Jurnal POLITEIA|Vol.7|No.2|Juli 2015 Sri Maulizar
ISSN: 0216-9290
Tuha Peut dalam Pemerintahan Gampong di Hagu Selatan Kota Lhokseumawe Tahun 2008-2014
Tuha Peut dalam Pemerintahan Gampong di Hagu Selatan Kota Lhokseumawe Tahun 2008-2014 SRI MAULIZAR Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email:
[email protected]
Diterima tanggal 28 Maret 2015/Disetujui tanggal 12 April 2015 This study is pertaining of Tuha Peut in the Village Government in Hagu Selatan Lhokseumawe City for the Year period of2007-2014. Tuha Peut is the person who becomes the leader of community. It is the lowest level from the hierarchy of the local government in Hagu Selatan. The focus discussion of the study is to answer the question; what are the causes of Tuha Peut not function effectively in accordance with the existing provisions in Hagu Selatan Lhokseumawe city. The study found that there are several essential facts, some of them,are; the existence of a communication gap between Keuchik and Tuha Peut; then, the lacking of leadership factor. The study shows that Keuchik failed to deliver and provide the guidance for the Tuha Peut in order to execute all the tasks. The used method of the study is descriptive-qualitative method. The technic of data gathering was the field research and the documentary study. . Keywords: Tuha Peut, the village government, keuchik. . Pendahuluan Dalam sejarah Aceh, sejak zaman kesultanan Sultan Iskandar Muda (memerintah 16071636 M), Aceh telah memiliki tata pemerintahannya tersendiri, mulai dari pemerintahan pada tingkat terendah yaitu Gampong. Lembaga yang terdapat di dalam Gampong terdiri dari: Majelis Adat Aceh, Imueum Mukim yang merupakan Kepala Pemerintahan Mukim. Imeum chik, Imam Masjid pada tingkat mukim, yaitu orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di wilayah mukim yang berkaitan dengan bidang agama Islam dan pelaksanaan Syari’at Islam. Kemudian juga di dalam gampong juga memerintah seorang Keuchik, yang merupakan kepala persekutuan masyarakat adat gampong yang bertugas menyelenggarakan pe-
merintahan gampong. Tuha Lapan, sebagai lembaga adat pada tingkat mukim dan gampong yang berfungsi membantu Imeum Mukim dan Keuchik. Imeum Meunasah, memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di gampong yang berkenaan dengan bidang Agama Islam, pelaksanaan dan penegakan Syari’at Islam. Keujrun Blang, pemimpin adat yang membantu pimpinan mukim dan gampong dalam urusan pengaturan irigasi untuk pertanian atau persawahan dan sengketa sawah. Panglima Laot, pemimpin adat yang memimpin urusan bidang pengaturan penangkapan ikan di laut dan sengketa laut. Peutua Sineubok, pemimpin adat yang mengatur ketentuan-ketentuan tentang pembukaan hutan perladangan, perkebunan pada wilayah gunung atau perbukitan dan lembahlembah. Haria Peukan, pemimpin adat yang
83
Jurnal POLITEIA|Vol.7|No.2|Juli 2015 Sri Maulizar
ISSN: 0216-9290
Tuha Peut dalam Pemerintahan Gampong di Hagu Selatan Kota Lhokseumawe Tahun 2008-2014
mengatur ketertiban, kebersihan dan pengutip retribusi pasar. Syahbandar, pemimpin adat yang mengatur urusan tambatan kapal atau perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau. Selain lembaga-lembaga adat lain yang hidup didalam masyarakat Aceh yang diakui keberadaannya, dipelihara dan diberdayakan. Semua lembaga adat ini mempunyai struktur dan perannya masing-masing di dalam masyarakat. Kemudian terdapat sebuah lembaga bernama Tuha peut yang merupakan lembaga kelengkapan gampong dan mukim, berfungsi memberikan nasehat-nasehat kepada Keuchik dan Imum mukim dalam bidang pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat serta menyelesaikan segala sengketa ditingkat gampong dan mukim. Untuk mendukung peran ini, lembaga-lembaga adat tersebut diberikan kewenangan untuk menyelesaikan konflik yang timbul ditengah masyarakat.1 Tuha peut telah berfungsi sebagai tata pemerintahan gampong dalam hirearki sosial aceh, memiliki fungsi, peran dan kekuatan dimata hukum dan masyarakatnya. Tuha peut memainkan peranan penting dalam kelangsungan dan dinamika pemerintahan gampong dan masyarakatnya.2 Akan tetapi dengan dalih dan faktor apa kemudian seperempat abad terakhir hilang seolah ditelan masa. Hal ini seiring dengan diundangkannya UndangUndang No. 5 Tahun 1979 dan UndangUndang No. 2 Tahun 1999. Kehadiran dua undang-undang tersebut telah mengusur dan menggeser keberadaan Tuha peut dalam waktu lama. Tuha peut yang sudah lama menghilang dalam peredaran tata pemerintahan gampong di Aceh, kemudian dengan ditetapkannya Perda Aceh Nomor 7 Tahun 2000 dan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003, eksistensinya diprediksi dapat dikendalikan untuk dikembalikan pada fungsi dan perannya semula. Lembaga ini sebagai badan perwakilan gampong, yang berkedudukan sejajar dan menjadi mitra ker-
ja dari pemerintah gampong dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong serta sebagai pengganti istilah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) menurut UndangUndang No. 5 Tahun 1979, atau pengganti Badan Perwakilan Desa menurut UndangUndang No. 22 Tahun 1999. Berdasarkan Perda Nomor 7 Tahun 2000, Tuha peut adalah “Suatu badan kelengkapan gampong yang terdiri dari unsur pemerintah, unsur agama, unsur pimpinan adat, unsur cerdik pandai yang berada di gampong.3 Kemudian dalam sisi lain, sesuai dengan maksud isi Qanun Nomor 5 Tahun 2003 bahwa “Tuha peut adalah badan perwakilan gampong yang terdiri dari unsur ulama, tokoh adat, pemuka masyarakat dan cerdik pandai yang ada digampong”.4 Tuha peut adalah lembaga adat yang berwenang sebagai lembaga legislatif gampong yang membuat aturan hukum di gampong. Keuchik dan Tuha Peut mempunyai fungsi dan kewenangan yang berbeda namun saling berhubungan satu sama lainnya. Selain itu, Keuchik dan Tuha Peut gampong juga hakim perdamaian antara penduduk gampong, dan apabila ada perselisihan antar warga gampong kedua lembaga ini harus bermusyawarah bersama sehingga persoalan yang ada bisa terselesaikan dan tercipta keharmonisan dalam hidup di gampong. Sebagai kepala eksekutif gampong dalam menyelenggarakan pemerintah gampong, Keuchik diberikan beberapa tugas dan kewajiban yang harus dijalankan. Adapun tugas dan kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 12 Ayat (1) Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang pemerintahan gampong dinyatakan bahwa tugas dan kewajiban Keuchik yaitu menjalankan roda pemerintahan gampong dan dalam menetapkan suatu kebijakan tidak boleh sekehendak hati tanpa meminta persetujuan dari Tuha Peut gampong, dan setelah itu mempertanggungjawabkan kepada rakyat 3
1
H.Badruzaman Ismail, dkk, Sejarah Adat Aceh (2002-2006), (Provinsi Aceh, Majelis Adat Aceh, 2012), hal. 60-61. 2 Misri A. Muchsin, (Jeumala, Aceh, Majelis Adat Aceh, 2011). hal. 30-32.
84
Peraturan Daerah Provinsi Namggroe Aceh Darussalam Nomor 7 tahun 2000. 4 Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Jurnal POLITEIA|Vol.7|No.2|Juli 2015 Sri Maulizar
gampong atau Tuha Peut gampong. Hal ini menunjukkan bahwa Tuha Peut dibentuk untuk menjadi saran dalam mewujudkan demokrasi, keterbukaan dan partisipasi rakyat dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan gampong. Disamping itu, Tuha Peut juga berfungsi sebagai pemberi nasehat dan pertimbangan kepada Keuchik dalam bidang hukum adat, adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.5 Sebagai penasehat Keuchik, Tuha Peut dalam menganalisa setiap persoalan dan masalah yang timbul dalam masyarakat harus memberikan nasehat, saran dan pertimbangan kepada Keuchik baik diminta maupun tidak. Dengan demikian, maka suatu keputusan dan kebijakan gampong yang belum diketahui Tuha Peut belum sempurna dan pelaksanaannya akan kurang berwibawa, keputusan yang demikian akan hambar dalam pelaksanaannya dan dalam penerapannya.6 Tuha Peut sebagai lembaga adat sekaligus lembaga pemerintahan gampong memiliki peran-peran penting dalam mewujudkan citacita pembangunan gampong. Tuha Peut berfungsi sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 35 Qanun No. 5 Tahun 2003. Kedudukan Keuchik dan Tuha Peut sebagai yang melakukan tugas-tugas pembinaan masyarakat menggunakan sarana-sarana dan perangkat pendukung seperti mesjid dan meunasah sebagai tempat menyelesaikan masalah. Lembaga mesjid dan meunasah di gampong dalam sejarah Aceh dulunya berfungsi sebagai tempat musyawarah dalam menyelesaikan berbagai sengketa atau tempat untuk mengambil keputusan atau “cok peunutoh” dan tempat pelaksanaan eksekusi terhadap keputusan damai.7 Kedudukan Keuchik dan Tuha Peut sebagai hakim perdamaian gampong dan fungsi lembaga adat.
5
ISSN: 0216-9290
Tuha Peut dalam Pemerintahan Gampong di Hagu Selatan Kota Lhokseumawe Tahun 2008-2014
M. Nur Daud, “Pemerintahan Gampong dalam Konteks Undang-Undang No.18 Tahun 2001 Terhadap Pembangunan Masyarakat Desa”, Jurnal Banda Aceh, (Fakultas Hukum Unsyiah, 2003), hal. 635. 6 Juned, T. M, op.cit, hal.49. 7 Saifuddin, Aceh Madani dalam wacana, Format Ideal Implementasi Syariat Islam Di Aceh, (Aceh Justice Resource Centre, Banda Aceh, 2009), hal.44.
Struktur jabatan dalam peradilan adat gampong dilaksanakan oleh Keuchik sebagai ketua sidang. Imuem Meunasah, Tuha Peut, ulama atau cendekiawan dan tokoh adat lainnya sebagai anggota sidang. Dalam persidangan peradilan adat bersifat terbuka untuk umum dikarenakan pelaksanaan peradilan adat dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat.8 Ada dua proses yang dilakukan dalam menyelesaikan masalah perkara adat yaitu diantaranya negosiasi dan mediasi. Hal ini merupakan wujud pelaksanaan musyawarah untuk mencapai mufakat. Pelaksana negoisasi disebut dengan negoisator dan mediasi disebut dengan mediator. Keuchik dan Tuha Peut sebagai pelaksana peradilan adat dapat membuat keputusan adat didasarkan pada hasil musyawarah. Putusan peradilan adat merupakan hasil musyawarah dalam rangka perdamaian antar dua belah pihak yang beperkara. Putusan peradilan adat bukan vonis yang berisi kalah ataupun menang. Sifat dari putusan peradilan adat merupakan perdamaian sebagimana dipraktekkan pada masa lalu yang disertai dengan jenisjenis sanksi yang sesuai dengan hukum adat setempat.9 Sanksi yang dapat dijatuhkan sebagai bentuk putusan peradilan adat adalah sanksi yang paling ringan seperti meminta maaf dan sampai sanksi yang paling berat yaitu pengusiran dari gampong. Jenis –jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalam penyelesaian sengketa adat diantaranya nasehat, teguran, pernyataan maaf, sayam, diyat, denda, ganti kerugian, dikucilkan oleh masyarakat gampong atau nama lain, dikeluarkan dari masyarakat gampong atau nama lain, pencabutan gelar adat dan bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat setempat.10 Penyelesaian sengketa adat dalam peradilan adat diselesaikan secara bertahap, dan yang dimaksud secara bertahap adalah sengketa atau perselisihan yang terjadi diselesaikan terlebih dahulu dalam keluarga, apabila tidak dapat diselesaikan maka akan
8
Lihat dalam Pasal 14 Ayat (2) Qanun No.9 Tahun 2008. 9 Taqwaddin, UUPA dan Perkara Adat, Kabar UUPA, ALGAP II, 2009, hal. 2. 10 Lihat dalam pasal 16 Qanun No 9 Tahun 2008.
85
Jurnal POLITEIA|Vol.7|No.2|Juli 2015 Sri Maulizar
dibawa pada penyelesaian secara adat di gampong.11 Sejak diberlakukan Perda Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat ternyata fungsi dan tugas Tuha Peut tidak berfungsi maksimal sebagaimana semestinya karena tidak adanya dukungan dan keterbukaan dari Keuchik. Masih lemahnya fungsi dari Tuha Peut sebagai dampak dari perda tersebut adalah yang akan menjadi fokus penelitian, karena Tuha Peut seharusnya menjadi lembaga legislatif yang berperan sangat besar dalam mengawasi jalannya pemerintahan gampong, dan sebagai lembaga penguat masyarakat sipil di tingkat terendah yaitu gampong. Dengan pembangunan pemerintahan gampong yang berfungsi secara keseluruhan akan menciptakan pemerintahan yang berjalan di Aceh transparan dan akuntabel. Studi ini membahas tentang Tuha Peut yang tidak berfungsi secara efektif sesuai dengan ketentuan yang ada di Hagu Seletan Kota Lhokseumawe. Metode Studi ini dilakukaan dengan pendekatan kelembagaan. Fokusnya pada Tuha Peut dalam Pemerintahan Gampong. Studi ini bersifat diskriptif-kualitatif. Pengumpulan data dengan teknik penelitian lapangan serta dan studi dokumen (library research). Analisis data menggunakan analisis kualitatif. Tuha Peut Dalam Pemerintahan Gampong Tuha Peut dimasa Kesultanan Iskandar Muda, Gampong sebagai sistem kemasyarakatan di Aceh yang dapat mengatur diri sendiri atau otonom. Entitas terkecil yang berlangsung berhubungan dengan rakyat dan menyelenggarakan kepentingan masyarakat yang berhimpun dalam satu komunitas. Selain sebagai struktur pemerintahan yang paling kecil, Gampong juga memiliki wilayah hak otonomi untuk mengurus keperluannya sendiri, seluruh aturan dan penerapan hukum dalam kerajaan yang paling efektif terdapat di Gampong.
11
Lihat penjelasan pasal 13 Qanun No 9 Tahun 2008.
86
ISSN: 0216-9290
Tuha Peut dalam Pemerintahan Gampong di Hagu Selatan Kota Lhokseumawe Tahun 2008-2014
Kepemimpinanan kolektif Gampong, pemerintahan Gampong kala itu terdiri dari tiga pejabat yakni Keuchik, Imeum Meunasah, dan Tuha Peut. Keuchik berperan mengasuh anggota komunitas mengenai masalahmasalah adat, sosial dan mengatur adminitrasi pemerintahan Gampong. Imeum Meunasah sebagai kepala keagamaan gampong yang berperan mengasuh, mengajar dan membimbing perihal keagamaan. Tuha Peut juga merupakan wakil-wakil rakyat yang ikut serta membicarakan kepentingan Gampong dan memberikan nasihat kepada Keuchik dan Imeum Meunasah yang menyangkut pelaksanaan tugas masing-masing dan merupakan majelis yang diisi oleh orang-orang tua Gampong yang memiliki pengalaman dan pengetahuan luas tentang adat dan agama. Sumber keuangan Gampong pada kala itu pungutah yang setara dengan pajak atau retribusi, pemberian sukarela masyarakat dan mengusahakan harta Gampong yang dapat berupa sawah Gampong dan hutan Gampong. Kesejahteraan aparat Gampong ini yang dapat menghidupi perangkat Gampong sehingga dapat bertugas dengan baik tanpa perlu memikirkan kesejahteraan pribadi mereka masing-masing. Unsur Tuha Peut Tradisional, seperti unsur ulama, unsur tokoh masyarakat, unsur cerdik cendekia dan unsur pemuda. Pada masa kesultanan ini, sesuai dari namanya, empat unsur Tuha Peut ini diwakili pula oleh empat orang. Peran dari Tuha Peut Tradisional adapun menampung aspirasi masyarakat, penasihat atas apa yang terjadi dalam masyarakat Gampong dan juru damai atas perselisihan yang timbul dimasyarakat. Pengangkatan Tuha Peut pada masa kesultanan dilakukan berdasarkan asas musyawarah mufakat masyarakat Gampong. Pentingnya lembaga Tuha Peut dalam pemerintahan Gampong amat disadari oleh Keuchik atau pihak-pihak lain yang ingin memperkuat kedudukan atau memiliki kepentingan tertentu pada Gampong sehingga tidak jarang terjadi orang-orang yang duduk dilembaga Tuha Peut adalah orang-orang yang berpihak pada pejabat yang berkuasa di pemerintahan Gampong atau yang mendukung kepentingannya dan tidak berpihak pada masyarakat Gampong.
Jurnal POLITEIA|Vol.7|No.2|Juli 2015 Sri Maulizar
ISSN: 0216-9290
Tuha Peut dalam Pemerintahan Gampong di Hagu Selatan Kota Lhokseumawe Tahun 2008-2014
Pada awal kemerdekaan Indonesia, kesadaran atau keragaman lokal sangat dalam dan merupakan cita-cita yang ingin diwujudkan para pendiri bangsa sebagaimana tertuang dalam ayat 2 pasal 18 UUD 1945. Awal pelita I , organisasi pemerintahan lokal seperti Tuha Peut, masih ada dalam masyarakat di Aceh, tetapi perannya semakin berkurang. UU No.5 Tahun 1979 menyeregamkan dan pengendalian secara tunggal dan hierakhis sentralistik, sehingga nama, bentuk, identitas, tata pemerintahan, kendudukan dan kedaulatan masyarakat adat menjadi hilang. Dengan sistem pemerintahan desa dalam UU No.5 Tahun 1979, peneyelenggaraan sistem administrative memang lebih mudah, tetapi kelemahannya, sifat khas dari masing-masing Gampong menjadi hilang. Tuha Peut dan Imeum Meunasah kemudian dikenal dengan seksi adat dalam Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). UU No.22 Tahun 1999 mengembalikan hak otonomi Gampong dan diharapkan Gampong dapat berdiri sendiri. Bahkan peluang untuk kembali ke bentuk Gampong berdasarkan adat juga sangat terbuka. Tuha Peut kembali memiliki posisi yang kuat dalam pemerintahan Gampong sebagai salah satu unsur pemerintahan Gampong. Tuha Peut sebagai lembaga adat sekaligus pemerintahan Gampong. Perubahan sistem sentralistik ke desentralisasi. UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan pembentukan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Provinsi No.5 Tahun 2003 dalam Pasal 115 UUPA Tahun 2006 yang menyebutkan pemerintahan Gampong terdiri dari Keuchik dan Badan Permusyawaratan Gampong yang disebut Tuha Peut. Sebagai lembaga adat, Tuha Peut ini sudah cukup lama dan punya banyak pengalaman. Tetapi sebagai lembaga pemerintahan masih terasa baru dan masih belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Pembentukan, struktur, keberadaan dan kedudukannya di tengahtengah kehidupan masyarakat dan pemerintahan masih sangat lemah. Tuha Peut Gampong merupakan unsur lembaga adat sekaligus pemerintahan Gampong dan mempunyai hak dalam pengaturan Gampong.
Pemerintahan pusat memberikan ruang bagi tumbuhnya penyelenggaraan pemerintahan lokal Aceh yang tumbuh dari nilai-nilai kearifan lokal di Aceh. Tuha Peut Gampong dapat berfungsi sebagai lembaga yang bertugas dalam mengayomi adat istiadat, lembaga pengawas, lembaga legislatif Gampong serta lembaga yang menyalurkan aspirasi masyarakat. Menumbuhkan sistem pemerintahan Gampong yang berakar pada niali-nilai sosio-kultural dan religiusitas di Aceh. Tuha Peut diberikan Tupoksi meningkatkan pelaksanakan Syari’at Islam, memelihara kelestarian adat istiadat, melaksanakan fungsi anggaran, serta melaksanakan fungsi pengawasan atas kinerja Keuchik. Sebagai lembaga adat Tuha Peut sudah dapat berjalan dengan baik, memiliki pengalaman dan pengetahuan luas khususnya tentang adat istiadat masyarakat setempat tentang agama serta ikut membicarakan kepentingan Gampong dan memberikan nasihat kepada Keuchik dan Imuem Meunasah yang menyangkut pelaksanaan tugas masing-masing. Tuha Peut sebagai lembaga pemerintahan Gampong, perlu menyadari berbagai kewenangan yang diberikan undang-undang terhadap Keuchik serta hak dan kewajiaban yang diberikan undang-undang terhadap Tuha Peut itu sendiri. Perpaduan tugas Tuha Peut sebagai lembaga adat Gampong dengan lembaga pemerintahan Gampong adalah suatu kearifan lokal sekaligus keunikan serta keistimewaan tersendiri bagi masyarakat Aceh. Indonesia memang telah memiliki suku, budaya dan bahasa yang berbeda serta sistem pemerintahan disetiap masing-masing daerah salah satunya Aceh yang memiliki sistem pemerintahan bernama Gampong. Nanggroe Aceh Darussalam yang diberikan otonomi khusus menurut UU No.18 Tahun 2001, telah menjadi Provinsi yang memiliki ciri khas dari daerah tersebut. Terbukti dengan diberikan daerah otonomi khusus NAD juga memiliki lembaga adat didaerah tersebut. Lembaga adat adalah suatu organisasi kemsyarakatan adat yang dibentuk oleh masyarakat hukum adat tertentu yang mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus, meyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat setempat.
87
Jurnal POLITEIA|Vol.7|No.2|Juli 2015 Sri Maulizar
Pola kehidupan masyarakat Aceh diatur oleh hukum adat yang berdasarkan kaidah-kaidah hukum agama Islam. Adapun susunan masyarakat adalah sebagai berikut: pertama, golongan rakyat biasa; yang dalam istilah Aceh disebut Ureung Le (orang banyak). Disebut demikian karena golongan ini merupakan golongan yang paling banyak (mayoritas) dalam masyarakat adat Aceh; Kedua, golongan hartawan; yaitu golongan yang bekerja keras dalam mengembangkan ekonomi pribadi. Dari pribadi-pribadi yang sudah berada itulah terbentuknya suatu golongan masyarakat. Karena keberadaannya sehingga mereka menjelma menjadi golongan hartawan. Golongan ini cukup berperan dalam soal-soal kemasyarakatan khususnya sebagai penyumbang-penyumbang dana. Ketiga, golongan ulama/cendikiawan. Pada umumnya mereka berasal dari kalangan rakyat biasa yang memiliki ilmu pengetahuan yang menonjol. Sehingga mereka disebut orang alim dengan gelar Teungku. Mereka cukup berperan dalam masalah-masalah agama dan kemasyarakatan; Keempat, golongan kaum bangsawan; termasuk didalamnya keturunan Sultan Aceh yang bergelar "Tuanku" keturunan "Uleebalang" yang bergelar "Teuku" (bagi laki-laki) dan "Cut" (bagi perempuan).12 Selain pembagian susunan masyarakat tersebut di atas, sistem kesatuan masyarakat Aceh, merupakan perwujudan dari beberapa buah keluarga inti, yang menjadi suatu kelompok masyarakat; yang disebut "Gampong" (Kampung). Sistem sosial pada masyarakat Aceh berpedoman pada keluarga inti. Setiap perbuatan yang dilakukan sebuah keluarga inti akan memberi pengaruh kepada keluarga lainnya. Dengan demikian hubungan antara satu keluarga inti dengan keluarga inti lainnya cukup erat. Selanjutnya, di dalam Gampong terdapat pula istilah Tuha Peut yang dipersepsikan sebagai orang tua masyarakat Aceh yang memiliki peranan yang sangat menentukan arah adat istiadat daerah tersebut dan mempertahankannya. Di dalam menjalankan fungsi 12
http://students.ukdw.ac.id/~22012697/adat.html, Adat dan Budaya Aceh, diakses tanggal 15 September 2014.
88
ISSN: 0216-9290
Tuha Peut dalam Pemerintahan Gampong di Hagu Selatan Kota Lhokseumawe Tahun 2008-2014
adat istiadat tersebut ditingkat Gampong Tuha Peut juga turut serta dalam hal mengawasi kegiatan pemerintahan Gampong dan memberikan nasehat, saran pendapat, motivasi dorongan, menegur serta meminta pertanggung jawab dari Keuchik kepada Tuha Peut dalam waktu 1 Tahun. Dalam melaksanakan tugasnya di kehidupan masyarakat, Tuha Peut biasanya memikul tugas rangkap selama masa jabatan 5 tahun dalam 1 kali periode, disamping sebagai penasehat Keuchik, juga sebagai pemikir, penimbang, dan penemu dasar-dasar hukum atas suatu keputusan atau ketetapan adat.13 Kecuali itu dalam kasus-kasus tertentu mereka kadang-kadang harus berposisi sebagai dewan juri. Adapun tugas tuha peut dalam hal ini adalah: (a).Meningkatkan upaya-upaya pelaksanaan syari’at Islam dan adat dalam masyarakat; (b).Memelihara kelestarian adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan budaya setempat yang masih memiliki asas manfaat; (c).Melaksanakan fungsi legislasi, yaitu membahas atau merumuskan dam memberikan persetujuan terhadap penetapan Keuchik terhadap Reusam Gampong; (d).Melaksanakan fungsi anggaran, yaitu membahas atau merumuskan dan memberikan persetujuan terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong sebelum ditetapkan menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong; (e).Melaksanakan fungsi pengawasan, yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Reusam Gampong, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong, pelaksanaan Keputusan dan Kebijakan lainnya dari Keuchik; (f).Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada pemerintah gampong.14 Tanggung jawab pemimpin adat, dalam hal ini Keuchik dan Tuha Peut sebagai pelaksana peradilan tingkat gampong, terdiri dari beberapa macam diantaranya: a. Melaksanakan proses peradilan adat; b. Memutuskan dengan adil; 13
Wawancara peneliti dengan informan (Bapak H.M.D. Ismail, Ketua Tuha Peut dari tahun 2011 s/d 2014 serta pernah menjadi wakil ketua tuha peut tahun 2007 s/d 2010 dan berhenti karena faktor usia), pada tanggal 26 September 2014, pukul 16.30 Wib. 14 Qanun Provinsi NAD No. 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong.
Jurnal POLITEIA|Vol.7|No.2|Juli 2015 Sri Maulizar
c. Melindungi para pihak yang bersengketa; d. Mencatat proses dan putusan peradilan; e. Mengarsipkan perkara.15 Tuha Peut juga bisa menangani 18 kasus dan kasus-kasus yang tersebut sebagai berikut: (1).Perselisihan dalam rumah tangga; (2).Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh; (3).Perselisihan antar warga; (4).Khlawat (mesum); (5).Perselisihan tentang hak milik; (6).Pencurian dalam keluarga; (7).Perselisihan harta se-hareukat; (8).Pencurian ringan; (9).Pencurian ternak peliharaan; (10).Pelanggaraan adat tentang ternak, pertanian dan hutan; (11).Persengketaan di laut; (12).Persengketaan di pasar; (13).Penganiayaan ringan; (14).Pembakaran hutan; (15).Fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik; (16).Pencemaran lingkungan; (17).Pengancaman; (18).Perselisihan lain yang melanggar adat. Kasus-kasus itu merupakan kasus tindak pidana ringan yang terjadi di masyarakat dan tanpa harus turun tangan pihak kepolisian atau proses hukum.16 Kasus-kasus tersebut bisa langsung diselesaikan di tingkat Gampong. Keuchik sebagai kepala eksekutif Gampong dalam menyelenggarakan pemerintahan Gampong, Keuchik diberikan beberapa tugas dan kewajiban yang harus dijalankan. Adapun tugas dan kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 12 Ayat (1) Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang pemerintahan gampong dinyatakan bahwa tugas dan kewajiban Keuchik yaitu menjalankan roda pemerintahan gampong dan dalam menetapkan suatu kebijakan tidak boleh sekehendak hati tanpa meminta persetujuan dari Tuha Peut gampong, dan setelah itu mempertanggungjawabkan kepada rakyat gampong atau Tuha Peut gampong. Hal ini menunjukkan bahwa Tuha Peut dibentuk untuk menjadi saran dalam mewujudkan demokrasi, keterbukaan dan partisipasi rakyat dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan gampong. Disamping itu, terdapat pula Tuha Peut yang meiliki fungsi sebagai pemberi nasehat dan pertim15
Ibid, hal.29-30. Wawancara peneliti dengan responden (Bapak Masykur SH, sebagai keuchik Hagu Selatan), pada tanggal 28 September 2014, pukul 12.00 Wib. 16
ISSN: 0216-9290
Tuha Peut dalam Pemerintahan Gampong di Hagu Selatan Kota Lhokseumawe Tahun 2008-2014
bangan kepada Keuchik dalam bidang hukum adat, adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.17 Penyebab Tuha Peut tidak berfungsi secara efektif Di dalam Gampong terdapat pula istilah Tuha Peut yang dipersepsikan sebagai orang tua masyarakat Aceh yang memiliki peranan yang sangat menentukan arah adat istiadat daerah tersebut dan mempertahankannya. Di dalam menjalankan fungsi adat istiadat tersebut ditingkat Gampong Tuha Peut juga turut serta dalam hal mengawasi kegiatan pemerintahan Gampong dan memberikan nasehat, saran pendapat, motivasi dorongan, menegur serta meminta pertanggung jawab dari Keuchik kepada Tuha Peut dalam waktu 1 Tahun. Dalam melaksanakan tugasnya di kehidupan masyarakat, Tuha Peut biasanya memikul tugas rangkap selama masa jabatan 5 tahun dalam 1 kali periode, disamping sebagai penasehat Keuchik, juga sebagai pemikir, penimbang, dan penemu dasar-dasar hukum atas suatu keputusan atau ketetapan adat.18 Kecuali itu dalam kasus-kasus tertentu mereka kadang-kadang harus berposisi sebagai dewan juri. Pertama, Adanya kesenjagan komunikasi antara Keuchik dan Tuha Peut. Kesenjangan komunikasi tersebut terjadi ketika Tuha Peut pernah tidak diajak untuk berperan (musyawarah) dalam penyaluran dana sebagai bantuan dari pemerintah oleh pemerintahan Gampong (Keuchik). Namun ketika pada saat Keuchik memberikan bantuan kepada masyarakat dan jika ada kesalahan Tuha Peut lalu dilibatkan atas fungsi dan tugasnya. Hal tersebut jelas menunjukkan adanya kelalaian dalam hubungan tata pemerintahan gampong sehingga Tuha Peut tidak dapat 17
M. Nur Daud, op.cit., hal 635 wawancara peneliti dengan informan (Bapak H.M.D. Ismail, Ketua Tuha Peut dari tahun 2011 s/d 2014 serta pernah menjadi wakil ketua tuha peut tahun 2007 s/d 2010 dan berhenti karena faktor usia), pada tanggal 26 September 2014, pukul 16.30 Wib. 18
89
Jurnal POLITEIA|Vol.7|No.2|Juli 2015 Sri Maulizar
melaksanakan tugasnya dengan baik dan maksimal. Ketidakikutsertaan didalam pengambilan keputusan, Tuha Peut tidak dilibatkan oleh Keuchik, tentu akan berdampak buruk dalam tatanan internal pemerintahan gampong. ….”Seperti diketahui idealnya bahwa apapun yang menjadi sesuatu hal yang dianggap penting harus melibatkan Tuha Peut. Sikap tidak saling mendukung dan keterbukaan dari Keuchik menunjukkan lemahnya transparansi dan akuntabilitas fungsi dan tugas”.19
Terkadang ada permasalahan tapi tidak diselesaikan, sementara Keuchik adalah ibarat presiden dan Tuha Peut adalah DPR yang menyetujui, sehingga Tuha Peut membuat suatu kebijakan harus diselesaikan akan tetapi tidak ada dukungan dari kepala daerah atau Keuchik. Maka Tuha Peut yang dipilih harus mampu menyelesaikan suatu permasalahan dan memang harus tokoh masyarakat. Dalam segi kemampuan lebih baik dan bagus Tuha Peut daripada Imam meunasah ataupun Keuchik. Karena tempat terakhir dalam penyelesaian masalah dan merupakan lembaga permusyawaratan Gampong dan disebut juga hakim Gampong. Kedua, Keuchik sendiri yang tidak bisa mengarahkan adanya tugas-tugas Tuha Peut. Tuha Peut tidak menjalankan fungsi dan tugasnya adalah bahwa ternyata Keuchik sendiri yang tidak bisa mengarahkan ada tugas-tugas Tuha Peut karena Keuchik sendiri tidak mengetahui tugas daripada Tuha Peut.20 Sehingga Keuchik merangkap sendiri tugas dan fungsi daripada Tuha Peut yang akhirnya menyebabkan tidak berfungsinya lembaga tersebut. Padahal sudah ada penyelesaian wewenang masing-masing lembaga, seharusnya Keuchik tidak menjalankan tugas-tugas Tuha Peut ataupun merangkap. Karena ku19
Wawancara peneliti kepada responden (Bapak Drs. Syamsul Arifin, M.Ag, pernah menjadi wakil ketua I di tahun 2008 sampai 2012), pada tanggal 5 Mei 2014, pukul 17.00 Wib. 20 Wawancara peneliti kepada responden (Bapak H. Muhammad Yunus Safe’I SE, ketua tuha peut di tahun 2005 s/d 2010, dan telah berhenti dikarenakan pindah gampong dari hagu selatan ke teungoh dan sekarang menjabat sebagai wakil ketua tuha peut hagu teungoh), pada tanggal 29 Mei 2014, pukul 16.00 Wib.
90
ISSN: 0216-9290
Tuha Peut dalam Pemerintahan Gampong di Hagu Selatan Kota Lhokseumawe Tahun 2008-2014
rang kejelian dari masalah yang diselesaikan yang merupakan porsi daripada Tuha Peut. Faktor ekonomi juga menjadi salah satu mengapa Keuchik tidak berbagi tugas yang seharusnya menjadi tugas Tuha Peut.21 Sengketa-sengketa dan perkara-perkara yang terjadi, mereka selesaikan melalui proses perundingan antara pihak-pihak yang terlibat, dengan menggunakan forum-forum yang merupakan kelengkapan lingkungan sosial darimana sengketa itu tidak bisa dibedakan dari penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan sehari-hari, dan yang dianggap sebagai suatu gangguan. Tetapi, ajaran menyelesaikan berpendirian bahwa suatu persengketaan atau perselisihan atau perkara, pemrosesannya haruslah sedemikian rupa, sehingga pihakpihak yang bersengketa atau berselisih itu dikemudian hari dapat meneruskan kehidupan bersama mereka kembali sebagaimana sebelumnya. Dengan kata lain proses itu mampu mengembalikan keadaan kehidupan sebagaimana semula, setelah perselisihan diantara mereka diselesaikan. Dalam memproses perselisihan dan persengketaan secara demikian ; masing-masing pihak dilihat sebagai seorang manusia yang tak terpisahkan dari masyarakat dan lingkungannya. Ini bermakna bahwa bukan kalah menang yang diketengahkan, akan tetapi kembalinya keadaan keseimbangan yang terganggu, sehingga masing-masing pihak dapat hidup bersama kembali dalam kehidupan dan ikatan dengan keseluruhan dan perasaannya secara tenang, tenteram dan bahagia. Hukum adat cenderung menganut pandangan yang kedua, sehingga setiap bentuk perselisihan, persengketaan atau perkara harus diupayakan dengan berbagai cara agar dapat diproses dalam bentuk penyelesaian. Ini berarti seluruh persoalan dapat diselesaikan tanpa terganggunya keseimbangan hidup masyarakat. Untuk itu, setiap perkara yang timbul dalam masyarakat pada tahap pertama diupayakan untuk diselesaikan dalam bentuk “perdamaian” yang dikenal dalam hukum adat yang dikordinatori oleh Tuha Peut dan Keuchik.
21
Ibid,.
Jurnal POLITEIA|Vol.7|No.2|Juli 2015
ISSN: 0216-9290
Sri Maulizar
Tuha Peut dalam Pemerintahan Gampong di Hagu Selatan Kota Lhokseumawe Tahun 2008-2014
Penutup
Wawancara peneliti kepada responden (Bapak H. Muhammad Yunus Safe’I SE, ketua tuha peut di tahun 2005 s/d 2010, dan telah berhenti dikarenakan pindah gampong dari hagu selatan ke teungoh dan sekarang menjabat sebagai wakil ketua tuha peut hagu teungoh), pada tanggal 29 Mei 2014, pukul 16.00 Wib. Wawancara peneliti dengan responden (Bapak Masykur SH, sebagai keuchik Hagu Selatan), pada tanggal 28 September 2014, pukul 12.00 Wib.
Tuha Peut sebagai orang yang dituakan merupakan badan yang berada ditingkat Gampong yang paling terendah yang memberikan nasehat kepada mayarakatnya dan dalam menjaga adat istiadat di Gampong tersebut. Dalam kasus di Hagu Selatan kasus Tuha Peut terjadi dalam pemerintahan Gampong Tahun 2007-2014. Terdapat dua hal penting yang menjadi penyebab utama Tuha Peut tidak berfungsi secara efektif. Penyebab tersebut antara lain: pertama, Adanya kesenjangan komunikasi antara Keuchik dan Tuha Peut; Kedua, Keuchik sendiri yang tidak bisa mengarahkan adanya tugas-tugas Tuha Peut. Daftar Pustaka Daud, M. Nur. 2003. Pemerintahan Gampong dalam Konteks Undang-Undang No.18 Tahun 2001 Terhadap Pembangunan Masyarakat Desa. Jurnal Banda Aceh. http://students.ukdw.ac.id/~22012697/adat.html, Adat dan Budaya Aceh, diakses tanggal 15 September 2014. Ismail, Badruzaman, dkk. 2012. Sejarah Adat Aceh (2002-2006), Provinsi Aceh: Majelis Adat Aceh. Misri A. Muchsin. 2011. Jeumala. Aceh; Majelis Adat Aceh. Peraturan Daerah Provinsi Namggroe Aceh Darussalam Nomor 7 tahun 2000. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun No.9 tahun 2008 tentang Pemerintahan Gampong dalam provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Saifuddin. 2009. Aceh Madani dalam Wacana, Format Ideal Implementasi Syariat Islam di Aceh. Aceh Justice Resource Centre. Banda Aceh. Taqwaddin, UUPA dan Perkara Adat, Kabar UUPA, ALGAP II, 2009. Wawancara peneliti dengan informan (Bapak H.M.D. Ismail, Ketua Tuha Peut dari tahun 2011 s/d 2014 serta pernah menjadi wakil ketua tuha peut tahun 2007 s/d 2010 dan berhenti karena faktor usia), pada tanggal 26 September 2014, pukul 16.30 Wib. Wawancara peneliti kepada responden (Bapak Drs. Syamsul Arifin, M.Ag, pernah menjadi wakil ketua I di tahun 2008 sampai 2012), pada tanggal 5 Mei 2014, pukul 17.00 Wib.
91