TRANSFORMASI KUDUS SEBAGAI KOTA LAYAK ANAK (Tinjauan atas Pemenuhan Hak Sipil dan Partisipasi) Siti Malaiha Dewi*
Abstract: Children are a gift of God’s mandate and at the same time that always must be maintained. Unfortunately, some cases such as child exploitation, child sexual abuse, trafficking, was just always there. In fact, the City of Eligible Children (KLA) has long been proclaimed. Kudus, is one of them. The research is to know “Why is the implementation of the KLA in particular compliance with civil rights and child participation has not materialized”. The results of civil rights compliance situations and children’s participation is still minimal. This can be seen from the following indicators: 1) There are still 30% of children who do not have birth certificates of children; 2) involvement of children in public policy decisions not yet exist; 3) Lack of information and communication center-based child; Only the fourth indicator of presence forum child in the Kudus District are met. Obstacles in the implementation KLA in Kudus City were: 1) Program of the KLA is considered as a program that is not sexy and not able to boost the image of officials, 2) Institutionally, egosektoral SKPD is still so difficult to integrate the issue of children into the program all SKPD, 3) Institutional Capacity inadequate implementation, and 4) specific budget for children not in the budget. Kata Kunci: Anak, Hak Sipil, Partisipasi
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah putra putri sang Hidup, yang rindu akan dirinya sendiri. Ia lahir melaluimu, namun bukan darimu. Sekalipun ia bersamamu, ia bukan milikmu. Kau bisa memberinya cinta, tapi jangan menjejalinya dengan pemikiranmu. Ia punya pemikirannya sendiri. Kau bisa mengurung tubuhnya, tapi tidak dengan jiwanya. Karena jiwanya bersemayam di rumah hari esok, yang tak bisa kau kunjungi, tak juga dalam mimpi. Kau bisa menjadi seperti dia, tapi jangan memaksanya sepertimu. Karena hidup takkan pernah mundur dan bersenandung dengan hari kemarin. (Kahlil Gibran)
Demikian penggalan karya Kahlil Gibran yang ingin menyampaikan kepada kita bahwa anak punya hak atas apapun yang berhak dimilikinya di dunia ini. Hak hidup, hadir, tumbuh, dan dicintai. Hak berbicara, berekspresi, dan menentukan diri mereka sendiri. Terbebas dari pemaksaan atas nama “Orang tua” selaku generasi yang “lebih dulu tahu” akan asam manisnya hidup dan kehidupan. Sementara, begitu banyak pemberitaan tentang orang tua yang dengan mudah memutuskan awal dan akhir dari anak-anaknya: lahir mati di kamar mandi, disiksa hingga cacat atau mati, dicabuli, dieksploitasi, dikirim ke luar negeri, dan dinikahkan pada usia dini dengan alasan memenuhi kebutuhan ekonomi merupakan sederet bukti yang sangat nyata bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat belum semuanya ramah terhadap anak. *. Dosen pada Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus, Ketua PSG STAIN Kudus. E-mail:
[email protected].
398
MUWÂZÂH , Vol. 3, No. 1, Juli 2011
Selain keluarga, perlakuan lingkungan bermain, lingkungan tempat belajar, dan fasilitas publik yang disediakan pemerintah, seperti jalan, alat transportasi, tempat rekreasi, dan lainya, ternyata juga belum juga ramah terhadap anak (Pudjijulianingsih, 2009: 4). Fakta tersebut menunjukkan kepada kita bahwa problem anak luar biasa banyaknya meskipun sudah ada regulasi yang melindunginya. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 misalnya, secara jelas mengatur tentang hak-hak anak, sebagaimana tertuang dalam pasal 28B ayat 2, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Selain UUD 1945, ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai Pelaksanaan Konvensi PBB tentang Hak Anak; Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT); Undang – undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; dan Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang memuat upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan anak dan mewujudkan anak Indonesia yang sehat, cerdas, ceria, dan berakhlak mulia; serta melindungi anak terhadap berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Kemudian, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP) bersama sektor pemerintah terkait, organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat mengembangkan model Kota Layak Anak, yaitu kota yang di dalamnya telah meramu semangat untuk memberikan perlindungan terhadap anak sebagai kegiatan atau upaya untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya dalam proses pembangunan berkelanjutan yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kota/Kabupaten Layak anak (KLA). KLA dimaksudkan sebagai suatu upaya nyata untuk menyatukan isu hak anak ke dalam perencanaan dan pembangunan kabupaten/kota (Pedoman KLA, 2006). Guna mempercepat terwujudnya pengembangan Kota Layak Anak (KLA), KPP menjadikan model KLA ini sebagai prioritas program dalam bidang kesejahteraan dan perlindungan anak dengan menetapkan 7 (tujuh) aspek penting dalam pengembangan KLA yaitu : 1) Kesehatan; 2) Pendidikan; 3) Sosial; 4) Hak Sipil dan Partisipasi; 5) Perlindungan Hukum; 6) Perlindungan Ketenagakerjaan; 7) Infrastruktur (Pedoman Kebijakan KLA, 2006). Menindaklanjuti kebijakan nasional tersebut, masing-masing pemerintah daerah menetapkan Kebijakan yang dimaksudkan untuk melindungi hak-hak anak yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan kondisi otonomi daerahnya. Di Jawa Tengah, kebijakan kota layak anak sudah dicanangkan mulai tahun 2006 yang lalu. Namun, setelah beberapa tahun berjalan, secara umum dapat dikatakan bahwa issue anak belum menjadi prioritas dalam kebijakan dan penganggaran, gerakan perlindungan anak masih bersifat sektoral, balita terlantar sebanyak 36.474 anak, anak terlantar sebanyak 171.308 anak dan Anak yang menjadi korban kekerasan /diperlakukan salah sebanyak 2.425 anak (Data LPPA Jawa Tengah, 2009). Kondisi ini menunjukan bahwa perlindungan terhadap anak belum maksimal dilakukan baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun keluarga. Di Kabupaten Kudus, kebijakan yang terkait dengan perlindungan anak telah ada sejak Tahun 2004 yaitu sejak dikeluarkanya SK Bupati tentang pembentukan Jaringan perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus, SK Bupati No. 45 tahun 2009 tentang pembentukan gugus tugas Kebijakan Kudus Kabupaten Layak Anak (K3LA). Namun, setelah satu tahun berjalan, perubahanperubahan yang diharapkan belum signifikan. Contohnya: masih banyak terlihat anak jalanan mengamen maupun mengemis di perempatan-perempatan jalan; masih banyak anak yang dipekerjakan pada saat jam belajar; jumlah anak penderita ISPA tertinggi ketiga se-Jawa tengah (www.inilah.com, tanggal 14 Juni 2010); ada 17 kasus pencabulan anak di Tahun 2010 (Data JPPA, 2010); belum adanya shelter dan rumah rehabilitasi untuk anak sebagai pelaku; dan masih banyak anak yang tidak memiliki akta kelahiran, padahal bupati telah mencanangkan pembuatan akta kelahiran gratis. Kemudian, partisipasi anak dalam pembangunan, khususnya dalam proses – proses kebijakan seperti dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes), Musyawarah Rencana Pembangunan Kecamatan Transformasi Kudus sebagai Kota Layak Anak (Siti Malaiha Dewi)
399
(Musrenbangcam), dan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) belum nampak. Begitu juga dengan partisipasi anak dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat pun masih minim. B. Rumusan Masalah Kebijakan Kudus Kabupaten Layak Anak (K3LA) sudah satu tahun lebih dicanangkan, gugus tugas pun sudah terbentuk. Berbagai workshop, sosialisasi, dan desimenasi informasi telah dilaksankan, dan tahun 2015 diharapkan semua rencana aksi yang sudah dirumuskan telah terselesaikan. Namun, setelah waktu berlalu, tampak belum ada capaian – capaian yang nyata atau belum ada perubahan yang signifikan. Berbagai problem seputar anak masih saja terlihat dan terdengar. Yang paling nyata adalah suara anak yang tidak didengar baik di keluarga, masyarakat, maupun negara. Berdasar latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Mengapa pemenuhan hak sipil dan partisipasi anak di Kabupaten Kudus belum terpenuhi?. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (1). Memperoleh gambaran mengenai situasi partisipasi anak dan pemenuhan hak sipil anak di Kabupaten Kudus dan ; (2). Menemukan faktor – faktor yang menjadi penyebab belum terpenuhinya hak sipil dan partisipasi anak di Kabupaten Kudus. Sedangkan kegunaan penelitian adalah: (1). Manfaat akademis penelitian ini adalah memberi sumbangan teoritis berupa tambahan khasanah keilmuan pada mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan khususnya pada materi ’Demokrasi, HAM, dan Masyarakat sipil atau madani’ tentang pentingnya mengintegrasikan kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi anak baik laki-laki maupun perempuan; (2). Manfaat praktis penelitian ini adalah agar menjadi bahan refleksi dan evaluasi serta penyusunan langkah strategis oleh pemerintah Kabupaten Kudus dalam melaksanakan serta mengembangkan Kebijakan Kota Layak Anak, khususnya yang terkait dengan pemenuhan hak sipil dan partisipasi anak dan; (3). Manfaat praktis lainya adalah sebagai daya dorong bagi pihak lain untuk melakukan riset atau kajian – kajian terhadap anak khususnya yang terkait dengan partisipasi dan pemenuhan hak sipil anak. D. Kajian Pustaka Anak merupakan amanah Tuhan YME yang harus dilindungi hak asasinya sebagai manusia, karena merupakan individu yang belum matang secara fisik, mental maupun sosial. Kondisinya rentan dan masih tergantung pada orang dewasa. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan baik oleh keluarga, masyarakat maupun negara. Salah satu bentuk perlindungan yang dimaksud adalah memberikan lingkungan yang terbaik bagi anak. Kevin Lynch dalam bukunya yang berjudul “Children’s Perception of the Environment” mengatakan bahwa Lingkungan yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai komuniti yang kuat secara fisik dan sosial, komuniti yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas, komuniti yang memberi kesempatan pada anak, dan komuniti yang mempunyai fasilitas pendidikan yang memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka (Panduan KLA, 2006). Hal ini tentu tidaklah mudah, sebagaimana dikatakan oleh Alit Kurniasari bahwa untuk mewujudkan komuniti peduli anak dibutuhkan adanya pembentukan jejaring kolaboratif antar sektor terkait, dunia usaha, masyarakat peduli anak, dan pemerintah (www.depsos.go.id, 14 Juni 2010). Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi hak anak dan mewujudkanya dalam bentuk kebijakan kota layak anak (KLA). KLA dipandang krusial untuk menjadi agenda nasional mengingat masih terbatasnya kebijakan pemerintah untuk menyatukan isu hak anak ke dalam perencanaan pembangunan kabupaten/kota dan belum terintegrasinya hak perlindungan anak ke dalam pembangunan kabupaten/kota. Kemudian, untuk mempercepat terwujudnya pengembangan Kota Layak Anak (KLA), Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan menjadikan model KLA ini sebagai prioritas program 400
MUWÂZÂH , Vol. 3, No. 1, Juli 2011
dalam bidang kesejahteraan dan perlindungan anak dengan menetapkan 7 (tujuh) aspek penting dalam pengembangan KLA yaitu: kesehatan, pendidikan, sosial, hak sipil dan partisipasi, perlindungan hukum, perlindungan Ketenagakerjaan, dan Infrastruktur. Di Kabupaten Kudus, kebijakan kota layak anak ini disingkat menjadi K3LA/ Kabupaten Kudus sebagai Kota Layak Anak. Namun, setelah satu tahun berjalan kebijakan ini diimplementasikan, ternyata banyak tujuan yang tidak tercapai, padahal implementasi sebuah kebijakan sebagaimana ditulis oleh Riant Nugroho pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya (Nugroho, 2009: 494). Contoh nyata belum terlaksananya K3LA adalah belum tersedianya basis data anak di Kabupaten Kudus, partisipasi anak dalam pembangunan yang sama sekali tidak ada, dan lainya. Apa penyebabnya? George C. Edward III mengatakan bahwa berhasil tidaknya sebuah implementasi dipengaruhi oleh empat hal, yaitu: komunikasi, sumber daya, disposisi/ karakteristik yang dimiliki implementator, dan struktur birokrasi. Senada dengan teori Edward III tersebut, Donald S Van Meter dan Carl E. Van Horn mengungkapkan bahwa keberhasilan sebuah implementasi dipengaruhi oleh sumberdaya, komunikasi antar organisasi, karakteristik agen pelaksana, serta kondisi sosial, ekonomi, dan politik (Subarsono, 2005: 90). Jadi, keberhasilan maupun kegagalan implementasi K3LA khususnya pemenuhan terhadap hak sipil dan partisipasi anak, akan dilihat pada aspek komunikasi yang dilakukan oleh lembaga pelaksana maupun pelaksana dengan kelompok sasaran; sumberdaya, karakteristik pelaksana yang meliputi komitmen, kejujuran; dan struktur organisasi, serta kondisi sosial, ekonomi, dan politik. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam pembahasan ini ada tiga hal yang akan dibahas, yaitu identifikasi problem anak di Kabupaten Kudus, capaian KLA di Kudus, dan pemenuhan hak sipil dan partisipasi anak di Kudus. A. Identifikasi Problematika Anak di Kabupaten Kudus Anak adalah amanah yang perlu dijaga. Karena anak adalah generasi yang akan datang yang akan meneruskan keberlangsungan keluarga maupun negara, sebagaimana diungkapkan oleh ZA, sebagai berikut: “ Kontribusi anak terhadap negara sebetulnya luar biasa besarnya. Karena mereka itu generasi yang akan datang yang akan meneruskan estafet kelangsungan bangsa. Jika mengharap kontribusi anak, maka pemerintah harus menganggap mereka sebagai human investmen yang hasilnya akan besar karena bersifat investasi yang kekal. Tapi, bagaimana anak mau berkontribusi, modal untuk berkontribusi saja mereka tidak punya, mereka saja masih di jalanan dimana harus berfikir menanggung kebutuhan ekonominya”. (Hasil wawancara dengan ZA, 5 Agustus 2010).
Dari pernyataan di atas, menunjukan bahwa anak adalah bagian terpenting dari sebuah negara dan merupakan investasi jangka panjang. Untuk itu, anak sebagai human investmen harus dilindungi dan dijaga. Gerakan perlindungan terhadap anak, sebetulnya sudah lama ada, yaitu pada zaman peradaban Islam, tepatnya ketika Rosulullah Muhammad SAW melarang Kaum Quraisy mengubur anak perempuan mereka. Kemudian, secara tekstual dalam Al Qur’an, Qs. Ali Imran (3): 36, pun termuat adanya kesetaraan penghormatan dan usaha melindungi anak-anak dari segala bentuk intimadasi, penindasan atau memperlakukan anak semena-mena karena perbedaan jenis kelamin. Lebih lengkap lihat terjemahan Qs. Ali Imran (3): 36, berikut ini: Artinya: “(Maka tatkala istri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkanya itu; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkanya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya Aku telah menamai dia Maryam dan Aku mohon perlindungan untuknya serta anak – anak keturunanya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk)”. Transformasi Kudus sebagai Kota Layak Anak (Siti Malaiha Dewi)
401
Namun, nyatanya banyak pihak yang belum memiliki pemahaman yang demikian. Bukti nyatanya adalah terjadinya kasus pembunuhan terhadap anak dan berbagai tindak kekerasan terhadap anak, seperti pelecehan seksual, pemaksaan menikah dini, pengiriman anak ke luar negeri, penjualan anak, mempekerjakan anak di bawah usia, dan menjadikan anak terlantar di jalanan. Dan, pelaku berbagai tindak kejahatan tidak lain adalah keluarga sendiri. Hal ini menunjukan bahwa keluarga sebagai unit terkecil di dalam masyarakat _ yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap anggotanya khususnya anak, ternyata masih juga tidak memberikan kenyamanan, sebagaimana disampaikan oleh sekretaris LKBH STAIN Kudus dan anggota Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus, sebagai berikut: “Beberapa kasus kekerasan terhadap anak yang saya tangani, justru pelakunya adalah keluarga sendiri. Ada yang karena alasan ekonomi, ada juga yang justru menyalahkan anak itu sendiri yang katanya memakai pakaian minim” (Hasil wawancara tanggal 2 Juli 2010). Demikian beberapa kasus nyata yang dialami oleh anak dimana pelakunya adalah keluarga terdekat. Data JPPA Kabupaten Kudus juga menunjukan bahwa di pertengahan Tahun 2010 lalu kasus yang berhasil ditangani meningkat jumlahnya, yaitu 24 kasus. Padahal di Tahun 2009 berjumlah 17 Kasus. Senada dengan pernyataan di atas, Ibu STk selaku Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan pada kantor Pemberdayaan Masyarakat Perempuan (BPMPKB) Kabupaten Kudus menyatakan bahwa persoalan anak di Kabupaten Kudus sangat kompleks, namun yang terlihat nyata adalah adanya korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada lagi tempat yang aman untuk anak. Membincang dan memahami kekerasan ibarat menguak tumpukan gunung es yang teramat sedikit di permukaan, namun begitu menumpuk di dasar gunung tersebut. Dengan kata lain, meski sudah banyak dipermasalahkan hingga dibuat undang-undang anti kekerasan- tapi tetap saja tindak kekerasan terjadi hampir di setiap lini kehidupan kita. Hj Mufidah dalam bukunya yang berjudul ‘Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan?’, mencatat setiap tahun diperkirakan 3,3 juta anak telah mengalami kekerasan domestik. Mereka mengalami luka-luka, pelecehan psikologis dan fisik, terlantar, baik ketika anak menyaksikan ibunya dipukul atau bersama ibu menjadi bagian dari korban beruntun kekerasan domestik (Mufidah, 2006: iii). Lebih lanjut, Hj Mufidah, dkk (2006: 25) mengkategorikan bentuk kekerasan dan dampaknya menjadi empat macam, yaitu: Dampak fisik, seperti luka-luka, memar, lecet, gigi rompal, meninggal, patah tulang, cidera, gangguan fungsional keluhan fisik dan cacat permanen. Dampak psikis: sering menangis, sering melamun, tidak bisa bekerja, sulit konsentrasi, gangguan makan, gangguan tidur, mudah lelah, tidak bersemangat, takut/ trauma, membenci setiap laki-laki, panik, mudah marah, resah dan gelisah, bingung, menyalahkan diri sendiri, malu, perasaan ingin bunuh diri, menarik diri dari pergaulan sosial, melampiaskan dendam pada orang lain termasuk anak, melakukan usaha bunuh diri, depresi ataupun menjadi gila. Dampak seksual: kerusakan organ reproduksi, trauma hubungan seksual. Dampak ekonomis: penelantaran. Apapun bentuknya, baik kekerasan fisik, psikis, ekonomi, maupun seksual pastilah mendatangkan ketidakadilan dan memunculkan kepedihan dan penderitaan bagi korbanya. Senada dengan kategori yang dibuat Hj. Mufidah, dkk di atas, di Kabupaten Kudus, selain kasus kekerasan fisik terhadap anak, kasus kekerasan yang tidak kalah berbahayanya adalah bentuk perlindungan terhadap anak yang berlebih bahkan cenderung berbentuk pemaksaan kehendak terhadap anak seperti jadwal belajar dan kursus yang overload, pemilihan warna baju, pemilihan jenis permainan, bahkan pemilihan jenis makanan yang diinginkan. Berdasarkan hasil observasi peneliti banyak anak yang dari jam 7 pagi hingga 7 malam harus belajar dan belajar sehingga tidak memiliki waktu untuk bermain. Rata-rata alasan orang tua adalah ‘demi masa depan anak’, tetapi dengan mengorbankan masa kecil anak menjadi kurang bahagia. 402
MUWÂZÂH , Vol. 3, No. 1, Juli 2011
Selain contoh di atas, ada juga bentuk pembiaran terhadap anak, seperti anak yang dibiarkan di jalanan untuk mengemis dan mengamen, anak yang ditinggal bekerja seharian tanpa diperhatikan kebutuhan dasarnya. Di Kabupaten Kudus ada 110. 000 buruh rokok perempuan yang rata-rata memiliki anak yang harus ditinggalkan di rumah atau dititipkan kepada tetangganya yang menganggur dan biasanya sudah usia lansia, dengan upah Rp. 5000,- sehari. Karena tidak hanya satu anak yang harus ditangani, faktor kebersihan, maupun yang lain tidak diperhatikan. Bahkan tempat minum, dan makan juga digunakan bergantian tanpa terlebih dahulu dibersihkan. Selain anak yang ditinggalkan bekerja bentuk pembiaran lainya adalah banyaknya anak di bawah umur yang diajak bekerja oleh orang tuanya, seperti yang terlihat di Pasar Kliwon pada malam hari. Di saat anak – anak lain belajar, justru mereka sibuk membakar ikan, membuat minuman, mencuci piring, dan pekerjaan – pekerjaan lainya. Sementara orang tuanya beralasan “daripada di rumah sendirian lebih baik membantu disini”. Tetapi yang terlihat justru banyak aktivitas yang justru dikerjakan anak dibandingkan orang tuanya, seperti yang terlihat di Warung Ikan Bakar “X”. Mulai membersihkan ikan, membakar ikan, sampai menyajikan ke pembeli dilakukan oleh anak laki-lakinya yang baru kelas satu SMP (Hasil observasi tanggal 23, 27, & 29 Juli 2010 di Pasar Kliwon Kudus). Inilah yang disebut dengan pekerja anak. Istilah pekerja anak memiliki konotasi ‘pengeksploitasian’ atas tenaga anak dengan gaji yang kecil. Hal tersebut dilarang dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di Kudus sudah ada SK Bupati No. 463/285/2009 tentang pembentukan Komite Aksi Daerah dalam rangka penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Selain keluarga yang tidak ramah terhadap anak, fasilitas publik yang tersedia juga belum sensitif terhadap anak, seperti yang diungkapkan oleh Asr, mantan ketua forum anak “Lebah Madu” Kabupaten Kudus, sebagai berikut: “Dulu waktu kecil, saya dan teman-teman banyak menghabiskan waktu di sawah, tetapi sekarang sawah – sawah itu sudah menjadi perumahan, sehingga tidak ada lagi tempat bermain. Taman terbuka pun sudah menjadi mall, ruko, dan sejenisnya. Memang, masih ada tempat bermain untuk anak yang disediakan pemerintah, yaitu GOR. Tapi sudah tidak sehat untuk anak. Banyak pemuda dan pemudi pacaran di situ. Itu kan pemandangan yang tidak sehat buat anak. Makanya jangan disalahkan kalau anak lebih suka asyik dengan play station, lebih suka main ke mall, dan lebih banyak menghabiskan waktu di depan laptop” (Wawancara tanggal 9 Agustus 2010).
Selain minimnya tempat bermain anak, aksesibilitas bagi anak-anak difable atau anak yang berkemampuan beda jarang ditemui. “Semua taman atau ruang terbuka di Kudus tidak dilengkapi dengan arena bermain anak-anak maupun aksesibilitas bagi anak-anak difable. Aksesibilitas yang dibutuhkan seperti guiding block bagi tunanetra, papan informasi bagi tunarungu, dan ram untuk pemakai kursi roda tidak disediakan oleh pemerintah maupun swasta” (Hasil wawancara dengan SL, pakar diffable, Kudus, 12 Agustus 2010). Padahal kota yang ramah dan layak anak adalah kota yang bisa menyediakan fasilitas bermain dan aksesibilitas bagi siapapun termasuk anak-anak difable di setiap ruang publik. Persoalan anak yang lain adalah minimnya (bahkan hampir tidak ada) ruang bagi partisipasi anak di arena publik, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monev. Anak pasif dan cenderung dipasifkan (Hasil wawancara dengan Adb, 25 Agustus 2010). Tidak dilibatkannya anak dalam pembuatan kebijakan karena anak dipandang sebelah mata oleh pembuat kebijakan dan dianggap ’bocah cilik’ yang dianggap tidak penting atau bahkan tidak bermutu (wawancara dengan ASR tanggal 9 Agustus 2010). Apa yang dikeluhkan oleh Mantan Ketua Forum Anak ’Lebah Madu’ tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh Bapak AM dari Bappeda Kudus sebagai berikut: “Kalau diundang secara fisik dalam Musrenbang memang belum, tetapi anak kan sudah diwakili oleh SKPD yang pasti memahami kebutuhan anak, lha mereka juga pernah jadi anak-anak” (Wawancara tanggal 9 Agustus 2010). Dengan tidak dilibatkanya anak dalam pengambilan keputusan, maka aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan anak tidak mungkin diakomodir dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, maupun evaluasi kegiatan dan program Transformasi Kudus sebagai Kota Layak Anak (Siti Malaiha Dewi)
403
pembangunan. Demikian beberapa problem anak yang berhasil peneliti identifikasi dan dapat disimpulkan bahwa problem anak di Kabupaten Kudus. B. Implementasi K3LA: Capaian dan Hambatan Berangkat dari berbagai persoalan yang terjadi di Kabupaten Kudus, maka dirumuskanlah kebijakan kota/kabupaten layak anak oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan No. 2 Tahun 2009 yang kemudian diadopsi oleh Kabupaten Kudus menjadi Kudus Kabupaten Layak Anak (K3LA) sejak Tahun 2009. Untuk mewujudkan K3LA, maka langkah yang harus ditempuh, seperti terlihat pada bagan 1. Sejauhmana indikator - indikator tersebut tercapai, maka sejauh itu pula sebuah kabupaten/ kota dapat dikatakan layak anak. 1.
Pembentukan Gugus Tugas K3LA Meskipun K3LA dicanangkan sejak tahun 2009, namun pembentukan gugus tugas K3LA baru dituangkan dalam Keputusan Bupati Kudus pada Tahun 2010 yaitu SK Bupati No. 400/168/2010 tentang pembentukan gugus tugas KLA. Setelah terbentuknya gugus tugas, maka beberapa langkah sudah dilakukan oleh gugus tugas, antara lain: “Semiloka Menuju Kudus Layak Anak”, kemudian rapat koordinasi pun telah beberapa kali dilakukan. Namun, ada kendala dimana setiap yang hadir dalam koordinasi selalu berganti-ganti orang atau utusan, sehingga sosialisasi selalu dilakukan secara berulang – ulang, seperti hasil wawancara berikut: “Pada saat acara pembukaan dimana hadir Bupati disana, hampir semua kepala SKPD memang hadir, tetapi setelah pembukaan dan Bupati meninggalkan tempat mereka satu persatu juga meninggalkan tempat. Jadi, kunci keberhasilan K3LA adalah komitmen. Kalau komitmen ada, saya yakin K3LA bisa terwujud. Dan komitmen ini bisa dimulai dari Bupati dulu. (Hasil wawancara dengan Kasi Pemberdayaan Perempuan, tanggal 12 Agustus 2010).
Dari paparan di atas, tergambar bahwa komitmen kepala – kepala SKPD belum ada. Kemudian, kunci utama terwujudnya K3LA sebetulnya terletak pada komitmen Bupati Kudus. Jika Bupati memerintahkan, maka Kepala – kepala SKPD pasti akan mengikutinya. Hal ini disebabkan, model birokrasi yang masih bersifat instruktif. “Untuk meyakinkan pentingnya K3LA ini memang sangat sulit. Bagi pemerintah atau SKPD – SKPD, K3LA dianggap program yang kurang “seksi” dan tidak mampu mendongkrak “citra” pejabat di masyarakat. “katanya mending kegiatan yang langsung bisa dirasakan masyarakat seperti pemberian semen, dan lainya”. Kemudian, SKPD lain pun masih bersifat “egosektoral”, berfikir bahwa urusan anak hanya urusan Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan KB bukan urusan mereka. Tetapi inilah tantangan yang harus kami hadapi untuk meyakinkan kepada Bupati, Bappeda dan SKPD lain untuk mengitegrasikan anak dalam program kerja mereka. Bahkan juga kepada pengusaha, ormas, dan LSM (Hasil wawancara dengan Kasi Pemberdayaan Perempuan, tanggal 12 Agustus 2010).
Dari pernyataan di atas, maka hambatan pelaksanaan K3LA selain karena model birokrasi yang masih instruktif, kedua, KLA bukan program yang seksi dan tidak mampu mendongkrak citra pejabat karena manfaatnya tidak bisa dirasakan langsung oleh masyarakat atau KLA belum menjadi issue yang menarik. “Sepertinya K3LA susah terwujud, karena belum menjadi issue menarik” (Hasil Wawancara dengan Adb, wartawan NU Online, 30 Juli 2010) Ketiga, SKPD – SKPD masih berfikir egosektoral, bahwa urusan anak hanyalah urusan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana saja. Cara berfikir seperti ini jelas sangat menghambat terwujudnya Kudus sebagai Kota Layak Anak, karena semua SKPD sebetulnya harus mengintegrasikan kepentingan dan kebutuhan anak dalam program dan kegiatan mereka atau yang disebut dengan Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA). 404
MUWÂZÂH , Vol. 3, No. 1, Juli 2011
Bagan. 1 Tahapan Menuju K3LA TAHAPAN DAN PENDEKATAN PENGEMBANGAN KUDUS KABUPATEN LAYAK ANAK
1. Pembentukan Gugus Tugas Pengembangan Kudus Kabupaten Layak Anak ( Meliputi Empat Tahap )
2. Base Line Data
3. Penentuan focus program dan RAD (Rencana Aksi Daerah
4. Mobilisasi Sumber Da ya
Keluarga Ramah Anak Pendekatan Kudus Kabupaten Layak Anak dikembangkan dari Kabupaten dan berakhir pada Keluarga yang ramah anak dan sebaliknya
Desa / Kelurahan Ramah Anak
Kecamatan Ramah Anak
Kabupaten / Kota Ramah Anak Sumber: Pedoman KLA, KPP, 2006
PUHA merupakan suatu strategi perlindungan terhadap anak dengan mengintegrasikan hak anak ke dalam setiap kegiatan pembangunan sejak penyusunan atau perencanaan, penganggaran, pelaksanaan atau implementasi, pemantauan dan evaluasi dari berbagai peraturan perundangan, kebijakan, program, kegiatan dengan menerapkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dan kepentingan terbaik bagi anak adalah mereka sendiri yang memahaminya. Keempat, hambatan pelaksanaan K3LA lainya adalah kapasitas kelembagaan pelaksana K3LA sendiri yang kurang baik kapasitas personal maupun sarana prasarana, seperti tampak pada hasil wawancara berikut: “Saya tidak muluk-muluk, tidak berani menargetkan tahun sekian Kudus dapat menjadi kabupaten Layak Anak, terpenting adalah saya kerjakan yang bisa saya kerjakan. Saya juga sadar, kekuatan secara kelembagaan disini juga tidak kuat. Contohnya, sarana prasarana minim, pegawai yang ditempatkan disinipun belum tentu paham tentang pengarusutamaan anak. saya pun tidak tahu sampai kapan saya duduk disini. Bisa saja tahun depan saya dimutasi. Belum lagi soal anggaran, sangat minim” (Hasil wawancara dengan Kasi Pemberdayaan Perempuan, tanggal 12 Agustus 2010). Transformasi Kudus sebagai Kota Layak Anak (Siti Malaiha Dewi)
405
Dari hasil wawancara di depan, kendala lain dalam pelaksanaan K3LA adalah soal penempatan pegawai yang kurang memperhatikan prinsip ’The Right man on the Right Place’, sehingga banyak pegawai yang ditempatkan tidak sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Seperti halnya yang terjadi di BPMPKB, dimana banyak pegawai yang masih belum memahami akan konsep KLA dan PUHA. Kemudian, Soal mutasi dan rolling yang sewaktu-waktu bisa dilakukan membuat pelaksana program menjadi setengah hati karena seringkali pekerjaan – pekerjaan yang belum terselesaikan menjadi mentah karena vocal point nya dimutasi. Persoalan kelima, pelaksanaan KLA adalah soal anggaran atau budget (APBD) untuk anak yang belum signifikan. Anggaran anak masih include ke dalam anggaran – anggaran lain, belum spesifik menjadi anggaran tersendiri. Base Line Data Anak Langkah berikutnya yang harus dilihat dan sangat penting dalam pelaksanaan K3LA adalah base line data anak. Data anak ini dikatakan penting karena sebagai eye opener atau pintu pembuka untuk mengetahui problem dan kebutuhan anak. Data tersebut bisa bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Problem dan kebutuhan dasar inilah yang akan menjadi basis penyusunan program dan yang akan menentukan yang akan menjadi fokus program serta Rencana Aksi Daerah (RAD) di Kabupaten Kudus. Lebih jelas, lihat bagan 2. Di Kabupaten Kudus, sampai saat ini data dasar anak belum tersusun, seperti yang disampaikan Kasi Pemberdayaan Perempuan berikut: 2.
“Harusnya masing-masing SKPD melakukan pendataan anak di masing-masing sektor. Tapi belum dilaksanakan. Mungkin hanya Dukcapil yang punya, tetapi yang lain belum. Apalagi, ada perbedaan definisi anak di UU Perlindungan anak dan UU Ketenagakerjaan, jadi agak susah untuk mendata pekerja anak. Dalam UU Perlindungan anak, yang dimaksud dengan anak ya mereka yang berusia 0 - tahun, tapi di UU Ketenagakerjaan anak itu mulai 0 – 15 tahun. Maka, disinilah pentingnya duduk bersama menyamakan persepsi tentang anak dan problemnya” (Hasil wawancara tanggal 12 Agustus 2010).
Dari pernyataan di atas, diketahui bahwa salah satu kendala belum tersedianya data anak disebabkan oleh perbedaan definisi anak itu sendiri. UU perlindungan anak disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, sementara dalam UU ketenagakerjaan, usia anak sampai 15 tahun dan UU Pemilu mendefinisikan anak adalah mereka yang berusia kurang dari 17 tahun. Perbedaan definisi anak inilah yang menyebabkan data dasar anak di amsing – masing SKPD kemudian harus disesuaikan. 3.
Penentuan Fokus Program dan RAD (Rencana Aksi Daerah) Sampai saat ini fokus program dan RAD baru tahap penyusunan oleh gugus tugas. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa sampai hari ini fokus program belum terumuskan disebabkan oleh faktor kehadiran utusan dalam rapat – rapat koordinasi bukan orang yang sama, sehingga untuk merumuskan persoalan anak yang mau diadvokasi sulit terumuskan, karena harus mulai dari memahamkan peserta yang hadir dulu tentang hak anak. Demikian beberapa capaian KLA di Kabupaten Kudus, dan masih banyak hambatan dalam mencapainya, antara lain: a. Program KLA dianggap sebagai program yang tidak seksi dan tidak mampu mendongkrak citra pejabat karena manfaatnya tidak bisa dirasakan langsung. b. Model birokrasi yang bersifat instruktif sehingga dibutuhkan komitmen dari pimpinan untuk mau menggerakan bawahanya. c. Secara kelembagaan, SKPD masih bersifat egosektoral sehingga sulit mengintegrasikan issue anak ke dalam program semua SKPD d. Kapasitas kelembagaan pelaksana yang kurang memadai. 406
MUWÂZÂH , Vol. 3, No. 1, Juli 2011
4.
Situasi Pemenuhan Hak Sipil dan Partisipasi Anak di Kabupaten Kudus Ukuran keberhasilan K3LA, dapat dilihat dalam bagan berikut: Bagan. 2 Ukuran Keberhasilan K3LA UKURAN KEBERHASILAN KEBIJAKAN
Ukuran keberhasilan kebijakan Kudus Kabupaten Layak Anak mengacu pada indikator keberhasilan pembangunan yang terkait dengan kepentingan anak, sebagai berikut: KESEHATAN INFRASTRUKTUR
PENDIDIKAN
PERLINDUNGAN KETENAGAKERJAAN
SOSIAL
PERLINDUNGAN HUKUM
HAK SIPIL DAN PARTISIPASI
Bagan di atas menunjukkan bahwa K3LA akan dikatakan berhasil jika terpenuhinya kebutuhan anak akan kesehatan mereka, pendidikan, kebutuhan sosial, mendapat perlindungan ketenagakerjaan, perlindungan hukum, dan terpenuhinya hak sipil dan partisipasi anak. Adapun dalam penelitian ini dibatasi hanya pada pemenuhan hak sipil dan partisipasi anak yang akan dilihat pada indikator, sebagai berikut: a. Semua anak memiliki akta kelahiran b. Keterlibatan anak dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) c. Ada dan berfungsinya forum anak d. Ada pusat informasi dan komunikasi berbasis anak e. Adanya payung hukum (legalitas) untuk keberadaan forum/ organisasi anak di tingkat kabupaten. f. Dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan kepentingan anak melibatkan wadah/ forum anak di tingkat kabupaten Pertama, tentang kepemilikan akte kelahiran anak. Menurut informasi dari Dinas Pencatatan Sipil dan Kependudukan masih ada 30% anak yang belum memiliki akte kelahiran. Padahal akte kelahiran ini sangat penting bagi anak. Minimal sebagai tanda pengenal atau identitas mereka dalam kehidupan bernegara. Dengan tidak dimilikinya identitas tersebut, anak-anak rentan terhadap eksploitasi. Umumnya, anak-anak yang menjadi korban eksploitasi tidak memiliki catatan sehingga pemalsuan jati diri anak seringkali dijadikan modus operandi sebagai seringkali terjadi pada kasus-kasus trafficking. Oleh karena itu salah satu upaya untuk melindungi anak-anak adalah melalui pemberian akta kelahiran. Kedua, keterlibatan anak dalam Musrenbang. Di Kabupaten Kudus, baik musrenbang di tingkat Kabupaten, Musrenbang tingkat kecamatan maupun musrenbang tingkat desa tidak pernah ada. Tidak dilibatkanya anak dalam pembuatan kebijakan karena anak dipandang sebelah mata oleh pembuat kebijakan dan dianggap ’bocah cilik’ yang dianggap tidak penting atau bahkan tidak bermutu. Dengan tidak dilibatkanya anak dalam pengambilan keputusan, maka aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan anak tidak mungkin diakomodir dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, maupun evaluasi kegiatan dan program pembangunan. Transformasi Kudus sebagai Kota Layak Anak (Siti Malaiha Dewi)
407
Ketiga, adanya forum anak di Kabupaten Kudus. Di Kudus, forum anak sudah terbentuk pada tahun 2009, bahkan sudah dibuat surat keputusan Bupati. Dengan dibentuknya Forum Anak “LEBAH MADU” banyak harapan yang bisa dilaksanakan sesuai dengan visi dan misi sehingga kedepan akan terwujud anak-anak Kudus yang sehat, dapat tumbuh dan kerkembang sesuai dengan derajatnya sebagai anak-anak yang cerdas dan berakhlaq mulia. Dapat berperan aktif dalam berpartipasi terhadap pembangunan. Mencintai tanah air dan bangsa Indonesia, mempunyai rasa sosial dan kepedulian yang tinggi terhadap teman seusianya serta berbudaya damai pada setiap perilakunya sehari-hari. Namun, sampai hari ini, setelah satu tahun terbentuk, forum anak belum dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Bahkan banyak juga yang belum mengetahui keberadaan forum anak. Untuk itu, pembenahan internal memang mau tidak mau harus menjadi pekerjaan rumah bagi forum anak itu sendiri, pemerintah daerah maupun semua pihak. Selain forum anak yang belum maksimal, indikator lain dalam pemenuhan hak sipil dan partisipasi seperti pusat informasi dan komunikasi berbasis anak juga belum tersedia di kabupaten Kudus ini. Demikian beberapa catatan tentang pemenuhan hak sipil dan partisipasi anak di Kabupaten Kudus yang sangat masih sangat minim, untuk itu, perhatian semua pihak sangat dibutuhkan. PENUTUP 1. Simpulan Persoalan anak di Kudus masih sangat komplek. Beberapa problem anak yang berhasil peneliti identifikasi meliputi: o Kekerasan terhadap anak Kekerasan terhadap anak dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan kekerasan non fisik. Kekerasan fisik meliputi kekerasan dalam rumah tangga seperti pemukulan, dan pelecehan seksual. Sedangkan kekerasan non fisik berbentuk: 1) Perlindungan yang berlebihan (over protective) terhadap anak sehingga anak tidak memiliki kebebasan dalam memilih apapun; 2) Pembiaran terhadap anak, seperti penelantaran anak dan mempekerjakan anak. o Minimnya fasilitas publik (Public Sphere) bagi anak Fasilitas publik yang dimaksud seperti tempat bermain bagi anak, ruang terbuka untuk anak, dan fasilitas publik lain seperti escalator ataupun tangga di mall dan pasar masih tidak aman bagi anak. Kemudian, pojok ASI di perkantoran, perusahaan, dan rumah sakit juga belum tersedia. Selain fasilitas publik yang belum ramah terhadap anak pada umumnya, fasilitas publik untuk kelompok difable atau kelompok yang memiliki kemampuan beda pun belum tersedia. Banyak proyek pembangunan hanya diperuntukan bagi mereka yang ‘normal’, sementara kebutuhan khusus kelompok difable tidak diperhatikan. o Minimnya ruang partisipasi anak di ranah publik Ruang partisipasi yang dimaksud adalah akses anak terhadap proses – proses pembangunan. Selama ini anak tidak diberikan akses dalam perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring evaluasi kebijakan dan program pemerintah. Hal tersebut disebabkan karena anak dipandang sebelah mata oleh perencana pembangunan. Anak dianggap sebagai sosok yang kurang mengerti akan persoalan dirinya sehingga harus diwakili oleh orang tua mereka. Dilihat dari tahapan KLA yaitu hanya pembentukan gugus tugas yang sudah terlaksana. Sedangkan yang lain belum tercapai. Situasi pemenuhan hak sipil dan partisipasi anak masih minim. Hal tersebut dapat dilihat dari indikator sebagai berikut: 1) Masih ada anak yang belum memiliki akte kelahiran anak; 2) Keterlibatan anak dalam Musrenbang baik tingkat kabupaten, Kecamatan, maupun desa, belum ada; 3) Belum tersedianya pusat informasi dan komunikasi berbasis anak. Hanya indikator keempat yaitu Adanya forum anak di Kabupaten Kudus dan payung hukum (legalitas) untuk keberadaan forum/ organisasi 408
MUWÂZÂH , Vol. 3, No. 1, Juli 2011
anak di tingkat kabupaten yang terpenuhi. Itupun peranya belum maksimal bahkan keberadaanya belum tersosialisasikan. Hambatan – hambatan dalam pelaksanaan K3LA khususnya dalam pemenuhan hak sipil dan partisipasi anak adalah sebagai berikut: o Program KLA dianggap sebagai program yang tidak seksi dan tidak mampu mendongkrak citra pejabat karena manfaatnya tidak bisa dirasakan langsung. o Model birokrasi yang bersifat instruktif sehingga dibutuhkan komitmen dari pimpinan untuk mau menggerakan bawahanya. o Secara kelembagaan, SKPD masih bersifat egosektoral sehingga sulit mengintegrasikan issue anak ke dalam program semua SKPD o Kapasitas kelembagaan pelaksana yang kurang memadai. o Anggaran spesifik untuk anak belum ada di AP 2.
Rekomendasi Berdasar pada persoalan – persoalan yang menghambat terlaksananya KLA di Kabupaten Kudus, maka peneliti merekomendasikan beberapa langkah strategis sebagai berikut: a. Menumbuhkan komitmen bersama baik pemerintah, swasta, organisasi kemasyarakatan, maupun masyarakat pada umumnya untuk bersama – sama mewujudkan Kudus sebagai Kabupaten Layak Anak, dengan cara sosialisasi yang terus menerus tentang hak anak dan pengarusutamaan hak anak. b. Penguatan kapasitas kelembagaan gugus tugas KLA baik penguatan sumber daya manusia maupun sarana prasarana. c. Penguatan kapasitas kelembagaan forum anak yang sudah ada melalui program pendampingan dan bukan pembinaan. d. Mengawal penganggaran spesifik bagi anak dalam APBD Kabupaten Kudus.
DAFTAR PUSTAKA Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003) Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Yogyakarta Gadjah Mada University Press, 2005) Patilima, Hamid, Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Kota Studi Kasus Di Kelurahan Kwitan, Jakarta Pusat. (Tesis). (Jakarta: Kajian Pengembangan Perkotaan, Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004) Victoria, Johnson, dkk. Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis, (Jakarta: Read Book, 2002) Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Rosdakarya, 2004) Miles & Huberman, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: UI Press, 1992) Pudjijulianingsih, Naning, Meningkatkan IPM melalui Perwujudan Kabupaten / Kota Layak Anak, (Makalah) Bogdan, Robert & Steven J. Taylor, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Terj. A. Khozin Affandi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1993). Nugroho, Riant, Public Policy, (Jakarta: PT Gramedia, 2009) Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2005) Sumber lain: Panduan Kebijakan pengembangan Kota Layak Anak, Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Tahun 2006 Data JPPA, Tahun 2010 Data LPPA Jawa Tengah, Tahun 2009 Transformasi Kudus sebagai Kota Layak Anak (Siti Malaiha Dewi)
409
UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak www.inilah.com, tanggal 14 Juni 2010 www.depsos.go.id, tanggal 14 Juni 2010 www.digilib.unnes.ac.id, tanggal 14 Juni 2010 www.unja.ac.id, tanggal 14 Juni 2010 www.kota layak anak.org. tanggal 14 Juni 2010
410
MUWÂZÂH , Vol. 3, No. 1, Juli 2011