UNIVERSITAS INDONESIA
KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM OLEH PIHAK YANG TERKAIT PERKARA PIDANA MELALUI AKTA NOTARIS
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
Dewi Susanti 1006828022
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN SALEMBA JANUARI 2013
i Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
Dewi Susanti
NPM
1006828022
Tanda Tangan
~
Tanggal
21 J anuari 2013
11
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 2. Bapak Pieter E. Latumeten, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini; 3. Ibu Chairunnisa Said Selenggang, S.H., M.Kn. dan Ibu Wismar ’Ain Marzuki, S.H., M.H., selaku dosen penguji yang sangat menginspirasi saya, dan telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk menguji dan memberikan masukan terkait tesis ini; 4. Para Dosen yang telah memberikan ilmunya kepada saya dan temanteman selama menjalankan studi di Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 5. Seluruh Staff Sekretariat Program Megister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 6. Alam Ginting dan Ida selaku kedua orang tua serta adik-adik tercinta saya antara lain Yanwar Alamdo, Melyanti dan Mazmur Daud Ginting, yang telah senantiasa memberikan bantuan dukungan material dan moral; 7. G-Dragon, Tablo, Wooyoung, dan pria idaman lainnya yang senantiasa memberikan inspirasi dan dukungan moral kepada saya terutama ketika penyusunan tesis ini; 8. Sahabat-sahabat saya selama 2 (dua) tahun terakhir dalam menempuh jenjang pendidikan Kenotariatan antara lain Astrid Triana Fabia dan Oliv Fabia, Cicilia Julyani Tondy, Chikita Goenawan dan Ko Christian, David Santosa, Mbak Delny Teoberto dan Mas Aji, Elza Huzaifah Nirmaliana dan Arieeess, Lee DC, Mbak Meidicianawati dan Om Adi, Nani Norseva, Nessya Chandra, Mbak Novi Herawati dan Abang Satya Wijayantara, Sari Jacob dan Umi, serta Veneranda Julia Belinda yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini; 9. Sahabat seperjuangan dan sepenanggungan dalam rangka bimbingan dan penulisan tesis, yaitu Mbak Sally dan Mbak Rahmania; 10. Sahabat-sahabat MKn UI saya lainnya antara lain Thia, Tommy Liem, Karina Nadia, Airin, Dyah Kusumaningrum dan Hari Fitriansyah, Clara Riza, Jeannette Lesmana, Cici Shuei, Ci Shilviana, Ci Way, April, Monika Yulianty, dan seluruh teman-teman Magister Kenotariatan angkatan 2010 Salemba yang tidak dapat disebutkan satu
iv Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
persatu, yang telah bekerja sama dan membantu saya dalam menyelesaikan penulisan tesis ini baik secara materiil maupun immaterial. 11. Sahabat-sahabat saya di Universitas Padjdjaran antara lain Christin Anggrainy, Lita Natalia, Maria Yashinta, Meiske G.T Panggabean, Monica Arindra, Trinzky Syulivany Ginting, dan Vica Paulma, yang senantiasa membantu saya secara moral; 12. Sahabat-sahabat sewaktu saya masih remaja, antara lain Renny Oktavia, Nathania Yandhi, Mama Amy, Olivia Jeniffer, Lavinda, Priscilla, Birgitta, Ivonne TD, Angelina Febrina, Mely, Kharisma Wulandari Guntur dan Made Setiawan, Fina Jessica, Gede, Candika Fenny yang senantiasa membantu saya; 13. Teman-teman kantor yang senantiasa mendukung dan membimbing saya dalam menuntut ilmu baik di bangku kuliah maupun di dalam dunia kerja, antara lain Ibu Dra. Ayu Tiara Siregar, S.H., Mbak Upik, Mbak Dwi Puspita Sari, S.H., M.Kn., Pak Pardi, Pak Ramli, dan Ical; Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Saya menyadari bahwa penulisan tesis ini jauh dari sempurna, dan masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan tesis ini. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu, khususnya ilmu hukum.
Jakarta, Januari 2013 Penulis
v Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLlKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Fakultas Jenis karya
Dewi Susanti 1006828022 Magister Kenotariatan Hukum : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Keabsahan Perbuatan Hukum Oleh Pihak Yang Terkait Perkara Pidana Melalui Akta Notaris beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ fonnatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenamya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 21 Januari 2013 Yang menyatakan,
_ .........~_o
VI
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
ABSTRAK Nama : Dewi Susanti Program Studi : Magister Kenotariatan Judul : Keabsahan Perbuatan Hukum Oleh Pihak Yang Terkait Perkara Pidana Melalui Akta Notaris Keabsahan dan implikasi perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak yang terkait perkara pidana yang dituangkan melalui akta notaris yang merupakan akta otentik dengan kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat para pihak. Pasal 3 KUHPerdata menegaskan bahwa tidak ada satu pun hukuman yang dapat menghilangkan keperdataan seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun seseorang yang terkait perkara pidana bahkan ditahan sekalipun tetap dapat menjalankan hak keperdataannya dalam kehidupan bermasyarakat namun tentunya tidaklah dapat dilakukan dengan bebas atau dengan kata lain lingkup hak keperdataannya adalah terbatas. Misalnya dalam perkara tindak pidana korupsi, hak keperdataan seseorang menjadi dibatasi terutama untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang berkaitan dengan perkara pidana korupsi yang sedang dijalaninya. Organisasi profesi notaris dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti lembaga kepolisian, penuntut umum, dan lembaga lainnya diperlukan adanya kerja sama dan perlu dibuatnya suatu nota kesepahaman khususnya mengenai akta notaris yang berisi perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak yang terkait perkara pidana, serta perlu lebih banyak diadakan sosialisasi mengenai prinsip kehati-hatian yang harus diterapkan oleh para notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Kata kunci: Keabsahan, akta notaris, perbuatan pidana
vii Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
ABSTRACT Name : Dewi Susanti Study Program : Notary Magister Judul : The Validity of Legal Act Conducted by Party Involved in Criminal Case Through Notary Deed The validity and implication of legal act conducted by party involved in criminal case which implemented in deed of notary as an authentic deed with impeccable evidentiary function and binds the parties. Article 3 of Civil Code stipulates that no punishment can annul the civil right of any individual. This assertion concludes that although a person involved in criminal case or even imprisoned, such person still can perform his civil right in social life, yet, such right can’t be performed in a liberty manner or in other words, the civil right scope is limited. For instance, in corruption case, the civil right of person is limited particularly in certain legal acts related to the ongoing corruption case. Organization of Notary Profession and another law enforcement institutions such as police, prosecutor, and others need to cooperate and enter into Memorandum of Understanding particularly regarding deed of notary containing legal act conducted by party involved in criminal case, also, socialization of prudent principle implemented by the notary in performing their duties. Keywords : Validity, notary deed, crime
viii Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................ HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... KATA PENGANTAR .................................................................................. LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................... ABSTRAK ................................................................................................... ABSTRACT ................................................................................................. DAFTAR ISI ................................................................................................
i ii iii iv vi vii viii ix
1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1.2 Pokok Permasalahan .............................................................................. 1.3 Metode Penelitian ................................................................................... 1.4 Sistematika Penulisan .............................................................................
1 1 8 9 12
2. TINJAUAN KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PIHAK YANG TERKAIT PERKARA PIDANA MELALUI AKTA NOTARIS ............................................ 2.1 Manusia Sebagai Subjek Hukum ........................................................... 2.2 Tinjauan Umum tentang Perbuatan Hukum ........................................... 2.2.1 Perjanjian sebagai Perbuatan Hukum ........................................... 2.2.2 Asas-asas dalam Hukum Perjanjian ............................................. 2.2.3 Syarat Sahnya Perjanjian .............................................................. 2.2.4 Akibat Hukum Suatu Perjanjian ................................................... 2.2.4.1 Perjanjian hanya berlaku di antara para pihak yang membuatnya ........................................................... 2.2.4.2 Kebatalan dalam Perjanjian ............................................. 2.3 Tinjauan Umum tentang Notaris ............................................................ 2.3.1 Penghadap sebagai Pihak dalam Akta Notaris ............................. 2.3.2 Tugas, Kewenangan dan Larangan Notaris .................................. 2.3.3 Daerah Jabatan Notaris ................................................................. 2.3.4 Pengaturan Pembuatan Akta Notaris ............................................ 2.3.5 Sanksi terhadap Notaris Berkaitan dengan Akta yang Dibuatnya ............................................................................ 2.4 Perbuatan Hukum Oleh Pihak yang Terkait Perkara Pidana Melalui Akta Notaris ........................................................................................... 2.4.1 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 3641K/PDT/2001 .......... 2.4.2 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 792 K/Pdt/2002 ............ 2.5 Keabsahan dan Kebatalan Suatu Perbuatan Hukum Yang Dilakukan Oleh Pihak Yang Terkait Perkara Pidana Melalui Akta Notaris ............ 2.6 Implikasi Hukum Terhadap Keabsahan Suatu Perbuatan Hukum dan Tanggung Jawab Notaris dimana Salah Satu Pihak Terkait Perkara Pidana ........................................................................................
ix Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
14 14 19 24 27 37 44 44 46 49 57 61 71 73 74 76 76 81 83
97
Universitas Indonesia
3. PENUTUP ............................................................................................... 3.1 Simpulan ................................................................................................. 3.2 Saran ....................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. LAMPIRAN
x Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
106 106 108 110
Universitas Indonesia
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pembangunan nasional yang merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia diarahkan pada pengembangan potensi, inisiatif, dan daya kreasi sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia serta diupayakan pelaksanaannya secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan segala modal atau sumber daya yang dimiliki guna mewujudkan Tujuan Nasional, salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.1 Salah satu aspek yang menjadi prioritas pembangunan nasional Indonesia adalah aspek di bidang hukum mengingat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin ketertiban, keadilan, perlindungan serta kepastian hukum bagi seluruh warga negara Indonesia. Hukum merupakan sesuatu yang berkenaan dengan manusia terutama dalam hubungannya dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Tanpa pergaulan hidup (masyarakat) tidak akan ada hukum (ibi societas ibi ius, zoon politicon). Hukum berfungsi untuk mengatur hubungan pergaulan antarmanusia. Namun tidak semua perbuatan manusia itu memperoleh pengaturannya, hanya perbuatan atau tingkah laku
1
Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi Berdasarkan Keputusan DIRJEN DIKTI No. 25/DIKTI/Kep./1985, (Malang: Penerbit IKIP Malang, 1990), h. 267. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
2
yang diklasifikasikan sebagai perbuatan hukum saja yang menjadi perhatiannya.2 Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan subyek hukum yang dilakukan secara sengaja untuk menimbulkan hak-hak dan kewajiban yang dikehendaki oleh pelaku yang bersangkutan. Perbuatan hukum dapat terdiri dari perbuatan hukum sepihak seperti pembuatan surat wasiat dan perbuatan hukum dua pihak seperti persetujuan jual beli. Untuk menjamin terciptanya ketertiban, keadilan, perlindungan serta kepastian hukum, dalam kehidupan bermasyarakat dibutuhkan adanya suatu alat bukti mengenai keadaan, peristiwa ataupun perbuatan hukum yang dapat menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam masyarakat. Saat ini, manusia dalam melakukan hubungan dalam kehidupan bermasyarakat dengan sengaja membuat alat-alat bukti dalam bentuk tulisan, dengan maksud bahwa bukti-bukti tersebut dapat dipergunakan di kemudian hari. Alat bukti dalam bentuk tulisan dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta, yang kemudian akta masih dapat dibedakan lagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. A. Pitlo berpendapat bahwa, “Akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat”.3 Dengan adanya penandatanganan dalam suatu akta tersebut, seseorang dianggap menjamin tentang kebenaran dari apa yang ditulis dan diuraikan dalam akta tersebut. Salah satu alat bukti yang sering dipergunakan dan diakui di Indonesia adalah akta otentik yang merupakan alat bukti terkuat dan terpenuh sehingga mempunyai peranan yang sangat penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 1867 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, untuk selanjutnya dalam tesis ini disebut KUHPerdata, yang menyatakan bahwa pembuktian 2
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung: Alumni, 1985), h. 7.
3
A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, (Jakarta: Intermasa, 1978), h. 52. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
3
dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan. Kebutuhan akan alat bukti tertulis berupa akta otentik semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya tuntutan akan kepastian hukum di tiap aspek kehidupan bermasyarakat. Pentingnya akta otentik dalam suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum adalah untuk memberikan perlindungan baik kepada para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan maupun kepada pihak ketiga dalam hal ini masyarakat, melalui faktor kepastian hukum yang dijamin serta diberikan oleh akta notaris sebagai alat bukti yang sempurna. Hal ini dikarenakan akta otentik mengandung nilai kepastian dalam hubungan hukum antara para pihak, yang meletakkan hak dan kewajiban secara timbal balik, mengingat apa yang dicantumkan dalam akta tersebut merupakan kesepakatan para pihak mengenai hak dan kewajiban yang dibuat berdasarkan Pasal 1320 juncto Pasal 1338 KUHPerdata. Selain itu, undang-undang telah memberikan nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat kepada akta otentik artinya apabila salah satu pihak mengajukan suatu akta otentik dalam suatu perkara di pengadilan, hakim harus menerimanya dan menganggap bahwa apa yang dituangkan di dalam akta otentik tersebut sungguh-sungguh adalah benar sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1870 dan Pasal 1871 KUHPerdata. Akta otentik, menurut Pasal 1868 KUHPerdata, adalah suatu akta yang di dalam bentuk ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Salah satu pejabat umum yang dimaksud oleh Pasal 1868 KUHPerdata adalah seorang Notaris. Ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata juga menunjukkan bahwa akta otentik masih dapat dibedakan lagi menjadi akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum dan akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat umum. Suatu akta yang dibuat oleh pejabat umum merupakan suatu laporan yang memuat catatan atau berita acara dari apa yang telah dialami atau disaksikan oleh Notaris, antara lain apa yang ia lihat, ia dengar atau apa yang dilakukannya. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
4
Akta tersebut disebut juga akta verbal (verbaal acte). Hal ini berarti inisiatif dari isi akta tersebut tidak datang dari orang yang diberitakan tentang sesuatu hal di dalam akta yang bersangkutan.4 Akta yang dibuat dihadapan pejabat umum merupakan suatu laporan mengenai suatu perbuatan dan/atau kejadian selain memuat catatan tentang apa yang disaksikan dan dialami oleh Notaris, juga memuat apa yang diperjanjikan atau ditentukan oleh pihak yang menghadap Notaris, dan akta tersebut dibuat atas permintaan para pihak yang berkepentingan untuk itu. Jadi, pejabat umum hanya mendengar apa yang dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan yang menghadap dan menyatakan atau mewujudkan kehendak tersebut di dalam suatu akta. Dengan kata lain, akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat umum yang juga dapat disebut sebagai akta para pihak (partij acte) berisikan keterangan dari para pihak sendiri dan keterangan tersebut diperkuat dengan keterangan notaris dalam kalimat pembukaan dan penutup akta.5 Dalam Akta Pejabat atau akta verbal, akta tersebut masih sah sebagai suatu alat pembuktian walaupun satu atau lebih di antara penghadapnya tidak menandatangani akta tersebut tetapi oleh Notarisnya disebutkan alasan mereka tidak menandatangani akta tersebut. Berbeda halnya dengan Akta Pihak, apabila salah satu pihak dalam akta tidak menandatangani akta tersebut, tentu dapat menimbulkan masalah karena hal tersebut dapat diartikan bahwa ia sebagai pihak yang tidak menandatangani akta tersebut tidak menyetujui isi akta yang bersangkutan, kecuali didasarkan atas alasan yang kuat misalnya tidak dapat menandatangani akta karena tangannya sakit dan alasan kuat lainnya, namun alasan tersebut tetap harus dicantumkan dengan jelas oleh Notaris dalam akta tersebut. Fungsi akta yang paling penting di dalam hukum adalah akta
4
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 2004),
5
Ibid., h. 42-44.
h. 41.
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
5
sebagai alat pembuktian, dan oleh karenanya akta mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian yaitu:6 a. Kekuatan pembuktian luar/lahiriah ( uitwendige bewijskracht ), yaitu syarat-syarat formal yang diperlukan agar akta notaris dapat berlaku sebagai akta otentik. b. Kekuatan pembuktian formal ( formale bewijskracht ), yaitu kepastian, bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihakpihak yang menghadap. c. Kekuatan pembuktian materiil ( materiele bewijskracht), yaitu kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta tersebut merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata juga menunjukkan bahwa tanpa adanya kedudukan seorang pejabat umum, maka seseorang tidak mempunyai wewenang untuk membuat suatu akta otentik. Adapun yang dimaksud dengan pejabat umum itu sendiri adalah apabila ia diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang serta kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu, dan juga ikut melaksanakan kewibawaan dari pemerintah. Namun ada perbedaan antara pejabat umum dengan pegawai negeri yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pegawai negeri. Antara pegawai negeri dengan pemerintah terdapat hubungan kedinasan tetapi hal itu tidak berlaku bagi Notaris, meskipun Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Notaris, menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, selanjutnya dalam tesis ini disebut dengan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), menyebutkan bahwa “Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini.” Undang-Undang Jabatan Notaris menegaskan bahwa Notaris 6
R.Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1982), h.55. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
6
sebagai Pejabat Umum berwenang untuk membuat suatu akta otentik, yang dalam menjalankan jabatannya berkewajiban bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf a UUJN. Oleh karena itu, Notaris mengemban kepercayaan dari masyarakat umum terutama dalam rangka menjalankan jabatannya membuat akta otentik yang berisi kehendak para pihak yang membuatnya. Kewenangan membuat akta otentik ini menuntut notaris harus bebas dari segala pengaruh khususnya pengaruh eksekutif. Notaris adalah pejabat umum (openbare ambtenaar) dan bukan merupakan
pegawai
menurut
undang-undang/peraturan-peraturan
kepegawaian negeri, ia tidak menerima gaji, bukan bezoldigd staatsambt, tetapi menerima honorarium dari kliennya berdasarkan peraturan yang berlaku.7 Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dan hal ini menunjukkan bahwa notaris adalah profesi terhormat yang menuntut kualifikasi tersendiri. Pasal
1868
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
juga
menyiratkan bahwa fungsi utama/pokok seorang notaris yaitu pembuatan akta-akta otentik yang harus dilakukan oleh atau dihadapan notaris seperti akta-akta wasiat, perjanjian kawin, kuasa hipotik, pendirian perseroan terbatas dll. Hal ini sejalan dengan Peraturan Jabatan Notaris 1860 yang menegaskan bahwa pekerjaan Notaris adalah pekerjaan resmi (ambtelijke verrichtingen) dan satu-satunya pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, sepanjang tidak ada peraturan yang memberi wewenang serupa kepada pejabat lain. Mengingat tugas yang diembannya sangat berat, notaris dalam melakukan tugas melaksanakan jabatannya harus dengan penuh tanggung jawab dan dengan keterampilannya melayani kepentingan masyarakat yang meminta jasanya dengan selalu mengindahkan ketentuan undang-undang,
7
Komar Andasasmita, Notaris I, (Bandung: Sumur Bandung, 1984), h. 45. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
7
etika, ketertiban umum dan berbahasa Indonesia yang baik.8 Seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya membuat suatu akta terkait erat dengan kode etik seorang Notaris baik berasal dari UUJN maupun kode etik organisasi dalam hal ini organisasi Ikatan Notaris Indonesia. Wewenang umum notaris terbatas pada lapangan hukum perdata (privaat rechtelijk terrein). Tanpa alasan yang kuat (berdasar) Notaris tidak boleh menolak melakukan pekerjaan yang bertalian dengan jabatannya dan diminta untuk melakukannya. Jika notaris mengira adanya alasan kuat untuk menolaknya, maka ia dapat memberitahukannya secara tertulis kepada orang yang meminta jasa notaris itu. Jika orang yang bersangkutan tetap menghendaki jasa notaris itu, maka ia dapat mengajukan tuntutan kepada dan/atau dengan melalui hakim perdata, dengan mengemukakan surat alasan penolakan dari notaris yang bersangkutan.9 Dalam pembuatan akta otentik, seorang notaris harus kenal dengan pihak, lebih sering dikenal dengan istilah penghadap, yang meminta dibuatkan akta notaris, bahkan kenal itu harus disebutkan dengan tegas dalam akta. Apabila notaris tidak kenal dengan penghadap, maka tidak boleh dibuatkan aktanya. Yang dimaksud dengan penghadap itu adalah mereka yang datang sengaja menghadap kepada notaris.10 Setiap orang dapat mendatangi seorang notaris untuk meminta dibuatkan suatu akta otentik perihal yang dikehendaki yang bersangkutan, dan notaris tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat khususnya pihak yang meminta dibuatkan akta tersebut. Namun demikian, tidak semua orang dalam kedudukannya selaku subyek hukum dapat menjadi penghadap dalam suatu akta otentik yang dibuat oleh seorang notaris. Hanya subyek hukum yang sudah cakap hukum dan memang berhak untuk melakukan tindakan hukum sebagaimana yang dimaksudkan dalam akta tersebutlah yang berhak menjadi seorang
8
C.S.T.Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2003), h. 98. 9
Ibid.
10
A. Kohar, Notaris dalam Praktek Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), h. 38. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
8
penghadap. Salah satu hal yang menjadi perhatian penulis adalah bagaimana jika seorang yang tersangkut perkara pidana baik dalam kedudukannya sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana melakukan perbuatan hukum melalui akta notaris. Pasal 3 KUHPerdata menyatakan bahwa tidak ada satu pun hukuman yang dapat menghilangkan keperdataan seseorang, hal ini menunjukkan bahwa walaupun seseorang yang terkait perkara pidana tetap dapat menjalankan hak keperdataannya dalam kehidupan bermasyarakat namun tentunya tidaklah dapat dilakukan dengan bebas. Lebih lanjut, baik di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tidak diatur secara khusus apakah seseorang yang terkait perkara korupsi ataupun perkara pencucian uang dapat melakukan perbuatan hukum atau larangan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu. Dalam praktek masih diketemukan adanya kurang kesepahaman ketika seseorang yang terkait perkara pidana hendak membuat akta otentik perihal perbuatan hukum yang akan dilakukannya, terutama terkait keabsahan perbuatan hukum yang dituangkan melalui akta notaris tersebut. Oleh karenanya tak jarang diketemukan notaris yang sangat berhati-hati dan bahkan menolak permintaan pihak yang berkepentingan tersebut. Hal tersebut tentunya sangat bertolak belakang dengan larangan bahwa notaris tidak boleh menolak untuk membuatkan akta bagi para pihak yang meminta untuk dibuatkan akta tersebut.
1.2
Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik identifikasi permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah keabsahan dan kebatalan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak yang terkait perkara pidana melalui akta notaris? Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
9
2. Bagaimanakah implikasi hukum terhadap keabsahan suatu perbuatan hukum dan tanggung jawab Notaris dimana salah satu pihak terkait perkara pidana?
1.3
Metode Penelitian Dalam melaksanakan penelitian ini, Penulis memerlukan metode penelitian yang berguna untuk mempermudah penelitian sehingga akan mendapatkan suatu hasil penelitian yang jelas serta akurat. Bentuk penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian yuridis normatif atau yang lebih dikenal dengan penelitian kepustakaan, dengan pendekatan yang bersifat deskriptif analisis. Penelitian yuridis normatif lebih menekankan pada penggunaan data sekunder yang berupa norma hukum tertulis atau bahan hukum yang lain. Pendekatan deskriptif analisis ialah bahwa data-data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif tanpa menguji hipotesis, dalam rangka untuk mendapatkan gambaran mengenai peran notaris serta keabsahan perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak yang terkait perkara pidana. Penelitian ini juga merupakan penelitian preskriptif yang akan memberikan jalan keluar dari pokok permasalahan penelitian ini serta menggunakan tipe penelitian mono-disiplin, dimana Penulis hanya menggunakan 1 (satu) disiplin ilmu yaitu ilmu hukum. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus dengan menggunakan analisa logika Deduktif ke Induktif, yaitu pencarian pengetahuan yang benar harus berlangsung menurut prosedur atau kaedah hukum, yaitu berdasarkan logika. Aplikasi dari logika dapat disebut dengan penalaran dan pengetahuan yang benar dapat disebut dengan pengetahuan ilmiah. Untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dapat digunakan dua jenis penalaran, yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif. Namun, dalam penelitian ini yang digunakan adalah penalaran induktif yang merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
10
Data-data yang Penulis gunakan dalam penulisan tesis ini bersumber dari data sekunder, yaitu data yang telah dalam keadaan siap pakai, bentuk dan isinya telah disusun penulis terdahulu dan dapat diperoleh tanpa terikat waktu dan tempat.11 Penulis memperoleh data langsung melalui penelusuran kepustakaan atau dokumentasi, di antaranya adalah Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, peraturan tertulis lainnya, buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang Penulis teliti, artikel hukum dan lain sebagainya. Untuk menunjang penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum yang terdiri dari: a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat atau yang membuat masyarakat mentaati dan menghargai hukum seperti peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer ini sangatlah penting dalam rangka untuk mendapatkan landasan hukum dari permasalahan penelitian ini. Bahan hukum primer yang diteliti adalah peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan tertulis lainnya. b. Bahan Hukum Sekunder (secondary sources), yaitu bahanbahan yang memberikan informasi atau hal-hal lain yang berkaitan
yang
mendukung
sumber
primer
serta
implementasinya dan digunakan untuk melakukan analisis data, seperti buku karangan R.Soegondo Notodisoerjo yang berjudul 11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas IndonesiaPress, 2010), h.37. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
11
”Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan”, buku karangan Komar Andasasmita dengan judul ”Notaris I”, dan berbagai bahan hukum sekunder lainnya. c. Bahan Hukum Tersier (tertierary sources), adalah bahan-bahan yang
memberikan
petunjuk
maupun
penjelasan
yang
mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, meliputi buku petunjuk, kamus-kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya. Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan alat pengumpulan data yaitu Studi Kepustakaan/Dokumen. Studi kepustakaan yang dimaksud adalah dengan menelaah asas-asas hukum serta ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pelbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok permasalahan penelitian ini. Data-data yang telah diperoleh untuk menunjang penelitian ini kemudian akan dianalisis dan dipresentasikan secara analisis kualitatif yang sesuai dengan bentuk penelitian yuridis normatif yang Penulis gunakan dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan data yang dianalisis bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan (holistic), serta Penulis tidak menentukan hasil kajian atas penelitian dalam bentuk numerik atau jumlah melainkan dari analisa. Selain itu, penelitian ini menekankan pada aspek analisis subyektif peneliti dengan menekankan pada data yang diperoleh, perspektif
komprehensif
peneliti
dan
pendekatan
terhadap
pokok
permasalahan yang dilakukan oleh peneliti. Adapun bentuk hasil penelitian ini adalah deskriptif analitis sekaligus preskriptif analitis. Hasil dari penelitian yang Penulis lakukan adalah memberikan penilaian umum tentang data yang telah diperoleh termasuk peraturan perundang-undangan yang terkait. Gambaran umum ini dapat menjadi acuan untuk memberikan jalan keluar (solusi) dari pokok permasalahan dalam penelitian ini.
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
12
1.4
Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini dibagi dalam 3 (tiga) bab yang mempunyai hubungan yang terikat satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dalam pemahaman permasalahan dan diakhiri dengan suatu simpulan dan saran. Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab 1
Pendahuluan Bab 1 yang merupakan bab pendahuluan memuat secara singkat mengenai latar belakang penelitian khususnya manakala seseorang yang terkait perkara pidana meminta dibuatkan akta notaris perihal perbuatan hukum yang dilakukannya. Bab 1 ini juga berisi pokok permasalahan yang menjadi sasaran penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab 2
Tinjauan Keabsahan Perbuatan Hukum Yang Dilakukan Oleh Pihak yang Terkait Perkara Pidana melalui Akta Notaris Bab 2 ini menguraikan kerangka konseptual dan kerangka teori termasuk aspek-aspek yuridis untuk menganalisis serta menjawab permasalahan hukum yang diteliti dalam penelitian ini, diantaranya mengenai manusia sebagai subyek hukum, tinjauan umum tentang perbuatan hukum termasuk salah satu bentuknya adalah mengenai perjanjian, serta tinjauan umum tentang notaris yang berisi kewenangan, larangan, daerah jabatan notaris, dan teori lainnya. Dalam bab ini juga menguraikan hasil penelitian yang telah dianalisis terutama mengenai keabsahan dan implikasi hukum perbuatan hukum oleh pihak yang terkait perkara pidana dan mengenai tanggung jawab notaris terhadap akta yang dibuatnya perihal perbuatan hukum tersebut.
Bab 3
Penutup Bab 3 yang merupakan bab terakhir dalam penulisan tesis ini berisikan beberapa simpulan yang merupakan hasil kristalisasi antara pertanyaan-pertanyaan yang telah diidentifikasi sebelumnya dan pembahasan atau analisis atas pertanyaan-pertanyaan tersebut Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
13
yang pada akhirnya akan diperoleh jawaban atas pertanyaanpertanyaan yang diteliti, sebagai hasil penelitian. Salah satunya adalah meskipun seseorang terkait perkara pidana dan dikenakan penahanan terhadap dirinya, ia tetap dapat melakukan perbuatan hukum dan dituangkan dalam suatu akta notaris perihal perbuatan hukum
tersebut,
dengan
batasan
perbuatan
hukum
yang
dilakukannya tidak mempunyai hubungan/keterkaitan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa terhadapnya. Selain itu, bab ini juga berisikan saran-saran yang pada dasarnya merupakan usulan atau masukan dari penulis yang sifatnya operasional dan konkrit, yang dapat diberikan sehubungan dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian ini.
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
14
BAB 2 TINJAUAN KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PIHAK YANG TERKAIT PERKARA PIDANA MELALUI AKTA NOTARIS
2.1
Manusia sebagai Subyek Hukum Subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum, sehingga dapat melakukan suatu perbuatan hukum, seperti mengadakan persetujuan-persetujuan, menikah, membuat wasiat, dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi). Manusia sebagai pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala biologika yaitu makhluk hidup yang mempunyai panca-indera dan mempunyai budaya, sedangkan orang sebagai pengertian yuridis ialah gejala dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang atau person.12 Oleh karena itu, setiap manusia (naturlife persoon) diakui sebagai subyek hukum (rechtspersoonlijkheid) yaitu pendukung hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban perdata tidak bergantung kepada agama, golongan, jenis kelamin, umur, ataupun kewarganegaraan seseorang. Hak dan kewajiban perdata seseorang juga tidak bergantung pula kepada status sosial seseorang, kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya sama di hadapan hukum.
12
Achmad Ichsan, Hukum Perdata IA, cet. I, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1969), h.68. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
15
Setiap manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami, yaitu mulai sejak lahir dan baru berakhir apabila mati atau meninggal dunia. Apabila ia meninggal dunia maka hak dan kewajibannya telah berakhir dan akan beralih kepada ahli warisnya. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Pengecualian mulainya mendukung hak dan kewajiban dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 2 yang menyebutkan bahwa anak (bayi) yang masih berada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, dalam hal terdapat urusan atau kepentingan si anak menghendakinya. Ketentuan ini menegaskan bahwa hak dan kewajiban si anak baru dianggap ada jika ia dilahirkan hidup, apabila ia dilahirkan mati maka haknya dianggap tidak ada, misalnya kepentingan si anak untuk menjadi ahli waris dari orang tuanya, walaupun ia masih berada dalam kandungan ia dianggap telah dilahirkan dan oleh karena itu harus diperhitungkan hak-haknya sebagai ahli waris. Apabila si anak mati atau meninggal dunia sewaktu dilahirkan, maka ia dianggap tidak pernah telah ada. Ketentuan yang termuat dalam Pasal 2 KUHPerdata ini sering disebut “rechtsfictie”, dan sangat penting dalam hal warisan misalnya. Meskipun setiap orang tidak ada yang dikecualikan adalah sebagai pendukung hak dan kewajiban atau subyek hukum, tetapi tidak semuanya cakap atau tidak dapat bertindak sendiri untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid). Adapun orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum antara lain: a. Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata juncto Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk selanjutnya dalam tesis ini disebut UU Perkawinan; b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu orangorang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
16
pemboros, sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata juncto Pasal 433 KUHPerdata; c. Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya orang yang dinyatakan pailit, sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata juncto Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang selanjutnya dalam tesis ini disebut UU Kepailitan. Menurut KUPerdata, seseorang dikatakan sudah dewasa adalah saat berusia 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi wanita, sedangkan menurut UU Perkawinan, kedewasaan seseorang adalah saat berusia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita. Lain hal pula menurut hukum adat, kedewasaan seseorang apabila sudah mampu bekerja atau mencari nafkah sendiri. Meskipun demikian, acuan yang dipakai pada umumnya adalah berdasarkan KUHPerdata karena ketentuan ini masih berlaku secara umum, sedangkan ketentuan lainnya yaitu UU Perkawinan dan hukum adat hanya berlaku secara khusus. Orang-orang yang belum dewasa dalam melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya ataupun walinya, sedangkan bagi orangorang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele) dalam melakukan perbuatan hukum diwakili oleh pengampunya (curator). Yang membedakan antara subyek hukum yang cakap dengan subyek hukum yang tidak cakap adalah berkaitan dengan pemenuhan tanggung jawab. Subyek hukum yang tidak cakap tidak dapat dikenakan tanggung jawab secara langsung atas perbuatan hukum yang dilakukannya, namun tanggung jawab tersebut dikenakan melalui pengampunya. Hal yang sama berlaku pula untuk subyek hukum yang belum dewasa. Setiap orang adalah subyek hukum (rechtspersoonlijkheid) yakni pendukung hak dan kewajiban, tetapi tidak setiap orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Cakap melakukan perbuatan hukum artinya subyek hukum tersebut dapat melakukan atau bertindak baik sendiri maupun bersama orang lain di dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Orang Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
17
yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang telah dewasa dan sehat akal pikirannya serta tidak dilarang oleh suatu undangundang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Pentingnya arti kecakapan menurut hukum tentunya mempunyai 2 (dua) maksud, antara lain pertama adalah maksud yang dilihat dari sudut keadilan yaitu perlunya orang yang melakukan perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi/ menyadari secara benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatan tersebut. Kedua, maksud yang dilihat dari sudut ketertiban hukum, yaitu bahwa orang yang membuat perjanjian tersebut dengan kata lain berarti mempertaruhkan kekayaannya. Pada prinsipnya setiap orang tidak kecuali dapat memiliki dan melaksanakan hak-hak akan tetapi tidak semua orang dinyatakan cakap di dalam melaksanakan hak-haknya tersebut. Untuk dapat dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum, subyek hukum tersebut harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut : a. Orang tersebut telah mencapai usia 21 tahun atau telah menikah. b. Orang tersebut mempunyai kewenangan untuk melaksanakan hak dan kewajiban tersebut, misalnya ia memang berwenang untuk menjual sebuah barang yang adalah benar miliknya. c. Orang tersebut harus memiliki jiwa dan akal yang sehat. Orang
yang
cakap
untuk
melakukan
perbuatan
hukum
(rechtsbekwaamheid) tidak selalu berwenang untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbevoegheid).13 Dengan demikian, rechtsbekwaamheid adalah syarat umum sedangkan rechtsbevoegheid adalah syarat khusus bagi subyek hukum untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam ketentuan KUHPerdata, kecakapan merupakan salah satu syarat untuk sahnya suatu perikatan/perjanjian yang berarti bahwa segala perikatan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak cakap dapat dibatalkan atau diminta pembatalannya melalui hakim. Namun sebaliknya dalam hal perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), ketidakcakapan seseorang 13
H. Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 2006), h. 45. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
18
tidak mempengaruhi timbul atau tidaknya “akibat hukum” dari perbuatan tersebut. Berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam perdata adalah apabila ia meninggal dunia. Hal ini berarti selama seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai kewenangan berhak. Pasal 3 KUHPerdata menyatakan dengan tegas bahwa, “Tiada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak perdata”. Akan tetapi, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kewenangan berhak seseorang yang sifatnya membatasi kewenangan berhak tersebut antara lain:14 a. Kewarga-negaraan, misalnya dalam Pasal 21 ayat (1) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, untuk selanjutnya dalam tesis ini disebut UUPA, disebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah; b Tempat tinggal, misalnya dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1960 dan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 (Tambahan Pasal 3a sampai dengan Pasal 3e) juncto Pasal 10 ayat (2) UUPA disebutkan larangan pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya; c. Kedudukan atau jabatan, misalnya hakim dan pejabat hukum lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih dalam perkara; d. Tingkah laku atau perbuatan, misalnya dalam Pasal 49 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan keputusan pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan kewajibannya sebagai orang tua/wali atau bahkan berkelakukan buruk sekali. 14
Ibid., h. 43-44. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
19
Disamping itu, Pasal 467 juncto Pasal 468 juncto Pasal 469 KUHPerdata menyatakan bahwa seseorang dianggap telah meninggal dunia jika hilang atau tidak diketahui dimana ia berada dan tidak ada kepastian apakah ia masih hidup dalam tenggang waktu setelah lewat 5 (lima) tahun sejak ia meninggalkan tempat kediamannya itu.
2.2
Tinjauan Umum tentang Perbuatan Hukum Setiap manusia adalah subyek hukum tidak ada yang dikecualikan, yang erat kaitannya dengan peristiwa-peristiwa hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Peristiwa hukum adalah peristiwa yang menimbulkan akibat hukum yaitu menimbulkan hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum kepada para pihak yang terlibat dalam peristiwa yang bersangkutan. Hukum juga mengatur lahir dan hapusnya hak-hak subyektif dan akibat hukum lainnya dari para pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Peristiwa hukum merupakan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang timbul dari hubungan anggota masyarakat yang oleh hukum diberikan akibat-akibat hukum, dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kategori, antara lain : a. Perbuatan subyek hukum (manusia dan badan hukum), apabila akal budi manusia dapat menguasai atau mengaturnya, dengan kata lain bahwa orang yang bersangkutan mempunyai kekuasaan untuk menentukan ada atau tidaknya peristiwa seperti itu. b. Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subyek hukum atau “peristiwa hukum yang lain”, terjadi diluar jangkauan manusia untuk
mengatur/menguasainya,
dan
terjadi
tanpa
memperhitungkan kehendak para pihak yang terkait. Setiap manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan apa saja dalam kehidupannya. Namun demikian tidak semua perbuatan manusia memperoleh pengaturannya, hanya perbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan hukum saja yang diatur oleh hukum. Perbuatan subyek hukum dapat pula dibedakan menjadi 2 (dua) kategori yaitu Perbuatan Hukum dan Perbuatan lain yang bukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan subyek hukum yang Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
20
dilakukan secara sengaja untuk menimbulkan hak-hak dan kewajiban. Suatu perbuatan merupakan perbuatan hukum apabila perbuatan itu oleh hukum diberi akibat (mempunyai akibat hukum) dan akibat itu dikehendaki oleh pelaku yang bersangkutan. Perbuatan hukum dapat kita bedakan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: a. Perbuatan hukum sepihak yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula misalnya pembuatan surat wasiat, pengakuan anak, pembebasan hutang dan sebagainya. Untuk lahirnya/timbulnya akibat hukum yang dikehendaki tersebut, cukup dengan pernyataan kehendak dari satu orang tersebut saja. b. Perbuatan hukum dua pihak, yang lebih dikenal dengan istilah perjanjian, adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua belah pihak misalnya membuat persetujuan jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya. Pada perbuatan hukum dua pihak ini dibutuhkan pernyataan kehendak dari kedua belah pihak yang saling bertemu. Sama halnya dengan perbuatan hukum, perbuatan (manusia) yang lain dan bukan perbuatan hukum juga dapat dibedakan : a. Zaakwaarneming, yaitu perbuatan memperhatikan (mengurus) kepentingan orang lain dengan tidak diminta oleh orang itu untuk
memperhatikan
kepentingannya.
Perbuatan
yang
akibatnya diatur oleh hukum, meskipun tidak dikehendaki oleh pihak yang melakukan perbuatan itu, tetapi perbuatan tersebut bukanlah perbuatan hukum. Menurut Pasal 1354 KUHPerdata, pengertian zaakwaarneming adalah mengambil alih tanggung jawab dari seseorang sampai yang bersangkutan sanggup lagi untuk mengurus dirinya sendiri. Pasal 1354 KUHPerdata menyebutkan, ”jika seseorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili orang lain dengan atau Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
21
tanpa pengetahuan orang tersebut, maka dia secara diam-diam telah
mengikatkan
dirinya
untuk
meneruskan
serta
menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya itu dapat mengerjakan sendiri urusan tersebut. Ia diwajibkan pula mengerjakan segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia dikuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas. Sebagai contoh adalah bila terdapat kasus kecelakaan yang mengakibatkan seseorang luka parah dan harus dioperasi secepatnya maka dokter harus mengoperasinya tanpa meminta ijin kepada orang tersebut atau keluarganya, dan dalam posisi bahwa yang mengurus (dokter) tidak memiliki hubungan dengan si sakit, namun dokter dengan niat sendiri mengurus si sakit. b. Onrechtmatigedaad adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Akibat suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum diatur juga oleh hukum, meskipun akibat itu memang tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan tersebut. Dalam hal ini siapa yang melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum harus mengganti kerugian yang diderita oleh yang dirugikan karena perbuatan itu. Jadi, karena suatu perbuatan bertentangan dengan hukum timbullah suatu perikatan untuk mengganti kerugian yang diderita oleh yang
dirugikan.
Asas
ini
terdapat
dalam
Pasal
1365
KUHPerdata. Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subyek hukum atau peristiwa hukum lainnya adalah peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat yang tidak merupakan akibat dari perbuatan subyek hukum, misalnya kelahiran seorang bayi, kematian seseorang, atau lewat waktu (daluarsa). Setiap perbuatan hukum erat kaitannya dengan hubungan hak dan kewajiban para pihak yang timbul dari perbuatan tersebut. Hubungan tersebut merupakan perikatan. Perikatan itu sendiri adalah hubungan hukum Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
22
antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu.15 Hak dan kewajiban tersebut merupakan akibat hubungan hukum, yaitu hubungan antara 2 (dua) subyek hukum atau lebih dimana hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak yang lain dan kesemuanya diatur oleh hukum. Tiap hubungan hukum mempunyai 2 (dua) segi yakni : kekuasaan/hak (bevoegheid) dan kewajiban (plicht). Selain itu, hubungan hukum juga harus mempunyai dasar hukum yang mengatur hubungan tersebut.
Suatu
hubungan hukum memiliki 3 unsur, antara lain: a. Orang-orang yang berhak/kewajibannya saling berhadapan b. Obyek terhadap nama hak/kewajiban diatas tadi berlaku c. Hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau hubungan terhadap obyek yang bersangkutan. Tiap perbuatan hukum menimbulkan perikatan bagi pihak yang melakukan perbuatan tersebut. Pengertian perikatan (verbintenis) memiliki pengertian yang lebih luas daripada pengertian perbuatan hukum salah satunya perjanjian (overeenkomst). Perikatan merupakan suatu hubungan hukum yang melekatkan hak dan kewajiban diantara para pihaknya, yang lahir baik karena adanya suatu persetujuan (Pasal 1338 KUHPerdata) maupun karena undang-undang (Pasal 1352 KUHPerdata). Oleh karena itu, “perikatan” lebih bersifat abstrak, sedangkan perjanjian lebih bersifat “nyata” atau riil. Hal ini dikarenakan suatu perikatan hanya merupakan bentuk dari suatu hubungan hukum antara para pihak. Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari perjanjian diatur dalam titel II yaitu Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351 KUHPerdata dan titel V sampai dengan titel XVIII yaitu Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1864 Buku III KUHPerdata. Perikatan yang bersumber dari undang-undang diatur dalam titel III yaitu Pasal 1352 sampai dengan Pasal 1380 Buku III KUHPerdata. 15
H. Riduan Syahrani, Op.cit., h. 196. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
23
Sumber-sumber
perikatan
diskemakan sebagai berikut:
dan
pembeda-pembedanya
dapat
16
Perikatan Bersumber dari (Pasal 1233 KUHPerdata)
Perjanjian
Undang-Undang
Pasal 1313 KUHPerdata
Pasal 1352 KUHPerdata
Undang-Undang saja
Undang-Undang karena Perbuatan Manusia Pasal 1353 KUHPerdata
Perbuatan yang sesuai dengan hukum (rechtmatige) Pasal 1354 KUHPerdata (zaakwaarneming) Pasal 1359 KUHPerdata (onverschuldigde betaling)
Perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige) Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdata
Vollmar, Pitlo, H. Drion, dan Meyers dalam ajaran umumnya menyatakan bahwa tidak ada pertentangan (tegenstelling) yang hakiki antara perikatan yang bersumber dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari undang-undang. Sebab pada akhirnya selalu undang-undang yang memberi sanksinya meskipun yang menjadi sumbernya perjanjian. Meskipun demikian, tidak perlu ada keberatan terhadap pembagian yang diadakan Pasal 1233 KUHPerdata itu.17
16
H. Riduan Syahrani, Op.cit., h. 201-202.
17
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Perikatan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), h. 22. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
24
Namun demikian, sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, karena dengan melalui perjanjian para pihak mempunyai kebebasan untuk membuat segala macam perikatan, baik perikatan bernama yang tecantum dalam titel V sampai dengan titel XVIII Buku III KUHPerdata maupun perikatan yang tidak bernama. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (contract vrijheid) sebagai salah satu asas yang menjadi dasar lembaga-lembaga hukum yang disebutkan pada titel V sampai dengan titel XVIII sebagai perjanjian bernama, juga menjadi dasar lembaga-lembaga hukum yang tidak disebutkan di dalam titel-titel itu sebagai perjanjian yang tidak bernama.18
2.2.1
Perjanjian sebagai Perbuatan Hukum Perbuatan hukum yang menjadi fokus utama dalam konteks tesis ini adalah perbuatan hukum dua pihak khususnya perjanjian. Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dengan kata lain, perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Atas dasar inilah kemudian dikenal adanya perjanjian konsensuil, perjanjian formil dan perjanjian riil.19 Dalam perjanjian konsensuil, kesepakatan yang dicapai oleh para pihak secara lisan, melalui ucapan saja dengan segera telah mengikat para pihak.20 Agak berbeda dari perjanjian konsensuil, dalam perjanjian formil, kesepakatan atau perjanjian lisan sematamata antara para pihak yang berjanji belum melahirkan kewajiban yang mengikat di antara mereka, sebagai contoh dalam perjanjian
18
H. Riduan Syahrani, Op.cit., h. 203.
19
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003), h. 7-8. 20
Ibid. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
25
mengenai hibah yang diatur dalam Pasal 1682 KUHPerdata, yaitu mengenai formalitas yang harus dipenuhi yaitu hibah dibuat dengan akta notaris agar hibah menjadi sah dan mengikat bagi para pihak, serta adanya ancaman batal jika formalitas tersebut tidak dipenuhi. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang baru melahirkan perikatan atau kewajiban setelah adanya perbuatan nyata, misalnya perbuatan nyata dari Penerima Hibah yaitu dalam bentuk pernyataan kesediaannya untuk menerima hibah secara tertulis semasa Pemberi Hibah masih hidup sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1683 KUHPerdata. Contoh lain perjanjian riil ialah penitipan barang yang sejati, diatur dalam Pasal 1697 KUHPerdata, yaitu tidak akan terlaksana sebelum dilakukan penyerahan
barangnya secara
nyata atau secara
dipersangkakan. Selain itu, perjanjian dapat dibedakan lagi menjadi perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah perjanjian, dimana – sebagai akibat hukumnya – di satu pihak ada hak (saja) dan di lain pihak ada (kewajiban) saja.21 Namun tentu saja karena ia merupakan perjanjian maka paling sedikit harus ada 2 (dua) pihak yang saling berhadapan satu sama lain dan saling memberikan persetujuannya. Contohnya adalah pemberian hadiah sesuatu benda (hibah), yang diatur dalam Pasal 1666 KUHPerdata, yang
menimbulkan
kewajiban
bagi
pemberi
hibah
untuk
menyerahkan benda hibah dan menimbulkan hak untuk menuntut penyerahan benda tersebut bagi penerima hibah. Pada perjanjian timbal balik, hak dan kewajiban yang muncul sebagai akibat hukumnya, ada pada kedua belah pihak.22 Sebagai contoh adalah jual beli (Pasal 1457 KUHPerdata), tukar-menukar, sewa menyewa (Pasal 1548 KUHPerdata). Munculnya hak dan kewajiban sebagai akibat hukum ditutupnya perjanjian tersebut. 21
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1999),
22
Ibid.
h.49. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
26
Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya 3 (tiga) unsur dalam perjanjian yang merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1339 KUHPerdata, antara lain:23 a. Unsur esensialia, yang mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli yang diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata dibedakan dari perjanjian tukar menukar yang diatur dalam Pasal 1541 KUHPerdata. Tanpa keberadaan unsur ini, maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi berbeda dan karenanya menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak. b. Unsur naturalia, adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur esensialia jual beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari
cacat-cacat
tersembunyi.
Ketentuan
ini
tidak
dapat
disimpangi oleh para pihak, karena sifat dari jual beli menghendaki hal yang demikian. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Perjanjianperjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. c. Unsur aksidentalia, adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat 23
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., h.84-90. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
27
diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak. Misalnya dalam jual beli adalah ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli.
2.2.2 Asas-asas dalam Hukum Perjanjian Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas yang harus diperhatikan bagi para pihak yang membuat perjanjian. Hal ini penting untuk menjadi pegangan dalam proses dan pelaksanaan perjanjian serta jika di kemudian hari terdapat permasalahan hukum berkaitan dengan perjanjian yang dibuat tersebut. Beberapa asas dalam hukum perjanjian yang dimaksud antara lain sebagai berikut: a. Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij autonomie) atau lebih dikenal dengan istilah Asas Kebebasan Berkontrak Sistem hukum perjanjian bersifat terbuka, maka pada waktu perjanjian yang berlaku tidak hanya pada Kitab UndangUndang Hukum Perdata dan/atau Hukum Adat saja, tetapi berlaku pula nilai-nilai hukum lainnya yang hidup di masyarakat sesuai dengan kepatutan, keadilan, perikemanusiaan dan/atau larangan penyalahgunaan
keadaan/kesempatan
dan/atau
larangan
penyalahgunaan ekonomi yang berlaku secara berdampingan menjadi satu kesatuan. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.24 Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk 24
R. Subekti, Hukum Perjanjian, cet. VI., (Jakarta: Intermasa, 1979), h. 13. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
28
menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik ataupun ketertiban umum. Selain itu, asas ini juga sejalan dengan asas Pacta Sunt Servanda yaitu bahwa perjanjian yang sudah disepakati berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang bersangkutan. Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati atau disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana yang telah dikehendaki oleh mereka. Dalam
hal
salah
satu
pihak
dalam
perjanjian
tidak
melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.25 Dalam hukum perdata, asas kebebasan berkontrak yang dianut Buku III KUHPerdata ini merupakan sistem (materiil) terbuka sebagai lawan sistem (materiil) tertutup yang dianut Buku II KUHPerdata (Hukum Benda).26 Hal ini berarti bahwa dengan kebebasan membuat perjanjian tersebut, para pihak diberi kesempatan untuk membuat klausula-klausula yang menyimpang dari ketentuan Buku III KUHPerdata, yang selanjutnya untuk diatur sendiri dalam perjanjian, sebab perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Namun demikian, kebebasan berkontrak ini bukan berarti tiap orang boleh membuat kontrak (perjanjian) secara 25
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., h. 59.
26
Ibid. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
29
bebas tidak terbatas, tetapi kontrak (perjanjian) tersebut juga harus tetap dibuat dengan memperhatikan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian, baik syarat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata maupun syarat khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu. Ketentuan yang dapat disimpangi adalah ketentuan yang bersifat optional atau pilihan, sedangkan ketentuan yang bersifat memaksa tidak dapat disimpangi atau dilanggar oleh para pihak. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu yang merupakan pancaran hak asasi manusia, sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Berlakunya
asas
konsensualisme
menurut
hukum
perjanjian Indonesia, menegaskan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya, khususnya untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian. Sepakat yang diberikan dengan paksa dikenal dengan istilah Contradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain, dan dapat berakibat transaksi yang diinginkan menjadi tidak terlaksana. Dengan adanya kebebasan berkontrak, kedudukan pasalpasal pada titel V sampai dengan titel XVIII Buku III KUHPerdata banyak yang hanya bersifat sebagai hukum pelengkap (aanvullens recht) saja, yaitu pasal-pasal tersebut boleh dikesampingkan penggunaannya sekiranya para pihak pembuat perjanjian menghendakinya. Selain itu, para pihak pembuat perjanjian juga diperbolehkan menciptakan ketentuan sendiri Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
30
yang mengatur kepentingan-kepentingan mereka sesuai dengan apa yang mereka kehendaki dan sepakati bersama. Pasal-pasal yang bersifat sebagai hukum pelengkap tersebut baru mengikat terhadap para pihak pembuat perjanjian, jika mereka tidak mengatur
sendiri
kepentingannya
dalam
perjanjian
yang
dimaksud ataupun mengaturnya dalam perjanjian tetapi tidak lengkap sehingga soal-soal yang tidak diatur tersendiri itu diberlakukan pasal-pasal dalam KUHPerdata. Dengan kata lain, hukum yang bersifat sebagai hukum pelengkap akan menambah kekosongan yang ada dalam perjanjian, terutama mengenai suatu hal tertentu yang tidak diberikan pengaturannya oleh para pihak yang bersangkutan. Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata ini mempunyai kekuatan mengikat. Undang-undang sendiri tidak memberikan patokan yang pasti untuk menetapkan mana undang-undang yang bersifat memaksa dan mana undang-undang yang bersifat menambah. Pada umumnya orang menafsirkan dari bunyi ketentuan yang bersangkutan, dihubungkan dengan tuntutan masyarakat.27 Dengan adanya asas kebebasan berkontrak, perjanjianperjanjian dengan sebutan perjanjian bernama itu hanyalah sebagai contoh belaka. Oleh karena itu, tiap orang boleh membuat perjanjian yang lain daripada perjanjian bernama dalam KUHPerdata atau bahkan membuatnya secara sama dengan salah satu daripadanya sesuai dengan kebutuhan para pihak pembuat perjanjian. Sehubungan dengan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak,
Asikin
Kusuma
Atmaja
dalam
makalahnya
menyatakan bahwa Hakim berwenang untuk memasuki/meneliti 27
J. Satrio, Op.cit, h.37. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
31
isi suatu kontrak, apabila diperlukan, karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat.28 Dengan demikian, asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata tidak lagi bersifat absolut, yang berarti dalam keadaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Lebih lanjut, Asikin Kusuma Atmaja mengatakan bahwa kebebasan berkontrak yang murni/mutlak, khususnya mengenai kedudukan seimbang sepenuhnya para pihak, praktis tidak ada, karena dalam prakteknya selalu ada pihak yang lebih lemah dari pihak yang lainnya. Beliau mengilustrasikan dengan suatu cerita lama yang mengandung moral, yang ada kaitannya dengan tafsiran perjanjian. Ada seorang gadis yang orang tuanya miskin dan mempunyai hutang yang besar, karena meminjam uang untuk menyekolahkan anak gadis tersebut. Apabila hutangnya tidak segera dibayar, maka satu-satunya harta berupa rumah dan pekarangannya akan dilelang. Sang penolong yang mempunyai kekuasaan ekonomis datang dan mengadakan perjanjian dengan orang tua gadis tersebut, bahwa hutang akan dilunasi asal gadis tersebut dikawinkan dengan anak lelaki sang penolong tersebut, sedangkan anak gadis tersebut telah mempunyai tunangan. Kemudian terjadilah perjanjian antara sang penolong dengan orang tua yang miskin tersebut. Dalam hal ini terkandung nilai moral bahwa janganlah mencari kesempatan dalam kesempitan atau jangan menyalahgunakan kesempatan.29
28
R.Z, Asikin Kusuma Atmaja, Pembatasan Renternir Sebagai perwujudan pemerataan keadilan, Varia Keadilan, Vol. II, Tahun 1987. 29
Ibid. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
32
Dalam ilmu hukum, moral di atas disebut misbruik van omstandigheden
(penyalahgunaan
kesempatan
atau
penyalahgunaan keadaan). Penyalahgunaan kesempatan dapat digunakan sebagai kategori cacat terutama dalam menentukan kehendaknya untuk memberikan persetujuan. Hal ini merupakan alasan untuk menyatakan batal atau membatalkan suatu perjanjian yang tidak diatur dalam undang-undang, serta merupakan suatu konstruksi yang dapat dikembangkan melalui yurisprudensi. Sesuai
dengan
hukum,
kebutuhan
konstruksi
penyalahgunaan kesempatan/keadaan merupakan atau dianggap sebagai faktor yang membatasi dan/atau yang mengganggu adanya kehendak yang bebas, untuk menentukan persetujuan antara kedua belah pihak. Salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan ialah adanya kekuasaan ekonomi pada salah satu pihak, yang dapat menggangu keseimbangan antara kedua belah pihak, sehingga tidak adanya kehendak yang bebas untuk memberikan persetujuan yang dengan kata lain telah terjadi cacat kehendak. Menurut Asikin Kusuma Atmaja, yang penting ialah menciptakan beberapa titik taut yang merupakan dasar bagi hakim untuk menilai secara adil apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan sebagai kekuasaan ekonomi yang disalahgunakan, sehingga mengganggu
keseimbangan
antara
pihak
dan
membatasi
kebebasan kehendak pihak yang bersangkutan untuk memberikan persetujuan.
Di
menggunakan
sini
terletak
interpretasi,
wewenang
sebagai
sarana
melumpuhkan perjanjian yang tidak seimbang.
hakim
untuk
hukum
untuk
30
Banyak faktor yang dapat memberikan indikasi, tentang adanya
penyalahgunaan
kekuasaan
ekonomi
untuk
dipertimbangkan oleh hakim. Apabila umpamanya ternyata ada syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk akal 30
atau
yang
tidak
patut
atau
bertentangan
dengan
Ibid. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
33
perikemanusiaan (on redelijkecontractsvoorwaarden atau un faircontractterms), maka hakim wajib memeriksa dan meneliti faktor-faktor apa yang bersifat tidak masuk akal, tidak patut, atau tidak berperikemanusiaan tersebut. Begitu pula apabila tampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang positie),
maka
hakim
wajib
meneliti
apakah
terjadi
penyalahgunaan ekonomis. Selanjutnya juga apabila terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat yang memberatkan, yang dapat disebut sebagai keadaan dimana nilai dan hasil perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi timbal balik dari para pihak. Dalam hal tersebut, hakim wajib meneliti apakah terjadi penyalahgunaan kekuasaan ekonomis atau tidak. Dengan demikian, maka jelas bahwa asas kebebasan berkontrak tidak mempunyai arti yang tidak terbatas, akan tetapi terbatas oleh tanggung jawab para pihak, dan dibatasi oleh kewenangan hakim untuk menilai isi dari setiap kontrak. Selain itu, meskipun KUHPerdata Indonesia telah mengakomodir kebebasan bagi seluruh subyek hukum untuk membuat perjanjian/kontrak, namun kebebasan tersebut tidaklah mutlak melainkan tetap terdapat beberapa batasan-batasan terutama dalam kaitannya dengan syarat sahnya perjanjian/ kontrak
tersebut
sebagaimana
diatur
dalam
Pasal
1320
KUHPerdata. Di dalam perkembangannya asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit dilihat dari beberapa segi yaitu dari segi kepentingan umum, dari segi perjanjian baku (standard) dan dari segi perjanjian dengan pemerintah. b. Asas konsensualisme Hukum perjanjian menganut asas konsensualisme yang berarti bahwa perjanjian sudah mengikat para pihak yang membuatnya, sejak detik tercapainya kata sepakat mengenai halUniversitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
34
hal yang diperjanjikan. Dengan demikian perjanjian sudah sah dan mengikat para pihak tanpa perlu suatu formalitas atau perbuatan tertentu.31 Asas konsensualisme yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti adanya “kemauan” (will) para pihak untuk saling berpartisipasi, dan adanya kemauan untuk saling mengikatkan diri satu sama lain. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen) bahwa perjanjian itu dipenuhi. Kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber pada moral. Menurut Eggens, manusia terhormat akan memelihara janjinya. Grotius juga mencari dasar konsesus itu dalam Hukum Kodrat. Ia mengatakan bahwa pacta sunt servanda yang berarti bahwa janji itu mengikat, dan promissorum implendorum obligatio yang berarti bahwa kita harus memenuhi janji kita.32 Asas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang berbunyi bahwa “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Kata-kata “semua” menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. c. Asas personalia Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata, yang berbunyi “pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau
31
Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), h. 145. 32
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 2005), h. 109. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
35
meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”.33 Dari ketentuan tersebut, pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. Ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata juga menunjuk pada kewenangan bertindak dari seseorang sebagai individu pribadi khususnya sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri dalam rangka membuat atau mengadakan perjanjian. Dengan kapasitas kewenangan tersebut, sebagai seorang yang cakap bertindak dalam hukum, maka setiap perbuatan yang dilakukannya sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri, akan mengikat diri pribadi tersebut, dan dalam lapangan perikatan akan mengikat seluruh harta kekayaan yang dimilikinya secara pribadi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata. d. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel) Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi
prestasinya
di
kemudian hari. Tanpa adanya
kepercayaan itu, maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua belah pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya tersebut perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. e. Asas kekuatan mengikat Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat, yaitu terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh
33
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., h. 14-15. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
36
kebiasaan, kepatutan dan moral yang juga akan mengikat para pihak. f. Asas persamaan hukum Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan perbedaan lainnya. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan. g. Asas keseimbangan Asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan hukum dan menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang dibuatnya. Kreditor mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditor yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditor dan debitor menjadi seimbang. h. Asas kepastian hukum Perjanjian
yang dibuat
oleh
para
pihak
haruslah
mengandung kepastian hukum yang terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian tersebut yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. i. Asas moral Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitor. Asas ini juga terlihat dalam zaakwaarneming, yaitu ketika seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
37
dan menyelesaikan perbuatannya. Dengan kata lain, faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya. j. Asas kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Menurut Mariam
Darus
Badrulzaman,
asas
kepatutan
ini
harus
dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.34 k. Asas kebiasaan Asas ini diatur dalam Pasal 1339 juncto Pasal 1347 KUHPerdata, yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti. Berdasarkan Pasal 1339 juncto Pasal 1347 KUHPerdata, dapat disimpulkan bahwa elemen-elemen dari perjanjian antara lain : 1) isi perjanjian itu sendiri, yaitu apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua pihak mengenai hak dan kewajiban mereka di dalam perjanjian tersebut; 2) kepatutan; 3) kebiasaan; dan 4) undang-undang.
2.2.3 Syarat Sahnya Perjanjian Tiap orang sebagai subyek hukum dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum dapat membuat perjanjian secara bebas untuk menentukan atau menetapkan isi dan macamnya perjanjian yang dimaksud, sepanjang perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan 34
Ibid., h. 115. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
38
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 dan Pasal 1337 KUHPerdata. Dengan kata lain, para pihak pembuat perjanjian tersebut dalam keadaan bebas dan tetap selalu berada dalam ruang gerak yang dibenarkan atau sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk dalam hal harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu perjanjian. Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata antara lain: a. Syarat Subyektif, meliputi : 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian; b. Syarat Objektif, meliputi : 1) Suatu hal tertentu; 2) Suatu sebab yang halal Syarat subyektif dan syarat objektif tersebut memiliki akibat hukum yang berbeda jika syarat tersebut tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian. Apabila syarat subyektif yang erat kaitannya dengan para pihak (subyek) yang mengadakan perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat tersebut dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Hak untuk meminta pembatalan perjanjian ini dibatasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 1454 KUHPerdata. Selama tidak dibatalkan meskipun syarat subyektif tidak terpenuhi, perjanjian tersebut tetap mengikat. Apabila syarat objektif yang erat kaitannya dengan objek perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Hal ini berarti bahwa sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada perikatan, sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka pengadilan. Jika perjanjian batal maka prestasi atau obyek perjanjian yang sudah dilakukan oleh Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
39
salah satu pihak harus dikembalikan sehingga kembali ke dalam keadaan semula. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak dan terdapat persesuaian kehendak di antara keduanya atau saling menyetujui kehendak masing-masing pihak yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada unsur paksaan, kekeliruan dan penipuan. Paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling), dan penipuan (bedrog) merupakan tiga hal yang mengakibatkan kesepakatan menjadi tidak sempurna, sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata. Pasal 1321 KUHPerdata menegaskan bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat tersebut diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan ataupun penipuan. Pasal 1322 KUHPerdata
mengenal
adanya
2
(dua)
macam
kekhilafan
(kesesatan) yaitu kesesatan mengenai orangnya dinamakan error in persona dan kesesatan mengenai hakekat barang yang diperjanjikan dinamakan error in substantia.35 Pasal 1323 dan Pasal 1324 KUHPerdata mengatur bahwa yang dimaksud dengan paksaan bukanlah paksaan dalam arti yang absolut, sebab dalam hal yang demikian perjanjian sama sekali tidak terjadi, misalnya jika seseorang yang lebih kuat memegang tangan seseorang yang lemah dan membuat ia mencantumkan tanda tangan di bawah sebuah
perjanjian.
Yang
dimaksud
dengan
paksaan
dalam
pembuatan perjanjian adalah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Paksaan tersebut harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan.36 35
Ibid., h. 100.
36
Ibid., h. 101. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
40
Kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian dapat dinyatakan baik secara tegas maupun secara diam-diam. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte), sedangkan pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).37 Terdapat empat teori yang mencoba memberikan penyelesaian mengenai kapan kesepakatan itu terjadi, antara lain: a. Uitings theorie (teori saat melahirkan kemauan). Menurut teori ini, perjanjian terjadi apabila atas penawaran telah dilahirkan kemauan menerimanya dari pihak lain. Kemauan ini dapat dikatakan telah dilahirkan pada waktu pihak lain mulai menulis surat penerimaan. b. Verzend theorie (teori saat mengirim surat penerimaan). Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat surat penerimaan dikirimkan kepada si penawar. c. Ontvangs theorie (teori saat menerima surat penerimaan). Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat menerima surat penerimaan sampai di alamat si penawar. d. Vernemings theorie (teori saat mengetahui surat penerimaan). Menurut teori ini perjanjian baru terjadi, apabila si penawar telah membuka dan membaca surat penerimaan itu. R. Subekti menyatakan bahwa menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran (efferte) menerima yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasanya mungkin ia tidak membaca surat itu, hal itu menjadi tanggung jawabnya sendiri. Ia
37
Ibid., h. 98. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
41
dianggap sepantasnya membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.38 Syarat subyektif yang kedua adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian. Pasal 1329 KUHPerdata menegaskan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundangundangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu, dan hal ini terkait erat dengan Bab II KUHPerdata mengenai Hukum Orang. Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar perlu bahwa orang yang membuat perjanjian, yang nantinya akan terikat oleh perjanjian yang dibuatnya itu, harus benar-benar mempunyai kemampuan untuk menginsyafi segala tanggung jawab yang bakal dipikulnya karena perbuatannya itu.39 Lain halnya bila dilihat dari sudut ketertiban umum, karena orang yang membuat perjanjian itu mempertaruhkan kekayaannya, sehingga sudah seharusnya orang tersebut sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya.40 Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan dapat ditentukan atau diperhitungkan di kemudian hari. Selain itu, barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata. Namun, Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata menegaskan bahwa 38
R. Subekti, Op.cit., h. 29-30.
39
Ibid., h. 18-19.
40
Achmad Ichsan, Op.cit., h. 126. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
42
barang-barang yang akan masuk hak warisan seseorang dilarang dijadikan objek suatu perjanjian, meskipun perjanjian tersebut telah disepakati oleh orang yang akan meninggal dunia dan akan meninggalkan barang-barang warisan itu. Adanya larangan ini karena menjadikan barang yang akan diwarisi sebagai objek perjanjian bertentangan dengan kesusilaan.41 Lain halnya jika barang yang akan diwarisi itu dihibahkan oleh calon suami kepada calon isteri dalam perjanjian kawin atau oleh pihak ketiga kepada calon suami atau calon isteri, ini diperkenankan.42 Pasal 1332 KUHPerdata menentukan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan objek perjanjian hanyalah barang-barang yang dapat diperdagangkan. Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum seperti jalan umum, pelabuhan, dan sebagainya tidak dapat dijadikan objek perjanjian karena dianggap sebagai barang-barang di luar perdagangan. Syarat terakhir untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu sebab yag halal yang diatur dalam Pasal 1335 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Dari sejumlah interpretasi dan penjelasan para ahli, dapat disimpulkan bahwa pengertian perkataan sebab tersebut adalah sebagai berikut :43 a. Perkataan sebab sebagai salah satu syarat perjanjian adalah sebab dalam pengertian Ilmu Pengetahuan Hukum yang berbeda dengan pengertian Ilmu Pengetahuan lainnya. b. Perkataan sebab itu bukan pula motif (desakan jiwa yang mendorong seseorang melakukan perbuatan tertentu) karena motif adalah soal bathin yang tidak diperdulikan oleh hukum.
41
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, cet. VII, (Bandung: Sumur Bandung, 1973), h. 22-23. 42
H. Riduan Syahrani, Op.cit., h. 210.
43
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., h. 35. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
43
c. Perkataan sebab secara letterlijk berasal dari Bahasa Belanda yaitu oorzaak atau causa dalam Bahasa Latin yang menurut riwayatnya bahwa yang dimaksud dengan perkataan itu dalam perjanjian adalah tujuan yakni apa yang dimaksudkan oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian. Dengan perkataan lain sebab berarti isi perjanjian itu sendiri. d. Kemungkinan perjanjian tanpa sebab yang dibayangkan dalam Pasal 1335 KUHPerdata adalah suatu kemungkinan yang tidak akan terjadi, karena perjanjian itu sendiri adalah isi bukan tempat yang harus diisi. Menurut yurisprudensi yang ditafsirkan dengan “sebab” (causa) adalah isi atau maksud dari perjanjian. Syarat ini merupakan upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah pengawasan Hakim.44 Hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian bertentangan atau tidak dengan
undang-undang,
kesusilaan
dan
ketertiban
umum,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Selain itu, hakim mempunyai wewenang untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian supaya tidak bertentangan dengan rasa keadilan dan perjanjian dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip itikad baik, sebagaimana tersirat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat dengan sebab yang dilarang undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum tidak mempunyai kekuatan. Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh para pihak pembuat perjanjian
guna
melindungi
kepentingan
para
pihak
yang
bersangkutan sendiri dan melindungi kepentingan pihak ketiga dalam hal ini adalah masyarakat. Suatu perjanjian yang dibuat secara sah, adalah perjanjian yang mengikat dan akibat hukum dari adanya perikatan adalah para pihak 44
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., h. 106. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
44
yang membuat perjanjian menjadi terikat pada isi perjanjian dan juga kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang, hal ini diatur dalam Pasal 1338, Pasal 1339 jo Pasal 1340 KUHPerdata. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (good faith), hal ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Itikad baik sangat erat kaitannya dengan kepatutan atau keadilan dan ukuran itikad baik ini harus ada pada para pihak. Menurut Yurisprudensi (Arres HR 9 Februari 1923), unsur-unsur itikad baik dan kepatutan itu ada bila tidak melakukan segala sesuatu yang tidak masuk akal, sedangkan pendapat para ahli lainnya yang menganggap itikad baik dapat juga diterjemahkan atau diartikan sebagai kejujuran.45 Dalam Pasal 1339 KUHPerdata, menyatakan bahwa perjanjian tidak dapat mengikat untuk hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undangundang. Atas dasar unsur-unsur pada Pasal 1339 KUHPerdata dapat diketahui hal-hal yang mengikat para pihak perjanjian antara lain : a. Isi dari perjanjian itu sendiri; b. Kepatutan; c. Kebiasaan; dan d. Undang-undang.
2.2.4 Akibat Hukum Suatu Perjanjian 2.2.4.1 Perjanjian hanya berlaku di antara para pihak yang membuatnya Menurut ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 1338 KUHPerdata mengandung suatu asas yang dikenal dengan asas 45
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia Dan Common Law, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1993), h. 119-120. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
45
partij autonomie, yaitu semua orang mempunyai kebebasan (otonomi) untuk membuat perjanjian diantaranya. Selain itu istilah “secara sah” dalam Pasal 1338 KUHPerdata mengandung makna bahwa pembuatan perjanjian harus menurut hukum. Semua perjanjian/persetujuan yang dibuat menurut hukum atau dibuat secara sah sesuai Pasal 1320 KUHPerdata adalah mengikat pihakpihak sebagai undang-undang. Hal ini mengandung adanya asas kepastian hukum dalam hukum perjanjian. Oleh karena itu, dapat diuraikan adanya 3 (tiga) unsur akibat suatu perjanjian itu sah yaitu : a. Berlaku sebagai undang-undang Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat hanya berlaku di antara para pihak yang membuatnya. Hal ini berarti bahwa perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa
serta memberi
kepastian hukum kepada pihak-pihak yang membuatnya, dan para pihak harus mentaati perjanjian itu sama halnya dengan mentaati undang-undang. Jika ada pihak yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama melanggar undang-undang, sehingga diberi akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi siapa yang melanggar perjanjian, ia dapat dituntut dan diberi hukuman
seperti
yang
ditetapkan
dalam
undang-undang
(perjanjian). b. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak Oleh karena perjanjian merupakan persetujuan kedua belah pihak, maka jika akan ditarik kembali atau dibatalkan adalah wajar jika disetujui oleh kedua belah pihak pula, tetapi apabila ada alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak. c. Pelaksanaan dengan itikad baik (good faith) Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
46
dalam perjanjian mengacu pada kepatutan dan keadilan, sehingga dalam pelaksanaan perjanjian disyaratkan dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 1338 KUHPerdata adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, apakah pelaksanaan perjanjian itu mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan, apakah pelaksanaan perjanjian itu telah berjalan di atas rel yang benar, dengan melihat arti kepatutan yang mengandung arti kepantasan, kelayakan, kesesuaian, kecocokan, sedangkan kesusilaan, artinya kesopanan dan
keadaban. Dari arti
kata-kata ini
dapat
digambarkan, kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai “nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab” sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang berjanji.46 Itikad baik ini juga menegaskan bahwa suatu perjanjian yang dibuat hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan baik kepentingan debitor dan kreditor maupun pihak ketiga lainnya di luar perjanjian. Oleh karena itu, itikad baik harus selalu ada pada setiap pihak yang melakukan transaksi.
2.2.4.2
Kebatalan dalam Perjanjian
Dalam perjanjian konsensuil, keabsahannya ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang ditentukan oleh undangundang, dalam hal ini Pasal 1320 KUHPerdata. Jika suatu perjanjian yang dibuat tersebut tidak memenuhi salah satu atau lebih persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian terancam batal. Adapun kebatalan dalam perjanjian dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu berdasarkan alasan kebatalannya dan
46
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 235. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
47
berdasarkan sifat kebatalannya. Kebatalan yang berdasarkan alasan kebatalannya dapat dibedakan antara lain: 47 a. Perjanjian yang dapat dibatalkan Suatu perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan jika perjanjian tersebut dalam pelaksanaannya akan merugikan pihakpihak tertentu tidak hanya pihak dalam perjanjian tersebut, tetapi meliputi juga setiap individu yang merupakan pihak ketiga di luar para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini pembatalan tersebut dapat terjadi, baik sebelum maupun setelah perikatan yang lahir dari perjanjian itu dilaksanakan. Pembatalan perjanjian tersebut dapat dimintakan manakala tidak terpenuhinya syarat subyektif sahnya perjanjian, antara lain: 1) tidak telah terjadi kesepakatan bebas dari para pihak yang membuat perjanjian, baik karena telah terjadi kekhilafan, paksaan ataupun penipuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata. 2) salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 sampai dengan Pasal 1331 KUHPerdata dan atau tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu. b. Perjanjian yang batal demi hukum Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum, dalam pengertian tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya jika terjadi pelanggaran terhadap syarat obyektif dari sahnya suatu perjanjian. Keharusan akan adanya suatu hal tertentu yang menjadi obyek dalam perjanjian ini dirumuskan dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata. Tanpa adanya suatu obyek dalam perjanjian maka jelas perjanjian tidak pernah ada dan karenanya tidak pernah pula menerbitkan perikatan di antara para pihak. Selanjutnya diikuti dengan Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1336 47
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., h. 182-183. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
48
KUHPerdata yang mengatur mengenai rumusan sebab yang halal, yaitu sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dalam hal ini yang terpenting adalah pelaksanaan prestasi yang dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian, karena suatu causa yang halal tidaklah mudah ditemukan rumusnya dalam suatu perjanjian. Disamping ketidakpemenuhan syarat obyektif sahnya perjanjian, undang-undang juga merumuskan secara konkrit untuk tiap-tiap perbuatan hukum, terutama pada perjanjian formil, yang mensyaratkan dibentuknya perjanjian dalam bentuk
yang
ditentukan oleh undang-undang, yang jika tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut akan batal demi hukum, dengan pengertian bahwa perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.48 Sebagai contoh adalah Pasal 1687 KUHPerdata yang menegaskan bahwa hibah harus dibuat dengan akta notaris, dengan ancaman batal jika hibah tersebut tidak dibuat dengan akta notaris. Kebatalan yang berdasarkan sifat kebatalannya juga dapat dibedakan ke dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak. Suatu kebatalan disebut dengan relatif, jika kebatalan tersebut hanya berlaku terhadap individu orang perorangan tertentu saja, dan disebut juga dengan mutlak jika kebatalan tersebut berlaku umum terhadap seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali. Suatu perjanjian yang dapat dibatalkan dapat saja berlaku relatif atapun mutlak, meskipun tiap-tiap perjanjian yang batal demi hukum pasti berlaku mutlak.49 Di samping pemberlakuan kebatalan tersebut di atas, KUHPerdata juga mengatur ketentuan mengenai pengecualian pemberlakuan kebatalan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1341 ayat (2) KUHPerdata, yang melindungi hak-hak pihak ketiga yang telah 48
Ibid.
49
Ibid., h. 184. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
49
diperolehnya dengan itikad baik atas segala kebendaan yang menjadi pokok perjanjian yang batal tersebut.
2.3
Tinjauan Umum tentang Notaris Sebelum adanya ketentuan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pengertian Notaris diatur dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (Stb.1860:3), yang berbunyi sebagai berikut : “Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.” Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut. Dalam Pasal 1 tersebut terdapat hal penting yang tersirat, yaitu ketentuan dalam permulaan pasal tersebut, bahwa notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar), dimana kewenangannya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta-akta otentik.50 Bila rumusan pengertian Notaris dalam Peraturan Jabatan Notaris (untuk selanjutnya dalam tesis ini disebut PJN) dibandingkan dengan rumusan pengertian Notaris pada UUJN, rumusan UUJN sedikit berbeda dibandingkan dengan PJN, namun keduanya masih memiliki esensi yang sama tentang Notaris, yakni sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta. Terminologi wewenang (bevoegd) dalam PJN dan UUJN diperlukan karena berhubungan dengan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : 50
R. Soegondo Notodisoeryo, Op.cit., h. 42. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
50
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.” Sebagai pelaksanaan Pasal 1868 KUHPerdata tersebut, pembuat undangundang harus membuat peraturan perundang-undangan untuk menunjuk para pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Oleh karena itu, para Notaris ditunjuk sebagai pejabat yang demikian tersebut berdasarkan PJN dan UUJN.51 Pengertian Notaris sebagai pejabat umum satu-satunya yang berwenang membuat akta dalam rumusan PJN tidak lagi digunakan dalam UUJN. Penggunaan kata satu-satunya (uitsluitend) dalam rumusan PJN dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa untuk membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “pejabat umum“, dan Notaris adalah satu-satunya yang mempunyai wewenang umum itu, tidak turut pejabat lainnya. Semua pejabat lain hanya berwenang tidak lebih daripada pembuatan akta otentik yang secara tegas ditugaskan kepada mereka oleh undang-undang. Itulah sebabnya bahwa apabila di dalam peraturan perundang-undangan untuk suatu perbuatan hukum diharuskan adanya akta otentik maka hal itu hanya dapat dilakukan dengan suatu akta Notaris,
terkecuali
peraturan
perundang-undangan
yang ada
yang
menyatakan dengan tegas bahwa selain dari Notaris, juga pejabat umum lainnya turut berwenang atau sebagai satu-satunya yang berwenang untuk itu.52 Dalam UUJN, terminologi satu-satunya (uitsluitend) tidak lagi dicantumkan. Meskipun demikian pengertian Notaris tidak berubah secara radikal. Hal ini dikarenakan terminologi uitsluitend telah tercakup dalam penjelasan UUJN yang menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum
51
Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika, (Yogyakarta : UII Press, 2009), h. 14. 52
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., h. 34. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
51
yang berwenang membuat akta otentik tertentu, tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.53 Menurut Muchlis Patahna, Notaris adalah lembaga atau organ negara yang diberi wewenang untuk membuat akta otentik dan menyimpannya sebagai dokumen atau arsip negara.54 Menurut Paulus Effendi Lotulung, pengertian jabatan dan profesi itu berbeda. Kehadiran lembaga Notariat merupakan Beleidsregel dari Negara dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Dengan kata lain, Jabatan Notaris sengaja diciptakan Negara sebagai implementasi dari Negara dalam memberikan pelayanan kepada rakyat, khususnya dalam pembuatan alat bukti otentik yang diakui oleh Negara, sedangkan profesi lahir sebagai hasil interaksi diantara sesama anggota masyarakat, yang lahir dan dikembangkan dan diciptakan oleh masyarakat sendiri. 55 Pekerjaan yang dilimpahkan kepada seorang Notaris adalah sesuatu yang demikian berharga, sehingga harus dilaksanakan dengan sebaikbaiknya. Seorang notaris harus menjunjung tinggi tugas tersebut serta melaksanakan dengan tepat dan jujur serta bertindak menurut kebenaran sesuai dengan sumpah jabatan notaris, karena pekerjaan notaris tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dan juga notaris sebagai pejabat umum yang terpercaya yang akta-aktanya harus menjadi alat bukti yang sempurna apabila terjadi sengketa hukum di muka pengadilan. Notaris sebagai jabatan wajib bertindak profesional, baik profesional dalam pikiran maupun profesional dalam tindakan, dalam melaksanakan tugas jabatannya sesuai dengan standar jabatan yang diatur dalam UUJN, yaitu memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Perlu juga dipahami bahwa yang profesional bukan hanya harus 53
Ghofur, Op.cit., h. 15.
54
Muchlis Patahna dan Joko Purwanto, Notaris Bicara Soal Kenegaraan, (Jakarta: Watampone Press, 2003), h. 262. 55
Paulus Effendi Lotulung, “Perlindungan Hukum Bagi Notaris Selaku Pejabat Umum Dalam Menjalankan Tugasnya,” (makalah disampaikan pada Kongres dan Upgrading-Refreshing Course Ikatan Notaris Inonesia, Bandung, 23 Januari 2003), h. 2. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
52
dilakukan oleh suatu profesi. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Notaris di Indonesia adalah suatu jabatan, bukan merupakan suatu profesi. Menurut Habib Adjie, jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh suatu aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini, mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat. Atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu, Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya. Dengan demikian, Notaris merupakan suatu jabatan publik yang mempunyai karakteristik, yaitu:56 a. Sebagai jabatan. UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu. Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya, sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) UUJN.
56
Habib Adjie, Op.cit.,h. 15. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
53
c. Diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, dalam hal ini Menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh Menteri tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) yang mengangkatnya yaitu Menteri. Dengan demikian, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya : a. Bersifat mandiri (autonomous); b. Tidak memihak siapa pun (impartial); c. Tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya ataupun oleh pihak lain. d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya meskipun Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu. e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum berupa akta otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat. Pada dasarnya, masyarakat dapat menggugat Notaris secara perdata dan menuntut biaya, ganti rugi dan bunga, jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat. Selain dari sifat-sifat yang disebutkan di atas sebagai Pejabat Umum yang diangkat oleh Pemerintah, dalam diri Notaris juga melekat
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
54
asas-asas Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang dikenal dengan asas-asas sebagai berikut:57 a. Asas Persamaan; Notaris tidak boleh membeda-bedakan masyarakat yang meminta untuk dibuatkan akta berdasarkan status sosial dan status lainnya. b. Asas kepercayaan; Jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan yang harus selaras dengan mereka yang menjalankan tugas jabatan Notaris sebagai orang yang dipercaya. Antara Jabatan Notaris dan Pejabatnya yaitu yang menjalankan tugas jabatan Notaris harus sejalan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, Notaris mempunyai kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya
dan
segala
keterangan
yang diperoleh
guna
pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain, bahwa Notaris tidak wajib merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan yang berkaitan dengan akta tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN. Dengan demikian batasannya hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan Notaris untuk membuka rahasia isi akta dan keterangan/pernyataan yang diketahui oleh Notaris yang berkaitan dengan pembuatan akta yang dimaksud. Sumpah/janji sebagai Notaris mengandung makna yang sangat dalam yang harus dijalankan dan mengikat selama menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris. Sumpah atau janji tersebut mengandung dua hal yang harus dipahami, yaitu : 1) Notaris wajib bertanggung jawab kepada Tuhan, karena sumpah atau janji yang diucapkan berdasarkan agama masing-masing, dengan demikian artinya segala sesuatu yang 57
Habib Adjie, Op.cit., h. 33. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
55
dilakukan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya akan diminta
pertanggungjawabannya
dalam
bentuk
yang
dikehendaki Tuhan; 2) Notaris wajib bertanggung jawab kepada Negara dan masyarakat, artinya Negara telah memberi kepercayaan untuk menjalankan sebagian tugas Negara dalam bidang Hukum Perdata, yaitu dalam pembuatan alat bukti berupa akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, dan kepada masyarakat yang telah percaya bahwa Notaris mampu memformulasikan kehendaknya ke dalam bentuk akta Notaris, dan percaya bahwa Notaris mampu merahasiakan segala keterangan atau ucapan yang diberikan di hadapan Notaris. c. Asas kepastian hukum; Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman secara normatif kepada aturan hukum yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil untuk kemudian dituangkan dalam akta. Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku akan memberikan kepastian hukum kepada para pihak, bahwa akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, sehingga jika terjadi permasalahan, akta Notaris dapat dijadikan pedoman oleh para pihak. d. Asas kecermatan; Notaris dalam mengambil suatu tindakan harus dipersiapkan dan didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepada Notaris dan mendengarkan keterangan atau pernyataan para pihak wajib dilakukan sebagai bahan dasar untuk dituangkan dalam akta. Asas kecermatan ini merupakan penerapan dari Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN, yaitu dalam menjalankan tugas jabatannya wajib bertindak seksama.
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
56
e. Asas pemberian alasan; Setiap akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris harus mempunyai alasan dan fakta yang mendukung untuk akta yang bersangkutan atau mempunyai pertimbangan hukum yang harus dijelaskan kepada para pihak/penghadap. f. Larangan penyalahgunaan wewenang; Pasal 15 UUJN merupakan batas kewenangan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Penyalahgunaan wewenang yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh Notaris di luar dari wewenang yang telah ditentukan. Jika Notaris membuat suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka tindakan Notaris dapat disebut sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. Jika tindakan tersebut juga merugikan para pihak maka para pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. g. Larangan bertindak sewenang-wenang; Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dapat menentukan tindakan para pihak dapat dituangkan dalam bentuk akta Notaris atau tidak. Sebelum sampai pada keputusan seperti itu, Notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang diperlihatkan kepada Notaris. Keputusan yang diambil harus berdasarkan pada alasan hukum yang harus dijelaskan kepada para pihak. h. Asas proporsionalitas; Dalam pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib menjaga kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum atau dalam menjalankan tugas jabatannya Notaris wajib mengutamakan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak yang menghadap Notaris.
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
57
i. Asas profesionalitas. Dalam pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN, Notaris wajib memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UUJN, kecuali ada alasan untuk menolaknya. Asas ini mengutamakan keahlian
(keilmuan)
Notaris
dalam
menjalankan
tugas
jabatannya berdasarkan UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris. Tindakan
profesional
Notaris
dalam
menjalankan
tugas
jabatannya diwujudkan dalam melayani masyarakat dengan membuatkan akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, Notaris harus bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri berarti Notaris yang bersangkutan bekerja karena integritas moral,
intelektual dan profesional
sebagai
bagian dari
kehidupannya. Dalam memberikan pelayanannya, seorang Notaris akan selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya.58 Bertanggung jawab kepada masyarakat mengandung arti kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin sesuai dengan profesinya, sehingga menghasilkan layanan yang bermutu yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif hanya untuk mencari keuntungan, melainkan juga dalam rangka pengabdian kepada sesama manusia. Dalam arti luas, bertanggung jawab berarti berani menanggug segala resiko yang timbul akibat pelayanan yang telah diberikannya tersebut.
2.3.1 Penghadap sebagai Pihak dalam Akta Notaris Pembuat
akta
adalah
orang
atau
para
pihak
yang
menyatakan/berjanji tentang sesuatu dan meminta kepada Notaris untuk menuangkannya ke dalam suatu akta, yang lebih dikenal dengan istilah penghadap. Pasal 39 ayat (2) UUJN menegaskan bahwa penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan 58
Abdulkadir Muhammad, Op.cit., h. 60. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
58
kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal. Dalam berbagai akta Notaris banyak digunakan kata untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan datang kepada Notaris atas kemauannya sendiri, misalnya
kata
“menghadap”
atau
“telah
menghadap”
atau
“berhadapan” atau “telah hadir di hadapan”. Bahwa yang dimaksud sebenarnya yang bersangkutan adalah kehadiran yang nyata (verschijnen)
secara
fisik
atau
digunakan
kata
menghadap
terjemahan dari verschijnen, yang berarti datang menghadap yang dimaksudkan dalam arti yuridisnya adalah kehadiran nyata. Yang dimaksud dengan penghadap itu adalah mereka yang datang sengaja menghadap kepada Notaris, jadi orang yang diwakili umpamanya bukanlah penghadap.59 Yang dimaksud dengan “para penghadap” dalam Pasal 24 P.J.N. hanya mereka yang datang menghadap kepada Notaris untuk pembuatan akta itu, bukan mereka yang diwakili dalam akta itu, baik yang diwakili secara lisan maupun secara tertulis ataupun dalam kedudukan atau jabatan.60 Identitas dari para penghadap harus dikenal oleh notaris, sebab jika tidak, mungkin terjadi pemalsuan mengenai diri seseorang dihadapan notaris, dan hal ini dapat berakibat bahwa sesuatu akta notaris menjadi batal. Misalnya, seseorang mengaku dirinya bernama A, padahal ia sesungguhnya bernama B, membuat suatu akta jual beli dihadapan notaris, dimana ia bertindak sebagai penjual, dan oleh karena itu terjadilan suatu penipuan (bedrog). Ataupun notaris mengira bahwa ia berhadapan dengan A, tetapi yang dihadapinya ialah B, sehingga terjadilah suatu kekeliruan (dwaling). Dalam halhal tersebut di atas, maka perjanjian yang dibuat dihadapan Notaris adalah dapat dibatalkan, sebagaimana diatur pula dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Oleh karena itu, dikenalinya identitas penghadap oleh notaris adalah syarat mutlak untuk sahnya suatu akta. Dalam hal identitas itu tidak dikenal oleh Notaris, maka penghadap harus 59
A.Kohar, Op.cit., h. 39.
60
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., h. 177. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
59
diperkenalkan oleh 2 (dua) orang saksi yang fungsinya semata-mata hanya memperkenalkan identitas dari penghadap kepada Notaris. Mereka ini bukan saksi instrumentair dalam akta, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 dan 23 Peraturan Jabatan Notaris, melainkan mereka itu adalah saksi-saksi pengenal atau saksi-saksi atestasi (atesterende getuigen).61 Pengertian dikenal bukan dalam arti kenal akrab, misalnya sebagai teman atau sudah kenal lama, kalaupun para penghadap sudah dikenal sebelumnya oleh Notaris hal ini merupakan nilai tambah untuk Notaris saja, tetapi kenal yang dimaksud dalam arti yuridis, artinya ada kesesuaian antara nama dan alamat yang disebutkan oleh orang yang bersangkutan dihadapan Notaris dan juga dengan alat-alat bukti atau identitas atas dirinya yang diperlihatkan kepada Notaris. Mengenal juga berarti penunjukkan orang dalam akta harus sama dengan penunjukkannya, yang dengannya ia dapat dibedakan dan diindividualisasi dari orang-orang dalam masyarakat. Kenal tersebut tidak terbatas seperti tersebut diatas, tetapi juga harus diperhatikan bahwa yang bersangkutan mempunyai wewenang untuk melakukan suatu tindakan hukum yang akan disebutkan dalam akta. Dalam kalimat yang sederhana kenal tersebut dalam hubungannya membuat akta dan yang bersangkutan datang ke hadapan Notaris.62 Pada pengertian pertama sebagaimana diuraikan diatas, penghadap secara langsung dikenal oleh Notaris, Notaris dapat melakukan pengenalan dengan cara penghadap diperkenalkan kepadanya (Notaris) oleh 2 (dua) orang saksi pengenal. Cara pengenal seperti itu perlu diatur dalam UUJN karena Notaris tidak mungkin mengenal setiap orang yang datang kepadanya, akan tetapi hal ini tidak boleh menyebabkan, bahwa seseorang yang tidak dikenal Notaris, tidak dapat membuat akta (otentik) dihadapan 61
R. Soegondo Notodisoerjo, Op.cit., h. 148.
62
Ibid., h. 172. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
60
Notaris. Untuk kepentingan masyarakat umum harus diciptakan kemungkinan bahwa Notaris sekalipun ia tidak mengenal orang yang datang menghadap kepadanya untuk membuat akta tetap dapat membuat akta otentik. Apabila kemungkinan sedemikian tidak ada, maka sudah barang tentu Notaris akan menolak permintaan seseorang yang tidak dikenalnya untuk membuat sesuatu akta. Itu pulalah sebabnya pembuat undang-undang memberikan jalan dengan cara memperkenalkan (bekenmaking) para penghadap oleh 2 (dua) orang saksi, yang mana dapat dikatakan sebagai pengganti (surrogaat) dari pengenalan (bekendheid).63 Dalam perspektif yang lain, bahwa cara pengenalan seperti tersebut diatas dilakukan karena ketiadaan atau kekurangan atau ketidakjelasan alat bukti berupa identitas para penghadap, dan juga kekurangjelasan kewenangan yang bersangkutan untuk melakukan suatu tindakan hukum dihadapan Notaris, sehingga tidak ada keraguan untuk membuat akta Notaris atas permintaan para penghadap tersebut, dan saksi pengenal tersebut akan turut bertanggungjawab terhadap identitas dan kewenangan penghadap yang diperkenalkannya. Salah satu kewajiban Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i UUJN, yaitu membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikti 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris, dalam penjelasannya ditegaskan bahwa Notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani akta dihadapan penghadap dan saksi. Substansi pasal tersebut bila dikaitkan dengan Pasal 39 ayat (2) dan (3) UUJN, menegaskan bahwa Notaris harus mengenal para penghadap, dan pengenalan tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam akta dan demikian pula halnya pengenalan untuk saksipun disebutkan dalam Pasal 40 ayat (3) dan (4) UUJN. Substansi pasal-pasal tersebut baik para penghadap dan para saksi harus dikenal Notaris berdasarkan 63
Ibid., h. 179-180. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
61
identitasnya yang diperlihatkan kepada Notaris, dan berada pada tempat yang sama pada saat itu juga serta hadir secara fisik, baik para saksi, penghadap maupun Notaris.
2.3.2 Tugas, Kewenangan dan Larangan Notaris Seorang Notaris mempunyai tugas dan kewenangan yang harus dipatuhi. Tugas Notaris yang utama dan pada pokoknya adalah membuat akta-akta otentik yang berfungsi sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh yang mempunyai peranan penting dalam hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam pembuatan aktaakta otentik tersebut, Notaris mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu melayani kepentingan umum terutama dalam hal pelayanan hukum pembuatan akta-akta otentik mengenai hubungan keperdataan yang terjadi diantara mereka. Seorang Notaris dalam menjalankan tugasnya selain harus memiliki pengetahuan secara teoritis dan pengalaman secara teknis, juga harus ditambah memiliki tanggung jawab etika hukum yang tinggi berupa nilai atau ukuran-ukuran etika, penghayatan terhadap keluhuran dan tugas jabatannya, serta integritas dan moral yang baik. Sumpah jabatan Notaris juga menyebutkan bahwa seorang Notaris haruslah menjalankan jabatannya dengan jujur, seksama, dan tidak memihak. Seorang Notaris juga harus patuh dan taat terhadap semua peraturan-peraturan dan nilai moral bagi jabatan Notaris yang sedang berlaku atau akan diadakan. Hal ini berarti bahwa seorang Notaris harus tetap memperhatikan seluruh peraturan perundangundangan yang ada dan masih berlaku di Indonesia agar dapat menyesuaikan dengan akta yang dibuatnya tersebut. Oleh karena itu, Notaris dapat menghindari kesalahan-kesalahan yang mungkin dapat terjadi karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan dapat mengakibatkan hilangnya keotentisitasan akta yang dibuatnya.
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
62
Notaris diwajibkan memberikan penyuluhan dan nasehat hukum serta memberikan penjelasan mengenai peraturan perundangundangan yang berlaku kepada pihak yang datang kepadanya. Hal ini berarti bahwa sebelum para pihak menuangkan kehendaknya dalam akta, Notaris harus terlebih dahulu memberikan nasihat seperlunya kepada para pihak, antara lain mengenai siapa yang boleh menurut hukum sehubungan dengan akta yang hendak dibuatnya, serta apa yang harus dilengkapi untuk keperluan pembuatan akta tersebut dan lain sebagainya.64 Wewenang atau sering pula ditulis dengan istilah kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan. Dengan demikian, setiap wewenang ada batasannya sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Wewenang Notaris terbatas sebagaimana peraturan perundangundangan yang mengatur jabatan Pejabat yang bersangkutan, dalam hal ini UUJN. Wewenang yang diperoleh suatu jabatan mempunyai sumber asalnya. Dalam Hukum Administrasi, wewenang bisa diperoleh secara Atribusi, Delegasi atau Mandat.65 Penjelasan lebih lanjut menyebutkan bahwa wewenang secara Atribusi adalah pemberian wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Wewenang secara Delegasi merupakan pemindahan/ pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Mandat sebenarnya bukan pengalihan
atau
pemindahan
wewenang,
tapi
karena
yang
berkompeten berhalangan. Berdasarkan
UUJN,
Notaris
sebagai
Pejabat
Umum
memperoleh wewenang secara Atribusi, karena wewenang tersebut 64
A.Kohar, Op.cit., h. 27.
65
Habib Adjie, Op.cit., h. 77. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
63
diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi, wewenang yang diperoleh Notaris bukan berasal dari lembaga lain, misalnya Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Setiap wewenang harus ada dasar hukumnya, sehingga jika seorang Pejabat melakukan tindakan di luar wewenang disebut sebagai perbuatan melanggar hukum.66 Notaris mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik, yang merupakan bukti tertulis mengenai perbuatan hukum para pihak dalam bidang hukum perdata. Otentisitas dari akta notaris bersumber dari Pasal 1 angka 1 UUJN, yaitu akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya selaku pejabat umum memperoleh sifat akta otentik, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Dalam Pasal 1 angka (7) UUJN menyebutkan bahwa, “Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.” Jadi, suatu akta yang hendak memperoleh stempel otentisitas, harus memenuhi ketiga unsur, yaitu: a. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang c. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. Menurut Habib Adjie, kewenangan Notaris tersebut dalam pasal 15 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUJN dapat dibagi menjadi: a. Kewenangan Umum Notaris Dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN menyebutkan suatu kewenangan Notaris yakni Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan
oleh
peraturan
perundang-undangan
dan/atau
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam 66
Ibid., h. 78. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
64
akta otentik. Pasal tersebut juga menegaskan bahwa salah satu kewenangan Notaris, yaitu membuat akta secara umum.67 Hal ini disebut sebagai Kewenangan Umum Notaris, dengan batasan sepanjang : 1) Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang; 2) Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan; 3) Mengenai subyek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan. Wewenang Notaris adalah membuat akta, bukan membuat surat, seperti surat pada umumnya atau membuat surat lain, mengenai semua perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. b. Kewenangan Khusus Notaris Kewenangan khusus ini diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN. Selain itu, Notaris juga berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis atau kesalahan ketik yang terdapat dalam Minuta akta yang telah ditandatangani, dengan cara membuat Berita Acara Pembetulan, dan Salinan atas Berita Acara Pembetulan tersebut wajib disampaikan oleh Notaris kepada para pihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UUJN. c. Kewenangan Notaris yang Akan Ditentukan Kemudian Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan 67
Menurut Lubbers, bahwa Notaris tidak hanya mencatat saja (ke dalam bentuk akta), tapi juga mencatat dan menjaga, artinya mencatat saja tidak cukup, harus dipikirkan juga bahwa akta itu harus berguna di kemudian hari jika terjadi keadaan yang khas. Lubbers dalam Tan Thong Kie, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 452. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
65
datang kemudian (ius constituendum). Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika Notaris melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka produk atau akta Notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan
(nonexecutable),
dan
mereka
yang
merasa
dirugikan oleh tindakan Notaris di luar wewenang tersebut dapat menggugat Notaris secara perdata ke Pengadilan Negeri. Wewenang Notaris yang akan ditentukan kemudian merupakan wewenang yang akan muncul dan akan ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan ini perlu diberikan batasan
mengenai
peraturan
perundang-undangan
yang
dimaksud. Batasan perundang-undangan dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang tersebut ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum termasuk semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Berdasarkan uraian di atas, kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian tersebut dalam peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh lembaga Negara (Pemerintah bersama-sama
dengan
Dewan
Perwakilan
Rakyat)
akan
mengikat secara umum. Tugas utama seorang notaris selaku pejabat umum adalah membuat akta. Adapun akta yang dibuat oleh Notaris dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :68 a. Akta yang dibuat “oleh” (door) Notaris atau yang dinamakan pula “akta relaas” ataupun “akta pejabat” (ambetelijke akten), yaitu misalnya berupa berita acara rapat umum pemegang saham dalam Perseroan Terbatas dimana Notaris dalam aktanya menerangkan mengenai segala sesuatu yang ia lihat, ia dengar, 68
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., h. 51-52. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
66
dan dialaminya dalam rapat dengan dituangkan ke dalam akta yang dibuatnya. Dalam hal ini, Notaris bersifat aktif dalam pengertian bahwa Notaris tersebut harus menuliskan segala sesuatu apa yang ia lihat dan dengar, serta diputuskan dalam rapat atau yang dikenal dengan risalah rapat. b. Akta yang dibuat “dihadapan” (ten overstaan) Notaris atau yang dikenal dengan “akta partij” (partij akten). Misalnya akta kerja sama, akta sewa menyewa. Dimana di dalam akta ini dicantumkan secara jelas mengenai keterangan-keterangan mengenai apa yang hendak mereka cantumkan dalam akta dari para pihak yang hadir dihadapan Notaris yang bertindak sebagai pihak-pihak dalam akta tersebut. Para pihak dalam akta bersifat aktif, artinya bahwa akta itu tidak dibuat oleh Notaris melainkan berdasarkan kesepakatan para pihak sendiri mengenai yang akan dimasukkan ke dalam akta tersebut dan Notaris hanya membantu mengkonstantir keterangan-keterangan dari para pihak untuk disusun dalam bentuk akta. Akta otentik sebagai alat bukti tertulis dalam hal-hal tertentu, merupakan bukti yang kuat (lengkap) bagi pihak-pihak yang bersangkutan, mereka yang menandatangani suatu akta bertanggung jawab dan terikat akan isi akta.69 Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya. Jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan Notaris. Pada dasarnya suatu akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu antara lain :70 69
Komar Andasasmita, Op.cit., h. 47.
70
Ibid., h. 55. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
67
a. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijksracht). Kekuatan pembuktian lahiriah adalah kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik, sehingga apabila suatu akta yang kelihatannya sebagai akta otentik artinya menandakan dirinya dari luar, ataupun katakatanya sebagai yang berasal dari seorang pejabat umum, maka terhadap setiap orang haruslah dianggap sebagai akta otentik, sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Hal ini berbeda dengan akta di bawah tangan, dimana baru berlaku sah apabila berasal dari orang terhadap siapa akta itu dipergunakan dan pihak-pihak yang menandatangani akta tersebut telah mengakui kebenaran dari tanda tangannya tersebut. b. Kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht) Kekuatan pembuktian formal dimaksudkan bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu, bahwa apa yang tercantum dalam akta itu merupakan hal yang benar karena telah disaksikan sendiri oleh pejabat (notaris) yang bersangkutan dalam menjalankan jabatannya. c. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht) Maksud dari kekuatan pembuktian material adalah bahwa apa yang tercantum dalam akta merupakan keterangan yang sebenarnya karena telah dibuktikan dalam isi yang terkandung dalam akta. Notaris menerima keterangan dan menjamin keterangan yang diberikan penghadap sebagai suatu keterangan yang benar dan keterangan tersebut dibuktikan dalam suatu isi atau materi akta tersebut. Seorang notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dalam membuat akta otentik membutuhkan tingkat kecermatan yang memadai karena berkaitan dengan setiap kata yang dibuat dalam akta yang harus terjamin otentisitasnya. Ketentuan mengenai keharusan bertindak cermat ini diatur dalam beberapa pasal UUJN, antara lain : a. Cermat dalam mengenal para penghadap. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
68
Pasal 39 ayat (2) UUJN menegaskan bahwa para penghadap harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk memberikan kesaksian di muka pengadilan. Notaris dalam memperoleh keterangan-keterangan tentang pengenalan itu, diharuskan untuk dapat memperoleh keterangan-keterangan dari orang yang dikenalnya dan dapat dipercayainya, Notaris dapat melihat identitas seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Paspor dan suratsurat lain dari orang-orang yang bersangkutan, meminta informasi lainnya dan masih banyak cara lain bagi Notaris untuk meyakinkan dirinya bahwa orang yang datang menghadap kepadanya itu benar-benar adalah sama dengan orang yang namanya dicantumkan dalam kartu identitasnya, termasuk dalam aktanya sebagaimana orang itu juga dikenal dalam masyarakat. b. Cermat dalam menyerap maksud dan tujuan dari keterangan para pihak. Para penghadap harus menghadap secara bersama-sama untuk mengutarakan maksud dan tujuan para pihak, dengan tujuan untuk dibuatkan akta. Dalam prakteknya, mungkin yang memberikan keterangan kepada Notaris hanya salah satu dari para penghadap, akan tetapi para penghadap dapat menyimak secara langsung dan memiliki kesempatan dalam meluruskan atau menyangkal terhadap hal-hal yang dianggap menyimpang atau merugikan dirinya dari kesepakatan semula atau menolak terhadap hal-hal yang tidak disetujuinya. Jika di antara para pihak ada yang tidak hadir dan memberikan kuasa kepada pihak yang hadir, maka surat kuasa itu sendiri harus menunjukkan tentang hal-hal yang disepakati untuk dibuatkan aktanya. Dengan demikian, Notaris dapat mengambil sikap untuk tidak menerima keinginan, maksud dan tujuan para pihak yang hadir, jika menyimpang atau bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberi kuasa. Notaris mempunyai hak dan kewajiban untuk Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
69
mengingatkan atau menolak dimasukkannya keinginan, maksud dan tujuan para penghadap, jika hal itu bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Notaris dapat juga memberikan saran-saran, jika terjadi perbedaan pendapat di antara para pihak dengan memberikan masukan kepada mereka tentang bagaimana seharusnya permasalahan itu ditempatkan berlandaskan kepada peraturan perundang-undangan. c. Cermat dalam penulisan akta. Hal ini diatur secara terperinci dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 UUJN dengan sanksi kehilangan otensitas akta yang dibuat atau hukuman denda berupa penggantian biaya, ganti rugi serta bunga kepada Notaris. Pasal-pasal tersebut antara lain mengatur tentang : 1) Pengaturan pembuatan akta, kecermatan dan bahasa. 2) Keharusan untuk menjelaskan dalam akta, jika salah satu dari para pengahadap tidak bersedia membubuhkan tandatangan pada akta. 3) Tata cara perubahan, tambahan dan pencoretan. d. Cermat dalam pendataan, pengarsipan dan laporan. Pendataan, pengarsipan dan laporan ini mengatur juga tentang penyimpanan,
pengambilalihan
minuta,
daftar-daftar
dan
reportorium dalam hal Notaris meninggal dunia, pensiun, diangkat sebagai pejabat negara dan/atau diberhentikan atau pindah wilayah yang terdiri dari Pasal 58 sampai dengan Pasal 66 UUJN. e. Cermat dalam penyerahan Grosse, Salinan dan Kutipan Penyerahan suatu grosse hanya boleh dilakukan oleh Notaris kepada pihak yang berkepentingan, meskipun dalam suatu akta grosse telah diuraikan dengan jelas dan akurat tentang siapa yang berkepentingan, dan untuk apa akta tersebut dibuat, tetapi jika terjadi kesalahan penyerahan grosse, salinan dan kutipan kepada pihak yang tidak berkepentingan akan berisiko terjadinya Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
70
penyalahgunaan serta tidak terjaminnya kerahasiaan atas akta tersebut yang wajib dijunjung tinggi oleh Notaris. Tegasnya notaris harus menghindari sejauh mungkin suatu perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan para pihak, karena kurang cermat atau lalai, terlebih lagi karena kesalahan yang disengaja. Dalam menjalankan tugas jabatannya, Notaris juga memikul tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUJN yang wajib dipenuhi. Dalam pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN, terdapat alasan yang mengakibatkan Notaris untuk menolak pembuatan akta, antara lain:71 a. Apabila Notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya, berhalangan karena fisiknya; b. Apabila Notaris tidak ada karena dalam masa cuti; c. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat suatu akta, tidak diserahkan kepada Notaris; d. Apabila penghadap atau saksi instrumentair yang diajukan oleh penghadap tidak dikenal oleh Notaris atau tidak diperkenalkan kepadanya; e. Apabila karena pemberian jasa tersebut, Notaris melanggar sumpah jabatannya atau melakukan perbuatan melanggar hukum; f. Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa Notaris membuat akta dalam bahasa yang tidak dikuasai olehnya, atau apabila orangorang yang menghadap berbicara dengan bahasa yang tidak jelas, sehingga Notaris tidak mengerti apa yang dikehendaki mereka. Dalam pasal 17 UUJN disebutkan bahwa dalam menjalankan kewenangannya, Notaris dibatasi oleh berbagai larangan, yaitu bahwa Notaris dilarang : a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
71
R.Soegondo Notodisoerjo, Op.cit., h. 97-98. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
71
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; c. Merangkap sebagai pegawai negeri; d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. Merangkap jabatan sebagai advokat; f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta; g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah diluar wilayah jabatan Notaris; h. Menjadi Notaris Pengganti; i. Melakukan pekerjaaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Terkait pembuatan akta, Notaris tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat khususnya kepada orang yang mendatangi seorang Notaris untuk meminta dibuatkan suatu akta otentik perihal yang dikehendakinya.
2.3.3 Daerah Jabatan Notaris Daerah jabatan Notaris adalah daerah kerja Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya. Notaris hanya bisa menjalankan tugas dan jabatannya di daerah hukum yang telah ditentukan kepadanya dan hanya di daerah itulah Notaris berwenang untuk memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat khususnya dalam pembuatan akta otentik. Setiap Notaris harus ditentukan daerah jabatannya agar Notaris terjamin dalam melaksanakan pelayanan jabatannya di lingkungan yang telah ditetapkan dan juga agar para masyarakat yang membutuhkan pelayanan Notaris dapat lebih mudah untuk menjumpai Notaris yang mereka inginkan baik pada waktu siang maupun pada waktu malam hari, dan di samping itu untuk mencegah Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
72
terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan para Notaris. Mengenai ruang lingkup kerja notaris diatur dalam Pasal 18, Pasal 19 dan Pasal 20 UUJN. Dalam Pasal 17 butir a UUJN, Notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. Apabila Notaris membuat akta di luar daerah jabatannya, maka akta tersebut hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1869 KUHPerdata, yaitu: “Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh kedua belah pihak”. Akan tetapi ada kalanya Notaris dapat juga membuat akta di luar daerah jabatannya, antara lain seperti yang dimaksud dalam pasal 942 jo Pasal 937 KUHPerdata. Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal
tersebut
di
atas
mengharuskan
Notaris
untuk
menjalankan jabatannya di luar daerahnya. Penyerahan surat wasiat rahasia atau surat olografis tertutup untuk dibuka oleh Balai Harta Peninggalan termasuk dalam tugas jabatan Notaris (notariele ambisbediening) dan penyerahan surat-surat wasiat sedemikian menurut Pasal 942 KUHPerdata harus dilakukan kepada Balai Harta Peninggalan di dalam daerah siapa warisan itu terbuka. Apabila Balai Harta Peninggalan yang akan melakukan pembukaan surat wasiat itu dan pembuatan berita acara penyerahannya tidak berkedudukan dalam daerah tempat Notaris menjalankan jabatannya, maka untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 942 jo 937 KUHPerdata, Notaris terpaksa dalam hal tersebut menjalankan jabatannya di luar daerahnya. Dengan demikian pasal ini merupakan pengecualian dari ketentuan dalam Pasal 17 juncto Pasal 19 UUJN.
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
73
2.3.4 Pengaturan Pembuatan Akta Notaris Akta Notaris merupakan akta otentik sehingga pembuatannya tidak boleh dilakukan secara sembarang. Dalam Undang-undang Jabatan Notaris, mengenai pembuatan akta Notaris diatur secara khusus dalam Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44 UUJN. Akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris bentuknya sudah ditentukan dalam pasal 38 UUJN, bahwa setiap akta notaris terdiri atas: a. Awal akta atau kepala akta memuat judul akta; nomor akta; Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan Nama lengkap dan kedudukan notaris; b. Badan akta memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; Keterangan mengenai kedudukan bertindak menghadap; Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pada para pihak tang berkepentingan; dan Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir serta pekerjaan , jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal; dan c. Akhir atau penutup akta memuat uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7) UUJN; uraian tentang penandatangan dan tempat penandatangan atau penerjemahan akta bila ada; nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal tiap-tiap saksi akta; dan uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian. Salah satu bagian akta notaris yang mempunyai peranan penting adalah mengenai komparisi. Perkataan komparisi berasal dari bahasa Belanda comparitie yang berarti verschijning van partijen atau tindakan menghadap dalam hukum atau dihadapan pejabat umum, seperti Notaris dan openbaar ambtenaar lainnya. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
74
Dalam dunia notariat perkataan ”komparisi” mengandung arti yang lebih luas. Komparisi tidak hanya persoalan apakah orang yang menghadap itu mempunyai kecakapan bertindak (rechtsbekwaam), tetapi juga apakah dia mempunyai hak untuk melakukan tindakan (rechtsbevoegd) mengenai soal yang dinyatakan (geconstateerd) dalam surat akta.72 Komparisi ini merupakan salah satu bagian yang penting sekali dari suatu akta notaris atau akta pejabat lainnya, karena sah atau batalnya akta otentik itu antara lain tergantung pada benar atau tidaknya komparisi yang bersangkutan. Komparisi (comparitie: verschijning van partijen, menghadap) merupakan bagian suatu akta yang menyebutkan nama-nama para pihak yang membuat perjanjian, lengkap dengan penyebutan pekerjaan dan identitas serta tempat tinggal yang bersangkutan. Identitas di sini bukan dalam arti jati diri yang menyebutkan ciri-ciri khusus seseorang, melainkan mengenai pekerjaan, tempat tinggal dan biasanya juga mencakup kewenangan para pihak sehingga yang bersangkutan berhak melakukan tindakan hukum sebagaimana dinyatakan dalam akta.
2.3.5 Sanksi terhadap Notaris Berkaitan dengan Akta yang Dibuatnya Sanksi pada hakikatnya merupakan instrumen yuridis yang biasanya diberikan apabila kewajiban-kewajiban atau laranganlarangan yang ada dalam suatu ketentuan hukum telah dilanggar. Hakikat sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum untuk memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan yang telah dilakukannya tersebut tidak sesuai dengan suatu aturan hukum yang berlaku, dan untuk mengembalikan pihak yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, guna menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan hukum.
72
Tan Thong Kie, Op. cit., h. 50. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
75
Sanksi yang ditujukan terhadap Notaris adalah sebagai upaya penyadaran, bahwa Notaris dalam melakukan tugas jabatannya telah melanggar ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan tugas jabatan Notaris sebagaimana tercantum secara tegas dalam UUJN, dan untuk mengembalikan tindakan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya untuk tertib sesuai dengan UUJN. Pemberian sanksi terhadap Notaris bertujuan untuk melindungi masyarakat dari tindakan Notaris khususnya dalam menjalankan tugas jabatannya yang dapat merugikan masyarakat. Sanksi tersebut bertujuan pula untuk menjaga kehormatan dan martabat lembaga Notaris sebagai lembaga kepercayaan, karena jika Notaris melakukan pelanggaran tentunya dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Notaris itu sendiri. Adapun sanksi terhadap Notaris diatur pada bagian akhir UUJN, yaitu pada Pasal 84 dan Pasal 85 UUJN. Pasal 84 UUJN menegaskan
jika
Notaris
melanggar
ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i dan k, pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52, maka akta yang dibuat oleh Notaris yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan ataupun bahkan suatu akta menjadi batal demi hukum, dan hal tersebut dapat dijadikan alasan bagi para penghadap yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. Tuntutan para pihak terhadap Notaris tersebut berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga merupakan akibat yang akan diterima Notaris jika akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum. Sanksi untuk memberikan ganti rugi, biaya dan bunga seperti dalam Pasal 84 UUJN dapat dikategorikan sebagai sanksi perdata. Pasal 85 UUJN menegaskan jika Notaris melanggar ketentuan Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a sampai dengan k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59 Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
76
dan/atau Pasal 63 UUJN maka Notaris dapat dijatuhi sanksi berupa: teguran
lisan;
teguran
tertulis;
pemberhentian
sementara;
pemberhentian dengan hormat; dan pemberhentian tidak hormat.
2.4
Perbuatan Hukum oleh Pihak yang Terkait Perkara Pidana Melalui Akta Notaris 2.4.1 Putusan
Mahkamah
Agung
Republik
Indonesia
Nomor:
3641K/PDT/2001 MADEOKA MASAGUNG selaku Penguggat, adalah seorang pengusaha di Jakarta, berdasarkan Laporan Kepolisian ia telah ditahan dalam Rumah Tahanan (Rutan), sejak Mei 1997 sampai dengan Desember 1997 oleh Kepolisian POLDA METRO JAYA, dengan
Surat
Perintah
Penangkapan
Nomor
Pol.SPP/155/V/1997/Ditserse, tanggal 5 Mei 1997, disusul dengan Surat Penahanan Nomor SPP/48/V/1997/Ditserse dari Kepolisian dan diperpanjang oleh Kejaksaan Negeri serta Pengadilan Negeri, karena sangkaan Tindak Pidana Korupsi Perbankan dan Pemalsuan. Pada saat Penggugat berada di dalam tahanan tersebut, antara bulan Oktober dan November 1997, seseorang membawa berkas akta-akta Notaris di Jakarta datang ke rumah tahanan menemuinya, agar Penggugat bersedia menandatangani Akta Notaris dan Akta Pernyataan. Akta-akta Notaris yang diminta untuk ditandatangani oleh Penggugat tersebut berupa 3 (tiga) buah Akta Notaris yaitu : a. Akta Notaris Nomor 41 tanggal 29 Oktober 1997; dan b. Akta Notaris Nomor 42, tanggal 29 Oktober 1997; Akta Notaris Nomor 41 memuat pernyataan bahwa Penggugat masih mempunyai hutang kepada PT. BANK ARTHA GRAHA selaku Tergugat I, yang belum diselesaikan seluruhnya berjumlah Rp.215.837.382.000,- (duaratus limabelas milyar delapanratus tigapuluh tujuh juta tigaratus delapanpuluh dua ribu rupiah), yang
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
77
ditentukan
harus
bayar
kepada
Tergugat
I
sebesar
Rp.100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah), yaitu : a. Sebesar 20 % atau Rp.20.000.000.000,- (duapuluh milyar rupiah), akan dibayar tunai atau dengan penyerahan assetnya atas milik pihak manapun yang oleh Tergugat dinilai memiliki nilai ekonomis sebesar itu yang dilaksanakan selambatlambatnya 60 (enam puluh) hari, terhitung sejak dikabulkannya penangguhan penahanan oleh yang berwajib. b. Sebesar 80% atau Rp.80.000.000.000,- (delapanpuluh milyar rupiah), akan dibayar seketika dan sekaligus dengan uang tunai Rp.15.000.000.000,- (limabelas milyar rupiah), yang wajib dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 180 (seratus delapanpuluh) hari terhitung sejak dikabulkannya permohonan penangguhan penahanan. Pada saat dalam tahanan tersebut, Penggugat diminta untuk membuka rekening di PT. BANK ARTHA GRAHA bersamaan dengan
diajukannya
Akta
Notaris
Nomor
41
untuk
ditandatanganinya, selanjutnya diminta untuk menandatangani 2 (dua) cheque PT. BANK ARTHA GRAHA masing-masing : a.
No. CA.574711, dengan nilai Rp.20.000.000.000,- (duapuluh milyar rupiah)
b.
No. CA.574712, dengan nilai Rp.15.000.000.000,- (limabelas milyar rupiah) Akta Notaris Nomor 42 merupakan penegasan dan perincian
ketentuan yang dibuat para Tergugat pada Akta Nomor 41 sepanjang menyangkut Penggugat dengan mengkaitkan pihak lain yaitu KETUT
ABDURAHMAN
MASAGUNG
dan
PUTRA
MASAGUNG sebagai orang yang menjamin (Penjamin) atas utangnya kepada PT. BANK ARTHA GRAHA (Tergugat I). Selain
akta-akta
tersebut
diatas,
telah
dibuat
dan
ditandatangani Akta Nomor 31, sebagai perubahan atas Akta Nomor
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
78
42, yang mengganti penjamin (borgtocht) pihak lain tersebut dengan harta kekayaan Penggugat berupa: a.
Tanah 4.500 M2 di Permata Hijau, Blok A-5, 6 dan 7;
b.
Apartemen Four Seaseon Park-Singapore Blok 2 Type D Nomor 25.01.50 Cuscaden Walk yang terdaftar atas nama Groschen Ltd. Penggugat dalam keadaan frustasi karena sedang ditahan di
Kepolisian tersebut, akhirnya menandatangani semua akta notaris tersebut serta 2 (dua) buah cheque dengan janji dari PT. BANK ARTHA GRAHA akan membantu untuk penangguhan dari penahanan Kepolisian, dengan membuat surat permohonan kepada Penyidik, Penuntut Umum dan Pengadilan yang isinya penahanan atas Penggugat ditangguhkan dengan alasan PT. BANK ARTHA GRAHA tidak dirugikan. Harta Kekayaan Penggugat yang beralih kepada PT. BANK ARTHA GRAHA akibat terbitnya Akta Nomor 41 dan Akta Nomor 42, berupa: a. Tanah SHM No.639/Grogol Utara b. Tanah SHM No.761/Grogol Utara c. Tanah HGB No.1907/Grogol Utara d. Tanah Hak Pakai seluas 312 M2 Permata Hijau Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili terdakwa, dalam
hal
ini
Penggugat,
memberikan
putusan:
Terdakwa
dibebaskan dari dakwaan melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karena merasa dirugikan, maka Penggugat melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan perdata terhadap para tergugat. Dalam gugatannya, pihak Penggugat mengajukan Petitumnya yang diantaranya adalah menyatakan Para Tergugat melakukan Perbuatan Melawan Hukum dan membatalkan atau menyatakan batal akta-akta yang telah ditandatangani Penggugat tersebut, antara lain Akta Nomor 41 tanggal 29 Oktober 1997, Akta Nomor 42 tanggal 29 Oktober 1997, serta menyatakan tidak sah dan karenanya tidak Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
79
mengikat Penggugat atas Akta Nomor 31 tanggal 26 November 1997, yang seluruhnya dibuat dihadapan Notaris KOESBIONO SARMANHADI, SH. Selain itu, Penggugat juga mengajukan petitum
yang
menghukum
Para
Tergugat
terkait
untuk
mengembalikan harta Penggugat yang diambil. Dengan adanya gugatan perdata tersebut di atas, pihak Tergugat melalui Kuasa Hukumnya menanggapi gugatan tersebut baik berupa eksepsi maupun materi pokok sengketa. Eksepsi yang diajukan oleh Tergugat menyatakan, bahwa keberadaan Penggugat dalam tahanan karena adanya sangkaan melakukan Tindak Pidana Korupsi, tidak dapat dijadikan awal adanya “Perbuatan Melawan Hukum” oleh Tergugat I (PT. BANK ARTHA GRAHA), pembinaan para tahanan didalam Rutan/LP tidak memungkinkan Penggugat berada dibawah tekanan, paksaan, ancaman, juga tidak mungkin Tergugat IV selaku Notaris berprilaku negatif, ia menyadari setiap proses pembuatan Akta. Terhadap materi pokok perkara, Tergugat menyangkal dalil gugatan Penggugat dengan menyatakan bahwa Akta-Akta dan Surat Peryataan adalah tidak cacat hukum dan tetap sah serta berlaku asas “pacta sunt servada”. Demikian pula dalil gugatan yang menyatakan Para Tergugat telah melakukan “Perbuatan Melawan Hukum” karenanya ditolak. Majelis Hakim tingkat pertama yang mengadili perkara ini dalam
putusannya
tertanggal
11
Mei
2000
Nomor:
442/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel., memberi putusan yang amar pokoknya menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, menyatakan batal perjanjian dan/atau pernyataan akta-akta Notaris yang dibuat oleh KOESBIONO SARMANHADI, SH, Notaris di Jakarta, masing-masing yang termuat dalam akta-akta Nomor 41, Nomor 42, dan Nomor 31 sepanjang mengenai kepentingan dan harta kekayaan Penggugat terhitung saat dibuatnya akta-akta
tersebut,
serta
menyatakan
para
Tergugat
untuk
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
80
mengembalikan harta Penggugat yang meliputi Tanah SHM No.639/Grogol Utara, Tanah SHM No.761/Grogol Utara, Tanah HGB No.1907/Grogol Utara, dan Tanah Hak Pakai seluas 312 M2 Permata Hijau. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberikan putusan tersebut dengan salah satu pertimbangannya adalah bahwa kondisi Penggugat yang terampas kemerdekaannya dalam tahanan yang berwajib, ia dalam keadaan yang terjepit itu, Penggugat diminta Tergugat untuk menandatangani Akta-Akta Notaris, maka Tergugat telah
melakukan
“misbruik
van
de
omstandingheden”
(penyalahgunaan keadaan atau kesempatan), yang merupakan pelanggaran tata krama dan kesusilaan yang mengakibatkan kerugian orang lain. Selain itu terdapat fakta yang mengenai adanya cacat kehendak atau cara memaksakan kehendak persetujuan yang disalah gunakan, sesuai dengan Pasal 1321 dan Pasal 1324 KUHPerdata dan dengan demikian, maka perjanjian atau pernyataan yang melibatkan Penggugat dalam akta notaris mengandung cacat hukum dan dinyatakan batal sejak penandatangan akta-akta notaris yang dibuat dihadapan Tergugat IV (Notaris). Tidak puas dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut, para Tergugat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 393/PDT/2000/PT.DKI membatalkan Putusan Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
tanggal
11
Mei
2000
No.442/Pdt.G/2000/PN.Jkt Sel, yang dimohonkan banding tersebut, dengan beberapa pertimbangan diantaranya bahwa penyelesaian masalah dalam Akta Nomor 41, Akta Nomor 42, dan Akta Nomor 31 tanggal 29 Oktober 1997 dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Penggugat sendiri terdiri dari orang yang berintegritas tinggi, serta Penggugat tidak berhasil membuktikan adanya paksaan dalam pembuatan ketiga akta tersebut, sehingga dengan demikian adalah akta-akta tersebut sah, termasuk perjanjian-perjanjian yang dibuat Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
81
yang didasarkan atas alasan hak dari akta-akta tersebut diatas adalah sah juga. Majelis hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara ini dalam putusannya menilai bahwa putusan Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum, sehingga putusan-putusan tersebut harus dibatalkan dan Majelis Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3641K/Pdt/2001 menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, menyatakan batal perjanjian atau pernyataan Akta Nomor 41, Akta Nomor 42, dan
Akta
Nomor
31
yang
dibuat
oleh
KOESBIONO
SARMANHADI, SH. Notaris di Jakarta sepanjang mengenai kepentingan dan harta kekayaan Penggugat terhitung saat dibuatnya akta-akta
tersebut,
dan
menghukum
para
Tergugat
untuk
mengembalikan harta Penggugat.
2.4.2 Putusan
Mahkamah
Agung
Republik
Indonesia
Nomor
:
792K/Pdt/2002 JAYA SUPARMAN selaku Penggugat dengan Ir. WU KUO WAH selaku Tergugat terdapat hubungan hukum kerja sama dalam bidang usaha PT. BINTANG LAJU SENTOSA, yang didirikan oleh Penggugat pada tanggal 18 Mei 1990 dihadapan Notaris IMAS TARWIAH SUDRAJAT, SH. Nomor 3. Pada tanggal 1 September 1995 diadakan kerja sama antara Penggugat dan Tergugat, yang dibuat dihadapan Notaris IMAS TARWIAH SUDRAJAT, SH., sesuai dengan risalah Rapat PT. BINTANG LAJU SENTOSA, dengan akta Nomor 3 tertanggal 1 September 1995, yang berdasarkan Akta tersebut, Penggugat adalah Direktur Utama, Tergugat adalah Direktur Persero dan WAHYU ISKANDAR adalah Presiden Komisaris, ketiganya adalah pemegang Saham dari PT.BINTANG LAJU SENTOSA; Pada bulan Agustus
1998, Penggugat
dipanggil
oleh
KAPOLRES BANDUNG untuk menghadap atas laporan Tergugat Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
82
karena menurut Tergugat, Penggugat telah melakukan Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan atas pinjaman Penggugat kepada Tergugat guna modal usaha PT. BINTANG LAJU SENTOSA. Meskipun berkas perkara dikembalikan lagi oleh Kejaksaan kepada Kepolisian, sehubungan dengan dasar bukti-buktinya tidak cukup dalam tindak pidana tersebut, Penggugat dipanggil lagi dan akhirnya ditahan di RUTAN Kls I KEBONWARU sejak tanggal 10 Juni 1999 s/d 18 Agustus 1999. Pada saat Penggugat asli berada dalam tahanan terdapat Surat dari Ketua Majelis Hakim Bale Bandung AYUB O. TAULO, SH. No.292/Pid.B/1999/PN.BB, tertanggal 7 Agustus 1999 yang ditujukan kepada Bapak Kepala Kejaksaan Negeri Bale Bandung, bahwa Penggugat diizinkan (dibon) untuk menghadap Notaris KIKIT WIRIANTI SUGANDA, SH selaku Turut Tergugat dalam rangka menandatangani Akta Perjanjian Perdamaian atas dasar peminjaman tahanan, hal mana Penggugat maupun isteri Penggugat tidak pernah mengajukan permohonan untuk berdamai dan menandatangani surat-surat untuk kepentingan tersebut. Dengan demikian terbit Akta Perdamaian Nomor 18 tertanggal 7 Agustus 1999. Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 792 K/Pdt/2002 menyatakan Penggugat telah ingkar janji atau melawan hukum dan menyatakan Penggugat berhutang pada Tergugat dengan sisa hutang sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dari jumlah hutang sebesar Rp. 165.420.429,- (seratus enampuluh lima juta empatratus duapuluh ribu empatratus duapuluh sembilan rupiah), yang dengan kata lain, Akta Perdamaian Nomor 18 tersebut tetap sah dan berlaku.
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
83
2.5
Keabsahan dan Kebatalan Suatu Perbuatan Hukum yang Dilakukan oleh Pihak yang Terkait Perkara Pidana Melalui Akta Notaris Setiap orang adalah subyek hukum (rechtspersoonlijkheid) yakni pendukung hak dan kewajiban, tetapi tidak setiap orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang telah dewasa dan sehat akal pikirannya serta tidak dilarang oleh suatu undang-undang untuk melakukan perbuatanperbuatan hukum tertentu. Kedua kasus di atas menunjukkan bahwa para pihak yang terlibat adalah subyek hukum yang telah dewasa dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum yang dituangkan dalam akta notaris. Namun yang menarik pada kedua kasus tersebut adalah bahwa salah satu pihak dalam akta notaris tersebut adalah subyek hukum yang sedang terkait perkara pidana dan karenanya ditahan oleh pihak yang berwajib dengan sangkaan melakukan tindak pidana. Pada kasus pertama dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 3641K/PDT/2001, akta-akta notaris ditandatangani oleh Penggugat yang sedang berada dalam tahanan karena adanya sangkaan melakukan tindak pidana korupsi. Para Tergugat memberikan selipan kalimat di dalam akta-akta tersebut mengenai akan ditangguhkannya penahanan Penggugat yang telah terbukti dalam kasus ini memang benar adanya surat permohonan dari Tergugat I kepada Kepolisian, Penuntut Umum dan Pengadilan Jakarta Selatan untuk memohon penangguhan penahanan terhadap Penggugat dengan alasan bahwa Penggugat tidak merugikan pihak Pelapor dalam hal ini Tergugat I. Pembuatan dan penandatanganan akta-akta notaris yang dilakukan oleh Penggugat yang berada dalam tahanan dan Tergugat tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata khususnya mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat cakap untuk melakukan perbuatan hukum dalam kasus ini telah terpenuhi yaitu Penggugat telah dewasa, tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dan Penggugat Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
84
memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terkait akta-akta yang ditandatanganinya karena objek dari akta-akta tersebut adalah terkait harta kekayaan Penggugat sendiri. Syarat mengenai suatu hal tertentu juga telah terpenuhi yaitu dalam akta-akta tersebut disebutkan secara jelas dan tegas mengenai objek perjanjian salah satu diantaranya adalah sebidang tanah dengan sertipikat Hak Milik Nomor 639/Grogol Utara. Kedua syarat sahnya perjanjian tersebut telah dipenuhi oleh para pihak yang bersangkutan, namun berkaitan dengan syarat lainnya yaitu sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya menimbulkan keraguan apakah sepakat tersebut diberikan oleh para pihak secara bebas atau tidak, serta syarat mengenai suatu sebab yang halal. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak dan terdapat persesuaian kehendak di antara mereka dengan tidak ada unsur paksaan, kekeliruan dan penipuan. Pasal 1321 KUHPerdata menegaskan bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat tersebut diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan ataupun penipuan. Pasal 1323 dan Pasal 1324 KUHPerdata mengatur bahwa yang dimaksud dengan paksaan dalam pembuatan perjanjian adalah kekerasan jasmani atau ancaman dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Dalam kasus ini tidak terdapat kekerasan jasmani yang dialami oleh Penggugat melainkan adanya keterpaksaan Penggugat dalam menandatangani akta-akta tersebut karena adanya ketakutan yang timbul jika Penggugat ditahan lebih lama oleh pihak yang berwajib. Ketakutan Penggugat tersebut disadari oleh para Tergugat dan kemudian menggunakan kesempatan tersebut untuk memberikan selipan kalimat di antara akta-akta bahwa
akan
ditangguhkannya
penahanan
Penggugat.
Pasal
1324
KUHPerdata menyatakan bahwa paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian terang dan Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
85
nyata. Suatu keterpaksaan (ketidakbebasan kehendak) juga harus dibuktikan secara materiil dan pembuktian materiil tersebut harus memperhatikan pada ada
tidaknya
unsur
kerugian
yang
dialami
oleh
pihak
yang
membuat/menandatanganinya sebagai akibat perjanjian tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi kepada Penggugat yang dengan keterpaksaan menandatangani akta-akta notaris yang berkaitan dengan suatu hutang yang bukan merupakan hutang Penggugat melainkan hutang dari PT. GUNUNG AGUNG GROUP yangmana hutang tersebut timbul pada saat Penggugat masih menjadi pemilik dan pengurus atas perseroan tersebut. Penandatanganan suatu akta notaris di dalam Rumah Tahanan yang berisi suatu janji akan membayar suatu jumlah hutang yang bukan hutangnya melainkan hutang pihak lain yaitu PT. GUNUNG AGUNG GROUP hanya dapat dilakukan karena terpaksa atau dalam keadaan tidak bebas. Keadaan seperti itu jelas dialami oleh Penggugat karena Penggugat tidak hanya tidak bebas secara fisik tetapi juga secara psikis yaitu secara fisik telah ditahan di rumah tahanan selama 7 (tujuh) bulan tanpa kepastian untuk dibebaskan, sehingga tidak sempat berpikir secara jernih, dan manakala Tergugat memberikan selipan kalimat di dalam akta-akta tersebut mengenai
akan
ditangguhkannya
penahanan
Penggugat,
Penggugat
senantiasa percaya dan menandatangani akta-akta tersebut tanpa menyadari bahwa akta-akta tersebut berisi janji akan membayar suatu hutang yang bukan merupakan hutang pribadinya sendiri bahkan hingga membebankan pula pada sejumlah harta kekayaan Penggugat untuk menjadi jaminan atas pelunasan hutang yang dimaksud dalam akta-akta tersebut. Dengan adanya selipan kalimat tersebut di atas telah jelas bahwa Tergugat I juga telah melakukan penyalahgunaan keadaan dan kesempatan yang merupakan pelanggaran tata krama dan kesusilaan yang berakibat timbulnya kerugian bagi Penggugat. Tidak berimbangnya prestasi dan kontra prestasi hanyalah salah satu indikator yang harus dibuktikan lebih jauh apakah lahirnya suatu perjanjian itu didahului oleh adanya penyalahgunaan keadaan. Harus dibuktikan bahwa ketidakseimbangan prestasi tersebut terjadi karena adanya tekanan keadaan, yang oleh salah Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
86
satu pihak disalahgunakan. Tekanan keadaan dan ketidakseimbangan saja juga tidak cukup, yang penting justru dibuktikan adanya penyalahgunaan dari keadaan ekonomis atau psikologis.73 Oleh karena itu, perbuatan hukum yang dilakukan oleh Penggugat yang terkait perkara pidana dalam kasus pertama adalah tidak sah sebab tidak terpenuhinya salah satu syarat subyektif sahnya perjanjian dan oleh karenanya Penggugat selaku salah satu pihak mengajukan pembatalan terhadap akta-akta tersebut. Pembatalan (annullability, voidability) dipilih bila semata-mata kepentingan salah satu pihak perlu dilindungi, dalam hal ini kepentingan Penggugat. Terkait syarat objektif sahnya suatu perjanjian yaitu adanya suatu sebab yang halal tidak terpenuhi khususnya dalam pembuatan akta Nomor 41 yang ditandatangani oleh Penggugat, yang memuat pernyataan bahwa Penggugat masih mempunyai pinjaman/hutang kepada Tergugat I. Pembuatan akta tersebut tidaklah mempunyai suatu landasan sebab yang halal karena hutang yang dimaksud dalam Akta Nomor 41 tersebut bukanlah hutang pribadi Penggugat melainkan hutang PT. GUNUNG AGUNG GROUP kepada Tergugat I pada saat Penggugat masih menjadi pemilik saham dan pengurus perseroan tersebut. Pada 1 Februari 1994 terjadi jual beli saham PT. KOSGORO dan PT. TRIMUDA JAYA yang merupakan bagian dari PT. GUNUNG AGUNG GROUP antara Penggugat selaku pemilik dengan SUGIANTO KUSUMA dan PT. BINAJAYA PADUKREASI (Tergugat V dan VI) selaku pembeli atas saham-saham tersebut. Berdasarkan Perjanjian Jual Beli tertanggal 1 Februari 1994, terhitung sejak beralihnya saham-saham PT. GUNUNG AGUNG GROUP tersebut kepada Tergugat V dan VI yaitu pada tanggal 17 Desember 1993, maka seluruh hutang PT. GUNUNG AGUNG GROUP telah beralih seluruhnya kepada Tergugat V dan VI. Dengan demikian, sejak tanggal peralihan tersebut, Penggugat tidak lagi menjadi pemilik saham dan pengurus dari PT. GUNUNG AGUNG GROUP.
73
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari perjanjian Buku I, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001), h. 322-323. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
87
Baik Akta Nomor 41, Nomor 42 maupun Nomor 31 memuat pernyataan bahwa Penggugat masih mempunyai hutang kepada Tergugat I, dan atas sisa hutang tersebut terdapat jaminan perorangan yang selanjutnya diubah dengan jaminan kebendaan berupa harta kekayaan Penggugat. Pembuatan ketiga akta tersebut tentunya tidak didasari oleh alas hak adanya hutang Penggugat kepada Tergugat I. Hutang yang dimaksud dalam ketiga akta tersebut pada dasarnya merupakan hutang PT. GUNUNG AGUNG GROUP kepada Tergugat I, dan oleh karenanya tidak ada satu alasan pun yang dapat membebankan Penggugat atas hutang-hutang PT. GUNUNG AGUNG GROUP termasuk pembebanan jaminan terhadap harta kekayaan pribadi Penggugat karena Penggugat tidak lagi menjadi pemilik sekaligus pengurus perseroan tersebut, meskipun lahirnya hutang dengan adanya perjanjian pinjaman antara PT. GUNUNG AGUNG GROUP dengan Tergugat I ketika Penggugat masih menjadi pemilik dan pengurus perseroan tersebut. Terkait kasus pertama ini, kepentingan Penggugat perlu dilindungi karena terkait pengalihan sebagian besar harta kekayaan Penggugat tanpa didasari alas hukum yang sah untuk itu yaitu untuk pelunasan hutang yang bukan hutang Penggugat melainkan hutang perseroan dimana Penggugat tidak lagi menjadi pemilik dan pengurus perseroan tersebut. Selain itu, aktaakta yang telah ditandatangani Penggugat pun juga mengandung unsur penyalahgunaan keadaan. Sejalan dengan hal tersebut, Mahkamah Agung pun dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 3641K/PDT/2001 membatalkan akta-akta yang dibuat oleh para pihak tersebut. Lain halnya dengan kasus yang pertama, Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 792 K/Pdt/2002 tidak membatalkan akta perdamaian yangmana salah satu pihak dalam hal ini Penggugat juga terkait perkara pidana dan ditahan oleh pihak berwajib. Penggugat terbukti bersalah melakukan tindak pidana penipuan dan penggelapan kekayaan serta tidak mempertanggungjawabkan keuangan milik perusahaan, sebagaimana telah diputus dan telah berkekuatan hukum Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
88
tetap dengan putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung tertanggal 18 Agustus 1999 No.292/Pid.B/1999/PN.BB. Perjanjian Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis, sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 KUHPerdata. Dalam perdamaian tersebut kedua belah pihak saling melepaskan sebagian tuntutan mereka demi untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara. Dalam prakteknya suatu perjanjian perdamaian adalah merupakan suatu akta karena perjanjian tersebut sengaja dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan untuk dijadikan alat bukti dengan tujuan untuk menyelesaiakan sengketa. Dalam kasus ini, perjanjian perdamaian yang tertuang dalam Akta Perdamaian Nomor 18 dan ditandatangani oleh para pihak merupakan akta perdamaian dalam rangka pelunasan hutang Penggugat selaku debitur kepada Tergugat selaku kreditur. Terkait salah satu syarat subyektif sahnya perjanjian yaitu kesepakatan, dalam pembuatan Akta Perdamaian Nomor 18 tersebut telah terjadi kesepakatan tanpa adanya paksaan, dalam arti yang ditentukan Pasal 1324 juncto Pasal 1859 KUH Perdata, dari para pihak untuk membuat dan menandatangani akta tersebut, sebagaimana diperkuat dengan keterangan saksi dibawah sumpah yang diajukan Tergugat. Dengan kata lain, dalam pembuatan perjanjian tersebut tidak ada penyalahgunaan keadaan, karena Penggugat masih dapat memilih untuk tidak membuat perjanjian tersebut. Penggugat pun terbukti telah ingkar janji atau melawan hukum dan Penggugat masih mempunyai sisa hutang yang wajib dibayar kepada Tergugat, dan tidak terdapat satu alasan pun untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat di antara kedua belah pihak. Selain itu, Penggugat pada waktu penandatangan, tersebut walaupun dalam status penahanan, adalah cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian, karena ia tidak termasuk sebagai orang yang tidak cakap sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330 Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
89
KUHPerdata. Perjanjian Perdamaian yang disepakati oleh kedua belah pihak, tanpa ada paksaan dan para pihak cakap untuk membuat perjanjian, meski salah satu pihak dalam status penahanan, perjanjian tersebut adalah sah. Dengan kata lain, syarat sahnya perjanjian telah dipenuhi oleh para pihak dan karenanya perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak adalah sah dan perjanjian yang telah dibuat di antara kedua belah pihak berlaku sebagai undang-undang yang mengikat para pihak tersebut serta tidak ada satu alasan pun yang dapat membatalkan atau tidak melaksanakan perjanjian tersebut. Keabsahan suatu perbuatan hukum salah satunya perjanjian tidak terlepas dari ketentuan yang bersifat memaksa dalam Buku III KUHPerdata khususnya Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian. Ketentuan dalam pasal tersebut merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam membuat suatu perjanjian. Jika tidak terpenuhi seluruh syarat sahnya suatu perjanjian, dapat menimbulkan akibat hukum antara lain dapat dimintakan batalnya perjanjian yang sudah dibuat tersebut ke pengadilan ataupun batal demi hukum perjanjian tersebut seolah-olah tidak pernah dibuatnya perjanjian yang dimaksud. Keempat syarah sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, khususnya syarat subyektif, sama sekali tidak mengatur mengenai status ataupun kedudukan subyek hukum selaku pihak yang membuat perjanjian, melainkan lebih menegaskan mengenai adanya kecakapan pihak dalam melakukan perbuatan hukum dan adanya kebebasan dari para pihak untuk menyatakan sepakat dibuatnya perjanjian yang akan mengikat para pihak layaknya undang-undang. Pasal 1320 KUHPerdata mengatur bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah bahwa para pihak adalah cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Para pihak yang melakukan perbuatan hukum dalam kedua kasus diatas merupakan subyek hukum yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum meskipun salah satu pihak terkait perkara pidana dan karenanya ditahan oleh pihak yang berwajib. Hal ini sering menimbulkan keraguan bagi para Notaris manakala salah satu pihak, yang akan Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
90
melakukan perbuatan hukum meminta untuk dibuatkan akta notaris, terlibat perkara pidana. Sekalipun tersangka atau terdakwa berada dalam penahanan, bukan berarti dapat diperlakukan sewenang-wenang. Penahanan sebagai upaya paksa, tidak menghilangkan harkat martabat tahanan, dan tidak dapat melenyapkan hak asasi yang melekat pada dirinya secara keseluruhan. Dengan ditimpakan upaya paksa penahanan terhadap tersangka atau terdakwa, hak asasinya telah dibatasi. Namun demikian sepanjang yang berkenaan dengan hak asasi yang berhubungan dengan harkat martabat serta hak yang perlu untuk melindungi kepentingan pribadinya tidak boleh dikurangi, dan harus dijamin oleh hukum sekalipun dia berada dalam penahanan. Hukum harus melindungi haknya untuk mendapat perlakuan yang adil dan beradab, dan untuk mendapat kedudukan yang sederajat di hadapan hukum.74 Perlindungan kepada tersangka atau terdakwa tersebut juga meliputi pemberian jaminan bagi seseorang untuk tetap dapat melakukan perbuatan hukum karena ia tidak akan kehilangan hak keperdataannya dan tetap merupakan subyek hukum. Pasal 3 KUHPerdata telah menyatakan dengan tegas bahwa “tiada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak perdata”. Hak keperdataan seseorang hanya berakhir apabila ia meninggal dunia serta dilarang oleh undang-undang untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu. Pasal 3 KUHPerdata ini menegaskan bahwa meskipun seseorang selaku subyek hukum terkait perkara pidana dan bahkan mendapatkan hukuman
atas
perbuatan
pidananya
tersebut
tidak
serta
merta
menghilangkan hak dan kebebasan keperdataan orang yang bersangkutan. Dengan adanya hukuman yang diterimanya, kebebasan pihak yang menjadi terpidana tersebut menjadi terbatas termasuk kebebasan keperdataannya. Hal ini berarti bahwa seorang terpidana yang telah dewasa dan cakap sekalipun tetaplah merupakan subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum melalui akta notaris sepanjang tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan tertentu. 74
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 197. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
91
Hak seorang yang terkait perkara pidana untuk dapat melakukan perbuatan hukum sejalan dengan beberapa asas yang diterapkan dalam hukum perjanjian di Indonesia yaitu asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas personalia, asas konsensualisme, dan asas kebebasan berkontrak. Asas persamaan hukum menekankan adanya persamaan derajat di antara para pihak dan mengharuskan para pihak untuk menghormati satu sama lain, meskipun salah satu pihak terkait perkara pidana. Asas keseimbangan menghendaki agar kedua belah pihak menghormati, memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuatnya, dengan mengutamakan pelaksanaan dengan itikad baik di antara para pihak. Asas personalia menekankan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh pihak yang terkait perkara pidana sekalipun sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri, akan mengikat diri pribadi tersebut, dan dalam lapangan perikatan akan mengikat seluruh harta kekayaan yang dimilikinya secara pribadi. Hal ini menegaskan bahwa walaupun salah satu pihak terkait perkara pidana dan bahkan ditahan oleh pihak yang berwajib, tetap harus melaksanakan perjanjian yang telah dibuatnya tersebut meskipun dalam keadaan yang tidak bebas. Salah satu perhatian terkait perbuatan hukum yang dilakukan pihak terkait perkara pidana adalah apakah ia telah memenuhi syarat cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang telah dewasa dan sehat akal pikirannya serta tidak dilarang oleh suatu undang-undang untuk melakukan perbuatanperbuatan hukum tertentu. Misalnya, putusan pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan oleh pengadilan, sebagaimana juga dipertegas dalam Pasal 1330 KUHPerdata juncto UU Kepailitan. Larangan tersebut dalam rangka melindungi kreditor pada khususnya dan melindungi masyarakat pada umumnya, untuk mencegah orang yang bersangkutan mengalihkan harta kekayaannya sehingga tidak dapat membayar utangutangnya kepada seluruh kreditor. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
92
Seandainya orang-orang yang tidak cakap bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, perbuatan hukum yang mereka lakukan dianggap sah-sah saja atau tetap berlaku, sepanjang para pihak belum menuntut pembatalan perbuatan hukum yang dilakukan kepada hakim pengadilan. Ini berarti ketidakcakapan mereka bertindak dalam melakukan perbuatan hukum tidak menyebabkan perbuatan hukum yang mereka lakukan menjadi batal dengan sendirinya, namun harus dimintakan pembatalan terlebih dahulu kepada hakim pengadilan.75 Ketentuan dalam Pasal 1331 KUHPerdata menyatakan bahwa para pihak yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum tetapi terlanjur melakukan perbuatan hukum dapat saja menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang telah mereka lakukan kepada hakim pengadilan. Oleh karena itu, apabila para pihak meminta Notaris untuk membuatkan akta perihal suatu perbuatan hukum, Notaris harus cermat dan teliti terutama dalam menilai kecakapan seseorang dikaitkan dengan Pasal 1330 KUHPerdata, terutama apabila pihak yang bersangkutan terkait perkara pidana. Berbeda halnya dengan UU Kepailitan, baik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selanjutnya disingkat dengan KUHPidana maupun UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selanjutnya dalam tesis ini disebut KUHAP, tidak mengatur secara khusus mengenai hak-hak yang dimiliki pihak yang terkait perkara pidana baik dalam statusnya sebagai tersangka, terdakwa ataupun terpidana untuk membuat akta yang berhubungan dengan perbuatan hukum yang akan dilakukannya. Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2003 tidak diatur secara khusus mengenai perihal tersebut. Penghormatan harkat dan martabat manusia telah diatur dalam KUHPidana. Namun demikian, dalam beberapa hal pengaturannya masih 75
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 85. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
93
belum memberikan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia, salah satunya terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa dalam penahanan terutama dalam pembuatan akta notaris. Adapun mengenai hak-hak seorang tersangka ataupun terdakwa diatur secara tegas dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP, antara lain: a.
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim (Pasal 52);
b.
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54);
c.
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan
dari
pihak
yang
mempunyai
hubungan
kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum (Pasal 60); d.
Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (Pasal 61); dan hak-hak lainnya.
KUHAP tidak mengatur secara khusus mengenai hak seorang yang terkait perkara pidana untuk dapat meminta dibuatkan akta Notaris terkait perbuatan hukum yang akan dilakukannya. Namun demikian, Pasal 60 juncto Pasal 61 KUHAP dapat diterapkan manakala seseorang yang terkait perkara pidana baik sebagai tersangka maupun sebagai terdakwa meminta kepada Notaris untuk dibuatkan suatu akta terkait perbuatan hukum yang akan dilakukannya. Pasal 60 KUHAP menegaskan adanya hak bagi tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum, termasuk diantaranya bantuan hukum yang dapat diperoleh dari seorang Notaris Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
94
terutama dalam membuat akta otentik terkait perbuatan hukum yang bersangkutan. Pasal 61 KUHAP juga menekankan bahwa meskipun seseorang terkait perkara pidana dan berstatus sebagai tersangka ataupun sebagai terdakwa, seseorang tetap dapat menjalin komunikasi dengan pihak lain untuk kepentingan pekerjaan ataupun untuk kepentingan keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa KUHAP secara tersirat juga menjamin hak-hak tersangka ataupun terdakwa dalam meminta Notaris untuk dibuatkan akta otentik terkait perbuatan hukum yang dilakukannya, dengan batasan tidak ada hubungan antara perbuatan hukum yang dilakukan dengan perkaranya. Sejalan dengan Pasal 61 KUHAP, Pasal 12 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Pemberantasan Korupsi, selanjutnya dalam tesis ini disebut KPK, berwenang untuk menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa terhadapnya. Tersangka atau terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang ada keterkaitannya dengan perkara yang sedang diperiksa terhadapnya, termasuk perjanjian yang sudah dibuat pun tetap dapat dihentikan sementara oleh KPK. Hal ini merupakan bentuk penyimpangan terhadap Pasal 3 KUHPerdata yang menjamin tiada suatu hukumanpun yang dapat menghilangkan hak perdata, akan tetapi hak keperdataan yang dimiliki seorang pihak yang terkait perkara pidana menjadi dibatasi khususnya dalam melakukan perbuatan hukum yang ada kaitannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa terhadapnya.
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
95
Meskipun KPK berwenang untuk menghentikan suatu perjanjian yang diduga ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, namun Pasal 19 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengakomodir perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik, yaitu dengan memungkinkan pihak ketiga untuk mengajukan keberatan apabila hak-hak pihak ketiga tersebut akan dirugikan dengan adanya putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang terkait perkara. Perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik ini sangatlah penting karena juga melindungi kepentingan seluruh masyarakat, sekaligus menjamin kepastian dan penegakan hukum di Indonesia. Selain cakap untuk melakukan perbuatan hukum, kesepakatan atau sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya juga menjadi syarat penting untuk sahnya suatu perjanjian. Pentingnya kata sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian merupakan bentuk riil dari asas konsensualisme yang berlaku dalam hukum perjanjian. Notaris sebagai Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang membuat akta otentik harus cermat dan teliti untuk melihat apakah terdapat kesepakatan atau sepakat diantara para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang akan dituangkan melalui akta yang dibuatnya. Kesepakatan ini penting karena terkait Pasal 1321 KUHPerdata yang menyatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena khilapan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Kesepakatan para pihak juga sangat berkaitan erat dengan asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak tidaklah bersifat mutlak, dan sering terjadi dalam praktek bahwa kedudukan para pihak dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya dan seolah-olah perjanjian tersebut terjadi secara sepihak. Seseorang dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum pribadi meskipun sedang terkait perkara pidana tetap dapat mempunyai kebebasan individu untuk ikut serta menentukan dan menyampaikan kehendak bebasnya untuk selanjutnya dengan kehendak bebas yang dimilikinya pula Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
96
menyetujui suatu perjanjian yang telah dibuatnya sepanjang tidak ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa terhadapnya. Suatu perjanjian yang dibuatnya tersebut hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. Dalam hal seseorang tidak menjadi pihak dalam suatu perjanjian, maka ia tidak terikat dengan perjanjian tersebut. Berdasarkan yang telah diuraikan di atas, keabsahan perbuatan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang terkait perkara pidana erat kaitannya dengan syarat subyektif sahnya perjanjian, sehingga hal-hal yang berhubungan dengan syarat-syarat sahnya perjanjian pada umumnya harus dikuasai dengan baik oleh seorang Notaris, terutama yang berhubungan dengan kewenangan bertindak para pihak untuk membuat suatu perjanjian, sebab apabila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Selain itu, keabsahan perbuatan hukum tersebut juga erat kaitannya dengan syarat obyektif sahnya perjanjian khususnya mengenai adanya kausa atau sebab yang halal untuk melakukan perbuatan hukum yang dimaksud. Dalam hal yang demikian, Notaris harus senantiasa berhatihati, seksama dan mengedepankan integritas jabatannya dalam menilai apakah para pihak melakukan perbuatan hukum tersebut dengan itikad baik atau tidak, termasuk cermat terhadap motif para pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut agar jangan sampai perbuatan hukum tersebut justru merupakan perbuatan hukum yang dilarang oleh undang-undang untuk dilakukan. Sebagai contoh, seorang terpidana tindak pidana korupsi dilarang untuk melakukan perbuatan hukum apapun yang mempunyai tujuan baik langsung maupun tidak langsung untuk mengalihkan harta kekayaannya yang berindikasi hasil tindak pidana korupsi. Jika ternyata Notaris yang bersangkutan tidak cermat terhadap ada atau tidaknya kausa yang halal atas suatu perbuatan hukum, akan berakibat batal demi hukum akta yang dimaksud, dan nama baik Notaris yang bersangkutan pun dipertaruhkan. Suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak yang terkait perkara pidana ataupun tidak tetap mengacu pada ketentuan dalam KUHPerdata khususnya ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian dan Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
97
berlaku pula asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Tidak ada perbedaan yang khusus perihal status subyek hukum yang melakukan perbuatan hukum baik yang sedang terkait perkara pidana maupun tidak. Dalam hal ini, Notaris harus bersikap cermat, seksama, adil terutama dalam melindungi kepentingan para pihak agar seimbang dan menjamin kepastian hukum, serta melindungi kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik termasuk melindungi kepentingan kehormatan dan martabat jabatan Notaris yang bersangkutan.
2.6
Implikasi Hukum Terhadap Keabsahan Suatu Perbuatan Hukum dan Tanggung Jawab Notaris dimana Salah Satu Pihak Terkait Perkara Pidana Sebagaimana telah diuraikan di atas, meskipun seseorang terkait perkara pidana namun ia tetaplah merupakan subyek hukum yang diakui kedudukannya dan mempunyai persamaan dengan subyek hukum lainnya di mata hukum. Ia sebagai subyek hukum juga tetap dapat melakukan perbuatan hukum meskipun ia terkait perkara pidana dan bahkan ditahan oleh pihak yang berwajib dengan syarat ia telah cakap dan memang ia berwenang untuk melakukan perbuatan hukum yang dimaksud. Hal ini sejalan dengan Pasal 3 KUHPerdata yang menegaskan bahwa hak keperdataan seseorang hanya dapat berakhir ketika ia meninggal dunia atau secara khusus dilarang oleh undang-undang untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu. Dengan demikian, setiap orang bahkan seorang tersangka ataupun terdakwa sekalipun tetap dapat melakukan hak-hak keperdataan namun sifatnya terbatas. Salah satu contoh pembatasan pelaksanaan hak keperdataan seorang tersangka atau terdakwa adalah bahwa seorang tersangka ataupun seorang terdakwa tidak boleh melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan perkara yang sedang dijalaninya. Pembatasan tersebut sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 61 KUHAP. Status seorang subyek hukum sebagai seorang tersangka ataupun terdakwa
tidaklah
mempengaruhi
syarat
sahnya
perjanjian
yang
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
98
dilakukannya, karena dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak diatur secara tegas mengenai kedudukan dan status pihak yang membuat perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata mengatur secara tegas dan terbatas (limitatif) mengenai syarat sahnya perjanjian pada 4 (empat) elemen yaitu cakap seorang yang membuat perjanjian, adanya kata sepakat di antara para pihak, adanya suatu hal tertentu dan adanya sebab yang halal. Keempat syarat tersebut tidak menekankan pada status pihak dalam perjanjian, dengan demikian jika suatu perjanjian yangmana salah satu pihak sedang terkait perkara pidana dan dikenakan penahanan tetap dibuat dengan memperhatikan dan memenuhi keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka tidak ada alasan apapun yang dapat meminta dibatalkan atau batal demi hukum perjanjian yang dimaksud. Oleh karena itu, perjanjian yang dibuat tersebut adalah sah dan harus dilaksanakan secara penuh untuk kepentingan kedua belah pihak secara berimbang. Dalam kasus pertama, perbuatan hukum yang dilakukan oleh Penggugat yang terkait perkara pidana terbukti tidak dilakukan secara bebas melainkan terindikasi adanya penyalahgunaan keadaan yang dilakukan oleh Tergugat sehingga dengan demikian perbuatan hukum tersebut adalah tidak sah dan tidak mengikat para pihak khususnya Penggugat. Selain itu, timbul pula implikasi hukum terhadap akta-akta yang telah dibuat dihadapan Koesbiono Sarmanhadi, SH selaku Notaris yaitu terhadap akta-akta Notaris yang berkaitan dengan perbuatan hukum dalam kasus ini adalah menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana layaknya akta otentik pada umumnya yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena itu, baik perbuatan hukum maupun akta-akta notaris yang berkaitan dengan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak sah sekaligus tidak mengikat kedua belah pihak, termasuk pihak ketiga yaitu masyarakat. Bagi pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini khususnya Penggugat, dapat menggugat Notaris secara perdata dan menuntut biaya, ganti rugi dan bunga, sebagai salah satu bentuk tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya khususnya tanggung jawab terhadap akta yang telah dibuatnya. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
99
Hal tersebut berbeda dalam kasus kedua yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak terkait perkara pidana tetaplah sah karena terbukti bahwa Penggugat telah ingkar janji atau melawan hukum, dan Penggugat masih berhutang pada Tergugat, sehingga Akta Perdamaian Nomor 18 yang ditandatangani oleh Penggugat yang sedang terkait perkara pidana dan dikenakan penahanan tersebut tetap sah dan berlaku di antara para pihak. Oleh karena itu, timbul 3 (tiga) unsur akibat atas sahnya Akta Perdamaian tersebut, antara lain: a. Berlaku sebagai undang-undang Akta Perdamaian tersebut mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi kepastian hukum baik kepada Penggugat selaku debitor maupun Tergugat selaku kreditor. Para pihak harus mentaati Akta Perdamaian tersebut sama halnya dengan mentaati undang-undang. Jika ada pihak yang melanggar perjanjian sebagaimana tertuang dalam Akta Perdamaian Nomor 18, maka ia dapat dituntut dan diberi hukuman seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, khususnya dalam perjanjian. b. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak Oleh karena Akta Perdamaian tersebut merupakan persetujuan kedua belah pihak, maka jika akan ditarik kembali atau dibatalkan adalah wajar jika disetujui oleh kedua belah pihak, tetapi apabila ada alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak. c. Pelaksanaan dengan itikad baik (good faith) Oleh karena Akta Perdamaian Nomor 18 dinyatakan tetap sah dan berlaku, maka Penggugat dengan itikad baik berkewajiban memenuhi prestasinya termasuk membayar sisa hutangnya kepada Tergugat. Kewajiban pelaksanaan dengan itikad baik ini sangatlah penting karena para pihak telah menggunakan haknya untuk menerapkan asas kebebasan berkontrak dalam membuat Akta Perdamaian tersebut sehingga sudah selayaknya jika para Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
100
pihak wajib melaksanakan dengan itikad baik akta tersebut dalam rangka melindungi kepentingan para pihak yang bersangkutan dan melindungi pihak ketiga yang beritikad baik termasuk masyarakat. Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah mempunyai kebebasan dalam berkehendak terutama untuk menyetujui perjanjian yang dibuat itu, sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian khususnya tentang adanya kata sepakat, terutama dengan adanya itikad baik dari para pihak yang membuatnya. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 1338 ayat (3) juncto Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik dan perjanjian tidak hanya mengikat terhadap apa yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga kepada segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Pasal-pasal tersebut merupakan sebagian kecil dari pembatasan dari suatu perjanjiaan atau persetujuan. Itikad baik ini sangatlah penting terutama dalam melindungi para pihak dalam perjanjian pada khususnya dan melindungi masyarakat pada umumnya. Tanpa adanya penerapan itikad baik ini, suatu perjanjian dapat dikatakan tidaklah terlaksana dengan baik, dan akan menimbulkan kerugian pada salah satu pihak dalam perjanjian. Untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya kerugian bagi salah satu pihak dalam perjanjian termasuk jika salah satu pihak terkait perkara pidana, para pihak pada umumnya meminta kepada Notaris untuk dibuatkan akta otentik terkait perbuatan hukum yang dilakukan. Hal ini berkaitan erat dengan tugas Notaris yang utama dan pada pokoknya yaitu membuat aktaakta otentik yang berfungsi sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh yang mempunyai peranan penting dalam hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam pembuatan akta-akta otentik tersebut, Notaris mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu melayani kepentingan umum terutama dalam hal pelayanan hukum pembuatan akta-akta otentik mengenai hubungan keperdataan yang terjadi diantara mereka.
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
101
Salah satu kewajiban Notaris sebagai Pejabat Umum adalah bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dalam hal ini khususnya dalam pembuatan akta otentik berkewajiban untuk bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 16 UUJN. Terkait kasus yang pertama, KOESBIONO SARMANHADI, SH telah tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana ditegaskan dalam UUJN terutama dalam hal ketidakcermatan Notaris tersebut dalam memeriksa alas hak yang melandasi pembuatan ketiga akta yang disengketakan, terutama bahwa pembuatan ketiga akta tersebut tidak dilandasi oleh adanya hutang Penggugat terhadap Tergugat I, melainkan dilandasi oleh hutang suatu perseroan yang pernah dimiliki dan diurus oleh Penggugat sebelum sahamsaham perseroan yang dimaksud dialihkan kepada Tergugat V dan VI. Dengan beralihnya saham-saham yang dimiliki Penggugat kepada Tergugat V dan VI, maka seluruh hutang perseroan juga telah beralih seluruhnya kepada Tergugat V dan VI selaku pembeli. Oleh karena itu, pembuatan Akta Nomor 41, Nomor 41, dan Nomor 31 tidaklah didasari alas hak yang sah, termasuk pembebanan jaminan terhadap harta kekayaan Penggugat pun juga tidak sah. KOESBIONO SARMANHADI, SH. sebagai Notaris yang membuatkan ketiga akta tersebut jelas tidaklah cermat dalam menjalankan tugas jabatannya, sekaligus tidak menjaga kepentingan para pihak khususnya dalam hal ini kepentingan Penggugat yang pada dasarnya tidak memiliki kewajiban untuk membayar sisa hutang yang dimaksud oleh Tergugat I, dan bahkan membebankan harta kekayaannya Penggugat sebagai jaminan pelunasan hutang tersebut. Terhadap tindakan Notaris KOESBIONO SARMANHADI, SH. dapat dikenai Pasal 85 UUJN yang dapat berupa teguran lisan; teguran tertulis; pemberhentian sementara; pemberhentian dengan hormat; dan pemberhentian tidak hormat. Selain itu, terhadap akta Nomor 41, Nomor 41, dan Nomor 31 tersebut menjadi tidak sah dan dibatalkan sepanjang mengenai kepentingan dan harta kekayaan Penggugat terhitung sejak dibuatnya akta-akta tersebut.
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
102
Berbeda
halnya
dengan
Notaris
yang
membuatkan
Akta
Perdamaian Nomor 18 dalam kasus yang kedua. KIKIT WIRIANTI SUGANDA, SH telah menjalankan tugas jabatannya sebagaimana diamanatkan dalam UUJN, khususnya kewajiban untuk bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak serta menjaga kepentingan para pihak yang terkait. KIKIT WIRIANTI SUGANDA, SH membuat Akta Perdamaian dengan dilandasi alas hak yang sah yaitu adanya hutang Penggugat terhadap Tergugat sebagaimana diperkuat dengan putusan perkara pidana yang dijatuhkan terhadap Penggugat. Dengan sikap jujur, mandiri serta kecermatan KIKIT WIRIANTI SUGANDA, SH, para pihak baik Penggugat maupun Tergugat terlindungi kepentingannya terutama dalam rangka pelunasan hutang yang dimaksud dalam Akta Perdamaian Nomor 18 tersebut, yaitu bahwa Penggugat selaku debitur terlindungi yaitu dengan hanya membayar sisa jumlah hutang yang menjadi kewajibannya tersebut dan Tergugat selaku kreditur terlindungi dengan adanya janji akan dibayarnya sisa jumlah hutang oleh Penggugat. Sesuai dengan perkembangan jaman, institusi Notaris telah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, dan dengan lahirnya UUJN semakin meneguhkan institusi Notaris dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, Notaris tidak boleh membedabedakan satu dengan yang lainnya berdasarkan keadaaan sosial-ekonomi atau alasan lainnya. Alasan-alasan seperti keadaan sosial-ekonomi atau alasan apapun lainnya tidak dibenarkan untuk dilakukan oleh Notaris dalam melayani masyarakat, melainkan hanya alasan hukum sajalah yang dapat dijadikan dasar bahwa Notaris dapat tidak memberikan jasa kepada yang menghadap Notaris. Bahkan dalam keadaan tertentu, Notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada yang tidak mampu, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUJN. Hal ini dikarenakan Notaris wajib melakukan perintah tugas jabatannya sesuai dengan isi sumpah pada waktu hendak menerima/memangku jabatan Notaris. Batasan seorang Notaris dikatakan mengabaikan tugas dan
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
103
kewajiban jabatan, apabila Notaris tidak melakukan perintah imperatif Undang-Undang yang dibebankan kepadanya. Seorang Notaris juga berkewajiban untuk memberikan penyuluhan dan nasehat hukum serta memberikan penjelasan mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada pihak yang datang kepadanya. Sebelum para pihak menuangkan kehendaknya dalam akta, Notaris harus terlebih dahulu memberikan nasihat seperlunya kepada para pihak, antara lain mengenai syarat-syarat yang harus dilengkapi untuk keperluan pembuatan akta tersebut serta mengenai siapa yang boleh menurut hukum sehubungan dengan akta yang hendak dibuatnya dengan mengingat bahwa ketidakcakapan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum dapat pula disebabkan oleh undang-undang yang melarang seseorang tersebut untuk melakukan perbuatan hukum tertentu. Notaris juga harus mempunyai keyakinan mengenai kemampuan dan kewenangan masing-masing pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut. Apabila para pihak dalam akta notaris memasukkan pengertian yang kurang tepat atau mempunyai arti ganda sehingga mudah mengakibatkan terjadinya sengketa hukum, atau tidak mempunyai akibat hukum, atau dapat diperkirakan dengan jelas bahwa suatu ketentuan bermaksud untuk menguntungkan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, maka Notaris harus mengemukakannya kepada para pihak tentang keberatan-keberatan itu dan memberitahukannya secara layak. Dalam hal para pihak tetap pada ketentuannya, maka Notaris harus melaksanakannya, tetapi dengan mencantumkan secara tegas tentang keberatan-keberatan yang telah diajukannya.76 Terkait kewajiban memberikan penyuluhan hukum tersebut, Notaris merupakan pihak yang netral dan tidak membela kepentingan pihak manapun. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk tanggung jawab seorang Notaris
dalam
menjalankan
tugas
jabatannya
sebagai
pengemban
kepercayaan masyarakat, dengan mengingat bahwa otoritas Notaris diberikan oleh Undang-Undang dalam rangka untuk pelayanan kepentingan 76
R. Soegondo Notodisoeryo, Op.cit., h.60. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
104
publik, dan bukan untuk kepentingan diri pribadi Notaris yang bersangkutan. Notaris dilarang untuk menolak memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat khususnya pihak yang meminta dibuatkan akta tersebut, maka secara garis besar notaris dapat menjalankan tugas jabatannya untuk membuat akta yang berisi kehendak pihak yang datang kepada notaris, meskipun salah satu pihak sedang terkait perkara pidana, sebagai contoh Notaris dapat membuat akta wasiat yang diminta untuk dibuatkan oleh seorang terpidana sekalipun. Namun demikian, Notaris tetap harus menjalankan tugas jabatannya dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian terutama dalam melihat dan menilai apakah para pihak adalah memang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum yang dimaksud dan apakah tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang para pihak khususnya bagi pihak yang terkait perkara pidana untuk melakukan perbuatan hukum yang dimaksud tersebut. Notaris juga harus sangat berhati-hati, teliti, seksama dan menggunakan hati nurani dalam menilai kondisi jasmani dan rohani pihak yang meminta dibuatkan akta, apakah ia dalam kondisi yang sehat dan memungkinkan untuk dibuatkan akta atas perbuatan hukum yang dilakukannya atau tidak. Kondisi jasmani dan rohani pihak yang meminta dibuatkan akta tersebut akan sangat berpengaruh terhadap unsur kesadaran dalam kebebasan menyatakan kehendak dan unsur sepakat yang diperlukan sebagai syarat sahnya perjanjian. Dengan kata lain, Notaris juga harus peka terhadap kondisi psikis para pihak yang meminta dibuatkan akta, guna melindungi kepentingan para pihak yang bersangkutan di kemudian hari sekaligus guna melindungi kepentingan jabatan Notaris sendiri. Dalam pembuatan akta mengenai perbuatan hukum yang dilakukan pihak terkait perkara pidana tetap mengacu pada UUJN, salah satunya adalah mengenai daerah jabatan notaris. Notaris hanya bisa menjalankan tugas dan jabatannya di daerah hukum yang telah ditentukan kepadanya dan hanya di daerah itulah Notaris berwenang untuk memberikan pelayanan hukum pada masyarakat khususnya dalam pembuatan akta otentik. Oleh Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
105
karena itu, meskipun salah satu pihak sedang terkait perkara pidana dan berada dalam tahanan, Notaris tetap dapat membuatkan akta yang diminta oleh para pihak meskipun tidak dilakukan di kantor Notaris yang bersangkutan asalkan masih dalam wilayah jabatannya. Hal ini untuk memudahkan salah satu pihak yang terkait perkara pidana dengan terbatasnya kebebasan yang dimilikinya untuk memperoleh bantuan hukum berupa pembuatan akta notaris terkait perbuatan hukum yang akan dilakukannya. Apabila suatu akta telah dibuat oleh notaris yang tidak berwenang di tempat dimana akta itu dibuat, akta tersebut menjadi tidak otentik dan hanya masih mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan, apabila akta itu ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan.77 Mengingat betapa besarnya tanggung jawab seorang Notaris terutama dalam mengemban kepercayaan dari masyarakat, Notaris tetap harus jujur, cermat, teliti dan berusahan menjaga kepentingan para pihak secara seimbang sesuai dengan kehendak para pihak semula sebelum melakukan perbuatan hukum yang dimaksud, dengan melakukan berbagai tindakan preventif yang diperlukan terutama sebelum pembuatan akta. Notaris juga harus aktif memperhatikan serta mengikuti perkembangan setiap peraturan perundang-undangan bahkan peraturan internal instansi terkait sekalipun, mengingat perubahan masyarakat yang sifatnya dinamis.
77
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., h. 104. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
106
BAB 3 PENUTUP
3.1
Simpulan 3.1.1 Setiap orang adalah subyek hukum yang diakui sama di depan hukum. Meskipun dikenai suatu hukuman tertentu, tidak ada yang dapat
menyebabkan
kematian
perdata
atau
kehilangan
hak
keperdataan seseorang, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 KUHPerdata. Dengan dikenainya suatu hukuman kepada seseorang, baik hak-hak asasi maupun hak-hak keperdataannya pun menjadi terbatas, sebagai contoh seseorang yang dijatuhi hukuman penjara tidak dapat bebas melakukan kegiatan usahanya layaknya orang yang tidak dijatuhi hukuman penjara, termasuk dalam perbuatan hukum yang dilakukannya melalui akta Notaris. Pihak yang terkait perkara pidana tetap dapat melakukan perbuatan hukum, layaknya warga negara
pada
umumnya,
sepanjang
perbuatan
tersebut
tidak
berhubungan langsung dengan perkara yang dijalaninya dan perbuatan tersebut memenuhi ketentuan-ketentuan KUHPerdata yang sifatnya memaksa seperti Pasal 1320 KUHPerdata. Keabsahan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para pihak tidaklah bergantung pada status para pihak yang bersangkutan yaitu manakala salah satu pihak terkait perkara pidana atau tidak, melainkan tetap bergantung pada syarat sahnya perjanjian yang diatur secara limitatif pada Pasal 1320 KUHPerdata. Jika keempat syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata telah dipenuhi, maka perbuatan hukum, dalam hal ini perjanjian, yang dilakukan manakala salah satu pihak terkait perkara pidana adalah sah dan kepada para pihak mengikat berlaku sebagai Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
107
undang-undang. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan atau klafisikasi yang khusus antara perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak yang terkait perkara pidana ataupun dilakukan oleh pihak yang tidak terkait perkara pidana. Kedua perihal tersebut walaupun dengan status subyek yang berbeda, yaitu terkait perkara pidana atau tidak, tetap mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus lainnya terutama mengenai larangan bagi pihak yang terkait perkara pidana untuk melakukan perbuatan hukum tertentu. Namun demikian, Notaris juga harus memperhatikan itikad baik dari para pihak yang melakukan perbuatan hukum, dalam rangka untuk melindungi kepentingan para pihak, kepentingan masyarakat dan melindungi Notaris yang bersangkutan. 3.1.2 Suatu perbuatan hukum dimana salah satu pihak terkait perkara pidana adalah sah sepanjang memenuhi ketentuan yang sifatnya wajib dipenuhi seperti dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan dipenuhinya keempat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan mengakibatkan sahnya suatu perbuatan hukum, mengakibatkan perbuatan hukum tersebut mengikat para pihak serta akta yang dibuat mengenai perbuatan hukum tersebut juga tetap sah, sehingga para pihak harus melaksanakan perbuatan hukum tersebut dengan itikad baik, baik untuk kepentingan para pihak khususnya maupun untuk kepentingan
masyarakat
termasuk
kepentingan
Notaris
yang
bersangkutan pada umumnya. Notaris sebagai pejabat umum yang wajib mengedepankan kepentingan publik dibandingkan kepentingan dirinya sendiri, mempunyai tanggung jawab untuk membuatkan akta otentik yang akan menjadi bukti sempurna perihal perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak, termasuk memberikan penyuluhan hukum yang akan membantu para pihak. Notaris berkewajiban pula untuk bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Notaris mempunyai beban dan tanggung jawab moral sebagai pengemban Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
108
kepercayaan masyarakat yang bertugas melayani kepentingan masyarakat khususnya dalam membuat akta otentik, serta menjamin kepastian hukum dan bersikap adil dalam melindungi kepentingan para pihak terkait akta yang dibuatnya tersebut.
3.2
Saran Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, penulis memberikan saran yaitu : a.
Perlunya dibuat suatu nota kesepahaman dan kerja sama antara organisasi yang menaungi notaris dalam hal ini Ikatan Notaris Indonesia (INI) dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti lembaga kepolisian, penuntut umum, komisi pemberantasan korupsi, dan lembaga pembina masyarakat. Nota kesepahaman dan kerja sama ini nantinya akan sangat membantu khususnya bagi para notaris dalam membuat akta yang diminta dibuatkan oleh pihak yang terkait perkara pidana, terutama dalam membantu penerapan prinsip kehati-hatian yang harus diterapkan notaris dalam proses pembuatan akta. Misalnya, sebelum membuatkan suatu akta oleh pihak terkait perkara pidana, Notaris dapat meminta keterangan/pernyataan secara tertulis terkait perkara pidana yang sedang diperiksa terhadapnya dari Pejabat yang berwenang terhadap penahanan dan/atau perkara pidananya tersebut. Hal ini untuk mencegah pihak yang terkait perkara pidana melakukan perbuatan hukum yang justru dilarang oleh undang-undang dan kemudian dituangkan dalam akta notaris.
b.
Perlunya kegiatan pembinaan yang sifatnya berkala dan kontinyu terhadap para notaris pada khususnya dan terhadap para penegak hukum pada umumnya mengenai keabsahan perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak yang terkait perkara pidana, dalam rangka meningkatkan penerapan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas jabatannya. Hal ini dikarenakan masih terdapat Notaris yang ragu untuk memberikan jasa pembuatan akta notaris atas suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak yang terkait perkara pidana, sehingga tidak Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
109
jarang pihak yang terkait perkara pidana tersebut mengalami kesulitan untuk memperoleh bantuan hukum berupa pembuatan akta otentik, termasuk sulitnya meminta dibuatkan akta otentik secara cuma-cuma karena terkendala biaya yang dimilikinya.
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
110
DAFTAR PUSTAKA
BUKU: Andasasmita, Komar. Notaris I. Bandung: Sumur Bandung. 1984. Adjie, Habib. Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Bandung: PT. Refika Aditama. 2008. Adjie, Habib. Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik. Cet. 2. Bandung: PT. Refika Aditama. 2009. Badrulzaman, Mariam Darus. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2001. Badrulzaman, Mariam Darus. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Bandung: Alumni. 2005. Harahap, M. Yahya. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. 2007. Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Cet.1. Yogyakarta: LaksBang Mediatama. 2008. Ichsan, Achmad. Hukum Perdata IA. Cet.1. Jakarta: Pembimbing Masa. 1969. Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 2003. Kie, Tan Thong. Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris. Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Hoeve. 2007. Kohar, A. Notaris Dalam Praktek Hukum. Bandung: Alumni. 1983. Laboratorium Pancasila IKIP Malang. Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi Berdasarkan Keputusan DIRJEN DIKTI No. 25/DIKTI/Kep./1985. Malang: Penerbit IKIP Malang. 1990. Lubis, Suhrawardi. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2008. Mahdi, Sri Soesilowati, Surini Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi Cahyono. Hukum Perdata (Suatu Pengantar). Jakarta: Gitama Jaya. 2005. Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2006. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
111
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni. 1980. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1992. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2000. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2003. Notodisoeryo, R. Soegondo. Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan. Jakarta: CV.Rajawali Pers. 1982. Pitlo, A. Pembuktian dan Daluwarsa. Jakarta:Intermasa. 1978. Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Hukum Perikatan. Surabaya: Bina Ilmu. 1979. Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Perjanjian. Cet. VII. Bandung: Sumur Bandung. 1973. Rasjidi, Lili. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Bandung: Alumni. 1985. Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia Dan Common Law. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1993. Salim. Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUHPerdata. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2006. Samudera, Teguh. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Edisi Pertama. Bandung: Alumni. 2004. Satrio, J. Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya. Bandung: Alumni. 1999. Satrio, J. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari perjanjian Buku I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2001. Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta. 1979. Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia. 1993. Soesanto. Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris dan Wakil Notaris. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 1982.
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
112
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Indonesia-Press. 2010.
Jakarta: Universitas
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perjanjian. Cet. XVI. Jakarta: PT. Intermasa. 1996. Subekti, R. Aneka Perjanjian. Cet. X. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1995. Subekti, R. Hukum Perjanjian, Cet. XVI. Jakarta: Intermasa. 1996. Supriadi. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2006. Syahrani, Riduan. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni. 2006. Tedjasaputro, Liliana. Etika Profesi Notaris (dalam Penegakan Hukum Pidana). Yogyakarta: BIGRAF Publishing. 1995. Tobing, G.H.S. Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Cet. 3. Jakarta: Erlangga. 1983. Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2006.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150) Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 137 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4250) Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: PT.Pradnya Paramita. 2006. Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
113
MAJALAH: Atmaja, R.Z. Asikin Kusuma. Pembatasan Renternir Sebagai Perwujudan Pemerataan Keadilan. Varia Keadilan. Volume II. Tahun 1987. Ghofur, Abdul. Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum dan Etika. Yogyakarta : UII Press. Tahun 2009. Patahna, Muchlis dan Joko Purwanto. Notaris Bicara Soal Kenegaraan. Jakarta: Watampone Press. 2003. Setiawan, Wawan. Sikap Profesionalisme Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik. Media Notariat. Edisi Mei dan Juni 2004.
INTERNET: Heryanto. Notaris Antara Profesi dan Jabatan. http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?berita=opini&id=102865. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2012. Haryantho. Boedi. Penyalahgunaan Sebagai Alasan Pembatalan Perjanjian. http://www.scribd.com/doc/39221558/. Diakses pada tanggal 01 Desember 2012.
Universitas Indonesia
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013
Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013