TESIS PEMANGGILAN NOTARIS DALAM PROSES PENEGAKKAN HUKUM OLEH HAKIM TERKAIT AKTA YANG DIBUATNYA PASKA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS
Oleh: LAURENSIUS ARLIMAN S 1220122014
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 1
2014 LEMBAR PENGESAHAN
PEMANGGILAN NOTARIS DALAM PROSES PENEGAKKAN HUKUM OLEH HAKIM TERKAIT AKTA YANG DIBUATNYA PASCA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS
Oleh: LAURENSIUS ARLIMAN S 1220122014
Telah disetujui oleh Pembimbing :
PEMBIMBING I
DR. MARDENIS.SH.,MSi
PEMBIMBING II
DR. AZMI
FENDRI.SH.,MKn 2
KEASLIAN TESIS Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya tulis dengan judul: “PEMANGGILAN
NOTARIS
DALAM
PROSES
PENEGAKKAN
HUKUM OLEH HAKIM TERKAIT AKTA YANG DIBUATNYA PASCA
PERUBAHAN
UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS” adalah hasil kerja/karya sendiri dan bukan merupakan jiplakan dari hasil kerja/karya orang lain, kecuali kutipan yang sumbernya dicantumkan. Jika dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka kelulusan dengan gelar yang saya peroleh menjadi batal dengan sendirinya.
Padang, April 2014 Yang membuat pernyataan
Laurensius Arliman Simbolon 1220122014
3
ABSTRAK PEMANGGILAN NOTARIS DALAM PROSES PENEGAKKAN HUKUM OLEH HAKIM TERKAIT AKTA YANG DIBUATNYA SEBAGAI NOTARIS PASKA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS Notaris adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua pembuatan perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh Peraturan Umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan Grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada Pejabat atau orang lain. Berhubungan dengan akta yang dibuatnya, Notaris harus dimintakan pertanggungjawaban terhadap akta tersebut. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004, untuk pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan Notaris tidak ada lagi peran MPD dan digantikan oleh Majelis Kehormatan Notaris. Maka menjadi pertanyaan bagaimana Proses Munculnya Dasar Pembentukkan Majelis Kehormatan Notaris dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, dan bagaimana pemanggilan Notaris terhadap Akta yang dibuatnya oleh Hakim Pasca Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014. Penelitian karya ilmiah berupa tesis ini, berjenis penelitian hukum normatif,sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa Dewan Kehormatan Notaris lahir di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris karena kebutuhan akan perlindungan terhadap seorang Notaris dalam pembuatan akta. Sangat diperlukan apabila ada sebuah Lembaga yang fungsinya terhadap proses kepentingan peradilan, dimana Notaris harus mendapatkan izin dari Majelis Kehormatan Notaris bila dipanggil dalam sidang pengadilan. Dalam mengisi kekosongan hukum karena Majelis Kehormatan Notaris belum terbentuk, maka Notaris masih bisa menggunakan hak Ingkarnya terkait proses kepentingan peradilan, lembaga Ikatan Notaris Indonesia sendiri juga mendesak pemerintah untuk segera membentuk Majelis Kehormatan Notaris dan dalam Pemanggilan Notaris hakim bisa melakukan penetapan pengadilan. Adapun saran kedepannya INI sebagai wadah tunggal Organisasi Notaris harus peka untuk mengawasi anggotanya Notaris. Pemerintah harus segera membentuk peraturan pemerintah mengenai Majelis Kehormatan Notaris. Hakim harus jeli dalam memutus perkara berkaitan dengan Akta Notaris, Notaris harus lebih banyak membaca terkait jabatan Profesi notaris dan harus lebih sering berdiskusi dengan rekan sejawat, organisasi Ikatan Notaris Indonesia, ataupun pihak Akademisi Hukum dalam memahami dan mengartikan Undang-Undang Perubahan Jabatan Notaris ini, agar tidak terjadi kesalahan atau meminimalisir kesalahan dalam pembuatan akta kedepannya. Kata kunci: Notaris, Akta
4
ABSTRACT The invitations of notary in process by judge of enforcement law who relevant to deed had made by notary in notary position after amendment of law Notary is Public Officers are only authorized to make an authentic deed about allof agreementand the determination required by the General Regulations or by the concerned desired to be expressed in an authentic deed, ensure certainty the date, save the deed and gave Grosse, and a copy of the citation, thorough the deed was by a general rule did not be assigned or excluded to the Officer or others. Associated with the deed he had done, the Notary must be accountable to the deed. Indonesian Republic Act No. 2 of 2014 concerning Amendment to Law No. 30 of 2004, for making photocopies minuta Notary deed and no longer call the MPD role and was replaced by a Notary Honorary Council. So the question is how the emergence of Basic Formation Process Notary Honorary Council in Act No. 2 of 2014 on the Amendment Notary Act No. 30 of 2004 , and how the calls Notary Deed is made by Judge Post Title Amendment Act No. 2 of , 2014. Scientific research work in the form of this thesis , various normative legal research , resulting in the conclusion that the Honor Council Notary born in the Law No. 2 of 2014 on the Amendment Act No. 30 of 2004 Regarding Notary because of the need for protection a Notary in made deed . It is really obliged if there is an Institution that functions to process the interests of justice, in which the Notary must obtain permission from the Honorary Council Notary in court when summoned. In filling a legal vacuum because Notary Honorary Council has not yet formed, the Notary can still use rights related to the interests of refuse justice, Indonesian Notaries Association Institute itself also urged the government to immediately form the Honorary Council pass Notary and the Notary verdict against a judge must be fair and in accordance with his duties as a judge. The suggestion for future to INI as a single container Notary Organization member should be sensitive to oversee the Notary. The government should immediately establish regulations regarding Notary Honorary Council. Judges should be careful in deciding the case relating to the Deed , Notary should read more Related Professions notary office and be more frequent discussions with colleagues, organizations Indonesian Notaries Association, or the Law Academics on understanding and interpreting the Act Changes the Notary Position, to avoid mistakes or to minimize errors in the future deed . Key Word : Notary, Deed,
5
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, berkat dan rahmatnya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pemanggilan Notaris Dalam Proses Penegakkan Hukum Oleh Hakim Terkait Akta Yang Dibuatnya Sebagai Notaris
Paska Perubahan Undang-Undang
Jabatan Notaris”. Maksud dari tesis ini adalah sebagai salah satu syarat mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Andalas, Padang. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh untuk dikatakan sempurna, baik dalam kata-kata, maupun dalam pembahasannya disebabkan keterbatasan pengetahuan, pengalaman serta kemampuan penulis. Namun, penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritikan yang membangun demi kesempurnaanya. Pada kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua penulis kepada orang tua penulis Suhardi Simbolon dan Adelima Br. Huturuk mereka sumber kehidupan, pembimbing utama kehidupan saya. Mereka memiliki peran yang sangat penting dan tak terhingga, hingga rasanya ungkapan terima kasih saja tidak akan pernah cukup untuk menggambarkan wujud penghargaan penulis, hanya Tuhan yang mampu membalas kebaikan yang sangat agung itu. Serta penulis persembahkan tesis ini kepada Keluarga Kakak Mesrawati br. Simbolon dan Abang Ropendi Sirait S, Keluarga Kakak Dameria br. Simbolon dan abang Daniel Hutauruk Keluarga Kakak Dewi Fiska br. Simbolon dan 6
abang Fazril (Alm), Keluarga Abang Dedy Nilexs Simbolon dan kakak Risnamawati br. Simamora serta si Bungsu Jhosepa Yusita br. Simbolon, Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Yuliandri, SH. MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas. 2. Bapak Dr. Ferdi SH. MH, Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Andalas. 3. Bapak Frenadin Adegustara, SH. MS, Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Andalas. 4. Bapak Dr. Kurnia Warman, SH. MH, Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Andalas. 5. Bapak Dr. H. Busyra Azheri, SH. MH, Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Andalas. sekaligus sebagai Penguji dalam tesis ini. 6. Bapak Dr. Mardenis, SH. MSi, selaku Pembimbing I penulis yang telah meluangkan waktunya bagi penulis untuk memberikan petunjuk dan pengarahan sehingga terselesaikan juga tesis ini. 7. Bapak Dr. Azmi Fendri, SH. M.Kn, selaku Pembimbing II penulis yang telah meluangkan waktu bagi penulis untuk memberikan petunjuk dan pengarahan sehingga terselesaikannya tesis ini. 8. Bapak Dr. Suharizal, SH., MH selaku Penguji dalam tesis ini. 9. Sekretaris Pengelola Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Andalas.
7
10. Bapak Ibu Dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan ilmu dan pengarahan kepada penulis selama masa perkuliahan di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Andalas. 11. Karyawan dan Karyawati Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Andalas. 12. Terima kasih buat teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2008 13. Terima kasih buat teman-teman Magister Kenotariatan angkatan 2012. 14. Terima kasih buat teman-teman Magister Kenotariatan angkatan 2010 dan 2011. 15. Terima kasih buat teman-teman Ikatan Mahasiwa Kenotariatan Universitas Periode Andalas 2013-2014. Akhirnya merupakan suatu kebahagiaan tersendiri bagi penulis apabila tesis dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan atau setidak-tidaknya dapat menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca. Sekali lagi penulis ucapkan terima kasih.
Padang, 2014 Penulis
Laurensius Arliman Simbolon 1220122014 8
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………i ABSTRAK ……………………………………………………...……………….. ii KATA PENGANTAR….…………………………………………………... ...... iii DAFTAR ISI ………………………………………………………….………...vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………………………………………………………….. 1 B. Perumusan Masalah ………………………………………...………… 12 C. Keaslian Penelitian ………………………………………...………….. 12 D. Tujuan Penelitian ………………………………………...…………… 14 E. Manfaat Penelitian ……………………………………...…………….. 15 F. Kerangka Teoritis dan Konseptual a) Kerangka Teoritis ………..………………………...….………….. 17 1. Teori Negara Hukum ……………………………….. 18 2. Teori Penegakan Hukum.….…….……….………… 20 3. Teori Kepastian Hukum ………..……….………….. 21 4. Teori Kewenangan ……………..………………….. 23 b) Kerangka Konseptual ………….………………………………..… 27 G. Metode Penelitian …………………………………………………….... 33
9
BAB II NOTARIS DAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA A. Tinjauan Umum Tentang Notaris 1.
Tinjauan Tentang Profesi Jabatan Notaris
a.
Sejarah Hukum Tentang Profesi Notaris ………………….…... ..40
b.
Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian ……………..….....45
c.
Hak Kewajiban dan Larangan Notaris …………………………..49
2.
Tinjauan Wewenang Notaris Membuat Dalam Pembuatan Akta a.
Pengertian Akta 1. Akta Otentik ……………………..…………………………………. .53 2. Akta Notaris …………………...…………………………………….. 55
b.
Syarat Akta Notaris Sebagai Akta Otentik …………………... .56
c.
Nilai Pembuktian Akta Otentik 1. Lahiriah (uitwendigw bewijskracht)………………………...…...…. 68 2. Formal (fomele bewijskracht) …………………...…...…………….. 69 3. Materil (materiele bewijskracht) …………………...…...………..… 72
d.
Nilai Pembuktian Akta Otentik Dalam Putusan Pengadilan….73
3. Tinjauan Tentang Lembaga Pengawasan dan Pembinaan Profesi Jabatan Notaris a.
Dewan Kehormatan ……………………………………………... 77
b.
Majelis Pengawas Notaris ……………………………………….. 82
10
1.
Majelis Pengawas Pusat ..………………………..….. 83
2.
Majelis Pengawas Wilayah …………………….…… 84
3.
Majelis Pengawas Daerah ………………………...… 86
B. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum Oleh Hakim a. Pengertian Penegakan Hukum ………………………………….. 88 b. Pengertian Hakim ……..………………………………………….. 91 c. Asas-Asas Hukum Acara Perdata dan Pertimbangan Hakim 1.
Asas-Asas Hukum Acara Perdata…………………….… 94
2.
Pertimbangan Hakim…………………………………...…97
d. Putusan dan Jenis-Jenis Putusan Hakim 1.
Pengertian Putusan Hakim …………………………….. 97
2.
Jenis-jenis Putusan Hakim ……………………………..... 99
BAB III DASAR PEMBENTUKKAN MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS NOMOR 30 TAHUN 2004. 1. Pemanggilan Terhadap Jabatan Notaris Sebelum Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 ………………………………………………...…….…….... 104 2. Pemanggilan Terhadap Jabatan Notaris Setelah Berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 ……………..……….………………………....… 110 3. Kehadiran Majelis Kehormatan Notaris Di Dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UndangUndang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 11
a. Pengajuan Rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 dalam Rapat Paripurna DPR-RI ……….……………………………....................... 113 b. Majelis Kehormatan Notaris di Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 ........124 BAB IV PEMANGGILAN NOTARIS TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA OLEH HAKIM SEBELUM TERBENTUKNYA MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS a. Putusan Mahkamah Konstitusi Pasca Pengahapusan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 ……………..…………………………….............135 b. Hak Ingkar Notaris ………………………………………….140 1. Pemahaman Hak Ingkar Notaris ………………….. 141 2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUUX/2012 Tidak Menghapus Hak Ingkar Notaris …... 145 c. Peran Lembaga Ikatan Notaris Indonesia dalam Mengisi Kekosongan Hukum Sebelum Terbentuknya Majelis Kehormatan Notaris …….… ………………………151 d. Peran Hakim Dalam Proses Penegakan Hukum Pasca Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris 1. Penetapan Hakim Dalam Kasus Akta Notaris Yang Bermasalah …….…………………….…..….… 156 2. Asas Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim………………. 160 3. Penemuan Hukum Oleh Hakim Terhadap Penegakan Hukum…………………………………….162 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………………………………………………………………..166 12
B. Saran ………………………………………………………………………168 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. XI
LAMPIRAN ……………………………………………………………...…… xxii 1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012 Tidak Menghapus Hak Ingkar Notaris. 2. Mou POLRI dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI). 3. Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 5. Matrik Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Dr. Widhi Handoko, SH., SpN-Dosen Universitas Dipenegoro)
13
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Notariat sudah dikenal di tanah air kita, semenjak Belanda menjajah Indonesia, karena notariat adalah suatu lembaga yang sudah dikenal dalam kehidupan mereka di tanah airnya sendiri.1 Keberadaan lembaga Notaris di Indonesia senantiasa dikaitkan dengan keberadaan fakultas hukum, hal ini terbukti dari institusi yang menghasilkan Notaris semuanya dari fakultas hukum dengan kekhususan Program Pendidikan Spesialis Notaris atau sekarang ini Program Studi Magister Kenotariatan.2 Keberadaan lembaga Notaris muncul hadir di negara kita, karena untuk mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum bagi anggota masyarakat. Mengingat dalam wilayah hukum privat (perdata), Negara menempatkan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenangan dalam hal pembuatan akta otentik, untuk kepentingan pembuktian atau alat bukti. Pengaturan tentang jabatan Notaris telah dimulai diatur dengan Reglement op Het Notaris in Nederlands Indie (stbl.1860:3)3, pada tahun 2004 diundangkanlah undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pengaturan jabatan 1
R. Soegono Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Cetakan 2, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 1. 2 Habib Adjie, 2009, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang Jabatan Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Cetakan 2, PT.Refika Aditama, Bandung, hal 1. 3 Reglement op Het Notaris in Nederlands Indie (stbl.1860:3 ) merupakan peraturan pembaharuan mengenai jabatan Notaris di Indonesia pada zaman Hindia-Belanda, peraturan ini merupakan pengganti dari Instructie voor de Notarissen Residerende in Ambit in Nederlands Indie.
14
Notaris lebih disempurnakan lagi dengan adanya undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yang telah disahkan pada tanggal 17 Januari tahun 2014 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Kedudukan seorang Notaris di Indonesia lebih sulit dari pada Notaris di negeri Belanda. Seorang Notaris di Indonesia menghadapi langganan (client4) bermacammacam golongan penduduk dan masing-masing mempunyai adat istiadat sendiri. Maka dari pada itu seorang Notaris wajib memberikan penyuluhan hukum terlebih dahulu yang mudah dipahami oleh langganan pada saat berhadapan dengan Notaris5. Notaris adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua pembuatan perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh Peraturan Umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan Grosse6, salinan dan kutipannya, semua sepanjang akta itu oleh suatu
4
Client diartikan sebagai seorang yang meminta jasa Praktisi Hukum untuk mengurus perkaranya. I.P.M Ranuhandoko, 2008, Terminologi Hukum-Inggris Indonesia, Cetakan 5, Sinar Grafika, Jakarta, hal 134. 5 R.Soesanto, 1978, Tugas Kewajiban dan Hak-Hak Notaris Wakil Notaris (sementara), Pradnya Paramita, Jakarta, hal 28. 6 Grosee adalah salinan dari suatu pengadilan atau akta autentik (akta notaris) yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yang berarti bahwa grosse itu harus memakai kepala di atasnya katakata “Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”, sebagaiman setiap vonis pengadilan harus memakai kepala putusan kata-kata tersebut, berdasarkan pasal 4 Undang-Undan Nomor 14 Tahun 1970 (L.N.1970 No.74 L.N. No.2951). Victor M.Situmorang dan Cormentyana Sitanggang, 1993, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Cetakan 1, Rineka Cipta, Jakarta, hal 39.
15
peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada Pejabat atau orang lain.7 Sedangkan didalam perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris, memberikan pengertian bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang- undang lainnya.8 Artinya bahwa akta Notaris itu berkaitan secara langsung dengan nilai martabat para pihak yang berjanji. Janji-janji yang telah dinyatakan dalam akta merupakan cerminan kehendak yang tulus disampaikan oleh para pihak. Kebutuhan hukum dalam masyarakat dapat dilihat dengan semakin banyaknya bentuk perjanjian yang dituangkan dalam suatu akta Notaris, dimana Notaris merupakan salah satu pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang.9 Wewenang membuat akta otentik ini hanya dilaksanakan oleh Notaris sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya10. Dapat disimpulkan bahwa Notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang memiliki wewenang untuk itu.
7
Peraturan Jabatan Notaris, Pasal 1 Stb 1860-31 disusun oleh GHS Lumban Tobing, didalam Muchlis Fatahna dkk, 2003, Notaris Bicara Soal Kenegaraan, Watampone Pers, Jakarta, hal 253. 8 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 9 Santia Dewi dan R.M Fauwas Diradja, 2011, Panduan Teori dan Praktik Notaris, Pustaka Yustika, Yogyakarta, hal 9. 10 Habib Adjie, op.cit, Hukum Notaris Indonesia, hal 40.
16
Menurut Djoko Soepadmo11 Akta Otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan atau menurut aturan dalam undang-undang oleh atau dihadapan umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat,12 sedangkan menurut Husni Thamrin, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan dari pihak-pihak yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat dalamnya oleh pihak-pihak yang berkepentingan, akta otentik tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangakan tentang apa yang dilakukannya atau dilihat dihadapnnya13. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa ”akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”14 Senada dengan bunyi pasal 1868 Kitab UndangUndang Hukum Perdata menurut Habib Adjie, bahwa pasal 1868 KUHperdata memberikan batasan secara unsur yang dimaksud dengan akta otentik yaitu15 : 1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum. 11
Djoko Soepadmo merupakan seorang Notaris di Surabaya, Djoko Soepadmo juga merupakan dosen luar biasa pada Program Studi Spesialis I Notariat Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. 12 Djoko Soepadmo, 1994, Teknik Pembuatan Akta Seri B-1, PT.Bina Ilmu, Surabaya, hal ii. 13 Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, Cetakan 2, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal 11. 14 Kitab Undang Undang Hukum Perdata Terjemahan Prof.R.Subekti SH, PT Pradnya Pramita : Jakarta, hal 475. 15 Habib Adjie, 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, PT.Refika Aditama. Bandung, hal 5.
17
2. Akta itu harus dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. 3. Pegawai Umum (Pejabat Umum) oleh-atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. Akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna di antara para pihak dan ahli waris-ahli warisnya dan memiliki kekuatan mengikat. Sempurna berarti suatu akta otentik sudah cukup untuk membuktikan suatu peristiwa atau keadaan tanpa diperlukannya penambahan bukti-bukti lainnya. Mengikat berarti segala sesuatu yang dicantumkan di dalam akta harus dipercayai dan dianggap benar benar telah terjadi , jadi jika ada pihak-pihak yang membantah atau meragukan kebenarannya maka pihak tersebutlah yang harus membuktikan keraguan dan ketidakbenaran akta otentik tersebut.16 Salah satu syarat lagi yang harus ditambahkan di dalam akta otentik tersebut didalamnya telah termasuk semua unsur bukti tulisan, saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, dan sumpah.17 Mengetahui pentingnya tugas dan kedudukan Notaris di tengah-tengah masyarakat dan kekuatan pembuktian dari akta otentik yang dibuatnya, dapat dikatakan bahwa jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan. Jabatan kepercayaan yang diberikan undang-undang dan masyarakat ini mewajibkan seseorang yang berprofesi sebagai Notaris
bertanggung jawab untuk melaksanakan
kepercayaan tersebut dengan sebaik-baiknya serta menjunjung tinggi etika hukum, martabat serta keluhuran jabatannya. 16
Alexander, 2012, Bahan Kuliah Peraturan Jabatan Notaris Dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Magister Kenotariatan Univeristas Andalas, Padang. 17 Habib Adjie, Op.cit, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, hal 6.
18
Notaris seringkali dalam praktiknya terlibat dengan perkara hukum baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka.18 Keterlibatan Notaris
dalam perkara
hukum disebabkan adanya kesalahan pada akta yang dibuatnya, baik karena kesalahan Notaris
itu sendiri maupun kesalahan para pihak atau salah satu pihak yang tidak
memberikan keterangan atau dokumen yang sebenarnya (tidak adanya iktikad baik dari para pihak atau salah satu pihak) atau telah ada kesepakatan antara Notaris dengan salah satu pihak yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Berhubungan dengan akta yang dibuatnya, Notaris harus dimintakan pertanggungjawaban pidananya karena menimbulkan kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak19. Notaris pada dasarnya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, karena Notaris hanya bertanggung jawab pada sisi formal pembuatan akta.20 Terkait adanya dugaan terhadap kasus hukum yang dilakukan oleh seorang Notaris, didalam pasal 66 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa penyidik, penuntut umum, atau hakim, dalam pengambilan minuta akta dan pemanggilan Notaris, harus dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD).21 Majelis Mahkamah Konstitus (MK) pada tanggal 23 Maret 2013 telah mengabulkan permohonan uji materiil (judicial review) terhadap Pasal 66 (ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diajukan 18
Mulyoto, 2010, Kesalahan Notaris dalam Pembuatan Akta Perubahan Dasar CV, Cakrawala Media , Yogyakarta, hal 2. 19 Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa Sukses (RAS), Jakarta, hal 82. 20 Pieter Latumaten, 2009, Kebatalan dan Degredasi Kekuatan Bukti Akta Notaris Serta Model Aktanya, Makalah yang disampaikan pada Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia di Surabaya. 21 Habib Adjie, 2011, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Jabatan Notaris,Pustaka Zaman, Semarang, hal 22.
19
Saudara Kant Kamal. Amar keputusan Mahkamah Konstitusi pada intinya membatalkan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam pasal yang diuji.22 Dengan Putusan No. MK No. 49/PUU-X/2012 tanggal 23 Maret 2013 maka pemeriksaan proses hukum yang melibatkan Notaris
tidak memerlukan persetujuan
Majelis Pengawas Daerah (MPD) lagi dan frasa tersebut dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat23. Dalam persidangan dan hukum acara MKRI, tentu ini diartikan bahwa putusan ini final dan mengikat (final and binding).24 Dalam Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (MPD) Majelis Pengawas Daerah mempunyai kewenangan khusus yang tidak dipunyai oleh (MPW) Majelis Pengawas Wilayah dan (MPP) Majelis Pengawas Pusat, yaitu sebagaimana yang tersebut didalam pasal 66 UUJN25, bahwa MPD berwenang untuk memeriksa Notaris sehubungan dengan permintaan penyidik, penuntut umum atau hakim untuk mengambil fotokopi minuta atau surat-surat lainnya yang dilekatkan pada minuta atau dalam protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, juga pemanggilan Notaris yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau dalam protokol 22
Alwesius, 2013, Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal 66 UUJN dan Tindakan Yang Dapat Kita Lihat Kedepan. http://alwesius.blogspot.com/2013/05/putusan-mahkamah-konstitusiterhadap.html. Diakses pada tanggal 25 Januari 2014. 23 Diah Sulistyani Muladi, 2013, Pasca Putusan MK Kalau Notaris Benar dan Taat Hukum Mengapa Resah ?. https://www.medianotaris.com/groups/248567705262940/. Diakses pada tanggal 25 Januari 2014. 24 Maruarar Siahaan, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstutisi Republik Indonesia, Edisi 2 Cetakan 1, Sinar Grafika, Jakarta, hal 202. 25 Dalam bagian penjelasan pasal 66 UUJN telah jelas. Kemudian dalam pasal 66 UUJN tidak diperintahkan untuk ditindak lanjuti dalam bentuk keputusan atau Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, tapi pada kenyataanya Menteri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor : M.03.HT.03.10. Tahun 2007tentang pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris.
20
Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris . Hasil akhir pemeriksaan MPD yang dituangkan dalam bentuk surat keputusan berisi dapat memberikan persetujuan atau menolak permintaan penyidik, penuntut umum atau hakim.26 Menurut Habib Adjie, berdasarkan putusan MK itu, terhadap proses peradilan penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang: untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan, serta Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris
yang berada dalam
penyimpanan Notaris tanpa persetujuan MPD27. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004, untuk pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan Notaris
tidak ada lagi peran MPD dan
digantikan oleh Majelis Kehormatan Notaris (MKN), yang dijelaskan dalam pasal 66 yang berbunyi sebagai berikut28: 1. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang: a) mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris ; dan, b) memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris . 26
Habib Adjie , Op.cit, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris ,hal 159 Habib Adjie, 2013, Telah Mengakhiri Kewenangan Istimewa MPD (Sebagaimana Tersebut dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN). http://habibadjie.dosen.narotama.ac.id/artikelkajian-hukumkenotariatan/. Diakses pada tanggal 25 Januari 2014. 28 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/database-peraturan.html. Diakses pada tanggal 24 Januari 2014. 27
21
2. Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. 3. Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan. 4. Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan, Dengan dialihkannya peran MPD kepada MKN maka peran MPD sekarang mempunyai kewenangan sesuai dengan pasal 70 UUJN29. Dengan adanya pasal 66A tentang Majelis Kehormatan Notaris, yang diadakan dalam rangka pembinaan Notaris . Maka patut dipertanyakan pasal 1 butir 6 tentang Majelis Pengawas Notaris berfungsi melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. Sehingga dengan demikian terdapat 2 (dua) Majelis yang berfungsi melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris yaitu Majelis Pengawas Notaris dan Majelis Kehormatan Notaris .30 Padahal menurut pasal 67 (BAB IX) fungsi Majelis Pengawas Notaris adalah melaksanakan pengawasan terhadap Notaris (tanpa disebut-sebut adanya funsi pembinaan). Menurut Amrul Partomuan Pohan apakah tidak seyogyanya fungsi Majelis Pengawas Notaris
fokus pada pengawasan Notaris. Sedangkan fungsi
pembinaan dibebankan pada Majelis Kehormatan Notaris dan masih terdapat ruang untuk mempertegas dan merinci masalah ini dalam Peraturan Menteri yang telah 29
Bisa dilihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004, pasal 70. 30 A. Partomuan Pohan, 2014, Beberapa Catatan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.Makalah yang disampaikan di Hotel Mercure-Padang, Pada tanggal 29 Januari 2014, hal 8.
22
dperintahkan untuk dibuat sesuai dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 31
2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004.
Banyak di dalam pasal dalam Perubahan UUJN ini, khususnya yang dalam kaitan memberikan penjatuhan sanksi diatur di dalam Peraturan Menteri, maka untuk kepastian Hukum, agar Menteri (khususnya Menkumham), segera membuat aturan tersebut, secepatnya. Bahkan ada peraturan dan Badan (Majelis kehormatan), Sidik jari, yang sangat mendesak untuk segera dibentuk, berikut dengan Peraturan pelaksananya, setelah Perubahan UUJN ini diundangkan. Hal ini diperlukan agar ada kepastian hukum, dan tidak tumpang tindih dalam pelaksanaannya, misalnya mengenai Majelis Kehormatan; bagaimana persetujuan Majelis Kehormatan untuk penegak hukum yang akan mengambil foto kopi minuta, serta memanggil Notaris untuk diminta keterangannya, dan lainnya, bagaimana hal tersebut juga dapat dilaksanakan oleh semua penyidik, penuntut umum, atau hakim di lapangan.32 Selanjutnya Syafran Sofyan menyatakan bahwa, di dalam UUJN Nomor 30 Tahun 2004 dan Perubahannya, tidak ada aturan mengenai ketentuan pidana. Padahal di dalam pasal 15 UU Nomor 12 tahun 2011, untuk UU dan Perda dapat dimuat ketentuan pidana, agar dapat diatur/ketentuan apa saja yang membuat Notaris bisa dipidana.33
31
Ibid. Syafran Sofyan, 2013, Catatan Perubahan UU Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004(Peraturan Menteri Sangat Mendesak), http://medianotaris.com/catatan_perubahan uu_jabatan_notaris_nomor_tahun_berita352.html, diakses pada tanggal 30 Januari 2014. 32
33
Ibid.
23
Senada dengan Syafran Sofyan, Ketua Umum Ikatan Notaris Indonesia (INI) Pusat Andrian Djuani, Andrian Djuani menyayangkan bahwa ketentuan terhadap Pidana ini, tidak ada diatur. Akibatnya penegak hukum bisa seenaknya-enaknya sendiri menjerat Notaris dalam ranah pidana. Untuk itu perlu pengaturan yang jelas dan tegas di dalam Permenkumham, dan MOU dengan Penegak, khususnya di dalam menentukan seorang Notaris terdapat dugaan tindak pidana, dan atau tersangka.34 Kasus Notaris yang tengah dihadapkan didepan pengadilan di Indonesia yang terbaru ini adalah, Notaris Adi Pinem Notaris di Medan. Setelah melihat dan membaca fotocopy Surat Keterangan dibawah tangan dari klien, Adi Pinem langsung membuat Akta Melepaskan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi Nomor 24. Setelah akta tersebut selesai diketik, Notaris Adi Pinem membacakan isi akta tersebut dan kemudian ditandatangani oleh Syafrin dan Efrata Ngerajai Ginting. Diketahui dalam Akta Melepaskan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi Nomor 24 tersebut, ada beberapa keterangan yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan/atau tidak sesuai dengan data pendukung yaitu pada bagian Komparisi Akta yang menguraikan tentang Pihak Pertama yaitu Syafrin Sitepu.35
34
Adrian Djuani, 2013, Implikasi Hukum Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Mencabut Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris Terhadap Kedudukan Jabatan Notaris. Makalah yang disampaikan di Kampus Fakultas Hukum-Prodi Magister Kenotariatan-Universitas Andalas, Padang. 35 Medan, Harian Orbit, Hakim Tolak Eksepsi 3 Terdakwa Penyerobot Lahan, http://www.harianorbit.com/hakim-tolak-eksepsi-3-terdakwa-penyerobot-lahan/, diakses pada tanggal 20 Februari 2014. Dilampirkan penulis dalam lampiran.
24
Mengingat betapa pentingnya proses penegakkan hukum terkait akta yang dibuat oleh seorang Notaris, maka penulis merasa tertarik mengkaji permasalahan tersebut dalam suatu karya ilmiah berbentuk tesis yang diberi judul “Pemanggilan Notaris Dalam Proses Penegakkan Hukum Oleh Hakim Terkait Akta Yang Dibuatnya Sebagai Notaris Pasca Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris ” B. Perumusan Masalah36 Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan batasan permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana Dasar Munculnya Pembentukkan Majelis Kehormatan Notaris dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UndangUndang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 ? 2. Bagaimana Pemanggilan Notaris Terhadap Akta yang Dibuatnya oleh Hakim Pasca Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 ? C. Keaslian Penelitian Layaknya suatu karya ilmiah, seorang penulis harus memberikan pertanggung jawaban ilmiah bahwa pelitian yang dilakukan dijamin keasliannya37. Selaras dengan itu, berdasarkan penelusuran kepustakaan yang telah terlebih dahulu dilakukan oleh penulis mengenai “Pemanggilan Notaris Dalam Proses Penegakkan Hukum Terkait 36
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan 6, PT. Raja Grafindo Pers, Jakarta, hal 4. Perumusan masalah dalam suatu penelitian (hukum) menjadi titik sentral; perumusan masalah yang tajam disertai dengan isu hukum (legal issues, legal questions) akan memberikan arah dalam menjawab pertanyaan atau isu hukum yang diketengahkan. 37 Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Kedua, Bayu Media Publishing, Jawa Timur, hal 292.
25
Akta Yang Dibuatnya Pasca Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris ” diketahui telah ada karya ilmiah terdahulu yang berkaitan terhadap kedudukan Notaris sebagai pejabat pembuat akta yang dibuatnya. Penelitian yang berkaitan dengan Notaris sebagai pembuat akta tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Zainudin, tahun 2012, dalam rangka menyusun tesis pada program Magister Kenotariatan Universitas Andalas yang berjudul Pengawasan Oleh Majelis Pengawas Daerah Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Di Kota Padang. Dalam Penelitian ini dibahas mengenai bagaimana praktik pengawasan oleh Majelis Pengawas Daerah Kota Padang dan kendala-kendala apa yang dihadapi dalam pelaksanaan pengawasan oleh Majelis Pengawas Daerah Kota Padang dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut. Dengan demikian penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Hal ini dapat dilihat dari rumusan masalah penelitian yang dilakukan oleh Zainudin tentang Pengawasan Oleh Majelis Pengawas Daerah Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Di Kota Padang, sedangkan penulis membahas tentang proses pemanggilan Notaris terhadap akta yang dibuatnya setelah diundangkannya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, proses pemanggilan Notaris terhadap akta yang dibuatnya pasca penghapusan pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 oleh Mahkamah konstitusi dan proses pemanggilan Notaris terhadap akta yang dibuatnya pasca diundangkannya undang-undang nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004.
26
Tesis ini memiliki kesamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu. Dalam hal persamaan yakni penelitian ini sama-sama membahas mengenai akta yang dibuat oleh Notaris . Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah, jika dalam beberapa tesis yang ditelusuri membahas mengenai pengawasan oleh Majelis Pengawas Daerah, sedangkan dalam penelitian ini membahas bagaimana proses terbentuknya Majelis Kehormatan Notaris didalam Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 dan bagaimana proses pemanggilan Notaris terkait dengan akta yang dibuatnya oleh hakim pasca perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014.. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa karya ilmiah yang saya teliti ini adalah asli dan untuk pertama kalinya dibahas berdasarkan perumusan masalah yang ada. D. Tujuan Penelitian Setiap penulisan karya ilmiah pada dasarnya pasti selalu mempuyai tujuan tertentu yang hendak dicapai oleh penulis itu sendiri38, yang selanjutnya diharpakan tercapai penyelesaian yang lebih baik, atas segala permasalah-permasalahan yang ditemui di lapangan. Dalam penulisan ini, tujuan yang hendak penulis capai yaitu : 1. Untuk Mengetahui Dasar Pembentukkan Majelis Kehormatan Notaris dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004. 38
Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.109.
27
2. Untuk Mengetahui Pemanggilan Notaris Terhadap Akta yang Dibuatnya oleh Hakim Pasca Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014. E. Manfaat Penelitian39 Adapun manfaat yang diharapkan dan akan diperoleh dengan adanya penelitian ini dari penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis40 Secara teoritis penulisan tesis ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan untuk perkembangan ilmu hukum Notaris pada khususnya, serta menambah literatur dan referensi atau bahan bacaan bagi mahasiswa fakultas hukum dan masyarakat luas mengenai pertanggung jawaban terhadap akta Notaris . 2. Manfaat praktis41 Secara praktis penulisan tesis ini diharapkan: a. Bagi rekan mahasiswa hukum, masyarakat, praktisi hukum dan pemerintah diharapkan agar tesis ini dapat menjadi pedoman atau rujukan dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pertanggungjawaban Notaris terhadap akta yang dibuatnya. 39
hal 135.
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Cetakan 4, PT. Rineka Cipta, Jakarta,
40
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cetakan I, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal 66. 41 Ibid, hal 66.
28
b. Bagi masyarakat luas diharapkan agar tesis ini dapat memberikan masukan dan pertimbangan untuk dapat menghindarkan diri dari kerugian sebagai pengguna jasa Notaris dan dapat memberikan pelajaran serta pengalaman bagi Notaris agar dalam menjalankan tugas dan kewajiban profesinya harus mematuhi ketentuan undang-undang dan kode etik profesi, menjunjung tinggi profesionalitas profesinya untuk mengurangi risiko timbulnya kesalahan terhadap pembuatan akta. c. Bagi penegak hukum, terkhususnya para hakim diharapkan agar tesis ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan-keputusan, khususnya didalam hal menetapkan pertanggungjawaban Notaris terhadap akta yang dibuatnya apabila terjadi sengketa di pengadilan. d. Bagi pemerintah dan pembuat undang-undang diharapkan agar tesis ini dapat memberikan masukan untuk menetapkan pertanggungjawaban Notaris dengan tegas dan jelas dalam suatu peraturan perundang-undangan agar terciptanya kepastian hukum bagi masyarakat luas yang menggunakan jasa Notaris. F. Kerangka Teoritis Dan Konseptual a) Kerangka Teoritis Teori adalah untuk menerangkan atau menjelasakan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, kemudian teori ini harus diuji dengan menghadapkan pada fakta-fakta yang menunjukkan ketdidakbenaran, yang kemudian untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataan), juga 29
simbolis42. Teori tidak saja digunakan dalam bahasa ilmu pengetahuan, melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari. Tapi istilah teori selalu dikaitkan dengan sesuatu yang abstrak. Didalam kerangka ilmu pengetahuan, istilah teori cenderung pula digunakan secara simpang siur dengan istilah konsep, model, aliran, paradigma, doktirn, sistem dan sebagainya.43 Menurut Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis, tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan, secara kritis ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan metode sintetis saja. Dikatakan secara kritis karena pertanyaanpertanyaan atau permasalahan teori hukum tidak cukup dijawab secara “otomatis” oleh hukum positif karena memerlukan argumentasi atau penalaran.44 Sejalan dengan hal diatas, maka terdapat beberapa teori yang akan digunakan dalam tulisan ilmiah berupa tesis ini. Teori yang hendak digunakan adalah Teori Negara Hukum, Teori Penegakkan dan Teori Kewenangan. 1. Teori Negara Hukum Teori (konsep) negara hukum pada masing-masing Negara berbeda-beda istilahnya45. Konsep Negara hukum di Eropa Kontinental yang dipopulerkan oleh Friedrich Julius Stahl dinamakan “rechtsstaat”, model ini diterapkan si Belanda, 42
Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Rafika Aditama Press, Jakarta, hal 21. 43 Elwi Danil, 2012, Bahan Ajar Mata Kuliah Teori Hukum, Prodi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. 44 Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hal 87. 45 Mardenis, 2011, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia. PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta. hal 14.
30
Jerman, dan Perancis.46 Konsep Negara Hukum dalam tradisi Anglo Amerika dikenal dengan sebutan the rule of law”47. a. Teori Eropa Kontinental Friedrich Julius Stahl yang merupakan salah seorang ahli hukum dari kalangan Eropa Kontinental menyatakan bahwa suatu negara hukum yang disebutnya dengan istilah Rechtsstaat haruslah memenuhi empat unsur, yakni:48 1. Adanya jaminan atas hak-hak dasar manusia. 2. Adanya Pembagian kekuasaan. 3. Pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum. 4. Adanya peradilan administrasi negara (PTUN). Selanjutnya Profesor Utrecht dalam Jimly Asshiddiqie Gagasan Negara hukum ini dinamakan dengan Negara hukum formal, karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan undang-undang.49 b. Teori Anglo Saxon Adapun A.V Dicey seorang ahli hukum dari kalangan Anglo Saxon menjelaskan ciri-ciri negara hukum (Rule of Law) sebagai berikut :50 1. Supremacy of Law. 2. Equality before the law. 46
M.Daud Ali, M.Tharir dan Habibah Daud, 1998, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan politik, Bulan Bintang, Jakarta, hal 116. 47 Jimly Assiddiqie, 2011, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan 2, Sinar Grafika, Jakarta. hal 57. 21 Dasril Radjab, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal 77 49 Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal 305. 50 Dasril Radjab, Op.Cit, Hukum Tata Negara Indonesia, hal 78.
31
3. Human rights. Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip Rule of Law yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsipprinsip negara hukum ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting negara hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah51:
1. Negara harus tunduk pada hukum. 2. Pemerintah menghormati hak-hak individu. 3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak. 2. Teori Penegakkan Hukum Secara umum teori penegakkan hukum terdiri atas dua golongan, yaitu Teori Absolut (Teori Pembalasan) dan Teori Relatif (Teori Tujuan). Seiiring berjalannya waktu muncul teori yang ketiga, yaitu teori yang menggabungkan kedua teori tersebut. a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan atau Teori Retributif 51
Jimly Asshiddiqie, 2004, Mahkamah Konstitusi dan Cita Negara Hukum Indonesia, makalah yang disampaikan pada Dies Natalis ke-53 Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Di dalam Mardenis, hal 16.
32
Meurut teori ini, setiap pelanggaran hukum harus diikuti dengan penjatuhan sanksi. Sanksi tersebut diperoleh sebagai balasan atas perbuatan yang telah dilakukan. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk memberikan derita kepada pelaku sebagai balasan atas perbuatannya. Dalam hal ini, tidak lagi dilihat akibat-akibat yang mungkin timbul dengan dijatuhkan sanksi tersebut.52 b.
Teori Relatif atau Teori Tujuan Dalam hal ini sanksi dijatuhkan tidak hanya karena telah dilakukan pelanggaran hukum, akan tetapi dengan melihat manfaat sanksi bagi masyarakat maupun diri sendiri. Dalam hal ini penjatuhan sanksi memiliki tujuan yang lebih jauh dari sekedar pembalasan belaka.53
c.
Teori Campuran Teori ini merupakan gabungan dari Teori Pembalasan dan Teori Relatif. Tokoh dari Teori ini adalah Pellegrino Rossi. Sekalipun tidak menganggap pembalasan sebagai asas dari penjatuhan sanksi dan bahwa beratnya sanksi tidak boleh melampaui pembalasan yang adil, namun dia berpendirian bahwa sanksi mempunyai berbagai pengaruh, antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi umum.54
3.
Teori Kepastian Hukum
52
Andi Hamzah dan Siti Rahayu, 1983, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, hal 25. 53 Ibid, hal 26. 54 Ibid, hal 19.
33
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibabankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.55 Ajaran hukum umum meneliti apa yang sama pada semua sistem hukum di waktu yang lampau dan yang seharusnya tidak sama pada sistem hukum.56 Hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud kongkrit. Oleh karenanya pertanyaan tentang apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaaan yang jawabannya tidak mungkin satu. Dengan kata lain, persepsi orang mengenai hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang hukum itu dari sudut pandang mereka sebagai hakim, kalangan ilmuwan hukum akan memandang hukum dari sudut profesi keilmuan mereka, rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka dan sebagainya.
55
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan 2, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal 158. 56 Sudikno Mertokusumo, 2011, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hal 80.
34
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.57
4. Teori Kewenangan Seiring dengan pilar utama Negara hukum58, yaitu asas legalitas, berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundangundangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundangundangan59. Kekuasaan atau kewenangan senantiasa ada dalam segala lapangan
57
Yance Arizona, 2011, Apa Itu Kepastian Hukum?, http://yancearizona.net/2008/04/13/apaitu-kepastian-hukum/, diakses pada tanggal 16 Februari 2014. 58 Menurut Jimly Asshiddiqie : Dalam konsep negara hukum, diidealkan bahwa yang harus menjadi panglima dalam seluruh dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik maupun ekonomi. Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal 297. 59 Yuliandri, 2010, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Cetakan 2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 249.
35
kehidupan, baik masyarakat yang sederhana apalagi pada masyarakat yang sudah maju.60 a. Kewenangan Atribusi61 Indroharto berpendapat bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara:62 a. Yang berkedudukan sebagai original legislator; di Negara kita di tingkat pusat adalah MPR (Majelis Permusyawatan Rakyat) sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan pemda yang melahirkan Peraturan Daerah63. b. Yang bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha Negara tertentu. b. Kewenangan Delegasi 60
Yuslim, 2014, Kewenangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten/Kota Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Ringkasan Disertasi, Universitas Andalas, Padang, hal 8. 61 Ridwan HR, 2010, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 103. 62 Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku 1, Sinar Harapan, Jakarta, hal 91. 63 Takdir Rahmadi dan Firman Hasan, 2002, Reformasi Hukum (Sebuah Bunga Rampai), Citra Budaya Indonesia Padang dan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, hal 103.
36
Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha Negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.64 Selain pengertian diatas Prof. Dr. Moh. Machfud MD memberikan pengertian bahwa kewenangan atas delegasi65 berarti kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya dibawah Undang-undang yang berisi masalah untuk mengatur satu ketentuan Undang-undang. Apabila dalam hal pemindaan/pengalihan suatu kewenangan yang ada itu kurang sempurna, berarti keputusan yang berdasarkan kewenangan itu tidak sah menurut hukum.66 Jadi ketetapan dengan kelihatan tidak berwenang membuatnya, maka ketetapan itu dapat menjadi batal mutlak.67 c. Kewenangan Mandat Pada mandat tidak dibicarakan penyerahan-penyerahan wewenang, tidak pula pelimpahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun (setidaknya dalam arti yuridis formal). Yang ada hanyalah hubungan internal, sebagai contoh Menteri dengan pegawai, Menteri mempunyai kewenangan dan melimpahkan 64
Indroharto, Op.cit, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,, hal 91. 65 Moh. Mahfud MD dan SF. Marbun, 1987, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hal 55. 66 Philipus M.Hadjon dkk, 2001, Penegakan Hukum Administrasi Indonesia Introdution to the Indonesian Administrative Law, Cetakan 7, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal 130. 67 E.Utrecht/Moh. Saleh Djindang, 1990, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan 9, PT Ichtiar Baru, Jakarta, hal 79.
37
kepada pegawai untuk mengambil keputusan tertentu atas nama Menteri, sementara secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap berada pada organ kementrian. Pegawai memutuskan secara faktual, Menteri secara yuridis68. Dalam hal mandat, tidak ada sama sekali pengakuan kewenagan atau pengalihan kewenangan. Di sini menyangkut janji-janji kerja intern antara penguasa dan pegawai. Dalam hal ini tentu seorang pegawai memperoleh kewenangan untuk atas nama si penguasa, misalnya seorang menteri, mengambil keputusan-keputusan tertentu dan atau menandatangani keputusan-keputusan tertentu. Namun, menurut hukum menteri itu tetap merupakan badan yang berwenang.69 Sejalan dengan teori-teori yang telah dikemukakan diatas, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa kerangka teoritis mempunyai beberapa keguanaan. Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal, sebagai berikut 70: a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya. b. Teori sangat berguna didalam mengembangkan system klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi. c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang ditelit.
68
Ridwan HR, Op.cit, Hukum Administrasi Negara, hal 106. Philipus M.Hadjon dkk, Op.cit, hal 131. 70 Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, hal 121. 69
38
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktorfaktor tersebut akan timbul lagi pada masa mendatang. e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti. Notaris sebagai pengemban profesi adalah orang yang memiliki keilmuan dan keahlian dalam bidang ilmu hukum dan kenotariatan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanan, maka dari pada itu secara pribadi Notaris bertanggung jawab atas mutu jasa yang diberikannya. Sebagai pegemban misi pelayanan, profesi Notaris terikat dengan etik Notaris yang merupakan penghormatan martabat manusia pada umumnya dan martabat Notaris khususnya, maka dari itu pengemban profesi Notaris mempunyai ciri-ciri mandiri dan tidak memihak, tidak terpacu dengan pamrih, selalu rasionalitas dalam arti mengacu pada kebenaran yang objektif, spesialitas fungsional serta solidaritas antar sesama rekan seprofesi.71 Jabatan profesi Notaris merupakan profesi yang menjalankan tugas sebagian kekuasaan Negara khususnya di bidang hukum privat, di samping itu juga mempunyai peranan penting dalam pembuatan akta autentik yang mempunyai kekuatan pembuktian paling sempurna. Jabatan profesi Notaris merupakan jabatan kepercayaan, maka dari itu seorang Notaris harus mempunyai perilaku baik yang dijamin oleh undang-undang, sedangkan undang-undang telah mengamanatkan pada perkumpulan untuk menetapkan kode etik profesi Notaris. Perilaku Notaris yang baik adalah 71
M. Agus Santoso, 2012, Hukum Moral dan Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal 113.
39
perilaku yang berlandaskan pada kode etik profesi Notaris, dengan demikian kode etik profesi Notaris harus mengatur hal-hal yang harus ditaati oleh seorang Notaris , dalam menjalankan jabatannya dan juga di luar jabatannya.72 b) Kerangka Konseptual 1. Permanggilan Menurut Kamus Besar Bahasa Inonesia (KBBI), pertimbangan adalah memikirkan baik-baik untuk menentukan sesuatu73, ini menjelasakan bahwa hakim harus memikirkan baik-baik untuk menentukan putusan yang akan dijatuhkan olehnya.
2. Notaris Notaris adalah pejabat umum yang satu satunya berwenang untuk membuat
akta
otentik
mengenai
semua
perbuatan
perjanjian
dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk
dinyatakan dalam suatu
akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umumnya tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.74 72
Ibid, hal 113 Kamus Besar Besar Bahasa Inonesia (KBBI), http://kbbi.web.id/. Diakses pada tanggal 25 Januari 2014. 74 Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 58. 73
40
3. Penegakkan Hukum Merupakan sebuah proses untuk menegakkan75 sebuah aturan yang telah dibuat. Apakah aturan itu sudah sesuai dengan peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Menurut Prof. Van Kan, dalam bukunya “Inleiding tot de Rechtsweten Schap” hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia didalam masyarakat76. H.L.A Hart menyatakan memandang hukum adalah aturan yang dibuat oleh penguasa77. Sedangkan pengertian hukum menurut Prof. Paul Scholten78 didalam bukunya “Algemeen Deel” bahwa memberikan
batasan
terhadap
arti
hukum,
paling
sedikit
berisi/mengandung unsur: a) Recht is bevel, atau hukum itu adalah perintah. b) Recht is verlof, (recht=hukum, verlof=izin). c) Recht is belofte, (recht=hukum, belofte=janji). d) Recht is deposite, (yang disediakan). 4.
Akta
75
Kamus Besar Besar Bahasa Inonesia (KBBI), http://kbbi.web.id/. Diakses pada tanggal 25 Januari 2014. 76 C.S.T. Kansil, 2002, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan 12, Balai Pustaka, Jakarta, hal 44. 77 Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, Pengantar Ilmu Hukum, hal 103. 78 R. Soeroso, 2013, Pengantar Ilmu HUkum, Cetakan 13, Sinar Grafika, Jakarta, hal 32..
41
Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) menyebutkan bahwa ”akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Arti akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat pula ditentukan bahwa siapa pun terikat dengan akta tersebut, sepanjang tidak bisa dibuktikan bukti sebaliknya berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.79
5. Pasca Makna arti kata pasca dalam KKBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) memberikan pengertian sesudah80. Makna sesudah ini adalah setelah digantinya peraturan Jabatan Notaris oleh DPR-RI (Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia), dahulu adalah Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
menjadi Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris . 6. Undang-Undang Jabatan Notaris 79
Habib Adjie, Op cit, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, hal 6. Kamus Besar Besar Bahasa Inonesia (KBBI), http://kbbi.web.id/. Diakses pada tanggal 25 Januari 2014. 80
42
Undang-Undang Jabatan Notaris merupakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-undang yang mengatur jabatan Notaris , sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia.81 J.N Siregar SH82 (alm), pernah menyampaikan perlunya keseragaman istilah yang dipakai oleh para Notaris
pada masa sekarang dalam akta untuk beberapa
pengertian tertentu yang khas Notarial, yaitu :83
a) Memenuhi semua ketentuan undang-undang Jabatan Notaris ; b) Dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis dan tata bahasa; dan c) Tidak memungkinkan penafsiran yang berbeda-beda. Seorang Notaris yang telah dilantik, pada saat itulah Notaris tersebut boleh memasarkan jasanya dengan mengingat perilaku professional. Dalam Pasal 1 ayat 1 dan 2 Kode Etik Notaris Indonesia (Keputusan Kongres INI) di Bali disebutkan : “Notaris
sebagai Pejabat Umum dalam melaksanakan tugasnya dijiwai
Pancasila, sadar dan taat kepada hukum Peraturan Jabatan Notaris , sumpah jabatanm kode etik Notaris dan berbahasa Indonesia yang baik” 81
Bagian penjelasan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004. 82 Seorang dari 3 kandidat Notariat lulusan pertama Universitas Indonesia setelah Perang dunia II, beliau juga tercatat sebagai seorang Dosen, Ketua Jurusan Notariat, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, dan menjadi Notaris di Jakarta. 83 Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat Beberapa Mata Pelajaran dan Serba Serbi Praktek Notaris, Cetakan 1, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, hal 635.
43
Dalam ketentuan pasal 1 ayat (1.2) menyebutkan : “Notaris dalam melakukan profesinya jarus memiliki perilaku professional dan ikut serta dalam pembangunan nasional, khususnya di bidang hukum” Dari ketentuan tersebut di atas Nampak sekali bahwa Notaris harus berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang ada.84 Kedudukan Menteri selaku Badan atau Jabatan TUN (Tata Usaha Negara) yang melaksanakan urusan pemeritahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku85 membawa konsekuensi terhadap Majelis Pengawas, yaitu Majelis Pengawas berkedudukan pula sebagai Badan atau Jabatan TUN, karena menerima delegasi dari badan atau Jabatan yang berkedudukan sebagai Badan atau Jabatan TUN.86 Dengan demikian secara kolegial Majelis Pengawas sebagai:87 1) Badan atau Pejabat TUN; 2) Melaksanakan urusan pemerintah; 84
hal 67.
Budi
Untung,
2001,
Visi
Global
Notaris,
Andi
Ofsset
:
Yogyakarta,
85
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menybutkan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 86 Menurut Habib Adjie, untuk menentukan suatu badan dapat dikategorikan sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara secara : a. Struktural berada dalam jajaran pemerintahan berdasarkan ketentuan 1 ayat (2) UndangUndang Nomor 5 tahun 1986, b. Fungsional, yaitu melaksanakan urusan pemerintah berdasarkan aturan hukum yang berlaku, c. Menerima delegasi wewenang dari Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara. 87 Habib Adjie, 2009, Sanksi Perdata dan Administrasif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik , Cetakan 2, PT.Refika Aditama, Bandung, hal 133.
44
3) Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yaitu melakukan pengawasan terhadap Notaris sesuai UUJN. Dalam melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan penjatuhan sanksi Majelis Pengawas harus berdasarkan kewenangan yang telah ditentukan UUJN sebagai acuan untuk mengambil keputusan. Hal ini perlu dipahami karena anggota Majelis Pengawas harus mencerminkan tindakan suatu Majelis Pengawas sebagai suatu badan, bukan tindakan anggota Majelis Pengawas yang dianggap sebagai tindakan instansi.88 Dari apa yang telah disampaikan di atas, pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Maka peneliti perlu merujuk kepada prinsip-prinsip hukum, pandangan-pandangan para sarjana ataupun doktirn-doktirn hukum yang terdapat dalam undang-undang.89 G. Metode Penelitian Pertama-pertama seorang peneliti harus tahu apa itu tentang metode penelitian hukum90. Istilah “Metodologi” berasal dari kata “Metode” yang berarti “Jalan ke”, namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinankemungkinan sebagai berikut :91 1.
Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian
hal 137.
88
Ibid, hal 134
89
Peter
Mahmud
Marzuki,
2009,
Penelitian
Hukum,
Kencana
Press,
Jakarta,
90
Sulistyowati Irianto dan Shidarta, 2011, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hal 95. 91 Soerjono Soekanto, Op.cit, Pengantar Penelitian Hukum. hal. 5.
45
2.
Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan
3.
Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.
Mengenai “Penelitian”, menurut Bambang Sunggono, penelitian pada dasarnya merupakan, “suatu upaya pencarian” dan bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap sesuatu obyek yang mudah terpegang di tangan. Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu research, yang berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari). Dengan demikian secara logawiyah berarti “mencari kembali”.92 Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.93 Dalam penyusunan tesis ini, dibutuhkan bahan atau data penelitan yang dilakukan oleh peneliti yang terjadi dilapangan94, serta bahan atau data yang konkrit berasal dari bahan kepustakaan. 1. Tipe Penelitian Penelitian karya ilmiah berupa tesis ini, berjenis penelitian hukum normatif (yuridis normatif)95, yaitu penelitian yang bertujuan untuk meneliti asas-asas hukum,
92
Bambang Sunggono, Op.cit, Metodologi Penelitian Hukum, hal. 27. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Pers, Jakarta, hal 1. 94 Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, Penelitian Hukum, hal 183. 95 Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cetakan 2, Sinar Grafika, Jakarta, hal 30. 93
46
sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.96 Dalam buku Metode Penelitian Hukum, menurut Soejono Soekanto pada penelitian yuridis normatif penelitian ini difokuskan untuk mengkaji dan meneliti materi hukum, yaitu berupa proses penegakan hukum pembuatan akta berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Jabatan Notaris , putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris , Undang-Undang Jabatan Notaris yang baru dan literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas. 2. Pendekatan Masalah Johnny Ibrahim dalam bukunya Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif menyatakan bahwa nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara pendekatan (approach) yang digunakan.97 Sesuai dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif maka pendekatan masalah yang dilakukan adalah : 1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) Pendekatan perundang-undangan merupakan suatu hal yang mutlak dalam penelitian yuridis normatif, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.98 Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-
96
Soerjono Soekanto, Op.cit, Pengantar Penelitian Hukum, hal 52. Johnny Ibrahim, Op.cit , hal 299. 97 Ibid, hal 302. 96
47
undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.99 2. Pendekatan Historis (Historical Approach) Pendekatan historis dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu. Pendekatan ini sangat membantu peneliti untuk memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu. Disamping itu, melallui pendekatan demikian penelitian ini juga dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut.100 Penelitian normatif yang menggunakan pendekatan sejarah memungkinkan seorang peneliti untuk memahami hukum secara lebih mendalam tentang suatu pengaturan hukum tertentu sehingga dapat memperkecil kekeliruan, baik dalam pemahaman maupun penerapan suatu lembaga atau ketentuan hukum tertentu.101 3. Pendekatan Kasus (Case Approach) Berbeda dengan penelitian sosial102, pendekatan kasus (case approach), dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan normanorma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.103
98
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hal 93. 100 Ibid, hal 126. 101 Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni Bandung, Bandung, hal 332. 102 Marnasse Malo dan Sri Trisnongtias menjelaskan bahwa Tujuan pokok dari Penelitian Sosial (yang tentunya bersifat ilmiah), adalah menjelaskan gejala-gejala sosial yang ada dalam suatu masyarakat. Marnasse Malo dan Sri Trisnongtias, 1997, Metode Penelitian Masyarakat, Pusat Antara Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Unversitas Indonesia, Jakarta, hal 19. 103 Johnny Ibrahim, Op.cit, hal 321.
48
Pendekatan kasus dilakukan untuk melihat beberapa contoh kasus penanganan perselisihan hasil pemilukada yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dan bagaimana implikasinya terhadap penyelenggaraan pemilukada itu sendiri. Pendekatan kasus (case approach) tidak sama dengan studi kasus (case study). Dalam pendekatan kasus beberapa kasus ditelaah untuk dijadikan referensi bagi suatu isu hukum. Sedangkan studi kasus (case study), adalah suatu studi terhadap kasus-kasus tertentu dilihat dari berbagai aspek hukum.104 3. Jenis dan Sumber Data. Berdasarkan tipe penelitian yang digunakan maka penelitian ini tidak memerlukan data primer, karena penelitian yuridis normatif difokuskan untuk mengkaji dan meneliti bahan-bahan hukum yang merupakan data sekunder. Berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka bahan hukum yang akan digunakan adalah : 1) Bahan Primer Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang merupakan peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer yang dipergunakan tentunya peraturan perundang-undangan yang mempunyai relevansi dengan judul yang penulis pilih. Dari penelitian ini, maka diperoleh bahan-bahan hukum yang mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah dan berbentuk
101
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hal 94.
49
peraturan perundang-undangan105, yang menunjang kelengkapan tulisan ini yaitu : 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Sebelum dan Sesudah Perubahan); 2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer); 3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPer); 4) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 6) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris ; 7) Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia; 8) Reglement op Het Notaris in Nederlands Indie (stbl.1860:3 ); 9) Keputusan Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39 PW.07.10.TH.2004 (Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris ); 10) Peraturan Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 TH.2004 (Tata Cara Pengangkatan anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris ) 11) Peraturan Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01-HT.03.01 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Notaris . 105
Soerjono Soekanto, Op. cit, Pengantar Penelitian Hukum, hal 52.
50
12) Peraturan Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris . 13) Peraturan Hukum Lainnya. 2) Bahan Sekunder Yaitu, merupakan data yang diperoleh dari bahan pustaka (data kepustakaan). Data sekunder ini terdiri dari : penjelasan maupun petunjuk terhadap data primer yang berasal dari berbagai literatur, majalah, jurnal, rancangan undang-undang, hasil penelitian dan makalah dalam seminar yang berkaitan dengan penelitian ilmiah ini.
3) Bahan Tersier Bahan Hukum Tersier, yakni bahan-bahan hukum yang memberikan keterangan atau petunjuk mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus Bahasa Indonesia dan kamus hukum. 4. Teknik Pengumpulan Data Bahan hukum yang bermanfaat bagi penulisan ini diperoleh dengan cara studi dokumen atau bahan pustaka (documentary study), yaitu teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dengan cara mempelajari bahan-bahan kepustakaan atau data tertulis, terutama yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas, lalu menganalisis isi data tersebut. 51
5. Pengolahan Data dan Analisis Bahan Hukum Adapun bahan hukum yang telah diperoleh dari penelitian studi kepustakaan, akan diolah dan dianalisis secara kualitatif, yakni analisa data dengan cara menganalisis, menafsirkan, menarik kesimpulan sesuai dengan permasalahan yang dibahas, dan menuangkannya dalam bentuk kalimat-kalimat106. Setelah dianalisis, penulis akan menjadikan hasil analisis tersebut menjadi suatu karya tulis berbentuk karya ilmiah berupa Tesis.
BAB II NOTARIS DAN PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM
C. Tinjauan Umum Tentang Notaris 1. Tinjauan Umum Tentang Profesi Jabatan Notaris a. Sejarah Hukum Tentang Profesi Notaris Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memilki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini atau berdassarkan undang-undang lainnya107. Istilah
Pejabat
Umum merupakan terjemaah dari istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat 106
Mardalis, 2010, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Cetakan 15, Bumi Aksara, Jakarta, hal 83. 107 Pasal 1 angka 1 Undang-undang Republik Indonesia Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
52
dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris 108 dan Pasal 1868 KUHPerdata.109 Perkataan Notaris berasal dari perkataan Notarius110, ialah nama yang pada zaman Romawi, diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Nama Notarius lambat laun rnempunyai arti berbeda dengan semula, sehingga
kira-kira
pada
abad
ke-dua
sesudah
Masehi yang disebut
dengan nama itu ialah mereka yang mengadakan pencatatan dengan tulisan cepat.111 Notaris di Indonesia pada permulaan abad ke-17 (tujuh belas) dengan Oost indo comagnie di Indonesia.112 Pada tanggal 27 Agustus 1620 yaitu beberapa bulan setelah Jakarta dijadikan ibukota (tanggal 4 maret 1621 dinamakan Batavia) Melchior Kerchen, sekretaris dan Collage Van Schepeben di Jakarta diangkat menjadi notariat pertama di Indonesia.113 Adalah sangat menarik perhatian cara pengangkatan waktu itu oleh karena berbeda dengan pengangkatan Melchoir Kerchen sebagai Notaris sekaligus secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya yakni menjalankan tugas jabatannya di kota Jakarta untuk kepentingan publik. Kepadanya ditugaskan untuk 108
Istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Art. 1 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3) diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G.H.S. Lumban Tobing. G.H.S. Lumban Tobing, 1996, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta, Erlangga, hal 31. 109 Istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1983 , Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 110 Habib Adjie, 2011, Mengenal Notaris Syari’ah, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 7. hal 13.
111
R. Soegono Notodisoerjo Op.cit, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan,
112
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit, Peraturan Jabatan Notaris, hal 14. R.Soesanto, Op.cit, Tugas Kewajiban dan Hak-Hak Notaris Wakil Notaris (sementara), hal
113
22.
53
menjalankan pekerjaanya itu sesuai dengan sumpah setia yang diucapkannya pada waktu pengangkatannya di hadapan Baljuw di Kasteel Batavia (yang sekarang dikenal sebagai Gedung Departemen Keuangan Lapangan Benteng) dengan kewajiban untuk mendaftarkan semua dokumen dan akata yang dibuatnya.114 Lembaga Notariat berdiri di Indonesia sejak pada tahun 1860, sehingga lembaga Notariat bukan lembaga yang baru di kalangan masyarakat Indonesia. Notaris berasal dari perkataan Notaries, ialah nama yang pada zaman Romawi, diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Notarius lambat laun mempunyai arti berbeda dengan semula, sehingga kira-kira pada abad kedua sesudah Masehi yang disebut dengan nama itu ialah mereka yang mengadakan pencatatan dengan tulisan cepat.115 Lembaga Notariat di Indonesia telah berumur ± 145 tahun sejak berdiri pada tahun 1860, sehingga lembaga Notariat bukan lembaga yang baru dalam kalangan masyarakat. Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai pada abad ke-11 atau ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman Italia Utara, Daerah inilah yang merupakan tempat asal dari notariat yang dinamakan “Latijnse notariaat” dan yang tanda-tandanya tercermin dalam diri Notaris
yang diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan
masyarakat umum dan menerima uang jasanya ( honorarium ) dari masyarakat umum pula.116 Pada tahun 1625 jabatan Notaris dipisahkan dari jabatan Sekretaris 114
Muchlis Fatahna dan Joko Purwanto, Op.cit, Notaris Bicara Soal Kenegaraan, hal 258. R. Soegono Notodisoerjo, Op.cit, hal 13. 116 G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit, hal 3-4. 115
54
College van Schepenen, yaitu dengan dikeluarkan instruksi untuk para Notaris pada tanggal 16 Juni 1625. Instruksi ini hanya terdiri dari 10 (sepuluh) pasal, antara lain menetapkan bahwa Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari aktaakta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan117. Tanggal 7 Maret 1822 (Stb. No. 11) dikeluarkan Instructie voor de Notaris sen Residerende in Nederlands Indie. Pasal 1 instruksi tersebut mengatur secara hukum batas-batas dan wewenang dari seorang Notaris
dan juga
menegaskan Notaris bertugas untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan kemudian mengeluarkan grossenya, demikian juga memberikan salinannya yang sah dan benar.118 Tahun 1860 Pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peraturan-peraturan yang baru mengenai jabatan Notaris di Nederlands Indie untuk disesuaikan dengan peraturan-peraturan mengenai jabatan Notaris yang berlaku di Belanda. Sebagai pengganti Instructie voor de Notaris sen Residerende in Nederlands Indie, kemudian tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3)119 Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, keberadaan Notaris
di
Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang 117
R. Soegono Notodisoerjo, Op.cit, hal 23 Ibid, hal. 24-25. 119 Habib Adjie, Op.cit, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, hal 27. 118
55
Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu: “Segala peraturan perundang- undangan yang ada
masih
tetap
berlaku
selama
belum diadakan
yang baru menurut
Undang- undang dasar ini.” Dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan tersebut tetap diberlakukan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). Sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan Notaris
dilakukan oleh Menteri
Kehakiman, berdasarkan Peraturan Pemerintah Tahun 1948 Nomor 60, tanggal 30 Oktober 1948, Tentang Lapangan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan dan Tugas Kewajiban Kementerian Kehakiman. 120
Tahun
1949
melalui
Konfrensi
Meja
Bundar (KMB)
yang
dilaksanakan di Den Haag, Nederland, tanggal 23 Agustus – 22 September 1949, salah satu hasil KMB terjadi Penyerahan Kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat untuk seluruh Wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat- Papua sekarang), adanya penyerahan kedaulatan tersebut, membawa akibat kepada status Notaris yang berkewarganegaraan Belanda yang ada di Indonesia, harus meninggalkan jabatannya121 Dengan demikian terjadi kekosongan Notaris di Indonesia, untuk mengisi kekosongan
tersebut
sesuai
MenteriKehakiman Republik
dengan
kewenangan
yang
ada
pada
Indonesia Serikat dari tahun 1949 sampai
dengan tahun 1954 menetapkan dan mengangkat Wakil Notaris
untuk
120 121
Ibid, hal 2. Ibid, hal 2.
56
menjalankan tugas Jabatan Notaris dan menerima protokol yang berasal dari Notaris yang berkewarganegaraan Belanda122. Tanggal
13
November
1954
Pemerintah
Republik
Indonesia
mengeluarkan Undang-Undang nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut menegaskan bahwa, dalam hal Notaris tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seorang yang diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris . Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris (Pasal 1 huruf c dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954). Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan, sambil menunggu ketetapan dari Menteri Kehakiman, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris . Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris Sementara (Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954), sedangkan yang disebut Notaris adalah mereka yang diangkat berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3)(Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954). Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 juga sekaligus menegaskan berlakunya Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3) sebagai Reglemen tentang Jabatan Notaris di Indonesia (Pasal 1 huruf a) untuk Notaris Indonesia.123 Notaris yang masih berada di Indonesia sampai dengan tahun 1954 122 123
Ibid, hal 3. Ibid, hal 4.
57
merupakan Notaris (berkewarganegaraan Belanda) yang diangkat oleh Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) berdasarkan Pasal 3 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). Ketentuan pengangkatan Notaris oleh Gubernur Jenderal, oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 telah dicabut, yaitu tersebut dalam Pasal 2 ayat (3) dan juga mencabut Pasal 62, 62a dan 63 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3)124 b. Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Notaris Notaris
adalah orang yang mendapat kuasa dari pemerintah (dalam hal ini
Departemen kehakiman) untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai suarat perjanjian, surat wasiat, akta dan sebagainya.125 Sejak berlakunya UUJN maka Notaris berada di bawah kewenangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka dari itu yang dapat mengangkat dan memberhentikan Notaris hanyalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Untuk dapat diangkatnya seseorang menjadi seorang Notaris harus memenuhi persyaratan tertentu. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Atas Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa yang dapat diangkat menjadi Notaris adalah : a. warga negara Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 124
Muchlis Fatahna dan Joko Purwanto, Op.cit, hal 258-256. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2013, Diakses Http://www.pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php. Diakses tanggal 11 Februari 2014. 125
di
58
c . berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d . sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater; e . berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f . telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris
dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan
berturut-turut
pada kantor Notaris
atas prakarsa sendiri
atau atas
rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; g . tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang- undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris ; dan h . tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Setelah persyaratan untuk diangkatnya menjadi Notaris telah terpenuhi, maka sebelum menjalankan jabatan wajib mengucapkan Sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pengucapan sumpah/janji tersebut dilakukan paling lambat 60 hari. Jika tidak terpenuhi maka keputusan pengangkatan sebagai Notaris dapat dibatalkan oleh Menteri.
59
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 7 UUJN Perubahan dinyatakan bahwa dalam jangka waktu paling lamabat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan Notaris , yang bersangkutan wajib : a. menjalankan jabatannya dengan nyata; b. menyampaikan
berita acara sumpah/janji
jabatan Notaris kepada
Menteri, Organisasi Notaris , dan Majelis Pengawas Daerah; dan c. menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta teraan
cap
atau
stempel
jabatan
Notaris berwarna merah kepada
Menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang pertanahan, Organisasi Notaris , Ketua
Pengadilan
Negeri,
Majelis
Pengawas
Daerah, serta Bupati/Walikota di tempat Notaris diangkat Sehubungan dengan ketentuan Pasal 7 UUJN Perubahan tersebut maka Notaris sebagai pejabat umum atau organisasi profesi dalam menjalankan tugasnya dapat berhenti atau diberhentikan karena alasan-alasan tertentu. Di dalam pasal 8 ayat (1) UUJN Perubahan dinyatakn bahwa Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabtannya dengan hormat, karena: a. meninggal dunia b. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun c. permintaan sendiri d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun e. Merangkap jabatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 huruf g. 60
Sementara itu dalam kaitannya dengan ketentuan pasal 9 ayat (1) UUJN Perubahan diatas, maka Notaris
dapat diberhentikan sementara dari jabatannya
karena: a. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang; b. berada di bawah pengampuan; c. melakukan perbuatan tercela; d. melakukan
pelanggaran
terhadap
kewajiban
dan larangan jabatan
serta kode etik Notaris ; atau e. sedang menjalani masa penahanan. Sejalan dengan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 diatas maka Notaris dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila:126 a. Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh ketentuan hukum tetap; b. Berada dibaah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; c. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat Notaris; d. Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan. c. Hak, Kewajiban dan Larangan Notaris
126
Roni, 2010, Pelaksanaan Kewenangan Pemberian Sanksi Terhadap Notaris Oleh Majelis Pengawas Wilayah Notaris Sumater Barat. Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal 38.
61
Otoritas Notaris diberikan oleh undang-undang untuk pelayanan kepentingan publik, bukan untuk kepentingan diri pribadi Notaris
127
. Oleh karena itu kewajiban-
kewajiban yang diemban Notaris adalah kewajiban jabatan (ambtsplicht)128. Notaris wajib melakukan perintah tugas jabatannya129 itu, sesuai dengan isi sumpah pada waktu hendak memangku jabatan Notaris . Batasan seorang Notaris
dikatakan
mengabaikan tugas atau kewajiban jabatan, apabila Notaris tidak melakukan perintah imperatif undang-undang yang dibebankan kepadanya.130 Di dalam melaksanakan tugasnya, Notaris
mempunyai beberapa hak,
kewajiban serta larangan. Hak dari seorang Notaris berupa : a. Hak untuk cuti (Pasal 25) b. Hak untuk mendapat honorarium (Pasal 36) c. Hak ingkar (Pasal 4, jo Pasal 16 huruf e jo Pasal 54) Kewajiban Notaris meliputi 131: a. Mengucapkan sumpah/janji sebelum menjalankan jabatannya (Pasal 4 ayat (1)
127
Mulyoto, Op.cit, Kesalahan Notaris dalam Pembuatan Akta Perubahan Dasar CV, hal 1. Simon, 2011, Implementasi Sanksi Kode Etik Dalam Jabatan Notaris Di Kota Tanjung Pinang, Tesis, Universitas Dipenogoro, Semarang, hal 16. 129 Habib Adjie, 2008, Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris (Dalam Bentuk Akta Keterangan Ahli Waris, CV. Mandar Maju, Bandung, hal 13. 130 Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hal 177. 131 Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggung Jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, CV. Mandar Maju, Bandung, hal 91-92. 128
62
b. Wajib menjalankan jabatan secara nyata, menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan, alamat kantor, contoh tanda tangan dan paraf serta teraan cap/stempel jabatan Notaris (Pasal 7) c. Bertindak jujur, bijaksana, mandiri, tidak berpihak; dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum (Pasal 16 ayat (1) huruf a) d. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris (Pasal 16 ayat (1) huruf b) e. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari pengahadap pada Minuta Akta (Pasal 16 ayat (1) huruf c) f. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan. Akta, berdasarkan Minuta Akta (Pasal 16 ayat (1) huruf d) g. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Pasal 16 ayat (1) huruf e) h. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan supah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 16 ayat (1) huruf f) i. Menjilid akta (Pasal 16 ayat (1) huruf g) j. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga (Pasal 16 ayat (1) huruf h) k. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta tiap bulan (Pasal 16 ayat (1) huruf i) 63
l. Mengirimkan daftar akta ke Daftar Pusat Wasiat Departemen dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama tiap bulan berikutnya (Pasal 16 ayat (1) huruf j) m. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan (Pasal 16 ayat (1) huruf k) n. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan (Pasal 16 ayat (1) huruf l) o. Membacakan akta di hadapan penghadap (Pasal 16 ayat (1) huruf m) p. Menerima magang calon Notaris (Pasal 16 ayat (1) huruf n) q. Berkantor di tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (1) r. Wajib memberikan jasa hukum kepada orang yang tidak mampu (Pasal 37) Larangan yang harus dipatuhi oleh Notaris
menurut Pasal 17 UUJN
Perubahan, yaitu : a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; c. merangkap sebagai pegawai negeri; d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. merangkap jabatan sebagai advokat; f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta; 64
g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/ata h. Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris ; i. menjadi Notaris Pengganti; atau j. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris .
2. Tinjauan Wewenang Notaris Membuat Dalam Pembuatan Akta a. Pengertian Akta 1. Akta Otentik Dalam pasal 1867 KUHPerdata disebutkan ada istilah Akta Otentik, dan pasal 1868 KUHPerdata memberikan batasan secara unsur yang dimaksud dengan akta otentik, yaitu :132 a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) atau seorang pejabat umum. b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. c. Pegawai Umum (Pejabat Umum) oleh-atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik tersebut. Otentik atau Authentik133 dapat diartikan : bersifat umum, bersifat jabatan, memberi pembuktian yang sempurna (dari surat-surat): khususnya dalam kata: authentieke ake. Para Notaris istimewa 132
Habib Adjie, Op.cit,Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, hal 6. N.E. Algra, H.R.W. Gokkel, dkk, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea, BelandaIndonesia, Binacipta, hal 37. 133
65
ditunjuk untuk membuat akta otentik baik atas permintaan atau atas perintah; akan tetapi juga beberapa pejabat negeri yang berhak membuatnya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tugas pekerjaanya. Satu syarat lagi yang harus ditambahkan menurut Habib Adjie, didalam sebuah akta otentik agar mempunyai kekuatan bukti yang sempura haruslah mempnyai beberapa unsur, yaitu: (1) tulisan, (2) saksi-saks, (3) persangkaan-persangkaan, (4) pengakuan, (5) sumpah. Pengertian Akta menurut R. Soebekti,S.H. yaitu akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Sedangkan menurut .Mr. A. Pitlo, berpendapat bahwa akta adalah suatu surat yang ditanda tangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Dalam hal yang sama, Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa yang dimaksud akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.134 Pengertian-pengertian dari para ahli hukum tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa akta tersebut merupakan suatu surat yang dibuat dan di tanda tangani oleh para para pihak dan digunakan sebagai alat pembuktian dimuka hakim, apabila dikemudian hari isi dari surat yang dibuat oleh para pihak tersebut diperkarakan dalam hukum acara pidana atau hukum acara pidana. Supaya alat bukti surat/akta tidak memerlukan alat bukti yang lain, maka diperlukanlah akta otentik. 134
JJ. Amstrong, 2007, Analisa Hukum Tentang Jabatan Notaris, http://www.blogster.com /Komparta/analisis-hukum-tentang. Diakses pada tanggal 11 Februari 2014.
66
Pengertian akta otentik menurut beberapa pendapat ahli hukum akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Surat yang dibuat oleh atau dimuka seseorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membikin surat itu, dengan maksud untuk menjadikan surat tersebut sebagai surat bukti. 135 Arti akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat pula ditentukan bahwa siapa pun terkait dengan akta tersebut, sepanjang tidak bisa dibuktikan bukti sebaliknya berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tepat 2. Akta Notaris Akta-akta yang dibuat oleh Notaris
merupakan akta autentik yang dapat
digunakan sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.136 Membuat akta Notaris tidakalah sesulit seperti yang dibayangkan. Akan tetapi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat membuat akta Notaris
untuk
mencegah kerugian.137 Masyarakat menggunakan jasa Notaris
untuk membuat surat-surat yang
nantinya berguna sebagai alat bukti, guna melindungi kepentingan masyarakat
135
Ibid. Santia Dewi dan R.M Fauwas Diradja, Op.cit, Panduan Teori dan Praktik Notaris, hal 36. 137 Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Op.cit Ke Notaris, hal 94. 136
67
tersebut. Menurut pasal 164 HIR, ada 5 (lima) macam alat-alat bukti dalam hukum acara perdata adalah sebagai berikut :138 a. Pembuktian dengan surat-surat; b. Keterangan saksi-saksi; c. Persangkaan;
d. Pengakuan; e. Sumpah Dalam hukum acara perdata surat-surat yang dijadikan alat bukti ada (3) tiga macam surat, yaitu : a. Surat biasa; b. Akta otentik; c. Akta dibawah tangan. b. Syarat Akta Notaris Sebagai Akta Otentik Berdasarkan ketentuan pasal 1868
KUHPerdata, agar akta-akta memiliki
otensitas, maka akta yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan-persyaratan berikut : a) akta itu harus dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum; b) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang; c) Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.139 138
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2002, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, hal 229.
68
Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum140 yang berwenang untuk itu (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru sita, Pegawai Pencatat Sipil), di tempat akta itu dibuat dan pasal 285 Rechtsreglement Buitengewesten (‘’RBg’’). Akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari kata otentik adalah akta Notaris , vonis surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran,kematian dan sebagainya, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan sebagainya.141 Menurut pasal 1869 KUH Perdata suatu akta dibuat bukan oleh atau dihadapan pejabat umum, atau pejabat yang tidak berwenang menurut undang-undang itu, maka akta itu bukan akta otentik tapi dianggap sebagai akta dibawah tangan , jika tanda tangani dan disetujui oleh para pihak. Akta otentik tersebut lahir adalah jika akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum dengan bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat dalam wilayah jabatan dari pejabat yang berwenang membuatnya.
139
Sulaiman, 2008, Tentang Notaris, http://sulaiman-sh.blogspot.com/, diakses tanggal 15 Februari 2014. 140 Herlin Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 5. 141 J.J Amstrong Sembiring. Op.cit.
69
Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud dengan pejabat umum tersebut adalah Notaris .142Mengenai wewenang yang dipunyai oleh pejabat umum untuk membuat suatu akta otentik, seorang Notaris
hanya boleh melakukan
jabatannya di dalam seluruh daerah yang ditentukan baginya dan hanya didalam daerah hukumnya (daerah jabatannya). Wewenang Notaris
meliputi empat hal,
sebagaimana G.H.S lumbun tobing menyebutkan wewenang tersebut sebagai berikut:143 a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu; Dalam hal ini tidak setiap pejabat umum dapat membuat semua akta, akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu, yakni yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan ; b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat; Dalam pasal 52 ayat (1) UUJN misalnya ditentukan bahwa : ‘’Notaris tidak diperkenankan menbuat akta untuk diri sendiri,istri/suami, atau orang lain yang menpunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke 142
Hartanti Sulihandri dan Nisya Rifani, 2013, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia Cerdas, Jakarta, hal 5. 143 G.H.S Lumban Tobing, Op.cit Peraturan Jabatan Notaris, hal 4.
70
samping sampai dengan derajat ketiga, serta dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa’’. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan jabatan.
c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat: kewenangan Notaris tersebut hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya. Jadi akta yang dibuat di luar daerah jabatannya adalah tidak sah. d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Berdasarkan kewenangan tersebut ada dua bentuk akta otentik yang dibuat oleh Notaris sebagai pejabat umum, yaitu: a. suatu akta yang memuat ‘’RELAAS’’ yang menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan Notaris sebagai pembuat akta itu. Akta yang dibuat sedemikian dan yang memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu dinamakan akta yangdibuat ‘’OLEH’’. b. suatu akta yang berisikan suatu ‘’Cerita’’. Dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang (para pihak) di hadapn Notaris . Artinya yang diterangkan atau yang diceritakan oleh orang-orang kepada Notaris
dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana 71
pihak/orang-orang itu sengaja datang di hadapan Notaris dan memberikan keterangan itu, atau melakukan perbuatan itu di hadapan Notaris , agar keterangan atau perbuatannya itu dikonstatir (diformulasikan) oleh Notaris di dalam suatu akta otentik.akta yang sedemikian itu dinamakan akta yang dibuat ‘’di hadapan’’ Notaris .144 A.W.Voor didalam buku Tan Thong Kie menyebutkan, bahwa dia membagi pekerjaan Notaris menjadi dua bagian yaitu145: a. pekerjaan legal yaitu pekerjaan yang diperintahkan oleh undang-undang. Pekerjaan ini merupakan tufas sebagai pejabat untuk melaksanakan sebahagian pemerintah diantaranya yaitu: 1. Memberi kepastian hukum; 2. Membuat grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial; 3. Memberi suatu keterangan dalam suatu akta yang menggantikan tanda tangan; 4. Memberikan kepastian mengenai tanda tangan seseorang. b. pekerjaan ekstra legal yaitu pekerjaan yang dipercayakan kepadanya dalam jabatan itu. Pekerjaan ini merupakan tugas lain yang dipercayakan kepadanya untuk menjamin dan menjaga nya ‘’perlindungan kepastian hukum’’ dalam arti setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang tidak bisa dikurangi atau ditiadakan begitu saja baik karena masih dibawah umur atau mengidap 144
Herman Adriansyah, 2009, Berita Acara Penarikan Undian, http://groups.yahoo.com/ group/ikatan-notaris-indonesia/message/1034?i=i, diakses pada tanggal 14 februari 2014. 145 Tan Thong Kie, Op.cit, Serba Serbi Notaris, hal 226-227.
72
penyakit ingatan. Kehadiran seseorang Notaris dalam hal hal itudiwajibkan oleh undang undang dan ini adalah bukti kepercayaan pembuat undang undang kepada diri seorang Notaris. Pekerjaan pekerjaan ini dilakukan oleh seorang Notaris sebagai suatu organ negara dan oleh karena itu maka tindakannya mempunyai kekuatan undang undang. Bila diuraikan lebih lanjut maka seorang Notaris
sebagai pejabat umum
berwenang membuat suatu akta otentik karena :146 a. atas permintaan atau dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan, agar perbuatan hukum mereka itu dinyatakan atau dituangkan dalam bentuk akta otentik; b. selain karena permintaan atau dikehendaki para pihak juga karena undangundang menentukan supaya perbuatan hukum itu dibuat dalam bentuk akta otentik, misalnya: 1. Akta pendirian perseroan terbatas,berdasarkan undang-undang 30 tahun 2007 tentang perseroan terbatas147. 2. akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan berdasarkan undangundang nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah148
146
Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), CV.Mandar Maju, Bandung, hal 41. 147 Habib Adjie, 2003, Penggabungan, Peleburan dan Pengambil Alihan dalam Perseroan Terbatas, CV.Mandar Maju, Bandung, hal 23. 148 Irma Devita Purnamasari, 2013, Kicauan Praktisi Seputar Pertanahan, Kaifa, Bandung, hal 43.
73
3. Akta jaminan fidusia berdasarkan undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia.149 4. Akta pendirian yayasan berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2004 tentang perubahan undang-undang nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan.150 Perbutan-perbuatan hukum yang aktanya harus dibuat dalam bentuk akta notaril, yang tercantum dalam KUH perdata yaitu:151 a). Buku ke I tentang orang : 1. pasal 70 2. pasal 71 3. pasal 79 4. 5. 6. 7.
pasal 147 pasal 148 pasal 176 pasal 177
8. pasal 191 9. pasal 196 10. pasal 237 11. pasal 256 12. pasal 281 13. pasal 355
: pencegahan perkawinan dan pencabutan pencegahan perkawinan : ijin kawin : pengangkatan seorang wakil/kuasa untuk melangsungkan perkawinan. : perjanjian kawin : perubahan perjanjian kawin : pemberian hibah yang berhubungan dengan perkawinan : pernyataan penerimaan hibah (bila hibah dilakukan dengan akta tersendiri,tidak dilakukan dalam akta : perjanjian kawin. Pembagian harta percampuran : perkawinan setelah diadakan pemisahan : mengembalikan keadaan percampuran harta setelah perpisahan harta : pengaturan syarat-syarat perpisahan : meja dan ranjang : pengingkaran sahnya anak
149
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001, Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Pers, Jakarta, hal 41. 150 Rudhi Prasetya, 2012, Yayasan Dalam Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, hal 37. 151 Tejabuewana, 2010, Akta-akta yang Harus Dibuat Secara Notaril, http://mknunsri.blogspot.com/2009/10/akta-akta-yang-harus-dibuat-secara.html. Diakses pada tanggal 20 Februari 2014.
74
14. pasal 477
: pengangkatan wali oleh orang tua yang hidup lebih lama Pencatatan harta dari seorang yang tak hadir, oleh para ahli warisnya atau oleh suami atau istri tidak hadir.
b). Buku ke II tentang kebendaan152 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
pasal783 pasal 931 pasal 932 pasal 934 pasal 938 pasal 940 pasal 978
8. pasal 981 9. pasal 990
10. pasal 992 11. pasal 1010 12. pasal 1019
13. pasal 1069 jo1071 14. pasal 1074 15. pasal 1121 16. pasal 1171 17. pasal 1172 18. pasal 1196
: pencatatan barang pinjam pakai jika pemilik tidak hadir : surat wasiat : penyimpanan surat wasiat olografis : pengembalian surat wasiat olofgrafis : pembuatan akta wasiat umum : penyimpana suratwasiat : pengangkatan seseorang untuk menyimpan warisan itu dan setelah lewat waktu atau si ahli waris itu meninggal, warisan itu harus diserahkan kepada orang lain yang sudah ditetapkan : dalam testament (fidei comis) Pengangkatan seseorang bewindvoerder : dalam hal penyerahan (fidei comis) Pembuatan daftar pertelaan barang-barang yang diwasiatkan secara fidei : comis setelah pewaris meninggal : pencabutan surat wasiat daftar benda-benda yang termasuk harta peninggalan : Pengangkatan seorang pengurus untuk mengurus harta peninggalannya selama ahli waris atau penerima hibah wasiat : masih hidup Pemisahan dan pembagian harta peninggalan bilamana salah seorang ahli : waris menolak atau lalai : pemisahan harta peninggalan Pembagian waris oleh keluarga : sedarah dalam garislurus ke atas kepada turunannya : surat kuasa memasang hipotek (SKMHT) vide UUHT NO.4/1996 Ps. 15 (1) : Penjualan, penyerahan serta pemberian suatu hutang hipotik Kuasa untuk melakukan roya hipotik.
152
Ibid.
75
c). Buku III tentang perikatan153 1. pasal 1401 2. pasal 1405 3. pasal1406 4. pasal1682 5. pasal 1683 6. pasal 1945
: dalam hal subrogasi : penawaran pembayaran tunai yang diikuti penyimpanan atau penitipan : penyimpanan atau konsinyasi dalam hal terjadi penawaran pembayaran tunai : hibah : kuasa penerima hibah : kuasa untuk mengangkat sumpah
UUJN menentukan bahwa akta harus dibuat antara lain dihadapan atau oleh pejabat umum, dihadiri oleh penghadap dan saksi, disertai pembacaan oleh Notaris dan sesudahnya langsung ditandatangani dihadapan penghadap, saksi dan Notaris sekaligus dan seterusnya.154 Adapun akta-akta yang dapat dibuat oleh Notaris yang diatur dalam UUJN adalah sebagai berikut: a. minuta akta adalah asli akta Notaris
di mana terdapat tanda tangan para
penghadap, para saksi dan Notaris yang nantinya akan disimpan oleh Notaris sebagai bagian dari protokol Notaris (pasal 1 angka 8 jo pasal 16 ayat (1) b UUJN)
153 154
Ibid. Tan Thong Kie, Op.cit, Serba-Serbi Notaris, hal 442.
76
b. salinan akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah akta tercantum frase ‘’diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya”.(pasal1 angka 9 UUJN); c. kutipan akta adalah kutipan kata demi katadari satu atau beberapa bagian dari kata dan pada bagian bawah kutipan akta tercantum frase “diberikan sebagai kutipan”. (pasal 1 angka 10 UUJN); d. groose akta adalah merupakan turunan dari salinan akta, yaitu salah satu salinan akta untuk pengakuan hutang dengan dengan kepala akta berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang memiliki kekuatan eksekutorial. (pasal 1 angka 11UUJN); e. legalisasi adalah surat di bawah tangan yang disahkan tanda tangan serta menetapkan kepastian tanggal surat tersebut dengan mendaftar dalam buku khusus. (pasal15 ayat (2) hurufa UUJN); f. legalisasi fotokopi adalah fotokopi surat di bawah tangan yang disahkan kecocokan surat tersebut dengan surat aslinya. (pasal 15 ayat(2) huruf d UUJN); g. waarmerking adalah surat di bawah tangan yang dibukukan dengan mendaftar dalam buku khusus. (pasal 15 (2) huruf b UUJN). Kewenangan seorang Notaris membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang di haruskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik yang menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan 77
akta, memberikan groose, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Menurut undang-undang suatu akta resmi mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akta resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akta itu sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.155 Di sini letak arti penting dari profesi Notaris , ialah bahwa ia karena undangundang diberi wewenang untuk menciptakan alat pembuktian yang sempurna. Kekuatan otensitas dari akta ini terletak dalam hal bahwa akta itu sendiri mendapatkan kepercayaan tanpa penyelidikan terlebih dahulu, sehubungan dengan semua apa yang dicantumkan di dalamnya, selaku saksi dari pejabat yang memuat akta tersebut.156 Dari uraian di atas, tugas dan wewenang seorang Notaris sebagai pejabat umum sangat luas, dan tidak jarang seorang Notaris
tersebut dihadapkan pada
peristiwa atau konflik konkrit (masalah hukum), yang harus dipecahkannya .ia harus menguasai peristiwa atau konflik itu di dalam arti memahami dan mengerti duduk perkaranya, menerapkan hukumnya dan menuangkannya dalam sebuah akta. Maka oleh karena dengan pengetahuan yang telah diperoleh nya itu seorang Notaris harus menguasai kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah hukum 155
R. Subekti. 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Inter Masa, Jakarta, hal 161. Habib Adjie, 2012, Bernas-Bernas Pemikiran di Bidang Notaris dan PPAT, CV. Mandar Maju, Bandung, hal 21. 156
78
(the power of solving legal problems). Pada hakekatnya tujuan setiap ilmu adalah pemecahan masalah (problem solving). Kemampuan untuk memecahkan masalahmasalah hukum ini meliputi kemampuan untuk: a. memutuskan masalah-masalah hukum (legal problem identification); b. memecahkan masalah-masalah hukum (legal problem solving); c. mengambil keputusan (decision making). Disamping hal diatas, seorang Notaris harus mampu mecari dan memberi pembenaran yuridis terhadap perkembangan hukum didalam masyarakat. Sehingga tak jarang seorang Notaris melakukan penemuan hukum, akibat dari hukum yang tidak jelas atau tidak lengkap. Menurut Sudikno Mertokusumo, menemukan hukum tidak selamanya mudah karena undang-undang itu tidak lengkap. Tidak ada undang-undang yang lengkapselengkap-lengkapnya. Untuk menemukan hukum Notaris harus menguasai metode penemuan hukum dan sumber penemuan hukum serta sistem hukum. Tidak jarang terjadi ada sarjana hukum yang berpetualang di bidang hukum: mencoba menciptakan konstruksi-konstruksi hukum baru atau menemukan hukum dengan menyimpang dari sitem hukum. Jadi tidaklah cukup bagi Notaris hanya menguasai kaedah-kaedah hukum atau peraturan perundang-undangan saja, Notaris harus pula mahir dalam penemuan hukum. Ia harus kreatif dan terampil menemukan hukumnya dari peristiwa yang dihadapkan kepadanya. Tidak ada dua peristiwa yang sama. Peristiwa yang diajukan pada umumnya selalu masih “mentah” dan menjadi tugas Notaris lah untuk 79
menjaringnya dan kemudian merumuskan menjadi peristiwa hukum. Penemuan hukum ini merupakn pekerjaan yang tidak mudah. Di samping hakim, Notaris juga mempunyai tugas terhadap penemuan hukum atau pencipta hukum. Akta yang dibuatnya berisi hukum yang ditemukan atau diciptakannya dari atau berdasakan peristiwa yang diajukan oleh client padanya. Apa yang dihasilkan dari penemuan hukum oleh Notaris adalah penemuan hukum oleh hakim. Sedangkan apa yang dihasilkan oleh ilmuwan sarjana hukum bukanlah hukum, tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum, melainkan ilmu.157 c. Nilai Pembuktian Akta Otentik Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian sebagai berikut 158: 1. Lahiriah (uitwendigw bewijskracht) Kemampuan lahirian akta Notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant sese ipsa). Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pihak yang menyangkalnya keontetikan akta Notaris. 157
Sudikno Mertokusumo, 1984, Notaris Dalam Hukum Perdata Nasional, www. Sudikno Mertokusumo.com, Yogyakarta, diakses pada tanggal 20 Februari 2013. 158 R. Soegondo Notodisoerjo, Op.cit, hal 55. G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit, hal 54-65, Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal 123. R.Subekti, 1989, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, hal 93-94.
80
Parameter untuk menentukan Akta Notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda tangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada Minuta dan Salinan dan adanya awal akta (mulai dari judul) sampai dengan akhir akta. Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya, bukan dilihat ada apa. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagau akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik. Penyangkaan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris sebagai akta otentik, bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan kepada syarat-syarat akta Notaris sebagai akta otentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi objek gugatan bukan akta Notaris. 2. Formal (fomele bewijskracht) Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihakpihak yag menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk memberikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang mengahadap, paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris (pada
81
akta pejabat/berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak) Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan Notaris, dan membuktikan ketidakbenaran tanda tangan para pihak, saksi dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diteima oleh siapapun. Dalam perkembangan perubahan UUJN, dalam sebuah akta wajib dilekatkan sidik jari. Ini diatur didalam Pasal 16 ayat (1) C, yang berbunyi : “Notaris wajib melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari para penghadap pada minuta akta” di dalam penjelasan UUJN Perubahan ini dinyatakan “cukup jelas” Pengertian Sidik jari (bahasa Inggris: fingerprint) adalah hasil reproduksi tapak jari baik yang sengaja diambil, dicapkan dengan tinta, maupun bekas yang ditinggalkan pada benda karena pernah tersentuh kulit telapak tangan atau kaki. Kulit telapak adalah kulit pada bagian telapak tangan mulai dari pangkal pergelangan sampai kesemua ujung jari, dan kulit bagian dari telapak kaki mulai dari tumit sampai ke ujung jari yang mana pada daerah tersebut terdapat garis halus menonjol yang 82
keluar satu sama lain yang dipisahkan oleh celah atau alur yang membentuk struktur tertentu. Fungsinya adalah untuk memberi gaya gesek lebih besar agar jari dapat memegang benda-benda lebih erat. Sidik jari manusia digunakan untuk keperluan identifikasi karena tidak ada dua manusia yang memiliki sidik jari persis sama. Hal ini mulai dilakukan pada akhir abad ke-19. Seiring perkembangan jaman pada abad ke 20 ini, Sidik jari sudah dikembangkan ke arah security system yang berfungsi sebagai data keamanan. Sebagai contoh mesin absensi sidik jari dan akses kontrol pintu.159 Sidik jari ini sudah dibuat Peraturan (Permenkumham) yang mengatur tentang ini. Untuk bahan acuan penggunaan sidik jari, sudah ada aturannya, khususnya kepada para pihak yang tidak bisa membaca dan menulis sehingga mereka membubuhkan cap jempol/ibu jari sebagai pengganti tanda tangannya; (bukannya 10 jari tangan dan kaki). Selain itu, suatu keadaan sakit (lumpuh) juga dapat mempengaruhi seseorang untuk mengganti tanda tangan dengan cap jempol/ibu jari. Dasar hukum cap jempol/ibu jari ditemukan di dalam Engelbrecht 1960 hlm.1753, yakni ordonansi stbl.1867-29 yang berjudul: Bepalingen nopens de bewjskrscht van onderhandse geschriftenvan indonesiers of met hen gelijkgestelde personen, Atau dalam bahasa Indonesia: Ketentuan-ketentuan mengenai kekuatan sebagai bukti dari surat-surat dibawah tangan yang dibuat oleh golongan hukum pribumi atau orang-orang yang disamakan dengan mereka. Di dalam Pasal 1 ditentukan, bahwa cap jempol disamakan dengan tanda tangan hanya apabila cap jempol itu di-waarmerk (yang bertanggal) oleh seorang Notaris atau pejabat lain yang ditunjuk dalam ordonansi dalam keterangannya 159
Syafran Sofyan, 2014, Catatan Perubahan UU Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004 (Peraturan Menteri Sangat Mendesak), http://medianotaris.com/catatan_perubahan_ uu_jabatan_notaris_nomor_tahun_berita352.html, diakses pada tanggal 21 Februari 2014.
83
harus dinyatakan bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan cap jempol atau orang itu diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta itu dijelaskan (voorhouden) kepada itu, setelah itu orangnya membubuhkan cap jempolnya di hadapan notaris.
Tidak dilarang siapa pun untuk melakukan pengingkaran atau penyangkalan atau penyangkalan atas aspek formal akta Notaris, jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris. Pengingkaran atau penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu gugatan ke pengadilan umu, dan penggungat harus dapat membuktikan bahwa ada aspek formal yang dilanggar atau tidak sesuai dalam akta yang bersangkutan , misalnya bahwa dalam akta, atau merasa sidik jari dan tanda tangan yang tersebut dalam akta bukan tanda tangan dirinya. Jika hal ini terjadi bersangkutan atau penghadap tersebu untuk menggugat Notaris, dan penggungat harus dapat membuktikan ketidak benaran aspek formal tersebut.160 3. Materil (materiele bewijskracht) Merupakan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta
pejabat
(atau
berita
acara),
atau
keterangan
para
pihak
yang
diberikan/disampaikan dihadapan Notaris (akta pihak) dan para pihak harus dinilai benara berkata yang kemudian dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang 160
Jika akta Otentik dikesampingkan dan tidak mengikat hakim dalam proses pembuktian, maka apa gunanya undang-undang menunjuk para pejabat yang ditugaskan untuk membuat akta otentik sebagai alat bukti. Dikutip dari G.H.S. Lumban tobing, Op.cit, hal 61.
84
benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang kemudian dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata.
Jika ternyata pernyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar berkata, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. Notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk/di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka. Jika akan membuktikan aspek materil dari akta, maka yang bersangkutan harus membuktikan, bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta (akta pejabat), atau para pihak yang telah benar berkata (di hadapan Notaris) menjadi tidak benar berkata, dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materiil dari akta Notaris. Ketiga aspek tersebut diatas merupakan kesempurnaan bagi akta Notaris. Sebagai akta otentik dan siapa pun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyain kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atai akta tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.161 d. Nilai Pembuktian Akta Otentik Dalam Putusan Pengadilan
161
Habib Adjie, Op.cit. Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, hal 21.
85
Dalam praktek pembuatan akta Notaris ketiga aspek diatas, tidak dapat dipisahkan satu aspek dengan yang lainnya, tapi harus dilihat secara keseluruhan sebagai bentik penilaian pembuktian atas keontentikan akta Notaris. Nilai pembuktian tersebut dapat dikaji dari beberapa putusan perkara pidana dan perakara perdata yang sesuai dngan aspek tersebut. Aspek lahiriah dari akta Notaris dalam yurisprudensi Mahkamah Agung bahwa akta Notaris sebagai alat bukti berkaitan dengan tugas pelaksanaan tugas jabatan Notaris, contohnya putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973162, yang menegaskan bahwa Judex Factie dalam amar putusannya membatalkan akta Notaris, hal ini dapat dibenarkan, karena pejabat Notaris fungsinya hanya mencatakan (menuliskan) apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap Notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk menyelidik secara materil hal-hal yang dikemukakan oleh penghadap Notaris tersebut.163 Berdasarkan pada putusan Mahakamah Agung tersebut dapat disimpulkan bahwa : 1) Akta Notaris tidak dapat dibatalkan. 2) Fungsi Notaris hanya mencatatkan (menuliskan) apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap Notaris tersebut.
162
Mahkamah Agung, Direktori Putusan Mahkamah agung Republik Indonesia, http://putusan.mahkamahagung.go.id/periode/putus, diakses pada tanggal 15 Februari 2014. 163 Habib Adjie, ibid, hal 21.
86
3) Tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk menyelidik secara materil apaapa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap tersebut.
Dilihat lebih kritis, maka dapat ditegakkan dalam pengaturan sebagaimana yang telah disebut di atas, dimana hal tersebut bertentangan dengan inti dari akta Notaris, jika akta notaris yang dibuat atas kehendak para pihak dibatalkan oleh putusan pengadilan, tanpa ada gugatan dari para pihak yang tersebut dalam akta untuk membatalkan akta Notaris. Pembatalan akta Notaris hanya dapat dilakukan oleh para pihak sendiri. Dalam pembuatan akt pihak ataupun akta relaas harus sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan. Akta para pihak Notaris hanya mencatat, dan membuatkan akta atas kehendak, keterangan atau pernyataan para pihak yang kemudian ditandatangani oleh para pihak tersebut, dan dalam akta relaas, berisi pernyataan atau keterangan Notaris sendiri atas apa yang dilihat dan didengarnya, dengan tetap berlandaskan bahwa pembuatan akta relaas pun harus ada permintaan dari para pihak. Pemeriksaan terhadap Notaris selaku tersangka atau terdakwa harus didasarkan kepada tata cara pembuatan akta Notaris, yaitu:164 1) Melakukan pengenalan terhadap penghadap, berdasrkan identitasnya yang diperlihatkan kepada Notaris. 2) Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau kehendak para pihak tersebut (tanya jawab).
164
Ibid, hal 24-25.
87
3) Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para pihak tersebut. 4) Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi keinginan atau kehendak para pihak tersebut. 5) Memenuhi segala teknik administartif pembuatan akta Notaris, seperti pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan, dan pemberkasan untuk minuta. 6) Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris. Dalam memeriksa Notaris yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh Notaris yang bersangkutan, parameternya harus kepada prosedur pembuatan akta Notaris, dalam hal ini Undang-Undang Jabatan Notaris. Jika semua prosedur sudah dilakukan, maka akta yang bersangkutan tetap mengikat mereka yang membuatnya di hadapan Notaris. 3. Tinjauan Tentang Lembaga Pengawasaan dan Pembinaan Profesi Jabatan Notaris Sebelum berlakunya UUJN, pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap Notaris
dilakukan oleh badan peradilan yang ada pada waktu itu,
sebagaimana pernah diatur dalam pasal 140 Reglement op de Rechtelijke Organisatie en Het Der Justite (Stbl. 1847 No. 23), Pasal 96 Reglement Buitengewesten, Pasal 3 Ordonantie Buitengerechtelijke Verrichtingen – Lembaran Negara 1946 Nomor 135, dan Pasal 50 PJN, kemudian Pengawasan terhadap Notaris
dilakukan Peradilan 88
Umum dan Mahkamah Agung sebagaimana tersebut dalam pasal 32 dan 54 Undangundang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum
dan
Mahkamah
Agung
dan
Menteri
Kehakiman
Nomor
KMA/006/SKB/VII/1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris dan terakhir dalam pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004.165 Setelah berlakunya UUJN badan peradilan tidak lagi melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap Notaris , tapi pengawsan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris .166 a. Dewan Kehormatan Notaris Dewan kehormatan Notaris
merupakan perlengkapan organisasi Ikatan
Notaris Indonesia dan terdiri dari tiga tingakatan yaitu 167: a. Tingkat Pusat b. Wilayah (Propinsi) c. Daerah (Kota/Kabupaten) Dewan Kehormatan terdiri dari beberapa orang anggota yang dipilih dari Anggota Biasa dan
werda Notaris , yang berdedikasi tinggi dan loyal terhadap
Perkumpulan, berkepribadian baik, arif dan bijaksana, sehingga dapat menjadi
165
Habib Adjie, 2011, Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, PT. Refika Aditama, Bandung, hal 1. 166 Ibid, hal 3. 167 Pasal 11 ayat (3), Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia, 2012, Hasil Rapat Pleno Pengurus Pusat Yang Diperluas (Pra Kongres) Di Pekanbaru, 7 Desember 2012.
89
panutan bagi anggota dan diangkat oleh Kongres untuk masa jabatan yang sama dengan masa jabatan kepengurusan.168 Adapun tugas dari dewan kehormatan sebagaimana tercantum dalam pasal 12 ayat (3) Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia adalah sebagai berikut : a. melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik; b. memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung; c. Memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan jabatan Notaris Dalam pasal 1 angka (8) kode etik Ikatan Notaris Indonesia menjelaskan bahwa: 1.
Dewan Kehormatan Pusat adalah Dewan Kehormatan pada tingkat nasional dan yang bertugas untuk : a. melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik; b. memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik Kode Etik dan/atau disiplin organisasi, yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung, pada tingkat akhir dan
168
Pasal 12 ayat (1), Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia, 2005, Hasil Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia Bandung, 27 Januari 2005.
90
bersifat final; c. memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris . 2. Dewan
Kehormatan
Wilayah
adalah
Dewan
Kehormatan
tingkat
Wilayah yaitu pada tingkat Propinsi atau yang setingkat dengan itu, yang bertugas untuk : a. melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik; b. memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik Kode Etik dan/atau disiplin organisasi, yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung pada tingkat banding, dan dalam keadaan tertentu pada tingkat pertama; c. memberikan saran dan pendapat Wilayah dan/atau
Majelis
kepada Majelis Pengawas
Pengawas
Daerah
atas
dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris . 3. Dewan Kehormatan Daerah yaitu Dewan Kehormatan tingkat Daerah,
yaitu pada tingkat Kota atau Kabupaten yang bertugas untuk : a. melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik; b. memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik Kode Etik dan/atau disiplin organisasi, yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan 91
kepentingan masyarakat secara langsung, pada tingkat pertama ; c. memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas Daerah atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris . Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Kehormatan dapat melakukan pemeriksaan terhadap anggota organisasi yang diduga melakukan pelanggaran atas Kode Etik dan bila dinyatakan bersalah maka Dewan Kehormatan berhak menjatuhkan sanksi organisasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia berupa teguran, peringatan, pemberhentian sementara, pemecatan dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Wewenang Dewan Kehormatan tersebut adalah terhadap pelanggaran kode etik organisasi yang dampaknya tidak berkaitan dengan masyarakat secara lansung atau tidak ada orang-orang yang dirugikan dengan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota organisasi, atau dengan kata lain wewenang Dewan Kehormatan Notaris ini hanya bersifat internal organisasi saja. Organisasi atau wadah tunggal Notaris
adalah Ikatan Notaris
Indonesia,
dengan penetapan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 4 Desember 1958 No. J.A. 5/117/6 yang menyatakan perubahan anggaran dasar perkumpulan dinyatakan telah sah dan sejak hari diumumkannya anggaran dasar tersebut dalam Tambahan Berita Negara Indonesia tanggal 6 Maret 1959 Nomor 19, nama perkumpulan 'Nederlandsch-Indische Notarieële Verëeniging' berubah menjadi Ikatan Notaris
92
Indonesia (INI) yang mempunyai tempat kedudukan di Jakarta dan hingga saat ini masih merupakan satu-satunya perkumpulan bagi Notaris di Indonesia.169 Hal ini juga dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 009-014/PUU-III/2005170 tanggal 13 September 2005 atas perkara: "Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945", yang menyatakan bahwa Ikatan Notaris
Indonesia adalah organisasi Notaris
yang
berbentuk perkumpulan berbadan hukum dan merupakan wadah tunggal bagi Notaris di seluruh Indonesia. Dalam rapat Kode Etik Notaris Indonesia pada tanggal Bandung Pada tanggal 28 Januari 2005 menyebutkan pada pasal 1 angka 1 bahwa Ikatan Notaris Indonesia disingkat I.N.I adalah Perkumpulan/organisasi bagi para Notaris , berdiri semenjak tanggal 1 Juli 1908, diakui sebagai Badan Hukum (rechtspersoon)
berdasarkan
Gouvernements Besluit (Penetapan Pemerintah) tanggal 5 September 1908 Nomor 9, merupakan satu-satunya wadah pemersatu bagi semua dan setiap orang
yang
memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum di Indonesia, sebagaimana hal itu telah diakui dan mendapat pengesahan dari Pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada tanggal 23 Januari 1995 Nomor C2-1022.HT.01.06.Tahun 1995, dan telah diumumkan di dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 7 April 1995 No.28 Tambahan Nomor 169
Ikatan Notaris Indonesia, 2010, Sejarah Notaris, http://www.ikatannotarisindonesia.or.id/ read/sejarah-ikatan-notaris-indonesia, diakses pada tanggal 20 februari 2014. 170
Putusan Mahkamah Konstitusi. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page= web.Putusan&id=15&kat=1&cari, diakses pada tanggal 18 Februari 2014.
93
1/P-1995, oleh karena itu sebagai dan merupakan organisasi Notaris sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan dalam Lembaran Negara Repulblik Indonesia tahun 2004 Nomor 117.171 b. Majelis Pengawasan Notaris Majelis Pengawas Notaris sebagai satu-satunya instansi yang berwenang melakukan pengawasan, pemeriksaan dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris, tiap jenjang Majelis Pengawas (MPD, MPW, dan MPP) mempunyai wewenang masing.172 Kedudukan Menteri selaku Badan atau Jabatan TUN yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku173, membawa konsekuensi terhadap Majelis Pengawas, yaitu Majelis Pengawas berkedudukan pula sebagai Badan atau Jabatan TUN, karena menerima delegasi dari badan atau Jabatan yang berkedudukan sebagai Badan atau Jabatan TUN.174 Dengan demikian secara kologial Majelis Pengawas sebagai175: a. Badan atau Pejabat TUN; 171
Pasal 1 Angka (1) Ikatan Notaris Indonesia, 2005, kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I), Bandung, 28 Januari 2005. 172 Habib Adjie, Op.cit, Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, hal 6. 173 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan Atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 174 Untuk menentukan suatu badan dapat dikategorikan sebagai Badan atau Jabatan TUN secara : a. Struktural berada dalam jajaran pemerintahan berdasarkan ketentuan 1 ayat (2) Undangundang Nomor 5 tahun 1986. b. Fungsional, yaitu melaksanakn urusan pemerintahan berdasarkan aturan hukum yang berlaku. c. Menerima delegasi wewenang dari Badan atau Jabatan TUN. 175 Habib Adjie, Op.cit, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, hal 177.
94
b. Melaksanakn urusan pemerintahan; c. Berdasarkan
perundang-undangan
yang
berlaku,
yaitu
melakukan
pengawasan terhadap Notaris sesuai dengan UUJN. 1) Majelis Pengawas Pusat Majelis Pengawas Pusat dibentuk dan berkedudukan di ibukota Negara. Anggota Majelis Pengawas Pusat terdiri dari : a) Perwakilan dari pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang; b) Perwakilan organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan c) Perwakilan ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang. Sesuai dengan pasal 77 Undang-Undang Jabatan Notaris , Majelis Pengawas Pusat mempunyai kewenangan yaitu : a) menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti; b) memanggil Notaris
terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada huruf a; c) menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; dan d) mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri. Selain kewenangan diatas, Majelis Pengawas Pusat juga mempunyai kewenangan lain yaitu :176 176
Zainudin, 2012, Pengawasan Oleh Pengawas Daerah Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Di Kota Padang, Tesis, Universitas Andalas, Padang, hal 61-62.
95
a. memberikan izin cuti lebih dari 1 (satu) tahun dan mencatat dalam sertifikat cuti; b. mengusulkan kepada Menteri pemberian sanksi pemberhentian sementara; c. mengusulkan kepada Menteri pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat; d. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil putusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi, berupa teguran lisan atau tertulis; e. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil putusan dalam tingkat banding terhadap penolakan cuti dan putusan tersebut bersifat final. Menurut pasal 68 UUJN dalam melaksanakan tugasnya, majelis pengawas ini terdiri atas 3 (tiga) Majelis yang berjenjang yaitu : 1) Majelis Pengawas Pusat yang berkedudukan di Ibukota Negara; 2) Majelis Pengawas Wilayah yang dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Provinsi; 3) Majelis Pengawas Daerah, yang dibentuk dan berkedudukan di Kabupaten atau Kota. 2) Majelis Pengawas Wilayah Majelis Pengawas Wilayah merupakan salah satu lembaga yang mengawasi kerja seorang Notaris . Majelis Pengawas Wilayah dibentuk di Ibukota Provinsi. Sama dengan Majelis Pengawas Pusat, Majelis Pengawas Wilayah beranggotakan yang terdiri atas : 96
a) Perwakilan dari pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang; b) Perwakilan organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan c) Perwakilan ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang Pada pasal 73 UUJN Perubahan, Majelis Pengawas Wilayah mempunyai kewenangan antara lain : a. Menyelenggarakan
sidang
untuk
memeriksa
dan
mengambil
keputusan atas laporan masyarakat yang dapat disampaikan melalui Majelis Pengawas Daerah; b. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun; d. memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang menolak cuti yang diajukan oleh Notaris pelapor; e. memberikan sanksi baik peringatan lisan maupun peringatan tertulis; f. mengusulkan pemberian
sanksi
terhadap Notaris kepada Majelis
Pengawas Pusat berupa: 1. pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau 2. pemberhentian dengan tidak hormat.
97
g. pasal ini dengan adanya UUJN Perubahan dihapus, sebelumnya pasal ini berbunyi “membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f” Kemudian didalam ayat 2 dan 3 Pasal 73 menjelaskan bahwa, keputusan Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e bersifat final dan terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f dibuatkan berita acara. Majelis Pengawas Wilayah didalam pasal 75 UUJN Perubahan juga berkewajiban untuk: a. menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f kepada Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris ; dan b. menyampaikan pengajuan banding dari Notaris
kepada Majelis
Pengawas Pusat terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti. 3) Majelis Pengawas Daerah Majelis Pengawas Daerah (MPD) dibentuk di Kabupaten atau Kota. Majelis Pengawas Daerah beranggotakan : a. pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang; b. organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan c. ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang 98
Berdasarkan pasal 70 UUJN Perubahan, Majelis Pengawas Daerah berwenang: a. menyelenggarakan sidang untuk. memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris ; b. melakukan pemeriksaan; terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu; c. memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan d. menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan; e. menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris
yang pada saat serah
terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih; f. menunjuk Notaris Protokol Notaris
yang akan bertindak sebagai pemegang sementara yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4); g. menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini; dan, h. membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g kepada Majelis Pengawas Wilayah. Selain itu di dalam pasal 71 juga menjelaskan kewajiban Majelis Pengawas Daerah, yaitu:
99
a. mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir; b. membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat, dengan tembusan k°pada Notaris
yang
bersangkutan, Organisasi Notaris , dan Majelis Pengawas Pusat; c. merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan; d. menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan merahasiakannya; e. memeriksa laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris . f. menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti D. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum Oleh Hakim 1. Pengertian Penegakan Hukum Semenjak dilahirkan di dunia, maka manusia telah mempunyai hasrat untuk hidup secara teratur.177 Hasrat untuk hidup secara teratur tersebut dipunyainya sejak lahir dan selalu berkembang di dalam pergaulan hidupnya. Namun apa yang dianggap teratur oleh seseorang, belum tentu dianggap teratur juga oleh pihak-pihak lainnya.
177
Otong Rosadi, Hak Anak Bagian Dari Hak Asasi Manusia, Akademika, Bandung,
hal 7.
100
Penegakan hukum selalu akan melibatkan manusia didalamnya dan dengan demikian akan melibatkan tingkah laku manusia juga. Hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya, artinya ia tidak mampu untuk mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan- peraturan) hukum itu.178 Oleh karena itu, maka manusia sebagai mahluk yang senantiasa hidup bersama dengan sesamanya, memerlukan perangkat patokan, agar tidak terjadi pertentangan kepentingan sebagai akibatdari pendapat yang berbeda-beda mengenai keteraturan tersebut. Patokan-patokan tersebut, tidak lain merupakan pedoman untuk berprilaku secara pantas, yang sebenarnya merupakan suatu pandangan menilai yang sekaligus merupakan suatu harapan.179 Patokan-patokan untuk berprilaku pantas tersebut, kemudian dikenal dengan sebutan norma atau kaidah. Norma atau kaidah tersebut mungkin timbul dari pandangan-pandangan mengenai apa yang dianggap baik atau yang dianggap buruk, yang lazimnya disebut nilai.180 Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilainilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihar, dan mempertahankan kedamaian
178
Satjipto Rahardjo, 1993, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, hal 11. 179 Soerjono Soekanto, 2102, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan 11, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 1. 180 Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia-Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT. Refika Aditama, Bandung, hal 230.
101
pergaulan hidup. Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih konkret.181 Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.182 Seperti yang dikutip Wayne La Favre (1964) dalam Roscoe Pond, maka Wayne La Favre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada dintara hukum dan moral (etika dalam arti sempit). Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di
Indonesia
kecendrungannya
adalah
demikian,
sehingga
pengertian
Law
Enforcement183 begitu populer. Selain itu ada kecendrungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksana keputusan-keputusan hakim. Perlu dicatat, bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahankelemahan, apabila pelaksanaan perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut malahan menganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup. Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH.,MH menarik kesimpulan, bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut
181
Soerjono Soekanto, Op.cit , hal 5. Ibid, hal 5. 183 Law Enforcement merupakan penegak hukum, di dalam : I.P.M Ranuhandoko, 2008, Terminologi Hukum-Inggris Indonesia, Cetakan 5, Sinar Grafika, Jakarta, hal 376. 182
102
mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.184
Ruang lingkup dari istilah ”penegak hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara lansung dan secara tidak lansung berkecimpung di bidang penegakan huku. Maka dalam tulisan ini penulis hanya membatasi penegakan hukum yang bertugas di bidang kehakiman. 2. Pengertian Hakim Undang-undang No. 8 Tahun 2004 Pasal 12 ayat (1) menyebutkan bahwa Hakim Pengadilan yaitu pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. Sebenarnya Undang-undang telah menempatkan Hakim pada kedudukan yang terhormat, diantara tolak ukurnya adalah Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara. Hal itu terutama tersurat dalam Pasal 25 Undangundang Dasar 1945. Sedangkan menurut pasal 31 undang-undang No. 4 tahun 2004, Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur didalam undang-undang185. Ketentuan kewajiban Hakim dapat ditelusuri dalam Undang-undang No 4 Tahun 2004. Undang-undang itu mengatur Kewajiban Hakim dan kewajiban Hakim Ketua Sidang. Beberapa kewajiban yang dapat diinventarisasi yaitu sebagai berikut: 1) Kewajiban Hakim 184
Soerjono Soekanto, Op.cit , hal 7-8. Andi Hamzah, 2009, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Edisi 3, PT. Sinar Grafika, Jakarta, hal 18. 185
103
Kewajiban Hakim antara lain: a. Hakim wajib mengggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. b. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 2004). c. Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai derajad ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokad atau Panitera (vide Pasal 29 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 2004). d. Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara (vide Pasal 29 ayat (5) Undang-undang No. 4 Tahun 2004). Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia (Pasal 1 Undangundang No. 4 Tahun 2004). 2) Larangan Hakim dalam Memimpin Persidangan Perkara Perdata
104
Dalam pasal 35 Reglemen Acara Perdata Reglement Op De Rechtsvordering Staatsblad 1847 Nomor 52 Juncto. 1849 Nomor 63 Bab 2 Bagian 3 menyebutkan186 bahwa hakim dilarang untuk memimpin persidangan perkara perdata apabila: a. Jika ia secara pribadi mempunyai kepentingan dalam perkara yang bersangkutan; b. Jika ia dengan salah satu pihak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau periparan sampai derajat keempat; c. Jika dalam waktu satu tahun sebelum penolakn terhadap salah satu pihak atau isterinya ataupun terhadap keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan dalam garis lurus, telah dilakukan proses pidana atas tuntutannya atau karena tindakannya; d. Jika ia telah memberikan nasihat tertulis di dalam perkara itu; e. Jika ia selama berjalannya perkara telah menerima suatu pemberian dari orang yang berkepentingan, atau telah dijanjikan suatu pemberian kepadanya yang disetujuinya; f. Jika ia, isterinya, keluarga sedarah, serta keluarga karena perkawinan mereka dalam garis lurus mempunyai persengketaan tentang pokok perkara serupa dengan yang sedang dialami oleh para pihak; g. Jika antar hakim, istrinya, keluarga sedarah mereka atau keluarga mereka kerena perkawinan dalam garis lurus masih dalam proses perkara perdata dan salah satu pihak masih tersangkut didalmanya; 186
Ropaun Rambe, 2010, Hukum Acara Perdata Lengkap, Cetakan Keenam, Sinar Grafika, Jakarta, hal 13.
105
h. Jika hakim adalah wali, pengampu, pewaris atau yang menerima hibah dari salah satu pihak, atau jika salah satu pihak kemungkinan besar adalah ahli warisnya; i. Jika ia adalah seorang pengurus suatu yayasan, perserikatan, atau badan pemerintahan yang menjadi salah satu pihak; j. Jika ada permusuhan yang hebat antara dia dan dan salah satu pihak; k. Jika antara hakim dan salah satu pihak sejak timbulnya perkara atau dalam waktu enam bulan sebelum penolakan, telah terjadi penghinaan atau ancaman187. 3. Asas-Asas Hukum Acara Perdata dan Pertimbangan Hakim a. Asas-Asas Hukum Acara Perdata 1. Hakim Bersifat Menunggu188 Asas dari pada hukum acara pada umumnya, termasuk hukum acara perdata, ialah bahwa pelaksanaanya, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Kalau tidak ada penuntuttan hak atau penuntuttan, maka tidak ada hakim, demikian bunyi pemeo yang tidak asing lagi (wo kein Klager ist, ist kein Richter; Nemo judex sine actore) 2. Hakim Pasif189 Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan 187
Ibid, hal 14. Sudikno Mertokusumo, 2008, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
188
hal 10.
189
Ibid, hal 12.
106
kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. 3. Sifat Terbukanya Persidangan190 Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari pada asas ini lain untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektivitas peradilan dengan mempertangungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat. Asas ini bisa dijumpai dalam pasal 19 ayat (1) dan 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. 191 4. Mendengar Kedua Belah Pihak192 Kedua belah pihak didalam hukum acara perdata haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang, seperti yang dimuat dalam pasal 5 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004, mengandung arti bahwa didalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya.
190
Ibid, hal 14. Lihat juga pasal 179 ayat (1), 317 HIR, 190 RBG. 192 Ibid, hal 14. 191
107
5. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan193 Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili194. Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertangung-jawab hakim pada putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai yang obyektif. 6. Beracara Dikenakan Biaya195 Utuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya (pasal 3 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004, 121 ayat 4, 182, 183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rbg). Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya pengadilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Di samping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara, maka harus pula dikeluarkan biaya. 7. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan196 HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara lansung terhadap para pihak yang lansung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (pasal 123 HIR, 147 Rbg). Dengan demikian hakim tetap wajib
193
Ibid, hal 15. Lihat Pasal 25 UU Nomor 4 Tahun 2004, 184 ayat (1), 319 HIR, 195, 618 Rbg. 195 Ibid, hal 17. 196 Ibid, hal 18. 194
108
memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa. b. Pertimbangan Hakim Dalam memberikan telaah kepada Pertimbangan Hakim dalam berbagai putusannya akan dilihatnya pada dua kategori. Kategori pertama akan dilihat dari segi pertimbangan yang bersifat yuridis dan kedua adalah pertimbangan yang bersifat non yuridis, yakni:197 a. Pertimbangan yuridis adalah Pertimbangan Hakim yang didasarkan kepada fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan yang muncul dari alat-alat bukti atau hal-hal yang telah ditetapkan oleh Undang-undang sebelumnya. b. Pertimbangan non yuridis adalah Pertimbangan Hakim yang didasarkan kepada fakta-fakta yang terungkap saat pemeriksaan berlangsung yang sebelumnya tidak diatur di dalam Undang-undang. 4. Putusan dan Jenis-jenis Putusan Hakim a. Pengertian Putusan Hakim Hakim sebagai pejabat pengadilan Negara198 diberi wewenang oleh Undangundang untuk mengadili suatu perkara yang diberikan kepadanya dan pihak lain tidak
197
Rusli Muhammad. 2006. Potret Lembaga Pengadilan Indonesia. Raja Grafindo Persada , Jakarta, hal, 175. 198 Suharto RM, 2006, Penuntuttan Dalam Praktek Peradilan, PT. Sinar Grafika, Jakarta, hal 14.
109
dibenarkan untuk ikut campur tangan atau mempengaruhi putusan yang akan diputuskan oleh Hakim.199 Setelah hakim mengetahui duduknya perkara yang sebenarnya, maka pemeriksaan terhadap perkara dinyatakan selesai. Kemudian dijatuhkan putusan oleh hakim. Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan.200 Didalam HIR Pasal 178 menyatakan bahwa 201: 1. Dalam sidang permusyawaratan maka Hakim karena jabatannya harus melengkapi dasar-dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh pihak-pihak. 2. Ia wajib memberikan putusan terhadap semua bagian dari tuntuttan. 3. Ia dilarang memberi putusan tentang hal-hal yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut. Tidak semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial. Artinya, tidak terhadap semua putusan dengan sendirinya melekat kekuatan 199
Lembaga Kajian dan Advokasi, 2010, Konsep Ideal Peradilan Indonesia-Menciptakan Kesatuan Hukum & Meningkatkan Akses Masyarakat pada Keadilan, National Legal Reform Program (NLRP), Jakarta, hal 4. 200 Sudino Mertokusumo, Op.cit, hal 211-212. 201 R. Soeroso, 1993, Hukum Acara Perdata Lengkap dan Praktis, HIR, RBg, dan Yurispudensi, Sinar Grafika, Jakarta, hal 134
110
pelaksanaan. Berarti tidak semua putusan pengadilan dapat dieksekusi. Putusan yang belum dapat dieksekusi ialah putusan yang belum dapat dijalankan.202 b. Jenis-jenis Putusan Hakim Didalam pasal 185 ayat 1 HIR (pasal 196 ayat 1 Rbg) membagi putusan oleh hakim perdata menjadi dua bentuk, yaitu putusan akhir dan putusan yang bukan akhir atau yang lebih sering disebut dengan putusan sela. 1. Putusan Sela Putusan yang bukan putusan akhir disebut juga putusan sela atau putusan antara, yang fungsinya tidak lain untuk memperlancar pemeriksaan perkara. Putusan sela ada empat macam yaitu: a. Putusan Praeparatoir203 Putusan Praeparatoir adalah putusan sebagai persiapan putusan akhi, tanpa mempnyai pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan akhir. b. Putusan Interlocutoir204 Putusan Interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, misalnya pemeriksaan untuk pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat. Kalau Putusan Praeparatoir tidak mempengaruhi putusan akhir, maka putusan ini dapat mempengaruhi putusan akhir.
202
M. Yahya Harahap, 1995, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta, hal 11. 203 Sudino Mertokusumo, Op.cit, hal 232. 204 Ibid, hal 232.
111
c. Putusan Insidentil205 Putusan Insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan incident, yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan luar biasa. Putusan Insidentil belum berhubungan dengan pokok perkara, seperti misalnya putusan yang membolehkan seseorang ikut kerja dalam perkara (vrijwaring, voeging atau tussenkomst : pasal 70, 279 RV). d.Putusan Provisionil206 Putusan Provisionil adalah putusan yang menjawab tuntuttan provisional, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan. Untuk melaksanakan putusan sela yang mengabulkan tuntutan Putusan Provisionil ini Mahkamah Agung menginstruksikan agar ada persetujuan khusus dari Mahkamah Agung.207 Kemudian instruksi tersebut dicabut dengan menetapkan, bahwa pemeberian persetujuan itu dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Tinggi, yang meliputi wilayah hukum Pengadilan Negeri dimana diperiksa perkara perdata yang bersangkutan.208
205
Ibid, hal 232. Ibid, hal 232. 207 Surat Edaran Mahkmah Agung 4/1965 Tanggal 30 Desember 1965. 208 Surat Edaran Mahkmah Agung 16/1969 Tanggal 11 Oktober 1969. 206
112
2. Putusan Akhir Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ini terbagi atas :209 a. Putusan Condemnatoir210 Ini merupakan putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan unutuk memenuhi prestasi. Di dalam putusan condemnatoir diakui hak penggugat atas prestasi yang ditututnya. Hukuman semacam itu hanya terjadi berhubung dengan perikatan yang bersumber pada persetujuan atau undang-undang, yang prestasinya dapat terdiri dari memberi, berbuat dan tidak berbuat. Pada umumnya putusan condemnatoir itu berisi hukuman untuk membayar sejumlah uang. b. Putusan Constitutif211 Putusan ini meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum, misalnya memutuskan perkawinan, pengangkatan wali, dan lain sebagainya. Putusan ini pada umumnya tidak dapat dilaksanakan dalam arti kata seperti tersebut diatas, karena tidak menetapkan ha katas suatu prestasi tertentu. Maka akibat hukumnya atau pelaksanaanya tidak tergantung pada bantuan daripada pihak lawan yang dikalahkan. Perubahan keadaaan atau hungungan hukum itu sekaligus terjadi pada saat putusan itu diucapkan
209
Ibid, hal 231. Ibid, hal 231. 211 Ibid, hal 231-232. 210
113
tanpa memerlukan upaya pemaksa. Pengampuan dan kepailitan misalnya terjadi karena pada saat putusan yang dijatuhkan. c. Putusan Declaratoir212 Ini adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya bahwa anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Juga tiap putusan yang bersifat menolak gugatan merupakan putusan
declaratoir. Disini dinyatakan
sebagai hukum, bahwa keadaan hukum tertentu yang dituntut oleh penggugat atau pemohon ada atau tidak ada, tanpa mengakui adanya ha katas suatu prestasi. Putusan declaratoir murni tidak mempunyai atau memerlukan upaya memksa karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan daripada pihak lawan yang dikalahkan untuk melaksanakannya, sehingga hanyalah mempunyai kekuatan mengikat saja. d. Putusan Contradictoir213 Putusan Contradictoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam hal tergugat pernah datang menghadap di persidangan walau sekalipun ia tidak memberi perlawanan/pengakuan. Misalnya: A menggugat B mengenai utang piutang di Pengadilan Negeri. Setelah dipanggil dengan sah dan patut si B datang pada sidang pertama, tetapi pada sidang selanjutnya B tidak pernah datang lagi hingga perkara selesai diperiksa.
212
Ibid, hal 232. Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hal 124. 213
114
Terhadap perkara tersebut dimana si B pernah datang menghadap diputus dengan putusan contradictoir. e. Putusan Verstek214 Putusan Verstek adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam hal tergugat tidak pernah hadir di persidangan meskipun telah dipanggil dengan patut untuk datang menghadap. Hakim akan mempertimbangkan ketentuan Pasal 125-125 HIR/Pasal 149-150 RBG, dimana pihak tergugat tidak datang menghadap dan juga tidak mengirimkan kuasanya yang sah, walaupun telah dipanggil dengan patut, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan tanpa hadirnya tergugat yang dianggap tidak menggunakan haknya, jika dalil-dalil gugatan penggugat didukung oleh alat-alat bukti serta tidak bertentangan dengan hukum, maka gugatan penggugat dikabulkan dengan tanpa kehadiran tergugat.215
214
Ibid, hal 124. Ibid, hal 125.
215
115
BAB III DASAR PEMBENTUKKAN MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS NOMOR 30 TAHUN 2004. Sebelum menggali jauh lebih dalam kenapa Majelis Kehormatan Notaris bisa hadir didalam pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, penulis akan menyajikan bagaimana proses pemanggilan Notaris
terhadap akta yang dibuatnya terhadap
penegakan hukum. Peraturan jabatan Notaris dimulai dari zaman penjajahan Belanda sampai dengan UUJN Perubahan yang berjudul “Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004” 1. Pemanggilan Terhadap Jabatan Notaris
Sebelum Undang-Undang
Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004. Kedudukan seorang Notaris
sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat
hingga sekarang dirasakan masih disegani.216 Seorang Notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasehat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya (konstarir) adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.217
216
Info Notariat, 2011, Notaris, http://info-notariat.blogspot.com/2011/05/notaris.html, diakses pada tanggal 15 Februari 2014. 217
Muclis Fatahna dan Joko Purwanto, Op.cit, Notaris Bicara Soal Kenegaraan, hal 256.
116
Pengaturan tentang Notaris dimulai sejak penjajahan Belanda ke Nusantara, dimana Negara Indonesia dahulu bernama Hindia Belanda. Lembaga Notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad XVII dengan keberadaan Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC).218 Untuk keperluan para penduduk dan para pedagang di Jakarta maka diangkatlah seorang Notaris , yang disebut Notarium Publicum, sejak tanggal 27 Agustus 1620, mengangkat Melchior Kerchem.219 Pengaturan tentang Notaris ini dimulai sejak dikeluarkannya Instructie Voor de Notaris sen Residerende in Nederlands Indie. Dimana pasal instruksi tersebut mengatur secara hukum batas-batas wewenang dari seorang Notaris , dan juga menegasakan Notaris bertugas untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan mengeluarkan grossenya, demikian juga memberi salinannya yang sah dan benar.220 Tahun 1860 Pemerintahan Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peraturan-peraturan mengenai Jabatan Notaris di Nederlands Indie untuk disesuaikan dengan peraturan-peraturan yang baru mengenai jabatan Notaris yang berlaku di Belanda. Sebagai pengganti Instructie Voor de Notaris sen Residerende in Nederlands Indie, kemudian pada tanggal 1 juli 1860 ditetapkan Reglement op Het Notaris t Ambt in Nederlans Indie (Stbl. 1860:3)221
218
G.H.S Limban Tobing, Op.Cit, Peraturan Jabatan Notaris, hal 15. Dalam sejarah dunia Notaris di Indonesia, Melchior Kerchem merupakan Notaris pertama di Indonesia. 220 Ibid, hal 20. 221 Habib Adjie, Op.cit, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, hal 2. 219
117
Pada masa ini, orang yang diangkat menjadi Notaris harus mempunyai cukup pengetahuan hukum dan harus menempuh ujian terlebih dahulu. Selain itu harus menunjukkan jaminan orang (borghtoch), dan diharuskan menyimpan protocol, tidak boleh membuat akta dimana pribadinya turut berkepentingan di dalamnya, tidak boleh memberikan salinan akta selain kepada mereka yang berkepentingan. Dimana seorang Notaris sebelum menjalankan jabatannya harus disumpah terlebih dahulu.222 Dalam melakukan pengawasan terhadap Notaris, diawasi lansung oleh Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia. Karena setiap tindakan dari seoarng Notaris harus dari persetujuan Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia.223 R. Soesanto menyatakan pada tahun 1675 Notaris dilarang membuat akta dengan satu bahasa saja, dimana para pihak yang hadir (comparaten) tidak mengerti bahasanya. Pada tahun 1680 sudah menjadi kebiasaan bahwa seorang Notaris membuat akta dengan bahasa gado-gado dan campuran dengan tujuan tercapainya persatuan dan sikap hati-hati dari penggunaan bahasa dan bahasa-bahasa daerah.
Selaras dengan itu menurut penulis dalam abad-abad tersebut, masih belum ada peraturan-peraturan yang baik dan lengkap, karena masih banyak terjadinya perubahan-perubahan. Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, keberadaan Notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan (AP) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap hal 22.
222
R. Soesanto, Op.cit, Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris (sementara),
223
Ibid, hal 23.
118
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini. Dengan dasar Pasal II AP tersebut tetap diberlakukan Reglement op Het Notaris t Ambt in Nederlans Indie (Stbl. 1860:3)224 Sejak 1948 kewenangan pengangkatan Notaris dilakukan oleh Menteri Kehakiman, berdasarkan Peraturan Pemerintah Tahun 1948 Nomor 60, tanggal 30 Oktober Tahun 1948 tentang Lapangan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan dan Tugas Kewajiban Kementerian Kehakiman. Tahun 1949 melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dialaksanakan di Den Haag, Nederland, tanggal 23 Agustus-22 September 1949, salah satu hasil KMB terjadi penyerahan kedaulatan dari Pemerintahan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat untuk seluruh Wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat-Papua sekarang), adanya penyerahan kedaultan tersebut, membawa akibat kepada status Notaris yang bekewarganegaraan Belanda yang ada di Indonesia, harus meninggalkan jabatannya. Dengan demikian terjadilah kekosongan Notaris di Indonesia, untuk mengisi kekosongan tersebut sesuai dengan kewenangan yang ada pada Menteri Kehakiman RIS maka dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1954 menetapakan dan mengangkat Wakil Notaris untuk menjalankan tugas Jabatan Noatris dan menerima protokol yang berasal dari Notaris yang berkewarganegaraan Belanda.225 Pada tanggal 13 November 1954 Pemerintah Republik Inonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 33 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. 224
Habib Adjie, Op.cit, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, hal 4. 225 Ibid, hal 5.
119
Dalam pasal 50 Peraturan Jabatan Notaris merupakan pengaturan tentang pengawasan terhadap Notaris dan aktanya. R. Soegono Notosisoerjo menjelaskan dalam bukunya “Jika Notaris
mengabaikan martabat dan kedudukannya atau jabatannya atau
melakukan tindakan yang melanggar dari ketentuan-ketentuan dari perundangundangan umum atau melakukan kesalahan-kesalahan lainnya, baik didalam maupun diluar jabatannya, maka hal itu oleh kejaksaan yang didalam wilayahnya Notaris itu bertempat kedudukan, diberitahukannya kepada Pengadilan Negeri.” “Jika Pengadilan Negeri karena sesuatu hal mengetahui tentang hal-hal itu maka Kejaksaan akan didengar hal-hal tersebut.” “Diluar hal-hal dimana didalam Peraturan ini ditetapkan hukuman-hukuman tertentu, maka Pengadilan Negeri dalam siding berhak menjatuhkan hukuman seperti berikut : 1. Diberi teguran 2. Diberhentikan sementara (dischors) selama tiga sampai enam bulan. “Pengadilan Negeri selanjutnya berwenang, apabila menurut pendapatnya salah satu hukuman ini masih kurang dibandingkan dengan sifat tindakan-tindakannya, untuk mengajukan usul kepada Menteri Kehakiman (Gubernur Jenderal) agar supaya Notaris itu dipecat dari jabatannya”
120
“Pemberhentian peringatan atau pemberhentian sementara dan usul pemecatan kepada Menteri Kehakiman tidak boleh dilaksanakan sebelum Notaris
yang
bersangkutan didengar atau dipanggil secara wajar” “Sebelum seorang Notaris dipecat, maka Mahkamah agung harus didengar terlebih dahulu” “Dalam hal seorang Notaris diperhentikan sementar maka Pengadilan Negeri dalam waktu yang sama mengangkat seorang pengganti” Pengawasan terhadap tingkah laku Notaris dalan Peraturan Jabatan Notaris ini ditugaskan kepada jaksa, yang didalam wilayahnya Notaris itu bertempat kedudukan. Apabila Jaksa mendapatkan tingkah laku dari Notaris yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksud dalam ayat pertama Pasal 50, maka ia harus memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan Negeri karena sesuatu hal mengetahui tentang pelanggaranpelanggaran itu, maka ia harus mendengarkan pendapat dari kejaksaan. Jika ada dugaan keras bahwa Notaris memang melakukan pelanggaran itu, maka ia didengar dalam siding oleh Pengadilan Negeri, dan Pengadilan dapat memberi hukuman sebagai berikut : (1) teguran-peringatan, (2) diperhentikan sementara dari jabatannya (dischors) selama tiga sampai enam bulan.226 Hukuman-hukuman ini adalah diluar sanksi-sanksi yang biasanya diadakan untuk tiap-tiap kelalaian atau pelanggaran yang ditentukan dalam ketentuan-ketentuan Peraturan Jabatan Notaris. Jika pelanggaran-pelanggaran itu oleh Pengadilan Negeri 226
R. Soegono Notodisoerjo, Op.cit, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Pnjelasan, hal 212-
216.
121
dianggap terlalu berat, maka dapat diusulkan kepada Menteri Kehakiman supaya Notaris dipecat, maka Mahkamah Agung harus didengar pendapatnya lebih dahulu. Ketentuam ini sesungguhanya merupakan jaminan, bahwa pemecatan Notaris tidak dapat dialakukan begitu saja secara sewenang-wenang. Apabila Pengadilan Negeri memberhentikan seorang Notaris untuk sementara (dischors) maka bersamaan waktunya dengan itu harus diangkat seorang pengganti, agar supaya jabatan Notaris itu tidak lowong. Pengangkatan itu dilakukan bersamaan waktunya dengan pemberhentian sementara itu, jadi dengan keputusan Pengadilan yang sama.227 2. Pemanggilan Terhadap Jabatan Notaris Setelah Berlakunya UndangUndang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004. Dengan lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, maka dalam pemanggilan Notaris terhadap akta yang dibuatnya diatur dalam pasal 66 UUJN, yang berbunyi : 1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang: a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris ; dan
227
Ibid, hal 216.
122
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris . 2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan Dalam pasal 66 UUJN 30 Tahun 2004 dalam praktik hukum baik Majelis Pengawas Notaris maupun Penyidik tetap memberlakukan ketentuan pasal 66 bagi Notaris yang cuti yang dipanggil untuk keperluan pemeriksaan dalam suatu perkara pudana, berkaitan dengan akta yang dibuatnya Pietrer E. Latumeten menyebutkan dari sudut logika hukumnya izin Majelis Pengawasa Daerah yang dimaksud dalam pasal 66 UUJN diperlukan terhadap Notaris atau Notaris
Pengganti atau Pejabat Sementara Notaris
yang menyimpan dan
memegang protokol Notaris jika diperlukan penyitaan oleh penyidik.228 Selaras dengan itu Majelis Pengawas Daerah dalam pasal 66 UUJN ini, berfungsi sebagai ujung tombak pembinaan dan pengawasan.229 Karena laporan dari Majelis Pengawas Daerah sebagai rekomendasi kepada Menteri Hukum dan Hak
228
Pieter E. Latumeten, 2007, Apakah Pasal 66 UUJN Berlaku Bagi werda Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris?, Edisi Januari Majalah Renvoi, Jakarta,hal 63. 229 Mihardi, 2012, MPPN mengawasi notaris dan menjalankan UUJN , http:// nasional.sindonews.com/read/2012/12/14/13/697496/mppn-mengawasi-notaris-dan-menjalankan-uujn, diakses pada tanggal 19 Februari 2014.
123
Asasi Manusia, untuk mengambil kebijakan dalam rangka penguatan majelis pengawas Notaris secara lebih konprehensif.230 Maka seorang Notaris harus memiliki komitmen intelektual, emosional dan spiritual. Tidak cukup hanya cerdas intelektual, mempunyai izin, menguasai UU dan ilmu hukum. Itu tidak ada artinya tanpa integritas. Jika organisasi hukum sudah dicap busuk, sangat sulit untuk memulihkannya231 Selain dilindungi dalam pasal 66 UUJN, Ikatan Notaris
Indonesia juga
membuat MoU dengan Kapolri, yang menegaskan bahwa pemanggilan Notaris pihak kepolisian harus seizin dari Majelis Pengawas daerah. Namun dalam jangka waktu UUJN nomor 30 tahun 2004 belum dirubah, terhadap Pengawasan Notaris menjadi bagian yang diperjuangkan untuk direvisi, maklum saja fungsi ini menyangkut kelansungan hidup setiap Notaris atau jabatannya dicabut atas kesalahan yang dilakukannya.232 Pedoman majelis pengawas hanya bertujuan untuk memberikan arah dan tuntunan bagi anggotanya agar menjalankan tugasnya dapat memberikan pembinaan 230
Notarisku, 2012, Kongres Luar Biasa (Klb) Ikatan Notaris Indonesia (INI) Tahun 2013 Di Bali Kongres Luar Biasa Di Bali Satu2nya Solusi Bagi Legitimasi Kepengurusan INI, http://notarisku.blogspot.com/2013/05/konres-luar-biasa-klb-ikatan-notaris.html, diakses pada tanggal 19 Februari 2014. 231 Info Notariat, 2012, Menuju Notaris Berkomitmen Intelektual, Emosional Dan Spiritual, ’’Pembekalan Moral Itu Perlu Karena Kita Menghendaki Notaris Merupakan Profesi Yang Luhur Dan Bermartabat,’’ http://info-notariat.blogspot.com/2012/02/ menujunotaris -berkomitmenintelektual.html. diakses pada tanggal 19 Februari 2014. 232
Zulkifli Harahap, 2011, Pemanggilan Seorang Notaris dan PPAT oleh Kepolisian Harus Seizin Majelis Pengawas Daerah, Edisi Mei Majalah Renvoi, Jakarta, hal 6.
124
dan pengawasan kepada Notaris dalam menjalankan profesinya sebagai Pejabata Umum yang senantiasa meningkatkan profesionalisme dan kualitas kerjanya.233 Menurut penulis pasal 66 UUJN 30 tahun 2004, seperti imunitas bagi seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Apabila terjadi kesalahan baik dari kesalahan kecil maupun fatal, semunya harus izin dari MPD wilayah kerja Notaris tersebut, sehingga dalam proses penegakkan hukum terkait akta yang dibuatnya pada periode masih belum bagus pengaturannya, karena adanya semacam hak imunitas yang diberikan Pasal 66 UUJN 30 tahun 2004. 3. Kehadiran Majelis Kehormatan Notaris di Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004. a. Pengajuan Rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 dalam Rapat Paripurna DPR-RI Dalam rapat Koordinasi Majelis Pengawas Notaris (Rakor MPN) yang dilansungkan di Bandung akhir Oktober tahun 2013, menghasilkan rekomendasi yang utamanya menyangkut penguatan kelembagaan MPN ini. Khususnya berkaitan dengan dihilangkannya pasal 66 ayat 1 UUJN oleh Putusan Mahkamah Konstitusi.234 233
Ikatan Notaris Indonesia, 2005, Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pegawas notaris, CV. Medya Duta, Jakarta, hal 5. 234 Nur Ichwan, 2013, Direkomendasikan Perlu Ada Pengganti Pasal 66, Edisi November Majalah Renvoi, Jakarta,hal 39.
125
Dalam rapat itu telah ditetapakan dan diputuskan oleh tim perumus yang diketuai oleh Dr. Bambanga Rantam Sariwanto, Bardar Baraba SH.,MH., Prof. Abdul Bari Azed, SH,. MH.,Dr. Aidir Awin Daud, SH.,M.Hum.,Dr. Drs. Widodod Suryandono, SH.,MH. Isyana W.Sadrajarwo, SH.,MH., M.J Barimbing, SH.,MH., Nur Ichwan, SH.,MH., Nur Ali, SH.,MH.,Sri Yusfini Yusuf, SH.,MSi.,Misgolda, SH.,MH dan Nunung Suryati, Amd.235 Akibat penghilangan persetujuan MPD, hal itu sedikit banyak akan menganggu kenyamanan para Notaris dalam rangka menjalankan tugas dan jabatan yang selama ini mendapatkan perhatian serta perlindungan MPN.236 Visi dalam meyelenggarakan Rakornas ini adalah : 1) Untuk mengoptimalkan fungsi dan peranan Majelis Pengawas pasca keputusan dari MK. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia maupun dari ketua Majelis Pusat Pengawas Notaris (MPPN) mempnuayi semangat yang tinggi untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris
dalam kaitan
meningkatkan profeionalitas dalam menjalankan tugas dan jabatan. 2) Dalam Rakornas ini terkandung maksud dari pihak Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memperhatikan hal yang selama ini mungkin kurang mendapatkan perhatian, seperti hal-hal yang menyangkut sarana dan prasarana penunjang bagai MPD sebagai ujung tombak MPN yang selama ini hal-hal itu
235
Ibid, hal 39. Andy Supratno dan Maroloan J. Baringbing, 2013, Putusan MK Jadi Topik Bahasan Dalam Rakor MPN, Edisi November Majalah Renvoi, Jakarta, hal 40. 236
126
sangat diharapkan oleh MPD untuk meningkatkan kinerja MPD, untuk melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan Notaris . Paca keputusan MK No. 49/PUU-X/2012, PP INI terus melakukan usahausaha dalam penjagaan kerahasian akta yang dibuat oleh Notaris , antara lain penandatangan MOU dengan Kapolri, perihal tata cara pemanggilan Notaris berkaitan dengan keterangan akta hingga akhirnya melakukan melakukannya dengan stake holder lainnya seperti Kemenkunham hingga Tim Perumus RUUJN mendapat masukkan denga pembentukkan Majelis Kehormatan Notaris dalam rangka mengatur mekanisme pemeriksaan Notaris berkaitan dengan akta otentik yang dibuatnnya.237 Revisi terhadap UUJN (UU Jabatan Notaris ) betul-betul menjadi pertaruhan Notaris. Ibarat pertandingan "hidup-mati", apapun alasannya, para Notaris
harus
sekuat tenaga memperjuangkan "nasibnya" melalui revisi UUJN238. Senada dengan hal tersebut bahwa dalam finalisasi revisi Rancangan Undang-Undang Jabatan Notaris , khususnya menyangkut kode etik profesi, maka ada semacam wacana untuk meningkatkan eksistensi dan peran dari Dewan Kehormatan Notaris secara berjenjang. Keangotaanya pun akan dilengkapi bukan hanya dari para Notaris saja, tetapi melibatkan unsur-unsur lain, yakni dari unsur-unsur lain, yakni dari unsur pemerintah dan Pengadilan Negeri.239
237
Syafran Sofyan, 2014, PP INI Lakukan Sosialisasi Menyeluruh-Empat Pasal Krusial UUJN Perubahan Harus Dipahami. Edisi Februari, Majalah Renvoi, Jakarta, hal 27. 238 Agustinus Yohanes Indradjaja, 2013, Revisi UUJN : Notaris Merangkap Pegawai Bank, http://medianotariat.com/index.php/83-opini/113-revisi-uujn-notaris-merangkap-pegawai-bank, diakses pada tanggal 21 februari 2014. 239
Ibid, hal 40.
127
Dalam Revisi UUJN yang telah disetujui untuk disahkan di Paripurna ini ada beberapa hal baru yang sangat penting, yaitu pertama, “menjelmanya” kembali ketentuan pasal yang mirip dengan ketentuan yang berbunyi “...dengan ijin Majelis Pengawas Daerah” dalam pasal 66 ayat 1 UUJN Nomor 30 tahun 2004 yang dianulir Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu. Dalam ketentuan revisi, kewenangan ini bertransformasi ke bentuk apa yang dinamakan “Majelis Kehormatan Notaris ” yang merupakan pintu masuk izin penegak hukum untuk memanggil dan memeriksa Notaris . Jika nanti UU ini disahkan maka penegak hukum, polisi, hakim dan jaksa, kembali harus minta izin organisasi untuk memeriksa atau memanggil Notaris untuk diminta keterangan. 240 Dalam Rapat Paripurna DPR RI telah menyetujui RUU usul inisiatif Badan Legislatif tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ditetapkan menjadi Undang-undang inisiatif DPR241 dan diteruskan pembahasannya sesuai mekanisme persidangan DPR RI.242
240
Media Notaris, 2013, RUU Perubahan UU Jabatan Notaris Disetujui - Ijin Memeriksa Notaris Muncul Lagi, http://medianotaris.com/ruu_perubahan_uu_jabatan_notaris_disetujui_ berita346.html, diakses pada tanggal 13 Februari 2014. 241 Citizenjurnalism, 2012, Paripurna DPR Setujui Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Menjadi Usul Inisiatif, http://www.citizenjurnalism.com/world-news/indonesia/cj-dpr-rinews/paripurna-dpr-setujui-perubahan-uu-jabatan-notaris-menjadi-usul-inisiatif/, diakses pada tanggal 24 Februari 2014. 242 DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap Rancangan UndangUndang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Rancangan UndangUndang (RUU) dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. RUU yang sudah disetujui bersama antara DPR dengan Presiden, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Apabila setelah 15 (lima belas) hari kerja, RUU yang sudah disampaikan kepada Presiden belum disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan DPR mengirim surat kepada presiden untuk meminta penjelasan. Apabila RUU yang sudah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
128
Setelah melakukan beberapa rapat baik RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) maupun Rapat Dengar Pendapat (RDP) serta Rapat Kerja dengan Pemerintah, Institusi, Kejaksaan, pakar kenotariatan dan berbagai elemen masyarakat, maka Pansus dan Pemerintah telah menetapkan DIM (daftar inventaris masalah) sebanyak 311 DIM, selanjutnya 35(tiga puluh lima) DIM redaksional diserahkan kepada Timus (tim perumus) dan Timsin (tim sinkronisasi) dan 31(tiga puluh satu) DIM substansi akan dibahas di Panja (Panitia kerja).243 Sementara pada proses pembahasan di tingkat Panja, disepakati untuk membentuk 18 (delapan belas) cluster dengan 72(tujuh puluh dua) DIM. Selanjutnya dalam perjalanan pembahasan cluster tersebut, Panja juga sempat melakukan konsultasi dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan fungsi pengawasan terhadap notaris dan akibat hukum pasca putusan MK No.49/PUU-X/2012 tanggal 28 Mei 2013 yang membatalkan frasa “dengan persetujuan majelis pengawas daerah” dalam pasal 66 ayat (1) UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.244 Artinya penyidik, penuntut umum atau hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil notaris beserta alat bukti yang melekat pada notaris tanpa persetujuan Majelis Pengawas Daerah. Ada beberapa pertimbangan terhadap penentuan hakim agung sebagai penilai pengawasan. Diantaranya adalah pengawasan Notaris merupakan tugas murni lembaga eksekutif sehingga sudah sepatutnya berada di bawah Kemenkumham. Kedua adalah, 243
Berita Score, 2013, Paripurna DPR Setujui RUU tentang Perubahan UU Jabatan Notaris, http://beritasore.com/2013/12/17/paripurna-dpr-setujui-ruu-tentang-perubahan-uu-jabatan-notaris/, diakses pada tanggal 24 Februari 2014. 244 Ibid.
129
tugas-tugas hakim di daerah sudah cukup berat di bidang yudisial dan jika ada tugas pokok pengawasan terhadap pengawasan notaris, maka akan mengganggu tugas pokok lainnya. Selain itu,laporan setiap pengawasan tidak sesuai untuk dilaporkan kepada pengadilan mengingat secara hierarkis Kemenkumham dan MA tidak saling menyatu. Rapat Kerja bersama DPR RI dalam rangka mendengarkan pandangan para fraksi terkait perubahan Undang-undang No 30 Tahun 200 Tentang Jabatan Notaris yang dipimpin oleh Andi Rio Idris dan di hadiri oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Amir Syamsudin, yang didampingi oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Aidir Amin Daud, beserta jajaran sebagaimana pandangan masing-masing Fraksi245 bahwa pada prinsipnya semua Fraksi menyetujui
245
Fraksi adalah pengelompokan anggota berdasarkan konfigurasi partai politik hasil pemilihan umum. Fraksi bukanlah merupakan alat kelengkapan DPR seperti layaknya Pimpinan DPR, Badan Musyawarah (Bamus), Komisi, Panitia Anggaran maupun Panitia Khusus (Pansus). Berdasarkan Tatib DPR, pembentukan fraksi bertujuan mengoptimalkan dan membuat efektif pelaksanaan tugas, wewenang, dan hak DPR.Tata Tertib DPR RI Mengenai Fraksi, terdapat di dalam pasal 18, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.
6. 7. 8.
Fraksi dibentuk dalam rangka optimalisasi dan keefektifan pelaksanaan tugas dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota. Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Fraksi dapat juga dibentuk oleh gabungan dari 2 (dua) atau lebih partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Setiap anggota harus menjadi anggota salah satu fraksi . Fraksi bertugas mengoordinasikan kegiatan anggotanya dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPR, dan meningkatkan kemampuan, disiplin, keefektifan, dan efisiensi kerja anggotanya dalam melaksanakan tugas yang tercermin dalam setiap kegiatan DPR. Fraksi melakukan evaluasi terhadap kinerja anggotanya dan melaporkan kepada publik, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sidang. Pimpinan fraksi ditetapkan oleh fraksinya masing-masing. Fraksi membentuk aturan tata kerja internal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
130
atas perubahan Peraturan Perundang-undangan tersebut dan diteruskan dengan Rapat Paripurna yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Desember 2013.246 Dalam risalah perundang-undangan Perubahan Jabatan Notaris247, Fraksi Partai Demokrat melalui juru bicaranya Pieter C. Zulkifli mengatakan, momentum saat ini sangat tepat untuk menyempurnakan UU tentang Jabatan Notaris, karena pada saat ini, banyak terjadi persoalan hukum yang berkaitan dengan Jabatan Notaris, seperti persoalan kepemilikan baik tanah, bangunan, maupun kepemilikan berkaitan dengan harta kekayaan, aset maupun kepemilikan perusahaan atau lainnya. RUU ini paling tidak harus dapat menjelaskan tentang hak, kewajiban, kewenangan dan ruang lingkup kerja dari jabatan notaris. Perdebatan tentang batas usia maksimal untuk jabatan Notaris (pensiun), mesti dilihat secara jernih mengingat bahwa secara kesehatan, masyarakat Indonesia sangat memiliki keterbatasan fisik secara rata-rata maksimal batas usia manusia Indonesia. Terhadap kewenangan dan kewajiban Notaris, menjadi penting untuk secara jelas, tegas dan terperinci harus termaktub dalam RUU ini, sehingga dikemudian hari tidak menjadi perdebatan panjang dalam pranta hukum kita. Fraksi Partai Demokrat menyoroti perlunya pengawasan terhadap jabatan Notaris oleh suatu lembaga independen dalam rangka mengontrol segala pekerjaan Notaris, serta penerapan sanksi
246
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2013, Rapat Kerja Perubahan Undang-undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, http://portal.ahu.web.id/publikasi/berita/item/392-rapat-kerja-ruu-perubahanjabatan-notaris-dengan-komisi-iii-dpr/392-rapat-kerja-ruu-perubahan-jabatan-notaris-dengan-komisi-iiidpr, diakses pada tanggal 24 Februari 2014. 247 DPR-RI, http://www.dpr.go.id/dpr-setujui-perubahan-uu-jabatan-notaris, diakses pada tanggal 24 Februari 2014.
131
tegas kepada Notaris yang memanipulasi data atau perbuatan melawan hukum lainnya.248 Juru bicara Fraksi Partai Golkar H.M. Ade Surapriyatna menyampaikan beberapa catatan diantaranya, Notaris pada dasarnya dapat membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan risalah lelang setelah memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya. Fraksi Partai Gokar juga berpendapat bahwa sebaiknya pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris baik disengaja ataupun tidak disengaja harus dikenai sanksi karena hal itu mengakibatkan kerugian terhadap yang membutuhkan akta. Sanksi tersebut, mulai dari peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat. Sanksi itu dimaksudkan agar Notaris menjalankan profesinya dengan hati-hati dan menjunjung tinggi kode etik Notaris sehingga mampu menjalankan tugasnya dengan baik.249 Rahadi Zakaria juru bicara Fraksi PDI Perjuangan menyampaikan, mengingat dalam perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris terdapat beberapa ketentuan yang dirubah, hendaknya perubahan tersebut juga harus memperhatikan kepentingan rakyat kecil yang membutuhkan akses terhadap perlindungan dan kepastian hukum, termasuk perlunya pengaturan mengenai pelayanan hukum yang bersifat pro bono (gratis) oleh Notaris bagi masyarakat yang kurang mampu. F-PDI Perjuangan juga menganggap perlunya pengkajian lebih mendalam terhadap penghapusan ketentuan mengenai kewenangan notaris dalam 248
Ibid. Pandangan Fraksi Partai Demokrat Ibid. Pandangan Fraksi Partai Golongan Karya
249
132
membuat akta-akta di bidang pertanahan, mengingat dalam prakteknya bidang kenotariatan erat dengan perbuatan hukum dalam bidang pertanahan.250 F-PKS dengan juru bicara Abdul Hakim menyampaikan beberapa catatan diantaranya, rumusan Pasal 15 ayat 2 tentang tugas dan kewenangan Notaris terutama berkaitan dengan tugas dan kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pejabat Lelang dalam membuat akta-akta yang berkaitan dengan tanah maupun risalah lelang harus dihapus, karena telah jelas disebutkan dalam UU Jabatan Notaris. Berkaitan dengan kelembagaan organisasi notaris, F-PKS mengusulkan agar organisasi tidak bersifat tunggal, sehingga diharapkan organisasi notaris akan lebih transparan dan dapat mengakomodir semua kepentingan untuk perkembangan dan kemajuan bersama.251 Sementara juru bicara F-PAN, H. Jamaluddin Jafar mengatakan, fraksinya berpendapat RUU perubahan ini dapat berperan dalam mencegah penyimpanganpenyimpangan yang dilakukan para oknum notaris dalam pembuatan akta otentik. Selama ini, katanya, sering dijumpai oknum notaris yang melakukan pengurusan sertifikasi rumah menjadi mahal dan berbelit-belit. Kewajiban notaris untuk memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu harus dijalankan secara tegas dan konsisten dan sanksi tegas harus dijalankan secara konsisten.252
250
Ibid. Pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ibid. Pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera 252 Ibid. Pandangan Fraksi Partai Amanat Nasional 251
133
Juru bicara Fraksi PPP H. Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan, fraksinya menyetujui usia Notaris ditetapkan 67 tahun dengan tidak dilakukan perpanjangan masa jabatan. Penetapan usia pensiun ini sangat penting untuk memberikan kepastian hukum dan memberikan ruang yang lebih luas bagi regenerasi Notaris. Berkaitan dengan ketentuan penambahan waktu magang menjadi 24 bulan dan kewajiban bagi Notaris magang untuk menjaga kerahasiaan jabatan Notaris, diharapkan akan lebih meningkatkan kapasitas, integritas dan profesionalisme Notaris bagi calon-calon Notaris baru.253 Fraksi PKB melalui jubir H. Otong Andurahman menyampaikan, fraksinya berharap revisi ini tidak hanya diperlukan untuk menjawab persoalan kekinian yang saat ini secara faktual kita hadapi. Namun, katanya, juga harus diupayakan untuk mampu menjawab tantangan ke depan, mengingat bahwa hukum sesuai dengan doktrinnya merupakan alat perekayasaan sosial (law as social engineering). Peran pengawasan dan penegakan sanksi oleh majelis pengawas juga menjadi kunci utama.254 Pengawasan ini sangat penting dalam rangka menjaga integritas dan professionalisme Notaris sehingga mereka dapat bekerja dan bertindak dalam koridor Kode Etik Profesi mereka.255 Sejalan dengan hal tersebut, penguatan eksistensi Majelis Pengawas menjadi salah satu hal penting yang harus dilakukan, sehingga dalam hal ini FPKB mendukung 253
Ibid. Pandangan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Ibid. Pandangan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa 255 Otong Abdurrahman, 2014, Pendapat Akhir Mini Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Uu Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Http://Www.Fpkb-Dpr.Or.Id/Read/18/12/2013/Pendapat-Akhir-Mini-FraksiPartai-Kebangkitan-Bangsa-Atas-Rancangan-Undang-Undang-Tentang-Perubahan-Atas-Uu-Nomor-30Tahun-2004-Tentang-Jabatan-Notaris, Diakses Pada Tanggal 24 Februari 2014. 254
134
penuh upaya penguatan ini melalui pengaturan secara lebih detail tentang penguatan dan penegasan Organisasi Notaris.256 Juru bicara Fraksi Partai Gerindra, Mestariany Habie menyampaikan beberapa hal, salah satunya adalah logika mengurangi dan/atau mengamputasi kewenangan jabatan Notaris merupakan hal yang kontraproduktif karena hanya akan memperkecil akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan hukum. Dalam konteks ini, katanya, yang diperlukan dalam perubahan UU tentang Jabatan Notaris adalah mempertegas dan memantapkan kewenangan yang dimiliki Jabatan Notaris seperti terkait dengan pembuatan akta yang berkaitan dengan tanah maupun risalah lelang.257 Fraksi Partai Hanura melalui juru bicara H. Muchtar Amma menyampaikan beberapa catatan salah satunya pengawasan atas pelaksanaan jabatan Notaris membutuhkan pendanaan yang cukup258. Oleh karena itu, dalam perubahan ini, pendanaan atas majelis pengawas ditegaskan lagi dan diberikan wewenang kepada Menteri Hukum dan HAM untuk mengaturnya.259 Menteri Hukum dan HAM RI Amir Syamsudin, berharap agar RUU revisi ini disetujui dan disahkan di dalam Rapat Paripurna nanti sehingga nantinya Indonesia memiliki UU Jabatan Notaris
yang komprehensif yang menjamin perlindungan
hukum dan kepastian hukum terhadap warganegara. Untuk perlindungan dan
256
Ibid. Ibid. Pandangan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya. 258 Ibid. Pandangan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat. 259 Citizenjurnalism, Op.cit. 257
135
kepastian hukum ini dibutuhkan bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai perjanjian, penetapan dan peristiwa hukum di hadapan Notaris .260 b. “Majelis Kehormatan Notaris” di Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004. Pada tanggal 17 Desember 2013 RUUJN disahkan oleh DPR-RI, Ikatan Notaris
Indonesia menggelar acara syukuran atas disahkannya RUU tentang
Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris . Digelar di sebuah hotel berbintang di bilangan Jakarta Selatan, acara syukuran dihadiri sejumlah pengurus INI di bawah kepemimpinan Adrian Djuaini.261 Di dalam RUU terdapat satu lembaga baru yaitu Majelis Kehornatan Notaris . Namun sangat disayangkan di dalam pasal 1 UUJN di dalam RUU tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan Majerlis Kehornatan tersebut, seperti pasal 1 menjelaskan lembaga-lembaga lainnya antara lain majelis pengawas. 262 Mungkin hal ini merupakan kealfaan dari para perumus RUU, sehingga seolah-olah lembaga baru ini hanya merupakan suatu tempelan belaka. Menurut Alwesius263 Pasal-pasal tersebut tidak mengatur kewenangan apa yang dimiliki oleh MKN. Karena kewenangan MKN 260
Media Notaris, Op.cit. Hukum Online, 2013, INI Gelar Syukuran UU Jabatan Notaris, http://www.hukumonline. com/berita/baca/lt52b1a97f83a34/ini-gelar-syukuran-uu-jabatan-notaris, diakses pada tanggal 22 Februari 2014. 261
262
Alwesius, 2013, Beberapa Catatan Berkaitan Dengan RUU Tentang Perubahan Atas UUJN, http://alwesius.blogspot.com/2014/01/beberapa-catatan-terhadap-uujn-yang-baru.html, diakses pada tanggal 23 Februari 2013. 263 Alwesius SH., Mkn merupakan salah satu Notaris di Jakarta, serta menjadi salah seorang Pengajar di Magister Kenotariatan di Universitas Indonesia, Penulis sendiri dalam penyelesaian Tesis ini sering berkomunikasi dengan beliau.
136
tidak diatur di dalam UU maka sangat sulit bagi MKN untuk menjalankan tugasnya kelak yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri.264 Marzuki Alie265, menyatakan dalam minggu kedua Januari 2014, kegiatan Dewan difokuskan pada persiapan pembukaan Masa Persidangan III 2013-2014 yang dibuka pada 15 Januari 2014. Dalam masa persidangan ini RUU jabatan Notaris termasuk dalam fokus kerja Dewan Perwakilan rakyat. RUU jabatan Notaris , inisatif DPR, merupakan perubahan atas UU N0 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris . Dalam RUU perubahan ini, diatur mengenai penguatan pesyaratan untuk dapat diangkat menjadi Notaris , penambahan kewajiban Notaris , pemberhentian sementara Notaris , persyaratan mengenai magang bagi calon Notaris , dan beberapa hal prinsip lainnya, antara lain dibentuknya majelis kehormatan Notaris .266 Tanggal 17 Januari 2014 akhirnya Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Undang-Undang Jabatan Notaris (UU Perubahan UUJN)267. Dengan diundangkannnya UU Perubahan UUJN tersebut maka
264
Alwesius, 2014, Beberapa Catatan Terhadap UUJN Baru- Beberapa Catatan Terhadap Berkaitan Dengan Beberapa Ketentuan Dalam UUNJN Dan Perubahannya (Revisi), http://alwesius.blogspot.com/2014/01/beberapa-catatan-terhadap-uujn-yang-baru.html, diakses pada tanggal 24 Februari 2013. 265 Marzukie Alie Merupakan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, pada periode kerja 2009 sampai dengan 2014. 266 Marzukie Alie, 2014, Kegiatan Dpr-Ri Minggu Kedua Januari 2014, diakses http://www. marzukialie.com/?show=legislasi&id=398, diakses pada tanggal 18 Februari 2014. 267
Alwesius, 2014, Kewajiban Melekatkan Sidik Jari Penghadap Pada Minuta Akta, http://alwesius.blogspot.com/2014/01/kewajiban-melekatkan-sidik-jari.html, Diakses pada tanggal 22 Februari 2014.
137
ketentuan yang diatur di dalam UU tersebut telah berlaku dan mengikat khususnya bagi para Notaris . Mengenai pasal 66 ayat (3 dan 4) juga pasal 66 A,268 terkait kewenangan dan Pembentukkan Majelis Kehormatan Notaris , Majelis Kehormatan Notaris
dan
Majelis Pengawas Notaris walau keduanya di bawah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, sangatlah berbeda tugas dan kewenangannya. Karena pasal 66 UUJN dan pasal 66 UUJN Perubahan mempunyai perbedaan-perbedaan.269 Pengaturan dari MKN diatur dalam Pasal 66 dan Pasal 66 A, Pasal 66 berbunyi sebagai berikut :270 1. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang: a) mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris
dalam
penyimpanan Notaris ; dan, b) memanggil Notaris
untuk hadir dalam pemeriksaan yang
berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris
yang berada
dalam penyimpanan Notaris . 268
Syafran Sofyan, Op.cit, PP INI Lakukan Sosialisasi Menyeluruh-Empat Pasal Krusial UUJN Perubahan Harus Dipahami, hal 27. 269 Widhi Handoko, 2014, Matrik Perubahan UUJN- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Sebelum Dan Setelah Revisi Tanggal 17 Desember 2013, Universitas Dipenogoro, Semarang, hal 1-11, dilampirkan dalam lampiran Tesis ini. 270
Hal yang sama juga disampaikan oleh Dr. Widhi Handoko, SH.,SpN, 2014, UndangUndang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasca Putusan Paripurna DPR RI tanggal 17 Desember 2013, Makalah ini disampaikan pada workshop konfigurasi politik dan perubahan UUJN, gedung Kenotariatan UNDIP, oleh Prodi Mkn UNDIP dan DITJEN AHU KEMENKUNHAM, Semarang, pada tanggal 3-4 januari 2014, hal 19-21.
138
2. Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. 3. Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan. 4. Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan, Maka dalam pembentukkan dan pengawasan MKN, diatur dalam Pasal 66 A UUJN Perubahan, yang berbunyi : 1. Dalam melaksanakan pembinaan, Menteri membentuk majelis kehormatan Notaris . 2. Majelis kehormatan Notaris berjumlah 7 (tujuh) orang, terdiri atas unsur: a. Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; b. Pemerintah sebanyak 2 (dua) orang; dan c. Ahli atau akademisi sebanyak 2 (dua) orang. 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi, syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian, struktur organisasi, tata
kerja,
dan
anggaran majelis kehormatan Notaris diatur dengan Peraturan Menteri.
139
Sedangkan terhadap pengaturan terhadap Majelis Pengawas Daerah diatur dalam pasal 69 UUJN perubahan, yang berbunyi : 1. Majelis Pengawas Daerah dibentuk di Kabupaten/Kota. 2. Keanggotaan Majelis Pengawas Daerah terdiri atas unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3). 2a. Dalam
hal di suatu
Kabupaten/Kota,
jumlah
Notaris
tidak
sebanding dengan jumlah anggota Majelis Pengawas Daerah, dapat dibentuk
Majelis
Pengawas
Daerah
gabungan
untuk
beberapa
Kabupaten/Kota. 3. Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah dipilih dari dan oleh anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 4. Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pengawas Daerah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali. 5. Majelis Pengawas Daerah dibantu oleh seorang sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam Rapat Majelis Pengawas Daerah Dalam Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris, terkhususnya pengaturan terhadap lembaga MKN sendiri masih terjadi pasal-pasal yang tumpang tindih antara Majelis Kehormatan dengam MPN. Jika dilihat dalam pasal-pasalnya ada yang menyebutkan itu kewenangan Majelis Kehormatan tetapi di pasal lain menjadi
140
Kewenangan MPN. Kewenangan ini seharusnya diperjelas agar tidak ada ada tumpang tindih kewenagan.271 Menurut Zukkifli Harahap dalam pembentukkan Lembaga MKN seharusnya berjenjang, namun kabarnya hanya akan dibentuk hanya ditingkat Provinsi saja. Harusnya MKN idealnya dibentung berjenjang, tidak hanya ditingkat provinsi saja, tetapi juga ditingkat daerah. Kalau nanti hanya dibentuk satu ditingkat provinsi, misalkan dengan jumlah Notaris DKI Jakarta yang sudah mencapai 1000 Notaris , maka mereka yang duduk sebagai anggota MKN tidak akan bisa bekerja sebagai Notaris . Hal ini dimungkinkan karena relatif banyak Notaris yang dipanggil pihak kepolisian dalam setiap minggu.272 Menurut Jilmly Ashiddiqie273, pengaturan baru itu dapat dinilai lebih baik karena mengaitkannya dg sistem etika profesi yg memang perlu diperkuat. Jika sistem etika profesi berjalan dengan baik, tentu kebutuhan untuk melakukan kriminalisasi terhadap profesi seperti Notaris dapat diminimalkan.274 Dari beberapa sosialisasi terhadap UU Nomor 2 Tahun 2014 tersebut, telah banyak menimbulkan aksi dan reaksi dari para Notaris , para klien atau masyarakat yang di dalam tahap sosialisasi sudah memasuki tahap Law behaviour ( sikap atau 271
Zukkifli Harahap, 2014, Majelis Kehormatan Idealnya Berjenjang, Edisi Februari, Majalah Renvoi, Jakarta, hal 7 272 Ibid, hal 7. 273 Jimly Ashiddiqie merupakan seorang guru besar pakar Hukum Tata Negara di Indonesia, tulisan beliau banyak dimuat dalam buku, majalah, artikel, koram, media massa online, dan banyak menjadi pemateri dan nara sumber dalam kegiatan Hukum di Indonesia. Beliau juga mantan dari Ketua Mahkamah Kostitusi. 274 Jimly Ashiddiqie, 2014, Pendapat Jimly Mengenai Majelis Kehormatan Notaris, http://www.jimly.com/tanyajawab?page=8, diakses pada tanggal 21 Februari 2014.
141
perilaku yang merupakan akibat dari dikeluarkannya UU Nomor 2 tahun 2014 dimaksud). Ada sikap yang mendukung sepenuhnya dan ada sikap yang mendukung namun masih bingung terhadap pelaksanaan beberapa pasal dalam UU tersebut, karena di dalam Penjelasan UU tersebut dinyatakan “Cukup Jelas” namun ternyata dalam praktek pelaksanaannya “Belum Jelas”. Sehingga timbul ketidakseragaman di lapangan, akhirnya menimbulkan reaksi dan aksi.275 Direktur Jenderal Administraasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM RI, Aidir Amin Daud juga menegaskan bahwa, masih banyak oknum Notaris yang tidak teliti dalam memverifikasi data pemohon akta. Akibatnya, hampir setiap hari Kemenkumham selalu menerima laporan dan menghadapi gugatan. Karena itu, Aidir Amin Daud meminta agar kedepan notaris harus lebih ketat dan tidak serampangan dalam menjalankan tugas.276 Penghadap (pihak yang mengajukan untuk membuat akta di hadapan Notaris yang bersangkutan) harus diverifikasi secara ketat dan cermat, agar tidak terjadi atau meminalisr kesalahan atau kekurangan dalam membuat Akta Notaris. Senada dengan hal diatas, dengan kehadiran Majelis Kehormatan ini menurut penulis diharapkan sebaiknya berjenjang, baik dari tingkat daerah, tingkat wilayah, tingkat pusat. Agar untuk kedepannya pengawasan terhadap Notaris dapat lebih bagus 275
Diah Sulistyani RS, 2014, Kajian Beberapa Pasal dalam UU Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan UU Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004, http://medianotaris.com/ kajian_uu_jabatan_notaris_perubahan_berita363.html, diakses pada tanggal 22 Februari 2014. 276
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2014, Sosialisasi Perubahan UU No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris dan Sistem Pelayanan Publik Secara Online, http://sulsel.kemenkumham.go.id/berita/berita-utama/554sosialisasi-perubahan-uu-no-30-2004-tentang-jabatan-notaris-dan-sistem-pelayanan-publik-secaraonline, ,diakses pada tanggal 24 Februari 2014.
142
dan transparan, tanpa ada yang harus ditutupi. Karena pengaturan Notaris pasca perubahan UUJN harusnya dapat memberikan kepastian hukum bagi Notaris , setelah perlindungan hukum baginya dalam menjalankan pekerjaanya sebagai Notaris , yaitu sebagai pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik. Dan secepat mungkin keluar Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Majelis Kehormatan Notaris ini dan pembentukkan Majelis Kehormatan Notaris ini dapat segera mungkin dilaksanakan.
143
BAB IV PEMANGGILAN NOTARIS TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA OLEH HAKIM SEBELUM TERBENTUKNYA MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS Didalam Reglement Acara Perdata Reglement Op De Rechtsvoerdering Staatsblaad 1847 Nomor 52 Juncto 1849 Nomor 63, bagian 11, Pasal 867 menyatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris dalam menjalankan tugasnya yang hanya diancam dengan pidana denda dan menjadi wewenang hakim perdata277. Perkara perdata dan pidana Akta Notaris senantiasa dipermasalahkan dari aspek formal terutama mengenai : a) Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap. b) Pihak (siapa) yang menghadap Notaris. c) Tanda tangan para pihak yang menghadap d) Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta e) Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta. f) Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta akta dikeluarkan. Hal diatas, kembali ditegaskan oleh Happy Hadiastuti SH.CN dari unsur JAMPIDUM-Kejaksaan Agung, pada saat Seminar Nasional Ikatan Notaris Universitas Dipenegoro, mengenai Sosialisasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 277
Ropaun Rambe, Op.cit, hal 179.
144
Pada tanggal 4 Maret 2014, yang menyatakan beberapa kemungkinan yang dapat menjerat seorang Notaris melakukan tindak pidana dan perdata, sehingga bisa dimintakan pertanggungjawaban adalah sebagai berikut :278 a) Tanggal dalam akta tidak sesuai dengan kehadiran para pihak; b) Para pihak tidak hadir tetapi ditulis hadir; c) Para pihak tidak ada membubuhi tandatangan tetapi ditulis atau ada tandatangannya; d) Akta sebenarnya tidak dibacakan akan tetapi diterangkan telah dibacakan; e) Luas tanah berbeda yang diterangkan oleh para pihak; f) Notaris ikut campur tangan terhadap syarat-syarat perjanjian; g) Dalam akta disebutkan bahwa pihak-pihak telah membayar lunas apa yang diperjanjikan padahal sebenarnya belum lunas atau bahkan belum ada pembayaran secara riil; h) Pencantuman pembacaan akta yang harus dilakukan oleh Notaris sendiri padahal sebenarnya tidak; i) Pencantuman mengenal orang yang menghadap padahal sebenarnya tidak mengenalnya. Profesi Jabatan Notaris menghadapi tantangan saat pembahasan RUU UUJN revisi di DPR dalam menentukan nasib Notaris karena UUJN merupakan aturan dan pedoman utama Notaris dalam bekerja.
278
Happy Hadiastuti, 2014, Batasan-Batasan Notaris Dapat Dituntut, Universitas Dipenegoro, Semarang.
145
Para Notaris tentunya berharap hasil revisi UUJN menguntungkan Notaris . Bukan malah menciptakan oligarki dalam mendapatkan rezeki.279 Revisi dari UUJN ini lahir karena Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan Nomor 49/PUUX/2013 tertanggal 28 Mei 2013 terkait penghapusan hak istimewa Notaris dalam memberikan keterangan kepada polisi.280 Revisi dari UUJN Perubahan ini telah melahirkan sebuah lembaga baru yaitu Majelis Kehormatan Notaris, dimana Majelis Kehormatan Notaris
berwenang
memberikan persetujuan kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk meminta foto kopi minuta, dan memanggil Notaris dalam pemeriksaan, perannya menggantikan fungsi/posisi MPD, sebelum Putusan MK No.499/PUU/XI/2012.281 Namun sangat disayangkan pembentukkan lembaga Majelis Kehormatan Notaris
belum terjadi,
karena Peraturan Pemerintah yang mengatur Majelis Kehormatan Notaris belum ada. Adapun pengaturan pemanggilan terhadap Notaris sebelum terbentuknya Majelis Kehormatan Notaris dan peraturan yang mengatur mengenai Majelis Kehormatan Notaris adalah sebagai berikut :
279
Maferdy Yulius, 2013, Revisi UUJN: Utamakan Pemerataan Rezeki, http://medianotariat.com/index.php/83-opini/111-revisi-uujn-utamakan-pemerataan-rezeki, diakses pada tanggal 19 Februari 2014. 280 Notarisku, 2013, Dilema Putusan MK tanggal 28 Mei 2013 tentang UU Jabatan Notaris, http://notarisku.blogspot.com/2013/05/dilema-putusan-mk-tanggal-28-mei-2013.html, diakses pada tanggal 19 Februari 2014. 281 Syafran Sofyan, 2013, Catatan Perubahan UU Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004 (Peraturan Menteri Sangat Mendesak), http://medianotaris.com/ catatan_perubahan_ uu_jabatan_notaris_nomor_tahun_berita352.html, diakses pada tanggal 16 Februari 2014.
146
A. Putusan Mahkamah konstitusi Pasca Penghapusan Pasal 66 UndangUndang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004. Dalam pengamatan di dalam praktek, ditemui beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para Notaris
dalam pembuatan akta-aktanya. Beberapa akta
menunjukkan adanya hal-hal yang terlewat dari ketelitian dan ketrampilan di dalam pembuatan aktanya.282 Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) tanggal 6 oktober 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4432), paling tidak pernah 2 (dua) kali pengujian UUJN terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Pertama, Perkara Nomor 009-014/PUUIII/2005 Pengujian atas Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2). Kedua, perkara Nomor 49/PUU-X/2012 Pengujian Undang-Undang Pasal 66 ayat (1) UUJN. Walaupun MK menolak kedua permohonan tersebut, paling tidak membuktikan dinamisasi yang terjadi atas UUJN. Diluar itu, banyaknya para Notaris yang hadir (dihadirkan) dalam perkara pidana baik di tingkay penyidik(an) ataupun di ruang
282
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (Bidang Pembinaan Anggota) dan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2007, Beberapa Catatan Mengenai Pembuatan Akta di Dalam Praktek Notaris, Makalah ini disampaikan pada Upgrading dan Refreshing Course Naionala, pada tanggal 30 Maret 2007, Medan, hal 1.
147
pengadilan adalah bukti masih multi tafsirnya kewenangan yang dimiliki oleh seorang Notaris .283 Putusan tersebut mengagetkan karena putusan tersebut berkaitan dengan ketentuan pasal 66 ayat 1 UUJN yang mensyaratkan terlebih dahulu harus ada persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD) jika penyidik, penuntut umum atau hakim akan memanggil Notaris
untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
dengan akta yang dibuatnya atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris . Bunyi ketentuan pasal 66 ayat 1 UUJN tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut: “(1) Untuk kepentingan proses peradilan,
penyidik,
penuntut
umum,
atau
hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang: a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris ; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris .” Harus adanya persetujuan dari MPD memang dirasakan oleh banyak pihak termasuk pihak kepolisian “menghambat” proses perkara yang berkaitan
283
Suharizal, 2013, Sembilan Tahun Jabatan Notaris Pasca Pemberlakuan Undang-Undang 30 Tahun 2004; Quo Vadis?, Makalah yang disampaikan pada tanggal 14 Desembaer 2013, Hotel Mercure, Padang, hal 1.
148
dengan Notaris , termasuk yang dirasakan oleh “Kant Kamal”284 yang kemudian melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan frasa “ dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” yang terdapat dalam pasal 66 ayat 1 UUJN tersebut, yag akhirnya melahirkan putusan tersebut285. Putusan Mahkamah Konstitusi telah dikeluarkan, putusan tersebut sesuai ketentuan pasal 10 ayat 1 UU Mahkamah Konstitusi286 merupakan keputusan yang bersifat final dan mengikat. Karena keputusan tersebut bersifat final maka tidak terdapat lagi upaya hukum yang dapat dilakukan atas putusan tersebut baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan gugatan yang diajukan oleh Kant Kamal yang diputus pada hari Selasa tanggal 23 Maret 2013 dengan Putusan nomor 49/PUU-X/2012 telah memutuskan : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya: 1.1.Menyatakan frasa “dengan persetujuan MajelisPengawas Daerah” dalam Pa sal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 117, Tambahan
Lembaran
Negara Republik
Indonesia
Nomor
4432)
284
Kant Kamal, lewat kuasa hukumnya Tomson Situmeang dkk, yang merasa dirugikan hak konstitusinya terkait laporan pemalsuan akta otentik berupa Surat Jual Beli Saham-saham oleh Notaris di Cianjur. 285 Putusan nomor 49/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diputuskan pada tanggal Selasa tanggal 23 Maret 2013, dengan ketua hakim yang memutuskan adalah Ketua Majelis MK, M. Akil Mochtar. Putusan ini dilampirkan dalam tesis ini. 286 Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi seperti judicial reviewdalam rangka menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, baik dalam arti formil ataupun dalam arti pengujian materil, dikaitkan lansung dengan kewenangan Mahkamah Agung. Jimly Asshiddiqie, 2008, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Hal 450.
149
Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 1.2.Menyatakan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan tersebut jelas menyatakan bahwa frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam pasal 66 UUJN dinyatakan bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Dengan putusan tersebut yang menjadi pertanyaan adalah apakah frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam pasal 66 UUJN tersebut dianggap tidak ada atau tidak tertulis atau frasa tersebut tetap dianggap ada sekalipun frasa tersebut dinayatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekauatan hukum mengikat. Jika frasa “dengan persetujuan Pengawas Daerah” dianggap tidak ada atau dianggap tidak tertulis menurut saya, Notaris wajib memenuhi panggilan penyidik, penuntut umum maupun hakim jika diminta untuk menjadi saksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat 1 UUJN tersebut. Notaris yang semula dapat menolak sebelum adanya persetujuan MPD tidak lagi dapat menolak hal tersebut karena hal tersebut menjadi kewajiban yang diatur dalam UUJN (dengan adanya putusan tersebut makna pasal 66 ayat 1 UUJN berubah 180 derajat dari maknanya semula). 150
Jika frasa tersebut tetap dianggap ada sekalipun frasa tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka dalam rangka pemanggilan terhadap Notaris dalam suatu perkara sekalipun tidak diperlukan adanya persetujuan dari MPD akan tetapi secara prosedur pemanggilan tersebut tetap harus diberitahukan kepada MPD sebagai pengawas Notaris . Untuk hal yang terkahir ini hendaknya segera dikeluarkan peraturan Menteri Hukum dan Ham perihal pemanggilan Notaris sehubugan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut agar tidak terjadi kesemena-menaan dalam pemaggilan Notaris287. Pemicunya Putusan Mahkamah Konstitusi adalah, hal tersebut dianggap melanggar prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law288) yang tersurat dan tersirat dalam Pasal 28 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang bersifat universal sesuai pula dengan Article 26 ICCPR (International Covenant on Civiland Political Rights) tahun 1966 yang juga sudah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 12 tahun 2005. Di sini ditegaskan adanya persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama (equal protection) tanpa diskriminasi. Di samping itu menurut MK ada suatu prinsip demokrasi dan “rule of law” yang dapat dicederai dengan frasa di atas yaitu kekuasaan kehakiman yang merdeka 287
Alwesius, 2013, Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal 66 Uujn Dan Tindakan Yang Dapat Kita Lakukan Kedepan, http://alwesius.blogspot.com/2013/05/putusan-mahkamahkonstitusi-terhadap.html, diakses pada tanggal 17 Februari 2014. 288
equality before the law, merupakan persamaan di mata hukum. Setiap Negara hukum menjunjung tinggi asas ini, karena semua lapisan masayarakat sama kedudukannya didepan hukum.
151
(Independence of the Judiciary) yang harus dikawal oleh MK dan Mahkamah Agung. Campur tangan MPD juga dianggap dapat menimbulkan penundaan proses peradilan dan keadilan. Secara konseptual dapat dikatakan tidak hanya “justice delayed justice denied”, tetapi penundaan keadilan juga melanggar HAM (delay of justice is violation of human rights). Perkecualian tentu saja dimungkinkan terhadap kedudukan Notaris sepanjang berkaitan dengan Kode Etik Notaris yang bersentuhan dengn sikap, tingkah laku dan moralitas serta kehormatan (dignity) Notaris, bukan dalam penegakan hukum, khususnya sistem peradilan pidana (criminal justice system).289 Gangguan terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka yang bersifat universal bahkan bisa menimbulkan ketidakadilan (criminal injustice system). B. Hak Ingkar Notaris Sebenarnya Notaris tidak usah terlalu resah dengan di hapuskannya kewajiban untuk meminta persetujuan dari MPD terlebih dahulu sebelum dilakukannya pemeriksaan ataupun permintaan keterangan dari Notaris. Karena notaris masih memiliki Hak Istimewa berupa “Hak Ingkar”. Adanya Hak Ingkar tersebut membuat Notaris sebagai jabatan kepercayaan wajib untuk menyimpan rahasia mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan pernyataan para pihak yang diperoleh dalam pembuatan akta-akta, kecuali undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan atau pernyataan tersebut kepada pihak yang 289
Diah Sulistyani Muladi, 2013, Pasca Putusan Mk Kalau Notaris Benar Dan Taat Hukum Mengapa Resah ?, https://www.media notaris.com/groups/248567705262940/, diakses pada tanggal 21 Februari 2014.
152
memintanya. Tindakan seperti ini merupakan suatu kewajiban Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN.290 1. Pemahaman Hak Ingkar Notaris Hak ingkar (verschoningsrecht) atau kewajiban ingkar (verschoning splicht) dari seorang Notaris
berkaitan dengan adanya ketentuan yang berkaitan dengan
rahasia jabatan Notaris. Ketentuan mengenai rahasia jabatan Notaris
dapat
diketemukan di dalam pasal 4 UUJN yang mengatur mengenai sumpah jabatan Notaris,
yang
berbunyi
“Saya
bersumpah/berjanji:...bahwa saya bahwa
saya
akanmerahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalampelaksanaan jabatan saya.”, pasal 16 ayat 1 huruf e yang berbunyi “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban ... merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan ...”, dan pasal 54 UUJN yang berbunyi “ Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangundangan.” Hak ingkar merupakan terjemahan dari verschoningrecht yang artinya adalah hak untuk dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi dalam suatu perkara baik itu perkara perdata maupun perkara pidana. Hal ini merupakan 290 Irma Devita , 2013, Akibat Putusan MK Terhadap Hak Istimewa Notaris, http://irmadevita.com/2013/akibat-putusan-mk-terhadap-hak-istimewa-notaris/, diakses pada tanggal 21 Februari 2014.
153
pengecualian dari ketentuan Pasal 1909 KUHPerdata bahwa setiap orang yang dipanggil menjadi saksi wajib memberikan kesaksian. Selanjutnya mengenai pengertian hak ingkar Notaris, GHS Lumban Tobing menyebutkan bahwa, Hak Ingkar adalah hak untuk menolak untuk memberikan kesaksian atau hak untuk minta undur dari kesaksian (verchoningrecht). Di dalam hak ingkar Notaris tersebut terkandung kewajiban untuk tidak bicara (verschoningsplicht) sehingga Notaris tidak hanya berhak untuk tidak bicara (verchoningrecht), akan tetapi mempunyai kewajiban untuk tidak bicara (verschoningrecht).291 Tiap-tiap orang yang dipanggil sebagai saksi, mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan-keterangan. Seseorang yang berdasarkan undang-undang dipanggil sebagai saksi, yang sengaja tidak memenuhi kewajibannya sebagai saksi diancam pidana sebagai melakukan suatu kejahatan. Pengecualiannya ialah apabila seseorang yang dipanggil itu mempunyai hak untuk menolak memberikan keterangan sebagai saksi, berdasarkar hubungan-hubungan tertentu yang disebutkan dalam undang-undang.292 Dalam hukum acara perdata, Pasal 1909 KUHPerdata mewajibkan setiap orang yang cakap menjadi saksi, untuk memberikan kesaksian di muka pengadilan. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap mereka yang berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan tidak diperbolehkan untuk berbicara, demikian juga tidak berlaku terhadap mereka, yang berdasarkan Pasal 1909 ayat (2) KUHPerdata dan Pasal 146 dan 227 HIR. Bagi mereka dapat mempergunakan haknya untuk 291 292
GHS Lumban Tobing. Op.cit., hal 122. A. Kohar, 1984, Notaris Berkomunikasi, Alumni Bandung, Bandung, hal 42.
154
mengundurkan diri sebagai saksi, dengan jalan menuntut penggunaan hak ingkarnya.293 Dalam hukum acara pidana, ketentuan dalam Pasal 170 ayat (1) dan (2) KUHAP menyebutkan: (1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. (2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut. Atas dasar sumpah jabatan Notaris dan larangan memberikan, memperlihatkan atau memberitahukan hal yang berkaitan dengan akta kecuali kepada orang-orang yang berkepentingan langsung, mewajibkan Notaris untuk tidak bicara, sekalipun dimuka pengadilan, artinya Notaris tidak diperbolehkan untuk memberikan kesaksian mengenai apa yang dimuat dalam aktanya. Berdasarkan ketentuan tersebut, Notaris dapat mengundurkan diri sebagai saksi dengan jalan menuntut penggunaan hak ingkarnya (verschoningrecht). Hak ingkar Notaris bukan hanya merupakan hak saja, tetapi juga merupakan kewajiban karena apabila dilanggar, akan terkena sanksi menurut undang-undang. Notaris tidak hanya berhak untuk tidak bicara, akan tetapi juga berkewajiban untuk tidak bicara.294 Secara yuridis Hak Ingkar Notaris adalah Pasal 1909 ayat (3) KUH Perdata serta mengacu pada Pasal 146 ayat (1) angka 3 HIR. Sedangkan kewajiban 293 294
GHS Lumban Tobing, Op.cit, hal 120. Ibid, hal 123
155
ingkar Notaris berasal dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUJN serta Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN.295 Notaris dalam menjalankan jabatannya, tidak hanya perlu merahasiakan apa saja yang tercantum dan tertuang dalam akta yang dibuat dihadapannya, akan tetapi juga apa yang diketahui dan diberitahukan dalam rangka pembuatan akta. Sebagaimana dikemukakan oleh Lumban Tobing, bahwa kiranya tidak perlu diragukan, bahwa tidak ada kewajiban untuk memberikan kesaksian, yakni sepanjang yang menyangkut isi-isi aktanya. Hal ini tidak semata didasarkan pada Pasal 1909 ayat (3) KUH Perdata yang memberikan hak untuk menuntut penggunaan hak ingkar (verchoningrecht) akan tetapi berdasarkan sumpah jabatan (Pasal 17 PJN) dan Pasal 40 PJN. Kewajiban untuk merahasiakannya yang ditentukan secara tegas dalam pasalpasal tersebut mengeyampingkan kewajiban umum untuk memberikan kesaksian yang dimaksud dalam Pasal 1909 ayat (1) KUHPerdata, terkecuali dalam hal-hal tertentu.296 Menurut van Bemmalen ada 3 dasar untuk dapat menuntut penggunaan hak ingar ini, yakni: 1. Hubungan keluarga yang sangat dekat; 2. Bahaya
dikenakan
hukuman
pidana
(gevaar
voor
strafrechtelijkke
veroordeling); 3. Kedudukan, pekerjaan dan rahasia jabatan.
295
Habieb Adjie, Memahami Kembali Hak dan Kewajiban Ingkar Notaris (Materi Musyawarah Besar Notaris Provinsi Riau), Pekanbaru. Hal 5-7. 296 GHS Lumban Tobing, Op.cit, hal 123.
156
Dengan demikian salah seorang yang berkualifikasi boleh minta undur diri untuk tidak memberikan kesaksian dengan alasan kedudukan /pekerjaan/dan rahasia jabatannya, dalam hal ini adalah termasuk Notaris selaku pejabat umum. 2.
Putusan
Makahkamah
Konstitusi
Nomor
49/PUU-X/2012
tidak
menghapus Hak Ingkar Notaris. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012 tangal 28 Mei 2013, telah mengabulkan uji materil (judicial review) terhadap ketentuan Pasal 66 ayat (1) UUJN yang dimohonkan oleh Kant Kamal. Dengan amar putusan yang pada intinya adalah menyatakan bahwa frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, karena bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian pemeriksaan proses hukum yang melibatkan Notaris tidak memerlukan persetujuan MPD lagi. Keputusan ini sudah final dan binding serta harus ditaati. Hak
ingkar
adalah
merupakan
konsekuensi
dari
adanya
kewajiban
merahasiakan suatu yang diketahui. Putusan ini dianggap sangat merugikan hak para Notaris dan semakin membebani tugas para Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dalam pembuatan akta-akta otentik. Dengan adanya putusan tersebut maka banyak timbul kegelisahan dari para Notaris, karena dengan demikian hak istimerwa untuk diperlakukan dan dilindungi dalam melaksanakan tugas dan jabatannya atas nama negara menjadi hilang. Berbagai pandangan muncul sebagai reaksi atas putusan mahkamah konstitusi tersebut, baik dari kalangan Notaris dalam Ikatan Notaris Indonesia (INI) maupun dari praktisi hukum lainnya. 157
Menurut pendapat Badar Baraba selaku Ketua DKP INI menegaskan, bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 49/PUU-X/2012 terkait pengujian pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor:30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah sedikit mengurangi perlindungan terhadap Notaris lantaran telah dihapusnya frasa “dengan Persetujuan Majelis Pengawas Daerah”, sehingga ketika Notaris dipanggil penyidik untuk menjadi saksi tanpa persetujuan MPD. Meskipun begitu, Putusan MK itu tidak dapat dimaknai membatalkan atau meniadakan hak Ingkar. Artinya, hak ingkar tetap melekat pada individu Notaris yang bersangkutan terkait rahasia jabatan. Hak ingkar bukanlah untuk melindungi Notaris, karena akar permasalahan sebenarnya terletak pada defenisi “simpan rahasia” jabatan.297 Menurut Badar Baraba hak ingkar bukan instrumen berlindungnya Notaris dari tindak pidana yang telah dilakukannya terkait pembuatan akta Notaris. Hak Ingkar melekat pada Notaris yang hanya melindungi kepentingan para pihak yang tertuang dalam akta sebagai rahasia jabatan. Menurutnya penolakan sebagian Notaris menjadi saksi dalam proses pidana biasanya terjadi karena dua hal. Pertama, Notaris tidak melihat, tidak mendengar dan tidak mengalami sendiri tindak pidana yang disangkakan. Kedua, adanya kewajiban dari Notaris untuk merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dari para pihak dalam pelaksanaan jabatan.
297
Klik positif, Hakim Agung: Tanpa MPD, Notaris Masih Punya Hak Ingkar, http://www.klikpositif.com/news/read/4491/hakim-agung-tanpa-mpd-notaris-masih-punya-hakingkar.html diakses pada tanggal 12 Februari 2014.
158
Hakim Agung Sofyan Sitompul, menyatakan bahwa kekhawatiran dikalangan Notaris pasca putusan Mahkamah Konstisi merupakan hal yang berlebihan sebab Notaris masih memiliki hak ingkar sebagai perlindungan hukum jika ada masalah terkait tugas dan kewajibannya. Perlindungan hukum bagi para Notaris tersebut ada pada hak ingkar.298 Hak ingkar yang dimaksud yaitu bahwa Notaris karena pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat diminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan keterangan sebagai persidangan yaitu tentang hal yang dipercaya kepada mereka. Pada gilirannya hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan permintaan itu. Hal yang sama juga diutarakan oleh Habieb Adjie299 dalam materi musyawarah Notaris di Kota Pekanbaru, yaitu bahwa penghapusan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN tidaklah menghilangkan perlindungan hukum bagi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, masih ada instrumen lain berdasarkan UUJN dan undang-undang yang lain yang memberikan perlindungan kepada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, yaitu pada jabatan Notaris telah ada melekat Hak Ingkar (verschoningrecht) dan Kewajiban ingkar (Verschoningsplicht).
298
Yahho News, Hakim Agung: Kekhawatiran Notaris Pascaputusan MK Berlebihan, http://id.berita.yahoo.com/hakim-agung-kekhawatiran-notaris-pascaputusan-mk-berlebihan081221839.html diakses pada pukul 00.36 tanggal 24 Januari 2014. 299
Habieb Adjie,2013 Memahami Kembali Hak dan Kewajiban Ingkar Notaris (Materi Musyawarah Besar Notaris Provinsi Riau), Desember -Pekanbaru, , Hal 1.
159
Habib Ajdie menyatakan bahwa pada kenyataannya Hak dan Kewajiban Ingkar Notaris (setelah berlakunya UUJN) tidak pernah dipergunakan Notaris, karena para Notaris berlindung dalam kewenangan MPD (Pasal 66 ayat (1) UUJN). Bahkan sebenarnya Hak Ingkar telah ada sejak lembaga kenotariatan lahir.300 Karena pertama sejalan dengan dasar historisnya yaitu kebutuhan akan suatu alat bukti yang mengikat selain alat bukti saksi,301 serta kedua dasar filosofis lahirnya lembaga Notariat ini yaitu dilandasi atas kepentingan para pihak yang telah mempercayakan kepada Notaris, bahwa Notaris dipercaya oleh para pihak mampu menyimpan semua keterangan atau pernyataan para pihak yang pernah diberikan di hadapan Notaris yang berkaitan dalam pembuatan akta,302 tidak semata untuk kepentingan pribadi Notaris tetapi yang menjadi dasar hak ingkar bagi jabatan-jabatan kepercayaan seperti Notaris terletak pada kepentingan masyarakat.303 Penggunaan dari hak ingkar Notaris sendiri tidak terbatas pada pemeriksaan oleh penyidik, penuntut umum atau hakim saja. Kewajiban atau hak ingkar dapat dilakukan dapat dilakukan dengan batasan sepanjang Notaris diperiksa oleh instansi mana saja yang berupaya meminta pernyataan atau keterangan dari Notaris yang berkaitan dengan akta yang telah atau pernah dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang bersangkutan.304 Dengan demikian Notaris dapat mempergunakan hak ingkarnya bahkan dihadapan Majelis Pengawas Notaris.
300
Ibid, hal 4. Abdul Ghofur Anshori, Op.cit, Lembaga Kenotariatan Indonesia, hal 7. 302 Habieb Adjie, Op.cit, hal 4. 303 GHS Lumban Tobing, Op.cit, hal 121. 304 Habieb Adjie, Op.cit, Hal 7. 301
160
Penulis disini menyimpulkan bahwa adalah pemahaman yang salah jika kita menyatakan bahwa hak ingkar Notaris terletak pada frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” yang terdapat pada Pasal 66 ayat (1) UUJN. Walaupun sekilas bobot frasa tersebut berkaitan dengan upaya perlindungan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, namun kutipan frasa yang menyatakan persetujuan terlebih dahulu dari MPD tersebut dapat dikatakan hanyalah merupakan upaya preventif untuk menjaga kehormatan profesi Notaris di mata hukum dan bukanlah bentuk nyata dari Hak Ingkar dan Kewajiban Ingkar Notaris. MPD dalam prosedur yang ditetapkan dalam Permenkumham Nomor: 3 Tahun 2007 melakukan pemeriksaan dengan pertimbangan apakah benar terdapat unsur pidana dalam akta tersebut atau tidak. Karena apabila pada kenyataannya unsur pidana yang diduga tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan akta yang dibuat oleh Notaris maka hal tersebut justru menimbulkan ketidakadilan kerugian bagi pihak yang berkepentingan maupun Notaris yang terikat pada Sumpah Jabatannya. Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia telah membuat Nota Kesepahaman Antara Kepolisan Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris mengenai prosedur pengambilan fotokopi minuta akta serta surat-surat yang berhubungan dengan akta, serta pemanggilan notaris secara langsung tanpa persetujuan MPD. Kesepahaman ini tertuang dalam Nota Kesepahaman Antara Kepolisan Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris tentang Pembinaan dan Peningkatan Profesionalisme di bidang Penegakan Hukum, kriteria sebagaimana
161
dimaksud dalam Nota Kesepahaman antara Ikatan Notaris Indonesia dengan Kepolisian Republik Indonesia, antara lain:305 1. Ada
penyangkalan
keabsahan tanda
tangan dari
para
pihak
yang
menandatangani akta pada minuta akta ; 2. Ada penyangkalan keabsahan tanda tangan pada dokumen yang dilekatkan pada minuta akta ; 3. Ada ahli waris pembuat akta, atau penerima hak dari pembuat akta atau pihak yang berkepentingan pada akta menyatakan bahwa pada tanggal pembuatan akta, pembuat akta telah meninggal dunia ; 4. Ada keterangan palsu yang dimasukkan dalam minuta akta ; 5. Dokumen yang dilekatkan atau dilampirkan pada minuta akta palsu ; 6. Ada dokumen palsu yang dilekatkan atau dilampirkan pada minuta akta 7. Ada pengurangan atau penambahan angka, kata atau kalimat pada minuta akta yang merugikan pihak lain ; 8. Ada dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal akta yang merugikan pihak lain ; 9. Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana. Berdasarkan pemahaman diatas maka dapat disimpulkan bahwa persetujuan MPD pada dasarnya bukanlah implementasi dari penggunaan hak ingkar Notaris, namun berkaitan erat dengan Hak Ingkar (Verschongingrecht) dan Kewajiban Ingkar 305
Ibid, Habib Adjie.
162
(Verschoningsplicht) yang dimiliki oleh Notaris. Kendati demikian Perstujuan MPD berkaitan erat dengan hak ingkar Notaris. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa Persetujuan MPD merupakan palang pintu perlindungan bagi Notaris sebelum benarbenar mempergunakan hak ingkarnya. C. Peran Lembaga Ikatan Notaris Indonesia dalam Mengisi Kekosongan Hukum Sebelum Terbentuknya Majelis Kehormatan Notaris. Pasca disahkannya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 dengan melahirkannya lembaga baru yaitu Majelis Kehormatan Notaris. Terhadap pemanggilan Notaris dalam proses penegakkan hukum kedepannya harus meninta izin kepada lembaga tersebut.306 UUJN Perubahan memang menyebutkan tugasnya Majelis Pengawas melakukan pengawasan, sedangkan Majelis Kehormatan Notaris melakukan pembinaan. Batasan pengawasan dan pembinaan dari kedua lembaga ini masih belum jelas. Sebenarnya keberadaan Dewan Kehormatan Notaris mempunyai kelebihan. Dewan Kehormatan Notaris bisa secara lansung melakukan sidang terhadap Notaris tertentu. Tidak demikian dengan MPD, mereka kalau melakukan sidang dadakan harus membuat surat pemberitahuan dahulu.307
306
Widhi Handoko, 2014, Anggota Majelis Kehormatan Notaris Sebaiknya Jangan Notaris Aktif, Renvoi, Nomor 8.128.XI-Januari, hal 25 (merupakan salah satu dosen di Magister Kenotariatan Universitas Dipenegoro dan Akademi Kepolisian Semarang). 307 Zukkifli Harahap, Op.cit, Majelis Kehormatan Idealnya Berjenjang, hal 7.
163
Majelis Kehormatan Notaris maupun Majelis Pengawas Daerah bukanlah sebuah lembga superbodi ataupun lembaga perlindungan. Lembaga ini sebenarnya hadir di tengah-tengah Notaris sebagai pemberi rekomendasi dan merekomendasikan Notaris, dalam proses penegakan hukum terkait akta yang dibuat oleh seorang Notaris. Lembaga ini juga berfungsi agar bisa mengawal Notaris yang terkena kasus hukum, agar tidak diberlakukan secara semena-mena sebelum terbukti atau dapat dibuktikan, bahwasanya dia dijatuhkan putusan bersalah oleh Hakim. Pemanggilan Notaris dalam penegakan hukum, terkhususnya oleh Hakim, Majelis Pengawas Daerah tidak ada lagi mempunyai kewenangan, semenjak dicabutnya pasal 66 oleh Mahkamah Konstitusi dan sudah disahkannya UndangUndang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014. Majelis Pengawas Daerah hanya berwenang dalam perannya sebagai pengawas pemeriksa Akta Tahunan dan Laporan Akta Tahunan Terhadap kasus yang terjadi dalam pemanggilan Notaris didalam persidangan oleh Penegak Hukum, terkhusunya Hakim. Dalam kasus perdata, akta Notaris yang dipermasalahkan secara perdata. Notaris posisinya sebagai turut tergugat atau sebagai saksi yang harus memberikan keterangan dan harus mengupayakan untuk hadir. Notaris harus siap memberikan penjelasan terhadap bukti-bukti yang diajukan oleh pihak penggugat. Hakim memanggil Notaris tidah harus melapor dan mendapatkan izin dari Majelis Pengawas Daerah atau dengan kata lain Majelis Pengawas Daerah tidak akan menerima laporan dari hakim dalam menghadirkan Notaris didalam persidangan. 164
Terhadap kekosongan hukum, akibat belum terbentuknya Majelis Kehormatan Notaris, maka ada beberapa langkah-langkah yang dilakukan oleh Ikatan Notaris Indonesia, sebagai lembaga tunggal Notaris yaitu : 1. Memberikan saran kepada Notaris terkait, agar Notaris yang bersangkutan dapat memenuhi panggilan oleh penegak hukum. Agar kesannya Notaris tidak diangap mengindahkan panggilan para Penegak Hukum, terkhususnya panggilan dari Hakim.308 2. Majelis Pengawas Daerah akan memberikan nasehat-nasehat kepada Notaris yang tersangkut kasus hukum tersebut, nasehat-nasehat itu untuk membantu Notaris dalam menjalankan penyelesaian kasus tersebut.309 3. Adanya inisiatif dari Majelis Pengawas Wilayah, untuk membentuk sebuah lembaga yang bertujuan untuk membela hak-hak Notaris dalam menjalankan proses penegakan hukum tersebut.310 308
Penulis melakukan wawancara dengan Ketua Pengurus Wilayah yaitu Notaris Hendra Idris SH pada tanggal 12 April 2014. Hendra menjelaskan, Notaris yang dipanggil oleh aparat penegak hukum terkhusunya Hakim, Pengurus Wilayah selalu menyarankan agar Notaris yang bersangkutan agar dapat hadir dalam persidangan sampai perkara tersebut diputus oleh hakim. 309 Penulis melakukan wawancara dengan Ketua Pengurus Daerah Ikatan Notaris Kota Padang yaitu Notaris Alexander SH, pada Tanggal 15 Maret 2014, Alexander menjelaskan, bahwa selalu memberikan nasehat-nasehat kepada para rekan Notaris yang tekena atau sedang dihadapkan kasus hukum. Alexander akan memberikan masukan-masukan baik dari segi hukum ataupun segi agama, agar Notaris tersebut selalu dapat berfikir dengan tenang dalam menghadapi kasus hukum yang dihadapinya. Dalam memberikan masukan-masukan tersebut Alexander juga berdiskusi dengan rekanrekan Notaris yang lainnya agar mendapatkan sebuah solusi-solusi yang tepat dalam kasus tersebut. 310 Disini Penulis mencontohkan Majelis Pengawas Wilayah Sumatera Barat. Pengurus Wilayah Sumatera Barat yang diketuai oleh Notaris Hendra Idris, telah membentuk sebuah lembaga yang bernama Pusat Studi dan Perlindungan Anggota (PSPA). PSPA ini merupakan sebuah lembaga yang membantu anggota Notaris yang bernaung dalam INI (Ikatan Notaris Indonesia) ketika menghadapi kasus pidana di pengadilan, ketika akta yang dibuat oleh Notaris diindikasi terkena kasus hukum. Lembaga PSPA ini diketuai oleh Notaris Muhammad Ishaq. Disini terlihat jelas bahwa Pengurus INI Wilayah Sumatera Barat, tidak mau berlepas tangan saja ketika ada salah seorang anggotanya terindikasi terkena kasus hukum terhadap akta yang dibuatnya, INI Wilayah Sumatera Barat siap membantu anggotanya, da nada baiknya wilayah lain mengikuti langkah-langkah yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Wilayah Sumatera Barat. Agar dalam rangka mengisi kekosongan hukum,
165
4. Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah telah mendesak pemerintah agar mempercepat pembentukkan Majelis Kehormatan Notaris, agar ada kepastian sebuah lembaga yang jelas dalam pemberian izin terhadap proses penegakkan hukum yang dihadapi oleh Notaris.311 5. Notaris yang dinyatakan bersalah dan harus membayar ganti kerugian, Ikatan Notaris Indonesia telah merancang gebrakan baru dalam hal ganti kerugian karena Putusan Pengadilan tidak perlu mengeluarkan dana untuk membayar, karena kewajiban tersebut telah dialihkan dalam perusahaan asuransi.312 D. Peran Hakim Dalam Proses Penegakan Hukum Pasca Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris . Terhadap Penegakan Hukum terkait Akta yang dibuat Notaris, maka Hakim harus bisa memberikan putusan yang adil bagi seorang Notaris, terutama akibat kekosongan hukum. Mengenai pengaturan tentang lembaga Majelis Kehormatan Notaris yang belum terbentuk tersebut atau dalam arti kata terjadi kekosongan hukum, sebelum terbentuknya Majelis Kehormatan Notaris, Notaris bias mendapat bantuan hukum dan kepastian hukum dalam menjalankan jabatannya. Penjelasan yang diberikan oleh Ketua Majelis Pengawas Wilayah Ikatan Notaris Indonesia, yaitu Notaris Hendra Idris SH. 311 Pembentukkan Majelis Kehormatan Notaris sangat dirasakan perlu sekali, agar dalam pemanggilan Notaris, ada sebuah lembaga yang memberikan izin dalam proses penegakkan hukum tersebut, terkait akta yang dibuat oleh Notaris tersebut. 312 Penulis merasa rancangan gebrakan yang dibuat Ikatan Notaris Indonesia sangat bagus sekali, dan benar-benar sebuah gebrakan yang sangat masuk akal dalam dunia profesi Notaris. Ini sesuai dengan pendapat dari Prof. Dr. Budi Santoso SH.,MS (Ketua Progran Studi Masgister Kenotariatan Universitas Dipenegoro). Budi mencontohkan situasi di Perancis, dimana setiap Notaris wajib membayar premi asuransi tanggung jawab renteng terhadap sesamanya, yang dikenal dengan the Profesional Indemnity Insurance. Sehingga apabila terjadi klaim seorang Notaris harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian, karena kesalahan dalam menjalankan profesinya, maka hal itu dibayar oleh perusahaan asuransi. Notaris yang dinyatak bersalah dan harus membayar ganti kerugian karena Putusan Pengadilan, maka tidak perlu mengeluarkan dana untuk membayar karena kewajiban tersebut telah dialihkan pada perusahaan asuransi. Budi Santoso, 2014, UUJN Baru, Butuh Semangat Baru Ikatan Notaris Indonesia, Majalah Renvoi Nomor 10.130.XI-Maret, hal 50.
166
maka dalam proses penegakkan hukum, Notaris yang terkena kasus hukum harus mendapatkan izin Majelis Kehormatan Notaris terlebih dahulu. Dahulu sewaktu berlakunya Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, terhadap Notaris yang berhadapan dengan kasus hukum, dalam proses penegakkan hukum, terkhusunya menghadirkan Notaris yang dihadirkan dalam persidangan harus mendapat izin dari Majelis Pengawas Daerah, seperti yang diatur didalam pasal 66313. Praktek yang terjadi sekarang ini, pemanggilan Notaris yang menjadi tergugat dalam sebuah kasus hukum terutama yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya, Hakim menghadirkan Notaris didalam proses persidangan, tidak perlu mendapatkan izin dari pihak manapun. Notaris yang menjadi tergugat lansung dipanggil oleh Hakim dan dihadapkan didalam persidangan, dan dimintakan keterangan-keterangan yang dirasa perlu, terhadap tanggung jawab dalam pembuatan aktanya tersebut. Dalam peradilan perdata
313
Pada tanggal 23 Maret 2013 Majelis Mahkamah Konstitus (MK) pada telah mengabulkan permohonan uji materil (judicial review) terhadap Pasal 66 (ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diajukan Saudara Kant Kamal. Amar keputusan Mahkamah Konstitusi pada intinya membatalkan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam pasal yang diuji.313 Dengan Putusan No. MK No. 49/PUU-X/2012 tanggal 23 Maret 2013 maka pemeriksaan proses hukum yang melibatkan Notaris tidak memerlukan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD) lagi dan frasa tersebut dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga untuk kedepannya pemanggilan Notaris tidak perlu lagi izin dari pihak manapun termasuk Majelis Pengawas Daerah. Pada Tanggal 17 Januari 2014 Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Undang-Undang Jabatan Notaris (UU Perubahan UUJN). Dengan diundangkannnya UU Perubahan UUJN tersebut maka ketentuan yang diatur di dalam UU tersebut telah berlaku dan mengikat khususnya bagi para Notaris. Mengenai pasal 66 ayat (3 dan 4) juga pasal 66 A, terkait kewenangan dan Pembentukkan Majelis Kehormatan Notaris , Majelis Kehormatan Notaris dan Majelis Pengawas Notaris walau keduanya di bawah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, sangatlah berbeda tugas dan kewenangannya. Karena pasal 66 UUJN dan pasal 66 UUJN Perubahan mempunyai perbedaan masing-masing.
167
tersebut, tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgelijke rechtsorde), menetapkan apa yang ditentukan oleh Hukum dalam suatu perkara314. 1. Penetapan Hakim Dalam Kasus Akta Notaris yang Bermasalah Hakim merupakan salah satu anggota dari Catur Wangsa Penegak Hukum di Indonesia. Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok di bidang judisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dengan tugas seperi itu, dapat dikatakan bahwa hakim merupakan pelaksana inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu keberadaanya sangat penting dan determinan dalam menegakkan hukum dan keadilan mellalui putusan-putusannya.315 Putusan hakim merupakan mahkota puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh seorang hakim.316 Dalam proses penegakkan hukum pasca perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris, sebelum terbentuknya Majelis Kehormatan Notaris, hakim bisa memberikan penetapan dalam pemanggilan Notaris yang terkena kasus hukum, baik Perdata ataupun Pidana. Kekosongan hukum sebelum terbentuknya Majelis Kehormatan Notaris oleh pemerintah, maka Hakim bisa melakukan penemuan hukum dalam memutus perkara Noataris tersebut. Sumber utama dalam penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim adalah peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, 314
R.Soepomo, 1993, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, hal 17. 315 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Yang Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, hal 5. 316 H. Muchsin, 2006, Peranan Putusan Hakim pada Kekerasan dalam Rumah Tangga, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi Nomor 260, Bulan Juli 2006, Jakarta, hal 25.
168
yurisprudensi, perjanjian internasional, kemudian doktrin. Dalam ajaran penemuan hukum, undang-undang diprioritaskan dari sumber hukum yang lain, karena undangundang bersifat authentik berbentuk tertulis, dan lebih menjamin kepastian hukum.317 Kalau seorang hakim akan menjatuhkan suatu putusan, maka ia akan selalu berusaha agar putusannya nanti seberapa mungkin dapat diterima masyarakat, setidaktidaknya berusaha agar lingkungan orang yang akan mendapat menerima putusannya seluas mungkin. Dari pada itu hakim bisa memberikan Penetapan Pengadilan, dalam memanggil seorang Akta Notaris. Hakim akan merasa jauh lebih lega manakala putusannya dapat memberikan putusan yang memuaskan semua pihak dalam satu perkara, dengan memberikan alas an-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan nilai-nilai dan kebenaran dan keadilan.318 Setelah dan menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan keputusan, yang dinamakan dengan putusan hakim, yang merupakan pernyataan hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, yang diucapkan dalam siding pengadilan yang terbuka untuk umum, yang bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak perdata.319 Sanksi keperdataan adalah sanksi yang dijatuhkan terhadap kesalahan yang terjadi karena wanprestasi, atau perbuatan melanggar hukum onrechtmatige daad. Sanksi ini berupa pengantian biaya, ganti rugi dan bunga merupakan akibat yang akan 317
Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
hal 48.
318 319
Ahmad Rifai, Op.cit, hal 95. Sudikno Mertokusumo, Op.cit, Hukum Acara Perdata, hal 175.
169
diterima Notaris dari gugatan para penghadap apabila akta bersangkutan hanya mempunyai pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta batal demi hukum. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, namun apabila melanggar ketentuan tertentu, akan terdegradasi nilai pembuktiannya menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, kedudukan akta Notaris yang kemudian mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan merupakan penilaian atas suatu alat bukti.320 Suatu akta yang dinyatakan batal demi hukum, maka akta tersebut dianggap tidak pernah ada dan atau tidak pernah dibuat, sesuatu yang tidak pernah dibuat tidak dapat dijadikan dasar suatu tuntutan dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga.321 Dengan demikian seharusnya suatu akta Notaris yang batal demi hukum tidak menimbulkan akibat untuk memberikan penggantian biaya, ganti rugi, atau bunga kepada pihak yang tersebut dalam akta. 320
Suryajaya, 2014, Perbandingan Degradasi Akta dengan Kebatalan, Hakim Agung Mahkamah Agung, pada Seminar Nasional mengenai Sosialisasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Universitas Dipenegoro, Semarang, pada tanggal 4 Maret 2014. Suryajaya berpendapat bahwa untuk menyatakan telah terjadi degradasi akta (Notaris) maka pihak yang dirugikan mengajukan gugatan ke Pengadilan untuk membuktikan adanya pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan Notaris dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya yang ditentukan dalam undang-undang. Bahwa gugatan tersebut bukan untuk membatalkan akta melainkan untuk membuktikan ada tidaknya pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya selaku pembuat akta. Terjadinya degradasi akta karena Notaris melakukan pelanggaran syarat bentuk dan syarat formal suatu akta. Bahwa gugatan ganti rugi baru dapat diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan kepada Notaris. apabila sudah dibuktikan melalui putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Bahwa Notaris tersebut telah melakukan kesalahan atau pelanggaran tentang syarat bentuk dan syarat formal yang ditentukan dalam undang-undang, atau gugatan tersebut digabungkan dengan suatu berkas perkara ganti rugi .Degradasi akta diuji keabsahannya melalui gugatan pengadilan. Degradasi akta tidak serta merta menjadi dasar pihak yang dirugikan untuk mengajukan tuntutan ganti rugi, melainkan terlebih dahulu degradasi akta diuji keabsahannya melalui gugatan pengadilan. 321 Sjaifurrachman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, CV Mandar Maju, Bandung, hal 195.
170
Penggantian biaya, ganti rugi atau bunga dapat digugat terhadap Notaris harus dengan mendasarkan pada suatu hubungan hukum antara Notaris dengan para pihak yang menghadap Notaris. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan sebagai akibat lansung dari suatu akta Notaris, maka yang bersangkutan dapat menuntu secara perdata terhadap Notaris.322 Pada gugatan atas dasar wanprestasi, petitum dalam gugatan ada lima kemungkinan yaitu: a. Gugat pemenuhan; b. Gugat ganti rugi; c. Gugat pembatalan suatu kontrak; d. Kombinasi antara pemenuhan dan ganti rugi; e. Kombinasi antara pembubaran dan ganti rugi. Bentuk putusan keperdataan yang dijatuhkan hakim dari perbuatan wanprestasi adalah ganti rugi, ganti rugi ini lazimnya diberikan dalam bentuk sejumlah uang. Ganti rugi selain ditujukan atas dasar wanprestasi, dapat juga ditujukan terhadap perbuatan melanggar hukum, maka pasal 1365 KUHPerdata yang berlaku. Pasal 1365
322
Ibid, hal 196.
171
KUHPerdata membuka kemungkinan pengajuan berbagai gugatan yaitu ; gugatan ganti rugi, pernyataan sebagai hukum, dan perintah atau larangan hakim.323 Mengenai penggantian kerugian dalam bentuk lain selain ganti rugi uang dapat, hakim dapat meilihat dalam pertimbangan dari sebuah Hoge Raad, yang selengkapanya dirumuskan: pelaku perbuatan melanggar hukum dapat dihukum untuk membayar sejumlah uang selaku pengganti kerugian yang ditimbulkannya kepada pihak yang dirugikan menuntut ganti rugi dalam bentuk lain, dan hakim menganggap sebagai bentuk ganti rugi yang sesuai, maka pelaku tersebut dapat dihukum untuk melakukan prestasi yang lain demi kepentingan pihak yang dirugikan yang cocok untuk menghapus kerugian yang diderita.324 2. Asas Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim Dapat diklasifikasikan adanya 3 (tiga) tujuan hukum yang selama ini berkembang, yaitu sebagai berikut325: 1. Aliran etis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu semata-mata hanya untuk mencapai keadilan; 2. Aliran utilitis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu hanyalah untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagian masyarakat;
323
Munir Fuady, 2002, Perbuatan Melawan Jukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 138. 324 Ibid, hal 134. 325 Achmad Ali, 1993, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta, hal 84.
172
3. Aliran normatif yuridis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu adalah menciptakan kepastian hukum. Kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa konkret dan tidak boleh ada penyimpangan (fiat justicia et pereat mundus/hukum harus ditegakkan meskipun langit runtuh).326 Kepastian hukum ini memberikan perlindungan terhadap profesi jabatan Notaris terhadap pembuatan akta yang dibuatnya, terkait dengan jabatannya sebagai seorang Notaris. Hakim dalam memutuskan suatu perkara, selalu dihadapkan pada tiga asas, yaitu asas kepastian hukum, asas keadilan, asas kemanfaatan. Ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara kompromi yaitu dengan cara menerapkan ketiga-tiganya secara berimbang dan proporsional. Sehingga dalam menjatuhkan putusan terhadap Notaris, hakim haruslah menjatuhkan putusan haruslah sesuai dengan unsur ketiga asas tersebut, agar putusan itu dapat diterima oleh para pihak, dan kedepan hari tidak terjadi upaya hukum lainnya, karena keputusan tersebut dirasakan sudah sesuai dengan kemauan para pihak. Bagi mereka yang merasakan kepentingannya telah dirugikan, maka pihak tersebutlah yang membuktikannya didepan persidangan, karena dalam persidangan perdata hakim mempunyai sikap yang pasif. Apabila para pihak merasa dirugikan terhadap akta yang dibuat seorang Notaris, maka pihak tersebutlah yang harus 326
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal 2.
173
membuktikannya didepan persidangan. Agar asas dari asas kepastian hukum, asas keadilan dan asas kemanfaatan dapat dirasakan oleh para pihak yang berperkara, termasuk Notaris. 3. Penemuan Hukum Oleh Hakim Terhadap Penegakan Hukum Dalam mengisi kekosongan hukum sebelum terbentuknya Majelis Kehormatan Notaris oleh pemerintah, maka Hakim bisa melakukan penemuan hukum dalam memutus perkara Noatris tersebut. Sumber utama dalam penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim adalah peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional, kemudian doktrin. Dalam ajaran penemuan hukum, undang-undang diprioritaskan dari sumber hukum yang lain, karena undangundang bersifat authentik berbentuk tertulis, dan lebih menjamin kepastian hukum.327 Penemuan hukum merupakan proses atau rangkaian kegiatan yang bersifat kompleks, yang pada dasarnya dimulai sejak hakim memeriksa kemudian mengadili suatu perkara hingga dijatuhkan putusan dalam perkara tersebut. Kegiatan-kegiatan hakim itulah pada umumnya merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahpisahkan satu sama lain, tetapi momentum dimulainya suatu penemuan hukum ialah setelah peristiwa konkretnya dibuktikan atau dikonstasi tersebut harus dicarikan atau ditemukan hukumnya.328
327
Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
hal 48.
328
Ibid, hal 80.
174
Jadi dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara terkait perkara Akta Notaris dan kemudian menjatuhkan putusan, seorang hakim harus melakukan 3 (tiga) tahap tindakan di persidangan yaitu sebagai berikut :329 1) Tahap Mengkonstatir Dalam tahap ini hakim akan mengkonstatir atau melihat untuk membenarkan ada tidaknya suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Untuk memastikan hal itu, maka diperlukan pembuktian, dan oleh karena itu hakim harus bersandarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut hukum, dimana dalam perkara perdata, sebagaimana dalam pasal 164 HIR/ pasal 248RBg/ Pasal 1866 KUH Perdata yaitu alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dalam tahap konstatir ini kegiatan hakim bersifat logis. Penguasaan hukum pembuktian bagi hakim sangat dibutuhkan dalam tahap ini. Hakim akan melihat pembuktianpembuktian terkait akta yang dibuat seorang Notaris. Agar menciptakan kepastian hukum terhadap putusan dalam perkara Notaris yang dihadapkan padanya. 2) Tahap Mengkualifikasi Pada tahap ini hakim, mengkualifisir dengan menilai peristiwa konkret yang telah dianggap benar-benar terjadi itu, termasuk hubungan hukum apa atau yang bagaimana untuk peristiwa-peristiwa tersebut. Dengan kata lain, 329
Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
hal 92-94.
175
mengkualisfir berarti mengelompokkan atau menggolongkan peristiwa konkret tersebut masuk dalam kelompok atau golongan peristiwa hukum (apakah perbuatan melawan hukum, wanprestasi, peralihan hak, atau perbuatan hukum lainnya dalam hukum perdata). Jika peristiwanya sudah terbukti dan peraturan hukumnya jelas dan tegas, maka penerpan hukumnya akan mudah, tetapi jika tidak jelas atau tidak tegas hukumnya, maka hakim bukan lagi harus menemukan hukumnya saja, tetapi lebih dari itu ia harus menciptakan hukum, yang tentu saja boleh bertentangan dengan keseluruhan system peraturan perundang-undangan dan memenuhi pandangan serta kebutuhan masyarakat atau zamannya. Dalam tahap ini hakim akan mengelompokkan peristiwa konkret tersebut masuk dalam kelompok atau golongan peristiwa hukum apa kasus Notaris yang
dihadapkan
kepadanya
(apakah
perbuatan
melawan
hukum,
wanprestasi, atau perbuatan hukum lainnya dalam hukum perdata). 3) Tahap Mengkonstuir Dalam tahap ini, hakim menetapkan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dan memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan (para pihak dalam perkara, yaitu pihak penggugat atau pihak tergugat). Keadilan yang diputuskan oleh hakim bukanlah produk dari intelektualitas hakim tetapi merupakan semangat hakim itu sendiri.
176
Dalam mengadili suatu perkara, hakim harus menentukan hukumnya inkonkreto terhadap peristiwa hukum tertentu, sehingga putusan hakim tersebut dapat menjadi hukum (judge made law). Di sini hakim menggunakan silogisme, yaitu menarik suatu kesimpulan dari premis mayor berupa aturan hukumnya dan premis minor berupa sengketa yang terjadi diantara pihak. Terhadap kasus Akta Notaris yang dihadapkan kepadanya maka hakim menetapkan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dan memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan.
177
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, penulis mempunyai beberapa kesimpulan yaitu: 1. Munculnya dasar pembentukkan Majelis Kehormatan Notaris lahir di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris karena kebutuhan akan perlindungan terhadap seorang Notaris dalam pembuatan akta. Sangat diperlukan apabila ada sebuah Lembaga yang fungsinya yang mengawasi Notaris dalam proses Penegakan Hukum, dimana harus mendapatkan izin dari Majelis Kehormatan Notaris. 2. Pengaturan pemanggilan Notaris terhadap akta yang dibuatnya oleh hakim pasca perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 terjadi kekosongan hukum, dalam mengisi kekosongan hukum karena Majelis Kehormatan Notaris belum terbentuk, Notaris masih menggunakan hak Ingkarnya terkait proses kepentingan peradilan, dan dalam menghadirkan Notaris didalam persidangan, Hakim tidak perlu meminta izin dari pihak manapun juga, hakim berhak membuat penetapan untuk memanggil Notaris, Notaris yang terkena kasus hukum wajib hadir dalam persidangan.
178
B. Saran Saran yang ingin penulis sampaikan dalam tesis ini adalah : a. Demi kepastian hukum Ikatan Notaris Indonesia sebagai wadah tunggal Organisasi Notaris harus peka untuk mengawasi anggotanya. b. Pemerintah harus segera membentuk peraturan pemerintah mengenai Majelis Kehormatan Notaris, agar dapat dibentuk di setiap Provinsi di Indonesia, ada baiknya apabila Majelis Kehormatan Notaris diadakan berjenjang mulai dari Kabupaten/Kota sampai Provinsi. c. Hakim harus jeli dalam memutus perkara berkaitan dengan Akta Notaris yang dihadapkan kepadanya. Disini hakim harus aktif untuk bertanya kepada Notaris dan saksi-saksi yang dihadapkan kepadanya di sidang Pengadilan Negeri, agar putusan yang dijatuhkan adil. Selain itu hakim juga bisa memberikan sebuah Penetapan Pengadilan untuk memanggil Notaris yang bermasalah. d. Organisasi Ikatan Notaris Indonesia setiap Provinsi-Provinsi di Indonesia, harus lebih banyak memberikan sosialisasi terkait Undang-Undang Jabatan Notaris yang baru ini, agar Notaris-Notaris Provinsi di Indonesia tidak ada lagi kedepannya melanggar aturan yang ada dalam UUJN Perubahan atau meminimalisir terhadap pembuatan akta-akta yang bermasalah kedepannya.
179
e. Organisasi Ikatan Notaris Indonesia setiap Provinsi-Provinsi di Indonesia harus membuat lembaga-lembaga perlindungan terhadap Anggota Notaris di daerahnya masing-masing. Agar Notaris bekerja sebagai pembuat akta agar lebih terjamin, dengan adanya lembaga perlindungan Anggota Notaris. f. Notaris harus lebih banyak membaca terkait jabatan Profesi notaris dan harus lebih sering berdiskusi baik dengan rekan sejawat, Organisasi Ikatan Notaris Indonesia, ataupun pihak Akademisi Hukum dalam memahami dan mengartikan Undang-Undang Jabatan Notaris Perubahan Notaris ini, agar tidak terjadi kesalahan atau meminimalisir kesalahan dalam pembuatan akta kedepannya.
180
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cetakan I, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2004. Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, 2009. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta, 1993. Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan 6, PT. Raja Grafindo Pers, Jakarta, 2012. Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Edisi 3, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2009. -------------------, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan 6, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1983. Arbijoto, Refleksi terhadap Manusia sebagai Homo Religious, Pusdiklat, Jakarta , 2000. Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, LPPM-UNISBA, Bandung, 1995. -----------------, Suatu Tinjauan terhadap Kekuasaan Kehakiman dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004, Mahkamah agung : Jakarta, 2005. -----------------, Hakim dan Pemidanaan, Ikahi , Jakarta, 2006. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009. Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004. 181
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Yang Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, 2006. Budi Untung, Visi Global Notaris, Andi Ofsset : Yogyakarta, 2001 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Cetakan 4, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004. C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan 12, Balai Pustaka, Jakarta, 2002. Dasril
Radjab, 2005.
Hukum
Tata
Negara
Indonesia,
Rineka
Cipta,
Jakarta,
Djoko Soepadmo, Teknik Pembuatan Akta Seri B-1, PT.Bina Ilmu, Surabaya, 1994. G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, C e t a k a n 3 , P e n e r b i t Erlangga Jakarta, 1991. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Pers, Jakarta, 2001. Habib Adjie, Penggabungan, Peleburan dan Pengambil Alihan dalam Perseroan Terbatas, CV.Mandar Maju, Bandung, 2003. -------------------, Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris (Dalam Bentuk Akta Keterangan Ahli Waris, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008. -------------------, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), CV.Mandar Maju, Bandung, 2009. -------------------,Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang Jabatan Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Cetakan 2, PT.Refika Aditama, Bandung, 2009. -----------------, Sanksi Perdata dan Administrasif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik , Cetakan 2, PT.Refika Aditama, Bandung, 2009. -----------------, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Jabatan Notaris,Pustaka Zaman, Semarang, 2011. -----------------,Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, PT.Refika Aditama. Bandung, 2011. 182
-------------------, Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011 -------------------, Mengenal Notaris Syari’ah, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011. -------------------, Aspek Pertanggung Jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, CV. Mandar Maju, Bandung, 2011. ------------------, Bernas-Bernas Pemikiran di Bidang Notaris dan PPAT, CV. Mandar Maju, Bandung, 2012 Hartanti Sulihandri dan Nisya Rifani,, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia Cerdas, Jakarta, 2013. Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008. Husni Thamrin, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, Cetakan 2, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2011. Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku 1, Sinar Harapan, Jakarta, 1993. Ikatan Notaris Indonesia, 2005, Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pegawas notaris, CV. Medya Duta. Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Ke Notaris, Raih Asa Sukses (RAS), Jakarta, 2009. Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial Lainnya, Remeja Rosda Karya, Bandung, 1999. Irma Devita Purnamasari, Kicauan Praktisi Seputar Pertanahan, Kaifa, Bandung, 2013 I.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum-Inggris Indonesia, Cetakan 5, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Kedua, Bayu Media Publishing, Jawa Timur, 2006. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007. 183
-----------------, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008. -----------------, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. J.E Sahetapy, Yang Memberi Teladan dan Menjaga Nurani Hukum dan Politik, Komisi Hukum Nasional RI, Jakarta, 2007. Lembaga Kajian dan Advokasi, Konsep Ideal Peradilan Indonesia-Menciptakan Kesatuan Hukum & Meningkatkan Akses Masyarakat pada Keadilan, National Legal Reform Program (NLRP), 2010. -----------------------, Pembatasan Perkara, National Legal Reform Program (NLRP), Jakarta, 2010 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2005. Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Cetakan 15, Bumi Aksara, Jakarta, 2010. Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia. PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2011. Marnasse Malo dan Sri Trisnongtias, Metode Penelitian Masyarakat, Pusat Antara Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Unversitas Indonesia, Jakarta 1997. Martiman Prodjohamidjojo, Putusan Pengadilan, Seri Sebelas,Ghalia Indonesia, Jakarta Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstutisi Republik Indonesia, Edisi 2 Cetakan 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan 29,PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, 1989. Moh. Mahfud MD dan SF. Marbun, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 1987. Muchlis Fatahna dkk, Notaris Bicara Soal Kenegaraan, Watampone Pers, Jakarta, 2003. Muladi, Hak Asasi Manusia-Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005. 184
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Penerbit Alumni, Bandung , 1984. Mulyoto, Kesalahan Notaris dalam Pembuatan Akta Perubahan Dasar CV, Cakrawala Media , Yogyakarta, 2010. Munir Fuady, Perbuatan Melawan Jukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1982. M. Agus Santoso, Hukum Moral dan Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012. M. Daud Ali, M.Tharir dan Habibah Daud, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan politik, Bulan Bintang, Jakarta, 1998. M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta, 1995. N.E. Algra, H.R.W. Gokkel, dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea, BelandaIndonesia, Binacipta, 1983. Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Rafika Aditama Press, Jakarta. Otong Rosadi, Hak Anak Bagian Dari Hak Asasi Manusia, Akademika, Bandung, 2009. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan 2, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009. -------------------, Penelitian Hukum, Kencana Press, Jakarta, 2009. Philipus M.Hadjon dkk, Penegakan Hukum Administrasi Indonesia Introdution to the Indonesian Administrative Law, Cetakan 7, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001. Pontang Moerad, B.M, Pembentukkan Hukum Melallui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni Bandung, Bandung, 2005. Ridwan
HR, Hukum Jakarta, 2010.
Administrasi
Negara,
PT.
Raja
Grafindo
Persada, 185
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2002. Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Cetakan Keenam, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Rudhi Prasetya, Yayasan Dalam Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia. Raja Grafindo Persada , Jakarta, 2006. R. Soegono Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Cetakan 2, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993. R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan 13, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. ------------------, Hukum Acara Perdata Lengkap dan Praktis, HIR, RBg, dan Yurispudensi, Sinar Grafika, Jakarta, 1993. R. Soesanto, Tugas Kewajiban dan Hak-Hak Notaris Wakil Notaris (sementara), Pradnya Paramita, Jakarta, 1978. R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1989. ------------------, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Inter Masa, Jakarta, 1989. ------------------,R. Subekti, Kitab Undang Undang Hukum Perdata Terjemahan, Cetakan 34, PT Pradnya Pramita : Jakarta, 2004. Santia Dewi dan R.M Fauwas Diradja, Panduan Teori dan Praktik Notaris, Pustaka Yustika, Yogyakarta, 2011. Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, 1993. Sjaifurrachman, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, CV Mandar Maju, Bandung, 2011. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Cetakan 8 , PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1992. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2008. -----------------------, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan 11, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012. 186
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Pers, Jakarta, 2011. Sudikno Mertokusuomo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998. --------------------, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001. --------------------, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012. -------------------- dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993. Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011. Suharto RM, Penuntuttan Dalam Praktek Peradilan,PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Tan Thong Kie, Studi Notariat Beberapa Mata Pelajaran dan Serba Serbi Praktek Notaris, Cetakan 1, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007. Takdir Rahmadi dan Firman Hasan, Reformasi Hukum (Sebuah Bunga Rampai), Citra Budaya Indonesia Padang dan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2002. Teguh Sulista dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2011. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1994. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan 9, PT Ichtiar Baru, Jakarta, 1990. Victor M.Situmorang dan Cormentyana Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Cetakan 1, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Cetakan 2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Cetakan 2, Sinar Grafika, Jakarta,
2010.
187
B. MAKALAH, JURNAL,BAHAN KULIAH, SURAT KABAR Adrian Djuani, Implikasi Hukum Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Mencabut Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris Terhadap Kedudukan Jabatan Notaris. Makalah yang disampaikan di Kampus Fakultas HukumProdi Magister Kenotariatan-Universitas Andalas, Padang, 2013. Alexander, Bahan Kuliah Peraturan Jabatan Notaris Dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Prodi Magister Kenotariatan Univeristas Andalas, Padang, 2012. Andy Supratno dan Maroloan J. Baringbing, 2013, Putusan MK Jadi Topik Bahasan Dalam Rakor MPN, Edisi November Majalah Renvoi, Jakarta. Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia, 2005, Hasil Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia Bandung. Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia, 2012, Hasil Rapat Pleno Pengurus Pusat Yang Diperluas (Pra Kongres), Pekanbaru. A. Partomuan Pohan, Beberapa Catatan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.Makalah yang disampaikan di Hotel Mercure-Padang, Pada tanggal 29 Januari 2014. Elwi Danil, Bahan Ajar Mata Kuliah Teori Hukum, Prodi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2012 . H. Muchsin, Peranan Putusan Hakim pada Kekerasan dalam Rumah Tangga, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi Nomor 260, Bulan Juli 2006. Ikatan Notaris Indonesia, 2005, kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I), Bandung. Nur Ichwan, 2013, Direkomendasikan Perlu Ada Pengganti Pasal 66, Edisi November Majalah Renvoi, Jakarta. Pieter E. Latumeten, 2007, Apakah Pasal 66 UUJN Berlaku Bagi werda Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris?, Edisi Januari Majalah Renvoi, Jakarta. ------------------- , Makalah yang disampaikan pada Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia oleh, Kebatalan dan Degredasi Kekuatan Bukti Akta Notaris Serta Model Aktanya, Surabaya, 2009.
188
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (Bidang Pembinaan Anggota) dan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2007, Beberapa Catatan Mengenai Pembuatan Akta di Dalam Praktek Notaris, Makalah ini disampaikan pada Upgrading dan Refreshing Course Naionala, pada tanggal 30 Maret 2007, Medan. Roni, 2010, Pelaksanaan Kewenangan Pemberian Sanksi Terhadap Notaris Oleh Majelis Pengawas Wilayah Notaris Sumater Barat. Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Simon, 2011, Implementasi Sanksi Kode Etik Dalam Jabatan Notaris Di Kota Tanjung Pinang, Tesis, Universitas Dipenogoro, Semarang. Suharizal, 2013, Sembilan Tahun Jabatan Notaris Pasca Pemberlakuan UndangUndang 30 Tahun 2004; Quo Vadis?, Makalah yang disampaikan pada tanggal 14 Desembaer 2013, Hotel Mercure, Padang, Suryajaya, 2014, Perbandingan Degradasi Akta dengan Kebatalan, Hakim Agung Mahkamah Agung, pada Seminar Nasional mengenai Sosialisasi UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Universitas Dipenegoro, Semarang, pada tanggal 4 Maret 2014. Syafran Sofyan, 2014, PP INI Lakukan Sosialisasi Menyeluruh-Empat Pasal Krusial UUJN Perubahan Harus Dipahami. Edisi Februari, Majalah Renvoi. Widhi Handoko, 2014, Matrik Perubahan UUJN- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Sebelum Dan Setelah Revisi Tanggal 17 Desember 2013, Universitas Dipenogoro, Semarang. Widhi Handoko, SH.,SpN, 2014, Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasca Putusan Paripurna DPR RI tanggal 17 Desember 2013, Makalah ini disampaikan pada workshop konfigurasi politik dan perubahan UUJN, gedung Kenotariatan UNDIP, oleh Prodi Mkn UNDIP dan DITJEN AHU KEMENKUNHAM, Semarang, pada tanggal 3-4 januari 2014. Yuslim, 2014, Kewenangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Dalam Penyelengaraan Pemerintahan Kabupaten/Kota Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Ringkasan Disertasi, Universitas Andalas, Padang. Zainudin, 2012, Pengawasan Oleh Pengawas Daerah Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Di Kota Padang, Tesis, Universitas Andalas, Padang. Zulkifli Harahap, 2011, Pemanggilan Seorang Notaris dan PPAT oleh Kepolisian Harus Seizin Majelis Pengawas Daerah, Edisi Mei Majalah Renvoi, Jakarta. -----------------, Majelis Kehormatan Idealnya Berjenjang, Edisi Februari, Majalah Renvoi, Jakarta, 2014. 189
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Sebelum dan Sesudah Perubahan); Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia; Reglement op Het Notaris in Nederlands Indie (stbl.1860:3 ); Keputusan Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39 PW.07.10.TH.2004 (Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris); Peraturan Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 TH.2004 (Tata Cara Pengangkatan anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris) Peraturan Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01HT.03.01 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Notaris. Peraturan Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris. Surat Edaran Mahkmah Agung 4/1965 Tanggal 30 Desember 1965. Surat Edaran Mahkmah Agung 16/1969 Tanggal 11 Oktober 1969
190
D. WEBSITE Agustinus Yohanes Indradjaja, 2013, Revisi UUJN : Notaris Merangkap Pegawai Bank, http://medianotariat.com/index.php/83-opini/113-revisi-uujn-notarismerangkap-pegawai-bank. Alwesius, 2013, Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal 66 UUJN dan Tindakan Yang Dapat Kita Lihat Kedepan. http: //alwesius. blogspot. com/2013/05/putusan -mahkamah-konstitusi-terhadap.html. ----------------, 2013, Beberapa Catatan Berkaitan Dengan RUU Tentang Perubahan Atas UUJN, http://alwesius.blogspot.com/2014/01/beberapa-catatan-terhadapuujn-yang-baru.html, Alwesius, 2013, Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal 66 Uujn Dan Tindakan Yang Dapat Kita Lakukan Kedepan, http://alwesius.blogspot.com/2013/05/putusan-mahkamah-konstitusiterhadap.html, 2014 ----------------, 2014, Beberapa Catatan Terhadap UUJN Baru- Beberapa Catatan Terhadap Berkaitan Dengan Beberapa Ketentuan Dalam UUNJN Dan Perubahannya (Revisi), http://alwesius.blogspot.com/2014/01/beberapacatatan-terhadap-uujn-yang-baru.html. ----------------, 2014, Kewajiban Melekatkan Sidik Jari Penghadap Pada Minuta Akta, http://alwesius.blogspot.com/2014/01/kewajiban-melekatkan-sidik-jari.html. Berita Score, 2013, Paripurna DPR Setujui RUU tentang Perubahan UU Jabatan Notaris, http://beritasore.com/2013/12/17/paripurna-dpr-setujui-ruu-tentangperubahan-uu-jabatan-notaris/. Citizenjurnalism, 2012, Paripurna DPR Setujui Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Menjadi Usul Inisiatif, http://www.citizenjurnalism.com/worldnews/indonesia/cj-dpr-ri-news/paripurna-dpr-setujui-perubahan-uu-jabatannotaris-menjadi-usul-inisiatif/. Diah Sulistyani Muladi, 2013, Pasca Putusan MK Kalau Notaris Benar dan Taat Hukum. https://www.facebook.com/groups/248567705262940/. Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2013, Rapat Kerja Perubahan Undang-undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, http://portal.ahu.web.id/publikasi/berita/item/392-rapat-kerja-ruu-perubahanjabatan-notaris-dengan-komisi-iii-dpr/392-rapat-kerja-ruu-perubahan-jabatannotaris-dengan-komisi-iii-dpr. 191
Habib Adjie, 2013, Telah Mengakhiri Kewenangan Istimewa MPD (Sebagaimana Tersebut dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN). http: //habibadjie. dosen. narotama. ac.id/artikelkajian-hukum-kenotariatan/. Herman Adriansyah, 2009, Berita Acara Penarikan Undian, http://groups.yahoo.com/ group/ikatan-notaris-indonesia/message/1034?i=i. Hukum Online, 2013, INI Gelar Syukuran UU Jabatan Notaris, http://www.hukumonline. com/berita/baca/lt52b1a97f83a34/ini-gelarsyukuran-uu-jabatan-notaris. Ikatan
Notaris Indonesia, 2010, Sejarah Notaris, http://www.ikatannotarisindonesia.or.id/read/sejarah-ikatan-notaris-indonesia.
Info Notariat, 2011, Notaris, http://info-notariat.blogspot.com/2011 /05/notaris.html. ----------------, 2012, Menuju Notaris Berkomitmen Intelektual, Emosional Dan Spiritual, ’’Pembekalan Moral Itu Perlu Karena Kita Menghendaki Notaris Merupakan Profesi Yang Luhur Dan Bermartabat,’’ http://infonotariat.blogspot.com/2012/02/ menujunotaris -berkomitmenintelektual.html. Irma Devita , 2013, Akibat Putusan MK Terhadap Hak Istimewa Notaris, http://irmadevita.com/2013/akibat-putusan-mk-terhadap-hak-istimewa-notaris/ JJ.
Amstrong, 2007, Analisa Hukum Tentang Jabatan http://www.blogster.com /Komparta/analisis-hukum-tentang.
Notaris,
Jimly Ashiddiqie, 2014, Pendapat Jimly Mengenai Majelis Kehormatan Notaris, http://www.jimly.com/tanyajawab?page=8. Kamus Besar Besar Bahasa Inonesia (KBBI), http://kbbi.web.id/. Maferdy Yulius, 2013, Revisi UUJN : Utamakan Pemerataan Rezeki, http://medianotariat.com/index.php/83-opini/111-revisi-uujn-utamakanpemerataan-rezeki. Mahkamah Agung, Direktori Putusan Mahkamah agung Republik Indonesia, http://putusan.mahkamahagung.go.id/periode/putus. Marzukie Alie, 2014, Kegiatan Dpr-Ri Minggu Kedua Januari 2014, diakses http://www. marzukialie.com/?show=legislasi&id=398 Media Notaris, 2013, RUU Perubahan UU Jabatan Notaris Disetujui - Ijin Memeriksa Notaris Muncul Lagi, http://medianotaris.com/ruu_perubahan_uu_jabatan_notaris_disetujui_berita34 6. html. 192
Mihardi, 2012, MPPN mengawasi notaris dan menjalankan UUJN , http:// nasional.sindonews.com/read/2012/12/14/13/697496/mppn-mengawasinotaris-dan-menjalankan-uujn. Notarisku, 2012, Kongres Luar Biasa (Klb) Ikatan Notaris Indonesia (INI) Tahun 2013 Di Bali Kongres Luar Biasa Di Bali Satu2nya Solusi Bagi Legitimasi Kepengurusan INI, http://notarisku.blogspot.com/2013/05/konres-luar-biasaklb-ikatan-notaris.html. ----------------, 2013, Dilema Putusan MK tanggal 28 Mei 2013 tentang UU Jabatan Notaris, http://notarisku.blogspot.com/2013/05/dilema-putusan-mk-tanggal28-mei-2013.html. Otong Abdurrahman, 2013, Pendapat Akhir Mini Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Uu Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Http://Www.FpkbDpr.Or.Id/Read/18/12/2013/Pendapat-Akhir-Mini-Fraksi-Partai-KebangkitanBangsa-Atas-Rancangan-Undang-Undang-Tentang-Perubahan-Atas-UuNomor-30-Tahun-2004-Tentang-Jabatan-Notaris Putusan Mahkamah Konstitusi. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id /index.php?page=web.Putusan&id=15&kat=1&cari. Sulaiman, 2008, Tentang Notaris, http://sulaiman-sh.blogspot.com/. Sudikno Mertokusumo, 1984, Notaris Dalam Hukum Perdata Nasional, www. Sudikno Mertokusumo.com, Yogyakarta. Syafran Sofyan, 2013, Catatan Perubahan UU Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004(Peraturan Menteri Sangat Mendesak), ----------------, 2014, Catatan Perubahan UU Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004 (Peraturan Menteri Sangat Mendesak), http://medianotaris.com/catatan_ perubahan_uu_jabatan_notaris_nomor_tahun_ berita352.html. Tejabuewana, 2010, Akta-akta yang Harus Dibuat Secara Notaril, http://mknunsri.blogspot.com/2009/10/akta-akta-yang-harus-dibuat-secara.html. Yance
Arizona, 2011, Apa Itu Kepastian http://yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/.
Hukum?,
193