UPAYA OPTIMALISASI SUMBER DAYA IKAN DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DEMI TERWUJUDNYA KESEJAHTERAAAN MASYARAKAT INDONESIA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester pada Matakuliah Teori Pembangunan yang dibina oleh Dr. Said Abdullah., M.Si
Disusun oleh: DEWI IMROATUSH SHOLIKHA (125030700111012)
PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA JANUARI 2014
BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG Pangan merupakan kebutuhan dan hak dasar dari setiap manusia.
Ketahanan pangan adalah akses setiap orang sepanjang waktu pada pangan yang cukup jumlahnya, bermutu dan aman untuk hidup sehat (World Food Summit, 1996 dalam Jaya, 2009). Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Pangan meliputi segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan (higienis), kandungan gizi, dan standar mutu perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman. Menurut Hariyadi (2011), aspek ketahanan pangan meliputi tiga hal yaitu: (1) Ketersediaan pangan, yang meliputi: kecukupan jumlah, kecukupan mutu, kecukupan gizi dan keamanan; (2) Keterjangkauan, yang meliputi: keterjangkauan fisik, ekonomi, dan sosial, kesesuaian dengan referensi, kesesuaian kebiasaan dan budaya dan kesesuaian dengan kepercayaan; (3) Kecukupan konsumsi, yang meliputi: kecukupan asupan (intake), kualitas pengolahan pangan, kualitas sanitasi dan higienis, kualitas air dan kualitas pegasuhan anak. Kebutuhan pangan yang bertambah dengan jumlah penduduk yang besar dan di sisi lain memiliki sumber daya alam dan sumber pangan yang beragam, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara berdaulat dan mandiri. Produksi ikan di Indonesia 1
sebenarnya juga dapat mendukung ketahanan pangan Indonesia di tengah ancaman krisis pangan. Sebab kebutuhan ikan di Indonesia tidak bergantung pada impor dan mampu secara mandiri dalam memenuhi kebutuhan ikan. Tingkat konsumsi ikan di Indonesia per kapita sebanyak 33,89 kg/tahun pada tahun 2012, sebanyak 35,21 pada tahun 2013 dan sebanyak 38 kg/tahun pada tahun 2014 yang selalu bisa dipenuhi dengan produksi nasional (Data statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014). Indonesia sudah diakui sebagai negara yang memiliki potensi besar dibidang kelautan atau maritim. Faktor-faktor yang yang menjadi indikator keunggulan Indonesia, antara lain posisi strategis yang dilalui 40 persen lalu lintas perdagangan dunia, atau bisa disebut dengan “Jalan Semanggi Dunia”. Indonesia juga memiliki sumber alam sangat kaya dengan didukung zona ekonomi eksklusif, zona tambahan dan zona territorial. Saat ini Indonesia memiliki tujuh sektor ekonomi kelautan unggulan yakni perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri hasil perikanan, industri bio-teknologi kelautan, energi dan sumber daya mineral serta pariwisata bahari. Untuk itu, guna mendukung ketahanan pangan nasional masyarakat pemerintah terus meningkatkan konsumsi ikan karena saat ini konsumsi ikan Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan Malaysia dan Jepang. Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), The State of World Fisheries and Aquaculture 2014 menunjukkan bahwa Indonesia tidak termasuk negara dalam 10 besar negara eksportir ikan. Indonesia sebagai negara maritim luput dari catatan organisasi dunia sebagai eksportir ikan. Berdasarkan laporan itu, 10 negara eksportir ikan adalah Tiongkok, Norwegia, Thailand, Vietnam, Amerika Serikat, Cile, Kanada, Denmark, Spanyol, dan Belanda. Pada 2012, nilai ekspor Thailand 8,07 miliar dollar AS dan Vietnam 6,27 miliar dollar AS. Nilai itu jauh lebih besar daripada nilai ekspor ikan dan udang dari Indonesia. Merujuk data Badan Pusat Statistik yang diolah Kementerian Perdagangan, nilai ekspor ikan, termasuk udang, dari Indonesia pada tahun 2012 hanya 2,75 miliar dollar AS, mengalami kenaikan pada tahun 2013 hingga nilai ekspornya 2,85 miliar dollar AS, kemudian per September 2014 nilai ekspor mengalami penurunan hingga 2,26 miliar dollar AS. Data itu menunjukkan sektor perikanan Indonesia sangat kurang dalam 2
mendorong ekspor, kegiatan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu adanya disparitas ketahanan pangan yang diukur dari asupan kalori tiap orang dalam sehari antar wilayah maupun antar sosial ekonomi di Indonesia. Mengingat bahwa kekurangan asupan gizi ini sangat berdampak pada tingkat kesehatan dan produktifitas penduduk, maka upaya tersebut perlu difokuskan pada peningkatan asupan kalori bagi penduduk yang selama ini hanya memiliki asupan harian di bawah 1.400 Kkal/kap/hari. Berdasarkan kenyataan bahwa proporsi penduduk dengan asupan kalori serendah ini sangat beragam, maka perhatian perlu lebih difokuskan pada daerah-daerah dengan proporsi penduduk dengan asupan gizi dibawah 1.400 Kkal/kap/hari yang masih tinggi, seperti provinsi Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Maluku. Gambar 1. Proporsi Penduduk dengan Asupan Kalori < 1.400 Kkal dan < 2.000 Kkal Tahun 2011
Sumber: BPS, Susenas 2011 Berdasarkan uraian permasalahan tersebut maka diperlukan upaya-upaya strategis untuk mempercepat tujuan terwujudnya kesejahterakan masyarakat melalui optimalisasi hasil perikanan untuk ketahanan pangan di Indonesia. Secara nasional ketahanan pangan yang diukur dari asupan kalori tiap orang dalam sehari mengalami peningkatan yang baik. Hal ini sejalan dengan salah satu upaya yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam mengoptimalkan 3
hasil perikanan nasional adalah dengan menggunakan berbagai komoditas unggulan di bidang perikanan budidaya. Salah satu upaya KKP yaitu terus mengembangkan berbagai jenis ikan yang mampu berkembang baik di air payau. Selain itu, perlu adanya alternatif manajemen dalam pengelolaan perikanan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia untuk memandirikan negara dibidang perikanan untuk ketahanan pangan nasional. Berdasarkan dengan kondisi tersebut, maka penulis mengambil judul “Upaya Optimalisasi Sumber Daya Ikan
dalam
Mendukung
Ketahanan
Pangan
Demi
Terwujudnya
Kesejahteraan Masyarakat Indonesia”.
1.2
RUMUSAN MASALAH Melihat dari latar belakang tersebut maka penulis mengambil rumusan
masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah gambaran umum permasalahan ketahanan pangan di Indonesia? 2. Bagaimanakah upaya-upaya dalam mengotimalkan sumber daya ikan dalam mendukung ketahanan pangan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia?
4
BAB II KAJIAN TEORI
2.1
Teori Model Baru Pembangunan Pembanguan merupakan upaya untuk melakukan perubahan pada berbagai
aspek kehidupan agar tercapai kesejahteraan masyarakat. Semua paradigma maupun teori pembangunan bertujuan agar terciptanya kesejahteraan masyarakat, akan tetapi dalam perjalanannya sering kali bertolak belakang dengan tujuan semula dan terkadang tidak tepat sasaran dalam aplikasinya. Kondisi saat ini tatanan negara berada dalam kompleksitas, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, budaya, oleh karena itu perlu aplikasi multi paradigma pembangunan dalam menghadapi kompleksitas tersebut. Diharapkan masing-masing paradigma dapat diaplikasikan
nila-nilai
positifnya,
sehingga
masing-masing
paradigma
berkontribusi positif pada pembangunan. Menurut Dr. Abdullah Said., M.Si (2014) yang disampaikan pada Matakuliah Teori Pembangunan, paradigma dominan pembangunan menyebabkan nilai GNP (Gross National Product) meningkat dengan industrialisasi, namun muncul kepincangan sosial ekonomi di negara Dunia Ketiga, pembangunan tatanan nilai sosial budaya dan sumber-sumber identitas kolektif masyarakat sebagai simbol kekuatan diri, sirma seketika. Hal tersebut memunculkan krisis ekonomi yang menyebabkan kemiskinan, pengangguran, ketimpangan pendapatan di negara berkembang. Sehingga perlu cara pandang baru dalam pembangunan. Apa yang diperlukan dalam model baru pembangunan tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomis tetapi juga nilai tambah secara adil (equity) dan setara (equality) dan memunculkan nilai sosial budaya lokal atau negara masing-masing serta partisipatif sebagai upaya pengembangan kapasitas manusia dan masyarakat untuk menciptakan kemandirian masyarakat. Teori pembangunan sering dianggap ada kelebihan dan kelemahan, mungkin kelemahan yang dimaksud tersebut ada di negara Indonesia, fakta-fakta yang ada yang dijadikan landasan teori mungkin cocok dengan kondisi di negara maju dimana teori itu diciptakan dan belum tentu benar diterapkan di Indonesia. 5
Jadi bukan teorinya yang salah, namun karena fakta atau kondisi negara yang berbeda, maka teori–teori pembangunan yang ditiru seolah-olah menjadi salah. Teori-teori yang bersifat holistik dapat diimplementasikan di negara manapun, akan tetapi teori yang berdasarkan pada kondisi negara tertentu maka akan terdapat kelemahanan terutama diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu, perlu modifikasi agar sesuai dengan kondisi Negara Indonesia. Pembangunan harus holistik, ada transfer ilmu pengetahuan, interaksi antar berbagai ilmu pengetahuan, bukan hanya peningkatan kapasitas, namun juga harus ada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Seperti yang dicontohkan dari Dr. Said Abdullah (2014) mengenai model baru pembangunan adalah Pembangunan yang berpusat pada rakyat (People Centered Development). Dalam paradigma “People Centered Development” (PCD) baru ini, strategi atau model pembangunan berorientasi pada pembangunan kualias manusia. Asumsi dasarnya adalah bahwa tujuan pembangunan merupakan upaya memberi manfaat bagi manusia, baik dalam upayanya maupun dalam menikmati hasil dari upaya tersebut. Disamping itu, paradigma pembangunan ini juga mampu memberi masyarakat kesempatan untuk mengembangkan kepandaian yang kreatif bagi masa depannya sendiri dan masa depan masyarakat pada umumnya (Korten, 1984 dalam Indra Bastian, 2007). Secara konseptual, paradigma PCD mempromosikan fokus perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil-hasil pembangunan pada manusia (sebagai warga negara maupun sebagai masyarakat). Artinya manusia menjadi subyek sekaligus obyek pembangunan yang aktif, sedangkan pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator,
yaitu
pembangunannya
mendorong adalah
dan
memberi
memberdayakan
contoh. rakyat
Orientasi (empowering)
tujuan dan
menumbuhkan partisipasi rakyat yang seluas-luasnya. Manajemen pembangunan dilaksanakan dengan pendekatan “Community Based Resources Management”. Paradigma ini mensyaratkan struktur dan prosedur pemerintah melalui sistem desentralisasi, transactive, demokratis, debirokratisasi, deregulasi, dan otonomi yang luas bagi pemenrintahan daerah/lokal. Sementara itu, model utama pembangunan adalah kreativitas dan komitmen rakyat serta organisasi kemasyarakatan di tingkat lokal. 6
Pembangunan baru dinilai berhasil apabila hubungan antara manusia dengan sumber-sumber tersebut menciptakan keharmonisan dan kehidupan manusia itu sendiri. Peran pemerintah tidak boleh lagi dominan. Pemerintah tidak boleh lagi berperan sebagai pemborong yang aktif memupuk modal, sehingga semua perencanaan dan kebijakan berasal dari bawah ke atas. Sebaliknya, pemerintah harus berperan sebagai enabler atau fasilitator dalam mengajak masyarakat untuk bersama-sama hidup, bekerja dan belajar, serta mendorong masyarakat ke arah kemajuan dengan member contoh. Perencanaan dan pembuatan kebijakan tidak lagi bersifat Top-Down atau Bottom-Up, tetapi bersifat Transtactive Planning, yakni perencanaan pembangunan dilakukan melalui kebijakan yang demokratis, di mana birokrasi melaksanakan perencanaan itu bersama-sama rakyat dan manajemen dipraktikkan dengan cara partisipatif. Kondisi Indonesia yang begitu kompleks, berbagai macam kondisi fisik, budaya, sosial, potensi, perlu berbagai teori dalam pembangunannya. Masingmasing teori pembangunan memiliki kelebihan dan kekurangan. Pembangunan multiparadigma atau model baru pembangunan perlu dilakukan dengan mengambil nilai-nilai positif dari masing-masing teori pembangunan, dan modifikasi sesuai dengan kondisi di Indonesia.
2.2
Teori Pembangunan di Indonesia Tujuan Pembangunan di Indonesia yaitu mencapai kesejahteraan sosial
yang dijelaskan pasal 33 Undang-undang Dasar Tahun 1945, yaitu: 1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama, berdasarkan atas asas kekeluargaan 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak dikuasai oleh negara 3. Bumi dan air serta kekayaan yang terkandung didalamnya, dikuasasi negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat 4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 7
Menurut M. Dawam Rahardjo (2008), Teori pembangunan Indonesia esensinya adalah pertama dari segi ontologi perekonomian Indonesia adalah warisan kolonial yang dualistis yang terdiri dari lapis kekuatan ekonomi kapital kolonial di atas lapis kekuatan ekonomi rakyat bawah. Kedua, dari segi epistemologi perekonomian pasca kolonial perlu didekati dengan prinsip demokrasi ekonomi yang mendampingi demokrasi politik yang ditopang dengan dua prinsip, yaitu partisipasi rakyat dan emansipasi rakyat dari segala bentuk dominasi dan ketergantungan, sehingga menjadi perekonomian yang mandiri. Ketiga dari segi aksiologi, pembangunana Indonesia menuju kepada masyarakat adil dan makmur yang disebut juga kesejahteraan sosial. Teori pembangunan tersebut memang telah dimiliki Indonesia sejak setengah abad yang lalu. Namun dalam perjalanannya perekonomian Indonesia sering menyimpang dari jalan lurus, yang sebenarnya sejalan namun dipengaruhi oleh teori ekonomi politik dunia yang terdiri dari dua kutub, kapitalisme dan sosialisme, keduanya adalah teori yang lahir dari sejarah Eropa-Barat yang bercorak imperialis. Wacana terakhir diketahui bahwa perekonomian Indonesia menghadapi krisis ekonomi multi-dimensi sebagai akibat dari ketergantungan ekonomi. Karena itu Indonesia perlu mengatasi ketergantungan itu dengan membangun perekonomian yang dinamis, mengikuti perkembangan spirit zaman. Teori model baru pembangunan yang tepat untuk diaplikasikan di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Konsep kemandirian lokal 2. Modernisasi dengan modifikasi oleh pendekatan kebutuhan dasar dan pembangunan berkelanjutan.
2.2.1
Konsep Kemandirian Lokal Teori pembangunan yang tepat untuk diaplikasikan di Indonesia adalah
teori kemandirian lokal. Prof. Mappadjantji Amien menyatakan bahwa Kemandirian lokal adalah sintesis dari wawasan baru temuan-temuan sains baru. Konsepsi ini cenderung memilih jalan yang ditawarkan oleh paradigma HolismeDialogis walaupun tidak menolak metah-mentah kebenaran yang ada pada paradigma Digitalis-Informatis. Itu tidak sulit dilakukan karena pada dasarnya 8
paradigma Holisme-Dialogis (HD) memahami kemenduaan sehingga tidak menolak adanya kebenaran lain. Analisis yang digunakan dalam kemandirian lokal berbasis pada konsep gabungan atau interkoneksitas. Fenomena yang ingin dikaji selalu dilihat sebagai perwujudan interkoneksitas. Misalnya pada pembangunan wilayah, kajian difokuskan pada interkoneksitas yang ada pada wilayah yang bersangkutan. Wilayah dilihat sebagai perwujudan interkoneksitas antara berbagai entitas seperti penduduk, sumber daya alam, kelembagaan dan lainnya. Masalah pembangunan wilayah ditemukenali berdasarkan kinerja interkoneksitas itu, demikian juga dengan pemecahannya. Kemandirian lokal juga mengembangkan konsep tatanan sebagai perangkat analisis utamanya. Konsep ini dikembangkan mengacu pada premis bahwa pada dasarnya interkoneksitas yang mewujud dalam berbagai entitas dan fenomena alam maupun sosial memiliki karakteristik yang serupa. Tatanan adalah hasil “gabungan” atau interkoneksitas dari berbagai tatanan, memiliki sumber daya alam dan atau fitur baru yang bukan merupakan penjumlahan dari fitur-fitur yang dimiliki sebelumnya oleh tatanan-tatanan pembentuknya (emergence resources). Pendekatan pembangunan seyogyaanya memposisikan kemandirian sebagai kata kuncinya. Dalam hal ini, kemandirian dimaksud berupa kompetensi dan otonomi setiap entitas pembangunan dalam membangun dirinya sendiri. Kemandirian diperlukan untuk menjaga identitas setiap entitas pembangunan, agar diversitas
keseluruhan
kesinambungan
yang
keberadaan
merupakan semesta
dapat
syarat
untuk
dijaga.
Jika
mempertahankan semua
entitas
pembangunan di Indonesia sudah kehilangan jati dirinya, maka kualitas ketahanan nasional akan menurun dan pada gilirannya akan diikuti dengan ambruknya bangsa ini (Prof. Mappadjantji Amien, 2005). Konsepsi kemandirian lokal memberikan porsi yang sama bagi setiap entitas pembangunan
untuk menentukan sendiri masa depannya, serta
meninggalkan keseragaman (uniformisme) dan mengangkat akan perlunya keberagaman (diversitas) dalam pembangunan. Sehingga perlu desentralisasi dalam semua tahapan dan kegiatan pembangunan, dengan tatanan sebagai unit analisis sekaligus sebagai entitas pembangunan. Teori Kemandirian Lokal 9
merekomendasikan agar pembangunan dilaksanakan dengan memanfaatkan ketersediaan sumberdaya lokal dengan mengacu kepada karakteristik spesifik yang dimiliki. Pembangunan seyogyanya diarahkan untuk meningkatkan kualitas tatanan yang indikator utamanya adalah terjaganya keadilan berpartisipasi bagi semua komponen tatanan serta meningkatkannya kapasitas swatata tatanan (selforganization). Masyarakat yang mendiami suatu wilayah tertentu dengan kelembagaan dan sistem kepercayaan yang beragam, serta sumberdaya alam dan kondisi lingkungan hidup, semuanya mesti dilihat sebagai satu kesatuan, tepatnya sebagai suatu jejaring interkoneksitas yang kuat, tetapi tetap terbuka, dalam arti merupakan bagian dari entitas lain yang memiliki dimensi ruang maupun dimensi fungsional yang lebih luas. Wujud interkoneksitas inilah yang dinamakan tatanan. Teori kemandirian lokal sangat tepat dalam pembangunan saat ini, dimana pembangunan didasarkan pada karakteristik wilayah masing-masing. Masyarakat bukan dianggap sebagai objek pembangunan, namun masyarakat diajak berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam konsep kemandirian lokal yang sangat diperhatikan adalah interkoneksitas yang tercipta antara kelompok-kelompok masyarakat yang antara lain diukur apakah ada sumberdaya dan atau fitur baru yang tercipta sebagai akibat dari interkoneksitas tersebut, sebagai contoh yaitu dalam pengembangan dan peningkatan kualitas modal sosial (social capital). Keterhubungan tatanan dengan lingkungannya juga merupakan pokok analisis dalam konsep kemandirian lokal, yaitu apakah dampak interkoneksitas tersebut baik atau tidak terhadap tatanan. Selanjutnya Prof.Mapadjantji Amien (2005) menyatakan bahwa jika kita ingin memahami kinerja dari suatu daerah, analisis mengenai ketersediaan sumber daya alam, kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia dan berbagai potensi atau sumber daya lainnya memang sering memberi kita pada penjelasan yang bersifat analitik dan dianggap benar, tetapi pada hakikatnya hanyalah berupa kumpulan informasi yang berkeping-keping, yang umumnya tidak mampu memberikan gambaran yang memadai mengapa daerah itu mampu berkembang atau mengalami stagnasi. Sebaliknya melihat sebagai sesuatu jejaring interkoneksitas yang unik akan memberikan gambaran yang jauh lebih komprehensif. 10
2.2.2
Modifikasi Modernisasi Dalam
modernisasi
terjadi
kesenjangan,
ekologis,
dan
etnis.
Perekonomian itu dikuasai konglomerat, yang menyumbang sebagian besar pertumbuhan ekonomi. Namun dibalik pertumbuhan ekonomi terjadi kerusakan ekologi seperti eksploitasi, Freeport, hutan dieksploitasi yang menyebabkan ekologi hancur. Begitu juga pada etnis, modernisasi tidak berfikir lagi secara etnis, padahal setiap suku punya kearifan lokal. Jika produk dari kearifan lokal disentuh dengan teknologi, maka bisa lebih mahal untuk di ekspor, dan ini akan diminati oleh luar negeri. Oleh karena itu apa yang ada dalam masyarakat, harus dianggap sebagai potensi yang baik, bukan diabaikan sebagaimana yang dilakukan oleh modernisasi. Modernisasi yang mengusung pertumbuhan ekonomi perlu dimodifikasi sesuai dengan kondisi Indonesia. Memang betul dalam pembangunan, kita perlu berbagai investasi untuk membangun berbagai infrastruktur bagi berlangsungnya pengelolaan Negara dan kehidupan masyarakat, begitu juga pertumbuhan ekonomi (Gross National Product, Pendapatan Domestik Bruto, dan ukuran lainnya) perlu menjadi perhatian sebagai indikator terukur dari perekonomian suatu Negara. Namun tidak cukup dengan pertumbuhan ekonomi, akan tetapi kesejahteraan masyarakat haruslah menjadi tujuan utama dalam pembangunan. Tidak dipungkiri pembangunan selama Orde Baru sampai saat ini merupakan kontribusi Teori Modernisasi khususnya dalam pembangunan infrastruktur, sarana-prasarana pendidikan dan
kesehatan dan lainnya. Prof.
Darmawan Salman (2012) dalam Hery Sopari (t.t) mencatat aplikasi modernisasi di desa persawahan, Beliau menyatakan bahwa desa persawahan dicirikan oleh kedekatan dengan kota provinsi, kabupaten hingga kecamatan. Desa persawahan relatif terpenuhi kebutuhan infrastruktur dan pelayanan dasarnya. Infrastruktur transportasi, energi, komunikasi, informasi, pasar dan perbankan, serta relatif terpenuhi pelayanannya atas pendidikan, kesehatan, dan administrasi publik. Hal ini merupakan hasil dari pembangunan yang merupakan aplikasi dari teori modernisasi dan pendekatan kebutuhan dasar. Namun
teori
modernisasi
ini
masih
perlu
dimodifikasi,
agar
memperhatikan kebutuhan dasar seluruh warga negara, serta memperhatikan 11
pembangunan yang berkelanjutan. Artinya pertumbuhan ekonomi bukan merupakan tujuan akhir namun sebagai alat untuk mengukur pembangunan, sementara tujuan dari pembangunan haruslah kesejahteraan seluruh warga masyarakat. Pengelolaan sumber daya alam harus menggunakan teknologi yang ramah lingkungan untuk menjaga sumber daya alam agar tetap lestari. Beberapa hal yang perlu dimodifikasi pada teori modernisasi menurut Hery Sopari (t.t): 1.
Pendekatan kebutuhan dasar dan pembangunan berkelanjutan harus menjadi perhatian utama dalam modernisasi, agar terjadi pemerataan pembangunan, terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh lapisan masyarakat serta pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan (lestari) seperti penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan melakukann Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan benar.
2.
Perlu ada intervensi pemerintah dalam pengaturan investasi asing, baik berupa regulasi maupun kebijakan yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan Negara. Pasar bebas untuk pengelolaan sumberdaya perlu diatur sedemikian rupa agar investor luar negeri tidak mengeksploitasi SDA Indonesia.
Investasi dalam pengelolaan sumber daya alam harus lebih
memihak kepada masyarakat serta kedaulatan Negara, jangan seperti PT. Freeport, PT. Newmont, dan perusahaan lainnya yang telah mengeksploitasi kekayaan SDA Indonesia, sementara kontribusi terhadap Negara Indonesia serta rakyatnya sangat tidak sebanding. 3.
Perusahaan swasta yang mengelola SDA maupun usaha lainnya harus memperhatikan
kesejahteraan
masyarakat
sekitarnya.
Kewajiban
melaksanakan Corporate Social Responsibility perlu diperketat. 4.
Sasaran pembangunan harus tepat, kalau ada program peningkatan kesejahteraan masyarakat maka masyarakat miskinlah yang menjadi sasaran. Pemerintah harus punya komitmen dan membangun kelembagaan yang kuat untuk menciptakan pelaksanaan program-programnya dengan baik.
2.3
Teori Ketahanan Pangan Ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan suatu keadaan dimana
pangan tersedia bagi setiap individu setiap saat dimana saja baik secara fisik, maupun ekonomi. Definisi mengenai ketahanan pangan (food security) memiliki 12
perbedaan dalam tiap konteks waktu dan tempat. Istilah ketahanan pangan sebagai sebuah kebijakan ini pertama kali dikenal pada saat World Food Summit tahun 1974. Setelah itu, ada banyak sekali perkembangan definisi konseptual maupun teoritis dari ketahanan pangan dan hal-hal yang terkait dengan ketahanan pangan. Ketahanan pangan adalah akses setiap orang sepanjang waktu pada pangan yang cukup jumlahnya, bermutu dan aman untuk hidup sehat (World Food Summit, 1996 dalam Jaya, 2009). Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Pangan meliputi segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan (higienis), kandungan gizi, dan standar mutu perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman. Menurut Hariyadi (2011), aspek ketahanan pangan meliputi tiga hal yaitu: (1)
Ketersediaan pangan, yang meliputi: kecukupan jumlah, kecukupan mutu, kecukupan gizi dan keamanan;
(2)
Keterjangkauan, yang meliputi: keterjangkauan fisik, ekonomi, dan sosial, kesesuaian dengan referensi, kesesuaian kebiasaan dan budaya dan kesesuaian dengan kepercayaan;
(3)
Kecukupan konsumsi, yang meliputi: kecukupan asupan (intake), kualitas pengolahan pangan, kualitas sanitasi dan higienis, kualitas air dan kualitas pegasuhan anak.
13
BAB III PEMBAHASAN
3.1
Gambaran Umum Permasalahan Pangan di Indonesia Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem
ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh negara sampai pada per orang atau individu dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu atau secara berkelanjutan dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan di Indonesia memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan, dan kehalalannya. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 yang mengatakan bahwa masalah
pangan
adalah
keadaan
kekurangan,
kelebihan,
dan/atau
ketidakmampuan perseorangan atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan dan keamanan pangan. Saat ini, situasi ketahanan pangan di Indonesia masih lemah. Hal ini ditunjukkan antara lain oleh: a) Anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar Penanganan pangan dan gizi merupakan salah satu agenda penting dalam pembangunan nasional. Pangan dan gizi terkait langsung dengan status kesehatan masyarakat. Perwujudan ketahanan pangan dan gizi tidak dapat dilepaskan dari upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan individu dan masyarakat, serta peningkatan daya saing sumber daya manusia (SDM), yang selanjutnya menjadi daya saing bangsa. Indonesia telah berada dalam jalur yang benar (on track) untuk mencapai MDGs khususnya target 1C, yaitu telah berhasil menurunkan angka kekurangan gizi pada anak di bawah lima tahun (balita) dari 24,50% pada tahun 2005 menjadi 17,90% pada tahun 2010 (Riskesdas 2010). Penurunan angka kekurangan gizi pada anak balita harus terus dilakukan agar Indonesia 14
dapat mencapai target MDGs pada tahun 2015, yaitu 15,50%. Namun demikian, Indonesia dihadapkan pada tantangan pembangunan pangan dan gizi yang lain, yaitu masih tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting). Data Riskesdas tahun 2010, menunjukkan prevalensi stunting 35,60%. Jumlah balita gizi kurang, gizi buruk, dan kekurangan gizi akan mengakibatkan besarnya angka kematian bayi dan kecacatan. Gambar 2. Prevalensi Kekurangan Gizi Pada Balita
Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun dan Kemenkes, Riskedas, 2007, 2010
b) Jumlah penduduk rawan pangan masih cukup besar Proporsi penduduk dengan asupan kalori harian rawan pangan (tingkat konsumsi per hari secara nasional adalah 60,03 % di bawah 2.000 Kkal dari rekomendasi 2.000 kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan (tingkat konsumsi per hari secara nasional adalah 14,65 % di bawah 1.400 Kkal dari rekomendasi) berdasarkan Susenas 2011. Selain itu, masih ditemukan disparitas asupan kalori harian di Indonesia, baik antar wilayah maupun antar sosial ekonomi. Mengingat bahwa kekurangan asupan gizi ini sangat berdampak pada tingkat kesehatan dan produktifitas penduduk, maka upaya tersebut perlu difokuskan pada peningkatan asupan kalori bagi penduduk yang selama ini hanya memiliki 15
asupan harian di bawah 1.400 Kkal/kap/hari. Berdasarkan kenyataan bahwa proporsi penduduk dengan asupan kalori serendah ini sangat beragam, maka perhatian perlu lebih difokuskan pada daerah-daerah dengan
proporsi
penduduk
dengan
asupan
gizi
dibawah
1.400
Kkal/kap/hari yang masih tinggi, seperti provinsi Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Maluku. Gambar 3. Proporsi Penduduk dengan Asupan Kalori < 1.400 Kkal dan < 2.000 Kkal Tahun 2011
Sumber: BPS, Susenas 2011 Di Indonesia, permasalahan pangan tidak dapat dihindari, walaupun sering disebut sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya adalah petani. Kenyataannya masih banyak kekurangan pangan yang melanda Indonesia. Hal ini seiring dengan dengan meningkatnya jumlah penduduk. Bertambahnya penduduk bukanlah satu-satunya permasalahan yang menghambat untuk menuju ketahanan pangan di Indonesia. Permasalahan lain adalah berkurangnya lahan pertanian yang dikonversi menjadi pemukiman dan lahan industri, telah menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang mandiri dalam bidang pangan.
16
Menurut Jaya (2009), beberapa permasalahan pangan di Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) Inkonsistensi dan sinergi kebijakan ketahanan pangan antar sektor dan antar pusat maupun daerah, (2) Program ketahanan pangan yang sesuai dan bisa diandalkan untuk pencapaian target MDGs, (3) Pengembangan teknologi, SDM dan kelembagaan bagi ketahanan pangan, (4) Produksi dan produktivitas pangan rendah, (5) Efisiensi distribusi, perdagangan dan pemasaran produk pangan antar waktu dan wilayah, (6) Rendahnya daya beli masyarakat terhadap pangan yang terkait dengan tingginya kemiskinan dan pengangguran, (7) Rendahnya konsumsi pangan, (8) Mutu gizi pangan penduduk, terutama kelompok rawan dan miskin, (9) Keamanan pangan, tetrutama penggunaan bahan berbahaya, (10) Pengetahuan dan perilaku penganekaragaman pangan yang belum memadai, Sedangkan menurut Sucipto (2012), pemenuhan pangan rakyat bukan soal sederhana. Apalagi, pangan menjadi kebutuhan dasar setiap individu untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya demi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia. Diskursus konsep ketahanan pangan (food security) dan kedaulatan pangan (food souvereignty) untuk memenuhi pangan sedang terjadi.
Pangan
juga
terkait
ketersediaan
(availability),
keterjangkauan
(accessibility), penerimaan (acceptability), dan simbol kesejahteraan rakyat (people’s welfare). Pembebasan bea masuk yang ditetapkan pemerintah selama setahun untuk 57 pos tarif komoditas beras, gandum, kedelai, bahan baku pupuk dan pakan ternak tahun 2011 mendorong impor pangan. Susu impor 90% kebutuhan, gula 30%, garam 50%, gandum 100%, kedelai 70%, daging sapi 30%. Padahal kecuali gandum, pangan tersebut bisa diproduksi dalam negeri (Achmad Fachruddin Syah: 2012). 17
3.1.1
Potensi Kelautan dan Perikanan di Indonesia Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi yang luar
biasa di bidang kelautan dan perikanan. Lautan Indonesia adalah Marine Mega Biodiversity terbesar di dunia yaitu mempunyai 8500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, dan 950 spesies terumbu karang. Sumber daya ikan (SDI) meliputi ikan pelagis, demersal, ikan karang, udang, lobster dan cumi-cumi. Total potensi lestari 6.409.210 ton/tahun, produksi 4.069.420 ton/tahun, tingkat pemanfaatan 63,49% (LIPI-BRKP, 2001). Kalau potensi ini dikelola dengan baik dan berkelanjutan maka pasti akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Sebuah gambaran tentang luas perairan dan panjang garis pantai di Indonesia dapat dilihat pada tebel berikut ini. Tabel 1. Luas Perairan dan Panjang Garis Pantai Indonesia Luas Laut Indonesia
5.8 juta km2
Luas Perairan Kepulauan (Laut Nusantara)
2.3 juta km2
Luas Perairan Teritorial
0.8 juta km2
Luas Perairan ZEE Indonesia
2.7 juta km2
Panjang Garis Pantai Indonesia
81290 km
Sumber: Dishidros TNI AL, 1987 Luasnya perairan menggambarkan luasnya “lahan” bagi perikanan tangkap sedang panjang garis pantai menggambarkan area budidaya kelautan. Namun demikian, menurut data dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tingkat exploitasi sumber daya ikan di setiap wilayah pengelolaan perikanan Indonesia tidak sama.
18
Tabel 2. Tingkat Eksploitasi Sumber Daya Ikan di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia
Sumber: Achmad Fachruddin Syah, 2012 Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa ada kawasan yang sudah “overfishing”, misalnya di Laut Jawa. Hal ini menyebabkan penghasilan nelayan di kawasan itu menjadi relatif rendah. Hal lain yang juga menambah masalah yaitu di Laut Jawa jumlah nelayannya adalah yang terbanyak. Sementara kawasan yang masih “underexploited” atau “moderate” adalah di kawasan yang relatif jauh, sulit dijangkau atau bergelombang besar misalnya di Laut Banda atau Samudra Hindia (Barat Sumatera), sehingga umumnya baru dinikmati nelayan berteknologi tinggi yang umumnya dikuasai oleh pemodal asing. Kondisi yang berbeda ini mengakibatkan volume hasil tangkapan di laut menjadi bervariasi tiap wilayahnya. Namun secara nasional produksi ikan tangkap dan ikan budidaya mengalami peningkatan dari tahun 2003 sampai pada tahun 2013. Gambar 4. Volume Produksi Ikan di Indonesia
Sumber: Data Statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014 19
Data DKP ini sesuai dengan data BPS, yaitu konsumsi ikan diwilayah Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2014. Tingkat konsumsi ikan di Indonesia per kapita sebanyak 33,89 kg/tahun pada tahun 2012, sebanyak 35,21 pada tahun 2013 dan sebanyak 38 kg/tahun pada tahun 2014 yang selalu bisa dipenuhi dengan produksi nasional. Gambar 5. Angka Konsumsi Ikan di Indonesia
Sumber: Data Statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014 Selain itu, dengan meningkatnya konsumsi ikan sebanding dengan produksi ikan dari tahun ke tahun yang selalu meningkat. Namun, hal tersebut tidak terjadi dengan nilai ekspor yang mengalami kemerosotan pada tahun 2014. Grafik 5. Nilai Ekspor Hasil Perikanan Indonesia Tahun 2008-2014
Sumber: Data Statistik Kelautan dan Perikanan, 2014 20
Data tersebut menunjukkan penurunan tajam dari tahun 2013 mengalami penurunan di tahun 2014. Penurunan nilai ekspor ini terjadi pada semua varietas seperti udang, TTC, kepiting, rumput laut, mutiara, dan lain-lain. Hal yang sama ditunjukkann oleh Badan Pusat Statistik yang diolah Kementerian Perdagangan, nilai ekspor ikan, termasuk udang, dari Indonesia pada tahun 2012 hanya 2,75 miliar dollar AS, pada tahun 2013 mencapai 2,85 miliar dollar AS, dan per September 2014 mengalami penurunan hingga 2,26 milliar dollar AS (Kompas, 2014). Data tersebut menunjukkan sektor perikanan di Indonesia mengalami penurunan dalam mendorong ekspor, kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Penurunan dalam sektor perikanan ini terjadi karena praktik penangkapan ikan secara illegal (illegal fishing). Dari laporan FAO, dari 54 negara yang dikaji, kerugian akibat praktik illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU) diperkirakan 11 juta-26 juta ton ikan dengan nilai 10 milliar-23 milliar dollar AS. Jumlah penangkapan ikan yang tak dilaporkan dari Indonesia diperkirakan 1,5 juta ton per tahun. Tak ada angka pasti berapa nilai kerugian akibat praktik IUU di Indonesia. Diperkirakan, kerugiannya lebih dari Rp 100 triliun per tahun. Gambar 6. Wilayah Perairan Bebas IUU Fishing dan Kegiatan yang Merusak
Sumber: Data Statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014 Dari data tersebut menjelaskan bahwa wilayah perairan bebas IUU fishing dan kegiatan yang merusak mengalami penurunan dari tahun 2013 ke tahun 2014. Namun, jika dibandingkan terjadinya penurunan wilayah perairan bebas IUU 21
fishing dan kegiatan yang merusak dengan nilai ekspor ikan yang mengalami penurunan di tahun yang sama adalah sebanding, yang artinya bahwa tidak terjadi pengaruh positif yang signifikan terhadap nilai ekspor ikan. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkapkan, persoalan penangkapan secara illegal (illegall fishing) ibarat gunung es. Apa yang terlihat selama ini hanya bagian permukaan. Penangkapan ikan illegal menyimpan berbagai persoalan lain yang tak terungkap, seperti perdagangan kayu illegal dan perdagangan manusia yang menggunakan atau berkedok kapal ikan. Modus pencurian ikan itu antara lain dilakukan oleh kapal-kapal asing dan kapal domestik yang melanggar wilayah penangkapan ikan (Kompas, 2014): 1. Kapal Asing a. Pemilik kapal dan perusahaan operator berhubungan dengan “mafia” internasional dan “mafia” Indonesia. b. Mencari surat ijin penangkapan ikan (SIPI) secara illegal dengan cara mencari mitra perusahaan Indonesia yang memiliki surat ijin usaha perikanan (SIUP). c. Sejumlah kapal yang memiliki SIPI sengaja beroperasi secara berkelompok. Padahal sebagian kapal-kapal itu tidak memiliki SIPI. d. Mengeruk ikan sebanyak-banyaknya dengan segala cara, termasuk dengan alat tangkap pukat harimau (“tawl”). e. Memanipulasi nama nahkoda asing menjadi nama Indonesia. f. Melakukan negosiasi di laut dan meyuap petugas di kapal patrol. 2. Kapal Domestik a. Memperkecil data bobot kapal ikan agar memperoleh subsidi bahan bakar minyak dan kemudahan pengurusan prosedur izin dari daerah. b. Mengeruk ikan sebanyak-banyaknya dengan segala cara, termasuk menggunakan pukat harimau (“tawl”). c. Melanggar ketentuan wilayah tangkapan perikanan (“fishing ground”). d. Saat kapal illegal beroperasi, petugas kongkalikong tidak melakukan patroli. Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang secara terbuka melarang alih muat kapal di laut adalah kebijakan tepat. “Genderang 22
perang” terhadap praktik IUU perlu didukung dan dilaksanakan secara konsisten. Selanjutnya, bagaimana memberdayakan nelayan lokal dan industri perikanan berjaya menjadi pekerjaan rumah yang berat. Kebijakan Susi itu merupakan awal perjalanan menuju ajaran Trisakti Bung Karno, terutama berdikari dibindang ekonomi.
3.2
Upaya-Upaya Mengoptimalkan Ikan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Demi Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat Indonesia
3.2.1
Upaya Optimalisasi Ikan melalui Alternatif Manajemen Pengelolaan Perikanan Dengan permasalahan ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan
suatu upaya optimalisasi ikan melalui alternatif manajemen pengelolaan perikanan dengan perspektif yang berbeda. Beberapa hal yang menjadi dasar pemikiran dalam hal pengelolaan kelautan dan perikanan dalam rangka menunjang ketahanan pangan masyarakat Indonesia diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Sumber Daya Laut adalah milik bersama Berdasarkan pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-undang Dasar 1945, sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak pada hakekatnya tidak bisa dimiliki perorangan, dan seharusnya dikuasai oleh negara untuk memakmurkan rakyatnya. Jalan raya, mata air didaerah tandus, sumber api abadi dan sejenisnya, harus dimiliki bersama oleh manusia. Laut memiliki banyak fungsi, baik sebagai jalan raya, sebagai habitat bagi makhluk air, maupun sebagai sumber energi dan mineral. Oleh karena itu laut harus ditetapkan sebagai milik bersama. Karena itu tidak boleh ada dominasi penguasa laut oleh mereka yang memiliki teknologi tinggi. Tidak seperti selama ini mereka yang memiliki pukat harimau, ditambah dengan teknologi sonar dan GPS untuk mencari ikan, ditambah dengan pabrik pengolahan ikan terapung, dapat mengeruk ikan sebanyak-sebanyak, sehingga praktis nelayan-nelayan kecil hanya kebagian sangat sedikit. Untuk itu negara mesti mengatur dan membuat kebijakan agar kompetisi berjalan sehat, misalnya nelayan berteknologi tinggi hanya boleh beroperasi di area yang nelayan sederhana tidak 23
sanggup mencapainya. Namun sistem konsesi semacam ini tetap harus diawasi dengan ketat, jangan sampai secara keseluruhan merusak ekosistem dan merugikan rakyat sebagai pemilik hakiki dari area laut itu. 2. Negara mengatur agar tersedia SDM kelautan dan perikanan dalam jumlah yang cukup dan cerdas. Pada saat yang sama, negara meberdayakan para nelayan-nelayan kecil dengan pendidikan yang gratis atau murah, mensubsidi upgrade teknologi yang dipakai, hingga memberikan pinjaman modal tanpa bunga sehingga mereka juga dapat meningkatkan produktifitasnya. Semua ini tetap dengan menghitung keberlanjutan sumber daya laut yang ada, sehingga overfishing dapat dihindarkan. Bila mana disuatu wilayah jumlah nelayan tangkap sudah terlalu banyak, maka negara harus melakukan upaya konversi mereka sehingga menjadi nelayan budidaya, atau masuk ke industri pasca panen. 3. Negara mendorong agar tersedia teknologi kelautan dan perikanan yang handal dan memadai Dominasi kapal-kapal asing yang berteknologi tinggi harus diatasi dengan upaya negara mendorong penguasaan dan alih teknologi kelautan da perikanan sehingga tidak lagi diatur oleh korporasi asing. Banyak sekali teknologi yang terkait disini, yang memerlukan kerja keras para peneliti dan perekayasa. Teknologi itu mulai dari rancang bangun kapal, alat navigasi, elektronika komunikasi, alat penerima citra satelit pendeteksi keberadaan ikan, sonar, jaring pukat harimau, hingga pabrik pengolah ikan terapung. Mereka yang berhasil melakukan terobosan teknologi harus diberi penghargaan yang layak, agar tidak justru menjual teknologi ini ke asing, yang kemudian menerapkan aturan hak atas kekayaan intelektual yang merugikan negara sendiri. 4. Negara memberikan iklim pasar yang kondusif Pasar yang tidak kondusif ditandai oleh terjadinya asimetri dari kekuatan penjual (yaitu nelayan) dan pembeli (yang tengkulak pedagang ikan). Penjual bisa sangat lemah ketika produk ikan tangkapnya terancam busuk 24
bila tidak laku, sementara kredit modal melaut terus berjalan dan berbunga seiring waktu. Sebaliknya, pembeli bisa sangat lemah ketika penjual sangat sedikit, yakni tinggal nelayan berteknologi tinggi, setelah banyak nelayan modal kecil kalah tergusur persaingan. Negara perlu menciptakan badan penyangga semacam BULOG untuk produk perikanan, agar ketika harga turun, negara membelinya dengan harga wajar yang lebih tinggi dari harga pasar, dan pada saat harga tinggi melepasnya lagi ke pasar dengan harga wajar yang lebih rendah dari harga pasar. Negara boleh saja menjadi monopoli atau monopsoni selama tidak mengambil untung, namun semata-mata untuk mengurus urusan rakyat. 5. Negara menjaga agar sumber daya laut akan berkelanjutan Pada saat yang sama, untuk wilayah yang memerlukan teknologi tinggi bermodal besar, negara melalui BUMN-nya dapat mengambil alih sehingga sumber daya laut ini dapat sepenuhnya memberikan pemasukan bagi negara untuk diberikan kepada rakyat. Negara tidak menyerahkan optimasi ini kepada pasar, karena pasar cenderung hanya memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Selama ini tidak ada ekonomi pasar yang berhasil mengoptimasi diri dalam soal lingkungan. Agar wilayah laut tetap lestari, negara juga harus menjaga agar laut tidak tercemar, baik oleh limbah ataupun kecelakaan di laut, oleh operasi penangkapan ikan yang menggunakan bahan berbahaya (misalnya bom ikan) maupun oleh bahan pencemaran yang berasal dari darat. Untuk itu negara wajib menjaga agar tidak ada pencemaran maupun illegal fishing, baik dari kapal-kapal asing yang memasuki laut tanpa izin, ataupun dari kapal-kapal berizin namun beroperasi di luar wilayah yang ditentukan. Angkatan bersenjata negara harus diperkuat agar mampu menjaga perbatasan sekalius mendeteksi posisi tiap kapal yang berizin dan mengecek secara cepat dalam database apakah mereka beroperasi di wilayah yang ditentukan atau tidak, serta melakukan pengawasan dengan ketat. Negaralah yang harus harus pro-aktif berhadapan dengan korporat asing yang melakukan illegal fishing, pencemaran atau pelanggaran
25
wilayah operasi, bukannya nelayan kecil yang lemah, atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
3.2.2
Upaya Pemerintah dalam Mengoptimalkan Hasil Ikan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Demi Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat Indonesia Indonesia sudah diakui sebagai negara yang memiliki potensi besar
dibidang kelautan atau maritim. Faktor-faktor yang yang menjadi indikator keunggulan Indonesia, antara lain posisi strategis yang dilalui 40 persen lalu lintas perdagangan dunia, atau bisa disebut dengan “Jalan Semanggi Dunia”. Indonesia juga memiliki sumber alam sangat kaya dengan didukung zona ekonomi eksklusif, zona tambahan dan zona territorial. Saat ini Indonesia memiliki tujuh sektor ekonomi kelautan unggulan yakni perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri hasil perikanan, industri bio-teknologi kelautan, energi dan sumber daya mineral serta pariwisata bahari. Gambar 7. Konservasi Kawasan Perairan Tahun 2013
Sumber: Data Statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014 Dari data tersebut menjelaskan bahwa upaya pemerintah melakukan konservasi kawasan perairan pada tahun 2013 adalah yang terbesar kawasan konservasi daerah sebanyak 35,30% kemudian 25,64% pada taman nasional laut 26
kemudian 22,33% pada taman nasional perairan kemudian 9,77 pada taman wisata perairan. Hal ini sejalan dengan salah satu upaya yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam mengoptimalkan hasil perikanan nasional adalah dengan menggunakan berbagai komoditas unggulan di bidang perikanan budidaya. KKP terus mengembangkan berbagai jenis ikan yang mampu berkembang baik di air payau. Gambar 8. Produksi Perikanan Budidaya Menurut Jenis Budidaya Tahun 2013
Sumber: DJPB, 2013 Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa budidaya terbesar adalah budidaya ikan laut yang mencapai 8 juta ton lebih, kemudian budidaya tambah mencapai 2 juta ton lebih disusul budidaya kolam mencapai 1 juta ton, budidaya karamba mencapai 2 juta lebih, budidaya jaring apung 505.248 ton dan budidaya minapadi 97.303 ton pada tahun 2013. Salah satu upaya KKP melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) yaitu kembali merilis ikan Nila Srikandi ke masyarakat. Ikan yang telah mendapat pengujian varietas sejak November 2011 ini terbukti mampu tumbuh cepat diperairan payau. Menurut Kepala Balitbang KP, Achmad Poernomo, nila Srikandi merupakan strain ikan nila unggul hasil cross breeding yang diproduksi Balai Penelitian Pemulian Ikan 27
(BPPI) yang berada di bawah Balitbang KP. Ikan Nila Srikandi dirakit dengan tujuan untuk mendapatkan strain ikan nila yang mampu tumbuh cepat diperairan payau. Ikan nila Srikandi merupakan hasil perkawinan silang antara ikan nila Nirwana betina (Oreochromis niloticus) dengan ikan nila biru jantan (Oreochromis aureus). Ikan nila Nirwana (Nila ras Wanayasa) yang dirilis tahun 2006, merupakan strain ikan nila hitam hasil seleksi yang diproduksi oleh Balai Pengembangan Benih Ikan (BPBI), Wanayasa, Purwakarta, Jawa Barat. Ikan nila Nirwana mempunyai keunggulan dapat tumbuh cepat di perairan tawar. Ikan nila biru (Oreochromis aureus) merupakan ikan yang berasal dari Afrika Utara dan Timur Tengah. Sedangkan ikan nila biru, terang Peornomo, mempunyai keunggulan berupa daya toleransi yang tinggi diperairan payau. Perkawinan silang antara kedua strain ikan nila ini menghasilkan ikan nila Srikandi yang mempunyai karakter tumbuh cepat diperairan payau dengan salinitas atau tingkat garam cukup tinggi diantara 10-30 parts per thousand (ppt). Dari hasil pengujian ikan nila Srikandi di tambak-tambak pantai utara Jawa seperti Karawang, Pekalongan serta Tegal serta pantai selatan Yogyakarta menunjukkan perkembangan sangat baik. Nila Srikandi memiliki karakter pertumbuhan dan sintasan yang lebih baik dibandingkan ikan nila sebelumnya yakni Nirwana dan ikan nila biru. Nila Srikandi memiliki nilai heterosis 13,44 pada karakter bobot dan 20,33 pada karakter sintasan. Disamping itu Balitbang KP juga telah merilis jenis udang galah GI macro II. Udang galah berlabel Genetic Improvement of Macrobrachium rosenbergii (GI Macro) ini terbukti tumbuh lebih cepat baik pada fase pembenihan maupun pembesaran. Udang galah macro II merupakan hasil program seleksi individu di Balai Penelitian Pemuliaan Ikan (BPPI) Sukamandi. Udang ini dibentuk oleh empat strain udang galah alam yang secara geografis berasal dari tempat yang berbeda, yakni Barito (Sungai Barito, Kalsel), Musi (Sungai Ogan, Sumsel), Asahan (Sungai Asahan, Sumut), dan Ciasem ( Sungai Ciasem, Jabar) serta strain udang galah GI Macro koleksi BPPI Sukamandi yang telah melalui proses peremajaan sejak dirilis pada tahun 2001.
28
Udang galah GI Macro II, menurut Poernomo memiliki ketahanan lebih baik dengan sebelumnya. Pertumbuhannya pun lebih cepat, dimana total respon seleksi berdasarkan karakter panjang standar selama empat generasi (F1 sampai F4) diperoleh sebesar 17% atau setara dengan 68% jika berdasar pada karakter bobot udang galah. Selain itu, pengembangan udang galah GI Micro II tidak mensyaratkan teknologi khusus sehingga dapat dikembangkan oleh masyarakat luas, baik melalui teknologi tradisional, semi intensif dan intesif. Kandidat strain udang galah unggul tersebut juga dapat dikembangkan dalam sistem UGADI (Udang Galah Bersama Padi). Melalui pemanfaatan benih udang galah unggul GI Macro II diharapkan dapat mendukung peningkatan produktivitas usaha budidaya udang galah nasional. Di sisi lain, dengan memanfaatkan induk maupun benih udang galah GI Macro II diharapkan mampu mengurangi kegiatan penangkapan yang berlebihan terhadap populasi udang galah di alam. Sehingga kelestarian udang galah di alam tetap terjaga.
Kekurangan dan Kelebihan Teori Pembangunan
A. Kekurangan 1. Teori Model Baru Pembangunan -
Menggunakan berbagai model campuran dalam melaksanakan pembangunan, memilih model baru pembangunan yang sesuai dan apakah baik atau tidak baik diterapkan.
2. Konsep Kemandirian Lokal -
Setiap orang, setiap negara akan bersaing mendapatkan harta sebanyak-banyaknya dengan mengeksploitasi sumberdaya alam yang mereka miliki. Serta adanya disparitas pertumbuhan ekonomi antar wilayah, karena setiap wilayah mempunyai sumberdaya alam yang berbeda.
-
Masyarakat bergantung pada perencanaan dan pengawasan dari pemerintah melalui (bimbingan dan contoh) sampai masyarakat tersebut mampu secara mandiri untuk mngembangkan kreatifitas dan ekonominya sendiri. 29
3. Modifikasi Modernisasi -
Adanya satu ketergantungan negara berkembang kepada negara maju di bidang teknologi, sebagai dampak industrialisasi dari modernisasi.
B. Kelebihan 1. Teori Model Baru Pembangunan -
Merupakan pengembangan dan modifikasi dari teori petumbuhan tradisional yang khusus untuk dirancang untuk menjelaskan kenapa equilibrium pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang bisa positif dan bervariasi di berbagai negara dan mengapa pula arus modal cenderung mengalir dari negara-negara miskin ke Negara-negara maju meskipun rasio modal-tenaga kerja masih rendah.
-
Dalam teori modern ini, faktor-faktor produksi yang krusial tidak hanya banyaknya tenaga kerja dan modal, tetapi juga kualitas SDM dan kemajuan teknologi (yang terkandung di dalam barang modal atau mesin), energi, kewirausahaan, bahan baku, dan material. Bahkan, dalam era globalisasi dan perdagangan bebas dunia saat ini, kualitas SDM dan teknologi merupakan dua faktor dalam satu paket yang menjadi penentu utama keberhasilan suatu bangsa dan negara. Selain itu, faktor-faktor lain yang oleh teori modern juga dianggap sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah ketersedian dan kondisi infrastruktur, hukum, serta peraturan, stabilias poitik, kebijakan pemerintah, birokrasi, dan dasar tukar internasional.
2. Konsep Kemnadirian Lokal -
Holisme adalah acuan utama teori kemandirian lokal. Paham ini meyakini bahwa semesta merupakan perwujudan interkoneksitas, karena itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Holisme juga menyadarkan kita bahwa semesta bukan hanya tanggung jawab kita beserta entitas semesta lainnya tetapi juga merupakan asal dan sekaligus akan menciptakan masa depan setiap entitas. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari semesta setiap entitas ikut berpartisipasi
dalam
proses
evolusi
demi
untuk
menjaga 30
keberlangsungan semesta karena melaui proses itu setiap entitas lahir dan melalui proses yang sama setiap entitas akan berakhir. Hal ini tidak terlalu sulit untuk dilakukan karena setiap entitas selalu ingin menjaga keberlangsungan keberadaannnya. -
Paradigma Holisme-Dialogis (HD) memahami kemenduaan sehingga tidak menolak adanya kebenaran lain.
-
Berorientasi pada peningkatan kualitas manusia (SDM), melalui pemberdayaan (empowering), dan kemnadirian masyarakat sebagai warga negara maupun masyarakat.
3. Modifikasi Modernisasi -
Memodifikasi modernisasi dengan kebutuhan dasar dari suatu negara. Misalnya di Indonesia, Indonesia boleh melakukan industrialisasi dari modernisasi tetapi industrialisasi yang mendukung pangan di Indonesia sesuai dengan keunggulan komparatif. Indonesia memiliki sumberdaya alam yang melimpah di bidang maritim dan agraris, jadi industrialisasi yang dilaksanakan adalah yang mendukung dan mengolah hasil pertanian dan hasil kelautan.
-
GNP (Gross National Product) meningkat dengan industrialisasi.
31
BAB VI PENUTUP
4.1
KESIMPULAN Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam yang salah
satunya adalah bidang kelautan dan perikanan. Akan tetapi sumberdaya alam tersebut belum mampu dikelola dengan baik untuk bisa mewujudkan ketahanan pangan demi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Diperlukan upaya-upaya untuk mengoptimalkan sumber daya ikan (SDI) melalui alternatif manajemen pengelolaan yang baru di bidang kelautan dan perikanan agar sumberdaya alam tersebut dapat dimanfaatkan dengan lebih optimal dan berkelanjutan serta berkesinambungan. Dengan manajemen pengelolaan yang merupakan salah satu model baru pembangunan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat khususnya para nelayan.
4.2
SARAN Menurut
Jeremy
Rifkin
(1991)
dalam
Arief
Budiman
(2000),
menggunakan pandangan konsep politik biosfer yang tidak didasarkan pada negara kebangsaan secara terpisah-pisah tetapi pada bumi sebagai sebuah kesatuan. Keamanan setiap negara kebangsaan bukan ditentukan melalui jalan masing-masing negara berusaha memperkuat dirinya, melainkan melaui pemeliharaan bersama bumi ini. Hanya dengan pemeliharaan bersama inilah kita juga sekaligus memelihara masa depan kita masing-masing, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa. Begitulah konsep baru yang sedang dikembangkan oleh para ahli sekarang, meskipun semuanya masih dalam taraf permulaan. Tetapi, tampaknya dunia kita sekarang masih dikuasai oleh konsep lama dari ekonomi persaingan bebas. Setiap orang, setiap negara, masih sibuk bersaing untuk mendapatkan harta benda sebanyak-banyaknya untuk mengamankan dirinya di masa depan. Jalan pikiran yang ada sekarang ialah mereka yang sekarang berhasil memiliki paling banyak, merekalah yang akan meraih masa depan. Akibatnya, setiap orang dan setiap negara berebut untuk memiliki sebanyak32
banyaknya. Dalam sistem semacam ini, yang kuatlah yang akan menang, yang kuatlah yang punya masa depan. Karena itu tidaklah berlebihan kalau David Korten berpendapat bahwa apa yang dilakukan orang sekarang adalah mengobati penyakit baru dengan resep lama. Dari kenyataan ini, bandingkan dengan pandangan Barbara Ward dan Rene Dubos dalam bukunya Only One Earth (1972), atau buku yang lebih mutakhir yang ditulis oleh David Korten (1990). Dalam karyanya ini Korten menyatakan bahwa kita harus sadar bahwa bumi kita sekarang merupakan sebuah kapal-ruang-angkasa. Dalam sebuah kapal-ruang-angkasa, tidak tepat kalau kita menjalankan kebijakan ekonomi persaingan pasar bebas, dimana tiap-tiap individu berusaha memaksimalkan kemampuannya untuk
mendapatkan sebanyak-
banyaknya. Dalam sebuah kapal-ruang-angkasa, yang harus kita jalankan adalah sistem perekonomian kebersamaan, karena keselamatan dari individu yang satu tergantung pada keselamatan dari individu lainnya. Hal ini hampir sama dengan konsep politik biosfer yang dikembangkan oleh Jeremy Rifkin. Meskipun teori ini masih tampaknya merupakan konsep pinggiran yang masih belum diterima. Konsep ini masih harus diperjuangkan dengan gigih, dan mungkin akan memakan waktu yang lama sebelumpada akhirnya bisa diterima. Pendapat dan pandangan mengenai politik biosfer dan bumi itu sebagai sebuah kapal-ruang-angkasa setidaknya menjadi jawaban baru yang lebih baik. Serta menyadarkan kita bahwa kita harus menjaga bumi ini agar tetap hijau tidak tercemari oleh bahan kimia, dan sumber daya alam di dalamnya tetap terjaga kelestariannya
dengan
tidak
meneksploitir
bumi
tanpa
memperhatikan
keberlangsungan bumi ini.
33
DAFTAR PUSTAKA
Amien, Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal: Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru. Makassar: Universitas Hasanuddin. Badan Pusat Statistik. 2011. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2011. Jakarta: BPS Bastian, Indra. 2007. Akuntansi untuk LSM dan Partai Politik. Jakarta: Erlangga BRKP dan LIPI. 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Kerjasama PRPT-BRKP-DKP dan PPPO-LIPI, Jakarta. 125 hal. Budiman, Arief. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama DJPB. 2013. Statistik Menurut Jenis Budidaya 2013. Diakses melalui http://www.djpb.kkp.go.id/download/Statistik%20menurut%20jenis%20b udidaya%202013.pdf, [7-1-2015]. Hariyadi, Purwiyatno. 2011. Tantangan Ketahanan Pangan Nasional. Makalah dalam seminar dan Sosialisasi Program Indofood Riset Nugraha 2011. UGM-Yogyakarta. Hukum Online. 2012. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Diakses
melalui
http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt50b48fe0bfe90/nprt/lt4f2a 51338fbaf/uu-no-18-tahun-2012-pangan, [5-1-2015]. Jaya, I. 2009. Peluang, Tantangan dan Agenda Riset Ketahanan Pangan Bidang Perikanan. Makalah dalam Seminar Perikanan dan Perspesifik Islam. FPIK-IPB Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Data Statistik Kelautan dan Perikanan. Diakses melalui http://statistik.kkp.go.id/, [7-1-2015]. Korten, David. 1990. Getting to the 21th Century, Voluntary Action and the Global Agenda. West Hardford: Kumarian Press. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI 34
Rafkin, Jeremy. 1991. Biosphere Politics: A New Consciousness for a New Century. New York: Crown Publishers, Inc. Rahardjo,
M.
Dawam.
2008.
Makalah
Paradigma
Pembangunan
di
Persimpangan Jalan. Disampaikan pada Dies Natalis IPB ke-45 dengan Tema” Konvergensi Nasional untuk Kemandirian Pangan dan Energi Menuju Kedaulatan Bangsa di Bogor, [30 Oktober 2008]. Raz/Zal/Frn/Lkt/Edn/Ana. Koran Harian Kompas. 11 Desember 2014. “Kapal Ilegal: MA Tambah Pengadilan Perikanan”. Halaman pertama dari 32 halaman. Said, Abdullah. 2014. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Materi yang disampaikan pada Matakuliah Teori Pembangunan. UB-Malang Santoso, Ferry. Koran Harian Kompas. 11 Desember 2014. “Penangkapan Ikan Ilegal: Ironi Negara Maritim”. Halaman 17 dari 32 halaman. Sopari, Hery. t.t. Paradigma/Teori/Konsep Pembagunan yang Tepat untuk Indonesia.
Diakses
melalui
https://www.academia.edu/6978344/_Paradigma_Teori_Konsep_Pembang unan_yang_Tepat_untuk_Indonesia_, [8-1-2015]. Sucipto. 2012. Mengurai Problema Pemenuhan Pangan Rakyat. Bogor: IPB Syah, Achmad Fachruddin. 2012. Alternatif Pengelolaan Kelautan dan Perikanan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional. Makalah dalam Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012. Fakultas PertanianUniversitas Trunojoyo Madura Jini 2012. Ward, Barbara & Rene Dubos. 1972. Only One Earth. New York: Norton.
35