V. ANALISIS SITUASI USAHA TANAMAN OBAT 5.1. Bahan Baku Tanaman Obat Agroindustri farmasi terutama yang menghasilkan produk fitofarmaka membutuhkan bahan baku sesuai standar formulasi agar memberikan efek khasiat. Proses seleksi bahan baku agroindustri farmasi penghasil produk fitofarmaka dilakukan melalui tahapan : 1.
menetapkan kandungan zat aktif berkhasiat positif dari tanaman obat obyek.
2.
memetakan sumber pasok bahan baku yang memiliki kandungan khasiat aktif optimal.
3.
mengecek fluktuasi kandungan berkhasiat di setiap musim dengan memperhitungkan kemampuan mereproduksi zat aktif gabungan.
4.
membuat penanda berupa isolate yang mengandung kandungan utama. Pemeriksaan kesesuaian dan kemurnian, tingkat kekeringan, kadar
cemaran kutu dan zat asing serta tingkat kebaruan bahan baku merupakan pemeriksaan awal, sebelum dilakukan analisis kandungan senyawa metabolit sekunder. Pemeriksaan kandungan metabolit sekunder yang dilakukan secara rutin, menghasilkan data kondisi bahan baku dari berbagai daerah sumber pasok. Melalui data dimaksud diperoleh perbandingan kinerja bahan baku antara daerah satu dan lainnya. Perbedaan kandungan metabolit sekunder khususnya agroindustri farmasi penghasil fitofarmaka, akan memerlukan perhitungan reprodusibilitas zat aktif gabungan. Kondisi ini memerlukan tindakan koreksi pada proses ekstraksi, yang berdampak pada biaya produksi. Kandungan senyawa metabolit sekunder yang tidak sesuai dengan penanda, mendorong industri melakukan peninjauan kembali pemesanan dari pemasok dan mengambil keputusan atas penetapan asal daerah sumber pasokan. Selain persyaratan dasar, kadangkala industri juga menetapkan kriteria tambahan pasokan bahan baku seperti : standar usia tanam, waktu panen dan ketinggian daerah tanam. Alasannya adalah, metabolit sekunder akan berbeda menurut cara bagaimana tanaman obat ditanam dan cara pemanenan. Namun,
ketika bahan baku sulit diperoleh maka persyaratan yang ditetapkan akan sedikit diperlonggar. Pemeriksaan kandungan metabolit sekunder dilakukan di laboratorium pengawasan kualitas untuk setiap kedatangan bahan baku, dirujuk pada sampel yang telah dikirimkan sebelumnya. Cara pengambilan sampel disesuaikan dengan ketentuan Material Medika Indonesia. Hasil pemeriksaan tersebut kemudian dipakai sebagai penilaian kinerja pemasok. Bahan baku tanaman obat yang diterima melalui tahapan persiapan sebelum dipergunakan sebagai bahan baku ramuan. Salah satu bentuk standar proses yang dilakukan di Air Mancur antara lain : 1.
Sortasi untuk memisahkan bahan dari cemaran pasir dan kotoran lain dengan cara hembusan dan pengayakan.
2.
Penggorengan tanpa minyak agar dihasilkan aroma yang diinginkan atau mempermudah bahan baku dikupas dari kulitnya.
3.
Vaporasi dilakukan, khusus terhadap bahan yang mempunyai angka cemaran kuman tinggi. Vaporasi, biasanya dilakukan untuk bahan baku jenis daun-daunan.
4.
Pengeringan bahan baku dilakukan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari langsung atau pengeringan menggunakan oven. Bahan baku kemudian dikemas setelah diangin-anginkan terlebih dulu.
5.
Pengecilan dimensi untuk mempermudah proses standarisasi, mengingat bahan baku yang berasal dari daerah berbeda mempunyai kadar zat berkhasiat yang berbeda pula.
6.
Bahan baku yang tidak langsung mengalami pemrosesan, akan disimpan dalam kemasan yang terbuat dari plastik polipropilena, tidak beracun, tidak bereaksi dengan isi, dan melindungi bahan baku dari cemaran mikroba.
Sebagai contoh, alur perlakuan bahan baku pada agroindustri jamu PT.Air Mancur dapat dilihat pada halaman berikut ini :
Pemasok
Bahan baku
Quality specification
Gudang simpan
Sortasi
Penggorengan
Pencucian
Penguapan
Pengeringan/ hembus Pengecilan dimensi
Standarisasi Quality specification Bahan baku ruah
Formulasi
Produk antara
Gambar 10. Alur proses penanganan bahan baku
5.2. Kondisi Usaha Tani a. Sumber pasokan Petani di daerah obyek penelitian lebih mendahulukan mengelola tanaman pangan dibanding tanaman obat karena tanaman obat diposisikan
sebagai
penambah penghasilan. Areal yang digunakan untuk budidaya
tanaman obat berada di pekarangan, lahan kering atau lahan yang tidak cocok untuk tanaman pangan. Luas lahan tanaman obat yang diusahakan oleh petani relatif sempit berkisar 0,03 ha hingga 3 ha per petani. Petani biasanya tidak menanam untuk satu jenis tanaman obat atau monokultur, tetapi campuran atau polikultur dari beberapa tanaman obat seperti temulawak, kunyit, lempuyang wangi, lempuyang pahit, jahe dan sebagainya, dengan sifat penanaman berupa tanaman sela atau berada di bawah naungan tanaman tertentu. Tanaman obat di daerah Malang misalnya, ditanam pada ketinggian 1500 dpl dibudidayakan secara tumpangsari dengan tanaman apel sebagai naungan. Sedangkan tanaman obat di Kediri pada ketinggian sekitar 800 dpl ditanam dengan naungan tanaman kopi. Tanaman obat di daerah Pacitan dilakukan tumpangsari dengan ketela dan jagung. Data dinas Pertanian Kabupaten Wonogiri (2004), menunjukkan tanaman obat familia Zingiberacea terutama jahe dan lengkuas, terdapat di seluruh kecamatan meliputi areal menghasilkan seluas 360 hektar, dengan produksi sebesar 1.839 ton. Jumlah produksi tersebut, melibatkan 3.082 kepala keluarga (kk) petani atau rata-rata setiap kk petani menangani 0,117 hektar atau 1.170 m2. Kecamatan
Pracimantoro
yang
berbatasan
dengan
kabupaten
Wonosari, merupakan wilayah yang paling sedikit membudidayakan tanaman obat dengan luas 7,97 hektar, melibatkan 55 kk petani. Kecamatan Karangtengah menghasilkan tanaman obat terbesar dibanding kecamatan lain di kabupaten Wonogiri dengan luas lahan 47 hektar. Pasokan tanaman obat jahe, dan kunyit paling banyak berasal dari kecamatan ini. Produksi tanaman obat sejumlah tersebut, melibatkan 222 kk petani. Berdasarkan data tahun 2002, kabupaten Karanganyar memiliki 504 hektar lahan tanaman obat dengan produksi sebesar 2.342,5 ton tersebar di 13 kecamatan dari total 17 kecamatan (Dinas Pertanian Karanganganyar, 2002). Kecamatan Ngargoyoso yang berada di lereng Gunung Lawu merupakan daerah penghasil utama jahe dengan produksi sebesar 652,5
ton, berasal dari lahan seluas 130,5 hektar, melibatkan sekitar 1.680 kk petani bilamana
rata-rata petani memiliki lahan seluas 0,3 hektar.
Sedangkan kunyit dan kencur lebih banyak terdapat di kecamatan Jumapolo dengan luas lahan masing-masing 20 dan 35 hektar dengan hasil produksi 175 ton kunyit dan 60 ton kencur. Dari kedua kabupaten tersebut, jahe merupakan tanaman obat paling banyak ditanam dibanding lainnya. Kabupaten Boyolali yang berbatasan dengan Surakarta, sangat dikenal sebagai penghasil
kencur yang berkualitas, terutama dipasok dari
kecamatan Nogosari dan Simo. Boyolali juga menghasilkan jahe yang baik, berada di kecamatan Ampel seluas 280 hektar dengan produksi pada tahun 1999 sebesar 1.540 ton. Sumber pasokan tanaman obat tersebar di beberapa
kabupaten
seperti : Karanganyar, Wonogiri, Boyolali termasuk Malang, Madiun dan Pacitan menjadi sumber pasokan penting untuk agroindustri farmasi besar yang berada di sekitar Solo dan Semarang serta industri skala menengah kecil yang berada di kabupaten Sukoharjo hingga Cilacap. Teknik budidaya tanaman obat yang digunakan petani umumnya berdasarkan informasi secara turun temurun dan hasil olah pengalaman petani sendiri. Beberapa petani menjadi anggota kelompok petani memperoleh masukan dari pertemuan kelompok atau dari petani yang lebih diandalkan. Kehadiran petani yang memiliki pengetahuan lebih, bertindak sebagai pembina
untuk rekan petani lainnya dan keberadaan merekan
sangat membantu. b. Penanganan pascapanen Penanganan pascapanen tanaman obat tidak memerlukan peralatan yang mahal.
Kegiatan pembersihan, dan bilamana dilanjutkan dengan
pengeringan atau penggerusan menjadi serbuk dilakukan secara padat karya dan cenderung melibatkan anggota keluarga. Proses perajangan umum dikerjakan oleh buruh perempuan, sedangkan tenaga kerja laki-laki lebih menangani kegiatan pengeringan. Proses pengeringan memerlukan tenaga fisik lebih besar, mengingat bahan baku yang dihamparkan pada lantai
pengeringan harus dibalik beberapa kali, kemudian dilakukan penataan gudang. Tanaman obat bentuk segar lebih dipilih sebagai produk yang dijual petani dengan alasan lebih mudah penanganan, tidak memerlukan waktu dan tenaga serta langsung dijual guna memperoleh uang tunai. Tanaman obat segar tersebut, biasanya dijual dengan kondisi tanpa sortasi sehingga berakibat bervariasinya ukuran dan kondisi bahan baku. Bilamana petani menilai bahwa harga pembelian bahan baku tidak menarik maka tanaman obat tetap dibiarkan tidak dipanen. Penanganan bahan baku segar harus dilaksanakan segera untuk mencegah kerusakan. Petani biasa menyimpan bahan baku di dalam rumah tempat tinggal atau pada bangunan sederhana di pekarangan yang diperuntukkan sebagai gudang. Cara menyimpan bahan baku dengan ditumpuk di atas tanah atau di atas para-para dalam kemasan karung bekas berisi bahan baku irisan kering. Cara perhitungan biaya pada tingkat petani terbatas pada komponen biaya yang langsung dikeluarkan seperti biaya bibit, sewa lahan bilamana lahan tidak dimiliki sendiri, biaya pemeliharaan tanaman dan biaya buruh. Apabila tenaga keluarga dipakai atau dilibatkan maka tidak dikatagorikan sebagai penyumbang biaya. Kegiatan yang dilakukan saat panen terdiri dari : 1. melakukan pencabutan/ pembongkaran tanaman yang telah memenuhi umur panen dengan bantuan garpu. 2. membersihkan rimpang dari tanah, diikuti pemotongan sulur/ akar tanaman. 3. membersihkan tanah dengan pencucian menggunakan air bertekanan sehingga tanah-tanah yang melekat akan jatuh dan kulit tidak cacad atau tergores. Namun, biasanya
petani hanya melakukan pencucian
sekedarnya. 4. mengemas dalam karung seberat 50 sampai 60 kilogram bilamana dijual dalam bentuk segar menggunakan karung bekas.
c. Kehidupan petani tanaman obat Berdasarkan hasil pengamatan, petani terlibat di dalam kelompok sebagai sarana berbagi pengalaman serta membahas berbagi masalah usaha tani secara umum. Pelaksanaan pertemuan kelompok tidak diatur secara kaku dan dapat dilaksanakan dimana saja. Pengurus desa ada yang terlibat aktif untuk mengembangkan pengetahuan petani, tetapi lebih sering petani berusaha sendiri memperoleh masukan dari petani lainnya anggota kelompok. Walaupun terdapat tenaga penyuluh dari kantor dinas kabupaten, cakupan penyuluhan belum
menjangkau petani yang letaknya lebih di
pelosok. Menurut petani, program penyuluhan jarang diperoleh sehingga petani cenderung menyelesaikan permasalahan sendiri. Bentuk kerjasama melibatkan petani ditemui di daerah observasi antara lain: 1. Kerjasama industri dan lembaga penelitian untuk mengembangkan tanaman tertentu dan mendorong petani membudidayakan dan mengelola pascapanen secara tepat. Contoh : kerjasama antara Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu dengan agroindustri farmasi tertentu yang melakukan pembinaan dengan petani-petani setempat. Selanjutnya hasil produksi petani tersebut dipasok ke agroindustri farmasi dimaksud, dengan terlebih dahulu menyepakati teknis pemasokan dan harga pembelian. 2. Kerjasama antara agroindustri farmasi dan pemerintah daerah dalam program pembinaan petani pada desa-desa yang ditetapkan. Contoh : pemerintah daerah kabupaten Karanganyar bekerjasama dengan Air Mancur. 3. Kerjasama langsung antara industri dengan kelompok tani yang menjadi pembinaan dari petani andalan seperti dijumpai di Wonogiri kemudian memasok bahan baku ke agroindustri farmasi yang membina. Dari pertanyaan yang diajukan melalui kuisioner kepada 30 responden petani mengenai , “ pernahkah mendapatkan penyuluhan dan dari instansi mana “, diperoleh hasil 60 %
responden tidak
pernah mendapatkan
bantuan penyuluhan dari instansi manapun dan sisanya menjawab kadangkala penyuluhan diperoleh. Pihak yang memberikan penyuluhan berasal petugas kecamatan, atau dinas perkebunan kabupaten. Dari tiga perusahaan yang menjadi responden, memang telah melakukan penyuluhan pada kelompok petani sebagai bagian dari kegiatan pengembangan lingkungan tetapi masih bersifat insidental. Sejumlah 76 % responden petani mengatakan tidak terdapat hubungan dengan agroindustri farmasi besar maupun menengah-kecil. Pada kenyataannya, petani cenderung mengandalkan sesama petani yang lebih memiliki akses dan selanjutnya bertindak sebagai pedagang pengumpul desa dalam pola dagang atau istilah di desa disebut jual putus. Prinsip jual beli sederhana dengan aturan yang mudah, lebih dimengerti oleh petani dimana antara petani dan pembeli lebih berpegang pada unsur kepercayaan dengan ketentuan formal yang longgar. Untuk mengetahui faktor penentu dalam menetapkan keputusan menjual diajukan pertanyaan apa alasan keputusan menjual kepada pihak pembeli tertentu atau menjual bebas. Hasilnya adalah 74 % menyatakan harga merupakan alasan utama keputusan menjual pada pembeli tertentu atau bebas. Faktor lain yang menjadi pertimbangan selain harga adalah: (1) kontinuitas pembelian (2) standar penolakan kualitas, (3) bantuan pembinaan pascapanen, (4) bantuan peningkatan kesejahteraan dan (5) informasi. Selain pedagang pengumpul desa,
pejabat desa atau perwakilan
kelompok petani yang aktif dapat bertindak sebagai mediator dalam pemasaran hasil panen petani. Petani yang memiliki akses pemasaran ke agroindustri farmasi akan diminta membantu menjual bahan baku milik petani lainnya. Pedagang pengumpul membeli bahan baku dengan kondisi harga beli lokasi petani sehingga petani tidak harus mengupayakan alat transportasi. Alternatif lain adalah menjual tanaman obat melalui pasar yang hanya dibuka pada “hari pasaran”. Pasaran adalah hari dalam penanggalan Jawa saat pembeli dan penjual bertransaksi. Petani yang menjual hasil di hari
pasaran memiliki pilihan pembeli walaupun perbedaan antara satu pembeli dan pembeli lain tidak terlalu mencolok. Pola penjualan ini ditemui di daerah Slahung dan Caruban. Petani tanaman obat datang dari berbagai desa dan menawarkan hasil panennya pada pedagang penerima di pasar dimaksud dan kemudian transaksi harga berlangsung hingga tercapai kesepakatan. Harga menjadi kriteria
penting dalam keputusan menjual bahan
baku dibandingkan alasan kedekatan hubungan dengan pembeli. Harga masih merupakan harapan tertinggi dibandingkan dengan jumlah, kepastian waktu, frekuensi pembelian, bantuan modal, bibit dan pupuk terhadap pertanyaan apa harapan petani terhadap pembeli. Tidak jarang petani dikecewakan oleh perilaku pedagang yang tidak
memenuhi
janji
pembelian atau menunda pembelian dalam waktu yang tidak jelas. Merujuk pada hubungan pembeli-pemasok menurut Choi et al. (2002), hubungan petani tanaman obat dengan pedagang pengumpul merupakan permodelan hubungan diadik (dyadic buyer-supplier model) dengan mengandalkan logika resiko ekonomi yang kemudian diatur melalui kontrak. Ketika pembeli menerapkan tipe kompetitif maka berpeluang mengatur dan mengkoordinasikan informasi dan pengaturan pertukaran material. Kepemilikan kendali terhadap aliran informasi tersebut dapat diarahkan untuk memperoleh manfaat bagi kepentingan pihak pembeli. Kondisi ini disebut sebagai sifat oportunisme sebagaimana dinyatakan oleh Williamson di dalam Ghoshal dan Moran (1995) Ketakutan atas resiko ekonomi, mendorong diterapkannya mekanisme bertahan dalam wujud negosiasi yang sangat tegas dan kontrak terbatas.
5.3. Pergerakan Harga Tanaman Obat Rata-rata tanaman obat keluarga Zingiberaceae dipanen pada bulan Mei sampai dengan Agustus. Pada bulan-bulan ini, bahan baku tersedia dalam jumlah besar dan menurun memasuki musim penghujan. Pedagang tanaman obat harus jeli mengamati perubahan harga. Ketidaktepatan menghitung harga
saat membeli dari petani dan pada saat kapan dan harga berapa bahan baku dijual kembali akan berakibat kerugian karena kesalahan penetapan harga jual. Harga pembelian bahan baku yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul berfluktuasi dari waktu ke waktu. Pergerakan harga tersebut dipengaruhi oleh kegagalan panen di beberapa daerah sumber pasokan, peningkatan produksi produk dari industri yang membutuhkan pasok tanaman obat tertentu, peningkatan ekspor atau terdapat pedagang besar yang
sengaja menahan
bahan baku di gudang dengan tujuan mencari harga tinggi. Harga temulawak berada pada
kisaran Rp 400,- - Rp 700,- dan relatif
stabil selama dua tahun dibandingkan dengan harga jahe segar berkisar Rp 1.500,- hingga Rp 2.500,- per kilogram pada lokasi gudang petani. Alasan yang dikemukakan pedagang terhadap perbedaan harga mencolok antara temulawak dan jahe karena temulawak mudah diperoleh dan penggunaan lebih terbatas dibandingkan jahe sehingga mengurangi tarik-menarik antara kebutuhan agroindustri farmasi dengan industri lainnya yang menggunakan jahe. Jahe dan kunyit selain dimanfaatkan oleh
agroindustri farmasi juga
dibutuhkan industri minuman, kosmetik dan keperluan rumahtangga.
Ja
nu a Fe ri br ua ri M ar et A pr il M ei Ju ni Ju A li gu Se stus pt em be r O kt ob N o v er em D ber es em be r
700 600 500 400 300 200 100 -
Gambar 11. Kondisi harga temulawak di lapangan
Ja
nu a Fe ri br ua ri M ar et A pr il M ei Ju ni Ju A li gu Se stu pt s em b O er kt N obe ov r em D ber es em be r
harga / kilogram (Rp)
6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 -
Gambar 12. Kondisi harga Jahe di Lapangan Penyimpanan bahan baku segar memiliki resiko penyusutan berat dan kerusakan, sehingga petani cenderung menjual secepatnya. Petani memilih menunda panen atau disimpan sementara pada tempat penyimpanan yang lembab ketika kondisi harga kurang menarik. Mengubah bentuk tanaman obat segar menjadi irisan kering pada musim penghujan, cenderung merugikan karena akan dihasilkan kualitas bahan baku yang kurang baik. Bahan baku yang dikeringkan pada musim penghujan membutuhkan jumlah bahan baku lebih banyak dibandingkan saat pengeringan di musim kemarau. Petani biasa menggunakan istilah satu banding lima yakni lima kilogram tanaman obat segar untuk menjadikan satu kilogram irisan kering, dan meningkat menjadi satu berbanding tujuh pada musim penghujan. Biaya produksi atau biaya budidaya untuk tiga jenis bahan baku temulawak, jahe dan kunyit dengan menghitung unsur biaya sewa lahan untuk lahan yang tidak dimiliki sendiri, biaya pupuk, kemasan, buruh tani, pestisida, bibit diperoleh gambaran sebagai berikut :
Tabel 9 Biaya dan hasil produksi / hektar Komoditas
Biaya produksi
Hasil produksi/ha
Temulawak
Rp
8.250.000,-
12 ton
Jahe
Rp 12.000.000,-
15 ton
Kunyit
Rp
9.000.000,-
7 ton
Data observasi lapangan bulan Juli 2003
5.4. Permasalahan Petani Tanaman Obat Terdapat dua permasalahan dihadapi petani yakni akses pasar menempati urutan pertama diikuti modal kerja. Permasalahan akses pasar adalah upaya untuk mendapatkan pembeli dengan harga yang lebih baik. Akses pasar dihadapi oleh petani yang berada jauh di pelosok atau daerah yang baru berusaha tanaman obat. Daerah yang terjangkau oleh pedagang pengumpul, membuka peluang disalurkannya tanaman obat hasil panen. Petani yang lebih dekat kota kecamatan atau kabupaten, lebih leluasa memperoleh informasi dan
mudah membandingkan harga satu tempat
dengan lainnya. Petani jarang hingga hampir tidak pernah berhubungan dengan lembaga pembiayaan untuk meminta kredit pinjaman. Kalaupun kendala modal kerja terjadi, petani lebih sering menyesuaikan dengan kondisi keuangan yang dimiliki atau melakukan pinjaman secara perseorangan. Keterbatasan ini berakibat pengelolaan budidaya dilakukan seadanya. Permasalahan petani tanaman obat sebagaimana terlihat pada tabel 10, terdapat tujuh masalah dengan tiga masalah dinilai sangat tinggi yakni : akses pasar, modal kerja dan negosiasi.
Tabel 10 Permasalahan Petani Aspek
Uraian permasalahan
Nilai
Ketidakmampuan mencari alternatif pasar industri. Petani kurang dapat mengakses lembaga keuangan karena persyaratan, kurangpengetahuan, selain lembaga keuangan belum tertarik mendanai produk pertanian. Kelemahan dalam teknik pengolahan pascapanen. Kurang pengetahuan dalam budidaya dan langkah pemeliharaan selama masa tanam Kurang kuat dalam posisi tawar terhadap pihak pembeli.
ST
Fasilitator penyuluh
Kurangnya penyuluhan dari fasilitator
R
Buruh pengolah
Kendala tenaga buruh tani
R
Akses pasar Modal kerja
Teknik pengolahan Teknik budidaya Negosiasi
ST
T T ST
ST = Sangat tinggi, T = Tinggi, R = Rendah 5.5. Pedagang Pengumpul Pedagang pengumpul tanaman obat terdiri dari : (1)
petani yang
bertindak sebagai pengumpul, dan (2) pedagang bukan petani, yang semata berdagang tanaman obat. Pedagang pengumpul desa adalah orang yang melakukan pengumpulan tanaman obat langsung dari petani. Kemampuan pengumpulan rata-rata kurang dari lima ton per bulan. Pedagang pengumpul desa aktif mencari pasokan hingga sumber-sumber yang jauh di pelosok dengan mendatangi rumah-rumah petani atau petani mengirimkan bahan baku ke gudang yang ditunjuk. Petani yang menanam jahe di sekitar lereng gunung misalnya sangat memerlukan kehadiran pedagang pengumpul mengingat lokasi yang sulit dicapai. Pedagang pengumpul desa yang berasal dari komunitas sama dengan petani tanaman obat lebih memahami persoalan di lapangan atau kebutuhan petani sehingga pola hubungan cenderung informal.
Pedagang menengah yang berdomisili di kota kecamatan atau kabupaten memperoleh pasokan baik dari pengumpul desa dan petani. Kemampuan membeli tanaman obat berkisar 25 hingga 50 ton per bulan. Sedangkan pedagang menengah-besar mampu membeli di atas 50 ton per bulan. Pedagang menengah-besar mampu menyediakan gudang penyimpanan dan fasilitas pendukung lainnya seperti areal penjemuran maupun truk pengangkut. Besar kecilnya pedagang pengumpul juga tergantung pada kesanggupan mengumpulkan jumlah maupun jenis komoditasnya. Berdasarkan wawancara nara sumber, pasar tanaman obat mengenal spesialisasi pengumpulan seperti spesialis tanaman obat dasar, daun-daunan, batang atau tanaman obat yang spesifik sesuai kebutuhan. Tanaman obat keluarga Zingiberaceae disebut sebagai bahan baku dasar yang relatif dapat dilakukan oleh setiap pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul biasa mengenakan pemotongan berat tanaman obat yang dipasok petani sebesar 5 % hingga 10 %, yang dianggap sebagai faktor cemaran. Bilamana diketemukan cemaran seperti ranting, tanah dan faktor pemberat lain dilakukan pengecekan total atas seluruh kemasan. Standar pemeriksaan kualitas tanaman obat yang dipasok petani ditinjau dari kenampakan visual, faktor kebersihan, ukuran, dan kebenaran jenis. Pembelian tanaman obat dari petani umumnya dibayar secara tunai. Pendekatan ini disukai oleh petani karena tidak terdapat penundaan dan sederhana. Pedagang pengumpul dengan kemampuan lebih tinggi akan mengolah kembali bahan baku sehingga memiliki nilai tambah. Pada musim penghujan dimana bahan baku sulit diperoleh, harga akan meningkat dan kadang disertai kelangkaan. Sebagai contoh, harga pembelian jahe segar pada bulan Desember 2004, berkisar Rp 3.500,- per kilogran harga irisan kering Rp 25.000,- per kilogram. Penetapan harga jual di tingkat pedagang pengumpul umumnya naik 15 % hingga 20 % dibanding harga pembelian dari petani. Kerjasama pedagang dan petani tidak menggunakan ikatan kontrak formal. Pedagang dan petani bebas menjalin dan memutuskan hubungan. Hubungan yang terjalin antar dua pihak terbentuk atas nilai-nilai :
1. kemampuan memberi harga yang baik 2. saling percaya / hubungan 3. kemudahan 4. kedekatan jarak / hidup di desa yang sama 5. rekomendasi petani sebelumnya Pedagang pengumpul yang ditemui di daerah penelitian tidak terbiasa bergabung pada suatu organisasi satu profesi dengan alasan tidak perlu, membuang waktu, tidak bermanfaat, dan karena persaingan. Kondisi ini oleh Choi et al. (2002) dikatakan sebagai model pemasok-pemasok yang kompetitif. Pengertiannya adalah pemasok diibaratkan memasang dinding pembatas dengan interaksi yang minimum atau tidak terdapat hubungan sama sekali. Pembeli secara independen berinteraksi dengan masing-masing pedagang pengumpul. Aktivitas mencari pasokan
tanaman obat biasa
menggunakan petani yang telah terlebih dahulu menjalin hubungan usaha dan kemudian secara berantai menginformasikan pada petani lain akan adanya pengumpul yang membutuhkan tanaman obat atau mendatangi petani di pusat sumber pasokan. Pedagang tingkat kabupaten umumnya didatangi oleh pengumpul desa dibanding melakukan pencarian ke sumber pasok, terkecuali apabila terdapat kesulitan bahan baku. Hubungan usaha
dengan pengumpul memberikan
manfaat bagi petani, dari segi informasi walau sifatnya terbatas pada kebutuhan
tanaman
obat
dan
tidak
mendalam
seperti
bagaimana
meningkatkan kualitas dan bentuk pembinaan lainnya. Pengumpul desa mengumpulkan tanaman obat dari berbagai desa sumber pasok sejumlah yang dibutuhkan kemudian dilakukan proses sortasi sederhana, dan disalurkan kepada pedagang pengumpul berikutnya. Pedagang pengumpul dimaksud akan melakukan proses lanjutan berupa pembersihan, pencucian, pengeringan, dan pemisahan kelas/grade atau diubah bentuk menjadi irisan kering, bubuk atau sediaan galenik. Jenis komoditas yang diperdagangkan tidak terbatas tergantung dari permintaan, tetapi umumnya
berupa tanaman obat dasar seperti kunyit,
temulawak, jahe, lempuyang, kencur dan kelompok temu-temuan. Ditinjau produk yang dihasilkan dapat dibedakan sebagai berikut : 1.
Petani menghasilkan bahan baku basah/segardalam kondisi bersih tanah.
2.
Pengumpul desa menghasilkan bahan baku basah/segartersortasi dan bersih lanjut.
3.
Pedagang
pengumpul
kabupaten
menghasilkan
bahan
baku
basah/segartersortasi menurut ukuran, bersih, terkemas rapih dan bahan baku irisan kering cerah dan terkemas. Peran petani, pedagang, industri dan proses yang ditangani dapat dilihat pada Gambar 13.
Petani
Uang, info
Harga Jual produk
Pedagang pengumpul desa Uang, info
Harga Jual produk+
Pedagang pengumpul kabuputen Uang Info
Harga Jual produk ++
Proses : budidaya, panen, pascapanen
Proses : pengumpulan, pemisahan,
Proses : olah lanjut – kering/ bubuk, grading, kemasan, label
Rimpang segar. Bersih tanah tidak merata.
Rimpang basah/segarbersi h atau kering
Rimpang basah/segar bersih/ kering iris/ bubuk.
Industri
Gambar 13 Aktor pada rantai pasokan tanaman obat.
Petani berperan sebagai produsen yang menghasilkan tanaman obat segar dengan kondisi tanaman obat bersih dari tanah. Pedagang pengumpul
berperan sebagai perantara yang berfungsi menerjemahkan informasi umumnya berupa jenis, jumlah dan waktu tanaman obat yang harus dipasok. Pembeli berusaha mencari maksimasi utilitas dalam situasi pasar tidak menentu dan berusaha melakukan perhitungan bersifat protektif dalam rangka mengurangi resiko kerugian transaksi. Terdapat dimensi kritis yang mempengaruhi biaya transaksi yakni ketidakpastian kuantitas,
kualitas,
harga, frekuensi transaksi dan penggunaan aset. Tingkat kehilangan saat bertransaksi menjadi tinggi bilamana penyediaan aset tidak dipertimbangkan secara seksama. Kehilangan dimaksud terjadi ketika fasilitas yang disediakan tidak dimanfaatkan, pemborosan tenaga kerja akibat
bahan baku tidak
mengalir sebagaimana waktu ditetapkan. Kondisi ini membentuk perilaku tertentu, seperti penetapan pemotongan kualitas
5 – 10 %, sebagaimana
pada tanaman obat. Terdapat keterkaitan antara harga beli komoditas pada kondisi pasar dan perilaku pembeli tertentu, sehingga terjadi pemberlakuan kesepakatan kontrak yang berbeda antara pembeli dan penjual. Penetapan harga pada kondisi pasokan tanaman obat melimpah, mendorong harga beli turun. Sedangkan pemeriksaan kualitas lebih ketat terhadap pemasok tertentu dibanding lainnya sebagaimana teori biaya transaksi yang diaplikasikan untuk menghindari akikbat kerugian. Hubungan penjual dan pembeli akan mempengaruhi negosiasi keduabelah pihak pada saat transaksi. Peraturan lebih tegas ditetapkan oleh agroindustri farmasi yang melakukan ttransaksi dengan pedagang dimana waktu pengiriman, jumlah, jenis tanaman obat, harga, kemasan dan jenis angkutan ditetapkan secara jelas. Ketidakpatuhan atas aturan yang ditetapkan oleh satu pihak berakibat kerugian pihak lainnya. Secara
umum,
aktivitas
perdagangan
tanaman
obat
dapat
dikelompokkan tiga bagian yakni : mencari dan mengumpulkan aneka tanaman obat, proses pengolahan lanjutan dan pemasaran/pendistribusian. Berdasarkan
masukan
responden,
pendistribusian tanaman obat yakni :
terdapat
beberapa
jenis
jalur
1.
pasokan didistribusikan ke pasar induk, misal pasar induk Jakarta dan Surabaya.
2.
pendistribusian kepada pedagang antar pulau.
3.
distribusi pasokan bagi pemenuhan ekspor.
4.
distribusi pasokan untuk keperluan pedagang antara yang memiliki pesanan pabrik.
5.
pasokan langsung menuju pabrik.
6.
distribusi sedia galenik atas dasar pesanan. Pertimbangan pedagang dalam menentukan harga jual kepada pembeli
berikutnya akan ditinjau dari pegerakkan harga tanaman obat. Resiko yang ditanggung pedagang yang menempati urutan pertama adalah harga diikuti kerusakan dalam penyimpanan. Apabila pedagang pengumpul berkeinginan menarik petani sebagai sumber pemasok berjangka panjang maka nilai utama adalah : 1.
kemampuan pasokan,
2.
kestabilan kualitas,
3. pemenuhan jadwal kirim. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, kaum perempuan lebih mengambil peran sebagai negosiator dalam melakukan
transaksi,
pengecekan kualitas dan menentukan keputusan membeli atau menjual. Adapun tenaga lelaki berperan besar dalam hal pencarian sumber pasokan, pengelolaan bahan baku dan pendistribusian ke lokasi penyimpanan pembeli.
5.6. Agroindustri farmasi Agroindustri
farmasi
penghasil
fitofarmaka
mempersyaratkan
kandungan zat aktif standar sesuai dengan persyaratan dosis. Karenanya, industri melakukan pemetaan kandungan zat khasiat aktif optimal dari daerah sumber pasokan. Namun rendahnya kemampuan pasokan bahan baku petani dan kestabilan kualitas menambah kesulitan pemrosesan di tingkat pabrikan. Industri lebih memilih membeli dari pedagang dengan alasan keamanan, kepercayaan, bahan baku sudah terklasifikasi, dan dikemas.
Industri menetapkan jumlah pesanan bahan baku untuk setiap satuan pengiriman dimana jumlah tersebut kurang memungkinkan dipenuhi oleh petani. Petani mampu memasok bahan baku ke industri apabila bergabung dalam satu kelompok. Pemasok baru yang belum tercatat di dalam daftar rekanan pemasok harus memasukkan sampel terlebih dulu dan apabila diterima baru kemudian diterbitkan surat pemesanan. Beberapa responden pengumpul menyatakan tidak mudah untuk diterima sebagai rekanan karena harus memenuhi persyaratan yang ketat mencakup kemampuan pasok, kontinuitas pasokan, kestabilan kualitas dan kualitas serta kemampuan pengelolaan. Prosedur pembelian oleh agroindustri farmasi dimulai dari tahapan : (1) penerimaan sampel, (2) penetapan pesanan pembelian disertai ketetapan jadwal pengiriman, (3) penyerahan barang, (4) pemeriksaan kualitas, (5) pembayaran. Prosedur pembelian demikian dipandang oleh petani terlalu birokratis dan menyita waktu. Cara pembayaran yang dilakukan industri kurang fleksibel dibandingkan pedagang pengumpul dimana pembayaran ditetapkan tiga minggu hingga dua bulan kemudian. Berbeda dengan pembelian bahan baku oleh pedagang pengumpul yang dilakukan secara tunai. Bahkan terhadap petani yang sudah sangat dikenal, pedagang pengumpul dapat saja bertindak meminjamkan dana bilamana terdapat kebutuhan mendesak yang dianggap sebagai pembayaran dimuka. Hubungan industri dengan pemasok memiliki pola : a) industri – pedagang pengumpul, b) industri – kelompok petani, dan c) industri lembaga perantara Berdasarkan informasi responden pola hubungan industri dan pedagang pengumpul paling banyak ditemui. Pembelian langsung kepada petani terutama dilakukan melalui kelompok petani terutama hasil pembinaan atau melalui lembaga perantara yang menjalin hubungan dengan petani. Lembaga dimaksud seperti balai penelitian sebagaimana dilakukan kerjasama oleh BPTO Tawangmangu.
Terdapat tujuh aspek yang menjadi pertimbangan agroindustri farmasi dalam pengadaan bahan baku dan hubungan dengan pemasok berdasarkan hasil wawancara responden sebagaimana dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Aspek pengadaan bahan baku industri No
Aspek
1
Harga
2
Sediaan (stock)
3
Seleksi pemasok
4
Pembelian
5
Pembayaran
6
Pengiriman dan penerimaan
7
Kerjasama
Deskripsi Ditetapkan berdasar harga yang berlaku di pasar. Industri akan membandingkan posisi pasokan dan permintaan untuk perkiraan tahun mendatang Diputuskan berdasarkan rencana pemasaran, rencana produksi tahun mendatang, posisi stock tersedia, dan ketersediaan pasokan Ditinjau dari hasil sampel yang dikirimkan, kemampuan pasokan, kesediaan memenuhi persyaratan dan dalam bentuk terbatas dilakukan tinjauan lokasi permrosesan. Pembelian terbatas dalam jangka pendek, setelah persyaratan dipenuhi. Hubungan lebih lama didasarkan pada kinerja pemasok. Ditentukan dari keseluruhan hasil pemeriksaan kualitas pasokan baik pemerian maupun uji laboratorium, dan bilamana administrasi telah selesai. Terhadap pemasok baru, melalui pengiriman sampel dan pasokan dalam skala percobaan dengan pemeriksaan lengkap. Dijalin sebagai bagian dari hubungan pemasok, khususnya terhadap pemasok yang telah berhubungan lama. Pembinaan ditujukan pada penanganan pascapanen.
Masyarakat peminum jamu berdasarkan wawancara responden ahli dari industri, umumnya berasal dari segmen bawah yang peka terhadap harga. Harga jamu di beberapa gerai penjualan berdasarkan pengumpulan data bulan Desember 2004, berkisar antara Rp 700 – Rp 1.000,- per sachet ukuran 7 gram dengan kandungan lima hingga delapan jenis tanaman obat.
Tidak terdapat standarisasi untuk tujuan yang
penggunaan tanaman obat antar industri
sama. Sebagai contoh,
jamu sehat lelaki akan
mengandung tanaman obat yang berbeda antar satu industri dengan industri lainnya sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Kandungan tanaman obat pada jamu No
1
Keterangan Jenis
Curcuma.
Curcuma
Zingiber
Zingiber
Zingiber
Jamu
xanthoriza
domestica
officinale
aromatica
purpurei
rizhoma
rizhoma
Temulawak
Kunyit
Jahe
Lempuyang
Bengle
Lengkuas
Kencur
x
x
x
x
Jerawat Nirmalasari (AM)
2
Encok (AM)
x
3
Benkwat (AM)
x
4
Kuat Majun (AM)
5 6
Sehat lelaki (AM) Jaket Jampur sari (AM)
x
7
Sesak Napas (AM)
x
8 9
Sanggageni (AM) Sehat P erempuan (AM)
10
Tujuh Angin (AM)
11
RaLinu (AM)
x x
x x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Seger (AM)
x
Pegal Linu (SM)
x
14
Sehat wanita (SM)
x
Galian Sehat (NM)
x
x x
x
13
x
x x
12
15
x
Languatis Kampferia
x
x x
x x
x x
x x x
x
AM = Air Mancur SM = Sidomuncul NM = Nyonya Meneer
5.7. Identifikasi Resiko Berdasarkan analisis resiko, petani menghadapi kemungkinan kerugian atau kehilangan/ losses disebabkan gagal panen, panen yang tidak optimal maupun kehilangan karena penangangan pascapanen yang kurang baik, resiko kerusakan saat pengiriman dan kerugian harga. Kondisi harga yang ditetapkan
pengumpul
cenderung
diterima
mengingat
kemampuan
pemenuhan kualitas bahan baku pasokan, terkecuali bilamana tanaman obat tertentu sedang sulit diperoleh. Contohnya, tanaman harga selama tiga kali
masa pengamatan sejak tahun 2003 berada pada harga yang lebih tinggi dibanding tanaman obat satu keluarga Zingiberaceae, karena kekurangan pasokan. Apabila kondisi dimaksud terjadi, maka posisi tawar petani menjadi lebih kuat sehingga petani leluasa memilih pembeli yang dapat memberikan harga lebih baik. Gejolak harga dapat mengakibatkan pedagang pengumpul menderita kerugian. Kondisi ini terjadi ketika harga jual bahan baku tiba-tiba menurun sehingga harga pembelian dari petani beberapa waktu sebelumnya menjadi lebih tinggi. Seorang pedagang pengumpul maupun industri harus memiliki ketajaman pengamatan terhadap harga, kemampuan menganalisis pasokan dari berbagai daerah dan perkiraan tanaman obat yang masih tersimpan di beberapa pedagang besar atau di gudang industri, perkiraan
produksi
industri, baru kemudian mengambil keputusan secara tepat apakah sudah saatnya menjual bahan baku yang dimiliki atau tersimpan di gudang. Pedagang pengumpul juga menghadapi resiko kerugian akibat pasokan tercemar benda asing hasil dari perilaku petani yang kurang jujur maupun cara penanganan pascapanen yang kurang baik. Campuran tanah, ranting, daun dan kotoran lain, bila tidak diperhatikan secara seksama pada saat penerimaan bahan baku dari petani akan merugikan pengumpul. Tidak saja mengurangi berat bersih dari tanaman obat yang diterima, tetapi juga memerlukan
tambahan
aktivitas
melakukan
pembersihan
dengan
mengerahkan tenaga buruh. Pemberat bahan baku merupakan cara tidak etis yang dilakukan petani agar memperoleh pendapatan tinggi. Namun, perilaku tersebut mendorong pedagang
pengumpul
melakukan
tindakan
pencegahan
dengan
memberlakukan potongan berat 5 – 10 % yang dinyatakan sebagai faktor cemaran dan mencatat petani yang terbukti telah melakukan pelanggaran dengan kemudian hari tidak lagi bersedia menerima pasokan dari petani dimaksud. Resiko lain yang dihadapi pedagang adalah penyusutan berat bahan baku segar bilamana tidak segera dijual adalah
kerusakan penyimpanan
seperti patah, kulit keriput, busuk, dan perubahan warna kenampakan visual.
Pihak yang memiliki kendali lebih kuat dapat mengalihkan resiko kepada pihak lain, berbeda dengan petani yang sulit untuk melakukan hal serupa kepada pihak manapun. Bilamana pembeli menemukan kondisi bahan baku tidak memenuhi persyaratan, pembeli dapat melakukan tindakan untuk mengurangi resiko dengan cara : 1.
penurunan/pemotongan harga beli bahan baku
2.
pengenaan potongan kualitas lebih besar dari 5 %
3.
pengurangan frekuensi pasokan,
4.
pengawasan lebih ketat dan inspeksi 100 %
5.
penangguhan pengiriman
6.
penghentian pembelian Pemasok yang diketemukan masih mempunyai perilaku kurang etis
dengan memberikan tanaman obat yang tidak sesuai persyaratan standar kualitas. Pengenaan potongan kualitas adalah sebagai bentuk pinalti atas kontaminan yang sengaja disisipkan atau karena faktor penanganan pascapanen yang kurang baik. Pihak pembeli dapat bertindak selaku pengendali bagi pihak lainnya dengan standar perlakuan yang ditetapkan bagi kepentingan operasional. Luas cakupan pengendalian akan berbeda satu sama lain tergantung pada upaya mengamankan standar dan kelancaran aliran pasokan. Pengertian pengendalian adalah kekuatan untuk mengatur atau menetapkan ketentuan yang harus dipatuhi oleh pihak pemasok. Konsekwensi pemasok yang kurang mampu memenuhi persyaratan industri akan berakibat tidak dipilih sebagai pemasok. Kedudukan pemasok lebih mudah dihilangkan dan dapat digantikan dengan pemasok lainnya. Sebagai contoh, industri dapat mewajibkan pemasok memenuhi ketentuan antrian pengiriman. Terhadap pemasok yang tidak memenuhi ketentuan akan berakibat terkena penjadwalan ulang yang sudah tentu akan berdampak pada penambahan biaya operasional yang dipergunakan untuk sewa kendaraan atau membayar supir dan buruh. Lama proses penyelesaian setiap satuan pengiriman tergantung jumlah kemasan
yang diangkut dan kecepatan penimbangan. Pemasok dalam urutan berikut harus menunggu proses pemeriksaan pemasok sebelumnya. Dibandingkan dengan industri, pengendalian di tingkat pedagang pengumpul relatif lebih fleksibel dan lebih leluasa melakukan negosiasi. Pedagang pengumpul lebih melihat siapa petani pemasok berdasarkan kinerja lalu. Bilamana catatan pengiriman di masa lalu tidak pernah menghasilkan cacad yang tinggi, maka kemasan relatif tidak dibongkar seluruhnya tetapi cukup secara sampel acak. Resiko industri dapat diakibatkan oleh pihak pada rantai pasok sebelumnya dan kelemahan internal dari industri sendiri. Bilamana kondisi ini terjadi, maka tanggungan resiko industri mencakup
bidang operasional,
pemasaran, dan keputusan manajemen. Variasi kualitas bahan baku sebagai contoh, merupakan bentuk resiko disebabkan pihak pada rantai sebelumnya. Apabila kondisi ini ditemui, pihak industri akan menetapkan keputusan operasional seperti pemeriksaan ulang, penataan kembali proses persiapan bahan baku dan perubahan perhitungan produksi. Produk obat tradisional umumnya mengandung lima jenis tanaman obat. Kontinuitas pasokan dari seluruh jenis tanaman sangat menentukan kelancaran produksi. Kelangkaan pada salah satu jenis tanaman obat, akan beresiko gangguan produksi produk tersebut walaupun tanaman obat lainnya telah tersedia. Sebagian resiko industri dapat dialihkan pada rantai pasokan sebelumnya, tetapi kesalahan akibat kebijakan dan keputusan manajemen lebih ditanggung oleh pihak industri. Kesalahan mengantisipasi pergerakan pasar dan berakibat pada ketidaktepatan keputusan manajemen atas perencanaan pengadaan bahan baku dan pengaturan aliran pasokan, akan menjadi tanggungan industri. Pembelian bahan baku dalam jumlah besar saat panen raya, berakibat diperlukannya pengaturan penyimpanan secara baik dan kebutuhan kapasitas gudang. Penyimpanan
dalam
jangka
lama
memerlukan
pencahayaan,
kelembaban, kebersihan, penyusunan agar terhindar dari kerusakan bahan baku berupa kontaminasi, perubahan kenampakan dan kandungan senyawa
aktif. Bentuk pengendalian pemasok yang dilakukan industri dan pedagang diklasifikasikan : pengendalian atas produk, pasokan, harga dan perlakuan. Yang dimaksudkan dengan pengendalian produk adalah ketentuan bentuk pasokan dalam jenis segar, atau kering dengan persyaratan bentuk, ukuran, kadar air, kenampakan visual dan berat per rimpang. Tabel 13
berikut ini memperlihatkan ruang lingkup proses yang
dilakukan pada masing-masing mata rantai, resiko dan komponen biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak. Tabel 13 Proses – Resiko – tanggungan biaya pada rantai pasokan Keterangan Petani Proses
Budidaya Pascapanen Penyediaan bahan baku basah/segar
Resiko
Rusak panen Rusak pascapanen Rusak seleksi rimpang segar/basah/segar Kerusakan saat pengiriman Resiko harga
Biaya
Budidaya Proses panen Pascapanen Pengangkutan
AKTOR Pedagang pengumpul Sortasi basah/segar Perajangan Pengeringan menjadi bentuk kering tipis Penggerusan menjadi bubuk Pengemasan Peracikan menjadi sediaan galenik Kontaminan Kerusakan saat penyimpanan Kerusakan saat pengiriman Kerugian saat menunggu antrian pemeriksaan pabrik Fluktuasi harga Sortasi Perajangan pengeringan Penyimpanan Pengiriman
Agroindustri farmasi Pengolahan produk jadi, diawali dengan persiapan bahan baku Penelitian Pemasaran Keragaman kualitas bahan baku Pemrosesan ulang Penambahan sumber daya dan modal kerja
Proses ulang dan Kualitas rendah Variasi proses Pemeriksaan
Pengendalian pasokan adalah ketentuan frekuensi pengiriman per satuan waktu, waktu atau jadwal pengiriman yang terdiri hari dan jam pengiriman, jumlah pengiriman dan dalam kasus tertentu menetapkan jenis angkutan berupa angkutan truk ukuran tonase tertentu. Pengendalian harga juga dilakukan pembeli berupa penetapan harga pembelian per kilogram, pengurangan harga bilamana kualitas tidak memenuhi syarat dan cara pembayaran. Untuk memperoleh tingkat kualitas pasokan, pembeli industri akan menetapkan pemeriksaan kualitas, pemrosesan administrasi dan pengaturan tertentu. Tabel 14 Bentuk pengendalian vertikal Katagori Produk Pasokan
Harga Perlakuan
Bentuk pengendalian Jenis produk Kemasan Standar Produk Frekuensi Pasokan Waktu pengiriman Jumlah per pengiriman Jenis angkutan Penetapan harga Bentuk pinalti Cara pembayaran Pemeriksaan kualitas Prosedur pemrosesan Petugas pengiriman
T= tinggi; S = Sedang; R = Rendah
Intensitas Industri Pedagang T T S R T S T S T S T R R R T S S R T R S S R R S
R