PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN YOGYAKARTA, 9 Oktober 2012
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Editor : Anto Rimbawanto Budi Leksono AYPBC Widyatmoko
BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN
Jl. Palagan Tentara Pelajar km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582 Telp. (0274) 895954, Fax. (0274) 896080, Email :
[email protected]
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
i
PROSIDING INI DITERBITKAN OLEH : BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN
Editor : Dr.Ir. Anto Rimbawanto,M.Agr Dr. Ir.Budi Leksono, MP Dr. Ir.AYPBC Widyatmoko,M.Agr Redaksi Pelaksana : Ir. Edy Subagyo, MP Ir. Dyah Nurhandayani, M.Sc Nana Niti Sutisna, S.IP Maya Retnasari, A.Md
Hak Cipta oleh BBPBPTH Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak, microfilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti berikut : Untuk sitiran seluruh buku, ditulis : Proseding Seminar Nasional Bioteknologi Hutan Tema: Bioteknologi Hutan Untuk Produktivitas dan Konservasi Sumber Daya Hutan 9 Oktober 2012 Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi Hutan Untuk Produktivitas Dan Konservasi Sumber Daya Hutan 9 Oktober 2012. .Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Halaman….
ISBN :………………………….. Terbit tahun 2013
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582 Telp. (0274) 895954, Fax. (0274) 896080, Email :
[email protected]
ii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
KATA PENGANTAR Seminar Nasional Bioteknologi Hutan Tahun 2012 dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kemajuan dan status terkini penelitian dan pengembangan bioteknologi hutan, khususnya yang dilakukan oleh Lembaga-lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi di Indonesia serta untuk mendapatkan masukan bagi pengembangan penelitian di bidang bioteknologi hutan. Diharapkan dari kegiatan ini dapat memberikan informasi perkembangan dari penelitian di bidang bioteknologi hutan, memicu inovasi-inovasi dari peneliti maupun pemerhati di bidang bioteknologi hutan Semoga kumpulan makalah dalam prosiding ini dapat memberikan gambaran dan manfaat terkait dengan bidang bioteknologi hutan. Yogyakarta,
Oktober 2013
Kepala Balai Besar,
Dr. Ir. Amir Wardhana, M.For. Sc NIP.19570530 198303 1 002
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
iii
iv
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
DAFTAR ISI Kata Pengantar ........................................................................................................................... iii Daftar Isi ...................................................................................................................................... v Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan Pada Acara Seminar Nasional Bioteknologi Hutan ..................................................................................................................... vii Laporan Kepala Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan ..... xi Rumusan ..................................................................................................................................... xv MAKALAH UTAMA Perbanyakan Missal Tanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) Melalui Embriogenis Somatik Sumaryono ................................................................................................................................... 1 Peranan DNA Barkoding Dalam Mendukung Upaya Konservasi Fauna Di Indonesia Hari Sutrisno ............................................................................................................................... 11
MAKALAH PENUNJANG Perbanyakan Tunas Araucaria cunninghamii (Aiton ex D. Don) Dari Eksplan Yang Berasal Dari Seedling Yelnititis ....................................................................................................................................... 21 Ketersediaan Eksplan, Tunas Aksiler Dan Kalugenesis Pada Perbanyakan Mikro Toona Sinensis Asri Insiana Putri ........................................................................................................................ 31 Peningkatan Daya Multiplikasi Tunas In Vitro Tanaman Gaharu Dalam Upaya Ikut Membantu Pengembangan Dan Kelestariannya Ali Husni dan Mia Kosmiatin .................................................................................................... 45 Enkapsulasi Buku Satu Tunas In Vitro Tanaman Gaharu (Aquilaria. malaccensis lank) M. Kosmiatin dan Ali Husni.. .................................................................................................... 57 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
v
Review Kultur Jaringan Cendana (Santalum Album L.) Toni Herawan ........................................................................................................................... 65
Identifikasi Tetua Unggul Di Kebun Benih Acacia mangium ILG. Nurtjahjaningsih .............................................................................................................. 91 Identifikasi Jamur Endofit Pada Tanaman Hutan Menggunakan Penanda Molekuler: Potensi Bagi Pengendalian Penyakit Pada Tanaman Hutan Istiana Prihatini ................................................................................................................ 109 Penanda Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs) Untuk Identifikasi Genetik Di Sengon (Falcataria moluccana) Dan Acacia Hibrida Vivi Yuskianti ............................................................................................................................ 119 Pemuliaan Tanaman Hutan Dengan Metode Pendekatan Transcriptomics-Proteomics Purnamila Sulistyawati ............................................................................................................. 129 Verifikasi Asal-Usul Kayu Merbau (Intsia bijuga) Menggunakan Penanda DNA: Strategi Dan Status Penelitian AYPBC Widyatmoko dan Anto Rimbawanto ......................................................................... 141 Aplikasi Molecular Sexing Pada Gelatik Jawa (Padda oryzivora) Pramana Yuda ............................................................................................................................ 151 Peran Hasil Penelitian Genetika Molekuler Dalam Mendukung Strategi Konservasi Aquilaria sp AYPBC Widyatmoko ................................................................................................................. 155 Konservasi Banteng (Bos javanicus D’alton): Analisis Keragaman Genetik Dan Dinamika Populasi Maryatul Qiptiyah dan AYPBC Widyatmoko ........................................................................ 169
LAMPIRAN Daftar Peserta ............................................................................................................................. 175 Jadwal Acara .............................................................................................................................. 181 Susunan Panitia .......................................................................................................................... 183
vi
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN PADA ACARA SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN Yang saya hormati : Kepala Dinas Kehutanan Provinsi DI. Yogyakarta Dekan Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Para Pejabat, Peneliti, Akademisi, Praktisi dan Pemerhati Serta para Undangan Seminar. Assalamualaikum wr wb. Selamat pagi dan Salam Sejahtera untuk kita semua. Pertama-tama dan utama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga kita diberi kesempatan, kesehatan untuk bisa hadir pada acara SEMINAR NASIONAL “BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN” yang diselenggarakan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Saudara-saudara sekalian, Dewasa ini gangguan terhadap hutan di Indonesia sangat signifikan yang menyebabkan luasan maupun potensinya semakin berkurang. Berbagai macam upaya dan kegiatan telah dilakukan untuk mempertahankan atau bahkan mengembalikan potensi hutan. Untuk itu, kegiatan penanaman semakin digalakkan untuk mencapai tujuan tersebut. Berbagai program penanaman telah dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dengan melibatkan masyarakat. Di samping itu kegiatan pelestarian kehutanan dengan melakukan konservasi sumber daya alam yang masih tersisa juga semakin digalakkan. Kegiatan bioteknologi di bidang kehutanan meliputi 3 bidang utama, yaitu penggunaan metode pembiakan kultur jaringan, penggunaan penanda molekuler dan rekayasa genetik untuk memproduksi genetically modified organisms (GMOs), atau transgenic trees. Kultur jaringan merupakan salah satu teknik pembiakan vegetatif tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan. Melalui teknik kultur jaringan, pengadaan bibit tidak tergantung musim dan bibit dapat
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
YLL
diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif lebih cepat. Penanda molekuler dapat digunakan untuk mendukung berbagai kegiatan, diantaranya untuk pemuliaan (pemuliaan berbasis molekuler) dan konservasi sumberdaya genetik. Secara umum, pemuliaan konvensional lebih menitikberatkan pada perkawinan dan seleksi fenotipik. Untuk mencapai bibit unggul, dibutuhkan waktu yang relative lama. Dengan menggunakan penanda molekuler, output yang berupa bibit unggul dapat dihasilkan dengan waktu yang lebih cepat dan lebih tepat. Penanda molekuler dapat melakukan beberapa penelitian yang tidak bisa dilakukan oleh pemuliaan konvensional seperti identifikasi klon dan identifikasi tetua. Sedangkan penanda molekuler dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keragaman genetik dan sebarannya di hutan alam maupun tanaman. Dengan informasi ini, konservasi sumber daya genetik dapat dilakukan secara efektif dan efisien sehingga dapat menghemat biaya. Hal ini tidak hanya berlaku untuk tanaman kehutanan, tetapi juga untuk hewan, khususnya yang dilindungi atau terancam punah. Para hadirin yang berbahagia, Kegiatan rekayasa genetik merupakan kegiatan yang terbilang baru untuk tanaman kehutanan. Di Indonesia, telah ditemukan individu hasil rekayasa genetik seperti pada sengon. Walaupun hasil dari kegiatan ini masih pro dan kontra diterima, tetapi untuk kebutuhan masa depan perlu dipikirkan manfaatnya. Sebagai contoh individu tanaman dengan kandungan lignin yang rendah. Materi ini sangat dibutuhkan untuk industry pulp dan paper karena dapat mengurangi proses pencucian (bleaching) yang tentunya juga dapat mengurangi pengaruhnya terhadap lingkungan karena berkurangnya proses tersebut. Rekayasa genetik untuk mendapatkan individu yang tahan hama/penyakit atau yang mempunyai pertumbuhan yang cepat dapat memberikan kontribusi yang nyata di masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan akan kayu. Berkenaan dengan hal tersebut, SEMINAR NASIONAL “BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN” sangat tepat dan saya mengharapkan Seminar ini dapat menjadi sarana bagi para peneliti untuk saling bertukar informasi dan untuk merancang penelitian yang dibutuhkan ke depan. Bagi para pengambil kebijakan, diharapkan hasil yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan di masa mendatang. Untuk itu saya memberikan penghargaan kepada Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan atas seminar yang diselenggarakan pada pagi hingga sore nanti YLLL
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Saudara-saudara sekalian, Akhirnya saya mengharapkan bahwa setelah selesainya seminar ini masih dilanjutkan dengan langkah-langkah lanjutan agar harapan saya tadi dapat dilakssanakan seperti dihasilkannya policy brief untuk pimpinan Kementerian Kehutanan. Demikian, sekali lagi saya ucapkan selamat mengikuti Seminar Bioteknologi Hutan.
Dan dengan
mengucapkan Bismillahirrohmannirohim dengan ini SEMINAR NASIONAL “BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN” saya nyatakan dibuka. Terima kasih, Wassalam wr wb Yogyakarta, 9 Oktober 2012 Kepala Badan Litbang Kehutanan
DR.Ir. R. Iman Santoso, M.Sc NIP. 19530922 198203 1 001
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
L[
[
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
LAPORAN KEPALA BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Assalamu’alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Yang Kami hormati ; •
Bpk Kepala Badan Litbang Kehutanan atau yang Mewakili
•
Bpk Kepala Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan,
•
Bpk Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY
•
Para Kepala UPT Kementerian Kehutanan di Provinsi DIY
•
Para Kepala UPT Badan Litbang Kehutanan
•
Para Peneliti dan Hadirin yang berbahagia
Puji syukur marilah senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah mempertemukan kita di tempat ini pada Acara Seminar Nasional Bioteknologi Hutan. Hadirin yang kami hormati, Sebagaimana kita ketahui bahwa kerusakan dan pengurangan luas hutan alam telah mengakibatkan penurunan produktivitas dan potensi hutan alam yang pada gilirannya mengakibatkan menurunnya peran hutan dalam pembangunan ekonomi nasional, sebagai penyedia bahan baku kayu untuk industri, penjaga kualitas lingkungan, dan sumber plasma nutfah. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan dan memelihara kelestarian sumberdaya hutan/plasma nutfah adalah penerapan bioteknologi dalam pembangunan hutan. Dukungan bioteknologi dalam perbaikan hutan meliputi kemampuan ilmu ini dalam teknologi perbanyakan klonal, rekayasa genetik dan bio kontrol. Sesuai dengan visi dan misi Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) untuk menjadi pusat keunggulan dalam menyediakan IPTEK di bidang Bioteknologi Hutan dan Pemuliaan Tanaman Hutan dalam mendukung pembangunan hutan yang berkelanjutan. Untuk mencapai visi dan misi tersebut maka diselenggarakan Seminar Nasional Bioteknologi Hutan dengan tema “Bioteknologi Hutan untuk Produktivitas dan Konservasi Sumber Daya Hutan”.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
xi
Tema Seminar Nasional ini diambil dengan pertimbangan bahwa diperlukan adanya dorongan dan peningkatan pemanfaatan bioteknologi hutan guna meningkatkan produktivitas hutan dan konservasi sumber daya hutan. Kegiatan Seminar Nasional Bioteknologi Hutan ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui kemajuan dan status terkini penelitian dan pengembangan bioteknologi hutan, khususnya yang dilakukan oleh Lembaga-lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi di Indonesia, serta untuk mendapatkan masukan-masukan bagi pengembangan penelitian bidang bioteknologi hutan. Tujuan diadakannya Seminar Nasional Bioteknologi Hutan ini adalah a) Tersebarkannya informasi tentang hasil-hasil penelitian dan pengembangan bioteknologi hutan, b) Terselenggaranya pertemuan ilmiah para peneliti dan pemerhati di bidang bioteknologi hutan dan c) Terlaksananya tukar informasi diantara para peneliti, praktisi, dan pemerhati untuk perencanaan dan pengembangan program bioteknologi hutan di masa mendatang. Peserta Seminar Nasional Bioteknologi Hutan direncanakan sebanyak 100 orang yang berasal dari berbagai Instansi baik Pemerintah maupun swasta dan dari berbagai profesi khususnya Peneliti di bidang bioteknologi. Hingga saat ini tercatat telah 14 orang yang hadir. Seminar Nasional Bioteknologi Hutan akan dibagi ke dalam 3 Sesi, dengan Topik bahasan seminar dan pembicara utama sebagai berikut : BIOTEKNOLOGI UNTUK PEMULIAAN (Pembicara Utama : BISI International Tbk), dengan topik bahasan ; 1.
Pemuliaan Molekuler
2.
Rekayasa Genetik
3.
Genomic/Transcriptomics
BIOTEKNOLOGI UNTUK KONSERVASI DAN ASAL USUL (Pembicara Utama : Puslitbang Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), dengan topik bahasan ; a.
Konservasi Flora
b.
Konservasi Fauna
c.
DNA Log Tracking
d.
DNA Barcoding
xii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
PERBANYAKAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI INVITRO (Pembicara Utama : Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia), dengan topik bahasan ; a.
Somatic embriogenesis
b.
Kultur Tunas Aksiler
c.
Teknologi In-vitro
Selain pembicara utama, pada masing-masing topik bahasan akan dipresentasikan makalah penunjang dari Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan dan Lembagalembaga Penelitian terkait. Hadirin yang Kami hormati, demikian yang dapat kami sampaikan. Kami mohon maaf apabila dalam pelaksanaan Acara Seminar Nasional ini terdapat kekurangan dan kekurangnyamanan. Kepada hadirin yang telah meluangkan waktu untuk hadir kami mengucapkan terima kasih atas kehadirannya, semoga kehadiran Bapak/Ibu sekalian dapat menjadikan Seminar Nasional ini lebih bermakna dan memberikan manfaat bagi penerapan dan pengembangan Bioteknologi Hutan nantinya. Kepada Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan, kami mohon pada saatnya nanti dapat memberikan pengarahan dan sekaligus membuka dengan resmi acara ini. Terima kasih. Wassalamu’alaikum wr.wb.
Yogyakarta, Oktober 2012 Kepala Balai Besar,
Dr.Ir. Amir Wardhana, M.For.Sc. NIP. 19570530 198303 1 002
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
xiii
xiv
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Rumusan Seminar Nasional “Bioteknologi Hutan untuk Produktivitas dan Konservasi Sumber Daya Hutan” 1. Seminar mengangkat tema tersebut di atas dengan maksud untuk memberikan gambaran tentang aplikasi bioteknologi untuk meningkatkan produktivitas hutan serta peran bioteknologi untuk konservasi flora dan fauna di Indonesia. 2. Dari presentasi para pembicara dalam seminar ini diperoleh informasi tentang status dan kemajuan yang telah dicapai dalam penelitian bioteknologi baik di bidang kehutanan, pertanian, dan perkebunan.Topik bahasan meliputi perbanyakan tanaman dan teknologi in vitro, bioteknologi untuk pemuliaan, dan bioteknologi untuk konservasi dan verifikasi asal usul. 3. Teknik kultur jaringan telah menjadi cara perbanyakan tanaman yang umum digunakan untuk menghasilkan bibit berkualitas dalam jumlah besar. Salah satu jenis penting penghasil karbohidrat, yaitu sagu juga telah dapat dihasilkan dengan teknik SE.Keberhasilan teknik SE untuk sagu unggul menjadi asset penting bagi pengembangan sagu untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat dalam skala besar. 4. Perbanyakan dengan kultur jaringan untuk jenis-jenis tumbuhan dengan nilai ekonomi tinggi seperti gaharu dan cendana telah berhasil dilakukan. Melalui teknik perbanyakan ini diharapkan dapat mengatasi keterbatasan bahan tanaman, baik untuk tujuan produksi maupun konservasi. 5. Kultur jaringan dapat digunakan untuk berbagai kepentingan. Dalam sesi ini lebih focus pada perbanyakan untuk produksi dan konservasi. Teknologi SE sebagai salah satu teknik multiplikasi berpotensi menjadi usaha komersial. 6. Rekayasa genetika dan pemuliaan molekuler memberikan pilihan bagi pemulian tanaman dalam menentukan metode yang sesuai untuk mempercepat proses pemuliaan tanaman dan perakitan varietas baru. Upaya meningkatkan kualitas genetik dengan rekayasa genetika tanaman masih menjadi isu yang hangat. Perbedaan pendapat antara pihak yang pro dan kontra akan tetap ada sebagai wujud dinamika ilmu pengetahuan dalam masyarakat. 7. Rekayasa genetika pada tanaman pertanian adalah suatu keniscayaan. Sejak pertama kali tanaman rekayasa genetik dikembangkan dalam skala komersial di tahun 1996, luas tanaman transgenik terus bertambah baik di negara maju maupun di negara berkembang. Teknologi transgenik sebaiknya diaplikasikan untuk karakter yang tidak mudah dimuliakan secara konvensional karena gen yang diinginkan tidak tersedia dalam gene pools. 8. Teknologi marka molekuler, seperti SSR, SNP telah banyak diaplikasikan pada tanaman hutan, khususnya jenis-jenis tanaman HTI. Sebagai contoh di kebun benih Acacia mangium, aplikasi marka DNA dapat dimanfaatkan untuk mengetahui dinamika genetik pohon-pohon yang ada di dalamnya sebagai konsekuensi dari keragaman genotipa, distribusi polen, sinkronisasi pembungaan.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
9. Marka molekuler juga telah diaplikasikan untuk identifikasi patogen, sehingga kendala dalam mengidentifikasi pathogen dapat dilakukan secara lebih akurat dan cepat. Teknologi ini sangat bermanfaat dalam upaya mengendalikan penyakit pada tanaman hutan. 10. DNA barcoding dapat diaplikasikan untuk mengkonservasi sumber daya alam, melalui identifikasi dari jenis-jenis tersebut. Data-data genetik jenis indigenous Indonesia diperlukan untuk mendeteksi jenis invasif. Mitokondria DNA paling banyak digunakan untuk DNA barcoding. 11. DNA fingerprinting, melalui penyusunan data base, dapat mendeteksi asal usul kayu. Keberhasilannya tergantung dari kemampuan mengekstraksi DNA kayu, jumlah populasi yang dikumpulkan sampelnya dan jenis-jenis marka DNA yang digunakan. 12. Aplikasi marka molekuler juga bermanfaat untuk pelestarian/konservasi fauna dan flora. Informasi yang dibutuhkan antara lain sexing (pada fauna), keragaman genetik, hubungan kekerabatan, dan dinamika populasi.
Dirumuskan pada : Hari/ Tanggal : Selasa, 9 Oktober 2012 Tempat : Yogyakarta Tim perumus : 1. 2. 3. 4.
Dr.Ir. Taryono,M.Sc Dr. Sapto Indrioko, S.Hut,MP Dr. Ir.Anto Rimbawanto, M.Agr Dr.Ir. AYPBC Widyatmoko, M.Agr
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
MAKALAH UTAMA
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
TOPIK :
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
PERBANYAKAN MASSAL TANAMAN SAGU (Metroxylon sagu Rottb.) MELALUI EMBRIOGENESIS SOMATIK Sumaryono Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia Jalan Taman Kencana No.1, Bogor 16151 Email:
[email protected]
ABSTRAK Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) adalah tanaman palma yang banyak dijumpai di wilayah tropika basah di Asia Tenggara dan Oseania. Sagu merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat paling produktif dengan hasil 15 ton pati kering/ha/tahun. Pati sagu telah lama digunakan sebagai makanan pokok terutama di kawasan timur Indonesia dan sebagai bahan baku penting berbagai produk industri dan produk turunan lainnya. Sebagian besar tanaman sagu tidak dibudidayakan, masih berupa tegakan hutan. Pada pertanaman semi-budidaya, bibit yang digunakan adalah anakan. Pengembangan budidaya sagu komersial skala besar masih terkendala oleh terbatasnya ketersediaan bahan tanam unggul dalam jumlah besar yang dapat dipenuhi dengan teknik kultur jaringan. Kultur jaringan sagu melalui embriogenesis somatik telah dilakukan oleh Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Eksplan yang digunakan adalah jaringan apikal pucuk dari anakan muda. Tahapan embriogenesis somatik sagu dimulai dari pembentukan kalus, proliferasi kalus, induksi embrio somatik, pendewasan dan perkecambahan embrio somatik, serta pembesaran planlet. Kalus diinisiasi dari jaringan tunas pucuk anakan muda pada medium MS padat. Kalus pertama baru muncul setelah 12 sampai 24 minggu. Tahap proliferasi kalus embriogenik dan pendewasaan embrio somatik dapat dilakukan dalam medium cair menggunakan sistem perendaman sesaat. Kecambah embrio somatik yang dihasilkan kemudian ditransfer ke medium padat untuk pembesaran planlet. Pembentukan akar planlet dilakukan dalam medium cair. Masalah yang dijumpai pada embriogenesis somatik sagu adalah planlet yang dihasilkan tidak jagur dan daya tumbuh bibit saat aklimatisasi rendah. Ketersediaan bibit sagu unggul secara massal akan mendukung pembangunan perkebunan sagu dan rehabilitasi lahan sagu. Kata kunci: sagu, Metroxylon sagu, embriogenesis somatik, perbanyakan klonal, kultur in vitro
I. PENDAHULUAN Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang sangat potensial dalam mendukung program ketahanan pangan (Tarigan, 2001) dan energi nasional (Sumaryono, 2007). Tanaman sagu telah digunakan sejak dahulu kala sebagai makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia bagian timur yaitu di Maluku dan Papua. Disamping sebagai bahan makanan pokok, tepung sagu juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri seperti untuk mie, roti, biskuit, sirup berkadar fruktosa tinggi, plastik terurai-hayati, pakan ternak, perekat, bioetanol, dan produk turunan lainnya (Flach, 1997). Dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain seperti padi, jagung, ubi kayu dan kentang, sagu mempunyai beberapa kelebihan antara lain produktivitasnya yang lebih tinggi yakni dapat menghasilkan 15 ton pati kering/ha/tahun (Flach, 1997). Pati terdapat di dalam batang tanaman sagu. Tanaman sagu mampu tumbuh di lahan rawa, pinggir sungai, dan lahan tergenang air yang tidak sesuai untuk tanaman lain sehingga pengembangan tanaman sagu tidak bersaing
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
1
dengan penggunaan lahan untuk tanaman pangan lainnya.
Di samping itu, tanaman sagu
merupakan tanaman tahunan sehingga tidak memerlukan penanaman ulang dan panen dapat dilakukan secara terus menerus dengan mengelola jumlah anakan (Rostiwati et al., 1998). Luas areal sagu dunia diperkirakan sekitar 2,47 juta ha dengan luas areal sagu di Indonesia 1,4 juta ha, di Papua Nugini 1,02 juta ha, dan sisanya di Malaysia, Thailand, Filipina dan lainnya (Flach, 1997). Sebagian besar (90%) areal sagu di Indonesia merupakan tegakan alami terutama di Papua dan Maluku, sedangkan di Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, kepulauan Riau dan Mentawai merupakan pertanaman semi-budidaya.
Pada saat ini areal tanaman sagu di Indonesia terus
menyusut akibat eksploitasi yang berlebihan (Tarigans, 2001), oleh karena itu perlu mulai dipertimbangkan untuk mengusahakan perkebunan sagu secara komersial skala besar (Rostiwati et al., 1998) seperti yang telah dilakukan oleh Malaysia dan Thailand. Penggunaan sagu dalam sektor industri yang beragam dan bernilai ekonomi tinggi sangat mendukung program perkebunan sagu komersial. Tanaman sagu diperbanyak secara generatif dengan biji dan secara vegetatif dengan anakan. Produksi biji sangat jarang karena tanaman sagu pada umumnya ditebang untuk diambil patinya sebelum berbunga. Oleh karena itu, sebagian besar tanaman sagu diperbanyak dengan anakan. Namun, untuk membangun perkebunan sagu skala besar, ketersediaan anakan yang seragam merupakan hambatan utama (Jong, 1995). Dari satu rumpun (cluster) tanaman sagu hanya dapat diperoleh beberapa anakan. Di samping itu, bobot anakan yang baik berkisar antara 2 sampai 5 kg (Rostiwati et al., 1998) sehingga menyulitkan dalam pengangkutannya. Kultur jaringan merupakan salah satu alternatif untuk memperbanyak tanaman sagu unggul secara klonal. Kriteria tanaman sagu unggul adalah: produksi pati tinggi, umur genjah, kulit batang tipis dan pati berwarna putih (Flach, 1997). Produksi pati sagu di berbagai daerah di Indonesia sangat beragam dari 150 sampai 700 kg dengan rata-rata 300 kg pati basah per pohon (Haryanto & Pangloli, 1992). Apabila satu genotipe tanaman sagu unggul produksi tinggi (dapat mencapai 1 ton pati basah per pohon) mampu diperbanyak secara klonal maka produktivitas sagu dapat meningkat secara nyata. Kelebihan lain dari kultur jaringan adalah perbanyakan dapat dilakukan secara massal dan dalam waktu yang relatif singkat. Untuk tanaman sagu, bibit yang dihasilkan juga relatif kecil sehingga pengirimannya akan lebih mudah dan murah. Publikasi tentang kultur jaringan sagu sangat sedikit. Nilai komersial dan kesulitan teknis yang tinggi mungkin merupakan alasan utama sedikitnya publikasi. Laboratorium Biak Sel & Mikropropagasi, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia sejauh ini merupakan laboratorium yang diketahui telah berhasil dalam kultur jaringan sagu di Indonesia. Kultur jaringan sagu dilakukan melalui teknik embriogenesis somatik (Tahardi et al., 2002; Riyadi et. al., 2005). 2
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
II. TEKNIK EMBRIOGENESIS SOMATIK Embriogenesis somatik merupakan proses pembentukan embrio tanaman dari sel somatik, yang berbeda dengan embriogenesis zigotik yang berasal dari pembuahan sel gamet. Embrio somatik dapat dikenali dari penampakan struktur bipolar yaitu plumula (calon tunas) dan radikula (calon akar) yang serupa dengan embrio zigotik, dan tidak mempunyai hubungan ikatan pembuluh dari jaringan induk (von Arnold, 2002). Embriogenesis somatik merupakan salah satu contoh dari sifat totipotensi tanaman yakni kemampuan satu sel untuk berkembang menjadi tanaman utuh. Sifat ini memungkinkan proses tersebut dimanfaatkan untuk perbanyakan tanaman secara klonal, bahkan untuk spesies tanaman yang secara konvensional tidak dapat diperbanyak secara vegetatif seperti misalnya pada tanaman monokotil. Menurut Zimmerman (1993) perkembangan embrio somatik secara morfologi dan tahapan waktu mirip sekali dengan perkembangan embrio zigotik. Tahap pertama embrio somatik adalah stadia globuler, pada tahap ini embrio tumbuh secara merata ke segala arah (isodiametrik). Tahap berikutnya adalah embrio mulai tumbuh melonjong (oblong) yang merupakan awal dari fase bentuk-hati (heart shape). Perubahan ini ditandai dengan pertumbuhan awal dua kotiledon dan pertumbuhan awal radikula (calon akar). Selanjutnya pertumbuhan embrio melewati fase planlet dimana kotiledon berubah hijau, hipokotil memanjang dan radikel membentuk akar. Dibandingkan dengan teknik mikropropagasi lainnya, penggunaan embriogenesis somatik untuk tujuan perbanyakan tanaman dalam praktek masih lebih terbatas. Penyebabnya antara lain adalah metode ini relatif lebih sulit, kemungkinan terjadinya mutasi lebih tinggi, subkultur berulang dapat menurunkan kapasitas regenerasi dan induksi embrio somatik sangat sulit untuk spesies tanaman tertentu. Walaupun demikian, sejak pertama kali diamati pada kultur suspensi sel tanaman wortel oleh Steward et al. (1958), embriogenesis somatik telah berhasil dikembangkan pada berbagai jenis tanaman. Keuntungan utama dari embriogenesis somatik adalah potensinya untuk dapat ditingkatkan skala kulturnya (scale up) di bioreaktor dan kegunaannya untuk transformasi genetik.
Sistem ini diperkirakan dalam waktu dekat berpotensi untuk digunakan dalam
perbanyakan jutaan bibit unggul tanaman kehutanan, perkebunan dan hortikultura dalam skala komersial (Handley, 1995).
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
3
III.EKSPLAN DAN INISIASI KALUS
Seleksi tanaman sagu yang akan diambil eksplannya dilakukan berdasarkan beberapa sifat unggul dari individu (genotipe) tanaman sagu dewasa. Sifat unggul tersebut antara lain adalah produksi pati tinggi (>200 kg pati kering per pohon), tidak berduri, kulit batang tipis dan pati berwarna putih. Eksplan tanaman sagu diperoleh dari Selat Panjang (Riau), Bogor (Jawa Barat), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Seram Barat (Maluku), Sentani dan Merauke (Papua), serta Kendari (Sulawesi Tenggara). Bahan eksplan berupa anakan yang tumbuh di sekitar pohon induk dengan tinggi sekitar 1 m dan diameter pangkal batang 5 – 10 cm. Beberapa lapis pelepah daun dibuang, tunas dipotong setinggi 20 cm dari pangkal batang dan akar dipotong sekitar 10 cm dari pangkal akar. Bahan eksplan ini selanjutnya segera dikirim ke laboratorium untuk dikultur. Tahardi et al. (2002) menggunakan eksplan jaringan pucuk meristem dari anakan muda. Eksplan dikulturkan pada medium padat yang mengandung auksin dan sitokinin untuk menginisiasi pembentukan kalus.
Media tumbuh untuk inisiasi kalus pada umumnya mengandung auksin,
terutama 2,4-D. Kultur diletakkan di ruang gelap dengan suhu 26 °C. Kalus pada umumnya terbentuk setelah 12 sampai 24 minggu. Kalus diperbanyak dengan melakukan subkultur setiap 2-3 bulan pada medium yang sama dengan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang lebih rendah. Kalus yang terbentuk menjadi remah (friable) dan bersifat embriogenik setelah beberapa kali subkultur (Gambar 1A).
IV. PROLIFERASI KALUS EMBRIOGENIK Kalus embriogenik dapat diperbanyak pada media padat atau cair. Penelitian proliferasi kalus embriogenik pada tiga media: medium padat di botol kultur, medium cair di labu Erlenmeyer dan medium cair dengan sistem perendaman sesaat (SPS) telah dilakukan (Kasi & Sumaryono, 2008). Media yang digunakan adalah MMS dengan penambahan 2,4-D 10 mg/L, kinetin 0,1 mg/L, arang aktif 1 g/L, dan gelrite 2 g/L untuk medium padat. Pada kultur cair, labu Erlenmeyer diletakkan pada shaker dengan putaran 100 rpm. Hasil penelitian menunjukkan pada kultur SPS dan cair meningkatkan bobot basah kalus embriogenik sagu sebesar 6,5 kali dan pada kultur padat sebesar 5,4 kali setelah 6 minggu. Proliferasi kalus dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh dan hara dalam medium. Medium cair pada SPS memungkinkan kalus menyerap lebih banyak hara dibandingkan dengan pada medium padat. Penyerapan terjadi pada seluruh permukaan kalus karena semua bagian kalus kontak langsung dengan medium. Medium dan lingkungan kultur berngaruh
4
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
terhadap kualitas dan kuantitas kalus. Perendaman terus menerus menyebabkan kekurangan oksigen. SPS memberi kondisi lingkungan yang lebih baik dibandingkan medium cair dalam hal aerasi. Pembentukan embrio somatik dari kalus embriogenik secara nyata lebih tinggi pada SPS dibandingkan pada medium padat (Kasi & Sumaryono, 2008).
V. INDUKSI DAN PENDEWASAAN EMBRIO SOMATIK Induksi embrio somatik dari kalus embriogenik dilakukan pada medium padat. Tahap perkembangan pertama dari embrio somatik adalah fase globuler. Perbanyakan dan pendewasaan embrio somatik dapat dilaksanakan dalam kultur padat atau cair dengan sistem perendaman sesaat (SPS) (Sumaryono et al., 2007) pada medium MMS dengan kinetin 0,1 mg/L dan 2,4-D 5 mg/L. Subkultur dilakukan setiap 4 sampai 6 minggu.
Sebagian embrio somatik berubah ke fase
perkembangan lebih lanjut fase bentuk-hati, torpedo, kotiledon dan kecambah. Dalam fase perkembangan embrio somatik tanaman sagu Kasi & Sumaryono (2006) melaporkan adanya keragaman morfologi meliputi ukuran, bentuk dan warna embrio (Gambar 1B). Pendewasaan embrio somatik pada kultur SPS dilakukan dengan interval perendaman setiap 3, 6, atau 12 jam dengan lama perendaman 1 atau 3 menit. Embrio somatik tahap globuler dikultur pada medium setengah MMS dengan penambahan ABA 0,01 mg/L, kinetin 1 mg/L, GA3 0,1 mg/L, sukrosa 30 g/L dan arang aktif 1 g/L (Riyadi & Sumaryono, 2009). Kultur diletakkan pada ruang kultur terang selama 4 minggu. Lama dan interval perendaman berpengaruh nyata terhadap bobot basah biomassa dan jumlah embrio somatik tahap lanjut. Perlakuan terbaik untuk pendewasaan embrio somatik sagu adalah interval perendaman setiap 12 jam selama 3 menit (Riyadi & Sumaryono, 2009).
VI. PERKECAMBAHAN EMBRIO SOMATIK Embrio somatik sagu fase lanjut (kotiledon) pada medium padat atau cair ditumbuhkan lebih lanjut menjadi kecambah pada medium padat maupun SPS. Medium terbaik untuk perkecambahan embrio somatik adalah medium dasar MMS dengan penambahan GA3 0,5 mg/L dan kinetin 2 mg/L. Dalam medium ini dengan kultur SPS, bobot basah biomassa meningkat lima kali lipat dan diperoleh sebanyak 50 kecambah per labu kultur dalam periode kultur 6 minggu. Selama kultur dihasilkan juga embrio somatik sekunder. Kecambah yang diperoleh kemudian ditransfer ke medium padat untuk pertumbuhan planlet selanjutnya.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
5
VII.
PEMBESARAN DAN PEMBENTUKAN AKAR PLANLET
Kecambah yang terbentuk dalam media padat atau SPS dipindahkan pada media padat dalam botol kultur untuk perkembangan tunas. Kecambah dikulturkan sampai menjadi planlet kecil dengan 2 sampai 3 daun (Gambar 1C). Pengakaran planlet ini dilaksanakan pada medium padat yang mengandung auksin. Planlet yang telah berdaun 2 helai dengan tinggi 5 cm namun belum mempunyai akar dipindah ke medium cair dalam tabung kultur untuk pembentukan akar (Gambar 1D). Planlet yang telah memiliki daun dan akar yang baik dengan tinggi minimal 8 cm siap untuk dipindah ke rumah kaca untuk aklimatisasi.
VIII. AKLIMATISASI PADA LINGKUNGAN EX VITRO Aklimatisasi adalah proses adaptasi planlet yang tumbuh heterotrof di laboratorium (in vitro) dengan medium yang kaya dan lingkungan terkendali ke lingkungan luar (ex vitro) yang fluktuatif dan ekstrem, serta planlet harus menyerap hara dan air sendiri (autotrof). Oleh karena itu, planlet in vitro harus memenuhi kriteria pertumbuhan untuk siap diaklimatisasi dan lingkungan awal aklimatisasi dibuat tidak ekstrem yakni kelembaban nisbi mendekati 100% dan suhu cukup terkendali. Kondisi ini dapat diperoleh dengan menempatkan planlet di sungkup plastik tertutup rapat yang diletakkan di bawah tajuk pohon dan paranet plastik 60% dan dilakukan penyiraman dengan sprinkler pada siang hari yang terik. Planlet dicabut secara hati-hati medium dan tabung kultur, dicuci bersih dan direndam dalam fungisida beberapa menit. Planlet ditanam pada pot plastik berisi campuran tanah:pasir:arang sekam (1:1:1 v/v).
Pot selanjutnya diletakkan pada baki plastik berisi air sehingga medium
terendam air terus menerus (meniru lingkungan sagu di dalam yang banyak tumbuh di daerah payau dan rawa). Pot diletakkan di dalam sungkup plastik tertutup. Setelah 4 minggu, sungkup plastik dibuka secara bertahap (Gambar 1E). Pada umur 12 minggu, bibit sagu dipindah ke polibeg besar dan diletakkan di pesemaian dengan naungan paranet 50% selama 2 bulan. Selanjutnya bibit diletakkan di pesemaian terbuka. Bibit yang ditanam di lapang memperlihatkan pertumbuhan yang normal.
6
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Gambar 1. Tahapan embriogenesis somatik tanaman sagu: (A). Kalus remah (friable), (B). Embrio somatik pada berbagai tahap perkembangan, (C). Pertumbuhan planlet pada medium padat, (D). Pembentukan akar planlet dalam medium cair, (E). Aklimatisasi bibit sagu.
IX. MASALAH DALAM EMBRIOGENESIS SOMATIK SAGU Masalah utama kultur jaringan sagu adalah planlet yang diperoleh masih kurang jagur. Daun planlet kecil memanjang dan akar sedikit tanpa bulu-bulu akar. Planlet yang kurang jagur ini akan berpengaruh terhadap rendahnya keberhasilan hidup bibit saat diaklimatisasi. Penggunaan zat pengatur tumbuh serta modifikasi sumber N, pH, sukrosa dan lingkungan kultur (intensitas cahaya dan suhu) mungkin dapat memperbaiki keragaan planlet. Penelitian penggunaan berbagai jenis karbohidrat pada beberapa dosis menunjukkan bahwa jenis karbohidrat terbaik adalah sukrosa dengan dosis 30 g/L untuk mendapatkan planlet sagu yang vigor. Penelitian masih terus dilakukan untuk mendapatkan medium dan kondisi lingkungan in vitro terbaik bagi pertumbuhan dan keragaan planlet sagu. Keberhasilan hidup bibit sagu asal kultur jaringan di rumah kaca pada saat aklimatisasi sampai saat ini masih rendah. Daya hidup bibit di rumah kaca masih rendah, pada perlakuan terbaik hanya mencapai 50%. Disamping faktor kejaguran planlet saat ditransfer ke tahap aklimatisasi, lingkungan mikro (suhu, cahaya, kelembaban udara) dan komposisi medium (tanah, pasir, gambut, cocopeat, zeolit, kompos) sangat berpengaruh terhadap daya hidup dan pertumbuhan bibit. Lingkungan yang basah terendam air juga berpengaruh terhadap keberhasilan planlet sagu. Asosiasi akar sagu dengan mikoriza atau mikroba lain diperkirakan berpengaruh positif terhadap daya hidup dan pertumbuhan bibit.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
7
X. PENUTUP DAN PROSPEK Kultur jaringan untuk perbanyakan klonal tanaman sagu telah berhasil dilakukan, walaupun masih terdapat beberapa masalah yang dihadapi. Diperkirakan dalam satu dua tahun ke depan sudah diperoleh prosedur produksi kultur jaringan sagu yang mantap.
Namun, bibit yang
dihasilkan masih perlu diuji-lapang untuk melihat keragaan, produktivitas dan kemungkinan adanya abnormalitas. Penggunaan bibit unggul sagu diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tanaman sebesar 20 – 30%. Ketersediaan bibit sagu unggul klonal akan menunjang program pembangunan perkebunan sagu skala besar dan rehabilitasi lahan sagu. Tanaman sagu merupakan tanaman tahunan yang menghasilkan anakan sehingga cukup satu kali ditanam dan akan tetap berproduksi secara berkelanjutan selama puluhan tahun. Pengusahaan tanaman sagu secara komersial dalam bentuk perkebunan belum banyak dilakukan kecuali oleh PT Nasional Sagu Prima di Selat Panjang, Provinsi Riau dengan penanaman awal mulai tahun 1997 dan rencana pengembangan sekitar 5.000 ha per tahun. Dengan populasi 156 – 200 tanaman per ha untuk perluasan 5000 ha dibutuhkan sebanyak 700 ribu sampai 1 juta bibit yang sangat sulit dipenuhi dengan bibit asal anakan. Di samping itu, beberapa perusahaan swasta lain mulai merencanakan untuk membuka perkebunan sagu. Oleh karena itu, permintaan bibit sagu unggul diperkirakan akan sangat besar di masa mendatang. Penggunaan pati sagu sebagai makanan pokok terutama di Papua dan Maluku diperkirakan terus berkurang digantikan oleh beras. Tepung sagu di masa depan akan lebih banyak digunakan untuk keperluan industri antara lain sebagai bahan pembuatan roti, mie, kue, sirup berfruktosa tinggi, bahan perekat, dan plastik biodegradable. Pati sagu juga digunakan dalam industri obatobatan, kosmetik, kertas, bioetanol, dan tekstil. Limbah dari proses pengolahan sagu dapat digunakan sebagai pakan ternak. Mengingat potensi produksi pati yang tinggi dan kegunaannya yang sangat beragam maka sudah selayaknya tanaman sagu diusahakan secara komersial.
8
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
DAFTAR PUSTAKA Flach M. (1997) Sago palm Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and use of underutilized and neglected crops. 13. International Plant Genetic Resources Institute, Rome-Italy. 76p. Handley L.W. (1995) Future uses of somatic embryogenesis in woody plantation species. In S. Jain, P. Gupta & R. Newton (eds.) Somatic Embryogenesis in Woody Plants, Vol. 1, p. 415-434. Haryanto B. & P. Pangloli (1992) Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Penerbit Kanisius. 140p. Jong F.S. (1995) Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) cultivation in Sarawak, Malaysia. Sadong Press Sdn. Bhd. 139 pp. Kasi P.D. & Sumaryono (2006) Keragaman morfologi selama perkembangan embrio somatik sagu (Metroxylon sagu Rottb.). Menara Perkebunan 74 (1): 44-52. Kasi P.D. & Sumaryono (2008) Perkembangan kalus embriogenik sagu (Metroxylon sagu Rottb.) pada tiga sistem kultur in vitro. Menara Perkebunan 76(1), 1-10. Riyadi I. & Sumaryono (2009) Pengaruh interval dan lama perendaman terhadap pertumbuhan dan pendewasaan embrio somatik sagu (Metroxylon sagu Rottb.). Menara Perkebunan 77(2), 100-109. Riyadi I., J.S. Tahardi & Sumaryono (2005) The development of somatic embryos of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) on solid media. Menara Perkebunan 69(2), 46-57. Rostiwati T., F.S. Jong & M. Natadiwirya (1998) Penanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) Berskala Besar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. 60p. Steward F.C., M.O. Mapes & J. Smith (1958) Growth and organized development of cultured cells I. Growth and division of freely suspended cells. Am. J. Bot. 45: 694-703. Sumaryono (2007) Tanaman sagu sebagai sumber energi alternatif. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 29(4), 3-4. Sumaryono, I. Riyadi & P.D. Kasi (2008) Clonal propagation of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) through tissue culture. Proc. The 4th Indonesian Biotechnology Conf., Bogor, 5-7 August 2008, p.513-519. Sumaryono, W. Muslihatin & D. Ratnadewi (2012) Effect of carbohydrate source on the growth and performance of in vitro sago (Metroxylon sagu Rottb.) plantlets. Hayati J. BioSci. 19(2): 88-92. Tahardi J. S., N. F. Sianipar & I. Riyadi (2002) Somatic embryogenesis in sago palm (Metroxylon sagu Rottb.). In K. Kaimuna et al. (eds.) New Frontiers of Sago Palm Studies, p. 75-81. Tokyo-Japan, Universal Academic Press, Inc. Tarigans D.D. (2001) Sagu memantapkan swasembada pangan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 23(5), 1-3. van Arnold S., I. Sabala, P. Bozhkov, J. Dyachok & L. Filonova. (2002) Development pathways of somatic embryogenesis. Plant Cell. Tiss. Org. Cult. 69: 233-249. Zimmerman J.L. (1993) Somatic embryogenesis: a model for early development in higher plants. The Plant Cell 5: 1411-1423.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
9
10
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
PERANAN DNA BARKODING DALAM MENDUKUNG UPAYA KONSERVASI FAUNA DI INDONESIA Hari Sutrisno Division of Zoology, Research Center for Biology-LIPI Jl. Raya Bogor Km 46 Cibinong, Bogor 16911 Email:
[email protected]
Apa konservasi? Konservasi berasal dari kata conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yan artinya upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Di bawah ini ada beberapa pengertian tentang apa itu konservasi berdasarkan beberapa sumber yang berbeda: 1. Konservasi adalah upaya yang dilakukan manusia untuk melestarikan atau melindungi alam (terjemahan bebas Wikipedia bahasa Indonesia) 2. Konservasi: menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama (American Dictionary). Melihat dari artinya secara harfiah maka terlihat sangat jelas bahwa manusia mempunyai kewajiban dalam menjaga kelestarian sumber daya hayati secara utuh karena:
1. Sumber daya hayati telah terbukti menyediakan kebutuhan pokok hidup kita Sumberdaya hayati meliputi seluruh bahan pangan kita, bahan obat-obatan yang kita miliki, bahan sandang, karet dan kayu untuk bahan bangunan.
Nilainya sumberdaya hayati ini bisa
mencapai bermilyar-milyar dalam satu tahun. Sebagai contoh 25% bahan baku farmasi di USA berasal dari bahan aktif tumbuhan (Primack 1998). 1000 jenis tanaman Indonsia merupakan obat yang terdapat dalam Farmakopea Indonesia (Heyne, 1987). Disamping bahan alam memiliki potensi yang sangat luar biasa, sebagai contoh semut memiliki antibiotik yang dapat digunakan untuk pengobatan manusia (masih dalam penelitian), sutera laba-laba menghasilkan bahan serat yang ringan tapi sangat kuat dibanding baja.
2. Sumber daya hayati menyediakan “ecosystem service” Ecosistem service adalah fungsi biologi yang sangat penting dalam menyediakan kebutuhan manusia secara gratis, yaitu meliputi oksigen yang dihasilkan oleh tumbuhan, pengendalian iklim oleh hutan, daur ulang nutrisi, pengendalian hama secara alamiah dan penyerbukan (Daily 1999). BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
11
Servis ini jika dihitung dengan uang diperkirakan lebih dari $US 33 triliun (1012) pertahun, hampir dua kali lipat dari Product Global National USA per tahun ($US 18 triliun) (Costanza et al. 1997).
3. Sumberdaya hayati mampu memenuhi kebutuhan hobi kesenangan manusia. Manusia mendapat kesenangan dari mahluk hidup yang diekpresikan melalui menanam tanaman hias, memelihara binatang hobi, mengunjungi kebun binatang, cagar alam dan ecoturisme. Ini dapat dihitung dalam bentuk nilai ekonomi.
Sebagai contoh, koala diperkirakan mampu
kontribusi $ US 750 juta per tahun terhadap industri pariwisata di Australia
4. Alasan karena ethika Semua makhluk hidup mempunyai hak yang sama, tidak boleh satu makhluk hidup menghilangkan atau memusnahkan jenis mahluk hidup lainnya.
Konservasi = menjaga agar genetik, species dan ecosistem tetap lestari Pernyataan tentang laju kepunahan yang dilontarkan oleh seorang Profesor Biologi dari Harvard Uinversity tahun 1993 bahwa saat ini kita menghadapi kondisi tingkat kepunahan yang tidak jauh berbeda dengan lima kali kepunahan masal yang terjadi pada masa lalu mungkin benar. Dia perkirakan ada sekitar 30.000 species per tahun jenis yang hilang dari muka bumi. Sehingga para ahli biologi saat itu mulai sadar bahwa telah menghadapi krisis biodiversity saat ini dan mereka mengistilahkan dengan “ the sixth Extinction” Hilangnya kehidupan di masa lalu disebabkan oleh kejadian fisik yang menyebabkan kedaan iklim yang tidak normal dan gangguan fisik yang lain sehingga species dan seluruh ekosistemnya mengalami gangguan tersebut. Berikut ini kepunahan masa lalu yang disebabkan oleh alam dan akibatnya: •
First major extinction (c. 440 mya): 25% famili hilang
•
Second major extinction (c. 370 mya): 19% famili hilang.
•
Third major Extinction (c. 245 mya): 54% famili hilang.
•
Fourth major extinction (c. 210 mya): 23% famili hilang.
•
Fifth major extinction (c. 65 mya): 17% famili hilang.
12
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Apa bedanya kepunahan sekarang “ the Sixth Extinction” Kepunahan yang sekarang sebagian besar disebabkan oleh faktor manusia. Manusia telah menyebabkan terjadinya tekanan ekosistem dan kepunahan species melalui aktifitas sebagai berikut: a.
Transformasi landscape
Berdasarkan laju deforestasi pada periode tahun 2000-2009, dengan mengabaikan pengelompokan berdasarkan fungsi kawasan, diperkirakan pada tahun 2020 hutan di Jawa akan habis, Bali-Nusa Tenggara tersisa 0,08 juta ha, Maluku 2,37 juta ha, Sulawesi 7,20 juta ha, Sumatera 7,72 juta ha, Kalimantan 21,29 juta ha, dan Papua 33,45 juta ha. Apabila diproyeksikan sampai dengan tahun 2030, dengan mengabaikan pengelompokan berdasarkan fungsi kawasan, diperkirakan hutan di Jawa dan Bali-Nusa Tenggara akan habis, Maluku tinggal 1,12 juta ha, Sumatera 4,01 juta ha, Sulawesi 5,54 juta ha, Kalimantan 15,79 juta ha dan Papua 32,82 juta ha. Dari tabel di bawah ditunjukkan bahwa hutan di Jawa yang berada di luar fungsi Hutan Lindung dan fungsi Kawasan Konservasi pada tahun 2015 akan habis sementara tutupan hutan di Bali-Nusa Tenggara akan habis pada tahun 2025. Tutupan hutan yang aman dari ancaman deforestasi berdasarkan data yang telah dianalisis adalah hutan di Papua (Lihat Tabel 1) (Sumargo et al. 2011) Tabel 1. Proyeksi Tutupan Hutan diluar Kawasan Lindung dan Kawasan Konservasi sampai Tahun 2030 di Indonesia (Sumargo et al. 2011)
dengan
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Papua
394.404
Bali Nusa Tenggara 558.175,4
18.111.084,7
4.223.699,2
2.562.668,5
19.612.509,8
4.384.632,85
-
263.972,57
17.063.325,42
3.882.639,85
2.448.456,21
19.571.949,33
2020
4.022.371,23
-
18.803,55
16.190.192,63
3.598.423,67
2.353.279,27
19.538.148,87
2025
3.660.109,60
-
-
15.317.059,83
3.314.207,49
2.258.102,34
19.504.348,41
2030
3.297.847,97
-
-
14.443.927,04
3.029.991,30
2.162.925,41
19.470.547,96
Sumatera
Jawa
2009
4.819.346,80
2015
b.
Overexploitasi species
Overexploitasi species sering terjadi terhadap organisme yang biasanya mempunayi nilai ekonomi tinggi, di cari banyak orang namun jumlah populasinya sangat kecil yang mungkin diakibatkan oleh daerah sebarnya yang terbatas (endemik) atau memiliki reproduksi yang sangat panjang sehingga angka kelahirannya sangat kecil. c.
Polusi
Tidak dipungkiri lagi bahwa polusi dapat mengancam kelestarian sebuah organisme dan saat ini yang sudah mulai banyak terlihat adalah kasus diperairan yang tercemar oleh limbah industri BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
13
seperti kasus punahnya beberapa jenis ikan di DAS Ciliwung. Dari sekitar 187 jenis ikan yang pernah terdapat di DAS tersebut pada tahun 1910 hanya ditemukan tinggal 20 jenis pada tahun 2009 (Hadiatai 2011). d.
IAS
CBD: Invasive alien species (IAS) are species whose introduction and/or spread outside their natural past or present distribution threatens biological diversity. Pemindahan suatu jenis satwa ke daerah yang baru yang semula tidak dihuni oleh satwa yang bersangkutan dapat menekan satwa asli suatu daerah. Sebagai contoh introduksi Rusa Timur Cervus Timorensis ke Merauke 1928.
Satwa ini berkembang dengan pesat karena tidak ada
predator sehingga menekan populasi walabi Macropus agilis. Saat ini tercatat paling tidak ada 100 species IAS yang paling berbahaya (100 of the World's Worst Invasive Alien Species) (http://www.issg.org/worst100_ species.html). Untuk memberikan gambaran mengenai dampak dari kegiatan manusia terhadap laju kepunahan organisem, sebuah data estimasi laju kepunahan disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Perkiraan laju kepunahan untuk berbagai jenis kelompok berdasarkan berbagai ragam alasan Perkiraan laju kepunahan 1 juta species antara 1975 dan 2000 15%-20% species antara 1980 dan 2000 12% tanaman di neotropics 15% burung di Amazone 2000 species tanaman di tropik dan subtropik 25 % species antara 1985 dan 2015 Minimal 7% dari species tanaman
2%-8% hilang antara 1980 dan 2015 5%-15% species hutan sampai 2020
Persentase kehilangan global perdekade (%) 4 8-11
8 9 7
1-5
Cara estimasi Extrapolasi Kurva species-area dan prediksi hutan yang hilang Kurva species-area Kurva species-area Separuh dari yang hilang akibat Pembabatan hutan sampai 2015 Separuh dari yang hilang akibat Pembabatan hutan sampai 2015 Separuh yang hilang untuk dekade yang akan datang di 10 hot spot meliputi 3.5 kawasan hutan Kurva species-area Kurva species area; hilangnya hutan diasumsikan dua kali oleh FAO untuk tahun 1980-85
Sumber: WCMC (1992)
Sebagai gambaran tambahan bahwa lebih dari 50% binatang vertebrata masuk kriteria terancam punah. Untuk binatang kategori terancam punah terebagi menjadi: critically endangered, endengared and vulnerable (IUCN 1996). Demikian juga untuk tumbuhan sekitar 12.5% (IUCN
14
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
1997). Diklasifikasin CE apabila 50% akan punah dalam 10 tahun atau 3 generasi, E apabila 20% punah dalam waktu 20 tahun atau 5 generasi dan V apabila 10% punah dalam waktu 100 tahun.
Mengapa “the Sixth Extinction ” terus berlanjut “The sixth extinction” diperkirakan akan semakin memburuk seiring dengan prediksi jumlah populasi penduduk dunia yang semakin tinggi di tahun-tahun yang akan datang. Berikut ini adalah gambaran populasi penduduk yang akan datang: • Diperkirakan antara 1 sampai 10 juta manusia di dunia 10.000 tahun yang lalu • Saat ini lebih dari 6 milyar • 8 milyar tahun 2020. • 10-11 milyar tahun 2070 Ledakan jumlah populasi yang terjadi paska revolusi industri dua abad yang lalu yang menyebabkan tidak merata distribusi dan konsumsi kekayaan bumi merupakan salah satu asal muasal “the sixth extinctation ini”. Masalah Utama yang dihadapi dalam usaha konservasi adalah: 1. Sulitnya mengetahui dengan benar identitas biologi oragnaisme yang akan kita konservasi 2. Belum seluruh biodiversity di muka bumi terungkap jenisnya sedangkan laju kepunahan sangat tinggi sehingga banyak sumber daya hayati yang belum sempat terungkap manfaatnya tetapi keburu punah 3. Minimnya ahli taxonomy yang dapat mengungkapkan identitas sumberdayahayati yang kita miliki. Salah satu solusi adalah: Sebuah teknologi yang dengan cepat mampu mengungkapkan sumberdaya hayati yang kita miliki sebelum terjadi kepunahan yaitu DNA Barcoding Apa itu “DNA Barcoding”? DNA barcoding merupakan sebuah teknik yang dikembangkan dalam rangka untuk mempercepat dan mempermudah proses identifikasi organisme dengan menggunakan potongan gen tertentu yang telah teruji kemapuannya untuk membedakan pada tingkat species. Berbeda dengan teknik identifikasi secara konvensional yang hanya dapat dilakukan dengan menggunakan specimen yang utuh dan dewasa, teknik barkoding dapat digunakan untuk mengidentifikasi semua bentuk tingkatan kehidupan mulai dari telur, larva, pupa sampai dewasa bahkan mampu digunakan juga untuk fragmen tubuh yang tidak diketahui asalnya. Teknik ini akan mampu menjembatani
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
15
keadaan saat ini dimana ahli taksonomi semakin langka. Di sisi lain laju kerusakan habitat sangat tinggi yang menyebabkan hilangnya banyak species yang belum kita ketahui jenisnya. Namun demikian teknik barkoding ini relatif mahal untuk negara yang sedang berkembang seperi Indonesia.
Sehingga diperlukan skala prioritas terutama untuk tujuan yang langsung bermanfaat
buat masyarakat kita.
Sejarah DNA barcoding Penggunaan DNA barcoding untuk mengidentifikasi sebuah spesies dipublikasikan pertama kali oleh Dr. Paul Herbert dan kawan-kawan (Herbert et al. 2003). Publikasi ini berisi tentang teknik untuk membedakan spesies dan mengidentifikasikasi spesimen (baik yang berupa serpihan atau potongan organ maupun pradewasa suatu organisme) dengan menggunakan sekuen DNA yang pendek dari suatu gen. Publikasi ini menggelitik para ahli taksonomi, genetik dan ahli biologi evolusi pada saat itu. Pada tanggal 9-12 Maret 2003, workshop dengan tema “Taxonomy and DNA” diadakan di Cold Spring Harbor Laboratory dengan disponsori oleh Aflred P. Sloan Foundation yang menekankan penerapan beberapa teknik untuk taksonomi dan manfaatnya terhadap masyarakat. DNA barcoding terbukti dapat digunakan oleh berbagai kelompok taksa dengan cepat dan relatif murah untuk mengidentifikasi spesies yang sulit dilakukan secara morfologi. Enam bulan berikutnya di tempat yang sama dilakukan pertemuan yang kedua. Salah satu hasilnya adalah disepakatinya gen COI sebagai gen yang akan digunakan dalam DNA barcoding. Pada bulan Mei 2004 Sloan Foundation mengucurkan dana untuk mendukung berdirinya “Consortium for the Barcode of Life (CBOL)” yang
dipimpin
oleh Dr. Scott Miller dari
Smithsonian Institution’s National Museum of Natural History, Amerika Serikat. Misi utamanya adalah memajukan eksplorasi dan pengembangan DNA barcoding sebagai standar global untuk identifikasi spesies. Dalam rangka mencapai tujuannya maka organisasi ini mulai: 1. Mengumpulkan dengan cepat data DNA barcoding yang berkualitas tinggi pada perpustakaan umum sekuen DNA 2. Mengembangkan instrument baru dan proses yang dapat meminimalkan biaya DNA barcoding, lebih cepat, dan dapat dilakukan dimana saja. 3. Mengikut sertakan ahli taksonomi dan lembaga penelitian di seluruh dunia 4. Menggunakan DNA barcoding yang bermanfaat untuk ilmu pengetahuan dan teknologi di masyarakat. Sampai saat ini CBOL telah tiga kali mengadakan konferensi (pertemuan) internasional (International Barcode of Life Conference). Pertemuan pertama diselenggarakan di Natural History 16
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Museum, London pada bulan Februari tahun 2005, ke-2 pada bulan September tahun 2007 di Academia Sinica, Taipei, Taiwan, dan pertemuan ke-3 pada bulan November tahun 2009 di Mexico City. Pertemuan ke-4 pada bulan November tahun 2011 di Adelaide, Australia. Peneliti LIPI juga berkesempatan untuk hadir dalam dua kali pertemuan internasional yang di London dan Taiwan. Dalam pertemuan yang ke-2 di Taiwan, delegasi Indonesia yang diwakili oleh peneliti Pusat Penelitian Biologi-LIPI tersebut juga menghadiri pertemuan “Regional Meeting” yang bertujuan untuk mengidentifkasi masalah di setiap negara untuk menjadi bahan masukan dalam pembuatan program yang akan datang. Kegiatan CBOL yang lain bekerjasama dengan Alfred P. Sloam Foundation mendukung terselenggaranya 2 hari pertemuan pada bulan September 2005 tentang ”All Birds DNA barcoding Initiative (ABBI) of Inaugural Workshop” di Museum Comparative Zoology, Havard University, Cambridge, Massachusette, USA. Selanjutnya pada tanggal 8-9 Maret tahun 2007, CBOL bekerja sama dengan National University of Singapore (NUS) menyelenggarakan pertemuan ”All Birds DNA barcoding Initiative (ABBI) Indo Malayan Organizational Meeting, di Singapore. Secara detail
mengenai
program
dan
kemajuan
proyek
ini
dapat
dibuka
websitenya,
http://www.cbol.si.edu atau hubungi
[email protected] atau http://barcoding.si.edu.
Mengapa DNA barcoding diperlukan Laju kerusakan hutan yang sangat cepat terutama di negara-negara berkembang di daerah tropis dimana daerah ini merupakan kantong keanekaragaman hayati yang tinggi. Selain itu akibat pemanasan global telah memacu kita untuk mencari jalan keluar bagaimana cara yang paling cepat dan tepat untuk mengungkapkan keanekaragaman hayati di dunia sebelum mengalami kepunahan. Semakin menurun jumlah ahli taksonomi di seluruh dunia telah membawa implikasi terhadap semakin lambat pengungkapan keanekaragaman spesies hayati di dunia. Ditambah masalah klasik lain yaitu sangat sulitnya menciptakan ahli taksonomi dalam waktu yang cepat dan juga terbatasnya pemerintah dapat menyediakan lowongan kerja. Keterbatasan ahli taksonomi yang hanya dapat mengidentifikasi ketika spesimen masih dalam bentuk utuh dan dalam keadan dewasa menyebabkan persoalan semakin panjang dalam rangka mengungkapkan keanekaragaman hayati. Suatu kenyataan bahwa dalam sampling akan banyak ditemukan organism yang belum dewasa dan terkadang-rusak menjadi serpihan-serpihan yang sangat sulit dikenali bentuk aslinya.
Sehingga untuk menghadapi hal diatas diperlukan
sebuah cara yang lebih cepat dan akurat, yaitu metode DNA barcoding. Walaupun demikian teknik ini tidak mungkin mengetahui nama dan identitas spesies tanpa bantuan taksonom, maka cara ini harus terus dikembangkan. BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
17
Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang molekuler, terutama penemuan mesin sekuenser, telah memungkinkan untuk melakukan pengujian atau konfirmasi identitas spesies organisme dalam waktu yang sangat singkat yang dilakukan oleh bukan ahli taksonomi, tidak peduli apakah spesimennya sudah terpecah-pecah rusak atau masih pradewasa dengan cara melihat salah satu sekuen gennya. Bahkan di negara maju yang sudah lengkap peralatan sequencingnya proses ini hanya dilakukan dalam waktu 8 jam. Sungguh luar biasa manfaatnya bila kita bisa memaanfaatkan cara ini terutama jika kita dihadapkan pada suatu persoalan yang memerlukan jawaban sesegera mungkin dan tidak ada taksonom disekitar kita. Metode ini diperlukan karena dapat dilakukan dengan sangat sederhana dan mudah diterapkan dengan cepat.
Strategi Pengembangan DNA barcoding Fauna Semakin sulit dana penelitian untuk ilmu dasar telah membawa peneliti kedalam keadaan yang kurang menguntungkan dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan ditingkat internasional. Hal ini sebagai imbas dari kurangnya perhatian pemerintah dalam mengalokasikan dananya untuk kepentingan dunia penelitian. Tentunya hal yang mustahil buat negara berkembang seperti Indonesia, untuk mengungkapkan semua flora dan fauna dengan cara barcoding, karena biaya sangat mahal mengingat dalam program DNA barcoding spesimen museum dan herbarium yang umurnya sudah tua sangat sulit sekali dapat digunakan karena kemungkinan besar DNA- nya sudah rusak.
Sehingga tidak ada cara lain selain dengan cara mengumpulkan spesimen baru yang
tentunya biayanya sangat tinggi sekali. Namun demikian, setelah melihat manfaat DNA barcoding yang banyak sekali tentunya kita dapat melakukan dengan cara prioritas untuk tujuan tertentu. Secara umum ada dua kelompok pengguna yang akan menggunakan hasil DNA barcoding ini yaitu taksonomist dan ilmuwan dari bidang yang lain (konservasi, kedokteran forensik, perusahaan industri makanan, nutrisi makanan ternak, karantina dan lain sebagainya). Taksonom memerlukan DNA barcoding karena tidak semua spesimen yang diperoleh dalam keadaan utuh dan sudah dewasa. Ahli konservasi memerlukan data identitas sepecies yang benar sebelum melakukan program konservasi. Sedangkan ahli forensik memerlukan data sekuen karena material spesimen yang dihadapi sudah dalam keadaan membusuk. Sedangkan karantina memerlukan identifikasi sebuah larva lalat buah yang ada pada buah yang di impor secepatnya untuk menentukan apakah buah yang membawa larva lalat buah tersebut boleh masuk atau tidak. Sehingga di dalam strategi pengembangan DNA barcoding di Indonesia kita harus mempunyai strategi dan membuat sekala prioritas berdasarkan manfaat langsung yang akan diperoleh oleh
18
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
masyarakat kita. Beberapa prioritas yang dapat dikerjakan berdasarkan tujuannya antara lain: untuk tujuan karantina, konservasi, pencegahan penyakit menular dan lain sebagainya.
Gen COI sebagai DNA barcoding Tidak semua jenis gen dapat digunakan dalam barcoding, hanya gen yang memenuhi beberapa persyaratan tertentu.
Secara umum persyaratan tersebut adalah: 1). Harus mampu
membedakan antar semua spesies tapi hendaknya bersifat lebih konservatif dalam variasi spesies daripada antar spesies, 2). Harus standar sehingga dengan daerah DNA yang sama dapat digunakan sebanyak mungkin untuk taksa yang berbeda, 3). Sedapat mungkin daerah DNA target mempunyai informasi filogeni sehingga memudahkan taksa tersebut dalam pengelompokannya (marga, famili dan lain sebagainya), 4). Mempunyai tingkat amplifikasi yang tinggi, 5). Sebaiknya ukurannya pendek sehingga dapat digunakan untuk menguji DNA yang sudah terpotong-potong atau rusak. COI telah dipilih menjadi salah satu gen yang sekuen-nya digunakan dalam barcoding. Gen ini mempunyai sifat-sifat yang memenuhi persyaratan untuk digunakan dalam menentukan identitas sebuah spesies untuk hampir semua binatang tingkat tinggi. Panjang seluruh gen ini relatif pendek yaitu hanya sekitar 648 bp/base pairs (pasang basa) dan relatif stabil tidak mudah mengalami perubahan bila dibandingkan dengan gen-gen mitrokhondria yang sejenis. Gen ini sangat cocok untuk menentukan identitas sebuah spesies karena mempunyai variabilitas yang rendah (1-2%), bahkan untuk kelompok yang mempunyai kekerabatan sangat dekat hanya mempunyai perbedaan beberapa persen saja. Sifat yang menguntungkan penggunaan gen mitokhondria COI adalah mudah untuk mensekuennya dibandingkan dengan gen-gen yang berasal dari gen inti. Meskipun DNA barcoding dengan menggunakan sekuen sebuah gen sangat bermanfaat dalam mengidentifikasi spesies namun demikian bukan berarti dapat menggantikan 100% peranan taksonomi, hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa tidak mungkin sebuah gen bisa diaplikasikan untuk seluruh organisme dengan kata lain gen adalah bukan microchip yang dapat diproduksi masal dengan stándar yang sama sehingga spesifikasinya dapat ditentukan oleh pabrik. Gen adalah sebuah misteri kehidupan yang bersifat dinamis. Meskipun sebuah organisme telah berhasil disekuen, namun konfirmasi untuk memastikan nama spesies harus tetap dikonsultasikan oleh ahli taksonomi, yaitu untuk menghindari munculnya kemungkinan spesies baru sebagai hasil analisis filogeni dari variasi gen sekuen. Non-COI barcode region Tidak semua group tentunya dapat menggunakan COI ini dalam analisis DNA barcoding, karena belum tentu mendapatkan hasil yang memuaskan sehingga sangat diperlukan untuk mencari BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
19
kandidat gen lain yang cocok untuk kelompok itu. Hal ini bisa dilihat dari kasus untuk tanaman. Di dalam tanaman, gen khloroplas dan mitokhondria mempunyai laju evolusi yang sangat rendah untuk menghasilkan variasi. Sehingga para botanist mempunyai strategi dengan menggunakan baik gen inti maupun fragment khloroplas seperti internal transcribed spacer (ITS) dari 18S-5.8S26S ribosomal cistron inti atau khloroplas trnH-psbA region (Kress et al. 2005). Selain mempromosikan standarisasi daerah barcode , CBOL juga berusaha memperluas penerapan DNA barcode di seluruh hidup eukariotik. CBOL mengakui bahwa: •
COI tidak bervariasi dalam beberapa kelompok taksonomi, atau rentan terhadap proses evolusi molekul yang luar biasa.
•
COI mungkin tidak mampu menyelesaikan perbedaan tingkat spesies di semua sub kelompok dari kelompok taksonomi dan data sekuen tambahan mungkin diperlukan dari suatu wilayah kedua atau bahkan ketiga dalam kasus tersebut;
•
Peneliti mungkin sudah mengumpulkan volume data yang signifikan menggunakan region gen yang berbeda dalam kelompok taksonomi tertentu. Jika sudah dibuat voucher yang tepat akan memberikan potensi yang baik sebagai region/daerah DNA barcoding . Dalam rangka standarisasi penilaian sebanyak mungkin masalah region non-COI maka
pengusul diminta untuk menggunakan panduan “Guidelines for CBOL approval” saat menyiapkan proposal pengajuan marker baru.
DAFTAR PUSTAKA Costanza R et al. 1997. The value of the world’s ecoystem services and natural catpital. Nature 387: 253-260. Daily GC. 1999. Developing a scientific basis for managing Earth’s life support system. Conserv. Ecol. 3: 14 Hebert PDN, Cywinska A, Ball SL, De Waard JR. 2003. Biological identification through DNA barcodes. Philos Trans Ser B: 270: 313-321 Heyne K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia I-III. Badan Litbang Departemen Kehutanan. Yayasan Sarana-Wana Jaya (Terjemahan). Kress WJ, Wurdack KJ, Zimmer EA, Weigt LA, Janzen DH. 2005. Use of DNA barcodes to identify flowering plants. P Natl Acad Sci USA 102: 8369–8374. Primack RB. 1998. Essentials of Conservation Biology. Sinauer, Sunderland. Sumargo et al. 2011. Protet Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009. WCMC. 1992. Global Biodiversity: status of the earth’s Living resources. Chapman & Hall. London
20
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
MAKALAH PENUNJANG
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
TOPIK :
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
PERBANYAKAN TUNAS Araucaria cunninghamii (Aiton ex D. Don) DARI EKSPLAN YANG BERASAL DARI SEEDLING Yelnititis Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta - 55582 Email :
[email protected]
ABSTRAK Araucaria cuniinghamii (Aiton ex D. Don) adalah salah satu jenis tanaman hutan yang mempunyai prospek untuk dikembangkan. Kayunya dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk kayu lapis, venir, furniture. Penelitian perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan sudah dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Potongan batang dengan ukuran 2 cm dari seedling dijadikan sebagai eksplan. Eksplan dicuci dengan deterjen cair selama 15 menit kemudian direndam dalam larutan dithane M selama 10 menit dan daconil selama 10 menit. Kemudian eksplan disterilisasi dengan menggunakan alkohol 70 %, bayclin 20 %, bayclin 10 % dan terakhir dibilas dengan aquades steril sebanyak 3 kali. Media dasar Murashige dan Skoog (MS) dan LP dijadikan sebagai media tumbuh. Penelitian dilakukan dengan dua tahap kegiatan yaitu tahap induksi tunas dan tahap perbanyakan. Tahap induksi dilakukan dalam 2 kegiatan yaitu dengan penggunaan 1) media MS + BA (0.1 mg/l – 3.0 mg/l) dan 2) media LP + thidiazuron (0.05 – 0.2 mg/l) serta perlakuan BA 0.1 mg/l sebagai kontrol. Pada tahap perbanyakan tunas diberikan kinetin (2.0 mg/l - 8.0 mg/l) pada modifikasi medium Quoivin and Lepoivre’s (LP). Semua tahapan penelitian dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 10 kali ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tunas dan tinggi tunas yang dihasilkan dan penampakan biakan secara visual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan media MS + BA 0.1 mg/l dan LP + thidiazuron 0.1 mg/l merupakan perlakuan terbaik pada tahap induksi tunas. Rata-rata jumlah tunas yang diperoleh dari perlakuan ini adalah 7.0 tunas dan 4.0 tunas. Perlakuan media MS dan LP + thidiazuron 0.1 mg/l merupakan perlakuan terbaik untuk pertumbuhan tunas. Rata-rata tinggi tunas yang dihasilkan dari perlakuan ini adalah 6.5 cm dan 5.2 cm. Biakan yang dihasilkan berwarna hijau dan segar. Kata kunci : Araucaria cunninghamii, in vitro, perbanyakan, seedling
I. PENDAHULUAN Araucaria cunninghamii (Aiton ex D. Don) merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang berpotensi untuk dikembangkan. Jenis ini mempunyai daerah sebaran vertikal yang cukup luas (0 sampai >1000 m dpl) . Di Indonesia jenis ini tumbuh secara alami di Papua antara lain di Serui, Wamena, Manokwari, Jayapura,Nabire dan Fak-fak. Kayunya sangat baik digunakan untuk berbagai keperluan antara lain sebagai bahan baku industri kertas, pulp,vinir, plywood, lantai, panel, kerangka dan sebagai kayu pertukangan. Kayunya bersifat kokoh, mempunyai tekstur yang halus, mudah untuk dipotong, digergaji, dipaku, dilem, diawetkan dan dipolish. Selain itu jenis ini juga mengandung getah yang dapat disadap dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Produktifitas hutan alam semakin menurun sejalan dengan makin meningkatnya eksploitasi hutan secara terus menerus untuk memenuhi permintaan akan kebutuhan kayu yang semakin meningkat. Selain itu juga disebabkan karena penebangan liar, kebakaran hutan, konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian atau untuk keperluan lain. Untuk mengatasi permasalahan tersebut
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
21
maka pembangunan hutan tanaman sebagai penghasil kayu baik untuk industri, pertukangan, kayu energi dan lain-lain perlu ditingkatkan, sehingga penguasaan teknik pengembangan populasi hasil pemuliaan melalui perbanyakan vegetatif mutlak diperlukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan bibit berkualitas dalam pembangunan hutan tanaman. Sampai saat ini pemegang hak pembangunan hutan belum banyak mengembangkan jenis A. cunninghamii karena masih didominasi oleh A. mangium dan E. urophylla. Sedangkan jenis-jenis potensial lain seperti dari famili Araucariaceae (Araucaria spp.) dan Pinaceae (Pinus merkusii) belum banyak dikembangkan, meskipun di banyak negara seperti Malaysia, Filipina, Thailand, PNG, Queensland dan Australia justru berupaya membangun hutan tanaman dari jenis-jenis tersebut karena keunggulan komparatif yang dimilikinya. Salah satu kendala belum terealisasinya pembangunan hutan tanaman jenis-jenis konifer yang bernilai ekonomi tinggi di Indonesia adalah karena kurangnya informasi jenis potensial, sumber benih dan ketersediaan benih berkualitas baik secara genetik serta teknik penanaman yang tepat. Selain itu daur tebang yang cukup lama yaitu antara 25 – 30 tahun. Perbanyakan tanaman A. cunninghamii secara in vitro belum banyak dilaporkan. Perbanyakan vegetatif melalui kultur jaringan bertujuan untuk mempertahankan kualitas / potensi genetik yang baik dari induknya sangat diperlukan. Penerapan teknik kultur jaringan pada beberapa jenis tanaman hutan sudah memberikan hasil yang baik. Purse (1989) dalam Evans (1992) menyatakan bahwa melalui teknik in vitro dihasilkan tunas ganda dari eksplan tanaman Pinus leucuumanii, Pinus caribea, Pinus oocarpa dan Pinus keysa. Berdasarkan hal diatas dilakukan penelitian perbanyakan tanaman pada jenis A. cunninghamii. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan metoda yang cocok untuk perbanyakan klonal secara in vitro untuk jenis A. cunninghamii .
II. BAHAN DAN METODE Penelitian
dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai
Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman
Besar
Penelitian
Hutan, Yogyakarta. Bagian tanaman yang digunakan
sebagai eksplan adalah potongan batang dari seedling dengan ukuran 2.0 cm. Sterilisasi eksplan dilakukan melalui pencucian dan dilanjutkan dengan sterilisasi bertingkat dengan menggunakan alkohol 70 %, bayclin 20 % dan 10 % dan terakhir dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali. Medium yang digunakan adalah medium dasar Murashige dan Skoog (MS) dan medium dasar Quoivin dan Lepoivre’s (LP). Penelitian dilakukan dalam 2 tahap kegiatan yaitu 1. induksi tunas dan 2. perbanyakan tunas. Pada tahap induksi tunas dilakukan dalam 2 kegiatan terpisah yaitu 22
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
dengan menggunakan 1. medium MS + BA (0.1 mg/l - 3.0 mg/l).
2. modifikasi medium LP +
thidiazuron (0.05 mg/l - 0.2 mg/l) dan BA 0.1 mg/l sebagai kontrol. Pada tahap perbanyakan, tunas yang diperoleh pada tahap induksi dipotong-potong dengan ukuran 2.0 cm dan disubkultur pada perlakuan kinetin (2.0 mg/l – 8.0 mg/l). Penelitian dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 10 kali ulangan. Parameter yang diamati adalah jumlah tunas, tinggi tunas dan penampakan biakan secara visual. Data morfologi dan histologi yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan data kuantitatif dihitung rata-rata dan standar deviasinya
III.HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Induksi tunas Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis eksplan memberikan pengaruh terhadap tingkat sterilitas dan keberhasilan dalam pembentukan tunas. Eksplan dari potongan batang yang lebih dewasa memberikan persentase sterilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan eksplan tunas terminal. Hal ini disebabkan karena eksplan tunas terminal mempunyai susunan daun yang sangat rapat sedangkan eksplan dari potongan batang yang lebih dewasa mempunyai susunan daun yang jarang. Dari beberapa perlakuan media MS dengan penambahan BA memperlihatkan bahwa tunas dapat diinduksi dari eksplan yang berasal dari seedling (tanaman yang masih muda). BA merupakan salah satu zat pengatur tumbuh dari kelompok sitokinin yang banyak digunakan untuk induksi tunas maupun untuk tahapan yang lain pada berbagai jenis tanaman (Gunawan, 1987). Tokobara dan Masahiro (1993) menyatakan bahwa semua jenis sitokinin yang digunakan dapat mendorong induksi tunas pada tanaman Phalaenopsis dan Doritaenopsis. Induksi tunas mulai terlihat setelah 8 - 14 hari setelah dikulturkan pada media tumbuh. Hasil yang sama juga diamati pada jaringan tanaman Shorea leprosula yang dikulturkan (Yelnititis, 2005). Dari beberapa perlakuan yang dicoba perlakuan media MS + BA 0.1 mg/l merupakan perlakuan terbaik untuk induksi tunas. Rata-rata jumlah tunas yang diperoleh dari perlakuan ini adalah sebanyak 7 tunas dan berbeda nyata dengan perlakuan lain (Tabel 1). Tingginya jumlah tunas yang diperoleh pada tahap induksi disebabkan karena potongan batang yang digunakan sebagai eksplan mempunyai daun yang lebih rapat. Hasil yang sama dengan penelitian Dias et al. (2002) yang menunjukkan bahwa tunas paling banyak dihasilkan dari perlakuan BA dengan konsentrasi rendah pada tanaman Lavandula viridis.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
23
Tabel 1. Jumlah tunas dari perlakuan media MS + BA Perlakuan media (mg/l) Media treatment (mg/l) MS + BA 0.1 BA 0.5 BA 1.0 BA 2.0 BA 3.0
Rata-rata jumlah tunas 7.0 ± 1.00 a 3.0 ± 1.22 bc 3.0 ± 1.87 bc 4.0 ± 1.58 b 3.0 ± 0.71 bc
Penampakan visual Hijau, segar, gemuk Hijau, segar, gemuk Hijau, segar, gemuk Hijau, segar, gemuk Hijau, segar, gemuk
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom tidak berbeda nyata
Dari Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa peningkatan konsentrasi BA yang digunakan diiringi dengan penurunan jumlah tunas yang diperoleh. Diduga tanaman ini mengandung hormon endogen yang cukup tinggi sehingga untuk induksi tunas hanya dibutuhkan faktor pencetus dengan konsentrasi yang rendah. Singh et al, (2002) menyatakan bahwa tipe eksplan maupun tanaman berbeda mempunyai kandungan hormon endogen yang berbeda pula. George dan Sherrington (1987) menyatakan bahwa penggunaan BA pada konsentrasi yang relatif tinggi dapat merangsang induksi tunas tetapi pada konsentrasi tinggi dapat menghambat inisiasi tunas dari eksplan yang ditumbuhkan. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian Pastur dan Arena (1999) pada tanaman Nothofagus leoni Espinosa. Hampir semua tunas yang dihasilkan pada perlakuan yang diuji berukuran pendek dan gemuk (Gambar 1a). Semakin tinggi konsentrasi BA yang digunakan semakin pendek tunas yang dihasilkan. BA merupakan salah satu jenis sitokinin dengan daya aktif tinggi yang berfungsi antara lain terhadap perbesaran sel. Rata-rata ukuran tinggi tunas yang dihasilkan paling tinggi adalah 0.7 cm. Menurut Pastur dan Arena (1999) konsentrasi BA yang digunakan memberikan pengaruh terhadap respon pertumbuhan tanaman seperti jumlah tunas, tinggi tunas, jumlah daun, tingkat perbanyakan, organogenesis dan lain-lain. Hal yang berbeda dengan penelitian Dias et al. (2002) yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi BA yang digunakan semakin tinggi biakan yang dihasilkan. Tunas-tunas yang dihasilkan pada penelitian ini mengalami pertumbuhan yang lambat sehingga untuk pertumbuhan tunasnya membutuhkan waktu yang sangat lama. Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor antara lain jenis dan bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan, jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh
atau jenis medium yang digunakan.
Berdasarkan hal diatas dilakukan tahapan kegiatan penelitian yang sama dengan menggunakan medium dasar LP dengan penambahan
zat pengatur tumbuh
thidiazuron dengan beberapa
konsentrasi dan BA 0.1 mg/l yang merupakan perlakuan terbaik pada tahap sebelumnya dijadikan sebagai kontrol. 24
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Gambar 1. a. Tunas dari perlakuan media MS + BA
Gambar 1. b. Tunas dari perlakuan LP + thidiazuron.
(Skala 1 cm = 0.5 cm )
Penggunaan medium dasar LP memperlihatkan pertumbuhan eksplan yang lebih baik. Hal ini diduga karena medium dasar LP mempunyai kandungan hara yang lebih rendah dibandingkan dengan medium dasar MS terutama kandungan ammonium nitratnya (NH4NO3). Selain itu juga disebabkan karena pengaruh thidiazuron yang digunakan. Thidiazuron merupakan zat pengatur tumbuh yang aktif dan sangat efisien dalam kultur sel dan jaringan tanaman ( Guo et al, 2011). Tabel 2 memperlihatkan bahwa perlakuan thidiazuron 0.1 mg/l merupakan perlakuan yang terbaik untuk induksi tunas.
Huetteman dan Preece (1993) menyatakan bahwa thidiazuron
merupakan substansi seperti sitokinin yang sangat aktif dan dapat merangsang induksi dan proliferasi tunas tanaman berkayu. Rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan dari perlakuan ini adalah 4.00. Hal ini diduga disebabkan karena penambahan thidiazuron 0.1 mg/l ke dalam media tumbuh memodifikasi nisbah auksin dan sitokinin dari eksplan yang dikulturkan sehingga tercapai nisbah sitokinin yang seimbang untuk pembentukan tunas. Hasil yang sama dengan penelitian Yordan et al, (2001) menunjukkan bahwa dari penggunaan thidiazuron dengan konsentrasi yang rendah dapat dihasilkan tunas dari eksplan tanaman Saphoro toromiro.
Sedangkan Neves et al, (2001)
menyatakan bahwa untuk mendapatkan tunas pada tanaman Medicago truncatula digunakan thidiazuron dengan konsentrasi yang relatif tinggi yaitu 1.0 mg/l. Selanjutnya Faisal et al. (2005) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi thidiazuron yang digunakan semakin banyak tunas yang dihasilkan pada tanaman Rauvolfia tetraphylla.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
25
Tabel 2. Jumlah tunas dan tinggi tunas dari perlakuan LP + thidiazuron Perlakuan (mg/l)
Rata-rata jumlah tunas
Tinggi tunas (cm)
Penampilan visual biakan
LP + BA 0.1
2.90 ± 1.52 ab
2.56 ± 1.04 b
Hijau segar, pendek
LP + thidiazuron 0.05
1.00 ± 0.47 c
1.38 ± 0.46 c
Hijau segar, sedang, pendek
LP + thidiazuron 0.1
4.00 ± 1.25 a
6.50 ± 1.58 a
Hijau segar, sedang, tinggi
LP + thidiazuron 0.015
1.00 ± 0.47 c
1.20 ± 0.56 c
Hijau segar, sedang, pendek
LP + thidiazuron 0.2
2.60 ± 1.07 b
1.20 ± 0.56 c
Hijau segar, sedang, pendek
Dari Tabel 2 juga dapat dilihat bahwa perlakuan thidiazuron memberikan pengaruh terhadap laju pertumbuhan tunas yang dihasilkan. Perlakuan thidiazuron 0.1 mg/l merupakan perlakuan terbaik terhadap tinggi tunas yang dihasilkan. Rata-rata tinggi tunas dari perlakuan ini adalah 6.50 cm dan berbeda nyata dengan perlakuan yang lain. Jordan et al. (2001) menyatakan bahwa penggunaan thidiazuron dapat merangsang pemanjangan tunas yang dihasilkan. Selanjutnya Guo et al, (2011) menyatakan bahwa penggunaan thidiazuron dapat memodifikasi zat pengatur tumbuh endogen tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari hasil yang diperoleh dapat dilihat bahwa hampir semua
tunas yang
diperoleh
memberikan penampilan visual yang lebih baik. Tunas yang diperoleh berukuran sedang dan normal (Gambar 1b) dengan laju pertumbuhan yang lebih cepat. Hasil yang berbeda dengan penelitian Shingha dan Bathia (1988) pada tanaman Pyrus communis yang menunjukkan bahwa penggunaan thidiazuron yang dikombinasikan dengan BA meningkatan kemampuan eksplan membentuk tunas ganda.
B. Perbanyakan tunas Tunas-tunas yang berukuran sedang dan tinggi yang diperoleh pada tahap induksi tunas digunakan sebagai eksplan pada tahap perbanyakan tunas. Tunas dengan ukuran 2.0 cm disubkultur pada perlakuan kinetin 2.0 mg/l – 8.0 mg/l. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kinetin 8.0 mg/l merupakan perlakuan terbaik untuk perbanyakan tunas. Menurut Winarsih et al, (1998), kinetin termasuk kelompok sitokinin yang berfungsi dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Selanjutnya Devy dan Sutanto (1992) menyatakan bahwa penggunaan sitokinin secara tunggal maupun kombinasinya dengan auksin berperan dalam menginduksi dan menggandakan tunas.
26
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Tabel 3. Jumlah tunas dan tinggi tunas dari perlakuan thidiazuron Perlakuan (mg/l)
Rata-rata jumlah tunas
Tinggi tunas (cm)
LP + kinetin 2.0
2.00 ± 0.66 b
3.30 ± 1.77 b
LP + kinetin 4.0
2.10 ± 0.74 b
3.40 ± 1.50 b
LP + kinetin 6.0
2.00 ± 0.66 b
3.30 ± 1.77 b
LP + kinetin 8.0
3.90 ± 0.74 a
5.20 ± 1.26 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
Rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan dari perlakuan ini adalah 3.9 (Tabel 3). Hasil yang sama dengan penelitian Priyono (2005) menunjukkan bahwa penggunaan kinetin dengan konsentrasi yang relatif tinggi pada tahap subkultur memberikan jumlah tunas paling tinggi. Berbeda dengan hasil penelitian Wilhelm (1999) pada tanaman Acer pseudoplanatus yang menyatakan bahwa jumlah tunas hasil subkultur paling banyak diperoleh dari perlakuan thidiazuron 0.04 μM dikombinasikan dengan 0.1 μM BA.
Gambar 2. Tunas dari perlakuan kinetin (Skala 1 cm = 1 cm)
Sedangkan Evenor et al., (2001) menyatakan bahwa tunas paling banyak diperoleh dari perlakuan BA 1.0 mg/l yang dikombinasikan dengan IAA 0.5 mg/l pada tanaman Alchemilla mollis. Selain menghasilkan jumlah tunas paling banyak perlakuan kinetin 8.0 mg/l juga merupakan perlakuan terbaik terhadap pertumbuhan tunas ke arah pemanjangan. Dari perlakuan ini diperoleh tunas dengan ukuran paling tinggi dengan rata-rata tinggi 5.2 cm dan berbeda nyata dengan perlakuan yang lain.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
27
Dilihat dari penampilan biakan secara visual menunjukkan bahwa tunas yang diperoleh dari perlakuan yang sama mempunyai bentuk normal, berukuran sedang dan berwarna hijau segar (Gambar 2). Selain itu tunas yang diperoleh dari perlakuan ini lebih baik dibandingkan dengan tunas yang dihasilkan dari perlakuan BA.
IV. KESIMPULAN Perlakuan terbaik pada tahap induksi tunas adalah media MS + BA 0.1 mg/l. Rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan adalah 7 tunas. Perlakuan media LP + thidiazuron 0.1 mg/l merupakan perlakuan terbaik untuk pertumbuhan tunas. Tunas yang diperoleh berukuran sedang dan rata-rata tinggi tunas adalah 6.50 cm. Tunas yang dihasilkan berwarna hijau dan segar. Perlakuan kinetin 8.0 mg/l merupakan terbaik untuk perbanyakan tunas dengan jumlah rata-rata sebanyak 3.9 dan tinggi rata-rata 5.2 cm
V.
DAFTAR PUSTAKA
Dias, MC, R. Almeida and A. Romano. 2002. Rapid clonal multiplication of Lavandula viridis L’Her through in vitro axilarry shoot multiplication. Plant Cell Tissue and Organ Culture 68 : 99 – 102. Devy NS dan A. Sutanto. 1992. Pengaruh komposisi media dan zat pengatur tumbuh terhadap perbanyakan batang bawah apel asal Bromo secara in vitro. J. Hort. 2 (4) : 13 – 20. Evans, J. 1992. Plantation Forestry in the Tropics. 2nd ed. Oxford Univ. Press. New York. 403p. Evenor, D; E. Shlomo and M. Reuveni. 2001. Micropropagation of Alchemilla mollis. Plant Cell Tissue and Organ Culture 65 : 169 – 172. Faisal, M; N. Ahmad and M. Anis. 2005. Shoot multiplication in Rauvolfia tetraphylla L. using thidiazuron. Plant Cell Tissue and Organ Culture 80 : 187 – 190. George, PD and F. Sherrington. 1987. Plant propagation by tissue culture Gunawan, LW. 1987. Teknik kultur jaringan. PAU IPB. Bogor. 187 hal. Guo, B; BH. Abbasi; A. Zeb; LL. Xu and YH. Wei. 2011. Thidiazuron : A multi-dimensional plant growth regulator. African Journal of Biotech. 10 (45) : 8984 – 9000. Huetteman, CA. and JE. Preece. 1993. Thidiazuron : a potent cytokinin for woody plant tissue culture. Plant Cell Tissue and Organ Culture 33 : 105 – 119. Herawan, T. dan Yelnititis. 2001. Pembiakan vegetatif mikro Shorea leprosula. Laporan Hasil Penelitian (tidak dipublikasikan). Mackay, WA; JL. Tipton and GA. Thompson. 1995. Micropropagation of Mexican redbud, Cercis Canadensis var. mexicana. Plant Cell Tissue and Organ Culture 43 : 295 - 299. Mok, MC; DWS. Mok; DJ. Amstrong; K. Shudo; Y. Isogai and T. Okamoto. 1982. Cytokinin activity of N-phenyl-N 1,2,3-thidiazol-5-ylurea (thidiazuron). Phytochemistry 21 : 1509 – 1511. Neves, LO; L.Tomaz and MPS. Fevereiro. 2001. Micropropagation of Medicago truncatula Gaertn. Cv. Jemalong and Medicago truncatula ssp. narbonensis. Plant Cell Tissue and Organ Culture 67 : 81 – 84. Pastur, GJM and ME. Arena. 1999. In vitro propagation of juvenile Nothofagus leoni Espinosa (Fagaceae). J. For. Res. 4 : 295 – 298. Priyono. 2005. Perbanyakan tanaman buah naga berdaging buah merah (Hylocereus costaricensis) melalui teknik kultur jaringan. Berita Biologi 7 (5) : 273 – 280. Sapulete, E. dan T. Herawan. 2002. Pembiakan vegetatif (makro dan mikro) A. cunninghamii. Laporan Hasil Penelitian (tidak dipublikakan). Singh, AK; S. Chand; S. Pattnaik and PK.Cahand. 2002. Adventitious shoot organogenesis and plant regeneration from cotyledons of Dalbergia sisso Roxb., a timber yielding tree legume. Plant Cell Tissue and Organ Culture 68 : 203 – 209.
28
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Shingha, S and SK. Bathia. 1988. Shoot proliferation of plant culture on medium containing thidiazuron and benzyl amino purine. Hort Science 23 : 803 – 806. Tokobara, K and M. Masahiro. 1993. Micropropagation of Phalaenopsis and Doritaenopsis by cutting shoot tips of flower stalks buds. Plant Cell reports 13 : 7 – 11. Wilhelm, E. 1999. Micropropagation of juvenile sycamore maple via adventitious shoot formation by use thidiazuron. Plant Cell Tissue and Organ Culture 57 : 57 – 60. Winarsih, S; Priyono dan Zaenudin. 1998. Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap perbanyakan kerk lily secara in vitro. J. Hort. 8 (3) : 1145 – 1152. Yelnititis, I. Mariska dan E. Gati. 1995. Penekanan permasalahan penguningan dan gugurnya organ pada pertunasan in vitro tanaman melinjo. Prosiding Evaluasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. hal. 56 – 61. Yelnititis; T. Herawan; E. Sapulete; A. Setiawan dan E. Izudin. 2005. Perbanyakan meranti secara in vitro. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 2 (1) : 166 – 173.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
29
30
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
KETERSEDIAAN EKSPLAN, TUNAS AKSILER DAN KALUGENESIS PADA PERBANYAKAN MIKRO Toona sinensis Asri Insiana Putri Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta Email :
[email protected]
ABSTRAK Perbanyakan mikro melalui kultur jaringan pohon multiguna Toona sinensis belum sepenuhnya diketahui. Tujuan penelitian ini adalah melakukan pengamatan pembentukan tunas juvenil sebagai sumber eksplan dari stek cabang dibandingkan dari biji T. sinensis dalam upaya menjaga keberlangsungan ketersediaan eksplan serta pengamatan responnya terhadap inisiasi tunas aksiler dan kalugenesis melalui kultur jaringan. Isolasi stek cabang dan persemaian biji dilakukan di rumah kaca dengan parameter jumlah dan panjang tunas. Metode kultur jaringan digunakan untuk uji respon hormon eksogen GA4 terhadap inisiasi tunas aksiler dengan parameter panjang tunas; uji hormon IBA terhadap parakaran planlet dengan parameter panjang akar; serta perlakuan BAP untuk kalugenesis dengan parameter berat kalus. Hasil tunas stek cabang T. sinensis umur 1 tahun (setelah stek berakar) mempunyai 2 7 tunas tanpa ketiak daun pada nodul cabang yang sama dengan rata-rata panjang tunas 15,8 cm. Hasil tunas dari biji umur semai 1 tahun mempunyai 5 - 8 ketiak daun dari satu tunas, dengan rata-rata panjang tunas (tinggi bibit) 67,55 cm. GA4 konsentrasi 1 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada kedua asal eksplan. Inisiasi tunas aksiler eksplan asal biji mempunyai respon panjang tunas lebih tinggi (8,5 cm ± 0,7228) dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (5,7 cm ± 0,0300). IBA dengan konsentrasi 1 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal biji, sedangkan konsentrasi 2 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal stek cabang. Inisiasi perakaran eksplan asal biji mempunyai respon panjang tunas lebih tinggi (6,8 cm ± 0,6361) dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (4,9 cm ± 0,7893). BAP dengan konsentrasi 3 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal biji, sedangkan konsentrasi 2 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal stek cabang. Kalugenesis eksplan asal biji mempunyai respon berat kalus sedikit lebih tinggi (1,1 ± 0,9957) dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (1,0 ± 0,6635). Kata kunci: eksplan, tunas aksiler, kalugenesis, Toona sinensis
I.
PENDAHULUAN
Toona sinensis termasuk pohon Meliaceae cepat tumbuh, bernilai tinggi dan mempunyai spektrum pemanfaatan yang luas. Kayu T. sinensis memiliki corak yang indah banyak dimanfaatkan untuk pertukangan, interior ruangan, panel dekoratif, kerajinan tangan, alat musik, papan perahu dan peti kemas (Heyne, 1987). Daun suren termasuk edible vegetable, mempunyai flavor lezat, kaya nutrisi dan aroma. Batang, buah, daun dan akar dapat dimanfaatkan sebagai pestisida alami (More & White, 2003; Rushforth, 1999). Pada penelitian fitokimia, metabolit sekunder T. sinensis terdiri dari beberapa senyawa diantaranya katekin dan polyfenol yang mempunyai sifat profilaktik yang sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia (Hsieh et al., 2006; Wang et al., 2007).
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
ϯϭ
Sebagian besar metode perbanyakan konvensional tanaman hutan dilakukan secara seksual dari tanaman yang tumbuh dari biji. Propagasi klonal melalui kultur jaringan menjadi alternatif perbanyakan yang berpotensi mempunyai kecepatan multiplikasi tinggi dan mempunyai sifat genotip yang seragam dengan stabilitas yang tinggi (Beck & Dunlop, 2001). Regenerasi dari biji biasanya menunjukkan variasi kontinyu untuk banyak karakter. Penelitian perbanyakan mikro tanaman hutan tropis khususnya mengenai eksplan dari tanaman induk dan juvenilitasnya belum banyak dilaporkan (Pijut et al., 2012). Kemudahan kloning in vitro pada kebanyakan jenis tanaman pohon bergantung pada tingkat juvenilitas jaringan eksplan dan pendewasaannya pada media kultur jaringan (Biondi and Thorpe, 1981). Perbanyakan vegetatif melalui teknik kultur jaringan sangat penting untuk program pembiakan dan pemuliaan T. Sinensis. Keuntungan genetik dapat dicapai dalam siklus rotasi pendek dengan memanfaatkan pohon induk terpilih sebagai sumber eksplan yang telah terbukti dengan karakteristik kuantitatif dan kualitatif yang menguntungkan. Tujuan penelitian ini adalah melakukan pengamatan pembentukan tunas juvenil sebagai sumber eksplan dari stek cabang dibandingkan dari biji T. sinensis dalam upaya menjaga keberlangsungan ketersediaan eksplan serta pengamatan responnya terhadap inisiasi tunas aksiler dan kalugenesis melalui kultur jaringan.
II. A.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan waktu pelaksanaan Penelitian ini dilakukan di laboratorium kultur jaringan dan rumah kaca di Balai Besar
Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Penelitian ini merupakan rangkuman pengamatan yang dilakukan selama 5 tahun, mulai dari penyiapan materi sumber eksplan melalui stek batang di rumah kaca sampai dengan terbentuk planlet di ruang kultur dari tahun 2007 hingga 2011.
B.
Bahan dan alat penelitian Materi tanaman yang digunakan adalah stek cabang dan biji Toona sinensis dari
Temanggung, Jawa Tengah. Tunas dari stek dan biji dipergunakan sebagai materi eksplan untuk pengujian respon eksplan. Bahan pendukung lainnya adalah pasir semi steril, pupuk, pestisida dan fungisida untuk menjaga kesehatan stek tanaman di rumah kaca di samping bahan media, hormon serta bahan sterilisasi untuk kultur jaringan. Peralatan utama yang digunakan di rumah kaca adalah gunting stek, bak pasir sebagai media stek dan sprayer, sedangkan di laboratorium kultur jaringan adalah autoclave, lamina air flow, tabung kultur, alat-alat transfer eksplan serta rak inkubasi. ϯϮ
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
C.
Tahap pelaksanaan Tunas hasil stek cabang dan biji digunakan sebagai eksplan inisiasi tunas aksiler kultur
jaringan sampai mendapatkan plantlet steril. Plantlet yang dihasilkan digunakan sebagai eksplan untuk kalugenesis. 1.
Stek cabang dan biji untuk sumber eksplan. Sterilisasi potongan cabang dan biji menggunakan air dan fungisida. Pangkal bawah cabang diberi larutan IBA. Potongan cabang kemudian ditanam dan biji disemai pada media pasir semi steril (sterilisasi dengan air 100 0C, tanpa analisa mikrobia). Penyungkupan bak dilakukan dengan bambu dan plastik. Pengamatan respon berdasarkan jumlah dan panjang tunas tiap nodul.
2.
Inisiasi tunas aksiler Inisiasi tunas aksiler mengunakan media dasar MS (Murashige et al. 1962) dengan perlakuan gibberellat (GA4) 0.5 mg/l (P1), 1 mg/l (P2) dan 1,5 mg/l (P3). Transfer eksplan dari tunas stek batang dan biji pada media inisiasi tunas aksiler dilakukan dengan 3 tahap penanaman masing-masing 25 ulangan setiap perlakuan. Inkubasi kultur pada suhu 24ºC, kelembaban 6070% serta periode pencahayaan 16 jam dibawah lampu fluorescence putih TLD 40 Watt.
3.
Inisiasi perakaran Media untuk perakaran menggunakan ½ MS dengan indolebutiricacid (IBA) 1 mg/l (A1), 2 mg/l (A2) dan 3 mg/l (A3). Kultur inisiasi tunas aksiler steril terbaik dilanjutkan untuk uji perakaran sampai terbentuk planlet. Inkubasi kultur pada suhu 24ºC, kelembaban 60-70% serta periode pencahayaan 16 jam dibawah lampu fluorescence putih TLD 40 Watt. Planlet ini digunakan sebagai sumber eksplan untuk inisiasi kalus.
4.
Inisiasi kalus Inisiasi kalus menggunakan media dasar MS dengan 3,6-dichloro-2-methoxybenzoic acid (Dicamba) 20 mg/l, kemudian dilanjutkan pada media tanpa Dicamba dengan BAP 1 mg/l (K1), 2 mg/l (K2) dan 3 mg/l (K3) untuk subkultur kalus. Kultur inisiasi kalus terbaik selanjutnya dipergunakan untuk multiplikasi kalus. Eksplan yang digunakan pada inisiasi kalus adalah dari bagian petiole daun planlet. Inkubasi kalus di ruang gelap.
D.
Rancangan penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Pada inisiasi tunas
dilakukan 3 tahap penanaman dengan 25 ulangan masing-masing untuk 3 perlakuan dari 2 asal eksplan yaitu stek batang dan biji, sehingga keseluruhan diperoleh 450 satuan kultur percobaan. 90
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
ϯϯ
kultur terbaik dari ketiga tahap masing-masing dari stek dan biji digunakan untuk uji perakaran. Eksplan daun dari planlet yang didapat dipergunakan untuk uji kalugenesis, dengan 30 ulangan. Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam dengan model linear sebagai berikut: Yij = μ + Pi + Tj + Eij.......................................................................persamaan 1. Keterangan: Yij: nilai pengamatan pada komposisi hormon ke-i, tahap ke-j μ : nilai tengah rata-rata pengamatan Pi : efek komposisi hormon ke i Tj : efek tahap ke-j Eij: galat pada komposisi hormon ke i dan tahap ke j Kalkulasi skor indeks pertumbuhan planlet menggunakan modifikasi persamaan Chester’s (1959) sebagai berikut: RE = [(n1 x z1) + (n2 x z2) + (n3 x z3)] / (N x Z) x 100..................... persamaan 2. Keterangan: RE
: respon eksplan
n1, n2 dan n3
: jumlah eksplan dengan indeks skor 1, 2 dan 3
z1, z2 dan z3
: indeks skor 1, 2 dan 3
N
: jumlah total eksplan tiap perlakuan
Z
: nilai skor tertinggi (nilai 3)
Kategori respon eksplan berdasarkan nilai skor ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Kategori respon eksplan.
Respon eksplan (%) ޒ0 s/d 20 ޒ20 s/d 40 ޒ40 s/d 60 ޒ60 s/d 80 ޒ80 s/d 100
Kategori Respon sangat jelek Respon jelek Respon moderat Respon baik Respon sangat baik
Data yang diperoleh, selanjutnya dianalisis menggunakan Analisis Sidik Ragam (Anova) pada tingkat ketelitian 95 % dan apabila ada pengaruh nyata dilakukan uji beda nyata Duncan dengan jenjang nyata (Į) 5 %.
ϯϰ
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Hasil
1.1. Perbedaan tunas dari stek cabang dan biji T. sinensis sebagai sumber eksplan. Hasil tunas stek cabang T. sinensis umur 1 tahun (setelah stek berakar) mempunyai 2 - 7 tunas tanpa ketiak daun pada nodul cabang yang sama dengan rata-rata panjang tunas 15,8 cm. Hasil tunas dari biji umur semai 1 tahun mempunyai 5 - 8 ketiak daun dari satu tunas, dengan rata-rata panjang tunas (tinggi bibit) 67,55 cm (Gambar 1).
A
B
Gambar 1. Tunas stek cabang T. sinensis (A) dan T. sureni (B) sebagai sumber eksplan.
1.2. Inisiasi tunas aksiler kultur jaringan T. sinensis. Pengaruh perlakuan hormon pertumbuhan GA4 (P) dan skoring terhadap panjang tunas ditunjukkan pada Tabel 2, sedangkan hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan pada Tabel 3 dan Tabel 4. GA4 konsentrasi 1 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada kedua asal eksplan. Inisiasi tunas aksiler eksplan asal biji mempunyai respon panjang tunas lebih tinggi (8,5 cm ± 0,7228) dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (5,7 cm ± 0,03). Senyawa fenolik yang dikeluarkan oleh eksplan asal tunas cabang lebih tinggi dibandingkan dengan eksplan asal biji. Hal ini juga memperbesar persen kematian eksplan asal tunas cabang tersebut.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
ϯϱ
Tabel 2. Pengaruh GA4 terhadap rata-rata panjang tunas kultur jaringan T. sinensis. Asal Perlakuan Rata-rata panjang tunas Skoring Eksplan (cm ± SE) tunas aksiler Biji P1 7,9 ± 0,7461 90 P2 8,5 ± 0,7228 P3 8.0 ± 0,1836 Stek cabang
P1
5,7 ± 0,0300
P2
5,1 ± 0,3828
P3
4,8 ± 0,1022
60
Tabel 3. Analisis sidik ragam pengaruh GA4 terhadap rata-rata panjang tunas T. sinensis. Perlakuan df JK KT Nilai P P 2 12.32301 132.3775 0.0001 Galat 89 0.1117 Total 90 Tabel 4. Uji beda nyata perlakuan pada panjang tunas T. sinensis. Perlakuan Rata-rata A* B* C* D* Biji P1 7,900 P2 8,5000 P3 8,0000 Stek cabang P1 5,7000 P2 5,1000 P3 4,8000 Keterangan: *= pengelompokan Duncan, dengan kesalahan kuadrat tengah 0,164 P1 = GA4 0,5 mg/l P2 = GA4 1 mg/l P3 = GA4 1,5 mg/l
1.3. Inisiasi perakaran kultur jaringan T. sinensis. Pengaruh perlakuan hormon pertumbuhan IBA (A) dan skoring terhadap panjang akar ditunjukkan pada Tabel 5, sedangkan hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan pada Tabel 6 dan Tabel 7. IBA dengan konsentrasi 1 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal biji, sedangkan konsentrasi 2 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal stek cabang. Inisiasi perakaran eksplan asal biji mempunyai respon panjang tunas lebih tinggi (6,8 cm ± 0,6361) dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (4,9 cm ± 0,7893).
ϯϲ
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Tabel 5. Pengaruh IBA terhadap rata-rata panjang akar. Asal Eksplan Perlakuan Rata-rata Skoring inisiasi panjang akar perakaran (cm ± SE) Biji A1 6,8 ± 0,6361 80 A2 5,8 ± 0,7563 A3 4,4 ± 0,6862 Stek cabang A1 3,3 ± 0,8722 40 A2 4,9 ± 0,7893 A3 3,8 ± 0,7648 Tabel 6. Analisis sidik ragam pengaruh IBA terhadap rata-rata panjang akar. Perlakuan df JK KT Nilai P A 2 1,2320 25,6960 0,0001 Galat 89 0,0480 Total 90 Tabel 7. Uji beda nyata perlakuan pada panjang akar. Perlakuan Rata-rata A* B* C* D* Biji A1 6,800 A2 5,800 A3 4,400 Stek cabang A1 3,300 A2 4,900 A3 3,800 Keterangan: *= pengelompokan Duncan, dengan kesalahan kuadrat tengah 0,765 A1 = IBA 1 mg/l A2 = IBA 2 mg/l A3 = IBA 3 mg/l
1.4. Inisiasi kalus kultur jaringan T. sinensis. Pengaruh perlakuan hormon pertumbuhan BAP (K) dan skoring terhadap berat kalus ditunjukkan pada Tabel 8, sedangkan hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan pada Tabel 9 dan Tabel 10. BAP dengan konsentrasi 3 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal biji, sedangkan konsentrasi 2 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal stek cabang. Kalugenesis eksplan asal biji mempunyai respon berat kalus sedikit lebih tinggi (1,1 ± 0,9957) dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (1,0 ± 0,6635).
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
ϯϳ
Tabel 8. Pengaruh BAP terhadap rata-rata berat kalus. Asal Perlakuan Rata-rata Persentase Eksplan berat kalus pembentukan (gr ± SE) kalus (%) Biji K1 0,8 ± 0,7628 30,0 K2 0,9 ± 0,8244 30,0 K3 1,1 ± 0,9957 40,0 Stek K1 0,6 ± 0,6481 20,0 cabang K2 1,0 ± 0,6635 30,0 K3 0.6 ± 0,9274 20,0
Skoring inisiasi kalus 50 40
Tabel 9. Analisis sidik ragam pengaruh IBA terhadap rata-rata berat kalus. Perlakuan df JK KT Nilai P K 2 1,232 25,696 0,0001 Galat 89 0,048 Total 90 Tabel 10. Uji beda nyata perlakuan pada berat kalus. Perlakuan Rata-rata A* B* Biji K1 0,800 K2 0,900 K3 1,100 Stek cabang K1 0,600 K2 1,000 K3 0.600 Keterangan: *= pengelompokan Duncan, dengan kesalahan kuadrat tengah 0,736 K1 = BAP 1 mg/l K2 = BAP 2 mg/l K3 = BAP 3 mg/l
Respon eksplan petiole daun asal dari biji dan asal stek cabang terhadap inisiasi kalus T. sinensis ditunjukkan pada Gambar 2. Plantlet T. sinensis dan bibit T. sinensis hasil kultur jaringan dengan eksplant dari perkecambahan biji dan stek cabang ditunjukkan pada Gambar 3.
ϯϴ
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
A
B
Gambar 2. Respon kalugenesis eksplan T. sinensis asal biji (A) dan asal stek cabang (B)
A
B
C
Gambar 3. Plantlet dari biji (A) dan dari stek cabang (B) serta bibit kultur jaringan T. sinensis hasil aklimatisasi plantlet A dan B (C).
2.
Pembahasan
2.1 Tunas T. sinensis dari biji dan stek cabang sebagai sumber eksplan. Pada penelitian ini pengambilan eksplan dari hasil semai biji dilakukan setelah bibit berumur 8 bulan, dengan rata-rata panjang tunas yang terbentuk adalah 67,55 cm. Sedangkan eksplan dari hasil stek cabang dilakukan setelah cabang lengkap membentuk tunas dan akar. Pembentukan akar stek batang T. sinensis rata-rata setelah 3 bulan setelah penanaman, akar muncul setelah terbentuk tunas pucuk dengan rata-rata panjang tunas 15,8 cm. Materi sumber eksplan yang secara fisiologis telah lengkap dari daun, batang dan akar akan meningkatkan persentase keberhasilan pembentukan planlet pada perbanyakan kultur jaringan (Putri, 2010). Bentuk pertumbuhan dan jumlah tunas yang berbeda antara biji dan stek cabang sangat berpengaruh pada jumlah eksplan yang didapat. Semakin panjang dan semakin banyak tunas dari satu nodul cabang stek, sebagai materi eksplan tunas pucuk akan sangat menguntungkan, karena BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
ϯϵ
semakin banyak materi eksplan yang didapat. Pendeknya jarak antar nodul pada stek cabang menyebabkan jumlah eksplan yang mengalami browning (perubahan warna coklat pada media, bersifat racun mematikan jaringan eksplan) di media kultur jaringan lebih tinggi pula, sehingga keberhasilan inisiasi tunas pucuk lebih rendah. Hal ini ditengarai lebih tingginya senyawa fenol penyebab browning yang tinggi pada jaringan nodul. Sangat pendeknya jarak nodul T. sinensis pada stek batang juga berpengaruh pada waktu inisiasi tunas pucuk kultur jaringan (kedinian inisiasi (Putri, 2011). 2.2. Pengaruh asal eksplan terhadap inisiasi tunas aksiler kultur jaringan T. sinensis. Analisis sidik ragam rata-rata panjang tunas dari inisiasi tunas aksiler asal persemaian biji menunjukkan hasil 33 % lebih tinggi dibandingkan asal stek cabang dengan nilai skoring biji lebih baik dibandingkan stek cabang. Pada uji beda nyata perlakuan menunjukkan perlakuan hormon pertumbuhan GA4 asal eksplan dari persemaian biji berbeda nyata dibandingkan asal stek cabang dengan mendapatkan 4 kelompok yang berbeda dari ketiga perlakuan dengan signifikansi lebih besar dari Į 5%, sehingga masing-masing kelompok merupakan rata-rata yang sama dan tidak ada perbedaan pengaruh perlakuan. Perlakuan GA4 pada eksplan asal biji menunjukkan P2 (1 mg/l) tidak berbeda nyata dengan P3 (1,5 mg/l), sehingga GA4 sudah cukup berpengaruh dengan konsentrasi sampai 1 mg/l, namun penambahan konsentrasi GA4 masih memungkinkan untuk meningkatkan panjang tunas. Sedangkan perlakuan GA4 pada eksplan asal stek cabang menunjukkan P1 (0,5 mg/l) tidak berbeda nyata dengan P2 (1 mg/l), sehingga GA4 sudah cukup berpengaruh dengan konsentrasi sampai 0,5 mg/l. Penambahan GA4 pada kultur jaringan dapat merangsang kecepatan pertumbuhan tunas dan menginisiasi bagian mitotik daun (Koning, 1983; Moshkov et al., 2008). GA4 membantu meningkatkan pemecahan amilase sehingga memacu lebih cepat pembelahan sel-sel tunas untuk pertumbuhan tanaman (Riley, 1987). Pemanjangan tunas merupakan konsekuensi dari dua proses dasar pertumbuhan yaitu pembelahan dan pembesaran sel, GA4 berperan sebagai mediator proses tersebut (Jorunn et al., 2004). Panjang tunas (microshoots) digunakan sebagai parameter pengamatan respon inisiasi tunas aksiler dari eskplan T. sinensis dan T. sureni karena menjadi salah satu faktor penentu volume pada indeks pertumbuhan tunas dan berkorelasi terhadap regenerasi sel in-vitro (Ahuja, 1993). Pertumbuhan eksplan dengan pengaruh hormon dapat dinyatakan berdasarkan pemanjangan tunas (elongation) untuk parameter respon eksplan in-vitro (Venketeswaran et al., 1988).
ϰϬ
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
2.3. Pengaruh asal eksplan terhadap inisiasi perakaran kultur jaringan T. sinensis. Analisis sidik ragam rata-rata panjang akar dari inisiasi perakaran asal persemaian biji menunjukkan hasil 28 % lebih tinggi dibandingkan asal stek cabang dengan nilai skoring biji dua kali lebih baik dibandingkan stek cabang. Pada uji beda nyata perlakuan menunjukkan perlakuan hormon pertumbuhan IBA asal eksplan dari persemaian biji berbeda nyata dibandingkan asal stek cabang dengan mendapatkan 4 kelompok yang berbeda dari ketiga perlakuan dengan signifikansi lebih besar dari Į 5%, sehingga masing-masing kelompok merupakan rata-rata yang sama dan tidak ada perbedaan pengaruh perlakuan. Perlakuan IBA pada eksplan asal biji menunjukkan tidak berbeda nyata pada ketiga perlakuan, sehingga konsentrasi IBA masih memungkinkan ditingkatkan pada konsentrasi lebih dari 3 mg/l. Sedangkan perlakuan IBA pada eksplan asal stek cabang menunjukkan A1 (1 mg/l) tidak berbeda nyata dengan A3 (3 mg/l), namun pada perlakuan A2 (2 mg/l) berbeda nyata dari dua perlakuan yang lain dan mempunyai panjang akar tertinggi sehingga perlakuan A2 pada penelitian ini memberikan hasil terbaik. Eksplan T. sinensis asal biji memerlukan konsentrasi IBA paling rendah untuk inisiasi perakaran, hal ini menunjukkan tingginya kandungan hormon IBA endogen eksplan, namun panjang akar yang lebih tinggi dibandingkan eksplan asal stek cabang menunjukkan kurang terpenuhi ketersediaan nutrien dari media untuk pertumbuhan tunas pucuk, sehingga perakaran memperluas daerah serapannya. Mekanisme kerja IBA dalam mempengaruhi pemanjangan sel-sel tanaman adalah di dalam memacu protein tertentu yang ada di membran plasma sel tumbuhan untuk memompa ion H+ ke dinding sel. Ion H+ ini mengaktifkan enzim tertentu, sehingga memutuskan beberapa ikatan silang hidrogen rantai molekul selulosa penyusun dinding sel. Sel tumbuhan, kemudian memanjang akibat air yang masuk secara osmosis. Setelah pemanjangan, sel terus tumbuh dengan mensintesis kembali material dinding sel dan sitoplasma (Machakova, et al., 2008). 2.4. Pengaruh asal eksplan terhadap kalugenesis kultur jaringan T. sinensis. Analisis sidik ragam rata-rata berat kalus dari kalugenesis eksplan asal persemaian biji menunjukkan hasil 9 % lebih tinggi dibandingkan asal stek cabang dengan nilai skoring biji lebih baik dibandingkan stek cabang. Pada uji beda nyata perlakuan menunjukkan perlakuan hormon pertumbuhan BAP asal eksplan dari persemaian biji berbeda nyata dibandingkan asal stek cabang dengan mendapatkan 2 kelompok yang berbeda dari ketiga perlakuan dengan signifikansi lebih besar dari Į 5%, sehingga masing-masing kelompok merupakan rata-rata yang sama dan tidak ada perbedaan pengaruh perlakuan. BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
ϰϭ
Perlakuan BAP pada eksplan asal biji menunjukkan tidak berbeda nyata antara ketiga perlakuan, sehingga BAP sudah cukup berpengaruh dengan konsentrasi terendah pada penelitian ini yaitu 1 mg/l. Perlakuan BAP pada eksplan asal stek cabang menunjukkan K1 (1 mg/l) tidak berbeda nyata dengan K3 (3 mg/l), sedangkan perlakuan K2 (2 mg/l) berbeda nyata dibandingkan dua perlakuan yang lain dengan nilai rata-rata tertinggi, sehingga konsentrasi BAP 2 mg/l terbaik pada penelitian ini. Persentase pembentukan kalus meningkat sesuai peningkatan berat kalus, inisiasi kalus terbentuk pada saat terjadi diferensiasi sel-sel epidermal dan sub epidermal daerah hipokotilar. Hasil multiplikasi kalus dapat bersifat embryogenik maupun non-embryogenik (Geekiyanage & Silva, 2005). Ketersediaan sumber eksplan, kecepatan multiplikasi dan keterulangan merupakan sistem penting pada kalugenesis (Raemakers et al., 1995). Kombinasi dengan BAP paling banyak digunakan secara ekstensif untuk optimasi medium pada regenerasi kalus menggantikan dimethylallylaminopurine (2iP) yang dinilai terlalu lama masa inkubasi dan terlalu mahal (Rao et al. 1995; Varshney et al. 1997; Qu et al. 2002). Semakin tinggi perlakuan BAP sampai dengan konsentrasi 3 mg/l, kalus lebih friabel dengan warna putih jernih baik pada eksplan yang berasal dari biji maupun dari stek cabang. Secara umum eksplan kultur jaringan T. sinensis dapat lebih terjaga ketersediannya dengan berbagai alternatif untuk mendapatkan tingkat juvenil jaringan tanaman. Pada kepentingan perbanyakan kultur jaringan secara vegetatif untuk mendapatkan klon dengan sifat-sifat yang sama dengan tetua, penyediaan eksplan dari hasil stek cabang mutlak dilakukan, sampai dengan multiplikasi in vitro. Dengan demikian penelitian lebih lanjut kultur jaringan T. sinensis khususnya di dalam penyediaan eksplan vegetatif penting dilakukan.
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan sifat pertumbuhan dan jumlah tunas, materi sumber eksplan kultur jaringan Toona sinensis yang berasal dari persemaian biji mempunyai ketersediaan eksplan yang lebih tinggi dibandingkan dari stek cabang. Di samping itu eksplan kultur jaringan Toona sinensis yang berasal dari persemaian biji mempunyai respon inisiasi tunas aksiler, inisiasi perakaran serta kalugenesis yang lebih baik dibandingkan dari stek cabang.
ϰϮ
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
DAFTAR PUSTAKA Ahuja, M. R. 1998. Micropropagation a la Carte In Micropropagation of Woody Plants. M. R. Ahuja (ed.). Kluwer Academic Publisher. Beck S. L. and R. W. Dunlop. 2001. Micropropagation of the Acacia Species: A Review. In Vitro Cellular & Developmental Biology. Plant, 37(5): 531-538. Chester, K. S.1959. How Sick is The Plant. J. G. H Horsfall and A. Diamond (eds.). Plant Pathology Vol: 1. Academic Press, Inc, New York. Dirr, M. A. and M. W. Heuser. 1987. The Reference Manual of Woody Plant Propagation. Athens Ga. Varsity Press. ISBN 0942375009. Edmonds and Staniforth. 1998. American Journal of Chinese Medicine 30 (2 & 3) : 307-314. George, E.F. and P.C. Debergh. 2008. Micropropagation: Uses and Methods In Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition. E.F. George, M.A. Hall & G-Jan De Klerk (eds.). Springer Pub. Netherland. Jayusman, 2006. Tehnik Penyiapan Bibit Surian. Infotek Vol.14 (1) : Juni 2006. Hal 35-43. Jorunn E. O., B. J. John, A. M. Jorgen, E. Arild, J. Olavi. 2004. Journal of Crop Improvement, Photoperiodic Regulationof Apical Growth Cessation in Northern Tree Species. 10 (1-2), 77 – 112. Koning, R. 1982. Seed Germination. Biology Departement, ESCU, Willimantic, CT USA. www.blackwellsynergy.com. Lemmens, R. H. M. J., I. Soerianegara, and W.C. Wong (Eds.).1995. Plant Resources of Southeast Asia 5(2) Timber trees: Minor commercial timbers. Prosea Foundation, Bogor, Indonesia, 655 pp. Machakova I., E. Zazimalova , E.F. George. 2008. Plant Growth Regulators I: Introduction: Auxins, their Analogues and Inhibitors In Plant Propagation by Tissue Culture, 3d Eddition, Volume 1, The Background. E. F. George, M. A. Hall, G. De Klerk (Eds.). Springer, Netherlands, 175-204. V Martawidjaya, A., K. Iding, Y. I. Mandang, A. P. Soewanda, dan K. Kosasi. 1998. Atlas Kayu Indonesia, Jilid II. Badan Litbang Kehutanan,Bogor. Moshkov, I.E., G.V. Novikova, M.A. Hall and E.F George. 2008. Plant Growth Regulator III: Gibberellins, Ethylene, Abscisic Acid, their Analogues and Inhibitors; Miscellaneous Compounds In Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition. E.F. George, M.A. Hall and Geert-Jan de Klerk (eds). Volume 1. The Backforund. Springer Pub., Netherland. Phon D. and Pauline. 2000. Plants Used in Cambodia. Olympic Printing House; Phnom Penh, 915 pp. Pijut P. M., R. R. Beasley, S. S. Lawson, K. J. Palla, M. E. Stevens and Y. Wang. 2012. In Vitro propagation of Tropical Hardwood Tree Species – A Review (2001 -2011) Propagation of Ornamental Plants, 12(1): 25 -51. Putri, A. I. 2010. Micropropagation of Toona sinensis dan Toona sureni. Unpublished. Qu, Luping, Chen, Jianjn, Henny, J. Richard, Huang, Yingfeng, Caldwell, D. Russell and Robinson, A. Cynthia. 2002. Thidiazuron promotes adventitious shootregeneration from pothos (Epipremnum aureum) leaf and petiole explants. In Vitro Cellular and Developmental Biology-Plant, May, vol. 38, no. 3, p. 268-271. Raemakers, C. J. J. M., E. Jacobsen, R. G. F. Visser. 1995. Secondary somatic embryogenesis and applications in plant-breeding. Euphytica 81: 93-107. Rao, A. M., K. Padma Sree, and P. B. Kavi Kishor, 1995. Enhanced Plant Regeneration in Grain and Sweet Sorghum by Asparagine, Proline and Cefotaxime. Plant Cell Reports, January, vol. 15, no. 1-2, p. 72-75. Riley, J.M. 1987. Gibberellic Acid for Fruit Set and Seed Germination. CRFG Journal, Vol. 19, pp 10-12. www. Crfg.org. Geekiyanage, D. H. and T. D. Silva. 2005. Comparative Analysis Of Intron Regions In Grass Genomes. Proceedings of the 61st Annual Sessions of the Sri Lanka Association for the Advancement of Science. Sri Lanka. Varshney, A., T. Kant, and S.L. Kothari. 1997. Plant regeneration from coleoptile tissue of wheat (Triticum aestivum). Biologia Plantarum, July, vol. 40, no. 1, p.137-141. Venketeswaran, S., M. A. D. L. Dias, S. Sultanbawa and U. V. Weyers. 1988. Tissue Culture Studies of Mahogany Tree, Sweitenia In Somatic Cell Genetics of Woody Plants. M. R. Ahuja (ed.). Kluwer Academic Pub. Dordrecht, Boston, London. Xiao-hong, Z., C. Yan-sheng, W. An-zhi, Y. Tu-xi, K. Bing, Y. Heng. 1999. Shaanxi Province and Chinese Academy of Science. Yangling, Shaanxi 712100.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
ϰϯ
ϰϰ
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
PENINGKATAN DAYA MULTIPLIKASI TUNAS IN VITRO TANAMAN GAHARU DALAM UPAYA IKUT MEMBANTU PENGEMBANGAN DAN KELESTARIANNYA Ali Husni dan Mia Kosmiatin Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 3 A Bogor Email :
[email protected] ABSTRAK Ketersediaan bibit unggul yang sehat dalam usaha budidaya tanaman yang dieksploitasi secara besar-besaran sangat mutlak diperlukan. Permintaan akan produk gaharu yang terus meningkat disertai harga yang terus melambung menyebabkan eksploitasi pohon penghasil gaharu di alam juga terus berlangsung sehingga keberadaan pohon gaharu di alam sudah berada pada tingkat yang sangat menghawatirkan (CITES Appendix II). Untuk menjaga kelestarian pohon gaharu sekaligus dapat memenuhi permintaan pasar dunia diperlukan adanya upaya pembudidayaan pohon gaharu secara massal di Indonesia. Ketersediaan bibit unggul yang sehat merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya suatu tanaman. Keberadaan bibit unggul yang sehat salah satunya dapat diperoleh melalui perbanyakan tunas secara in vitro dalam lingkungan terkendali, menggunakan bahan tanaman yang sedikit, bebas penyakit, dan dapat dilakukan setiap saat. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan daya multiplikasi tunas in vitro tanaman gaharu Aquilaria malaccensis dengan perlakuan modifikasi media tumbuh dengan cara pengenceran hara makro media dasar MS dengan penambahan BA dan TDZ. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan TDZ pada media perbanyakan tunas gaharu dapat mempercepat induksi pembentukan tunas terutama pada medium dasar MS sementara pada medium dasar MS yang diencerkan hara makronya ½ kali tidak mempercepat induksi tunas. Sub kultur berulang hingga 3 kali dengan periode kultur 6 minggu menunjukkan peningkatan dalam jumlah tunas, jumlah daun dan tinggi tunas. Penambahan Thidiazuron pada media sub kultur juga menunjukkan peningkatan dalam jumlah tunas terutama bila ditambahkan 1 mg/l pada medium perbanyakan Kata kunci: Aquilaria malaccensis, kultur in vitro, multiplikasi tunas
I.
PENDAHULUAN
Gubal gaharu adalah salah satu komoditas ekspor penting bagi Indonesia yang berasal dari produk hasil hutan bukan kayu yang mengandung resin yang harum baunya, seperti pohon Aquilaria malaccensis. Gaharu (Aquilaria malaccensis Lank) merupakan tanaman yang memiliki mutu sangat baik dengan nilai ekonomi yang tinggi karena kayunya mengandung resin yang harum baunya. Kayu yang mengandung resin ini dikenal dengan nama “gaharu”. Dipasar internasional, gaharu dikenal dengan nama agarwood, aloeswood atau oudh. Selain untuk dupa, penggunaan gaharu telah meluas untuk dipakai sebagai bahan pembuat parfum, sabun, sari aroma gaharu, pengobatan dan sampo (Ng, et al., 1997; Chakrabarty, et al., 1994). Kayu gaharu juga cocok digunakan untuk pembuatan pensil (Lopez, 1998) sehingga nilai komersialnya dalam perdagangan gaharu semakin menigkat. Menurut Susilo (2003), volume ekspor gaharau Indonesia pada periode 1990-1998 adalah sebanyak 165 ton dengan nilai US $ 2.000.000 dan meningkat sebanyak 456 ton dengan nilai US $ 2.200.000 pada periode 1999-2000. Namun pada periode 2000-2002 volume ekspor menurun 30 ton dengan nilai US $ 600.000 karena makin sulitnya gaharu didapatkan. Permintaan internasional terhadap gaharu dimasa mendatang kemungkinan besar akan terus bertambah (Shyun, 1997; Ng, et al. 1997). Sayangnya, sebagian besar atau bahkan semuanya BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
45
gaharu tersebut masih diambil langsung dari hutan alam ( Hartadi, 1997; Peters, 1996) sehingga menyebabkan populasi tanaman ini di Indonesia sifatnya mendekati kepunahan (Oldfield, et al., 1998). Hal ini disebabkan karena belum tersedianya teknologi pendukungnya, seperti teknologi perbanyakan bibit dan teknologi inokulasi penyakit untuk mendapatkan kualitas gaharu yang baik (Santoso, 1996). Berdasarkan sifat dan kegunaan gaharu tersebut, maka tanaman ini termasuk prioritas utama untuk dikembangkan.Pada tahun 2010 Balitbang kehutanan merilis teknologi budi daya gaharu dengan cara penginfeksian jamur genus Fusarium dan Cylindrocarpon pembentuk gaharu ke dalam batang pohon potensial (Tunggal, 2010) tetapi bibit masih mengandal dari semaian biji atau anakan alami. Meskipun tanaman gaharu mulai banyak dikembangkan di Indonesia, penyediaan bibit masal yang seragam belum ada yang melaporkan. Kendala perbanyakan secara generatif melalui biji, yaitu biji yang bersifat rekalsitran dan mempunyai variasi genetik yang luas. Kendala perbanyakan secara vegetatif dengan stek pucuk, stek akar dan grafting yaitu hambatan pada pengakaran, tergantung pada musim, memerlukan bahan tanaman yang banyak dan jumlah bibit yang dihasilkan relatif sedikit.
Dengan demikian, kebutuhan bibit pada suatu tanaman yang akan dieksploitasi
secara luas akan sulit dipenuhi melalui perbanyakan secara konvensional. Salah satu teknologi yang telah banyak dimanfaatkan dan banyak memberikan harapan di masa mendatang adalah pemakaian teknologi kultur in vitro. Aplikasi teknologi tersebut dibidang pertanian selain untuk perbanyakan juga untuk konservasi dan perbaikan tanaman. Perbanyakan melalui kultur jaringan dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu pembentukan tunas adventif, proliferasi tunas lateral dan embriogenesis somatik. Proliferasi tunas lateral dapat dilakukan dengan cara mengkulturkan tunas aksilar atau tunas terminal kedalam media yang mempunyai komposisii kimia yang sesuai untuk proliferasi tunas sehingga diperoleh penggandaan tunas dengan cepat. Setiap tunas yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai starter untuk penggandaan tunas sehingga diperoleh tunas yang banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat. Pada umumnya, tanaman berkayu sangat sulit mengadakan proliferasi dan regenerasi, sehingga diperlukan manipulasi zat pengatur tumbuh dalam media supaya eksplan mampu melakukan regenerasi membentuk tanaman utuh (Dixon dan Gonzales, 1994). Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro baik melalui penggandaan tunas, organogenesis maupun embriogenesis somatik
sangat dipengaruhi oleh genotipa dan
eksplan, jenis media dasar, jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan (Monier, 1990; Lizt and Levicth, 1997). Penambahan sitokinin dalam media pada umumnya sangat diperlukan pada tahap induksi maupun penggandaan tunas. Kombinasi sitokinin tertentu dengan sitokinin lainnya kadang lebih 46
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
baik dari pada penambahan sitokonin tunggal seperti pada Acacia mangium
yang
mengkombinasikan BA dengan Kinetin (Bon et al., 1998). Pada tanaman belimbing dan sukun, penambahan kombinasi sitokinin Benzyladenin (BA) dengan Tidiazuron (TDZ) lebih baik dari pada penggunaan sitokinin tunggal (Supriyati, et al.,
2003). Demikian juga halnya
dalam
pembentukan kalus embriogenik dengan struktur globular dan hati (Husni et al., 1997) atau auksin 2,4-D serta kombinasinya dengan NAA apabila melalui fase kalus (Hutami et al., 2002). Untuk tahap pendewasaan selanjutnya, konsentrasi sitokinin diturunkan atau sering ditambah dengan GA3 (Rai dan McComb, 2002; Mariska et al., 2001b+c). Sebagai eksplan umumnya digunakan jaringan atau organ yang bersifat embriogenik seperti embrio zigotik, kotiledon, tunas terminal, tunas aksilar atau hipo/epikotil. Dengan demikian, teknologi kultur in vitro melaui jalur proliferasi tunas dapat digunakan sebagai upaya pelestarian tanaman gaharu karena teknologi ini dapat lebih menjamin kesamaannya dengan tanaman induk.
II.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi sel dan Jaringan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan untuk mendapatkan metoda dan komposisi media yang tepat untuk meningkatkan kemampuan tunas gaharau melakukan multiplikasi. Penelitian dilakukan terdiri dari empat tahap penelitian yang saling berurutan, yaitu a). Induksi tunas, b) pengaruh subkultur terhadap kemampuan tunas melakukan multiplikasi
c)
induksi akar dan e)aklimatisasi plantlet.
Induksi tunas Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang 1 buku dari tunas in vitro gaharu yang sudah steril dengan ukuran 0.5 – 0.8 cm. Setiap buku dikultur dalam media perlakuan. Media dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah MS penuh dan MS yang unsur makronya dikurangi sebesar 50% dan diperkaya dengan zat pengatur tumbuh 0.1 mg/l BA yang dikombinasi dengan 0, 1, 2 dan 3 mg/l thidiazuron. Untuk memadatkan media ditambahkan agar swallow sebanyak 8 g/l. Kemasaman media diatur antara 5.6 – 5.8 dengan cara menambahkan NaOH dan HCl 0.1 dan 0.01N
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
47
Kultur disimpan pada rak kultur dalam ruangan yang bersuhu antara 19 – 25 C dan diberi cahaya menggunakan lampu influorescen dengan kisaran ± 1000 lux selama 16 jam sehari semalam. Pengamatan yang dilakukan pada tahap ini adalah lama waktu inisiasi tunas dari masingmasing eksplan pada setiap media perlakuan.
Pengaruh subkultur terhadap kemampuan tunas melakukan multiplikasi Untuk meningkatkan kemampuan tunas melakukan multiplikasi, dilakukan subkultur yang berulang kedalam media baru dengan komposisi sama dengan media awalnya. Sub kultur berulang dilakukan sebanyak tiga kali setiap 6 minggu masa kultur dalam media. Media dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah MS penuh dan MS yang unsur makronya dikurangi sebesar 50% dan diperkaya dengan zat pengatur tumbuh 0.1 mg/l BA yang dikombinasi dengan 0, 1, 2 dan 3 mg/l thidiazuron. Untuk memadatkan media ditambahkan agar swallow sebanyak 8 g/l. Kemasaman media diatur antara 5.6 – 5.8 dengan cara menambahkan NaOH dan HCl 0.1 dan 0.0N. Kultur disimpan pada rak kultur dalam ruangan yang bersuhu antara 19 – 25 C dan diberi cahaya menggunakan lampu influorescen dengan kisaran ± 1000 lux selama 16 jam sehari semalam. Pengamatan dilakukan terhadap banyaknya jumlah tunas yang dihasilkan, tinggi tunas dan penampakan visual dari masing-masing kultur pada setiap perlakuan.
Induksi akar Tunas-tunas yang yang sudah mempunyai 4–6 helai daun yang sempurna dipindahkan dalam media perakaran untuk mendapatkan plantlet yang siap diaklimatisasi. Media dasar yang digunakan pada tahap ini adalah MS yang diperkaya dengan 0, 1, 3 dan 5 mg/l IBA. Untuk memadatkan media ditambahkan agar swallow sebanyak 8 g/l. Kemasaman media diatur antara 5.6 – 5.8 dengan cara menambahkan NaOH dan HCl 0.1 dan 0.0N. Kultur disimpan pada rak kultur dalam ruangan yang bersuhu antara 19 – 25 C dan diberi cahaya menggunakan lampu influorescen dengan kisaran ± 1000 lux selama 16 jam sehari semalam. Pengamatan dilakukan terhadap banyaknya jumlah akar, panjang akar dan penampakan tunas.
48
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Aklimatisasi Plantlet yang dihasilkan diaklimatisasi dirumah kaca dengan cara mengeluarkan plantlet dari botol dengan hati-hati. Kemudian diberihkan dengan air kran secara hati-hati sehingga bersih dari sisa agar yang melekat pada akar. Kemudian disungkup selama empat minggu untuk menjaga kelembaban sampai akar telah dapat berfungsi secara baik. Media aklimatisasi yang digunakan adalah campuran tanah dengan kompos pada perbandingan 1:1. Parameter yang diamati pada tahap ini adalah persentase keberhasilan aklimatisasi.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Induksi Tunas Dari hasil pengamatan terhadap kecepatan inisiasi tunas dari eksplan yang dikultur dalam media perlakuan terlihat bahwa media dasar MS yang unsur makronya dikurangi ssebesar 50% lebih baik dari pada media dasar MS yang unsur makronya penuh. Hal ini terlihat dari waktu kecepatan rata-rata inisiasi tunas dari setiap perlakuan penambahan kombinasi BA 0.1 mg/l dengan TDZ, yaitu antara 5.4 – 6.6 hari, sedangkan rata-rata waktu inisiasi tunas yang dibutuhkan pada media dasar MS penuh antara 5.6 – 13 hari (Tabel 1). Tabel 1. Pengaruh media dasar MS dan TDZ terhadap waktu inisiasi tunas aksiler dari eksplan batang satu buku
Media Perlakuan MS
+ BA 0.1 mg/l + TDZ 0 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 1 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 2 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 3 mg/l MS1/2 + BA 0.1 mg/l + TDZ 0 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 1 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 2 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 3 mg/l
Rata-rata Waktu Inisiasi Tunas (hari) 13,0 ± 3.4 (b) 11,2 ± 2.7 (b) 6,8 ± 1.8 (ab) 5,6 ± 2.1 (a) 5,6 ± 3.4 (a) 5,6 ± 1.7 (a) 5,4 ± 2.9 (a) 6,6 ± 2.5 (ab)
Keterangan : MS = Medium Murashige dan Skoog MS ½ =Medium Murashige dan Skoog dengan konsentrasi hara makro ½ kali formulasinya BA = Benzil Adenin TDZ = Thidiazuron
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
49
Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa penambahan TDZ ke dalam media yang telah mengandung BA 0.1 mg/l dalam medium MS dan MS yang diencerkan ½ kali menunjukkan respon yang berbeda. Induksi pada media MS cenderung lebih lama dibanding media MS yang diencerkan tetapi penambahan TDZ dapat mempercepat induksi tunas pada medium MS. Penggunaan media dasar juga sangat mempengaruhi keberhasilan perbanyakan in vitro pada tanaman hutan seperti pada Acacia (Galiana et al., 1991). Penambahan TDZ 2 mg/l dalam media MS1/2 dapat menginduksi tunas aksilar paling cepat dibandingkan penambahan konsentrasi TDZ lainnya, yaitu selama 5.4 hari, diikuti dengan penambahan TDZ 0 dan 1 mg/l serta penambahan TDZ 3 mg/l pada media dasar MS penuh. Waktu inisiasi tunas paling lama berasal dari penambahan TDZ 0 mg/l selama 13 hari dan disusul dengan penambahan TDZ 1 mg/l.
Pengaruh subkultur terhadap kemampuan tunas melakukan multiplikasi Kemampuan tunas melakukan multiplikasi pada pengadaan bibit melalui teknologi kultur jaringan merupakan salah satu barometer yang perlu dipertimbangkan apakah teknologi ini ekonomis digunakan, khusunya pengadaan bibit secara massal. Situmorang (2000), bahwa jenis klon dari Aquilaria spp. memiliki respon yang berbeda terhadap media induksi proliferasi tunas secara in vitro dan mengalami peningkatan yang cukup tinggi hingga sub kultur yang ke-3. Frekuensi dan periode sub kultur juga mempengaruhi keberhasilan suatu formulasi media yang akan digunakan sebagai metode untuk perbanyakan massal. Umumnya sub kultur dilakukan kurang dari 6 kali untuk menghindarkan keragaman dari benih yang dihasilkan, bila pada sub kultur ke-3 terjadi penurunan jumlah multiplikasi tunas maka formulasi media tersebut kurang baik bila digunakan untuk perbanyakan masal. Pada gaharu, formulasi media MS yang dikombinasikan dengan zat pengatur tumbuh BA dan Thidizuron dengan periode sub kultur 6 minggu menunjukkan peningkatan multiplikasi tunas yang cukup tinggi bahkan pada formulasi dengan kombinasi BA 0,1 mg/l dan Thidiazuron 1 mg/l pada sub kultur ke 3 bertambah hingga 2 kali dari sub kultur sebelumnya (Gambar 1). Formulasi ini juga memberikan rata-rata jumlah tunas tertinggi, 28,4.
50
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
ϯϬ D^dϬ
Ϯϱ
D^d͊
ϮϬ
D^dϮ D^dϯ
ϭϱ
ϭͬϮD^dϬ
ϭϬ
ϭͬϮD^dϭ
ϱ
ϭͬϮD^dϮ ϭͬϮD^dϯ
Ϭ ƐŬϭ
ƐŬϮ
ƐŬϯ
Gambar 1. Grafik Pengaruh sub kultur terhadap kemampuan tunas melakukan multiplikasi dari setiap perlakuan
Ϯ͘ϱ D^dϬ
Ϯ
D^dϭ D^dϮ
ϭ͘ϱ
D^dϯ ϭͬϮD^dϬ
ϭ
ϭͬϮD^dϭ ϭͬϮD^dϮ
Ϭ͘ϱ
ϭͬϮD^dϯ
Ϭ ƐŬϭ
ƐŬϮ
ƐŬϯ
Gambar 2. Grafik Pengaruh sub kultur terhadap tinggi tunas dari setiap media perlakuan.
Dalam perbanyakan bibit secara in vitro, tinggi tunas juga menunjukkan apakah formulasi media yang digunakan efisien atau tidak, bila tinggi tanaman terlalu tinggi dan menunjukkan elongasi (pemanjangan ruas) berlebih sehingga tunas kurang vigor, tunas ini tidak baik untuk disubkultur kembali begitu juga bila tunasnya terlalu pendek, tanpa ruas (roset) akan sulit untuk menginduksi pembentukan akar. Pada gaharu sampai sub kultur ke 3 hampir tidak ada biakan yang menunjukkan gejala roset maupun elongasi yang berlebihan. Rata-rata tinggi tunas tertinggi BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
51
diperoleh dari media dasar dengan pengenceran hara makro ½ kali yang dikombinasikan hanya dengan BA 0,1 mg/l (Gambar 2) yaitu 2,22 cm. Dari grafik pada gambar 2 juga bahwa media dengan penambahan Thidiazuron menghasilkan tunas yang lebih pendek tetapi jumlah tunas yang lebih banyak. Jumlah daun tunas pada biakan gaharu juga meningkat dengan peningkatan sub kultur (Gambar 3). Rata-rata jumlah daun tertinggi diperoleh dari media dasar MS dengan pengenceran ½ kali hara makro yang dikombinasikan dengan BA 0,1 mg/l tanpa penambahan Thidiazuron sebanyak 15.6. Pada formulasi ini juga ruasnya tidak terlalu rapat karena rata-rata tinggi tunasnya juga menunjukkan rata-rata tinggi tunas tertinggi Jumlah daun ini juga dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan perbanyakan secara in vitro, karena dari setiap daun dapat diinduksi kembali pembentukan tunas aksilarnya.
ϭϴ ϭϲ ϭϰ ϭϮ ϭϬ ϴ ϲ ϰ Ϯ Ϭ
D^dϬ D^dϭ D^dϮ D^dϯ ϭͬϮD^dϬ ϭͬϮD^dϭ ϭͬϮD^dϮ ϭͬϮD^dϯ ƐŬϭ
ƐŬϮ
ƐŬϯ
Gambar 3. Grafik Pengaruh sub kultur terhadap jumlah daun tunas dari setiap media perlakuan
Induksi akar Tunas yang sudah memiliki daun 4–6 helai daun yang sempurna dipindahkan dalam media untuk menginduksi perakaran sehingga diperoleh plantlet yang siap diaklimatisasi. Pada tanaman berkayu pembentukan akar sering menjadi penghambat dalam pengembangan teknik in vitro untuk perbanyakan masal dan sering membutuhkan penambahan zat pengatur tumbuh yang dapat mendorong pembentukan akar (Dixon dan Gonzales, 1994). IBA adalah zat pengatur tumbuh kelompok auksin yang banyak digunakan untuk menginduksi perakaran terutama pada tanaman berkayu seperti 3 mg/l pada tanaman Chesnut(Goncalves et al., 1998), 1 mg/l pada tanaman
52
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Pistacia lentiscus (Yildrim, 2012), . Peningkatan konsentrasi IBA pada media induksi akar menunjukkan peningkatan jumlah tunas yang mampu berakar begitu juga dengan rata-rata jumlah akar. Penggunaan media dasar MS lebih baik dalam menginduksi pembentukan jumlah dimana jumlah akarnya lebih baik dari pada jumlah akar pada media dasar MS dengan pengenceran ½ kali konsentrasi hara makronya (Tabel 2). Tabel 2. Pengaruh penambahan IBA terhadap inisiasi akar tunas gaharu
Media dasar dan konsentrasi IBA MS + IBA 0 mg/l IBA 1 mg/l IBA 3 mg/l IBA 5 mg/l MS1/2 + IBA 0 mg/l IBA 1 mg/l IBA 3 mg/l IBA 5 mg/l
Jumlah dan persentase tunas yang berakar 40% (2/5) 60% (3/5) 60% (3/5) 60% (3/5) 20% (1/5) 40% (2/5) 60% (3/5) 60% (3/5)
Rata-rata Jumlah akar 1.0 2.67 2.67 2.67 1.0 2.0 2.33 2.33
Penggunaan media dasar yang berbeda juga memberikan keberhasilan aklimatisasi yang berbeda. Media dasar MS memberikan keberhasilan yang lebih tinggi dalam keberhasilan aklimatisasi (Tabel 3). Hal ini tidak terlepas dari jumlah akar yang terbentuk pada medium MS lebih baik dibanding medium yang diencerkan ½ kali konsentrasi. Tabel 3. Pengaruh asal media in vitro terhadap keberhasilan aklimatisasi Asal Media in vitro Jumlah dan persentase plantlet yang hidup setelah aklimatisasi MS 4 (40%) MS1/2 3 (30%)
IV.
KESIMPULAN
Dari rangkaian penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Penambahan Thidizuron pada media perbanyakan tunas gaharu dapat mempercepat induksi pembentukan tunas terutama pada medium dasar MS sementara pada medium dasar MS yang diencerkan hara makronya ½ kali tidak mempercepat induksi tunas 2. Sub kultur berulang hingga 3 kali dengan periode kultur 6 minggu menunjukkan peningkatan dalam jumlah tunas, jumlah daun dan tinggi tunas
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
53
3. Penambahan Thidiazuron pada media sub kultur juga menunjukkan peningkatan dalam jumlah tunas terutama bila ditambahkan 1 mg/l pada medium perbanyakan DAFTAR PUSTAKA Attree, S.M., S. Budimirand, L.C. Fawke. 1990. Somatic embriogenesis and plantlet regeneration from cultured shoots and cotyledons of seedlings from stored seedsof black and white spruce (Picea mavina and P. glauca). Can. J. Bot. 68:30-34. Bon, MC, D Bonal, D.K. Goa, and O. Monteuuis. 1998. Influence of different macro and micro solutions and growth regulators on micropropagation of juvenile Acaciamangium and Paraserianthes falcataria explants. Plant Cell Tiss. Org. Cult., 53: 171–177 Chakraburty, K.; A. Kumar dan V. Menon. 1994. Trade in agarwood. TRAFFIC India and WWF India Publications New Delhi. Darmokusumo, S., A.A. Nugroho, E.U. Botu, A. Jehawat dan M. Benggu. 2000. Upaya memperluas kawasan ekonomi cendana di Nusa Tenggara Timur. Kumpulan makalah dalam Seminar Nasional Kajian Terhadap Tanaman Cendana (Santalum album L.) Sebagai Komoditi Utama Perekonomian Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Menuju Otonomisasi. Pemda NTT dan LIPI, 26 Juni 2000. Jakarta. Dixon, R.A. and R.A. Gonzales. 1994. Plant Cell Culture. A practical Aproach 2nd edition. Oxford Univessity Press New York. P. 101. Dustan, D.I., T.E. Taotorus and T.A. Thorpe, 1995. Somatic Embrryogenesis in Woody Plant. In . T.A. Thorpe, 1995 (Ed.): In vitro Embryogenesis in Plants. Kluwer Acad. Pub. Dordrecht, Boston, London. P.:471-540. Galliana, A, A Tibok and E Duthoux. 1991. In vitro propagation of the nitrogen fixing tree legume Acaciamangium Willd. Plant Soil, 135 : 151-159 Goncalves, JC, G Diogo and S Amancio. 1998. In vitro propagation of chestnut (Castanea sativa×C. crenata): Effects of rooting treatments on plant survival, peroxidase activity and anatomical changes during adventitious root formation. Scientia Horticulturae, 72(3-4): 265-275 Hartadi, I. 1997. The hunt for gaharu. Gaharu, a rare commodity already on Appendix II of CITES, is still collectead in large quantity. Concervation Indonesia Vol. 13 (2) Industrial Hidupan Liar (The Wildlife Industry). WWF. Jakarta. Husni, A. I. Mariska dan M. Kosmiain. 1997. Embriogenesis somatik tanaman lada liar. Makalah dalam Seminar Mingguan Balitbio. 5 September 1997. Bogor. Hutami, S., I. Mariska, R. Purnamaningsih, M. Herman, D. Damayanti and T. I. Utami. 2002. Regeneration of papaya (Carica papaya) through somatic embryogenesis. Proc. Of the 2nd Indonesian Biotechnology Conference. Indonesian Biotechnology Consortium. Jakarta. Lelu, M.A., K.K. Klimaszewska, C. Jones, C. Ward, P. Van Aderkas and P.J. Charest. 1993. A laboratory guide to somatic embryogenesis in spruce and larch. Information Report. Petawawa National Forestry Institute Forestry Canada. Liz, R.E and Y. Levith. 1997. Effect of 1-amino cyclopropane-1-carbolic acid, aminoethoxivinilglycine, methylgluxolatbis- (gluanylhydraone) and dicyohexiamonium sulfat on induction of embryogenic compotence of mango nuclear explants. Plant Cell, Tissue and Organ Culture (6):171-176. Lopez, D.T. 1998. Malayan timbers for pencil manufacture. The Malaysian Forester 41(1):17-24. Mariska, I. 1996. Embriogenesis somatik tanaman kehutanan. Prosiding Kursus Bioteknologi. 4-9 Nop. BPPT. Serpong. 13 hal. Mariska, I., S. Hutami, M. Kosmiatin, A. Husni, W. Adil and Y. Supriati. 2001a. Somatic embryogenesis in different soybean varieties. Proc. Workshop on Soybean Biotechnology Al Tolerance on Acid Soils and Disease Resistance. Biotechnology Indonesia – Germany Project. Directorate for Assessment and Technology, Agency for the Assessment and Application of Technology Federal Ministry for Education and Research, Central Research Institute for Food Crops. 14-15 Sept. 1999. Bogor. Mariska, I., S. Hutami, M. Kosmiatin dan W.H. Adil. 2001b. Regenerasi massa sel Embriogenik kedelai setelah diseleksi pada kondisi Al berbeda dan pH rendah. Berita Puslitbangtan No. 20:1-3.
54
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Mariska, I., D. Sopandie, S. Hutami, E. Syamsudin, M. Kosmiatin. 2001c. Peningkatan ketahanan terhadap Al pada tanaman kedelai melalui kultur in vitro. Kantor Menristek dan LIPI. Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII. (tidak dipublikasi). Monnier, M. 1990. Induction embryogenesis in suspension culture. Methode in Molecular Biology. Plan Cell, Tissue and Organ Culture. (6):149-157. Musakabe, H. 2000. Peluang dan kendala cendana dalam perekonomianpropinsi Nusa Tenggara Timur. Kumpulan makalah dalam Seminar Nasional Kajian Terhadap Tanaman Cendana (Santalum album L.) Sebagai Komoditi Utama Perekonomian Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Menuju Otonomisasi. Pemda NTT dan LIPI, 26 Juni 2000. Jakarta. Ng, L.T.; Y.S. Chang and A.A. Kadir. 1997. A review on Agarwood (Gaharu) Producing Aquilaria Species. Oldfield, S.; C. Lusty and A. MacKinven. 1998. The word list of threatened trees. World Conservation Monitoring Centre. World Conservation Press Cambridge. Supriyati, Y., I. Mariska, S. Htami dan A. Husni. 2003. Kaji terap buah tropika. Laporan Hail Penelitian, Kerja sama antara BB-Biogen dengan Dinas Pertanian Jakarta. 62 h. Peters, M.C. 1996. Observation onten sustainable exploitation of non-timber tropical forest product: An ecologists perpecstive. Pp.19-39 dalam Current issues in non timber forest products research. M.R. Perez. & J.E.M. Arnold (Eds.). CIFOR-ODA. Jakarta. Rai, V. Ravishankar and J. McComb. 2002. Direct somatic embryogenesis from mature embryos of sandalwood. Plant Cell Tissue and Organ Culture. 69:65-70. Shun, C.Y. 1997. Gaharu. FRIM in focus. The forest Research Institute Malaysia, January. 1997. Kuala Lumpur. Susilo, K.A. 2003. Budidaya Gaharu dan Masalahnya. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 48 h. Williams, E.G. and Maheswara. 1986. Somatic embryogenesis factors influencing Coordinated behaviour of cells as on embryogenic group. Ann. Bot. 57:443-462. Yildrim, H. 2012. Micropropagation of Pistacia lentiscus L. from axenic seedling-derived explants . Scientia Horticulturae, 137: 29-35
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
55
56
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
ENKAPSULASI BUKU SATU TUNAS IN VITRO TANAMAN GAHARU (Aquilaria malaccensis Lank) M. Kosmiatin dan Ali Husni Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Jl Tentara Pelajar No.3 A, Bogor E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Gaharu (Aquilaria malaccensis Lank) adalah tanaman hutan yang bernilai ekonomi sangat tinggi. Eskpor gaharu Indonesia saat ini menurun karena gubal dipanen dari alam langsung sementara populasi tanaman ini sudah mulai langka. Pengembangan budidaya tanaman gaharu menghadapi kesulitan pengadaan bibit. Biji tanaman gaharu merupakan biji rekalsitran yang tidak dapat disimpan lama sedangkan anakan alam yang tumbuh disekitar tanaman induk jumlahnya terbatas dan sulit dipindahkan. Teknologi kultur in vitro dapat menjadi salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan pengadaan bibit, Dengan teknik kultur in vitro pengadaan bibit dapat dilakukan secara masal, seragam dengan induknya dan tidak dipengaruhi oleh kondisi alam. Dengan teknik in vitro juga dimungkinkan untuk memperoleh biji sintetik. Biji sintetik dapat menggunakan berbagai tahapan perkembangan bahan tanaman mulai dari tingkat sel sampai organ/individu. Buku satu tunas dapat digunakan sebagai bahan benih sintetik yang dikapsulasi dalam alginate. Formulasi pelarut alginate dan larutan inkubasi sangat mempengaruhi kemampuan bahan tanaman untuk dapat tumbuh dan menembus alginate. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggap tunas in vitro gaharu dalam kapsul alginate dengan berbagai jenis pelarutnya serta beragam jenis latutan inkubasinya. Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku satu tunas in vitro gaharu yang dikapsulasi dengan alginate dan dipadatkan dengan larutan CaCl2 50mM. Pelarut alginate yang digunakan adalah air, medium MS, 1/2MS dan MS modifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa buku satu tunas dengan ukuran 4-5 mm dapat tetap hidup dalam kapsul alginate 2%. Media pelarut alginate terbaik adalah media MS modifikasi dimana tunas yang disimpan pada media ini dapat menembus kapsul mulai minggu ke 5 setelah inkubasi dan tidak menunjukkan gejala vitrifikasi. Kapsul alginate yang diinkubasi dalam media MS, ½ MS ataupun MS modifikasi, dapat mempertahankan pertumbuhan tunas didalamnya. Media inkubasi kapsul alginate air tidak baik digunakan untuk menginkubasi kapsul walaupun alginate dilarutkan dalam media MS, 1/2MS atau MS modifikasi. Kata kunci : Aquilaria malaccensis, enkapsulasi, alginate, buku satu tunas
I.
PENDAHULUAN
Gaharu (Aquilaria malaccensis Lank) adalah salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki mutu sangat baik dengan nilai ekonomi yang tinggi karena kayunya mengandung damar wangi. Kayu ini dikenal dengan nama “gaharu” atau disebut pula agarwood, aloeswood atau oudh. Gaharu digunakan untuk keperluan agama, parfum, sabun, sari aroma gaharu, pengobatan dan shampo (Ng, et al., 1997; Chakraburty, et al., 1994). Kayu gaharu juga cocok digunakan untuk pembuatan pensil (Lopez, 1998). Permintaan internasional terhadap gaharu dari tahun ke tahun terus bertambah (Shyun, 1997; Ng, et al. 1997). Volume ekspor gaharu Indonesia pada periode 20002002 menurun karena makin sulitnya gaharu didapatkan (Susilo, 2003). Hal ini terjadi karena selama ini gaharu diambil langsung dari hutan alam (Hartadi, 1997; Peters, 1996) sehingga menyebabkan populasi tanaman ini di Indonesia statusnya mendekati kepunahan (Oldfield, et al., 1998). Dalam konferensi CITES tahun 2003 di Bangkok ditetapkan tanaman penghasil gaharu jenis
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
57
Aquilaria sp dan Gyrinops sp termasuk dalam APENDIX II yaitu jenis tanaman yang terancam kepunahan sehingga perdagannya diatur dengan penetapan kuota. Kepunahan tanaman ini selain disebabkan oleh eksploitasi yang terus menerus juga belum tersedianya teknologi budidaya yang efisien, meskipun penanaman gaharu mulai banyak dilakukan petani baik dilahan pekarangan atau dikebun. Teknologi ini sulit dikembangkan karena ketersediaan bibit yang terbatas dan sangat bergantung pada ketersediaan anakan dan biji gaharu. Selain itu diperlukan juga teknologi inokulasi penyakit untuk mendapatkan kualitas gaharu yang baik (Isnaeni dan Situmoranmg, 2005). Saat ini litbang kehutanan sudah merilis teknik inokulasi yang dapat memicu pembentukan gubal buatan pada tanaman yang berumur 5-6 tahun yang dalam 3 tahun setelah inokulasi dapat memproduksi gubal pada serat kayunya (Tunggal, 2010). Dalam proses produksi gaharu buatan ini, yang sangat penting dikuasai adalah proses pembenihan, persemaian, penanaman, dan pemeliharaan pohon-pohon berpotensi gaharu. Secara konvensional penyediaan bibit gaharu diperoleh baik secara generatif maupun vegetatif tetapi kedua teknik ini memerlukan waktu yang relatif lama dengan tingkat keberhasilan yang relatif masih rendah. Perbanyakan secara generatif menghadapi kendala biji gaharu merupakan biji rekalsitran sehingga perbanyakannya masih mengandalkan anakan alam yang tumbuh di sekitar pohon induk padahal populasi gaharu di hutan-hutan sumatra kalimantan dan NTT sudah sangat sedikit. Pemanfaatan teknik in vitro telah banyak dimanfaatkan dan banyak memberikan harapan di masa mendatang untuk mengatasi penyediaan bibit gaharu. Aplikasi teknologi ini dibidang pertanian dimanfaatkan selain untuk perbanyakan juga untuk konservasi dan perbaikan tanaman. Pemanfaatan teknik ini terutama metode mikropropagasi dan embriogenesis somatik menjadi alternatif utama dalam pengembangan dan konservasi gaharu di Vietnam (Minh, 2004). Perbanyakan melalui kultur in vitro dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu pembentukan tunas adventif, proliferasi tunas lateral dan embriogenesis somatik. Proliferasi tunas lateral dapat dilakukan dengan cara mengkulturkan tunas aksilar atau tunas terminal kedalam media yang mempunyai komposisi yang sesuai untuk proliferasi tunas sehingga diperoleh penggandaan tunas dengan cepat. Setiap tunas dan yang dihasilkan dapat
dijadikan sebagai
sumber untuk
penggandaan tunas selanjutnya sehingga diperoleh tunas yang banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat. Pengembangan gaharu yang akan datang diarahkan untuk rehabilitasi hutan, hutan rakyat dan memanfaatkan lahan marginal serta pengembangannya di lahan pertanian. Pengangkutan bibit dalam jumlah yang besar akan berisiko pada melambungnya ongkos kirim dan rusaknya bibit selama pengangkutan. Teknologi bibit sintetik (synthetic seeds-synseeds, artificial seed) dapat 58
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
digunakan untuk mengatasi masalah tersebut (Chand dan Singh, 2004). Teknologi ini relatif sederhana, dengan memanfaatkan teknik regenerasi secara in vitro. Bahan tanaman dikapsulasi dengan alginate dan diinkubasi baik pada medium cair maupun padat. Bahan tanaman dapat menggunakan struktur embriogenik maupun non embriogenik seperti tunas, buku, meristemoid, agregat sel (Standardi dan Picconi, 1998). Penggunaan propagul vegetatif menjadi lebih menguntungkan dalam produksi benih sintetik karena kesamaan dengan tanaman induknya tinggi (Chand dan Singh, 2004) Teknologi bibit/benih sintetik memiliki kelebihan-kelebihan antara lain mudah pengangkutan karena ukurannya kecil, mengurangi resiko kerusakan karena bahan tanaman dilindungi oleh kapsul alginate, bibit yang dihasilkan dapat dalam jumlah yang besar, sifatnya sama dengan tanaman induknya, harga per plantlet relatif murah (Saiprassad, 2001). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggap tunas in vitro biakan gaharu terhadap alginate yang selanjutnya akan dikembangkan untuk produksi bibit sintetik gaharu.
II.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan di laboratorium kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Bogor. Bahan tanaman yang digunakan adalah buku satu tunas dari tunas in vitro gaharu (Aquilaria malaccensis Lank). Enkapsulasi menggunakan sodium alginate
high viscosity dengan konsentrasi 2% yang
dipadatkan pada larutan CaCl2 50mM. Perlakuan yang diuji adalah pelarut dari alginic acid yaitu Air, media MS, MS ½ dan MS modifikasi (makro nutrien ½ kali dari komposisi makro nutrien MS). Kemudian kapsul-kapsul tersebut direndam pada larutan inkubasi kapsul alginate yang steril. Eksplan yang dikapsulasi adalah buku satu tunas yang berukuran ± 4 mm. Eksplan diisolasi dari biakan yang sudah 2 kali disubkultur pada media MS+BA 1 mg/l. Eksplan dimasukkan ke dalam larutan sodium alginate 2% kemudian di teteskan dengan pipet kedalam larutan CaCl2 50mM. Kapsul-kapsul yang terbentuk kemudian direndam dalam air, media MS, MS ½ dan MS modifikasi cair. Inkubasi dilakukan pada ruang kultur dengan temperatur 21-23oC dan penyinaran 800-1000 lux selama 16 jam/hari
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
59
Pengamatan dilakukan melihat pertumbuhan buku satu tunas dalam kapsul dan kemampuan tunas menembus kapsul alginate.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Enkapsulasi adalah teknik in vitro yang digunakan untuk memproduksi benih sintetik. Enkapsulasi dilakukan dengan cara mengkulturkan bahan tanaman baik struktur embriogenik maupun non embriogenik dalam suatu matrik yang dapat mempertahankan viabilitasnya. Matrik pemadat yang dapat digunakan untuk enkapsulasi antara lain agar, agrose, alginate. Poliakrilamid, nitroselulosa, carragenan, gel rite (Datta et al., 1999). Alginate adalah matriks yang paling sering digunakan karena viskositasnya sedang, toksisitasnya untuk bahan tanaman relatif rendah, cepat mengeras, relatif murah dan sesuai untuk bahan-bahan biologi. Selai itu alginate juga cepat membentuk kapsul dengan ikatan yang dapat melindungi bahan tanaman sehingga dapat tetap hidup (Saiprassad, 2001). Dalam penelitian ini bahan tanaman yang dikapsulasi adalah buku
satu
tunas yang
berukuran ± 4 mm, seperti yang sudah berhasil dilakukan pada tunas in vitro Dalbergia sissoo Roxb, tanaman legume berkayu (Chand dan Singh, 2004), nanas (Soneji et al., 2002), Adhatida vasica (Anand dan Bansal, 2002) olive (Micheli et al., 1999), kiwi (Adriani et al., 1999) dan Ocimum spp (Mandal et al., 2000). Matrik enkapsulasi yang digunakan adalah alginate viskositas tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa matrik dapat mempertahankan viabilitas tunas in vitro gaharu yang ditunjukkan dengan warna biakan hijau dan pertumbuhan tunas kecuali pada eksplan yang diinkubasi pada air dimana hampir sebagian besar eksplan jaringannya mencoklat dan akhirnya mati (Tabel 1). Tabel 1. Daya tembus tunas gaharu pada berbagai media pelarut alginate dan berbagai media inkubasi
Pelarut Alginate Air
MS
MS1/2
60
Larutan inkubasi Air MS MS1/2 MS Modifikasi Air MS MS1/2 MS Modifikasi Air
% biakan tembus kapsul 0 100 40 70 0 100 100 80 0
% Hidup
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
0 100 100 100 0 100 100 100 80
|
09 OKTOBER 2012
MS Modifikasi
MS MS1/2 MS Modifikasi Air MS MS1/2 MS Modifikasi
100 100 100 0 100 100 100
100 100 100 20 100 100 100
Eksplan yang dikapsul pada media MS ½ yang diinkubasi pada air berhasil tetap hidup tetapi gagal menumbuhkan tunas dan menembus kapsul alginat. Semua kapsul yang diinkubasi pada air tunasnya gagal menembus kapsul. Hal ini menunjukkan bahwa nutrisi yang dilarutkan dalam media inkubasi mendukung proses pertumbuhan buku satu tunas gaharu.
air
Ms 1/2
Ms mod
Ms
Gambar 1. Pertumbuhan eksplan dalam kapsul alginate pada berbagai media inkubasi
Kapsul yang diinkubasi pada media yang berbeda menunjukkan perbedaan visual dari tunas yang tumbuh. Tunas yang tumbuh pada media inkubasi
MS modifikasi umumnya tidak
menunjukkan gejala vitrifikasi dan etiolasi. Tunas yang tumbuh dari kapsul yang diinkubasi pada air, MS dan MS1/2 menunjukkan gejala adanya vitrifikasi (gambar 1). Pada tabel 2 terlihat keragaman pertumbuhan eksplan dalam kapsul. Meskipun media yang digunakan tidak ditambahkan zat pengatur tumbuh sitokinin, ternyata beberapa eksplan pada kapsul dengan media MS yang diinkubasi pada media MS ½ mampu membentuk tunas adventif. BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
61
Tunas adventif terbentuk pada tunas yang tumbuh pertama. Hal ini disebabkan karena eksplan yang digunakan adalah buku satu tunas in vitro yang juvenil dengan daya regenerasi yang masih tinggi. Tabel 2. Pertumbuhan tunas gaharu pada berbagai media pelarut gaharu dan berbagai media inkubasi Pelarut Larutan Tinggi Jumlah Jumlah Jumlah Alginate inkubasi tunas (mm) daun buku tunas Air Air MS 17,6 3,2 2,2 1,0 MS1/2 14,8 3,4 2,4 0,4 MS Mod 7,17 1,0 0,67 0,7 MS Air MS 8,8 2,4 1,6 1,0 MS1/2 18,17 2,83 1,83 1,5 MS Mod 11,2 2,0 1,4 0,8 * * * 0 0* MS1/2 Air 4 0 11,6 2,4 1,8 1,0 MS 14,4 2,8 1,8 1,0 MS1/2 1,6 0,8 1,0 MS Mod 8,8 * * * MS Mod Air 4 0 0 0* 16,0 3,0 2,0 1,0 MS MS1/2 16,0 3,0 2,4 1,0 MS Mod 15,2 3,2 2,2 1,0 Keterangan : - eksplan mati - * eksplan gagal tumbuh dan menembus kapsul - MS mod = MS modifikasi Penggunaan media yang berbeda dalam kapsul mengakibatkan perbedaan pertumbuhan tunas yang terbentuk. Pertumbuhan tinggi tunas tertinggi (18,17 mm) diperoleh dari biakan yang dikapsul dalam media MS yang diinkubasi dalam media MS1/2, tetapi tunas ini menunjukkan gejala etiolasi yang ditunjukkan dengan panjang ruas antar buku dari tunas tersebut (Tabel 2). Tunas yang tumbuh dalam kapsul yang dilarutkan dalam media MS modifikasi umumnya menunjukkan pertumbuhan yang baik pada semua media inkubasi, dimana tinggi tunas relatif tinggi dan tidak terlihat gejala etiolasi. Hal ini menunjukkan bahwa nutrisi yang terdapat di dalam matrik kapsul lebih mempengaruhi pertumbuhan tunas daripada nutrisi yang terlarut dalam media inkubasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Anand dan Bansal (2002) pada kapsul tunas vasaka yang menyatakan bahwa nutrisi didalam matrik kapsul lebih berperan dari pada nutrisi pada media inkubasi
62
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
IV.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1. Buku satu tunas dari tunas in vitro gaharu dengan ukuran 4-5 mm dapat tetap hidup dalam kapsul alginate 2%. 2. Media pelarut alginate terbaik adalah media MS modifikasi dimana tunas yang disimpan pada media ini dapat menembus kapsul mulai minggu ke 5 setelah inkubasi dan tidak menunjukkan gejala vitrifikasi. 3. Media inkubasi kapsul alginate air tidak baik digunakan untuk menginkubasi kapsul walaupun alginate dilarutkan dalam media MS, 1/2MS atau MS modifikasi
DAFTAR PUSTAKA Adriani, M, E. Piccioni and A Standardi. 1999. Effect of different treatments on the convertion seeds to whole plants following encapsulation of in vitro derived buds. New Zealand J. of crops and horticultural science. Anand Y and Y K Bansal. 2002. Synthetic seeds. A novel approach of in vitro plantlet formation in vasaka (Adhatoda vasica Nees). Plant Biotechnology. 19(3):159-162 Chakraburty, K.; A. Kumar dan V. Menon. 1994. Trade in agarwood. TRAFFIC India and WWF India Publications New Delhi Chand, S and AK Singh. 2004. Plant regeneration from encapsulated nodal segments of Dalbergia sissoo Roxb., a timber-yielding leguminous tree species. J. of Plant Physiol, 161 (2) : 237–243 Datta, K.B, B Kanjilal and D De Sarker. 1999. Artificial seed technology: Development of a protocol in Geodorum densiflorum (lam) Schltr-Anendangered orchid. http://144.16.79.155/currsci/apr25/articles27.htm Hartadi, I. 1997. The hunt for gaharu. Gaharu, a rare commodity already on Appendix II of CITES, is still collectead in large quantity. Concervation Indonesia Vol. 13 (2) Industrial Hidupan Liar (The Wildlife Industry). WWF. Jakarta Isnaeni, Y dan J Situmorang. 2005. Aplikasi bioteknologi untuk pengembangan tanaman gaharu (Aquillaria spp.) di Indonesia (Studi kasus: Perkembangan Penelitian Gaharu di Seameo Biotrop) Lopez, D.T. 1998. Malayan timbers for pencil manufacture. The Malaysian Forester 41(1):17-24. Mandal J., S Pattnaik and P K. Chand. 2000. Alginate encapsulation of axillary buds of Ocimum americanum L. (heary basil), O. basilicum L. (sweet basil), O. gratissimum L. (shrubby basil) and O Sanctum L. (sacred basil). In vitro Cellular and Development Biology-Plant. 36(4):287-292 Micheli, M, A. Standardi, P Dell’Orco and M Mencuccini. 2002. Preliminary Studies on the synthetic seed and encapsulation technologies . Valenziano, October 30 Minh T V. 2004. Using protocorm like body via embryogenesis culture for development of agarwood (Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte) in Vietnam.www.agri.cmu ac th/biotech 2004/ Ng, L.T.; Y.S. Chang and A.A. Kadir. 1997. A review on Agarwood (Gaharu) Producing Aquilaria Species Oldfield, S.; C. Lusty and A. MacKinven. 1998. The word list of threatened trees. World Conservation Monitoring Centre. World Conservation Press Cambridge. Peters, M.C. 1996. Observation onten sustainable exploitation of non-timber tropical forest product: An ecologists perpecstive. Pp.19-39 dalam Current issues in non timber forest products research. M.R. Perez. & J.E.M. Arnold (Eds.). CIFOR-ODA. Jakarta Saaiprassad, G U S. 2001. Artyificial Seeds and their Application. Resonance May 2001. http://www.ias.ac.in/resonance/May2001/May2001p39-47.html Shyun, C.Y. 1997. Gaharu. FRIM in focus. The forest Research Institute Malaysia, January. 1997. Kuala Lumpur. Soneji, J., F Rao and M Mhatre. 2002. Germination of synthetic seeds of pineapple (Ananas comosus L. Merr). Plant Cell Reports. 20(10):891-894 Standardi, A and E Piccioni. 1998. Recent perspectives on synthetic seed technology using non embryogenic in vitro derived explants. Int. J. of Plant Science. 159:968-978
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
63
Susilo, K.A. 2003. Budidaya Gaharu dan Masalahnya. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 48 h. Tunggal, N. 2010. Gaharu Buatan Balitbang Kehutanan. Kompas.com. Jumat, 9 April 2010 | 09:37 WIB
64
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
REVIEW KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album L.) Toni Herawan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta Email :
[email protected]
ABSTRAK Cendana (Santalum album L.) merupakan salah satu tanaman yang bernilai ekonomi tinggi bagi Indonesia khususnya di Nusa Tenggara Timur. Namun populasi alami tanaman tersebut cenderung menurun dan penyediaan bahan tanaman secara konvensional sulit dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk memperbanyak tanaman cendana secara in-vitro melalui teknik kultur tunas aksiler dan embriogenesis somatik. Tulisan ini merupakan review dari beberapa penelitian kultur jaringan cendana yang dilaksanakan secara kultur tunas aksiler dan embriogenesis somatik di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Eksplan yang digunakan pada penelitian kultur tunas aksiler berupa tunas-tunas dari semai umur 1 tahun yang diisolasi di rumah kaca. Semai berasal dari 4 klon. Penelitian terdiri atas 3 tingkat induksi; multiplikasi; dan perakaran. Hasil penelitian setelah 1 bulan menunjukkan bahwa media MS ditambah 0,5 mg/l BAP dan 0,01 mg/l NAA didapat rata-rata persentase induksi mencapai 78,38 %, kemudian pada tahap multiplikasi dilakukan pemindahan berulang setiap bulannya pada media MS ditambah BAP 1 mg/l dan Kinetin 0,15 mg/l, setelah pemindahan/sub-kultur ke-4 diperoleh rata-rata jumlah tunas 13,2 tunas/tabung dan rata-rata panjang tunas 2,7 cm. Pada penelitian selanjutnya yaitu tahap perakaran menggunakan tunas cendana hasil perbanyakan pada tahap sebelumnya . Penelitian menggunakan media ½ MS; ½ WPM, dan ½ GD, serta penggunaan Kinetin pada berbagai tingkat konsentrasinya (0; 0,25; 0,50; 0,75; dan 1 mg/l) pada pengembangan perakaran cendana. Hsil penelitian perakaran diperoleh data bahwa media dasar ½ MS serta penggunaan ZPT IBA 20 mg/l ditambah IAA 1 mg/l , serta perlakuan konsentrasi kinetin 0,75 mg/l memberikan respon terbaik terhadap pertumbuhan dan perkembangan akar cendana. Pada tahap pra aklimatisasi bahan tanaman yang digunakan adalah plantlet cendana hasil kultur tunas aksiler berumur 3 bulan (tinggi tanaman ± 5 cm, jumlah daun lebih dari 5, panjang akar primer lebih dari 3 cm, belum terdapat akar sekunder), sebagai tanaman inang digunakan tanaman krokot merah (Alternanthera sp). Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktor tunggal 6 faktor perlakuan, yaitu pasir, sekam, arang sekam, pasir-sekam, pasir-arang sekam, sekam-arang sekam, dan tiga ulangan. Penelitian dilakukan di rumah kaca. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata dari semua media semai yang digunakan terhadap pembentukan akar sekunder cendana pada fase pra aklimatisasi, akan tetapi bila ditinjau dari perkembangan akar sekunder menunjukkan bahwa media pasir paling baik responnya terhadap pembentukan akar sekunder cendana pada fase pra aklimatisasi. Plantlet hasil pra-aklimatisasi dipindah dalam media top soil : pupuk kandang : pasir = 3 : 1 : 1. Pada penelitian embriogenesis somatik eksplan yang digunakan yang pertama adalah daun cendana hasil perbanyakan melalui kultur tunas aksiler, yang kedua daun cendana dari kebun pangkas umur 3 tahun yang diisolasi di rumah kaca. Kalus embrionik yang berasal dari kultur tunas aksiler pertama lebih cepat tumbuh, rata-rata 3 bulan kalus sudah terinduksi pada kondisi suhu 250C, kelembaban 67 % , dan intensitas cahaya 0 % , ciri-ciri kalus embrionik berwarna putih mengkilat dan teksturnya remah. Setelah di sub-kultur beberapa kali ke media tahap pembentukan embrio somatik sekunder dalam kondisi suhu 250C, kelembaban 69-70 %, dan intensitas cahaya 150 lux jumlah kalus berlipat ganda dan mulai tumbuh fase hati (heart) dan fase torpedo. Pada tahap perkecambahan yang menggunakan media MS + BAP 1 mg/l + NAA 0,01 mg/l + Kinetin 0,1 mg/l media ditempatkan pada kondisi suhu 260C, kelembaban 67 %, dan intensitas cahaya 1700-2000 lux. Kata kunci : Santalum album, eksplan, multiplikasi, aklimatisasi, embriogenesis somatik
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
65
I.
PENDAHULUAN
Cendana merupakan tanaman asli Indonesia khususnya tumbuh dan berkembang secara alami di wilayah Nusa Tenggara Timur yaitu di Pulau Sumba, Pulau Flores, Pulau Timor, Pulau Alor, Pulau Solor, Pulau Pantar, Pulau Lomblen, Pulau Adonara, Pulau Rote, dan menyebar di pulau-pulau kecil lainnya. Dibandingkan dengan tanaman cendana yang ada di Australia dan India, tanaman cendana yang tumbuh alami di NTT mempunyai kualitas kayu dan kandungan kadar santalo yang paling baik. Sejak jaman dahulu tanaman cendana khususnya kayu dan minyaknya banyak digunakan untuk upacara-upacara adat dan upacara kematian. Disamping itu kayunya digunakan untuk bahan baku kerajinan seperti patung, gagang keris, tasbih, rosario, kipas, dsb. Sedangkan minyaknya digunakan untuk parfum, farmasi, dan kosmetik. Dengan berbagai kelebihan tersebut di atas cendana dimasukan ke dalam golongan kayu mewah, karena baik kayu dan minyaknya memiliki harga yang tinggi baik di pasaran domestik maupun di pasaran internasional. Dengan kekhasan dan nilai ekonomi yang tinggi tersebut pada awalnya tanaman cendana memberikan sumbangan devisa yang cukup tinggi bagi negara dan memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang paling tinggi bagi NTT. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu cendana umumnya diperoleh dari tegakan alam yang menyebar di berbagai pulau di wilayah NTT, lambat-laun keberadaan tanaman cendana di pupulasi alaminya semakin menyusut, ditambah lagi dengan semakin maraknya pencurian kayu cendana untuk memasok kebutuhan kayu cendana secara illegal, kebakaran hutan, dan kekeringan yang berkepanjangan, semakin lengkap sudah kerusakan hutan tanaman cendana. Upaya-upaya pembuatan hutan tanaman cendana masih belum mendapat perhatian yang memadai. Program penanaman cendana masih dilakukan pada luasan areal yang sempit, sehingga ratio antara laju eksploitasi cendana di populasi alam cenderung lebih cepat dibandingkan dengan upaya penaman kembali. Tingkat keberhasilan tanaman cendana yang dibangun di wilayah NTT kurang dari 30 %. Dengan laju eksploitasi yang sangat cepat dan pencurian yang sulit untuk dihindarkan, maka lengkap sudah kehancuran tanaman cendana di NTT. Dengan demikian candana saat ini sudah dalam kondisi rawan dan hampir punah. Di Indonesia tanaman cendana termasuk salah satu tanaman yang dilindungi karena keberadaannya yang hampir punah. Faktor-faktor penyebab langkanya cendana antara lain karena adanya 1). Keengganan masyarakat untuk menanam cendana karena adanya peraturan daerah yang tidak mendukung; 2). Penebangan liar; 3). Pencurian; 4). Kebakaran hutan, dan 5). Persyaratan hidup tanaman cendana yang rumit.
66
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Dengan kondisi yang demikian maka perlu dilakukan langkah trobosan untuk melakukan penyediaan bibit tanaman cendana secara besar-besaran. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan pembiakan generatif tanaman cendana melalui biji, akan tetapi dengan kelangkaan tanaman cendana saat ini akan menyulitkan dalam mendapatkan benih cendana dengan kuantitas dan kualitas yang memadai. Cendana merupakan jenis yang daya regenerasi yang tinggi, hal ini terbukti bahwa pada individu dewasa apabila terjadi pelukaan atau adanya akar yang putus, akan segera tumbuh dan berkembang anakan baru yang muncul dari dalam tanah dimana induk cendana tersebut tumbuh. Disamping itu dari pangkasan cendana akan menghasilkan trubusan yang banyak. Dengan demikian pendekatan propagasi tanaman cendana merupakan solusi yang terbaik. Teknik propagasi tanaman cendana melalui stek pucuk dan stek akar sudah lama dilakukan, akan tetapi sampai saat ini keberhasilannya masih rendah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, telah dikembangkan teknik pembiakan vegetatif secara kultur jaringan yaitu dengan teknik kultur tunas aksiler dan teknik embriogenesis somatik di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta.
I. PERBANYAKAN KLON CENDANA (Santalum album L) MELALUI KULTUR JARINGAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorim kultur jaringan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Purwobinangun, Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai bulan Maret – Agustus 2004. B. Bahan Bahan-bahan yg digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Eksplan Eksplan yg digunakan berupa seedling cendana umur 1 tahun yg berasal dari 4 klon yang berbeda, yaitu klon 1118 yang berasal dari Haunobenak, Kec. Amanuban Tengah, Kabupaten TTS, NTT; klon 4416 berasal dari Pailelang, Kec. Alor Barat Daya, Kab. Alor, NTT; klon 5507 yang berasal dari Werena, Kec. Wewewa Barat, Kab. Sumba Barat, NTT; dan klon 5529 yang berasal dari Rudamata, Kec. Laramata, Kab. Sumba Barat, NTT. 2. Media dasar dan Zat Pengatur Tumbuh BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
67
Kegiatan yg dilakukan dalam penelitian ini adalah tahap induksi dan multiplikasi (perbanyakan tunas). Pada tahap induksi media dasar yang digunakan media MS (Murashige dan Skoog), kemudian ZPT yg digunakan dari golongan auksi adalah BAP (Benzyl-amino-purine) 1 mg/l ditambah ZPT auksin adalah NAA (Napthalene-acetik-acid) dengan konsentrasi 0,1 mg/l. Sedangkan pada tahap multiplikasi media dasar yang digunakan MS, kemudian ZPT yg digunakan dari golongan sitokinin adalah BAP 0,5 mg/l dan ZPT dari golongan auksin adalah NAA dengan konsentrasi 0,01 mg/l. 3. Alat Alat yg digunakan untuk menunjang penelitian kultur jaringan cendana diantaranya oven, timbangan analitik, autoclave, laminar air flow cabinet, gunting, pinset, scalpel, dll. C. Pelaksanaan Penelitian Seedling dari ke-4 provenans yg diisolasi di rumah kaca dipangkas. Hasil pangkasan umur 1 bulan dapat digunakan sebagai sumber eksplan. Eksplan yg digunakan berukuran ± 7 Cm. Eksplan kemudian disterilisasi dengan prosedur sbb
eksplan direndam larutan
fungisida Dithane-M.45 1 g/l selama 15 menit, eksplan direndam larutan detergent, di dalam laminar eksplan dibilas aquadest steril 3 x, selanjutnya direndam larutan ethanol teknis 70 % selama 1 menit, direndam larutan sodium hpoklorit 1,5 % selama 5 menit, dibilas larutan aquadest steril 3 x, dan sebelum ditanam dalam media MS eksplan dipotongpotong menjadi ukuran 3-5 cm, kemudian diinduksi dalam media yg telah disiapkan. D. Rancangan Penelitian Penelitian ini berlangsung 2 tahap, tahap pertama merupakan tahap induksi dan tahap kedua tahap multiplikasi. Tahap induksi merupakan percobaan yang terdiri dari faktor klon. Faktor klon ini terdiri dari 4 taraf, yaitu Klon No. 1118, Klon 4416, Klon. 5507, Klon. 5529. Masing-masing klon menggunakan sampel penelitian dengan jumlah yg berbeda. Parameter yg diukur dalam penelitian ini adalah persentase induksi. Pada tahap multiplikasi faktor perlakuannya Klon, Faktor klon ini terdiri dari 4 taraf, yaitu Klon No. 1118, Klon 4416, Klon. 5507, Klon. 5529. Masing-masing klon menggunakan 5 sampel. Parameter yg diukur dalam penelitian ini adalah jumlah tunas dan panjang tunas. E. Analisa Data
68
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Hasil penelitian selanjutnya dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) pada rataf uji 5 %, bila ada beda nyata dilakukan uji lanjutan menggunakan Uji Jarak Ganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) (DMRT).
II.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tahap Induksi Pada tahap ini eksplan dikulturkan dalam media MS. Eksplan diinkubasi dalam kondisi terang dengan penyinaran lampu TL selama 16 jam pada suhu ruang kultur ± 24oC, kelembaban antara 60 – 80 % dengan intensitas cahaya sebesar 2000 – 3000 lux. Setelah dikulturkan selama ± 1 bulan diperoleh hasil induksi seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Induksi Cendana Dalam Media MS
No. Klon 1118 4416 5507 5529 Jumlah Persentase (%)
Jumlah sampel 6 12 10 9 37
Jumlah Induksi 5 10 8 6 29 78,38
Jumlah Kontaminasi 2 2 5,4
Jumlah mati/kering 1 2 3 6 16,2
Hasil induksi menunjukkan bahwa persentase induksi mencapai 78,38 %, hal ini menunjukkan bahwa media MS dan ZPT yg digunakan sesuai untuk menginduksi tunas Cendana. Besarnya kontaminasi dalam penelitian ini cukup kecil yaitu hanya 5,4 %. Kondisi ini dimungkinkan karena sebelum diinduksi eksplan yg berasal dari seeedling cendana mengalami isolasi di rumah kaca dengan lingkungan yang bersih, sehingga kotoran baik dari udara maupun yg dibawa oleh serangga dapat dikendalikan dan diperkecil. Sampel yang kering dan mati mencapai 16,2 %, hal ini disebabkan oleh faktor kekeringan yg mengakibatkan kematian. Kematian juga disebabkan oleh kondisi eksplan yg digunakan yaitu berasal dari umur trubusan yg masaih terlalu muda, sehingga jaringan eksplan tidak tahan terhadap kadar alkohol dan sodium hypochlorit pada saat sterilisasi. Hasil penelitian induksi Cendana selengkapnya tertera pada Gambar 1 dan 2.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
69
Gambar 1. Hasil Induksi Cendana dalam Media MS
Gambar 2. Grafik Hasil Induksi Cendana Dalam Media MS
2. Tahap Multiplikasi Pada tahap ini tunas-tunas hasil induksi dikulturkan dalam kondisi lingkungan yg sama seperti pada tahap induksi. Kriteria tunas yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari hasil induksi dengan kondisi tunas yang sehat, subur, juvenil, dan ukuran maksimal. Hasil multiplikasi tunas Cendana dalam media MS setelah 4 minggu dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Multiplikasi Cendana Dalam Media MS
No Klon
1118
4416
70
No Botol /Sampel 1 2 3 4 5
Jumlah Tunas 13 14 10 6 11
Panjang Tunas Rata-rata (Cm) 3,5 3 3 3,5 5
1 2 3 4
6 13 10 8
1,5 2,5 3 2,5
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
5
7
3
5507
1 2 3 4 5
12 12 25 15 40
2 3,5 1 2 1,5
5529
1 2 3 4 5
5 27 4 10 16 13,2
2 2,5 3,5 2,5 3 2,7
Rata-Rata
Pada tahap multiplikasi menunjukkan bahwa produksi/jumlah tunas rata-rata mencapai 13,2 tunas/botol dengan panjang tunas rata-rata 2,7 cm. Ke-4 klon yg diuji pada tahap ini menghasilkan respon yg berbeda sebagaimana terlihat pada Gambar 3 dan 4.
Gambar 3. Hasil Multiplikasi Cendana pada media MS
Gambar 4. Grafik Tahap Multiplikasi Cendana Pada Media MS
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
71
Untuk mengetahui pengaruh masing-masing klon pada tahap multiplikasi maka dilakukan analisis varians terhadap jumlah dan panjang tunas yang hasilnya tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Varian Pada Tahap Multiplikasi
Sumber Variasi DB JK Jumlah tunas Klon 3 417,6 error 16 1001,6 Total 19 1419,2 Panjang Tunas Klon 3 6,700 error 16 9,000 Total 19 15,700 Keteranga : ns = tidak beda nyata pada taraf uji 5 % s = beda nyata pada taraf uji 5 %
KT
F hitung
139,2 62,6
2,22 ns
2,233 0,563
3,97 s
Hasil analisis varian pada tahap multiplikasi menunjukkan bahwa faktor klon tidak berpengaruh nyata pada produksi/jumlah tunas yang dihasilkannamun berbeda nyata pada panjang tunas yg dihasilkan. Untuk mengetahui pengaruh masing-masing klon terhadap panjang tunas yang dihasilkan dilakukan pengujian DMRT, yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Uji DMRT Faktor Klon Terhadap Panjang Tunas
Nomor Klon N 1118 5 4416 5 5507 5 5529 5 Catatan : taraf uji 5 %
Rata-rata (cm) 3,60 2,50 2,00 2,70
Pengelompokan B AB A AB
Hasil uji DMRT pada Tabel 5. menunjukkan bahwa Klon 1118 berbeda nyata dengan ke-3 klon yang diuji yaitu klon 5507, 5529, dan 4416. Klon 1118 memiliki karakter pembentukan panjang tunas yang berbeda besarnya dibandingkan ke-3 klon lainnya. Pencermatan terhadap klon yang memiliki karakter tertentu dan bermanfaat pada proses fase pertumbuhan tertentu akan berguna dalam menghasilkan klon dengan tingkat organogenetik optimal. Beberapa faktor yg mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis tanaman pada teknik kultur jaringan adalah genotipe, media (termasuk di dalamnya ZPT), lingkungan dan fisiologi jaringan (George, 1993). Namun diantara faktor tersebut yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap munculnya keragaman adalah faktor genotipe. Analog dengan penelitian sebelumnya (Kharisma dan Setiadi, 2002) menyebutkan bahwa sumber benih dari pohon yang berbeda 72
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kualitas bibit cendana. Variasi atau keragaman yang muncul dari masing-masing klon menunjukkan bahwa sumber (asal-usul) klon memiliki potensi geneti yang berbeda. Zobel dan Talbert (1984) menjelaskan bahwa tingkat variasi dapat muncul oleh karena letak geografis, antar tapak, antar pohon serta di dalam pohon dengan faktor penyebab utama yang berbeda. Klon yang diuji dikoleksi dari tempat tumbuh yang memiliki perbedaan faktor edaphis dan klimatis yang berbeda, sehingga sangat berperan besar menghasilkan individu-individu yang memiliki keragaman genetik. 3.
KESIMPULAN
1. Eksplan dari seedling hasil pangkasan yg bersifat juvenil memberikan respon yg baik terhadap keberhasilan induksi. 2. Multiplikasi tunas cendana dengan cara sub-kultur berulang mampu meningkatkan tunas majemuk.
II. PENGARUH JENIS MEDIA DAN KONSENTRASI ZAT PENGATUR TUMBUH KINETIN TERHADAP PERAKARAN CENDANA (Santalum album). A. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh berbagai media ( ½ MS; ½ GD; dan ½ WPM) dan berbagai konsentrasi ZPT Kinetin (0; 0,25; 0,50; 0,75; dan 1 mg/l) serta kombinasinya terhadap perkembangan perakaran Cendana.
B. BAHAN DAN METODE Bahan tanaman yg digunakan dalam penelitian ini adalah tunas hasil multiplikasi dimana eksplan yg dipakai pada tahap induksi diambil dari pohon cendana umur 14 tahun yg ditanam di Arboretum Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta. Media yang digunakan ½ MS (Murashige & Skoog); ½ GD (Greshoff & Doys); dan ½ WPM (Woody Plant Medium), pada media ditambahkan berbagai konsentrasi ZPT Kinetin (Furfurilamino-purine) : 0; 0,25; 0,50; 0,75; dan 1 mg/l, ZPT IBA (Indole-butyric-acid) 20 mg/l dan ZPT IAA (Indole-butyric-acid) 1 mg/l. Tiap perlakuan terdiri dari 20 sampel uji, dengan demikian sample uji yang dibutuhkan sebanyak 3 x 5 x 20 = 300 sampel uji. Data selanjutnya dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA), apabila ada beda nyata data dianalisis lebih lanjut menggunakan Uji Jarak Ganda Dari Duncan (Duncan Multiple Range Test (DMRT). Data yang diamati adalah pertumbuhan kalus dan perkembangan perakaran.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
73
C. HASIL DAN PEMBAHASAN Tunas-tunas terpilih dan juvenile dengan panjang ± 5 cm, selanjutnya diinkubasi awal selama 2 hari dalam kondisi gelap pada suhu ± 24oC dan kelembaban 60 – 70 %, selanjutnya diinkubasi dalam kondisi terang dengan penyinaran lampu TL selama 16 jam/hari pada suhu ± 24oC dan kelembaban 60 – 70 %. Hasil pengamatan selama 3 bulan dari 300 sampel yg diuji, sebanyak 150 sampel tumbuh kalus. Menurut Gaspar dan Coumans (1994) menjelaskan bahwa induksi akar, inisiasi primordial akar dan pemanjangan akar memerlukan kondisi kultur yg berbeda dalam hal penelitian ini kondisi gelap dan kondisi dengan penyinaran (terang). Perakaran dalam kultur jaringan secara luas diperkuat oleh perubahan-perubahan kondisi setelah induksi akar. Intensitas sinar yg rendah dan temperatur yg rendah digunakan untuk proliferasi tunas dan juga untuk perakaran dengan harapan dpt diperoleh respon perakaran yg optimal. Masa inkubasi dalam ruang gelap (8-10 hari) sangat membantu dalam memacu perkembangan perakaran. Setelah diinkubasi selama 3 bulan, dari ke 15 kombinasi perlakuan yang diuji memberikan respon yang berbeda terhadap perkembangan perakaran. Respon terendah sebesar 5 % pada media ½ GD + 0 mg/l Kinetin. Respon terbaik sebesar 60% pada media ½ MS + Kinetin 0,75 dan 1 mg/l dan media ½ WPM + Kinetin 0,75 mg/l. Hasilnya dapat dilihat pada Grafik Pengaruh Interaksi Media dan ZPT Kinetin terhadap perakaran Cendana setelah 3 bulan dapat dilihat pada Gambar dibawah ini. Pada penelitian ini pengamatan pertumbuhan akar dilakukan selama 3 bulan, dengan demikian analisis varian untuk mengetahui besarnya variasi atau besarnya respon perlakuan terhadap perakaran tunas cendana dilakukan dari hasil pengamatan terakhir pada bulan ke-3 sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Analisis Varian Perkembangan Akar Cendana Pada Bulan Ke-3.
Sumber Variasi Perlakuan Media Kinetin MediaxKinetin Error Ȉ Total
db
jk
kt
F hitung
Pr>F
14 2 4 8 285 299
58,9466 4,8866 26,3800 27,6800 118,8000 177,7466
4,2104 2,4433 6,5950 3,4600 0,4168
10,10** 5,86** 15,82** 8,30**
0,0001 0,0032 0,001 0,001
Keterangan : ** = berbeda sangat nyata pada taraf uji 1 %
74
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Hasil analisis varian pada Tabel 1. terlihat bahwa Media, ZPT Kinetin, dan interaksinya berpengaruh sangat nyata terhadap perakaran Cendana. Selanjutnya untuk membandingkan antar perlakuan dilakukan uji DMRT pada Tabel 2. Hasil uji DMRT pada Tabel 2. memperlihatkan bahwa kombinasi perlakuan media ½ MS + 0,75 mg/l Kinetin adalah yg terbaik terhadap perkembangan perakaran Cendana. Tabel 2. Uji DMRT Faktor Media + Konsentrasi ZPT Kinetin Terhadap Perkembangan akar Cendana
Media +Konsentrasi Kinetin ½ MS + 0,75 mg/l Kinetin 1/2GD + 0,25 mg/l Kinetin ½ WPM + 1 mg/l Kinetin ½ GD + 0,75 mg/l Kinetin ½ MS + 1 mg/l Kinetin ½ MS + 0,5 mg/l Kinetin ½ GD + 1 mg/l Kinetin ½ GD + 0,50 mg/l Kinetin ½ GD + 0,75 mg/l Kinetin ½ WPM + 0 mg/l Kinetin ½ WPM + 0,50 mg/l Kinetin ½ MS + 0 mg/l Kinetin ½ MS + 0,25 mg/l Kinetin ½ WPM + 0,25 mg/l Kinetin ½ GD + 0 mg/l Kinetin
N
Rata-rata
Pengelompokan
20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
4,600 4,600 4,550 4,500 4,350 4,200 4,100 4,100 4,100 4,050 3,900 3,900 3,900 3,650 2,800
A A AB ABC ABCD ABCD BCDE BCDE BCDE CDE DE DE DE E F
Catatan : huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5 %.
Menurut Gunawan (1987), keberhasilan penggunaan metode kultur jaringan sangat tergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak hanya unsur hara makro dan unsur hara mikro, akan tetapi karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari athmosfir melalui proses fotosintesis. Gunawan melaporkan juga bahwa media yang digunakan untuk menginduksi akar penggunaan larutan garam-garam makro dengan konsentrasi rendah lebih baik daripada larutan garam-garam makro dengan konsentrasi tinggi. George (1993) dalam penelitiannya menyatakan bahwa auksin yg cukup tinggi yaitu IBA 20 mg/l ditambah sitokinin dengan berbagai tingkat konsentrasi yg rendah, secara umum dapat memberikan respon yang maksimal terhadap perakaran. Ternyata lebih dari 1 kombinasi perlakuan ZPT cenderung memberikan respon atau hasil perakaran yang optimal.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
75
D. KESIMPULAN Media ½ MS ditambah kombinasi ZPT IBA 20 mg/l + IAA 1 mg/l dan Kinetin 0,75 mg/l memberikan respon terbaik terhadap perkembangan perakaran Cendana.
III. TEKNIK AKLIMATISASI KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album Linn.) Plantlet hasil kultur jaringan sering sangat sulit untuk langsung dipelihara pada kondisi lapangan karena masih sangat peka, sehingga perlu ada tahap aklimatisasi atau penyesuaian untuk menghadapi kondisi lingkungan yang lebih sulit bagi calon tanaman yang masih lemah tersebut. Untuk tanaman kehutanan, pada umumnya aklimatisasi dilakukan dengan dua tahap, yaitu pertama aklimatisasi dari media agar (dalam botol) ke media tanah dalam rumah kaca (greenhouse), dan yang kedua aklimatisasi dari kondisi greenhouse ke kondisi persemaian di lapangan. Aklimatisasi tahap pertama dimaksudkan supaya plantlet dapat beradaptasi dari kondisi di lingkungan kultur ke kondisi di luar kultur dalam hal ini kondisi di rumah kaca dengan tetap menjaga supaya kondisi lingkungan antara lain suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya tetap terkontrol. Pada media tanah tersebut diharapkan sistem perakaran akan tumbuh lebih baik, serta calon tanaman tumbuh lebih baik dan lebih kokoh. Aklimatisasi tahap kedua dimaksudkan supaya tanaman secara bertahap dapat beradaptasi dengan kondisi suhu udara, kelembaban, dan intensitas cahaya di lapangan yang tidak dapat dikontrol. Syarat-syarat yang harus dipenuhi pada aklimatisasi, antara lain : - Plantlet harus bersih dari media agar yang menempel, - Hindari penggunaan fungisida, kecuali bila terpaksa harus dilakukan secara hati-hati, - Apabila perlu, ujung plantlet dapat dicelupkan pada serbuk atau larutan zat pengatur tumbuh untuk pertumbuhan akar, - Penurunan kelembaban dan peningkatan intensitas cahaya harus dilakukan secara bertahap supaya tanaman tidak stress. Untuk skala besar digunakan greenhouse yang dilengkapi dengan alat pengabutan dan pengontrol ventilasi. Urutan kegiatan pada aklimatisasi cendana adalah sebagai berikut : 1. Menyaring top-soil, pupuk kandang/kompos , dan pasir yang akan digunakan. 2. Mencampur media dengan perbandingan top-soil:pupuk kandang/kompos:pasir = 3:1:1. 3. Media yang telah dicampur dimasukkan dalam polybag. 4. Polybag yang sudah berisi media, plantlet yang masih dalam botol, dan bibit krokot (Crotalaria juncea) sebagai tanaman inang primer dibawa ke dalam greenhouse. 76
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
5. Plantlet dikeluarkan dari botol, dibersihkan dari media agar yang menempel, disterilisasi dalam larutan fungisida konsentrasi 1 gram/liter, kemudian dibilas dengan air bersih. 6. Plantlet dan krokot ditanam dalam satu polybag, kemudian disungkup menggunakan plastik bening. 7. Pemeliharaan plantlet dilakukan dengan cara menjaga kelembaban dan temperatur udara di dalam sungkup. Kelembaban harus dipertahankan tetap tinggi (diatas 90%), apabila kelembaban menurun dilakukan pengabutan dengan cara penyemprotan air menggunakan sprayer. Temperatur udara didalam sungkup dipertahankan tidak terlampau tinggi (maksimum 25°C), apabila terlampau tinggi, sungkup dibuka sebagian agar temperatur turun kembali. 8. Setelah bibit dalam polybag dipelihara di dalam greenhouse selama 1 bulan, sungkup dibuka, kemudian 1 bulan kemudian bibit yang tumbuh dipindah ke bedengan-bedengan di persemaian yang dinaungi dengan sungkup permanen supaya terhindar dari air hujan selama penyapihan. 9. Untuk keperluan kebun pangkas, bibit di persemaian dipelihara dengan cara menyiram secara kontinyu dan membersihkan gulma yang tumbuh. Apabila bibit sudah tumbuh sampai tersedia 5-6 internodia, maka bibit siap dipangkas untuk diambil bahan stek pucuk. 10. Apabila bibit ditujukan untuk penanaman lapangan, tanaman inang sekunder yang berupa Acacia vilosa harus ditanam terlebih dahulu di lapangan. Apabila tanaman inang sekunder telah berumur 1 tahun atau fungsi naungannya sudah memadai baru bibit cendana ditanam di sampingnya. 11. Bibit cendana yang siap tanam adalah bibit yang minimal telah mencapai tinggi 50 cm atau telah berumur 1 tahun. Selama pemeliharaan di persemaian naungan plastik secara bertahap dibuka, sampai bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan di luar atau di lapangan.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
77
Tahap Aklimatisasi secara lengkap dapat dilihat dalam bagan dibawah ini :
Plantlet Cendana
Bibit cendana di persemaian Siaptanam di lapangan umur ± 1 tahun
Aklimatisasi ke-1 (media pasir merapi)
Aklimatisasi ke-2 (media top soil + pupuk organik/ kompos + arang sekam + pasir) 3 :1:1:1
A. MEDIA TANAM Salah satu ciri media tanam yang baik adalah strukturnya gembur, sehingga akar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Dengan terpenuhinya faktor-faktor penting pada media tanam maka pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak terhambat. Fungsi tanah dalam mendukung kehidupan tanaman adalah memberikan unsur hara baik sebagai media perakaran maupun menyediakan air, dan sebagai tempat bertumpu untuk tegaknya tanaman. Banyak cara yang diusahakan oleh manusia untuk mempertahankan produktivitas tanah, diantaranya dengan pemupukan. Pertumbuhan akar akan sempurna apabila didukung oleh aerasi dan drainase media tanam yang baik. Sirkulasi dan ketersediaan udara yang memadai sangat dibutuhkan oleh sel-sel akar untuk bernafas. Kekurangan oksigen akan menyebabkan kematian akar (Anonim, 1986). Struktur tanah yang baik menjadi salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan akar bibit, maka tanah dalam polybag diutamakan mengandung humus (bahan organik tinggi). Pada umumnya bibit memerlukan tanah subur dengan struktur yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan akar 78
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
yang masih muda (Rinsema, 1983). Struktur tanah yang dikehendaki oleh tanaman adalah struktur tanah yang gembur yang di dalamnya terdapat pori-pori yang dapat diisi oleh air dan udara. Keuntungan media berstruktur gembur adalah udara dan air dapar bersirkulasi secara lancar, temperatur stabil, sehingga menstimulir pertumbuhan jasad renik tanah yang memegang peran penting dalam proses perombakan bahan organik di dalam tanah (Lingga, 1993). Kompos merupakan hasil perombakan bahan organik segar dari tanaman atau daundaunan baik sengaja dibuat, atau dari timbunan sampah organik di tempat sampah, yang sudah berwarna hitam, sudah tidak dapat dilihat serat aslinya, dan sudah tidak panas karena proses dekomposisinya telah selesai. Kompos sangat baik digunakan sebagai pencampur media tanam, karena dapat mempengaruhi kesuburan tanah terutama pada sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Kompos memperbaiki sifat fisik tanah melalui perubahan struktur, tekstur, dan peningkatan porositas tanah. Selain itu, kompos juga mengandung unsur hara seperti N, P, K, Mg, Fe, Mn, S, dan Cu sehingga memperbaiki sifat kimia tanah. Perbandingan C/N kompos rendah sehingga dapat langsung digunakan untuk bahan media tanam. Jumlah populasi mikroorganisme tanah juga meningkat akibat pemberian kompos (Suryadi, 1989). Pasir merupakan media tanam yang berstruktur kasar tidak melekat, kapasitas air rendah, dan penetrasi air cepat. Oleh karena itu, tanah berpasir memiliki drainase dan aerasi baik serta biasanya sangat lepas. Karena kapasitas menahan airnya rendah, maka tanah pasir hanya baik digunakan untuk media tumbuh selama akar belum dapat menyerap hara sendiri ( Hakim, 1989). Media tanam pasir cukup baik bagi pertumbuhan akar karena sifatnya mudah basah dan cepat kering. Untuk meningkatkan daya ikat air maka pasir perlu dicampur dengan media yang mampu mempertahankan atau menyimpan air yang cukup, seperti tanah, kompos, atau arang sekam.
B. TANAMAN INANG Cendana adalah tanaman yang bersifat hemiparasit. Akar-akarnya berhubungan dengan akar-akar tanaman inang melalui organ yang disebut haustoria. Akar-akar ini menyalurkan zat makanan yang diserap dari tanaman inang ke tajuk tanaman cendana. Zat yang diserap itu kemudian diproses menjadi bahan nabati bagi pertumbuhan cendana. Sedangkan zat karbon yang diperlukan dapat diusahakan sendiri (autotrop). Pada akar bibit cendana rambut-rambut akar sangat terbatas sehingga langsung membutuhkan tanaman inang (inang primer dan inang sekunder) (Sunanto, 1995).
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
79
Soeriamihardja et al. (1991) menjelaskan bahwa pertumbuhan semai cendana akan lebih baik bila disertai dengan tanaman inang. Bahkan menurut Sunanto (1995), akan lebih baik bila tanaman cendana ditanam bersama-sama dengan inang dalam 1 lubang. Cendana tidak menuntut adanya jenis tanaman inang tertentu. Namun tanpa adanya tanaman inang (hospes), maka kehidupan cendana akan merana. Dengan perakaran yang bercabang banyak, cendana dapat menyusu pada berbagai pohon inang sekaligus. Menurut Kharisma et al. (1998), dalam pemilihan inang primer perlu diperhatikan kemampuannya membantu pertumbuhan cendana antara lain : tajuk kecil, akar sukulen, tidak terjadi persaingan, mudah didapat, tidak berumur pendek, dan toleran terhadap pemangkasan. Meskipun dapat berinang pada banyak jenis tanaman atau pohon, namun berdasarkan pengalaman tanaman inang primer (ketika masih dalam persemaian) yang paling baik bagi pertumbuhan cendana adalah Alternanthera sp, Deamanthus virgatus, dan Crotalaria juncea. Sedangkan tanaman inang sekunder (ketika sudah ditanam di lapangan) yang paling baik bagi pertumbuhan cendana adalah Acacia villosa. Jika hubungan antara cendana dengan tanaman inangnya intensif, maka tajuk cendana menjadi rimbun, daunnya lebih besar dan berwarna hijau tua; namun jika tanaman inang kurang cocok maka tajuk tanaman cendana tidak rimbun, daunnya kecil-kecil, berwarna kekuningkuningan dan klorosis. Hubungan akar cendana dengan akar tanaman inang tampak jelas yakni adanya suatu bangunan serupa dengan bintil akar berisi bakteri yang disebut dengan haustoria. Susunan anatomi haustoria dari luar ke dalam adalah : epidermis, kortex, dan inti.
C. PENUTUP Aklimatisasi dimaksudkan agar tanaman secara bertahap diadaptasikan terhadap faktor-faktor lingkungan di lapangan. Salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan sering menjadi faktor pembatas adalah intensitas cahaya. Intensitas cahaya adalah banyaknya energi cahaya yang diterima oleh tanaman per satuan luas per satuan waktu. Intensitas cahaya matahari meningkat sejak pagi hari, dari minimum ke maksimum pada siang hari dan kemudian menurun lagi pada sore harinya. Untuk dapat mencapai pertumbuhan cendana yang baik dan optimal maka keberadaan tanaman inang mutlak diperlukan. Keberadaan tanaman inang membantu tanaman cendana dalam mensuplai air dan nutrisi yang lain. Dengan demikian kebutuhan air oleh tanaman cendana selain
80
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
diperoleh melalui kemampuan fisiologis sistem perakarannya dalam menyerap air, juga ditunjang oleh kemampuannya menyerap air dari tanaman inang. Pertumbuhan akar akan sempurna apabila didukung oleh aerasi dan drainase media tanam yang baik. Sirkulasi dan ketersediaan udara yang memadai sangat dibutuhkan oleh sel-sel akar untuk bernafas. Kekurangan oksigen akan menyebabkan kematian akar (root dieback). Pengaturan yang berjalan lancar akan mendukung akar tanaman leluasa bernafas, memberi kesempatan baik bagi akar untuk menyerap hara makanan dan menghindarkan akar dari serangan penyakit busuk akar/busuk batang (Agoes, 1994).
IV. EMBRIOGENESIS SOMATIK PADA CENDANA (Santalum album L.)
A. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di laboratorium Kultur Jaringan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (B2PBPTH), Yogyakarta pada bulan September 2008 sampai Agustus 2009. Bahan tanaman yang digunakan adalah eksplan bagian daun berasal dari tanaman umur 4 tahun klon nomor WS6 hasil perbanyakan tunas menggunakan teknik axillary bud kultur yang sumbernya berasal dari Oenlasi, P. Timor, NTT yang ditanam dalam areal plot konservasi genetik di Watusipat, Gunungkidul, dan eksplan daun dari kebun pangkas cendana umur 3 tahun yang berasal dari 4 klon, yaitu klon nomor C10 dan nomor C17 adalah klon-klon yang berasal dari Dusun Candi, Karangmojo, Gunungkidul; klon WS8 adalah klon yang berasal dari anakan alam yang tumbuh di Watusipat, Gunungkidul dan klon C5505 adalah klon cendana yang berasal dari Desa Werena, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat, NTT. Daun yang sudah dipilih disterilisasi larutan fungisida Antracol 70 WP selama 15 menit, kemudian dibilas air kran dan di sterilisasi larutan detergen selama 15 menit, lalu dibilas larutan aquadest. Di dalam laminar eksplan di sterilisasi larutan alkohol 70 % selama 1 menit, kemudian dibilas larutan aquadest steril, selanjutnya di sterilisasi larutan bayclean yang mengandung sodium hipoklorit 1,5 % dan diberi 3 tetes larutan tween 20, setelah dibilas larutan a b aquadest steril pinggiran daun diiris lalu dipotong menjadi 2 bagian dengan ukuran 0,5 – 1 cm2. Potongan daun kemudian ditanam terbalik dalam media perlakuan
induksi embrio somatik.
Sedangkan eksplan daun hasil perbanyakan tunas, tanpa tahap sterilisasi langsung ditanam dalam media induksi embryogenesis somatik. Pada tahap induksi embrio somatik digunakan 2 kelompok media, kelompok ke-1 untuk eksplan daun hasil perbanyakan tunas menggunakan teknik axillary bud kultur digunakan BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
81
media MS + BAP 1 mg/l + NAA 0,01 mg/l + Kinetin 0,15 mg/l + gula 30 g/l (MSC). Kelompok ke-2 untuk eksplan daun yang berasal dari kebun pangkas, pada media MS + 0,5 mg/l 2,4 D + 0,15 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l (A); MS + 0,5 mg/l 2,4 D + 0,15 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l + air kelapa 100 ml (B); MS + 1 mg/l 2,4 D + 0,15 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l (C); MS + 1 mg/l 2,4 D + 0,15 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l + air kelapa 100 ml (D); Pada tahap pembentukan embrio somatik sekunder digunakan 3 jenis media, yang pertama menggunakan media MS + 0,25 mg/l 2,4D + 0,1 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l (CND); kedua menggunakan media MS + Kinetin 0,1 mg/l + Sucrosa 40 g/l (CND1); dan ketiga menggunakan media MS + Sucrosa 40 g/l (CND2). Pada kelompok ke-2 tahap pembentukan embrio somatik sekunder digunakan 4 jenis media yaitu media A; B; C; dan D. Pada tahap perkecambahan/pembentukan plantlet media yang digunakan MS + BAP 1 mg/l + NAA 0,01 mg/l + Kinetin 0,15 mg/l. Tahap perakaran digunakan media GD + 20 mg/l IBA + IAA 0,1 mg/l + Kinetin 0,15 mg/l. Pada media MS digunakan bahan pemadat berupa agar-agar dengan konsentrasi 8 g/l, dan untuk media GD digunakan agar-agar sebanyak 12 g/l. Kemudian pH media ditetapkan menjadi 5,6 -5,8 dengan menambahkan 1 N NaOH atau 1 N HCl selanjutnya media dsterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 121o C dan tekanan 1,5 Kg/Cm2 selama 20 menit. Daun yang telah ditanam kemudian diikubasi dalam ruang gelap dengan suhu 250 C , kelembaban 67 % dan intensitas cahaya 0 %. Mulai fase globular (pro-embrio) sampai ke fase terbentuknya torpedo dianalisis secara morfologis , antara lain : warna; struktur embrio; dll, dan analisis secara sitologis yaitu identifikasi pada tahap pembentukan sel embriogenik menggunakan mikroscope.
B. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Daun yang sudah disterilisasi lalu diiris dan dipotong dengan hati-hati karena pada tulang daun terdapat jaringan pengangkut ( silem dan floem) yang akan memberikan respon sehingga akan tumbuh kalus. Pada penelitian ini posisi daun yang ditanam dengan posisi dibalik maksudnya adalah agar tulang daun terbuka. Penelitian ini dilakukan 2 tahap. Pada tahap pertama eksplan daun ditanam dalam media MSC setelah diinkubasi pada kondisi gelap selama 3 bulan, kalus globular mulai tumbuh, kemudian eksplan dipindah dalam media CND; CND1; dan CND2, setelah diinkubasi di ruang gelap selama 3 bulan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1 dan Grafik 1 berikut ini.
82
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Tabel 1. Pengaruh Penggunaan ZPT 2,4 D dalam Media MS Terhadap Sekunder dari Eksplan Daun Cendana Setelah 12 Minggu
Pembentukan Embrio Somatik
Media
Kode
MS + 0,25 mg/l 2,4D + 0,1 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l MS + 0,1 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l MS + sucrose 40 g/l
CND
Persentase embrio somatik (%) 20
CND1
15
CND2
43
(%)
Persentase Embrio Somatik
Grafik 1. Pengaruh Penggunaan ZPT 2,4 D dalam Media MS Terhadap Pembentukan Embrio Somatik Sekunder dari Eksplan Daun Cendana Setelah 12 Minggu
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Media CND Media CND1 Media CND2
Media
Hasil sub kultur kedua untuk meningkatkan pembentukan embrio somatik sekunder menunjukkan bahwa kalus yang dipindah ke media CND2 ( media MS dengan sucrosa 40 g/l tanpa pemberian zat pengatur tumbuh) memberikan respon yang sangat baik, dimana dari 7 petridish yang di sub-kultur sebanyak 3 petridish memberikan respon pertumbuhan kalus embrio-genik yang sangat banyak. Sedangkan 3 petridish kering dan mati, serta 1 petridish terkontaminasi. Hal ini memberikan informasi bahwa pada tahap pendewasaan penggunaan 2,4 D harus dikurangi bahkan dihilangkan, kalaupun masih menggunakan sitokinin biasanya digunakan kinetin, itupun dengan konsentrasi yang sangat kecil. Hasil pengamatan morfologis dengan melihat warna menunjukkan bahwa warna kuning kehijauan dan jernih (glossy) serta strukturnya yang remah, kumpulan kalus embriogenik nya jika di sentuh mudah terurai. Bahkan pada tahap ini sudah terbentuk fase hati (heart). Dari fase hati yang sudah terbentuk selanjutnya dipindah/di sub-kultur ke dalam media yang sama yaitu media CND2 tujuannya untuk menggandakan kalus yang terbentuk dan untuk merangsang pembentukan fase berikutnya atau fase torpedo, tiap sub-kultur dibutuhkan waktu 2- 3 bulan. Setelah sub-kultur ke-3 atau kalus sudah berumur ± 9 bulan mulai tumbuh fase hati (heart). BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
83
Untuk menggandakan kalus embrio-genik dan menghasilkan fase torpedo, maka kalus di sub-kultur lagi ke dalam media yang sama, setelah fase torpedo terbentuk lalu dipindah ke dalam media MSC untuk perkecambahan. Pada fase ini nampak bahwa kalus saling tumpang tindih dan tidak terjadi desikasi, dengan demikian hanya 5441 kalus yang membentuk fase torpedo, bahkan setelah dikecambahkan fase bipolar yang terbentuk (terbentuknya meristem akar dan meristem tunas) sangat rendah yaitu sebanyak 234 buah (4,43%) sedangkan sisanya membentuk tunas adventif. Terbentuknya tunas adventif ini kemungkinan disebabkan karena kesalahan dalam penggunaan jenis dan konsentrasi ZPT. Selanjutnya tunas-tunas adventif yang tumbuh di sub-kultur agar berkembang menjadi tunas majemuk. Dari tunas-tunas majemuk yang sudah cukup dewasa selanjutnya di induksi ke dalam media perakaran yaitu media dasar GD + IBA 20 mg/l + IAA 0,1 mg/l dan Kinetin 0,15 mg/l, hasil perakarannya masih rendah yaitu sebesar 3 %.
Dari hasil
penelitian ini diperoleh data kondisi kultur sebagai berikut kondisi ruang gelap yang digunakan untuk fase penumbuhan kalus awal dengan suhu 250C, kelembaban 67 %, dan intensitas cahaya 0 lux, kemudian ruang pendewasaan suhu 240C - 250C, kelembaban 69 – 70 %, dan intensitas cahaya 150 lux. Serta kondisi lingkungan ruang perkecambahan suhu 260C, kelembaban 67 %, dan intensitas cahaya 1700 - 2000 lux. Untuk lebih jelasnya hasil induksi embrio somatik primer sampai sekunder dan tahapan perkecambahan dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3 berikut ini.
a
b
d
c
e
Gambar 2. Pembentukan embrio somatik dari eksplan daun hasil kultur tunas aksiler. a=potongan daun sebagai eksplan; b=fase globular; c=fase hati (heart); d=fase torpedo; e= konfigurasi kotiledon embrio somatik
84
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
a
b
c
Gambar 3. Tahap perkecambahan (a) dan (b) ; dan plantlet cendana yang terbentuk (c)
Pada tahap kedua eksplan daun berasal dari 4 klon sebagai perlakuan, setelah diinkubasi pada kondisi gelap selama 8 minggu, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Grafik 2. Tabel 2. Pengaruh Klon Terhadap Pembentukan Embrio Somatik dari Eksplan Daun Cendana Setelah 8 Minggu
Klon
Persentase embrio somatik (%) Potongan daun pertama Potongan daun kedua 2,5 2,5 2,5 2,5 5 2,5 10 15
C10 C17 WS8 C5505
Grafik 2. Pengaruh Klon Terhadap Pembentukan Embrio Somatik dari Eksplan Daun Cendana Setelah 8 Minggu
Persentase embriosomatik (%)
25 20 15 Klon C10 Klon C17
10
Klon WS8 5
Klon C5505
0 1 Klon
Dalam penelitian ini menggunakan 4 jenis klon, 2 bagian eksplan daun; 4 perlakuan kombinasi zat pengatur tumbuh; dengan ulangan tiap kombinasi perlakuan sebanyak 5 buah, dengan demikian masing-masing klon menggunakan 40 buah sampel. Total sampel 160 buah. Hasil pengamatan dan pengukuran dari total sampel sebanyak 160 buah, eksplan yang berkalus sebanyak 75 buah ( 47 %); terbentuknya kalus ini sebagai akibat dari terjadinya dediferensiasi atau stres pada
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
85
eksplan daun yang mengakibatkan tumbuh kalus pada permukaannya. Kemudian dari ke 75 eksplan daun yang berkalus tersebut, dapat dirinci sebagai berikut, dari klon C10 eksplan yang berkalus sebanyak 20 buah ( 50%); dari klon C17 eksplan yang berkalus sebanyak 9 buah ( 22,5 %); dari klon WS8 eksplan yang berkalus sebanyak 15 buah ( 37,5 %); dan dari klon 5505 eksplan yang berkalus sebanyak 32 buah ( 80 %). Kemudian dari sampel berkalus tersebut yang berkembang membentuk kalus yang embrio-genik sebanyak 17 buah (11 %); lebih jelasnya dari klon C10 sebanyak 2 buah ( 5 % ); klon C17 sebanyak 2 buah ( 5 % ); klon WS8 sebanyak 3 buah ( 8 % ); dan klon 5505 sebanyak 10 buah ( 25 % ). Tanda-tanda kalus yang embrio-genik adalah warna umumnya putih bersih, kuning, bahkan sampai krem muda kehijauan dengan struktur jernih (glossy) serta remah yang artinya kalus yang embrio-genik itu dapat dicerai-berai . Pada tahap kedua eksplan daun ditanam dalam 4 macam perlakuan media MS, setelah diinkubasi pada kondisi gelap selama 8 minggu, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3 dan Grafik 3. Tabel 3. Pengaruh Konsentrasi 2,4 D dalam Media MS Terhadap Pembentukan Embrio Somatik dari Eksplan Daun Cendana Setelah 8 Minggu
Konsentrasi 2,4 D (mg/l) MS + 2,4 D 0,5 mg/l (A) MS + 2,4 D 0,5 mg/l + air kelapa 100 ml (B) MS + 2,4 D 1 mg/l (C) MS + 2,4 D 1 mg/l + air kelapa 100 ml (D)
Persentase embrio somatik (%) Potongan daun pertama Potongan daun kedua 2,5 7,5 0 0 15 2,5
13 2,5
Grafik 3. Pengaruh Konsentrasi 2,4 D dalam Media MS terhadap Pembentukan Embrio Somatik dari Eksplan Daun Cendana Setelah 8 Minggu.
25 Somatik (%)
Persentase Embrio
30
20
Media A
15
Media B
10
Media C Media D
5 0
Media
Dari ke- 17 kalus embrio-genik yang terbentuk, terbukti bahwa media C memberikan pengaruh terbaik dimana mampu membentuk kalus embrio-genik sebanyak 11 buah sampel ( 28
86
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
%), dari data yang diperoleh dimana klon 5505 dan ZPT 2,4 D 1 mg/l memberikan respon yang terbaik terhadap pembentukan dan perkembangan kalus embrio-genik pada tanaman cendana. Dengan demikian media C dengan berbagai modifikasi hara penyusun media MS diprioritaskan untuk digunakan dalam tahap tahap peremajaan yaitu sub-kultur dengan tujuan agar fase embriogenik dapat tumbuh dan berkembang berlipat ganda dan untuk menumbuhkan fase berikutnya yaitu fase hati (heart). Sampai dengan paper ini dibuat penelitian masih dalam pengamatan.
Dari
penelitian ini diperoleh data bahwa eksplan daun yang tidak memberikan respon terhadap pertumbuhan dan perkembangan kalus sebanyak 66 sampel daun, atau sebesar 41 % dan yang kontaminasi sebanyak 19 sampel daun atau sebesar 12 %. Rendahnya tingkat kontaminasi disebabkan karena rumah kaca sebagai ruang isolasi ke-4 klon cendana yang dikulturkan terjaga kebersihannya, juga eksplan yang diambil sebagai materi penelitian benar-benar bersih dan bebas hama dan penyakit, serta tahap sterilisasi menggunakan bahan dan konsentrasi yang tepat. Eksplan yang telah membentuk kalus embrio-genik tersebut, setelah diamati menggunakan mikroskope Merk Nikon Eclipse 50e dengan pembesaran 20 x, nampak bahwa fase globular (pro-embrio) sudah terbentuk hal ini dapat dibuktikan dengan melihat bagian protodermnya yang melingkar sempurnya, hal ini menandakan bahwa faktor eksternal terutama dari ZPT yang digunakanan dapat diminimalisir. Hasil pengamatan diperoleh data penunjang lainnya yaitu kondisi ruang gelap yang digunakan untuk fase penumbuhan kalus awal adalah dengan suhu 250C, kelembaban 67 %, dan intensitas cahaya 0 lux, kemudian ruang pendewasaan suhu 240C - 250C, kelembaban 69 – 70 %, dan intensitas cahaya 150 lux. Sukmadjaya (2005) melaporkan bahwa keberhasilan regenerasi melalui embriogenesis somatik dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain formulasi media dan jenis eksplan yang digunakan. Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian daun, karena daun adalah salah satu eksplan yang bersifat meristematik dan mudah untuk disterilisasi. Secara anatomis pada tulang daun terdapat kambium yang letaknya diantara silem dan floem, dengan mengiris bagian pinggir daun , kambium yang terdapat dalam tulang daun setelah dikulturkan akan bereaksi dan berkembang merekah lalu membentuk kalus. Dalam penelitian ini penanaman daun dalam posisi dibalik maksudnya adalah agar tulang daun terbuka. Selanjutnya terbukti bahwa media MS memberikan respon yang baik terhadap pertumbuhan dan perkembangan kalus cendana, hal ini disebabkan karena media dasar MS mengandung formula garam-garam organik merupakan media yang paling efektif untuk berbagai jenis tanaman berkayu dan tanaman herbaceous. Media MS dipakai karena unsur-unsur dan persenyawaannya lebih lengkap (Suryowinoto, 1991). Keistimewaan medium ini adalah kandungan nitrat, kalium dan amoniumnya yang tinggi. Untuk menjamin pertumbuhan tanaman ke dalam media perlu ditambahkan zat pengatur tumbuh (ZPT). BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
87
ZPT pada tanaman adalah hormon termasuk senyawa organik yang bukan hara (nutrient) yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote), menghambat (inhibit) dan merubah proses fisiologis (Kusumo, 1984). Dalam penelitian ini pemberian 2,4 D tujuannya agar eksplan daun stres sehingga terjadi dediferensiasi, sebaliknya terjadi proliferasi membentuk kalus embrio-genik yang tumbuh pada pinggiran daun. Dalam jenis media apapun karbohidrat terutama sukrosa merupakan komponen yang selalu ada, menurut George (1993) sucrosa mengandung karbon yang terbaik dibanding glukosa, maltosa, dan rafinosa. Hasil penelitian Srilestari (2005) pada tanaman kacang tanah diketahui bahwa media MS yang mengandung sucrosa 40 g/l dapat memunculkan embrio lebih cepat dibandingkan media yang mengandung sucrosa 20 dan 30 g/l. Media kultur jaringan tanaman tidak hanya menyediakan unsur hara makro dan mikro tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya berupa gula. Gula merupakan sumber karbon, juga berguna untuk mempertahankan tekanan osmotik media. Sebagai pengganti karbon yang biasanya didapat tanaman dari atmosfer dalam bentuk CO2 yang menjadi komponen untuk fotosintesa (Gunawan, 1988).
C. KESIMPULAN 1. Penggunaan eksplan bagian daun baik yang berasal dari hasil perbanyakan kultur tunas aksiler maupun yang berasal dari kebun pangkas ternyata mampu memberikan respon yang sangat baik, bahkan pada penelitian kedua yang menggunakan eksplan daun dari kebun pangkas diperoleh persentase daun yang berkalus sebesar 47 %. 2. Media MS dan ZPT 2,4 D dengan konsentrasi 1 mg/l dan sucrosa dengan konsentrasi 40 g/l memberikan respon terbaik dalam pembentukan kalus embrio-genik, bahkan
semua
tahapan embriogenesis somatik yg spesifik mulai dari induksi sel, kalus embrio-genik, fase globular, hati, sampai fase torpedo dapat dicapai dengan baik. 3. Pada tahap perkecambahan fase bipolar yang terbentuk (terbentuknya meristem akar dan meristem tunas) sangat rendah yaitu sebanyak 234 buah (4,43%), sebagian besar membentuk tunas adventif . Tunas adventif yang terbentuk dapat di sub-kultur lebih lanjut untuk dimultiplikasi dan tunas-tunas yang telah dewasa dapat digunakan sebagai materi untuk teknik stek mini di rumah kaca.
88
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1986. Pedoman Teknik Intensifikasi/Ekstensifikasi Tanaman Coklat. Dinas Perkebunan. Anonimus, 1991. Bioteknologi Tanaman. Tim Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas. Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Hal 35-80. Agoes, S.D. 1994. Aneka Jenis Media Tanam dan Penggunaannya. Penebar Swadaya, Jakarta. 98 hal. Baroncelly S. M. Buiatti and A. Bennici, 1973. Genetic of Growth and Differentiation In-vitro of Brassica oleracea var. Botrytis. Pp 99-107. Dwidjoseputro, D. 1988. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta. Darmokusumo, S. dan Nugroho, A.A. 2001. Upaya Memperluas Kawasan Ekonomi Cendana di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Seminar Nasional “ Kajian Terhadap Tanaman Cendana Sebagai Komoditi Utama Perekonomian NTT Menuju Otonomisasi”. Berita Biologi. Vol 5., No. 5. 2001: 507-508. George E.F., 1993. Plant Propagation by Tissue Culture Part.1. Exegetic Ltd, Edington Wills, BA 134 QG, England. Page 183-188. Gunawan, L.W., 1987. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gaspar, T.H., and M, Coumans, 1994. Root Formation. Physiological Ecology of Forest Production on Micropropagation of Forest Tree Through Tissue Culture. Institute for Forestry and Nature Research (IBN-DLO), Netherland. Hammerschlah, F, 1982. Factor Affecting Establishment and Growth of Peach Shoot In-vitro.Hort, Science. Pp 85-86. Hakim . 1989. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung. 655 hal. Herawan T., and Yenih Husnaeni, 1996. Initial Kultur Cendana Menggunakan Media MS . Ekpose Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan, Yogyakarta. Herawan T, M. Na’iem dan Gogoh Sulaksono, 2003. Pengaruh Penggunaan Media dan Zat Pengatur Tumbuh Pada Perbanyakan Cendana (Santalum album) Secara Kultur Jaringan. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. Vol 1 No. 2, Agustus 2003. Harisetijono. 2003. Kebijakan Pengelolaan Cendana di NTT (refleksi dan rekomendasi kebijakan pengelolaan cendana yang lestari). Promosi Hasil Hasil Penelitian dan Temukarya Cendana. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Indrowuryatno., 1985. Meteorologi dan Klimatologi Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Kusumo, S. 1990. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman, CV Yasaguna. Bogor. Kharisma dan Soeriamihardja. 1998. Pengaruh Jenis Inang Terhadap Pertumbuhan Semai Cendana (Santalum album L.). Santalum 2. Balai Penelitian Kehutanan. Kupang. Kharisma dan Dedi Setiadi., 2002. Variasi Pertumbuhan Semai Cendana (Santalum album L.) Dari Beberapa Sumber Benih. Bulletin Penelitian Pemuliaan Pohon. Vol 6. No.2. Loveless, A.R. 1987. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik. Gramedia. Jakarta. Lingga, P. 1993. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Yogyakarta, 163 hal. Mc Comc J.A. and I.J. Bennent., 1982. Vegetative Propagation of Eucalyptus Using Tissue Culture and Its Application to Forest Improvement in Western Australia . pp 721-722. Manan, E.M. 1982. Klimatologi Dasar. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Martin, 2003. Survival Rates During Acclimatization of Micropropagated Fruit Tree Rootstock by Increasing Exposures to Low Relatively Humidity. Proceeding International Symposium on Acclimatization and Establishment of Micropropagated Plant. Editors : A.S. Economou, P.E. Read. Sani-Halkidiki, Macedonia, Greece. Purnamaningsih, R. 2002. Regenerasi Tanaman melalui Embriogenesis Somatik dan Beberapa Gen yang Mengendalikannya. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian. Buletin Agro-Bio 5(2). 51-58. Bogor. Roco, W.M., N.O. Espinosa, M.R. Roca., and J.E. Bryan., 1978. Tissue Culture Method For The Rapid Propagation of Potatoes. Am. Pot. J. 55, 691-701. Rinsema, W.J. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bharata Karya Aksara. Jakarta. 25 hal.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
89
Suryadi. 1989. A Manual of Rural Compositing Project Field Document FA 7770. UNO Roam. Suryowinoto, M. 1991. Pemuliaan Tanaman Secara In-Vitro. Kerjasama Pusat Antar Universitas-Bioteknologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Soeriamihardja S., Surata I.K., dan Kharisma. 1991. Pengaruh Varietas, Pupuk Urea, dan Inang Terhadap Pertumbuhan Semai Cendana (Santalum album L.). Santalum 6. 1-9. Sunanto, H. 1995. Budidaya Cendana, Kanisius, Yogyakarta. 65 hal. Supari, D.H., 1999. Tuntunan Membangun Agribisnis. Edisi Pertama. Elex Media Computindo. Kelompok Gramedia. Jakarta. 29 – 39. Surata, I.K. dan Idris, M.M. 2001. Status Penelitian Cendana di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Seminar Nasional “ Kajian Terhadap Tanaman Cendana Sebagai Komoditi Utama Perekonomian NTT Menuju Otonomisasi”. Berita Biologi. Vol 5., No. 5. 2001: 521-535. Srilestari, R. 2005. Induksi Embrio Somatik Kacang Tanah Pada Berbagai Macam Vitamin dan Sucrosa. Ilmu Pertanian Vol. 12 No. 1, 2005 : 43-50. Sukmadjaya, D. 2005. Embriogenesis Langsung Pada Tanaman Cendana. Jurnal Bioteknologi Pertanian, Vol. 10, No. 1. 2005 : 1-6. Umboh, M.I.J., dan H., Kamil., 1987. Root Induction of Santalum album by Using IBA and NAA. Seameo-Biotrop, Bogor. Vertesy J., dan Balla, 2003. Acclimation of Woody Plants Under Continental Climatic Conditions. Proceeding International Symposium on Acclimatization and Establishment of Micropropagated Plant. Editors : A.S. Economou, P.E. Read. Sani-Halkidiki, Macedonia, Greece. Zobel, B., and J. Talbert., 1984. Variation and Its Use In Applied Forest Tree Improvement. North Carolina State University. Pp 39-75.
90
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
IDENTIFIKASI TETUA UNGGUL DI KEBUN BENIH Acacia mangium ILG. Nurtjahjaningsih
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Untuk memenuhi kebutuhan bibit unggul, strategi pemuliaan jenis Acacia mangium sebagai salah jenis prioritas kayu pulp, sudah ditetapkan dengan dibangunnya uji keturunan yang telah dikonversi menjadi kebun benih. Namun demikian, dalam evaluasi pertumbuhannya terlihat variasi yang nyata dan didominasi oleh famili-famili tertentu saja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi genetik dan untuk mengidentifikasi pasangan tetua di kebun benih Acacia mangium yang menghasilkan turunan dengan pertumbuhan superior. Identifikasi tetua dilakukan di kebun benih semai uji keturunan (KBSUK) generasi pertama (F1) sistem sub galur (grup C) dan populasi tunggal (grup E), yang menghasilkan keturunan unggul di KBSUK generasi kedua (F2) grup C (half-sib) dan Uji multi lokasi (UML) F1 plot E (bulk). Keragaman genetik 15 populasi di KBSUK F1 grup E dianalisis menggunakan 10 penanda SSR. Nei’s heterosigositas total populasi A. mangium termasuk dalam kategori tinggi (Ht: 0,785) dan nilai perbedaan genetik termasuk sedang (GST=0,095). Sebuah dendrogram maupun analisis PCO menunjukkan pembagian secara nyata antara 2 provenan yaitu QLD dan PNG. Analisis Amova menunjukkan bahwa meskipun kontribusi antar populasi didalam provenan terhadap keragaman genetik hanya 4% namun nilainya signifikan. Kemampuan penanda SSR dalam membedakan allele tetua cukup tinggi (NE-PP=0,0000001). Analisis tetua menunjukkan bahwa anakan unggul half-sib di KBSUK F2 grup C cenderung mempunyai tetua jantan yang berbeda-beda. Hal yang sama juga ditunjukkan di UML plot E: meskipun beberapa anakan mempunyai tetua betina yang sama namun berpasangan dengan tetua jantan yang berbeda-beda. Pendekatan manajemen kebun benih yang harus ditempuh untuk meningkatkan efektifitas kebun benih dalam rangka menghasilkan benih unggul akan dibahas. Kata kunci: keragaman genetik, analisis tetua, uji keturunan, uji multi lokasi, penanda SSR
I.
PENDAHULUAN
Acacia mangium merupakan jenis cepat tumbuh dan termasuk jenis hutan tanaman yang diprioritaskan, karena jenis ini mempunyai karakter pertumbuhan yang superior seperti sifat yang cepat tumbuh, mempunyai adaptabilitas yang tinggi dan mempunyai kualitas yang baik untuk pulp dan material untuk kertas. Hutan tanaman A. mangium di Indonesia dibangun terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kertas (pulp). Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan bibit unggul untuk mendukung hutan pertanaman diperlukan suatu strategi pemuliaan A. mangium. Upaya untuk memperoleh benih berkualitas dalam jumlah cukup, strategi pemuliaan jenis prioritas kayu pulp ini telah ditetapkan dengan dibangunnya uji keturunan yang dikonversi menjadi Kebun Benih Semai (KBS) sejak tahun 1994 (Arif dkk,2004).
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
91
Hingga saat ini, strategi pemuliaan A. mangium sudah mencapai generasi ke-3 dimana materi genetik akan diperoleh dari generasi ke-2 KBSUK. Selain itu, apabila sudah diketahui klon dengan kualitas genetik yang superior maka akan dibangun Kebun Benih Klon. Benih untuk pembangunan Kebun Benih Semai Uji keturunan (KBSUK) F2 berasal dari penyerbukan terbuka half-sib F1 sedangkan benih untuk pembangunan Uji Multi Lokasi (UML) / gain trial F1 berasal dari penyerbukan terbuka F1 tanpa informasi genetik tetuanya. Hasil evaluasi terhadap pertumbuhan baik dalam dan antar lokasi kebun benih uji keturunan maupun UML tersebut menunjukkan adanya variasi phenotipik, dimana ada individu dengan kategori pohon plus dan indikasi pohon hibrid secara morphologis. Selain itu, pohon plus F2 ini hanya didominasi oleh famili-famili tertentu saja. Untuk memberikan hasil yang lebih akurat terhadap identifikasi tetua yang menghasilkan pohon plus dan hybrid tersebut, maka perlu mengidentifikasi pasangan tetua unggul secara genetik menggunakan penanda SSR (simple sequence repeat). Analisa tetua menggunakan penanda SSR memberikan informasi yang akurat terhadap pasangan-pasangan gamet tetua yang berkontribusi pada suatu sistem perkawinan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi genetik dan untuk mengidentifikasi pasangan tetua di kebun benih Acacia mangium yang menghasilkan turunan dengan pertumbuhan superior. II.
BAHAN DAN METODE
A. Lokasi Penelitian dan pengambilan sampel Untuk mengetahui potensi keragaman genetik A. mangium, sampel daun dikumpulkan dari semua pohon plus di KBSUK F1 grup E yang terletak di Wonogiri (Jateng). Grup E tersebut merupakan populasi tunggal terdiri dari 7 populasi dari provenan Queensland (QLD) dan 8 populasi dari provenan Papua New Guinea (PNG) (Gambar 1). Tujuh populasi tersebut yaitu 135k nne coen, Claudie River (Ex Aceb), Claudie river, Claudie River & Iron RA, Cassowary CK-Iron Range, Pascoe rvr area, dan Poscoe river. Delapan populasi tersebut yaitu Arufi village wp,
92
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
| 09 OKTOBER 2012
Derideri e morehead, Biote ne Morehead wp, Gubam ne morehead wp, Bimadebun Wp, Kini Wp, Wipim district wp dan Dimisisi. Sampel daun berkisar antara 45 sampai 108 per populasi sehingga total sampel sebanyak 1147 sampel.
Gambar 1. Lokasi pengambilan materi genetik untuk pembangunan uji keturunan A. mangium grup E Keterangan:
:provenan PNG,
: provenan QLD
Identifikasi tetua unggul dilakukan di KBSUK F1 A. mangium grup C (sub galur) terletak di Pleihari (Kalsel) dan grup E (populasi tunggal) terletak di Wonogiri, masing-masing merupakan tetua dari pohon plus yang ada di KBSUK F2 grup C terletak di Batu Ampar (Kaltim) dan di uji multi lokasi plot E terletak di Wonogiri. Pohon plus di KBSUK F2 grup C dan UML F1 plot E masing-masing 50 pohon dengan pertumbuhan terbaik dan terdapat di beberapa replikasi blok, dipilih, dikumpulkan sampel daunnya dan digenotipe. Kemudian genotipe individu tersebut dicocokkan dengan database genotipe pohon plus yang ada di KBSUK F1. B. Ekstraksi DNA dan analisis penanda SSR Ekstaksi DNA menggunakan metode modifikasi CTAB (Shiraishi dan Watanabe 1995). Database genotipe pohon plus dan analisis tetua pada A. mangium menggunakan 10 penanda SSR yaitu Am 014, Am 041, Am 136, Am 326, Am 341, Am387, Am429, Am435, Am436, Am 460, Am
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
93
465, Am503, Am173, Am164 (Butcher dkk. 2000). Reaksi PCR untuk analisis fragment DNA menggunakan metode PCR multiplex terdiri dari 5ȝL larutan master-mix amplitaqGold kit (Applied Biosystem) dan 5 ng/ȝL template DNA. Amplifikasi dilakukan menggunakan thermocycler GeneAmp9700 (Applied Biosystem). Suhu pemanasan awal 94oC selama 10 menit, diikuti dengan 35 siklus reaksi yang masing-masing terdiri dari reaksi denaturasi DNA (suhu 94oC selama 30 detik), reaksi penempelan primer (annealing) (suhu 55-65 oC selama 30 detik) dan pemanjangan DNA (suhu 72oC selama 60 detik). Siklus PCR diakhiri pada suhu 72oC selama 1 menit untuk melengkapi proses pemanjangan. Amplifikasi penanda DNA menggunakan elektroforesis berbasis kapiler menggunakan mesin gene analyzer ABI 3100 Avant (Applied Biosystem). Fragment DNA dianalisa menggunakan software genemapper. C. Analisis Data Analisis potensi keragaman genetik. Analisis keragaman genetik didalam populasi menggunakan parameter keragaman genetik yaitu Nei’s heterozigositas (Ht dan GST), jumlah allele yang terdeteksi (A), keragaman allele menggunakan minimal sampel (A32), keragaman genetik (HE) dan koefisient inbreeding (FIS) dianalisis menggunakan program komputer FSTAT (Goudet dkk. 2001). Perbedaan genetik antar populasi dievaluasi menggunakan nilai FST, nilai signifikansi diuji dengan cara membandingkan interval kepercayaan 95% dan 99% dengan 1,000 bootstrap, menggunakan FSTAT. Dendrogram disusun untuk mengetahui hubungan genetik antar populasi dan dievaluasi berdasarkan sebuah neighbour-joining tree berdasarkan allele frekuensi, menggunakan program komputer POPTREE2 (Takezaki dkk. 2010). Analisis prinsip kordinat (PCO) menjelaskan hubungan genetik yang dihubungkan dengan letak geografi, menggunakan program GenAlex (Peakall dan Smouse, 2001). Keragaman genetik dievaluasi menggunakan analisis molekuler varian (AMOVA) menggunakan program GenAlex.
94
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
| 09 OKTOBER 2012
Analisis tetua. Analisis tetua pohon plus di KBSUK F2 grup C dan UML plot E dilakukan dengan cara mencocokkan genotipe pohon plus di KBSUK tersebut dengan database genotipe pohon plus di KBSUK F1 grup C dan grup E. Tetua betina di KBSUK F2 grup C sudah teridentifikasi (halfsib), sehingga analisis tetua hanya mencari tetua jantan. Sedangkan identitas tetua betina maupun jantan di UML plot E belum diketahui sehingga analisis tetua mencari kombinasi kedua tetuanya. Analisis tetua di 2 KB tersebut menggunakan program komputer Cervus (Kalinowski dkk. 2007). III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil 1.
Potensi keragaman genetik
a. Keragaman genetik didalam populasi Nei’s heterozigositas total
populasi (Ht) A. mangium sebesar 0,785; sedangkan nilai
perbedaan genetik (GST) sebesar 0,095, termasuk dalam kategori moderat/sedang. Nilai keragaman genetik dari 15 populasi dengan parameter jumlah allele terdeteksi (A), keragaman allele dengan minimal sampel 32 (A[32]), heterozigositas harapan (HE) dan koefisien inbreeding (FIS) disajikan pada Tabel 1. Pola keragaman genetik provenan QLD berbeda dengan PNG. Nilai A termasuk dalam kategori tinggi berkisar antara 45 sampai 108 allele. Nilai HE termasuk dalam kategori sedang sampai tinggi, berkisar antara 0,558 (Cassowary) sampai 0,829 (Derideri). Nilai FIS menunjukkan tidak secara nyata menyimpang dari hukum Hardy-Weinberg pada hampir seluruh populasi dari provenan QLD kecuali Claudie river, sedangkan nilainya menyimpang dari HWE pada seluruh populasi dari provenan PNG.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
95
Tabel 1. Keragaman genetik 15 populasi di KBSUK F1 A. mangium grup E menggunakan 10 penanda SSR
Provenan
Kode populasi
N
A
A[32]
HE
FIS
QLD
135K
36
62
5,34
0,622
0,093 ns
QLD
Cassowary
45
52
4,27
0,558
0,075 ns
QLD
ClaudieR
114
80
4,99
0,638
0,096 *
QLD
ClaudieRI
38
48
4,33
0,585
0,062 ns
QLD
ClaudieRE
37
59
4,97
0,600
0,041 ns
QLD
Pascoe
28
56
5,20
0,579
0,090 ns
QLD
Poscoe
18
45
4,75
0,592
0,058 ns
PNG
Arufi
30
86
7,98
0,804
0,117 *
PNG
Bimadebun
28
81
8,02
0,819
0,113 *
PNG
Biote
37
95
8,58
0,821
0,156 *
PNG
Derideri
48
97
8,44
0,829
0,102 *
PNG
Dimisisi
18
72
7,80
0,794
0,133 *
PNG
Gubam
52
101
8,35
0,793
0,085 *
PNG
Kini
46
108
9,06
0,808
0,148 *
PNG
Wipim
45
105
9,02
0,810
0,126 *
Keterangan; A: jumlah allele, A[ ]: keragaman allele pada minimal jumlah sampel (32 diploid), HE: heterozigositas harapan, FIS: koefisien inbreeding, tidak menunjukkan signifikan menyimpang dari HWE dengan 135,000 permutasi p<0,05
b. Keragaman genetik antar populasi Nilai FST pada 15 populasi adalah 0,079-0,122 (interval kepercayaan:95%) dan 0,072-0,129 (interval kepercayaan:99%) menunjukkan nilai yang sedang sampai tinggi, dan nilainya signifikan menunjukkan perbedaan genetik antar populasi. Sebuah dendrogram yang disusun menggunakan neighbor-joining tree, berdasarkan allele frekuensi ditunjukkan pada Gambar 2. Keistimewaan pada dendrogram tersebut adalah membentuk dua kluster yang menunjukkan pembagian 2 provenan secara jelas yaitu QLD dan PNG. Meskipun hubungan genetik tidak selalu berkorelasi dengan letak geografi, namun analisis PCO memperjelas pembagian 2 provenan tersebut (Gambar 3). Kordinat pertama pada analisis PCO menunjukkan
96
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
| 09 OKTOBER 2012
nilai kepercayaan yang tinggi yaitu 65,3%. Hasil AMOVA ditunjukkan pada Tabel 2. Kontribusi terhadap variasi genetik dari antar provenan, antar populasi dalam provenan dan didalam populasi masing-masing sebesar 16%, 4% dan 80%. Masing-masing nilai tersebut adalah signifikan (p0,01).
Y>
WE'
Gambar 2. Hubungan genetik 15 populasi berdasarkan 10 penanda SSR
ŽŽƌĚ͘Ϯ;ϭϯ͕ϰйͿ
<ŝŶŝ tŝƉŝŵ ůĂƵĚŝĞZ/ ůĂƵĚŝĞZ ĂƐƐŽǁĂƌLJ
ŝŽƚĞ
ůĂƵĚŝĞZ
ϭϯϱŬ WŽƐĐŽĞ
ŝŵĂĚĞďƵŶ
ĞƌŝĚĞƌŝ ƌƵĨŝ
WĂƐĐŽĞ ŽŽƌĚ͘ϭ;ϲϱ͕ϯйͿ
'ƵďĂŵ ŝŵŝƐŝƐŝ
Gambar 3. Analisis prinsip kordinat menunjukkan pembagian yang jelas antara provenan QLD dan PNG
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
97
Tabel 2. Analisis varian molekuler (AMOVA) 1147 individu dikelompokkan dalam 15 populasi dan 2 provenan
Sumber variasi
db
SS
MS
Variasi molecular
P value
(%) Antar provenan
1
549,378
549,378
16
0,01
Antar populasi
13
348,623
26,817
4
0,01
Didalam populasi
655
5126,485
7,827
80
0,01
Total
669
6024,487
dalam provenan 100
db: derajat bebas, SS: jumlah kuadrat, MS: rerata kuadrat, signifikan p0,01
2.
Analisis tetua Hasil analisis tetua di KBSUK F1 A. mangium grup C ditunjukkan pada Gambar 4 dan
Gambar 5. Dari 26 pohon plus dengan rangking pertumbuhan terbaik di KBSUK F2 grup C merupakan anakan dari 8 pohon plus/tetua betina di KBSUK F1 grup C. Beberapa karakteristik sistem perkawinan berdasarkan analisis tetua dapat digambarkan pada KB tersebut. Dalam menghasilkan keturunan unggul, hampir seluruh tetua betina berpasangan dengan tetua jantan yang berbeda, sehingga merupakan saudara satu ibu. Sebaliknya, satu tetua jantan dapat menyerbuki beberapa tetua betina, sehingga merupakan saudara satu ayah. Selain itu, ada satu tetua betina berpasangan dengan tetua jantan dengan family yang sama namun berbeda replikasi. Adanya dominasi tetua jantan, 6 famili merupakan tetua jantan dari 26 pohon plus di F2 (~25%).
98
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
| 09 OKTOBER 2012
Gambar 4. Identifikasi pasangan tetua betina yang sama di KBSUK F1 A. mangium grup C (sub galur) yang menghasilkan pohon plus di KBSUK F2 grup C
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
99
Gambar 5. Identifikasi pasangan tetua jantan yang sama di KBSUK F1 A. mangium grup C (populasi tunggal) yang menghasilkan pohon plus di KBSUK F2 grup C
Karakteristik sistem perkawinan di KBSUK F1 grup E hampir seperti yang digambarkan di KBSUK F1 grup C. Berdasarkan analisis tetua di KBSUK F1 grup E yang menghasilkan pohon plus di UML, menunjukkan bahwa tetua betina berpasangan dengan tetua jantan yang berbeda sehingga merupakan saudara satu ibu (Gambar 6). Sebaliknya satu tetua jantan menyerbuki beberapa tetua betina sehingga merupakan saudara satu bapak (Gambar 7). Adanya dominasi tetua jantan, 8 famili merupakan tetua jantan dari 38 pohon plus di F2 (~21%)
100
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
| 09 OKTOBER 2012
Gambar 6. Identifikasi pasangan tetua betina yang sama di KBSUK F1 A. mangium grup E (populasi tunggal) yang menghasilkan pohon plus di UML plot E
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
101
Gambar 7. Identifikasi pasangan tetua jantan yang sama di KBSUK F1 A. mangium grup E (populasi tunggal) yang menghasilkan pohon plus di UML plot E
B. Pembahasan 1. Potensi keragaman genetik A. mangium Nilai keragaman genetik didalam total populasi A. mangium termasuk dalam kategori tinggi (HE=0,785) jika dibandingkan dengan tanaman berdaun lebar lainnya seperti di kebun benih (KB) Eucalyptus grandis (HE=0,762) (Chaix dkk, 2003), maupun jenis konifer seperti di KB Pinus merkusii di Indonesia (HE =0,500) (Nurtjahjaningsih dkk, 2007). Meskipun tidak dapat dibandingkan dengan penanda SSR, menggunakan penanda RFLP rata-rata keragaman genetik 10 populasi alam A. mangium dari provenan Australia, PNG dan Maluku, termasuk dalam nilai rendah (HE =0,131) (Butcher dkk, 1998).
102
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
| 09 OKTOBER 2012
Nilai A populasi-populasi dari provenan PNG lebih tinggi dibandingkan dengan QLD, demikian pula dengan nilai HE. Namun demikian nilai FIS dari provenan PNG menunjukkan nilai yang tinggi dan signifikan inbreeding, akan tetapi nyata pada populasi dari provenan QLD. Nilai A , HE dan FIS menggambarkan kondisi tegakan yang digunakan sebagai sumber benih untuk pembangunan uji pemuliaan. Sebaran alam A. mangium di QLD merupakan tegakan/populasi yang tidak menyambung satu sama lain (discontinuous natural forest) dan antar populasi dikeliling oleh hutan tropik, sedangkan di PNG sebarannya lebih luas namun antar populasi dikelilingi oleh tanaman menjalar dan savannah (Butcher dkk. 1998). Cukup beralasan bahwa kondisi tegakan PNG yang demikian lebih mampu mempertahankan nilai A dan HE dibandingkan kondisi tegakan di QLD. Adanya private allele yang merupakan salah satu sumber variasi, juga banyak ditemukan di poulasi PNG (data tidak dipublikasikan). Namun demikian kondisi tegakan yang lebih terbuka di PNG tidak mendukung untuk terjadinya sistem perkawinan yang acak, tergambar dengan nilai FIS yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi QLD. Perbedaan genetik antar 15 populasi menunjukkan nilai yang sedang (GST=0,095) apabila dibandingkan dengan nilai perbedaan genetik jenis angiosperm (GST=0,102, Hamrick, 1992); populasi A. mangium yang lain (GST=0,331, Butcher dkk, 1998). Selain itu, nilai gene flow (Nm=2,30) yang rendah mampu melindungi perbedaan genetik antar populasi tersebut. Hubungan genetik yang digambarkan oleh sebuah dendrogram menunjukkan pembagian yang jelas antar provenan. Hal ini menunjukkan bahwa A. mangium provenan QLD dan PNG merupakan provenan yang berbeda, meskipun pada jaman es (glacial period) QLD dan PNG merupakan satu kesatuan. Meskipun analisis posisi geografi (PCO) tidak selalu menggambarkan letak geografis suatu populasi (Tsuda dan Ide, 2005), namun analisis PCO yang diperoleh dalam penelitian mendukung hasil analisis dendrogram. Analisis AMOVA menunjukkan hirarki sumber variasi yang menyebabkan keragaman genetik. Kontribusi terbesar yang menyebabkan tingginya nilai keragaman genetik adalah
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
103
keragaman didalam populasi. Meskipun kontribusi populasi dalam provenan kecil namun nilainya siginikan. Oleh karena setiap komponen menunjukkan nilai yang signifikan terhadap nilai keragaman genetik, maka AMOVA mengindikasikan signifikansi keragaman genetik antar provenan. Jumlah dan frekuensi allele, serta gene flow merupakan sumber variasi yang menyebabkan perbedaan genetik didalam dan antar populasi (Hartl dan Clark,1997).
2. Analisis tetua Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi keberhasilan proses reproduksi (terjadinya bunga sampai benih). Kemampuan menghasilkan bunga dan kecocokan kontribusi gen dikendalikan oleh faktor genetik (Burczyk dan Chalupta, 1997). Sedangkan faktor lingkungan lebih berorientasi pada ada tidaknya hambatan proses serbuk sari sampai ke kepala putik, seperti kerapatan pohon, jarak antar tetua, kedudukan bunga jantan/betina, arah dan kekuatan angin. Banyak penelitian yang melaporkan mengenai ketidakseimbangan sistem perkawinan /proses reproduksi didalam sebuah kebun benih baik KBS maupun KBK, sehingga menyebabkan variasi fenotipik. Faktor utama penyebab ketidakseimbangan tersebut adalah pembungaan tidak sinkron baik jumlah dan kematangannya (fenologi pembungaan) (Chaix, dkk, 2003; Moriguchi dkk. 2004; Burczyk dkk, 1997). Bahkan ada penelitian yang melaporkan bahwa pembungaan didalam KBS maupun KBK tidak dapat seimbang (Choi dkk, 2004). Masalah pembungaan merupakan masalah yang serius di KB karena dapat menyebabkan turunnya nilai genetik benih yang dihasilkan. Fenologi pembungaan dipengaruhi oleh faktor genetik maupun lingkungan (Burczyk dan Chalupka, 1997). Variasi fenologi pembungan menyebabkan variasi kontribusi gamet tetua jantan karena kompetisi serbuk sari (Hegland danTotland 2007) dan dominasi serbuk sari di KB jenis Larix (Burczyk dkk, 1997), di KB Cryptomeria japonica (Moriguchi dkk, 2004). Dominansi serbuk sari juga disebabkan oleh kuat tidaknya kompetisi serbuk sari. Kompetisi serbuk sari akan menguat pada saat musim berbunga berlimpah dan hanya serbuk sari yang sehat saja yang mampu
104
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
| 09 OKTOBER 2012
menyerbuki kepala putik. Akan tetapi kompetisi serbuk sari melemah pada saat pembungaan berjumlah sedikit (El-Kassaby dkk, 1984). Hasil analisis tetua pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebaran serbuk sari didalam KBSUK F1 grup C dan E bersifat acak/random. Seperti disebutkan di atas bahwa sinkronisasi pembungaan merupakan titik awal terjadinya sistem perkawinan acak. Sinkronisasi pembungaan besar kemungkinan terjadi di grup C karena pohon plus berasal dari provenan yang sama. Sedangkan informasi sinkronisasi pembungaan di grup E belum ada yang melaporkan. Namun demikian, melihat sebaran serbuk sari yang acak di atas (Gambar 6&7) kemungkinan di grup E juga mencapai sinkronisasi pembungaan. Analisis tetua juga menunjukkan bahwa pohon plus di generasi kedua, banyak mempunyai tetua betina yang sama namun tetua jantan berbeda dan mempunyai tetua jantan yang sama namun tetua betina berbeda. Selain itu, Gambar 4, 5, 6 dan 7 menunjukkan bahwa hampir semua tetua jantan yang berkontribusi berlokasi jauh dari tetua betina, meskipun hal ini berlawanan dengan karakter sebaran serbuk sari yang dibantu oleh serangga (Adams, 1992). Ada tiga dugaan yang mungkin terjadi, yaitu (1) tercapainya sinkronisasi fenologi pembungaan semua pohon plus di dalam KB, sehingga memperkuat kompetisi serbuk sari dalam menyerbuki kepala putik. (2) tercapainya sinkronisasi fenologi pembungaan antara pasangan tetua betina dan jantan, (3) kecocokan genetik antar tetuanya. Seperti disebutkan di atas bahwa sistem perkawinan di dua grup tersebut bersifat acak karena tercapainya sinkronisasi pembungaan. Apabila sinkronisasi pembungaan tercapai, maka faktor lain yang menentukan terjadinya anakan yang unggul adalah kecocokan kombinasi gen tetua.
3. Implikasi Informasi potensi keragaman genetik A. mangium dan identfikasi tetua melalui pendekatan analisis tetua diharapkan dapat meningkatkan efisiesi managemen kebun benih dalam rangka
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
105
menghasilkan benih unggul. Tingkat keragaman genetik total didalam populasi menunjukkan tingkat yang tinggi sehingga diharapkan dapat melewati sekuensial kegiatan seleksi pohon dalam strategi pemuliaan. Keragaman genetik setiap populasi menunjukkan nilai yang tinggi, sehingga keragaman genetik mampu dipertahankan pada tingkat populasi. Meskipun populasi-populasi dari provenan PNG ada indikasi dari populasi dengan tingkat inbreeding secara nyata, namun mempunyai tingkat keragaman genetik yang tinggi sehingga apabila terjadi kondisi sistem perkawinan yang random, populasi-populasi ini mampu mempertahankan tingkat keragaman genetik. Analisis dendrogram dan PCO menunjukkan pemisahan yang nyata antara provenan QLD dan PNG. Hal ini menunjukkan bahwa struktur maupun komposisi allele di dua provenan ini berbeda. Sumber variasi ada di tingkat populasi dan provenan sehingga apabila akan memperlebar jarak genetik A. mangium maka dipilih populasi yang mempunyai keragaman genetik tinggi. Analisis tetua menunjukkan bahwa pohon plus unggul di KBSUK F2 grup C dan UML plot E merupakan saudara satu ibu maupun satu bapak. Hal ini menunjukkan bahwa individu tersebut merupakan hasil sistem perkawinan acak/random dan dalam kondisi tercapainya sinkronisasi pembungaan. Hal ini menunjukkan bahwa kebun benih tersebut tidak bermasalah dengan sistem perkawinan dan sinkronisasi pembungaan. Selain itu, di KBSUK F1 grup C, 8 tetua betina diserbuki oleh beberapa tetua jantan dan serbuk sari dari 6 tetua jantan mendominasi sistem perkawinan. Hal ini menunjukkan pohon plus di KBSUK F1 mempunyai nilai GCA tinggi. Pohon plus di KBSUK F2 grup C juga dihasilkan dari tetua dari no family yang sama meskipun berbeda replikasi, sehingga famili tersebut mempunyai tingkat inbreeding depression yang rendah. Menggunakan analisis tetua, pemilihan famili dengan GCA tinggi akan lebih mudah.
106
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
| 09 OKTOBER 2012
IV.
KESIMPULAN
Tingkat keragaman genetik populasi A. mangium termasuk dalam kategori sedang sampai tinggi. Meskipun populasi-populasi dari provenan PNG mengindikasikan nilai inbreeding yang nyata, namun keragaman genetik bisa dipertahankan apabila sistem perkawinan terjadi secara acak/random. Provenan QLD terpisah secara nyata dengan PNG, sehingga untuk memperluas jarak genetik antar populasi dengan menambah populasi pada provenan yang berbeda. Analisis tetua yang dilakukan di KBSUK F1 grup C maupun grup E menunjukkan bahwa tetua betina maupun jantan mempunyai nilai GCA yang tinggi. Selain itu, ada pasangan tetua yang mempunyai tingkat inbreeding depression yang rendah.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Anto Rimbawanto, Dr. AYPBC Widyatmoko, Dr. Arif Nirsatmanto, Sri Sunarti, M.Sc. atas sumbang saran dan pemikiran dalam menyusun naskah ini. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Dr. Istiana, Purnamila, M.Agr. Sc., Maryatul M.Sc., dan Surip, S.Hut yang telah membantu dalam pengambilan sampel di Kebun Benih A. mangium. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Wahyuni Sari, S.Hut dan Triyanta yang telah membantu dalam analisis DNA di laboratorium genetika molekuler, BBPBPTH.
DAFTAR PUSTAKA Adams, W.T. (1992). Gene dispersal within forest tree populations. New Forests 6: 217-240 Arif, N., Leksono, B.,Kurinobu S.,Kurinobu, S.,Shiraishi, S. (2004) Realized genetic gain observed in second-generation seedling seed orchards of Acacia mangium in South Kalimantan, Indonesia. Japanese Forest Research 9: 265-269 Burczyk, J., Chalupka, W. (1997) Flowering and cone production variability and its effect on parental balance in a Scots pine clonal seed orchard. Annual Science Forest 54: 129-144 Burczyk, J., Nikkanen, T., Lewandowski, A. (1997) Evidence of an unbalances mating pattern in a seed orchard composed of two larch species. Silvae Genetica 46 (2-3): 176-181 Butcher, P.A., Decroocq, S., Gray, Y., Moran, G.F. (2000) Development, inheritance and cross-species amplification of microsatellite markers from Acacia mangium. Theor. Appl. Genet 101:1282-1290 Butcher, P.A., Moran, G.F., Perkins, H.D. (1998). RFLP diversity in the nuclear genome of Acacia mangium. Heredity 81: 205-213
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
107
Chaix, G., Gerber, S., Razafimaharo, V., Vigneron, P., Verhaegen, D., Hamon, S. (2003) Gene flow estimates with microsatellites in a Malagasy seed orchard of Eucalyptus grandis. Theoretical and Applied Genetics 107: 705-712 Choi, W.Y., Kang, K.S., Jang, K.W., Han, S.U., Kim, C.S. (2004) Sexual asymmetry based on flowering assessment in a clonal seed orchard of Pinus densiflora. Silvae Genetica 53 (2): 55-59Dow, B.D. and Ashley, M.V. (1998) High levels of gene flow in bur Oak revealed by paternity analysis using microatellites. The Journal of Heredity 89 (1): 62-70 El-Kassaby, Y.A., Fashler, A.M.K., Sziklai, O. (1984) Reproductive penology and its impact on genetically improve seed production in a Douglass-fir seed orchard. Silvae Genetica 33 (4-5): 120-125 Goudet, J. (2001) FSTAT (version 2.9.3.): A program to estimate and test gene diversities and fixation indices. www.unil.ch/izea/softwares/fstat.html Hamrick, J.L. Godt, M. J. W., Sherman-Broyless, S. L. 1992. Factor influencing levels of genetic diversity in woody plant species. New forest, 6, 95-124. Hartl, D.L., Clark, A.G. (1997). Principles of population genetics (Third Edition). Sinauer Associates, Inc. U.S.A. 542p Hegland, S.J., Totland, O. (2007) Pollen limitation affects progeny vigour and subsequent recruitment in the insect-pollinated herb Ranunculus acris. Oikos 116: 1204-1210 Kalinowski, S.T. Taper, M.L., Marshall, T.C. (2007). Revising how the computer program CERVUS accommodates genotyping error increases success in paternity assignment. Molecular Ecology 16: 1099-1106 Moriguchi, Y., Taira, H., Tani, N., Tsumura, Y. (2004) Variation of paternal contribution in a seed orchard of Cryptomeria japonica determined using microsatellite markers. Canadian Journal of Forest Research 34: 1683-1690 Nurtjahjaningsih, I.L.G., Saito, Y., Tsuda, Y. and Ide, Y. (2007) Genetic diversity of parental dan offspring populations in a Pinus merkusii seedling seed orchard detected by microsatellite markers. Bulletin of the Tokyo University Forest, the Tokyo University Forests 118: 1-14 Peakall, R., Smouse P.E. 2006. GENALEX 6: genetic analysis in Excel. Population genetic software for teaching and research. Molecular Ecology Notes 6: 288-295. Shiraishi, S., Watanabe, A. 1995. Identification of chloroplast genome between Pinus densiflora Sieb et Zucc and P. thumbergii Parl based on the polymorphism in rbcL gene. Journal of Japanese Forestry Society 77: 429-436. Takezaki N., Nei, M., Tamura, K. (2010) POPTREE2: Software for constructing population trees from allele frequency data and computing other population statistics with windows interface. Molecular Biology Evolution 27(4):747-752 Tsuda, Y., Ide, Y. 2005. Wide-range analysis of genetic structure of Betula maximowicziana, a long-lived pioneer tree species and noble hardwood in the cool temperate zone of Japan. Molecular Ecologi 14: 3929-3941
108
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
| 09 OKTOBER 2012
IDENTIFIKASI JAMUR ENDOFIT PADA TANAMAN HUTAN MENGGUNAKAN PENANDA MOLEKULER: POTENSI BAGI PENGENDALIAN PENYAKIT PADA TANAMAN HUTAN Istiana Prihatini Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman Yogyakarta E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Biosekuriti merupakan upaya memberikan perlindungan terhadap tanaman hutan pada berbagai tingkatan dimulai dari sebelum tanaman terserang hama dan penyakit hingga setelah terserang. Penelitian mengenai jamur ataupun mikroorganisme endofit telah banyak dilakukan baik di luar negeri maupun di Indonesia. Berbagai jenis jamur endofit pada berbagai jenis tanaman telah diidentifikasi dan peranan dari beberapa jamur endofit tertentu juga telah banyak dipelajari. Penelitian yang telah dilakukan terhadap jamur endofit pada tanaman hutan telah menunjukkan beberapa manfaat dari endofit bagi tanaman inang seperti memberi perlindungan terhadap hama, penyakit dan kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan serta meningkatkan pertumbuhan tanaman. Beberapa jenis endofit juga diketahui dapat bersifat sebagai patogen pada kondisi lingkungan tertentu. Informasi yang tepat mengenai identitas dan keragaman jenis jamur endofit pada tanaman hutan sangat bermanfaat untuk memahami peranan dari jamur endofit terhadap inangnya serta potensinya sebagai patogen. Tidak semua jenis jamur endofit dapat ditumbuhkan pada media buatan serta adanya keterbatasan karakter morfologi dari jamur yang tumbuh pada media buatan menyebabkan sulitnya dilakukan proses identifikasi terhadap jenis jamur endofit. Hal ini dapat diatasi dengan teknik identifikasi jamur endofit menggunakan penanda DNA. Paper ini akan memberikan gambaran mengenai pengunaan penanda DNA untuk mengidentifikasi jenis jamur pada daun Pinus radiata serta mempelajari hubungannya dengan beberapa faktor yaitu umur daun, faktor genetik inang, serta tingkat ketahanan tehadap penyakit spring needle cast (SNC). Kata kunci : Jamur endofit, distribusi, keragaman dan peranannya bagi tanaman inang
I.
PENDAHULUAN
Jamur endofit adalah jamur yang hidup di dalam jaringan tubuh makhluk hidup tanpa menimbulkan gejala penyakit (Carroll, 1988; Abare, 2005), termasuk juga dalam pohon berkayu. Hubungan antara jamur endofit dengan tumbuhan inang telah banyak dipelajari pada tanaman berkayu (Aly et al., 2011; Arnold, 2007). Salah satu manfaat
endofit adalah memberikan
ketahanan pada tumbuhan inang terhadap kondisi alam yang ekstrim misalnya kekeringan dan juga ketahahan terhadap serangan hama (Bittleston et al., 2011) dan penyakit (Arnold et al., 2003). Distribusi dan keragaman jenis jamur endofit juga banyak dipelajari untuk mengetahui hubungannya dengan banyak faktor. Perbedaan distribusi dan keragaman jenis jamur endofit ditemukan memiliki hubungan terhadap beberapa hal, antara lain kondisi lingkungan tempat tumbuh inang seperti latitude (Stefani and Berube, 2006), perbedaan musim (Terhonen et al., 2011), perbedaan organ tanaman (Collado et al., 1996); (Alonso et al., 2011), berhubungan dengan
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
109
dengan kondisi kesehatan inang (Arnold et al., 2003); Botella et al., 2010); Crous et al., 2003), serta dengan metode penelitian yang dipakai (Arnold et al., 2007). Selain pada golongan rumput-rumputan, beberapa penelitian pada tanaman berkayu menemukan adanya hubungan antara keberadaan jenis jamur endofit tertentu dengan ketahanan inang terhadap penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur patogen (Ganley, 2008). Studi mengenai mekanisme pertahanan yang diberikan oleh jamur endofit yang dipelajari pada beberapa tanaman Pinus terhadap serangan serangga menemukan adanya pembentukan senyawa metabolit sekunder (Calhoun et al., 1992; Clark et al., 1989), serta pertahanan yang diberikan oleh endofit misalnya Trichoderma terhadap serangan jamur yang lain (Dyck, 2007; Kumar et al., 2012). Beberapa penelitian yang telah dilakukan juga menemukan beberapa jenis-jenis jamur yang dikenal sebagai patogen yang tumbuh pada inang namun belum menunjukkan tanda-tanda serangan penyakit (Sieber, 2007), karena perkembangannya masih sangat terbatas di dalam tubuh inang (Ganley,
2004).
Pada
kondisi
tertentu
misalnya
adanya
stress
yang
menyebabkan
ketidakseimbangan nutrient, endofit akan tumbuh secara melimpah dan dampak pertumbuhan jamur ini akan terlihat pada inang (Aly et al., 2011; Ganley, 2004). A. Peranan DNA dalam identifikasi jamur bagi kegiatan pengendalian penyakit. Jamur endofit dapat diidentifikasi menggunakan teknik isolasi jamur dalam bentuk kultur (culture dependent technique) seperti yang digunakan oleh Ganley (2008), isolasi jamur secara langsung pada tempat hidupnya (culture independent technique / direct PCR / environmental PCR) seperti yang digunakan oleh Arnold et al (2007). Beberapa jenis jamur endofit dapat diidentifikasi melalui morfologi kulturnya pada media buatan, namun karena umumnya jamur endofit merupakan mitosporic ascomycetes, maka identifikasi menggunakan karakter morfologi dari badan buah dan askospora tidak mungkin dilakukan. Beberapa senyawa biokimia dan karakter molekuler dapat digunakan dalam proses identifikasi jenis jamur, misalnya protein/enzyme, genom, dan juga karakter DNA, namun perkembangan teknologi dalam proses sekuensing DNA telah banyak dimanfaatkan dalam proses identifikasi jamur karena kecepatan dan kemudahannya. Identifikasi jenis jamur telah menjadi mudah dengan adanya teknologi sekuensing terhadap gen-gen pada ribosomal RNA (Bruns and Gardes, 1993; Blankenship et al., 2001). Sekuens DNA jamur juga menjadi alat yang sangat penting untuk mempelajari filogenetik jamur (Bonello et al., 1998) serta dapat memberikan informasi bagi studi genetika populasi yang diperlukan untuk merencanakan strategi dalam pengendalian penyakit (Brown, 1996). Penemuan teknologi terbaru berupa whole genome sequencing atau next generation sequencing pada beberapa tahun terakhir telah mempercepat pengunaan sekuen gen DNA dalam
110
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
kegiatan identifikasi jamur. Teknik ini memiliki beberapa kelebihan antara lain tidak memerlukan proses kloning DNA jamur sehingga mengurangi jumlah pekerjaan, serta mampu meningkatkan jumlah basa pada setiap kali proses (run) dan mendeteksi variasi genom antar individu (Aly et al., 2011; Nowrousian, 2010). Tetapi jika penelitian melibatkan jumlah sampel yang besar, teknik ini memerlukan biaya yang sangat besar, kelemahan lainnya adalah metode ini tidak seakurat metode sekuensing Sanger (Aly et al., 2011; Nowrousian, 2010). Metode penelitian yang didasarkan pada sekuen gen jamur telah banyak dilakukan dan dikembangkan, beberapa contohnya adalah mempelajari hubungan antar jenis (species) maupun genera (genus) dalam kelompok jamur karat (Uredinales), dengan menggunakan penanda small subunit (SSU) rDNA yang spesifik bagi jenis Basidiomycetes (Wingfield et al., 2004), gabungan penanda universal dan spesifik bagi jamur karat untuk mendeteksi sekuen 28S dan 18S rDNA (Aime, 2006), serta penggunaan real time PCR untuk membedakan dua jenis jamur Puccinia yang memiliki karakter morfologi sangat mirip (Crouch and Szabo, 2011). B. Identifikasi jamur berdasarkan pada sekuen ITS Internal Transcribed Spacer (ITS) adalah region yang terkonservasi yang terletak antara 18S, 5.8S dan 28S ribosomal DNA (rDNA) dan memiliki sekuen yang relatif pendek. Sekuen ITS telah banyak digunakan untuk mempelajari identitas berbagai organisme seperti bakteri (Cai et al., 2011; Ngan et al., 2011), jamur (Cheng et al., 2011; Zhao et al., 2011), serangga (Carew et al., 2009) serta nematoda (Jiménez et al., 2011). Untuk identifikasi jamur, beberapa penanda ITS telah banyak dikembangkan untuk mendeteksi sekuen ITS yang secara spesifik dimiliki oleh jenis-jenis target tertentu misalnya ITS4A untuk mendeteksi jenis-jenis ascomycota (Larena et al., 1999) dan ITS4B untuk mendeteksi jenis-jenis basidiomycota (Bruns and Gardes, 1993). Jenis primer spesifik tersebut dapat digunakan untuk melengkapi beberapa penanda ITS yang bisa digunakan secara umum pada berbagai jenis jamur yaitu ITS1, ITS2, ITS3, ITS4 dan ITS5 (White et al., 1990). C. Penanda DNA dalam kegiatan biosekuriti tanaman hutan Bidang penelitian yang baru dikembangkan pada laboratorium genetika molekuler Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan adalah penggunaan penanda molekuler untuk biosekuriti tanaman hutan. Salah satu pendekatan biosekuriti adalah upaya pencegahan dari berkembangnya suatu makhluk hidup yang tidak diinginkan serta dampaknya terhadap lingkungan (Goldson, 2011). Jika invasi telah terjadi maka kegiatan biosekuriti juga termasuk melakukan usaha untuk mengendalikan ancaman tersebut, termasuk mempelajari jenis ancaman serta cara dan prosedur pengendalian (Goldson, 2011).
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
111
Paper ini akan menggambarkan salah satu kegiatan penelitian menggunakan penanda DNA untuk mengidentifikasi jenis-jenis jamur endofit pada salah satu tanaman hutan. Penelitian dilakukan pada Pinus radiata umur 9 tahun yang telah terserang penyakit spring needle cast (SNC). Penyakit ini hanya ditemukan pada P. radiata di Tasmania dan diduga memiliki hubungan dengan tiga jenis jamur patogen (Podger and Wardlaw, 1990). Dengan penggunaan penanda DNA diharapkan akan diperoleh informasi mengenai jenis jamur yang menjadi penyebab utama penyakit tersebut sehingga upaya pengendalian penyakit ini efektif. Dengan dipelajarinya komunitas jamur endofit diharapkan juga diketahui adanya jenis jamur yang berperan pada ketahanan tanaman terhadap penyakit dan berpotensi sebagai agen biokontrol bagi penyakit tersebut. D. Tujuan Mempelajari keragaman jenis jamur endofit yang hidup pada daun P. radiata menggunakan metode direct PCR serta mempelajari hubungannya dengan beberapa faktor yaitu umur daun, faktor genetik inang (famili pohon), serta tingkat ketahanan terhadap penyakit spring needle cast (SNC). II. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Bahan Sampel berupa daun Pinus dikoleksi dari tanaman P. radiata pada kebun uji SNC Marker Aided Selection (MAS) di Oonah Tasmania yang berumur 9 tahun yang sebelumnya telah diskoring untuk melihat dampak serangan penyakit SNC. B. Ekstraksi DNA Daun yang telah dipotong berukuran kurang lebih 1 cm, digerus pada mortar dengan nitrogen cair. DNA kemudian diekstraksi menggunakan buffer SDS yang telah dimodifikasi (Raeder and Broda, 1985) dan dipurifikasi menggunakan glassmilk (Boyle & Lew 1995) sesuai prosedur yang digambarkan oleh Glen (2001) sebelum digunakan sebagai template pada reaksi PCR. C. Polymerase Chain Reaction (PCR) dan kloning DNA hasil PCR Pasangan primer ITS4A (Larena et al., 1999) dan ITS5 (White et al., 1990) digunakan untuk mengamplifikasi segmen ITS rDNA. Konsentrasi bahan kimia yang digunakan pada proses PCR adalah sebagai berikut: 67mM Tris-HCl, pH 8.8; 16mM (NH4)2SO4 (dalam 10× NH4-based reaction buffer); 2.0 mM magnesium chloride; 200 ȝM each deoxynucleotide triphosphate; 0.25 ȝM each oligonucleotide primer; 0.02 units/ȝL of Mangotaq DNA polymerase; 0.2 ȝg/ȝL of
112
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
bovine serum albumin; 10 µL DNA yang diencerkan 100x dalam TE dan ditambahkan air steril hingga mencapai volume akhir 50 µL. Proses amplifikasi dilakukan menggunakan mesin Peltier Thermal Cycler PTC-225 (MJ Research) dengan kondisi suhu sebagai berikut; 95°C selama 3 menit, diikuti oleh 35 siklus dari 94°C selama 30 detik, 55°C selama 30 detik and 72°C selama 2 menit, kemudian fase extension dengan suhu 72°C selama 7 menit. D. Sekuensing DNA Kloning DNA hasil dari PCR dilakukan sebelum proses sekuensing untuk memisahkan fragmen DNA dari setiap individu jamur yang ditemukan dalam satu sampel yang sama. Proses kloning menggunakan p-GEM£-T Easy Vector (Promega) sesuai dengan manual dari produsen. Koloni sel hasil kloning diseleksi kemudian dilakukan PCR-RFLP menggunakan enzim AluI dan HinFI. Sekuening hanya dilakukan terhadap beberapa klon yang mewakili setiap kelompok sampel dengan
pola
RLFP
sama.
Sekuensing
DNA
dilakukan
oleh
Macrogen
Inc
(http://dna.macrogen.com/eng/). E. Analisis filogenetik Pengecekan dan proses editing kromatogram hasil sekuensing dilakukan menggunakan software ChromasPro version 1.34, kemudian data sekuen disimpan dalam format FASTA. Software BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) digunakan untuk mencari kecocokan sekuen DNA sampel dengan sekuen DNA pada database GenBank yang telah diketahui jenisnya (Altschul et al., 1990). Sekuen DNA dikelompokkan sesuai dengan hasil pencocokan oleh BLAST dan dilakukan proses alignment menggunakan program ClustalW (Thompson et al., 1994) yang ada pada software BioEdit versi 7.0.9.0 (Hall, 1999). Klon yang memiliki variasi sekuen kurang dari 2% dikelompokkan sebagai satu Operational taxonomic units (OTUs). Identitas jamur atau OTUs ditentukan berdasarkan hasil dari analisis filogenetik. Identitas diberikan sampai pada level taksonomi terendah yang paling memungkinkan. Analisis filogenetik dilakukan terhadap setiap kelompok sekuen yang memiliki kemiripan antara 98%-100%. Data sekuen dari GenBank yang memiliki tingkat kesesuaian paling tinggi terhdap kelompok tersebut juga dimasukkan dalam proses analisis, termasuk satu atau dua sekuen dari takson yang memiliki kedekatan dengan sampel juga dimasukkan sebagai outgroup. Alignment terhadap semua sekuen sampel pada setiap kelompok takson sekali lagi dilakukan sebelum proses analisis filogenetik. Analisis Maximum Likelihood dan Maximum Parsimony
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
113
dilakukan menggunakan program DNAml dan DNApars dari PHYLIP (Felsenstein, 1989) pada software Biomanager (https://biomanager.info/). Semua pohon dendogram hasil analisis filogenetik diamati menggunakan software TreeView (Page, 1996) dan dilakukan editing menggunakan software Mega 4 (Tamura et al., 2007), jika diperlukan. F. Analisis statistik Analisis statistik digunakan untuk mempelajari hubungan antara komunitas jamur dengan beberapa faktor yang berbeda misalnya umur daun, family pohon P. radiata serta tingkat serangan penyakit SNC. Analisis permutational multivariate ANOVA (PERMANOVA) dan canonical analyses of principal coordinates (CAP) dilakukan menggunakan software PRIMER v6 yang digabungkan dengan software PERMANOVA+ (Anderson et al., 2008).
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah jenis jamur endofit yang dapat terdeteksi pada kegiatan penelitian yang menggunakan metode direct PCR adalah sebanyak 65 jenis. Jumlah ini lebih banyak dari pada jenis jamur yang terdeteksi menggunakan metode penumbuhan kultur jamur yang bisa mendeteksi 41 jenis jamur (Prihatini, unpublished). Beberapa jenis yang terdeteksi menggunakan metode ini juga terdeteksi jamur melalui metode penumbuhan kultur jamur atau culturing (sebanyak 11 jenis), sedang 54 jenis hanya terdeteksi menggunakan metode direct PCR. Beberapa jenis jamur yang telah dilaporkan dan diketahui bersifat patogen pada beberapa jenis konifer, yaitu D. septosporum, C. minus, L. pinastri and S. geniculata (Bulman, 2002; Wardlaw, 1994; Ganley, 2004) juga terdeteksi pada P. radiata di Tasmania. Berdasarkan hasil analisis Permanova, komunitas jamur pada tanaman P. radiata di Tasmania umur 9 tahun menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dengan umur daun. Hasil yang serupa juga ditemukan analisis terhadap faktor genetika P. radiata (tree family). Hasil analisis permanova terhadap komunitas jamur pada tingkat serangan penyakit SNC yang berbeda (ditentukan oleh nilai skoring yang berbeda) menunjukkan adanya korelasi yang signifikan (p= 0.0115). Hasil analisis CAP, menunjukkan adanya beberapa jenis jamur (Teratosphaeriaceae sp. 2 dan Strumella sp) yang banyak ditemukan pada tanaman yang sehat, namun tidak ditemukan pada tanaman yang sakit. Sebaliknya, ada juga beberapa jenis jamur yang ditemukan secara melimpah pada tanaman yang sakit, namun jarang ditemukan pada tanaman yang
114
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
sehat, yaitu jenis L. pinastri, Teratosphaeriaceae sp.3, T. sp.13, T. sp. 24, Aspergillus sp. and Rhystismatales sp. 2. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa hanya jenis jamur L. pinastri yang memiliki korelasi sangat kuat dengan penyakit SNC di Tasmania, karena lebih sering pada tanaman yang sakit. Sedangkan dua jenis jamur yang semula diduga turut menjadi penyebab penyakit SNC, jarang ditemukan sehingga korelasinya dengan tingkat serangan SNC tidak dapat diketahui dengan jelas. L. pinastri diduga mengalami tahapan sebagai jamur endofit karena sering juga ditemukan pada daun muda yang masih sehat, sebelum bersifat patogen. Pada kondisi lingkungan yang sesuai (kelembaban udara yang tinggi serta suhu yang rendah), jamur ini akan berkembang cepat dan bersifat sebagai patogen. Jenis jamur yang telah dikenal sebagai patogen pada P radiata maupun jenis konifer lain yaitu C. minus, D. septosporum dan S. geniculata juga terdeteksi pada tanaman P. radiata di Tasmania, meskipun tidak selalu terdeteksi pada sampel daun yang diamati. Jenis-jenis jamur tersebut juga ditemukan pada P. radiata yang ditanam di New Zealand (Ganley, 2008). Ketiga jenis jamur yang ditemukan di Selandia Baru dan Tasmania tersebut memiliki karakter DNA yang mirip, namun jenis L. pinastri dari Selandia Baru memiliki karakter DNA yang berbeda dengan jenis yang ditemukan di Tasmania (Prihatini, unpublished). Komunitas jamur yang tumbuh pada daun P. radiata diketahui memiliki hubungan dengan tingkat ketahanan tanaman, namun keterlibatan beberapa jenis jamur terhadap kesehatan tanaman sulit ditentukan. Penelitian pada jenis tanaman yang sama menggunakan pendekatan yang berbeda yang dilakukan di Selandia Baru, menunjukkan hasil yang serupa yaitu adanya jenis-jenis jamur tertentu yang hanya terdeteksi pada tanaman yang sehat saja namun tidak terdeteksi pada tanaman yang sakit, yaitu jenis Xylaria sp (Ganley, 2008). Jenis ini juga sering ditemukan pada tanaman karet (Hevea concinna) yang sehat (Arnold et al., 2003), serta beberapa jenis dari Xylariaceae sering ditemukan pada P. radiata yang sehat (Bradshaw et al., 2000). Namun sebagian besar jenis jamur yang termasuk golongan Xylariales tidak terdeteksi melalui metode pendekatan direct PCR, penelitian yang dilakukan pada jenis P. taeda di Amerika Serikat juga tidak berhasil mendeteksi adanya jamur tersebut, meskipun ditemukan mudah tumbuh pada media agar (Arnold et al., 2007). Jenis-jenis jamur endofit yang memiliki hubungan dengan ketahanan penyakit perlu dikaji lebih jauh peranannya terutama untuk mencari jenis jamur yang mampu memberikan tekanan terhadap pertumbuhan jamur patogen. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penanda DNA mampu membantu dalam identifikasi jenis jamur patogen telah berada pada jaringan tanaman, sebelum memberikan dampak negatif pada tanaman inang berupa kerusakan atau kematian jaringan. Beberapa pengamatan BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
115
terhadap jamur yang menjadi penyebab penyakit SNC sebelumnya selalu berdasarkan gejala penyakit dan tanda-tanda infeksi pada daun yang sudah mati. Jika pengamatan dapat dilakukan lebiha awal, tindakan pengendalian terhadap penyakit juga dapat dilakukan lebih awal, sebelum dampak penyakit menjadi lebih serius. IV.
KESIMPULAN
Jenis jamur yang dikenal sebagai patogen pada berbagai jenis Pinus, yaitu L. pinastri, C. minus, D. septosporum dan S. geniculata juga ditemukan pada daun P. radiata umur 9 tahun di Tasmania. Jenis jamur yang ditemukan pada daun P. radiata umur 9 tahun tidak berhubungan secara signifikan terhadap umur daun dan faktor genetik berupa family pohon inang. Tiga jenis jamur yang semula diduga menjadi penyebab penyakit SNC (L. pinastri, C. minus dan S. geniculata) cukup sering ditemukan pada penelitian ini, namun hanya jenis L. pinastri yang secara signifikan berkorelasi dengan tingkat kerusakan penyakit pada Pinus yang lebih tua. Penggunaan metode direct PCR mampu mendeteksi lebih banyak jenis jamur endofit dibandingkan metode pengkulturan jamur, meskipun ada beberapa jenis yang mudah tumbuh pada media agar tidak mampu terdeteksi oleh metode direct PCR. Penggunaan metode direct PCR mampu mendeteksi jenis jamur patogen yang terdapat pada tanaman, sebelum tanaman menunjukkan gejala penyakit atau sebelum tanaman mati.
DAFTAR PUSTAKA Abare 2005. Australian Forest and Wood Product Statistic. Commonwealth of Australian. Aime, M. C. 2006. Toward resolving family-level relationships in rust fungi (Uredinales). Mycoscience, 47, 112-122. Alonso, R., Tiscornia, S. & Bettucci, L. 2011. Fungal endophytes of needles and twigs from Pinus taeda and Pinus elliotti in Uruguay. Sydowia, 63, 141-153. Altschul, S. F., Gish, W., Miller, W., Myers, E. W. & Lipman, D. J. 1990. Basic local alignment search tool Journal of Molecular Biology, 215, 403-410. Aly, A. H., Debbab, A. & Proksch, P. 2011. Fungal endophytes: unique plant inhabitants with great promises. Applied Microbiology and Biotechnology, 90, 1829-1845. Anderson, M. J., Gorley, R. N. & Clarke, K. R. 2008. PERMANOVA + for PRIMER: guide to software and statistical methods. In: PRIMER-E (ed.). Plymouth. Arnold, A. E. 2007. Understanding the diversity of foliar endophytic fungi: progress, challenges, and frontiers. Fungal Biology Reviews, 21, 51-66. Arnold, A. E., Henk, D. A., Eells, R. L., Lutzoni, F. & Vilgalys, R. 2007. Diversity and phylogenetic affinities of foliar fungal endophytes in loblolly pine inferred by culturing and environmental PCR. Mycologia, 99, 185-206. Arnold, A. E., Mejia, L. C., Kyllo, D., Rojas, E. I., Maynard, Z., Robbins, N. & Herre, E. A. 2003. Fungal endophytes limit pathogen damage in a tropical tree. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 100, 15649-15654 Bittleston, L. S., Brockmann, F., Wcislo, W. & Van Bael, S. A. 2011. Endophytic fungi reduce leaf-cutting ant damage to seedlings. Biology Letters, 7, 30-32.
116
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Blankenship, J. D., Spiering, M. J., Wilkinson, H. H., Fannin, F. F., Bush, L. P. & Schardl, C. L. 2001. Production of loline alkaloids by the grass endophyte, Neotyphodium uncinatum, in defined media. Phytochemistry, 58, 395401. Bonello, P., Bruns, T. D. & Gardes, M. 1998. Genetic structure of a natural population of the ectomycorrhizal fungus Suillus pungens. New Phytologist, 138, 533-542. Botella, L., Santamaria, O. & Diez, J. J. 2010. Fungi associated with the decline of Pinus halepensis in Spain. Fungal Diversity, 40, 1-11. Bradshaw, R. E., Ganley, R. J., Jones, W. T. & Dyer, P. S. 2000. High levels of dothistromin toxin produced by the forest pathogen Dothistroma pini. Mycological Research, 104, 325-332. Brown, J. K. M. 1996. The choice of molecular markers methods for population genetic studies of plant pathogens. New Phytologist, 133, 183-195. Bruns, T. D. & Gardes, M. 1993. Molecular tools for the identification of ectomycorrhizal fungi--taxon-specific oligonucleotide probes for suilloid fungi. Molecular ecology, 2, 233-242. Bulman, L. S. 2002. Aerial survey of needle cast in the Carter Holt Harvey forest estate in Northland and Tairua Forest. New Zealand Forest Reseach Cai, J., Yao, C., Xia, J., Wang, J., Chen, M., Huang, J., Chang, K., Liu, C., Pan, H. & Fu, W. 2011. Rapid parallelized and quantitative analysis of five pathogenic bacteria by ITS hybridization using QCM biosensor. Sensors and Actuators, B: Chemical, 155, 500-504. Calhoun, L. A., Findlay, J. A., Miller, J. D. & Whitney, N. J. 1992. Metabolites toxic to spruce budworm from balsam fir needle endophytes. Mycological Research 96, 281-286. Carew, M., Schiffer, M., Umina, P., Weeks, A. & Hoffmann, A. 2009. Molecular markers indicate that the wheat curl mite, Aceria tosichella Keifer, may represent a species complex in Australia. Bulletin of Entomological Research, 99, 479-486. Carroll, G. C. 1988. Fungal Endophytes in Stems and Leaves: From Latent Pathogen to Mutualistic Symbiont. Ecology, 69, 2-9. Cheng, Y., Liang, J., Lü, Q. & Zhang, X. 2011. Advances in Botryosphaeriaceae: Identification, phylogeny and molecular ecology. Shengtai Xuebao/ Acta Ecologica Sinica, 31, 3197-3207. Clark, C. L., Miller, J. D. & Whitney, N. J. 1989. Toxicity of conifer needle endophytes to spruce budworm. Mycological Research, 93, 508-512. Collado, J., Platas, G. & Pelaez, F. 1996. Fungal endophytes in leaves, twigs and bark of Quercus ilex from Central Spain. Nova Hedwigia, 63, 347-360. Crouch, J. A. & Szabo, L. J. 2011. Real-Time PCR Detection and Discrimination of the Southern and Common Corn Rust Pathogens Puccinia polysora and Puccinia sorghi. Plant Disease, 95, 624-632. Crous, P. W., Halleen, F. & Petrini, O. 2003. Fungi associated with healthy grapevine cuttings in nurseries, with special reference to pathogens involved in the decline of young vines. Australasian Plant Pathology, 32, 47-52. Dyck, B. 2007. Natural defence biocontrol: Fighting fungi with fungi. Inwood Magazine, 50-51. Felsenstein, J. 1989. PHYLIP - Phylogeny Inference Package (Version 3.2). Cladistics, 5, 164-166. Ganley, R. J. 2004. Fungal endophytes of Pinus monticola: Diversity, function and Symbiosis. Dissertation, University of Idaho. Ganley, R. J. 2008. Density and diversity of fungal endophytes isolated from needles of Pinus radiata. Client Report No 12925. Rotorua: SCION. Goldson, S. L. 2011. Biosecurity, risk and policy: A New Zealand perspective. Journal fur Verbraucherschutz und Lebensmittelsicherheit, 6, 41-47. Hall, T. 1999. BioEdit: a user-friendly biological sequence alignment editor and analysis program for Windows 95/98/NT. Nucl. Acids. Symp. Ser., 41, 95-98. Jiménez, M., González, L. M., Carranza, C., Bailo, B., Pérez-Ayala, A., Muro, A., Pérez-Arellano, J. L. & Gárate, T. 2011. Detection and discrimination of Loa loa, Mansonella perstans and Wuchereria bancrofti by PCR-RFLP and nested-PCR of ribosomal DNA ITS1 region. Experimental Parasitology, 127, 282-286. Kumar, K., Amaresan, N., Bhagat, S., Madhuri, K. & Srivastava, R. C. 2012. Isolation and Characterization of Trichoderma spp. for Antagonistic Activity Against Root Rot and Foliar Pathogens. Indian Journal of Microbiology, 52, 137-144. Larena, I., Salazar, O., Gonzales, V., Julian, M. C. & Rubio, V. 1999. Design of a primer for ribosomal DNA internal transcribed spacer with enhanced specificity for ascomycetes. Journal of Biotechnology, 75, 187-194. Ngan, G. J. Y., Ng, L. M., Jureen, R., Lin, R. T. P. & Teo, J. W. P. 2011. Development of multiplex PCR assays based on the 16S-23S rRNA internal transcribed spacer for the detection of clinically relevant nontuberculous mycobacteria. Letters in Applied Microbiology, 52, 546-554. Nowrousian, M. 2010. Next-generation sequencing techniques for eukaryotic microorganisms: Sequencing-based solutions to biological problems. Eukaryotic Cell, 9, 1300-1310. Page, R. D. M. 1996. TREEVIEW: An application to display phylogenetic trees on personal computers. Computer Applications in the Biosciences, 12, 357-358.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
117
Podger, F. D. & Wardlaw, T. J. 1990. Spring needle-cast of Pinus radiata in Tasmania: I. Symptoms, distribution, and association with Cyclaneusma minus. New Zealand Journal of Forestry Science, 20, 184-205. Raeder, U. & Broda, P. 1985. Rapid preparation of DNA from filamentous fungi. Letters in Applied Microbiology, 1, 17-20 Sieber, T. N. 2007. Endophytic fungi in forest trees: are they mutualists? Fungal Biology Reviews, 21, 75-89. Stefani, F. O. P. & Berube, J. A. 2006. Biodiversity of foliar fungal endophytes in white spruce (Picea glauca) from southern Quebec. Canadian Journal of Botany, 84, 777-790. Tamura, K., Dudley, J., Nei, M. & Kumar, S. 2007. MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0. Molecular Biology Evolution, 24, 1596–1599. Terhonen, E., Marco, T., Sun, H., Jalkanen, R., Kasanen, R., Vuorinen, M. & Asiegbu, F. 2011. The effect of latitude, season and needle-age on the mycota of scots pine (Pinus sylvestris) in Finland. Silva Fennica, 45, 301-317. Thompson, J. D., Higgins, D. G. & Gibson, T. J. 1994. CLUSTAL W: improving the sensitivity of progressive multiple sequence alignment through sequence weighting, position-specific gap penalties and weight matrix choice. Nuc.Acid. Res., 22 4673-4680. Wardlaw, T. 1994. Spring Needle Cast in Tasmanian Pinus radiata Plantations Prospect for Limiting Future Disease Losses. White, T. J., Bruns, T., Lee, S. & Taylor, J. 1990. Amplification and direct sequencing of fungal ribosomal RNA genes for phylogenetics, Academic Press, Inc. Wingfield, B. D., Ericson, L., Szaro, T. & Burdon, J. J. 2004. Phylogenetic patterns in the Uredinales. Australian Plant Pathology, 33, 327-335. Zhao, P., Luo, J. & Zhuang, W. Y. 2011. Practice towards DNA barcoding of the nectriaceous fungi. Fungal Diversity, 46, 183-191.
118
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
PENANDA SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISMS (SNPs) UNTUK IDENTIFIKASI GENETIK DI SENGON (Falcataria moluccana) DAN ACACIA HIBRIDA Vivi Yuskianti Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kemajuan teknologi yang pesat telah mendukung pengembangan berbagai metode analisa DNA terbaru. Salah satu penanda molekuler yang sekarang telah mulai banyak dikembangkan adalah penanda Single Nucleotide Polymorphism (SNP). Penggunaan penanda SNP memberikan banyak keuntungan dibandingkan penanda lainnya karena penanda SNP merupakan penanda yang langsung ke sasaran (direct marker), mempunyai tingkat mutasi yang rendah (10-8-10-9) sehingga relatif stabil dibandingkan penanda-penanda molekuler lainnya. Saat ini, penanda SNP telah dikembangkan untuk dua species utama di Indonesia yaitu sengon (Falcataria moluccana) dan Acacia hybrid (hibridisasi antara A. mangium dan A. auriculiformis). Sebanyak dua belas penanda SNP yang telah dimultipleks ke dalam tiga set analisis SNuPE (Single Nucleotide Primer Extension) dapat mendiskriminasi hampir 100% genotip sengon apabila semua set digunakan. Sementara itu, sebanyak lima penanda SNP yang juga telah dimultiplex ke dalam satu set analisis SNuPE di A. hybrid juga mampu mendeteksi lima spesifik alel di A. mangium, A. auriculiformis dan A. hybrid. Penanda SNP yang telah dikembangkan dapat digunakan sebagai alat identifikasi molekuler yang praktis karena kemudahannya dalam membaca data dan kemungkinan untuk otomatisasi analisisnya sehingga akan sangat berguna untuk pengembangan database genetik (genetic data-base). Selain itu, lima penanda SNPs di A. hybrid dapat digunakan untuk konfirmasi identitas hibrida, sertifikasi hibrida dan seleksi A. hybrid unggulan. Identifikasi produk hibrida pada pengembangan kebun benih dua species (bi-species seed orchard) dari A. mangium dan A. auriculiformis juga dapat diklarifikasi secara lebih effisien menggunakan sistem diagnostik berbasis SNPs ini. Kata kunci: Penanda SNP, Identifikasi genetik, Sengon, Acacia hybrid
I. PENDAHULUAN Berbagai teknologi dan metode analisa DNA seperti RAPD, AFLP, RFLP dan mikrosatelit tersedia saat ini. Penanda-penanda tersebut sudah digunakan untuk berbagai studi genetik di berbagai species. Penggunaan penanda-penanda tersebut, tetapi, menghadapi berbagai kendala. Kendala yang meliputi masalah teknis (biaya, akurasi, efisiensi, transferability, repeatability dll) dan analitis (akurasi model analisis, variabilitas tingkat dan pola mutasi dll) membatasi penggunaan penanda DNA yang sudah ada. Salah satu penanda DNA yang banyak menarik perhatian dan dianggap ideal adalah penanda single nucleotide polymorphisms (SNPs) (Gupta et al., 2001; Rafalski et al., 2002). SNP adalah perubahan satu basa pada sekuens DNA (Gupta et al., 2001) (Gambar 1).
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
119
AM01 AM02 AM03 AM04 AR01 AR02 AR03 AR04
110 170 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCTGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCTGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCTGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCTGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCAGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCAGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCAGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCAGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC
Gambar 1. Identifikasi SNP pada penelitian diagnosis Acacia hibrida mengunakan 4 sampel Acacia mangium (AM) dan 4 sampel A. auriculiformis (AR). Huruf tebal pada tiap sampel individu yang ditandai dengan lingkaran merah merupakan SNPs.
Identifikasi SNPs di manusia (Wang et al., 1998; Vallone et al., 2004), hewan (Heaton et al., 2002; dan Rohrer et al., 2007), tanaman khususnya pertanian (Zhu et al., 2003; Jin et al., 2003, Bundock et al., 2003 dan Lopez et al., 2005) dan terbatas di kehutanan (Osman et al., 2003; Zhang et al., 2005) telah menfasilitasi penggunaannya untuk berbagai studi genetik. Penanda ini telah digunakan untuk tujuan seperti forensik (Brandstatter et al., 2003 dan Vallone et al., 2004), hibrid identifikasi (Gros-Louis et al., 2005), resistensi terhadap patogen (Rickert et al., 2003) dan asosiasinya dengan karakter ekonomis (Jin et al., 2003; Bundock et al., 2003). Penanda SNPs mempunyai banyak keuntungan dibandingkan penanda lainnya. SNPs adalah penanda yang langsung ke sasaran (direct marker) (Batley et al., 2003), mempunyai tingkat mutasi yang rendah (10-8-10-9), nomenklatur alel yang sederhana (Vignal et al., 2002; Brumfield et al., 2003), lebih stabil dengan sifat pewarisan lebih tinggi dibandingkan sistem penanda lainnya seperti mikrosatelit dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) (Gupta et al., 2001). Penelitian yang komprehensif yang membandingkan penggunaan penanda mikrosatelit dan SNPs menunjukkan bahwa SNPs mempunyai keunggulan dibandingkan penanda mikrosatelit. Sistem penanda SNPs tidak hanya menawarkan biaya yang lebih rendah (diperkirakan sekitar lima sampai 10 kali lebih rendah dibandingkan penanda mikrosatelit), mempunyai kemampuan untuk mengulang (repeatability) dan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan mikrosatelit, tetapi juga meningkatkan kesempatan untuk mengembangkan database germplasm antar berbagai organisasi di dunia (Jones et al., 2007). Dengan berbagai keunggulan tersebut, penanda SNPs mempunya kekurangan dalam hal informasi individu lokusnya yang rendah. Penanda SNP bersifat biallelic dengan hanya dua alel pada setiap lokusnya yang berakibat dengan rendahnya nilai expected heterozyggosity yang dipunyainya. Tetapi kondisi tersebut dapat dikompensasi dengan memperbanyak jumlah penanda SNP yang digunakan. Sebagai ilustrasi dikemukakan bahwa untuk studi linkage, analisa tetua dan
120
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
identifikasi individu, diperkiirakan dibutuhkan 3 kali lipat jumlah pennanda SNP untuk setiap penanda SNP. Simulasi kompputer juga menunjukkan keunggulan penandda mikrosatelit dalam hal kuantitas informasinya (Glauubitz et al., 2003). Sebagai contoh untuk inndentifikasi individu dan analisa tetua, untuk dapat mem mberikan kemampuan statistik yang sama, seetidaknya dibutuhkan 3050 lokus SNPs untuk 10-15 lookus mikrosatelit, tergantung dari jumlah alelnnya (Aitken et al., 2004).
II. PENGEMBANGAN PE ENANDA SNPs DI SENGON (Falcataria molu uccana) DAN ACACIA HIBRIDA 2.1 Prosedur umum
Skrining fragmen RAPD
Penanda SCAR
Identifikasi SNPs
Multipleex Single Nucleotidee Primer Extension (SNuPE)
Pengembangan penanda SNPs dii sengon dan Acacia hibrida menggunakan beberaapa tahap kegiatan yaitu:
1.
Skrining fragmen RAPD D. Sebanyak 288 dan 64 primer RAPD diigunakan untuk skrining fragmen RAPD di senggon dan A. hibrida. Fragmen yang terpilih kemudian dikloning menggunakan pGEM-T Vector/pGEM-T V Easy Vector (Promega) daan Escheria coli (JM109 Competent Cell). Produk hasil klon kemudian di PCR dan sekuensingg.
2.
S untuk spesifik identifikasi. Hasil sekueensing dari RAPD primer Pengembangan penanda SCAR digunakan untuk mendeesain sepasang primer SCAR. Primer SCA AR yang telah berhasil didesain akan di evaluassi polimorfisme-nya menggunakan sampel yang y lebih banyak. Dari hasil evaluasi ini, akan terpilih beberapa primer SCAR yang akan diguunakan untuk identifikasi SNPs.
3.
d melakukan PCR Identifikasi SNPs. Sekuuensing untuk identifikasi SNP dimulai dengan menggunakan primer SC CAR, dilanjutkan dengan purifikasi PCR produknya p menggunakan Alkaline Phosphatase daan Exonuclease I untuk mendegradasi keleebihan PCR primer dan ddNTPs. Sekuensing dilaakukan dengan menggunakan Big Dye Terminnator v1.1/v.3.1 (Applied Biosystem) dan kedua pasang p primer SCAR. Purifikasi PCR produuk sekuensing dilakukan menggunakan CleanSEQ Sequencing Reaction Clean-up system (Ageencourt) untuk kemudian dielektroforesis menggunnakan 3130 Genetic Analyzer (Applied Biosystem). Dari hasil
BIOTEKNOLOGI HUTAN UN NTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUM MBER DAYA HUTAN
121
sekuensing akan dideteksi keberadaan SNPs (mutasi maupun insertion/deletion (indels)). Penanda SNPs dikembangkan menggunakan SNP hasil mutasi. Keberadaan SNPs ini kemudian di evaluasi dan divalidasi keberadaannya di genom dengan menggunakan sampel yang lebih besar. Dengan memperhatikan kualitas fragmen hasil validasi dan juga polimorfismenya di dalam setiap target posisi di sekuen DNA, akan terpilih beberapa SNPs yang akan dikembangkan menjadi penanda SNPs. 4.
Pengembangan multiplex Single Nucleotide Primer Extension (SNuPE) analisis. Beberapa target SNPs dengan bantuan software OLIGO versi 6,8 akan didesain menjadi primer SNPs. Primer dapat didesain dari bagian depan target basa (forward) dan bagian belakang target basa (reverse). SNaPShot Multiplex Ready Reaction Mix (Applied Biosystem) digunakan untuk mendeteksi setiap target SNP. SNaPShot Multiplex Reaction Ready Mix bekerja berdasarkan sistem pemanjangan satu basa (extension reaction) dengan bantuan ddNTP (ddATP, ddTTP, ddCTP dan ddGTP) sehingga setiap target alel pada setiap target SNP akan dapat dideteksi. PCR produk dari extension reaction ini kemudian dipurifikasi menggunakan Exonuclease I dan hasil purifikasi akan dilarutkan dengan Hi-Di Formamide dan LIZ-120 internal sizing standard sebelum dimasukkan ke dalm 3130 Genetic Analyzer untuk elektroforesis.
2.2. Penanda SNPs di sengon
Hasil skrining dengan 288 primer RAPD menggunakan 16 sampel sengon berhasil mendapatkan 48 fragmen RAPD. Sebanyak 46 SCAR primer kemudian berhasil didesain. Delapan sampel sengon dengan 31 primer SCAR digunakan untuk identifikasi SNPs. Hasil sekuensing menunjukkan bahwa 17 primer SCAR menghasilkan data yang informatif. Setelah data sekuensing dan hasil identifikasi SNPs dievalusi, sebanyak 12 SNPs dari 12 penanda SCAR terpilih (Tabel 1).
122
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Tabel 1. Penanda RAPD dan SCARs untuk sengon
SCAR
RAPD
Set Marker Sequence (5´ to 3´)
Fragment length (bp)
A1 AGTCGGGTGGCAG
ca. 450
A2 AGTCGGGTGGGAC
ca. 500
A3 AACGGTGACCACT
ca. 620
A4 GGACCCAACCAAC
ca. 380
A
B1 GGAGGAGAGGGAT ca. 650 B2 GGAGGAGAGGGAA ca. 680 B B3 AGTCGGGTGGACT
ca. 510
B4 AGTCGGGTGGCGA
ca. 300
C1
ca. 700
GGGCCAATGTCAG
C2 GAGAGCCAACGAA ca. 700 C C3
GGGCCAATGTCAG
ca. 500
C4
GGGCCAATGTGAC
ca. 450
Sequence Concen-tr ation length (bp) (µM)
Sequence (5´ to 3´)
F: CACTGCTGTTTTTCCTTCAATGG R: TGGTTTTAGGTGGAAGATGCACG F: CTCGAGTACGTTTGTGGAGAATCC R: TTGATGCACAGAGTTGGAGGC F: CATCACCATCACATCACCAAGG R: AACTTTTGAGTAGTTTATTCGTTGGAGC F: CAGTGTGAGATTTCTGGGAGAACCT R: TAGAAAAGCTGAATCAACATCTCCAA F: AAGATGAGGAAGGAACGACAAGC R: AGAAGAAATAGGTGGCGATGAGG F: GAAGTCGGAGAGAGGCATAGTGG R: TCGGAAGGATCGGAGTACCC F: GGAAGAAGGAGGTGGAGTGTAGACG R: GAGACCTCCACTGCTACTACTTCTGC F: GGAGCAAGAGAAGGAATTGGAGG R: GAGCCATTTTAGCAGCATCAAGG F: GATTACAAACAAAGGACCCAACCG R: ACTCTTGAGGACTATGTGATTGACCC F: ATTCCCTCTTCACCATCGCC R: CGGACTCAGAATGGTTGCTTCC F: TATTTTTCTCGTGTTCGTCCTTCA R: CACAGTAAGATCATCATTGCAGAGTG F: TGTTGAGGCAAGCATATATCTTCTC R: ACTTAATCCATGCAGCTTTCTCATAG
295
0.20
426
0.16
390
0.16
138
0.16
451
0.20
488
0.16
359
0.16
233
0.14
271
0.12
517
0.16
284
0.18
336
0.20
Kedua-belas penanda ini kemudian dikembangkan menjadi sistem DNA typing dengan 3 set analisis multiplex single nucleotide primer extension (SNuPE) (Gambar 2, Tabel 2). Tabel 2. Konsentrasi dan sekuens extension primer serta alel yang dideteksinya pada 3 set multiplex SNuPE di sengon.
Set
A
B
C
Marker
Primer orientation
Sequence (5´ to 3´)
Concentration (µM) 1.0
Detected SNP Allele 1 Allele 2 Length Length Base Base 1) (bp) (bp) 1) G 33.2 A 35.0
A1
F
T(9)-ATCAATTTCAAGCCTCT
A2
F
T(11)-CTTTGATTATGCCACCT
1.0
C
36.4
T
37.8
A3
F
T(21)-CACCACCACATCACCAT
1.0
G
41.3
A
43.3
A4
F
T(23)-TTAGATTCGATGATGAC
1.0
G
46.7
A
47.7
B1
F
AGAAGACACGTCACCCT
1.0
G
28.4
C
30.8
B2
R
T(3)-CCATGGATTAAGCAGCG
1.0
G
32.8
T
35.6
B3
R
T(12)-GGTGACTTGCCTTCTGT
1.0
G
37.7
A
39.7
B4
F
T(18)-GGGAGCTTAATGTTCTG
1.0
C
44.1
T
45.7
C1
F
ATAACTAGGCATCGAC
1.0
G
29.8
C
30.7
C2
F
T(5)-CAAATTAGCCTTCTTCG
1.0
C
34.1
T
35.8
C3
F
T(13)-GCGCGAATCTTAAGCGA
1.0
A
38.6
T
39.5
C4
R
T(23)-GGAGAAATACTTTAAAT
1.0
G
45.5
A
46.9
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
123
Set A
Set B
A1
A2
A3
A4
Set C
B1
B2
B3
C1
A
'
C
B4
C2
C3
C4
G
A A
A
G
T
G T G
G
C
C
C
C
T
A
A T
T
T
C
T
C
G
A A
T
A G G C A
C
Gambar 2. Hasil optimatisasi pada tiga set multiplex SNuPE di sengon.
Kemampuan alel untuk mendiskriminasi (DP=Discrimination Power) sampel dihitung menggunakan 76 sampel sengon. Hasilnya menunjukkan bahwa set A mempunyai DP tertinggi (0,968), disusul oleh set B (0,965) dan set C (0,908). Kemampuan mendiskriminasi akan mencapai hampir 100% jika ketiga set multiplex SNuPE digunakan (Tabel 4). Tabel 4. Discrimation Power (DP) dari 3 set analisis multiplex SNuPE di sengon Set Marker
A1 A2 A A3 A4 DP B1 B2 B B3 B4 DP C1 C2 C C3 C4 DP
No. of observed phenotype A1 A1A2 A2 Null
Observed phenotype frequency A1 A1A2 A2 Null
20 6 23 59
30 32 29 17
26 38 23 0
0 0 1 0
0.26 0.08 0.30 0.78
0.39 0.42 0.38 0.22
0.34 0.50 0.30 0.00
0.00 0.00 0.01 0.00
7 16 21 10
10 34 23 11
54 25 31 55
5 1 1 0
0.09 0.21 0.28 0.13
0.13 0.45 0.30 0.14
0.71 0.33 0.41 0.72
0.07 0.01 0.01 0.00
2 13 57 0
17 27 16 16
56 36 3 60
1 0 0 0
0.03 0.17 0.75 0.00
0.22 0.36 0.21 0.21
0.74 0.47 0.04 0.79
0.01 0.00 0.00 0.00
DP of all sets
124
DP1) (observed)
0.658 0.566 0.671 0.347 0.968 0.469 0.647 0.666 0.438 0.965 0.406 0.620 0.392 0.332 0.908
Expected allele frequency2) Allele 1 Allele 2 Allele 0
DP3) h
0.46 0.29 0.44 0.89
0.54 0.71 0.44 0.11
0.00 0.00 0.13 0.00
0.497 0.411 0.603 0.199
0.11 0.42 0.33 0.20
0.56 0.54 0.44 0.80
0.33 0.04 0.23 0.00
0.569 0.531 0.646 0.325
0.14 0.35 0.86 0.11
0.83 0.65 0.15 0.90
0.03 0.00 0.00 0.00
0.285 0.454 0.248 0.188
1.000
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
(expected)
0.623 0.569 0.673 0.338 0.965 0.507 0.636 0.689 0.491 0.972 0.392 0.599 0.404 0.323 0.902 1.000
|
09 OKTOBER 2012
2.3. Pengembangan SNPs di Acacia hibrida Sebanyak 48 fragmen RAPD terpilih dari RAPD primer skrining. Ke-48 RAPD fragmen ini kemudian disekuensing dan 44 primer penanda SCAR berhasil diperoleh. Identifikasi SNP dilakukan menggunakan 28 primer SCAR pada 4 sampel dari tiap species Acacia. Hasil sekuensing menunjukkan ada 15 SNPs yang dapat digunakan untuk diagnosa A. hibrida. Setelah dilakukan amplifikasi lebih lanjut menggunakan semua sampel Acacia yang ada, akhirnya terpilih 5 SNPs (Tabel 4). Kelima penanda SNPs ini kemudian dimultipleks dalam satu set multipleks SNuPE analisis (Gambar 3, Tabel 5). Tabel 4. Sekuens dan konsentrasi primer RAPD dan SCAR untuk diagnosis Acacia hibrida RAPD Marker
AHsnp1 AHsnp2 AHsnp3 AHsnp4 AHsnp5
Primer sequence (5Ǯ to 3Ǯ)
SCAR Fragment length (bp)
AACGGTGACCGTA AGTCGGGTGGCGT GGAGGAGAGGCGT GGAGGAGAGGAGC GGAGGAGAGGAGC
Primer sequence (5Ǯ to 3Ǯ)
700 700 550 350 250
Primer conc. (μM)
F: ACGGTGACCGTACTCCTTCGC
0.06
R: GTGACCGTAGCCGCCGAATAC
0.06
F: GTCGGGTGGCGTGGAAGGGT
0.20
R: GTCGGGTGGCGTTCCTCGAG
0.20
F: GGAGGAGAGGCGTGCCGGGG
0.12
R: GGAGGAGAGGCGTCCAACCA
0.12
F: GGAGGAGAGGAGCCAGTTGAG
0.12
R: GGAGGAGAGGAGCACTCACACA
0.12
F: GGAGGAGAGGAGCGTAGCCC
0.20
R: GGAGGAGAGGAGCCCATTAGG
0.20
Tabel 5. Sekuens, konsentrasi dari extension primer dan deteksi alel dari multiplex SNuPE untuk diagnosis Acacia hibrida.
Marker
AHsnp1 AHsnp2 AHsnp3 AHsnp4 AHsnp5
Extension primer sequences (5Ǯ to 3Ǯ)
CATGGCTTCTGCATTAC T6-AGCTCGCTATATATGTT T12-GGTTCGAGCTTGGAATC T14-TAGCCTCCGACGTTGGC T18-TCACTATTTCTTTCTCG
Allele Mb
Allele Ab
Primer length (nt)
Primer concentration (μM)a
Base
Sizec
Base
Sizec
17 23 29 31 35
1.0 1.0 0.7 0.8 1.0
A C G T C
33.2 36.2 38.5 42.6 44.8
C A A A T
33.3 35.8 39.4 40.6 46.3
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
125
AHsnp1
AHsnp2
A. mangium
AHsnp3
AHsnp4
AHsnp5 C
C
A G T
C
Acacia hybrid A
A
C
G
A
C
A. auriculiformis C
T A
T
A
A
T
A
Gambar 3. Hasil optimatisasi pada analisis multiplex SNuPE untuk diagnosi Acacia hibrida.
Kemampuan mendiskriminasi (DP) pada 40 sampel A. mangium, 40 A. auriculiformis dan 16 Acacia hibrida menunjukkan bahwa dua primer (Ahsnp1 dan Ahsnp4) dapat 100% mendeteksi spesifik alel pada tiap Acacia species. Primer Ahsnp3 mendeteksi spesifik alel A untuk A. auriculiformis pada 3 sampel A. mangium sedangkan alel A specific alel untuk A. auriculiformis tidak dapat dideteksi di dua sampel A. auriculiformis dan satu A. hibrida (Tabel 6). Tabel 6. Discrimination Power (DP) dari multiplex SNuPE analisis di Acacia hibrida Marker AHsnp1 AHsnp2 AHsnp3 AHsnp4 AHsnp5
A. mangium (40)a
A. auriculiformis (40) a
Acacia hybrid (16) a
Allele Mb
Allele Ab
Allele Mb
Allele Ab
Allele Mb
Allele Ab
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
0.00 0.00 0.08 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
1.00 0.95 1.00 1.00 1.00
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
1.00 1.00 1.00 1.00 0.94
2.4. Efisiensi analisis Analisis penanda SNP, awalnya, dilakukan untuk setiap target SNP (satu analisis untuk satu target SNP). Tapi untuk mengefisiensikan analisis dan juga menghemat waktu dan biaya, dikembangkan sistem multipleks. Multipleks dilakukan pada dua tahap yaitu (1) multipleks primer SCAR dan (2) Extension reaction. Multipleks di extension reaction memungkinkan dengan menggunakan panjang primer yang berbeda. Untuk mendapatkan panjang primer yang berbeda, poly thymidine (Poly-T) ditambahkan pada setiap 5’ end extension primer. Optimatisasi dilakukan pada satu primer dengan memperhatikan panjang alel pada tiap analisis. Setelah diperkirakan tidak
126
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
ada lagi overlap pada setiap primer, maka optimatisasi dilanjutkan dengan memultipleks beberapa primer dalam satu reaksi. Primer yang mempunyai signal intensity yang tinggi akan dikurangi konsentrasi primernya sedangkan yang kurang signal intensity-nya akan ditambah konsentrasi primernya. Hal tersebut diulang beberapa kali sampai didapatkan hasil multiplex dengan signal intensity yang seimbang dan tidak ada lagi overlap ukuran alel. Selain multipleks, pendekatan dengan mengurangi volume bahan kimia yang digunakan dalam tiap multiplex analisis juga dilakukan. Efisiensi dilakukan dengan cara mengurangi volume SNaPShot Multiplex Ready Reaction Mix dalam setiap extension reaction menjadi 1/5 dan 1/10 dari volume yang disarankan oleh supplier. Pengurangan volume ini tidak mempengaruhi kualitas hasil analisis. Setiap target SNP dapat dideteksi dengan baik. III. APLIKASI Tiga set multiplex SNuPE analisis pada sengon dapat digunakan sebagai alat identifikasi yang praktis untuk identifikasi antar genotip sengon (Yuskianti dan Shiraishi, 2010). Sedangkan lima penanda SNP pada satu set multiplex SNuPE analisis di Acacia hibrida dapat mendeteksi spesifik alel pada A. mangium, A. auriculiformis dan juga hibridanya. Penanda yang telah dikembangkan ini dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti konfirmasi identitas hibrida baik hasil hibridisasi buatan maupun spontan, sertifikasi hibrida, dan seleksi hibrida unggulan dari sebuah perkebunan. Selain itu, klarifikasi produk hibrida pada pengembangan kultivar hibrida menggunakan kebun benih dua species yaitu A. mangium dan A. auriculiformis dapat dilakukan secara lebih efisien (Yuskianti et al., 2011). Selain itu, dengan berbagai keunggulan penanda SNPs disertai dengan kemudahan untuk membaca data, dan automatisasi analisisnya, maka penanda ini akan sangat berguna untuk pembuatan data-base genetik. Data yang ada yang berupa matrix data dapat disimpan di bank data. Dengan adanya genetik data-base yang berbasis identifikasi SNPs ini maka konfirmasi identitas material yang ada di lapangan dan juga yang ada di bank data dapat dilakukan dengan mudah tanpa harus menginvestasikan banyak waktu untuk membaca data dan resiko adanya artifact alel dan dan kesalahan mengenotiping seperti pada penanda mikrosatelit. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih diberikan kepada Prof. Susumu Shiraishi dari Kyushu University Japan atas semua bantuan, saran dan dukungannya dalam melakukan penelitian ini.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
127
DAFTAR PUSTAKA Aitken, N., S. Smith, C. Schwarz and P.A. Morins (2004) Single nucleotide polymorphism (SNP) discovery in mammals: a targeted-gene approach. Molecular Ecology 13:1423-1431. Batley, J., R. Mogg, D. Edwards, H. O’Sullivan and K.J. Edwards (2003) A high-throughput SNuPE assay for genotyping SNPs in the flanking regions of Zea mays sequence tagged simple sequence repeats. Molecular Breeding 11:111-120. Brandstatter, A., T. J. Parsons and W. Parson (2003) Rapid screening of mtDNA coding region SNPs for the identification of west European Caucasian haplogroups. Int. J. Legal Med. 117:291-298. Brumfield, R.T., P. Beerli, D.A. Nickerson and S.V. Edwards (2003) The utility of single nucleotide polymorphisms in inferences of population history. Trends in Ecology and Evolution 18 (5):249-256. Glaubitz, J.C., J.R. Rhodes, and J.A. Dewoody (2003) Prospects for inferring pair wise relationship with single nucleotide polymorphisms. Molecular Ecology 12:1039-1047 Gros-Louis, M-C, J. Bousquet, L.E. Paques and N. Isabel (2005) Species-diagnostic markers in Larix spp. based on RAPDs and nuclear, cpDNA, and mtDNA gene sequences, and their phylogenetic implications. Tree Genetics Genomes 1:50-63. Gupta, P.K., J.K. Roy and M. Prasad (2001) Single nucleotide polymorphisms: A new paradigm for molecular marker technology and DNA polymorphism detection with emphasis on their use in plants. Current Science 80(4): 524535. Heaton, M.P., G.P. Harhay, G.L. Bennett, R.T. Stone, W.M. Grosse, E. Casas, J.W. Keele, T.P.L. Smith, C.G. ChitkoMcKown and W.W. Laegreid (2002) Selection and use of SNP markers for animal identification and paternity analysis in U.S. beef cattle. Mammalian Genome 13:272-281 Jin, Q., D. Waters, G.M. Cordeiro, R.J. Henry, and R.F. Reinke (2003) A single nucleotide polymorphism (SNP) marker linked to the fragrance gene in rice (Oryza sativa L.). Plant Science 165:359-364 Jones, E.S., H. Sullivan, D. Bhattramakki and J.S.C. Smith (2007) A comparison of simple sequence repeat and single nucleotide polymorphism marker technologies for the genotypic analysis of maize (Zea mays L.). Theoretical Applied Genetics 115:361-371. Lopez, C., B. Piegu, R. Cooke, M. Delseny, J. Tohme and V. Verdier (2005) Using cDNA and genomic sequences as tools to develop SNP strategies in cassava (Manihot esculenta Crantz).Theoretical Applied Genetics 110:425431 Osman, A., B. Jordan, P.A. Lessard, N. Muhammad, M.R. Haron, N.M. Riffin, A.J. Sinskey, CK. Rha, and D.E. Housman (2003) Genetic diversity of Eurycoma longifolia inferred from single nucleotide polymorphism. Plant Physiology 131:1294-1301 Rafalski, A (2002) Applications of single nucleotide polymorphisms in crop genetics. Current Opinion in Plant Biology 5:94-100. Rickert, A.M., J.H. Kim, S. Meyer, A. Nagel, A. Ballvora, P.J. Oefner, and C. Gebhardt (2003) First-generation SNP/InDel markers tagging loci for pathogen resistance in the potato genome. Plant Biotechnology Journal 1:399-410. Rohrer, G.A., B.A. Freking, and D. Nonneman (2007) Single nucleotide polymorphisms for pig identification and parentage exclusion. Animal Genetics 38:253-258. Vallone, P.M., R.S. Just, M.D. Coble, J.M. Butler and T.J. Parsons (2004) A multiplex allele-specific primer extension assay for forensically informative SNPs distributed throughout the mitochondrial genome. Int. J. Legal Med 118:147-157. Vignal, A., D. Milan, M. Sancristobal and A. Eggen (2002) A review on SNP and other types of molecular markers and their use in animal genetics. Genet. Sel. Evol. 34:275-305. Wang, D.G., J-B. Fan, C-J. Siao, A. Berno, P. Young, R. Sapolsky, G. Ghandour, N. Perkins, E. Winchester, J. Spencer, L. Kruglyak, L. Stein, L. Hsie, T. Topaloglou, E. Hubbel, E. Robinson, M. Mittmann, M. S. Morris, N. Shen, D. Kilburn, J. Rioux, C. Nusbaum, S. Rozen, T.J. Hudson, R. Lipshutz, M. Chee, and E.S. Lander (1998) Large-scale identification, mapping, and genotyping of single-nucleotide polymorphisms in the human genome. Science 280:1077-1082 Yuskianti V, and S. Shiraishi (2010) Developing SNP markers and DNA typing using multiplexed single nucleotide primer extension (SNuPE) in Paraserianthes falcataria. Breed Science 60(1):87–92 Yuskianti, V., F.X. Huang, Z.B. Xiang and S. Shiraishi (2011) Diagnosis of interspecific hybrids between Acacia mangium and A. auriculiformis using single nucleotide polymorphism (SNP) markers. Silvae Genetica 60 (34):85-92 Zhu, Y.L., Q.J. Song, D.L. Hyten, C.P. Van Tassell, L.K. Matukumalli, D.R. Grimm, S.M. Hyatt, E.W. Fickus, N.D. Young, and P.B. Cregan (2003) Single-nucleotide polymorphism in soybean. Genetics 163:1123-1134 Zhang, B., Y. Zhou, L. Zhang, Q. Zhuge, M-X Wang, and M-R Huang (2005) Identification and validation of single nucleotide polymorphism in poplar using publicly expressed sequence tags. Journal of Integrative Plant Biology (Formerly Acta Botanica Sinica) 47 (12):1493-1499
128
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
PEMULIAAN TANAMAN HUTAN DENGAN METODE PENDEKATAN TRANSCRIPTOMICS-PROTEOMICS Purnamila Sulistyawati Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta - 55582 Email:
[email protected] ;
[email protected]
ABSTRAK Mengingat perkembangan pasar yang menuntut ketersediaan bahan baku terutama kayu dan benih/bibit tanaman dalam skala besar, maka pemuliaan tanaman dengan tujuan untuk perbaikan genetik dari beberapa spesies untuk mempersingkat rotasi tanaman yang dapat tumbuh di bawah silvikultur intensif harus terus dilakukan. Pemuliaan tanaman kehutanan secara konvensional biasanya tersendat karena daur hidup tanaman yang panjang dan kurang teridentifikasinya gen-gen mutasi, terbatasnya masa juvenile, adanya serangan penyakit dan lain-lain. Adanya perkembangan ilmu-ilmu baru dalam bidang bioteknologi tanaman dan sebagai bagian dari ilmu genomic; transcriptomic dan proteomic mampu memberikan informasi-informasi penting yang dapat dijadikan dasar pemuliaan pohon. Tujuan utama dari metode pendekatan transcriptomic dan proteomic ini adalah untuk mengidentifikasi gen atau suatu kumpulan gen tertentu yang mengekspresikan suatu sifat spesifik dari suatu species pohon. Teridentifikasinya gen-gen spesifik ini akan membantu pelaksanaan program pemuliaan pohon dalam hal seleksi pohon dengan sifat-sifat tertentu, misalnya kadar lignin, selulosa, panjang serat, ketahanan terhadap panas, ketahanan terhadap kekeringan, ketahanan terhadap penyakit, biosintesa minyak atsiri, dan sebagainya. Tulisan ilmiah ini akan berisi tentang penjelasan tentang transcriptomic dan proteomic secara umum, review beberapa penelitian yang menggunakan metode tersebut serta wacana penerapan metode transcriptomic-proteomic ini untuk mendukung program pemuliaan tanaman hutan di Indonesia. Kata kunci: Pemuliaan tanaman, genomic, transcriptomic, proteomic
I. PENDAHULUAN Hutan menempati hampir 82% daratan di muka bumi ini dan sekitar 50% diantaranya menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati terrestrial. Sektor kehutanan mempunyai peranan penting sebagai penyedia bahan baku/mentah baik itu berupa kayu ataupun non kayu yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Hutan merupakan sumber bahan baku bagi kebutuhan manusia termasuk diantaranya bahan bangunan, produk kertas, kayu bakar, energi, minyak atsiri, makanan dan lain-lain. Selain itu hutan juga berfungsi penting dalam ketersediaan layanan ekologi seperti pelestarian keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengaturan iklim, dan kelestarian air. Pelan namun pasti, industri kehutanan dunia mengalami peningkatan dari hutan tanaman menggunakan silvikultur intensif kearah penggunaan teknik bioteknologi molekuler sebagai salah satu alat untuk mendukung program pemuliaan tanaman kehutanan. Penerapan bioteknologi di pemuliaan tanaman hutan dilihat sebagai sebuah kesempatan untuk mendapatkan informasi baru mengenai tingkat, pola dan fungsi keragaman genetik pohon, rendahnya tingkat domestikasi pohon BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
129
hutan, siklus hidup yang panjang, keragaman spesies, rendahnya heritabilitas sifat yang menarik, interaksi antara genotype dan lingkungan dan untuk menyediakan varietas pohon baru serta bahan reproduksi disesuaikan dengan perubahan lingkungan, lingkungan sosial dan ekonomi. Bioteknologi menyediakan alat penting bagi pembangunan berkelanjutan sektor kehutanan di Indonesia. Setelah percobaan pertama tentang pemetaan genetik dan pemuliaan tanaman hutan dilakukan, muncul harapan akan adanya teknik molekuler yang cepat dan akurat untuk dijadikan dasar seleksi awal tanaman untuk sifat pertumbuhan dan sifat kayu serta peningkatan mutu kualitas benih dan bibit tanaman kehutanan. Perkembangan ilmu bioteknologi terbukti mampu menjembatani program pemuliaan tanaman ini menjadi lebih cepat dan terarah. Bioteknologi hutan berhubungan dengan suatu spektrum ilmu biologi modern yang meliputi semua aspek pemuliaan pohon dan kloning, DNA genotyping, manipulasi gen dan transfer gen. Bioteknologi hutan dapat dibagi menjadi beberapa cara yaitu propagasi, penanda molekuler, Marker-assisted selection (MAS) dan Marker assisted breeding, genomics (transcriptomic, proteomics, metabolomic), dan rekayasa genetik Yanchuk 2001Wheeler 2004 Henderson and Walter 2006Trontin et al. 2007. Aplikasi teknik-teknik bioteknologi modern mampu membantu mempercepat
memperoleh benih dan bibit yang
berkualitas. Karakter spesifik pada tanaman hutan yang biasanya dijadikan dasar program pemuliaan tanaman hutan berbeda-beda bergantung pada tujuan pemuliaannya itu sendiri. Parameter yang biasanya dijadikan dasar pemuliaan pohon antara lain parameter pertumbuhan, sifat fisik-kimia kayu, resistensi terhadap penyakit, tahan cekaman kekeringan, resistensi terhadap suhu ekstrim dan lain-lain. Sifat-sifat dasar pertumbuhan seperti tinggi batang, diameter, bebas cabang, kelurusan batang masih dapat diukur dan diamati secara konvensional. Lain halnya dengan kandungan sifat fisika dan kimia ataupun sifat resistensi. Hal ini karena pada sifat-sifat tersebut berhubungan langsung dengan mekanisme biologi sel baik itu berupa pertumbuhan jaringan xylem-phloem ataupun suatu mekanisme biosintesis. Dalam hal ini teknik genetika komparatif tidak mampu mendeskripsikan apa yang terjadi pada yang terjadi pada gen dan/atau kumpulan gen sehingga gengen tersebut mampu mengekspresikan suatu sifat karakteristik tertentu pada suatu jenis tanaman hutan. Namun adanya teknologi genomik memfasilitasi pemahaman kita tentang mekanisme molekuler yang mengontrol pembentukan kayu melalui penemuan gen baru yang diferensial dan / atau memiliki signifikansi biologis dalam pertumbuhan sekunder. Studi komparatif antara ekspresi gen (transcriptomic) dan profil protein (proteomics) akan memudahkan pemahaman secara komprehensif tentang tahapan biokimiawi dan molekuler selama proses transkripsi RNA dan mekanisme biosintesa lainnya pada suatu pohon dengan karakteristik tertentu. 130
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Teknologi Genomik, dalam pengertian umum adalah kemajuan dalam peningkatan teknologi pada setiap level penelitian terhadap DNA (genomics), dan RNA (transcriptomics), protein (proteomic), metabolit (metabolomic) dan fenotip (phenomic) (Tabel 1).Henry 2010 Tabel 1 Genomik dan hubungannya dengan ilmu-ilmu “omics” lainnya
Omic Genomics Transcriptomics Proteomics Metabolomics Phenomics
Level DNA RNA Protein Metabolite Phenotype
Penelitian genom pada tanaman kehutanan semakin banyak dilakukan untuk mendukung program pemuliaan tanaman dengan cara memperbaiki genetik dan mengembangkan alat diagnostik untuk pemulihan, pelestarian dan pengelolaan populasi alam. Menurut Neale dan Kremer 2011, penelitian genom di tanaman kehutanan didorong oleh dua tujuan utama. Tujuan pertama adalah pemuliaan dan perbaikan genetik dari beberapa spesies untuk mempersingkat rotasi tanaman yang dapat tumbuh di bawah silvikultur intensif. Penelitian terhadap tujuan ini berusaha untuk mengembangkan pasokan yang berkelanjutan dari produk serat kayu. Tujuan kedua adalah pengelolaan sebagian besar populasi tanaman kehutanan yang masih asli dan berumur panjang. Tujuan ini akan dicapai dengan menguraikan distribusi dan evolusi keanekaragaman adaptif dalam konteks ekologi dan evolusi. Teknologi gen yang modern menyediakan berbagai macam teknik untuk pemuliaan tanaman kehutanan termasuk analisa genetik dan teknik pendeteksi sistem perkawinan secara molekuler berdasar pada teknik genomik dan ekspresi gen. Teknik-teknik ini dapat membantu keberhasilan program bioteknologi di sektor kehutanan tanpa secara khusus membuat tanaman kehutanan hasil rekayasa genetik. Hasil teknologi gen modern yang diaplikasikan pada tanaman kehutanan dapat dilihat di hutan tanaman dan terutama pada tanamantanaman klonal pada periode waktu pendek sampai menengah. Baginsky 2009 memaparkan hubungan antar unsur-unsur dasar ilmu biologi dengan beberapa komplek interaksi antara DNA, RNA, protein dan metabolit. Hubungan itu meliputi regulasi transkripsi dan aktivitas enzim melalui akumulasi metabolit, sintesis dan degradasi asam nukleat (DNA, RNA) oleh protein, peraturan interaksi asam nukleat dengan protein dan dengan satu sama lain. Untuk semua kegiatan penelitian berbasis DNA dapat digolongkan kedalam ilmu Genomics, sementara penelitian untuk mengetahui proses dan hasil dari transkripsi RNA digolongkan menjadi Transcriptomics. Proteomics adalah salah satu cabang ilmu yang mempelajari BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
131
tentang biosintesa protein dan berhubungan erat dengan transcriptomic karena produk dari transcriptomic adalah berupa asam-asam amino yang akan membentuk rangkaian protein komplek; sedangkan Metabolomics mempelajari semua senyawa metabolit yang dihasilkan oleh suatu organisme. Penelitian menggunakan metode genomik terutama transcriptomic dan proteomic telah banyak dilakukan, namun belum terlalu populer di Indonesia, terutama untuk tanaman kehutanan. Untuk itu tulisan ini mencoba memaparkan dua macam teknik genomik tersebut sebagai salah satu usaha untuk mengidentifikasi sifat-sifat atau karakter spesifik tertentu pada suatu pohon. Diharapkan adanya tulisan ini akan membuka wawasan kita tentang salah satu ilmu bioteknologi modern yang terbukti mampu mempercepat proses pemuliaan tanaman hutan.
A. TRANSCRIPTOMICS Transcriptomics adalah penghitungan transcriptome, yaitu satu set transkrip lengkap terdiri dari dari sel atau populasi sel, yang meliputi protein-coding mRNA dan non-coding kecil RNA (misalnya ribosom, tRNA, miRNA) dan kelimpahannya, untuk tahap perkembangan tertentu atau kondisi fisiologis tertentu Schulze and Downward 2001Stears and Martinsky 2003Wang et al. 2009. Transcriptomic merupakan suatu teknik yang mengandalkan metode high-throughput yang secara akurat menentukan atau memetakan perubahan dalam ekspresi gen global dalam genomik fungsional. Tujuan dari penelitian menggunakan metode ini adalah untuk mendapatkan tingkat ekspresi gen yang tinggi dan untuk membuat suatu database gen teridentifikasi yang berkontribusi pada transkripsi RNA. Database gen ini memberikan kemampuan untuk mengidentifikasi perbedaan kuantitatif dan kualitatif dalam ekspresi gen ketika membandingkan beberapa populasi mRNA. Teknik ini mampu mengukur ekspresi puluhan ribu gen dalam satu waktu dan digunakan untuk menemukan gen baru dan penentuan fungsi gen. Gen dengan pola ekspresi yang sama seringkali berfungsi dalam proses biologis yang sama. Jadi pada prinsipnya metode transcriptomic ini adalah untuk mengetahui transkripsi RNA dari suatu organisme. Transkripsi RNA ini berhubungan erat dengan ekspresi gen atau kumpulan gen terhadap suatu sifat atau karakteristik tertentu. Berbeda dengan genom, transcriptome suatu organisme dapat bervariasi dengan kondisi lingkungan eksternal. Metode transcriptome mampu menganalis banyak gen secara paralel. Tahapan pekerjaan penelitian transcriptome secara umum adalah pengambilan sampel, isolasi total RNA, purifikasi RNA, microarray, dan analisa data. Pada dasarnyanya, ribuan cDNA atau oligonucleotida yang didapat dari EST (expressed sequence tags) digunakan untuk membuat 132
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
microarray DNA Lockhart and Winzeler 2000Selinger et al. 2000, yang kemudian dihibridisasi dengan mRNA dari tanaman dengan suatu karaketer tertentu. Gen atau kumpulan gen yang memperlihatkan perbedaan ekspresi gen kemudian diseleksi untuk penelitian lebih lanjut. Umumnya, analisa transcriptomic menggunakan microarray, walaupun tidak tertutup kemungkinan menggunakan teknik lainnya, seperti Serial analysis of gene expression (SAGE), fingerprinting cDNA, dan EST. Metode pengurutan gen-gen pada transkripsi RNA lebih lengkap didapatkan dengan menggunakan metode sekuensing RNA (RNA-seq). Sekuensing dapat dilakukan dengan berbagai platform untuk menguji banyak ide dan hipotesis. Misalnya, menggunakan platform Genome Analyzer Illumina, untuk sekuensing transcriptomes mamalia Mortazavi et al. 2008, SOLID ABI Sekuensing untuk transcriptomes sel profil induk Cloonan et al. 2008 atau 454 Sequencing Life Science untuk menemukan SNP pada jagung. Barbazuk et al. 2007. Lister et al.2009 dan Morozova et. al 2009 memberikan penjelasan yang detail mengenai penggunaan beberapa alat sekuensing RNA modern dan canggih. Penelitian sekuensing transcriptome terbaru dipaparkan oleh Wang 2010 dengan menggunakan mesin sequencing UHTS (ultra high-throughput sequencing) untuk mendapatkan susunan gen hasil transkripsi RNA secara lengkap dan detil. Kemajuan luar biasa didapat dari penelitian transcriptome pada Arabidopsis thaliana. Pemetaan gen-gen yang mempengaruhi fungsi kerja hormon, kontrol transkripsi dan faktor lainnya telah dilakukan Busov et al. 2008. Ulasan yang dilakukan oleh Groover dan Robischon 2006 memaparkan bukti molekuler bahwa gen-gen tertentu yang terlibat dalam pembentukan kayu adalah suatu gen yang unik dan bahwa jaringan meristem apikal serta jaringan kambium vaskular sama-sama berpengaruh pada proses pembentukan kayu. Street et al 2008 mengembangkan penelitian transcriptomic untuk mengidentifikasi gen-gen yang berkontribusi pada pembentukan dan perkembangan daun pada tanaman Arabidopsis. Sehubungan dengan adanya fakta bahwa pertumbuhan tanaman dihasilkan dari proses differensiasi dan ekspansi sel terutama jaringan meristem dan apikal, maka banyak penelitian transcriptomic yang berfokus untuk mengidentifikasi gen pengatur pertumbuhan dan perkembangan Demura and Fukuda 2007. Penelitian transcriptomic tentang proses transkripsi pada pertumbuhan kambial diferensiasi jaringan xylem pada tanaman Populus dilakukan oleh Hertzberg et al 2001. Studi transcriptome untuk mengetahui ketahanan suatu tanaman terhadap serangan hama dilakukan pada tahun 2006 oleh Thompson dan Goggin. Coleman et. al 2005 memaparkan penggunaan metode transcriptomic ini untuk mempelajari respon Arabidopsis thaliana terhadap methanol yang merupakan salah satu polutan pada air buangan pabrik.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
133
B. PROTEOMICS Proteomic adalah ilmu yang mempelajari tentang protein baik itu struktur protein maupun fungsi protein. Protein merupakan bagian penting dari organisme hidup, karena mereka adalah komponen utama dari jalur metabolisme fisiologis sel. Istilah "proteomik" diciptakan untuk membuat analogi dengan genomik, studi tentang gen. Kata "proteome" adalah campuran dari "protein" dan "genom. Proteome adalah komplemen seluruh protein termasuk modifikasi yang dilakukan untuk satu set tertentu protein, yang dihasilkan oleh organisme atau sistem. Ini akan bervariasi dengan waktu dan persyaratan yang berbeda, atau stres yang dialami oleh suatu sel atau organisme. Setelah genomik dan transcriptomik, proteomik dianggap langkah berikutnya dalam studi sistem biologi. Metode ini jauh lebih rumit daripada genomik terutama karena proteome organisme tidak konstan dan berbeda dari sel ke sel dan dari waktu ke waktu. Hal ini karena gen yang berbeda dinyatakan dalam tipe sel yang berbeda. Ini berarti bahwa bahkan set dasar protein yang diproduksi dalam sel perlu ditentukan. Di dalam proses proteomic mRNA tidak selalu diterjemahkan ke dalam protein dan jumlah protein yang diproduksi untuk suatu jumlah mRNA tergantung pada gen yang ditranskripsi dan keadaan fisiologis sel. Tujuan dari proteomik adalah deskripsi komprehensif kuantitatif ekspresi protein dan perubahannya. Studi tentang proteomic membutuhkan sarana analisa data berbasis komputasi yang lengkap termasuk didalamnya adalah alat elektroforesis gel, kristalografi, infrared dan spectroscopy massa dan peralatan peralatan MALDI-TOF (matrix laser desorption/ionization-time of flight). Peralatan biokimia terpenting untuk metode proteomic adalah spektrometri massa (MS)McDonald and III 2000Mann et al. 2001 dan gel elektrophoresis 2-dimensi McDonald and III 2000Gorg et al. 2004. Umumnya tahapan pekerjaan proteomic dimulai dari pengambilan sampel, ekstraksi protein, pemisahan protein menggunakan elektroforesis, purifikasi protein menggunakan kromatografi, deteksi protein menggunakan gel elektrophoresis 2-dimensi, analisa gambar, peptida fingerprinting, analisa susunan asam amino, database, karakterisasi protein, dan studi fungsional protein. Proteomics belum terlalu banyak digunakan untuk tanaman kehutanan, namun tidak menutup kemungkinan banyaknya keuntungan yang diperoleh bila menerapkan metode ini. Sebagai contoh, studi proteomik yang dilakukan pada Picea glauca. Penelitian ini mengidentifikasi sejumlah ekspresi protein yang berbeda-beda pada tahapan embrio somatik pada tanaman Picea glauca Lippert et al. 2005.
Proteomik memudahkan kita mengetahui dan memahami variasi
ekspresi gen/protein yang ditemukan dalam suatu spesies tanaman hutan, sehingga tersedia banyak kandidat gen ekspresional yang bisa digunakan untuk menelusuri sifat-sifat tertentu seperti 134
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
toleransi terhadap suhu dingin dan panas, kekeringan, tahan penyakit dan fenologi. Beberapa penelitian tentang proteomic diantaranya adalah yang dilakukan oleh Costa et al pada tahun 1999 yaitu tentang identifikasi pembentukan protein pada daun dan xylem tanaman Pinus laut. Coleman et al 2005 memaparkan penerapan metode proteomic untuk menganalisa jaringan apoplast dari tanaman Arabidopsis thaliana sebagai bagian dari mekanisme respon terhadap faktor biotik dan abiotik, sedangkan studi pendekatan proteomic untuk menganalisa respon kekeringan dan kadar garam pada tanaman padi dilakukan oleh Salekdeh et al pada tahun 2002. Yuan et al 2011, menggunakan teknik proteomic untuk mempelajari sistem proteome pada sel kloroplas tanaman Populus dan berhasil mengidentifikasi 119 jenis protein. Gambar 1 menunjukkan hubungan antara genomic, transcriptomic dan proteomic pada proses transkripsi RNA dan translasi. Hasil penelitian transcriptomic yang berupa gen atau susunan gen-gen yang mengekspresi suatu karakter akan diteruskan pada proses translasi. Pada tahap ini gen-gen tersebut akan berproses membentuk asam amino-asam amino yang akhirnya akan membentuk rangkaian protein komplek. Pada proses inilah teknik proteome sangat perlu diterapkan untuk mengetahui seberapa banyak gen-gen hasil transkripsi ditranslasi menjadi protein dan apakah protein-protein tersebut mempunyai struktur dan fungsi tertentu yang berpengaruh pada suatu organisme. Beberapa penelitian yang menggabungkan teknik proteomic dengan transcriptomic diantaranya adalah Ricorch et al pada tahun 2011 yang memaparkan tentang penggunaan teknik transcriptomic dan proteomics secara bersamaan untuk mendeteksi gen-gen yang ditransferkan pada suatu tanaman hasil rekayasa genetik. Hal ini dilakukan untuk mengetahui adanya penyimpangan fungsi gen tersebut dan menanggulangi efek yang mungkin ditimbulkan dari penyimpangan fungsi tersebut. Integrasi teknik proteomic dan transcriptomic juga dilakukan pada tanaman white spruce untuk menginvestigasi kondisi fisiologis tanaman tersebut dalam kondisi aktif dan dorman Leonardo et al. 2012. Teknik transcriptomic-proteomic juga digunakan pada analisa penyakit tanaman Tan et al. 2009.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
135
(NVSUHVLJHQ PHQJJXQDNDQ DQDOLVDPLFURDUUD\ '1$
7UDQVFULSWRPH
'ĞŶŽŵĞ 'ĞŶ
,GHQWLILNDVLSURWHLQ PHQJJXQDNDQJHO HOHNFWURSKRUHVLVGLPHQVL GDQVSHFWURPHWULPDVVD
ŵZE
3URWHRPH 0RGLILNDVL SURWHLQ
WƌŽƚĞŝŶ
Gambar 1. Penerapan studi genomic, transcriptomic dan proteomic secara global.
II. TRANSCRIPTOMIC-PROTEOMIC UNTUK TANAMAN HUTAN Tanaman kehutanan dikenal sebagai tanaman dengan daur hidup yang panjang. Dibandingkan dengan tanaman pertanian, pemuliaan genetik tanaman kehutanan membutuhkan waktu yang panjang. Dimulai dari tahapan pembangunan populasi dasar hingga mencapai populasi pemuliaan, sejak mulai dari pemilihan individu tanaman sampai pada pemanenan benih dari kebunkebun benih telah memakan waktu hampir seperlima abad pada jenis-jenis yang cepat tumbuh. Memang cara konvensional ini terbukti mampu menghasilkan benih dan bibit tanaman kehutanan yang berkualitas, namun mengingat kebutuhan kayu oleh pasar dunia yang semakin meningkat diperlukan suatu usaha untuk mempercepat perolehan benih dan bibit tanaman kehutanan yang berkualitas. Selain itu juga parameter-parameter pemuliaan tanaman secara konvensional yang digunakan untuk seleksi pohon sangat terbatas, karena biasanya menitikberatkan pada parameter pertumbuhan. Faktor perubahan iklim global dan peningkatan suhu bumi juga memberikan pengaruh yang tidak bisa diabaikan. Adanya terobosan baru dalam bidang genomik dengan merapkan metode transcriptomic dan proteomic ini diharapkan akan mempercepat proses pemuliaan tanaman hutan. Kedua metode ini mampu mengidentifikasi sifat atau karakter spesifik suatu organisme sampai ke tingkatan sel. 136
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Pemuliaan tanaman hutan selalu didasarkan pada seleksi fenotip yang kemudian diikuti dengan penerapan teknik perkawinan yang berbeda-beda. Seleksi karakter/sifat yang menjadi prioritas utama adalah seleksi pertumbuhan dan produksi. Karakter lainnya yang kemudian dipertimbangkan seperti misalnya ketahanan terhadap serangan penyakit dan hama, pembentukan kayu (sifat fisik dan kimia kayu) dan toleransi terhadap cekaman abiotik yang ekstrem. Semua karakter tersebut diatas dipengaruhi oleh satu gen atau kumpulan gen-gen tertentu. Disinilah metode transcriptomic dan proteomic bisa dijadikan alat untuk membantu mempercepat proses seleksi tanaman dalam program pemuliaan tanaman hutan. Sebagai contoh pada tanaman Acacia mangium. Tanaman Acacia mangium telah dikembangkan secara besar-besaran berdasarkan parameter pertumbuhan. Tanaman ini dikenal sebagai bahan baku pulp dan kertas sehingga beberapa tahun ini dikembangkanlah pemuliaan tanaman A. mangium berdasarkan potensi kadar lignin dan selulosanya, sebagaimana kita tahu bahwa proses pembuatan bubur pulp dan kertas memerlukan kadar lignin yang rendah untuk menekan biaya delignifikasi. Metode transcriptomic dan proteomic dapat diterapkan disini untuk membantu penyeleksian tanaman dengan cara menyusun suatu database gen pengendali rendemen pulp yaitu gen-gen yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung pada biosintesa lignin dan selulosa. Teknik rekayasa untuk memanipulasi kadar lignin memang belum teruji, namun penanda EST lignin dan selulosa serta serial data cDNA gen penyusun lignin dan selulosa telah banyak ditemukan dan telah tercatat di database gen. Apabila sekumpulan gen pengendali lignin (EST lignin) telah dapat diidentifikasi dari mangium langkah selanjutnya adalah mencari korelasi antara sekumpulan data EST tersebut dengan kadar lignin. Proses biokimia pembentukan lignin telah dapat diuraikan dengan jelas Peter and Neale 2004 dan menyediakan kandidat komponenkomponen gen yang bisa digunakan untuk analisa dalam level genome. Pada akhirnya, kita akan mendapatkan individu-individu tanaman A. mangium yang mempunyai potensi sebagai sumber bahan baku pulp yang telahteruji secara genetis tanpa harus menyeleksi ribuan pohon dan tanpa harus melakukan penanaman berstruktur yang jelas akan memakan waktu panjang. Serangan penyakit fusiform rust disebabkan oleh Cronartium quercuum (Berk.) Mayabe ex. Shirai f.sp. fusiforme dan pitch canker disebabkan oleh Fusarium circinatum Nirenberg & O’Donnell, sebelumnya disebut F. subglutinans f. sp. Pini pada tanaman loblolly pine dan slash pine diidentifikasi menggunakan metode transcriptomic proteomic. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan mekanisme serangan pada tingkatan ekspresi gen dari kedua tanaman inang tersebut Davis et al. 2004. Perbedaan serangan penyakit membawa pengaruh pada perbedaan mekanisme resistensi tanaman terhadapa penyakit dan telah dipelajari dalam tingkatan ekspresi gen Morse et al. 2004. BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
137
III. KESIMPULAN Pada akhirnya tanaman kehutanan memerlukan suatu metode baru pemuliaan tanaman karena pemuliaan tanaman secara konvensional memakan waktu lama dan teknik genetika komparatif yang selama ini sudah dilakukan tidak efektif mendeskripsikan apa yang terjadi pada gen dan/atau kumpulan gen tertentu. Informasi menyeluruh tentang genom tanaman hutan akan mengubah cara pemuliaan tanaman hutan. Dengan adanya dukungan dari semua pihak dan dengan ketersediaan sarana-prasarana pelaksanaan pengembangan dan penerapan teknologi transcriptomic dan proteomic dapat dilakukan untuk membantu mempercepat seleksi tanaman kehutanan untuk mendukung program pemuliaan tanaman hutan. DAFTAR PUSTAKA Baginsky, S. (2009). "Plat proteomics: Concepts, applications and novel strategies for data interpretation." Mass Spectrometry Reviews 28: 93-120. Barbazuk, W. B., S. J. Emrich, H. D. Chen, L. Li and P. S. Schnable (2007). "Snp discovery via 454 transcriptome sequencing." The Plant Journal 51(5): 910-918. Busov, V. B., A. M. Brunner and S. H. Strauss (2008). "Genes for control of plant stature and form." New Phytol (177): 589-607. Cloonan, N., A. Forrest, G. Kolle, B. B. Gardiner, G. J. Faulkner, M. K. Brown, D. F. Taylor, A. L. Steptoe, S. Wani, G. Bethel, A. J. Robertson, A. C. Perkins, S. J. Bruce, C.CLee, S. s. Ranade, H. E. Peckham, J. M. Manning, K. J. McKernan and S. M. Grimmond (2008). "Stem cell transcriptome profiling via massive-scale mrna sequencing." Nature Methods 5(7): 613-619. Coleman, J. O. D., R. P. Haslam and A. L. Downie (2005). "Transcriptomics and proteomics tools for optimising phytoremediation activities." Z. Naturforsch(60 c): 544-548. Davis, J. M., A. M. Morse, D. A. Huber, C. D. Nelson and S. F. Covert. (2004). "Genetic architecture of loblolly pine interactions with contrasting pathogens." Phytopathology 94: S133. Demura, T. and H. Fukuda (2007). "Transcriptional regulation in wood formation." Trends Plant Science 12: 64-70. Gorg, A., W. Weiss and M. J. Dunn (2004). "Current two-dimensional electrophoresis technology for proteomics." Proteomics 4: 3665-3685. Groover, A. and M. Robischon (2006). "Developmental mechanisms regulating secondary growth in woody plants." Current Opinion in Plant Biology(9): 55-58. Henderson, A. R. and C. Walter (2006). "Genetic enginering in conifer plantaion forestry." Silvae Genetica 55(6): 253-262. Henry, R. J. (2010). An overview of advances in plant genomics in the new millenium. Principles and practices of plant genomics. C. Kole and A. G. Abbot. South Carolina, USA, Science Publishers. 3: 1-23. Hertzberg, M., H. Aspeborg, J. Schrader, A. Anderson, R. Erlandsson, K. Blomqvist, R. Bhalerao, M. Uhlen, T. T. Terri and J. Lundeberg (2001). "A transcriptional roadmap to wood formation." Proc Natl Acad Sci USA(98): 14732-14737. Leonardo, M., G. Gonzales, W. E. Kayal, C. J. T. Ju, C. C. G. Allen, S. King-Jones and J. E. K. Cooke (2012). "Integrated transcriptomic and proteomic profilling of white spruce stems during the transition from active growth to dormancy." Plant, Cell and Environment 35: 682-701. Lippert, D., J. Zhuang, S. Ralph, D. E. Ellis, M. Gilbert, R. Olafson, K. Ritland, B. Ellis, C. J. Douglas and J. Bohlmann (2005). "Proteome analysis of early somatic embryogenesis in picea glauca."
138
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Proteomics 5(2): 461-473. Lister, R., B. D. Gregory and J. R. Ecker (2009). "Next is now: New technologies for sequencing of genomes, transcriptomes and beyond." Current Opinion in Plant Biology 12: 107-118. Lockhart, D. J. and E. A. Winzeler (2000). "Genomics, gene expression and DNA arrays." Nature 405: 827836. Mann, M., R. C. Hendrickson and A. Pandey (2001). "Analysis of protein and proteomes by mass spectrometry." Annual Review of Biochemicals 70: 437-473. McDonald, W. H. and J. R. Y. III (2000). "Proteomic tools for cell biology." Traffic Munksgaard International Publishers 1: 747-754. Morozova, O., M. Hirst and M. A. Marra (2009). "Application of new sequencing technologies for transcriptome analysis." Annual Review of Genomics and Human Genetics 10: 131-151. Morse, A. M., C. D. Nelson, S. F. Covert, K. E. Smith and J. M. Davis (2004). "Pine genes regulated by the necrotrophic pathogen, fusarium circinatum." Theor. Appl. Genet. 109: 922-932. Mortazavi, A., B. A. Williams, K. McCue, L. Schaeffer and B. Wold (2008). "Mapping and quantifying mammalian transcriptomes by rna-seq." Nature Methods 5(7): 621-628. Neale, D. B. and A. Kremer (2011). "Forest tree genomics: Growing resources and applications." Nature Reviews Genetics 12: 111-122. Peter, G. and D. Neale (2004). "Molecular basis for the evolution of xylem lignification." Current Opinion in Plant Biology 7: 737-742. Ricroch, A. E., J. B. Berge and M. Kuntz (2011). "Evaluation of genetically engineered crops using transcriptomic, proteomics, and metabolomic profilling techniques." Plant Physiology 155: 17521761. Salekdeh, G. H., J. Siopongco, L. J. Wade, B. Ghareyazie and J. Bennett (2002). "A proteomic approach to analyzing drought- and salt-responsiveness in rice." Field Crops Research 76(2-3): 199-219. Schulze, A. and J. Downward (2001). "Navigating gene expression using microarrays-a technology review." Nat Cell Biol 3: 190-195. Selinger, D. W., K. J. Cheung and R. Mei (2000). "Rna expression analysis using a 30 base pair resolution escherichia coli genome array." Nature Biotechnology 18: 1262-1268. Stears, R. L. and T. Martinsky (2003). "Trends in microarray analysis." NatMed(9): 140-145. Street, N. R., A. Sjodin, M. Bylesjo, P. Gustafsson, J. Trygg and S. Jansson (2008). "A cross-species transcriptomics approach to identify genes involved in leaf development." BMC Genomics 9: 589607. Tan, K.-C., S. V. S. IPCHO, R. D. TRENGOVE, R. P. OLIVER and P. S. SOLOMON (2009). "Assessing the impact of transcriptomics, proteomics, and metabolomics on fungal phytopathology." Molecular Plant Pathology 10(5): 703-715. Trontin, J. F., C. Walter, K. Klimaszewska, Y. S. Park and M. A. Walter (2007). "Recent progress in genetic transformation of four pinus spp. ." Transgenic Plant Journal 1(2): 314-329. Wang, L., P. Li and T. P. Brutnell (2010). "Exploring plant transcriptomes using ultra high-thoughput sequencing." Briefings in Functional Genomics 9(2): 118-128. Wang, Z., M. Gerstein and M. Snyder (2009). "Rna-seq: A revolutionary tool for transcriptomics." Nat. Rev. Genet 10: 57-63. Wheeler, N. (2004). A snapshot of the global status and trends in forest biotechnology, In FAO. 2004b q.v. Yanchuk, A. D. (2001). "The role and implications of biotechnological tools in forestry." Unasylva 204: 5361. Yuan, H. M., K. L. i, R. J. Ni, W. D. Guo, Z. Shen, C. P. Yang, B. C. Wang, G. F. Liu, C. H. Guo and J. Jiang (2011). "A systematic proteomic analysis of populus chloroplast by using shotgun method." Mol. Biol. rep 38(5): 3045-3054.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
139
140
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
VERIFIKASI ASAL-USUL KAYU MERBAU (Intsia bijuga) MENGGUNAKAN PENANDA DNA: STRATEGI DAN STATUS PENELITIAN AYPBC Widyatmoko dan Anto Rimbawanto Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta Email:
[email protected]
ABSTRAK Merbau (Instia bijuga) merupakan salah satu jenis pohon penghasil kayu keras berkualitas tinggi yang termasuk dalam suku Fabaceae (Leguminosae). Kayunya dimanfaatkan untuk pembuatan kusen, pintu dan jendela, lantai parket (parquet flooring), papan-papan dan panel, dan lain-lain. Di Indonesia, jenis ini secara alami tersebar dari Sumatera sampai Papua. Jenis ini sudah masuk dalam daftar IUCN Red List of Threatened Species tahun 2006 sebagai “Vulnerable under the category VU A1cd”. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah membangun data base struktur genetik dari populasi alam merbau guna memverifikasi asal-usul kayu merbau. Penelitian ini secara garis besar terbagi menjadi 5 kegiatan, yaitu: 1) Koleksi materi genetik dari populasi alam (Papua, Maluku dan Sulawesi), 2) Pengembangan metode ekstraksi DNA untuk kayu, 3) Pengembangan penanda DNA untuk merbau (SSR dan SNPs), 4) Pembangunan database struktur genetik, dan 5) Verifikasi asal usul kayu berdasarkan database yang telah dibangun. Beberapa hasil yang telah diperoleh adalah; 1) Keragaman genetik dan jarak genetik 4 populasi menggunakan penanda RAPD, 2) Ekstraksi DNA kayu menggunakan DNAeasy kit, 3) Materi genetik merbau dari 18 populasi yang tersebar di Papua, Maluku dan Sulawesi, dan 4) Variasi sekuensing pada 4 kloroplas DNA non-coding region. Di akhir Desember 2014, diharapkan dapat disusun database struktur genetik populasi merbau berdasarkan 3 penanda DNA (chloroplast DNA, SSR and SNPs) yang dapat digunakan sebagai alat verifikasi asal-usul kayu merbau. Key Words: Instia bijuga, struktur genetik, data base, penanda DN
I. PENDAHULUAN Penebangan liar (illegal logging) memberikan dampak yang cukup besar terhadap deforestasi, dampak lingkungan dan biodiversitas. Chain of Custody (CoC) merupakan sistem yang diberlakukan untuk mengurangi terjadinya illegal logging. Sebagian besar metode yang digunakan dalam CoC masih melalui pendekatan dokumen atau pelabelan (labeling). Sayangnya, sistem yang digunakan saat ini masih membuka kesempatan untuk terjadinya pelanggaran. Metode yang lebih akurat untuk mengatasi permasalahan ini adalah menggunakan penanda DNA. DNA dari sepotong kayu akan selalu terkandung di dalamnya, akan selalu terbawa dan tidak dapat/susah untuk dihilangkan/dirusak (Degen dan Fladung 2007). Merbau (Intsia bijuga) merupakan salah satu jenis kayu yang bernilai ekonomis tinggi di Asia Tenggara karena berwarna gelap, bertekstur indah dan kuat. Pemanfaatan yang utama dari BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
141
kayu merbau saat ini adalah sebagai bahan flooring, mebel eksterior, tangga, lemari dan dek. Merbau tersebar secara alami di Pasifik bagian barat dan wilayah Indonesia-Malaysia, dari New Guinea dan Palau di bagian barat sampai Fiji, Tonga dan Samoa di bagian tenggara sampai ke Mariana, Caroline dan Kepulauan Marshall di bagian utara, serta bagian timur laut di Pasifik. Jenis ini ditemukan di Madagaskar, Seychelles, Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipin, Papua New Guinea, dan Australia. Di Indonesia, jenis ini secara alami tersebar mulai dari Sumatera sampai Papua. Tetapi karena banyaknya penebangan liar dan eksploitasi yang berlebihan, dewasa ini merbau hanya tersisa di Papua, Maluku dan sekitarnya. Berdasarkan The IUCN Red List of Threatened Species tahun 2006, I. bijuga terdaftar sebagai Vulnerable dalam kategori VU A1cd. Tetapi hal tersebut belum dilakukan review ulang sejak tahun 1994. Dengan demikian, keberadaan jenis merbau cukup mengkawatirkan. Mendeteksi asal-usul geografis dari sampel kayu, dibutuhkan koleksi sampel yang memadai dan genotyping dari populasi yang tersebar pada sebaran alaminya.
Kemampuan untuk
mendeteksi asal usul sampel kayu yang berasal dari suatu wilayah tergantung dari jumlah sampel, jumlah penanda polimorfik dan keragaman genetik dari populasi yang digunakan (Dykstra et al., 2003; Lowe, 2007). Finkeldey et al. (2007) mencoba untuk mengidentifikasi dipterokarpa menggunakan penanda genetika molekuler. Walaupun tidak mudah untuk mendeteksi asal usul individu terhadap populasinya berdasarkan informasi penanda DNA, sistem ini akan sangat bermanfaat untuk tujuan pengontrolan. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah untuk menyusun database struktur genetik dari populasi alami merbau untuk memverifikasi asal-usul kayu merbau yang diperkirakan berasal dari penebangan liar. II. RENCANA PENELITIAN Implementasi dari kegiatan penelitian ini dibagi menjadi beberapa kegiatan yang berkesinambungan. Kegiatan awal yang menjadi prioritas adalah koleksi materi genetik. Pada waktu yang bersamaan, dilakukan juga pengembangan metode ekstraksi DNA untuk kayu. 142
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Kegiatan selanjutnya yang dilakukan di laboratorium adalah ekstraksi DNA dari bahan daun dan kayu, purifikasi, reaksi PCR, elektroforesis dan skoring data, serta analisis dan interpretasi. Penanda DNA yang digunakan untuk kegiatan penelitian ini adalah sekuensing dari kloroplas DNA, mikosatelit atau SSR (simple sequence repeat) dan SNPs (Single Nucleotide Polymorphism). Alur dari kegiatan penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Ȁ
Ǧ
Gambar 1. Alur kegiatan penelitian
Uraian singkat kegiatan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Koleksi materi genetik merbau dari sebaran alaminya (Papua, Maluku dan Sulawesi) Koleksi materi genetik (daun dan kayu) dilakukan dari sebaran alam merbau yang tersebar di 3 pulau, yaitu Papua, Kepulauan Maluku dan Sulawesi. Koleksi tersebut sebagian besar dilakukan di wilayah Papua, mengingat sebaran alami merbau yang terluas adalah di wilayah tersebut. Daun akan dikumpulkan dari minimal 20 pohon yang tidak berkerabat. Materi kayu dikumpulkan mewakili beberapa populasi yang akan dikoleksi. 2. Pengembangan metode ekstraksi DNA dari kayu Ekstraksi DNA dari daun atau biji jauh lebih mudah daripada kayu. Berbagai macam metode ekstraksi DNA untuk daun dan biji telah dikembangkan, tetapi metode untuk ekstraksi DNA
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
143
kayu masih terbatas. Pada kegiatan penelitian ini, ekstraksi total DNA dari kayu akan dilakukan menggunakan metode yang sudah dikembangkan dan modifikasi dari metode-metode tersebut. 3. Pengembangan penanda DNA untuk merbau Masing-masing penanda DNA mempunyai sifat dan karakteristik yang membuat mereka dapat digunakan untuk verifikasi asal-usul kayu atau tidak. Beberapa penanda DNA bersifat umum (universal), dimana dapat digunakan untuk berbagai species, sedangkan penanda lainnya bersifat species-specific. Oleh karenanya, primer universal dapat langsung digunakan dari yang sudah dikembangkan, sedangkan penanda spesifik harus dikembangkan untuk masing-masing species. Penanda kloroplas dan mitokondria pada jenis daun lebar pada umumnya diturunkan dari ibunya (maternally inherited) dan biasanya menunjukkan struktur geografis yang cukup kuat walaupun variasinya relative rendah. Berbeda dengan penanda nuklear, penanda ini diturunkan oleh kedua induknya (bi-parentally inherited) dan mempunyai variasi yang sangat tinggi, walaupun kurang mencerminkan struktur geografisnya. Penanda DNA spesifik untuk identifikasi asal-usul merbau belum banyak dikembangkan. Oleh karenanya, pada penelitian ini baik kloroplas dan nuklear DNA akan digunakan. Penanda nuclear DNA seperti microsatellite dan SNPs (single nucleotide Polymorphic DNA) akan dikembangkan karena kedua penanda ini mempunyai variasi yang sangat tinggi sehingga akan berguna untuk identifikasi populasi atau individu. 4. Pembangunan Database Pembangunan database genetik dari populasi merbau merupakan syarat utama untuk mengaplikasikan log tracking menggunakan penanda DNA. Database genetik diperoleh dengan mengetahui struktur genetik dari populasi merbau pada sebaran alamnya. Selanjutnya database tersebut digunakan sebagai dasar untuk menganalisis identitas genetik dari materi genetik merbau, baik yang belum maupun sudah diketahui asal-usulnya. Database ini dibangun menggunakan berbagai penanda DNA dan keseluruhan populasi yang telah dikoleksi materi genetiknya. Isi dari database termasuk nama populasi, lokasi dan penanda spesifik. 144
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
5. Verifikasi asal-usul kayu menggunakan penanda DNA yang telah dikembangkan Materi kayu yang telah dikoleksi dari beberapa populasi alam diekstraksi DNAnya dan dilakukan analisis menggunakan penanda DNA yang telah dikembangkan. Hasil dari analisis tersebut selanjutnya dibandingkan dengan data base yang telah dibangun untuk memverifikasi asal-usul kayu tersebut.
III. CAPAIAN KEGIATAN Kegiatan penelitian ini secara intensif dimulai pada tahun 2009. Berikut ini disampaikan capaian hasil kegiatan yang telah diperoleh: 1. Keragaman genetik 4 populasi merbau menggunakan penanda RAPD Keragaman genetik 4 populasi merbau menggunakan penanda RAPD telah dilaporkan oleh Rimbawanto dan Widyatmoko (2006). Rata-rata variasi genetik dari empat populasi (Nabire, Manokwari, Ternate, Charita) cukup tinggi. Rata-rata jarak genetik antar populasi sebesar 0,141, yang berarti bahwa rata-rata 14,1% genetik antara keempat populasi tersebut berbeda. Informasi jarak genetik antar populasi ini sangat penting karena dapat mencerminkan potensi untuk membedakan populasi merbau. Berdasarkan penelitian tersebut, populasi merbau yang terdapat di Papua dapat dibagi menjadi 6 wilayah (secara genetik berbeda). Pembagian wilayah ini berdasarkan struktur genetik ini juga dilaporkan untuk jenis Araucaria cunninghamii (Widyatmoko et al., 2010) 2. Koleksi materi genetik dari sebaran alam merbau (Papua, Maluku dan Sulawesi) Sampai akhir tahun 2012, materi genetik baik berupa daun maupun kayu telah dikoleksi dari dua puluh satu (21) populasi. Populasi-populasi tersebut tersebar di wilayah Papua (15 populasi), Maluku (5 populasi) dan Sulawesi Tenggara (1 populasi). Detail lokasi dari masing-masing populasi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 2.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
145
Tabel 1. Daftar populasi yang telah dikoleksi No.
Populasi
Propinsi
No.
Populasi
Propinsi
1
Manimeri
Papua Barat
12
Fak-fak
Papua Barat
2
Minamin
Papua Barat
13
Mamberamo
Papua
3
Oransbari
Papua Barat
14
Sarmi
Papua
4
Waigo
Papua Barat
15
Wasur
Papua
5
Wasior
Papua Barat
16
Nusajaya
Maluku Utara
6
Bintuni
Papua Barat
17
Haruku
Maluku Utara
7
Babo
Papua Barat
18
Seram
Maluku
8
Remsiki
Papua Barat
19
Saumlaki
Maluku
9
Mandopi
Papua Barat
20
Damer
Maluku
10
Serui
Papua Barat
21
Buton
Sulawesi Tenggara
11
Kaimana
Papua Barat
Gambar 2. Peta lokasi sebaran populasi yang telah dikoleksi 3. Pengembangan metode ekstraksi DNA kayu Beberapa metode ekstraksi DNA menggunakan sampel kayu telah dicoba pada penelitian ini. Walaupun demikian, hanya metode yang menggunakan DNEasy Plant Mini Kit dan telah dimodifikasi yang menghasilkan cukup DNA untuk dilakukan amplifikasi PCR. Hasil amplifikasi PCR DNA kayu menggunakan 4 chloroplast DNA region primers diperlihatkan pada Gambar 3.
146
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Secara umum metode ekstraksi DNA kayu adalah dengan menghancurkan kayu sampai menjadi bubuk dan selanjutnya menggunakan nitrogen cair. Proses ekstraksi selanjutnya menggunakan prosedur DNEasy Plant Mini Kit (Promega) yang telah dimodifikasi.
CS-2
CS-3
CS-4
CS-6
Gambar 3. Profil PCR dari 4 chloroplast region menggunakan sampel DNA kayu
4. Pengembangan penanda DNA untuk merbau Untuk tahap awal, database struktur genetik populasi merbau akan disusun berdasarkan data variasi dari 4 regions of chloroplast DNA. Keempat regions tersebut adalah trnT-trnL (CS2), trnL-intron (CS3), trnD-trnY (CS4) dan rbcL-atpB (CS6). Keempat chloroplast DNA regions tersebut telah digunakan untuk membedakan struktur genetik populasi pada beberapa species. Dari keempat region tersebut ditemukan 7 substitutions, 3 microsatellite/SSR dan 3 indel (insertion/deletion). Profik PCR dari keempat region tersebut disajikan pada gambar 4. Sedangkan variasi sekuensnya dapat dilihat pada Tabel 2 (a, b dan c).
CS-2
CS-3
CS-4
CS-6
Gambar 4. Profile PCR dari 4 chloroplast region menggunakan sampel DNA daun
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
147
1
: TAATTTATATAACAC Tabel 2a. Variasi sekuensing pada 4 chloroplast DNA region CS2 (trnT-trnL) 174
215-226
338-3501
408-4252
T/C
T (SSR)
Indel
Indel
1
T
10
-
-
2
T
11
-
-
3
T
10
+
+
4
T
12
-
+
5
C
10
-
-
6
T
11
-
-
No. Sampel
2:
ATTATTATATATATGTATA Tabel 2b. Variasi sekuensing pada 4 chloroplast DNA region (lanjutan) CS3 (trnL-intron) 1-6
21
92
192
228
382-4063
T (SSR)
C/A
C/T
G/T
G/A
Indel
1
6
C
C
G
A
-
2
5
C
C
G
G
-
3
6
A
C
G
G
+
4
6
A
C
T
G
-
5
6
C
T
G
A
-
6
6
C
C
G
A
-
No. Sampel
3:
TTTGTAGTAATATTAATAGTAGTA Tabel 2c. Variasi sekuensing pada 4 chloroplast DNA region (lanjutan) CS4 (trnD-trnY) 341
520-532
587
T/C
A (SSR)
G/T
1
T
13
G
2
T
13
G
3
T
13
G
4
C
12
G
5
T
12
T
6
T
13
G
No. Sampel
148
CS6 (rbcL-atpB)
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
PENUTUP
Kegiatan verifikasi asal-usul kayu merbau menggunakan penanda DNA ini nantinya diharapkan dapat menghasilkan data base struktur genetik yang dapat membedakan populasi sebaran alam merbau yang masih ada. Kegiatan ini direncanakan akan berakhir pada akhir tahun 2014. Pada saat tersebut, diharapkan dapat disusun database dari 20 populasi merbau yang tersebar di Papua, Maluku dan Sulawesi dengan menggunakan 3 penanda DNA yaitu sekuensing dari kloroplas DNA, mikrosatelit dan SNPs. Selanjutnya database yang disusun tersebut akan dicoba untuk memverifikasi asal-usul kayu yang telah dikoleksi. Dibandingkan dengan metode CoC lainnya, metode menggunakan penanda DNA ini lebih akurat di dalam mendeteksi asal-usul kayu karena DNA tidak dapat dimanipulasi. Walaupun data base yang nantinya disusun tidaklah mudah untuk membedakan populasi secara geografis, tetapi diharapkan dapat digunakan sebagai salah metode untuk mengontrol identifikasi asal-usul kayu merbau.
DAFTAR PUSTAKA Degen, B. and Fladung, M. 2007. Use of DNA-markers for tracing illegal logging. Proceedings of the international workshop “Fingerprinting methods for the identification of timber origins” (Editor: Bernd Degen). pp. 6-14. Dykstra, D. P., Kuru, G., Taylor, R., Nussbaum, R., Magrath, W. B. and Story, J. 2003. Technologies for wood tracking: Verifying and monitoring the Chain of Custody and Legal Compliance in the timber industry. Workshop on Log Tracking and Chain of Custody Systems.
[email protected]. Finkeldey, R., Rachmayanti, Y., Nuroniah, H., Nguyen,N.P., Cao, C. and Gailing, O. 2007. Identification of the timber origin of tropical species by molecular genetic markers – the case of Dipterocarps. Proceedings of the international workshop “Fingerprinting methods for the identification of timber origins” (Editor: Bernd Degen). pp. 20-27. Lowe, A. 2007. Can we use DNA to identify the geographic origin of tropical timber? Proceedings of the international workshop “Fingerprinting methods for the identification of timber origins” (Editor: Bernd Degen). pp. 15-19. Rimbawanto, A. and Widyatmoko, AYPBC. 2006. Keragaman genetik empat populasi Intsia bijuga berdasarkan penanda RAPD dan implikasinya bagi program konservasi genetik. Jurnal Penelitian Tanaman Hutan 3: 149-154. Widyatmoko, AYPBC., Lejo, E. S. P., Prasetyaningsih, A. dan Rimbawanto, A. 2010. Keragaman Genetik Populasi Araucaria cunninghamii menggunakan penanda RAPD. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 4: 63-77
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
149
150
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
APLIKASI MOLECULAR SEXING PADA GELATIK JAWA (Padda oryzivora) Pramana Yuda Fakultas Teknobiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari 44 Yogyakarta 55281 Email:
[email protected];
[email protected]
ABSTRAK Penentuan jenis kelamin penting dalam kajian ekologi dan biologi konservasi. Untuk jenis burung monomorfik, seperti Gelatik Jawa, penentuan jenis kelamin tidak mudah dilakukan, lebih-lebih untuk individu yang belum dewasa. Penelitian ini menjabarkan aplikasi molekuler sexing pada Gelatik Jawa, dengan metode PCR dan penanda molekuler dari Gen CHD (chromobox-helicase-DNA-binding). Pasangan primer yang digunakan adalah 2550F dan 2718R. Jumlah sampel total sebanyak 66 individu dewasa dan 20 anakan burung. Hasil amplifikasi dengan PCR divisualisasi dengan elektroforesis gel agar (3%). Berdasarkan pola pita semua sampel bisa diindetifikasi jenis kelaminnya. Uji chi squire mengindikasikan bahwa rasio jenis kelamin pada Gelatik jawa, baik pada populasi dewasa maupun anakan tidak menyimpang dari rasio 1:1.
I. PENDAHULUAN Kepastian identifikasi jenis, individu dan jenis kelamin sangat penting dalam kajian ekologi dan aplikasinya dalam biologi konservasi. Namun, informasi tentang jenis kelamin dan rasionya dalam suatu populasi masih sangat terbatas. Salah satu penyebabnya adalah kesulitan dalam mengidentifikasinya. Lebih dari separuh jenis burung termasuk monomorfik, antara jenis jantan dan betina sulit dibedakan secara langsung (berdasarkan morfologi eksternal). Metode yang telah dikembangkan untuk identifikasi jenis kelamin burung tidak efisien dan ada juga yang menimbulkan resiko tinggi (Cerit dan Acanus, 2007). Untuk mengatasi permasalahan ini telah dikembangkan teknik DNA untuk identifikasi jenis kelamin. Sejauh ini telah dikembangkan beberapa metode berbasis pada teknik DNA ini. Teknik tersebut menggunakan gen yang terletak pada kromosom sex. Burung betina memiliki kromosom Z dan W, sementara burung jantan dua kromosom Z. Beberapa penanda molekuler sudah digunakan untuk teknik ini. Saitoh et al.(1991) menggunakan primer XhoI untuk mengidenfikasi jenis kelamin ayam. Teknik yang sama digunakan Petitte dan Keglemeyer (1992) bahkan untuk embrio ayam. Keduanya mengunakan teknik PCR. Canon et al. (2000) menggunakan metode analisis flow cytometric DNA inti, berhasil mengidentifikasi jenis kelamin tiga jenis burung paruh bengkok. Marka RAPD telah dikembangkan oleh Welsh dan McClelland (1990) dan Williams et.al (1990). marka ini hanya mengamplifikasi kromosom w pada jenis burung betina. Marka lain yang telah digunakan untuk identifikasi jenis kelamin adalah mikrosatelit (Nesje dan Røed, 2000), minisatelit
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
151
(Miyaki et al.,1997), AFLP (Griffiths dan Orr,1999), RFLP (Quinn et al., 1990) dan yang sekarang paling banyak digunakan adalah gen CHD (chromo-helicase-DNA-binding) (Griffths et al., 1998). Burung betina memiliki gen CHD1-W dan CHD1-Z , sedangkan burung jantan memiliki dua gen CHD1-Z. Hasil amplifikasi gen tersebut menunjukan dua pita pada betina dan satu pita pada jantan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis kelamin burung Gelatik jawa (Padda oryzivora) dengan menggunakan pendekatan molekuler. Pada saat ini Gelatik jawa populasinya sangat sedikit dibandingkan dengan kondisinya sebelum tahun tujuh puluhan. Dengan kondisi yang ada IUCN telah memasukan burung ini dalam kategori Rentan /Vulnerabel
(BirdLife
International,2012). Kajian ekologi populasi Gelatik jawa untuk menduga nasibnya dimasa mendatang memerlukan data demografi. Data tersebut tidak terbatas pada populasi total, tetapi lebih detil tentang struktur populasi dan seks rasionya. Untuk data yang terakhir tentunya sangat diperlukan identifikasi jenis kelamin. Gelatik jawa berdasarkan morfologinya relatif sulit dibedakan antara burung jantan dan betina. Pada saat musim berbiak, bagi yang terlatih, bisa melihat tanda-tanda perbedaan keduanya pada ukuran dan bentuk paruh dan warna lingkar matanya. Namun diluar masa berbiak sulit membedakan burung dewasa yang jantan atau betina, lebih-lebih pada burung anakan atau mudanya.
II. METODE PENELITIAN
A. Sampel Total sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 66 individu burung dewasa dan 20 individu burung remaja. Sampel darah untuk sumber materi DNA diperoleh dari cara memotong ujung kuku burung. Darah yang keluar diambil dengan pipa mikrokapiler dan disimpan dalam larutan penyangga (Queens’ Lysis Buffer) pada tabung mikro (1,5 ml). Ekstraksi DNA dari darah tersebut menggunakan metode ekstraksi fenol-kloroform (Sambrook et al. 1989) atau DNeasy® Tissue Kit (Qiagen Pty Ltd), sesuai dengan metode untuk darah binatang.
B. PCR Identifikasi jenis kelamin Gelatik jawa menggunakan metode PCR yang dikembangkan oleh Fridolfsson dan Ellegren (1999). Pasangan primer yang digunakan adalah 2550F (5’GTTACTGATTCGTCTACGAGA -3’) and 2718R (5’- ATTGAAATGATCCAGT GCTTG -3’). Volume reaksi PCR 25 ul dengan komposisi 10-20 ng DNA; 10x PCR Buffer (200mM Tris-HCl (pH 8.4); 500mM KCl); 2.0mM MgCl2; 5 pmol tiap primer; 0.15 mM tiap dATP, dTTP, dCTTP, 152
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
dGTP dan 1 unit Tag polymerase (Life Technology). Kondisi siklus PCR adalah sebagai berikut: pre denaturasi 94oC 2 menit; 30 kali siklus denaturasi pada suhu 94oC (30 detik), penempelen primer (annealing) pada suhu 50oC selama 45 detik, dan elongasi/ekstensi pada suhu 72oC (30 detik), dan ekstensi akhir pada suhu 72oC (5 menit). Hasil amplifikasi divisualisasi dengan elektroforesis gel agarosa (3%) dengan larutan penyangga TBE dan pewarna ethidium bromida.
III.HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil PCR dan elektroforesis menunjukan bahwa semua sampel Gelati jawa teramplifikasi, menunjukan adanya pita tunggal atau pita ganda. Pita tunggal berukuran 650 bp, mengindikasikan sampel tersebut memiliki gen CHD1Z dan berarti berjenis kelamin jantan. Sedangkan yang berpita ganda memiliki ukuran 450 dan 650 bp, mengindikasikan sampel tersebut betina, yang memiliki gen CHD1 W dan CHD1 Z. Hasil ini menambah bukti kegunaan pasangan primer 2550F dan 2718R dalam mengindentifikasi jenis kelamin burung monomorfik dari suku Estrildidae. Pada awalnya Fridolfsson dan Ellegren (1999) mengaplikasikan metode ini pada 50 jenis burung dari berbagai ordo. Suku estrildidae belum ada wakil dalam uji awal tersebut. Jumlah total sampel individu burung dewasa adalah 66. Hasil elektroforesis produk PCR menunjukan 29 betina (berpita dua) dan 37 jantan (berpita tunggal). Sementara itu pada sampel burung muda (20 ekor), hasilnya 12 burung berjenis kelamin betina dan 8 jantan.
Hasil ini
mengindikasikan bahwa rasio jenis kelamin (sex ratio) burung Gelatik jawa adalah 1:1 ( (X2 = 0.97; P= 0.32 and X2 = 0.80; P= 0.37, masing-masing untuk burung dewasa dan burung muda).
DAFTAR PUSTAKA BirdLife International, 2012, Species factsheet: Padda oryzivora. Downloaded from http://www.birdlife.org. Cerit, h. And k. Acanus, 2007, Sex identification in avian species using DNA typing methods, World’s Poultry Science Journal, 63: 91-99 Canon, N.R., TELL, L.A., Needham, M.L. AND Gardner, A.A. (2000) Flow cytometric analysis of nuclear DNAfor sex identification in three psittacine species. American Journal of Veterinary Research61: 847-850. Clinton, M.(1994) Arapid protocol for sexing chick embryos. Animal Genetics25: 361-362. Canon, N.R., TELL, L.A., Needham, M.L. and Gardner, A.A. (2000) Flow cytometric analysis of nuclear DNA for sex identification in three psittacine species. American Journal of Veterinary Research 61: 847-850. Fridolfsson,A.K. and Ellegren, H. (1999) Molecular evolution of the avian CHD1 genes on the Z and Wsex chromosomes. Genetics155: 1903- 1912.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
153
Griffiths, R., Double, M.C., ORR, K. and Dawson, R.J. (1998) ADNAtest to sex most birds. Molecular Ecology7: 1071 -1075. Griffiths, R. and ORR, K. (1999) The use of amplified fragment length polymorphism (AFLP) in the isolation of sex-specific markers. Molecular Ecology8: 671-674. Kahn, N.W., JOHN, J. and Quinn, T. (1998) Chromosome-specific intron size differences in the Avian CHD gene provide an efficient method for sex identification in birds. The Auk115: 1074 -1078. Miyaki, C.Y., Duarte, M.B., Caparroz, R., Nunes, A.V. and Wajntal, A. (1997) Sex identification of South American Parrots (Psittacidae, Aves) using the human minisatellite probe 33.15. The Auk 114: 516520. Nesje, M. and Røed, K. (2000) Sex identification in falcons using microsatellite DNAmarkers. Hereditas 132: 261-263. Petite, J.N. and Kegelmeyer, A.E. (1992) Sex Determination of chick embryos using a W chromosomespecific oligonucleotide probe and PCR. Proceedings of the XIX World’s Poultry Congress Amsterdam 531. Quinn, T.W., Cooke, F. and Bradley, N.W. (1990) Molecular sexing of geese using a cloned Z chromosomal sequence with homology to the Wchromosome. Auk107:199-202. Saitoh,Y.,Saitoh,H.,Ohtomo,K. and Mizuno,S.(1991) Occupancy of the majority of DNAin the chicken Wchromosome by bent-repetitive sequences. Chromosoma101: 32-40. Welsh, J. and MC Clealland, M. (1990) Fingerprinting genomes using PCR with arbitrary primers. Nucleic Acid Research18: 7213-7218. Williams, J.K.G., Rubelik,A.R., Livak, K.J., Rafalski, J.A. and Tingley, S.V. (1990): DNA polymorphisms amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acid Research18: 6531- 6535.
154
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
PERAN HASIL PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER DALAM MENDUKUNG STRATEGI KONSERVASI Aquilaria sp. AYPBC WIDYATMOKO Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman Yogyakarta Email :
[email protected]
ABSTRAK Aquilaria sp (A. malaccensis, A. microcarpa, A. beccariana, A. hirta dan A. chresna) merupakan anggota dari suku Thymelaeaceae yang mempunyai potensi tinggi untuk menghasilkan gaharu. Tingginya nilai ekonomi telah meningkatkan permintaan terhadap produk tersebut, sehingga mengakibatkan terjadinya eksploitasi gaharu yang berlebihan. Aquilaria sp termasuk dari jenis yang termasuk dalam Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Oleh karenanya, kegiatan konservasi mutlak diperlukan untuk menyelamatkan sumber daya genetik yang masih tersisa. Beberapa penelitian menggunakan penanda DNA telah dilakukan untuk mengetahui besarnya keragaman genetik, jarak genetik dan penanda jenis pada kelima jenis tersebut. Rata-rata keragaman genetik di dalam populasi dari 11 populasi Aquilaria sp yang digunakan adalah 0.199. Keragaman terbesar dimiliki oleh populasi A.malacensis Jambi (0.285), sedangkan keragaman terandah dimiliki oleh populasi A. hirta Bogor (0.118). Jarak genetik yang terjauh adalah antara A. malacensis dan A. microcarpa dari Jambi, sedangkan yang terdekat adalah antara A. microcarpa Samboja dan A. beccariana Berau. Pengelompokkan 11 populasi dari 5 jenis Aquilaria tersebut lebih ke lokasi grografis dibandingkan dari antar jenisnya sendiri. Berdasarkan 22 losi dari 14 primer RAPD, kelima jenis Aquilaria dapat dibedakan satu sama lain, kecuali antara A. malaccensis dan A. microcarpa. Penanda RAPD yang diperoleh ini masih bersifat sementara (putative) karena untuk beberapa jenis sampel yang digunakan masih sedikit. Untuk mendapatkan penanda DNA yang dapat membedakan A. malaccensis dan A. microcarpa, dilakukan seleksi lagi. Dari 180 RAPD primer hanya diperoleh 1 lokus saja yaitu U-13 700 bp yang dapat digunakan sebagai penanda DNA sementara untuk membedakan kedua jenis tersebut. Informasi tersebut di atas tentunya sangat bermanfaat bagi menyusun strategi konservasi untuk Aquilaria sp. Pemisahakan lokasi konservasi eks-situ untuk masing-masing jenis sangatlah perlu mengingat mudahnya terjadi hibridisasi di antara jenis. Keterwakilan sebaran populasi dari masing-masing jenis juga diperlukan untuk dapat tetap mempertahankan keragaman genetik yang ada. Kata kunci: Aquilaria, gaharu, genetika molekuler, konservasi genetic
I.
PENDAHULUAN
Aquilaria spp merupakan tanaman asli Indonesiadan dikenal sebagai tanaman penghasil gaharu yang bernilai ekonomi tinggi. Terdapat 6 jenis Aquilaria yang tumbuh di Indonesia, yaitu A. malaccensis, A beccariana, A. microcarpa, A. hirta, A. cumingiana dan A. filaria (Ding, 1960). Penyebaran dari jenis-jenis tersebut secara luas terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. A. malaccensis dan A. microcarpa merupakan 2 jenis Aquilaria yang dapat memproduksi gaharu dengan kualitas tinggi (Sumarna, 2002). Kondisi dari jenis-jenis tersebut di alam sudah sangat mengkawatirkan karena tingginya eksploitasi. Salah satu bukti dari kondisi tersebut adalah
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
155
masuknya jenis Aquilaria ke dalam APPENDIX II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yang berarti sudah termasuk jenis yang terancam punah. Soehartono dan Newton (2000) juga menyebutkan bahwa kerapatan individu jenis Aquilaria dalam populasi kurang dari 1,2 individu/ha berdasarkan analisis NFI. Bahkan A. malaccensis sudah termasuk dalam klasifikasi rentan (Vulnerable/VU A1cd) karena mengalami penurunan populasi hingga 20% selama 3 generasi akibat eksploitasi (Oldfield et al, 1998). Oleh karenanya kegiatan konservasi merupakan kegiatan utama yang perlu dilakukan terhadap jenis tersebut (Chakrabarty et al., 1994). Kegiatan konservasi dapat dilakukan baik secara in-situ maupun eks-situ. Untuk mendukung kegiatan tersebut, berbagai informasi diperlukan agar dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Salah satu informasi yang diperlukan adalah keragaman genetik dan distribusinya, serta hubungan kekerabatan. Informasi ini tentunya akan lebih mengefisienkan, baik dari segi waktu maupun biaya, program konservasi yang dilakukan. Keragaman genetik merupakan modal dasar bagi suatu jenis untuk tumbuh, berkembang dan mempertahankan hidupnya dari generasi satu ke generasi berikutnya. Dengan semakin tinggi atau besarnya keragaman genetik yang dimiliki oleh suatu jenis, akan memberikan peluang yang lebih besar untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Bertolak dari permasalahan tersebut di atas, berbagai upaya pengembangan pohon penghasil gaharu terus dilakukan. Salah satu upaya yang terus dilakukan untuk meningkatan potensi hasil adalah pemuliaan tanaman. Jenis-jenis yang termasuk dalam genus Aquilaria ini, secara morfologis sangatlah susah dibedakan. Sebagian besar dari jenis-jenis tersebut hanya bisa dibedakan dengan bentuk, susunan dan ukuran bunga dan buah. Oleh karenanya, membedakan jenis-jenis tersebut menjadi faktor penting untuk pelaksanaan kegiatan pemuliaan secara efektif dan efisien Penanda DNA yang sering digunakan untuk analisis keragaman genetik adalah penanda RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) (Welsh and McClelland, 1990, Wiliams et al., 1990). RAPD merupakan suatu penanda berbasis PCR (Polymerase Chain Reaction) menggunakan
156
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
primer pendek berukuran 10 basa. Kelebihan penanda ini antara lain relatif mudah untuk dilakukan dengan menggunakan peralatan yang cukup sederhana dan murah. Makalah ini menyampaikan beberapa hasil penelitian keragaman genetik dan identifikasi species menggunakan penanda RAPD yang telah dilakukan dan perannya dalam mendukung strategi konservasi genetik Aquilaria sp.
II. KERAGAMAN GENETIK A. malaccensis, A. microcarpa dan A. Beccariana Dua puluh enam (26) primer RAPD yang telah diseleksi dari 86 primer RAPD digunakan untuk menganalisa keragaman genetik 7 populasi A. malaccensis, A. microcarpa dan A. beccariana. Pita DNA yang digunakan untuk analisa berukuran 220-950 pb (pasang basa). Jumlah fragmen atau pita polimorfik yang dihasilkan berkisar antara 1 sampai dengan 8. Jumlah total lokus (locus) yang dihasilkan dari 26 primer tersebut adalah 84 (Widyatmoko et al., 2010). Berdasarkan Nei’s Gene Diversity (Nei, 1978), keragaman genetik di dalam populasi dari 7 populasi tersebut bervariasi antara 0,180-0,285. Keragaman genetik terbesar dimiliki oleh populasi A. malaccensis asal Muara Bungo (Jambi; 0,285), sedangkan yang terendah dimiliki oleh populasi A. malaccensis asal Berau yaitu sebesar 0,089 (Tabel 1).
Tabel 1. Nilai keragaman genetik di dalam populasi (diagonal) dan antar populasi (di bawah diagonal) dari 7 populasi Aquilaria sp.
Populasi
1
2
3
4
5
6
1
0.285
2
0.03
0.240
3
0.368
0.442
0.209
4
0.322
0.405
0.037
0.228
5
0.239
0.254
0.494
0.488
0.232
6
0.298
0.396
0.055
0.04
0.492
0.205
7
0.305
0.404
0.075
0.66
0.476
0.017
7
0.18
Keterangan : 1. A. malaccensis (Muara Bungo, Jambi), 2. A. malaccensis (Sorolangun, Jambi), 3. A. microcarpa (Samboja, Kaltim), 4. A.malaccensis (Sanggau, Kalbar), 5. A.beccariana (Berau, Kaltim), 6. A.microcarpa (Berau, Kaltim), 7. A. malaccensis (Berau, Kaltim)
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
157
Rata-rata keragaman genetik di dalam populasi yaitu 0,225. Angka ini lebih besar dari daripada rata-rata keragaman genetik baik untuk kelompok jenis tropis dan konifer, yaitu 0,211 dan 0,207 yang telah dilaporkan oleh Hamrick (1989). Pada hasil analisis jarak genetik antar-populasi, tertinggi adalah 0,494 yaitu antara populasi A. microcarpa Samboja dengan populasi A. beccariana Berau. Hal ini terjadi karena perbedaan jenis dan jarak geografis dari kedua populasi. Sebaliknya jarak genetik terendah adalah antara populasi A. microcarpa Berau dengan populasi A. malaccensis Berau, yaitu 0,017 (Tabel 1). Walaupun kedua populasi ini memiliki jenis yang berbeda, tetapi karena kedua populasi tersebut hidup pada lingkungan yang sama maka mempunyai hubungan yang sangat dekat. Kedekatan antar kedua species ini juga dibuktikan dengan dekatnya jarak genetik antara populasi A. microcarpa Samboja dan A. malaccensis di Sanggau Kalimantan Barat, yaitu 0,037. Walaupun kedua populasi berada pada populasi dengan jarak geografis yang cukup jauh, tetapi keduanya mempunyai jarak genetik yang sangat dekat. Hal ini membuktikan bahwa A. malaccensis dan A. microcarpa yang secara morfologis hanya bisa dibedakan dengan karakter generatifnya (bunga dan buah) memiliki hubungan genetik yang sangat dekat. Jarak genetik antar populasi dari kedua jenis tersebut lebih rendah dari jarak genetik dari populasi untuk jenis yang sama yaitu 0,660 untuk jarak genetik antar populasi A. malaccensis dan 0,055 untuk jarak genetik antar populasi A. microcarpa di Kalimantan.
III. HUBUNGAN KEKERABATAN ANTAR POPULASI Berdasarkan informasi nilai jarak genetik antar-populasi, dendogram disusun menggunakan metode UPGMA untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar populasi-populasi Aquilaria sp. Hasil dendogram berdasarkan jarak genetik Nei’s (1978) tersebut menunjukan hubungan kekerabatan antara sebelas populasi Aquilaria sp terbagi dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama terdiri dari populasi Muara Bungo Jambi, Sorolangun Jambi dan Berau (A. beccariana). Kelompok kedua terdiri dari populasi Samboja, Kalimantan barat, Berau dan Bogor.
158
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Muara Bungo Jambi (A. malaccensis) Sorolangun Jambi (A. malaccensis) Berau Kaltim (A. beccariana) Samboja Kaltim (A.microcarpa) Sanggau Kalbar (A.malaccensis) Berau Kaltim (A.microcarpa) Berau Kaltim (A.malaccensis) Bogor (A. chresna) Bogor (A. chresna x A.malaccensis) Bogor (A. chresna x A.microcarpa) Bogor (A. hirta) Gambar 1. Dendogram Hubungan Kekerabatan Antar Populasi Aquilaria sp Gambar 1 menunjukan adanya pengelompokan yang jelas pada populasi Muara Bungo Jambi (A.malaccensis) dan populasi Sorolangun Jambi (A.malaccensis) karena menempati pada satu kelompok kluster sehingga menunjukan bahwa terdapat hubungan kekerabatan yang sangat dekat antar populasi Muara Bungo Jambi dan populasi Sorolangun Jambi (keduanya A.malacensis). Hal ini disebabkan karena kedua populasi tersebut terdapat pada satu daerah yang sama (provenan yang sama ) dan merupakan satu species yaitu A.malaccensi. Sampel dari Muara Bungo diambil dari persemaian, sehingga keumngkinan sebagian materinya berasal dari individu pada populasi Sorolangun Jambi. Populasi yang berasal dari Samboja species A.microcarpa dan populasi yang berasal dari Sanggau Kalimantan Barat species A.malaccensis juga mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Kemungkinan kedua populasi tersebut pada awalnya merupakan 1 populasi yang besar sehingga mempunyai struktur genetik yang relatif sama. Untuk populasi Berau species A.microcarpa dan populasi Berau species A.malacensis memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat, membentuk satu kluster yang sama. Hal ini juga disebabkan karena kedua populasi ini mendiami habitat yang sama sehingga dapat saja terjadi perkawinan antar species. Dari kedua kelompok kluster tersebut yaitu
populasi Samboja species A.microcarpa dengan
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
159
populasi Sanggau Kalimantan Barat species
A.malacensis dan populasi Berau species
A.microcarpa dengan populasi Berau spesies A. malacensis yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat, membuktikan bahwa hubungan kekerabatan antara spesies A.malacensis dan A.microcarpa sangat dekat. Sedangkan pada populasi Berau species A. beccariana terlihat hubungan kekerabatanya lebih dekat dengan populasi A.malacensis dari Jambi. Hal ini disebabkan karena kemungkinan A. beccariana di Berau berasal dari A. beccariana Sumatera. Pada penelitian ini tidak ada sampel A.beccariana dari Sumatera sehingga tidak ada pembanding untuk species A.beccariana. Untuk populasi Bogor spesies A.chresna lebih dekat hubungan kekerabatannya dengan populasi Bogor hybrid A.chresna + A. malaccensis dan populasi Bogor Hybrid A. chresna + A.microcarpa . Selain karena ketiga populasi tersebut berada dalam satu habitat, hal ini disebabkan juga oleh campuran atau hybrid antara A.chresna + A. malacensis dan hybrid A. chresna + A.microcarpa akan mewarisi sifat genetik dari salah satu induknya yaitu A.chresna sehinga hubungan kekerabatanya dekat. Sedangkan untuk populasi Bogor spesies A.hirta
memiliki
kedekatan dengan populasi yang berasal dari Kalimantan dan Bogor. Kemungkinan populasi di Bogor berasal dari Kalimantan. IV. PENANDA SPECIES-SPECIFIC Widyatmoko et al. (2009) melaporkan penanda sementara untuk 5 species Aquilaria. Sebanyak enam puluh delapan (68) primer RAPD diseleksi untuk mendapatkan primer RAPD yang dapat menghasilkan lokus polimorfik. Dari 68 primer tersebut dipilih 26 primer yang menghasilkan lokus polimorfik, dan dari 26 primer tersebut ditemukan 14 primer RAPD yang menghasilkan losi sementara penanda species-specifik. Untuk menjadi penanda species-specific, lokus yang dipilih harus memenuhi 2 kriteria, yaitu muncul pada semua individu pada satu species dan tidak muncul pada semua individu pada species yang lain. Jumlah penanda sementara bervariasi antara 3 sampai dengan 18. Jumlah yang terbanyak
160
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
dimiliki oleh A. hirta (18), disusul berturut-turut disusul oleh A. chresna (16), A. beccariana (13), A. microcarpa (13) dan A. malaccensis (3). Jumlah penanda tersebut bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah besarnya keragaman genetik di dalam species dan jumlah sampel yang digunakan. Apabila dilihat dari jumlah sampel, banyaknya jumlah penanda yang dimiliki oleh setiap species berbanding terbalik dengan jumlah sampel yang digunakan. Misalnya jumlah sampel pada A. hirta hanya 4 sampel dan menghasilkan penanda yang terbanyak yaitu 18. Sebaliknya pada A. malaccensis, dengan jumlah sampel sebanyak 44, penanda species-specificnya adalah 3. Dengan demikian, terlihat bahwa jumlah sampel cukup berpengaruh pada banyaknya penanda species-specific yang diperoleh. Keragaman genetik dari masing-masing jenis juga akan mempengaruhi banyaknya jumlah penanda. Hal ini terihat pada jenis A. microcarpa dan A. beccariana. Dengan jumlah sampel yang jauh berbeda (14 dan 12 sampel), jumlah penanda yang dihasilkan sama yaitu 13. Hal ini disebabkan karena keragaman genetik A. beccariana lebih besar daripada A. microcarpa (Tabel 1). Secara garis besar, dengan 23 penanda tersebut kelima jenis Aquilaria dapat dibedakan, kecuali A. malaccensis dan A. microcarpa (Tabel 2). Misalnya, untuk membedakan A. malaccensis dengan A. beccariana dan A. hirta, penanda yang digunakan adalah lokus OPGF-6/670. Sedangkan antara A. malaccensis dengan A. chresna, penanda yang digunakan adalah OPG-11/950. Untuk jenis-jenis lainnya lebih banyak penanda yang dapat digunakan.
Tabel 2. Penanda species-specific pada lima species Aquilaria Species
A-10/600
A-10/620
A-11/400
A-12/550
A-13/350
A-13/500
A. malaccensis
0/1
0
0/1
0/1
0/1
0/1
A. microcarpa
1
0
0/1
1
0/1
1
A. beccariana
0
0
0
0
1
0
A. chresna
1
1
0/1
0/1
0
0
A. hirta
1
0
1
1
1
1
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
161
Species
A-16/550
A-18/220
A-18/550
A-19/850
D-1/580
G-1/500
A. malaccensis
0/1
0/1
0
0/1
0/1
0/1
A. microcarpa
0/1
0
0/1
0/1
0
0/1
A. beccariana
0/1
0/1
0/1
0
1
0/1
A. chresna
0
1
1
0/1
0
0
A. hirta
1
0
0
1
0/1
1
Species
G-1/500
G-6/400
G-6/670
G-8/590
G-8/600
G-8/650
A. malaccensis
0/1
0/1
0
0/1
0/1
0/1
A. microcarpa
0/1
1
0
0
1
1
A. beccariana
0/1
0/1
1
0
0/1
0/1
A. chresna
0
0/1
0/1
1
0
0
A. hirta
1
0
1
0/1
0
0
Species
G-11/600
G-11/950
G-15/650
G-18/320
G-18/490
A. malaccensis
0/1
0
0/1
0/1
0/1
A. microcarpa
1
0
0/1
0/1
0/1
A. beccariana
0
0
0/1
0
0/1
0/1
1
0
1
0
0
0/1
1
1
0/1
A. chresna A. hirta
Untuk membedakan A. malaccensis dan A. microcarpa dilakukan seleksi seleksi primer kembali menggunakan 180 primer (Rimbawanto dan Widyatmoko, 2010). Hanya terdapat 5 primer yang memberikan kenampakan pita yang spesifik, yaitu primer D-20, A-17, G-12, R-15, dan U-13. Gambar 2 memperlihatkan 2 primer yang sementara menghasilkan lokus yang membedakan kedua jenis. Primer R-15 (Gambar 1A) menghasilkan 1 lokus yang membedakan kedua jenis pada 400 bp. Sedangkan primer U-13 (Gambar 1B) menghasilkan 2 lokus yaitu pada 780 bp dan 1000 bp. Untuk memastikan apakah lokus tersebut bisa digunakan sebagai penanda spesifik jenis untuk A. malaccensis dan A. microcarpa, dilakukan seleksi lanjutan dengan menambah jumlah individu dari masing-masing jenis.
162
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
(A)
(B)
Gambar 2. Hasil seleksi tahap I primer R-15 (A) dan U-13 (B)
Hasil amplifikasi seleksi lanjutan dari kelima primer tersebut di atas menggunakan total 24 sampel adalah hanya 1 lokus yang memenuhi syarat sebagai penanda spesifik jenis yaitu yang dihasilkan oleh primer U-13 pada 780 bp. (Gambar 3). Lokus ini membedakan kedua Aquilaria dengan panjang pita yang berbeda (sekitar 10-20 bp).
$PDODFFHQVLV
$ PLFURFDUSD
Gambar 3. Hasil amplifikasi tahap II primer U-13
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
163
V.
STRATEGI KONSERVASI Aquilaria sp BERDASARKAN HASIL PENELITIAN YANG DIPEROLEH Kegiatan konservasi genetik, baik itu konservari eks-situ maupun in-situ yang bertujuan
untuk mempertahankan keragaman genetik yang masih tersisa secara maksimal sangatlah diperlukan untuk mempertahankan sumberdaya genetik Aquilaria yang kondisi populasi alamnya semakin mengkawatirkan Jane et al. (1988) mengatakan bahwa tujuan utama dari mendokumentasi tingkat dan distribusi keragaman genetik pada suatu jenis adalah untuk mendisain strategi yang optimal untuk konservasi suatu jenis. Dewasa ini, di dalam melakukan kegiatan pelestarian suatu species sangatlah tergantung pada ketersediaan biaya dan berpacu dengan waktu. Oleh karenanya, perlulah disusun suatu strategi konservasi yang efektif dan efisien agar dengan keterbatasa waktu dan biaya, populasi maupun materi genetik yang dikumpulkan haruslah cukup mewakili sumberdaya genetik yang ada. Salah satu informasi yang sangat dibutuhkan untuk pelaksanaan kegiatan tersebut adalah informasi keragaman genetik dan distribusinya serta hubungan kekerabatan antar species. Seperti dijelaskan sebelumnya, potensi sebaran alam Aquilaria sp masih belum diketahui secara pasti, Kegiatan penanaman Aquilaria sp yang begitu banyak menyebabkan semakin sulitnya membedakan mana populasi alami atau tanaman. Pergerakan materi genetik, yang berarti juga pergerakan genetik, dari satu ke daerah ke daerah lainnya semakin cepat mengingat sumber benih yang tersedia sangat sedikit, sedangkan kebutuhan akan bibit semakin banyak. Salah satu kendala untuk kegiatan konservasi Aquilaria sp adalah susahnya membedakan masing-masing species secara jelas. Mudahnya terjadi perkawinan antar species membuat semakin sulitnya menemukan individu yang masih murni dari suatu species. Untuk menjawab kebutuhan akan informasi tersebut, beberapa penelitian telah dilakukan seperti disebut di atas. Beberapa informasi penting yang dapat digunakan sebagai dasar untuk penyusunan strategi konservasi 5 jenis Aquilaria tersebut adalah sebagai berikut:
164
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
1. Rata-rata keragaman genetik dalam 7 populasi A. malaccensis, A. microcarpa dan A. beccariana sebesar 0,225. 2. Rata-rata jarak genetik antar jenis dalam lokasi yang sama atau berdekatan sebesar 0,027, sedangkan rata-rata jarak genetik antar populasi sebesar 0,217. 3. Dendrogram hubungan kekerabatan secara umum lebih berdasarkan jarak geografis dibandingkan kesamaan jenis. 4. Hibrid antar species sering ditemui dan secara genetik menampakkan kedekatan pada salah satu induknya. 5. Penanda sementara untuk pembeda sementara kelima species Aquilaria tersebut telah diperoleh. Memperhatikan kondisi dan potensi kelima species Aquilaria tersebut, khususnya di sebaran alaminya, maka kegiatan konservasi baik in-situ maupun eks-situ perlu untuk dilakukan. Tetapi mengingat mudahnya kemungkinan terjadinya perkawinan antar species, maka perlu kehati-hatian di dalam menentukan individu untuk masing-masing species. Untuk A. malaccensis dan A. microcarpa yang mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat dan kemungkinan terjadinya perkawinan antar keduanya yang cukup banyak, sebaiknya konservasi kedua jenis dilakukan bersama-sama. Untuk kegiatan konservasi in-situ, pemilihan populasi haruslah memperhatikan beberapa faktor yaitu jumlah pohon induk (individu), kondisi habitat atau lingkungan, faktor keamanan, besarnya keragaman genetik yang cukup tinggi dan jumlah alel yang terdapat pada populasi tersebut. Apabila populasi tersebut terdapat hanya salah satu species Aquilaria akan lebih baik, tetapi apabila terdapat lebih dari 1 species dapat juga dipilih asalkan memenuhi kriteria seperti disebut di atas. Melihat distribusi dari keragaman genetik dan jarak genetik antar populasi, maka jumlah plot konservasi in-situ minimal 2, 1 di Pulau Sumatera dan 1 di Pulau Kalimantan. Apabila memungkinkan, masing-masing propinsi dari masing-masing pulau juga terwakili. Untuk kegiatan konservasi eks-situ apabila memungkinkan dipisah untuk masing-masing
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
165
species. Penanda species-specific dapat digunakan untuk menentukan kemurnian dari individu yang dikoleksi. Pengumpulan materi genetik untuk plot konservasi eks-situ perlu memperhatikan sebaran populasinya, potensi dari masing-masing populasi (potensi jumlah individu maupun keragaman genetik), dan resiko tidak terwakilinya alel akibat pemilihan populasi tersebut. Soekotjo (2004) dan Soekotjo dan Raharjo (2010) menyebutkan bahwa kegiatan konservasi eks-situ dapat digabungkan dengan kegiatan penanaman atau pemuliaan dan bioteknologi (strategi era ke-2 dan ke-3 konservasi eks-situ). Penggabungan ini dapat dilakukan karena maraknya kegiatan penanaman dari species Aquilaria. yang Era kedua (1976-2020) adalah menggabungkan konservasi dengan pemuliaan. Kegiatan yang dilakukan antara lain Uji provenans, uji progeni dan pembangunan kebun benih (semai atau klon). Sedangkan Era ketiga (1998-2020) adalah era pemanfaatan yang lebih efisien yang lebih berkaitan dengan pemuliaan dan bioteknologi. Dalam era ketiga ini dalam pembangunan plot konservasi eks-situ, setiap populasi harus terpisah agar tidak terjadi perkawinan silang antar populasi. Seperti halnya dengan konsevasi in-situ, materi genetik yang dikumpulkan untuk membangun plot konservasi eks-situ seharusnya berasal dari masing-masing perwakilan kelompok dari dendrogram di atas. Setiap pulau harus terwakili oleh 1 populasi, dan apabila memungkinkan masing-masing propinsi juga dapat terwakili oleh minimal 1 populasi. Dari masing-masing perwakilan tersebut, materi genetik dari masing-masing jenis apabila dapat dikumpulkan akan lebih baik. Mengingat keragaman genetik dalam populasi masih cukup tinggi, jumlah materi genetik yang dikumpulkan dari masing-masing populasi yang dipilih haruslah cukup banyak. Plot konservasi eks-situ sebaiknya memisahkan secara jelas materi genetik yang berasal dari pulau yang berbeda mengingat besarnya perbedaan genetik antar pulau. Kegiatan penanaman dan pemuliaan dapat juga dilakukan dengan memasukkan faktor konservasi eks-situ di dalamnya dengan memperhatikan materi genetik yang digunakan dan metode seleksi yang dilakukan untuk memperoleh benih unggul.
166
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
DAFTAR PUSTAKA Chakrabarty, K., Kumar, A. and Menon, V. 1994. Trade in Agarwood. WWF-TRAFFIC, India Ding, H. 1960. Thymelaeaceae. In: Van Steenis, C.G.G.J. (Ed.), Flora Malesiana. Series I. Vol. 6. Wolters-Noordhoff, Groningen, The Netherlands, pp. 1-15. Hamrick, J. L 1989. Isozyme and The Analysis of Genetic Structure in Plant Population. In : Soltis, D.E and Soltis , P.S (Eds.) Isozyme in Plant Biology. Dioscorides Press, Oregon. pp 87-105 IUCN. 2000. Red List of Threatened Species. 2000 International Union for The Conservation of Nature and Natural Resources. www.iucnredlist.org Jane F. S., S. D. Hopper and S. H. James. 1988. Genetic diversity and the conservation of Eucalyptus crucis Maiden. Australian Journal of Botany 36:447-460 Nei, M. 1978. Estimation of average heterozygosity and genetic distance from a small number of individuals. Genetics 89: 583-590. Oldfield, S., Lusty, C. and MacKinve.n, A. 1998. The Word List of Threatened Trees. In: Barden, A., Noorainie Awang Anak, T. Mulliken, and M. Song. (2000). Heart of the matter: Agarwood use and trade and CITES implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC International Rimbawanto, A. dan Widyatmoko, AYPBC. 2010 Identifikasi Aquilaria malaccensis dan A. microcarpa menggunakan penanda RAPD. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. Soehartono, T dan Newton, A.C. 2000. Conservation and sustainable use of tropical trees in the genus Aquilaria I. Status and distribution in Indonesia. Biological Conservation 96:83-94. Soekotjo. 2004. Status Riset Konservasi Genetik Tanaman Hutan Indigenous Species di indonesia. Prosiding Whorkshop Nasional Konservasi, Pemanfaatan, dan Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan. P3BPTH, Yogyakarta. Soekotjo dan Raharjo, P. 2010. Konsepsi Konservasi Sumberdaya Alam (Kondisi saat ini dan tantangannya di masa depan). Temu Ilmiah. BBPBPTH Yogyakarta. Sumarna, Y. 2002. Budidaya Gaharu. Penebar Swadaya. Jakarta. Widyatmoko, AYPBC., Ariningsih, E. D, dan Prasetyaningsih, A.2009.. Seleksi Awal Penanda RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) untuk Identifikasi Lima Spesies AquilariaProsiding Seminar Nasional Biologi: Potensi Sumberdaya Hayati Tropis dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, 28-32. Widyatmoko, AYPBC., Ariningsih, E. D. Dan Prasetyaningsih, A. 2010. Studi keragaman genetik dan hubungan kekerabatan pada tiga jenis Aquilaria menggunakan penanda RAPD. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. Welsh, J., Peterson, C. dan McClelland, M. 1991. Polymorphisms generated by arbitrarily primed PCR in the mouse: application to strain identification and genetic mapping. Nucl. Acid. Res. 19:303-306. Williams, J.G.K., Hanafey, M.K., Rafalsky, J.A. dan Tingey, S.V. 1993. Genetic analysis using random amplified polymorphic DNA markers. Methods Enzymol 218:704-740.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
167
168
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
KONSERVASI BANTENG (Bos javanicus D’alton): ANALISIS KERAGAMAN GENETIK DAN DINAMIKA POPULASI Maryatul Qiptiyah dan AYPBC Widyatmoko Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman Yogyakarta Email:
[email protected]
ABSTRAK Banteng (Bos javanicus d’Alton, 1823) tergolong dalam jenis sapi liar (wild cattle) dan merupakan salah satu jenis satwa yang populasinya semakin menurun. Status konservasi banteng dalam IUCN Red List mengalami perubahan, dari rentan (vurnerable) pada tahun 1986 – 1994 menjadi terancam (endangered) pada tahun 1996. Rencana konservasi banteng telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng (Bos javanicus) Tahun 2010 -2020. Tujuannya adalah untuk mewujudkan peningkatan populasi banteng rata-rata sebesar 5% pada Tahun 2020. Salah satu kegiatan program yang akan dilakukan adalah pengelolaan populasi, yang diantaranya menyangkut evaluasi keanekaragaman genetik. Mulai tahun 2012 hingga 2014, Laboratorium Genetika Molekuler Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Pohon akan melakukan serangkaian penelitian keragaman genetik banteng menggunakan penanda D-loop (mitochondria DNA) dan SSR. Kegiatan yang akan dilakukan adalah: 1) Pengumpulan materi genetik, 2) Pengembangan penanda DNA untuk banteng, dan 3) Analisis keragaman genetik banteng. Materi genetik akan dikumpulkan dari beberapa taman nasional, diantaranya TN Alas Purwo dan TN Baluran (Jawa Timur) untuk sub spesies Bos javanicus javanicus, serta TN Kutai (Kalimantan Timur, B. j. lowi). Informasi yang akan dihasilkan adalah keragaman genetik populasi banteng (Jawa dan Kalimantan), penanda DNA untuk banteng dataran tinggi dan dataran rendah, serta sexing untuk mengetahui dinamika populasi banteng. Kata kunci: banteng, keragaman genetik, penanda DNA, konservasi
I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam tipe ekosistem sehingga memiliki keragaman jenis yang tinggi baik untuk tumbuhan maupun satwa. Beberapa diantara tumbuhan dan satwa yang hidup di Indonesia memiliki status konservasi yang memerlukan perhatian khusus. Salah satu jenis satwa yang ada Indonesia yang memerlukan perhatian khusus adalah banteng. Banteng (Bos javanicus) tergolong dalam jenis sapi liar (wild cattle) yang dikategorikan sebagai endangered species (Timmins et al., 2008). Jenis ini juga dikenal dengan nama Tembadau di Kalimantan. Sebaran alami banteng meliputi kawasan Asia Tenggara, mulai dari Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam dan Kamboja sampai ke Yunan China (B. javanicus birmanicus), Pulau Kalimatan (B. javanicus lowi) dan Jawa di (B. javanicus javanicus) (Timmins et al., 2008). Di Indonesia, banteng merupakan mamalia besar selain badak jawa (Rhinoceros sondaicus sondaicus) untuk di Pulau Jawa, dan gajah (Elephas maximus) di Pulau Sumatera. Sementara itu, banteng dinyatakan telah punah di Semenanjung Malaysia (Francis, 2008 dalam Anonim, 2011).
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
169
Keragaman jenis banteng (Bos javanicus) adalah sumber plasma nutfah bagi pengembangan budidaya sapi bali (Bos sondaicus). Tetapi satwa ini di kawasan konservasi in-situ seperti taman nasional mengalami penurunan populasi akibat perburuan liar dan penurunan kualitas habitat karena invasi tumbuhan Acacia nilotica, Chromolaena odorata dan Crotalaria sp di savana (Sawitri dan Takandjandji, 2007 dan Sawitri dan Garsetiasih, 2007). Sedangkan di kawasan konservasi ex-situ, perkawinan banteng cenderung tidak acak dan keturunannya cenderung permasalahan inbreeding dalam keragaman genetikanya, sehingga populasi keturunannya sangat rentan terhadap serangan penyakit maupun seleksi alam dan dikhawatirkan akan menghancurkan keseluruhan populasi. Mempertahankan keragaman genetika dalam suatu populasi merupakan salah satu cara dari pengelolaan populasi bagi spesies yang terancam punah. Kualitas genetika menurun akibat penurunan populasi efektif, minimal yaitu 50 individu untuk di penangkaran dan 500 individu untuk di alam (Indrawan dkk, 2007). Faktor yang berperan penting terhadap keragaman genetika pada suatu populasi adalah seleksi alam, mutasi, genetic drift dan perkawinan yang tidak acak. Upaya pengelolaan populasi satwa dengan menggunakan pendekatan genetika molekuler telah mulai banyak diterapkan, sebagai pelengkap dari pendekatan konvensional yang sudah ada. Tulisan ini merupakan studi literatur yang bertujuan untuk memaparkan pentingnya genetika molekuler untuk mendukung upaya konservasi satwa liar, khususnya banteng.
II. STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI BANTENG TAHUN 2010 – 2020 Berdasar lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 58/Menhut-II/2011, maksud disusunnya “Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng (Bos javanicus) Tahun 2010-2020” adalah untuk memberikan arahan dan pedoman tentang strategi, prioritas dan rencana aksi konservasi banteng pada tingkat nasional dan daerah pada periode Tahun 2010-2020, sehingga program-program yang dilakukan lebih terarah, terkoordinasi serta terbentuk sinergi kegiatan antar pemangku kepentingan. Adapun tujuannya adalah untuk mewujudkan peningkatan populasi banteng rata-rata sebesar 5% pada Tahun 2020. Lokasi prioritas untuk konservasi banteng dipilih dengan pertimbangan seperti keterwakilan sub spesies, luas kawasan, keamanan serta telah ada unit pengelola konservasi banteng. Prioritas lokasi yang pertama untuk sub spesies Bos javanicus javanicus adalah TN Ujung Kulon, TN Meru Betiri, TN Baluran dan TN Alas Purwo di jawa. Sementara untuk lokasi sub spesies B.j. lowi adalah TN Kutai dan TN Kayan Mentarang di Kalimantan
170
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
Untuk menjawab program yang tertuang dalam strategi dan rencana aksi konservasi banteng, kegiatan yang akan dilakukan sebagai berikut : 1. Kegiatan program pengelolaan populasi meliputi : inventarisasi dan pemantauan populasi; assessment keanekaragaman genetik, pencegahan perburuan liar, membangun pusat penyelamatan (rescue center) banteng akibat konflik, sebagai langkah awal mengembalikan populasi banteng, merelokasi banteng dari populasi yang terisolasi untuk menyelamatkan populasi yang mengalami penurunan (dengan mengikuti risk assessment, cek kesehatan satwa serta pengikuti aturan-aturan diantaranya seperti IUCN guidelines), pembentukan unit pengelolaan banteng (untuk pemantauan dan pengamanan), standardisasi pengelolaan banteng eks-situ untuk mencapai target populasi international yaitu 300 (tiga ratus) ekor yang didapatkan dari 30 (tiga puluh) indukan tanpa mengganggu populasi alam, juga pertukaran spesies banteng antar lembaga konservasi untuk menghindari penurunan kualitas genetik akibat perkawinan antar kerabat (inbreeding). 2. Kegiatan program pengelolaan habitat adalah pembinaan habitat melalui rehabilitasi atau restorasi, pengamanan habitat, pengembangan High Conservation Value Forest (HCVF) untuk habitat banteng di luar kawasan konservasi, pembinaan habitat berbasis lansekap, mengendalikan spesies invasif yang berakibat negatif pada daya dukung habitat banteng, serta tidak adanya hewan ternak dalam habitat banteng. 3. Kegiatan program sistem pengelolaan data adalah pembangunan sistem informasi pengelolaan banteng, serta pembangunan data base banteng di daerah dan pusat. 4. Kegiatan program peningkatan profesionalitas aparat adalah pelatihan penanganan satwa, pelatihan survey dan pemantauan satwa, pelatihan patroli anti perburuan dan pelatihan pengelolaan populasi, pelatihan pengolahan data dan pelaporan, pelatihan interpretasi ekowisata banteng, pelatihan penyuluhan, penyediaan tenaga ahli medis veteriner terutama untuk penanganan penyakit dan paska konflik. 5. Kegiatan program peningkatan kerjasama antar para pihak meliputi pembentukan kemitraan untuk pendanaan konservasi banteng, penggalangan dana mitra, pembentukan Forum Konservasi Banteng. 6. Kegiatan program peningkatan popularitas dan nilai ekonomi banteng mencakup pengenalan banteng kepada masyarakat luas, penyelenggaraan kompetisi banteng award, pendirian ekowisata banteng, pemanfaatan banteng untuk pemuliaan sapi, membuat kajian serta sosialisasi dari valuasi ekonomi konservasi banteng sebagai pedoman pengembangannya.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
171
III. KONSERVASI BANTENG BERBASIS MOLEKULER Analisis molekuler atau analisis DNA untuk satwa liar mulai banyak dilakukan pada saat ini. Pendekatan molekuler merupakan salah satu cara untuk dapat mengetahui berbagai informasi tentang populasi satwa yang terkadang susah didapatkan melalui penelitian satwa secara konvensional. Dengan analisis molekuler, maka informasi tentang keragaman individu di dalam dan antar populasi dapat diketahui. Selain itu, informasi lain yang dapat diperoleh dari monitoring populasi menggunakan DNA adalah kelimpahan, range, paternitas, kinship, kekerabatan, ukuran populasi, keragaman genetik, struktur populasi, organisasi sosial, rasio jenis kelamin suatu spesies serta untuk mengenali individu-individu (Wulandari, 2006). Penggunaan sekuen DNA pada studi genetika populasi telah berkembang secara cepat, terutama setelah ditemukannya sekuen DNA dengan tingkat variabilitas dan polimorfis yang tinggi sebagai penanda genetik. Meskipun penggunaan penanda genetik klasik seperti protein darah dan biokimia cukup berperan penting dalam beberapa studi genetika populasi, namun salah satu masalah yang membatasi penggunaan penanda ini adalah keterbatasan jumlah genotip pada setiap lokus. Adanya penemuan lokus-lokus DNA dengan tingkat variabilitas tinggi, misal DNA mikrosatelit menawarkan sejumlah solusi untuk memecahkan masalah keterbatasan tersebut (Chakraborty & Jin, 1993 dalam Winaya, 2010). Mikrosatelit memiliki sifat kodominan, dan dapat digunakan untuk pemetaan genetik, linkage analysis dalam kaitannya dengan gen penyakit tertentu dan sejumlah analisis genetik populasi. Selain itu, mikrosatelit bisa digunakan untuk menduga ukuran populasi, derajat substruktur populasi termasuk jumlah migrasi antar sub populasi serta hubungan genetik di antara sub populasi yang berbeda, analisis silsilah dan kekerabatan serta sejarah populasi (Rahmat, 2009). Dalam rangka upaya konservasi sumber daya alam hayati terutama bagi satwa liar terancam punah dan dilindungi, aplikasi dari hasil identifikasi sifat-sifat genetik mempunyai manfaat yang besar dan strategis. Hasil identifikasi sifat genetik dapat membantu memberikan informasi menegenai tingkat kelangkaan maupun kekritisan jenis melalui sifat heterosigositas atau derajat polimorfisme. Selain itu, hasil identifikasi sifat genetik dapat membantu menentukan jumlah populasi efektif. Suatu informasi genetik tertentu yang berfungsi sebagai penciri genetik atau gengen penanda dalam pengelolaan satwa liar, seperti untuk mengidentifikasi asal usul satwa hasil sitaan, mencirikan kekebalan terhadap penyakit atau menentukan kuota pemanenan lestari. Dalam upaya penangkaran, identifikasi sifat genetik dapat mencegah adanya inbreeding dan meningkatkan heterosigositas serta dapat membatu upaya restocking dan pendistribusian ulang satwa hasil 172
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
penangkaran atau hasil sitaan ke habitat aslinya guna mencegah kemungkinan polusi genetik (Rahmat, 2009). Genetic assesment merupakan salah satu kegiatan yang akan dilakukan untuk mendukung upaya konservasi banteng yang tertuang dalam strategi dan rencana aksi nasional (Permenhut No. P.58/Menhut-II/2011). Indikator kinerja yang tercantum di dalamnya adalah keragaman genetik dalam dan antar populasi dapat diketahui dan dikuantifikasi dan status sub spesies dapat dipastikan kebenarannya. Selanjutnya hasil penilaian tersebut dituangkan ke dalam suatu aturan perundangundangan diantaranya sebagai antisipasi pegangan hukum dalam proses pengadilan. Penelitian mengenai genetika banteng pernah dilakukan oleh (Sawitri dkk, 2012, kom.pri) di beberapa kawasan konservasi baik secara in situ maupun ex situ. Kawasan konservasi tersebut adalah : TN Baluran, TN. Meru Betiri, TN Alas Purwo, Kebun Binatang Ragunan, Kebun Binatang Surabaya, Taman Safari I Prigen. Penelitian tersebut menggunakan metode sekuen fragmen D-loop dari DNA mitokondria. Hasil penelitian tersebut diatas adalah diversitas haplotipe populasi banteng di KBS, KBR, TSI II, (Prigen dan Bali), Taman Nasional Merubetiri, dan sapi bali adalah 0,385±0,077 dan diversitas nukleotida (Pi) = 0,00218 ± 0,00095. Pada uji Tajima (Tajima test) menunjukkan nilai D = -0,50134 dan tidak berbeda nyata P>0,10
diantara individu banteng di semua populasi.
Demikian pula pada uji Fu dan Li menunjukkan nilai D = -0,86873 dan tidak berbeda nyata P>10 diantara individu pada semua populasi banteng.
Sedangkan nilai Fu’s Fs = 0,123 yang
menunjukkan nilai positif yang berarti telah terjadi silang dalam (inbreeding) (Sawitri dkk, 2012, kom.pri). Mulai tahun 2012 hingga 2014, Laboratorium Genetika Molekuler Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan akan melakukan serangkaian penelitian keragaman genetik banteng menggunakan penanda D-loop (mitochondria DNA) dan SSR atau mikrosatelit dilakukan karena penanda ini memiliki keunggulan antara lain tersebar sangat banyak di genom, polimorfisme tinggi, diskriminasi tinggi hingga pada tingkat satu basa dan dapat dengan mudah diamplifikasi dengan reaksi PCR. Kegiatan penelitian tersebut di atas meliputi: 1) Pengumpulan materi genetik, 2) Pengembangan penanda DNA untuk banteng, dan 3) Analisis keragaman genetik banteng. Materi genetik akan dikumpulkan dari beberapa taman nasional, diantaranya TN Alas Purwo dan TN Baluran (Jawa Timur) untuk sub spesies Bos javanicus javanicus. Pengambilan materi genetik juga akan dilakukan di TN Kutai (Kalimantan Timur) untuk sub spesies Bos javanicus lowi. Informasi yang akan dihasilkan adalah keragaman genetik populasi banteng (Jawa dan Kalimantan), penanda
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
173
DNA untuk banteng dataran tinggi dan dataran rendah, serta sexing untuk mengetahui dinamika populasi dari banteng KESIMPULAN Banteng merupakan salah satu jenis satwa liar yang menjadi prioritas nasional untuk dikonservasi. Upaya konservasi banteng secara nasional dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2020 telah dituangkan ke dalam Permenhut
No. 58/Menhut-II/2011. Idealnya, Permenhut tersebut
dijadikan sebagai acuan / rujukan bagi seluruh stakeholder yang akan mengkonservasi banteng. Penelitian genetika banteng menjadi salah satu perangkat yang dibutuhkan sebagai upaya konservasi banteng dan untuk memenuhi amanat Permenhut No. P.58/Menhut-II/2011. Hasil penelitian diharapkan dapat menjawab tentang keragaman genetik dalam dan antar populasi serta kepastian sub spesies antara Bos javanicus javanicus dan B.j. lowi.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H.S., 1990, Pengelolaan Satwa Liar Jilid I, IPB, Bogor Anonim, 2011, Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, No. P. 58/Menhut-II/2011 tentang Strategi dan rencana Aksi Konservasi Banteng (Bos javanicus) Tahun 2010 – 2020, www.dephut.go.id diakses tanggal 30 Agustus 2012. Indrawan, M., R.B. Primack dan J. Suprijatna, 2007, Biologi Konservasi, Yayasan Obor, Jakarta.S Rahmat, U.M., 2009, Genetika Populasi dan Strategi Konservasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822), Jurnal Manajemen Hutan Tropika, Vol XV, (1): 89 - 90 Sawitri, R dan M. Takandjandji. 2007. Kemungkinan reintroduksi banteng (Bos javanicus d’Alton) di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Wana Tropika. Warta Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 2 No. 3, September 2007. Sawitri, R dan R. Garsetiasih. 2007. Biological Control Strategy on Invasive Alien Species in Indonesian Forestry. Country Report : The International Workshop on the Biological Control of Invasive Species of Forests, September 20-25, 2007, Beijing, P.R. China Timmins, R.J., Duckworth, J.W., Hedges, S., Steinmetz, R. & Pattanavibool, A. 2008. Bos javanicus. In: IUCN 2012. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.1. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 09 September 2012. Winaya, A, 2010, Variasi Genetik dan Hubungan Filogenetik Populasi Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan Penciri Molekuler DNA Mikrosatelit Kromosom Y dan Gen Cytochrome b, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Wulandari, D.T., 2006, Monitoring Populasi Hidupan Liar dengan DNA dari Feses, Pasca Sarjana UI, tidak diterbitkan.
174
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
DAFTAR HADIR PESERTA SEMINAR NASIONAL YOGYAKARTA, 9 OKTOBER 2012 No
Nama
Instansi
1.
Istiana P
BBPBPTH
2.
Maryatul Qiptiyah
BBPBPTH
3.
Nur Sumedi
BKSDA
4.
Agus Wiyanto
Pusdiklat Kehutanan
5.
Ali Husni
BB- Biogen Bogor
6.
Sumardi
BPK Kupang
7.
Siswadi
BPK Kupang
8.
E. Slamet R
BDK Kadiapaten
9.
Ardianto
Dishut Prov Jatim
10.
Rimbawanto
BBPBPTH
11.
Rina Laksmi Hendrati
Balai BPBPTH
12.
Dr. Corry
Puslitbang
13.
Dedi
Puslitbang
14.
Bambang Widjanarko
DIT. BPTH
15.
Atmitri S
BB Biogen
16.
Margiyanti
BBPBPTH
17.
Yelnititis
BBPBPTH
18.
Aniversari A
BB Biogen
19.
Lydia Suastati
B2PD Samarinda
20.
Sumaryana
BBPBPTH
21.
Arif Nirsatmanto
BBPBPTH
Tanda tangan
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
175
No
Nama
Instansi
22.
Endah Budi Irawati
UPN Veteran Yogyakarta
23.
F Woro Rismiyatun
Institut Pertanian NTAN
24.
Gudiwidayanto
Institut Pertanian NTAN
25.
Lukman Hakim
Puskonser
26.
Sinung Pranata
UAJY
27.
Hamdan AA
BBPBPTH
28.
Sukaji
BBPBPTH
29.
Marlan
BBPBPTH
30.
Burhan Ismail
BBPBPTH
31.
Taufik Jati S
UPN Veteran Yogyakarta
32.
Sri Wahyuni
BBPBPTH
33.
Rati Riyati
UPN Veteran Yogyakarta
34.
Edy Sarwono
BBPBPTH
35.
Purwono
Puslitbang Cepu
36.
Sidik P
Puskonser
37.
Dwi Nuryan Dani
BKSDA Yogya
38.
Kianto Atmodjo
FTB UAJY
39.
Yuliah
BBPBPTH
40.
Yohanes Wibisono
BPK Manokwari
41.
Sushardi
Fahutan INSTIPER
42.
Richard Triantoro
BPK Manokwari
43.
Kasih P. Handayani
Ilmu Lingkungan UGM
176
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
Tanda tangan
|
09 OKTOBER 2012
No
Nama
Instansi
44.
Toni Herawan
BBPBPTH
45.
Ellen Rosyelina Sasmita
Fak Pertanian UPN Veteran
46.
Yosephin Martha
BPTHHBK Mataram
47.
Purnamila Sulistyawati
BBPBPTH
48.
Vivi Y
BBPBPTH
49.
Nur Hidayati
BBPBPTH
50.
Suprihati
BBPBPTH
51.
Mashudi
BBPBPTH
52.
Dedi S
BBPBPTH
53.
Tri Maria Hasnah
BBPBPTH
54.
Rizki Ary Fambayun
BBPBPTH
55.
Nurngaini
FP UPN Yogyakarta
56.
Sri Hutami
BB Biogen
57.
Hari Sutrisno
LIPI Bogor
58.
Dewi Winarsih
BBPBPTH
59.
Wahyunisari
BBPBPTH
60.
Dodi Garnadi
BBPBPTH
61.
Dyah Puspasari
Set Badan Litbang
62.
Sumaryono
Balit Biotek Perkebunan
63.
AYPBC Widyatmoko
BBPBPTH
64.
Liliek Haryjanto
BBPBPTH
65.
Ikeu SR
Dit KKH-PHKA
Tanda tangan
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
177
No
Nama
Instansi
66.
ILG Nurtjahjaningsih
BBPBPTH
67.
Jayusman
BBPBPTH
68.
Asri IP
BBPBPTH
69.
Suwandi
BBPBPTH
70.
Surip
BBPBPTH
71.
Dwi Kartikaningtyas
BBPBPTH
72.
Priska Rini
BBPBPTH
73.
Jaka S
BBPBPTH
74.
Ragapadmi Purnamaningsih
BB Biogen
75.
Sutoro
BB Biogen
76.
Sugeng Pudjiono
BBPBPTH
77.
Arif Priyanto
BBPBPTH
78.
Maman Sulaeman
BBPBPTH
79.
Rudy Lukman
BISI
80.
Indwirut Puspita A
Dinas Kehutana & Perkebunan
81.
Ir. Susilowati, MP
FP UPN Yogya
82.
Susanto
BBPBPTH
83.
Prastyono
BBPBPTH
84.
Gunawan HR
BBPBPTH
85.
Y Triyanta
BBPBPTH
86.
Agus Suhaksa
BPTH Kalimanatan
87.
Charomaini
BBPBPTH
178
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
Tanda tangan
|
09 OKTOBER 2012
No
Nama
Instansi
88.
Tri Pamungkat
BBPBPTH
89.
Dyah Arbiwati
UPN Veteran Yogya
90.
Julhi
BTN. GN. Merbabu
91.
Siti Susilowati
BBPBPTH
92.
Ari Fiani
BBPBPTH
93.
Endin Izudin
BBPBPTH
94.
Maryana
UPN Veteran Yogyakarta
95.
Tutut Wirawati
UPN Veteran Yogyakarta
96.
Taryono
UGM
97.
L. Indah Murwani
FTB. UAJY
98.
Budi Leksono
BBPBPTH
99.
Dwi siwi
BBPBPTH
100.
Asep N.K
BTN Gn Merapi
101.
Mudji Susanto
BBPBPTH
102.
Sapto Indrioko
UGM
103.
Subroto Ps
UPN Veteran Yogyakarta
104.
Suyanto
UPN Veteran Yogyakarta
105.
Basuki
FP.UPN Yogyakarta
106.
Nasiatul Azizah
Ilmu Lingkungan UGM
107.
Dhani Suryawan
BTNGM
108.
Uus Suleman
BBPBPTH
109.
Eritrina W
BBPBPTH
Tanda tangan
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
179
No
Nama
Instansi
110.
Lagiman (Ir.Msi)
FP UPN Veteran Yogyakarta
111.
Nurul Ardiana
BPDAS SOP
112.
Sumarwoto (Dr.Ir)
FP UPN Yogya
113.
Mahendra Utama
BBPBPTH
114.
Rina Sulistyanti
BBPBPTH
115.
Slamet R
Dishut Jogja
116.
Endah Wahyurini
FP. UPN Veteran Yogya
117.
Edy Wibowo
BBPBPTH
118.
Maya Retnasari
BBPBPTH
119.
Abdul Azis
BBPBPTH
120.
M. Anis F
BBPBPTH
121.
Ismiyati
BBPBPTH
122.
Bambang Dwi Artadi
Indotech Cipta Mandiri
123.
Dyah Nurhandayani
BBPBPTH
124.
Liliana
BBPBPTH
125.
Siti Husna
BBPBPTH
126.
Pramana Yuda
UAJY
127.
Amir Wardhana
BBPBPTH
128.
Bambang Tri H
Pusprohut
129.
Endang Dwi L
BBPBPTH
130.
Nurdin Asfandi
BBPBPTH
131.
Fasis Mangkuwibowo
BBPBPTH
180
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
Tanda tangan
|
09 OKTOBER 2012
SEMINAR NASIONAL “Bioteknologi Hutan untuk Produktivitas dan Konservasi SumberDayaHutan” JOGJAKARTA, 9 OKTOBER 2012 BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Pukul
Kegiatan
08.00-08.30
Pendaftaran
08.30-09.00 • • •
Pembukaan Laporan Kepala BBPBPTH Arahan dan Pembukaan oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan Doa
09.00-09.15
Rehat Kopi
SesiI. Perbanyakan Tanaman dan Teknologi In Vitro Moderator
: DR. Ir. Taryono, M.Sc
Notulis
: M. Nurdin Asfandi, A.Md dan Wahyunisari
Pukul
Pembicara
Materi
09.15-09.45
Ir. Sumaryono, M.Sc., Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan
Perbanyakan Massal Tanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) melalui Embriogenesis Somatik
09.45-09.55
Dra. Yelnititis, M.Si., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Perbanyak Tunas Araucaria cunning hamii dari Eksplan yang Berasal dari Seedling
09.55-10.05
Ir. Asri Insiana Putri, MP., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
10.05-10.15
DR. Ali Husni, Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian
10.15-10.25
Mia Kosmiatin,S.Si., M.Si., Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian
10.25-10.35
Ir. Toni Herawan, MP., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Ketersediaan Eksplan Tunas Aksiler dan Kalugenesis pada Perbanyakan Mikro Toona sinensis Peningkatan Daya Multiplikasi Tunas in vitro Gaharu dalam Upaya Ikut Membantu Pengembangan dan Kelestariannya Enkapsulasi Buku Satu Tunas in vitro Tanaman Gaharu (A. malaccensis Lank) Review Kultur Jaringan Cendana (Santalum album L.)
10.35-11.20
Diskusi
11.20-12.30
ISHOMA
Sesi I. Bioteknologi untuk Pemuliaan Moderator
: DR. Arief Nirsatmanto
Notulis
: M. Nurdin Asfandi, A.Md dan Wahyunisari
Pukul 12.30-13.00
Pembicara DR. Rudy Lukman , BISI International Tbk
Materi Evolusi Teknik Molekuler untuk Keperluan Pemuliaan Tanaman
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
181
13.00-13.10
ILG. Nurtjahjaningsih, S.Si., M.Sc., Ph.D., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Identifikasi Tetua Unggul di Kebun Benih Acacia mangium
13.10-13.20
Istiana Prihatini, S.Si., MP., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
13.20-13.30
Vivi Yuskianti, SP., M.Si., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
13.30-13.40
Purnamila Sulistyawati, S.Si., M.Agr.Sc., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Identifikasi jamur endofit pada tanaman hutan menggunakan penanda molekuler Penanda Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs) untuk Identifikasi Genetik di Sengon dan Acacia hybrid Pemuliaan tanaman hutan dengan metode pendekatan transcriptomic-proteomics
13.40-14.10
Diskusi
Sesi III. Bioteknologi untuk Konservasi dan Verifikasi Asal-Usul Moderator
: DR. Sapto Indrioko
Notulis
: M. Nurdin Asfandi, A.Md dan Endin Izudin, A.Md
Pukul
Pembicara
Materi
14.10-14.40
DR. Hari Sutrisno, Pusat Penelitian Biologi, LIPI
Peranan DNA barkoding dalam mendukung upaya konservasi fauna di Indonesia
14.40-14.50
DR. Anto Rimbawanto, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Verifikasi Asal Usul Kayu merbau (Intsia bijuga) menggunakan Penanda DNA : Strategi dan Status Penelitian
14.50-15.00
Ir. Pramana Yuda, M.Si., Ph.D., Fakultas Teknobiologi, Universitas Atmajaya, Yogyakarta
Aplikasi molecular sexing pada Gelatik Jawa (Padda oryzivora)
15.00-15.10
DR. Ir. AYPBC Widyatmoko, M.Agr., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Peran Hasil Penelitian Genetika Molekuler dalam mendukung Strategi Konservasi Aquilaria sp
15.10-15.20
Maryatul Qiptiyah, S.i., M.Sc., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Konservasi Banteng (Bos javanicusd’Alton): Analisis keragaman genetic dan dinamika populasi
15.20-15.50
Diskusi
15.50-16.05
Rehat Kopi
16.05-16.30 • •
182
Penutupan Pembacaan Rumusan oleh DR. Anto Rimbawanto Penutupan oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012
SUSUNAN TIM PELAKSANA PADA SEMINAR NASIONAL ”BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN” TAHUN 2012 BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN No.
Nama
Jabatan dalam Tim
Uraian Tugas
1
2
3
4
I.
Pembina
1.
Kepala Badan Litbang Kehutanan
2. 3.
Kepala Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan Kepala Balai Besar PBPTH
II.
Panitia Pelaksana
1.
Ir. Edy Subagyo, M.P.
2.
Ir. R. Gunawan Hadi R., M.Si.
3.
Ir. Dodi Garnadi, M.Si.
4.
Drs. Riharto, MM
5.
Endang Dwi Lestariningsih, A.Md.
6.
Edy Wibowo, S.Hut.
7.
M. Nurdin Asfandi, A.Md.
8.
Maya Retnasari, A.Md
9.
Rina Sulistyanti
10.
Ismiyati
11.
Nana Niti Sutisna, SIP
Pembina
Ketua
Wakil Ketua
Memberikan bimbingan dan arahan baik aspek teknis maupun non teknis untuk pelaksanaan kegiatan
Mengkoordinasikan tim dalam pelaksanaan kegiatan, bertanggung jawab terhadap kelancaran & hasil pelaksanaan kegiatan serta melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan kepada Kepala Balai Besar Membantu ketua dalam mengkoordinasikan tim
Sekretaris
Bersama dengan ketua dan wakil ketua untuk mengarahkan pelaksanaan kegiatan dan penyusunan laporan pelaksanaan kegiatan
Bendahara
Mengelola keuangan dalam pelaksanaan kegiatan
Seksi Acara dan Persidangan
Mengatur jalannya acara untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan
Seksi Materi
Mempersiapkan materi kegiatan
Pembawa Acara/MC Seksi Akomodasi Seksi Umum
Mengatur jalannya pelaksanaan kegiatan Menyiapkan akomodasi untuk pelaksanaan kegiatan Menyiapkan seluruh kebutuhan untuk pelaksanaan kegiatan
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN 183
184
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
|
09 OKTOBER 2012