyeluruh, dilaksanakan menurut skala prioritas atau urgensinya dengan memperhatikan magnitut insiden kemiskinan,
kesenjangan
dan
keparahan
kemiskinan.
Rentang
waktu
pencapaian hendaknya bertahap dengan arah yang jelas bersifat jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Program yang dirancang haruslah dengan tolok ukur yang jelas, berkesinambungan dan ada evaluasi hasil serta pelaksanaannya. Beberapa program atau upaya pengurangan kemiskinan yang dilakukan selama ini dapat diteruskan dengan perbaikan mekanisme dan target sasaran penanggulangan kemiskinan. Kerentanan
kemiskinan
perlu
mendapat
perhatian
dalam
upaya
pengurangan kemiskinan sebagai upaya preventif; bersamaan dengan upayaupaya yang bersifat kuratif (penyembuhan). Memperkuat coping ability melalui pemberdayaan masyarakat dan penguatan kapasitas sumberdaya manusia merupakan hal yang seharusnya mendapat perhatian utama karena intervensi pemerintah terbatas. Pada hakekatnya pengurangan kemiskinan dapat dilakukan mulai dari tingkat rumahtangga. 8.3.
Saran Untuk Penelitian Lanjutan Berdasarkan hasil studi, untuk memperluas dan memperdalam temuan
studi ini maka disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan dengan topik antara lain sebagai berikut: 1. Penelitian
tentang
matapencarian
dan
sumber-sumber
pendapatan
rumahtangga lainnya pada tiap agroekosistem diperlukan sebagai dasar untuk mengidentifikasi sumber-sumber pendapatan rumahtangga. Dengan
207
adanya data tersebut dapat dirancang upaya-upaya pengurangan kemiskinan melalui pendekatan peningkatan pendapatan. 2. Upaya-upaya pengurangan kemiskinan melalui pendekatan pengeluaran memerlukan penelitian lebih lanjut; yakni tentang komponen pengeluaran dan faktor-faktor mempengaruhi keputusan rumahtangga miskin pada tiap agroekosistem. Dengan adanya data yang lebih rinci tiap agroekosistem pada tiap daerah, maka intervensi pemerintah dapat lebih mengenai sasaran dan sesuai dengan kebutuhan rumahtangga miskin dan rentan miskin. 3. Studi mikro tipologi kemiskinan kemiskinan dan kerentanan berbasis desa dengan pendekatan agroekosistem. Dengan adanya data tersebut, dapat dirancang kebijakan penumbuhan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis desa. Selain itu, diharapkan alokasi dana pemerintah untuk pengurangan kemiskinan lebih proporsional baik melalui alokasi anggaran pemerintah daerah maupun sektoral di pusat.
208
DAFTAR PUSTAKA Agresti, A. and B. Finlay. 1999. Statistical Methods for the Social Sciences. Prentice Hall, New Jersey. BPS. 1999. Perkembangan Tingkat Kemiskinan dan Beberapa Dimensi Sosial Ekonominya 1996-1999: Sebuah Kajian Sederhana. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ____. 2001. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ____. 2005. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bane, M.J. and D.T. Ellwood. 1983. Slipping into and out of Poverty: The Dynamics of Spells. National Bureau of Economic Research, Cambridge. Bappenas. 2000. Poverty Reduction Strategy in Indonesia. Paper for the CGI Meeting in Tokyo. Bappenas, Jakarta. ________. 2002. Interim Poverty Reduction Strategy. Bappenas, Jakarta. ________. 2003a. Towards: Poverty Reduction Strategy Through Equitable Growth. Statement of Republic of Indonesia. The Twelveth Meeting of The Consultative Group on Indonesia in Bali. Bappenas, Jakarta. ________. 2003b. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. Bappenas, Jakarta. Bappenas/UNSFIR. 2003. Indonesia 2020, Long–Term Issues & Priorities. Discussion Paper. UNSFIR, Jakarta. Berg, H.V.D. 2001. Economic Growth and Development. MC Graw - Hill, New York. BPS – BAPPENAS – UNDP. 2001. Towards a New Consensus: Democracy and Human Development in Indonesia. Human Development Report. BPS, Jakarta. Center for Economic and Social Studies. 2004. Program Anti Kemiskinan di Indonesia: Pemetaan Informasi dan Kegiatan. CESS, Jakarta. CESS dan ODI. 2003. Program Anti Kemiskinan di Indonesia: Pemetaan Informasi dan Kegiatan. Jakarta. _____________. 2004. Program Anti Kemiskinan di Indonesia: Pemetaan Informasi dan Kegiatan. CESS, Jakarta. _____________. 2005. Kemiskinan dan Kehutanan di Indonesia. ODI, Jakarta.
Chaudhuri, S. 2001. Reconceptualizing Poverty Assessment to Take Account of Vulnerability. Third Asean Development Forum. ASEAN, Bangkok. Crescent. 2003. Menuju Masyarakat Mandiri. Pengembangan Model Sistem Keterjaminan Sosial. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Daly, A. and G. Fane. 2002. Anti Poverty Programs in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol 38, No.3, Jakarta. Dartanto, T. 2007. Kritik atas Kebijakan Kemiskinan. Koran Tempo,10 Februari 2007 – A8, Jakarta. Deaton, A. 1980. Measurement of Welfare. Theory and Practical Guidelines. World Bank LSMS Working Paper no 7. The World Bank, Washington D.C. Dhanani, S. and I. Islam. 2000. Poverty, Inequality and Social Protection. Working Paper. UNSFIR, Jakarta. Harianto. 2007. Revitalisasi Kelembagaan Ekonomi Pertanian dan Perdesaan. Makalah Seminar dan Lokakarya Menuju Desa 2030. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hayami, Y. 2001. Development Economics: From the Poverty to the Wealth of Nations. Oxford University Press, New York. Hebel, J. 2004. Contemporary Theoretical Approaches in Development Sociology. Institut fur Rurale Entwcklung, George-August Universitat Gottingen, Gottingen. Henninger, N. 1998. Mapping and Geographic Analyses of Human Welfare and Poverty. World Resources Institute, Washington. Hess, P.C. Ross. 1997. Economic Development. Theories Evidence and Policies. The Dryden Press, Fort Worth. Hill, H. 2002. Ekonomi Indonesia. Murai Kencana, Indonesia. Ikhsan, M. 1999. The Disagregation of Indonesian Poverty. PhD Dissertation. University of Illinois, Urbana-Champaign. International Fund for Agricultural Development. 2001. Rural Poverty Report. The Challenge of Ending Rural Poverty. Oxford University Press, New York. ______________________________________.2002. Poverty, Asia and Pacific. Palombi, Rome.
Assessment
of
Rural
IPB, UGM, UI. 2004. Studi Dampak Kebijakan Ekonomi Makro Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. JICA, Jakarta. Islam, I. 2001. Identifying The Poorest of The Poor in Indonesia. UNSFIR, Jakarta.
210
Islam, I. 2002. Formulating A Strategic Approach to Poverty Reduction: From A Global Framework to an Indonesian Agenda. UNSFIR, Jakarta. Justianto, A. 2005. Dampak Kebijakan Pembangunan Kehutanan terhadap Pendapatan Masyarakat Miskin di Kalimantan Timur: Suatu Pendekatan Model SNSE. Disertasi Doktor. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. LPEM-UI. 2001. Menghitung Kembali Tingkat Kemiskinan di Indonesia. UI, Jakarta. _______. 2003. Analisis Peringkat Pemerintah Daerah dalam Menanggulangi Kemiskinan. UI, Jakarta. Kamanou, G and J Morduch, 2002. Measuring Vulnerability to Poverty. The World Bank, Washington D.C. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 2002. Buku Pedoman Komite Penanggulangan Kemiskinan. Kantor Menko Kesra, Jakarta. ______________________________________________.2004. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Nasional, Jakarta. Kompas. 2007a. Berbagai Tantangan, Berbagai Upaya. Kompas, 30 Mei 2007. Kompas Media Nusantara, Jakarta. ______. 2007b. Cara Lain Membaca MDGs. Kompas, 30 Mei 2007. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan. Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan. LKIS, Jakarta. Maddala, G.S. 1989. Introduction to Econometrics. International Editions, New York.
Maxwell Maxmillan
Mukherjee, N. dkk. 2002. Masyarakat, Kemiskinan dan Mata Pencaharian: Mata Rantai Pengurangan Kemiskinan di Indonesia. UNFID, Jakarta. Narhetali, E. 2003. Kemiskinan Yang Berkelanjutan. Kompas 6 Maret 2003. Kompas Media Nusantara, Jakarta. Pindyck, R.S. and D.L. Rubinfeld. 2001. Microeconomics. Prentice-Hall International, New Jersey. Pritchett, L., A. Suryahadi and S. Sumarto. 2000. Quantifying Vulnerability to Poverty: A Proposed Measure, with application to Indonesia. The World Bank, Jakarta. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. 1995a. Kemiskinan di Pedesaan: Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Buku I. PSEP, Bogor.
211
___________________________________. 1995b. Kemiskinan di Pedesaan: Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Buku II. PSEP, Bogor. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2007. Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran di Pedesaan. PSEKP, Bogor. Qizilbash, M. 2001. Note on Measurement of Poverty and Vulnerability in the South African Context. Development Studies Association Conference. University of Manchaster, Manchaster. Ravallion, M. and P. Dasgupta. 1992. Growth and Redistribution Components of Changes in Poverty Measures: A Decomposition with Applications to Braziland India in 1980s. (http://www.worldbank.org). Robb, C. M. 2003. Poverty and Social Impact Analysis Linking Macroeconomic Policies to Poverty Outcomes: Summary of Early Experiences. IMF Working Paper, New York. Romer, D. 1996. Advanced Macroeconomics. The Mc Graw –Hill, New York. Rusastra, I.W., M. Arianidan H.P.S. Rachman. 2006. Tingkat Kesejahteraan dan Penangggulangan Kemiskinan Petani di Pedesaan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Rustiadi, E. 2007. Penataan ruang dan Penguatan Infrastruktur Desa dalam Mendukung Konsep Agropolitan. Makalah Seminar dan Lokakarya Menuju Desa 2030. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Saragih, B. 2003. Achieving The Millenium Development Goals By Enabling the Rural Poor to Overcome their Poverty, Statement at 25th IFAD Anniversary. IFAD, Rome. Sharp, A.M., C.A. Register and P.W. Grims. 1998. Economics of Social Issues. Irwin Mc Graw-Hill, New York. Steel, R.G.D, and J.H. Torrie. 1984. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. McGraw-Hill, Singapore. Sudaryanto, T. dan I.W. Rusastra. 2006. Kebijakan Strategis Usaha Pertanian dalam rangka Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan. Balai Besar Penelitian &Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Suryahadi, A. dan Sumarto. 2001. Measuring Vulnerability to Poverty in Indonesia: Before and After the Economic Crisis. The SMERU Research Institute, Jakarta. Supriatna, T. 2000, Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Rineka Cipta, Jakarta. Tambunan, T. 2001. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. Ghalia Indonesia, Jakarta.
212
Tadjoeddin, M.Z. 2001. Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi: Kasus Indonesia 1999 – 2001. UNSFIR, Jakarta. Tadjoeddin M.Z., S. Mishra dan Suharyo. 2001. Aspirasi Terhadap Ketidakmerataan: Disparitas Regional dan Konflik Vertikal di Indonesia. UNSFIR, Jakarta. The World Bank. 2002. World Development Indicators. The World Bank, Washington. _______________. 2003. Maintaining Stability, Deepening Reforms, Report No. 25330- Ind: Brief for the Consultative Group on Indonesia. The World Bank, Jakarta. _______________. 2004a. Mewujudkan Pelayanan Umum bagi Masyarakat Miskin. The World Bank, Jakarta. _______________. 2004b. Meningkatkan Pelayanan Bagi Rakyat Miskin. Konferensi Nasional Penanggulangan Kemiskinan dan Pencapaian Tujuan Milenium. The World Bank, Jakarta. _______________. 2006. Making the New Indonesia Work for the Poor. The World Bank, Jakarta. Todaro, P.M. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga, Surabaya. Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wollenberg. E. 2004. Mengapa Kawasan Hutan Penting Bagi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia?. CIFOR, Jakarta. Wahyudin, M. 2004. Industri Orientasi Ekspor: Dinamika dan Analisis Spasial. Muhammadiyah University Press, Yogyakarta. Yudhoyono, S.B. dan Harniati. 2004. Pengurangan Kemiskinan di Indonesia: Mengapa Tidak Cukup dengan Memacu Pertumbuhan Ekonomi? Brighten Press, Bogor. Yustika, A.E. 2003. Negara vs Kaum Miskin. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Zeller, M. 2003. Socioeconomics of Rural Development. Institut fur Rurale Entwicklung, George-August-Universitat, Gottingen.
213
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Estimasi Faktor Penentu Kemiskinan Dengan Menggunakan Metoda Logit Regression Omnibus Tests of Model Coefficients
Step 1
Step
Chi-square 34574.816
df 103
Sig. .000
Block
34574.816
103
.000
Model
34574.816
103
.000
Model Summary
Step 1
-2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
.134
.243
157425.024
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square 22201.169
df
Sig. .000
8
Classification Table(a) Observed
Predicted Percenta ge Correct
POOR Tidak Miskin Step 1
POOR
Tidak Miskin Miskin
Miskin
204975
3360
98.4
28847
4006
12.2
Overall Percentage
86.6
a The cut value is .500
Variables in Equation Variabel JK(1)
B .119
V2(1)
.017
S.E. .023
Wald 26.020
.016
V3
df 1
Sig. .000
Exp(B) 1.127 1.017
1.053
1
.305
570.528
2
.000
V3(1)
.872
.219
15.897
1
.000
2.393
V3(2)
.569
.024
558.408
1
.000
1.766
V4(1)
-.084
.021
16.171
1
.000
.919
V5(1)
.111
.020
31.216
1
.000
1.118
V6(1)
.439
.017
640.861
1
.000
1.550
V7(1)
.964
.014
4627.465
1
.000
2.623
V8(1)
.111
.014
59.060
1
.000
1.117
12.919
2
.002
.369
1
.544
V9 V9(1)
.019
.031
215
1.019
Lampiran 1. Lanjutan Variabel
B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
.071
.020
12.334
1
.000
1.073
211.066
2
.000
V10(1)
.358
.034
108.323
1
.000
1.430
V10(2)
.308
.022
195.913
1
.000
1.361
V11(1)
.191
.023
72.095
1
.000
1.211
V12(1)
.189
.018
111.742
1
.000
1.208
V13(1)
-.189
.016
146.117
1
.000
.827
92.613
2
.000
V9(2) V10
V14 V14(1)
-.154
.016
91.989
1
.000
.857
V14(2)
-.087
.020
19.663
1
.000
.916
191.957
3
.000
V15(1)
.073
.017
18.764
1
.000
1.075
V15(2)
.223
.017
170.165
1
.000
1.250
V15(3)
-.077
.082
.878
1
.349
.926
19.148
2
.000
V15
V16 V16(1)
.424
.099
18.249
1
.000
1.529
V16(2)
.344
.084
16.886
1
.000
1.410
127.250
3
.000
V17 V17(1)
.210
.101
4.376
1
.036
1.234
V17(2)
.184
.085
4.625
1
.032
1.202
V17(3)
.302
.027
127.024
1
.000
1.352
V18(1)
.163
.022
53.678
1
.000
1.177
V19(1)
-.385
.085
20.479
1
.000
.680
2734.618
3
.000
V20 V20(1)
.130
.049
7.033
1
.008
1.139
V20(2)
1.194
.024
2573.798
1
.000
3.300
V20(3)
.521
.018
863.361
1
.000
1.684
V21(1)
-.194
.043
20.328
1
.000
.824
V22(1)
.053
.015
13.075
1
.000
1.055
V23(1)
.249
.018
184.860
1
.000
1.283
V24(1)
.225
.027
68.467
1
.000
1.253
V25(1)
.058
.076
.584
1
.445
1.059
V26(1)
.105
.025
17.900
1
.000
1.110
2580.017
4
.000
V27 V27(1)
.610
.031
377.259
1
.000
1.840
V27(2)
1.636
.042
1544.815
1
.000
5.135
V27(3)
1.420
.040
1244.432
1
.000
4.136
V27(4)
1.065
.033
1048.797
1
.000
2.902
546.620
3
.000
V28 V28(1)
2.845
.439
42.021
1
.000
17.195
V28(2)
2.999
.439
46.745
1
.000
20.065
V28(3)
2.333
.439
28.190
1
.000
10.309
26.130
2
.000
V29 V29(1)
.352
.104
11.373
1
.001
1.422
V29(2)
.497
.110
20.432
1
.000
1.645
95.673
2
.000
V30
216
Lampiran 1. Lanjutan Variabel
B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
V30(1)
-.852
.168
25.660
1
.000
.427
V30(2)
.396
.071
30.637
1
.000
1.485
I55(1)
.135
.049
7.604
1
.006
1.144
I56(1)
.079
.017
21.720
1
.000
1.082
I57(1)
.162
.035
21.049
1
.000
1.176
I58(1)
.073
.022
11.304
1
.001
1.075
I59(1)
-.035
.019
3.398
1
.065
.965
I60(1)
.317
.046
46.985
1
.000
1.373
I61(1)
-.219
.028
60.672
1
.000
.803
I62(1)
-.018
.020
.875
1
.349
.982
I63(1)
.216
.026
68.993
1
.000
1.241
I64(1)
.083
.025
10.696
1
.001
1.087
I65(1)
.182
.030
36.719
1
.000
1.200
I66(1)
-.073
.041
3.193
1
.074
.929
I67(1)
-.050
.021
5.427
1
.020
.951
I68(1)
.012
.028
.198
1
.656
1.012
I69(1)
-.044
.025
2.989
1
.084
.957
I70(1)
.058
.020
8.131
1
.004
1.060
344.880
10
.000
.153
.078
3.801
1
.051
1.165
PENGHA(2)
.083
.030
7.554
1
.006
1.087
PENGHA(3)
-.324
.055
34.605
1
.000
.723
PENGHA(4)
.531
.116
20.863
1
.000
1.701
PENGHA(5)
-.227
.034
43.837
1
.000
.797
PENGHA(6)
-.031
.041
.576
1
.448
.969
PENGHA(7)
.123
.061
4.096
1
.043
1.131
PENGHA(8)
-.249
.106
5.574
1
.018
.779
PENGHA(9)
-.138
.053
6.680
1
.010
.871
PENGHA(10)
.076
.034
4.909
1
.027
1.079
22.660
2
.000
BAHANBKR(1)
.207
.049
18.008
1
.000
1.231
BAHANBKR(2)
.150
.048
9.766
1
.002
1.162
48.207
2
.000
PENGHA PENGHA(1)
BAHANBKR
TMPSAMPA TMPSAMPA(1)
.113
.030
14.154
1
.000
1.120
TMPSAMPA(2)
.170
.026
41.562
1
.000
1.185
35.469
3
.000
TMPBB TMPBB(1)
-.089
.017
27.671
1
.000
.915
TMPBB(2)
-.061
.038
2.610
1
.106
.941
TMPBB(3)
-.139
.036
14.429
1
.000
.871
9.825
3
.020
SLIMBAH(1)
.048
.017
8.000
1
.005
SLIMBAH(2)
-.007
.040
.034
1
.854
.993
SLIMBAH(3)
.040
.021
3.624
1
.057
1.040
72.383
5
.000
SLIMBAH
AIRMINUM
1.049
AIRMINUM(1)
.024
.049
.229
1
.633
1.024
AIRMINUM(2)
-.076
.046
2.725
1
.099
.927
217
Lampiran 1. Lanjutan Variabel
B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
.191
.046
17.124
1
.000
1.211
AIRMINUM(4)
.150
.035
18.541
1
.000
1.162
AIRMINUM(5)
-.075
.060
1.560
1
.212
.928
18.440
5
.002
AIRMINUM(3)
AIRMANDI AIRMANDI(1)
-.044
.066
.440
1
.507
.957
AIRMANDI(2)
-.114
.041
7.822
1
.005
.892
AIRMANDI(3)
-.003
.049
.004
1
.953
.997
AIRMANDI(4)
-.058
.038
2.368
1
.124
.944
AIRMANDI(5)
-.147
.059
6.237
1
.013
.864
LANTAS(1)
-.443
.042
112.216
1
.000
.642
25.254
2
.000
ASPAL(2)
.021
.024
.810
1
.368
1.022
ASPAL(3)
.084
.017
24.927
1
.000
1.087
24.967
4
.000
ASPAL
PENDIDIK PENDIDIK(1)
.159
.036
19.415
1
.000
PENDIDIK(2)
-.533
.303
3.092
1
.079
.587
PENDIDIK(3)
.166
.153
1.183
1
.277
1.181
PENDIDIK(4)
1.173
-.025
.033
.536
1
.464
.976
KESEHATA(1)
.244
.030
64.385
1
.000
1.277
TRANSPOR(1)
.271
.031
76.131
1
.000
1.311
-9.274
.466
396.823
1
.000
.000
Constant
Penjelasan: “Variables in the Equation” menunjukan variabel-variabel bebas dalam model regresi logistik beserta dengan statistiknya. Statistik B adalah koefisien persamaan regresi logistik untuk masing-masing variabel bebas, yang menunjukan besarnya pendugaan variabel bebas terhadap variabep tidak bebasnya. Uji Wald untuk menguji peubah-peubah bebas secara bersamaan (Parsial) dengan hipotesis:
H 0 : βi = 0
H1: : β i ≠ 0,
dimana i = 1,2,3,…,p
Sedangkan Exp(B) adalah Odd Ratio yaitu ratio peluang “tidak miskin” terhadap peluang “miskin”. Jika nilainya kurang dari 1 maka akibatnya jika variabel bebas naik maka variabel tidak bebasnya mendekati nilai 1 (miskin) dan sebaliknya.
218
Lampiran 2. Keterangan Variabel Bebas Variabel JK V2 V3 V4
: : : :
V5 V6 V7 V8 V9
: : : : :
V10
:
V11 V12 V13
: : :
V14 V15
: :
V16
:
V17
:
V18 V19 V20
: : :
V21
:
V22
:
V23 V24
: :
V25
:
V26 V27
: :
V28
:
V29
:
V30
:
i55 i56
: :
Nama Variabel Jenis Kelamin Kepala Keluarga [0=Laki-laki, 1=perempuan] Usia Kepala Rumah Tangga [1= umur 50+th , 2 =umur <50 th] Dependency Ratio [1= lebih dari 5, 2= 2-4, 3= 0-1] Jenis Atap Terluas [1= Beton/Genteng/Seng/Asbes, 0= bukan Beton/Genteng/Seng/Asbes] Jenis Dinding [1.Tembok/kayu/lainnya, 0=Bambu] Jenis Lantai [1=bukan tanah, 0=tanah] Luas Lantai per Kapita[1= >10m2, 0= <10m2] Akses Air Minum [1=aman, 0=tidak aman] Tempat Pembuangan air besar [2=Sendiri, 1=bersama/umum, 0=tidak ada] Jenis Kloset [2=leher angsa, 1=cemplung/plengsengan, 0=tidak pakai] Tempat Pembuangan Akhir Tinja [1=tanki septik, 0=lainnya] Sumber Penerangan Listrik [1=Ya, 0=Tidak] Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap berupa JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek [1=Ya, 0=Tidak] Penggunaan alat kontrasepsi modern [1=Ya, 0=Tidak] Akses ke Fasilitas Kesehatan [2=Pelayanan kesehatan modern, 1=pengeobatan tradisional, 0=tidak ada] Rata-rata lama sekolah Kepala Keluarga [2= 9 th+, 1= 6-8 th, 0= kurang dari 5 th] Pendidikan tertinggi Kepala Keluarga [3=SMU+, 2=SMP, 1=SD, 0=tidak sekolah] Kepala Keluarga bisa Baca dan Tulis [1=Ya, 0=Tidak] Kepala Keluarga bekerja [1=Ya, 0=Tidak] Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja [3= lebih dari 50%, 2= 20%-50%, 1= 0.1%-20%, 0=0% Kurang dari 50% Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka [1=Ya, 0=Tidak] Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga lebih dari 35 jam [1=Ya, 0=Tidak] Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian [1=Tidak, 0=Ya] Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian [1=Tidak, 0=Ya] Kepala keluarga merupakan pekerja tidak dibayar [1=Tidak, 0=Ya] Kepala keluarga bekerja di sektor informal [1=Tidak, 0=Ya] Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja [3= (>125%)*povline, 2=(75.1% - 125%)*povline, 1=(50.1% 75%)*povline 0= kurang dari 50%*povline] Persen pengeluaran untuk makanan [3= kurang 25%, 2=25%50%, 1= 50%-75%, 0= lebih dari 75%] Persen pengeluaran untuk pendidikan [2= lebih 20%, 1= 10%20% , 0= kurang 10%] Persen pengeluaran untuk kesehatan [2= lebih 20%, 1= 10%-20% , 0= kurang 10%] Kepemilikan Telepon [1=punya, 0=Tidak] Kepemilikan TV [1=punya 0=Tidak]
219
Lampiran 2. Lanjutan i57 i58 i59 i60 i61 i62 i63 i64 i65 i66 i67 i68 i69 i70 Pengha Bahanbkr tmpsampa
: : : : : : : : : : : : : : : : :
Tmpbb
:
Slimbah
:
Airminum
:
Airmandi
:
Jalan Aspal Pendidik
: : :
Kesehata Transpor Constant
: : :
Adanya kegiatan PKK [1=Ada, 0=Tidak] Adanya kegiatan Arisan/Jumpitan [1=Ada, 0=Tidak] Adanya Perkumpulan/Organisasi Petani [1=Ada, 0=Tidak] Tinggal di desa rawan Gempa Bumi [1=Tidak, 0=Ya] Tinggal di desa rawan Tanah Longsor [1=Tidak, 0=Ya] Tinggal di desa rawan Banjir [1=Tidak, 0=Ya] Pencemaran Air [1=Tidak, 0=Ya] Pencemaran Udara dan Bau [1=Tidak, 0=Ya] Pencemaran Suara [1=Tidak, 0=Ya] Kasus Busung lapar [1=Tidak, 0=Ada] Wabah Muntaber [1=Tidak, 0=Ada] Demam Berdarah [1=Tidak, 0=Ada] ISPA [1=Tidak, 0=Ada] Penyakit Lainnya [1=Tidak, 0=Ada] Sumber Penghasilan Jenis Bahan Bakar Memasak [2=Gas, 1=Minyak, 0=Lainnya] Ketersediaan Tempat Buang Sampah [2=TPS, 1=lubang/dibakar, 0=Lainnya] Ketersediaan Tempat Buang Air Besar [3=Jamban sendiri, 2=Jamban bersama, 1=jamban umum, 0=Tidak ada] Ketersediaan Saluran Limbah [3=lancar, 2=tidak lancar, 1=menggenang, 0=lainnya] Sumber Air Minum [6=PAM, 5=Pompa, 4=Sumur, 3=Mata Air, 2=Sungai, 1=air hujan, 0=lainnya] Sumber Air Mandi [6=PAM, 5=Pompa, 4=Sumur, 3=Mata Air, 2=Sungai, 1=air hujan, 0=lainnya] Akses Jalur Lalu Lintas [1=Darat, 0=Air] Jenis Jalan di desa [3=Aspal, 2=Batu, 1=Tanah, 0=Lainnya] Ketersediaan Fasilitas Pendidikan [3=SMP swasta, 2=SMP Negeri, 1=SD, 0=Tidak ada] Ketersediaan Fasilitas Puskesmas [1=Ada, 0=Tidak ada] Jenis Transportasi [1=Roda 4 lebih, 0=lainnya] Kostanta
220
Lampiran 3. Variabel Dummy dan Deskripsinya Kode
Kategori Dummy Perempuan
Dasar Pembanding Laki-laki
DV3_1
Variabel Jenis Kelamin Kepala Keluarga Dependency Ratio
2-4 orang
>=5 orang
DV3_2
Dependency Ratio
0-1 orang
>=5 orang
DV4
Jenis Atap Terluas
Beton/Genteng/Seng/Asbes
Sirap/ijuk
DV5
Jenis Dinding
Tembok/kayu/lainnya
Bambu
DV6
Jenis Lantai
Bukan Tanah
Tanah
DV7
Luas lantai perkapita
>10 m2
<= 10m2
DV8
Akses air minum
Aman
Tidak aman
DV9_1
Bersama/umum
Tidak punya
Sendiri
Tidak punya
DV10_1
Tempat Pembuangan air besar Tempat Pembuangan air besar Jenis kloset
Plengsengan/Jemplung
Tidak pakai/punya
DV10_2
Jenis kloset
Leher angsa
Tidak pakai/punya
DV11
Tempat pembuangan akhir tinja Sumber Penerangan
Tangki septik
Kolam/ sawah/ sungai/ kebun/ lobang Non-Listrik
DV13
Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap
DV14
Penggunaan kontrasepsi
JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/ Askes/ jamsostek/ kantor Alat KB modern
DV15_1
Akses ke Fasilitas Kesehatan Akses ke Fasilitas Kesehatan Rata-rata lama sekolah Kepala Keluarga Rata-rata lama sekolah Kepala Keluarga Pendidikan tertinggi Kepala Keluarga Pendidikan tertinggi Kepala Keluarga Pendidikan tertinggi Kepala Keluarga Angka Melek huruf Kepala Keluarga Kegiatan Bekerja Kepala Keluarga Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian
DV1
DV9_2
DV12
DV15_2 DV16_1 DV16_2 DV17_1 DV17_2 DV17_3 DV18 DV19 DV20_1 DV20_2 DV20_3 DV21
DV22 DV23
Listrik
Pengobatan Tradisonal
Tidak punya
Tidak pakai/alat tradisional Tidak berobat jalan
Tenaga/Fasilitas Kesehatan modern 6-8 tahun
Tidak berobat jalan
>=9 tahun
< 6 tahun
SD
Tidak pernah sekolah
SMP
Tidak pernah sekolah
>= SMU
Tidak pernah sekolah
Bisa baca tulis Bekerja
Tidak bisa baca dan tulis Tidak Bekerja
0.1% - 20%
0%
20.1% - 50%
0%
>50%
0%
<50%
>=50%
>35 jam/minggu
<=35 jam/minggu atau tidak bekerja Ya (termasuk yang tidak bekerja)
Tidak
221
< 6 tahun
Lampiran 3. Lanjutan Kode DV24
DV25 DV26 DV27_1 DV27_2 DV27_3 DV28_1 DV28_2 DV28_3 DV29_1 DV29_2 DV30_1 DV30_2 DA_1 DA_2 DA_3 DA_4 DA_5 DA_6 DA_7 DA_8 DA_9 DA_10 DB_1 DB_2 DC_1 DC_2 DD_1
Variabel Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian Kepala keluarga bekerja Tidak Dibayar Kepala keluarga bekerja di sektor informal Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja Persen pengeluaran untuk makanan Persen pengeluaran untuk makanan Persen pengeluaran untuk makanan Persen pengeluaran untuk pendidikan Persen pengeluaran untuk pendidikan Persen pengeluaran untuk kesehatan Persen pengeluaran untuk kesehatan Sumber penghasilan dari kehutanan Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan Sumber penghasilan dari hortikulture Sumber penghasilan dari peternakan Sumber penghasilan dari perkebunan Sumber penghasilan dari perikanan Sumber penghasilan dari Pertanian lain Sumber penghasilan dari pertambangan Sumber penghasilan dari industri Sumber penghasilan dari perdagangan Jenis Bahan Bakar Memasak Jenis Bahan Bakar Memasak Tempat membuang sampah Tempat membuang sampah Tempat membuang air besar di desa
Kategori Dummy
Dasar Pembanding
Tidak
Ya (termasuk yang tidak bekerja)
Tidak
Ya
Tidak
Ya
(50.1% - 75%)*povline
(<=50%)*povline
(75.1% - 125%)*povline
(<=50%)*povline
(>125%)*povline
(<=50%)*povline
50.1% - 75%
>75%
25.1% - 50%
>75%
<=25%
>75%
10.1% - 20%
<=10%
>20%
<=10%
10.1% - 20%
<=10%
>20%
<=10%
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Minyak tanah
Kayu bakar
Gas
Kayu bakar
Lubang/dibakar
Sungai
Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Jamban umum
Sungai
222
Tidak ada/bukan jamban
Lampiran 3. Lanjutan Kode
Variabel
Kategori Dummy
Dasar Pembanding
DD_2
Jamban bersama
Saluran menggenang
Tidak ada/bukan jamban Tidak ada/bukan jamban Tidak ada saluran
Saluran tidak lancar
Tidak ada saluran
Saluran lancar
Tidak ada saluran
DF_1
Tempat membuang air besar di desa Tempat membuang air besar di desa Saluran pembuangan limbah cair Saluran pembuangan limbah cair Saluran pembuangan limbah cair Sumber air minum/masak
Air hujan
DF_2
Sumber air minum/masak
Sungai
DF_3
Sumber air minum/masak
Mata air
DF_4
Sumber air minum/masak
Sumur
DF_5
Sumber air minum/masak
Pompa
DF_6
Sumber air minum/masak
PAM
DG_1
Sumber air mandi/cuci
Air hujan
DG_2
Sumber air mandi/cuci
Sungai
DG_3
Sumber air mandi/cuci
Mata air
DG_4
Sumber air mandi/cuci
Sumur
DG_5
Sumber air mandi/cuci
Pompa
DG_6
Sumber air mandi/cuci
PAM
DH_2
Darat Tanah
Lainnya
Batu
Lainnya
Aspal
Lainnya
DJ_1
Lalu lintas sebagian keluarga Jenis Permukaan jalan terluas Jenis Permukaan jalan terluas Jenis Permukaan jalan terluas Fasilitas Pendidikan
Lainnya : embung, waduk Lainnya : embung, waduk Lainnya : embung, waduk Lainnya : embung, waduk Lainnya : embung, waduk Lainnya : embung, waduk Lainnya : embung, waduk Lainnya : embung, waduk Lainnya : embung, waduk Lainnya : embung, waduk Lainnya : embung, waduk Lainnya : embung, waduk Sungai/air
SD Swasta
SD Negeri
DJ_2
Fasilitas Pendidikan
SMP Negeri
SD Negeri
DJ_3
Fasilitas Pendidikan
SMP Swasta
SD Negeri
DK
Fasilitas Kesehatan
Puskesmas
Posyandu
DM_PKK
Kegiatan PKK
Ada
Tidak
DM_ARISAN
Kegiatan Arisan
Ada
Tidak
I59
Ada
Tidak
DN_GEMPA
Kegiatan Perkumpulan Petani Bencana Gempa bumi
Ada
Tidak
DN_LONGSOR
Bencana longsor
Ada
Tidak
DN_CEMAR_AIR
Ada pencemaran air
Ya
Tidak
DN_CEMAR_UDARA
Ada pencemaran udara
Ya
Tidak
DN_CEMAR_SUARA
Ada pencemaran suara
Ya
Tidak
DP_MUNTABER
Ada kasus mutaber
Ya
Tidak
DP_MARASMUS
Ada kasus penyakit marasmus Ada Kasus Penyakit ISPA
Ya
Tidak
Ya
Tidak
DD_3 DE_1 DE_2 DE_3
DI_1 DI_2 DI_3
DP_ISPA
Jamban sendiri
223
Lampiran 3. Lanjutan Kode
Variabel
Kategori Dummy
Dasar Pembanding
DP_LAINNYA
Ada kasus penyakit lainnya
Ya
Tidak
DL_TRANSP
Jenis transportasi umum
Roda 4 atau lebih
Roda 2 atau 3
LNEXP
Indikator tidak bebas Konsumsi perkapita
224
Lampiran 4.
Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Basah Dengan Garis Kemiskinan Biasa VARIABEL
BETA
Konstanta
STDEV
10.994
0.0173
Jenis Kelamin : Perempuan
0.024
0.0008
Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
0.062
0.0018
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.013
0.0007
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.093
0.0007
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.221
0.0006
Akses air minum : Aman
0.023
0.0005
Tempat Pembuangan air besar : Sendiri Jenis kloset : Leher angsa Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.086
0.0016
-0.014
0.0017
0.100
0.0009
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/ Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.019
0.0015
-0.030
0.0006
-0.061
0.0005
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Tenaga/Fasilitas Kesehatan modern
-0.008
0.0038
0.024
0.0008
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 0.1% - 20%
-0.010
0.0015
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 20.1% - 50%
-0.123
0.0014
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.255
0.0016
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.080
0.0013
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
-0.010
0.0006
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.027
0.0006
Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak
0.040
0.0008
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.006
0.0008
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.061
0.0009
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.113
0.0011
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.153
0.0015
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75%
1.145
0.0029
Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50%
0.295
0.0010
Persen pengeluaran untuk makanan : <=25%
0.004
0.0007
Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20%
0.083
0.0025
-0.052
0.0014
0.133
0.0018
Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20% Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.031
0.0020
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.135
0.0027
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
0.067
0.0032
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
0.024
0.0027
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.293
0.0042
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
0.032
0.0025
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.065
0.0021
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.019
0.0006
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.145
0.0014
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
0.044
0.0009
Tempat membuang air besar di desa : Jamban umum
0.022
0.0006
Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama
0.029
0.0011
Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
0.076
0.0014
Saluran pembuangan limbah cair : saluran menggenang
0.005
0.0009
Saluran pembuangan limbah cair : saluran tidak lancar
0.045
0.0010
225
Lampiran 4. Lanjutan VARIABEL
BETA
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
STDEV
0.242
0.0017
Sumber air minum/masak : Pompa
-0.086
0.0042
Sumber air minum/masak : PAM
-0.160
0.0037
Jenis Permukaan jalan terluas : Batu
-0.020
0.0006
Jenis Permukaan jalan terluas : Aspal
-0.061
0.0013
Fasilitas Pendidikan : SD Swasta
-0.081
0.0014
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
-0.031
0.0005
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.045
0.0006
Fasilitas Kesehatan : Puskesmas
0.263
0.0030
-0.030
0.0014
Kegiatan PKK : Ada
0.056
0.0035
Kegiatan Arisan : Ada
0.063
0.0021
Bencana Gempa bumi : Ada
0.090
0.0036
Bencana longsor : Ada
-0.079
0.0018
Ada pencemaran air : Ya
Jenis transportasi umum : Roda 4 atau lebih
-0.024
0.0010
Ada pencemaran udara : Ya
0.068
0.0008
Ada pencemaran suara : Ya
0.069
0.0009
Ada kasus marasmus : Ya
0.192
0.0017
-0.061
0.0012
Ada kasus penyakit lainnya : Ya
226
Lampiran 5.
Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Kering Dengan Garis Kemiskinan Biasa VARIABEL
BETA
Konstanta Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
STDEV
11.634
0.0042
0.053
0.0002
-0.024
0.0003
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.067
0.0002
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.106
0.0002
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.185
0.0002
Akses air minum : Aman
0.032
0.0001
Tempat Pembuangan air besar : Bersama/umum
0.002
0.0004
Tempat Pembuangan air besar : Sendiri
0.016
0.0004
Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung
0.074
0.0004
Jenis kloset : Leher angsa
0.021
0.0004
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.045
0.0002
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.072
0.0002
-0.009
0.0002
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.081
0.0001
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
0.015
0.0002
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Tenaga/Fasilitas Kesehatan modern
0.016
0.0009
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
0.054
0.0003
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 0.1% - 20%
-0.026
0.0005
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.337
0.0005
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.036
0.0004
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.015
0.0002
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.076
0.0002
Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak
0.021
0.0004
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.072
0.0002
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.032
0.0003
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.144
0.0003
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.169
0.0004
0.954
0.0007
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk makanan : <=25% Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20% Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20% Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% Sumber penghasilan dari kehutanan : Ya
0.229
0.0003
-0.021
0.0002
0.077
0.0006
-0.021
0.0003
0.051
0.0006
-0.059
0.0010
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.184
0.0003
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.059
0.0005
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya
-0.218
0.0014
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.090
0.0003
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.085
0.0004
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.133
0.0007
Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya
0.041
0.0010
Sumber penghasilan dari industri : Ya
-0.013
0.0003
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
-0.008
0.0002
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.146
0.0004
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.071
0.0002
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.071
0.0003
227
Lampiran 5. Lanjutan VARIABEL
BETA
STDEV
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
-0.016
0.0002
Tempat membuang air besar di desa : Jamban umum
-0.007
0.0002
Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama
-0.011
0.0004
Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
0.037
0.0004
Saluran pembuangan limbah cair : saluran menggenang
0.020
0.0002
Saluran pembuangan limbah cair : saluran tidak lancar
0.021
0.0003
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
0.036
0.0005
Sumber air mandi/cuci : PAM
0.036
0.0013
Fasilitas Pendidikan : SD Swasta
0.007
0.0003
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
0.018
0.0001
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.031
0.0002
Fasilitas Kesehatan : Puskesmas
-0.003
0.0004
Jenis transportasi umum : Roda 4 atau lebih
-0.014
0.0004
Kegiatan PKK : Ada Kegiatan Arisan : Ada Bencana Gempa bumi : Ada
0.007
0.0005
-0.036
0.0003
0.018
0.0005
Bencana longsor : Ada
-0.002
0.0003
Ada pencemaran air : Ya
-0.001
0.0002
Ada pencemaran udara : Ya
0.015
0.0002
Ada pencemaran suara : Ya
0.029
0.0002
-0.007
0.0002
0.027
0.0002
Ada kasus mutaber : Ya Ada kasus penyakit lainnya : Ya
228
Lampiran 6.
Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Campuran Dengan Garis Kemiskinan Biasa VARIABEL
BETA
Konstanta Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
STDEV
11.640
0.0066
0.049
0.0003
-0.034
0.0007
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.045
0.0003
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.063
0.0003
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.184
0.0003
Akses air minum : Aman
0.029
0.0002
Tempat Pembuangan air besar : Bersama/umum
-0.034
0.0006
Tempat Pembuangan air besar : Sendiri
-0.015
0.0006
Jenis kloset : Leher angsa
0.021
0.0006
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.044
0.0003
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.099
0.0005
-0.009
0.0002
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.089
0.0002
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
0.018
0.0002
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Tenaga/Fasilitas Kesehatan modern
0.012
0.0014
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
0.042
0.0003
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 0.1% - 20%
-0.029
0.0006
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 20.1% - 50%
-0.153
0.0006
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.302
0.0006
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.050
0.0005
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.012
0.0002
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.075
0.0003
Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak
0.040
0.0004
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.044
0.0003
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.062
0.0004
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.102
0.0004
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.164
0.0005
0.996
0.0012
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk makanan : <=25% Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20% Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20% Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% Sumber penghasilan dari kehutanan : Ya
0.216
0.0004
-0.021
0.0003
0.135
0.0009
-0.015
0.0005
0.062
0.0007
-0.021
0.0022
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.077
0.0004
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.081
0.0009
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya
0.331
0.0091
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.088
0.0009
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.045
0.0009
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.104
0.0012
Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya
0.129
0.0022
Sumber penghasilan dari industri : Ya
-0.048
0.0006
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
-0.014
0.0005
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.044
0.0008
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.055
0.0002
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.048
0.0005
229
Lampiran 6. Lanjutan VARIABEL
BETA
STDEV
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
0.014
0.0004
Tempat membuang air besar di desa : Jamban umum
0.012
0.0002
Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama
0.100
0.0005
Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
0.015
0.0007
-0.019
0.0003
Saluran pembuangan limbah cair : saluran menggenang Saluran pembuangan limbah cair : saluran tidak lancar
0.010
0.0004
-0.049
0.0007
Sumber air minum/masak : Pompa
0.037
0.0026
Sumber air minum/masak : PAM
0.007
0.0028
Sumber air mandi/cuci : PAM
0.198
0.0033
Lalu lintas sebagian keluarga : Darat
0.150
0.0048
Fasilitas Pendidikan : SD Swasta
-0.010
0.0007
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
-0.012
0.0002
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.009
0.0002
Fasilitas Kesehatan : Puskesmas
0.028
0.0010
Jenis transportasi umum : Roda 4 atau lebih
0.022
0.0006
Kegiatan PKK : Ada
0.020
0.0009
Kegiatan Arisan : Ada
-0.052
0.0006
Bencana Gempa bumi : Ada
-0.003
0.0012
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
Bencana longsor : Ada
0.027
0.0005
Ada pencemaran air : Ya
0.009
0.0004
Ada pencemaran udara : Ya
-0.033
0.0003
Ada pencemaran suara : Ya
0.064
0.0004
-0.021
0.0003
0.029
0.0004
Ada kasus mutaber : Ya Ada kasus penyakit lainnya : Ya
230
Lampiran 7.
Variabel yang Nyata Untuk Model Pantai Dengan Garis Kemiskinan Biasa VARIABEL
BETA
Konstanta
STDEV
11.507
0.00881
Jenis Kelamin : Perempuan
0.016
0.00060
Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
0.018
0.00057
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.093
0.00061
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.032
0.00057
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.213
0.00041
Akses air minum : Aman
0.008
0.00038
Tempat Pembuangan air besar : Bersama/umum
-0.003
0.00097
Tempat Pembuangan air besar : Sendiri
0.016
0.00097
Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung
0.034
0.00103
Jenis kloset : Leher angsa
0.013
0.00097
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.055
0.00053
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.123
0.00054
-0.009
0.00044
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.066
0.00038
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
-0.008
0.00039
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Tenaga/Fasilitas Kesehatan modern
-0.017
0.00188
0.042
0.00064
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 0.1% - 20%
0.025
0.00124
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.254
0.00125
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.044
0.00106
0.025
0.00040
0.072
0.00047
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
-0.015
0.00091
0.068
0.00060
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.055
0.00067
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.120
0.00083
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.153
0.00113
1.174
0.00202
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk makanan : <=25% Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20% Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20% Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% Sumber penghasilan dari kehutanan : Ya
0.212
0.00070
-0.027
0.00044
0.020
0.00219
-0.039
0.00107
0.076
0.00161
-0.380
0.00328
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.158
0.00070
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.061
0.00143
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya
-0.331
0.00406
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.077
0.00080
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.095
0.00072
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.144
0.00163
Sumber penghasilan dari industri : Ya
0.008
0.00116
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
0.031
0.00080
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.132
0.00108
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.091
0.00046
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.032
0.00070
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
0.002
0.00047
231
Lampiran7. Lanjutan VARIABEL
BETA
Tempat membuang air besar di desa : Jamban umum
STDEV
0.021
0.00047
Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama
-0.035
0.00103
Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
-0.061
0.00119
Saluran pembuangan limbah cair : saluran menggenang
0.061
0.00048
Saluran pembuangan limbah cair : saluran tidak lancar
0.022
0.00056
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
0.015
0.00099
Sumber air minum/masak : Pompa
0.154
0.00296
Sumber air mandi/cuci : PAM
-0.015
0.00254
Fasilitas Pendidikan : SD Swasta
-0.046
0.00072
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
-0.009
0.00037
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.019
0.00039
Fasilitas Kesehatan : Puskesmas
0.042
0.00092
-0.004
0.00076
Jenis transportasi umum : Roda 4 atau lebih Kegiatan PKK : Ada Kegiatan Arisan : Ada Bencana Gempa bumi : Ada
0.098
0.00119
-0.034
0.00064
0.037
0.00101
-0.022
0.00081
Ada pencemaran air : Ya
0.030
0.00058
Ada pencemaran udara : Ya
0.032
0.00057
Ada pencemaran suara : Ya
0.079
0.00067
Ada kasus mutaber : Ya
-0.019
0.00053
Ada kasus penyakit lainnya : Ya
-0.002
0.00049
Bencana longsor : Ada
232
Lampiran 8.
Variabel yang Nyata Untuk Model Dataran Tinggi Dengan Garis Kemiskinan Biasa VARIABEL
BETA
Konstanta Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
STDEV
11.641
0.00434
0.051
0.00022
-0.032
0.00034
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.057
0.00024
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.088
0.00021
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.179
0.00016
Akses air minum : Aman
0.036
0.00014
Tempat Pembuangan air besar : Sendiri
0.028
0.00042
Jenis kloset : Leher angsa
0.006
0.00042
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.055
0.00019
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.071
0.00029
-0.006
0.00016
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.086
0.00014
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
0.014
0.00015
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Tenaga/Fasilitas Kesehatan modern
0.020
0.00093
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
0.052
0.00026
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 0.1% - 20%
-0.025
0.00042
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 20.1% - 50%
-0.179
0.00039
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.332
0.00043
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.031
0.00037
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.017
0.00016
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.063
0.00019
Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak
0.035
0.00031
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.065
0.00022
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.033
0.00024
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.133
0.00028
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.175
0.00039
0.939
0.00063
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk makanan : <=25% Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20% Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20% Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% Sumber penghasilan dari kehutanan : Ya
0.235
0.00026
-0.019
0.00020
0.085
0.00054
-0.014
0.00030
0.055
0.00050
-0.023
0.00128
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.157
0.00024
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.070
0.00064
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya
-0.153
0.00191
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.061
0.00035
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.097
0.00074
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.107
0.00078
Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya
0.030
0.00112
Sumber penghasilan dari industri : Ya
-0.042
0.00031
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
-0.023
0.00024
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.121
0.00039
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.054
0.00018
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.078
0.00032
-0.024
0.00025
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
233
Lampiran 8. Lanjutan VARIABEL
BETA
Tempat membuang air besar di desa : Jamban umum
STDEV
0.008
0.00019
Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama
0.068
0.00040
Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
0.067
0.00049
Saluran pembuangan limbah cair : saluran menggenang
0.003
0.00021
Saluran pembuangan limbah cair : saluran tidak lancar
0.023
0.00027
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
0.030
0.00046
Sumber air minum/masak : PAM
0.042
0.00142
Sumber air mandi/cuci : PAM
0.130
0.00158
Fasilitas Pendidikan : SD Swasta
0.016
0.00032
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
0.020
0.00014
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.029
0.00015
Fasilitas Kesehatan : Puskesmas
0.010
0.00050
-0.002
0.00046
Jenis transportasi umum : Roda 4 atau lebih Kegiatan PKK : Ada
0.005
0.00059
-0.044
0.00033
Bencana Gempa bumi : Ada
0.058
0.00073
Bencana longsor : Ada
0.013
0.00038
Ada pencemaran air : Ya
-0.010
0.00023
Ada pencemaran udara : Ya
-0.001
0.00021
Ada pencemaran suara : Ya
0.050
0.00024
-0.015
0.00022
0.038
0.00023
Kegiatan Arisan : Ada
Ada kasus mutaber : Ya Ada kasus penyakit lainnya : Ya
234
Lampiran 9.
Variabel yang Nyata Untuk Model Daerah Aliran Sungai Dengan Garis Kemiskinan Biasa VARIABEL
BETA
Kontanta Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
STDEV
11.585
0.0079
0.041
0.0004
-0.029
0.0005
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.061
0.0005
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.092
0.0004
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.211
0.0003
Akses air minum : Aman
0.056
0.0003
Tempat Pembuangan air besar : Bersama/umum
0.006
0.0007
Tempat Pembuangan air besar : Sendiri
0.023
0.0007
Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung
0.048
0.0007
Jenis kloset : Leher angsa
0.007
0.0007
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.058
0.0004
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.097
0.0005
0.001
0.0003
-0.089
0.0003
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
0.009
0.0003
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Tenaga/Fasilitas Kesehatan modern
0.009
0.0018
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
0.040
0.0005
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 0.1% - 20%
-0.031
0.0009
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 20.1% - 50%
-0.193
0.0008
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.336
0.0009
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.026
0.0007
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.030
0.0003
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.068
0.0004
Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak
0.012
0.0007
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.064
0.0004
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.035
0.0005
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.137
0.0006
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.174
0.0008
0.978
0.0012
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk makanan : <=25% Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20% Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20% Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% Sumber penghasilan dari kehutanan : Ya
0.246
0.0005
-0.007
0.0004
0.066
0.0011
-0.028
0.0006
0.061
0.0010
-0.079
0.0017
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.160
0.0005
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.178
0.0011
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya
-0.400
0.0028
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.101
0.0006
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.097
0.0008
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.185
0.0015
Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya
0.008
0.0018
Sumber penghasilan dari industri : Ya
-0.033
0.0007
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
-0.039
0.0004
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.213
0.0008
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.071
0.0004
235
Lampiran 9. Lanjutan VARIABEL Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Tempat membuang air besar di desa : Jamban umum Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri Saluran pembuangan limbah cair : saluran menggenang Saluran pembuangan limbah cair : saluran tidak lancar
BETA
STDEV
0.039
0.0005
-0.039
0.0004
0.024
0.0004
-0.008
0.0008
0.059
0.0008
-0.007
0.0004
0.010
0.0005
-0.006
0.0008
Sumber air mandi/cuci : PAM
0.076
0.0028
Fasilitas Pendidikan : SD Swasta
0.058
0.0006
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
0.029
0.0003
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.035
0.0003
Fasilitas Kesehatan : Puskesmas
0.021
0.0008
-0.019
0.0007
Kegiatan PKK : Ada
0.026
0.0011
Kegiatan Arisan : Ada
0.004
0.0006
Bencana Gempa bumi : Ada
0.025
0.0010
-0.032
0.0005
Ada pencemaran air : Ya
0.003
0.0004
Ada pencemaran udara : Ya
0.001
0.0004
Ada pencemaran suara : Ya
0.032
0.0004
-0.006
0.0004
0.049
0.0004
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
Jenis transportasi umum : Roda 4 atau lebih
Bencana longsor : Ada
Ada kasus mutaber : Ya Ada kasus penyakit lainnya : Ya
236
Lampiran 10. Variabel yang Nyata Untuk Model Hutan Dengan Garis Kemiskinan Biasa VARIABEL
BETA
Konstanta Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
STDEV
11.660
0.0062
0.045
0.0005
-0.006
0.0005
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.059
0.0004
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.118
0.0004
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.195
0.0003
Tempat Pembuangan air besar : Bersama/umum
0.005
0.0007
Tempat Pembuangan air besar : Sendiri
0.009
0.0007
Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung
0.080
0.0008
Jenis kloset : Leher angsa
0.032
0.0007
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.046
0.0005
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.060
0.0004
-0.035
0.0004
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.095
0.0003
0.009
0.0003
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal Akses ke Fasilitas Kesehatan : Tenaga/Fasilitas Kesehatan modern
-0.023
0.0018
0.045
0.0005
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.287
0.0011
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.071
0.0009
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.013
0.0003
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.092
0.0004
Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak
0.013
0.0006
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.063
0.0005
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.070
0.0006
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.116
0.0007
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.144
0.0010
0.982
0.0020
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50%
0.260
0.0006
Persen pengeluaran untuk makanan : <=25%
-0.036
0.0003
Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20%
-0.020
0.0019
Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20%
-0.063
0.0010
Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20%
0.058
0.0012
-0.069
0.0015
Sumber penghasilan dari kehutanan : Ya Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.196
0.0007
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.091
0.0010
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya
-0.202
0.0023
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.098
0.0008
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.103
0.0012
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.133
0.0013
Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya
0.070
0.0021
Sumber penghasilan dari industri : Ya
-0.040
0.0015
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
-0.041
0.0011
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.150
0.0013
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.064
0.0005
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.110
0.0008
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
0.015
0.0004
Tempat membuang air besar di desa : Jamban umum
0.021
0.0003
237
Lampiran 10. Lanjutan VARIABEL Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
BETA
STDEV
-0.041
0.0007
0.021
0.0007
Saluran pembuangan limbah cair : saluran menggenang
-0.008
0.0003
Saluran pembuangan limbah cair : saluran tidak lancar
-0.004
0.0005
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
-0.019
0.0010
Sumber air minum/masak : Sungai
0.113
0.0025
Sumber air minum/masak : PAM
0.203
0.0021
Sumber air mandi/cuci : Sungai
-0.020
0.0024
Sumber air mandi/cuci : PAM
-0.016
0.0024
Fasilitas Pendidikan : SD Swasta
-0.057
0.0006
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.029
0.0003
Fasilitas Kesehatan : Puskesmas
-0.020
0.0007
Jenis transportasi umum : Roda 4 atau lebih
-0.052
0.0007
Kegiatan Arisan : Ada
-0.051
0.0005
Bencana Gempa bumi : Ada
-0.068
0.0009
Bencana longsor : Ada
0.026
0.0004
Ada pencemaran air : Ya
0.052
0.0005
Ada pencemaran udara : Ya
0.007
0.0005
Ada pencemaran suara : Ya
0.030
0.0007
-0.005
0.0005
0.019
0.0004
Ada kasus mutaber : Ya Ada kasus penyakit lainnya : Ya
238
Lampiran 11. Variabel yang Nyata Untuk Model Nasional Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen VARIABEL
BETA
Konstanta Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
STDEV
11.698
0.0415
0.037
0.0028
-0.011
0.0029
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.086
0.0031
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.083
0.0026
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.198
0.0019
Akses air minum : Aman
0.026
0.0018
Tempat Pembuangan air besar : Sendiri
0.012
0.0045
Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung
0.086
0.0048
Jenis kloset : Leher angsa
0.024
0.0045
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.039
0.0025
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.079
0.0027
-0.017
0.0020
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.074
0.0018
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
0.010
0.0019
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
0.050
0.0032
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 20.1% - 50%
-0.167
0.0052
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.317
0.0056
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.049
0.0049
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.016
0.0019
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.074
0.0023
Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak
0.020
0.0043
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.063
0.0029
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.058
0.0031
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.131
0.0039
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.170
0.0053
1.007
0.0093
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk makanan : <=25% Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20% Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20% Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% Sumber penghasilan dari kehutanan : Ya
0.245
0.0032
-0.012
0.0021
0.073
0.0080
-0.024
0.0044
0.054
0.0071
-0.055
0.0107
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.142
0.0033
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.040
0.0065
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya
-0.187
0.0180
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.058
0.0039
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.062
0.0049
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.124
0.0079
Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya
0.065
0.0104
Sumber penghasilan dari industri : Ya
-0.016
0.0048
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
-0.022
0.0033
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.116
0.0051
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.057
0.0023
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.060
0.0035
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
239
-0.014
0.0024
0.022
0.0053
Lampiran 11. Lanjutan BETA
STDEV
Saluran pembuangan limbah cair : saluran menggenang
VARIABEL
0.013
0.0023
Saluran pembuangan limbah cair : saluran tidak lancar
0.016
0.0029
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
0.028
0.0052
Sumber air minum/masak : PAM
0.114
0.0147
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
0.006
0.0018
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.033
0.0018
Fasilitas Kesehatan : Puskesmas
-0.019
0.0044
Jenis transportasi umum : Roda 4 atau lebih
-0.013
0.0045
Kegiatan Arisan : Ada
-0.025
0.0031
Kegiatan Perkumpulan Petani : Ada
-0.046
0.0022
Bencana Gempa bumi : Ada
-0.016
0.0059
Bencana longsor : Ada
-0.026
0.0038
Ada pencemaran air : Ya
0.017
0.0029
Ada pencemaran udara : Ya
0.008
0.0028
Ada pencemaran suara : Ya
0.038
0.0032
Ada kasus penyakit ISPA : Ya
0.024
0.0031
Ada kasus penyakit lainnya : Ya
0.013
0.0025
240
Lampiran 12. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Basah Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen VARIABEL
BETA
Konstanta
STDEV
11.564
0.2109
Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
0.066
0.0238
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.039
0.0129
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.084
0.0121
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.217
0.0107
Tempat Pembuangan air besar : Sendiri
0.066
0.0282
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.068
0.0150
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.042
0.0176
-0.029
0.0104
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.061
0.0096
0.037
0.0138
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 20.1% - 50%
-0.116
0.0238
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.240
0.0274
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.094
0.0220
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.025
0.0099
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.044
0.0114
Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak
0.045
0.0143
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.088
0.0177
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.091
0.0208
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.156
0.0294
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75%
1.198
0.0522
Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50%
0.300
0.0183
Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20%
0.096
0.0460
Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20%
0.093
0.0323
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.125
0.0513
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.310
0.0957
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.154
0.0234
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
0.060
0.0125
Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama
0.080
0.0230
Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
0.082
0.0258
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
0.325
0.0337
Fasilitas Pendidikan : SD Swasta
-0.085
0.0233
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
-0.037
0.0098
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.029
0.0110
-0.096
0.0338
Ada pencemaran udara : Ya
0.039
0.0152
Ada pencemaran suara : Ya
0.051
0.0183
-0.136
0.0260
Kegiatan Arisan : Ada
Ada kasus ISPA : Ya
241
Lampiran 13. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Kering Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen VARIABEL
BETA
Konstanta Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
STDEV
11.652
0.0474
0.039
0.0033
-0.009
0.0031
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.099
0.0038
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.089
0.0032
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.200
0.0022
Akses air minum : Aman
0.027
0.0022
Tempat Pembuangan air besar : Sendiri
0.015
0.0051
Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung
0.083
0.0054
Jenis kloset : Leher angsa
0.025
0.0050
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.037
0.0029
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.077
0.0029
-0.014
0.0023
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.070
0.0021
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
0.009
0.0022
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
0.053
0.0039
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.329
0.0067
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.043
0.0058
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.015
0.0023
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.078
0.0028
Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak
0.012
0.0058
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.069
0.0035
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.049
0.0037
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.142
0.0046
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.175
0.0064
1.005
0.0107
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk makanan : <=25% Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20% Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20% Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% Sumber penghasilan dari kehutanan : Ya
0.249
0.0037
-0.012
0.0024
0.060
0.0092
-0.025
0.0052
0.052
0.0089
-0.065
0.0113
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.156
0.0040
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.033
0.0073
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya
-0.212
0.0187
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.071
0.0044
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.070
0.0054
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.127
0.0089
Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya
0.060
0.0114
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
-0.017
0.0036
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.135
0.0059
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.069
0.0029
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.049
0.0040
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
-0.019
0.0027
Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama
-0.017
0.0058
Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
0.017
0.0061
Saluran pembuangan limbah cair : saluran menggenang
0.018
0.0026
242
Lampiran 13. Lanjutan BETA
STDEV
Saluran pembuangan limbah cair : saluran tidak lancar
VARIABEL
0.014
0.0033
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
0.035
0.0060
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
0.013
0.0021
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.034
0.0021
Fasilitas Kesehatan : Puskesmas
-0.027
0.0047
Jenis transportasi umum : Roda 4 atau lebih
-0.021
0.0051
Kegiatan Arisan : Ada
-0.024
0.0034
Kegiatan Perkumpulan Petani : Ada
-0.031
0.0024
Bencana Gempa bumi : Ada
-0.019
0.0063
Bencana longsor : Ada
-0.029
0.0042
Ada pencemaran air : Ya
0.018
0.0033
Ada pencemaran udara : Ya
0.013
0.0033
Ada pencemaran suara : Ya
0.030
0.0037
Ada kasus ISPA : Ya
0.021
0.0034
Ada kasus penyakit lainnya : Ya
0.010
0.0027
243
Lampiran 14. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Campuran Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen VARIABEL
BETA
Konstanta Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
STDEV
11.672
0.1032
0.039
0.0055
-0.024
0.0093
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.056
0.0058
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.069
0.0051
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.194
0.0044
Akses air minum : Aman
0.029
0.0035
Tempat Pembuangan air besar : Bersama/umum
-0.028
0.0105
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.040
0.0052
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.090
0.0076
-0.022
0.0040
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.089
0.0037
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
0.020
0.0037
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
0.043
0.0061
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 20.1% - 50%
-0.149
0.0095
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.294
0.0107
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.058
0.0095
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.012
0.0040
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.076
0.0046
Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak
0.033
0.0069
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.049
0.0056
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.071
0.0062
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.101
0.0072
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.151
0.0094
0.972
0.0203
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk makanan : <=25% Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20% Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20% Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20%
0.214
0.0068
-0.019
0.0049
0.123
0.0164
-0.021
0.0086
0.057
0.0121
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.074
0.0068
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.056
0.0153
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya
0.317
0.0931
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.050
0.0140
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.052
0.0152
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.092
0.0189
Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya
0.087
0.0282
Sumber penghasilan dari industri : Ya
-0.021
0.0099
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
-0.019
0.0085
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.067
0.0116
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.038
0.0041
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.065
0.0077
Tempat membuang air besar di desa : Jamban umum
0.014
0.0045
Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama
0.062
0.0099
Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
0.027
0.0116
Saluran pembuangan limbah cair : saluran tidak lancar
0.027
0.0073
-0.039
0.0119
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
244
Lampiran 14. Lanjutan VARIABEL
BETA
Lalu lintas sebagian keluarga : Darat
STDEV
0.238
0.0783
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
-0.014
0.0035
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.015
0.0039
Fasilitas Kesehatan : Puskesmas
0.036
0.0139
Kegiatan Arisan : Ada
-0.041
0.0086
Ada pencemaran udara : Ya
-0.024
0.0059
Ada pencemaran suara : Ya
0.055
0.0066
Ada kasus ISPA : Ya
0.037
0.0082
245
Lampiran 15. Variabel yang Nyata Untuk Model Pantai Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen VARIABEL
BETA
Konstanta
STDEV
11.605
0.085
Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
0.024
0.006
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.118
0.008
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.035
0.007
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.228
0.005
Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung
0.045
0.013
Jenis kloset : Leher angsa
0.028
0.012
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.053
0.006
Sumber Penerangan : Listrik
0.112
0.006
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.052
0.005
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
-0.019
0.005
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
0.032
0.008
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 0.1% - 20%
0.048
0.015
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.264
0.014
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.054
0.012
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.038
0.005
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.078
0.006
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.064
0.007
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.073
0.008
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.106
0.010
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.158
0.014
1.201
0.028
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20% Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% Sumber penghasilan dari kehutanan : Ya
0.239
0.008
-0.053
0.014
0.074
0.021
-0.265
0.030
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.166
0.009
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.053
0.018
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya
-0.328
0.036
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.080
0.009
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.081
0.008
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.112
0.018
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.159
0.012
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.092
0.006
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
-0.018
0.005
Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
-0.121
0.014
Saluran pembuangan limbah cair : saluran menggenang
0.067
0.006
Saluran pembuangan limbah cair : saluran tidak lancar
0.031
0.006
Sumber air minum/masak : Pompa
0.129
0.034
Fasilitas Pendidikan : SD Swasta
-0.040
0.008
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
0.009
0.004
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.017
0.004
-0.036
0.009
Jenis transportasi umum : Roda 4 atau lebih Kegiatan PKK : Ada
0.046
0.013
Kegiatan Arisan : Ada
-0.030
0.007
Kegiatan Perkumpulan Petani : Ada
-0.061
0.005
Ada pencemaran air : Ya
0.029
0.007
Ada pencemaran udara : Ya
0.035
0.007
246
Lampiran 15. Lanjutan VARIABEL
BETA
Ada pencemaran suara : Ya Ada kasus ISPA : Ya Ada kasus penyakit lainnya : Ya
247
STDEV
0.057
0.008
-0.051
0.007
0.020
0.006
Lampiran 16. Variabel yang Nyata Untuk Model Dataran Tinggi Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen VARIABEL
BETA
Konstanta Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
STDEV
11.715
0.060
0.037
0.003
-0.020
0.004
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.076
0.004
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.083
0.004
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.188
0.003
Akses air minum : Aman
0.035
0.002
Tempat Pembuangan air besar : Sendiri
0.044
0.006
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.046
0.003
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.066
0.004
-0.017
0.003
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.079
0.002
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
0.012
0.002
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
0.055
0.004
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 0.1% - 20%
-0.019
0.007
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 20.1% - 50%
-0.181
0.006
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.335
0.007
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.037
0.006
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.012
0.003
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.069
0.003
Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak
0.025
0.005
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.062
0.004
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.048
0.004
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.132
0.005
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.174
0.006
0.972
0.011
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk makanan : <=25% Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20% Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20% Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% Sumber penghasilan dari kehutanan : Ya
0.247
0.004
-0.012
0.003
0.067
0.009
-0.016
0.005
0.047
0.008
-0.047
0.017
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.137
0.004
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.035
0.005
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.070
0.010
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.101
0.011
Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya
0.030
0.014
Sumber penghasilan dari industri : Ya
-0.022
0.005
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
-0.024
0.004
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.107
0.006
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.039
0.003
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.057
0.005
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
-0.019
0.004
0.011
0.003
Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama
0.031
0.007
Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
0.068
0.008
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
0.042
0.007
Tempat membuang air besar di desa : Jamban umum
248
Lampiran 16. Lanjutan BETA
STDEV
Sumber air minum/masak : PAM
VARIABEL
0.052
0.021
Fasilitas Pendidikan : SD Swasta
0.021
0.005
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
0.014
0.002
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.035
0.002
Kegiatan Arisan : Ada
-0.034
0.005
Kegiatan Perkumpulan Petani : Ada
-0.054
0.003
Bencana Gempa bumi : Ada
0.028
0.010
Ada pencemaran air : Ya
0.010
0.004
Ada pencemaran suara : Ya
0.042
0.004
Ada kasus ISPA : Ya
0.047
0.004
Ada kasus penyakit lainnya : Ya
0.014
0.003
249
Lampiran 17. Variabel yang Nyata Untuk Model Hutan Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen VARIABEL
BETA
Konstanta
STDEV
11.656
0.076
Jenis Kelamin : Perempuan
0.031
0.007
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.092
0.007
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.097
0.006
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.212
0.004
Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung
0.111
0.010
Jenis kloset : Leher angsa
0.051
0.009
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.020
0.007
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.067
0.005
-0.026
0.005
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.077
0.004
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
0.015
0.005
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
0.049
0.007
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.253
0.016
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.067
0.013
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.014
0.004
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.096
0.006
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.059
0.008
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.080
0.008
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.099
0.011
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.142
0.015
1.047
0.032
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50%
0.279
0.009
Persen pengeluaran untuk makanan : <=25%
-0.017
0.004
Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20%
-0.068
0.015
Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20%
0.043
0.019
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.140
0.010
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.067
0.014
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya
-0.287
0.031
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.061
0.011
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.088
0.014
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.069
0.018
Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya
0.129
0.024
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
-0.058
0.015
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.102
0.016
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.078
0.006
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.129
0.010
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
-0.009
0.005
0.016
0.005
Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama
-0.047
0.010
Saluran pembuangan limbah cair : saluran menggenang
-0.018
0.005
Sumber air minum/masak : Sungai
0.149
0.036
Sumber air minum/masak : PAM
0.242
0.031
Sumber air mandi/cuci : PAM
-0.080
0.034
Fasilitas Pendidikan : SD Swasta
-0.057
0.008
Tempat membuang air besar di desa : Jamban umum
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta Fasilitas Kesehatan : Puskesmas
250
0.026
0.005
-0.042
0.008
Lampiran 17. Lanjutan VARIABEL
BETA
STDEV
Kegiatan Arisan : Ada
-0.023
0.006
Kegiatan Perkumpulan Petani : Ada
-0.051
0.006
Bencana Gempa bumi : Ada
-0.068
0.012
Ada pencemaran air : Ya
0.067
0.007
Ada pencemaran suara : Ya
0.043
0.010
251
Lampiran 18. Variabel yang Nyata Untuk Model Nasional Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen VARIABEL
BETA
Konstanta Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
STDEV
11.698
0.04147
0.037
0.00278
-0.011
0.00292
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.085
0.00309
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.083
0.00264
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.198
0.00194
Akses air minum : Aman
0.026
0.00181
Tempat Pembuangan air besar : Sendiri
0.013
0.00447
Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung
0.086
0.00478
Jenis kloset : Leher angsa
0.024
0.00446
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.038
0.00249
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.079
0.00266
-0.017
0.00200
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.074
0.00181
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
0.010
0.00188
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
0.050
0.00323
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 20.1% - 50%
-0.167
0.00519
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.318
0.00560
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.048
0.00486
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.016
0.00195
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.074
0.00234
Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak
0.020
0.00426
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.063
0.00292
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.058
0.00314
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.130
0.00385
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.170
0.00529
1.008
0.00932
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk makanan : <=25% Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20% Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20% Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% Sumber penghasilan dari kehutanan : Ya
0.245
0.00322
-0.012
0.00214
0.073
0.00798
-0.023
0.00442
0.054
0.00711
-0.053
0.01066
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.142
0.00328
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.039
0.00646
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya
-0.186
0.01798
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.058
0.00390
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.062
0.00494
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.124
0.00793
Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya
0.066
0.01045
Sumber penghasilan dari industri : Ya
-0.016
0.00477
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
-0.023
0.00328
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.116
0.00513
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.057
0.00233
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.060
0.00347
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
252
-0.015
0.00241
0.022
0.00526
Lampiran 18. Lanjutan BETA
STDEV
Saluran pembuangan limbah cair : saluran menggenang
VARIABEL
0.013
0.00230
Saluran pembuangan limbah cair : saluran tidak lancar
0.015
0.00296
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
0.027
0.00525
Sumber air minum/masak : PAM
0.116
0.01468
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
0.006
0.00175
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.033
0.00184
Fasilitas Kesehatan : Puskesmas
-0.020
0.00442
Jenis transportasi umum : Roda 4 atau lebih
-0.013
0.00449
Kegiatan Arisan : Ada
-0.025
0.00308
Kegiatan Perkumpulan Petani : Ada
-0.046
0.00222
Bencana Banjir : Ada
0.019
0.00238
Bencana Gempa bumi : Ada
-0.018
0.00587
Bencana longsor : Ada
-0.030
0.00386
Ada pencemaran air : Ya
0.015
0.00292
Ada pencemaran udara : Ya
0.009
0.00284
Ada pencemaran suara : Ya
0.038
0.00317
Ada kasus penyakit lainnya : Ya
0.020
0.00222
253
Lampiran 19. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Basah Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen VARIABEL
BETA
Konstanta
STDEV
11.534
0.21091
Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
0.066
0.02385
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.035
0.01290
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.084
0.01212
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.220
0.01067
Tempat Pembuangan air besar : Sendiri
0.064
0.02828
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.066
0.01496
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.045
0.01767
-0.032
0.01042
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.061
0.00963
0.039
0.01386
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 20.1% - 50%
-0.115
0.02385
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.237
0.02741
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.097
0.02206
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.025
0.00994
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.043
0.01136
Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak
0.046
0.01429
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.086
0.01773
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.091
0.02083
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.159
0.02943
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75%
1.194
0.05225
Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50%
0.300
0.01833
Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20%
0.099
0.04601
Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20%
0.092
0.03228
-0.290
0.09567
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.165
0.02336
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
0.066
0.01258
Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama
0.084
0.02308
Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
0.089
0.02574
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
0.325
0.03385
Fasilitas Pendidikan : SD Swasta
-0.076
0.02328
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
-0.037
0.00982
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.030
0.01099
Kegiatan Arisan : Ada
-0.077
0.03345
Bencana Banjir : Ada
-0.064
0.01567
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
Bencana Gempa bumi : Ada
0.115
0.04792
Ada pencemaran udara : Ya
0.036
0.01523
Ada pencemaran suara : Ya Ada kasus penyakit lainnya : Ya
254
0.072
0.01868
-0.034
0.01685
Lampiran 20. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Kering Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen VARIABEL
BETA
Konstanta Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
STDEV
11.653
0.04739
0.039
0.00330
-0.009
0.00315
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.098
0.00378
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.089
0.00316
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.200
0.00221
Akses air minum : Aman
0.027
0.00215
Tempat Pembuangan air besar : Sendiri
0.016
0.00513
Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung
0.083
0.00542
Jenis kloset : Leher angsa
0.025
0.00503
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.037
0.00289
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.078
0.00293
-0.014
0.00234
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.070
0.00211
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
0.009
0.00224
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
0.054
0.00390
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.329
0.00672
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.043
0.00576
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.015
0.00227
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.077
0.00280
Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak
0.012
0.00576
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.069
0.00346
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.050
0.00369
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.142
0.00461
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.175
0.00642
1.005
0.01065
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk makanan : <=25% Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20% Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20% Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% Sumber penghasilan dari kehutanan : Ya
0.249
0.00375
-0.012
0.00244
0.060
0.00924
-0.025
0.00520
0.052
0.00887
-0.063
0.01127
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.156
0.00401
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.032
0.00733
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya
-0.211
0.01870
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.070
0.00440
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.070
0.00542
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.128
0.00889
Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya
0.061
0.01139
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
-0.017
0.00361
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.135
0.00589
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.068
0.00294
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.049
0.00401
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
-0.020
0.00274
Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama
-0.018
0.00581
Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
0.017
0.00606
Saluran pembuangan limbah cair : saluran menggenang
0.018
0.00263
255
Lampiran 20. Lanjutan BETA
STDEV
Saluran pembuangan limbah cair : saluran tidak lancar
VARIABEL
0.013
0.00333
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
0.033
0.00596
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
0.013
0.00209
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.034
0.00213
Fasilitas Kesehatan : Puskesmas
-0.028
0.00475
Jenis transportasi umum : Roda 4 atau lebih
-0.021
0.00507
Kegiatan Arisan : Ada
-0.024
0.00336
Kegiatan Perkumpulan Petani : Ada
-0.032
0.00241
Bencana Banjir : Ada
0.019
0.00270
Bencana Gempa bumi : Ada
-0.021
0.00630
Bencana longsor : Ada
-0.033
0.00427
Ada pencemaran air : Ya
0.016
0.00334
Ada pencemaran udara : Ya
0.014
0.00332
Ada pencemaran suara : Ya
0.030
0.00369
Ada kasus penyakit lainnya : Ya
0.016
0.00243
256
Lampiran 21. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Campuran Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen VARIABEL
BETA
Konstanta Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
STDEV
11.679
0.10319
0.039
0.00547
-0.023
0.00930
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.056
0.00576
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.069
0.00512
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.193
0.00439
Akses air minum : Aman
0.029
0.00351
Tempat Pembuangan air besar : Bersama/umum
-0.027
0.01047
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.039
0.00516
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.090
0.00758
-0.021
0.00403
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.089
0.00370
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
0.020
0.00365
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
0.043
0.00608
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 20.1% - 50%
-0.149
0.00954
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.295
0.01068
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.058
0.00950
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.011
0.00399
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.077
0.00456
Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak
0.033
0.00689
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.050
0.00564
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.071
0.00621
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.101
0.00720
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.150
0.00942
0.971
0.02035
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk makanan : <=25% Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20% Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20% Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20%
0.215
0.00676
-0.019
0.00488
0.124
0.01642
-0.021
0.00859
0.056
0.01210
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.073
0.00683
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.055
0.01529
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya
0.317
0.09314
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.052
0.01404
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.053
0.01518
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.089
0.01886
Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya
0.091
0.02818
Sumber penghasilan dari industri : Ya
-0.020
0.00994
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
-0.020
0.00846
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.068
0.01165
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.037
0.00408
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.067
0.00764
Tempat membuang air besar di desa : Jamban umum
0.014
0.00453
Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama
0.065
0.00993
Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
0.028
0.01165
Saluran pembuangan limbah cair : saluran tidak lancar
0.025
0.00731
-0.041
0.01188
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
257
Lampiran 21. Lanjutan VARIABEL
BETA
Lalu lintas sebagian keluarga : Darat
STDEV
0.225
0.07834
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
-0.013
0.00349
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.015
0.00386
Fasilitas Kesehatan : Puskesmas
0.035
0.01392
-0.042
0.00859
Kegiatan Arisan : Ada Bencana Banjir : Ada
0.019
0.00545
Ada pencemaran udara : Ya
-0.024
0.00587
Ada pencemaran suara : Ya
0.055
0.00657
Ada kasus penyakit lainnya : Ya
0.022
0.00622
258
Lampiran 22. Variabel yang Nyata Untuk Model Pantai Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen VARIABEL
BETA
Konstanta
STDEV
11.610
0.08502
Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
0.024
0.00620
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.118
0.00760
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.034
0.00689
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.228
0.00474
Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung
0.045
0.01268
Jenis kloset : Leher angsa
0.029
0.01214
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.054
0.00634
Sumber Penerangan : Listrik
0.111
0.00608
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.052
0.00463
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
-0.018
0.00471
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
0.033
0.00803
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 0.1% - 20%
0.049
0.01458
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.263
0.01449
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
-0.054
0.01240
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.038
0.00482
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.077
0.00574
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.065
0.00749
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.072
0.00819
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.106
0.01022
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.159
0.01409
1.203
0.02756
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20% Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% Sumber penghasilan dari kehutanan : Ya
0.239
0.00841
-0.054
0.01353
0.073
0.02076
-0.276
0.03002
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.165
0.00866
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.053
0.01788
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya
-0.328
0.03613
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.080
0.00910
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.081
0.00849
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.114
0.01830
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.159
0.01208
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.092
0.00571
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
-0.020
0.00536
Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
-0.115
0.01448
Saluran pembuangan limbah cair : saluran menggenang
0.067
0.00580
Saluran pembuangan limbah cair : saluran tidak lancar
0.031
0.00644
Sumber air minum/masak : Pompa
0.119
0.03389
-0.042
0.00771
Fasilitas Pendidikan : SD Swasta Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta Jenis transportasi umum : Roda 4 atau lebih Kegiatan PKK : Ada
0.017
0.00448
-0.038
0.00921
0.045
0.01324
Kegiatan Arisan : Ada
-0.031
0.00713
Kegiatan Perkumpulan Petani : Ada
-0.063
0.00522
Ada pencemaran air : Ya
0.025
0.00746
Ada pencemaran udara : Ya
0.034
0.00723
Ada pencemaran suara : Ya
0.053
0.00816
259
Lampiran 23. Variabel yang Nyata Untuk Model Dataran Tinggi Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen VARIABEL Konstanta Jenis Kelamin : Perempuan
BETA
STDEV
11.716
0.05990
0.037
0.00349
-0.020
0.00425
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.076
0.00421
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.084
0.00351
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.187
0.00252
Akses air minum : Aman
0.035
0.00227
Tempat Pembuangan air besar : Sendiri
0.045
0.00640
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.045
0.00308
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.066
0.00386
-0.017
0.00252
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.079
0.00229
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
0.012
0.00238
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
0.055
0.00425
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 0.1% - 20%
-0.019
0.00669
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : 20.1% - 50%
-0.182
0.00624
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.336
0.00678
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
-0.037
0.00593
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.012
0.00255
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.069
0.00304
Kepala keluarga merupakan pekerja bebas pertanian : Tidak
0.025
0.00533
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.063
0.00359
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.048
0.00383
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.132
0.00464
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.174
0.00638
0.974
0.01057
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% Persen pengeluaran untuk makanan : <=25% Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20% Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20% Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% Sumber penghasilan dari kehutanan : Ya
0.248
0.00405
-0.011
0.00292
0.067
0.00897
-0.016
0.00508
0.047
0.00845
-0.044
0.01654
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.138
0.00392
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.035
0.00509
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.071
0.00988
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.102
0.01108
Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya
0.033
0.01422
Sumber penghasilan dari industri : Ya
-0.023
0.00534
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
-0.025
0.00374
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.107
0.00620
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.039
0.00292
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.058
0.00469
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
-0.020
0.00357
0.011
0.00314
Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama
0.031
0.00665
Tempat membuang air besar di desa : Jamban sendiri
0.068
0.00753
Tempat membuang air besar di desa : Jamban umum
260
Lampiran 23. Lanjutan BETA
STDEV
Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar
VARIABEL
0.039
0.00698
Sumber air minum/masak : PAM
0.052
0.02136
Fasilitas Pendidikan : SD Swasta
0.021
0.00456
Fasilitas Pendidikan : SMP Negeri
0.015
0.00221
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
0.035
0.00231
Kegiatan Arisan : Ada
-0.033
0.00461
Kegiatan Perkumpulan Petani : Ada
-0.054
0.00289
Bencana Banjir : Ada
0.024
0.00306
Bencana Gempa bumi : Ada
0.025
0.01024
Ada pencemaran air : Ya
0.008
0.00375
Ada pencemaran suara : Ya
0.042
0.00389
Ada kasus penyakit lainnya : Ya
0.030
0.00308
261
Lampiran 24. Variabel yang Nyata Untuk Model Hutan Dengan Garis Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen VARIABEL
BETA
STDEV
11.656
0.07648
Jenis Kelamin : Perempuan
0.031
0.00692
Jenis Atap Terluas : Beton/Genteng/Seng/Asbes
0.011
0.00578
Jenis Dinding : Tembok/kayu/lainnya
0.092
0.00704
Jenis Lantai : Bukan Tanah
0.097
0.00550
Luas lantai perkapita : >10 m2
0.212
0.00450
Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung
0.110
0.01031
Jenis kloset : Leher angsa
0.050
0.00908
Tempat pembuangan akhir tinja : Tangki septik
0.020
0.00666
Sumber Penerangan : Listrik Jaminan Kesehatan berobat jalan/inap : JPKM/Dana Sehat/ Kartu sehat/Askes/jamsostek/
0.067
0.00512
-0.027
0.00495
Penggunaan kontrasepsi : Alat KB modern
-0.077
0.00427
Akses ke Fasilitas Kesehatan : Pengobatan Tradisonal
0.015
0.00464
Angka Melek huruf Kepala Keluarga : Bisa baca tulis
0.049
0.00702
Persen Anggota Rumah Tangga yang Bekerja : >50%
-0.253
0.01593
Persen Anggota Rumah Tangga yang Pengangguran Terbuka : <50%
Konstanta
-0.067
0.01345
Jumlah Jam Kerja Seminggu Kepala Keluarga : >35 jam/minggu
0.014
0.00427
Kepala keluarga bekerja di sektor pertanian : Tidak
0.096
0.00555
Kepala keluarga bekerja di sektor informal : Tidak
0.059
0.00776
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (50.1% - 75%)*povline
0.081
0.00847
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (75.1% - 125%)*povline
-0.099
0.01075
Pendapatan perkapita anggota RT yang bekerja : (>125%)*povline
-0.142
0.01459
1.046
0.03179
Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50%
0.279
0.00861
Persen pengeluaran untuk makanan : <=25%
-0.018
0.00449
Persen pengeluaran untuk pendidikan : >20%
-0.068
0.01513
Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20%
0.043
0.01932
Sumber penghasilan dari pertanian tanaman pangan : Ya
-0.140
0.01011
Sumber penghasilan dari hortikulture : Ya
-0.067
0.01368
Sumber penghasilan dari peternakan : Ya
-0.287
0.03051
Sumber penghasilan dari perkebunan : Ya
-0.061
0.01051
Sumber penghasilan dari perikanan : Ya
-0.088
0.01397
Sumber penghasilan dari Pertanian lain : Ya
-0.068
0.01758
Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya
0.130
0.02403
Sumber penghasilan dari perdagangan : Ya
-0.059
0.01487
Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah
0.101
0.01613
Jenis Bahan Bakar Memasak : Gas
0.078
0.00611
Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar
0.129
0.00958
Tempat membuang sampah : Tempat Pembuangan Sampah (TPS)
-0.009
0.00473
0.015
0.00492
Tempat membuang air besar di desa : Jamban bersama
-0.048
0.01017
Saluran pembuangan limbah cair : saluran menggenang
-0.018
0.00487
Sumber air minum/masak : Sungai
0.149
0.03626
Sumber air minum/masak : PAM
0.242
0.03052
Sumber air mandi/cuci : PAM
-0.079
0.03434
Fasilitas Pendidikan : SD Swasta
-0.058
0.00750
0.026
0.00478
Tempat membuang air besar di desa : Jamban umum
Fasilitas Pendidikan : SMP Swasta
262
Lampiran 24. Lanjutan BETA
STDEV
Fasilitas Kesehatan : Puskesmas
VARIABEL
-0.042
0.00773
Kegiatan Arisan : Ada
-0.024
0.00591
Kegiatan Perkumpulan Petani : Ada
-0.051
0.00560
Bencana Gempa bumi : Ada
-0.070
0.01196
Ada pencemaran air : Ya
0.065
0.00704
Ada pencemaran suara : Ya
0.042
0.01002
263
Lampiran 25. Statistik Deskriptif Pengeluaran Perkapita Menurut Agroekosistem dan Tipe Kemiskinan (Rp. 000) AgroEkosistem
Tipe Kemiskinan
Nasional
Miskin Kronis
12.9
71.0
60.2
9.1
Miskin
71.0
104.2
90.5
9.1
91.6
Rentan Miskin
104.2
108.9
106.6
1.3
106.6
Tidak Miskin
108.9
32,467.8
248.7
252.8
193.6 70.1
Minimum
Maksimum
Rataan
Std Deviation
Median
62.5
Lahan
Miskin Kronis
34.7
77.4
67.5
9.3
Basah
Miskin
77.4
103.7
92.6
7.5
93.4
103.7 107.4
107.4 2,976.8
105.7 201.7
1.1 120.8
105.9 171.5
12.9
70.4
59.4
9.3
61.7
Rentan Miskin
70.5 103.4
103.4 108.9
89.6 106.2
9.1 1.6
90.6 106.2
Tidak Miskin
108.9
32,467.8
265.7
281.8
202.8
22.2 73.5
73.5 106.0
63.5 92.8
8.3 8.8
65.3 93.9
Rentan Miskin Tidak Miskin Lahan
Miskin Kronis
Kering
Miskin
Lahan
Miskin Kronis
Campuran
Miskin
Pantai
Rentan Miskin
106.0
109.3
107.7
1.0
107.7
Tidak Miskin
109.3
18,851.3
212.8
172.5
179.6 61.2
Miskin Kronis
12.9
70.5
58.7
10.0
Miskin
70.5
102.8
88.8
8.9
89.7
102.8 108.3
108.3 6,406.7
105.7 238.3
1.6 176.3
105.7 192.2 62.9
Rentan Miskin Tidak Miskin Dataran
Miskin Kronis
22.0
71.7
61.0
8.6
Tinggi
Miskin
71.7
105.9
92.0
9.3
93.3
105.9 110.1
110.1 32,467.8
108.0 261.7
1.2 281.7
108.0 201.8
18.7
71.4
60.2
9.0
62.4
105.4 111.4
91.0 108.5
9.4 1.7
91.8 108.6
Rentan Miskin Tidak Miskin Daerah
Miskin Kronis
Aliran
Miskin
Sungai
Rentan Miskin
71.4 105.4
Tidak Miskin
111.4
32,467.8
280.6
403.3
211.5
13.9 71.9
71.9 101.8
60.7 89.1
9.4 8.4
63.1 90.1
Kawasan
Miskin Kronis
Hutan
Miskin Rentan Miskin
101.8
107.2
104.5
1.5
104.6
Tidak Miskin
107.2
6,184.3
203.7
135.4
167.1
Keterangan : Garis Kemiskinan Biasa
264
Lampiran 26. Statistik Deskriptif Pengeluaran Perkapita Menurut Agroekosistem dan Tipe Kemiskinan (Rp. 000) AgroEkosistem
Tipe Kemiskinan
Nasional
Miskin Kronis
Minimum
Maksimum
Rataan
Std Deviation
Median
12.9
83.1
69.6
10.9
72.3
Rentan Miskin
83.1 115.4
115.4 122.7
100.8 119.1
9.1 2.1
101.5 119.1
Tidak Miskin
122.7
32,467.8
261.2
261.0
203.7
Miskin
Lahan
Miskin Kronis
34.7
87.2
75.2
10.1
77.6
Basah
Miskin
87.2
114.4
102.2
7.8
103.0
114.4 119.4
119.4 2,976.8
117.0 210.9
1.5 123.4
116.9 179.5
12.9
81.5
67.9
11.0
70.5
Rentan Miskin
81.5 114.8
114.8 122.7
99.7 118.8
9.4 2.3
100.3 118.8
Tidak Miskin
122.7
32,467.8
278.6
290.1
213.6
22.2 86.3
86.3 116.9
73.3 103.1
10.4 8.7
75.9 103.7
Rentan Miskin
116.9
123.2
120.1
1.8
120.2
Tidak Miskin
123.2
18,851.3
223.6
178.7
188.3
12.9
80.7
67.4
11.4
70.5
Rentan Miskin
80.7 114.1
114.1 121.7
98.9 117.9
9.5 2.2
99.6 117.9
Tidak Miskin
121.7
6,406.7
248.9
179.8
200.4
22.0 83.8
83.8 117.2
70.7 102.4
10.6 9.3
73.4 103.1
Rentan Miskin Tidak Miskin Lahan
Miskin Kronis
Kering
Miskin
Lahan
Miskin Kronis
Campuran
Miskin
Pantai
Miskin Kronis Miskin
Dataran
Miskin Kronis
Tinggi
Miskin Rentan Miskin
117.2
124.1
120.7
2.0
120.7
Tidak Miskin
124.1
32,467.8
274.1
290.2
211.9
18.7 83.2
83.2 117.6
69.6 101.7
10.9 9.8
72.3 102.4
Daerah
Miskin Kronis
Aliran
Miskin
Sungai
Rentan Miskin
117.6
126.1
121.8
2.4
121.7
Tidak Miskin
126.1
32,467.8
293.7
416.5
221.3 72.0
Kawasan
Miskin Kronis
13.9
83.2
69.4
11.1
Hutan
Miskin
83.2
112.3
98.8
8.2
99.3
112.3 119.8
119.8 6,184.3
116.0 215.6
2.2 139.8
116.0 176.8
Rentan Miskin Tidak Miskin
Keterangan : Garis Kemiskinan Ditingkatkan Sebesar 10 Persen
265
Lampiran 27. Statistik Deskriptif Pengeluaran Perkapita Menurut Agroekosistem dan Tipe Kemiskinan (Rp. 000) AgroEkosistem
Tipe Kemiskinan
Nasional
Miskin Kronis
Minimum
Maksimum
Rataan
Std Deviation
Median
12.9
94.2
78.3
12.8
81.4
Rentan Miskin
94.2 126.9
126.9 137.3
111.4 132.1
9.3 3.0
111.8 132.1
Tidak Miskin
137.3
32,467.8
276.6
271.8
216.2
Miskin
Lahan
Miskin Kronis
34.7
97.3
82.7
11.5
85.8
Basah
Miskin
97.3
124.8
112.0
7.8
112.4
124.8 132.7
132.6 2,976.8
128.8 222.1
2.2 127.1
128.9 189.8
Rentan Miskin Tidak Miskin
12.9
92.9
76.6
12.9
79.7
Rentan Miskin
92.9 126.2
126.2 137.1
110.3 131.7
9.5 3.2
110.7 131.7
Tidak Miskin
137.1
32,467.8
294.2
300.7
226.1
22.2 97.2
97.2 128.3
81.9 113.4
12.2 8.8
84.8 113.6
Rentan Miskin
128.3
137.7
133.1
2.7
133.1
Tidak Miskin
137.7
18,851.3
236.7
187.2
199.2
12.9
91.9
75.9
13.0
79.0
Rentan Miskin
91.9 124.8
124.8 134.7
109.5 129.7
9.5 2.9
109.9 129.9
Tidak Miskin
134.7
6,406.7
261.6
184.5
210.4
22.0 95.3
95.3 128.6
79.6 112.8
12.5 9.5
82.7 113.2
Lahan
Miskin Kronis
Kering
Miskin
Lahan
Miskin Kronis
Campuran
Miskin
Pantai
Miskin Kronis Miskin
Dataran
Miskin Kronis
Tinggi
Miskin Rentan Miskin
128.6
138.6
133.7
2.9
133.8
Tidak Miskin
138.6
32,467.8
289.1
301.2
224.0
Daerah
Miskin Kronis
18.7
93.8
77.8
12.6
81.1
Aliran
Miskin
93.8
129.6
112.8
10.2
113.3
Sungai
Rentan Miskin
129.6 141.2
141.2 32,467.8
135.4 310.2
3.3 434.0
135.3 234.5
13.9
94.3
77.7
13.0
80.8
Tidak Miskin Kawasan
Miskin Kronis
Hutan
Miskin
94.3
122.8
108.9
8.2
109.1
Rentan Miskin
122.8
134.3
128.7
3.3
128.7
Tidak Miskin
134.3
6,184.3
231.0
146.0
189.4
Keterangan : Garis Kemiskinan Ditingkatkan Sebesar 20 Persen
266