Depresi pada Pasien Diabetes Melitus Kasoki Sifa Justine (102013478)
[email protected] Fakultas Kedokteran UKRIDA Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus merupakan suatu penyakit kronis. Stress psikologis dapat timbul pada saat
seseorang
menerima
diagnosa
DM.
Hal
ini diungkapkan oleh
Watkins (2000) yang menyatakan bahwa penderita DM seringkali mengalami kesulitan untuk menerima diagnosa DM, terutama ketika ia mengetahui bahwa hidupnya diatur oleh diet makanan dan obat-obatan. Biasanya penderita berada pada tahap kritis yang ditandai oleh ketidak seimbangan fisik, sosial, dan psikologis. Hal ini berlanjut menjadi perasaan gelisah, takut, cemas dan depresi yang dialami oleh penderita. Diabetes milletus merupakan penyakit kronik yang tidak bisa sembuh sempurna, perlu perawatan seumur hidup, dapat menimbulkan perubahan psikologik yang mendalam pada pasien, juga pada keluarga dan kelompok sosialnya. Pada pasien yang telah didiagnosa menderita DM, timbul perasaan yang tidak adekuat lagi, dapat berlebihan, timbul ketakutan, mereka menuntut untuk dirawat orang lain dengan berlebihan, dan sikap bermusuhan yang kemungkinan dapat terjadi. Hal ini juga bisa berlanjut menjadi perasaan depresi pada pasien. Depresi merupakan kejadian yang umum terjadi pada penderita DM (Watkins, 2000). Hasil penelitian menyebutkan bahwa prevalensi depresi pada penderita DM cukup tinggi yaitu sekitar 25 persen. Pada kasus DM, konsekuensi fisik dari ganngguan kronis (seperti komplikasi) menempatkan suatu batasan, larangan terhadap kehidupan individu. Hal ini bertujuan untuk mengendalikan kadar gula darah tetap normal dan mencegah terjadinya konsekuensi yang tidak diinginkan, selain itu pengendalian DM tersebut dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama dan kompleks (ASDI, 2000). Hal ini memungkinkan pasien mengubah gaya hidupnya sehari-hari sehingga dapat mempengaruhi pandangan pasien terhadap dirinya. Kondisi ini dapat menimbulkan berbagai perubahan atau gangguan baik fisik maupun psikologis bagi penderita. Penderita DM harus tergantung pada terapi
pengelolaan DM. Hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan misalnya pasien merasa lemah karena harus membatasi diet. Diabetes mellitus dibandingkan dengan penderita non Diabetes mellitus mempunyai kecenderungan 2kali lebih mudah mengalami trombosis serebral, 25kali terjadi buta, 2kali terjadi penyakit jantung koroner, 17kali terjadi gagal ginjal kronik, dan 50 kali menderita ulkus diabetika. Komplikasi menahun Diabetes mellitus di Indonesia terdiri atas neuropati 60%, penyakit jantung koroner 20,5%, ulkus diabetika 15%, retinopati 10%, dan nefropati 7,1% Penderita Diabetes mellitus berisiko 50 kali terjadi komplikasi ulkus diabetika. Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan adanya makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati. Ulkus diabetika mudah berkembang menjadi infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan adanya gula darah yang tinggi menjadi tempat
strategis untuk pertumbuhan kuman.
Perubahan pasien dalam memandang dirinya secara negatif, misalnya pasien merasa putus asa dan tidak dapat menerima keadaannya akan mempengaruhi kosep diri pasien. Pasien merasa stress dan terganggu yang akhirnya dapat memperberat keadaan sakitnya. Rasa tidak berdaya sering terjadi pada individu dengan penyakit kronis. Ketidak berdayaan merupakan suatu persepsi bahwa tindakan seseorang tidak akan mempengaruhi hasil . Konsep diri terdiri atas gambaran diri, harga diri, ideal diri dan identitas personal. Konsep diri dapat diartikan sebagai suatu keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya dan mempengaruhi hubungannya terhadap orang lain. Seorang penderita Diabetes mellitus, dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung mengalami tingkat depresi yang lebih tinggi, bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih menganggap sebagai suatu halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain.
Gambaran diri berhubungan dengan kepribadian. Cara individu memandang dirinya mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologisnya. Pandangan yang realistis terhadap dirinya menerima dan mengukur bagian tubuhnya akan lebih rasa aman, sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri . Hubungan Serotonin dengan Insulin Regulasi kortisol diatur oleh mekanisme hipotalamus-pituitari anterior-adrenal. Hipotalamus mensekresikan adrenocorticotrophic hormone (ACTH) yang akan merangsang pituitary anterior (adenohipofisis) mensekresikan corticotrophin releasing hormone (CRH) yang selanjutnya merangsang adrenal. Terdapat variasi diurnal terhadap kadar ACTH dan kortisol dimana kadar terendah ACTH dan kortisol adalah saat pagi hari sekitar pukul 6-7 pagi. Keseluruhan aksis ini mempunyai pengaruh yang penting dalam mengatur mood dan perilaku. Pada penyakit hiperkortisolisme (Cushing sindrom) dapat menyebabkan depresi. Tambahan, kortisol juga menginduksi sintesis protein dan juga memodulasi produksi dari enzim sintesis pada system saraf pusat. Kadar kortisol yang tinggi dengan tidak adanya variasi diurnal banyak dilaporkan terutama pada pasien depresi tetapi juga dapat ditemukan pada pasien dengan mania, obsesif kompulsif, atau gangguan skizoafektif. Kortisol memiliki efek yang berlawanan (kontra) dengan insulin. Kortisol berefek terhadap glikolisis sehingga menyebabkan peningkatan gula darah dan dapat menyebabkan penurunan sensitivitas terhadap insulin.1 Obat yang dapat Menginduksi Depresi Pada orang tertentu, obat-obatan dapat menyebabkan depresi. Misalnya, obat-obatan seperti barbiturates, benzodiazepines, dan beta-blocker telah dikaitkan dengan depresi, terutama pada orang tua. Demikian juga obat-obatan seperti kortikosteroid, opioid (kodein, morfin), dan antikolinergik yang digunakan untuk meringankan kram perut, obat tersebut diketahui dapat menyebabkan mania, yaitu kondisi gembira sekali, yang berkaitan dengan gangguan bipolar.4
Hubungan Depresi dan Diabetes Melitus Depresi dapat menyebabkan peningkatan aktivitas sumbu HPA. Hipersekresi CRH merupakan gangguan sumbu HPA yang sangat penting pada depresi. Terjadinya hipersekresi CRH diduga akibat adanya gangguan pada sistem umpan balik kortisol atau adanya kelainan sistem monoaminergik dan neuromuskular yang mengatur CRH. Peningkatan CRH ini akan berakibat tingginya sintesa dan pengeluaran ACTH oleh hipofisis yang selanjutnya merangsang kortisol dari kelenjar adrenal.
Telah diketahui bahwa kejadian depresi adalah tinggi pada kelompok masyarakat DM, sehingga penegakan dan pengobatan selanjutnya adalah perlu dalam praktek klinik. Beberapa penelitian mendapatkan angka yang sangat bervariasi mengenai kejadian depresi pada penderita DM. Studi metaanalisis yang dilakukan oleh Lutsman menemukan rata-rata lebih dari 25% penderita DM mengalami depresi. Peneliti lain menemukan angka 9,3% penderita DM mengalami depresi dan 6,1 % pada individu tanpa DMM. EgedeLE dkk. Mendapatkan kejadian depresi pada penderita DM sebanyak 2 ½ kali lipat dibanding pada populasi umum. Sedangkan penelitian di RS Dr. Kariadi tahun 2001 31,8 % penderita DM mengalami depresi. Depresi tidak hanya menurunkan kualitas hidup penderita DM, tetapi juga berengaruh pada ketaatan berobat dan pengendalian gula darah serta meningkatkan biaya perawatan dan risiko komplikasi DM. Pada percobaan pemberian antidepresant, perbaikan depresi secara bermakna berhubungan dengan perbaikan Glycohemoglobin (GHb). Pada penelitian lain, pengobatan dengan fluoxetin telah berefek pada GHb, tetapi efek ini tidak tergantung pada aperubahan depresi. Pada dua percobaan menggunakan bahan antihiperglikemik perbaikan pengendalian gula darah adalah paralel dengan perbaikan depresi. Temuan ini dapat mendukung hipotesis adanya interaksi timbal balik antara depresi dan pengendalian gula darah, dimana depresi dapat menimbulkan hiperglikemi dan hiperglikemi memicu depresi. Diduga bahwa pengobatan depresi mayor mungkin bermanfaat untuk perbaikan mood dan pengendalian gula darah. Perubahan besar terjadi dalam hidup seseorang setelah mengidap penyakit diabetes melitus. Ia tidak dapat mengkonsumsi makanan tanpa aturan dan tidak dapat melakukan aktivitas dengan bebas tanpa khawatir kadar gulanya akan naik pada saat kelelahan. Selain itu, penderita diabetes melitus juga harus mengikuti tritmen dokter, pemeriksaan kadar gula darah secara rutin dan pemakaian obat sesuai aturan. Seseorang yang menderita penyakit diabetes melitus memerlukan banyak sekali penyesuaian di dalam hidupnya, sehingga penyakit diabetes melitus ini tidak hanya berpengaruh secara fisik, namun juga berpengaruh secara psikologis pada penderita. Saat seseorang didiagnosis menderita diabetes melitus maka respon emosional yang biasanya muncul yaitu penolakan, kecemasan dan depresi, tidak jauh berbeda dengan penyakit kronis lain (Taylor, 1995). Penderita diabetes melitus memiliki tingkat depresi dan kecemasan yang tinggi, yang berkaitan dengan tritmen yang harus dijalani dan terjadinya komplikasi serius. Depresi yang dialami penderita berkaitan dengan tritmen
yang harus dijalani seperti diet atau pengaturan makan, pemeriksaan kadar gula darah, konsumsi obat dan juga olahraga. Selain itu, risiko komplikasi penyakit yang dapat dialami penderita juga menyebabkan terjadinya depresi. Alexander dan Seyle (dalam Pennebaker, 1988) mengatakan konflik psikologis, kecemasan, depresi, dan stres dapat menyebabkan semakin memburuknya kondisi kesehatan atau penyakit yang diderita oleh seseorang. Penderita diabetes melitus jika mengalami depresi, akan mempengaruhi proses kesembuhan dan menghambat kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pasien diabetes yang mengalami depresi memiliki kontrol gula darah yang buruk dan meningkatnya gejala-gejala penyakit (Lustman, dalam Taylor, 1995). Depresi merupakan hal yang tidak mudah untuk dihadapi oleh penderita diabetes melitus. Oleh karena itu, penderita diabetes melitus tentu sangat membutuhkan dukungan dari lingkungan sosialnya. Manfaat dukungan sosial dalam bidang klinis sangat besar karena terbukti dapat membantu manusia dalam mencapai perkembangan yang optimal. 4,5
Gangguan Mental Organik
Gangguan Organik F0 Gangguan F00 – F03 Demensia dan Simtomatik Mental Organis F04 – F07, F09 Sindroma Amnesik dan termasuk Gangguan Gangguan Mental Organik Mental Sistomatik
Gangguan akibat F1 Gangguan F10 alkohol dan Mental dan Perilaku F11,F12, F14 obat/zat Akibat Penggunaan F13,F15,F16 Alkohol dan Zat F17, F18, F19 Psikoaktif Lainnya
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Alkohol Gangguan Mental & Perilaku Akibat Penggunaan Opioida/Kanabinoida/Kokain Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Sedativa atau Hipnotika/Stimulansia lain/Halusinogenika Gangguan Mental & Perilaku Akibat Penggunaan tembakau/Pelarut yang Mudah menguap/Zat Mltiple & Zat Psikoaktif Lainnya
Gangguan Mental Psikotik
Skizofrenia dan gangguan yang terkait
F2 Skizofrenia, F20,F21,F23 Gangguan Skizotipal dan F22, F24 Gangguan Waham F25 F28, F29
Gangguan Afektif F3 Gangguan Suasana Perasaan (Mood)
Penatalaksanaan
F30, F31 F32-F39
Skizofrenia, gangguan Skizotipal, psikotik Akut dan Sementara Gangguan Waham Menetap, Gangguan Waham Terinduksi Gangguan Skizoafektif Gangguan Psikoaktif Non Organik Lainnya, atau YTT
Episode Manik, Gangguan Afektif Bipolar Episode Depresif, Gangguan Depresi berulang, gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Menetap/Lainnya/YTT
1. Tricyclic Antidepressants2,3 Obat ini membantu mengurangi gejala-gejala depresi dengan mekanisme mencegah reuptake dari norephinefrin dan serotonin di sinaps atau dengan cara megubah reseptor-reseptor dari eurotransmitter norephinefrin dan seroonin. Obat ini sangat mengobati gejala-gejala akut dari depresi
efektif, terutama dalam
sekitar 60% pada individu yang mengalami
depresi. Tricyclic antidepressants yang sering digunakan adalah imipramine, amitryiptilene, dan desipramine . 2. Monoamine Oxidase Inhibitors Obat lini kedua dalam mengobati gangguan depresi mayor adalah Monoamine Oxidase Inhibitors. MAO Inhibitors menigkatkan ketersediaan neurotransmitter dengan cara menghambat aksi dari Monoamine Oxidase, suatu enzim yang normalnya akan melemahkan atau mengurangi neurotransmitter
dalam sambungan sinaptik. MAOIs sama efektifnya
dengan Tricyclic Antidepressants tetapi lebih jarang digunakan karena secara potensial lebih berbahaya.
3. Selective Serotonine Reuptake Inhibitors and Related Drugs Obat ini mempunyai struktur yang hampir sama dengan Tricyclic Antidepressants, tetapi SSRI mempunyai efek yang lebih langsung dalam mempengaruhi kadar serotonin. Pertama SSRI lebih cepat mengobati gangguan depresi mayor dibandingkan dengan obat lainnya. Pasien-pasien yang menggunakan obat ini akan mendapatkan efek yang signifikan dalam penyembuhan dengan obat ini. Kedua, SSRI juga mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat-obatan lainnya. Ketiga, obat ini tidak bersifat fatal apabila overdosis dan lebih aman digunakan dibandingkan dengan obat-obatan lainnya. Dan yang keempat SSRI juga efektif dalam pengobatan gangguan depresi mayor yang disertai dengan gangguan lainnya seperti: gangguan panik, binge eating, gejala-gejala pramenstrual
4. Terapi Elektrokonvulsan
Terapi ini merupakan terapi yang paling kontroversial dari pengobatan biologis. ECT bekerja dengan aktivitas listrik yang akan dialirkan pada otak. Elektroda-elektroda metal akan ditempelkan pada bagian kepala, dan diberikan tegangan sekitar 70 sampai 130 volt dan dialirkan pada otak sekitarsatu setengah menit. ECT paling sering digunakan pada pasien dengan gangguan Universitas Sumatera Utaradepresi yang tidak dapat sembuh dengan obatobatan, dan ECT ini mengobati gangguan depresi sekitar 50%-60% individu yang mengalami gangguan depresi . - Pengobatan secara psikologikal 1. Terapi Kognitif Terapi kognitif merupakan terapi aktif, langsung, dan time limited yang berfokus pada penanganan struktur mental seorang pasien. Struktur mental tersebut terdiri ; cognitive triad, cognitive schemas, dan cognitive errors (C. Daley, 2001).
2. Terapi Perilaku Terapi perilaku adalah terapi yang digunakan pada pasien dengan gangguan depresi dengan cara membantu pasien untuk mengubah cara pikir dalam berinteraksi denga lingkungan sekitar dan orang-orang sekitar. Terapi perilaku dilakukan dalam jangka waktu yang singkat, sekitar 12 minggu.
3. Terapi Interpersonal Terapi ini didasari oleh hal-hal yang mempengaruhi hubungan interpersonal seorang individu, yang dapat memicu terjadinya gangguan mood (Barnett & Gotlib, 1998: Coyne, 1976). Terapi ini berfungsi untuk mengetahui stressor pada pasien yang mengalami gangguan, dan para terapis dan pasien saling bekerja sama untuk menangani masalah interpersonal tersebut.2,3
Perbedaan Kondisi Mengamuk Istilah gangguan mental organic mengacu kepada perubahan perilaku dan psikologi yang disebabkan oleh karena disfungsi serebral baik transien maupun permanen. 6,7 Gangguan
mental organic dibedakan dari gangguan fungsional seperti skizofrenia dan gangguan afektif dari keberadaan penyebab biologic yang telah diketahui, yang mana pada gangguan fungsional tidak diketahui.8 Tetapi seringkali hanya terdapat perbedaan tipis antara gangguan organic dengan fungsional. Yang termasuk kedalam gangguan mental organic adalah, delirium, demensia, amnesia, gangguan kognitif NOS (not otherwise specified).8 Delirium merupakan sindrom yang ditandai dengan adanya gangguan kesadaran dan fungsi kognitif. Demensia merupakan sindrom yang ditandai dengan adanya kemunduran atau melemahnya daya ingat atau memori, orientasi dan kognitif. Amnesia merupakan gangguan yang ditandai dengan gangguan dan kehilangan memori. Gangguan kognitif NOS merupakan gangguan kognitif yang tidak termasuk kedalam delirium, demensia, dan amnesia yang disebabkan oleh karena efek fisiologis dari suatu kondisi medis. 8 Tanda yang dapat ditemukan pada gangguan organic, (1) gangguan intelektual, ingatan, kognitif, perseverasi, dan penilaian, (2) perubahan kepribadian, (3) disinhibisi, (4) kemiskinan ucapan, (5) halusinasi visual menonjol, (6) afek mulanya mungkin depresi, ansietas, dam labil dapat berprogresi menjadi dangkal, apatis dan kosong.6 Delirium atau acute confusional state adalah kejadian akut atau subakut neuropsikiatri berupa penurunan fungsi kognitif dengan gangguan kesadaran dan bersifat reversible dan perjalanannya biasanya singkat.6,8 Penyakit ini disebabkan oleh disfungsi serebral dan bermanifestasi secara klinis berupa kelainan neuropsikiatri. 6 Menurut DSM-IV, delirium adalah sindrom yang memiliki banyak penyebab dan berhubungan dengan derajat kesadaran serta gangguan kognitif. Tanda yang khas adalah penurunan kesadaran yang timbul sebagai berkurangnya atensi (kemampuan memfokuskan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian), defisit memori, disorientasi, gangguan persepsi, gangguan emosi, dan kekacauan pikiran. Adanya gangguan mood, persepsi dan perilaku merupakan gejala dari defisit kejiwaan. Manifestasi klinis tersebut terjadi dalam periode waktu yang pendek dan berfluktuasi dalam sehari. Tremor, nistagmus, inkoordinasi, dan inkontinensia urin merupakan gejala defisit neurologis. Klasifikasi delirium berdasarkan DSM-IV antara lain, (1) delirium karena kondisi medis umum, (2) delirium karena intoksikasi/putus zat, (3) delirium karena etiologi multiple atau bergaam, dan (4) delirium yang tak terklasifikasikan. 8 Etiologi delirium banyak tetapi umumnya reversible, seperti hipoksia, hipoglikemi, hipertermi. Penyebab lain seperti infeksi, gangguan metabolic, lesi otak fokal tertentu (lobus parietal kanan dan permukaan medial lobusm oksipital), defisiensi tiamin, intoksikasi zat (alcohol, heroin, PCP), intoksikasi obat seperti antikolinergik (antidepresan trisiklik), narkotik (meperidin), benzodiazepine, kortikosteroid, metildopa, dan/atau levodopa, efek withdrawal, kehilangan darah berat, atau setelah trauma kepala berat. Kriteria diagnosis delirium berdasarkan ICD-10 (1) adanya gangguan kesadaran yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian, (2) adanya perubahan dalam kognisi atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia, (3) gangguan psikomotor berupa hipoaktivitas atau hiperaktivitas, pengalihan aktivitas yang tidak terduga, waktu bereaksi yang lebih panjang, arus pembicaraan yang berkurang atau bertambah, reaksi terperanjat yang meningkat, (4) gangguan siklus tidur berupa insomnia, mimpi buruk, halusinasi setelah bangun tidur, (5) Onset gejala cepat dan memperlihatkan fluktuasi dalam sehari, (6) gangguan emosi berupa depresi, ansietas, marah, euphoria, apatis. Gangguan emosi tipikal tetapi tidak spesifik untuk diagnosis.8 Dua mekanisme neuronal yang mencetuskan delirium yaitu pelepasan neurotransmitter yang berlebihan dan pengaturan sinyal abnormal. Patofisiologi terbaru untuk menjelaskan keadaan delirium adalah ketidakseimbangan neurotransmitter berupa defisit kolinergik dan kelebihan dopamine.6
Demensia adalah gangguan fungsi kognitif yang progresif dan timbul dalam kesadaran yang jelas. Demensia terdiri dari bermacam gejala yang menunjukkan disfungsi yang luas dan kronik. Gangguan global dari fungsi intelektual seperti daya ingat, perhatian, daya pikir dan pemahaman merupakan ciri yang penting. Fungsi mental yang dapat dipengaruhi adalah mood, kepribadian, pertimbangan dan perilaku social. 8 Demensia kontras dengan delirium. Delirium dapat dipulihkan setelah penyebabnya teratasi. Walau demikian delirium cukup sering menjadi latar belakang dari demensia. Penyebab demensia dapat primer yaitu gangguan yang mempengaruhi neuron-neuron otak, dan sekunder yaitu kerusakan neuron akibat gangguan pada jaringan lain. Yang termasuk demensia primer antara lain, Alzheimer demensia, demensia dengan badan Lewy, Pick disease, dan Creutzfeld-Jacob disease, untuk demensia sekunder terdapat vaskuler demensia (multi infark).10 Demensia yang paling sering ditemukan adalah Alzheimer demensia (50-60%) dan demensia multi infark. 8 Penyebab lainnya dapat berupa akibat obat-obatan dan alcohol, gangguan metabolic endokrin, defisiensi vitamin B12, tumor otak, dan infeksi semisal HIV.9,10 Demensia jarang ditemukan pada usia dibawah 55 tahun, 5% pada kelompok usia lebih dari 65 tahun, 20-40% pada kelompok usia lebih dari 85 tahun. 8 Onset dari demensia tersembunyi dengan perubahan pada fungsi kognitif yang bertahap. Gejala dini dari demensia adalah kesulitan mengingat informasi yang baru dan kejadian yang baru dialami atau gangguan pada memori jangka pendek. Pada keadaan yang lebih lanjut muncul gangguan fungsi kognitif kompleks disertai gangguan perilaku yaitu, disorientasi waktu dan tempat, kesulitan melakukan pekerjaan sehari-hari, tidak mampu membuat keputusan, kesulitan berbahasa, kehilangan motivasi dan insiatif, gangguan pengendalian emosi, daya nilai social terganggu, dan berbagai perubahan perilaku dan psikologis lainnya. Gejala-gejala tersebut terjadi lebih cepat pada Alzheimer demensia, semakin lama semakin parah sampai pada tahap lanjut penderita bergantung pada keluarga yang merawat. Sedangkan pada demensia vaskuler gejala muncul akut, gambaran klinis sesuai dengan kerusakan vaskuler di otak dan penurunan fungsi kognitif sejalan dengan serangan kerusakan vaskuler berikutnya. Kriteria diagnosis demensia berdasarkan DSM-IVTR, perkembangan defisit kognitif multiple yang bermanifestasi sebagai gangguan memori (tidak mampu mengingat/mempelajari informasi baru atau mengingat informasi yang lalu), salah satu dari gangguan kognitif berikut bahasa (afasia), gangguan aktivitas motorik walau tidak ada gangguan motorik (apraksia), gagal mengenali objek atau benda walaupun tidak ada gangguan sensorik (agnosia), gangguan fungsi eksekutif (perencanaan, pengambilan keputusan); defisit kognitif dari criteria tersebut menyebabkan gangguan social yang signifikan; onset bertahap dan penurunan kognitif yang progresif.8 Perubahan kepribadian pada pasien demensia menganggu terutama keluarga mereka. Pasien demensia dengan paranoid delusi umumnya sering berseteru dengan anggota keluarga atau perawat. Mereka juga dapat menjadi iritabel dan eksplosif terutama jika terdapat kesertaan lobus frontal dan temporal.8 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif dapat berupa intoksikasi atau putus (withdrawal) zat akibat penyalahgunaan zat/obat-obatan psikoaktif. Zat psikoaktif yang digunakan dapat berupa alcohol, sedative-hipnotik, opioid, stimulant system saraf pusat (amfetamin dan kokain), dan halusinogen. Intoksikasi zat umumnya berkaitan dengan dosis yang digunakan sehingga menyebabkan terjadinya gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek atau perilaku, atau fungsi dan respon psikofisiologis lainnya. 7 Intoksikasi alcohol bergantung kepada riwayat pengunaan, konsumsinya, dan perubahan pada metabolism dan ekskresinya. Tanda intoksikasi alcohol dapat berupa inkoordinasi otot, gangguan fungsi sensoris, perubahan mood, kepribadian, dan perilaku, ataksia, diplopia, hipotermia, koma. Intoksikasi amfetamin dapat menyebabkan takikardi atau bradikardia, peningkatan atau penurunan tekanan darah, agitasi atau retardasi motorik, insomnia. Putus zat
adalah gejala yang terjadi pada penghentian pemberian zat secara absolut atau relative sesudah penggunaan terus menerus dalam jangka panjang. Putus zat alcohol dapat mengakibatkan tremor. Tremor akibat putus zat alcohol merupakan tremor halus. Putus zat amfetamin dapat menyebabkan kelelahan, mimpi buruk atau halusinasi, insomnia atau hipersomnia, retardasi atau agitasi motorik.7 Skizofrenia adalah gangguan mental yang berat dan lama yang bermanifestasi dengan berbagai gangguan perilaku. Skizofrenia lebih tepat dianggap sebagai sekelompok gangguan akibat penyebab yang belum pasti ditandai dengan gangguan penilaian realita (waham dan halusinasi).8 Skizofrenia setelah masa kanak-kanak selalu melibatkan diorganisasi pada level fungsi sebelumnya. Onset pertama skizofrenia setelah usia 45 tahun sering berkaitan dengan factor organic yang diketahui dan bukan merupakan skizofrenia. Onset dari skizofrenia pada dewasa perlu diperhatikan ketika keluarga dan teman mengamati bahwa orang tersebut telah berubah atau tidak sama laagi. Fungsi individual kurang baik pada aspek-aspek kehidupan sehari-hari seperti pekerjaan dan relasi social. Seringkali terdapat kurangnya perhatian pada diri sendiri pada individu yang sebelumnya mampu. Seiring hilangnya penilaian pada realitas pasien mengalami kebingungan, isolasi akibat perasaan menjadi berbeda dan terasingkan dari orang lain, ansietas dan terror.7 Pada skizofrenia gangguan timbul pada beberapa area, bahasa dan komunikasi, isi pikiran, persepsi, afek, pengertian akan diri sendiri, kehendak, relasi dengan dunia luar, dan perilaku. Orang dengan skizofrenia memiliki pola pikir yang kacau, tidak mampu menjaga konsistensi jalan pikiran, dan komunikasi yang kacau (asosiasi longgar). Pembicaraan yang memutar atau yang menyimpang juga dapat terjadi. Juga dapat timbul kurangnya isi pembicaraan karena sedikit informasi yang dibicarakan, banyak kata yang samar, abstrak, terlalu kaku, atau berulang-ulang. Gejala yang lebih parah ditandai dengan adanya neologisme yaitu kata-kata baru yang diciptakan sendiri dengan menggabungkan beberapa kata dalam cara yang unik. Inkoherensi sepenuhnya dalam berbicara ditandai dengan timbulnya gado-gado kata (word salad) dengan gabungan kata yang kurang arti dan koherensi logika.7 Gangguan isi pikir ditandai dengan waham, yaitu suatu kepercayaan yang salah dan menetap, tidak sesuai dengan fakta dan tidak bisa dikoreksi. Diakibatkan distorsi pikiran akan relaitas yang menyebabkan tercapainya konklusi yang salah dan biasanya dipertahankan dengan emosi yang tinggi.7 Delusi atau waham tertentu merupakan karakteristik skizofrenia seperti pikiran seseorang dapat disebarkan ke dunia luar sehingga dapat diketahui orang lain, atau suatu pemikiran dimasukan ke dalam pikiran oleh seseorang atau kekuatan super. Halusinasi adalah persepsi palsu dalam keadaan ketiadaan stimulus eksternal. Pada skizofrenia halusinasi yang sering terjadi adalah auditorik. Visual, taktil, dan olfaktori dapat juga timbul pada skizofrenia tetapi biasanya mencerminkan keadaan akut atau kronis dari gangguan otak organic. Pada halusinasi auditorik, suara terdengar seperti berbicara langsung dengan pasien atau seperti berkomentar (biasanya hal negatif) mengenai perilaku pasien. Halusinasi harus dibedakan dari ilusi yang merupakan interpretasi yang salah mengenai stimulus yang nyata. Afek pada skizofrenia mungkin sangat labil (afek labil), memperlihatkan perubahan yang cepat semisal dari sedih menjadi senang tanpa alas an yang jelas. Selain itu dapat pula muncul sebagai afek datar, tanpa ada tanda-tanda ekspresi emosional (suara monoton dan ekspresi wajah tidak berubah). Pasien skizofrenia kehilangan pengertian terhadap dirinya sendiri. Mereka meragukan, mempertanyakan, dan khawatir tentang identitas mereka. Mereka mungkin merasa inti dari identitas mereka seakan berubah dengan cara yang misterius.8 Inisiatif, aktivitas dengan tujuan seringkali menurun pada orang dengan skizofrenia. Gangguan terlihat sebagai keinginan yang inadekuat, tanpa adanya dorongan atau kemampuan untuk menyelesaikan sesuatu. Individu dengan skizofrenia cenderung menarik
diri dari keterlibatan atau relasi dengan orang lain. Mereka cenderung self-centered. Gangguan perilaku ditunjukkan dengan berbagai perilaku yang aneh atau tidak sesuai. Gerakan mungkin dapat konstan atau agresif.7 Tabel 3. Subtipe Skizofrenia7 Subtipe Tipe hebephrenia
Inkoherensi, delusi tidak menonjol, afek tumpul
Tipe katatonik
Kegembiraan atau stupor/mutisme, rigiditas, negativisme, mematung
Tipe paranoid
Delusi atau halusinasi menonjol, inkoherensi tidak menonjol
Tipe undifferentiated
Tipe residual
Perilaku sangat tidak teratur, halusinasi, inkoherensi, atau delusi Pernah mengalami sedikitnya satu gejala skizofrenia, delusi, halusinasi
Gangguan ansietas (cemas) adalah suatu keadaan patologik yang ditandai oleh perasaan ketakutan disertai tanda somatic pertanda system saraf otonom yang hiperaktif. Dibedakan dari rasa takut yang merupakan respon terhadap suatu penyebab yang jelas. 1 Ada lima tipe gangguan cemas yaitu (1) gangguan cemas menyeluruh, (2) gangguan panik, (3) gangguan fobik, (4) gangguan obsesif-kompulsif, (5) gangguan stress pascatrauma. Gangguan cemas menyeluruh adalah gangguan cemas kronik yang ditandai dengan kekhawatiran berlebihan, sulit dikendalikan dan menetap selama minimal 1 bulan. Gangguan panic ditandai oleh serangan panic yang spontan atau tiba-tiba, kekhawatiran yang berlebihan atau teror, pada suatu periode tertentu yang sering disertai dengan perasaan akan terjadinya malapetaka. Dapat berkaitan dengan agoraphobia (fobia ruang terbuka). Gambaran khas serangan cemas yang berulang dan tidak bisa diprediksi. Gangguan fobik ditandai oleh ketakutan irasional akan benda atau situasi dan kebutuhan akan menghindarinya. Terbagi menjadi fobia social (takut situasi public, missal bicara di depan umum) atau fobia sederhana (takut sesuatu seperti takut ular, ketinggian). Gangguan obsesif kompulsif adalah gangguan yang ditandai oleh adanya obsesi dan/atau kompulsi yang berulang yang tidak dapat ditolak dan menyebabkan cemas bila ditolak. Obsesi adalah ide, gambaran, impuls yang berulang dan aneh atau bodoh tetapi tidak dapat dilawan. Kompulsif adalah tindakan atau perilaku (ritual) yang berulang dan biasanya dilakukan dengan rasa malas. Tindakannya mungkin abstrak, tetapi frekuensi dan durasinya yang membuat tidak nyaman. Jika tidak melakukan ritual penderita obesesif kompulsif sering menjadi cemas. Ritual biasanya didahului oleh obsesif, tetapi tidak semua.7 Gangguan stres pascatrauma adalah cemas akibat stress terhadap suatu kejadian yang luar biasa, sangat menakutkan, yang cenderung menyebabkan penderitaan pada hamoir semua orang misalnya gempa bumi, kecelakaan berat, perkosaan. Dianggap sebagai respon tertunda atas kejadian penuh stress. 6 Tanda dan gejala pada gangguan ansietas antara lain, gemetar, ketegangan otot, nafas pendek, hiperventilasi,
hiperaktivitas otonom (flushing dan pucat, takikardi, palpitasi, berkeringat, tangan dingin, diare), rasa takut, sulit konsentrasi, insomnia. 6 Perbedaan kondisi mengamuk antara depresi dengan delirium adalah pada delirium terdapat penurunan kesadaran yang diakibatkan oleh karena kondisi fisik yang mempengaruhi kesadaran sehingga juga menyebabkan perubahan mood. Perbedaan dengan demensia adalah pada demensia umumnya emosi yang eksplosif ditunjukkan juga dengan tanda paranoid karena penurunan fungsi memori. Perbedaan dengan gangguan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif adalah, pada penggunaan zat psikoaktif diakibatkan adanya perubahan mood atau emosi akibat intoksikasi atau putus zat. Mengamuk yang terjadi lebih karena dorongan untuk mendapatkan zat psikoaktif. Perbedaan dengan skizofrenia, pada skizofrenia mengamuk mungkin disebabkan oleh halusinasi dan delusi. Pada gangguan cemas, kondisi mengamuk yang terjadi disebabkan oleh karena perasaan cemas yang dirasakan.
KESIMPULAN Pasien tersebut menderita depresi akibat penyakit kornis yang dideritanya yaitu diabetes melitus. Depresi tersebut terjadi karena penurunan kadar serotonin, perubahan kadar kortisol dan dan variasi diurnalnya. Selain itu suami pasien tersebut sudah meninggal. penderita diabetes melitus sangat membutuhkan dukungan dari lingkungan sosialnya untuk mencapai perkembangan yang optimal.
Daftar Pustaka
1. Goldman HH. Review of general psychiatry. 3rd edition. New Jersey: Appleton & Lange: 1992. Hal 72-9, 233-9. 2. Budihalim. S, Mudjadid. E dan Sukatman. D. 2006. Psikofarmaka dan Psikosomatik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Hal. 901-902. Jakarta:Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI 3. Egede LE, Zheng D. Independent factors associated with major depressive disorder in a national sample of individuals with diabetes. Diabetes Care. 2003;26:104–11 4. Goldney RD, Phillips PJ, Fisher LJ, Wilson DH. Diabetes, depression, and quality of life: a population study. Diabetes Care. 2004;27:1066–70
5. Lustman PJ, Anderson RJ Freedland KE, et al. Depression and Poor Glycemic Control. Diabetes Care 2000; 25:464-6
6. Kaplan HI, Sadock BJ. Buku saku psikiatri klinik. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994. Hal 32-40, 117-48. 7. Kaplan HI, Sadock BJ. Synopsis of psychiatry: behavioral science/clinical psychiatry. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. Hal 319-36, 381-4. 8. Nicholl C, Wilson KJ, Webster S. Eldery care medicine. New Jersey: Blackwell Publishing; 2008. Hal 34-9.