UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KARAKTERISASI EKSTRAK ETANOL DAUN SALAM (Syzygium polyanthum Wight) DARI TIGA TEMPAT TUMBUH DI INDONESIA
SKRIPSI
ARUM SAMUDRA 1110102000046
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA SEPTEMBER 2014
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KARAKTERISASI EKSTRAK ETANOL DAUN SALAM (Syzygium polyanthum Wight) DARI TIGA TEMPAT TUMBUH DI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
ARUM SAMUDRA 1110102000046
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA SEPTEMBER 2014 ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, Dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Arum Samudra
NIM
: 1110102000046
Tanda tangan
:
Tanggal
: 4 September 2014
iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama
: Arum Samudra
NIM
: 1110102000046
Program Studi : Farmasi Judul Skripsi : Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) Dari Tiga Tempat Tumbuh Di Indonesia
Disetujui oleh
Pembimbing I
Pembimbing II
Puteri Amelia, M. Farm., Apt NIP. 198012042011012004
Marissa Angelina, M. Farm., Apt NIP. 198212312005022001
Mengetahui Ketua Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Drs. Umar Mansur, M.Sc.,Apt
iv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi ini diajukan oleh : Nama
: Arum Samudra
NIM
: 1110102000046
Program Studi : Farmasi Judul Skripsi : Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) Dari Tiga Tempat Tumbuh Di Indonesia
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Dewan Penguji Pembimbing I
: Puteri Amelia, M. Farm., Apt
(
)
Pembimbing II
: Marissa Angelina, M. Farm., Apt
(
)
Penguji I
: Ismiarni Komala, M.Sc., PhD., Apt (
)
Penguji II
: Prof. Dr. Atiek Soemiati, MS., Apt (
)
Ditetapkan di Tanggal
: Ciputat : 4 September 2014 v
ABSTRAK
Nama
: Arum Samudra
Program Studi
: Farmasi
Judul
: Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) Dari Tiga Tempat Tumbuh Di Indonesia
Standardisasi ekstrak tanaman obat perlu dilakukan untuk melindungi masyarakat dari penggunaan obat herbal yang tidak memenuhi persyaratan mutu. Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi sebagai langkah awal standardisasi ekstrak etanol daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) dari tiga tempat tumbuh di Indonesia yaitu Tangerang Selatan, Sukoharjo, dan OKU Timur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menetapkan beberapa parameter spesifik dan non spesifik sehingga menjamin bahwa ekstrak tersebut mempunyai nilai dan parameter yang terukur. Hasil karakterisasi untuk parameter spesifik menunjukkan organoleptik ekstrak (bentuk ekstrak kering, warna hitam kecoklatan, bau aromatik lemah, dan rasa pahit), dengan kadar senyawa terlarut dalam air 31,167 % ± 0,756 - 49,011 % ± 0,577, dan terlarut dalam etanol 38,545 % ± 0,5829 - 58,091 % ± 0,671. Kandungan kimia ekstrak daun Salam ini yaitu flavonoid, alkaloid, tanin, saponin, dan terpenoid. Hasil uji parameter non spesifik menunjukkan susut pengeringan (8,420 % ± 0,2979 sampai 12,624 % ± 1,5844), bobot jenis (1,002 % ± 0,0005 - 1,005 % ± 0,0016), kadar air (4,999 % ± 0,2403 7,298 % ± 0,1807), kadar abu total (7.242 % ± 0,5365 - 14,438 % ± 0,4065), kadar abu tidak larut asam (0,380 % ± 0,0315 - 1,314 % ± 0,0220). Pada pengujian cemaran logam Pb (Tidak terdeteksi - 95,43 µg/g), logam Cd (4,42 8,62 µg/g), dan logam As (<0,005 µg/g).
Kata Kunci : Standardisasi, karakterisasi, daun Salam (Syzygium polyanthum Wight), parameter spesifik, parameter non spesifik
vi
ABSTRACT
Name
: Arum Samudra
Program Study
: Pharmacy
Title
: Characterization of Ethanol Leaf Extract Salam (Syzygium polyanthum Wight) From Three Places to Grow in Indonesia
Standardization of medicinal plant extracts needs to be done to protect the public from the use of herbal remedies that do not meet the quality requirements. In this research, the characterization as a first step to standardization of the ethanol extract of leaves of Salam (Syzygium polyanthum Wight) of the three places to grow in Indonesia, South Tangerang, Sukoharjo, and East OKU. The purpose of this study is to establish some specific and non-specific parameters so as to ensure that the extract has a value and the measured parameters. Characterization results for a specific parameter indicating the organoleptic extract (dry extract form, brownish black color, weak aromatic odor and bitter taste), with levels of dissolved compounds in water 31,167 % ± 0,756 - 49,011 % ± 0,577, dissolved in ethanol 38,545 % ± 0,5829 - 58,091% ± 0.671. Greetings leaf chemical constituents of this extract are flavonoids, alkaloids, tannins, saponins, and triterpenoids. The test results indicate non-specific parameters of drying shrinkage (8.420% ± 0.2979 - 12.624% ± 1.5844), specific gravity (1.002% ± 0.0005 - 1.005 ± 0.0016%), water content (4.999% ± 0,2403 - 7.298% ± 0.1807), total ash content (7242% ± 0.5365 - 14.438% ± 0.4065), acid insoluble ash content (0.380% ± 0.0315 - 1.314 ± 0.0220%). The testing of Pb contamination (Not detected - 95.43 mg/g), metal Cd (4.42 - 8.62 mg/g), and metal As (<0.005 mg/g).
Keywords: Standardization, characterization, leaves Salam (Syzygium polyanthum Wight), specific parameters, the parameters of non-specific
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang tak tak pernah lelah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya dari lembah kegelapan menuju jalan yang terang benderang. Skripsi yang berjudul “Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) Dari Tiga Tempat Tumbuh Di Indonesia” ini disusun sebagai salah satu syarat tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Allah SWT yang selalu memberikan nikmat dan karunia yang tak terhingga. 2. Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Ibu Puteri Amelia, M. Farm., Apt dan Ibu Marissa Angelina, M. Farm., Apt selaku pembimbing yang selalu memberikan arahan serta meluangkan waktu, tenaga, dan juga pikiran dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. 6. Kedua orang tua tercinta, Bapak Musthofa Suyadi dan Ibu Saginah, yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materiil, serta kasih sayang dan do’a tiada henti. Kepada kedua adikku, Lirra Apriansyah dan
viii
Kurnia Istiqomah, yang selalu menghibur dan memberikan semangat serta do’a. 7. Kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan melalui program beasiswa “Santri Jadi Dokter”. 8. Para peneliti di LIPI, Ibu Lia, Ibu Lala, Ibu Tatik, Ibu Mimin, Ibu Lisna, Ibu Mega, Mas Udin, Pak Rokib, serta Mas Lili yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian di LIPI. 9. Bapak/Ibu dosen yang telah memberikan ilmunya selama penulis menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 10. Para staf, karyawan dan laboran Program Studi Farmasi yang telah banyak membantu. 11. Keluarga besar Harjo Wiyoto dan Soekaryo yang selalu memberikan dukungan dan semangat. 12. Untuk yang selalu mendengar keluh kesah dan selalu memberi semangat serta bantuan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini, Finti Muliati. 13. Teman yang berjuang bersama di LIPI, Arsyadanie Saifi Adli, serta “The Pavillioons” yang selalu berbagi dalam suka ataupun duka. 14. Teman-teman Farmasi angkatan 2010 (Andalusia) yang tidak membuat penulis menyesal telah menjadi bagian dari kalian. 15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Ciputat, 4 September 2014
Penulis
ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai civitas akademik Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Arum Samudra
NIM
: 1110102000046
Program Studi
: Farmasi
Fakultas
: Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya
: Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul : KARAKTERISASI EKSTRAK ETANOL DAUN SALAM (Syzygium polyanthum Wight) DARI TIGA TEMPAT TUMBUH DI INDONESIA untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
: Ciputat
Pada Tanggal
: 4 September 2014
Yang menyatakan
(Arum Samudra)
x
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL....................................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS......................................... iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................... iv LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI........................................................ v ABSTRAK................................................................................................ vi ABSTRACT.............................................................................................. vii KATA PENGANTAR................................................................................. viii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK...................................................................... x DAFTAR ISI................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xiv DAFTAR TABEL....................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN............................................................................. xvi BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................. 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................
1 1 3 4 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 2.1 DAUN SALAM (Syzygium polyanthum Wight)..................................... 2.1.1 Klasifikasi Tanaman ..................................................................... 2.1.2 Nama Daerah................................................................................. 2.1.3 Deskripsi Tanaman ....................................................................... 2.1.4 Tempat Tumbuh............................................................................. 2.1.5 Kandungan Kimia Tumbuhan........................................................ 2.1.6 Kegunaan Tanaman ...................................................................... 2.2 STANDARISASI.................................................................................. 2.2.1 Karakterisasi Simplisia................................................................ 2.2.2 Parameter Standardisasi .............................................................. 2.2.2.1 Aspek Parameter Spesifik ................................................... 2.2.2.2 Aspek Parameter Non Spesifik ........................................... 2.2.3 Manfaat Standardisasi ................................................................. 2.2.3.1 Standardisasi menjamin keseragaman khasiat (efikasi) ..... 2.2.3.2 Standardisasi untuk uji klinik ............................................. 2.2.3.3 Standardisasi menjamin aspek keamanan dan stabilitas ekstrak/bentuk sediaan ........................................................ 2.2.3.4 Standardisasi meningkatkan nilai ekonomi......................... 2.3 SIMPLISIA ........................................................................................... 2.4 EKSTRAK............................................................................................. 2.3.4.1 Faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak .................................. 2.5 EKSTRAKSI......................................................................................... 2.5.1 Proses Pembuatan Ekstrak ..........................................................
5 5 5 6 6 7 7 7 9 9 10 10 12 13 13 13
xi
14 14 15 16 18 20 20
2.5.1.1 Pembuatan serbuk simplisia............................................... 2.5.1.2 Pelarut ................................................................................ 2.5.1.3 Pemekatan/penguapan (vaporasi dan evaporasi) ............... 2.5.1.4 Pengeringan ekstrak ........................................................... 2.5.1.5 Rendemen .......................................................................... 2.5.2 Metode Ekstraksi.......................................................................... 2.6 KROMATOGRAFI............................................................................... 2.6.1 Kromatografi Lapis Tipis............................................................. 2.6.2 Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (KG-SM)....................... 2.6.3 High Performance Liquid Chromatography (HPLC)....................... 2.7 SPEKTROFOTOMETRI ..................................................................... 2.7.1 Spektrofotometri UV-Vis ............................................................ 2.7.2 Spektrofotometri Serapan Atom .................................................
20 20 21 21 22 22 23 24 27 31 32 32 33
BAB 3 METODE PENELITIAN.................................................................. 3.1 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN............................................. 3.2 BAHAN DAN ALAT ........................................................................... 3.2.1 Bahan Uji .................................................................................... 3.2.2 Bahan Kimia................................................................................ 3.2.3 Alat .............................................................................................. 3.3 PROSEDUR KERJA............................................................................. 3.3.1 Pengambilan Sampel.................................................................... 3.3.2 Determinasi Sampel.................................................................... 3.3.3 Penyiapan Simplisia..................................................................... 3.3.4 Pengamatan Makroskopik .................................................. 3.3.5 Pembuatan Ekstrak ...................................................................... 3.3.6 Penentuan Parameter-parameter Standarisasi ............................. 3.3.6.1 Parameter Spesifik ............................................................. 3.3.6.2 Parameter Non Spesifik .....................................................
37 37 37 37 37 37 38 38 38 38 39 39 39 39 43
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... 4.1 HASIL PENELITIAN........................................................................... 4.1.1 Hasil Determinasi Sampel.......................................................... 4.1.2 Pengamatan Makroskopik Daun Salam...................................... 4.1.3 Hasil Ekstraksi Daun Salam...................................................... 4.1.4 Parameter Spesifik................................................................... 4.1.4.1 Identitas Ekstrak............................................................. 4.1.4.2 Organoleptik Ekstrak...................................................... 4.1.4.3 Penentuan Kadar Senyawa Terlarut dalam Pelarut Tertentu............................................................................... 4.1.4.4 Identifikasi Kandungan Kimia Ekstrak............................... 4.1.4.5 Pola Kromatogram............................................................. 4.1.4.6 Kadar Total Flavonoid...................................................... 4.1.5 Parameter Non Spesifik............................................................. 4.2 PEMBAHASAN...............................................................................
47 47 47 47 48 48 48 49
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................
64
xii
49 50 50 52 53 55
5.1 KESIMPULAN................................................................................. 5.2 SARAN.........................................................................................
64 65
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
66
LAMPIRAN.....................................................................................................
69
xiii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Pohon salam.................................................................................. Gambar 2 Buah, bunga, dan daun salam........................................................ Gambar 3 Kromatografi lapis tipis................................................................. Gambar 4 kromatografi gas – spektrometri massa......................................... Gambar 5 High performance liquid chromatography.................................... Gambar 6 Spektrofotometri UV-Vis............................................................... Gambar 7 Spektrofotometri serapan atom...................................................... Gambar 8 Hasil uji Kromatografi Lapis Tipis................................................ Gambar 9 Hasil uji HPLC............................................................................... Gambar 10 Hasil Uji GCMS........................................................................... Gambar L.1 Maserator.................................................................................... Gambar L.2 Tanur/Furnace............................................................................ Gambar L.3 Spektrofotometri UV-Vis......................................................... Gambar L.4 Timbangan analitik................................................................... Gambar L.5 Desikator................................................................................... Gambar L.6 Oven.......................................................................................... Gambar L.7 HPLC........................................................................................ Gambar L.8 Simplisia daun Salam............................................................... Gambar L.9 Rotary evaporator..................................................................... Gambar L.10 Pilot plan..................................................................................
xiv
5 6 27 31 32 33 36 50 51 54 98 98 98 98 98 98 99 99 99 99
DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Pengamatan makroskopik daun Salam......................................... Tabel 4.2 Hasil rendemen daun Salam........................................................... Tabel 4.3 Identitas ekstrak.............................................................................. Tabel 4.4 Organoleptik ekstrak....................................................................... Tabel 4.5 Kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu............................... Tabel 4.6 Identifikasi kandungan kimia ekstrak............................................. Tabel 4.7 Nilai Rf........................................................................................... Tabel 4.8 Data Kromatogram HPLC.............................................................. Tabel 4.9 Kadar Total Flavonoid.................................................................... Tabel 4.10 Parameter non spesifik daun Salam.............................................. Tabel L.1 Senyawa terlarut air........................................................................ Tabel L.2 Senyawa terlarut etanol.................................................................. Tabel L.3 Susut pengeringan.......................................................................... Tabel L.4 Bobot jenis...................................................................................... Tabel L.5 Kadar abu....................................................................................... Tabel L.6 Kadar abu tidak larut asam............................................................. Tabel L.7 Kadar air......................................................................................... Tabel L.8 Standar kuersetin............................................................................ Tabel L.9 Kadar total flavonoid...................................................................... Tabel L.10 Standar logam Pb.......................................................................... Tabel L.11 Standar logam Cd......................................................................... Tabel L.12 Standar logam As.........................................................................
xv
47 48 48 49 49 50 50 52 52 53 73 75 77 79 81 83 85 87 87 94 95 97
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Alur penelitian......................................................................... Lampiran 2 Hasil determinasi....................................................................... Lampiran 3 Rendemen ekstrak....................................................................... Lampiran 4 Perhitungan kadar senyawa terlarut air....................................... Lampiran 5 Perhitungan kadar senyawa terlarut etanol................................. Lampiran 6 Pehitungan susut pengeringan..................................................... Lampiran 7 Perhitungan bobot jenis............................................................... Lampiran 8 Perhitungan kadar abu................................................................. Lampiran 9 Perhitungan kadar abu tidak larut asam...................................... Lampiran 10 Perhitungan kadar air................................................................. Lampiran 11 Perhitungan kadar total flavonoid............................................. Lampiran 12 Hasil uji cemaran logam berat................................................... Lampiran 13 Perhitungan cemaran logam berat............................................. Lampiran 14 Bahan dan alat penelitian..........................................................
xvi
69 70 72 73 75 77 79 81 83 85 87 89 94 98
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar
didunia yang memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman tingkat tinggi. Hingga saat ini, tercatat 7000 spesies tanaman telah diketahui khasiatnya. Namun, kurang dari 300 tanaman yang digunakan sebagai bahan baku industri farmasi secara regular. Sekitar 1000 tanaman telah diidentifikasi dari aspek botani sistematik tumbuhan dengan baik (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011). Dengan kekayaan hayati yang berlimpah tersebut, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang memanfaatkannya untuk berbagai keperluan, diantaranya sebagai obat tradisional. Obat tradisional telah digunakan sejak zaman dahulu baik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya. Sampai sekarangpun tetap dimanfaatkan dan bahkan cenderung meningkat. Namun, eksistensinya belum dapat disetarakan dengan pelayanan pengobatan modern dengan menggunakan obat kimia, karena memang belum seluruhnya teruji keamanan dan manfaatnya. Selama ini kebanyakan manfaat dan pengembangannya hanya dari data empiris dan dari pengalaman yang diwariskan dari generasi ke generasi (Hariyati, 2005). WHO pada tahun 2008 mencatat bahwa 68% penduduk dunia masih menggantungkan sistem pengobatan tradisional yang mayoritas melibatkan tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit dan lebih dari 80% penduduk dunia menggunakan obat herbal untuk mendukung kesehatan mereka (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011). Kecenderungan masyarakat untuk kembali ke alam meneguhkan peran penting tumbuhan sebagai sumber obat bahkan berpotensi nilai ekonomi tinggi. Namun isu besar yang menjadi pemikiran pemerintah saat ini adalah bagaimana menjamin obat yang berbasis herbal memiliki mutu yang terukur, mampu mendukung derajat kesehatan dan terjamin keamanan, terbebas dari bahan dan mikroba berbahaya serta bagaimana menaikkan nilai ekonomi sehingga menjadi negara produsen yang bermartabat (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
Dalam rangka mengembangkan obat tradisional diperlukan pengendalian mutu simplisia yang akan digunakan untuk bahan baku obat atau sediaan galenik. Pengendalian mutu simplisia dapat dilakukan salah satunya dengan cara melakukan standardisasi simplisia. Standardisasi perlu dilakukan untuk menjaga kualitas bahan baku obat alam baik yang berupa simplisia maupun yang berbentuk ekstrak atau sediaan galenik (Hariyati, 2005). Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari berbagai parameter standar umum dan parameter standar spesifik. Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan serta melindungi konsumen
untuk
tegaknya
trilogi
“mutu-keamanan-manfaat”.
Pengertian
standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir (obat, ekstrak atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan (ajeg) dan ditetapkan (dirancang dalam formula) terlebih dahulu (Anonim, 2000). Salah satu tanaman yang mempunyai banyak manfaat yaitu daun salam (Syzygium polyanthum Wight). Daun salam telah dikenal secara luas oleh masyarakat indonesia. Biasanya daun salam digunakan untuk bumbu berbagai macam masakan. Namun dibalik itu semua, ternyata daun salam mempunyai aktivitas farmakologis yang sangat berguna bagi tubuh kita. Menurut Nuratmi dkk (1998), pemberian sirup daun salam pada tikus putih dengan dosis yang berbedabeda, memperlihatkan adanya efek antidiare. Semakin besar dosis yang diberikan maka efeknya juga semakin besar. Pada dosis 450 mg/100 g BB sama dengan tikus yang diberi loperamid 0,12 mg/100 g BB. Penelitian selanjutnya juga menunjukkan bahwa ekstrak etanolik 30% daun salam memberikan aktivitas antidiare pada hewan uji (Malik & Ahmad, 2013). Berdasarkan data uji praklinik antihiperurisemia, ekstrak daun salam dan jinten hitam dan kombinasinya dengan dosis tunggal 200 mg/kgBB terbukti berpotensi menurunkan kadar asam urat dalam darah mencit putih jantan galur Balb-C yang diinduksi Potassium oksonat dengan prosentase penurunan kadar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
asam urat berturut-turut adalah kurang lebih sebesar 79,35 %, 61,29 %, dan 72,90 % (Muhtadi, Suhendi, W., & Sutrisna, 2012) Sementara itu, ekstrak metanol daun salam memiliki aktivitas sebagai antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli (Rambe, Pasaribu, & Nst, 2012). Ekstrak metanol daun salam juga dapat menghambat
pertumbuhan vegetatif F.oxysporum, meskipun persentase penghambatan tertinggi hanya sebesar 57,16 % pada konsentrasi 5 %. Pada media cair, ekstrak daun salam efektif menurunkan jumlah konidia dan berat hifa. Selain itu, ekstrak metanol daun salam mampu menghambat perkecambahan konidia F. oxysporum. Persentase penghambatan perkecambahan konidia pada perlakuan ekstrak daun salam 3 % sebesar 84,67 % pada jam ke-4 setelah
inkubasi (Noveriza &
Miftakhurohmah, 2010). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun salam dengan dosis 2,62 mg/20 g BB dan 5,24 mg/20 g BB dapat menurunkan secara bermakna kadar glukosa darah mencit jantan yang diinduksi dengan aloksan (Studiawan & Santosa, 2005). Sedangkan ekstrak metanol daun salam menunjukkan adanya aktivitas antioksidan pada lC50 sebesar 90,85 μg/mL (Har & Ismail, 2012). Mengingat begitu banyak manfaat pada daun salam (Syzygium polianthum) berdasarkan dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, maka perlu dilakukan upaya penetapan standar mutu dan juga keamanan dari ekstrak daun salam. Selain itu, untuk mendukung program LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang menguji tentang aktivitas daun salam sebagai Antiviral Dengue, maka dalam penelitian ini dilakukan karakterisasi ekstrak etanol daun salam dari tiga tempat tumbuh di Indonesia (OKU Timur, Sukoharjo, dan Tangerang Selatan).
1.2
RUMUSAN MASALAH Dari hasil penelusuran pustaka yang telah dilakukan, belum ada penelitian
mengenai karakterisasi ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum Wight). Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini dilakukan karakterisasi terhadap ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum Wight).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
1.3
TUJUAN PENELITIAN Untuk mengetahui beberapa hasil uji parameter spesifik dan non spesifik
dari ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum Wight) sehingga nantinya dapat menjamin bahwa sampel tersebut mempunyai mutu dan nilai-nilai parameter yang terstandar.
1.4
MANFAAT PENELITIAN Diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan data awal standardisasi
sehingga dapat menjamin kualitas, mutu, dan keamanan ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum Wight)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
DAUN SALAM (Syzygium polyanthum Wight)
2.1.1
Klasifikasi Tanaman Secara ilmiah, tanaman salam diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Sub Kelas
: Dialypetalae
Bangsa
: Myrtales
Suku
: Myrtaceae
Marga
: Syzygium
Jenis
: Syzygium polyanthum
(Tjitrosoepomo, 1988)
Gambar 1. Pohon salam (Sumber : Koleksi pribadi)
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
Gambar 2. Buah, bunga, dan daun salam (sumber : Ibujempol.com)
2.1.2
Nama Daerah Daun salam memiliki banyak nama lain di daerah, diantaranya adalah
Sumatera : meselangan, ubar serai (Melayu), Jawa : salam, gowok (Sunda), salam, manting (Jawa), salam (Madura), Kangean : kastolam. Nama asing daun salam yaitu salam leaf dan sinonimnya Eugenia polyantha Wight (Dalimartha, 2000).
2.1.3
Deskripsi Tanaman Tinggi pohon mencapai 25 m, batang bulat, permukaan licin, bertajuk
rimbun dan berakar tunggang. Daun tunggal, letak berhadapan, panjang tangkai daun 0,5-1 cm. Helaian daun berbentuk lonjong sampai elips atau bundar telur sungsang, ujung meruncing, pangkal runcing, tepi rata pertulangan menyirip, permukaan atas licin berwarna hijau tua, permukaan bawah berwarna hijau muda, panjang 5-15 cm, lebar 3-8 cm, jika diremas berbau harum. Bunga majemuk tersusun dalam malai yang keluar dari ujung ranting, berwarna putih, baunya harum. Biji bulat, diameter sekitar 1 cm berwarna cokelat.Buahnya buah buni, bulat diameter 8-9 mm,buah muda berwarna hijau, setelah masak menjadi merah gelap, rasanya agak sepat (Dalimartha, 2000).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
2.1.4
Tempat Tumbuh Salam menyebar di Asia Tenggara, mulai dari Burma, Indocina, Thailand,
Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Salam tumbuh liar di hutan dan pegunungan, atau ditanam di pekarangan dan sekitar rumah. Pohon ini dapat ditemukan didaerah dataran rendah sampai ketinggian 1.400 m dpl (Dalimartha, 2000).
2.1.5 Kandungan Kimia Tumbuhan Tanaman salam (Syzygium polyanthum Wight) mengandung banyak senyawa. Menurut Hariana (2008) antara lain minyak atsiri, tanin, flavonoid. Anggota famili Myrtaeae memiliki sifat rasa kelat, wangi, dan astringen (Enda, 2009). Bagian tanaman salam yang paling banyak dimanfaatkan adalah bagian daunnya. Daun salam mengandung tanin, minyak atsiri (salamol dan eugenol), flavonoid
(Kuersetin,
Kuersitrin,
mirsetin
dan
mirsitrin),
seskuiterpen,
triterpenoid, fenol, steroid, sitral, lakton, saponin, dan karbohidrat (Fitri, 2007). Menurut Purwati (2004), daun salam oleh Badan POM ditetapkan sebagai salah satu dari sembilan tanaman obat unggulan yang telah diteliti atau diuji secara klinis untuk menanggulangi masalah kesehatan tertentu (Fitri, 2007). Menurut Sudarsono (2002) Kandungan tanaman salam lainnya adalah saponin,triterpenoid, flavonoid, polifenol, alkaloid, tanin dan minyak atsiri yang terdiri dari sesquiterpen, lakton dan fenol (Adrianto, 2012). Uji fitokimia dari daun salam menunjukkan adanya beberapa senyawa metabolit sekunder yaitu flavonoid, fenolik, dan kumarin (Hermansyah, 2008)
2.1.6 Kegunaan Tanaman Daun salam umumnya digunakan sebagai rempah pengharum masakan di sejumlah negeri di Asia Tenggara, baik untuk masakan daging, ikan, sayur mayur, maupun nasi. Daun dicampur dalam keadaan utuh, kering ataupun segar dan turut dimasak hingga masakan tersebut matang. Dari segi kesehatan, daun salam efektif menurunkan kadar gula darah, menurunkan tekanan darah, menurunkan kadar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
kolesterol darah, menurunkan kadar asam urat, mengobati sakit maag (gastritis), gatal-gatal (pruritis), kudis (scabies), dan eksim (Enda, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa ekstrak etanolik 30% daun salam memberikan
aktivitas
antidiare pada hewan
uji
(Malik &
Ahmad, 2013). Winarto (2004) menyatakan bahwa daun salam mempunyai kandungan kimia yaitu tanin, flavonoid, dan minyak atsiri 0,05 % yang terdiri dari eugenol dan sitral. Minyak atsiri atau dikenal orang dengan nama minyak ateris atau minyak terbang (essential oil) dihasilkan oleh tanaman tertentu. Mekanis metoksisitas fenol dalam minyak atsiri menyebabkan denaturasi protein pada dinding sel kuman dengan membentuk struktur tersier protein dengan ikatan nonspesifik atau ikatan disulfida (Adrianto, 2012). Minyak atsiri mengandung sitral dan eugenol yang berfungsi sebagai anestetik dan antiseptik (Adrianto, 2012). Antiseptik adalah obat yang meniadakan atau mencegah keadaan sepsis, zat ini dapat membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme (Ganiswara, 1995). Eugenol adalah sebuah senyawa kimia aromatik, berbau, sedikit larut dalam air dan larut pada pelarut organik. Bidang medis sering menggunakan eugenol. Kandungan eugenol merupakan analgesik dan antiseptik lokal yang baik. Beberapa minyak atsiri dapat digunakan sebagai bahan antiseptik internal dan eksternal, bahan analgesik, hemolitik atau enzimatik, sedatif, stimulan, untuk obat sakit perut, bahan pewangi kosmetik dan sabun (Adrianto, 2012). Selain minyak atsiri terdapat kandungan tanin. Tanin, tannic acid atau gallotanic acid dapat ditemukan pada berbagai macam tanaman. Tanin telah terbukti mempunyai efektifitas antioksidan dan menghambat pertumbuhan tumor (Robinson, 1995). Tanin menyebabkan denaturasi protein dengan membentuk kompleks protein. Pembentukan kompleks protein melalui kekuatan nonspesifik seperti ikatan hidrogen dan efek hidrofobik sebagaimana pembentukan ikatan kovalen, menginaktifkan adhesi kuman (molekul untuk menempel pada sel inang), menstimulasi sel-sel fagosit yang berperan dalam respon imun selular (Soebowo, 1993).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
Flavonoid adalah senyawa yang terdapat pada sebagian besar tumbuhtumbuhan. Sebagian besar tumbuhan obat mengandung flavonoid (Adrianto, 2012). Pada tumbuhan, flavonoid tidak hanya berperan sebagai pigmen yang memberi warna pada bunga dan daun saja, namun juga sangat penting bagi pertumbuhan, perkembangan dan pertahanan tumbuhan. Misalnya sebagai enzim inhibitor, prekusor bahan toksik, melindungi tumbuhan (dari bakteri, virus, radikal bebas dan radiasi sinar UV) (Sabir, 2003). Beberapa penelitian terakhir menunjukan bahwa flavonoid memiliki efek antimikroba, antiinflamasi, merangsang pembentukan kolagen, melindungi pembuluh darah, antioksidan dan antikarsinogenik (Sabir, 2003). Flavonoid sebagai antibakterial dapat menekan pertumbuhan bakteri yang mengkontaminasi luka sehingga infeksi dapat dihindarkan (Dharmayanti, 2000). Pelezar (1988) menyatakan bahwa sebagai antibakteri, flavonoid bekerja dengan menghambat perkembangan mikroorganisme karena mampu membentuk senyawa kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen. Mekanisme kerjanya dengan mendenaturasikan molekul-molekul protein dan asam nukleat yang menyebabkan koagulasi dan pembekuan protein yang akhirnya akan terjadi gangguan metabolisme dan fungsi fisiologis bakteri. Jika metabolisme bakteri terganggu maka kebutuhan energi tidak tercukupi sehingga mengakibatkan rusaknya sel bakteri secara permanen yang pada akhirnya menyebabkan kematian bakteri (Adrianto, 2012).
2.2
STANDARDISASI
2.2.1 Karakterisasi Simplisia Karakterisasi merupakan langkah awal dari standardisasi. Standardisasi simplisia dilakukan untuk mengendalikan mutu simplisia. Standarisasi diperlukan agar dapat diperoleh bahan baku yang seragam yang akhirnya dapat menjamin efek farmakologi tanaman tersebut (Hariyati, 2005). Standarisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan tertentu (Krisyanella, Dachriyanus, & Marlina, n.d.).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari berbagai parameter standar umum dan parameter standar spesifik. Pengertian standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir obat (obat, ekstrak atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan (ajeg) dan ditetapkan terlebih dahulu (Anonim, 2000). Standardisasi suatu simplisia tidak lain pemenuhan terhadap persyaratan sebagai bahan dan penetapan nilai berbagai parameter dari suatu produk. Standardisasi simplisia juga mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia Medika Indonesia) (Anonim, 2000). Objek standardisasi adalah ekstrak tumbuhan yakni material yang diperoleh dengan cara menyari bahan tumbuhan dengan pelarut tertentu. Kecuali dinyatakan lain pelarut yang diperbolehkan adalah etanol (Anonim, 1995). Pelarut organik selain etanol memiliki potensi toksisitas yang lebih tinggi. Etanol memiliki kemampuan menyari dengan polaritas yang lebar mulai senyawa nonpolar sampai dengan polar. Sedangkan penyari air cukup sulit diuapkan pada suhu rendah sehingga berpotensi terdegradasinya komponen aktif atau terbentuknya senyawa lain karena
pemanasan. Ekstraksi dengan non pelarut
seperti superkritikal gas diperkenankan namun yang menjadi masalah aplikasi di Indonesia untuk industri masih sangat terbatas karena peralatan yang cukup mahal (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).
2.2.2 Parameter Standardisasi 2.2.2.1 Aspek Parameter Spesifik (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011) Parameter spesifik yakni parameter yang berfokus pada senyawa atau golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas farmakologis.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
Analisis kimia yang dilibatkan ditujukan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif terhadap senyawa aktif. Menurut Anonim (2000), Parameter spesifik meliputi : a.
Parameter identitas ekstrak, meliputi deskripsi tata nama (Nama ekstrak, Nama latin tumbuhan, Bagian tumbuhan yang digunakan, dan Nama Indonesia tumbuhan) dan senyawa identitas (senyawa tertentu yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu). Tujuannya adalah untuk memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik dari senyawa identitas.
b.
Parameter organoleptik ekstrak, yaitu penentuan parameter yang menggunakan pancaindra untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa dari suatu ekstrak.
c.
Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, yaitu parameter yang diuji dengan cara melarutkan ekstrak dengan pelarut tertentu (air atau alkohol) untuk ditentukan jumlah solut yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetri. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana, diklorometan, dan metanol.
d.
Parameter kandungan kimia ekstrak 1) Pola kromatogram Tujuannya untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram. 2) Kadar kandungan kimia tertentu Dengan tersedia suatu kandungan kimia yang berupa senyawa identitas atau senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tersebut. Instrumen yang dapat digunakan adalah densitometer, kromatografi gas, KCKT atau instrumen yang sesuai. Tujuannya memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab pada efek farmakologi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
2.2.2.2 Aspek Parameter Non Spesifik (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011) Parameter non spesifik yakni aspek yang berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas. Aspek ini tidak berpengaruh pada aktivitas farmakologi secara langsung. Aspek parameter nonspesifik diantaranya (Anonim, 2000) : a.
Parameter susut pengeringan, adalah pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105oC selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai prosen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut organik menguap) identik dengan kadar air karena berada di atmosfer/lingkungan udara terbuka. Tujuannya untuk memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan.
b.
Parameter bobot jenis, adalah masa per satuan volume pada suhu kamar tertentu (25oC) yang ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Tujuannya untuk memberikan batasan tentang besarnya masa persatuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ektrak pekat (kental) yang masih dapat dituang dan untuk memberikan gambaran kandungan kimia terlarut.
c.
Parameter kadar air, adalah parameter pengukuran kandungan air yang berada di dalam bahan, dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi, destilasi atau gravimetri. Tujuannya untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan.
d.
Parameter kadar abu, yaitu parameter yang dilakukan dengan cara memanaskan bahan pada temperatur dimana senyawa orgaik dan turunannya terdestruksi dan menguap. Sehingga tinggal unsur mineral dan anorganik. Tujuannya untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yagn berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak.
e.
Parameter sisa pelarut, parameter yang diuji dengan cara menentukan kandungan sisa pelarut tertentu (yang memang ditambahkan) yang secara
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
umum dengan kromatografi gas. Untuk ekstrak cair berarti kandungan pelarutnya, misalnya kadar alkohol. f.
Parameter cemaran logam berat, adalah penentuan kandungan logam berat secara spektroskopi serapan atom atau lainnya yang lebih valid. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan.
2.2.3 Manfaat Standardisasi 2.2.3.1 Standardisasi menjamin keseragaman khasiat (efikasi) Mayoritas penggunaan bahan obat berbasis herbal di Indonesia masih bersifat tidak terukur baik kepastian tanaman, takaran, cara penyiapan sehingga tidak menjamin konsistensi khasiat. Salah satu tujuan dari standardisasi adalah menjaga konsistensi dan keseragaman khasiat dari obat herbal. Standardisasi melibatkan pemastian kadar senyawa aktif farmakologis melalui analisis kuantitatif metabolit sekunder yang akan menjamin keseragaman khasiat (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011). Tercatat sekitar 997 industri obat tradisional di Indonesia dan 98 diantaranya adalah produsen dengan skala besar dan sedang. Produsen dengan skala besar dan sedang telah mampu mengekspor produknya ke negara lain. Selain itu juga banyak bahan mentah rempah dan obat herbal diekspor ke luar negeri tanpa mengalami pengolahan. Problem yang seringkali dihadapi adalah belum terstandarnya bahan baku yang diperdagangkan bahkan dijumpainya kontaminan
mikrobiologis
pada produk obat herbal
(Saifudin, Rahayu, &
Teruna, 2011).
2.2.3.2 Standardisasi untuk uji klinik Uji Klinik adalah uji senyawa kimia obat, obat herbal, ekstrak dan berbagai sediaan pada dosis tertentu dengan target biologis manusia agar memberikan respon biologis berupa parameter-parameter klinik perbaikan dari kondisi patologis yang terkait dengan penyakit tertentu. Untuk itu semua aspek dituntut terdesain dan dikontrol dengan baik. Respon uji klinik sangat ditentukan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
oleh konsistensi dosis. Jika jumlah zat aktif yang diberikan tidak konsisten maka disini peran besar standardisasi untuk menjaga senyawa-senyawa aktif selalu konsisten terukur antar perlakuan. Jadi, penentuan dosis senyawa marker untuk uji klinik ekstrak atau obat herbal sangatlah fundamental (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).
2.2.3.3 Standardisasi
menjamin
aspek
keamanan
dan
stabilitas
ekstrak/bentuk sediaan Tempat tumbuh tanaman, penanganan pasca panen, proses ekstraksi, penyimpanan simplisia tanaman dan ekstrak juga mempengaruhi elemen keamanan terhadap pemakaian logam berat, pestisida dalam tanah, udara dan air, jenis dan jumlah mikroorganisme dan metabolit pencemar berbahaya. Keberadaan air di dalam suatu ekstrak juga mempengaruhi stabilitas bahan baku bahkan bentuk sediaan yang nantinya dihasilkan. Untuk itu dilakukan berbagai analisis untuk menentukan batas minimal kadar air, zat dan jumlah mikroba pencemar. Upaya ini disebut dengan penentuan parameter spesifik dan non spesifik (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011). Proses standardisasi yang meliputi aspek kimiawi metabolit sekunder, jumlah cemaran mikroba minimal dan cemaran logam berat sangatlah penting karena terkait dengan khasiat dan keamanan pada konsumen. Keberadaan residu air
yang cukup
tinggi
menyebabkan
tumbuhnya
mikroba
yang akan
memperpendek stabilitas ekstrak atau bentuk sediaan yang dibuat (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).
2.2.3.4 Standardisasi meningkatkan nilai ekonomi Tanaman obat dan rempah Indonesia mempunyai potensi besar sebagai produk unggulan. Belum tingginya upaya lintas sektoral dan terpadu antara swasta-pemerintah-perguruan tinggi untuk mengangkat secara sistematis natural product Indonesia mengakibatkan banyak produk ekspor herbal yang berdaya tawar rendah. Hingga kini Cina dan India adalah raja produk herbal dunia, bahkan Singapura yang merupakan negara mungil adalah salah satu pengolah dan penjual produk alam yang cukup besar dan negara inilah yang menerapkan standar bagi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
eksportir sehingga banyak sekali bahan mentah Indonesia yang diekspor dengan harga yang cukup murah. Namun, melalui pabrikasi dan proses di negara yang bersangkutan tersebut dijual dengan nilai yang jauh lebih tinggi. Standardisasi adalah upaya penting untuk menaikkan nilai ekonomi produk alam Indonesia (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).
2.3
SIMPLISIA Dalam buku Materia Medika Indonesia ditetapkan definisi bahwa simplisia
adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni (Anonim, 2000). Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau pengumpulan tumbuhan liar (wild crop) tentu saja kandungan kimianya tidak dapat dijamin selalu ajeg (konstan) karena disadari adanya variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen, serta proses pasca panen dan preparasi akhir. Walaupun ada juga pendapat bahwa variabel tersebut tidak besar akibatnya pada mutu ekstrak nantinya dan dapat dikompensasi dengan penambahan/pengurangan bahan setelah sedikit prosedur analisis kimia dan sentuhan inovasi teknologi farmasi lanjutan
sehingga
tidak
berdampak
banyak
pada
khasiat
produknya
(Anonim, 2000). Proses panen dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat menentukan mutu simplisia dalam berbagai artian, yaitu komposisi senyawa kandungan, kontaminasi dan stabilitas bahan. Namun demikian simplisia sebagai produk olahan, variasi senyawa kandungan dapat diperkecil, diatur atau diajegkan. Hal ini karena penerapan iptek pasca panen yang terstandar (Anonim, 2000).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap dikonsumsi langsung, dapat dipertimbangkan 3 konsep untuk menyusun parameter standar umum (Anonim, 2000) : 1. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya memenuhi 3 parameter mutu umum suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis) serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan dan transportasi). 2. Bahwa simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai obat tetap diupayakan memenuhi 3 paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy (Mutu-AmanManfaat). 3. Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung jawab terhadap respon biologis haru mempunyai spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan.
2.4
EKSTRAK Menurut buku Farmakope Indonesia Edisi 4, disebutkan bahwa ekstrak
adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan pengurangan
tekanan, agar
bahan
sesedikit
mungkin terkena
panas
(Anonim, 2000). Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masingmasing monografi tiap ml ekstrak mengandung senyawaaktif dari 1 gr simplisia yang memenuhi syarat. Ekstrak cair yang cenderung membentuk endapan dapat didiamkan dan disaring atau bagian yang bening dienap tuangkan (dekantasi) (Anonim, 2000).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit. Simplisia dicampur dengan derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, lalu dipanaskan di atas tangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90oC sambil sesekali diaduk. Diserkai selagi panas melalui kain flanel, lalu ditambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infus yang dikehendaki (jika dikatakan lain, dibuat infus 10%) (Anonim, 2000). Menurut Saifudin dkk (2011), lingkungan tempat tumbuh tanaman sangat mempengaruhi kualitas dan keamanan bahan baku ekstrak dan produk akhir yang dihasilkan. Umumnya tanaman liar heterogen dari berbagai aspek misalnya kandungan metabolitnya secara kuantitatif (bahkan kualitatif yakni beberapa senyawa tidak terdeteksi), kemungkinan adanya pencemar dan kontaminan yang berasal dari air dan tanah yang tidak terkontrol. Tanaman budidaya mungkin lebih bisa dikontrol berbagai aspek yang mengurangi mutu. Keseragaman genetik juga mempengaruhi kualitas dan kuantitas metabolit sekunder yang dihasilkan. Senyawa kimia dalam ekstrak ditinjau dari asalnya dapat dibedakan menjadi 4 kelompok yaitu (Anonim, 2000) : 1. Senyawa kandungan asli dari tumbuhan asal 2. Senyawa hasil dari perubahan senyawa asli 3. Senyawa kontaminasi 4. Senyawa hasil interaksi kontaminasi dengan senyawa asli atau senyawa perubahan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
2.4.1 Faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu ekstrak. Faktorfaktor itu diantaranya (Anonim, 2000) : 1. Faktor biologi Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obatnya dan khusus dipandang dari segi biologi. Faktor biologi, baik untuk bahan dari tumbuhan obat hasil budidaya (kultivar) ataupun dari tumbuhan liar (wild crop) yang meliputi beberapa hal yaitu (Anonim, 2000) : a. Identitas jenis (spesies) Jenis tumbuhan dari sudut keragaman hayati dapat dikonfirmasi sampai informasi genetik sebagai faktor internal untuk validasi jenis (spesies). b. Lokasi tumbuhan asal Lokasi berarti faktor eksternal, yaitu lingkungan (tanah dan atmosfer) dimana tumbuhan berinteraksi berupa energi (cuaca, temperatur, cahaya) dan materi (air, senyawa organik dan anorganik) c. Periode pemanenan hasil tumbuhan Faktor ini merupakan dimensi waktu dari proses kehidupan tumbuhan terutama metabolisme sehingga menentukan senyawa kandungan. Kapan senyawa kandungan mencapai kadar optimal dari proses biosintesis dan sebaliknya kapan senyawa tersebut dikonversi atau dibiotransformasi ataupun dibiodegradasi menjadi senyawa lain. Menurut Saifudin dkk (2011), pemanenan sebaiknya dilakukan pada saat tanaman mengandung kadar metabolit tertinggi. Untuk itu perlu diperhatikan musim panen, kematangan organ terpilih dan siklus biosintesis harian. Hal itu perlu didasarkan pada penelitian ilmiah terkait, setidaknya dengan penelusuran pustaka yang relevan. d. Penyimpanan bahan tumbuhan Merupakan faktor eksternal yang dapat diatur karena dapat berpengaruh pada stabilitas bahan serta adanya kontaminasi (biotik dan abiotik). Menurut Saifudin dkk (2011), penyimpanan yang baik adalah penyimpanan yang menghindarkan dari kontaminasi dan menjaga stabilitas ekstrak serta metabolit yang dikandung. Keberadaan lembab
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
menyebabkan uap air terabsorpsi ke dalam ekstrak sehingga kadar air meningkat. Penyimpanan didalam ruang berpengatur udara sangatlah direkomendasikan. Penyimpanan ekstrak di dalam pendingin atau freezer bersuhu 0oC tidak direkomendasikan karena menyebabkan pembacaan coliform positif bahkan cukup tinggi hingga ekstrak tidak memenuhi syarat terkait kadar bakteri coliform. Penyimpanan ekstrak pada kotak dengan dasar dilapisi kapur tohor cukup baik mencegah pertumbuhan kapang dan bakteri. Namun demikian umumnya tanaman yang mengandung minyak atsiri ekstraknya cukup resisten terhadap pertumbuhan mikroba selama lebih dari 0,5-1 tahun apalagi dengan ruang berpengatur udara. e. Umur tumbuhan dan bagian yang digunakan 2. Faktor kimia Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obatnya, khususnya dipandang dari segi kandungan kimianya. Faktor kimia, baik untuk bahan dari tumbuhan obat hasil budidaya (kultivar) ataupun dari tumbuhan liar (wild crop), meliputi beberapa hal yaitu (Anonim, 2000) : a. Faktor internal 1) Jenis senyawa aktif dalam bahan 2) Komposisi kualitatif senyawa aktif 3) Komposisi kuantitatif senyawa aktif 4) Kadar total rata-rata senyawa aktif b. Faktor eksternal 1) Metode ekstraksi 2) Perbandingan ukuran alat ekstraksi (diameter dan tinggi alat) 3) Ukuran, kekerasan dan kekeringan bahan 4) Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi 5) Kandungan logam berat 6) Kandungan pestisida
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
2.5
EKSTRAKSI Pengambilan bahan aktif dari suatu tumbuhan, dapat dilakukan dengan
cara ekstraksi. Pengertian ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Pengetahuan mengenai golongan senyawa aktif yang dikandung dalam simplisia akan mempermudah proses pemilihan pelarutan dan cara ekstraksi yang tepat (Anonim, 2000). Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi, dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna (Ansel, 1989).
2.5.1 Proses Pembuatan Ekstrak 2.5.1.1 Pembuatan serbuk simplisia (Anonim, 2000) Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk simplisia dengan peralatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat mempengaruhi mutu ekstrak dengan dasar beberapa hal sebagai berikut : 1. Makin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efektif-efisien, namun makin halus serbuk, maka makin rumit secara teknologi perlatan untuk tahapan filtrasi. 2. Selama penggunaan peralatan penyerbukan dimana ada gerakan dan interaksi dengan benda keras (logam dll) maka akan timbul panas (kalori) yang dapat berpengaruh pada kandungan senyawa. Namun hal ini dapat dikompensasi dengan penggunaan nitrogen cair.
2.5.1.2 Pelarut (Anonim, 2000) Pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut yang dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit skunder yang terkandung. Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan pelarut adalah sebagai berikut (Anonim, 2000) : 1. Selektivitas 2. Kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut 3. Ekonomis 4. Ramah lingkungan 5. Keamanan Pada prinsipnya, Pelarut harus memenuhi syarat kefarmasian atau dalam perdagangan dikenal dengan kelompok spesifikasi “pharmaceutical grade”. Sampai saat ini berlaku bahwa pelarut yang diperbolehkan adalah air dan alkohol (etanol) serta campurannya. Jenis pelarut seperti metanol dan lainnya (alkohol turunannya), heksana dan lainnya (hidrokarbon aliphatik), toluen dan lainnya (hidrokarbon aromatik), kloroform, aseton, umumnya digunakan sebagai pelarut untuk tahap separasi dan tahap pemurnian (fraksinasi). Khusus metanol, dihindari penggunaannya karena sifatnya yang toksik akut dan kronik. Namun demikian jika dalam uji ada sisa pelarut dalam ekstrak menunjukkan negatif, maka metanol sebenarnya pelarut yang lebih baik dari etanol (Anonim, 2000).
2.5.1.3 Pemekatan/penguapan (vaporasi dan evaporasi) (Anonim, 2000) Pemekatan berarti peningkatan jumlah partial solute (senyawa terlarut) secara penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering, ekstrak hanya menjadi kental/pekat.
2.5.1.4 Pengeringan ekstrak (Anonim, 2000) Pengeringan
berarti
menghilangkan
pelarut
dari
bahan
sehingga
menghasilkan serbuk, masa kering-rapuh, tergantung proses dan peralatan yang digunakan. Ada berbagai proses pengeringan ekstrak yaitu : 1. Pengeringan Evaporasi 2. Pengeringan Vaporasi 3. Pengeringan Sublimasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
4. Pengeringan konveksi 5. Pengeringan Kontak 6. Pengeringan Radiasi 7. Pengeringan Dielektrik
2.5.1.5 Rendemen (Anonim, 2000) Rendemen adalah perbandingan antara berat ekstrak yang diperoleh dengan berat simplisia awal.
2.5.2 Metode Ekstraksi (Anonim, 2000) Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Anonim, 2000) yaitu: 1).
Cara dingin a.
Maserasi
Maserasi ialah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinyu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. b.
Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan. 2).
Cara Panas a. Refluks Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. b. Sokletasi Sokletasi ialah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendinginan balik. c. Digesti Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC. d. Infusa Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air mendidih, temperatur terukur 96oC-98oC selama waktu tertentu (15-20 menit). e. Dekok Dekok adalah infus yang waktunya lebih lama (lebih dari 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.
2.6
KROMATOGRAFI Kromatografi adalah suatu prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu
proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion (Anonim, 1995). Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam tergantung pada pengelompokannya. Berdasarkan mekanisme pemisahannya dibedakan menjadi kromatografi adsorbsi, kromatografi partisi, kromatografi pasangan ion, kromatografi penukar ion, kromatografi eksklusi ukuran, dan kromatografi afinitas. Sedangkan berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dapat dibagi menjadi kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi cair kinerja tinggi, dan kromatografi gas (Gandjar & Rohman, 2007). Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan terutama dilakukan dengan mengunakan salah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan dapat digunakan pada skala mikro maupun makro (Harbone, 1987). Dalam
penggunaan
kromatografi
untuk
tujuan
kualitatif
dapat
mengungkapkan ada atau tidak adanya senyawa tertentu dalam cuplikan. Sedangkan untuk tujuan kuantitatif dapat menunjukkan banyaknya masingmasing komponen campuran. Selain penggunaan kualitatif dan kuantitatif, kromatografi dapat digunakan untuk tujuan preparatif yaitu untuk memperoleh komponen campuran dalam jumlah memadai dalam keadaan murni. Selama pemisahan kromatografi, solut individual akan membentuk profil konsentrasi yanng simetris atau dikenal juga dengan profil Gaussian dalam arah aliran fase gerak. Profil dikenal juga dengan puncak atau pita, secara perlahan-lahan akan melebar dan sering juga membentuk profil yang asimetrik karena solut-solut melanjutkan migrasinya ke fase diam (Gandjar & Rohman, 2007).
2.6.1 Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu metode pilihan kromatografi secara fisikokimia (Gandjar & Rohman, 2007). KLT merupakan bentuk planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Pada KLT fase diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat alumunium atau plat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini merupakan bentuk terbuka dari kromatografi kolom. KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai untuk mencapai hasul kualitatif, kuantitatif atau preparatif. Kedua dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom. Kromatografi lapis tipis (KLT) dapat digunakan untuk tujuan analitik dan preparatif, KLT analitik digunakan untuk menganalisa senyawa-senyawa organik dalam jumlah kecil, misalnya menentukan jumlah komponen dalam campuran dan menentukan pelarut yang tepat untuk pemisahan dengan KLT preparatif. Sedangkan KLT preparatif digunakan untuk memisahkan campuran senyawa dari sampel dalam jumlah besar berdasarkan fraksinya, yang selanjutnya fraksi-fraksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
tersebut
dikumpulkan
dan
digunakan
untuk
analisa
berikutnya
(Townshend, 1995). Plat KLT yang umum digunakan adalah plat KLT analitik dengan ketebalan 0,1-0,2 nm dengan ukuran 20x20 cm yang dilapisi dengan adsorben silika gel 60 F254 dengan ketebalan 0,2 mm. Plat kemudian ditempatkan ke dalam bejana dengan fase gerak yang sesuai, dimana ketinggian fase gerak cukup untuk membasahi bagian bawah plat dan tidak sampai membasahi dimana sampel diaplikasikan. Fase gerak kemudian bermigrasi melewati adsorben dengan gaya kaliper, dan proses ini dikenal sebagai pengembangan (Sarker, Latif, & Gray, 2006). Jumlah volume fase gerak harus mampu mengelusi lempeng sampai ketinggian lempeng yang telah ditentukan. Setelah lempeng terelusi, dilakukan deteksi bercak. Laju pergerakan fase gerak terhadap fase diam dihitung sebagai retardation factor (Rf). Nilai Rf diperoleh dengan membandingkan jarak yang ditempuh oleh zat terlarut dengan jarak yang ditempuh oleh fase gerak (Gandjar & Rohman, 2007). Fase gerak harus memiliki kemurnian yang tinggi. Hal ini dikarenakan KLT merupakan teknik yang sensitif. Fase gerak yang digunakan adalah pelarut organik yang memiliki tingkat polaritas tersendiri, melarutkan senyawa contoh, dan tidak bereaksi dengan penjerap (Gocan, 2002). Adsorben yang umumnya digunakan dalam KLT meliputi : 1. Silika Gel Silika gel adalah yang paling banyak digunakan sebagai adsorben dan fase stasioner yang dominan untuk KLT. Sebagian besar analisa dengan KLT dilakukan dengan menggunakan fase normal lapisan silika gel. Silika gel ini dapat digunakan sebagai fase polar maupun non polar. Untuk fase polar, merupakan silika yang dibebaskan dari air dan bersifat sedikit asam. Silika gel perlu ditambah gips (kalsium sulfat) untuk memperkuat pelapisannya pada pendukung. Sebagai pendukung biasanya lapisan tipis digunakan kaca dengan ukuran 20x20 cm, 10x20 cm, atau 5x10 cm. Pendukung yang lain berupa lembaran alumunium atau plastik seperti ukuran diatas yang umumnya dibuat oleh pabrik.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
Silika gel kadang-kadang ditambah senyawa fluoresensi, agar bila disinari dengan sinar UV dapat berfluoresensi atau berpendar, sehingga dikenal sebagai silika gel 60 F254 yang berarti silika gel untuk fase non polar terbuat dari silika yang dilapisi dengan senyawa non polar misalnya, lemak, parafin, minyak silikon raber gom, atau lilin, dengan fase gerak air yang bersifat polar dapat digunakan sebagai eluen. Fase diam ini dapat memisahkan banyak senyawa namun elusinya sangat lambat dan keterulangannya kurang bagus (Sumarno, 2001). 2. Alumina Alumina ini bersifat sedikit basa, lebih jarang digunakan. Saat akan digunakan harus diaktifkan kembali dengan pemanasan. Alumina yang digunakan sebagai fase diam untuk KLT umunya yang bebas air, sehingga mempunyai aktivitas penjerapan lebih tinggi (Sumarno, 2001). 3. Perlit Mineral Perlit mineral adalah adsorben baru untuk KLT, yang dibuat dengan mengkonversi SiO2 (70-75%) menjadi silikat yang larut dengan Na2CO3 (Gocan, 2002). 4. Kiselgur Kiselgur ini sebenarnya merupakan asam silika yang berbentuk amorf, berasal dari kerangka diatomae, maka lebih dikenal dengan nama tanah diatome, kurang bersifat adsorptif dibanding silika (Sumarno, 2001). 5. Magnesium Silikat Magnesium silikat hanya digunakan bila adsorben atau penjerap lain tidak dapat digunakan. Nama lain dalam perdagangan dikenal floresil (Sumarno, 2001). Floresil (magnesium silikat) adalah endapan silika dan magnesium. Sifat dan aplikasi dari floresil pada KLT dan KCKT ditinjau dan dibandingkan dengan adsorben lainnya (Gocan, 2002). 6. Selulosa Selulosa mempunyai polaritas tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pemisahan secara partisi, baik dengan bentuk kertas maupun bentuk lempeng. Kedua bentuk tersebut masih sering digunakan untuk pemisahan flavonoid. Ukuran partikel yang digunakan kira-kira 50 µm. Fase diam ini sekarang sudah diganti dengan bubuk selulosa yang dapat dilapisi pada kaca seperti halnya fase
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
diam yang lain sehingga lebi efisien dan lebih banyak digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa polar atau isomernya (Sumarno, 2001). 7. Resin Resin berfungsi sebagai fase pada KLT penukar ion. Resin merupakan polimer dari stirendifenil yang mengalami kopolimerisasi, bersifat non polar. Fase diam ini sangat berguna untuk memisahkan senyawa berbobot molekul tinggi dan bersifat amfoter seperti asam amino, protein, enzim, nukleotida. Sebagai fase gerak digunakan larutan asam kuat atau basa kuat (Sumarno, 2001).
Gambar 3. Kromatografi Lapis Tipis (Sumber : http://www.chemguide.co.uk/analysis/chromatography/thinlayer.html) Harga Rf dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan sebagaimana persamaan berikut :
Harga maksimum Rf adalah 1, sampel bermigrasi dengan kecepatan sama dengan fase gerak. Harga minimum Rf adalah 0, dan ini teramati jika sampel tertahan pada posisi titik awal di permukaan fase diam (Gandjar & Rohman, 2007). 2.6.2 Kromatografi Gas – Spektrometri Massa/Gas Chromatography Mass Spectrometry Kromatografi Gas (KG) merupakan metode yang dinamis untuk pemisahan dan deteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap dalam suatu
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
campuran. Kegunaan umum KG yaitu untuk melakukan pemisahan dinamis dan identifikasi semua jenis senyawa organik yang mudah menguap dan juga untuk melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa dalam suatu campuran (Gandjar & Rohman, 2007). KG merupakan teknik pemisahan yang mana solut-solut yang mudah menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang bergantung pada rasio distribusinya. Pada umumnya solut akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik didihnya, kecuali jika ada interaksi khusus antara solut dengan fase diam. Pemisahan pada KG didasarkan pada titik didih suatu senyawa dikurangi dengan semua interaksi yang mungkin terjadi antara solut dengan fase diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solut dari ujung kolom lalu menghantarkannya ke detektor. Penggunaan suhu yang meningkat (biasanya pada kisaran 50oC-350oC) bertujuan untuk menjamin bahwa solut akan menguap dan karenanya akan cepat terelusi (Gandjar & Rohman, 2007). Komponen utama pada KG adalah kontrol dan penyedia gas pembawa, ruang suntik sampel, kolom yang diletakkan pada oven yang dikontrol secara termostatik, sistem deteksi dan pencatat (detektor dan recorder) serta komputer yang dilengkapi dengan perangkat pengolah data (Gandjar & Rohman, 2007). 1. Fase gerak pada KG Fase gerak ada KG disebut juga sebagai gas pembawa karena tujuan awalnya adalah membawa solut ke kolom, karenanya gas pembawa tidak berpengaruh pada selektifitas. Syarat gas pembawa yaitu tidak reaktif, murni/kering karena kalau tidak murni akan berpengaruh pada detektor, dan dapat disimpan dalam tangki tekanan tinggi. Gas pembawa biasanya mengandung gas helium, nitrogen, hidrogen, atau campuran argon dan metana. Pemilihan gas pembawa tergantung pada penggunaan spesifik dan jenis detektor yang digunakan. 2. Ruang suntik sampel pada KG Fungsi dari ruang suntik ini adalah untuk mengantarkan sampel ke dalam aliran gas pembawa. Penyuntikan sampel dapat dilakukan secara manual atau otomatis.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
Sampel yang akan dikromatografi dimasukkan ke dalam ruang suntik melalui gerbang suntik yang biasanya berupa lubang yang ditutupi dengan septum atau pemisah karet. Ruang suntik harus dipanaskan tersendiri (terpisah dari kolom) dan biasanya 10 oC -15oC lebih tinggi daripada suhu kolom maksimum. 3. Kolom pada KG Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena di dalamnya terdapat fase diam. Oleh karena itu, kolom merupakan komponen sentral pada KG. Jenis kolom pada KG yaitu kolom kemas (packing column) dan kolom kapiler (capillary column). Kolom kemas (packing column) terbuat dari gelas atau logam tahan karat atau dari tembaga dan alumunium. Panjang jenis kolom ini adalah 1-5 meter dengan diameter dalam 1-4 mm. Efisiensi kolom akan meningkat dengan semakin bertambah halusnya partikel fase diam ini. ukuran partikel fase diam biasanya berkisar antara 60-80 mesh (250-170 μm) Sedangkan kolom kapiler (capillary column) berbeda dengan kolom kemas, dalam hal adanya rongga pada bagian dalam kolom yang menyerupai pipa (tube). Oleh karena itu, sering disebut “open tubular columns”. Banyak macam bahan kimia yang digunakan sebagai fase diam antara lain : squalen, dietilglikol suksinat, OV-17 (phenyl methyl silicone oil). Semakin tipis lapisan penyalut sebagai fase diam, maka semakin tinggi suhu operasionalnya. 4. Detektor pada KG Detektor merupakan perangkat yang diletakkan pada ujung kolom tempat keluar fase gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil pemisahan. Detektor pada kromatografi adalah suatu sensor elektronik yang berfungsi mengubah sinyal gas pembawa dan komponen-komponen di dalamnya menjadi sinyal elektronik. Sinyal elektronik detektor akan sangat berguna untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif terhadap komponen-komponen yang terpisah diantara fase diam dan fase gerak. Jenis-jenis detektor yang sering digunakan antara lain : detektor hantar panas, detektor ionisasi nyala, detektor tangkap elektron, detektor nitrogen-fosfor, detektor fotometri nyala, detektor konduktivitas elektrolitik, detektor foto-ionisasi, dan detektor spektrofotometer massa.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
5. Komputer KG modern menggunakan komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunaknya (software) untuk digitalisasi sinyal detektor dan mempunyai beberapa fungsi antara lain : a. Memfasilitasi setting parameter-parameter instrumen. b. Menampilkan
kromatogram
dan
informasi-informasi
lain
dengan
menggunakan grafik berwarna. c. Merekam data kalibrasi, retensi, serta perhitungan-perhitungan dengan statistik. d. Menyimpan data parameter analisis untuk analisis senyawa tertentu. Spektrometri Massa adalah suatu instrumen yang dapat menyeleksi molekul-molekul gas bermuatan berdasarkan massanya. Spektrum massa diperoleh dengan dengan mengubah senyawa cuplikan menjadi ion-ion yang bergerak cepat yang dipisahkan berdasarkan perbandingan massa terhadap muatan (Fessenden & Fessenden, 1992). Prinsip kerja KG-SM yaitu cuplikan disuntikkan ke dalam injektor. Aliran gas dari gas pengangkut akan membawa cuplikan yang telah teruapkan masuk ke dalam kolom. Kolom akan memisahkan komponen-komponen dari cuplikan. Komponen-komponen tersebut akan terelusi sesuai dengan urutan semakin membesarnya koefisien partisi, selanjutnya masuk ke dalam spektrometri massa. Pada spektrometri massa komponen cuplikan ditembaki dengan berkas elektron dan diubah menjadi ion-ion bermuatan positif yang bertenaga tinggi dan dapat pecah
menjadi
ion-ion
yang
lebih
kecil.
Lepasnya
elektron
dari
molekul/komponen-komponen menghasilkan radikal kation. Ion-ion molekul, ionion pecahan, dan ion-ion radikal pecahan dipisahkan oleh ion pembelokan dalam medan magnet yang berubah sesuai dengan massa dan muatannya. Perubahan tersebut menimbulkan arus ion yang kemudian dicatat sebagai spektra massa (Sastrohamidjojo, 1985).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
Gambar 4. Kromatografi Gas – spektrofotometri massa (sumber : http://prezi.com/j9bkyznkpt-w/gcms/)
2.6.3 High Performance Liquid Chromatography (HPLC) HPLC digunakan untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian, analisis senyawa yang tidak mudah menguap, penetuan molekul-molekul netral, ionik, maupun zwitter ion, isolasi dan pemurnian senyawa, dll. HPLC metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif ( (Gandjar & Rohman, 2007). Hampir semua jenis campuran solut dapat dipisahkan dengan HPLC karena banyaknya fase diam yang tersedia dan selektifitas yang dapat ditingkatkan dengan mengatur fase gerak. Pemisahan dapat dilakukan dengan fase normal atau fase terbalik tergantung pada polaritas relatif fase diam dan fase gerak (Gandjar & Rohman, 2007). Komponen-komponen penting dalam HPLC yaitu : a. Wadah fase gerak b. Sistem penghantaran fase gerak c. Injektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
d. Kolom e. Detektor f. Wadah penampungan buangan fase gerak g. Tabung penghubung h. Suatu komputer
Gambar 5. High Performance Liquid Chromatography (sumber : http://pioneer.netserv.chula.ac.th/~skitipat/hplc/howto.html)
2.7
SPEKTROFOTOMETRI
2.7.1 Spektrofotometri UV-Vis Spektrofotometri UV-Vis adalah alat yang digunakan untuk mengukur serapan yang dihasilkan dari interaksi kimia antara radiasi elektromagnetik dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia pada daerah ultraviolet dan sinar tampak. Absorbsi cahaya UV-Vis mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi. Energi yang terserap kemudian terbuang sebagai cahaya atau tersalurkan dalam reaksi kimia. Absorbsi cahaya tampak dan radiasi ultraviolet meningkatkan energi elektronik sebuah molekul, artinya energi yang disumbangkan oleh foton-foton memungkinkan elektron-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
eletron itu mengatasi kekangan inti dan pindah keluar ke orbital baru yag lebih tinggi energinya. Semua molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-Vis karena mereka mengandung elektron, baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat dieksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi (Day & Underwood, 1999). Sumber lampu pada Spektrofotometer UV-Vis berdasarkan panjang gelombang terbagi menjadi dua, yaitu lampu deuterium dan tungstent. Lampu deuterium menghasilkan sinar 190-350 nm, sementara lampu tungsten digunakan untuk daerah visibel (pada panjang gelombang antara 350-900 nm) (Gandjar & Rohman, 2007). Suatu spektrofotometri UV-Vis tersusun dari sumber spektrum tampak yang kontinyu, monokromator, sel pengabsorbsi untuk larutan sampel atau blanko dan suatu alat untuk mengukur perbedaan absorbsi antara sampel dan blangko ataupun pembanding (Khopkar, 2003).
Gambar 6. Spektrofotometri UV-Vis (sumber : Gandjar & Rohman,2007) 2.7.2 Spektrofotometri Serapan Atom Spektroskopi serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif unsurunsur logam dalam jumlah sedikit (trace) dan sangat sedikit (ultratrace). Cara analisis ini memberikan kadar total unsur logam dalam suatu sampel dan tidak tergantung pada bentuk molekul dari logam dalam sampel tersebut. Cara ini cocok untuk analisis sedikit logam karena mempunyai kepekaan yang tinggi (batas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
deteksi kurang dari 1 ppm), pelaksanaannya relatif sederhana. Spektroskopi serapan atom didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral, dan sinar diserap biasanya sinar tampak atau ultraviolet. Perbedaan terletak pada bentuk spektrum, cara pengerjaan sampel dan peralatannya
(Gandjar dan
Rohman, 2007). Metode spektroskopi serapan atom mendasarkan pada prinsip absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang tertentu mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom yang mana transisi elektronik suatu atom bersifat spesifik. Dengan menyerap suatu energi, maka atom akan memperoleh energi sehingga suatu atom pada keadaan dasar dapat
ditingkatkan energinya ke tingkat
eksitasi (Gandjar dan
Rohman, 2007). Keberhasilan analisis dengan spektroskopi serapan atom ini tergantung pada proses eksitasi dan cara memperoleh garis resonansi yang tepat serta temperatur nyala harus sangat tinggi (Gandjar dan Rohman, 2007). Pengukuran dalam spektroskopi serapan atom ini didasarkan pada radiasi yang diserap oleh atom yang tidak tereksitasi dalam bentuk uap (Hermanto, 2009). Bagian-bagian dari instrumen spektrofotometri serapan atom diantarnya (Gandjar & Rohman, 2007) : 1. Sumber sinar Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow cathode lamp). Lampu ini terdiri dari atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda. Katoda sendiri berbentuk silinder berongga yang terbuat dari logam atau dilapisi dengan logam tertentu. Tabung logam ini diisi dengan gas mulia (neon atau argon) dengan tekanan rendah (10-15 torr). Bila antara anoda dan katoda diberi suatu selisih tegangan yang tinggi (600 volt), maka katoda akan memancarkan berkas-berkas elektron yang bergerak menuju anoda yang mana kecepatan dan energinya sangat tinggi. Elektron-elektron dengan energi tinggi ini dalam perjalanannya menuju anoda akan bertabrakan dengan gas-gas mulia yang diisikan. Akibat dari tabrakan-tabrakan ini membuat unsur-unsur gas mulia akan kehilangan elektron dan menjadi ion bermuatan positif. Ion-ion gas mulia yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
bermuatan positif ini akan bergerak ke katoda yang mana pada katoda ini terdapat unsur yang sesuai dengan unsur yang akan dianalisis. Atom-atom unsur dari katoda ini kemudian akan mengalami eksitasi ke tingkat energi-energi elektron yang lebih tinggi dan akan memancarkan spektrum pancaran dari unsur yang sama dengan unsur yang akan dianalisis. 2. Nyala (Flame) Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi. Pada cara spektrofotometri serapan atom, nyala ini berfungsi atom dari tingkat dasar ke tingkat yang lebih tinggi. Sumber nyala yang paling banyak digunakan adalah campuran asetilen sebagai bahan pembakar dan udara sebagai pengoksidasi. 3. Monokromator Pada spektrofotometer serapan atom, monokromator dimaksudkan untuk memisahkan dan memilih panjang gelombang yang digunakan dalam analisis. Di samping sistem optik, dalam monokromator juga terdapat suatu alat yang digunakan untuk memisahkan radiasi resonansi dan kontinyu yang disebut dengan chopper (pemotong radiasi). 4. Detektor Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat
pengatoman.
Biasanya
digunakan
tabung
pengandaan
foton
(photomultiplier tube). Ada 2 cara yang dapat digunakan dalam sistem deteksi yaitu (a) yang memberikan respon terhadap radiasi resonansi dan radiasi kontinyu dan (b) yang hanya memberikan respon terhadap radiasi resonansi. 5. Readout Readout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai sistem pencatatan hasil. Pencatatan hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah terkalibrasi untuk pembacaan suatu transmisi atau absorbsi. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva dari suatu recorder yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
Gambar 7. Spektrofotometri Serapan Atom (sumber : Gandjar & Rohman,2007)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari hingga bulan Juli 2014 di
Laboratorium Bahan Alam, Pusat Penelitian Kimia–Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serpong.
3.2
BAHAN DAN ALAT
3.2.1 Bahan Uji Bahan uji yang digunakan adalah
bagian daun dari tanaman Salam
(Syzygium polyanthum ) yang diperoleh dari tiga daerah tempat tumbuh yaitu : Ogan Komering Ulu (OKU) Timur (Desa Nusa Tunggal Kec. Belitang III Kab. OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan) sebanyak 1.613,6 gram, Sukoharjo (Tegalmiri RT 02/05, Puhgogor, Bendosari, Sukoharjo) sebanyak 1.893,3 gram, dan
Tangerang Selatan (kawasan Puspiptek, jalan Raya Puspiptek Serpong,
Tangerang Selatan, Banten) sebanyak 3.158,8 gram. 3.2.2 Bahan Kimia Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah : etanol 70 %, kloroform LP, aquadest, etanol 95 %, metanol, n-heksan, etil asetat, H2SO4 2 N, pereaksi Meyer, pereaksi Dragendorf, serbuk Mg, HCl pekat, FeCl3 1 %, NaOH 1 N, eter, pereaksi Lieberman-Buchard, HCl 4 N, AlCl3 10%, Na asetat 1 M, kuersetin (sigma), HNO3 pekat, HNO3 pekat, dan HClO4.
3.2.3 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik (mettler toledo AB 204-s/FOC), labu erlenmeyer, cawan penguap, kertas saring, tabung reaksi, pipet tetes, oven, piknometer, labu ukur, plat KLT, hot plate, desikator, gelas kimia, gelas ukur, corong, spatula, batang pengaduk, mikropipet, kertas saring, kertas saring bebas abu, botol timbang, krus silikat, waterbath, magnetic stirrer, Pilot plant (Buchi glassuster), Rotary evaporator (Buchi), oven (XMT-152A), plat KLT, Furnace (Sibata SMS-160), Atomic Absorpsion
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
Spectrophotometer (AAS) (AA Shimadzu-6300), Spectrophotometer UV-Vis (Mecasys), High Performance Liquid Chromatography (HPLC) (Shimadzu10AVP), dan Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GCMS) (ShimadzuQP2010).
3.3
PROSEDUR KERJA
3.3.1 Pengambilan Sampel Sampel daun salam yang digunakan diperoleh dari tiga daerah yang berbeda yaitu Ogan Komering Ulu (OKU) Timur (Desa Nusa Tunggal Kec. Belitang III Kab. OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan), Sukoharjo (Tegalmiri RT 02/05, Puhgogor, Bendosari, Sukoharjo), dan Tangerang Selatan (kawasan Puspiptek, jalan Raya Puspiptek Serpong Tangerang Selatan, Banten). Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari. Sampel yang diambil dalam keadaan masih segar.
3.3.2 Determinasi Sampel Determinasi sampel daun salam (Syzygium polyanthum Wight) dari ketiga tempat tumbuh dilakukan di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian BiologiLIPI, Bogor, Jawa Barat.
3.3.3 Penyiapan Simplisia Simplisia yang telah didapat kemudian dipisahkan berdasarkan lokasi pengambilan agar masing-masing simplisia tidak tercampur. Penyiapan simplisia daun salam dilakukan dengan cara sortasi basah untuk memisahkan kotoran atau bahan-bahan asing lainnya pada daun. Kemudian dilakukan pencucian dengan air mengalir untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang masih menempel pada bahan yang sudah disortasi basah. Tahap selanjutnya adalah proses pengeringan dengan cara dikering anginkan dan dilakukan sortasi kering. Kemudian simplisia yang sudah benar-benar kering dilakukan penggilingan untuk mendapatkan serbuk simplisia.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
3.3.4. Pengamatan Makroskopik Pengamatan makroskopik meliputi uji fisik terhadap daun salam (Syzygium Polyanthum) yang digunakan seperti bentuk daun, bau, rasa, dan warna daun.
3.3.5 Pembuatan Ekstrak Masing-masing simplisia dimaserasi dengan cara mencampurkan ±1kg simplisia kering daun salam yang sudah dibuat serbuk dengan etanol 70%. Proses maserasi dilakukan sampai hasil maserat mendekati tidak berwarna dan dilakukan penyaringan setiap 24 jam. Maserat dikumpulkan lalu dikentalkan dengan menggunakan rotary evaporator. Kemudian dihitung rendemen dari ekstrak kental tersebut.
3.3.6 Penentuan Parameter-Parameter Standardisasi 3.3.6.1 Parameter spesifik a. Identitas Ekstrak Deskripsi tata nama meliputi : nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, dan nama Indonesia tumbuhan (Anonim, 2000). b. Organoleptik Ekstrak Penentuan
organoleptik
ekstrak
dilakukan
dengan
menggunakan
pancaindra untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa. Tujuannya untuk pengenalan awal yang sederhana seobyektif mungkin (Anonim, 2000). c. Penentuan kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu (Anonim, 2000) Penentuan kadar senyawa terlarut dilakukan dengan cara melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol atau air) untuk ditentukan jumlah solut yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetri. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya n-heksan, diklorometan, metanol. Tujuannya untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
1.
Kadar senyawa yang larut dalam air Sejumlah 1,0 g ekstrak dimasukkan ke dalam labu bersumbat dan ditambahkan 25,0 mL air-kloroform LP (2,5 mL kloroform dimasukkan dalam labu ukur 1000 mL dan ditambahkan air hingga tanda batas). Kemudian didiamkan selama 24 jam sambil dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama dan dibiarkan selama 18 jam lalu disaring. Sebanyak 5,0 mL filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara. Lalu residu dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar dalam persen senyawa yang larut air dihitung terhadap ekstrak awal (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).
Keterangan : A1 = Bobot cawan + Residu setelah pemanasan (g) A0 = Bobot cawan kosong (g) B = Bobot sampel awal (g) 2.
Kadar senyawa larut dalam etanol Sejumlah 1,0 g ekstrak dimasukkan ke dalam labu bersumbat dan ditambahkan 25,0 mL etanol (96%). Kemudian didiamkan selama 24 jam sambil dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama dan dibiarkan selama 18 jam. Lalu disaring dengan cepat untuk menghindarkan penguapan etanol. Sebanyak 5,0 mL filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara. Residu dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar dalam persen senyawa yang larut etanol (95%) dihitung terhadap ekstrak awal
Keterangan : A1 = Bobot cawan + Residu setelah pemanasan (g) A0 = Bobot cawan kosong (g) B = Bobot sampel awal (g)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
d. Identifikasi kandungan kimia ekstrak 1. Penapisan golongan kimia ekstrak a) Uji terpenoid dan steroid Ekstrak sebanyak 0,5 g dimasukkan dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 mL kloroform dan disaring. Filtrat ditambahkan beberapa tetes asam sulfat dan dikocok. Terbentuknya warna kuning emas mengindikasi positif terpenoid (tes salkowski). Sedangkan untuk steroid, setelah filtrat disaring dan ditambahkan asam sulfat maka akan terbentuk cincin berwarna coklat (Lieberman-burchard) (Tiwari, et al, 2011).
b) Uji flavonoid Ekstrak sebanyak 1 g ditambahkan serbuk Mg, lalu ditambahkan HCl pekat. Apabila terbentuk warna orange, merah, atau kuning, berarti positif flavonoid (Arifin, Anggraini, Handayani, & Rasyid, 2006)
c) Uji tanin Sejumlah 1 g ekstrak ditambahkan 10 mL air dididihkan selama 15 menit. Filtratnya disaring dan direaksikan dengan FeCl3 1 %. Tanin positif apabila terbentuk warna biru tua atau hitam kehijauan (Mutiatikum, Alegantina, & Astuti, 2010).
d) Uji saponin Sebanyak 0,5 gram serbuk dimasukkan dalam tabung pereaksi ditambahkan 10 mL air panas dan didinginkan. Kemudian dikocok dengan kuat selama 10 detik sehingga terbentuk buih yang mantap selama 10 menit setinggi 1 sampai 10 cm, dengan penambahan 1 tetes HCl 2 N buih tidak hilang (Mutiatikum, Alegantina, & Astuti, 2010).
e) uji alkaloid Sebanyak 5 gram serbuk ditambahkan 10 mL HCl 0,1 N lalu dimaserasi selama 2 jam dan disaring. Kemudian sebanyak 1 mL filtrat ditambahkan 5 tetes pereaksi dragendorf sehingga terjadi endapan coklat kemerahan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
Untuk memperjelas, sebanyak 1 mL filtrat ditambahkan 5 tetes pereaksi meyer terbentuk endapan putih (Mutiatikum, Alegantina, & Astuti, 2010). 2. Pola kromatogram Pada pengujian pola kromatogram ini menggunakan Kromatografi Lapis Tipis. Prosedurnya yaitu dengan cara melarutkan sebanyak 5 mg ekstrak dari ketiga sampel masing-masing dalam 1 mL metanol. Masing-masing larutan uji kemudian ditotolkan pada plat KLT yang berupa silika gel sebagai fase diam, lalu dielusi dengan fase gerak yang sesuai. Kemudian diamati pemisahan senyawa di bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 365 nm. Untuk menampakkan bercak pada plat KLT, disemprotkan H2SO4 pada plat KLT (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011). Pada pengujian pola kromatogram menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC), dilakukan dengan berbagai kombinasi fase gerak air, metanol, dan asetonitril.
3. Penentuan Kadar Flavonoid Total a. Pembuatan Standar Sebanyak 10 mg Quersetin dilarutkan dalam etanol 80 % dan dilarutkan menjadi 5, 10, 15, dan 20 μg/mL. Larutan standar 0,5 mL pada masing-masing konsentrasi dicampurkan dengan 1,5 mL etanol 95% lalu ditambahkan 0,1 mL AlCl3 10%, 0,1 mL CH3COOK 1 M dan 2,8 mL aquadest. Larutan diinkubasikan dalam suhu kamar selama 30 menit lalu dibaca absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 415 nm dan digunakan larutan tanpa Quersetin sebagai blanko. b. Pengukuran Sampel Sebanyak 0,1 gram ekstrak dilarutkan dalam 1 mL aquadest lalu 0,5 mL larutan sampel diambil dan dicampurkan dengan 1,5 mL alkohol 95% dan ditambahkan 0,1 mL AlCl3 10%, 0,1 mL CH3COOK 1 M, dan 2,8 mL aquadest lalu diinkubasikan dalam suhu kamar selama 30 menit. Absorbansi dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 415 nm dan aquadest tanpa ekstrak digunakan sebagai blanko standar. Data
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
diekspresikan dalam milligram Quersetin Equivalent (QE/100 gram). Pengujian ini dilakukan sebanyak 3 kali.
3.3.6.2 Parameter Non Spesifik a. Parameter Susut Pengeringan Ekstrak ditimbang sebanyak 1-2 g dan dimasukkan dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105oC selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dalam botol timbang, dengan menggoyangkan botol hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang 5-10 mm. Kemudian dimasukkan dalam ruang pengering dengan tutup botol dibuka. Dikeringkan pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Lalu botol dalam keadaan tertutup dibiarkan mendingin dalam desikator hingga suhu kamar (Anonim, 2000). Kemudian bobot yang diperoleh dicatat.
Ket : A = Bobot sampel sebelum dipanaskan (g) B = Bobot sampel setelah dipanaskan (g)
b. Parameter Bobot Jenis Pada penetapan bobot jenis ini digunakan ekstrak dengan pengenceran 5 %. Penetapan bobot jenis menggunakan piknometer yang bersih dan kering serta telah dikalibrasi dengan menetapkan bobot piknometer dan bobot air yang baru dididihkan pada suhu 25oC. Suhu ekstrak cair diatur hingga lebih kurang 20oC, lalu dimasukkan dalam piknometer. Suhu piknometer yang telah diisi diatur hingga 25oC, kelebihan ekstrak cair dibuang dan piknometer ditimbang. Bobot piknometer kosong dikurangkan dengan bobot piknometer yang telah diisi. Bobot jenis ekstrak cair adalah hasil yang diperoleh dengan membagi bobot ekstrak dengan bobot air, dalam piknometer pada suhu 25oC (Anonim, 2000). Bobot Jenis
x BJ Air
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
Ket : W0 = bobot piknometer kosong (g) W1 = bobot piknometer + air (g) W2 = bobot piknometer + ekstrak (g) BJ Air = bobot jenis air (1)
c. Parameter Kadar Air Sebanyak 10 g ekstrak dimasukkan dalam wadah yang telah ditara. Kemudian dikeringkan pada suhu 105oC selama 5 jam lalu ditimbang. Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25 % (Anonim, 2000).
Ket : A = Bobot sampel sebelum dipanaskan (g) B = Bobot sampel setelah dipanaskan (g)
d. Parameter Kadar Abu Lebih kurang 2-3 gr ekstrak digerus dan ditimbang dengan seksama, lalu dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, kemudian diratakan. Dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, lalu didinginkan dan ditimbang. Jika cara ini arang tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas dan disaring melalui kertas saring bebas abu. Sisa kertas dan kertas saring dipijarkan dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan dalam krus, lalu diuapkan dan dipijarkan hingga bobot tetap. Kemudian ditimbang dan dihitung kadar abu terhadap berat sampel awal.
Ket : A1 = Bobot krus + ekstrak setelah pemijaran (g) A0 = Bobot krus kosong (g) B = Bobot sampel awal (g)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
Untuk pengukuran kadar abu tidak larut asam, abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu dididihkan dengan 25 ml asam sulfat encer P selama 5 menit, dikumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam disaring dengan kertas saring bebas abu yang sebelumnya telah ditimbang. Lalu dicuci dengan air panas dan dipijarkan hingga bobot tetap, kemudian ditimbang. Kemudian dihitung kadar abu tidak larut asam terhadap berat sampel awal.
Ket : A1 = Bobot krus + ekstrak setelah pemijaran (g) A0 = Bobot krus kosong (g) B = Bobot sampel awal (g) C = Bobot kertas saring bebas abu (g) 0,0076 = Bobot kertas saring bebas abu bila menjadi abu
e. Penetapan Sisa Pelarut Penetapan sisa pelarut pada ekstrak menggunakan GCMS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry). Larutan baku yang digunakan yaitu etanol mutlak. Larutan uji dibuat dengan menimbang ekstrak daun salam sebanyak 10 mg lalu ditambahkan metanol hingga tanda batas pada labu ukur 100 mL. Larutan uji sebanyak 0,5 mL disuntikkan ke dalam kromatograf, lalu diamati perbandingan respon puncak antara larutan baku dan larutan uji dalam rekam kromatogram (Anonim, 2000).
f. Parameter Uji Cemaran Logam Berat 1. Pembuatan Kurva Kalibrasi Pembuatan kurva baku diantaranya Pb, Cd, dan As. Larutan induk timbal (Pb) 1000 ppm, dibuat stok larutan standar 10 ppm dengan cara mengambil sebanyak 1 mL larutan induk 1000 ppm kemudian ditambahkan aquabidest hingga 100 mL. Kemudian dibuat larutan seri kadar Pb 0,05; 0,10; 0,50; 1,00; 1,50; 2,00; 2,50 ppm. Lalu diukur absorbansinya dari larutan standar diperoleh persamaan kurva baku y = a + bx dengan r mendekati 1.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
Larutan induk Cd 1000 ppm dibuat stok larutan standar 1000 ppb dengan cara mengambil sebanyak 0,1 mL larutan induk 1000 ppm kemudian ditambahkan aquabidest hingga 100 mL. Kemudian dibuat seri kadar Cd 0,0005; 0,001; 0,005; 0,01; 0,05; 0,1 ppm. Lalu diukur absorbansinya dari larutan standar diperoleh persamaan kurva baku y = a + bx dengan r mendekati 1. Untuk kurva baku As dibuat dengan konsentrasi 0,5; 1,0; 5; 10; 50 ppb. Lalu diukur absorbansinya dari larutan standar diperoleh persamaan kurva baku y = a + bx dengan r mendekati 1.
2. Penetapan Kadar Logam Berat pada Ekstrak Penetapan kadar logam berat (As, Pd, dan Cd) dilakukan dengan cara digesti basah dengan menggunakan metode AAS. Sebanyak 1 gr ekstrak ditimbang dan
ditambahkan 10 ml HNO3 pekat, setelah itu dipanaskan
dengan Heating mantel hingga kental atau kering. Setelah didinginkan, ekstrak ditambahkan aquabidest 10 ml dan asam perkolat 5 ml. Kemudian panaskan hingga kental dan disaring ke labu ukur 50 ml. Setelah itu ditambahkan aquabidest hingga 50 ml. Lalu sampel diukur dengan AAS, khusus arsen dengan tambahan alat HVG (Hydride Vapor Generator). (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
HASIL PENELITIAN
4.1.1 Hasil Determinasi Sampel Determinasi tanaman dilakukan di Herbarium Borgoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi menunjukkan bahwa sampel yang digunakan merupakan spesies Syzygium polyanthum (Wight) Walp.
4.1.2
Pengamatan Makroskopik Daun Salam Pengamatan makroskopik dilakukan dengan cara mengamati secara
langsung kondisi fisik sampel daun salam yang digunakan. Dari hasil pengamatan didapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 4.1 Pengamatan makroskopik daun Salam
No 1
Pengujian Tangerang Selatan
Sukoharjo
OKU Timur
Bentuk
Helaian daun
Helaian daun
Helaian daun
daun
berbentuk lonjong
berbentuk lonjong
berbentuk lonjong
sampai bulat telur,
sampai bulat telur,
sampai bulat telur,
pangkal dan ujung
pangkal dan ujung
pangkal dan ujung
meruncing, tepi
meruncing, tepi
meruncing, tepi
rata, pertulangan
rata, pertulangan
rata, pertulangan
menyirip, dan
menyirip, dan
menyirip, dan
permukaan atas
permukaan atas
permukaan atas
licin.
licin.
licin.
2
Bau
Aromatik lemah.
Aromatik lemah.
Aromatik lemah.
3
Rasa
Rasa khelat.
Rasa khelat.
Rasa khelat.
4
Warna
Daun segar
Daun segar
Daun segar
daun
permukaan atas
permukaan atas
permukaan atas
berwarna hijau tua
berwarna hijau tua
berwarna hijau tua
dan permukaan
dan permukaan
dan permukaan
bawah berwarna
bawah berwarna
bawah berwarna
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
4.1.3
hijau muda.
hijau muda.
hijau muda.
Daun yang sudah
Daun yang sudah
Daun yang sudah
kering berwarna
kering berwarna
kering berwarna
kecoklatan.
kecoklatan.
kecoklatan.
Hasil Ekstraksi Daun Salam Dari hasil maserasi simplisia daun salam dengan menggunakan pelarut
etanol 70% didapatkan hasil rendemen dari masing-masing sampel sebagai berikut : Tabel 4.2 hasil rendemen daun salam No
Asal Tanaman
Berat simplisia
Berat ekstrak
Rendemen
yang diekstrak (g)
yang didapat (g)
(%)
1
Tangerang Selatan
3158,8
192,2
6,08
2
Sukoharjo
1893,3
156,1
8,24
3
OKU Timur
1613,6
249,8
15,48
Dilihat dari tabel di atas, ekstrak etanol 70 % daun salam yang berasal dari OKU Timur mempunyai hasil rendemen paling besar yaitu sebesar 15,48 % sedangkan ekstrak etanol 70 % daun salam yang berasal dari Sukoharjo sebesar 8,24 % dan dari Tangerang Selatan sebesar 6,08 %.
4.1.4
Parameter Spesifik Adapun hasil-hasil pengujian parameter spesifik adalah sebagai berikut :
4.1.4.1 Identitas Ekstrak Tabel 4.3 Identitas ekstrak No
Identitas ekstrak
Tangerang
Sukoharjo
OKU Timur
Ekstrak daun
Ekstrak
Ekstrak daun
salam
daun salam
salam
Nama latin
Syzygium
Syzygium
Syzygium
tumbuhan
polyanthum
polyanthum
polyanthum
Selatan 1
2
Nama ekstrak
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
3
Bagian tumbuhan
Wight
Wight
Wight
Daun
Daun
Daun
Daun salam
Daun salam
Daun salam
yang digunakan 4
Nama Indonesia tumbuhan
4.1.4.2 Organoleptik Ekstrak Tabel 4.4 Organoleptik Ekstrak No
Organoleptik
Tangerang
ekstrak
Selatan
Sukoharjo
OKU Timur
1
Bentuk
Ekstrak kering
Ekstrak kering
Ekstrak kering
2
Warna
Hitam
Hitam
Hitam
kecoklatan
kecoklatan
kecoklatan
Aromatik lemah
Aromatik lemah
Aromatik
3
Bau
lemah 4
Rasa
Pahit
Pahit
Pahit
4.1.4.3 Penetuan Kadar Senyawa Terlarut Dalam Pelarut Tertentu Tabel 4.5 Kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu No
Asal Ekstrak
Kadar senyawa
Kadar senyawa
larut air
larut etanol
1
Tangerang Selatan
45,039 ± 0,44
52,050 % ± 0,93
2
Sukoharjo
49,011 ± 0,58
58,091 % ± 0,67
3
OKU Timur
31,167 ± 0,76
38,545 % ± 0,58
Rentang Nilai
31,167 ± 0,76 49,011 ± 0,58
38,545% ± 0,5858,091% ± 0,67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
4.1.4.4 Identifikasi Kandungan Kimia Ekstrak Tabel 4.6 Identifikasi kandungan kimia ekstrak Senyawa
Ekstrak daun salam Tangerang Selatan
Sukoharjo
OKU timur
Flavonoid
+
+
+
Alkaloid
+
+
+
Tanin
+
+
+
Saponin
+
+
+
Steroid
-
-
-
Triterpenoid
+
+
+
4.1.4.5 Pola Kromatogram Gambar 8. Hasil uji Kromatografi Lapis Tipis UV 254 nm
T
S
UV 365 nm
O
T
S
Setelah disemprot H2SO4
T
O
S
O
Keterangan : T=Tangerang Selatan, S=Sukoharjo, O=OKU Timur. Menggunakan pelarut n-heksan:etil asetat dengan perbandingan 4:6.
Tabel 4.7 Nilai Rf Rf Rf1 Rf2 Rf3 Rf4 Rf5 Rf6 Rf7
Tangerang Selatan 0,08 0,273 0,573 0,747 0,8 0,853 0,933
Sukoharjo 0,08 0,227 0,573 0,72 0,8 0,853 0,933
OKU Timur 0,08 0,267 0,72 0,8 0,853 0,933
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
Gambar 9. Hasil uji HPLC Ekstrak daun Salam Tangerang Selatan
Ekstrak daun Salam Sukoharjo
Ekstrak Daun Salam OKU Timur
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
Tabel 4.8 Data Kromatogram HPLC Daerah Asal Ekstrak
Waktu Retensi (menit)
Luas Area (%)
Tinggi Puncak (%)
Tangerang Selatan
2,25 12,37 13,30 14,03 16,78 20,84 40,00
3,63 21,11 14,46 34,66 13,38 3,04 3,25
2,98 18,49 21,68 31,32 10,37 5,48 3,02
Sukoharjo
12,57 13,19 15,41 16,71 18,95 21,89 39,64
15,29 11,28 30,41 7,62 7,58 2,94 20,54
12,64 11,44 28,97 8,58 7,47 4,40 21,67
OKU Timur
13,59 16,81 24,16 43,35
11,83 5,46 8,50 74,14
12,89 7,09 14,86 64,55
4.1.4.6 Kadar Total Flavonoid Tabel 4.9 Kadar total flavonoid Sampel
Kadar Total Flavonoid (%)
Tangerang selatan Sukoharjo OKU Timur
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
4.1.5
Parameter Non Spesifik Tabel 4.10 Parameter non spesifik ekstrak etanol 70 % daun salam
Parameter
Tangerang Selatan
Sukoharjo
OKU Timur
Rentang Nilai
Syarat
Susut pengeringan
8,420 % ± 0,30
9,824 % ± 0,27
12,624% ± 1,58
8,420 %± 0,30 12,624%±1,58
-
Bobot jenis
1,004 % ± 0,0012
1,002 % ± 0,0005
1,005 % ± 0,0016
1,002 % ± 0,0005 -1,005 % ±0,0016
-
Kadar abu
14,438 % ± 0,41
9,615 % ±0,50
7,242 % ±0,54
7,242 %± 0,5414,438 ±0,41
-
Kadar abu tidak larut asam
1,314 % ± 0,02
0,667 % ±0,03
0,380 % ±0.03
0,380 %± 0,03 1,314%±0,02
-
Kadar air
Sisa pelarut (menggunakan GCMS)
7,298 % ±0,18
7,087 % ±0,13
4,999 % ±0.24
4,999 % ±0.24 7,298 % ±0,18
<10 %
-
-
-
-
-
Cemaran logam Pb
60,18 µg/gram
Tidak terdeteksi
95,43 µg/gram
Tidak terdeteksi 95,43 µg/gram
10 mg/kg
Cemaran logam Cd
8,62 µg/gram
4,42 µg/gram
4,61 µg/gram
4,42 µg/gram 8,62 µg/gram
0,3 mg/kg
Cemaran logam As
<0,005 µg/g
<0,005 µg/g <0,005 µg/g
<0,005 µg/g
5 µg/kg
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
Gambar 10. Hasil Uji GCMS Etanol
Tangerang Selatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
Sukoharjo
OKU Timur
4.2
PEMBAHASAN Penelitian karakterisasi ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum
Wight) dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui beberapa parameter spesifik dan non spesifik dari daun salam. Penelitian ini juga mendukung penelitian di Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menguji aktivitas ekstrak etanol daun salam sebagai Antiviral Dengue. Pada penelitian ini, ada tiga sampel daun salam yang diambil dari tiga daerah berbeda di indonesia yaitu Tangerang Selatan, Sukoharjo dan OKU Timur.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
Dari hasil determinasi yang dilakukan di Herbarium Borgoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Bogor, Jawa Barat menunjukkan didapatkan hasil bahwa sampel yang digunakan merupakan spesies Syzygium polyanthum (Wight) Walp. Selanjutnya dilakukan pengamatan makroskopik yang bertujuan untuk mengetahui ciri-ciri fisik dari daun salam. Pengamatan ini dilakukan dengan cara mengamati secara langsung kondisi fisik dari daun salam (Syzygium polyanthum Wight) segar. Hasil pengamatan makroskopik daun salam dapat dilihat pada tabel 4.1. Sampel daun Salam yang telah didapatkan dari tiga daerah berbeda tersebut kemudian dilakukan preparasi simplisia. Tahap pertama dilakukan sortasi basah untuk memisahkan kotoran atau bahan-bahan asing lainnya pada daun. Kemudian dilakukan pencucian dengan air mengalir untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang masih menempel pada bahan yang sudah disortasi basah. Tahap selanjutnya adalah proses pengeringan dengan cara dikering anginkan. Sampel dari Tangerang Selatan dikeringkan selama 6 hari, sampel daun Salam Sukoharjo dikeringkan selama 7 hari, dan sampel daun Salam OKU Timur dikeringkan selama 6 hari. Sampel dinyatakan kering ketika sampel tersebut dapat di remas. Selanjutnya dilakukan sortasi kering. Kemudian simplisia yang sudah benar-benar kering dilakukan penggilingan untuk mendapatkan serbuk simplisia. Berat masing-masing simplisia dapat dilihat pada tabel 4.3. Selanjutnya serbuk simplisia daun Salam diekstraksi dengan metode maserasi dengan menggunakan pelarut etanol 70%. Penggunaan etanol sebagai pelarut adalah karena etanol mempunyai kemampuan penyari dengan polaritas yang lebar, mulai dari senyawa non polar sampai dengan polar (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011). Proses maserasi ini dilakukan sampai hasil maserat mendekati tidak berwarna dan dilakukan penyaringan setiap 24 jam. Maserat dikumpulkan lalu dikentalkan menggunakan rotary evaporator dengan suhu 50oC. Setelah didapatkan ekstrak kental, selanjutnya dapat dihitung rendemen dari masing-masing ekstrak. Tujuan dari penghitungan rendemen ini adalah untuk mengetahui persentase perolehan hasil ekstrak sehingga nantinya dapat diketahui jumlah simplisia yang dibutuhkan untuk membuat sejumlah ekstrak kental tertentu. Dilihat dari tabel 4.3, perolehan rendemen dari ekstrak daun Salam OKU
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
Timur paling besar yaitu 15,48 %, sedangkan dari Sukoharjo 8,24 %, dan dari Tangerang Selatan 6,08 %. Adanya variasi persentase rendemen ini kemungkinan disebabkan karena musim, umur tanaman, dan perbedaan lokasi tumbuh dari masing-masing sampel. Ekstrak yang didapatkan dari masing-masing simplisia kemudian dilakukan pengujian parameter spesifik dan parameter non spesifik. Parameter spesifik meliputi identitas, organoleptik, senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, identifikasi kandungan kimia ekstrak, dan profil kromatogram. Sedangkan untuk parameter non spesifik meliputi susut pengeringan, bobot jenis, kadar air, kadar abu, penetapan sisa pelarut, dan cemaran logam. Parameter spesifik untuk identitas ekstrak yaitu ekstrak daun Salam dengan nama latin Syzygium polyanthum Wight. Bagian tumbuhan yang digunakan yaitu daunnya. Untuk organoleptiknya berupa ekstrak kering dengan warna hitam kecoklatan, berbau aromatik lemah, rasa pahit. Tujuannya untuk pengenalan awal yang sederhana terhadap sampel dengan menggunakan panca indra dengan cara seobyektif mungkin (Anonim, 2000) Penentuan kadar senyawa terlarut menggunakan pelarut air dan juga pelarut etanol. Hasil dari penentuan kadar senyawa terlarut air yaitu Tangerang Selatan (45,039 % ± 0,44), Sukoharjo (49,011 % ± 0,58), dan OKU Timur (31,167 % ± 0,76). Untuk hasil senyawa terlarut etanol yaitu Tangerang Selatan (52,050 % ± 0,93), Sukoharjo (58,091 % ± 0,67), dan OKU Timur (38,545 % ± 0,58). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga ekstrak etanol daun Salam lebih larut dalam etanol. Penetapan kadar senyawa terlarut ini tidak terkait efek farmakologis, namun menjadi perkiraan kasar senyawa-senyawa yang bersifat polar (larut air) dan senyawa yang bersifat semi-nonpolar (larut etanol) (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011). Parameter spesifik selanjutnya yaitu identifikasi golongan senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak etanol daun Salam. Identifikasi ini meliputi penentuan pola Kromatogram, penapisan fitokimia dan penentuan kadar senyawa tertentu. Pada penentuan pola kromatogram dilakukan dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Pada penentuan pola kromatogram menggunakan KLT dilakukan dengan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
58
menggunakan berbagai perbandingan fase gerak. Fase gerak yang digunakan yaitu n-heksan (nonpolar) dan etil asetat (semipolar). Perbandingan fase gerak antara nheksan dengan etil asetat yang digunakan yaitu heksan 100%, 7:3, 1:1, 3:7, 4:6 dan etil asetat 100 %. Dari perbandingan tersebut pola pemisahan senyawa yang baik ditunjukkan pada perbandingan 4:6. Bercak belum terlihat jelas setelah sampel ditotolkan pada plat KLT. Kemudian ketika di UV 245 nm, ada 3 bercak yang terlihat jelas pada masing-masing ekstrak. Pada UV 365 nm terlihat bercak yang berfluoresensi. Setelah di semprot dengan H2SO4, pada ekstrak daun Salam Tangerang Selatan terdapat 7 bercak yang terlihat jelas. Bercak tersebut mempunyai nilai Rf 0,08, 0,273, 0,573, 0,747, 0,8, 0,853, dan 0,933. Ekstrak daun Salam Sukoharjo mempunyai 7 bercak yang mempunyai nilai Rf 0,08, 0,227, 0,573, 0,72, 0,8, 0,853, dan 0,933. Sedangkan pada OKU Timur muncul 6 bercak yang mempunyai nilai Rf 0,08, 0,267, 0,72, 0,8, 0,853, dan 0,933. Bercak berwarna orange-kekuningan setelah di semprot H2SO4 pada Rf 0,747 untuk ekstrak dari Tangerang Selatan dan Rf 0,72 untuk ekstrak dari Sukoharjo dan OKU Timur. Bercak berwarna hijau muncul pada Rf 0,8 dan bercak berwarna merah muda pada Rf 0,853 untuk masing-masing ekstrak. Pada Rf 0,933 muncul bercak berwarna kuning pada masing-masing ekstrak. .
Untuk pola kromatogram menggunakan HPLC dengan perbandingan fase
gerak air : metanol (8:2). Pada ekstrak Tangerang Selatan terbentuk peak pada waktu retensi 2,25, 12,38, 13,30, 14,03, 16,78, 20,84, dan 40,00. sedangkan ekstrak Sukoharjo 12,57, 13,19, 15, 41, 16,71, 18,95, 21,89, dan 39,64. Untuk ekstrak OKU Timur muncul peak pada waktu retensi 13,59, 16,80, 24,16, dan 43,35. Dari profil HPLC yang terlihat, peak-peak yang muncul memiliki waktu retensi yang hampir sama. Namun, secara kuantitas peak yang muncul berbeda pada setiap daerah. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh dan penanganan pasca panen. Pola kromatogram juga didapatkan pada penentuan sisa pelarut dengan menggunakan GCMS. Dari data yang didapatkan, terdapat 3 senyawa yang sama pada masing-masing sampel yaitu asam asetat, asam heksanoat, dan gliserol. Asam asetat terdeteksi pada ekstrak asal Tangerang Selatan, Sukoharjo, dan OKU Timur dengan waktu retensi masing-masing yaitu 2,86 (nilai kesamaan 96%),
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
2,95 (nilai kesamaan 95%), dan 2,78 (nilai kesamaan 94%) . Asam heksanoat terdeteksi pada waktu retensi 5,65 (nilai kesamaan 80%) pada ekstrak asal Tangerang Selatan, 5,67 (nilai kesamaan 90%) pada ekstrak asal Sukoharjo, dan 5,67 (nilai kesamaan 90%) pasa ekstrak asal OKU Timur. Untuk gliserol muncul pada waktu retensi 6,70 (nilai kesamaan 91%) pada ekstrak asal Tangerang Selatan, 6,45 (nilai kesamaan 92%) pada ekstrak asal Sukoharjo, dan 6,45 (nilai kesamaan 91%) pada ekstrak asal OKU Timur. Pada identifikasi ini dilakukan penapisan fitokimia terhadap masingmasing ekstrak etanol daun Salam. Dari hasil penapisan fitokimia ini diketahui bahwa ekstrak etanol daun mengandung alkaloid, tanin, flavonoid, saponin, dan terpenoid. Pada uji alkaloid, masing-masing ekstrak diambil 5 g kemudian ditambahkan 10 mL HCl 0,1 N lalu dimaserasi selama 2 jam dan disaring. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan protein. Adanya protein yang mengendap pada penambahan pereaksi yang mengandung logam berat dapat memberikan reaksi positif palsu pada beberapa senyawa. Penambahan pereaksi dragendorf pada 1 mL masing-masing filtrat menghasilkan endapan coklat sehingga dapat disimpulkan bahwa masing-masing ekstrak mengandung alkaloid. Untuk memperjelas hasilnya, maka dilakukan penambahan pereaksi Meyer pada 1 mL masing-masing filtrat dan terbentuk endapan putih. Hal ini karena nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap. Pada pengujian tanin, masing-masing sebanyak 1 g dari ketiga ekstrak ditambahkan 10 mL air dan dididihkan selama 15 menit. Kemudian filtrat disaring dan direaksikan dengan FeCl 1 %. Hasil yang diperoleh adalah ketiga sampel membentuk warna biru tua kehitaman. Perubahan warna ini kemungkinan disebabkan FeCl bereaksi dengan salah satu gugus hidroksil yang ada pada senyawa tanin. Hasil reaksi itulah yang akhirnya menimbulkan warna. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga sampel positif mengandung tanin. Ketiga sampel mempunyai intensitas warna yang sama. Flavonoid merupakan senyawa yang larut dalam air dan senyawa aktifnya dapat diekstraksi dengan etanol 70 % (Harbone, 1987). Pada pengujian ini, ketiga
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
sampel masing-masing ditambahkan serbuk Mg lalu ditambahkan HCl pekat. Ketiga sampel menunjukkan adanya flavonoid dengan warna merah-orange. Warna merah yang dihasilkan ini akibat dari reduksi oleh asam klorida pekat dan magnesium (Sangi, Runtuwene, Simbala, & Makang, 2008). Intensitas warna yang ditunjukkan masing-masing ekstrak berbeda-beda. Ekstrak daun Salam Tangerang Selatan mempunyai intensitas yang paling tinggi dibanding ekstrak Sukoharjo dan ekstrak OKU Timur. Pada pengujian saponin, masing-masing ekstrak ditambahkan 10 mL air panas dan kemudian didinginkan. Kemudian dikocok selama 10 detik dan membentuk buih yang mantap selama 10 menit. Ketika ditambahkan HCl, buih tidak hilang. Pada ekstrak OKU Timur buih yang terbentuk setinggi 2,1 cm, ekstrak Tangerang Selatan setinggi 1,6 cm dan ekstrak Sukoharjo setinggi 1,2 cm. Saponin pada umumnya berada dalam bentuk glikosida sehingga cenderung bersifat polar (Harbone, 1987). Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang dapat menimbulkan busa jika dikocok dalam air. Hal tersebut terjadi karena saponin memiliki gugus polar dan gugus nonpolar yang membentuk misel. Pada struktur misel gugus polar akan menghadap ke luar dan gugus nonpolar menghadap ke dalam. Keadaan inilah yang tampak seperti busa (Sangi, Runtuwene, Simbala, & Makang, 2008). Pada pengujian terpenoid dan steroid, masing-masing ekstrak dilarutkan dalam kloroform dan kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh dari ketiga sampel kemudian dibagi menjadi 2. Filtrat pertama untuk masing-masing sampel ditambahkan asam sulfat dan dikocok. Ketiga sampel berubah warna menjadi kuning keemasan dengan intensitas yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga sampel mengandung terpenoid. Untuk filtrat yang kedua dari masingmasing sampel ditambahkan asam asetat anhidrat lalu dipanaskan dan kemudian didinginkan. Setelah dingin, ditambahkan asam sulfat melalui pinggir tabung. Hasil dari ketiga sampel tidak membentuk cincin yang berwarna coklat. Hal ini menunjukkan bahwa sampel tidak mengandung steroid. Pada penentuan kadar senyawa tertentu, dilakukan penentuan kadar flavonoid total. Alat yang digunakan yaitu spektrofotometer UV-Vis. Standar yang digunakan pada penetapan kadar flavonoid total ini adalah kuersetin. Kuersetin ini
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
digunakan karena sebagian besar tumbuhan yang mengandung flavonoid terdapat kuersetin. Pada pembuatan kurva kalibrasi, kuersetin dibuat dalam 5 seri konsentrasi yaitu 0 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, dan 20 ppm. Selanjutnya nantinya persamaan dari kurva kalibrasi yang didapat digunakan untuk menghitung kadar flavonoid total ekstrak daun Salam. Dari hasil penetapan kadar flavonoid total ini, ekstrak daun Salam Tangerang Selatan mempunyai kadar flavonoid total paling tinggi yaitu 19,810 %, sedangkan ekstrak Sukoharjo 13,284 % dan ekstrak OKU Timur 15,915 %. Kadar flavonoid total yang bervariasi ini kemungkinan disebabkan beberapa faktor diantaranya lokasi tempat tumbuh tanaman, umur tanaman, dan perlakuan cara panen tanaman. Selanjutnya uji yang dilakukan adalah penentuan parameter non spesifik. parameter non spesifik yang pertama yaitu susut pengeringan. Susut pengeringan bertujuan untuk memberikan batasan maksimal tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Metode yang digunakan pada susut pengeringan ini adalah metode gravimetri. Prinsipnya adalah mengeringkan ekstrak dalam oven pada suhu 1050C sampai berat konstan. Susut pengeringan ini sering diidentikkan dengan kadar air, namun bedanya jika kadar air hanya untuk mengetahui batasan maksimal air dalam ekstrak sedangkan susut pengeringan tidak hanya air, tetapi juga senyawa menguap lain yang hilang. Pada pengujian susut pengeringan ketiga ekstrak daun Salam didapatkan hasil yaitu ekstrak daun Salam Tangerang Selatan sebesar 8,420 % ±0,30, Sukoharjo sebesar 9,824 % ±0,22, dan OKU Timur sebesar 12,624 % ±1,58. Ini menunjukkan bahwa rentang senyawa yang hilang sebesar 8,420 % ± 0,30 - 12,624 % ±1,58. Penetapan kadar air dilakukan menggunakan metode gravimetri. Prinsipnya adalah menguapkan air yang ada pada ekstrak dengan cara memanaskan dalam oven dengan suhu 1050C selama 5 jam. Untuk hasil penentuan kadar air pada ketiga ekstrak yaitu ekstrak Tangerang Selatan sebesar 7,298 % ±0,18, ekstrak Sukoharjo sebesar 7,087 % ± 0,13, dan ekstrak OKU Timur sebesar 4,999 % ± 0.24. Jadi rentang yang didapat yaitu sebesar 4,999 % ± 0.24 - 7,298 % ± 0,18. Kadar air ini tidak berpengaruh langsung ke efek farmakologis, namun mempengaruhi keamanan dan kemurnian suatu bahan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
Penetapan sisa pelarut (etanol) dalam ekstrak bertujuan untuk mengetahui kadar pelarut yang masih tersisa dalam suatu ekstrak. Pada penetapan sisa pelarut kali ini menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS). Pembuatan larutan standar yaitu dengan melarutkan 10 µL etanol dalam 5 mL air. Selanjutnya diencerkan lagi sehingga konsentrasinya menjadi 4 x 10-4 %. Lalu diambil 1 mL untuk disuntikkan ke GCMS. Setelah didapatkan hasil kromatogram standar, kemudian dilanjutkan pada sampel dengan cara melarutkan masing-masing ekstrak sebanyak 0,5 mg ke dalam 3 mL aquadest. Setelah larut lalu sampel ekstrak disaring dan filtratnya diambil 1 mL untuk disuntikkan ke GCMS. Hasil dari ketiga sampel menunjukkan bahwa tidak ada peak yang menyatakan bahwa ada etanol dalam masing-masing sampel. Penetapan kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral yang terkandung dalam ekstrak. Prinsipnya dengan memanaskan ekstrak hingga senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap sampai hanya tinggal unsur mineral dan anorganik saja. Pengujian ini menggunakan alat yaitu tanur dengan cawan penguap untuk wadah ekstrak. Pada pengujian ekstrak daun salam untuk masing-masing daerah diperlukan waktu sampai 5 jam untuk mendapatkan abu yang sempurna. Hasil dari penetapan kadar abu menunjukkan bahwa ekstrak dari Tangerang Selatan memiliki kadar abu paling besar yaitu sebesar 14,438 % ± 0,41, sedangkan Sukoharjo sebesar 9,615 % ± 0,50, dan OKU Timur sebesar 7,242 % ± 0,54. Untuk hasil kadar abu tidak larut asam, ekstrak dari Tangerang Selatan memiliki kadar paling besar yaitu sebesar 1,314 % ± 0,02, sedangkan ekstrak Sukoharjo sebesar 0,667 % ± 0,03, dan ekstrak OKU Timur sebesar 0,380 % ± 0,03. Besarnya kadar abu total dalam ekstrak menunjukkan bahwa ekstrak yang diperoleh dari proses maserasi banyak mengandung mineral, sedangkan adanya kadar abu tidak larut asam menunjukkan bahwa adanya kotoran atau pasir yang terikut. Parameter bobot jenis ekstrak diukur dengan menggunakan piknometer. Piknometer yang digunakan harus dipastikan kering dan bersih karena nantinya akan berpengaruh pada bobot piknometer kosong jika ada pengotor pada piknometer. Sebelumnya piknometer dikalibrasi dulu dengan aquadest pada suhu 250C. Kemudian dilakukan pengenceran ekstrak 5 %, lalu dilakukan penetapan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
63
menggunakan piknometer. Hasil yang diperoleh dari penetapan bobot jenis ini yaitu ekstrak Tangerang Selatan sebesar 1,004 g/mL ± 0,0012, Sukoharjo sebesar 1,002 g/mL ± 0,0005, dan OKU Timur sebesar 1,005 g/mL ± 0,0016. Cemaran logam berat yang ditentukan yaitu logam Timbal (Pb), Cadmium (Cd), dan Arsen (As). Penentuan cemaran logam berat ini menggunakan alat AAS. Persyaratan yang telah ditetapkan dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume II yaitu kadar logam Pb < 10 mg/kg, kadar logam Cd < 0,3 mg/kg, dan kadar logam As < 5 µg/kg. Hasil dari pengukuran cemaran logam Pb didapatkan hasil bahwa ekstrak sukoharjo tidak terdeteksi adanya logam Pb. Sedangkan ekstrak tangerang selatan dan OKU Timur terdeteksi logam Pb yang melebihi batas yang telah ditetapkan. Hasil pengukurannya yaitu ekstrak Tangerang Selatan sebesar 60,81 µg/gram, ekstrak Sukoharjo tidak terdeteksi, dan ekstrak OKU Timur 95,43 µg/gram. Adanya logam Pb yang berlebih ini kemungkinan disebabkan karena daun salam yang diambil dari Tangerang Selatan dan OKU Timur pohonnya tumbuh di dekat jalan, sehingga daun Salam dari Tangerang Selatan dan OKU Timur terpapar oleh gas buang kendaraan. Sedangkan hasil cemaran logam Cd yaitu ekstrak Tangerang Selatan sebesar 8,62 µg/gram, ekstrak Sukoharjo sebesar 4,42 µg/gram, dan ekstrak OKU Timur sebesar 4,61 µg/gram. Untuk logam As didapatkan hasil bahwa ketiga sampel tidak terdeteksi adanya Arsen pada limit deteksi alat < 0,005 µg/kg. Logam-logam tersebut diketahui dapat terakumulasi di dalam tubuh suatu organisme dan tetap tinggal dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama sebagai racun (Kristanto, 2002). Menurut Lu (2006) akumulasi timbal dalam tubuh menimbulkan gejala keracunan pada setiap orang, antara lain sistem pernapasan, darah, dan sistem saraf. Menurut Darmono (2008) kadmium dalam tubuh terakumulasi pada hati dan ginjal terutama terikat sebagai metalotienin. Kemungkinan besar pengaruh toksisitas Cd disebabkan oleh interaksi antara Cd dan protein tersebut sehingga menimbulkan hambatan terhadap aktivitas kerja enzim dalam tubuh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Dari hasil pengujian parameter ekstrak daun Salam, dapat disimpulkan
bahwa : 1. Sampel daun Salam yang digunakan pada penelitian ini berasal dari tiga tempat tumbuh di Indonesia yaitu Tangerang Selatan, Sukoharjo dan OKU Timur. Organoleptik ekstrak yaitu ekstrak kering, berwarna hitam kecoklatan, berbau aromatik lemah, dan rasanya pahit. Kadar senyawa terlarut dalam air 31,167 % ± 0,76 – 49,011 % ± 0,58 dan kadar senyawa terlarut dalam etanol 38,545 % ± 0,58 – 58,091 % ± 0,68. Kandungan kimia ekstrak daun Salam ini yaitu flavonoid, alkaloid, tanin, saponin, dan triterpenoid. 2. Susut pengeringan yang diperoleh yaitu 8,420 % ± 0,30 – 12,624 % ± 1,58. Bobot jenis ekstrak sebesar 1,002 % ± 0,0005 – 1,005 % ± 0,0016. Kadar air sebesar 4,999 % ± 0,24 – 7,298 % ± 0,18. Kadar abu total sebesar 7.242 % ± 0,54 – 14,438 % ± 0,41, sedangkan kadar abu tidak larut asam sebesar 0,380 % ± 0,03 – 1,314 % ± 0,02. 3. Cemaran logam Pb untuk ekstrak daun Salam Tangerang Selatan sebesar 60,18 µg/g, ekstrak Sukoharjo tidak terdeteksi, dan ekstrak OKU Timur sebesar 95,43 µg/g. Cemaran logam Cd untuk ekstrak daun salam Tangerang Selatan sebesar 8,62 µg/g, ekstrak Sukoharjo 4,42 µg/g, dan ekstrak OKU Timur 4,61 µg/g. Logam Pb dan Cd pada ekstrak daun salam tersebut sangat tinggi, hanya pada ekstrak daun salam sukoharjo yang tidak terdeteksi logam Pb. Menurut persyaratan, batas logam Pb yaitu 10 mg/kg dan Cd 0,3 mg/kg. Cemaran logam As untuk ketiga sampel yaitu <0,005 µg/g, sehingga memenuhi persyaratan yang ditentukan yaitu sebesar 5 µg/kg.
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
5.2
SARAN Diperlukan penelitian lanjutan ekstrak etanol daun Salam sehingga
nantinya dapat dibuat formulasi sediaan yang sesuai untuk ekstrak etanol daun Salam.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
66
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, A. W. (2012). Uji Daya Antibakteri Ekstrak Daun Salam (Eugenia polyantha Wight) Dalam Pasta Gigi Terhadap Pertumbuhan Streptococcus mutans. Jember: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember. Anonim. (1995). Farmakope Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Anonim. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Ansel, H. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Terjemahan Farida Ibrahim. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Arifin, H., Nelvi, A., Handayani, D., & Rasyid, R. (2006). Standarisasi Ekstrak Etanol Daun Eugenia Cumini Merr. J. Sains Tek. Far. , hal. 88-93. Chang, C. C., Yang, M. H., Wen, H. M., & Chern, J. C. (2002). Estimation of Total Flavonoid Content in Propolis by Two Complementary Colorimetric Methods. Journal of Food and Drug Analysis , Vol. 10, No. 3, Hal. 178-182. Dalimartha, S. (2000). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia (Ed. II ed.). Jakarta: Trubus Agriwidya. Day, R. A., & Underwood, A. L. (1999). Analisis Kimia Kuantitatif (Penerjemah Aloysius Hadyana Pudjaatmaka, Ph. D). Jakarta: Erlangga. Dharmayanti, S. E. (2000). Efektifitas Pemberian Propolis Lebah Dan Royal Jelly Pada Abses Yang Disebabkan Saphylococcus aureus. Pusat Penelitian Bogor: LIPI. Enda, W. G. (2009). Uji Efek Antidiare Ekstrak Etanol Kulit Batang Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) Terhadap Mencit Jantan. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Fessenden, R. J., & Fessenden, J. S. (1992). Kimia Organik. Jakarta: Erlangga. Fitri, A. (2007). Pengaruh Penambah Daun Salam (Eugenia polyantha Wight) Terhadap Kualitas Mikrobiologis, Kualitas Organoleptis dan Daya Simpan Telur Asin pada Suhu Kamar. Surakarta: Jurusan Mikrobiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret. Gandjar, I. G., & Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ganiswara, T. (1995). Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
Gocan, S. (2002). Stationary Phases for Thin Layer Chromatography. Journal of Chromatographic Science , Vol. 40. Har, L. W., & Ismail, I. S. (2012). Antioxidant Activity, Total Phenolic and Total Flavonoids of Syzygium polyanthum (Wight) Walp Leaves. Int. J. Med. Arom. Plants , Vol. 2, No. 2, Hal. 219-228. Harbone, J. (1987). Metode Fitokimia : Penentuan Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. (K. Padmawinata, & I. Soediro, Penerj.) Bandung: ITB. Hariyati, S. (2005). Standardisasi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Salah Satu Tahapan Penting dalam Pengembangan Obat Asli Indonesia. Info POM Badan Pengawas Obat dan Makanan , Vol. 6 No. 4, hal 1-5. Hermansyah. (2008). Isolasi dan karakterisasi Flavonoid Dari Daun Salam (Polyanthi folium). Padang: Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas. Krisyanella, Dachriyanus, & Marlina. (n.d.). Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak serta Isolasi Senyawa Aktif Antibakteri dari Daun Karamunting (Rhodomyrtus tomentosa (W.Ait) Hassk). Pasca Sarjana Prodi Farmasi Universitas Andalas . Malik, A., & Ahmad, A. R. (2013). Antidiarrheal Acvity of Etanolic Extract of Bay Leaves (Syzygium polyanthum [Wight.] Walp). International Research Journal of Pharmacy, 106-108. Muhtadi, Suhendi, A., W., N., & Sutrisna, E. (2012). Potensi Daun Salam (Syzygium polyanthum Walp.) dan Biji Jinten Hitam (Nigella sativa Linn) Sebagai Kandidat Obat Herbal Terstandar Asam Urat. Pharmacon , Vol. 13, No. 1, Hal. 30-36. Mutiatikum, D., Alegantina, S., & Astuti, Y. (2010). Standardisasi Simplisia dari Buah Miana (Plectranthus seutellaroides (L) R.Bth) Yang Berasal dari 3 Tempat Tumbuh Menado, Kupang dan papua. Puslitbang Biomedis dan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan , Vol. 38, No. 1, hal. 1-16. Noveriza, r., & Miftakhurohmah. (2010, Maret). Ekstrak Metanol Daun Salam (Eugenia polyantha) dan Daun Jeruk Purut (Cytrus histrix) sebagai Antijamur pada Pertumbuhan Fusarium oxysporum. JURNAL LITTRI VOL 16 NO. 1 , 6-11. Pelezar W, C. E. (1988). Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Jakarta: UI Press. Rambe, k. n., Pasaribu, a., & Nst, r. b. (2012). Uji Antibakteri Ekstrak Metanol Daun Salam (Sygyzium pholyanthum). Jurnal Saintia Kimia , 1, Vol.1, No. 1. Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung : ITB.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
Sabir, A. (2003). Pemanfaatan Flavonoid di Bidang Kedokteran Gigi. Surabaya: Airlangga University Press. Saifudin, A., Rahayu, V., & Teruna, H. Y. (2011). Standardisasi Bahan Obat Alam. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sangi, m., Runtuwene, m. R., Simbala, h. E., & Makang, v. M. (2008). Analisis Fitokimia Tumbuhan Obat di Kabupaten Minahasa Utara. Chem. Prog. Vol. 1, No. 1 , 47-53. Sarker, D. S., Latif, Z., & Gray, I. A. (2006). Natural Product Isolation (Second Edition ed.). Totowa, New Jersey: Humana Press. Sastrohamidjojo, H. (1985). Kromatografi (Vol. edisi pertama). Yogyakarta: Liberty. Soebowo. (1993). Imunologi Klinik. Bandung: Angkasa. Studiawan, H., & Santosa, M. H. (2005). Uji Aktivitas Penurun Kadar Glukosa Darah Ekstrak Daun Eugenia polyantha pada Mencit yang diinduksi Aloksan. Media Kedokteran Hewan , Vol. 21, No. 2, Hal. 62-65. Sumarno. (2001). Kromatografi Teori Dasar. Yogyakarta: Bagian Kimia Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Tjitrosoepomo, G. (1988). Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Townshend, A. (1995). Encyclopedia of Analytical Science, Vol. 2. London: Academic Press Inc.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
69
LAMPIRAN 1 ALUR PENELITIAN Daun salam (Syzygium polyanthum Wight) segar Determinasi sampel di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Puslit LIPI, Bogor
Uji makroskopik
Sortasi basah, pencucian, pengeringan, sortasi kering, dan penggilingan.
Ekstraksi (Maserasi dengan pelarut etanol 70% sampai mendekati tidak berwarna Penyaringan Ampas Filtrat
Penguapan dengan Rotary evaporator
Ekstrak kental etanol
Rendemen
Uji parameter spesifik :
Uji parameter non spesifik :
1. Identitas 2. Organoleptik 3. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu 4. Identifikasi kandungan kimia ekstrak 5. Pola kromatogram
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Analisis data
Susut pengeringan Bobot jenis Kadar air Kadar abu Kadar abu tidak larut asam Penetapan sisa pelarut Cemaran logam berat
Analisis data
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
LAMPIRAN 2 HASIL DETERMINASI
Daun Salam Tangerang Selatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
71
Daun Salam Sukharjo dan OKU Timur
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
72
LAMPIRAN 3 RENDEMEN EKSTRAK
Tangerang Selatan % Rendemen ekstrak = =
x 100 % x 100 %
= 6,08 %
Sukoharjo % Rendemen ekstrak = =
x 100 % x 100 %
= 8,24 %
OKU Timur % Rendemen ekstrak = =
x 100 % x 100 %
= 15,48 %
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
73
LAMPIRAN 4 PERHITUNGAN KADAR SENYAWA TERLARUT AIR
Tabel L.1 Senyawa terlarut air No
Cawan
Cawan +
Bobot
Senyawa
Kosong/Ao
Ekstrak/A1
Ekstrak
Terlarut
(g)
(g)
Awal/B (g)
Air (%)
Rata-rata
Tangerang Selatan 1
34,0078
34,4662
1,0066
45,539
2
34,2198
34,6687
1,0014
44,827
3
49,3400
49,7897
1,0049
44,751
45,039%±0,44
Sukoharjo 1
43,3478
43,8453
1,0058
49,463
2
38,6458
39,1398
1,0039
49,208
3
37,7095
38,1965
1,0070
48,361
49,011%±0,58
OKU Timur 1
36,7663
37,0734
1,0028
30,624
2
34,8650
35,1878
1,0078
32,030
3
35,9413
36,2501
1,0011
30,846
31,167%±0,76
Tangerang Selatan 1. % Kadar senyawa terlarut air
x 100 % = 45,539%
2. % Kadar senyawa terlarut air
x 100 % = 44,827%
3. % Kadar senyawa terlarut air
x 100 % = 44,751%
Sukoharjo 1. % Kadar senyawa terlarut air
x 100 % = 49,463%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
74
2. % Kadar senyawa terlarut air
x 100 % = 49,208%
3. % Kadar senyawa terlarut air
x 100 % = 48,361%
OKU Timur 1. % Kadar senyawa terlarut air
x 100 % = 30,624%
2. % Kadar senyawa terlarut air
x 100 % = 32,030%
3. % Kadar senyawa terlarut air
x 100 % = 30,846%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
75
LAMPIRAN 5 PERHITUNGAN KADAR SENYAWA TERLARUT ETANOL
No
Cawan
Tabel L.2 Senyawa terlarut etanol Cawan + Bobot Senyawa
Kosong/Ao
Ekstrak/A1
Ekstrak
Terlarut
(g)
(g)
Awal/B (g)
Etanol
Rata-rata
Tangerang Selatan 1
48,7001
49,2283
1,0105
52,271 %
2
49,6599
50,1911
1,0051
52,850 %
3
36,1209
36,6458
1,0286
51,030 %
52,050 ± 0.93
Sukoharjo 1
34,3224
34,9295
1,0325
58,799 %
2
34,3238
34,9081
1,0168
57,464 %
3
35,9616
36,5453
1,0062
58,010 %
58,091 ± 0,67
OKU Timur 1
49,6601
50,0524
1,0008
39,199 %
2
48,5133
48,9000
1,0081
38,359 %
3
36,3799
36,7632
1,0066
38,079 %
38,545 ± 0,58
Tangerang Selatan 1. % Kadar senyawa terlarut etanol
x 100 % = 52,271 %
2. % Kadar senyawa terlarut etanol
x 100 % = 52,850 %
3. % Kadar senyawa terlarut etanol
x 100 % = 51,030 %
Sukoharjo 1. % Kadar senyawa terlarut etanol
x 100 % = 58,799 %
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
76
2. % Kadar senyawa terlarut etanol
x 100 % = 57,464 %
3. % Kadar senyawa terlarut etanol
x 100 % = 58,010 %
OKU Timur 1. % Kadar senyawa terlarut etanol
x 100 % = 39,199 %
2. % Kadar senyawa terlarut etanol
x 100 % = 38,359 %
3. % Kadar senyawa terlarut etanol
x 100 % = 38,079 %
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
77
LAMPIRAN 6 PERHITUNGAN SUSUT PENGERINGAN Tabel L.3 Susut pengeringan No
Cawan
Cawan +
Bobot
Bobot
Susut
Kosong (g)
Ekstrak
Ekstrak
Ekstrak
Pengeringan
Setelah
Awal/ A (g)
Akhir/ B
(%)
Pemanasan
(g)
(g) Tangerang Selatan
Rata-rata 8,420 ± 0,30
1
38,8403
39,7613
1,0033
0,9210
8,203 %
2
40,4771
41,3999
1,0114
0,9228
8,760 %
3
38,8241
39,7447
1,0039
0,9206
8,298%
Sukoharjo
Rata-rata 9,824 ± 0,27
1
40,9273
41,8314
1,0051
0,9041
10,049 %
2
37,3290
38,2358
1,0033
0,9068
9,618 %
3
39,3959
40,2999
1,0023
0,9040
9,807 %
OKU Timur
Rata-rata 12,624 ± 1,58
1
37,2729
38,1624
1,0075
0,8895
11,712 %
2
39,1503
40,0361
1,0108
0,8858
12,366 %
3
38,8797
39,7738
1,0067
0,8941
11,185 %
Tangerang Selatan 1. % Susut pengeringan
x 100 % = 8,203 %
2. % Susut pengeringan
x 100 % = 8,760 %
3. % Susut pengeringan
x 100 % = 8,298%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
78
Sukoharjo 1. % Susut pengeringan
x 100 % =10,049 %
2. % Susut pengeringan
x 100 % = 9,618 %
3. % Susut pengeringan
x 100 % = 9,807 %
OKU Timur 1. % Susut pengeringan
x 100 % = 11,712 %
2. % Susut pengeringan
x 100 % = 12,366 %
3. % Susut pengeringan
x 100 % = 11,185 %
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
79
LAMPIRAN 7 PERHITUNGAN BOBOT JENIS No
Pikno
Tabel L.4 Bobot jenis Pikno + Pikno + Bobot Jenis
kosong/ Ao
etanol +
(g)
ekstrak/A1 (g)
air/A2 (g)
Rata-rata
(g/mL)
Tangerang Selatan 1
17,6665
27,8688
27,8206
1,0047
1,004 ±
2
17,6662
27,8757
27,8209
1,0053
0.0012
3
17,6664
27,8505
27,8202
1,0029
Sukoharjo 1
17,6666
27,8520
27,8201
1,0031
1,002 ±
2
17,6662
27,8440
27,8198
1,0023
0.0005
3
17,6667
27,8430
27,8210
1,0022
OKU Timur 1
17,6664
27,8720
27,8204
1,0051
1,005 ±
2
17,6665
27,8944
27,8208
1.0072
0,0016
3
17,6663
27,8619
27,8209
1.0040
Bobot Jenis
BJ Air
Tangerang Selatan 1. Bobot Jenis
x 1 = 1,0047 g/mL
2. Bobot Jenis
x 1 = 1,0053 g/mL
3. Bobot Jenis
x 1 = 1,0029 g/mL
Sukoharjo 1. Bobot Jenis
x 1 = 1,0031 g/mL
2. Bobot Jenis
x 1 = 1,0023 g/mL
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
80
3. Bobot Jenis
x 1 = 1,0022 g/mL
OKU Timur 1. Bobot Jenis
x 1 = 1,0051 g/mL
2. Bobot Jenis
x 1 = 1.0072 g/mL
3. Bobot Jenis
x 1 = 1.0040 g/mL
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
81
LAMPIRAN 8 PERHITUNGAN KADAR ABU
No
Cawan
Tabel L.5 Kadar abu Cawan + Bobot
kosong/ Ao
Abu
Ekstrak
(g)
Ekstrak/A1
awal/B (g)
Kadar Abu
Rata-rata
(g) Tangerang Selatan 1
41,4335
41,7268
2,0014
14,438 ±
2
40,4767
40,7708
2,0020
0,41
3
38,8888
39,1690
2,0059
Sukoharjo 1
39,0654
39,2697
2,0050
2
39,0033
39,1926
2,0149
3
37,2718
37,4587
2,0178
9,615 ± 0,50
OKU Timur 1
49,2436
49,3769
2,0112
2
47,3640
47,5143
2,0093
3
56,9410
57,0940
2,0082
7,242 ± 0,54
Tangerang Selatan 1. % Kadar Abu
x 100 % = 14,655 %
2. % Kadar Abu
x 100 % = 14,690 %
3. % Kadar Abu
x 100 % = 13,969 %
Sukoharjo 1. % Kadar Abu
x 100 % = 10,189 %
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
82
2. % Kadar Abu
x 100 % = 3,395 %
3. % Kadar Abu
x 100 % = 9,262 %
OKU Timur 1. % Kadar Abu
x 100 % = 6,628 %
2. % Kadar Abu
x 100 % = 7,480 %
3. % Kadar Abu
x 100 % = 7,619 %
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
83
LAMPIRAN 9 PERHITUNGAN KADAR ABU TIDAK LARUT ASAM
No
Cawan kosong/ Ao (g)
Tangerang Selatan 1 38,8766 2 39,1899 3 37,2711 Sukoharjo 1 39,0654 2 39,0033 3 37,2718 OKU Timur 1 49,2436 2 47,3640 3 56,9410
Tabel L.6 Kadar abu tidak larut asam Cawan + Abu Bobot Bobot Ekstrak/A1 Ekstrak Kertas (g) awal/B (g) Saring/C(g)
38,9105 39,2244 37,3056
2,0014 2,0020 2,0059
39,0874 39,0243 37,2930
2,0050 2,0149 2,0178
49,2584 47,3801 56,9571
2,0112 2,0093 2,0082
Kadar Abu tidak larut asam
Rata-rata = 1,314 ± 0,0220 1,0549 1,0184 1,0757 Rata-rata = 0,667 ± 0,0348 1,0307 1,0656 1,0528 Rata-rata = 0,380 ± 0.0315 1,0337 1,0445 1,0900
Tangerang Selatan 1. % Kadar Abu Tidak Larut Asam
x
100 % = 1,293 % 2. % Kadar Abu Tidak Larut Asam
x
100 % = 1,337 % 3. % Kadar Abu Tidak Larut Asam
x
100 % = 1,312 %
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
84
Sukoharjo 1. % Kadar Abu Tidak Larut Asam
x
100 % = 0,706 % 2. % Kadar Abu Tidak Larut Asam
x
100 % = 0,640 % 3. % Kadar Abu Tidak Larut Asam
x
100 % = 0,654 % OKU Timur 1. % Kadar Abu Tidak Larut Asam
x
100 % = 0,345 % 2. % Kadar Abu Tidak Larut Asam
x
100 % = 0,460 % 3. % Kadar Abu Tidak Larut Asam
x
100 % = 0,389 %
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
85
LAMPIRAN 10 PERHITUNGAN KADAR AIR
Tabel L.7 Kadar air Cawan kosong (g)
Cawan + Ekstrak No setelah pemanasan (g) Tangerang Selatan 1 56,9435 61,5970 2 47,3644 52,0156 3 49,2387 53,8964 Sukoharjo 1 38,8795 43,5342 2 39,1887 43,8418
Berat Ekstrak awal (g)/A
Berat Ekstrak setelah pemanasan (g)/B
5,0091 5,0257 5,0270
4,6535 4,6512 4,6577
7,298 ±0,1807
5,0177 5,0022
4,6547 4,6531
7,087 ±0,1321
3 37,2734 OKU Timur 1 37,4560 2 39,0686 3 38,8267
41,9292
5,0089
4,6558
42,2266 43,8505 43,6132
5,0265 5,0432 5,0240
4,7706 4,7819 4,7865
Kadar Air
Rata-rata
4,999 ±0.2403
Tangeran Selatan 1. % Kadar Air
x 100 % = 7,099 %
2. % Kadar Air
x 100 % =7,451 %
3. % Kadar Air
x 100 % = 7,346 %
Sukoharjo 1. % Kadar Air
x 100 % = 7,234 %
2. % Kadar Air
x 100 % =6,978 %
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
86
3. % Kadar Air
x 100 % = 7,049 %
OKU Timur 1. % Kadar Air
x 100 % = 5,091 %
2. % Kadar Air
x 100 % = 5,181 %
3. % Kadar Air
x 100 % = 4,727 %
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
87
LAMPIRAN 11 PERHITUNGAN KADAR TOTAL FLAVONOID
Tabel L.8 Standar Kuersetin No 1 2 3 4 5
Konsentrasi (ppm) 0 5 10 15 20
Absorbansi 0,005 0,060 0,119 0,159 0,195
Kurva Kalibrasi Kuersetin 0,250
y = 0,00958x + 0,0118
Absorbansi
0,200
R2 = 0,9944 0,150 0,100 0,050 0,000 0
5
10
15
20
25
Konsentrasi
Tabel L.9 Kadar total flavonoid Sampel
Absorbansi
Absorbansi rata-rata
1
2
Tangerang selatan Sukoharjo
0,206
0,194
0,200
Kons. awal (µg/m L) 1000
Kons. akhir (µg/m L) 100
Faktor Pengenceran
0,133
0,143
0,138
1000
100
10
OKU Timur
0,158
0,168
0,163
1000
100
10
Kadar Total Flavonoid (%)
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
88
Tangerang selatan
Sukoharjo
OKU Timur
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
89
LAMPIRAN 12 HASIL UJI CEMARAN LOGAM BERAT
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
90
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
91
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
92
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
93
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
94
LAMPIRAN 13 PERHITUNGAN CEMARAN LOGAM BERAT
a. Pb Dari hasil pengukuran standar Timbal (Pb) didapatkan data sebagai berikut : Tabel L.10 standar logam Pb No
Konsentrasi
Absorbansi
1
0
-0,0039
2
5
0,0534
3
10
0,1047
Kurva Kalibrasi Pb 0,12
Absorbansi
0,1 0,08
y = 0,0109x – 0,0029 R2 = 0,9994
0,06 0,04 0,02 0 -0,02 0
2
4
6
8
10
12
Konsentrasi
Berdasarkan pengukuran pada masing-masing sampel, maka didapatkan hasil sebagai berikut : Tangerang Selatan y = 0,0109x - 0,0029 0,0109 = 0,0109x - 0,0029 x = 0,0109 + 0,0029 0,0109 x = 1,2699
Kadar Logam =
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
95
= = 60,18 µg/gram = 60,18 ppm Sukoharjo Tidak terdeteksi OKU Timur y = 0,0109x - 0,0029 0,0194 = 0,0109x - 0,0029 x= x = 2,0471
Kadar Logam = =
= 95,43 µg/gram = 95,43 ppm b. Cd Dari hasil pengukuran standar kadmium (Cd) didapatkan data sebagai berikut : Tabel L.11 standar logam Cd No
Konsentrasi
Absorbansi
1
0
-0,0009
2
5
0,8856
3
10
1,7638
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
96
Kurva Kalibrasi Cd 2
y = 0,1764x + 0,0004 Absorbansi
1,5
R2 = 0,9999
1 0,5 0 0
2
4
-0,5
6
8
10
12
Konsentrasi
Berdasarkan pengukuran pada masing-masing sampel, maka didapatkan hasil sebagai berikut : Tangerang Selatan y = 0,1764x + 0,0004 0,0325 = 0,1764x + 0,0004 x= x = 0,1819 Kadar Logam = = = 8,62 µg/gram = 8,62 ppm Sukoharjo y = 0,1764x + 0,0004 0,0173 = 0,1764x + 0,0004 x= x = 0,0958 Kadar Logam = =
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
97
= 4,42 µg/gram = 4,42 ppm OKU Timur y = 0,1764x + 0,0004 0,0178 = 0,1764x + 0,0004 x= x = 0,0989 Kadar Logam = =
= 4,61 µg/gram = 4,61 ppm c. As Dari hasil pengukuran standar Arsen (As) didapatkan data sebagai berikut : Tabel L.12 standar logam As No 1 2 3 4 5
Konsentrasi (ug/L) 0 5 10 15 20
0,3
Abs. 0,0024 0,0658 0,1212 0,1839 0,2413
Kurva Kalibrasi As y = 0,0119x + 0,0037 R² = 0,9996
0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0
5
10
15
20
25
Dari hasil pengukuran pada masing-masing sampel didapatkan hasil bahwa pada masing-masing sampel tidak tedeteksi adanya Arsen (As).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
98
LAMPIRAN 14 BAHAN DAN ALAT PENELITIAN
Gambar L.1 Maserator
Gambar L.2 tanur/Furnace
Gambar L.3 Spektrofotometri UV-Vis
Gambar L.4 Timbangan analitik
Gambar L.5 Desikator
Gambar L.6 Oven
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
99
Gambar L.7 HPLC
Gambar L.8 Simplisia Daun Salam
Gambar L.9 Rotary evaporator
Gambar L.10 Pilot plan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta