Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN) e-ISSN: 2460-5905 Volume 1, Nomor (Isu) 3, September 2015, 173-184
MENDEKATKAN SEKOLAH DENGAN MASYARAKAT Sumarni Kepala SD Negeri Jatipunggur 2, Lengkong, Nganjuk, Jawa Timur
Abstract School education as a process is faced with various challenges. One of the challenges come from the community itself. Public as consumers of education does not regard the school as a beacon of hope for the future of their children, but at the same time making it an object of derision. Therefore, it is necessary to bring the school to the community as part of the educational management functions, namely the function of school-public relationship. This article offers three strategic idea of building public trust, creating ideal school, and build comparative advantage and collaborative. Primary school as an education organization need to take proactive measures are essential in order to keep the public interest from many participants. The end goal is to keep the interest of the public to remain high. In addition to maintaining the quality standards that have been achieved, the school must continue to build public trust, offering to the public an ideal school qualifications are characterized by education paradigm appropriate basis, the effectiveness of the implementation of education, and offers a comparative advantage or collaborative superiority. Keywords: School-public relationship, primary education
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905 [Volume 1, Nomor (Isu) 3, September 2015] | 173
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
PENDAHULUAN Sedikitnya ada dua dimensi kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang kepala sekolah/madrasah sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah dalam konteks mendekatkan sekolah dengan masyarakat. Pertama, dimensi kompetensi manajerial (Dimensi Kompetensi 2), dengan standar kompetensi 2.8 yang berbunyi “Mengelola hubungan sekolah/madrasah dan masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar, dan pembiayaan sekolah/ madrasah.” Kedua, dimensi kompetensi sosial (Dimensi Kompetensi 5), yang meliputi standar kompetensi “Bekerja sama dengan pihak lain untuk kepentingan sekolah/madrasah (5.1); Berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan (5.2); dan memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain (5.3). Menurut teori birokrasi Weber (Lunenburg & Orstein, 2004), dinyatakan bahwa kompetensi berkaitan dengan kualifikasi. Pada konteks kekepalasekolahan, kualifikasi sudah ditentukan oleh Per174
mendiknas No. 13 Tahun 2007 dimuka. Menurut Chung & Megginson (1993), sebagaimana dikutip Husaini Usman (2008), kompetensi adalah sifat, pengetahuan, dan kemampuan pribadi seseorang yang relevan dalam menjalankan tugasnya secara efektif. Lebih lanjut dikatakan bahwa kompetensi meliputi seluruh aspek penampilan kerja, dan tidak hanya terbatas pada keterampilan-keterampilan kerja, melainkan juga persyaratan melatih keterampilan-keterampilan tugas individual, mengelola sejumlah tugas yang berbeda di dalam pekerjaan, merespons ketidakteraturan dan mengatasinya dalam tugastugas rutin, serta mempertemukan tanggung jawab dengan harapanharapan di lingkungan kerja, termasuk bekerjasama dengan yang lain. Kompetensi terdiri atas kompetensi generik dan spesifik (Husaini Usman, 2008). Kompetensi generik ialah kompetensi yang bersifat umum yang harus dimiliki setiap pekerja. Sedangkan kompetensi spesifik ialah kompetensi khusus untuk mengerjakan pekerjaan khusus. Kompetensi kepala sekolah/ madrasah sebagaimana dikemukakan di muka adalah jenis kom-
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Sumarni
petensi khusus. Secara umum, kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilainilai dasar untuk melakukan sesuatu. Hal itu sejalan dengan pendapat Conny R. Semiawan (2006), yang mendefinisikan kompetensi sebagai kemampuan (ability), keterampilan (skill), dan sikap (attitude) yang benar dan tuntas untuk menjalankan perannya secara lebih efisien. Pada konteks artikel ini dapat diketengahkan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi ialah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seseorang, yang mencakup: kepribadian, manajerial, entrepreneurship, supervisi, sosial, administrasi, dan teknis dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai kepala sekolah/ madrasah. Secara tersirat penguasaan kompetensi yang diwajibkan bagi kepala sekolah/madrasah seperti kerja sama, partisipasi, dan kepekaan sosial tersebut pada intinya
Volume 1, Nomor (Isu) 3, September 2015
bertujuan untuk mendekatkan sekolah dengan masyarakat. “Mendekatkan sekolah dengan masyarakat” yang menjadi topik artikel ini dilandasi beberapa alasan. Pertama, sejak otonomi daerah diberlakukan tahun 2004, ketersediaan jumlah murid yang tidak sebanding dengan jumlah SD yang tersedia telah mengharuskan pemerintah daerah melaksanakan program penggabungan beberapa sekolah. Penggabungan tersebut dalam jangka pendek dianggap efektif guna mencapai efisiensi dan efektivitas sumber daya. Namun dalam jangka panjang, langkah itu kontraproduktif mengingat hilangnya eksistensi suatu sekolah. Ketika isu kualitas pendidikan menjadi unsur utama pertimbangan masyarakat dalam memilih sekolah pada satu sisi, sedangkan di sisi lain sekolah belum mengimbanginya, maka yang terjadi adalah minimnya basis informasi masyarakat tentang kondisi faktual suatu sekolah. Alhasil, pilihan masyarakat atas sekolah anak-anaknya menjadi bias karena tidak berbasis informasi yang benar. Kedua, terjadi kompetisi antarsesama sekolah negeri dan dengan sekolah swasta yang kurang sehat. Di tengah kompetisi yang ketat
175
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
dalam mendapatkan siswa baru, fakta yang terjadi ialah, ada sejumlah sekolah dasar yang kemudian mendapatkan animo besar, sementara diketahui ada sekolah dasar lain yang animonya kecil atau sedikit. Sekolah yang beranimo besar pada umumnya sekolah yang dianggap favorit menurut pandangan masyarakat meskipun belum tentu bermutu dan lokasinya jauh dari tempat tinggal siswa. Perihal perburuan sekolah setiap tahun ajaran baru, Mutrofin (2000), menyatakan bahwa sejauh yang dapat dikonfirmasi dari masyarakat, selama ini para orangtua calon siswa baru tidak mendapatkan informasi akurat guna menilai seberapa bermutu praktik profesional yang telah dijalankan sekolah. Pilihan sekolah semata-mata hanya didasarkan atas opini publik bahwa sekolah-sekolah tertentu sajalah yang dianggap baik dan bermutu. Cara atau strategi apa yang bisa dilakukan oleh sekolah agar daya tarik masyarakat terhadap sekolah yang bersangkutan menjadi besar? Artikel ini mengetengahkan gagasan perlunya mendekatkan sekolah dengan masyarakat. Pertanyaannya ialah bagaimana agar sekolah dekat dengan masyarakat? Artikel ini
176
menawarkan tiga gagasan strategis, yaitu membangun kepercayaan masyarakat, menciptakan sekolah ideal, dan membangun keunggulan komparatif dan kolaboratif. PEMBAHASAN Membangun Masyarakat
Kepercayaan
Mendekatkan sekolah dengan masyarakat merupakan bagian dari fungsi manajemen pendidikan, yakni fungsi hubungan sekolah dengan masyarakat (school- public relationship). Salah satu kunci paling mula dari upaya tersebut ialah membangun kepercayaan masyarakat. Menurut Robbins (2000), kepercayaan ialah harapan positif. Ada lima dimensi kunci yang diperlukan oleh kepala sekolah/madrasah agar kepercayaan diberikan/ dihadirkan oleh masyarakat terhadap sekolah sebagai suatu organisasi pendidikan, yaitu: (1) integritas (integrity), (2) kompetensi (competence), (3) konsistensi (concistency), (4) kesetiaan (loyalty), dan (5) keterbukaan (openness) atau transparansi. Integritas ialah sifat-sifat yang jujur dan bermoral. Kejujuran adalah unsur yang menentukan dalam peristiwa komunikasi. Kejujuran
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Sumarni
tidak saja menjadikan proses komunikasi menjadi efektif, tetapi juga mampu menciptakan pemahaman yang baik di antara komunikan dan komunikator. Pesan yang dilandasi kejujuran mengarahkan komunikasi terhindar dari distorsi. Apalagi jika momentum komunikasi itu terjadi dalam dunia pendidikan. Nilai kejujuran mutlak dipenuhi. Pendidikan tidak hanya menciptakan tamatan yang pintar, tetapi juga harus jujur. Orang pintar belum tentu jujur, begitu pula sebaliknya orang jujur belum tentu pintar. Kejujuran mensyaratkan ketidakbohongan. Orang jujur berarti tidak pernah dusta. Tetapi orang yang paling jujur sekalipun pasti pernah melakukan kebohongan, namun dilakukan dalam keadaan darurat dan untuk kebaikan. Sebagaimana pernah disinggung Filsuf perempuan, Sissela Bok, dalam bukunya Lying, menegaskan bahwa berbohong boleh dilakukan untuk menyelamatkan kehidupan manusia yang tidak berdosa. Namun, jika kebohongan itu untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan finansial, maka perbuatan itu tidak dapat dibenarkan bahkan diharamkan hukumnya. Integritas moral bukan bermakna kehidupan
Volume 1, Nomor (Isu) 3, September 2015
pribadi telah berkesesuaian dengan persetujuan publik, tetapi juga telah terciptanya kesatuan antara hati nurani yang secara internal terdapat dalam diri manusia, perilaku eksternal dapat dilihat secara fisik dan kepatuhan kepada hukum moral. Secara normatif, setiap orang diajarkan oleh orang tua dan budayanya tentang kejujuran dan moralitas (Husaini Usman, 2008). Selain berintegritas, kompetensi sebagaimana dijelaskan di muka juga menjadi penentu kepercayaan masyarakat terhadap sekolah. Konsistensi ialah sifat kokoh atau teguh (persistent) pada pendirian, meskipun berbagai ancaman menghadang. Orang yang konsisten dapat diramalkan tingkah lakunya, tidak mudah berubah-ubah perilakunya (sikap, pikiran, dan perbuatannya), ucapan, dan janjinya dapat dipercaya, serta cocok antara kata dengan perbuatannya. Ketidakkonsistenan antara ucapan dan perbuatan, janji dan buktinya, dapat mengurangi bahkan menghilangkan kepercayaan. Sedangkan kesetiaan ialah keinginan untuk selalu melindungi, menyelamatkan, mematuhi atau taat pada apa yang disuruh atau dimintanya, dan
177
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
penuh pengabdian. Orang yang setia tidak akan berkhianat, serong, atau berselingkuh dalam arti luas. Keterbukaan ialah keadaan di mana setiap orang yang terkait dengan pendidikan dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Keterbukaan sama dengan polos, apa adanya, tidak bohong, tidak curang, jujur, dan terbuka terhadap publik tentang apa yang dikerjakan oleh sekolah. Hal-hal yang dibuka misalnya adalah administrasi kedinasan, keuangan sekolah, manajemen sekolah, dan kebijakan sekolah. Pemimpin Unit Produksi Sekolah (UPS) yang terikat dengan warga sekolah, dalam mengembangkan UPS harus melakukan diskusi terbuka dalam memajukan UPS. Keterbukaan seorang entrepreneur dalam manajemen UPS dapat mengurangi, bahkan menghilangkan rasa saling curiga antara sekolah dengan para pemangku kepentingan. Sekolah yang dicurigai tidak jujur akan ditinggalkan para pemangku kepentingan. Keterbukaan merupakan awal dari kejujuran. Kejujuran terletak dalam hati nurani. Sekarang banyak orang pintar, tetapi sedikit orang yang jujur. Tugas kepala sekolah dan
178
guru adalah memberi contoh sebagai orang yang jujur kepada siswa-siswanya. Keterbukaan hanya akan efektif jika ada komunikasi yang efektif. Sekolah adalah organisasi pelayanan publik dalam bidang pendidikan yang diberi mandat oleh masyarakat sehingga keterbukaan merupakan hak publik. Pengembangan keterbukaan sangat diperlukan untuk membangun keyakinan dan kepercayaan publik terhadap sekolah. Ada banyak cara untuk meningkatkan keterbukaan, misalnya: (1) mendayagunakan berbagai jalur komunikasi, baik langsung maupun tidak langsung; menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi, bentuk informasi dan prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada publik; (3) mengupayakan peraturan yang menjamin hak publik untuk memperoleh informasi (Husaini Usman, 2008). Menurut Reinhartz & Beach (2004), cara membangun kepercayaan masyarakat adalah menjadi pemimpin yang mampu menyesuaikan diri, teguh pendiriannya, peduli, dapat dipercaya (jujur), bersama-sama menciptakan visi dan budaya, bersama-sama mencipta-
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Sumarni
kan dan mencapai tujuan, menjadi pendengar yang baik, mendemonstrasikan keterampilan profesional; komitmen terhadap diri sendiri, kelompok, dan organisasi. Menciptakan Sekolah Ideal Sebagian besar pendapat menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti (never ending process) sehingga konsep sekolah yang ideal terus menerus mengalami perkembangan. Konsep sekolah ideal dengan demikian sangat bergantung kepada pandangan dasar (paradigma) filsafat pendidikan yang sedang dikembangkan, baik di tingkat makro (nasional) maupun di tingkat mikro (daerah dan sekolah). Misalnya, pada masa lalu dikenal paradigma fungsional dan paradigma sosialisasi; sedangkan dewasa ini dikenal paradigma sintetis-sistemik dalam dunia pendidikan (Zamroni, 1995). Paradigma fungsional berpandangan bahwa keterbelakangan dan kemiskinan suatu masyarakat dikarenakan negara miskin tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut paradigma fungsional, setiap sekolah
Volume 1, Nomor (Isu) 3, September 2015
merupakan lembaga utama untuk mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian serta menanamkan sikap modern pada individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Paradigma fungsional selanjutnya melahirkan teori Human Investmen (investasi sumber daya manusia) yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan karena memiliki nilai kembalian ekonomi (economic rate of return) yang lebih besar dibandingkan dengan investasi di bidang fisik. Sedangkan paradigma sosialisasi berpandangan bahwa setiap sekolah dalam pembangunan memiliki peranan untuk: (a) mengembangkan kompetensi individu; (b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan; (c) secara umum, meningkatnya kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan kemudian diperluas secara besar-besaran (massal) dan menyeluruh.
179
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
Baik paradigma fungsional maupun sosialisasi memandang proses pendidikan di sekolah sebagai sesuatu yang linier dan mekanistis. Proses pendidikan dipandang sebagai fungsi produksi yang terdiri atas unsur-unsur masukan (input), proses (process), produk (product), lulusan (output) dan keluaran (outcome). Paradigma ini telah terbukti menjauhkan sekolah dari dunia kerja dan masyarakat lingkungannya. Banyak warga masyarakat yang relatif telah mengenyam pendidikan sekolah tidak bisa bertahan dari kesulitan hidup, dan jumlah angka pengangguran orang-orang berpendidikan karena tidak bisa mandiri dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakatnya bertambah besar. Dewasa ini pendidikan di Indonesia dikembangkan berdasarkan paradigma sintetis-sistemik. Paradigma ini berpandangan bahwa sekolah harus memiliki karakteristik ideal sebagai berikut: (1) pendidikan yang diselenggarakan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada pengajaran (teaching); (2) pendidikan diorganisasikan dalam suatu struktur yang fleksibel; (3) pendidikan akan memperlakukan peserta didik
180
sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; serta (4) pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. Menurut paradigma sintetis-sistemik, unsur-unsur masukan, proses, produk, lulusan dan keluaran tetap dipertahankan, namun diharuskan memiliki kaitan yang jelas dan terukur dengan dunia kerja dan masyarakat lingkungannya. Selama lebih dari satu dekade, kementerian pendidikan nasional telah meluncurkan berbagai kebijakan pendidikan guna merealisasikan paradigma tersebut yang antara lain: Manajamen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) yang embrio pelaksanaannya telah disosialisasikan sejak tahun 1999 (Umaedi, 1999; Depdiknas, 2000); Program Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill Education) melalui pendekatan Broad-Based Education (BBE-Pendidikan Berbasis Luas) (Tim BBE Depdiknas, 2002); Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK); Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP); dan Kurikulum Tematik Terintegrasi Tahun 2013.
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Sumarni
Berdasarkan uraian di muka tampak jelas bagaimana sebenarnya konsep suatu sekolah yang ideal. Jadi, sekolah ideal yang selama ini sering disebut-sebut sebagai sekolah unggul dan bermutu karena mampu menghasilkan kualitas NUN (Nilai Ujian Nasional) yang tinggi menjadi tidak berarti apabila masih menghasilkan manusia-manusia yang cerdas namun tidak memiliki nilai guna, bahkan tercerabut dari akar masyarakatnya. Dengan kata lain, suatu sekolah bisa disebut ideal apabila, selain mampu menghasilkan para lulusan yang cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual; juga menghasilkan para lulusan yang bisa menjalani kehidupan nyata karena memiliki bekal keterampilan atau kecakapan hidup yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Namun harus disadari bahwa konsep sekolah ideal seperti itu terkesan idealis. Konsep tersebut hanya akan terlaksana apabila sekolah benar-benar dijalankan secara efektif. Menurut Mortimore sebagaimana dikutip Suyanto (1995), ada 12 faktor penting yang menjadi ciri suatu sekolah disebut efektif. Keduabelas ciri tersebut ialah: (1) kepemimpinan kepala sekolah
Volume 1, Nomor (Isu) 3, September 2015
yang berorientasi pada tujuan pendidikan yang harus dicapai; (2) keterlibatan para wakil kepala sekolah secara fungsional; (3) keterlibatan praktisi pendidikan dalam setiap kegiatan sekolah; (4) konsistensi di antara para tenaga kependidikan; (5) adanya sesi pembelajaran yang terstruktur; (6) proses pembelajaran yang secara intelektual terus menerus menantang; (7) tersedianya lingkungan yang berorientasi pada kultur kerja; (8) adanya fokus yang terbatas pada sesi-sesi pembelajaran; (9) ada komunikasi optimal antara tenaga kependidikan dan peserta didik; (10) ada dokumentasi aktivitas sekolah yang baik; (11) ada keterlibatan orangtua peserta didik secara fungsional dan sistematis tanpa harus diorganisasikan; (12) terciptanya iklim sekolah yang kondusif dan positif. Menciptakan Keunggulan Komparatif-Kolaboratif Mendekatkan sekolah dengan masyarakat tidaklah cukup hanya berbekal kepercayaan dan penciptaan sekolah ideal. Selain sosialisasi informasi atas mutu sekolah yang ditandai oleh tingginya prestasi siswa dan prestasi sekolah di bidang
181
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
lainnya, maka hal lain yang tidak kalah pentingnya ialah menciptakan keunggulan komparatif-kolaboratif. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan sekolah agar dekat dengan masyarakat adalah dengan menunjukkan bukti-bukti bahwa sekolah memiliki keunggulan komparatif-kolaboratif. Keunggulan komparatif yang dimaksud dalam artikel ini ialah keunggulan sekolah dalam berbagai bidang, baik akademis maupun nonakademis dibandingkan dengan sekolahsekolah lain di wilayahnya. Sedangkan yang dimaksud dengan keunggulan kolaboratif adalah kemampuan sekolah guna menjalin kerja sama akademik dan nonakademik (misalnya ketenagakerjaan dan kegiatan lain) dengan organisasi di luar sekolah dan dunia kerja. Kerja sama di bidang akademis manakala lulusannya melanjutkan studi ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Kerjasama nonakademis manakala lulusannya tidak berkesempatan melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau ketika harus terjun langsung dalam kehidupan bermasyarakat dan dunia usaha. Keunggulan kolaboratif bisa dicapai sekolah melalui berbagai
182
cara. Salah satu di antaranya ialah melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan efektivitas pemanfaatan waktu kontak di sekolah. Di bidang kurikuler, rata-rata prestasi ujian sekolah diusahakan setinggi mungkin melalui berbagai kiat. Beberapa alternatif bisa ditempuh. Misalnya saja mengunakan kiat-kiat lembaga bimbingan belajar. Bisa juga melalui penambahan waktu belajar di luar jam sekolah selama masyarakat memperkenankannya. Di bidang kokurikuler, misalnya saja memperkuat bidang keolahragaan prestasi seperti atletik, bulutangkis, sepakbola dan sebagainya yang dipilih oleh sekolah secara komprehensif berdasarkan sumber daya manusia dan fasilitas yang ada. Agar keunggulan kolaboratif bisa dicapai, setiap sekolah harus memilih fokus keunggulannya dalam satu atau dua bidang saja yang berbeda dengan yang dikembangkan sekolah lainnya. Guna memberi bukti keunggulan kolaboratif, sekolah harus mengembangkan life skill education atau muatan vokasional dengan melibatkan berbagai pihak dan kalangan. Agar efektif, pendidikan kecakapan hidup mesti dilaksanakan seusai dengan minat
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Sumarni
dan bakat para siswa. Sesuai buku panduan yang ditulis oleh Tim BBE, terdapat 21 tema yang berisi 246 keahlian yang bisa dipilih oleh sekolah sesuai dengan kemampuannya. Apakah sekolah memilih tema keahlian elektronika/listrik, otomotif, koperasi, bangunan, atau yang lain tidak menjadi soal. Dasar pertimbangannya ialah, selain koneksitas (keterkaitan dengan kebutuhan) dengan masyarakatnya terjamin; juga harus berprinsip berbeda tema dan keahlian dengan sekolah lain. SIMPULAN DAN SARAN Pendidikan sekolah sebagai suatu proses sedang berhadapan dengan berbagai tantangan. Salah satu tantangan datang dari masyarakat sendiri. Masyarakat selaku konsumen pendidikan tidak hanya memandang sekolah sebagai tumpuan harapan bagi masa depan anak-anaknya, namun sekaligus menjadikannya sebagai bahan cemoohan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mendekatkan sekolah dengan masyarakat sebagai bagian dari fungsi manajemen pendidikan, yakni fungsi hubungan sekolah dengan masyarakat (schoolpublic relationship). Artikel ini meVolume 1, Nomor (Isu) 3, September 2015
nawarkan tiga gagasan strategis, yaitu membangun kepercayaan masyarakat, menciptakan sekolah ideal, dan membangun keunggulan komparatif dan kolaboratif. Sekolah dasar sebagai organisasi pendidikan perlu menempuh langkah-langkah proaktif yang mendasar agar tetap diminati masyarakat luas dari berbagai kalangan. Tujuan akhirnya ialah menjaga animo masyarakat agar tetap tinggi. Selain mempertahankan baku mutu yang sudah dicapai, sekolah harus terus menerus membangun kepercayaan masyarakat, menawarkan kepada masyarakat suatu kualifikasi sekolah ideal yang ditandai oleh basis paradigma pendidikan yang tepat, efektivitas pelaksanaan pendidikannya, dan menawarkan keunggulan komparatif maupun keunggulan kolaboratifnya. DAFTAR RUJUKAN Conny R. Semiawan. 2006. Memantapkan Peran LPTK dalam Peningkatan Profesi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Depdiknas. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Konsep dan Pelaksanaan. Edisi 2:
183
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
Revisi. Jakarta: Depdiknas. Husaini Usman. 2008. Manajemen: Teori, Praktik & Riset Pendidikan. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Bumi Aksara Lunenburg, F.C. & Ornstein, A.C. 2004. Educational Administration: Concepts and Practice. Third Edition. Belmont, CA: Wadsworth Thomson Learning. Mutrofin. 2000. Paradigma Baru Pengelolaan Sekolah. Makalah disampaikan dalam Seminar Regional tentang “Paradigma Baru dalam Pengelolaan Sekolah Menyongsong Otonomi Pendidikan.” Jember: FKIPUniversitas Jember dan Depdiknas Kabupaten Jember. Reinhartz, J. & Beach, D.M. 2004. Educational Leadership Chaning Schools, Chaning Roles. New York: Pearson.
184
Robbins, S.P. 2000. Organization Theor y Structure, Design and Application. London: PrenticeHall International, Inc. Suyanto. 1995. Efektivitas dan Kualitas Sekolah. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP-Yogyakarta. Tim BBE. 2002. Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill) Melalui Pendekatan Broad-Based Education (BBE). Jakarta: Depdiknas. Umaedi. 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Sebuah Pendekatan Baru dalam Pengelolaan Sekolah untuk Peningkatan Mutu. Jakarta: Depdikbud. Zamroni. 1995. Paradigma Pendidikan dan Implikasinya Terhadap Sistem Pendidikan Nasional. Educatio Indonesiae, III (1). Januari-Maret. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta.
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905