UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK MEROPENEM PADA PASIEN SEPSIS BPJS DI RUMKITAL DR. MINTOHARDJO TAHUN 2014
SKRIPSI
ATHIROTIN HALAWIYAH NIM: 1111102000075
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JUNI 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK MEROPENEM PADA PASIEN SEPSIS BPJS DI RUMKITAL DR. MINTOHARDJO TAHUN 2014
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
ATHIROTIN HALAWIYAH 1111102000075
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JUNI 2015
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS
Skripsi ini adalah karya saya sendiri, dan semua sumber balk yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Athirotin Halawiyah
NIM
: 1111102000075
Tanda Tangan
• . op
1 6P/ Tanggal
: 1 Juni 2015
iii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama
: Athirotin Halawiyah
NIM
: 1111102000075
Program Studi
: Farmasi
Judul Skripsi
: EVALUASI KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK MEROPENEM PADA PASIEN SEPSIS BPJS DI RUMKITAL DR. MINTOHARDJO TAHUN 2014
Disetujui Oleh :
Pembimbing I
Pembimbing II
A1111.111. Drs. M. Samsul Arifin, W. Apt
Letkol Laut/K/NRP.12154/P
97211292005012004
Mengetahui, Ketua Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt
iv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh
:
Nama
: Athirotin Halawiyah
NIM
: 1111102000075
Program Studi
: Fannasi
Judul Slcripsi
: EVALUASI KUALITATIF PENGGLTNAAN ANTIBIOTIK MEROPENEM PADA PASIEN SEPSIS BPJS DI RUMKITAL DR. MINTOHARDJO TAHUN 2014
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I
: Dr. Azrifitria M.Si., Apt
Pembimbing II
: Drs. M. Samsul Arifin W.,Apt
Penguji I
: Yardi Ph.D., Apt
Penguji II
: Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt
Ditetapkan di
: Ciputat
Tanggal
: 1 Juni 2015
v
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT Name
: Athirotin Halawiyah
Program Study
: Pharmacy
Title
: Qualitative Evaluation of Meropenem Use in Social Health Insurance Sepsis Patient in Naval Hospital Dr. Mintohardjo 2014
Sepsis is a systemic and deleterious body response to infection. Sepsispatientsrequire abroad-spectrumantibiotictherapywhen thepathogenic bacteria that infects the bodyis unknown. Meropenem is a broad spectrum antibiotic that has a high potential as an empirical and definitive therapy against serious infections caused by multi-drug resistant organism (MDRO) The antibiotic resistance may emerge as a result of inappropriate use of antibiotic. This study aimed to evaluate the quality (appropriateness) use of meropenem in Naval Hospital Dr. Mintohardjo using Gyssens’ flowchart. Certain parameters have been analyzed, which are the adequacy of the data, indication, antibiotic choice, duration, dosage, interval, route and timing of antibiotic usage.This is retrospective study using descriptive-case study approach. Data for this study were drawn from patient’s medical records from January-December 2014 periode. The data retrieval was done by using the total sampling technique, where 26 samples were obtained in accordance with the study inclusion criteria. Patient characteristics were observed, showed that the most common sepsis type is nosocomial sepsis (42%), disease comorbidity is cerebrovascular sepsis (29%), the mean duration of treatment is 20 days, the number of drug received are 13 and the number of antibiotic received is 3. Meropenem was given as empirical therapy in 24 patients (92,3%) and definitive therapy in 2 patients (7.7%). The result of the qualitative evaluation of meropenem use showed that 15% were appropriate (category 0), and 85% were inappropriate (category I-VI). The inappropriate use of meropenem, 9% due to inappropriate dose, 24 % innapropriate interval, 6% duration too long, 49% because there were alternatives that more effective, 3% alternatives that have narrower spectrum, and 9% data insufficiency. Referring to this result, the use of antibiotic meropenemin patients with sepsis in RUMKITAL Dr.Mintohardjo requires efforts in improving the quality of use and prevention of meropenem resistance. Key word: Antibiotic evaluation, Gyssens category, meropenem, sepsis
vii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur tak terhingga saya panjatkan kepada Allah azza wa jalla yang telah memberikan segala bentuk kasih sayangNya kepada saya. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Berkat rahmat dan pertolongan Allah, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Kualitatif Antibiotik Meropenem pada Pasien Sepsis BPJS di RUMKITAL Dr. Mintohardjo” bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak mulai dari masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi, sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada: 1.
Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt dan Bapak Drs. M. Samsul Arifin W., Apt selaku dosen pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah banyak memberikan bimbingan, ilmu, waktu, dan tenaga, dalam penelitian ini.
2.
Prof. Dr. Arief Sumantri S.KM, M.KM selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak motivasi dan dukungan.
4.
Ibu Dr. Hj. Delina Hasan, M.Kes, Apt selaku dosen Penasehat Akademik (PA) atas motivasi dan bantuan selama empat tahun penulis menimba ilmu di Farmasi UIN
5.
Bapak dan Ibu dosen pengajar Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu dan teladan selama masa perkuliahan.
6.
Bapak Ari, Ibu Esti dan seluruh civitas RUMKITAL Dr. Mintohardjo yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian.
viii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7.
Harta saya yang paling berharga, Abi H. Muhammad Syarofuddin Turmudzi Hudan dan Ibu Dra. Hj. Rohmatin Maghfuroh atas kasih sayang, doa, teladan, dukungan dan bimbingan yang tak henti mengalir. Terima kasih telah menjadi murobbi ruhy. Insyaallah rumah di surga tersedia untuk Abi dan Ibu.
8.
Adik-adik saya yang sangat saya sayangi, Muhammad Saad Yumnan dan Ahmad Ubaidunnur, terima kasih untuk selalu mendukungku. Semoga kita selalu berbakti kepada Abi dan Ibu serta selalu dalam naungan kasihNya.
9.
Sahabat-sahabat tersayang; Nur Azizah dan Ratu Fauziyah, ketika persahabatan berarti saling menginspirasi dan menguatkan. Terima kasih telah membersamaiku dalam suka dan duka.
10. Teman-teman terdekat; Umniyaty Mufidah dan Syaima, terima kasih menemaniku selama 3 tahun di perantauan. Semoga kita tetap berteman hingga akhir hayat. 11. Keluarga Forum Lingkar Pena Ciputat; Kholik, Kak Andik, Tiara, Kak Amal, Eza, Kak Ali Rif’an dan teman-teman serta senior yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk kebersamaan, kekeluargaan dan pembelajaran selama ini. Penulis merasa beruntung mengenal kalian. 12. Teman-teman
yang
melaksanakan
penelitian
di
RUMKITAL
Dr.
Mintohardjo; Bilqis, Nikmah, Dana, Tari, Pipit, terima kasih untuk semangat yang terus kita nyalakan bersama-sama. 13. Teman-teman seperjuangan Farmasi angkatan 2011, terima kasih atas persaudaraan dan pertemanan yang berkesan selama 4 tahun ini. 14. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu kelancaran pengerjaan skripsi ini. Semoga Allah azza wa jalla membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap kritik dan saran atas kekurangan dan keterbatasan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat untuk banyak pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan. Ciputat, 1 Juni 2015 Penulis
ix
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Athirotin Halawiyah
NIM
: 1111102000075
Program Studi : Farmasi Fakultas
: Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya
: Skripsi
demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui/karya ilmiah saya, dengan judul : EVALUASI KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK MEROPENEM PADA PASIEN SEPSIS BPJS DI RUMKITAL DR. MINTOHARDJO TAHUN 2014 untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di
: Ciputat
Pada Tanggal : 1 Juni 2015
Yang menyatakan,
(Athirotin Halawiyah)
x
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ...................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ..........................................
iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................
iv
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................
v
ABSTRAK ..................................................................................................
vi
ABSTRACT ................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR .................................................................................
viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................
x
DAFTAR ISI ................................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL ........................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ...........................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...........................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................
3
1.3. Tujuan .........................................................................................
4
1.3.1. Tujuan Umum .............................................................
4
1.3.2. Tujuan Khusus ............................................................
4
1.4. Manfaat Hasil Penelitian ............................................................
4
1.4.1. Manfaat Teoritis .......................................................
4
1.4.2. Manfaat Praktis ..........................................................
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
5
2.1. Antibiotik ...................................................................................
5
2.1.1. Definisi Antibotik .....................................................
5
xi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.2. Penggolongan Antibiotik ...........................................
5
2.1.2.1.Antibiotik Berdasarkan Spektrum Aktivitas ..
5
2.1.2.2.Antibiotik Berdasarkan Mekanisme Kerja ....
5
2.1.2.3.Antibiotik Berdasarkan Struktur Kimia .........
6
2.1.3. Penggunaan Antibiotik ..............................................
7
2.1.4. Resistensi Antibiotik .................................................
8
2.1.5. Evaluasi Penggunaan Antibiotik ...............................
11
2.1.5.1. Penilaian Kualitas Antibiotik ........................
11
2.2. Meropenem .................................................................................
14
2.2.1. Mekanisme Kerja .......................................................
14
2.2.2. Indikasi ......................................................................
14
2.2.3. Dosis ..........................................................................
14
2.2.4. Efek samping .............................................................
15
2.2.5. Farmakokinetik ..........................................................
15
2.2.6. Kepekaan Bakteri Patogen Terhadap Meropenem ....
16
2.2.7. Potensi Interaksi Obat ................................................
16
2.3. Sepsis ..........................................................................................
16
2.3.1. Definisi Sepsis ...........................................................
16
2.3.2. Patogenesis Sepsis .....................................................
17
2.3.2.1.Mekanisme yang Mungkin Terjadi .................
17
2.3.2.2.Fase-fase Respon Inflasi ................................
18
2.3.3. Diagnosis ....................................................................
21
2.3.4. Manajemen Sepsis Berat ...........................................
23
2.3.4.1.Terapi Antimikroba ........................................
25
2.4. BPJS ...........................................................................................
27
BAB 3 METODE PENELITIAN ...............................................................
28
3.1. Jenis Penelitian ...........................................................................
28
3.2. Kerangka Konsep Penelitian ......................................................
28
xii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3. Populasi dan Sampel ..................................................................
28
3.3.1. Populasi .....................................................................
28
3.3.2. Sampel .......................................................................
29
3.4. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................
29
3.5. Definisi Operasional ...................................................................
29
3.6. Prosedur Penelitian .....................................................................
33
3.6.1. Persiapan (permohonan izin) .....................................
33
3.6.2. Pengumpulan Data Penelitian ...................................
33
3.6.3. Pengolahan Data ........................................................
34
3.6.4. Analisis Data .............................................................
34
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................
36
4.1. Hasil Penelitian ..........................................................................
37
4.1.1. Karakteristik Pasien .....................................................
37
4.1.2. Peta Resistensi Mikroorganisme .................................
39
4.1.3. Evaluasi Antibiotik ......................................................
42
4.2. Pembahasan Penelitian ...............................................................
44
4.2.1. Karakteristik Pasien ......................................................
44
4.2.2. Peta Resistensi Mikroorganisme ...................................
47
4.2.3. Evaluasi Antibiotik .......................................................
50
4.3. Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian ......................................
58
4.3.1. Kekuatan Penelitian ......................................................
58
4.3.2. Keterbatasan Penelitian .................................................
58
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
59
5.1. Kesimpulan .................................................................................
59
5.2. Saran ...........................................................................................
59
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
61
xiii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 2 3 4 5
Halaman
Diagram Alir Gyssens ...................................................................... Struktur Meropenem ……………………......................................... Pelepasan mediator yang diinduksi endotoksin ................................ Pelepasan mediator yang diinduksi superantigen ............................ Kerangka Konsep Penelitian ……………………............................
xiv
13 14 19 20 28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. 2.2. 3.1. 4.1. 4.2. 4.3.
4.4.
4.5. 4.6. 4.7.
Halaman Kriteria Diagnosis Sepsis……………………................................ Manajemen Sepsis Berat ……………………................................ Definisi Operasional ............ …………………….......................... Karakteristik Pasien Sepsis yang Menerima Antibiotik Meropenem ............ ……………………....................................... Data Jumlah Spesimen Uji Sensitivitas Antibiotik RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari-Desember 2014 ......................... Data Jumlah Kuman yang Terlibat dalam Pembuatan Peta Resistensi Bakteri terhadap Antibiotik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo periode Januari-Desember2014 ................................ Data Profil Kuman Berdasarkan Jenis Spesimen Uji Sensitivitas Antibiotik RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode JanuariDesember 2014………………........................................................ Hasil Evaluasi Penggunaan Antibiotik Meropenem (n=26) .......... Rincian Ketidakrasionalan Penggunaan Antibiotik Meropenem (n=34)………………...................................................................... Jenis Antibiotik Alternatif yang Lebih Efektif ..............................
xv
22 23 30 38 40
40
41 42 43 43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 2 3 4
Halaman
Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian ........................................ Rekapitulasi Data Pasien …………………….................................. Rekapitulasi Hasil Evaluasi Meropenem Berdasarkan Kategori Gyssens ……………………............................................................. Laporan Peta Resistensi Bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo Tahun 2014 .......................................................................................
xvi
66 67 85 139
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar belakang Infeksi merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan di rumah
sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya di Indonesia. Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering dijumpai adalah infeksi oleh bakteri. Pemberian antibiotik masih merupakan pilihan utama untuk mengatasi infeksi saat ini (Rosita, 2013). Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini yang dibuat secara semi-sintesis juga termasuk kelompok ini, begitu pula semua senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri (Tjay dan Rahardja, 2010). Antibiotik merupakan obat yang paling banyak diresepkan di dunia. Pada tahun 2006, World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa lebih dari seperempat anggaran rumah sakit dikeluarkan untuk biaya penggunaan antibiotik (Lestari, et al 2011). Manfaat penggunaan antibiotik tidak perlu diragukan, akan tetapi penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menyebabkan bakteri resisten terhadap antibiotik. Resistensi bakteri terhadap antimikroba menjadi masalah penting pelayanan kesehatan. Infeksi yang disebabkan bakteri multi-drug resistant (MDR) berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas karena terapi empiris sering kali tidak tepat. Sehingga, antibiotik lini kedua atau ketiga harus diberikan. Pemberian antibiotik lini kedua dan ketiga ini sering kali kurang efektif, kemungkinan terjadi efek samping lebih besar dan biaya yang dibutuhkan lebih besar (AMRIN-study, 2002). Salah satu kondisi yang membutuhkan antibiotik adalah sepsis. Sepsis adalah respon tubuh terhadap infeksi yang bersifat sistemik dan merusak. Sepsis dapat menyebabkan sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat ditandai dengan disfungsi organ akut. Syok septik adalah sepsis parah disertai hipotensi yang tidak membaik dengan resusitasi cairan. Sepsis berat dan syok septik adalah masalah besar untuk pelayanan kesehatan. Sepsis berat dan syok septik terjadi pada jutaan
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
orang tiap tahun, dan membunuh satu di antara empat penderitanya (Dellinger et al,2012) Sepsis paling banyak disebabkan oleh bakteri Gram-positive, diikuti oleh bakteri Gram-negative dan kombinasi dari keduanya. Pasien dengan sepsis berat atau syok septik memerlukan terapi antibiotik berspektrum luas sampai bakteri patogen dan data kerentanan bakteri terhadap anbiotiknya didapatkan. Setelah bakteri patogen teridentifikasi, de-eskalasi harus dilakukan dengan memilih agen antimikroba yang sesuai dengan bakteri patogen, aman dan cost effective (Dellinger et al, 2012) Meropenem adalah agen antibakteri berspektrum luas yang termasuk dalam golongan karbapenem. Untuk menangani infeksi, meropenem diindikasikan sebagai terapi empiris sebelum mikroorganisme penyebab infeksi teridentifikasi dan juga untuk penyakit yang disebabkan oleh satu bakteri atau banyak bakteri baik pada orang dewasa maupun anak-anak (Baldwin, 2008). Efek samping meropenem yang sering terjadi adalah diare, kulit kemerahan, mual dan muntah, dan inflamasi di tempat injeksi yang terjadi pada <2,5% pasien (Lowe, 2000). Meropenem tidak diabsorbsi setelah pemberian oral. Meropenem dapat berpenetrasi dengan baik ke dalam sebagian besar jaringan termasuk paru-paru, jaringan
intrabdomen,
cairan
interstitial,
cairan
peritoneal
dan
cairan
serebrospinal. Waktu paruh meropenem kurang lebih 1 jam. Meropenem dieliminasi terutama melalui ginjal (Lowe, 2000) Pada tahun 2008, Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection (MYSTIC)
melaporkan kepekaan bakteri patogen terhadap
meropenem adalah sebagai berikut: Pseudomonas aeruginosa (439 strain, 85,4% peka), Enterobacteriaceae (1537 strain, 97,3% peka), methicillin-susceptible staphylococci (460 strain, 100% peka), Streptococcus pneumoniae (125 strain, 80,2% pada meningitis susceptibility breakpoint), streptococci lain (159 strain, 90-100% peka), Acinetobacter spp. (127 strain, 45,7% peka) (Rhomberg dan Jones, 2009). Dengan meningkatnya penggunaan antibiotik meropenem di rumah sakit, kemungkinan resistensi harus diwaspadai (Mardiastuti, 2007). Penggunaan antibiotik dapat dinilai dengan secara kualitas dengan metode Gyssens berdasarkan data rekam medik dan kondisi klinis pasien (Permenkes,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
2011). Penilaian kualitas penggunaan antibiotik dilakukan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotika. Gyssens et al mengembangkan evaluasi penggunaan antibiotika untuk menilai ketepatan penggunaan antibiotika seperti: ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga dan spektrum, lama pemberian, dosis, interval, rute dan waktu pemberian (Pamela, 2011). Salah satu dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik menurut Permenkes (2011) adalah data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit setempat. Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign, pemilihan antibiotik untuk pasien sepsis harus berpedoman pada pola prevalensi bakteri lokal (Dellinger et al, 2012). Pada tahun 2014 pemerintah mulai memberlakukan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Implementasi JKN menuntut rumah sakit untuk dibayar secara prospektif berdasarkan diagnosa pasien bukan atas dasar tindakan (fee for service) artinya semakin singkat lama hari rawat pasien maka profit RS akan semakin baik karena sumber daya yang dikeluarkan rumah sakit lebih efisien (Setiawan dan Ramadani, 2014). Penggunaan antibiotik yang terkendali dapat mencegah munculnya resistensi dan menghemat penggunaan antibiotik, yang pada akhirnya akan mengurangi beban biaya perawatan pasien, mempersingkat lama perawatan, penghematan bagi rumah sakit serta meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit (Permenkes, 2011) Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai kualitas penggunaan antibiotik meropenem pada pasien sepsis rawat inap BPJS di RUMKITAL Dr. Mintohardjo.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, disusunlah rumusan
penelitian sebagai berikut: Bagaimanakah kualitas penggunaan antibiotik meropenem pada pasien sepsis BPJS di ruang rawat inap RUMKITAL Dr. Mintohardjo ditinjau dari ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga dan spektrum, lama pemberian, dosis, interval, rute dan waktu pemberian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
antibiotik serta dikaitkan dengan data peta resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo.
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum: Melakukan evaluasi kualitas penggunaan antibiotik meropenem pada pasien sepsis BPJS di RUMKITAL Dr. Mintohardjo berdasarkan kategori Gyssens.
1.3.2. Tujuan Khusus: 1.
Menentukan karakteristik
pasien sepsis
yang menerima antibiotik
meropenem 2.
Memperoleh data peta resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik
3.
Menilai kualitas penggunaan antibiotik meropenem pada pasien sepsis BPJS berdasarkan kategori Gyssens
1.4. Manfaat Hasil Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk : 1.4.1.Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan dalam bidang kefarmasian khususnya pada bidang evaluasi antibiotik
1.4.2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan untuk RUMKITAL Dr. Mintohardjo dalam hal peningkatan penggunaan antibiotik meropenem yang rasional
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Antibiotik
2.1.1. Definisi Antibiotik Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini yang dibuat secara semi-sintesis juga termasuk kelompok ini, begitu pula semua senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri (Tjay dan Rahardja, 2010) Pengertian antibiotik secara sempit adalah senyawa yang dihasilkan oleh berbagai jenis mikroorganisme (bakteri, fungi, actinomycetes) yang menekan pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Penggunaannnya secara umum sering kali memperluas istilah antibiotik meliputi senyawa antimikroba sintetik, seperti sulfonamida dan kuinolon (Brunton et al, 2006)
2.1.2. Penggolongan Antibiotik 2.1.2.1 Antibiotik Berdasarkan Spektrum Aktifitas Berdasarkan spektrum aktivitas, antibiotik dibagi menjadi dua golongan, yaitu (Tjay dan Rahardja, 2010): a.
Antibiotik aktivitas sempit (narrow spectrum) Obat-obat ini terutama aktif terhadap beberapa jenis kuman saja, misalnya
penisilin-G dan penisilin-V, eritromisin, klindamisin, kanamisin, dan asam fusidat hanya bekerja terhadap kuman Gram positif. Sedangkan streptomisin, gentamisin, polimiksin-B, dan asam nalidiksat khusus aktif terhadap kuman Gram negatif. b.
Antibiotik aktivitas luas (broad spectrum) Antibiotik berspektrum luas bekerja terhadap lebih banyak kuman, baik
jenis kuman Gram positif maupun Gram negatif.
Misalnya sulfonamida,
ampisilin, sefalosforin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan rifampisin
2.1.2.2.Antibiotik Berdasarkan Mekanisme Kerja Berdasarkan mekanisme kerja, antibiotik dibagi sebagai berikut: (Brunton et al, 2006)
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
a.
Agen yang menghambat sintesis dinding sel bakteri, termasuk kelas βlaktam misalnya penisilin, sefalosporin, karbapenem
b.
Agen yang bekerja langsung pada membran sel mikroorganisme, meningkatkan permeabilitas dan menyebabkan kebocoran komponen intraseluler, termasuk polimiksin, agen antifungi polien (nistatin dan amfoterisin)
c.
Agen yang mengganggu fungsi subunit ribosom 30S atau 50S sehingga menghambat
sintesis
protein
secara
reversibel,
biasanya
bersifat
bakteriostatik misalnya kloramfenikol, tetrasiklin, eritromisin, klindamisin, streptogramin d.
Agen yang berikatan dengan subunit ribosom 30S dan mengubah sintesis protein, biasanya bersifat bakterisid, misalnya aminoglikosida
e.
Agen yang mempengaruhi metabolisme asam nukelat bakteri, seperti rifamisin (rifampin dan rifabutin)
f.
Antimetabolit, seperti trimethoprim dan sulfonamid, yang memblok enzim esensial untuk metabolisme folat
2.1.2.3.Antibiotik Berdasarkan Struktur Kimia Berdasarkan struktur kimianya, antibiotika dapat digolongkan sebagai berikut: (Mutschler, 1991) a.
Antibiotik beta laktam, yang termasuk antibiotik beta laktam yaitu penisilin (contohnya: benzyl penisilin, oksisilin, fenoksimetilpenisilin, ampisilin), sefalosporin
(contohnya:
azteonam)
dan
karbapenem
(contohnya:
imipenem) b.
Tetrasiklin, contoh: tetrasiklin, oksitetrasiklin, demeklosiklin.
c.
Kloramfenikol, contoh: tiamfenikol dan kloramfenikol
d.
Makrolida, contoh: eritromisin dan spiramisin.
e.
Linkomisin, contoh: linkomisin dan klindamisin
f.
Antibiotik aminoglikosida, contoh: streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin dan spektinomisin
g.
Antibiotik polipeptida (bekerja pada bakteri gram negatif), contoh: polimiksin B, konistin, basitrasin dan sirotrisin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
h.
Antibiotik polien (bekerja pada jamur), contoh: nistatin, natamisin, amfoterisin dan griseofulvin
2.1.3. Penggunaan Antibiotik Berdasarkan tujuan penggunaannya, antibiotik dibedakan menjadi antibiotik terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi dapat dibedakan menjadi antibiotik untuk terapi empiris dan terapi definitif. Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi dan penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan biologi. Indikasi penggunaannya adalah apabila ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu yang paliing sering menjadi penyebab infeksi (Permenkes, 2011) Rute pemberian oral merupakan pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Adapun lama pemberian antibiotik empiris adalah jangka waktu 48-72 jam (Permenkes, 2011). Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik untuk terapi empiris adalah: (Permenkes, 2011) 1.
Data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit setempat
2.
Kondisi klinis pasien
3.
Ketersediaan antibiotik
4.
Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan/organ yang terinfeksi
5.
Untuk infeksi yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan antibiotik kombinasi Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik adalah eradikasi dan penghambatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi (Permenkes, 2011) Rute pemberian oral merupakan pilihan pertama. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera diganti dengan peroral.Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai dengan diagnosis awal yang telah dikonfirmasi.
Selanjutnya
harus
dilakukan
evaluasi
berdasarkan
data
mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (Permenkes, 2011) Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik untuk terapi definitif: (Permenkes, 2011) 1.
Efikasi dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik
2.
Sensitivitas
3.
Biaya
4.
Kondisi klinis pasien
5.
Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit
6.
Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium RS)
7.
Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang terkini
8.
Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten. Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang diberikan pada jaringan atau
cairan tubuh yang belum terinfeksi, namun diduga kuat akan terkena infeksi. Antibiotik profilaksis diindikasikan ketika besar kemungkinan terjadi infeksi, atau terjadi infeksi kecil yang berakibat fatal. Penggunaan antibiotik profilaksis dibedakan menjadi antibiotik profilaksis bedah dan non bedah (Permenkes, 2011)
2.1.4. Resistensi Antibiotik Resistensi dibedakan sebagai kejadian tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya atau pada kadar hambat minimalnya. Multiple drug resistance merupakan resistensi pada mikroorganisme terhadap dua atau lebih obat maupun golongan obat. Istilah lainnya, cross resistance adalah resistensi obat yang belum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
pernah dipaparkan pada mikroba tersebut namun cara kerjanya mirip dengan antimikroba lain yang sudah mengalami resistensi (Tripathi, 2003) Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotik terjadi berdasarkan salah satu atau lebih mekanisme berikut: (Jawetz, 1997) a.
Bakteri
dapat
mensintesis
enzim
inaktivator
antibiotik.
Misalnya
Staphylococcus resisten terhadap penisilin G karena dapat menghasilkan betalaktamase yang merusak antibiotik tersebut. b.
Bakteri dapat mengubah permeabilitas membrannya terhadap molekul antibiotik, misalnya pada penggunaan tetrasiklin yang hanya akan dapat masuk ke dalam sel bakteri yang rentan (sensitif), namun tidak ditemukan pada beberapa bakteri yang resisten.
c.
Bakteri dapat mengembangkan perubahan struktur sasaran molekul antibiotik, contohnya resistensi pada beberapa bakteri terhadap antibiotik golongan aminoglikosida merupakan proses yang berkaitan dengan hilang atau berubahnya struktur protein spesifik pada subunit ribosom 30S bakteri yang merupakan reseptor pada bakteri yang sensitif.
d.
Bakteri mampu mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung dihambat oleh molekul antibiotik, misalnya beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi bersifat seperti sel mamalia yang dapat langsung menggunakan asam folat.
e.
Bakteri mampu mengembangkan perubahan enzim, yakni enzim tersebut dapat melakukan fungsi metabolismenya, bamun tidak rentan dipengaruhi oleh molekul antibiotik, misalnya pada beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid, enzim dihidropteroat sintetase pada mikroorganisme tersebut mempunyai afinitas terhadap sulfonamid yang jauh lebih tinggi daripada afinitasnya terhadap PABA.
Faktor-faktor yang memudahkan berkembangnya resistensi di klinik adalah sebagai berikut: (Utami, 2012) 1.
Penggunaan antibiotik yang irasional, misalnya periode penggunaan terlalu singkat, dosis terlalu rendah, diagnosis awal yang salah, atau digunakan dalam potensi yang tidak adekuat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
2.
Faktor pasien, contohnya pasien dengan pengetahuan yang salah akan cenderung mengganggap wajinya pemberian antibiotik dalam penanganan penyakit apapun meskipun disebabkan oleh virus misalnya flu, batuk-pilek, demam yang banyak dijumpai di masyarakat. Dengan adanya kesalahan tersebut, pasien dengan kemampuan finansial yang baik akan meminta diberikan terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan, bahkan membeli antibiotik sendiri tanpa peresepan dan dokter (self medication), sedangkan pasien dengan kemampuan finansial rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi, padahal terapi dengan antibiotik harus dituntaskan.
3.
Faktor peresepan, yakni seringkali ditemukan kesulitan dalam menentukan antibiotik yang tepat pada banyak tenaga klinis yang disebabkan kurangnya pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya
4.
Penggunaan monoterapi, karena dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi
5.
Gaya hidup, terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan dipakai untuk memeriksa pasien
6.
Penggunaan di rumah sakit, yakni adanya infeksi endemik atau epidemik yang memicu penggunaan antibiotik yang lebih masif di rumah sakit. Selain itu, kombinsi pemakaian antibiotik yang lebih intensif dan lebih lama dengan banyakanya pasien yang rentan terhadap infeksi yang berada di rumah sakit akan memudahkan terjadinya infeksi nosokomial. Hal ini juga dapat meningkatkan resistensi mikroba endemik tersebut terhadap antibiotik yang digunakan.
7.
Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak, misalnya pada beberapa antibitoik yang juga dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak atau digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak dengan dosis subterapeutik akan meningkatkan resiko terjadinya resistensi pada berbagai mikroba.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
8.
Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi, didukung pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran barang sehingga jumlah antibiotik yang beredar semakin luas.
9.
Penelitian, yaitu kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan antibiotik baru.
10.
Pengawasan, yaitu lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan pemakaian antibiotik. Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotik meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu, masalah pengawasan juga terkait dengan kurangnya komitmen dari instansi terkait, baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi.
2.1.5. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Evaluasi penggunaan antibiotik bertujuan untuk: (Permenkes, 2011) a.
Mengetahui jumlah atau konsumsi penggunaan antibiotik di rumah sakit
b.
Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik di rumah sakit
c.
Sebagai dasar untuk melakukan surveilans penggunaan antibiotik di rumah sakit secara sistematik dan terstandar.
2.1.5.1. Penilaian Kualitas Antibiotik Kualitas penggunaan antibiotik dinilai dengan menggunakan data yang terdapat pada Rekam Pemberian Antibiotik (RPA), catatan medik pasien dan kondisi klinis pasien. Penilaian dilakukan dengan menggunakan alur penilaian dan klasifikasi/kategori Gyssens dkk. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan kesesuaian diagnosis (gejala klinis dan hasil laboratorium), indikasi, regimen dosis, keamanan dan harga (Permenkes, 2011). Kategori hasil penilaian kualitatif penggunaan antibiotik adalah sebagai berikut: (Gyssens IC, 2005): Kategori 0
= penggunaan antibiotik tepat/bijak
Kategori I
= penggunaan antibiotik tidak tepat waktu
Kategori IIA = penggunaan antibiotik tidak tepat dosis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
Kategori IIB = penggunaan antibiotik tidak tepat interval Kategori IIC = penggunaan antibiotik tidak tepat cara/rute pemberian Kategori IIIA = penggunaan antibiotik terlalu lama Kategori IIIB = penggunaan antibiotik terlalu singkat Kategori IVA = ada antibiotik lain yang lebih efektif Kategori IVB = ada antibiotik lain yang kurang toksik/lebih aman Kategori IVC = ada antibiotik lain yang lebih murah Kategori IVD = ada antibiotik lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit Kategori V
= tidak ada indikasi penggunaan antibiotik
Kategori VI
= data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi.
Alur penilaian kualitas antibiotik menggunakan kategori Gyssens:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
Gambar 1. Diagram Alir Gyssens Sumber: Gyssen (2005), dalam Permenkes (2011)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
Diagram alir ini merupakan alat penting untuk menilai kualitas penggunaan antibiotik. Pengobatan dapat
tidak sesuai dengan alasan yang
berbeda pada saat yang sama dan dapat ditempatkan dalam lebih dari satu kategori. Dengan alat ini, terapi empiris dapat dinilai, demikian juga terapi definitif setelah hasil pemeriksaan mikrobiologi diketahui (Gyssens, 2005)
2.2.
Meropenem
Gambar 2. Struktur Meropenem (Sumber: Craig, 1997)
Meropenem merupakan antibiotik lini ketiga dari golongan karbapenem. Meropenem merupakan antibiotik spektrum luas yang aktif melawan bakteri gram negatif, bakteri gram positif dan bakteri anaerob. Meropenem memiliki kestabilan tinggi terhadap hidrolisis oleh serin beta-laktamase. Berbeda dengan golongan karbapenem terdahulu (imipenem/silastatin), meropenem relatif stabil oleh enzim dehydropeptidase-I (DHP-I) (Baldwin, 2008)
2.2.1.
Mekanisme Kerja Meropenem
menganggu
sintesis
dinding
sel
bakteri,
sehingga
menghambat pertumbuhan bakteri dan menyebabkan kematian sel. Meropenem berpenetrasi dengan cepat ke dalam dinding sel bakteri dan berikatan dengan penicillin-binding proteins (PBP) dengan afinitas yang tinggi, sehingga menginaktivasi bakteri (Baldwin, 2008)
2.2.2. Indikasi Meropenem diindikasikan sebagai terapi empiris sebelum mikroorganisme penyebab infeksi teridentifikasi dan juga untuk penyakit yang disebabkan oleh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
satu bakteri atau banyak bakteri baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Meropenem disetujui di USA untuk digunakan dalam terapi complicated intraabdominal infection, complicated skin and skin structure infection dan meningitis yang disebabkan oleh bakteri (Baldwin, 2008). Di negara lain meropenem juga disetujui untuk digunakan dalam terapi pneumonia nosokomial, septikemia, infeksi saluran kencing, febrile neutropenia, cystic fibrosis dan community acquired pneumonia (Baldwin, 2008).
2.2.3
Efek Samping Efek samping meropenem yang sering terjadi adalah diare, kulit
kemerahan, mual dan muntah, dan inflamasi di tempat injeksi yang terjadi pada <2,5% pasien (Lowe, 2000)
2.2.4. Dosis Dosis orang dewasa berkisar pada 1,5-6 gram/hari setiap 8-12 jam, tergantung tipe dan keparahan infeksi, kepekaan mikroorganisme dan kondisi pasien. Dosis orang dewasa disarankan pada anak-anak dengan berat badan lebih dari 50 kilogram. Pada bayi dan anak-anak berusia antara 3 bulan-12 tahun, dosis yang direkomendasikan adalah 10-40 mg/kg diberikan secara intravena (Baldwin, 2008)
2.2.5. Farmakokinetik Meropenem tidak diabsorbsi setelah pemberian oral. Meropenem dapat berpenetrasi dengan baik ke dalam sebagian besar jaringan termasuk paru-paru, jaringan
intrabdomen,
cairan
interstitial,
cairan
peritoneal
dan
cairan
serebrospinal. Waktu paruh meropenem kurang lebih 1 jam. Meropenem dieliminasi terutama melalui ginjal (Lowe, 2000) Pada lansia, penurunan klirens meropenem berhubungan dengan penurunan kreatinin klirens karena usia dan kemungkinan diperlukan penurunan dosis. Farmakokinetik meropenem tidak berubah pada pasien dengan kerusakan hati (Baldwin, 2008)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
2.2.6. Kepekaan Bakteri Patogen terhadap Meropenem Pada tahun 2008, Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection (MYSTIC)
melaporkan kepekaan bakteri patogen terhadap
meropenem adalah sebagai berikut: Pseudomonas aeruginosa (439 strain, 85,4% peka), Enterobacteriaceae (1537 strain, 97,3% peka), methicillin-susceptible staphylococci (460 strain, 100% peka), Streptococcus pneumoniae (125 strain, 80,2% pada meningitis susceptibility breakpoint), streptococci lain (159 strain, 90-100% peka), Acinetobacter spp. (127 strain, 45,7% peka) (Rhomberg dan Jones, 2009). Secara umum, pola kepekaan bakteri gram negatif terhadap meropenem masih cukup baik di beberapa negara, namun untuk P. aeruginosa terlihat kepekaannya mulai menurun di Eropa dan Amerika. Dengan meningkatnya penggunaan antibiotik meropenem di rumah sakit, kemungkinan resistensi harus diwaspadai (Mardiastuti, 2007).
2.2.7. Potensi Interaksi Obat Penggunaan bersama meropenem dengan probenesid menyebabkan peningkatan waktu paruh dan konsentrasi plasma meropenem karena adanya kompetisi terhadap sekresi tubular aktif. Penggunaan bersama meropenem dengan probenesid tidak direkomendasikan (Baldwin, 2008) Meropenem dapat menurunkan konsentrasi serum asam valproat, sehingga menghasilkan level subterapeutik pada beberapa individu. Sebagai catatan, telah dilaporkan adanya interaksi yang sama asam valproat dengan golongan karbapenem lain, yaitu panipenem/betampiron sehingga diperkirakan interaksi dengan asam valproat merupakan interaksi yang dipengaruhi golongan (Baldwin, 2008)
2.3.
Sepsis
2.3.1. Definisi Sepsis Pada tahun 1992, konferensi konsensus American College of Chest Physician (ACCP) dan Society of Critical Care Management (SCCM) mengenalkan term systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Pasien
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
dikatakan mengalami SIRS jika ditemukan lebih dari satu tanda berikut: (Levy et al, 2003) -
Temperatur lebih dari 38 ◦C atau kurang dari 36 ◦C
-
Detak jantung lebih dari 90 kali per menit
-
Hiperventilasi yang ditandai dengan laju pernapasan lebih dari 20 kali/menit atau PaCO2 kurang dari 32 mmHg
-
Jumlah sel darah putih lebih dari 12.000 sel/µL atau kurang dari 4000 sel/µL Bone et al (1992) mendefinisikan sepsis sebagai SIRS dan infeksi. Sepsis
adalah respon tubuh terhadap infeksi yang bersifat sistemik dan merusak. Sepsis dapat menyebabkan sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat ditandai dengan disfungsi organ akut. Sedangkan syok septik adalah sepsis berat disertai hipotensi yang tidak membaik dengan resusitasi cairan (Dellinger et al, 2012). Beberapa definisi terkait lainnya adalah community-acquired sepsis yang didefinisikan sebagai kejadian infeksi di luar rumah sakit atau dua hari pertama perawatan di rumah sakit kecuali pasien pernah dirawat di rumah sakit 30-90 hari sebelumnya, dirawat di panti jompo, melakukan hemodialisis atau menggunakan alat intravaskular dalam jangka panjang; nosocomial yang didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi selama perawatan di rumah sakit (2 hari atau lebih setelah masuk rumah sakit) atau didapatkan selama 30-90 hari setelah pulang dari rumah sakit, sedang melakukan hemodialisis, tinggal di panti jompo atau memiliki alat intravaskular jangka panjang (SWAB, 2010).
2.3.2. Patogenesis Sepsis 2.3.2.1.Mekanisme yang Mungkin Terjadi Patogenesis sepsis dapat dijelaskan dalam tiga mekanisme yang melibatkan pelepasan mediator sehingga menghasilkan respon inflamasi sistemik: (Sagy et al, 2013) a.
Mekanisme 1: respon proinflamasi Teori dibalik mekanisme ini berhubungan dengan pelepasan mediator proinflamasi yang berlebihan dan menyebabkan inflamasi serta tanda klinis SIRS.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
b.
Mekanisme 2: kegagalan Compensatory Antiiflammatory Response (CARS) untuk bekerja Ketidakseimbangan antara respon proinflamasi dengan respon inflamasi dipercaya terjadi selama infeksi. Hal ini menyebabkan mediator proinflamasi untuk menginduksi proses inflamasi yang berlebihan.
c.
Mekanisme 3: immunoparalisis Mediator proinflamasi membanjiri dan memparalisasi sistem imun. Hal ini menginduksi
penurunan
imun,
menyebabkan
ketidakmampuan
menetralisir patogen.
2.3.2.2.Fase-fase Respon Inflamasi Terdapat tiga fase dalam patogenesis SIRS: (Sagy et al, 2013) a.
Pelepasan toksin bakteri Invasi bakteri ke dalam jaringan tubuh adalah sumber toksis berbahaya. Toksin tersebut bisa dinetralkan dan dibersihkan sistem imun atau sebaliknya. Toksin berikut biasa dilepaskan bakteri gram negatif dan bakteri gram positif:
-
Bakteri gram negatif: lipopolisakarida (LPS)
-
Bakteri gram positif: asam lipoteikoat (LPA), muramil dipeptida (MDP), staphylococcal toxic shock syndrome toxin (TSST), streptococcal pyrogenic toxin (SPE)
b.
Pelepasan mediator sebagai respon terhadap infeksi
-
Infeksi bakteri gram negatif dan gram positif dengan pelepasan endotoksin Efek pelepasan endotoksin seperti lipopolisakarida (LPS) diperkirakan terjadi saat infeksi bakteri gram negatif. Adapun pada saat infeksi gram positif, diperkirakan terjadi pelepasan asam lipoteikoat (LPA). Kedua toksin tersebut mempengaruhi fungsi makrofag sehingga terjadi pelepasan mediator. Proses ini melibatkan toll-like receptor (TLR)-2 dan TLR-4. Reseptor tersebut, bersama dengan co-reseptor CD-14 mengenali toksin yang dilepaskan saat toksis menempel di dinding makrofag. Jika LPS memerlukan LPS-binding protein (LBP) sebelum dikenali makrofag. LTA dapat berikatan secara langsung pada TLR-2 makrofag.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
Gambar 3. Pelepasan mediator yang diinduksi endotoksin Sumber: Sagy et al, 2013
-
Infeksi bakteri gram positif dengan pelepasan eksotoksin (superantigen) Superantigen mengaktivasi limfosit T dan memicu produksi interleukin 2 (IL-2) dan interferon gamma (IFN-ɣ). IL-2 adalah mediator proinflamasi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, proliferasi, diferensiasi sel T untuk menjadi sel T efektor dengan peningkatan kemampuan memori. IFN-ɣ adalah mediator dengan sifat antivirus, immunoregulator dan antitumor. IFN-ɣ juga mengaktivasi sintesis nitrit oksida dan membantu migrasi leukosit. Keduanya memicu makrofag untuk melepaskan IL-1 dan faktor nekrosis tumor alfa. IL-1 dan faktor tumor nekrosis alfa adalah stimulan penting untuk menciptakan respon inflamasi sebagai respon terhadap infeksi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
Gambar 4. Pelepasan mediator yang diinduksi superantigen Sumber: Sagy et al, 2013
-
Peran mediator (sitokin) dalam sepsis Ada dua tipe mediator yang dilepaskan sebagai respon terhadap infeksi yaitu mediator proinflamasi dan antiinflamasi. Diasumsikan bahwa respon inflamasi yang menyebabkan sepsis berasal dari kelebihan mediator proinflamasi dan kegagalan CARS untuk mensupresi imun. Sebaliknya, apabila CARS dipicu secara berlebihan maka imunoparalisis terjadi menyebabkan ketidakmampuan imun untuk bekerja. Pertama, sitokin proinflamasi. Stimulasi makrofag menyebabkan produksi sejumlah besar TNF-α, IL-1 dan IL-6. TNF-α adalah sitokin yang paling berperan dalam sepsis dan dilepaskan pertama kali. Mediator proinflamasi lain memfasilitasi inflamasi dengan meningkatkan adhesi sel endotelialleukosit, menginduksi nitrit oksida, pelepasan asam arakidonat, dan mengaktivasi komplemen kaskade. Selain itu, mediator proinflamasi meningkatkan koagulasi dengan meningkatkan level faktor koagulasi jaringan dan koagulan membran. Mediator tersebut menghambat aktivitas koagulan dengan meningkatkan thrombomodulin dan menginhibisi fibrinolisis.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
Kedua, sitokin antiinflamasi. Berlawanan dengan sitokin proinflamasi, sitokin antiinflamasi menghambat inflamasi dengan penghambatan TNF-α, augmentasi reaktan fase akut dan imunoglobulin serta penghambatan fungsi limfosit T. Mediator antiinflamasi juga menghambat aktivasi sistem koagulasi. Respon mediator antiinflamasi ini menyediakan mekanisme feedback negatif untuk mengatur penurunan sintesis mediator proinflamasi dan memodulasi efeknya sehingga menjaga homostasis dan mencegah SIRS. c.
Efek kelebihan mediator spesifik SIRS dihasilkan dari respon proinflamasi yang berlebihan. Sebaliknya, jika CARS bekerja berlebihan maka terjadi imunosupresi yang tidak tepat. Jika keseimbangan antara proinflamasi dan CARS terganggu maka homeostasis tidak terjaga dan perkembangan klinis terhadap disfungsi organ bisa terjadi.
2.3.3. Diagnosis Berdasarkan International Guideline for Management of Severe Sepsis and Septic Shock tahun 2012, berikut ini adalah kriteria diagnosis sepsis:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis Sepsis Variabel umum Demam (>38,3°C) Hipotermia (<36°C) Detak jantung >90/menit lebih dari dua angka di atas nilai normal sesuai usia Takipnea Perubahan status mental Edema signifikan atau keseimbangan positif cairan >20 mL/kg selama 24 jam Hiperglikemia (glukosa plasma) >140 mg/dL atau 7.7. mmol/L tanpa adanya diabetes Variabel inflamasi Leukositosis (WBC count >12.000 µL-1) Leukopenia (WBC count <4000 µL-1) WBC count normal dengan lebih dari 10% bentuk immature Plasma C-reactive protein lebih dari dua angka di atas nilai normal Variabel hemodinamik Hipotensi arteri (SBP <90 mmHg, MAP <70mmHg Variabel disfungsi organ Hipoksemia arteri (Pao2/Fio2 <300) Oliguria akut (keluaran urin <0,5 mL/kg/jam setidaknya selama 2 jam meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan yang cukup ) Peningkatan kreatinin >0,5 mg/dL atau 44,2 µmol/L Koagulasi abnormal (INR >1,5 atau PTT >60 detik) Ileus Thrombocytopenia (platelet count <100.000 µL-1) Hiperbilirubinemia (plasma total bilirubin >4 mg atau 70 µmol/L) Variabel perfusi jaringan Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L) Penurunan refill kapiler (Sumber: Dellinger et al, 2012)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
2.3.4. Manajemen Sepsis Berat Berdasarkan International Guideline for Management of Severe Sepsis and Septic Shock tahun 2012, berikut ini adalah rekomendasi manajemen untuk sepsis berat: Tabel 2.2. Manajemen Sepsis Berat A. Resusitasi awal a. Resusitasi kuantitaif pada pasien dengan hipoperfusi yang diinduksi sepsis setelah perubahan cairan awal atau konsentrasi laktat dalam darah ≥ 4 mmol/L. Tujuan selama 6 jam pertama resusitasi adalah: b. Tekanan vena sentral 8-12 mmHg c. Tekanan arteri rata-rata (MAP) ≥ 65 mmHg d. Keluaran urin ≥ 0,5 mL/kg/jam e. Vena central (vena cava superior) atau saturasi oksigen vena 70% atau 65% f. Pada pasien dengan peningkatan level laktat maka target resusitasi adalah untuk menormalkan laktat B. Skrining untuk sepsis dan perkembangan kondisi a. Skrining rutin terhadap potensi infeksi pasien sakit kritis untuk menentukan implementasi awal terapi b. Usaha peningkatan kondisi pasien sepsis berat berbasis rumah sakit C. Diagnosis a. Kultur sebelum terapi antimikroba jika tidak ada keterlambatan signifikan (>45 menit) dalam memulai penggunaan antimikroba. Paling tidak dua set kultur darah (baik aerob maupun nonaerob) ditentukan sebelum terapi antimikroba b. Penggunaan 1,3 beta-D-glucan assay, mannan dan anti-mannan antibody assay jika tersedia dan candidiasis invasif terdapat dalam diagnosis penyebab infeksi c. Kajian imaging dilakukan untuk mengkonfirmasi sumber infeksi potensial D. Terapi antimikroba a. Pemberian antimikroba intravena dalam satu jam pertama diketahuinya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
syok sepsis dan sepsis tanpa syok sepsis sebagai tujuan terapi b. Terapi empiris awal satu atau dua obat yang memiliki aktivitas melawan bakteri patogen dan yang berpenetrasi dalam konsentrasi adekuat ke dalam jaringan yang diasumsikan menjadi sumber sepsis. c. Regimen antibiotik harus dinilai setiap hari untuk melakukan de-eskalasi d. Gunakan level rendah prokalsitonin
atau biomarker serupa
untuk
membantuk klinisi mengehntikan antibiotik empriis pada pasien yang tampak sepsis pada awalnya, tetapi tidak menunjukkan bukti sepsis lebih lanjut e. Terapi empiris kombinasi untuk pasien neutropeni dengan sepsis berat dan untuk pasien yang susah diterapi, patogen MDR seperti Acinetobacter dan Pseudomonas spp. Untuk pasien dengan infeksi berat berkaitan dengan gagal napas dan syok septik, terapi kombinasi dengan beta-laktam
extended
spectrum
dan
baik
aminoglikosida
atau
fluoroquinolone untuk P.aeruginosa. Kombinasi beta-laktam dan makrolida untuk pasien dengan syok septic digunakan untuk infeksi Streptococcus pneumoniae. Terapi kombinasi empiris tidak boleh diberikan lebih dari 3-5 hari. De-eskalasi ke terapi tunggal paling sesuai harus dilakukan segera profil kepekaan bakteri diketahui. f. Durasi terapi biasanya 7-10 hari, lebih dari itu mungkin sesuai untuk pasien yang memiliki respon klinis yang lambat, undrainable foci of infectioni, bakteremia dengan S. aureus, beberapa fungi dan infeksi virus atau defisiensi immunologi termasuk neutropenia g. Terapi antivirus harus dimulai sedini mungkin pada pasien dengan sepsis berat atau syok septik karena virus. h. Agen antimikroba tidak boleh digunakan pada pasien dengan kondisi inflamasi parah yang disebabkan karena noninfeksi. E. Kontrol sumber a. Diagnosis infeksi secara anatomik memerlukan pertimbangan apakah kontrol sumber perlu dilakukan atau tidak secepat mungkin, dan intervensi dilakukan selama 12 jam pertama setelah diagnosis dibuat, jika mungkin.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
b. Ketika infeksi nekrosis peripancretic diidentifikasi sebagai sumber infeksi potensial, intervensi definitif baiknya ditunda sampai
adanya
pembatasan yang adekuat terhadap jaringan yang terinfeksi dan tidak. c. Ketika kontrol sumber pada pasien sepsis berat dibutuhkan, intervensi yang efektif adalah yang paling tidak menyakitkan secara fisiologis (misal, perkutan daripada surgical drainage untuk abses) d. Jika alat akses intravaskular adalah sumber sepsis berat atau syok septik, alat tersebut harus dilepaskan setelah akses vaskular lain terpasang. F. Pencegahan infeksi a. Dekontaminasi oral dan digestive secara selektif harus diajukan dan diinvestigasi sebagai metode untuk mengurangi kejadian pneumonia yang berhubungan dengan ventilator. Pengukuran kontrol infeksi ini dapat dimulai dalam pengaturan pelayanan kesehatan dan are dimana metode ini efektif b. klorheksidin glukonat oral digunakan dalam bentuk dekontaminasi orofaringeal untuk menurunkan resiko pneumonia yang berhubungan dengan ventilator pada pasien dengan sepsis berat. (Sumber: Dellinger et al, 2012)
2.3.4.1.Terapi Antimikroba Stichting Werkgroep Antibioticabeleid (SWAB), sebuah badan yang mengurus kebijakan antibiotik di Belanda membagi terapi antibiotik empiris sepsis menjadi dua yaitu terapi untuk sepsis tanpa lokasi infeksi yang jelas dan terapi untuk sepsis dengan adanya lokasi infeksi yang dicurigai.
Istilah
yang
berhubungan dengan sepsis tanpa lokasi infeksi yang jelas yaitu community acquired, yang didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi di luar rumah sakit atau terjadi pada dua hari pertama perawatan di rumah sakit kecuali untuk pasien yang dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu 30-90 hari sebelumnya, tinggal di panti jompo, melakukan hemodialisis dan memakai alat intravaskular dalam waktu lama. Hospital acquired didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi selama perawatan di rumah sakit (setelah lebih dari dua hari) atau dalam jangka waktu
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
30-90 hari setelah keluar dari perawatan di rumah sakit, melakukan hemodialisis dan memakai alat intravaskular dalam waktu lama (SWAB, 2010). Rekomendasi terapi untuk community acquired sepsis menurut SWAB tanpa neutropenia dan tanpa lokasi infeksi yang jelas adalah sefalosporin generasi kedua atau ketiga atau amoksisilin dikombinasikan dengan aminoglikosida + asam klavulanat. Adapun terapi untuk sepsis dengan lokasi infeksi yang dicurigai dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan lokasi infeksi: a.
Sepsis dan hospital acquired pneumonia Dalam beberapa studi tidak ditemukan perbedaan antara karbapenem
dengan beta-laktam tunggal atau dikombinasikan dengan kuinolon dan aminoglikosida (SWAB, 2010). Sementara guideline lain merekomendasikan seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-sulbaktam (Bugano et al, 2008). Meropenem dilaporkan berhubungan dengan penurunan kegagalan terapi dibandingkan dengan kombinasi ceftazidime dan aminoglikosida (SWAB, 2010) b.
Urosepsis SWAB (2010) merekomendasikan sefalosporin generasi kedua atau ketiga
atau kombinasi amoksisilin dan gentamisin. c.
Intraabdominal sepsis Untuk pasien dengan community acquired intraabdominal sepsis SWAB
merekomendasikan
sefalosporin
generasi
ketiga
dikombinasikan
dengan
metronidazole dengan atau tanpa aminoglikosida atau amoksisilin + asam klavulanat dengan atau tanpa aminoglikosida. Sedangkan untuk pasien nosocomial intraabdominal sepsis adalah sefalosporin dikombinasikan dengan metronidazol dan aminoglikosida atau amoksisilin + asam klavulanat atau piperacilin/tazobactam dengan atau tanpa aminoglikosida (SWAB, 2010). Guideline lain merekomendasikan meropenem dan amikasin (Bugano et al, 2008) d.
Sepsis dan skin and structure infection Antibiotik yang direkomendasikan untuk uncomplicated skin and structure
infection adalah flukloksasilin. Sedangkan untuk uncomplicated skin and structure infection adalah amoksisilin + asam klavulanat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
2.4.
BPJS Berdasarkan UU No. 24
tahun 2011, Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial yang selanjutnya disebut BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial BPJS terbagi menjadi dua, yaitu BPJS Kesehatan
dan
BPJS
Ketenagakerjaan.
BPJS
kesehatan
berfungsi
menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan. Untuk program Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, implementasinya dimulai sejak 1 Januari 2014. Program tersebut selanjutnya disebut dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tujuan pelaksanaan JKN adalah untuk memberikan perlindungan kesehatan dalam bentuk manfaat pemeliharaan kesehatan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar
iuran
atau
iuran
dibayar
oleh
pemerintah.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1.
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan desain case
study.
Pengambilan data pasien dilakukan
secara retrospektif,
melalui
pengumpulan data dari rekam medis pasien rawat inap yang menerima antibiotika meropenem di RUMKITAL Dr. Mintoharjo, selama periode Januari-Desember 2014.
3.2.
Kerangka Konsep Penelitian
26 rekam medis pasien yang menggunakan antibiotik meropenem yang memenuhi kriteria inklusi
Parameter Gyssens: (Pamela, 2011) - ketepatan indikasi, - ketepatan pemilihan -
Kualitas penggunaan antibiotik meropenem
Rasional (kategori 0)
berdasarkan efektivitas toksisitas harga lama pemberian dosis interval pemberian rute pemberian waktu pemberian
Tidak rasional (kategori I-VI)
Gambar 5. Kerangka Konsep Penelitian
3.3.
Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medis pasien Sepsis di ruang rawat inap RUMKITAL Dr. Mintoharjo periode Januari-Desember 2014.
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
Subjek dipilih harus memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Kriteria inklusi adalah: a.
Semua pasien sepsis rawat inap BPJS yang menggunakan antibiotik meropenem di ruang rawat inap RUMKITAL Dr. Mintoharjo periode Januari-Desember 2014
b.
Subjek penelitian adalah semua usia
c.
Rekam medik yang lengkap dan jelas terbaca
Kriteria eksklusi adalah: a.
Pasien tidak dalam rentang terapi yang dapat dievaluasi
3.3.2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu semua pasien yang memenuhi kriteria diambil sebagai sampel penelitian. Dari hasil uji pendahuluan didapatkan 41 rekam medis pasien sepsis yang menerima antibiotik meropenem tetapi hanya 26 pasien yang masuk kriteria inklusi. Sebanyak 15 rekam medis pasien sepsis dieksklusi karena data rekam medis yang hilang atau tidak memenuhi rentang terapi.
3.4.
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruang administrasi medis RUMKITAL Dr.
Mintoharjo Jakarta Pusat pada bulan Februari 2015-selesai. Pengambilan data dilakukan bulan Februari-Maret 2015. Pengolahan data dan analisis data dilakukan bulan April-Mei 2015.
3.5.
Definisi operasional
Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang didefinisikan sebagai berikut:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
Tabel 3.1. Definisi Operasional No 1
Definisi
Cara dan Alat Ukur
Jenis Kelamin
Kondisi fisik yang menentukan status seseorang laki-laki atau perempuan
Melihat pencatatan status pasien di rekam medis
Nominal
1. Laki-laki 2. Perempuan
Umur
Usia pasien yang menjalani terapi berdasarkan ulang tahun terakhir
Melihat pencatatan status pasien di rekam medis
Kategori
1. Balita 2. Kanak-Kanak 3. Remaja Awal 4. Remaja Akhir 5. Dewasa Awal 6. Dewasa Akhir 7. Lansia Awal 8. Lansia Akhir 9. Manula
Keparahan sepsis
Keparahan sepsis Melihat yang dialami pencatatan pasien diagnosis pasien di rekam medis
Nominal
1. Sepsis 2. Sepsis berat 3. Syok septik
Jenis terapi
Jenis terapi Melihat antibiotika pencatatan meropenem yang pemberian obat diberikan kepada dan hasil kultur pasien pasien di rekam medis
Nominal
1. Empiris 2. Definitif
Jenis sepsis Jenis sepsis yang Melihat dialami pasien pencatatan diagnosis pasien di rekam medis
Nominal
1. Nosocomial sepsis 2. Community acquired sepsis Intraabdominal sepsis
Variabel
Skala Ukur
Keterangan
Karakteristik Pasien
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
No
Variabel
Definisi
Cara dan Alat Ukur
Skala Ukur
Keterangan 3. Community acquired pneumonia sepsis 4. Hospital acquired pneumonia sepsis 5.Urosepsis
Komorbidit Keberadaan dua as penyakit atau lebih dalam satu waktu pada satu pasien
Lama perawatan
Melihat pencatatan diagnosis pasien di rekam medis
Lama hari rawat Melihat pasien di ruang pencatatan status rawat inap pasien di rekam RUMKITAL Dr. medis Mintohardjo
Nominal
1.Renal disease Cerebrovascula r disease 2.Congestive heart failure 3.Diabetes with chronic complication 4.Diabetes 5.Peripheral vascular disease
Rasio
1. <10 hari 2.10-20 hari 3. 20-30 hari 4. >30 hari
Jumlah Jumlah obat yang obat yang digunakan pasien diterima selama masa perawatan
Melihat pencatatan formulir pemberian obat di rekam medis
Rasio
1. 1-10 obat 2. 10-20 obat 3. >20 obat
Jumlah antibiotik yang diterima
Melihat pencatatan formulir pemberian obat di rekam medis
Rasio
1. 1-2 antibiotik 2. 3-4 antibiotik 3. ≥ 5 antibiotik
Jumlah antibiotik yang digunakan pasien selama masa perawatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
No
Variabel
Definisi
Cara dan Alat Ukur
Skala Ukur
Keterangan
2
Resistensi
Tingkat resistensi mikroorganisme penyebab infeksi terhadap antibiotik
Melihat hasil uji sensitivitas di laporan peta resistensi mikroorganisme
Nominal
1. Sensitif 2. Intermediet 3. Resisten
3
Kualitas penggunaan antibiotik
Ketepatan penggunaan antibiotik meropenem yang dievaluasi dengan kategori Gyssens
Mengevaluasi kualitas antibiotik meropenem sesuai dengan parameter Gyssens
Nominal
1. Rasional 2. Tidak rasional
Pemberian antibiotik meropenem sesuai dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa dokter
Melihat pencatatan status pasien di rekam medis
Nominal
1. Tepat 2. Tidak tepat
Pemilihan antibiotik meropenem yang tepat sesuai dengan hasil kultur dan peta kuman atau literatur terkait
Melihat pencatatan status pasien di rekam medis
Nominal
1. Tepat 2. Tidak tepat
Kemampuan antibiotik meropenem untuk menimbulkan kerusakan dalam tubuh
Melihat pencatatan status pasien di rekam medis
Nominal
1. Toksik 2. Tidak toksik
Rasio
Rupiah
Ketepatan indikasi
Ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas
Toksisitas
Harga
Harga antibiotik Melihat sesuai dengan pencatatan status peraturan yang pasien di rekam berlaku medis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
No
Variabel Lama pemberian
3.6.
Cara dan Alat Skala Ukur Keterangan Ukur Waktu yang Melihat Nominal 1. Tepat digunakan dalam pencatatan status 2. Tidak tepat pemberian pasien di rekam antibiotik ke pasien medis Definisi
Dosis
Takaran antibiotik Melihat meropenem yang pencatatan status diberikan pasien di rekam medis
Nominal
1. Tepat 2. Tidak tepat
Interval pemberian
Jarak waktu antar Melihat pemberian pencatatan status antibiotik pasien di rekam meropenem medis
Nominal
1. Tepat 2. Tidak tepat
Rute pemberian
Jalur antibiotik Melihat meropenem masuk pencatatan status ke dalam tubuh pasien di rekam medis
Nominal
1. Tepat 2. Tidak tepat
Waktu pemberian
Waktu pada saat Melihat antibiotik pencatatan status meropenem pasien di rekam diberikan medis
Nominal
1. Tepat 2. Tidak tepat
Prosedur Penelitian
3.6.1. Persiapan (Permohonan Izin) Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian dari Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah kepada RUMKITAL Dr. Mintoharjo. Penyerahan surat persetujuan penelitian dari RUMKITAL Dr. Mintoharjo kepada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.
3.6.2. Pengumpulan Data Penelitian Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan alur sebagai berikut:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
a.
Pengumpulan data sekunder yang diawali dengan mengumpulkan data resistensi kultur bakteri yang mungkin menyebabkan infeksi di RUMKITAL Dr. Mintohardjo. Kultur bakteri tersebut diperoleh dari beberapa pasien selama tahun 2014. Masing-masing kultur tersebut sudah ditetapkan resistensinya terhadap berbagai antibiotik. Data resistensi bakteri yang didapatkan kemudian dikelompokkan berdasarkan jenis bakteri dan dihitung resistensinya terhadap berbagai antibiotik bertujuan untuk memperoleh gambaran resistensi bakteri tersebut terhadap antibiotik yang digunakan.
b.
Pemilihan pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi. Data rekam medis dari pasien tersebut kemudian didokumentasikan berupa nomor rekam medis, usia pasien, jenis kelamin, diagnosis, dan data penggunaan obat.
c.
Data dari rekam medis pasien dan peta resistensi bakteri terhadap antibiotik dianalisis dan dievaluasi menggunakan metode Gyssens
3.6.3. Pengolahan Data Data yang diperoleh dari rekam medis pasien kemudian diolah dengan menggunakan program Statistical Package for the Social Science (SPSS) edisi 16.0 . Proses pengolahan data meliputi langkah sebagai berikut: a.
Editing Proses ini meliputi pemeriksaan kelengkapan data yang akan diolah, koreksi kesalahan data dan eksklusi data-data yang tidak dibutuhkan sehingga prngolahan data lebih mudah dan dapat dilakukan peneliti dengan baik
b.
Coding Proses ini merupakan pemberian kode berupa angka terhadap data-data yang terdiri dari beberapa kategori dalam satu variabel
c.
Input data, yaitu kegiatan memasukkan data yang akan diolah ke dalam program
d.
Cleaning data¸ atau pemeriksaan kembali untuk memastikan data benar dan siap diolah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
3.6.4. Analisis data a.
Evaluasi kualitas penggunaan antibiotika Evaluasi kualitas penggunaan antibiotika berdasarkan alur Gyssens
meliputi kelengkapan data, indikasi penggunaan antibiotika, pemilihan antibiotika berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga dan spektrum, lama pemberian, dosis, rute dan interval serta waktu pemberian antibiotik. Pedoman yang digunakan untuk penelitian antara lain International Guideline for Management Severe Sepsis and Septic Shock 2012, peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo dan literatur terkait lainnya. Hasil evaluasi yang didapatkan kemudian dinyatakan dengan persentase. b.
Analisis data Analisis data dilakukan secara deskriptif, yakni analisis menggambarkan
data yang diperoleh dari selama penelitian secara sederhana sehingga dapat dibaca dan dianalisis secara sederhana (Nursalam, 2008). Data akan dipaparkan dalam tabel-tabel persentase menggunakan fitur frequency pada program SPSS 17.0
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan terhadap regimen antibiotik meropenem yang diterima pasien sepsis di ruang rawat inap RUMKITAL Dr. Mintohardjo selama periode Januari-Desember 2014.Pada penelitian ini dilakukan evaluasi kualitas penggunaan antibiotik meropenem pada pasien sepsis yang dilakukan berdasarkan kategori Gyssens. Parameter kualitas penggunaan antibiotik berdasarkan kategori Gyssens antara lain ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga, lama pemberian, dosis, interval pemberian, rute pemberian, dan waktu pemberian (Pamela, 2011). Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign, pemilihan antibiotik untuk pasien sepsis harus berspektrum luas untuk melawan bakteri patogen yang mungkin menginfeksi dan harus berpedoman pada pola prevalensi bakteri lokal. Mengacu pada hal tersebut, kualitas penggunaan antibiotik meropenem juga berpedoman dari peta resistensi bakteri terhadap antibiotik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo. Peta resistensi bakteri yang digunakan sebagai pedoman ini tidak dapat digeneralisir untuk digunakan di seluruh rumah sakit karena jenis bakteri yang ditemukan di setiap rumah sakit berbeda-beda. Bakteri yang terdapat di lingkungan rumah sakit dapat menyebabkan infeksi nosokomial, salah satunya adalah sepsis. Pembuatan peta resistensi berasal dari hasil uji kultur mikrobiologi terhadap sampel yang diambil dari pasien yang menderita infeksi namun tidak kunjung sembuh. Sampel yang digunakan dalam pembuatan peta resistensi misalnya darah, urin, sputum, jaringan dan cairan tubuh pasien. Peta resistensi tersebut digunakan untuk mengidentifikasi ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas dan harga yang merupakan salah satu faktor penilaian kerasionalan penggunaan antibiotik berdasarkan kategori Gyssens. Antibiotik yang diberikan dinilai efektif apabila sensitivitasnya terhadap bakteri yang menyebabkan sepsis masih cukup tinggi, dimana resistensi bakteri terhadap antibiotik kurang dari 50% yang berarti efektivitas antibiotik dalam menghambat pertumbuhan bakteri tersebut masih tinggi (Fathni, 2012). Apabila hasil uji kultur negatif atau tidak dilakukan uji kultur, maka terapi dianggap terapi empiris. Pada
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
penelitian ini ditemukan populasi pasien sepsis yang menerima antibiotik meropenem sebesar 41 pasien. Dari populasi tersebut didapatkan sampel sebesar 26 pasien yang termasuk dalam kriteria inklusi.
4.1.
Hasil Penelitian
4.1.1. Karakteristik Pasien Data yang diperoleh dari rekam medis pasien menunjukkan bahwa pasien sepsis yang menerima antibiotik meropenem terdiri dari 14 orang laki-laki (53,8%) dan 12 orang perempuan (46,2%). Penggolongan usia pasien berdasarkan Departemen Kesehatan RI (DEPKES) 2009. DEPKES RI mengklasifikasikan usia manusia menjadi delapan kelompok, yaitu balita (0-5 tahun), kanak-kanak (6-11 tahun), remaja awal (12-16 tahun), remaja akhir (17-25 tahun), dewasa awal (26-35 tahun), dewasa akhir (3645 tahun), lansia awal (46-55 tahun), lansia akhir (56-65 tahun), dan manula (65 tahun ke atas). Berdasarkan kelompok usia, dapat dilihat bahwa rentang usia 46 tahun sampai 55 tahun (lansia awal) adalah usia pasien terbanyak yang ditemukan. Jika digabungkan dengan kelompok usia yang lebih tua, yaitu lansia akhir dan manula maka didapatkan persentase pasien lanjut usia sebesar 51,6 %. Karakteristik pasien berdasarkan keparahan sepsis juga diamati dan terbagi menjadi tiga kategori yaitu sepsis, sepsis berat dan syok septik. Data yang diamati dari rekam medis pasien menunjukkan bahwa 19 pasien (73,1%) didiagnosis sepsis, 3 pasien didiagnosis sepsis berat (11,5%) dan 4 pasien (15,4%) didiagnosis syok septik. Jenis terapi pasien dibedakan menjadi jenis terapi empiris dan definitif. Sebanyak 24 pasien (92.3%) menerima meropenem sebagai terapi empiris dan 2 pasien sebagai terapi definitif (7.7%). Jenis sepsis yang dialami pasien diamati dari rekam medis dan dibedakan menjadi sepsis tanpa lokasi infeksi yang dicurigai dan sepsis dengan infeksi yang dicurigai. Sepsis tanpa lokasi infeksi yang dicurigai dibagi menjadi community acquired sepsis dan nosocomial sepsis. Sepsis dengan lokasi infeksi yang diketahui dibagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan lokasi infeksi. Hasil pengamatan pada rekam medis menunjukkan nosocomial sepsis (11 pasien, 42%) adalah jenis sepsis terbanyak yang dialami pasien. Data komorbiditas pasien dikategorikan berdasarkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
Charlson Comobidity Index menggunakan kode International Classification of Disease (ICD-9) (Deyo et al, 1992). Hasil pengamatan pada rekam medis menunjukkan cerebrovascular disease (5 pasien, 29%) adalah komorbiditas yang paling banyak ditemukan. Karakteristik pasien lain yang diamati adalah lama perawatan, jumlah obat yang diterima selama perawatan dan jumlah antibiotik yang diterima selama perawatan. Ketiga karakteristik tersebut dikategorikan berdasarkan rentang tertentu. Karakteristik pasien sepsis yang menerima antibiotik meropenem dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Karakteristik Pasien Sepsis yang Menerima Antibiotik Meropenem Karakteristik Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Kelompok Usia Balita (0-5 tahun) Kanak-kanak (6-11 tahun) Dewasa Awal (26-35 tahun) Dewasa Akhir (36-45 tahun) Lansia Awal (46-55 tahun) Lansia Akhir (56-65 tahun) Manula (65 tahun ke atas) Keparahan Sepsis Sepsis Sepsis Berat Syok Septik Jenis Terapi Meropenem Empiris Definitif Jenis Sepsis Nosocomial sepsis Community acquired sepsis Intraabdominal sepsis Community acquired pneumonia sepsis Hospital acquired pneumonia sepsis Urosepsis Komorbiditas Renal disease Cerebrovascular disease
Jumlah
Persentase (%)
14 12
53.8 46.2
2 2 2 4 8 3 5
7.7 7.7 7.7 15.4 30.8 11.5 9.3
19 3 4
73.1 11.5 15.4
24 2
92.3 7.7
11 4 2 1
42% 15% 8% 4%
7 1
27% 4%
4 5
23.5 29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
Congestive heart failure Diabetes with chronic complication Diabetes Peripheral vascular disease Lama Perawatan <10 hari 10-20 hari 20-30 hari >30 hari Jumlah Obat Diterima 1-10 10-20 >20 Jumlah Antibiotik Diterima 1-2 3-4 ≥5
2 1
12 6
4 1
23.5 6
7 13 1 5
26.9 50.0 3.8 19.2
8 17 1
23.1 65.4 11.5
6 17 3
30.8 65.4 3.8
yang
yang
4.1.2. Peta Resistensi Mikroorganisme Peta resistensi mikroorganisme di RUMKITAL Dr. Mintohardjo pada tahun 2014 menunjukkan persentase resistensi berbagai bakteri terhadap 24 jenis antibiotik. Peta resistensi bakteri juga menyediakan informasi mengenai jenis spesimen yang digunakan dalam uji resistensi. Spesimen yang paling banyak digunakan adalah darah, sebanyak 185 spesimen (40,30%). Dari 185 spesimen hanya 25 spesimen (13,51%) memberikan hasil positif, sedangkan 160 spesimen (86,49%) memberikan hasil steril atau tidak terdapat pertumbuhan kuman. Spesimen yang paling banyak memberikan hasil positif adalah sputum, dimana dari 52 spesimen sputum semuanya memberikan hasil positif (100%). Spesimen yang banyak memberikan hasil positif setelah sputum adalah pus/swab luka, dimana dari 74 spesimen, 59 spesimen (79,72%) memberikan hasil positif. Data jumlah spesimen uji sensitivitas antibiotik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo dapat dilihat di tabel 4.2.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
Tabel 4.2. Data Jumlah Spesimen Uji Sensitivitas Antibiotik RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari-Desember 2014 No Jenis Spesimen 1 Darah 2 Urin 3 Sputum 4 Pus/Swab Luka Cairan 5 Tubuh 6 Faeces 7 Ujung Kateter 8 Swab Vagina 9 Jaringan 10 Pot Selang 11 Swab Rektal Jumlah
Jumlah Isolat 185 132 52 74
%
Positif
%
Steril
%
40,30 28,75 11,32 16,12
25 25 52 59
13,51 18,93 100,00 79,72
160 107 0 15
86,49 81,07 0 20,28
9
1,96
5
55,55
4
44,45
2 1
0,43 0,21
0 1
0 100,00
2 0
100,00 0
1 1 1 1 459
0,21 0,21 0,21 0,21 100,00
1 0 1 0 169
100,00 0 100 0 36,82
0 1 0 1 290
0 100,00 0 100 63,18
Jenis bakteri yang ditemukan pada spesimen yang diuji kebanyakan adalah bakteri gram negatif seperti kelompok bakteri Coliform, Pseudomonas sp., Proteus sp., dan Aerobacter sp. Adapun bakteri gram positif yang ditemukan adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp. Bakteri yang paling banyak ditemukan dari spesimen yang diuji adalah bakteri kelompok Coliform dan Eschericia coli yaitu pada 37 kultur spesimen (21,90%) ditemukan bakteri Coliform dan pada 34 kultur spesimen (20,11%) ditemukan bakteri Eschericia coli. Data mengenai jumlah kuman yang terlibat dalam pembuatan peta resistensi dapat dilihat di tabel 4.3.
Tabel 4.3. Data Jumlah Kuman yang Terlibat dalam Pembuatan Peta resistensi Bakteri terhadap Antibiotik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo periode JanuariDesember 2014 No 1 2 3 4 5 6
Jenis Kuman Alkaligenes faecalis Aerobacter aerogenes Aerobacter Cloacae Coliform Eschericia coli Proteus sp
Jumlah 30 5 1 37 34 15
% 17,75 2,95 0,60 21,90 20,11 8.90
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
7 Pseudomonas sp 8 Staphylococcus aureus 9 Streptococcus sp 10 pseudodiplokokkus Jumlah
17 24 5 1 169
10,05 14,20 2,95 0,60 100,00
Data jumlah kuman dan spesimen kemudian diperinci menjadi data profil kuman berdasarkan jenis spesimen. Data profil kuman berdasarkan jenis spesimen dalam uji sensitivitas dapat dilihat di tabel 4.4.
Tabel 4.4. Data Profil Kuman Berdasarkan Jenis Spesimen Uji Sensitivitas Antibiotik RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari-Desember 2014 No Jenis Isolat 1 Darah
2
Urin
3
Sputum
4
Pus/Swab Luka
5
Cairan
Jenis Kuman Alkaligenes faecalis Coliform Eschericia coli Staphylococcus aureus Streptococcus Sp Alkaligenes faecalis Aerobacter aerogenes Coliform Eschericia coli Proteus Sp Pseudomonas Sp Staphylococcus aureus Streptococcus Sp Alkaligenes faecalis Aerobacter aerogenes Coliform Eschericia coli Proteus Sp Pseudomonas Sp Staphylococcus aureus Streptococcus Sp Alkaligenes faecalis Aerobacter aerogenes Aerobacter Cloacae Coliform Eschericia coli Proteus Sp Pseudomonas Sp Staphylococcus aureus Streptococcus Sp Coliform
Jumlah 9 6 4 5 1 5 1 2 11 3 1 1 1 8 3 14 6 1 11 6 1 8 1 1 10 13 11 4 9 2 1
% 5,32 3,55 2,36 2,96 0,60 2,95 0,60 1,18 6,50 1,78 0,60 0,60 0,60 4,73 1,78 8,28 3,55 0,60 6,50 3,55 0,60 4,73 0,60 0,60 5,91 7,70 6,50 2,36 5,32 1,18 0,60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
Serebrospinal 6 Cairan Empedu 7 Cairan Asites 8 Cairan Paru-paru 9 Jaringan 10 Sekret Vagina 11 Kateter 12 Pot Selang Jumlah
Coliform Coliform Pseudomonas Sp Coliform Pseudodiplococcus Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus
1 1 1 1 1 1 1 169
0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 100.00
Adapun laporan peta resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat dilihat di lampiran 4.
4.1.3.
Evaluasi Antibiotik Dalam penelitian ini, parameter yang digunakan untuk mengevaluasi
antibiotik meropenem berdasarkan kriteria Gyssens adalah ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas dan harga, lama pemberian, dosis, interval pemberian, rute pemberian, dan waktu pemberian (Pamela, 2011). Pengobatan dapat tidak sesuai dengan alasan yang berbeda pada saat yang sama dan dapat ditempatkan dalam lebih dari satu kategori. Dengan evaluasi Gyssens, terapi empiris dapat dinilai, demikian juga terapi definitif setelah hasil pemeriksaan mikrobiologi diketahui (Gyssens, 2005). Hasil evaluasi menunjukkan 4 rejimen (15%) termasuk rasional (kategori 0) dan 22 rejimen (85%) termasuk tidak rasional (kategori I-VI). Sebanyak 22 rejimen yang termasuk tidak rasional diperinci menjadi 32 hasil evaluasi. Hasil dari evaluasi antibiotik meropenem dapat dilihat pada tabel 4.5.
Tabel 4.5. Hasil Evaluasi Penggunaan Antibiotik Meropenem (n=26) Kerasionalan Jumlah Rasional (Kategori 0) 4 Tidak rasional (Kategori 22 I-VI)
Persentase (%) 15 85
Total
`100
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
Hasil evaluasi penggunaan antibiotik meropenem yang tidak rasional dapat diperinci menjadi beberapa kategori sesuai dengan parameter yang dinilai. Rincian ketidakrasionalan penggunaan antibiotik meropenem dapat dilihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.6. Rincian Ketidakrasionalan Penggunaan Antibiotik Meropenem (n=34) Kategori Dosis tidak tepat (Kategori IIA) Interval tidak tepat (Kategori IIB) Pemberian terlalu lama (Kategori IIIA) Alternatif lain lebih efektif (Kategori IVA) Spektrum alternatif lebih sempit (Kategori IVD) Data tidak lengkap (Kategori VI) -
Jumlah 3 8 2 17 1 3 34
Persentase (%) 9 24 6 49 3 9 100
Hasil evaluasi kategori IVA (ada alternatif lebih efektif) dapat diperinci lagi menjadi jenis antibiotik alternatif yang lebih efektif. Rincian jenis antibiotik alternatif yang lebih efektif dapat dilihat di tabel 4.7.
Tabel 4.7. Jenis Antibiotik Alternatif yang Lebih Efektif Antibiotik yang Lebih Efektif Amikasin, Imipenem dan Fosfomisin Levofloksasin Siprofloksasin dan Fosfomisin 4.2.
Jumlah 9 7 1 17
Pembahasan Penelitian
4.2.1. Karakteristik Pasien Data karakteristik pasien yang diperoleh meliputi jenis kelamin, usia, keparahan sepsis, lama perawatan, jumlah obat yang diterima selama perawatan dan jumlah antibiotik yang diterima selama perawatan. Data jenis kelamin menunjukkan bahwa jumlah antara pasien laki-laki dan perempuan hampir seimbang, yaitu 53,8% laki-laki dan 46,2% perempuan. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian cohort yang dilakukan oleh Brun-Buisson (1995), Danai dan Martin (2005) dan Engel et al (2006) yang melaporkan bahwa sepsis lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Laki-laki beresiko
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
menderita sepsis 30% lebih besar dibanding dengan perempuan (Danai dan Martin, 2005). Perbedaan ini kemungkinan karena jumlah sampel yang sedikit dan juga karena tidak semua pasien sepsis di RUMKITAL Dr. Mintohardjo diteliti. Hanya pasien sepsis yang menerima meropenem saja yang termasuk kriteria inklusi dalam penelitian ini. Data usia pasien menunjukkan bahwa kelompok usia pasien terbanyak adalah lansia awal (46-55 tahun) sebesar 30,8%. Jika usia semua pasien dirataratakan maka didapatkan usia 46,5 tahun. Menurut Danai dan Martin (2005) rerata usia pasien sepsis adalah 55-65 tahun. Dibandingkan dengan penelitian tersebut, rerata usia pasien sepsis pada penelitian ini lebih muda. Hal ini kemungkinan dikarenakan karena jumlah sampel yang sedikit dan adanya perbedaan ruang lingkup dan waktu penelitian. Kemungkinan lain perbedaan ini berkaitan dengan tipe rumah sakit. Engel et al (2006) melaporkan bahwa pada rumah sakit besar, pasien sepsis cenderung berusia lebih muda. RUMKITAL Dr. Mintohardjo merupakan rumah sakit tipe B dengan jumlah tempat tidur 256 buah termasuk rumah sakit besar, sehingga kemungkinan pasien sepsis cenderung berusia lebih muda. Data jenis keparahan sepsis menunjukkan sebesar 19 pasien (73,1%) mengalami sepsis, 3 pasien (11,5% ) mengalami sepsis berat dan 4 pasien (15,4%) mengalami syok septik. Salah satu isu penting dalam terapi sepsis adalah apakah keparahan sepsis berpengaruh pada pemilihan antibiotik. Tidak ada penelitian randomized controlled trial (RCT) yang sudah dilakukan mengenai hal ini. Hal yang sudah jelas adalah pada pasien yang mengalami syok septik, terapi dengan antibiotik yang tidak efektif tidak dapat diterima. Konsekuensinya, rejimen antibiotik untuk pasien syok septik harus efektif melawan bakteri patogen yang dicurigai. Tetapi tidak ada bukti berapa level resistensi antibiotik yang masih bisa diterima untuk terapi pasien sepsis (SWAB, 2010). Karena itu, evaluasi ketepatan antibiotik dalam penelitian ini akan mengacu pada terapi secara umum tanpa memandang keparahan pasien. Data jenis terapi meropenem pasien yang didapat dari rekam medis dan laporan rekapitulasi hasil kultur menunjukkan bahwa mayoritas pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris yaitu sebesar 24 pasien (92.3%). Banyaknya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
terapi empiris dikarenakan banyak uji kultur yang dilakukan memberikan hasil negatif. Adapun pasien yang menerima meropenem sebagai terapi definitif sesuai hasil kultur hanya 2 pasien (7.7%). Dari 26 rejimen meropenem yang termasuk kriteria inklusi, tidak semuanya didukung oleh data kultur mikrobiologi. Sebanyak 6 pasien tidak melakukan uji kultur mikrobiologi. Adapun 20 pasien lain yang melakukan hasil uji kultur mikrobiologi, memberikan hasil 9 kultur positif dan 11 kultur negatif. Kebanyakan uji kultur tersebut dilakukan setelah meropenem mulai diberikan sehingga penggunaan meropenem dianggap sebagai terapi empiris. Jikapun uji kultur dilakukan sebelum pemberian meropenem, hasil uji kultur tersebut adalah negatif (tidak ada kuman yang tumbuh). Sekitar 50% hasil kultur dari pasien sepsis adalah negatif (Phua et al, 2013). Ada beberapa kemungkinan penyebab hasil negatif tersebut. Pertama, sensitivitas uji kultur mikrobiologi yang rendah. Alasan yang bisa dikemukakan antara lain adalah adanya paparan antibiotik sebelum dilakukan uji kultur mikrobiologi, kesalahan sampling, volume darah yang tidak mencukupi untuk uji kultur mikrobiologi, kondisi pemindahan sampel yang tidak baik, dan bakteri yang memiliki pertumbuhan sangat lambat atau sangat cepat (Phua et al, 2013). Kedua, kemungkinan pasien yang memiliki hasil kultur negatif tidak menderita sepsis karena bakteri. Sekitar 5% kasus sepsis di ICU disebabkan oleh fungi (Phua et al, 2013). Dalam penelitian ini, hasil kultur negatif diduga karena paparan antibiotik sebelum dilakukan uji kultur mikrobiologi menyebabkan level bakteri dalam spesimen uji menurun sehingga tidak terdeteksi. Kemungkinan lain adalah pasien tidak menderita sepsis karena bakteri. Akan tetapi hal tersebut tidak bisa dipastikan karena tidak dilakukan pemeriksaan untuk memastikan adanya penyebab lain seperti virus dan jamur. Sebagai konsekuensi dari ketidaktepatan waktu uji kultur mikrobiologi dan hasil negatif uji kultur mikrobiologi, maka meropenem dianggap sebagai terapi empiris. Hanya 2 rejimen dari 26 rejimen yang dianggap sebagai terapi definitif karena pemberian meropenem dilakukan setelah hasil kultur didapatkan. Jenis sepsis yang dialami pasien dibedakan menjadi sepsis tanpa lokasi infeksi yang jelas dan sepsis dengan lokasi infeksi yang dicurigai (SWAB, 2010). Penelusuran jenis sepsis dari rekam medis menunjukkan bahwa nosocomial sepsis (11 pasien, 42%) adalah jenis sepsis yang paling banyak dialami pasien.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
Banyaknya kejadian yang diidentifikasi sebagai nosocomial sepsis dikarenakan tidak ada lokasi infeksi yang dicurigai, dan juga karena hasil kultur negatif. Adapun sepsis dengan lokasi infeksi yang dicurigai yang paling banyak ditemukan adalah hospital acquired pneumonia sepsis yaitu sebanyak 7 pasien (27%). Pneumonia merupakan penyakit infeksi di saluran pernapasan. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Engel et al (2007) yang menunjukkan bahwa saluran pernapasan merupakan sumber infeksi sepsis yang paling banyak. Jenis sepsis yang lain yang ditemukan pada pasien adalah Community acquired sepsis, Intraabdominal sepsis (2 pasien, 8%), Community acquired pneumonia sepsis (1 pasien, 4%), dan Urosepsis (1 pasien, 4%). Data komorbiditas pasien dikategorikan berdasarkan Charlson Comobidity Index menggunakan kode International Classification of Disease (ICD-9) (Deyo et al, 1992). Data yang didapatkan dari rekam medis menunjukkan bahwa cerebrovascular disease menjadi komorbiditas yang paling banyak dialami pasien yaitu sebesar 29%. Komorbiditas lain yang ditemukan antara lain renal disease (23%), congestive heart failure (12%), diabetes with chronic complication (6%), diabetes (23%) dan peripheral vascular disease (6%). Apabila digabungkan antara diabetes dan diabetes with chronic complication
didapatkan hasil
persentase sebesar 29% sehingga sama besar dengan cerebrovascular disease. Martin (2009) melaporkan bahwa dari 12.000 pasien sepsis yang diteliti, komorbiditas yang paling banyak ditemukan adalah diabetes. Pasien diabetes memiliki beberapa kondisi kerusakan imun seperi penurunan cell-mediated immunity dan fagositosis. Diabetes meningkatkan kecenderungan individu terhadap kejadian infeksi serius dalam aliran darah dan resiko disfungsi organ berkaitan dengan sepsis (Iskander et al, 2013). Komorbiditas yang meningkatkan resiko kematian pada pasien sepsis antara lain kondisi supresi imun, kanker, HIV/AIDS, gagal hati dan ketergantungan terhadap alkohol (Iskander et al, 2013) Data keparahan sepsis pasien yang didapat dari rekam medis menunjukkan bahwa mayoritas pasien mengalami sepsis yaitu sebanyak 19 pasien (73,1%) diikuti syok septik 4 pasien (15,4%) dan sepsis berat 3 orang (11,3%). Lama perawatan pasien berkisar antara 5-72 hari dengan rerata 20 hari. Angka ini berbeda dengan Danai dan Martin (2005) yang melaporkan rerata 12 hari.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
Jumlah obat yang diterima pasien selama perawatan paling banyak pada kategori 10-20 obat. Rerata jumlah obat yang diterima per pasien adalah 13 obat. Menurut Ernie dan Hafiz (2007), pemberian obat dengan jumlah berlebihan atau lebih dari 4 jenis obat dikenal dengan polifarmasi. Berdasarkan hal ini, pola penggunaan obat pada pasien sepsis dapat dikatakan polifarmasi. Polifarmasi sering menimbulkan interaksi obat, baik yang bersifat meningkatkan maupun meniadakan efek obat. Interaksi obat yang ditimbulkan dapat menyebabkan efek samping obat atau efek yang tidak diinginkan (Pillians, 2006). Jumlah antibiotik yang diterima pasien selama perawatan terbanyak pada 3-4 antibiotik. Rerata jumlah antibiotik yang diterima pasien adalah 3 antibiotik.
4.2.2. Peta Resistensi Mikroorganisme Antibiotik
yang
digunakan
dalam
pembuatan
peta
resistensi
mikroorganisme dapat dikelompokkan berdasarkan struktur kimianya, antara lain: a.
Golongan β-laktam, antara lain golongan penisilin: ampisilin, amoksisilin sulfat, dan penisilin-tazobactam; golongan sefalosporin generasi 2: sefrozil; golongan sefalosporin generasi 3: seftriakson, seftazidim, sefotaksim, sefoperazon dan seftizoksim; dan golongan karbapenem: meropenem dan imipenem
b.
Golongan aminoglikosida, antara lain: gentamisin, amikasin sulfat, kanamisin, dan netilmisin
c.
Golongan kuinolon, antara lain fluoroquinolon generasi 2: siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin dan kuinolon sintetik yaitu asam nalidiksat
d.
Golongan glikopetida, yaitu vankomisin
e.
Golongan makrolida, yaitu eritromisin
f.
Golongan lain-lain, yaitu tetrasiklin, kloramfenikol, fosfomisin dan linkomisin Antibiotik tersebut digunakan untuk uji resistensi bakteri sesuai dengan
spektrum antibakteri masing-masing, dimana terdapat beberapa antibiotik yang aktif pada bakteri gram negatif saja dan tidak efektif terhadap bakteri gram positif maupun sebaliknya.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
Spesimen yang paling banyak digunakan adalah darah, sebanyak 185 spesimen (40,30%). Dari 185 spesimen hanya 25 spesimen (13,51%) memberikan hasil positif, sedangkan 160 spesimen (86,49%) memberikan hasil steril atau tidak terdapat pertumbuhan kuman. Bakteri yang ditemukan di darah menunjukkan bahwa infeksi bakteri telah bersifat sistemik dan menyebar ke organ lain atau bakteremia (Naber, 2009). Spesimen yang paling banyak memberikan hasil positif adalah sputum, dimana dari 52 spesimen sputum semuanya memberikan hasil positif (100%). Bakteri yang paling banyak ditemukan dari spesimen yang diuji adalah bakteri kelompok Coliform dan Eschericia coli yaitu pada 37 kultur spesimen (21,90%) ditemukan bakteri Coliform dan pada 34 kultur spesimen (20,11%) ditemukan bakteri Eschericia coli. Hasil ini tidak berbeda dengan pengamatan peta resistensi mikroorganisme di RUMKITAL Dr. Mintohardjo pada tahun 2012 yang dilakukan Fathni (2009). Coliform merupakan bakteri gram negatif batang yang terdiri dari beberapa jenis bakteri, salah satunya Eschericia coli. Bakteri Eschericia coli dalam uji resistensi ini dipisahkan karena dapat dibedakan dari bakteri lainnya yang termasuk kelompok Coliform. Bakteri yang banyak ditemukan setelah Eschericia coli adalah Staphylococcus aureus yaitu sebanyak 24 kultur spesimen (14,20%). Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang tidak selalu patogen namun dapat menyebabkan berbagai penyakit infeksi, mulai dari infeksi kulit hingga bakteremia (Fathni, 2012). Banyaknya bakteri Eschericia coli dan Staphylococcus aureus
di RUMKITAL Dr.
Mintohardjo menunjukkan bahwa resiko sepsis tergolong tinggi. Eschericia coli merupakan bakteri gram negatif yang paling banyak diisolasi dari pasien sepsis, sedangkan Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang paling banyak diisolasi dari pasien sepsis (DiPiro, 2008). Data peta resistensi bakteri terhadap antibiotik memperlihatkan bahwa kebanyakan bakteri, baik gram positif maupun negatif sudah resisten terhadap kebanyak antibiotik yang digunakan dalam uji resistensi. Kelompok bakteri Coliform
yang paling banyak ditemukan di lingkungan RUMKITAL Dr.
Mintohardjo sudah resisten terhadap 17 jenis antibiotik dari 20 antibiotik yang digunakan untuk uji resistensi Coliform. Coliform masih sensitif kepada antibiotik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
amikasin sulfat, siprofloksasin dan fosfomisin. Eschericia coli yang merupakan bakteri gram negatif yang banyak ditemukan pada pasien sepsis sudah resisten terhadap 16 jenis antibiotik dari 20 antibiotik yang digunakan untuk uji resistensi Eschericia coli. Eschericia coli masih sensitif terhadap antibiotik amikasin sulfat, fosfomisin, imipenem, dan meropenem. Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri gram positif yang banyak ditemukan pada pasien sepsis sudah resisten terhadap 16 jenis antibiotik dari 19 antibiotik yang digunakan untuk uji resistensi Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus masih sensitif terhadap amikasin, fosfomisin, dan imipenem. Meropenem sebagai antibiotik berspektrum luas dapat bekerja pada bakteri gram positif dan gram negatif. Data peta resistensi menunjukkan bahwa meropenem sudah tidak efektif untuk melawan bakteri gram positif yang ditemukan di RUMKITAL Dr. Mintohardjo yaitu Staphylococcus aureus (60% resisten) dan Streptococcus sp (58% resisten). Pada kelompok bakteri gram negatif, meropenem sudah resisten terhadap Pseudomonas sp (53% resisten), Alkaligenes faecalis (60% resisten), Coliform (53% resisten). Meropenem masih efektif terhadap Eschericia coli (12% resisten), Proteus sp (40% resisten) dan Aerobacter sp (33% resisten). Dibandingkan dengan meropenem, beberapa antibiotik yang lebih efektif antara lain amikasin, imipenem dan fosfomisin. Amikasin masih efektif terhadap Streptococcus sp (20% resisten), Pseudomonas sp (23% resisten), Coliform (46% resisten), Eschericia coli (12% resisten), Proteus sp (27% resisten) dan Aerobacter sp (50% resisten). Imipenem masih efektif terhadap Staphylococcus aureus (20% resisten), Streptococcus sp (37% resisten), Pseudomonas sp (27% resisten), Eschericia coli (24% resisten), dan Aerobacter sp (50% resisten). Data laporan peta resistensi bakteri dapat dlihat di lampiran 4. Ditinjau dari data yang diperoleh, tingkat resistensi berbagai bakteri yang ditemukan di lingkungan RUMKITAL Dr. Mintohardjo sudah sangat tinggi. Di RUMKITAL Dr. Mintohardjo, uji kultur mikrobiologi dilakukan apabila pasien menerima antibiotik empiris namun tak kunjung sembuh. Selain itu, hasil uji kultur mikrobiologi baru bisa diperoleh setelah kurang lebih 6 hari, sehingga penggunaan antibiotik empiris pun semakin panjang. Penggunaan antibiotik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
dalam jangka waktu panjang diduga menyebabkan resistensi bakteri terhadap antibiotik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo. Strategi yang bisa dilakukan untuk mengontrol resistensi antibiotik antara lain melakukan pengawasan resistensi, mengontrol higienitas untuk membatasi penyebaran strain tunggal dan membatasi penggunaan antibiotik termasuk merotasi atau cycling penggunaan antibiotik (Weinstein, 2001). Cycling adalah penggantian golongan antibiotik (atau antibiotik tertentu dari sebuah golongan) dengan golongan antibiotik lain (atau antibiotik lain dari kelas tersebut) yang menunjukkan spektrum aktivitas yang sesuai (Brown dan Nathwani, 2004). Strategi lain yang bisa dilakukan adalah stop order policy. Secara sederhana, stop order policy menyaratkan penulis resep untuk menentukan durasi setiap antibiotik yang diresepkan, baik untuk terapi atau profilaksis. Tujuan dari stop order policy adalah untuk membatasi durasi penggunaan antibiotik yang diperpanjang untuk terapi dan profilaksis (Brown, 2005).
4.2.3. Evaluasi Antibiotik Meropenem Pada penelitian ini, pedoman yang digunakan untuk menganalisis antara lain International Guideline for Management Severe Sepsis and Septic Shock: 2012, Peta Kuman RUMKITAL Dr. Mintohardjo dan literatur terkait lainnya. Aspek individu setiap pasien dan profil resistensi bakteri di lingkungan rumah sakit juga berperan dalam pemilihan obat yang tepat (Bugano et al, 2008). Karena itu, dalam menganalisis kerasionalan meropenem pada penelitian ini bersifat individualistik antar pasien tergantung pada penyebab sepsis dan kondisi pasien. Rekapitulasi data pasien dan rekapitulasi hasil evaluasi pasien dapat dilihat pada lampiran 2 dan lampiran 3. Evaluasi dilakukan menggunakan alur Gyssens yang dimulai dari kelengkapan data (kategori VI) dan berlanjut ke parameter-parameter evaluasi lain hingga terakhir adalah rasional (kategori 0). Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 15% regimen penggunaan meropenem adalah rasional (kategori 0) dan sebanyak 85% regimen penggunaan meropenem tidak tepat (kategori I-V). Hasil ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Rosita (2013) yang melakukan evaluasi penggunaan meropenem di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Jombang dengan penggunaan rasional
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
sebesar 7,1% dan tidak rasional 92,9%. Perbedaan ini diperkirakan terjadi karena perbedaan ruang lingkup, waktu, tempat dan metode penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan metode retrospektif, sedangkan penelitian Rosita (2013) dilakukan secara prospektif. Penelitian secara prospektif memberikan kesempatan peneliti untuk mengkonfirmasi jika ditemukan masalah penggunaan antibiotika dengan penulis resep sebelum membuat penilaian, karena sumber acuan yang berbeda dapat menyebabkan penilaian yang berbeda (Pamela, 2011). Ketidakrasionalan rejimen penggunaan meropenem pada penelitian ini sebesar 85%. Sebanyak 19 rejimen yang termasuk tidak rasional diperinci menjadi 34 hasil evaluasi, meliputi kategori IIA (dosis tidak tepat) sebesar 9%, kategori IIB (interval tidak tepat) sebesar 24%, kategori IIIA (pemberian terlalu lama) sebesar 6%, kategori IVA (ada alternatif yang lebih efektif) sebesar 49%, kategori IVD (spektrum alternatif lebih sempit) sebesar 3% dan kategori VI (data tidak lengkap) sebesar 9%. Rekapitulasi hasil evaluasi dapat dilihat pada lampiran 3. Pada hasil penelitian ini tidak terdapat hasil evaluasi kategori IVB (alternatif lebih tidak toksik), IVC (alternatif lebih murah) dan kategori IIC (rute tidak tepat). Ketiadaan hasil evaluasi kategori IVB dikarenakan meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008). Selain itu potensi interaksi obat meropenem tidak terlalu banyak. Meropenem dilaporkan berinteraksi secara spesifik hanya dengan probenesid dan asam valproat (Baldwin, 2008). Berdasarkan penelusuran data rekam medis, tidak satupun obat yang diberikan kepada pasien berinteraksi dengan meropenem sehingga tidak ada toksisitas yang mungkin terjadi. Adapun ketiadaan hasil evaluasi berupa kategori IVC karena semua pasien dalam penelitian ini merupakan pasien BPJS yang tidak menanggung biaya pengobatan secara pribadi. Hal ini mengacu pada Pamela (2011), dimana apabila harga antibiotik yang diterima termasuk mahal dan ada alternatif lebih murah tetapi tidak ditanggung oleh jaminan kesehatan yang diikuti pasien, maka antibiotik tersebut termasuk dalam kategori IVC. Sedangkan apabila harga antibiotik termasuk mahal
dan ada alternatif lebih murah tetapi ditanggung
jaminan kesehatan, maka antibiotik tersebut tidak termasuk dalam kategori IVC.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
Meskipun biaya pengobatan tidak ditanggung secara pribadi, tetapi ada baiknya dilakukan penggantian antibiotik dari meropenem yang hanya tersedia dalam bentuk sediaan parenteral menjadi antibiotik lain dalam bentuk sediaan oral apabila memungkinkan. Beberapa kriteria berikut dapat dijadikan acuan untuk penggantian dari antibiotik parenteral ke antibiotik oral (Arnold F, 2004): a.
Tidak ada indikasi terapi intravena, misalnya meningitis, endokarditis, dan neutropenia
b.
Tidak ada indikasi klinis mengenai saluran obat yang abnormal di saluran cerna, misalnya diare
c.
Pasien tidak demam paling tidak selama 8 jam
d.
Tanda dan gejala klinis infeksi membaik
e.
Jumlah sel darah putih normal Berdasarkan hasil evaluasi, semua pasien menerima meropenem dengan
cara/rute pemberian yang sudah tepat. Ada dua cara pemberian antibiotik meropenem yang dilakukan kepada pasien, yaitu injeksi bolus intravena dan drip (infus) dalam NaCl 0,9%. Meropenem yang direkonstitusi dengan NaCl stabil dalam selama 10 jam dalam ruangan yang terkontrol suhunya antara 15-25 ◦C dan 48 jam dalam suhu 4 ◦C (Baldwin, 2008). Meropenem merupakan time dependent antibiotic, dimana aktivitas antibakterinya berhubungan dengan waktu konsentrasi terjaga di atas MIC (minimum inhibitory concentration) selama interval dosis. Untuk time dependent antibiotic, infus kontinu dilaporkan dapat mengoptimalisasi pencapaian target farmakodinamik di dalam plasma (Roberts, et al, 2009). Roberts et al (2009) melakukan randozimed trial terhadap pasien untuk menerima meropenem secaa IV bolus dan infus kontinu dengan dosis yang sama yaitu 1 gram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infus kontinu dapat menjaga konsentrasi meropenem dalam plasma dan jaringan subkutan jauh lebih tinggi daripada IV bolus.
a.
Kategori VI (Data Rekam Medis Tidak Lengkap) Berdasarkan alur Gyssens, evaluasi penggunaan antibiotik pertama kali
ditinjau dari kelengkapan data penggunaan antibiotik tersebut. Apabila data penggunaan antibiotik tidak lengkap maka analisis berhenti pada kategori VI.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
Suatu rekam medis yang masuk pada kategori VI memiliki kelengkapan form sebagaimana
tertuang
dalam
PERMENKES
RI
NOMOR
269/MENKES/PER/III/2008, tetapi tidak memiliki kelengkapan data yang dibutuhkan untuk evaluasi antibiotik. Kelengkapan yang dimaksud dalam hal ini adalah pencatatan penggunaan antibiotik meliputi rejimen dosis, interval, rute dan waktu pemberian. Hasil penelitian menunjukkan dari 26 data rekam medis yang akan dievaluasi, sebanyak 3 rekam medis (9%) tidak memiliki data rekam medis yang lengkap. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan Gyssens (2001) yang menyebutkan 10% regimen terapi tidak dapat dievaluasi karena data yang tidak mencukupi. Ketiga rekam medis yang termasuk kategori VI ini (nomor 16, 21,22) tidak memiliki pencatatan waktu pemberian obat yang lengkap. Ketiga rekam medis yang termasuk kategori VI tidak dapat dievaluasi lebih lanjut sehingga tersisa 23 data yang bisa dievaluasi lebih lanjut.
b.
Kategori IVA (Alternatif Lebih Efektif) Alur Gyssens selanjutnya adalah apakah antibiotik tersebut diindikasikan.
Untuk mengevaluasi hal ini bisa ditinjau dari hasil diagnosis dan data laboratorium pasien. Berdasarkan data rekam medis, semua pasien terdiagnosis sepsis dan mengalami peningkatan leukosit sehingga diindikasikan untuk menerima antibiotik. Alur selanjutnya adalah apakah ada alternatif yang lebih efektif. Untuk menganalisis hal ini, diperlukan informasi mengenai penyebab sepsis pada pasien dan pola resistensi bakteri di rumah sakit. Bakteri adalah mikroorganisme penyebab sepsis paling umum (Phua et al,
2013), sehingga
diperlukan uji kultur mikrobiologi untuk mengetahui bakteri apa yang menyebabkan sepsis. Surviving Sepsis Campaign juga merekomendasikan uji kultur mikrobiologi terhadap darah pasien sebelum memulai terapi antibiotik. Seperti yang telah dibahas pada bagian karakteristik pasien, hanya 2 rejimen dari 26 rejimen yang bersifat terapi definitif. Kedua rejimen tersebut adalah kasus 9 dan 18. Pada kasus 9, diketahui hasil uji kultur urin pasien positif Alkaligenes faecalis. Berdasarkan peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, tingkat resistensi Alkaligenes faecalis terhadap meropenem sebesar 60% sehingga bisa dikatakan meropenem sudah tidak efektif lagi. Terdapat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
alternatif yang lebih efektif dibandingkan meropenem terhadap Alkaligenes faecalis yaitu fosfomisin dan siprofloksasin dengan tingkat resistensi berurutan sebesar 40% dan 47%. Dengan adanya alternatif yang lebih efektif ini maka rejimen penggunaan meropenem pada kasus 9 dianggap termasuk kategori IVA. Luciana et al (2015) menyatakan bahwa antibiotik untuk mengobati sepsis tergantung dari lokasi infeksi. Stichting Werkgroep Antibioticabeleid (SWAB), sebuah badan yang mengurus kebijakan antibiotik di Belanda membagi terapi antibiotik empiris sepsis menjadi dua yaitu terapi untuk sepsis tanpa lokasi infeksi yang jelas dan terapi untuk sepsis dengan adanya lokasi infeksi yang dicurigai (SWAB, 2010). Contoh kasus untuk sepsis dengan adanya infeksi lokasi yang dicurigai adalah intraabdominal sepsis (kasus 1). Diketahui pasien didiagnosis peritonitis, yaitu suatu kondisi respon inflamasi akut lapisan peritonium dimana kondisi tersebut memungkinkan terjadinya abses peritonium yang memudahkan bakteri untuk menginfeksi. Study for Monitoring Antimicrobial Resistance Trends (SMART) pada tahun 2004 melaporkan bahwa Eschericia coli merupakan bakteri yang banyak diisolasi dari intraabdomen 5731 pasien (Rossi et al, 2006).. Secara umum, meropenem dan amikasin dianggap agen yang paling aktif melawan Eschericia coli (Bugano et al, 2008). Mengacu pada peta resistensi bakteri di RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, meropenem masih efektif melawan Eschericia coli dengan resistensi hanya sebesar 12%. Dengan demikian maka rejimen meropenem pada kasus 1 tidak termasuk kategori IVA. Contoh kasus untuk nosocomial sepsis adalah kasus 12. Dengan hasil kultur negatif dan tidak terdapat penyakit infeksi yang menyertai, maka analisis keefektifan mengacu pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014. Berdasarkan peta resistensi, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa antibiotik yang lebih efektif antara lain amikasin dan imipenem yang masih efektif terhadap enam bakteri. Menurut Gilbert et al (2010), pembatasan penggunaan antibiotik untuk mencegah perkembangan resistansi bakteri atau mengurangi biaya tidak sesuai untuk pasien sepsis atau syok septik. Dengan demikian rejimen meropenem pada kasus 12 termasuk kategori IVA.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
Contoh kasus untuk community acquired sepsis adalah kasus 10. Pasien didiagnosis sepsis saat pertama kali masuk rumah sakit. Terdapat enam penelitian prospektif randomized clinical trial (RCT) membandingkan keamanan dan efikasi dari karbapenem (imipenem atau meropenem), sefalosporin generasi ketiga (seftazidim, sefotaksim dikombinasi dengan metronidazole, dan piperacilintazobactam. Hasil RCT menunjukkan tidak ada yang terbukti lebih superior satu sama lain (Bugano et al, 2008). Mengacu pada hal ini maka kasus 10 tidak termasuk dalam kategori IVA. Adanya kejadian alternatif lebih efektif paling banyak pada kasus nosocomial sepsis dimana amikasin, imipenem dan fosfomisin merupakan antibiotik yang lebih efektif dibandingkan dengan meropenem. Hal ini mengacu kepada data peta resistensi, dimana meropenem hanya efektif terhadap empat dari delapan bakteri sedangkan amikasin, imipenem masih efektif terhadap lima dari delapan bakteri dan fosfomisin masih efektif terhadap semua bakteri. Pada semua kasus hospital acquired pneumonia sepsis juga didapatkan bahwa ada alternatif yang lebih efektif daripada meropenem yaitu levofloksasin. Setelah dilakukan analisis efektivitas pada 23 rejimen meropenem, sebanyak 17 rejimen termasuk dalam kategori IVA.
c.
Kategori IVD (Spektrum Alternatif Lebih Sempit) Terdapat satu rejimen dari 23 rejimen yang dianalisis termasuk dalam
kategori IVD yaitu kasus 18. Hasil uji kultur bakteri dengan spesimen urin pasien positif Eschericia coli yang merupakan bakteri gram negatif. Netilmisin merupakan antibiotik yang bekerja pada lebih banyak gram negatif dibandingkan dengan gram positif. Penggunaan antibiotik berspektrum luas memiliki kerugian. Menurut Gyssens (2001), pemilihan antibiotik berspektrum luas dengan waktu paruh panjang dengan alasan kenyamanan akan mempercepat resistensi antibiotik tersebut di rumah sakit.
Sedangkan mempersempit spektrum antibiotik dan
mengurangi durasi terapi akan menurunkan kecenderungan perkembangan superinfection
dengan patogen lain atau organisme lain yang sudah resisten
(Dellinger et al, 2012)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
d.
Kategori IIIA (Pemberian Terlalu Lama) Terdapat dua rejimen dari 23 rejimen yang dianalisis yang termasuk dalam
kategori IIIA yaitu kasus 9 dan 14. Berdasarkan data pemberian obat di rekam medis, pasien nomer 9 menerima antibiotik meropenem selama 30 hari. Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign, rejimen antibiotik harus dievaluasi setiap hari untuk menilai kemungkinan de-eskalasi ke antibiotik yang lebih sesuai. Menurut Soedarno (2008) apabila antibiotik tidak memberikan respon setelah tiga hari, maka harus dievaluasi kemungkinan komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi terhadap antibiotika atau kemungkinan salah pemberian diagnosis. Menurut Gyssens (2001) pemberian antibiotik jangka panjang tidak berarti akan memberikan efek lebih baik daripada pemberian jangka pendek.
e.
Kategori IIA (Dosis Tidak Tepat) Meropenem sebagian besar diekskresi melalui ginjal, sehingga klirens
plasma meropenem menurun pada kondisi kerusakan ginjal. Studi farmakokinetik menunjukkan bahwa klirens plasma meropenem berhubungan dengan klirens kreatinin serum sehingga penyesuaian dosis disyaratkan pada pasien dengan klirens kreatinin <51 mL/menit (Baldwin, 2008). Hasil evaluasi menunjukkan terdapat tiga rejimen dengan dosis yang tidak tepat yaitu pada kasus 2, 4, dan 13 Pada kasus 2, diketahui pasien mengalami peningkatan kreatinin serum pada hari penggunaan meropenem. Setelah dihitung klirens kreatinin pasien didapatkan angka 16,8 mL/menit, sehingga pasien membutuhkan penyesuaian dosis hingga separuh dari dosis awal.
f.
Kategori IIB (Interval Tidak Tepat) Terdapat delapan rejimen dari 22 rejimen yang dianalisis yang termasuk
kategori IIB. Mayoritas rejimen yang masuk dalam kategori IIB adalah rejimen yang diterima pasien dengan peningkatan kreatinin serum yang seharusnya membutuhkan penyesuaian interval. Contoh rejimen yang termasuk dalam kategori IIB adalah kasus 14. Pada kasus 14, kreatinin klirens pasien menyentuh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
angka 47,2 mL/menit sehingga membutuhkan penyesuaian interval menjadi 12 jam.
g.
Kategori 0 (rasional) Setelah dianalisis melewati alur Gyssens mulai dari kelengkapan data
hingga waktu pemberian, apabila rejimen tidak termasuk kategori V hingga I maka rejimen tersebut dinyatakan sebagai rejimen yang rasional. Terdapat empat rejimen dari 22 rejimen yang dianalisis yang termasuk kategori 0. Contoh rejimen yang termasuk kategori 0 adalah kasus 1. Pasien didiagnosis sepsis dan diduga terjadi karena infeksi intraabdomen. Data pasien lengkap untuk dievaluasi sehingga evaluasi bisa terus dilakukan. Setelah meninjau aspek pemilihan antibiotik, dosis, interval dan rute, lama pemberian serta waktu, rejimen meropenem pada pasien 1 diniliai tepat. Sehingga hasil evaluasi untuk rejimen pasien 1 termasuk kategori 0 (tepat). Rekapitulasi hasil evaluasi pasien dapat dilihat di lampiran 3. Berdasarkan pada permasalahan yang ditemukan, peneliti mengusulkan agar pada pemberian meropenem lebih diatur dalam hal pemilihannya sebagai terapi empiris. Meropenem merupakan salah satu antibiotik yang menjadi pilihan utama dan pertahanan terakhir untuk terapi berbagaia infeksi serius (Ayalew et al, 2003). Namun demikian, kini penggunaan meropenem terancam oleh munculnya beberapal laporan kasus resistensi. Adanya resistensi berbagai strain P. aeruginosa, Acinetobacter sp, dan Enterobacteriaceae penghasil ESBL telah dilaporkan oleh Hong et al (2005) dan Wolter et al (2008). Dilihat dari data peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo, lima dari delapan bakteri yang biasa ditemukan di lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Di antara bakteri tersebut adalah Coliform, yang merupakan bakteri yang paling banyak ditemukan di lingkungan rumah sakit. Apabila ketidakrasionalan penggunaan meropenem terus berlanjut, dikhawatirkan resistensi akan terus berkembang sehingga tidak satupun bakteri sensitif terhadap meropenem. Peneliti mengusulkan agar setiap pengambilan sampel untuk uji kultur sebaiknya dilakukan juga pewarnaan gram. Pewarnaan gram hanya membutuhkan waktu satu hari, sedangkan uji kultur membutuhkan waktu 4-7 hari untuk
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
58
mendapatkan hasilnya. Pewarnaan gram akan berguna untuk mengetahui jenis bakteri yang menginfeksi, sehingga dapat dipilih antibiotik yang masih efektif terhadap jenis bakteri tersebut dan mempunyai spektrum yang lebih sempit. Selain itu, untuk menurunkan tingkat resistensi meropenem pada bakteri tertentu sebaiknya dalam waktu berkala dilakukan strategi stop order policy, cycling atau metode lainnya. Dalam penelitian ini ditemukan banyak masalah berkaitan dengan dosis dan interval yang tidak tepat. Kemungkinan hal ini karena kurangnya perhatian dokter
terhadap
farmakokinetika
meropenem.
Pengetahuan
tentang
farmakodinamik dan farmakokinetika dapat diterapkan untuk mendesain rejimen yang lebih baik, memaksimalkan manfaat, menurunkan toksisitas dan resiko resistensi serta menurunkan biaya (Pamela, 2011).
4.3.
Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian
4.3.1. Kekuatan Penelitian Penelitian ini memiliki kekuatan, antara lain: 1.
Penelitian ini belum pernah dilakukan di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat
2.
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam menetapkan panduan penggunaan meropenem pada pasien sepsis.
4.3.2. Keterbatasan Penelitian: Penelitian yang dilakukan memiliki beberapa keterbatasan, antara lain: 1.
Adanya keterbatasan data yang dapat diperoleh dari rekam medis pasien
2.
Penelitian bersifat retrospektif, sehingga penulis tidak dapat melihat kondisi pasien yang sebenarnya dan tidak dapat mengkonfirmasi mengenai rejimen meropenem yang diterima kepada penulis resep. Terdapat kemungkinan perbedaan literatur yang dipakai sehingga hasil analisis pun bisa berbeda.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5 KESIMPULAN
5.1.
Kesimpulan
1.
Pasien yang diamati berjumlah 26 pasien, dengan karakteristik jenis sepsis paling banyak ditemukan adalah nosocomial sepsis sebanyak 11 pasien (42%), komorbiditas cerebrovascular disease sebanyak 5 pasien (29%), rerata lama perawatan 20 hari, jumlah obat yang diterima 13 obat dan jumlah antibiotik yang diterima 3 antibiotik.
2.
Pasien yang menerima meropenem sebagai terapi empiris sebanyak 24 pasien (92,3%) dan terapi definitif sebanyak 2 pasien (7,7%).
3.
Tingkat resistensi berbagai bakteri yang ditemukan di lingkungan RUMKITAL Dr. Mintohardjo sudah sangat tinggi. Meropenem efektif terhadap 3 dari 8 bakteri yaitu Eschericia coli (12% resisten), Proteus sp (40% resisten) dan Aerobacter sp (33% resisten). Antibiotik yang lebih efektif dibandingkan meropenem yaitu amikasin, fosfomisin dan imipenem.
4.
Penggunaan meropenem yang rasional (kategori 0) sebesar 15% dan yang tidak rasional (kategori I-VI) sebesar 85% dengan rincian kategori IIA (dosis tidak tepat) sebesar 9%, kategori IIB (interval tidak tepat) sebesar 24%, kategori IIIA (pemberian terlalu lama) sebesar 6%, kategori IVA (alternatif lebih efektif) sebesar 49%, kategori IVD (spektrum aktivitas lebih sempit) sebesar 3% dan kategori VI (data tidak lengkap) sebesar 9%.
5.
Penggunaan antibiotik meropenem pada pasien sepsis di RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014 masih banyak yang tidak rasional dan diperlukan upaya peningkatan kualitas penggunaannya.
5.2.
Saran
1.
Penggunaan meropenem sebaiknya dilakukan berdasarkan hasil uji kultur mikrobiologi dan sebaiknya dilakukan juga uji pewarnaan gram untuk mendapatkan gambaran bakteri penyebab sepsis yang lebih cepat
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
2.
Untuk mencegah resistensi bakteri terhadap meropenem yang semakin berkembang sebaiknya dilakukan kebijakan stop order policy dan cycling serta dilakukan evaluasi secara berkala terhadap penggunaan antibiotik meropenem di RUMKITAL Dr. Mintohardjo
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
DAFTAR PUSTAKA
AMRIN-study group. (2005). Penggunaan Antibiotik di RS Dr Soetomo Surabaya dan RSUP Dr. Kariadi Semarang. Directorate General of Medical Care Arnold, F. W,. (2004). Improving Antimicrobial Use: Longitudinal Assesment of an Antimicrobial Team Including a Clinical Pharmacist. J Manag Care Farm. 2004;10(2): 152-58 Ayalew K, Sumati, N., Yuliya, Barbara AJ. (2003). Carbapenems in Pediatrics. J Ther Drug Monit, 25(5): 593-599 Baldwin, Claudine M., Lyseng-Williamson Katherine A., dan Susan J. Kean. (2008). Meropenem: A Review of its Use in the Treatment of Serious Bacterial Infections. Drugs 2008: 68 (6): 803-838 Bone, R. C., Balk, R.A., Cerra, F.B., Dellinger, R.P., et al (1992). Definitions of Sepsis and Organ Failure and Guidelines for the Use of Innovative Therapies of Sepsis. Chest 1992;101;1644-1655 Brown, Erwin (2005). Intervention to Optimise Antibiotic Prescribing in Hospital. Dalam: Gould, I.M., Van der Meer, Antibiotic Policies Theory and Practice. New York: Kluwer Academic Publisher h158-184 Brown, Erwin., Nathwani, Dilip (2005). Antibiotic Cycling or Rotation: a Systematic Review of the Evidence of Efficacy. Journal of Antimicrobial Chemotherapy (2005) 55, 6–9 Brun-Buisson, C., Doyon, F., Carlet, J., et al. (1995). Incidence, Risk Factors, and Outcome of Severe Sepsis dan Septic Shock in Adults: Multicenter Prospective Study in Intensive Care Unit. JAMA vol 274: 12 Brunton, Laurence L., Lazo, John S., Parker, Keith L. (2006). Goodman & Gilman The Pharmacological Basis of Therapeutic 11th edition. New York: McGraw-Hill Bugano, D.D.Z., Camargo, L.F.A., et al (2008). Antibiotic Management of Sepsis: Current Concept. Expert Opin. Pharmacother 9(16) Craig, William A. (1997). The Pharmacology of Meropenem, A New Carbapenem Antibiotic. Clinical Infectious Diseases; 24(Suppl 2):S266-75 Danai, P., Martin, G. (2005). Epidemiologi of Sepsis: Recent Advances. Current Infectious Disease Reports 7: 329-334 Dellinger, R. Phillip, Mitchell M. Levy, Andrew Rhodes, Djillali Annane, Herwig Gerlach, et al. (2012). Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Surviving Sepsis Campaign. Deyo, Richard A., Cherkin, Daniel C., Ciol, Marcia A. (1992). Adapting a Clinical Comorbidity Index for Use with ICD-9-CM Administrative Databases. J Clin Epidemiol Vol. 45, No. 6, pp. 613619, 1992 DiPiro, J.T (2008). Pharmacotherapy: A Patophysiologic Approach 7th Edition. New York: McGraw-Hill Engel, C., Brunkhorst, F., et al (2006) Epidemiology of Sepsis in Germany: results from a national prospective multicenter study. Intebsive Care Med 33: 606-618 Ernie, HP., Hafiz, Ida (2007). Pemberian Obat Secara Polifarmasi pada Anak dan Interaksi Obat yang Ditimbulkan. Media Litbang Kesehatan XVII Nomor 1 Tahun 2007 Fathni, Rafika (2012). Kerasionalan Penggunaan Antibiotik Profilaksis Laparotomi di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat Tahun 2012. Universitas Indonesia Gilbert DN, Moellering RC., et al (2010) The Sanford Guide to Antimicrobial Therapy 40th ed. Antimicrobial Therapy, Inc. Sperryville VA Gunawan, Sulistia G., Rianto, S., Nafrialdi, dan Elizabeth. (2007) Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Gyssens, IC. Van der Meers JWM. (2001). Quality of Antimicrobial Drug Prescription in Hospital. Clinical Microbiology Infection Vol 7 Suppl 6 Gyssens, IC. (2005) Audit for Monitoring the Quality of Antimicrobial Drug Prescription in Hospital. Dalam: Gould, I.M., Van der Meer, Antibiotic Policies Theory and Practice. New York: Kluwer Academic Publisher h197-226 Hong, T. Molland, ES. Abdalhamid, B;, et al (2005). Eschericia coli: Development of Carbapenem Resistance during Therapy. Clin Infect Dis 40:84-86 Iskander, Kendra N., Osuchowski, Marcin F., Stearns-Kurosawa, Deborah J., et al (2013). Sepsis: Multiple Abnormalities, Heterogenous Response, anda Evolving Understanding. Physiol Rev. 2013 Jul; 93(3): 1247–1288. Jawetz, E. (1997). Principle of antimicrobial drug action, basic and clinical pharmacology, Third edition. Appleton and Lange Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 2406/MENKES/PER/XII/2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
63
Lestari, W., Almahdy A., Zubir A. Nasrul, Darwin, D. (2011). Studi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Sistem ATC/DDD dan Kriteria Gyssens di Bangsal Penyakit Dalam RSUP. Dr. M. Djamil Padang. Levy, Mitchell M., Fink, Mitchell P., Marshall, John C., et al. (2003). 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Intensive Care Med (2003) 29:530-538 Lowe, Matthew N., Lamb, Harriet M. 2000. Meropenem, An Updated review of its Use in the Management of Intra-Abdominal Infections. Drugs Sep: 60 (3): 619646. Luciana, Andrajati, R., Rianti, A., Khan, Amir H. (2015). Rational Antimicrobial Use in an Intensive Care Unit in Jakarta: Hospital-Based, Cross-sectional Study. Trop J Pharm Res, April 2015; 14(4): 707. Mardiastuti, H.W., Anis Karuniawati, Ariyani Kiranasari, Ikaningsih, Retno Kadarsih. 2007. Emerging Resistance Pathogen: Situasi Terkini di Asia, Eropa, Amerika Serkat, Timur Tengah dan Indonesia. Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 3. Martin, G., Brunkhorst, Frank M., Janes, Jonathan M., et al (2009). The International PROGRESS Registry of Patients With Severe Sepsis: drotregogin alfa (activated) use and patient outcomes. Critical Care 2009 13:R103 Mohr, John. F., (2008) Update on Efficacy and Tolerability Meropenem in The Treatment of Serious Bacterial Infection. CID 2008:47 (Suppl 1) Naber, C.K. (2009). Staphylococcus aureus Bacteremia: Epidemiology, Patophysiology, and Management Strategies. Clin Infect. Dis. 48(4): S231-S237 Nester, E.W. et al (1998). Microbiology: A Human Perspective 2nd Edition. New York: McGraw-Hill Nebraska Medical Center. Supporting Evidence for Meropenem Therapeutic Interchange and Dosing Substitution Policy. Diakses dari www.nebraskamed.com pada tanggal 21 April 2015 Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika Nygard, Siri Tandberg, Langeland, Nina et al. (2014). Aetiology, Antimicrobial Therapy and Outcome of Patients with Community Acquired Severe Sepsis: a Prospective Study in a Norwegian University Hospital. BMC Infectious Diseases 2014, 14:121
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
Pamela, Dina Sintia. 2011. Evaluasi Kualitatif Penggunaan Antibiotika dengan Metode Gyssens di Ruang Kelas 3 Infeksi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Secara Retrospektif.. Depok: Universitas Indonesia. Phua, J., Ngemg, Wang J., et al (2013). Characteristic and Outcomes of Culture Negative Versus Culture Positive Severe Sepsis. Critical Care 17:R202 Pillians, Peter. (2006). What is Polypharmacy. Diunduh dari www.nps.org.au tanggal 27 Mei 2015 Rhomberg, Paul R., Ronald N. Jones. (2009). Summary trends for the Meropenem Yearly Suspectibility Test Information Collection Program: a 10-year experience in the United States (1999-2008). Diagnostic Microbiology and Infectious Disease 65 (2009) 414-426 Roberts, Jason A., Kirkpatrick, Carl M. J., Roberts, Michael S., et al (2009). Meropenem Dosing in Critically Ill Patients with Sepsis and Without Renal Dysfunction: Intermittent Bolus Versus Continuous Administration? Monte Carlo Dosing Simulation and Subcutaneous Tissue Distribution. Journal of Antimicrobial Chemotherapy (2009) 64, 142–150 Rosita, Neny Nurmiwati. (2013). Kajian Kualitas Penggunaan Antibiotik Meropenem Sebelum dan Sesudah Pemberian Informasi Obat di Bangsal Rawat Inap RSUD Kabupaten Jombang. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada Rossi F, Baquero F, Hsueg PR., et al (2006). In Vitro Susceptibility of Aerobic and Facultatively Anaerobic Gram-negative Bacili Isolated from patients with Intraabdominal Infections Worldwide; 2004 Results from SMART (Study for Monitoring Antimicrobial Resistance Trends) J Antimicrob Chemother 2006; 58 (1): 205-10 Sagy, Mayer, Al-Qaaqa, Yasir, Kim, Paul. (2013). Definitions and Pathophysiology of Sepsis. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care 2013;43:260-263 Setiawan, Ery. Royasia Viki Ramadani. (2014). Kualitas Pelayanan pada Pasien AMI (Acute Myocardial Infarction) Sebelum dan Sesudah Implementasi JKN di RS Harapan Kita 2009-2014. Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, FKM UI. Soedarno SSS, Garna H., Hadinegoro SRS., Satari HI. (2008). Pemakaian Antimikroba di Bidang Pediatrik. Jakarta: Penerbit IDAI Stichting Werkgroep Antibioticabeleid. (2010). SWAB Guidelines for Antibacterial Therapy of Adult Patient with Sepsis. Diunduh dari www.swab.nl pada tanggal 22 Mei 2015 Tjay, Tan H., Rahardja Kirana. (2010). Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
Tripathi, K. D. (2003). Antimicrobial Drugs: General Consideration. Essential of Medical Pharmacology, Fifth Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. Utami, E. R. (2012). Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Saintis 1 (1):124-138 Wolter, DJ., Acquazzino, D., Goering, RV., et al (2008). Emergence of Carbapenem Resistance in Pseudomonas aeruginosa Isolate from a Patient with Cystic Fibrosis in the Absence of Carbapenem Therapy. CID 48:137-141 Weinstein, Robert A. (2001) Controlling Antimicrobial Resistance in Hospitals: Infection Control and Use of Antibiotics. Emerging Infectious Disease: vol. 7 No. 2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian
67
Lampiran 2. Rekapitulasi Data Pasien No
1
Usia
35
L / P P
Tanggal Rawat Inap 15/2/20146/3/2014
Lama Inap (hari) 21
Diagnosis lain
Dosis
Peritonitis umum, ARDS
3x1 gram
Rute
IV
Waktu penggunaan 18/2/201424/2/ 2014
Rentang waktu (hari) 7
Variabel umum Temp: 38◦C HR: 96 kali/menit
Hasil Laboratorium Variabel Variabel inflamasi lain L: 11.200 Throm: 270 ribu/mm3
Status Pasien Tanggal 15/2/2014
Temp: 38◦C GDS: 97 mg/dL HR: 96 kali/menit
L: 17.900
Thromb: 169 ribu/mm3
16/2/2014
Temp: 39,5◦C HR: 128 kali/menit
L: 13.800
17/2/2014
Temp: 37 ◦C HR: 104 kali/menit
L: 10.500
Temp: 38◦C HR: 116 kali/menit
L: 12.400
Temp: 36,5 ◦C HR: 124 kali/menit
L: 14.800
Thromb: 119 ribu/mm3 Cr: 0,7 mg/dL TD: 117/78 Thromb: 153 ribu/mm3 Cr: 0,8 mg/dL Thromb: 155 ribu/mm3 TD: 102/72 Thromb: 209 ribu/mm3
18/2/2014
19/2/2014
20/2/2014
Meninggal
68
Temp: 36,8 ◦C HR: 124 kali/menit Temp: 36,8 ◦C HR: 108 kali/menit
TD: 93/65 TD: 101/73
L: 19.800
21/2/2014
Thromb: 208 ribu/mm3 Cr: 0,6 mg/dL TD: 122/77 Thromb: 260 ribu/mm3 Cr: 0,6 mg/dL Thromb: 252 ribu/mm3 Cr: 0,7 mg/dL TD:107/73 Thromb: 310 ribu/mm3
22/2/2014
L: 6.700
Thromb:239 ribu/mm3
26/2/2014
L: 7.400
Thromb: 141 ribu/mm3 Thromb: 131 ribu/mm3 Cr: 0,9 mg/dL
27/2/2014
Temp: 37,5 ◦C HR: 116 kali/menit
L: 18.500
Temp: 37,5 ◦C HR: 116 kali/menit
L: 25.000
Temp: 35,5 ◦C HR: 66 kali/menit Glukotest: 312 Temp: 37 ◦C HR: 82 kali/menit Temp: 38 ◦C HR: 122 kali/menit Temp: 38 ◦C HR: 122 kali/menit
L: 16.800
L: 7.400
23/2/2014
24/2/2014
25/2/2014
28/2/2014
69
Temp: 38,5 ◦C HR: 136
L: 7.400
Temp: 37 ◦C HR: 100 kali/menit
L: 8.600
Temp: 38,8 ◦C HR: 150 kali/menit Temp: 38,4 ◦C HR: 138 kali/menit Temp: 38,5 ◦C HR: 132 kali.menit
L: 8.300
L: 9.900
L: 12.100 2
48 tahu n
L
06/5/201412/7/2014
72
Stroke Hemorragik, penumonia, hipertensive heart disesase, peningkatan fungsi ginjal, hipokalemia
3x1 gram
IV
8/5/201412/5/2014
5
Temp: 38,8 ◦C HR: 98 kali/menit Temp: 39 ◦C HR: 100 kali/menit
L: 17.600
Temp: 40 ◦C HR: 136 kali/menit
L: 14.200
Temp: 39,5 ◦C HR: 112 kali/menit
L: 37.900
L: 21.400
Thromb: 141 ribu/mm3 Thromb: 186 ribu/mm3 TD: 131/91
01/3/2014
Thromb: 131 ribu/mm3 Cr: 1,1 mg/dL Thromb: 117 ribu/mm3 Thromb: 96 ribu/mm3 Thromb: 218 ribu/mm3 Thromb: 202 ribu/mm3 Cr: 4,5 mg/dL Thromb: 175 ribu/mm3 Cr: 4,7 mg/L Thromb: 116 ribu/mm3 Cr: 6,5
04/3/2014
02/3/2014
05/3/2014
06/3/2014 07/5/2014
08/05/2014
09/05/2014
10/05/2014
Meninggal
70
3
48 tahu n
L
19/05/201530/05/2014
11
Meningitis, hipokalemia , hipoalbumin , metabolic disorder, ARDS
3x1 gram
IV
26/5/201430/5/2014
4
Temp: 38,5 ◦C HR: 92 kali/menit Temp: 37,8 ◦C HR: 112 kali/menit
L: 24.100
Thromb: 95 ribu/mm3
11/05/2014
L: 14.200
19/05/2015
Temp: 36 ◦C HR: 92 kali/menit
L: 18.200
Temp: 37,5 ◦C HR: 92 kali/menit
L: 19.100
Temp: 37,5 ◦C HR: 104 kali/menit
L: 12.200
Temp: 38,8 ◦C HR: 116 ◦C
L: 20.700
Temp: 40 ◦C HR: 112 kali/menir
L: 13.400
Temp: 37,5 ◦C HR: 124 kali/menit
L: 18.900
Thromb: 202 ribu/mm3 Cr: 2,4 mg/dL Thromb: 240 ribu/mm3 Cr: 1,6 mg/dL Thromb: 295 ribu/mm3 Cr: 1,0 mg/dL Thromb: 187 riu/mm3 PT: 24,1 aPTT: 49,1 Thromb: 282 ribu/mm3 Thromb: 230 ribu/mm3 Cr: 1,1 mg/dL Thromb: 248 ribu/mm3 Cr: 1,5
20/05/2014
21/05/2014
26/05/2014
27/05/2014
28/05/2014
29/05/2014
Meninggal
71
4
5
6
39
52 tahu n
43
L
P
P
06/5/201411/5/2014
18/06/201426/06/2014
17/6/2014-
11
8
21
Head injury, fracture tibia, hipoalbumin , acute post hemorrhagic anemia, hiponatremi, hipokalemi
TB paru, pneumonia, gagal napas
Hematosche
3x2 gram
3x1 gram
3x1
IV
IV
Drip
09/5/201411/5/2014
18/6/201423/6/2014
25/6/2014-
3
6
7
Temp: 36,5 ◦C HR: 108 kali/menit Temp: 38,5 ◦C HR: 96 kali/menit Temp: 38 ◦C HR: 96 kali/menit Temp: 39,5 ◦C HR: 128 kali/menit GD: 231 mg/dL Temp: 38,2 ◦C HR: 104 kali/menit
Temp: 37 ◦C HR: 84 kali/menit Temp: 36,5 ◦C HR: 84 kali/menit GDS: 122mg/dL Temp: 36,5 ◦C HR: 64 kali/menit Temp: 37,5 ◦C
L: 10.300
L: 58.500
L: 56.900
mg/dL Thromb: 149 ribu/mm3 Thromb: 48 ribu/mm3
30/05/2014
06/5/2014
Thromb: 73 ribu/mm3 TD: 132/78 Thromb: 48 ribu/mm3 Cr: 4,8 PTT: 19,8 INR: 182 Thromb: 103 ribu/mm3 TD: 106/50 Cr: 1,2 INR: 1,82 aPTT: 36 s laktat: 4,6 TD: 78/38
07/5/2014
L: 26.100
Thromb: 302 ribu/mm3 TD: 109/70
21/6/2014
L: 22.000
Thromb: 304 ribu/mm3 Cr: 0,9 mg/dL Cr: 0,9
22/6/2014
L: 33.700
L: 9.800
L: 23.200
Meninggal
08/5/2014
09/5/2014
10/5/2014
25/6/2014
Meninggal
Perbaikan
72
tahu n
7
51
09/7/2014
L
7/10/201422/10/2014
hari
15
zia perdarahan ileum, hemorroid, polip anorecti
Hidrosefalu s, renal failure
gram
2x1 gram
NaC l 0,9 % 100 cc
IV
01/7/2014
7/10/201412/10/2014
HR: 132 kali/menit Temp: 37,5 ◦C HR: 128 kali/menit
6
L: 20.000
Temp: 37,5 ◦C HR: 108 kali/menit Temp: 37,5 ◦C HR: 104 kali/menit Temp: 38,5 HR: 98 kali/menit
L: 41.200
Temp: 38,3 ◦C HR: 102 kali/menit
L: 7.100
Temp: 36,5 ◦C HR: 92 kali/menit
L: 23.300
Temp: 36,5 ◦C HR: 100 kali/menit
L:
L: 31.900
L: 9.800
L: 20.500
8
1 bula
L
02/5/201410/5/2014
9
Bronkopneu monia,
1/3 floc
IV
9/5/201410/5/2014
2
Temp: 37,5 ◦C
L: 4.300
mg.dL TD: 110/79 Thromb: 61 ribu/mm3 Prokalsitoni n : >10 TD: 84/45 Cr: 1.0 aPTT: 34 s TD: 90/74 Thromb: 87 ribu/mm3 TD: 110/80 Thromb: 133 ribu/mm3 Cr: 0,7 mg/dL TD: 102/80 Thromb: 91 ribu/mm3 Cr: 0,9 mg/dL TD: 90/55 Thromb: 324 ribu/mm3 Cr: 2,2 mg/dL Cr: 2,2 mg/dL Thromb: 303 ribu/mm3 Thromb: 65 ribu/m3
26/6/2014
27/6/2014
28/6/2014
29/6/2014
30/6/2014
09/10/2014
Meninggal
10/10/2014
22/10/2014
02/5/2014
Sembuh
73
n
9
44 tahu n
Temp: 36 ◦C
hyperbilirub inemia L
19/6/201413/8/2014
53
Cholestitiati s, Obstruksi Jaundice, Anemia
3x1 gram
IV
5/7/20144/8/2014
30
Temp: 36,8 ◦C HR: 84 kali/menit Temp: 36,5 ◦C HR: 110 kali/menit
Temp: 37 ◦C HR: 104 kali/menit
L: 16.900
07/5/2014
04/7/2014
L: 14.200
L: 23.000
Temp: 37 ◦C HR: 100 kali/menit
L: 20.000
Temp: 36 ◦C HR: 84 kali/menit
L: 28.800
Temp: 36,5 ◦C
Thromb: 367 ribu/mm3
L: 13.300
Thromb: 622 ribu/mm3 TD: 110/70 Cr: 0.8 mg/dL
05/7/2014
Thromb: 668 ribu/mm3 TD: 120/85 Bilirubin total: 12,2 mg/dL Thromb: 665 ribu/mm3 TD: 115/80 Cr: 0,7 mg/dL
06/7/2014
Thromb: 565 ribu/mm3 TD: 120/80 Thromb: 459 ribu/mm3 Cr: 1,9
30/7/2014
07/7/2014
31/7/2014
Meninggal
74
Temp: 36,8 ◦C HR: 68 kali/menit
10
55 tahu n
P
14/7/201402/8/2014
20
Rectal
3x1 gram
IV
21/7/210423/7/2014
3
L: 25.400
Temp: 37 ◦C HR: 78 kali/menit
L: 20.500
Temp: 36 ◦C HR: 116 kali/menit
L: 16.000
Temp: 36 ◦C HR: 104 kali/menit
L: 27.500
Temp:36 ◦C HR: 88 kali/menit GDS: 160 mg/dL Temp: 36 ◦C HR: 84 kali/menit
L: 16.400
L: 13.400
mg/dL TD: 93/61 Thromb: 436 ribu/mm3 TD: 168/88 Thromb: 406 ribu/mm3 Cr: 1,3 mg/dL TD: 137/90
01/8/2014
02/8/2014
Thromb: 460 ribu/mm3 Bilirubin total: 4,31 mg/dL TD: 124/90 Thromb: 508 ribu/mm3 Cr: 1,1 mg/dL TD: 121/88 Thromb: 799 ribu Cr: 0,7 mg/dL
03/8/2014
Thromb: 799 ribu/mm3 Cr: 0,7 mg/dL TD: 140/90
16/7/2014
04/8/2014
14/7/2014
Meninggal
75
11
80 tahu n
P
30/7/201420/8/2014
20
Chronic heart failure, Chronic kidney disease on Hemodialys is, fraktur remur
3x1 gram
IV
12/8/201417/8/2014
6
Temp: 38,2 ◦C HR: 136 kali/menit GDS: 188 mg/dL Temp: 38 ◦C HR: 128 kali/menit GDS: 269 mg/dL Temp: 37,5 ◦C HR: 100 kali/menit GDS: 121 mg/dL Temp: 37 ◦C HR: 88 kali/menit GDS: 133 mg/dL Temp: 37,5 ◦C HR: 92 kali/menit GDS: 59 mg/dL Temp: 37 ◦C HR: 120 kali/menit
L: 30.800
Temp: 37 ◦C HR: 98 kali/menit
L:31.500
Temp: 37 ◦C
Thromb: 764 ribu/mm3 Cr: 1 mg/dL TD:130/80 Thromb: 436 ribu/mm3 Cr: 1,4 TD: 110/73 Thromb: 343ribu/mm 3 Cr: 0,8 mg/dL Thromb: 322 ribu/m3
21/7/2014
L: 53.000
Thromb: 314 ribu/m3
02/8/2014
L: 45.100
Thromb: 244 ribu/mm3 aPTT: 27,0 TD: 119/48 Thromb: 114 ribu/mm3 Cr: 1,3 mg/dL TD: 120/45 Thromb:
12/8/2014
L: 21.100
L: 20.700
L: 23.100
L: 20.900
22/7/2014
23/7/2014
26/7/2014
13/8/2014
14/8/2014
Meninggal
76
HR:116 kali/menit GDS: 123 mg/dL Temp: 37 ◦C HR: 108 kali/menit GDS: 133 mg/dL Temp: 37 ◦C HR: 104 kali/menit GDS: 84 mg/dL Temp: 37 ◦C HR: 108 kali/menit
12
65 tahu n
L
18/8/201403/9/2014
17 hari
Hipertensiv e heart disease, atrial fibrilasis
3x1 gram
Drip dala m NaC l 0,9 % 100 cc
20/8/201431/8/2014
12
Temp: 37,5 ◦C HR: 100 kali/menit
L: 16.100
113 ribu/mm3 Cr: 1,3 mg/dL TD: 47/46 Thromb: 143 ribu/mm3 TD: 137/45
15/8/2014
L: 10.400
Thromb: 140 ribu/mm3 TD:104/64
16/8/2014
L: 17.500
Thromb: 134 ribu/mm3 Cr: 1,6 mg/dL TD: 136/67 Thromb: 581 ribu/mm3 Cr: 3,8 mg/dL TD: 116/60
17/8/2014
Thromb: 474 ribu/mm3 Cr: 3,3 mg/dL TD: 105/62 Thromb: 333 ribu/mm3
21/8/2014
L: 26.000
Temp: 38 ◦C HR: 100 kali/menit GDS: 137 mg/dL
L: 15.200
Temp:36,8 ◦C HR: 88 kali/menit
L: 15.100
20/8/2014
22/8/2014
Meninggal
77
GDS: 133 mg/dL Temp: 37 ◦C HR: 90 kali/menit GDS: 137 mg/dL Temp: 37 ◦C HR: 88 kali/menit GDS: 131 mg/dL
13
14
1har i
54 tahu n
P
L
20/8/201404/9/2014
24/8/201402/10/2014
15
38
Asphyxia, pneumonia
Intraventrik el hemorrhage, hipertensi grade II, bronkopneu monia, leukositosis, hipoalbumin
1/3 floc
3x1 gram
IV
IV
23/8/201429/8/2014
25/8/201422/9/2014
7 hari
28
L: 14.300
L: 14.300
TD: 141/106 Thromb: 323 ribu/mm3 TD: 110/75
23/8/2014
Thromb: 323 ribu/mm3 Cr: 1,4 mg/dL INR: 1,51 TD: 134/84 Cr: 1,0 mg/dL TD: 135/84
24/8/2014
L: 34.600
Thromb: 182 ribu/mm3
21/8/2014
L: 25.200
Thromb: 230 ribu/mm3 Thromb: 305 ribu/mm3 Thromb: 309 ribu/mm3 Cr: 1,5 mg/dL TD: 170/90 Thromb: 320 ribu/mm3
24/8/2014
Temp: 36,5 ◦C HR: 86 kali/menit GDS: 133 Temp: 36,2 ◦C GDS: 66 mg/dL Temp: 35 ◦C
L: 13.500
Temp: 36,5 ◦C
L: 28.000
Temp:37 ◦C HR: 136 kali/menit GDS: 118 mg/dL
L: 18.700
Temp: 38,5 ◦C HR: 120 kali/menit
L: 18.700
25/8/2014
Sembuh
28/8/2014
25/8/2014
27/8/2014
Sembuh
78
, anemia Temp: 39,5 ◦C HR: 140 kali/menit GDS: 76 mg/dL
L: 16.800
Temp: 36,2 ◦C HR: 68 kali/menit
L: 19.200
Temp: 37,2 ◦C HR: 88 kali/menit Temp: 37 ◦C HR: 92 kali/menit
L: 26.100
Temp:36,5 ◦C HR: 84 kali/menit
L: 24.700
Temp: 37 ◦C HR: 84 kali/menit
L: 17.900
Temp: 36,8 ◦C HR: 80 kali/menit Temp: 36,8 ◦C HR: 84
L: 31.700
L: 33.500
L: 20.400
TD: 168/65 Thromb: 283 ribu/mm3 Cr: 1,5 TD: 219/120 Thromb: 339 ribu/mm3 TD: 191/120 Thromb: 26 ribu/mm3 TD: 180/104 Thromb: 315 ribu/mm3 Cr: 1,0 mg/dL TD: 110/70 Thromb: 329 ribu/mm3 TD: 140/90 Thromb: 350 ribu/mm3 TD: 160/90 Thromb: 409 ribu/mm3 TD: 120/80 Thromb: 470 ribu/mm3
28/8/2014
31/8/2014
03/9/2014
07/9/2014
10/9/2014
12/9/2014
17/9/2014
19/9/2014
79
15
43 tahu n
L
29/8/20149/9/2014
11
Hipertensiv e heart disease, stroke hemorragik, hiperkoleste rolemia broknkopne umonia
3x1 gram
IV
1/9/20148/9/2014
8
kali/menit Temp:36,8 ◦C HR: 84 kali/menit Temp: 36,6 ◦C HR: 86 kali/menit Temp: 36,5 ◦C HR: 124 kali/menit Temp: 38 ◦C HR: 124 kali/menit GDS: 102 mg/dL Temp: 39 ◦C HR: 132 kali/menit
L: 19.500
L: 15.500
L: 10.100
L: 14.500
L: 9.400
Temp:35,5 ◦C HR: 84 kali/menit
L: 6.000
Temp: 39,5 ◦C HR: 96 kali/menit Temp: 37,5 ◦C HR: 124 kali/menit
L: 6.900
L: 11.000
Thromb: 534 ribu/m3 TD: 130/96 Thromb: 725 ribu/mm3 TD: 120/80 Thromb: 210 ribu/mm3 Cr: 1,8 Thromb: 217 ribu/mm3
21/9/2014
Thromb: 225 ribu/mm3 Cr: 3,0 Thromb:203 ribu/mm3 Cr: 2,7 mg/dL TD: 110/70 Thromb: 179 ribu/mm3 TD: 110/73 Thromb: 242 ribu/mm3 Cr: 2,6 mg/dL TD: 130/101
01/9/2014
28/9/2014
29/8/2014
30/8/2014
02/9/2014
03/9/2014
05/9/2014
Meninggal
80
16
17
11 tahu n
50 tahu n
P
P
12/12/201422/12/2014
5/11/201413/11/2014
10
8
3x1 gram
Chronic kidney disease on hemodialysi s, anemia, diabetes nefropati,ul kus DM, hipertensi heart disease
2x1 gram
IV
IV
5/11/201412/11/2014
8
Temp: 37,8 ◦C HR:100 kali/menit Temp: 37,5 ◦C HR: 144 kali/menit Temp: 40,5 ◦C HR: 112 kali/menit Temp: 36, 2 ◦C HR: 84 kali/menit Temp: 36 ◦C HR: 84 kali/menit
L: 11.200
Temp: 37,5 ◦C HR: 164 kali/menit
L: 12.700
Temp: 38,5 ◦C HR: 92 kali/menit GDS: 215 mg/dL Temp: 36 ◦C HR: 74 kali/menit GDS: 185 mg/dL
L: 36.500
L: 20.400
Thromb: 216 ribu/mm3 TD: Thromb: 268 ribu/mm3
06/9/2014
07/8/2014
08/8/2014
L: 10.900
Thromb: 391 ribu/mm3
12/12/2014
L: 17.400
Thromb: 400 ribu/mm3 Cr: 0,7 mg/dL TD: 100/80 Thromb: 282 ribu/mm3 TD: 103/37 Thromb: 412 ribu/mm3 Cr: 17,5 mg/dL TD: 150/90 Thromb: 296 ribu/mm3 TD: 140/80
14/12/2014
L: 22.200
15/12/2014
05/11/2014
06/11/2014
Sembuh
81
18
19
63 tahu n
32 tahu n
L
P
24/10/20145/11/2014
20/9/20146/11/2014
13
36
Gangren pedis, diabetes tipe II, CHF, hipoalbumin emia
2x1 gram
Crush injury, fraktur tibia fibula, hipoalbumin emia, anemia, pneumonia
3x1 gram
IV
Drip dala m NaC l 0,9 % 100 mlb
31/10/20144/11/2014
28/10/20146/11/2014
5
10
Temp: 37,5 ◦C HR: 100 kali/menit GDS: 121 mg/dL
L: 19.300
Temp: 36,8 ◦C HR: 84 kali/menit GDS: 177 mg/dL Temp: 36,8 ◦C HR: 88 kali/menit GDS: 124 mg/dL Temp: 37,5 ◦C HR: 112 kali/menit Temp: 36,8 ◦C HR: 112 kali/menit Temp: 38,6 ◦C HR: 92 kali/menit Temp: 38,2 ◦C HR: 104 kali/menit Temp: 36, 8 ◦C HR: 100 kali/menit
L: 12.700
L: 10.100
L: 15.000
L: 21.400
L: 30.700
L: 13.900
L: 8.500
Thromb: 234 ribu/mm3 Cr: 6,7 mg/dL TD: 140/90 Thromb: 226 ribu/mm3 TD: 140/90
07/11/2014
Thromb: 249 ribu/mm3 Cr: 9,5 mg/dL TD: 140/90 Thromb: 214 ribu/mm3
11/11/2014
Thromb: 245 ribu/mm3 Thromb: 321 ribu/mm3 TD: 110/70 Thromb: 61 ribu/mm3 TD: 110/80
04/11/2015
Thromb: 134 ribu/mm3 TD: 120/80
29/10/2014
10/11/2014
02/11/2014
23/10/2014
27/10/2014
Perbaikan
Perbaikan
82
20
67 tahu n
L
15/9/2014
39
Hipertensi heart disease,stro ke hemorragik, DM tipe II
3x1 gram
IV
25/9/201430/9/2014
6
Temp: 37,5 ◦C HR: 112 kali/menit Temp: 37 ◦C HR: 88 kali/menit Temp: 36,5 ◦C HR: 84 kali/menit Temp: 37 ◦C HR: 92 kali/menit
L: 14.100
Temp: 37 ◦C HR: 76 kali/menit GDS: 105 mg/dL Temp: 36 ◦C HR: 168 kali/menit
L: 22.800
Temp: 37,5 ◦C HR: 92 kali/menit GDS: 104 mg/dL Temp: 37,5 ◦C HR: 68 kali/menit
L: 28.300
L: 15.500
L: 11.300
L: 19.300
L: 17.900
L: 24.800
Thromb: 219 ribu/mm3 TD: 120/80 Thromb: 407 ribu/mm3 Thromb:495 ribu/mm3 Cr: 0,7 mg/dL Thromb: 153 ribu/mm3 Cr: 2,0 mg/dL TD: 145/75 Thromb: 103 ribu/mm3 TD:145/82
30/10/2014
Thromb: 113 ribu/mm3 TD: 108/59 Thromb: 107 ribu/mm3
27/9/2014
Thromb:143 ribu/mm3 TD: 108/59
30/9/2014
02/10/2014
05/10/2014
25/9/2014
26/9/2014
28/9/2014
Perbaikan
83
21
68
P
5/10/201412/10/2014
8
22
73
P
1/10/201415/10/2014
15
23
70
L
26/03/201430/03/2014
24
8
L
14/4/201424/10/2014
25
46
P
21/3/20144/4/2014
Epidural hemorragik, hipertensive heart disease without heart failure, bronkitis Pneumonia, anemia
3x1 gram
IV
-
-
-
-
2x1 gram
IV
-
-
L: 18.300
5
Hepatorenal syndrome, Ca hati
3x1 gram
IV
26/03/201430/03/2014
5
Temp: 37 ◦C HR: 84 kali/menit Glukosa test: 199 mg/dL Temp: 35,8 ◦C HR: 68 kali/menit
10
Tumor serebri, diabetes insipidus, hidrosefalus
3x1 gram
IV
18/4/201421/4/2014
4
13
Obstruksi jaundice, hipoalbumin
3x1 gram
IV
29/3/20144/4/2014
7
Temp: 36,5 ◦C HR: 92 kali/menit Temp: 40,3 ◦C HR: 104 kali/menit Temp: 38,5 ◦C HR: 128 kali/menit Temp: 39 ◦C HR: 145 kali/menit Temp: 37,8 ◦C HR: 156 kali/menit
-
Meninggal
Thromb: 110 ribu/mm3 Cr: 1,1 mg/dL Thromb: 124 ribu/mm3
01/10/2014
Meninggal
26/03/2014
Meninggal
L: 15.300
Thromb: 202 ribu/mm3
15/4/2014
Meninggal
L: 14.900
Thromb: 244 ribu/mm3 Thromb: 300 ribu/mm3 Thromb: 156 ribu/mm3 Thromb: 98 ribu/mm3
17/4/2014
Thromb: 424 ribu/mm3
23/3/2014
L: 26.400
L: 17.000
L: 17.300
L: 9700
L: 24.600
-
18/4/2014
21/4/2014
23/4/2014
Meninggal
84
, hepatorenal syndrom
L: 30.300
L: 20.300
26
59
L
11/3/201421/3/2014
11
Miasthenia gravis, DM tipe II, CKD stage III
3x1 gram
IV
11/3/201418/3/2014
8
Temp: 36,5 ◦C HR: 88 kali/menit GDS: 230 mg/dL Temp: 37,2 ◦C HR: 80 kali/menit
L: 21.700
Temp: 36,5 ◦C HR: 92 kali/menit GD: 235 mg/dL Temp: 39 ◦C HR: 120 kali/menit GDS: 348 mg/dL Temp: 37,5 ◦C HR: 88 kali/meni GDS: 321mg/dL
L: 27.400
L: 21.100
L: 45.200
L: 39.000
Cr: 1,0 Thromb: 401 ribu/mm3 aPTT: 51,8 s bilirubin total: 50,36 mg/dL Thromb: 308 ribu/mm3 Thromb: 203 ribu/mm3 Cr: 1,2 mg/dL Thromb: 155 ribu/mm3 Cr: 1,4 mg/dL Thromb: 181 ribu/mm3
Thromb:72 ribu/mm3 Prokalsitoni n >10 INR: 1,62 Thromb: 47 ribu/mm3 Cr: 4,9 mg/dL
26/3/2014
28/3/2014
12/3/2014
14/3/2014
16/3/2014
19/3/2014
21/3/2014
Meninggal
85
Lampiran 3. Rekapitulasi Hasil Evaluasi Meropenem Berdasarkan Kategori Gyssens No: 1 Kategori
Jenis Terapi: empiris Intraabdominal sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k VI Data lengkap √ V Antibiotik √ diindikasikan IV Pemilihan antibiotik a Alternatif lebih √ efektif b Alternatif lebih √ tidak toksik c Alternatif lebih √ murah d Spektrum √ alternatif lebih sempit III Lama pemberian a Terlalu lama √ b Terlalu singkat √ II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat √ b Interval tepat √ c Rute tepat √ I Waktu tepat √ 0 Tidak termasuk I√ VI KESIMPULAN: Kategori 0
Analisis: a.
Kelengkapan data: Pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi.
b.
Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: Pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris untuk intrabdominal
sepsis yang dialami pasien. Study for
Monitoring Antimicrobial Resistance Trends (SMART) pada tahun 2004 melaporkan bahwa Eschericia coli
merupakan bakteri yang banyak
86
diisolasi dari intraabdomen 5731 pasien (Rossi et al, 2006). Secara umum, meropenem dan amikasin dianggap agen yang paling aktif melawan Eschericia coli (Bugano et al, 2008). Mengacu pada peta resistensi bakteri di RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, meropenem masih efektif melawan Eschericia coli dengan resistensi hanya sebesar 12%. Dengan demikian maka rejimen meropenem pada kasus 1 tidak termasuk kategori IVA (alternatif lebih efektif) -
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum lebih sempit: pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris sehingga tidak diketahui bakteri jenis apa yang menginfeksi dan karena itu dibutuhkan antibiotik berspektrum luas.
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 7 hari. Bugano et al menyatakan waktu terapi untuk intrabdominal sepsis adalah 5-7 hari sehingga waktu pemberian meropenem pasien tidak terlalu lama atau terlalu singkat.
e.
Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
87
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen meropenem pasien 1 termasuk kategori 0 (rasional)
No: 2 Kategori
Jenis Terapi: empiris Hospital acquired pneumonia sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k VI Data lengkap √ V Antibiotik √ diindikasikan IV Pemilihan antibiotik a Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif efektif untuk mengatasi bakteri yang diduga menyebabkan pneumonia. b Alternatif lebih √ tidak toksik c Alternatif lebih √ murah d Spektrum √ alternatif lebih sempit III Lama pemberian a Terlalu lama √ b Terlalu singkat √ II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat √ CrCl pasien sebelum pemberian meropenem sebesar 16,8 mL/menit sehingga membutuhkan penyesuaian dosis menjadi 500 mg b Interval tepat √ CrCl pasien sebelum pemberian meropenem sebesar 16,8 mL/menit sehingga membutuhkan penyesuaian interval menjadi 12 jam c Rute tepat √ I Waktu tepat √ 0 Tidak termasuk I√ VI KESIMPULAN:Kategori IVA, IIA, IIB
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi.
88
b.
Indikasi pemberian antibiotik:
Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3 c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: Pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris untuk Hospital acquired pneumonia sepsis. Bakteri yang paling banyak ditemukan pada pasien Hospital acquired pneumonia sepsis antara lain Pseudomonas sp, Eschericia coli, Klebsiella pneumonia dan apabila merujuk pada peta resistensi antibiotik RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, bakteri yang paling banyak ditemukan di sputum
adalah
direkomendasikan
Coliform
dan
Pseudomonas.
Antibiotik
yang
adalah seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-
sulbaktam (Bugano et a, 2008). Mengacu pada peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, meropenem sudah resisten terhadap Coliform dengan tingkat resistensi 65% dan terhadap Pseudomonas sebesar 53%.
Dari ketiga rekomendasi tersebut
levofloksasin menunjukkan tingkat resistensi yang lebih rendah yaitu 41% sehingga diniliai lebih efektif. Dengan alasan ini maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien 2 termasuk kategori IVA (alternatif lebih efektif). -
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 5 hari. Bugano et al menyatakan waktu terapi untuk Hospital acquired pneumonia sepsis adalah hingga 7 hari dan 15 hari jika dicurigai infeksi oleh Pseudomonas
89
sehingga waktu pemberian meropenem pasien tidak terlalu lama atau terlalu singkat e.
Dosis, rute dan interval: berdasarkan data laboratorium, pasien mengalami
peningkatan
kreatinin
serum
pada
hari
pemberian
meropenem. Karena ketiadaan data berat badan maka perhitungan klirens kreatinin dilakukan dengan rumus Jellife. CrCl (mL/menit) = 98 – [ 0,8 x {usia-20}] SCr = 98 – [ 0,8 x { 48-20}] 4,5 = 16,8 mL/menit Dengan klirens kreatinin sebesar 16,8 mL/menit, interval harus disesuaikan menjadi 12 jam sedangkan dosis diturunkan menjadi 500 mg. Dengan pertimbangan ini maka rejimen penggunaan meropenem termasuk kategori IIA (dosis tidak tepat) dan IIB (interval tidak tepat) Adapun rute pemberian adalah intravena dan dinilai sudah tepat. f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 2 termasuk dalam kategori IVA dan IIB.
No: 3 Kategori
VI V IV
Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k Data lengkap √ Antibiotik √ diindikasikan Pemilihan antibiotik a Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif efektif
90
b Alternatif lebih tidak toksik c Alternatif lebih murah d Spektrum alternatif lebih sempit III Lama pemberian a Terlalu lama b Terlalu singkat II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat b Interval tepat c Rute tepat I Waktu tepat 0 Tidak termasuk IVI KESIMPULAN: Kategori IVA
√ √ √
√ √ √ √ √ √ √
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b.
Indikasi
pemberian
antibiotik:
berdasarkan
diagnosis
dan
data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3 c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin (efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA.
-
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
91
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008) -
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 4 hari hingga berhenti karena meninggal. Sehingga pemberian tidak serta merta dapat dinilai terlalu singkat.
e.
Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 3 termasuk dalam kategori IVA
No: 4 Kategori
VI V IV
Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k Data lengkap √ Antibiotik √ diindikasikan Pemilihan antibiotik a Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
92
b c d
III a b II a
efektif Alternatif lebih tidak toksik Alternatif lebih murah Spektrum alternatif lebih sempit Lama pemberian Terlalu lama Terlalu singkat Dosis, Interval, Rute Dosis tepat
b Interval tepat
√ √ √
√ √ √
√
CrCl pasien saat hari pemberian meropenem sebesar 17,25 mL/menit sehingga membutuhkan penyesuaian dosis 1 gram CrCl pasien sebelum pemberian meropenem sebesar 17,25 mL/menit sehingga membutuhkan penyesuaian interval menjadi 12 jam
c Rute tepat √ Waktu tepat √ Tidak termasuk I√ VI KESIMPULAN: Kategori IVA, IIA, IIB I 0
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b.
Indikasi
pemberian
antibiotik:
berdasarkan
diagnosis
dan
data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3 c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin (efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua
93
bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA. -
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 3 hari hingga berhenti karena meninggal. Sehingga pemberian tidak serta merta dapat dinilai terlalu singkat.
e.
Dosis, interval dan rute: pasien mengalami peningkatan kreatinin serum pada hari pemberian meropenem sehingga diperlukan penyesuaian rejimen. Karena ketiadaan data berat badan maka perhitungan klirens kreatinin dilakukan dengan rumus Jellife. CrCl (mL/menit) = 98 – [ 0,8 x {usia-20}] SCr = 98 – [ 0,8 x { 39-20}] 4,8 = 17,25 mL/menit Dengan klirens kreatinin sebesar 17,25 mL/menit, interval harus disesuaikan menjadi 12 jam sedangkan dosis yang mulanya 2 gram harus diturunkan menjadi 1 gram. Dengan pertimbangan ini maka rejimen penggunaan meropenem termasuk kategori IIA (dosis tidak tepat) dan IIB (interval tidak tepat). Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
94
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 4 termasuk dalam kategori IVA, IIA dan IIB.
No: 5 Kategori
Jenis Terapi: empiris Hospital acquired pneumonia sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k VI Data lengkap √ V Antibiotik √ diindikasikan IV Pemilihan antibiotik a Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif efektif untuk mengatasi bakteri yang diduga menyebabkan pneumonia. b Alternatif lebih √ tidak toksik c Alternatif lebih √ murah d Spektrum √ alternatif lebih sempit III Lama pemberian a Terlalu lama √ b Terlalu singkat √ II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat √ b Interval tepat √ c Rute tepat √ I Waktu tepat √ 0 Tidak termasuk I√ VI KESIMPULAN: Kategori IVA
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi
95
b.
Indikasi pemberian antibiotik:
Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3 c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem meropenem sebagai terapi empiris untuk Hospital acquired pneumonia sepsis. Bakteri yang paling banyak ditemukan pada pasien Hospital acquired pneumonia sepsis antara lain Pseudomonas sp, Eschericia coli, Klebsiella pneumonia dan apabila merujuk pada peta resistensi antibiotik RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, bakteri yang paling banyak ditemukan di sputum adalah Coliform dan Pseudomonas. Antibiotik yang direkomendasikan
adalah seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-
sulbaktam. Mengacu pada peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, meropenem sudah resisten terhadap Coliform dengan tingkat resistensi 65% dan terhadap Pseudomonas sebesar 53%. Dari ketiga rekomendasi tersebut levofloksasin menunjukkan tingkat resistensi yang lebih rendah yaitu 41% sehingga diniliai lebih efektif. Dengan alasan ini maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien 2 termasuk kategori IVA (alternatif lebih efektif). -
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
d.
Lama pemberian: : pasien menerima meropenem selama 5 hari. Bugano et al menyatakan waktu terapi untuk Hospital acquired pneumonia sepsis adalah hingga 7 hari sehingga waktu pemberian meropenem pasien tidak terlalu lama atau terlalu singkat
96
e.
Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena yang merupakan salah satu cara pemberian selain pemberian dengan infus.
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 5 termasuk dalam kategori IVA
No: 6 Kategori
VI V IV a b c d
III a b II a
Jenis Terapi: empiris Intraabdominal sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k Data lengkap √ Antibiotik √ diindikasikan Pemilihan antibiotik Alternatif lebih √ efektif Alternatif lebih √ tidak toksik Alternatif lebih √ murah Spektrum √ alternatif lebih sempit Lama pemberian Terlalu lama √ Terlalu singkat √ Dosis, Interval, Rute Dosis tepat √
97
b Interval tepat c Rute tepat I Waktu tepat 0 Tidak termasuk IVI KESIMPULAN: Kategori 0
√ √ √ √
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi.
b.
Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: Pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris untuk intrabdominal sepsis yang dialami pasien. . Study for Monitoring Antimicrobial Resistance Trends (SMART) pada tahun 2004 melaporkan bahwa Eschericia coli
merupakan bakteri yang banyak
diisolasi dari intraabdomen 5731 pasien (Rossi et al, 2006). Secara umum, meropenem dan amikasin dianggap agen yang paling aktif melawan Eschericia coli (Bugano et al, 2008). Mengacu pada peta resistensi bakteri di RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, meropenem masih efektif melawan Eschericia coli dengan resistensi hanya sebesar 12%. Dengan demikian maka rejimen meropenem pada kasus 1 tidak termasuk kategori IVA (alternatif lebih efektif) -
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum lebih sempit: pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris sehingga tidak diketahui bakteri jenis apa yang menginfeksi dan karena itu dibutuhkan antibiotik berspektrum luas.
98
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 7 hari. Bugano et al menyatakan waktu terapi untuk intrabdominal sepsis adalah 5-7 hari sehingga waktu pemberian meropenem pasien tidak terlalu lama atau terlalu singkat.
e.
Dosis, interval dan rute: pasien tidka mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah dengan drip (infus) meropenem dalam NaCl 0,9 %. Menurut Baldwin (2008) meropenem kompatibel dengan NaCl.
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian diniliai benar.
Kesimpulan: rejimen meropenem pasien 6 termasuk kategori 0 (rasional)
No: 7 Kategori
VI V IV a b c d
III
Jenis Terapi: empiris Community acquired sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k Data lengkap √ Antibiotik √ diindikasikan Pemilihan antibiotik Alternatif lebih √ efektif Alternatif lebih √ tidak toksik Alternatif lebih √ murah Spektrum √ alternatif lebih sempit Lama pemberian
99
a Terlalu lama b Terlalu singkat II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat b Interval tepat c Rute tepat I Waktu tepat 0 Tidak termasuk IVI KESIMPULAN: Kategori 0
√ √ √ √ √ √ √
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi
b.
Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien didiagnosis sepsis saat pertama kali masuk rumah sakit. Dengan demikian, sepsis yang dialami pasien termasuk Community acquired sepsis. Nygard et al (2014) melaporkan bahwa bakteri S. Pneumoniae, E.coli, S.aureus adalah bakteri yang paling banyak ditemukan. Hasil enam penelitian randomized clinical trial (RCT) menemukan bahwa di antara meropenem, sefalosporin generasi ketiga dan piperacilin tazobactam memiliki efektifitas yang sama dan tidak ada yang lebih superior. Dengan mengacu pada hal ini maka pemilihan meropenem sebagai terapi untuk pasien 7 dianggap sudah tepat.
-
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
100
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 6 hari. Bugano et al (2008) menyatakan bahwa ada bukti bahwa pemberian antibiotik lebih pendek tidak menurunkan respon klinis dan biasanya antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari. dengan alasan ini maka lama pemberian dinilai tepat.
e.
Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
f.
Waktu: meropenem diberikan pertama kali saat di IGD (instalasi gawat darurat) sehingga masih dalam enam jam pertama yang disyaratkan untuk pemberian antibiotik pasien sepsis.
Kesimpulan: rejimen penggunaan antibiotik pasien no 7 termasuk kategori 0
No: 8 Kategori
VI V IV a
b c d
Jenis Terapi: empiris Hospital acquired pneumonia sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k Data lengkap √ Antibiotik √ diindikasikan Pemilihan antibiotik Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif efektif untuk mengatasi bakteri yang diduga menyebabkan pneumonia. Alternatif lebih √ tidak toksik Alternatif lebih √ murah Spektrum √ alternatif lebih
101
sempit III Lama pemberian a Terlalu lama b Terlalu singkat II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat b Interval tepat c Rute tepat I Waktu tepat 0 Tidak termasuk IVI KESIMPULAN: Kategori IVA
√ √ √ √ √ √ √
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi
b.
Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem meropenem sebagai terapi empiris untuk Hospital acquired pneumonia sepsis. Bakteri yang paling banyak ditemukan pada pasien Hospital acquired pneumonia sepsis antara lain Pseudomonas sp, Eschericia coli, Klebsiella pneumonia dan apabila merujuk pada peta resistensi antibiotik RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, bakteri yang paling banyak ditemukan di sputum adalah Coliform dan Pseudomonas. Antibiotik yang direkomendasikan
adalah seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-
sulbaktam. Mengacu pada peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, meropenem sudah resisten terhadap Coliform dengan tingkat resistensi 65% dan terhadap Pseudomonas sebesar 53%. Dari ketiga rekomendasi tersebut levofloksasin menunjukkan tingkat resistensi yang lebih rendah yaitu 41% sehingga diniliai lebih efektif. Dengan alasan ini maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien 2 termasuk kategori IVA (alternatif lebih efektif). -
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
102
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008) -
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
d.
Lama pemberian: : pasien menerima meropenem selama 5 hari. Bugano et al menyatakan waktu terapi untuk Hospital acquired pneumonia sepsis adalah hingga 7 hari sehingga waktu pemberian meropenem pasien tidak terlalu lama atau terlalu singkat
e.
Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 8 termasuk dalam kategori IVA
103
No: 9 Kategori
Jenis Terapi: definitif urosepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k VI Data lengkap √ V Antibiotik √ diindikasikan IV Pemilihan antibiotik a Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif efektif untuk mengatasi bakteri Alkaligenes faecalis yang ditemukan di urin pasien b Alternatif lebih √ tidak toksik c Alternatif lebih √ murah d Spektrum √ alternatif lebih sempit III Lama pemberian a Terlalu lama √ Meropenem digunakan selama 30 hari. apabila tidak ada perbaikan kondisi pasien sebaiknya mempertimbangkan untuk mengganti antibiotik b Terlalu singkat √ II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat √ b Interval tepat √ c Rute tepat √ I Waktu tepat √ 0 Tidak termasuk I√ VI KESIMPULAN: Kategori IVA, IIIA
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi
b.
Indikasi
pemberian
antibiotik:
berdasarkan
diagnosis
dan
data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3. Selain itu hasil uji kultur bakteri pada spesimen urin pasien positif Alkaligenes faecalis. c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien menerima antibiotik meropenem sebagai terapi definitif untuk melawan Alkaligenes faecalis. Berdasarkan peta resistensi bakteri, Alkaligenes faecalis
sudah resisten terhadap
104
meropenem dengan tingkat resistensi sebesar 60%. Terdapat antibiotik yang lebih efektif melawan Alkaligenes faecalis yaitu siprofloksasin dan fosfomisin dengan tingkat resistensi berturut-turut sebesar 47% dan 40%. Dengan demikian maka penggunaan meropenem pada pasien nomor 9 termasuk kategori IVA. -
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
d.
Lama pemberian: meropenem diberikan selama 30 hari. memang
tidak
ada
perbaikan
kondisi
pasien
Apabila sebaiknya
mempertimbangkan untuk mengganti meropenem dengan antibiotik yang lebih efektif. Dengan demikian maka rejimen meropenem nomer 9 termasuk kategori IIIA e.
Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
105
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 9 termasuk dalam kategori IVA, IIIA
No: 10 Kategori
Jenis Terapi: empiris Community acquired sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k VI Data lengkap √ V Antibiotik √ diindikasikan IV Pemilihan antibiotik a Alternatif lebih √ efektif b Alternatif lebih √ tidak toksik c Alternatif lebih √ murah d Spektrum √ alternatif lebih sempit III Lama pemberian a Terlalu lama √ b Terlalu singkat √ II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat √ b Interval tepat √ c Rute tepat √ I Waktu tepat √ 0 Tidak termasuk I√ VI KESIMPULAN: Kategori 0
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi
b.
Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien didiagnosis sepsis saat pertama kali masuk rumah sakit. Dengan demikian, sepsis yang dialami pasien termasuk Community acquired sepsis. Nygard et al (2014) melaporkan bahwa
106
bakteri S. Pneumoniae, E.coli, S.aureus adalah bakteri yang paling banyak ditemukan. Hasil enam penelitian randomized clinical trial (RCT) menemukan bahwa di antara meropenem, sefalosporin generasi ketiga dan piperacilin tazobactam memiliki efektifitas yang sama dan tidak ada yang lebih superior (Bugano et al, 2008). Dengan mengacu pada hal ini maka pemilihan meropenem sebagai terapi untuk pasien 7 dianggap sudah tepat. -
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 3 hari dan dinilai sudah tepat untuk pemberian terapi empiris yaitu ±72 jam (3 hari).
e.
Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
107
Kesimpulan: rejimen penggunaan antibiotik pasien no 10 termasuk kategori 0.
No: 11 Kategori
Jenis Terapi: empiris Community acquired sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k VI Data lengkap √ V Antibiotik √ diindikasikan IV Pemilihan antibiotik a Alternatif lebih √ efektif b Alternatif lebih √ tidak toksik c Alternatif lebih √ murah d Spektrum √ alternatif lebih sempit III Lama pemberian a Terlalu lama √ b Terlalu singkat √ II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat √ b Interval tepat √ CrCl pasien sebelum pemberian meropenem sebesar 38 mL/menit sehingga membutuhkan penyesuaian interval menjadi 12 jam c Rute tepat √ I Waktu tepat √ 0 Tidak termasuk √ I-VI KESIMPULAN: Kategori IIB Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi
b.
Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c.
Pemilihan antibiotik:
108
-
Alternatif lebih efektif: pasien didiagnosis sepsis saat pertama kali masuk rumah sakit. Dengan demikian, sepsis yang dialami pasien termasuk Community acquired sepsis. Nygard et al (2014) melaporkan bahwa bakteri S. Pneumoniae, E.coli, S.aureus adalah bakteri yang paling banyak ditemukan. Hasil enam penelitian randomized clinical trial (RCT) menemukan bahwa di antara meropenem, sefalosporin generasi ketiga dan piperacilin tazobactam memiliki efektifitas yang sama dan tidak ada yang lebih superior. Dengan mengacu pada hal ini maka pemilihan meropenem sebagai terapi untuk pasien 7 dianggap sudah tepat.
-
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 6 hari. Bugano et al (2008) menyatakan bahwa ada bukti bahwa pemberian antibiotik lebih pendek tidak menurunkan respon klinis dan biasanya antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari. dengan alasan ini maka lama pemberian dinilai tepat. Kemungkinan penggunaan yang singkat juga karena tidak ada perbaikan klinis sehingga dokter memutuskan untuk mengganti dengan antibiotik lain.
e.
Dosis, interval dan rute: berdasarkan data laboratorium, pasien mengalami
peningkatan
kreatinin
serum
pada
hari
pemberian
meropenem. Karena ketiadaan data berat badan maka perhitungan klirens kreatinin dilakukan dengan rumus Jellife. CrCl (mL/menit) = 98 – [ 0,8 x {usia-20}] SCr
109
= 98 – [ 0,8 x { 80-20}] 1,3 = 38 mL/menit Dengan klirens kreatinin sebesar 38 mL/menit, interval harus disesuaikan menjadi 12 jam sedangkan dosis diberikan seperti biasa. Dengan pertimbangan ini maka rejimen penggunaan meropenem termasuk kategori IIB (interval tidak tepat) Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat. f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: rejimen penggunaan antibiotik pasien no 11 termasuk kategori IIB.
No: 12 Kategori
VI V IV a b c d
III a b II
Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k Data lengkap √ Antibiotik √ diindikasikan Pemilihan antibiotik Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif efektif Alternatif lebih √ tidak toksik Alternatif lebih √ murah Spektrum √ alternatif lebih sempit Lama pemberian Terlalu lama √ Terlalu singkat √ Dosis, Interval, Rute
110
a Dosis tepat b Interval tepat c Rute tepat I Waktu tepat 0 Tidak termasuk IVI KESIMPULAN: Kategori IVA
√ √ √ √ √
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b.
Indikasi
pemberian
antibiotik:
berdasarkan
diagnosis
dan
data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3 c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin (efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA.
-
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
111
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 11 hari. Secara umum, antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari (Bugano et al, 2008) sehingga pemberian tidak dianggap terlalu lama.
e.
Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah drip dalam NaCl 0,9%. Menurut Baldwin (2008) meropenem kompatibel dengan NaCl 0,9%.
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 12 termasuk dalam kategori IVA
No: 13 Kategori
VI V IV a
b c d
Jenis Terapi: empiris Hospital acquired pneumonia sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k Data lengkap √ Antibiotik √ diindikasikan Pemilihan antibiotik Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif efektif untuk mengatasi bakteri yang diduga menyebabkan pneumonia. Alternatif lebih √ tidak toksik Alternatif lebih √ murah Spektrum √ alternatif lebih sempit
112
III
II
Lama pemberian a Terlalu lama b Terlalu singkat Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat
√ √ √
√
b Interval tepat
Untuk pasien bayi harus disesuaikan dosis menjadi 20 mg/kgBB. Karena BB pasien 2,8 kg maka dosis seharusnya disesuaikan menjadi ± 60 mg Interval pemberian meropenem pada pasien bayi adalah 12 jam
c Rute tepat √ Waktu tepat √ Tidak termasuk I√ VI KESIMPULAN: Kategori IVA, IIA, IIB I 0
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi
b.
Indikasi pemberian antibiotik:
Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3 c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem meropenem sebagai terapi empiris untuk Hospital acquired pneumonia sepsis. Bakteri yang paling banyak ditemukan pada pasien Hospital acquired pneumonia sepsis antara lain Pseudomonas sp, Eschericia coli, Klebsiella pneumonia dan apabila merujuk pada peta resistensi antibiotik RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, bakteri yang paling banyak ditemukan di sputum adalah Coliform dan Pseudomonas. Antibiotik yang direkomendasikan
adalah seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-
sulbaktam. Mengacu pada peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, meropenem sudah resisten terhadap Coliform dengan tingkat resistensi 65% dan terhadap Pseudomonas sebesar 53%. Dari ketiga rekomendasi tersebut levofloksasin menunjukkan tingkat resistensi yang lebih rendah yaitu 41% sehingga diniliai lebih efektif. Dengan alasan ini maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien 2 termasuk kategori IVA (alternatif lebih efektif).
113
-
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
d.
Lama pemberian: : pasien menerima meropenem selama 7 hari. Bugano et al menyatakan waktu terapi untuk Hospital acquired pneumonia sepsis adalah hingga 7 hari sehingga waktu pemberian meropenem pasien tidak terlalu lama atau terlalu singkat
e.
Dosis, interval dan rute: pasien merupakan pasien bayi yang membutuhkan penyesuaian rejimen. Berdasarkan guideline Nebraska Medical Center, dosis yang direkomendasikan untuk pasien bayi usia <7 hari adalah 20 mg/kgBB dengan interval 12 jam. Berat badan pasien diketahui 2,8 kilogram maka dosis yang seharusnya diberikan: 2,8 x 20 mg = 56 mg. Dari catatan pemberian obat diketahui pasien menerima dosis 1/3 floc (kurang lebih 330 mg) dengan interval 8 jam. Dengan pertimbangan ini rejimen penggunaan meropenem pasien 13 termasuk kategori IIA dan IIB. Adapun rute pemberian adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 13 termasuk dalam kategori IVA, IIA, IIB.
114
No: 14 Kategori
Jenis Terapi: empiris Hospital acquired pneumonia sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k VI Data lengkap √ V Antibiotik √ diindikasikan IV Pemilihan antibiotik a Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif efektif untuk mengatasi bakteri yang diduga menyebabkan pneumonia. b Alternatif lebih √ tidak toksik c Alternatif lebih √ murah d Spektrum √ alternatif lebih sempit III Lama pemberian a Terlalu lama √ Meropenem digunakan selama 30 hari. apabila tidak ada perbaikan kondisi pasien sebaiknya mempertimbangkan untuk mengganti antibiotik b Terlalu singkat √ II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat √ b Interval tepat √ CrCl pasien sebelum pemberian meropenem sebesar 47,2 mL/menit sehingga membutuhkan penyesuaian interval menjadi 12 jam c Rute tepat √ I Waktu tepat √ 0 Tidak termasuk I√ VI KESIMPULAN: Kategori IVA, IIB, IIIA
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi.
b.
Indikasi pemberian antibiotik:
Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3 c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: Pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris untuk Hospital acquired pneumonia sepsis. Bakteri yang paling
115
banyak ditemukan pada pasien Hospital acquired pneumonia
sepsis
antara lain Pseudomonas sp, Eschericia coli, Klebsiella pneumonia dan apabila merujuk pada peta resistensi antibiotik RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, bakteri yang paling banyak ditemukan di sputum
adalah
direkomendasikan
Coliform
dan
Pseudomonas.
Antibiotik
yang
adalah seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-
sulbaktam. Mengacu pada peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, meropenem sudah resisten terhadap Coliform dengan tingkat resistensi 65% dan terhadap Pseudomonas sebesar 53%. Dari ketiga rekomendasi tersebut levofloksasin menunjukkan tingkat resistensi yang lebih rendah yaitu 41% sehingga diniliai lebih efektif. Dengan alasan ini maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien 2 termasuk kategori IVA (alternatif lebih efektif). -
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 28 hari. Bugano et al menyatakan waktu terapi untuk Hospital acquired pneumonia sepsis adalah hingga 7 hari sehingga waktu pemberian meropenem pasien terlalu lama.
e.
Dosis, rute dan interval: berdasarkan data laboratorium, pasien mengalami
peningkatan
kreatinin
serum
pada
hari
pemberian
meropenem. Karena ketiadaan data berat badan maka perhitungan klirens kreatinin dilakukan dengan rumus Jellife. CrCl (mL/menit) = 98 – [ 0,8 x {usia-20}] SCr
116
= 98 – [ 0,8 x { 54-20}] 1,5 = 47,2 mL/menit Dengan klirens kreatinin sebesar 47,2 mL/menit, interval harus disesuaikan menjadi 12 jam sedangkan dosis diberikan seperti biasa. Dengan pertimbangan ini maka rejimen penggunaan meropenem termasuk kategori IIB (interval tidak tepat) Adapun rute pemberian adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat. f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 14 termasuk dalam kategori IVA, IIB dan IIIA.
No: 15 Kategori
VI V IV a
b c d
III a b II
Jenis Terapi: empiris Hospital acquired pneumonia sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k Data lengkap √ Antibiotik √ diindikasikan Pemilihan antibiotik Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif efektif untuk mengatasi bakteri yang diduga menyebabkan pneumonia. Alternatif lebih √ tidak toksik Alternatif lebih √ murah Spektrum √ alternatif lebih sempit Lama pemberian Terlalu lama √ Terlalu singkat √ Dosis, Interval,
117
Rute a Dosis tepat b Interval tepat
√ √
c Rute tepat √ Waktu tepat √ Tidak termasuk IVI KESIMPULAN: Kategori IVA, IIB I 0
CrCl pasien sebelum pemberian meropenem sebesar 26,5 mL/menit sehingga membutuhkan penyesuaian interval menjadi 12 jam
√
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi.
b.
Indikasi pemberian antibiotik:
Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3 c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: Pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris untuk Hospital acquired pneumonia sepsis. Bakteri yang paling banyak ditemukan pada pasien Hospital acquired pneumonia sepsis antara lain Pseudomonas sp, Eschericia coli, Klebsiella pneumonia dan apabila merujuk pada peta resistensi antibiotik RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, bakteri yang paling banyak ditemukan di sputum adalah Coliform dan Pseudomonas. Antibiotik yang direkomendasikan adalah seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-sulbaktam. Mengacu pada peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, meropenem sudah resisten terhadap Coliform dengan tingkat resistensi 65% dan terhadap Pseudomonas
sebesar
53%.
Dari
ketiga
rekomendasi
tersebut
levofloksasin menunjukkan tingkat resistensi yang lebih rendah yaitu 41% sehingga diniliai lebih efektif. Dengan alasan ini maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien 2 termasuk kategori IVA (alternatif lebih efektif). -
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
118
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008) -
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 8 hari. Bugano et al menyatakan waktu terapi untuk Hospital acquired pneumonia sepsis adalah hingga 7 hari sehingga waktu pemberian meropenem pasien tidak terlalu lama atau terlalu singkat
e.
Dosis, rute dan interval: berdasarkan data laboratorium, pasien mengalami peningkatan kreatinin serum pada hari pemberian meropenem. Karena ketiadaan data berat badan maka perhitungan klirens kreatinin dilakukan dengan rumus Jellife. CrCl (mL/menit) = 98 – [ 0,8 x {usia-20}] SCr = 98 – [ 0,8 x { 43-20}] 3 = 26,5 mL/menit Dengan klirens kreatinin sebesar 26,5 mL/menit, interval harus disesuaikan menjadi 12 jam sedangkan dosis diberikan seperti biasa. Dengan pertimbangan ini maka rejimen penggunaan meropenem termasuk kategori IIB (interval tidak tepat). Adapun rute pemberian adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 15 termasuk dalam kategori IVA dan IIB.
119
No: 16 Kategori
Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k VI Data lengkap √ Data pemberian obat tidak lengkap V Antibiotik diindikasikan IV Pemilihan antibiotik a Alternatif lebih efektif b Alternatif lebih tidak toksik c Alternatif lebih murah d Spektrum alternatif lebih sempit III Lama pemberian a Terlalu lama b Terlalu singkat II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat b Interval tepat c Rute tepat I Waktu tepat 0 Tidak termasuk I√ VI KESIMPULAN: Kategori VI
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien tidak memiliki data yang cukup untuk dievaluasi
Kesimpulan: rejimen penggunaan meropenem pada pasien 16 termasuk kategori VI
No: 17 Kategori
VI V
Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k Data lengkap √ Antibiotik √ diindikasikan
120
IV a b c d
III a b II a b
Pemilihan antibiotik Alternatif lebih efektif Alternatif lebih tidak toksik Alternatif lebih murah Spektrum alternatif lebih sempit Lama pemberian Terlalu lama Terlalu singkat Dosis, Interval, Rute Dosis tepat Interval tepat
c Rute tepat
√
Masih ada antibiotik yang lebih efektif √ √ √
√ √ √ √
√
Waktu tepat √ Tidak termasuk IVI KESIMPULAN: Kategori IVA, IIB I 0
CrCl pasien sebelum pemberian meropenem sebesar 4,1 mL/menit sehingga membutuhkan penyesuaian interval menjadi 24 jam
√
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b.
Indikasi
pemberian
antibiotik:
berdasarkan
diagnosis
dan
data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3 c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin (efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap
121
lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA. -
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 8 hari. Secara umum, antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari (Bugano et al, 2008) sehingga pemberian tidak dianggap terlalu lama.
g.
Dosis, interval dan rute: berdasarkan data laboratorium, pasien mengalami
peningkatan
kreatinin
serum
pada
hari
pemberian
meropenem. Karena ketiadaan data berat badan maka perhitungan klirens kreatinin dilakukan dengan rumus Jellife. CrCl (mL/menit) = 98 – [ 0,8 x {usia-20}] SCr = 98 – [ 0,8 x { 50-20}] 17,8 = 4,1 mL/menit Dari catatan pemberian antibiotik diketahui pasien diberikan rejimen 2 x 500 mg. Dengan klirens kreatinin sebesar 4,1 mL/menit, interval harus disesuaikan menjadi 24 jam sedangkan dosis boleh diberikan seperti biasa atau setengah dari dosis lazim. Dengan pertimbangan ini maka rejimen penggunaan meropenem termasuk kategori IIB (interval tidak tepat). Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
122
e.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa selama perawatan dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 17 termasuk dalam kategori IVA
No: 18 Kategori
Jenis Terapi: definitif Nosocomial sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k VI Data lengkap √ V Antibiotik √ diindikasikan IV Pemilihan antibiotik a Alternatif lebih √ efektif b Alternatif lebih √ tidak toksik c Alternatif lebih √ murah d Spektrum √ Masih ada antibiotik dengan spektrum lebih alternatif lebih sempit sempit III Lama pemberian a Terlalu lama √ b Terlalu singkat √ II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat √ b Interval tepat √ c Rute tepat √ I Waktu tepat √ 0 Tidak termasuk I√ VI KESIMPULAN: Kategori IVD
123
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b.
Indikasi
pemberian
antibiotik:
berdasarkan
diagnosis
dan
data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3 c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi definitif dengan hasil kultur pus positif Eschericia coli. Berdasarkan peta resistensi bakteri, tingkat resistensi Eschericia coli terhadap meropenem hanya sebesar 12% sehingga meropenem dianggap masih efektif
-
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: netilmisin merupakan aminoglikosida yang memiliki aktivitas lebih luas pada gram negatif yang masih efektif melawan Eschericia coli di RUMKITAL Dr. Mintohardjo sehingga rejimen penggunaan meropenem pada pasien 18 termasuk dalam kategori IVD/
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 6 hari. Secara umum, antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari (Bugano et al, 2008) sehingga pemberian tidak dianggap terlalu singkat. Selain itu pasien menunjukkan perbaikan dengan penggunaan meropenem.
e.
Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap
124
tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.. f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 18 termasuk dalam kategori IVD
No: 19 Kategori
Jenis Terapi: empiris Hospital acquired pneumonia sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k VI Data lengkap √ V Antibiotik √ diindikasikan IV Pemilihan antibiotik a Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif efektif untuk mengatasi bakteri yang diduga menyebabkan pneumonia. b Alternatif lebih √ tidak toksik c Alternatif lebih √ murah d Spektrum √ alternatif lebih sempit III Lama pemberian a Terlalu lama √ b Terlalu singkat √ II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat √ b Interval tepat √ c Rute tepat √ I Waktu tepat √ 0 Tidak termasuk I√ VI KESIMPULAN: Kategori IVA
Analisis:
125
a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi
b.
Indikasi pemberian antibiotik:
Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3 c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem meropenem sebagai terapi empiris untuk Hospital acquired pneumonia sepsis. Bakteri yang paling banyak ditemukan pada pasien Hospital acquired pneumonia sepsis antara lain Pseudomonas sp, Eschericia coli, Klebsiella pneumonia dan apabila merujuk pada peta resistensi antibiotik RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, bakteri yang paling banyak ditemukan di sputum adalah Coliform dan Pseudomonas. Antibiotik yang direkomendasikan
adalah seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-
sulbaktam. Mengacu pada peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, meropenem sudah resisten terhadap Coliform dengan tingkat resistensi 65% dan terhadap Pseudomonas sebesar 53%. Dari ketiga rekomendasi tersebut levofloksasin menunjukkan tingkat resistensi yang lebih rendah yaitu 41% sehingga diniliai lebih efektif. Dengan alasan ini maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien 2 termasuk kategori IVA (alternatif lebih efektif). -
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
d.
Lama pemberian: : pasien menerima meropenem selama 9 hari. Bugano et al menyatakan waktu terapi untuk Hospital acquired pneumonia sepsis adalah hingga 7 hari dan 15 hari apabila dicurigai terjadi infeksi
126
oleh Pseudomonas sehingga waktu pemberian meropenem pasien tidak terlalu lama atau terlalu singkat e.
Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah drip dalam NaCl 0,9%. Menurut Baldwin (2008) meropenem kompatibel dengan NaCl.
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 19 termasuk dalam kategori IVA
No: 20 Kategori
VI V IV a b c d
III
Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k Data lengkap √ Antibiotik √ diindikasikan Pemilihan antibiotik Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif efektif Alternatif lebih √ tidak toksik Alternatif lebih √ murah Spektrum √ alternatif lebih sempit Lama pemberian
127
II
a Terlalu lama b Terlalu singkat Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat b Interval tepat
√ √ √ √
c Rute tepat √ I Waktu tepat √ 0 Tidak termasuk IVI KESIMPULAN: Kategori IVA, IIB
CrCl pasien sebelum pemberian meropenem sebesar 30,2 mL/menit sehingga membutuhkan penyesuaian interval menjadi 12 jam
√
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b.
Indikasi
pemberian
antibiotik:
berdasarkan
diagnosis
dan
data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3 c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin (efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA.
-
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
128
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 6 hari. Secara umum, antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari (Bugano et al, 2008) sehingga pemberian tidak dianggap terlalu singkat.
e.
Dosis, interval dan rute: berdasarkan data laboratorium, pasien mengalami peningkatan kreatinin serum pada hari pemberian meropenem. Karena ketiadaan data berat badan maka perhitungan klirens kreatinin dilakukan dengan rumus Jellife. CrCl (mL/menit) = 98 – [ 0,8 x {usia-20}] SCr = 98 – [ 0,8 x { 67-20}] 2 = 30,2 mL/menit Dengan klirens kreatinin sebesar 30,2 mL/menit, interval harus disesuaikan menjadi 12 jam sedangkan dosis diberikan seperti biasa. Dengan pertimbangan ini maka rejimen penggunaan meropenem termasuk kategori IIB (interval tidak tepat) Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah drip dalam NaCl 0,9%. Menurut Baldwin (2008) meropenem kompatibel dengan NaCl 0,9%.
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 20 termasuk dalam kategori IVA dan IIB
129
No: 21 Kategori
Jenis Terapi: empiris Community acquired sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k VI Data lengkap √ Data pemberian obat tidak lengkap V Antibiotik diindikasikan IV Pemilihan antibiotik a Alternatif lebih efektif b Alternatif lebih tidak toksik c Alternatif lebih murah d Spektrum alternatif lebih sempit III Lama pemberian a Terlalu lama b Terlalu singkat II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat b Interval tepat c Rute tepat I Waktu tepat 0 Tidak termasuk I√ VI KESIMPULAN: Kategori VI
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien tidak memiliki data yang cukup untuk dievaluasi
Kesimpulan: rejimen penggunaan meropenem pada pasien 21 termasuk kategori VI
No: 22 Kategori
VI V IV
Jenis Terapi: empiris Community acquired pneumonia sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k Data lengkap √ Data pemberian obat tidak lengkap Antibiotik diindikasikan Pemilihan antibiotik a Alternatif lebih
130
efektif b Alternatif lebih tidak toksik c Alternatif lebih murah d Spektrum alternatif lebih sempit III Lama pemberian a Terlalu lama b Terlalu singkat II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat b Interval tepat c Rute tepat I Waktu tepat 0 Tidak termasuk IVI KESIMPULAN: Kategori VI
√
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien tidak memiliki data yang cukup untuk dievaluasi
Kesimpulan: rejimen penggunaan meropenem pada pasien 22 termasuk kategori VI
No: 23 Kategori
VI V IV a b c d
Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k Data lengkap √ Antibiotik √ diindikasikan Pemilihan antibiotik Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif efektif Alternatif lebih √ tidak toksik Alternatif lebih √ murah Spektrum √ alternatif lebih sempit
131
III
Lama pemberian a Terlalu lama b Terlalu singkat II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat b Interval tepat c Rute tepat I Waktu tepat 0 Tidak termasuk IVI KESIMPULAN: Kategori IVA
√ √ √ √ √ √ √
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b.
Indikasi
pemberian
antibiotik:
berdasarkan
diagnosis
dan
data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3 c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin (efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA.
-
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
132
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 5 hari hingga meninggal sehingga tidak serta merta dapat dikatakan terlalu sebentar. .
e.
Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 23 termasuk dalam kategori IV.
No: 24 Kategori
VI V IV a b c d
III
Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k Data lengkap √ Antibiotik √ diindikasikan Pemilihan antibiotik Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif efektif Alternatif lebih √ tidak toksik Alternatif lebih √ murah Spektrum √ alternatif lebih sempit Lama pemberian
133
a Terlalu lama b Terlalu singkat II Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat b Interval tepat c Rute tepat I Waktu tepat 0 Tidak termasuk IVI KESIMPULAN: Kategori IVA
√ √ √ √ √ √ √
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b.
Indikasi
pemberian
antibiotik:
berdasarkan
diagnosis
dan
data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3 c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin (efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomor 24 termasuk dalam kategori IVA.
-
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
134
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 4 hari. Secara umum, antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari (Bugano et al, 2008) sehingga pemberian tidak dianggap terlalu lama.
e.
Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 24 termasuk dalam kategori IVA.
No: 25 Kategori
VI V IV a b c d
III a b
Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k Data lengkap √ Antibiotik √ diindikasikan Pemilihan antibiotik Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif efektif Alternatif lebih √ tidak toksik Alternatif lebih √ murah Spektrum √ alternatif lebih sempit Lama pemberian Terlalu lama √ Terlalu singkat √
135
II
Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat b Interval tepat c Rute tepat I Waktu tepat 0 Tidak termasuk IVI KESIMPULAN: Kategori IVA
√ √ √ √ √
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b.
Indikasi
pemberian
antibiotik:
berdasarkan
diagnosis
dan
data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3 c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin (efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA.
-
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
136
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 7 hari. Secara umum, antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari (Bugano et al, 2008) sehingga pemberian tidak dianggap terlalu lama.
e.
Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 25 termasuk dalam kategori IVA.
No: 26 Kategori
VI V IV a b c d
III a b
Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis Parameter Kesesuaian Alasan Ya Tida k Data lengkap √ Antibiotik √ diindikasikan Pemilihan antibiotik Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif efektif Alternatif lebih √ tidak toksik Alternatif lebih √ murah Spektrum √ alternatif lebih sempit Lama pemberian Terlalu lama √ Terlalu singkat √
137
II
Dosis, Interval, Rute a Dosis tepat b Interval tepat c Rute tepat I Waktu tepat 0 Tidak termasuk IVI KESIMPULAN: Kategori
√ √ √ √ √
Analisis: a.
Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b.
Indikasi
pemberian
antibiotik:
berdasarkan
diagnosis
dan
data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3 c.
Pemilihan antibiotik:
-
Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin (efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA.
-
Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008)
-
Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
-
Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum lebih sempit
138
d.
Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 11 hari. Secara umum, antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari (Bugano et al, 2008) sehingga pemberian tidak dianggap terlalu lama.
e.
Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem. Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
f.
Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomer 26 termasuk dalam kategori IVA
Lampiran 4. Laporan Peta Resistensi Bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo Tahun 2014
CFP
CTX
CPR
CAZ
CRO
C
CIP
FOS
CN
IPM
K
MEM
INA
NET
OFX
PRC
VA
LEV
FEP
ZOX
40 0 60 50 8 42
80 0 20 17 13 70
20 0 80 20 13 57
-
40 20 40 12 17 71
20 20 60 21 12 67
40 0 60 25 8 67
40 20 40 25 4 71
40 40 20 21 4 75
80 20 0 63 0 37
40 0 60 37 0 63
80 0 20 63 0 37
-
40 0 60 42 0 58
0 0 100 4 4 92
-
20 40 40 17 4 79
-
40 40 20 37 8 55
60 0 40 25 13 62
40 0 60 30 8 62
40 0 60 30 0 70
26 10 64 59 18 23 40 14 46 65 15 20 53 20 27 33
-
20 10 70 35 12 53 16 5 79 18 8 74 13 13 74 50
7 10 83 12 12 76 0 0 100 24 6 70 0 13 87 50
0 0 100 0 0 100 5 5 90 15 6 79 7 7 86 50
23 13 64 44 23 23 11 8 81 29 9 62 20 33 47 50
7 7 86 6 12 82 5 3 92 24 6 70 7 13 80 50
23 0 77 0 0 100 19 8 73 38 6 56 20 0 80 50
23 13 47 12 41 57 43 19 38 18 18 64 20 20 60 50
47 13 40 53 18 29 57 8 35 76 0 24 40 13 47 67
17 3 80 29 6 65 19 5 76 41 0 59 27 20 53 33
33 3 64 47 6 47 30 5 64 76 0 24 54 13 33 67
13 3 84 0 0 100 8 8 84 21 24 75 7 7 86 33
37 3 60 47 0 53 35 0 65 88 0 12 60 0 40 67
13 3 84 6 6 88 16 8 76 15 21 64 7 0 93 50
30 3 67 47 0 53 21 3 76 59 15 26 47 6 47 50
20 7 73 29 24 47 19 5 76 24 15 61 13 13 74 50
17 10 73 29 12 59 11 11 78 15 9 76 20 13 67 50
-
30 13 57 59 0 41 19 8 73 38 3 59 27 13 60 50
13 13 74 35 18 47 5 14 81 38 6 56 27 20 53 50
10 3 87 0 0 100 3 11 86 29 21 50 7 13 80 50
139
Bakteri Gram Positif Kokus Streptococcus S 60 Sp I 20 R 20 Staphylococcus S 38 aureus I 4 R 58 Bakteri Gram Negatif Batang Alkaligenes sp S I R Pseudomonas S sp I R Coliform S I R Eschericia coli S I R Proteus sp. S I R Aerobacter S -
AMP
Resistensi Terhadap Antibiotik (%)
AK
Status
AMC
Spesies Bakteri
sp
I R
-
17 50
-
0 50
0 50
0 50
0 50
0 50
0 50
0 50
16 17
17 50
0 33
17 50
0 33
0 50
0 50
0 50
0 50
-
17 33
0 50
0 50
Keterangan: S= Sensitif; I= Intermediat; R= Resisten; AMC: Amoksisilin sulfat; AK= Amikasin sulfat, AMP= Ampisilin; CFP= Sefoperazon; CTX= Sefotaksim; CPR= Sefrozil; CAZ= Seftazidim; CRO= Seftriakson; C= Kloramfenikol; CIP= Siprofloksasin; E= Eritromisin; FOS= Fosfomisin’ GN= Gentamisin; IPM= Imipenem; K= Kanamisin; MEM= Meropenem; NA= Asam nalidiksat; NET= Netilsimin; OFX= Ofloksasin; TZP= Piperasilin tazobactan; TE= Tetrasiklin; VA= Vankomisin; LEV= Levofloksasin; ZOX= Seftizoksim; FEP= Sefepim
140