BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Uraian tentang daun salam (Syzygium polyanthum Wight Walp) a. Klasifikasi daun salam (Syzygium polyanthum Wight Walp) Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Sub Kelas
: Dialypetalae
Bunga
: Myrtales
Suku
: Myrtaceae
Marga
: Syzygium
Spesies
: Syzygium polyanthum Wight Walp
(Tjitrosoepomo, 1988) b. Deskripsi tanaman salam (Syzygium polyanthum Wight Walp) Tinggi pohon mencapai 25 m, batang bulat, permukaan licin, bertajuk rimbun dan berakar tunggang. Daun salam berupa warna kecoklatan, bau aromatik lemah, rasa kelat. Daun tunggal bertangkai pendek, panjang tangkai daun 5-10 mm. Helaian daun berbentuk jorong memanjang, panjang 7-15 cm; ujung daun dan pangkal daun meruncing, tepi rata; permukaan atas berwarna cokelat kehijauan, licin, mengkilat; permukaan bawah berwarna
6
7
coklat tua; tulang daun menyirip, dan menonjol pada permukaan bawah dan tulang cabang halus. Bunga majemuk tersusun dalam malai yang keluar dari ujung ranting, berwarna putih, baunya harum, Biji bulat, diameter sekitar 1 cm berwarna cokelat. Buahnya buah buni, bulat berdiameter 8-9 mm, buah muda berwarna hijau, setalah masak menjadi merah gelap, rasa agak sepat (Dalimartha, 2000).
Gambar I. Daun salam (Syzygium polyanthum) (Depkes RI, 2000)
c. Kandungan daun salam (Syzygium polyanthum Wight Walp) Kandungan kimia yang terdapat pada daun salam adalah terpenoid, triterpenoid dan steroid yang berguna sebagai antioksidan. Selain itu daun salam juga mengandung beberapa vitamin, di antaranya vitamin C, vitamin A, dan vitamin E (Agoes, 2010). 2.1.2 Senyawa antioksidan Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa
8
yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya, kerusakan sel akan dihambat (Winarsi, Henry, 2007). Antioksidan berperan dalam menetralkan radikal bebas dengan cara memberikan satu elektronnya kepada radikal bebas, sehingga menjadi non radikal. Mekanisme pemberian satu elektron oleh antioksidan ini dapat berlangsung sebagai berikut (Rohmatussolihat, 2009): Z• + AH = ZH + A• Keterangan: Z•= radikal bebas ; AH= Antioksidan; ZH = Non radikal; A• = radikal baru bersifat lebih stabil
Gambar 2. Mekanisme Antioksidan
Antioksidan dapat bersumber dari zat-zat sintesis atau zat alami hasil isolasi. Adanya antioksidan alami maupun sintesis dapat menghambat oksidasi lipid, mencegah kerusakan, perubahan degradasi komponen organik dalam makanan. Beberapa senyawa antioksidan sintesis yang umumnya digunakan adalah butylated hydroxytoluen (BHT), butylated hydroxyanisole (BHA), dan terbutylhydroxyquinone (TBHQ). Antioksidan alami dapat diperoleh dari makanan sehari-hari seperti sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan dan tanaman lainnya
9
yang mengandung antioksidan bervitamin (seperti vitamin A,C, dan E), asam-asam fenolat (seperti asam ferulat, asam klorogerat, asam elagat, dan asam kafeat) dan senyawa flavonoid seperti kuersetin, mirisetin, apigenin, luteolin, dan kaemferol (Rohdiana, 2001) 2.1.3 Metode ekstraksi Ekstraksi adalah suatu cara penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar (like dissolves likes). Pada ekstraksi diharapkan terjadinya kesetimbangan antara linarut dan pelarut. Kecepatan untuk mencapai kesetimbangan umumnya tergantung pada suhu, pH, ukuran partikel dan gerakan partikel. Secara umum ekstraksi dapat dilakukan dengan metode maserasi, perkolasi, refluks dan sokletasi. Masing-masing metode tersebut memiliki keuntungan dan kerugian yang dapat disesuaikan menurut kebutuhan ekstraksi yang akan dilakukan (Depkes RI, 2000). Beberapa macam metode ekstraksi, antara lain: a. Metode maserasi
Metode ini digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang seperti benzoin, stiraks dan lilin. Penggunaan metode ini misalnya pada sampel yang berupa daun, contohnya pada penggunaan pelarut eter atau aseton
10
untuk melarutkan lemak/lipid. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Selain itu, kerusakan pada komponen kimia sangat minimal. Adapun kerugian cara maserasi ini adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna (Ditjen POM, 1986). b. Metode sokletasi
Soxhletasi
merupakan
penyarian
simplisia
secara
berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon. Proses ini berlangsung hingga penyarian zat aktif sempurna yang ditandai dengan beningnya cairan penyari yang
melalui
pipa
sifon
atau
jika
diidentifikasi
dengan
kromatografi lapis tipis tidak memberikan noda lagi (Ditjen POM, 1986). c. Metode perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prinsip ekstraksi dengan perkolasi adalah serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori, cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan
11
penyari akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang dilalui sampel dalam keadaan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan tekanan penyari dari cairan di atasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan gerakan ke bawah (Ditjen POM, 1986). 2.1.4 Radikal bebas a. Pengertian radikal bebas Radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital
luarnya.
Adanya
elektron
yang
tidak
berpasangan
menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya (Soematmaji, 1998 cit Winarsi, 2007). Secara umum sumber radikal bebas dapat dibedakan menjadi dua, yaitu endogen dan eksogen. Radikal bebas endogen dapat terbentuk melalui autoksidasi, oksidasi enzimatik, fagositosis dalam respirasi, transfer elektron di mitokondria dan oksidasi ion-ion ologam transisi. Sedangkan radikal bebas eksogen berasal dari luar sistem tubuh, misalnya sinar UV. Di samping itu, radikal bebas eksogen dapat berasal dari aktifitas lingkungan. Aktifitas lingkungan yang dapat memunculkan radikal bebas antara lain radiasi, polusi, asap rokok, makanan, minuman, ozon dan pestisida. Radikal bebas yang beredar dalam tubuh berusaha untuk mencuri elektron yang ada pada molekul
12
lain seperti DNA dan sel. Pencurian ini jika berhasil akan merusak sel dan DNA tersebut. Dapat dibayangkan jika radikal bebas banyak beredar maka akan banyak pula sel yang rusak. Sayangnya, kerusakan yang ditimbulkan dapat menyebabkan sel tersebut menjadi tidak stabil yang
berpotensi
mempercepat
proses
penuaan
dan
kanker
(Rohmatussolihat, 2009). Terbentuknya senyawa radikal, baik radikal bebas endogen maupun eksogen terjadi melalui sederetan reaksi. Mula-mula terjadi pembentukan awal radikal bebas (inisiasi), lalu perambatan atau terbentuknya radikal baru (propagasi), dan tahap terakhir yaitu pemusnahan atau pengubahan senyawa radikal menjadi non radikal (terminasi) (Rohmatussolihat, 2009).
Gambar 3. Proses Terbentuknya Radikal
2.1.5 Nanoemulsi Nanoemulsi juga disebut sebagai ultrafine emulsions atau miniemulsions. Perbedaan antara mikroemulsi dan nanoemulsi selain terletak pada ukuran partikel atau tetesannya, juga terletak pada jenis stabilitasnya (Koroleva dan Yurtov, 2012; Mason dkk., 2006). Partikel berukuran nanometer memiliki ukuran berkisar antara 1-100 nm dan memiliki permukaan yang lebih luas dibandingkan dengan partikel
13
yang memiliki ukuran lebih dari 100 nm pada jumlah berat yang sama (Hosokawa dkk., 2007). Keunggulan partikel berukuran nano yakni kemudahan penetrasi melalui kapiler sehingga ketersediaan obat pada sel target lebih maksimal. Nanopartikel dapat mengurangi risiko efek samping akibat penggunaan obat yang mengiritasi saluran cerna, percepatan waktu disolusi obat, dan meningkatkan dispersi obat (Pinto Reis dkk., 2006). Karakterisasi tetesan nanoemulsi umumnya tidak berbeda dengan nanopartikel yakni dengan meninjau ukuran partikel dan sifat permukaan partikel. Diameter partikel diukur berdasarkan gerak Brown dan sifat penghamburan cahaya (Swarbrick dan Boylan, 2002). Penentuan ukuran dan distribusi partikel biasanya menggunakan spektrofotometer korelasi foton atau particle size analyzer, dan dilanjutkan dengan konfirmasi ukuran partikel menggunakan scanning atau transmission electron microscope (SEM atau TEM) (Mohanraj dan Chen, 2006). Karakterisasi permukaan nanopartikel umumnya menggunakan pengukuran potensial zeta. Nanopartikel dengan nilai potensial zeta dalam batas rentang ± 30 mV memiliki kestabilan yang baik dalam wujud suspensi dan mampu mencegah agregasi partikel (Singh dan Lillard, 2009). Faktor-faktor
yang
nanoemulsi antara lain:
harus
dipertimbangkan
selama
persiapan
14
a. Persyaratan utama dalam produksi nanoemulsi adalah tegangan antarmuka ultra rendah harus dicapai pada antarmuka air-minyak, sehingga surfaktan harus dipilih dengan hati-hati. b. Konsentrasi surfaktan harus cukup tinggi untuk menyediakan jumlah molekul surfaktan yang diperlukan untuk menstabilkan tetesan nano. c. Antarmuka harus fleksibel untuk mempromosikan pembentukan nanoemulsi (Haritha dkk., 2003). Daya tarik utama dari formulasi nanoemulsi minyak dalam air adalah kemampuan membawa obat yang hidrofobik dalam minyak sehingga dapat teremulsi di dalam air dan akhirnya meningkatkan kelarutan obat ketika berada dalam tubuh (Shafiq-un-Nabi dkk., 2007). Nanoemulsi mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut. a. Nanoemulsi memiliki luas permukaan dan energi bebas yang jauh lebih tinggi dari pada makroemulsi yang membuatnya menjadi sistem transportasi yang efektif. b. Karena nanoemulsi diformulasikan dengan surfaktan, yang disetujui untuk konsumsi manusia dan bisa diambil oleh rute enterik. c. Nanoemulsi tidak merusak sel-sel manusia dan hewan yang sehat sehingga cocok untuk tujuan terapeutik manusia dan hewan (Shah dkk., 2010).
15
2.1.6
Self-nanoemulsifying drug delivery systems (SNEDDS)
Self-nanoemulsifying drug delivery systems (SNEDDS) adalah prekonsentrat nanoemulsi atau bentuk anhidrat nanoemulsi berupa campuran isotropik obat, minyak, dan surfaktan yang ketika digabungkan dengan fase air pada kondisi agitasi perlahan akan membentuk nanoemulsi fase minyak dalam air (M/A) secara spontan. SNEDDS memiliki komponen utama berupa minyak sebagai pembawa obat, surfaktan sebagai pengemulsi minyak ke dalam air melalui pembentukan lapisan film antarmuka dan menjaga stabilitas, dan kosurfaktan untuk meningkatkan penggabungan obat atau memfasilitasi nanoemulsifikasi dalam SNEDDS. SNEDDS menawarkan keuntungan dibandingkan nanoemulsi yang siap digunakan antara lain: terjadi peningkatan profil stabilitas fisik dan atau kimia pada penyimpanan jangka panjang, memiliki kemungkinan diisi dalam bentuk dosis satuan seperti kapsul hidroksipropilmetilselulosa atau gelatin lunak maupun keras, meningkatkan kelangsungan hidup komersial dan kepatuhan pasien. Formulasi SNEEDS yang optimal dipengaruhi oleh sifat fisikokimia dan konsentrasi minyak, surfaktan, ko-surfaktan, rasio masing-masing komponen, pH dan suhu emulsifikasi terjadi, serta sifat fisikokimia obat (Date dkk., 2010). a. Minyak Minyak merupakan eksipien penting dalam formulasi SNEDDS karena dapat membawa obat lipofilik melalui sistem limfatik usus (Gupta dkk., 2010). Trigliserida rantai menengah merupakan salah
16
satu jenis minyak yang telah digunakan dalam berbagai formulasi farmasi meliputi sediaan oral, parenteral, dan topikal. Pada formulasi sediaan oral, trigliserida rantai menengah digunakan sebagai basis sediaan emulsi, mikroemulsi, selfemulsifying systems, larutan, atau suspensi obat yang tidak stabil atau tidak larut dalam media air. Trigliserida rantai menengah telah diteliti sebagai enhancer absorpsi usus, pengisi kapsul dan tablet berlapis gula, serta sebagai pelumas atau agen antiadhesi dalam tablet. Preparat mengandung trigliserida rantai menengah inkompatibel dengan wadah polystyrene atau komponen kemasan plastik karena cepat rapuh dan dapat menembus plastik. High-density polyethylene merupakan bahan kemasan yang cocok bagi preparat tersebut. Bahan kemasan yang direkomendasikan aman untuk trigliserida rantai menengah adalah low density polyethylene, polypropylene, kaca, dan logam (Rowe dkk., 2009). Penggunaan lebih dari satu komponen minyak contohnya campuran minyak nabati dan trigliserida rantai menengah dapat menjadi
alternatif
untuk
meningkatkan
drug
loading
dan
emulsification time (Date dkk., 2010). b. Surfaktan Surfaktan merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan SNEDDS. Surfaktan berfungsi untuk menurunkan tegangan antarmuka dan berpengaruh besar terhadap proses pembentukan
nanoemulsi,
serta
ukuran
tetesan
nanoemulsi.
Kemampuan SNEDDS terdispersi secara cepat dalam kondisi
17
pengadukan ringan ditentukan oleh kemampuan emulsifikasi surfaktan (Patel dkk., 2011b). Surfaktan yang berbeda diskrining untuk melihat kemampuan emulsifikasi fase minyak yang dipilih. Surfaktan dipilih berdasarkan transparansi dan kemudahan emulsifikasi (Patel dkk., 2011a). Emulsifikasi surfaktan dipengaruhi oleh HLB dan struktur surfaktan. Tween atau polysorbate (polyoxyethylene sorbitan fatty acid esters) merupakan surfaktan dengan struktur rantai alkil yang memiliki efek penetrasi minyak ke lapisan surfaktan sehingga memungkinkan terbentuknya nanoemulsi. Surfaktan dengan nilai HLB <10 bersifat hidrofobik (seperti monoester sorbitan) cenderung membentuk nanoemulsi A/M, sedangkan surfaktan dengan nilai HLB tinggi >10 bersifat hidrofilik (seperti polisorbat 80) cenderung membentuk nanoemulsi M/A. Dalam beberapa kasus, campuran surfaktan
lipofilik
dan
hidrofilik
mungkin
diperlukan
untuk
memperoleh nanoemulsi (Debnath dkk., 2011). Surfaktan yang sering digunakan dalam pembuatan SNEDDS yakni tween 80 dan tween 20 yang termasuk dalam jenis surfaktan nonionik. Tween 80 memiliki HLB sebesar 15 yang dikategorikan sebagai generally regarded as nontoxic and nonirritant (Rowe dkk., 2009). Tween 20 memiliki HLB sebesar sekitar 16,7 (Bouchemal dkk., 2004; Singh dkk., 2009). Tween 80 lebih baik dari tween 20 dalam membentuk partikel yang lebih kecil, yang meningkatkan kecepatan absorpsi in vivo dengan meningkatkan luas permukaan yang tersedia untuk disolusi obat tetapi
18
memiliki sedikit pengaruh terhadap bioavailabilitas oral karena luas microemulsificationnya lebih rendah (Lin dkk., 2011). c. Ko-surfaktan
Penggunaan ko-surfaktan pada SNEDDS bertujuan untuk meningkatkan drug loading, mempercepat self-emulsification, dan mengatur ukuran droplet nanoemulsi (Date dkk., 2010). Senyawa ampifilik ko-surfaktan memiliki afinitas terhadap air dan minyak. Secara umum, ko-surfaktan yang dipilih berupa alkohol rantai pendek
karena
mampu
mengurangi
tegangan
antarmuka,
meningkatkan fluiditas antarmuka, dan mampu meningkatkan pencampuran air dan minyak karena partisinya diantara dua fase tersebut (Azeem dkk., 2009). Ko-surfaktan yang umum digunakan dalam formulasi SNEDDS adalah PEG 400 dan propilen glikol, keduanya berupa cairan kental, tidak berwarna dan transparan. PEG 400 termasuk dalam kategori generally regarded as nontoxic and nonirritant material, sedangkan propilen glikol termasuk dalam kategori generally regarded as a relatively nontoxic material (Rowe dkk., 2009). Pelarut organik seperti etanol, gliserol, propilen glikol (PG), polietilen glikol (PEG) cocok untuk pemberian oral dan memungkinkan disolusi dalam jumlah besar, baik ko-surfaktan dengan surfaktan hidrofilik maupun dengan obat dalam basis lipid
19
dengan dan membuat lingkungan lebih hidrofobik dengan mengurangi konstanta dielektrik air (Debnath dkk., 2011). d. Fase minyak PKO (Palm Kernel Oil)
Minyak inti sawit merupakan hasil pengolahan biji inti sawit dengan cara ekstraksi terutama secara mekanis (mechanical extraction). Metode ekstraksi dilakukan dengan menggunakan mesin screw press (press ulir), hasil dari ekstraksi ini kemudian ditampung dalam bak penampungan yang kemudian dilanjutkan dengan proses penyaringan menggunakan oil filter. Setelah diperoleh minyak inti sawit kemudian dilakukan analisis mutu produk, hal ini bertujuan agar produk yang dihasilkan sesuai dengan standar yang ditentukan analisis mutu minyak inti sawit meliputi analisis kadar air (maks 0,5%), kadar kotoran (maks 0,05%), kadar FFA (maks 5,00%) dan bilangan peroksida (maks 2,2 meq) (Herlinda, 2003). PKO merupakan minyak inti buah tanaman kelapa sawit yang telah dipisahkan dari daging buah dan tempurungnya. PKO terdiri dari asam lemak, esterifikasi dengan gliserol sama seperti minyak biasa. PKO bersifat semi padat pada suhu ruang, lebih jenuh dari pada minyak kelapa sawit namun setara dengan minyak kelapa. 2.1.7 Metode DPPH DPPH merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk menilai aktivitas antioksidan beberapa
20
senyawa atau ekstrak bahan alam. Tujuan metode ini adalah mengetahui parameter konsentrasi yang ekuivalen memberikan 50% efek aktivitas antioksidan (IC50). Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi berpasangan maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang dan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm akan hilang (Gurav et al, 2007). Untuk penentuan nilai IC50 suatu sampel dilakukan optimasi metode berupa penentuan OT dan lambda maksimum serta validasi metode dengan parameter akurasi, presisi, linearitas, range, dan spesifisitas. Menurut Armala
(2009),
tingkat
kekuatan
antioksidan
senyawa
uji
menggunakan metode DPPH dapat digolongkan menurut nilai IC50. Tabel II. Tingkat kekuatan antioksidan dengan metode DPPH
Intensitas Sangat kuat Kuat Sedang Lemah
Nilai IC50 < 50 µg/Ml 50-100 µg/mL 101-150 µg/mL > 150 µg/mL
2.1.8 Spektrofotometri UV-Visible Spektrofotometri UV-Vis adalah alat yang digunakan untuk mengukur serapan yang dihasilkan dari interaksi kimia antara radiasi elektromagnetik dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia pada daerah UV-Vis (Anonim, 1995).
21
Jangkauan panjang gelombang yang tersedia untuk pengukuran membentang dari panjang gelombang pendek ultraviolet sampai ke garis inframerah. Daerah spektrum secara garis besarnya dibagi dalam: 1. Daerah ultraviolet jauh
: 100 nm – 190 nm
2. Daerah ultraviole dekat
: 190 nm – 380 nm
3. Daerah cahaya tampak
: 380 nm – 780 nm
4. Daerah inframerah dekat : 780 nm – 3000 nm 5. Daerah inframerah
: 2,5 µm – 40 µm atau 4000 cm
-1
–
250 -1 Spektrofotometer spektroskopik
yang
UV-Vis
adalah
memakai
sumber
anggota radiasi
teknik
analisis
elektromagnetik
ultraviolet (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai instrument spektrofotometer. Prinsip dari spektrofotometri UV-Vis adalah mengukur jumlah cahaya yang diabsorbsi atau ditransmisikan oleh molekul-molekul dalam larutan. Ketika panjang gelombang cahaya ditransmisikan melalui larutan, sebagian energi cahaya tersebut akan diserap (diabsorpsi). Besarnya kemampuan molekul-molekul zat terlarut untuk mengabsorpsi cahaya pada panjang gelombang tertentu dikenal dengan istilah absorbansi (A), yang setara dengan nilai konsentrasi larutan tersebut dan panjang berkas cahaya yang dilalui (biasanya 1 cm dalam spektrofotometri) ke suatu point dimana persentase jumlah cahaya yang ditransmisikan atau diukur dengan phototube (Anonim, 1995).
22
Tipe instrumentasi dari spektrofotometri UV-Vis (Harmita, 2006). 1. Single Beam Pada spektrofotometri UV-Vis tipe single beam absorbsi berdasarkan pada sinar tunggal dimana sampel akan ditentukan jumlahnya pada suatu panjang gelombang atau fix wave lenght. Hasil biasanya dibandingkan dengan blangko (biasanya pelarut).
Gambar 4. Skema spektrofotometri tipe single beam Keterangan gambar: 1. Dari celah mengeluarkan satu sinar monokromatis. 2. Wadah atau kuvet yang dapat dilalui sinar hanya satu. 3. Setiap perubahan panjang panjang gelombang, alat harus dinolkan.
2. Double Beam Pada spektrofotometri UV-Vis tipe double beam absorbsi biasanya mempunyai variabel panjang gelombang atau “multi wave lenght”. Hasilnya bisa langsung dibandingkan dengan blanko.
Gambar 5. Skema spektrofotometri tipe double beam
23
Keterangan gambar: 1. Dari celah mengeluarkan dua sinar monokromotis. 2. Sinar melalui 2 wadah atau kuvet yang sekaligus. 3. Alat hanya di auto zero satu kali dengan cara mengisi kedua kuvet dengan larutan blanko.
Persyaratan
suatu
sampel
dapat
dianalisa
menggunakan
spektrofotometri UV Vis adalah: 1. Bahan mempunyai gugus kromofor. 2. Bahan tidak mempunyai gugus kromofor tapi berwarna. 3. Bahan tidak mempunyai gugus kromofor dan tidak berwarna, maka ditambahkan peraksi warna (Vis). 4. Bahan tidak mempunyai gugus kromofor dibuat turunannya yang mempunyai gugus kromofor (UV). Dasar dari metode ini karena adanya perubahan sifat fisikokimia dari bahan yang diperiksa dengan jalan mengamati sifat serapannya terhadap energi cahaya atau radiasi elektromagnetik. Spectrum UV-Vis merupakan hasil interaksi antara radiasi elektromagnetik (REM) dengan molekul. REM merupakan bentuk energi radiasi yang mempunyai sifat gelombang dan partikel (foton). Karena bersifat sebagai gelombang maka beberapa parameter perlu diketahui, misalnya panjang gelombang, frekuensi, bilangan gelombang, dan serapan. REM mempunyai vektor listrik dan vektor magnet yang bergetar dalam bidang-bidang yang tegak lurus satu sama lain dan masing-masing tegak lurus pada arah perambatan radiasi. Bila suatu cahaya monokromatis atau bukan monokromatis jatuh pada medium
24
homogen, maka bagian dari cahaya ini akan dipantulkan, sebagian akan diabsorbsi dan sisanya akan diteruskan (Harmita, 2006). Terdapat berbagai faktor yang mengatur pengukuran serapan (absorbansi) UV-vis yakni: 1. Kromofor Kromofor merupakan semua gugus atau atom dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak (Gandjar dan Rohman, 2007). 2. Pengaruh pelarut Spektrum
serapan
UV
senyawa-senyawa
obat
sebagian
tergantung pada pelarut yang digunakan untuk melarutkan obat. Kriteria pertama untuk pelarut yang bagus adalah pelarut tersebut harus tidak menyerap radiasi UV di daerah yang sama yang mana daerah spektrum senyawa yang dianalisis digunakan. Biasanya pelarut yang tidak mengandung sistem terkonjugasi merupakan pelarut pilihan misalnya air, etanol, metanol, heksana, dan lain-lain. Kriteria kedua untuk pelarut yang baik adalah pengaruhnya pada struktur halus dan tajam pada pita serapan. Kriteria ketiga untuk pealrut yang baik adalah kemampuannya untuk mempengaruhi panjang gelombang yang akan diabsorbsi melalui stabilitas baik keadaan kasar atau keadaan tereksitasi (Gandjar dan Rohman, 2007). 3. Pengaruh suhu
25
Suhu rendah menawarkan pita serapan senyawa-senyawa obat yang lebih tajam dibandingkan suhu kamar. Resolusi-resolusi (daya pisah) vibrasional akan lebih baik pada suhu rendah karena dua alasan, yaitu level vibrasional yang ditempati lebih sedikit dan tingkat interaksi solut pelarut diminalkan (Gandjar dan Rohman, 2007). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan spektrofotometri UV-vis. Berikut adalah tahapan-tahapan yang harus diperhatikan: 1. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis Hal ini perlu dilakukan jika senyawa yang dianalisis tidak menyerap pada daerah tersebut. Cara yang digunakan adalah dengan merubah menjadi senyawa lain atau direaksikan dengan pereaksi tertentu. Peraksi yang digunakan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu: (a) reaksinya selektif dan sensitif, (b) reaksinya cepat, kuantitatif, dan reprodusibel (ajeg), (c) hasil reaksi stabil dalam jangka waktu yang lama. Keselektifan dapat dinaikan dengan mengatur pH, pemakaian masking agent, atau penggunaan teknik ekstraksi (Gandjar dan Rohman, 2007) 2. Pemilihan panjang gelombang Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk memilih panjang gelombang maksimal, dilakukan dengan
26
membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu. Ada beberapa alasan mengapa harus menggunakan panjang gelombang maksimal,
yaitu:
(1)
pada
panjang
gelomabng
maksimal
kepekaannya juga maksimal karena pada panjang gelombang maksimal tersebut, perubanhan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar, (2) di sekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi, (3) jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali (Gandjar dan Rohman, 2007). 3. Pembuatan kurva baku Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi (Gandjar dan Rohman, 2007). 2.2 Kerangka Pemikiran Daun salam diketahui mengandung terpenoid, triterpenoid dan steroid yang berguna sebagai antioksidan (Agoes, 2010). Daun salam memiliki daya antioksidan yang baik, maka tidak menutup kemungkinan jika dibuat dalam sediaan SNEDDS juga memiliki potensi yang sama. Untuk
27
mengetahui hal tersebut perlu dilakukan penelitian untuk menguji aktivitas antioksidan dari kedua sampel tersebut (ekstrak daun salam dan sediaan ekstrak daun salam dalam sediaan SNEDDS). Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bukti ilmiah tentang perbandingan potensi antioksidan antara ekstrak daun salam dan sediaan ekstrak daun salam dalam sediaan SNEDDS. Modifikasi
sediaan
dalam
bentuk
SNEDDS
bertujuan
untuk
meningkatkan potensi aktivitas antioksidan. Ekstrak kloroform daun salam bersifat non polar. Sediaan SNEDDS merupakan fase minyak yang sangat mampu berinteraksi dengan baik dengan sediaan yang bersifat non polar sehingga diharapkan ekstrak kloroform daun salam dapat diformulasikan dalam SNEDDS. Komponen SNEDDS terdari dari 3 komponen yaitu surfaktan, ko surfaktan dan minyak. Surfaktan merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan SNEDDS. Surfaktan berfungsi untuk menurunkan tegangan antarmuka dan berpengaruh besar terhadap proses pembentukan nanoemulsi, serta ukuran tetesan nanoemulsi. Penggunaan ko-surfaktan pada SNEDDS bertujuan untuk meningkatkan drug loading, mempercepat self-emulsification, dan mengatur ukuran droplet nanoemulsi. Minyak merupakan eksipien penting dalam formulasi SNEDDS karena dapat membawa obat lipofilik melalui sistem limfatik usus. Dengan adanya ketiga komponen tersebut diharapkan akan terbentuk sediaan yang lebih baik
28
kelarutannya dan stabil sehingga sediaan SNEDDS memiliki potensi aktivitas antioksidan yang lebih baik. 2.3 Hipotesis 1. Ekstrak kloroform daun salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp) dapat
diformulasikan
dalam
bentuk
sediaan
SNEDDS
(Self-
nanoemulsifying drug delivery systems) dengan PKO sebagai fase minyak. 2. Sediaan SNEDDS (Self-nanoemulsifying drug delivery systems) ekstrak kloroform daun salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp) dengan PKO sebagai fase minyak berpotensi sebagai antioksidan. 3. Pengaruh bentuk sediaan SNEDDS (Self-nanoemulsifying drug delivery systems) ekstrak kloroform daun salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp) dengan PKO sebagai fase minyak terhadap potensi aktivitas antioksidan adalah semakin tinggi