PERBEDAAN STRUKTUR XILEM BATANG SENGON (Falcataria moluccana) DARI PROVENAN SOLOMON DAN WAMENA The differences of stem xylem structures of sengon (Falcataria moluccana) from Solomon and Wamena Provenances Lucy Ana Cahya Inkasari1, Liliana Baskorowati2, dan Anti Damayanti1 1
Fakultas Biologi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281 2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar, Km.15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta e-mail:
[email protected]
Tanggal diterima: 12 Oktober 2015, Tanggal direvisi: 30 Oktober 2015, Disetujui terbit: 10 Juni 2016
ABSTRACT Sengon (Falcataria moluccana) is fast growing species mostly planted by farmers due to its high productivity. Sengon originating from Solomon Island has been known with the high productivity eventhough susceptible to gall rust attack; on the other hand, sengon originating from Wamena is known to be more tolerant to gall rust attack. There is no previous study in terms of stem xylem structures comparing sengon from those seed origins. Therefore, this study was undertaken to identify the differences in anatomical structure of sengon stem; and to compare the xylem cell based on proportions and dimensions of the stems between the two provenances. Six stem samples of tolerant Wamena provenance and six samples of susceptible Solomon provenance were used in this study. Samples were collected from progeny trial of sengon in Lumajang, Jawa Timur. The observations include the anatomical structures and vessel element, parenchyma apotracheal cell, parenchyma paratracheal cell, xylem fiber, fiber length, and fiber diameter. The result showed that there was no difference in terms of anatomical structures between sengon Wamena (tolerant) and Solomon (susceptible) stem in cross section, tangential and radial section of periderm, phloem, secondary xylem (vessel cell, xylem fiber, and parenchyma xylem) and pith. However, in one of susceptible stem sample, a black reaction zone on the secondary xylem was found. Analysis of variance showed that parenchyma paratracheal cell, apotracheal cell, number of xylem fibers, xylem fiber diameter and length were not significantly different between stem of sengon Wamena (tolerant) and Solomon (susceptible). Keywords: anatomy, sengon stem, xylem, Solomon, Wamena
ABSTRAK Sengon (Falcataria moluccana) merupakan salah satu jenis tanaman cepat tumbuh yang banyak ditanam masyarakat, karena produktifitas yang tinggi. Sengon provenan Solomon ditengarai mempunyai produktivitas yang tinggi meskipun tidak tahan terhadap penyakit karat tumor, sedangkan sengon provenan Wamena diketahui mempunyai ketahanan yang lebih baik terhadap penyakit karat tumor. Studi tentang perbandingan struktur xylem batang sengon dari provenan tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan struktur anatomi dan perbandingan berdasarkan proporsi dan dimensi sel xilem antara batang sengon Solomon dan Wamena. Enam contoh batang rentan penyakit karat tumor provenan Solomon dan 6 contoh batang tahan karat tumor provenan Wamena digunakan dalam penelitian ini. Contoh kayu diambil dari petak uji keturunan sengon di Lumajang, Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara penampang melintang, tangensial dan radial pada bagian periderm hingga bagian empulur tidak ada perbedaan struktur anatomi batang antara sengon Solomon dan Wamena. Namun demikian, pada salah satu contoh Solomon, terdapat zona reaksi berwarna hitam pada bagian xilem sekunder. Hasil analisis varian menunjukkan bahwa sel parenkim paratrakeal, apotrakeal, jumlah serat xilem, panjang serat xilem dan diameter serat xilem tidak menunjukkan perbedaan nyata antara batang sengon dari Wamena (toleran) dan Solomon (rentan). Kata kunci: anatomi, batang sengon, xilem, Solomon, Wamena
1
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 1 - 11
I. PENDAHULUAN Sengon (Falcataria moluccana) merupakan spesies cepat tumbuh (fast growing species) yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat karena kemudahannya beradaptasi dengan lingkungan dan nilai ekonomi yang tinggi. Sengon mempunyai produktivitas yang tinggi dengan riap rata-rata pertahun antara 10– 25 m3/ha/th (8 tahun) dan 30-40 m3/ha/th (12 tahun), dengan pola usaha tani, riap dapat mencapai 16,78 m3/ha/th; dan pada tanaman sengon umur 7 tahun dengan perlakuan seleksi riap dapat ditingkatkan menjadi 27,26 m3/ha/th (Soerianegara & Lemmens, 1993; Rimbawanto, 2008). Sampai saat ini, sengon yang berasal dari kepulauan Solomon diyakini merupakan sengon dengan produktivitas yang paling tinggi (Hardiyanto, 2010). Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa sengon Solomon memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan sengon lokal, dengan produktivitas 3 kali lipat dibandingkan dengan sengon lokal. Sengon Solomon mempunyai rerata pertumbuhan tinggi 5 m dan diameter 5,7 cm pada umur 1 tahun; serta memiliki rerata pertumbuhan diameter 16 cm saat 2 tahun, dan 19 cm pada umur 3 tahun (Hardiyanto, 2010; Setiadi et al., 2014b). Hasil penelitian pada petak uji keturunan sengon Solomon oleh Setiadi et al. (2014b) menyatakan bahwa rerata pertumbuhan tinggi dan diameter umur 6, 12 dan 18 bulan berturut-turut adalah 2,42 m dan 2,97 cm; 4,74 m dan 5,56 cm, serta 17,35 m dan 7,39 cm. Namun demikian, produktivitas yang tinggi dari sengon Solomon tersebut sangat terkendala dengan adanya serangan penyakit karat tumor. Sengon yang berasal dari Solomon merupakan jenis sengon yang sangat mudah tertular penyakit karat tumor dibandingkan dengan sengon dari Indonesia. Penelitian pada petak uji keturunan sengon di Bondowoso oleh Setiadi et al. (2014a) memperlihatkan bahwa pada umur 6 bulan sengon Solomon mulai
2
terserang karat tumor dengan nilai luas serangan 0,85% dan intensitas serangan 0,51%; yang meningkat secara nyata pada saat umur tanaman 1 tahun yaitu 39,60% (luas serangan) dan 17,99% (intensitas serangan). Semua famili sengon Solomon yang tumbuh dalam petak uji sengon Solomon di Bondowoso (25 famili, 4 tree plot, 8 blok) terserang penyakit karat tumor sejak umur 6 bulan dengan luas serangan dan intensitas serangan yang bervariasi antar famili (Setiadi et al., 2014b). Sengon yang berasal dari Wamena, sebaliknya, diketahui merupakan jenis sengon yang lebih tahan terhadap penyakit karat tumor, karena menunjukkan luas dan intensitas serangan yang lebih rendah (Baskorowati & Nurrohmah, 2011; Baskorowati et al., 2012). Lebih lanjut Rahayu et al., (2009) dengan hasil penelitiannya terkait inokulasi buatan jamur U. falcatarium pada semai sengon umur 6 minggu di persemaian menemukan bahwa semai yang berasal dari Wamena lebih tahan terhadap penyakit karat tumor jika dibandingkan dengan Kediri, Timor Timur, Morotai, 2S/75 (asal Sabah) dan Walang Gintang. Hasil penelitian awal Charomaini & Ismail (2008) juga menyebutkan bahwa individu-individu yang berasal dari Papua seperti Waga-waga, Wamena, Hubikosi, dan Muliama Bawah lebih tahan terhadap serangan penyakit karat tumor. Setiadi et al., (2014a) menambahkan bahwa individu-individu yang berasal dari Papua, seperti Holima, Meagama, dan Elagaima tahan terhadap penyakit karat tumor sampai umur 12 bulan pada uji keturunan di Bondowoso. Lebih lanjut, Diputra (2015) menyatakan bahwa tanaman sengon yang berasal dari Wamena A, Wamena B lebih tahan terhadap terhadap penyakit karat tumor di lapangan dibandingkan dengan sengon asal Nabire, Manokwari, Serui dan ras lahan Jawa. Tanggapan tanaman sengon terhadap penyakit karat tumor sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Beberapa penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa tanaman tersebut memiliki materi genetik yang
Perbedaan Struktur Xilem Batang Sengon (Falcataria moluccana) dari Provenan Solomon dan Wamena Lucy Ana Cahya Inkasari, Liliana Baskorowati, dan Anti Damayanti
tahan terhadap penyakit. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kemunculan mekanisme ketahanan tersebut adalah cekaman lingkungan (Hopkins & Huiiner, 2008). Tanggapan tanaman terhadap berbagai cekaman dapat menghasilkan perbedaan morfologi, anatomi dan fisiologi tanaman, misalnya perubahan pada pertumbuhan tanaman,volume sel menjadi lebih kecil, penurunan luas daun, daun menjadi lebih tebal, penurunan jumlah akar, penurunan laju fotosintesis, perubahan metabolism serta perubahan ekspresi gen (Salisbury & Ross, 1995). Lebih lajut Salisbury & Ross (1995) menyebutkan bahwa penyakit tanaman dan serangan hama penyakit merupakan kategori cekaman biotik yang dapat dialami tanaman selama daur hidupnya. Serangan patogen juga merupakan salah satu jenis cekaman. Beberapa penelitian terkait perubahan anatomi akibat serangan patogen diantaranya menunjukkan perubahan anatomi tumor kayu sengon trubusan yang terserang jamur U. tepperanium (Rukhama & Nugroho, 2014). Selain itu, Batang pinus yang terkena tumor (gall rust) memiliki jari-jari xilem (xylem ray) dan jari-jari floem (floem ray) lebih rapat, peningkatan jumlah sel parenkim floem, hiperplasia di korteks serta batas kambium yang tidak terlihat jelas dibandingkan batang yang sehat atau normal (Jewell, 1988). Lebih lanjut, cabang yang terinfeksi pada Pinus densiflora memiliki jumlah trakeid, jumlah saluran resin dan jari-jari yang lebih banyak daripada cabang yang tidak terinfeksi (Yamamoto et al., 1998). Disebutkan juga bahwa keberadaan patogen juga menyebabkan penebalan pada sel sklerenkima, sel parenkim di daerah sekitar berkas pembuluh (Yamamoto et al., 1998; Zalasky, 1976). Penelitian – penelitian tersebut menunjukkan bahwa struktur anatomi dapat digunakan sebagai petunjuk ciri adanya suatu cekaman. Jaringan yang sering mengalami perubahan karena cekaman adalah jaringan xilem. Oleh karena itu, kajian anatomi memungkinkan untuk memahami dasar adaptasi
tanaman dalam berbagai kondisi cekaman lingkungan. Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui perbandingan struktur anatomi batang sengon Wamena yang tahan dan sengon Solomon yang rentan terhadap penyakit karat tumor, ditinjau dari jaringan xilemnya. II. METODE PENELITIAN A.
Waktu dan Lokasi
Pengambilan sampel dilapangan dilakukan pada pada bulan November 2014. Sedangkan pengamatan di labolatorium dilakuan pada bulan Januari sampai Maret 2015. Sampel kayu diambil dari plot uji keturunan Sengon B2P2BPTH Yogyakarta di Lumajang (dusun Kayu Enak, desa Kandang Tepus, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang). Sedangkan pengamatan di labolatorium dilakukan di labolatorium kayu B2P2BPTH Yogyakarta. B.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang pohon sengon umur 2 tahun yang ditanam pada Plot Uji Keturunan Sengon di Lumajang, Jawa Timur. Tanaman uji keturunan ini menggunakan rancangan penelitian Incomplete Block Design (IBD) dengan 97 seedlot (famili) 4 treeplot dan 7 blok (replikasi) di lokasi Lumajang. Tanaman sengon dalam plot tersebut berasal dari Wamena, Serui, Manokwari, Nabire dan Kepulauan Solomon. Sedangkan bahan di laboratorium meliputi alkohol 96%, xilol, safranin 0,25%, glyserin, albumin, aquades, asam asetat glasial (CH3COOH) dan hydrogen peroksida (H2O2). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mikroskop, mikrotom, gelas benda, gelas penutup, cawan petri, pipet tetes, pinset, gelas beker, erlemeyer, aluminium foil, gelas ukur, oven, spatula, cutter atau pisau, kuas, kertas saring, dan kawat.
3
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 1 - 11
C.
Prosedur Kerja
1. Koleksi contoh Pengambilan contoh kayu dilakukan pada batang pohon sengon hasil seleksi Plot Uji Keturunan Sengon umur 2 tahun di Dusun Kayu Enak, Desa Kandang Tepus, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang yang ditanam oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Lumajang. Batang diambil dengan melakukan penebangan dan untuk menyeragamkan contoh, batang diambil dengan jarak 1 meter dari permukaan tanah. Jumlah batang pohon yang diambil sebanyak 12 pohon dengan 6 pohon berasal Solomon dan 6 pohon dari Wamena. Contoh batang yang berasal dari Solomon merupakan pohon yang terserang penyakit karat tumor yang ditunjukkan dengan adanya gall (tumor) yang terbentuk pada pohon tersebut, umumnya terdapat di bagian batang. Sedangkan contoh batang yang berasal dari Wamena merupakan pohon yang sehat tidak terindikasi adanya serangan penyakit di semua bagian tanaman. 2. Penentuan proporsi sel (Kasmudjo, 1985) Contoh uji potongan kayu pada bagian batang pohon (setinggi 1,3 m diatas permukaan tanah disiapkan untuk analisis labolatorium. Preparat dibuat dengan terlebih dahulu mempersiapkan contoh uji berupa potongan kayu arah vertikal dengan ukuran sekitar 1,5 x 1,5 x 3 cm. Potongan kayu tersebut dimasukkan ke dalam tabung yang berisi campuran akuades dan gliserin dengan perbandingan 1:3 selama 4 hari untuk pelunakan kayu (Schweingruber, 2007). Contoh dibuat menjadi tiga macam irisan yaitu penampang melintang (x), tangensial (t) dan radial (r) dengan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 15-20 mikron. Irisan dipilih yang terbaik yaitu irisan yang tipis dan tidak sobek. Irisan ditampung dalam cawan petri yang berisi akuades. Pewarnaaan dilakukan dengan menggunakan safranin 0,25%.
4
Contoh dicuci dengan menggunakan alkohol 96% sebanyak tiga kali selama 5 menit, dicelupkan ke dalam xylol selama 3 menit. Contoh kemudian dikeringkan dengan menggunakan kertas saring, lalu diletakkan di atas kaca preparat dan ditutup dengan menggunakan kaca penutup. Preparat kemudian diamati di bawah mikroskop. Pengamatan pada penampang x meliputi sel parenkim apotrakeal dan sel trakea. Pada penampang t yaitu sel parenkim paratrakeal dan pada penampang r diamati serat xilem (xylem fibers). Dilakukan perhitungan pada data yang telah dikumpulkan untuk mengetahui persentase selnya. 3. Penentuan dimensi sel dengan maserasi kayu (Kasmudjo, 1985) Pembuatan contoh uji dilakukan dengan memotong kayu berukuran 0,2 cm x 0,2 cm x 1,5 cm. Contoh diambil pada bagian tengah batang antara kulit dengan empulur. Cairan maserator yaitu campuran antara asam asetat glasial (CH3COOH) dan hydrogen peroksida (H2O2) dengan perbandingan 1:1, kemudian disiapkan dalam tabung reaksi. Contoh dimasukkan dalam botol, kemudian cairan maserator dituang sampai contoh terendam. Contoh dioven selama 3 hari pada suhu 60°C. Contoh kemudian dicuci dengan menggunakan air sampai 5 kali sehingga benar-benar terbebas dari zat kimia. Untuk memisahkan serat-seratnya, tabung reaksi yang berisi contoh diisi dengan akuades hingga ¾ volume tabung kemudian digoyangkan secara perlahan hingga preparat menjadi serabut yang saling terlepas. Serat kemudian diambil dengan menggunakan pipet dan diletakkan diatas kaca preparat, ditetesi dengan safranin 0,25% sebanyak 2-3 tetes dan didiamkan selama 5 menit. Sisa zat warna kemudian dihilangkan dengan menggunakan kertas saring, dan preparat ditutup dengan kaca penutup. Preparat kemudian diamati di bawah mikroskop. Pengamatan meliputi panjang serat serta diameter serat. Jumlah panjang serat yang
Perbedaan Struktur Xilem Batang Sengon (Falcataria moluccana) dari Provenan Solomon dan Wamena Lucy Ana Cahya Inkasari, Liliana Baskorowati, dan Anti Damayanti
diukur sebanyak 100 serat. Hal ini dilakukan untuk mengetahui n kali serat yang diukur. Penentuan n serat dilakukan dengan menggunakan pendekatan menurut Kasmudjo (1985):
dengan: ∑
∑
∑
Keterangan: N = jumlah serat yang diukur S = standar deviasi L = nilai rata-rata panjang serat kali 0,05 (error 5% dianggap memadai) Xi = panjang serat Fi = frekuensi serat N = jumlah serat yang diukur dalam pengukuran pendahuluan (n=100)
4. Analisis Data Data kuantitatif seperti sel parenkim apotrakeal, sel trakea, sel parenkim paratrakeal, serat xilem, panjang serat, dan diameter serat dianalisis dengan menggunakan analisis one way ANOVA. Jika terdapat perbedaan, maka dilanjutkan dengan uji Duncan pada tingkat signifikasi 5% untuk menunjukkan famili dan provenan yang berbeda nyata.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Struktur Anatomi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penampang melintang batang sengon Wamena (Gambar 1a) bagian periderm, floem, xilem sekunder (sel pembuluh, sel serat xilem, dan parenkim xilem), serta bagian empelur tidak berbeda dengan struktur anatomi pada batang sengon Solomon (Gambar 1b). Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa jarak antar sel parenkim apotrakeal relatif sama, begitu pula kepadatan sel trakea pada kedua batang sengon. Dengan membandingkan penampang tangensial (Gambar 2a) dan penampang radial (Gambar 2b) terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan antara struktur anatomi batang tahan (Wamena) dengan batang yang rentan (Solomon); yang terlihat dari kepadatan sel parenkim paratrakeal dan serat xilem yang sama. Namun demikian, pada salah satu contoh batang sengon Solomon, terdapat bercak karat tumor yang meskipun belum sampai terbentuk pembengkakan tumor, telah menunjukkan perubahan anatomi (Gambar 3). Perubahan anatomi yang ditimbulkan adalah adanya lapisan sel atau zona infeksi yang berwarna hitam di xilem sekunder. Selain itu, infeksi juga terdapat di bagian lain yaitu sekitar pembuluh karena parenkim berwarna hitam (Gambar 3a). Zona infeksi ini terletak dekat dengan korteks. Pada bagian xilem sekunder yang dekat dengan empelur tidak terdapat zona infeksi (Gambar 3b).
Gambar 1a. A.) Penampang melintang batang sengon Wamena bagian periderm (kulit batang) 100x, B.) bagian xilem sekunder (tengah), C.) bagian empelur (bagian tengah batang) 40x. documentasi oleh:
5
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 1 - 11
Gambar 1b. D.) Penampang melintang batang sengon Solomon, bagian periderm (kulit batang) 100x, E.) bagian xilem sekunder (tengah), F.) bagian empelur (bagian tengah batang) 40x. Keterangan: periderm (pr), korteks (c), floem sekunder (sf), pembuluh/sel trakea (v), xilem sekunder (sx), sel parenkim apotrakeal (pa), sel parenkim paratrakeal (pp), xilem primer (px), empelur (pt).
Gambar 2b. Penampang tangensial 100x, A) sengon Wamena, B) sengon Solomon, Penampang radial 100x, C) sengon Wamena, D) sengon Solomon. Keterangan: sel parenkim paratrakeal (r), serat xilem (s)
Seperti diketahui, kolonisasi fungi karat hanya terjadi pada daerah yang terinfeksi (Widyastuti et al., 2005). Hal ini berhubungan dengan ketahanan tanaman terhadap patogen yang melibatkan berbagai macam tanggapan, salah satunya adalah gum yang berfungsi sebagai penghalang atau barrier sehingga patogen tidak dapat melanjutkan serangannya dan gum yang dibentuk pada pembuluh dapat mencegah pergerakan patogen (Agrios, 1996). Salah satu yang menyebabkan reaksi tersebut
6
terjadi dikarenakan perkembangan miselia terhenti dan diisolasi di jaringan xilem sekunder (Gramacho et al., 2013; Allen et al., 1990a). Hal ini juga berhubungan dengan pembentukan periderm (Gramacho et al., 2013; Allen et al., 1990b), sedangkan dalam penelitian Allen et al. (1990a), perkembangan periderm di sekitar sel yang terkena infeksi menghasilkan tanin, yang dilaporkan sebagai mekanisme ketahanan.
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 1 - 11
B A
Gambar 3.
A. Penampang melintang batang sengon Solomon yang mengalami infeksi jamur U. tepperianum terdapat zona infeksi berwarna hitam disekitar xilem sekunder (anak panah kuning) dan disekitar pembuluh (anak panah biru) 100x. B. Bagian xilem sekunder dari batang sengon Solomon yang dekat dengan empelur tidak mengalami infeksi 40x.
Keterangan: pembuluh (v), sel parenkim apotrakeal (pa), xilem primer (px), empelur (pt)
B.
Proporsi sel xilem
Hasil analisis varians proporsi sel, dari 4 variabel yang dianalisis yaitu serat xilem (db=1, ms= 4,08, Fpr=0,691), sel parenkim paratrakeal (db=1, ms= 43,13, Fpr=0,093), sel parenkim apotrakeal (db=1, ms= 0,422, Fpr=0,535) dan sel trakea (db=1, ms= 0,880, Fpr=0,565),
Gambar 4.
menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara batang yang rentan (Solomon) dengan batang tahan (Wamena). Namun demikian, dari rerata proporsi sel xilem terlihat bahwa batang toleran mempunyai proporsi sel yang lebih banyak dibandingkan batang rentan (Gambar 4).
Rata-rata proporsi sel penyusun jaringan xilem pada batang sengon Wamena (tahan) dan Solomon (rentan).
Tidak adanya perbedaan struktur anatomi batang rentan (Solomon) dengan batang tahan
(Wamena) dapat disebabkan karena beberapa faktor. Salah satu faktor tersebut adalah
7
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 1 - 11
kekebalan bawaan yang dimiliki oleh tanaman (Freeman & Beattie, 2008). Pada dasarnya tanaman tahan terhadap infeksi patogen karena tanaman tersebut memang tahan terhadap infeksi patogen. Beberapa pertahanan yang dapat dilakukan merupakan hasil dari perubahan stuktur jaringan atau senyawa-senyawa yang dikeluarkan di daerah sekitar serangan patogen. Penyebab lain adalah karena tanaman tersebut telah terinfeksi oleh patogen namun patogen tersebut mampu membatasi aktivitas patogen sehingga kerusakan yang ditimbulkan tidak berkembang atau tidak meluas ke daerah lain dan tidak mempengaruhi aktivitas inang (Agrios, 1996; Anonim, 2014). Menurut Rahayu (2008), benih sengon yang diketahui asal usulnya dan berasal dari indukan yang memiliki kualitas yang baik cenderung lebih kuat dan tahan terhadap penyakit karat tumor, sedangkan benih yang tidak diketahui asal usulnya atau benih yang memiliki kualitas rendah lebih rentan terserang penyakit. Namun demikian, berdasarkan hasil penelitian, ketahanan terhadap patogen tidak tertunjukkan dalam struktur anatomi batang khususnya xilem. Hasil analisis menunjukkan bahwa sifat yang dikaji tidak berbeda nyata karena pada batang rentan dan tahan mempunyai proporsi sel penyusun jaringan xilem yang sama, hal ini mengindikasikan tidak terkait dengan cekaman patogen. Kenampakan secara morfologi mungkin terlihat pada batang yang berasal dari Solomon yaitu pada bagian atas pohonnya terdapat pembengkakan karat tumor. Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan genetik sengon dari Solomon lebih rendah. Kepulauan Solomon hanya merupakan pulau-pulau kecil sehingga tegakannya dapat dikategorikan dalam satu provenan, serta memiliki geografis yang sama sehingga adaptasinya sama (Rahayu, 2009; Susanto et al., 2014; Setiadi et al., 2014a). Penggunaan jaringan xilem ini saja belum mewakili secara keseluruhan. Hal ini
8
disebabkan perubahan pada jaringan xilem hanya terjadi pada bagian yang mengalami infeksi karena serangan patogen, sehingga pengamatan secara anatomi membutuhkan sifat lain misalnya ketebalan dinding sel. Dinding sel yang mengalami lignifikasi sangat kedap terhadap patogen (Freeman & Beattie, 2008). Lignifikasi dinding sel berhubungan dalam pembentukan jaringan yang tahan terhadap infeksi jamur dan pelukaan tanaman dan dianggap penting dalam proses regenerasi felogen (Biggs et al., 1984 dalam Allen et al., 1990b). Pertahanan juga dapat terjadi pada berkas pembuluh, sel parenkim dan sel sklerenkima. Sel-sel ini menebal dengan proses esterifikasi, lignifikasi dan deposisi suberin. Lignifikasi pada sel sklerenkima pada sekitar berkas pembuluh membantu penebalan dan berfungsi sebagai mekanisme pertahanan. Jika dilihat dari panjang serat (db=1, ms= 15557, Fpr=0,090) dan diameter serat xilem (db=1, ms= 24,04, Fpr=0,323) antara batang sengon rentan (Solomon) dengan batang sengon tahan (Wamena) hasil analisis varians juga tidak menunjukkan perbedaan nyata. Namun demikian Gambar 5 memperlihatkan bahwa rata-rata panjang dan diameter serat xilem kayu provenan Solomon memiliki panjang dan diameter serat yang lebih tinggi dari pada kayu provenan Wamena. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penyakit karat tumor menyebabkan perubahan susunan ukuran serta jumlah sel penyusunnya pada kayu yang terinfeksi dan yang terserang. Seperti yang terjadi pada batang Fraxinus sp. yang terserang kanker, terdapat modifikasi serat yang berombak; sedangkan pada tanaman Quercus robur yang terserang tumor terjadi perubahan susunan sel pada batang, serat memiliki panjang lebih pendek dari sel batang normal (Gűlsoy et al., 2005). Menurut Rukhama & Nugroho (2014), serabut pada kayu yang terserang karat tumor lebih pipih dan panjang dari kayu sehat, dan ini diduga karena pengaruh hormon auksin
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 1 - 11
Gambar 5.
Rata-rata panjang dan diameter serat xilem (µm) pada batang sengon Wamena (tahan) dan Solomon (rentan)
Hasil analis varians juga tidak menunjukkan terdapatnya perbedaan yang nyata pada diameter serat antar sampel pohon Wamena dan Solomon (db=1, ms= 24,04, Fpr=0,323), meskipun rata-rata diameter serat Solomon (36,44 µm) lebih tinggi dari batang Wamena (33,61 µm). Diameter serat xilem sengon memang bervariasi antara penelitian yang satu dengan yang lainnya. Untuk sengon Jawa bervariasi antara 33,74 - 48,55 µm (Martawijaya et al., 1986; Praptoyo, 2001; Manggala, 2013). Lebih lanjut Praptoyo (2001) menyatakan bahwa diameter serat sengon Solomon memiliki nilai rata-rata 35,68 μm, yang umumnya lebih besar dibandingkan dengan sengon lokal. IV. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara batang sengon yang berasal dari Wamena yang kemungkinan tahan karat tumor dengan batang sengon yang berasal dari Solomon yang kemungkinan rentan karat tumor tidak menunjukkan perbedaan dalam struktur xilemnya. Hal ini terlihat dari tidak terdapatnya perbedaan pada bagian periderm hingga empulur dari sampel uji tersebut. Namun demikian, salah satu contoh dari Solomon (rentan) memperlihatkan zona infeksi yang berwarna hitam pada jaringan xilem sekundernya. Tidak adanya perbedaan tersebut
dapat dikaitkan dengan mekanisme ketahanan tanaman terhadap patogen, maupun sifat genetik yang dimiliki tanaman untuk menghindar atau mengurangi kerusakan yang disebabkan patogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel parenkim paratrakeal, apotrakeal, sel trakea, serat xilem, panjang dan diameter serat xilem tidak berbeda nyata antara batang yang rentan dengan batang yang tahan. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada tim penelitian jenis sengon B2P2BPTH Yogyakarta, yang telah menyediakan contoh kayu untuk penelitian ini. Kepada bapak/ibu teknisi B2P2BPTH disampaikan terimakasih atas bantuannya selama pengamatan di laboratorium. DAFTAR PUSTAKA Adinugroho, C. W. (2008). Konsep Timbulnya Penyakit Tanaman. Mayor Silvikultur Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Agrios, G. N. (1996). Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Allen, E. A., Blenis. P. V., & Hiratsuka, Y. (1990a). Early Symptom Development in Lodgepole Pine Seedling Infected with Endocronartium harknessii. Canadian Journal of Botany, 68, 270-277. Allen, E. A., Blenis. P. V., & Hiratsuka, Y. (1990b). Histological evidence of Resistant to Endocronartium harknessii in Pinus contoria
9
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 1 - 11
var. latifolia. Canadian Journal of Botany, 68, 1728-1737. Anonim. (2014). Bab V Patologi dan Patogenitas. Universitas Gajah Mada. Diakses tanggal 2 November 2014, dari http://elisa.ugm.ac.id/user/archive/download/ 29095/59708175da718f7d67039d7314983 Baskorowati, L., & Nurrohmah, S.H. (2011). Variasi Ketahanan Terhadap Penyakit Karat Tumor Pada Sengon Tingkat Semai. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 5(3), 129-138. Baskorowati, L., Susanto, M., & Charomaini, M. (2012). Genetic Variability in Resistance of Falcataria moluccana (Miq.) Barbeby & J. W. Grimes to Gall Rust Disease. Journal of Forestry Research, 9(1), 1-9. Charomaini, M. Z., & Burhan, I. (2008). Indikasi Awal Ketahanan Sengon (Falcataria moluccana) Provenan Papua Terhadap Jamur Uromycladium tepperianum Penyebab Penyakit Karat Tumor (Gall Rust). Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. 2(2), 1-9. Diputra, I. M. M. M. (2015). Respons Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barbeby & J. W. Grimes) Provenans Papua dan Ras Lahan Jawa Terhadap Penyakit Karat Tumor (Tesis tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Kehutanan, UGM. Freeman, B. C., & Beattie, G. A. (2008). An Overview of Plant Defenses against Pathogens and Herbivores: The Plant Health Instructor. Iowa State University. doi: 10.1094/PHI-I-2008-0226-01 Gramacho, K. P., Thomas, M., & Robert, A. S. (2013). Comparative Histopathology of Host Reaction in Slash Pine Resistant to Cronartium quercuum f. sp. fusiform. Diakses tanggal 3 November 2014, dari www.mdpi.com/journal/forest
Slash) X Shortleaf Pine Phytopathology, 78(4), 397-402.
Crosses.
Kasmudjo. (1985). Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A., & Kadir, K. (1989). Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Manggala Z.S. (2013). Sifat Fisika dan Dimensi Serat Kayu Sengon dengan Gejala Tumor di Daerah Cangkringan. (Skripsi tidak dipublikasikan). Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Praptoyo, H. (2001). Studi Proporsi Sel dan Dimensi Serat pada Arah Aksial dan Radial Kayu Sengon Laut (Paraserianthes falcataria) Salomon. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kayu Tropis, 3(2). Praptoyo, H., & Puspitasari, R.(2012). Variasi sifat anatomi kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) dari dua jenis pemudaan yang berbeda. Seminar Nasional Mapeki XV 6-7 November 2012 (pp. 33-41), Makassar. Rahayu, S. (2008). Penyakit karat tumor pada sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes). Workshop penanggulangan serangan karat puru pada tanaman sengon 19 Nop 2008. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Rimbawanto, A. (2008). Pemuliaan tanaman dan ketahanan penyakit pada sengon. Workshop penanggulangan serangan karat puru pada tanaman sengon 19 Nop 2008. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.
Gülsoy, S., Eroĝlu., K.H., & Merev, N. (2005). Chemical and Wood Anatomical Properties of Tumorous Wood in A Turkish White Oak (Quercus robursubsp. robur). IAWA Journal, 26(4), 469-476.
Rukhama, S. & Nugroho, W. D. (2014). Anatomi Tumor pada Kayu Sengon Trubusan yang Terserang Jamur Uromycladium tepperianum (Skripsi tidak dipublikasikan). Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hardiyanto, E. B. (2010). Pemuliaan Pohon Lanjut (Tidak Dipublikasikan). Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Salisbury, F. B., & Ross, C.V. (1995). Fisiologi Tumbuhan (D. R. Lukman, Trans.). Bandung: Penerbit ITB.
Hopkins, W. G., & Huiiner N. P. A. (2008). Introduction to Plant Physiology (4th ed.). United States of America: John Wiley & Sons, Inc.
Setiadi, D., Susanto, M., & Baskorowati, L. (2014a). Ketahanan serangan penyakit karat tumor pada uji keturunan sengon di Bondowoso, Jawa Timur. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 8(1), 121-136.
Jewell, F. F., (1988). Histopathology of Fusiform Rust-Inoculated Progeny from (Shortleaf X
10
Setiadi, D., Susanto, M., & Baskorowati, L. (2014b). Pertumbuhan sengon Solomon dan responnya
Perbedaan Struktur Xilem Batang Sengon (Falcataria moluccana) dari Provenan Solomon dan Wamena Lucy Ana Cahya Inkasari, Liliana Baskorowati, dan Anti Damayanti
terhadap penyakit karat tumor di Bondowoso, Jawa Timur. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 8(2), 1-13.
Widyastuti, S. M., Sumardi & Harjono. (2005). Patologi Hutan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soerianegara, I., & Lemmens, R.H.M.J. (1993) Plant resources of South-East Asia 5(1): Timber trees: major commercial timbers. Belanda, Wageningen: Pudoc Scientific Publishers.
Yamamoto, F., Nakamura, K., & Hiratsuka, Y. (1998). Is Ethylene a Trigger af Stem Hyperplasia Caused by Eastern Gall Rust In Pinus densiflora. Research Papers 712: 243251. Pfoc. First IUFRO Rusts Of Forest Trees WP Conf., 2-7 Aug. Saariselklj: Finland Finnish Forest Research Institute.
Susanto, M., Baskorowati, L. & Setiadi, D. (2014). Estimasi Peningkatan Genetik Falcataria moluccana di Cikampek Jawa Barat. Jurnal Hutan Tanaman, 11(2), 85-76.
Zalasky, H. (1976). Xylem in galls of lodgepole pine caused by western gall rust, Endocronartium harknessii. Canadian Journal of Botany, 54, 1586-1590.
11
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 1 - 11
12
PENGARUH MEDIA ORGANIK SEBAGAI MEDIA SAPIH TERHADAP KUALITAS BIBIT BIDARA LAUT (Strychnos lucida R. Brown) The effect of Organic Media as growing media on seedling quality of Bidara Laut (Strychnos lucida R. Brown) Anita Apriliani Dwi Rahayu, dan Resti Wahyuni Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi HHBK Jl. Dharmabhakti No. 7, Ds. Langko, Kec. Lingsar, Lombok Barat NTB e-mail:
[email protected]
Tanggal diterima: 20 Maret 2015, Tanggal direvisi: 24 Maret 2015, Disetujui terbit: 10 Juni 2016
ABSTRACT Timber utilization of Strychnos lucida R. Brown as a medicine caused uncontrolled exploitation. Currently unknown nursery technique appropriate to Strychnos lucida. The aim of this research wastesting the organic media such as eceng gondok compost, rice skin ash and cocopeat as growing media so was produced the best quality of Strychnos lucida seedling. The research used Randomized Complete Block Design with four treatments: B0 (top soil + organic compost (1:1)), B1 (eceng gondok compost + rice husk ash + cocopeat (2:2:1)), B2 (eceng gondok compost + rice husk ash + cocopeat (2:1:2)), and B3 (eceng gondok compost + rice husk ash + cocopeat (1:2:2)). The results showed that growing media only significantly influence on the total of leave, while others parameter such as life percentage, height, diameter, root/shoot ratios (R/S), seedling quality index (QI), and seedling sturdiness were not significantly influence. Duncan test showed average of total of leave was significantly different. The best of total of leave obtained in media B0 (7.4 strands). Keywords: growth, organic media, seedling, Strychnos lucida R. Brown
ABSTRAK Pemanfaatan kayu bidara laut (Strychnos lucida R. Brown) sebagai obat menyebabkan eksploitasi yang kurang terkendali. Saat ini belum diketahui teknik pembibitan yang tepat untuk jenis bidara laut. Tujuan penelitian ini adalah mengujimedia organik seperti kompos eceng gondok, arang sekam dan cocopeat sebagai media sapih, sehingga dihasilkan kualitas bibit bidara laut yang terbaik. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Berblok dengan empat perlakuan media sapih yaitu B0 (top soil + kompos organik (1:1)), B1 (kompos eceng gondok + arang sekam + cocopeat (2:2:1)), B2 (kompos eceng gondok + arang sekam + cocopeat (2:1:2)), dan B3 (kompos eceng gondok + arang sekam + cocopeat (1:2:2)). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan media sapih hanya berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, sedangkan parameter lain seperti persentase hidup, tinggi, diameter, nisbah pucuk akar, indeks mutu bibit dan kekokohan semai tidak berpengaruh nyata. Uji Duncan menunjukkan nilai rata-rata jumlah daun berbeda nyata. Jumlah daun terbaik didapatkan pada media B0 (7,4 helai). Kata kunci: media organik, pertumbuhan, semai, Strychnos lucida R. Brown
I.
PENDAHULUAN
Bidara laut (Strychnos lucida R. Brown) sudah terkenal sejak dahulu sebagai bahan pembuatan obat tradisional. Tumbuhan ini mengandung zat yang berguna untuk obat malaria, diabetes, darah tinggi, kurang darah, gangguan pencernaan, cacar air, kurang nafsu makan, penguat lambung, ejakulasi dini, dan lainnya (Tim PNPM-MP Dompu, tanpa tahun). Hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan Mataram tahun 2009 menunjukkan bagian yang
paling banyak mengandung khasiat obat adalah kulit kayu bidara laut dibandingkan bagian tanaman lainnya (Hasan et al., 2011). Semula masyarakat hanya memanfaatkan biji bidara laut untuk dijadikan sebagai obat. Saat ini, pemanfaatan bidara laut sebagai obat tidak hanya digunakan secara tradisional akan tetapi sudah banyak dijadikan sebagai peluang bisnis. Para pengusaha memanfaatkan kayu bidara laut untuk dibuat cangkir/gelas. Hal ini yang menyebabkan eksploitasi kayu songga di kawasan hutan di Kabupaten Dompu kurang
13
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 13 - 21
terkendali (Hasan et al., 2010). Oleh karena itu, upaya pelestarian bidara laut perlu segera dilakukan sebelum jenis ini menjadi jenis yang langka. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan kegiatan budidaya. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan budidaya adalah bibit yang digunakan berkualitas baik. Bibit yang berkualitas baik dihasilkan dari teknik pembibitan yang tepat. Sampai saat ini belum diketahui teknik pembibitan yang tepat untuk jenis bidara laut. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Nandini & Agustarini (2011) menunjukkan pembibitan bidara laut dari biji menggunakan media sapih tanah dan pasir (3:2) menghasilkan persen hidup 62,67% pada umur semai 7 bulan. Hal ini menunjukkan penggunaan media tanah masih belum dapat mengoptimalkan pertumbuhan bibit. Media top soil mempunyai banyak kekurangan yaitu berat per satuan bibit lebih tinggi, sifat fisik medium lebih jelek, kadangkadang mengandung hama atau penyakit, dan pengambilan dalam skala luas dapat merusak ekosistem di aeral pengambilan (Hendromono, 2003b). Alternatif media yang dapat digunakan untuk pembuatan bibit adalah media organik. Bahan-bahan organik yang bersifat limbah lebih murah dan mudah didapatkan, serta bobot persatuan lebih rendah dibandingkan top soil. (Hendromono, 1998 dalam Putri, 2008). Terkait permasalahan kelestarian jenis bidara laut di alam dan beberapa keunggulan media organik dibandingkan media top soil sebagai media pembibitan, maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan memperoleh media sapih yang sesuai untuk pertumbuhan bibit bidara laut dari berbagai media organik yang diuji sehingga diperoleh bibit yang berkualitas tinggi. II. BAHAN DAN METODE A.
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di persemaian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan
14
Kayu di Kabupaten Lombok Barat, NTB.Benih diambil dari Kabupaten Dompu dan Bima, Pulau Sumbawa, NTB. Kegiatan penelitian dilakukan selama 6 bulan, yaitu mulai bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2013. B.
Bahan dan Alat
1. Bahan Bahan yang diperlukan adalah benih bidara laut, media perkecambahan (pasir 100%) dan media penyapihan (kompos eceng gondok, arang sekam, cocopeat, top soil dan kompos organik). 2. Alat Peralatan yang digunakan meliputi bak kecambah, polybag, kantong plastik, penggaris, kaliper, label, shading net, kamera, dan lainlain. C.
Metode Pengamatan
Benih didapatkan dari ekstraksi buah dengan cara memisahkan biji dari kulit dan daging buahnya. Perkecambahan dilakukan dengan menabur benih pada bak kecambah yang berisi media pasir 100%. Penyapihan dilakukan pada kecambah yang telah memiliki dua pasang daun. Empat macam perlakuan media sapih yaitu: - B0 = kontrol (top soil + kompos organik (1:1)) - B1 = kompos eceng gondok + arang sekam + cocopeat (2:2:1) - B2 = kompos eceng gondok + arang sekam + cocopeat (2:1:2) - B3 = kompos eceng gondok + arang sekam + cocopeat (1:2:2) Pengukuran parameter pertumbuhan dan mutu bibit dilakukan dua minggu sekali. Parameter yang diukur/diamati terdiri atas: 1. Persentase hidup Persentase hidup bibit dihitung dari keseluruhan jumlah bibit yang masih hidup sampai akhir penelitian dibandingkan dengan jumlah seluruh bibit yang ditanam pada awal penelitian.
Pengaruh Media Organik Sebagai Media Sapih Terhadap Kualitas Bibit Bidara Laut (Strychnos lucida R. Brown) Anita Apriliani Dwi Rahayu, dan Resti Wahyuni
2. Tinggi dan diameter batang bibit Tinggi bibit diukur dari permukaan tanah sampai pucuk tanaman. Diameter batang diukur pada bagian bawah (± 2 cm di atas permukaan tanah). 3. Jumlah daun Jumlah daun dihitung sudah ada berapa helai daun yang muncul sampai akhir pengamatan. 4. Nisbah pucuk akar (NPA) Nisbah pucuk akar (NPA) adalah perbandingan berat kering pucuk (batang dan daun) dengan berat kering akar yang diukur pada akhir pengamatan dengan rumus (Darwo & Sugiarti, 2008):
Keterangan: BKP = Berat Kering Pucuk BKA = Berat Kering Akar
5. Kekokohan bibit Rumus yang digunakan untuk mendapatkan nilai kekokohan bibit (Hendromono, 2003 dalam Junaedi et al., 2010) adalah sebagai berikut:
6. Indeks mutu bibit Penilaian angka indeks mutu morfologis bibit dilakukan dengan rumus Indeks Mutu Bibit (Dickson, et al., 1960 Dalam Putri, 2008) yaitu indeks yang menyatakan tinggi rendahnya mutu bibit tanaman. Cara perhitungan Indeks Mutu Bibit adalah sebagai berikut:
Keterangan: BKP = Berat Kering Pucuk BKA = Berat Kering Akar T = Tinggi D = Diameter
D.
Rancangan
Penelitian ini dilakukan di Green House menggunakan Rancangan Acak Lengkap Berblok, dengan 3 macam perlakuan media dan 1 kontrol yang dibuat dalam 3 blok (ulangan). Tiap ulangan terdiri dari 24 semai, sehingga total semai yang diamati sebanyak 4 perlakuan media x 3 blok x 24 semai = 288 semai. Blok (ulangan) berfungsi untuk meminimalisir galat percobaan (Gomez & Gomez, 2007) akibat perbedaan kemiringan lahan pada tempat persemaian. E.
Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dan blok terhadap parameter yang diamati, maka dilakukan analisis varians. Khusus untuk parameter persentase hidup dilakukan tranformasi terlebih dahulu sebelum dianalisis dengan menggunakan transformasi Arcsin. Model yang digunakan dalam analisis varians adalah sebagai berikut (Ott & Longnecker, 2015): Yij = µ + ri + βj + εij Keterangan: Yij = rata-rata pengamatan pada blok ke-i dan media ke-j; µ = rata-rata umum; ri = pengaruh blok ke-i; βj = pengaruh media ke-j; εij = galat.
Apabila hasil analisis varians menunjukkan perbedaan nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan metode Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 5%. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Pertumbuhan bibit
Pertumbuhan bibit adalah komponen penting dalam menentukan kualitas suatu bibit. Pertumbuhan bibit biasanya terbagi menjadi dua yaitu pertumbuhan atas permukaan tanah (pucuk/tajuk) dan pertumbuhan bawah permukaan tanah (akar) (Junaedi et al., 2010). Pertumbuhan bibit di permukaan dapat dilihat dari persentase hidup bibit, tinggi dan diameternya. Berdasarkan hasil analisis varians,
15
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 13 - 21
sapih ke dalam blok-blok tidak dapat meningkatkan keberagaman pertumbuhan bibit antar blok.
B3; Diameter (mm); 1,69
B2; Diameter (mm); 1,59
B1; Diameter (mm); 1,66
B0; Diameter (mm); 1,60
B3; Tinggi (cm); 9,06
B2; Tinggi (cm); 8,63
B1; Tinggi (cm); 8,14
B0 B0; Tinggi (cm); 8,70
B3; Persentase hidup (%); 100
B2; Persentase hidup (%); 93,3
B1; Persentase hidup (%); 100
B0; Persentase hidup (%); 100
Parameter pertumbuhan bibit
semua parameter pertumbuhan bibit tidak berbeda nyata pada blok yang berbeda. Hal ini menunjukkan pengelompokkan perlakuan media
B1 B2 B3
Perlakuan media sapih Gambar 1.
Rata-Rata persentase hidup, tinggi dan diameter bibit Bidara Laut pada perlakuan media sapih
Persentase hidup pada semua perlakuan media sapih menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata. Perlakuan media organik sebagai media sapih juga tidak berpengaruh nyata Tabel 1.
meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter bibit bidara laut, secara statistik dapat dilihat pada hasil analisis varians yang tidak berbeda nyata (Tabel 1).
Hasil analisis varians perlakuan media sapih terhadap persentase hidup, tinggi, dan diameter bibit Bidara Laut umur 2 bulan setelah disapih Sumber variasi
Parameter
Blok 1,038ns 0,487ns 3,815ns
Persentase Hidup Tinggi Diameter
Media sapih 0,321ns 0,675ns 0,889ns
Keterangan: ns = tidak berpengaruh nyata
Kandungan unsur hara yang hampir sama pada semua media perlakuan menyebabkan pertumbuhan tinggi dan diameter tidak berbeda Tabel 2.
Rerata persentase hidup, tinggi, dan diameter bibit Bidara Laut umur 2 bulan setelah sapih
Perlakuan B0 B1 B2 B3
Persentase Hidup (%) 100,00±0,00 100,00±0,00 93,33±2,89 100,00±0,00
Salah satu faktor lingkungan yang menentukan pertumbuhan tanaman adalah unsur hara yang tersedia pada media tanam (Winarso, 2005). Hasil analisis media organik perlakuan
16
nyata (Tabel 2). Begitu juga untuk parameter persentase hidup, pada semua menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Tinggi (cm) 8,70±0,70 8,14±1,13 8,63±0,28 9,06±0,59
Diameter (mm) 1,60±0,16 1,66±0,17 1,59±0,01 1,69±0,07
didapatkan kandungan N antara 0,85-0,98% atau tergolong sangat tinggi, sedangkan media kontrol (top soil + kompos) kandungan N nya rendah (0,20%). Kandungan P media organik
Pengaruh Media Organik Sebagai Media Sapih Terhadap Kualitas Bibit Bidara Laut (Strychnos lucida R. Brown) Anita Apriliani Dwi Rahayu, dan Resti Wahyuni
Gambar 2.
mengaplikasikan media organik perlu meningkatkan kandungan P. Jumlah P dapat ditingkatkan dengan penambahan pupuk atau mikroorganisme seperti bakteri pelarut fosfat (Noor, 2003). B.
Kualitas bibit
B3; Kekokohan; 5,35
B2; Kekokohan; 5,49
B0 B1; Kekokohan; 4,91
B0; Kekokohan; 5,44
B3; IMB; 0,15
B2; IMB; 0,08
B1; IMB; 0,10
Kualitas bibit merupakan gambaran bibit yang diharapkan mampu beradaptasi dan tumbuh pada suatu kondisi tertentu (Nurhasybi & Sudrajat, 2006). Kualitas bibit dapat dilihat dari sifat morfologis dan fisiologisnya. Pada penelitian ini kualitas bibit dilihat dari parameter jumlah daun, Nisbah Pucuk Akar, kekokohan bibit dan Indeks Mutu Bibitnya.
B0; IMB; 0,08
B3; NPA; 0,88
B2; NPA; 0,92
B1; NPA; 0,97
B0; NPA; 0,89
B3; Jumlah Daun; 6,28
B2; Jumlah Daun; 6,14
B1; Jumlah Daun; 6,55
B0; Jumlah Daun; 7,40
Parameter kualitas bibit
tergolong sangat rendah (0,41-0,47 ppm), sedangkan media kontrol sangat tinggi (100,15 ppm). Kandungan K pada semua media tergolong sangat tinggi (1,07-2,77 Cmol/kg). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa media organik mengandung hara yang cukup, sama dengan media top soil untuk menunjang pertumbuhan bibit. Tingkat pertumbuhan bibit yang terbaik pada media organik menunjukkan bahwa media organik efektif untuk pertumbuhan fisiologis tanaman (Ahmadloo et al., 2012). Hanya saja kekurangan pada media organik perlakuan adalah kandungan P nya yang rendah. Unsur P sangat berperan untuk pertumbuhan dan metabolisme tanaman (Munawar, 2011), sehingga jika akan
B1 B2 B3
Perlakuan media sapih Rata-rata jumlah daun, nisbah pucuk akar, indeks mutu bibit, dan kekokohan bibit Bidara Laut pada perlakuan media sapih
Hasil analisis varians pengaruh pengelompokkan (blok) terhadap parameter kualitas bibit menunjukkan tidak berpengaruh nyata. Hal yang sama terjadi pada paramater pertumbuhan bibit, pembuatan blok-blok perlakuan juga tidak memberikan keragaman terhadap parameter kualitas bibit. Oleh karena itu, blok dianggap tidak diperlukan untuk meminimalisir perbedaan yang akan ditimbulkan akibat perbedaan kemiringan tempat persemaian. Hasil analisis varians pada perlakuan media terhadap beberapa parameter kualitas bibit menunjukkan hanya jumlah daun yang berbeda nyata. Hal ini menunjukkan perlakuan media sapih berpengaruh terhadap perbedaan
jumlah daun yang muncul pada bibit bidara laut, sedangkan parameter kualitas bibit yang lain tidak terpengaruh dengan adanya perbedaan media sapih. Unsur hara yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan daun pada tanaman adalah nitrogen (Lakitan, 1996 dalam Fatimah &Handarto, 2008). Bentuk nitrogen yang diserap tanaman dari dalam tanah (top soil) sudah siap digunakan untuk tanaman, sedangkan pada bahan organik tanaman memerlukan waktu untuk memanfaatkan unsur hara yang terkandung di dalamnya. Hal ini yang dapat menyebabkan jumlah daun semai pada media kontrol lebih banyak dibandingkan campuran media organik.
17
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 13 - 21
Kadar C/N juga sangat mempengaruhi pertambahan jumlah daun bibit bidara laut pada media organik. Kandungan C/N pada media organik tergolong sangat tinggi, hal ini mengindikasikan media yang belum matang atau belum terdekomposisi dengan sempurna (Danu & Kurniaty, 2013). Bahan organik yang Tabel 3.
belum terdekomposisi akan mengalami dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri di dalam medium. Akibatnya kandungan nitrogen medium berkurang karena digunakan bakteri untuk kelangsungan hidupnya (Hendromono, 2003b).
Hasil analisis varians perlakuan media sapih terhadap jumlah daun, NPA, IMB, dan kekokohan bibit Bidara Laut umur 2 bulan setelah disapih Sumber variasi
Parameter
Blok 0,190ns 2,833ns 3,192ns 1,277ns
Jumlah daun Nisbah Pucuk Akar Kekokohan bibit Indeks Mutu Bibit
Media sapih 5,672* 0,206ns 1,289ns 1,251ns
Keterangan: * = berpengaruh nyata pada taraf 5%; ns= tidak berpengaruh nyata Tabel 4.
Rerata jumlah daun, NPA, IMB dan kekokohan bibit Bidara Laut umur 2 bulan setelah sapih
Perlakuan B0 B1 B2 B3
Jumlah Daun (helai) 7,4±0,58b 6,6±0,58a 6,1±0a 6,3±0,58a
NPA 0,892±0,14a 0,968±0,11a 0,915±0,17a 0,882±0,26a
IMB 0,080±0,03a 0,097±0,13a 0,085±0,09a 0,147±0,07a
Kekokohan Bibit 5,44±0,21a 4,91±0,71a 5,49±0,20a 5,35±0,33a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata Tabel 5.
Kandungan hara media perlakuan
Media semai B0 B1 B2 B3
N-total (%) 0,20 0,93 0,85 0,98
C-organik (%) 1,78 37,67 38,14 32,18
Kandungan hara dalam media C/N P-tersedia rasio (ppm) 8,90 100,15 40,51 0,41 44,87 0,43 32,84 0,47
Parameter kualitas bibit lainnya seperti Nisbah Pucuk Akar, kekokohan bibit dan Indeks Mutu Bibit menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata. NPA menunjukkan kondisi fisiologis tanaman karena NPA mencerminkan nilai total produksi pertumbuhan yaitu berat kering pucuk dan perakarannya (Sukendro & Sugiarto, 2012). Besarnya berat kering pucuk akan menyebabkan nilai NPA yang besar pula. Seperti hasil penelitian Sukendro & Sugiarto (2012), pertumbuhan daun yang lebih banyak akan meningkatkan nilai NPA. Hal ini tidak terlihat jelas pada hasil penelitian ini. Pada media B0, meskipun jumlah daun tertinggi tidak
18
K-total (Cmol/kg) 1,07 1,78 1,78 2,77
menunjukkan nilai NPA yang tertinggi, begitu juga pada media B2 yang menunjukkan jumlah daun paling sedikit, nilai NPAnya masih lebih tinggi dibandingkan dengan media B0. Selain itu, besar kecilnya Nisbah Pucuk Akar juga menunjukkan kesiapan semai untuk dipindahkan ke lapangan (Danu et al., 2006). Menurut klasifikasi Duryea & Brown (1984) dalam Darwo & Sugiarti (2008) bahwa pertumbuhan dan kemampuan hidup semai terbaik terjadi pada Nisbah Pucuk Akar antara 1-3. NPA semai Bidara Laut pada semua perlakuan media sapih di bawah nilai minimum yaitu < 1. Nilai NPA yang paling mendekati
Pengaruh Media Organik Sebagai Media Sapih Terhadap Kualitas Bibit Bidara Laut (Strychnos lucida R. Brown) Anita Apriliani Dwi Rahayu, Resti Wahyuni
nilai 1 terlihat pada semai yang disapih pada media kompos eceng gondok + arang sekam + cocopeat (2:2:1) yaitu 0,968. Nilai NPA yang hanya di bawah 1 menunjukkan semai belum siap untuk ditanam di lapangan. Hal ini dikarenakan semai baru berumur 2 bulan setelah di sapih. Pada umur 2 bulan semai masih membutuhkan air dan unsur hara dalam jumlah yang besar untuk mendukung pertumbuhan, sehingga biasanya akar akan lebih panjang dan lebih banyak. Nilai kekokohan bibit pada semua perlakuan media tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Tidak adanya perbedaan yang nyata pada nilai kekokohan semai dikarenakan tinggi dan diameter semai juga tidak berbeda secara nyata pada semua perlakuan media sapih. Seperti dijelaskan Junaedi et al., (2010) bahwa kekokohan bibit ditentukan oleh besaran dan variasi dari tinggi dandiameter bibit. Nilai kekokohan bibit pada semua media berkisar antara 4,91-5,49. Bibit dengan nilai kekokohan semai lebih dari 6 sangat tidak diharapkan untuk ditanam. Semakin kecil nilai kekokohan semai maka semakin kokoh semai/bibit (Jaenicke, 1999 dalam Yudohartono & Fambayun, 2013). Nilai kekokohan bibit yang optimum adalah mendekati nilai 4-5 (Adinugraha, 2012). Hal ini dapat dikatakan bibit Bidara Laut pada semua media telah memenuhi nilai kekokohan bibit yang optimum. Indeks Mutu Bibit menunjukkan bibit sudah siap untuk ditanam di lapangan. Nilai Indeks Mutu Bibit pada keempat perlakuan media tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini dikarenakan IMB dipengaruhi oleh besarnya berat kering total, kekokohan bibit dan NPA (Junaedi et al., 2010). Nilai kekokohan bibit dan NPA yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan media menyebabkan nilai IMB pada semua media sapih juga tidak berbeda nyata. Menurut Lackey & Alm (1982) dalam Hendromono (2003a), IMB minimal bibit agar dapat bertahan hidup yaitu sebesar 0,09. Nilai IMB yang memenuhi nilai minimal untuk
ditanam di lapangan adalah semai pada perlakuan media B1 (kompos eceng gondok + arang sekam + cocopeat (2:2:1)) dan B3(kompos eceng gondok + arang sekam + cocopeat (1:2:2)) yaitu 0,097 dan 0,147. Meskipun nilai kekokohan bibit pada bibit Bidara Laut umur 2 bulan dan Indeks Mutu Bibit pada perlakuan media B1 dan B3 telah memenuhi standar minimal bibit bisa ditanam di lapangan, akan tetapi nilai NPA nya belum menunjukkan kesiapan bibit di lapangan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan
Perlakuan media sapih berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hidup, tinggi, diameter, nisbah pucuk akar, kekokohan semai dan indeks mutu bibit. Media perlakuan yang menunjukkan nilai rata-rata jumlah daun terbanyak didapatkan pada perlakuan kontrol (B0) yaitu 7,4 helai. Nilai rata-rata jumlah daun menunjukkan perbedaan, sedangkan persentase hidup, tinggi, diameter nisbah pucuk akar, kekokohan semai dan indeks mutu bibit tidak menunjukkan perbedaan. B.
Saran
Limbah bahan organik seperti eceng gondok, sekam padi, dan serbuk sabut kelapa (cocopeat) dapat digunakan sebagai alternatif media sapih jenis Bidara Laut , dengan mempertimbangkan komposisi media. Penambahan pupuk atau mikroorganisme diperlukan untuk meningkatkan unsur hara pada media organik guna mendapatkan pertumbuhan tanaman yang optimal. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Gipi Samawandana yang telah membantu selama pelaksanaan kegiatan penelitian.
19
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 13 - 22
DAFTAR PUSTAKA Adinugraha, H. A. (2012). Pengaruh Cara Penyemaian dan Pemupukan NPK terhadap Pertumbuhan Bibit Mahoni Daun Lebar di Persemaian. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 6(1), 1-10. Ahmadloo, F., Tabari, M., Yousefzadeh, H., Kooch, Y., & Rahmani, A. (2012). Effect of Soil Nutritional Status on Seedling Nursery Performance of Arizona cypress (Cupressus arizonica var arizonica Greene) and Medite cypress (Cupressus sempervirens var. Horizantalis (Mill.) Gord). Afr. J. Plant Sci., 6(4), 140-149. Awang, Y., Shaharom, A. S., Mohamad, R. B., & Selamat, A. (2009). Chemical and Physical Characteristics of Cocopeat-Based Media Mixtures and Their Effects on the Growth and Development of Celosia cristata Am. J. Agric. Biol. Sci., 4, 63-71. Bayu. (n.d.). Ragam Informasi Tanaman Hias: Sekam Bakar Bagi Adenium. Diakses tanggal 4 Juli 2008, dari http://tabloidgallery.wordpress.com/2008/07/ 04/sekam-bakar-bagi-adenium/. Danu, Sudrajat, D. J., Verawati & Suhardi, E. (2006). Pengaruh Komposisi Media terhadap Pertumbuhan Bibit Sentang (Azadirachta exelsa (Jack) Jakob) Asal Cabutan di Persemaian. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian (pp.109-115). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Danu & Kurniaty, R. (2013). Pengaruh Media dan Naungan terhadap Pertumbuhan Pembibitan Gerunggang (Cratoxylom arborescens (Vahl) Blume). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan, 1(1), 43-50. Darwo & Sugiarti. (2008). Pengaruh Dosis Serbuk Spora Cendawan Scleroderma citrinum Persoon dan Komposisi Media terhadap Pertumbuhan Tusam di Persemaian. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 5(5),461-472. Deng, X. K., Yin, W., Li, W. D., Yin, F. Z., Lu, X. Y., Zhang, X. C., ... Cai, B. C. (2006). The Anti-Tumor Effect of Alkaloids from The Seeds of Strychnos nux-vomica on HepG2 cells and Its Possible Mechanism. Journal of Ethnopharmacology, 106(2), 179-186. Fatimah, S. & Handarto, B. M. (2008). Pengaruh Komposisi Media Tanam terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees). Jurnal Embryo, 5(2), 133-148.
20
Gharagozloo, P., Lazareno, S., Popham, A. & Birdsall, N. J. M. (1999). Allosteric Interactions of Quaternary Strychnine and Brucine Derivatives with Muscarinic Acetycholine Receptors. J. Med. Chem, 42(3), 438-445. Gomez, K. A. & Gomez, A. A.(2007). Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian (edisi kedua). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Hasan, R. A., Nandini, R. & Wahyuni, N. (2011). Kajian Pemanfaatan Tanaman Bidara Laut (Strychnos lucida) oleh Masyarakat di Kabupaten Dompu dan Buleleng. Prosiding Workshop: Sintesa Hasil Penelitian Hutan Tanaman (pp. 353-358). Bogor: Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Hasriani, Kalsim, D. K. & Sukendro, A. (n.d.) Kajian Serbuk Sabut Kelapa (Cocopeat) sebagai Media Tanam. Diakses tanggal 18 Desember 2013, dari http://dedikalsim.files.wordpress.com/2013/1 2/jurnal-hasriani-ed-dkk-nov-2013.pdf. Hendromono (2003a). Kriteria Penilaian Mutu Bibit Dalam Wadah yang Siap Tanam untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan , 4(1),11-20. Hendromono (2003b). Peningkatan Mutu Bibit Pohon Hutan dengan Menggunakan Medium Organik dan Wadah Yang Sesuai. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 4(2), 135-143. Junaedi, A., Hidayat, A., & Frianto, D. (2010). Kualitas Fisik Bibit Meranti Tembaga (Shorea leprosula Miq.) Asal Stek Pucuk Pada Tiga Tingkat Umur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 7(3), 281-288. Kurniaty, R., Budiman, B., & Suartana, M. (2010).Pengaruh Media dan Naungan terhadap Mutu BibitSuren (Toona sureni Merr.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 7(2), 77-83. Munawar, A. (2011). Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. Bogor: IPB Press. Nandini, R., & Agustarini, R. (2011). Teknik Budidaya Tanaman Bidara Laut (Strychnos lucida R.Br) Secara Generatif. Prosiding Workshop: Sintesa Hasil Penelitian Hutan Tanaman (pp. 359-368). Bogor: Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Noor, A. (2003). Pengaruh Fosfat Alam dan Kombinasi Bakteri Pelarut Fosfat dengan Pupuk Kandang terhadap P Tersedia dan
Pengaruh Media Organik Sebagai Media Sapih Terhadap Kualitas Bibit Bidara Laut (Strychnos lucida R. Brown) Anita Apriliani Dwi Rahayu, Resti Wahyuni
Pertumbuhan Kedelai pada Ultisol. Bul. Agron, 31(3), 100-106. Nugroho, D. S. (2011). Kajian Pupuk Organik Enceng Gondok terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bayam Putih dan Bayam Merah (Skripsi tidak dipublikasikan). Universitas Sebelas Maret. Ott,
R. L. & Longnecker, M. (2015). An Introducation to Statistical Methods and Data Analysis (7th ed.). USA: Cengage Learning.
Yudohartono, T. P. & Fambayun, R. A. (2013). Karakteristik Pertumbuhan Semai Binuang Asal Provenan Pasaman Sumatera Barat. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 6(3), 143-156. Zuraida, Sukito, A. & Darmawan, S. (2012). Conservation and Protection of Songga Tree (Strychnos lucida R Brown) as Rare and Valuable Tree Species – A Case Study in Sumbawa Island, Indonesia. Proceeding IUFRO World Series Vol.30 (pp. 46-48). Vienna, Austria: IUFRO Headquarters.
Putri, A. I. (2008). Pengaruh Media Organik terhadap Indeks Mutu Bibit Cendana. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 21(1), 1-8. Sittadewi, E. H. (2007). Pengolahan Bahan Organik Eceng Gondok Menjadi Media Tumbuh untuk Mendukung Pertanian Organik. Jurnal Teknologi Lingkungan, 8(3), 229-234. Sudomo, A. & Santosa, H. B. (2011). Pengaruh Media Organik dan Tanah Mineral terhadap Pertumbuhan dan Indeks Mutu Bibit Mindi (Melia azedarach L.). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Hutan, 8(3), 263-271. Sukendro, A. & Sugiarto, E. (2012). Respon Pertumbuhan Anakan Shorea leprosula Miq, Shorea mecistopteryx Ridley, Shorea ovalis (Korth) Blume dan Shorea selanica (DC) Blume terhadap Tingkat Intensitas Cahaya Matahari. Jurnal Silvikultur Tropika, 3(1), 22-27. Tim PNPM-MP Dompu. (n.d.). KSPP Songga Menembus Pasar Luar Negeri: dengan SPP, Menembus Pasar Luar Negeri. Diakses 21 Maret 2014, dari http://pnpmmpdntb.blogspot.com/2013/10/kspp-songgamenembus-pasar-luar-negeri.html. Winarni, E. (2008). Respon Pertumbuhan Semai Eucalyptus pellita terhadap Perbedaan Komposisi Bokhasi Eceng Gondok (Eichhornia crassipes Mort Solm) dan Top Soil. Jurnal Hutan Tropis Borneo, 23, 116120. Winarso, S. (2005). Kesuburan Tanah: Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Yogyakarta: Gava Media. Wikipedia. (2014). Brucine. Diakses 23 Oktober 2014, dari http://en.wikipedia.org/wiki/Brucine. Wikipedia. (2015). Strychnine. Diakses 27 Februari 2015, dari http://en.wikipedia.org/wiki/Strychnine.
21
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 13 - 22
22
KERAGAMAN GENETIK CENDANA PADA TEGAKAN PENGHASIL BENIH DAN TEGAKAN REHABILITASI DI NUSA TENGGARA TIMUR BERDASARKAN PENANDA ISOZIM Genetic Diversity of Sandalwood on Seed Production Stand and Rehabilitation Stand in East Nusa Tenggara Based on Isozyme Marker Rini Purwiastuti, Sapto Indrioko, dan Eny Faridah Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Jl. Agro No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta, 55281 e-mail:
[email protected]
Tanggal diterima: 27 Agustus 2015, Tanggal direvisi: 29 September 2015, Disetujui terbit: 30 Juni 2016
ABSTRACT This study aimed to determine the genetic diversity of sandalwood on seed production stand and rehabilitation stand in East Nusa Tenggara using isozyme genetic marker. The study was conducted using samples collected from three stands, i.e. Seed Production Area (APB) representing seed production stand, KHDTK rehabilitation stand and CSR rehabilitation stand representing rehabilitation stands. Samples of sandalwood juvenile leaves are taken randomly from each location. Sample materials taken were juvenile leaves collected randomly from each stand. There were 57 samples taken from APB, while each 25 samples were collected from rehabilitation stands of KHDTK and CSR. Isozymes analyses were carried out in the laboratory using three kinds of enzyme systems i.e Esterase (EST), Diaphorase (DIA) and Shikimate Dehydrogenase (SHD). The results showed that for genetic diversity within stands, the mean of polymorphic loci was 88.89%, with a mean number of alleles per locus 2.1667 and a mean of effective alleles 1.2103. The expected heterozygosity within stands (HS) was 0.1558, with the observed heterozygosity (HO) of 0.1402, while the mean index of fixation (FIS) was 0.1118. On genetic diversity among stands, DST, and GST values were 0.0090 and 0.0545 respectively, while total expected heterozygosity of the three stands (HT) was 0.1648. To anticipate sandalwood genetic diversity decline, it is essential to identify and record the remaining sandalwood populations, then conserve rare alleles either through in-situ or ex-situ conservation programs. Keywords: sandalwood, Seed Production Area, rehabilitation stands, genetic diversity, isozyme
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik cendana pada tegakan penghasil benih dan tegakan rehabilitasi di Nusa Tenggara Timur dengan menggunakan isozim sebagai penanda genetik. Penelitian dilakukan menggunakan sampel yang diambil dari 3 tegakan yaitu Areal Produksi Benih (APB) yang mewakili tegakan penghasil benih, tegakan rehabilitasi Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dan tegakan rehabilitasi Corporate Social Responsibility (CSR) yang mewakili tegakan rehabilitasi. Sampel berupa daun juvenil cendana diambil secara random dari masing-masing lokasi. Dari tegakan APB diambil sebanyak 57 sampel sedangkan dari tegakan rehabilitasi KHDTK dan CSR masing-masing 25 sampel. Analisis isozim dilakukan di laboratorium menggunakan 3 macam sistem enzim yaitu Esterase (EST), Diaphorase (DIA) dan Shikimate Dehydrogenase (SHD). Parameter keragaman genetik dalam tegakan menunjukkan rerata lokus polimorfik sebesar 88,89%, dengan rerata jumlah alel per lokus 2,1667 dan rerata alel efektif 1,2103. Heterozigositas harapan (HS) dalam tegakan diperoleh nilai 0,1558 dengan rerata heterozigositas teramati (H O) sebesar 0,1402 dan rerata indeks fiksasi (F IS) sebesar 0,1118. Pada pengamatan parameter keragaman genetik antar tegakan diperoleh nilai DST = 0,0090 dan GST = 0,0545, sedangkan heterozigositas harapan total ketiga tegakan cendana (HT) sebesar 0,1648). Untuk mengantisipasi penurunan keragaman genetik cendana perlu dilakukan identifikasi dan inventarisasi keberadaan populasi cendana yang masih tersisa, untuk kemudian dilakukan upaya konservasi bagi alel-alel langka baik secara in-situ maupun ex-situ. Kata kunci: Cendana, Areal Produksi Benih, tegakan rehabilitasi, keragaman genetik, isozim
23
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 23 - 30
I.
PENDAHULUAN
Cendana (Santalum album Linn.) merupakan species tumbuhan endemik Kepulauan Nusa Tenggara Timur yang memiliki keistimewaan terutama untuk manfaat produk minyak esensial yang dihasilkannya. Potensi ini menjadikan cendana sebagai aset yang mempunyai nilai ekonomi tinggi khususnya bagi Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut Srinivasan et al. (1992 l m um r t l. , s r n l mi n n s r lu s mul i ri U s mp i S. D ri n on si i bagian timur hingga ke Kepulauan Juan Fernandez (Chili) di bagian barat dan dari Kepulauan Hawaii di bagian utara hingga ke Selandia Baru di bagian selatan (Applegate & McKinnel, 1991). Namun demikian, cendana yang berasal dari NTT dipercaya mempunyai kualitas minyak esensial (santalol) yang terbaik. Santalol adalah sejenis senyawa kimia yang dihasilkan dari proses penyulingan (distilasi) kayu teras cendana. Potensi ekonomi cendana yang tinggi mengakibatkan tingginya eksploitasi oleh masyarakat, yang pada kenyataannya tidak dibarengi upaya perbanyakan dan penanaman secara memadai. Meskipun kegiatan rehabilitasi telah dilakukan, namun upaya ini terkendala karena permasalahan ketersediaan benih dan keberhasilan tanaman yang rendah. Kelangkaan benih berkualitas tak lepas dari keterbatasan populasi yang tersisa setelah eksploitasi di masa lalu. Kemerosotan populasi cendana juga dapat berdampak pada menurunnya keragaman genetik, sedangkan keragaman genetik memainkan peranan yang penting dalam kelestarian jenis maupun program breeding suatu species. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengetahui status keragaman genetik pada suatu jenis adalah dengan menggunakan penanda isozim (Namkoong & Koshy, 2001; Nei, 1987; Zeidler, 2000) . Dengan mengetahui status keragaman genetik cendana di sebaran alamnya, maka
24
langkah-langkah konservasi untuk menyelamatkan keragaman sumberdaya genetik cendana yang masih ada dapat diwujudkan. Salah satu komponen kegiatan dalam konservasi sumberdaya genetik cendana antara lain dengan melakukan eksplorasi, identifikasi dan inventarisasi tegakan-tegakan yang masih ada yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber benih bagi pembangunan populasi dasar untuk upaya pemuliaan jenis cendana. II. BAHAN DAN METODE A.
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan Pohon Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada bulan Desember 2014 sampai dengan bulan Februari 2015. B.
Prosedur Kerja
1. Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan di tiga lokasi yang diasumsikan cukup mewakili keragaman genetik cendana di Provinsi NTT (Gambar 1) yaitu 1) Areal Produksi Benih (APB) cendana, ditanam tahun 1992/1993, seluas 4,09 ha di Desa Netpala Kec. Mollo Utara Kab. Timor Tengah Selatan yang merepresentasikan tegakan benih, dengan sumber benih berasal dari Ajaobaki, Siso, Aenutnanam, Amanuban Barat, Amanatun Selatan dan Kaijob, seluruhnya berada dalam wilayah Kab. Timor Tengah Selatan (Sumardi et al., 2011); 2) Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Hutan Diklat Sisimeni Sanam, ditanam tahun 2007, luas 200 ha di Desa Ekateta, Kec. Fatuleu, Kab. Kupang, benih yang digunakan berasal dari Sumba; dan 3) Kawasan rehabilitasi program BUMN peduli (Corporate Social Responsibility/CSR), ditanam tahun 2012, seluas 50 ha di Kel. Fatukoa, Kec. Maulafa, Kota Kupang dengan asal sumber benih dari Pulau Timor, yang merepresentasikan tegakan rehabilitasi. Sampel berupa daun juvenil cendana diambil secara random
Keragaman Genetik Cendana pada Tegakan Penghasil Benih dan Tegakan Rehabilitasi di Nusa Tenggara Timur Berdasarkan Penanda Isozim Rini Purwiastuti, Sapto Indrioko, dan Eny Faridah
sebanyak 57 sampel dari tegakan APB, sedangkan dari tegakan rehabilitasi KHDTK dan tegakan rehabilitasi CSR masing-masing diambil 25 sampel.
heterozigositas teramati (HO), indeks fiksasi (FIS), dan analisis keragaman genetik antar tegakan dengan parameter keragaman genetik total (HT), keragaman genetik antar tegakan (DST), proporsi keragaman genetik antar tegakan terhadap total keragaman genetik (GST) seperti diuraikan Finkeldey & Hattemer (2007). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Gambar 1.
Peta lokasi pengambilan sampel
2. Analisis Isozim Prosedur kerja analisis isozim dilakukan mengacu pada Manual of Isozyme Analysis (Seido, 1993). Elektroforesis dilakukan menggunakan 3 pasang plat kaca masingmasing berisi 20 lubang sampel. Pada masingmasing lubang sampel diisikan ± 10 µL sampel, Running Gel dengan konsentrasi 7,5 % terletak di bagian bawah dan Spacer Gel dengan konsentrasi 3,75 % terletak di bagian atas. Elektroforesis berlangsung pada suhu 10C dengan arus listrik sebesar 100 mA, proses elektroforesis dihentikan ketika kedudukan Bromophenol Blue ± 0,5 – 1 cm di atas dasar running gel, kurang lebih memerlukan waktu 3 jam. Sistem enzim yang digunakan dalam analisis ini adalah Esterase (EST), Diaphorase (DIA), dan Shikimate Dehydrogenase (SHD). C.
Analisis Data
Data genotipe sampel individu pada masing-masing tegakan yang diperoleh selanjutnya diolah menggunakan software POPGENE 1.31 (Yeh et al., 1999). Parameter yang digunakan untuk mengamati besarnya keragaman genetik meliputi analisis keragaman genetik dalam tegakan dengan parameter jumlah lokus polimorfik (PPL), rerata jumlah alel per lokus (A/L), jumlah alel efektif per lokus (V), heterozigositas harapan dalam tegakan (HS),
Keragaman Genetik di Dalam Tegakan Cendana
Dari pengamatan pola berkas isozim yang tercetak pada gel polyacrylamide untuk masingmasing sistem enzim, diperoleh 3 lokus polimorfik untuk sistem enzim Esterase, 2 lokus polimorfik untuk sistem enzim Diaphorase, dan 1 lokus polimorfik untuk sistem enzim Shikimate Dehydrogenase (Gambar 2). Pengamatan frekuensi alel (Tabel 1) mengidentifikasi keberadaan alel langka yang terdapat pada beberapa lokus. Frankham et al. (2004), mendefinisikan alel langka sebagai alel yang mempunyai frekuensi kemunculan kurang dari 0,1. Alel dengan frekuensi sangat rendah y itu l l ‘ ’ p lokus Est-1 dan Dia-1, alel ‘ ’ p lokus Est-3 dan Dia-2, n l l ‘ ’ pada lokus Dia-1 dan Shd-1. Perubahan frekuensi alel disebabkan oleh faktor-faktor seperti mutasi, seleksi, migrasi maupun genetic drift. Mutasi merupakan peristiwa dimana suatu alel bertransformasi menjadi alel baru. Seleksi bisa dijabarkan sebagai suatu proses eliminasi yaitu gen-gen tertentu yang tidak mempunyai ketahanan (fitness) pada akhirnya akan punah. Sedangkan migrasi dalam konteks ini bisa didefinisikan sebagai bentuk mobilitas dari genotipe-genotipe tertentu pada suatu populasi ke populasi lainnya yang disebut juga sebagai aliran gen. Genetic drift atau hanyutan genetik dapat mempengaruhi frekuensi alel melalui hilangnya alel-alel yang terjadi secara acak karena proses inbreeding. Dari hasil pengamatan juga teridentifikasi hilangnya beberapa alel pada lokus Est-2, Dia-2 dan Shd1.
25
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 23 - 30
Gambar 2.
Zimmogram dan pola berkas pada gel polyacrylamide untuk masing-masing sistem enzim
Tabel 1. Frekuensi alel pada ketiga tegakan cendana Lokus Est-1 Est-2 Est-3
Dia-1
Dia-2
Shd-1
Alel a b a b a b a b c a b c a b c
Frekuensi Alel pada Tegakan APB KHDTK CSR 0,1140 0,0200 0,0400 0,8860 0,9800 0,9600 0,8947 1,0000 1,0000 0,1053 0,0000 0,0000 0,9474 0,9800 0,9583 0,0526 0,0200 0,0417 0,6140 0,0217 0,0800 0,9211 0,8043 0,7800 0,0175 0,1739 0,1400 0,0000 0,0000 0,0000 0,0439 0,0200 0,0400 0,9561 0,9800 0,9600 0,7895 0,7955 0,8095 0,1579 0,1591 0,1905 0,0526 0,0455 0,0000
Rerata jumlah alel per lokus sebesar 2,1667 angka tersebut lebih besar daripada rerata jumlah alel efektif yang hanya 1,2103. Nilai tersebut relevan dengan hilangnya alel pada beberapa lokus gen yang menyebabkan perubahan frekuensi alel sehingga mengakibatkan munculnya alel dengan frekuensi yang semakin berkurang.
26
Pengamatan heterosigositas harapan (HS) pada ketiga tegakan cendana menghasilkan nilai keragaman tertinggi pada tegakan APB dengan HS = 0,1800 diikuti oleh tegakan rehabilitasi CSR dengan HS = 0,1546 kemudian tegakan rehabilitasi KHDTK dengan HS = 0,1329, sedangkan nilai rerata ketiganya adalah 0,1558 (Tabel 2). Nilai-nilai tersebut tidak begitu jauh berbeda, namun demikian dapat mengindikasikan bahwa keragaman genetik pada tegakan APB masih sedikit lebih tinggi dibandingkan tegakan rehabilitasi CSR dan KHDTK. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh individu-individu pohon penyusun tegakan APB berasal dari 6 provenan (Ajaobaki, Siso, Aenutnanam, Amanuban Barat, Amanatun Selatan dan Kaijob) yang semula dimaksudkan sebagai plot uji keturunan sehingga diketahui dengan jelas asal sumber benihnya, yaitu diberi identitas berdasarkan masing-masing pohon induk serta provenan yang diambil benihnya, sedangkan benih yang digunakan sebagai bahan tanaman pada tegakan rehabilitasi CSR dan KHDTK merupakan benih campuran (bulk) dengan identitas sumber benih yang tidak diketahui secara jelas tetuanya. Di samping itu, mengingat keterbatasan jumlah individu yang tersisa pasca eksploitasi, besar kemungkinan benih yang terkumpul berasal dari induk yang terbatas jumlahnya. Dengan demikian, benih yang digunakan sebagai bahan pembuatan tanaman merupakan benih komposit yang tidak terjamin mutu benihnya sehingga dimungkinkan juga memiliki keragaman yang sempit. Frankham et al. (2002) menyebutkan bahwa populasi kecil biasanya memiliki tingkat keanekaragaman genetik yang lebih rendah daripada populasi yang besar. Dijelaskan juga bahwa semakin kecil populasi, perubahan akan semakin nyata antara gene pool induk dan keturunan. Seiring waktu, keragaman genetikpun akan menurun, dengan kerugian yang lebih banyak dalam hal ketahanan (fitness) pada populasi kecil daripada populasi yang lebih besar.
Keragaman Genetik Cendana pada Tegakan Penghasil Benih dan Tegakan Rehabilitasi di Nusa Tenggara Timur Berdasarkan Penanda Isozim Rini Purwiastuti, Sapto Indrioko, dan Eny Faridah
Tabel 2.
Rekapitulasi parameter keragaman genetik ketiga tegakan cendana
Tegakan APB KHDTK CSR Rerata
PPL (%)
A/L
100 83,33 83,33 88,89
2,3333 2,1667 2,0000 2,1667
Parameter Keragaman Genetik v HS
Heterozigositas teramati (HO) pada ketiga tegakan mempunyai nilai yang lebih rendah daripada heterosigositas harapan (HS), berkebalikan dari hasil yang diperoleh Irmawati (2007), Haryjanto (2009), Yuliah (2011) dan Ratnaningrum (2010), yang mendapatkan nilai HO lebih tinggi daripada heterozigositas harapan. Hal ini mengindikasikan terjadinya penyimpangan terhadap Hardy-Weinberg Equilibrium. Nilai HO yang lebih tinggi daripada HS (Tabel 2) kemungkinan karena terjadi input gen baru ke dalam populasi sedangkan nilai HO yang lebih rendah daripada HS kemungkinan disebabkan oleh jumlah populasi yang semakin berkurang karena degradasi hutan dan lahan yang terjadi di NTT. Nilai Indeks fiksasi (FIS) dari masingmasing tegakan adalah: Tegakan APB FIS = 0,0089, tegakan rehabilitasi KHDTK FIS = 0,2423 dan tegakan rehabilitasi CSR FIS = 0,0841 (Tabel 2.). Koefisien inbreeding yang bernilai positif pada masing-masing tegakan mengindikasikan terjadinya inbreeding atau kawin kerabat. Hal ini menguatkan dugaan bahwa berkurangnya populasi cendana akibat eksploitasi dan degradasi yang terjadi selama beberapa dekade terakhir telah berdampak pada keragaman genetik cendana. Merunut sejarahnya, tegakan APB semula ditujukan sebagai plot uji keturunan cendana dengan sumber benih berasal dari 6 daerah di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan yaitu Ajaobaki, Aenutnanam, Siso, Kaijob, Amanuban Barat dan Amanatun Selatan. Namun selanjutnya plot uji keturunan cendana tersebut dikonversi menjadi Areal Produksi Benih. Karena asal sumber benih yang digunakan untuk membangun tegakan APB
1,2328 1,1855 1,2126 1,2103
0,1800 0,1329 0,1546 0,1558
HO 0,1784 0,1007 0,1415 0,1402
Fis 0.0089 0.2423 0.0841 0,1118
tersebut masih relatif berdekatan, diduga kekerabatan individu penyusun tegakan APB juga masih cukup dekat. Hal ini dapat menjelaskan terjadinya inbreeding pada tegakan APB. Demikian juga yang terjadi pada kedua tegakan rehabilitasi KHDTK dan CSR, asal benih yang digunakan sebagai bahan tanaman pada kedua tegakan tersebut merupakan benih bulk yang berasal dari pohon-pohon dengan jumlah terbatas yang masih tersisa setelah eksploitasi dari masing-masing asal sumber benihnya B.
Keragaman Genetik Antar Tegakan Cendana
Keragaman genetik antar tegakan (DST= 0,0090) jauh lebih rendah dibanding keragaman genetik dalam tegakan (HS= 0,1558). Kontribusi DST yang hampir mendekati nol menunjukkan bahwa rata-rata keragaman genetik dalam tegakan (HS) hampir sama dengan keragaman genetik total (HT = 0,1648). Kekerabatan yang masih sangat dekat diperlihatkan dengan rendahnya nilai proporsi keragaman genetik antar tegakan (GST) yang hanya sebesar 0,0545. Artinya hanya sekitar 5,45% keragaman genetik yang merupakan keragaman genetik antar tegakan, sedangkan 94,55% keragaman genetik berasal dari dalam tegakan, dengan demikian terdapat kecenderungan bahwa hampir tidak terjadi aliran gen (gene flow) yang secara signifikan mempengaruhi keragaman genetik pada masing-masing tegakan yang mengindikasikan perbedaan genetik antar tegakan rendah. Secara geografis wilayah NTT memang terbagi menjadi pulau-pulau sehingga mengakibatkan persebaran habitat yang tidak kontinyu (diskret), fragmentasi habitat berakibat
27
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 23 - 30
pada berkurangnya ukuran meningkatnya isolasi. C.
populasi
dan
Keragaman Genetik Cendana pada Beberapa Tegakan dan Ras Lahan
Selama beberapa dekade, cendana yang berasal dari NTT telah terdistribusi ke beberapa wilayah di Pulau Jawa antara lain Kabupaten Gunungkidul di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gunung Bromo di Jawa Timur. Sejarah penanaman cendana di Gunungkidul salah satunya adalah pada tahun 1968 saat cendana pertama kali ditanam di Wanagama, dari 6.800 bibit yang ditanam tingkat keberhasilannya hanya 0,16%, kemudian penanaman pada tahun 1969 sejumlah 624 bibit dengan tingkat keberhasilan 44,6% (Suseno, 2000 dalam Haryjanto, 2009). Cendana kemudian berkembang menjadi jenis ras lahan di Kabupaten Gunungkidul dan sekitarnya. Penelitian mengenai keragaman genetik cendana di Gunungkidul dan Gunung Bromo juga telah beberapa kali dilakukan. Irmawati (2007) melaporkan keragaman genetik cendana ri u prov n n Bu’ t n N tp l s rt u ras lahan (Gunung Bromo dan Karangmojo) sementara Haryjanto (2009) melaporkan keragaman genetik cendana dari Kepulauan NTT (Palakahembi, Belu, Bama, Balela, Helangdohi, Soebela) yang dikembangkan di Kebun Konservasi Ex situ di Watusipat Gunungkidul. Dilaporkan juga oleh Yuliah (2011) mengenai variasi genetik permudaan cendana pada beberapa fisiognomi di Wanagama (Petak 5, Petak 16 dan Petak 17), serta oleh Ratnaningrum (2010) yang mengobservasi cendana ras lahan di Wanagama. Dapat dicermati dari beberapa parameter yang dianalisis bahwa cendana di beberapa populasi tersebut mempunyai kecenderungan keragaman genetik yang lebih tinggi daripada cendana pada habitat aslinya. Nilai heterozigositas harapan (HE) pada beberapa populasi cendana di Gunungkidul mempunyai kisaran antara 0,2884 – 0,5110, Gunung Bromo 0,5080 sedangkan
28
ketiga tegakan di NTT mempunyai kisaran heterozigositas harapan antara 0,1329 – 0,1800. Nilai indeks fiksasi (FIS) pada setiap populasi juga menunjukkan kecenderungan heterozigositas yang berlebih (excess of heterozigosity) pada tegakan dan ras lahan di Gunungkidul dan Gunung Bromo dengan kisaran -0,0153 hingga -0,4221. Hal yang menarik juga didapati dari pengamatan bahwa perbandingan frekuensi alel pada beberapa tegakan dan ras lahan. Teramati bahw l l ‘ ’ p lokus Dia-2 dari ketiga tegakan cendana yang diobservasi pada penelitian ini (tegakan APB, tegakan rehabilitasi KHDTK dan tegakan rehabilitasi CSR) tidak teridentifikasi dan tercatat sebagai missing allele. Namun demikian alel tersebut masih terdapat dengan frekuensi yang cukup pada semua tegakan dan ras lahan di Pulau Jawa yang diacu dalam penelitian ini. Sebaliknya pada k tig t g k n i NTT i p ti l l ‘ ’ p lokus Dia-2 dengan frekuensi yang sangat tinggi sementara alel tersebut tidak terdapat pada beberapa tegakan dan ras lahan yang berada di Pulau Jawa. Keragaman genetik pada beberapa populasi cendana di Jawa yang cenderung lebih tinggi kemungkinan disebabkan oleh asal materi genetik yang diambil dari beberapa provenan pada habitat aslinya di NTT saat eksploitasi cendana belum mencapai titik kulminasinya, sehingga diduga keragaman genetik cendana pada waktu itu masih cukup besar dan diduga basis genetiknya saat itu masih cukup luas. D.
Implikasi dari Menurunnya Keragaman Genetik Cendana
Melalui penelitian ini dapat teridentifikasi keberadaan alel-alel langka juga alel-alel yang telah hilang dari ketiga tegakan yang diobservasi. Frekuensi alel yang semakin berkurang bisa diidentikkan dengan penurunan keragaman genetiknya. Apabila kondisi ini tidak dengan segera diantisipasi, besar kemungkinan kepunahan cendana akan benar-benar menjadi ancaman. Hal ini dikarenakan alel yang jarang
Keragaman Genetik Cendana pada Tegakan Penghasil Benih dan Tegakan Rehabilitasi di Nusa Tenggara Timur Berdasarkan Penanda Isozim Rini Purwiastuti, Sapto Indrioko, dan Eny Faridah
dijumpai dalam suatu populasi kecil (alel dengan frekuensi sangat rendah/alel langka) akan mempunyai peluang yang besar untuk hilang pada generasi selanjutnya. Dengan pertimbangan tersebut, penting dilakukan tindakan untuk menyelamatkan alel-alel yang telah teridentifikasi langka atau jarang ditemukan. Menyikapi ancaman kepunahan pada jenis cendana yang saat ini berstatus rentan (vulnerable) menurut IUCN (2014), diperlukan pengetahuan menyeluruh mengenai spesies ini. Banyak penelitian telah dilakukan yang dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam upaya pelestarian cendana. Beberapa penelitian terdahulu telah melaporkan bahwa ada beberapa populasi cendana yang keragaman genetiknya masih cukup tinggi dibandingkan dengan keragaman genetik cendana pada sebaran alamnya. Secara keseluruhan dapat terlihat bahwa beberapa alel yang telah hilang pada tegakan di sebaran alamnya ternyata masih terdapat pada beberapa tegakan dan ras lahan yang terdapat di Pulau Jawa, demikian juga sebaliknya. Dengan adanya informasi tersebut seharusnya dapat diambil langkah-langkah prioritas dalam upaya pelestarian cendana dan konservasi sumber daya genetiknya. Kemungkinan perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai keragaman genetik cendana pada populasi-populasi yang masih tersisa, walaupun hasil yang didapat pada penelitian ini cukup menjadi gambaran keragaman genetik cendana yang ada pada sebagian sebaran alamnya sekarang ini. Prioritas tindakan yang harus dilakukan dalam merespon status cendana saat ini sebaiknya adalah dengan melakukan eksplorasi, identifikasi dan inventarisasi secara menyeluruh populasi cendana yang masih ada saat ini dilanjutkan upaya konservasi sumber daya genetiknya baik itu secara in situ maupun ex situ. Mengacu pada informasi yang diperoleh dalam penelitian ini, upaya membawa kembali cendana ke habitatnya semula (reintroduksi) juga merupakan tindakan yang perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan keragaman genetik cendana. Selanjutnya diikuti dengan
membangun tegakan sumber benih baru sebagai upaya untuk menyediakan benih cendana yang berkualitas sebagai bahan tanaman bagi populasi perbanyakan maupun populasi produksi. IV. KESIMPULAN Keragaman genetik cendana ketiga tegakan yang diobservasi memiliki nilai heterozigositas total yang relatif rendah (HT = 0,1648). Indeks fiksasi bernilai positif (FIS = 0,1118) mengindikasikan terjadinya inbreeding di dalam masing-masing tegakan. Alel yang hilang dari beberapa lokus serta alel langka juga teridentifikasi dalam ketiga tegakan yang diobservasi. Mayoritas keragaman genetik (94,55%) terdapat di dalam tegakan sisanya (5,45%) terdapat di antar ketiga tegakan. Keragaman genetik cendana pada ketiga tegakan yang diobservasi lebih rendah dibandingkan dengan beberapa tegakan dan ras lahan cendana di Pulau Jawa. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina, Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Kupang, dan Teknisi Laboratorium Pemuliaan Pohon Universitas Gadjah Mada atas bantuannya selama penelitian. DAFTAR PUSTAKA Applegate, G.B., & Mc.Kinnel, F.H. (1991). ‘Th Management and Conservation Status of Santalum Sp i s O uring in Austr li ’. Proceedings of a Symposium at the XVII Pacific Science Congress (pp 5-13). Honolulu, Hawaii. Frankham, R., Ballou, J.D., & Briscoe, A.D. (2002). Introduction to Conservation Genetics. New York: Cambridge University Press. Frankham, R., Ballou, J.D. & Briscoe, A.D. (2004). A Primer of Conservation Genetics. New York: Cambridge University.
29
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 23 - 30
Finkeldey, R. & Hattemer, H.H. (2007). Tropical Forest Genetic. Verlaag Berlin Heidelberg: Springer. Haryjanto, L. (2009). Keragaman genetik cendana (Santalum album Linn.) dari Kepulauan Nusa Tenggara Timur di Kebun Konservasi Ex Situ Watusipat Gunungkidul dan ras lahan Wanagama. (Tesis tidak dipublikasikan). Pasca Sarjana Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Irmawati, M.A.S. (2007). Keragaman genetik cendana (Santalum album Linn.) dari 2 provenan dan 2 ras lahan di Wanagama I dengan analisis isozim. (Skripsi tidak dipublikasikan). Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. IUCN, (2014). IUCN Red List Categories and Criteria: Version 2.3. IUCN Species Survival Commision. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. UK: Glad, Switzerland, and Cambridge. Kumar, A.N.A., Joshi, G., & Ram, H.Y.M. (2012). Sandalwood: History, Uses, Present Status and the Future. Current Sciences, 103(12). Namkoong, G. & Koshy, M.P. (2001). Application of Genetic Markers to Forest Trees Species. Draft report to IPGRI of the project Developing Decision-making Strategies on Priorities for Conservation and Use of Forest Genetic Resources. University of British Columbia. Nei, M. (1987). Molecular evolutionary genetics. Columbia University, NewYork. Ratnaningrum, Y.W.N. (2010). Sistem Perkawinan pada beberapa provenan dan ras lahan cendana (Santalum album Linn., Santalaceae) pada pertanaman uji provenan di Wanagama, Yogyakarta. (Tesis tidak dipublikasikan). Program Pasca Sarjana Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Seido, K. (1993). Manual of Isozyme Analysis. Japan International Cooperation Agency and Directorate General of Reforestation and Land Rehabilitation, Ministry of Forestry in Indonesia. Sumardi et al., (2011). Pembangunan sumber benih jenis andalan Nusa Tenggara Timur. Laporan Hasil Kegiatan Sumber Dana DIPA 2011 (Tidak dipublikasikan). BPK Kupang.
30
Yeh, F.C., Yang, R.C., & Boyle, T. (1999). Quick User Guide: POPGENE Version 1.31 Microsoft Window-based Freeware for Population Genetic Analysis. A joint Project Development by University of Alberta and Centre for International Forestry Research. Yuliah. (2011). Variasi genetik permudaan cendana (Santalum album Linn.) pada beberapa fisiognomi di Wanagama I menggunakan penanda isozim. (Tesis tidak dipublikasikan). Program Pasca Sarjana, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Zeidler, M. (2000). Electrophoretic Analysis of Plant Isozymes. Acta Universitatis Palackianae Olomucensis Facultas Rerum Naturalium (2000). Biologica 38. Dept. Of Ecology. Palacky University, Tr. Svobody 26, Olomouc, Czech Republic.
STRUKTUR GENETIK Calliandra calothyrsus DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA (RAPD) Genetic structure of Calliandra calothyrsus in Indonesia revealed by Random Amplified Polymorphism DNA markers I.L.G. Nurtjahjaningsih, Purnamila Sulistyawati, dan Anto Rimbawanto Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar, Km.15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta e-mail:
[email protected]
Tanggal diterima: 02 Maret 2016, Tanggal direvisi: 22 Maret 2016, Disetujui terbit: 1 Juli 2016
ABSTRACT Calliandra calothyrsus was introduced to Indonesia from Guatemala in 1930s and had been planted widely throughout Indonesia for fuel wood. Genetic diversity within and among population is an important factor for initiating breeding program. Aim in this study was to evaluate genetic structure of C. calothyrsus in Indonesia, to obtain a better understanding of the history of the distribution and efficiency of breeding strategy of this species. Leaf samples were collected in a seedling seed orchard plot from 10 populations. Six RAPD markers consisted of 34 loci were used to analyze genetic diversity and genetic structure. The results showed that genetic diversity was in low to moderate level (mean HE= 0.321). The AMOVA analysis showed that genetic differentiation among geographical sources was significant, also among populations within geographical sources and among individual within populations as well. It was revealed that the 10 populations originated from only two ancestors. The limited number of ancestors resulted low to moderate genetic distances among populations (mean Da=0.070). In conclusion, C. calothyrsus has moderate genetic diversity within population and weak genetic structure among populations. Genetic diversity in population/individual level should be considered as a selection unit in the breeding strategies. Keywords: exotic species, genetic structure, RAPD markers
ABSTRAK Di Indonesia, Calliandra calothyrsus (kaliandra) adalah salah satu tanaman eksotik yang berasal dari Guatemala dan ditanam secara luas di Indonesia sejak 1930-an untuk kayu bakar. Keragaman genetik di dalam dan antar populasi merupakan salah satu pertimbangan penting dalam menyusun suatu strategi pemuliaan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui struktur genetik C. calothyrsus di Indonesia. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh pemahaman sejarah sebaran jenis ini di Indonesia sehingga strategi pemuliaan menjadi lebih efisien. Sampel daun dikumpulkan dari plot kebun benih semai yang terdiri dari 10 populasi, terletak di Wonogiri. Analisis struktur genetik dengan enam penanda RAPD menghasilkan 34 lokus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman genetik populasi kaliandra termasuk dalam nilai rendah sampai sedang (rata-rata HE= 0,321). Analisis molekuler varian (AMOVA) menunjukkan bahwa perbedaan genetik antar pulau menunjukkan nilai yang nyata, juga antar populasi dalam pulau dan antar individu di dalam populasi. Analisis struktur menunjukkan 10 populasi tersebut berasal dari hanya dua daerah asal/ nenek moyang. Terbatasnya jumlah nenek moyang berakibat pada rendah sampai sedangnya jarak genetik antar popuasi (ratarata nilai Da=0,070). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kaliandra yang tersebar di Indonesia, berasal dari nenek moyang yang jumlahnya terbatas, sehingga jenis ini memiliki keragaman genetik di dalam populasi dalam kisaran nilai rendah sampai sedang dan jarak genetik antar populasi bernilai rendah. Keragaman genetik pada tingkat populasi atau individu harus dijadikan pertimbangan sebagai unit seleksi dalam strategi pemuliaan. Kata kunci: jenis eksotik, struktur genetik, penanda RAPD
I.
PENDAHULUAN
Sifat tanaman eksotik di antaranya memiliki kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi terhadap seleksi alam pada
lingkungan yang baru, menyebar secara luas dan cepat, sehingga cenderung bersaing dengan tanaman lokal bahkan mampu membentuk populasi tersendiri (bersifat invasif) (Lee, 2002; Martin et al., 2014). Keragaman genetik
31
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 31 - 38
tanaman eksotik dipengaruhi oleh stuktur genetik di sebaran alamnya, jumlah yang diintroduksi dan jumlah individu yang ditemukan di lingkungan barunya (Shirk et al., 2014). Karakter sebaran tanaman jenis eksotik tidak terlepas dari peran manusia (Kurokochi et al., 2013; Martin et al., 2014). Pada umumnya, individu yang memiliki kemampuan beradaptasi tinggi jumlahnya terbatas/sedikit. Seperti pada tanaman hias eksotik di Jepang, Allianthus altissima yang didatangkan dari Cina bagian Timur, menunjukkan bahwa individu yang tersebar berasal dari sumber sebaran yang terbatas (Kurokochi et al., 2013), kemudian disebarkan ke seluruh wilayah di Jepang. Konsekuensi dari keterbatasan jumlah sumber benih ini menyebabkan rendahnya jarak genetik antar populasi. Salah satu tanaman eksotik di Indonesia adalah kaliandra (Calliandra calothyrsus Meisn.). Kaliandra termasuk jenis tanaman cepat dan mudah tumbuh, mempunyai nilai ekonomi tinggi untuk kayu bakar (Chamberline, 2000). Penyerbukan pada jenis ini dibantu oleh serangga, burung dan kelelawar. Meskipun pembungaannya kurang serempak, namun kaliandra menghasilkan biji dalam jumlah banyak, yaitu 100 g per pohon (Chamberline, 2000). Sebaran alam kaliandra ada di Amerika Tengah dan Meksiko. Menurut Chamberlain (1998), kaliandra di Indonesia berasal dari Guatemala; pertama kali ditanam di Jawa oleh Perhutani pada tahun 1936. Karena mudah berkembang biak, baik dengan biji maupun secara vegetatif, jenis ini dibudidayakan dan disebarkan oleh masyarakat ke seluruh pulau di Indonesia. Strategi pemuliaan jenis kaliandra sudah dimulai sejak tahun 2010 dengan membangun uji keturunan dan melibatkan 10 populasi kaliandra yang tersebar di Indonesia (Hendrati, data tidak dipublikasi). Apabila sumber materi genetik kaliandra yang tersebar di Indonesia berasal dari tempat yang terbatas di sebaran alamnya, maka kemungkinan kaliandra memiliki nilai keragaman dan jarak genetik
32
rendah. Apabila hal tersebut terbukti benar, maka untuk efisiensi strategi pemuliaan jenis kaliandra, tidak perlu melibatkan seluruh populasi yang ada. Kajian keragaman genetik kalindra sudah dilaporkan menggunakan penanda jenis isozim (Chamberlain, 1998). Penanda isozim merupakan penanda berbasis enzim sehingga memerlukan sampel uji yang masih segar. Penanda Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) adalah salah satu jenis penanda berbasis DNA yang dicirikan dengan panjang 10-15 basa. Penanda RAPD bersifat dominan yaitu melacak alel dominan dan resesif. Penanda RAPD telah diterapkan untuk memperbaiki status taksonomi pada sembilan jenis Kaliandra (Mattagajasingh et al., 2006). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui struktur genetik kaliandra yang ada di Indonesia menggunakan penanda RAPD. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menyusun strategi pemuliaan jenis ini. II. BAHAN DAN METODE A.
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilakukan selama dua bulan dari bulan Agustus hingga September 2015. Untuk analisis DNA, sampel daun diambil dari sebuah kebun benih semai kaliandra, terletak di Wonogiri, Jawa Tengah. Kebun benih tersebut menggunakan 10 populasi kaliandra (Tabel 1 dan Gambar 1). Sampel daun dikemas menggunakan amplop kertas dan diberi silika gel untuk mengurangi kadar air dalam daun sehingga tidak mudah membusuk. B.
Metode Penelitian
Isolasi DNA dilakukan dengan cara menimbang sampel daun seberat 50 mg dan diekstraksi menggunakan metode CTAB (Cetyltrimethylammonium bromide) (Shiraishi & Watanabe, 1995). Analisis genetik menggunakan penanda RAPD adalah salah satu analisis DNA berdasarkan proses PCR (Polymerase Chain Reaction). Untuk
Struktur Genetik Calliandra Calothyrsus Di Indonesia Menggunakan Penanda Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD) I.L.G. Nurtjahjaningsih, Purnamila Sulistyawati, dan Anto Rimbawanto
siklus pada suhu denaturasi 94oC selama 30 detik, suhu penempelan 37oC selama 30 detik, dan pemanjangan 72oC selama 1,5 menit; tahap III merupakan tahap pemanjangan terakhir pada suhu 72oC selama 7 menit. Penelitian ini menggunakan 6 primer RAPD dengan panjang 10 basa (Operon Technologies, USA; Tabel 2). Elektroforesis hasil PCR dilakukan pada 1,2% gel agarose yang dialiri listrik 120 Voltage. Hasil elektroforesis dilihat menggunakan alat visualisasi yang dilengkapi dengan kamera dan lampu UV (Hitachi).
mendukung terjadinya penempelan penanda pada DNA target agar dapat diamati variasi pitanya, maka proses PCR memerlukan larutan dan kondisi mesin PCR (thermal cycler) yang sesuai. Larutan PCR terdiri dari 5 ng/L DNA, 10 pmol primer RAPD, 5x KAPATaq Extra Buffer (tanpa Mg2+), 0,3 mM dNTP, 1,75 mM MgCl2, 1,25 U/50L KAPATaq Extra Hot-start DNA Polymerase (Kapabiosystems). Kondisi mesin thermal cycler (9700) terdiri dari 3 tahap; tahap I adalah tahap denaturasi pada suhu 95oC selama 5 menit; tahap II adalah tahap penempelan (annealing) dilakukan dalam 45 Tabel 1.
Nama, wilayah, jumlah sampel, koordinat letak lintang dan bujur kaliandra
Nama Populasi
Wilayah
Sumatera Utara Palembang Sukabumi Majalengka Magelang Pasuruan Malang Nusa Tenggara Timur Sulawesi Selatan Wamena
Sumatera Sumatera Jawa Jawa Jawa Jawa Jawa Nusa Tenggara Sulawesi Papua
Jumlah sampel 10 10 6 8 15 7 6 11 14 9
Lintang Utara/Selatan 1o18’11.30”U 2º59’ 7.99”S 6º55’ 7. 5”S 6º5 ’00.00”S 7º 6’ 9.00”S 7º ’5 .00”S 8o00’35.20”S 9o51’37.30”S 3o06’30.50”S 4º 5’5 . 8”S
Bujur Timur 99o21’17.40” 104º 5’ . ” 106º55’ . ” 108º ’00.00” 110º ’ .00” 112º 8’ 7.00” 112o35’52.90” 124o16’38.60” 119º52’05.60” 138º57’ 9.55”
Sumatera Utara
Palembang
Wamena Sulawesi Selatan
Sukabumi Majalengka Magelang
Malang Pasuruan
NTT
Gambar 1. Lokasi 10 populasi kaliandra yang digunakan dalam penelitian ini
33
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 31 - 38
Hasil PCR akan terlihat sebagai pita monomorfik dan polimorfik; hanya pita yang polimorfik yang akan dianalisis. Analisis genetik menggunakan data biner. Kisaran ukuran pita polimorfik ditunjukkan pada Tabel 2. C.
Analisis data
Parameter keragaman genetik di dalam populasi diukur sebagai jumlah alel (NA), jumlah alel privat (PA; alel yang ada dalam satu populasi saja), jumlah alel langka (RA; alel dengan frekuensi <0,05%) dan keragaman genetik harapan (HE). Perbedaan keragaman genetik di dalam dan antar populasi serta wilayah dianalisis menggunakan AMOVA (analysis of molecular variance). Pembagian wilayah didasarkan pada perbedaan pulau. Parameter keragaman genetik di dalam populasi dan AMOVA dianalisis menggunakan piranti lunak GenAlex (Peakall & Smouse, 2012). Dendrogram ditampilkan untuk mengetahui hubungan genetik antar populasi dan dihitung menggunakan piranti lunak TreeView (Takezaki
et al., 2014). Struktur genetik menggunakan piranti lunak Structure (Pritchard et al., 2010). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Hasil
Enam penanda RAPD yang digunakan pada penelitian ini cukup polimorfik dengan total sejumlah 34 alel polimorfik (Tabel 2). Selanjutnya enam penanda RAPD tersebut digunakan untuk analisis keragaman genetik populasi kaliandra. Nilai rerata keragaman genetik 10 populasi kaliandra termasuk sedang (Rerata HE=0,321; Tabel 3). Pengelompokan populasi dalam satu kelompok (klaster) tidak berhubungan dengan kedekatan letak geografis masing-masing populasi (Gambar 2). Meskipun dalam nilai kecil (3%), perbedaan pulau pada sebaran populasi kaliandra memberikan perbedaan keragaman genetik yang nyata (Tabel 4). Populasi kaliandra yang tersebar di Indonesia berasal dari hanya 2 daerah asal/nenek moyang (Gambar 3).
Tabel 2. Nama dan sekuen primer RAPD, jumlah lokus polimorfik dan ukurannya (pasangan basa-bp) No. 1 2 3 4 5 6
Nama primer RAPD OPA07 OPG10 OPG12 OPK10 OPK15 OPP06
Sekuen (5`-3`) GAAACGGGTG AGGGCCGTCT CAGCTCACGA GTGCAACGTG CTCCTGCCAA CCACGGGAAG
Jumlah lokus polimorfik
Ukuran lokus polimorfik (bp)
7 3 6 7 5 6
350, 450, 490, 700, 1000, 1050, 1100 890, 980, 1000 890, 900, 1050, 1800, 1500, 2200 400, 580, 700, 800, 900, 1000, 1050 300, 590, 600, 700, 1800 500, 630, 790, 800, 1200, 1300
34
Gambar 2.
34
Analisis klaster menunjukkan hubungan genetik antar populasi kaliandra berdasarkan nilai jarak genetik tidak bergantung pada posisi geografis
Struktur Genetik Calliandra Calothyrsus Di Indonesia Menggunakan Penanda Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD) I.L.G. Nurtjahjaningsih, Purnamila Sulistyawati, dan Anto Rimbawanto
Tabel 3.
Parameter keragaman genetik dalam populasi kaliandra menggunakan 6 penanda RAPD
Nama populasi Sumatera Utara Palembang Sukabumi Majalengka Magelang Pasuruan Malang Nusa Tenggara Timur Sulawesi Selatan Wamena Total/ Rata-rata
N 10 10 6 8 15 7 6 11 14 9 96
Jumlah alel 35 34 32 35 35 32 33 33 35 29 33,3
Jumlah alel privat 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah alel langka 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
HE (SE) 0,307 (0,024) 0,310 (0,029) 0,360 (0,029) 0,329 (0,030) 0,407 (0,022) 0,305 (0,032) 0,351 (0,031) 0,282 (0,029) 0,284 (0,028) 0,275 (0,031) 0,321 (0,009)
N: Jumlah alel, HE: heterozigositas harapan, SE: standar error
Gambar 3.
B.
Struktur genetik antar 10 populasi kaliandra yang tersebar di Indonesia
Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai keragaman genetik populasi kaliandra yang tersebar di Indonesia, termasuk pada nilai sedang (rerata HE= 0,321), apabila dibandingkan dengan nilai keragaman genetik di sebaran alamnya yaitu di Amerika Tengah dan Meksiko (rerata HE= 0,075) (Chamberlain, 1998). Pada umumnya, tanaman eksotik memiliki keragaman genetik rendah karena hanya Tabel 4.
Hasil AMOVA pada 10 populasi kaliandra yang terbagi menjadi 5 pulau, 10 populasi dan 96 individu pohon
Sumber ragam Antar pulau Antar populasi dalam satu pulau Antar individu dalam satu populasi Total Keterangan:
beberapa individu pohon saja yang bertahan hidup dengan daya adaptasi tinggi; keterbatasan jumlah individu tersebut berakibat pada rendahnya nilai keragaman genetik. Selain itu, individu dengan keragaman genetik rendah tersebut disebarkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga jenis eksotik mempunyai kekerabatan yang tinggi (Kurokochi et al., 2013).
* ** ***
Derajat bebas 4 5 86 95
Jumlah kuadrat 67,789 58,877 658,209 748,875
Varian (%) 3* 6** 91*** 100
Berbeda nyata pada taraf uji 5% Berbeda nyata pada taraf uji 1% Berbeda nyata pada taraf uji 0,1%
35
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 31 - 38
Rendahnya nilai keragaman genetik kaliandra di sebaran alamnya lebih disebabkan oleh gangguan manusia (pembakaran hutan, pembuatan jalan dan sebagainya), dibandingkan dengan gangguan faktor lingkungan (Chamberlain, 1998). Selain itu, nilai keragaman genetik di dalam populasi berkebalikan dengan curah hujan (Chamberlain, 1998); hal ini berkaitan dengan pembungaan yang tidak serempak di daerah kering dan populasi terfragmentasi, menyebabkan terbatasnya pergerakan gen, turunnya jumlah individu dalam suatu populasi, laju silang dalam yang tinggi atau ketidaksesuaian sistem perkawinan antar individu. Populasi Magelang menunjukkan nilai keragaman genetik tertinggi di antara populasi lainnya. Hutan tanaman kaliandra pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Perhutani (Chamberlain, 1998) dan kemungkinan penanaman dengan ukuran luas difokuskan di Magelang kemudian disebarkan ke seluruh wilayah di Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa 10 populasi kaliandra di Indonesia terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok 1 terdiri dari populasi Magelang dan kelompok 2 terdiri dari 9 populasi selain Magelang. Sembilan populasi tersebut mengelompok menjadi dua sub kelompok yaitu populasi Palembang dan Jawa, dan sub kelompok lain terdiri dari populasi Sumatera dan populasi di luar populasi Jawa dan Palembang. Pengelompokan populasi tersebut didukung oleh hasil analisis struktur genetik yang menunjukkan bahwa 10 populasi tersebut berasal dari hanya 2 daerah asal/ nenek moyang. Hasil ini juga dibuktikan dengan nilai jarak genetik antar 10 populasi yang rendah (DA=0,070). Kurokochi et al. (2013) melaporkan bahwa Alianthus spp., jenis tanaman hias eksotik di Jepang, berasal dari sumber garis ibu (maternal line) yang terbatas. Sebaliknya nilai perbedaan genetik antar populasi kaliandra dari sebaran alam yang
36
lebih luas termasuk dalam nilai tinggi (FST=0,802) (Chamberlain, 1998). Analisis varian molekuler (AMOVA) menunjukkan perbedaan keragaman genetik yang nyata antar wilayah (dalam hal ini tingkat pulau), antar populasi di dalam wilayah dan antar individu di dalam populasi. Selain itu, analisis prinsip komponen (PCA) menunjukkan bahwa kedekatan genetik tidak mencerminkan kedekatan secara geografis. Hal ini menunjukkan bahwa kaliandra menyebar di seluruh wilayah Indonesia secara acak. Hal ini juga menunjukkan bahwa kaliandra digunakan dan ditanam secara aktif sejak jaman dulu. Seperti disebutkan di atas bahwa kaliandra di Indonesia berasal dari Guatemala yang dibawa oleh ahli botani dari Belanda pada tahun 1936 (Chamberlain, 1998). Pada saat itu, kaliandra digunakan sebagai pohon peneduh kopi menggantikan jenis legum lainnya seperti Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit. Chamberline (1998) menggunakan penanda RAPD melaporkan bahwa populasi Madiun membentuk sub klaster yang sama dengan salah satu populasi Guatemala (HE Santa Maria de Jesus=0,117) dan membentuk satu klaster yang sama dengan Meksiko dan Kenya. Selain itu, ada alel yang menunjukkan berasal dari daerah lain di Guatemala (HE Patulul=0,080). Oleh karena itu, Chamberlain (1998) menduga bahwa kaliandra yang dibawa ke Indonesia, berasal dari lebih dari satu wilayah di Guatemala. Hal ini juga diperkuat dengan hasil yang diperoleh dari penelitian ini; analisis struktur genetik menunjukkan bahwa kaliandra yang tersebar di Indonesia berasal dari dua daerah asal/ nenek moyang. Rendahnya populasi Madium yang dilaporkan oleh Chamberline (1998), disebabkan oleh individu di Madiun berasal dari kumpulan berbagai populasi namun jumlah sampel yang diambil terbatas. Oleh karena budidaya kaliandra termasuk mudah, baik secara generatif maupun vegetatif, dari Jawa kemudian tersebar ke seluruh wilayah di
Struktur Genetik Calliandra Calothyrsus Di Indonesia Menggunakan Penanda Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD) I.L.G. Nurtjahjaningsih, Purnamila Sulistyawati, dan Anto Rimbawanto
Indonesia. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sangat beralasan kalindra didatangkan dari sumber benih yang terbatas di Guatemala dan disebarkan di seluruh wilayah di Indonesia sehingga memiliki keragaman genetik di dalam populasi yang sedang dan antar populasi yang rendah. IV. KESIMPULAN Sepuluh populasi kaliandra yang digunakan pada penelitian mempunyai nilai keragaman genetik rendah sampai sedang. Kaliandra yang tersebar di Indonesia berasal dari hanya dua daerah asal/ nenek moyang, hal ini menyebabkan keragaman genetik didalam dan antar populasi rendah. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya bahwa kaliandra di Indonesia berasal dari dua daerah di sebaran alamnya. Namun demikian, penelitian ini belum dapat menjelaskan bagaimana pergerakan populasi dari Jawa ke luar Jawa. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilanjutkan untuk mengetahui pergerakan populasi dari Jawa ke luar Jawa secara lebih jelas. Untuk melibatkan populasi dalam suatu strategi pemuliaan, maka disarankan untuk menggunakan populasi yang memiliki keragaman tinggi, populasi yang berbeda pulau, dan tidak direkomendasikan populasi yang secara geografis berdekatan karena belum tentu berbeda secara genetik. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Dr. Rina Laksmi Hendrati dan tim yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan pengambilan sampel daun di kebun benih semai kaliandra di Wonogiri. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Y. Triyanta dan Wahyuni Sari yang telah banyak membantu kegiatan penelitian DNA di Laboratorium Genetika Molekuler.
DAFTAR PUSTAKA Chamberlain, J. R. (1998). Isozyme variation in Calliandra calothyrsus (Leguminosae): Its implications for species delimitation and conservation. American Journal of Botany, 85(1), 37-47. Chamberline, J. R. (2000). Improving seed production in Caliandra calothyrsus: A field manual for researchers and extension workers. Oxford: Oxford Forestry Institute, University of Oxford. Kurokochi, H., Saito, Y., Chuman, M., & Ide, Y. (2013). Low chloroplast diversity despite phylogenetically divergent haplotypes in Japanese populations of Ailanthus altissima (Simaroubaceae). Botany, 91, 148-154. Lee, C. E. (2002). Evolutionary genetics of invasive species. TRENDS in Ecology and Evolution, 17(8), 386-391. Martin, M. D., Zimmer, E. A., Olsen, M. T., Foote, A. D., Gilbert, M. T. P., & Brush, G. S. (2014). Herbarium specimens reveal a historical shift in phylogeographic structure of common ragweed during native range disturbance. Molecular Ecology, 23, 17011716. Mattagajasingh, I., Acharya, L., Mukherjee, A. K., Panda, P. C., & Das, P. (2006). Genetic relationships among nine cultivated taxa of Calliandra Benth. (Leguminosae: Mimosoideae) using random amplified polymorphic DNA (RAPD) markers. Scienta Horticulture, 110, 98-103. Peakall, R., & Smouse, P. E. (2012). GenAlEx 6.5: genetic analysis in excel. Population genetic software for teaching and research -an update. Bioinformatics Applications Note, 28(19), 2537-2539. Pritchard, J. K., Wen, X., & Falush, D. (2010). Documentation for structure software: Version 2.3. Retrieved from http: // pritch. bsd. uchicago. edu/ structure.html Shiraishi, S., & Watanabe, A. (1995). Identification of chloroplast genome between Pinus densiflora Sieb et Zucc and P. thumbergii Parl based on the polymorphism in rbcL gene. Journal of Japanese Forestry Society, 77, 429-436. Shirk, R. Y., Hamrick, J. L., Zhang, C., & Qiang, S. (2014). Pattern of genetic diversity reveal multiple introductions and recurrent founder effects during range expansion in invasive populations of Geranium carolinianum (Geraniaceae). Heredity, 112, 497-507.
37
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 31 - 38
Takezaki, N., Nei, M., & Tamura, K. (2014). POPTREEW: Web version of POPTREE for constructing population trees from allele frequency data dan computing some other quantities. Molecular Biology Evolution, 31(6), 1622-1624.
38
EVALUASI PRODUKSI BENIH PADA KEBUN BENIH HIBRID ACACIA (Acacia mangium x Acacia auriculiformis) DI WONOGIRI, JAWA TENGAH Evaluation of Seed production in Acacia Hybrid (Acacia mangium x Acacia auriculiformis) Seed Orchard Established in Wonogiri, Central Java Sri Sunarti1, Valerianus Devi Adyantara2, Teguh Setyaji1, dan Arif Nirsatmanto1 1
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar, Km.15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta e-mail:
[email protected] 2
PT. Arara Abadi, Sinarmas Forestry Perawang, Riau
Tanggal diterima: 24 Maret 2016, Tanggal direvisi: 29 Maret 2016, Disetujui terbit: 4 Juli 2016
ABSTRACT Research for developing Acacia hybrid (Acacia mangium x Acacia auriculiformis) breeding strategy through establishing hybrid seed orchard (HSO) has been started by BBPPBPTH. Two hectares of HSO was established in Wonogiri, Central Java to produce the Acacia hybrid seed. The orchard was laid out using an alternating rows design among the two pure parent species with spacing of 1 m x 3 m: 1 m within the species and 3 m between the species. The purpose of this study is to evaluate flowering synchronization and seed production in first year flowering session of four years age mother trees in the HSO. The unit area of observation was set up in 0.2 ha within the HSO. During the first flowering session, 100 mother trees (31%) were observed showing synchronized flowering time among the two parents species: 50 mother trees for Acacia mangium and 50 mother trees for A. auriculiformis. Seed production was still low in which only 38 out of 50 trees of A. mangium mother trees produced seed, whereas selected A. auriculiformis mother trees did not produce seed. The average viability of the collected seed was moderately low at 59.2%. Subsequent verification through DNA marker using SCAR and SSR revealed less than 1% of the collected seed were identified as true Acacia hybrid. Keywords: alternating rows, flowering synchronization, hybrid seed, DNA marker
ABSTRAK Penelitian pengembangan strategi pemuliaan hibrid Acacia (A. mangium x A. auriculiformis) melalui pembangunan kebun benih hibrid (Hybrid Seed Orchard) telah dimulai oleh BBPPBPTH. Kebun benih hibrid Acacia dibangun di Wonogiri seluas 2 hektar menggunakan pola rancangan baris berseling diantara dua spesies murninya dengan jarak tanam 1 m di dalam jenis dan 3 m di antara spesies. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi sikronisasi pembungaan dan produksi benih di kebun benih hibrid Acacia pada tahun pertama musim pembungaan (pohon induk umur 4 tahun). Unit pengamatan dilaksanakan pada luasan 0,2 ha di dalam kebun benih hibrid. Terdapat 100 pohon induk (31%): 50 pohon induk A. mangium dan 50 pohon induk A. auriculiformis memiliki masa pembungaan secara bersamaan. Namun demikian kemampuan produksi benih relatif masih rendah, dimana dari 50 pohon induk pada masing-masing spesies hanya ditemukan sebanyak 38 pohon induk A.mangium yang mampu menghasilkan benih dengan rata-rata viabilitas sebesar 59,2%. Sementara itu untuk pohon induk A.auriculiformis tidak menghasilkan benih.Verifikasi lebih lanjut melalui penanda molekuler DNA menggunakan SCAR dan SSR membuktikan kurang dari 1% benih yang dihasilkan merupakan benih hibrid. Kata kunci: baris berseling, sinkronisasi pembungaan, benih hibrid, penanda DNA
I.
PENDAHULUAN
Hibrid Acacia merupakan individu hasil persilangan antara A. mangium dan A.auriculiformis baik terjadi secara alami maupun buatan. Hibrid Acacia memiliki kelebihan antara lain pertumbuhannya cepat,
berbatang lurus dan bulat serta mempunyai sifat-sifat kayu yang lebih baik dibandingkan A. mangium serta lebih toleran terhadap serangan hama dan penyakit (Ibrahim & Awang, 1991; Kha, 2001; Kim et al., 2009; Rokeya et al., 2010; Yahya et al., 2010; Kato et al., 2012; Kha et al., 2012; Rusli et al., 2013).
39
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 39 - 49
Selain itu hibrid Acacia dilaporkan lebih mampu beradaptasi pada lahan-lahan marginal seperti tanah dengan tekstur geluh berpasir (sandy loam), lempung lanau (marine clay) dan tanah spodosol maupun gambut (Pinso & Nasi, 1991; Ghazali et al., 2007; Wahno, et al., 2014). Oleh karena kelebihannya itu hibrid Acacia mulai banyak dikembangkan baik melalui penyerbukan terbuka (open pollination) maupun penyerbukan terkendali (controlled pollination) (Chaudary, 1984; Rufelds, 1988; Ibrahim, 1993). Beberapa penelitian dalam pengembangan hibrid Acacia telah dilakukan di beberapa negara, antara lain Vietnam, Malaysia, Thailand dan China (Rufelds, 1988), serta Indonesia (Sunarti et al., 2013). Berbagai upaya penelitian pemuliaan tanaman terus dilakukan untuk meningkatkan probabilitas munculnya individu hibrid Acacia yang memiliki produktivitas yang lebih tinggi. Melalui metode penyerbukan secara terbuka, salah satu teknik yang bisa dikembangkan untuk mendapatkan individu hibrid Acacia adalah pembangunan kebun benih hibrid (Hybrid Seed Orchard). Kebun benih hibrid Acacia dibangun melalui penanaman indukan terpilih dari masing-masing spesies A. mangium dan A. auriculiformis pada satu areal tanam yang sama dengan desain tertentu sehingga memungkinkan terjadinya penyerbukan secara alami (Ibrahim, 1993). Melalui kebun benih hibrid ini diharapkan benih hibrid Acacia bisa diproduksi secara masal (Sedgley et al., 1992). Benih hibrid yang dihasilkan kemudian diuji vigoritasnya di lapangan untuk mengidentifikasi individu yang menujukkan hibrid vigor, yang selanjutnya hibrid ini akan diperbanyak secara vegetatif dan diuji lanjut di lapangan untuk mendapat klon hibrid unggul (Libby & Ahuja, 2013). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (B2P2BPTH) telah membangun kebun benih hibrid Acacia (A. mangium x A. auricuiformis) di Wonogiri, Jawa Tengah seluas 2 ha. Terjadinya
40
sinkronisasi pembungaan antara A. mangium dan A. auriculiformis yang tinggi merupakan kunci keberhasilan produksi benih hibrid dalam kebun benih hibrid Acacia. Dalam rangka mendapatkan informasi untuk mendukung strategi dan potensi pengembangan kebun benih hibrid Acacia pada fase produksi ke depan, maka dilakukan penelitian ini dengan tujuan untuk melakukan evaluasi sinkronisasi pembungaan dan produksi benih dari kebun benih hibrid Acacia pada tahun pertama musim pembungaan (pohon induk umur 4 tahun). II. BAHAN DAN METODE A.
Waktu dan Lokasi
Pengamatan dilakukan pada tahun pertama musim pembungaan, yaitu pada saat pohon induk berumur 4 tahun. Periode pengamatan pembungaan dan produksi benih dilakukan selama kurang lebih 6 bulan fase reproduksi, yaitu pada bulan Februari sampai bulan Juli di kebun benih hibrid Acacia, di Wonogiri, Jawa Tengah. Selanjutnya pengamatan viabilitas benih dan identifikasi serta verifikasi semai hibrid dilakukan selama 4 bulan di persemaian dan Laboratorium Molekuler PT. Arara Abadi, Sinarmas Forestry di Perawang, Riau. B.
Bahan
1. Kebun benih hibrid Kebun benih hibrid Acacia dibangun di Wonogiri, Jawa Tengah, terletak pada 7°80' LS, 110°93'BT dengan ketinggian 141 m dpl. Desain penanaman adalah baris berseling (alternating rows) antara A. mangium dan A. Auriculiformis dengan jarak tanam 1 m di dalam spesies dan 3 m di antara spesies. Penjarangan seleksi telah dilakukan di dalam kebun benih hibrid sebanyak 2 kali, yaitu pada saat tanaman berumur 1 tahun (intesitas penjarangan 50%) dan umur 2 tahun (intensitas penjarangan 50%). Menurut data dari BMKG Jawa Tengah (2013), lokasi kebun benih hibrid tersebut beriklim C (Schmidt & Fergusson)
Evaluasi Produksi Benih Pada Kebun Benih Hibrid Acacia (Acacia mangium X Acacia auriculiformis) di Wonogiri, Jawa Tengah Sri Sunarti, Valerianus Devi Adyantara, Teguh Setyaji, dan Arif Nirsatmanto
dengan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 1.878 mm serta suhu rata-rata harian sebesar 26,5 C. 2. Benih Benih diunduh dari masing-masing pohon induk A. mangium dan A. auriculiformis hasil penyerbukan terbuka pada tahun pertama pembungaan dari kebun benih hibrid Acacia. 3. Verifikasi secara molekuler Verifikasi benih hibrid Acacia dilakukan menggunakan penanda molekuler SCAR (Sequenced Characterized Amplified Region) dan SSR (Simple Sequence Repeat) dengan marker berturut-turut adalah R-01 dan M-33 serta marker AR-27. Bahan yang digunakan untuk verifikasi tersebut adalah DNA yang diisolasi dari jaringan daun (filodia). C.
Metode
Evaluasi produksi benih di kebun benih hibrid Acacia dilakukan secara bertahap, yaitu 1) pemilihan pohon induk dan pengamatan sinkronisasi pembungaan, 2) pengamatan kemampuan produksi benih dan pengujian viabilitas benih, dan 3) identifikasi dan verifikasi benih hibrid Acacia. Metode pengamatan masing-masing tahapan adalah sebagai berikut: 1. Pemilihan pohon induk benih dan pengamatan sinkronisasi pembungaan Pemilihan pohon induk di kebun benih hibrid Acacia diawali dengan menentukan unit observasi pada luasan 0,2 ha di dalam kebun benih hibrid dengan jumlah pohon induk sebanyak 320 pohon. Selanjutnya pengamatan pembungaan dilakukan pada setiap pohon induk dari masing-masing spesies (A. mangium dan A. auriculiformis). Pohon induk selanjutnya dipilih kembali berdasarkan hasil identifikasi terjadinya sinkronisasi pembungaan diantara kedua spesies, yaitu berbunga pada tahapan mekar sempurna (anthesis) secara bersamaan (sinkron) antara pohon induk A. mangium dan A. auriculiformis yang berada di dalam luasan
unit observasi. Pohon induk terpilih tersebut kemudian ditandai dengan cat warna biru untuk diamati perkembangan pembungannya lebih lanjut sampai dengan terbentuknya buah siap panen. 2. Produksi benih dan pengujian benih Pengamatan produksi benih dilakukan dengan mengunduh polong pada pohon induk terpilih dari masing-masing spesies . Polong yang telah diunduh kemudian diekstraksi, disortasi dan dibersihkan dari kotoran kemudian ditimbang beratnya per pohon induk. Selanjutnya dilakukan pengujian viabilitas benih dengan menghitung persen kecambah benih masing-masing pohon induk dengan sampel sebanyak 100 butir benih per pohon induk. Sebelum dikecambahkan benih terlebih dahulu dilakukan skarifikasi dengan merendam dalam air panas ᵒC s l m s t ng h m nit kemudian direndam dengan air dingin selama 24 jam (Gan & Sim, 1991). Media kecambah yang digunakan adalah kertas tissue yang lembut yang diletakkan dalam cawan petri. Pengamatan persen kecambah benih dihitung dengan membandingkan benih yang berkecambah dengan jumlah benih yang ditabur (Wang, 1991). Pengamatan perkecambahan benih dilakukan selama 14 hari sejak penaburan dilakukan. Selanjutnya untuk mengetahui apakah produksi benih berpengaruh terhadap kualitas benihnya (persen kecambah), dilakukan analisis sidik ragam dengan model linier sebagai berikut: Yij = µ + Xi + ɛij Keterangan: Yij =pengamatan persen kecambah, µ = rata-rata umum, X = kelas produksi benih ke-i, ɛij = galat.
Sebelum dilakukan analisis, data persen kecambah terlebih dahulu ditrasformasi ke dalam Arc Sine (Gomez & Gomez, 1984).
41
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 39 - 49
3. Identifikasi dan verifikasi benih hibrid Acacia Identifikasi benih hibrid Acacia dilakukan menggunakan penanda morfologis semai yang tumbuh dari benih yang telah diunduh. Sebanyak 2g benih yang telah diskarifikasi dari masing-masing pohon induk ditanam langsung (direct seeding) ke dalam wadah (pot-trays) yang telah berisi media gambut. Setelah berkecambah selanjutnya dilakukan seleksi untuk memilih semai dari kecambah yang tumbuh normal. Semai dipelihara selama kurang lebih 9 minggu dan
Gambar1.
Diagram identifikasi semai hibrid Acacia (A.mangium x A. auriculiformis) dengan A. mangium sebagai pohon induk betina menggunakan metode yang dikembangkan oleh Rufelds (1988) dan disederhanakan oleh Gan & Sim (1991)
Semai yang telah teridentifikasi secara morfologis sebagai semai hibrid Acacia kemudian dilakukan verifikasi lebih lanjut menggunakan penanda molekular SCAR (Sequenced Characterized Amplified Region) dan SSR (Simple Sequence Repeat). Isolasi DNA dilakukan dengan metode CTAB (Cationic Hexadecyl Trimethyl Ammonium Bromide) (Muray & Thompson, 1980) yang
42
dilakukan pemupukan setiap minggu sekali menggunakan pupuk NPK 15:15:15 dengan dosis 5 g per liter air. Identifikasi semai dilakukan melalui pengamatan perkembangan morfologis semai untuk menentukan semai hibrid Acacia menggunakan diagram perkembangan bentuk daun semai yang dikembangkan oleh Rufelds (1988) dan disederhanakan oleh Gan & Sim (1991) (Gambar 1). Pengamatan dilakukan sejak munculnya daun sejati (pinnatus) pertama (once-pinnate) sampai dengan munculnya daun semu (phyllode).
telah dimodifikasi oleh Shiraishi & Watanabe (1995). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Sinkronisasi pembungaan
Hasil pengamatan sinkronisasi pembungaan pada tahun pertama musim pembungaan menunjukkan bahwa sebagian besar pohon induk baik pada A. mangium
Evaluasi Produksi Benih Pada Kebun Benih Hibrid Acacia (Acacia mangium X Acacia auriculiformis) di Wonogiri, Jawa Tengah Sri Sunarti, Valerianus Devi Adyantara, Teguh Setyaji, dan Arif Nirsatmanto
maupun A. auriculiformis sudah berbunga dengan persentase berturut-turut sebesar 80% dan 65% (Tabel 1). Namun demikian, sinkronisasi pembungaan pada tahapan bunga mekar sempurna (anthesis) antara pohon induk A. mangium dan A. auriculiformis masih relatif kecil (36,8%) pada A. mangium dan 51,5% pada A. auriculifomis dan selebihnya bunga masih Tabel 1.
Hasil pengamatan sinkronisasi pembungaan dan produksi benih di kebun benih hibrid Acacia pada tahun pertama musim pembungaan (pohon induk umur 4 tahun)
A.mangium
12,9
Rata-rata diameter (cm) 11,2
A.auriculiformis
11,5
8,9
Jenis
Rata-rata tinggi (m)
170
Jumlah pohon berbunga 136
Jumlah pohon berbunga sinkron 50
Jumlah pohon berproduksi benih 38
150
97
50
0
Jumlah pohon
Walaupun persentase pohon induk A. mangium lebih banyak yang berbunga dibandingkan dengan A. auriculiformis, namun demikian bunga pada tahapan mekar sempurna persentasenya lebih kecil. Hal ini terjadi karena waktu yang diperlukan untuk mencapai tahapan bunga mekar sempurna dari kuncup kecil hijau memerlukan waktu lebih lama dibandingkan A. auriculiformis (Ibrahim, 1993). Selain itu bentuk tajuk pada A. auriculiformis yang lebih ringan menyebabkan cahaya matahari dapat menjangkau seluruh permukaan tajuk sehingga jumlah bunga mekar sempurna lebih banyak (Schmidt, 1993). Selanjutnya bunga pada tahapan mekar sempurna pada masing-masing pohon induk diamati perkembangannya hingga terbentuk polong. B.
dalam tahapan kuncup hijau. Dengan demikian belum seluruh pohon induk yang berbunga dapat saling menyerbuki, dan hanya bunga yang berada pada tahapan mekar sempurna saja yang mampu diserbuki dan menyerbuki dengan bantuan adanya aktivitas serangga penyerbuk (pollinator) (Sedgley et al., 1992).
Produksi benih dan viabilitas benih
Pada akhir pengamatan perkembangan buah pada seluruh pohon induk yang memiliki sinkronisasi pembungaan diketahui bahwa hanya sebanyak 38 pohon induk (76%) A. mangium yang berhasil memproduksi buah dan tidak satu pun pohon induk A. auriculiformis yang berhasil memproduksi buah (Tabel 1). Beberapa hal yang diduga menjadi penyebab gagalnya pembentukan buah pada A. auriculiformis tersebut antara lain
adalah perbedaan waktu reseptif antara kepala putik A. auriculiformis dengan serbuk sari, baik serbuk sari dari A. mangium maupun A. auriculiformis. Walaupun terjadi pembungaan namun tidak berhasil membentuk buah baik melalui persilangan hibrid interspesik (dengan A. mangium) maupun intraspesifik (antar pohon di dalam A. auriculiformis sendiri). Sebagaimana dilaporkan oleh Agrawal (1998) bahwa sinkronisasi pembungaan yang sempurna antar pohon induk merupakan faktor yang paling penting dalam menghasilkan benih hibrid. Apabila sinkronisasi pembungaan tidak sempurna maka produksi benih akan menurun atau tidak akan menghasilkan benih sama sekali. Kemungkinan lain adalah karena pembungaan tersebut merupakan tahun pertama musim berbunga sehingga diduga pembungaan didominasi oleh bunga jantan (staminate flower). Dalam kondisi ini stigma tidak muncul atau mengalami rudimentair sebagaimana yang terjadi pada Calliandra calothyrsus (Chamberlain, 2000). Hasil pengamatan terhadap kemampuan produksi benih yang diunduh dari pohon induk A. mangium menunjukkan bahwa produksi benih pada pembungaan pertama berkisar antara 50 sampai 800 g dengan rata-rata produksi benih per pohon sebesar 219,3 g. Produksi benih
43
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 39 - 49
tersebut tidak terlalu berbeda dengan produksi benih di kebun benih A. mangium generasi pertama umur 4 tahun di Wonogiri, yaitu ratarata per pohon sebesar 279 g (Yamada et al., 2001). Menurut Yamada et al. (2001) produksi benih pada beberapa spesies Acacia yang tumbuh di daerah tropis sangat dipengaruhi oleh musim yang dapat berubah-ubah setiap tahunnya. Selain itu faktor penting lainnya adalah umur tanaman dan serangan hama dan penyakit, karena hal tersebut akan mempengaruhi jumlah cabang atau ranting yang mampu menghasilkan bunga/buah. Walaupun produksi benih antar pohon induk A. mangium bervariasi (Tabel 2), namun demikian viabilitas benih melalui uji persen kecambah antar pohon induk tidak berbeda nyata (p=0,154). Hanya sebanyak 8 pohon mempunyai persen kecambah lebih dari 80% Tabel 2.
Produksi benih dan persen kecambah benih dari pohon induk A. mangium di kebun benih hibrid Acacia di Wonogiri, Jawa Tengah pada tahun pertama musim pembungaan (pohon induk umur 4 tahun).
Kelas 1 2 3 4 5
C.
Rata-rata produksi benih/pohon (gr) <100 101 – 200 201 – 300 301 – 400 > 401
Identifikasi dan verifikasi benih hibrid Acacia
Identifikasi dan verifikasi produksi benih hibrid Acacia dilakukan melalui identifikasi semai secara morfologis dan dilanjutkan dengan verifikasi semai menggunakan DNA molekuler. Identifikasi dilakukan pada 4.000 semai yang tumbuh dipersemaian menggunakan penanda morfologi berupa bentuk perkembangan daun (Leaf Development Pattern) mulai munculnya daun sejati pertama (once-pinnate) sampai dengan munculnya daun semu (phyllode) (Rufelds, 1988; Gan & Sim, 1991). Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh sebanyak 17 semai merupakan hibrid putatif Acacia (A. mangium x A. auriculiformis). Seluruh semai yang
44
sedangkan 30 pohon lainnya berkisar antara 11%-80%. Menurut Kamil (1991) benih yang bermutu salah satunya adalah mempunyai persen kecambah lebih dari 80%, sehingga berdasarkan hasil uji persen kecambah tersebut diketahui bahwa sebagian besar benih yang dihasilkan belum memiliki mutu yang cukup baik. Beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab rendahnya persen kecambah benih tersebut antara lain adalah adanya efek silang dalam (inbreeding) karena terjadinya kawin sendiri (selfing). Kemungkinan lainnya adalah terjadinya kawin silang dengan A. auriculiformis sehingga benih yang dihasilkan adalah benih hibrid. Pada hibridisasi interspesifik, biasanya benih yang dihasilkan mempunyai viabilitas rendah yang disebabkan karena ketidak cocokan antara putik dan serbuk sari (Sornsathaporntakul & Owens, 1998).
Jumlah pohon 8 13 9 5 3
Rata-rata Persen kecambah (%) 42,54 ±15,13 54,03 ± 9,98 52,60 ± 9,69 52,33 ±10,28 54,41 ±13,49
teridentifikasi sebagai hibrid Acacia secara morfologis tersebut kemudian diverifikasi menggunakan penanda molekuler SCAR (marker M-33 dan R-01) dan SSR (mikrosatelit) marker AR-27. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa seluruh semai (100%) terbukti merupakan semai hibrid Acacia (Gambar 2). Hasil ini hampir sama dengan hasil verifikasi yang dilakukan oleh Sunarti et al. (2013) menggunakan penanda molekular yang sama yaitu sebesar 92,7%. Hal ini menunjukkan bahwa penanda morfologis yang digunakan dalam penelitian ini cukup akurat sebagai alat identifikasi semai hibrid Acacia (A. mangium x A. auriculiformis) dan membuktikan bahwa kemampuan produksi benih hibrid Acacia pada tahun pertama pembungaan di kebun benih
Evaluasi Produksi Benih Pada Kebun Benih Hibrid Acacia (Acacia mangium X Acacia auriculiformis) di Wonogiri, Jawa Tengah Sri Sunarti, Valerianus Devi Adyantara, Teguh Setyaji, dan Arif Nirsatmanto
hibrid belum cukup optimal (<1%). Namun demikian perlu dicatat disini bahwa semai hibrid Acacia yang digunakan dalam identifikasi dan verifikasi ini masih menggunakan benih hibrid dari induk betina A. mangium. Sementara itu hibrid Acacia dengan induk betina A. auriculiformis belum berhasil didapatkan. Disamping itu walaupun probabilitas benih hibrid yang dihasilkan masih relatif rendah, benih ini memiliki potensi diuji di lapangan lebih lanjut untuk mendapatkan tanaman hibrid Acacia yang vigor, yaitu pertumbuhan tinggi dan diameternya besar, berbatang lurus dan bulat serta memiliki sifat kayu yang baik. Individu tanaman hibrid vigor merupakan materi dasar perbanyakan secara vegetatif yang akan diuji di lapangan melalui uji klon untuk mendapatkan klon yang unggul sesuai dengan yang diharapkan.
A.
Selain 17 semai yang telah diverifikasi sebagai semai hibrid Acacia (A. mangium x A. auriculiformis), ditemukan sebanyak 151 semai dengan ciri-ciri morfologi menyerupai hibrid Acacia, yaitu semai tidak mempunyai daun sejati 4-pinnate tetapi juga mempunyai ciri morfologi lain berupa daun sejati phyllode+4 pinnate (Gambar 3C). Ciri-ciri morfologi berupa phyllode+4 pinnate tersebut tidak dijumpai dalam petunjuk identifikasi semai hibrid yang telah dikembangkan oleh Rufelds (1988). Untuk memastikan apakah semai tersebut tergolong murni A. mangium atau hibrid Acacia, sebanyak 22 semai secara acak diambil sampel daunnya untuk diverifikasi menggunakan penanda molekuler SCAR dan SSR.
mangium
A.auriculiformis
Hibrid Acacia
A
A. mangium
A.auriculiformis
Hibrid Acacia
B
Gambar 2.
Bentuk pita (banding pattern) hasil verifikasi sebagian semai hibrid Acacia (A. mangium x A. auriculiformis) menggunakan penanda molekuler SCAR dengan marker R-01 (A) dan penanda SSR dengan marker AC-27 (B).
Hasil verifikasi menunjukkan bahwa dari 22 semai yang diuji, 3 semai adalah A. mangium (13,6%), 9 semai adalah hibrid Acacia (40,9%) dan 10 semai sisanya (45,5%) tidak menunjukkan adanya konsistensi hasil, baik pada penanda molekuler SCAR maupun SSR (Gambar 4). Berdasarkan penanda molekuler SCAR, 10 semai yang tidak stabil
tersebut terdiri atas 3 semai hibrid Acacia, 6 semai A. mangium, dan 1 semai tidak konsisten antara A. mangium dan A. auriculiformis. Sementara itu berdasarkan penanda SSR, 10 semai yang tidak stabil tersebut terdiri atas 3 semai A. auriculiformis dan 7 semai adalah hibrid Acacia. Hal ini menunjukkan bahwa penanda phyllode+4_pinnate merupakan
45
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 39 - 49
penanda morfologi yang tidak stabil dan tingkat ketepatan untuk mengidentifikasi semai hibrid Acacia (A. mangium x A.auriculiformis) adalah hanya sebesar 40,9%. Namun demikian penanda phyllode+4_pinnate ini merupakan penanda baru yang belum pernah digunakan dalam mengidentifikasi semai hibrid Acacia sebelumnya. Dengan adanya penanda
A
B
Gambar 3.
D.
C
Daun sejati 4_pinnate pada semai A. mangium murni (A), daun sejati bi_pinnate (B) dan daun phyllode+4_pinnate pada semai hibrid Acacia (A. mangium x A. auriculiformis) (C).
Hibrid Acacia
Gambar 4.
A.mangium
Bentuk pita (banding pattern) hasil verifikasi semai hibrid Acacia (A. mangium x A. auriculiformis) menggunakan penanda molekuler SCAR dengan marker M-33 dan R-01.
Implikasi pada Pengelolaan Kebun Benih Hibrid
Dari hasil evaluasi produksi benih di kebun benih hibrid Acacia pada tahun pertama musim pembungaan tersebut diketahui bahwa baik pohon induk A. mangium maupun A. auriculiformis mempunyai kemampuan berbunga cukup baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor fisiologi dan kondisi lingkungan
46
morfologis baru ini, maka peluang untuk mendapatkan individu hibrid Acacia pada tahun pertama pembungaan di kebun benih hibrid bisa bertambah. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan identifikasi ulang kembali semai yang tidak teridentifikasi sebagai hibrid menurut penanda yang telah dikembangkan Gan & Sim (1991).
tempat tumbuh sesuai bagi pohon induk untuk melakukan fungsi biologi reproduksinya. Faktor fisiologi dan lingkungan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kemampuan tanaman untuk bereproduksi (fecundity) (Schmidt, 1993). Walaupun pohon induk A. auriculiformis belum menghasilkan benih pada musim pertama pembungaan, namun demikian berdasarkan kelimpahan bunganya sangat berpotensi untuk menghasilkan benih
Evaluasi Produksi Benih Pada Kebun Benih Hibrid Acacia (Acacia mangium X Acacia auriculiformis) di Wonogiri, Jawa Tengah Sri Sunarti, Valerianus Devi Adyantara, Teguh Setyaji, dan Arif Nirsatmanto
pada musim berbunga berikutnya. Pohon induk dalam kebun benih hibrid di sini berasal dari benih yang dikoleksi dari kebun benih generasi pertama di Wonogiri, Jawa Tengah, sehingga tapak penanaman yang sama antara kebun benih hibrid dan asal pohon induk memungkinkan daya adaptabilitas terhadap tapak dan lingkungan yang cukup baik, khususnya kemampuan reproduksinya. Hal ini memberikan implikasi bahwa dalam pembangunan kebun benih hibrid Acacia, pemilihan pohon induk yang akan digunakan akan menjadi faktor yang sangat penting. Kedekatan geografis antara asal pohon induk dengan tapak kebun benih hibrid akan dibangun akan menjaga kemampuan fungsi reproduksi tanaman (pembungaan dan pembuahan) di dalam kebun benih hibrid Acacia. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa kualitas benih (persen kecambah) yang dihasilkan dari kebun benih hibrid Acacia tersebut tidak dipengaruhi oleh variasi jumlah produksi benih per pohon. Dengan demikian semua benih yang dihasilkan dari setiap pohon induk mempunyai kualitas fisiologi yang sama walaupun kemampuan produksi benih secara kuantitas tidak sama. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan tajuk pohon induk berkembang dengan baik sehingga mendukung proses persilangan di dalam kebun benih hibrid Acacia terjadi secara lebih merata. Masing-masing pohon induk mempunyai peluang yang sama untuk menghasilkan semai dari benih yang dihasilkan baik dengan induk betina A. mangium maupun induk betina A. auriculiformis. Hal ini memberikan implikasi bahwa proses pengunduhan benih perlu dilaksanakan secara hati-hati sehingga perkembangan tajuk dan cabang pohon induk masing-masing jenis tetap terjaga dengan baik. Walaupun semai hibrid yang dihasilkan masih rendah (<1%), potensi untuk mendapatkan individu hibrid yang lebih banyak pada tahun berikutnya cukup tinggi. Hal tersebut didukung oleh adanya sinkronisasi pembungaan yang baik antara pohon induk
A. mangium dan A. auriculiformis. Selain itu pola rancangan menggunakan baris berseling (alternating rows) yang diikuti dengan tindakan penjarangan seleksi dalam kebun benih memberikan pengaruh yang cukup efektif untuk mendukung terjadinya persilangan antar pohon induk. Rancangan ini memungkinkan setiap pohon induk untuk mendapatkan cahaya matahari yang sama serta memberikan ruang gerak yang cukup luas bagi serangga penyerbuk untuk terbang dari pohon induk yang satu ke pohon induk lainnya (Schmidt, 1993). IV. KESIMPULAN Dari hasil penelitian diketahui bahwa pada tahun pertama musim pembungaan (pohon induk umur 4 tahun) telah terjadi sinkronisasi pembungaan antara jenis A. mangium dan A.auriculiformis di kebun benih hibrid. Namun demikian kemampuan produksi benih masih didominasi oleh induk betina A. mangium. Secara umum viabilitas benih yang dihasilkan tergolong sedang dengan rata-rata persen kecambah berkisar 50% dan probabilitas munculnya benih hibrid Acacia kurang dari 1%. Letak geografis asal materi genetik pohon induk yang berdekatan dengan lokasi kebun benih hibrid, pola rancangan baris berseling (alternating rows) dan diikuti dengan penjarangan seleksi terbukti mampu mendukung keberhasilan proses reproduksi tanaman dari kebun benih hibrid Acacia. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih disampaikan kepada Tim Pemuliaan Jenis Kayu Pulp (Acacia, Eucalyptus, Jabon) Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Prof. Shiraishi (Kyushu University) yang telah menginisiasi pembangunan kebun benih hibrid Acacia di Wonogiri, Jawa Tengah. Terima kasih juga disampaikan kepada PT. Arara Abadi atas kerjasamanya dalam pengembangan klon hibrid Acacia di Indonesia.
47
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 39 - 49
DAFTAR PUSTAKA Agrawal, R.L. (1998). Fundamental of plant breeding and hybrid seed production. USA: Science Publisher. Inc. Chamberlain, J.R. (2000). Meningkatkan produksi benih Caliandra calothyrsus. USA: Oxford Forestry Institute.
Fundamental Properties of Wood of Acacia Hybrid by Artificial Hybridization. Journal of Wood Science, 1(5). Murai, H.B. & Thompson, W.F. (1980). Rapid isolation of high molecular weight DNA. Nucleic Acids Res, 8(19), 4321-4325.
Chaudary, R.C. (1984). Introduction to plant breeding. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co.
Pinso, C., & Nasi, R. (1991).The potential Use of Acacia mangium x A. auriculiformis Hybrid in Sabah. In L.T. Carron & K.M. Aken (Eds.), Breeding Technologies for Tropical Acacias (pp 17-21).
Gan, E., & Sim, B.L. (1991). Nursery identification of hybrid seedlings in open plots. In L.T. Carron & K.M. Aken (Eds.), Breeding Technologies for Tropical Acacias (pp 7685). Canberra.
Rokeya, U.K., Hossain, M.A., Ali, M.R. & Paul, S.P. (2010). Physical and mechanical properties of Hybrid Acacia (Acacia auriculiformis x A. mangium). Journal of Bangladesh Academy of Sciences, 32(2), 181-187.
Ghazali, H.M., Kadir, W.R.W.A., Rozazlin, A. & Rasip, A.G.A. (2007). Growth of Acacia hybrid (Acacia mangium x Acacia auriculiformis) on coastal sandy soil. Journal of Tropical Forest Science, 19(4), 243-244.
Rufelds, C.W. (1988). Acacia mangium and Acacia auriculiformis and hybrid A. mangium x A. auriculiformis. Seedling morphology study. Forest Research Center Publication, 41.
Gomez, K.A., & Gomez, A.A. (1984). Statistical procedures for agricultural research. Canada: John Wiley & Sons, Inc. Ibrahim, Z., & Awang, K. (1991). Flowering and Fruiting Phenology of Acacia mangium and Acacia auriculiformis in Peninsular Malaysia. In L.T. Carron & K.M. Aken (Eds), Breeding Technologies for Tropical Acacias (pp 45). Canberra. Ibrahim, Z. (1993). Reproductive Biology. In K. Awang & D. Taylor (Eds), Acacia mangium growing and utilization (pp. 21-30). Bangkok: Winrock International and the Food and Agriculture Organization of the United Nations. Kamil, I. (1991). Teknologi Benih. Jakarta: Angkasa Raya. Kato, K., Yamaguchi, S., Chigira, Ogawa, Y., & Isoda, K. (2012). Tube pollination using stored pollen for creating Acacia auriculiformis hybrid. Journal of Tropical Forest Science, 24(2), 209-216. Kha, L.D. (2001). Studies on the use of natural hybrids between Acacia mangium and Acacia auriculiformis in Vietnam. Hanoi: Agriculture Publising House. Kha, L.D., Harwood, C.E., & Kien, N.D. (2012). Growth and wood basic density of Acacia hybrid clones at three location in Vietnam. New Forest, 43, 13-29. doi: 10.1007/s 1056011-926-y Kim, N.T., Matsumura, J., Oda, K., & Cuong, N.V. (2009). Possibility of Improvement in
48
Rusli, R., Samsi, H.W., Kadir,R., Ujang, S., Jalaludin, & Misran, S. (2013). Properties of small diameter Acacia hybrid logs for biocomposites production. Borneo Science, 33, 9-15. Schmidt, L. (1993). Seed Orchard: Guidelines on establishment and management practices. Field Manual, 4. Philippines: FAO Regional Project on Tree Breeding and Propagation. Sedgley, M., Harbard, J., Smith, R.M., Wickneswari, R., & Griffin, A. R. (1992). Reproductive biology and interspesific hybridization of Acacia mangium Willd. and A. auriculiformis A. Cunn. Ex. Benth (Leguminosae: Mimosoideae). Australian Journal Botany, 40, 37-48. Shiraishi, S., & Watanabe, A. (1995). Identification of chloroplast genome between Pinus densiflora Sieeb. et Zucc. And P. thunbergii Parl. Base on the polymorphism. Journal of the Japanese Forest Society, 77(95), 429436. Shornsathapornkul, P., & Owens, J.N. (1998). Pollination Biology in Tropical Acacia Hybrid (Acacia mangium Willd. x Acacia auriculiformis A. Cunn. Ex. Benth). Annal of Botany, 81, 631-645. Sun rti, S., N ’i m, M., Hardiyanto, E.B., & Indrioko, S. (2013). Breeding strategy of Acacia hybrid (A. mangium x A. auriculiformis) to increase forest plantation productivity in Indonesia. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 19(2),128-137.
Evaluasi Produksi Benih Pada Kebun Benih Hibrid Acacia (Acacia mangium X Acacia auriculiformis) di Wonogiri, Jawa Tengah Sri Sunarti, Valerianus Devi Adyantara, Teguh Setyaji, dan Arif Nirsatmanto
Wahno, I., Lopez, G., Sunarti, S., Valerianus, D.A., Budyansah, & Satya, H. (2014). Teknologi benih akasia hibrida: Upaya peningkatan produktivitas hutan tanaman industri pulp dan kertas di Indonesia. Prosiding seminar nasional: Benih unggul untuk hutan tanaman, restorasi ekosistem, dan antisipasi perubahan iklim. Yogyakarta. Wang, B.S.P. (1991). Evaluating, interpreting and reporting seedling test result. In Standar germination test. Training course proceeding, 2. Thailand: ASEAN-Canada Forest Tree Seed Centre. Yahya, R., Sugiyama, J., & Gril, J. (2010). Some Anatomical Features of Acacia Hybrid, A. mangium and A. auriculiformis Grown in Indonesia with Regard to Pulp Yield and Strength Paper. Journal of Tropical Forest Science, 33(3), 343-351. Yamada, H., Tambunan, P., Wibowo, F.M., Hendrati. R.L., & Osamu, C. (2001). Study on the prediction of seed production in seedling seed orchard s of Acacia mangium and Eucalyptus pellita. FTIP-P2, 28. Indonesia: JICA & FORDA.
49
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 39 - 49
50
KARAKTER MORFOLOGI ISOLAT Phlebiopsis sp.1 JAMUR PENGENDALI HAYATI YANG POTENSIAL UNTUK Ganoderma philippii Morphological character of Phlebiopsis sp.1 isolates, a potential biological control for Ganoderma philippii Desy Puspitasari1, Arif Wibowo1, Sri Rahayu2, Istiana Prihatini3, Anto Rimbawanto3 1
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Fitopatologi Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada Jalan Flora, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281, Indonesia e-mail:
[email protected] 2
Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Jalan Agro No.1, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281, Indonesia 3 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar, Km.15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta
Tanggal diterima: 15 Februari 2016, Tanggal direvisi: 29 Februari 2016, Disetujui terbit: 19 Juli 2016
ABSTRACT Identification of wood decay fungi based on morphological character of isolates is very helpful where identification of fruit body morphology is ambiguous. Nine isolates of Phlebiopsis sp.1 obtained from the isolation root of Eucalyptus pellita in permanent plots with root rot disease have the potential as biological control for G. philippii. The verification based on ITS sequences of rDNA showed that these isolates were closely related to P. gigantea and P. flavidoalba. The characterisation of morphological was performed on isolates grown on Malt Extract Agar media with sawdust. Based on the macroscopic observation, the isolates were categorized into three different morphotypes: (1). Cottony mycelium from the beginning to the advanced stage, one isolate (Pb5); (2). Cottony at the beginning and then turned into farinaceous to floccose on the advanced stage, 7 isolates (Pb1, Pb2, Pb4, PB6, PB8, Pb9, Pb10); (3). Absent at the beginning and then turned into zonate on the advanced stage, one isolate (Pb11). Morphotype 2 is the dominant group of Phlebiopsis sp.1 isolates, with fine tufts of white mycelium which turned brown on the surface of the colonies. Morphotype 3 has very different morphological characters than other 8 isolates, it has very characteristic concentric circle with different color and texture of each circle. The growth rate of mycelium ranged between 10.70 - 10.85 cm²/day for morphotype 1 and 2; 1.95 cm²/day for morphotype 3. Keywords: Phlebiopsis sp.1, Biocontrol, morphology, isolate, Ganoderma philippii
ABSTRAK Pada jamur penghuni kayu, identifikasi berdasarkan karakter morfologi isolat sangat membantu apabila terdapat keraguan dalam identifikasi morfologi tubuh buah. Sembilan isolat Phlebiopsis sp.1 yang diperoleh dari isolasi akar Eucalyptus pellita pada plot permanen penyakit busuk akar mempunyai potensi sebagai pengendali hayati untuk G. philippii. Verifikasi berdasarkan sekuen ITS dari rDNA menunjukkan kedekatan isolat tersebut dengan P. gigantea dan P. flavidoalba. Karakterisasi morfologi dilakukan pada isolat yang ditumbuhkan pada media Malt Extract Agar dengan penambahan serbuk kayu. Berdasarkan pengamatan secara makroskopis isolat-isolat tersebut dapat dikategorikan ke dalam tiga tipe morfologi yang berbeda: (1). Cottony dari awal sampai pertumbuhan lanjut, satu isolat (Pb5); (2). Cottony pada awal kemudian berubah menjadi farinaceous to floccose pada pertumbuhan lanjut, 7 isolat (Pb1, Pb2, Pb4, Pb6, Pb8, Pb9, Pb10); (3). Absent pada awal kemudian berubah menjadi zonate pada pertumbuhan lanjut, satu isolat ( Pb11). Tipe morfologi 2 merupakan karakter morfologi yang dominan dari isolat Phlebiopsis sp.1, dengan gumpalan miselium kecil halus berwarna putih yang berubah kecoklatan pada permukaan koloni. Tipe morfologi 3 mempunyai ciri karakter morfologi yang jauh berbeda dengan 8 isolat lainnya, dengan ciri khas adanya lingkaran konsentrisitas dengan perbedaan warna dan tekstur pada setiap lingkaranya. Laju pertumbuhan miselium berkisar antara 10,70 – 10,85 cm²/hari untuk tipe morfologi 1 dan 2; 1,95 cm²/hari untuk tipe morfologi 3. Kata kunci: Phlebiopsis sp.1, biokontrol, morfologi, isolat, Ganoderma philippii
51
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 51 - 61
I.
PENDAHULUAN
Phlebiopsis gigantea (Fr.) Jülich (Jülich, 1979) merupakan jamur saprofitik dekomposer yang berperan sebagai agens pengendali hayati dan sudah terbukti efektif dalam mengendalikan penyakit butt rot pada tanaman Pinus yang disebabkan oleh soil-borne pathogen Heterobasidion annosum (European Food Safety Authority (EFSA), 2013). Potensi P. gigantea sebagai agens pengendali hayati ditemukan pada tahun 1959 oleh Rishbeth (Rishbeth, 1952 dalam Sidorov, 2005). Banyak penelitian yang dikembangkan untuk mencari strain P. gigantea yang efektif dalam mengendalikan patogen H. annosum sejak diketahui potensinya sebagai agens pengendali hayati. Sejak tahun 1991, P. gigantea mulai dikomersialkan sebagai pengendali hayati yaitu dengan membuat formula bubuk kering dari strain heterokaryon yang diisolasi dari tunggak Picea abies di Finlandia (Korhonen et al., 1994 dalam Sidorov, 2005). Strain yang dikembangkan tersebut kemudian dikenal dengan nama Rotstop®. Di Eropa, APH ini sudah tersedia secara komersial dalam bentuk PG suspension; PG, IBL dan Rotstop® (Pratt et al., 1999). Sampai sejauh ini, P. gigantea masih digunakan sebagai APH dalam mengendalikan patogen H. annosum, namun penggunaannya untuk mengendalikan patogen busuk akar lain pada inang yang berbeda masih jarang. Aplikasi spesies Phlebiopsis sebagai pengendali hayati patogen busuk akar pada tanaman yang lain perlu dikaji untuk melihat efektivitasnya sebagai pengendali hayati karena setiap mikroorganisme mempunyai interaksi yang berbeda-beda sehingga tidak dapat digeneralisasikan (Irianto et al., 2006). Spesies Phlebiopsis sp.1 yang ditemukan pada plot monitoring permanen penyakit busuk akar tanaman Eucalyptus pellita diketahui mempunyai kekerabatan yang erat dengan P. gigantea dan P. flavidoalba secara molekuler melalui analisis sekuen DNA (Glen et al.,
52
2014). Berdasarkan hasil identifikasi secara molekuler dan sejarah keberhasilan P. gigantea sebagai APH untuk mengendalikan H. annosum, maka mulai dilakukan penelitian menggunakan APH ini untuk mengendalikan patogen G. philippii penyebab penyakit busuk akar pada Acacia mangium. Penelitian awal yang telah dilakukan oleh Agustini et al. (2014b), menunjukkan adanya potensi dari isolat Phlebiopsis sp.1 sebagai pengendali hayati dilihat dari kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan miselium patogen G. philippii pada media buatan Potato Dextrose Agar (PDA) melalui pelilitan hifa G. philippii oleh hifa Phlebiopsis sp.1 Identifikasi berdasarkan sifat kultur/isolat sangat membantu dalam identifikasi jamur kelas Basidiomycetes terutama untuk jamur pembusuk kayu (wood decay fungi), apabila ditemukan keraguan pada sifat morfologi basidiokarp/tubuh buah (Sudirman, 1997 dalam Ratnaningtyas, 2008). Pemahaman morfologi isolat jamur juga berguna ketika tidak ditemukan bentuk tubuh buahnya di lapangan, selain itu juga bermanfaat dalam proses skrining koleksi isolat sebelum diverifikasi secara molekuler (Puspitasari et al., 2012). Ada beberapa parameter yang harus diperhatikan dalam deskripsi dan karakterisasi morfologi isolat jamur Basidiomycetes seperti laju pertumbuhan pada media standar, warna koloni isolat, kenampakan, aroma/bau, dan reaksi perubahan warna pada reagen/enzim tertentu (Hood, 2006). Tulisan ini merupakan tulisan pertama yang menjelaskan mengenai karakteristik morfologi isolat potensial jamur Phlebiopsis sp.1 sebagai agens pengendali hayati patogen Ganoderma philippii penyebab busuk akar pada tanaman Acacia mangium khususnya di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan bentuk karakter morfologi isolat Phlebiopsis sp.1.
Karakter Morfologi Isolat Phlebiopsis Sp.1 Jamur Pengendali Hayati Yang Potensial Untuk Ganoderma philippii Desy Puspitasari, Arif Wibowo, Sri Rahayu, Istiana Prihatini, dan Anto Rimbawanto
II. A.
BAHAN DAN METODE
Persiapan Isolat
Sembilan isolat Phlebiopsis sp.1 dari koleksi isolat yang disimpan pada agar miring disubkultur terlebih dahulu pada petridish diameter 9 cm yang berisi media MEA+sawdust yang sudah diautoklaf selama 20 menit pada suhu 121°C tekanan 1 atm. Media MEA+sawdust mengandung 20 g Malt Extract OXO D™ + 8 g Agar teknis + 25 g sawdust (serbuk gergaji kayu mangium) yang dilarutkan dalam 1000 mL aquadest. Kesembilan isolat tersebut diperoleh dari hasil isolasi sampel akar pada plot permanen penyakit busuk akar tanaman Eucalyptus pellita yang dikoleksi oleh L. Agustini et al. pada tahun 2008, dan sudah diverifikasi secara molekuler melalui sekuensing DNA sebagai isolat Phlebiopsis sp.1 (closely related with P. gigantea dan P. flavidoalba) (Glen et al., 2014; Agustini et al., 2014a). B.
Karakterisasi Morfologi Isolat
Sembilan isolat murni Phlebiopsis sp.1 masing-masing dibuat 5 ulangan pada media MEA+sawdust, kemudian diinkubasi pada suhu 25°C dan diverifikasi ulang secara molekuler dengan penanda DNA spesifik primer. Pengamatan yang dilakukan meliputi karkaterisasi secara visual dan mikroskopik. Karakterisasi isolat secara visual dilakukan dengan mengacu pada metode Rakib et al. (2014) yang meliputi bentuk, tekstur permukaan, kepadatan, warna/pigmentasi (permukaan atas dan bawah), konsentrisitas koloni isolat, dan ciri khas dari miselium isolat tersebut. Pertumbuhan miselium dihitung berdasarkan luasan koloni isolat setiap harinya selama 6 hari, dan dicatat pada hari keberapa miselium tumbuh memenuhi petridish. Laju pertumbuhan per hari dihitung berdasarkan ratarata laju pertumbuhan selama 6 hari pengamatan. Pengamatan mikroskopik dilakukan dengan cara membuat preparat untuk
mengamati bentuk hifa, ada tidaknya hubungan jepit (clamp connection) dan ada tidaknya oidia (spora aseksual). Pembuatan preparat dilakukan dengan cara mengambil bagian miselium pada isolat kemudian ditetesi dengan Lactophenol cotton blue 100% untuk pewarnaannya. Hasil karakterisasi secara morfologi diamati berdasarkan acuan deskripsi yang sudah dipaparkan oleh Stalpers (1978) sebelumnya mengenai isolat murni bangsa Aphyllophorales, jamur penghuni kayu. III. A.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sinkronisasi pembungaan
Koloni dari 9 isolat murni Phlebiopsis sp.1 (isolat Pb), secara umum mempunyai bentuk raised, yaitu miselium tumbuh muncul di atas permukaan sebagai aerial mycelium dengan aroma/bau jamur yang khas, kecuali untuk isolat Pb11 yang mempunyai bentuk isolat cenderung adpressed, yaitu miselium tumbuh mendatar pada media (Tabel 1). Penggunaan media MEA+sawdust dalam karakterisasi morfologi Phlebiopsis sp.1 tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan penggunaan media standar PDA seperti yang disebutkan oleh Hood (2006). Penambahan sawdust sebagai satusatunya sumber karbon pada media menunjukkan pertumbuhan koloni yang lebih bagus dibandingkan dengan menggunakan media standar PDA (Gambar 1). Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Mgbeahuruike et al. (2011), pada media dengan penambahan sawdust mempunyai laju pertumbuhan yang tertinggi. Beberapa parameter dalam prosedur karkaterisasi morfologi Phlebiopsis sp.1 antara media MEA+sawdust dengan media standar PDA tidak berbeda sangat nyata, bentuk morfologi, warna koloni isolat, dan aroma/bau masih sama hanya saja pada medai MEA+sawdust tampak lebih tebal koloni miseliumnya karena adanya penambahan sawdust sebagai sumber karbon.
53
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 51 - 61
Gambar 1.
Tabel 1.
Morfologi isolat Pb9 tidak jauh berbeda pada media standar PDA (a) dan media MEA+sawdust (b), mempunyai tekstur floccose yang sama. Karakteristik isolat Phlebiopsis sp.1 secara in vitro yang diamati pada media Malt Extract Agar dengan tambahan serbuk gergaji kayu (MEA+sawdust) selama 7 hari.
Kode Isolat
Kode Isolat
*Kepadatan Miselium
Pb1
LC-RK-11A-4
Padat
Pb2
LC-RK-11A-6
Padat
Pb4
LC-RK-11A-32
Padat
Pb5
LC-RK-11A-37
Padat di tepi
Pb6
LC-RK-11B-3
Padat
Pb8
LC-RK-11B-16
Padat
Pb9
LC-RK-11C-18
Padat di tepi
Pb10
LC-RK-11C-34
Padat
Pb11
LC-RK-11C-35
Tipis
*Tekstur Miselium CottonyFarinaceous/Floccose CottonyFarinaceous/Floccose CottonyFarinaceous/Floccose Cottony CottonyFarinaceous/Floccose CottonyFarinaceous/Floccose CottonyFarinaceous/Floccose CottonyFarinaceous/Floccose Absent-Zonate
*Tekstur Permukaan Isolat
*Lingkaran Konsentrisitas Isolat
Warna (Pigmentasi) Permukaan Atas
Warna (Pigmentasi) Permukaan Bawah
Raised
Tidak ada
Putih
Putih
Raised
Tidak ada
Putih coklat
Putih
Raised
Tidak ada
Putih coklat
Putih
Raised
Tidak ada
Putih
Putih
Raised
Tidak ada
Putih coklat
Putih
Raised
Tidak ada
Putih coklat
Putih
Raised
Tidak ada
Putih coklat
Putih
Raised
Tidak ada
Putih coklat
Putih
Adpressed
Ada
Putih abuabu
Putih coklat kebu-abuan
*Pengamatan dilakukan pada saat isolat berumur 2 minggu, mengacu pada metode Rakib et al. (2014) dan Stalpers (1978). Tabel 2.
Laju pertumbuhan miselium Phlebiopsis sp.1 secara in vitro yang diamati pada media Malt Extract Agar dengan tambahan serbuk gergaji kayu (MEA+sawdust) selama 7 hari.
Kode Isolat
Kode Isolat
Rata-rata laju pertumbuhan luas koloni Per hari (cm²)
Hari ke- miselium tumbuh memenuhi petridish
Pb1 Pb2 Pb4 Pb5 Pb6 Pb8 Pb9 Pb10 Pb11
LC-RK-11A-4 LC-RK-11A-6 LC-RK-11A-32 LC-RK-11A-37 LC-RK-11B-3 LC-RK-11B-16 LC-RK-11C-18 LC-RK-11C-34 LC-RK-11C-35
12,85 12,55 12,39 12,04 12,16 12,20 12,44 12,48 2,29
Ke-6 Ke-6 Ke-6 Ke-6 Ke-6 Ke-5 Ke-6 Ke-6 ˃ -14
54
Karakter Morfologi Isolat Phlebiopsis Sp.1 Jamur Pengendali Hayati Yang Potensial Untuk Ganoderma philippii Desy Puspitasari, Arif Wibowo, Sri Rahayu, Istiana Prihatini, dan Anto Rimbawanto
Gambar 2.
Rata-rata pertumbuhan luas koloni miselium 9 isolat Phlebiopsis sp.1 pada media MEA+sawdust selama 6 hari.
Laju pertumbuhan miselium Phlebiopsis sp.1 mempunyai kecenderungan yang sama untuk 8 isolat dengan karakter morfologi isolat yang hampir sama, kecuali untuk 1 isolat (Pb11) yang secara karakter morfologi berbeda jauh dengan 8 isolat lainnya. Laju pertumbuhan miselium yang diinkubasi pada suhu 25°C berkisar antara 12,04 – 12,85 cm²/hari untuk 8 isolat, dan 2,29 cm²/hari untuk isolat Pb11 (Tabel 2). Menurut Mgbeahuruike et al. (2011), suhu inkubasi dapat mempengaruhi laju pertumbuhan miselium isolat Phlebiopsis, isolat P. gigantea yang diamati menunjukkan laju pertumbuhan yang rendah pada suhu 10°C dan suhu 30°C, laju pertumbuhan yang tinggi ditunjukan pada suhu 20°C. Tidak ada perbedaan yang nyata untuk pertumbuhan miselium dari 8 isolat Phlebiopsis sp.1, tetapi tampak berbeda nyata dengan 1 isolat yang secara morfologi juga berbeda karakternya (isolat Pb11) (Gambar 2). Rata-rata miselium tumbuh penuh menutupi petridish pada hari ke6 (kecuali isolat Pb8 yang tumbuh penuh pada hari ke-5) untuk 8 isolat, sedangkan isolat Pb11 tumbuh penuh menutupi petridish setelah hari ke-14. Ada 3 kelompok tipe morfologi dari 9 isolat Phlebiopsis sp.1 berdasarkan karakterisasi yang telah dipaparkan oleh Stalpers (1978), yaitu (1). Cottony dari awal sampai
pertumbuhan lanjut, (2). Cottony pada awal pertumbuhan kemudian berubah menjadi farinaceous to floccose pada pertumbuhan lanjut, (3). Absent pada awal perutmbuhan kemudian berubah menjadi zonate pada pertumbuhan lanjut (Gambar 3). Dari ketiga kelompok tipe morfologi tersebut, tipe morfologi 2 merupakan tipe yang dominan dari karakter isolat Phlebiopsis sp.1 yaitu dengan karakter morfologi yang khas berupa gumpalangumpalan halus pada permukaan isolat. Pada pertumbuhan awal umur 1-3 hari, serat miselium halus berwarna putih tumbuh lurus radial ke segala arah (cottony), kemudian pada pertumbuhan lanjut (>1 minggu) tampak butiran-butiran halus di permukaan isolat yang berubah menjadi gumpalan-gumpalan kecil halus berwarna putih yang akan berubah menjadi kecoklatan (farinaceous to floccose) (Gambar 4). Tipe morfologi 1 masih mempunyai bentuk karakter morfologi yang sama dengan tipe morfologi 2, hanya terdapat perbedaan pada tidak adanya gumpalangumpalan halus pada permukaan isolat. Karakter khas morfologi isolat Phlebiopsis sp.1 tipe 2 dimiliki oleh 8 isolat, kecuali untuk isolat Pb11 yang mempunyai karakter morfologi yang jauh berbeda dengan isolat yang lainnya (Gambar 6). Berdasarkan identifikasi ulang secara molekuler dengan
55
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 51 - 61
penanda spesifik primer, isolat Phlebiopsis Pb11 menunjukkan hasil yang positif terhadap spesifik primer, hasil yang sama untuk 8 isolat Phlebiopsis sp.1 dengan morfologi yang berbeda (unpublished data) (Morag Glen, komunikasi pribadi). Awal pertumbuhan isolat Pb11 bersifat absent, hifa/miselium tampak
tumbuh masuk ke dalam agar media, kemudian akan berubah menjadi bersifat zonate pada pertumbuhan lanjut, yaitu karakter morfologi yang khas berupa adanya lingkaran konsentrisitas dan perbedaan pigmentasi/warna dan tekstur pada lingkaran konsentrisitasnya (Gambar 5).
Gambar 3.
Tiga kelompok tipe morfologi isolat Phlebiopsis sp.1 pada umur 1 minggu (atas) dan pada umur 2 minggu (bawah). (a) Tipe 1: Cottony dari awal pertumbuhan hingga pertumbuhan lanjut, (b) Tipe 2: Cottony pada awal pertumbuhan dan berubah menjadi farinaceous to floccose pada pertumbuhan lanjut, (c) Tipe 3: Absent pada awal pertumbuhan dan berubah menjadi zonate pada pertumbuhan lanjut.
Gambar 4.
Karakter morfologi isolat Phlebiopsis sp.1. (a) Pertumbuhan awal umur 1-3 hari miselium bersifat cottony, miselium putih halus tumbuh lurus radial ke segala arah, (b) Karakter khas bersifat farinaceous to floccose pada pertumbuhan lanjut umur > 1 minggu, terbentuk gumpalan-gumpalan kecil halus berwarna putih yang berubah menjadi kecoklatan.
56
Karakter Morfologi Isolat Phlebiopsis Sp.1 Jamur Pengendali Hayati Yang Potensial Untuk Ganoderma philippii Desy Puspitasari, Arif Wibowo, Sri Rahayu, Istiana Prihatini, dan Anto Rimbawanto
Gambar 5.
Morfologi isolat Pb11 dengan karakter yang berbeda di antara isolat Phlebiopsis sp.1 lainnya, yaitu absent pada awal yang berubah menjadi zonate pada pertumbuhan lanjut, cirinya pada lingkaran konsentrisitas. (a) Isolat Pb11 umur 1 minggu (kiri) dan umur 2 minggu (kanan) pada media MEA+sawdust, terdapat perbedaan tekstur pada lingakaran konsentrisitas (anak panah), (b) Pertumbuhan awal umur 3 hari miselium tumbuh mendatar masuk ke dalam agar pada media PDA (tampak dari belakang) (kiri) dan media MEA+sawdust (tampak dari depan) (kanan), (c) Perbedaan degradasi warna dari coklat-abu (anak panah) pada media PDA (tampak dari belakang).
Ada beberapa tulisan terdahulu yang menyebut Phlebiopsis gigantea dengan Phlebia gigantea. Menurut Glen et al. (2014) genus Phlebiopsis dan genus Phlebia berbeda berdasarkan analisis dendrogram meskipun masih terdapat hubungan antara keduanya. Verifikasi secara molekuler dengan penanda DNA spesifik primer memastikan bahwa antara isolat Phlebiopsis sp.1 dengan isolat Phlebia spp. berbeda (unpublished data). Memang secara morfologi antara isolat Phlebiopsis sp.1 dan isolat Phlebia spp. tampak hampir sama, tapi ada ciri khas yang dapat membedakan keduanya dari awal pertumbuhan miselium. Isolat Phlebia bersifat submerged, tumbuh secara adpressed masuk kedalam media pada awal pertumbuhannya sehingga tampak belum ada pertumbuhan, kemudian akan berubah menjadi lebih padat cottony atau floccosecottony setelah miselium aerialnya tumbuh. Bentuk awal pertumbuhan isolat Phlebia spp. tampak hampir sama dengan isolat Pb11 yang bersifat adpressed akan tetapi tetap dapat
dibedakan pada pertumbuhan lanjutnya dengan adanya ciri konsentrisitas pada isolat Pb11 yang tidak ditemukan pada isolat Phlebia spp. Pada isolat Phlebiopsis cenderung bersifat raised atau cottony pada awal pertumbuhan yang kemudian akan berubah menjadi farinaceous to floccose (Gambar 7) (Stalpers, 1978). Karakterisasi secara mikroskopik menunjukkan adanya clamp connection atau hubungan jepit pada sistem hifa isolat Phlebiopsis sp.1. Hubungan jepit tidak muncul pada setiap septa pada sistem hifa, jarang ditemukan juga pada bagian perpanjangan hifa, tetapi ditemukan pada bagian yang mendekati septa (Gambar 8). Hifa mempunyai septa atau sekat dengan dinding yang tipis hingga tebal dan kadang berlapis. Marginal hyphae mempunyai ukuran minimal 1,5-2 µm dan maksimal 6-11 µm, sedangkan aerial hyphae mempunyai ukuran lebar 2-6 µm (Gambar 9) (Stalpers, 1978). Pada beberapa isolat juga ditemukan adanya klamidospora tengah (intercalary) dan ujung (terminal) pada sistem
57
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 51 - 61
hifanya. Berdasarkan pemaparan sistem hifa oleh Hood (2006, p. 38), isolat Phlebiopsis sp.1 mempunyai sistem hifa dimitik yang terdiri dari hifa generatif dan salah satu dari hifa rangka (skeletal hyphae) atau hifa pengikat (binding hyphae) sesuai dengan sistem hifa yang didukung, dan atau sistem hifa trimitik yang terdiri dari ketiga tipe hifa (hifa generatif, hifa
Gambar 6.
58
rangka, dan hifa pengikat). Arthroconidia (thallic-arthric conidia) atau sering disebut dengan oidia sebagai spora aseksual yang dibentuk dari fragmen hifa banyak ditemukan pada isolat Phlebiopsis sp.1 dengan ukuran diameter 24,5 µm (Gambar 10) (Stalpers, 1978).
Morfologi 8 isolat Phlebiopsis sp.1 dengan karakter yang hampir sama, bersifat farinaceous to floccose dengan ciri adanya gumpalan-gumpalan miselium halus berwarna putih kecoklatan, kecuali untuk isolat Pb5 yang tidak terdapat gumpalan-gumpalan halus pada permukaannya.
Karakter Morfologi Isolat Phlebiopsis Sp.1 Jamur Pengendali Hayati Yang Potensial Untuk Ganoderma philippii Desy Puspitasari, Arif Wibowo, Sri Rahayu, Istiana Prihatini, dan Anto Rimbawanto
Gambar 7.
Perbedaan antara isolat Phlebia spp. (atas) dengan isolat Phlebiopsis sp.1 (bawah). (a) Bentuk awal pertumbuhan, miselium tampak masuk ke dalam agar (anak panah), (b) Pertumbuhan lanjut berubah menjadi lebih padat dan bersifat cottony-floccose pada isolat Phlebia spp., (c) Bentuk awal pertumbuhan bersifat cottony, miselium tumbuh lurus ke segala arah, (d) Isolat berubah tekstur menjadi farinaceous to floccose pada pertumbuhan lanjut untuk isolat Phlebiopsis sp.1
Gambar 8.
Pengamatan secara mikroskopik pada perbesaran 400x. (a) Hubungan jepit (clamp connection) yang ditemukan pada 9 isolat Phlebiopsis sp.1 (anak panah), (b) Klamidospora yang ditemukan pada beberapa isolat Phlebiopsis sp.1 (anak panah).
Gambar 9.
Sistem hifa pada isolat Phlebiopsis sp.1 (a) Hifa generatif bersekat, (b) Hifa rangka dengan dinding tebal tanpa sekat, (c) Hifa pengikat.
Gambar 10. Bentuk arthroconidia (oidia) yang ditemukan pada isolat Phlebiopsis sp.1 (a) Pada perbesaran 400x, (b) Pada perbesaran 100x, (c) Pada perbesaran 1000x.
59
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.10 No.1, Juni 2016, p. 51 - 61
IV.
KESIMPULAN
Karakterisasi morfologi sembilan isolat Phlebiopsis sp.1 menunjukkan terdapat tiga kelompok tipe morfologi. Tipe morfologi 1 dan tipe morfologi 2 mempunyai karakter yang hampir sama untuk 8 isolat, sedangkan isolat Pb11 termasuk dalam tipe morfologi 3 dengan karakter yang berbeda UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian kerjasama antara Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan dengan Universitas Tasmania dan CSIRO – Australia yang didukung dana oleh Australian Centre for International Agriculture Research (ACIAR) project FST. 2009 /051 “Management Strategies for Acacia Plantation Diseases in Indonesia and Vietnam”. Data yang digunakan untuk menyusun artikel ini merupakan bagian dari tesis penulis dalam rangka pencapaian derajat akademik M.Sc. pada Program Studi Fitopatologi, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam kelancaran penelitian ini, khususnya mitra kerja industri yakni PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), PT. Musi Hutan Persada (MHP) dan PT. Arara Abadi. Penulis juga berterima kasih kepada Ragil Irianto, Nur Hidayati, Luciasih Agustini dan Vivi Yuskianti DAFTAR PUSTAKA Agustini, L., Francis, A., Glen, M., Indrayadi, H., & Mohammed, C.L. (2014a). Signs and identification of fungal root-rot pathogens in tropical Eucalyptus pellita plantations. Forest Pathology, 44, 486-495. Agustini, L., Wahyuno, D., Indrayadi, H., & Glen, M. (2014b). In vitro interaction between Phlebiopsis sp. and Ganoderma philippii isolates. Forest Pathology, 44, 472-476. European Food Safety Authority. (2013). Conclusion on pesticide peer review. Conclusion on the
60
peer review of the pesticide risk assessment of the active substance Phlebiopsis gigantea. EFSA Journal, 11(1):3033, 1-31. Coetzee, M.P.A., Wingfield, B.D., Golani, G.D., Tjahjono, B., Gafur, A., & Wingfield, M.J. (2011). A single dominant Ganoderma species is responsible for root rot of Acacia mangium and Eucalyptus in Sumatra. Southern Forest, 73(3&4), 175-180. Eyles, A., Beadle, C., Barry, K., Francis, A., Glen, M, & Mohammed, C. (2008). Management of fungal root-rot pathogens in tropical Acacia mangium plantations. Forest Pathology, 38, 332-355. Glen, M., Bougher, N.L., Francis, A., Nigg, S.Q., Lee, S.S., Irianto, R.S.B., ... Mohammed, C.L. (2009). Ganoderma and Amauroderma species associated with root-rot disease of Acacia mangium plantation trees in Indonesia and Malaysia. Australian Plant Pathology, 38, 345-356. Glen, M., Yuskianti, V., Puspitasari, D., Francis, A., Agustini, L., Rimbawanto, A., ... Mohammed, C.L. (2014). Identification of Basidiomycete fungi in Indonesia hardwood plantations by DNA barcoding. Forest Pathology, 44, 496-508. Hood,
I.A. (2006). The mycology of the Basidiomycetes. In K. Potter, A. Rimbawanto, & C. Beadle (Eds.), ACIAR Proceedings 124: Heart rot and root rot in tropical Acacia plantations (pp. 34-45). Yogyakarta, Indonesia.
Irianto, R.S.B., Barry, K.M., Hidayati, N., Ito, S., Fiani, A., Rimbawanto, A., & Mohammed, C.L. (2006). Incidence, spatial analysis and genetic trial of root rot of Acacia mangium in Indonesia. Journal of Tropical Forest Science, 18, 157-165. Jülich,
W. (1979). Studies in resupinate Basidiomycetes - V. Some new genera and species. Persoonia, 10(1), 137-140.
Lee, S.S. (1999). Forest health in plantation forests in South-East Asia. Australasian Plant Pathology, 28, 283-291. Mgbeahuruike, A.C., Sun, H., Fransson, P., Kasanen, R., Daniel, G., Karlsson, M., & Asiegbu, F.O. (2011). Screening of Phlebiopsis gigantea isolates for traits associated with biocontrol of the conifer pathogen Heterobasidion annosum. Biological Control, 57, 118–129. Mohammed, C.L., Barry, K.M., & (2006). Heart rot and root mangium: Identification and K. Potter, A. Rimbawanto,
Irianto, R.S.B. rot in Acacia assessment. In & C. Beadle
Karakter Morfologi Isolat Phlebiopsis Sp.1 Jamur Pengendali Hayati Yang Potensial Untuk Ganoderma philippii Desy Puspitasari, Arif Wibowo, Sri Rahayu, Istiana Prihatini, dan Anto Rimbawanto
(Eds.), ACIAR Proceedings 124: Heart rot and root rot in tropical Acacia plantations (pp. 26-33). Yogyakarta, Indonesia. Puspitasari, D., Yuskianti, V., Rimbawanto, A., Glen, M., & Mohammed, C. (2012). Identification of several Ganoderma species causing root rot in Acacia mangium plantation in Indonesia. In C. Mohammed, C. Beadle, J. Roux, & S. Rahayu, IUFRO Working Party Proceeding, WP.7.02.07: 157161Proceeding of International Conference on The Impacts of Climate Change to Forest Pests and Diseases in The Tropics (pp. 157161). Yogyakarta, Indonesia: Faculty of Forestry, Universitas Gadjah Mada. Pratt, J.E., Gibbs, J.N., & Webber, J.F. (1999). Registration of Phlebiopsis gigantea as a forest biocontrol agent in the UK: Recent Experience. Biocontrol Science and Technology, 9(1), 113-118. doi: 10.1080/09583159929974 Rakib, M.R.M., Bong, C.F.J., Khairulmazmi, A., & Idris, A.S. (2014). Genetic and morphological diversity of Ganoderma species isolated from infected oil palms (Elaeis guineensis). International Journal of Agriculture and Biology, 16, 691-699. Ratnaningtyas, N.I. (2008). Biologi Ganoderma sp. isolat lokal terseleksi (Disertasi tidak dipublikasikan). Program Studi Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sidorov, E. (2005). Efficacy of different concentrations of Rotstop® and RotstopS and imperfect cover of RotstopS against Heterobasidion spp. infections on Norway spruce stumps (Final thesis no. 66). Southern Swedish Forest Research Centre Alnarp. Stalpers, J.A. (1978). Identification of woodinhabiting Aphyllophorales in pure culture. Studies in Mycology, 16, 1-248. Baarn, Netherlands, Centraalbureau voor Schimmelcultures. Retrieved from http://www.cbs.knaw.nl/publications/1016/ful l text.htm Yuskianti, V., Glen, M., Puspitasari, D., Francis, A., Rimbawanto, A., Indrayadi, H., & Mohammed, C.L. (2014). Species-specific PCR for rapid identification of Ganoderma philippii and Ganoderma mastoporum from Acacia mangium and Eucalyptus pellita plantations in Indonesia. Forest Pathology, 44, 477-485.
61
62