UNIVERSITAS INDONESIA
OPTIMALISASI PEMENUHAN OKSIGEN MELALUI INHALASI MENGGUNAKAN CAIRAN SALIN HIPERTONIK DENGAN PENDEKATAN MODEL KONSERVASI LEVINE
KARYA ILMIAH AKHIR
Oleh : LINDA SARI BARUS 1306346020
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN ANAK FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, JUNI 2016
i Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan YME karena penyertaan dan berkat yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya Ilmiah Akhir (KIA) yang berjudul: Optimalisasi Pemenuhan Oksigen Melalui Inhalasi Menggunakan Cairan Salin Hipertonik Dengan Pendekatan Model Konservasi Levine. KIA ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengalaman praktik residensi serta penerapan intervensi pemenuhan oksigen melalui inhalasi cairan salin hipertonik dengan pendekatan Model Konservasi dari Myra E. Levine dalam pelaksanakan asuhan keperawatan pada klien anak dengan gangguan pemenuhan oksigen di ruang Infeksi Anak. Banyak bimbingan dan arahan serta dukungan dari berbagai pihak dalam proses penyusunan KIA ini. Untuk itu, penulis menyampaikan penghargaan, rasa hormat dan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Nani Nurhaeni S.Kp., MN., selaku Supervisor Utama yang telah memberikan waktu, dukungan, bimbingan, dan pemahaman dalam penyusunan KIA ini. 2. Ibu Dessie Wanda, S.Kp., MN., Ph.D., selaku Supervisor yang telah memberikan waktu, bimbingan, arahan, pemahaman dan masukan dalam penyusunan KIA ini. 3. Ibu Dra. Junaiti Sahar, S.Kp., M. App.Sc., PhD., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 4. Ibu Dr. Novy H. Catharina Daulima, S.Kp., M.Sc., selaku Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 5. Seluruh staf akademik dan non akademik Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah menyediakan fasilitas dan dukungan demi kelancaran penyusunan KIA ini. 6. Direktur, Kepala Ruangan serta perawat ruang Infeksi Anak Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto atas
iv Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
dukungan dan kesempatan yang diberikan kepada residen keperawatan anak untuk melakukan praktik. 7. Keluarga yang selalu memberi dukungan demi kelancaran selama menjalani studi ini. 8. Rekan-rekan Residensi Ners Spesialis Keperawatan Anak Universitas Indonesia angkatan 2015/2016, yang telah memberikan semangat dan masukan kepada penulis selama studi. 9. Pihak-pihak terkait lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari Karya Ilmiah ini masih jauh dari sempurna, namun penulis mengharapkan Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu keperawatan anak selanjutnya.
Depok, Juni 2016
Penulis
v Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Linda Sari Barus : Ners Spesialis Keperawatan Anak : Optimalisasi Pemenuhan Oksigen Melalui Inhalasi Menggunakan Cairan Salin Hipertonik Dengan Pendekatan Model Konservasi Levine
Anak dengan gangguan pernapasan sering mengalami ketidakefektifan bersihan jalan napas akibat sekret yang menumpuk. Pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan oksigenasi dapat dioptimalkan melalui inhalasi menggunakan cairan salin hipertonik. Penggunaan model konservasi Levine dapat diaplikasikan dalam penerapan asuhan keperawatan yang menerapkan prinsip konservasi energi, konservasi integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial. Perlunya berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam pelaksanaan intervensi sebagai upaya memperbaiki kerusakan silia yaitu menerapkan konservasi integritas struktural. Dukungan sarana prasarana seperti alat nebuliser, pengadaan kemasan dan penyimpanan cairan salin hipertonik dapat meningkatkan kompetensi perawat spesialis dalam melakukan praktek pada anak dengan gangguan pemenuhan oksigenasi. Kata Kunci: Bersihan jalan napas, Inhalasi cairan salin hipertonik, Model Konservasi Levine
vii Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
ABSTRACT
Nama Program Studi Title
: : :
Linda Sari Barus Pediatric Nursing Spesialist Program Optimization of Oxygenation throught Inhalation with Hipertonic Saline Using Levine’s Conservation Model
Children who experience respiratory distress often encounter ineffective airway clearance caused by secret accumulation. Nursing care in children with oxygenation disturbance can be optimized through the use of hypertonic saline inhalation. The use of Levine’s conservation model applied in the implementation of nursing care facilitated children’s energy conservation, structural integrity conservation, personal integrity and social integrity. There was a need for collaboration with other health professionals in the implementation of the intervention as an effort to repair the damage of cilia, namely implementing structural integrity conservation. Infrastructure support such as nebuliser, packaging procurement and storage of hypertonic saline may improve the competence of specialist nurses in practice in children with impaired oxygenation fulfillment. Keywords: Airway clearance, hypertonic saline inhalation, Levine’s conservation model
viii Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN SAMPUL ............................................................................................. PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................................... HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. KATA PENGANTAR .............................................................................................. PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................................................................. ABSTRAK ............................................................................................................... ABSTRACT ............................................................................................................. DAFTAR ISI ............................................................................................................ DAFTAR TABEL ..................................................................................................... DAFTAR SKEMA .................................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................
i ii iii iv vi vii viii ix xi xii xiii xiv
BAB 1: PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1.2. Tujuan ......................................................................................................... 1.3. Sistematika Penulisan .................................................................................
1 4 5
BAB 2: APLIKASI TEORI KEPERAWATAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN 2.1. Gambaran Kasus ......................................................................................... 6 2.2. Kebutuhan Oksigenasi ............................................................................... 11 2.3. Inhalasi ....................................................................................................... 20 2.4. Integrasi Teori dan Konsep dalam Proses Keperawatan ........................... 26 2.5. Aplikasi Levine pada Kasus Terpilih ......................................................... 30 BAB 3: PENCAPAIAN KOMPETENSI 3.1. Pencapaian Kompetensi Sesuai Area Peminatan ........................................ 3.2. Peran Ners Spesialis Keperawatan Anak ................................................... 3.3. Pembahasan Praktek Spesialis Keperawatan Anak dalam Pencapaian Kompetensi ................................................................................................ 3.4. Implementasi Evidence Based Practice .....................................................
46 48 50 52
BAB 4: PEMBAHASAN 4.1 Penerapan Model Konservasi pada Asuhan Keperawatan Anak dengan Gangguan Pemenuhan Oksigen .................................................................. 55 4.2 Kekuatan dan Keterbatasan Model Konservasi Levine .............................. 60 BAB 5: SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan .................................................................................................... 62 5.2. Saran .......................................................................................................... 63
ix
Universitas Indonesia
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
Universitas Indonesia
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Anak sangat rentan mengalami sakit di tahun-tahun pertama kehidupannya (Hockenberry & Wilson, 2013). Hal ini tergambar pada data di Amerika yang menunjukkan bahwa alasan umum anak kurang dari dua tahun yang dirawat di rumah sakit (RS) di Amerika adalah bronchiolitis akut, yang termasuk dalam infeksi saluran pernafasan (Zhang, Mendoza-Sassi, Klassen and Wainwright, 2015). Di Indonesia, infeksi saluran pernapasan merupakan penyakit kedua terbanyak yang menyebabkan kematian pada balita sesudah diare (Riskesdas, 2013; Kemenkes RI, 2011). Penyakit infeksi pernapasan yang tercatat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang merupakan RS rujukan nasional ada 58 kasus yaitu Bronkopneumonia, Pneumonia, Asma, Efusi Pleura dan Meningitis TB (Laporan Distribusi Jenis Penyakit Ruang Rawat Lantai 1 Zona A, Gedung A, 2015).
Infeksi saluran pernapasan menyebabkan reaksi inflamasi yang meningkatkan produksi sekret yang banyak (Potter & Perry, 2010). Penumpukan sekret yang terjadi membuat keadaan patologis pada anak yang mengganggu pernapasan (Zhang, Mendoza-Sassi, Klassen and Wainwright, 2015). Seorang anak belum mampu mengeluarkan sekret lewat batuk secara efektif sehingga menyebabkan sekret menumpuk pada saluran pernapasan yang mengganggu proses oksigenasi.
Pada anak salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi adalah kebutuhan oksigen Oksigen diperlukan untuk menopang kehidupan (Potter & Perry, 2010). Oksigen merupakan kebutuhan fisiologis bagi semua manusia (Poston, 2009). Oksigen dibutuhkan oleh tubuh dalam menjaga kelangsungan metabolisme sel yaitu mempertahankan hidup, aktivitas sel, jaringan dan organ (Saputra, 2012). Oleh sebab itu oksigen menjadi kebutuhan dasar manusia yang paling vital (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011).
1
Universitas Indonesia
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
2
Pemenuhan kebutuhan dasar oksigenasi dipengaruhi juga dengan sistem cardiovaskuler dan darah. Darah yang teroksigenasi melalui mekanisme ventilasi, perfusi, dan transportasi. Persarafan dan regulator kimia mengontrol kecepatan dan kedalaman respirasi dalam memberikan respon terhadap perubahan kebutuhan oksigen jaringan (Potter & Perry, 2010). Saat sistem-sistem dalam tubuh tidak seimbang akan terjadi mekanisme yang tidak adekuat dan membuat masalah kekurangan oksigen (Stiwell, 2011).
Perawat berperan dalam pemenuhan kebutuhan dasar oksigenasi (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011). Salah satu masalah keperawatan adalah bersihan jalan nafas tidak efektif akibat penumpukan sekret yang menyebabkan jalan nafas tersumbat yang akhirnya mendukung terjadinya obstruksi jalan nafas. Hal ini beresiko terjadi pada bayi dan anak dimana anak tidak dapat mengeluarkan sekret dan menimbulkan masalah yang berat (Mecllwaine, 2007). Intervensi keperawatan yang dapat meningkatkan mobilisasi sekresi pulmonal ini antara lain hidrasi, humidifikasi, fisioterapi dada dan inhalasi (Potter & Perry, 2010).
Inhalasi adalah pemberian obat dalam bentuk uap langsung menuju organ pernapasan yaitu hidung menuju paru-paru menggunakan alat nebulizer (Daniels, Mills, & Whitaker, 2013). Inhalasi dilakukan dengan menambah kelembapan atau medikasi untuk mengalirkan udara dengan mencampurkan partikel dari berbagai ukuran dengan udara. Penyemprotan menyebarkan sejumlah besar tetesan udara atau partikel dari ukuran yang diinginkan dalam udara yang mengalir (Potter & Perry, 2010).
Kelembapan yang ditambahkan melalui inhalasi meningkatkan pembersihan sekret pulmonal. Inhalasi digunakan untuk memasukkan agen bronkodilator dan mukolitik. Ketika lapisan tipis cairan pendukung lapisan mukosa diatas silia mengering, silia menjadi rusak dan tidak dapat dengan adekuat membersihkan jalan napas. Humidifikasi melalui inhalasi meningkatkan pembersihan mukosiliari, mekanisme normal tubuh untuk memindahkan sekret dari sel-sel mati di saluran pernapasan (Potter & Perry, 2010).
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
3
Inhalasi menjadi salah satu standar penanganan perawatan yang bersifat supportive selain pemberian oksigen dan memberikan kebutuhan cairan dan nutrisi yang cukup pada anak (Sharma, Gupta & Rafik, 2013). Banyak klinisi di Indonesia menggunakan agonis β2 ditambahkan dengan NaCl 0,9% pada saat inhalasi, hal ini dilakukan tanpa alasan yang jelas (Idrus, Yunus, Andarini, & Setiawati, 2012). Namun beberapa penelitian melaporkan penggunaan inhalasi dengan cairan salin hipertonik dapat menurunkan obstruksi jalan nafas berhubungan dengan mekanisme bersihan mucociliary yang potensial menjadi penanganan efektif pada anak (Zhang, Mendoza-Sassi, Klassen and Wainwright, 2015).
Perawat sebagai bagian dari pemberi layanan kesehatan harus ikut berperan dan berfokus pada menerjemahkan bukti-bukti hasil penelitian agar dapat diaplikasikan ke dalam praktek klinis agar pelayanan kesehatan lebih efisien dan efektif (Zentz, 2011). Perawat sebagai tenaga medis dapat berkolaborasi dengan tenaga medis dalam hal ini dokter melakukan intervensi pemberian cairan salin hipertonik pada pasien-pasien infeksi saluran napas yang terpilih sebagai upaya dalam menurunkan infeksi saluran pernapasan. Hal ini dapat menanggulangi keadaan patologi akibat kerusakan silia yang mengarah ke penurunan bersihan jalan napas (Zentz, 2011).
Keadaan patologi pada beberapa saluran pernapasan dapat menyebabkan oksigen menjadi tidak adekuat dan metabolisme yang terjadi menjadi metabolisme anaerob. Saat kekurangan oksigen ini berlanjut terus menerus, kebutuhan metabolik menjadi tidak tercukupi dan hasilnya menghasilkan laktat. Menurut Stiwell (2011) Metabolisme anaerob akan menghasilkan energi yang lebih sedikit dibanding metabolisme aerob.
Pendekatan model konservasi Levine telah diterapkan dalam asuhan keperawatan pada perawatan bayi prematur. Beberapa kondisi patologi yang terjadi pada bayi prematur dapat dihubungkan dengan efek racun akibat pemakaian oksigen yang berlebihan. Perawat dalam hal ini bertanggung jawab dalam pengaturan pemberian konsentrasi oksigen (Mefford & Alligood, 2011).
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
4
Pendekatan model konservasi Levine bertujuan menjaga keseimbangan energi, sehingga persediaan energi digunakan untuk tumbuh dan berkembang. Konservasi energi pada anak dengan gangguan pernapasan meliputi kemampuan anak mempertahankan keefektifan ventilasi, oksigenasi dan sirkulasi. Konservasi integritas struktural pada anak dinilai dari peningkatan berat badan, dan usia anak saat lahir. Konservasi integritas sosial dinilai dari karakteristik sistem keluarga untuk mempersiapkan anak berada dalam lingkungan sosial (Mefford & Alligood, 2011).
Pendekatan Model Konservasi Levine pada anak bertujuan mencapai tingkat kesehatan yang menyeluruh (wholeness). Dengan mempertahankan aspek fisik, psikologis dan sosial sehingga anak yang mengalami masalah oksigenasi dapat mengatasi gangguan oksigenasi. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan penggunaan inhalasi dengan cairan salin hipertonik pada anak dengan melibatkan keluarga pada anak yang mengalami gangguan oksigenasi.
1.2
Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum Memberikan gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada anak yang mengalami gangguan oksigenasi dengan pendekatan model konservasi Levine
1.2.2 Tujuan Khusus a. Memberikan gambaran proses intervensi inhalasi dengan cairan salin hipertonik pada anak yang mengalami gangguan oksigenasi dengan pendekatan Model Konservasi Levine b. Memberikan gambaran pendekatan Levine pada anak dengan masalah oksigenasi c. Memberikan gambaran dan analisis kasus pada anak yang mengalami gangguan oksigenasi berdasarkan teori konservasi. d. Memberikan gambaran pencapaian kompetensi dalam praktek spesialis
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
5
1.3
Sistematika Penulisan
Karya ilmiah akhir ini terdiri dari lima bab. Bab satu pendahuluan mencakup latar belakang, tujuan dan sistematika penulisan. Bab dua aplikasi teori keperawatan pada asuhan keperawatan yang meliputi tentang gambaran kasus, kebutuhan oksigenasi, inhalasi, integrasi teori dan konsep dalam proses keperawatan, aplikasi Levine pada kasus terpilih. Bab tiga mencakup pencapaian kompetensi sesuai area peminatan, pembahasan praktek spesialis keperawatan anak dalam pencapaian kompetensi, implementasi evidence based nursing practice. Bab empat adalah pembahasan yang terdiri dari penerapan model konservasi pada asuhan keperawatan anak dengan gangguan pernapasan, kekuatan dan keterbatasan model levine. Bab lima mencakup simpulan dan saran.
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
BAB 2 APLIKASI TEORI KEPERAWATAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN Bab ini berisi gambaran kasus kelolaan, tinjauan teori mengenai oksigenasi dan inhalasi dengan cairan salin hipertonik, dan aplikasi teori dalam melakukan asuhan keperawatan pada kasus terpilih. Teori keperawatan yang digunakan dalam asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi adalah teori konservasi dari Myra E. Levine. Asuhan keperawatan berdasarkan teori konservasi Levine ini terdiri dari pengkajian, menegakkan diagnosis keperawatan sesuai masalah keperawatan, menyusun intervensi keperawatan, implementasi dan evaluasi.
2.1 Gambaran Kasus Kelima kasus yang dikelola yaitu kelimanya mengalami gangguan oksigenasi yang disebabkan karena bersihan jalan nafas yang tidak efektif. Residen akan memaparkan gambaran singkta kelima kasus kelolaan terlebih dahulu. Kasus utama yang akan dibahas lebih lengkap yaitu An. A.L.C. Kasus lain yang menjadi kajian yaitu An M, An. J, An. N.G dan An. M.D.
2.1.1 Kasus 1 Anak A.L.C, perempuan, usia 6 bulan Tanggal 8 Maret 2016 masuk UGD RSCM karena Demam masih naik turun walaupun sudah diberi parasetamol, batuk dan nafas terdengar grok-grok kadang-kadang disertai muntah dan juga mencret 4-5x/hari berampas dan berlendir, warna coklat tua dan tidak ada darah. Dari status diketahui saat di IGD didapatkan Nadi 140x/menit, pernafasan 48x/menit nafas cuping hidung ada, saturasi oksigen 88-93% tanpa oksigen, dengan oksigen ½ liter/menit saturasi oksigen 97-98%. An. A..L.C diberikan oksigen 2 liter/menit via nasal canul saat ke ruangan. An. A.L.C dipasang IV line stopper dan diperiksa laboratorium: Darah lengkap, ureum creatinin, SGOT, SGPT, GDS, AGD, Elektrolit, urine lengkap dan rontgen thorax. Therapi Ceftazidim 4x300 mg (IV). An A didiagnosis TB milier on OAT, Meningitis TB, Hospital Acquired Pneumoni, Diare melanjut tanpa dehidrasi, Penurunan kesadaran. lalu dipindahkan ke ruang infeksi tanggal 9 Maret 2016.
6
Universitas Indonesia
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
7
Pengkajian tanggal 14 Maret 2016 didapatkan An. A.L.C kesadaran kompos mentis, GCS 15, sesak, batuk ada, nafas cuping hidung ada. Terpasang infus di kaki kanan NaCL 0,9%+KCL 10 mEq 8cc/jam, terpasang oksigen ½ liter/menit saturasi oksigen 90%, terpasang NGT. Hasil pengukuran tanda-tanda vital suhu 37°C, nadi 120x/menit, pernafasan 40x/menit. BB 5,7 kg, TB 60 cm status gizi baik.
Masalah keperawatan yang dirumuskan pada An. A.L.C. yaitu; 1) Bersihan jalan nafas tidak efektif; 2) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit; 3) PK: Infeksi. Intervensi yang telah dilakukan pada An. A.L.C diantaranya adalah memonitor tanda-tanda vital, memonitor status neurologi, memberikan oksigen, memberikan inhalasi, mengatur posisi, mengauskultasi suara napas, memonitor intake dan output, melibatkan keluarga dalam pemberian asupan nutrisi enteral, memberikan terapi sesuai dengan progam, memonitor pemeriksaan laboratorium, menciptakan lingkungan yang nyaman bagi anak.
Pada tanggal 21 Maret 2016 kesadaran An. A.L.C kompos mentis, suara nafas vesikuler, tidak menggunakan oksigen tanda-tanda vital normal. Dokter mengijinkan pulang dan kontrol kembali ke poliklinik sesuai jadwal.
2.1.2 Kasus 2 An. M, laki-laki, usia 8 bulan pada tanggal 28 Februari 2016 dibawa ke UGD karena sesak, 1 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien batuk pilek disertai mual, dan muntah berlendir yang bercampur susu. Pasien didiagnosis Bronkiolitis dd Pneumonia komunitas HAP, Gizi kurang, VSD infundibular dan dipindahkan ke ruang rawat infeksi anak pada tanggal 28 Februari 2016 jam 19.00 WIB.
Saat pengkajian dilakukan pada tanggal 29 Febuari 2016, keadaan umum An. M lemah, sesak nafas, tingkat kesadaran compos mentis, Glasgow Coma Scale (GCS) E4M6V5= 13. Auskultasi suara nafas vesikuler, ditemukan ronchi kasar di kedua lapang paru, stridor dan wheezing ada saat expirasi. Ditemukan pernapasan cuping hidung. Terpasang oksigen 1 liter/menit dengan binasal kanul dan Naso gastric tube (NGT). Hasil pengukuran tanda vital suhu 37,1°C, frekuensi nadi 124x/menit,
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
8
cukup kuat dan regular, frekuensi nafas 26x/menit. Berat badan 5380 gram dan tinggi badan 65 cm.
Masalah keperawatan yang dirumuskan pada An. M yaitu; 1) Bersihan jalan nafas tidak efektif; 2) Penurunan curah jantung; 3) Nutrisi kurang dari kebutuhan; Intervensi yang telah dilakukan pada An. M diantaranya adalah memonitor tandatanda vital dan kesadaran, memonitor kepatenan nafas, mengatur posisi semi fowler, mengauskultasi suara napas, memonitor tanda-tanda dehidrasi, memonitor intake dan output, melibatkan keluarga dalam memantau asupan nutrisi, memberikan terapi sesuai dengan program termasuk inhalasi, memonitor pemeriksaan laboratorium dan menciptakan lingkungan yang nyaman bagi anak.
Pada hari perawatan kelima belas anak dipindahkan ke ruang isolasi karena terdiagnosa morbili, hari ketujuh belas mengalami gagal nafas, indikasi ruang intensif dan di rujuk ke RS lain.
2.1.3 Kasus 3 An. J., laki-laki, usia 17 tahun 7 bulan. Tanggal 10 Februari 2016 masuk IGD RSCM dengan keluhan nyeri kepala disertai demam sejak 2 minggu. Sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit anak seperti linglung, kurang lebih 12 jam sebelum masuk rumah sakit anak tidak nyambung saat diajak bicara dan cenderung tidur. Sejak 2 bulan mengalami penurunan berat badan dari 45 kg menjadi 40 kg. Pasien didiagnosis Penurunan kesadaran ec. Meningitis TB, Edema cerebri, Pneumonia, Gizi buruk marasmik, Riwayat hiponatremi masuk ruang infeksi tanggal 11 Februari 2016.
Pengkajian tanggal 18 Februari 2016, klien dirawat di ruang isolasi dan memasuki hari perawatan ke-9. Kesadaran sopor, GCS (E3M5V2=10). Auskultasi suara nafas ronchi di kedua lapang paru, tampak sesak, batuk, cuping hidung dan retraksi dada intercostal dan suprasternal ada, pernapasan 32-36x/menit dengan oksigen 10 liter/menit melalui non rebreating mask (NRM) saturasi oksigen 93-97%. Kebutuhan nutrisi diberikan enteral melalui NGT dan Parenteral melalui longline
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
9
di femur dextra. BAK lewat cateter. Hasil pengukuran tanda-tanda vital adalah tekanan darah 102/67 mmHg, suhu 38,5°C, nadi 102x/menit.
Masalah keperawatan yang dirumuskan pada An. J. yaitu; 1) Bersihan jalan nafas tidak efektif; 2) Gangguan perfusi jaringan cerebral; 3) Nutrisi kurang dari kebutuhan. Intervensi yang telah dilakukan pada An. J. diantaranya adalah memonitor tanda-tanda vital dan kesadaran, memonitor jalan napas, memberikan inhalasi, suction, mengatur posisi semi fowler, mengauskultasi suara napas, memonitor intake dan output, memberi nutrisi enteral dan parenteral. Memberikan terapi sesuai program, memonitor laboratorium.
Tanggal 21 februari 2016 An. J. dipindahkan ke ruang ICU karena terjadi gagal napas, dipindahkan ke ruang biasa dan akhirnya meninggal.
2.1.4 Kasus 4 An. N.G, laki-laki, usia 8 tahun 1 bulan, dibawa ke IGD RSAB karena demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) awal demam sejak 1 bulan dan sesak nafas. An. N.G dengan hydrocephalus on VP shunt, cerebral palsy, dan gastrostomy. Diagnosa awal masuk ruang infeksi yaitu Anemia berat ditunjang hasil laboratorium hemoglobin (Hb) 3,6 g/dL. Tanggal 29 Maret 2016 dilakukan pengkajian didapatkan keadaan umum tampak lemah, pucat, konjungtiva anemis, terpasang IUVD di lengan kiri sedang transfusi PRC (packed red cell) 100 cc. Hasil pengukuran tanda-tanda vital tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 100x/menit, napas 34x/menit saturasi 94-95% dengan oksigen 2 liter/menit dengan binasal kanul, suhu 36,7°C. Berat badan 16 kg dan tinggi badan 106 cm.
Masalah keperawatan yang dirumuskan pada An. N.G. yaitu; 1) Bersihan jalan nafas tidak efektif; 2) Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan; 3) Kerusakan integritas kulit. Intervensi yang telah dilakukan pada An. N.G diantaranya adalah memonitor tanda-tanda vital dan status neurologis, memonitor kepatenan penggunaan oksigen, mengatur posisi semi fowler, mengauskultasi suara napas,
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
10
memonitor intake dan output, Transfusi PRC, melibatkan pengasuh dalam memberikan dan memantau asupan nutrisi, memberikan terapi sesuai dengan progam bactesyn 2x1 gram (iv), baclofer 3x2 mg, PCT 3x½ cth, aspilet 1x60 mg, maltofer 2x1 cth, inhalasi ventolin 3x/hari, myco Z 2x/hari, memonitor pemeriksaan laboratorium dan menciptakan lingkungan yang nyaman bagi anak.
Hari perawatan ketujuh pasien tampak tidak anemis, sesak minimal, batuk kadangkadang. Tanda-tanda vital dalam batas normal, intake dan output seimbang, Hasil Laboratorium Hb 12 g/dL. Tanggal 4 April 2016 dokter memperbolehkan An. N.G pulang..
2.1.5 Kasus 5 Anak M.D, laki-laki, usia 6 tahun. Tanggal 5 April 2016 masuk UGD RSAB kerena sesak, pernapasan 40x/menit disertai wheezing dan ronchi. Selama di UGD diberikan inhalasi sampai 3x pemberian lalu dipasang IUVD KaEN 1B 15 tetes/menit. Pasien didiagnosis Asma bronkial attack sedang berat dd/ bronkiolitis dan dipindahkan ke ruang gambir tanggal 6 April 2016 pukul 05.00 WIB.
Tanggal 6 April 2016 pukul 07.30 WIB dilakukan pengkajian, An. M. D tampak sesak dan lemah, terpasang oksigen 2 liter/menit dengan binasal kanul, IVFD di lengan kiri KaEN 15 tetes/menit. Auskultasi suara nafas wheezing dan ronchi dikedua lapang paru, retraksi dada suprasternal minimal dan nafas cuping hidung ada, sesekali batuk dan tampak lemah. Hasil pengukuran tanda-tanda vital tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 86x/menit, napas 40x/menit, suhu 36,7°C, saturasi oksigen 90-93%. Berat badan 17 kg dan tinggi badan 109 cm.
Masalah keperawatan yang dirumuskan pada An. M.D. yaitu; 1) Bersihan jalan nafas tidak efektif; 2) Nutrisi kurang dari kebutuhan; 3) Pola nafas tidak efektif. Intervensi yang telah dilakukan pada An. M.D diantaranya adalah memonitor tanda-tanda vital, memonitor kepatenan penggunaan oksigen, mengatur posisi semi fowler, mengauskultasi suara napas, memonitor tanda-tanda dehidrasi, memonitor intake dan output, melibatkan keluarga dalam memantau asupan
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
11
nutrisi, melakukan discharge planning pada keluarga, memberikan terapi sesuai dengan program inhalasi dengan ventolin dan pulmicort 3x/hari, memonitor pemeriksaan laboratorium dan menciptakan lingkungan yang nyaman bagi anak.
Pada hari perawatan ketiga pasien sudah tidak sesak, tanda-tanda vital dalam batas normal, makan dan minum mau sehingga tanggal 6 April 2016 dokter sudah memperbolehkan An. M.B. pulang.
2.2 Kebutuhan Oksigenasi Oksigen diperlukan dalam kehidupan. Sistem jantung dan pernafasan menyediakan kebutuhan oksigen tubuh. Darah teroksigenasi melalui mekanisme ventilasi, perfusi, dan transportasi. Persarafan dan regulator kimia mengontrol kecepatan dan kedalaman respirasi dalam memberikan respon pada perubahan kebutuhan oksigen jaringan (Potter & Perry, 2010).
Fisiologi kardiopulmonal meliputi penghantaran darah yang terdeoksigenasi (darah dengan kadar karbondioksida yang tinggi dan oksigen yang rendah) ke bagian kanan jantung dan ke sirkulasi pulmonal, serta darah yang teroksigenasi (darah dengan kadar oksigen yang tinggi dan karbondioksida yang rendah) dari paru ke bagian kiri jantung dan jaringan. Sistem jantung mengantarkan oksigen, nutrisi, dan substansi lain ke jaringan dan memindahkan produk sisa dari metabolisme seluler melalui vascular dan sistem tubuh lain (misalnya respirasi, pencernaan, dan ginjal) (Potter & Perry, 2010; McCance dan Huether, 2005).
Oksigen merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling vital. Oksigen dibutuhkan tubuh dalam menjaga kelangsungan metabolisme sel sehingga dapat mempertahankan hidup dan aktivitas berbagai sel, jaringan atau organ (Saputra, 2012). Oksigen adalah suatu gas tidak berwarna dan tidak berbau yang terkandung dalam sekitar 21 % udara yang kita hirup, sangat dibutuhkan bagi semua kehidupan sel (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2011; Berman & Snyder, 2012). Oksigenasi merupakan proses penambahan oksigen ke dalam sistem (kimia atau fisika). Penambahan oksigen ke dalam tubuh dapat dilakukan secara alami dengan
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
12
cara bernafas. Pernapasan atau respirasi merupakan proses pertukaran gas antara individu dan lingkungannya. Pada saat bernafas, tubuh menghirup udara untuk mendapatkan oksigen dari lingkungan dan menghembuskan udara untuk mengeluarkan karbondioksida ke lingkungan (Saputra, 2012). 2.3.1 Sistem Tubuh manusia yang berhubungan dengan Oksigenasi Kebutuhan oksigen dalam tubuh akan terpenuhi dan bergantung dari sistem pernapasan, kardiovaskuler dan hematologi yang akan dibahas dibawah ini: a. Anatomi fisiologi pernapasan Pernapasan adalah suatu proses pertukaran gas antara individu dengan lingkungan. Proses pernapasan melibatkan dua komponen yaitu ventilasi paru atau pernapasan yang merupakan perpindahan udara antara lingkungan dengan alveolus paru serta difusi oksigen dan karbondioksida antar alveolus dan kapiler paru (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2012; Potter & Perry, 2010).
Secara anatomis, sistem pernapasan dibagi menjadi dua yaitu saluran napas atas dan saluran napas bawah. Struktur utama pada saluran nafas bagian atas meliputi kavum nasi, faring dan laring yang terdapat di dalam kepala dan leher. Fungsi utama saluran napas atas adalah menghangatkan, menyaring dan melembabkan udara yang dihirup pada saat inspirasi (Chang, Daly & Elliott, 2010). Kavum nasi dilapisi oleh membran mukosa. Permukaan membran mukosa akan menghasilkan lendir yang berfungsi melembabkan dan menghangatkan udara yang masuk ke pau-paru. Pada permukaan mukosa terdapat rambut-rambut yang berfungsi menyaring debu atau kotoran yang masuk ke rongga hidung (Saputra, 2012). Menurut Andarmoyo (2012), selain fungsi tersebut hidung juga berfungsi membunuh kuman yang masuk melalui leukosit yang ada dalam selaput lendir mukosa hidung.
Faring merupakan saluran berbentuk corong dan digunakan bersama oleh sistem pernapasan dan pencernaan (Chang, Daly & Elliott, 2010). Faring kaya akan pasokan jaringan limfe yang menangkap dan menghancurkan patogen yang masuk bersama dengan udara (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2011). Dipangkal faring (batas faring dan laring) terdapat epiglotis yang menjaga agar makanan tidak
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
13
masuk ke saluran pernapasan (Saputra, 2012). Epiglotis juga berfungsi menghasilkan reflek batuk dan melindungi saluran napas bawah terhadap aspirasi benda selain udara (Chang, Daly & Elliot, 2010). Laring merupakan saluran yang terletak di depan bagian terendah faring. Di dalam laring terdapat pita suara yang berfungsi menghasilkan bunyi atau suara. Selain itu laring juga berfungsi mempertahankan jalan napas dan melindungi jalan nafas bagian bawah dari air dan makanan yang masuk (Saputra, 2012).
Sistem pernapasan bagian bawah terdiri atas trakea dan paru-paru. Di dalam paru terdapat bronkus, bronkiolus dan alveolus. Bagian saluran nafas bawah yang besar terdapat di dalam dan dilindungi oleh rongga toraks dan otot pernapasan, yaitu diafragma dan otot interkosta (Chang, Daly & Eliott, 2010). Trakea merupakan saluran pernapasan yang memiliki panjang 10-12 cm dan diameter 2,5 cm serta terletak di atas permukaan anterior esophagus yang memisahkan trakea menjadi bronkus kiri dan kanan. Trakea dilapisi oleh epitelium respiratorik (kolumnar bertingkat dan bersilia) yang mengandung banyak sel goblet. Sel-sel bersilia ini berfungsi untuk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara saat bernafas (Andarmoyo, 2012).
Trakea terbagi menjadi bronkus utama kanan dan kiri, pada titik anatomi yang disebut karina (Chang, Daly & Elliott, 2010). Bronkus kanan lebih pendek dan lebih lebar dari pada bronkus kiri. Di alam paru-paru, bronkus utama bercabangcabang lagi menjadi bronkus yang lebih kecil dan berakhir di bronkiolus terminal. Bronkiolus berujung pada gelembung-gelembung halus yang dinamakan alveoli. Alveoli memiliki dinding yang elastis dan banyak mengandung kapiler darah. Pada bagian inilah terjadi pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida. Alveoli bersifat lentur karena dilumasi suatu zat yang disebut surfaktan (Saputra, 2012).
Paru-paru terbagi menjadi dua yaitu paru kanan dan paru kiri. Paru kanan terdiri dari tiga lobus pulmo dekstra superior, lobus media dan lobus inferior. Masingmasing lobus ini masih terbagi menjadi belahan-belahan kecil yang disebut segment. Paru-paru terdiri dari tiga lobus, yaitu lobus pulmo dekstra superior,
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
14
lobus media dan lobus inferior. Masing-masing lobus ini masih terbagi menjadi belahan-belahan kecil yang disebut segment. Paru-paru kanan memiliki 10 segment, 5 buah di lobus superior, 2 buah di lobus medialis dan 3 buah pada lobus inferior. Paru kiri memiliki 2 lobus, lobus pulmo sinistra superior dan lobus inferior. Paru-paru kiri memiliki 10 segment, 5 buah pada lobus superior dan 5 buah pada lobus inferior (Andarmoyo, 2012).
Permukaan paru diselimuti oleh jaringan ganda tipis yang dikenal sebagai pleura. Di antara kedua lapisan pleura ini ada sebuah ruang potensial yang berisi sejumlah kecil cairan pleura ini ada sebuah ruang potensial yang berisi sejumlah kecil cairan pleura. Cairan ini mencegah gesekan selama gerakan pernapasan dan berperan untuk mempertahankan kelekatan lapisan melalui tekanan permukaannya (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2011; Berman & Snyder, 2012).
Otot primer pernapasan berupa diafragma dan otot interkosta eksterna. Diafragma dipersarafi oleh nervus frenikus yang bersal dari medulla spinalis pada tingkat vertebra servikalis ke tiga. Difragma menyebabkan 75% perubahan volume rongga toraks pada saat inspirasi. Otot interkosta eksterna terdapat di antar tulang iga (kosta). Konstriksi otot ini pada saat inspirasi akan menaikkan tulang iga sehinga memperbesar volume rongga toraks (Chang, Daly & Elliott, 2010).
b. Anatomi fisiologi kardiovaskuler Jantung merupakan organ pemompa yang memelihara peredaran darah melalui seluruh tubuh, di dalamnya terdapat pembuluh darah arteri yang membawa darah dari jantung, pembuluh darah vena yang membawa darah ke jantung dan pembuluh darah kapiler yang membawa darah ke jantung dan pembuluh darah kapiler yang menggabungkan arteri dan vena yang terentang di antaranya dan merupakan jalan lalu lintas antara makanan dan bahan buangan. Disini juga terjadi pertukaran gas dalam cairan ekstraseluler ataupun intrasel (Andaryono, 2012).
Jantung terdiri dari atrium kanan dan kiri, serta ventrikel kanan dan kiri. Antara atrium dan ventrikel dibatasi oleh annulus fibrous yang merupakan katup satu arah.
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
15
Sisi kiri dan kanan jantung dipisahkan oleh dinding jaringan yang disebut septum. Dalam keadaan normal tidak akan pernah terjadi percampuran kecuali pada masa janin (Corwin, 2009). Jantung mempunyai katup atrioventrikuler dan katup semilunaris.
Adapun
lapisan-lapisan
jantung
terdiri
atas
endokardium,
miokardium dan perikardium.
Dalam kerjanya jantung mempunyai tiga periode yaitu periode kontriksi (periode systole), periode dilatasi (periode diastole) dan periode istirahat. Periode systole adalah suatu keadaan dimana jantung bagian ventrikel dalam keadaan menguncup. Periode diastole adalah suatu keadaan dimana jantung mengembang. Periode istirahat adalah waktu antara periode konstriksi dan dilatasi kira-kira 1/10 detik (Andarmoyo, 2012).
c. Anatomi fisiologi hematologi Darah merupakan media transportasi berbagai zat yang berada di dalam tubuh manusia, darah berperan untuk proses keseimbangan dan homeostasis dalam mempertahankan stabilitas lingkungan dalam tubuh dan untuk mengembalikan fungsi tubuh dalam keadaan semula. Darah selama berada dalam tubuh oleh karena adanya kerja atau pompa jantung.
Darah terdiri atas air (91%), protein (3%), mineral (0,9%) dan bahan organik (0,1%) (Andarmoyo, 2012). Corwin (2009) menjelaskan bahwa, darah terdiri dari 45% komponen sel dan 55% plasma. Bagian-bagian darah terdiri atas sel-sel darah, (eritrosit, leukosit, trombosit) dan plasma darah. Sel darah merah berjumlah 99% dari total komponen sel, sisanya 1% sel darah putih dan platelet. Plasma terdiri dari 90% air dan 10% sisanya terdiri dari protein plasma, elektrolit, gas terlarut, berbagai produk sampah metabolisme, nutrient, vitamin dan kolesterol.
Eritrosit berfungsi mengikat oksigen dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh yang mengikat karbondioksida dari jaringan tubuh untuk dikeluarkan melalui paru-paru karena di dalam eritrosit terdapat hemoglobin (Andarmoyo, 2012). Hemoglobin memiliki empat tempat untuk mengikat oksigen.
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
16
Hemoglobin jenuh jika keempatnya mengikat oksigen secara penuh, jika sebagian disebut hemoglobin jenuh parsial (ditunjukkan dengan saturasi oksigen yang < 100%). Jika molekul hemoglobin membawa oksigen lebih sedikit dari hemoglobin normal, maka hemoglobin akan bermutasi sehingga dapat menyebabkan hemoglobin menjadi abnormal (Corwin, 2009).
Leukosit berfungsi sebagai pertahanan tubuh untuk membunuh dan memakan (fagosit) bibit penyakit/bakteri yang masuk ke jaringan retikulo endotelial system (RES), tempat pembiakannya di dalam limpa dan kelenjar limfe serta berfungsi sebagai pengangkut yaitu mengangkut dan membawa zat lemak dari dinding usus melalui limpa dan diteruskan ke pembuluh darah (Andarmoyo, 2012). Corwin (2009) menjelaskan bahwa sel darah putih (leukosit) dibentuk di sumsum tulang dari sel-sel pregenitor. Trombosit yang tertimbun secara berlebihan dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke jaringan yang mengakibatkan sumbatan menjadi sangat besar sehingga terlepas dari tempat semula dan mengalir ke perifer sehingga menyebabkan embolus yang dapat menyumbat aliran ke perifer tersebut (Corwin, 2009).
Plasma mengandung fibrinogen yang berguna dalam pembekuan darah, garamgaram mineral yang berguna dalam metabolisme dan juga dalam mengadakan osmotik, protein darah yang berguna meningkatkan viskositas darah dan juga menimbulkan tekanan osmotik untuk memelihara keseimbangan cairan dalam tubuh. Selain itu plasma juga mengandung zat makanan (asam amino, glukosa, lemak, mineral, dan vitamin), hormon yaitu suatu zat yang dihasilkan dari kelenjar tubuh serta antibodi atau antitosin (Andarmoyo, 2012).
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
17
2.3.2 Proses Fisiologi Pernapasan Fungsi sistem pernafasan adalah pertukaran gas. Oksigen dari udara yang dihirup berdifusi dari alveoli paru ke darah dan kapiler paru. Karbondioksida yang dihasilkam selama metabolisme sel berdifusi dari darah ke dalam alveoli dan kemudian dikeluarkan (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2011).
Menurut Andarmoyo (2012), fungsi pernafasan dapat terbagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan pengaturan keseimbangan asam basa. Pertukaran gas terdiri dari ventilasi, difusi dan transportasi. Adapun menurut Saputra (2012), pernapasan terbagi menjadi dua tahap yaitu pernapasan eksternal dan internal. Pernafasan eksternal terdiri dari ventilasi pulmoner, difusi gas alveolar, transportasi oksigen dan karbondioksida. a. Ventilasi Ventilasi adalah masuknya oksigen atmosfer ke dalam alveoli dan keluarnya karbondioksida dari alveoli ke atmosfer saat ekspirasi. Inspirasi adalah gerakan perpindahan udara masuk ke dalam paru-paru, sedangkan ekspirasi adalah gerakan perpindahan udara keluar atau meninggalkan paru-paru (Andarmoyo, 2012).
Kozier, Erb, Berman dan Snyder (2011) menjelaskan bahwa keadekuatan ventilasi bergantung pada beberapa faktor, antara lain kebersihan jalan napas, keutuhan sistem saraf pusat dan pusat pernapasan, keutuhan kemampuan rongga toraks untuk mengembangkan dan berkontraksi serta keadekuatan komplians dan recoil paru. Menurut Andarmoyo (2012) keadekuatan ventilasi dipengaruhi oleh volume udara (kuantitas) dan jenis gas yang mengalami pertukaran, keadaan saluran napas yang bersih serta sistem pernapasan yang utuh, kemampuan rongga toraks untuk mengembang dan berkontraksi dengan baik, kerja sistem saraf autonomy, kerja sistem saraf pusat dan kemampuan paru-paru mengembang dan menyempit (compliance dan recoil).
b. Difusi Difusi adalah pergerakan gas atau partikel lain dari area bertekanan atau berkonsentrasi tinggi ke area bertekanan atau berkonsentrasi tinggi ke area
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
18
bertekanan atau berkonsentrasi rendah (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2011). Proses difusi dalam sistem pernapasan adalah pertukaran antara O2 dan CO2 di alveoli dengan kapiler (Andarmoyo, 2012). Proses difusi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain luas permukaan paru, ketebalan membran respirasi, perbedaan tekanan karbondioksida di dalam alveoli dan di kapiler paru, serta afinitas gas (kemampuan O2 dan CO2 dalam menembus dan berikatan dengan hemoglobin) (Saputra, 2012). Adapun menurut Kozier, Erb, Berman dan Snyder (2011), proses difusi dalam paru-paru dipengaruhi oleh ketebalan membran aspirasi, luas permukaan membran, koefisien difusi dan perbedaan tekanan.
c. Transportasi Penyaluran O2 dari alveoli ke seluruh tubuh dan pembuangan CO2 dari seluruh tubuh ke atmosfer ditentukan oleh aktivitas sistem paru dan sistem kardiovaskuler (Andarmoyo, 2012). Oksigen perlu dibawa ke jaringan dan karbondioksida harus dibawa dari jaringan kembali ke paru. Normalnya sebagian besar oksigen (97%) berikatan lemah dengan hemoglobin (pigmen merah pembawa oksigen) di dalam sel darah merah dan dibawa ke jaringan sebagai oksihemoglobin (senyawa oksigen dan hemoglobin). Sisa oksigen kemudian dilarutkan dan ditransportasikan di dalam cairan plasma dan sel (Kozier, erb, Berman & Snyder, 2011; Berman & Snyder, 2012).
Beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan transportasi gas adalah curah jantung, jumlah eritrosit dan hematokrit darah, olahraga atau latihan (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2011). Adapun menurut Andarmoyo (2012), faktor yang mempengaruhi proses transport adalah curah jantung, jumlah eritrosit, exercise, hematokrit darah dan keadaan pembuluh darah.
d. Keseimbangan asam basa pH darah normal adalah berkisar antara 7,35 sampai 7,45. pH darah bervariasi, secara fisiologis darah arteri memiliki pH lebih tinggi dibandingkan dengan darah vena, karena konsentrasi CO2 lebih tinggi pada darah vena. Adapun secara
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
19
patologis, asidosis terjadi jika pH darah < 7,2 sedang alkalosis terjadi jika pH > 7,5 (Andarmoyo, 2012).
Dalam darah terdapat dua sistem yang bersifat variabel yaitu H2CO3 (asam) dan HCO3 (basa/bikarbonat). pH darah ditentukan oleh keseimbangan asam basa yang terdapat di dalam darah. Kadar H2CO3 dalam darah ditentukan oleh CO2 melalui mekanisme pernapasan dan mekanisme ginjal sebagai tambahan (Andarmoyo, 2012).
e. Pernapasan Internal Pernapasan Internal merupakan proses pertukaran gas antara pembuluh darah kapiler dan jaringan tubuh. Setelah oksigen berdifusi ke dalam pembuluh darah, darah yang banyak mengandung oksigen diangkut ke seluruh bagian tubuh hingga mencapai kapiler sistemik. Di bagian ini terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida antara kapiler sistemik dan sel jaringan. Oksigen berdifusi dari kapiler sistemik ke sel jaringan, sedangkan karbondioksida berdifusi dari sel jaringan ke kapiler sistemik (Saputra, 2012).
2.3.3 Faktor yang mempengaruhi Fungsi Pernapasan dan Kebutuhan Oksigen Menurut Saputra (2012) faktor yang mempengaruhi pernapasan adalah kerja saraf otonom, hormon dan medikasi, kondisi kesehatan, perkembangan, perilaku dan gaya hidup. Adapun menurut Kozier, Erb, Berman dan Snyder (2011) faktor yang mempengaruhi fungsi pernapasan adalah usia, lingkungan, status kesehatan, medikasi dan stress. Faktor yang mempengaruhi kebutuhan oksigen menurut Andarmoyo (2012) adalah faktor fisiologis, tahap perkembangan, perilaku, faktor lingkungan. Gangguan yang dapat mengganggu fungsi pernapasan menurut Saputra (2012) serta Kozier, Erb, Berman dan Snyder (2011) adalah hipoksia, obstruksi jalan napas dan perubahan pola napas.
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
20
2.3.4 Masalah Keperawatan yang berkaitan dengan Kebutuhan Oksigen Menurut Andarmoyo (2012) masalah keperawatan yang berkaitan dengan masalah oksigenasi adalah bersihan jalan nafas tidak efektif, gangguan pertukaran gas, perubahan perfusi jaringan, penurunan curah jantung, risiko terhadap infeksi dan intoleransi aktivitas. Menurut Saputra (2012), masalah keperawatan yang berkaitan dengan masalah oksigenasi adalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas, ketidakefektifan pola nafas, gangguan pertukaran gas dan gangguan perfusi jaringan.
2.3 Inhalasi 2.3.1 Pengertian Menurut Potter & Perry (2010) Inhalasi adalah menambah kelembapan atau medikasi untuk mengalirkan udara dengan mencampurkan partikel dari berbagai ukuran dengan udara. Penyemprotan menyebarkan sejumlah besar tetesan udara atau partikel dari ukuran yang diinginkan dalam udara yang mengalir. Kelembapan yang ditambahkan melalui inhalasi meningkatkan pembersihan sekret pulmonal. Inhalasi digunakan untuk memasukkan agen bronkodilator dan mukolitik. Terapi inhalasi diberikan untuk saluran napas bagian bawah dalam memungkinkan area permukaan yang luas dalam absorbsi obat. Obat dapat diberikan melalui pasase nasal, pasase oral atau selang yang dipasangkan ke trakea. Obat inhalasi dapat menimbulkan efek lokal (Potter & Perry, 2010). Ketika lapisan tipis cairan pendukung lapisan mukosa di atas silia mengering, silia menjadi rusak dan tidak dapat secara adekuat membersihkan jalan napas. Humidifikasi melalui inhalasi meningkatkan pembersihan mukosiliari, mekanisme normal tubuh untuk memindahan sekret dan sel-sel mati dari traktus respiratorius (Potter & Perry, 2010). 2.3.2 Tujuan Tujuan dari pemberian nebuliser adalah melancarkan jalan nafas, mengencerkan sputum, menurunkan hiperaktivitas bronkus serta mengatasi infeksi.
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
21
2.3.3 Jenis Inhalasi Ari & Fink (2011) mengemukakan bahwa Pemberian inhalasi yang ideal pada anak adalah dengan menggunakan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal dan secara selektif mencapai saluran pernapasan bagian bawah. Tiga jenis sistem alat inhalasi yang digunakan menurut (Marcdante, Kliegman, Jenson & Behrman, 2011; Potter & Perry, 2010) yaitu: a. Nebuliser suatu alat yang bisa menyemburkan medikasi atau agen pelembab seperti agen bronkodilator atau mukolitik menjadi partikel mikroskopik dan mengirimkannya ke dalam paru-paru ketika klien menghirup napas. b. Metered dosed inhaler aerosol/MDIs c. Dry powder inhaler/DPIs Semua alat tersebut dirancang untuk menghasilkan partikel berukuran relatif kecil yang dapat melewati filtrasi saluran respiratori atas dan kemudian mengendap (deposisi) di saluran respiratori bawah.
2.3.4 Indikasi Indikasi dari terapi inhalasi adalah pada pasien yang mengalami penyempitan jalan nafas (bronkospasme) dan produksi sekret yang berlebihan.
2.3.5 Kontra Indikasi Kontra indikasi dari tindakan inhalasi tidak ada tetapi tidak diberikan pada pasien yang mengalami alergi terhadap obat yang digunakan.
2.3.6 Prosedur pemberian Menurut Wong, Hockenberry, & Wilson (2007) Prosedur pemberian inhalasi adalah sebagai berikut: a. Jelaskan tindakan yang akan dilakukan pada pasien dan orang tua. b. Siapkan alat. c. Berikan inhalasi sebelum makan atau 1-2 jam setelah anak makan (pada bayi lakukan sebelum menyusui). d. Mencuci tangan dan mendekatkan alat sesuai prosedur. e. Mengatur posisi klien dalam posisi kepala lebih tinggi.
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
22
f. Dekatkan troly obat dan peralatan. g. Pastikan alat dalam kondisi baik. h. Bersihkan masker nebuliser dengan kapas alkohol i. Masukkan obat sesuai dosis yang telah ditentukan dokter. j. Hubungkan nebuliser dengan kontak listrik k. Hidupkan nebuliser dengan cara menekan tombol on. l. Pastikan uap keluar dari nebuliser berikan selama 5-20 menit. m. Pasangkan masker pada klien, jika klien berumur <1 tahun minta bantuan pada orang tua untuk mempertahankan posisi masker. Sebaliknya pada anak-anak ajarkan dan motivasi untuk memegang sendiri masker dan bernafas melalui mulut dengan cara ambil nafas lambat, dalam dan kemudian menahan napas selama beberapa detik pada akhir mengambil napas. n. Melakukan evaluasi tindakan dengan menggunakan lembar observasi status pernapasan, saturasi oksigen dan nadi (30 menit setelah tindakan inhalasi). o. Berpamitan dengan pasien dan keluarga. p. Mencuci tangan dan dokumentasi
2.3.7 Cairan Hipertonik Dalam 5 tahun terakhir ada kemajuan dalam pemahaman terkait mekanisme mucus clearance (MC) dalam kesehatan dan penyakit, yaitu mekanisme yang menunjukkan peran hidrasi cairan permukaan saluran napas/ airway surface liquid (ASL) dan pentingnya inhalasi cairan hipertonik untuk rehidrasi (Donaldson, 2008; Randell & Boucher, 2006; Boogard, de Jongste & Merkus, 2007). Secara singkat, ia menyarankan bahwa kegagalan MC adalah faktor yang dominan tidak hanya pada penyakit cystic fibrosis (CF) tapi pada penyakit saluran napas, hidrasi merupakan variabel yang paling dominan yang mengatur MC di semua penyakit saluran pernafasan (Randell & Boucher, 2006; Boogard, de Jongste & Merkus, 2007). Ditemukan juga dan telah dicatat lebih jauh lagi bahwa eksaserbasi dalam banyak penyakit saluran napas akibat dari kegagalan intermiten MC karena dehidrasi ASL yang sering dipicu oleh infeksi virus (Soon, Bennett, Zeman, Brown, Foy, Boucher & Knowles, 2003). Sehingga terapi untuk mempertahankan hidrasi
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
23
ASL mungkin penting selama eksaserbasi virus pada pasien CF dan semua penyakit saluran napas kronis (Randell & Boucher, 2006; Daviskas & Anderson, 2006). 2.3.8 Proses Dehidrasi ASL pada RSV Bronchiolitis Mekanisme proses dehidrasi ASL pada saluran nafas dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini:
Gambar 2.1 A. Normal B. RSV Bronchiolitis Ringan C. RSV Bronchiolitis Berat D. Cystic Fibrosis
Pentingnya menjaga ketinggian normal periciliary liquid (PCL) sekitar 7 mm untuk menjaga mukosiliar nafas yang normal/MCC, sehingga pergerakan dari silia akan terhubung dengan batas margin yang lebih rendah dari mucus layer (ML). ML bertindak sebagai reservoir air yang akan selektif menyerap air dalam menanggapi hidrasi yang berlebihan dan meningkatkan MCC super normal sampai batas atas kecepatan tertentu (Gambar 2.1.A).
MCC super normal ini ditunjukkan pada subjek normal yang menghirup inhalasi cairan hipertonik (Soon, Bennett, Zeman, Brown, Foy, Boucher & Knowles, 2003). Sebaliknya, disarankan bahwa ketika dehidrasi ASL terjadi yaitu pada infeksi RSV ringan, konsentrasi ATP ekstra-seluler berkurang dan habis, sehingga terjadi dehidrasi ASL. ML menyumbangkan air untuk tetap menjaga setidaknya beberapa
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
24
MC agar PCL tetap pada kisaran normal yaitu sekitar 7 mm. Sehingga ML sendiri menjadi dehidrasi (Randell & Boucher, 2006) (Gambar 2.1.B).
Namun, ketika mekanisme donor ini terus menerus dan ML tidak memiliki lebih banyak air lagi untuk menyumbang, PCL mungkin mustahil lagi untuk meminta MCC (Gambar. 2.1.C). Sebagai epitel CF yang tidak memiliki CFTR (Gambar. 2D) yang benar-benar tergantung pada ATP. Kontraksi PCL terjadi lebih awal, bahkan pada CF saluran udara terkena cedera virus yang relatif kecil dalam eksaserbasi CF (Randell & Boucher, 2006). (Gambar. 2.1.D).
2.3.9 Rasional Pemberian Cairan Hipertonik Skema sederhana dengan asumsi hanya kekuatan osmotik yang mengendalikan transportasi air bisa dilihat pada gambar 2.2 berikut ini
Gambar 2.2 Transport cairan di saluran napas
Pentingnya Inhalasi Pemberian Cairan Salin Hipertonik (NaCL 3%) pada RSV bronchiolitis di daerah bronchiolar lebih terpengaruh mekanisme hidrasi ASL
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
25
sebagai hydrating pelindung sehingga bisa mengganggu kadar air juga merusak lapisan lendir ASL, struktur epitel (bentuk epitel), ketinggian PCL dan merusak MC (Gambar. 2.1.C). Dengan demikian, terapi yang tepat harus melembabkan ASL, menurunkan edema sub-mukosa dan meningkatkan sifat rheologic lendir (elastisitas dan viskositas) dan dengan demikian meningkatkan MC.
Cairan Hipertonik mungkin, secara teori, memperbaiki beberapa kelainan patofisiologi pada bronkiolitis virus akut. Penambahan Cairan Salin Hipertonik akan menambah ketebalan permukaan, menurunkan epitel edema meningkatkan sifat lendir rheologic (elastisitas dan viskositas), dan mempercepat kecepatan transportasi lendir (Mandelberg & Amirav, 2010). Inhalasi Cairan Hipertonik meningkatkan tingkat transportasi mukosiliar bahkan pada subyek normal dengan ada bukti dehidrasi, lendir hipersekresi atau edema subepitel (Soon, Bennett, zeman, Brown, Foy, Boucher & Knowles, 2003).
Mekanisme penting dikaitkan dengan efek HS adalah meningkatkan MC oleh silia atau tindakan batuk. Cairan Hipertonik membuat ikatan ion dalam gel lendir sehingga meningkatkan lendir reologi. Cairan Hipertonik meningkatkan kecepatan frekuensi ciliary melalui pelepasan prostaglandin E2 (Daviskas & Anderson, 2006). Penambahan cairan salin hipertonik menimbulkan konsentrasi ion dalam lendir dan membawa perubahan muatan negatif, sehingga mengurangi tolakan. hasil ini dalam makromolekul lendir lebih kompak, dan lebih efektif batuk dependent permukaan cair mucus clearance (MC).
Hiperosmolaritas Airway dapat melepaskan mediator yang mampu meningkatkan aktivitas silia (Daviskas & Anderson, 2006). Selain itu, dengan menyerap air dari mukosa dan submukosa, larutan cairan salin hipertonik secara teoritis dapat mengurangi edema dinding saluran napas pada bayi dengan bronkiolitis akut. Cairan Hipertonik juga dapat menyebabkan induksi dahak dan batuk, yang dapat membantu untuk membersihkan dahak dari saluran udara dan yang meningkatkan kejadian obstruksi napas (Mandelberg & Amirav, 2010).
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
26
Pada beberapa penelitian didapatkan penggunaan mesin nebuliser yang berbeda. Penggunaan ultrasonic nebuliser system dianjurkan agar cairan dan obat yang diberikan secara inhalasi dapat dipecah dan diubah ke menjadi uap yang konstan (Daniels, Mills & Whitaker, 2013).
2.4 Integrasi Teori dan Konsep dalam Proses Keperawatan 2.4.1 Gambaran Umum Levine Alligood (2014) menjelaskan Model Konservasi Levine berfokus pada adaptasi dan memelihara keutuhan individu pada tiga konsep utama yaitu konservasi, adaptasi dan wholeness. Konservasi adalah bagaimana mencapai keseimbangan antara masukan dan permintaan energi yang dibutuhkan individu secara biologis yang berbeda tiap individu. Adaptasi adalah proses individu untuk berubah secara berkelanjutan dalam mempertahankan integritasnya dalam lingkungan. Misalnya hipoksia mengubah rangsang pernapasan pada individu pada penyakit paru obstruktif kronis. Wholeness menggambarkan individu sebagai suatu system terbuka yang berespon terhadap perubahan pada lingkungan. Wholeness dalam konsep keperawatan anak menggambarkan keutuhan atau integritas anak dan keluarga yang berespon terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan (Fawcett, 2005; Parker & Smith, 2010).
Lingkungan yang dimiliki individu meliputi lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal melibatkan aspek fisiologis dan psikologis individu yang dipengaruhi oleh lingkungan eksternal. Lingkungan eksternal meliputi lingkungan perseptual, operasional dan konseptul. Lingkungan operasional meliputi unsurunsur yang mempengaruhi individu secara fisik seperti radiasi dan tempat perawatan. Lingkungan eksternl lainnya yaitu lingkungan konseptual meliputi pola budaya dan eksistensi spiritual dengan simbolisasi bahasa, pikiran, nilai-nilai dan keyakinan individu (Fawcett, 2005).
Levine memperlihatkan empat prinsip konservasi yaitu konservasi energi adalah menjaga keseimbangan energi sehingga input dan output seimbang untuk
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
27
menghindari kelelahan yang berlebihan, konservasi integritas struktural bertujuan untuk mempertahankan atau memulihkan struktur tubuh sehingga mencegah terjadinya kerusakan fisik dan meningkatkan proses penyembuhan, konservasi integritas pribadi yaitu mengenali individu sebagai individu sebagai manusia yang mendapatkan pengakuan, rasa hormat, kesadaran diri, dan dapat menentukan nasibnya sendiri, dan konservasi integritas sosial yaitu seorang individu diakui sebagai anggota keluarga, masyarakat, kelompok keagamaan, kelompok etnis, sistem politik dalam suatu bangsa (Parker & Smith, 2010).
Konservasi energi merupakan keseimbangan antara asupan dan haluaran energi, sehingga persediaan energi dapat digunakan untuk tumbuh dan berkembang. Konservasi energi pada anak dengan gangguan pernapasan meliputi kemampuan anak
mempertahankan
keefektifan
ventilasi,
oksigenasi,
sirkulasi
dan
termoregulasi. Konservasi integritas struktural pada anak dinilai dari peningkatan berat badan, pertahanan terhadap infeksi dan integritas kulit, dan pencegahan cidera selama perawatan. Konservasi integritas personal dilihat dari respon terhadap lingkungan seperti perubahan denyut jantung, tangisan, pemenuhan kebutuhan tidur dan perilaku anak terhadap tindakan yang dilakukan. Konservasi integritas sosial dinilai dari karakteristik sistem keluarga untuk mempersiapkan anak berada di lingkungan sosial (Mefford & Alligood, 2011).
Teori Levine pada dasarnya sama dengan proses keperawatan. Pada pengkajian dilakukan pada empat pedoman pengkajian yaitu sumber energi, data integritas struktural klien, integritas personal dan integritas sosial. Perawat juga melihat perubahan internal meliputi perubahan fisiologis dan psikologis pasien sedangkan perubahan lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan perseptual (kemampuan pasien menerima stimulus sensori melalui alat indera), lingkungan operasional (semua bentuk radiasi, mikroorganisme) dan lingkungan konseptual (termasuk bahasa dan budaya). Pengkajian dilakukan pada pasien dan keluarga untuk mengetahui kesiapan pasien dalam menghadapi lingkungan internal dan eksternal.
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
28
Setelah itu perawat menganalisa data yang memperlihatkan kesenjangan antara empat area pengkajian (prinsip konservasi). Lalu perawat menurut Levine merekomendasikan trophicognosis sebagai masalah keperawatan (Alligood, 2014; Fawcett, 2005). Langkah selanjutnya setelah trophicognosis adalah hypotesis yaitu menentukan rencana untuk mempertahankan keutuhan pasien dan meningkatkan adaptasi pasien terhadap kondisi sakitnya hingga mencapai kesehatan yang optimal. Hypotesis yaitu solusi dari masalah yaitu rencana keperawatan. Saat rencana keperawatan dilakukan intervensi, perawat memperhatikan respon klien sebagai data untuk evaluasi. Pada implementasi, Levine berpendapat bahwa perawat harus memiliki keterampilan untuk melaksanakan intervensi keperawatan karena akan mendorong adaptasi pada klien. Pada pelaksanaan evaluasi, perawat berpusat pada respon organismik klien yang merupakan hasil dari pengujian tindakan intervensi. Perawat menilai apakah hipotesis yang telah disusun dan dilakukan mampu mendukung proses adaptasi untuk mempertahankan keutuhan dirinya. Jika intervensi tidak berhasil, maka perlu dilakukan revisi atau membuat hipotesis baru (Alligood, 2014; Fawcett, 2005).
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
29
2.4.2 Kerangka Teori/Integrasi Levine dan Oksigenasi Skema 2.1 Kerangka Teori Keperawatan Anak dengan gangguan oksigenasi
PENGKAJIAN
Lingkungan Internal
Konservasi Energi: Letih, peningkatan usaha nafas, akumulasi sekret Konservasi Integritas Struktur: Sesak, pernapasan meningkat, pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu napas, ronchi, wheezing, sianosis Konservasi Integritas Personal Sosial Penurunan kesadaran, tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi, rewel (iritabilitas), gelisah
Lingkungan Eksternal
Trophicognosis PROSES ADAPTASI Konservasi Energi: Keseimbangan nutrisi dan cairan, peningkatan suhu Konservasi Integritas Struktur: Perubahan pola napas, penumpukan sekret pada saluran nafas, gangguan pertukaran gas, pertukaran infeksi, integritas kulit dan sistem tubuh Konservasi Integritas Personal: Tangisan, kebutuhan tidur Konservasi Integritas Sosial: Karakteristik dan gangguan sistem keluarga
1. Inefektif bersihan jalan napas 2. Gangguan pola napas 3. Hipertemia 4. Risiko/PK: Infeksi 5. Resiko kekurangan volume cairan Volume Cairan
Hypotesis: Pengukuran tanda vital, pemberian inhalasi cairan salin hipertonik, pengaturan posisi, postural drainage, pengisapan lendir, pemberian oksigen
Respon Organismik
WHOLENESS Konservasi Energi: suhu stabil, nutrisi dan cairan terpenuhi Konservasi Integritas Struktur: Pola napas normal, tidak ada sekret, kebutuhan oksigen terpenuhi, berat badan meningkat, infeksi tidak terjadi Konservasi Integritas Personal: Anak aktif, kebutuhan tidur terpenuhi Konservasi Integritas Sosial: Interaksi orang tua dan anak
Mampu Beradaptasi
Tidak Mampu Beradaptasi
Sumber: Alligood, 2014; Fawcett, 2005
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
30
2.5 Aplikasi Levine pada Kasus Terpilih Aplikasi Model Konservasi Levine akan diterapkan pada salah satu kasus An. A.L.C. Proses asuhan keperawatan dimulai dari tahap pengkajian dengan 4 prinsip konservasi dan juga pengkajian internal dan eksternal pasien, tropichognosis, hypotesis, dan respon organismik. 2.5.1 Pengkajian An. A.L.C, perempuan, usia 5 bulan, masuk ke RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tanggal 8 maret 2016 karena demam masih naik turun walaupun sudah diberi parasetamol, batuk dan nafas terdengar grok-grok kadang-kadang disertai muntah dan juga mencret 4-5x/hari berampas dan berlendir, warna coklat tua dan tidak ada darah., pernafasan 48x/menit nafas cuping hidung ada, saturasi oksigen 88-93% tanpa oksigen, dengan oksigen ½ liter/menit saturasi oksigen 97-98%. Didapatkan beberapa hasil pemeriksaan penunjang yaitu laboratorium: Analisa Gas Darah (AGD) (8 Maret 2016) didapatkan PH 7,464; PCO2 27,7; PO2; HCO3̄ 20,2 mmol/L; Base Excess -2 mmol/L; O2 Saturasi 99,9%. Pemeriksaan elektrolit (8 Maret 2016) Natrium 123 mEq/L; Kalium 4,2 mEq/L; Clorida 97 mEq/L; Ureum 16,8 mg/dL; Creatinin 0,163 mg/dL; SGOT 100 U/L; SGPT 24 U/L; GDS 91 mg/dL. Tanggal 10 Maret 2016 mulai tampai lemas dan cenderung tertidur.
Tanggal 11 Maret 2016 Demam masih ada, dilakukan LP (hasil: infeksi sesuai meningitis TB), dan pemeriksaan darah rutin, didapatkan Hemoglobin (Hb) 11,5 g/dL, Hematokrit (Ht) 36, 4%; Leukosit 17300; Trombosit 233.000; MCV/MCH/MCHC 67/21,1/31,5. Konsul ke Bagian Neurologi advice dapat terapi tambahan manitol 0,5 gr/kgBB/hari diberikan 3x/hari. Konsul ke bagian Gastrohepatologi karena terdapat hepatomegali, peningkatan enzim transmerase (SGOT 4x normal) karena sedang pengobatan obat anti tuberculosis (OAT)
Pada saat dilakukan pengkajian tanggal 14 Maret 2016, klien dirawat di ruang boarding dan memasuki hari perawatan ke-6. Pada saat dikaji klien tampak sesak. Sesak disertai batuk, sesak meningkat jika klien batuk. Orangtua mengatakan bila batuk anak tampak lelah dan menjadi rewel kadang-kadang muntah ada susu
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
31
bercampur lendir. Saat ini klien mendapat oksigen 1 liter/menit melalui nasal kanul frekuensi pernapasan 40x/menit, terdapat pernapasan cuping hidung, retraksi suprasternal dan subcostal minimal, suara paru terdengah ronchi basah kasar, nadi 120x/menit, suhu 37°C, Berat badan saat ini 5,7 kg dan tinggi badan 60 cm tergolong gizi baik. Saat ini terpasang nasogastric tube (NGT) untuk pemenuhan nutrisi ASI 8x60 cc dan untuk pemberian obat. Terpasang IVFD NS+KCL 10 ml/jam.
Pengkajian konservasi energi pada klien diperoleh data: Keadaan umum tampak sesak, sesak disertai pernapasan cuping hidung, retraksi suprasternal dan subcostal minimal, suara paru terdengar ronchi basah kasar dan frekuensi pernapasan 40x/menit. Tanda vital klien nadi 120x/menit, suhu 37°C. Menurut Ibu klien anaknya sesak dan batuk yang membuatnya terlihat lelah dan kadang juga muntah. Pemenuhan nutrisi dan cairan diberikan IVFD NS+KCL 10 cc/jam. Tidur kadang terganggu karena batuk dan sesak. Pengkajian integritas struktural diperoleh data berat badan 5,7 kg, terpasang infus di kaki kanan. Tampak retraksi dada dan subcostal minimal dan nafas cuping hidung. Foto rontgen thorak menunjukkan infiltrasi. Pengkajian integritas personal diperoleh pemenuhan dibantu oleh perawat dan keluarga, anak memberikan respon dengan tangisan dan perubahan tanda-tanda vital. Pengkajian integritas sosial diperoleh anak adalah anak satu-satunya dan cucu pertama dari Ibu sehingga sering data ng melihat keadaan anak. Ayah datang bila tidak masuk kerja untuk melihat kondisi anak. Perawat memanggil nama pasien sebelum melakukan intervensi pada klien.
Hasil pengkajian lingkungan eksternal didapatkan klien dirawat di ruangan 201 dengan air conditioner (AC). Pagi hari sampai siang ruangan ramai karena banyaknya tenaga kesehatan yang datang untuk memeriksa atau berdiskusi terkait keadaan dan tindakan yang akan dilakukan pada pasien. Menjelang siang hari suasana ruangan lebih tenang. Klien dirawat bersama klien lain, satu ruangan terdiri dari 6 orang. Peraturan ruangan mengharuskan klien hanya ditunggui oleh 1 orang oleh ibunya. Klien lain yang dirawat bersama klien adalah pasien dengan penyakit infeksi dan non infeksi karena ruang 201 adalah ruang boarding (ruang sementara
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
32
sebelum dipindahkan ke ruang infeksi atau ruang non infeksi). Lingkungan konseptual klien berasal dari keluarga yang beragama dan yakin dan percaya pada pengobatan yang sedang dijalani. Pengkajian lingkungan internal hasil pemeriksaan penunjang yaitu laboratorium: Analisa Gas Darah (AGD) (8 Maret 2016) didapatkan PH 7,464; PCO2 27,7; PO2; HCO3̄ 20,2 mmol/L; Base Excess -2 mmol/L; O2 Saturasi 99,9%. Pemeriksaan elektrolit (8 Maret 2016) Natrium 123 mEq/L; Kalium 4,2 mEq/L; Clorida 97 mEq/L; Ureum 16,8 mg/dL; Creatinin 0,163 mg/dL; SGOT 100 U/L; SGPT 24 U/L; GDS 91 mg/dL. Tanggal 11 Maret 2016 hasil Lumbal Punksi (LP) (hasil: infeksi sesuai meningitis TB), dan pemeriksaan darah rutin, didapatkan Hemoglobin (Hb) 11,5 g/dL, Hematokrit (Ht) 36,4%; Leukosit 17300; Trombosit 233.000; MCV/MCH/MCHC 67/21,1/31,5.
2.5.2 Trophicognosis (Masalah Keperawatan) Berdasarkan pengkajian yang diperoleh, trophicognosis yang didapatkan adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Trophicognosis pada anak A.L.C No. Konservasi 1.
Energi
Trophicognosis
- Hasil Lab Na 123 MEq/L - Mukosa mulut kering
Resiko gangguan jaringan serebral
- Tgl 10 maret cenderung tidur
Resiko nutrisi kebutuhan 2.
3.
Integritas Struktural
Integritas Sosial
Data
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit perfusi
kurang
dari
Bersihan jalan nafas tidak efektif
- Makan via NGT - Riwayat muntah -
Nampak sesak Respirasi 40x/menit Ronkhi pada kedua paru Retraksi suprasternal subcostal minimal - Cuping hidung - Batuk tidak efektif
dan
PK: Infeksi
- Terpasang Infus - Leukosit 17.300
Perubahan proses keluarga
- Menanyakan kondisi anak - Ayah dan keluarga sesekali datang melihat pasien
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
33
2.5.3 Hypotesis (Intervensi Keperawatan) Setelah trophicognosis, untuk mengatasi masalah yang muncul disusun hypothesis yaitu rencana keperawatan yang disusun berdasarkan Hockenberry & Wilson, 2013 dan Wilkinson, 2012 pada tabel 2.2 berikut: Tabel 2.2 Hypotesis pada anak A.L.C No. 1.
Trophicognosis Bersihan jalan nafas tidak efektif
Hypotesis Setelah diberikan tindakan keperawatan, anak menunjukkan jalan nafas yang efektif Kriteria Hasil: 1. Mudah bernapas, tidak ditemukan bunyi napas tambahan, sputum mudah dikeluarkan 2. Mudah menelan, mentolerir terjadinya aspirasi Intervensi: Konservasi Energi 1.
Auskultasi paru, catat adanya bunyi napas tambahan wheezing, ronchi
2.
Lakukan suction bila perlu
3.
Memberi posisi anak agar pengembangan dada maksimal (kepala ditinggikan 45° bila tidak ada kontraindikasi)
4.
Pantau status oksigenasi/ saturasi oksigen
Konservasi Integritas Struktural 1.
Kolaborasi pemberian inhalasi dengan cairan salin hipertonik, bronkodilator, mukolitik
2.
Pertahankan hidrasi yang cukup untuk mengencerkan sekret
3.
Catat karakteristik dan jumlah sekret yang keluar
4.
Perhatikan teknik aseptik saat melakukan suction
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
34
No.
Trophicognosis
Hypotesis Konservasi Integritas Personal 1.
Ajak anak berbicara selama mengatur posisi, inhalasi dan suction
Konservasi Integritas Sosial
2.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
1.
Ajarkan dan melibatkan keluarga dalam pemberian inhalasi
2.
Berikan penjelasan pada keluarga terkait skrinning TB
Setelah diberikan tindakan perawatan keseimbangan cairan terpenuhi Kriteria Hasil: 1. Turgor kulit baik, pengisian kapiler (CRT) <3 detik 2. Membran mukosa lembab, urin tidak pekat Intervensi: Konservasi Energi 1.
Monitor berat badan setiap hari
2.
Monitor status hemodinamik dan tanda vital
3.
Monitor dan hitung keluaran cairan dari pampers, NGT dan muntah
4.
Monitor status hidrasi; kelembaban, membran mukosa, keadekuatan nadi dan tekanan darah
5.
Pantau tanda dan gejala terjadinya retensi urin
Konservasi Integritas Struktural 1.
Jaga keseimbangan intake dan output cairan
2.
Monitor nilai laboratorium hematokrit, elektrolit dan berat jenis urin
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
35
No. 3.
Trophicognosis PK: Infeksi
Hypotesis Setelah diberikan tindakan perawatan infeksi teratasi Kriteria Hasil: 1. Leukosit 5000- 10.000 2. Penanda Infeksi lain normal Intervensi: Konservasi Energi 1. Pertahankan tindakan mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan anak Konservasi Integritas Struktural 1.
Kaji dan observasi tanda-tanda vital
2.
Monitor tanda dan gejala infeksi (rubor, kalor, dolor, tumor, fungsiolesa)
3.
Gunakan tindakan aseptik dan antiseptik dalam semua aspek tindakan keperawatan
4.
Berikan terapi antibiotik
5.
Kolaborasi pemeriksaan laboratorium
Konservasi Integritas Personal 1. 4.
Resiko gangguan perfusi jaringan serebral
Informasikan kepada keluarga pentingnya cuci tangan
Setelah diberikan tindakan keperawatan, anak menunjukkan terpenuhinya perfusi jaringan serebral Kriteria Hasil: 1. Status neurologis baik 2. Kesadaran kompos mentis 3. Tanda-tanda vital stabil untuk mencegah peningkatan tekanan tinggi intra cranial
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
36
No.
Trophicognosis
Hypotesis Intervensi Konservasi Energi 1.
Beri nutrisi secara adekuat
Konservasi Integritas Struktur 1.
Kaji dan pantau tanda vital
2.
Kaji, catat dan evaluasi status neurologis secara teratur dan nilai GCS
3.
Kaji respon pupil, ukuran, kesamaan kanan dan kiri dan reaksi cahaya
4.
Pertahankan posisi, dan ubah secara teratur
5.
Kolaborasi pemberian oksigen
6.
Berikan pengobatan sesuai indikasi
Konservasi Integritas Personal 1. 5.
Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan
Jelaskan pada Ibu pentingnya melihat dan memperhatikan kecenderungan tidur pada anak
Setelah diberikan tindakan keperawatan, anak menunjukkan keseimbangan nutrisi Kriteria Hasil 1. Menunjukkan peningkatan berat badan 2. Dapat mentolerir program pemberian makanan Intervensi: Konservasi Energi 1.
Monitor berat badan setiap hari
2.
Kaji adanya intoleransi minum; residu; perut kembung, muntah
3.
Bersihkan mukosa mulut
4.
Kolaborasi pemberian nutrisi parenteral
5.
Monitor nilai laboratorium seperti albumin dan elektrolit
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
37
No.
Trophicognosis
Hypotesis Konservasi Integritas Struktural 1.
Monitor intake dan output
2.
Timbang berat badan tiap hari pada waktu dan kondisi sama
3.
Auskultasi bising usus setiap hari
4.
Observasi distensi abdomen, muntah
5.
Berikan susu melalui NGT, ajarkan orangtua
6.
Lakukan oral hygiene
Konservasi Integritas Personal 1. 6.
Perubahan proses keluarga
Ajak anak berbicara selama timbang berat badan, membersihkan mukosa mulut
Setelah diberikan tindakan keperawatan keluarga mengalami penurunan kecemasan dan peningkatan kemampuan koping Kriteria Hasil: 1. Keluarga menerima kondisi sakit anak Intervensi: Konservasi Integritas Personal dan Sosial 1. Berikan informasi mengenai kondisi anak 2. Jelaskan prosedur perawatan yang dilakukan 3. Berikan kesempatan orang tua untuk mengekspresikan perasaannya 4. Berikan kesempatan orang tua untuk berinteraksi dan terlibat dalam proses perawatan 5. Berikan motivasi orangtua dalam merawat anaknya
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
38
2.5.4 Implementasi dan Respon Organismik (Evaluasi) Implementasi merupakan pelaksanaan dari intervensi yang sudah direncanakan dalam hypothesis. Evaluasi adalah hasil dari respon pasien setelah dilakukan pelaksanaan intervensi. Implementasi dan Evaluasi pada An.A.L.C dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut: Tabel 2.3 Implementasi dan Respon Organismik (Evaluasi) pada An. A.L.C Waktu Senin, 14/3-2016 j. 08.00- 14.00 WIB j. 08.30 WIB
j 13.00 WIB
Implementasi Mencuci tangan 6 langkah, 5 moment hand hygiene Respon : mencegah dan mengurangi kejadian infeksi nosokomial Melakukan pengkajian pada orangtua dan KU An. A Respon: Ibu mengatakan anaknya dirawat sejak hari rabu (9 maret 2016), sebelumnya di rawat di RS di depok tapi tidak menunjukkan perubahan sehingga minta henti rawat dari RS tersebut. Saat ini anak masih sesak dan masih memakai oksigen ½ liter/menit dengan binasal canul. Saturasi oksigen 90%. Keadaan umum anak tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, terpasang IV line di kaki kanan NaCL 0,9%+KCL 10 mEq 8cc/jam tetesan lancar. Terpasang NGT. Menurut Ibu tidak ada yang menderita penyakit yang sama dengan An. A. Melakukan Health Education pada keluarga terkait Skrinning TB pada orangtua dan orang yang sering berinteraksi dengan An. A Respon: Ibu An. A memahami saran perawat untuk dilakukan skrinning orangtua dan keluarga yang sering berinteraksi dengan An. A. Ibu mengatakan Ia sudah di skrinning dan hasilnya negatif.
Respon Organismik (Evaluasi) Subjektif: Ibu mengatakan klien sesak dan batuk Objektif: Konservasi energi Anak terpasang NGT pemenuhan cairan dan nutrisi via NGT, BB 5,7 kg. Terpasang vena catheter untuk masuk obat, cairan parenteral NS+ KCL 10 mEq/L 8 cc/jam. Diuresis spontan terpasang pampers, urin 2,3 cc/jam. Konservasi Integritas struktur Kesadaran compos mentis, nadi 120x/menit. Suhu 37,1°C. Saturasi oksigen 90% akral hangat, CRT < 3 detik. Pernafasan 40x/menit, suara nafas vesikuler, suara nafas tambahan ronchi, terpasang oksigen 1 liter.menit via nasal canul, abdomen datar, supel, bising usus ada, muntah ada dengan lendir. Analisis: 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif 2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit 3. PK: Infeksi 4. Resiko gangguan perfusi jaringan serebral 5. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan 6. Gangguan proses keluarga
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
39
Waktu
Implementasi
SELASA, 15/3-2016 j 14.00 -20.00 WIB
Mencuci tangan 5 moment hand hygiene Respon : mencegah dan mengurangi kejadian infeksi
j 14.00 WIB
Operan dinas Hasil: S:Klien masih sesak dan batuk B: TB milier on OAT, HAP, Meningitis TB, diare melanjut tanpa dehidrasi A:Terpasang oksigen 1 liter/menit via binasal canul. Saat ini anak masih sesak. Saturasi oksigen 90%-93%. Keadaan umum anak tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, terpasang IV line di kaki kanan NaCL 0,9%+KCL 10 mEq 8cc/jam tetesan lancar. NEWSS score hijau. R: monitor tanda-tanda vital terutama pernafasan, dan keefektifan jalan nafas, observasi pemenuhan cairan dan elektrolit, diet
J 14.15 WIB
Mengkaji rencana dari dokter pada catatan terintegrasi Hasil: Oksigenasi nasal kanul 1 liter/menit, nutrisi adekuat ASI 8x60 ml/NGT, IUVD NS+KCL 10 mEq 23 ml/jam, mengatasi Infeksi Ceftazidime 2x150 mg IV (5), Rifampisin 1x 75 mg (po), Pirazinamid 1x150 mg (po), Isoniazid 1x60 mg (po), Etambutol 1x100 mg (po), Prednison 3x2,5 mg (po), kcl pulu 1x 25 mg (po), Inhalasi NaCl 0,9%+ Ventolin tiap 8 jam
Respon Organismik (Evaluasi) Planning: 1. Pantau tanda-tanda vital terutama oksigenasi 2. Pantau jalan nafas 3. Lakukan inhalasi, postural drainage 4. Timbang BB tiap hari dengan waktu dan kondisi yang sama 5. Hitung intake dan output cairan dan nutrisi 6. Berikan dukungan pada keluarga Subjektif: Ibu mengatakan klien sesak dan batuk Objektif: Konservasi energi Anak terpasang NGT pemenuhan cairan dan nutrisi via NGT, sesekali menyusui ASI, Terpasang vena catheter di kaki kanan akses baik untuk masuk obat, Diuresis spontan dengan pampers Konservasi Integritas struktur Kesadaran compos mentis, nadi 120-124x/menit. Suhu 36-36,3°C. Saturasi oksigen 90-93% akral hangat, CRT < 3 detik. Pernafasan 3034x/menit, suara nafas vesikuler, suara nafas tambahan ronchi, terpasang oksigen 1 liter.menit via binasal canul, abdomen datar, supel, bising usus ada, muntah tidak ada. Analisis: 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif 2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit 3. PK: Infeksi 4. Resiko gangguan perfusi jaringan serebral 5. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan 6. Gangguan proses keluarga
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
40
Waktu
Implementasi
j.14.45 WIB
Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital: Respon: Suhu 36,3°C, nadi 120x/menit, respirasi 40x/menit, saturasi oksigen 90-93% dengan oksigen via binasal canule 1 ltr/menit, kesadaran compos mentis, skor NEWSS hijau.
j 18.00 WIB
Memberikan Inhalasi Nacl 0,9%+ventolin Respon: Saturasi 92% dengan oksigen 1 liter/menit, nadi 124x/menit, pernafasan 40x/menit
Respon Organismik (Evaluasi) Planning: 1. Pantau tanda-tanda vital terutama oksigenasi 2. Pantau jalan nafas 3. Lakukan inhalasi, postural drainage 4. Timbang BB tiap hari dengan waktu dan kondisi yang sama 5. Hitung intake dan output cairan dan nutrisi 6. Berikan dukungan pada keluarga
Menanyakan dan mencatat intake dan output klien selama 6 jam (jaga sore) Respon: Intake (minum via NGT 120+ suntikan dan infus 98 cc)= 218 cc, Output (Urine 190 cc)= 190 cc. Balance cairan dalam 6 jam= +28 cc minum susu habis tidak muntah Memberikan inhalasi dan melibatkan ibu dalam pemberiannya
Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital Respon: Suhu 37,2°C, nadi 116x/menit, respirasi 40x/menit, saturasi oksigen 92% dengan oksigen via binasal canule 1 ltr/menit, kesadaran compos mentis. Suara nafas vesikuler dan ronchi masih ada j 20.00 WIB
Memberikan obat antibiotik ceftazime 150mg via Intra vena Hasil: Obat antibiotik sudah masuk akses lancar
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
41
Waktu KAMIS, 17/3-2016 j 08.00 -13.00 WIB
Implementasi Mencuci tangan 5 moment hand hygiene Respon : mencegah dan mengurangi kejadian infeksi
j 08.00 WIB
Operan dinas Hasil: S:Klien masih sesak dan batuk B: TB milier on OAT, HAP, Meningitis TB, diare melanjut tanpa dehidrasi A:Terpasang oksigen 1/2 liter/menit via binasal canul. Saat ini anak masih sesak. Saturasi oksigen 90%-93%. Keadaan umum anak tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, terpasang IV line di kaki kanan NaCL 0,9%+KCL 10 mEq 8cc/jam tetesan lancar. NEWSS score hijau. R: monitor tanda-tanda vital terutama pernafasan, dan keefektifan jalan nafas, observasi pemenuhan cairan dan elektrolit, diet
j 08.15 WIB
Ronde divisi respirologi Hasil: Lanjutkan therapi Inhalasi tambah inhalasi dengan NaCl 3% (cairan salin hipertonik) 1x/hari setelah pemberian inhalasi seperti therapy biasa berikan pada siang hari dan monitor tanda-tanda vital dan kempuan pengeluaran sekret.
j 08.30 WIB
Mengkaji keadaan umum pasien Respon: Pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, terpasang NGT dan oksigen 0,5 liter/menit via binasal saturasi oksigen 94-95%.
j 08.55 WIB
Memberi posisi semi fowler Hasil: Anak tampak lebih nyaman, pengembangan dada lebih maksimal.
Respon Organismik (Evaluasi) Subjektif: Ibu mengatakan klien sesak dan batuk Objektif: Konservasi energi Anak terpasang NGT pemenuhan cairan dan nutrisi via NGT, infus di kaki kanan untuk masuk obat. Diuresis spontan terpasang pampers. Konservasi Integritas struktur Kesadaran compos mentis, nadi 140x/menit. Suhu 36,8°C. Saturasi oksigen 97% akral hangat, CRT < 3 detik. Pernafasan 40x/menit, suara nafas vesikuler, suara nafas tambahan ronchi, terpasang oksigen 0,5 liter.menit via binasal canul, abdomen datar, supel, bising usus ada, muntah tidak ada. Analisis: 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif 2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit 3. PK: Infeksi 4. Resiko gangguan perfusi jaringan serebral 5. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan 6. Gangguan proses keluarga Planning: 1. Pantau tanda-tanda vital terutama oksigenasi 2. Pantau jalan nafas 3. Lakukan inhalasi, postural drainage 4. Timbang BB tiap hari dengan waktu dan kondisi yang sama 5. Hitung intake dan output cairan dan nutrisi 6. Berikan dukungan pada keluarga
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
42
Waktu j 09.00 WIB
Implementasi Mengobservasi pemberian minum pasien via NGT Respon: Minum habis, tidak ada muntah.
j 12.00 WIB
Mengukur tanda-tanda vital dan mengukur NEWSS: Hasil: Suhu 36,8°C, nadi 120x/menit, respirasi 40x/menit, saturasi oksigen 95% dengan oksigen via binasal canule 0,5 ltr/menit, kesadaran compos mentis, NEWSS hijau
Respon Organismik (Evaluasi)
Mengukur intake dan output per 6 jam Respon: Intake (minum via NGT 60 cc), Output pampers belum ditimbang = + 60cc. Memotivasi Ibu untuk mengganti pampers dan membersihkan vulva hygiene untuk mencegah infeksi JUMAT, 18/3-2016 J 13.00-20.00 WIB
Mencuci tangan 5 moment hand hygiene Respon : mencegah dan mengurangi kejadian infeksi
Subjektif: Ibu mengatakan klien sesak dan batuk sudah berkurang dan coba lepas oksigen
13.00 WIB
Memberikan Inhalasi dengan NaCl 3% dan mengobservasi tanda-tanda vital Hasil: tidak ada peningkatan atau penurunan tanda-tanda vital yang ekstrim.
Objektif: Konservasi energi Anak terpasang NGT pemenuhan cairan dan nutrisi via NGT, infus di kaki kanan untuk masuk obat. Diuresis spontan terpasang pampers.
14.30 WIB
Operan dinas Hasil: S: Sesak dan batuk berkurang, anak dipindahkan tadi pagi ke ruang 203 (bagian infeksi) B: TB milier on OAT, HAP, Meningitis TB, diare melanjut tanpa dehidrasi A:Terpasang oksigen ½ liter/menit via binasal canul coba weaning oksigen cek saturasi oksigen. Saat ini sesak anak sudah berkurang.
Konservasi Integritas struktur Kesadaran compos mentis, nadi 116-124x/menit. Suhu 37,2°C. Saturasi oksigen 94-95% akral hangat, CRT < 3 detik. Pernafasan 40x/menit, suara nafas vesikuler, suara nafas tambahan ronchi, terpasang oksigen 0,5 liter.menit via binasal canul, abdomen datar, supel, bising usus ada, muntah tidak ada. Analisis:
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
43
Waktu
18.00 WIB
18.00 WIB
Implementasi Saturasi oksigen 94%-95% tanpa oksigen, dengan oksigen ½ liter/menit saturasi 97-98%. Keadaan umum anak tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, terpasang IV line di kaki kanan instopper. NEWSS score hijau. R: monitor tanda-tanda vital terutama pernafasan, dan keefektifan jalan nafas, observasi pemenuhan cairan dan elektrolit, diet Memberikan Inhalasi NaCL 0,9%+ventolin Respon: Saturasi 94% dengan oksigen ½ liter/menit, nadi 124x/menit, pernafasan 40x/menit Menanyakan dan mencatat intake dan output klien selama 6 jam (jaga sore) Respon: Intake (minum via NGT 120+ suntikan dan infus 50 cc)= 170 cc, Output (Urine 180 cc)= 180 cc. Balance cairan dalam 6 jam= -10 cc minum susu habis tidak muntah
Respon Organismik (Evaluasi) 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif 2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit 3. PK: Infeksi 4. Resiko gangguan perfusi jaringan serebral 5. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan 6. Gangguan proses keluarga Planning: 1. Pantau tanda-tanda vital terutama oksigenasi 2. Pantau jalan nafas 3. Lakukan inhalasi, postural drainage 4. Timbang BB tiap hari dengan waktu dan kondisi yang sama 5. Hitung intake dan output cairan dan nutrisi 6. Berikan dukungan pada keluarga
Memberikan inhalasi NaCL 0,9%+ ventolin dan melibatkan ibu dalam pemberiannya Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital Respon: Suhu 37,2°C, nadi 116x/menit, respirasi 40x/menit, saturasi oksigen 95% dengan oksigen via binasal canule 1/2 ltr/menit, kesadaran compos mentis. Suara nafas vesikuler dan ronchi masih ada
20.00 WIB
Memberikan obat antibiotik ceftazidine 150mg via Intra vena Hasil: Obat antibiotik sudah masuk akses lancar
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
44
Waktu SENIN, 21/3-2016 j 08.00- 13.00 WIB J 08.00 WIB
Jam 09.30 WIB
Implementasi Mencuci tangan 5 moment hand hygiene Respon : mencegah dan mengurangi kejadian infeksi
Respon Organismik (Evaluasi) Subjektif: Ibu mengatakan klien sesak dan batuk sudah sangat berkurang dan coba lepas oksigen dari kemarin
Operan dinas Hasil: S: Sesak dan batuk sudah sangat berkurang, anak dipindahkan ke ruang 203 (bagian infeksi) B: TB milier on OAT, HAP, Meningitis TB, diare melanjut tanpa dehidrasi A: Tidak pakai oksigen cek saturasi oksigen. Rencana pulang tunggu visite dokter. R: monitor tanda-tanda vital terutama pernafasan dan saturasi oksigen.
Objektif: Konservasi energi Anak terpasang NGT pemenuhan cairan dan nutrisi via NGT, infus di aff. Diuresis spontan terpasang pampers.
Dokter DPJP visite Pasien boleh pulang. Kontrol kembali ke poli pernafasan. Obat dibawa pulang OAT, antibiotik ganti oral.
Konservasi Integritas struktur Kesadaran compos mentis, nadi 116-124x/menit. Suhu 36,9°C. Saturasi oksigen 95%-96% tanpa oksigen, akral hangat, CRT < 3 detik. Pernafasan 40x/menit, suara nafas vesikuler, suara nafas tambahan ronchi, abdomen datar, supel, bising usus ada, muntah tidak ada. Analisis: 1. Bersihan jalan nafas efektif 2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit teratasi 3. PK: Infeksi membaik 4. Resiko gangguan perfusi jaringan serebral tidak terjadi 5. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tidak terjadi 6. Gangguan proses keluarga dapat teratasi Planning: Berikan dukungan pada keluarga pada keluarga untuk dapat merawat anak di rumah dan tidak lupa kontrol kembali sesuai waktu. Bila keadaan darurat dapat langsung membawa ke RS sebelum waktu kontrol. Klien Pulang.
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
BAB 3 PENCAPAIAN KOMPETENSI
Standar kompetensi perawat di Indonesia diatur oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia atau PPNI (2010). Standar kompetensi seorang ners spesialis keperawatan menunjukkan kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh seorang ners spesialis keperawatan, yaitu seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan pasca sarjana (S2) dan atau ditambah dengan pendidikan spesialis keperawatan.
Arti dari standar adalah ukuran atau patokan yang disepakati.
Kompetensi adalah kemampuan seseorang yang dapat diobservasi dalam hal pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam menyelesaikan pekerjaan atau tugas dengan standar kinerja (performance) yang telah ditetapkan. Perawat ners spesialis merupakan perawat professional (PP-PPNI, 2010).
Kompetensi dalam memberikan dan memanajemen asuhan keperawatan meliputi kompetensi pemberian asuhan secara langsung yaitu melalui promosi kesehatan, pengkajian, perencanaan, implementasi, evaluasi, kemampuan komunikasi dan hubungan terapeutik serta kemampuan melakukan peran kolaboratif. Kompetensi pengembangan profesionalisme dalam upaya peningkatan mutu pelayanan dan asuhan keperawatan dan melakukan pendidikan berkelanjutan (ICN, 2009).
Perawat bertanggung jawab melakukan asuhan keperawatan secara professional kepada anak dan keluarga. Peran perawat sebagai advocator adalah membantu anak dan keluarga menentukan pilihan dan melakukan asuhan keperawatan yang terbaik bagi anak dan keluarga. Perawat bekerja dengan melibatkan anggota keluarga, mengidentifikasi tujuan dan kebutuhan anak dan keluarga. Perawat berperan dalam menjamin bahwa keluarga mengerti tentang pelayanan kesehatan, memberikan informasi yang adekuat mengenai prosedur dan pengobatan, melibatkan keluarga dalam perawatan anak, mendorong keluarga untuk melakukan tindakan yang mendukung pengobatan dan perawatan anak (Hockenberry & Wilson, 2013).
45
Universitas Indonesia
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
46
Perawat berperan dalam pemberian praktik secara etik dan legal. Perawat memiliki nilai moral untuk melakukan asuhan keperawatan dengan menerapkan prinsip automomy (menghargai hak pasien dan keluarga dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan), nonmaleficience (kewajiban untuk meminimalkan atau mencegah bahaya), beneficence (kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan anak dan keluarga) serta justice (memberi asuhan secara adil) (Hockenberry & Wilson, 2013; ICN, 2009).
Perawat berperan dalam menciptakan lingkungan yang saling memahami dan menghormati, peduli dan pengertian terhadap keluarga. Perawat juga berperan untuk melakukan kolaborasi pengambilan keputusan etik, dengan cara mempelajari literatur dan mengetahui tentang kode etik professional sebagai pedoman dan kontrol diri agar tetap professional (Hockenberry & Wilson, 2013; ICN, 2009).
3.1 Pencapaian Kompetensi Sesuai Area Peminatan Pelaksanaan praktek residensi anak dilaksanakan dalam 2 tahapan yaitu praktek residensi I dan praktek residensi II. Sebelum melaksanakan praktek residensi, residen keperawatan anak terlebih dahulu menyusun kontrak belajar sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai. Dalam praktek ini residen memilih ruang perinatologi, infeksi, non infeksi dengan area peminatan utama adalah ruang infeksi. Pelaksanaan praktek residensi I dilaksanakan selama 16 minggu. Adapun pelaksanaannya 4 minggu pertama diruang perinatologi (RSUPN Cipto Mangunkusumo), 6 minggu di ruang non infeksi (RSAB Harapan Kita) dan 6 minggu di ruang infeksi (RSPAD Gatot Soebroto). Sedangkan praktek residensi II dilaksanakan sesuai dengan area peminatan residen yaitu ruang infeksi, dilaksanakan selama 11 minggu yaitu 6 minggu di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan 5 Minggu di Ruang RSAB Harapan kita selama praktek residen keperawatan anak juga melakukan kegiatan inovasi berdasarkan evidence based practice yang disosialisasikan dan diaplikasikan diruangan praktek baik inovasi pribadi atau kelompok.
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
474
3.1.1 Pencapaian kompetensi di Ruang Perinatologi Praktik di ruang perinatologi dilaksanakan selama 4 minggu, kompetensi yang telah dicapai selama praktek yaitu memberikan asuhan keperawatan pada bayi neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan, respiratory distress ec penyakit membran hialin ec sepsis neonatorum awitan dini, sepsis neonatus awitan lama, hiperbilirubinemia, hydrocephalus dan spina bifida.
Kompetensi yang telah dicapai oleh residen pada Ruang Perinatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo adalah melakukan deteksi dini dan memberi konsultasi tumbuh kembang serta melakukan perawatan kepada neonatus dengan masalah respirasi, manajemen neonatus dengan masalah termoregulasi, merawat neonatus dengan gangguan metabolisme, merawat neonatus dengan penyakit infeksi. Residen juga dituntut untuk mampu melakukan penilaian masa gestasi bayi baru lahir, melakukan perawatan bayi normal, manajemen laktasi, perawatan metode kanguru dan melakukan perawatan neonatus dalam inkubator, memasang infus, memberikan transfusi darah. Mampu mengoperasikan alat infus pump, syringe pump, mengoperasikan alat bantu nafas CPAP dan Ventilator, melakukan pembersihan jalan nafas, dan memasang fototerapi dan melakukan pemantauan pada bayi yang menggunakan fototerapi. Residen juga membangun komunikasi dengan sesama profesi, profesi lain, klien dan keluarga. Kompetensi ini dicapai dengan cara melakukan kolaborasi pemberian medikasi, interpretasi hasil pemeriksaan diagnostik seperti bilirubin dan analisa gas darah, melakukan edukasi pada keluarga klien, melakukan evidence based practice terkait asuhan keperawatan pada neonatus.
3.1.2 Pencapaian kompetensi di Ruang Non Infeksi Praktek di ruang Non Infeksi dilaksanakan 6 minggu di RSAB Harapan kita. Kompetensi sebagai pemberi asuhan yang telah dicapai selama praktik di ruang Non Infeksi adalah merawat anak dengan Kanker, Thalassemia, dan Tetralogy of Fallot (TOF) dan gangguan bladder bawaan sehingga harus diajarkan cara memasang catheter sementara pada keluarga, untuk mengeluarkan distensi abdomen akibat urine yang tidak bisa keluar. Kompetensi yang dicapai dalam
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
48
pemberian obat chemoterapi sesuai program klien dan asisten tindakan bone marrow punksi, memberikan transfusi PRC, trombosit dan FFP. Melakukan proyek inovasi kelompok yaitu pengkajian mukositis dan mengimplementasikan oral care dengan madu pada penderita cancer yang mengalami mukositis.
3.1.3 Pencapaian kompetensi di Ruang Infeksi Praktek diruang rawat infeksi dilaksanakan pada residensi I dan residensi II. Kompetensi yang dilakukan sebagai pemberi asuhan yang telah dicapai selama praktik di ruang infeksi adalah merawat anak dengan kasus-kasus infeksi kurang lebih 8 kasus. Variasi kasus yang dirawat adalah antara lain dengan gangguan pada sistem pernafasan yaitu pneumonia, TB paru, asma, meningitis TB, bronchiolitis. Gangguan cardiovaskuler VSD, ASD. Merawat anak dengan gangguan pada sistem gastrointestinal atresia bilier, diare, Merawat anak dengan gangguan sistem persyarafan yaitu hydrocephalus. Residen keperawatan anak juga melaksanakan sosialisasi evidence based practice inhalasi dengan cairan salin hipertonik.
3.2 Peran Ners Spesialis Keperawatan Anak Residen telah melakukan peran sebagai Ners Spesialis Keperawatan Anak sebagai berikut: 3.2.1 Peran sebagai Pemberi Asuhan Keperawatan Selama melaksanakan praktek residen selalu mengikuti kegiatan ruangan yaitu dalam pemeberian asuhan langsung kepada pasien dan keluarga. Di RSUPN Cipto mangunkusumo residen diberi tanggung jawab dalam mengelola dan memberikan perawatan langsung pada pasien dalam satu kamar oleh supervisor gedung A yang juga merupakan pembimbing klinik selama residen praktek. Dalam satu kamar pasien berjumlah 6 orang kecuali kamar isolasi hanya 1 orang. Residen diberikan tanggung jawab dalam memberikan asuhan keperawatan langsung pada pasien di ruangan tersebut beserta 1 orang perawat ruangan (perawat asosiet). Begitu juga di RSAB Harapan Kita residen diberi kesempatan memilih pasien dan kamar yang hendak diberi asuhan langsung. Residen memilih kamar dimana pasien kelolaan dirawat sehingga mudah bagi residen dalam memberikan asuhan. Kebiasaan yang bias dilanjutkan di RSAB Harapan Kita adalah melakukan ronde pada semua pasien
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
49
setelah operan dinas atau pergantian dinas agar residen makin mengenal pasien dan kebutuhannya.
3.2.2
Peran sebagai Pendidik
Residen memberikan pendidikan kesehatan kepada orang tua klien mengenai prosedur tindakan seperti inhalasi yaitu dengan membantu memeberikan masker inhalasi yang tepat selama pasien diberi inhalasi. Residen juga mengajarkan keluarga pasien dalam pemberian nutrisi melalui nasogastric tube dimana keluarga dilibatkan dalam pemberiannya. Residen juga berperan menjadi perceptor bagi mahasiswa diploma tiga keperawatan dan mahasiswa sarjana keperawatan yang sedang mengambil program ners saat berada di ruangan praktek yang sama.
Kegiatan menjadi perseptor dilakukan saat praktik di Ruang Perinatologi yaitu kepada mahasiswa ners Universitas Indonesia yaitu menjelaskan penanganan bayi prematur dan menjelaskan patofisiologi terkait keadaan pasien yang dirawat yaitu hydrocephalus. Residen bersama mahasiwa ners berdiskusi terkait melakukan pengkajian pada pasien yang telah dipilih mahasiswa sebagai kasus kelolaan.
3.2.3
Peran sebagai Pemimpin
Peran sebagai pemimpin bagi seorang perawat adalah perawat mengatur kerja dengan multidisiplin tim kesehatan untuk menjamin keefektifan dari rencana keperawatan serta untuk memonitor dan mengevaluasi hasil. Pengelolaan pasienpasien tersebut dilakukan residen bersama dengan perawat primer dan perawat asosiet yang berada di grup tersebut. Kesempatan residen sebagai pemimpin, didapatkan saat residen harus mampu bekerja tanpa didampingi oleh perawat primer yang ada di ruangan atau juga tanpa perawat asosiet. Residen berusaha membuat rencana keperawatan dan menentukan rencana keperawatan serta menetapkan hasil yang diharapkan.
3.2.4
Peran sebagai Peneliti
Peran sebagai peneliti dilakukan residen setelah mengkaji kebutuhan dan masalah yang dirasakan menjadi masalah di ruangan. Lalu residen mencoba mencari jurnal,
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
50
literatur atau artikel yang terkait hal tersebut dan akhirnya melakukan sosialisasi terkait hal tersebut pada perawat agar dapat diaplikasikan. Residen melakukan proyek inovasi baik individu maupun kelompok yaitu dalam rangka melakukan peran sebagai peneliti. Residen juga mensosialisasikan hasil proyek inovasi pada perawat ruangan pada waktu yang disepakati agar sosialisasi dapat diterima oleh banyak perawat sehingga bisa diterapkan pada pemberian asuhan keperawatan langsung pada klien dan keluarga.
3.3 Pembahasan Praktek spesialis Keperawatan Anak dalam Pencapaian Kompetensi Praktik residensi keperawatan anak adalah salah satu cara mengaplikasikan peran perawat dalam melakukan pendidikan berkelanjutan untuk mengembangkan profesionalisme
perawat
sehingga
dapat
meningkatkan
kualitas
asuhan
keperawatan pada anak. Tujuan praktik residensi keperawatan anak adalah menghasilkan lulusn yang mampu memberikan asuhan keperawatan kepada klien dan keluarganya secara mandiri, kemampuan ini dijabarkan dalam berbagai kompetensi berupa keterampilan intelektual, interpersonal dan teknikal degan memperhatikan aspek legal dan etik terkait keperawatan anak.
Selama melakukan praktik residensi, residen melaksanakan praktek sesuai target dan kompetensi yang diharapkan. Dalam melakukan perawatan langsung adanya pengalaman pasien menjadi perawat di rumah sakit antara lain ruang rawat inap/bangsal anak, ruang charity (untuk amal), ruang NICU juga mengikuti pelatihan ICU dan dinas diruang PICU dan ICU membuat residen tidak kesulitan untuk melakukan tindakan langsung pada pasien dan keluarga.
Dalam melaksanakan praktik, dengan mengaplikasikan tujuan menjadi perawat spesialis yang memiliki standar ICN (2009), residen melihat bahwa kemampuan berkomunikasi dengan perawat dan tim kesehatan lain penting, dan lebih mudah dilakukan pada saat residen mengikuti kegiatan-kegiatan ruangan sehingga aplikasi yang dilakukan pada pasien dapat menjadi contoh langsung terutama terkait evidence based practice in nursing. Prinsip etik dan legal mengikuti dalam setiap
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
51
tindakan yang dilakukan. Family centre care dan atraumatic care selalu disertakan dalam tindakan yang dilakukan.
Namun kendala yang dialami residen yaitu adaptasi. Tiap rumah sakit memiliki standar operasional prosedur yang berbeda juga sarana dan prasarana yang mendukung dalam pelayanan kesehatan yang diberikan. Perlu waktu mengetahui proses asuhan keperawatan yang diberikan, lalu mengungkapkan kepada perawat ruangan terkait aplikasi praktik professional yang bertanggung jawab dan bertanggung gugat secara aspek legal dan etik. Residen dapat mengungkapkan pendapat pada perawat atau tim kesehatan lain dalam rangka melakukan fungsi advokasi, dan residen mendapat dukungan dan peneriman yang baik dari perawat atau profesi lain.
Kendala adaptasi ini bisa juga disebabkan karena tempat praktek yang berpindahpindah sehingga selalu butuh waktu kembali melakukan adaptasi di ruangan baru baik keadaan staf, lokasi, kondisi ruangan, sarana dan prasarana serta karakteristik klien dan keluarga. Dari kasus yang diambil untuk pendekatan keluarga biasanya setelah kedua kali melakukan pendekatan pada pasien residen segera mampu melakukan pengkajian yang belum terkaji diawal pengkajian. Ada satu kasus kelolaan yang memerlukan beberapa kali interaksi sampai keluarga bisa menerima residen tetapi juga mengalami kesulitan untuk menerapkan family centre care terkait
kecemasan yang dialami keluarga. Tapi setelah residen diberi tanggung
jawab merawat dan melakukan asuhan keperawatan pada pasien dan memiliki keleluasaan waktu melakukan pengkajian saat melakukan tindakan akhirnya keluarga dapat ikut serta dalam melakukan perawatan yang dapat dilakukan oleh keluarga.
Terbatasnya pilihan peminatan menyebabkan residen hanya bisa praktik pada tiga ruangan, yaitu perinatologi (wajib) dan ruang pilihan ruang non infeksi dan infeksi. Akhirnya residen memilih ruang infeksi sebagai ruang peminatan. Residen belum pernah praktik di ruang bedah sehingga minim sekali pengetahuan terkait ini, pengalaman diperoleh saat aplikasi dan pengalaman bekerja dan saat mengambil
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
52
profesi ners dulu walaupun kasusnya tidak sekompleks dan seberagam sekarang. Berdasarkan hasil evaluasi residen pada saat melakukan perawatan di ruang infeksi RSPAD Gatot Soebroto kasus yang ditemui kurang bervariasi. Saat melakukan perawatan di ruang non infeksi RSAB harapan kita kasus cancer cukup bervariasi dan banyak hanya alat pelindung diri yang ada terbatas. Pada saat melakukan praktik di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, klien dapat merawat berbagai kasus yang menarik dan kompleks, ditambah dengan peralatan penunjang yang cukup, hanya tinggal perawatan pada alat yang perlu diperhatikan. Bahkan beberapa kasus emergensi seperti gagal napas sampai pasien dipasang endotracheal tube (ETT) keluarga dilibatkan dalam memberikan ventilasi sambil menunggu pasien dipindahkan ke ruangan intensif atau dipindahkan ke rumah sakit lain yang ada ruangan intensifnya. Residen juga mendapatkan pengkayaan dari dokter terkait kegawatdaruratan pada pasien onkologi yaitu febris neutropenia dan juga pemberian nutrisi pada pasien.
3.4 Implementasi Evidence Based Practice Residen mengimplementasikan Evidence Based Practice terkait tindakan pada anak dengan gangguan oksigenasi yaitu pemberian inhalasi dengan metoda Plan Do Study Act (PDSA). Metoda PDSA adalah suatu cara untuk menguji perubahan yang diimplementasikan. PDSA memandu proses berfikir, pemecahan tugas menjadi langkah-langkas dan kemudian mengevaluasi hasilnya, memperbaiki, dan mengujinya kembali.
Plan atau rencana yaitu Menerapkan penggunaan Nacl 3% untuk inhalasi pada anak usia 0-18 tahun yang mengalami gangguan pemenuhan oksigenasi karena penumpukan sekret. Hasil yang diharapkan yaitu dapat memperbaiki evaluasi terhadap tanda-tanda vital terutama frekuensi pernafasan dan saturasi oksigen.
Rencana langkah-langkah pelaksanaan adalah dengan mengidentifikasi populasi yang sesuai dengan kriteria inklusi (anak usia 0-18 tahun yang mendapatkan terapi inhalasi karena gangguan pemenuhan oksigenasi akibat penumpukan sekret baik
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
53
yang NaCL 0,9% atau dengan cairan salin hipertonik (NaCL 3%) dengan melakukan langkah sebagai berikut: 1. Setelah mengidentifikasi pasien selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap: Diagnosa keperawatan, frekuensi nafas, frekuensi nadi dan saturasi oksigen. 2. Menjelaskan dan melibatkan perawat ruangan terkait intervensi pemberian terapi inhalasi yang diberikan 3. Bersama dengan perawat ruangan melakukan pengukuran frekuensi pernafasan dan saturasi oksigen sebelum dan setelah pemberian inhalasi baik yang dengan Nacl 0,9% atau yang dengan cairan salin hipertonik (NaCL 3%) lalu mendokumentasikan pada catatan terintegrasi dan grafik TTV. 4. Residen mencatat hasil dari dokumentasi pada catatan terintegrasi dan atau grafik TTV
Do, Residen melakukan pendataan pasien yang menerima inhalasi baik dengan NaCL 0,9% atau yang mendapat cairan salin hipertonik (NaCL 3%) di ruang infeksi anak gedung RSUPN Cipto Mangunkusumo. Perawat dan Residen melakukan pelaksanaan inhalasi pemberian inhalasi baik dengan NaCL 0,9% dan dengan cairan salin hipertonik (NaCL 3%).
Study, Residen mempelajari dan mencatat serta menganalisis perbedaan frekuensi nafas, frekuensi nadi dan saturasi oksigen sebelum dan setelah diberikan nebuliser baik yang dengan NaCL 0,9% atau cairan salin hipertonik (NaCL 3 %) dan melakukan evaluasi ulang pada hari ke-5 setelah pemberian inhalasi dengan cara: 1. Merekap data frekuensi nafas, frekuensi nadi dan saturasi oksigen sebelum pemberian inhalasi 2. Merekap data frekuensi nafas, frekuensi nadi dan saturasi oksigen sesudah pemberian inhalasi 3. Merekap data frekuensi nafas, frekuensi nadi dan saturasi oksigen sesudah pemberian inhalasi setelah 5 hari dari pemberian pertama inhalasi.
Act, hasil analisa dari pemberian inhalasi dengan cairan salin hipertonik (NaCL 3%) bila aman yaitu tidak mempengaruhi hemodinamik dan tanda-tanda vital pasien
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
54
serta tujuannya meningkatkan kelembaban pada mukosa silier saluran pernapasan tercapai dengan sekret lebih encer dan mudah yntuk dikeluarkan dapat diaplikasikan sesuai Evidence Based Practice (EBP) dapat menurunkan LOS maka direkomendasikan penggunaannya sebagai kebijakan rumah sakit untuk tindakan inhalasi pada pasien dengan gangguan oksigenasi yaitu pasien dengan infeksi saluran pernafasan terutama bronchiolitis.
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
BAB 4 PEMBAHASAN
Bab ini berisi pembahasan penerapan teori keperawatan pada asuhan keperawatan anak dengan masalah gangguan sistem pernapasan dan kekuatan dan keterbatasan Model Konservasi Levine.
4.1 Penerapan Model Konservasi pada Asuhan Keperawatan Anak dengan Gangguan Pemenuhan Oksigen Masalah anak dengan gangguan pemenuhan oksigen banyak ditemui di rumah sakit saat berdinas di ruang infeksi. Gangguan pemenuhan oksigen pada 5 kasus terpilih dalam karya ilmiah akhir ini dengan diagnosa medis yang berbeda-beda yaitu 2 kasus TB milier, meningitis TB, HAP (Hospital Acquired Pneumoni) disertai diare melanjut, 1 kasus bronchiolitis disertai VSD, 1 kasus Asma Bronchial attack sedang berat, dan 1 kasus Anemia berat, Cerebral Palsy, Hydrocephalus dan Gastrostomy.
Kelima kasus kelolaan tersebut memerlukan pemenuhan kebutuhan oksigen dalam mengatasi masalah kesehatan yang dialami. Masing-masing pasien kelolaan dalam karya ilmiah ini memiliki gangguan pemenuhan kebutuhan dasar oksigenasi, dengan gangguan pada sistem pernapasan, cardiovaskuler dan hematologi yang kesemuanya adalah sistem yang berpengaruhi pada kebutuhan oksigenasi (Potter & Perry, 2010).
4.1.1. Pengkajian Levine menyatakan bahwa pengkajian merupakan proses mengumpulkan data provokatif melalui wawancara dan observasi dengan menggunakan empat prinsip konservasi. Empat prinsip konservasi tersebut meliputi konservasi energi, konservasi integritas struktur, konservasi integritas personal dan konservasi integritas sosial (Alligood, 2014). Pada pengkajian yang sudah dilakukan berdasarkan prinsip konservasi tersebut ditemukan beberapa hal yang dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan oksigen,
55
Universitas Indonesia
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
56
Berdasarkan hasil pengkajian sistem pernapasan pada kelima kasus kelolaan yang mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada mulanya anak mengalami sakit flu dan batuk disertai demam. Tetapi karena penanganan yang belum tepat dan daya tubuh yang rendah sehingga kondisinya semakin parah dan mewajibkan anak untuk rawat inap. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ward, Ward, Leach dan Wiener (2011) yang mengungkapkan daya tahan tubuh anak belum berkembang dengan baik sehingga rentan sakit. Menurut riset kesehatan dasar (2013) infeksi saluran pernapasan merupakan penyakit kedua tertinggi setelah diare.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik pada kelima klien berdasarkan konservasi integritas struktur, didapatkan semua kasus kelolaan mengalami akumulasi sekret pada saluran pernafasan yaitu ditandai dengan sesak, tachipnea, work of breathing, adanya suara napas tambahan yaitu ronchi dan weezing, pernapasan cuping hidung dan adanya penggunaan otot-otot bantu pernapasan yang minimal sampai berat, saturasi oksigen yang tidak stabil dan hasil laboratorium seperti Analisa Gas Darah (AGD) dan thorax foto yang menunjukkan kelainan.Anak juga terlihat rewel, gelisah bahkan didapatkan penurunan kesadaran seperti pada An. A. L. C dan An. J.
Akumulasi sekret di jalan napas bila dibiarkan akan menyebabkan obstruksi karena lubang hidung bayi dan anak lebih kecil secara anatomi dibanding orang dewasa. Akumulasi sekret dalam saluran pernapasan dapat meningkatkan work of breathing yang menimbulkan pernapasan cuping hidung dan penggunaan otot-otot napas tambahan karena tidak dapat bernapas melalui mulut (Potter & Perry, 2010).
Penumpukan sekret yang terus menerus dan tidak ditangani dengan segera dapat menyebabkan hipoksia atau kekurangan oksigen dalam jaringan tubuh. Begitu juga bila terjadi hipoksemia (kekurangan oksigen dalam darah) yang pada akhirnya menyebabkan kondisi kurangnya pasokan oksigen bagi tubuh untuk menjalankan fungsi normalnya. Menurut Saputra (2012) serta Kozier, Erb, Berman dan Snyder
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
57
(2011) gangguan yang dapat mengganggu fungsi pernapasan adalah perubahan pola napas, obstruksi jalan napas dan hipoksia.
Analisis dari seluruh pengkajian yang dilakukan pada kelima kasus kelolaan didapatkan trophicognosis yaitu bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret. Hal ini terjadi karena masalah utama sebagian besar yaitu 4 kasus adalah infeksi saluran napas hanya 1 kasus yang sistem hematologi, yang berpengaruh juga pada fungsi pernapasan. Infeksi pada saluran napas mengakibatkan timbulnya proses inflamasi yang dapat menyebabkan akumulasi sekret pada saluran napas. Hal ini ditunjang dengan hasil laboratorium leukosit yang menunjukkan terjadi peningkatan leukosit dalam darah. Hal ini sesuai karena leukosit berfungsi sebagai pertahanan tubuh untuk membunuh dan memakan (fagosit) bibit penyakit/bakteri yang masuk ke jaringan retikulo endotelial system (RES), tempat pembiakannya di dalam limpa dan kelenjar limfe serta berfungsi sebagai pengangkut yaitu mengangkut dan membawa zat lemak dari dinding usus melalui limpa dan diteruskan ke pembuluh darah (Andarmoyo, 2012).
Pengkajian pada kelima pasien kelolaan dengan menggunakan Model Konservasi Levine dapat dilakukan pada anak yang sadar ataupun mengalami penurunan kesadaran. Pada kasus ada 2 kasus yang mengalami penurunan kesadaran, dalam hal ini pengkajian dapat dilakukan pada keluarga misalnya pada orangtua. Pengkajian dapat dilakukan pada anak juga pada orangtua sehingga hal ini tidak bermasalah dan data dapat dengan lengkap dan akurat didapat.
Pengkajian konservasi energi dan konservasi integritas struktur dapat dilakukan dengan melakukan pengkajian langsung terkait riwayat kesehatan, melalui pemeriksaan fisik dan wawancara dengan orangtua. Pengkajian konservasi integritas personal dan sosial dapat dilakukan melalui observasi interaksi orangtua dan klien serta melakukan wawancara langsung pada orangtua mengenai respon klien dan orangtua terhadap kondisi kesehatan yang dialami klien. Dari pengkajian tersebut didapatkan trophicognosis prioritas utama yaitu bersihan jalan napas tidak efektif.
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
58
4.1.2
Hypothesis (perencanaan)
Setelah dilakukan pengkajian dan didapatkan trophicognosis prioritas yang sama proses keperawatan dilanjutkan dengan perencanaan. Pengkajian yang dilakukan pada kelima pasien kelolaan masalah keperawatan prioritas utama adalah bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret. Masalah keperawatan yang muncul pada klien kemudian dilakukan intervensi yang tepat agar pasien kelolaan dapat beradaptasi sehingga mampu mempertahankan integritas fungsi pernapasannya kembali normal.
Intervensi yang diberikan pada kelima kasus kelolaan sudah sesuai dengan intervensi yang dilakukan pada pasien dengan gangguan pemenuhan oksigenasi yang mengalami penumpukan sekret. Intervensi keperawatan yang dilakukan pada klien yang mengalami akumulasi sekret antara lain auskultasi daerah paru, catat adanya bunyi tambahan wheezing, ronchi, lakukan hisap ekskresi jalan nafas (suction) sesuai kebutuhan, posisikan anak untuk memungkinkan pengembangan rongga dada (kepala ditinggikan 45° bila tidak ada kontraindikasi), pantau status oksigenasi/ saturasi oksigen, kolaborasi pemberian inhalasi dengan cairan salin hipertonik dengan bronkodilator dan mukolitik, pertahankan keadekuatan hidrasi untuk mengencerkan sekret, catat jenis dan jumlah sekret yang dikumpulkan, perhatikan teknik aseptik saat melakukan penghisapan lendir, ajak anak berbicara selama mengatur posisi, inhalasi dan menghisap lendir, libatkan keluarga dalam pemberian inhalasi yang efektif. (Hockenberry & Wilson, 2013; Wilkinson, 2012).
Teknik meningkatkan mobilisasi sekresi pulmonal adalah dengan inhalasi. Inhalasi yang diberikan pada kelima pasien kelolaan maupun yang diberikan pada pasien yang dirawat di unit infeksi adalah dengan cairan bronkodilator dan atau mukolitik dan diencerkan dengan cairan NaCl 0,9%. Setelah residen melakukan kolaborasi dengan dokter DPJP (dokter penanggung jawab pasien) dan mengemukakan rencana intervensi pemberian inhalasi dengan cairan salin hipertonik, dokter memberikan 6 pasien untuk dilakukan intervensi pemberian cairan hipertonk ini. Salah satu pasien kelolaan termasuk pasien yang diberikan inhalasi dengan hipertonik salin yaitu anak A.L.C. dengan cairan salin hipertonik dapat menurunkan
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
59
obstruksi jalan nafas berhubungan dengan mekanisme bersihan mucociliary yang potensial menjadi penanganan efektif pada anak (Zhang, Mendoza-Sassi, Klassen and Wainwright, 2015). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan cairan salin hipertonik dapat menurunkan lama hari rawat pasien (Length of Stay = LOS). Oleh karena itu pada kasus kelolaan terpilih inhalasi diberikan dengan menggunakan cairan salin hipertonik sekali satu hari yaitu pada siang hari dan harus diobservasi dan dilaporkan hasilnya pada catatan terintegrasi.
Cairan hipertonik salin dapat melembabkan dan berperan sebagai hidrasi cairan permukaan saluran napas yang mengering karena keadaan infeksi sehingga tidak dapat berfungsi dalam mengeluarkan sekret yang ada dalam jalan napas. Hidrasi merupakan variabel yang paling dominan yang mengatur mucus clearance di semua penyakit saluran pernafasan (Randell & Boucher, 2006; Boogard, de Jongste & Merkus, 2007). Dengan terapi inhalasi salin hipertonik saluran nafpas lembab, edema mukosa turun dan sifat rheologic lendir (elastisitas dan viskositas) ditingkatkan yang pada akhirnya dapat meningkatkan pebersihan sekret dari jalan napas.
4.1.3
Implementasi
Asuhan keperawatan yang diberikan atau di implementasikan pada klien yang mengalami gangguan pemenuhan oksigen dilakukan sesuai dengan intervensi yang sudah direncanakan sebelumnya. Tindakan ini dapat dilakukan secara mandiri atau berkolaborasi dengan tim kesehatan yang lain. Pelaksanaan asuhan keperawatan yang dilakukan perawat harus melakukan intervensi sesuai dengan evidence based practice terkini yang dapat menunjang peningkatan status kesehatan klien.
Pada pemberian inhalasi dengan cairan salin hipertonik sesudah residen berkolaborasi dengan dokter dalam pemberiannya kepada beberapa pasien dan mencatat respon setiap kali pemberian inhalasi seperti mengukur tanda vital frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, saturasi oksigen dan melakukan penghisapan sekret sesuai guidelines suction pada hidung dan mulut pada pasien yang tidak terintubasi karena kelima pasien yang dijadikan kasus kelolaan adalah pasien yang
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
60
tidak terintubasi. Tekhnik pengisapan lendir dilakukan dengan memperhatikan prinsip septik dan antiseptik (Potter & Perry, 2010).
4.1.4
Evaluasi
Evaluasi adalah hasil uji hipotesa, dievaluasi dengan mengkaji respon organisme apakah hipotesis tersebut membantu atau tidak (Alligood, 2014). Fawcett (2005) menjelaskan bahwa evaluasi yang dilakukan perawat adalah mengevaluasi dampak dari tindakan dan digunakan untuk merevisi trophicognosis yang diperlukan.
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan pada klien 3 dari 5 pasien didapatkan hampir semua tujuan tercapai, pasien dibolehkan pulang. 1 pasien mengalami perburukan dan dipindahkan ke ruangan lain dan akhirnya meninggal. 1 pasien lagi terkena morbili dan mengalami komplikasi sehingga terjadi gagal napas dan dipindahkan ke rumah sakit lain karena membutuhkan perawatan di ruang intensif.
Satu pasien yang terkena morbili dan mengalami gagal napas disebabkan karena anak kemungkinan mengalami komplikasi dari penyakit morbili yaitu pneumonia, Hal ini disebabkan karena ada pasien satu kamar dengan An. M mengalami morbili dan dipindahkan dari kamar isolasi.
4.2 Kekuatan dan Keterbatasan Model Konservasi Levine Kekuatan Model Konservasi Levine dapat diterapkan dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan oksigenasi yang mengalami bersihan jalan nafas akibat penumpukan sekret. Model Konservasi Levine memberikan gambaran kerangka fikir dalam melakukan intervensi untuk mendukung proses adaptasi pada anak dengan masalah oksigenasi melalui serangkaian intervensi, dengan tujuan meningkatkan kemampuan konservasi energi, konservasi integritas struktural, konservasi integritas personal dan konservasi integritas sosial. Diharapkan terpeliharanya kemampuan konservasi dapat mendukung adaptasi anak dengan masalah oksigenasi dalam mencapai kebutuhan dan kesejahteraan. Model ini sesuai diterapkan pada anak dengan masalah oksigenasi, yang mengalami tantangan dalam adaptai akibat terdapatnya penumpukan sekret di jalan nafas.
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
61
Model Konservasi Levine, tidak hanya memfokuskan pada kebutuhan fisiologis saja, namun juga bersifat holistik karena mencakup aspek biologis, psikososial, sosial, spiritual dan kultural yang dituangkan dalam prinsip konservasi energi, integritas struktural, personal dan sosial.
Sedangkan keterbatasan Model Konservasi ini merupakan nursing conceptual models (framework) yang masih abstrak sehingga cukup sulit untuk diterapkan dan masih ditemukan beberapa kendala dalam penerapannya, diantaranya diperlukan waktu yang lebih lama untuk melakukan pengkajian berdasarkan prinsip konservasi,
selain
itu
dalam
menentukan
trophicognosis,
diperlukan
pengklasifikasian diagnosis NANDA. Levine juga tidak menjelaskan secara rinci bagaimana evaluasi pencapaian tiap prinsip konservasi dan kaitannya dengan kemampuan adaptasi. Levine hanya menjelaskan bahwa penilaian intervensi dilakukan dengan penilaian organismik. Namun, berdasarkan pendapat residen bahwa pencapaian adaptasi dapat dinilai berdasarkan kemampuan prinsip konservasi, dengan melakukan evaluasi respon organismik terhadap kriteria hasil yang diharapkan pada setiap masalah.
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan Anak dengan gangguan pernapasan dapat mengalami bersihan jalan nafas tidak efektif akibat penumpukan sekret. Asuhan Keperawatan dilakukan pada 5 (lima) kasus anak kelolaan dengan masalah oksigenasi dan diangkat trophicognosis yang mengalami bersihan jalan nafas tidak efektif akibat penumpukan sekret menggunakan Model Konservasi Levine. Salah satu intervensi yang dilakukan adalah inhalasi dengan cairan salin hipertonik untuk meningkatkan mobilisasi mukosilier saluran napas. Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi.
Hasil evaluasi menunjukkan hasil yang bervariasi pada setiap kasus, namun secara umum menunjukkan terdapat peningkatan kemampuan adaptasi terutama pada kasus An A.L.C setelah diberikan intervensi cairan hipertonik salin lebih mudah dalam pengeluaran sekret yang dalam model konservasi Levine dititikberatkan pada kemampuan mempertahankan integritas struktural yang pada akhirnya dapat mempengaruhi konservasi energi dan integritas sosial pasien. Pada kasus An. M dan An. J, hasil evaluasi menunjukkan klien tidak mampu mempertahankan kemampuan adaptasi karena klien mengalami perburukan dan juga meninggal.
Model Konservasi Levine dalam penentuan trophicognosis atau masalah keperawatan masih memerlukan pengklasifikasian diagnosis NANDA. Levine juga tidak menjelaskan secara rinci bagaimana evaluasi pencapaian tiap prinsip konservasi dan kaitannya dengan kemampuan adaptasi. Levine hanya menjelaskan bahwa penilaian intervensi dilakukan dengan penilaian organismik. Namun, berdasarkan pendapat residen bahwa pencapaian adaptasi dapat dinilai berdasarkan kemampuan prinsip konservasi, dengan melakukan evaluasi respon organismik terhadap kriteria hasil yang diharapkan pada setiap masalah.
Kompetensi sebagai Ners Spesialis Keperawatan anak berhasil dicapai oleh residen selama praktik. Ners Spesialis mendapat tantangan menjadi perawat yang dijadikan
62
Universitas Indonesia
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
63
panutan baik dalam praktek maupun pengetahuan. Ners spesialis dapat melaluinya dengan melakukan pendekatan personal dengan turut dalam aktivitas di ruangan sebagai proses pemberian asuhan keperawatan secara langsung dengan memperlihatkan tindakan aplikasi sesuai evidence based practice dan caring.
5.2 Saran Model Konservasi Levine dapat diaplikasikan di ruang sebagai penerapan asuhan keperawatan. Bila hendak diaplikasikan di ruangan harus dilakukan sosialisasi terlebih dahulu terkait format pengkajian dan komponennya agar mudah diterapkan karena tidak semua perawat terpapar dengan pendekatan model keperawatan ini.
Intervensi pemberian inhalasi dengan cairan salin hipertonik dapat diaplikasikan dan dikolaborasi dengan dokter pada pasien dengan penumpukan sekret yang sulit dikeluarkan. Mengobservasi tanda-tanda vital selama pemberian inhalasi. Baiknya pemberian inhalasi dilakukan dengan
nebuliser ultrasonik agar aerosol hasil
pemecahan obat dan pengencer lebih konstan keluar. Terkait pengadaan cairan salin hipertonik dalam kemasan sekali pakai misal 1-4 cc (berkolaborasi dengan bagian farmasi). Menyediakan tempat khusus dan terkunci untuk menyimpan cairan salin hipertonik karena cairan ini termasuk cairan high alert.
Universitas Indonesia Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Daftar Pustaka
Alligood, M. R. (2014). Nursing theory: Utilization & aplication. (5th ed.) Missouri: Mosby Inc. Andarmoyo, S. (2012). Kebutuhan dasar manusia (oksigenasi): Konsep, proses dan praktik keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Ari, A., & Fink, J., B. (2011). Guidelines for aerosol devices in Infant, Children & Adult. Expert, Rev, Resp, Med, 5(4). Berman, A., & Snyder, S.J. (2012). Kozier & Erb fundamentals of nursing: Concepts, Process and practice (9th ed). New Jersey: Pearson Education Inc. Boogard, R.C., de Jongste, J., Merkus, P. (2007). Pharmacotherapy of impaired mucociliary clearance in non-CF pediatric lung disease. A review of the literature. Pediatr Pulmonol;42:989-1001. Chang, E., Daly, J., & Elliott, D. (2010). Patofisiologi: Aplikasi pada praktek keperawatan. Terjemahan Andry Hartono. Jakarta: EGC. (Buku asli tahun 2003). Corwin, E.J. (2009). Buku saku patofisiologi. Terjemahan Nike Budhi Subekti. Jakarta: EGC. (Buku asli tahun 2001). Daniels, T., Mills, N., & Whitaker, P. (2013). Nebuliser systems for drug delivery in cystic fibrosis. Cochrane Database of Systematic review; DOI: 10.1002/14651858. CD007639.pub2. Daviskas, E. (2006). Inhalation of hypertonic saline aerosol enhances mucociliary clearance in asthmatic and healthy subjects. Eur Respir J, 9, 725-732. Donaldson, S.H., Bennett, W.D., Zeman, K.L., Knowles, M.R., Tarran, R. & Boucher, R.C. (2006). Mucus clearance and lung function in cystic fibrosis with hypertonic saline. N Engl J Med, 354, 241-250. Donaldson, S.H. (2008). Hydrator therapies for cystic fibrosis lung disease. Pediatric Pulmonol; 43:S18-S23. Fawcett, (2005). Contemporary nursing knowledge: Analysis & evaluation of nursing models and theories. (2nd ed). Philadelphia: F. A. Davis Company. Hockenberry, M., & Wilson, D. (2007). Wong’s nursing care of infants and children. St. Louis: Mosby Elsevier.
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Hockenberry, M., & Wilson, D. (2013). Wong’s essential of pediatric nursing. (9th ed). St. Louis: Mosby Elsevier. Idrus, I. S., Yunus, F., Andarini, S. L., Setiawati, A. (2012). Perbandingan efek salbutamol dengan salbutamol yang diencerkan dengan NaCL 0,9% pada pasien dewasa dengan asma akut sedang di RS persahabatan. J. Respir Indo, vol. 32, No. 3. International Council of Nurses. (2009). ICN regulation series: ICN framework of competencies for the nurse specialist. Geneva: ICN. www.icn.org Kozier, B, Erb, G, Berman, A, & Snyder, S.J. (2011). Fundamental of nursing: Concepts, process, and practice. New Jersey: Pearson Education. Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Laporan Distribusi Jenis Penyakit Ruang Rawat Inap Lantai 1 Zona A, Gedung A, 2015 Mandelberg, A. (2010). Nebulized 3% hypertonic saline solution treatment in hospitalized infants with viral bronchiolitis. Chest, 123, 481-487. Marcdante, K.J., Kliegman, R. M., Jenson, H. B., & Behrman, R.E. (2011). Ilmu kesehatan anak esensial. Saunders: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Mefford, L. C., & Alligood, M. R. (2011a). Testing a theory of health promotion for preterm infants based on Levine’s conservation model of nursing. The Journal of Theory Construction and Testing, 15(2), 41-47. Mefford, L. C., & Alligood, M. R. (2011b). Evaluating nurse staffing pattern and neonatal Intensive care unit outcomes using Levine’s conservation model of nursing. Journal of Nursing Management, 19, 998-1011. NANDA International. (2011). Nursing diagnosis: definition and classification. Diperoleh melalui www.icn.org tanggal 10 November 2015. Parker, M.E., & Smith, M.C. (2010). Nursing theoris and nursing practice. (3rd ed). Philadelphia. Poston, B. (2009). An exercise in personal exploration: Maslow’s Hierrachy of need. The surgical technologist. Diperoleh melalui http://www.ast.org/ tanggal 20 Mei 2016. Potter, P.A., & Perry, A.G. (2015). Fundamental keperawatan ed. 5, Terjemahan Yasmin Asih, dkk. Jakarta: EGC. (Buku asli tahun 2009).
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
PPNI. (2005). Standar kompetensi perawat Indonesia. Dipublikasi oleh Bidang Organisasi PP-PPNI. Diperoleh melalui http://www.inna-ppni.or.id. tanggal 20 Mei 2016. PP-PPNI. (2010). Standar profesi dan kode etik perawat Indonesia. Jakarta: PPNI Randell, S.H., & Boucher, R.C. (2006). Effective mucus clearence is essential for respiratory health. Am J Respir Cell Mol Biol; 35:20-28. Saputra, L. (2012). Pengantar kebutuhan dasar manusia. Tangerang Selatan: Bina Rupa Aksara. Sharma, B. S., Gupta, M.K., Rafik, S.P. (2013). Hypertonic(3%) saline vs 0,93 saline nebulization for acute viral bronchiolitis: a randomized controlled trial. Indian Pediatr; 50(8):743-747. Soon, N., Bennett, W.D., Zeman, K., Brown, J, Foy, C, Boucher, R.C., Knowles., M.R. (2003). Increasing concentration of inhaled saline with or without amiloride: effect on mucocilliary clearence in normal subjects. Am J Respir Crit Care Med; 167:158-163. Stiwell, S. B. (2011). Pedoman keperawatan kritis ed. 3, Terjemahan Pamilih Eko Karyuni. Jakarta: EGC. (Buku asli tahun 2005). Ward, J.P.T., Ward, J., Leach, R.M., Wiener, C.M. (2011). At glance sistem respirasi, Terjemahan Huriawati Haryanto. Jakarta: Erlangga. (Buku asli tahun 2009). Zhang, L., Mendoza-Sassi, R.A., Wainwright, C., Klassen, T.P. (2015). Nebulized hypertonic saline solution for acute bronchiolitis: A Systematic review. Cochrane Database Syst. Rev; 136; 687. Zhang, S. & Petro, T.M. (2001). The effect of nicotine on murine CD 4 T cell responses. Int J Immunopharmacol. 18, 467-78. Zentz, S. (2011). Care of infants and children in bronchiolitis: A systematic review. Journal of pediatric nursing 26, 519-529.
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Lampiran 1
FORMAT PENGKAJIAN ANAK DENGAN PENDEKATAN MODEL KONSERVASI MYRA ESTRIN LEVINE
A.
IDENTITAS KLIEN DAN PENANGGUNGJAWAB IDENTITAS KLIEN Nama Tempat Tanggal Lahir Jenis Kelamin Tanggal Masuk Tanggal Pengkajian Diagnosa Medis IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB AYAH IBU Nama Usia Pekerjaan Pendidikan Alamat dan Nomer Telp.
B.
RIWAYAT KLIEN ALERGI Jenis Alergi Reaksi Alergi Tindakan Jenis Imunisasi
RIWAYAT IMUNISASI Waktu pemberian Frekuensi
Reaksi setelah pemberian
BCG Hepatitis B Polio (1,II,III,IV) DPT (1,II,III) Campak RIWAYAT KELAHIRAN A. 1. 2. B. 1. 2. 3. 4. 5.
RIWAYAT PRENATAL Keteraturan pemeriksaan Keluhan selama hamil RIWAYAT INTRANATAL Usia Kehamilan Berat Badan Panjang Badan Penolong Proses Persalinan
1 Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Lampiran 1
6. Komplikasi C. RIWAYAT POST NATAL 1. Kondisi Anak dan Kesehatannya
Status
3. RIWAYAT KESEHATAN YANG LALU
4. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
5. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA
Genogram
6. Riwayat Tumbuh Kembang a. b. c. d.
Motorik Halus Motorik Kasar Personal Sosial Bahasa
2 Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Lampiran 1
C. LINGKUNGAN INTERNAL DAN EKSTERNAL LINGKUNGAN INTERNAL
LINGKUNGAN EKSTERNAL
D.
KONSERVASI ENERGI NUTRISI DAN CAIRAN Usia BB TB LLA LK Jenis Makanan Frekuensi Makan Rute Makan Penyulit Makan ISTIRAHAT TIDUR Waktu Tidur Pola Tidur Kebiasaan Sebelum Tidur Kualitas Tidur AKTIVITAS Sebelum Sakit
Saat Di RS
WAKTU LUANG/REKREASI Kegiatan sehari-hari Kegiatan Rekreasi Kegiatan Bermain
3 Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Lampiran 1
E. KONSERVASI INTEGRITAS STRUKTURAL KEADAAN UMUM
TANDA-TANDA VITAL Tekanan Darah : Suhu : Nadi / HR : RR : Saturasi O2 : Nyeri :
PEMERIKSAAN FISIK 1. SISTEM PERNAFASAN
Anamnesa : Inspeksi : Hidung :
, pernafasan cuping hidung , deviasi septum nasi , mukosa hidung , lendir , terpasang oksigen liter/menit Bentuk dada : pergerakan dada : retraksi dada: , pola irama pernafasan: Perkusi : Terdengar : Auskultasi : Suara nafas : Suara nafas tambahan : Masalah keperawatan :
2. SISTEM CARDIOVASCULAR
Anamnesa :
Inspeksi : Ictus cordis , edema/pembesaran , cyanosis Palpasi : Ictus cordis , capillary refill time Auskultasi : Bunyi jantung tambahan : BJ 1 dan II . irama gallop tidak ada Masalah keperawatan :
4 Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Lampiran 1
3. SISTEM GASTROINTESTINAL
Anamnesa :
Inspeksi : Mulut: bibir , stomatitis , lidah , gusi berdarah Abdomen: bentuk abdomen tali pusat bayangan/gambaran bendungan pembuluh darah vena distensi abdomen Anus: Defekasi , stoma , frekuensi , konsistensi , karakteristik feses ,bau Urin: klien menggunakan , urin dicatat pada Ibu sebelumnya diajarkan untuk menimbang pampers Kelainan: hematuria Diuresis: Auskultasi : Bising usus Palpasi : Limpa Perkusi : Terdengar Masalah keperawatan :
.Umbilikus
, LP:
cm, Perut
pada abdomen
4. SISTEM REPRODUKSI
Anamnesa :
Inspeksi : Wanita: Genetalia eksterna , lesi Pengeluaran cairan (jumlah, warna, bau) Laki-laki: Hipospadia , edema scrotum , Massa , lesi , pengeluaran cairan (jumlah, warna, baru) Palpasi : Mammae : massa/benjolan , lesi tidak ada Gynaecomastia Masalah keperawatan :
5 Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Lampiran 1
5. SISTEM MUSKULOSKELETAL
Anamnesa : Inspeksi : Ekstremitas atas Ekstremitas bawah Atrofi Tonus Gerakan , aktif Bentuk collumna vertebralis Penggunaan alat/balutan Keterbatasan ROM Palpasi: Nyeri otot/sendi Masalah keperawatan : 6. SISTEM NEUROLOGI
Anamnesa : Inspeksi dan Palpasi: Kesadaran: compos mentis, E M V = Reflek: Sucking : Rooting : Grasping : Morro : Babinski : Palmar Graps : Plantar Graps : Patella :
Masalah keperawatan : 7.
SISTEM INTEGUMEN
Anamnesa :
Inspeksi : Rambut: warna hitam , distribusi Bentuk kuku : Kulit : Lesi (lokasi, ukuran, tanda-tanda peradangan) Ptekie Ekimosis Palpasi : Tekstur kulit Kelembaban Turgor kulit , Nyeri tekan Masalah keperawatan:
6 Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Lampiran 1
F. PENGOBATAN No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 7. 8.
Nama Obat
Dosis
Rute
G. KONSERVASI INTEGRITAS PERSONAL KONDISI Persepsi terhadap kesehatan
RESPON ANAK DAN KELUARGA
Harapan terhadap kesehatan
H. KONSERVASI INTEGRITAS SOSIAL Dukungan Keluarga Perubahan Peran Keterlibatan Dalam Kelompok Sosial Masalah dalam Hubungan Sosial
7 Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Lampiran 1
TROPIKOGNOSIS
No.
Konservasi
Trophicognosis
Data
HYPOTESIS No.
Trophicognosis
Hypotesis
RESPON ORGANISMIK Waktu
Implementasi
Respon Organismik (Evaluasi)
8 Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
UNIVERSITAS INDONESIA
PROYEK INOVASI
PEMBERIAN INHALASI DENGAN CAIRAN SALIN HIPERTONIK (NACL 3%) BERDASARKAN EVIDENCE BASED PRACTICE PADA PASIEN ANAK DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN OKSIGENASI AKIBAT PENUMPUKAN SEKRET DI RUANG INFEKSI RSUPN Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO
LINDA SARI BARUS NIM: 1306346020
PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN ANAK FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA
1 Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Nama Kegiatan “Asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan oksigenasi melalui inhalasi dengan HS (Hipertonic Saline) pada pasien anak dengan penumpukan sekret berdasarkan evidence based practice di ruang infeksi perawatan anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta”
1.2
Latar Belakang Anak-anak
sangat
rentan
mengalami
sakit
di
tahun-tahun
pertama
kehidupannya (Hockenberry & Wilson, 2009). Alasan umum anak dirawat di rumah sakit usia kurang dari 2 tahun di amerika adalah bronchiolitis akut yaitu infeksi saluran pernafasan bawah (Zhang, Mendoza-Sassi, Klassen and Wainwright, 2015). Infeksi saluran pernafasan adalah alasan seorang anak dirawat di rumah sakit dan merupakan penyakit kedua terbanyak yang menyebabkan kematian pada balita sesudah diare di Indonesia (Riskesdas, 2013; KemenKes RI, 2011).
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo merupakan rumah sakit rujukan tipe A dan merupakan rumah sakit rujukan nasional. Penyakit infeksi pernafasan pada ruang infeksi tahun 2015 tercatat ada 58 kasus yaitu dengan Bronkopneumonia, Pneumonia, Asma, Efusi Pleura dan Meningitis TB (Laporan Distribusi jenis Penyakit Ruang Rawat Lantai 1 Zona A, Gedung A, 2015). Penumpukan sekret dan edema jalan nafas adalah keadaan patologis yang dapat terjadi pada penyakit infeksi saluran pernafasan (Zhang, Mendoza-Sassi, Wainwright & Klassen, 2013).
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
3
Penyakit infeksi pernafasan menyebabkan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi. Salah satu diagnosa keperawatan yang diangkat oleh perawat pada gangguan pemenuhan oksigenasi ini adalah diagnosa keperawatan pembersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi atau penumpukan sekret. Penumpukan sekret yang terjadi membuat sekret yang menumpuk membuat plug sehingga membuat keadaan patologis pada anak (Zhang, Mendoza-Sassi, Klassen and Wainwright, 2015).
Standar penanganan perawatan yang bersifat supportive antara lain adalah pemberian oksigen, mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi anak serta inhalasi (Sharma, Gupta & Rafik, 2013). Beberapa penelitian melaporkan penggunaan Inhalasi dengan Hipertonic saline (HS) dapat mengurangi keadaan patologi pada saluran nafas yaitu menurunkan obstruksi jalan nafas. Inhalasi dengan HS ini berhubungan dengan mucociliary clearence dinyatakan aman dan menjadi penanganan yang berpotensial efektif pada anak (Zhang, Mendoza-Sassi, Klassen and Wainwright, 2015). Beberapa hasil penelitian juga menyimpulkan bahwa penggunaan HS ini dapat mengurangi length of stay (LOS) (Zhang, Mendoza-Sassi, Klassen and Wainwright, 2015; Sharma, Gupta & Rafik, 2013; Khalid, Sakran, Davidson, El Sayyed, Mahjoub & Ibrahim, 2010; Anil, Anil, Saglam, Cetin, Bal & Aksu, 2010; Everard, Hind, Ugonna et al, 2014; Florin, Shaw, Kittick, Yakscoe & Zorc, 2014; Ipek, Yalcin, Sezer & Bozaykut, 2011; Li & Zhao, 2014; Luo, Li, Luo, et al, 2011; Miraglia, Saitta, Leonardi et al, 2012; Ojha, Mathema, Sah & Aryal, 2014; Pandit, dhawan, Thakur, 2013; Teunissen, Hochs, Vaessen-Verberne et al, 2014; Tinsa, Abdelkafi, Bel Haj et al, 2014; Wu, Baker, Lang et al, 2014)
Penyedia layanan kesehatan termasuk perawat dalam hal ini mulai dari sekarang harus fokus pada menerjemahkan bukti-bukti hasil penelitian ini agar dapat diaplikasikan ke dalam praktek klinis untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih efisien dan efektif (Zentz, 2011). Hal ini juga sesuai
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
4
dengan visi dan misi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sehingga residen dengan berkolaborasi dengan tenaga medis dalam hal ini dokter melakukan intervensi pemberian HS pada pasien-pasien infeksi saluran nafas yang terpilih sebagai upaya dalam menurunkan infeksi saluran pernapasan dengan menanggulangi keadaan patologi akibat kerusakan silia yang mengarah ke penurunan bersihan jalan napas (Zentz, 2011).
1.3
Tujuan Proyek Inovasi 1.3.1 Tujuan Umum Mengaplikasikan evidence based practice asuhan keperawatan pada pasien dengan pemenuhan kebutuhan oksigenasi dengan pemberian Inhalasi HS (NaCL 3%) pada pasien anak dengan penumpukan sekret di ruang infeksi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
1.3.2 Tujuan Khusus a.
Meningkatkan informasi dan sebagai media edukasi bagi perawat terkait evidence based practice tentang pemberian inhalasi dengan HS (NaCL 3%) pada pasien anak yang mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi karena penumpukan sekret.
b.
Mengoptimalkan pemberian inhalasi dengan HS (NaCL 3%) pada pasien anak dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi karena penumpukan sekret.
1.4 1.4.1
Manfaat Proyek Inovasi Bagi Pasien Meningkatkan status oksigenisasi pada pasien dengan gangguan pernafasan dan mengurangi penumpukan sekret.
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
5
1.4.2
Bagi Praktik Keperawatan
1.4.2.1 Bahan pertimbangan untuk membuat asuhan keperawatan agar pelayanan lebih berkualitas 1.4.2.2 Menjalankan fungsi perawat yaitu collaborator dalam melakukan perawatan pada pasien dengan ganguan oksigenasi 1.4.3
Bagi Rumah Sakit Sebagai masukan dalam pengembangan kebijakan Rumah Sakit untuk mengoptimalkan pemberian HS (NaCL 3%) pada pasien dengan masalah pemenuhan kebutuhan oksigenasi karena penumpukan sekret
1.5
Hasil Pengkajian Kebutuhan Pelaksanaan Proyek Inovasi
1.5.1
Profil Singkat RSUPN Cipto Mangun Kusumo
1.5.1.1 VISI To become Nursing Department as a comprehensive unit providing in the nursing care and services to give infinite experience for stakeholders in 2019 Menjadi Bidang Keperawatan yang paripurna dalam asuhan dan pelayanan keperawatan untuk memberikan pengalaman istimewa kepada stakeholder pada tahun 2019. 1.5.1.2 MISI 1. Memberikan pelayanan keperawatan yang profesional, bermutu dan nyaman pada semua lapisan masyarakat 2. Merencanakan dan mengembangkan kompetensi tenaga keperawatan yang komprehensif 3. Menyediakan sumber daya pelayanan, pendidikan, pelatihan dan riset keperawatan bagi tenaga keperawatan maupun peserta didik keperawatan 1.5.1.3 KEBIJAKAN MUTU NURSE N- Nonstop
: Tak pernah berhenti memberikan pelayanan prima
U-Unsatisfied : Tak pernah puas dengan hasil yang dicapai R-Responsive : Tanggap dalam menindaklanjuti permintaan/keluhan customer
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
6
S-Skilled
: Meningkatkan kemampuan internal secara berkesinambungan & koordinasi yang harmonis, sinergis & sinkronisasi dengan unit kerja lain guna memenuhi kepuasan customer
E-Emphaty
: memahami kondisi customer
1.5.1.4 NILAI 1. Memberikan pelayanan keperawatan profesional dengan sentuhan hati nurani 2. Bekerja adalah ibadah dan amanah 3. Mengerjakan apa yang dikatakan 4. Bertanggung jawab dan bertanggung gugat dalam setiap tindakan yang dilakukan
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Terapi Inhalasi Terapi
inhalasi
diberikan untuk
saluran napas
bagian bawah
dalam
memungkinkan area permukaan yang luas dalam absorbsi obat. Obat dapat diberikan melalui pasase nasal, pasase oral atau selang yang dipasangkan ke trakea. Obat inhalasi dapat menimbulkan efek lokal (Potter & Perry, 2009). Pemberian obat ke saluran nafas bawah dapat dilakukan dengan inhalasi obat dalam bentuk aerosol dengan menggunakan inhaler bubuk kering/dry powder inhalers atau DPIs), metered dose inhalers (MDIs), atau nebuliser. Semua alat tersebut dirancang untuk menghasilkan partikel berukuran relatif kecil yang dapat melewati filtrasi saluran respiratori atas dan kemudian mengendap (deposisi) di saluran respiratori bawah. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi deposisi obat pada terapi inhalasi, seperti tekhnik pasien, alat yang digunakan, usia anak (kooperatif, laju inspirasi dan volume tidal) dan pola respiratori. Penggunaan MDIs sebaiknya dilengkapi dengan suatu bentuk tabung plastik perantara (spacer) yang berfungsi sebagai alat pegang dan terhubung dengan inhaler bubuk kering membutuhkan inhalasi yang dalam dan cepat agar obat dapat masuk ke saluran respiratori dengan optimal; hal ini sulit dilakukan oleh anak berusia kurang dari 6 tahun. MDIs dan nebuliser dapat digunakan pada anak segala usia dan memiliki efektifitas yang sama. (Nelson, 2011). Obat yang diberikan dalam bentuk obat yang di nebulisasi baik untuk mengatasi infeksi paru (Potter & Perry, 2009).
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
8
2.2 Cairan Salin Hipertonik 2.2.1 Pengantar Dalam 5 tahun terakhir ada kemajuan dalam pemahaman terkait mekanisme mucus clearance (MC) dalam kesehatan dan penyakit, yaitu mekanisme yang menunjukkan peran hidrasi cairan permukaan saluran napas/ Airway surface liquid (ASL) dan pentingnya inhalasi HS untuk rehidrasi (Donaldson, 2008; Randell & Boucher, 2006; Boogard, de Jongste & Merkus, 2007). Secara singkat, ia menyarankan bahwa kegagalan MC adalah faktor yang dominan tidak hanya pada penyakit cystic fibrosis (CF) tapi pada penyakit saluran napas, hidrasi merupakan variabel yang paling dominan yang mengatur MC di semua penyakit saluran pernafasan (Randell & Boucher, 2006; Boogard, de Jongste & Merkus, 2007). Ditemukan juga dan telah dicatat lebih jauh lagi bahwa bahwa eksaserbasi dalam banyak penyakit saluran napas akibat dari kegagalan intermiten MC karena dehidrasi ASL yang sering dipicu oleh infeksi virus (Soon, Bennett, zeman, Brown, Foy, Boucher & Knowles, 2003). Sehingga terapi
untuk
mempertahankan
hidrasi
ASL
mungkin
penting
selama eksaserbasi virus pada pasien CF dan semua penyakit saluran napas kronis (Randell & Boucher, 2006; Daviskas & Anderson, 2006). 2.2.1 Proses Dehidrasi ASL pada RSV Bronchiolitis Mekanisme proses dehidrasi ASL pada saluran nafas dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
9
Gambar 2.1 A. Normal B. RSV Bronchiolitis Ringan C. RSV Bronchiolitis Berat D. Cystic Fibrosis
Pentingnya Menjaga ketinggian normal periciliary liquid (PCL) sekitar 7 mm untuk menjaga mukosiliar nafas yang normal/MCC, sehingga pergerakan dari silia akan terhubung dengan batas margin yang lebih rendah dari mucus layer (ML). ML bertindak sebagai reservoir air yang akan selektif menyerap air dalam menanggapi hidrasi yang berlebihan dan meningkatkan MCC super normal sampai batas atas kecepatan tertentu (Gambar 2.1.A).
MCC super-normal ini ditunjukkan pada subjek normal yang menghirup inhalasi HS (Soon, Bennett, zeman, Brown, Foy, Boucher & Knowles, 2003). Sebaliknya, disarankan bahwa ketika dehidrasi ASL terjadi yaitu pada infeksi RSV ringan, konsentrasi ATP ekstra-seluler berkurang dan habis, sehingga terjadi dehidrasi ASL. ML menyumbangkanair untuk tetap menjaga setidaknya beberapa MC agar PCL tetap pada kisaran normal yaitu sekitar 7 mm. Sehingga ML sendiri menjadi dehidrasi (Randell & Boucher, 2006) (Gambar 2.1.B).
Namun, ketika mekanisme donor ini terus menerus dan ML tidak memiliki lebih banyak air lagi untuk menyumbang, PCL mungkin mustahil lagi untuk
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
10
meminta MCC (Gambar. 2.1.C). Sebagai epitel CF yang tidak memiliki CFTR (Gambar. 2D) yang benar-benar tergantung padaATP. Kontraksi PCL terjadi lebih awal, bahkan pada CF saluran udara terkena cedera virus yang relatif kecil dalam eksaserbasi CF (Randell & Boucher, 2006). (Gambar. 2.1.D).
2.2.2 Rasional Pemberian HS Skema sederhana dengan asumsi hanya kekuatan osmotik yang mengendalikan transportasi air bisa dilihat pada gambar 2.2 berikut ini
2.2 Skema osmotik transport cairan di saluran nafas
Pentingnya Inhalasi Pemberian HS (NaCL 3%) pada RSV bronchiolitis di daerah bronchiolar lebih terpengaruh mekanisme hidrasi ASL sebagai hydrating pelindung sehingga bisa mengganggu kadar air juga merusak lapisan lendir ASL, struktur epitel (bentuk epitel), ketinggian PCL dan merusak MC (Gambar. 2.1.C). Dengan demikian, terapi yang tepat harus melembabkan ASL,
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
11
menurunkan edema sub-mukosa dan meningkatkan sifat rheologic lendir (elastisitas dan viskositas) dan dengan demikian meningkatkan MC.
HS mungkin, secara teori, memperbaiki beberapa kelainan patofisiologi pada bronkiolitis virus akut. Penambahan HS akan menambah ketebalan permukaan, menurunkan epitel edema meningkatkan sifat lendir rheologic (elastisitas dan viskositas), dan mempercepat transportasi lendir rates (Mandelberg & Amirav, 2010). Inhalasi HS meningkatkan tingkat transportasi mukosiliar bahkan pada subyek normal dengan ada bukti dehidrasi, lendir hiper-sekresi atau sub-epitel edema (Soon, Bennett, zeman, Brown, Foy, Boucher & Knowles, 2003).
Mekanisme penting dikaitkan dengan efek HS adalah meningkatkan MC oleh silia atau tindakan batuk. HS membuat ikatan ion dalam gel lendir sehingga meningkatkan lendir reologi. HS meningkatkan kecepatan frekuensi ciliary melalui pelepasan prostaglandin E2 (Daviskas & Anderson, 2006). Penambahan HS menimbulkan konsentrasi ion dalam lendir dan membawa perubahan muatan negatif, sehingga mengurangi tolakan. hasil ini dalam makromolekul lendir lebih kompak, dan lebih efektif batuk- dependent permukaan cair mucus clearance (MC).
Hiperosmolaritas Airway dapat melepaskan mediator yang mampu meningkatkan activitas silia (Daviskas & Anderson, 2006). Selain itu, dengan menyerap air dari mukosa dan sub-mukosa, larutan HS secara teoritis dapat mengurangi edema dinding saluran napas pada bayi dengan bronkiolitis akut. HS juga dapat menyebabkan induksi dahak dan batuk, yang dapat membantu untuk membersihkan dahak dari saluran udara dan yang meningkatkan kejadian obstruksi napas (Mandelberg & Amirav, 2010).
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
12
BAB 3 IDENTIFIKASI DAN PENYELESAIAN MASALAH
3.1
Identifikasi masalah berdasarkan PICO Model PICO merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi serta menyusun pertanyaan atas sebuah masalah. PICO merupakan akronim yang memiliki kepanjangan sebagai berikut: P : Problem/ Population/ Patient (masalah/ populasi/ pasien) : keefektifan jalan nafas pada anak I : Intervention (intervensi) : Inhalation dengan cairan hipertonik Nacl 3% C: Comparison (intervensi pembanding) : Nacl 0,9% O: Outcome (hasil yang diinginkan) : Frekuensi nafas, frekuensi nadi, saturasi oksigen Pertanyaan masalah: apakah efek inhalasi dengan hipertonik saline Nacl 3% dapat mengurangi akumulasi sekret dan memperbaiki frekuensi nafas, frekuensi nadi dan saturasi oksigen?
3.2
Strategi penyelesaian masalah Strategi penyelesaian masalah yaitu dengan pencarian dan pengumpulan jurnal terkait topik bahasan. Tahapannya terdiri dari:
3.2.1
Identifikasi topik atau kata kunci, yaitu: a.
Inhalation
b. Inhalation in children c Inhalation hypertonic saline in children and nebulizer 3.2.2 Pembatasan pencarian a.
Usia : 0- 18 tahun
b.
Tahun : 2010 sampai dengan 2016
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
13
3.2.3 Jenis publikasi yang diinginkan a.
Systematic review atau meta-analysis
b.
Randomized clinical trial
3.2.4 Pencarian di database: a.
Cochrane
b.
EBSCO: CINAHL
c.
Pub Med
Hasil pencarian dengan topik dan kata kunci sesuai PICO didapatkan ada 55 jurnal kemudian ditelaah yang sesuai ada 24 jurnal ditambah systematic review yang sesuai 1 jurnal.
3.2.5 Hasil Apraisal Jurnal Jurnal 1 Zhang, L., Mendoza-Sassi, RA., Wainwright, C., Klassen, T.P. (2015). Nebulized
hypertonic saline solution for acute bronchiolitis: A systematic
review. Cochrane Database Syst Rev; 136; 687.
Tujuan dari penelitian ini untuk menilai efikasi dan keamanan hipertonik nebulasi saline (HS) pada bayi dengan bronkiolitis akut.
Metode Sumber data diambil dari pubmed dan the Virtual Health Library of the Latin American and Caribbean Center on Health Sciences Information sampai bulan mei 2015. Penelitian yang dipilih adalah yang menggunakan metode randomized or quasi-randomized controlled trials yaitu yang membandingkan nebuliser dengan HS dengan Nacl 0.9% atau standar pengobatan lain.
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
14
Hasil dari 24 penelitian yang melibatkan 3.209 pasien, 1.706 di antaranya menerima HS. Pasien di rumah sakit yang mendapat nebuliser dengan HS secara signifikan memiliki hari rawat (LOS) lebih pendek dibandingkan pasien yang menerima Nacl 0,9% atau perawatan standar (15 percobaan yang melibatkan 1.956 pasien; Mean difference (MD) 20,45 hari, 95% confidence interval (CI) 20,82-20,08). Kelompok HS juga memiliki skor klinis pasca perawatan lebih rendah pada 3 hari pertama masuk (5 percobaan melibatkan 404 pasien rawat inap; Hari 1: MD 20,99, 95% CI 21,48-20,50; Hari 2: MD 21,45, 95% CI 22,06-20,85; Hari 3: MD 21,44, 95% CI 21,78-21,11). Nebulasi HS mengurangi risiko rawat inap sebesar 20% dibandingkan dengan Nacl 0,9% di antara pasien rawat jalan (7 percobaan yang melibatkan 951 pasien; rasio risiko 0,80, 95% CI 0,67-0,96). Dilaporkan tidak ada efek samping yang signifikan terkait inhalasi dengan HS. Kualitas bukti moderat karena inkonsistensi dalam hasil antara cobaan dan keterbatasan studi (risiko bias).
Kesimpulan Nebulizer HS adalah pengobatan yang aman dan berpotensi efektif bayi dengan bronchiolitis akut
Jurnal 2 Khanal, A., Sharma, A., Basnet, S, Sharma, P. R., Gami, F. C. (2013). Nebulised hypertonic saline (3%) among children with mild to moderately severe bronchiolitis-a double blind randomized controlled trial. BMC Pediatrics 15:115.
Tujuan dari penelitian ini adalah To Assess the efficacy of nebulised hypertonic saline (HS) (3 %) among children with mild to moderately severe bronchiolitis.
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
15
Metode Infants aged 6 weeks to 24 months, with a first episode of wheezing and Clinical Severity scores (Arch DisChild 67:289-93, 1992) between 1 and 8, were enrolled over 4 months duration. Those with severe disease, comorbidities, prior wheezing, recent bronchodilator and steroid use were excluded. Patients were randomized in a double-blindfashion, to receive two doses of nebulized 3 % HS (Group 1) or 0.9 % normal saline (Group 2) with 1.5 mg of L-Epineprine, delivered 30 min apart. Parents were contacted at 24 h and 7 days. The principal outcome measure was the meanchange in clinical severity score at the end of 2 h of observation.
Hasil A total of 100 infants (mean age 9.6 months, range 2–23 months; 61 % males) were enrolled. Patients in bothgroups had mild to moderately severe disease at presentation. On an intention-to-treat basis, the infants in the HS group had a significant reduction (3.57 ± 1.41) in the mean clinical severity score compared to those in the NS group (2.26 ± 1.15); [p < 0.001; CI: 0.78–1.82]. More children in the HS group (n = 35/50; 70.0 %) were eligible for ER/OPD discharge at the end of 2 h than those in the NS group (n = 15/50; 30 %; p < 0.001), and less likely to need a hospital re-visit (n = 5/50; 10.0 %) in the next 24 h as compared to the NS group (n = 15/50, 30.0 %; p < 0.001). The treatment was well tolerated, with no adverse effects.
Kesimpulan Nebulized 3 % HS is effective, safe and superior to normal saline for outpatient management of infants with mild to moderately severe viral bronchiolitis in improving Clinical Severity Scores, facilitating early Out-Patient Department discharge and preventing hospital re-visits and admissions in the 24 h of presentation.
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
16
Jurnal 3 Everard M.L., Hind, D, Ugonna, K, et al; SABRE Study Team. (2014). SABRE: a multicentre randomised control trial of nebulised hypertonic saline in infantss hospitalised with acute bronchiolitis. Thorax; 69(12): 1105-1112.
Tujuan dari penelitian ini Acute bronchiolitis is the commonest cause for hospitalisation in infancy. Supportive care remains the cornerstone of current management and no other therapy has been shown to influence the course of the disease. It has been suggested that adding nebulised hypertonic saline to usual care may shorten the duration of hospitalisation. To determine whether hypertonic saline does have beneficial effects we undertook an open, multi-centre parallel-group, pragmatic RCT in ten UK hospitals.
Metode Infants admitted to hospital with a clinical diagnosis of acute bronchiolitis and requiring oxygen therapy were randomised to receive usual care alone or nebulised 3% hypertonic saline (HS) administered 6-hourly. Randomisation was within 4 h of admission. The primary outcome was time to being assessed as ‘fit’ for discharge with secondary outcomes including time to discharge, incidence of adverse events together with follow up to 28 days assessing patient centred health related outcomes.
Hasil A total of 100 infants (mean age 9.6 months, range 2–23 months; 61 % males) were enrolled. Patients in bothgroups had mild to moderately severe disease at presentation. On an intention-to-treat basis, the infants in the HS group had a significant reduction (3.57 ± 1.41) in the mean clinical severity score compared to those in the NS group (2.26 ± 1.15); [p < 0.001; CI: 0.78–1.82]. More children in the HS group (n = 35/50; 70.0 %) were eligible for ER/OPD
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
17
discharge at the end of 2 h than those in the NS group (n = 15/50; 30 %; p < 0.001), and less likely to need a hospital re-visit (n = 5/50; 10.0 %) in the next 24 h as compared to the NS group (n = 15/50, 30.0 %; p < 0.001). The treatment was well tolerated, with no adverse effects.
Kesimpulan A total of 317 infants were recruited to the study. 158 infants were randomised to HS (141 analysed) and 159 to standard care (149 analysed). There was no difference between the two arms in time to being declared fit for discharge (hazard ratio: 0−95, 95% CI: 0.75−1.20) nor to actual discharge (hazard ratio: 0.97, 95% CI: 0.76−1.23). There was no difference in adverse events. One infant in the HS group developed bradycardia with desaturation.
Jurnal 4 Florin TA, Shaw KN, Kittick M, Yakscoe S, Zorc JJ. (2014). Nebulized hypertonic saline for bronchiolitis in the emergency department; a randomized clinical trial. JAMA Pediatr; 168(7): 664-670.
Tujuan dari penelitian ini adalah To determine whether nebulized 3% HS compared with normal saline (NS) improves respiratory distress in infants with bronchiolitis not responding to standard treatments in the emergency department.
Metode A randomized clinical trial with blinding of investigators, health care providers, and parents was conducted at a single urban pediatric ED. The participants included children aged 2 to less than 24 months with their first episode of bronchiolitis and a Respiratory Distress Assessment Instrument score of 4 to 15 after nasal suctioning and a trial of nebulized albuterol
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
18
Hasil The primary outcome was change in respiratory distress at 1 hour after the intervention, as measured by the Respiratory Assessment Change Score (a decrease indicates improvement). Secondary outcomes included vital signs, oxygen saturation, hospitalization, physician clinical impression, parental assessment, and adverse events.
Kesimpulan Infants with bronchiolitis and persistent respiratory distress after standard treatment in the emergency department had less improvement after receiving 3% HS compared with those who received NS. Based on these results and the existing evidence, administration of a single dose of 3% HS does not appear to be indicated to treat bronchiolitis in the acute care setting.
Jurnal 5 Wu S, Baker C, Lang ME, et al. (2014). Nebulized hypertonic saline for bronchiolitis: a randomized clinical trial. JAMA Pediatr: 168(7); 657-663.
Tujuan dari penelitian ini adalah To compare the effect of nebulized 3% hypertonic saline vs 0.9% normal saline on admission rate and length of stay in infants with bronchiolitis.
Metode We conducted a double-blind, randomized clinical trial during 3 consecutive bronchiolitis seasons from March 1, 2008, through April 30, 2011. We recruited a convenience sample of patients younger than 24 months with a primary diagnosis of viral bronchiolitis presenting to the ED of 2 urban free-standing tertiary children’s hospitals. We excluded patients who were premature (gestational age, <34 weeks) or who had chronic pulmonary disease, immune deficiency, cardiac disease, or previous episodes of wheezing or inhaled
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
19
bronchodilator use. Of eligible patients who were approached, 161 (26.6%) declined to participate.
Hasil A total of 197 patients were enrolled in the NS group and 211 in the HS group. Admission rate in the 3% HS group was 28.9% compared with 42.6% in the NS group (adjusted odds ratio from logistic regression, 0.49 [95% CI, 0.28-0.86]). Mean (SD) length of stay for hospitalized patients was 3.92 (5.24) days for the NS group and 3.16 (2.11) days for the HS group (P = .24). The Respiratory Distress Assessment Instrument score decreased after treatment in both groups; however, we found no significant difference between groups (P = .35).
Kesimpulan Hypertonic saline given to children with bronchiolitis in the ED decreases hospital admissions. We can detect no significant difference in Respiratory Distress Assessment Instrument score or length of stay between the HS and NS groups.
3.2.6 Plan Do Study Act (PDSA) Metoda PDSA adalah suatu cara untuk menguji perubahan yang diimplementasikan. PDSA memandu proses berfikir, pemecahan tugas menjadi langkahlangkas dan kemudian mengevaluasi hasilnya, memperbaiki, dan mengujinya kembali Plan a. Rencana: Menerapkan penggunaan Nacl 3% untuk inhalasi pada anak usia 018 tahun yang mengalami gangguan pemenuhan oksigenasi karena penumpukan sekret b. Hasil yang diharapkan: Memperbaiki evaluasi terhadap tanda-tanda vital terutama frekuensi pernafasan dan saturasi oksigen
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
20
c. Rencana langkah-langkah pelaksanaan (minggu ke 3): 1. Mengidentifikasi populasi yang sesuai dengan kriteria inklusi (anak usia 0-18 tahun yang mendapatkan terapi inhalasi karena gangguan pemenuhan oksigenasi akibat penumpukan sekret baik yang Nacl 0,9% atau dengan HS (Nacl 3%) 2. Setelah mengidentifikasi pasien selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap: Diagnosa keperawatan, frekuensi nafas, frekuensi nadi dan saturasi oksigen. 3. Menjelaskan dan melibatkan perawat ruangan terkait intervensi pemberian terapi inhalasi yang diberikan 4. Bersama dengan perawat ruangan melakukan pengukuran frekuensi pernafasan dan saturasi oksigen sebelum dan setelah pemberian inhalasi baik yang dengan Nacl 0,9% atau yang dengan HS (NaCL 3%) lalu mendokumentasikan pada catatan terintegrasi dan grafik TTV. 5. Residen mencatat hasil dari dokumentasi pada catatan terintegrasi dan atau grafik TTV
Do Residen melakukan pendataan pasien yang menerima inhalasi baik dengan Nacl 0,9% atau yang mendapat HS (NaCL 3%) di ruang infeksi anak gedung RSUPN Cipto Mangunkusumo. Perawat dan Residen melakukan pelaksanaan inhalasi pemberian inhalasi baik dengan NaCL 0,9% dan dengan HS (NaCL 3%).
Study Residen mempelajari dan mencatat serta menganalisis perbedaan frekuensi nafas, frekuensi nadi dan saturasi oksigen sebelum dan setelah diberikan nebuliser baik yang dengan NaCL 0,9% atau HS (Nacl 3 %) dan melakukan evaluasi ulang pada hari ke-5 setelah pemberian inhalasi dengan cara:
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
21
1. Merekap data frekuensi nafas, frekuensi nadi dan saturasi oksigen sebelum pemberian inhalasi 2. Merekap data frekuensi nafas, frekuensi nadi dan saturasi oksigen sesudah pemberian inhalasi 3. Merekap data frekuensi nafas, frekuensi nadi dan saturasi oksigen sesudah pemberian inhalasi setelah 5 hari dari pemberian pertama inhalasi.
Act Hasil analisa dari pemberian inhalasi dengan HS (NaCL 3%) bila aman dan dapat diaplikasikan sesuai Evidence Based Practice (EBN) dapat menurunkan LOS maka direkomendasikan penggunaannya sebagai kebijakan rumah sakit untuk tindakan inhalasi pada pasien dengan gangguan oksigenasi yaitu pasien dengan infeksi saluran pernafasan terutama bronchiolitis.
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
22
Jadwal Rencana Kegiatan Proyek Inovasi sesuai EBN Waktu Pelaksanaan Minggu
No.
1
2
3
1 (15 Feb-19 Feb 2016)
Kegiatan
2 (22 Feb26 Feb 2016)
3 (29 Feb4 Mar 2016)
4 (7 Mar11 Maret 2016)
5 (14 Mar18 Mar 2016)
6 (21 Mar25 Mar 2016)
Penanggung jawab
PICO model, searching artikel dan critical appraisal Proposal proyek EBN
Persiapan studi literatur (evidance based practice) Pembuatan proposal Konsultasi dengan CI ruangan dan supervisor FIK-UI
Presentasi proyek inovasi dan sosialisasi
5
Implementasi proyek inovasi
6
Evaluasi proyek inovasi dan laporan hasil
7
Presentasi laporan hasil proyek inovasi
Keterangan
Residen, supervisor ruangan dan supervisor FIK-UI Ruang Rawat Infeksi gedung A lantai 1 dan 2 Residen, PP dan PA, supervisor ruangan
Residen, PP dan Supervisor ruangan Residen
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Presentasi dengan perawat ruangan Non infeksi Anak Gd. A Lt. 1
Pemberian Nacl 3% dan efeknya pada kebersihan jalan nafas (frekuensi nafas, frekuensi nadi dan saturasi oksigen) Hasil dokumentasi
Laporan dan rekomendasi
23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil kegiatan proyek inovasi diruang perawatan anak dengan infeksi di gedung A RSUPN Cipto Mangunkusumo adalah sebagai berikut:
4.1 Tahap Pelaksanaan Proyek Inovasi Pelaksanaan proyek inovasi dimulai pada tanggal 7 Maret 2016 sampai 21 Maret 2016. Kegiatan yang dilakukan yaitu mengkaji dan mengukur saturasi oksigen, frekuensi nadi dan pernafasan pasien yang mendapat terapi inhalasi dan melakukan pengukuran ulang pada hari kelima sebagai evaluasi bila pasien masih dirawat. Hal ini dilakukan pada kelompok kontrol yang diberikan inhalasi NaCL 0,9% dan yang diberikan inhalasi NaCL 3%. Dalam Implementasi minggu keempat untuk pasien yang mendapat inhalasi 3% sedikit, sehingga pada minggu kelima dengan dibantu oleh perawat primer dan berdiskusi dengan dokter DPJP yang merawat pasien untuk pemberian inhalasi dengan NaCL 3%, setelah berdiskusi akhirnya mendapat tambahan 4 pasien dengan pemberian NaCL 3% dan diberikan 1x/hari yaitu pada siang hari dan melaporkan pada catatan terintegrasi dan kardex obat pasien saat pemberian.
4.2 Hasil Pelaksanaan Proyek Inovasi Pemberian Inhalasi dengan NaCL 0,9% pada 12 anak dan NaCL 3% pada 6 anak didapatkan hasil sebagai berikut: 4.2.1 Karakteristik Pasien Semua pasien merupakan pasien di ruang infeksi anak gedung A yang mengalami gangguan pemenuhan oksigenasi dan diangkat diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif behubungan dengan penumpukan sekret. Jumlah pasien yang diobservasi dan diberi intervensi adalah 12 pasien dengan pemberian Inhalasi dengan NaCL 0,9% dan 6 pasien
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
24
yang diberikan inhalasi HS (NaCL 3%) selain mendapat therapi standar. pada 6 anak dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini: Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Diagnosa Medis, dan Therapi Inhalasi di RSCM Karakteristik
Jumlah
Prosentase
≤ 2 tahun
17
94,44%
>2 tahun
1
5,56%
Usia
Total Jenis Kelamin
18
100%
Laki-laki
10
55,56%
Perempuan
8
44,44%
18
100%
Pneumonia
16
88,88%
Bronchiolitis
1
5,56%
Asma
1
5,56%
18
100%
6
33,33%
18
100%
Total Diagnosa Medis
Total Therapi Inhalasi Terapi standar+NaCL 0,9% Terapi standar+NaCL 3% Total
Tabel 4.1 menjelaskan bahwa usia pasien 17 orang (94,44%) adalah kurang dari 2 tahun, lebih dari setengah (55,56%) berjenis kelamin laki-laki. Diagnosa medis 16 orang (88,88%) dengan Pneumonia ada 12 pasien (66,67%) yang diberi terapi standar+NaCL 0,9% dan 6 pasien (33,33%).
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
25
4.2.2 Hasil Pelaksanaan Proyek Inovasi Berikut hasil pelaksanaan proyek inovasi perbandingan pemberian inhalasi NaCL 0,9% dengan HS (NaCL 3%). 4.2.2.1 Hasil Saturasi Oksigen, Frekuensi Nadi dan Frekuensi Pernafasan pada pasien anak yang diberi therapi standar+NaCl 0,9% pada tabel 4.2 berikut
Tabel 4.2 Perbandingan saturasi oksigen, frekuensi nadi dan frekuensi pernafasan pada kelompok kontrol therapi standar+NaCL 0,9% (n=12) Karakteristik
Sebelum
Setelah
94,75±6,03 94,75±6,03
94,33±6,30 95,42±5,854
Sebelum dan setelah Mean±SD
115,33±13,60
117,00±14,10
Sebelum dan hari ke-5 Mean±SD
115,33±13,60
113,75±13,73
Saturasi Oksigen (SaO2)% Sebelum dan setelah Mean±SD Sebelum dan hari ke-5 Mean±SD Frekuensi Nadi (HR) (x/menit)
Frekuensi Pernafasan (RR) (x/menit) Sebelum dan setelah Mean±SD
33,50±5,53
35,00±5,53
Sebelum dan hari ke-5 Mean±SD
33,50±5,53
35,00±6,92
Tabel 4.2 didapatkan gambaran pada kelompok kontrol yaitu yang diberikan terapi standar dan inhalasi NaCL 0,9% didapatkan bahwa rerata pada saturasi oksigen sebelum dilakukan inhalasi adalah 94,75% dan mengalami penurunan menjadi 94,33% tetapi jika dibandingkan pengukuran pada hari ke-5 didapatkan peningkatan saturasi oksigen menjadi 95,42%. Didapatkan juga untuk frekuensi nadi (HR) sebelum pemberian inhalasi rerata nadi 115,33x/menit dan setelah pemberian terjadi peningkatan menjadi 117x/menit, tetapi pada hari ke-5 terjadi penurunan menjadi 113,75x/menit. Frekuensi pernafasan sebelum inhalasi NaCL 0,9% adalah 33,5x/menit dan setelah selesai inhalasi yaitu 35x/menit, pada hari ke-5 rerata pernafasan tetap 35x/menit.
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
26
4.2.2.2 Hasil Saturasi Oksigen, Frekuensi Nadi dan Frekuensi Pernafasan pada pasien anak yang diberi therapi standar+NaCl 3% Tabel 4.3 Perbandingan saturasi oksigen, frekuensi nadi dan frekuensi pernafasan pada kelompok intervensi inhalasi Standar+NaCL 3% (n=6) Karakteristik Saturasi Oksigen (SaO2)% Sebelum dan setelah Mean±SD Sebelum dan hari ke-5 Mean±SD
Sebelum
Setelah
96,17±2,71 96,17±2,71
96,67±1,36 98,33±1,21
Sebelum dan setelah Mean±SD
129,50±12,64
130,83±13,60
Sebelum dan hari ke-5 Mean±SD
129,50±12,64
126,17±13,79
Frekuensi Nadi (HR) (x/menit)
Frekuensi Pernafasan (RR) (x/menit) Sebelum dan setelah Mean±SD
44,83±7,38
46,50±7,60
Sebelum dan hari ke-5 Mean±SD
44,83±7,38
42,17±6,27
Tabel 4.3 didapatkan gambaran pada kelompok kontrol yaitu yang diberikan terapi standar dan inhalasi NaCL 3% didapatkan bahwa rerata pada saturasi oksigen sebelum dilakukan inhalasi adalah 96,17% dan mengalami kenaikan menjadi 96,67% setelah selesai tindakan lalu hasil pengukuran pada hari ke-5 didapatkan peningkatan saturasi oksigen menjadi 98,33%. Didapatkan juga untuk frekuensi nadi (HR) sebelum pemberian inhalasi rerata nadi 129,50x/menit dan setelah pemberian terjadi peningkatan menjadi 130,83x/menit, tetapi pada hari ke-5 terjadi penurunan menjadi 126,17x/menit. Frekuensi pernafasan sebelum inhalasi NaCL 3% adalah 44,83x/menit dan setelah selesai inhalasi yaitu 46,50x/menit, pada hari ke-5 rerata pernafasan menurun menjadi 42,17x/menit.
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
27
4.2.2.3 Hasil Saturasi Oksigen, Frekuensi Nadi dan Frekuensi Pernafasan pada pasien anak yang diberi therapi standar+NaCl 0,9% Tabel 4.4 Perbandingan saturasi oksigen, frekuensi nadi dan frekuensi pernafasan pada kelompok kontrol dan intervensi Karakteristik Saturasi Oksigen (SaO2)% Mean±SD
Kontrol
Intervensi
95,33±6,08
98,33±1,21
115,50±4,37
126,17±13,79
31,33±1,36
42,17±6,27
Frekuensi Nadi (HR) (x/menit) Mean±SD Frekuensi Pernafasan (RR) (x/menit) Mean±SD
Tabel 4.4 didapatkan gambaran hasil pengukuran residen terhadap saturasi oksigen, didapatkan rerata 98,33% pada kelompok intervensi yang diberikan NaCL 3% dan rerata 95,33% pada kelompok kontrol yang diberikan NaCL 0,9%. Terhadap frekuensi nadi didapatkan rerata 126,17x/menit pada kelompok intervensi yang diberikan NaCL 3% dan rerata 115,50x/menit pada kelompok kontrol yang diberikan NaCL 0,9%. Sedangkan untuk frekuensi pernafasan didapatkan rerata 42,17x/menit pada kelompok intervensi yang diberikan NaCL 3% dan rerata 31,33x/menit pada kelompok kontrol yang diberikan NaCL 0,9% 4.3
Pembahasan Proyek Inovasi Proyek Inovasi ini bertujuan untuk mengaplikasikan evidence based practice inhalasi dengan HS (NaCL3%) pada pasien dengan pemenuhan kebutuhan oksigenasi penumpukan sekret pada anak di ruang infeksi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Hasil dari pemberian HS (NaCL 3%) didapatkan tidak ada perbedaan signifikan untuk frekuensi nadi dan frekuensi pernafasan juga pada nilai saturasi oksigen pada evaluasi hari ke-5 pada kelompok intervensi didapatkan kenaikan saturasi ±1-2% dibanding dengan awal sebelum pemberian. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa Pemberian HS (NaCL 3%) pada pasien aman.
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
28
Pada saat pelaksanaan intervensi yaitu pemberian inhalasi HS (NaCL 3%) pada siang hari 1x/hari adanya diskusi dengan DPJP untuk tetap memberikan obat inhalasi β agonis (ventolin) seperti jadwal biasa sebelum pemberian HS (NaCL 3%). Sehingga pemberian inhalasi HS (NaCL 3%) yang disarankan dapat dilakukan 1x pada pagi hari atau 2x/hari pada pagi dan sore hari (Elkins & Dentice, 2012) dimodifikasi menjadi 1x saja pada siang hari.
Pada beberapa penelitian pemberian inhalasi HS (NaCL 3%) ini dihubungkan dan di evaluasi dengan lama hari rawat pasien/ LOS (Length of stay) yang mengemukakan bahwa terjadi penurunan hari rawat yang signifikan setelah pemberian inhalasi dengan HS ini, walau HS yang dipakai pada penelitian beragam konsentrasinya mulai dari 3%-7% dan jumlahnya yang beragam berkisar 2-5cc (Zhang, Mendoza-Sassi, Klassen and Wainwright, 2015; Sharma, Gupta & Rafik, 2013; Khalid, Sakran, Davidson, El Sayyed, Mahjoub & Ibrahim, 2010; Anil, Anil, Saglam, Cetin, Bal & Aksu, 2010; Everard, Hind, Ugonna et al, 2014; Florin, Shaw, Kittick, Yakscoe & Zorc, 2014; Ipek, Yalcin, Sezer & Bozaykut, 2011; Li & Zhao, 2014; Luo, Li, Luo, et al, 2011; Miraglia, Saitta, Leonardi et al, 2012; Ojha, Mathema, Sah & Aryal, 2014; Pandit, dhawan, Thakur, 2013; Teunissen, Hochs, Vaessen-Verberne et al, 2014; Tinsa, Abdelkafi, Bel Haj et al, 2014; Wu, Baker, Lang et al, 2014).
Pada beberapa penelitian didapatkan penggunaan mesin nebuliser yang berbeda. Penggunaan ultrasonic nebuliser system dianjurkan agar cairan dan obat yang diberikan secara inhalasi dapat dipecah dan diubah ke menjadi uap yang konstan (Daniels, Mills & Whitaker, 2013).
Pada saat pelaksanaan walaupun tidak dilakukan penilaian konsistensi sputum tetapi didapatkan dari pengalaman residen dan wawancara dengan beberapa perawat dan orangtua pasien setelah pemberian inhalasi dengan HS (NaCL3%) sputum menjadi banyak sehingga frekuensi pengeluaran dahak menjadi lebih
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
29
sering dan suction menjadi lebih mudah karena konsistensi sputum lebih meningkat (Mandelberg & Amirav, 2010).
4.4 Faktor Pendukung dan Penghambat 1. Faktor Pendukung a.
Adanya dukungan dari supervisor, perawat dan dokter DPJP pasien terhadap pemberian NaCL 3%
b.
Sudah adanya penggunaan NaCL 3% di ruangan perinatologi RSCM
c.
Sudah adanya penggunaan NaCL 3% diruangan yaitu saat hendak mengambil bahan pemeriksaan sputum pada beberapa pasien
d.
HS (NaCL 3%) bisa diresepkan pembuatannya pada farmasi dan tersedia dengan kemasan khusus yaitu botol ukuran 30 cc yang diberi label lengkap nama dan keterangan obat.
2. Faktor Penghambat Faktor penghambat yang ditemukan residen dalam pemberian HS (NaCL 3%) yaitu cairan HS (NaCL 3%) adalah cairan high alert, ketersedian cairan di ruangan tidak semudah walaupun ketersediaannya bisa diresepkan mendapat NaCL 0,9% yang biasanya selalu tersedia karena juga dipakai untuk melarutkan obat injeksi. Penyimpanan HS (NaCL 3%) baiknya di tempat khusus untuk menghindari kesalahan pada pemberian.
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
30
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1. Penggunaan Inhalasi HS (NaCL 3%) aman. 2. Pemberian HS (NaCL 3%) efektif dalam hal memudahkan pengeluaran sputum
5.2 Saran 1. Pemberian inhalasi baiknya dilakukan dengan nebuliser ultrasonik agar aerosol hasil pemecahan obat dan pengencer lebih konstan keluar. 2. Kolaborasi dengan dokter terkait pemberian cairan inhalasi HS (NaCL 3%) yang disesuaikan dengan keadaan pasien terutama pasien dengan penumpukan sekret dan sulit dikeluarkan 3. Mengobservasi tanda-tanda vital selama pemberian inhalasi HS (NaCL 3%)
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
31
Daftar Pustaka
Al- Ansari , K., Sakran, M., Davidson, B.L., El Sayyed, R., Mahjoub, H., Ibrahim, K. (2010). Nebulized 5% or 3% hypertonic or 0,9% saline for treating acute bronchiolitis in infants. J Pediatr; 157(4): 630-634, 634.e1. Anil, Ab., Anil, M., Saglam, A.B., Cetin, N., Bal, A., Aksu, N. (2010). High volume normal saline alone is as efective as nebulized salbutamol-normal saline, epinephrine-normal saline, and 3% saline in mild bronchiolitis. Pediatr Pulmonal; 45(1):41-47. Boogard, R.C., de Jongste, J., markus, P. (2007). Pharmacotherapy of impaired mucociliary clearance in non-CF pediatric lung disease. A review of the literature. Pediatr Pulmonol;42:989-1001. Daniels, T., Mills, N., & Whitaker, P. (2013). Nebuliser systems for drug delivery in cystic fibrosis. Cochrane Database of Systematic review;DOI: 10.1002/14651858. CD007639.pub2. Donaldson, S.H. (2008). Hydrator therapies for cystic fibrosis lung disease. Pediatric Pulmonol; 43:S18-S23. Elkins, M., & Dentice, R. (2012). Timing of hypertonic saline inhalation for cystic fibrosis. Cochrane Database of Systematic review; DOI: 10.1002/14651858. CD008816.pub2. Everard, M.L., Hind, D., Ugonna, K., et al. (2014). SABRE Study Team. SABRE: a multicentre randomised control trial of nebulised hypertonic saline in infantss hospitalised with acute bronchiolitis. Thorax; 69(12): 1105-1112. Florin, T.A., Shaw, K.N, Kittick, M., Yakscoe, S., Zorc, J.J. (2014). Nebulized hypertonic saline for bronchiolitis in the emergency department; a randomized clinical trial. JAMA Pediatr; 168(7): 664-670. Ipek, I.O., Yalcin, E.U., Sezer, R.G., Bozaykut, A. (2011). The efficacy of nebulized salbutamol, hypertonic saline and salbutamol/ hypertonic saline combination in moderate bronchiolitis. Pulm Pharmacol Ther; 1;24(6):633-637. Khanal, A., Sharma, A., Basnet, S., Sharma, P. R., Gami, F. C. (2013). Nebulised hypertonic saline (3%) among children with mild to moderately severe bronchiolitis-a double blin randomized controlled trial. BMC Pediatrics; 15:115.
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
32
Li, G., & Zhao, J. (2014). Effectiveness of inhaled hypertonic saline in children with bronchiolitis(in Chinese). Zhonghua Er Ke Za Zhi; 52(8):607-610. Luo, Z., Liu, E., Luo, J., et al. (2011). Nebulized hypertonic saline/salbutamol solution treatment in hospitalized children with moderate to severe viral bronchiolitis. Clin Microbiol Infect;17(12):1829-1833. Marcdante, K., Kliegman, R., Jenson, H., Behrman, R. (2011). Ilmu kesehatan anak esensial ed 6. Terjemahan IDAI. Singapore: Elsevier. Miraglia Del Giudice, M., Saitta, F., Leonardi, S., et al. (2012). Effectiveness of nebulized hypertonic saline and epinephrine in hospitalized infants with bronchiolitis. Int J Immunopathol Pharmacol; 25(2):485-491. Ojha, A.R., Mathema, S., Sah, S., Aryal, U.R. (2014). A comparative study on use of 3% saline versus 0,9% saline nebulization in children with bronchiolitis. J Nepal Health Res Counc;12(26): 39-43. Pandit, S., Dhawan, N., Thakur, D. (2013). Utility of hypertonic saline in the management of acute bronchiolitis in infants: a randomized controlled study. Int J Clin Pediatr; 2(1):24-29. Potter, P.A., & Perry, A.G. (2009). Fundamental keperawatan ed. 5, Terjemahan Yasmin Asih, dkk. Jakarta: EGC. (Buku asli tahun 2002). Randell, S.H., & Boucher, R.C. (2006). Effective mucus clearence is essential for respiratory health. Am J Respir Cell Mol Biol; 35:20-28. Sharma, B.S., Gupta, M.K., Rafik, S.P. (2013). Hypertonic(3%) saline vs 0,93 saline nebulization for acute viral bronchiolitis: a randomized controlled trial. Indian Pediatr;50(8):743-747. Soon, N., Bennett, W.D., Zeman, K., Brown, J, Foy, C, Boucher, R.C., Knowles., M.R. (2003). Increasing concentration of inhaled saline with or without amiloride: effect on mucocilliary clearence in normal subjects. Am J Respir Crit Care Med; 167:158-163. Teunissen, J., Hochs, A.H., Vaessen-Verberne, A., et al. (2014). The effect of 3% amnd 6% hypertonic saline in viral bronchiolitis: a randomised controled trial. Eur Respir J;44(4):913-921.
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
33
Tinsa, F., Abdelkafi, S., Bel Haj, l., et al. (2014). A randomized, controlled trial of nebulized 5% hypertonic saline with epinephrine in bronchiolitis. Tunis Med; 92(11):674-677. Wu, S., Baker, C., Lang, M.E., et al. (2014). Nebulized hypertonic saline for bronchiolitis: a randomized clinical trial. JAMA Pediatr; 168(7); 657-663. Zhang, L., Mendoza-Sassi, RA., Wainwright, C., Klassen, T.P. (2015). Nebulized hypertonic saline solution for acute bronchiolitis: A systematic review. Cochrane Database Syst Rev; 136; 687. Zentz, S. (2011). Care of infants and children in bronchiolitis: A systematic review. Journal of pediatric nursing 26, 519-529.
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016
Lampiran 3
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Nama Tempat/tanggal lahir Agama Alamat Email Status
: Linda Sari Barus : Bandung, 10 Maret 1981 : Katholik : Jl. Sukabungah No. 13 RT 02 RW 12 Bandung 40162 :
[email protected] : Menikah
B. Riwayat Pendidikan 1. Pendidikan Spesialis Keperawatan Universitas Indonesia 2015/2016 2. S2 Keperawatan Universitas Indonesia, lulus tahun 2015 3. Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran, lulus tahun 2006 4. S1 Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran, lulus tahun 2005 5. DIII Keperawatan Santo Borromeus, lulus tahun 2002 6. SMA Negeri 9 Bandung, lulus tahun 1999 7. SMP Negeri 6 Bandung, lulus 1996 8. SD Negeri Pasirkaliki 139/III, lulus tahun 1993 C. Riwayat Pekerjaan 1. Tahun 2010- Sekarang Bandung 2. Tahun 2007-2010 Bandung 3. Tahun 2002-2003
: Staf Pengajar STIKes Santo Borromeus, : Santosa Bandung International Hospital, : RS. Santo Borromeus, Bandung
Optimalisasi pemenuhan ..., Linda Sari Barus, FIK UI, 2016