URGENSI PENDIDIKAN NILAI DALAM PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN PESERTA DIDIK Oleh Junaidah
ABSTRAK
Posisi pendidikan nilai menjadi sangat vital dalam pembentukan pribadi manusia khususnya peserta didik, sebab manusia yang memiliki kecerdasan intelektual setinggi apapun tidak akan bermanfaat secara positif bila tidak memiliki kecerdasan afektif secara emosional, sosial, maupun spiritual. Tereliminasinya pendidikan nilai pada kurikulum lembaga pendidikan formal disinyalir oleh berbagai kalangan sebagai salah satu penyebab utama akan kemerosotan moral dan budi pekerti masyarakat yang tercermin dari tingginya angka kriminalitas maupun perbuatan amoral. Dalih integrasi pendidikan nilai dalam pendidikan kewarganegaraan dan keagamaan, pada implementasinya menjadi tidak tepat sasaran karena pendidikan nilai diberikan dengan metode hapalan dengan porsi yang minim untuk memenuhi evaluasi proses pendidikan yang
hanya
mengukur
ranah
kognitif
semata.
Tentunya
hal
tersebut
bertolakbelakang dengan prinsip pendidikan nilai yang mencakup ranah afektif dan tidak dapat terukur dengan model evaluasi pendidikan sebagaimana ditentukan oleh sistem pendidikan nasional. Perlu sebuah aksi dalam menjalankan dan menerapkan kembali nilai-nilai moral, etika dan adab serta perlu inovasi metode dalam penyampaian pendidikan nilai tersebut, yang dapat digunakan oleh lembaga
pendidikan
formal
sebagai
sarana
untuk
menginternalisasikan
pendidikan nilai dalam pengembangan kepribadian peserta didik. Dalam memantau prilau peserta didik, ada salah satu metode sederhana yang masih
185
diterapkan yakni melalui buku penghubung yang digunakan oleh sekolah dasar sebagai sarana penghubung antara pihak sekolah dan orang tua peserta didik dalam monitoring keseharian peserta didik dalam pengerjaan tugas-tugas sekolah. Disisi lain tentunya keberhasilan metode ini tidak terlepas dari adanya kerjasama antara tri pusat pendidikan dalam mewujudkan peserta didik yang berkepribadian dan taat nilai.
Key Words: Pendidikan Nilai, Pengembangan Kepribadian
A. Pendahuluan Tahun 2012 tercatat ada delapan korban tewas akibat tawuran pelajar di Indonesia, mungkin ini belum semua, masih banyak korban tawuran yang tidak terekam media. Salah satu TV swasta memberitakan meskipun angka ini turun dibanding tahun 2011, namun penurunan ini janganlah dijadikan satu kebanggaan. Prilaku amoral, pergaulan bebas, merupakan beberapa contoh prilaku pelajar yang telah menjadi titik kuliminasi keresahan baik dikalangan orang tua maupun sekolah. Bisa jadi ini adalah akibat telah tercerabutnya nilai-nilai agama, moral, adat istiadat dan etika dari kehidupan para pelajar. Pendidikan nilai menjadi keharusan bagi sekolah untuk mulai diterapkan. Pendidkan nilai (kejujuran, disiplin,saling menghargai,cinta lingkungan,daya juang, bersyukur, gender dan lain-lain) bukan merupakan tanggung jawab guru agama dan kewarganegaraan saja tetapi tanggung jawab semua guru. Dalam silabus guru mencantumkan nilainilai apasaja yang akan ditekankan dalam setiap materi pengajaran. Sebetulnya didalam Kurikulum pemerintah pendidikan nilai secara implisit sudah ada. Nilainilai yang ditekankan merupakan dampak pengiring di samping guru menekan dampak instruksional. Misalkan bagaimana guru menekankan nilai kejujuran pada siswa, yaitu bisa dengan berbagai cara, bisa saja guru memakai metode praktikum, yaitu siswa diharuskan jujur dalam menyampaikan data yang diperoleh dan beri
186
nilai berbuat jujur. Dalam keseharian guru harus menunjukkan sikap jujur, ini penting karena guru sebagai model. Dalam diskusi juga ditekakan bagaimana siswa menghargai pendapat orang lain dengan tidak terlalu awal melakukan pada penilaian pada pendapat orang lain, dan yang penting lagi guru melakukan pembelajaran reflektif, melihat kembali apasaja yang sudah dilakukan oleh siswa dan guru bukan hanya kognitif saja tetapi juga afeksi. Mudah-mudah kita dapat melahirkan generasi yang tidak korup, menghargai orang lain, memiliki disiplin tinggi, hormat, memiliki daya juang, bangga berbangsa indonesia dan lain-lain. Posisi pendidikan nilai menjadi semakin vital dalam pembentukan pribadi manusia, sebab manusia yang memiliki kecerdasan intelektual setinggi apapun tidak akan bermanfaat secara positif bila tidak memiliki kecerdasan afektif secara emosional, sosial, maupun spiritual. Tereliminasinya pendidikan nilai pada kurikulum lembaga pendidikan formal disinyalir oleh berbagai kalangan sebagai salah satu penyebab utama akan kemerosotan moral dan budi pekerti masyarakat yang tercermin dari tingginya angka kriminalitas maupun perbuatan amoral. Dalih integrasi pendidikan nilai dalam pendidikan kewarganegaraan dan keagamaan, pada implementasinya menjadi tidak tepat sasaran karena pendidikan nilai diberikan dengan metode hapalan dengan porsi yang minim untuk memenuhi evaluasi proses pendidikan yang
hanya
mengukur
ranah
kognitif
semata.
Tentunya
hal
tersebut
bertolakbelakang dengan prinsip pendidikan nilai yang mencakup ranah afektif dan tidak dapat terukur dengan model evaluasi pendidikan sebagaimana ditentukan oleh sistem pendidikan nasional. Pendidikan nilai berperanan penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia yang utuh. Pembinaan nilai sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif, baik pengaruh yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejalan dengan derap laju pembangunan dan laju perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS), serta arus reformasi sekarang ini, pembinaan nilai semakin dirasa penting sebagai salah satu alat pengendali bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh. Namun,
187
sekarang ini tampak ada gejala di kalangan anak muda, bahkan orang tua yang menunjukkan bahwa mereka mengabaikan nilai dan moral dalam tata krama pergaulan yang sangat diperlukan dalam suatu masyarakat yang beradab (civil society). Dalam era reformasi sekarang ini seolah-olah orang bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya. Misalnya, perkelahian massal, penjarahan, pemerkosaan, pembajakan kendaraan umum, penghujatan, perusakan tempat ibadah, lembaga pendidikan, kantor-kantor pemerintahan dan sebagainya, yang menimbulkan korban jiwa dan korban kemanusiaan. Bangsa Indonesia saat ini tidak hanya mengalami proses pendangkalan nilai yang seharusnya dimiliki serta dihayati dan dijunjung tinggi. Nilai-nilai itu kini bergeser dari kedudukan dan fungsinya serta digantikan oleh keserakahan, ketamakan, kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Dengan pergeseran fungsi dan kedudukan nilai itu, kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dirasakan semakin hambar dan keras, rawan terhadap kekerasan, kecemasan, bentrok fisik (kerusuhan) dan merasa tidak aman. Dekadensi moral juga tercermin dalam sikap dan perilaku masyarakat yang tidak dapat menghargai orang lain, hidup dan perikehidupan bangsa dengan manusia sebagai indikator harkat dan martabatnya. Nilai-nilai moral menempatkan hak asasi manusia (HAM) sebagai ukuran pencegahan pelanggaran-pelanggaran berat, seperti pembunuhan, pemerkosaan, perkelahian, penculikan, pembakaran, perusakan dan lain-lain. Dengan demikian, salah satu problematika kehidupan bangsa yang terpenting di abad ke-21 adalah nilai moral dan akhlak. Kemerosotan nilai-nilai moral yang mulai melanda masyarakat kita saat ini tidak lepas dari ketidakefektifan penanaman nilai-nilai moral, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat secara keseluruhan. Efektivitas paradigma pendidikan nilai yang berlangsung di jenjang pendidikan formal hingga kini masih sering diperdebatkan.
188
B. Konsep Pendidikan Nilai Pendidikan nilai berperanan penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia yang utuh. Pembinaan nilai sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif, baik pengaruh yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejalan dengan derap laju pembangunan dan laju perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS), serta arus reformasi sekarang ini, pembinaan nilai semakin dirasa penting sebagai salah satu alat pengendali bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh. Namun, sekarang ini tampak ada gejala di kalangan anak muda, bahkan orang tua yang menunjukkan bahwa mereka mengabaikan nilai dan moral dalam tata krama pergaulan yang sangat diperlukan dalam suatu masyarakat yang beradab (civil society). Dalam era reformasi sekarang ini seolah-olah orang bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya. Misalnya, perkelahian massal, penjarahan, pemerkosaan, pembajakan kendaraan umum, penghujatan, perusakan tempat ibadah, lembaga pendidikan, kantor-kantor pemerintahan dan sebagainya, yang menimbulkan korban jiwa dan korban kemanusiaan. Bangsa Indonesia saat ini tidak hanya mengalami proses pendangkalan nilai yang seharusnya dimiliki serta dihayati dan dijunjung tinggi. Nilai-nilai itu kini bergeser dari kedudukan dan fungsinya serta digantikan oleh keserakahan, ketamakan, kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Dengan
pergeseran
fungsi
dan
kedudukan
nilai
itu,
kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa dirasakan semakin hambar dan keras, rawan terhadap kekerasan, kecemasan, bentrok fisik (kerusuhan) dan merasa tidak aman. Dekadensi moral juga tercermin dalam sikap dan perilaku masyarakat yang tidak dapat menghargai orang lain, hidup dan perikehidupan bangsa dengan manusia sebagai indikator harkat dan martabatnya. Nilai-nilai moral menempatkan hak asasi manusia (HAM) sebagai ukuran pencegahan pelanggaran-pelanggaran berat, seperti pembunuhan, pemerkosaan, perkelahian, penculikan, pembakaran, perusakan dan lain-lain.
189
Dengan demikian, salah satu problematika kehidupan bangsa yang terpenting di abad ke-21 adalah nilai moral dan akhlak. Kemerosotan nilai-nilai moral yang mulai melanda masyarakat kita saat ini tidak lepas dari ketidakefektifan penanaman nilai-nilai moral, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat secara keseluruhan. Efektivitas paradigma pendidikan nilai yang berlangsung di jenjang pendidikan formal hingga kini masih sering diperdebatkan. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara
yang demokratis
serta
bertanggungjawab.
Sinyalmen
ini
jelas
menggambarkan semestinya pendidikan nasional harus ambil bagian dalam penanaman nilai bagi peserta didik, sehingga pendidikan nasional mampu mencetak generasi muda yang berkarakter dan taat nilai. Membahas tentang pendidikan nilai kita akan memulainya dengan membicarakan tentang apa makna pendidikan nilai. Kohlberg . (Djahiri, 1992: 27) menjelaskan bahwa Pendidikan Nilai adalah rekayasa ke arah: (a) Pembinaan dan pengembangan struktur dan potensi/komponen pengalaman afektual (affective component & experiences) atau “jati diri” atau hati nurani manusia (the consiense of man) atau suara hati (al-qolb) manusia dengan perangkat tatanan nilai-moralnorma.
(b)
pembinaan
proses
pelakonan
(experiencing)
dan
atau
transaksi/interaksi dunia afektif seseorang sehingga terjadi proses klarifikasi niaimoral-norma, ajuan nilai-moral-norma (moral judgment) atau penalaran nilaimoral-norma (moral reasoning) dan atau pengendalian nilai-moral-norma (moral control).
190
Sedangkan menurut Winecoff (1987: 1-3), jika kita membahas tentang Pendidikan Nilai maka minimalnya berhubungan dengan tiga dimensi, yakni: identification of a core of personal & social values, philosopy and rational inquiry into the core, and decision making related to the core based on inquiry and response. Ia juga mengungkapkan (hakam, 2005: 5) bahwa Pendidikan Nilai adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut pandang moral yang meliputi etika dan norma-norma yang meliputi estetika, yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, serta etika yaitu menilai benar/salahnya dalam hubungan antar pribadi. Dahlan (2007:5) mengartikan Pendidikan Nilai sebagai suatu proses kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis untuk melahirkan manusia yang memiliki komitmen kognitif, komitmen afektif dan komitmen pribadi yang berlandaskan nilai-nilai agama. Sementara itu, Soelaeman (1987: 14) menambahkan bahwa Pendidikan Nilai adalah bentuk kegiatan pengembangan ekspresi nilai-nilai yang ada melalui proses sistematis dan kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas kognitif dan afektif peserta didik. Senada dengan hal di atas, Hasan (1996: 250) memiliki persepsi bahwa Pendidikan Nilai merupakan suatu konsep pendidikan yang memiliki konsep umum, atribut, fakta dan data keterampilan antara suatu atribut dengan atribut yang lainnya serta memiliki label (nama diri) yang dikembangkan berdasarkan prinsip pemahaman, penghargaan, identifikasi diri, penerapan dalam perilaku, pembentukan wawasan dan kebiasaan terhadap nilai dan moral. Adapun Sumantri (1993: 16) beliau memahami Pendidikan Nilai sebagai suatu aktivitas pendidikan yang penting bagi orang dewasa dan remaja, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah, karena “penentuan nilai” merupakan suatu aktivitas penting yang harus kita pikirkan dengan cermat dan mendalam. Maka hal ini merupakan tugas pendidikan (masyarakat didik) untuk berupaya meningkatkan nilai-moral individu dan masyarakat. Menurut Baier (Mulyana, 2004: 8) nilai sering kali dirumuskan dalam konsep yang berbeda-beda, hal tersebut disebabkan oleh sudut pandangnya yang berbeda-beda pula. Contohnya seorang sosiolog mendefinisikan nilai
191
sebagai suatu keinginan, kebutuhan, dan kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog akan menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada tahap wujud tingkah lakunya yang unik. Sementara itu, seorang antropolog melihat nilai sebagai “harga “ yang melekat pada pola budaya masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan, hukum dan bentukbentuk organisasi sosial yang dikembangkan manusia. Perbedaan pandangan mereka dalam memahami nilai telah berimplikasi pada perumusan definisi nilai. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi nilai yang masing-masing memiliki tekanan yang berbeda. Allport (Mulyana, 2004: 9) mendefinisikan nilai sebagai sebuah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Sebagai seorang ahli psikologi kepribadian, Allport menyatakan bahwa nilai terjadi pada wilayah psikologis yang disebut keyakinan. Keyakinan merupakan wilayah psikologis tertinggi dari wilayah lainnya seperti hasrat, motif, sikap, keinginan dan kebutuhan. Oleh karenanya, keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah pada wilayah ini merupakan hasil dari sebuah rentetan proses psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya. Kupperman (Mulyana, 2004: 9) menafsirkan nilai sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif. Ia memberi penekanan pada norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Sebagai seorang sosiolog, Kupperman memandang norma sebagai salah satu bagian terpenting dari kehidupan sosial. Oleh karena itu, salah satu bagian terpenting dalam proses pertimbangan nilai (value judgement) adalah pelibatan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat.
192
Sedangkan Kluckhohn (Brameld, 1957) mendefinisikan nilai sebagai konsepsi (tersirat atau tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan. Menurut Brameld, pandangan Kulchohn tersebut memiliki banyak implikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya dan sesuatu itu dipandang bernilai apabila dipersepsi sebagai sesuatu yang diinginkan. Makanan, uang, rumah, memiliki nilai karena memiliki persepsi sebagai sesuatu yang baik dan keinginan untuk memperolehnya memiliki mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang. Namun tidak hanya materi yang memiliki nilai, gagasan dan konsep juga dapat menjadi nilai, seperti: kejujuran, kebenaran dan keadilan. Kejujuran misalnya, akan menjadi sebuah nilai bagi seseorang apabila ia memiliki komitmen yang dalam terhadap nilai itu yang tercermin dalam pola pikir,
tingkah
laku
dan
sikap.
Sementara
itu,
Mulyana
(2004:
11)
menyederhanakan definisi nilai sebagai suatu rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Menurutnya, definisi ini dapat mewakili definisi-definisi yang dipaparkan di atas, walaupun ciri-ciri spesifik seperti norma, keyakinan, cara, tujuan, sifat dan ciri-ciri nilai tidak diungkapkan secara eksplisit. Secara filosofis, pendidikan adalah sebuah tindakan fundamental, yaitu perbuatan yang menyentuh akar-akar hidup kita sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia. Jadi, mendidik adalah suatu perbuatan yang fundamental karena mendidik itu mengubah dan menentukan hidup manusia. Pendidikan itu memanusia-kan manusia (Driyarkara, 1991). Pendidikan adalah untuk kehidupan, bukan untuk memenuhi ambisi-ambisi yang bersifat pragmatis. Pendidikan bukan non vitae sed scholae discimus (belajar bukan untuk kehidupan melainkan untuk sekolah). Pendidikan harus bercorak non scholae sed vitae discimus, kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk kehidupan. Dalam pendidikan untuk kehidupan, hal utama yang dilakukan adalah menenamkan nilai-nilai. Pendidikan nilai bukan saja perlu karena dapat mengembalikan filosofi dasar pendidikan yang seharusnya non scholae sed vitae discimus, namun juga perlu karena ciri kehidupan yang baik terletak dalam komitmen terhadap nilai-nilai: nilai kebersamaan, kejujuran, kesetiakawanan, kesopanan, kesusilaan, dan lain-lain.
193
Menurut Piet G.O, nilai adalah sifat yang berharga dari suatu hal, benda, atau pribadi yang memenuhi kebutuhan elementer manusia yang memang serba butuh atau menyempurnakan manusia yang memang tak kunjung selesai dalam pengembangan dirinya secara utuh, menyeluruh, dan tuntas (Piet GO, 1990). Selaras dengan pemikiran-ini, Hans Jonas mengatakan bahwa nilai adalah the addresse of a yes, nilai adalah sesuatu yang selalu kita setujui (Adimassana, 2001). Jadi, pendidikan nilai adalah manifestasi dari non scholae sed vitae discimus. Nilai merupakan kebenaran atau realitas sejati yang akan terus dicari oleh setiap individu. Sejak manusia lahir ia mulai melakukan pencarian. Ia ingin berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Ia sentuh benda-benda, memasukan benda ke dalam mulut, melemparkan dan mengamati hasilnya. Ketika ia mulai dapat berbicara, banyak hal yang ia tanyakan: apa ini? Apa itu? Ia terus berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya (Na-Ayudhya, 2008: 8-9 & Kneller, 19971: 2). Apa sesungguhnya yang disebut dengan kebenaran sejati itu? Kebenaran sejati adalah sesuatu yang tak berubah dan tidak tergantung pada ruang dan waktu serta bersifat universal. Jika sesuatu benar di sini maka iapun harus benar di mana saja. Jika sesuatu benar hari ini maka ia juga harus benar besok. Jika ia benar besok maka iapun harus benar lusa. Jika ia benar 100 tahun yang lalu maka iapun harus benar 1000 tahun kemudian dan seterusnya (Na-Ayudhya, 2008: 8-9). Lalu, dimana sesungguhnya kebenaran sejati itu dapat ditemukan? Kebenaran sejati hanya dapat ditemukan dengan memulai melakukan pencarian di dalam diri. Pencarian sesuatu dalam diri merupakan awal dari pencarian kebenaran sejati. Inilah yang disebut dengan pencarian pengetahuan diri sejati, self-knowledge, atau pengetahuan tentang diri atau kesadaran jati diri, selfrealization (Na-Ayudhya, 2008: 8-9). Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, siapa yang mengerti dirinya ia akan menemukan Tuhannya. Tuhan adalah sumber dan sekaligus kebenaran sejati. Pencarian pengetahuan diri sejati atau
194
pengembangan kesadaran jati diri merupakan topik utama dalam wacana kajian filsafat pendidikan nilai. Berpijak pada pola kandungan filsafat, maka Pendidikan Nilai juga mengandung tiga unsur utama yaitu ontologis Pendidikan Nilai, epistemologis Pendidikan Nilai dan aksiologis Pendidikan Nilai. Dalam Living Values Education (2004: 1) dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah: “to help individual think about and reflect on different values and the practical implications of expressing them in relation to them selves, other, the community, and the world at large, to inspire individuals to choose their own personal, social, moral and spiritual values and be aware of practical methods for developing anf deepening them”. Lorraine (1996: 9) pun berpendapat:“in the teaching learning of value education should emphasizing on the establishing and guiding student in internalizing and practing good habits and behaviour in their everyday life as a citizen and as a member of society”. Adapun tujuan Pendidikan Nilai menurut Apnieve-UNESCO (1996: 184) adalah untuk membantu peserta didik dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang ada melalui pengujian kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas berfikir dan perasaannya. Sementara itu, Hill (1991: 80) meyakini bahwa Pendidikan Nilai ditujukan agar siswa dapat menghayati dan mengamalkan nilai sesuai dengan keyakinan agamanya, konsesus masyarakatnya dan nilai moral universal yang dianutnya sehingga menjadi karakter pribadinya. Secara sederhana, Suparno (2002: 75) melihat bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah menjadikan manusia berbudi pekerti. Hakam (2000: 8) dan Mulyana (2004: 119) menambahkan bahwa pendidikan nilai bertujuan untuk membantu peserta didik mengalami dan menempatkan nilai-nilai secara integral dalam kehidupan mereka. Dalam proses Pendidikan Nilai, tindakan-tindakan pendidikan yang lebih spesifik dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih khusus. Seperti dikemukakan komite APEID (Asia and The Pasific Programme of Education Innovation for Development), Pendidikan Nilai secara khusus ditujukan untuk: (a) menerapkan pembentukan nilai kepada anak, (b) menghasilkan sikap yang
195
mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan, dan (c) membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian tujuan Pendidikan Nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai (UNESCO, 1994). Dasar Ontologis Pendidikan Nilai Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari Pendidikan Nilai. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan Pendidikan Nilai melalui pengalaman panca indera adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil Pendidikan Nilai adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya. Objek formal Pendidikan Nilai dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Di dalam situasi sosial, manusia sering kali berperilaku tidak utuh, hanya menjadi mahluk berperilaku individual dan/atau mahluk sosial yang berperilaku kolektif. Sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri secara utuh memperlakukan peserta didik secara terhormat sebagai pribadi pula. Jika pendidik tidak bersikaf afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975) akan menjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan peserta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh. Dasar Epistemologis Pendidikan Nilai Dasar epistemologis diperlukan oleh Pendidikan Nilai atau pakar Pendidikan Nilai demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Pendidikan Nilai memerlukan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif fenomenologis. Karena penelitian tidak hanya tertuju pada pemahaman dan pengertian, melainkan untuk mencapai kearifan fenomena pendidikan. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah Pendidikan Nilai tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan Pendidikan Nilai sebagai ilmu otonom yang mempunyai objek formal sendiri atau problamatikanya sendiri sekalipun tidak hanya menggunakan
196
pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespodensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall & Buchler, 1942) Dasar Aksilogis Pendidikan Nilai Kemanfaatan teori Pendidikan Nilai tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai Pendidikan Nilai tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik. Dan ilmu digunakan untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian Pendidikan Nilai tidak bebas nilai, mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan Pendidikan Nilai dan tugas pendidik sebagai pedagok. Dalam hal ini, sangat relevan sekali untuk memperhatikan Pendidikan Nilai sebagai bidang yang sarat nilai. Itulah sebabnya Pendidikan Nilai memerlukan teknologi pula, tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa Pendidikan Nilai belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku.
C. Pendekatan dalam Pendidikan Nilai Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendekatan pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial.
Berbeda
dengan
klasifikasi
tersebut,
Elias
(1989)
mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan Klasifikasi
kognitif, ini
pendekatan
menurut
Rest
afektif, (1992)
dan
pendekatan
didasarkan
pada
perilaku.
tiga
unsur
moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi,
197
dan afeksi. Uraian tentang pendekatan-pendekatan pendidikan nilai dalam pembahasan berikut akan didasarkan pada pendekatan-pendekatan seperti yang telah dikaji dan dirumuskan tipologinya dengan jelas oleh Superka, et. al. (1976). Ketika
menyelesaikan
pendidikan
tingkat
doktor
dalam
bidang
pendidikan menengah di University of California, Berkeley tahun 1973, Superka telah melakukan kajian dan merumuskan tipologi dari berbagai pendekatan pendidikan nilai yang berkembang dan digunakan dalam dunia pendidikan. pendidikan
Dalam nilai
kajian
berdasarkan
tersebut kepada
dibahas berbagai
delapan literatur
pendekatan
dalam
bidang
psikologi, sosiologi, filosofi, dan pendidikan yang berhubungan dengan nilai. Namun, selanjutnya berdasarkan kepada hasil pembahasan dengan para
pendidik
dan
alasan-alasan
praktis
dalam
penggunaaannya
di
lapangan, pendekatan-pendekatan tersebut telah diringkas menjadi lima (Superka, Pendekatan
et.
al.
1976).
penanaman
Lima
nilai
pendekatan
(inculcation
tersebut
approach),
adalah:
(2)
(1)
Pendekatan
perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3)
Pendekatan
Pendekatan Pendekatan
analisis
klarifikasi
nilai
pembelajaran
nilai
(values
analysis
(values
clarification
berbuat
(action
approach),
approach), learning
dan
(4) (5)
approach).
Berikut ini akan dijelaskan tentang pendekatan dalam pendidikan nilai: 1. Pendekatan penanaman nilai. Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Menurut Superka et al. (1976), tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Metoda yang digunakan
dalam
proses
pembelajaran
menurut
pendekatan
ini
antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi,
198
permainan peranan, dan lain-lain. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. 2. Pendekatan perkembangan kognitif Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Pendekatan perkembangan kognitif mudah digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir. Oleh karena pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat, penggunaan pendekatan ini menjadi menarik. Penggunaannya dapat menghidupkan suasana kelas. Teori Kohlberg dinilai paling konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk membedakan kemampuan dalam membuat pertimbangan moral, mendukung perkembangan moral, dan melebihi berbagai teori lain yang berdasarkan kepada hasil penelitian empiris. 3. Pendekatan analisis nilai Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et. al., 1980; Elias, 1989). Enam langkah tersebut adalah (1) identifikasi nilai (2) mengumpulkan fakta (3) mengurangi perbedaan pada fakta (4) menguji kebenaran fakta (5) merumuskan keputusan (6) mengurangi perbedaan dalam penerimaan nilai 4. Pendekatan klarifikasi nilai
199
5. Pendekatan pembelajaran berbuat Pembelajaran
berbuat
(action
learning
approach)
memberi
penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Superka, et. al. (1976) menyimpulkan ada dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan mahupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri; Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi.
D. Kepribadian Peserta Didik Kepribadian atau personality berasal dari kata latin “persona” yang berarti topeng atau kedok, yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain panggung, yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak, atau pribadi seseorang. Bagi bangsa Roma, “persona” berarti bagaimana seseorang tampak pada orang lain. Menurut Agus Sujanto dkk (2004), menyatakan bahwa kepribadian adalah suatu totalitas psikofisis yang kompleks dari individu, sehingga
nampak
dalam
tingkah
lakunya
yang
unik.
Sedangkan
personality menurut Kartini Kartono dan Dali Gulo dalam Sjarkawim (2006) adalah sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya dengan orang lain; integrasi karakteristik dari struktur-struktur, pola tingkah laku, minat, pendiriran, kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang; segala sesuatu mengenai diri seseorang sebagaimana diketahui oleh orang lain. Allport juga mendefinisikan personality sebagai susunan sistem-sistem psikofisik yang dinamis dalam diri individu, yang menentukan penyesuaian yang unik terhadap
200
lingkungan. Sistem psikofisik yang dimaksud Allport meliputi kebiasaan, sikap, nilai, keyakinan, keadaan emosional, perasaan dan motif yang bersifat psikologis tetapi mempunyai dasar fisik dalam kelenjar, saraf, dan keadaan fisik anak secara umum. Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepribadian merupakan suatu susunan sistem psikofisik (psikis dan fisik yang berpadu dan saling berinteraksi dalam mengarahkan tingkah laku) yang kompleks dan dinamis dalam diri seorang individu, yang menentukan penyesuaian diri individu tersebut terhadap lingkungannya, sehingga akan tampak dalam tingkah lakunya yang unik dan berbeda dengan orang lain. Sedangkan definisi dari kepribadian berdasarkan Kamus Besar Bahasa yakni keadaan manusia sebagai perseorangan atau keseluruhan sifat-sifat
yang merupakan watak-watak
seseorang. Dalam pandangan W. Stern, mendefinisikan Kepribadian (person lichkett) yaitu aktualisasi dari realisasi dari hal-hal
yang sejak semula telah
terkandung dalam jiwa seseorang, G.W. Leibniz, berpendapat bahwa Kepribadian adalah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi juga sesuatu yang terbuka terhadap dunia sekitarnya, Gordon W. Alport. Ia memberikan definisi Kepribadian sebagai berikut "Personality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical
system
environment"(Kepribadian individu cara
yang
terdiri
penyesuaian
diri
that
determine
adalah dari
his
organisasi
sistem-sistem
yang
unik
unique
adjustment
dinamis
psikofisik
(khusus)
dari
yang
to
dalam
his diri
menentukan
individu
tersebut
terhadap lingkungannya). Kalau definisi tersebut dianalisis, maka kepribadian adalah : merupakan suatu organisasi dinamis, yaitu suatu kebutuhan kebutuhan organisasi atau sistem yang mengikat atau mengaitkan berbagai macam aspek atau komponen kepribadian. Organisasi tersebut dalam keadaan berproses selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Organisasi itu terdiri atas sistem-sistem psychophysical atau jiwa raga. Ini menunjukkan bahwa kepribadian itu tidak hanya terdiri atas mental, rohani, jiwa, atau hanya jasmani saja, tetapi organisasi itu mencakup semua
kegiatan badan dan
mental
yang menyatu
ke
201
dalam kesatuan pribadi yang berbeda dalam individu. Organisasi itu menentukan penyesuaian dirinya, artinya menunjukkan bahwa kepribadian dibentuk oleh kecenderungan yang berperan aktif dalam menentukan tingkah laku individu yang berhubungan Kepribadian
dengan adalah
dirinya
sendiri
sesuatu
yang
dan
lingkungan
terletak
di
masyarakat.
belakang
perbuatan
khas yang berbeda dalam individu. Penyesuaian diri dalam hubungan dengan lingkungan itu bersifat unik, khas, atau khusus, yakni mempunyai ciri-ciri tersendiri dan tidak ada yang menyamainya. Tiap penyesuaian kepribadian tidak ada
dua
yang
kepribadian kembar
sama
yang
berasal
dan
lain, dari
karena
walaupun
satu
telur.
itu
berbeda
seandainya Tiap-tiap
dengan
dua
penyesuaian
kepribadian
penyesuaian
anak
terarah
pada
diri sendiri, lingkungan masyarakat, atau kebudayaan. Tiap individu akan memberikan makna atau penghayatan yang berbeda terhadap lingkungannya. Selain perbedaan faktor lingkungan, juga ada perbedaan faktor pembawaan. Dari definisi di atas diperoleh pengertian sebagai berikut : bahwa kepribadian adalah organisasi yang dinamis, artinya suatu organisasi yang terdiri dari sejumlah aspek/unsur yang terus tumbuh dan berkembang sepanjang hidup manusia, aspek-aspek tersebut adalah mengenai psiko-fisik (rohani dan jasmani) antara lain sifat-sifat, kebiasaan, sikap, tingkah laku, bentukbentuk tubuh,
ukuran,
warna
kulit,
dan
sebagainya.
Semuanya
tumbuh
dan berkembang sesuai dengan kondisi yang dimiliki seseorang, semua aspek kepribadian,
baik
sifat-sifat
maupun
kebiasaan,
sikap,
tingkah laku, bentuk tubuh, dan sebagainya, merupakan suatu sistem (totalitas) penyesuaian
dalam diri
menentuakan terhadap
cara
lingkungan.
yang Ini
khas
dalam
mengandung
mengadakan arti
bahwa
setiap orang memiliki cara yang khas atau penampilan yang berbeda beda dalam bertindak atau bereaksi terhadap lingkungannya.
202
Dari uraian tentang pengertian kepribadian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kepribadian yaitu keseluruhan pola (bentuk) tingkah laku, sifa-sifat, psiko-fisik
kebiasaan, kecakapan bentuk tubuh,
lainnya
yang
selalu
menampakkan
diri
serta unsur-unsur dalam
kehidupan
seseorang. Dengan kata lain dapat dikatakan kepribadian yang mencakup semua aktualisasi dari (penampilan) yang selalu tampak pada diri seseorang, merupakan bagian yang khas atau ciri dari seseorang. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepribadian peserta didik, diantaranya faktor biologis, sosial dan kebudayaan.
E. Tipe Kepribadian Dalam dunia psikologi, terdapat 4 tipe kepribadian, yang diperkenalkan pertama kali oleh Hippocrates (460-370 SM). Hal ini dipengaruhi oleh anggapan bahwa alam semesta beserta isinya tersusun dari empat unsur dasar yaitu: kering, basah, dingin, dan panas. Dengan demikian dalam diri seseorang terdapat empat macam sifat yang didukung oleh keadaan konstitusional berupa cairan-cairan yang ada di dalam tubuhnya, yaitu: sifat kering terdapat dalam chole (empedu kuning), sifat basah terdapat dalam melanchole (empedu hitam), sifat dingin terdapat dalam phlegma (lendir), dan sifat panas terdapat dalam sanguis (darah). Keempat cairan tersebut terdapat di dalam tubuh dengan proporsi tertentu. Jika proporsi cairan-cairan tersebut di dalam tubuh berada dalam keadaan normal, maka individu akan normal atau sehat, namun apabila keselarasan proporsi tersebut terganggu maka individu akan menyimpang dari keadaan normal atau sakit (Suryabrata, 2007). Pendapat Hippocrates disempurnakan oleh Galenus (129-200 SM) yang mengatakan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat 4 macam cairan tersebut dalam proporsi tertentu. Apabila suatu cairan terdapat di dalam tubuh melebihi proporsi yang seharusnya (dominan) maka akan menimbulkan adanya sifat-sifat kejiwaan yang khas. Sifat-sifat kejiwaan yang khas ada pada seseorang sebagai akibat dari dominannya salah satu cairan tersebut yang oleh
203
Galenus sehingga menggolongkan manusia menjadi empat tipe berdasarkan temperamennya,
yaitu
Koleris,
Melankolis,
Phlegmatis,
dan
Sanguinis
(Suryabrata, 2007). Menurut Galenus, seorang koleris mempunyai sifat khas yaitu hidup, besar semangat, daya juang besar, hatinya mudah terbakar, dan optimis. Sedangkan seorang melankolis mempunyai sifat mudah kecewa, daya juang kecil, muram dan pesimistis. Sifat khas phlegmatis tidak suka terburu-buru (calm, tenang), tak mudah dipengaruhi dan setia. Seorang sanguinis mempunyai sifat khas hidup, mudah berganti haluan, ramah, lekas bertindak tapi juga lekas berhenti (Sujanto, 2001). Selain itu, Florence littauer juga mengembangkan lagi tipe kepribadian yang telah dijelaskan oleh Hipocrates dan Galenus. Dalam bukunya yang berjudul Personaliy Plus, Littauer menjelaskan lebih rinci mengenai sifat masing-masing kepribadian. Seorang sanguinis pada dasarnya mempunyai sifat ekstrovert, membicara dan optimis. Dari segi emosi, ciri seorang sanguinis yaitu kepribadian yang menarik, suka bicara, menghidupkan pesta, rasa humor yang hebat, ingatan kuat untuk warna, secara fisik memukau pendengar, emosional dan demonstrative, antusias dan ekspresif, periang dan penuh semangat, penuh rasa ingin tahu, baik dipanggung, lugu dan polos, hidup dimasa sekarang, mudah diubah, berhati tulus, selalu kekanak-kanakan. Dari segi pekerjaan, sifat seorang sanguinis yaitu sukarelawan untuk tugas, memikirkan kegiatan baru, tampak hebat dipermukaan, kreatif dan inovatif, punya energi dan antusiasme, mulai dengan cara cemerlang, mengilhami orang lain untuk ikut dan mempesona orang lain untuk bekerja. Seorang sanguinis sebagai teman mempunyai sifat mudah berteman, mencintai orang, suka dipuji, tampak menyenangkan, disukai anak-anak, bukan pendendam, mencegah suasana membosankan, suka kegiatan spontan. Kelemahan dari sanguinis yaitu terlalu banyak bicara, mementingkan diri sendiri, orang yang suka pamer, terlalu bersuara, orang yang kurang disiplin, senang menceritakan kejadian berulang kali, lemah dalam ingatan, tidak dewasa, tidak tetap pendirian (Litteaur, 1996). Seorang melankolis pada dasarnya mempunyai sifat introvert, pemikir dan pesimis. Dari segi emosi, ciri seorang melankolis yaitu mendalam dan penuh pemikiran, analitis, serius dan tekun, cenderung jenius, berbakat dan kreatif,
204
artistic atau musikal, filosofis dan puitis, menghargai keindahan, perasa terhadap orang lain, suka berkorban, penuh kesadaran, idealis. Dari segi pekerjaan, sifat seorang melankolis yaitu berorientasi jadwal, perfeksionis, standar tinggi, sadar perincian, gigih dan cermat, tertib terorganisir, teratur dan rapi, ekonomis, melihat masalah, mendapat pemecahan kreatif, perlu menyelesaikan apa yang dimulai, suka diagram, grafik, bagan dan daftar. Dari segi pertemanan atau sosialisasi seorang melankolis mempunyai sifat hati-hati dalam berteman, menetapkan standar tinggi, ingin segalanya dilakukan dengan benar, mengorbankan keinginan sendiri untuk orang lain, menghindari perhatian, setia dan berbakti, mau mendengarkan keluhan, bisa memecahkan
masalah orang lain,
sangat
memperhatikan orang lain, mencari teman hidup ideal. Kelemahan dari melankolis yaitu mudah tertekan, punya citra diri rendah, mengajukan tuntutan yang tidak realistis kepada orang lain, sulit memaafkan dan melupakan sakit hati, sering merasa sedih atau kurang kepercayaan, suka mengasingkan diri, suka menunda-nunda sesuatu (Litteaur, 1996). Seorang koleris pada dasarnya mempunyai sifat ekstrovert, pelaku dan optimis. Dari segi emosi, ciri seorang koleris yaitu berbakat pemimpin, dinamis dan aktif, sangat memerlukan perubahan, harus memperbaiki kesalahan, berkemauan kuat dan tegas, memiliki motivasi berprestasi, tidak emosional bertindak, tidak mudah patah semangat, bebas dan mandiri, memancarkan keyakinan, bisa menjalankan apa saja. Dari segi pekerjaan, sifat seorang koleris yaitu berorientasi target, melihat seluruh gambaran, terorganisasi dengan baik, mencari pemecahan praktis, bergerak cepat untuk bertindak, mendelegasikan pekerjaan, menekankan pada hasil, membuat target, merangsang kegiatan, berkembang karena saingan. Dari segi pertemanan atau sosialisasi koleris mempunyai sifat tidak terlalu perlu teman, mau memimpin dan mengorganisasi, biasanya selalu benar, unggul dalam keadaan darurat, mau bekerja untuk kegiatan, memberikan kepemimpinan yang kuat, menetapkan tujuan. Kelemahan dari koleris yaitu pekerja keras, suka memerintah, mendominasi, tidak peka terhadap perasaan orang lain, tidak sabar, merasa selalu benar, merasa sulit secara lisan atau fisik memperlihatkan kasih sayang dengan terbuka, keras kepala, tampaknya tidak bisa tahan atau menerima sikap,
205
pandangan, atau cara orang lain (Litteaur, 1996). Seorang phlegmatis pada dasarnya mempunyai sifat introvert, pengamat dan pesimis. Dari segi emosi, ciri seorang phlegmatis yaitu kepribadian rendah hati, mudah bergaul dan santai, diam, tenang, sabar, baik keseimbangannya, hidup konsisten, tenang tetapi cerdas, simpatik dan baik hati, menyembunyikan emosi, bahagia menerima kehidupan, serba guna. Dari segi pekerjaan, sifat seorang phlegmatis yaitu cakap dan mantap, damai dan mudah sepakat, punya kemampuan administrative, menjadi penengah masalah, menghindari konflik, baik di bawah tekanan, menemukan cara yang mudah. Dari segi pertemanan/ sosialisasi plegmatis mempunyai sifat mudah diajak bergaul, menyenangkan, tidak suka meninggung, pendengar yang baik, punya banyak teman, punya belas kasihan dan perhatian, tidak tergesa-gesa, bisa mengambil hal baik dari yang buruk, tidak mudah marah. Kelemahan dari phlegmatis yaitu cenderung tidak bergairah dalam hidup, sering mengalami perasaan sangat khawatir, sedih atau gelisah, orang yang merasa sulit membuat keputusan, tidak mempunyai keinginan untuk mendengarkan atau tertarik pada perkumpulan, tampak malas, lambat dalam bergerak, mundur dari situasi sulit (Litteaur, 1996).
F. Pengembangan Kepribadian Peserta didik Pengembangan kepribadian dapat kita maknai sebagai kemampuan untuk berinteraksi anatara individu secara efektif dan berkomunikasi dengan baik juga akan membuat seseorang menonjol. Menurut Pendapat dari tokoh Crisholm pengembangan kepribadian adalah “Usaha untuk membantu individu agar memahami
dirinya
sendiri,
yaitu
minat-minatnya,
kemampuan-
kemampuannya,hasrat-hasrtanya dan rencana-rencananya dalam menghadapi masa depan”. Pengembangan kepribadian adalah sebuah alat yang mana dapat mengeluarkan kemampuan dan kekuatan yang membuat manusia sadar akan jati diri dan menjadikan dirinya lebih percaya diri untuk menghadapi dunia luar.
206
Pengembangan diri akan membuat orang-orang mampu meningkatkan kebutuhan, kesehatan, prospek karir, hubungan, kecantikan dan masih banyak lagi. Sebagaimana kita memiliki banyak sekali daftar hal-hal yang kita inginkan, kita harus berusaha untuk mengetahui apa sebenarnya yang kita butuhkan. Gordon W. Allpont Mengutarakan criteria umum untuk menetapkan kematangan kepribadian yaitu : 1. Perluasan diri (extension of the self) 2. Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif (self-objectification) 3. Memiliki filsafat hidup Sedangkan A. Moslow berpendapat bahwa setiap individu mempunyai potensipotensi. Sehingga dapat menampilkan kemampuan-kemampuan yangn unggul dalam berbagai bidang ( self actualizers) individu yang demikian ditandai oleh : 1. Orientasi ang relaistik (realistic orientation), individu mampu mempresentasikan realitas secara efisien. 2. Menerima diri, orang lain dan dunia (acceptance of self, other and the world). 3. Spontanitas 4. Berorientasi pada masalah, bukan pada diri pribadi (problem centerness, not self-centeradness) 5. Pemencilan (detachment) 6. Otonomi dan mandiri (autonomy and independence) 7. Menghargai oranglain dan benda-benda lain (appreciation) responnya luwe, tidak kaku dan stereotipi 8. Terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru (spontaneity of experience) 9. Memiliki perasaan dsasar untuk memberi perhatian kemanusiaan (identification with man-kind) 10. hubungan antar pribadiang mendalam ( deepness interpersonal relationship)
207
Dalam perkembangan kepribadian peserta didik, ada 3 faktor yang menentukan dalam perkembangan kepribadian : 1. Faktor bawaan (genetic) 2. Faktor lingkungan (sosial, budaya, teman, guru dan lainnya) 3. Interaksi bawaan dan lingkungan Menurut Wijayana pada periode anak sekolah, kepribadian anak belum terbentuk sepenuhnya seperti orang dewasa. Kepribadian mereka masih dalam proses pengembangan. Wijaya (1988) menyatakan “karakteristik anak secara sederhana dapat dikelompokkan atas kelompok anak yang mudah dan menyenangkan, kelompok anak yang mudah dan menyenangkan, anak yang biasa-biasa saja dan anak yang sulit dalam penyesuaian diri dan sosial, khususnya dalam melakukan kegiatan pembelajaran di dekolah”. Menurut Kurnia (2007) menjelaskan bahwa karakteristik atau kepribadian seseorang dapat berkembang secara bertahap. Adapun tahapan perkembangan adalah sebagai berikut : 1. Krakteristik perkembangan masa anak awal (2-6 tahun) Masa anak awal berlangsung dari usia 2-6 tahun, yaitu setelah anak meninggalkan masa bayi dan mulai mengikuti pendidikan formal di SD. Tekanan dan harapan sosial untuk mengikuti pendidikan sekolah menyebabkan perubahan perilaku, minat, dan nilai pada diri anak. Pada masa ini, anak sedang dalam proses penegmbangan kepribadian yang unik dan menuntut kebebasan. Perilaku anak sulit diatur, bandel, keras kepala, dan sering membantah dan melawan orang tua. Hal ini memang sangat menyulitkan para pendidik. Tak heran, apabila para guru Playgroup sampai SD harus lebih bersabar dalam melangsungkan pembelajaran atau mendidik siswa. Disiplin mulai bisa diterapkan pada anak sehingga anak dapat mulai belajar hidup secara tertib. Dan sikap para pedidik sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak.
208
2.
Krakteristik perkembangan masa anak akhir (6-12 tahun) Kebanyakan anak pada masa ini juga kurang memperhatikan dan tidak bertanggung jawab terhadap pakaian dan benda-benda miliknya. Para pendidik memberi sebutan anak usia sekolah dasar, karena pada rentang usia ini (6-12 tahun) anak bersekolah di sekolah dasar. Di sekolah dasar, anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang dianggap penting untuk keberhasilan melanjutkan studi dan penyesuaian diri dalam kehidupannya kelak.
3. Krakteristik perkembangan masa puber (11/12 – 14/15 tahun) Periode ini terbagi atas tiga tahap, yaitu tahap: prapuber, puber, dan pascapuber. Tahap prapuber bertumpang tindih dengan dua tahun terakhir masa anak akhir. Tahap puber terjadi pada batas antara periode anak dan remaja, di mana ciri kematangan seksual emakin jelas (haid dan mimpi basah). Tahap pascapuber bertumpang tindih dengan dua tahun pertama masa remaja. Waktu masa puber relatif singkat (2-4 tahun) ini terjadi pertumbuhan dan perubahan yang sangat pesat dan mencolok dalam proporsi tubuh, sehingga menimbulkan keraguan dan perasaan tidak aman pada anak puber. Perubahan fisik dan sikap puber ini berakibat pula pada menurunnya
prestasi
belajar,
permasalahan
yang
terkait
dengan
penerimaan konsep diri, serta persoalan dalam berhubungan dengan orang di sekitarnya. Orang dewasa maupun pendidik perlu memahami sikap perilaku anak puber yang kadang menaik diri, emosional, perilaku negative dan lai-lain, serta membantunya agar anak dapat menerima peran seks dalam kehidupan bersosialisasi dengan orang atau masyarakat di sekitarnya.
209
G. Kesimpulan Pendidikan nilai dan pembinaan sikap hidup sangat penting bagi terbentuknya kepribadian peserta didik. Makna pendidikan nilai adalah suatu proses kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis untuk melahirkan manusia yang memiliki komitmen kognitif, komitmen afektif dan komitmen pribadi yang berlandaskan nilai-nilai agama, pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut pandang moral yang meliputi etika dan norma-norma yang meliputi estetika, yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, serta etika yaitu menilai benar/salahnya dalam hubungan antar pribadi. Tujuan pendidikan nilai yakni membantu peserta didik mengalami dan menempatkan nilai-nilai secara integral dalam kehidupan mereka. Akhirnya pendidikan nilai dan pembentukan sikap hidup akan mengarah pada terbentuknya kepribadian peserta didik yang dapat mengeluarkan kemampuan dan kekuatan yang membuat mereka sadar akan jati diri dan menjadikan dirinya lebih percaya diri untuk menghadapi dunia luar.
210
DAFTAR PUSTAKA
Agus Sujanto (1986). Psikologi Kepribadian, Jakarta: Aksara Baru. Elmubarok, Z. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Goble, F.G. (1987). Psikologi Humanistik Maslow, Yogyakarta: Kanisius. Kurniawan,
K.
2008.
Paradigma
Baru
Pendidikan
Moral.
http://groups.google.co.id, 27 Agustus 2008. Mulyana, R. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Na-Ayudhya, Art-Ong Jumsai. 2008. Model Pembelajaran Nilai Kemanusian Terpadu (Human Values Integrated Intructional Model). Yayasan Pendidikan Sathya Sai Indonesia. Jakarta. Somad, M.A. (2007). Pengembangan Model Pembinaan Nilai-nilai Keimanan dan Keberagamaan Siswa di Sekolah (Studi Kasus di SMAN 2 Bandung). Tiweng, T. (2008). Penanaman Pendidikan Nilai. [Online]. Tersedia: http://www. freelists.org/archives/ppi/09-2005/msg00225.html. [11 November 2008] Trimo. (2007). Pendekatan Penanaman Nilai dalam Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://re-searchengines.com/0807trimo.html. [16 Sept 2008] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembagan Bahasa, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia Dep.Pend dan Kebudayaan, Jakarta: Balai Pustaka
211
Zakaria, T.R. (2008) Pendekatan-pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasi
dalam
Pendidikan
Budi
Pekerti.
[Online].
Tersedia:
http://groups.yahoo. com /group/pakguruonline/message/131. [11 November 2008)
212