UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS KELAYAKAN BAGI HASIL PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) SEBAGAI INSTRUMEN PEMERATAAN FISKAL DI INDONESIA
TESIS
RAHMAT KURNIAWAN 0806441604
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA Juni, 2010
HALAMAN JUDUL
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS KELAYAKAN BAGI HASIL PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) SEBAGAI INSTRUMEN PEMERATAAN FISKAL DI INDONESIA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains (M.Si) dalam Ilmu Administrasi
RAHMAT KURNIAWAN 0806441604
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCASARJANA Kekhususan: Administrasi dan Kebijakan Perpajakan
JAKARTA Juni, 2010
HALAMAN PERSEMBAHAN
Untuk Keluarga Kecilku Ruri dan Naufal Beserta Kedua Orang Tuaku
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Rahmat Kurniawan
NPM
: 0806441604
Tanda Tangan
:
Tanggal
:
5 Juli 2010
iii
TANDA PERSETUJUAN PEMBIMBING TESIS
Nama
: Rahmat Kurniawan
NPM
: 0806441604
Program Studi
: Pascasarjana Ilmu Administrasi
Judul Tesis
: Analisis Kelayakan Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai Instrumen Pemerataan Fiskal di Indonesia
Pembimbing Tesis
(Dr. Haula Rosdiana, M.Si)
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh: Nama
: Rahmat Kurniawan
NPM
: 0806441604
Program Studi
: Pascasarjana Ilmu Administrasi
Judul Tesis
: Analisis Kelayakan Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai Instrumen Pemerataan Fiskal di Indonesia
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Pascasarjana, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang
: Prof. Dr. Masliana Bangun Sitepu (
)
Pembimbing
: Dr. Haula Rosdiana, M.Si
(
)
Penguji
: Dr. Machfud Sidik, M.Sc
(
)
(
)
Sekretaris Sidang : Drs. Heri Fathurahman, M.Si
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 1 Juli 2010
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan kurnia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Analisis Kelayakan Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai Instrumen Pemerataan Fiskal di Indonesia”. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Pascasarjana Ilmu Administrasi, Kekhususan Administrasi dan Kebijakan Perpajakan, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia; 2. Dr. Roy V. Salomo, M.Soc.Sc., selaku ketua Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. 3. Prof Dr. Eko Prasodjo, Magr. Rer. Publ., Selaku Ketua Program Pascasarjana Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, dan Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein selaku ketua program sebelumnya; 4. Dr. Haula Rosdiana, M.Si., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini; 5. Prof. Dr. Masliana Bangun Sitepu, selaku Ketua Dewan Penguji, Drs. Heri Fathurahman, M.Si., selaku Sekretaris Dewan Penguji, dan Dr. Machfud Sidik, M.Sc., selaku Penguji Ahli tesis ini. 6. Dr. Raksaka Mahi, Dr. Hefrizal Handra, M.Soc.Sc., Dr. Roy V. Salomo, M.Soc.Sc., dan Dr. Harry Azhar Aziz, yang telah bersedia meluangkan waktu sebagai key informan dalam penyusunan tesis ini. vi
7. Bapak dan Ibu Pengajar di lingkungan Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis. 8. Segenap Staf Sekretariat di Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia, yang telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi di Universitas Indonesia. 9. Mas Diyan, Mbak Tanti dan Mas Chairul, rekan satu bimbingan, atas kekompakan yang diperlihatkan sejak awal bimbingan sampai selesainya sidang tesis ini. kepada Pak Gamal atas diskusi, kritik dan masukannya, serta teman-teman satu angkatan yang telah bersama-sama menimba ilmu selama masa perkuliahan dari awal sampai akhir. 10. Ayahanda Buchari dan Ibunda Wismar, orang tua penulis, dan Ayahanda Mertua Supradah dan Ibunda Mertua Tri Silati, yang telah memberikan do’a restu dan semangatnya bagi penulis. 11. Istriku tercinta, Ruri Wijayanti, STP dan anakku tersayang Khairul Naufal Akmal, yang senantiasa menjadi pemicu semangat penulis. 12. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu dan memberikan dorongan baik langsung maupun tidak langsung kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Penulis berharap semoga tesis ini dapat membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang administrasi kebijakan perpajakan, khususnya di bidang desentralisasi fiskal di Indonesia. Akhir kata, penulis menyadari bahwa apa yang tertuang dalam tesis ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan tesis ini senantiasa penulis harapkan.
Jakarta, 1 Juli 2010 Penulis
(Rahmat Kurniawan) vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Departemen Fakultas Jenis karya
: : : : : :
Rahmat Kurniawan 0806441604 Pascasarjana Ilmu Administrasi Ilmu Administrasi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepadaUniversitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Analisis Kelayakan Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai Instrumen Pemerataan Fiskal di Indonesia beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Jakarta Pada tanggal: 1 Juli 2010 Yang menyatakan
( Rahmat Kurniawan)
viii
ABSTRAK
Nama : Rahmat Kurniawan Program Studi : 0806441604 Judul : Analisis Kelayakan Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai Instrumen Pemerataan Fiskal di Indonesia Daftar Pustaka: 36 buku literatur, 18 jurnal dan karya ilmiah, 5 undang-undang, 4 lain-lain
Penelitian ini merupakan penelitian kebijakan yang mengkaji kemungkinan PPN menjadi salah satu komponen alternatif Dana Bagi Hasil (DBH) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia. Ada tiga tujuan dari penelitian ini, yaitu: (1) mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan belum diterapkannya bagi hasil PPN antara pusat dan daerah di Indonesia, (2) menganalisis kelayakan kebijakan bagi hasil PPN antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia, dan (3) menganalisis dampak kebijakan bagi hasil PPN terhadap pemerataan fiskal antar pemerintah daerah di Indonesia. Pendekatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan desain deskriptif. Namun ada satu pertanyaan penelitian, yakni pertanyaan penelitian pertama, memerlukan pemecahan secara kualitatif, terlepas dari dua pertanyaan penelitian utama. Hasil penelitian menyarankan bahwa bagi hasil PPN layak untuk dijadikan sebagai salah satu alternatif DBH di Indonesia, karena memenuhi semua kriteria transfer fiskal yang layak dalam konsep desentralisasi fiskal. Disamping itu, dari hasil simulasi yang dilakukan, pemerataan fiskal antara daerah yang ditimbulkan setelah bagi hasil PPN sedikit lebih baik dibandingkan dengan sebelum bagi hasil PPN. Kata kunci: Desentralisasi fiskal, bagi hasil pajak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
ix
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Rahmat Kurniawan Study Program : 0806441604 Title : The Analysis of Feasibility of Value Added Tax (VAT) Revenue Sharing as Fiscal Equalization Instrument in Indonesia References: 36 literatur handbook, 18 Journal article, 5 laws, 4 etc
This study is policy research that studying the possibility of Value Added Tax (VAT) became one of the alternative components revenue tax sharing between central and local governments in Indonesia. There are three objectives of this study, namely: (1) identify the factors that cause results not yet applied for VAT revenue sharing between central and local government in Indonesia, (2) analyze the feasibility of VAT revenue sharing policy between central and local governments in Indonesia, and (3) analyze the impact of the VAT revenue sharing policy towards regional intergovernmental fiscal equalization in Indonesia The main approach used in this research is descriptive quantitative approach to the design. But there is one research question that needs solving research qualitatively, apart from the two main research question. The results of this study suggest that VAT revenue sharing is feasible to be used as one alternative to revenue tax sharing in Indonesia, because it meets all reasonable criteria for fiscal transfers in the concept of fiscal decentralization. Besides, in the simulation, the fiscal equalization between the regions generated after the VAT revenue sharing a little better than before for the VAT revenue sharing. Key words: Fiscal decentralication, revenue tax sharing, Value Added Tax (VAT)
x
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... iii TANDA PERSETUJUAN PEMBIMBING TESIS ............................................... iv HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. v KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................... viii ABSTRAK ............................................................................................................. ix ABSTRACT ............................................................................................................ x DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv DAFTAR GRAFIK .............................................................................................. xvi DAFTAR FORMULA ........................................................................................ xvii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xviii BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ...................................................................................... 7 1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 7 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 8 1.5 Kerangka Berpikir Penelitian ....................................................................... 9 1.6 Sistematika Penulisan ................................................................................. 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 12 2.1 Konsep dan Teori Desentralisasi ................................................................ 12 2.1.1 Desentralisasi Secara Umum ................................................................ 12 2.1.2 Desentralisasi Fiskal ............................................................................. 14 2.1.3 Taxing Power Sharing dalam Desentralisasi Fiskal ............................. 15 2.2 Transfer Fiskal ............................................................................................ 17 2.2.1 Konsep Transfer Fiskal ......................................................................... 17 xi
Universitas Indonesia
2.2.2 Bentuk-bentuk Transfer Fiskal ............................................................. 21 2.2.3 Kriteria Transfer Fiskal ......................................................................... 22 2.3 Konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN) .................................................... 26 2.3.1 Legal Character ..................................................................................... 26 2.3.2 Sistem Pemungutan dalam Pajak Penjualan ......................................... 27 2.3.3 Pengertian Value Added ........................................................................ 29 2.3.4 Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) .......................................... 31 2.3.5 Tipe Pengenaan PPN atas Barang Modal ............................................. 31 2.3.6 Yurisdiksi Pemajakan dalam PPN ........................................................ 33 2.4 Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ............................................... 34 2.5 Proses Kebijakan Publik ............................................................................. 35 2.6 Penelitian Terdahulu ................................................................................... 40 2.7 Operasionalisasi Konsep............................................................................. 45 BAB 3 METODE PENELITIAN ....................................................................... 48 3.1 Pendekatan Penelitian.................................................................................. 48 3.2 Jenis Penelitian ............................................................................................ 49 3.3 Metode dan Strategi Penelitian.................................................................... 50 3.3.1 Sumber Data ......................................................................................... 50 3.3.2 Teknik Pengumpulan Data.................................................................... 50 3.3.3 Pengolahan dan Analisis Data .............................................................. 52 3.4 Hipotesis ...................................................................................................... 53 3.5 Key Informan ............................................................................................... 54 3.5.1 Teknik Pemilihan Key Informan (Sampling) ........................................ 54 3.5.2 Key Informan yang Dipilih ................................................................... 54 3.6 Proses Penelitian.......................................................................................... 55 Penentuan fokus dan objek penelitian ................................................................... 55 3.7 Penentuan Lokasi dan Objek Penelitian ..................................................... 56 BAB 4 BAGI HASIL PAJAK YANG TELAH DITERAPKAN DI INDONESIA ................................................................................................................ 57 4.1 Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ............................................. 57 4.1.1 Pengertian dan Konsep ......................................................................... 57 4.1.2 Mekanisme dan Penyaluran Dana Bagi Hasil....................................... 58 xii
Universitas Indonesia
4.2 Bagi Hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ......... 60 4.2.1 Pengertian dan Konsep ......................................................................... 60 4.2.2 Mekanisme dan Penyaluran Dana Bagi Hasil....................................... 62 4. 3 Bagi Hasil PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pasal 21 ... 64 4.3.1 Pengertian dan Konsep ......................................................................... 64 4.3.2 Mekanisme dan Penyaluran Dana Bagi Hasil....................................... 65 BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN........................................................ 67 1.1 Faktor-faktor Penyebab Belum Diterapkannya Bagi Hasil PPN di Indonesia .................................................................................................................... 67 1.1.1
Masih terbatasnya studi atau kajian tentang bagi hasil PPN. .......... 67
1.1.2
Kekhawatiran pemerintah dan para pakar akan efek horizontal
inequalization yang semakin melebar dari diterapkannya bagi hasil PPN .... 68 1.1.3
Belum adanya agenda dari pemerintah pusat untuk membagihasilkan
PPN kepada pemerintah daerah ..................................................................... 69 1.2 Analisis Kelayakan Bagi Hasil PPN di Indonesia ...................................... 71 1.2.1
Autonomy (Otonomi) ....................................................................... 84
1.2.2
Revenue Adequacy (Penerimaan yang Memadai) ........................... 91
1.2.3
Equity (Keadilan) ............................................................................ 98
1.2.4
Transparancy and Stability (Transparan dan Stabil) ..................... 102
1.2.5
Simplicity (Sederhana) .................................................................. 106
1.2.6
Insentif........................................................................................... 107
1.3 Dampak Bagi Hasil PPN terhadap Pemerataan Fiskal antar Pemerintahan Daerah di Indonesia ......................................................................................... 109 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 113 6.1 Kesimpulan ............................................................................................... 113 6.2 Saran ......................................................................................................... 114 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 115 LAMPIRAN ........................................................................................................ 120 DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ 134
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Tahap Analisis Kebijakan .................................................................. 37
Tabel 5.1. Data Konsumsi Rumah Tangga Propinsi di Indonesia Tahun 2007 dan 2008 ................................................................................................... 75 Tabel 5.2
Data Penerimaan PPN Propinsi (Gabungan Propinsi) di Indonesia Tahun Bayar 2007 dan 2008 .............................................................. 76
Tabel 5.3
Pasangan Data Konsumsi Rumah Tangga dan Penerimaan PPN Propinsi (Gabungan Propinsi) di Indonesia Tahun 2007 dan 2008 ... 78
Tabel 5.4
Model Summaryb Regresi Linier Sederhana Tahun 2008 ................. 81
Tabel 5.5
Coefficientsa Regresi Linier Sederhana Tahun 2008......................... 81
Tabel 5.6
Model Summaryb Regresi Linier Sederhana Tahun 2007 ................. 82
Tabel 5.7
Coefficientsa Regresi Linier Sederhana Tahun 2007......................... 83
Tabel 5.8
Jenis Pengeluaran Pemerintah Daerah Berdasarkan Fungsi Tahun 2004 ................................................................................................... 85
Tabel 5.9
Perkembangan Opini LKPD tahun 2006-2008 .................................. 90
Tabel 5.10 Sumber penerimaan daerah Pemerintah Propinsi Tahun 2008 (Milyar Rupiah) .............................................................................................. 92 Tabel 5.11 Sumber penerimaan daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Tahun 2008 (Milyar Rupiah) ................................................................................. 93 Tabel 5.12 Perkembangan Dana Transfer ke Daerah dalam APBN 2004-2008 (Miliar)............................................................................................... 94 Tabel 5.13 Ketimpangan Vertikal di Indonesia Tahun 2008 ............................... 97 Tabel 5.14 Selisih Alokasi Defenitif dengan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21 Tahun 2007-2009 ................. 105 Tabel 5.15 Indeks Williamson Konsolidasi Propinsi Sebelum Bagi Hasil PPN dan Sesudah Bagi Hasil PPN Tahun 2008....................................... 112
xiv
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Struktur Penerimaan pemerintah Daerah di Indonesia ..................... 2 Gambar 1.2. Skema Dana Bagi Hasil Pajak antara Pusat dan Daerah di Indonesia ........................................................................................... 5 Gambar 1.3. Kerangka Berpikir Penelitian ............................................................ 9 Gambar 2.1 Proses Kebijakan Publik ................................................................. 36 Gambar 2.2. Tahapan Kebijakan Publik.............................................................. 38 Gambar 3.2 Proses Penelitian ............................................................................. 55 Gambar 5.1. Plot Data Konsumsi Rumah Tangga dan Penerimaan PPN Tahun 2008 ..................................................................................... 79 Gambar 5.2 Plot Data Konsumsi Rumah Tangga dan Penerimaan PPN Tahun 2007 ..................................................................................... 80 Gambar 5.3 Mekanisme Pembahasan Alokasi Dana Belanja ke Daerah dalam APBN ................................................................................. 107
xv
Universitas Indonesia
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.1 Perbandingan Belanja APBD Per Bidang/Fungsi Belanja Terhadap Total Belanja APBD Se-Provinsi di Indonesia Tahun 2007-2008. ... 86 Grafik 5.2 Komposisi Belanja Berdasarkan Jenis Belanja Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2007-2009 ............................... 87 Grafik 5.3 Perkembangan Opini LKPD tahun 2006-2008 .................................. 91 Grafik 5.4 Alokasi bagi hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2008: ... 100 Grafik 5.5 Distribusi Penerimaan PPN per daerah di Indonesia Tahun Bayar 2008 ................................................................................................. 101 Grafik 5.6 Sebaran Bagi Hasil PPN dengan Menggunakan Basis Konsumsi pada Tahun 2008 ............................................................................ 111
xvi
Universitas Indonesia
DAFTAR FORMULA
Formula 2.1 Konsep Pertambahan Nilai pada Value Added Tax ....................... 30 Formula 2.2 Gross National Product Type pada Value Added Tax .................... 32 Formula 2.3 Net National Product Type pada Value Added Tax ........................ 32 Formula 2.4 Consumption Type pada Value Added Tax..................................... 33 Formula 5.1 Regresi Linear antara Konsumsi Rumah Tangga dan Penerimaan PPN di Indonesia ........................................................................... 74 Formula 5.2 Regresi Linear Sederhana antara Konsumsi Rumah Tangga dan Penerimaan PPN di Indonesia Tahun 2008 .................................... 81 Formula 5.3 Regresi Linear Sederhana antara Konsumsi Rumah Tangga dan Penerimaan PPN di Indonesia Tahun 2007 .................................... 83 Formula 5.4 Indeks Konsumsi Daerah .............................................................. 109 Formula 5.5 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menjadi Bagian Daerah .... 110 Formula 5.6 Indeks Weighted Coefficient Variation (CVW).............................. 110
xvii
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Pedoman Wawancara .................................................................. 121
Lampiran 2.
Penerimaan Konsolidasi Propinsi Sebelum Bagi Hasil PPN Per Propinsi di Indonesia Tahun 2008 (Rp Milyar) .................... 123
Lampiran 3.
Perhitungan Indeks Williamson Penerimaan APBD Konsolidasi Sebelum Bagi Hasil PPN Per Propinsi di Indonesia Tahun 2008 ............................................................. 124
Lampiran 4.
Perhitungan Bagi Hasil PPN (20%) antara Pusat dan Daerah Berbasis Konsumsi, untuk setiap Propinsi di Indonesia Tahun 2008 ............................................................................................. 125
Lampiran 5.
Penerimaan Konsolidasi Propinsi Setelah Bagi Hasil PPN (20%) Per Propinsi di Indonesia Tahun 2008 (Rp Milyar) ......... 126
Lampiran 6.
Perhitungan Indeks Williamson Penerimaan APBD Konsolidasi Setelah Bagi Hasil PPN (20%) Per Propinsi di Indonesia Tahun 2008 ............................................................................................. 127
Lampiran 7.
Perhitungan Bagi Hasil PPN (25%) antara Pusat dan Daerah Berbasis Konsumsi, untuk setiap Propinsi di Indonesia Tahun 2008 ............................................................................................. 128
Lampiran 8.
Penerimaan Konsolidasi Propinsi Setelah Bagi Hasil PPN (25%) Per Propinsi di Indonesia Tahun 2008 (Rp Milyar) ......... 129
Lampiran 9.
Perhitungan Indeks Williamson Penerimaan APBD Konsolidasi Setelah Bagi Hasil PPN (25%) Per Propinsi di Indonesia Tahun 2008 ............................................................................................. 130
Lampiran 10. Perhitungan Bagi Hasil PPN (30%) antara Pusat dan Daerah Berbasis Konsumsi, untuk setiap Propinsi di Indonesia Tahun 2008 ............................................................................................. 131 Lampiran 11. Penerimaan Konsolidasi Propinsi Setelah Bagi Hasil PPN (30%) Per Propinsi di Indonesia Tahun 2008 (Rp Milyar) ......... 132 Lampiran 12. Perhitungan Indeks Williamson Penerimaan APBD Konsolidasi Setelah Bagi Hasil PPN (30%) Per Propinsi di Indonesia Tahun 2008 ............................................................................................. 133 xviii
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Satu dasawarsa sudah terjadi perubahan yang sangat mendasar mengenai pola hubungan pusat dan daerah di Indonesia. Momentum otonomi daerah ini ditandai dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah digantikan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Berdasarkan undang-undang ini, daerah diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan
seluruh
fungsi
pemerintahan,
kecuali
kewenangan
pemerintahan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Penyerahan kewenangan yang cukup besar kepada daerah ini tentunya harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, atau yang lazim disebut “money follow function”, yang akan digunakan untuk membiayai pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangannya tersebut. Pasal 12 UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan: “urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasilan”. Terkait dengan itu, hubungan dalam bidang keuangan antara pusat dan daerah sebagaimana yang diatur dalam pasal 15 undang-undang ini meliputi: (a) pemberian sumber-sumber keuangan
untuk
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan
yang
menjadi
kewenangan pemerintah daerah, (b) pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintah daerah, dan (c) pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintah daerah. Hubungan dalam bidang keuangan antara pusat dan daerah ini selanjutnya diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang telah digantikan dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004. Berdasarkan pasal 5 UU No. 33 tahun 2004, sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain 1
Universitas Indonesia
2
pendapatan. Dana pembiayaan daerah bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran daerah (SILPA) tahun sebelumnya, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. PAD sebagai sumber pendapatan daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Sementara itu, dana perimbangan terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH) pajak dan sumber daya alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Untuk melihat secara jelas struktur penerimaan pemerintah daerah di Indonesia, digambarkan pada Gambar 1.1 di bawah ini. Gambar 1.1 Struktur Penerimaan pemerintah Daerah di Indonesia Sumber-Sumber Penerimaan Daerah
Pendapatan Daerah
PAD
Dana Perimbangan
Pembiayaan Daerah
Lain-lain Pendapatan
SILPA Sebelumnya
Pinjaman Daerah Pajak Daerah
Retribusi Daerah Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Lain-lain PAD yang Sah
Sumber:
Dana Bagi Hasil DBH SDA
DBH Pajak
Hibah Cadangan Daerah Dana Darurat
Dana Peny. dan Otsus
Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Bantuan dari Prop. DAU
DAK
Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
Universitas Indonesia
3
Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan menggunakan sumber penerimaan yang berasal dari PAD, sehingga daerah menjadi benar-benar otonom (Waluyo, 2007). Namun kondisi ideal tersebut tidaklah mudah untuk dicapai. Permasalahan yang dihadapi oleh daerah pada umumnya adalah keterbatasan kemampuan dalam menggali sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan komponen terbesar penyumbang PAD. Hal ini disebabkan basis-basis pajak potensial yang menghasilkan sumber penerimaan yang besar telah dikuasai oleh pusat. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya kontribusi PAD terhadap APBD, yaitu rata-rata hanya sebesar 16% (Departemen Keuangan, 2009). Disamping itu PAD dalam pembiayaan kebutuhan daerah di sebagian besar daerah kurang dari 10%, dan sangat bervariasi antar daerah dari 10% hingga 50% (Sidik, 2002). Sehubungan dengan penerimaan pajak di daerah, upaya penguatan sumber penerimaan daerah yang telah dicoba selama ini lebih terfokus kepada identifikasi sumber-sumber penerimaan (pajak-pajak) daerah baru dan kurang menyentuh sumber-sumber yang potensial (pajak pusat), misalnya dengan menambah pajak yang dibagihasilkan, seperti PPN yang selama ini belum dibagihasilkan (Simanjuntak, 2006). Akibat dari basis pajak dan potensi yang kecil yang dimiliki oleh daerah, banyak daerah berupaya keras mencari sumber penerimaan melalui pungutan-pungutan baru tanpa memikirkan dampaknya yang distorsif terhadap perekonomian. Lemahnya kapasitas fiskal daerah juga dapat dilihat dari gambaran consolidated revenue APBD dan APBN. Porsi PAD hanya sebesar 5% dari total consolidated revenue (total pendapatan dalam APBD kabupaten/kota + total pendapatan dalam APBD propinsi + penerimaan dalam negeri dalam APBN), di lain pihak pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah sekitar 30% dari total consolidated expenditures (total belanja dalam APBD kabupaten/kota + total belanja dalam APBD propinsi + belanja pemerintah pusat dalam APBN) (Departemen Keuangan, 2009). Kondisi ini berarti distribusi kewenangan perpajakan antara pusat dan daerah masih terjadi ketimpangan yang relatif besar. Sebagai perbandingan, consolidated revenue untuk developing countries Universitas Indonesia
4
(kelompok negara-negara berkembang), transition countries (kelompok negaranegara yang bertransformasi dari paham ekonomi sosialis menuju ekonomi pasar) dan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) Countries (kelompok negara-negara maju yang tergabung dalam organisasi OECD) masing-masing 9,27%, 16,59% dan 19,13%, sementara consolidated expenditure masing-masing 13,78%, 26,12% dan 32,41% (World Bank dalam Sidik, 2002). Fenomena di atas tentu tidak terlepas dari penguasaan sumber-sumber pajak potensial oleh pemerintah pusat, yang tentu saja ada argumentasi yang melatarbelakanginya.
Menurut
Sidik
(2002),
penguasaan
sumber-sumber
penerimaan pajak yang potensial oleh pemerintah pusat didasari dengan pertimbangan antara lain: perlunya kewenangan yang lebih besar dalam pemungutan pajak, dan perlunya efisiensi ekonomi (dalam kaitannya dengan administrasi pemungutan, mobilitas objek pajak, fungsi stabilisasi dan distribusi dari pajak). Faktor inilah yang menjadi alasan kuat bagi pemerintah pusat untuk memiliki basis pajak yang besar. Kondisi tersebut menyebabkan ketergantungan daerah terhadap transfer dana dari pusat, yang disalurkan melalui dana perimbangan semakin besar. Tujuan utama pemberian dana perimbangan dalam kerangka otonomi daerah adalah untuk pemerataan kemampuan fiskal pada tiap daerah (equalizing transfer) (Ehtisam, 2002). Menurut Davey (1988), secara umum dana perimbangan tediri dari bantuan umum (block grant) dan bantuan khusus (specific grant). Penggunaan DAU dan DBH (block grants) diserahkan pada kebijakan masing-masing daerah, sedangkan penggunaan DAK (specific grant) telah ditentukan oleh pemerintah pusat dengan kewajiban daerah penerima harus menyediakan 10% dana pendamping. Pada awal penerapannya, DAU banyak dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran rutin terutama untuk belanja pegawai sebagai dampak pengalihan status pegawai pusat menjadi pegawai daerah (Isdijoso dan Wibowo, 2002). Salah satu komponen dana perimbangan antara pusat dan daerah adalah Dana Bagi Hasil (DBH). DBH merupakan hak daerah atas pengelolaan sumbersumber penerimaan negara yang dihasilkan dari masing-masing daerah, yang Universitas Indonesia
5
besarnya ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara garis besar, DBH terdiri dari DBH perpajakan dan DBH sumber daya alam. Sampai saat ini, DBH perpajakan hanya meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 25/29 Orang Pribadi. Sementara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) belum dibagihasilkan. Untuk melihat dengan jelas skema dana bagi hasil pajak yang saat ini berlaku di indonesia, disajikan dalam gambar 1.2 berikut. Gambar 1.2. Skema Dana Bagi Hasil Pajak antara Pusat dan Daerah di Indonesia DANA BAGI HASIL PAJAK PAJAK
PBB
PPh Ps 25 dan 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh 21
BPHTB
Pusat (80%)
Daerah (20%)
Pusat (10%)
Daerah (90%)
Pusat (20%)
Daerah (80%)
Dibagi rata ke Kab/Kota (6.5%)
Provinsi (16.2%)
Dibagi rata ke Kab/Kota
Provinsi (16%)
Provinsi (8%)
Kab/Kota (64%)
Kab/Kota (12%)
Kab/Kota (64.8%) Insentif Kab/Kota (3.5%)
Sumber:
Biaya Pemungutan (9%)
Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
Dewasa ini, pajak merupakan sumber utama penerimaan negara dalam APBN. Kontribusi penerimaan perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 12,89% terhadap PDB tahun 2005, meningkat menjadi 13,58% tahun 2006, dan Universitas Indonesia
6
menjadi 14,43% tahun 2007. Namun tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 13,5%. Walaupun penerimaan pajak merupakan komponen penerimaan negara yang dominan (73,6%) dan juga sumber DBH yang terbesar (53,3%) bagi daerah, namun penerimaan tersebut yang langsung dikembalikan melalui skema bagi hasil kepada daerah ternyata hanya 6,3% dari total peneriman perpajakan (Departemen Keuangan: Nota APBNP 2009). Berdasarkan fakta tersebut, dalam konteks akademik masih dimungkinkan untuk meningkatkan porsi bagi hasil penerimaan perpajakan kepada daerah. Sesuai dengan skema di atas, salah satu jenis pajak yang belum dibagihasilkan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) meskipun merupakan penyumbang terbesar kedua (31,2%) setelah Pajak Penghasilan (52,2%) terhadap total penerimaan perpajakan nasional. Sesuai dengan tujuan kebijakan desentralisasi fiskal, yaitu diantaranya mengoreksi ketimpangan antar daerah (horizontal imbalances) dalam kemampuan keuangannya serta memberikan stimulus kepada daerah untuk meningkatkan kinerja keuangan, dirasa perlu untuk mencari alternatif sumber penerimaan lain yang selama ini diperoleh pusat namun belum dialokasikan secara langsung sebagai komponen DBH guna memaksimalkan pencapaian tujuan tersebut. Bagi hasil PPN merupakan salah satu alternatif untuk mencapai tujuan tersebut. Ada beberapa manfaat dari dilakukannya bagi hasil PPN antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Simanjuntak, 2006). Pertama, PPN adalah pajak yang tumbuh terus (growth tax) seiring pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan penerimaan PPN secara keseluruhan memberikan penerimaan yang lebih banyak bagi pemerintah pusat dan daerah. Kedua, pemerintah daerah akan mendapat insentif menarik dalam mobilisasi penerimaannya. Sebab, boleh dikatakan besarnya penerimaan PPN pada suatu wilayah menggambarkan intensitas kegiatan ekonomi daerah tersebut. Maka, daerah akan cenderung berkomitmen
tinggi
untuk
pertumbuhan
ekonominya,
sehingga
akan
meningkatkan basis pajak, yang berujung pada peningkatan potensi penerimaan keuangan. Ketiga, disparitas antar daerah dari bagi hasil PPN juga akan relatif lebih kecil dibandingkan dengan bagi hasil Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi. Universitas Indonesia
7
Berdasarkan manfaat yang akan diperoleh secara teoritis di atas, ditengahtengah fenomena kesulitan daerah dalam memenuhi kebutuhan fiskalnya dan pajak-pajak potensial yang dikuasai oleh pusat yang menyebabkan besarnya ketergantungan daerah terhadap transfer dana dari pusat, dengan melihat PPN sebagai salah jenis pajak terbesar dari aspek penerimaan, penulis dalam konteks academic exercise sudut pandang ilmu administrasi mencoba mengkaji kemungkinan penerimaan PPN dibagihasilkan kepada pemerintah daerah. Untuk itu, pokok permasalahan yang penulis ajukan adalah “seberapa besar kemungkinan PPN dijadikan sebagai salah satu alternatif dana bagi hasil antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia.”
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan
pokok
permasalahan
di
atas,
penulis
merumuskan
permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Apakah yang dapat diidentifikasi sebagai faktor-faktor yang menyebabkan belum diterapkannya bagi hasil PPN antara pusat dan daerah di Indonesia? 2. Bagaimana kelayakan kebijakan bagi hasil PPN antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia? 3. Bagaimana dampak kebijakan bagi hasil PPN terhadap pemerataan fiskal antar daerah di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan belum diterapkannya bagi hasil PPN antara pusat dan daerah di Indonesia. 2. Menganalisis kelayakan kebijakan bagi hasil PPN antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia. 3. Menganalisis dampak kebijakan bagi hasil PPN terhadap pemerataan fiskal antar daerah di Indonesia. Universitas Indonesia
8
1.4 Manfaat Penelitian Sebuah penelitian yang baik diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung yang ditinjau dari sudut pandang akademik dan praktis, begitu juga dengan penelitian ini. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat akademis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
melengkapi
penelitian-penelitian
sebelumnya yang mengkaji bagi hasil PPN secara khusus maupun penelitian di bidang desentralisasi fiskal secara umum. Penelitian mengenai bagi hasil PPN sebelumnya lebih menitikberatkan kepada dampak fiskal yang terjadi melalui mekanisme simulasi bagi hasil PPN antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini merupakan penelitian kebijakan, yang bersifat komprehensif. Disamping melakukan simulasi fiskal bagi hasil PPN untuk melihat pemerataan fiskal antar daerah yang ditimbulkan, penelitian ini juga mengkaji kemungkinan PPN menjadi salah satu komponen alternatif dana bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia dilihat dari kriteria kebijakan transfer fiskal yang layak dalam konsep desentralisasi fiskal. 2. Manfaat praktis Studi mengenai kebijakan bagi hasil PPN antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan wilayah praktis yang masih jarang dikaji secara ilmiah. Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai policy maker, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai salah satu referensi dalam upaya meningkatkan kinerja keuangan untuk merealisasikan keseimbangan fiskal secara vertikal maupun horizontal yang pada akhirnya diharapkan masyarakat dapat menerima pelayanan publik yang lebih baik.
Universitas Indonesia
9
1.5 Kerangka Berpikir Penelitian Adapun kerangka berpikir dalam penelitian ini disajikan pada gambar 1.3 sebagai berikut:
Gambar 1.3. Kerangka Berpikir Penelitian Fakta: PPN bukan merupakan komponen dana bagi hasil antara pusat dan daerah di Indonesia
Gap: Ketimpangan vertikal dan horizontal
Harapan: PPN menjadi komponen dana bagi hasil antara pusat dan daerah untuk memperkecil ketimpangan fiskal vertikal dan horizontal
Tujuan Penelitian: 1. 2. 3.
Mengidentifikasi faktor yang menyebabkan belum diterapkannya bagi hasil PPN antara pusat dan daerah di Indonesia. Menganalisis kelayakan kebijakan bagi hasil PPN antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia. Menganalisis dampak kebijakan bagi hasil PPN terhadap pemerataan fiskal antar daerah di Indonesia.’
Teknik Pengumpulan data: wawancara, kajian kepustakaan (buku, jurnal, hasil penelitian, artikel, dll) Sumber Data: Data Primer (key informan) Data Sekunder (Depkeu, BPS, Literatur, jurnal, hasil penelitian, artikel)
Fokus: Studi Kebijakan Bagi hasil PPN antara pusat dan daerah di Indonesia
Metode : Pendekatan utama adalah kuantitatif, tetapi terdapat satu pertanyaan penelitian (pertanyaan penelitian pertama) yang memerlukan eksplorasi melalui pendekatan kualitatif
Hasil Penelitian dan Analisis
Kesimpulan, Saran, Kelemahan Penelitian, dan Penelitian Lebih Lanjut Sumber: Penulis
Universitas Indonesia
10
1.6 Sistematika Penulisan Agar penelitian ini terstruktur dan sistematis, maka hendaklah disusun sutu sistematika penulisan yang dijadikan sebagai panduan dalam melakukan penulisan. Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I:
Pendahuluan Dalam bab ini dibahas latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka berpikir penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II: Tinjauan Pustaka Dalam bab ini dibahas berbagai teori yang relevan dengan penelitian ini. Pertama akan disajikan konsep dan teori desentralisasi, yang terdiri atas desentralisasi secara umum, desentralisasi fiskal, dan taxing power sharing dalam desentralisasi fiskal. Setelah itu dibahas teori mengenai transfer fiskal, yang dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu konsep transfer fiskal, bentuk-bentuk transfer fiskal, dan kriteria transfer fiskal. Setelah itu berturut-turut dibahas konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bagi hasil PPN, serta terakhir dikemukakan juga teori kebijakan publik yang akan fokus kepada pembahasan tentang proses kebijakan publik. Bab III: Metodologi Penelitian Dalam bab ini akan dibahas pendekatan penelitian, jenis penelitian, metode dan strategi penelitian, hipotesis penelitian, key informan, proses penelitian, penentuan lokasi dan objek penelitian, dan keterbatasan penelitian Bab IV: Bagi Hasil Pajak di Indonesia Dalam bab ini akan dibahas bagi hasil pajak yang telah diterapkan di Indonesia, yaitu bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), bagi hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21. Universitas Indonesia
11
Bab V: Analisis dan Pembahasan Dalam bab ini akan dibahas satu per satu tujuan penelitian berdasarkan pertanyaan penelitian yang dikemukakan pada Bab 1. Secara berurutan akan dibahas faktor-faktor yang menyebabkan belum dibagihasilkannya bagi hasil PPN di Indonesia, analisis kelayakan bagi hasil PPN di Indonesia, serta dampak bagi hasil PPN terhadap pemerataan fiskal antar pemerintah daerah di Indonesia. Bab VI: Kesimpulan dan Saran Dalam bab ini akan dibahas kesimpulan penelitian berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan pada Bab V, serta saran yang diajukan berdasarkan pembahasan dan kesimpulan.
Universitas Indonesia
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Sebelum analisis dalam penelitian ini dilakukan, terlebih dahulu perlu dibangun sebuah konsep teoritis yang dijadikan sebagai panduan dalam membangun kerangka pemikiran, sehingga diharapkan analisis dapat dilakukan secara tepat dan akurat. Oleh karena itu, dalam bab ini akan dibahas tentang teoriteori relevan yang berkaitan dengan pokok permasalahan diajukan.
2.1 Konsep dan Teori Desentralisasi 2.1.1
Desentralisasi Secara Umum Desentralisasi adalah suatu delegasi tanggung jawab, suatu penyerahan
(diffusion) kekuasaan dan kewenangan untuk membuat keputusan-keputusan (Davey, 1988). Sementara efektifitas dan jangkauannya tergantung kepada tiga variabel, yaitu: 1. Sifat dan luas tanggung jawab dan fungsi yang dijalankan oleh pemerintah daerah, yakni bidang-bidang kegiatan pemerintahan yang dapat dia kontrol, jangkauan keputusan-keputusan yang dapat dia lakukan atau dia pengaruhi. 2. Cukup tersedianya sumber-sumber buat mereka. Sumber-sumber tersebut bukan hanya sumber keuangan, namun juga berupa bobot politik, tenaga pelaksana yang terampil, informasi dan perlengkapan pendukung. 3. Derajat kebijakan (discretion) yang mereka nikmati dalam melaksanakan fungsi-fungsi dan mengalokasikan sumber-sumber yang tersedia. Misalnya tanggung jawab formal guna menyediakan sumber-sumber dana secara khusus kepada fungsi yang khusus mungkin menjadi terbatas oleh berbagai
beban
pengawasan/pengendalian
yang
dikenakan
oleh
pemerintah yang lebih tinggi, dalam hal ini pemerintah pusat. Menurut studi bank dunia yang dilakukan oleh Rondinelli (1981, 1989) sebagaimana dikutip oleh Sidik (2002), desentralisasi dibagi menjadi 4 (empat) jenis yaitu: 12
Universitas Indonesia
13
1. Desentralisasi politik, yaitu pemberian hak kepada warga negara melalui perwakilan yang dipilih suatu kekuasaan yang kuat untuk mengambil keputusan publik. Desentralisasi politik pada umunya berkaitan dengan sifat pluralistik di bidang politik dalam proses ke arah lebih demokratis dengan memberikan kewenangan pada lembaga perwakilan rakyat untuk lebih berperan dalam memformulasikan dan melaksanakan kebijakan publik. 2. Desentralisasi
administratif,
yaitu
pelimpahan
wewenang
yang
dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber
keuangan
untuk
menyediakan
pelayanan
publik.
Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan manajemen fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada aparatnya di daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan
otoritas
tertentu,
atau
perusahaan
tertentu.
Desentralisasi
administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 bentuk, yaitu dekonsentrasi, devolusi, dan pendelegasian. 3. Desentralisasi fiskal, merupakan komponen utama dari desentralisasi. Desentralisasi fiskal mencakup: a. Self financing atau cost recovery dalam pelayanan publik terutama melalui pengenaan retribusi daerah. b. Cofinancing atau coproduction, dimana pengguna jasa publik berpartisipasi dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja. c. Peningkatan PAD melalui penambahan kewenangan pengenaan pajak daerah terutama pajak properti (PBB), pajak penjualan (PPn), pajak penghasilan perseorangan (PPh Orang Pribadi) atau berbagai jenis retribusi daerah. d. Transfer dari pemerintah pusat yang berasal dari sumbangan umum (DAU), sumbangan khusus (DAK), sumbangan darurat (dana darurat), dan bagi hasil pajak dan bukan pajak. e. Kebebasan daerah untuk melakukan pinjaman.
Universitas Indonesia
14
4. Desentralisasi ekonomi, yaitu kebijakan desentralisasi dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi yang menitikberatkan pada upaya efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik terutama melalui liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi, terutama melalui kebjakan pelimpahan fungsifungsi pelayanan kepada masyarakat dari pemerintah kepada sektor swasta sejalan dengan kebijakan liberalisasi dan ekonomi pasar.
2.1.2
Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal saat ini banyak diterapkan oleh negara-negara di
dunia, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Desentralisasi fiskal dijadikan sebagai salah satu cara untuk meloloskan diri dari berbagai ketidakefektifan makroekonomi,
dan dan
ketidakefisienan ketidakcukupan
pemerintahan,
pertumbuhan
ketidakstabilan
ekonomi
(Bird
and
Vaillancourt, 2000). Namun, terlepas dari kecenderungan di atas, desentralisasi fiskal secara konsep masih menjadi perdebatan di kalangan para pakar. Beberapa pakar menekankan perlunya desentralisasi fiskal untuk perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilisasi dana. Namun sebagian pakar berpandangan sebaliknya, bahwa desentralisasi cenderung meningkatkan biaya, mengurangi efisiensi pelayanan pemerintah, dan mungkin akan menyebabkan kesenjangan yang lebih parah serta terjadinya ketidakstabilan. Bird (1986) menjelaskan, terdapat 3 (tiga) variasi desentralisasi fiskal dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan daerah, yaitu: 1. Dekonsentrasi, yaitu pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkungan perintah pusat keinstansi vertikal di daerah atau ke pemerintah daerah. 2. Delegasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah.
Universitas Indonesia
15
3. Devolusi, berhubungan dengan suatu situasi yang bukan saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan berada di daerah. Jika dilihat dari prespektif pengamatan desentralisasi terdapat dua pendekatan yang digunakan (Bird, 1980) yaitu: 1. Pendekatan desentralisasi fiskal dari bawah ke atas (bottom up) Pendekatan ini umumnya menekankan nilai politis misalnya, perbaikan pemerintahan dalam kaitannya dengan kemauan menerima saran dan partisipasi politik lokal, dan efesiensi alokasi dalam arti perbaikan kesejahteraan. Dengan pendekatan ini desentralisasi tidak hanya diharapkan menghasilkan pelayanan yang efisien dan adil melalui pemanfaatn pengetahuan lokal, tetapi juga akan merangsang partisipasi demokrasi yang lebih besar. Hasilnya berupa dukungan yang lebih luas kepada pemerintah dan terciptanya stabilitas politik 2. Pendekatan desentralisasi fiskal dari atas ke bawah (top down) Dasar pemikiran pendekatan ini yaitu meringankan beban pusat dengan mengalihkan defisit (paling tidak sebagian dari tekanan politis atas defisit) ke bawah. Langkah ini merupakan keinginan pusat untuk mencapai tujuan alokasi dengan lebih efisien melalui pendelegasian atau desentralisasi kewenangan ke daerah. Pendekatan ini menekankan bahwa kriteria utama untuk mengevaluasi desentralisasi fiskal adalah seberapa baik hal ini dapat membantu tercapainya tujuan kebijakan nasional. 2.1.3
Taxing Power Sharing dalam Desentralisasi Fiskal Norregaard (1997) menyimpulkan terdapat tiga pilihan dalam penugasan
kepada daerah. Pertama, seluruh basis pajak penarikannya diserahkan kepada daerah dan selanjutnya daerah akan membagi hasil penerimaan pajaknya dengan pemerintah pusat. Kedua, kewenangan pemajakan untuk seluruh basis pajak berada pada pemerintah pusat dan selanjutnya untuk memenuhi keuangan daerah, kepada pemerintah daerah dibagikan grant, dana bantuan atau sejenisnya, bagi hasil atas seluruh penerimaan pajak atau untuk jenis pajak tertentu. Ketiga, Universitas Indonesia
16
memberikan kewenangan pemajakan yang lebih besar kepada daerah dengan bantuan perencanaan pembagian pajak (atau bantuan lain) dari pemerintah pusat. Ketiga pilihan tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan sehingga perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan dan menetapkan pilihan. Untuk pilihan pertama, kelebihannya adalah daerah mempunyai kebebasan (kewenangan) yang seluas-luasnya terhadap upaya-upaya mobilisasi dana rakyat sesuai dengan yurisdiksinya. Daerah dapat melakukan perencanaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya dalam menghimpun sumber penerimaan. Kelemahannya adalah dapat menimbulkan horizontal imbalance (ketimpangan antar daerah) yang dapat memicu terjadinya konflik horizontal antar daerah, mendorong terjadinya eksploitasi pajak secara besar-besaran oleh pemerintah daerah, dan cenderung mengorbankan rakyat dan melahirkan neo-KKN yang dapat menimbulkan disinsentif bagi tumbuhnya ekonomi lokal akibat biaya ekonomi tinggi. Untuk pilihan kedua, kelebihannya adalah terdapatnya kepastian hukum bagi investor untuk melakukan investasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena adanya perlakuan ketentuan yang sama. Pemerintah pusat lebih mudah melakukan kontrol terhadap stabilisasi fiskal sehingga pertumbuhan ekonomi nasional lebih mudah dibangun. Kelemahannya adalah dapat menimbulkan vertical imbalance (ketimpangan vertikal) ketika daerah tidak dapat memenuhi sumber-sumber pembiayaannya karena seluruh potensi pajak dikelola dan dibawa oleh pusat. Dalam jangka menengah dan panjang ketergantungan daerah kepada pusat semakin tinggi dan mengakibatkan otonomi menjadi mandul, memicu munculnya perlawanan daerah kaya dan/atau gerakan separatis yang dapat mengancam disintegrasi bangsa. Untuk pilihan ketiga, kelebihannya adalah daerah mempunyai kewenangan yang memadai untuk melakukan mobilisasi dana masyarakat guna memenuhi sumber-sumber pembiayaannya dalam koridor ketentuan hukum negara, dapat mengeliminasi terjadinya vertical dan horizontal imbalance karena adanya penerimaan yang proporsional antara pusat dengan daerah, menjamin terbukanya peran serta rakyat sehingga memungkinkan terjadinya demokratisasi ekonomi politik. Kelemahannya adalah waktu yang diperlukan dalam proses pengambilan Universitas Indonesia
17
keputusan akan lebih lama mengingat banyaknya perbedaan yang terdapat pada masing-masing daerah. Untuk kondisi di Indonesia, saat ini cenderung kepada pilihan ketiga, tapi diperlukan penguatan lebih lanjut, dan bagi hasil PPN diharapkan akan memberikan dampak yang lebih baik untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dengan daerah maupun antar daerah.
2.2 Transfer Fiskal 2.2.1
Konsep Transfer Fiskal Berbagai
literatur
ilmu
keuangan
negara
dan
keuangan
publik
menyebutkan ada beberapa alasan perlunya dilakukan transfer dana dari pusat ke daerah. Menurut Simanjuntak (2002) minimal terdapat lima alasan yang mendasari mengapa transfer fiskal perlu dilakukan, yaitu: 1. Mengatasi ketimpangan fiskal vertikal Di banyak negara pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumbersumber penerimaan pajak utama negara. Daerah hanya menguasai sebagian kecil dari sumber-sumber penerimaan tersebut. Kekurangan sumber penerimaan daerah relatif terhadap kewajiban ini akan menyebabkan dibutuhkan transfer dana dari pusat. Oleh karena alasan itulah transfer fiskal antar tingkatan pemerintah diperlukan untuk menyeimbangkan anggaran di tingkat daerah. 2. Mengatasi ketimpangan fiskal horizontal Kondisi setiap daerah berbeda-beda. Ada daerah yang memiliki akses yang tinggi terhadap sumber daya alam dan basis pajak, namun ada yang rendah aksesnya. Dengan demikian kemampuan daerah tersebut relatif tinggi dalam menghimpun pendapatan, atau dengan kata lain daerah tersebut memiliki kapasitas fiskal (fiscal capacity) yang tinggi. Namun di sisi lain ada daerah yang memiliki kebutuhan pengeluaran (fiscal needs) yang relatif besar. Hal tersebut karena mereka memiliki proporsi yang tinggi terhadap penduduk miskin, penduduk lanjut usia, dan usia belum Universitas Indonesia
18
produktif. Perbandingan antara fiscal capacity dan fiscal needs merupakan kesenjangan fiskal dari masing-masing daerah. Celah atau gap tersebut seyogyanya ditutup oleh transfer fiskal dari pemerintah pusat. 3. Menjaga standar pelayanan minimum di daerah Daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit memerlukan subsidi agar dapat mencapai standar pelayanan minimum. Sebagaimana pendapat Musgrave (1983) yang menyatakan bahwa peran redistributif dari sektor publik akan lebih efektif dan cocok jika dijalankan oleh pemerintah pusat. Maka penerapan standar pelayanan minimum di setiap daerah pun akan lebih bisa dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah pusat. 4. Menginternalisasi sebagian atau seluruh limpahan efek pelayanan publik. Desentralisasi fiskal bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pelayanan sektor publik, mengatasi persoalan yang timbul dari menyebar atau melimpahnya efek pelayanan publik (inter jurisdictional spill over effect), pemerintah pusat perlu memberikan semacam insentif agar pelayanan yang memiliki eksternalitas dapat dipenuhi di daerah. Beberapa jenis pelayanan publik di suatu wilayah yang memiliki efek menyebar atau eksternalitas ke wilayah-wilayah lainnya seperti pendidikan tinggi, pemadam kebakaran, jalan raya penghubung antar daerah dan rumah sakit daerah yang manfaatnya tidak dibatasi hanya untuk masyarakat daerah tertentu saja. Namun tanpa adanya imbalan dalam bentuk pendapatan biasanya pemerintah daerah enggan untuk berinvestasi pada bidang-bidang tersebut. 5. Stabilisasi Transfer dana dapat ditingkatkan ketika aktivitas perekonomian sedang lesu. Disaat lain bisa saja dana transfer ke daerah dikurangi manakala perekonomian sedang booming. Transfer untuk dana-dana pembangunan (capital grants) adalah instrumen yang cocok untuk tujuan ini Sementara menurut Bahl (2001), pemerintah pusat melakukan transfer fiskal ke daerah karena: 1. Keseimbangan vertikal Universitas Indonesia
19
Yaitu adanya ketidakseimbangan antara tanggung jawab pembelanjaan pemerintah daerah dengan peningkatan pendapatan. Pada tahap awal pembangunan,
prioritas
tanggung
jawab
sektor
publik
adalah
pembangunan infrastrktur dan pemenuhan kebutuhan hidup serta stabilitas ekonomi. Namun dengan adanya urbanisasi dan belanja di bidang publik memerlukan pergeseran ke arah layanan jasa yang disediakan pemerintah daerah, misalnya pelayanan sosial, persediaan air bersih dan lain-lain. Akibatnya adalah ketidakmampuan pemerintah daerah menyediakan tingkat pelayanan publik yang sesuai. Kesenjangan atau gap tersebut dapat dipenuhi dengan memberikan kewenangan yang lebih kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatannya dan atau dengan melakukan transfer pendapatan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. 2. Antara pajak daerah atau transfer fiskal Dibanyak negara berkembang pilihan untuk melakukan pendelegasian otonomi pajak ke pemerintah daerah dengan sangat terbatas. Alternatifnya adalah menyerahkan sebagian perolehan pendapatan pusat kepada pemerintah daerah, guna mengatasi ketidakseimbangan yang terjadi di daerah. Sehingga transfer dari pemerintah pusat merupakan komponen utama pendapatan pemerintah daerah. Namun pada saat pemerintah daerah mampu menggunakan instrumen perpajakan lokal yang modern, peran penting transfer fiskal menjadi berkurang. 3. Isu yang berhubungan dengan keseimbangan vertikal Ada dua isu utama yang terkait dengan sistem transfer fiskal yaitu: a. Bagaimana mengukur keseimbangan vertikal Untuk mengetahui berapa banyak transfer yang diperlukan dapat dilihat dengan memperkirakan selisih antara pendapatan pemerintah daerah dengan belanja yang dilakukan. Hal ini merupakan sesuatu yang subjektif, karena kebutuhan akan belanja hampir tidak akan pernah habis. Di banyak negara, pendekatan keseimbangan vertikal menggunakan
tingkat
pelayanan
minimum
dan
mengurangi
kesenjangan tersebut dengan melakukan transfer fiskal. Dalam Universitas Indonesia
20
beberapa hal, jumlah transfer dibatasi oleh anggaran yang dimiliki pemerintah pusat dan bukan oleh pendekatan persyaratan minimum. b. Dilematis
antara
pertimbangan
keseimbangan
vertikal
dan
pertimbangan efisiensi Pertimbangan keseimbangan vertikal mengarahkan pemerintah daerah menerima transfer fiskal sejumlah tertentu. Namun jumlah tersebut seharusnya diperkirakan pajaknya dan pajak tersebut berasal dari bantuan yang diberikan. Hal tersebut dapat mendorong ke arah kelebihan pengeluaran pemerintah daerah yang disebabkan oleh jasa tertentu yang harus dibiayai oleh pemakai dan pajak lokal akan dibiayai oleh dana eksternal. 4. Pemerataan Pada negara berkembang dan negara dalam masa transisi terdapat ciri yaitu adanya kesenjangan fiskal yang lebar antar daerah. Karena pemerintah daerah diberikan kekuasaan yang lebih untuk menaikkan hasil pendapatan daerahnya, maka perbedaan antar daerah akan melebar. Oleh karena itu transfer fiskal berperan untuk mengurangi perbedaan antar daerah. 5. Pertimbangan administratif Pemerintah pusat mempunyai kapasitas untuk menilai dan mengumpulkan pajak yang lebih besar dibandingkan dengan pemerintah daerah. Sehingga biaya yang dikeluarkan untuk mengumpulkan pajak relatif kecil selanjutnya pendapatan tersebut dialokasikan kepada pemerintah daerah berupa transfer fiskal. Ada dua isu yang muncul dalam pendekatan ini, pertama tidak benar semua pajak akan lebih efisien jika diatur di tingkat pusat. Bahkan beberapa pajak lebih baik diatur dan dikumpulkan di tingkat lokal, seperti pajak kendaraan akan lebih efisien apabila diatur di tingkat lokal. Isu yang kedua adalah biaya administrasi pajak pemerintah daerah dapat ditutupi sendiri.
Universitas Indonesia
21
2.2.2
Bentuk-bentuk Transfer Fiskal Secara garis besar transfer fiskal dapat dikelompokkan dalam bentuk-
bentuk sebagai berikut: 1. Bagi hasil atau revenue sharing. Bagi hasil diberlakukan terhadap sumbersumber penerimaan, misalnya hasil pajak atau hasil lain seperti hasil sumber daya alam. Terdapat dua pilihan mekanisme pembagian, yaitu: a. Masing-masing daerah memperoleh bagiannya yang sesuai dengan jumlah penerimaan yang dapat dikumpulkan di dalam batas wilayahnya, selanjutnya hasil penerimaan dibagikan menurut asal perolehannya (based on the origin) b. Bagian daerah dihimpun (pooled) terlebih dahulu untuk kemudian didistribusikan
menurut
suatu
kriteria
kebutuhan
yang
tidak
berhubungan langsung dengan asal perolehannya. 2. Bantuan atau grant, terbagi menjadi dua jenis: a. Bantuan serbaguna atau general purpose/block grant. Block grant diberikan kepada daerah dimana penggunaannya tidak ditentukan oleh pemerintah pusat melainkan sepenuhnya terserah kepada masingmasing daerah penerima bantuan. Mekanisme pembagiannya bisa berbentuk lumpsum atau dengan menggunakan formula tertentu. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah transfer fiskal dalam bentuk block grant yang diberikan kepada daerah. b. Bantuan khusus atau specific grant. Bantuan khusus diberikan kepada daerah dengan penggunaan yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat yang memberikannya. Mekanisme pembagiannya bisa dalam bentuk: (i) lumpsum, (ii) bantuan penyeimbang atau dana pendamping (matching grant) yang bisa bersifat open ended (jumlah bantuan penyeimbang tidak dibatasi tergantung pada kesanggupan daerah menyediakan dana pendampingnya) atau close ended (jumlah bantuan telah ditetapkan terlebih dahulu), dan (iii) bantuan berbasis proyek.
Universitas Indonesia
22
2.2.3
Kriteria Transfer Fiskal Disadari bahwa masalah perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah yang sarat dengan muatan ketatanegaraan, politik, sosial budaya, ekonomi dan administrasi negara secara keseluruhan, maka masalah perimbangan keuangan sebenarnya hanyalah refleksi dari pembagian kekuasaan antar instansi, baik pusat maupun daerah (Zainie, 2005). Dari berbagai tujuan yang hendak dicapai dalam rangka transfer antar tingkat pemerintahan, ada beberapa kriteria umum dalam transfer fiskal yang dirumuskan oleh Decentralization Thematic Team dari World Bank (Shah, 2007), yaitu: 1. Clarity in grant objectives Sasaran yang akan dicapai dari transfer fiskal harus dengan jelas dan tepat ditetapkan untuk menjadi panduan dalam desain transfer dana. 2. Autonomy (Otonomi) Pemerintah daerah harus memiliki independensi dan fleksibilitas dalam menentukan
prioritas-prioritas
mereka.
Tidak
boleh
ada
batasan
sedemikian ketat sehingga sebagian besar keputusan di daerah harus mengikuti kepada ketentuan pusat. Pajak-pajak dimana daerah bisa ikut memungut di atas tingkat yang ditetapkan pusat (piggyback), bagi hasil (revenue sharing) berlandaskan formula atau transfer yang bersifat umum (block grant) adalah sumber-sumber penerimaan daerah yang konsisten dengan tujuan tersebut. 3. revenue adequacy (Penerimaan yang memadai) Pemerintah daerah semestinya memiliki pendapatan (termasuk transfer fiskal) yang cukup untuk menjalankan segala kewajiban atau fungsi yang diembannya. 4. Responsiveness Transfer fiskal harus cukup fleksibel untuk mengakomodasi perubahan yang tidak terduga dari situasi fiskal penerima dana
Universitas Indonesia
23
5. equity (Keadilan) Besarnya dana transfer dari pusat ke daerah seyogyanya berhubungan positif dengan kebutuhan fiskal daerah dan berkorelasi negatif dengan besarnya kapasitas daerah bersangkutan. 6. Predictability Formula transfer seharusnya dapat dipakai untuk jangka menengah (3-5 tahun), agar perencanaan jangka menengah dan panjang dapat dilakukan oleh daerah. 7. Transparency Formula transfer mesti diumumkan sehingga dapat diakses oleh masyarakat. Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa setiap daerah dapat memikirkan berapa penerimaan totalnya (termasuk transfer) sehingga memudahkan penyusunan anggaran. 8. Efficiency Desain dana transfer harus netral dengan memperhatikan pilihan-pilihan pemerintah daerah dalam alokasi sumber daya ke sektor berbeda atau jenis aktivitas berbeda. 9. simplicity (Sederhana) Alokasi dana kepada pemerintah daerah semestinya didasarkan kepada faktor-faktor objektif, dimana unit-unit individual tidak memiliki kontrol atau tidak dapat mempengaruhinya. Disamping itu juga formula yang dipakai seyogyanya relatif mudah untuk dipahami. 10. Incentif (Insentif) Desain dari transerf ini harus sedemikian rupa sehingga memberikan semacam insentif bagi daerah dengan manajemen fiskal yang baik dan sebaliknya menangkal praktek-praktek yang tidak efisien. Dengan demikian tidak perlu ada transfer khusus untuk membiayai defisit anggaran pemerintah daerah atau ada semacam kontrol terhadap belanja daerah. 11. Reach Transfer fiskal harus mempertimbangkan bahwa penerima dana bisa menggunakan dan menjalankan dana tersebut dengan sebaik-baiknya. Universitas Indonesia
24
12. Safeguarding of grantor’s objective Desain transfer perlu memastikan bahwa sasaran hasil yang dirumuskan dengan baik oleh pemberi transfer dapat dengan baik dipertahankan oleh penerima dana. Hal ini akan terpenuhi oleh monitoring yang sesuai, peninjauan kemajuan, dan bantuan teknis, atau dengan perancangan desain transfer yang sesuai. 13. Affordability Program transfer fiskal harus sesuai dengan batasan anggaran yang dimiliki oleh pemberi transfer 14. Singular focus Setiap transfer fiskal harus memusatkan pada satu sasaran tunggal yang akan dicapai. 15. Accountability for result Pemberi transfer harus bertanggung jawab terhadap desain dan operasi transfer
fiskal.
Penerima
transfer
juga
harus
dapat
mempertanggungjawabkan kepada pemberi transfer dan masyarakat integritas keuangan dan hasilnya. Tidak jauh berbeda dengan di kriteria di atas, Zainie (2005) memberikan kriteria-kriteria dalam kebijaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yaitu: 1. Memberikan otonomi daerah yang lebih luas, dalam arti daerah otonom diberi
kebebasan
dan
fleksibilitas
dalam
menentukan
prioritas
pengambilan keputusan di sektor publik. 2. Ketersediaan sumber-sumber penerimaan daerah otonom yang memadai untuk manjalankan fungsinya. 3. Equality, alokasi bantuan pusat meskipun bervariasi antar daerah otonom, tetapi mencerminkan kebutuhan fiskal (fiscal-needs) antar dareah otonom, sehingga porsi alokasi bantuan pusat merupakan kebalikan (inverse) dari kemampuan masing-masing daerah otonom dalam menggali PAD-nya. 4. Bantuan pusat harus menjamin kepastian ketersediaan dananya bagi daerah otonom (predetermined). Universitas Indonesia
25
5. Netralitas, alokasi bantuan pusat harus netral terhadap pilihan alokasi penggunaan dana untuk berbagai sektor yang diinginkan oleh daerah otonom. 6. Kesederhanaan formula pembagian bantuan pusat kepada daerah otonom (hindari kriteria pambagian yang ambigous dan tidak operasional). 7. Insentif, desain bantuan pusat harus mampu memberikan insentf kepada daerah otonom untuk melakukan efisiensi ekonomi dalam menentukan pelayanan sektor publik. 8. Memberikan kebebasan akuntabilitas di tingkat daerah otonom, antara lain, dengan menempatkan DPRD sebagai satu-satunya lembaga yang mengawasi dan memberikan amanat kepada gubernur, bupati dan walikota dalam menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat. 9. Kewenangan daerah otonom dalam jangka panjang secara bertahap diarahkan
untuk
mencakup
semua
kewenangan
dalam
bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan fiskal nasional dan kebijakan strategis nasional dalam penyelenggaraan pemerintahan (terutama mencakup perumusan kebijakan, pengendalian pembangunan sektoral dan nasional dan kebijakan standarisasi nasional). Desentralisasi kewenangan dan sumber pendanaan haruslah seimbang. Richard Bird dan Francois Vaillancourt (2000) menyatakan: “Jika suatu negara mendesentralisasikan tanggung jawab pengeluaran yang lebih besar dibandingkan dengan sumber-sumber yang tersedia, maka tingkat pelayanan akan menurun, atau daerah akan menekan pusat untuk mendapatkan tambahan kucuran dana yang lebih besar. Sebaliknya jika lebih banyak penerimaan daripada pengeluaran yang didesentralisasikan, mobilisasi dana daerah dapat menurun dan ketidakseimbangan makroekonomi kembali muncul. Bahkan, walaupun kedua sisi didesentralisasikan dengan pola yang seimbang, sering dikhawatirkan daerah tidak memiliki kapasitas administratif dan teknis yang cukup memadai untuk menjalankan fungsi-fungsin barunya secara memuaskan.”
Universitas Indonesia
26
2.3 Konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2.3.1
Legal Character Legal character dapat didefinisikan sebagai ciri-ciri atau nature dari suatu
jenis pajak. Pemahaman tentang feature atau nature dari suatu jenis pajak akan menentukan atau memberikan konsekuensi bagaimana sebaiknya pajak tersebut harus dipungut (Rosdiana, 2005). Dengan demikian, legislative structure dan interpretasi dari suatu terminologi seharusnya dipandu oleh legal character. Berkaitan dengan hal ini, Terra mengatakan sebagai berikut: “Basically it means that the intrinsic nature of a tax should be the guiding principle in determining its conseguences and not just the label, or the name of tax”. Legal character dari pajak penjualan dapat dideskripsikan sebagai pajak tidak langsung atas konsumsi yang bersifat umum (general indirect tax on consumtion). a. General Pajak penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum. Kata general (umum) inilah yang membedakannya dengan jenis pajak lainnya, yaitu excise (cukai). Sales tax bersifat general, sedangkan excise bersifat specific. Artinya, Pajak Penjualan dikenakan terhadap semua barang, sedangkan excise hanya dikenakan terhadap barang-barang tertentu saja. Pajak penjualan ditujukan pada semua private expenditure. Sebagai konsekuensinya, tidak boleh ada diskriminasi atau perbedaan antara barang dan jasa karena keduanya merupakan pengeluaran. Dengan kata lain, yang harus menjadi objek pajak penjualan adalah barang dan juga jasa dan bukan hanya barang saja atau jasa saja karena pengeluaran itu bisa dalam bentuk barang maupun jasa. Ada alasan lain mengapa jasa pada umumnya dijadikan sebagai objek pajak penjualan terutama dinegaranegara berkembang yaitu, karena pada umumnya pengeluaran yang berbentuk jasa memiliki porsi yang besar dalam pengeluaran kelompok masyarakat kelas atas (higher income group) dibandingkan dengan masyarakat kelas bawah (lower income group). Oleh karena itu, jika jasa dijadikan sebagai objek pajak, dianggap akan mengurangi regresivitas pajak penjualan . Universitas Indonesia
27
b. Indirect Pajak penjualan merupakan pajak tidak langsung, sehingga beban pajaknya dapat dialihkan, baik dalam bentuk forward shifting maupun backward shifting. Dengan kata lain, tidak selalu harus konsumen yang memikul beban pajak penjualan sepenuhnya/seutuhnya, tetapi beban pajak ini bisa saja dipikul sebagian oleh penjual dengan cara mengurangi keuntungan dan atau melakukan efisiensi. c. On consumption Pajak Penjualan merupakan pajak atas konsumsi, tanpa membedakan apakah konsumsi tersebut digunakan/habis sekaligus atau pun digunakan /habis secara bertahap/berangsur-angsur. Oleh karena itu, semua barang seharusnya menjadi objek pajak penjualan, tanpa membeda-bedakan apakah barang tersebut merupakan barang yang bergerak maupun barang yang tidak bergerak. Selain itu, karena pajak penjualan merupakan pajak atas konsumsi, pengertian konsumsi juga meliputi barang tidak berwujud.
2.3.2
Sistem Pemungutan dalam Pajak Penjualan Karena pajak penjualan merupakan pajak yang dikenakan terhadap semua
konsumsi barang dan jasa, ada dua sistem pemungutan yang bisa diterapkan, yaitu Single-stage levies dan Multiple-stage levies (Rosdiana, 2005). 1. Single Stage Levies Kata single bisa berarti mengacu pada tingkat produksi atau konsumsi, oleh karena itu, untuk mengaplikasikan pajak penjualan yang hanya dikenakan sekali (single), terdapat tiga alternatif berikut: a. A single stage levy at the manufacturer’s level (a manufacturer’s tax) Pajak dikenakan atas penjualan oleh produsen pada jalur produksi, pada produk terakhir atau pada semua penjualan barang-barang yang dibuat dalam pabrik. Kegiatan pabrikasi tersebut dapat berupa membuat, menghasilkan, mengusahakan, memelihara atau merakit
Universitas Indonesia
28
barang. Pajak ini dikenal dengan pengenaan pajak pada tingkat pabrikan karena hanya dikenakan pada satu sektor, yaitu pabrikan. b. A single stage levy at the wholesale level (a wholesale tax) Pajak dikenakan atas penjualan kepada penjual-penjual eceran atau konsumen oleh produsen, pedagang besar, grosiran, penyalur, importer, karena itu menurut Terra, istilah wholesale tax sebenarnya kurang tepat. Lebih tepat jika disebut sebagai single stage tax ‘preceding the retail stage’. c. A single stage levy at the retail level (a retail tax) Pajak dikenakan atas penjualan terakhir secara eceran kepada konsumen, sebagaiman dikemukakan oleh Tait bahwa “a retail tax is levied on the sale of goods to final consumer”. Terra mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan retail sales tax bukan hanya mencakup penjual eceran, tetapi semua transaksi yang berhubungan langsung dengan pembeli akhir. Jadi bisa saja pajak ini dikenakan pada pabrikan atau penyalur jika mereka menjual langsung pada konsumen. 2. Multiple Stage Leveis Berbeda dengan single stage, dalam system pemungutan yang multistage, pajak penjualan atas suatu barang atau jasa dikenakan pada beberapa tingkat dari distribusi dan produksi. Jika pajak penjualan dikenakan terhadap semua tingkat produksi dan distribusi, dinamakan sebagai all stage tax, namun ada juga beberapa ahli perpajakan yang menamakan sebagai pajak peredaran (turnover tax). Dalam perhitungan pajak penjualan, berdasarkan multistage levies, terdapat dua cara sebagai berikut: a. Cumulative Cascade System Pajak yang dipungut pada tingkat peredaran barang pada jalur produksi dan distribusi tanpa adanya penyesuaian (adjustment) terhadap pajak yang telah dibayar pada jalur sebelumnya. Pajak ini dipungut pada tiap kali ada pemindahan barang pada jalur berikutnya. Karena tidak kredit pajak, beban pajak menjadi berlipat ganda (kumulatif) melebihi tariff yang sebenarnya berlaku untuk peredaran barang tersebut. Universitas Indonesia
29
b. Noncumulative System (Value Added) Pajak dipungut beberapa kali pada semua mata rantai jalur produksi dan distribusi namun hanya pada pertambahan nilainya saja. Nilai tambah ini timbul karena dipakainya faktor produksi disetiap jalur peredaran suatu barang termasuk semua biaya untuk mendapatkan laba, bunga, sewa, dan upah kerja. Pertambahan nilai ini biasanya tercermin dari selisih antara harga penjualan dengan pembelian. Karena dasar pengenaan pajak ini adalah nilai tambah, maka disebut dengan Pajak Pertambahan Nilai (value Added Tax). Berdasarkan konsep sistem pemungutan dalam pajak penjualan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya konsepsi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) semata-mata mengandung pengertian sebagai suatu tata cara pemungutan pajak, daripada sebagai suatu jenis pajak (Ruppe, dalam Sukardji: 2009). Pendapat senada juga dikemukakan Musgrave and Musgrave (1993), yaitu “the value added tax is not genuinely new form of taxation, but merely a sales tax which is administered in a different form.”
2.3.3
Pengertian Value Added Value Added Tax (VAT) pertama kali dikenal di Perancis pada tahun 1954
dengan sebutan taxe sar la valuer ajoitee pertama kali diintrodusir. Dengan berbagai kelebihan-kelebihannya, konsep VAT atau di Indonesia dikenal dengan sebutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ini diadopsi oleh banyak negara. Namun, dalam implementasinya disetiap negara terjadi perkembangan yang berbeda-beda antara lain karena faktor bahasa. PPN pada dasarnya merupakan pajak penjualan yang dipungut atas dasar nilai tambah yang timbul pada semua jalur produksi dan distribusi. Nilai tambah adalah semua faktor produksi yang timbul disetiap jalur peredaran suatu barang seperti bunga, sewa, upah kerja, termasuk semua biaya untuk mendapatkan laba. Pada setiap tahap produksi nilai produk dan harga jual produk selalu terdapat nilai antara lain, yang utama karena setiap penjualan menginginkan adanya keuntungan
Universitas Indonesia
30
sehingga dalam menentukan harga jual, harga perolehan ditambah dengan laba bruto (mark up). Pengertian Value Added, menurut Alain Tait adalah sebagai berikut: Value Added is the value that a producer (whether a manufacturer, distributor, advertising agent, hairdresser, farmer, race horse trainer or citrus owner) adds to his raw material or purchase (other than labor) before selling the new or improved product or service. That is. The inputs (the raw material transport, rent advertising and so on) are bought, people are paid wages to work on these inputs and, when the final good and service is sold, same profit is left. So value added can be looked at from the additive side (wages plus profits) or from the substactive side (output minus inputs). Jadi value added (pertambahan nilai atau nilai tambah) dapat dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi pertambahan nilai (upah dan keuntungan), serta dari sisi selisish output dikurangi input. Konsep pertambahan nilai ini dapat dirumuskan dalam Formula 2.1 berikut. Formula 2.1 Konsep Pertambahan Nilai pada Value Added Tax
Karena yang menjadi dasar pengenaan pajak ini adalah value added, istilah atau terminilogi yang digunakan adalah Value Added Tax (Pajak Pertambahan Nilai). Smith dkk, mendefinisikan Value Added Tax sebagai berikut: The VAT is a tax on the value added by a firm to its product in the course of its operation. Value added can be viewed either as the difference between a firm’s, sales and its purchase during an acoounting period or as the sum of its wages, profits, rent, interest and other payments not subject to the tax during that period. Sejalan dengan definisi di atas, Rosdiana (2005) menyatakan bahwa pertambahan nilai ini timbul karena dipakainya faktor produksi di setiap jalur perusahaan
dalam
menyiapkan,
menghasilkan,
menyalurkan,
dan
memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada konsumen, juga semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa, penyusutan, dan upah kerja. Jika perusahaan mengurangkan pengeluaran modalnya, yang tersisa hanyalah nilai output barang konsumen saja. Universitas Indonesia
31
2.3.4
Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Terdapat beberapa kelebihan PPN dilihat dari aspek fiskal, psikologi, dan
ekonomi. Secara ringkas dijelaskan sebagai berikut: 1. Kelebihan dilihat dari sisi fiskal Bagi pemerintah terdapat beberapa keuntungan jika menerapkan PPN. Pertama, PPN memiliki potensi pemajakan yang besar karena cakupannya yang luas yang meliputi seluruh jalur produksi dan distribusi, disamping itu sangat mudah untuk menimbulkan value added di setiap jalur produksi dan distribusi tersebut. Kedua, lebih mudah untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak serta mendeteksi adanya penyalahgunaan
hak
pengkreditan
pajak
masukan
karena
PPN
menggunakan sistem invoice (faktur pajak). 2. Kelebihan dilihat dari sisi psikologi wajib pajak Karena PPN pada umumnya sudah dimasukkan ke dalam harga jual atau harga yang dibayar oleh konsumen, seringkali konsumen tidak menyadari bahwa dia sudah membayar pajak. Hal ini berbeda dengan Pajak Penghasilan (PPh), misalnya pegawai merasakan langsung beban pajak karena langsung mengurangi gaji yang diterimanya. \ 3. Kelebihan dilihat dari sisi ekonomi PPN sebagai pajak yang berbasis kepada konsumsi bersifat netral terhadap pilihan seseorang apakah akan saving terlebih dahulu atau langsung mengonsumsikan penghasilan yang diperolehnya.
2.3.5
Tipe Pengenaan PPN atas Barang Modal Berdasarkan perlakuannya atas barang modal, tipe pengenaan PPN dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu: 1. Gross National Product (GNP) Type PPN yang berbentuk GNP type ini dikenakan pada semua barang-barang konsumsi dan barang-barang produksi (barang modal) tanpa adanya penyusutan. Jadi barang-barang yang dihitung dalam GNP type ini adalah barang-barang yang dihasilkan oleh warga negara suatu negara yang tidak Universitas Indonesia
32
hanya terdiri dari barang-barang konsumsi, tetapi juga barang-barang produksi, yang secara teknis dinamakan investasi, termasuk didalamnya adalah jasa. PPN yang telah dibayar atas barang modal yang telah dibeli sama sekali tidak diperkenankan untuk dikurangkan. Jadi dalam mengenakan GNP type dapat dirumuskan dalam Formula 2.2 di bawah ini. Formula 2.2 Gross National Product Type pada Value Added Tax GNP = C + I = W + P + D Dimana: C
= consumption (konsumsi)
I
= investment (investasi)
W = wages (upah) P
= profit (keuntungan)
D
= depreciation (penyusutan)
2. Net National Product (NNP) Type Pada tipe ini, pajak dikenakan pada semua barang-barang konsumsi dan barang-barang modal setelah dikurangi dengan penyusutan (depreciation), atau GNP dikurangi depreciation. Pajak masukan atas barang modal yang dibeli tidak seluruhnya dapat dikreditkan dengan PPN atas barang modal yang dijual, melainkan diamortisasikan dalam suatu periode tertentu seperti halnya dengan penyusutan. Dengan kata lain, pertamabahan nilai neto didefinisikan sebagai pendapatan bruto dikurangi pembelian antara (intermediate goods) dan penyusutan. Dengan demikian, rumusan untuk PPN dengan tipe NNP dijelaskan dalam Formula 2.3 berikut: Formula 2.3 Net National Product Type pada Value Added Tax Income = C + I – D = W + P
Universitas Indonesia
33
3. Consumption Type Pada tipe ini pajak dikenakan hanya pada barang-barang konsumsi yang biasanya dikonsumsi oleh konsumen terakhir sehingga atas barang-barang modal (investasi) tidak dikenakan pajak, baik dengan cara pembebasan maupun dengan pengkreditan. Dasar pengenaan PPN adalah penerimaan bruto perusahaan dikurangi dengan nilai seluruh pembelian produk antara (intermediate goods), baik bahan baku maupun barang dalam proses, selain pengeluaran modal untuk pabrik dan peralatan. Jika perusahaan mengurangkan modalnya, yang tersisa hanyalah nilai output barang konsumen saja. Dengan demikian rumusan untuk PPN tipe konsumsi ini dapat dijelaskan dalam Formula 2.4 di bawah ini. Formula 2.4 Consumption Type pada Value Added Tax Consumption = Wages + Profit
2.3.6
Yurisdiksi Pemajakan dalam PPN Dalam teori pajak atas lalu lintas barang, terdapat dua prinsip yang
berkaitan dengan yurisdiksi atau kewenangan pemungutan pajak, yaitu: 1. Prinsip asal tempat barang (origin principle) Berdasarkan origin principle, negara yang berhak mengenakan pajak adalah negara dimana barang diproduksi atau dimana barang tersebut berasal. Jika barang diekspor, maka negara pengekspor mengenakan pajak terhadap barang yang diekspor tersebut. 2. Prinsip tujuan barang (destination principle) Berdasarkan destination principle, negara yang berhak mengenakan pajak adalah negara dimana barang tersebut dikonsumsi. Jika barang diimpor, negara pengimpor akan mengenakan pajak terhadap barang yang diimpor tersebut. Universitas Indonesia
34
2.4 Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dasar pemikiran bagi hasil PPN adalah mengikuti konsep revenue sharing atas pajak-pajak yang dipungut oleh pusat yang sebagiannya dikembalikan ke daerah (Alisjahbana, 2003). Menurut Simanjuntak (2006), terdapat beberapa kelebihan PPN untuk menjadi sumber penerimaan pusat dan daerah, yaitu: 1. PPN jika dikelola secara efisien dan efektif menjamin penerimaan yang memadai bagi pusat dan daerah. 2. PPN merupakan pajak yang berkeadilan secara ekonomi. 3. Secara administratif efisien karena dikelola terpusat. Menurut
Alisjahbana
(2003),
ada
beberapa
alternatif
cara
membagihasilkan PPN kepada daerah, yaitu: 1. Alokasi bagi hasil pajak pusat ke daerah dengan menganut asas domisili, yaitu berdasarkan jumlah kontribusi dalam penyetoran PPN tersebut per daerah. 2. Alokasi berdasarkan distribusi relatif (peran) kontribusi aktivitas perekonomian antar daerah. Indikator yang dapat digunakan adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDBR), atau khusus untuk bagi hasil PPN dapat digunakan indikator nilai tambah sektor-sektor PDRB yang memberi kontribusi terhadap nilai PPN. Misalnya menggunakan indikator nilai tambah sektor-sektor PDRB di luar sektor pertanian, karena hasil pertanian tidak terkena PPN. Kelemahan dari pendekatan pertama adalah daerah yang menyetor pajak pusat tersebut belum tentu adalah daerah yang juga menghasilkan aktivitas ekonomi yang terkait dengan pajak yang disetor tersebut. Sebagai contoh adalah banyaknya perusahaan-perusahaan dengan domisili kantor pusat di Jakarta, sehingga penyetoran pajak dilakukan melalui kantor pajak wilayah Jakarta, sementara itu lokasi kegiatan perusahaan seringkali berada di daerah. pendekatan ini akan lebih menguntungkan Jakarta dan kota-kota besar lainnya, sementara daerah-daerah lain akan mengalami ketidakadilan.
Universitas Indonesia
35
Pendekatan kedua akan lebih memberikan rasa keadilan dan insentif bagi daerah karena metode bagi hasil yang digunakan berdasarkan kinerja perekonomian masing-masing daerah. Dengan menggunakan indikator kinerja, maka setiap daerah akan terpacu untuk meningkatkan kinerja perekonomiannya. disamping itu, pendekatan ini akan mengurangi masalah kesenjangan yang terjadi dibandingkan apabila bagi hasil dilakukan dengan mengunakan alternatif pendekatan yang pertama. Sejalan dengan pernyataan Alisjabana di atas bahwa bagi hasil PPN akan memberikan
insentif
kepada
daerah
untuk
meningkatkan
kinerja
perekonomiannya, Simanjuntak (2006) mengemukakan dengan diterapkannya bagi hasil PPN antara pusat dan daerah maka akan memberikan manfaat kepada keduanya, yaitu: 1. PPN adalah pajak yang tumbuh terus (growth tax) seiring pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan penerimaan PPN secara keseluruhan memberikan penerimaan yang lebih banyak bagi pemerintah pusat dan daerah. 2. Pemerintah daerah akan mendapat insentif menarik dalam mobilisasi penerimaannya. Sebab, boleh dikatakan besarnya penerimaan PPN pada suatu wilayah menggambarkan intensitas kegiatan ekonomi daerah tersebut. Maka, daerah akan cenderung berkomitmen tinggi untuk pertumbuhan ekonominya, sehingga akan meningkatkan basis pajak, yang berujung pada peningkatan potensi penerimaan keuangan. 3. Disparitas antar daerah dari bagi hasil PPN juga akan relatif lebih kecil dibandingkan dengan bagi hasil Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi.
2.5 Proses Kebijakan Publik Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politik tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Sedangkann aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi Universitas Indonesia
36
kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan adalah aktvitas yang lebih bersifat intelektual (Gambar 2.1). Gambar 2.1 Proses Kebijakan Publik
Perumusan Masalah
Penyusunan Agenda
Forecasting
Formulasi Kebijakan
Rekomendasi Kebijakan
Monitoring Kebijakan
Evaluasi Kebijakan
Sumber:
Adopsi Kebijakan
Implementasi kebijakan
Penilaian Kebijakan
William Dunn. (1994), Public Policy Analisys: An Introductioan, Prentice-Hall International, Englewood Cliffs, New Jersey, h. 17.
Untuk menjelaskan tahap analisis kebijakan untuk proses kebijakan publik di atas, dijelaskan pada Tabel 2.1 berikut.
Universitas Indonesia
37
Tabel 2.1 Tahap Analisis Kebijakan Tahap
Karakteristik
Perumusan Masalah
Memberikan Informasi mengenai kondisi yang menimbulkan masalah
Forecasting (Peramalan)
Memberikan informasi mengenai konsekuensi dimasa mendatang dari diterapkannya alternatif kebijakan, termasuk apabila tidak membuat kebijakan.
Rekomendasi Kebijakan
Memberikan informasi mengenai manfaat bersih dari setiap alternatif, dan merekomendasikan alternatif kebijakan yang memberikan manfaat bersih paling tinggi.
Monitoring Kebijakan
Memberikan informasi mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternative kebijakan termasuk kendalakendalanya.
Evaluasi Kebijakan
Memberikan informasi mengenai kinerja atau hasil dari suatu kebijakan.
Sumber:
kondisi-
Subarsoso, “Analisis Kebijakan Publik: Konsep Teori dan Aplikasi”. (Cet. IV; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 10
Randall and Randall, dalam Subarsono (2009) menjelaskan tahapan kebijakan publik sebagaimana digambarkan dalam gambar 2.2 berikut:
Universitas Indonesia
38
Gambar 2.2. Tahapan Kebijakan Publik Hasil Penyusunan agenda
Formulasi & Legitimasi Kebijakan
Agenda Pemerintah
Diikuti Kebijakan Hasil
Implementasi Kebijakan
Tindakan Kebijakan Diperlukan
Evaluasi Thd Implementasi kinerja, & dampak Kebijakan
Hasil
Mengarah ke Kinerja & Dampak Kebijakan
Diperlukan Kebijakan Baru
Sumber:
Randall B Ripley, Randall B, ”Policy Analysis in Political Science,” dalam AG Subarsono dkk., Analisis Kebijakan Publik (Cet. IV; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 11.
Dalam penyusunan agenda kebijakan ada tiga kegiatan yang perlu dilakukan yakni; (1) membangun persepsi dikalangan stakeholders bahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai masalah. Sebab bisa jadi suatu gejala oleh sekelompok masyarakat tertentu dianggap masalah, tetapi oleh sebagian masyarakat yang lain atau elite politik bukan dianggap sebagai masalah; (2) Membuat batasan masalah; dan (3) Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah. Memobilisasi dukungan ini dapat dilakukan dengan cara mengorganisir kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat dan ketentuan-ketentuan politik, publikasi melalui media massa dan sebagainya. Pada tahap formulasi dan legitimasi kebijakan, analisis kebijakan perlu mengumpulkan dan menganalisis informasi yang berhubungan dengan masalah yang bersangkutan, kemudian berusaha mengembangkan alternatif-alternatif kebijakan, membangun dukungan, dan melakukan negosiasi, sehingga sampai pada sebuah kebijakan yang dipilih. Universitas Indonesia
39
Tahap selanjutnya adalah implementasi kebijakan. Pada tahap ini perlu dukungan sumber daya dan penyusunan organisasi pelaksana kebijakan. Dalam proses implementasi sering ada mekanisme intensif dan sanksi agar implementasi suatu kebijakan berjalan dengan baik. Dari tindakan kebijakan akan dihasilkan kinerja dan dampak kebijakan, dan proses selanjutnya adalah evauasi terhadap implementasi, kinerja, dan dampak kebijakan. Hasil evaluasi ini bermanfaat bagi penentuan kebijakan baru dimasa yang akan dating, agar kebijakan yang akan dating lebih baik dan lebih berhasil. Anderson, dalam Subarsono (2009), menjelaskan proses kebijakan publik sebagai berikut: 1. Formulasi masalah (problem formulation): Apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana maslah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintahan? 2. Formulasi kebijakan (formulation): Bagaimana mengembangkan pilihanpilihan atau alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan? 3. Penentuan
kebijakan
(adption):
Bagaimana
alternatif
ditetapkan?
Persyaratan atau kriteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan
kebijakan?
Bagaimana
proses
atau
strategi
untuk
melaksanakan kebijakan? Apa isi dari kebijakan yang telah ditetapkan? 4. Implementasi (implementation): Siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan? 5. Evaluasi (evaluation): Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk melakukan perubahan atau pembatalan?
Universitas Indonesia
40
Sedangkan Howlet dan Rames, dalam Subarsono (2009), menyatakan bahwa proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan sebagai berikut: 1. Penyusunan agenda (agenda setting): yakni suatu proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah. 2. Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni suatu proses perumusan pilihan-pilihan kebiajkan oleh pemerintah. 3. Pembuatan kebijakan (decision making), yakni proses ketika pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan. 4. Implementasi
kebijakan
(policy
implementation),
proses
untuk
melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil. 5. Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni proses untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.
2.6 Penelitian Terdahulu Ada beberapa penelitian dan kajian relevan yang mengangkat topik bagi hasil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia. Penelitian dan kajian terdahulu tersebut lebih menekankan kepada dampak fiskal yang terjadi melalui mekanisme simulasi bagi hasil PPN antara pusat dan daerah. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, disamping melakukan simulasi fiskal bagi hasil PPN untuk melihat pemerataan fiskal antar daerah yang ditimbulkan, penelitian ini juga mengkaji kemungkinan PPN menjadi salah satu komponen alternatif dana bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia dilihat dari kriteria kebijakan transfer fiskal yang layak dalam konsep desentralisasi fiskal. Untuk memperkaya literatur, tidak ada salahnya bagian-bagian penting yang relevan dari penelitian-penelitian tersebut disajikan dalam bab ini, sebagai berikut: 1. Penelitian Alisjahbana (2003) yang mengangkat judul “Desentralisasi Fiskal dan Mobilisasi Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota: Simulasi Bagi Universitas Indonesia
41
Hasil PPh Badan dan PPN-PPnBM”. Berikut disajikan beberapa poin penting dari penelitian ini, yaitu: a. Tujuan penelitian (umum): yaitu mengkaji kemungkinan peningkatan penerimaan daerah melalui desentralisasi penerimaan pusat dari pajakpajak pusat yang belum dibagihasilkan, yaitu PPh Badan dan PPNPPnBM. b. Tujuan penelitian (spesifik): Mengkaji perumusan bagi hasil PPh Badan dan PPN-PPnBM dari segi desain dan implikasinya terhadap dana perimbangan. Melakukan simulasi bagi hasil PPh Badan dan PPN-PPnBM terhadap penerimaan daerah Kabupaten/Kota serta implikasinya bagi kesenjangan fiskal horizontal dan vertikal. Membahas berbagai isu khusus dan implikasi kebijakan yang terkait dengan bagi hasil PPh Badan dan PPN-PPnBM. c. Metodologi penelitian: Porsi bagi hasil PPh Badan dan PPN-PPnBM antara pemerintah pusat dan daerah adalah sebesar 20%, dimana 8% dibagihasilkan kepada propinsi dan 12% kepada kabupaten/kota. Metode bagi hasil yang digunakan berdasarkan indikator PDRB kabupaten/kota i dibagi dengan total PDRB kabupaten/kota sebagai faktor pengali terhadap nilai PPh Badan dan PPN-PPnBM yang dibagihasilkan kepada masing-masing daerah kabupaten/kota. Simulasi bagi hasil PPh Badan dan PPN-PPnBM akan diikuti dengan perubahan pada formulasi DAU. Indikator yang digunakan untuk mengukur variasi pendapatan per kapita menurut sumbernya adalah koefisien variasi, standar variasi dari logaritma, dan koefisien gini. Simulasi bagi hasil PPh Badan dan PPN-PPnBM menggunakan basis data tahun 2002.
Universitas Indonesia
42
d. Hasil Penelitian: Secara keseluruhan, alokasi APBN untuk dana perimbangan setelah bagi hasil PPh Badan dan PPN-PPnBM meningkat sebesar 15%, yang dengan sendirinya berarti mengurangi kesenjangan fiskal vertikal. Secara rata-rata, penerimaan daerah kabupaten/kota setelah bagi hasil PPh Badan dan PPN-PPnBM meningkat sebesar 7%, namun jika dilihat distribusi peningkatannya diantara daerah kota dengan kabupaten ternyata tidak merata, dapat dilihat sebagai berikut: i. Daerah kota yang PDRB-nya relatif tinggi mengalami peningkatan penerimaan daerah yang cukup signifikan yaitu sebesar 11%. Sementara daerah kabupaten hanya mengalami peningkatan sebesar 6%. ii. Penerimaan daerah kabupaten penghasil migas meningkat sebesar 8%, sementara daerah kabupaten non penghasil migas hanya meningkat rata-rata sebesar 6%. iii. Peningkatan penerimaan daerah di jawa, bali dan kalimantan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lainya. Dominasi sektor industri dan jasa di jawa dan bali, serta sektor migas
yang
dominan
di
kalimantan
menyebabkan
ketidakmerataan tersebut. Dampak kesenjangan fiskal horizontal dari bagi hasil PPh Badan dan PPN-PPnBM tidak akan lebih buruk karena dapat diminimalisir oleh perubahan formulasi DAU. e. Kelemahan Penelitian: Dalam tulisan ini penulis mengemukakan bahwa perumusan yang lebih tepat adalah jika yang diperhitungkan hanya komponen PPN saja, namun karena keterbatasan akses data, maka komponen PPnBM disatukan dengan PPN dalam simulasi bagi hasil. 2. Kajian dengan judul “Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai: Sebuah Alternatif Penguatan Keuangan Daerah di Era Desentralisasi” yang dilakukan oleh Simanjuntak (2006). Fokus kajian ini terdiri atas 3 (tiga) Universitas Indonesia
43
bagian, yaitu (1) kondisi fiskal pemerintah daerah di Indonesia, (2) reformasi mobilisasi penerimaan daerah, dan (3) simulsi dampak bagi hasil PPN. Dilihat dari relevansinya dengan penelitian ini, bagian ketiga mengenai simulasi dampak bagi hasil PPN akan dijabarkan lebih lanjut dengan beberapa poin penting sebagai berikut: a. Tujuan: Memberikan usulan perbaikan sistem keuangan pusat dan daerah melalui bagi hasil PPN, dengan melakukan analisis dampak keuangan yang akan terjadi kepada daerah dan pusat. Memperlihatkan bahwa bagi hasil PPN akan membawa keuntungan kepada pusat dan daerah,dengan asumsi bahwa pengelolaan PPN yang efisien oleh pusat tanpa distorsi dari pajak-pajak daerah serta didukung secara antusias oleh daerah akan menghasilkan basis PPN tumbuh dengan pesat. b. Metodologi penelitian: Mengalihkan pajak hotel dan restoran serta pajak penerangan jalan sebagai PPN yang dipungut pusat, kemudian hasil penerimaannya dibagihasilkan kepada daerah melalui mekanisme bagi hasil. Pajakpajak daerah tersebut dialihkan sebagai PPN karena mengganggu potensi atau basis pajak PPN. Pengalihan ini dimaksudkan untuk sinkronisasi pajak-pajak daerah dan pusat. Kedua jenis pajak daerah ini tidak hanya memiliki kecenderungan mengikis potensi pajakpajak pusat, namun juga mengakibatkan inefisiensi pemungutan pajak secara nasional. Bagi hasil PPN dialokasikan kepada daerah berdasarkan pada tingkat PDRB dan jumlah penduduk. Porsi bagi hasil yang didistribusikan kepada daerah adalah sebesar 30% dan 50% dengan asumsi tingkat pertumbuhan penerimaan PPN sebesar 10%, 20%, 30%, 40% dan 50%. Pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota disatukan menjadi pemerintah daerah. Universitas Indonesia
44
Simulasi bagi hasil PPh Badan dan PPN-PPnBM menggunakan basis data tahun 2003. c. Hasil penelitian: Bagi hasil PPN antara pusat dan daerah di Indonesia akan membawa peningkatan penerimaan yang substansial bagi pemerintah daerah di Indonesia. Porsi bagi hasil PPN sebesar 30% dengan asumsi pertumbuhan penerimaan PPN 40% akan membawa manfaat yang lebih baik bagi pusat maupun daerah. Semakin berkembangnya penerimaan PPN akan menawarkan lebih banyak penerimaan bagi pusat, sehingga komitmen baik pusat maupun daerah untuk mendorong laju perekonomiannya akan menimbulkan kesempatan bagi pusat dan daerah untuk bersama-sama mendapat manfaat yang lebih baik. d. Kelemahan penelitian: Kajian ini tidak memperlihatkan dampak bagi hasil PPN terhadap disparitas keuangan antar daerah di Indonesia. 3. Penelitian “Dampak Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap Pemeretaan Fiskal antar Pemerintah Propinsi di Indonesia” oleh Romdhoni (2006). Beberapa poin penting dari penelitian ini disajikan sebagai berikut: a. Tujuan Penelitian: Menganalisis kelayakan bagi hasil PPN dalam mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah (propinsi) di Indonesia. b. Metodologi Penelitian: Untuk keperluan simulasi bagi hasil PPN antara pusat dan daerah (propinsi), digunakan tiga porsi bagi hasil yang menjadi bagian daerah, yaitu sebesar 20%, 25% dan 30%. Penggunaan porsi lebih dari satu ini dimaksudkan untuk menentukan porsi yang terbaik. Dari porsi bagi hasil yang menjadi bagian daerah tersebut, dibagi dengan rincian 10% diserahkan kepada daerah berdasarkan besarnya kontribusi penerimaan PPN, 45% dibagi rata kepada setiap daerah, 45% lagi diserahkan kepada daerah berdasarkan indeks bagi hasil. Universitas Indonesia
45
Indeks bagi hasil yang digunakan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu Equity and Specific Needs Approach (ESNA), Equity and Needs Approach (ENA), dan Equity and Revenue Approach (ERA). Faktor penentu pendekatan ESNA adalah tingkat pertumbuhan daerah, ENA berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah daerah, sementara yang menjadi penentu pendekatan ERA adalah tingkat konsumsi daerah. Untuk mengukur pemerataan fiskal antar daerah sebelum dan setelah bagi hasil PPN digunakan indikator berupa Indeks Williamson, Koefisien Variasi, dan indeks Theil. Simulasi bagi hasil PPh Badan dan PPN-PPnBM menggunakan basis data tahun 2004. c. Hasil penelitian: Metode ESNA dengan ukuran apapun (koefisien variasi, indeks williamson, dan indeks theil) merupakan metode yang paling baik dibandingkan dengan metode ENA dan ERA. Semakin besar porsi bagi hasil dengan metode ini, akan menghasilkan pemerataan yang lebih baik. Metode ERA dengan ukuran apapun (koefisien variasi, indeks williamson, dan indeks theil) selalu menghasilkan ketidakmerataan yang lebih besar dibandingkan dengan metode lainnya, namun masih lebih baik jika dibandingkan dengan ketidakmerataan sebelum bagi hasil. Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bagi hasil PPN dapat diaplikasikan dan mampu mengoreksi ketimpangan fiskal antar propinsi di Indonesia.
2.7 Operasionalisasi Konsep Teori yang digunakan dalam menilai kelayakan kebijakan bagi hasil PPN di Indonesia mengadopsi kriteria-kriteria yang diajukan oleh Decentralization Thematic Team dari World Bank (Shah, 2007). Terdapat lima belas kriteria yaitu: Universitas Indonesia
46
Clarity in grant objectives, Otonomi (Autonomy), Penerimaan yang memadai (revenue
adequacy),
Responsiveness,
Keadilan
(equity),
Predictability
Transparency, Efficiency, Sederhana (simplicity), Insentif, Reach, Safeguarding of grantor’s objective, Affordability, Singular focus, dan Accountability for result. Namun, diantara 15 (lima belas) kriteria tersebut, yang dijadikan sebagai landasan operasional dalam penelitian ini adalah 6 (enam) kriteria, yaitu otonomi (Autonomy), penerimaan yang memadai (revenue adequacy), keadilan (equity), Transparansi dan stabilitas (transparance and stability), sederhana (simplicity) dan insentif (incentif). Pemilihan keenam kriteria tersebut didasarkan kepada pernyataan Simanjuntak (2002), bahwa keenam kriteria tersebutlah yang umum digunakan oleh banyak negara di dunia. Berikut disajikan kembali penjelasan keenam kriteria kelayakan transfer fiskal pusat ke daerah tersebut, yaitu: 1. Otonomi (Autonomy) Pemerintah daerah harus memiliki independensi dan fleksibilitas dalam menentukan
prioritas-prioritas
mereka.
Tidak
boleh
ada
batasan
sedemikian ketat sehingga sebagian besar keputusan di daerah harus mengikuti kepada ketentuan pusat. Pajak-pajak dimana daerah bisa ikut memungut di atas tingkat yang ditetapkan pusat (piggyback), bagi hasil (revenue sharing) berlandaskan formula atau transfer yang bersifat umum (block grant) adalah sumber-sumber penerimaan daerah yang konsisten dengan tujuan tersebut. 2. Penerimaan yang memadai (revenue adequacy) Pemerintah daerah semestinya memiliki pendapatan (termasuk transfer fiskal) yang cukup untuk menjalankan segala kewajiban atau fungsi yang diembannya. 3. Keadilan (equity) Besarnya dana transfer dari pusat ke daerah seyogyanya berhubungan positif dengan kebutuhan fiskal daerah dan berkorelasi negatif dengan besarnya kapasitas daerah bersangkutan.
Universitas Indonesia
47
4. Transparan dan stabil (Transparency and stability) Formula transfer mesti diumumkan sehingga dapat diakses oleh masyarakat. Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa setiap daerah dapat memikirkan berapa penerimaan totalnya (termasuk transfer) sehingga memudahkan penyusunan anggaran. Formula transfer seharusnya dapat dipakai untuk jangka menengah (3-5 tahun), agar perencanaan jangka menengah dan panjang dapat dilakukan oleh daerah. 5. Sederhana (simplicity) Alokasi dana kepada pemerintah daerah semestinya didasarkan kepada faktor-faktor objektif, dimana unit-unit individual tidak memiliki kontrol atau tidak dapat mempengaruhinya. Disamping itu juga formula yang dipakai seyogyanya relatif mudah untuk dipahami. 6. Insentif Desain dari transerf ini harus sedemikian rupa sehingga memberikan semacam insentif bagi daerah dengan manajemen fiskal yang baik dan sebaliknya menangkal praktek-praktek yang tidak efisien. Dengan demikian tidak perlu ada transfer khusus untuk membiayai defisit anggaran pemerintah daerah atau ada semacam kontrol terhadap belanja daerah.
Universitas Indonesia
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian Metode Penelitian merupakan cara ilmah dalam rangka memperoleh data yang digunakan untuk tujuan tertentu (Kerlinger, 2004). Penelitian ilmiah harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Salah satu kriteria yang penting adalah hasil penelitiannya boleh diakses oleh publik sehingga dapat dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya serta dapat diuji oleh peneliti lainnya. Dalam penelitian ilmiah tersebut, metodologi penelitian sebagai tata cara memahami obyek yang dibahas, memiliki peran penting dimana pemilihannya harus sesuai dengan tujuan penelitian berdasarkan kaidah-kaidah yang ditetapkan. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah positivisme. Menurut Neuman, peneliti yang menggunakan pendekatan positivis memandang ilmu sosial sebagai : “ an organized method for combining deductive logic with precise empirical oservations of individual behavior in order to discover and confirm a set of probabilistic causal laws that can be use to predict general patterns of human activity“ (Neuman, 2003). dengan pendekatan positivis, peneliti menggunakan sejumlah teori dan konsep untuk mengkaji topik yang menjadi tema penelitian ini. Bagi peneliti positivis, teori digunakan secara deduktif dan ditempatkan diawal rencana penelitian. peneliti positivis memulai penelitiannya dengan mengajukan sebuah teori, mengumpulkan data untuk mengujinya, dan menguji ulang apakah teori tersebut diperkuat atau diperlemah oleh hasil-hasil penelitian. Namun ada satu pertanyaan penelitian, yaitu pertanyaan penelitian pertama; identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan belum diterapkannya bagi hasil PPN antara pusat dan daerah di Indonesia. Pemecahan pertanyaan penelitian ini memerlukan eksplorasi dari key informan, sehingga digunakan pendekatan kualitatif untuk memecahkannya. Pendekatan kualitatif digunakan karena masalah ini memerlukan pemecahan secara mendalam (Irawan, 2006). Namun makna 48
Universitas Indonesia
49
kebenaran yang diperoleh dari pendekatan ini akan bersifat plural (beragam), tidak ada kebenaran tunggal.
3.2 Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah sebagai sebuah upaya untuk mengklasifikasikan suatu penelitian dengan tujuan untuk mengarahkan proses penelitian yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian yang telah dirancang sedemikian rupa sebelumnya. Berikut disajikan klasifikasi penelitian ini berdasarkan manfaat penelitian, tujuan penelitian, dimensi waktu, dan berdasarkan teknik pengumpulan data. 1. Berdasarkan manfaat penelitian Berdasarkan manfaatnya, penelitian ini diklasifikasikan sebagai penelitian murni. Penelitian murni merupakan penelitian yang dilakukan dalam kerangka akademis, sebagaimana penelitian ini yang dilakukan dalam rangka penulisan tesis sebagai salah satu syarat menyelesaikan program magister ilmu administrasi. 2. Berdasarkan tujuan penelitian Berdasarkan tujuannya, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti (Faisal, 1989). Sejalan dengan definisi dan kriteria di atas, penelitian ini yang berupaya menggali kelayakan atas bagi hasil PPN di Indonesia. Seperti kita ketahui, sampai saat ini PPN sebagai pajak pusat terbesar kedua dari sisi penerimaan belum dibagihasilkan kepada daerah. Isu ini sempat berhembus di kalangan para pakar, namun masih menjadi polemik untuk diterapkan. Berdasarkan argumen itulah, penelitian ini mencoba untuk mengeksplorasi dan mendeskripsikan isu ini lebih jauh. Universitas Indonesia
50
3. Berdasarkan dimensi waktu Berdasarkan dimensi waktunya, penelitian ini dikelompokkan sebagai penelitian cross-sectional. Penelitian cross-sectional adalah penelitian yang dilakukan dalam satu waktu tertentu, dan tidak dapat diperbandingkan dengan penelitian yang lain pada waktu yang berbeda walaupun dengan topik yang sama karena masing-masing berjalan sendiri-sendiri
3.3 Metode dan Strategi Penelitian 3.3.1 Sumber Data Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini berasal dari data primer maupun data sekunder, dijelaskan sebagai berikut: 1. Data primer, yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan. Dalam penelitian ini data primer diperoleh secara langsung dari key informan melalui teknik wawancara. 2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan dari sumbersumber yang telah tersedia. Data sekunder dalam penelitian ini berupa publikasi yang diperoleh dari Departemen Keuangan, Badan Pusat Statistik (BPS), peraturan perundangan di bidang perimbangan keuangan dan perpajakan, maupun data berupa literatur yang diperoleh dari publikasi berupa buku, jurnal, hasil penelitian, dan artikel.
3.3.2 Teknik Pengumpulan Data Dalam rangka mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan penelitian ini, digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1. Wawancara Wawancara dilakukan dilakukan terhadap key informan yang dipilih sebagai sampel (lihat bagian 3.5 bab ini). Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini berformat tidak terstruktur, guna mencari lebih banyak informasi dari informan. Walaupun wawancara yang Universitas Indonesia
51
dilakukan bersifat tidak terstruktur, namun sebelum wawancara dilakukan juga dipersiapkan sebuah pedoman wawancara. Pedoman wawancara tersebut hanya berupa garis besar permasalahan yang akan ditanyakan saja berdasarkan operasionalisasi konsep yang telah disusun dalam Bab II Tinjauan Pustaka. Di lapangan, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada key informan akan berkembang untuk menggali lebih dalam informasi yang dibutuhkan. Pertanyaan yang diajukan akan bersifat kritis dan analisis. 2. Studi dokumentasi Studi dokumentasi digunakan untuk melengkapi pembahasan berdasarkan data yang diperoleh dari key informan. Dokumen-dokumen berupa peraturan perundangan di bidang perimbangan keuangan dan perpajakan serta publikasi oleh Departemen Keuangan (misalnya: sebaran realisasi penerimaan PPN setiap daerah, Nota APBN dan APBD, distribusi bagi hasil pajak kepada daerah selain PPN, dan lain-lain). Dokumen-dokumen tersebut terutama digunakan dalam menjawab pertanyaan penelitian yang ketiga (dampak bagi hasil PPN terhadap pemerataan fiskal antar daerah di Indonesia), dan digunakan sebagai pendukung analisis data yang diperoleh dari key informan, untuk menjawab pertanyaan penelitian pertama (identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan belum diterapkannya bagi hasil PPN di Indonsia) dan kedua (analisis kelayakan bagi hasil PPN di Indonesia). 3. Studi kepustakaan Studi ini dilakukan dengan membaca dan mempelajari sejumlah literatur relevan mengenai desentralisasi fiskal, keuangan negara dan daerah, dan perpajakan berupa buku, paper dan karya ilmiah dari sejumlah jurnal, artikel di media masa dan internet.
Universitas Indonesia
52
3.3.3 Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dilakukan secara parsial terhadap setiap permasalahan penelitian yang diajukan. Teknik dan indikator yang digunakan untuk menganalisis setiap permasalahan tersebut tidak selalu sama. Untuk menjawab pertanyaan penelitian pertama dan kedua, hasil studi kepustakaan, dokumentasi dan wawancara yang dilakukan kemudian diubah menjadi data berbentuk tulisan (transkrip) agar dapat menggambarkan fenomena penelitian secara lebih sistematis. Data tersebut kemudian di coding, dengan tujuan untuk memudahkan dalam pemilahan dan penggolongan data yang telah dikumpulkan. Selanjutnya data yang telah di coding dikategorisasikan, dengan cara mengelompokkan data-data yang sejenis menjadi satu kategori. selanjutnya dilakukan proses analisis data dengan metode narrative yaitu merubah hasil penelitian ke dalam bentuk deskriptif untuk menceritakan secara rinci agar dapat meningkatkan pemahaman terhadap fenomena yang terjadi dibandingkan dengan teori yang ada (Neumann, 2000). Untuk mementukan basis bagi hasil PPN, yang merupakan bagian dari pertanyaan penelitian yang kedua, dilakukan penelusuran secara teoritis terhadap nature of tax PPN di Indonesia, untuk selanjutnya dikonfirmasikan terhadap pernyataan key informan. Untuk memastikan seberapa erat keterkaitan antara basis bagi hasil yang telah ditentukan (konsumsi) dengan penerimaan PPN di Indonesia dilakukan analisis korelasi kedua variabel tersebut. Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS 17. Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ketiga, dilakukan simulasi bagi hasil PPN antara pusat dan daerah di Indonesia. Sebelum dilakukan bagi hasil, terlebih dahulu ditetapkan besaran bagi hasil PPN dan basis bagi hasil. Adapun basis bagi hasil telah ditentukan sebelumnya dalam jawaban pertanyaan penelitian yang kedua, sebagaimana dipaparkan dalam paragraf di atas. Untuk menguji pemerataan fiskal sebelum dan sesudah bagi hasil dipelukan suatu indikator kuantitatif, yaitu Indeks Williamson.
Universitas Indonesia
53
Dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman secara utuh, maka langkah-langkah yang digunakan dalam analisis korelasi basis bagi hasil (konsumsi) dengan penerimaan PPN, simulasi bagi hasil dan peenentuan pemerataan fiskal yang ditimbulkan akan dijelaskan secara langsung dalam Bab V, bab analisis dan pembahasan yang terkait.
3.4 Hipotesis Hipotesis adalah dugaan (jawaban) sementara peneliti terhadap pertanyaan penelitian. Hipotesis dirasa perlu untuk pertanyaan penelitian yang kedua dan ketiga yang dapat dijadikan sebagai panduan dalam proses penelitian. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang mengangkat bagi hasil PPN (Lihat Bab 2.6 Penelitian Terdahulu), yang berkesimpulan PPN dapat dijadikan alternatif bagi hasil pajak di Indonesia. Mahroji (2005) dalam penelitiannya, bahkan lebih spesifik menyimpulkan bahwa “Bagi hasil PPN menimbulkan ketimpangan keuangan antar daerah yang lebih rendah dibandingkan dengan bagi hasil PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21, sehingga layak dipertimbangkan sebagai alternatif dana transfer dari pusat ke daerah.” Dengan mengacu kepada hasil penelitian-penelitian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Terdapat hubungan yang erat antara konsumsi, yang merupakan basis bagi hasil PPN, dengan penerimaan PPN di Indonesia. 2. PPN layak dijadikan sebagai salah satu alternatif Dana Bagi Hasil Pajak antara pusat dan daerah di Indonesia. 3. Bagi hasil PPN tidak menimbulkan pemerataan fiskal yang lebih buruk antar daerah di Indonesia.
Universitas Indonesia
54
3.5 Key Informan 3.5.1 Teknik Pemilihan Key Informan (Sampling) Penentuan sampling dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan menggunakan informan kunci (key informan). Penentuan sampling dalam penelitian ini tidak bermaksud untuk menggambarkan karakteristik populasi atau menarik generalisasi kesimpulan yang berlaku bagi suatu populasi, melainkan lebih terfokus kepada representasi suatu fenomena sosial. Pertimbangan penentuan sampling lebih kepada kemampuan sampel untuk memasok informasi selengkap mungkin kepada peneliti.
3.5.2 Key Informan yang Dipilih Key informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah orang-orang yang sarat informasi sesuai dengan fokus penelitian. Oleh karena penelitian ini mengangkat topik intergovernmental transfer dalam hal ini bagi hasil PPN antara pusat dan daerah di Indonesia, maka key informan yang dipilih adalah orangorang yang memenuhi kualifikasi sebagai ahli di bidang desentralisasi fiskal dan keuangan negara. key informan dalam penelitian ini sengaja dirancang bervariasi dari beragam latar belakang agar hasil yang didapatkan tidak bias dan perspektif yang dihasilkan akan bersifat komprehensif. Secara ringkas key informan yang dipilih adalah sebagai berikut: 1. Legislator dari Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu Dr. Harry Azhar Aziz. Beliau saat ini menjabat sebagai ketua Badan Anggaran DPR-RI 2. Pakar Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Negara dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, yaitu Dr. Raksaka Mahi 3. Pakar Desentralisasi Fiskal dari Pusat Studi Keuangan Daerah (PSKD) Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, yaitu Dr. Hefrizal Handra, M.Soc.Sc. beliau saat ini menjadi sebagai salah satu anggota tim perumus rancangan naskah akademik amandemen Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia, di Departemen Keuangan Universitas Indonesia
55
4. Pakar Keuangan Negara dari Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, yaitu Dr. Machfud Sidik, M.Sc dan Dr. Roy Salomo, M.Soc.Sc
3.6 Proses Penelitian Proses penelitian dilakukan dengan langkah-langkah yang sistematis sesuai dengan langkah penelitian kualitatif, yang dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 3.1 Proses Penelitian Menentukan permasalahan penelitian
Penelitian awal
Pengkajian literatur
Penentuan fokus dan objek penelitian
Penentuan metode penelitian
Analisis Data
Pengumpulan data
Pengambilan kesimpulan
Sumber: Peneliti
Universitas Indonesia
56
3.7 Penentuan Lokasi dan Objek Penelitian Penelitian studi kepustakaan dilakukan di beberapa perpustakaan di Jakarta dan Bogor. Studi dokumentasi dilakukan di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dan dengan menelusuri dokumen-dokumen yang dipublikasikan oleh departemen tersebut di website masing-masing. Sementara wawancara dilakukan di kantor key informan dan di tempat lain di Jakarta.
Universitas Indonesia
BAB 4 BAGI HASIL PAJAK YANG TELAH DITERAPKAN DI INDONESIA
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan hak daerah atas pengelolaan sumbersumber penerimaan negara yang dihasilkan dari masing-masing daerah. Besaran bagi hasil kepada daerah didasarkan atas ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Secara garis besar, DBH terdiri atas DBH perpajakan dan DBH Sumber Daya Alam (SDA). Sumber-sumber penerimaan pajak yang dibagihasilkan meliputi Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. 4.1 Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 4.1.1 Pengertian dan Konsep Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak yang dikenakan atas bumi dan atau bangunan, yang terakhir diatur dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997. Subjek pajak dalam PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Objek pajaknya adalah bumi dan/atau bangunan. Pengertian bumi adalah permukaan dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Tarif PBB yang dikenakan atas objek pajak bumi dan bangunan adalah sebesar 0,5%. Dasar pengenaan pajaknya adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP merupakan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bila tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pajak pengganti. Besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya. 57
Universitas Indonesia
58
Dasar penghitungan pajaknya adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP. Adapun cara menghitung PBB terutang adalah tarif pajak dikalikan NJKP dikalikan NJOP. Besarnya persentase NJKP terakhir ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Sebesar 40% dari NJOP untuk objek Pajak Perkebunan, Pajak Kehutanan, dan Pertambangan; 2. Untuk objek pajak lainnya sebesar 40% dari NJOP apabila NJOP nya Rp 1.000.000.000,00 atau lebih, dan 20% dari NJOP apabila NJOP kurang dari Rp 1.000.000.000,00. PBB Perdesaan dan Perkotaan, berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, ditetapkan menjadi Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Namun dalam ketentuan penutup undang-undang ini, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB yang terkait dengan peraturan pelaksanaan mengenai pedesaan dan perkotaan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, sepanjang belum ada Peraturan Daerah tentang PBB yang terkait dengan pedesaan dan perkotaan.
4.1.2 Mekanisme dan Penyaluran Dana Bagi Hasil Penerimaan negara dari pajak bumi dan bangunan dibagi dengan imbangan 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk daerah. Dana bagi hasil (DBH) PBB untuk daerah sebesar 90% sebagaimana dimaksud di atas dibagi dengan rincian sebagai berikut: 1. 16,2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan; 2. 64,8% untuk kabupaten/kota yang bersangkutan; dan 3. 9% untuk biaya pemungutan yang dibagikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan daerah.
Universitas Indonesia
59
10% penerimaan PBB bagian pemerintah pusat sebagaimana pembagian di atas dialokasikan kepada seluruh kabupaten/kota, dengan rincian sebagai berikut: 1. 6,5% dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten/kota. Pembagian ini dimaksudkan dalam rangka pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. 2. 3,5% dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten/kota yang realisasi penerimaan PBB sektor pedesean dan perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan. Pemberian insentif ini dimaksudkan untuk mendorong intensifikasi pemungutan PBB. Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 90% dari hasil penerimaan yang merupakan bagian daerah yang dibagi dengan rincian sebagai berikut: 1. 16,2% dibagikan untuk daerah provinsi, yang dibagi dengan imbangan: a) 30% untuk biaya pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan; dan b) 70% untuk daerah provinsi dan disalurkan melalui rekening kas daerah Provinsi. 2. 64,8% dibagikan untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan, dengan imbangan: c) 30% untuk biaya pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan; dan d) 70% untuk daerah kabupaten/kota dan disalurkan melalui rekening kas daerah kabupaten/kota 3. 9% untuk biaya pemungutan yang dibagikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Daerah. Alokasi DBH PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Alokasi ini ditetapkan berdasarkan rencana penerimaan PBB tahun anggaran bersangkutan paling lambat dua bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan. DBH PBB disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah. Penyaluran DBH PBB dilaksanakan Universitas Indonesia
60
berdasarkan realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan. Penyaluran DBH PBB dilaksanakan secara mingguan, yaitu setiap hari rabu dan Jumat. Penyaluran PBB bagian pemerintah sebesar 6,5% yang dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten/kota dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu pada bulan April, Agustus, dan November tahun anggaran berjalan. Sementara penyaluran PBB bagian pemerintah sebesar 3,5% yang dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten/kota yang realisasi penerimaan PBB sektor pedesaan dan perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan, dilaksanakan dalam bulan november tahun anggaran berjalan.
4.2 Bagi Hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 4.2.1 Pengertian dan Konsep Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang terakhir diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997. Tarif pajaknya adalah sebesar lima persen dari dasar pengenaan paiak (DPP), yaitu Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan merupakan perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah dan atau bangunan tersebut adalah hak atas tanah, termasuk pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak atas tanah dimaksud adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan Subjek BPHTB adalah orang pribrdi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Objeknya adaiah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi sebagai berikut: 1. Pemindahan hak karena: Universitas Indonesia
61
a. Jual beli; b. Tukar-menukar; c. Hibah: d. Hibah wasiat; e. Waris; f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; h. Penunjukan pembeli dalam lelang; i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap j. Penggabungan usaha; k. Peleburan usaha; l. Pemekaran usaha; dan m. Hadiah. 2. Pemberian hak baru karena: a. Kelanjutan pelepasan hak; dan b. Di luar pelepasan hak. Tarif BPHTB adalah sebesar lima persen dan dasar pengenaan pajaknya adalah NPOP. Adapun NPOP yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Jual beli, adalah harga transaksi. 2. Tukar-menukar, adalah nilai pasar. 3. Hibah, adalah nilai pasar. 4. Hibah wasiat, adalah nilai pasar. 5. Waris, adalah nilai pasar. 6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, adalah nilai pasar 7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, adalah nilai pasar 8. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, adalah nilai pasar;. 9. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, adalah nilai pasar.
Universitas Indonesia
62
10. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, adalah nilai pasar. 11. Penggabungan usaha, adalah nilai pasar. 12. Peleburan usaha, adalah nilai pasar. 13. Pemekaran usaha, adalah nilai pasar; 14. Hadiah, adalah nilai pasar; 15. Penunjukan pembeii dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang. Apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB. Jika NJOP PBB belum ditetapkan, besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00 kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan secara regional paling banyak Rp300.000.000,00. Besarnya NPOPTKP tersebut di atas ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk setiap kabupaten/kota dengan memperhatikan usulan pemerintah daerah dan dapat diubah dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi regional.
4.2.2 Mekanisme dan Penyaluran Dana Bagi Hasil Penerimaan negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah. Dana Bagi Hasil (DBH) BPHTB untuk daerah sebesar 80% dibagi untuk daerah dengan rincian sebagai berikut: 1. 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan melalui rekening kas umum daerah provinsi; Universitas Indonesia
63
2. 64% untuk daerah kabupaten/kota penghasil dan disalurkan melalui rekening kas umum daerah kabupaten/kota. Selanjutnya bagian pemerintah sebesar 20% dialokasikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota. Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jumlah 80% bagian daerah dibagi dengan rincian sebagai berikut: 1. 16% untuk daerah provinsi, dibagi dengan imbangan: 30% untuk biaya pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan; 70% untuk daerah provinsi dan disalurkan melalui rekening kas daerah provinsi. 2. 64% untuk daerah kabupaten/kota penghasil, dibagi dengan imbangan: 30% untuk biaya pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan disalurkan melalui rekenins khusus dana pendidikan; 70% untuk daerah kabupaten/kota penghasil dan disalurkan melalui rekening kas daerah kabupaten/kota. Alokasi dana bagi hasil BPHTB ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Alokasi ini ditetapkan berdasarkan rencana penerimaan BPHTB tahun anggaran bersangkutan, dan paling lambat 2 bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan. DBH BPHTB disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah. Penyaluran DBH BPHTB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan BPHTB tahun anggaran berjalan. Penyaluran DBH BPHTB dilaksanakan secara mingguan, yaitu setiap hari Rabu dan Jumat. Penyaluran BPHTB sebesar 20% bagian pemerintah dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu pada bulan April, Agustus, dan November tahun anggaran berjalan.
Universitas Indonesia
64
4. 3 Bagi Hasil PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pasal 21 4.3.1 Pengertian dan Konsep Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) adalah PPh yang terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-Undang No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No 36 Tahun 2008, kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8). Pasal 25 ayat (8) ini mengatur mengenai pengenaan pajak orang pribadi yang bertolak keluar negeri, yang dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2000 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri, yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP Nomor 80 Tahun 2008. PPh Pasal 21 adalah pajak pengahsilan yang dipotong oleh pemberi kerja atas penghasilan yang dibayarkan kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang No 36 Tahun 2008, termasuk PPh Pasal 21 yang bersifat final dan setoran akhir tahun. Bagi hasil PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 pada awalnya diatur dalam amandemen ketiga UU PPh dengan terbitnya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000. Dalam perkembangan selanjutnya, apa yang diatur dalam UU PPh diatas kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Semula Dana Bagi Hasil (DBH) yang hanya meliputi PBB dan BPHTB ditambah dengan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c UU Nomor 33 Tahun 2004. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 4, Pasal 8, dan Pasal 9 PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Universitas Indonesia
65
Pasal 1 butir 13 PP Nomor 55 Tahun 2005 menyatakan bahwa PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN adalah pajak penghasilan terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-Undang PPh yang berlaku kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8). Sementara itu, PPh Pasal 21 menurut Pasal 1 butir 14 PP Nomor 55 Tahun 2005 adalah PPh berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang PPh yang berlaku.
4.3.2 Mekanisme dan Penyaluran Dana Bagi Hasil Berdasarkan Pasal 13 UU Nomor 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil (DBH) dari Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh Pasal 21 yang merupakan bagian daerah adalah sebesar 20%. DBH dari penerima PPh ini dibagi antara pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, dengan imbangan 60% untuk kabupaten/kota dan 40% untuk provinsi. Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, penerimaan Negara dari PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dibagikan kepada daerah sebesar 20% dengan rincian: 1. 8% untuk provinsi yang bersangkutan 2. 12% untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Bagian DBH WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebesar 12% untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dibagi dengan rincian: 1. 8,4% untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar, dan 2. 3,6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama besar. DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 tersebut diatas bersumber dari penerimaan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 berdasarkan daerah tempat wajib
Universitas Indonesia
66
pajak terdaftar. Alokasi DBH untuk masing-masing daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Alokasi sementara ditetapkan paling lambat dua bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. Alokasi sementara merupakan dasar penyaluran triwulan pertama, triwulan kedua, dan triwulan ketiga tahun anggaran berjalan, yang didasarkan atas rencana penerimaan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21. Penyaluran DBH triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga masing-masing sebesar 20% dari alokasi sementara ini. 2. Alokasi definitif ditetapkan paling lambat pada bulan pertama triwulan keempat tahun anggaran berjalan. Alokasi definitif merupakan dasar penyaluran triwulan keempat tahun anggaran berjalan, yang didasarkan atas prognosa realisasi penerimaan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21. Penyaluran DBH triwulan keempat didasarkan pada selisih antara pembagian definitif dengan jumlah dana yang telah dicairkan selama triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga. Dalam hal terjadi kelebihan penyaluran karena penyaluran triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga yang didasarkan atas pembagian sementara lebih besar daripada pembagian definitif, kelebihan dimaksud akan diperhitungkan dalam penyaluran DBH tahun anggaran berikutnya.
Universitas Indonesia
BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1.1 Faktor-faktor Penyebab Belum Diterapkannya Bagi Hasil PPN di Indonesia Belum diterapkannya bagi hasil PPN di Indonesia tentu ada faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Berdasarkan studi literatur dan di dukung oleh informasi yang disampaikan oleh key informan dalam wawancara, maka terdapat 3 (tiga) faktor yang menyebabkan belum diterapkannya bagi hasil PPN di Indonesia. Adapun ketiga faktor tersebut adalah: (1) masih terbatasnya studi dan kajian tentang bagi hasil PPN, (2) kekhawatiran pemerintah dan para pakar akan efek horizontal inequalization yang semakin melebar dari diterapkannya bagi hasil PPN, dan (3) belum adanya agenda dari pemerintah pusat untuk membagihasilkan PPN kepada pemerintah daerah. 1.1.1
Masih terbatasnya studi atau kajian tentang bagi hasil PPN. Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan, penulis
menemukan masih terbatasnya studi dan kajian yang mengangkat topik bagi hasil PPN di Indonesia. Selama penelitian dilakukan, penulis hanya menemukan beberapa kajian yang membahas topik ini (Lihat juga Bab 2.6 Penelitian Terdahulu), yaitu: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Armida Alisjahbana pada tahun 2003, dengan judul “Desentralisasi Fiskal dan Mobilisasi Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota: Simulasi Bagi Hasil PPh Badan dan PPN-PPnBM”. Penelitian ini terbit pada Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia Vol. 51 (4), Halaman 397-419. 2. Kajian yang dilakukan oleh Robert Simanjuntak pada tahun 2006 dengan judul “Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai: Sebuah Alternatif Penguatan Keuangan Daerah di Era Desentralisasi”. Kajian ini terbit Jurnal Ekonomi dan pembangunan Indonesia Vol. VI No. 02, 2006 Januari, Halaman 47-62 3. Penelitian yang dilakukan oleh Heryana Romdhoni pada tahun 2006
dengan judul “Dampak Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 67
Universitas Indonesia
68
terhadap Pemeretaan Fiskal antar Pemerintah Propinsi di Indonesia”. Penelitian ini merupakan Tesis pada Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Mahroji pada tahun 2005 dengan judul “Pengaruh Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) antara Pusat dan Daerah terhadap Kondisi Keuangan Pusat dan Kabupaten dan Kota di Indonesia”. Penelitian ini merupakan Tesis pada Program Magister Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Terbatasnya kajian yang mengangkat topik bagi hasil PPN ini secara tidak langsung mempengaruhi belum diterapkannya bagi hasil PPN di Indonesia. Wacana yang dilemparkan oleh kalangan akademisi dan pakar sedikit banyak akan mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Kajian yang dilakukan oleh akademisi dan pakar terhadap suatu wacaana akan memberikan masukan akademis atas kelayakan suatu kebijakan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Dr. Hefrizal Handra, M.Soc.Sc, dalam sebuah wawancara untuk tujuan penelitian ini, sebagai berikut: “Terdapat banyak faktor belum diterapkannya bagi hasil PPN di Indonesia, salah satunya adalah kajian tentang bagi hasil PPN belum banyak dilakukan.”
1.1.2
Kekhawatiran pemerintah dan para pakar akan efek horizontal inequalization yang semakin melebar dari diterapkannya bagi hasil PPN Selama ini, kekhawatiran yang muncul di kalangan pemerintah dan pakar
adalah, jika PPN di bagihasilkan, maka akan mempertajam horizontal imbalances antar daerah. kekhawatiran ini sah-sah saja, karena karakteristik dari revenue sharing, apakah itu berupa bagi hasil pajak maupun bagi hasil Sumber Daya Alam (SDA) cenderung akan menimbulkan kesenjangan fiskal antar daerah. hal ini sesuai dengan pernyatan yang disampaikan oleh Dr. Raksaka Mahi, dalam sebuah wawancara untuk tujuan penelitian ini, sebagai berikut:
Universitas Indonesia
69
“Secara nature bagi hasil itu akan menimbulkan kesenjangan antar daerah.” Untuk melihat lebih jauh bagaimana ketimpangan antar daerah yang ditimbulkan sehubungan dengan bagi hasil PPN antara pusat dan daerah di Indonesia, akan dijelaskan pada bagian 5.3.
1.1.3
Belum adanya agenda dari pemerintah pusat untuk membagihasilkan PPN kepada pemerintah daerah Membagihasilkan suatu jenis pajak antara pusat dan daerah di Indonesia
diatur berdasarkan undang-undang. Jenis pajak yang telah dibagihasilkan yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diatur mekanisme bagi hasilnya berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, yang kemudian digantikan oleh Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004. Kemudian mulai tahun 2001 PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21 dibagihasilkan kepada daerah dengan porsi 20% berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang
Pajak
Penghasilan,
demikian
juga
terakhir
penerimaan
cukai
dibagihasilkan kepada propinsi penghasil cukai berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Namun pada tahun 2009, dengan terbitnya amandemen yang ketiga terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah melalui Undangundang Nomor 42 Tahun 2009, tidak terdapat klausul yang menyatakan bagi hasil PPN antara pusat dan daerah. Saat ini sedang dilakukan pembahasan amandemen terhadap Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 di Departemen Keuangan, namun wacana yang membahas kemungkinan bagi hasil PPN antara pusat dan daerah tidak juga mengemuka. Hal ini dijelaskan oleh Dr. Hefrizal Handra, yang merupakan salah seorang yang terlibat sebagai tim penyusun kajian akademis amandemen undangundang tersebut, dalam sebuah wawancara untuk tujuan penelitian ini, sebagai berikut: Universitas Indonesia
70
“Yang saya tahu, saya kan masuk dalam tim penyusun naskah akademik, tadi aja kita rapat itu, kita tidak punya pikiran untuk membagihasilkan PPN, malah menurut kita bagihasil cukai itu sebuah kesalahan besar. begitu juga dengan bagihasil PPh orang pribadi itu juga sebuah kesalahan, karena pajak itu tidak layak untuk dibagi hasilkan, karena susah membedakan dimana beban pajak sama kejadian pajak, beban pajak sama dimana administrasinya dilakukan. Itu problem pajak dibagihasilkan.” Faktor belum dibagihasilkan PPN antara pusat dan daerah ini karena faktor belum adanya agenda pemerintah terkait wacana itu juga dibenarkan oleh Dr. Harry Azhar Aziz, Ketua Badan Anggaran DPR-RI, dalam sebuah wawancara untuk tujuan penelitian ini, sebagai berikut: “Saya dulu mengusulkan itu, namun pemerintah tidak mau. Undangundang itu disahkan apabila ada kesepakatan antara pemerintah dengan DPR. Apabila salah satu pihak tidak setuju, ya tidak lolos. Jadi percuma kalau DPR ngotot kalau pemerintah tidak ada wacana.” Proses pembuatan undang-undang adalah rentetan kejadian yang bermula dari perencanaan, pengusulan, pembahasan, dan pengesahan. Semua proses tersebut dilakukan oleh para aktor, yang dalam sistem demokrasi modern disebut eksekutif (Presiden beserta jajaran kementriannya) dan legislatif (DPR). Sebuah Rancangan Undang-undang (RUU) dapat berasal dari DPR (usul inisiatif DPR) atau dari pemerintah. Di DPR sendiri ada beberapa badan yang berhak mengajukan RUU, yaitu komisi, gabungan komisi, gabungan fraksi atau badan legislasi. Sementara itu, pada RUU usulan pemerintah, tata cara perumusannya diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata cara Mempersiapkan
Rancangan
Undang-undang.
Prosesnya
dimulai
dengan
penyusunan konsep dan naskah akademis yang diikuti oleh permohonan prakarsa yang dilakukan oleh departemen teknis atau lembaga non departemen yang terkait. Setelah mendapatkan persetujuan dari presiden barulah dibentuk panitia perancang RUU. Ada model yang hampir sama dalam setiap pembentukan tim perancang undang-undang ini. Ketuanya adalah menteri dari departemen teknis terkait, kemudian tim intinya terdiri dari pejabat eselon I (setingkat dirjen), pejabat dari instansi lain yang akan terkait dengan substansi RUU, serta tokoh Universitas Indonesia
71
atau akademisi yang dianggap memiliki keahlian di bidang tersebut. Sedangkan tim asistensi biasanya melibatkan banyak masyarakat sipil seperti kalangan LSM. Tim perancang ini kemudian akan merumuskan sekaligus mengonsultasikan rancangan tersebut kepada publik. Apabila dicapai kesepakatan bersama antara pemerintah melalui menteri yang ditugasi Presiden dengan DPR, maka RUU itu dikatakan telah mendapat persetujuan DPR dan pemerintah. Selanjutnya RUU yang telah mendapat persetujuan pemerintah dan DPR disampaikan kepada Presiden melalui Sekretariat Negara untuk mendapatkan pengesahan Presiden. Tahap terakhir lahirnya UU adalah pengundangan dalam Lembaran Negara.
1.2 Analisis Kelayakan Bagi Hasil PPN di Indonesia Salah satu karakteristik PPN di Indonesia adalah consumption type. Karakteristik ini dapat dilihat dari perlakuan terhadap barang modal. . Dengan kata lain, pajak masukan (input tax) atas perolehan barang modal dapat dikreditkan dengan pajak keluaran (output tax), sehingga tidak terjadi pengenaan pajak lebih dari satu kali terhadap barang modal. Karakteristik ini memberikan sifat netral PPN terhadap pola produksi. Pengusaha bebas memilih apakah mau menggunakan sistem produksi berupa padat modal atau padat karya, PPN tidak akan ikut menentukan. PPN sebagai pajak atas konsumsi memberikan indikasi bahwa PPN bukan pajak atas kegiatan bisnis. Sifat inilah yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara PPN dengan PPh yang merupakan pajak yang dikenakan atas kegiatan bisnis. Pernyataan diatas sesuai dengan Pasal 9 ayat (2), Pasal 9 ayat 5 jo Pasal 9 ayat 8 huruf b UU PPN No 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak penjualan atas barang mewah. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2), pajak masukan dalam suatu masa pajak dapat dikreditkan dengan pajak keluaran untuk masa yang sama. Namun demikian untuk mencegah cascade effect sebagai akibat dari larangan melakukan pengkreditan pajak masukan dengan pajak keluaran yang
Universitas Indonesia
72
berasal dari masa pajak yang berbeda, Pasal 9 ayat (9) membuka kemungkinan itu. Pasal 9 ayat (9) menjelaskan bahwa: Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. Pasal yang menyatakan kriteria pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah Pasal 9 ayat (5). Pasal ini menyebutkan bahwa: Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Sementara pada pasal 9 ayat (8) huruf b dinyatakan bahwa: Pengkreditan Pajak Masukan tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Untung Sukardji menginterpretasikan Pasal 9 ayat 5 jo Pasal 9 ayat 8 huruf b di atas, bahwa pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah pajak masukan yang dibayar atas pembelian atau perolehan barang atau jasa yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha yaitu kegiatan produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen untuk melakukan penyerahan barang atau jasa kena pajak. Pajak masukan yang dibayar sehubungan dengan pembelian barang modal dan barangbarang produksi lainnya sepanjang digunakan untuk kegiatan usaha yang dimaksud dalam peraturan perundangan tersebut di atas, tidak akan dikenakan pajak lagi sehingga kemungkinan terjadinya pemungutan pajak berganda dapat dihindari dan dapat membantu likuiditas perusahaan. Selain menganut karakteristik consumption type, Dalam pemungutannya, PPN di Indonesia menganut prinsip tempat tujuan (Destination Principle). Berdasarkan prinsip destination principle, PPN dipungut ditempat barang atau jasa dikonsumsi. Prinsip ini mengandung makna, PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri. PPN hanya dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi Universitas Indonesia
73
didalam daerah pabean Republik Indonesia. Apabila barang atau jasa itu akan dikonsumsi keluar negeri, tidak dikenakan PPN di Indonesia. Dengan menganut destination principle, PPN tidak bersifat diskriminatif, dalam pengertian produk domestik atau komoditi impor sama-sama dikenakan PPN dengan beban yang sama, karena sama-sama dikonsumsi di dalam negeri. Dua karakteristik
PPN
yang dianut di
Indonesia itulah,
yang
memungkinkan PPN dapat dibagihasilkan kepada daerah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dr. Raksaka Mahi, dalam sebuah wawancara untuk tujuan penelitian ini, bahwa: “PPN di Indonesia bercirikan destination principle dan consumption type, dua karakteristik inilah yang memungkinkan PPN di Indonesia dibagihasilkan. Kedua karakter itu memudahkan PPN di Indonesia dibagihasilkan. Jadi, kita cek saja dimana barang itu dikonsumsi, regardless apakah produk itu diproduksi di tempat lain. Poinnya, tempat produk itu dikonsumsi.” Data konsumsi yang tersedia di Indonesia saat ini adalah data konsumsi rumah tangga. Data ini merupakan hasil Survey Sosial ekonomi Nasional (Susenas) yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data ini diterbitkan setiap tahun dengan tujuan untuk menghasilkan data sosial ekonomi penduduk baik data kor (pokok) maupun data modul (rinci). Data tersebut digunakan oleh pemerintah sebagai alat monitoring program pembangunan khususnya bidang sosial. Sejak tahun 2005, Susenas diselenggarakan dua kali dalam satu tahun, yaitu pada bulan Maret dan Juli. Pada awalnya Susenas hanya dirancang untuk estimasi pada tingkat nasional dengan jumlah sampel 10.000 rumah tangga. Mulai tahun 2007, jumlah sampel Susenas diperbesar menjadi 68.800 rumah tangga yang disajikan untuk tingkat nasional dan propinsi. Untuk memastikan seberapa erat keterkaitan antara konsumsi rumah tangga dengan penerimaan PPN di Indonesia dilakukan analisis korelasi kedua variabel tersebut. Analisis ini diperlukan untuk membuktikan karakter PPN sebagai pajak atas konsumsi, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, berlaku atau tidak di Indonesia. Apabila terdapat hubungan yang erat antara konsumsi rumah tangga dengan penerimaan PPN, berarti karakter PPN sebagai pajak atas Universitas Indonesia
74
konsumsi berlaku di Indonesia, sehingga karakterisitik PPN sebagai pajak atas konsumsi dapat dibuktikan. Disamping itu, apabila terdapat hubungan yang erat antara kedua variabel tersebut, maka data konsumsi rumah tangga yang dihasilkan oleh BPS tersebut dapat dijadikan sebagai basis bagi hasil PPN antara pusat dan daerah di Indonesia. Hal ini juga dilakukan dalam melakukan simulasi bagi hasil antara pusat dan daerah di Indonesia pada subbagian 5.2 bab ini. Adapun langkah teknis dalam melakukan analisis korelasi antara konsumsi rumah tangga dengan penerimaan PPN di Indonesia, dijelaskan sebagai berikut: 1. Menyusun data penerimaan PPN dan konsumsi rumah tangga setiap propinsi secara berpasangan. Data yang digunakan adalah data tahun 2007 dan 2008. 2. Menyiapkan plot data atas kedua variabel tersebut untuk setiap tahunnya. Tujuan dari plot data ini adalah untuk melihat sebaran kedua variabel yang disandingkan. Apabila terdapat data yang memiliki penyimpangan yang besar, maka harus dieliminasi, karena akan mengganggu pengukuran data. 3. Melakukan regresi linear sederhana dan korelasi dengan menggunakan program SPSS. Hasil regresi linear yang diharapkan adalah sebagai berikut: Formula 5.1 Regresi Linear antara Konsumsi Rumah Tangga dan Penerimaan PPN di Indonesia PPNi =
0
+
1
KONSi + z
Keterangan: PPNi
= Penerimaan PPN daerah i
KONSi = Konsumsi rumah tangga daerah i z
= indeks menunjukkan urutan daerah
Sedangkan untuk analisis korelasi yang diperlukan adalah data r2, yang menunjukkan seberapa kuat hubungan kedua variabel yang diuji. semakin nilai r2 mendekati 1, maka semakin erat hubungan yang terjadi. Universitas Indonesia
75
Berhubung data konsumsi rumah tangga yang dihasilkan oleh Susenas BPS disajikan hanya sampai level propinsi, maka analisis korelasi ynag dilakukan atas kedua variabel tersebut juga pada level propinsi. Data konsumsi rumah tangga setiap propinsi di Indonesia pada tahun 2007 dan 2008 disajikan pada tabel 5.1 berikut. Tabel 5.1. Data Konsumsi Rumah Tangga Propinsi di Indonesia Tahun 2007 dan 2008 KONSUMSI SETAHUN NO
PROVINSI 2008
2007
1
Nanggroe Aceh Darussalam
20,593,934,607,600
17,899,643,912,472
2
Sumatera Utara
59,882,535,593,208
53,039,123,811,648
3
Sumatera Barat
21,445,304,820,528
20,054,395,566,288
4
Riau
32,786,193,008,832
29,727,377,769,600
5
Jambi
12,666,965,488,488
11,998,279,629,120
6
Sumatera Selatan
36,300,159,652,608
32,349,632,748,480
7
Bengkulu
7,727,972,183,064
6,470,852,703,372
8
Lampung
29,229,477,108,780
28,495,162,980,408
9
Kep. Bangka Belitung
6,079,618,721,736
5,455,937,793,684
10
Kep. Riau
9,344,359,342,128
8,258,628,981,312
11
DKI Jakarta
87,791,560,543,260
78,483,238,692,960
12
Jawa Barat
198,557,535,394,452
180,062,322,110,892
13
Jawa Tengah
122,191,417,373,688
111,215,597,110,380
14
Daerah Istimewa Yogyakarta
16,467,250,211,328
15,319,214,645,976
15
Jawa Timur
145,349,667,903,888
128,558,924,408,448
16
Banten
56,862,011,913,828
52,262,054,851,248
17
Bali
17,845,410,419,064
18,084,977,433,732
18
Nusa Tenggara Barat
15,914,769,758,316
13,339,362,895,632
19
Nusa Tenggara Timur
12,325,715,547,288
10,972,931,821,968
20
Kalimantan Barat
18,693,581,758,800
15,564,694,317,732
21
Kalimantan Tengah
11,432,801,071,548
9,443,158,503,264
22
Kalimantan Selatan
17,730,190,277,280
16,326,321,957,384
23
Kalimantan Timur
21,332,579,253,864
18,296,738,833,896
24
Sulawesi Utara
9,833,941,471,392
9,969,470,471,532
25
Sulawesi Tengah
9,510,456,284,136
7,985,842,874,304
26
Sulawesi Selatan
29,992,572,890,556
26,872,283,980,608
27
Sulawesi Tenggara
7,479,889,974,984
6,879,838,714,560
28
Gorontalo
3,129,127,158,960
2,954,847,642,552
29
Sulawesi Barat
3,336,812,325,600
2,928,400,976,448
Universitas Indonesia
76
NO
KONSUMSI SETAHUN
PROVINSI
2008
2007
30
Maluku
4,269,505,564,800
4,009,475,935,404
31
Maluku Utara
3,700,011,100,980
3,304,120,733,028
32
Papua Barat
2,870,769,476,916
2,349,866,447,448
33
Papua
9,523,831,889,556
8,267,646,297,600
Sumber:
Sensus Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2007 dan 2008, Badan Pusat Statistis (BPS)
Data penerimaan PPN setiap propinsi (gabungan propinsi) di Indonesia pada tahun 2007 dan 2008 disajikan pada tabel 5.2. Data diperoleh dari Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dengan Basis data pada penerimaan PPN setiap Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, kecuali Kanwil Pajak Besar dan Kanwil Pajak Khusus Ditjen Pajak. Karena data berbasis pada penerimaan PPN setiap Kanwil Ditjen Pajak, maka terdapat penyajian data penerimaan PPN untuk gabungan propinsi karena adanya sebuah Kanwil Ditjen Pajak yang bertanggungjawab untuk 2 (dua) propinsi atau lebih. Adapun data penerimaan PPN propinsi (gabungan propinsi di Indonesia disajikan pada Tabel 5.2 berikut. Tabel 5.2 Data Penerimaan PPN Propinsi (Gabungan Propinsi) di Indonesia Tahun Bayar 2007 dan 2008 PENERIMAAN PPN NO
NAMA DAERAH 2008
2007
528,289,789,948
739,898,786,828
1
Nanggroe Aceh Darussalam
2
Sumatera Utara
3,446,538,988,198
2,578,139,914,399
3
Riau dan kepulauan Riau
2,551,786,979,582
2,290,504,320,688
4
Sumatera Barat dan Jambi
1,327,311,045,745
1,112,785,601,479
5
Sumsel dan Kep. Babel
1,522,526,831,332
1,280,225,234,287
6
Bengkulu dan Lampung
900,906,558,879
814,933,203,750
7
DKI Jakarta
30,321,987,375,259
24,063,190,051,019
8
Banten
3,196,254,685,117
2,619,046,768,228
9
Jawa Barat
7,929,660,719,655
6,380,590,947,935
10
Jawa Tengah
2,985,949,023,941
2,717,692,513,843
Universitas Indonesia
77
NO
PENERIMAAN PPN
NAMA DAERAH 2008
2007
326,596,695,519
354,858,946,921
7,337,320,817,971
6,312,377,033,053
11
Daerah Istimewa Yogyakarta
12
Jawa Timur
13
Kalimantan Barat
687,470,407,547
603,157,043,866
14
Kalsel dan Kalteng
1,268,406,591,306
1,215,566,931,487
15
Kalimantan Timur
2,083,196,683,803
1,697,631,408,179
16
Sulsel, Sulbar dan Sultra
1,194,922,557,942
1,198,738,730,276
17
Sulut, Sulteng, Gorontalo dan Malut
631,791,647,488
814,759,749,732
18
Bali
603,075,782,244
498,021,002,668
19
NTB dan NTT
410,056,934,180
452,485,033,488
20
Papua, Papua Barat dan Maluku
1,237,423,820,823
1,257,284,992,813
JUMLAH
70,491,473,936,479
59,001,888,214,939
Sumber:
Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan.
Untuk mengukur keterkaitan antara konsumsi rumah tangga dengan penerimaan PPN dengan menggunakan regresi linear, maka diperlukan pasangan data konsumsi rumah tangga dan penerimaan PPN dengan jumlah yang sama. Jumlah data antara konsumsi rumah tangga dan penerimaan PPN tidak sama, dimana data konsumsi rumah tangga disajikan untuk setiap propinsi dengan jumlah 33 propinsi, sementara data penerimaan PPN disajikan berdasarkan propinsi (gabungan propinsi) dengan jumlah 20 propinsi (gabungan propinsi). Untuk dapat dilakukan pengukuran statistik, maka data konsumsi rumah tangga disesuaikan berdasarkan data penerimaan PPN, sehingga terdapat 20 pasangan data konsumsi rumah tangga dan penerimaan PPN. Adapun pasangan Data Konsumsi Rumah Tangga dan Penerimaan PPN Propinsi (Gabungan Propinsi) di Indonesia Tahun 2007 dan 2008 disajikan pada Tabel 5.3 berikut.
Universitas Indonesia
78
Tabel 5.3 Pasangan Data Konsumsi Rumah Tangga dan Penerimaan PPN Propinsi (Gabungan Propinsi) di Indonesia Tahun 2007 dan 2008 Tahun 2008 N o
Nama Daerah
Tahun 2007
Konsumsi Rumah Tangga
Penerimaan PPN
Konsumsi Rumah Tangga
Penerimaan PPN
1
NAD
20,593,934,607,600
528,289,789,948
17,899,643,912,472
739,898,786,828
2
Sumut
59,882,535,593,208
3,446,538,988,198
53,039,123,811,648
2,578,139,914,399
42,130,552,350,960
2,551,786,979,582
37,986,006,750,912
2,290,504,320,688
34,112,270,309,016
1,327,311,045,745
32,052,675,195,408
1,112,785,601,479
42,379,778,374,344
1,522,526,831,332
37,805,570,542,164
1,280,225,234,287
36,957,449,291,844
900,906,558,879
34,966,015,683,780
814,933,203,750
3 4 5 6
Riau & Kepri Sumbar & Jambi Sumsel dan Kep. Babel Bengkulu dan Lampung
7
DKI Jakarta
87,791,560,543,260
30,321,987,375,259
78,483,238,692,960
24,063,190,051,019
8
Banten
56,862,011,913,828
3,196,254,685,117
52,262,054,851,248
2,619,046,768,228
9
Jabar
198,557,535,394,452
7,929,660,719,655
180,062,322,110,892
6,380,590,947,935
10
Jateng
122,191,417,373,688
2,985,949,023,941
111,215,597,110,380
2,717,692,513,843
11
DIY
16,467,250,211,328
326,596,695,519
15,319,214,645,976
354,858,946,921
12
Jatim
145,349,667,903,888
7,337,320,817,971
128,558,924,408,448
6,312,377,033,053
13
Kalbar
18,693,581,758,800
687,470,407,547
15,564,694,317,732
603,157,043,866
14
Kalsel & Kalteng
29,162,991,348,828
1,268,406,591,306
25,769,480,460,648
1,215,566,931,487
15
Kaltim
21,332,579,253,864
2,083,196,683,803
18,296,738,833,896
1,697,631,408,179
40,809,275,191,140
1,194,922,557,942
36,680,523,671,616
1,198,738,730,276
26,173,536,015,468
631,791,647,488
24,214,281,721,416
814,759,749,732
17,845,410,419,064
603,075,782,244
18,084,977,433,732
498,021,002,668
28,240,485,305,604
410,056,934,180
24,312,294,717,600
452,485,033,488
16,664,106,931,272
1,237,423,820,823
14,626,988,680,452
1,257,284,992,813
16
17
18 19 20
Sulsel, Sulbar dan Sultra Sulut, Sulteng, Gorontalo dan Malut Bali NTB dan NTT Papua, Papua Barat dan Maluku
Sumber:
Sensus Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2007 dan 2008, Badan Pusat Statistis (BPS) dan Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan
Universitas Indonesia
79
Untuk melihat sebaran data konsumsi rumah tangga dan penerimaan PPN yang disajikan diatas, disajikan dalam sebuah plot data. Plot data disiapkan untuk kedua tahun, baik tahun 2008 dan tahun 2007. Plot data tahun 2008 disajikan pada Gambar 5.1, dan untuk tahun 2007 pada Gambar 5.2 berikut. Gambar 5.1. Plot Data Konsumsi Rumah Tangga dan Penerimaan PPN Tahun 2008
Sumber: Hasil Pengolahan Data SPSS
Universitas Indonesia
80
Gambar 5.2 Plot Data Konsumsi Rumah Tangga dan Penerimaan PPN Tahun 2007
Sumber: Hasil Pengolahan Data SPSS
Dari plot data di atas, baik untuk tahun 2008 maupun tahun 2007, terlihat bahwa terdapat satu pasangan data yang mempunyai penyimpangan terbesar (dalam statistik diistilahkan dengan pencilan data) yaitu untuk Propinsi DKI Jakarta. Agar tidak mengganggu pengukuran data, maka data tersebut harus dieliminasi, sehingga jumlah pasangan data konsumsi rumah tangga dan penerimaan PPN yang dilakukan uji regresi linear adalah sebanyak 19 pasangan data (propinsi atau gabungan propinsi). Adapun penyebab data Propinsi DKI Jakarta mempunyai pencilan yang besar daripada data propinsi (gabungan propinsi) lainnya, adalah banyaknya perusahaan-perusahaan dengan domisili kantor pusat di Jakarta, sehingga penyetoran pajak dilakukan melalui Kantor Pajak di Wilayah Jakarta, sementara lokasi kegiatan perusahaan seringkali berada di daerah-daerah lainnya (Alisjahbana, 2003).
Universitas Indonesia
81
Adapun hasil regresi linear sederhana dengan menggunakan program Statistical Package for the Social Science (SPSS) 17 untuk pasangan data konsumsi rumah tangga dan penerimaan PPN tahun 2008 disajikan pada Tabel 5.4 dan 5.5 di bawah ini. Tabel 5.4 Model Summary Regresi Linier Sederhana Tahun 2008 b
Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
1
.927a
.860
.852
8.35437E13
Sumber:
Hasil Perhitungan Regresei Liner Sederhana dengan Menggunakan Program SPSS 17, berdasarkan data konsumsi rumah tangga dan penerimaan PPN tahun 2008
Tabel 5.5 Coefficients Regresi Linier Sederhana Tahun 2008 a
Unstandardized Coefficients Model 1
B
(Constant) KONSUMSI RT TAHUN 2008
Sumber:
Std. Error
Standardized Coefficients Beta
3.710E12 2.792E13 .041
.004
.927
t.
Sig.
.133
.896
10.229
.000
Hasil Perhitungan Regresei Liner Sederhana dengan Menggunakan Program SPSS 17, berdasarkan data konsumsi rumah tangga dan penerimaan PPN tahun 2008
Dari hasil regresi dengan paket program statistik SPSS untuk tahun 2008 pada tabel 5.4 dan 5.5 di atas, diperoleh gambaran tentang hubungan antara konsumsi rumah tangga dengan penerimaan PPN. Adapun hasil tahun 2008 dapat dibuat persamaan dalam Formula 5.2 berikut. Formula 5.2 Regresi Linear Sederhana antara Konsumsi Rumah Tangga dan Penerimaan PPN di Indonesia Tahun 2008 PPN_2008 = 3.710E12 + 0.041 KONS_2008
Universitas Indonesia
82
Formula 5.2 di atas berarti apabila konsumsi rumah tangga daerah i (KONS_2008) naik sebesar Rp 1 rupiah, maka penerimaan PPN daerah tersebut (PPN_2008) naik 0.041 rupiah. Dan sebaliknya, apabila Konsumsi Rumah Tangga daerah i (KONS_2008) turun sebesar Rp 1 rupiah, maka penerimaan PPN daerah tersebut (PPN_2008) turun 0.041 rupiah. Hubungan ini signifikan dengan P value sebesar 0.000 artinya dengan tingkat kesalahan 5% nilai koefisien konsumsi masih bisa diterima. Kemudian jika dlihat dari nilai Significance sebesar 0.000 (praktis nol), jauh dibawah taraf signifikansinya yang sebesar 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan yang sangat nyata antara konsumsi rumah tangga dengan Penerimaan PPN. Hal ini dipertegas dengan koefisien korelasi (R) antara konsumsi rumah tangga dengan penerimaan PPN sebesar 0.927, yang memperlihatkan terdapat hubungan yang sangat erat (mendekati 1) antara kedua variabel tersebut. Arah hubungan yang positif (tidak ada tanda negatif pada angka 0.927) menunjukkan semakin besar konsumsi rumah tangga akan membuat penerimaan PPN semakin besar. Nilai R Square (r2) sebesar 0.860, berarti 86% dari variasi penerimaan PPN dapat dijelaskan oleh variabel konsumsi rumah tanga, sementara sisanya sebesar 14% dijelaskan oleh variabel-variabel yang lain. Hasil regresi untuk pasangan data konsumsi rumah tangga dan penerimaan PPN tahun 2007 memperlihatkan kecenderungan yang relatif sama dengan hasil tahun 2008. Adapun hasil regresi linear sederhana dengan menggunakan program SPSS 17 untuk pasangan data tahun 2007 disajikan pada Tabel 5.6 dan 5.7 di bawah ini. Tabel 5.6 Model Summary Regresi Linier Sederhana Tahun 2007 b
Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
1
.926a
.857
.849
6.83346E13
Sumber:
Hasil Perhitungan Regresei Liner Sederhana dengan Menggunakan Program SPSS 17, berdasarkan data konsumsi rumah tangga dan penerimaan PPN tahun 2007
Universitas Indonesia
83
Tabel 5.7 Coefficientsa Regresi Linier Sederhana Tahun 2007 Unstandardized Coefficients Model 1
Sumber:
B
Std. Error
(Constant)
1.623E13
2.284E13
KONSUMSI RT TAHUN 2007
.036
.004
Standardized Coefficients Beta
.926
t
Sig.
.711
.487
10.094
.000
Hasil Perhitungan Regresei Liner Sederhana dengan Menggunakan Program SPSS 17, berdasarkan data konsumsi rumah tangga dan penerimaan PPN tahun 2007
Dari hasil regresi dengan paket program statistik SPSS untuk tahun 2007 pada tabel 5.6 dan 5.7 di atas, dapat dibuat persamaan dalam Formula 5.2 berikut. Formula 5.3 Regresi Linear Sederhana antara Konsumsi Rumah Tangga dan Penerimaan PPN di Indonesia Tahun 2007 PPN_2007 = 1.623E13 + 0.036 KONS_2007
Berdasarkan Formula 5.3 di atas, dapat dianalisis apabila konsumsi rumah tangga daerah i (KONS_2007) naik sebesar Rp 1 rupiah, maka penerimaan PPN daerah tersebut (PPN_2007) naik 0.036 rupiah. Dan sebaliknya, apabila konsumsi rumah tangga daerah i (KONS_2007) turun sebesar Rp 1 rupiah, maka penerimaan PPN daerah tersebut (PPN_2007) turun 0.036 rupiah. Hubungan ini signifikan dengan P value sebesar 0.000 artinya dengan tingkat kesalahan 5% nilai koefisien konsumsi masih bisa diterima. Kemudian jika dlihat dari nilai Significance sebesar 0.000 (praktis nol), jauh dibawah taraf signifikansinya yang sebesar 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan yang sangat nyata antara konsumsi rumah tangga dengan Penerimaan PPN. Hal ini dipertegas dengan koefisien korelasi (R) antara konsumsi rumah tangga dengan penerimaan PPN sebesar 0.926, yang memperlihatkan terdapat hubungan yang sangat erat (mendekati 1) antara kedua Universitas Indonesia
84
variabel tersebut. Arah hubungan yang positif (tidak ada tanda negatif pada angka 0.926) menunjukkan semakin besar konsumsi rumah tangga akan membuat penerimaan PPN semakin besar. Nilai R Square (r2) sebesar 0.857, berarti 85.7% dari variasi penerimaan PPN dapat dijelaskan oleh variabel konsumsi rumah tangga, sementara sisanya sebesar 14.3% dijelaskan oleh variabel-variabel yang lain.
1.2.1
Autonomy (Otonomi)
5.1.1.1 Independensi Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya berarti pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Hal ini diwujudkan melalui penerapan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Kedua telah digantikan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang hal yang sama. Penerapan kedua undang-undang ini akan berpengaruh terhadap pengelolaan keuangan daerah, terutama terkait dengan konsep otonomi dan desentralisasi yang memberikan diskresi kepada daerah untuk mengatur dan menentukan penggunaan dana untuk melaksanakan tugas dan fungsi yang diembannya. Pada awal penerapan otonomi daerah, terdapat anggapan di kalangan pemerintah daerah bahwa terhadap PAD, pemerintah daerah bebas menggunakan dananya untuk kepentingan daerah, sementara untuk dana perimbangan penggunaannya perlu menunggu petunjuk dan arahan dari pusat. Anggapan ini salah dan harus diubah. Dalam konteks otonomi daerah, penggunaan dana perimbangan, terutama Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) pajak dan Sumber Daya Alam (SDA), daerah diberikan kewenangan penuh dalam penggunaan dananya untuk kepentingan daerah melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini sesuai dengan pernyataan Mardiasmo (2004), yaitu: Universitas Indonesia
85
“Salah satu dimensi reformasi keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu pemerintah daerah diberikan keleluasaan (diskresi) untuk mengelola dan memanfaatkan sumber penerimaan daerah yang dimilikinya, termasuk dalam pemanfaatan dana perimbangan, sesuai dengan aspirasi masyarakat daerah.” Pemerintah daerah memiliki wewenang penuh atas penggunaan sumbersumber fiskal mereka. DPRD berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap pengeluaran dari sumber penerimaan yang tersedia, termasuk dari bagi hasil PPN apabila nanti dibagihasilkan. Berbeda dengan sebelum reformasi, dimana semakin besar dana transfer dari pusat maka daerah semakin tinggi tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat. Dalam era desentralisasi sekarang, walaupun dana transfer dari pusat kepada daerah masih relatif besar (Lihat Tabel 5.10 dan 5.11), tidak berarti tingkat ketergantungan daerah kepada pusat juga tinggi. Daerah dapat menentukan sendiri penggunaan dananya sesuai dengan kondisi dan kepentingan daerah. Hal tersebut dapat terlihat dari kewenangan yang dimiliki daerah dalam penetapan besarnya alokasi belanja APBD berdasarkan fungsinya. Berikut dapat dilihat kajian pengeluaran publik di Indonesia oleh World Bank terhadap pengeluaran pemerintah daerah berdasarkan sektor untuk tahun 2004 pada Tabel 5.8 di bawah ini. Tabel 5.8 Jenis Pengeluaran Pemerintah Daerah Berdasarkan Fungsi Tahun 2004
Pertanian
Provinsi (Rp M) (%) 1,823 5.63
Kabupaten/Kota (Rp M) (%) 4,201 3.53
Total (Rp M) (%) 6,024 3.98
Pendidikan
3,815
11.77
39,805
33.46
43,620
28.82
Kesehatan
3,000
9.26
8,108
6.82
11,108
7.34
Pertambangan
195
0.60
74
0.06
269
0.18
Perdagangan, NBD, FCS
479
1.48
681
0.57
1,160
0.77
12,327
38.04
35,529
29.87
47,856
31.62
Sektor tenaga kerja
426
1.31
452
0.38
878
0.58
Lingkungan dan rencana tata ruang
619
1.91
1,233
1.04
1,852
1.22
Infrastruktur
8,321
25.68
17,147
14.41
25,468
16.83
Lain-lain
1,399
4.32
11,728
9.86
13,127
8.67
Total
32,404
100.00
18,958
100.00
151,362
100.00
Jenis Pengeluaran
Adm pemerintah dan pengawasan
Sumber:
The world bank, kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru (Jakarta: The World Bank Office, 2007), hal. 127 Universitas Indonesia
86
Berdasarkan Tabel 5.8 di atas, pada tahun 2004, pos pengeluaran paling besar untuk pemerintah daerah adalah untuk penyelenggaraan administrasi pemerintahan, lalu diikuti oleh sektor pendidikan. Pengeluaran untuk administrasi pemerintahan terutama paling banyak terjadi ditingkat provinsi (38.04% dari total pengeluarannya) dan tingkat kabupaten/Kota 29.87%. Pos-pos terbesar dalam administrasi pemerintahan meliputi pengeluaran untuk pembayaran gaji dan tunjangan pegawai, kepala daerah beserta stafnya, anggota DPRD, dan rehabilitasi serta pembangunan gedung-gedung pemerintah. Alokasi sektoral dari anggaran daerah masih kurang optimal, karena besarnya pengeluaran untuk keperluan administrasi pemerintahan tersebut. Sektor-sektor lain tidak menerima cukup alokasi anggaran terutama sektor kesehatan dan pertanian yang dibutuhkan oleh sebagian masyarakat di daerah. Selanjutnya perbandingan belanja per bidang/fungsi pada belanja APBD seluruh Indonesia Tahun 2005-2007 disajikan dalam Grafik 5.1 berikut. Grafik 5.1 Perbandingan Belanja APBD Per Bidang/Fungsi Belanja Terhadap Total Belanja APBD Se-Provinsi di Indonesia Tahun 2007-2008.
Sumber:
Nota Keuangan APBN 2010, Hal V-15, diunduh dari website Direktorat Anggaran Kementerian Keuangan www.anggaran.depkeu.go.id pada tanggal 10 Mei 2010
Universitas Indonesia
87
Grafik 5.1 di atas menunjukkan perbandingan belanja per fungsi pada APBD tahun 2007-2008. Grafik tersebut memperlihatkan bahwa fungsi pelayanan umum merupakan fungsi terbesar dalam belanja APBD, yaitu mencapai kisaran 35 persen pada APBD tahun 2007 dan 2008. Fungsi pendidikan menempati urutan kedua mencapai kisaran 23 persen, diikuti fungsi perumahan dan fasilitas umum sedikit turun dari 19 persen di tahun 2007 menjadi 18 persen di tahun 2008. Sementara fungsi kesehatan mengalami sedikit peningkatan di tahun 2008, namun masih di kisaran 8 persen.
5.1.1.2 Fleksibilitas Sebagaimana kewenangan dalam penetapan besarnya alokasi belanja dalam APBD berdasarkan fungsi, pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal dapat pula dilihat dari adanya fleksibelitas daerah dalam menetapkan besarnya anggaran untuk belanja APBD per jenis belanja. Perbandingan jenis belanja APBD Pemerintah Kabupaten/Kota seluruh Indonesia pada tahun 2007-2009 disajikan dalam grafik 5.2 di bawah ini. Grafik 5.2 Komposisi Belanja Berdasarkan Jenis Belanja Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2007-2009
Sumber:
Nota Keuangan APBN 2010, Hal V-14, diunduh dari website Direktorat Anggaran Kementerian Keuangan www.anggaran.depkeu.go.id pada tanggal 10 Mei 2010 Universitas Indonesia
88
Dari grafik 5.2 di atas, menunjukkan belanja APBD Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2007-2009 per jenis belanja, terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja lainnya (bantuan sosial, bantuan keuangan, hibah, dan belanja tak terduga). Potret belanja daerah dalam APBD 2007–2009 menunjukkan kondisi yang kurang baik bagi kabupaten/kota, dimana belanja pegawai sangat mendominasi belanja daerah dan cenderung semakin meningkat porsinya hingga mencapai 47,3 persen di tahun 2009. Bahkan untuk APBD tahun 2009, terdapat 48 Daerah yang mengalokasikan lebih dari 70 persen pendapatan non-earmarked (Total pendapatan – DAK) untuk membayar gaji PNS Daerah, sehingga ruang untuk belanja modal yang langsung menyentuh kepentingan publik menjadi sangat terbatas. Sementara itu, belanja modal meskipun secara nominal naik, namun porsinya terhadap total belanja justru mengalami penurunan dari 32,4 persen di tahun 2007 menjadi hanya 27 persen di tahun 2009. Meskipun tidak sebesar kabupaten/kota, porsi belanja modal provinsi juga mengalami sedikit penurunan dari 26 persen di tahun 2007 menjadi 24,5 persen di tahun 2009.
5.1.13 Akuntabilitas Daerah mempunyai diskresi dalam penggunaan dana bagi hasil pajak melalui mekanisme APBD. Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian wewenang dan keleluasaan yang luas tersebut harus diikuti dengan pengawasan dan pengendalian yang kuat. Disamping itu juga diperlukan pemeriksaan oleh pihak independen yang berkompeten. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dr. Hefrizal Handra, dalam sebuah wawancara untuk tujuan penelitian ini, sebagai berikut: “konsep desentralisasi itukan sudah diserahkan kedaerah, mekanisme pertanggungjawabannya itukan mekanisme pertanggungjawaban APBD, kepada elektrolal kepada DPRD, dan kemudian diperiksa oleh external auditor oleh BPK, itukan mekanisme pertanggungjawaban desentralisasi. Ada internal auditnya, juga ada aturan yang mengatur bagaimana menggunakan dana kemudian di periksa. Itu mekanisme pertangguang jawaban dana desentralisasi APBD.” Universitas Indonesia
89
Pengawasan mengacu pada tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh DPRD dan masyarakat untuk mengawasi kinerja pemerintah daerah. Pengendalian adalah mekanisme yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menjamin dilaksanakannya sistem dan kebijakan manajemen sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Sementara pemeriksaan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki independensi dan kompetensi profesional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah daerah telah sesuai dengan standar atau kriteria yang ada. DPRD memiliki posisi, tugas dan fungsi yang strategis dan penting dalam perencanaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah. fungsi pengawasan dan perencanaan hendaknya sudah dilakukan DPRD sejak proses penjaringan aspirasi mayarakat hingga penetapan arah dan kebijakan umum APBD serta penentuan strategi dan prioritas APBD. Sementara itu, fungsi pengawasan hendaknya dilakukan oleh DPRD pada saat perencanaan APBD, pelaksanaan APBD dan pelaporan APBD. Optimalisasi peran DPRD akan memperkuat fungsi pengawasan sehingga diharapkan menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintah daerah. Disamping itu juga dibutuhkan partisipasi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung melalui LSM dan organisasi sosial kemayarakatan di daerah untuk dapat melakukan kontrol sosial atas jalannya fungsi pemerintah daerah agar tidak keluar dari koridor yang telah ditetapkan. Penguatan fungsi pengendalian dilakukan melalui pembuatan Ssistem Pengendalian Intern (SPI) yang memadai dan pemberdayaan internal auditor pemerintah daerah, yaitu Badan Pengawas Daerah (Bawasda). Pengawasan oleh DPRD dan masyarakat tersebut harus sudah dilakukan sejak tahap perencanaan, tidak hanya pada tahap pelaksanaan dan pelaporan saja sebagaimana yang terjadi selama ini (Mardiasmo, 2004). Hal ini penting, karena dalam era otonomi, DPRD memiliki kewenangan untuk menentukan Arah dan Kebijakan Umum APBD. Apabila DPRD lemah dalam tahap perencanaan, maka sangat mungkin pada tahap pelaksanaan akan mengalami banyak penyimpangan. Akan tetapi, harus dipahami oleh anggota DPRD bahwa pengawasan terhadap Universitas Indonesia
90
eksekutif daerah adalah pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (policy) yang digariskan, bukan pemeriksaan. Fungsi Pemeriksaan hendaknya diserahkan kepada lembaga pemeriksa yang memiliki otoritas dan keahlian profesional semcam BPK dan BPKP. Jika DPRD menghendaki, mereka dapat meminta BPK melakukan pemeriksaan terhadap kinerja keuangan eksekutif. Pemberian kepercayaan kepada auditor, dalam hal ini BPK, dengan memberi peran yang lebih besar untuk memeriksa pemerintah daerah, akan menjadi bagian penting dalam proses terciptanya akuntabilitas publik. Berdasarkan Tabel 5.9 dapat dilihat tingkat akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah berdasarkan hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2008. LKPD yang mempunyai opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada tahun 2008 hanya sebesar 3%, LKPD yang mempunyai opini Wajar Dengan Pengecualian sebesar 67%, Tidak Wajar 6% dan Tidak Memberikan Pendapat 24%. Jika dilihat perkembangan opini yang dikeluarkan oleh BPK terhadap LKPD dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2008, dapat dilihat ada perkembangan ke arah perbaikan (Tabel 5.9 Dan Grafik 5.3) Tabel 5.9 Perkembangan Opini LKPD tahun 2006-2008 LKPD Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008
Opini WTP 3 4 12
% 1 1 3
WDP 327 283 324
% 70 60 67
TW 28 59 31
% 6 13 6
TMP 105 122 115
% 23 26 24
Jumlah 463 468 482
Sumber: Ikhtisar Hasil Pemriksaan Semester II Tahun 2009, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, diunduh dari website BPK www.bpk.go.id, tanggal 24 Mei 2010
Universitas Indonesia
91
Apabila dilihat secara grafis, maka dapat digambarkan sebagai berikut: Grafik 5.3 Perkembangan Opini LKPD tahun 2006-2008 70 70
67 60
60 Persentase
50
40 30
23
20 10
Tahun 2006
26 24
Tahun 2007
13
6
1 1 3
Tahun 2008
6
WTP
WDP
TW
TMP
Opini
Sumber: Ikhtisar Hasil Pemriksaan Semester II Tahun 2009, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, diunduh dari www.bpk.go.id, tanggal 24 Mei 2010
Dari tabel 5.9 dan Grafik 5.3 diatas dapat digambarkan bahwa opini LKPD tahun 2008, secara persentase menunjukkan adanya kenaikan opini WTP dibandingkan tahun 2007 dan 2006. Demikian pula halnya dengan opini WDP, dimana pada tahun 2008 mengalami kenaikan sebesar 7%. Sementara itu, jumlah LKPD tahun 2008 yang memperoleh opini tidak wajar dan tidak memberikan pendapat
menunjukkan
penurunan
dibandingkan
tahun
2007.
Hal
ini
menunjukkan adanya perbaikan pengelolaan keuangan pemerintah daerah yang mampu menyajikan suatu laporan keuangan yang wajar.
1.2.2
Revenue Adequacy (Penerimaan yang Memadai) Sistem pemerintahan yang sentralistik yang dialami indonesia pada masa
orde baru memberikan pelajaran kepada kita bahwa pendekatan sentralistik dalam pembangunan telah menimbulkan efek-efek yang negatif. Menurut Mardiasmo (2004), efek-efek negatif tersebut diantaranya: Universitas Indonesia
92
1. Sentralisasi telah memasung kreatifitas daerah untuk mengembangkan potensi daerah sesuai dengan keinginan masyarakat daerah, 2. Sentralisasi menyebabkan pemerintah daerah semakin kuat tingkat ketergantungannya terhadap pemerintah pusat. Kedua hal tersebut cukup membuat pemerintah dan masyarakat daerah tidak berdaya membangun daerahnya. Besarnya intervensi pemerintah pusat yang dilakukan pada masa lalu telah menimbulkan distorsi dan masalah bagi pemerintah daerah sampai saat ini. Salah satu masalah yang paling mendasar yang dialami pemerintah daerah adalah ketidakcukupan sumber daya finansial dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diharapkan memiliki kemandirian yang lebih besar. Kemandirian itu dapat diwujudkan dengan meningkatkan peranan PAD, sehingga dapat mengurangi tingkat ketergantungan terhadap sumber pembiayaan dari pusat. Namun sampai dengan satu dasawarsa penerapan otonomi daerah di Indonesia, peranan PAD sebagai sumber penerimaan daerah sangatlah kecil. Porsi PAD terhadap penerimaan daerah digambarakan pada tabel 5.10 untuk propinsi, dan 5.11 untuk kabupaten/kota sebagai berikut: Tabel 5.10 Sumber penerimaan daerah Pemerintah Propinsi Tahun 2008 (Milyar Rupiah) No.
Jenis Penerimaan
Nilai
Porsi (%)
a.
PAD
37,276.79
43.87
b.
Dana Perimbangan
40,383.46
47.52
c.
Lain-lain Pendapatan yang Sah
7,316.29
8.61 100
Jumlah Sumber:
84,976.54
Pusat Layanan Statistik Keuangan, Badan Pusat Statistik, diunduh dari website BPS www.bps.go.id pada tanggal 17 Mei 2010
Universitas Indonesia
93
Tabel 5.11 Sumber penerimaan daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Tahun 2008 (Milyar Rupiah) No.
Jenis Penerimaan
Nilai
Porsi (%)
a.
PAD
16,920.97
6.55
b.
Dana Perimbangan
222,963.10
86.26
c.
Lain-lain Pendapatan yang Sah
18,602.33
7.20 100
Jumlah Sumber:
258,486.40
Pusat Layanan Statistik Keuangan, Badan Pusat Statistik, diunduh dari website BPS www.bps.go.id pada tanggal 17 Mei 2010
Dari Tabel 5.10 dan 5.11 di atas, menunjukan bahwa porsi PAD sebagai sumber penerimaan daerah sangatlah kecil, terutama pada kabupaten/kota. Porsi PAD terhadap total penerimaan dalam APBD propinsi tahun 2008 sebesar 43,87%, sementara dalam APBD kabupaten/kota hanya sebesar 6,55%. Dana perimbangan mempunyai peranan terbesar dalam porsi penerimaan APBD propinsi dan kabupaten/kota yaitu sebesar 47,52% dan 86,26%. Walaupun transfer dari pusat masih memiliki peranan yang dominan sebagai sumber penerimaan daerah, daerah diberikan keleluasaan dalam penggunaannya (Lihat Bagian 5.2.1 Autonomy di atas). Perkembangan dana perimbangan yang didistribusikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tahun 2004-2008 dapat dilihat pada Tabel 5.12 berikut
.
Universitas Indonesia
94
Tabel 5.12 Perkembangan Dana Transfer ke Daerah dalam APBN 2004-2008 (Miliar) Komponen APBN
2004
2005
2006
2007
2008
122.867,7 36.700,3 82.130,9 4.036,4
143.221,3 49.692,3 88.765,4 4.763,6
222.130,6 64.900,3 145.664,2 11.566,1
244.607,8 62.726,3 164.787,4 17.094,1
274.776,1 74.066,9 179.507,1 21.202,1
6.855,3 1.642,6 5.212,7
7.242,6 1.775,3 5.467,3
4.049,3 3.488,3 561,1
9.593,2 4.045,7 5.547,5
10.058,8 7.510,3 2.548,5
Total
129.723,0
150.463,9
226.179,9
254.201,0
284.834,9
Pendapatan Dalam Negeri
403.104,6
493.919,6
636.153,2
690.264,7
836.695,7
Persentase Transfer ke Daerah Terhadap PDN
32.18%
30,46%
35.55%
36,82%
34,04%
Transfer ke Daerah: 1. Dana perimbangan a. Dana bagihasil b. Dana alokasi umum c. Dana alokasi khusus 2. Dana Otonomi khusus dan Penyesuaian a. Dana otonomi khusus b. Dana penyesuaian
Sumber: Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2004-2007 dan Anggaran Pendapatan belanja Negara (APBN) 2008
Jika kita perhatikan Tabel 5.12 di atas, total dana transfer yang didistribusikan dari pusat ke daerah memperlihatkan trend peningkatan dari tahun ke tahun. Namun apabila dipersentasekan dari pendapatan dalam negeri netto, terlihat bahwa total dana perimbangan yang didistibusikan ke daerah cenderung berfluktuatif pada kisaran 30% sampai 36%. Jika dapat dirata-ratakan, sekitar sepertiga pendapatan dalam negeri didistribusikan ke daerah. Untuk menentukan apakah dana perimbangan yang telah didistribusikan cukup atau tidak oleh daerah, maka hendaklah digunakan suatu indikator kecukupan. Indikator kecukupan hendaklah dikaitkan dengan beban fungsi yang diembannya. Namun untuk memastikan secara akurat apakah pusat dan daerah telah menjalankan atau belum fungsi yang diembannya sesuai dengan ketentuan yang diamanatkan oleh undang-undang tidak dilakukan dalam penelitian ini. Oleh karena itu perlu dicari cara lain untuk menilai tingkat kecukupan penerimaan baik di tingkat pusat dan daerah. Jika ditinjau secara teoritis, terdapat dua metode pokok dalam desentralisasi fiskal, yaitu (1) expenditure assignments, dan (2) revenue assignments. Expenditure assignments berbasis pada fungsi yang didaerahkan, Universitas Indonesia
95
dihitung besarnya perkiraan pengeluaran yang harus ditangani oleh daerah untuk semua fungsi yang menjadi tanggung jawabnya. Expenditure assignments dilakukan melalui dua tahap, yaitu: 1. Memberi batasan pokok urusan pusat dan daerah secara umum dimana pusat menangani 5 (lima) kewenangan pokok yang terdiri dari pertahanan keamanan, luar negeri, fiskal, moneter dan agama. Sementara daerah melaksanakan 11 (sebelas) urusan pelayanan publik wajib dengan catatan berskala nasional tetap di tangan pusat. 2. Membagi urusan setiap pelayanan publik di antara pusat dan propinsi, sisanya ditangani oleh kabupaten/kota. Namun sayangnya, Expenditure assignments ini belum dapat dilaksanakan sepenuhnya. Menurut Haryanto dan Astuti (2009), hal ini disebabkan: (1) urusan minimal yang harus ditangani kabupaten/kota untuk setiap bidang pelayanan belum jelas, (2) standar pelayanan minimal untuk tiap jenis pelayanan belum ada yang berakibat sulitnya estimasi Standard Spending Assessment (SSA). Sebaliknya dengan revenue assignments akan memberikan peningkatan kemampuan keuangan melalui alih sumber pembiayaan pusat ke daerah, dalam rangka membiayai fungsi yang didesentralisasikan. Revenue assignments sebagai instrumen desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan yang telah diterapkan di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Pajak daerah dan retribusi daerah, yang diatur terakhir berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009. 2. Bagi hasil penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) dan pajak. Bagi hasil SDA berasal dari kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi, serta perikanan. dan pajak. Sementara bagi hasil pajak berasal dari PBB, BPHTB, PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21. Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009, BPHTB dan PBB Pedesaan dan Perkotaan diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah kabupaten/kota. Berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2007, cukai dibagihasilkan kepada propinsi penghasil cukai yang pengalokasian dananya ditetapkan oleh pusat. Universitas Indonesia
96
3. Block grant dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) 4. Specific grant dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendekatan yang digunakan untuk menentukan tingkat kecukupan penerimaan pusat dan daerah di Indonesia dalam penelitian ini adalah revenue assignment, dengan jalan membandingkan konsolidasi penerimaan APBN, APBD Propinsi dan APBD kabupaten/kota dengan konsolidasi pengeluarannya. Kecukupan terjadi apabila terdapat keseimbangan pada sisi penerimaan dan pengeluaran. Apabila sisi penerimaan menunjukkan porsi yang lebih besar daripada sisi pengeluaran, berarti terjadi kelebihan penerimaan, sehingga kelebihan itu dapat di transfer kepada level pemerintahan di bawah atau dikembalikan kepada level pemerintahan di atasnya. Apabila sisi penerimaan menunjukkan porsi yang lebih kecil daripada sisi pengeluaran, berarti terjadi kekurangan penerimaan, sehingga membutuhkan transfer dari level pemerintahan di atas atau bantuan dari level pemerintahan di bawahnya. Untuk melihat gambaran kondisi keseimbangan vertikal antara pusat dan daerah di Indonesia pada tahun 2008 disajikan pada Tabel 5.13 berikut.
Universitas Indonesia
97
Tabel 5.13 Ketimpangan Vertikal di Indonesia Tahun 2008
Sumber: Diolah dari data APBN, APBD Propinsi dan APBD Kabupaten/Kota se Indonesia Tahun 2008
Dari Tabel 5.13 di atas, terlihat bahwa masih terjadi ketimpangan fiskal vertikal (vertical imbalances) di Indonesia. Ketimpangan ini terlihat dari tidak samanya proporsi beban yang dipikul oleh pusat, propinsi dan kabupaten/kota dengan penerimaannya. Persentase penerimaan di tingkat pusat sebesar 70,68%, sementara beban pengeluaran 70,54%. Ini berarti terjadi kelebihan penerimaan sebesar 0,14% atau sebesar Rp 1,67 Triliun dari seluruh anggaran. Kelebihan Universitas Indonesia
98
penerimaan pada level pemerintah pusat ini merupakan kekurangan penerimaan pada level pemerintahan dibawahnya. Pada tingkat propinsi, terjadi kekurangan penerimaan sebesar 0,06% atau senilai Rp 712,54 Miliar, sementara pada tingkat kabupaten/kota terdapat kekurangan penerimaan sebesar 0,08% atau senilai Rp 1,19 Triliun. Kelebihan penerimaan pada pemerintah pusat di atas dapat didistribusikan kepada level pemerintahan di bawahnya melalui mekanisme bagi hasil PPN.
1.2.3
Equity (Keadilan) Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah adalah suatu sistem
pembagian keuangan secara adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam
rangka
pendanaan
penyelenggaraan
desentralisasi,
dengan
mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggara dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Selain itu perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara pusat dan daerah, yang didasarkan atas kewenangan yang diberikan dengan memperhatikan stabilitas dan kesembangan fiskal nasional. Sistem hubungan keuangan pusat dan daerah adalah bagian dari sistem fiskal. Sebagai sebuah instrumen, sistem hubungan keuangan pusat dan daerah berfungsi sebagai alat untuk memberikan kepada pemerintah daerah sebagian dari penerimaan pajak nasional. Hal itu dilakukan dengan cara transfer dari anggaran pemerintah pusat ke anggaran pemerintah daerah. Bagi hasil pajak, termasuk PPN apabila nanti dibagihasilkan, merupakan bagian dari mekanisme redistribusi yang karenanya prinsip keadilan harus merupakan komponen terpenting dalam tujuan alokasi. Konsep keadilan dalam hal ini adalah besarnya dana transfer dari pusat ke daerah berhubungan positif dengan kebutuhan fiskal daerah dan berkorelasi negatif dengan besarnya kapasitas daerah bersangkutan, maksudnya daerah yang berpendapatan tinggi diberikan sedikit sementara daerah yang berpendapatan Universitas Indonesia
99
rendah diberikan dana yang lebih besar. Dalam mekanisme bagi hasil pajak, konsep ini sulit diwujudkan. Bagi hasil pajak yang telah diterapkan di Indonesia (PBB, BPHTB, PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21) didistribusikan kepada daerah berdasarkan asal dimana pajak tersebut dihasilkan (by origin), yang jika dikaitkan dengan konsep keadilan di atas, tentu tidak relevan sama sekali. Oleh karena itulah perlu dicari pendekatan keadilan lain yang lebih cocok. Menurut Panggabean, dkk (1999), pendekatan keadilan yang diambil oleh UU No. 25 Tahun 1999 adalah pendekatan yang tepat, baik dipandang dari kacamata politis maupun dari sudut pandang konseptual filosofis. Tujuan pemerataan yang dimaksud dalam UU ini adalah memeratakan ketersediaan sumber dana antar pemerintah daerah. Konsep keadilan inilah yang diadopsi, untuk melihat apabila PPN dibagihasilkan ke daerah, apakah menimbulkan ketimpangan yang tinggi atau justru sebaliknya. Lebih jauh tingkat pemerataan antar daerah yang ditimbulkan akibat dari bagi hasil PPN akan dijelaskan lebih dalam pada subbagian 5.3 bab ini. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian 5.1 bab ini, salah satu faktor kunci yang menyebabkan belum dibagihasilkannya PPN kepada pemerintah daerah di Indonesia, adalah kekhawatiran pemerintah dan pakar akan efek pemerataan antar daerah yang ditimbulkan. Mereka khawatir bagi hasil PPN akan menyebabkan ketimpangan antar daerah di Indonesia semakin melebar. Kekhawatiran ini merupakan hal yang wajar, karena sifat dari bagi hasil itu adalah demikian. Jika kita lihat, PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21 yang telah dibagihasilkan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia, menimbulkan dampak ketimpangan yang luar biasa. Lebih dari 50% dari total dana yang dibagihasilkan diperoleh oleh DKI Jakarta. Alokasi dana bagi hasil PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2008 dapa dilihat pada grafik 5.4 berikut.
Universitas Indonesia
100
Grafik 5.4 Alokasi bagi hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2008:
Persentase 60.00 50.00
40.00 30.00 Persentase
20.00 10.00 -
Sumber: Diolah dari Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.07/2008
Sifat alamiah dari bagi hasil, apakah berupa bagi hasil pajak atau bagi hasil Sumber Daya Alam (SDA) adalah menimbulkan dampak ketimpangan antar daerah. DKI Jakarta sangat diuntungkan karena posisinya sebagai pusat bisnis, ekonomi dan pemerintahan. Demikian juga daerah-daerah yang memiliki pusat bisnis seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, dan Kaltim Juga akan memperoleh bagian yang cukup besar walau tidak sebesar DKI Jakarta. Sementara daerahdaerah lain seperti Bengkulu, Maluku, Sulawesi Barat, Gorontalo, yang berbasis pertanian akan memperoleh bagian yang sedikit, kurang dari 0.2%. Apabila PPN dibagihasilkan berdasarkan basis daerah dimana PPN itu dibayar (by origin), kekhawatiran akan dampak ketimpangan sebagaimana bagi hasil PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21 di atas mungkin akan menjadi kenyataan. Distribusi penerimaan PPN per daerah untuk tahun bayar 2008 dapat dilihat pada grafik 5.5 berikut:
Universitas Indonesia
101
Grafik 5.5 Distribusi Penerimaan PPN per daerah di Indonesia Tahun Bayar 2008
Persentase 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 -
Persentase
Sumber: Diolah dari Data Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan
Dari data di atas, terlihat ketidakmerataan sebaran penerimaan PPN per daerah di Indonesia. Apabila PPN dibagihasilkan berdasarkan penerimaan (by origin) sebagaimana data di atas, jelas akan menimbulkan ketimpangan fiskal antar daerah yang semakin tinggi. DKI Jakarta akan sangat diuntungkan, sekitar 43% bagi hasil PPN akan terkonsentrasi di ibukota negara ini, belum termasuk penerimaan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar (LTO) dan Kanwil DJP Wajib Pajak Khusus yang penerimaannya juga diadministrasikan juga di DKI Jakarta. Daerahdaerah pusat industri lain seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Banten dan Sumatera Utara juga akan menerima bagi hasil yang relatif lebih besar daripada daerahdaerah lain. Namun apabila PPN itu dibagihasilkan berdasarkan basis dimana produk itu dikonsumsi, maka kekhawatiran bagi hasil PPN akan menimbulkan ketimpangan yang besar mungkin dapat hindari, atau bahkan terbantahkan (Lihat Bagian 5.3 bab ini). Pernyataan bahwa jika PPN dibagihasilkan berdasarkan dimana produk itu dikonsumsi tidak akan menimbulkan ketimpangan yang besar juga ditegaskan oleh Dr. Hefrizal Handra, dalam sebuah wawancara untuk tujuan penelitian ini, sebagai berikut: Universitas Indonesia
102
“kalau PPN dibagihasilkan based on consumtion, menurut saya mungkin tidak terlalu timpang. Tapi kalau didasrakan dimana pajak itu dibayar (by origin) itu akan sangat timpang.”
1.2.4
Transparancy and Stability (Transparan dan Stabil)
5.2.4.1 Transparansi Transparansi
merupakan
salah
satu
pilar
penting
dalam
upaya
mewujudkan good govermance. Transparansi dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan harus dilakukan melalui ketersediaan informasi yang akurat dan mutakhir dan dapat diketahui secara luas oleh masyarakat. Selain itu transparansi juga harus mendapat dukungan berupa aturan yang jelas dan tegas yang mendasari atas diambilnya berbagai kebijakan publik, dengan demikian hal ini juga akan medukung
suatu
bentuk
kepastian
dalam
pelaksanaan
penyelenggaraan
pemerintahan. United
Nation
Development
Program
(UNDP)
mendefinisikan
transparansi sebagai berikut: Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan. Fenomena yang terjadi dalam perkembangan sektor publik di Indonesia dewasa ini adalah semakin kuatnya tuntutan transparansi dan akuntabilitas publik oleh lembaga-lembaga publik, baik di pusat maupun daerah. Pemerintah, baik pusat maupun daerah harus bisa menjadi subjek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik, yaitu hak untuk tahu (right to know), hak untuk diberi informasi (right to be informed), dan hak untuk didengar (right to be heard and to be listened to). Terdapat dua titik kritis transparansi bagi hasil pajak, yaitu (1) mekanisme dan porsi bagi hasil, dan (2) penerimaan pajak. Porsi dan mekanisme bagi hasil pajak dijelaskan secara eksplisit dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Universitas Indonesia
103
Dana Perimbangan. Tidak ada masalah transparansi dalam hal ini, setiap masyarakat dapat mengaksesnya karena peraturan perundangan ini akan ditempatkan dalam lembaran negara. Begitu juga halnya dengan transparansi penerimaan pajak yang akan dibagihasilkan. Alokasi sementara didasarkan atas rencana penerimaan pajak yang dibagihasilkan yang ditetapkan dalam Undangundang Anggaran Pendapatan dan belanja Negara (APBN). Alokasi sementara ini ditetapkan paling lambat dua bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. Sementara alokasi defenitif didasarkan atas prognosa realisasi penerimaan pajak yang dibagihasilkan tersebut. Adapun realisasi penerimaan pajak yang bersangkutan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Prosedur dan mekanisme bagi hasil pajak yang telah diterapkan di Indonesia (PBB, BPHTB, dan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21) dapat dilihat kembali pada Bab IV. Sedikit berbeda dengan bagi hasil PBB, BPHTB, PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21, jika PPN dibagihasilkan berbasis konsumsi,maka terdapat satu poin lagi terkait transparansi dalam hal ini, yaitu besaran konsumsi masing-masing daerah. Transparansi besaran konsumsi ini penting karena akan dijadikan basis bagi hasil. Menghitung besaran konsumsi selama ini adalah domainnya Badan Pusat Statistik (BPS), yang dikeluarkan setiap tahun melalui Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang dapat diakses pada setiap kantor BPS yang ada disetiap kabupaten/kota di Indonesia. Jika PPN dibagihasilkan, transparansi besaran konsumsi ini mungkin harus ditingkatkan, terutama terkait metodologi perhitungannya.
5.2.4.2 Predictibility Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan peran DPR atau DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran,
Universitas Indonesia
104
penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam penyusunan anggaran. Untuk menjamin agar pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib maka perlu dilakukan perencanaan dari segi penerimaan maupun pengeluaran. APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD. APBD disusun berdasrkan pendekatan kinerja yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Untuk
keperluan
penyusunan
APBD,
daerah
seharusnya
dapat
memperkirakan berapa penerimaan totalnya termasuk dana transfer dari pusat sehingga memudahkan dalam penyusunan anggaran. Untuk itu daerah harus bisa menghitung dan memperkirakan berapa penerimaan yang akan diterima dari pemerintah pusat termasuk bagihasil pajak. Perimbangan keuangan pusat dan daerah harus mendukung kinerja fiskal pemerintah daerah yang baik, atinya transfer ini dimaksudkan agar pemerintah daerah terdorog untuk secara intensif menggali sumber-sumber penerimaannya, namun tetap dalam koridor yang digariskan. Desain dari aspek ini harus sedemikian rupa sehingga memberikan semacam insentif bagi daerah dengan manajemen fiskal yang baik dan sebaliknya menangka praktek-praktek yang tidak efisien. Mardiasmo (2004; 107), menyatakan pentingnya kebijakan transfer fiskal yang predictable, sebagai berikut: “Kebijakan yang terprediksi adalah faktor penting dalam peningkatan kualitas implementasi anggaran daerah. sebaliknya, bila kebijakan sering berubah-ubah, seperti pengalokasian DAU yang tidak jelas misalnya, maka daerah akan menghadapi ketidak pastian (uncertainty) yang sangat besar hingga prinsip efisiensi dan efektifitas pelaksanaan suatu program yang didanai oleh anggaran daerah cenderung terabaikan.” Dalam persoalan estimasi khususnya estimasi pendapatan, terdapat faktor ketidakpastian yang cukup tinggi. Faktor ini akan menjadi lebih tinggi bila menyangkut estimasi pendapatan yang berasal dari pemerintah pusat, terutama
Universitas Indonesia
105
DAU. Oleh sebab itu manajer keuangan daerah harus memahami betul penentuan besarnya suatu mata anggaran. Masalah utama perimbangan keuangan selama ini adalah dominasi pemerintah pusat, yang terlihat dari dominannya peran dan porsi dana yang berasal dari pemerintah pusat. Dalam kondisi seperti ini, unsur ketidakpastian (uncertainty) menjadi tinggi dalam tahap penyiapan dan penyusunan anggaran daerah.
untuk
mengurangi
ketidakpastian,
mekanisme
penentuan
dan
pendistribusian dana perimbangan, termasuk PPN jika dibagihasilkan, harus berdasarkan kepada sistem dan prosedur yang jelas dan transparan serta tepat waktu. Dengan jelas dan transparannya sistem prosedur tersebut, maka tidak akan terjadi lagi usaha-usaha yang mengakibatkan adanya oknum yang mencoba membuat inside information yang pada ujung-ujungnya akan menghasilkan penyakit KKN. Tabel 5.14 Selisih Alokasi Defenitif dengan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21 Tahun 2007-2009 Tahun
Alokasi Defenitif
Alokasi Sementara
2009
10,215,655,760,127
10,089,204,000,000
126,451,760,127
1.25
2008
9,977,982,000,000
8,491,060,000,000
1,486,922,000,000
17.51
2007
7,941,411,182,946
7,472,040,000,000
469,371,182,946
6.28
Sumber:
Selisih
%
Diolah dari Peraturan Menteri Keuangan Penetapan Alokasi Sementara dan Alokasi Defenitif Dana Bagi Hasil PPh OP dan PPh 21 Tahun Terkait
Dari Tabel 5.14 di atas, terlihat bahwa realisasi alokasi Dana Bagi Hasil Pajak relatif terprediksi. Pada tahun 2009, perbedaan antara alokasi defenitif dibandingkan dengan alokasi sementara hanyalah 1,25%, dan tahun 2007 6,28%. Tahun 2008 perbedaan alokasi defenitif dan alokasi sementara relatif besar, yakni sebesar 17,51%. Hal ini disebabkan ketidakstabilan dan krisis ekonomi dunia pada tahun tersebut, sehingga pemerintah perlu hati-hati dalam menetapkan target penerimaan pajak, yang menjadi dasar alokasi sementara.
Universitas Indonesia
106
1.2.5
Simplicity (Sederhana) Simplicity menunjukkan bahwa alokasi dana kepada daerah seharusnya
didasarkan pada fakor-faktor objektif, dimana unit-unit individu tidak memiliki kontrol dan tidak dapat mempengaruhi mekanismenya. Disamping itu formula yang dipakai seharusnya mudah dipahami. Dana perimbangan berkaitan dengan besaran anggaran dalam APBN yang didaerahkan. Data memperlihatkan bahwa belanja ke daerah dalam bentuk dana perimbangan dan dana otonomi khusus dalam APBN meningkat dari tahun ke tahun (Lihat Tabel 5.12 pada Bagian 5.2.2 Revenue Adequacy). Pada tahun 2004, total dana transfer ke daerah sebesar 129,7 Triliun, meningkat dari tahun ke tahun, dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 284,8 Triliun. Impliaksi dari peningkatan ini adalah meningkatnya kandungan politis dalam proses alokasi dana, terutama dalam alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) pada tahap penentuan formulanya. Penetapan pagu anggaran belanja ke daerah dibahas bersama oleh panitia anggaran eksekutif dan legislatif melalui mekanisme pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) APBN. Besaran pagu belanja kedaerah tersebut dialokasikan kepada setiap daerah berdasarkan formula tertentu. Alokasi dana belanja kedaerah merupakan hasil kesepakatan antara panitia kerja belanja ke daerah pemerintah dan DPR. secara umum gambaran mekanisme pembahasan alokasi dana transfer ke daerah dalam APBN disajikan pada Gambar 5.3 di bawah ini.
Universitas Indonesia
107
Gambar 5.3 Mekanisme Pembahasan Alokasi Dana Belanja ke Daerah dalam APBN
Panitia Anggaran DPR RI
Pagu Belanja ke Daerah Dalam APBN
Panitia Anggaran Eksekutif
Kesepakatan Panja DPR RI dan Pemerintah PERPRES Alokasi Pada Setiap Pemerintah Derah di Indonesia
Peraturan Menteri
Sumber: Interpretasi penulis dari berbagai sumber
Tahapan politis sangat kental dalam pembahasan di DPR. Untuk menminimalisir hal itu, maka perhitungan dana transfer sebaiknya didasarkan atas meknaisme yang sederhana, mudah dipahami dan juga mudah dihitung oleh daerah. Selain itu juga harus logis, dalam arti memenuhi kaidah prinsip, teori maupun undang-undang, serta tidak mempertentangkan prinsip yang satu dengan yang lain (konsisten). Kandungan politis atas besaran bagi hasil pajak yang dialokasikan kepada setiap daerah relatif lebih kecil dibandingkan dengan DAU, karena mekanismenya dan perhitungannya relatif lebih sederhana. 1.2.6
Insentif Kerap pula dikkemukakan bahwa pertimbangan pemberian transfer dari
pusat ke daerah adalah dalam rangka menjamin tetap baiknya kinerja fiskal pemerintah adaerah. Artinya transfer ini dimaksudkan agar pemerintah daerah terdorong untuk secara intensif menggali sumber-sumber penerimaannya dalam koridor yang disepakati. Sehingga hasil yang diperoleh diharapkan dapat menyamai atau bahkan melebihi kapasitasnya. Dengan kata lain, transfer disini Universitas Indonesia
108
dimaksudkan sebagai sarana edukasi bagi pemerintah daerah. pemerintah daerah akan mendapat transfer jika upayanya untuk menggali sumber-sumber peneriman yang menjadi kewenanganya sama atau melebihi kapasitasnya. Sementara daerah tidak akan mendapat transfer apabila upayanya menghasikan penerimaan yang lebih rendah dari kapasitas fiskalnya. Desain dari transfer fiskal termasuk bagi hasil pajak harus sedemikian rupa sehingga memberikan semacam insentif bagi daerah dengan manajemen fiskal yang baik dan sebaliknya menangkal praktek-praktek yang tidak efisien. Dengan demikian tidak perlu adanya transfer khusus untuk membiayai defisit anggaran pemerintah daerah atau ada semacam kontrol terhadap belanja daerah. Disinsentif DAU terdapat pada komponen alokasi dasar yang menghukum daerah yang efisien, kemudian daerah yan bisa menggali sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang besar tetapi dihukum juga karena menjadi faktor pengurang. Alokasi dasar dihitung atas dasar jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) daerah sesuai dengan peraturan penggajian PNS. Dengan dua faktor tersebut membuat kriteria insentif dari Dana Alokasi Umum (DAU) tidak adapat terpenuhi karena seharusnya DAU sebgaai tranfer pemerintah pusat bisa memacu daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskalnya. Hal ini menjadi efek negatif bagi daerah yang membuat daerah menjadi malas untuk meningkatkan pendapatan daerah yang berasal dari potensi yang ada di daerah tersebut. Kenyataan ini tidak sejalan dengan tujuan otonomi daerah yaitu memandirikan daerah dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Berbeda dengan DAU yang memberikan disinsentif bagi daerah sebagaimana dijelaskan pada paragraf di atas, jika PPN dibagihasilkan, cenderung memberikan insentif kepada daerah untuk dapat meningkatkan kinerja fiskalnya, sebagaiman yang dijelaskan Prof Dr Robert Simanjuntak (2006) sebagai berikut: “Dengan bagi hasil PPN, pemerintah daerah akan mendapat insentif yang menarik dalam mobilisasi penerimaannya. Sebab, boleh dibilang besarnya penerimaan PPN suatu wilayah menggambarkan intensitas kegiatan ekonomi daerah, maka daerah akan cenderung berkomitmen tinggi untuk pertumbuhan ekonominya, sehingga akan meningkatkan basis pajak.”
Universitas Indonesia
109
1.3 Dampak
Bagi
Hasil
PPN
terhadap
Pemerataan
Fiskal
antar
Pemerintahan Daerah di Indonesia Pada bagian ini, akan dilakukan simulasi bagi hasil PPN antara pusat dan daerah di Indonesia dengan menggunakan basis konsumsi sebagaimana yang dijelaskan pada awal Bagian 5.2 di atas. Simulasi dilakukan dengan menggunakan basis data tahun 2008. Tujuan dilakukannya simulasi ini adalah untuk menentukan sejauh mana ketimpangan antar daerah yang ditimbulkan, apakah ketimpangan antar daerah setelah bagi hasil PPN akan semakin tinggi dibandingkan dengan sebelum bagi hasil dilakukan atau justru sebaliknya. Untuk keperluan simulasi ini, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten kota disatukan menjadi pemerintah daerah. perlu digarisbawahi juga, tingkat ketimpangan setelah bagi hasil PPN dalam simulasi ini belum memperhitungkan dampak equalization dari DAU. Dalam simulasi ini, porsi bagi hasil yang menjadi bagian daerah yang digunakan lebih dari satu, yakni sebesar 20%, 25% dan 30%, sebagaimana rekomendasi Simanjuntak (2006). Adapun tujuan penggunaan porsi lebih dari satu adalah untuk menentukan pada tingkat bagi hasil berapa yang akan menimbulkan tingkat pemerataan antar daerah yang lebih baik. Untuk menghitung bagian PPN setiap daerah dilakukan beberapa langkah sebagai berikut: 1. Menyusun data konsumsi untuk setiap daerah di Indonesia. 2. Menentukan indeks konsumsi untuk setiap daerah dengan rumus sebagai berikut: Formula 5.4 Indeks Konsumsi Daerah
IKi =
Universitas Indonesia
110
Dimana: IKi
= Indeks konsumsi daerah i
Ki
= Konsumsi daerah i
Kt
= Total konsumsi seluruh daerah
3. Menentukan bagian PPN untuk setiap daerah dengan mengalikan porsi bagi hasil PPN untuk daerah (20%, 25% dan 30% dari total realisasi penerimaan PPN) dengan indeks konsumsi setiap daerah sebagaimana langkah 2 (dua) di atas. Langkah ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Formula 5.5 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menjadi Bagian Daerah
PPNi = PPNd x IKi
Dimana: PPNd = t x PPNt Keterangan: PPNi = Bagian PPN untuk daerah i PPNd = Bagian PPN untuk seluruh daerah PPNt = Total Realisasi Penerimaan PPN t
= Porsi Bagi Hasil PPN untuk daerah (20%, 25% dan 30%)
Untuk menguji pemerataan fiskal antar daerah sebelum dan sesudah bagi hasil PPN, digunakan indeks Weighted Coefficient Variation (CVW). indeks ini merupakan indeks variasi pendapatan antar daerah dalam suatu wilayah yang dikembangkan oleh Williamson pada tahun 1965, sehingga disebut juga dengan Indeks Williamson. Keunggulan indeks ini adalah mudah dan praktis untuk melihat disparitas antar daerah. Adapun rumus indeks ini dapat dituliskan sebagai berikut: Formula 5.6 Indeks Weighted Coefficient Variation (CVW) CVW Universitas Indonesia
111
Keterangan: CVW
= Indeks Williamson
Yi
= Penerimaan per kapita daerah i
Y
= Rata-rata penerimaan per kapita daerah secara nasional
Pi
= Jumlah penduduk daerah i
P
= Jumlah penduduk nasional Nilai
koefisien
variasi
ketidakmerataan
yang
diperoleh
dengan
menggunakan rumus di atas terletak antara 0 dan 1. Jika mendekati nol, ketidakmerataan distribusi pendapatan antar daerah relatif kecil. Sebaliknya, apabila mendekati 1, berarti ketidakmerataan antar daerah relatif besar. Penerimaan PPN tahun 2008 adalah sebesar Rp. 209.647.000.000.000. Dengan porsi 20%, 25% dan 30% maka bagian daerah dari penerimaan PPN masing-masing adalah sebesar Rp. 41.929.400.000.000 (Lihat Lampiran 4), Rp 52.411.750.000.000 (Lihat Lampiran 7), dan Rp 62.894.100.000.000 (Lihat Lampiran 10). Adapun sebaran persentase bagi hasil PPN dengan menggunakan basis konsumsi pada tahun 2008 dapat dilihat pada grafik 5.6 di bawah ini. Grafik 5.6 Sebaran Bagi Hasil PPN dengan Menggunakan Basis Konsumsi pada Tahun 2008 20.00 18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 -
Persentase
Sumber: Hasil Perhitungan
Universitas Indonesia
112
Berdasarkan Grafik 5.6 di atas, dapat dilihat sebaran bagi hasil PPN untuk setiap daerah di Indonesia dengan menggunakan konsumsi sebagai basis bagi hasil. Karena basis bagi hasil yang digunakan adalah konsumsi, maka secara otomatis besaran bagi hasil yang diterima oleh suatu daerah berbanding lurus dengan besaran konsumsi di daerah tersebut. Daerah yang konsumsinya besar akan memperoleh bagi hasil PPN yang besar pula, begitu juga sebaliknya daerah yang konsumsinya kecil akan memperoleh bagi hasil yang kecil pula. Daerah yang memperoleh bagi hasil yang terbesar adalah Jawa Barat dengan persentase 18.69% dan yang terkecil Papua Barat sebesar 0.27%. Selanjutnya kita lihat pengaruh bagi hasil PPN ini terhadap ketimpangan antar daerah yang ditimbulkan, yang dilihat dari Indeks Williamson, pada tabel berikut: Tabel 5.15 Indeks Williamson Konsolidasi Propinsi Sebelum Bagi Hasil PPN dan Sesudah Bagi Hasil PPN Tahun 2008 Sebelum Bagi Hasil
Bagi Hasil 20%
Bagi Hasil 25%
Bagi Hasil 30%
0.82
0.74
0.73
0.71
Sumber: Hasil Perhitungan (Lihat Lampiran 2 sampai 12)
Berdasarkan Tabel 5.15 di atas, terlihat bahwa Indeks Williamson setelah bagi hasil PPN lebih kecil dibandingkan dengan sebelum bagi hasil PPN. Sebelum bagi hasil PPN dilakukan, Indeks Williamson sebesar 0.82, setelah bagi hasil PPN 20% Indeks Williamson sebesar 0.74, bagi hasil PPN 25% menghasilkan Indeks Williamson 0.73% dan dengan bagi hasil 30% Indeks Williamson sebesar 0.71%. Hal ini berarti ketimpangan antar daerah yang ditimbulkan oleh bagi hasil PPN lebih baik dibandingkan dengan sebelum bagi hasil PPN. Disamping itu, tabel tersebut juga menunjukkan semakin besar porsi bagi hasil PPN yang menjadi bagian daerah, akan memberikan tingkat ketimpangan antar daerah yang lebih baik, dengan tingkat terbaik pada porsi bagi hasil 30%.
Universitas Indonesia
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang dilakukan pada Bab V, dapat ditarik 3 (tiga) kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat tiga faktor penyebab bagi hasil PPN belum diterapkan di Indonesia, yaitu: masih terbatasnya studi dan kajian tentang bagi hasil PPN, kekhawatiran pemerintah dan para pakar akan efek horizontal inequalization yang semakin melebar dari diterapkannya bagi hasil PPN, dan belum adanya agenda dari pemerintah pusat untuk membagihasilkan PPN kepada pemerintah daerah. 2. Bagi hasil PPN layak dijadikan sebagai salah satu alternatif Dana Bagi Hasil Pajak di Indonesia, dengan dua alasan yaitu: Pertama, jika dilihat karakteristiknya, PPN di Indonesia bersifat consumption type dan destination principle, maka PPN di Indonesia dapat dibagihasilkan dengan menggunakan basis konsumsi. Data konsumsi yang tersedia saat ini adalah data konsumsi rumah tangga yang dikeluarkan oleh BPS melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Berdasarkan uji regresi yang dilakukan untuk melihat hubungan antara data konsumsi rumah tangga yang dikeluarkan oleh BPS tersebut dengan penerimaan PPN, terdapat hubungan yang sangat erat. Dengan demikian data konsumsi rumah tangga yang dikeluarkan oleh BPS tersebut dapat dijadikan sebagai basis bagi hasil jika PPN dibagihasilkan di Indonesia. Kedua, jika ditinjau lebih jauh kriteria kelayakan transfer fiskal yang diajukan oleh Decentralization Thematic Team dari World Bank (Shah, 2007, p.15), yang meliputi autonomy (otonomi), revenue adequacy (kecukupan penerimaan), equity (keadilan), transparancy and stability (transparan dan stabil), simplicity (simpel) dan Incentive (Insentif), maka bagi hasil PPN dengan menggunakan basis konsumsi memenuhi semua kriteria-kriteria tersebut.
113
Universitas Indonesia
114
3. Pemereataan fiskal yang ditimbulkan oleh bagi hasil PPN akan lebih baik jka dibandingkan dengan sebelum bagi hasil PPN. Semakin tinggi porsi bagi hasil maka akan menimbulkan pemerataan yang lebih baik pada tingkat bagi hasil 30%.
6.2 Saran 1. Agar PPN dapat dibagihasilkan di Indonesia, maka kendala-kendala yang ada harus diminimalisir. Penelitian dan kajian yang mengangkat topik bagi hasil PPN diharapkan agar lebih beragam dari berbagai sudut pandang keilmuan. Hal ini dimaksudkan untuk memberi input kepada pengambil kebijakan, terutama pemerintah, bahwa PPN layak dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif Dana Bagi Hasil Pajak di Indonesia. 2. Berdasarkan uji regresi yang dilakukan, terdapat hubungan yang erat antara data konsumsi rumah tangga yang dikeluarkan oleh BPS dengan penerimaan PPN. Data ini dapat dijadikan sebagai basis bagi hasil. Namun untuk kedepan, diperlukan survey tersendiri (apabila dimungkinkan berupa sensus) untuk tujuan bagi hasil PPN terlepas dari survey konsumsi rumah tangga, dengan mengkhususkan kepada konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) yang menjadi objek PPN di Indonesia. 3. kekhawatiran bahwa bagi hasil PPN akan mengakibatkan ketimpangan fiskal (horizontal imbalance) semakin tinggi, berdasarkan simulasi ini tidak terbukti, bahkan ketimpangan sebelum bagi hasil PPN lebih tinggi jika dibandingkan dengan setelah bagi hasil PPN dilakukan. Oleh sebab itu, bagi hasil PPN antara pusat dan daerah layak untuk dipertimbangkan sebagai salah satu kebijakan transfer fiskal untuk memperkuat desentralisasi fiskal di Indonesia
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Buku:
Bird, Richard and Francois Vaillancourt. 1998. Fiscal Decentralization in Developing Countries. United Kingdom: Cambridge University Press. Bird, Richard and Thomas Stauffer. 2001. Integovernmental Fiscal Transfer: Some Lessons From International Experience. Toronto, Canada: International Tax Program, Rotman School of Management. Broadway, Robin and Anwar Shah. 2007. Intergovernmental Fiscal Transfer: Principle and Practice. Washington DC: the World Bank Bungin, Burhan. 2008. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Rajawali Pers Davey,
K.J. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga. Jakarta: UI Press
Devas, Nick et al. 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: UI Press Dunn, William N. 1994. Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice-Hall International, Englewood Cliffs Dye, Thomas R. 1981. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall Ehtisam, Ahmad and Giorgio Brosio. 2006. Handbook of Fiscal Federalism. UK: Edward Elgar Publishing Limited Elmi, Bachrul. 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia. Jakarta: UI Press Gurumurthi, Sitaram. 2002. Horizontal Tax Revenue Sharing. Chennai: Businessline Haris, Syamsuddin et al. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press Haris, Syamsuddin et al. 2006. Membangun Format Baru Otonomi daerah. Jakarta: LIPI Press Howlet, Michael and Ramesh, M. 1995. Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystem. Toronto: Oxford University Press 115
Universitas Indonesia
116
Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: DIA FISIP UI Irianto, Edi Slamet. 2009. Pajak Negara dan Demokrasi: Konsep dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: LaksBang Mediatama Isdijoso, Brahmantio dkk. 2001. Center For Economic & Social Studies. Jakarta. Ismail, Tjip. 2008. Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia. Jakarta: Yellow Printing Korten, David C. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta: Yayasan Obor Kumorotomo, Wahyudi. 2008. Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2004. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Mardiasmo. 2004. Otonomi dan Manajemen keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi Musgrave, Richard A and Musgrave. 1993. Public Finance in Theory and Practice, Fifth Edition. USA: McGraw-Hill Book Company Newman, E. Herbert. 1968. An Introduction to Public Finance. Newyork: John Wiley & Sons Inc. Oentarto, SM et al. 2004. Menggagas Format Otonomi Daerah masa Depan. Jakarta: Samitra Media Utama Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Rajawali Pers Ripley, Randall B. 1985. Policy Analysis in Political Science. Chicago: NelsonHall Publisher Rosdiana, Haula dan Tarigan, Rasin. 2005. Perpajakan: teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Santoso, Singgih. 2010. Mastering SPSS 18. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Sidik, Machfud, dkk. 2002. Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Sidik, Machfud. 2007. A New Perspective of Intergovernmental Fiscal Relations: Lessons From Indonesia’s Experience. Jakarta: Ripelge Subarsono, AG. 2009. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Universitas Indonesia
117
Sukardji, Untung. 2009. Pajak Pertambahan Nilai. Jakarta: Rajawali Pers Sukardji, Untung. 2009. Pokok-pokok Pajak Pertambahan Nilai. Jakarta: Rajawali Pers Tait, Alan A. 1988. Value Added Tax: International Practice and Problems. Washington DC: International Monetary Fund Thoha, Miftah. 1993. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers Yani, Ahmad. 2009. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers
Jurnal dan Karya Ilmiah: Alisjahbana, Armida S. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Mobilisasi Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota: Simulasi Bagi Hasil PPh Badan dan PPNPPnBM. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia Vol. 51 (4), Hal. 397419 Haryanto, Joko Tri dan Ester Sri Astuti. 2009. Desentralisasi Fiskal dan Penciptaan Stabilitas Keuangan Daerah. Kajian Ekonomi dan Keuangan Vol. 13 No. 1 Hal 51-65 Hirawan, Susiyati B. 2006. Evaluasi Lima Tahun Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. VI No. 02 Hal. 63-82 Mahi, Reksaka. 2005. Peran Pendapatan Asli Daerah di Era Otonomi Daerah. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol 6, No. 1 Juli. Mahi, Raksaka et al. 2000. Alternative Local Revenues and Tax Sharing: Some Notes on the Implementation of Law No. 18/1997. Paper dipresentasikan pada two day seminar on Indonesia: Decentralization Sequencing Agenda. Diselenggarakan oleh LPEM FEUI and the World Bank, Plaza Mandiri, Jakarta, 20-21 Maret 2000 Mahi, Raksaka et al. 2002. Managing Local Revenue in Indonesia. Paper untuk: Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?. Disponsori oleh The International Studies Program, Andrew Young School of Policy Studies, Goergia State University, Atlanta, 1-3 Mei 2002. Mahroji, Dwi. 2005. Pengaruh Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) antara Pusat dan Daerah terhadap Kondisi Keuangan Pusat dan Kabupaten/Kota di Indonesia. Tesis Program Pascasarjana Ilmu ekonomi FE UI
Universitas Indonesia
118
Mann, Arthur J. 2001. Perpajakan Pemerintah daerah: Praktek-Praktek Internasional yang Standar. Center for Institutional Reform and The Informal Sector. USAID. Jakarta. Panggabean, Adrian TP dkk. 1999. Distribusi Dana Alokasi Umum (DAU): Konsep dan Formulasi Alokasi. Studi Kerjasama antara IUC EconomicsUI dengan Research Triangle Institute (RTI) – North Carolina, USA, dan Bdan Analisa Keuangan Daerah (BAKD) Departemen Keuangan. Jakarta: 31 Oktober 1999 Romadhoni, Wahyu K. 2006. Analisis Alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Kesenjangan Kemampuan Keuangan antar Kabupaten/Kota di Indonesia (Studi Empiris Tahun Anggaran 2001-2005). Tesis Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI Romdhony, Heryana. 2006. Dampak Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap Pemerataan Fiskal antar Pemerintah Propinsi di Indonesia. Tesis Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik FE UI Sidik, Machfud. 2002. Kebijakan, Implementasi dan Pandangan ke Depan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Disampaikan pada Seminar Nasional “Setahun Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia” Diselenggarakan oleh Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM di yogyakarta Tanggal 13 Maret 2002. Simanjuntak, Robert A. 2002. Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai: Sebuah Alternatif Penguatan Keuangan Daerah di Era Desentralisasi. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol VI No. 02, 2006 Januari, hal 47-62 Simanjuntak, Robert A. 2003 (a). Implementasi Desentralisasi Fiskal: Problema, Prospek, dan Kebijakan. Working Paper No.4/ 2003. LPEM UI. Simanjuntak, Robert A. 2003 (b). Kebijakan Pungutan Daerah di Era Otonomi. Working Paper No.6/ 2003. LPEM UI. Suparno, Riyadi. 2004. The Political Economy of Intergovernmental Transfers in Indonesia. Disertasi: Universitas of Birmingham for the degree o Master of Science (MSc) in Public Economic Managemen and Finance. International Development School of Public Policy University of Birmingham.. Waluyo, Joko. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan antar Daerah di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Akademik Tahunan Ekonomi, Wisma Makara, Kampus UI Depok
Universitas Indonesia
119
Yang, James G.S. and Robert Zheshi. 2004. Problem Implementing The VAT. International Tax Journal, Volume 30: Newyork
Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undangundang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
Lain-lain Dartanto, Teguh. 2008. Sistem Bagi Hasil Pajak yang Berkeadilan. Koran Tempo, 12 September 2008, Halaman A11 Majalah Business News 7124/13-10-2004. Desentralisasi. Jakarta: 12 Oktober 2004.
Keuangan
Daerah
yang
Majalah Business News 7126/18-10-2004. Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Fiskal Secara Vertikal. Jakarta: 16 Oktober 2004 Majalah Business News 7129/25-10-2004. Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Fiskal Secara Horizontal. Jakarta: 23 Oktober 2004
Universitas Indonesia
120
LAMPIRAN
Universitas Indonesia
121
Lampiran 1. Pedoman Wawancara I.
Pandangan umum key informan terhadap bagi hasil PPN antara pusat dan daerah di Indonesia Kenapa bagi hasil PPN belum diterapkan di Indonesia? Menurut Bapak, apakah dimungkinkan PPN dibagihasilkan di Indonesia? Jika PPN dibagihasilkan kepada daerah, Kendala apa yang kira-kira dapat terjadi dalam implementasi bagi hasil PPN? Secara politik, seberapa jauh tingkat penerimaan atas bagi hasil PPN antara pusat dan daerah? Apakah ada aspirasi dari daerah untuk membagihasilkan PPN secara langsung kepada daerah? sepengetahuan Bapak, Apakah bagi hasil PPN antara pusat dan daerah menjadi salah satu agenda dalam pembahasan perubahan UU No. 33 Tahun 2004 nantinya?
II.
Otonomi (Autonomy) Jika PPN dibagihasilkan kepada daerah, apakah penggunaan dananya bersifat fleksibel atau ada aturan yang ketat dalam penggunaan dananya? Dalam bagi hasil pajak yang telah diterapkan di Indonesia (PBB, BPHTB, PPh OPDN dan PPh Pasal 21), apakah ada batasan-batasan, pengaturan, arahan atau prioritas yang ditetapkan oleh pusat dalam penggunaan dana bagi hasil pajak oleh daerah? Apakah ada pengawasan dari pusat terhadap penggunaan dana bagi hasil pajak kepada daerah? apa bentuknya? Jika ada pengawasan, apakah akan menyebabkan daerah tidak leluasa dalam penggunaan dana bagi hasil yang diperolehnya? Apakah penggunaan dana bagi hasil pajak oleh daerah bersifat auditable? Apakah ada proses legislative review atas penggunaan dana bagi hasil pajak oleh DPRD?
III. Penerimaan yang Cukup (Revenue Adequacy) Sejak diterapkannya otonomi daerah di Indonesia, apakah daerah memiliki sumber penerimaan yang cukup dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya? Jika PPN dibagihasilkan kepada daerah, apakah dapat memperkuat penerimaan daerah? Jika PPN dibagihasilkan kepada daerah, apakah akan mengganggu sumber penerimaan pusat dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya? Menurut bapak, apakah kondisi keseimbangan fiskal vertikal antara pusat dan daerah telah ideal? IV. Keadilan (equity) Apakah mekanisme dan formula bagi hasil pajak selama ini telah dapat menciptakan keadilan bagi daerah? Bagaimana dengan horizontal imbalance yang ditimbulkan akibat penerapan bagi hasil pajak selama ini? Seandainya PPN dibagihasilkan kepada daerah, mekanisme dan formula seperti apa yang sebaiknya digunakan? apakah mungkin mekanisme pendistribusiannya Universitas Indonesia
122
berdasarkan suatu kriteria kebutuhan yang tidak berhubungan langsung dengan asal perolehannya? Jika PPN dibagihasilkan kepada daerah, bagaimana dengan pemerataan fiskal antar daerah yang ditimbulkan? V.
Transparansi dan Stabilitas (Transparancy and Stability) Transparansi Selama ini, apakah mekanisme penyaluran bagi hasil pajak kepada daerah telah transparan? Apakah daerah dilibatkan dalam penyusuna formula dan mekanisme bagi hasil pajak selama ini? Adakah sosialisasi yang dilakukan pusat sehubungan dengan formula dan mekanisme bagi hasil pajak selama ini? Apa bentuknya? Apakah pernah terjadi miskomunikasi antara pusat dan daerah mengenai formula dan besaran bagi hasil yang diterimanya, sehubungan dengan kekurangpahaman daerah? Stabilitas Atas bagi hasil pajak yang telah diterapkan selama ini, dalam penyusunan APBD, apakah daerah dapat memperkirakan jumlah bagi hasil yang akan diterimanya? Apakah mekanisme bagi hasil pajak dapat membantu daerah dalam melakukan perencanaan jangka menengah dan jangka panjang? Apakah mekanisme bagi hasil pajak selama ini dapat menciptakan stabilitas dalam penganggaran di pusat dan di daerah? Jika PPN dibagihasilkan kepada daerah, apakah dapat dijadikan sebagai instrumen transfer fiskal dalam jangka panjang? Apakah bagi hasil PPN kepada daerah dapat mengganngu stabilitas makroekonomi nasional?
VI. Sederhana (Simplicity) Apakah mekanisme dan formula bagi hasil pajak selama ini sederhana dan mudah dipahami oleh daerah? Selama ini, apakah ada individu atau kelompok-kelompok tertentu yang dapat melakukan intervensi terhadap penyaluran bagi hasil pajak? VII. Insentif Seandainya PPN dibagihasilkan kepada daerah, apakah perlu ada penugasan khusus kepada daerah untuk perbantuan agar diperoleh manfaat yang optimal atas bagi hasil PPN tersebut? Jika ada, menurut Bapak dalam bentuk apa? Apakah selama ini ada terjadi penyalahgunaan dana bagi hasil pajak oleh daerah? kalau ada, bentuknya seperti apa? Apakah ada bentuk punishment dari pusat terhadap penyalahgunaan tersebut? Apakah ada insentif bagi daerah yang pengelolaan fiskalnya baik? Dan sebaliknya disinsentif bagi daerah yang pengelolaan fiskalnya buruk? Apa bentuknya? Apakah insentif dan disinsentif tersebut efektif dalam meningkatkan komitmen daerah untuk pengelolaan fiskal lebih baik lagi? Apakah kebijakan bagi hasil PPN akan memberikan insentif kepada daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya? Universitas Indonesia
123
Lampiran 2. Penerimaan Konsolidasi Propinsi Sebelum Bagi Hasil PPN Per Propinsi di Indonesia Tahun 2008 (Rp Milyar) No
Propinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Jogjakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua Maluku Utara Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Papua Barat Sulawesi Barat TOTAL
Penerimaan Penerimaan Penerimaan Propinsi Kab/Kota Konsolidasi 6,644.77 2,957.28 1,316.99 3,463.10 1,136.14 2,472.77 803.63 1,505.31 18,791.53 5,696.29 4,845.23 1,086.66 5,358.42 1,289.20 1,187.66 1,382.80 4,085.87 847.28 929.22 2,026.08 885.29 1,288.99 1,034.77 930.02 778.77 5,558.79 621.47 2,028.87 721.95 471.94 1,178.50 780.08 549.90
9,141.05 14,154.74 7,810.97 11,452.47 4,852.68 9,863.70 3,413.76 6,473.78
84,655.54
%
24,696.03 24,525.07 3,659.37 27,458.23 6,636.74 6,464.36 5,904.95 16,335.36 4,409.50 4,640.07 10,961.98 4,351.39 5,092.86 4,687.19 6,526.12 3,453.44 12,333.34 3,014.40 5,712.84 2,513.16 1,951.35 3,000.07 4,979.41 1,825.34
15,785.82 17,112.02 9,127.95 14,915.57 5,988.82 12,336.47 4,217.39 7,979.09 18,791.53 30,392.32 29,370.29 4,746.04 32,816.65 7,925.94 7,652.02 7,287.75 20,421.24 5,256.78 5,569.29 12,988.06 5,236.68 6,381.85 5,721.95 7,456.14 4,232.21 17,892.13 3,635.88 7,741.71 3,235.10 2,423.29 4,178.57 5,759.50 2,375.24
4.55 4.93 2.63 4.30 1.73 3.56 1.22 2.30 5.42 8.76 8.47 1.37 9.46 2.28 2.21 2.10 5.89 1.52 1.61 3.74 1.51 1.84 1.65 2.15 1.22 5.16 1.05 2.23 0.93 0.70 1.20 1.66 0.68
262,295.73
346,951.27
100.00
Universitas Indonesia
124
Lampiran 3. Perhitungan Indeks Williamson Penerimaan APBD Konsolidasi Sebelum Bagi Hasil PPN Per Propinsi di Indonesia Tahun 2008 No
Propinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Jogjakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua Maluku Utara Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Papua Barat Sulawesi Barat TOTAL Indeks Williamson
Total Penerimaan 15,785,820,000,000.00 17,112,017,000,000.00 9,127,953,000,000.00 14,915,566,000,000.00 5,988,819,000,000.00 12,336,472,000,000.00 4,217,387,000,000.00 7,979,091,000,000.00 18,791,529,000,000.00 30,392,317,000,000.00 29,370,294,000,000.00 4,746,036,000,000.00 32,816,650,000,000.00 7,925,941,000,000.00 7,652,022,000,000.00 7,287,746,000,000.00 20,421,236,000,000.00 5,256,781,000,000.00 5,569,289,000,000.00 12,988,062,000,000.00 5,236,684,000,000.00 6,381,845,000,000.00 5,721,953,000,000.00 7,456,138,000,000.00 4,232,208,000,000.00 17,892,127,000,000.00 3,635,876,000,000.00 7,741,707,000,000.00 3,235,101,000,000.00 2,423,290,000,000.00 4,178,569,000,000.00 5,759,497,000,000.00 2,375,244,000,000.00 346,951,267,000,000.00
Jumlah Penduduk 4,491,675.00 12,737,702.00 4,445,522.00 5,251,592.00 2,770,247.00 8,372,256.00 1,771,161.00 7,291,583.00 8,470,815.00 41,686,199.00 33,248,931.00 3,291,512.00 36,488,406.00 4,461,305.00 2,278,389.00 3,331,430.00 3,037,261.00 2,399,721.00 2,479,494.00 7,785,191.00 2,269,778.00 3,466,329.00 4,414,251.00 4,328,038.00 1,165,080.00 2,023,731.00 753,205.00 10,426,823.00 972,258.00 945,045.00 1,390,063.00 689,567.00 970,280.00
Yi 3,514,461.75 1,343,414.77 2,053,291.60 2,840,198.93 2,161,835.75 1,473,494.36 2,381,142.65 1,094,287.89 2,218,385.01 729,073.84 883,345.51 1,441,901.47 899,371.98 1,776,596.98 3,358,523.06 2,187,572.90 6,723,569.69 2,190,580.07 2,246,139.33 1,668,303.58 2,307,134.88 1,841,096.16 1,296,245.50 1,722,752.43 3,632,547.12 8,841,158.73 4,827,206.40 742,479.95 3,327,410.01 2,564,205.94 3,006,028.50 8,352,338.50 2,447,998.52
`Y 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15 1,509,108.15
(Yi-Y)2 4,021,443,091,465.43 27,454,295,137.35 296,135,635,735.50 1,771,802,684,045.08 426,053,323,726.81 1,268,341,770.11 760,444,177,858.96 172,075,842,583.34 503,073,665,777.65 608,453,526,296.60 391,578,874,092.19 4,516,737,033.00 371,778,191,301.44 71,550,277,178.98 3,420,335,527,943.17 460,314,427,129.79 27,190,609,186,245.10 464,403,984,484.76 543,214,970,035.22 25,343,185,331.13 636,846,671,589.72 110,216,038,858.35 45,310,505,823.24 45,643,881,618.27 4,508,993,078,723.66 53,758,965,772,477.00 11,009,776,049,565.60 587,718,794,807.10 3,306,221,660,614.43 1,113,231,347,783.58 2,240,770,555,460.06 46,829,801,620,687.00 881,515,125,441.81
Fi/N
(Yi-Y)2 x Fi/N
0.0195 0.0554 0.0193 0.0228 0.0120 0.0364 0.0077 0.0317 0.0368 0.1813 0.1446 0.0143 0.1587 0.0194 0.0099 0.0145 0.0132 0.0104 0.0108 0.0339 0.0099 0.0151 0.0192 0.0188 0.0051 0.0088 0.0033 0.0454 0.0042 0.0041 0.0060 0.0030 0.0042
78,567,355,945.43 1,521,084,245.46 5,726,184,292.80 40,472,331,078.85 5,133,745,517.90 46,188,162.00 5,858,376,319.96 5,457,498,365.37 18,535,686,130.72 110,324,405,434.23 56,630,295,237.58 64,665,424.81 59,005,254,461.60 1,388,433,620.32 33,896,001,681.28 6,670,174,024.93 359,213,737,508.20 4,847,396,836.24 5,858,503,278.63 858,187,841.33 6,287,386,401.03 1,661,752,974.66 869,977,098.53 859,261,832.47 22,850,052,465.88 473,211,810,424.26 36,069,785,957.59 26,654,679,593.64 13,981,873,801.81 4,576,039,891.40 13,548,267,364.16 140,459,356,202.21 3,720,306,609.96
229,904,840.00 88,094,093.79 1,509,108.15 166,606,861,048,621.00 1.0000 1,544,826,056,025.25
0.82
Universitas Indonesia
125
Lampiran 4. Perhitungan Bagi Hasil PPN (20%) antara Pusat dan Daerah Berbasis Konsumsi, untuk setiap Propinsi di Indonesia Tahun 2008 No
Propinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Jogjakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua Maluku Utara Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Papua Barat Sulawesi Barat TOTAL
Konsumsi
Indeks
Bagi Hasil PPN
%
20,593,934,607,600 59,882,535,593,208 21,445,304,820,528 32,786,193,008,832 12,666,965,488,488 36,300,159,652,608 7,727,972,183,064 29,229,477,108,780 87,791,560,543,260 198,557,535,394,452 122,191,417,373,688 16,467,250,211,328 145,349,667,903,888 18,693,581,758,800 11,432,801,071,548 17,730,190,277,280 21,332,579,253,864 9,833,941,471,392 9,510,456,284,136 29,992,572,890,556 7,479,889,974,984 17,845,410,419,064 15,914,769,758,316 12,325,715,547,288 4,269,505,564,800 9,523,831,889,556 3,700,011,100,980 56,862,011,913,828 6,079,618,721,736 3,129,127,158,960 9,344,359,342,128 2,870,769,476,916 3,336,812,325,600
1.94 5.64 2.02 3.09 1.19 3.42 0.73 2.75 8.27 18.69 11.50 1.55 13.68 1.76 1.08 1.67 2.01 0.93 0.90 2.82 0.70 1.68 1.50 1.16 0.40 0.90 0.35 5.35 0.57 0.29 0.88 0.27 0.31
812,928,831,128 2,363,814,423,632 846,535,978,341 1,294,208,322,385 500,018,167,713 1,432,919,299,708 305,055,421,097 1,153,809,852,914 3,465,500,500,764 7,837,897,334,117 4,823,406,891,018 650,031,318,505 5,737,560,009,070 737,913,946,914 451,300,530,409 699,884,851,167 842,086,228,214 388,186,847,149 375,417,532,291 1,183,932,438,702 295,262,577,559 704,433,072,620 628,222,601,645 486,547,603,632 168,535,262,174 375,945,523,445 146,054,931,066 2,244,581,706,287 239,988,007,893 123,519,751,434 368,860,990,499 113,321,291,913 131,717,954,593
1.94 5.64 2.02 3.09 1.19 3.42 0.73 2.75 8.27 18.69 11.50 1.55 13.68 1.76 1.08 1.67 2.01 0.93 0.90 2.82 0.70 1.68 1.50 1.16 0.40 0.90 0.35 5.35 0.57 0.29 0.88 0.27 0.31
1,062,197,930,091,460
100
41,929,400,000,000
100
Rp
41,929,400,000,000
BAGI HASIL (20% x Penerimaan PPN) = (20% x Rp 209.647.000.000.000)
Universitas Indonesia
126
Lampiran 5. Penerimaan Konsolidasi Propinsi Setelah Bagi Hasil PPN (20%) Per Propinsi di Indonesia Tahun 2008 (Rp Milyar) No
Propinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Jogjakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua Maluku Utara Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Papua Barat Sulawesi Barat TOTAL
Penerimaan Penerimaan Penerimaan Bagi Hasil Total Propinsi Kab Kota Konsolidasi PPN Penerimaan 6,644.77 2,957.28 1,316.99 3,463.10 1,136.14 2,472.77 803.63 1,505.31 18,791.53 5,696.29 4,845.23 1,086.66 5,358.42 1,289.20 1,187.66 1,382.80 4,085.87 847.28 929.22 2,026.08 885.29 1,288.99 1,034.77 930.02 778.77 5,558.79 621.47 2,028.87 721.95 471.94 1,178.50 780.08 549.90
9,141.05 14,154.74 7,810.97 11,452.47 4,852.68 9,863.70 3,413.76 6,473.78
84,655.54
%
24,696.03 24,525.07 3,659.37 27,458.23 6,636.74 6,464.36 5,904.95 16,335.36 4,409.50 4,640.07 10,961.98 4,351.39 5,092.86 4,687.19 6,526.12 3,453.44 12,333.34 3,014.40 5,712.84 2,513.16 1,951.35 3,000.07 4,979.41 1,825.34
15,785.82 17,112.02 9,127.95 14,915.57 5,988.82 12,336.47 4,217.39 7,979.09 18,791.53 30,392.32 29,370.29 4,746.04 32,816.65 7,925.94 7,652.02 7,287.75 20,421.24 5,256.78 5,569.29 12,988.06 5,236.68 6,381.85 5,721.95 7,456.14 4,232.21 17,892.13 3,635.88 7,741.71 3,235.10 2,423.29 4,178.57 5,759.50 2,375.24
812.93 2,363.81 846.54 1,294.21 500.02 1,432.92 305.06 1,153.81 3,465.50 7,837.90 4,823.41 650.03 5,737.56 737.91 451.30 699.88 842.09 388.19 375.42 1,183.93 295.26 704.43 628.22 486.55 168.54 375.95 146.05 2,244.58 239.99 123.52 368.86 113.32 131.72
16,598.75 19,475.83 9,974.49 16,209.77 6,488.84 13,769.39 4,522.44 9,132.90 22,257.03 38,230.21 34,193.70 5,396.07 38,554.21 8,663.85 8,103.32 7,987.63 21,263.32 5,644.97 5,944.71 14,171.99 5,531.95 7,086.28 6,350.18 7,942.69 4,400.74 18,268.07 3,781.93 9,986.29 3,475.09 2,546.81 4,547.43 5,872.82 2,506.96
4.27 5.01 2.56 4.17 1.67 3.54 1.16 2.35 5.72 9.83 8.79 1.39 9.91 2.23 2.08 2.05 5.47 1.45 1.53 3.64 1.42 1.82 1.63 2.04 1.13 4.70 0.97 2.57 0.89 0.65 1.17 1.51 0.64
262,295.73
346,951.27
41,929.40
388,880.67
100.00
Universitas Indonesia
127
Lampiran 6. Perhitungan Indeks Williamson Penerimaan APBD Konsolidasi Setelah Bagi Hasil PPN (20%) Per Propinsi di Indonesia Tahun 2008 No
Propinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Jogjakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua Maluku Utara Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Papua Barat Sulawesi Barat TOTAL Indeks Williamson
Total Penerimaan 16,598,748,831,128.10 19,475,831,423,631.60 9,974,488,978,341.09 16,209,774,322,385.00 6,488,837,167,713.13 13,769,391,299,708.10 4,522,442,421,097.14 9,132,900,852,914.47 22,257,029,500,764.10 38,230,214,334,116.70 34,193,700,891,018.10 5,396,067,318,505.21 38,554,210,009,069.60 8,663,854,946,913.78 8,103,322,530,408.76 7,987,630,851,167.22 21,263,322,228,213.60 5,644,967,847,149.17 5,944,706,532,291.48 14,171,994,438,701.90 5,531,946,577,559.43 7,086,278,072,620.16 6,350,175,601,645.33 7,942,685,603,631.61 4,400,743,262,174.08 18,268,072,523,444.60 3,781,930,931,065.51 9,986,288,706,287.43 3,475,089,007,893.42 2,546,809,751,434.27 4,547,429,990,499.28 5,872,818,291,913.12 2,506,961,954,593.42
Jumlah Penduduk 4,491,675.00 12,737,702.00 4,445,522.00 5,251,592.00 2,770,247.00 8,372,256.00 1,771,161.00 7,291,583.00 8,470,815.00 41,686,199.00 33,248,931.00 3,291,512.00 36,488,406.00 4,461,305.00 2,278,389.00 3,331,430.00 3,037,261.00 2,399,721.00 2,479,494.00 7,785,191.00 2,269,778.00 3,466,329.00 4,414,251.00 4,328,038.00 1,165,080.00 2,023,731.00 753,205.00 10,426,823.00 972,258.00 945,045.00 1,390,063.00 689,567.00 970,280.00
Yi 3,695,447.43 1,528,990.98 2,243,716.03 3,086,640.07 2,342,331.63 1,644,645.28 2,553,377.37 1,252,526.49 2,627,495.64 917,095.23 1,028,415.05 1,639,388.62 1,056,615.35 1,942,000.14 3,556,601.85 2,397,658.32 7,000,821.54 2,352,343.40 2,397,548.26 1,820,378.52 2,437,219.22 2,044,317.80 1,438,562.42 1,835,170.02 3,777,202.65 9,026,927.26 5,021,117.67 957,749.90 3,574,245.73 2,694,908.45 3,271,384.10 8,516,675.38 2,583,751.04
`Y 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34 1,691,485.34
(Yi-Y)2 4,015,864,045,072.46 26,404,418,830.26 304,958,733,657.65 1,946,456,726,722.67 423,600,888,570.93 2,193,991,595.52 742,857,872,226.49 192,684,875,112.06 876,115,281,913.55 599,680,043,373.28 439,662,218,439.10 2,714,068,383.23 403,059,902,603.71 62,757,665,216.27 3,478,659,583,740.36 498,680,271,862.56 28,189,050,848,313.50 436,733,367,353.77 498,524,847,587.69 16,613,450,186.65 556,119,023,358.48 124,490,742,599.99 63,970,004,591.84 20,645,287,954.04 4,350,216,682,734.63 53,808,708,073,544.20 11,086,451,405,661.10 538,367,696,474.32 3,544,786,688,594.80 1,006,857,922,953.03 2,496,080,071,405.09 46,583,219,052,781.00 796,138,066,894.25
Fi/N
(Yi-Y)2 x Fi/N
0.0195 0.0554 0.0193 0.0228 0.0120 0.0364 0.0077 0.0317 0.0368 0.1813 0.1446 0.0143 0.1587 0.0194 0.0099 0.0145 0.0132 0.0104 0.0108 0.0339 0.0099 0.0151 0.0192 0.0188 0.0051 0.0088 0.0033 0.0454 0.0042 0.0041 0.0060 0.0030 0.0042
78,458,357,530.23 1,462,916,650.83 5,896,790,861.68 44,461,858,977.84 5,104,194,808.43 79,896,792.51 5,722,893,401.59 6,111,127,367.85 32,280,357,698.27 108,733,603,104.60 63,584,127,955.67 38,856,896.85 63,970,003,278.42 1,217,812,924.76 34,474,001,201.27 7,226,113,282.74 372,404,098,881.08 4,558,574,030.19 5,376,526,081.16 562,575,728.60 5,490,387,782.18 1,876,976,018.89 1,228,245,811.35 388,654,674.63 22,045,427,372.13 473,649,665,654.63 36,320,986,678.67 24,416,470,223.31 14,990,755,376.35 4,138,782,140.46 15,091,933,481.25 139,719,766,719.87 3,359,985,129.27
388,880,667,000,000.00 229,904,840.00 94,263,268.83 1,691,485.34 168,133,323,820,308.00 1.0000 1,584,442,724,517.58 0.74
Universitas Indonesia
128
Lampiran 7. Perhitungan Bagi Hasil PPN (25%) antara Pusat dan Daerah Berbasis Konsumsi, untuk setiap Propinsi di Indonesia Tahun 2008 No
Propinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Jogjakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua Maluku Utara Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Papua Barat Sulawesi Barat TOTAL
Konsumsi
Indeks
Bagi Hasil PPN
20,593,934,607,600 59,882,535,593,208 21,445,304,820,528 32,786,193,008,832 12,666,965,488,488 36,300,159,652,608 7,727,972,183,064 29,229,477,108,780 87,791,560,543,260 198,557,535,394,452 122,191,417,373,688 16,467,250,211,328 145,349,667,903,888 18,693,581,758,800 11,432,801,071,548 17,730,190,277,280 21,332,579,253,864 9,833,941,471,392 9,510,456,284,136 29,992,572,890,556 7,479,889,974,984 17,845,410,419,064 15,914,769,758,316 12,325,715,547,288 4,269,505,564,800 9,523,831,889,556 3,700,011,100,980 56,862,011,913,828 6,079,618,721,736 3,129,127,158,960 9,344,359,342,128 2,870,769,476,916 3,336,812,325,600
1.94 5.64 2.02 3.09 1.19 3.42 0.73 2.75 8.27 18.69 11.50 1.55 13.68 1.76 1.08 1.67 2.01 0.93 0.90 2.82 0.70 1.68 1.50 1.16 0.40 0.90 0.35 5.35 0.57 0.29 0.88 0.27 0.31
1,062,197,930,091,460
100
52,411,750,000,000
Rp
52,411,750,000,000
BAGI HASIL (25% x Penerimaan PPN) = (25% x Rp 209.647.000.000.000)
%
1,016,161,038,910 1.94 2,954,768,029,540 5.64 1,058,169,972,926 2.02 1,617,760,402,981 3.09 625,022,709,641 1.19 1,791,149,124,635 3.42 381,319,276,371 0.73 1,442,262,316,143 2.75 4,331,875,625,955 8.27 9,797,371,667,646 18.69 6,029,258,613,773 11.50 812,539,148,132 1.55 7,171,950,011,337 13.68 922,392,433,642 1.76 564,125,663,011 1.08 874,856,063,959 1.67 1,052,607,785,267 2.01 485,233,558,936 0.93 469,271,915,364 0.90 1,479,915,548,377 2.82 369,078,221,949 0.70 880,541,340,775 1.68 785,278,252,057 1.50 608,184,504,540 1.16 210,669,077,718 0.40 469,931,904,306 0.90 182,568,663,832 0.35 2,805,727,132,859 5.35 299,985,009,867 0.57 154,399,689,293 0.29 461,076,238,124 0.88 141,651,614,891 0.27 164,647,443,242 0.31 100
Universitas Indonesia
129
Lampiran 8. Penerimaan Konsolidasi Propinsi Setelah Bagi Hasil PPN (25%) Per Propinsi di Indonesia Tahun 2008 (Rp Milyar) No
Propinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Jogjakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua Maluku Utara Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Papua Barat Sulawesi Barat TOTAL
Penerimaan Penerimaan Penerimaan Bagi Hasil Total Propinsi Kab Kota Konsolidasi PPN Penerimaan 6,644.77 2,957.28 1,316.99 3,463.10 1,136.14 2,472.77 803.63 1,505.31 18,791.53 5,696.29 4,845.23 1,086.66 5,358.42 1,289.20 1,187.66 1,382.80 4,085.87 847.28 929.22 2,026.08 885.29 1,288.99 1,034.77 930.02 778.77 5,558.79 621.47 2,028.87 721.95 471.94 1,178.50 780.08 549.90
9,141.05 14,154.74 7,810.97 11,452.47 4,852.68 9,863.70 3,413.76 6,473.78
84,655.54
%
24,696.03 24,525.07 3,659.37 27,458.23 6,636.74 6,464.36 5,904.95 16,335.36 4,409.50 4,640.07 10,961.98 4,351.39 5,092.86 4,687.19 6,526.12 3,453.44 12,333.34 3,014.40 5,712.84 2,513.16 1,951.35 3,000.07 4,979.41 1,825.34
15,785.82 17,112.02 9,127.95 14,915.57 5,988.82 12,336.47 4,217.39 7,979.09 18,791.53 30,392.32 29,370.29 4,746.04 32,816.65 7,925.94 7,652.02 7,287.75 20,421.24 5,256.78 5,569.29 12,988.06 5,236.68 6,381.85 5,721.95 7,456.14 4,232.21 17,892.13 3,635.88 7,741.71 3,235.10 2,423.29 4,178.57 5,759.50 2,375.24
1,016.16 2,954.77 1,058.17 1,617.76 625.02 1,791.15 381.32 1,442.26 4,331.88 9,797.37 6,029.26 812.54 7,171.95 922.39 564.13 874.86 1,052.61 485.23 469.27 1,479.92 369.08 880.54 785.28 608.18 210.67 469.93 182.57 2,805.73 299.99 154.40 461.08 141.65 164.65
16,801.98 20,066.79 10,186.12 16,533.33 6,613.84 14,127.62 4,598.71 9,421.35 23,123.40 40,189.69 35,399.55 5,558.58 39,988.60 8,848.33 8,216.15 8,162.60 21,473.84 5,742.01 6,038.56 14,467.98 5,605.76 7,262.39 6,507.23 8,064.32 4,442.88 18,362.06 3,818.44 10,547.43 3,535.09 2,577.69 4,639.65 5,901.15 2,539.89
4.21 5.02 2.55 4.14 1.66 3.54 1.15 2.36 5.79 10.06 8.86 1.39 10.01 2.22 2.06 2.04 5.38 1.44 1.51 3.62 1.40 1.82 1.63 2.02 1.11 4.60 0.96 2.64 0.89 0.65 1.16 1.48 0.64
262,295.73
346,951.27
52,411.75
399,363.02
100.00
Universitas Indonesia
130
Lampiran 9. Perhitungan Indeks Williamson Penerimaan APBD Konsolidasi Setelah Bagi Hasil PPN (25%) Per Propinsi di Indonesia Tahun 2008 No
Propinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Jogjakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua Maluku Utara Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Papua Barat Sulawesi Barat TOTAL Indeks Williamson
Total Penerimaan 16,801,981,038,910.10 20,066,785,029,539.50 10,186,122,972,926.40 16,533,326,402,981.30 6,613,841,709,641.41 14,127,621,124,635.10 4,598,706,276,371.43 9,421,353,316,143.09 23,123,404,625,955.20 40,189,688,667,645.90 35,399,552,613,772.60 5,558,575,148,131.52 39,988,600,011,337.00 8,848,333,433,642.22 8,216,147,663,010.95 8,162,602,063,959.02 21,473,843,785,267.00 5,742,014,558,936.47 6,038,560,915,364.35 14,467,977,548,377.40 5,605,762,221,949.29 7,262,386,340,775.20 6,507,231,252,056.66 8,064,322,504,539.52 4,442,877,077,717.60 18,362,058,904,305.70 3,818,444,663,831.88 10,547,434,132,859.30 3,535,086,009,866.77 2,577,689,689,292.84 4,639,645,238,124.10 5,901,148,614,891.39 2,539,891,443,241.78
Jumlah Penduduk 4,491,675.00 12,737,702.00 4,445,522.00 5,251,592.00 2,770,247.00 8,372,256.00 1,771,161.00 7,291,583.00 8,470,815.00 41,686,199.00 33,248,931.00 3,291,512.00 36,488,406.00 4,461,305.00 2,278,389.00 3,331,430.00 3,037,261.00 2,399,721.00 2,479,494.00 7,785,191.00 2,269,778.00 3,466,329.00 4,414,251.00 4,328,038.00 1,165,080.00 2,023,731.00 753,205.00 10,426,823.00 972,258.00 945,045.00 1,390,063.00 689,567.00 970,280.00
Yi 3,740,693.85 1,575,385.03 2,291,322.14 3,148,250.36 2,387,455.60 1,687,433.01 2,596,436.05 1,292,086.14 2,729,773.30 964,100.58 1,064,682.43 1,688,760.41 1,095,926.20 1,983,350.93 3,606,121.55 2,450,179.67 7,070,134.50 2,392,784.23 2,435,400.50 1,858,397.25 2,469,740.31 2,095,123.21 1,474,141.65 1,863,274.42 3,813,366.53 9,073,369.39 5,069,595.48 1,011,567.39 3,635,954.66 2,727,584.07 3,337,722.99 8,557,759.60 2,617,689.17
`Y 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64 1,737,079.64
(Yi-Y)2 4,014,469,888,577.43 26,145,147,776.46 307,184,744,990.36 1,991,402,796,464.88 422,988,885,829.47 2,464,788,212.00 738,493,442,627.29 198,019,218,250.51 985,440,702,303.23 597,496,627,954.33 452,118,011,307.50 2,334,748,304.37 411,077,739,516.66 60,649,549,060.51 3,493,317,641,434.15 508,511,653,473.07 28,441,474,138,780.80 429,948,504,221.31 487,652,014,947.98 14,717,962,282.41 536,791,655,848.18 128,195,196,960.21 69,136,387,339.30 15,925,122,775.16 4,310,967,247,562.42 53,821,147,242,909.90 11,105,661,818,014.30 526,368,026,122.25 3,605,726,352,446.67 981,099,027,175.49 2,562,059,142,352.70 46,521,675,114,821.90 775,473,133,643.16
Fi/N
(Yi-Y)2 x Fi/N
0.0195 0.0554 0.0193 0.0228 0.0120 0.0364 0.0077 0.0317 0.0368 0.1813 0.1446 0.0143 0.1587 0.0194 0.0099 0.0145 0.0132 0.0104 0.0108 0.0339 0.0099 0.0151 0.0192 0.0188 0.0051 0.0088 0.0033 0.0454 0.0042 0.0041 0.0060 0.0030 0.0042
78,431,119,748.40 1,448,551,936.19 5,939,833,810.89 45,488,537,756.28 5,096,820,458.42 89,758,170.80 5,689,270,327.40 6,280,309,564.03 36,308,439,103.24 108,337,707,613.00 65,385,489,760.98 33,426,230.00 65,242,521,458.21 1,176,904,916.27 34,619,264,595.51 7,368,574,657.80 375,738,849,970.39 4,487,754,387.85 5,259,263,985.71 498,389,453.22 5,299,574,776.36 1,932,828,942.98 1,327,442,114.52 299,795,935.25 21,846,524,504.62 473,759,161,099.18 36,383,923,059.81 23,872,251,846.62 15,248,466,678.55 4,032,897,829.11 15,490,859,686.10 139,535,174,396.08 3,272,771,778.58
399,363,017,000,000.00 229,904,840.00 95,805,562.59 1,737,079.64 168,546,133,674,286.00 1.0000 1,595,222,460,552.37 0.73
Universitas Indonesia
131
Lampiran 10. Perhitungan Bagi Hasil PPN (30%) antara Pusat dan Daerah Berbasis Konsumsi, untuk setiap Propinsi di Indonesia Tahun 2008 No
Propinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Jogjakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua Maluku Utara Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Papua Barat Sulawesi Barat TOTAL
Konsumsi
Indeks
Bagi Hasil PPN
%
20,593,934,607,600 59,882,535,593,208 21,445,304,820,528 32,786,193,008,832 12,666,965,488,488 36,300,159,652,608 7,727,972,183,064 29,229,477,108,780 87,791,560,543,260 198,557,535,394,452 122,191,417,373,688 16,467,250,211,328 145,349,667,903,888 18,693,581,758,800 11,432,801,071,548 17,730,190,277,280 21,332,579,253,864 9,833,941,471,392 9,510,456,284,136 29,992,572,890,556 7,479,889,974,984 17,845,410,419,064 15,914,769,758,316 12,325,715,547,288 4,269,505,564,800 9,523,831,889,556 3,700,011,100,980 56,862,011,913,828 6,079,618,721,736 3,129,127,158,960 9,344,359,342,128 2,870,769,476,916 3,336,812,325,600
1.94 5.64 2.02 3.09 1.19 3.42 0.73 2.75 8.27 18.69 11.50 1.55 13.68 1.76 1.08 1.67 2.01 0.93 0.90 2.82 0.70 1.68 1.50 1.16 0.40 0.90 0.35 5.35 0.57 0.29 0.88 0.27 0.31
1,219,393,246,692 3,545,721,635,447 1,269,803,967,512 1,941,312,483,578 750,027,251,570 2,149,378,949,562 457,583,131,646 1,730,714,779,372 5,198,250,751,146 11,756,846,001,175 7,235,110,336,527 975,046,977,758 8,606,340,013,604 1,106,870,920,371 676,950,795,613 1,049,827,276,751 1,263,129,342,320 582,280,270,724 563,126,298,437 1,775,898,658,053 442,893,866,339 1,056,649,608,930 942,333,902,468 729,821,405,447 252,802,893,261 563,918,285,167 219,082,396,598 3,366,872,559,431 359,982,011,840 185,279,627,151 553,291,485,749 169,981,937,870 197,576,931,890
1.94 5.64 2.02 3.09 1.19 3.42 0.73 2.75 8.27 18.69 11.50 1.55 13.68 1.76 1.08 1.67 2.01 0.93 0.90 2.82 0.70 1.68 1.50 1.16 0.40 0.90 0.35 5.35 0.57 0.29 0.88 0.27 0.31
1,062,197,930,091,460
100
62,894,100,000,000
100
Rp
62,894,100,000,000
BAGI HASIL (30% x Penerimaan PPN) = (30% x Rp 209.647.000.000.000)
Universitas Indonesia
132
Lampiran 11. Penerimaan Konsolidasi Propinsi Setelah Bagi Hasil PPN (30%) Per Propinsi di Indonesia Tahun 2008 (Rp Milyar) No
Propinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Jogjakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua Maluku Utara Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Papua Barat Sulawesi Barat TOTAL
Penerimaan Penerimaan Penerimaan Bagi Hasil Total Propinsi Kab Kota Konsolidasi PPN Penerimaan 6,644.77 2,957.28 1,316.99 3,463.10 1,136.14 2,472.77 803.63 1,505.31 18,791.53 5,696.29 4,845.23 1,086.66 5,358.42 1,289.20 1,187.66 1,382.80 4,085.87 847.28 929.22 2,026.08 885.29 1,288.99 1,034.77 930.02 778.77 5,558.79 621.47 2,028.87 721.95 471.94 1,178.50 780.08 549.90
9,141.05 14,154.74 7,810.97 11,452.47 4,852.68 9,863.70 3,413.76 6,473.78
84,655.54
%
24,696.03 24,525.07 3,659.37 27,458.23 6,636.74 6,464.36 5,904.95 16,335.36 4,409.50 4,640.07 10,961.98 4,351.39 5,092.86 4,687.19 6,526.12 3,453.44 12,333.34 3,014.40 5,712.84 2,513.16 1,951.35 3,000.07 4,979.41 1,825.34
15,785.82 17,112.02 9,127.95 14,915.57 5,988.82 12,336.47 4,217.39 7,979.09 18,791.53 30,392.32 29,370.29 4,746.04 32,816.65 7,925.94 7,652.02 7,287.75 20,421.24 5,256.78 5,569.29 12,988.06 5,236.68 6,381.85 5,721.95 7,456.14 4,232.21 17,892.13 3,635.88 7,741.71 3,235.10 2,423.29 4,178.57 5,759.50 2,375.24
1,219.39 3,545.72 1,269.80 1,941.31 750.03 2,149.38 457.58 1,730.71 5,198.25 11,756.85 7,235.11 975.05 8,606.34 1,106.87 676.95 1,049.83 1,263.13 582.28 563.13 1,775.90 442.89 1,056.65 942.33 729.82 252.80 563.92 219.08 3,366.87 359.98 185.28 553.29 169.98 197.58
17,005.21 20,657.74 10,397.76 16,856.88 6,738.85 14,485.85 4,674.97 9,709.81 23,989.78 42,149.16 36,605.40 5,721.08 41,422.99 9,032.81 8,328.97 8,337.57 21,684.37 5,839.06 6,132.42 14,763.96 5,679.58 7,438.49 6,664.29 8,185.96 4,485.01 18,456.05 3,854.96 11,108.58 3,595.08 2,608.57 4,731.86 5,929.48 2,572.82
4.15 5.04 2.54 4.11 1.64 3.53 1.14 2.37 5.85 10.28 8.93 1.40 10.11 2.20 2.03 2.03 5.29 1.42 1.50 3.60 1.39 1.81 1.63 2.00 1.09 4.50 0.94 2.71 0.88 0.64 1.15 1.45 0.63
262,295.73
346,951.27
62,894.10
409,845.37
100.00
Universitas Indonesia
133
Lampiran 12. Perhitungan Indeks Williamson Penerimaan APBD Konsolidasi Setelah Bagi Hasil PPN (30%) Per Propinsi di Indonesia Tahun 2008 No
Propinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Jogjakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua Maluku Utara Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Papua Barat Sulawesi Barat TOTAL Indeks Williamson
Total Penerimaan 17,005,213,246,692.10 20,657,738,635,447.50 10,397,756,967,511.60 16,856,878,483,577.60 6,738,846,251,569.69 14,485,850,949,562.20 4,674,970,131,645.72 9,709,805,779,371.71 23,989,779,751,146.20 42,149,163,001,175.10 36,605,404,336,527.20 5,721,082,977,757.82 41,422,990,013,604.50 9,032,811,920,370.66 8,328,972,795,613.14 8,337,573,276,750.83 21,684,365,342,320.30 5,839,061,270,723.76 6,132,415,298,437.22 14,763,960,658,052.80 5,679,577,866,339.14 7,438,494,608,930.25 6,664,286,902,467.99 8,185,959,405,447.42 4,485,010,893,261.12 18,456,045,285,166.80 3,854,958,396,598.26 11,108,579,559,431.10 3,595,083,011,840.12 2,608,569,627,151.41 4,731,860,485,748.92 5,929,478,937,869.67 2,572,820,931,890.13
Jumlah Penduduk 4,491,675.00 12,737,702.00 4,445,522.00 5,251,592.00 2,770,247.00 8,372,256.00 1,771,161.00 7,291,583.00 8,470,815.00 41,686,199.00 33,248,931.00 3,291,512.00 36,488,406.00 4,461,305.00 2,278,389.00 3,331,430.00 3,037,261.00 2,399,721.00 2,479,494.00 7,785,191.00 2,269,778.00 3,466,329.00 4,414,251.00 4,328,038.00 1,165,080.00 2,023,731.00 753,205.00 10,426,823.00 972,258.00 945,045.00 1,390,063.00 689,567.00 970,280.00
Yi 3,785,940.27 1,621,779.08 2,338,928.24 3,209,860.64 2,432,579.57 1,730,220.74 2,639,494.73 1,331,645.79 2,832,050.96 1,011,105.93 1,100,949.81 1,738,132.20 1,135,237.04 2,024,701.72 3,655,641.24 2,502,701.03 7,139,447.46 2,433,225.06 2,473,252.73 1,896,415.98 2,502,261.40 2,145,928.62 1,509,720.88 1,891,378.82 3,849,530.41 9,119,811.52 5,118,073.30 1,065,384.88 3,697,663.60 2,760,259.70 3,404,061.89 8,598,843.82 2,651,627.30
`Y 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94 1,782,673.94
(Yi-Y)2 4,013,075,974,123.69 25,887,155,931.85 309,418,851,063.94 2,036,861,889,836.23 422,377,325,507.01 2,751,338,492.54 734,141,871,751.66 203,426,395,391.48 1,101,192,129,235.19 595,317,194,660.13 464,747,786,888.57 1,983,967,058.94 419,174,540,064.58 58,577,447,638.71 3,508,006,516,625.74 518,439,003,254.49 28,695,022,579,228.20 423,216,757,548.98 476,899,061,497.16 12,937,252,730.93 517,806,106,156.89 131,953,962,690.35 74,503,373,308.87 11,816,750,891.15 4,271,895,677,920.24 53,833,587,849,915.00 11,124,888,859,699.10 514,503,597,462.63 3,667,185,379,041.26 955,673,915,569.99 2,628,898,890,084.84 46,460,171,858,469.90 755,079,932,946.38
Fi/N
(Yi-Y)2 x Fi/N
0.0195 0.0554 0.0193 0.0228 0.0120 0.0364 0.0077 0.0317 0.0368 0.1813 0.1446 0.0143 0.1587 0.0194 0.0099 0.0145 0.0132 0.0104 0.0108 0.0339 0.0099 0.0151 0.0192 0.0188 0.0051 0.0088 0.0033 0.0454 0.0042 0.0041 0.0060 0.0030 0.0042
78,403,886,695.35 1,434,258,095.16 5,983,033,282.90 46,526,935,256.21 5,089,451,439.36 100,193,237.35 5,655,746,315.36 6,451,801,738.44 40,573,285,913.46 107,942,534,157.72 67,212,013,016.61 28,404,149.22 66,527,572,028.23 1,136,695,773.95 34,764,833,395.45 7,512,426,657.10 379,088,465,358.14 4,417,489,169.18 5,143,294,771.82 438,089,878.95 5,112,136,430.10 1,989,500,732.30 1,430,490,067.68 222,454,415.89 21,648,522,999.48 473,868,669,198.51 36,446,913,921.30 23,334,167,056.27 15,508,374,344.17 3,928,385,568.31 15,894,989,761.19 139,350,704,091.00 3,186,705,235.69
409,845,367,000,000.00 229,904,840.00 97,347,856.35 1,782,673.94 168,971,421,192,687.00 1.0000 1,606,352,424,151.85 0.71
Universitas Indonesia
134
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Rahmat Kurniawan
Tempat & Tanggal Lahir : Bukittinggi, 17 November 1983 Agama
: Islam
Status
: Menikah
Alamat Rumah
: Jl. Rasamala No 7, Komplek Dangau Teduh, Padang 25225
Keluarga
: Orang Tua: - Ayah : Buchari - Ibu : Wismar Istri : Ruri Wijayanti, STP
Pendidikan Formal
Pekerjaan
Anak : Khairul Naufal Akmal : SD Negeri 005 Dumai, Riau SMP Negeri 2 Dumai, Riau SMA Negeri 1 IV Angkat Candung, Kab. Agam, Sumbar
Tahun 1989 – 1995 Tahun 1995 - 1998 Tahun 1998 – 2001
Strata 1 Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas
Tahun 2001 – 2005
Pendidikan Profesi Akuntan (PPAk), Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas
Tahun 2006 – 2007
Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Kekhususan Administrasi dan Kebijakan Perpajakan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Tahun 2008 – 2010
: Staf Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Andalas
Tahun 2006 s.d. sekarang
Universitas Indonesia