KOLEKSI MATERI GENETIK BINUANG (Octomeles sumatrana Miq.) DI PASAMAN, SUMATRA BARAT DAN PENANGANANNYA (Genetic material collection of Binuang (Octomeles sumatrana Miq.) at Pasaman, West Sumatra and its handling) Tri Pamungkas Yudohartono Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliian Tanaman Hutan
ABSTRACT Binuang is a potential forest tree to establish plantation forest for pulp. The objective of this activity was to collect and characterize fruits/seeds of binuang and to know how to extract seeds and handling seedling. Twenty four mother trees/ families were identified and their seeds were collected at natural stand of Binuang at Pasaman ,West Sumatra. The observation showed that binuang stand tend to have a cluster; it was 3-6trees each cluster. Binuang trees were found at scattered and open areas because it is light intoleran species. Moreover, based on bark color, it was clasified as white and brown binuang. Each fruit string of binuang comprised 75 to 200 fruit capsules and each capsule consisted 0.01 gram seeds or 1000 seeds. It was difficult to get uniform level of fruit ripeness because wide variation on fruiting time among mother trees. Those condition affected on germination rate of binuang seeds. Kata kunci : Binuang, genetic material collection, Pasaman ABSTRAK Binuang merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang potensial untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman untuk pulp. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengumpulkan dan melakukan karakterisasi buah/benih binuang dan untuk mengetahui bagaimana mengekstraksi benih dan menangani bibit. Sebanyak 24 pohon induk binuang telah diidentifikasi dan benihnya telah dikumpulkan dari tegakan alam binuang di Pasaman, Sumatra Barat. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tegakan alam binuang cenderung membentuk klaster dimana setiap klaster terdiri dari 3 – 6 pohon. Letak/posisi dari pohon induk binuang tidak berdekatan satu sama lain. Oleh karena itu
materi genetik yang dikumpulkan dapat digunakan untuk pembangunan populasi dasar dalam strategi pemuliaan jenis binuang. Binuang dijumpai pada areal terbuka yang letaknya terpencar-pencar karena merupakan jenis yang butuh cahaya (jenis intoleran). Disamping itu berdasarkan warna kulit batang, binuang diklasifikasikan menjadi binuang berkulit batang putih dan coklat. Setiap malai buah binuang terdiri dari 75–200 kapsul/butir buah binuang dan setiap kapsul buah berisi 0,01 gram atau sekitar 1000 butir benih binuang. Tidak seragamnya waktu berbuah antar pohon induk menyebabkan sulitnya mendapatkan buah dengan tingkat kematangan yang relatif seragam. Kondisi ini mempengaruhi tingkat keberhasilan perkecambahan benih binuang di persemaian. Kata kunci : binuang, koleksi materi genetik, Pasaman
I. PENDAHULUAN Sampai saat ini, masih lebih dari 90% bahan baku kayu untuk industri pulp di Indonesia berasal dari hutan alam. Untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam akibat tuntutan pemenuhan kebutuhan bahan baku industri yang semakin meningkat maka perlu dilakukan pembukaan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menanam dan memanfaatkan kawasan hutan, peningkatan produksi kayu hutan tanaman dan diversifikasi jenis untuk pembangunan hutan tanaman. Skema yang dikembangkan dalam pembukaan akses antara lain pembangunan hutan tanaman rakyat (HTR), hutan kemasyarakatn (HKm), hutan rakyat dan hutan desa. Upaya diversifikasi jenis tanaman yang potensial untuk pembangunan hutan tanaman juga perlu didorong untuk memenuhi bahan baku industri kehutanan terutama industri pulp. Salah satu jenis tanaman hutan yang potensial untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman industri dan hutan tanaman rakyat adalah binuang (Octomeles sumatrana Miq.). Binuang merupakan pohon pionir yang daunnya selalu hijau dan termasuk jenis cepat tumbuh. Tinggi pohon dapat mencapai 60-75 m, dengan tinggi batang bebas cabang 30-40 m, diameter 250-400 cm. Binuang tersebar di seluruh Indonesia terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua. Jenis ini juga ditemukan di Philipina, Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon. Binuang tumbuh di hutan hujan
dataran rendah dan hutan sekunder atau tepi jalan logging. Pada distribusi alaminya, tanaman ini tumbuh baik pada ketinggian 0-1000 m dpl dengan rata-rata curah hujan sekurang-kurangnya 1.500 mm/tahun atau wilayah beriklim basah hingga agak kering (tipe iklim A-C). Binuang dapat tumbuh di tanah alluvial atau tanah lembab di tepi sungai, dan tanah bertekstur liat atau liat berpasir. (Soerianegara and Lemmens, 1994). Dalam rangka mendukung keberhasilan penyediaan bibit untuk pembangunan hutan tanaman dan penyelamatan jenis prioritas untuk hutan tanaman maka upaya pembangunan populasi dasar binuang perlu dilakukan. Populasi dasar binuang ini nantinya dapat dimanfaatkan sebagai tegakan konservasi sumberdaya genetik sekaligus sebagai sumber benih binuang. Populasi dasar dari suatu terdiri dari pohon-pohon dimana para pemulia pohon dapat melakukan seleksi untuk kegiatan pemuliaan generasi berikutnya. Pada pemuliaan generasi pertama, populasi dasar terdiri dari pohon-pohon induk di hutan alam atau hutan tanaman yang tidak dimuliakan (Zobel dan Talbert, 1984). Sebagai langkah awal dari pembangunan populasi dasar binuang adalah eksplorasi materi genetik binuang dari sebaran alaminya. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mendapatkan materi genetik berupa benih binuang untuk pembangunan populasi dasar binuang dan mengetahui cara penanganan materi genetik binuang dari ekstraksi benih hingga pembuatan bibit. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi Penelitian Eksplorasi dan koleksi materi genetik binuang dilaksanakan di Kabupaten Pasaman, Propinsi Sumatra Barat. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada bulan Maret 2011. Kegiatan yang dilakukan pada eksplorasi dan koleksi materi genetik binuang di Pasaman Sumatra Barat meliputi koordinasi dengan institusi terkait yakni Balai Konservasi Sumber Daya Alam Propinsi Sumatra Barat, survei lokasi penyebaran/distribusi binuang dan koleksi materi genetik. Eksplorasi dan koleksi binuang tersebut dilakukan di kawasan Cagar Alam Rimbo Panti dan Hutan Lindung Panti. Berdasarkan administrasi pengelolaan kawasan CA Rimbo Panti termasuk kedalam wilayah kerja Subsi KSDA Wilayah Pasaman dan sekitarnya. Sedangkan
menurut adiministrasi pemerintahan, CA Rimbo Panti terletak di wilayah Kecamatan Panti, Kabupaten Pasaman, Propinsi Sumatra Barat dengan batas-batas sebagai berikut : bagian utara berbatasan dengan desa Murni Panti, bagian timur berbatasan dengan desa Lundar dan Hutan Lindung, bagian selatan berbatasan dengan desa Petok dan bagian barat berbatasan dengan desa Simpang Tiga Cubadak dan Hutan Lindung. Secara geografis, Cagar Alam Rimbo Panti terletak antara 00o18’45” LU - 00o22’30” LU dan 100o00’00” BT dan 100o07’30” BT. Jenis tanah yang ada di kawasan CA Rimbo Panti terdiri dari aluvial, andosol, komplek Podsolik Merah Kuning, Litosol yang berasal dari bahan induk beku, endapan dan metamorf. Tekstur tanah lempung berpasir dengan pH berkisar antara 5,9 – 7,8. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson dan data curah hujan di Kabupaten Pasaman, tipe iklim CA Rimbo Panti tergolong A dengan curah hujan harian rata-rata 27,4 mm. B. Bahan dan Alat Bahan dan peralatan yang digunakan meliputi : 1. Perlengkapan lapangan : GPS, kertas label, kantong plastik, alat tulis kantor 2. Ekstraksi benih : saringan, label, plastik klip, spidol, timbangan C. Metode Penelitian Tahapan kegiatan yang akan dilakukan dalam eksplorasi hingga penanganan materi genetik hasil eksplorasi meliputi : 1. Pengumpulan informasi musim berbuah Pengumpulan informasi tentang musim berbuah binuang dilakukan sebelum kegiatan eksplorasi dilakukan. Kegiatan ini dilakukan melalui penelusuran dari berbagai referensi dan komunikasi langsung dengan petugas yang ada di lapangan/dekat lokasi yang akan dieksplorasi. 2. Pemilihan atau seleksi pohon induk Pohon induk yang akan dipilih adalah pohon induk yang dianggap mewakili populasi binuang. Pemilihan pohon induk tidak didasarkan pada superioritas dari penampilan fenotipik. Pemilihan pohon induk didasarkan pada keterwakilan sebaran tempat tumbuh binuang di lokasi eksplorasi. Setiap provenan diwakili oleh
sekurang-kurangnya 20 pohon induk. Individu-individu yang akan dijadikan sumber pengumpulan materi genetik sebaiknya agak berjauhan (kurang lebih 100 m) supaya buah atau benih yang dikumpulkan tidak hanya merupakan hasil perkawinan dari individu-individu yang dipilih tetapi merupakan hasil perkawinan lebih dari jumlah individu-individu pohon yang terpilih. Informasi yang dikumpulkan dari setiap provenan meliputi informasi pohon induk (tinggi, diameter, kelurusan batang), kondisi habitat dan asosiasi tumbuhan yang ada disekitarnya. 3. Pengunduhan dan pengumpulan buah Pengunduhan buah dilakukan dengan melakukan pemanjatan pohon dan memangkas cabang atau ranting. Buah yang kumpulkan adalah buah masak yang secara fisiologis kulit buah bagian luarnya berwarna hijau tua hingga hijau tua kehitaman kecoklatan. Buah yang dikumpulkan dari setiap pohon induk bervariasi dari 3–20 malai buah. 4. Ekstraksi benih Ekstraksi benih dilakukan untuk memisahkan biji/benih dari daging buah. Ekstraksi benih binuang dilakukan dengan cara penjemuran. Kegiatan yang dilakukan dalam ekstraksi buah binuang meliputi : 1. Penjemuran buah Penjemuran dilakukan untuk melepaskan kulit buah bagian luar dan meretakkan kulit buah bagian dalam. Lama penjemuran kurang lebih 5 - 7 hari atau tergantung dari panas matahari. 2. Pemisahan biji Pemisahan biji dari cangkang buah dilakukan dengan mengetuk-ngetukkan cangkang buah. Benih dipisahkan dari serasah melalui penyaringan dengan ayakan tepung. 5. Penanganan benih (pengemasan, penimbangan, pelabelan dan penyimpanan) Biji sudah kering kemudian masukkan ke dalam kantong plastik kedap udara. Selanjutnya biji tersebut ditimbang, diberi label dan disimpan dalam refrigerator. Pelabelan benih disesuaikan dengan nomor pohon induk.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Habitat dan Tegakan Binuang Koleksi materi genetik binuang dilakukan di Kabupaten Pasaman Sumatra Barat (Gambar 1). Tegakan alam binuang dijumpai di tepi aliran sungai, dataran rendah tidak tergenang pada ketinggian antara 242 – 445 m dpl dengan kelerengan bervariasi dari landai hingga curam (> 60o) dengan konfigurasi datar, berbukit dan berawa-rawa. Tegakan alam binuang dijumpai secara berkelompok akan tetapi kelompok tersebut berpencar satu dengan yang lain. Setiap kelompok terdiri dari 3 – 6 pohon induk (Gambar 2 dan 3). Regenerasi alam binuang dijumpai ditempat terbuka dan ditemui secara berkelompok (Gambar 4). Binuang merupakan jenis pionir yang dijumpai pada tahap awal suksesi dari hutan hujan dataran rendah (Lemmens, dkk.1995). Binuang tumbuh secara alami pada berbagai tipe areal terbuka seperti areal bekas tebangan dan jalan sarad. Tumbuhtumbuhan yang berasosiasi dengan binuang antara lain langkok, bayur, jabon, ara, pakis-pakisan, rotan, kemiri, mali-mali, kedondong hutan, kopi hutan, sapek, pulai, jelatang, sirih-sirih dan meranti.
Gambar 1. Lokasi eksplorasi binuang di Pasaman Sumatra Barat (
)
Gambar 2. Tegakan alam binuang
Gambar 3. Pohon induk binuang
Gambar 4. Regerasi alam binuang
Gambar 5. Asosiasi tumbuhan
B. Hasil eksplorasi dan koleksi materi genetik Di Kabupaten Pasaman Sumatra Barat binuang berbuah sepanjang tahun. Musim buah binuang terjadi antara bulan Februari hingga Juli. Waktu yang dibutuhkan dari pembungaan hingga buah masak sekitar 3 hingga 6 bulan. Pada kegiatan eksplorasi dan koleksi materi genetik binuang ini berhasil dikumpulkan buah binuang dari 24 pohon induk. Buah yang dikumpulkan dari setiap pohon induk bervariasi dari 3 – 20 malai buah. Hasil eksplorasi dan koleksi materi genetik binuang disajikan pada Tabel 1. Pohon induk binuang yang dipilih mempunyai kisaran tinggi total, dan diameter masing-masing 30 - 50 m dan 50 cm – 210 cm dengan tinggi bebas cabang di atas 15 m. Percabangan binuang rontok secara alami (self pruning) sehingga tinggi bebas cabangnya tinggi dan pohonnya mempunyai kelurusan batang yang tinggi (Gambar 6).
Tabel 1. Hasil koleksi materi genetik binuang di Kabupaten Pasaman Pohon Induk
Altitude (m dpl)
Tinggi (m) Asosiasi
Tt
Tbc
Diameter
Morfologi
(cm)
Batang
Berat Benih (gr)
PSM 1
242
Kasai, jelatang, bayur, sapek
25
15
60
Batang agak bengkok, kulit batang putih
29,997
PSM 2
250
Sapek, langkok, bayur, binuang, kukang, kemiri
30
20
65
Batang lurus, kulit batang putih
3,364
PSM 3
243
35
20
50
Batang lurus, kulit batang putih
1,756
PSM 4
255
30
20
52
Batang lurus, kulit batang putih
1,626
PSM 5
280
38
22
50
Batang lurus, kulit batang putih
2,781
PSM 6
234
40
28
76
Batang lurus, kulit batang kasar
3,759
PSM 7
255
40
30
79
Batang lurus, kulit batang putih
2,472
PSM 8
253
31
23
83
PSM 9
275
36
27
64
PSM 10
283
39
26
79
Batang lurus, kulit batang putih
5,287
PSM 11
290
Kasai, jelatang, bayur
40
28
85
Batang agak bengkok, kulit batang putih
2,299
PSM 12
314
Bayur, kasai, sapek, jelatang
40
30
76
Batang lurus, kulit batang putih
4,437
PSM 13
295
45
35
79
Batang lurus, kulit batang putih
0,701
PSM 14
245
40
30
67
Batang lurus, kulit kayu putih
2,072
PSM 15
245
42
36
64
Batang lurus, kulit batang putih
16,395
PSM 16
242
40
30
96
Batang lurus, kulit batang kasar
2,71
PSM 17
235
35
25
64
Batang lurus, kulit batang putih
4,87
Sungkai, sirih, ketapang, bayur Pulai, sapek, kopi hutan, bayur, binuang Beringin, sungkai, binuang, bayur Bayur, balikbalik angin, binuang, jambu hutan Kemiri, rambutan hutan, jambu hutan Langkok, pulai, dado, bayur Langkok, dado, jelatang, bayur Jelatang, langkok, dado, binuang
Langkok, jelatang, sapek, bayur Kopi hutan, sungkai, bayur, jelatang Binuang, bayur, sungkai, langkok, kukang Bais, sungkai, bayur, binuang, langkok Jelatang, sirihsirih, mali-mali
Batang agak bengkok, kulit batang putih Batang lurus, kulit batang putih
2,643 4,198
Pohon Induk
Altitude (m dpl)
Tinggi (m) Asosiasi
PSM 18
238
Mali-mali, sirihsirih, jelatang, bayur
PSM 19
362
Langkok, ketapang, sapek
Diameter
Morfologi
(cm)
Batang
Berat Benih (gr)
Tt
Tbc
35
20
79
Batang lurus, kulit batang putih
1,222
40
35
61
Batang lurus, kulit kayu putih
5,463
134
Batang lurus, kulit batang kasar
2,519
80
Batang lurus, kulit batang kasar
0,421
210
Batang lurus, kulit kayu kasar
4,342
95
Batang lurus, kulit batang putih
6,043
63
Batang lurus, kulit batang putih
12,479
Kopi hutan, mali-mali, sungkai, PSM 20 445 50 40 meranti, kedondong hutan Kasai, jelatang, PSM 21 360 sapek, kopi 35 20 hutan Rambutan hutan, PSM 22 240 sapek, bayur, 45 30 jelatang Binuang, bayur, PSM 23 222 40 30 dado Kukang, sirihPSM 24 380 sirih, mali-mali, 50 30 sapek, meranti Keterangan : Tt: tinggi total, Tbc: tinggi bebas cabang
Dari hasil pengamatan visual terhadap morfologi kulit batang diketahui ada jenis binuang yaitu kulit batang putih dan halus (Gambar 7) dan kulit batang berwarna coklat, mengelupas dan kasar (Gambar 8).
Gambar 6. Tinggi bebas cabang binuang
Gambar 7. Kulit batang putih dan halus
Gambar 8. Kulit batang coklat dan kasar
Gambar 10. Malai buah binuang masak
Gambar 9. Model arsitektur malai daun binuang
Gambar 11. Buah binuang masak
Menurut FAO (1989) variasi dapat terjadi pada berbagai level yaitu variasi antar spesies, variasi antar populasi dalam spesies dan variasi antar individu dalam populasi. Selain itu, variasi individu didalam populasi pada materi genetik yang dikoleksi dapat memperluas basis genetik populasi dasar binuang. Menurut Hamrick dan Godt (1989) tumbuhan berkayu dengan siklus hidup lama dan wilayah penyebaran yang luas akan memiliki keragaman genetik dalam populasi yang tinggi. Binuang merupakan jenis tanaman berkayu/hutan dengan siklus hidup yang lama dan memiliki wilayah sebaran geografi yang luas. Semakin luas basis atau variasi genetik maka semakin banyak potensi sumberdaya genetik yang dapat diselamatkan atau dijaga dan semakin luas juga peluang pemanfaatannya untuk program/kegiatan pemuliaan jenis binuang.
Buah binuang berbentuk seperti kapsul yang tersusun dalam suatu malai (Gambar 10). Pemungutan buah binuang dilakukan dengan cara mengunduh malai buah dari pohon induk yang dipilih. Buah binuang yang masak secara fisilogis mempunyai ciri-ciri kulit buah bagian luar berwarna hijau tua hingga hijau kecoklatan dengan kulit buah bagian dalam/cangkang sudah keras berwarna putih hingga putih kekuningan (Gambar 11). Dari hasil pengamatan diketahui bahwa dari setiap malai terdiri dari 75 – 200 kapsul/butir buah binuang. Malai buah yang sudah jatuh ke tanah sudah tidak ada benihnya dan hanya tinggal cangkang buah. Buah hasil eksplorasi kemudian diekstraksi untuk memisahkan biji/benih dari daging buah. Setelah semua buah binuang diekstraksi dapat dihasilkan 124 gram benih binuang. Dari setiap butir/kapsul buah binuang dapat dihasilkan 0,01 gram atau sekitar 1000 butir benih binuang. C. Pembuatan bibit binuang Penanganan benih binuan setelah ekstraksi adalah pembuatan bibit di persemaian. Tahapan kegiatan dalam pembuatan bibit di persemaian meliputi : 1. Penaburan benih Kegiatan yang dilakukan dalam penaburan benih meliputi : a. Penyiapan media tabur Media yang digunakan untuk penaburan benih binuang adalah pasir. Sebelum digunakan pasir diayak dan disterilisasi dengan menggunakan fungisida. Sterilisasi ini dilakukan untuk menghindari tumbuhnya jamur. b. Penaburan benih Penaburan benih dilakukan seminggu setelah media tabur disterilisasi. Sebelum ditabur media pasir disiram hingga lembab. Setelah itu benih ditabur ke dalam bak tabur dan ditutup dengan plastik sungkup dan paranet. c. Penyiraman Penyiraman dilakukan setiap hari dan dilakukan pada pagi hari. Benih binuang mulai berkecambah setelah 7 hari penaburan. Meskipun demikian, terdapat variasi pada kecepatan berkecambah benih binuang dan tidak semua benih dari pohon induk binuang yang dikoleksi dapat berkecambah. Pada waktu pengumpulan benih binuang tingkat kemasakan buah antar pohon induk/famili berbeda. Perbedaan tingkat kemasakan benih
ini diduga menjadi salah satu penyebab perbedaan tingkat keberhasilan perkecambahan benih antar famili. Buah binuang masak ditandai dengan kulit buah bagian luar berwarna hijau tua hingga hijau tua kehitaman. Tingginya posisi malai buah pada masing-masing pohon dan tidak seragamnya waktu berbuah antar pohon induk menyulitkan untuk mendapatkan buah dengan kondisi tingkat kemasakan/kematangan buah yang seragam. Faktor yang mempengaruhi perkecambahan adalah faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal antara lain meliputi air, suhu, cahaya, dan oksigen Faktor internal yang mempengaruhi perkecambahan adalah tingkat kemasakan benih, dormansi, ukuran benih dan penghambat perkecambahan (Sutopo, 2002). Benih yang tidak berkecambah bisa disebabkan benih tidak berembrio, kadar air benih yang terlalu tinggi dan kerusakan benih (Kuswanto, 1996). 2. Penyiapan bibit hingga siap bibit tanam Kegiatan yang dilakukan dalam penyiapan bibit hingga siap bibit tanam meliputi : a. Penyapihan Media yang digunakan untuk penyapihan adalah tanah. Penyiapan kecambah/bibit binuang dilakukan setelah keluar muncul 2 atau 3 pasang daun. Waktu yang diperlukan hingga kecambah/bibit menghasilkan 2 atau 3 pasang daun sekitar 1,5 hingga 2 bulan. Karena ukuran kecambah sangat kecil maka penyapihan dilakukan dengan menggunakan pinset. Kecambah binuang disapih kedalam polibag yang diletakkan didalam bedeng yang diberi plastik sungkup dan paranet. b. Pembukaan naungan Pembukaan naungan dilakukan untuk menguatkan bibit binuang. Pembukaan naungan dilakukan setelah 1,5 bulan penyapihan. Pembukaan naungan dilakukan secara bertahap dimulai dari pembukaan paranet, pembukaan separo plastik sungkup hingga pembukaan semua naungan baik plastik sungkup maupun paranet. c. Pemeliharaan bibit Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan selama di persemaian meliputi penyiraman, pemberantasan hama dan penyakit dan pemupukan. Penyiraman dilakukan setiap pagi hari. Bibit
binuang siap tanam setelah berumur 4 – 5 bulan dari penyapihan atau mempunyai tinggi minimal 40 cm dengan batang berkayu.
IV. KESIMPULAN 1. Dari hasil pengamatan terhadap habitus binuang diketahui bahwa terdapat variasi morfologi kulit batang pohon binuang pada tegakan alam binuang di Pasaman, Sumatra Barat. Materi genetik berupa benih dari 24 famili binuang telah berhasil dikumpulkan dari Pasaman Sumatra Barat. 3. Setiap malai buah binuang terdiri dari 75 – 200 kapsul/butir buah binuang. Setelah buah binuang yang dikoleksi dari 24 famili diekstraksi dihasilkan 124 gram benih binuang. Dari setiap butir/kapsul buah binuang dapat dihasilkan 0,01 gram atau sekitar 1000 butir benih binuang. 4. Oleh karena letak dari 24 famili tersebut berjauhan sehingga tidak memungkinkan untuk terjadinya inbreeding antar famili maka koleksi materi genetik tersebut bisa digunakan sebagai materi untuk pembangunan populasi dasar dalam strategi pemuliaan jenis binuang.
V. DAFTAR PUSTAKA FAO. 1989. Plant genetic resources: their conservation in situ for human use. FAO of the United Nations, Rome, Italy Hamrick, J.L and M.J.W. Godt. 1989. Allozyme diversity in plant species. In Plant Population Genetics, Breeding and Genetic Resources, eds. A.H.D. Brown, M.T. Clegg, A.L. Kahler and B.S. Weir, pp. 43-63. Sinauer, Sunderland, MA Kuswanto, H. 1996. Dasar-dasar Teknologi, Produksi dan Sertifikasi Benih. Yogyakarta.
Soerianegara, I and R.H.M.J. Lemmens (Eds). 1994. Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) No. 5 (1) Timber Trees : Major Commercials Timbers. Bogor Lemmens, R.H.M.J, Soerianegara and W.C Wong. (Eds). 1995. Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) No. 5 (2) Timber Trees : Minor Commercials Timbers. Bogor Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Zobel, B ., and J. Tabert. 1984. Applied forest Tree Improvement. Waveland Press Inc. John Wiley &Son, Inc, New York.