24
BAB II PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA A. Jabatan Notaris Jabatan merupakan subyek hukum, yakni pendukung hak dan kewajiban. Oleh Hukum Tatanegara kekuasaan tidak diberikan kepada pejabat, tetapi diberikan kepada jabatan (lingkungan pekerjaan). Sebagai subyek hukum yaitu badan hukum, maka jabatan itu dapat menjamin kontinuitet hak dan kewajiban. Pejabat (yang menduduki jabatan) selalu berganti-ganti, sedangkan jabatan terus menerus. Jabatan notaris lahir karena masyarakat membutuhkannya, bukan jabatan yang sengaja diciptakan kemudian baru disosialisaikan kepada khlayak. Jabatan notaris ini tidak ditempatkan di lembaga yudikatif, eksekutif ataupun yudikatif karena notaris diharapkan memiliki posisi netral. Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum.Pengertian notaris menurut Pasal 1 angka (1) UUJN adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Kedudukan notaris sebagai pejabat umum, dalam arti kewenangan yang ada pada notaris tidak pernah diberikan kepada pejabat-pejabat lainnya, selama sepanjang kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lain. Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka notaris adalah satu-satunya pejabat yang berwenang untuk
24
Universitas Sumatera Utara
25
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pejabat lain yang diberikan kewenangan membuat akta otentik selain Notaris, antara lain:32 1) Consul (berdasarkan Conculair Wet) 2) Bupati Kepala Daerah atau Sekretaris Daerah yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman (Pasal 2 PJN S1860-3) 3) Notaris Pengganti 4) Juru Sita pada Pengadilan Negeri. 5) Pegawai Kantor Catatan Sipil. Meskipun pejabat ini hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum akan tetapi mereka itu bukan Pejabat Umum. Mengenai otentisitas suatu akta Notaris, lebih lanjut Soegondo Notodisoerjo, menyatakan: bahwa untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “penjabat umum”. Di Indonesia, seorang advokat, meskipun ia seorang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai “penjabat umum”. Sebaliknya seorang “Pegawai Catatan Sipil” (Ambtenaar 32
H. Budi Untung, Visi Global Notaris, Andi, Yogyakarta, 2002, hlm. 43-44.
Universitas Sumatera Utara
26
van de Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat aktaakta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran, akta perkawinan, akta kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan sebagai “pejabat umum” dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.33 Penjelasan UUJN menerangkan bahwa akta otentik sebagai bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Akta otentik menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Selanjutnya dijelaskan, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik adayang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka kepastian, ketertiban atau perlindungan hukum. Selain akta otentik yangdibuat oleh atau dihadapan notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihakdemi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dibatasi oleh umur, sehingga Notaris memiliki batas waktu dalam menjalankan tugas jabatannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 8 UUJN yang berbunyi: (1) Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena:
33
Kartini Soedjendro, Perjanjian Peraihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta, 2001, Jakarta, hlm. 43.
Universitas Sumatera Utara
27
a. meninggal dunia; b. telah berumur 65 tahun; c. permintaan sendiri; d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus-menerus lebih dari 3 tahun; e. merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g. (2) Ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diperpanjang sampai berumur 67 tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan. B. Akta Notaris Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 UUJN, bahwa salah satu kewenangan notaris adalah membuat akta autentik. Artinya notaris memiliki tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta autentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN.34 Pasal 1 UUJN tidak memberikan uraian yang lengkap mengenai tugas notaris. Menurut Lumban Tobing, bahwa selain untuk membuat akta-akta autentik, notaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensahkan surat-surat atau aktaakta yang dibuat di bawah tangan. Notaris juga memberikan nasihat hukum dan
34
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 13‐14.
Universitas Sumatera Utara
28
penjelasan mengenai undang-undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan. 35 Menurut Setiawan, inti dari tugas notaris selaku pejabat umum ialah mengatur secara tertulis dan autentik hubungan hukum antara pihak yang secara manfaat meminta jasa notaris yang pada dasarnya adalah sama dengan tugas hakim yang memberikan keadilan diantara para pihak yang bersengketa.36 Istilah akta berasal dari bahasa Belanda yaitu Acte. Dalam mengartikan akta ini ada dua pendapat yaitu. Pendapat pertama mengartikan akta sebagai surat dan pendapat kedua mengartikan akta sebagai perbuatan hukum. Pitlo mengartikan akta sebagai: surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipahami sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat.37 Subekti mengartikan akta sebagai perbuatan hukum, yang mengartikan Pasal 108 KUHPerdata bukanlah berarti surat melainkan harus diartikan perbuatan hukum.38 Selanjutnya Sudarsono menguatkan pendapat yang menyatakan Acte atau akta dalam arti luas merupakan perbuatan hukum (recht handeling), suatu tulisan yang dibuat untuk dipahami sebagai bukti perbuatan hukum.39 Akta adalah surat yang disengaja dibuat sebagai alat bukti, berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hukum di bidang keperdataan yang dilakukan oleh pihak-pihak. Akta-akta yang dibuat menurut ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata Jo ketentuan UU 35
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hlm. 37 Setiawan Wawwan, Hak Ingkar dari Notaris dan Hubungannya dengan KUHAP (suatu kajian uraian yang disajikan dalam konggress INI di Jakarta, 1995), hlm. 2. 37 Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Internusa, Jakarta, 1986, hlm. 52 38 Subekti ,Hukum Pembuktian, PT Pradnya Paramitra, Jakarta, 1980, hlm. 29 39 Sudarsono, Kamus Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 25 36
Universitas Sumatera Utara
29
No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.Akta itu disebut sebagai otentik bila memenuhi unsur sebagai berikut : 1) Dibuat dalam bentuk menurut ketentuan Undang-undang; 2) Dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum; 3) Pejabat Umum itu harus berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat. Berdasarkan pihak yang membuatnya, untuk akta otentik dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu : a)
Akta para pihak (partij akte), adalah akta yang berisi keterangan yang dikehendaki oleh para pihak untuk dimuatkan dalam akta bersangkutan. Termasuk kedalam akta ini misalnya ; akta jual beli, akta perjanjian pinjam pakai, akta perjanjian kridit, akta perjanjian sewa menyewa, dan lain-lain. Dengan demikian partij akte adalah : 1) Inisiatif ada pada pihak-pihak yang bersangkutan 2) Berisi keterangan para pihak.
b) Akta Pejabat (Ambtelijk Akte atau Relaas Akte) Akta yang memuat keterangan resmi dari pejabat berwenang, tentang apa yang dia lihat dan saksikan dihadapannya. Jadi akta ini hanya memuat keterangan dari satu pihak saja, yakni pihak pejabat yang membuatnya. Yang termasuk kedalam akta diantaranya; Berita acara rapat pemegang saham perseroan terbatas; Berita acara lelang; Berita acara penarikan undian; Berita acara rapat direksi perseroan terbatas; Akta kelahiran, Akta kematian, Kartu tanda penduduk, Surat izin
Universitas Sumatera Utara
30
mengemudi; Ijazah; Daftar inventaris harta peninggalan dan lain-lain. Jadi Ambetelijk Akte atau Relaas Akte merupakan : 1) Inisiatif ada pada pejabat; 2) Berisi keterangan tertulis dari pejabat (ambetenaar) pembuat akta. Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa, perbedaan antara akta otentik dengan akta dibawah-tangan adalah : 1) Akta Otentik dibuat dengan bantuan Notaris atau pejabat umum yang berwenang untuk itu dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang. 2) Akta dibawah tangan dibuat oleh para pihak yang berkepentingan untuk itu tanpa campur tangan dari Notaris atau Pejabat umum, sehingga bentuknyapun bervariasi (berbeda-beda). Akta Otentik itu merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870 KUH Perdata. Ia memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu buktiyang sempurna tentang apa yang diperbuat/dinyatakan dalamakta ini. Ini berarti mempunyai kekuatan bukti sedemikian rupakarena dianggap melekatnya pada akta itu sendiri sehingga tidak perlu dibuktikan lagi dan bagi Hakim itu merupakan “BuktiWajib/Keharusan”. Kekuatan pembuktian akta otentik (akta Notaris) adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta
Universitas Sumatera Utara
31
otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu.40 Menurut G.H.S. Lumban Tobing, akta otentik dapat digolongkan menjadi dua, yaitu : 1) Akta yang dibuat oleh notaris atau yang biasa disebut dengan istilah Akta Relaas atau Berita Acara, 2) Akta yang dibuat dihadapan notaris, biasa disebut dengan istilah Akta Pihak atau Akta Partij.41 Notaris tidak dapat membuat akta atas kemauan sendiri, tetapi akta-akta tersebut dibuat atas dasar permintaan para pihak/penghadap, tanpa adanya permintaan para pihak. Akta Relaas merupakan akta yang dibuat oleh Notaris atas permintaan para pihak. Dalam hal ini para pihak meminta agar Notaris mencatat atau menuliskan segala sesuatu hal yang dibicarakan oleh pihak berkaitan dengan tindakan hukum atau tindakan lainnya yang dilakukan oleh para pihak, agar tindakan tersebut dibuat atau dituangkan dalam suatu akta Notaris. Oleh karena itu, para pihak tersebut harus menghadap notaris.Dalam Akta Relaas ini Notaris menulis atau mencatatkan semua hal yang dilihat atau didengar sendiri secara langsung oleh Notaris yang dilakukan para pihak.
40 41
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hlm. 54. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
32
Akta Pihak adalah akta yang dibuat dihadapan Notaris atas permintaan para pihak, Notaris berkewajiban untuk mendengarkan pernyataan atau keterangan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan sendiri oleh para pihak dihadapan Notaris. Pernyataan atau keterangan para pihak tersebut oleh Notaris dituangkan dalam akta Notaris. Sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN, bahwa dalam membuat akta-akta tersebut Notaris berwenang untuk memberikan penyuluhan ataupun saran-saran hukum kepada para pihak tersebut. Ketika saran-saran tersebut diterima dan disetujui oleh para pihak kemudian dituangkan kedalam akta, maka saran-saran tersebut harus dinilai sebagai pernyataan atau keterangan para pihak sendiri. Selanjutnya berdasarkan Pasal 38 UUJN, akta-akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris tersebut harus menurut bentuk yang sudah ditetapkan. Prosedur atau tata cara penyusunan akta-akta tersebut sudah ditentukan berdasarkan Pasal 3953 UUJN. Berdasarkan ketentuan bentuk dan prosedur pembuatan akta tersebut, maka unsur dan syarat-syarat atau ciri-ciri yang harus dipenuhi, agar lahir, tercipta atau mewujud adanya suatu akta otentik adalah: a) Bentuk akta otentik itu harus ditentukan oleh undang-undang, artinya jika bentuk tidak ditentukan oleh undang-undang, maka salah satu unsur akta otentik itu tidak terpenuhi, dan jika tidak terpenuhi unsur dari padanya, maka tidak akan pernah ada yang disebut dengan akta otentik;
Universitas Sumatera Utara
33
b) Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Adapun yang dimaksud dengan pejabat umum adalah organ Negara, yang dilengkapi dengan kekuasaan umum, berwenang menjalankan sebagian dari kekuasaan Negara untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang hukum perdata; c) Pembuatan akta itu harus dalam wilayah kewenangan dari pejabat umum yang membuat akta itu, artinya tidak boleh dibuat oleh pejabat yang tidak mempunyai kewenangan untuk itu dan ditempat itu. C. Pertanggungjawaban Notaris Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan undang undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu. 42 Hal tersebut diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata, sebagai berikut : Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Menurut pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:43
42 43
AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, cet.2, Diapit Media, Jakarta, 2002, hlm.77. Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, cet.1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.3.
Universitas Sumatera Utara
34
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan 2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian) 3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian Menurut Hans Kelsen, terdapat empat macam pertanggungjawaban, yaitu:44 a. Pertanggung jawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri; b. Pertanggung jawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain; c. Pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian; d. Pertanggung jawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan. Selanjutnya Shidarta menjelaskan bahwa secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:45 1.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan
44
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Terjemahan Raisul Mutaqien, Nuansa & Nusamedia Bandung, 2006, hlm. 140. 45 Shidarta, Op.Cit., hlm. 73-79
Universitas Sumatera Utara
35
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUH Perdata, khususnya pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu: a. adanya perbuatan; b. adanya unsur kesalahan; c. adanya kerugian yang diderita; d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Yang
dimaksud
kesalahan
adalah
unsur
yang
bertentangan
dengan
hukum.Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat disengaja dan tidak disengaja atau karena lalai. Hal tersebut diatur dalam pasal 1366 KUHPerdata, sebagai berikut : “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
Universitas Sumatera Utara
36
Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum diatas merupakan tanggung jawab perbuatan melawan hukum secara langsung, dikenal juga dikenal perbuatan melawan hukum secara tidak langsung menurut Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata : Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Tanggung jawab tersebut berakhir, jika seseorang itu membuktikan bahwa dia tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab (Pasal 136 ayat (5) KUHPerdata). 2.
Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Menurut E. Suherman sebagaimana dikutip Sonny Pungus 46 , kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability” adalah penting, karena ada kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian.
46
Sonny Pungus, Teori Pertanggungjawaban, http://sonny-tobelo.blogspot.com/2010/12/teoripertanggungjawaban.html, diakses 28 Maret 2014.
Universitas Sumatera Utara
37
Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat. 3.
Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada konsumen.
4.
Prinsip tanggung jawab mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula
Universitas Sumatera Utara
38
para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualianpengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya pada keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Tanggung jawab adalah mutlak.47 5.
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Konsep pertanggungjawaban ini apabila dikaitkan dengan profesi notaris,
maka notaris dapat dipertanggung jawabkan atas kesalahan dan kelalaiannya dalam pelaksanaan tugas dan jabatannya. Notaris tidak bertanggung jawab atas isi akta yang dibuat di hadapannya, melainkan notaris hanya bertanggung jawab terhadap bentuk formal akta otentik sebagaimana yang ditetapkan oleh Undang-undang. 48
47
Ibid. Ima Erlie Yuana, Tanggungjawab Notaris Setelah Berakhir Masa Jabatannya terhadap Akta yang Dibuatnya Ditinjau dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Tesis, 48
Universitas Sumatera Utara
39
Tanggung jawab notaris bila dilihat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris adalah sangat erat kaitannya dengan tugas dan pekerjaan notaris. Dikatakan demikian oleh karena selain untuk membuat akta otentik, notaris juga ditugaskan dan bertanggung jawab untuk melakukan pendaftaran dan mensahkan (waarmerken dan legalisasi) surat-surat/akta-akta yang dibuat di bawahtangan. Pasal 1 UUJN dan Pasal 15 UUJN telah menegaskan, bahwa tugas pokok dari Notaris adalah membuat akta otentik dan akta otentik itu akan memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian yang sempurna. Hal ini dapat dilihat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, suatu bukti yangsempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. Disinilah letaknya arti yang penting dari profesi Notaris ialah bahwa ia karena undang-undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam otentik itu pada pokoknya dianggap benar.49 Notaris tidak hanya berwenang untuk membuat akta otentik dalam arti Verlijden, yaitu menyusun, membacakan dan menandatangani dan Verlijkden dalam
Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2010, hlm. 42. 49 Rahmad Hendra, Tanggungjawab Notaris Terhadap Akta Otentik yang Penghadapnya Mempergunakan Identitas Palsu di Kota Pekanbaru, Jurnal Ilmu Hukum Volume 3 No. 1, hlm. 9.
Universitas Sumatera Utara
40
arti membuat akta dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1868 KUHPerdata, tetapi juga berdasarkan ketentuan terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN, yaitu adanya kewajiban terhadap Notaris untuk memberi pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya. Notaris juga memberikan nasehat hukum dan penjelasan
mengenai
ketentuan
undang-undang
kepada
pihak-pihak
yang
bersangkutan. Pertanggungjawaban Notaris sebagai pejabat umum meliputi bidang: hukum privat,
hukum
pajak,
dan
hukum
pidana.
Ada
kemungkinan
bahwa
pertanggungjawaban disatu bidang hukum tidak menyangkut bidang hukum yang lain. Sebaliknya, tindakan yang menimbulkan tuntutan berdasarkan perbuatan melawan hukum (Pasal1365 KUHPerdata) dapat menimbulkan pengambilan tindakan dibidang hukum pidana. Pertanggungjawaban Notaris terutama terletak dibidang hukum privat. Abdul Ghofur Anshori menyebutkan bahwa dalam hubungannya dengan kebenaran materil, maka tanggung jawab notaris selaku pejabat umum dibedakan menjadi empat, yaitu :50 1. Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materil terhadap akta yang dibuatnya,
50
Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hlm. 16
Universitas Sumatera Utara
41
Tanggung jawabperdata terhadap kebenaran materil terhadap akta yang dibuatoleh notaris dilihat dari perbuatan melawan hukum, yang dapat dibedakan berdasarkan sifat aktif maupun pasif. Perbuatan melawan hukum yang bersifat aktif adalah melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Perbuatan melawan hukum yang bersifat pasif dalam arti tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Oleh karena itu, dalam hal ini unsur dari perbuatan melawan hukum adalah adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas, yaitu suatu pebuatan tidak saja melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain dan menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut: a.
Melanggar hak orang lain;
b.
Bertentangan dengan aturan hukum;
c.
Bertentangan dengan kesusilaan;
d.
Bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari.51
Menurut Ima Erlie Yuana, penjelasan UUJN menunjukan bahwa notaris hanya sekedar bertanggung jawab terhadap formalitas dari suatu akta otentik dan 51
Rahmad Hendra, Op.Cit, hlm. 17.
Universitas Sumatera Utara
42
tidak terhadap materi akta otentik tersebut. Hal ini mewajibkan notaris untuk bersikap netral dan tidak memihak serta memberikan semacam nasihat hukum bagi klien yang meminta petunjuk hukum pada notaris yang bersangkutan. Sejalan dengan hal tersebut maka notaris dapat dipertanggungjawabkan atas kebenaran materiil suatu akta bila nasihat hukum yang diberikannya ternyata dikemudian hari merupakan suatu yang keliru. Melalui konstruksi penjelasan UUJN tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa notaris dapat dimintai pertanggungjawaban atas kebenaran materiil suatu akta yang dibuatnya bila ternyata notaris tersebut tidak memberikan akses mengenai suatu hukum tertentu yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya sehingga salah satu pihak merasa tertipu atas ketidaktahuannya.Untuk itulah disarankan bagi notaris untuk memberikan informasi hukum yang penting yang selayaknya diketahui klien sepanjang yang berurusan dengan masalah hukum. Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa ada hal lain yang juga harus diperhatikan oleh notaris, yaitu yang berkaitan dengan perlindungan hukum notaris itu sendiri, dengan adanya ketidak hati-hatian dan kesungguhan yang dilakukan notaris, sebenarnya notaris telah membawa dirinya pada suatu perbuatan yang oleh undang-undang harus dipertanggungjawabkan. Jika suatu kesalahan yang dilakukan oleh notaris dapat dibuktikan, maka notaris dapat dikenakan sanksi berupa ancaman sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang.52 52
Ima Erlie Yuana, Op.Cit, hlm. 79-80.
Universitas Sumatera Utara
43
2. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materil dalam akta yang dibuatnya. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak luput dari kesalahan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.Kesalahan-kesalahan yang dilakukan notaris tersebut memungkinkan notaris berurusan dengan pertanggungjawaban secara hukum baik secara perdata, administratif. Maupun pidana. Jika ternyata bahwa dalam akta tersebut ada unsur memasukkan keterangan palsu, maka akta tersebut batal demi hukum, artinya hukum memandang tidak pernah terjadi perjanjian atau batal dengan sendirinya tanpa harus ada gugatan. Keadaan dikembalikan seperti keadaan semula sebelum ada perjanjian. Dalam hal ini berarti harus dibuktikan dulu apakah ada unsur tindak pidana dalam pembuatannya, berarti setelah tersangka diputus pidana.53 Ketentuan pidana tidak diatur di dalam UUJN namun tanggung jawab notaris secara pidana dapat dikenakan apabila notaris melakukan perbuatan pidana.UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan notaris terhadap UUJN sebagaimana ditentukan dalam Pasal 84 dan Pasal 85.Sanksi tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh notaris tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan (Pasal 84).Terhadap notarisnya sendiri dapat diberikan sanksi yang berupa
53
Putri A.R., Perlindungan Hukum Terhadap Notaris (Indikator Tugas-tugas Jabatan Notaris yang Berimplikasi Perbuatan Pidana). PT. Softmedia, Medan, 2011, hlm. 108.
Universitas Sumatera Utara
44
teguranlisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat (Pasal 85). Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 54 Selanjutnya Ilhami Bisri menyatakan bahwa suatu perbuatan yang tidak boleh dilakukan (dilarang) karena bertentangan dengan:55 a.
Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;
b.
Kepentingan
masyarakat
umum
atau
kepentingan
sosial,
yaitu
kepentingan yang lazim terjadi dalam perspektif pergaulan hidup antar manusia sebagai insane yang merdeka dan dilindungi oleh normanormamoral, agama, social (norma etika) serta hukum; c.
Kepentingan pemerintah dan Negara, yaitu kepentingan yang muncul dan berkembang dalam rangka penyelenggaraan kehidupan pemerintahan serta kehidupan bernegara demi tegak dan berwibawanya Negara Indonesia, baik bagi rakyat Indonesia adupun dalam pergaulan dunia.
54 55
Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 59 Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 40.
Universitas Sumatera Utara
45
Suatu peristiwa agar supaya dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan pidana harus memenuhi syarat-syarat seperti berikut:56 a.
Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.
b.
Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam UU. Pelakunya harus sudah melakukan sesuatu kesalahan dan harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.
c.
Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.
d.
Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya. Pembagian perbuatan pidana dalam KUHP terdiri dari “kejahatan” dan
“pelanggaran”. Pembentukan Undang-undang membedakan perbuatan atau tindak pidana atas “kejahatan” dan “pelanggaran”, berdasarkan kualifikasi tindak pidana yang sungguh-sungguh dan tindak pidana kurang sungguhsungguh. 3. Tanggung jawab notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris terhadap kebenaran materil dalam akta yang dibuatnya. Tanggung jawab notaris
56
Cansil dan Cristhine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007,
hlm. 38
Universitas Sumatera Utara
46
disebutkan
dalam
Pasal 65
UUJNyang
menyatakan
bahwa notaris
bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya, meskipun protokol notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol notaris. Menurut Ima Erlie Yuana 57 , tanggung jawab materiil terhadap akta yang dibuat dihadapan notaris perlu ditegaskan bahwa dengan kewenangan notaris dalam pembuatan akta otentik bukan berarti notaris dapat secara bebas sesuai kehendakya membuat akta otentik tanpa adanya para pihak yang meminta dibuatkan akta. Akta notaris dengan demikian sesungguhnya adalah aktanya para pihak-pihak yang berkepentingan, bukan aktanya notaris yang bersangkutan, karena itulah dalam hal terjadinya sengketa dari perjanjian yang termuat dalam akta notaris yang dibuat bagi mereka dan dihadapan notaris maka yang terikat adalah mereka yang mengadakan perjanjian itu sendiri, sedangkan notaris tidak terikat untuk memenuhi janji atau kewajiban apapun seperti yang tertuang dalam akta notaris yang dibuat dihadapannya dan notaris sama sekali diluar mereka yang menjadi pihak-pihak. Secara formil notaris bertanggungjawab atas keabsahan akta otentik yang dibuatnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 84 UUJN. Notaris tidak bertanggung jawab atas kelalaian dan kesalahan isi akta yang dibuat di hadapannya, melainkan Notaris hanya bertanggung jawab bentuk formal akta otentik sesuai yang diisyaratkan oleh undang-undang. Tanggungjawab
57
Ima Erlie Yuana, Op.Cit, hlm. 50.
Universitas Sumatera Utara
47
tersebut sebagai kesediaan dasariah untuk melaksanakan kewajibannya. Ruang lingkup pertanggungjawaban notaris meliputi kebenaran materil atas akta yang dibuatnya. Dengan demikian bahwa tanggungjawab formil notaris hanya terhadap keabsahan akta otentik yang dibuatnya, bukan terhadap isi akta tersebut. Oleh karena itu terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, agar lahir, tercipta atau terwujud adanya suatu akta otentik, yaitu: a.
Akta otentik harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang. Maksud dari bentuk yang ditentukan undang-undang dalam hal ini adalah bahwa akta tersebut pembuatannya harus memenuhi ketentuan undangundang, khusunya UUJN;
b.
Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Adapun yang dimaksud dengan pejabat umum adalah organ Negara, yang dilengkapi dengan kekuasaan umum, berwenang menjalankan sebagian dari kekuasaan Negara untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang hukum perdata. Kata ”dihadapan” menunjukkan bahwa akta tersebut dibuat atas permintaan seseorang, sedangkan akta yang dibuat ”oleh” pejabat umum karena adanya suatu kejadian, pemeriksaan, keputusan, dan sebagainya (berita acara rapat, protes wesel, dan lain-lain);
c.
Pejabat yang membuat akta tersebut harus berwenang untuk maksud itu di tempat akta tersebut dibuat. Berwenang (bevoegd) dalam hal ini khususnya menyangkut : (1) jabatannya dan jenis akta yang dibuatnya; (2) hari dan tanggal pembuatan akta; dan (3) tempat akta dibuat.
Universitas Sumatera Utara
48
Sanksi atas kesalahan notaris dalam menjalankan jabatannya diatur dalam UUJN, yaitu Pasal 84 dan Pasal 85. Pasa 84 menentukan bahwa tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan Bunga kepada Notaris. Selanjutnya sanksi yang diatur dalam Pasal 85 berupa: a.
teguran lisan;
b.
teguran tertulis;
c.
pemberhentian sementara;
d.
pemberhentian dengan hormat; atau
e.
pemberhentian dengan tidak hormat.
Sanksi dalam UUJN bersifat umum, sehingga terbuka untuk penerapan unusr pidana, sebab pengenaan sanksi pidana tidak diatur dalam UUJN. Hal ini bukan berarti bahwa notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak bersinggungan dengan hukum pidana. Tindak pidana yang berhubungan
Universitas Sumatera Utara
49
dengan jabatan notaris adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP yang dikaitkan dengan Pasal 55 KUHP. 58 4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik notaris. Hubungan kode etik notaris dan UUJN memberikan arti terhadap profesi notaris itu sendiri. UUJN dan kode etik notaries menghendaki agar notaris dalam menjalankan tugasnya, selain harus tunduk pada UUJN juga harus taat pada kode etik profesi serta harus bertanggung jawab terhadap masyarakat yang dilayaninya, organisasi profesi (Ikatan Notaris Indonesia atauINI) maupun terhadap negara. Apabila notaris melakukan perbuatan pidana, UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh notaris. Abdul Kadir Muhammad sebagaimana dikutip Abdul Ghofur Anshori 59 , Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya harus bertanggung jawab, artinya : a) Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik danbenar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak berkepentingan karena jabatannya. b) Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak para pihak yang
58 59
Putri A.R., Op.Cit, hlm. 109. Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hlm. 49.
Universitas Sumatera Utara
50
berkepentingan dalam arti sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris menjelaskan kepada pihak yang berkepentingan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu. c) Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta notaris itu mempunyai kekuatan bukti sempurna. D. Pertanggungjawaban Werda Notaris terhadap Akta yang Dibuatnya Setiap orang yang mengemban atau memangku jabatan tertentu dalam bidang apapun sebagai pelaksanaan dari suatu struktur negara, pemerintah atau organisasi mempunyai batasan. Ada batasan dari segi wewenang, ada juga dari segi waktu, artinya sampai batas waktu kapan jabatan yang diemban oleh seseorang harus berakhir. Produk dari suatu jabatan, misalnya, surat keputusan yang dibuat dan ditandatangani oleh pemangku suatu jabatan, maka surat keputusan tersebut harus sesuai dengan wewenang yang dimiliki oleh jabatan tersebut dan surat keputusannya akan tetap berlaku (mengikat) meskipun pejabat yang menjabat suatu jabatan sudah tidak menjabat lagi. Oleh karena itu, setiap jabatan apa pun mempunyai batasan waktu pertanggungjawabannya, yaitu sepanjang yang bersangkutan menjabat oleh karena apabila jabatan yang dipangku seseorang telah habis, yang bersangkutan berhenti pula pertanggungjawabannya dalam jabatan yang pernah dipangkunya. Khusus untuk notaris, notaris pengganti, notaris pengganti khusus, dan pejabat sementara notaris pertanggungjawabannya tersebut mempunyai batas sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
51
tempat dan kedudukan wilayah jabatan. Berdasarkan konsep jabatan seperti tersebut, notaris sebagai suatu jabatan (sehingga aturan hukum mengenai notaris, yaitu UUJN, bukan undang-undang profesi notaris dan bukan undang-undang profesi jabatan notaris) mempunyai batasan dari segi wewenangnya, yaitu sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN. Sebagai pejabat, batasan wewenang tersebut adalah ketika masih menjadi pejabat sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Demikian juga dengan Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dibatasi oleh umur, sehingga Notaris memiliki batas waktu dalam menjalankan tugas jabatannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 8 UUJN ayat (1) huruf b, bahwa Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena telah berumur 65 tahun. Selanjutnya Pasal 8 UUJN ayat (2) menyatakan bahwa ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diperpanjang sampai berumur 67 tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan. Namun demikian sesuai dengan ketentuan batas waktu dalam menjalankan tugas jabatannya, tidak dijelaskan mengenai batas waktu pertanggungjawaban notaris terhadap akta yang dibuatnya. Bahkan Pasal 65 UUJN menentukan bahwa: Notaris, Notaris Pengganti,
Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris
bertanggungjawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun Protokol Notaris telah diserahkan dan dipindahkan kepada pihak penyimpan Protokol Notaris.
Universitas Sumatera Utara
52
Memperhatikan ketentuan Pasal 65 UUJN tersebut, maka walaupun notaris sudah berakhir masa jabatannya, namun tetap bertanggungjawab terhadap akta yang dibuatnya. Oleh karena itu terdapat kerancuan mengenai batas pertanggung jawaban Notaris berdasarkan pada Pasal 65 UUJN yakni meskipun semua akta yang dibuat oleh Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol Notaris, walaupun sudah berhenti atau tidak menjabat lagi sebagai Notaris masih harus bertanggung jawab sampai hembusan nafas terakhir. Sehingga yang sesuai dengan batasan waktu pertanggungjawaban, jika Notaris sudah tidak menjabat lagi meskipun
yang Notaris tersebut masih hidup tidak dapat dimintai lagi
pertanggungjawaban dalam bentuk apapun.Notaris penyimpan Protokol wajib memperlihatkan atau memberikan fotocopy dari minuta akta yang diketahui sesuai dengan aslinya oleh Notaris penyimpan protokol atau oleh Majelis Pengawas Daerah untuk protokol yang telah berumur 25 tahun atau lebih (sesuai dengan Pasal 63 ayat (5) UUJN). Berdasarkan pengertian tersebut tidak sesuai dengan makna bahwa akta Notaris sebagai akta otentik yang mempunyai nilai pembuktian yang sempurna.60 Penyimpanan protokol Notaris oleh Notaris pemegang protokol merupakan suatu upaya untuk menjaga umur yuridis akta Notaris sebagai alat bukti yang sempurna bagi para pihak atau ahli warisnya tentang segala hal yang termuat didalam akta tersebut. Akta Notaris dalam bentuk salinan akan selamanya ada jika disimpan oleh yang bersangkutan dan dalam bentuk minuta juga akan selamanya ada yang 60
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm, 53.
Universitas Sumatera Utara
53
disimpan oleh Notaris sendiri atau oleh Notaris pemegang protokol atau oleh Majelis Pengawas. Notaris meninggal dunia tapi akta Notaris akan tetap ada yang mempunyai umur yuridis dan melebihi umur biologis Notaris sendiri. Dengan demikian pertanggung jawaban Notaris sepanjang masih mempunyai wewenang untuk menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris. Apabila dikaitkan dengan teori tanggung jawab, bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Notaris merupakan akibat lebih lanjut dari pelaksanaan Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya, yang merupakan hak dan kewajiban yang diberikan peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga tanggung jawab yang digunakan dalam UUJN adalah tanggung jawab berdasarkan kesalahannya, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Notaris dapat dimintakan pertanggung jawaban atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja melakukan perbuatan tersebut dan menimbulkan kerugian bagi para pihak. Prinsip pertanggung jawaban yang dipergunakan adalah pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan.Notaris dapat dimintakan pertanggung jawabannya apabila terdapat unsur kesalahan yang dilakukannya. Perlu diadakannya pembuktian terhadap unsur-unsur kesalahan yang dibuat oleh Notaris tersebut, yaitu meliputi: a.
Hari, tanggal, bulan, dan tahun menghadap;
b.
Waktu (pukul) menghadap;
Universitas Sumatera Utara
54
c.
Tanda tangan yang tercantum dalam minuta akta.61 Ketentuan pada Pasal 65 UUJN yang kabur atau tidak menjelaskan batasan
waktu pertanggungjawaban Notaris yang telah berhenti menjabat ini menimbulkan implikasi hukum yang merupakan akibat yang tidak langsung karena adanya peraturan perundang-undangan yang tidak jelas dalam menjelaskan batasan waktu pertanggungjawaban Notaris yang telah berhenti menjabat terhadap akta yang pernah dibuat. Akibatnya, Notaris walaupun telah berhenti menjabat tetap dimintai pertanggungjawaban terkait akta yang dibuatnya. Akibat lain dengan adanya ketentuan Pasal 65 UUJN ini, Notaris dalam menjalankan jabatannya harus bekerja dengan hati-hati agar tidak terkena permasalahan suatu saat nanti terhadap akta yang pernah dibuat. Apabila Notaris tidak melaksanakan tugas jabatannya dengan baik, maka Notaris tersebut harus bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi para pihak. Dampak negatif dengan adanya ketentuan pada Pasal 65 UUJN, bagi Notaris yang sungguh-sungguh dalam menjalankan tugas dan jabatannya harus tetap bertanggung jawab jika terjadi permasalahan suatu saat nanti. Sehingga dengan adanya ketentuan ini Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya akan “waswas” atau tidak tenang karena walaupun telah berhenti menjabat tetap bisa terkena masalah suatu saat nanti jika Notaris tidak hati-hati dalam menjalankan tugas dan
61
Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 192.
Universitas Sumatera Utara
55
jabatannya. Sedangkan dampak negatif bagi para pihak, bahwa para pihak yang hanya menuruti Notaris, akan merugikan dirinya-sendiri suatu saat nanti. Namun begitu ketentuan pada Pasal 65 UUJN tidak hanya mempunyai dampak negatif saja, melainkan memiliki dampak positif yakni bagi Notaris yaitu Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya mempunyai semangat untuk bekerja dengan baik sesuai dengan prosedur yang berlaku dan didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Sedangkan dampak positif bagi masyarakat bahwa dengan adanya ketentuan ini masyarakat menjadi terlindungi. Apabila jika didasarkan bahwa pertangungjawaban Notaris melekat sampai Notaris meninggal. Jika Notaris tersebut telah meninggal dan akta tersebut dipermasalahkan oleh para pihak, maka yang akan bertanggung jawab secara perdata dibebankan kepada ahli waris dari Notaris tersebut dan ketentuan yang digunakan oleh para pihak untuk menggugat ahli waris secara perdata yakni perbuatan melawan hukum.62 Jika
dikaitkan
dengan
permasalahan
terkait
batasan
waktu
pertanggungjawaban Notaris yang telah berhenti dengan hormat terhadap akta yang pernah dibuat, bahwa apabila Notaris telah meninggal dan akta yang dibuat oleh Notaris tersebut menimbulkan sengketa yang akhirnya Notaris harus bertanggung jawab atas akta tersebut.
62
Agri Fermentia Nugraha, Pertanggungjawaban Notaris yang Berhenti dengan Hormat (Setelah Berumur 65 Tahun) Terhadap Akta yang Dibuat (Analisis Pasal 65 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris). Naskah Publikasi Jurnal. Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2013, hlm. 15-16.
Universitas Sumatera Utara
56
Menurut Agri Fermentia Nugraha 63 , batasan waktu yang ideal terkait pertanggungjawaban Notaris yang berhenti dengan hormat yakni sebagai berikut: 1) Didasarkan pada Ketentuan Daluwarsa. a) Terkait tanggung jawab perdata dapat didasarkan pada Pasal 1967 BW bahwa segala tuntutan hukum hapus dengan lewatnya waktu 30 (tiga puluh) tahun. Kemudian jika dikaitkan dengan pertanggungjawaban Notaris yang berhenti dengan hormat (setelah berumur 65 tahun) maka Notaris tidak bertanggung jawab ketika sudah berumur 95 tahun. Hal ini dikarenakan apabila Notaris tersebut berhenti menjabat pada umur 65 tahun, kemudian umur 65 tahun tersebut ditambah dengan lewatnya waktu berdasarkan Pasal 1967 BW yakni 30 tahun. Berdasarkan penambahan tersebut Notaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban setelah berumur 95 tahun. Menurut Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, dalam buku Ke-4 BW, antara lain diatur tentang daluwarsa, bahwa:64 1.
Daluarsa menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu kewajiban atauyang menyebabkan hak menuntut seseorang menjadi gugur, praescriptio (bahasa Latin) dan extinctieve verjaring (bahasa Belanda)
2.
Daluarsa
menyebabkan
seseorang
memperoleh
suatu
hak
tertentu.Daluarsa ini mengharuskan adanya itikad baik dari orang yang
63
Ibid, hlm. 22-25. Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2005, hal.205 64
Universitas Sumatera Utara
57
akan
memperoleh
hak
tersebut,
usucapio
(bahasa
Latin)
dan
acquistieveverjaring (bahasa Belanda). Selanjutnya C.S.T. Kansil menyatakan bahwa lembaga lewat waktu (daluwarsa) dapat dibedakan sebagai berikut:65 1.
Lewat waktu untuk memperoleh hak milik. Dalam hukum perbendaan, seorang bezitter yang jujur atas suatu benda yang tidak bergerak lama kelamaan dapat memperoleh hak milik atas benda tersebut. Apabila ia dapat menunjukkan suatu titel yang sah, maka dengan lewatnya waktu dua puluh tahun lamanya sejak ia mulai menguasai benda tersebut, ia menjadi pemilik yang sah dari benda tersebut.
2.
Lewat waktu untuk dibebaskan dari suatu tuntutan. Oleh Undang-undang ditetapkan bahwa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, setiap orang dibebaskan dari semua penagihan atau tuntutan hukum. Hal ini berarti bila seseorang digugat untuk membayar utang yang sudah lebih dari tiga puluh tahun lamanya, ia dapat menolak gugatan itu dengan hanya mengajukan bahwa ia selama tiga puluh tahun belum pernah menerima tuntutan atau gugatan itu.
Selanjutnya Darwan Prinst menyatakan bahwa daluwarsa (verjaring) atau lewat waktu adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau dibebaskan dari sesuatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang (Pasal 1946 KUHPerdata). Seseorang 65
C. S. T Kansil, Modul Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, hal.257
Universitas Sumatera Utara
58
tidaklah dapat memperoleh sesuatu hak karena daluwarsa, bila waktunya belum tiba. Akan tetapi, seseorang dapat melepaskan sesuatu hak yang diperolehnya karena daluwarsa.66 Pasal 1967 KUHPerdata menentukan:“segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yangbersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh (30) tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagipula tak dapatlah dimajukan terhadapnya suatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.” Daluwarsa sebagai alat dibebaskan dari suatu kewajiban, yaitu hapusnya segala hak untuk mengajukan tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan setelah lewat waktu 30 (tiga puluh) tahun. Untuk menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah menunjukkan suatu alas hak atas pemilikannya. Terhadapnya juga tidak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan itikadnya yang buruk (Pasal 1967 KUHPerdata). b) Terkait tanggung jawab pidana dapat didasarkan pada Pasal 78 ayat (1) angka 3 KUH Pidana, bahwa kewenangan menuntut pidana hapus setelah 12 (dua belas) tahun dengan ancaman pidana penjara lebih dari 3 tahun. Maka Notaris tidak dapat dimintai pertanggung jawaban ketika berumur 77 (tujuh puluh tujuh) tahun. Hal ini dikarenakan pasal yang digunakan untuk menuntut 66
Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 73
Universitas Sumatera Utara
59
Notaris adalah Pasal 263, dan 264 KUH Pidana yang dapat dipidana penjara selama-lamanya 6 tahun. Maka berdasarkan penambahan tersebut Notaris tidak dapat dimintai pertanggung jawaban setelah berumur 77 tahun. 2) Pertanggungjawaban Notaris adalah sampai seumur hidup. Walaupun Notaris tersebut telah berhenti dari jabatannya, Notaris tetap bertanggungjawab seumur hidup terhadap akta yang pernah dibuatnya. Hal ini didasarkan bahwa kehadiran Notaris untuk membuat akta otentik sebagai alat bukti sempurna bagi para pihak. Oleh karenanya Notaris dalam membuat akta harus memenuhi standar prosedur berdasarkan ketentuan perundangan-undangan, sehingga pertanggungjawaban Notaris terhadap akta yang dibuatnya harus melekat seumur hidup pada diri Notaris. Hasil penelitian Agri Fermentia Nugraha
67
menunjukkan ada narasumber
menyatakan bahwa ketentuan mengenai Pasal 65 UUJN sudah jelas terkait batas waktu pertanggungjawaban Notaris karena pertanggungjawaban Notaris ialah sampai Notaris tersebut meninggal. Walaupun di Pasal 65 UUJN tidak menunjukkan batas waktu pertanggungjawaban, Notaris harus tetap bertanggung jawab sampai meninggal terhadap akta yang pernah dibuatnya. 3) Pertanggungjawaban Notaris hanya pada saat masih mengemban jabatannya. Notaris yang telah berhenti dengan hormat, Notaris tidak harus bertanggung jawab terhadap akta yang dibuat. Hal ini didasarkan pada teori tanggung jawab 67
Agri Fermentia Nugraha, Op.Cit, hlm. 9.
Universitas Sumatera Utara
60
jabatan, bahwa seseorang harus bertanggung jawab terhadap kesalahannya yang dilakukan terkait kewenangannya. Sehingga seseorang harus bertanggung jawab atas kesalahannya ketika orang tersebut masih menjabat. Namun ketika orang tersebut sudah tidak menjabat lagi, maka orang tersebut tidak harus bertanggung jawab terkait jabatannya yang pernah dipangkunya. Hasil penelitian Agri Fermentia Nugraha 68 juga menunjukkan ada narasumber menyatakan bahwa ketentuan Pasal 65 UUJN terkait batasan waktu pertanggungjawaban masih belum jelas. Sebab dalam Pasal 65 UUJN tidak dijelaskan secara tegas, sehingga sampai saat ini Notaris memberikan penafsiran bahwa Notaris bertanggung jawab terhadap akta yang dibuat walaupun telah berhenti menjabat harus bertanggung jawab seumur hidup. Oleh karena belum jelasnya ketentuan Pasal 65 UUJN terkait batas waktu pertanggungjawaban Notaris yang telah berhenti menjabat, maka semestinya Notaris yang telah tidak menjabat lagi harusnya tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas akta yang dibuatnya. Batas waktu tanggung jawab Notaris seharusnya hanya dapat diminta sepanjang Notaris masih berwenang dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sebagai seorang Notaris atau terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris yang dilakukan demikian juga sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada Notaris hanya sepanjang memiliki kewenangan melaksanakan tugas Jabatan sebagai Notaris atau sebelum Notaris 68
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
61
tersebut dinyatakan berhenti dengan hormat. Berdasarkan konstruksi tanggung jawab seperti hal tersebut, maka tidak ada lagi Notaris yang diminta tanggung jawab lagi setelah yang bersangkutan berhenti dengan hormat dari jabatannya bahkan jika perlu dibatasi mengenai batasan tanggung jawab seorang Notaris dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu kejelasan dalam UUJN tentang batas waktu pertanggungjawaban notaris terhadap akta yang dibuatnya. Hal ini perlu untuk memperoleh kepastian hukum bagi notaris yang telah berakhir masa jabatannya. Dalam hal ini, sesuai dengan kewenangan jabatan, maka selayaknya batas pertanggungjawaban notaris terhadap akta yang dibuatnya adalah pada saat menjabat sebagai notaris, karena akta yang dibuatnya adalah berdasarkan kewenangan jabatan. Setelah notaris habis masa jabatannya, maka notaris tidak lagi dapat diminta pertanggungjawabannya terhadap akta yang dibuatnya.
Universitas Sumatera Utara