Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1 , Mei 2012
TRANSFORMASI KULTURAL MENUJU DEMOKRASI SUBSTANSIAL Oleh:
Sugeng Bayu Wahyono
Abstrak Demokrasi diyakini telah membawa perubahan politik dan kultural. Namun, sebenarnya masyarakat telah mempunyai tradisi yang sesuai dengan prinsip demokrasi tersebut. Nilai-nilai demokrasi seperti menghargai pendapat orang lain, toleransi, dan keterbukaan, terus hidup laten di kalangan akar rumput. Kondisi tersebut menunjukkan potensi akar rumput sebagai agen pembaruan menuju masyarakat transformatif secara kultural ke arah demokratisasi sepertinya jauh lebih besar, dibandingkan dengan kelas menengah. Ini artinya, budaya politik kalangan akar rumput yang bertingkah laku politik yang bersih justru perlu ditiru oleh kalangan elite politik. Tingkah laku politik yang bersih akan menghasilkan budaya politik yang menjunjung tinggi nilai kejujuran sebagaimana yang ditunjukkan oleh kalangan akar rumput pada level komunitas RT-RW justru perlu ditiru oleh elit politik pada level politik nasional
Kata kunci: transformasi, agen, akar rumput
Abstract Democracy is believed already bring social and cultural changes. However, actually people already has tradition that is approriate with principles of democracy. Principles of democracy such as respect another people argument, tolerance and inclusiveness, latently lives in grassroots people. This condition shows bigger potentiality from grassroots people as an renewal agent towards culturally transformative society into democratization rather than people from middle class. This means clean political culture of grassroots people should become a model for political elite. Clean political behavior will produce culture of politics that uphold the value of honesty as shown by grassroots people in community level (RT/RW), this should become a model for political elite in nasional level.
Keywords : transformation, agent, grassroots
16
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial
A. Pendahuluan
tidak bisa bertahan hidup menuju demokrasi.1 Meski tesis Fukuyama ini ditentang oleh Avineri2
Meskipun terdapat sisi kelemahan, tetapi bagaimanapun sebagai
demokrasi
sistem
tetap
yang
yang mengatakan bahwa nasionalisme, dan
dianggap
terbaik
bukan demokrasi liberal yang ternyata sukses
untuk
menuju komunisme, yang berarti sejarah masih
penyelenggaraan pemerintahan pada suatu
belum
negara. Dengan pilihan demokrasi, kedaulatan
tetapi
bagaimanapun
demokrasi liberal tetap menjadi pilihan utama.
berada di tangan rakyat, hak-hak sipil terjaga, suara dari bawah tersalur, dan Hak Asasi
Di
Manusia (HAM) dijamin. Karena itu, hampir di
pengakuan
setiap negara bangsa mempunyai cita-cita
merdeka dan berdaulat, perjalanan sejarah
menyelenggarakan sistem pemerintahan yang
demokrasi juga mengalami pasang-surut. Pada
demokratis, kendatipun dalam pencapaiannya
awal kemerdekaan, dengan dipelopori oleh
sering kali harus ditempuh dengan perjuangan
kaum terdidik, ide demokrasi terus diintrodusir
panjang. Bahkan tidak sedikit, negara yang harus
sebagai dasar bagi sistem pemerintahan yang
membayar dengan ongkos kemanusian tinggi
dicita-citakan.
tatkala
dari
terpilih sebagai kepala negara dan kepala
penindasan rezim otoriter, yaitu jatuhnya
pemerintahan untuk pertama kalinya, spirit
korban jiwa dalam jumlah cukup signifikan.
demokrasi
memperjuangkan
demokrasi
sejak
internasional
Ketika
terasa
memperoleh
sebagai
kemudian
begitu
negara
Soekarno
menguat
dan
Soekarno menerapkan apa yang ia sebut sebagai
antara kekuatan otoritarian berhadapan dengan
demokrasi
kekuatan pro demokrasi, dan pada akhirnya
terpimpin,
maka
seketika
itu
demokrasi menjadi surut hingga kekuasaannya
demokrasi keluar sebagai pemenang. Fukuyama perkembangan dunia,
sendiri
berjalan amat demokratis. Akan tetapi setelah
sendiri senantiasa diwarnai oleh tarik-menarik
menganalisis
Indonesia
puncaknya terselenggaranya Pemilu 1955 yang
Sejarah perjalanan sebuah bangsa di dunia itu
jatuh ke tangah rezim militer pimpinan
bahwa
Soeharto, dan Indonesia memasuki masa yang
setelah jatuhnya negara-negara komunis yang
dikenal dengan Orde Baru.
ditandai runtuhnya Uni Soviet, maka demokrasi liberal berdiri sendiri tanpa ada pesaing, dan
Pada masa Orde Baru, demokrasi semakin terasa
sejarah perjalanan dunia telah berakhir dengan
surut
kemenangan
Fukuyama
Soeharto yang lebih memilih sistem politik
beranggapan bahwa kaum nasionalis irasional
otoriter dengan kekuasaan politik memusat
demokrasi.
Francis Fukuyama, 1992, The End of History andThe Last Man, New York: Free Press. Shlomo Avineri, 1992, The Return to History: 2The Breakup of the Soviet Union, Brookings Review 10; dan uraian lebih lengkap bisa dilihat Ghia Nodia, 1
berakhir;
sebagai
konsekuensi
pilihan
sadar
Nationalism and Democracy, dalam Larry Diamond and Marc F. Plattner (ed) Nationalism, Ethnic Conflict, and Democracy, London: Johns Hopkins University Press. 1994.
17
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial
pada
eksekutif.
diupayakan melegitimasi
Seluruh
aspek
legalitas
sedemikian
rupa
untuk
kekuasaan
yang
sentralisasi
penekan
terhadap
seluruh
dan
bahkan
represif. Sudah bisa diduga, dalam situasi politik seperti
politik pemusatan, Soeharto melakukan kontrol ketat
dijinakkan
adakalanya dilumpuhkan dengan kekuatan
berporos pada Presiden. Dengan menerapkan secara
berhasil
itu maka kehidupan demokrasi mengalami masa
kekuatan
surut, dan Parpol sebagai salah satu pilar
masyarakat yang terorganisir, tidak terkecuali
demokrasi eksistensinya sangat lemah. Parpol
partai politik. Pelan tapi pasti, Soeharto
tidak lebih sekadar ornamen politik, yang hanya
melakukan penyederhanaan Parpol melalui strategi fusi dengan menerapkan asas tunggal Pancasila. Negara tampil begitu perkasa, yang
berfungsi
untuk
eksekutif
dalam
melegitimasi proses
kehendak
penyelenggaraan
pemerintah yang penuh formalisme. Pemilu
melakukan politik pengendalian dan politik
sekadar menjalankan rutinitas politik yang
perizinan terhadap aktivitas sosial politik
meskipun berhasil terselenggara secara tertib,
masyarakat, sehingga tidak ada satu kekuatan
tetapi kualitas demokrasinya sangat rendah, dan
alternatif yang mampu mengimbangi kekuasaan
bahkan cenderung anti-demokrasi.
eksekutif.
Setelah Soeharto jatuh, Indonesia memasuki
Para teoritisi menjelaskan bahwa fenomena
negara transisi demokrasi, dan Pemilu kembali
seperti itu merupakan kas negara korporasi.3 Di
ke multipartai dengan sistem semi-distrik.
bawah kendali Soeharto, Indonesia merupakan
Secara sederhana masa transisi demokrasi
negara yang korporatis. Peran negara di masa
dipahami sebagai proses perubahan menuju
Orde Baru begitu dominan di segala aspek
kualitas sistem politik dan pemerintahan yang
kehidupan, dan secara efektif menjalankan
lebih demokratik.4 Pada Pemilu 1999 PDI-P
fungsi kontrol terhadap masyarakat yang
tampil sebagai pemenang, dan Pemilu 2004
eksesnya terhadap kehidupan demokrasi sangat
Golkar kembali tampil sebagai pemenang.
buruk. Melalui mekanisme politik pengendalian,
Setelah
negara masuk ke berbagai wilayah publik yang
Indonesia
memasuki
apa
yang
disepakati sebagai era reformasi, kekuasaan
perlahan tapi pasti mampu melumpuhkan
tidak lagi terkonsentrasi pada negara dengan
berbagai kekuatan pro demokrasi. Partai Politik,
pelaku utama militer, birokrasi, dan kaum
Ormas, lembaga legislatif, pers, organisasi
konglomerat yang ketiganya menjadi agen
profesi, mahasiswa, dan berbagai kelompok
kekuatan kapitalisme global, maka muncul
3Negara
korporatis adalah negara yang mengendalikan semua komponen kekuatan politik, baik kekuatan di seluruh lini institusi negara sendiri maupun kelompokkelompok masyarakat diluarnya. Uraian lengkap dapat dilihat pada Alfred Stepan, 1978, State and Society: Peru in Corporative Perspective. New Jersey: Princetton University Press. Untuk klasifikasi negara-negara lihat juga Maswardi
Rauf, “Pendekatan-Pendekatan Dalam Ilmu Politik: Studi Penjajagan”, Ilmu dan Budaya. No. 7, April 1991, hlm. 524526. 4 Dikutip dari Kusnanto Anggoro, 1999, Gagasan Militer Mengenai Demokrasi, Masyarakat Madani dan Transisi Demokratik, Jakarta: CSIS, hlm.8.
17
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial
kekuatan baru yaitu elit Parpol. Kemudian elit
strategis menjadi perebutan kekuatan politik
baru inilah yang kemudian menjadi kelompok-
baru. Situasi ini kemudian menjadi momentum
kelompok penekan yang mengontrol kebijakan
kekuatan oligarki yang belum sepenuhnya
negara melalui jalur politik di parlemen.
rontok, berusaha keras untuk mempertahankan
Fenomena
bahwa
diri. Mereka ini menjadi diuntungkan karena
perkembangan politik Indonesia mengalami
pemerintahan baru tidak mampu menyelesaikan
pergeseran karakter dari negara korporasi
kasus-kasus besar utang konglomerat dan
(corporatist state), menuju negara organis
praktik KKN kelas kakap, sehingga mereka ini
(organic state).5
semakin mendominasi kembali.
Dalam situasi negara seperti itu, penjelasan
Kekuatan oligarki ini kemudian ikut bermain
teoretik yang berangkat dari konsep hubungan
dengan kekuatan politik baru. Hasil Pemilu 1999
negara-masyarakat,
relevan.
yang melahirkan lima kekuatan politik besar,
yang
PDIP, Golkar, PPP, PKB, dan PAN, dan karena itu
berkembang, maka kekuasaan oligarki lebih
kekuatan oligarki harus beradaptasi dengan
dapat menjelaskan. Keberadaan kekuasaan
kekuatan ini. Repotnya, aktor-aktor politik baru
oligarki
merupakan
tidak akan dapat menghilangkan kebiasaan
tuntasnya
lama, yaitu bahwa politisi baru itu terbukti
ini
Berdasarkan
mengindikasikan
lagi
kenyataan
masih
konsekuensi
tidak
tetap
logis
dari
empiris
kuat tidak
pergantian elite bentukan Orde Baru. Mereka ini
melakukan
memang lahir dari sistem politik Orde Baru, dan
dilakukan Soeharto bersama oligarkinya. Kini
terus
aktor-aktor politik baru menjadikan negara
melakukan
penyesuaian
dengan
perubahan politik di Indonesia. Munculnya
BJ
Habibie
sebagai
yang
kekuasaan adalah menu politik mereka, dan ini terjadi tidak hanya di pusat pemerintahan, tetapi juga di daerah-daerah memanfaatkan era
Habibie. Semua pertarungan ini bermuara
otonomi daerah.6 Kekuatan oligarki ini terbukti
makin rontoknya basis-basis oligarki yang
mampu beradaptasi dengan perkembangan
dibangun oleh Soeharto. Sejak saat itu pusataset-aset
seperti
menjadi rebutan diantara mereka. Bagi-bagi
reformasi dan pro Soeharto maupun pro-
dan
sama
Pusat-pusat kekuasaan dan aset-aset ekonomi
pengganti
pertarungan berbagai kelompok, baik yang pro-
kekuasaan
yang
sebagai sasaran penjarahan atau sapi perah.
Soeharto pada tahun 1998 turut memperluas
pusat
hal
ekonomi
Negara organis adalah negara yang posisinya dikendalikan oleh salah satu kelompok atau beberapa kelompok elit sosial. Negara organis dapat berbentuk negara fascis yang dikendalikan oleh kelompok tertentu atau perorangan seperti rezim Nazi di bawah Hitler di Jerman; dapat pula negara dijadikan alat pertarungan oleh kelompok-kelompok elit sosial untuk memperjuangkan kepentingan sempit mereka sendiri seperti negara-negara liberal Eropa Barat dan Amerika Serikat abad 17-19. Uraian
lengkap dapat dilihat pada Alfred Stepan, 1978, State and Society: Peru in Corporative Perspective. New Jersey: Princenton University Press. Untuk klasifikasi negaranegara lihat juga, Maswardi Rauf, “Pendekatan-Pendekatan Dalam Ilmu Politik: Studi Penjajagan”, Ilmu dan Budaya No.7, April 1991, hlm. 524-526. 6 Lihat Richard Robinson dan Vedi R Hadiz, 2004, Reorganizing Power in The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, London and New York: Routledge Curzon.
5
18
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial
politik baru, termasuk membangun koalisi
Untuk menyebut beberapa teoretisi yang masuk
dengan kekuatan reformis.
kategori pendukung kulturalis yang pernah melakukan studi di Indonesia antara lain, Don
Tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana
Emerson, Ben Anderson, Clifford Geertz, Bill
dinamika kehidupan politik pada era pasca Orde Baru
dengan
berbagai
Liddle, Karl Jackson, dan Harold Crouch.
kompleksitas
Sementara itu, suatu studi yang bersifat
permasalahan di seputar isu politik Indonesia
kulturalis adalah Gabriel Almond dan Sidney
kontemporer, melalui perspektif sosial budaya.
Verba, ketika keduanya melakukan kajian di
Harapannya dengan memberikan penjelasan secara
sosio-kultural
dapat
lima negara yang kemudian melahirkan buku
membantu
yang sangat berpengaruh pada dekade 1970-an,
mengidentifikasi permasalahan fundamental
The Civic Culture.
dalam upaya membangun Indonesia sebagai negara demokrasi yang substansial.
Budaya politik, kata Almond dan Verba, merupakan sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dimainkan
B. Perspektif Budaya Politik
dalam sebuah sistem politik. Budaya politik upaya
tidak lain adalah orientasi psikologis terhadap
menjelaskan fenomena politik, akan tetapi yang
obyek sosial, dalam hal ini sistem politik yang
paling sederhana dapat dibedakan dengan
kemudian mengalami proses internalisasi ke
pendekatan struktural dan kultural. Penjelasan
dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif,
ekonomi politik misalnya, termasuk bersifat
afektif, dan evaluatif.
strukturalis
menjelasakan
Orientasi yang bersifat kognitif merupakan
dengan mengaitkan antara persoalan politik
pemahaman dan keyakinan individu terhadap
dengan masalah ekonomi. Ada juga pendekatan
sistem politik dan atributnya, seperti tentang
lain yang lebih cenderung strukturlis yaitu
ibukota negara, lambang negara, kepala negara,
dengan menjelaskan fenomena politik dari
batas-batas negara, mata uang yang dipakai, dan
analisis hubungan negara dan masyarakat
sebagainya. Sementara itu orientasi afektif
dengan kata kunci civil society. Pendekatan ini
menyangkut ikatan emosional yang dimiliki
cukup mampu menjelaskan fenomena politik di
individu
era Orde Baru dengan negara berposisi sebagai
menyangkut feelings terhadap sistem politik.
variabel utama dalam mempengaruhi berbagai
Sedangkan orientasi yang bersifat evaluatif
peristiwa politik yang ada.
menyangkut kapasitas individu dalam rangka
Sementara pendekatan yang bersifat kulturalis
memberikan penilaian terhadap sistem politik
meyakini bahwa kultur lebih dominan dalam
yang sedang berjalan dan bagaimana peranan
mempengaruhi
individu di dalamnya.
Terdapat
beberapa
yang
cara
mencoba
berbagai
dalam
fenomena
politik. 19
terhadap
sistem
politik.
Jadi
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial
Dalam suatu masyarakat yang sikap dan
Meskipun format dan struktur politik sudah jauh
orientasi
oleh
lebih demokratis jika dibandingkan dengan era
akan
Orde Baru, tetapi kultur politiknya masih belum
parokial.
mengalami transformasi, karena itu demokrasi
Sementara, dalam sebuah masyarakat yang
di Indonesia masih dalam tataran prosedural,
sikap dan orientasi politiknya diwarnai oleh
belum merupakan demokrasi yang substansial.
politiknya
karakteristik terbentuk
yang
bersifat
budaya
karakteristik
didominasi
politik
yang
kognitif yang
bersifat
afektif,
akan
Pernyataan seperti itu semakin kuat jika
terbentuk budaya politik yang bersifat subyektif. Akhirnya,
masyarakat
yang
dikaitkan
memiliki
mampu
memberikan
karakter
sosiologis
masyarakat Indonesia yang masih lebih terasa
kompetensi politik yang tinggi, di mana warga masyarakat
dengan
sebagai masyarakat patrimonialistik. Dalam
evaluasi
masyarakat seperti itu, maka persoalan budaya
terhadap proses politik yang sedang berjalan,
politik menjadi lebih penting. Relasi dalam
akan terbentuk sebuah budaya politik yang
pergaulan sosial yang masih didasarkan pada
bersifat partisipatif.7
pola patron-klien, di mana orang kecil akan
Almond dan Verba mengemukakan tesis bahwa
banyak mengikuti apa yang dilakukan oleh
budaya politik yang demokratik, dalam hal ini
mereka yang dianggap menjadi panutan, tanpa
budaya
akan
mempersoalkan sendiri apakah yang dilakukan
mendukung terbentuknya sistem politik yang
oleh panutan itu benar atau salah. Dalam suatu
demokratik dan stabil. Ia mengemukakan bahwa
masyarakat dengan pola dasar patron-klien,
berdasarkan hasil penelitiannya di sejumlah
suatu budaya politik yang sangat tergantung
negara yaitu di AS, Inggris, Jerman, Italia, dan
kepada tingkah laku elit politiknya. Jika tingkah
Meksiko, menemukan di negara-negara yang
laku politik para elit politik baik, maka para
mempunyai
pengikutnya juga baik, dan begitu sebaliknya.
politik
yang
budaya
partisipatif,
politik
tinggi
akan
menopang demokrasi yang stabil. Sebaliknya,
Masih dominannya budaya politik seperti itu
negara-negara yang memiliki budaya politik
mempunyai implikasi terhadap kesulitan dan
rendah tidak mendukung terwujudnya sistem
mendorong terjadinya transformasi menuju civil
politik demokratik yang stabil.
society. Demokrasi kemudian hanya pada
Apabila menggunakan model dari Almond dan
tataran bentuk, sementara perilaku warga masih
Verba, dan kemudian melihat fenomena budaya
jauh dari nilai demokrasi. Budaya politik dalam
politik di Indonesia, maka banyak yang sepakat
organisasi politik seperti Parpol pun juga sangat
bahwa dominasi sikap dan orientasi politik yang
terasa nuansa patrimonialistiknya. Kondisi ini
parokial
semakin mapan, ketika lahirnya berbagai parpol
masih
terasa
hingga
sekarang.
Lihat Gabriel A Almond dan Sidney Verba, 1963, The Civic Culture, Princenton, New Jersey: Princenton University Press. 7
20
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial
justru merupakan cermin dari karakteristik
Tesis Almond dan Verba ini telah banyak
sosio-kultural
dikritik, antara lain oleh Brian Barry yang
masyarakatnya.
Karena
itu,
parpol yang bermunculan masih berakar pada
mengatakan,
basis ideologis dan politik aliran.
”teori ekonomi tentang demokrasi” hasilnya
Dengan
demikian,
baik
secara
ternyata
struktural
ciri
primordialistik
tengah berbicara pengaruh struktur politik (realitas) yang kemudian dipersepsikan oleh
kewenangan dan bahkan konsentrasi kekuasaan ketimbang
struktur
berbicara tentang kognisi, sebenarnya kita
stabil. Birokrasi parpol pun lebih memberi politik,
bahwa
Arend Lijphart mengatakan, bahwa ketika kita
sistem pemerintahan yang demokratis dan
elit
membuktikan
menggunakan
disebut budaya politik tersebut.8 Sementara
yang
menjadi faktor penyulit bagi upaya membangun
kepada
dengan
politiklah yang melahirkan sikap-sikap yang
maupun kultural, parpol di Indonesia masih mengedepankan
bahwa
masyarakat dan akhirnya menggumpal menjadi
misalnya
kognisi (kultur) yang kita maksud.9
memberikan peluang bagi penguatan daya tawar basis konstituennya. Proses pencalonan
Kritik lain terhadap tesis Almond dan Verba
pemimpin nasional, pemimpin daerah dalam
adalah dianggap terlalu positivistik, yang
Pilkada, dan penyusunan daftar urut Caleg,
mengandaikan dinamika perkembangan budaya
masih sangat terasa dominasi elit politik, dan
politik secara linier dengan pretensi bahwa di
bukan melalui proses dari bawah. Rakyat hanya
tingkat perkembangan yang paling awal lebih
menjadi
buruk,
obyek
Parpol
yang
dan
begitu
seterusnya.
Perspektif
merepresentasikankepentingan elit politik, dan
positivistik-linieristik seperti itu mengandaikan
kemudian dijadikan alat legitimasi untuk
bahwa rakyat bersifat pasif dan hanya mengikuti
memperoleh
saja apa yang dilakukan oleh patronasenya,
kekuasaan.
Caranya
tidak
diperoleh melalui tawaran program yang
karena
rakyat
dianggap
rasional dan berorientasi kepada pelayanan
kompetensi
rakyat, tetapi dimobilisasi melalui sentimen
Argumen kaum positivistik seperti itu akan
primordialistik, seperti etnis, agama, dan
senantiasa menyetujui bahwa untuk mendorong
kedaerahan. Dengan demikian, kemunculan
terjadinya transformasi kultural menuju sistem
banyak Parpol dalam sepuluh tahun terakhir ini
pemerintahan yang demokratis, maka rakyat
tidak berarti mendorong terciptanya sistem
harus
politik demokratis dan stabil, tetapi justru yang
ditentukan, misalnya harus terdidik, sejahtera
terjadi sebaliknya, yaitu elitis, pragmatik, dan
secara ekonomi, dan memerlukan waktu yang
anarkis yang semuanya anti nilai demokrasi.
cukup untuk menunggu ke tahap perkembangan
untuk
memenuhi
kurang
bertindak
prasyarat
memiliki
demokratis.
yang
telah
yang diidolakan. Ungkapan yang khas dari Lihat Brian Barry, 1970, Sociologists, Economists, and Democracy. Chicago: University of Chicago Press.
Arend Lijphart, 1984: Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Centuries. New Heaven Conn: Yale University Press.
8
9
21
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial
pandangan positivistik-linieristik itu misalnya,
perkembangan awal itu, mampu menjadi agen
Amerika Serikat bisa mencapai tahap demokrasi
untuk kehendak bersama berubah menjadi
seperti sekarang diperlukan waktu sekitar 200
masyarakat yang demokratis.
tahun, sedangkan Indonesia kan baru belum
Itulah sebabnya, di era Orde Baru berkembang
lama merdeka, jadi jangan berharap terjadi
amat pesat pandangan developmentalistik yang
demokratisasi yang berkualitas. Logika kaum positivistik
memang
dilandasi oleh teori-teori modernisasi dalam
mengandaikan
usaha
perkembangan masyarakat secara linier, sama sekali
tidak
memperhitungkan
mengubah
masyarakat
tradisional.
Melalui program-program pembangunan sosial,
bahwa
ekonomi, dan politik mengandaikan masyarakat
perkembangan sejarah masyarakat yang zig-zag.
Indonesia masih sangat tertinggal dan bahkan
Karena itu pendukung perspektif ini, termasuk
primitif, serta senantiasa pasif. Akibatnya
Almond dan Verba, kurang menyinggung
muncul ironi-ironi, misalnya mensosialisasikan
misalnya program-program lompatan ke depan.
Pancasila melalui program P-4 ke masyarakat
Pandangan positivistik juga sama sekali kurang
desa,
memperhitungkan adanya kemungkinan bahwa
masyarakat desa sudah jauh lebih intens dalam
masyarakat
mengamalkan
yang
secara
substantif
tataran
memiliki
tradisi
pengembangan seperti itu juga terjadi di era
berdemokrasi. Ini merupakan implikasi logis
reformasi, ketika pemerintah dan beberapa
dari asumsi bahwa konstruksi perkembangan
aktivis LSM terus mendorong demokratisasi
masyarakat harus dimulai dari angka 1 dan
desa, padahal warga masyarakat desa jauh
kemudian
sebelumnya
awal,
berkembang
ke
arah
angka
nilai-nilai
telah
Pancasila.
warga
pada
perkembangan
berada
padahal
menerapkannya
dalam
berikutnya secara linier dengan memenuhi
berkomunitas
prasyarat yang telah ditetapkan menurut tafsir
demokrasi. Sebagai ilustrasi, warga masyarakat
dari kelompok dominan yang menyebarkan
dalam
wacana. Oleh karena itu, tidak mengandaikan
senantiasa
menggunakan
adanya
akuntabilitas,
transparans,
fakta
tradisional
empiris telah
bahwa
masyarakat
melakukan
tradisi
dengan
Model
berkomunitas
di
prinsip-prinsip tingkat
RT-RW
mekanisme dan
partisipatif
sebagaimana prinsip demokarasi. Penggunaan
berdemokrasi. Bahkan melalui penjelasan teori-
dana
teori
tradisional
pembangunan misalnya, senantiasa dilaporkan
dianggap sulit berkembang menjadi masyarakat
secara transparan di depan forum-forum
yang
pertemuan
modernisasi, demokratis
masyarakat dan
sejahtera
karena
bersama
dalam
warga.
RT-RW
Dalam
untuk
perencanaan
terkungkung oleh nilai-nilai feodalistik dan
pembangunan pun, warga selalu menggunakan
patrimonial yang bersifat permanen. Tidak
mekanisme dari bawah (bottom-up) dengan
diandaikan sama sekali bahwa masyarakat
mempertimbangkan aspirasi warga.
tradisional
yang
diposisikan
pada
level 22
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial
Oleh karena itu, menginginkan terjadinya
substansial.
transformasi
kultural
menuju
kompetensi dalam berdemokrasi, tetapi tidak
demokratisasi
secara
melalui
mempunyai
dalam substansial
Kelompok
elit
komitmen
mempunyai
tinggi
dalam
eksperimen model konseptualisasi pandangan
menerapkan kehidupan berdemokrasi secara
kaum positivistik, mempunyai konsekuensi
lebih substansial, karena pada hakekatnya
waktu lama. Dominasi budaya politik parokial
mereka lebih pro kemapanan.
misalnya, harus diubah lebih dulu menjadi setapak lebih maju ke arah budaya politik subyektif, dan akhirnya ke budaya politik partisipan. Untuk mengurangi budaya politik
C. Essensialisme Budaya
parokial, maka orientasi politik yang didominasi
Budaya politik juga bisa dijelaskan dari
koginitif perlu diubah menjadi orientasi politik
perspektif esensialisme dan konstruktivisme
afektif, dan kemudian menuju orientasi politik
budaya.
evaluatif.
kognitif
mengatakan bahwa budaya politik adalah
diasumsikan terjadi pada masyarakat level
seperangkat nilai, norma dan kebiasaan yang
bawah, tidak diperhitungkan sama sekali bahwa
menjadi dasar bagi tingkah laku para elit politik.
justru orientasi politik pada level kognitif itu
Seterusnya diandaikan pula bahwa budaya
terjadi pada masyarakat yang berada strata
politik tersebut didasarkan pada nilai-nilai
kelas atas. Bahkan kalangan elit politik yang
budaya dominan yang sedang berlaku. Kaum
menganggap dirinya mempunyai tingkat melek
esensialisme budaya mengandaikan bahwa nilai,
politik tinggi, justru orientasi politiknya hanya
norma, dan ketentuan normatif lainnya adalah
terbatas pada kognisi, sementara pada tataran
sesuatu yang baku, tetap, dan permanen.
tindakan (action) kurang mendorong sistem
Berangkat dari asumsi itu, maka kubu ini
demokrasi. Logikanya, mereka yang menikmati
percaya jika ada tingkah laku politik yang tidak
struktur sosial yang tidak adil justru adalah
sesuai dengan seperangkat rumusan normatif
kaum elit, karena itu mereka cenderung
itu maka terjadi penyimpangan budaya politik.
memapankan.
mereka
Pandangan ini mengandaikan bahwa warga
mempunyai kognisi demokrasi yang tinggi, dan
negara bersifat pasif, selalu mengikuti ketentuan
mampu evaluasi terhadap sistem politik yang
normatif, dan tidak mampu menjadi agen untuk
berlaku,
melakukan perubahan.
Repotnya
Karena
tetapi
orientasi
itu
cenderung
meski
memapankan
struktursosial-politik yang tidak egalitarian.
semacam
partisipan, justru tidak mendorong terjadinya sistem
esensialis
berkembang di kalangan elit politik, dan menjadi
orientasi politik evaluatif dan berbudaya politik arah
kaum
politik tidak lain dari nilai dan kebiasaan yang
Indonesia, bahwa kelompok yang memiliki
ke
Pandangan
Konstruktivisme
Mengikuti pengertian seperti itu, maka budaya
Dengan kata lain, yang sering terjadi di
transformasi
dan
sub-kultur
dalam
kalangan
ini.
Masalahnya timbul karena nilai-nilai dan
demokrasi 23
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial
kebiasaan tersebut dianut oleh sekelompok
bukanlah suatu yang tetap, baku, dan permanen.
orang yang relatif berkuasa dan berpengaruh
Dengan demikian dalam berbicara budaya
secara politik. Akibatnya, nilai-nilai, pandangan,
politik yang perlu diperhatikan adalah, bahwa
kebiasaan dan tingkah laku kelompok sosial ini
kebudayaan tidaklah hanya berisikan nilai-nilai
dengan mudah menyebar, diikuti dan diterima
dan norma-norma, tetapi sekaligus memberikan
oleh kalangan masyarakat yang lebih luas.
kemungkinan yang sama besarnya bahwa nilai
Dengan demikian, kalau dalam bidang ekonomi
dan norma tersebut diselewengkan untuk
gaya hidup kelas menengah kota mudah
kepentingan ekonomi, kepentingan kekuasaan,
menjalar dan ditiru oleh strata sosial lainnya
atau
(juga kalau pendapatn mereka sebenarnya tidak
penyelewengan tersebut juga dengan mudah
mencukupi
gaya hidup
dilakukan atas nama nilai-nilai budaya yang
tersebut), maka budaya politik adalah semacam
sama. Secara teoretis dapatlah dikatakan:
“gaya hidup” yang dengan mudah menular
budaya politik tidak sekadar menjadi dasar bagi
kepada warga negara biasa yang tidak menjadi
tingkah laku politik, tetapi juga dibentuk dan
bagian dari elit politik (meskipun tingkah laku
diberi wujud nyata oleh tingkah laku politik.
tersebut tidak selalu disetujuinya secara sadar).
Hubungan antara budaya politik dan tingkah
Jika
untuk membiayai
mengandaikan
adanya
kepentingan
lainnya,
dimana
laku politik bukanlah bahwa yang pertama
transformasi
mempengaruhi yang kedua, tetapi jugabahwa
kultural dalam perilaku politik di Indonesia
tingkah laku politik mempengaruhi wujud dan
menuju ke arah yang lebih demokratis, maka
sifat budaya politik. Ini berarti, tingkah laku
gugatan terhadap perspektif teoretik kaum
politik yang bersih akan menghasilkan budaya
esensialisme budaya, perlu dilakukan. Artinya,
politik
tidak mungkin ada transformasi kultural jika
yang
menjunjung
tinggi
nilai-nilai
kejujuran, dan sebaliknya tingkah laku politik
berkembang persepsi bahwa suatu nilai dan
yang korup akan menghasilkan budaya politik
norma bersifat tetap, dan tidak terbuka
yang dengan mudah memaafkan (dan pada
kemungkinan untuk berubah menyesuaikan
akhirnya
dengan realitas empiriknya. Oleh karena itu jika
membenarkan),
berbagai
penyelewengan.10
ingin tetap konsisten dalam diskusi tentang budaya politik, dan mengandaikan adanya
Itu berarti mengandaikan adanya agen bagi
transformasi kultural, maka perlu mengadopsi
upaya
perspektif budaya politik dari pandangan kaum
demokratis. Persoalannya siapa yang berpotensi
konstruktivisme budaya.
menjadi agen perubahan kultural ke arah
Pandangan
kaum
konstruktivisme
transformasi
budaya
politik
yang
perilaku politik demokratis secara masif? Dalam
budaya
berbagai kajian ilmu politik, kelas menengah
meyakini bahwa nilai, norma, dan kebiasaan itu Lihat Ignas Kleden, Budaya Politik atau Moralitas Politik?. Artikel, Kompas, 12 Maret 1998, hlm.4-5. 10
24
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial
sering dianggap sebagai lokomotif demokrasi
mampu mendorong transformasi kultural ke
yang berpotensi menarik gerbong masyarakat
arah politik demokratis yang substansial?
yang berkehendak terhadap terwujudnya sistem
Banyak studi menginformasikan bahwa kelas
pemerintahan yang demokratis. Di negara-
menengah di Indonesia relatif kurang mampu
negara berkembang, kelas menengah sering
menjadi lokomotif pembaruan, termasuk dalam
diandalkan untuk tampil sebagai agen kekuatan
mendorong demokratisasi. Pada era Orde Baru
pembaruan dari sebuah sistem politik yang anti
kelas menengah Indonesia praktis tidak berdaya
demokrasi. Korea Selatan misalnya, sering
di tengah kuatnya pemberlakuan sistem politik
disebut-sebut sebagai cerita sukses kelas
yang otoriter. William Liddle melihat bahwa
menengah yang mampu mendorong masyarakat
tersendatnya demokratisasi di Indonesia pada
ke arah pemerintahan demokratis, setelah
era Orde Baru adalah dikarenakan pertumbuhan
negara tersebut berada dalam pemerintahan
kelas menengah yang tertatih-tatih. Liddle
junta militer yang otoriter.
menunjuk kelas menengah itu sebagai kaum majikan, wiraswastawan atau pengusaha yang
Sementara itu, negara-negara di Eropa Timur pasca
Perang
Dingin
merupakan
tak kelewat besar sampai menjadi konglomerat,
contoh
tapi cukup makmur. Ciri mereka independen, tak
kegagalan negara-negara yang tidak mampu
bergantung
memanfaatkan momentum transisi demokrasi.
seharusnya
negara di kawasan Eropa Timur masuk dalam negara
yang
memasuki
negara
tinggi
berjalan lamban, karena kelas menengah kurang
instrumen
lantaran
pada
pemerintah. karena
selama
Mereka ini
merasa
mendapat
Liddle ingin menunjukan bahwa ada hubungan antara keberadaan kelas menengah dengan
politik, dan bahkan elit politik menggunakan sebagai
Tetapi
yang terakomodir. Dengan demikian, maka
proses
demokrasi hanya berlangsung di kalangan elit demokrasi
otoriter.
perlindungan dan banyak kepentingan mereka
demokrasi ke kelas bawah. Dengan kata lain, bahwa
yang
tergantung
mentransformasikan
disebabkan
posisi
kelompok yang mempunyai ketergantungan
tersebut mengalami kegagalan, atau paling tidak
itu
memperkuat
independen maka yang sering terlihat adalah
tetapi transisi demokrasi di negara-negara
kegagalan
dapat
terbatasnya kaum menengah pengusaha yang
dan beberapa negara pecahan Uni Soviet. Akan
dalam
pemerintah.
masyarakat ketika berhadapan dengan kekuatan
transisi
demokrasi, seperti Polandia, Bulgaria, Rumania,
berperan
kebaikan
Keberadaan kelas menengah ini menurut Liddle,
Setelah runtuhnya Uni Soviet, banyak Negarakategori
pada
berlangsungnya demokratisasi, dimana kelas
untuk
menengah yang tertaih-tatih (misal di Indonesia
memperoleh kekuasaan baru.
pada waktu zaman Orde Baru) juga dapat
Bagaimana peran kelas menengah di Indonesia,
memberikan dampak kepada tersendatnya
dalam konteks membangun sistem pemerintah
proses demokratisasi.
yang demokratis? Apa- kah kelas menengah 25
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial
Kelas menengah yang tidak mempunyai otonomi
bukan semata-mata tekanan dari dalam negeri
relatif terhadap negara, karena memang kelas
yang digalang oleh mahasiswa, tetapi tekanan
menengah bentukan pemerintah atau mendapat
krisis ekonomi yang melibatkan permainan
fasilitas dari pemerintah, maka kurang mampu
kekuatan kapitalisme global justru terasa lebih
menjadi lokomatif pembaruan. Oleh karena itu,
signifikan pengaruhnya terhadap perubahan
perubahan signifikan situasi politik di Indonesia
politik di Indonesia.
meski terdapat peran kelas menengah, tetapi
Semua itu menjadi indikator lemahnya kelas
secara substantif tidak cukup signifikan. Sikap
menengah sebagai pendorong perubahan dalam
kritis memang selalu ditunjukan oleh golongan
sejarah
kelas menengah, tetapi dalam sejarah politik di lepas
dari
faktor
eksternal,
yaitu
menuju sistem pemerintahan demokratis secara lebih substansial. Boleh jadi itu juga merupakan
misalnya, perubahan dari era pemerintahan
implikasi logis
kolonial Belanda ke era kemerdekaan, meski
terpeliharanya
peran kaum terpelajar dan pergerakan yang
menengah
politik representasi dengan terus berusaha
di Eropa dan Asia. Demikian pula perubahan
mengartikulasikan suara dari kelompok akar
politik dari era pemerintahan Soekarno ke era
rumput. Akan tetapi, pada saat situasi politik
cukup
relatif stabil kelas menengah justru dengan
menonjol, akan tetapi tidak lepas dari skenario
cepat menjadi bagian dari elit politik yang
politik Amerika Serikat dalam kaitan dengan
menghuni struktur kelas atas. Pada titik itulah
tarik-menarik kepentingan ekonomi-politik di
kemudian hubungan kelas menengah dengan
era Perang Dingin.
kelas akar rumput menjadi renggang.
Sementara itu, perubahan politik dari era Orde
Ketika kelas menengah masuk menjadi bagian
Baru yang otoriter ke era reformasi meski tidak
dari sistem, keterlibatan mereka dalam proses
mengecilkan peran kelas menengah, terutama mahasiswa,
kelas
krisis politik, kelas menengah sering melakukan
dunia yang dilanda oleh perang berkepanjangan
kalangan
hubungan
Dalam momen tertentu, atau pada saat- saat
tidak lepas dari perubahan konstelasi politik
dari
dari kurang intensif dan
dengan kelompok akar rumput (grassroot).
dipolopori oleh kaum kelas menengah, juga
peran mahasiswa
Indonesia.
ketidaklancaran proses transformasi kultural
dari dunia internasional. Sebagai ilustrasi
meski
di
pembaruan menjadi titik lemah terjadinya
perubahan atau kehendak yang dikendalikan
Soeharto,
politik
Ketidakmampuan kelas menengah sebagai agen
Indonesia adanya perubahan politik senantiasa tidak
pergulatan
namun
pengambilan keputusan seringkali terasa lebih
faktor
pro kemapanan dan bahkan pemilik modal.
eksternal dalam bentuk pengkondisian krisis
Berbagai produk perundangan legislatif yang
ekonomi nasional yang tidak lepas dari skenario
merupakan lembaga perwakilan rakyat, banyak
negara-negara besar, sepertinya akan sulit
yang tidak pro rakyat kelas bawah, tetapi justru
terjadi. Jatuhnya rezim pemerintahan Soeharto,
pro kaum kapital. Meskipun proses politik 26
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial
lahirnya sebuah undang-undang pada era
substansial yang ditandai kesejahteraan rakyat
reformasi terasa lebih demokratis, tetapi secara
dan proses politik yang damai.
substansial kurang bermuatan kepentingan rakyat. Elit politik legislatif yang kebanyakan
D. Kesimpulan: Akar Rumput sebagai Agen
dari kelas menengah justru mengalami erosi kepekaan terhadap aspirasi rakyat bawah. Alih-
Jika kelas menengah tidak bisa menjadi
alih mendengar suara aspirasi rakyat, malah di
tumpuhan dalam transformasi kultural ke arah
antara mereka banyak yang lupa sebagai
demokrasi
substansial,
pembawa
golongan
akar
mandat
rakyat.
Mereka
justru
mengkonsolidasikan
rumput
sebagai
agen
kemudian menyalahgunakan kekuasaan dengan
transformasi bisa menjadi tawaran menarik.
ramai-ramai
Tawaran ini mengandaikan bahwa perilaku
melakukan
penyimpangan,
sehingga banyak di antara mereka terlibat kasus
budaya
tindak pidana korupsi.
dikendalikan oleh sistem yang berlaku atau juga
yang diyakini kebenarannya oleh elit politik. Di
Banyak kebijakan yang tidak pro rakyat, tetapi
sini diandaikan terjadi proses dekonstruksi atas
demi orientasi pertumbuhan mereka antusias mengeksplorasi
sektor
ekstraktif
semata-mata
berarti bisa dilepaskan begitu saja dari nilai-nilai
pencerabutan dari akar basis demokrasinya.
asing
tidak
yang cenderung pro kemapanan. Budaya politik
masuk dalam jajaran eksekutif juga mengalami
investor
rakyat
tidak mengikuti perilaku budaya politik elitnya
Sementara itu, kalangan kelas menengah yang
mengundang
politik
konstruksi yang telah terbentuk secara mapan
untuk
tetang nilai-nilai yang pada prinsipnya anti
atau
demokrasi.
pertambangan dan hasil hutan. Hampir semua Kepala Daerah dalam era Otonomi Daerah,
Dalam kehidupan politik keseharian di kalangan
justru menempuh kebijakan yang pro kapital
masyarakat
sebenarnya
dan
melakukan
praktik
padat
modal
yang
berorientasi
sudah
banyak
demokrasi.
Prinsip
pertumbuhan ekonomi daerah. Sementara itu
partisipasi misalnya, dalam unit komunitas RT-
tidak banyak yang berusaha mengedepankan
RW telah mengedepankan prinsip partisipasi
kebijakan pro rakyat yang padat karya dan
dalam
beriorientasi
pada pemerataan. Akibatnya,
pembangunan di seputar lingkungan sosialnya.
kesenjangan sosial ekonomi tetap lebar dengan
Prinsip mengedepankan transparansi juga telah
elit daerah sebagai penikmat atau yang lebih
menjadi
dikenal sebagai penerima berkah otonomi
mekanisme
pertanggungjawaban
dana
daerah. Semua itu mengindikasikan bahwa
pembangunan
yang
dana
demokrasi yang dijalankan masih berada pada
masyarakat. Perencanaan yang dibuat, kegiatan
tataran prosedural, dan belum berjalan secara
yang dilaksanakan, dan kebijakan yang diambil,
setiap
kultur
melaksanakan
yang terus digalang
aktivitas
hidup dalam dari
semuanya dapat dipertanggungjawabkan di
27
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial
depan
publik
sesuai
dengan
prinsip
level komunitas RT-RW justru perlu ditiru oleh
akuntabilitas. Jadi
elit
dalam
berkomunitas
pemerintahan
masyarakat
pada
unit
bawah
telah
Sebaliknya,
Nilai-nilai
demokrasi
transformatif
secara
rumput
ke
berpotensi
mendorong
korup
yang
menjadi
budaya
agen
politik
bersih
dalam dan
demokratis.
masyarakat
kultural
politik
nasional.
menunjukkan bahwa justru kalangan akar
rumput. Karena itu potensi akar rumput sebagai menuju
perilaku
politik
rumput dalam politik pada level desa. Itu semua
seperti
keterbukaan, terus hidup laten di kalangan akar pembaruan
level
tidak akan pernah ditiru oleh kalangan akar
menghargai pendapat orang lain, toleransi, dan
agen
pada
ditunjukkan oleh elit politik pada level nasional,
mempunyai tradisi yang sesuai dengan prinsip demokrasi.
politik
arah
Dalam
perspektif
budaya
yang
nilai-nilai
yang
demokratisasi sepertinya jauh lebih besar,
konstruktivistik,
dibandingkan dengan kelas menengah yang
mendasari
selama ini telah diasumsikan sebagai agen
penyimpangan akan bisa diubah oleh kalangan
demokrasi
akar
di
negara-negara
berkembang.
bahwa
politik
perilaku
rumput.
politik
Pandangan
yang
penuh
konstruktivistik
Karena itu jika fungsi kelas menengah sebagai
memposisikan akar rumput sebagai subyek yang
lokomotif demokrasi kurang bisa berjalan
aktif dan mampu melakukan dekonstruksi
secara efektif, maka fungsi itu bisa diambil alih
terhadap budaya politik mapan yang tidak
oleh kalangan akar rumput.
bersih
rumput
demokrasi dalam kehidupan berkomunitas. budaya
Transformasi
dan kemudian meniru budaya politik akar
rumput yang telah menunjukkan perilaku politik asumsi
demokrasi.
bawah dengan kesediaan elit untuk bercermin
bercermin pada budaya politik kalangan akar
demikian
anti
kultural dalam berdemokrasi bisa berjalan dari
Atau paling tidak, kalangan elit politik bisa
Dengan
dan
yang
justru
telah
sejak
lama
menjalankan prinsip demokrasi secara lebih
politik
substansial.
esensialistik yang mengandaikan perilaku elit politik yang senantiasa akan ditiru oleh rakyat, sekalipun perilaku bertentangan dengan nilai
Daftar Pustaka
demokrasi, tidak berlaku. Yang terjadi justru sebaliknya,
budaya
politik
kalangan
Arend, Lijphart. 1984. Democracies: Patterns of
akar
Majoritarian and Consensus Government
rumput yang bertingkahlaku politik yang bersih
in Twenty-One Countries, New Heaven
justru perlu ditiru oleh kalangan elit politik. Tingkah
laku
politik
yang
bersih
Conn: Yale University Press.
akan
Almond, Gabriel A. dan Sidney Verba.1963. The
menghasilkan budaya politik yang menjunjung tinggi
nilai
kejujuran
sebagaiman
Civic Culture. Princeton, New Jersey:
yang
Princeton University Press.
ditunjukkan oleh kalangan akar rumput pada 28
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial
Avineri, Shlomo. 1992, “The Return to History: The Breakup of the Soviet Union”, Brookings Review 10 Barry, Brian. 1970, Sociologists, Economists and Democracy.
Chicago:
University
of
Chicago Press. Fukuyama, Francis.1992. The End of History and The Last Man. New York: Free Press. Ghia
Nodia.
1994.
“Nationalism
and
Democracy”, dalam Larry Diamond and Marc F. Plattner (ed) Nationalism, Ethinic Conflict, and Democracy. London: Johns Hopkins University Press. Ignas Kleden, Budaya Politik atau Moralitas Politik?, artikel, Kompas, 12 Maret 1998, hal. 4-5. Kusnanto Anggoro. 1999. Gagasan Militer Mengenai Madani,
Demokrasi, dan
Masyarakat
Transisi
Demokratik.
“Pendekatan
–Pendekatan
Jakarta: CSIS Maswardi
Rauf,
Dalam Ilmu Politik: Studi Penjajagan”, Ilmu dan Budaya. No. 7, April 1991 Robinson, Richard dan Hadiz, Vedi R. 2004, Reorgananising Power in The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London and New York: Routledge Curzon. Stepan, Alfred. 1978. State and Society: Peru in Corporative Perspective. New Jersey: Princetton University Press.
29