TUGAS MATA KULIAH FILSAFAT ILMU (SIMBOL DAN BAHASA)
Disusun oleh: Kelompok 4 Nur Amalia Hildaini
16706251037
Eka Fransiska Agustin
16706251011
Afitri Rahma Wati
16706251009
Binti Aisiah Daning S
16706251020
Dwi Ide Rahayu
16706251007
Rochmat Susanto
16706251027
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2016/2017 1
A. SIMBOL Secara etimologis, kata ‘simbol’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu Symbolos yag berarti tanda, atau ciri yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang. Istilah tanda dan simbol atau lambang memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Chaer (2012: 37) “tanda adalah suatu atau sesuatu yang dapat menandai atau mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara langsung dan alamiah.” Misalnya ketika kita melihat ada tanda asap hitam yang membumbung tinggi pasti ada api besar atau mungkin kebakaran di sana. Jika kita melihat rumput basah dan tanah tergenang air, itu merupakan tanda bahwa telah terjadi hujan lebat. Sehingga bisa kita sebut bahwa tanda juga menandai bekas kejadian. Berbeda dengan tanda, lambang atau symbol tidak bersifat alami atau langsung menunjukkan korelasi yang jelas antara tanda dan bekas kejadian. Menurut Chaer (2012: 3738) “lambang atau simbol menandai sesuatu yang lain secara konvensional tidak secara alamiah dan langsung”. Inti dari definisi tersebut yaitu lambang memiliki arti yang merupakan kesepakatan masyarakat. Misal di daerah Kabupaten Cilacap ketika di jalan ada bendera putih maka hal itu melambangkan ada orang meninggal di dekatnya. Di daerah lain seperti Jakarta lambang ketika ada orang meninggal dilambangkan dengan bendera kuning. Meskipun konsep makna lambang tersebut
merujuk pada hal yang sama, akan tetapi
representasi lambangnya berbeda tergantung pada konvensi atau kesepakan masyarakat setempat. Jadi dari pengertian tanda dan symbol diatas dapat disimpulkan bahwa tanda tidak bersifat arbitrer sedangkan symbol atau lambang bersifat arbitrer (semena-mena atau manasuka sesuai kesepakatan masyarakat). Sederhananya, ketika melihat tanda, kita langsung mengacu pada objek yang berkaitan.
Sedangkan ketika melihat simbol atau
lambang, kita sudah tidak terikat pada objek yang berkaitan melainkan pada suatu konsep tertentu yang berdasarkan konvensi. Seperti yang diungkapkan oleh White (1959; Herawati, 2010:83), simbol adalah benda atau objek material yang nilainya ditetapkan oleh orang yang menggunakannya. Jadi simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya Menurut Langer (1988; Herawati, 2010:87), simbol dibagi menjadi dua macam, yaitu:
2
1) Simbol Diskursif Simbol yang cara penangkapannya menggunakan intelek, tidak secara spontan tetapi berurutan. Simbol ini terungkap paling jelas dalam bahasa yang mempunyai konstruksi secara konsekuen. 2) Simbol Presentasional Simbol yang cara penangkapannya tidak membutuhkan intelek, dengan spontan simbol tersebut menghadirkan apa yang dikandungnya. Simbol macam ini dijumpai dalam alam, dan dalam lukisan, tari-tarian, pahatan, dan lain-lain.
B. HUBUNGAN SIMBOL DAN BAHASA Menurut Kridalaksana dalam Supriyadi (1999:1), menyatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang (simbol) yang arbitrer yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi dan untuk mengidentifikasikan diri. Bahasa tidak sekedar urutan bunyi yang dapat dicerna secara empiris, tetapi juga kaya dengan makana yang sifatnya non-empiris. Dengan demikian bahasa adalah sarana vital dalam berfilsafat, yakni sebagai alat untuk mengejawantahkan pikiran tentang fakta dan realitas yang direpresentasuikan lewat simbol bunyi (Chaedar, 2008). Bahasa merupakan sistem simbol yang memiliki makna, alat komunikasi manusia, penuangan emosi manusia serta merupakan sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam mencari hakikat kebenaran dalam hidupnya. Sehingga dalam pembahasan mengenai bahasa, tidak terlepas dari simbol sebagai bagian penting dari bahasa. Telah dinyatakan sebelumnya berdasarkan sumber bahwa hubungan antara simbol dan bahasa memiliki keterkaitan yang erat. Dikutip dari Supriyadi (1999), dari kekompleksitasan bahasa sebagai sistem simbol inilah dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan sistem simbol yang paling lengkap, paling halus, dan paling maju dibandingkan dengan sistem-sistem simbol lainnya. Sedangkan, implikasi dari adanya hubungan antara simbol dan bahasa, menyebabkan lahirnya berbagai cabang ilmu bahasa baik itu makrolinguistik maupun miskrolinguistik. Sintaktik, semantik, pragmatik dan semiotik (mikrolinguistik) semiotik bisa masuk ke dalam mikro maupun makro tergantung bagaimana lambang/simbol yang digunakan. 3
C. SEJARAH FILOSOFIS SEMIOTIK Istilah semiotik yang lumrah kita pakai sekarang ini merupakan hasil dari sejarah panjang melalui berbagai pertimbangan selama bertahun-tahun oleh para filsuf dan ahli terkait. Pada akhir abad 16, istilah semiotik pertama kali disebut dengan jelas sebagai cabang filsafat pada essay karya Locke pada tahun 1690 yang berjudul Concerning Human Understanding. Essay tersebut hakikat tentang tanda. Kemudian filsafat semiotik ekspilisit mulai sering muncul pada karya-karya setelahnya seperti Designation of Ideas and Things karya Johann Heinrich Lambert (1764) dilanjutkan Theory of Science karya Bolzano (1837ac) (Nöth 1995: 14). Kemudian berlanjut pada era Saussure lewat karyanya yang berjudul Course in General Linguistics istilah untuk ilmu yang mempelajari tanda dengan istilah semiologi. Sedangkan Morris dalam Sebeok (1976) menyebut dengan istilah SEMIOTIK. Walaupun Saussure dinobatkan sebagai salah satu pencetus istilah semiologi, tetapi istilah SEMIOTIK yang kita kenal sekarang ini bukan merupakan sinonimnya karena setelah tahun 1970-an istilah semiologi Saussure mulai meredup (Chandler 2002: 10). Mengatasi kekaburan penggunaan dua istilah tersebut, Sebeok (1976: 48) kemudian menjelaskan perbedaan antara semiotik dan semiologi sebagai berikut: 1. SEMIOTIK digunakan untuk mengacu pada sejarah filsafat umum tentang tanda sejak Peirce. Sementara semiologi mengacu pada tradisi linguistik sejak zaman Saussure. 2. Menurut Rossi-Laindi dalam Sebeok (1976) mendefinisikan bahwa SEMIOTIK merupakan ilmu umum yang berkaitan dengan tanda-tanda, linguistik sebagai ilmu tentang semua sistem tanda verbal. Sedangkan semiologi berhubungan dengan system tanda pascalinguistik (pascaverbal) seperti karya-karya sastra. 3. Sejalan dengan poin di atas, Rey (1976), SEMIOTIK dianggap sebagai kajian teori tandatanda nonlinguistic. Sedangkan semiologi mengkaji tentang struktur tekstual. 4. Wunderli (1982a: 18) memberikan suatu batasan yang sedikit berbeda pada dua istilah tersebut. Menurut pandangannya, SEMIOTIK berhubungan dengan kajian tanda-tanda alam dan non-manusia. Sedangkan semiologi hanya mengkaji sistem tanda yang terdapat dalam manusia saja. 4
Akhirnya pada tahun 1969 digelarlah konferensi International Association of SEMIOTIC Studies yang diprakarsai oleh para ahli: Barthes, Benveniste, Greimas, Jakobson, Levi straus, dan Sebeok. Hasil dari konferensi tersebut yaitu memutuskan untuk mengadopsi istilah SEMIOTIK sebagai istilah umum yang terdiri dari semua bidang penelitian yang berkaitan dengan tanda (semiologi dan SEMIOTIK umum). Kemudian keputusan istilah terminologis ini diikuti secara luas dalam penelitian SEMIOTIK internasional. D. STUDI TENTANG SIMBOL DAN BAHASA Simbol sebagai suatu bagian tak terpisahkan dari bahasa menyebabkan munculnya ilmu yang khusus mempelajari tentang simbol/ lambang dalam bahasa. Terdapat dua ilmu dalam linguistik yang mengkaji tentang simbol, yaitu semantik dan semiotik. Menurut Gaines (2010:48) semantik bekerja dengan mendefinisikan makna yang berhubungan dengan representasi objek tertentu seperti symbol, kata atau suara. Hal ini senada dengan pendapat Chaer (2015:268) yang mengatakan bahwa semantik mengkaji makna dari suatu lambang atau simbol, tetapi lambang atau simbol yang menjadi kajian semantik hanyalah lambang bahasa atau simbol-simbol yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal. Maka dapat disimpulkan bahwa studi semantik menelaah relasi simbol dengan sesuatu yang lain sebagai referensi, denotasi, konotasi atau makna. Sementara itu, ilmu yang mengkaji tentang simbol-simbol yang lebih luas (baik itu dari segi kebahasaan ataupun non-kebahasaan) disebut dengan semiotika. Ferdinand de Saussure (1915:16) mendefinisikan semiotika atau semiology sebagai sebuah ilmu yang mengkaji simbol dalam sebuah masyarakat (a science that studies the life of sign within society). Chaer (2015:268) menyatakan bahwa semiotik mengkaji semua makna yang ada dalam kehidupan manusia seperti makna-makna yang dikandung oleh berbagai tanda dan lambang serta isyarat-isyarat lainnya. Merujuk pada definisi-definisi ini, maka dapat dikatakan bahwa semantik dapat juga dikatakan bagian dari kajian semiotik. Untuk lebih memperjelas perbedaan antara semantik dan semiotik, perhatikan gambar di bawah ini.
5
Gambar di atas merupakan simbol yang memiliki makna. Gambar tersebut merupakan lambang “cinta”. Apabila seorang pemuda/remaja memberikan lambang ini kepada seorang pemudi, maka makna yang dapat ditangkap adalah bahwa si pemuda/remaja tersebut mengungkapkan rasa cintanya melalui bahasa gambar tersebut. Dengan demikian, pengungkapan rasa cinta kepada orang lain (lawan jenis), tidak harus dengan simbol-simbol kebahasaan, tetapi dapat dilakukan dengan memberikan simbol berupa gambar. Gambar ini adalah objek kajian semiotik, karena gambar tersebut adalah sebuah ‘lambang’ yang mengisyaratkan perasaan cinta. Contoh kajian semantik adalah sebagai berikut. Jika ditanyakan apa makna dari kata ‘tirta’, maka jawaban yang akan diperoleh adalah ‘air’. Jadi, kata ‘tirta’ dimaknai dengan sinonimnya. Makna kata tirta akan dapat dipahami bila sebelumnya kita telah mengerti makna kata air, atau bisa dikatakan otak kita sudah mempunyai referensi sebelumnya tentang kata tersebut. Jika tidak ada referensi sebelumnya, maka makna kata tersebut tidak akan dapat diketahui.
DAFTAR PUSTAKA 6
Alwasilah, Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Chandler, Daniel. 2002. Semiotics the Basics. New York: Routledge Herawati, Enis Niken. 2010. Makna Simbolik dalam Tari Bedhaya dalam Tradisi: Jurnal Seni dan Budaya. Vol. 1, No. 1. Pp 81-94. Yogyakarta: Asosiasi Pendidik Seni Indonesia (APSI) Hersusatoto, Budiono. 2008. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak Nöth, Winfried. 1995. Handbook of Semiotics. Stuttgart: J.B. Metzlersche Suriasumantri, Jujun. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Supriyadi. 1999. Jurnal Humaniora Journal of Culture, Literature and Linguistics. No. 10 Januari-April. p.49-50. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM
7