Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN) e-ISSN: 2460-5905 Volume 1, Nomor 2, Agustus 2015, 61-69
URGENSI MENGENALI KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK AGAR PEMBELAJARAN BERMUTU TINGGI Dwi Handayani Kepala SD Negeri Jegreg, Lengkong, Nganjuk, Jawa Timur
Abstract High quality instructional is a hope of many teachers. Nevertheless, the majority of teachers not yet understood what determinans that influence the instructional quality. Based on descriptive insrtructional theory, one of two variables that influenced is instructional condition, namely students characteristics and the others are subject-matter characteristics goals and subject-matter characteristics constrains. This article describes three students characteristics differences are learning ways, multiple intelligences, and gender. This students characteristics differences have great contribution to achieve a high quality instructional in any conditions and situations. Keywords: Students characteristics, high quality instructional
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905 [Volume 1, Nomor 2, Agustus 2015]
| 61
Urgensi Mengenali Karakteristik Peserta Didik agar Pembelajaran Bermutu Tinggi
PENDAHULUAN Selama menjadi pimpinan sekolah, seringkali penulis mendapat pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, bilamanakah suatu pembelajaran dikatakan berkualitas tinggi? Pertanyaan seperti itu jamak terjadi dan terus bergulir di kalangan para guru. Hal ini bisa dimengerti oleh karena hampir setiap guru menginginkan pembelajaran yang dilaksanakannya dengan peserta didik mendapatkan predikat bermutu sebab hanya pembelajaran yang bermutu atau berkualitaslah yang bisa menjadikan suatu pembelajaran disebut berhasil atau sukses. Hampir tidak ada guru yang berharap pembelajarannya disebut tidak berkualitas, tidak berhasil dan tidak sukses. Indikator berhasil atau sukses yang ditunjuk pada umumnya adalah prestasi belajar siswa yang meningkat atau tuntas (domain kognitif), sikap peserta didik yang sejalan dengan norma masyarakat dan hukum nasional (domain afektif), dan keterampilan peserta didik yang kompeten (domain psikomotorik). Indikator tersebut tentu saja merujuk pada kurikulum nasional yang berlaku. Sepintas tidak ada yang salah dari persepsi sebagian besar 62
guru tentang hal itu. Akan tetapi ada yang terlupakan dalam konsepsi tentang pembelajaran yang sukses seperti itu, yakni adanya adagium bahwa “praktik itu dibangun dari teori dan teori digeneralisasi dari praktik.” Jika adagium tersebut dicermati secara serius, maka sebenarnya jawaban yang diperlukan untuk menjelaskan pembelajaran yang berkualitas tinggi semestinya menyepadankan antara teori dan praktik pembelajaran. Artinya, kapan suatu praktik pembelajaran disebut bermutu hendaknya dikembalikan kepada keyakinan para guru tentang teori pembelajaran yang dipraktikkannya. Jadi dikembalikan jawabannya kepada tautan antara teori dan praktik. Hal itu sejalan dengan pemikiran Cruickshank, Jenkins, & Metcalf (2012), yang mengatakan bahwa cara dan keberhasilan guru mengajar dipengaruhi oleh keyakinan mereka tentang teori belajar dan pemberlajaran. Implikasi pemikiran tersebut ialah, guru yang berkeyakinan kuat terhadap teori pembelajaran behavioral tentu akan berbeda persepsinya tentang pembelajaran berkualitas dibandingkan dengan guru yang berkeyakinan
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Dwi Handayani
kuat terhadap teori pembelajaran kognitif. Demikian halnya dengan guru yang berkeyakinan kuat terhadap teori pembelajaran humanistik, akan berbeda persepsinya tentang pembelajaran bermutu dibandingkan dengan guru yang berkeyakinan kuat terhadap teori pembelajaran kognitif dan behavioral.
guru harus menyadari pentingnya perbedaan para siswa dan secara sadar melibatkan perbedaan ke dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Menurut mereka, kita tidak dapat mengajar suatu bahan ajar secara sukses dengan mengabaikan karakteristik personal para siswa dalam pembelajaran.
Pada konteks tersebut penulis ingin menekankan bahwa pada dasarnya ketiga teori tersebut tidaklah berbeda pandangan seratus persen dalam hal pembelajaran, melainkan berbagi keyakinan tentang pembelajaran dan satu sama lain saling melengkapi. Hal itu terbukti, sebagaimana akan diuraikan dalam artikel ini, bahwa diantara ragam berbagai keyakinan tersebut, ternyata ada “tema” yang mendapat perhatian yang sama, yakni bahwa setiap pembelajaran haruslah memperhatikan”karakteristik peserta didik.”
Berdasarkan pendapat pakar tersebut dapat ditafsirkan bahwa salah satu kontributor, korelat atau determinan (faktor yang mempengaruhi) pembelajaran yang berkualitas adalah karakteristik peserta didik. Argumen ini merujuk pada teori pembelajaran yang disebut sebagai teori deskriptif. Teori deskriptif merupakan teori yang merangkum suatu proposisi yang amat luas yang menegaskan bahwa hasil pembelajaran dipengaruhi oleh variabel metode pembelajaran, kondisi pembelajaran dan interaksi kedua variabel tersebut.
Artikel ini mengkaji Urgensi Mengenali Karakteristik Peserta Didik Agar Pembelajaran Bermutu Tinggi.
Teori deskriptif pembelajaran dikemukakan oleh pakar pembelajaran Reigeluth pada tahun 1983 dan hingga kini banyak dianut oleh para ilmuwan pembelajaran. Menurut Reigeluth (1983), dan juga Degeng (2001), pembelajaran yang bermutu tinggi adalah pembelajaran yang berhasil atau sukses. Hasil
PEMBAHASAN Pembelajaran Berkualitas Menurut Cruickshank, Jenkins & Metcalf (2012), jika diinginkan pembelajaran yang efektif, maka Volume 1, Nomor 2, Agustus 2015
63
Urgensi Mengenali Karakteristik Peserta Didik agar Pembelajaran Bermutu Tinggi
pembelajaran yang demikian sekurangnya dapat dilihat dari keefektifannya, efisiensinya, dan daya tariknya. Keefektifan pembelajaran biasanya diukur berdasarkan 4 aspek penting, yaitu: (1) kecermatan penguasaan perilaku yang dipelajari, (2) kecepatan unjuk kerja, (3) tingkat alih belajar, dan (4) tingkat retensi dari apa yang dipelajari. Efisiensi biasanya diukur dari rasio antara kefektifan dan jumlah waktu yang dipakai siswa dan/atau jumlah biaya pembelajaran yang digunakan. Sedangkan daya tarik biasanya diukur dengan mengamati kecenderungan siswa untuk tetap atau terus belajar. Daya tarik pembelajaran erat sekali kaitannya dengan daya tarik bidang studi. Hasil pembelajaran tersebut dipengaruhi oleh metode pembelajaran, yakni cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda. Metode pembelajaran ini meliputi strategi pengorganisasian, strategi penyampaian dan strategi pengelolaan. Adapun pengaruh lain datang dari kondisi pembelajaran yang didefinisikan sebagai faktor yang mempengaruhi efek metode dalam meningkatkan
64
hasil pembelajaran. Kondisi pembelajaran ini meliputi tujuan dan karakteristik bidang studi, kendala dan karakteristik bidang studi, serta karakteristik peserta didik. Karakteristik peserta didik adalah aspekaspek atau kualitas perseorangan siswa seperti bakat, motivasi, minat, dan hasil belajar yang telah dimilikinya (Degeng, 2001). Karakteristik Peserta Didik Sebagaimana dikemukakan Suranto (2015), keberagaman peserta didik adalah fakta hidup di semua sekolah dan kelas. Adalah suatu kenyataan bahwa para siswa itu saling berbeda. Para siswa itu berbeda dalam banyak hal, misalnya tingkat kinerja, kecepatan belajar, gaya belajar, cara belajar, dan sebagainya. Para siswa juga berbeda dalam ras dan kesukuan, budaya, kelas sosial, bahasa dalam keluarga, dan dalam hal gender. Beberapa menyandang difabilitas, beberapa yang lain berbakat dalam suatu bidang atau lebih. Perbedaan atau keberagaman dalam banyak aspek tersebut lebih dari yang bisa diperhitungkan guru. Perbedaan tersebut dapat berimplikasi penting bagi kurikulum, kebijakan dan praktik pendidikan, dan tentu saja dalam pembelajaran. JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Dwi Handayani
Menur ut Banks (2003), sebagaimana dikutip Suranto (2015), mengenai keberagaman budaya individu dapat membantu pemahaman bahwa setiap orang, termasuk siswa di sekolah memiliki karakteristik yang berbeda. Setidaknya dalam hal kelas sosial, kebangsaan, ras, kelompok etnis, kemampuan dan kecacatan, agama, wilayah geografis, dan gender. Pada saat anak-anak memasuki sekolah, mereka telah menyerap banyak aspek budaya di tempat mereka dibesarkan, seperti bahasa, keyakinan, sikap, cara berperilaku, dan pilihan makanan. Artinya, kebanyakan anak dipengaruhi oleh beberapa
budaya, dalam arti bahwa kebanyakan adalah anggota banyak kelompok yang tumpang-tindih. Latar belakang budaya masing-masing anak dipengaruhi oleh kesukuan, status ekonomi sosial, agama, bahasa keluarga, gendernya, dan identitas serta pengalaman kelompok lainnya. Sejalan dengan Banks, Cruickshank, Jenkins & Metcalf (2012), juga merangkum keberagaman siswa dalam hal latar belakang sosial-ekonomi, latar belakang budaya, gender, orientasi seksual, perkembangan, kepribadian, gaya belajar, potensi belajar, dan bidang minat (Gambar 1). Latar belakang ekonomisosial
Bidang Minat
Latar belakang budaya
Potensi belajar
Gender Keberagaman siswa
Orientasi seksual
Gaya belajar Kepriba dian
Perkem bangan
Gambar 1. Model Keberagaman Peserta Didik (Sumber: Cruickshank, Jenkins & Metcalf, 2012) Volume 1, Nomor 2, Agustus 2015
65
Urgensi Mengenali Karakteristik Peserta Didik agar Pembelajaran Bermutu Tinggi
Di antara banyak perbedaan karakteristik peserta didik, perbedaan dalam hal cara belajar perlu mendapatkan perhatian serius karena akan berpengaruh pada kualitas pembelajaran. Perbedaan cara belajar itu antara lain ialah perbedaan dalam hal: cara mengikuti pelajaran, cara membuat catatan, cara membaca buku pelajaran, cara menandai buku, cara membuat ringkasan, cara mempersiapkan ujian, cara mengatur jadwal belajar, cara mengatur tempat belajar, serta cara menghafal dan memahami isi pembelajaran. Karaktereistik lainnya yang juga paling penting dikenali oleh guru adalah potensi peserta didik. Menurut Gardner (2013), tidak semua orang mempunyai minat dan kemampuan yang sama; tidak semua dari kita belajar dengan cara yang sama dan tidak seorang pun yang dapat belajar segala sesuatu yang ingin dipelajarinya. Artinya, semua siswa berbeda dalam potensi belajar dan minat serta dalam melakukan banyak hal. Gardner (2013), sejak tahun 1983 telah meneliti secara mendalam potensi atau kecerdasan manusia yang kemudian dikenal sebagai teori kecerdasan majemuk
66
(multiple intelligence). Teori kecerdasan majemuk sebagaimana dikemukakan Gardner dalam Frame of Mind yang sangat populer itu membagi kecerdasan manusia menjadi banyak kategori yang kemungkinan akan bertambah seiring penelitian berikutnya. Kecerdasan majemuk terdiri atas kecerdasan linguistik-verbal (cerdas kata atau cerdas buku); kecerdasan logikamatematika, kecerdasan spasialvisual (cerdas seni atau cerdas gambar), kecerdasan intrapribadi (cerdas diri atau cerdas introspeksi), kecerdasan kinestesis-badaniah (cerdas badan atau cerdas gerakan), kecerdasan interpribadi (cerdas orang atau cerdas kelompok), kecerdasan lingkungan (cerdas alamiah atau cerdas lingkungan), dan kecerdasan musikal-ritmik (cerdas musik atau cerdas bunyi). Jika guru dalam pembelajarannya benar-benar memperhatikan potensi kecerdasan masing-masing individu, maka guru tidak akan menyamaratakan bahwa setiap anak harus pandai matematika atau pintar bermusik. Guru hendaknya punya siasat atau kiat atau teknik yang berbeda guna mengembangkan potensi yang berbeda dalam pembelajaran.
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Dwi Handayani
Keunikan peserta didik masih ditambah dengan perbedaan gender yang seringkali menjadi perhatian banyak kalangan. Penelitian Kleinfield (2007), dan juga Gurian & Stevens (2006), sebagaimana dikutip Cruickshank, Jenkins & Metcalf (2012), misalnya, berpendapat bahwa anak laki-laki belajar lebih baik ketika para guru memuji dan membimbing mereka dan ketika mereka yakin bahwa guru memahami, menyukai, dan menghargai anak laki-laki.
Akibatnya, ia melaporkan bahwa, rata-rata, laki--laki dan perempuan cenderung sama daripada berbeda di kebanyakan aspek yang diteliti. Ia menerima hanya beberapa area yang diungkapkan, dapat dipercayai, bahwa memang ada perbedaan. Berikut ini cuplikannya.
Demikian pula pendapat penelitian yang menyatakan bahwa anak-anak perempuan lebih menyukai ilmu-ilmu keguruan, keperawatan, farmasi, studi pendidikan dokter gigi, dan sebagainya dibandingkan dengan anak laki-laki yang lebih menyukai ilmu-ilmu teknik, periklanan, dan studi sosial politik (Irvan & Mutrofin, 2015).
• Anak laki-laki terlibat dalam perilaku seksual lebih sering secara signifikan daripada anak perempuan dan memiliki sikap yang lebih positif terhadap relasi seksual dan tanpa komitmen.
Sintesis perbedaaan gender pada penelitian Hyde (2005), sebagaimana dikutip Cruickshank, Jenkins & Metcalf (2012), menyatakan bahwa peneliti melaporkan banyak perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan, beberapa memang tampak jelas. Ia berpendapat bahwa hanya sejumlah perbedaan saja yang terlihat untuk dapat dipercaya.
Volume 1, Nomor 2, Agustus 2015
• Laki-laki dan perempuan paling berbeda dalam perilaku motorik. Contohnya, terutama setelah pubertas, anak laki-laki dapat melempar benda secara lebih cepat dan jauh.
• Anak laki-laki lebih agresif secara fisik. Hyde juga melihat jika ada perbedaan lain yang cukup jelas antara anak laki-laki dan perempuan yang tampaknya muncul hanya pada tahap perkembangan atau usia tertentu. Dalam hal ini, ia menerimanya dan melaporkan sebagai berikut. • Terdapat sedikit perbedaan, yaitu anak perempuan lebih menonjol dalam materi hitung67
Urgensi Mengenali Karakteristik Peserta Didik agar Pembelajaran Bermutu Tinggi
menghitung pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, namun tidak ada perbedaan di tingkat pendidikan tinggi. • Tidak ada perbedaan gender pada usia berapapun dalam penyelesaian masalah yang kompleks. • Keyakinan diri anak perempuan menurun ketika remaja, namun anak laki-laki juga mengalaminya. • Seiring bertambahnya usia, anak perempuan merasa kurang percaya diri dalam penggunaan komputer daripada anak lakilaki. Hyde juga menerima dan melaporkan bahwa beberapa perbedaan gender juga muncul hanya dalam situasi atau konteks tertentu. Misalnya, ia mencatat bahwa: • Ketika anak perempuan ditampilkan tanpa nama, maka mereka dapat memperlihatkan perilaku agresif yang sama tingkatannya dengan anak laki-laki tanpa nama. • Anak laki-laki cenderung lebih penolong atau bersikap kepahlawanan dalam situasi berbahaya.
68
Hasil penelitian Slavin (2008), berpendapat bahwa: • Anak perempuan secara umum memperlihatkan sikap dan kemampuan verbal. •
Anak perempuan lebih sering meningkatkan kemampuannya dalam seni berbahasa (mengeja, menulis, dan membaca).
• Anak laki-laki lebih sering meningkat kemampuannya dalam nalar matematis dan relasi spasial (melihat relasi antara objek). • Anak laki-laki berbicara lebih sering di dalam kelas ketika mereka telah belajar menggunakan bahasa secara publik ketika bermain. Anak perempuan lebih jarang berbicara karena mereka belajar menggunakan bahasa secara pribadi dengan temanteman dan untuk berbagi rahasia. Sekiranya guru bersedia dan mampu menyisihkan sedikit waktu untuk melakukan penelitian sederhana guna memahami karakteristik pesertadidiknya, maka sangat dimungkinkan guru akan mampu merancang pembelajaran yang berkualitas tinggi. Tidak perlu seluruh perbedaan karakteristik diperhati-
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Dwi Handayani
kan. Cukup perbedaan karakteristik cara belajar, potensi kecerdasan dan gender saja sudah lebih dari cukup menjamin pembelajaran yang berkualitas tinggi. Namun demikian hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa karakteristik individu peserta didik sangatlah beragam. Tanpa mengurangi ragam perbedaan karakteristik peserta didik yang luas secara teoretis, beberapa yang relevan diperhatikan ialah perbedaan karakteristik cara belajar, potensi kecerdasan dan gender. Jika guru ingin pembelajaran yang berkualitas tinggi, maka ketiga perbedaan karakteristik tersebut disarankan untuk diperhatikan dan hendaknya dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran. DAFTAR RUJUKAN Cruickshank, D.R., Jenkins, D.B., & Metcalf, K.K. 2012. Perilaku Mengajar. Edisi 6 Buku 1. Terjemahan Gisella Tani Pratiwi. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika & McGraw-Hill Volume 1, Nomor 2, Agustus 2015
Education (Asia). Degeng, I.N.S. 2001. Landasan dan Wawasan Kependidikan: Menuju Pribadi Unggul lewat Perbaikan Kualitas Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Malang: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran (LP3) Universitas Negeri Malang. Gardner, H. 2013. Kecerdasan Majemuk: Teori dalam Praktik. Terjemahan Alexander Sindoro. Tangerang Selatan: Interaksara, Kelompok Karisma Publishing. Ir van, M., & Mutrofin. 2015. Dampak Bias Gender Terhadap Profesi Keguruan. Makalah, disampaikan dalam Senminar Nasional Pendidikan di FKIPUniversitas Jember, 18 Juli 2015. Reigeluth, C.M. (Ed.). 1983. Instructional Design: What Is It and Why Is It? Dalam Reigeluth, C.M. (Ed.). Instructional-Design Theories and Models: An Overview of their Current Status. Hlm. 3-36. Hillsdale, New Jersey: Laurence Erlbaum Associates Publishers. Slavin, R.E. 2008. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik. Jilid 1. Terjemahan Marianto Samosir. Jakarta: PT. Indeks. Suranto. 2015. Teori Belajar dan Pembelajaran Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit LaksBang PRESSindo. 69