PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUN OLEH RAKYAT (POTENSI DAN KEMUNGKINAN TIMBULNYA KONFLIK SERTA CARA MENGELIMINASINYA SEBAGAI UPAYA PENDIDIKAN POLITIK )
Oleh NasarudinTianotak Dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon
Abstrak:
Dinamika demokrasi di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat, terlihat dari beberapa indikator keberhasilan pemilu anggota DPR RI, DPD, dan DPRD, serta pemilihan Presiden dan Wapres secara langsung. Hal ini menggambarkan adanya loncatan besar dalam kehidupan demokrasi. Perkembangaan terakhir yaitu pemilihan langsung pilkada sejak Juni 2005. Tidak dipungkiri masih banyak masalah, namun tidak menafikkan perkembangan demokrasi saat ini dan ada harapan lebih baik di masa datang. Keberhasilan pemilu tidak lepas dari organisasi penyelenggaranya. Pelaksanaan pemilu secara langsung membutuhkan sebuah organisasi yang profesional, kredibel dan akuntabel. Jika tidak dilakukan secara profesional, maka akan sulit terwujud sebuah fair election. Untuk mengatasi dan mengkaji adanya potensi konflik dalam pemilu terutama pilkada, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk mereduksi konflik dengan melakukan pengkajian, identifikasi, analisis dan solusi pemecahannya sedini mungkin. Tulisan ini mencoba mengkaji beberapa kendala dalam penyelenggaraan pemilu terutama sebagai solusi untuk mencegah terjadinya konflik dalam pelaksanaan pemilu, terutama dalam pilkada secara langsung.
Kata-Kata Kunci: Pemilu kada, konflik dan pencegahannya sebagai Pendidikan Politik. PENDAHULUAN Paradigma Baru dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah (mencabut UU No. 22/1999) membawa sejumlah penyempurnaan, bahkan perubahan yang mendasar. Satu diantara perubahan yang sangat signifikan dan mendasar sifatnya adalah berkenaan dengan sistem pemilihan kepala daerah. Jika semula di bawah UU No. 22/1999, kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka dengan keluarnya UU No 32/2004, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan kata lain, berdasarkan UU No 22/1999, kepala daerah dipilih secara tidak langsung atau melalui badan perwakilan (DPRD), maka menurut UU No. 32/2004 kepala daerah tidak dipilih melalui badan perwakilan (DPRD) melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Hal yang terakhir menunjukkan bahwa UU No. 32/2004 dalam hal pemilihan kepala daerah, menganut demokrasi secara langsung. Artinya rakyat secara langsung berpartisipasi dalam menentukan terpilihnya kepala daerah. Praktek demokrasi langsung ini juga dijumpai dalam pemilihan umum
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
11
legislatif, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan Kepala Desa. Semula terasa ganjil jika dipusat, Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung serta di desa, kepala desa sudah dipilih secara langsung oleh rakyat, sementara kepala daerah tidak atau belum di pilih secara langsung rakyat. Inilah salah satu alasan mendorong terjadinya perubahan atas pemilihan kepala daerah dari tidak langsung menjadi langsung, disamping pengalaman atas praktik pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD pada masa lalu ditengarai banyak diwarnai praktek mony politics, political blacmailing, berbagai intrik politik dan lain sebagainya. Disyahkanya UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, yang merupakan penyempurnaan dari aturan terdahulu sehingga ada UU tersendiri yang lebih komprehensif, maka pemilu memiliki harapan lebih baik. Secara substantif pemilu di Indonesia sudah mengarah pada proses demokrasi yang lebih berkualitas, tetapi banyaknya kepentingan dan celah dalam peraturan perundangan, masih ada keberpihakan penyelenggara pemilu bahkan keputusan pihak pengadilan yang kadang dirasa tidak adil, kondisi ini masih berpotensi menimbulkan konflik. Terjadinya perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari semula tidak langsung (melalui DPRD) menjadi langsung (oleh rakyat), paling tidak disebabkan tiga hal, yaitu: Pertama: adanya perubahan sisitem kepala pemerintahan (presiden dan wakil presiden) pada level atas (pusat), sebagai akibat dari adanya perubahan UUD 1945. Sementara jauh sebelumnya pemerintah
pada level bawah (desa) sudah lama menerapkan tradisi demokrasi dengan dipilihnya kepala desa secara langsung oleh rakyat. Dengan demikian akan tampak secara vertikal garis linear penerapan tradisi demokrasi dalam hal pemilihan kepala pemerintahan mulai dari pusat sampai ke desa. Jadi, tradisi tidak hanya berlangsung atau tampak pada pucuk-pucuk pimpinan negeri (pusat), juga ada di daerah, kota dan bahkan di desa. Kedua: pengalaman atas praktek pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh DPRD yang berlangsung di bawah naungan UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, selain ditengarai sarat dengan praktek mony politics dan political blackmailing, juga dinilai tidak atau belum sepenuhnya merefleksikan pilihan rakyat, dan Ketiga: adanya perubahan UU No 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dalam Undangundang yang terakhir ini, DPRD tidak lagi memiliki tugas dan wewenang memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Beragam Interpretasi Terhadap Aturan Pilkada Mengacu pada konstalasi yang sejalan pula dengan tuntutan yang menghendaki perubahan terhdap pemilihan kepala daerah, maka UU No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah men-setting pengaturan tentang pemilihan kepala daerah secara langsung ke dalam pasal-pasal yang relatif banyak jumlahnya (melalui pasal 24 (5) dan Pasal 56 sampai Pasal 119 UU No. 32/ 2004). Pencantuman pasal-pasal yang mengatur pemilihan kepala daerah itu secara keseluruhan meliputi dua tahapan,
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
12
yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan dengan total waktu yang dibutuhkan adalah enam bulan. Relatif banyaknya pasal yang mengatur pemilihan kepala daerah dalam UU No. 32/ 2004, masih berlanjut pengaturannya (untuk hal-hal yan lebih bersifat teknis) kedalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP No 6 thn 2005) yang kemudian disempurnakan dengan PP No. 17 Thn 2005) tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah; belum lagi yang diatur dalam bentuk Instruksi Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Presiden dan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Utamanya ada dua produk hukum dalam ini peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilihan kepala daerah, yaitu UU No. 32/2004 dan PP No. 6/2005. Begitu banyaknya pasal-pasal yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah pada kedua peraturan perundangundangan itu, pada satu sisi terkesan relatif lengkap dan konprehensif. Namun pada sisi lain bukan tidak mungkin mengundang beragam interpretasi dalam pelaksanaannya manakala dalam ketentuan pasal yang ada di tidak jelas pula arti, maksud dan tujuannya (ambigouos). Begitu pula rumusan ketentuan pasal yang ada di dalamnya menggunakan bahasa yang berbelit-belit sehingga sukar dimengerti atau rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti (interpretative). Multy interpretation bisa juga terjadi karena sosialisasi kedua peraturan perundangundangan itu tidak maksimal disampaikan di daerah-daerah, terutama daerahdaerah kabupaten/ kota pemekaran baru, sehingga masih menyisahkan kegamangan, kebingungan dan kekurang
pahaman dari segenap pemangku kepentingan (stake holders) yang terlibat dalam pilkada. Keadaan yang demikian itu, maka UU No. 32/2004 diganti dengan Perpu No. 3/2005 sebagai akibat beberapa pasal dalam UU No. 32/2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan judicial review, dan bersamaan dengan itu PP No. 6/ 2005 direvisi dengan keluarnya PP No. 17/2005. Tentu saja perubahan ini kembali memerlukan sosialisasi, sementara sosialisasi sebelumnya saja sudah menyisakan persoalan. Sehingga dengan demikian menjadi semakin lengkap kebingungan dan keurang pahaman daerah di dalam memahami produk hukum pilkada yang berubah-ubah tersebut. Situasi yang demikian akan mudah melahirkan beragam interpretasi, karena masing-masing pihak yang berkepentingan dengan tingkat pemahamannya yang masih sederhana dan tidak utuh, akan sedemikian rupa menafsirkan ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan tentang pilkada sesuai dengan kepentingannya. Dengan kata lain, situasi yang demikian potensial akan mendatangkan konflik, jika aturan pilkada itu ditafsirkan secara berbeda diantara stake holders yang terlibat didalamnya, apakah itu kandidat atau calon kepala daerah, partai politik yang menusunnya, KPUD, DPRD Panitia Pengawas Pemilu, Lembaga Pemantau dan lain sebagainya. Tentu saja semua penafsiran yang berbeda itu akan disesuaikan dengan kepentingannya masing-masing, apakah pada tahap persiapan dan pelaksanaan pilkada ataukah pasca pilkada. Terutama partai politik yang berkepentingan terhadap pilkada. Kanapa?
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
13
PEMBAHASAN Dalam praksis politik demokrasi, konflik atau perbedaan kepentingan, persepsi, interpretasi terhadap mekanisme pilkada sebetulnya tidak saja mengandung nilai-nilai positif pembelajaran politik, melainkan juga merupakan strategi politik yang sering dipraktikkan banyak negara demokratis. Konflik dalam praksis politik sebetulnya tidak mungkin dihindari, apalagi bagi Indonesia yang memiliki multipartai politik. Konflik di masyarakat merupakan sesuatu yang tak bisa dielakkan, maka yang perlu diketahui bukanlah apakah konflik itu ada atau tidak ada, tapi bagaimana intensitas dan tingkat kekerasannya, dan dalam bentuk apa konflik itu. Apakah menyangkut masalah fundamental atau isu-isu sekunder, pertentangan tajam atau sekadar perbedaan pandangan? Intensitas konflik menunjuk pada tingkat pengeluaran energi dan keterlibatan pihak-pihak (kelompokkelompok) yang berkonflik. Sedangkan kekerasan konflik menyangkut alat/sarana yang digunakan dalam situasi konflik, mulai dari negosiasi hingga saling menyerang secara fisik. Konflik antarkelompok yang menyangkut masalah prinsip dasar (fundamental) akan menimbulkan pertentangan antarkelompok yang lebih serius dibandingkan bila masalahnya sekadar bersifat sekunder atau dinilai tak penting. Teori Konflik telah diulas dan dikembangkan oleh banyak sosiolog, antara lain, Karl Marx, Ralf Dahrendorf, George Simmel, dan Lewis Coser. Teori Konflik yang digagas oleh Marx didasarkan pada kekecewaannya pada sistem ekonomi kapitalis yang dianggapnya mengeksploitasi buruh. Bagi
Marx, dalam masyarakat terdapat dua kekuatan yang saling berhadapan, yakni kaum borjuis yang menguasai sarana produksi ekonomi dan kaum proletar atau buruh. yang dikendalikan oleh kaum borjuis. Antara kedua kelompok ini selalu terjadi konflik. Dalam The Communist Manifesto Marx (Johnson, 186: 146) mengatakan, "Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas," yaitu kelas buruh melawan kelas borjuis, yang pada akhirnya akan dimenangkan kaum proletar, sehingga tercipta tatanan masyarakat tanpa hierarkis, yakni komunisme. Karl Marx melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik (Camplell, 1994: 134). Penerus gagasan Marx, di antaranya adalah Ralf Dahrendorf. Dia melakukan revisi atas pemikiran Marx. Baginya, pengelompokan kelas sosial tidak lagi hanya didasarkan atas pemilikan saranasarana produksi, tetapi juga atas hubungan-hubungan kekuasaan terdapat sejumlah orang yang memiliki dan turut serta dalam struktur kekuasaan, terdapat pula yang tidak masuk kekuasaan. Menurut Dahrendorf, sebagai koreksi atas pemikiran Marx, telah terjadi dekomposisi modal (menimbulkan kesulitan mengidentifikasi kaum borjuis yang monopolistis karena para pegawai pun kini ikut memiliki saham perusahaan); dekomposisi tenaga kerja (kaum proletar tidak lagi homogen; secara hierarkis di antara mereka tersebar menempati posisi tertentu), dan timbulnya kelas menengah baru (karena terjadinya peningkatan kesejahteraan di kalangan kaum buruh). Dalam hal ini terkandung tiga konsep penting: kekuasaan, kepentingan,
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
14
dan kelompok sosial. Pada gilirannya nanti, menurut Garna, diferensiasi kepentingan yang terjadi dapat melahirkan kelompok konflik potensial atau kelompok konflik aktual yang berbenturan karena punya kepentingan antagonistik. Menurut Coser, konflik itu memiliki fungsi sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batasbatasnya dapat terbentuk dan dipertahankan. Konflik juga mencegah suatu pembekuan sistem sosial dengan mendesak adanya inovasi dan kreativitas. Karena konflik lebih banyak dilihat dari segi fungsi positifnya, maka Teori Konflik yang dikembangkan Coser disebut pula Fungsionalisme Konflik Sosial. Austin Ranney, konflik itu sendiri menjadi bagian tak terpisahkan dari politik. Artinya, keseluruhan aspek dalam politik memang mengandung potensi konflik. Hal tersebut dapat terjadi, karena politik memiliki unsur-unsur yang dapat memicu hadirnya konflik, seperti persaingan, kepentingan, dan keterbatasan sumber daya (baca: kekuasaan). Konflik sering memperkuat dan mempertegas batas kelompok dan meningkatkan penggalangan solidaritas internal kelompok. Konflik antarkelompok merupakan penghadapan antara in-group dan out-group. Ketika konflik terjadi, masing-masing anggota dalam suatu kelompok akan meningkatkan kesadaran sebagai sebuah kelompok (in-group) untuk berhadapan dengan kelompok lain (out-group). Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial lainnya.
(Poloma, 1987: 108). Ketika ada ancaman dari luar, maka kelompok tidak mungkin memberikan toleransi pada perselisihan internal. Demokratisasi secara konseptual menurut Kenneth Minogue, (2000) merupakan proses di mana rezim-rezim otoriter beralih menjadi rezim-rezim demokratis. Proses transisi menuju demokratis dalam pilkada kali ini menjadi fenomena kuat apakah demokratisasi berjalan sesuai dengan substansinya itu sendiri atau lagi-lagi terjebak pada "slogan-slogan dan verbalisme" kampanye yang tak mampu menangkap aspirasi dan kepercayaan rakyat pemilih. Apa pun, pelaksanaan Pilkada langsung mesti berjalan sukses dalam arti demokratis, aman, dan damai, sebagaimana Pemilihan Presiden 2004. Dalam hal ini, kesuksesan Pilkada langsung tidak hanya dilihat dari perspektif kemajuan pelaksanaan otonomi daerah, khususnya yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi juga bagian inheren agenda reformasi politik, sebagaimana menjadi tuntutan mahasiswa saat meruntuhkan rezim Orde Baru. Namun di balik eforia menyongsong Pilkada langsung dewasa ini, ada masalah lain yang dapat membuat agenda politik lokal ini paradoks, yakni potensi konflik yang dikandungnya. Hal ini telah diingatkan banyak kalangan sejak awal. Potensi konflik jelas menjadi salah satu pekerjaan rumah seluruh perencana dan penyelenggara Pilkada langsung. Kalau tidak diantisipasi baik sejak dini, Pilkada nanti bakal menimbulkan konflik politik yang tidak hanya merugikan kepentingan rakyat, tetapi juga merusak benih-benih demokrasi di tingkat lokal.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
15
Jika diidentifikasi, ada beberapa masalah di sekitar Pilkada langsung yang bisa memicu konflik politik di daerah. Konflik-konflik tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kepentingan masing-masing elit lokal yang bertarung, kepentingan elit politik nasional, kepentingan pengusaha, maupun kepentingan kekuatan-kekuatan politik lain di daerah (Nurhasim, et.al (Ed.), 2005). Pertama, terdapatnya peraturan Pilkada langsung yang menutup munculnya calon independen. Presedennya sudah dimunculkan pada Pilpres (Pemilu Presiden) lalu yang tak memperkenankan calon independen maju sebagai capres (capres) atau cawapres (calon wakil presiden). Salah satu kelemahan UU 32/ 2004 menyangkut Pilkada adalah pemberian otoritas penuh kepada partai politik sebagai satu-satunya penjual tiket calon kepala daerah. Hal ini tentu bisa memicu ketidakpuasan, karena pada kenyataannya di banyak daerah terdapat tokoh-tokoh non-partai yang disukai masyarakat. Kedua, kuatnya hubungan emosional antara kandidat dengan konstituen. Hubungan emosional antara konstituen dengan kepala daerah jauh lebih dekat dibandingkan dengan kepala negara atau pemimpin di level nasional. Hal itu bukan hanya disebabkan kedekatan fisik, tetapi juga sosial, budaya, geografis dan sebagainya. Jika tidak ada manajemen konflik yang baik, terutama terhadap bolong-bolong yang terdapat pada aturan Pilkada, maka ketidakpuasan konstituen terhadap konstituen dan kandidat lain atau proses pemilihan kepala daerah bisa memicu lahirnya konflik di daerah. Dengan kata
lain, sensitivitas konstituen dalam pilkada sangat tinggi. Beberapa Sumber Konflik dalam Pemilukada dan Pemilu Legislatif, selain KPUD, DPRD, Panitia Pengawas, PPK, PPS, KPPS, Lembaga Pemantau, dan lain-lain sebagai pihak yang terlibat langsung dalam pilkada, secara umum partai politik adalah sebagai satu-satunya akses ataupun pintu masuk bagi setiap orang yang ingin mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah maupun anggota legislatif. Artinya, dalam pilkada dan pemilihan anggota legislalatif, partai politik adalah kontestan yang memiliki peran penting dan menetukan bagi orang yang ingin maju sebagai kandidat calon kepala daerah maupun anggota legislatif. Terutama untuk pemilihan kepala daerah, maka partai poitik yang dimaksud disini, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah partai politik yang sekurang-kurangnya memperoleh 15 % dari jumlah kursi di DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara yang sah dalam pemilu anggota DPRD bagi gabungan partai politik. Sebagai salah satu akses dan pintu masuk bagi kandidat kepala daerah, partai politik atau gabungan partai politik selain akan merekrut kandidat yang dinilai cappable, accetable, memiliki integritas dan “nilai jual” sesuai dangan mekanisme internal partai yang bersangkutan, juga akan berusaha dengan segala daya dan upaya untuk memenangkan pemilihan. Untuk hal yang terakhir ini, bila waktunya tiba potensial memicu konflik, apabila: Pertama; partai poltik atau gabungan partai politik “mengeksploitasi” sedemikian rupa, dalam artian memobilisasi segenap potensi yang ada didaerah yang bersangkutan, baik atas nama
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
16
sentimen etnik, agama, daerah (keturunan) sesuai dengan karakteristik daerah yang bersangkutan; Kedua; partai politk atau gabungan partai politik melancarkan kampanye negatif (negative campaign) satu sama lain dalam bentuk fitnah atau serangan ke integritas pribadi kandidat, ataupun hal-hal yang bersifat menjelekkan/ menjatuhkan kandidat satu sama lain; Ketiga; partai politik atau gabungan partai politik melakukan tindakan protes yang disertai pemaksaan kehendak dengan mengerahkan masa pendukungnya satu sama lain terhadap pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan pilkada; Keempat; partai politik atau gabungan partai politik menengarai terjadinya manupulasi dan kecurangan dalam penghitungan suara hasil pilkada sebagai akibat adanya tekanan terhadap netralitas panitia pilkada, baik ditingkat kecamatan maupun ditingkat desa yang dilakukan oleh partai politik atau gabungan patai politik; Kelima; partai politik atau gabungan patai politik menduga kuat adanya mobilisasi dukungan dari aparat birokrasi (PNS,TNI, POLRI) terhadap kandidat yang diusung oleh partai poloitik atau gabungan partai politik itu berasal calon incambment
Keenam; Dalam beberpa kasus pilkada di maluku misalnya yang terjadi di kab. Seram Bagian Timur, Kab. Kepulauan Aru dan Kab. Bursel menunjukkan bahwa lembaga penyelenggara pemilu (KPUD) cenderung turut “bermain” dalam memenangkan calon incambmen. Dengan demikian sumber pemicu konflik antara partai pendukung kandidat selain peraturan perundang-undangan tentang pilkada yang interpretable, juga bersumber dari keenam hal yang disebut di atas. Demikian pula konflik yang mungkin terjadi antar partai politik pendukung kandidat, tidak hanya timbul pada tahap persiapan dan pelaksanaan pilkada, juga kemungkinan besar akan berlanjut pasca pilkada. Dalam konteks ini, harus diakui segenap peraturan perundang-undangan tentang pilkada kurang menantisipasi ataupun memprediksi kemungkinan munculnya bentuk konflik yang digambarkan di atas. By design, semua aturan disusun di atas asumsi bahwa semua pemangku kepentingan (stake holders) yang terlibat dalam pilkada adalah orang-orang baik, jujur dan lebih mendahulukan kepentingan kolektif dibanding kepentingan pribadi, kelompok, golongan ataupun partai tertentu. Padahal realitasnya belum tentu demikian ketika memasuki pertarungan dalam pilkada sebagai grey area, dimana segalanya bisa mungkin terjadi. Pertanyaannya sekarang adalah, apa solusi yang dapat dilakukan untuk mengeleminasi terjadinya konflik yang demikian itu?
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
17
Upaya Mengeliminasinya. Paling tidak, ada 3 (tiga) solusi yang dapat ditawarkan sebagai upaya mengeliminasi potensi konflik pilkada: Pertama; sepanjang konflik yang terjadi bersumber pada aturan pilkada yang interpretable, maka masing-masing pihak yang berkonflik (antar partai politik atau gabungan partai politik pendukung kandidat) harus menempuh penyelesaiannya melalui jalur hukum. Dalam hal ini menyerahkan penyelesaiannya kepada hakim pengadilan untuk memutuskannya secara impartial. Apapun putusan pengadilan, semua pihak yang terlibat harus mematuhinya dengan jiwa besar; Kedua; harus dibangun suatu kesepakatan ataupun konsensus bersama pada tingkat lokal dari segenap pihak yang berkepentingan terhadap pilkada, mulai dari KPUD, DPRD, Para politisi lokal ataupun elit parpol, Pemda, Tokoh-Tokoh Masyarakat Dari Kalangan Agama, Adat Desa, Kepolisian, Militer, Kejaksaan, LSM, Panwas, Lembaga Pemantau Pemilu, Pers, Akademisi setempat, PPS, KPPS dan lain sebagainya. Kesepakatan ataupun konsensus bersama ini penting bukan hanya dalam rangka mengantisipasi dan mencegah munculnya konflik dan gejolak, juga sebagai wahana pembelajaran dalam upaya membangun tatanan kehidupan demokrasi secara damai dan menyejukkan di tingkat lokal atau daerah. Untuk mencapai hal yang demikian itu,bisa saja dalam konsensus bersama itu disepkati semacam kode etik untuk tidak melakukan atau melancarkan negative campaign, mengangkat isu dan sentimen primordial, mempolitisasi agama, dan hal-hal sensitif lainnya yang mudah meletupkan konflik. Juga yang tak kalah pentinnya, terutama bagi pihak
kandidat bersama partai dan massa pendukungnya adalah bagaimana menyiapkan mental untuk bisa menerima kekalahan dalam sebuah proses demokrasi seperti pilkada; Ketiga; oleh karea pemeran dan kontestan utama dari pilkada adalah partai politik dan gabungan partai politik yang mengusung para kandidat kepala daerah, maka upaya untuk mengeliminasi konflik yang terjadi diantara mereka, harus dikembalikan pada fungsi yang diemban oleh partai politik itu sendiri. Salah satunya adalah sebagai sarana pengatur konflik (konflik management). Fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik menjadi relevan dan penting artinya dalam upaya mengelola dan meredam konflik yang timbul, baik sebelum dan terutama sesudah atau pasca pilkada. Dengan bantuan partai melalui pelaksanaan fungsinya yang strategis itu, maka konflik yang terjadi sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa, sehingga akibat-akibat negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. KESIMPULAN UU No. 32/2004 kepala daerah tidak dipilih melalui badan perwakilan (DPRD) melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Praktek demokrasi langsung ini juga dijumpai dalam pemilihan umum legislatif, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan Kepala Desa. Mengacu pada konstalasi yang sejalan pula dengan tuntutan yang menghendaki perubahan terhdap pemilihan kepala daerah, maka UU No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah men-setting pengaturan tentang pemilihan kepala daerah secara langsung ke dalam pasal-pasal yang relatif banyak jumlahnya
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
18
(melalui pasal 24 (5) dan Pasal 56 sampai Pasal 119 UU No. 32/ 2004). pemilihan kepala daerah itu secara keseluruhan meliputi 2 tahapan, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan dengan total waktu yang dibutuhkan adalah 6 bulan. Dalam praksis politik demokrasi, konflik atau perbedaan kepentingan, persepsi, interpretasi terhadap mekanisme pilkada sebetulnya tidak saja mengandung nilai-nilai positif pembelajaran politik, melainkan juga merupakan strategi politik yang sering dipraktikkan banyak negara demokratis. Konflik dalam praksis politik sebetulnya tidak mungkin dihindari, apalagi bagi Indonesia yang memiliki multipartai politik. Tiga konsep penting dalam teori konflik: kekuasaan, kepentingan, dan kelompok sosial. Konflik sering memperkuat dan mempertegas batas kelompok dan meningkatkan penggalangan solidaritas internal kelompok. Konflik antarkelompok merupakan penghadapan antara in-group dan out-group. Beberapa Sumber Konflik dalam Pemilukada dan Pemilu Legislatif, KPUD, DPRD, Panitia Pengawas, PPK, PPS, KPPS, Lembaga Pemantau. Paling tidak, ada 3 (tiga) solusi dalam penyelesaian konflik: Pertama; sepanjang konflik yang terjadi bersumber pada aturan pilkada yang interpretable. Oleh karena itu apapun putusan pengadilan, semua pihak yang terlibat harus mematuhinya dengan jiwa besar; Kedua; harus dibangun konsensus bersama pada tingkat lokal dari segenap pihak yang berkepentingan terhadap pilkada, mulai dari KPUD, DPRD, Para politisi lokal ataupun elit parpol, Pemda, Tokoh-Tokoh Masyarakat Dari Kalangan Agama, Adat Desa, Kepolisian, Militer,
Kejaksaan, LSM, Panwas, Lembaga Pemantau Pemilu, Pers, Akademisi setempat, PPS, KPPS dan lain sebagainya; Ketiga; sebaiknya fungsi yang diemban oleh partai politik yaitu manajemn konflik sebagai salah satu pendidikan politik harus dikembalikan kepada partai politik. Dengan bantuan partai melalui pelaksanaan fungsinya yang strategis itu, maka konflik yang terjadi sekurangkurangnya dapat diatur sedemikian rupa, sehingga akibat-akibat negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. SUMBER RUJUKAN Carut Marut Pilkada Mojokerto”, Majalah Mimbar Politik, Edisi 48, 23-29 April 2010. Depdagri. ”Petakan Pilkada Rawan Konflik”, Media Indonesia, 10 November 2009. Garna K. Yudistira. 1987. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Harga Mahal Sebuah Demokrasi”, Majalah Mimbar Politik, Edisi 52, 21-27 Mei 2010. Haris, Syamsuddin, Mengelola Potensi Konflik Pilkada, dalam http://www.kompas.com/kompascet ak/0505/10/opini/1734670.htm, didownload pada 22 Juli 2005 pukul 15:18 WIB. Johnson, Paul Doyle. Teori Sosiologi Kalisik dan Modern di Indonesia,(Terjemahan Robert MZ. Lawang), PT. Gramedia, Jakarta, 1990. Nurhasim, Moch (Ed.), 2009, Konflik dalam Pilkada Langsung (20052008): Studi tentang Penyebab dan Dampak Konflik, Jakarta: LIPI Press.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
19
Poloma, Margaret M. 1987. Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Rajawali Press. Pilkada 2010 Sedot APBD Rp 3,5 triliun”, Seputar Indonesia, 13 April 2010. Ramlan, Surbakti. 1989. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Ralf, Dahrendorf. 1987. M o d e r n S o c i a l Conflict. Ranney, Austin, 1987, Governing: An Introduction to Political Science, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
20