UNIVERSITAS INDONESIA
PENDEKATAN MODEL KONSERVASI LEVINE PADA PERAWATAN PASIEN DIABETES MELITUS DENGAN PERIPHERAL ARTERIAL DISEASE (PAD)
KARYA ILMIAH AKHIR
Desak Made Widyanthari 1106042706
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DEPOK 2014
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
PENDEKATAN MODEL KONSERVASI LEVINE PADA PERAWATAN PASIEN DIABETES MELITUS DENGAN PERIPHERAL ARTERIAL DISEASE (PAD)
KARYA ILMIAH AKHIR
Desak Made Widyanthari 1106042706
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DEPOK 2014
ii Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmataNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan praktek residensi spesialis keperawatan medikal bedah ini. Selama proses pelaksanaan praktik residensi selama 1 tahun hingga penulisan
laporan Karya Ilmiah Akhir ini penulis
mendapat banyak bantuan, bimbingan, motivasi dan doa dari berbagai pihak, karena itu pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. Ratna Sitorus, S.Kp., M.APP.Sc., selaku Supervisor Utama yang telah memberikan bimbingan dengan penuh perhatian dan kesabaran pada penulis dalam penyusunan laporan ini. 2. Yulia, S.Kp.,MN.,PhD selaku Supervisor yang telah memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh kesabaran pada penulis dalam penyusunan laporan ini. 3. Yunisar Gultom, SKp.,MCIN selaku Supervisor Klinik yang telah membimbing penulis selama menjalani praktek residensi di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. 4. Dra. Juaniti Sahar, M.App.Sc., PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 5. Direktur RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
beserta staf struktural
maupun fungsional yang telah memberikan ijin dan kesempatan pada kami untuk melakukan kegiatan praktek residensi. 6. Penanggung jawab, Kepala ruangan dan perawat ruangan lantai 7 Gedung A , Poliklinik penyakit dalam dan IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis
selama
melakukan kegiatan praktek residensi. 7. Teman sejawat Program Residensi Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan angkatan 2011 yang telah memberikan dukungan moril selama penyusunan laporan ini.
v Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
8. Suamiku tercinta Sang Kompiang Gde Suyastawan, anakku Sang Ayu Putu Carissa Indridita, Kedua Orang Tuaku dan mertua tersayang,
serta seluruh
keluarga yang telah memberikan semangat, motivasi dan doa sehingga menjadi penyemangat bagi penulis selama menjalani praktek residensi dan menyelesaikan penulisan laporan ini. 9. Semua pihak yang telah membantu penulis
dalam menjalani
praktek
residensi dan penyelesaian laporan ini. Tiada kata yang indah dan tulus selain ucapan terimakasih untuk semua bantuan, dukungan dan doa yang telah diberikan kepada penulis, semoga Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang yang akan membalas dengan kebaikan. Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran demi penyempurnaan laporan ini sangat dibutuhkan dan semoga laporan ini bermanfaat bagi pengembangan dan peningkatan ilmu keperawatan.
Depok,
Penulis
vi Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
ABSTRAK
Nama
: Desak Made Widyanthari
Program Studi
: Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Judul
: Pendekatan Model Konservasi Levine pada Perawatan Pasien Diabetes Melitus dengan Peripheral Arterial Disease (PAD)
Laporan ini bertujuan untuk memaparkan analisis perawatan pasien diabetes melitus dengan Peripheral Arterial Disease (PAD) yang menggunakan model konservasi Levine sebagai kerangka kerjanya. 31 pasien DM juga terlibat dalam perawatan ini. Proyek tindakan keperawatan berbasis pembuktian ilmiah (Evidence Based Nursing Paractice) dilakukan untuk meningkatkan intervensi pengukuran Ankle Brachial Index (ABI) post exercise pada pasien DM dengan intermiten klaudikasio. Proyek inovasi menghasilkan panduan berupa booklet latihan kekuatan dan keseimbangan padea pasien DM dengan neuropati perifer. Hasil analisis menunjukkan bahwa model konservasi Levine dapat diterapkan pada perawatan pasien DM dan pengukuran ABI menunjukkan hasil yang lebih objektif jika pengukuran dilakukan setelah latihan. Pasien DM dengan neuropati perifer memperoleh manfaat dari latihan kekuatan dan keseimbangan melalui pemberian booklet.
Kata kunci: model konservasi Levine, Peripheral Arterial Disease (PAD), booklet latihan kekuatan dan keseimbangan
viii Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
ABSTRACT
Name
: Desak Made Widyanthari
Study program
: Medical Surgical Nursing Specialist Faculty of Nursing University of Indonesia
Title
: Levine’s Conservation Model Approach on Diabetes Mellitus Patients with Peripheral Arterial Disease (PAD)
This report aims to describe the analysis of nursing care for diabetic patients with Peripheral Arterial Disease (PAD) using Levine’s conservation model as a framework. 31 diabetic patients involve in this care. The Evidence Based Nursing Practice (EBNP) project was conducted to improve the measurement intervention of Ankle Brachial Index (ABI) post exercise in diabetic patients with intermitten claudicatio. The inovation project produce guideline booklet of strength and balance exercise in patients with diabetic peripheral neuropathy. The analysis shows that Levine’s conservation model could be applied in the care for patients with diabetes and the ABI measurement shows more objective results following exercise. Diabetic patients with peripheral neuropathy are benefited from the strength and balance exercise training are given from the booklet. Keywords: Levine’s conservation medel, Peripheral Arterial Disease (PAD), booklets of strenght and balance exercise.
ix Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................... PERNYATAAN KEASALIAN .................................................................. LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................ PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................................... ABSTRAK .................................................................................................. ABSTRACT ................................................................................................ DAFTAR ISI ............................................................................................... DAFTAR TABEL ....................................................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1.2 Tujuan Penelitian .......................................................................... 1.3 Manfaat Penelitian ........................................................................ 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep DM 2.1.1. Definisi .............................................................................. 2.1.2. Patofisiologi ...................................................................... 2.1.3. Diagnosis DM ................................................................... 2.1.4. Faktor risiko ...................................................................... 2.1.5. Komplikasi DM................................................................. 2.1.6. Penatalaksanaan ................................................................ 2.2 Konsep PAD 2.2.1. Definisi ................................................................................ 2.2.2. Patofisiologi ........................................................................ 2.2.3. Faktor risiko PAD ............................................................... 2.2.4. Diagnosis PAD .................................................................... 2.2.5. Penatalaksanaan PAD ......................................................... 2.3 Konsep Model Konservasi Levine 2.3.1. Biografi Myra Estrin Levine ............................................... 2.3.2. Konsep utama model konservasi ......................................... 2.3.3. Paradigma keperawatan ...................................................... 2.3.4. Prinsip-prinsip konservasi ................................................... 2.3.5. Proses keperawatan model konservasi Levine .................... 2.4 Penerapan model levine pada pasien DM .....................................
i iii iv v vii viii ix x xii xiii xiv 1 5 5
7 7 9 10 10 15 24 25 26 28 29 33 33 35 36 39 42
3. Peneraan model konservasi levine pada asuhan keperawatan 31 pasien DM 3.1. Gambaran umum kasus ................................................................. 49 3.2. Pembahasan................................................................................... 66
x Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
4. Penerapan EBN 4.1. Latar belakang ............................................................................... 4.2. Pembuatan PICO dan penelusuran literatur .................................. 4.3. Pelaksanaan EBN .......................................................................... 4.4. Hasil penerapan EBN .................................................................... 4.5. Pembahasan...................................................................................
88 90 92 93 94
5. Kegiatan inovasi kelompok 5.1. Latar belakang ............................................................................... 5.2. Analisis situasi .............................................................................. 5.3. Kegiatan inovasi............................................................................ 5.4. Pembahasan...................................................................................
97 97 99 104
6. Simpulan dan Saran 6.1. Simpulan ....................................................................................... 107 6.2. Saran ............................................................................................. 107
DAFTAR REFERENSI .............................................................................. 109
xi Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1
Penilaian fungsional menggunakan Barthel Index
49
Tabel 3.2
Hasil Pemeriksaan Glukosa Darah Ny N
50
Tabel 3.3
Status Kaki Diabetik
52
Tabel 4.1
Distribusi responden berdasarkan usia, lama DM, nilai ABI saat istirahat dan setelah latihan
81
Tabel 4.2
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, riwayat merokok dan riwayat hipertensi
81
Tabel 5.1
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dan tingkat Pendidikan
89
Tabel 5.2
Distribusi responden berdasarkan usia dan lama DM
89
Tabel 5.3
Hasil penilaian latihan
90
Tabel 5.4
Hasil penilaian evaluasi booklet
91
xii Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Profil farmakokinetik insulin manusia dan insulin analog
21
Gambar 2.2
36
Model konservasi Levine
Gambar 3.1 Penerapan model konservasi Levine pada Ny N
xiii Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
61
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Rencana asuhan keperawatan pada Ny N
Lampiran 2
Gambaran 30 Kasus Kelolaan Dengan Menggunakan Pendekatan Model konservasi energi
Lampiran 3
Data demografi pasien
Lampiran 4
Protokol intervensi pengukuran ABI post exercise
Lampiran 5
Booklet latihan kekuatan dan keseimbangan
Lampiran 6
Format evaluasi quesioner booklet
Lampiran 7
Daftar Riwayat Hidup
xiv Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Gangguan kelenjar endokrin akan mengakibatkan berbagai penyakit, diantaranya malnutrisi, tiroid, gangguan metabolik, gangguan pada sistem reproduksi maupun keganasan. Gangguan yang paling banyak terjadi yaitu gangguan pada kelenjar pankreas yang menimbulkan Diabetes Melitus (DM). DM mencapai 75% dari kasus gangguan endokrin, selanjutnya diikuti oleh gangguan pada kelenjar tiroid (15-20%) dan sisanya merupakan gangguan pada kelenjar lain yang menimbulkan adanya
disfungsi
ereksi,
gangguan
hormonal
bahkan
keganasan
(http://kabelankunia.wordpress.com). DM merupakan suatu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Sudoyo, 2009). Seseorang dikatakan menderita DM bila terdapat gejala klasik DM dan kadar gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dl atau gejala klasik DM dan kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dl atau kadar glukosa darah 2 jam PP pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl (PERKENI, 2011).
Diabetes merupakan satu ancaman utama bagi kesehatan manusia. Menurut atlas IDF tahun 2013, jumlah pasien diabetes di dunia telah mencapai 382 juta orang dan prevalensinya diperkirakan akan meningkat 55% menjadi 592 juta orang pada tahun 2035. Indonesia menempati urutan ke tujuh setelah Cina, India,USA, Brazil, Rusia dan Meksiko untuk populasi 10 negara utama penederita DM dengan usia 20-79 tahun (IDF, 2013). Jumlah populasi pasien diabetes yang berusia 20-79 tahun di Indonesia mencapai 8.554.170 orang, dengan prevalensi diabetes nasional mencapai 5.55% dan angka kematian akibat DM mencapai 172.601 orang. Jumlah pasien DM tipe 2 dengan komplikasi di ruang rawat inap RSCM selama tahun 2013 yaitu 1151 pasien dan DM tipe 1 dengan komplikasi sebanyak 8 pasien. Sejak tanggal 1 Januari hingga tanggal 24 Juni 2014, jumlah pasien DM tipe 2 dengan komplikasi di ruang rawat inap sebanyak 368 pasien dan DM tipe 1 dengan komplikasi sebanyak 5 pasien (Rekam Medik RSCM, 2014).
1
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
2
Sebanyak 80% pasien DM berada pada daerah dengan pertumbuhan ekonomi rendah dan menengah. Meningkatnya prevalensi DM, khususnya pada beberapa negara berkembang diakibatkan oleh adanya peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan sehingga menimbulkan perubahan gaya hidup (Suyono dalam Sudoyo dkk, 2009). Perkembangan peningkatan prevalensi DM juga mengikuti perubahan sosial dan budaya,
peningkatan usia, meningkatnya urbanisasi,
perubahan diit, menurunnya aktifitas fisik dan perilaku yang tidak sehat lainnya. Pasien diabetes sangat berisiko untuk terkena berbagai masalah kesehatan lainnya. Kurangnya manajemen diabetes akan berdampak pada munculnya komplikasi bahkan kematian secara dini (IDF, 2013).
Seperti yang telah diuraikan diatas, dengan semakin meningkatnya jumlah pasien diabetes, maka dilakukan berbagai upaya untuk mencegah perkembangan diabetes itu sendiri. Menurut WHO, upaya pencegahan diabetes terdiri dari; pencegahan primer yang bertujuan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia pada populasi umum, pencegahan sekunder untuk menemukan pasien DM itu sendiri dan pencegahan tersier untuk mencegah komplikasi atau kecatan lebih lanjut. Dalam melaksanakan upaya pencegahan, sasaran utama yang ingin dicapai yaitu mendidik masyarakat agar memiliki gaya hidup yang sehat dan menghindari pola hidup yang berisiko. Oleh karena itu, untuk menghindari ledakan jumlah pasien diabetes dan komplikasi yang menyertai, diperlukan kerjasama multidisplin, yaitu tim dokter, perawat, ahli gizi atau tenaga keseahatan lainnya.
Perawat sebagai komponen dalam tim kesehatan berperan penting dalam menangani pasien dengan gangguan sistem endokrin. Melalui pemberian praktik keperawatan professional, perawat diharapkan memiliki pengetahuan teoritis, terutama ilmu keperawatan sebagai ilmu dasar dan ilmu sosial sebagai landasan untuk melakukan asuhan keperawatan. Menurut American Nursing Association (ANA) 1996 dalam Jansen dan Stauffacher (2010), spesialis perawat klinik atau Clinical Nurse Specialist (CNS) adalah perawat yang ahli dalam klinik, mampu memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien, meliputi pengkajian kesehatan, perumusan diagnosa keperawatan, melakukan intervensi
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
3
keperawatan melalui upaya promotif dan preventif serta dapat mengelola masalah kesehatan dalam area praktik klinik spesialis. Menurut PPNI (2005), ners spesialis diharapkan mampu menguasai sains keperawatan lanjut, mengelola asuhan keperawatan secara terampil dan inovatif dalam upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif untuk memenuhi kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual secara holistik dan berdasarkan pada standar asuhan keperawatan serta standar prosedur operasional, memperhatikan keselamatan pasien, rasa aman dan nyaman; melakukan riset berbasis bukti klinik dalam menjawab permasalahan sains, teknologi dalam bidang spesialisasinya; mampu bekerjasama dengan tim keperawatan lain dan berkolaborasi dengan tim kesehatan lain.
Peran perawat spesialis dalam memberikan asuhan keperawatan dilakukan pada 31 pasien diabetes dengan berbagai komplikasi. Tahap asuhan keperawatan yang diberikan dimulai dari melakukan pengkajian, menegakkan diagnosa, menerapkan intervensi dan implementasi keperawatan serta mengevaluasi asuhan keperawatan yang telah diberikan. Seluruh asuhan keperawatan yang diberikan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk membantu pasien memperoleh derajat kesehatan secara optimal (Potter & Perry, 2006). Untuk memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin, kesinambungan energi maupun keutuhan struktur dalam tubuh harus menjadi perhatian perawat. Asuhan keperawatan yang berfokus pada keseimbangan energi ini telah dikembangkan melalui suatu model keperawatan yaitu model konservasi oleh salah seorang theorist yaitu Myra E. Levine.
Peran residen sebagai peneliti diaplikasikan melalui penerapan Evidence Based Nursing pemeriksaan ABI yang dilakukan setelah latihan pada pasien dengan keluhan intermiten klaudikasio dan atau yang memiliki nilai ABI borderline 0.910.99 saat istirahat. Tujuan dari penerapan EBN ini yaitu untuk deteksi dini kejadian Peripheral Arterial Disease (PAD) pada pasien diabetes, khususnya yang memiliki keluhan nyeri intermiten kaludikasio. PAD umumnya tidak terdiagnosis dan kurang mendapat perawatan optimal. Hanya 40% pasien mengalami gelaja ini dan hanya 1/3 nya yang melaporkan gejalanya pada dokter
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
4
(O’Donnell et al,2011). Ketidaktepatan dalam diagnosis PAD mengakibatkan ketidakadekuatan penanganan PAD dan hal ini dapat mengakibatkan kodisi yang serius seperti amputasi, gangguan kapasitas fungsional, kualitas hidup dan depresi.
Ketidakmampuan penilaian ABI saat istirahat dalam mendeteksi stenosis arteri ringan diakibatkan oleh terjaganya tekanan perfusi di tempat tersebut. Hal ini sesuai dengan hukum Poisseuille, kecepatan aliran darah melalui saluran yang sempit berbanding lurus dengan pangkat empat jari-jari saluran (May et al dalam Russell, 2006). Selama latihan, aliran darah tidak bisa meningkat melebihi zona stenosis meskipun penurunan resistensi dihasilkan dari dilatasi arteriol, akibatnya tekanan darah distal akan menurun (Capellen dalam Stein, 2006).
Peran perawat spesialis berikutnya yang dilakukan residen yaitu melakukan proyek inovasi yang disesuaikan dengan kebutuhan pada lahan praktik. Inovasi dilakukan secara berkelompok yaitu dengan membuat booklet prosedur latihan kekuatan dan keseimbangan pada pasien diabetes yang mengalami neuropati perifer. Pasien diabetes berisiko untuk timbulnya berbagai macam komplikasi, salah satunya adalah neuropati perifer. Neuropati perifer mengakibatkan gangguan pada saraf sensorik dan motorik, sehingga menyebabkan gangguan mobilitas, gangguan berjalan dan keseimbangan (Allet et al, 2010). Kondisi lebih lanjut yang dijumpai pada pasien ini adalah menurunnya kekuatan otot dan gangguan berjalan yang mengakibatkan permukaan kaki yang tidak
rata. Keseluruhan kondisi
tersebut akan mengakibatkan meningkatnya risiko jatuh pada pasien tersebut. Oleh karena itu latihan kekuatan dan keseimbangan diberikan pada pasien ini dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan otot terutama otot ekstremitas bawah dan meningkatkan keseimbangan yang tujuan akhirnya resiko jatuh akan menurun. Pelaksanaan latihan yang diikuti pemberian booklet latihan diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan pada pasien diabetes dengan neuropati perifer.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
5
Berdasarkan uraian diatas, maka residen akan memaparkan laporan praktik selama di rumah sakit, yang meliputi laporan analisis kasus kelolaan dengan pendekatan model konservasi Levine, analisis penerapan EBN dan pemaparan analisis proyek inovasi yang secara keseluruhan diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan pasien serta meningkatkan pelayanan kesehatan yang optimal. 1.2
Tujuan penulisan
1.2.1 Tujuan Umun Penulisan Karya Ilmiah Akhir ini bertujuan untuk memaparkan seluruh kegiatan paraktik residensi Keperawatan Medikal Bedah peminatan Sistem endokrin yang meliputi analisis penerapan model konservasi Levine dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien diabetes melitus, penerapan Evidence Based Nursing dan proyek inovasi keperawatan yang dilaksanakan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
1.2.2 Tujuan Khusus Penulisan Karya Ilmiah Akhir ini secara khusus bertujuan untuk melakukan analisis kegiatan praktik residensi keperawatan yang terdiri dari: a.
Analisis model konservasi Levine dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien diabetes melitus
b.
Analisis penerapan Evidence Based Nursing mengenai pemeriksaan ABI post exercise pada pasien DM dengan keluhan intermiten klaudikasio di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
c.
Analisis penerapan proyek inovasi pada pasien DM dengan neuropati perifer di Poli Endokrin RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
1.3
Manfaat Penulisan
1.3.1 Pelayanan Keperawatan Karya Ilmiah Akhir ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk penyusunan prosedur tetap praktik keperawatan yang belum ada di RS dengan mengintegrasikan model konservasi Levine dalam dalam melakukan asuhan keperawatan, mengintegrasikan penerapan Evidence Based Nursing dalam melakukan pengukuran ABI post exercise pada pasien DM dengan intermitten
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
6
klaudikasio dan pelaksanaan inovasi keperawatan latihan kekuatan dan keseimbangan pada pasien DM dengan neuropati.
1.3.2 Pengembangan Keilmuan Keperawatan Karya Ilmiah Akhir ini dapat memberikan informasi mengenai kajian dan penerapan model konservasi Levine dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem endokrin, memberikan informasi terkait penerapan EBN pemeriksaan ABI post exercise pada pasien DM dengan intermiten klaudikasio dan memberi informasi terkait penerapan inovasi keperawatan latihan kekuatan dan keseimbangan pada pasien DM dengan neuropati perifer.
1.3.3 Pendidikan Keperawatan Hasil Karya Ilmiah Akhir ini diharapkan dapat dipertimbangkan agar dimasukkan sebagai salah satu standar kompetensi ners spesialis, khususnya bidang endokrin.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai penyakit Diabetes Melitus (DM), Peripheral Arterial Disease (PAD) dan konsep model konservasi Levine 2.1 Konsep DM 2.1.1 Definisi DM merupakan suatu penyakit metabolik yang bersifat kronik dan progresif, terjadi akibat ketidakmampuan pankreas dalam memproduksi insulin, penurunan jumlah insulin atau resistensi insulin sehingga mengakibatkan terjadinya hiperglikemia (Black & Hawk, 2009; ADA, 2014; WHO, 2013).
DM diklasifikasikan dalam 4 tipe, yaitu; DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional dan DM tipe lain (Black & Hawk, 2009). DM tipe 1 terjadi akibat autoimun yang merusak sel beta pankreas, sehingga menurunkan jumlah insulin secara mutlak. Pada DM tipe 2, hiperglikemia disebabkan oleh adanya gangguan sekresi insulin, resistensi insulin dan biasanya berhubungan erat dengan obesitas. DM gestasional terjadi saat kehamilan, sedangkan DM tipe lain dapat terjadi sebagai akibat gangguan genetik pada fungsi sel beta, penyakit pada pankreas ataupun akibat obat-obatan.
2.1.2
Patofisiologi Pada DM tipe 1, kondisi autoimun akan mengakibatkan kerusakan sel beta pankreas. Infiltrasi pankreas oleh makrofag yang teraktivasi, limfosit T sitotoksik dan supresor serta limfosit B menimbulkan insulitis destruktif pada sel beta pankreas. Sekitar 70-90% sel beta akan hancur sebelum gejala klinik muncul. Kondisi tersebut akan mengakibatkan defisiensi insulin absolut sehingga terjadi hiperglikemia (Greenstein & Wood, 2010).
DM tipe 2 merupakan jenis diabetes yang paling sering terjadi dan mencakup hingga 85% kasus DM. DM tipe 2 ini ditandai oleh resistensi 7
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
8
insulin dan defisiensi insulin relatif. Kondisi ini umumnya berkaitan dengan obesitas dan menurunnya aktifitas fisik. Normalnya, insulin akan berikatan dengan reseptor khusus pada permukaan sel, selanjutnya akan terjadi rangkaian reaksi metabolisme glukosa di dalam sel tersebut. Adanya resistensi insulin mengakibatkan penurunan reaksi intrasel, sehingga insulin menjadi tidak efektif dalam pengambilan glukosa oleh sel, akibatnya timbullah hiperglikemia. Sebagai kompensasi dari resistensi insulin dan meningkatnya kadar glukosa dalam darah, maka terjadi peningkatan sekresi insulin atau hiperinsulinemia. Lama-kelamaan sel beta pancreas tidak mampu lagi mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin hingga menyebabkan terjadinya hiperglikemia dan penurunan sel beta secara progresif yang menciptakan suatu kondisi yang menyerupai DM tipe 1, yaitu sel beta samasekali tidak bisa mensekresi insulin (Inzucchi, 2005; Unger, 2007).
Patofisiologi DM gestasional melibatkan abnormalitas sensitifitas jaringan. Perangsangan sel
beta oleh
glukosa menjadi abnormal
sehingga
menyebabkan ketidakadekuatan respon insulin untuk mengontrol glukosa darah (Catalono et al, 2003). Hal ini terjadi karena perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan. Peningkatan konsentrasi hormon estrogen dan progestin mengakibatkan menurunnya konsentrasi glukosa darah puasa dan deposisi lemak, menurunkan pengosongan lambung dan meningkatkan nafsu makan. Seiring dengan peningkatan gestasi, konsentrasi glukosa post prandial meningkat dan sensitifitas jaringan terhadap insulin menurun. Untuk memelihara kecukupan glukosa selama kehamilan, sel beta pankreas ibu meningkatkan sekresi insulin untuk mengkompensasi penurunan sensitifitas jaringan terhadap insulin. Pada beberapa kondisi, wanita hamil yang mengalami diabetes gestasional tidak mampu meningkatkan produksi insulin untuk mengkompensasi peningkatan resistensi insulin, akibatnya timbullah hiperglikemia (Reece, Leguizamon & Wiznitzer, 2009).
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
9
Hal lain yang mengakibatkan diabetes berhubungan dengan beberapa penyakit spesifik dan gangguan genetik yang sering disebut dengan DM tipe lain atau diabetes sekunder. Yang masuk dalam kategori diabetes tipe lain diantaranya; gangguan genetik pada fungsi sel beta, gangguan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati lain, diabetes akibat obat dan bahan kimia, infeksi, gangguan imun yang memicu terjadinya diabetes serta sidrom genetik lain. Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) merupakan hiperglikemia yang terjadi akibat adanya gangguan pada autosom dominan dan umumnya terjadi sebelum usia 25 tahun. Abnormalitas molekul insuli atau reseptornya juga dapat mengakibatkan diabetes, namun kondisi ini jarang dijumpai pada infant. Adanya mutasi genetik pada faktor transkripsi nuklear yang disebut peroxisome ploriferator activated receptor γ (PPAR-γ) diketahui berhubungan erat dengan resistensi insulin dan diabetes. Hiperglikemia juga dapat dapat terjadi pada individu yang mengalami pankreatitis akut dan kronik atau penyakit lain yang mengakibatkan gangguan pada parenkim pankreas, seperti hemocromatosis cystic fibrosis ataupun karsinoma pankreas. Beberapa obat yang diketahui dapat mengakibatkan resistensi insulin yaitu obat golongan glukokortikoid, obat hormon pertumbuhan, levothyroxin dan niasin (Inzucchi, 2005).
2.1.3 Diagnosis DM Menurut ADA (2014), diagnosis DM ditegakkan bila terdapat salah satu kriteria berikut ini; terdapat nilai HbA1C ≥ 6,5 %, glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, glukosa darah 2 jam post prandial ≥ 200 mg/dl, glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan gejala hiperglikemia polifagi, polidipsi, poliuria serta penurunan berat badan. Pada individu tanpa keluhan khas DM namun hasil pemeriksaan glukosa darah satu kali abnormal, maka diperlukan pemeriksaan lanjut untuk mendapatkan hasil satu kali lagi abnormal, baik itu glukosa darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl, kadar gula darah sewaktu (GDS) 200 mg/dl atau dari hasil glukosa darah 2 jam post prandial (PP) ≥ 200 mg/dl.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
10
Individu akan dimasukkan dalam kategori Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) apabila didapatkan kadar glukosa plasma 2 jam post prandial antara 140-199 mg/dl. Individu akan masuk dalam kategori Gula Darah Puasa Terganggu (GDPT) apabila glukosa plasma puasa didapatkan antara 100125 mg/dl.
2.1.4 Faktor risiko Diabetes Melitus Menurut ADA (2014), individu yang berisiko untuk terkena DM yaitu; individu yang memiliki nilai GDP 100-125 mg/dL, gula darah 2 jam PP 140-199 mg/dL, HbA1C 5.7%-6.4%. Sedangkan menurut Unger (2007), faktor risiko DM yaitu; usia ≥ 45 tahun, obesitas, memiliki keluarga dengan riwayat DM, dislipidemia, riwayat melahirkan bayi > 4000 gr, adanya riwayat hipertensi dan vaskuler. Proses menua akan diikuti oleh perubahan pada sel beta pankreas yang menghasilkan hormon insulin, perubahan pada sel target jaringan, sistem saraf dan hormon yang secara keseluruhan mengakibatkan terjadinya hiperglikemia terutama pada individu yang telah berusia ≥ 45 tahun. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya DM terutama pada individu dengan IMT > 23 kg/m² yang mengakibatkan resistensi terhadap insulin. Menurut Black & Hawks (2009), sebanyak 85% pasien DM tipe 2 mengalami obesitas. Risiko timbulnya DM meningkat seiring dengan dislipidemia, khususnya pada individu dengan nilai HDL ≤ 35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL. Dislipidemia akan menyebabkan resistensi insulin yang akhirnya menyebabkan hiperglikemia.
2.1.5 Komplikasi DM Menurut Smeltzer & Bare (2003) dan Black & Hawks (2009), komplikasi pada DM dapat dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik. a. Komplikasi akut Komplikasi akut meliputi hipoglikemia, ketoasidosis diabetic (KAD) dan sindrom koma hiperglikemik hiperosmolar non ketotik (HHNK). Hipoglikemia terjadi jika kadar glukosa darah turun dibawah 50
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
11
mg/dhingga 60 mg/dL. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala triad whipple, yaitu: 1) adanya keluhan yang menunjukkan kadar glukosa darah yang rendah, 2) kadar glukosa darah yang rendah (< 3mmol/L) dan 3) hilangnya secara cepat keluhan-keluhan tersebut setelah dilakukan koreksi. Beberapa faktor yang menyebabkan hipoglikemia yaitu; peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, obat yang meningkatkan sekresi isulin seperti golongan sulfonilurea, peningkatan sensitifitas insulin seperti latihan fisik berlebihan atau asupan karbohidrat yang kurang. Gejala hipoglikemia akut yang sering dijumpai pada pasien diabetes yaitu; berkeringat dingin, jantung berdebar, tremor, lapar, mual, nyeri kepala, mengantuk, sulit bicara dan koordinasi hingga penurunan kesadaran sehingga penanganan harus segera dilakukan. Menurut Black & Hawks (2009), Individu dengan hipoglikemi ringan (tremor, takikardi, keringat dingin, parastesi, lapar berlebih, pucat dan gemetar) dapat diberikan karbohidrat 10-15 gr, individu dengan hipoglikemi sedang (kriteria hipoglikemia ringan disertai nyeri kepala, merasa berputar, lekas marah, ketidakmampuan berkonsenstrasi, mengantuk, gangguan bicara, penglihatan ganda) diberikan karbohidrat 30-30 gram, glucagon 1 mg sc/im dan individu dengan hipoglikemi berat yang disertai penurunan kesadaran, disorientasi dan seizure dapat diberikan 10-25 gr iv glukosa selama 1-3 menit, lalu diikuti pemberian infus dextrose 5 % hingga klien stabil dan mampu untuk makan.
Hipoglikemia yang tidak disadari merupakan masalah yang sering terjadi pada pasien DM yang mendapat terapi insulin, terutama pada anak dan lansia. Penyebabnya hingga sekarang belum pasti ditemukan, namun diyakini hal ini berkaitan dengan terputusnya paracrine-insulin crosstalk di dalam islet cell, akibat produksi insulin endogen yang turun. Pada lansia, respon otonomik cenderung turun dan sensitifitas perifer epinefrin juga berkurang (Sudoyo, 2009). Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh kurangnya insulin yang relatif atau absolut dan peningkatan hormon
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
12
kontra regulator seperti glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan.
Kondisi
ini
akan
mengakibatkan
ganguan
pada
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Adanya defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra regulator Gambaran klinik pada KAD yaitu dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis. Diagnosis KAD ditegakkan bila; kadar glukosa > 250 mg/dL, pH< 7.35, HCO3 rendah, anion gap tinggi dan keton serum positif. Prinsip penatalaksanaan KAD yaitu; rehidrasi cairan, menekan lipolisis dan menekan glukoneogenesis di hati melalui pemberian insulin, mengatasi sumber pencetus KAD dan mengembalikan keadaan fisiologi normal melalui pemantauan yang optimal serta penyesuaian pengobatan (Sudoyo, 2009). Hiperglikemik hiperosmolar nonketotik (HHNK) merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemi disertai perubahan kesadaran. Gambaran klinik HHNK berupa hipotensi, dehidrasi berat,takikardi dan tanda-tanda neurologis yang bervariasi (perubahan sensori, kejang, hemiparesis). Faktor yang memulai timbulnya
HHNK
yaitu
glukosuria.
Glukosuria
mengakibatkan
kegagalan ginjal mengkonsentrasikan urin yang semakin memperberat derajat kehilangan air. Penurunan volume intravaskuler mengakibatkan penurunan laju GFR seingga konsentrasi glukosa akan meningkat. Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi protein plasma yang mengikuti
hilangnya
cairan
intravaskuler
menyebabkan
kondisi
hiperosmolar yang memicu sekresi hormon ADH. Jika kondisi ini tidak segera dikompensasi, maka akan timbul dehidrasi dan selanjutnya hipovolemia yang menyebabkan gangguan perfusi jaringan. Stadium akhir dari kondisi ini yaitu koma akibat gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan hipotensi. Penatalaksanaan meliputi rehidsi intravena yang agresif, penggantian elektrolit, pemberian insulin intravena, diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyerta serta pencegahan.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
13
b. Komplikasi kronik Komplikasi kronik DM akan terjadi jika pasien kehilangan kontrol glikemik dalam jangka waktu tertentu. Komplikasi kronik dibagi menjadi dua yaitu makrovaskuler dan mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler
meliputi
penyakit
arteri
koroner,
penyakit
cerebrovaskuler, hipertensi, peripheral vascular disease. Komplikasi mikrovaskuler meliputi retinopati, nefropati dan neuropati.
Manifestasi dari gangguan kardiovaskuler pada diabetes diantaranya infark miokard, angina, gagal jantung dan kematian yang umumnya disebabkan oleh aterosklerosis dan hipertensi. Beberapa faktor risiko yang mengakibatkan gangguan kardiovaskuler ini yaitu dislipidemia, hipertensi dan obesitas yang berkaitan dengan resistensi insulin dan sindrom metabolik. Gangguan pada lipid seperti peningkatan kolesterol LDL, trigliserid dan menurunnya HDL berperan penting pada patogenesis aterosklerosis. Aterosklerosis secara umum berpengaruh pada komplikasi makrovaskuler dan untuk peripheral arterial disease akan dibahas dalam sub tersendiri.
Retinopati
diabetik
berperan
besar
terhadap
adanya
gangguan
pengelihatan. Hiperglikemia akan mengubah homeostasis biokimiawi sel melalui beberapa jalur, seperti jalur reduktase aldosa, jalur stres oksidatif sitoplasmik, pleiotropik protein kinase C dan terbentuknya glikosiloasi intraseluler. Pada retinopati diabetik proliperatif, didapatkan hilangnya perisit dan terjadi pembentukan mikroaneurisma. Selain itu terjadi hambatan pada aliran pembuluh darah selanjutnya kapiler akan tersumbat dan semua kelainan tersebat
menyebabkan kelainan
mikrovaskuler berupa lokus iskemik dan hipoksia lokal. Sel retina akan merespons dengan meningkatnya ekspresi faktor pertumbuhan endotel (Vascular
Endothelium
Growth
Factor=VEGF)
yang
memicu
neovaskularisasi pembuluh darah (Sudoyo, 2009). Diagnosis retinopati ditegakkan dengan dengan menggunakan ophthalmoscopy, sehingga
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
14
dapat diketahui apakah individu mengalami retinopati atau tidak dan seandainya ia mengalami retinopati dapat diklasifikasikan kembali apakah bersifat nonproliferatif atau proliferatif. Pengontrolan glukosa darah dan pengendalian hipertensi dikatakan mampu mengurangi risiko perkembangan retinopati serta identifikasi dini dan penatalaksanaan retinopati proliferatif dari edema makular dengan fotokoagulasi dikatakan mampu mencegah hilangnya pengelihatan lebih lanjut (Inzucchi, 2005).
Komplikasi diabetes pada ginjal dimulai ditemukannya mikroalbuniuria yang selajutnya dapat berkembang menjadi proteinuria, penurunan laju filtrasi glomerulus dan berakhir dengan gagal ginjal yang memerlukan pengelolaaan secara cermat. Pemeriksaan terhadap mikroalbuminuria harus delakukan secara cermat dan dapat dilakukan beberapa kali untuk mendapatkan keyakinan yang lebih pasti terhadap diagnosa nefropati itu sendiri.
Dengan
diketahuinya
nefropati,
diharapkan
menajemen
pengelolaan DM dilakukan lebih intensif termasuk pengelolaan berbagai faktor risiko, seperti kontrol tekanan darah, lipid, obesitas serta merokok. Individu dengan nilai GFR < 30 mL/menit hendaknya mendapat terapi pengganti ginjal atau dialisis (Sudoyo, 2009).
Neuropati diabetik diklasifikasikan berdasarkan lamanya menderita DM dan berdasarkan jenis serabut saraf yang terkena,diantaranya; neruropati sensorik, motorik dan otonom. Manifestasi klinis dari neuropati bervariasi, bergantung pada jenis serabut saraf yang mengalami lesi bisa besar atau kecil, lokasi proksimal atau distal, fokal atau difus, motorik atau sensorik atau otonom, misalnya; kesemutan, nyeri, kebas, baal, rasa tertusuk, rasa terbakar, seperti tertusuk, disobek. Namun yang paling sering ditemukan yaitu polineuropati sensori motor simetris distal atau distal symmetrical sensorymotor polyneuropathy (DPN). DNP ini ditandai dengan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif
dan
fungsi motorik (lebih jarang) yang berlangsung dari bagian distal ke arah
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
15
proksimal. Diagnosis neuropati ini dilakukan melalui pengkajian terhadap; refleks motorik, fungsi serabut saraf besar (biotensiometer), rasa tekan (monofilamen), fungsi serabut kecil (dengan tes sensasi suhu) serta elektromiografi untuk mengetahui lebih awal adanya gangguan hantaran saraf. Pada pengkajian diabetic autonomic neuropathy (DAN) untuk saraf parasimpatis delakukan dengan tes respon denyut jantung terhadap valsava manuver dan variasi denyut jantung selama napas dalam. Uji saraf simpatis dilakukan melalui respon tekanan darah saat berdiri (penurunan sistolik) dan respon tekanan darah terhadap gengguaman (peningkatan diastolik). Oleh karena itu diperlukan strategi untuk mencegah lebih jauh perkembangan neuropati itu sendiri melalui; diagnosis neuropati sedini mungkin, tercapainya kendali glikemik dan perawatan kaki yang baik serta pengendalian keluhan neuropati/nyeri neuropati (Sudoyo, 2009).
2.1.6 Penatalaksanaan Tujuan jangka pendek penatalaksanaan DM adalah menghilangkan gejala atau keluhan DM dam mempertahankan rasa nyaman dan sehat, sedangkan tujuan jangka panjangnya yaitu mencegah penyulit dan progresifitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati dengan tujuan akhirnya menurunkan morbiditas dan mortalitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat empat pilar yang harus dilaksanakan, yaitu; edukasi, perencanaan makanan, latihan jasmani dan farmakoterapi (PERKENI, 2011). a. Edukasi Edukasi merupakan bagian integral dari perawatan pasien diabetes. Edukasi diabetes merupakan pendidikan dan latihan yang diberikan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam perawatan diabetes, yang diberikan pada setiap pasien diabetes, anggota keluarga, kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terkena DM maupun pehakpihak perencana pembuat kebijakan kesehatan (Waspadji, Sukardji & Octarina, 2009). Dengan meningkatnya pengetahuan diharapkan terjadi perubahan perilaku dan peningkatan kepatuhan yang pada akhirnya
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
16
mampu meningkatkan kualitas hidup penderita DM. Edukasi merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus menerus dan kemajuannya harus terus diamati dan dievaluasi terutama oleh yang memberikan penyuluhan (Soewondo, 2007). Materi edukasi yang dapat diberikan pada pasien DM yaitu; pengertian diabetes, penyebab timbulnya diabetes dan upaya pencegahan, pengelolaan diabetes secara umum, perencanaan makan dan latihan jasmani, penggunaan obat, pencegahan dan pengenalan komplikasi DM serta perawatan kaki.
b. Perencanaan makanan Tujuan penatalaksanaan diit pada pasien DM yaitu untuk mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah dan lipid mendekati normal, mempertahankan berat badan dalam batas ideal, mencegah komplikasi akut dan kronik serta meningkatkan kualitas hidup (Waspadji, Sukardji & Octarina, 2009). Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang, dengan memperhatikan 3J, yaitu jumlah, jadwal dan jenis diit (Tjokroprawiro, 2006). Hal yang harus diperhatikan terkait jumlah dan jenis diit ini yaitu indeks glikemik makanan. Indeks glikemik merupakan respon glukosa darah tubuh terhadap makanan dibandingkan dengan respons glukosa darah terhadap glukosa murni dan indeks glikemik ini berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Indeks glikemik bahan makanan berbeda-beda tergantung dari fisiologi, bukan pada kandungan bahan makanan (Waspadji, Sukardji & Octarina, 2009). Makanan dengan indeks glikemik tinggi cepat dicerna dan diserap sehingga gula darah juga akan cepat meningkat, sedangkan makanan dengan indeks glikemik rendah lebih lambat untuk dicerna dan diserap, peningkatan kadar glukosa pun akan terjadi secara perlahan-lahan. Selain itu, makanan dengan indeks glikemik rendah mampu mengontrol berat badan dengan memperlambat munculnya rasa lapar yang sangat bermanfaat bagi pasien DM.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
17
Ada 8 jenis standar diit menurut kandungan energi yaitu dari 1100-2500 kkal. Adapun syarat diit penyakit DM menurut (Waspadji, Sukardji & Octarina, 2009) yaitu cukup kalori untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Untuk menghitung jumlah kalori yang diperlukan, terlebih dahulu dihitung jumlah kebutuhan ideal dengan menggunakan rumus broca, yaitu: 90% x (TB dalam cm-100) x1 kg, namun jika tinggi badan laki-laki < 160 cm atau perempuan < 150 cm, maka rumus yang berlaku= (tinggi badan dalam cm-100) x 1 kg. Selanjutnya dihitung kebutuhan kalori basal yaitu 30 kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 kkal/kgBB untuk wanita. Selanjutnya kebutuhan kalori basal ditambah dengan faktor koreksi. Faktor koreksi tersebut yaitu kebutuhan kalori untuk aktifitas (10-30% sesuai dengan jenis aktifitas dan kalori yang dikeluarkan), koreksi status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kondisi stress (infeksi, dsb). Makanan dibagi dalam 3 porsi besar, yaitu makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi kecil untuk makanan selingan masing-masing 10-15% (Almatsier, 2010).
Kebutuhan protein 10-20% dari kebutuhan energi total. Pada pasien dengan nefropati, kebutuhan asupan protein menjadi 0.8 g/kgBB perhari atau10% dari kebutuhan energi dan 65% sebaiknya yang bernilai biologi tinggi (PERKENI, 2011). Kebutuhan karbohidrat 45-65% dari kebutuhan energi total, namun pada keadaan tertentu boleh mencapai 7075%. Kebutuhan lemak sedang, yaitu 20-25% dari kebutuhan energi total. Kolesterol makanan dibatasi ≤ 300 mg/hr . Kebutuhan serat 25 g/hr dengan mengutamakan serat larut air yang terdapat dalam sayur dan buah.
Pasien DM dengan tekanan darah normal diperbolehkan mengkonsumsi natrium dalam bentuk garam dapur seperti orang sehat, yaitu 3000 mg/hr atau sama dengan 6-7 g (1 sendok teh) garam dapur, namun pada individu yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg. Pemanis dikelompokkan dalam pemanis berkalori dan tak berkalori. Yang
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
18
termasuk pemanis berkalori yaitu sukrosa dan fruktosa. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada individu DM karena efek samping pada lemak darah. Gula masih dapat digunakan dalam jumlah terbatas, tidak melebihi 5%dari kalori, misalnya digunakan pada bumbu masakan. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman Accepted Daily Intake (ADI) (PERKENI, 2011; Waspadji, Sukardji & Octarina, 2009).
c. Latihan jasmani Latihan fisik secara teratur sangat penting dalam penatalaksanaan DM. Menurut Leutholtz & Ripoll (2011) manfaat latihan fisik pada individu dengan DM yaitu: meningkatkan kesehatan jasmani, meningkatkan jumlah
mitokondria
memperbaiki
profil
otot, lipid,
mencegah
dan
mengontrol
mengurangi kadar
glukosa
obesitas, darah,
meningkatkan jumlah enzim oksidatif pada otot, meningkatkan densitas kapiler otot, mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler serta bermanfaat secara psikososial.
Saat melakukan latihan maka kebutuhan otot
terhadap glukosa akan meningkat, terjadi penurunan kebutuhan insulin dan peningkatan glukagon (Inzucchi, 2005). Selain itu, latihan juga akan meningkatkan aliran darah sehingga banyak kapiler akan terbuka dan lebih banyak reseptor insulin akibatnya reseptor menjadi lebih aktif (Sudoyo,2009).
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka harus diperhatikan prinsip-prinsip latihan, yaitu frekuensi, intensitas, durasi dan jenis. Latihan sebaiknya dilakukan secara teratur dengan frekuensi 3-5 kali perminggu, intensitas ringan dan sedang yaitu mencapai 60-70% Maximum Heart Rate (MHR). Untuk menentukan intensitas latihan digunakan MHR yang didapat melalui penghitungan 220-umur. Setelah MHR didapatkan, lalu ditentukan Target Heart Rate (THR). Durasi latihan sebaiknya 30-60 menit, disesuaikan dengan usia dan kemampuan individu dan latihan yang dilakukan sebaiknya latihan yang bersifat
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
19
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda, jogging dan berenang (Sudoyo, 2009; PERKENI 2011). Penderita DM tipe I yang memiliki kadar glukosa darah ≥ 250 mg/dl dan terdapat keton dalam urinnya serta penderita DM tipe II dengan kadar glukosa ≥ 300 mg/dl mutlak tidak boleh melakukan olahraga Setelah berolahraga selama 10 menit akan terjadi peningkatan glukosa 15 kali jumlah kebutuhan pada keadaan biasa, sehingga jika diabetisi mengalami hiperglikemi dan tetap melakukan latihan maka dapat mengakibatkan produksi kadar glukosa darah dan badan keton yang dapat berakibat fatal. (Barnes, 2012).
d. Farmakoterapi Ketika individu telah melaksanakan perencanaan makanan dan latihan fisik namun kadar glukosa darahnya belum terkendali, maka dibutuhkan upaya yang lebih agresif melalui pemberian tindakan farmakologik tanpa mengesampingkan
upaya
nonfarmakologik
sebelumnya.
Upaya
farmakologi tersebut dilakukan melalui pemberian obat hipoglikemik oral (OHO), kombinasi OHO dengan insulin maupun terapi insulin saja. Indikasi pemberian OHO menurut Soegondo, Soewondo & Subekti (2013), yaitu: individu dengan usia lebih dari 40 tahun, mengalami diabetes kurang dari lima tahun, memerlukan insulin dengan dosis kurang dari 40 unit sehari serta DM tipe 2 dengan berat badan normal atau lebih. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan, yaitu: pemicu sekresi insulin (insulin sekretagok), penambah sensitivitas terhadap insulin, penghambat alfa glukosidase (acarbose) dan golongan inkretin. 1) Pemicu sekresi insulin Yang termasuk obat golongan ini yaitu golongan sulfonilurea dan glinid. Golongan sulfonilurea seperti klorpropamid, glibenklamid, glikasid, glikuidon, glipsid dan glimepirid. Golongan sulfonilurea bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
20
dan sebaiknya tidak diberikan pada penyakit hati, ginjal dan tiroid. Efek samping pemberian golongan sulfonilurea meningkatkan berat badan dan menyebabkan hipoglikemia, terutama glibenklamid, sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan jadwal makanan yang ketat.
Untuk memperoleh hasil yang baik, sulfonilurea
sebaiknya diberikan 1 jam sebelum makan untuk memperbaiki pelepasan insulin fase pertama dan atau menjelang tidur untuk mengurangi produksi glukosa oleh hepar (Unger, 2007). Obat golongan glinid yaitu repaglinid dan nateglinid. Cara kerja obat ini sama dengan golongan sulfonilurea dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. 2) Penambah sensitifitas terhadap insulin Contoh obat ini yaitu golongan biguanid dan tiazolindion/glitazon. Biguanid tidak merangsang sekresi insulin, ia bekerja di hati dengan mengurangi hepatic glucose output dan menurunkan kadar glukosa darah sampai normal (euglikemia) serta tidak mengakibatkan hipoglikemia. Contoh obat golongan biguanid ini yaitu metformin dengan efek samping yang ditimbulkan yaitu nausea, muntah, diare sehingga lebih tepat jika obat ini diberikan pada pasien yang gemuk. Obat ini sebaiknya diberikan bersama makanan dan bila dalam bentuk XR dapat diberikan pada waktu makan malam. Adapun kontraindikasi pemberian metformin yaitu; adanya ganguan fungsi ginjal (kreatinin ≥ 1,5 mg/dL untuk laki-laki dan ≥ 1,4 mg/dL untuk perempuan), gangguan fungsi hati, asidosis metabolik, usia lanjut dan gagal jantung. Obat lainnya yaitu golongan tiazolindion atau glitazon dengan contoh obat golongan ini yaitu pioglitazon dan rosiglitazon. Obat ini bekerja dengan menurunakan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa yang mengakibatkan
peningkatan
ambilan
glukosa
perifer
dan
menghambat glukoneogenesis dan glikogenolisis hepar. Pemberian obat ini tidak bergantung pada jadwal makan dan kontraindikasi
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
21
pada pasien dengan gagal jantung karena dapat memperberat edema (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2013). 3) Penghambat alfa glukosidase (acarbose) Obat ini bekerja dengan menghambat enzim alfa glukosidase yang terletak pada dinding usus halus. Enzim ini berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida, trisakarida dan disakarida pada dinding usus halus sehingga melalui inhibisi enzim ini, diharapkan dapat mengurangi digesti karbohidrat kompleks dan absorbsinya, akibatnya dapat menurunkan kadar glukosa post prandial. Selain itu, acarbose juga menghambat alfa amilase pankreas yang berfungsi melakukan hidrolisa tepung-tepung kompleks di dalam usus halus. Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan sehingga pemberiannya dilakukan saat bersama suapan pertama setiap kali makan dengan efek samping yaitu flatus, perut terasa kurang enak dan kadang timbul diare (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2013). 4) Golongan inkretin. Golongan obat ini yaitu inkretin mimetik dan penghambat DPP IV. Obat golongan inkretin mimetik belum masuk ke Indonesia dengan cara kerja obat ini yaitu merangsang sekresi insulin dan menghambat sekresi glukagon. Penghambat DPP IV bekerja dengan menghambat suatu enzim yang mendegradasi hormon inkretin endogen, hormon Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) dan GIP yang berasal dari usus, sehingga meningkatkan kadarnya setelah makan, kemudian akan meningkatkan sekresi insulin yang dirangsang glukosa, mengurangi sekresi glukagon dan memperlambat pengosongan lambung. Obat ini dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan. Contoh obat
golongan
ini
yaitu
sitagliptin
dan
vildagliptin/glavus
(Soegondo, Soewondo & Subekti, 2013).
Selain pemberian obat oral hipoglikemia oral, terapi farmakologi lain yang diberikan pada pasien DM yaitu terapi insulin. Menurut PERKENI (2011),
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
22
indikasi mutlak pemberian terapi insulin yaitu pada DM tipe 1, sedangkan indikasi relatif pemberian insulin yaitu bila gagal mencapai target dengan penggunaan kombinasi OHO dosis optimal (3-6 bulan), DM tipe 2 dengan kehamilan, TB paru, kaki diabetik terinfeksi, fluktuasi gula darah yang tinggi, riwayat ketosis berulang, riwayat pankreotomi, kondisi tertentu
seperti penyakit hati kronik,
gangguan fungsi ginjal dan terapi steroid dosis tinggi. Berdasarkan puncak dan jangka waktu efeknya, insulin dikategorikan menjadi empat yaitu; 1) insulin kerja singkat (short acting) yang merupakan satu-satunya insulin jernih atau larutan insulin, contoh actrapid dan humulin R, 2) insulin kerja cepat (rapid acting) yang cepat diabsorbsi, contoh: novorapid, humaloh, apidra, 3) insulin kerja sedang yaitu NPH, termasuk monotard, insulatard dan humulin N yang kadang sebagai penyebab reaksi imunologik, yaitu urtikaria pada lokasi suntikan, 4) insulin kerja panjang, seperti ultralente, glargine (lantus) dan determir (levemir).
Gambar 2.1 Profil farmakokinetik insulin manusia dan insulin analog. Sumber: Hirsh IB. 2005. Insulin Analogues. N Engl J Med; 352:174-183
Yang perlu diketahui mengenai farmakokinetik insulin yaitu awal kerja, puncak kerja dan lama kerja. Berdasarkan gambar diatas dapat kita lihat bahwa pada insulin kerja cepat seperti lispro (humalog) dan aspart (novorapid) memiliki awal kerja yang cepat yaitu 5-15 menit dengan puncak kerja 30-90 menit dan lama kerja 4-6 jam. Pada insulin kerja pendek seperti Humulin R atau actrapid, memiliki awal kerja 30-60 menit, puncak kerja 2-3 jam dan lama kerja 6-10 jam. Insulin kerja menengah seperti humulin N dan insulatard memiliki awal kerja 2-4 jam, puncak kerja 4-10 jam dan lama kerja 12-20 jam. Insulin kerja panjang
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
23
mempunyai kadar zink yang tinggi untuk memperpanjang waktu kerjanya. Yang termasuk dalam jenis ini yaitu ultra lente dan PZI (sudah tidak beredar di Indonesia), ia memiliki awal kerja 6-10 jam, puncak kerja 10-16 jam dan lama kerja 18-24 jam. Insulin basal seperti glargine (lantus) dan detemir (levemir), dapat memenuhi kebutuhan basal insulin selama 24 jam dengan awal kerja 2-4 jam tanpa adanya efek puncak. Insulin ini mulai banyak digunakan dalam terapi kombinasi baik dengan insulin (Hirsh, 2005 ; Soegondo, Soewondo & Subekti, 2013). Kebutuhan insulin harian yaitu 0.2unit/kgBB. Insulin basal sebanyak 50% dari kebutuhan insulin harian. Insulin prandial sebanyak 50% dari kebutuhan insulin harian total dan dibagi menjadi 3 dosis. Untuk sebagian besar pasien bukan penyakit kritis yang diterapi dengan insulin , sasaran glukosa darah sebelum makan < 140 mg/dl dan glukosa darah acak < 180 mg/dl. Pada pasien yang mendapat terapi insulin intravena akan membutuhkan transisi ke insulin subkutan jika mereka mulai memakan makanan biasa. Insulin subkutan harus diberikan 1-4 jam sebelum infus iv dihentikan untuk mencegah hiperglikemia. Biasanya dosis insulin subkutan yang diberikan antara 75-80% dari dosis insulin iv harian total, selanjutnya dibagi proporsional menjadi komponen basal dan prandial (PERKENI, 2011).
Untuk mencegah terjadinya komplikasi akut maupun kronik pada pasien DM, tindakan pemantauan glukosa darah sangat penting. Pemantauan glukosa darah bertujuan untuk mengetahui apakah sasaran telah mencapai target sasaran dan pemeriksaan glukosa darah yang dilakukan meliputi pemeriksaan glukosa darah puasa, glukosa darah 2 jam post prandial atau glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai kebutuhan. Selain pemantauan glukosa darah, pemeriksaan HbA1C atau tes hemoglobin terglikosilasi juga dilaksanakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya dan pemeriksaan ini hendaknya dilakukan setiap 3 bulan atau minimal 2 kali dalam setahun (PERKENI, 2011). Pada pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin dianjurkan untuk melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dengan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
24
menggunakan alat glukometer yang dijual bebas dan menggunakan darah kapiler. Waktu pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan yaitu pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan untuk menilai ekskursi maksimal glukosa, menjelang waktu tidur untuk menilai risiko hipoglikemia dan diantara siklus tidur untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal tanpa gejala atau ketika mengalami gejala hypoglycemic spells (PERKENI, 2011). Pengukuran glukosa urin hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah, dimana batas ekskresi glukosa renal ratarata sekitar 180 mg/dL dan bervariasi pada beberapa pasien serta sangat bergantung pada fungsi ginjal yang tidak dapat digunakan untuk menilai keberhasilan terapi. Pemeriksaan lain yang tidak kalah penting yaitu pemeriksaan benda keton dalam darah maupun dalam urin terutama pada pasien dengan glukosa darah >300 mg/dL. Nilai normal asam beta hidroksibutirat darah yaitu < 0.6 mmol/L, diatas 1.0 mmol/L disebut ketosis dan >3.0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton secara mandiri bermanfaat untuk mencegah terjadinya komplikasi akut, terutama KAD (PERKENI, 2011). 2.2 Konsep PAD Peripheral Arterial Disease (PAD) terjadi pada 12 juta orang di Amerika dan data dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa 20% dari pasien yang mengeluhkan gejala PAD mengalami diabetes dan diperkirakan nilainya meningkat sebab mayoritas pasien PAD tidak menunjukkan gejala (ADA, 2003). 2.2.1. Pengertian PAD merupakan manifestasi dari atherosklerosis yang ditandai dengan sumbatan aterosklerotik pada extremitas bawah dan merupakan penanda penyakit aterotrombosis pada vascular lainnya (ADA, 2003). PAD merupakan penyempitan dari arteri bagian distal dari cabang aorta yang diakibatkan oleh aterosklerosis (O’Donnell et al, 2007). Menurut Hamburg & Balady (2014), PAD pada extremitas bawah secara nyata berisiko terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa PAD merupakan suatu kondisi berkurangnya sirkulasi arteri, terutama
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
25
daerah ekstremitas bawah dan terjadi ketika pembuluh darah menyempit akibat aterosklerosis. 2.2.2. Patofisiologi Diabetes mengakibatkan abnormalitas endothelium, sel otot polos dan platelet yang
mengakibatkan gangguan pada vaskuler. Pada diabetes,
hiperglikemia, peningkatan asam lemak bebas dan resistensi insulin akan mengakibatkan gangguan pada sel endotel. Kondisi ini mengakibatkan gangguan fungsi endotel, vasokontriksi, meningkatkan inflamasi dan meningkatkan thrombosis. Penurunan Nitric Oxide (NO) dan peningkatan endotelin-1 dan angiotensin II meningkatkan tonus vascular, pertumbuhan dan migrasi sel otot polos. Aktifasi dan transkripsi Nuclear Factor kappa ß (NF-kB) serta activator protein-1 mengakibatkan respon inflamasi, melalui peningkatan kemokin, sitokin dan adhesi molekul selular. Peningkatan produksi faktor jaringan dan plasmin activator inhibitor 1 mengakibatkan protrombotik melieu, mengakibatkan penurunan endothelium diikuti NO serta aktivasi prostasiklin platelet. Hilangnya endothelium yang diikuti penurunan NO mengakibatkan peningkatan aktivitas proinflamasi (NFkB), adhesi molekul leukosit, produksi kemokin dan sitokin. Kondisi ini meningkatkan monosit dan migrasi sel otot polos, formasi makrofag ke daerah intima vaskuler sehingga timbul aterogenesis (ADA, 2003; Beckman, Creager & Libby, 2002) Aterogenesis mengakibatkan penyempitan arteri, menyebabkan penurunan aliran darah. Arteri yang paling sering terkena yaitu arteri pada tungkai, terutama arteri femoralis dan poplitea. Jika sumbatan cukup besar dapat mengakibatkan kematian jaringan pada bagian distal jaringan yang diperdarahi hingga mampu menyebabkan amputasi. Gejala umum dari PAD yaitu klaudikasio intermiten, yang merupakan perasaan tidak nyaman, nyeri berat, mati rasa, kelemahan otot ekstremitas bawah (O’Donnell,et al, 2011). Karakteristik klaudikasio adalah nyeri otot pada betis, paha, pantat diperberat saat beraktifitas dan berkurang jika istirahat. Lokasi klaudikasio intermiten berhubungan dengan daerah bagaian proximal yang mengalami stenosis. Kaludikasio pada pantat, panggul atau
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
26
paha terjadi jika obstruksi pada aorta atau arteri iliaka dan beberapa diantaranya juga berhubungan dengan disfungsi erektil. Klaudikasio pada daerah betis yang paling dijumpai umumnya terjadi karena otot gastrocnemius mengkonsumsi paling banyak oksigen selama ambulasi disbanding otot tungkai lainnya, terjadi pada pasien yang mengalami stenosis femoral dan popliteal. Klaudikasio pada kaki atau pergelangan kaki terjadi jika adanya gangguan pada arteri tibial dan peroneal (Norgren et al, 2007).
Ketika suplai darah ke kaki memburuk, nyeri dapat berlangsung terusmenerus pada kaki atau tungkai. Nyeri iskemik istirahat umumnya dimulai dari bagian distal jari kaki, nyeri memberat jika kaki dinaikkan dan berkurang jika berdiri, duduk di kursi atau berjalan. Jika iskemi memberat akan terjadi parastesi, dingin pada ektremitas, ulcerasi atau atau kematian jaringan (Olin & Sealove, 2010). Iskemia yang terjadi lama-kelamaan dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi otot seperti denervasi dan drop out. Hilangnya serat-serat otot akan mengakibatkan penurunan kekuatan dan atrofi otot.
2.2.3. Faktor risiko PAD Aterosklerosis merupakan penyakit multifaktorial dan prosesnya berhubungan dengan interaksi beberapa faktor risiko. Beberapa faktor risiko PAD menurut Norgren & Hiatt (2007) yaitu; ras, jenis kelamin, usia, riwayat merokok, DM, hipertensi, dislipidemia, Inflamatory marker, hiperviskositas dan hiperkoagulasi, hiperhomosisteinemia dan insufisiensi ginjal kronik.
Menurut survey yang dilakukan oleh The National Health and Nutrition examination di US, ditemukan nilai ABI <0.9 pada ras non Hispanic-black (7.8%) dibandingkan pada ras Hispanic-white (4.4%). Prevalensi PAD meningkat seiring dengan meningkatnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan wanita, khususnya pada kelompok usia muda. Pada pasien dengan intermiten klaudikasio rasio laki-laki:wanita antara 1:1 hingga 2:1. Beberapa penelitian lain juga
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
27
dikatakan distribusi PAD kurang lebih sama antara laki-laki dan perempuan bahkan kadang-kadang lebih dominan wanita dengan Critical Limb Ischemia (CLI) (Norgren & Hiatt (2007).
Perokok berisiko tiga kali lebih tinggi untuk terjadi klaudikasio intermiten dan menunjukkan gejala 10 tahun lebih cepat dibandingkan dengan bukan perokok. Perokok berisiko dua kali lipat untuk terjadi PAD dan penyakit arteri koroner. Adanya hubungan yang erat antara perokok dan tingkat keparahan PAD (O’Donnell et al, 2011). Terdapat hubungan yang erat antara DM dan PAD. Pada pasien DM, setiap peningkatan 1% HbA1C akan terjadi peningkatan risiko PAD sebanyak 26% (Selvin et al, 2004). Resistensi insulin meningkatkan faktor risiko terjadinya PAD sebanyak 40-50% meskipun pada pasien tanpa DM. PAD lebih cenderung terjadi pada pasien DM dibandingkan non DM, dengan keterlibatan pembuluh darah besar ditambah dengan neuropati distal. Risiko terjadinya amputasi 5-10 kali lebih besar pada pasien DM dibandingkan non DM. Hipertensi juga berhubungan erat dengan seluruh penyakit kardiovaskular, diantaranya PAD. 33-35% pasien dengan PAD juga menunjukkan hipertensi (Clement, De Buyzere & Duprez, 2004). Pada pasien PAD akan terjadi peningkatan nilai serum trigliserid, Low Density Lipoprotein (LDL), kolesterol, Very Low Density Lipoprotein (VLDL) trigliserid, VLDL protein, Intermediate Density Lipoprotein (IDL) dan penurunan High Density Lipoprotein (HDL). Adanya suatu evidence bahwa penatalaksanaan hiperlipidemia akan mengurangi progresivitas PAD dan terjadinya intermiten claudikasio (Norgren & Hiatt, 2007).
Inflamasi telah diketahui sebagai penanda risiko penyakit aterotrombosis, diantaranya PAD. Peningkatan C-Reactive Protein (CRP) berhubungan erat dengan perkembangan PAD. Peningkatan CRP dapat ditemukan pada pasien dengan gangguan toleransi glukosa dan diabetes (Beckman, Creager & Libby, 2002). Peningkatan CRP juga dapat sebagai penanda exaserbasi PAD. CRP akan berikatan dengan reseptor sel endotel yang menyebabkan apoptosis. CRP juga menstimulasi produksi endothelial procoagulan tissue factor, adhesi molekul leukosit dan substansi kemostatis, menghalangi sintesa NO yang mengakibatkan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
28
abnormalitas regulasi tonus vascular. Pada akhirnya CRP akan meningkatkan produksi fibrinolisis, seperti plasminogen activator inhibitor (PAI).
Peningkatan hematokrit dan hiperviskositas dilaporkan terjadi pada pasien PAD, sebagai akibat langsung dari merokok. Peningkatan fibrinogen sebagai faktor risiko thrombosis berhubungan erat dengan PAD (Norgren & Hiatt, 2007). Diabetes yang menyebabkan hiperkoagulasi dihubungkan dengan peningkatan tissue factor oleh sel endothelial
dan VSMCs seiring dengan peningkatan
konsentrasi faktor VII. Hiperglikemia juga berhubungan dengan penurunan konsentrasi antitrombin dan protein C, gangguan fungsi fibrinolitik dan peningkatan produksi PAI. Pada akhirnya akan meningkatkan viscositas darah dan fibrinogen. Peningkatan viskositas dan fibrinogen ini berkaitan erat dengan abnormalitas nilai ABI pada PAD (ADA, 2003).
Peningkatan kadar homosistein dalam darah digunakan sebagai faktor risiko independen
terjadinya
thrombosis
dan
penyakit
vascular
dan
kondisi
hiperhomosisteinemia akan lebih meningkatkan aterotrombosis vascular pada individu yang merokok dan hipertensi (Irawan,Sja’bani & Astoni, 2005). Hiperhomosisteinemia diketahui terjadi pada 30% pasien usia muda dengan PAD (Norgren & Hiatt, 2007). Terdapat hubungan yang bermakna antara insufisiensi renal
dengan kejadian PAD. Studi
Estrogen/Progestin
Replacement
yang dilakukan oleh
Study
(HERS),
insufiensi
Heart renal
and
secara
independen berhubungan dengan kejadian PAD pada wanita postmenopause (O’Hare, Vittinghoff, Hsia & Shlipak, 2004).
2.2.4. Diagnosis PAD Pemeriksaan ABI merupakan lini pertama untuk screening dan diagnosis PAD yang
memiliki
sensitifitas
tinggi
(79-95%)
dan
spesifisitas
(95-96%)
dibandingkan dengan angiografi sebagai standar emas diagnosis PAD Pengukuran ABI sangat mudah dan murah, meskipun ada beberapa variasi akurasi dalam identifikasi stenosis yang signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Dachun et al (2010) menyebutkan tingginya spesifisitas (83%-99%) dan akurasi
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
29
(72.1%-89.2%) pada nilai ABI ≤ 0.9 untuk mendeteksi stenosis ≥ 50%, meskipun terdapat perbedaan tingkat sensitifitas (15%-79%) dan nilai ABI ≤ 0.9 digunakan sebagai acuan untuk mengidentifikasi adanya stenosis.
Pulse Volume Recording (PVR) merupakan tindakan noninvasive yang mengukur aliran darah pada ektremitas atas atas maupun bawah. PVR merupakan tes fungsional, yaitu alat ini tidak memeriksa pembuluh darah tertentu, melainkan hanya menilai jumlah seluruh aliran darah pada tungkai yang diperiksa (http://www.angiologist.com). Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu duplex ultrasonography yang bertujuan untuk untuk mengetahui tempat lokasi dari oklusi atau untuk mengetahui lebih lanjut tingkat keparahan PAD. Ultrasonografi duplek dapat memberikan informasi mengenai ketebalan dinding arteri, struktur pembuluh darah, kecepatan aliran darah dan turbulensi aliran darah. Magnetic Resonance Angiography (MRA) akan mengevaluasi beberapa arteri dalam tubuh dan mampu menemukan masalah yang terjadi, misalnya stenosis, oklusi dan aneurisme. Ultrasonografi duplex telah dilaporkan kurang sensitif dibandingkan dengan (MRA) dalam mendeteksi stenosis ≥ 50% pada arteri ektremitas bawah (Collins et al, 2007).
2.2.5. Penatalaksanaan PAD Penanganan PAD berupa intervensi untuk mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi risiko komplikasi kardiovaskuler (Smith, 2012). Intervensi meliputi: 1). Berhenti merokok Adanya konseling cara berhenti merokok dan menghindari segala produk tembakau dinilai efektif dalam perkembangan PAD. Berhenti merokok akan mengurangi progresifitas aterosklerosis (ADA, 2003). 2). Diet atau manajemen berat badan Pasien yang overweight (BMI 25-30) atau pasien obese (BMI>30) harus mendapatkan
konseling
mengenai
penurunan
berat
badan
dengan
memperhatikan keseimbangan kalori negative melalui pengurangan intake kalori, restriksi karbohidrat dan meningkatkan exercise.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
30
3). Latihan fisik Latihan akan meningkatkan kontraksi otot dan akan meningkatkan metabolism. Konsentrasi O2 lokal akan berkurang akibat penggunaan O2 yang lebih banyak pada sel-sel yang aktif melakukan metabolism untuk fosforilasi oksidatif yang menghasilkan ATP. Proses ini akan mengakibatkan perubahan kimiawi lokal, menyebabkan
dilatasi arteriol lokal melalui
relaksasi otot polos arteriol (Sheerwood, 2011). Vasodilatasi arteriol lokal akan menyebabkan peningkatan aliran darah ke daerah yang bersangkutan, sehingga terjadilah hiperemia aktif. Jika kebutuhan metabolism sel meningkat, akan dibutuhkan lebih banyak darah untuk menyerap O2 dan nutrisi serta membuang sisa metabolism. Peningkatan aliran darah mampu memenuhi peningkatan kebutuhan lokal ini. Laju aliran darah yang melewati suatu pembuluh berbanding lurus dengan gradien tekanan pembuluh dan berbanding terbalik dengan resistensi vaskuler. Sedangkan peningkatan dua kali lipat jari-jari pembuluh akan menurunkan resistensi enam belas kali lipat, sehingga berdasarkan hal ini peningkatan laju aliran darah berbanding lurus dengan pangkat empat jari-jari pembuluh jika melewati gradien tekanan yang sama. Semakin besar jari-jari pembuluh maka kecepatan aliran darah juga semakin tinggi. Jantung secara bergantian berkontraksi untuk memompa darah ke dalam arteri dan berelaksasi untuk menerima pemasukan darah dari vena. Tekanan arteri rata-rata berfungsi untuk mendorong darah maju ke jaringan selama seluruh siklus jantung.
Pada saat mencapai suatu organ yang diperdarahi, arteri akan bercabang menjadi banyak arteriol dengan jari-jari pembuluh yang cukup kecil sehingga mampu menghasilkan resistensi pembuluh darah yang tinggi. Hal ini akan menyebabkan penurunan mencolok tekanan rata-rata ketika darah mengalir melalui pembuluh ini. Penurunan tekanan pembuluh ini akan membentuk perbedaan tekanan yang mendorong aliran darah dari jantung ke berbagai organ di hilir.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
31
Tujuan latihan pada PAD yaitu mengurangi gejala pada kaki, meningkatkan kapasitas latihan dan mecegah disabilitas fisik serta menurunkan terjadinya gangguan kardiovaskuler (Hamburg & Balady, 2011). Isekmia jaringan pada daerah yang perfusinya inadekuat akan menginduksi growth faktor, meliputi vascular endhotelial growth factor dan hypoxia inducible factor-1α sehingga merangsang angiogenesis (Patel et al, 2005). Latihan mampu menstimulasi peningkatan aliran darah kolateral yang juga bergantung pada aktifitas growth faktor dan peningkatan bioavailibilitas melalui stimulasi stres pada sintesis NO endothelial. Adanya abnormalitas fungsi mitokondria mempengaruhi penggunaan oksigen pada otot yang menghasilkan kerusakan endotel. Latihan dipercaya mampu meningkatkan metabolism otot dan fungsi mitokondria. Adanya inflamasi kronik akan mengakibatkan proses aterosklerosis. Penanda inflamasi sistemik berupa C reactive protein dan adhesi soluble interselular molekul-1 meningkatkan risiko perkembangan PAD. Aktifitas fisik diketahui mampu menekan aktifasi inflamasi sehingga menekan perkembangan aterosklerosis (Kasapis & Thompson, 2005). Sebuah penelitian eksperimental pada pasien PAD dengan dan tanpa intermiten klaudikasio menyebutkan bahwa latihan mampu meningkatkan jarak tempuh namun tidak mampu meningkatkan ABI (Watson dalam Gibs, 2013).
4). Pengontrolan lemak Semua pasien simptomatis PAD diharapkan mampu mencapai LDLkolesterol < 100 mg/dL. Pada pasien dengan PAD dan memiliki riwayat penyakit vascular, misalnya penyakit arteri koroner diharapkan target LDL kolesterolnya < 70 mg/dL. Semua pasien dengan simptomatis PAD dan tidak memiliki riwayat penyakit jantung target LDL-kolesterol < 100 mg/dL. Pada pasien yang mengalami peningkatan trigliserid dimana hasil LDL tidak mampu dihitung secara akurat, nilai LDL diharapkan < 130 mg/dL. Untuk mencapai target ini, harus dilakukan pendekatan modifikasi diet, meskipun pada banyak kasus hanya terapi diet saja tidak mampu mengurangi tingkat lipid, sehingga dibutuhkan terapi farmakologi. Pemberian statin terapi
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
32
diketahui mampu mengurangi tingkat LDL kolesterol (Norgren & Hiatt, 2007). 5). Pengontrolan hipertensi Tekanan darah pada pasien hipertensi harus terkontrol (< 140/90 mmHg) atau < 130/80 mmHg jika mereka juga memiliki diabetes atau insufisiensi ginjal. JNC VII dan Europan guideline merekomendasikan penggunaan thiazide dan ACE inhibitor diharapkan mampu menurunkan tekanan darah pada PAD untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular. Pemberian penghambat beta adrenergic juga tidak kontraindikasi untuk diberikan pada pasien PAD. 6). Pengontrolan kadar glukosa darah Glukosa darah harus terkontrol dengan kriteria HbA1c < 7% atau mendekati 6% jika memungkinkan 7). Penggunaan terapi antiplatelet Semua pasien dengan ada atau tidak riwayat penyakit kardiovaskular harus diberikan obat antiplatelet jangka panjang untuk mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.
Aspirin/ASA bermanfaat pada
pasien PAD yang juga mengalami penyakit kardiovaskular. Clopidogrel efektif untuk mengurangi penyakit kardiovaskular pada pasien simptomatis PAD. 8). Tindakan pembedahan Pilihan terakhir penatalaksanaan pasien PAD yaitu melalui pembedahan. Pembedahan diperlukan jika kondisi penyakit sudah berat, adanya klaudikasio sehingga membatasi gaya hidup, nyeri iskemik saat istirahat dan atau hilangnya jaringan (Smith, 2012).
2.3 Konsep Model Konservasi Levine Model konservasi Levine dapat diterapkan pada asuhan keperawatan pada pasien DM, karena pada pasien DM akan ditemukan adanya gangguan pada integritas energi akibat gangguan fungsi dan kerja insulin dan mempengeruhi integritas lainnya, seperti struktural, personal maupun sosialnya. Sebelum membahas penerapan model konservasi Levine pada pasien DM, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai biografi Myra Estrin Levine, konsep model
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
33
konservasi, metaparadigma, prinsip-prinsip konservasi dan integrasi model konservasi dalam proses keperawatan hingga penerapannya pada pasien DM.
2.3.1 Biografi Myra Estrin Levine Myra Estrin Levine lahir di Chicago, Illinois tahun 1920. Ia adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Levine mulai tertarik pada keperawatan karena melihat kondisi ayahnya yang memerlukan perawatan akibat masalah gastrointestinal. Levine lulus dari Cook County School of Nursing tahun 1944 dan mendapat gelar bachelor of nursing dari Universitas Chicago tahun 1949. Setelah lulus, Levine bekerja sebagai perawat sipil di US Army sebagai supervisor perawat bedah dan administrasi keperawatan. Ia menyelesaikan studi magister keperawatan di Universitas Wayne State tahun 1962. Ia juga mengajar di beberapa institusi keperawatan, diantaranya Universitas Illionis di Chicago dan Universitas Tel Aviv di Israel. Levine memiliki 77 artikel publikasi, diantaranya “An Inroduction to Clinical Nursing”. Ia memperoleh gelar Doktor tahun 1992 dari Universitas Loyola hingga pada akhirnya ia meninggal tahun 1996 di usia 75 tahun.
Levine
mengatakan
awalnya
ia
tidak
memiliki
keinginan
untuk
mengembangkan suatu teori, namun ia hanya menginginkan untuk menemukan suatu cara yang bisa mengajarakan konsep utama dalam keperawatan medikal bedah dan mengajarkan pendekatan baru kegiatan keperawatan pada siswanya. Teori Levine dikenal dengan model konservasi. Model ini menggunakan prinsip-prinsip konservasi dalam meningkatkan adaptasi untuk kesehatan dan penyembuhan. Model ini memandu perawat untuk berfokus pada pengaruh-pengaruh dan respon pada tingkat organismik. Perawat mencapai tujuan dari model ini melalui konservasi energi, integritas struktus, personal dan konservasi intergritas social (Parker, 2005).
2.3.2 Konsep Utama Model Konservasi Tujuan dari model konservasi ini adalah meningkatkan adaptasi dan memelihara keutuhan dengan menggunakan prinsip konservasi. Tiga konsep
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
34
utama dari model konseravasi yaitu;, adaptasi, keutuhan (wholeness) dan konservasi. a. Adaptasi Adaptasi adalah proses berubah dan merupakan proses dimana klien memelihara integritas di dalam lingkungan yang nyata baik internal maupun eksternal (Levine dalam Parker, 2005). Karakteristik dari adapatasi yaitu: 1) Historicity Historicity mengandung makna bahwa respon adaptif didasarkan pada riwayat personal dan genetik masa lalu. 2) Specificity Spesifisitas mengandung makna bahwa setiap sistem pada manusia memiliki respon stimulus yang unik dan respon tersebut distimulasi oleh stressor spesifik dalam kehidupan seahari-hari. 3) Redundancy Redundansi mengandung makna jika satu sistem atau jalur tidak mampu beradaptasi, akan ada jalan lain yang melengkapi atau menyelesaikan tugasnya. Redundansi bermanfaat jika tubuh merespon dengan baik, namun kadangkala redundansi dapat merusak, misalnya ketika kondisi autoimun yang menyerang sel tubuhnya sendiri sehingga dapat menyerang jaringan tubuh yang sehat.
Kapasitas seseorang untuk beradaptasi terhadap lingkungan disebut sebagai respon organismik. Respon ini membantu individu dalam melindungi dan mempertahankan integritas mereka.
Respon tersebut
dibagi menjadi empat, yaitu; 1) Fight-flight yang merupakan respon paling primitif, seseorang mempersepsikan mengalami ancaman meskipun ancaman tersebut sebenarnya tidak ada. 2) Respon Inflamasi, merupakan mekanisme pertahanan untuk melindungi diri dari kerusakan lingkungan dan cara untuk meningkatkan penyembuhan.3) Respon stres, merupakan respon yang berkembang menurut waktu, dipengaruhi oleh pengalaman dalam mempersepsikan stressor pada masing-masing individu.
Stres
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
35
mengakibatkan perubahan hormonal yang berpengaruh pada perubahan struktur tubuh. 4) Respon perseptual, mendapatkan informasi dari lingkungan dan mengubahnya menjadi pengalaman yang berarti b. Keutuhan/ wholeness Keutuhan menurut Erikson digambarkan sebaagi suatu sistem yang terbuka. Keutuhan dapat dipertahankan jika terjadi interaksi atau adaptasi yang konstan dengan lingkungan. Keutuhan dapat dicapai jika perawat mampu menerapkan prinsip-prinsip konservasi (Alligood, 2010). c. Konservasi Konservasi
adalah
hasil
dari
adaptasi,
menjaga
bersama-sama
kelangsungan sistem kehidupan, yaitu menjaga keseimbangan antara energi yang didapatkan dengan energi yang dikeluarkan di dalam realitas yang unik dari individu (Alligood, 2010).
2.3.3 Paradigma Keperawatan Metaparadigma
keperawatan
menurut
Alligood
(2010)
dan
www.currentnursing.com, yaitu: a. Manusia Menusia merupakan mahluk holistik yang terus menerus berusaha untuk mempertahankan keutuhan dan integritas. Integritas diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengontrol kehidupannya. b. Lingkungan Lingkungan akan melengkapi keutuhan indivisu. Lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal menggabungkan aspek fisiologis dan psikologis dari individu. Lingkungan eksternal
meliputi
prakonseptual,
operasional
dan
konseptual.
Prakonseptual merupakan aspek yang mampu ditangkap oleh panca indera manusia, diantaranya; cahaya, suhu, suara, sentuhan, perubahan bau dan rasa serta keseimbangan. Lingkungan operasional merupakan unsur yang mungkin secara fisik mempengaruhi individu, namun tidak mampu untuk dirasakan, misalnya radiasi, mikroorganisme dan polutan. Konseptual
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
36
merupakan bagian dari lingkungan, diantaranya adanya keberadaan spiritual, ide-ide nilai, keyakinan dan tradisi. c. Kesehatan Kesehatan dan penyakit merupakan pola perubahan yang adaptif. Kesehatan adalah suatu keutuhan dan keberhasilan proses adaptasi. Tujuan keperawatan yaitu untuk meningkatkan kesehatan dan kesehatan digunakan sebagai jalan kembalinya individu dalam melakukan aktifitas sehari-hari setelah kondisi sakit. Fokus tindakan keperawatan yang dilakukan tidak hanya penyembuhan pada area yang terkena, namun juga untuk mencegah kecacatan lebih lanjut. d. Keperawatan Keperawatan melibatkan adanya interaksi manusia (Levine, 1973). Tujuan keperawatan adalah untuk meningkatkan adaptasi, dan memelihara keutuhan dengan melihat keunikan dari setiap individu. Perhatian pada individu dilakukan sebagai tanggung jawab perawat untuk membantu pasien meningkatkan penyembuhan. Tujuan keperawatan ini dapat dicapai melalui penerapan prinsip-prinsip konservasi.
2.3.4 Prinsip-Prinsip Konservasi a. Konsevasi energi Konservasi energi bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara masukan dan pengeluaran energi untuk menghindari kelelahan berlebihan. Individu membutuhkan keseimbangan energi ini unutk menjaga kelangsungan hidupnya (Leach, 2006; Basavanthappa, 2007). Contoh konservasi energi yaitu meliputi istirahat dan latihan yang cukup, nutrisi adekuat. b. Konservasi integritas struktur Konservasi integritas struktur yaitu memelihara dan memulihkan struktur tubuh dengan mencegah kerusakan fisik dan meningkatkan proses penyembuhan. Misalnya perawat membantu mencegah kerusakan fisik, meningkatkan penyembuhan, mencegah proses penyebaran infeksi, membantu positioning, ROM, membantu personal hygiene
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
37
c. Konservasi intergritas personal Mengakui individu sebagai seseorang yang ingin mendapatkan pengakuan, penghormatan, kesadaran diri dan menentukan nasib sendiri. Konservasi inegritas personal dilakukan dengan memelihara identitas diri, harga diri dan mengakui keunikan klien. Misalnya, mengetahui dan melindungi privasi klien. d. Konservasi integritas sosial Konservasi integritas sosial menekankan keasadaran bahwa pasien adalah mahluk sosial, ia berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sosialnya (Leach, 2006: Basavanthappa, 2007). Perawat berperan membantu pasien dengan menghadirkan anggota keluarga, membantu kebutuhan religious serta menggunakan hubungan interpersonal untuk konservasi integritas sosial (Alligood & Tomey, 2006). Perawat juga dapat membantu mengatur posisi bed pasien agar memudahkan interaksi dengan pasien lainnya, mencegah distraksi dan mengajarkan keluarga hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan pasien (Fawcett, 2005).
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
38
Model konservasi Levine secara umum dapat dijelaskan dalam gambar 2.2 dibawah ini:
Individu
Interaksi
Lingkungan internal
Fisiologi s
Patofisiologis
Konservasi : Integritas energi Integritas struktur Integritas Personal Integritas sosial
Lingkungan eksternal
Persepsi
Operasional
Konseptual
Respon organismik Fight-flight Inflamasi Stres Perseptual
Adaptasi
Keutuhan
Gambar 2.2 Model Konservasi Levine Sumber: Tomey & Alligood, 2007
Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa manusia selalu berinteraksi dengan lingkungan internal yang yang dipengaruhi oleh kondisi fisiologi dan patofisiologi dan lingkungan eksternal yang dipengaruhi oleh persepsi, operasional dan konseptual. Hasil interaksi manusia dengan lingkungan ini akan menghasilkan proses adaptasi yang dapat dilihat dari respon organismik, meliputi fight-flight,
inflamasi,
stres
dan
perseptual.
Perawat
bertujuan
untuk
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
39
meningkatkan adaptasi melalui menerapkan prinsip konservasi; yaitu konservasi integritas energi, struktural, personal dan sosial sehingga keutuhan tercapai.
2.3.5 Proses Keperawatan Menurut Model Konservasi Levine Penerapan model konservasi Levine pada proses keperawatan mencakup proses pengkajian, penetapan diagnosis melalui trophicognosis, menentukan hipotesa, melakukan intervensi serta evaluasi. a.
Pengkajian Pengkajian dilakukan melalui wawancara, pemeriksan fisik dan mencari sumber data pendukung (hasil diagnostik atau pemeriksaan laboratorium). Perawat menilai respon organismik dari pasien dan mengkaji riwayat kesehatan sebelumnya. Pengkajian yang dilakukan bergantung dari aplikasi konservasi yang dilakukan. Pada pengkajian konservasi energi, perawat mengobservasi TTV, kondisi umum pasien, perilaku dan toleransi pasien terhadap aktifitas keperawatan yang dilakukan. Pada pengkajian integritas struktural, perawat mengkaji proses patofisiologis, proses penyembuhan dan pengaruh dari tindakan pembedahan. Pengkajian pada integritas personal mencakup; riwayat kehidupan pasien, menentukan partisispasi pasien dalam membuat keputusan dan mengidentifikasi kesadaran diri pasien. Pengkajian integritas sosial yaitu mengidentifikasi kehidupan sosial pasien,hubungan pasien dengan keluarga, orang terdekat, keterlibatan dalam kegiatan sosial dan budaya (Fawcett, 2005)
b.
Diagnosa keperawatan (Trophicognosis) Setelah melakukan pengkajian, langkah selanjutnya yaitu menyusun diagnosa keperawatan atau trophicognosis. Penyusunan trophicognosis ini didasarkan oleh data hasil observasi, disesuaikan dengan metode ilmiah. Fakta dikumpulkan dan disusun agar dapat memecahkan masalah atau mencari jalan keluar untuk kesulitan pasien.
c.
Hipotesis dan Intervensi Hipotesis merupakan intervensi keperawatan secara langsung dengan tujuan mempertahankan keutuhan dan meningkatkan adaptasi. Perawat melakukan validasi terhadap pasien mengenai masalahnya, selanjutnya membuat
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
40
hipotesis dan solusi mengenai masalah tersebut. Intervensi keperawatan merupakan upaya untuk menguji hipotesis. Perawat mengimplementasikan rencana keperawatan yang disesuaikan dengan kebijakan administratif, tersedianya peralatan dan disesuaikan dengan standar keperawatan. Rencana keperawatan bertujuan untuk meningkatkan adaptasi, disesuaikan dengan prinsip konservasi. d.
Evaluasi Perawat mengevaluasi pengaruh pemberian intervensi dan melakukan revisi pada trophicognosis jika intervensi dirasakan belum sesuai dan perlu perbaikan. Indikator keberhasilan intervensi yang diberikan yaitu dengan melihat respon organismik pasien.
2.3.6 Penerapan Model Konservasi Levine Pada Perawatan Pasien Levine membantu menunjukkan bagaimana keperawatan tersebut dengan mengidentifikasi aktifitas keperawatan yang berdasarkan suatu prinsip keilmuan. Kerangka kerja penerapan prinsip konservasi tidak hanya terbatas digunakan pada perawatan pasien di Rumah Sakit , namun dapat juga diterapkan di lingkungan atau komuitas. Hirschfeld (1976) dalam Tomey & Alligood (2010) telah menggunakan prinsip-prinsip konservasi pada perawatan pasien dewasa. Prinsip-prinsip konservasi juga telah digunakan sebagai kerangka kerja pada beberapa tempat, misalnya di bagian kardiologi, obstetri, gerontologi, neurologi, pediatrik, perawatan pasien yang lama, perawatan gawat darurat, pasien kritis, neonatologi dan pada komunitas (Savage & Culbert, 1989; Schaefer & Pond, 1991 dalam Tomey & Alligood, 2010).
Cooper (1990) dalam Tomey & Alligood (2010) telah
mengembangkan suatu kerangka kerja perawatan luka yang berfokus pada integritas struktural dengan mengintegrasikan seluruh integritas. Demikian juga Leach (2014) yang menerapkan model konservasi untuk mengarahkan praktik perawatan luka.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
41
Penerapan aplikasi model konservasi Levine pada pasien dengan Venous Leg Ulcer digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.3 Penerapan model konseptual Levine pada manajemen luka Sumber: http://www.ids-healthcare.com
Konservasi energi didasarkan keseimbangan energi dimana suatu penyakit akan meningkatkan kebutuhan energi dan peningkatan energi ini dapat diukur melalui tingkat keletihan. Perawat bertujuan untuk mengkonservasi energi pasien dengan mengurangi durasi dari leg ulcer yaitu dengan memilih penanganan luka yang tepat untuk memulihkan integritas kulit dan meminimalkan pengeluaran energi. Untuk mengkonservasi integritas struktural, pemberian terapi kompresi dapat memperbaiki integritas kulit dan vena sehingga proses penyembuhan luka akan meningkat. Kondisi tersebut akan berdampak pada menurunnya pengeluaran energi fisik untuk proses penyembuhan, menurunakan depresi, kecemasan dan citra diri yang negatif, menurunakan isolasi, imobilisasi dan pengeluaran finansial.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
42
Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengkonservasi intergritas struktural berdampak sistemik pada konservasi energi, personal maupun sosial. 2.4 Penerapan Model Konservasi Levine pada Pasien Diabetes Melitus 2.4.1 Pengkajian Pengkajian yang dilakukan pada pasien DM dititikberatkan pada pengkajian pada prinsip konservasi, meliputi pengkajian konservasi integritas energi, konservasi integritas struktural, konservasi integritas personal dan konservasi integritas sosial
2.4.1.1 Konservasi integritas energi a.
Perubahan lingkungan internal Perubahan lingkungan internal mencakup perubahan pada aspek fisiologis dan psikologis yang mempengaruhi keseimbangan energi. Pengkajian ini meliputi; pernafasan, oksigenasi, sirkulasi, nutrisi, aktifitas dan istirahat, fungsi neurologis dan fungsi endokrin.
1).
Pernafasan, oksigenasi dan sirkulasi Pasien diabetes yang mengalami komplikasi, terutama ketoasidosis diabetic (KAD) dan komplikasi jantung dapat mengalami masalah pada pernafasan, oksigenasi dan sirkulasi. Pada pasien KAD dapat ditemukan adanya pernafasan kusmaul sebagai kompensasi dari asidosis metabolik yang terjadi. Dislipidemia yang menyertai diabetes dapat mengakibatkan terjadinya
penyumbatan
pembuluh
darah
pada
jantung sehingga
menurunkan sirkulasi darah pada tubuh. Aterogenesis yang terjadi di tungkai dapat mengakibatkan terjadinya PAD, sehingga menurunakan sirkulasi darah ke perifer. Perawat perlu mengkaji TTV, saturasi oksigen,AGD dan ABI 2).
Nutrisi Resistensi insulin dan obesitas merupakan penyebab DM Tipe 2. Perawat perlu mengkaji adanya obsesitas serta adanya lipolisis yang menyertai DM mengakibatkan penurunan cadangan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan. Perawat perlu mengkaji adanya penurunan berat badan dan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
43
antopometri pada pasien DM. Penilaian IMT pada pasien bertujuan untuk menghitung kebutuhan kalori yang dibutuhkan pasien. Hal lainnya yang dperlu dikaji yaitu tanda-tanda anemia, hasil lab Hb, albumin, dislipidemia. Adanya komplikasi gastroparesis menimbulkan gangguan intake nutrisi. Perawat perlu mengkaji tanda-tanda gastroparesis pada pasien DM, seperti mual, muntah, perasaan kenyang, kembung, distensi abdomen. 3).
Cairan dan elektrolit Pada pasien DM yang mengalami komplikasi nefropati, terlebih lagi pada pasien yang menjalani HD pengkajian status cairan sangat penting dilakukan. Pasien DM juga mengalami gangguan pada elektrolit, diantaranya
Natrium,
Kalium
dan
magnesium.
Perawat
perlu
mengobservasi adanya perubahan pada nilai elektrolit kerena perubahan ini berpengaruh pada metabolisme dan fungsi tubuh. 4).
Aktifitas dan istirahat Kelemahan/ fatigue yang menyertai DM dapat mempengaruhi aktifitas pasien. Kelemahan yang terjadi
umumnya akibat penurunan Hb dan
gangguan elektrolit. Perawat juga perlu mengkaji tingkat aktifitas yang mampu dilakukan pasien dan mencari penyebab adanya gangguan isirahat pada pasien. 5).
Fungsi neurologis Kondisi KAD, hipoglikemia maupun keadaaan sepsis yang menyertai DM akan mengakibatkan perubahan fungsi neurologis. Pasien akan mengalami penurunan kesadaran bahkan dapat menimbulkan kerusakan otak permanen. Adanya neuropati perifer pada pasien DM dapat dikaji melalui pemeriksaan menggunakan monofilament. Neuropati otonom dapat diketahui dari penurunan distribusi rambut pada kaki, kulit kaki yang kering. Neuropati motorik dapat dilihat dari perubahan bentuk kaki.
6).
Fungsi endokrin Pada semua pasien DM wajib dilakukan pemeriksaan HbA1c dan pemeriksaan C-peptide pada pasien yang dicurigai menderita DM Tipe 1. Perawat juga perlu mengkaji nilai gula darah pasien.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
44
b. Perubahan lingkungan eksternal Perubahan lingkungan eksternal yang mempengaruhi integritas energi meliputi adanya riwayat penyakit dahulu seperti stroke, hipertensi, gangguan pernafasan, gangguan jantung. Riwayat pengobatan yang pernah diterima, gaya hidup pasien sebelumnya, misalnya suka makanan junk food, merokok, minum alkohol yang dapat
mempengaruhi keadaan
sakitnya saat ini. Adanya riwayat penyakit keluarga yang menderita DM, hipertensi ,jantung juga perlu dikaji.
2.4.1.2 Konservasi integritas struktural a.
Perubahan lingkungan internal mencakup perubahan pada aspek fisiologis dan psikologis yang mempengaruhi struktur tubuh serta hal-hal yang berkaitan dengan proses penyembuhan.
1)
Eliminasi Adanya gastroparesis yang menyertai DM, gangguan elektolit terutama kalium berpengaruh pada eliminasi. Pasien dapat mengalami konstipasi maupun diare yang mengakibatkan ketidaknyamanan, sehingga perawat perlu mengkaji adanya gangguan eliminasi pada pasien DM.
2)
Sensori persepsi Perubahan lingkungan internal pada integritas struktur meliputi adanya perubahan pada sensori persepsi. Data yang ditemukan meliputi adanya penurunan pengelihatan akibat retinopati
3)
Integumen Adanya neuropati perifer dan trauma mengakibatkan pasien berisiko mengalami luka pada kaki. Pengkajian lainnya yaitu adanya berubahan bentuk kaki akibat neuropati motorik, kaki kering dan pertumbuhan rambut kaki yang menipis akibat neuropati otonom serta adanya infeksi.
b.
Perubahan lingkungan eksternal Pengkajian pada perubahan lingkungan eksternal meliputi adanya riwayat luka sebelumnya, perawatan luka selama dirumah, manajemen nutrisi dan latihan fisik.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
45
2.4.1.3 Konservasi integritas personal a.
Perubahan lingkungan internal Pengkajian integritas personal meliputi pengkajian pada konsep diri, yang meliputi citra tubuh, harga diri, ideal diri dan identitas diri. Pasien diabetes, terutama yang telah
mengalami komplikasi diabetes, seperti
retinopati ataupun luka/amputasi akan memberikan dampak psikologis pada pasien, terutama jika pemenuhan kebutuhan dasarnya tergantung dengan orang lain. Pengkajian yang dapat dilakukan meliputi: menanyakan bagaimana perasaan pasien akan kondisi sakitnya saat ini, apakah pasien merasa dihargai, apa harapan pasien terhadap hidupnya sekarang, bagaimana pasien melihat kondisi fisiknya saat ini. Perawat juga dapat mengkaji
nilai
dan
kepercayaan
pasien
terhadap
pola
penerimaan/penolakan terhadap kondisinya. b.
Perubahan lingkungan eksternal Pengkajian perubahan lingkungan eksternal meliputi pengkajian terhadap pandangan keluarga atau orang terdekat mengenai kondisi fisik yang mempengaruhi konsep diri pasien, bagaimana mereka menjadi pendengar bagi pasien dan selalu memberikan dukungan pada pasien selama perawatan. Status pernikahan saat ini,apakah pasien duda/janda, hubungan dengan suami/istri juga mempengaruhi konsep diri pasien.
2.4.1.4 Konservasi integritas sosial a.
Perubahan lingkungan internal Pengkajian lingkungan internal dapat dikaji melalui bagaimana hubungan pasien dengan orang lain, keluarga serta masyarakat. Perawat dapat mengkaji bagaimana hubungan pasien dengan pasien lainnya yang sekamar, bagaimana pasien berpartisipasi untuk penyembuhan melalui hubungannya dengan perawat, dokter atau petugas kesehatan lainnya. Pengkajian lainnya yaitu bagaimana pekerjaan pasien selama ia sakit, bagaimana pemenuhan religius pasien selama ia sakit.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
46
b.
Perubahan lingkungan eksternal Pengkajian lingkungan eksternal meliputi dukungan yang diperoleh pasien dari suami/istri, keluarga, orang terdekat ataupun masyarakat selama ia sakit dan gangguan yang terjadi selama ia berinteraksi dengan orang lain.
2.4.2 Diagnosa Keperawatan (Trophicognosis) Model
konservasi
Levine
keperawatan/trophicognosis
pada
tidak pasien
menjelaskan DM,
sehingga
diagnosa diagnosa
keperawatan yang dimunculkan disesuaikan dengan hasil pengkajian sesuai dengan keempat prinsip konservasi, yaitu pengkajian pada konservasi integritas energi, struktural, personal dan sosial yang mengacu pada NANDA (2012). a.
Konservasi Integritas Energi Diagnosa keperawatan yang muncul pada pengkajian integritas energi yaitu; gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan ventilasi dan perfusi,
risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor risiko
dislipidemia, DM dan hipertensi, risiko ketidakseimbangan elektrolit dengan faktor risiko gangguan mekanisme regulasi pada DM, kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi,ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan adanya sumbatan aterogenesis, risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif, status hipermetabolik atau proses infeksi, keletihan berhubungan dengan penurunan energi metabolik. b.
Konservasi Integritas Struktural Diagnosa keperawatan yang muncul pada integritas struktural yaitu; risiko ketidakefektifan perfusi ginjal dengan faktor risiko hipertensi, kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan agen injuri fisik, neuropati perifer dan infeksi, risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas, gangguan sensori persepsi: pengelihatan b.d adanya komplikasi retinopati.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
47
c.
Konservasi Integritas Personal dan Sosial Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada integritas personal dan sosial yaitu ketidakberdayaan berhubungan dengan regimen penyakit akibat gangguan fisik dan ketergantungan terhadap orang lain.
2.4.3 Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan yang dilakukan harus berdasarkan hipotesis yang akan memberikan arahan dalam menetapkan intervensi keperawatan untuk meningkatkan adaptasi dan menjaga keutuhan. Hipotesis ini merupakan kriteria hasil yang ditetapkan dan intervensi keperawatan yang dilakukan pada pasien DM mengacu pada NIC (2008) yaitu: a.
Intervensi konservasi energi Intervensi yang mencakup konservasi integritas energi yaitu; respiratory monitoring pada gangguan pertukaran gas, manajemen elektrolit untuk mengatasi gangguan ketidakseimbangan elektrolit, energy management pada masalah keletihan, manajemen shock cardiac untuk masalah risiko penurunan perfusi jantung. Untuk mengatasi masalah ketidakefektifan perfusi jaringan perifer, NIC yang dilakukan yaitu peripheral sensasion management dan foot care. Intervensi untuk risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah yaitu manajemen hiperglikemia dan manajemen hipoglikemia serta terapi nutrisi untuk masalah gangguan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
b.
Intervensi konservasi struktural NIC yang mencakup konservasi integritas struktural yaitu wound care dan infection control untuk masalah risiko infeksi dan kerusakan integritas jaringan, fall prevention untuk masalah risiko cidera
c.
Intervensi konservasi personal dan sosial NIC yang mencakup konservasi integritas personal dan sosial akibat ketidakberdayaan, keputusasaan dan harga diri rendah yaitu hope inspiration dan self esteem enhancement.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
48
2.4.4 Evaluasi Keperawatan Evaluasi keperawatan berdasarkan Levine yaitu dilihat dari respon organismik yang dihasilkan pasien dengan hasil baik atau supportive dan tidak berhasil atau unsupportive. Evaluasi dikatakan berhasil jika terjadi peningkatan perubahan perilaku sehat dan memberi kenyamanan pada pasien, sedangkan dikatakan tidak berhasil jika kondisi pasien semakin memburuk sehingga perlu dilakukan pengkajian ulang (Fawcett, 2005).
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
BAB 3 PENERAPAN MODEL KONSERVASI LEVINE PADA ASUHAN KEPERAWATAN 31 PASIEN DENGAN DIABETES MELITUS
Pada BAB ini akan diuraikan apikasi peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan teori model konservasi Levine. Penerapan teori model ini dalam suatu asuhan keperawatan mengacu pada rangkaian proses keperawatan yang dimulai dari pengkajian hingga evaluasi. Pengkajian keperawatan dilakukan melalui proses observasi dan pengumpulan data yang bisa diperoleh baik dari pasien, keluarga atau orang lain yang memiliki hubungan dengan pasien, hasil pemeriksaan laboratorium maupun dari riwayat medis sebelumnya. Perawat juga menggunakan pengkajian yang sesuai dengan model konservasi ini yang meliputi pengkajian integritas energi, srtuktur, personal dan sosial.
Perawat
melakukan
pengkajian
konservasi
energi
dengan
menentukan
kemampuan pasien untuk melakukan aktifitas tanpa memperlihatkan kelelahan. Pada pengkajian konservasi struktur, perawat mengkaji fungsi fisik dari pasien sedangkan pada pengkajian konservasi personal pengkajian dilakukan dengan melihat nilai moral dan etik, konsep diri serta pengalaman hidup pasien. Perawat juga melakukan pengkajian konservasi integritas sosial dengan menilai dukungan dan peran serta keluarga, teman dan lingkungan dalam perawatan pasien. Penerapan aplikasi teori Levine dalam asuhan keperawatan pasien DM dijabarkan sebagai berikut:
3.1. Gambaran umum kasus 3.1.1
Pengkajian
a. Identitas klien Nama
: Ny N
Umur
: 50 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
49
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
50
Pendidikan
: Tamat SD
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Status Perkawinan
: Menikah
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Kebon Nanas Selatan Cipinang
Cempedak Jatinegara, Jakarta Timur Tanggal Masuk Rumah Sakit (MRS) : IGD 25/3/2014 pukul 21.56 WIB Tanggal Pengkajian
Pindah ke 715 C tgl 26/3/2014 pukul 17.30 : 28/3/2014
Waktu pengkajian
: 10.00
Diagnosa medis
: DM tipe 2, post amputasi digiti V dan
debridement digiti III. b. Keluhan utama: Nyeri pada kaki kiri skala 3 sejak 1 minggu yang lalu c. Riwayat Kesehatan Sekarang Pasien datang ke IGD RSCM dengan keluhan utama saat itu bengkak di kaki kiri, terutama pada jari kelingking sejak 2 minggu Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS). Tidak diketahui penyebab luka dan luka tidak didahului adanya trauma. Awalnya jari terasa nyeri, makin lama makin makin membengkak, kemerahan dan timbul luka yang semakin membesar. Hasil rontgen pedis: tidak ditemukan adanya tanda kelainan tulang pada pedis sinistra. Digiti V tampak kehitaman, selanjutnya tanggal 26/3/2014 pasien dilakukan amputasi digiti V dan debridement digiti III. Hasil lab selama di IGD: GDS 593 mg/dL, keton 0.1 mmol/L (0.0-0.6), albumin 3.0 g/dL(3.44.8) globulin 3.4, SGOT 10 U/L (< 27), SGPT 4 U/L (< 34), Ureum 10 mg/dL (< 50), creatinin darah 1.0 mg/dL (0.6-1.2). Hasil Analisa Gas Darah= pH 7.42 (7.35-7.45), pCO2 24 (35-45), pO2 110 (75-100), HCO3 18.3 (2125), saturasi O2 98% (95-98), D-dimer 300 µg/dL (0-300), fibrinogen 701 mg/dL (136-384), APTT 22/31 dtk (31-47), PT 9/11 dtk (9.8-12.6). DPL= Hb 12.1 g/dL (12-15), Ht 34% (36-46), Leukosit 12.500/µL (5000-10.000), Trombosit 321.000/ µL (150.000-400.000). Elektrolit= Na 135 mEq/L (132-
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
51
147), K 3.9 mEq/L (3.3-5.4), Cl 94 mEq/L (94-111). Terapi yang diberikan selama di IGD yaitu ampicillin sulbactam 4x1.5 gram, paracetamol 3x500 mg, OMZ 1x40 mg, captopril 3x25 mg, simvastatin 1x20 mg, tramadol 3x100 mg. Cairan parenteral NS 0.9% 500 cc/8 jam, drip insulin 50 unit dalam NS 0.9% 50 cc 1 unit/jam, correctional dose kelipatan 5 unit. Tanggal 26/3/14 pukul 17.30 pasien dipindahkan ke ruang 715C untuk perawatan selanjutnya. Kondisi pasien saat dipindahkan yaitu kesadaran compos mentis, TD 130/70 mmHg, N=80, S=37, RR=18, dengan keluhan nyeri di kaki skala 2. Pasien terpasang cairan parenteral NS 0.9% 500 cc/8 jam, drin insulin 0.5 unit/jam dan kadar glukosa darah 254 mg/dL. Masalah keperawatan yang muncul saat itu yaitu ketidakstabilan kadar glukosa darah, risiko perluasan infeksi dan nyeri akut.
d. Riwayat Kesehatan Sebelumnya Pasien didiagnosis DM sejak 3 tahun yang lalu. Kontrol tidak teratur di klinik dekat rumah karena merasa tubuh telah sehat dan tidak ada yang mengantar. Pasien mendapat obat glimepirid, dosis tidak diketahui. Gula darah saat kontrol 300-400 an. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun yang lalu, kontrol tidak teratur. Riwayat alergi/asma, TB disangkal. Ibu pasien meninggal karena stroke.
3.1.1.1
Pengkajian konservasi integritas energi
Perawat melakukan pengkajian konservasi energi dengan menentukan kemampuan pasien untuk melakukan aktifitas tanpa memperlihatkan kelelahan. Perawat mengkaji adanya interaksi antara pasien dengan lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal. a.
Perubahan lingkungan internal 1) Oksigenasi, pernafasan dan sirkulasi Kesadaran pasien compos mentis, konjungtiva tidak anemis, tidak tampak tanda sianosis pada bibir
maupun kuku. CRT 4 detik. Akral dingin.
Tekanan darah = 150/80 mmHg, N=88x/mnt, S= 37.3°C, RR=20 x/mnt. JVP 5-2 cmH2O
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
52
Paru: suara nafas vesikuler/vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-) Jantung : bunyi jantung S1S2 tunggal, reguler, murmur/gallop tidak ada EKG: SR, HR rate 90 , T wave normal, ORS int 0.08 s, ST-T change (-), RVH (-), LVH (-), BBB (-). Ecchocardiografi tanggal 18/4/2014: global normokinetik, fungsi sistolik Left Ventrikel (LV) dan Right Ventrikel (RV) baik. Hasil laboratorium tanggal 27/3/2014: hasil pemeriksaan AGD= pH 7.372 (7.35-7.45), pCO2 42.5 mmHg(35-45), pO2 84.3 mmHg (75-100), HCO3 25 mmol/L (21-25), Total CO2 26.3 mmol/L (21-27),Base Excess 0.2 mmol/L (-2.5-+2.5), O2 saturasi 95.6% (95-98). Hb 11.9 g/dL (12-15). Hasil pemeriksaan trigliserida 120 mg/dL (< 150), kolesterol LDL 127 mg/dL (< 100), kolesterol HDL 47 mg/dL (≥ 40) dan kolesterol total 230 mg/dL (120-200). Pasien mengeluh kaki kiri terasa nyeri skala 3, baal dan kesemutan.
Berdasarakan data diatas masalah integritas energi terjadi akibat nyeri yang ditimbulkan oleh adanya penurunan sirkulasi ke bagian perifer dan pasien berisiko untuk terjadinya masalah pernafasan akibat saturasi O2 yang berada pada rentang borderline.
2) Nutrisi Pasien mengatakan mengalami penurunan berat badan sekitar 10 kg dalam 6 bulan terakhir. Nafsu makan menurun, hanya habis ¼ porsi karena mual dan tidak nafsu makan karena perut terasa kenyang. Pasien mengatakan tidak suka dengan ayam, kecuali ayamnya digoreng. Berat Badan (BB)= 58 kg, Tinggi Badan (TB)= 156 cm, Indeks Masa Tubuh (IMT) = 23.8 (BB lebih), LLA=24.5 cm Berat Badan Ideal (BBI)= (156-100) x 90%= 50,4 kg. Tidak ada riwayat alergi makanan.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
53
Penghitungan kalori: Kebutuhan basal
: BBI x 25 kkal= 50.4x25= 1260
Koreksi: Usia
- 5% x 1260= 63
Aktifitas
+ 10% x 1260= 126
Stres
+ 30% x 1260= 378
BB
- 20% x 1260 = 252 === 1449 1500 kkal
Pasien mendapat 3 kali makan besar dan 2 kali makan selingan. Extra telur 3 butir/hr. Hasil laboratorium tanggal 27/3/2014, Hb 11.9 g/dL (12-15) dan albumin 3.0 g/dL(3.4-4.8) tanggal 26/3/2014.
Berdasarakan data diatas masalah integritas energi dapat terjadi akibat penurunan asupan makan pasien.
3) Cairan dan elektrolit Mukosa bibir lembab, turgor kulit baik. Berdasarkan hasil penghitungan balans cairan, didapatkan total input 2600 cc yang berasal dari cairan oral 1100 cc dan infus 1500 cc. Total output didapatkan 2400 cc yang berasala dari urin 1700 cc, IWL 600 cc, feses 100 cc, sehingga keseimbangan cairan didapatkan kelebihan 200 cc.
Saat ini pasien mendapat terapi IVFD NS 0.9%/ 8jam. Hasil lab Elektrolit= Na 139 mEq/L (132-147), K 4.31 mEq/L (3.3-5.4), Cl 96 mEq/L (94-111). Magnesium 1.56 mg/dL. Hasil lab tanggal 3/4/2014: Kalium 2.88 mEq/L, Natrium 121 mEq/L, Klorida 86.4 mEq/L dan pasien mengeluh lemas.
Berdasarakan data diatas masalah integritas energi dapat terjadi akibat adanya gangguan elektrolit.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
54
4) Aktifitas dan istirahat Pasien tampak sering berbaring di tempat tidur, jarang terlihat duduk. Ia memerlukan bantuan jika ingin duduk. Pasien mengatakan tidur kurang nyenak karena nyeri pada kaki kiri. Skala nyeri 3. Keluhan pusing disangkal. Untuk pemenuhan kebutuhan dasar seperti mandi, makan, berganti baju memerlukan bantuan orang lain, yaitu perawat atau keluarga pasien.
Pengkajian penilaian fungsional pasien dengan menggunakan
barthel index didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 3.1 Penilaian fungsional menggunakan Barthel Index No 1 2 3
Penilaian Mengendalikan rangsang BAB Mengendalikan rangsang BAK Membersihkan diri (cuci muka, sisir rambut, sikat gigi) 4 Penggunaan jamban, masuk dan keluar (melepaskan, memakai celana, membersihkan, menyiram) 5 Makan 6 Berubah sikap dari berbaring ke duduk 7 Berpindah/berjalan 8 Memakai baju 9 Naik turun tangga 10 Mandi Skor total Sumber: Penilaian Bartel Index RSCM
Sebelum masuk RS Mandiri=2 Mandiri=2 Mandiri=1
Saat masuk RS Mandiri=2 Pakai kateter=0 Mandiri=1
Mandiri=2
Butuh pertolongan pada beberapa kegiatan= 1
Mandiri=2 Mandiri=3
Mandiri=2 Perlu bantuan 1 orang=2
Mandiri=3 Mandiri=2 Mandiri=2 Mandiri=2 21
Tidak mampu =0 Sebagian dibantu=1 Tidak mampu=0 Tergantung orang lain=0 9
Berdasarkan penilaian status fungsional tersebut pasien dikategorikan kedalam tingkat ketergantungan sedang (skor 9-11). Untuk penilaian risiko jatuh, pasien dikategorikan berisiko rendah, yaitu memiliki skor 40 (25-50). Pengkajian risiko jatuh tersebut meliputi: riwayat jatuh 3 bulan terakhir (tidak=0), diagnosis medis sekunder (Ya=15), alat bantu jalan(bed rest= 0), menggunakan infus (ya=25), cara berjalan/berpindah (bed rest, imobilisasi= 0), status mental (orientasi sesuai kemampuan diri=0). Penilaian risiko dekubitus menggunakan skala norton. Penilaian pengkajian menggunakan skala norton ini yaitu: kondisi fisik= sedang (3), status mental sadar (4), aktifitas di tempat tidur (1), mobilitas agak terbatas (3), inkontinensia
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
55
urin=2. Total skor yaitu 13 dan dikategorikan dalam risiko sedang untuk terjadinya luka dekubitus.
Berdasarakan data diatas masalah integritas energi dapat terjadi akibat menurunnya status fungsional.
5)
Fungsi neurologis
Pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Orientasi terhadap waktu, tempat dan orang baik. Pasien mengeluh terasa baal dan kadang kesemutan
pada
kedua
kaki.
Berdasarkan
pengkajian
neuropati
menggunakan monofilament didapatkan pasien mengalami neuropati sensorik pada kedua kaki. Pasien juga mengalami neuropati otonom, yaitu kulit kaki terlihat kering, kalus minimal pada telapak kaki dan bulu rambut kaki yang menipis. Pasien juga mengalami neuropati motorik berupa perubahan bentuk jari kaki, yaitu claw toe. Pada pemeriksaan kekuatan otot didapatkan kekuatan otot pada kedua tangan baik dengan skor 5 yaitu pasien mampu mengangkat dan menahan gravitasi maupun tahanan secara maksimal. Pada ekstremitas bawah, untuk kaki kanan, pasien juga mendapatkan skor 5, sedangkan kekuatan otot untuk kaki kiri sulit dinilai, karena pasien mengeluh nyeri saat kaki digerakkan.
6) Fungsi endokrin Hasil gula darah pasien saat masuk IGD yaitu 593 mg/dL. Pemeriksaan HbA1c tanggal 27/3/2014 yaitu 9.4%. Hasil pemeriksaan glukosa darah yang dilakukan setiap hari sebelum makan yaitu:
Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Glukosa Darah Ny N No
Tanggal
Waktu pemeriksaan Sebelum Sebelum makan siang makan malam 294 90
1
26 Maret 2014
Sebelum makan pagi 240
2
27 Maret 2014
104
332
278
3
28 Maret2014
198
328
169
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
56
Berdasarkan hasil gula darah diatas dapat dilihat bahwa nilai glukosa darah tidak stabil dan masih bervariasi. Pasien mendapatkan terapi drip insulin 1 unit/jam dan correctinal dose insulin humalog kelipatan 5 unit. Pasien mengeluh lemas. Berdasarakan data diatas masalah integritas energi dapat terjadi akibat glukosa darah yang tidak stabil.
b.
Perubahan lingkungan eksternal
Riwayat kesehatan keluarga yaitu ibu pasien meninggal karena stroke dan saudara kandung pasien juga mengalami DM. Pasien memiliki riwayat suka makan gorengan dan makanan yang bersantan. Salah satu alasan pasien tidak kontrol yaitu tidak adanya keluarga yang mengantar karena sibuk.
3.1.1.2
Konservasi integritas struktural
Pengkajian pada integritas struktural meliputi pengkajian pada struktur tubuh, melihat adanya kerusakan fisik dan upaya untuk meningkatkan proses penyembuhan. a. Perubahan lingkungan internal Perubahan lingkungan internal pada konservasi integritas struktur mengacu pada komplikasi mikrovaskuler dan makovaskuler yang terjadi. Pada komplikasi mikrovaskuler yaang terkait retinopati, pasien mengeluh pandangan mata agak kabur pada kedua mata terutama mata kiri . Saat ini pasien tidak menggunakan alat bantu baca. Hasil konsul mata didapatkan moderate Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) mata kiri, mild NPDR mata kanan, katarak senilis pada kedua mata. Direncanakan konsul poli retina RSCM jika sudah acc rawat jalan.
Pasien mengatakan sudah BAB hari, warna kuning, lembek, tidak ada darah maupun lendir.
Keluhan tidak ada. Pasien menggunakan foley
cateter,tanggal pemasangan cateter 25/3/14. Hasil lab ureum 22 mg/dL (< 50), creatinin darah 0.9 mg/dL (0.6-1.2), eGFR 74.8 mL/min/l.73m² (78116).
Untuk
mengetahui
adanya
komplikasi
nefropati,
dilakukan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
57
pemeriksaan mikroalbuminuria sewaktu, hasilnya yaitu 4493 mg/g (makroalbuminuria) kreatinin urin 86.8 mg/dL (mikroalbuminuria). Pada pengkajian urin lengkap tanggal 18/4/2014 didapatkan hasil sebagai berikut: protein 2+. Komplikasi selanjutnya yaitu neuropati. Pada pengkajian neuropati sensoris menggunakan monofilamen 10 gram didapatkan data bahwa pasien tidak merasakan adanya sensasi pada semua bagian, sehingga pasien mengalami neuropati sensoris bilateral. Pada pemeriksaan neuropati otonom dapat dilihat adanya kulit yang kering dengan kalus minimal pada plantar pedis dan menipisnya bulu rambut. Pasien juga mengalami perubahan bentuk kaki. Secara umum, gambaran kaki pasien dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 3.3 Status Kaki Diabetik Kaki kanan Ya Tidak
Kaki kiri Ya
Kulit Kaki Kering/bersisik √ Tumit pecah-pecah √ Bulu rambut menipis √ Tinea pedis √ Kalus √ Korn √ Hiperpigmentasi √ Edema √ Healed ulcer √ Kuku Kaki Menebal √ Infeksi √ Perubahan warna √ Rapuh √ Ingrowing nail √ Atrofi √ Lain-lain (jamur) √ Telapak kaki Hallux valgus √ Pes planus √ Charcot foot √ Jari kaki Hammer toe √ Claw toe √ Hiperekstensi (cocked up) √ Maserasi interdigiti √ Amputasi digiti √ Sumber: World Diabetes Foundation & PERKENI
Tidak
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
58
Pasien mengeluh nyeri skala 3 pada kaki kiri. Status lokalis kaki: Pulsasi
:
Arteri
Kanan
kiri
Femoralis
++
++
Poplitea
++
++
Dorsalis pedis
++
+
Tibialis Posterior
++
+
ABI= 0.94/0.83 Extent
:
post amputasi digiti V dan debridement digiti III
Depth
:
Dasar jaringan tampak nekrotik otot
Infection
:
Pus (+)
Sensibility
:
Berkurang dengan pemeriksaan monofilamen pada 3 titik di kaki kanan serta 2 titik kaki kiri. Akral kedua kaki dingin.
Pasien juga mengalami keluhan gastroparesis, seperti mual, penurunan nafsu makan dan perasaan cepat kenyang. Porsi makan yang mampu dihabiskan pasien yaitu ¼ porsi. Pasien juga mengalami infeksi yang dapat dilihat dari adanya pus pada luka, kenaikan leukosit yaitu 12.480/µL (500010.000), prokalsitonin 17.62 ng/ml (<0.1), Laju Endap Darah 118 mm (020), CRP 430.39 mg/L (0-3). Berdasarkan data diatas, masalah integritas struktural yang terjadi yaitu telah timbulnya komplikasi DM berupa nefropati, retinopati, neuropati, dan adanya infeksi yang berisiko untuk terjadi sepsis.
b. Perubahan lingkungan eksternal Pasien memiliki riwayat DM sejak 3 tahun, kontrol tidak teratur. Pengetahuan pasien mengenai diabetes dan perawatan kaki diabetes juga masih kurang. Pasien mengatakan tidak tahu penyebab luka, tiba-tiba jari kelingking kaki kiri sudah bengkak. Selama dirumah ia pernah menggunakan alas kaki yang ada tonjolan, dikatakan oleh tetangga dapat meningkatkan aliran darah karena kaki sering kesemutan. Pasien juga mengatakan tidak mau makan ikan karena lukanya akan sulit sembuh. Selama di rumah, pasien mengatakan suka makan gorengan dan makanan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
59
yang bersantan serta jarang melakukan aktifitas fisik. Dirumah pasien pernah merasa lemas dan keluar keringat dingin.
3.1.1.3
Konservasi integritas personal
Pengkajian pada integritas personal dilakukan dengan mengidentifikasi konsep diri,harga diri, citra tubuh, harapan, moral dan etik pasien. a. Perubahan lingkungan internal Pasien mengeluh kenapa ia harus menderita sakit seperti ini. Pasien terlihat menangis sehari sebelum amputasi dilakukan, ia mengatakan sangat sedih saat kakinya akan diamputasi lagi. Pasien juga mengatakan ia tidak malu dengan kondisi kakinya saat ini, namun ia bertanya mampukah dia merawat cucunya lagi sekembalinya dari RS dengan kondisi yang seperti itu. Ia juga mengatakan dengan kondisinya ini ia akan merepotkan banyak orang. Pasien berharap segera diberi kesembuhan agar segera pulang dan bertemu dengan cucunya. Masalah yang muncul pada pasien terkait integritas personal yaitu ketidakberdayaan dan harga diri rendah situasional.
b. Perubahan lingkungan eksternal Pasien adalah seorang ibu rumah tangga dan setiap hari ia menjaga 2 cucunya. Selama di RS, pasien dijaga oleh suami, anak dan menantu secara bergantian dan terlihat suaminya sangat sabar dan perhatian padanya. Suami juga selalu memberikan semangat agar istrinya tetap tabah dan ia juga ikut terlibat selama perawatan pasien di RS.
3.1.1.4
Konservasi integritas sosial
Pengkajian integritas sosial menilai hubungan ataun interaksi pasien dengan orang lain dan lingkungan sosialnya. a. Perubahan lingkungan internal Saat di RS, pasien terlihat mampu berinteraksi dengan pasien lainnya yang satu kamar dengannya, dengan perawat maupun dokter yang merawatnya. Pasien kooperatif terhadap rencana perawatan yang dilakukan padanya.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
60
Pasien beragama islam dan selama dirawat di RS ia selalu berdoa agar diberi kesembuhan. Pasien mengatakan sakit yang ia alami adalah ujian dari Allah dan ia percaya bahwa sakit tersebut murni karena penyakit medis yang tidak ada hubungannya dengan masalah mistis. b. Perubahan lingkungan eksternal Pasien sering terlihat dikunjungi oleh keluarga terdekat dan tetangganya di rumah. Mereka memberikan motivasi dan semangat untuk kesembuhan pasien.
Berdasarkan data diatas, tidak ditemukan adanya masalah pada integritas sosial, pasien mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan internal dan eksternal yang terjadi.
3.1.2
Diagnosa Keperawatan (Trophicognosis)
a. Konservasi integritas energi 1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif, status hipermetabolik atau proses infeksi. 2) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan adanya stenosis 3) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor risiko dislipidemia, DM dan hipertensi. 4) Risiko ketidakseimbangan elektrolit dengan faktor risiko gangguan mekanisme regulasi pada DM. b. Konservasi integritas struktural 1) Risiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM 2) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi atau misinterpretasi informasi. c. Konservasi integritas personal 1) Ketidakberdayaan berhubungan dengan gangguan fisik
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
61
2) Harga diri rendah situasional berhubungan dengan ketergantungan terhadap orang lain. d. Tidak ada masalah dengan integritas sosial
3.1.3
Rencana Asuhan Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan yang dilakukan disesuaikan dengan tujuan (NOC) dan intervensi keperawatan (NIC) yang dijabarkan dalam lampiran 1.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
62
3.1.4 Pelaksanaan dan Evaluasi Pada diagnosa keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan perifer, intervensi yang dilakukan yaitu upaya untuk meningkatkan perfusi ke jaringan distal melalui ankle pump exercise terutama pada kaki kanan, memposisikan kaki dependen disamping tempat tidur selama 10 menit pada kaki kiri. Tindakan farmakologis yang diberikan untuk meningkatkan sirkulasi yaitu dengan pemberian obat cilosatzol, simvastatin dan heparin. Untuk mengatasi nyeri, tidakan keperawatan yang telah dilakukan yaitu mengajarkan dan memotivasi pasien melakukan relaksasi nafas dalam dan pemberian tindakan farmakologi. Adanya keluhan nyeri yang makin hebat dari skala 3 hingga skala 6 meskipun telah dilakukan upaya farmakologi dengan pemberian tramadol, dirasakan tidak memberikan manfaat yang cukup signifikan, bahkan proses penyembuhan luka pun tidak sesuai dengan harapan dan luka cenderung menjadi nekrotik. Tanggal 1/4/14 dilakukan pemeriksaan USG Doppler dengan hasil arteri femoralis sinistra diameter 6 mm, PS 103.9 cm/s. Volflow 138.1 ml/min, trifasik, IMT 0.7 mm; arteri poplitea sinistra diameter 6.6 mm, PS 37.7 cm/s, Volflow 57.9 ml/min, trifasik, IMT 0.8 mm; arteri tibialis posterior diameter 1.7 mm, pS 5.1 cm/s, volflow 3.9 ml/min, bifasik, IMT tidak dapat dinilai; arteri dorsalis pedis sinistra tidak dapat dinilai. Tanggal 4/4/2014 pasien dilakukan amputasi digiti III dan IV pedis sinistra. Selanjutnya tanggal 15/4/2014 dilakukan arteriografi. Hasil: tampak stenosis > 50% di 1/3 medial a.tibialis anterior kiri dan stenosis > 50% di 1/3 proksimal a. Tibialis posterior kiri, tidak tampak a.peroneal kiri. Tanggal 16/4/2014 pasien dilakukan amputasi below knee limb sinistra dan pemeriksaan ABI dilakukan kembali tanggal 23/4/2014 yaitu ABI dextra 0.76 dan ABI sinistra 1.059 yang diambil dari pengukuran arteri poplitea sinistra.
Pada diagnosa keperawatan ketidakstabilan kadar glukosa darah intervensi yang telah dilakukan yaitu dengan menilai nilai gula darah harian pasien, memantau porsi makan yang mampu dihabisakan, menganjurkan pasien makan sedikit tapi sering saat pasien mendapat terapi drip insulin,
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
63
mengurangi gejala gastroparesis dengan meminta pasien duduk 1-2 jam setelah makan, berkolaborasi dengan ahli gizi untuk perencanaan makan pasien dan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin. Nilai glukosa darah pasien tidak stabil selama kurang lebih 3 minggu perawatan dan selama masa itu pemberian insulin dilakukan melalui pemberian drip insulin yang bervariasi mulai 0.5-2 unit/jam disertai pemberian insulin corr dose kelipatan 5 unit. Pemberian insulin fix dose mulai diberikan ketika pasien mampu menghabiskan makan > ½ porsi yaitu mulai diberikan tanggal 7/4/2014 dan nilai glukosa darah mulai stabil setelah tanggal 15/4/2014.
Untuk diagnosa keperawatan risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor risiko dislipidemia, DM dan hipertensi, intervensi yang telah dilakukan yaitu melakukan monitoring TTV/shift, berkolaborasi dalam pengontrolan hipertensi dan dislipidemia melalui pemberian obat captopril dan simvastatin, melakukan perekaman EKG dan kolaborasi dalam pemeriksaan ecchokardiografi. Selama perawatan, kondisi tekanan darah dan nadi pasien bervariasi yakni dari rentang 130/80 mmHg hingga 190/110 mmHg. Hasil pemeriksaan EKG: SR, HR rate 90 , T wave normal, ORS int 0.08 s, ST-T change (-), RVH (-), LVH (-), BBB (-). Hasil Ecchocardiografi tanggal 18/4/2014: global normokinetik, fungsi sistolik LV dan RV baik.
Ketidakseimbangan elektrolit dengan faktor risiko gangguan mekanisme regulasi pada DM mulai muncul tanggal
3/4/2014 yaitu hipokalemia,
hiponatremia, hipocklorida serta hipomagnesia yang muncul tanggal 8/4/2014. Intervensi yang dilakukan yaitu mengobservasi tanda dan gejala hipokalemia, hoponatremia dan hipomagnesia. Selain itu melakukan kolaborasi pemberian terapi farmakologik seperti pemberian KSR, drip KCl serta pemberian aspar. Monitoring nilai laboratorium elektrolit setiap 3 hari juga dilakukan untuk memantau dan mengevaluasi efek terapi yang diberikan.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
64
Untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi/sepsis tindakan keperawatan yang telah dilakukan yaitu mengajarkan keluarga dan pasien untuk melakukan teknik cuci tangan, membantu pasien serta melibatkan keluarga dalam meningkatkan personal hygine. Perawat mengajarkan cara melakukan perawatan kateter dan mengganti setiap 1 minggu kateter yang digunakan. Penggantian IV line juga dilakukan setiap 3 hari untuk mencegah risiko infeksi. Dari hasil pemeriksaan thorax tanggal 3/4/2014 ditemukan adanya infiltrat di parakardial kanan dd bronkopneumonia dan adanya keluhan batuk yang jarang. Pasien juga diminta untuk sering duduk, miring kanan-kiri untuk mencegah terjadinya infeksi paru lebih berat, selain itu pasien juga diberikan terapi farmakologi fluimucyl 3x10 cc dan keluhan batuk serta ronkhi menghilang setelah 5 hari intervensi. Perawat juga melakukan observasi TTV, memonitor hasil lab leukosit, LED, prokalsitonin, CRP. Kerjadi kenaikan suhu pasien hingga 39ºC tanggal 1/4/2014 sampai dengan tanggal 3/4/2014 yang diikuti dengan kenaikan leukosit hingga mencapai 30.270/µL. Antibiotik yang diberikan sebelumnya yaitu ampicilin sulbactam 4x1.5 gram dan levofloxacin 1x750 mg. Tanggal 2/4/2014 dilakukan pemeriksaan biakan pus yang hasilnya baru dapat diketahui tanggal 4/4/2014. Dari hasil tersebut diketahui bahwa terdapat resistensi terhadap ampicilin sulbactam. Tanggal 3/4/2014, pasien mendapatkan obat meropenem 3x1 gram yang selanjutnya hasil lab leukosit dan TTV secara berangsur-angsur menunjukkan perbaikan, terjadi penurunan leukosit hingga mencapai 11800/µL tanggal 20/4/2014.
Untuk
meningkatkan
pengetahuan
pasien
dan
keluarga,
perawat
memberikan edukasi mengenai diabetes dan perawatannya. Perawat memberikan edukasi mengenai pentingnya konsumsi ikan dan protein untuk meningkatkan penyembuhan lukanya. Perawat juga memberikan edukasi mengenai pentingnya menjaga kestabilan glukosa darah untuk meminimalkan komplikasi yang terjadi, melakukan perawatan kaki berupa anjuran menggunakan lotion pada area kaki yang kering dan mengajarkan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
65
gerakan ankle pump exercise terutama pada kaki kanan untuk mencegah perkembangan PAD lebih lanjut. Edukasi dilakukan bertahap, tidak dilakukan satu kali waktu. Evaluasi dilakukan dengan meminta pasien menyebutkan kembali edukasi yang telah diberikan dan pemantauan terhadap beberapa perilaku setelah edukasi diberikan. Hasil yang diperoleh yaitu, pasien mampu menjelaskan kembali mengenai diabetes, penyebab DM, pencegahan DM, penanganan jika terjadi hipoglikemia, perawatan kaki DM. Dari pengamatan menganai perbahan perilaku, pasien mampu menghabiskan porsi makan hingga ¾ porsi, pasien mau makan ikan dan telur yang diberikan, kaki yang kering telah diberi lotion meskipun terkadang pasien atau keluarga lupa untuk mengoleskannya. Pasien dan keluarga juga telah diberi edukasi dan demonstrasi untuk penyuntikan insulin dan keluarga mampu melakukan teknik injeksi insulin tersebut.
Adanya perubahan fisik tubuh, terutama setelah dilakukan amputasi below knee menyebabkan pasien mengalami ketidakberdayaan dan berkembang menjadi harga diri rendah. Intervensi keperawatan yang telah dilakukan yaitu mendengarkan dengan empati keluhan pasien, memberi penguatan secara psikologis terhadap pasien dan meningkatkan harga diri pasien. Secara bertahap pasien diajarkan untuk melakukan beberapa aktifitas fisik yang mampu dilakukan secara mandiri seperti mengganti baju, melakukan perineal hygine. Pasien mengatakan ia pasrah dan berserah diri pada Allah, apapun yang terjadi pasti itu yang terbaik bagi dirinya dan kini ia ingin sembuh dan segera bertemu cucu. Pasien juga diajarkan untuk mobilisasi bertahap secara mandiri dari tempat tidur-duduk hingga duduk disamping tempat tidur dan pasien mampu melakukan gerakan tersebut. Pasien direncanakan untuk menggunakan kaki palsu. Dari hasil konsultasi dengan rehab medik, sebelum pasien dilakukan pemasangan kaki palsu, terlebih dahulu pasien/keluarga diajarkan cara membalut luka dengan elastic bandage hingga membentuk angka 8 dengan tujuan agar penyembuhan luka membentuk konus yang secara ergonomis memungkinkan kaki palsu bisa masuk. Pasien keluar RS tanggal 24/4/2014 menggunakan kursi roda.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
66
Hasil follow up via telp dengan pasien dan keluaga, ia mengatakan hanya sempat kontrol 3 kali ke poli bedah dan luka jahitan amputasi telah bagus dan kering. Gula darah terkontrol berkisar 100-200 mg/dl, namun pasien belum sepat kontrol ke rehab medik untuk pembuatan kaki palsu sebab tidak ada yang mengantar. Pasien mengatakan akan kontrol ke rehab medik setelah lebaran.
3.2. Pembahasan Model konservasi Levine berfokus pada usaha meningkatkan adaptasi dan memelihara keutuhan dengan menggunakan prinsip konservasi. Model ini mengajak perawat untuk berfokus pada pengaruh dan respon pada tingkat organismik. Konsep penting pada model ini adalah adaptasi dan keutuhan. Adaptasi adalah proses berubah dan konservasi merupakan tujuan dari adaptasi. Adaptasi merupakan suatu proses dimana pasien akan menjaga integritas berdasarkan kenyataan yang ada di lingkungan. Adaptasi akan dicapai melalui penggunaan sumber daya yang ada di lingkungan oleh individu tersebut dengan cara terbaik. Penerapan konservasi levine pada asuhan keperawatan pasien DM didasarkan atas keyakinan bahwa aktivitas pasien tergantung dari adanya keseimbangan energi dan kondisi sakit akan meningkatkan kebutuhan energi. Ketika jumlah insulin tidak cukup atau kerja insulin kurang efektif, glukosa darah tidak dapat masuk kedalam sel, terjadi gangguan regulasi energi sehingga pasien cenderung merasa lemah dan lesu. Model konservasi Levine telah banyak diaplikasikan untuk berbagai tujuan dalam praktik keperawatan, diantaranya dalam penerapan NANDA,NIC NOC dengan menggunakan model konservasi levine dan perawatan luka. Schaefer dan Potylycki (1993) juga menggunakan model ini untuk menilai kelelahan yang terjadi pada pasien gagal jantung kongestive. Paul (2012) menggunakan model konservasi Levine dalam penerapan studinya mengenai kondisi luka yang gatal. Secara umum, model ini dapat digunakan sebagai panduan dalam memberikan perawatan pada pasien area keperawatan medikal bedah khususnya pasien DM.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
67
Berdasarkan hasil pengkajian pada Ny N menggunakan model Levine dapat dijabarkan dalam bentuk gambar dibawah ini: Ketidakseimbangan keutuhan pasien
Gagal melakukan konservasi
Porsi makan ¼ porsi, mual, kuantitas dan kualitas tidur kurang, nyeri, glukosa darah tidak stabil
Luka amputasi pedis sinistra, infeksi, PAD, retinopati, neuropati, hipertensi, dislipidemia, oral hygine kurang
Gangguan fisik, ketergantungan sedang, harga diri rendah
Tidak ditemukan masalah pada integritas sosial
INTEGRITAS ENERGI
INTEGRITAS STRUKTUR
INTEGRITAS PERSONAL
INTEGRITAS SOSIAL
Tidak ada gangguan pernafasan dan jantung
Peran serta keluarga dalam perawatan kaki (mengoleskan lotion) dan personal hygine pasien
Pasien menerima kondisi tubuhnya (citra diri baik)
Adanya Dukungan dari suami, keluarga dan tetangga, interaksi pasien dengan pasien lainnya baik
KONSERVASI
KEUTUHAN PASIEN Gambar 3.1 Penerapan model konservasi Levine pada Ny N
Masalah yang terjadi pada integritas energi meliputi kurangnya intake makan, kualitas dan kuantitas tidur/istirahat yang kurang. Nyeri dan ketidakstabilan kadar glukosa darah. Kondisi tersebut akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
68
energi yang masuk dan yang keluar, menyebabkan pasien mengalami keletihan sehingga pasien gagal melakukan konservasi dan keutuhan pasien tidak terjadi. Masalah yang muncul pada integritas struktur merupakan gangguan akibat lingkungan internal dan eksternal yang mengakibatkan individu gagal untuk memelihara dan mengganti struktur tubuh, mencegah penyembuhan dan mengakibatkan kerusakan fisik. Hal tersebut dapat kita lihat dari adanya luka amputasi pedis sinistra, infeksi yang meningkat, PAD, komplikasi mirovaskuler dan makrovaskuler disertai oral hygiene dan personal hygiene yang kurang. Masalah pada integritas personal muncul akibat adanya keterbatasan fisik yang mengakibatkan ketergantungan dan harga diri yang rendah, selanjutnya mengakibatkan
ketidakberdayaan.
Tidak
adanya
gangguan
jantung
dan
pernafasan, citra tubuh yang masih baik serta dukungan yang tinggi oleh keluarga merupakan suatu proses adaptasi yang mendukung konservasi. Tujuan keperawatan adalah untuk meningkatkan adaptasi memelihara keutuhan dengan melihat keunikan dari setiap individu. Perhatian pada individu dilakukan sebagai tanggung jawab perawat untuk membantu pasien meningkatkan penyembuhan atau kesehatan, dimana kesehatan ini merupakan suatu keutuhan dan keberhasilan proses adaptasi. Secara umum, masalah-masalah yang terjadi dan menimbulkan respon organismik akan dijabarkan sebagai berikut:
1)
Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan manajemen diabetes inefektif, status hipermetabolik dan proses infeksi.
Diabetes merupakan penyakit yang progresif, tanpa pengelolaan yang baik pasien mudah mendapatkan komplikasi akut dan kronik. Kendali glikemik yang buruk merupakan salah satu penyebab terpenting terjadinya komplikasi. Pasien dapat mengalami ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan berbagai penyebab yang mendasari. Pasien dapat mengalami hiperglikemia ataupun hipoglikemia, oleh karena itu dibutuhkan strategi terapi yang lebih agresif agar mencapai kendali glikemik yang baik, diantaranya yaitu melalui pemberian suntikan insulin. Indikasi terapi insulin pada Ny N yaitu adanya DM tipe 2 dengan ulkus kaki diabetik dan fluktuasi glukosa darah yang masih tinggi. Pada orang normal, jumlah insulin endogen dipengaruhi oleh kondisi puasa dan makan. Pada keadaan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
69
puasa atau sebelum makan, sel beta mensekresi insulin pada kadar tertentu yang hampir sama sepanjang waktu puasa dan sebelum makan. Hal ini disebut insulin basal, yang bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah puasa atau sebelum makan selau dalam batas normal (< 100 mg/dl). Insulin prandial bertujuan agar kadar glukosa darah setelah makan tetap dalam batas normal. Pada setiap kali makan, dibutuhkan sejumlah insulin yang disekresikan oleh sel beta secara cepat dalam kadar yang lebih tinggi untuk menekan kadar glukosa darah setelah makan agar tetap dalam batas normal (tidak lebih dari 140 mg/dl) (PERKENI, 2011). Awalnya program terapi insulin yang diberikan pada Ny N yaitu drip insulin dengan correctional dose kelipatan 5. Setelah pasien mampu menghabiskan porsi makan > ½ porsi drip insulin dihentikan dan diganti dengan pemberian fix dose humalog 3x8 unit, selanjutnya naik menjadi 10-12-12 unit hingga 3x14 unit. Pasien juga diberikan lantus 1x16 unit dan akhirnya naik menjadi 1x18 unit. Lantus merupakan insulin basal eksogen, yaitu insulin kerja panjang/ long insulin analog dengan awal kerja 2-4 jam, hampir tanpa puncak dan lama kerja 24 jam, sehingga pemberiannya hanya 1 kali saja. Lantus ini diberikan untuk memenuhi kebutuhan insulin basal. Pasien juga mendapat humalog yang merupakan insulin kerja cepat dengan awal kerja 5-15 menit dengan puncak kerja 30-90 menit dan lama kerja 4-6 jam. Insulin humalog ini dapat diberikan diberikan saat makan. Sebagai perawat kita harus mengevaluasi respon dari pasien akibat pemberian insulin dan untuk mengevaluasi ketepatan pemberian insulin perawat berkolaborasi dengan dokter untuk melakukan pencatatan gula darah harian. Sasaran kendali glikemik untuk pasien diabetes dewasa yaitu HbA1c < 7%, Kadar gula darah puasa 70-130 mg/dl dan kadar gula darah post prandial < 180 mg/dl (ADA, 2014). Nyeri kaludikasio akibat PAD dan timbulnya infeksi pada Ny N akan memicu stres yang mengakibatkan terjadinya kenaikan gula darah pasien. Pada kondisi stres akan terjadi aktivasi sistem saraf simpatis dan Cortikotropin Releasing Hormone (CRH). Aktivasi sistem saraf simpatis akan menyebabkan pelepasan katekolamin (epinefrin) yang mempunyai efek sangat kuat terhadap reaksi
glikogenolisis
dan
glokoneogenesis
dalam
hati,
sehingga
akan
meningkatkan pelepasan glukosa oleh hati masuk kedalam sirkulasi, menghambat
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
70
pemakaian glukosa di jaringan perifer, dan menghambat sekresi insulin oleh sel beta pancreas. Perangsangan sistem CRH akan mengaktivasi aksis hipofisisadrenal. Hipofisis akan menghasilkan ACTH yang merangsang korteks adrenal melepaskan kortisol. Kortisol ini akan merangsang proses glukoneogenesis 6-10 kali lipat dan selanjutnya akan meningkatkan kadar gula darah (Sheerwood, 2011). Pasien Ny N juga mengeluh mual, terkadang nyeri perut dan porsi makan yang mampu dihabiskan hanya ¼ porsi. Ketidakstabilan glukosa darah juga dapat diakibatkan oleh asupan makan yang kurang akibat gastroparesis. Gastroparesis merupakan kondisi motilitas gaster abnormal yang dikarakteristikkan dengan pelambatan pengosongan lambung tanpa adanya obstruksi mekanis (Akheel , Rattansingh & Furtado, 2005). Gastroparesis terjadi pada lebih dari 50% pasien yang lama mengalami DM. Gejala yang ditimbulkan dari gastroparesis ini diantaranya mual, muntah, perut menjadi kembung, nyeri epigastrik. Pasien juga berisiko untuk terjadinya malnutrisi, penurunan berat badan, gangguan absorbsi obat, gangguan kontrol glikemik dan penurunan kualitas hidup. Dengan meningkatnya kestabilan kadar glukosa darah, keluhan mual, muntah dan nyeri perut pada pasien juga berkurang dan asupan makanpun bertambah hingga > ¾ porsi. Hal ini sesuai dengan pendapat Rayner (2001) bahwa perubahan konsentrasi glukosa yang cepat berpengaruh terhadap kembalinya fungsi sensorik dan motorik gastrointestinal (Rayner, 2001). Pengosongan lambung akan menurun selama hiperglikemia dan meningkat saat hipoglikemia. Intervensi yang telah dilakukan yaitu manajemen diit berupa menganjurkan pasien untuk duduk 1-2 jam setelah makan, kolaborasi dengan ahli gizi untuk mengurangi makanan yang tinggi
serat dan intervensi farmakologi berupa kolaborasi pemberian obat
metoclorpamid 3x 5 mg iv. Obat ini bekerja dengan menstimulasi motilitas saluran cerna bagian atas dan mempercepat pengosongan lambung, mengurangi mual muntah dan meredakan gejala stasis lambung (Deglin & Vallerand, 2005). Kondisi ketidakstabilan glukosa darah akan menimbulkan gangguan regulasi energi pada pasien dan kondisi ini akan berdampak pada timbulnya masalah yang lain yaitu gastroparesis. Gangguan intergritas energi akibat ketidakstabilan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
71
glukosa darah juga mempengaruhi integritas struktural. Penyembuhan luka tidak akan berlangsung dengan baik jika glukosa darah masih tidak terkontrol. Upaya yang telah dilakukan perawat adalah mengadaptasikan pasien untuk melakukan konservasi
energi
melalui
manajemen
hiperglikemia,
manajemen
diit,
hipoglikemia, manajemen diit dan manajemen energi. 2) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan adanya stenosis Salah satu komplikasi makrovaskuler yang dapat terjadi pada pasien DM yaitu aterosklerosis. Aterosklerosis akan mengakibatkan terjadinya penyempitan pembuluh darah yang berkembang menjadi PAD, suatu kondisi berkurangnya sirkulasi arteri terutama pada daerah extremitas bawah. Diagnosis PAD dapat diketahui melalui pemeriksaan ABI, yaitu jika nilai ABI nya < 0.9. Pada hasil pemeriksaan ABI Ny N saat masuk rumah sakit diketahui bahwa nilai ABI nya 0.94 pada kaki kanan dan 0.83 pada kaki kiri. Adanya hiperglikemia, peningkatan asam lemak bebas dan resistensi insulin akan mengakibatkan gangguan pada sel endotel. Adanya lapisan tunggal dari sel-sel endotel yang melapisi permukaan bagian dalam pembuluh darah, mengakibatkan adanya proses metabolik aktif antara darah dan jaringan. Pada sel endotel yang normal akan terjadi sintesis substansi biologis dan pelepasan substansi tersebut untuk menjaga hemostasis vascular, meningkatkan sirkulasi darah, transport nutrisi serta mencegah thrombosis dan diapedesis leukosit. Nitric Oxide (NO) adalah substansi penting yang disintesis oleh sel endotel, dihasilkan oleh NO synthase (eNOS). Bioavailibilitas NO digunakan sebagai tanda vascular yang sehat. NO mengakibatkan vasodilatasi melalui aktivasi guanilil siklase pada sel otot polos. NO juga melindungi pembuluh darah dari cedera endogen, misalnya aterosklerosis dengan mengeluarkan sinyal yang mencegah interaksi platelet dan leukosit pada dinding pembuluh darah dan menghambat proliferasi dan migrasi sel otot polos. Hilangnya endothelium yang diikuti penurunan NO mengakibatkan peningkatan
aktivitas
proinflamasi
Nuclear
Factor
kappa
ß
(NF-kB),
mengakibatkan adhesi molekul leukosit, produksi kemokin dan sitokin. Kondisi ini meningkatkan monosit dan migrasi sel otot polos, formasi makrofag ke daerah
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
72
intima vaskuler sehingga timbul aterosklerosis (ADA, 2003; Beckman, Creager & Libby, 2002). Beberapa faktor risiko PAD yang ditemukan pada Ny N yaitu usia yang telah mencapai 50 tahun, adanya riwayat hipertensi yang diketahui sejak 2 tahun, riwayat DM sejak 3 tahun, dislipidemia, peningkatn CRP dan fibrinogen. Prevalensi PAD akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Pada pasien DM, setiap peningkatan 1% HbA1C akan terjadi peningkatan risiko PAD sebanyak 26% (Selvin et al, 2004). Resistensi insulin meningkatkan faktor risiko terjadinya PAD sebanyak 40-50% meskipun pada pasien tanpa DM. Resistensi insulin meningkatkan pengeluaran asam lemak bebas dari jaringan adipose, yang mengaktivasi enzim protein kinase C, menghalangi posphatidilinositol 3 (PI-3) kinase dan meningkatkan produksi reaktif oksigen, mekanisme yang secara langsung mengganggu produksi NO atau menurunkan bioavailibilitas (Beckman, Creager & Libby, 2002). Sebanyak 33-35% pasien dengan PAD juga menunjukkan hipertensi (Clement, De Buyzere & Duprez, 2004). Mayoritas pasien dengan diabetes memiliki gangguan otonom perifer, suatu kondisi yang menurunkan resistensi arterial. Meskipun terdapat bukti peningkatan endothelin-1, angiotensin II, dan abnormalitas aktifitas sistem saraf simpatis,
mekanisme
disfungsi sel otot polos pembuluh darah dan hipertensi pada diabetes masih belum diketahui (Creager M, Luscher T & Beckman J, 2003).
Adanya penurunan sirkulasi perifer akan mengakibatkan gangguan integritas struktural yaitu sulitnya penyembuhan luka. Kondisi ini akan diperparah dengan gangguan integritas energi akibat hiperglikemia. Beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan sirkulasi pada Ny N yaitu melalui pemberian latihan ankle pump exercise dan menurunakan kaki disamping tempat tidur selama 10 menit. Gerakan ankle pump exercise berupa gerakan dorsofleksi dan platarfleksi yang bermanfaat untuk meningkatkan sirkulasi, mencegah kekakuan selama bedrest dan menguatkan otot kaki. Peningkatan sirkulasi oksigen kaki setelah dilakukan latihan menunjukkan meningkatnya perfusi ke kaki yang dihubungakan dengan peningkatan hemodinamik makrovaskuler tungkai bawah. Posisi duduk efektif untuk meningkatkan aliran darah ke bagian ektremitas bawah tidak hanya pada
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
73
individu yang sehat, namun juga berefek positif pada pasien dengan critical limb iskhemia.Meskipun demikian, posisi kaki dependen tidak boleh terlalu lama, sebab dapat meningkatkan edema dan penyembuhan luka yang lebih lama (Kawasaki et al, 2013).
Pada pasien Ny N juga
ditemukan adanya dislipidemia. Hasil pemeriksaan
trigliserida yaitu 120 mg/dL, kolesterol LDL 127 mg/dL , kolesterol HDL 47 mg/dL dan kolesterol total 230 mg/dL Penatalaksanaan dislipidemia berupa pengontrolan lemak diketahui mampu mengurangi progresivitas PAD dan terjadinya klaudikasio intermiten. Target pengendalian lipid yang harus dicapai yaitu nilai LDL < 100 mg/dl, kolesterol total < 200 mg/dl, HDL > 45 mg/dl dan trigliserid< 150 mg/dl (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2013). Untuk mencapai sasaran, selain pengontrolan diit juga diberikan terapi farmakologis berupa pemberian obat simvastatin 1x20 mg p.o yang diberikan pada malam hari.
Peningkatan kadar fibrinogen pada pasien DM merupakan indikator adanya inflamasi vaskuler dan disfungsi endotel yang secara langsung terlibat dalam aterosklerosis dan trombosis (Rikarni, Lillah & Yoesri, 2007). Hasil pemeriksaan laboratorium Ny N menunjukkan peningkatan kadar fibrinogen yang mencapai 591.5 md/dL (136-384). Pada diabetes cenderung terjadi peningkatan koagulasi dan gangguan fibrinolisis. Hal ini diakibatkan oleh adanya gangguan kapasitas fibrinolitik karena peningkatan kadar plasminogen activator inhibitor tipe 1 pada lesi aterosklerotik dan nonatheromatous arteries. Kondisi hiperglikemia dan pecahnya produk proinsulin akan meningkatkan ekspresi faktor jaringan, sebuah prokoagulan yang ampuh, dan faktor koagulasi plasma seperti faktor VII dan menurunkan tingkat antikoagulan endogen seperti antitrombin III dan protein C Platelet memiliki peranan penting dalam hubungannya dengan fungsi vaskular dan trombosis. Abnormalitas platelet tidak hanya menyebabkan peningkatan aterosklerosis,
namun
berpengaruh
juga
terhadap
pecahnya
plak
dan
aterotrombosis. Diabetes akan mengakibatkan gangguan hemostasis kalsium yang berpengaruh terhadap perubahan abnormal pada bentuk platelet , sekresi , dan agregasi dan pembentukan tromboksan (Beckman, Creager & Libby, 2002).
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
74
Berdasarkan nilai laboratorium CRP pada Ny N ditemukan terjadi peningkatan nilai CRP yaitu 430.39 mg/L (0-3). Peningkatan nilai CRP diketahui dapat menjadi penanda exaserbasi PAD. CRP akan berikatan dengan reseptor sel endotel yang menyebabkan apoptosis. CRP juga menstimulasi produksi endothelial procoagulan tissue factor, adhesi molekul leukosit dan substansi kemostatis, menghalangi sintesa nitric oxide (NO) yang mengakibatkan abnormalitas regulasi tonus vascular. Pada akhirnya CRP akan meningkatkan produksi fibrinolisis, seperti plasminogen activator inhibitor (PAI).
Upaya farmakologi yang dilakukan untuk meningkatkan sirkulasi yaitu melalui pemberian obat cilostazol 2x100 mg p.o. Cilostazol adalah derivat quinolone yang bekerja dengan menghambat anzym phosphodiaterase III (PDE III) dengan mekanisme kerjanya yaitu berasal dari penghambatan PDE III yang akan meningkatkan cAMP seingga mampu menghambat agregasi platelet, memperbaiki metabolisme lipid serta dilatasi arteri secara langsung.
Respon organismik dari meningkatnya sirkulasi perifer yaitu peningkatan CRT, akral yang hangat, menurunnya skala nyeri serta meningkatnya penyembuhan luka. Nyeri yang berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan pola tidur dan menyebabkan gangguan integritas energi pasien. Tindakan amputasi below knee yang dilakukan pada Ny N bertujuan untuk mempertahankan keadekuatan sirkulasi darah perifer yang sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan angiografi untuk menentukan tingkat oklusi dan arteri yang masih baik. Dengan meningkatnya sirkulasi, maka penyembuhan luka akan meningkat dan gejala nyeri akan berkurang, dengan demikian upaya konservasi integritas struktural juga akan meningkatkan konservasi energi pasien
3)
Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor risiko dislipidemia, DM dan hipertensi.
Gangguan integritas struktural yang terjadi pada pasien Ny N berkaitan dengan komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler yang terjadi. Hipertensi pada pasien
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
75
DM akan mengakibatkan peningkatan yang signifikan terhadap risiko komplikasi vaskuler, diantaranya nefropati, retinopati serta gangguan serebrovaskuler dan penyakit arteri koroner.
Resistensi insulin dan diabetes dapat mengakibatkan hipertensi dengan menstimulasi sistem saraf simpatis, mengaktifkan sistem renin-angiotensin dan meningkatkan retensi natrium. Diabetes juga berhubungan dengan meningkatnya proliferasi sel otot polos
pembuluh darah. Meningkatnya kadar glukosa dan
tekanan darah akan mengganggu sel endotel pembuluh yang meningkatkan stres oksidatif dan reaktifitas vaskuler (Lago, Singh & Nesto, 2007). Dislipidemia juga merupakan faktor risiko terjadinya gangguan kardiovaskuler pada pasien DM yang dikarakteristikkan dengan peningkatan trigliserid, menurunnya HDL, menigkatnya LDL. Adanya perubahan nilai lemak ini berkontribusi terhadap peningkatan asam lemak bebas
yang mengakibatkan resistensi insulin
(Mooradian, 2008). Untuk mencegah terjadinya komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler, maka target tekanan darah yang harus dicapai yaitu < 130/80 mmHg, kolesterol total < 200 mg/dL, LDL < 100 mg/dl, HDL >45 mg/dL dan trigliserid < 150 mg/dL (Konsensus PERKENI, 2006). Upaya yang dilakukan untuk mencapai target ini mayoritas merupakan intervensi kolaborasi medis tanpa menghilangkan intervensi diit dan latihan.
Selama di RS, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan integritas struktural pada Ny N yaitu mengobservasi nilai TTV, kolaborasi pemberian obat antihipertensi yaitu captopril 3x25 mg dan obat golongan statin seperti simvastatin 1x20 mg. Captopril bekerja dengan menekan sistem reninangiotensin-aldosteron. Captopril mencegah produksi angiotensin II, sejenis vasokonstriktor kuat yang menstimulasi produksi aldosteron dengan menghambat proses konversinya ke bentuk aktif, sehingga terjadi vasodilatasi sistemik dan tekanan darah akan menurun. Obat ini dapat diberikan 1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan karena makanan dapat menurunkan absorbsi obat 30-40% (Deglin & Vallerand, 2005). Simvastatin diberikan sebagai adjuvan terapi diet dalam penatalaksanaan
hiperkolesterolemia
primer.
Obat
ini
bekerja
dengan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
76
menghambat enzim HMG-CoA reduktase yang bertanggungjawab untuk katalisis tahap awal dalam sintesa kolesterol. Efek terapeutik obat ini yaitu menurunakan kolesterol total dan LDL serta meningkatkan HDL. Simvastatin diberikan satu kali menjelang tidur tanpa memperhatikan waktu makan. Implikasi keperawatan yang harus diperhatikan salah satunya yaitu observasi tes fungsi hati termasuk SGPT dan SGOT sebelum dan setiap 6 minggu selama terapi tiga bulan pertama dan bila SGOT meningkat 3 kali normal, perawat harus mengingatkan dokter agar terapi simvastatinnya harus dihentikan (Deglin & Vallerand, 2005).
4)
Ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi pada DM.
Konsentrasi elektrolit yang tidak normal akan mengakibatkan terjadinya gangguan dalam proses metabolisme yang pada akhirnya mempengaruhi integritas energi pasien. Jumlah natrium, kalium dan klorida dalam tubuh merupakan cermin keseimbangan antara yang masuk terutama dari saluran cerna dan yang keluar terutama dari ginjal. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, diketahui pada tanggal 3/4/2014 pasien mengalami hiponatremia yaitu 121 mEq/L (132-147), hipokalemi 2.88 mEq/L (3.3-5.4) hipoklorenimia 86.4 mEq/L (94-111) dan hipomagnesia 1.56 mg/dl (1,7-2,55).
Natrium merupakan kation terbanyak dalam cairan extrasel yang jumlahnya bisa mencapai 60 mEq per kilogram berat badan (Yaswir & Irawati, 2012). Pemasukan natrium berasal dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna dengan proses difusi dan pengelurannya melalui ginjal atau saluran cerna atau keringat kulit, namun eksresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan
homeostasis
natrium
yang
sangat
diperlukan
untuk
mempertahankan volume cairan tubuh. Hiponatremia yang terjadi pada Ny N dapat disebabkan karena gangguan fungsi glomerulus dan tubulus pada ginjal yang dapat diperkuat oleh adanya mikroalbuminuria dan proteinuria. Kondisi hiperglikemia
dan
dislipidemia
juga
berkontribusi
terhadap
kejadian
pseudohiponatremia pada pasien DM. Intervensi yang telah diberikan pada pasien Ny N ini terkait gangguan hiponatremia dan hipoklorenimia ini yaitu melalui
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
77
kolaborasi pemberian terapi parenteral NS0.9% 500 cc serta NaCl 3x500 mg p.o disamping monitoring tanda dan gejala gangguan elektrolit, serta pemantauan hasil laboratorium terkait.
Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada dalam cairan intrasel. Perbedaan kadar kalium cairan intrasel dengan interstisial yaitu akibat adanya transpor aktif kalium kedalam sel yang bertukar dengan natrium keluar sel. Kalium difiltrasi di glomerulus, direabsorbsi secara aktif maupun pasif di tubulus proksimal dan direabsorbsi bersama dengan natrium dan klorida di lenhgkung henle. Kalium dikeluarkan dari tubuh melalui gastrointesinal, kulit serta urin. (Yaswir & Irawati, 2012). Penyebab hipokalemi pada Ny N yaitu akibat dari diare yang terjadi dan jika hipokalemi yang tidak ditangani dengan segera akan mengakibatkan bradikardi hingga cardiac arrest. Hipokalemia pada pasien DM juga dapat diakibatkan oleh terapi insulin yang berlebihan yang mengakibatkan influks Kalium dari ekstrasel kedalam sel. Intervensi yang telah dilakukan yaitu untuk Ny N ini yaitu kolaborasi pemberian drip KCl 25 mEq dalam NS 0.9% 500 cc tiap 12 jam dan pemberian KSR 3x600 mg. Perawat mengevaluasi respon pasien terkait tanda dan gejala hipokalemia, hiponatremia dan melakukan observasi hasil lab elektrolit tersebut.
Magnesium merupakan kation keempat yang paling banyak dalam tubuh manusia dan merupakan kation intraselular kedua setelah kalium. Magnesium berperan penting sebagai kofaktor pada lebih dari 300 reaksi enzimatik yang melibatkan metabolisme energi dan asam nukleat serta berperan dalam homeostasis glukosa dan kerja insulin (Sales & Pedrosa, 2006). Magnesium berperan penting dalam fosforilasi reseptor insulin dimana satu deplesi Mg intraseluler dapat mengakibatkan defek fungsi tirosin kinase pada reseptor insulin sehingga menurunkan kemampuan insulin untuk menstimulasi ambilan glukosa pada jaringan yang sensitif insulin, akibatnya resistensi insulin terjadi dan bila terjadi terus menerus dapat mengakibatkan perkembangan komplikasi DM yang lebih cepat. Tanda dan gejala dari hipomagnesia yang ditemukan pada Ny N yaitu insomnia, kram tungkai, mual, anoreksia dan diare. Intervensi yang telah
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
78
dilakukan pada Ny N yaitu berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian Aspar 3x100 mg p.o serta mengevaluasi pemantauan hasil laboratorium terkait.
5)
Risiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM
DM merupakan penyakit kronik yang dapat menyebabkan beberapa kelainan dalam sistem pertahanan tubuh sehingga mengakibatkan gangguan integritas energi dan struktural. Terganggunya fungsi insulin mengakibatkan regulasi energi terganggu yang dapat mempengaruhi fungsi sel , termasuk gangguan fungsi dan produksi sel-sel imun (Wijayakusuma, 2004). Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan risiko terkena infeksi diantaranya infeksi pemakaian cateter,
saluran kemih akibat
infeksi pada pernafasan akibat kurangnya mobilitas atau
pasien terlihat jarang duduk dan sering tiduran atau akibat luka post amputasi digiti V dan debridement digiti III. Timbulnya luka terjadi akibat soft tissue injury akibat neuropati. Adanya edema jaringan, inflamasi dan nekrosis pada barier kulit mengakibatkan masuknya kuman yang mengakibatkan infeksi dan kondisi PAD yang terjadi pada pasien akan mempersulit proses penyembuhan luka.
Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk meningkatkan proses adaptasi pasien dalam mengurangi risko terjadinya sepsis yaitu mengajarkan pasien, keluarga serta pengunjung melakukan teknik hand hygiene. Setiap tahun, ratusan juta pasien diseluruh dunia mendapatkan infeksi yang diperoleh dari layanan perawatan kesehatan yang sebetulnya infeksi yang didapat dari perawatan kesehatan tersebut dapat dicegah melalui upaya menjaga kebersihan tangan yang baik yaitu membersihkan tangan pada saat yang tepat dan dengan cara yang benar. Oleh sebab itu WHO merekomendasikan adanya program hand hygiene dengan five moments untuk petugas kesehatan dan program tersebut juga telah diterapkan di RSCM. Lima waktu untuk melakukan hand hygiene yaitu sebelum ke pasien, sebelum melakukan tindakan aseptik, setelah menyentuh pasien, setelah terpapar dengan cairan tubuh pasien dan setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien. Selain itu pasien, keluarga dan pengunjung juga diajarkan cara melakukan hand hygiene dan pada masing-masing bed pasien telah disediakan hand rub. Upaya lain yang dilakukan untuk mencegah risiko infeksi yaitu melakukan penggantian
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
79
IV line dan cateter urin sesuai dengan SOP yang berlaku. Untuk meminimalkan risiko infeksi paru pasien dianjurkan agar sering duduk dan mobilisasi di tempat tidur serta meningkatkan oral hygiene dan personal hygiene secara umum. Meskipun dari hasil pemeriksaan rontgen thorax tanggal 3/4/2014 ditemukan adanya infiltrat di parakardial kanan dd bronkopneumonia, pasien tidak menunjukkan adanya keluhan batuk. Kondisi neuropati, mikroangiopati dan makroangiopati serta penurunan respon imun mengakibatkan pasien mudah terkena infeksi pada paru dan menurunnya refleks batuk disebabkan oleh kurangnya motilitas silia (Wulandari & Sugiri, 2013).
Kolaborasi untuk pemilihan antibiotik yang sesuai juga amatlah penting untuk mencegah perluasan infeksi dan kejadian sepsis. Pemilihan penggunaan antibiotik oleh dokter disesuaikan dengan hasil kultur luka. Antibiotik yang diberikan sebelumnya yaitu ampicilin sulbactam 4x1.5 gram dan levofloxacin 1x750 mg. Tanggal 2/4/2014 dilakukan pemeriksaan biakan pus yang hasilnya baru dapat diketahui tanggal 4/4/2014. Dari hasil tersebut diketahui bahwa terdapat resistensi terhadap ampicilin sulbactam. Tanggal 3/4/2014, pasien mendapatkan obat meropenem 3x 1 gram yang selanjutnya hasil lab leukosit dan TTV secara berangsur-angsur menunjukkan perbaikan, terjadi penurunan leukosit hingga mencapai 11800/µL tanggal 20/4/2014. Penurunan leukosit tersebut menunjukkan adanya proses adaptasi yang mendukung upaya konservasi struktural sehingga penyembuhan luka semakin cepat dan timbulnya infeksi sekunder dapat dicegah.
6)
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi atau misinterpretasi informasi.
Kurang pengetahuan merupakan kurangnya informasi kognitif yang berkaitan dengan topik tertentu (NANDA, 2011). Kurangnya pengetahuan pada Ny N berhubungan dengan kurangnya pajanan terhadap informasi mengenai DM. Salah satu intervensi yang dapat diberikan yaitu memberikan pendidikan kesehatan (Penkes) terkait DM. Namun sebelum penkes diberikan, sebagai seorang perawat hendaknya kita mengkaji tingkat pendidikan
klien, hal ini berkaitan dengan
proses penerimaan dan penyesuaian bahasa yang kita gunakan agar informasi
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
80
dapat dipahami oleh klien.Kita juga perlu mengetahui sampai sejauh mana pemahaman klien akan penyakitnya, sehingga kita bisa menyusun pendidikan kesehatan berdasarkan kebutuhan klien. Pendidikan kesehatan merupakan salah satu pilar dalam penanganan DM yang bertujuan meningkatkan pengetahuan, sehingga dengan meningkatnya pengetahuan diharapkan terjadi perubahan perilaku dan peningkatan kepatuhan yang pada akhirnya mampu meningkatkan kualitas hidup penderita DM. Berdasarkan
hasil pengkajian yang dilakukan, praktikan memberikan
memberikan pendidikan kesehatan mengenai penyakit DM (penyebab, tanda& gejala), terapi insulin, pentingnya dilakukan kontrol glukosa darah, diet pada DM, perawatan kaki diabetik. Selain itu praktikan juga memberikan edukasi mengenai tanda dan gejala hipoglikemi, sebab pasien pernah mengalami
hipoglikemia
selama perawatan. 7)
Ketidakberdayaan berhubungan dengan gangguan fisik
Ketidakberdayaan menurut NANDA (2012) didefinisikan sebagai persepsi bahwa tindakan seseorang secara signifikan tidak akan mempengaruhi hasil, persepsi kurang kendali terhadap situasi saat ini atau situasi yang akan segera terjadi. Ketidakberdayaan merupakan salah satu masalah yang muncul pada integritas personal. Adanya gangguan fisik akibat nyeri klaudikasio yang diakibatkan oleh PAD dan tindakan amputasi yang dilakukan mengakibatkan ketidakberdayaan. Tujuan keperawatan yaitu membantu pasien melakukan konservasi integritas personal dengan membantu pasien memenuhi aktifitas harian berdasarkan keterbatasan yang dimiliki dan memaksimalkan fungsi tubuh sehingga pasien secara bertahap mampu meningkatkan kemampuan diri untuk memenuhi aktifitas harian secara mandiri. Pasien diajarkan bagaimana ia memaksimalkan keterbatasan fisik yang ia miliki sekarang mampu membuatnya merasa berharga dan mengurangi tingkat ketergantungan pada orang lain. Secara bertahap pasien diajarkan untuk melatih bagian kaki yang diamputasi, latihan bangun sendiri dari tempat tidur, duduk hingga berdiri disamping tempat tidur secara mandiri.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
81
8)
Harga diri rendah situasional berhubungan dengan ketergantungan terhadap orang lain.
Ketidakberdayaan yang dialami oleh Ny N diakibatkan oleh adanya gangguan fisik yang mengakibatkan ketergantungan terhadap orang lain. Hal ini sesuai dengan penilaian fungsional Barthel index bahwa saat ini pasien berada pada tingkat ketergantungan sedang. Beberapa pemenuhan
aktifitas harian pasien
dibantu oleh keluarga atau perawat, sehingga pasien merasakan ketergantungan dengan suami. Adanya ketidakberdayaan ini akan menyebabkan gangguan integritas personal. Pengkajian lebih lanjut dilakukan untuk menggali masalah ketidakberdayaan ini yaitu menggali konsep diri. Konsep diri merupakan semua persepsi kita terhadap aspek diri kita yang meliputi aspek fisik, aspek sosial, aspek psikologis yang terbentuk karena pengalaman masa lalu kita dan interaksi dengan orang lain. Menurut NANDA (2012), harga diri rendah situasional merupakan perkembangan persepsi negatif tentang harga diri sebagai respons terhadap situasi saat ini, yaitu adanya gangguan fisik yang mengakibatkan ketergantungan terhadap orang lain.
Manusia memiliki harga diri, keinginan untuk dihargai oleh orang lain. Kebutuhan harga diri berhubungan dengan keinginan terhadap kekuatan, pencapaian, rasa cukup, kompetensi, percaya diri dan kemerdekaan. Manusia juga membutuhkan pengharagaan dari orang lain dan jika kebutuhan harga diri dan penghargaan dari orang lain tidak terpenuhi, orang tersebut akan merasa tidak berdaya dan merasa rendah diri ( Maslow dalam Potter & Perry, 2005). Jika konsep diri mengalami perubahan karena perubahan dan keterbatasan fisik, maka seorang perawat diharapkan mampu memberikan perawatan untuk meningkatkan konsep diri dan gambaran diri. Tentu saja tindakan keperawatan tersebut bergantung pada sistem dukungan dan kepribadian klien, penyebab dari gangguan konsep diri dan sumber yang tersedia. Jika tingkat harga diri pasien sangat rendah, berarti mereka gagal beradaptasi dan melakukan konservasi, sehingga perawat berkewajiban untuk membantu memenuhi kebutuhan lain disamping upaya untuk meningkatkan harga diri pasien.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
82
Terjadinya distres pada pasien diabetes merupakan suatu gejala unik yang mengacu pada beban emosional yang tersembunyi dan munculnya kekhawatiran akan pengalaman ketidakmampuan manajemen diabetes (Lawrence, Marilyn, Joseph, Patricia & Russel, 2008). Menjadi pendengar yang baik dan memberi kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan harapannya dapat menjadi acuan seberapa besar keinginan pasien dalam menjalani perawatan saat ini. Hindari menyembunyikan kebenaran atau memberi harapan palsu pada pasien mengenai kondisi sakitnya. Perawat berkewajiban untuk memberi informasi yang benar pada pasien maupun keluarga untuk membantu pasien mengambil keputusan yang tepat dalam pengobatan maupiun perawatan yang dilakukan padanya.
Intervensi lain yang dilakukan yaitu mendorong pasien agar menerima perubahan yang terjadi untuk menghadapi kehidupan dengan lebih optimis, selalu berfikir positif dan libatkan keluarga untuk mencapai tujuan ini. Perawat juga harus dapat memberikan penguatan yang positif mengenai diri pasien, membantu pasien untuk beradaptasi sehingga tercapai integritas konservasi personal. Pelletier dalam Lorentz (2006) mengatakan bahwa perasaan negatif seperti takut, putus asa dan depresi akan mempengaruhi proses biokimia dalam tubuh, hal ini berkaitan dengan konsep mind body healing, dimana pikiran berpengaruh terhadap proses penyembuhan. Pikiran negatif akan memicu stres yang memicu peningkatan glukosa darah pada pasien DM. Stres akan menstimulasi sympsthic-adrenal medullary (SAM) dan hypothalamic pituitary adrenal (HPA) untuk merangsang hormon epinefrin dan kortisol dari kelenjar adrenal yang akan meningkatkan kadar glukosa darah.
Secara umum, penerapan teori model konservasi Levine ini dapat diterapkan pada pasien dengan masalah endokrin, khususnya DM sebab pasien DM mengalami masalah pada integritas energi akibat gangguan fungsi dan kerja insulin, berdampak pada gangguan keseimbangan elektrolit dan pemenuhan nutrisinya. Hiperglikemia juga akan mengakibatkan masalah pada integritas struktural terkait dengan komplikasi yang ditimbulkan yaitu adanya ulkus diabetik yang diperparah jika pasien juga mengalami PAD. Hal ini akan berdampak pada gangguan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
83
integritas personal dan sosial akibat gangguan pada konsep dirinya. Peran perawat adalah mengadaptasikan pasien mengalui penerapan prinsip konservasi sehingga keutuhan dalam hal ini kesehatan pasien dapat tercapai.
Ada beberapa hambatan dalam mengintegrasikan konsep Levine dalam pembuatan asuhan keperawatan. Levine tidak mendefinisikan secara jelas bagaimana menyusun hipotesis. Levine hanya menjelaskan bahwa perawat akan menyusun masalah dan solusinya, selanjutnya hipotesis ini akan menjadi rencana keperawatan. Idealnya, dalam menyusun suatu rencana keperawatan terdiri dari tujuan serta outcome dan hal ini tidak dijelaskan secara rinci pada model konservasi levine. Sebagai contoh: Pada diagnosa keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan adanya stenosis, maka hipotesis yang muncul yaitu perfusi jaringan akan meningkat jika sirkulasi baik. Levine tidak menyebutkan outcome, dalam hal ini jika mengacu pada NOC, outcome yang muncul yaitu CRT < 3dtk, akral hangat, pulsasi arteri kuat, nyeri (-), nekrosis (-), edema (-). Oleh sebab itu evaluasi menjadi sulit untuk dilakukan. 3.3. Analisis penerapan model konservasi Levine pada 31 kasus kelolaan Selama melakukan praktik di RSUPN Ciptomangunkusomo Jakarta, residen mengelola 31 pasien endokrin. Mayoritas pasien yang dikelola yaitu pasien DM Tipe 2, meskipun ada 1 pasien dengan DM Tipe 1. Komplikasi yang muncul pada DM Tipe 2
yang membuat pasien menjalani perawatan di RS ditemukan
sebanyak 14 pasien mengalami ulkus diabetik, 10 pasien mengalami hipoglikemia,7 pasien dengan komplikasi CKD St V dan 5 pasien dengan KAD. Masalah keperawatan yang ditemukan pada 31 pasien kelolaan yaitu ketidakstabilan kadar glukosa darah, risiko infeksi, ketidakseimbangan elektrolit dan risiko penurunan perfusi jaringan jantung, ketidakefektifan perfusi jaringan perifer, keletihan, kelebihan volume cairan, risiko syok, konstipasi, kurang pengetahuan, ketidaberdayaan dan ketidakmampuan koping keluarga. Seluruh pasien mengalami ketidakstabilan kadar glukosa darah dan risiko infeksi.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
84
Beberapa faktor risiko yang mengakibatkan kadar glukosa darah yang tidak stabil yaitu; asupan diit yang tidak sesuai, pemantauan glukosa darah yang tidak tepat, kurangnya kepatuhan terhadap manajemen diabetes, pemberian terapi medikasi yang tidak tepat, kondisi stres maupun status kesehatan fisik (NANDA, 2012). Perawat hendaknya memamtau porsi makan yang mampu dihabiskan pasien, menghitung kebutuhan kalori pasien yang disesuaikan dengan porsi makanan yang ia dapatkan. Dalam beberapa kasus terjadi suatu masalah yaitu pasien tidak menghabiskan porsi makanan yang diberikan oleh RS dan setelah dihitung kebutuhan kalorinya, didapatkan bahwa porsi makanan yang diberikan lebih dari kebutuhan kalori yang seharusnya ia dapatkan. Peran kolaborasi antara perawat dan ahli gizi sangat diperlukan. Gastroparesis yang terjadi pada pasien DM juga mengakibatkan kurangnya nafsu makan akibat lambatnya pengosongan lambung dan tentu saja hal ini akan mempengaruhi ketidakstabilan glukosa darah dan cenderung terjadi hipoglikemia. Hipoglikemia yang terjadi pada pada 10 pasien disebabkan oleh berbagai faktor, mayoritas terjadi pada pasien yang mendapat terapi OHO golongan sulfonilurea. Pada pasien lansia cenderung untuk terjadi hipoglikemia yang tidak disadari akibat adanya neuropati otonom dan penurunan sensitifitas norepinefrin.
Adanya hiperglikemia yang dilanjutkan dengan KAD juga merupakan kondisi ketidakstabilan kadar glukosa darah dan kondisi ini ditemukan pada 5 pasien. Penyebab KAD pada pasien tersebut kemungkinan karena infeksi dari ulkus diabetik. Infeksi akan meningkatkan sekresi kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa darah (Gotera & Budiyasa, 2010).
Adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama natrium, kalium dan magnesium mempengaruhi proses metabolik dan keseimbangan energi pada pasien DM. Hipokalemia pada pasien DM juga dapat diakibatkan oleh terapi insulin yang berlebihan yang mengakibatkan influks Kalium dari ekstrasel kedalam sel. Hipomagnesia yang tidak tertangani secara terus menerus akan mengakibatkan perkembangan komplikasi DM yang lebih cepat. Hiponatremia dapat disebabkan karena gangguan fungsi glomerulus dan tubulus pada ginjal, dibuktikan dengan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
85
adanya mikroalbuminuria dan proteinuria. Kondisi hiperglikemia dan dislipidemia juga berkontribusi terhadap kejadian pseudohiponatremia pada pasien DM. Adanya mikroalbuminuria dan proteinuria juga menandakan tingat keparahan nefropati diabetes, bahkan ditemukan beberapa pasien telah mengalami CKD yang memerlukan terapi hemodialisis dan Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Pasien diabetes ini umumnya mengalami anemia akibat adanya gangguan pada renal yang mengakibatkan produksi
eritropoietin menurun.
Kondisi anemia ini akan mengakibatkan keletihan. Anemia lebih menonjol terjadi pada pasien DM dibandingkan non DM dan dapat terjadi pada tahap awal penyakit ginjal yaitu hanya dengan pemeriksaan mikroskopik ditemukannya protein dalam urin (Thomas et al, 2003).
Pasien DM berisiko untuk terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh penurunan imunitas. DM merupakan penyakit kronik yang dapat menyebabkan beberapa kelainan dalam sistem pertahanan tubuh. Terganggunya fungsi insulin mengakibatkan regulasi energi terganggu yang dapat mempengaruhi fungsi sel , termasuk gangguan fungsi dan produksi sel-sel imun (Wijayakusuma, 2004). Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan risiko terkena infeksi, diantaranya infeksi jamur, saluran kemih dan Tuberculosis (TB). Terdapat 3 dari 31 pasien kelolaan yang mengalami TB. DM meningkatkan risiko TB aktif sebesar 3,11 kali (Wulandari & Sugiri, 2013). Peningkatan prevalensi DM sebagai faktor risiko TB juga disertai peningkatan prevalensi TB (Cahyadi &
Venty, 2011). TB
disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis yang berbentuk batang, tidak membentuk spora, bersifat aerob dan tahan asam. Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden TB paru pada penderita DM berupa defek pada fungsi selsel imun dan mekanisme pertahanan penjamu. Dijelaskan juga bahwa aktivitas bakterisidal leukosit berkurang pada pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki kontrol glukosa buruk. Meningkatnya risiko TB pada pasien DM juga disebabkan oleh defek pada makrofag alveolar atau limfosit T. Terjadi peningkatan jumlah makrofag alveolar matur (makrofag alveolar hipodens) pada pasien TB paru aktif, namun tidak ditemukan perbedaan jumlah limfosit T yang signifikan antara pasien TB dengan DM dan pasien TB saja. Proporsi makrofag
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
86
alveolar matur yang lebih rendah pada pasien TB yang disertai DM akan semakin meningkatkan perluasan TB dan jumlah bakteri dalam sputum pasien TB dengan DM (Cahyadi & Venty, 2011).
Kegagalan sistem imun menjadi penyebab DM sebagai faktor risiko aktivasi TB laten. Kondisi paru penderita DM dapat dijumpai penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat sekunder dari komplikasi mikroangiopati. Gangguan neuropati dari saraf otonom berupa hipoventilasi sentral dan sleep apneu. Selain itu dapat terjadi penurunan elastisitas recoil paru, penurunan kapasitas difusi karbon monoksida dan peningkatan endogen produksi karbonmonoksida (Prakash dalam Wulandari & Sugiri, 2013). Kejadian infeksi paru pada penderita DM merupakan akibat kegagalan sistem pertahanan tubuh yakni gangguan pada fungsi epitel pernafasan juga motilitas silia. Gangguan fungsi endotel kapiler vascular paru, kekakuan korpus sel darah merah, perubahan kurva disosiasi oksigen akibat kondisi hiperglikemia yang lama menyebabkan kegagalan fungsi mekanisme pertahanan tubuh melawan infeksi (Ljubiae dalam Wulandari & Sugiri, 2013).
Beberapa pasien juga menunjukkan adanya pneumonia dari gambaran klinis dan hasil rontgen. Fagositosis oleh makrogaf paru merupakan mekanisme pertahanan dari inhalasi bakteri dan mekanisme pertahanan ini menurun pada pasien diabetes. Kondisi asidosis mengganggu mekanisme bakterisidal oleh paru dan ini menjadi faktor tambahan tidak terkontrolnya pasien DM terlebih lagi pada pasien DM yang bedrest, kemungkinan terjadinya pneumonia akan lebih besar (Inzucchi, 2005).
Terdapat 14 pasien kelolaan yang mengalami ulkus diabetik. Penyebab terjadinya ulkus diabetik yaitu akibat neuropati, iskemia maupun injury (Delmas, 2006). Ulkus kaki diabetik merupakan luka kronis yang tidak akan sembuh dengan sendirinya sehingga memerlukan penanganan aktif. Beberapa faktor yang telah diidentifikasi pada penanganan dan manajemen ulkus kaki diabetik yaitu pengontrolan kadar glukosa darah, pengontrolan infeksi, perawatan luka,
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
87
pemenuhan waktu tidur yang cukup dan menghilangkan nyeri (Holt, 2013). Pemilihan antibiotik yang tepat disesuaikan dengan kultur luka akan menurunkan kejadian infeksi lebih lanjut. Delmas (2006) juga mengatakan bahwa untuk meningkatkan proses penyembuhan luka ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu; debridement jaringan, optimalisasi lingkungan luka, pemilihan dresing yang tepat, menghindari trauma atau tekanan, pemilihan alas kaki, meningkatkan oksigenasi dan perfusi serta pengontrolan infeksi. Beberapa pasien diketahui mengalami PAD, sehingga pada pasien ini luka akan sulit sembuh
jika
vaskularisasinya
tidak
ditangani.
Adanya
ulkus
diabetik
mengakibatkan gangguan pada integritas struktural yang mempengaruhi integritas lainnya, seperti integritas energi, sosial dan struktural. Luka yang mengalami infeksi berat berisiko untuk terjadinya hiperglikemia dan KAD yang meningkatkan kebutuhan energi. Luka diabetik juga mengakibatkan masalah pada konsep diri pasien, terlebih lagi jika pasien mengalami amputasi yang mengakibatkan harga diri rendah dan ketidakberdayaan. Dukungan dari keluarga dan orang terdekat sangat membantu dalam upaya adaptasi untuk meningkatkan konservasi sosial pada pasien.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
BAB 4 Penerapan Evidence Based Nursing (EBN)“Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI) Post Exercise pada Pasien DM dengan Klaudikasio Intermiten”
4.1
Latar Belakang
Peripheral Arterial Disease (PAD) merupakan kondisi yang ditandai adanya penyempitan arteri perifer akibat proses aterosklerosis dan umumnya terjadi pada arteri di kaki (Chesbro et al, 2011).
Pasien dengan PAD berisiko tiga sampai
empat kali terkena penyakit kardiovaskuler
dibandingkan pasien tanpa PAD
(Dachun et al, 2010). Prevalensi terjadinya PAD bervariasi, mulai dari 8 hingga 12 juta orang dan hampir setengah dari jumlah tersebut asimptomatik dan tidak terdiagnosa (Cacoub, Cambou & Kownator, 2009). Menurut Allison et al (2007), rata-rata 1 dari 16 orang dewasa yang berusia lebih dari 40 tahun di Unitede States mengalami PAD. PAD umumnya terjadi pada orang African amerika, usia dewasa tua,
orang dewasa dengan riwayat penyakit aterosklerotik, penyakit
kardiovaskuler, diabetes, hiperkolesterolemia, klaudikasio intermiten, infark miokard, obesitas penyakit ginjal dan merokok (Chesbro et al, 2011). PAD umumnya tidak terdiagnosis dan kurang mendapat perawatan optimal. Hanya 40% pasien mengalami gelaja ini dan hanya 1/3 nya yang melaporkan gejalanya pada dokter (O’Donnell et al,2011). Gejala klasik dari PAD ini yaitu klaudikasio intermiten, pasien umumnya mengeluh nyeri saat beraktifitas dan nyeri berkurang jika beristirahat.
Pada kondisi PAD berat dapat mengakibatkan amputasi atau
kematian.
Salah satu cara yang dilakukan untuk mendeteksi adanya PAD yaitu melalui pemeriksaan Ankle Brachial Index (ABI). Pemeriksaan ABI merupakan gold standard pengukuran noninvasive untuk deteksi PAD dan direkomendasikan sebagai bagian dari pengkajian individu yang berisiko terhadap penyakit tersebut (Migliacci, 2008). Nilai ABI ditentukan dengan membagi tekanan darah sistolik tertinggi pada masing-masing ankle dengan tekanan darah sistolik tertinggi pada brachial. ABI sangat membantu dalam menentukan beratnya suatu penyakit dan mampu melakukan pemantauan hemodinamik yang signifikan pada beberapa
88
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
89
penyakit. Nilai ABI yang normal berkisar 0.91-1.3 meskipun nilai 0.91-0.99 dikatakan borderline PAD. Nilai 0.41-0.9 menunjukkan PAD ringan-sedang. Nilai ABI ≤ 0.4 dikatakan mengalami PAD berat, sedangkan nilai ABI ≥ 1.3 menunjukkan adanya kalsifikasi pembuluh darah (Hirz et al, 2006).
Jika pasien memiliki nilai ABI normal, namun gejala klinis menunjukkan adanya klaudikasio intermitten, maka pemeriksaan ABI post exercise harus dilakukan (Cassar, 2006 dan Stein, 2006). Spesifisitas dan sensitifitas ABI saat istirahat tinggi yaitu 99% dan 94-97% untuk mendeteksi tingkat stenosis yang setara dengan angiografi dan hasil negative palsu muncul pada pasien PAD yang memiliki nilai ABI normal namun nilai ABI menjadi rendah setelah dilakukan latihan tungkai (Carter, Ouriel dalam Stein et al, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Langen dkk (2009) juga menyebutkan pemeriksaan ABI post exercise lebih reliabel dan mampu secara objektif dalam diagnosis pasien intermitten claudikasio.
Ketidakmampuan penilaian ABI saat istirahat dalam mendeteksi stenosis arteri ringan diakibatkan oleh terjaganya tekanan perfusi di tempat tersebut. Hal ini sesuai dengan hukum Poisseuille, kecepatan aliran darah melalui saluran yang sempit berbanding lurus dengan pangkat empat jari-jari saluran (May et al dalam Stein, 2006). Selama latihan, aliran darah tidak bisa meningkat melebihi zona stenosis meskipun penurunan resistensi dihasilkan dari dilatasi arteriol, akibatnya tekanan darah distal akan menurun (Capellen dalam Stein, 2006).
Ketidaktepatan
dalam
diagnosis
PAD
mengakibatkan
ketidakadekuatan
penanganan PAD dan hal ini dapat mengakibatkan kodisi yang serius seperti amputasi, gangguan kapasitas fungsional, kualitas hidup dan depresi. PAD juga merupakan penanda kuat aterosklerotik serta risiko kardiovaskuler dan
telah
diketahui memiliki hubungan yang erat dengan risiko jantung koroner. Pasien ini berisiko tinggi terhadap kematian, infark miokard, stroke,
perawatan di RS
dengan rate tinggi yaitu sekitar 21% per tahun (Steg, et al, 2007).
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
90
Berdasarkan studi pendahuluan di Poliklinik Endokrin RSCM sejak 5 bulan terakhir (Januari-Mei 2014) sebanyak 13.2% pasien berada dalam borderline PAD (ABI 0.91-0.99) dan sebanyak 16% pasien telah mengalami PAD. Jumlah pasien yang mengalami PAD kemungkinan akan bertambah, sebab pemeriksaan ABI saat itu dilakukan dalam kondisi istirahat. Berdasarkan uraian diatas, residen merasa tertarik untuk menerapkan evidence based, melakukan pengukuran ABI post exercise pada pasien dengan gejala klaudikasio intermitten agar mendapatkan nilai ABI yang lebih valid dalam diagnosis PAD.
4.2
Pembuatan PICO dan penelusuran literatur
Sebelum dilakukan penelusuran literatur, terlebih dahulu residen melakukan membutan PICO dan pertanyaan klinis. Populasi pada EBN ini yaitu pasien DM dengan keluhan nyeri klaudikasio intermitten namun memiliki nilai ABI normal saat istirahat. Intervensi berupa pengukuran ABI post exercise dibandingkan dengan pengukuran ABI saat istirahat. Outcome berupa hasil pengukuran ABI post exercise lebih objektif untuk diagnosis PAD sehingga muncul pertanyaan klinis “Apakah melakukan pengukuran ABI post exercise lebih objektif untuk mendiagnosis PAD dibandingkan dengan pengukuran ABI saat istirahat pada pasien dengan keluhan nyeri klaudikasio intermitten namun memiliki ABI normal saat istirahat?”.
Langkah selanjutnya yaitu metode penelusuran literatur. Penelusuaran jurnal terutama jenis penelitian dengan menggunakan randomized control trial (RCT) dan systematic review. Kata kunci: leg exercise, foot exercise, ankle exercise, ankle brachial index, ABI, ABPI, vascularization, circulation. Adapun jurnal penelitian yang ditelusuri yaitu melalui Cochrane, PubMed, Proquest dan EBSCO-CINAHL. Dari penelusuran tersebut, didapatkan dua jurnal yang mendukung yaitu: a)
Langen H, Gurp J, Rubbens L. Interobserver variability of ankle brachial index measurements at rest and post exercise in patients with intermittent claudication. Vascular Medicine 2009; 14:221-226.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
91
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui reliabilitas pengukuran ABI saat istirahat dan post exercise dalam praktik sehari-hari pada laboratorium vascular. Subjek penelitian ini adalah variabilitas interobserver dari pengukuran ABI saat istirahat dan post exercise pada pasien dengan gejala intermiten klaudikasio. Pengukuran ABI post exercise dilakukan segera setelah pasien diintruksikan melakukan jalan selama 5 menit pada treadmill dengan kecepatan 3 km/jam dan slope 8%. Jika pasien tidak mampu menyelesaikan latihan dan timbul gejala, pengukuran jarak tempuh tidak dilakukan. Setelah 15 menit beristirahat, pasien dianjurkan melakukan protocol yang sama dan penilaian akan dilakukan oleh observer kedua, dimana observer ini tidak tahu hasil penilaian dari observer pertama. Penilaian ABI ini dilakukan pada kedua kaki 20 pasien dengan gejala klaudikasio
intermiten.
Hasil
penelitian
terhadap
40
pasang
kaki
menunjukkan, rata-rata nilai ABI istirahat pada observer pertama yaitu 0.84 (SD ±0.18) dan observer kedua 0.84 (SD ±0.17). Rata-rata nilai ABI post exercise 0.73 (SD ± 0.25) dan 0.74 (SD ±0.27). Standar deviasi dari perbedaan ABI antarobserver adalah 0.08 saat istirahat dan 0.15 post exercise. Interobserver variabilitas ABI yaitu 10% saat istirahat dan 21% post exercise. Variabilitas interobserver post exercise lebih reliabel dan objektif untuk diagnosis klaudikasio intermiten.
b) Stein R, Hriljac I, Halperin JL, Gustavson SM, Teodorescu V,Olin JW. Limitation of resting ankle brachial index in symptomatic patients with peripheral arterial disease. Vascular Medicine 2006;11:29-33. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengukuran diagnostic ABI saat istirahat pada pasien yang yang dirujuk ke laboratorium vascular untuk evaluasi suspek PAD, menilai pulse volume recording dan nilai ABI post exercise pada pasien dengan ABI normal. Metode penelitian ini adalah retrospective dan observasional studi. Penilaian ABI dilakukan saat istirahat dan segera dilakukan setelah responden berjalan selama 5 menit dengan treadmill atau hingga timbul gejala yang membuat pasien berhenti melakukan exercise. Populasi penelitian ini 396 orang dengan usia rata-rata 69 tahun.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
92
Dari 396 responden, didapatkan nilai resting ABI normal yaitu 183 (46.2%), abnormal 159 (40.2%) dan noncompressible 54 orang (13.6%). Beberapa responden yang memiliki ABI normal tidak melakukan exercise testing karena ketidakmampuan melakukan exercise, adanya penyakit jantung yang berat dan responden menolak. Dari 138 pasien yang melakukan exercise, 84 orang memiliki ABI normal saat istirahat. Dari 84 responden, terdapat 26 orang yang nilai ABI nya < 0.9 setelah latihan. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu hampir separuh dari pasien yang dirujuk kelaboratorium vascular karena suspek gangguan arteri memiliki nilai ABI normal saat istirahat. Saran dari penelitian ini yaitu jika nilai ABI normal saat istirahat namun pasien memiliki gejala intermiten klaudikasio, exercise testing direkomendasikan untuk meningkatkan sensitifitas deteksi PAD.
4.3
Pelaksanaan EBN
Subyek penelitian ini adalah pasien DM yang datang ke Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta dengan kriteria inklusi adalah: pasien DM, mengalami keluhan klaudikasio intermiten dan atau memiliki nilai ABI istirahat borderline 0.91-0.99. Kriteria ekslusi: pasien dengan ulkus pada plantar kaki dan pasien yang tidak mampu melakukan latihan heel raises exercise. Tempat pelaksanaan EBN di Poliklinik Penyakit Dalam (Poli Kaki) RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta. Setelah melakukan pengurusan perijinan ruangan pada bidang diklat RS dan meminta ijin pada kepala ruangan dengan menjelaskan tujuan penerapan EBN, selanjutnya residen melakukan sosialisasi kepada perawat tanggal 18 Juni 2014 yang saat itu dihadiri oleh 11 perawat. Pelaksanaan EBN dilakukan mulai tanggal 19-26 Juni 2014.
Prosedur pelaksanaan EBN yaitu melakukan screening pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Selanjutnya meminta persetujuan pasien dengan inform consent dengan terlebih dahulu menjelaskan pada pasien mengenai tujuan, manfaat dan prosedur pelaksanaan EBN. Setelah diberikan informed consent, pasien dilakukan pengukuran ABI saat istirahat. Selanjutnya, pasien diminta untuk melakukan latihan “heel raises” Pasien diminta untuk melakukan latihan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
93
ini dengan mengangkat tumit hingga mencapai ketinggian dan kecepatan maksimum yang mampu dicapai pasien selama kurang lebih 30 detik atau hingga timbul gejala sehingga pasien tidak mampu untuk meneruskan latihan. Segera setelah latihan, pasien dilakukan pengukran ABI kembali. Total keseluruhan jumlah pasien yang memenuhi kriteria inklusi yaitu sebanyak 17 pasien.
4.4
Hasil Penerapan EBN Karakteristik responden berdasarkan usia, lama mengalami DM, nilai ABI saat istirahat dan setelah latihan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.1 Distribusi responden berdasarkan usia, lama DM, nilai ABI saat istirahat dan setelah latihan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta, 19-26 Juni 2014 (n=17) No 1 2 3
4
Variabel Usia Lama DM ABI istirahat Dextra Sinistra ABI post exercise Dextra Sinistra
Mean 60.59 6.15
SD 7.46 6.65
Minimal-Maksimal 44- 70 0.08 – 20.00
1.057 1.038
0.081 0.123
0.900 - 1.232 0.798 - 1.312
1.005 0.978
0.067 0.103
0.900 - 1.154 0.722 - 1.145
Rata-rata usia responden yaitu 60.59 tahun, memiliki riwayat DM sejak 6.15 tahun. Rata-rata hasil pemeriksaan ABI istirahat pada kaki kanan yaitu 1.057 dan kaki kiri 1.038. Setelah dilakukan latihan heel raise, ratarata nilai ABI mengalami penurunan yaitu nilai ABI pada kaki kanan 1.005 dan pada kaki kiri 0.978.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
94
Karakteristik reponden berdasarkan jenis kelamin, riwayat merokok dan riwayat hipertensi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, riwayat merokok dan riwayat hipertensi di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta, 19-26 Juni 2014 (n=17) No 1
2
3
Variabel Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Riwayat merokok Ya Tidak Sudah berhenti Riwayat Hipertensi Ya Tidak
Frekuensi
Persentase (%)
10 7
58.8 41.2
1 9 7
5.9 52.9 41.2
10 7
58.8 41.2
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 10 orang (58.8%), tidak memiliki riwayat merokok sebelumnya sebanyak 9 orang (52.9%) dan memiliki riwayat hipertensi sebanyak 10 orang (58.8%).
4.5
Pembahasan Pengukuran ABI merupakan lini pertama penyaringan dan diagnosis PAD yang bersifat noninvasif, memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (Esther, Wattanakit & Gornik, 2012). Nyeri klaudikasio yang muncul pada pasien DM diakibatkan oleh adanya penurunan suplai darah ke bagian distal pada arteri yang mengalami penyempitan akibat sumbatan aterosklerosis. Karakteristik klaudikasio adalah nyeri otot pada betis, paha, pantat diperberat saat beraktifitas dan berkurang jika istirahat.
Berdasarkan karakeristik pasien diketahui bahwa rata-rata usia pasien yaitu 60.59 tahun dan memiliki riwayat DM sejak 6.15 tahun. Prevalensi PAD akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Pada pasien DM, setiap peningkatan 1% HbA1C akan terjadi peningkatan risiko PAD sebanyak 26% (Selvin et al, 2004). Resistensi insulin meningkatkan faktor risiko terjadinya PAD sebanyak 40-50% meskipun pada pasien tanpa DM.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
95
Resistensi insulin meningkatkan pengeluaran asam lemak bebas dari jaringan adipose, yang mengaktivasi enzim protein kinase C, menghalangi posphatidilinositol 3 (PI-3) kinase dan meningkatkan produksi reaktif oksigen, mekanisme yang secara langsung mengganggu produksi NO atau menurunkan bioavailibilitas (Beckman, Creager & Libby, 2002).
Mayoritas pasien berjenis kelamin laki-laki dan memiliki riwayat hipertensi. Meningkatnya risiko PAD pada laki-laki kemungkinan diakibatkan oleh adanya riwayat merokok sebelumnya, meskipun dari data ditemukan mayoritas pasien yaitu sebanyak 52.9% mengatakan mereka tidak merokok, namun diketahui ada sebanyak 7 pasien (41.2%) pernah merokok dan kini mereka sudah berhenti merokok. Asap rokok diketahui dapat menyebabkan disfungsi endotel pembuluh darah, meningkatkan onsentrasi fibrinogen, menurunkan
aktivitas fibrinolitik dan meningkatkan agregasi platelet.
Perokok berisiko tiga kali lebih tinggi untuk terjadi klaudikasio intermiten dan menunjukkan gejala 10 tahun lebih cepat dibandingkan dengan bukan perokok. (O’Donnell et al, 2011). Hipertensi berhubungan erat dengan seluruh penyakit kardiovaskular, diantaranya PAD. 33-35% pasien dengan PAD juga menunjukkan hipertensi (Clement, De Buyzere & Duprez, 2004). Meskipun demikian, mekanisme disfungsi sel otot polos pembuluh darah dan hipertensi pada diabetes masih belum diketahui (Creager M, Luscher T & Beckman J, 2014).
Berdasarkan hasil penerapan EBN, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan rata-rata hasil pemeriksaan ABI pada kedua kaki setelah dilakukan latihan heel raises dibandingkan dengan pengukuran ABI saat istirahat. Meskipun seluruh hasil nilai ABI tersebut berada dalam rentang normal (0.9-1.3), namun pasien telah menunjukkan adanya gejala klaudikasio dan terbukti terjadi penurunan nilai ABI. Ketidakmampuan penilaian ABI saat istirahat dalam mendeteksi stenosis arteri ringan diakibatkan oleh terjaganya tekanan perfusi di tempat tersebut. Hal ini sesuai dengan hukum Poisseuille, kecepatan aliran darah melalui saluran yang sempit berbanding lurus dengan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
96
pangkat empat jari-jari saluran/ pembuluh darah. Selama latihan, aliran darah tidak bisa meningkat melebihi zona stenosis meskipun penurunan resistensi dihasilkan dari dilatasi arteriol, akibatnya tekanan darah distal akan menurun. Oleh karena itu pengukuran ABI post exercise lebih objektif dan reliabel untuk diagnosis PAD pada pasien dengan keluhan klaudikasio intermiten atau suspek PAD.
Hambatan yang ditemukan selama pelaksanaan EBN ini tidak ada, seluruh pasien mampu melakukan gerakan heel raises selama 30 detik dengan ketinggian dan kecepatan yang disesuaikan dengan kemampuan masingmasing individu. Dari 17 responden, ditemukan sebanyak 15 responden mengalami penurunan ABI rata-rata setelah latihan, 1 orang nilai ABI nya tetap dan 1 orang yang nilai ABI nya meningkat. Asumsi residen melihat kondisi ini yaitu akibat pencapaian latihan pada masing-masing individu berbeda. Ada yang mengatakan gerakan heel raises selama 30 detik tersebut telah mambuat kaki terutama betis dan pergelangan kaki menjadi nyeri, namun ada juga yang mengatakan belum ada respon samasekali terhadap gerakan tersebut.
Berdasarkan penerapan EBN ini, maka residen merekomendasikan agar pemeriksaan ABI post exercise dapat dijadikan SOP pada pasien dengan keluhan nyeri klaudikasio intermiten.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
BAB 5 Kegiatan Inovasi “Latihan kekuatan dan keseimbangan untuk mencegah kejadian jatuh pada pasien diabetes lansia dengan neuropati perifer”
5.1
Latar belakang Diabetes merupakan penyakit metabolik kompleks yang mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Salah satu gejala komplikasi DM yaitu neuropati yang dapat ditemukan pada hampir 50% pasien DM yang berusia lebih dari 60 tahun (Corriveau, 2000). Neuropati perifer akibat DM menyebabkan gangguan sensasi pada kaki, perubahan gaya berjalan sehingga mengurangi kemampuan pasien untuk menjaga keseimbangan selama melakukan aktifitas. Kondisi tersebut akan meningkatkan risiko kejadian jatuh pada DM usia lanjut. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta sejak Januari-Mei 2014, ditemukan data sebanyak 18 orang dari 106 kunjungan pasien mengalami neuropati. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh perawat untuk mencegah risiko jatuh pada pasien yang mengalami neuropati diabetik yaitu melalui perencanaan latihan fisik berupa latihan kekuatan dan keseimbangan. Dengan adanya latihan yang dilakukan secara kontinu diharapkan kekuatan dan keseimbangan pasien terutama otot ekstremitas bawah akan meningkat sehingga resiko jatuh dapat dicegah. Di Poliklinik Penyakit DalamRSUPN Ciptomangunkusumo hingga saat ini belum ada intervensi berupa latihan secara khusus yang diperuntukkan bagi pasien DM yang mengalami neuropati.
5.2
Analisis Situasi Proses pelaksanaan proyek inovasi ini dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo yang merupakan RS Pusat Rujukan Nasional yang memiliki visi memberikan pelayanan keperawatan paripurna yang bermutu dan professional dalam rangka menuju pelayanan keperawatan terkemuka di Asia Pasifik tahun 2014. Untuk mencapai visi 97
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
98
tersebut, RSCM memiliki beberapa misi, diantaranya; memberikan pelayanan kesehatan paripurna dan bermutu serta terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, menjadi tempat pendidikan dan penelitian tenaga kesehatan,
tempat
penelitian
dan
pengembangan
dalam
rangka
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui manajemen yang dinamis dan akuntabel.
Selanjutnya kami melakukan analisis situasi menggunakan SWOT. Kekuatan yang dimiliki oleh RSCM yaitu adanya dukungan dari manajemen termasuk perawat untuk melakukan tindakan keperawatan berdasarkan Evidence Based Practice, proses monitoring dan evaluasi terus dilakukan terkait 6 standar International Patient Safety Goals dan adanya 6 edukator diabetes di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo. Kelemahan/ weakness yaitu tidak tersedianya ruangan yang cukup memadai untuk pelaksanaan latihan, pasien berfokus untuk menunggu panggilan antrian dan keterbatasan tenaga perawat yang mengajarkan gerakan latihan. Kesempatan/ opportunity yang dimiliki yaitu;
RSUPN Dr Cipto
Mangunkusumo merupakan Rumah Sakit Pendidikan dan lahan praktik bagi mahasiswa keperawatan untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat di Pendidikan untuk diterapkan di lahan praktik, merupakan RS rujukan nasional yang telah mendapatkan akreditasi dari Joint Commission International (JCI) serta adanya Visi dan komitmen RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo untuk meningkatkan mutu pelayanan dan kepuasan pelanggan. Ancaman/threat yang harus diwaspadai yaitu adanya Undangundang perlindungan konsumen yang menuntut adanya peningkatan kualitas pelayanan keperawatan, responsibilitas dan akuntabilitas perawat telah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan RI serta adanya program speak up yang dicanangkan RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo memberi kesempatan masyarakat untuk lebih kritis terhadap pelayanan yang diberikan oleh perawat.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
99
5.3
Kegiatan Inovasi
5.3.1 Tahap persiapan Pada tahap ini kami melakukan pembuatan proposal inovasi, mendiskusikan dengan kepala ruangan rencana kegitan inovasi yang akan dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam. Selanjutnya menyusun panduan latihan berupa booklet yang telah dikonsultasikan dengan pembimbing akademik dan klinik. 5.3.2 Tahap pelaksanaan Sebelum pelaksanaan proyek inovasi, terlebih dahulu kami melakukan sosialisasi pada perawat di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo pada tanggal 18 Juni 2014. Proses pelaksanaan proyek inovasi ini dilakukan selama 6 hari yaitu sejak 19-26 Juni 2014.
Subjek pada proyek inovasi ini yaitu pasien DM dengan neuropati perifer, berusia 50 tahun dan mampu berjalan/ambulasi secara mandiri. Sedangkan pasien yang memiliki ulkus di kaki, memiliki penyakit akut, menggunakan alat bantu berjalan (tongkat, walker, tripod), Fraktur ( Tungkai, Vertebra), memiliki penyakit jantung berat, adanya amputasi tungkai dan charcoat foot diekslusikan dalam penelitian ini.
Subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi selanjutnya dilakukan beberapa penilaian sebelum proses latihan dilakukan. Penilaian tersebut berupa waktu berdiri tandem (dalam detik), jumlah berjalan tandem (dalam 1 menit), waktu berdiri unipedal (dalam satuan detik), tes berdiri dan berjalan dalam 3 meter atau time up and go test (dalam detik), waktu selama lima kali berdiri dari kursi (dalam detik) dan waktu tempuh berjalan 10 meter (dalam detik). Penilaian tersebut dilakukan untuk menentukan baseline sehingga progresifitas efek latihan akan dievaluasi berdasarkan nilai baseline ini.
Setelah dilakukan penilaian awal, selanjutnya pasien diajarkan cara melakukan latihan kekuatan dan keseimbangan yang terdiri dari 5 gerakan,
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
100
yaitu: berdiri tandem, berjalan tandem, berdiri unipedal, berdiri dan duduk di kursi serta gerakan melangkah. Gerakan berdiri tandem dan berdiri unipedal dilakukan selama 3 menit pada masing-masing kaki, 2 set perhari. Pada gerakan berjalan tandem, pasien diinstruksikan untuk berjalan dengan satu kaki berada di depan kaki yang lain, berjalan sebanyak 10 langkah yang dilakukan 5 set perhari. Untuk latihan kekuatan otot, pasien diintruksikan untuk duduk dan bangkit dari kursi tanpa berpegangan tangan, gerakan ini dilakukan sebanyak 10 kali selama 3 set perhari. Latihan terakhir yaitu gerakan melangkah, pasien diintruksikan untuk melangkah 1 langkah kedepan, ke belakang, kesamping kanan dan kiri. Gerakan ini dilakukan sebanyak 10 kali, 3 set perhari.
Setelah dilakukan latihan, pasien diberikan booklet yang digunakan sebagai panduan selama mereka melakukan latihan dirumah. Pasien diminta mengisikan kuesioner evaluasi booklet mengenai; informasi yang diberikan, tulisan booklet, tampilan dan warna gambar, kepraktisan dan manfaat booklet serta kelanjutan penggunaan booklet dirumah.
5.3.3 Tahap evaluasi Selama proses kegiatan inovasi ini yang dimuali dari pembuatan proposal, booklet, sosialisasi dan tahap pelaksanaan berlangsung dengan baik. Meskipun selama pelaksanaan proyek inovasi ini dilakukan oleh kelompok residen, namun perawat Poliklinik Endokrin juga sempat melihat dan mengikuti kegiatan kami. Hambatan yang ditemukan saat pelaksanaan yaitu terpecahnya konsentrasi dari pasien akibat keluar masuknya pasien lain ke ruangan tersebut. Hal ini disebabkan karena ruangan yang digunakan yaitu ruang Poli Kaki, dimana diruangan tersebut juga ada kegiatan perawatan luka dan pemeriksaan deteksi kaki (pemeriksaan ABI dan neuropati). Evaluasi hasil dilakukan pada pasien yang mendapatkan latihan kekuatan dan keseimbangan yang berjumlah 10 pasien. Evaluasi yang dilakukan berupa penilaian baseline selama latihan serta evaluasi terhadap penilaian booklet.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
101
Pada hasil penerapan proyek inovasi ini akan dipaparkan mengenai karakteristik responden, hasil penilaian baseline latihan serta hasil evaluasi booklet oleh responden.
Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta, 19-26 Juni 2014 (n=10) No 1
2
Variabel Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tingkat pendidikan S1 SMA SMP
Frekuensi
Persentase (%)
7 3
70 30
3 4 3
30 40 30
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa mayoritas pasien adalah lakilaki sebanyak 70% dan tingkat pendidikan mayoritas SMA sebanyak 40%.
Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan usia dan lama DM di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta, 19-26 Juni 2014 (n=10) No 1 2
Variabel Usia Lama DM
Mean 62.20 8.59
SD 6.05 6.71
Minimal-Maksimal 50 – 70 0.25 - 18
Berdasarkan tabel diatas, diketahui rata-rata usia responden yaitu 62.2 tahun dengan standar deviasi 6.05 tahun. Rata-rata lama mengalami DM yaitu 8.59 tahun dengan standar deviasi 6.71 tahun.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
102
Tabel 5.3 Hasil penilaian latihan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta, 19-26 Juni 2014 (n=10) No 1
2 3
4 5 6
Variabel Waktu berdiri tandem (detik) Dextra Sinistra Jumlah langkah berjalan tandem (dalam 1 menit) Waktu berdiri unipedal Dextra Sinistra Time up and go test (detik) Waktu selama 5 kali berdiri dari kursi (detik) Waktu tempuh berjalan 10 meter (detik)
Mean
SD
Minimal-Maksimal
125.00 105.20 34.30
55.68 56.49 8.11
35-180 15-180 17-45
95.80 42.50 10.80 14.70
64.71 44.28 2.39 4.30
20-180 2-120 7-15 10-22
15.40
2.55
12-18
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa rata-rata waktu yang dapat dicapat selama berdiri tandem pada kaki kanan yaitu 125 detik dan kaki kiri 105.2 detik. Rata-rata jumlah langkah berjalan tandem yang dapat dicapai selama 1 menit yaitu 34.3 langkah. Rata-rata pencapaian waktu berdiri unipedal menggunakan kaki kanan yaitu 95.8 detik, sementara kaki kiri 42.5 detik. Rata-rata pelaksanaan time up and go test membutuhkan waktu 10.8 detik dengan standar deviasi 2.39 detik. Rata-rata waktu yang dibutuhkan selama 5 kali berdiri dari kursi yaitu 14.7 detik, sementara waktu tempuh berjalan selama 10 meter yaitu 15.4 detik.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
103
Tabel 5.4 Hasil penilaian evaluasi booklet di Poliklinik Penyakit Dalam RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta, 19-26 Juni 2014 (n=10) No Pertanyaan Frekuensi Persentase (%) 1 Informasi yang diberikan jelas dan mudah dimengerti Sangat baik 8 80 Baik 2 20 Tidak baik 0 0 Sangat tidak baik 0 0 2 Tulisan dapat dibaca dengan jelas Sangat baik Baik 7 70 Tidak baik 3 30 Sangat tidak baik 0 0 0 0 3 Tampilan dan warna gambar jelas Sangat baik Baik 10 100 Tidak baik 0 0 Sangat tidak baik 0 0 0 0 4 Booklet ini media yang praktis untuk digunakan Sangat baik 8 80 Baik 2 20 Tidak baik 0 0 Sangat tidak baik 0 0 5 Manfaat booklet Sangat baik 9 90 Baik 1 10 Tidak baik 0 0 Sangat tidak baik 0 0 6 Buku ini akan saya gunakan untuk petunjuk latihan mandiri di rumah dan sebagai media informasi dan komunikasi dengan petugas Poli endokrin Ya Tidak 10 100 0 0
Hasil evaluasi terhadap isi booklet menunjukkan mayoritas pasien mengatakan sangat baik/sangat puas pada informasi yang disajikan dalam booklet, tulisan yang dapat dibaca dengan jelas, tampilan dan warna gambar yang jelas, Mereka juga memberi penilaian yang sangat baik bahwa booklet ini merupakan media yang sangat praktis untuk digunakan, memberi manfaat yang sangat baik serta seluruh pasien mengatakan akan menggunakan booklet ini sebagai petunjuk latihan mandiri di rumah dan sebagai media informasi dan komunikasi dengan petugas
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
104
poliklinik
Penyakit
Dalam
khususnya
poli
endokrin
RSUPN
Cipto
Mangunkusumo Jakarta.
5.4
Pembahasan
Neuropati perifer pada diabetes merupakan komplikasi kronis DM yang mengenai lebih dari 50% pasien DM dan umumnya dimulai dengan adanya lesi pada saraf perifer, berkembang pada saraf motoroik dan autonomik (Sartor et al, 2012). Kondisi tersebut secara bertahap akan berkembang menjadi hilangnya sensasi terhadap getaran, termal, perabaan dan sensitifitas proprioseptif.
Neuropati perifer mengakibatkan adanya gangguan sensorik dan motorik yang berdampak pada disfungsi mobilitas dan adanya gangguan berjalan serta gangguan keseimbangan (Allet et al, 2010). Pasien diabetes memiliki kecepatan berjalan yang lebih rendah, irama dan langkah kaki yang lebih pendek dibandingkan dengan pasien tanpa DM serta perubahan gaya berjalan ini meningkat pada permukaan yang tidak teratur. Lebih jauh lagi pada pasien diabetes akan dapat kita jumpai penurunan kemampuan rentang gerak sendi dan kekuatan otot sesuai dengan lamanya DM. Allet et al (2009) juga menemukan bahwa menurunnya kekuatan otot ektremitas bawah, ketakutan untuk jatuh dan gangguan sensorik berhubungan dengan adanya gangguan berjalan. Pasien dengan neuropati
diabetik
memperlihatkan
ketidakseimbangan
postural
akibat
ketidaktepatan pada daerah tumpuan yang lebih besar, ayunan atau goyangan yang lebih kuat dan ketidakseimbangan yang lebih kuat jika mata ditutup (Lafond, Corriveau & Prince,2004).
Menurunnya kekuatan otot pada ekstremitas bawah, hilangnya keseimbangan dan kemampuan berjalan telah diketahui sebagai faktor risiko kejadian jatuh terutama pada lansia. Adanya gangguan jaringan sepanjang sendi bagian distal, diantaranya penebalan struktur sendi, tendon dan ligamen ditemukan pada pasien DM (Glacornozzi & Martelli, 2006). Jaringan ini mengandung jumlah kolagen yang lebih besar dan terpapar dengan glikosilasi non enzimatik akibat hiperglikemia sehingga mengurangi elastisitas jaringan. Akibatnya, kaki akan menjadi kaku dan
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
105
mobilitas berkurang. Berdasarkan hasil observasi menggunakan Magnetic Resonance Image (MRI), telah ditemukan bahwa total jumlah otot kaki intrinsik pada pada pasien DM yang mengalami neuropati lama adalah setengahnya dibandingkan dengan pasien DM tanpa neuropati dan pasien sehat (Andreassen, Jakobsen & Andersen, 2006).
Oleh karena itu atrofi dari otot kaki ini
berhubungan erat dengan tingkat keparahan neuropati yang mengakibatkan disfungsi motorik.
Penguatan otot ekstremitas bawah dapat ditingkatkan melalui program latihan yang dilakukan secara kontinu. Adanya suatu konsensus yang menyebutkan bahwa latihan yang tepat untuk pasien lansia yaitu kombinasi dari latihan kekuatan otot belakang dan ekstremitas bawah, latihan keseimbangan dan berjalan untuk mencegah fraktur vertebral dan nonvertebral.
Pada kesempatan ini kelompok melakukan latihan kekuatan otot dan keseimbangan pada pasien DM yang mengalami neuropati. Sebelum latihan dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pengukuran baseline sebelum latihan. Salah satu pengukuran yang dilakukan yaitu Time Up and Go (TUG) Test. Tes TUG ini digunakan untuk menilai kemampuan mobilitas pasien dan menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dikatakan bahwa pasien dengan nilai TUG ≥ 12 berisiko untuk jatuh. Berdasarkan hasil penilaian terhadap responden, diketahui bahwa rata-rata nilai TUG yaitu 10.80 detik, meskipun demikian terdapat 4 responden yang memiliki nilai TUG ≥ 12. Latihan ini juga diharapkan dapat meningkatkan jumlah langkah saat berjalan. Meningktnya waktu berdiri unipedal dapat menghasilkan kestabilan saat berjalan dan gerakan berdiri tandem dan berjalan tandem yang dilakukan akan meningkatkan jumlah langkah kaki yang menyentuh tanah, dimana tumit dan ujung jari saling bersentuhan, gerakan ini akan mencegh kejadian jatuh akibat adanya sandungan. Gerakan duduk dan berdiri dari kursi bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot ekstremitas bawah. Dengan meningkatnya kekuatan otot diharapkan risiko jatuh juga akan menurun. Latihan diharapkan dilakukan selama 3 kali seminggu dan disesuaikan dengan kemampuan pasein. Pada saat pelaksanaan latihan,ada beberapa pasien yang tidak
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
106
mampu melakukan gerakan berdiri tandem maupun berdiri unipedal selama 3 menit. Secara umum, gerakan-gerakan dalam latihan ini aman dan mampu dilakukan oleh pasien diabetes lansia dengan neuropati dan kami percaya gerakan ini mampu dilakukan oleh pasien selama dirumah dengan pendampingan dari keluarga. Berdasarkan hasil analisis SWOT yang telah dilakukan, penerapan proyek inovasi ini telah mendapat dukungan dari manajemen termasuk perawat Poliklinik Penyakit Dalam RSCM, namun beberapa kendala yang ditemukan terkait dengan penerapan proyek inovasi ini kedepannya yaitu tidak adanya ruangan khusus dan tenaga perawat yang kurang untuk pelaksanaan latihan ini. Harapannya pihak manajemen mampu memfasilitasi hambatan ini dengan menyediakan ruangan khusus dan tenaga perawat atau fisioterapi yang telah terlatih sehingga proyek ini mampu dilaksanakan secara kontinu, mengingat manfaat pelaksanaan latihan yang sangat besar pada pasien DM khususnya yang mengalami neuropati. Adanya kontinuitas program latihan akan mendukung pencapaian Visi RSCM yaitu meningkatkan mutu pelayanan dan memberikan kepuasan pada pasien.
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1
Simpulan
6.1.1 Teori model konservasi Levine memungkinkan untuk diaplikasikan dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem endokrin, khususnya pasien DM, dimana umumnya
pasien DM akan
mengalami masalah konservasi energi, struktural, personal dan sosial. Perawat bertanggungjawab untuk meningkatkan proses adaptasi pasien terhadap masalah yang terjadi sehingga tujuan dari model konservasi ini, yaitu keutuhan akan tercapai. 6.1.2 Dalam penerapan EBN, terjadi penurunan rata-rata nilai ABI post exercise dibandingkan dengan pengukuran saat istirahat. Oleh sebab itu, pada pasien DM dengan keluhan nyeri klaudikasio intermiten diharapkan agar pengukuran ABI dilakukan segera setelah latihan agar mendapatkan nilai ABI yang lebih objektif. Ketepatan diagnosis akan mengakibatkan ketepatan dalam pemberian intervensi. 6.1.3 Kegiatan inovasi penggunaan booklet dalam pelaksanaan intervensi “Latihan kekuatan dan keseimbangan pada pasien DM dengan neuropati perifer” dapat dijadikan sebagai petunjuk latihan mandiri dirumah. Ratarata pasien menunjukkan kepuasan tinggi terhadap informasi yang disajikan dalam booklet. Diharapkan latihan dan pemberian booklet ini mampu menurunkan risiko jatuh pada pasien DM dengan neuropati.
6.2
Saran
6.2.1 Bagi pelayanan keperawatan a.
Hendaknya
dapat
mengadopsi
penerapan
pendekatan
model
konservasi levine dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien DM. b.
Sebagai
pemberi
memberikan
asuhan
intervensi
107
keperawatan,
keperawatan
hendaknya
berdasarkan
perawat
pembuktian
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
108
(evidence based practice) agar intervensi yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan. c.
Program inovasi berupa latihan kekuatan dan keseimbangan yang dilanjutkan dengan pemberian booklet hendaknya dapat dilaksanakan melalui integrasi program ini dengan PERSADIA
6.2.2 Bagi pendidikan dan perkembangan ilmu keperawatan Hendaknya pemberian intervensi keperawatan berdasarkan EBN terus dilakukan dan dikembangkan dan penerapan hasil EBN ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam membuat standar kompetensi spesialis perawat endokrin.
UNIVERSITAS INDONESIA Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
109
DAFTAR REFERENSI
Andreassen,C.,Jakobsen,J.,& Andersen,H. (2006). A Progressive late complication in diabetic distal symmetric polyneuropathy. Diabetes, 55: 80-812 American Diabetes Association (ADA). (2003). Peripheral arterial disease in in people with diabetes. Diabetes Care, 26,12. American Diabetes Association (ADA). (2014). Standard of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care. 36:S11-S65. Allet,L.,Armand, S.,Golay, A., Aminian, K.,& et al. (2010). The gait and balance of patients with diabetes can be improved: a randomised controlled trial. Diabetologia, 53, 458-466. Allet, L., Armand, S.,de Bie RA.,& et al.(2009). Gait alterations of diabetic patients while walking on different surfaces. Gait Posture, 29, 488-493. American Diabetes Association. (2010). Standards of medical care in diabetes2010. Diabetes Care, 33 (1), 511-561. Alligood,M., & Tomey,A. (2006). Nursing theory utilization & apllication (3rd ed). USA: Mosby. Alligood,M., & Tomey,A. (2010). Nursing theorist and their work.(7th ed). USA: Mosby Allison, MA.,Ho E.,Denenberg,JO.,& et al. (2007). Ethnic specific prevalence of peripheral arterial disease in the united states. Am J Prev Med.32;328-333 Almatsier,S. (2010). Penuntun diet. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Barnes,D. (2012). Program olahraga diabetes. Yogyakarta:PT Citra Aji Parama. Beckman, J.A.,Creager, M.A.,Libby, P. (2002). Diabetes and atherosclerosis: epidemiolgy, pathophysiology and management. JAMA.287: 2570-2581 Bhasavanthappa, B.T. (2007). Nursing theories. New Delhi: JBMP. Black,J., & HawksJ. (2009). Medical surgical nursing (8th ed). St Louis: Saunders Elsevier. Cacoub, P., Cambou, J.P., Kownator, S. & et al. (2009). Prevelance of peripheral arte-rial disease in high-risk patients using ankle-brachial index in general prac-tice: a cross-sectional study. Int J Clin Pract. 63:63-70
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
110
Cahyadi, A & Venty. (2011). Tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus. J Indon Med Assoc, 61 (4). Cassar, K. (2006). Intermitten Claudication. British medical journal, 333;10021005 Catalono,P., Kirwan,M., John,P., Sylvie, H.,et al. (2003). Gestational diabetes and insulin resistance. The journal of nutrition. June 17, 2014. ProQuest pg S1674 Chesbro,S.,Asongwed,E.,Brown,J.,& John,E. (2011). Reliability of doppler and stethoscope methods of determining systolic blood pressure: consideration for calculating an ankle brachial index. J Natl Med Assoc.103;863-869 Clement, D.L.,De Buyzere, M.L.,& Duprez, D.A. (2004). Hypertension in peripheral arterial disease. Curr Pharm.10 (29): 3615-20 Collins, R., Burch, J.,Cranny, G.,Ibanez, R.A.,Craig,D.,& et al. (2007). Duplex untrasonography, magnetic resonance angiography and computed tomography angiography for diagnosis and assesment of sympatomatic lower limb peripheral arterial disease: a systematic review. BMJ. 334 (7606): 1257 Corriveau H, Prince F, Hébert R, Raîche M, Tessier D, Maheux P, Ardilouze JL. Evaluation of postural stability in elderly with diabetic neuropathy. Diabetes Care. 2000;23(8): 1187–91. Creager,M.A.,Luscher, T.F.,Cosentino, F.,& Beckman,J.A. (2003). Diabetes and vascular disease: pathophysiology, clinical consequences and medical therapy part I. Circulation.108: 1527-1532 Dachun, X.,Jue L.,Liling Z.,Yawei,X.,& et al. (2010). Sensitivity and specificity of the ankle brachial index to diagnose peripheral artery disease; a structural review. Vascular medicine. 15 (5); 361-369 Deglin, JH & Vallerand, AH.2005. Pedoman obat untuk perawat ed 4. Jakarta: EGC Delmas, L.(2006). Best practice in the assessment and management of diabetic foot ulcers. Rehabilitation Nursing. 31 (6): 228-234 Diabetes programme. (2014). World Health Organization. June, 10, 2014 http://www.who.int/diabetes/en/ Dochterman, J.M & Bulechek,G.M. (2008). Nursing Intervention Classification (NIC). (5th ed). USA: Mosby Fawcett, J. (2005). Contemporary nursing knowledge. (2nd ed). Philadelphia: FA Davis Company
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
111
Gibbs, B.B.,Dobrosielski,D.A.,Althouse,A.D.,& Stewart,K.J.(2013). The effect of exercise training on ankle brachial index in type 2 diabetes. Atherosklerosis. 230: 125-130 Gotera, W & Budiyasa D,G. (2010). Penatalaksanaan ketoasidosis diabetik (KAD). J.Penyakit Dalam, 11(2): 126-138 Greenstein, B., & Wood, D. (2010). At a glance sistem endokrin (2 nd ed). Jakarta: Erlangga. Hamburg,N.,& Balady, G,J.(2011). Exercise rehabilitation in pheripheral arteri disease. Circulation.123: 87-97. Herdman,T.H. (2012). NANDA International nursing diagnoses: definition & classification,2012-2014.Oxford: Wiley-Blackwell Hirsh, A.T.,Haskal, Z.J.,Hertzer, N.R.,& et al. (2006). ACC/AHA 2005 guidelines for the management of patients with peripheral arte-rial disease (lower extremity, renal, mesenteric, and abdominal aortic). Circulation,113; 463654 Hirsh IB. (2005). Insulin Analogues. N Engl J Med; 352:174-183 Holt,P. (2013). Assessment and management of patients with diabetic foot ulcers. Nursing Standar, 27 (27): 49-55 IDF
diabetes atlas 2013. June 10, http://www.idf.org/sites/default/files/EN_6E_Atlas_Full_0.pdf
2014.
Inzucchi,S., Ellenberg, M., & Rifkin,H. (2005). The diabetes mellitus manual. USA: Mc Graw Hill. Iwamoto, J.,Suzuki,H.,Tanaka,K.,Kumakubo, T., Hirabayashi,H.,et al. (2009). Preventative effect of exercise against falls in the elderly: a randomized controlled trial. Osteoporos Int.20: 1233-1240 Jansen,M.P.,& Stauffacher,M.Z. (2010). Advance practice nursing core concepts for professional role development. (4th ed). USA: Springer publishing company. Kasapis C, Thompson PD. 2005. The effects of physical activity on serum Creaktive protein and inflammatory markers: a systematic review. J Am Coll Cardiol;45:1536-1569 Kawasaki,T.,Uemura,T.,Matsuo,K.,Matsumoto, K.,Harada,Y.,et al. (2013). The effect of different positions on lower limbs skin perfusion pressure.Indian Journal of Plastic Surgery.46: 508-512
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
112
Lafond,D.,Corriveau, H.,Prince,F. (2004). Postural control mechanism during quiet standing in patients with diabetic sensory neuropathy. Diabetes Care. 27: 173-178 Lago, MR.,Singh,PP.,Nesto,RW. (2007). Diabetes and hypertension. Nature Clinical Practice Endocrinology & Metabolism.3: 667 Langen HV, Gurp JV & Rubbens L.(2009). Interobserver variability of ankle brachial index measurements at rest and post exercise in patients with intermittent claudication. Vascular Medicine;14: 221-226 Lawrence, F., Marilyn,S.,Joseph,M.,Patricia,A.,Russel,G et al. (2008). A longitudinal study of affective and anxiety disorders, depressive affect and diabetes distress in adult with type 2 diabetes. Diabet Med.25 (9): 10961101 Leach, M. J. Wound management: using conservation model to guide practice. July 13, 2014. http://www.idshealthcare.com/common/paper/paper_105/leach_wound%20management. htm Leutholtz ,B., & Ripoll,I. (2011). Exercise and Disease Management (2 nd ed). US: CRC Press. Lorentz, M. (2006). Stress and psychoneuroimmunology revisited:using mind body intervention to reduce stress. Alternative Journal of Nursing. 11: 111 Moorhead,S.,Johnson,M.,Maas,M.L.,& Swanson,E. (2008). Nursing Outcome Classification (NOC). (4th ed). USA: Mosby Mooradian, AD. (2008). Dyslipidemia in type 2 diabetes mellitus. Nature Clinical Practice Endocrinology & Metabolism.5: 150-159. Migliacci, R., Nasorri, R., Ricciarini, P.,& Gresele, P. (2008). Ankle-brachial index measured by palpation for the diagnosis of peripheral arterial disease. Fam Pract. 25:228-232. Norgen,L.,Hiatt,W.R., Dormandy,J.A., Nehler,M.R., et al. (2007). Inter-society consensus for the management of pheripheral arterial disease. Eur J Vasc Endovasc Surg.33 O’Donnell ME.,Reid JA, Lau LL,Hannon RJ & Lee B. (2011). Optimal management of peripheral arterial disease for the non specialist. Ulster Med J. ; 80(1): 33–41.
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
113
O’hare AM, Vittinghoff E, Hsia J, Shlipak ME. 2004. Renal insufficiency and the risk of lower extremity peripheral arterial disease: result from the heart and estrogen/Progestin Replacement Study (HERS). J Am Nephrol; 15: 104651 Patel TH, Kimura H, Weiss CR, Semenza GL, Hofmann LV. 2005. Constitutively active HIF-1 alpha improves perfusion and arterial remodeling in an endovascular model of limb ischemia. Cardiovasc Res; 68:144-154 Paul,J.C. (2012). Itch occuring with chronic wounds. June 29,2014. ProQuest Parker, M.E. (2005). Nursing theories and nursing practice. Philadelphia: F.A Davis Company PERKENI. (2011). Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. April 06, 2013. www.perkeni.org/download/Konsensus%20DM%202011.zip Persatuan Perawat Nasional Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Perawat Indonesia. June 13, 2014. www.inna-ppni.or.id Potter., & Perry.(2006). Fundamental keperawatan (4 th ed). Jakarta: EGC. Reece,E.A.,Leguizamon,G.,& Wiznitzer,A. (2009). Gestational diabetes: the need for a ommon ground. Lancet, 373,1789-1797 Rikarni.,Lillah.,& Yoesri. (2007). Hubungan kadar fibrinogen plasma dan mikroalbuminuria pada penderita diabetes melitus tipe 2. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 14,1: 11-15 Sales,C.H.,& Pedrosa, L. (2006). Magnesium and diabetes mellitus;their relation. Clinical Nutrition, 25: 554-562 Sartor CD, Watari R, Passaro AC, Picon AP & Hasue RH et al. (2012). Effects of a combined strenghthening, stretching and functional training program versus usual care on gait biomechanics and foot function for diabetis neuropathy: a randomized controlled trial. BMC Musculoskleletal Disorders, 13:36 Selvin, E., Marinopoulus, S., Berkenbilt, G., Rami, T., Brancati, F.L., Powe, N.R.,& et al. (2004). Meta-analysis glycosylated hemoglobin and cardiovascular disease in diabetes mellitus. Ann Intern Med; 141:421-31. Sherwood, L. (2011). Fisiologi manusia (6 th ed). Jakarta: EGC Smeltzer., & Bare. (2003). Keperawatan Medikal Bedah (8 th ed). Jakarta: EGC
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
114
Smith,L. (2012). Identifying and managing peripheral arterial disease. Nursing Times, 108,43, 12-14 Soegondo,S., Soewondo,P., & Subekti, I. (2013). Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu (2 nd ed). Jakarta: Balai Penerbit FK UI Soewondo,P. (2007). Hidup sehat dengan diabetes. Jakarta: BalaiPenerbit FK UI Steg, P.G., Bhatt, D.L., Wilson, P.W., & et al (2007). One-year cardiovascular event rates in outpatients with athero-thrombosis. JAMA. 297:1197–1206 Stein R, Hriljac I, Halperin JL, Gustavson SM, Teodorescu V & Olin J. (2006). Limitation of the resting ankle brachial index in symptomatic patients with peripheral arterial disease. Vascular Medicine; 11: 29-33 Sudoyo,W., Setiyohadi,B., Simadibrata,M., Alwi I., & Setiati,A. (2009).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.(5 th ed). Jakarta: Interna Publishing Thomas MC, MacIsaac RJ, Tsalamandris C, Power D, Jerums G. (2003). Unrecognized anemia in patients with diabetes: A cross-sectional survey. Diabetes Care.26(4):1164–1169. Tjokroprawiro, A. (2006). Hidup sehat dan bahagia bersama diabetes mellitus. Jakarta: Gramedia Pustaka. Unger,J. (2007). Diabetes management in primary care. USA: Lippincott Williams & Wilkins Waspadji, S.,Sukardji, K.,& Oktarina,M. (2009). Pedoman diit diabetes melitus. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Weinberg, I. (2010). Pulse Volume Recording. July, 16. 2014. http://www.angiologist.com/vascular-laboratory/pulse-volume-recording/ Wijayakusuma MH. (2004). Bebas diabetes melitus ala Hembing. Jakarta: Puspa Swara Wulandari, ,D,R.,& Sugiri, Y,J. (2013). Diabetes Melitus dan permasalahannya pada infeksi tuberculosa. J Respori Indo, 33,2. Yaswir, R., & Ferawati, I. (2012). Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium, Kalium dan Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium . Jurnal Kesehatan Andalas. 1,2 :80-85
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Lampiran 1 Rencana Asuhan Keperawatan No
Perubahan lingkungan internal & eksternal
1
Data subjektif; Nyeri pada kaki kiri, skala 3. Data Objektif: a. Terdapat luka amputasi digiti V dan post debridement digiti III hr ke-2 b. Akral dingin, CRT 4 detik c. ABI= 0.94/0.83(PAD sinistra) Arteri Kanan kiri Femoralis ++ ++ Poplitea ++ ++ Dorsalis pedis ++ + Tibialis Posterior ++ + d. Hasil pemeriksaan trigliserida 120 mg/dL (< 150), kolesterol LDL 127 mg/dL (< 100), kolesterol HDL 47 mg/dL (≥ 40) dan kolesterol total 230 mg/dL (120-200). e. Hasil lab CRP 430.39 mg/L (0-3), fibrinogen 591.5 mg/dl (136-384).
Diagnosa Keperawatan Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan adanya stenosis
Tujuan
Rencana Intervensi
Rasional
Perfusi jaringan perifer adekuat dengan kriteria hasil: akral hangat, skala nyeri berkurang, CRT < 3 dtk, ABI 0.9-1.3, penyembuhan luka baik. Kolesterol total < 200 mg/dl, LDL < 100 mg/dl, HDL > 45 mg/dl, trigliserid < 150 mg/dl
1. Monitor CRT, akral dan nilai ABI 2. Pantau skala nyeri 3. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam 4. Posisikan kaki dependen disamping tempat tidur 5. Ajarkan pasien melakukan ankle pump exercise atau senam kaki terutama pada kaki kanan 6. Kolaborasi pemberian obat cilostazol 7. Kolaborasikan untuk pemberian analgetik 8. Kolaborasikan untuk pemeriksaan USG dopler atau arteriografi
1. Menilai derajat perkembangan PAD 2. Adanya klaudikasio menunjukkan terjadinya sumbatan pembuluh darah dan meningkatnya skala nyeri menunjukkan progresifitas PAD yang semakin berat 3. Mengurangi nyeri 4. Meningkatkan sirkulasi ke arah distal 5. Untuk meningkatkan sirkulasi, terutama mencegah perkembangan PAD lebih lanjut 6. Menghambat agregasi platelet, memperbaiki metabolisme lipid dan vasodilatasi pembuluh darah. 7. Meningkatkan ambang nyeri sehingga menurunkan persepsi nyeri
1 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
2
Data subjektif: Makan tidak habis, hanya habis ¼ porsi. Tidak nafsu makan karena mual, perut terasa cepat kenyang. Data objektif: a. HbA1C= 9.4% b. Glukosa darah: Tanggal
26/3/2014 27/3/2014 28/3/2014 c.
Waktu pemeriksaan Sebelum Sebelum makan makan pagi siang 240 294 104 332 198 328
Sebelum makan malam 90 278 169
Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif, status hipermetabolik atau proses infeksi.
Glukosa darah stabil selama perawatan dengan kriteria hasil: Porsi makan habis > ½ porsi, GDS < 180 mg/dl, GDP < 140 mg/dl Hipoglikemia (-), KAD (-), tandatanda infeksi (-)
Terdapat luka amputasi digiti V dan post debridement digiti III hr ke-2. Hasil lab leukosit 12.480/µL (5000-10.000), prokalsitonin 17.62 ng/ml (<0.1), Laju Endap Darah 118 mm (0-20), CRP 430.39 mg/L (0-3).
a. Pantau KGDH/hari b. Pantau porsi makan yang mampu dihabiskan pasien c. Anjurkan pasien makan duduk selama 1-2 jam setelah makan d. Kolaborasi pemberian antiemetik e. Kolaborasi pemberian insulin f. Kolaborasi tatalaksana hipoglikemia atau hiperglikemia sesuai indikasi
8. mengetahui tempat lokasi dari oklusi atau untuk mengetahui lebih lanjut tingkat keparahan PAD a. Melihat grafik kadar glukosa darah dan memantau perkembangan terapi b. Kadar glukosa darah ditentukan oleh porsi makan yang mampu dihabiskan pasien c. Untuk mengurangi gejala gastroparesis d. Mengurangi mual sehingga nafsu makan akan meningkat e. Membawa glukosa kedalam sel
Protokol hipoglikemia: Stadium permulaan/pasien sadar: 1. Berikan gula murni 30 gr (2 sendok makan) dan makanan yang mengandung karbohidrat 2. Stop obat hipoglikemik sementara 3. Pantau GDS tiap 1-2
2 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
jam 4. Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar 5. Cari penyebab Stadium lanjut/koma hipoglikemik atau tidak sadar+ curiga hipoglikemia 1. Bolus D40% 2 flacon (50 ml) 2. Berikan IVFD D10% 500 cc/6 jam 3. Periksa GDS Bila GDS < 50 mg/dl +bolus D40% 50 ml Bila GDS <100 mg/dl +bolus D40% 25 ml 4. Periksa GDS setiap 1 jam setelah pemberian D40% Bila GDS < 50 mg/dl + bolus D40% 50 ml Bila GDS <100 mg/dl +bolus D40% 25 ml Bila GDS 100-200 mg/dl tanpa bolus D40% Bila GDS > 200 mg/dl
3 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
pertimbangkan menurunkan kecepatan drip D10% 5. Bila GDS > 100 mg/dl 3x berturutturut, cek GDS setiap 2 jam dengan protocol sesuai diatas. Bila GDS>200 mg/dl, kolaborasi untuk mengganti infuse dengan D5% atau NS 0.9% 6. Bila GDS > 100 mg/dl 3x berturutturut, cek GDS setiap 4 jam dengan protocol sesuai diatas. Bila GDS>200 mg/dl, kolaborasi untuk mengganti infuse dengan D5% atau NS 0.9% 7. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6 jam kelipatan 5 unit. Tatalaksana KAD (GD> 250, PH <7.35, HCO3 rendah,Anion gas tinggi, keton serum positif dan
4 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
atau ketonuria) 1. Cairan NS 0.9% diberikan sebanyak 1-2 Lpada 1 jam pertama, lalu 1 L pada jam kedua, lalu 0.5L pada jam ketiga dan keekpat dan 0.25L pada jam kelima dan keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5L Jika Na> 155 mEq/L ganti cairan dengan NS0.45% Jika GD < 200 mg/dL ganti dengan dextrose 5%\ 2. Insulin (regular insulin=RI) Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan RI bolus 180 mU/kgBB iv dilajutkan RI drip 90mU/kgBB/jam dalam NS 0.9% Jika GD < 200mg/dL, kecepatn dikurangi RI drip 45mU/kgBB/jam dalam NS 0.9% Jika GD stabil 200300 mg/dL selama 12
5 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
jam RI drip 1-2 u/jam disertai sliding scale setiap 6 jam kelipatan 5 unit. JIka GD < 100 mg/dl drip RI dihentikan Setelah dosis koreksitiap 6 jam, kolaborasi utk kebutuhan insulin sehari. 3. Kalium KCl drip dimulai bersamaan dengan drip RI, dengan dosis 50mEq/6 jam. Syarat= tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi padaEKG, jumlah urin cukup adekuat Bila K pada pemeriksaan elektrolit kedua: <3.5 drip KCl 75mEq/6jam 3.0-4.5 drip KCl 50 mEq/6jam 4.5-6.0 drip KCl 25mEq/6jam >6.0 drip distop Bila OS sudah sadar, diberikan K oral selama seminggu
6 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
4. Bikarbonat Kolaborasi Drip 100 mEq bila pH < 7.0, disertai KCl 26 mEq drip 50 mEq bila pH 7.0-7.1, disertai KCl 13 mEq drip Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemia yang mengancam Tata laksana umum, kolaborasi: O2 bila pO2 < 80 mmHg Antibiotik adekuat Heparin: bial ada DIC atau hiperosmolar (> 380 mOsm/l) Tatalaksana disesuaikan dengan opemantauan klinis: TTV/jam Kesadaran/jam Keadaan hidrasi (turgor, lidah)/jam Produksi urin/jam, balans cairan Cairaninfus yang masuk/jam Jika kondisi dan kesadaran OS mulai stabil: 1. Monitor KGDH/hari
7 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
2. Kaji pemenuhan nutrisi px 3. Beri HE tanda hipoglikemia dan penanganannya a. Monitor tekanan darah dan nadi tiap shift b. Monitor balans cairan/hari c. Monitor saturasi oksigen d. Lakukan perekaman jantung/EKG e. Kolaborasi pemberian cairan IV f. Kolaborasi pemberian obat vasodilator, ACE inhibitor g. Kolaborasi pemberian statin
3
Data subjektif: Memiliki hipertensi sejak 2 tahun dan DM 3 tahun Data objektif: a. Tekanan darah = 150/80 mmHg, N=88x/mnt b. Hasil pemeriksaan trigliserida 120 mg/dL (< 150), kolesterol LDL 127 mg/dL (< 100), kolesterol HDL 47 mg/dL (≥ 40) dan kolesterol total 230 mg/dL (120-200).
Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor risiko dislipidemia, DM dan hipertensi.
Tekanan darah dan nadi dalam batas normal, tidak ada gangguan pada hasil rekam jantung/EKG, nyeri dada (-), Kolesterol total < 200 mg/dl, LDL < 100 mg/dl, HDL > 45 mg/dl, trigliserid < 150 mg/dl
4
Data subjektif: lemas, nafsu makan berkurang
Risiko ketidakseimbangan elektrolit dengan
Selama Manajemen hipokalemia dilakukan 1. Kaji tanda-tanda perawatan, nilai hipokalemia (fatigue,
a. Untuk melihat status hemodinamik b. Mengevaluasi keseimbangan cairan c. Memantau kadar oksigen dalam darah d. Mengevaluasi kondisi jantung pasien e. Mempertahankan preload yang optimal f. untuk menurunkan afterload g. Menghambat 3hidroksi-3-metil glutaril koenzim A (HMG-CoA) sehingga mampu menurunakan kadar kolesterol total, LDL, trigliserid dan meningkatkan kolesterol HDL.
8 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Data objektif: Hasil lab tanggal 3/4/2014 Kalium 2.88 mEq/L, Natrium 121 mEq/L, Klorida 86.4 mEq/L. Magnesium 1.56 mg/dL
faktor risiko gangguan mekanisme regulasi pada DM
elektrolit dalam anoreksia, kelemahan batas normal, otot, penurunan dengan kriteria motilitas bowel, hasil: parasthesia, disritmia jtg) Na 132-147 2. Kaji nilai lab yang K 3,3-5,4 berhubungan dengan Cl 9,4-111 hipokalemia (mis, Mg 1,7-2,55 peningkatan glukosa, alkalosis metabolic, penurunan osmolalitas urin, hipokalsemia) 3. Monitor penyebab penurunan kalium berdasarkan gastrointestinal (mis diare, muntah) 4. Kolaborasi pemberian kalium oral, mis KSR atau iv Kcl 5. Monitor status cairan, intake dan output 6. Pantau adanya perubahan jantung akibat hipokalemi (hipotensi, gel T flat, gel T inverted, adanya gel u, takikardi, nadi lemah) 7. Kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diit tinggi kalium seperti pisang 8. Pantau hasil lab K Manajemen
9 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
hiponatremia 1. Pantau kecederungan terjadinya penurunan Na (mis. Pemakaian diuretic, hiperglikemia, muntah, diare, keringat berlebih, SIADH, insufisiensi adrenal) 2. Pantau manifestasi klinik hiponatremia (mis; letargi, nyeri kepala, fatigue, tremor, kelemahan otot, kram, peningkatan TD, kulit teraba dingin, mukosa mulut kering, anorexia, kram abdomen, diare,oliguria) 3. Pantau nilai lab (serum, osmolalitas urin) 4. Pantau ketidakseimbangan elektrolit yang berhubungan dengan hiponatremia mis; hipokalemia,
10 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
asidosis metabolic, hiperglikemia 5. Pantau intake & output 6. Kolaborasi pemberian cairan parenteral atau terapi oral yang mengandung natrium Manajemen hipomagnesium 1. Pantau keseimbangan elektrolit yang berhubungan dengan hipomagnesia, mis; hipokalemi atau hipocalsemia 2. Pantau menurunna magnesium, mis diuretic, gangguan pada ginjal, pancreatitis akut 3. Pantau manifestasi hipomagnesia (letargi, insomnia, kram tungkai, nistagmus, mual, muntah, anoreksia, diare, distensi abdomen) 4. Kolaborasi dengan gizi pemberian makanan tinggi magnesium, seperti
11 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
sayur hijau, kacangkacangan 5. Kolaborasi pemberian suplemen yang mengandung magnesium 6. Pantau efek samping terapi magnesium (mis; berkeringat, perasaan panas, hipokalsemia) 5
Data subjektif: tidak ada batuk, tidak pernah gosok gigi selama dirawat di RS Data objektif: a. Pasien terlihat sering tiduran, jarang duduk. b. Tekanan darah = 150/80 mmHg, N=88x/mnt, S= 37.3°C, RR=20 x/mnt. c. Paru: suara nafas vesikuler/vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-) d. adanya pus pada luka, leukosit 12.480/µL (5000-10.000), prokalsitonin 17.62 ng/ml (<0.1), Laju Endap Darah 118 mm (0-20), CRP 430.39 mg/L (0-3).
Risiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM
Tanda-tanda infeksi tidak ada: TTV dalam batas normal, leukosit 5000-10.000/ µL, prokalsitonin < 0.1 ng/ml, Laju Endap Darah 020 mm CRP 0.03.0 mg/L, rontgen thorax normal, batuk (-), personal hygine dilakukan dengan baik, tidak ada bakteri/jamur pada pemeriksaan urin, terjadi proses penyembuhan luka yang baik.
a. Observasi TTV b. Monitor nilai lab leukosit, LED, prokalsitonin, CRP c. Observasi adanya keluhan batuk d. Observasi nilai rontgen thorax e. Bantu pasien untuk meningkatkan personal hygine dan libatkan keluarga f. Anjurkan pasien untuk mobilisasi/sering duduk di tempat tidur g. Ajarkan pasien dan keluarga teknik cuci tangan/ hand rub yang benar h. Terapkan prinsip aseptik pada tidakan invasif i. Pantau waktu
a. Sepsis ditandai dengan adanya tanda Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) yaitu peningkatan suhu > 38ºC atau < 36ºC, nadi >90 x/mnt, RR> 20x/mnt, leukosit > 12.000/µL atau < 4000/µL b. Prokalsitonin merupakan penanda spesifik infeksi bakteri, peningatan CRP menunjukkan adanya proses inflamasi dan juga dapat sebagai penanda exaserbasi PAD. c. Menunjukkan salah satu gejala adanya infeksi pada saluran
12 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
j.
k. l.
m.
6
Data subjektif: selama dirumah pernah menggunakan alas kaki yang ada tonjolan, dikatakan oleh tetangga dapat meningkatkan aliran darah karena kaki sering kesemutan. Tidak mau makan ikan karena lukanya
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi atau misinterpretasi informasi.
Pengetahuan pasien meningkat dengan kriteria hasil: a. Pasien dapat
pemasangan cateter dan IV line Pertahankan prinsip aseptik pada rawat luka Lakukan kultur luka dan kultur urin Kolaborasi untuk aff cateter jika tidak diindikasikan Kolaborasi untuk pemberian antibiotik
a. Jelaskan mengenai penyakit DM dengan bahasa sederhana b. jelaskan tanda dan
nafas d. Sebagai penilaian dan evaluasi yang lebih objektif adanya infeksi pada paru e. Mengurangi invasi mikroorganisme f. Mengurangi risiko infeksi g. Mengurangi jumlah kuman h. Menurunkan risiko infeksi i. IV line diganti setiap 3 hari, perawatan cateter dilakukan setiap hari dan diganti setelah 1 minggu pemakaian j. Menurunkan risiko infeksi k. Untuk menentukan sensitivitas dan resistensi terhadap antibiotik diberikan l. Mengurangi risiko infeksi m. Mengurangi kejadian infeksi, disesuaikan dengan hasil kultur darah,luka atau urin Dengan pemberian edukasi yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan bahasa sederhana yang
13 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
akan sulit sembuh. Selama di rumah, suka makan gorengan dan makanan yang bersantan serta jarang melakukan aktifitas fisik. Kontrol tidak rutin karena merasa tidak ada keluhan dan tidak ada yang mengantar. Dirumah pasien pernah merasa lemas dan keluar keringat dingin. Data objektif: a. Tingkat pendidikan tamat SD b. glukosa darah selama perawatan belum stabil
7
Data subjektif:
Ketidakberdayaan
menjelaskan kembali menganai penyakit DM b. Pasien dapat menjelaskan kembali tanda dan gejala DM, tanda hipoglikemia c. Pasien dapat menjelaskan kembali faktor-faktor yang dapat mempengaru hi ketidakstabil an gula darahnya d. Pasien dapat menjelaskan tanda hipoglikemia dan penangannya selama dirumah e. Pasien dapat menjelaskan perawatan kaki dirumah. Tujuan
c.
d.
e.
f.
g. h.
i.
gejala DM, tanda hipoglikemia, hiperglikemia jelaskan faktorfaktor yang dapat mempengaruhi ketidakstabilan gula darah Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada DM jelaskan upaya yang dapat pasien lakukan bila gula darah rendah Jelaskan pentingnya pengendalian diri dan kontrol yang teratur Jelaskan perawatan kaki diabetik Lakukan evaluasi setelah pasien diberi edukasi Beri reinforcement postif pada pasien ketika tujuan edukasi mampu tercapai
a. Pantau
tingkat
mudah dipahami oleh pasien serta keluarga diharapkan pengetahuan pasien dan keluarga meningkat. Dengan meningkatnya pengetahuan diharapkan terjadi perubahan perilaku dan peningkatan kepatuhan yang pada akhirnya mampu meningkatkan kualitas hidup penderita DM.
Adanya gangguan fisik
14 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Pasien mengeluh kenapa ia harus menderita sakit seperti ini. Pasien juga mengatakan ia tidak malu dengan kondisi kakinya saat ini, namun ia bertanya mampukah dia merawat cucunya lagi sekembalinya dari RS dengan kondisi yang seperti itu. Ia juga mengatakan dengan kondisinya ini ia akan merepotkan banyak orang. Pasien berharap segera diberi kesembuhan agar segera pulang dan bertemu dengan cucunya. Data objektif: a. Pasien terlihat menangis sehari sebelum amputasi dilakukan b. status fungsional pada barthel index skor 9 (tingkat ketergantungan sedang) c. Pemenuhan kebutuhan pasien dibantu sebagian oleh keluarga maupun perawat.
berhubungan dengan gangguan fisik dan ketergantungan terhadap orang lain.
keperawatan yaitu pasien mampu beradaptasi terhadap ganguan fisik yang terjadi, harga diri dan harapan diri meningkat dengan kriteria hasil: Pasien mau menerima bantuan untuk pemenuhan aktifitas fisik, pasien mengatakan tidak ada perasaan negatif terhadap dirinya, kepercayaan diri meningkat
b. c.
d.
e.
f.
kepercayaan diri pasien Kaji harapan pasien Dorong pasien agar menerima perubahan diri yang baru Bantu pasien agar menerima ketergantungan diri pasien Beri penguatan yang positif mengenai diri pasien Beri penghargaan ketika pasien mampu mencapai tujuan
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan harga diri, peran dan idel diri. Meningkatkan penerimaan serta memberikan penguatan yang positif akan membantu pasien meningkatkan adaptasi pasien.
15 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Resume 30 Kasus kelolaan menggunakan pendekatan model konservasi Levine No 1
Identitas dan kondisi pasien Pasien Ny M usia 51 tahun, beragama islam, menikah, pendidikan tamat SMP, seorang ibu rumah tangga, alamat Pasar Rebo Jakarta. Diagnosa medis DM tipe 2, hematemesis, hipertensi dan CAPD Riwayat penyakit sekarang (RPS): pasien datang ke IGD tgl 21/5/14 dengan keluhan mual muntah yang memberat sejak 2 hari SMRS. Setiap kali makan, pasien muntah. Muntah warna hitam ± 200 cc. Gula darah di IGD 596, keton 0.3.OS dipindahkan ke ruangan tgl 23/5/14 dan pengkajian dilakukan saat itu juga. Riwayat Penyakit dahulu: Riwayat DM sejak tahun 1985, mendapat terapi insulin novorapid 610-12. riwayat amputasi th 2007, riwayat hipertensi sejak th 2007, minum obat valsatran. Pasien diketahui sakit ginjal th 2011 dan hingga saat ini pasien rutin CAPD sejak 6 bulan yang lalu.
Pengkajian Konservasi dan Diagnosa Keperawatan Pengkajian lingkungan internal dan eksternal yang meliputi pengkajian 4 prinsip konservasi: Integritas energi: Nafsu makan menurun akibat nyeri pada perut skala 4 dan mual. Pasien terlihat lemah, sering tiduran terus. Hb 11.9, Albumin 1.69. TD= 150/90, N=100, S=37,RR=20. EKG= T inverted di lead II, III,avF,V1-V6. Elektrolit Na 135/K 2.8/Cl 92 Glukosa darah tidak stabil, KGDH 411/254/126 Integritas Struktural: BAB hitam (-), BAK normal, Rutin dilakukan CAPD oleh keluarga, Hasil EGD= hiatal hernia, gastritis errosiva sedang. Leukosit 11.530, LED 65. Integritas personal: ingin segera sembuh, sedih dan putus asa Integritas sosial: interaksi dengan keluarga, perawat dan dokter cukup baik
Intervensi dan evaluasi Manajemen hiperglikemia, manajemen hipoglikemia, manajemen energi, infection control, bleeding reduction, manajemen elektrolit: hipokalemia, management shock cardiac, hope inspiration dan self esteem enhancement. Evaluasi: Glukosa darah mulai stabil setelah 4 hari perawatan yaitu nilai GDS < 220, Tidak terjadi peningkatan leukosit, lemas berkurang, tanda-tanda perdarahan tidak ditemukan, elektrolit dalam batas normal, tekanan darah terkontrol dengan pemberian captopril, self esteem masih rendah.
Diagnosa keperawatan: 1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif, intake nutrisi kurang 2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM 3) Risiko perdarahan dengan faktor risiko gangguan gastrointestinal 4) Risiko ketidakseimbangan elektrolit dengan faktor risiko gangguan mekanisme regulasi pada DM. 5) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor risiko dislipidemia, DM dan hipertensi. 6) Ketidakberdayaan berhubungan dengan regimen penyakit dan ketergantungan terhadap orang lain.
1 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
2
3
Pasien Ny HP, 78 tahun , beragama kristen protestan, janda, pendidikan tamat SMA, seorang ibu rumah tangga, alamat Pulomas Nangka Timur. Diagnosa medis DM tipe 2 post amputasi digiti II, riwayat hipoglikemia, CAP dd/TB Paru dengan infeksi sekunder, sepsis Riwayat penyakit sekarang: OS datang ke IGD RSCM tgl 1/5/14 dengan keluhan sejak 1 minggu SMRS timbul luka di kaki kiri, riwayat trauma disangkal, luka menyebar hingga sela-sela jari terutama antara jari 1 & 2. OS berobat ke RS OMNI, lalu dirujuk ke RSCM. Dilakukan amputasi dig 2 di IGD. OS dipindahkan ke ruangan tgl 2/5/14 dan pengkajian dilakukan tgl 5/5/14. Riwayat Penyakit dahulu: Riwayat DM sejak 30 th, tidak kontrol rutin dan minum obat, riwayat hipertensi dan jtg disangkal. Riwayat jatuh 4 th yang lalu, klg mengatakan tulang paha kiri tergeser dan sejak itu pasien menggunakan kursi roda.
Integritas energi: Pasien terpasang NGT, kesadaran somnolen, GCS E3V4M5. TD= 110/60, N=140, S=39,RR=35. Terpasang oksigen NRM 12 lpm. Terdengar ronkhi bilateral paru. AGD= pH 7.416/PCO2 22.8/pO2 68.3/ HCO3 14.8/BE -7.7/ saturasi O2 93.3. Glukosa darah tidak stabil, KGDH 176/264/319/412, HbA1c= 6.6, betahidroksibutirat 0.9. drip insulin 2-3.5 unit/jam.
Ny A, 64 tahun, beragama kristen, pendidikan tamat SMA, menikah dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. OS masuk IGD RSCM tanggal 29/4/14 pukul 10.07 WIB dengan kondisi penurunan kesadaran sejak 2 jam SMRS. Gula darah saat MRS 24 mg/dl, selanjutnya dilakukan protocol hipoglikemia bolus D40% 3 flacon dan drip D10% 500cc/24 jam. Pasien kemudian sadar,
Integritas energi: Pasien terpasang NGT, mendapatkan diit 1700 kkal berupa diet cair 6x250 cc. kesadaran apatis-somnolen, GCS E3V4M5. TD= 110/60, N=116, S=38,7,RR=26. Terpasang oksigen simple mask 6 lpm. Terdengar ronkhi paru bilateral. Ro/ thorax (16/4/14)= bronkopneumoni duplex Ro/ thorax AP (29/4/14)= edema paru Glukosa darah tidak stabil, KGDH 170/115/211/419, HbA1c=
Integritas Struktural: Terapat luka post amputasi digiti II, luka terbalut verband, ABI 0.77/0.615. Balans cairan -100 cc. Leukosit 29.620/ prokalsitonin 2.93. Integritas personal: sulit dikaji
Shock prevention, shock management: vasogenic, manajemen hiperglikemia, family integrity promotion Evaluasi: pasien direncanakan untuk pindah ke ICU karena kondisinya semakin memburuk, namun keluarga sangat lama untuk berdiskusi hingga akhirnya pasien meninggal setelah 5 hari perawatan.
Integritas sosial: keluarga jarang standby menunggui pasien dengan alasan sibuk Diagnosa keperawatan: 1) Risiko syok dengan faktor risiko sepsis 2) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan adanya stenosis 3) ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif, sepsis 4) Ketidakmampuan koping keluarga berhubungan dengan koping inadekuat infection control, Shock prevention, shock management: vasogenic, airway management, Manajemen hiperglikemia, manajemen hipoglikemia, , manajemen elektrolit:hipokalemia,manajemen hipervolemia
2 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
4
Gula darah pukul 11.30=198, pk 12.30=168. Selanjutnya OS dipindahkan ke ruang 716B tanggal 29/4/24 pukul Pengkajian dilakukan tanggal 30/4/14. Dx medis: HCAP,CKD on HD, DM tipe 2 dengan riwayat hipoglikemia Riwayat penyakit dahulu: Riwayat DM 15 tahun, mendapat terapi obat glikuidon. OS mengalami CKD diketahui sejak 11 bulan yang lalu, HD rutin Selasa-jumat sejak 7 bulan yang lalu. 5 hari SMRS OS demam hingga 38.9°C. Sejak saat itu dirasakan OS jarang ngomong, sulit komunikasi, namun OS masih mengenali namanya dan anak-anaknya. OS cenderung sering tidur.
9.6. Na 136/K 2.8/Cl 102
Ny R 65 tahun, beragama islam, pendidikan tamat SMA, menikah dan bekerja sebagai ibu rumah tangga masuk IGD RSCM tanggal 17/4/14 dengan keluhan luka di kaki kanan yang tidak kunjung sembuh sejak 1 minggu SMRS. Luka awalnya seperti bisul kecil sebesar biji jagung. Riwayat trauma (-). Makin lama luka semakin besar, bernanah, demam (+). Gula darah 124 mg/dl. Selanjutnya OS dilakukan insisi drainage dan debridement di OK IGD tanggal 19/4/14 pukul 03.00 dan OS selanjutnya dipindahkan ke ruang 715 E tanggal 19/4/14 pukul 09.30. Pengkajian dilakukan tanggal 21/4/16. Dx medis: DM tipe 2, abses DM dextra post
Integritas energi: Nafsu makan baik. Porsi makan yang diberikan RS habis > ¾ porsi. OS mengeluh nyeri pada kaki skala 3. Tidur cukup. Gula darah stabil selama perawatan selalu < 200 mg/dl, HbA1c 6.8. TD=110/70, N=78, S=36,5, RR=18.
Integritas Struktural: Tidak terdapat luka, Balans cairan +160 cc. Leukosit 12.350 Integritas personal: sulit dikaji Integritas sosial: setiap hari pasien dijaga bergiliran oleh anak, menantu dan suaminya.
Evaluasi: Setelah perawatan selama 4 hari, sepsis masih ada, glukosa darah belum stabil, elektrolit dalam batas normal dan pasien telah dipindahkan ke ruang HCU untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Diagnosa keperawatan: 1. Risiko syok dengan faktor risiko sepsis 2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas oleh mucus. 3. ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif, sepsis 4. ketidakseimbangan elektrolit: hipokalemia dengan faktor risiko gangguan mekanisme regulasi pada DM. 5. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan fungsi ginjal
Integritas Struktural: OS belum BAB sejak 3 hari, skibala (+). Terdapat luka di kaki kanan, ukuran 6x3x1.5 cm, pus (-), jar nekrotik (-), granulasi (+). ABI= 1/1. Leukosit 8850/µL. Integritas personal: ingin segera sembuh agar bisa olahraga
wound care, infection control, pain control, bowel management Evaluasi: Tidak terjadi infeksi selama perawatan pasien, nyeri terkontrol setelah perawatan hari ke-3,terjadi penyembuhan luka hari ke -12 dengan kondisi luka: ukuran luka mengecil 4x2x1 cm, pus (-), nerkrotik (-), granulasi (+). Konstipasi teratasi setelah 2 hari intervensi.
Integritas sosial: interaksi dengan keluarga, perawat dan dokter sangat baik dan kooperatif
3 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
debridement. Riwayat kesehatan sebelumnya: Pasien diketahui menderita DM sejak 3 tahun yang lalu. Kontrol rutin di poli geriatri RSCM dan mendapat terapi obat OHO, namun OS lupa nama obatnya. Riwayat hipertensi, jantung, asma, TB disangkal.
5
Ny E, 56 tahun, beragama Islam, menikah, pendidikan tamat SMP datang ke IGD RSCM tanggal 15/4/2014 pukul 03.00 karena mual dan muntah sejak 5 hari SMRS. Muntah ± 3-4 x/hr @ 150 cc berupa air. Sesak (+). OS memiliki riwayat DM sejak 5 tahun yang lalu, kontrol tidak teratur, mendapat obat metformin 3 x 1 tab. Riwayat operasi batu ginjal 5 tahun yang lalu. Riwayat hipertensi diketahui sejak 1 minggu SMRS. Dx medis: DM tipe 2 GD terkontrol OHO, HT gr II, CKD st V. OS dipindahkan ke ruang 714 A tanggal 16/4/14 dan pengkajian dilakukan tanggal 17/4/14
Diagnosa keperawatan: 1) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM 2) Nyeri akut berhubungan dengan adanya trauma jaringan 3) Kerusakan integritas jaringan b.d ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer 4) Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi
Integritas energi: Nafsu makan kurang, makan habis < ½ porsi karena mual, Tidur cukup. Pusing, Hb 7.8. Gula darah selama perawatan < 250 mg/dl, HbA1C 10.9. TD=150/80, N=88, S=36,1 , RR=20. Elektrolit Na 125/K 5/ Cl 98.3 Integritas Struktural: Asites (+), edema ektremitas (+), Balance cairan + 400 cc. Creatinin 4.8, e GFR 9.9. Kolesterol total 508, LDL 418, trigliserid 322, Leukosit 13.820/µL. Integritas personal: pasien mengatakan ia menerima kondisinya saat ini Integritas sosial: pasien tampak berinteraksi baik dengan pasien yang satu ruangan dengannya, demikian juga dengan perawat maupun dokter yang merawat.
infection control, manajemen hiperglikemia, manajemen hipoglikemia, manajemen hipervolemia manajemen asam basa: asidosis metabolik, manajemen energi, shock prevention, management shock cardiac Evaluasi: risiko infeksi masih ada, glukosa darah setelah 3 hari perawatan < 200 mg/dl, mual berkurang, makan habis > ½ porsi, edema dan asites masih ada. pusing berkurang, hipertensi belum terkontrol. Tanggal 21/4/14 pasien dipindahkan ke ruang 620
Diagnosa keperawatan: 1) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM 2) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif, infeksi 3) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
4 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
4) 5) 6)
6
Ny L, 41 tahun, belum menikah masuk ke IGD RSCM tanggal 16/4/2014 dengan kondisi pingsan 2 jam SMRS, kejang (-), riwayat jatuh (-). Gula darah saat itu 29 mg/dl, selanjutnya dilakukan protokol hipoglikemia. OS diketahui menderita DM sejak 3 tahun , kontrol di Puskesmas dan mendapatkan obat metformin 3x1/2 tab. Riwayat hipertensi sejak 1 th mendapat nifedipin dosis tidak tahu. Riwayat TB , asma disangkal. Pasien dipindahkan ke ruangan tanggal 17/4/14 dan pengkajian dilakukan tanggal 22/4/14. Dx medis: CKD St V dengan anemia, DM tipe 2, hipertensi, CHF Fc II, riwayat hipoglikemia
regulasi ginjal Mual berhubungan dengan gangguan ginjal:asidosis metabolic Keletihan berhubungan anemia Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor risiko dislipidemia, DM dan hipertensi
Integritas energi: TD=150/90, N=80, S=36,5 , RR=20. Suara nafar ronkhi kasar bilateral. Nafsu makan baik, porsi makan habis > ½ porsi, pusing Hb 7.7. Tidur cukup. Gula darah selama perawatan < 200 mg/dl, HbA1C 7.7. Integritas Struktural: Asites (-), edema ektremitas (+), Balance cairan + 200 cc. Creatinin 3.8, e GFR 11.3. Leukosit 12.900/µL. Integritas personal: pasien mengatakan ia ingin hidup sehat dan normal seperti orang lain, tidak seperti saat ini selalu tergantung dengan kakaknya.
infection control, manajemen hipoglikemia, manajemen hipervolemia, manajemen energi, hope inspiration dan self esteem enhancement.
Evaluasi: tidak terjadi peningkatan leukosit selama perawatan 10 hari, glukosa darah stabil <200mg/dl, pusing berkurang setelah diberikan tranfusi PRC 1 kolf. Pasien menolak untuk dilakukan HD.
Integritas sosial: interaksi pasien dengan perawat dan tenaga kesehatan lainnya cukup. Pasien cenderung tertutup. Diagnosa keperawatan: 1) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM 2) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif, infeksi 3) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan regulasi ginjal 4) Keletihan berhubungan anemia 5) Ketidakberdayaan berhubungan dengan regimen penyakit dan ketergantungan terhadap orang lain
5 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
7
Ny MS, 70 th beragama islam, dibawa ke IGD dengan kodisi tidak sadarkan diri sejak 7 jam SMRS. Keluarga mengatakan bahwa sebelumnya pasien merasakan tangan kanan bergerak sendiri tidak terkontrol selama 30 detik, kemudian tangan tersebut lemah tidak bertenaga, tiba-tiba bicara pelo dan mengeluh kepala terasa pusing . Pasien muntah sebanyak 300 cc warna kehitaman seperti kopi disertai keluhan nyeri perut, kemuadian pasien tidak sadarkan diri dan dibawa ke IGD. Riwayat kesehatan sebelumnya: Riwayat DM sejak 5 tahun, rutin kontrol ke puskesmas. GD 200-300 an, mengkonsumsi obat glimepirid 1x/hr. Asma, TB, alergi disangkal
Integritas energi: Kesadaran: sopor, kontak inadekuat. GCS= E2V1M2.TD=157/90, N=137, S=38,5 , RR=27. Suara nafar ronkhi kasar bilateral. Terpasang NGT. Gula darah tidak stabil hingga mencapai 433. HbA1C 6.3. CT scan serebral: infark multiple di capsula externa kanan, thalamus kiri dan paraventrikel lateralis kiri, lobus parietal. Atrofi serebri sinilis. Elektrolit Na 126/ K 4.38/CL 94.8
infection control, Shock prevention, shock management: vasogenic, airway management, Manajemen hiperglikemia, manajemen hipoglikemia, , manajemen elektrolit:hipokalemia,manajemen hipervolemia
Integritas Struktural: Asites (-), edema ektremitas (+), Balance cairan -600 cc. Creatinin 3.8, e GFR 11.3. Leukosit 12.900/µL.
Evaluasi: Setelah perawatan selama 3 hari, sepsis masih ada, glukosa darah belum stabil, elektrolit belum stabil, kondisi terus memburuk hingga pasien meninggal
Integritas personal: sulit dinilai Integritas sosial: anak pasien selalu mendampingi pasien selama di RS. Diagnosa keperawatan: 1. Ganggua perfusi jaringan serebral 2. Risiko syok dengan faktor risiko sepsis 3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas oleh mucus. 4. ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif, sepsis 5. ketidakseimbangan elektrolit: hiponatremia dengan faktor risiko gangguan mekanisme regulasi pada DM. 6. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan fungsi ginjal
8
Ny M, 59 tahun, menikah, agama Islam, pendididkan tamat SMP,dibawa ke IGD RSCM tanggal 17/5/14dengan penurunan kesadaran sejak 3 jam SMRS. Keluarga mengatakan sebelumnya OS sempat dilakukan pengecekan gula hadar nilai 170, karena merasa khawatir OS lalu minum obat
Integritas energi: TD=140/70, N=82, S=36,8 , RR=20. Suara nafar ronkhi kasar bilateral. Nafsu makan me nurun, porsi makan habis <½ porsi, terjadi penurunan BB 25 kg dalam waktu 3 bulan, lemas Hb 11, Tidur cukup. Gula darah selama perawatan < 220 mg/dl, HbA1C 6%. Elektrolit Na 128/ K 2.74/ Cl 89
infection control, manajemen hipoglikemia, manajemen elektrolit:hipokalemia, hiponatremia, bowel management, edukasi manajemen diabetes
6 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
glibenklamid milik suami. Di IGD dilakukan pengecekan gula darah, nilai 23. Selanjutnya dilakukan protokol hipoglikemia drip D40% 2 fl 10 cc/jam. Berangsur-angsur gula darah meningkat. Selanjutnya tanggal 17/5/14 OS dipindahkan ke ruang perawatan. Dx medis: riwayat penurunan kesadarah ec hipoglikemia, DM tipe 2, hipertensi. Riwayat DM dan hipertensi sejak 4 th, kontrol tidak teratur. Riwayat jantung, stroke, TB disangkal
9
Ny N, 66 tahun, pendidikan tamat SD, pekerjaan Ibu rumah tangga datang ke IGD tanggal 17/5/14 dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 1 hr SMRS, mual (+), muntah (-). Nyeri tidakbergantung pada masuknya makan. Sesak (+), Gula darah saat di IGD 554, beta hidroksi butirat 2.7, selanjutnya dilaksanakan penatalaksanaan KAD dan tanggal 18/5/14 pasien dipindahkan ke ruang perawatan.Pengkajian dilakukan tanggal 19/5/14. Dx medis: riwayat KAD, DM tipe 2, dispepsia tipe ulkus, CHF Fc I-II, CAD lateral post CABG, hipertensi, tekanan darah terkontrol. Riwayat penyakit dahulu: DM sejak 26 tahun, mendapat novorapid 3x10 unit, riwayat hipertensi 25 th,
Integritas Struktural: Belum BAB sejak 3 hari, skibala (+) Leukosit 14.900/µL, retinopati (+), neuropati (+) Integritas personal: pasien mengatakan ingin sembuh dari penyakit gula sehingga ia juga minum obat glibenklamid milik suami Integritas sosial: interaksi pasien dengan perawat dan petugas kesehatan sangat baik, begitu pula dengan pasien yang lain. Diagnosa keperawatan: 1) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM 2) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif 3) ketidakseimbangan elektrolit: hiponatremia, hipokalemia dengan faktor risiko gangguan mekanisme regulasi pada DM. 4) Konstipasi berhubungan dengan kurangnya moilisasi 5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan misinformasi Integritas energi: TD=110/70, N=82, S=36,8 , RR=24, OS menggunakan O2 nasal 3 lpm. Suara nafar ronkhi kasar bilateral. Nafsu makan menurun, porsi makan habis ½ porsi, lemas. Hb 11.5, Tidur cukup. Gula darah belum stabil dengan rentang 100-350 mg/dl, HbA1C 11.9 %. Integritas Struktural: Tidak ada luka , Leukosit 6400/µL, retinopati (+), neuropati (+). Ecchocardiografi: global normokinetik, fungsi sistolik dan diastolik LV & RV baik. Integritas personal: pasien mengatakan ingin segera pulang karena kangen cucu. Pasien tidak merasa malu dengan
Evaluasi: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 hari,Tidak terjadi kenaikan leukosit selama perawatan, hipoglikemia (-), Na 140/ K 3.9/ Cl 96. Konstipasi (-), pasien mampu menyebutkan kembali pencegahan dan penanganan hipoglikemiasaat dirumah.Pasien keluar RS tanggal 22/5/14
Manajemen hiperglikemia, manajemen diet, infection control, airway management, Shock prevention
Evaluasi: Glukosa darah secara bertahap mulai menunjukkan perbaikan, dengan kisaran < 250 setelah 4 hari perawatan, makan habis ¾ porsi, tidak terjadi peningkatn nilai leukosit dan suhu selama perawatan, keluhan sesak (-), ronkhi minimal, TTV dalam batas
7 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
riwayat penyakit jantung 6 th dan telah dilakukan CABG th 2008, riwayat kanker rahim th 2000
10
Ny Dj, 56 tahun datang ke IGD RSCM tanggal 24/5/14 dengan keluhan sesak nafas yang memberat sejak 2 hari SMRS. Gula darah saat di IGD 220 mg/dl, keton 0.3, AGD= 7.381/22.9/201.5/99.4/13.7, elektrolit Na 134/K 7.2/Cl 103. Dx medis: DM tipe 2, CHF fc II ac HHD/CAD, cardiomiopati DM, acute on CKD dengan hiperkaleamia, asidosis metabolik, hiperurisemia, hipertensi belum terkontrol. Tanggal 26/5/14 pasien dipindahkan ke ruang perawatan dan pengkajian dilakukan hari itu juga. Riwayat penyakit dahulu: DM sejak 7 tahun, kontrol rutin ke puskesmas dan mendapat glimepirid 1x5 mg. Gula darah saat kontrol berkisar 200-300 an. Pernah dilakukan laser mata di kirana, riwayat hipertensi sejak 5 th dan mengkonsumsi obat amlodipin 1x/hr, riwayat vertigo, terdapat jamur pada kaki kanan.
penyakitnya. Integritas sosial: interaksi pasien dengan perawat dan petugas kesehatan sangat baik, selama di RS pasien dijaga bergantian oleh anak dan menantu, suami pasien telah meninggal. Diagnosa keperawatan: 1) ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif 2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM 3) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas oleh secret 4) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor risiko DM dan hipertensi Integritas energi: TD=140/70, N=88, S=36,8 , RR=22, OS menggunakan O2 nasal 3 lpm. Suara nafar ronkhi kasar bilateral. Nafsu makan menurun,mual (+) porsi makan yang mampu dihabiskan ¼ porsi, lemas (-). Tidur cukup. Gula darah berkisar 100-230 mg/dl, HbA1C 7 %. EKG: sinus rytm, QRS rate 75x/mnt,PR int 0.16 dtk, QRS durasi 0.08 dtk, ST-t change (-), T inv di lead III, aVF, LVH (-), RVH (-). Elektrolit Na 139/ K 5.6/Cl 108 Integritas Struktural: Terdapat krusta multiple uk terkecil 1x1 cm, uk terbesar 10x15 cm mulai dari bawah lutut hingga ke pergelangan kaki. Pasien mengatakan sebab luka tidak diketahui, tidak gatal dan tidak ada nanah, luka hilang timbul. Jika sedang kambuh luka terasa lunak dan, jika membaik luka kering dan timbul koreng. Pernah berobat ke dr dikatakan jamur. Leukosit 14.200/, retinopati (+), neuropati (+). Integritas personal: pasien mengatakan malu dengan kondisi kakinya dan terlihat selalu ditutupi dengan selimut.
normal . Pasien keluar RS tanggal 25/5/14setelah mendapat perawatan selama 8 hari.
Manajemen hiperglikemia, infection control, Shock prevention ,airway management, manajemen elektroli: hiperkalemia, manajemen asidosis metabolik, wound control, self esteem enhancement. Evaluasi: Glukosa darah stabil setelah 3 hari perawatan yaitu < 200 mg/dl, leukosit 9810/µL, mual berkurang, nafsu makan mulai meningkat menjadi habis ½ porsi, TD dalam batas normal dengan kontrol obat, Elektrolit: Na 141/ K 3.2/ Cl 105.9. Untuk kondisi luka, belum menunjukkan perubahan yang signifikan, luka masih kering. Pasien mengatakan ia mulai menerima kondisi kakinya tersebut dan berharap segera diberi kesembuhan.
8 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Integritas sosial: interaksi pasien dengan perawat dan petugas kesehatan baik, selama di RS pasien dijaga bergantian oleh anak dan suami.
11
Ny RY, 41 tahun datang ke IGD RSCM tanggal 11/2/14 dengan keluhan lemas. Pasien dikirim dari poli endokrin RSCM ke IGD dengan keluhan lemas disertai keringat dingin sejak 4 jam SMRS. Pasien diketahui belum makan dr tadi pagi. Gula darah 35 mg/dl, telah mendapat dextrose 40% 2 fl di poli endokrin. Pasien juga mengalami luka pada kaki kanan sejak 1 bulan SMRS, dilakukan debridement di OK tgl 12/2/14, selanjutnya OS dipindahkan ke ruang perawatan tgl 13/2/14. Dx medis: Abses DM pedis dextra post insisi drainase + debridement, DM tipe 2, riwayat hipoglikemia Riwayat penyakit dahulu: DM dan hipertensi sejak 3 tahun,
Diagnosa keperawatan: 1) ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif 2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM 3) ketidakseimbangan elektrolit: hiperkalemia dengan faktor risiko gangguan mekanisme regulasi akibat DM dan CKD 4) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor risiko DM dan hipertensi 5) Mual berhubungan dengan asidosis metabolik 6) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan invasi jamur akibat gangguan imunologis 7) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya perubahan fisik tubuh Integritas energi: TD=130/70, N=88, S=36 , RR=18, batuk (+) Suara nafar ronkhi bilateral. Nafsu makan menurun,mual (+) porsi makan yang mampu dihabiskan ½ porsi. Pusing (+), Hb 9.9. Tidur kurang kerena nyeri skala 3. Gula darah tidak stabil, berkisar 60-350. HbA1C 11,7 %. EKG: sinus rytm, QRS rate 80x/mnt,PR int 0.16 dtk, QRS durasi 0.08 dtk, ST-t change (-), T inv (-), LVH (-), RVH (-). Elektrolit K= 3.13 Integritas Struktural: Terdapat luka pada dursum pedis dextra ukuran 20x8 cm, platar 20x4 cm, pus (+), slough (+), jar nekrotik (+). Pasien mengatakan sebab luka tidak diketahui,awalnya luka kecil lalu dikorek dengan jarum peniti oleh pasien, lam-kelamaan luka makin membesar dan mengeluarkan nanah. Leukosit 13.610/µL, retinopati (+),
Manajemen hiperglikemia dan hipoglikemia, infection control, wound control manajemen elektrolit: hipokalemia, Shock prevention , pain control, edukasi manajemen diabetes Evaluasi: glukosa darah berkisari 100250 setelah perawatan 2 minggu, leukosit 12.560/µL, kondisi luka membaik, slogh, pus, jaringan nekrotik berkurang, Tekanan darah ≤ 130/80 mmHg. Skala nyeri berkurang manjadi 2. Pasien mampu menyebutkan kembali pencegahan dan penanganan hipoglikemiasaat
9 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
kontrol rutin ke klinik dekat rumah dan mendapat glibenklamid, metformin dan captopril. Gula darah saat kontrol berkisar 200-300 an.
neuropati (+). Integritas personal: pasien mengatakan tidak malu dengan kondisi kaki yang seperti itu
dirumah serta mampu menjelaskan perawatan kaki yang dapat dilakukan pasien dan keluarga. Keluarga mampu melakukan injeksi insulin mandiri.
Integritas sosial: interaksi pasien dengan perawat dan petugas kesehatan baik, selama di RS pasien dijaga bergantian oleh anak dan suami. Pasien terlihat sering dijenguk oleh kerabatnya. Diagnosa keperawatan: 1) ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif 2) Risiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM 3) ketidakseimbangan elektrolit: hipokalemia dengan faktor risiko gangguan mekanisme regulasi akibat DM 4) Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik 5) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor risiko DM dan hipertensi 6) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya paparan informasi mengenai perawatan kaki DM 12
Ny RW, 52 tahun, kiriman dr G pro CAPD. 4 bulan SMRS OS sesak, batuk dan kaki bengkak, diketahui saat itu mengalami sakit ginjal. OS telah 4x menjalani HD di RS medistra dan setelah itu tidak HD lagi. Sudah 1 bulan SMRS kaki OS bengkak lagi dan direncanakan dilakukan CAPD. Riwayat DM sejak 4 th, mendapat insulin novorapid 3x10 unit, gula darah sekitar 100-200 an. Dx medis: CKD st V pro CAPD,DM tipe 2, Hipertensi belum terkontrol
Integritas energi: TD=170/90, N=78, S=36 , RR=18. Nafsu makan baik. porsi makan yang mampu dihabiskan > ¾ porsi. Gula darah berkisar 90-200. HbA1C 8.8%. EKG: sinus rytm, QRS rate 60x/mnt,PR int 0.16 dtk, QRS durasi 0.08 dtk, ST-t change (-), T inv lead I, aVL, LVH (-), RVH (-). Ro thorax: kardiomegali. Integritas Struktural: Balans cairan + 100, asites (+), edema tungkai (+), Leukosit 8900/µL, retinopati (+), neuropati (-) Integritas personal: pasien terlihat cemas 1 hari sebelum operasi
Manajemen hiperglikemia dan hipoglikemia,infection control, Shock prevention , hipervolemia management, anxiety reduction Evaluasi: glukosa darah terkontrol yaitu < 200 selama perawatan, tidak terjadi tanda-tanda peningkatan infeksi, sebelum CAPD digunakan HD rutin senin-kamis, pasien telah 5 kali dilakukan latihan CAPD untuk kemandirian dirumah.
10 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
CAPD dilakukan. Integritas sosial: interaksi pasien dengan pasien lainnya sangat baik, terlihat pasien memberi support dengan pasien lainnya
13
Nn Y , 25 tahun, pendidikan sarjana masuk ke IGD tanggal 8/5/14 dengan penurunan kesadaran sejak ½ jam SMRS. OS pingsan di kamar mandi dan ditemukan mengalami kejang. Gula darah saat di IGD low, selanjutnya dilakukan protokol hipoglikemia, lalu pasien mulai sadar. Sejak 3 tahun yang lalu OS dikatakan mengalami DM tipe 1 dengan pengobatan terakhir levemir 1x40 unit dan noorapid 3x20 unit. Sejak bulan februari OS mengalami diare, demam (-), Hasil kolonoskopi menyatakan adanya colitis. OS juga mengalami riwayat hipertiroid th 2011, mendapat obat PTU dan propanolol, namun sejak 1 th terakhir obat sudah distop karena nilai T4 sudah normal. OS dipindahkan ke ruang perawatan tanggal 10/5/14 dan pengkajian dilakukan tanggal 12/5/14. Dx medis: DM tipe 1, riwayat status epileptikus, diare kronik
Diagnosa keperawatan: 1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif 2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM 3) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung dengan faktor risiko DM dan hipertensi 4) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan regulasi ginjal. 5) Ansietas berhububungan dengan tindakan operatif yang akan dilakukan Integritas energi: TD=100/70, N=100, S=36,8 , RR=20. Ronkhi (-), ro thorax 9/5/14= infiltrasi di parakardial kanan, penebalan pleura kanan dd efusi pleura kanan minimal. Nafsu makan baik. porsi makan yang mampu dihabiskan > ¾ porsi. Hb 11.8, Alb 2,58. Gula darah tidak stabil berkisar 60-430 an. HbA1C 10.3%. MSCT scan serebral : defek pada verteks, fokal atrofi lobus frontal bilateral, tdk tampak infark maupun perdarahan intrakranial. Kista retensi sinus maksilaris kanan. Elektrolit Na 133/ K 3.5/ Cl 103.1, Mg 1.56 Integritas Struktural: Diare ± 10 x/hr konsistensi air, ampas minimal. Colonoscopy: hemoroid sirkuler gr I=II,colitis. Balans cairan + 200 cc, Turgor kulit masih baik. Leukosit 8570/µL
Manajemen hiperglikemia dan hipoglikemia,infection control, bowel incontinece care, electrolite management: hypomagnesia Evaluasi: hipoglikemia (-), gula darah <300 mg/dl, leukosit menjadi 8600/µL, diare mash ada namun frekuensi berkurangmenjadi 7x/hr dan ampas mulai ada. Mg meningkat manjadi 1.8. pasien keluar rumah sakit tagl 17/5/14 setelah mendapat perawatan selama 9 hari.
Integritas personal: pasien ingin cepat sembuh dan ia mengatakan ia telah menerima kondisnya saat ini. Di rumah ia tidak bekerja, tinggal bersama nenek. Ibu pasien telah lama meninggal karena
11 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
DM dan ayahnya saat ini juga mengalami DM. Integritas sosial: selama sakit, pasien dijaga oleh pengasuhnya, sesekali ayah dan neneknya datang menjenguk. Pasien sangat kooperatif dengan perawatan yang diberikan Diagnosa keperawatan: 1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif 2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM 3) Diare berhubungan dengan adanya infalamasi pada usus 4) ketidakseimbangan elektrolit: hipomagnesia dengan faktor risiko gangguan mekanisme regulasi akibat DM 14
Ny W, 48 tahun datang ke IGD RSCM tanggal 12/2/14 dengan keluhan luka pada jari manis dan kelingking sejak 1 bulan SMRS. Awalnya luka seperti bisul, tidak ada riwayat trauma. Lamakelamaan luka makin besar, demam (+), nyeri (+), nanah (+). dilakukan amputasi dig IV dan V tgl 13/2/14 di OK selanjutnya dipindahkan keruangan tanggal 14/2/14. Tanggal 28/2/14pasien dilakukan debridement pedis sinistra. Pengkajian dilakukan tanggal 3/3/14. Dx medis: Ulkus Dm pedis sinistra post amputasi & debridement, DM tipe 2. Riwayat penyakit dahulu: DM sejak 6 th, kontrol tidak teratur, gula darah tertinggi 600 an, mendapat obat metformin 3x500 mg. Riwayat hipertensi sejak 10 th, mendapat obat valsartan.
Integritas energi: TD=140/80, N=88, S=36 , RR=18, batuk (+) Suara nafas ronkhi bilateral. Nafsu makan baik. Pusing (+), Hb 9.5 Tidur kurang kerena nyeri skala 4. Gula darah berkisar 100-250. HbA1C 10.8 %.
Manajemen hiperglikemia, infection control, wound care, energy management, pain control, self esteem enhancement
Integritas Struktural: Terdapat luka pada lateral pedis sinistra, ukuran 23x8 cm, pus minimal, slough minimal, granulasi minimal, dasar luka tendon dan otot. Luka pada plantar pedis sinistra uk 20x6x2 cm, luka pada plantar pedis dextra uk 5x4 cm, slough (+), granulasi dan pus minimal. 5460/µL, retinopati (+), neuropati (+).
Evaluasi: glukosa darah berkisar 100250 setelah perawatan 3 minggu, leukosit 9870/µL, kondisi luka membaik, slogh, pus, jaringan nekrotik berkurang, Tekanan darah ≤ 140/80 mmHg. Skala nyeri berkurang manjadi 2. Keluhan pusing (-) Pasien mau menerima bantuan dari tetangga pasien, saat Keluar RS pasien dijemput oleh temannya
Integritas personal: pasien mengatakan tidak malu dengan kondisi kaki yang seperti ini, karena sudah sering melihat penderitaan orang-orang cacat pada LSM. Pasien berharap segera diberi kesembuhan agar dia bisaaktif bekerja sebagai relawan di LSM Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSDW) Integritas sosial: selama sakit OS sering tidak ada yang
12 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
menunggu, dengan alasan keluarga ada di jawa, ia sudah bercerai dengan suami dan anaknya tinggal di pesantren. Sesekali ia terlihat dikunjungi oleh teman2 LSM nya. Pemenuhan aktifitas harian dibantu POS dan perawat.
15
16
Ny. UK, 68 th datang ke IGD RSCM tanggal 2/5/14 karena sesak nafas sejak 1 mggu SMRS. OS rujukan dari PJT dengan CHF dan DM. Pasien juga mengalami luka di kaki kaki kiri post debridemnt di iGD tgl 3/5/14. OS sempat dirawat di HCU selama 5 hari sebelum dipindahkan ke ruang perawatan tanggal 7/5/14. Diagnosa medis: Ulkus DM pedis sinistra post debridement, DM tipe 2, CHF Fr II ec HHD, CAD. Riwayat penyakit dahulu: DM sejak 14 th, kontrol tidak teratur, gula darah tertinggi 350 an, mendapat terapi insulin novorapid 3x24 unit dan lantus 1x14 unit.Riwayat sakit jantung sejak th 2007 dan telah dipasang ring th 2011.
Ny H, 52 tahun, Agama Islam, pendidikan tamat SMA. Pasien datang ke IGD dengan keluhan luka
Diagnosa keperawatan: 1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif 2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM, luka pada kaki 3) Keletihan berhubungan dengan anemia 4) Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik 5) Ketidakberdayaan berhubungan dengan keterbatasan fisik. Integritas energi: TD=120/80, N=88, S=37 , RR=18, batuk (+) Suara nafas ronkhi bilateral. Nafsu makan baik. Pusing (-).Gula darah berkisar 100250. HbA1C 8.7 %. Integritas Struktural: Terdapat luka pada plantar pedis sinistra, ukuran 6x3cm, pus (-), slough (-), granulasi (+), dasar luka otot. retinopati (+), neuropati (+). Leukosit 13.680/µL Integritas personal: pasien mengatakan tidak malu dengan kondisi kaki yang seperti ini. Integritas sosial: selama sakit OS selalu ditunggui oleh suami dan anaknya. OS kooperatif selama perawatan. Diagnosa keperawatan: 1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif 2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM Integritas Energi: mengeluh mual dan makan 1/4 porsi, Mengeluh nyeri skala 3-4 pada daerah ulkus. Hb: 10.5, Albumin: 2.50, BB:
Manajemen hiperglikemia dan hipolikemia, infection control, wound care Evaluasi: Glukosa darah stabil selama perawatan, hipoglikemia (-), penyembuhan luka baik, batuk berkurang, leukosit 11840/µL. Pasien mengatakan jika dirumah anaknya yang akan merawat lukanya. Pasien keluar RS tanggal 14/5/14.
Manajemen hiperglikemia, infection control, wound care, pain
13 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
17
di kaki kiri yang tak kunjung sembuh sejak 1 bulan SMRS. Selama di rumah, luka dirawat sendiri oleh istrinya dengan menggunakan cairan NaCl dan luka dibiarkan terbuka dan semakin meluas, nanah (+). Pasien mengeluh tidak selera makan, badan terasa lemas, pusing, kadangkadang mengalami keringat dingin, mual (+), muntah (+), dan disertai demam. Hasil ro: pedis: osteomietilis, selanjutnya dilakukan amputasi digiti I-III. Dx medis: Ulkus DM post amputasi digiti I-III, DT tipe 2 Riwayat penyakit DM sejak ± 1 tahun yang lalu, pasien minum obat Glibenklamid dan Metformin tapi tidak teratur, hanya kalau ingat pasien minum kedua obat tersebut. Mata sebelah kiri mengalami gangguan penglihatan, buram, pendengaran pada kedua telinga berkurang.
70 kg, tinggi badan: 165 m (IMT = 25.71), GDS: 374 mg/dL, HBA1c 6.5%, Hb 10.7 gr%.
Ny. BN, 50 tahun datang ke IGD dengan keluhan sesak napas memberat pada malam hari. Pasien mengeluh batuk di malam hari dan kedua ekstremitas bengkak sejak 2 minggu SMRS. Pasien juga mengalami perut buncit sejak 1 minggu SMRS dan BAK hanya 200 cc/hr. Riwayat DM sejak 8 tahun, hipertensi sejak 7 tahun, riwayat jantung th 2007. Dx. Medis: CHF CKD Stage V, DM Tipe 2
Integritas energi: Tekanan darah: 170/90 mmHg, Nadi: 84 x/menit, P: 16 x/menit, S: 36.3ºC.Batuk (+), ronkhi +/-. Edema pada kaki, balans cairan -200 cc. CRT < 3 detik, Hb: 8.7 gr%, HBA1c: 8.5 %, Albumin: 3.30 mmol/l, GDS 241 mg/dl, Ureum: 206 mg/dl, Kreatinin: 8.4 mg/dl.
Integritas struktur: Ulkus DM post amputasi digiti I-III, pus (-) jaringan granulasi (+), slough (-). Leukosit 11.230 u/L. Belum BAB sejak 4 hari, skibala (+) Integritas personal: pasien memiliki konsep diri positif, selama interaksi kontak mata baik, menyadari dan menerima penyakit yang dialami adalah ujian dari Allah. Integritas sosial: interaksi dengan pasien lain dan perawat baik, suami pasien selalu menemani pasien selama di rumah sakit.
management, bowel elimination
Setelah perawatan diberikan sleama tujuh hari, keluhan nyeri hilang, napsu makan baik, kadar glukosa darah stabil <200 mg/dl, mual tidak ada lagi, kondisi luka baik, sudah belajar duduk, menunjukkan pemahaman manajemen mandiri DM dan berkeinginan untuk menjalani dalam kehidupan sehari-hari.
Diagnosa keperawatan: 1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif, infeksi 2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM 3) Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik 4) Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi.
Integritas struktur: kulit kering, bersisik, Lekosit: 5.700 /ul,
Manajemen hipervolemia, manajemen hiperglikemia, infection control Evaluasi: sesak (-), edema berkurang, pasien menjalani HD 2x/mggu, batuk berkurang, leukosit dalam batas normal.
Integritas personal: pasien ingin segera diberi kesembuhan dan cepat pulang
14 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Integritas sosial: interaksi dengan pasien lain baik begitu juga dengan perawat. Istri dan anak bergantian menjaga pasien. Diagnosa keperawatan: 1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan regulasi ginjal 2) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif, infeksi 3) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM 18
Ny. RA, 55 tahun, seorang ibu rumah tangga mengeluh mual, muntah 4 hari SMRS. Muntah sebanyak 5-10 x/hari. Pasien terlihat lemas, tidak dapat beraktivitas, mengeluh demam 3 hari SMRS. Nafsu makan menurun sejak 1 minggu SMRS, perut terasa nyeri. BAB cair 1 hari SMRS lebih dari 3x/hari, warna kotoran hitam, lendir (+), ampas (+).mengalami penurunan BB > 20 kg selama 3 bulan. Gula darah di IGD 455mg/dl, keton 1.7. Dx. Medis: Ketoasidosis, DM Tipe 2, Gula darah dalam regulasi insulin. Riwayat DM sejak 12 tahun, tidak rutin kontrol dan minum obat kerena sudah merasa sembuh. Datang ke dokter hanya jika merasa badan tidak enak.
Integritas energi: kadang-kadang sesak napas disertai batuk, pernapasan 24 x/menit, irama pernapasan teratur, bunyi paru vesicular +/+, ronki (-/-), wheezing (-/-). Kedua akral teraba hangat, tidak ada tanda edema, makan 1/4 porsi, mual (+),pasien suka makan makanan yang berlemak begitu juga dengan makanan yang manis. . Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb: 13.5, Albumin: 2.50, BB: 55 kg, Tinggi badan: 155 m (IMT = 22.89). Pasien memiliki riwayat penurunan berat badan sampai dengan 30 kg, tidak terdapat edema pada kedua ekstremitas, kulit kedua ekstremitas bawah kering.HBA1c; 10.3%, Keton: 1.70 mmol/l, Natrium: 128/ K 3.5/ Cl 99 Integritas struktur: Akral teraba hangat, kulit kering, kesemutan pada kedua ujung jari kaki,ABI 0.9/0.85. Neuropati (+), Leukosit 14.620/uL. Integritas personal: pasien menyadari penyakit yang dialami adalah karena tidak bisa mengontrol makan sehari-hari, suka dengan makanan yang berlemak dan manis. Pasien menyadari tidak pernah memeriksa kadar gula darah ke puskesmas, hanya kalau terasa badan tidak baru ia pergi ke puskesmas
Manajemen hiperglikemia, infection control, diet management, bleeding reduction, manajemen elektrolit: hiponatremia
Setelah intervensi keperawatan diberikan selama sepuluh hari, pasien diijinkan pulang dengan keadaan tidak ada keluhan sesak, gula darah terkontrol < 200 mg/dl, terapi insulin Lantus 1x10 unit subkutan, Natrium 140 mmol/l. Mampu mengerti manajemen mandiri DM dan berkeinginan menjalankan manajemen DM di rumah
Integritas sosial: interaksi dengan lingkungan baik, kontak mata baik ketika diajak berbicara, kooperatif terhadap perawatan.
15 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Diagnosa keperawatan: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
19
Ny SR, 60 th, menikah, tamat SD, pekerjaan pedagang. OS datang ke IGD karena luka pada kaki kanan yang tidak kunjung sembuh. 2 minggu SMRS OS menginjak beling, hal itu tidak disadari OS sehinga timbul luka pada telapak kaki kanan, luka dirasakan makin melebar, ada nanah dan terasa nyeri hingga OS sulit tidur. OS Dilakukan amputasi transmetatarsal dextra. Riwayat penyakit dahulu:OS memiliki riwayat DM diketahui sejak 8 th yl, kontrol ke puskesmas dekat rumah namun tidak rutin, mendapat obat metformin, glibenklamid tetapi dosis tidak tahu. Memiliki riwayat HT, mendapat obat captopril, dosis tidak diketahui. Dx medis: DM tipe 2, ulkus DM post amputasi transmetatarsal.
ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif, infeksi Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh bd intake kurang , DM Risiko perdarahan b.d adanya ulkus pada gastrointestinal Gangguan ketidakseimbangan elektrolit: hiponatremia Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri
Integritas energi: TD=150/90, N=88, S=36 , RR=18, batuk (-) Nafsu makan baik. Pusing (-), Hb 11.5 Tidur agak kurang kerena nyeri skala 4. Gula darah 187. HbA1C 9.8 %. BB = 62 kg, TB=155 cm, IMT: 25,8. OS post amputasi transmetatarsal, ADL mampu dilakukan sendiri namun kadangkala dibantu oleh anak. Seluruh aktifitas dilakukan di tempat tidur. Integritas Struktural: Terdapat luka post amputasi transmetatarsal, pus (-), slough minimal, granulasi (+), retinopati (+), neuropati (+). Leukosit 12.100/µL. Integritas personal: pasien mengatakan sedih dengan kondisinya, apakah nanti ia bisa berjualan lagi. Integritas sosial: interaksi dengan pasien sekitar, keluarga dan perawat baik.
Manajemen hiperglikemia,hipoglikemia, infection control, wound care, pain management, self esteem enhancement Evaluasi: Setelah perawatan diberikan selama 4 hari keluhan nyeri terkontrol, kadar glukosa darah stabil <200 mg/dl setelah 8 hari perawatan, kondisi luka baik, pasien mengatakan pelan-pelan jika kondisinya baik dia akan berjualan lagi.
Diagnosa keperawatan: 1) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif, infeksi 2) Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM, luka pada kaki
16 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
3) 4)
20
Ny G, 46 tahun, tamat SMP, pekerjaan penjahit. Masuk IGD tgl 28 November 2013. OS adalah pasien rujukan dari RS Tarakan.. OS dibawa ke IGD RSCM karena terdapat luka pada kaki kiri yang tak kunjung sembuh sejak 1 bln SMRS. Luka dikarenakan menggunakan sepatu yang sempit, makin lama makin besar, berbau dan mengeluarkan nanah. Terdapat demam, naik turun namun tidak tinggi. 2 minggu SMRS terdapat muntah disertai darah, BAB warna hitam. OS berobat kedokter umum, diberikan obat untuk menghentikan perdarahan dan obat lambung. Muntah darah berhenti namun BAB masih hitam dan lembek. Mual ada, muntah tidak ada, nafsu makan menurun. Saat di IGD dilakukan pemeriksaan EKG. Hasil: SR< HR 120 x/mnt, LVH/RVH (-), BBB (-). Rontgen thorax= cor dan pulmo dalam batas normal. Rontgen pedis sinistra: destruksi sisi proksimal phalang digiti V dan amputasi phalang digiti I pedis sinistra dengan soft tissue swelling dan emfisema subkutis region metatarsal V pedis sinistra. Dx medis saat masuk IGD: Ulkus + gangrene DM Pedis sinistra, DM normoweight dengan ketosis DM (keton 2.2, GD= 686), Hiperkalemia(K= 6.1) AKI dd acute on CKD st III (Ur/Cr= 58.4/1,723) Hiponatremia ec hiperglikemia (Hiponatremia Hiperosmolar Euvolemik) (Na 124) Hipoalbumin ec susp wound loss dd renal loss
Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik Ketidakberdayaan berhubungan dengan keterbatasan fisik. Integritas energi: TD=130/80, N=92, S=37 , RR=18, batuk (+) Suara nafas ronkhi bilateral. Nafsu makan menurun. Pusing (-).Gula darah 256 mg/dl. HbA1C 12.6 %. Umumnya OS mampu melakukan ADL mandiri, bantuan minimal dari perawat, OS mengatakan tidur cukup. Lab elektrolit Na/K/Cl/ Mg= 143/3.72/101.3/ 1.4 low Integritas Struktural: Hasil USG Dopler tgl 3/12/13= Right:arteri femoralis comunis dextra, plaque tdkada, trifasik vol flow 132.3. Arteri poplitea dextra plaque tdk ada, monofasik, vol flow 14.1. Left: arteri femoralis comunis sinistra, plaque tdkada, stenosis tdk ada, trifasik vol flow 1218. Arteri poplitea sinistra stenosis tdk ada, trifasik, vol flow 577.5. Arteri dorsalis pedis sinistra alitan tidak bisa dinilai. Arteri tibialis posterior sinistra, plaque > 50%, monofasik, aliran sulit dinilai. OS mengatakan nyeri di kaki kiri, skala nyeri 3 . Status lokalis luka: Luka tertutup verband. Luka rembes (-).Post debridement dan amputasi digiti 5 pedis sinistra H-17, post debridement ke-3 H+1 pedis sinistra. Leukosit 7.41/ trombosit 370.000/ d dimer 200/ fibrinogen 573.4/prokalsitonin 1.08.
Manajemen hiperglikemia, infection control, wound care, pain management, bleeding reduction, manajemen elektrolit: hipomagnesia, edukasi manajemen diabetes. Evaluasi: glukosa darah selama perawatan rentang 80-300, perluasan infeksi tidak terjadi, batuk (-), kelemahan (-), Mg 1.9. tanda-tanda perdarahan (-). Pasien mengatakan akan mengikuti saran dari perawat dan dokter agar lekas sembuh dan tidak ingin kehilangan kaki untuk kedua kalinya. Ia juga mengatakan akan rajin kontrol, menjaga makannya, serta memperhatikan kakinya.
Intergritas personal: Umumnya OS mampu melakukan ADL mandiri, bantuan minimal dari perawat, OS tidak malu dengan kondisinya, sebab dia sudah beradaptasi krn sudah pernah mengalami amputasi kaki kanan th 2010. Dia ingin segera sembuh agar bisa menjahit lagi Integritas sosial: selama sakit OS sering terlihat sendiri, jarang ditunggui oleh keluarga. OS aktif berinteraksi dengan pasien diruangnnya, bahkan dia dijuluki Ibu Lurah di ruangan tersebut. Diagnosa keperawatan:
17 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
(Alb 2.58) Selanjutnya dilakukan debridement dan amputasi digiti V pedis sinistra di IGD OK. Tgl 30/11/2013 Pasien dipindahkan ke Ruangan tanggal 1 Desember 2013. Debridement ke-2 tgl 9/12/2013 Debridement ke -3 tgl 16/12/2013 Pengkajian dilakukan tgl 17/12/13 OS diketahui menderita DM sejak th 2003, saat melahirkan anak kedua > 4 kg. Riwayat amputasi below knee dextra tahun 2010. 21
Ny S, 55 tahun datang ke IGD tanggal 15/10/2013 dengan keluhan nyeri pada kaki sebelah kiri. 10 hari SMRS px mengeluh timbul centing di jari jempol kiri. Makin lama makin besar. Demam tinggi hingga 39°C. 2 hari SMRS luka mengeluarkan nanah. Lalu pergi ke IGD RSCM. Mual (+), muntah (-), nafsu makan baik. Batuk/sesak/nyeri BAK/BAB tidak ada. Gula darah saat masuk IGD 386 mg/dl, keton 2,11. Debridement pedis sinistra dilakukan tgl 17/10/2013.Tgl 18/10/2013 px dipindahkan ke ruang 708D. Px memiliki riwayat DM diketahui sejak 10 th SMRS. Px tidak rutin kontrol ke Puskesmas, hanya sesekali ke dr praktik. 5 th SMRS px mengalami luka pada digiti IV pedis dextra, dibersihkan di poli kaki RSCM. 2 th SMRS pernah dirawat di RS Budi Asih karena luka di jari jempol kiri , hanya dibersihkan tanpa operasi. Riwayat HT sejak 4 th yl, riwayat TB dan asma disangkal.
1) 2) 3) 4) 5) 7)
Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM Risiko perdarahan berhubungan dengan adanya ulkus gastrointestinal ketidakseimbangan elektrolit: hipomagnesia dengan faktor risiko gangguan mekanisme regulasi akibat DM Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri
Integritas energi: Dada simetris, pernafasan reguler 18 x/mnt, Sesak (-), wheezing /-, ronkhi +/-. Keluhan batuk disangkal. Bunyi jantung S1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-), JVP 5-2 cmH2O, TD=130/80 mmHg, nadi= 84x/mnt. EKG tgl 15/10/13 sinus rhytm, RBBB inkomplit, hipertrofi tidak ada. Rontgen thorax: infiltrate lapang paru kanan dan parakardial kiri. Konjungtiva anemis (+), keluahan pusing (+) Mukosa mulut bersih, lembab. BB = 60 kg, TB=162 cm, IMT: 23,4. Porsi makan habis. Diit= 1700 kkal, protein 1,2 gr/kgbb. Hb 8,3,, Ht 24,7. GDS= 234, HbA1c= 8%. Elektrolit Na/K/Cl = 127/4,23/92,9 Integritas Struktural: Px mengatakan nyeri di kaki kiri, edema cruris sinistra +, nyeri dirasakan hilang timbul, skala nyeri 3, nyeri spt ditusuk. Status lokalis luka: luka tertupverban. Luka rembes minimal, odor (+).ABI=1,1/1,3.Pemeriksaan neuropati dgn monofilament 10 gr= tidak normal/tidak normal. Leukosit 23.030/trombosit490.000
Manajemen hiperglikemia, infection control, wound care, pain management, manajemen elektrolit: hiponatremia, manajemen energi Evaluasi: Glukosa darah 100-230 mg/dl, batuk (), leukosit 11.300/uL Tgl 28/10/2013 dilakukan operasi STSG, Na 137, CL 95, Keluhan pusing (-), Hb 10.2
Intergritas personal: Px mengatakan ia tidak malu dengan luka yang di kakinya.
18 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Pengkajian dilakukan tgl 21/10/ 2013. Dx medis: DM tipe 2, hipertensi, Post post debridement pedis sinistra
Integritas sosial: OS kooperatif tehadap perawatan yang dilakukan padanya Diagnosa keperawatan: 1) 2) 3) 4) 5)
22
Ny EM, 51 th datang ke IGD tgl 18 November 2013 dengan keluhan luka di kaki kanan. 4 bulan SMRS pangkal ibu jari kanan lecet akibat bergesekan dengan sandal, lalu tibul luka yang kering dan tidak bernanah.. Luka tidak diobati. 1 bulan SMRS, px demam, kaki kanan bengkak, selanjutnya berobat ke RS Budi Asih, diberikan obat penurun panas dan boleh pulang. Beberapa hari kemudian kaki semakin bengkak, lalu px dibawa ke RS Polri namun luka makin besar. Selanjutnya px dibawa ke IGD RSCM, mual (+), nafsu makan menurun sejak 2 mggu terakhir SMRS, BAB dan BAK saat itu tak ada keluhan. Hasil EKG saat MRS tgl 18/11/2013 ditemukan PVC. Hasil rontgen pedis ditemukan osteomielitis.. Px juga saat itu mengalami hiponatremia dengan Na 133 dan hipoalbumin dengan hasil alb 2.35, GDS 178 dan nilai keton 0.1.
Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM ketidakseimbangan elektrolit: hiponatremia dengan faktor risiko gangguan mekanisme regulasi akibat DM Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik Keletihan berhubungan dengan anemia
Integritas energi: Pernafasan regular RR= 18x/mnt, Sesak (-), wheezing -/-, ronkhi -/-. Pergerakan dada simetris. Bunyi jantung S1 S2 tunggal,. TD=131/78 mmHg, nadi= 92x/mnt. CRT < 3 dtk. Konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-), keluahan pusing (-). Mukosa mulut bersih, lembab. BB = 55 kg, TB=160 cm, IMT: 21,48. Px mendapatkan 3 kali porsi makan besar dan 2 kali snack. Porsi makan tidak habis karena perut terasa penuh karena belum BAB. Hb 10.2, Alb 2.28. GDS= 221, HbA1C 11.2% Integritas Struktural: Px mengeluh belum BAB sejak 4 hari yang lalu dan px juga mengatakan telah minum sirup lactulose namun tetap belum bisa bab. Pemeriksaan skibala (+). BU (+).Px mengatakan nyeri di kaki kanan. Nyeri muncul kadang-kadang, terutama jika dikakukan rawat luka, skala nyeri 4, nyeri seperti teriris. Status lokalis luka: Luka gr 3 (wagner), ukuran lukan 18 x 8 pada dorsum pedis, 23x10x 2 pada plantar pedis. Aputasi dig IV pedis dextra. Pus (-), odor minimal, jaringan nekrotik 10%, slough
Manajemen hiperglikemia, infection control, wound care, pain management, peripheral sensasion management, foot care Evaluasi: Gula darah selama perawatan stabil yaitu 100-210, tidak terjadi perluasan infeksi, penyebuhan luka baik, leukosit dalam batas normal, nyeri berkurang, pasien mampu melakukan plantar flexi exercise.
19 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Tgl 20/11/2013= debridement di OK IGD Tgl 25/11/2013= redebridement Tgl 2/12/2013= redebridement dan amputasi digiti IV pedis dextra. Pengkajian dilakukan tgl 9 Desember 2013. Dx medis: Dm tipe 2, post amputasi dig IV pedis dextra
40%. Granulasi 40%. Dasar luka otot. ABI = sulit dinilai/ 1 Pemeriksaan neuropati dgn monofilament 10 gr= tidak normal/tidak normal. Leukosit 8.5/ trombosit 625.000/ d dimer 100/ fibrinogen 439,7 Intergritas personal: Px beragama islam. Ia percaya sakit yang dialami murni karena medis dan ketidakpatuhannya. Ia hanya bisa berdoa agar diberi kesembuhan Integritas sosial: OS kooperatif tehadap perawatan yang dilakukan padanya Diagnosa keperawatan: 1) 2) 3) 4) 5)
23
Ny MA, 56 tahun bekerja sebagai ibu rumah tangga dengan tingkat pendidikan tamat SLTA datang ke IGD dengan keluhan sesak napas terutama jika berbaring dan berkurang jika posisi duduk. Perut bengkak, ekstremitas edema. Riwayat DM sejak 7 tahun lalu. Dx. Medis: DM tipe 2 + CKD stadium V
Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan adanya stenosis Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi
Integritas energi: tekanan darah: 170/90 mmHg, pernapasan: 24 x/menit, nadi: 96 x/menit. Sesak, lemas, edema pada kedua ekstremitas grade 3, akral hangat, CRT < 2 detik, balans cairan +200 ccdalam 24 jam, GDS: 138/245/244, Hb: 8.4 Hematokrit: 25, Eritrosit: 275, , Protein total: 4.60, Albumin: 2.40, Globulin: 2.30, Ureum: 131, Kreatinin: 6.4, HBA1c: 6%, Kalium: 5.9, Klorida: 109. Integritas struktur: belum BAB sejak 3 hari, skibala(+), edema grade 2, kulit kering dan bersisik, akral hangat. LED: 113
Manajemen hiperglikemia, managemen hipervolemia, infection control, manajemen elektrolit: hiperkalemia, bowel elimination Evaluasi: Keluhan sesak berkurang, balans cairan -100- 200 cc, pasien bersedia untuk HD. edema berkurang leukosit dalam batas normal, Kalium berangsur-angsur menurun hingga
20 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Integritas personal: pasien khawatir dengan kondisi penyakitny saat ini dan bertanya-tanya apakah ia dapat hidup normal kembali setelah dilakukan HD
4.9, pasien sudah bisa BAB setelah 2 hari perawatan.
Integritas sosial: pasien dapat berinteraksi baik dengan pasien sekitar tempat ridur, keluarga dan perawat. Pasien ditemani anaknya selama dirawat.
24
Ny. SS, 57 tahun, Islam, tamat SD, bekerja sebagai ibu rumah tangga, janda. Dirawat dengan riwayat tidak sadarkan diri satu hari sebelum masuk rumah sakit. Pagi hari sebelum kejadian, sarapan 3 sendok makan lalu minum obat gula. Setelah minum obat, pasien merasa pusing, lemas dan akhirnya tidak sadar, saat dicek GDS: 36 gr/dL. Setelah sadar, mengeluh mual dan lemas, bicara pelo, dan pusing. BB: 55 kg, TB: 155 cm, IMT: 22.89. Pasien didiagnosis DM tipe 2 oleh dokter di Puskesmas sejak 2 bulan yang lalu (Desember 2012) dan diberi Glibenclamide 5 mg dan satu macam obat yang pasien lupa namanya. Saat itu pasien berobat karena kaki kiri tertusuk paku, luka di kaki sukar sembuh.
Diagnosa keperawatan: 1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan regulasi ginjal 2. Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif 3. ketidakseimbangan elektrolit: hiperkalemia berhubungan dengan gangguan regulasi ginjal 4. Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM 5. Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi 6. Ansietas berhubungan dengan penyakitnya Integritas energi: makan 1/2 porsi, mual, muntah (-). Mukosa mulut kering, lesi (-), Hasil laboratorium: Albumin 3.40 dan Hb 10.5 gr%, GDS= 36, Keton 0.40. BB : 55 kg, TB: 155 cm, IMT: 22.9 (normal). Riwayat penurunan BB (-). Integritas struktur: Ulkus plantar pedis sinistra, Nyeri skala 3 terutama bila digerakkan, pus (+) sedikit,terdapat beberapa jaringan nekrosis (+), jaringan granulasi (+). Akral teraba hangat, baal (-), kesemutan (-). Sensori pada ujung jari-jari kaki kanan dan kiri (+). ABI kanan 0.93 dan kiri 0.87. Pasien mengetahui mengidap penyakit DM tapi tidak mengetahui manajemen mandiri DM. Leukosit 13.200/ uL, trombosit 525.000/ d dimer 100/ fibrinogen 437
Manajemen hipoglikemia, infection control, wound care, pain management, peripheral sensasion management, foot care.
Evaluasi: Setelah dilakukan perawatan selama lima hari, selera makan membaik, glukosa darah dalam batas normal (100-200 mg/dl), hipoglikemia (-), kondisi ulkus (granulasi positif, pus berkurang), perluasan infeksi (-), leukosit 11.720/ uL.
Integritas personal: pasien pasrah dengan kondisi sakitnya saat ini
21 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Dx. Medis: DM tipe hipoglikemia,Ulkus Pedis sinistra
2,
riwayat
dan ia berharap segera diberi kesembuhan agar dapat berkumpul dengan keluarga. Integritas sosial: interaksi dengan lingkungan sosial baik Diagnosa keperawatan: 1) 2) 3) 4)
25
Ny. RN, 52 tahun bekerja sebagai ibu rumah tangga datang ke IGD dengan keluhan mual dan muntah sejak 2 hari SMRS. Muntah sebanyak 3-4 x/hr, warna kecoklatan, badan terasa lemas, sakit kepala (+), selera makan berkurang, makan hanya 1-2 sendok. Setiap yang dimakan dikelurakan kembali. Pasien memiliki riwayat DM sejak 7 tahun, kontrol tidak teratur sebab tidak ada yang mengantar. Dx. Medis: DM tipe 2 dengan KAD
Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan faktor risiko manajemen diabetes inefektif Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan adanya stenosis Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik
Integritas energi: tanda vital: T : 37ºC, TD : 110/80 mmHg, R : 26 x/m, N : 96 x/m, HBA1c: 9.6%, GDS 432 mg/dl, Keton: 3.40 mmol/l, Lekosit: 15.9 ribu/ul, pH : 7.3, pCO2 : 22.1 mmHg, PO2 : 124.2 mmHg, HCO3 : 12.1 mmol/L, O2 saturasi : 98.4 %, Total CO2 : 12.8 mml/L . Pasien mengeluh lemas, banyak kencing dan haus., mual (+) Integritas struktur: kulit kaki kering, terdapt fisura, bentuk kaki hammer toes. Leukosit 15.780 /uL
Manajemen hiperglikemia, protokol KAD, infection control, nausea management Evaluasi: setelah dilakukan protokol KAD selama 24 jam, glukosa darah pasien mulai stabil < 250 mg/dl, keton 0.3, tanda-tanda dehidrasi (-), turgor baik. Mual berkurang
Integritas personal: pasien menyadari penyakit yang dialami adalah murni karena sakit medis Integritas sosial: interaksi dengan lingkungan baik, pasien kooperatif terhadap perawatan yang dilakukan Diagnosa keperawatan: 1)
Ketidakstabilan kadar glukosa darah, KAD berhubungan dengan proses infeksi
22 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
2) 3)
26
Tn. SA, 53 tahun dibawa ke IGD karena lemas, hingga tidak sanggup bangun ataupun berjalan, berbicara menjadi sulit, dan kadar glukosa darah saat masuk RS yaitu 35 mg/dL. Pasien mengatakan nafsu makan berkurang karena mual, hanya makan 2-3 sendok dan obat DM tetap diminum. Pasien juga mengeluh sering batuk, keluar keringat dingin di malam hari dan berat badan menurun drastis. Riwayat TB 4 tahun yang lalu, minum OAT selama 6 bulan dan telah dinyatakan sembuh oleh dokter. Dx Medis: Hipoglikemia, DM Tipe 2, on protocol hipoglikemia, Susp. TB
Risko kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis Nausea berhubungan dengan peningkatan asam lambung, asidosis metabolik
Integritas energi: TD= 90/60, N= 98 x/mnt, S=37, RR=22x.mnt. batuk (+), vesicular +/+, ronki basah kasar (+/+), wheezing (-). Makan 2-3 sendok, keluhan mual, muntah. Lemas (+), Hb: 10.5. Integritas struktur: sering terasa terasa kesemutan pada ujung jari kaki, kulit kering. Lekosit: 12.300/ul Integritas personal: Pasien mengatakan tidak paham aturan minum obat DM, hanya berfikir minum obat agar gula tidak tinggi. Integritas sosial: pasien kooperatif terhadap tindakan keperawatan yang dilakukan padanya. Diagnosa keperawatan: 1) 2) 3)
27
Ny RA, 42 tahun masuk rumah sakit karena nyeri pada kaki kanan disertai bengkak dan kemerahan, tapi tidak ada keluhan demam. Pasien tidak tahu awalnya sampai kaki kanan bengkak, kemerahan dan terasa nyeri. Riwayat DM sejak tahun 2008, rutin minum obat Glibenklamid (2x5 mg PO). Keluhan poliphagia, polidipsia dan poliuria (+)
Manajemen hipoglikemia, infection control, edukasi manajemen diabetes: pengenalan hipoglikemia dan penanganannya selama dirumah Evaluasi: setelah dilakukan protokol hipoglikemia dan dilakukan pemantauan secara ketat, selama 24 jam, glukosa darah pasien mulai stabil yaitu 100-200 mg/dl, hipoglikemia (), pasien dan keluarga mampu menyebutkan tanda-tanda hipoglikemia dan penanganannya selama dirumah.
Ketidakstabilan kadar glukosa darah hipoglikemia berhubungan dengan manajemen diabates tidak efektif Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM Kurang pengetahuan berhubungan dengan mispersepsi informasi
Integritas energi: Kedua akral teraba hangat, edema pada kaki bilateral. Pedis dextra tampak hiperemis, nadi teraba (+), pulsasi (+), luka pada dorsum pedis kering. makan 1/4 porsi dari makanan yang disediakan RS, mual. Pemeriksaan Hb: 10.5 gr%, Albumin: 3.30. Na 138/ K 2.9/ Cl 101. GDS 234 ,HbA1c 8.8% Integritas struktur: nyeri kaki kanan skala 6, akral teraba hangat, kulit kering, kadang-kadang terasa nyeri pada daerah dorsum
Manajemen hiperglikemia, manajemen diit, infection control, manajemen elektrolit: hipokalemia, edukasi manajemen DM
Setelah dirawat selama tujuh hari,
23 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
sejak 5 tahun, mengatur pola makan walau sering tidak dapat mengontrol makanan yang dimakan. Pasien suka makanan yang manis-manis. jarang mengontrol kadar gula darah, kalau perasaan tidak enak baru pasien kontrol gula darah ke puskesmas.
pedis dextra, baal pada pada ujung jari kaki kiri, sensasi baik pada kedua ekstremitas, CRT < 2 menit, edema pada ekstremitas kiri. Integritas personal: pasien selalu bertanya mengenai kondisi lukanya, apakah luka akan makin besar. Leukosit 11.9/µL Integritas sosial: interaksi baik dengan pasien di sekitar, keluarga dan perawat. Diagnosa keperawatan:
Dx. Medis: Selulitis DM Pedis Sinistra, DM Tipe 2
1) 2) 3) 4)
28
Ny N, 47 th. Datang ke IGD dengan keluhan luka dan nyeri pada kaki kiri. 7 hari SMRS Px mengeluh muncul luka pada jempol kaki kiri. Luka spt bisul kecil, kemudian pecah, luka menjadi semakin membesar. Luka terdapat pada dorsalis pedis sinistra dan digiti I pedis dextra. Nyeri (+), demam (+), kesadaran menurun saat dibawa ke RS. Hasil fotopedis tgl 14/9/13= osteomielitis head metatarsal IV pedis sinistra Ro thorax: pneumonia, aorta elongasi Tgl 15/9/2013= dilakukan debridement pedis sinistra + digiti I pedis dextra. Px memiliki riwayat DM diketahui sejak 1 th SMRS. Riwayat HT, jantung, stroke disangkal. Ibu Px juga
pasien diijinkan pulang oleh dokter, hasil pemeriksaan GDS 393 mg/dl, memahami manajemen mandiri DM terutama dalam pengaturan makanan, serta mampu menyuntikkan insulin sendiri serta melakukan perawatan luka mandiri di rumah.
Ketidakstabilan kadar glukosa darah hipoglikemia berhubungan dengan manajemen diabates tidak efektif Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM ketidakseimbangan elektrolit: hiponatremia dengan faktor risiko gangguan mekanisme regulasi akibat DM Ansietas berhubungan dengan perubahan kondisi fisik
Integritas energi: Px mengeluh batuk sejak 1 hr yl, dahak susah keluar. Pernafasan regular RR= 18x/mnt, Sesak (-), wheezing -/-, ronkhi +/-. Pergerakan dada simetris. Bunyi jantung S1 S2 tunggal,. TD=120/80 mmHg, nadi= 84x/mnt. Nafsu makan menurun, merasa cepat kenyang. Porsi makan habis <1/2 porsi. Pusing (-), GDS 213 mg/dl, HbA1c 8.9% Integritas struktur: nyeri kaki kiri skala 4. adanya luka Post debridement Pedis Sinistra + digiti I pedis dextra, kulit kering. ABI 0.89/0.85. Leukosit 12.880/µL Integritas personal: pasien tidak malu dengan kondisinya
Manajemen hiperglikemia, manajemen diit, infection control, edukasi manajemen DM: perawatan kaki, pain control Evaluasi: Setelah dirawat selama 2 minggu hari, pasien keluar RS, hasil pemeriksaan GDS 220 mg/dl, memahami manajemen mandiri DM terutama melakukan perawatan kaki dan senam kaki, nyeri berkurang, batuk (-), ronkhi (-).
Integritas sosial: interaksi baik dengan pasien di sekitar, keluarga
24 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
menderita DM. Sebelum sakit px merokok 1 batang/hr. Px kontrol ke Puskesmas setiap bulan, mendapatkan obat minum , nama abat dan dosis px tidak tahu. Dx medis: DM Tipe 2, Post debridement Pedis Sinistra + digiti I pedis dextra
dan perawat.pasien kooperatif terhadap tindakan yang diberikan Diagnosa keperawatan: 1) 2) 3) 4)
29
Ny. SY, 31 th, tamat akademi datang ke IGD tanggal 7/12/13 dengan keluhan kaki bengkak sejak 1 minggu SMRS, tidak diketahui penyebabnya, trauma (-). Telapak kaki kiri awalnya hanya berwarna putih, lama kelamaan bengkak semakin besar, semakin nyeri dan berwarna kemerahan. GD saat masuk 563. Keton 2.7. Mual (+), muntah (+). Riwayat DM sejak 5 th, tidak rutin kontrol. Obat yang diminum glibenklamid 1x1. Pengkajian dilakukan tgl 9-1213. Dx medis: abses DM pedis sinistra, DM Tipe 2, riwayat KAD.
Ketidakstabilan kadar glukosa darah hipoglikemia berhubungan dengan manajemen diabates tidak efektif Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan adanya stenosis Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik
Integritas energi: TD=110/80 mmHg, nadi= 84x/mnt. Pernafasan regular RR= 18x/mnt, Sesak (-), wheezing -/-, ronkhi + bilateral, Pergerakan dada simetris. Bunyi jantung S1 S2 tunggal,. Nafsu makan menurun, mual. Porsi makan habis ¼ porsi. Pusing+,Hb 8.8, GDS 280 mg/dl, HbA1c 13.1%. Na 138/K 3.6/Cl 99 Integritas struktur: nyeri kaki kiri skala 4, kemerahan, akral hangat. ABI 0.9/1,0. Leukosit 11.560/µL Integritas personal: pasien takut kakinya dioperasi Integritas sosial: interaksi baik dengan pasien di sekitar, keluarga dan perawat Diagnosa keperawatan: 1) 2) 3)
Manajemen hiperglikemia, manajemen diit, infection control, edukasi manajemen DM, pain control, enhance coping Evaluasi: Setelah dirawat selama 9 hari, pasien keluar RS, hasil pemeriksaan GDS berkisar 100-200 mg/dl, nafsu makan meningkat, habis ¾ porsi, pasien memahami manajemen mandiri DM terutama melakukan perawatan kaki, nyeri berkurang, ronkhi berkurang, pasien menyetujui dilakukan tindakan insisi pada plantar pedis sinistra. Penyembuhan luka baik.
Ketidakstabilan kadar glukosa darah hipoglikemia berhubungan dengan manajemen diabates tidak efektif Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik
25 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
4)
30
Ny NN, 48 th, menikah, IBU Rumah Tangga. Px dibawa ke IGD RSCM tanggal 28 November 2013 karena mencret sejak 3 hr SMRS. Mencret > 10 kali sehari, ampas (-), lendir (-), darah (-). Ada demam yang naik turun, tidak menggigil. Mual (+), makan hanya ½ porsi. 3 bulan SMRS pasien px mengalami luka di kaki kiri, luka digaruk, semakin membesar dan tak kunjung sembuh. Px sempat dirawat di RSCM Lt 7 selama ½ bulan dan saat pulang mendapat terapi OAT. Setelah pulang px hanya kontrol di poli bedah saja, tidak pernah kontrol ke poli penyakit dalam dan poli paru. Dx medis saat masuk IGD: GEA dgn hipokalemia, TB paru on OAT, Ulkus pedis DM sinistra, DM T2 dengan hipoglikemia GD 58, AKI Selanjutnya px dipindahkan ke 708 C tgl 1 Desember 2013 dan tgl 4 Desember 2013 dilakukan debridement ulkus pedis sinistra. Px memiliki riwayat DM diketahui sejak 1 th SMRS. Riwayat HT, jantung, stroke disangkal. Ibu Px juga menderita DM. Setelah pulang dari RS sejak 3 bln yl, px kontrol ke poli bedah. Px mendapatkan OAT sejak bulan Oktober 2013. Putus obat ± 1 bulan dan dilanjutkan kembali dalam perawatan saat ini.
Ansietas berhubungan dengan tindakan selam perawatan
Integritas energi: TD=110/80 mmHg, nadi= 84x/mnt. Px mengeluh batuk sejak 3 mggu, dahak susah keluar. Pernafasan regular RR= 18x/mnt, Sesak (-), wheezing -/-, ronkhi + bilateral, Pergerakan dada simetris. Bunyi jantung S1 S2 tunggal,. Nafsu makan menurun, merasa cepat kenyang. Porsi makan habis <1/2 porsi. Pusing (-), GDS 310 mg/dl, HbA1c 9.1% Integritas struktur: diare (-), nyeri kaki kiri skala 3. adanya luka Post debridement Pedis Sinistra + digiti I pedis dextra, kulit kering. ABI 0.9/0.87. Leukosit 11.880/µL Integritas personal: pasien ingin lekas sembuh, sudah bosan di RS Integritas sosial: interaksi baik dengan pasien di sekitar, keluarga dan perawat.pasien kooperatif terhadap tindakan yang diberikan
Manajemen hiperglikemia, manajemen diit, infection control, edukasi manajemen DM: perawatan kaki, pain control Evaluasi: Setelah dirawat selama 13 hari, pasien keluar RS, hasil pemeriksaan GDS 220 mg/dl, memahami manajemen mandiri DM terutama melakukan perawatan kaki dan senam kaki, nyeri berkurang, batuk (-), ronkhi berkurang, OS saat ini dalam pemberian OAT, pasien mengatakan akan rajin kontrol sepulang dari RS agar tidak masuk kembali dengan kondisi yang sama.
Diagnosa keperawatan: 1) 2) 3) 4) 5)
Ketidakstabilan kadar glukosa darah hipoglikemia berhubungan dengan manajemen diabates tidak efektif Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas akibat DM Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan adanya stenosis Nyeri akut berhubungan dengan agens injuri fisik Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri
26 Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
PROSEDUR PENGUKURAN ABI 1. Posisikan pasien supine selama 5 menit sebelum pemeriksaan 2. Ukur tekanan darah sistolik pada kedua lengan dan pada kedua ankle, yaitu pada arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior. 3. Letakkan manset sekitar 1 inci diatas fossa antecubital untuk mengukur tekanan sistolik brachial dan sekitar 2 inci diatas medial meleolus untuk menilai tekanan ankle. 4. Pastikan sinyal denyut nadi arteri harus terdengar dengan jelas menggunakan probe Doppler sebelum manset dipompa. 5. Pompa manset Doppler
telah
minimal 20 mmHg diatas tanda dimana suara arterial menghilang,
selanjutnya
secara
perlahan
pompa
dikendorkan hingga suara Doppler muncul kembali. Suara doppler pertama yang muncul itulah yang disebut tekanan darah sistolik pada pembuluh darah tersebut. 6. Tentukan nilai ABI Nilai ABI ditentukan dengan membagi nilai tertinggi dari dua tekanan sistolik ankle pada masing-masing kaki dengan nilai tertinggi dari dua tekanan sistolik brachial. Nilai tertinggi dari dua tekanan brachial digunakan sebagai denominator untuk menilai kemungkinan stenosis arteri subklavia, yang mampu menurunkan tekanan darah pada ekstremitas atas. Penilaian ABI dilakukan pada masing-masing kaki dan nilai terendah merupakan nilai ABI keseluruhan pasien. 7. Instruksikan pasien untuk melakukan heel rise exercise selama 30 detik. Ketinggian tumit dan kecepatan gerak disesuaikan dengan kemampuan masing-masing pasien. 8. Posisikan pasien supine, segera ukur ABI kembali setelah latihan selesai dilakukan.
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Lampiran 4 PROSEDUR PENGUKURAN ABI 1. Posisikan pasien supine selama 5 menit sebelum pemeriksaan 2. Ukur tekanan darah sistolik pada kedua lengan dan pada kedua ankle, yaitu pada arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior. 3. Letakkan manset sekitar 1 inci diatas fossa antecubital untuk mengukur tekanan sistolik brachial dan sekitar 2 inci diatas medial meleolus untuk menilai tekanan ankle. 4. Pastikan sinyal denyut nadi arteri harus terdengar dengan jelas menggunakan probe Doppler sebelum manset dipompa. 5. Pompa manset Doppler
telah
minimal 20 mmHg diatas tanda dimana suara arterial menghilang,
selanjutnya
secara
perlahan
pompa
dikendorkan hingga suara Doppler muncul kembali. Suara doppler pertama yang muncul itulah yang disebut tekanan darah sistolik pada pembuluh darah tersebut. 6. Tentukan nilai ABI Nilai ABI ditentukan dengan membagi nilai tertinggi dari dua tekanan sistolik ankle pada masing-masing kaki dengan nilai tertinggi dari dua tekanan sistolik brachial. Nilai tertinggi dari dua tekanan brachial digunakan sebagai denominator untuk menilai kemungkinan stenosis arteri subklavia, yang mampu menurunkan tekanan darah pada ekstremitas atas. Penilaian ABI dilakuian pada masing-masing kaki dan nilai terendah merupakan nilai ABI keseluruhan pasien. 7. Instruksikan pasien untuk melakukan heel rise exercise selama 30 detik. Ketinggian tumit dan kecepatan gerak disesuaikan dengan kemampuan masing-masing pasien. 8. Posisikan pasien supine, segera ukur ABI kembali setelah latihan selesai dilakukan.
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
PANDUAN
Latihan Kekuatan dan Keseimbangan pada Diabetes Melitus dengan Neuropati Semoga Bermanfaat
Kelompok Residensi Endokrin RSCM: Desak Made Widyanthari Fiolenti B.M Sitorus Jon Hafan Sutawardana Titi Iswanti Afelya
Nama
: …………………………………………..…………...
Umur
: ……………..………………………………………...
Alamat : ……………………………………………………….
Copy right
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA 2014
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA 2014
Page 2
LEMBAR PEMANTAUAN LATIHAN
LATIHAN KEKUATAN OTOT KAKI
Pengertian Latihan kekuatan adalah jenis latihan fisik yang dilakukan dengan memberikan tahanan atau beban pada kaki. Latihan keseimbangan adalah latihan fisik yang dilakukan untuk mempertahankan kontrol tubuh yang tepat, baik dalam posisi diam maupun bergerak.
Tujuan Latihan Latihan ini bertujuan untuk mencegah jatuh dengan meningkatkan kekuatan otot dan keseimbangan tubuh pada orang dengan diabetes yang mengalami gangguan saraf pada tungkai bawah.
Hal-hal yang perlu diperhatikan
No
Penilaian
1.
Waktu Berdiri tandem (detik)
2.
Jumlah langkah berjalan tandem (dalam 1 menit)
3.
Waktu berdiri unipedal (detik)
4.
Tes waktu berdiri dan berjalan dalam 3 meter (detik)
5.
Waktu selama 5 kali berdiri dari kursi (detik)
6.
Waktu tempuh berjalan 10 meter (detik)
1. Gunakan alas kaki yang sesuai dan tidak licin. 2. Segera hentikan latihan jika merasa pusing.
Bln ke10
Paraf pemeriksa
1. Latihan ini terdiri dari 5 (lima) gerakan, dengan masing- masing gerakan dilakukan selama 2-3 menit. 2. Latihan dilakukan 3 (tiga) kali dalam satu minggu (misalnya: senin, rabu dan jumat) 3. Latihan ini dilakukan dengan pendampingan (pelatih atau anggota keluarga).
Persiapan Pasien
Bln Bln Bln Bln Bln ke-0 ke-2 ke-4 Ke-6 ke-8
Page 7
Referensi Allet L, Armand R, Golay A, Monnin D, Aminian K, Staal et al. 2010. Keseimbangan gaya berjalan pada pasien diabetes dapat diperbaiki: a randomized controlled trial. Diabetologia; 53: 458-466 Iwamoto, J., Suzuki, H., Tanakaka, Kumakubo, T., Hirabyasi, H., et al. (2009). Pengaruh latihan untuk mencegah risiko jatuh pada lansia: randomized controlled trial. Osteoporost int. 20: 1233-1240 Morrison S, Colberg S, Mariano M, Parson H, Vinik A. (2010). Latihan Keseimbangan menurunkan risiko jatuh pada penyandang DM tipe 2. Diabetes Care;33 (4): 748-750
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
LATIHAN MELANGKAH
Page 6
1
1. KESEIMBANGAN TUBU H
Page 3
Latihan keseimbangan terdiri dari 3 (tiga) gerakan yaitu berdiri
2
tandem, berjalan tandem dan berdiri unipedal
Pasien berdiri dengan satu kaki berada di depan kaki yang lain. Kedua tangan menyilang di dada. Pandangan mata ke depan.
3
Gerakan dilakukan selama 3 menit pada masing-masing kaki, 2 set/hari.
4
Latihan dilakukan dengan gerakan 1 langkah ke depan, belakang, ke kanan dan ke kiri dengan tangan menyilang di depan dada. Gerakan dilakukan sebanyak 10 kali, 3 set/ hari . Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Page 4
LATIHAN KEKUATAN OTOT KAKI
LATIHAN KEKUATAN OTOT KAKI
1
B Berjalan Tandem
3
Page 5
2
4 4. BERDIRI SEMI-TANDEM
Pasien berjalan dengan satu kaki berada di depan kaki yang lain.Berjalan sebanyak 10 langkah, dilakukan 5 set/hari.
C Berdiri Unipedal
Pasien berdiri dengan satu kaki, kedua tangan menyilang di dada dan pandangan mata lurus ke depan Lakukan bergantian pada kaki yang lain. Gerakan dilakukan selama 3 menit pada masing-masing kaki, 2 set/hari
Pasien berdiri dari kursi tanpa berpegangan, kemudian duduk kembali. Gerakan dilakukan sebanyak 10 kali, 3 set/hari.
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Lampiran 6 LEMBAR KUISIONER BOOKLET
A. Data Demografi Pasien Nama Pasien : Umur : Lama DM : Status Pendidikan :
B. Petunjuk Pengisian Kuisioner Booklet Setelah anda melihat dan membaca booklet “Panduan Latihan Kekuatan dan Keseimbangan pada pasien Diabetes Melitus dengan Neuropati”, isilah lembar pertanyaan di bawah ini dengan memberikan tanda silang (X) pada pilihan jawaban yang sesuai dengan pendapat anda terkait isi booklet.
No
Pertanyaan
Sangat Baik 1
1 2 3 4 5
6
Informasi yang diberikan jelas dan mudah dimengerti Tulisan dapat dibaca dengan jelas Tampilan dan warna gambar jelas Booklet ini media yang praktis untuk digunakan. Manfaat booklet Buku ini akan saya gunakan untuk petunjuk latihan mandiri di rumah dan sebagai media informasi dan komunikasi dengan petugas poli Endokrin
2
Ya
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014
Tidak Baik 3
Sangat Tidak Baik 4
Tidak
Lampiran 7 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Desak Made Widyanthari
Tempat/tanggal lahir : Tambahan/ 30 Agustus 1985 Jenis kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: PNS
Alamat rumah
: Jl. Batuyang Gang Bangau XB no 9X Batubulan-Gianyar
Alamat Institusi
: PSIK FK UNUD, Jl PB Sudirman Denpasar
Riwayat pendidikan : Lulus Sekolah Dasar Negeri 5 Kawan Bangli tahun 1997 Lulus SLTP N 1 Bangli tahun 2000 Lulus SMUN 4 Denpasar tahun 2003 Lulus S1 Keperawatan PSIK Universitas Airlangga Surabaya tahun 2007 Lulus Ners PSIK Universitas Airlangga Surabaya tahun 2008 Riwayat Pekerjaan
:
2008-sekarang
: PSIK FK Universitas Udayana
Pendekatan model…, Desak Made Widyanthari, FIK UI, 2014