V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Kalibrasi Termokopel Pada tahap awal penelitian dilakukan kalibrasi terhadap termokopel yang akan digunakan. Kalibrasi termokopel bertujuan untuk menguji termokopel sehingga termokopel yang digunakan benar-benar dalam kondisi baik.
Kalibrasi Termokopel 250
termokopel 1 200
termokopel 2
Suhu termokopel (⁰F)
termokopel 4 termokopel 5 termokopel 6
150
termokopel 7 termokopel 8 termokopel 9
100
termokopel 10 termokopel 11
termokopel 13
50
termokopel 14 termokopel 15 termokopel 19
0 0
50
100
150
200
250
termokopel 20
Suhu termometer (⁰F) Gambar 9. Kurva kalibrasi termokopel Hasil kalibrasi termokopel yang diperoleh kemudian diplotkan pada kertas grafik dengan sumbu x adalah suhu termometer, dan suhu y adalah suhu terukur oleh termokopel. Pada kurva kalibrasi termokopel di atas diperoleh nilai r2 grafik = 0,999. Kurva yang diperoleh pada masingmasing termokopel juga berhimpitan. Sehingga dapat disimpulkan termokopel yang diuji pada kalibrasi masih baik.
2. Penentuan Profil Penetrasi Panas Penentuan profil penetrasi panas dilakukan untuk mengukur waktu yang diperlukan sehingga sampel tempe dalam kantung aluminium foil benar-benar telah mencapai suhu yang diinginkan pada saat perlakuan pemanasan sampel. Pengukuran penetrasi panas dihentikan bila suhu target telah tercapai.
15
Penetrasi Panas
100.00 90.00 80.00 Suhu (C)
70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 0
2
4
6
8
10
Waktu (menit) Gambar 10. Hubungan antara waktu pemanasan dengan suhu sampel Dari Gambar 10. dapat dilihat bahwa waktu yang diperlukan sampel untuk mencapai suhu yang diinginkan berbeda-beda tergantung pada suhu yang ingin dicapai. Waktu pemanasan yang diperlukan sampel untuk mencapai suhu 70°C sekitar 4 menit, untuk mencapai suhu 80°C sekitar 5 menit, dan untuk mencapai suhu 90°C diperlukan waktu sekitar 8 menit. Semakin tinggi suhu yang ingin dicapai maka waktu pemanasan awal yang diperlukan semakin lama. Suhu meningkat drastis pada menit-menit awal pemanasan, kemudian suhu meningkat secara perlahan hingga mencapai suhu target.
B. PENELITIAN UTAMA 1. Analisis Kandungan Asam Fitat Analisis kandungan asam fitat dalam penelitian ini dilakukan untuk mengukur konsentrasi asam fitat pada sampel tempe yang telah dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu. Asam fitat tidak memiliki reagen dan spektrum absorbsi khusus yang dapat membantu proses analisis. Analisis berdasarkan kepada kemampuan fitat untuk membentuk kompleks stabil tak larut berwarna merah dengan ion feri dalam larutan asam (Oberleas, 1973). Kompleks fitat yang terbentuk kemudian diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 450 nm, kemudian hasilnya dibandingkan dengan kurva standar asam fitat (Muchtadi, 1989).
16
0.0120
Kadar fitat vs waktu pemanasan
0.0100 K a d a r
0.0080
0.0060 f i t a t
0.0040
0.0020
0.0000 0
25
50
75
100
Waktu pemanasan (menit)
Gambar 11. Hubungan antara kadar fitat dengan waktu pemanasan sampel tiap suhu perlakuan Dari Gambar 11. dapat dilihat bahwa kadar awal asam fitat pada sampel tempe rata-rata sebesar 0.106 mg (2.84 %) per gram berat kering sampel. Hasil ini sedikit berbeda dari penelitian Egounlety dan Aworh (2003) yang mengukur kadar asam fitat pada tempe kedelai fermentasi 24 jam sebesar 1.3 % dari berat kering sampel. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh ikut mengendapnya fosfat anorganik dan senyawa polifosfat lain pada tahap ekstraksi asam fitat sehingga ikut terukur pada analisis. Inositol dengan 3 fosfat dan 5 fosfat juga mampu membentuk kompleks tak larut dengan ion ferri dalam kondisi larutan asam sehingga dapat ikut terukur pada analisis asam fitat (Skoglund dan Sandberg, 2002). Terjadi penurunan kadar asam fitat yang signifikan (62-71%) dari kadar asam fitat awal pada waktu awal perlakuan pemanasan sampel. Menurut de Boland et al. (1975), asam fitat bersifat tahan terhadap pemanasan. Pemanasan flakes kedelai selama 30 menit pada suhu 115⁰C menyebabkan penurunan sedikit kadar asam fitat pada sampel sementara pemanasan flakes kedelai pada suhu yang sama selama 2 jam akan menurunkan 70% kadar asam fitat awal. Pemanasan flakes kedelai ini menyebabkan terjadinya konversi inositol heksafosfat menjadi inositol pentafosfat. Hal ini menunjukkan bahwa penghancuran asam fitat terjadi melalui mekanisme hidrolisis. Penurunan kadar asam fitat yang signifikan pada percobaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adanya enzim fitase dengan aktivitas tinggi yang dihasilkan kapang Rhizopus oligosporus pada tempe (Sudarmadji dan Markakis, 1977) dan kadar awal asam fitat yang relatif tinggi. Fitase (mio-inositol heksafosfat fosfohidrolase, EC 3.1.3.8) merupakan suatu fosfomonoesterase yang mampu mengkatalisis hidrolisis asam fitat menjadi ortofosfat anorganik dan ester-ester fosfat dari mio-inositol yang lebih rendah (Cosgrove, 1970). Fitase yang berasal dari Aspergillus niger mampu menurunkan 97% asam fitat kedelai pada suhu 60⁰C pada pH 4,5 dalam waktu inkubasi 4 jam (Zyla, 1992).
17
Substrat Rapeseed meal Cottonseed meal Makanan kedelai
Tabel 2. Defosforilasi produk minyak biji-bijian oleh enzim fitase Sumber Konsentrasi Aktivitas enzim pH Suhu ⁰C Waktu substrat (% w/v) enzim (Units/g) (jam) Gandum 10 0.18 NR 40 48 A.ficuum 10 NS NR 40 48 A.ficuum 5 1 5.4 37 15 A.ficuum 5 5 5.4 50 1 A.ficuum 5 1 5.4 37 15 A.ficuum 3 1 5.4 37 3 A.ficuum 5 5 5.4 50 1 A.niger 10 100* 4.5 60 4
Protein kedelai * Fosfatase asam. NR—Tidak diukur dan tdak ditentukan; NS—tidak disebutkan.
Penurunan fitat (%) 80 66 59 43 78 37 38 97
Sumber : Zyla, 1992 Pada awal waktu pemanasan sampel terjadi penurunan kadar asam fitat yang signifikan akibat peningkatan aktivitas enzim fitase. Aktivitas fitase akan meningkat dengan tajam seiring dengan peningkatan suhu dan tekanan udara (Killmer et al., 1994). Enzim fitase berperan dalam menurunkan energi aktivasi reaksi degradasi asam fitat pada sampel yang dipanaskan sehingga laju reaksi meningkat (Ketaren, 1989). Kadar awal asam fitat yang relatif tinggi juga berpengaruh dalam meningkatkan kecepatan reaksi degradasi asam fitat. Menurut Ketaren (1989), reaksi akan berlangsung lebih cepat dengan semakin tingginya konsentrasi reaktan di dalam sistem reaksi. Pada periode waktu ini, semakin tinggi suhu yang digunakan maka semakin tinggi penurunan kadar asam fitat pada sampel. Menurut Ketaren (1989), reaksi akan berlangsung lebih cepat dengan semakin banyaknya energi yang diberikan ke dalam sistem. Dalam hal ini energi ke dalam sistem berupa pemanasan sampel. Pada perlakuan pemanasan berikutnya reaksi degradasi asam fitat menjadi lebih lambat. Hal ini disebabkan oleh menurunnya aktivitas enzim fitase karena suhu sampel telah melampaui suhu kerja optimum enzim. Aktivitas maksimum fitase kapang Rhizopus oligosporus terjadi pada suhu 55⁰C pada pH 4,5 (Sutardi dan Buckle, 1988). Suhu perlakuan pada penelitian adalah 70, 80, dan 90⁰C sehingga diperkirakan aktivitas enzim fitase kapang Rhizopus oligosporus telah menurun. Selain itu kadar asam fitat pada sampel juga telah menurun sehingga laju degradasi asam fitat juga akan berkurang. Pada pemanasan menit ke-75, kadar asam fitat sampel perlakuan pemanasan suhu 70⁰C lebih rendah daripada sampel perlakuan pemanasan suhu 80⁰C. Pada menit ke-100 kadar asam fitat sampel perlakuan pemanasan suhu 70⁰C lebih rendah dari sampel perlakuan pemanasan suhu 80 dan 90⁰C. Hasil ini sangat bertentangan dengan teori bahwa pada suhu yang lebih tinggi, laju reaksi akan berlangsung lebih cepat (Ketaren, 1989). Penurunan kadar asam fitat sampel dengan pemanasan suhu 70⁰C yang lebih besar ini dapat disebabkan oleh lebih aktifnya fitase pada sampel suhu 70⁰C dibanding fitase pada sampel pemanasan suhu 80, dan 90⁰C. Penyimpangan ini juga dapat disebabkan oleh terjadinya random error pada saat pemanasan sampel. Suhu pemanasan sampel pada penelitian tidak dipantau terus-menerus sehingga dapat menyebabkan suhu sampel tidak sesuai dengan suhu target penelitian dan menyebabkan hasil analisis kadar asam fitat kurang akurat
18
fitase ekstraseluler fitase interseluler
rentang suhu perlakuan pada penelitian
90
Sumber : Sutardi dan Buckle, 1988 Gambar 12. Kurva kestabilan fitase Rhizopus oligosporus oleh panas
2. Kinetika Penurunan Kadar Asam Fitat Tempe akibat Pemanasan Analisis kinetika dilakukan dengan memplotkan rataan hasil analisis kuantitatif asam fitat terhadap waktu pemanasan per suhu pemanasan. Plot nilai hasil analisis dilakukan pada ordo nol dan ordo satu karena reaksi kehilangan mutu pada makanan pada umumnya dapat dijelaskan oleh ordo nol dan satu, dan hanya sedikit yang dijelaskan oleh ordo lain (Labuza, 1982). Dalam penelitian ini analisis terhadap produk hasil degradasi asam fitat tidak dilakukan sehingga model reaksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: ksemu A B Dimana A adalah asam fitat, B adalah produk degradasi asam fitat oleh pemanasan, dan k semu adalah konstanta nilai laju reaksi perubahan asam fitat menjadi produk degradasi asam fitat. Jika t adalah waktu dan n adalah ordo reaksi, maka laju perubahan A menjadi B sesuai dengan persamaan berikut ini : -d[A]/dt = d[P]/dt = ksemu [A]n
19
Sumber : Phillippy, 2002 Gambar 13. Jalur reaksi hidrolisis asam fitat oleh fitase tanaman dan kapang
Plot persamaan hasil analisis kinetika metode Arrhenius disajikan dalam tabel berikut ini : Tabel 3. Tabel persamaan linier perhitungan kinetika metode Arrhenius ordo nol Tabel Persamaan Linier Perhitungan Kinetika metode Arrhenius Suhu (⁰C)
Ordo Nol
k
r2
70 80
y = -0.000082x + 0.008244 y = -0.000078x + 0.008146
0.000082 0.000078
0.8 0.705
90
y = -0.000082x + 0.008090
0.000082
0.685
20
Tabel 4. Tabel persamaan linier perhitungan kinetika metode Arrhenius ordo satu Tabel Persamaan Linier Perhitungan Kinetika metode Arrhenius Suhu (⁰C)
Ordo satu
70 80 90
y = -0.009x - 2.033 y = -0.007x - 2.098 y = -0.008x - 2.105
k 0.0207 0.0161 0.0184
r2 0.928 0.884 0.885
Tabel 5. Tabel persamaan linier perhitungan kinetika metode Arrhenius ordo dua Tabel Persamaan Linier Perhitungan Kinetika metode Arrhenius Suhu (⁰C)
Ordo Dua
k
r2
70 80 90
y = 9.391x - 18.65 y = 5.352x + 95.60 y = 6.818x + 83.92
9.391 5.352 6.818
0.755 0.915 0.91
dimana :
y adalah kadar asam fitat sampel (mg/g bahan kering); x adalah waktu pemanasan sampel tempe (menit) k adalah laju penurunan kadar asam fitat (menit -1) r adalah koefisien korelasi
Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka persamaan laju degradasi asam fitat tempe oleh pemanasan dapat dinyatakan dengan persamaan laju reaksi ordo satu, dengan persamaan sebagai berikut : -d[A] / dt = d[P] / dt = ksemu [A]1 pada t = 0 maka A = A0 pada t = t maka A = At At A0
t
d A /[At] = -ksemu t0 dt ln [At] = ln [A]0 – ksemu t log [At] = log [A]0 – (ksemu / 2.303) t dimana [At] adalah konsentrasi asam fitat tempe pada waktu pemanasan t menit, [A0] adalah konsentrasi asam fitat pada awal waktu pemanasan, k semu adalah konstanta laju degradasi asam fitat tempe.
21
Apabila nilai-nilai k ordo satu diterapkan dalam rumus Arrhenius, yaitu : k = ko.e-Ea/RT atau ln k = ko -
𝐸𝑎 1 𝑅
.
𝑇
maka akan diperoleh grafik sebagai berikut : -3.8500 0.00270 -3.9000
0.00275
ln k
-3.9500
0.00280
0.00285
0.00290
0.00295
y = 755.6x - 6.141 ln k vs 1/T
-4.0000
Linear (ln k vs 1/T) -4.0500 -4.1000 -4.1500
1/T (K-1)
Gambar 14. Grafik hubungan linier antara ln k dengan 1/T pada plot Arrhenius nilai Ea dapat dihitung dengan : -Ea/R = 755,6 K -Ea = 755,6 K x 1.986 kal/mol K Ea = -1501 kal/mol
(R = 1.986 kal/mol K)
Sedangkan nilai ko diperoleh dengan : ln ko = -6.141 ko = 2,15 x 10-3 menit-1 sehingga model persamaan Arrhenius untuk panurunan kadar asam fitat pada tempe selama pemanasan adalah : k = 2,15 x 10-3 . e755,6 (1/T) Nilai Ea yang negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu yang digunakan, maka laju reaksi degradasi asam fitat akan semakin lambat. Hal ini terjadi karena proses penurunan kadar asam fitat pada percobaan selain dipengaruhi oleh panas juga dipengaruhi oleh aktivitas enzim fitase yang memiliki aktivitas maksimum pada suhu 55⁰C. Pada suhu perlakuan (70, 80, dan 90⁰C) aktivitas enzim fitase akan menurun sehingga laju reaksi degradasi asam fitat akan menurun pula.
22