BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Dasar 2.1.1 Pemilihan Umum Pemilu adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk
mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.
menurut UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Pemilu adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian kekuasaan tertinggi dari suatu negara bersumber atau berasal dari rakayat,para pemimipin Negara pun dipilih atas kehendak rakyat. (Zainul 2005 : 541) Pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia berdasarkan pada landasan sebagai berikut : a. landasan Idiil yaitu Pancasila : Sila ke empat Pancasila yaitu : Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. b. Landasan Yuridis – Konstitusional, yaitu UUD 1945 :Pemilihan umum berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, sereta jujur dan adil. Asas pemilu ini bisa di sebut Luber Jurdil yang merupakan hak setiap warga negara Indonesia dalam memiliki wakil-wakil rakyat. (Adin 2008 : 09) 7
Dalam pelaksanaannya, pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum bebas rahasia, jujur dan adil, mengenai asas yang di maksud akan di jelaskan sebagai berikut : 1) Langsung : Rakyat sebagai pemilih berhak untuk secara langsung memberikan suaranya menurut hati nuraninya tanpa perantara dan tanpa ada paksaan. 2) Umum : Pemilihan mengandung makna secara menyeluruh bagi semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan tanpa membeda – bedakan suku, agama, ras, golongan kedaerahan, pekerjaan atau status sosial. 3) Bebas : Setiap warga negara berhak memilih siapapun berdasarkan hati nuraninya, tanpa adanya pengaruh tekanan, ancaman , paksaan, dari siapapun dan dengan apapun, serta dengan menggunakan haknya di jamin keamanannya dalam melakukan pilihannya. 4) Rahasia : Para pemilih di jamin oleh aparatur dalam memberikan suaranya untuk tidak di ketahui oleh siapapun dan dengan jalan apapun dalam menentukan pilihannya. 5) Jujur : Dalam pelaksanaan pemilhan umum setiap penyelenggara aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih dan semua
8
yang terkait harus bersifat jujur tanpa ada kecurangan atau manipulasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6) Adil : Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan ang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun. (Adin 2008 : 11) Dalam pemilihan umum terdapat peraturan perundang – undangan yang telah di tetapkan oleh pemerintah seperti yang telah di jelaskan dalam Undang – Undang RI No 15 tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan umum, kemudian pada pasal 2 dijelaskan bahwa penyelengara pemilu berpedoman pada asas : a) mandiri, b) jujur, c) adil, d) kepestian hukum, e) tertib, f) kepentingan umum, g) keterbukaan, h) proporsionalitas, i) profesionalitas, j) akuntabilitas, k) efiseinsi, l) dan efektifitas. (Peraturan Perundang-undangan RI No 15 Tahun 2011) 2.1.2 Partai Politik Pengertian Menurut UU No.2 Tahun 2008 tentang partai politik, bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Secara umum partai politik adalah suatu organisasi yang disusun secara rapi dan stabil yang dibentuk oleh sekelompok orang secara sukarela
9
dan mempunyai kesamaan terlaksananya suatu usaha atau keadaan yang di kehendaki (Zainul 2006 :53) Kemudian menurut Carl J. Friedrich: Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil. Menurut R.H. Soltou Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satukesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka, Dan menurut Miriam Budiardjo bahwa Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan citacita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakankebijakan mereka. (Budiarjo 1989 :15) 2.1.3 Partisipasi Politik Secara umum partisipasi politik Budiardjo mengikhtisari melalui toeri Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: political Participation in Developing Countries : partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang
10
bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang di maksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadic, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. (Budiardjo, 2001 : 184) Dalam analisis moderen partisipasi politik adalah : merupakan suatu masalah yang penting, yang akhir-akhir ini banyak dipelajari terutama dalam hubbungannya dengan Negara-negara yang sedang berkembang. Menurut Herbert McClosky Partisipasi politik adalah : kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung dan tidak langsung,dalam proses pembentukan kebijakan umum. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan siaran pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan dalam (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. (Budiardjo, 2001 : 183). 2.1.4 Pengertian Gender Kata gender dalam istilah bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Inggris, yaitu „ Gender ‟. Jika di lihat dalam kamus bahasa Inggris, tidak secara jelas di bedakan pengertian anatar sex dan gender. sering kali gender di persamakan dengan seks jenis kelamin laki- laki dan perempuan. (Nugroho 2011 : 01)
11
Di sadari bahwa gender merupakan isu baru bagi masyarakat, sehingga menimbulkan berbagai penafsiran, dan respon yang tidak proporsional tentang gender. Salah satu faktor yang mempengaruhi adanya kesenjangan gender adalah bermacam-macamnya tafsiran tentang pengertian gender dalam kaitannya dalam usaha emansipasi kaum perempuan. Setidak-tidaknya ada beberapa penyebab terjadinya ketidak jelasan dan kesalapahaman tersebut. Setelah sekian lama terjadi proses pembagian peran dan tanggung jawab terhadap kaum laki – laki dan perempuan yang telah berjalan bertahun - tahun bahkan berabad - abad maka sulit dibedakan pengertian antara seks ( laki- laki dan perempuan ) dengan gender. (Nugroho 2011 : 02 ) Istilah Gender pertama kali di perkenalkan Nugroho mengikhtisar beberapa teori antara lain oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang di dasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Dalam ilmu sosial orang yang juga sangat berjasa dalam mengembangkan istilah dan pengertian gender ini adalah Ann Oakley ( 1972 ). Sebagaimana Stoler , Oakley mengartikan Gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia. (Nugroho 2011 :02 ). ,Pada sumber lain Oakley ( 1972 ) dalam sex dan gender and society. Menuturkan bahwa gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis merupakan perbedaan jenis kelamin ( sex ) adalah kodrat
12
Tuhan maka secara permanen berbeda dengan pengertian gender. Gender merupakan behavioral differences ( perbedaan perilaku ) anatara laki - laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan di ciptakan oleh manusia ( bukan kodrat) melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Dalam The Cultural Contrucion of Sexualiti sebagaimana yang diuraikan oleh Caplan ( 1987 ) bahwa behavioral differences ( perbedaan perilaku ) antara perempuan dan laki- laki bukanlah sekedar biologis, namun melalui proses cultural dan sosial. Dengan demikian, gender dapat berubah dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, bahkan dari kelas ke kelas, sedangakan jenis kelamin akan tetap tidak berubah. (Nugroho 2011: 03 ) 2.2. Affirmative Action 2.2.1 Pengertian Affirmative Action. Affirmative action terdiri dari kata affirmative dan action Affirmative berarti pengakuan positif, berupa program-program dan prosedur-prosedur yang secara nyata harus dibuat dan selanjutnya akan diidentifikasikan dan memperbaiki semua praktik pekerjaan yang cenderung terus mempertahankan pola-pola diskriminasi dalam pekerjaan. Sedangkan action berarti tindakan, yaitu tindakan yang harus diambil guna memungkinkan mereka yang telah disingkirkan dan atau sengaja tidak digubris untuk bersaing atau memperoleh akses terhadap pekerjaan-pekerjaan berdasarkan basis yang sama. (Gomes, 2003:69).
13
affirmatve action adalah terhadap affirmative ini adalah adalah persamaan dalam kesempatan dan persamaan terhadap hasil yang dicapai. Ketentuan tentang affirmative action diatur, yaitu dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia pasal 28 H ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pasal ini didasarkan atas kesadaran bahwa satu peraturan yang netral, yang diberlakukan sama kepada seluruh kelompok masyarakat yang berbeda keadaannya, akan menimbulkan kesempatan dan manfaat yang berbeda yang berdampak lahirnya ketidakadilan begitu pula halnya dengan permpuan berhak mendapat perlakuan dan kedudukan yang sama Dengan berbagai realita yang ada menyatakan bahwa perempuan telah ditindas oleh sebuah tradisi yang mengutamakan laki-laki, dan menganggap bahwa perempuan adalah makluk kelas dua yang ditakdirkan untuk mengukuhkan tradisi tersebut. (Musdah 2003 : 85 ). Affirmative action merupakan diskriminasi positif (positive discrimination) atau langkah-langkah khusus yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana terpenting untuk menerapkannya adalah hukum. Karena jaminan pelaksanaannya harus ada dalam Konstitusi dan UU. affirmative mempunyai tiga sasaran yaitu : 1. memeberikan dampak posisitif kepada suatu institusi agar lebih cakap memahami sekaligus mengeliminasi berbagai bentuk rasisme dan seksisme di tempat kerja
14
2. agar institusi tersebut mampu mencega terjadinya bias gender maupun bias ras dalam segala kesempatan 3. sifatnya lebih sementara tapi konsisten, ketika sasaran untuk mencapai kegiatan telah tercapai, dan jika kelompok yang telah dilindungi terintegrasi. Maka kebijakan tersebut bisa dicabut. (http://www.institutperempuan.or.id/?p=17, diakses pada 10 /10/2013) affirmatve action adalah terhadap affirmative ini adalah adalah persamaan dalam kesempatan dan persamaan terhadap hasil yang dicapai. Ketentuan tentang affirmative action diatur, yaitu dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia pasal 28 H ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pasal ini didasarkan atas kesadaran bahwa satu peraturan yang netral, yang diberlakukan sama kepada seluruh kelompok masyarakat yang berbeda keadaannya, akan menimbulkan kesempatan dan manfaat yang berbeda yang berdampak lahirnya ketidakadilan begitu pula halnya dengan permpuan berhak mendapat perlakuan dan kedudukan yang sama Dengan berbagai realita yang ada menyatakan bahwa perempuan telah ditindas oleh sebuah tradisi yang mengutamakan laki-laki, dan menganggap bahwa perempuan adalah makluk kelas dua yang ditakdirkan untuk mengukuhkan tradisi tersebut.(Musdah 2003 : 85 ). Dukungan terhadap affirmative action juga terdapat dalam Pasal 46 UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusi yaitu “Sistem pemilihan
15
umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan” (UU No 39/1999 tentang HAM). Maka negara berkewajiban membuat peraturan khusus bagi mereka yang karena kondisi dan rintangannya tidak dapat menerima manfaat dari ketentuan yang dabersifat netral tadi. Tindakan ini disandarkan pada fungsi hukum sebagai sarana untuk mencerminkan ketertiban dan keadilan, serta melakukan rekayasa sosial untuk merubah perilaku masyarakat, sementara islam tidak pernah memandang dan menilai perempuan sebagai masyarakat kelas dua dengan hak dan tanggung jawab lebih rendah dari kaum laki-laki. Nani Muhammad mewasiatkan agar orang tua mengutamakan perempuan kemudian mendidiknya dan menikahkannya, baginya surga. (Amaliah 2010: 83) 2.2.2 Affirmative Action Bersaing dengan Nilai Lainnya Dalam sistem manajemen SDM kerapkali terjadi persaingan nilai antara nilai efisiensi, daya tanggap politik, keadilan sosial, persamaan hak individu, yang biasanya berakhir dengan menempatkan nilai keadilan sosial pada posisi yang kurang menguntungkan. Nilai efisiensi dan politik tidak jarang menjadi pemenang utama dalam persaingan itu karena mendominasi pola pikir para manajer, baik di sektor publik maupun swasta. (Gomes, 2003:62)
16
Nilai-nilai utama yang saling bersaing dalam manajemen SDM tesebut meliputi 1. Responsiveness, berkaitan dengan pertanyaan, “Apakah itu merupakan kebutuhan-kebutuhan dan persoalan-persoalan yang benar-benar hendak diatasi?” 2. Efisiensi, berkaitan dengan pertanyaan, ”Berapa banyakkah biaya solusi tersebut dibandingkan dengan hasil yang akan diperoleh kembali?” 3. Efektivitas, berkaitan dengan pertanyaan, ”Apakah telah dicapai apa yang telah diputuskan dan/atau ditetapkan untuk dikerjakan?” 4. Keadilan sosial, merupakan nilai baru yang mulai mendapat perhatian dalam berbagai kebijaksanaan, terutama pada sektor publik, pada tahun 1960-an dan 1970-an, Penekanan nilai keadilan sosial dalam berbagai bentuk keputusan yang berkaitan dengan lapangan kerja di sektor publik. (Gomes, 2003:62) Penting bila ingin memberi warna khusus bagaimana mengolola dunia sebagai perempuan, lebih-lebih yang terkait dengan kaidah yang mengatur keturunan, tatanan masyarakat bahasa dan kebudayaan. kepercayaan diri yang tumbuh pada perempuan memungkinkan mengajak dunia lelaki untuk memimpin rakyat secara puitis, supaya tidak hanya meminati uang, persaingan kekuasaan. Keadilan seksual yang merupakan bagian dari keadilan sosial hanya dapat di wujudkan jika ada perbedaan konsepsi mengenai kebenaran serta nilai-nilai yang mengatur tatanan masyarakat. Maka
17
analisa wacana dan perubahan instrument budaya sama pentingnya dengan distribusi kekayaan materil. (Haryatmoko 2010 : 149) 2.3. Pengertian Dan Fungsi Legislatif 2.3.1 Pengertian legislatif Legislatif adalah : Lembaga yang merencanakan, mengatur dan membentuk seperangkat undang-undang atau peraturan yang mengikat semua pihak, rakyat atau pemerintah. melakukan kegiatan legislasi, anggaran dan pengawasan. Legeslatif. Yang melatarbelakangi adanya badan legeslatif (parlemen) ini karena adanya seperti yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut : 1.
Menurut Rousseau badan legeslatif adalah : Tentang volonte general atau generale will yang menyatakan bahwa rakyatlah yang berdaulat, rakyat yang berdaulat ini mempunyai kemauan.
2.
Miriam budiardjo badan legeslatif adalah : Dewan Perwakilan Rakyat di anggap merumuskan
kemauan rakyat atau kemauan umum ini
dengan jalan mengikat masyarakat. Undang-Undang yang dibuatnya mencermikan kebijkasanaan-kebijaksanaan itu. (Gaffar 2006 :280). 2.3.2 Fungsi legislatif Legeslatif mempunyai tiga fungsi yaitu : Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan. Adapun yang di maksud dengan tiga fungsi tersebut adalah sebagai berikut:
18
1. Legeslasi : Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. 2. Anggaran:Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. 3. Pengawasan : Fungsi pengawasan di laksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan UU APBN. (http://rizalm.blogspot.com/2012/06/tugas-dan-fungsi-dpr-
dewan-perwakilan.htm) 2.4 Representatif (Keterwakilan) dan Rekruitment 2.4.1 Pengertian representatif (Keterwakilan) Represntatif adalah orang-orang yang terpilih atau
perwakilan bersifat
mewakili.. Sebagai salah contoh adalah ketika seseorang yang berminat untuk mencalonkan diri sebagai masyarakat kemudian terpilih sebagai wakil rakyat dari daerah pilihnya. (Gaffar 2006 : 408) Representatif atau keterwakilan pada dasarnya adalah orang yang dipilih yang menjadi katerwakilan atau representatif namun pilihan tersebut semua didasrkan dan diserahkan pada masyarakat atau orang yang memilih karena pemilihan adalah penyerahan hak yang memilih kepada orang yang dipilih atau mencalankon diri, karena dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan dengan tegas, bahwa “kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh majelis
19
permusyrawatan rakyat, artinya rakyat pada dasarnya memiliki kekuasaan dalam kehidupan bernegara. (Gaffar 2006 : 281) a. Hakekat keterwakilan perempuan Perempuan adalah : manusia yang dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui, citra perempuan ini diperankan secara sempurna dengan posisi sentral sebagai IBU (Ikutan Bagi Ummat), salah satu unit inti dalam keluarga besar (extended family, bundo kanduang di Minangkabau). Perempuan adalah “tiang negeri” (al Hadist). Posisi ini adalah penghormatan mulia, “sorga terletak di bawah telapak kaki ibu” (al Hadist). (Ali 2002:856 ). Politik
adalah
:
segala
urusan
dan
tindakan
kebijakan
siasat
mengenaipemerintahan Negara atau pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, (Ali 2002:886 ). Sering kali kebanyakan orang menafsirkan gender dan perempuan itu adalah hal yang sama namun pemahaman
tersebut adalah pemahaman yang keliru,
perempuan di katakana Gender karena gender merupakan konstruksi sosial yang diperhadapkan dengan peristiwa sosial yang terjadi di masyarakat sehingga yang tejadi adalah perbedaan status dan peran bagi perempuan dan laki-laki yang saat ini peran publik lebih didomoinasi oleh laki-laki maka dari itu perlu di setarakan antara peran perempuan dan laki-laki sehingga jelas bahwa yang paling banyak dikupas dalam gender adalah peran perempuan bukan berarti gender itu adalah perempuan laki-laki pun demikian. (Dewi Yani 2012 )
20
Di sadari atau tidak bahwa perempuan mempunyai kesetaraan dengan lakilaki yang disebut gender. Sesuai dengan perundang-undangan di Negara kita lebih khsusnya mengenai UU No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang memberikan kuota 30% untuk keterwakilan perempuan. makin memberikan jaminan peluang bagi peningkatan keterwakilan perempuan diarena politik, mau tidak mau perempuan harus mempunyai keterwakilan dalam jabatan legeslatif, sehingga akan terjadi sebuah keseimbangan di legeslatif nanti. (UU No 10/2008 tentang Pemilihan Umum) c. Regulasi Keterwakilan perempuan Upaya mendorong keterwakilan perempuan dalam politik terus disuarakan oleh sebagian orang, sehingga konstitusi atau komisi pemilihan umum telah mengambil keputusan untuk mengorbitkan perempuan disektor politik yang telah di atur berdasarkan UU No 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 02/2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat. (UU 02/2008 tentang Parpol) Pada pelaksanaan pemilu 2009, peraturan perundang-undangan yang telah mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota legislatifnya. Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 Pasal 8 butir d UU Nomor 10/2008, misalnya, menyebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu 21
persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Selain itu, Pasal 53 UU Pemilu Legislatif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon juga memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan.( KPU D Provinsi Gorontalo 2009) 2.4.2 Pengertian Rekruitment Rekruitment adalah perekrutan anggota DPR menjadi anggota MPR dengan beberapa ketentuan dan persyaratan yang telah di tetapkan ada yang sifatnya terbuka adapun yang sifatnya tertutup. Adapun beberapa pendapat para tentang pengertian Rekrutmen 1.
Flippo
(1984)
mendefinisikan
rekrutmen
sebagai
berikut:
“ Penarikan calon pegawai atau tenaga kerja adalah proses pencarian tenaga
kerja
yang
dilakukan
secara
seksama,sehingga
dapat
merangsang mereka untuk mau melamar jabatan –jabatan tertentu yang ditawarkan oleh organisasi”. 2.
Werther dan Davis(1996) mendifinisikan sebagai “ proses untuk mendapatkan
dan
untuk
merangsang
pelamar-pelamar
yang
mempunyai kemampuan agar mnejadi pegawai.” 3.
Menurut Musselman dan Hughes (1981) mendefinisikan sebagai “Penarikan calon pegagai adalah proses pembentukan sekumpulan pelamar
yang
memiliki
kualitas
tertentu.”
Dari ketiga definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penarikan calon pegawai adalah srangkaian kegiatan yang dilakukan secara terencana,guna memperoleh calon-calon pegawai yang memenuhi 22
syarat-syarat yang dituntut oleh suatu jabatan tertentu,yang dibutuhkan oleh suatu organisasi. 4.
Menurut Henry Simamora (1997:212) Rekrutmen (Recruitment) adalah serangkaian aktivitas mencari dan memikat pelamar kerja dengan motivasi, kemampuan, keahlian, dan pengetahuan yang diperlukan guna menutupi kekurangan yang diidentifikasi dalam perencanaan kepegawaian.
5.
Menurut Schermerhorn, 1997 Rekrutmen (Recruitment) adalah proses
penarikan sekelompok kandidat untuk mengisi posisi yang lowong. Perekrutan yang efektif akan membawa peluang pekerjaan kepada perhatian dari orang-orang yang berkemampuan dan keterampilannya memenuhi spesifikasi pekerjaan. ( Gaffar 2006 : 280) Jadi pada intinya bahwa rekruitment dapat disimpulkan yakni sebuah proses perekrutan. Berkut ini dapat di jelaskan proses perekrutan yakni :. a. Rekruitmen di MPR Rekruitmen di MPR bersifat tertutup artinya tidak secara langsung melibatkan masyarakat pemilih, dan tidak memberikan peluang yang sama bagi mereka yang memenuhi syarat untuk mengisi jabatan tersebut. Yang memenuhi syarat di sini adalah yang menyangkut umur, kecakapan, pendidikan dan lain sebagainya. . ( Gaffar 2006 : 281) b. Rekruitment di DPR.
23
Proses rekruitmen anggota DPR pada dasarnya sama dengan proses rekruitmen dengan MPR, Yaitu bersifat tertutup. Hal itu dapat terjadi karena peranan dari kalangan elit partai yang sangat dominan di dalam menentukan siapa yang akan di rekrut untuk menjadi anggota DPR. Hal itu dilakukan dengan menentukan ranking mereka yang dicalonkan. Tidak jarang calon yang sangat populer di suatu daerah yang di calonkan oleh partainya pada tingkat lokal di buat oleh DPD partai dan di tempatkan pada rangking yang kiranya tidak mungkin terpilih. Hal itu menimbulkan konflik antara tokoh partai di daerah dengan DPP partainya. Impilikasi lanjutan dari mekanisme seperti ini adalah, munculnya kecendurungan Jakarta sentries seperti terlihat dalam keanggotaan DPR selama ini ( Gaffar 2006 : 289 ). Anggota DPR memiliki sejumlah hak yang melekat pada legislasi yang umumnya dikenal di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Hak itu di perlukan untuk pelaksanaan tugas dan kewenangan DPR sehari-hari. Pasal 8 dari tata tertib DPR yang di buat pada 1983 menyatakan bahwa DPR mempunyai hak - hak tertentu, yaitu : a. Hak meminta keterangan kepada Presiden. b. Hak mengadakan penyelidikan. c. Hak untuk mengadakan perubahan atas rancangan Undang-Undang d. Hak untuk mengajukan pernyataan pendapat.
24
e. Hak untuk mengajukan/menganjurkan seseorang jika di tentukan oleh peraturan perundang- undangan. f. Hak mengajukan Rancangan Undang-Undang, usul inisiatif. Di samping itu, Anggota DPR memiliki hak-hak lain yaitu, hak mengajukan pertanyaan, hak protocol dan hak keuangan/administrasif ( Pasal 9 ayat 1 ). Anggota DPR juga tidak dapat dituntut ke pengadilan karena pernyataannya di dalam rapatrapat DPR, baik yang terbuka ataupun tertutup ( Pasal 9 ayat 2). Yang menjadi pertanyaan adalah, sebarapa jauhkah hak-hak tersebut dapat di wujudkan oleh DPR di dalam menjalankan tugasnya sehari-hari?. Tentu saja, bagi mereka yang mengikuti arah kritikan yang disampaikan oleh masyarakat terhadap DPR, akan melihat bahwa tidak jarang muncul kritikan bersifat sinis,terutama bagi mereka generasi muda aktivis, karena mereka dianggap tidak mampu mewujudkan hak-haknya. (Gaffar 2006)
25