TRANSFER KEMISKINAN ANTARGENERASI: PENGARUH NILAI ANAK DAN PERILAKU INVESTASI PADA ANAK (Kasus di Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi)
AGUS SURACHMAN
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan Perilaku Investasi pada Anak (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi) adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2011
Agus Surachman NIM I24070026
ABSTRACT AGUS SURACHMAN. Intergenerational Transfer of Poverty: Influence of Value of Children and Parental Investment Behavior on Child (Case in Pasawahan Village, Cicurug Subdistrict, District of Sukabumi). Under supervision of HARTOYO. This research aimed to analyze intergenerational transfer of poverty in two generation of family and it interplay with value of children and parental investment behavior on child. Design of this research combined cross sectional and retrospective study; involved 60 families (as the second generation family) that dwelled in Pasawahan village with the last child was under five years old, split into two social economic status: poor (30 families) and not poor (30 families), base on BKKBN’s family welfare phasing. Both husband and wife were interviewed by using structure questionnaire to obtain the information of both generations of families. This research revealed that value of children affected parental investment on child, while both variables were affected by family social economic status. Parental investment on child was the determinant factor of children welfare in the future. This research estimated that chance of family with husband came from poor family was 38 times higher to be poor also. Some samples experienced status mobility from poor to be not poor, because of education factor (for husband) and also marital factor (for wife). Keywords: intergenerational transfer of poverty, value of children, parental investment behavior on child ABSTRAK AGUS SURACHMAN. Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan Perilaku Investasi pada Anak (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi). Dibimbing Oleh HARTOYO. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transfer kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga dan keterkaitannya dengan nilai anak dan perilaku investasi pada anak. Desain penelitian ini merupakan kombinasi dari cross sectional dan retrospective; melibatkan 60 keluarga (sebagai keluarga generasi kedua) yang tinggal di Desa Pasawahan dan memiliki anak terakhir berusia di bawah lima tahun, dikelompokan menjadi dua status sosial ekonomi: miskin (30 keluarga) dan tidak miskin (30 keluarga) berdasarkan data pentahapan keluarga sejahtera BKKBN. Suami dan istri diwawancarai dengan menggunakan kuisioner terstruktur untuk menggali informasi mengenai kedua generasi keluarga. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai anak mempengaruhi perilaku investasi orang tua terhadap anak, sementara kedua variabel tersebut sama-sama dipengaruhi oleh status kesejahteraan keluarga. Perilaku investasi pada anak merupakan faktor determinan yang menentukan kesejahteraan anak di masa depan. Hasil penelitian memperkirakan peluang keluarga dengan suami berasal dari keluarga miskin 38 kali lebih besar untuk miskin juga. Beberapa contoh dalam penelitian ini mengalami mobilitas status dari miskin menjadi tidak miskin, baik karena faktor pendidikan (suami) dan juga faktor perkawinan (istri). Kata kunci: transfer kemiskinan antar generasi, nilai anak, perilaku investasi pada anak
RINGKASAN AGUS SURACHMAN. Kajian Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan Perilaku Investasi pada Anak (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi). Dibimbing Oleh HARTOYO. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transfer kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga serta menganalisis pengaruh dari persepsi orang tua terkait nilai anak dan investasi orang tua pada anak terkait fenomena tersebut. Lebih lanjut tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1) menganalisis dinamika kemiskinan di antara dua generasi keluarga untuk melihat terjadinya transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga; 2) menganalisis hubungan antarvariabel transfer kemiskinan antargenerasi, persepsi orang tua terkait nilai anak, dan investasi orang tua pada anak; 3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status kesejahteraan keluarga dan investasi orang tua pada anak. Penelitian ini menggabungkan desain cross sectional dengan retrospective study. Penelitian di lakukan di Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi yang dipilih secara purposive berdasarkan perbandingan keluarga miskin dan tidak miskin di wilayah tersebut. Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak terakhir berusia balita yang dipilih dengan teknik stratified random sampling dengan kriteria stratifikasi status kesejahteraan keluarga berdasarkan pentahapan keluarga sejahtera BKKBN (Pra KS dan KS I digolongkan miskin, tahapan selanjutnya digolongkan tidak miskin). Dipilih 30 keluarga contoh berstatus miskin dan 30 keluarga contoh lainnya berstatus tidak miskin. Responden dalam penelitian ini adalah ayah dan ibu dari keluarga contoh yang diwawancarai untuk menggali informasi terkait informasi dari keluarga contoh dan keluarga asalnya masing-masing. Data primer dalam penelitian ini meliputi karakteritik sosiodemografi dan ekonomi keluarga contoh serta keluarga asal ayah dan ibu, persepsi orang tua dari kedua generasi keluarga menganai nilai anak (nilai psikologis, nilai sosial, dan nilai ekonomi), dan investasi orang tua terhadap anak (alokasi waktu dan uang) pada dua generasi keluarga. Pada generasi pertama, investasi orang tua (kakek dan nenek) terhadap anak (ayah dan ibu) dilihat dari perilaku investasi saat suami dan istri berusia dini, lama pendidikan formal suami dan istri, dan warisan yang diterima suami ayah dan ibu. Investasi orang tua terhadap anak pada generasi kedua dilihat dari perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anaknya saat ini yang berusia di bawah lima tahun. Sementara itu, status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu diukur dengan menggunakan metode Family Life History yang telah dimodifikasi. Sedangkan data kesejahteraan keluarga contoh didapatkan dari data sekunder pentahapan keluarga sejahtera BKKBN. Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel dalam penelitian ini telah diuji reliabilitasya dengan nilai α-crobbach sebesar 0,653 (persepsi orang tua terkait nilai ayah dan ibu), 0,712 (persepsi ayah dan ibu terkait nilai anak) 0,849 (perilaku investasi orang tua pada ayah dan ibu), dan 0,889 (perilaku investasi ayah dan ibu pada anak). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa rata-rata usia ayah dan ibu dalam penelitian ini berada pada rentang usia dewasa muda (antara 18-40 tahun). Rata-rata usia suami (M=35,7 tahun; sd=6,6 tahun) lebih tinggi dibandingkan rata-rata usia istri (M=32 tahun; sd=5,7 tahun), dan secara statistik keduanya berbeda nyata (p<0,01). Secara umum, suami menempuh pendidikan formal yang lebih lama (M=9,7 tahun; sd=3,8 tahun) bila dibandingkan dengan istri (M=8,4 tahun; sd=2,7 tahun) dan secara statistik keduanya berbeda nyata (p<0,01). Suami maupun istri yang saat ini tidak miskin menempuh pendidikan formal yang lebih lama dibandingkan suami dan istri yang saat ini berstatus miskin (secara statistik berbeda nyata). Pekerjaan ayah pada keluarga contoh lebih didominasi oleh buruh pabrik (46,7%). Hal tersebut berkaitan dengan keberadaan sejumlah industri di wilayah tempat penelitian dilakukan. Berbeda dengan orang tua pada keluarga asal ayah maupun ibu yang sebagian besar bekerja di bidang pertanian. Sementara itu, sebagian besar ibu (86,7%) tidak bekerja atau menjadi ibu rumah tangga. Jumlah anak keluarga contoh adalah 2,4 anak (sd=1,3 anak), hampir setengah dari rata-rata jumlah anak keluarga asal ayah maupun ibu. Keluarga contoh yang berstatus miskin memiliki rata-rata jumlah anak
yang lebih rendah (M=2,2 anak; sd=1,3 anak) dibandingkan keluarga tidak miskin (M=2,6 anak; sd=1,4 anak). Namun secara statistik keduanya tidak berbeda nyata (p>0,05). Hampir setengah keluarga contoh berstatus miskin memiliki total pendapatan keluarga per bulan antara Rp500.000,00 hingga Rp999.999,00 sementara pada kelompok keluarga tidak miskin berada pada rentang Rp2.000.000,00 hingga Rp2.999.999,00. Rata-rata pendapatan total per bulan kedua kelompok keluarga secara statistik berbeda nyata (p<0,01). Rata-rata pendapatan per kapita per bulan keluarga miskin adalah Rp218.305,60 (sd=Rp91.071,27), sementara keluarga tidak miskin adalah Rp582.182,5 (sd=Rp321.579,40). Lebih dari setengah keluarga asal ayah dan ibu memiliki status kesejahteraan tidak miskin dengan persentase masing-masing 55 persen dan 51,7 persen. Ayah dan ibu yang saat ini berstatus tidak miskin, sebagian besar berasal dari keluarga yang juga berstatus tidak miskin (persentasenya masing-masing 93,3% dan 86,7%). Begitu pula sebaliknya, ayah dan ibu yang saat ini berstatus miskin, sebagian besar berasal dari keluarga yang juga berstatus miskin (persentasenya masing-masing 83,3%). Dilihat dari status dinamika yang dialami ayah dan ibu, sebagian besar ayah mengalami status dinamika kemiskinan selalu miskin (41,7%) dan tidak pernah miskin (46,7%). Sisanya, 3,3 persen ayah mengalami kondisi keluar dari kemiskinan dan 8,3 persen lainnya mengalami kondisi terjerumus ke dalam kemiskinan. Sementara itu, sebagian besar ibu juga mengalami status dinamika kemiskinan selalu miskin (41,7%) dan tidak pernah miskin (43,3%). Sisanya sebesar 8,3 persen ibu mengalami kondisi terjerumus ke dalam kemiskinan dan 6,7 persen lainnya mengalami kondisi keluar dari kemiskinan. Secara umum anak dipersepsikan bernilai tinggi dalam aspek psikologis dan secara umum persepsi orang tua terkait nilai anak berada pada kategori sedang. Skor persepsi nilai anak ayah dan ibu dari keluarga berstatus miskin dan tidak miskin berbeda nyata. Selain itu, skor persepsi ayah dan ibu terkait nilai anak secara statistik tidak berbeda dengan skor persepsi orang tua terkait nilai ayah dan ibu. Dalam hal perilaku investasi terhadap anak, ibu secara umum memiliki rata-rata skor yang lebih tinggi (M=48,4; sd= 4,1) bila dibandingkan dengan ayah (M=43,2; sd=4,8). Sebaran tertinggi skor perilaku investasi ayah dan ibu berada pada kategori sedang dengan persentase masing-masing 78,3 persen untuk kelompok ayah dan 53,3 persen untuk kelompok ibu. Hasil uji beda menunjukkan bahwa skor perilaku investasi ayah dan ibu secara statistik berbeda nyata. Dilihat dari skor perilaku investasi terhadapa anak, ayah dan ibu melakukan hal yang lebih baik bila dibandingkan orang tua masing-masing terhadap ayah dan ibu saat keduanya berusia balita. Hasil uji regresi menunjukkan beberapa faktor yang secara signifikan mempengaruhi perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak. Perilaku investasi ayah terhadap anak dipengaruhi oleh status kesejahteraan keluarga contoh (p<0,01), perilaku investasi orang tua terhadap ayah (p<0,1), perilaku investasi ibu terhadap anak (p<0,01), dan persepsi ayah terkait nilai anak (p<0,01). Sementara itu perilaku investasi ibu terhadap anak dipengaruhi oleh variabel status kesejahteraan keluarga contoh (p<0,01) dan perilaku investasi orang tua terhadap ibu (p<0,1). Analisis dengan menggunakan uji regresi logistik menunjukkan terdapat tiga variabel yang secara statistik mempengaruhi status kesejahteraan keluarga contoh. Ketiga variabel tersebut adalah status kesejahteraan keluarga asal ayah (p<0,1), lama pendidikan ayah (p<0,1), dan perilaku investasi orang tua terhadap ibu (p<0,1). Keluarga contoh dengan ayah yang berasal dari keluarga miskin memiliki peluang 38 kali lebih besar untuk berstatus miskin juga saat ini dibandingkan keluaga contoh dengan ayah dari keluarga asal tidak miskin. Lebih lanjut, pendapatan keluarga contoh secara statistik dipengaruhi oleh status kesejahteraan keluarga asal ayah (p<0,05) dan lama pendidikan ayah (p<0,01). Penelitian ini dilakukan dengan menggali informasi dari dua generasi keluarga yang ditanyakan kepada ayah dan ibu (generasi kedua). Hal tersebut bisa menimbulkan bias terkait penggalian informasi keluarga asal masing-masing. Selain itu, penelitian ini juga melakukan simplifikasi terkait status kesejahteraan keluarga asal yang dianggap konstan sepanjang waktu serta dalam hal transfer kapital antargenerasi dalam keluarga. Hal-hal tersebut yang menjadi keterbatasan dalam penelitian yang dilakukan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusnan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
TRANSFER KEMISKINAN ANTARGENERASI: PENGARUH NILAI ANAK DAN PERILAKU INVESTASI PADA ANAK (Kasus di Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi)
AGUS SURACHMAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul
:
Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan Perilaku Investasi pada Anak (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi)
Nama NIM
: :
Agus Surachman I24070026
Disetujui,
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc Dosen Pembimbing
Diketahui,
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Segala puji serta syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan Perilaku Investasi pada Anak (Kasus di Desa Pasawahan, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi)” ini. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, diantaranya: 1. Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc selaku Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen dan juga dosen pembimbing skripsi atas arahan, masukan, serta saran yang diberikan dalam penyusunan skripsi 2. Ibu Alfiasari, S.P., M.Si. selaku dosen pemadu seminar serta Dr. Lilik Noor Yuliati, MFSA dan Dr. Istiqlaliyah Muflikahti, M.Si. selaku dosen penguji skripsi atas masukan untuk penyempurnaan skripsi 3. Dr. Ir. Diah Krisnatuti P., MS. atas bimbingan dan dorongan kepada penulis selama menjadi dosen pembimbing akademik 4. Kader beserta jajaran pemerintahan Desa Pasawahan dan Kecamatan Cicurug atas bantuan dan kerjasamanya 5. Yayasan Karya Salemba Empat beserta donatur untuk bantuan beasiswa dan dana penelitian sehingga memungkinkan penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, serta pihak Eka Tjipta Foundation untuk bantuan beasiswa bagi penulis 6. Bapak, Ibu (almarhum), Teteh, Aa, dan seluruh keluarga atas doa serta dukungan yang tak pernah terhenti untuk penulis 7. Teman-teman IKK 44 atas kebersamaan yang telah dibangun selama lebih dari tiga tahun, terima kasih karena telah membangun lingkungan yang bersahabat dan saling mendukung; teman-teman pondok de Netto (Panji, Zul, dan Heriana) atas bantuan dan dukungan, juga kepada Bapak Suratman beserta keluarga untuk segala kemurahan hatinya bagi penulis; teman-teman di Koran Kampus IPB, Himaiko, Forces, grantee IELSP batch 7 University of Arizona untuk semua kebersamaan dan pengalaman luar biasa dalam rangka bersama-sama mengembangkan diri Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis menantikan kritik serta saran untuk perbaikan ke arah yang lebih baik.
Bogor, Desember 2011
Penulis
17
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vi PENDAHULUAN .......................................................................................... Latar Belakang ...................................................................................... Rumusan Masalah ................................................................................ Tujuan ................................................................................................... Kegunaan .............................................................................................
1 1 3 4 5
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. Kemiskinan ........................................................................................... Nilai Anak ............................................................................................. Investasi Orang Tua pada Anak ............................................................ Nilai Anak, Investasi Orang tua pada Anak, dan Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Penelitian Empiris .................
7 7 14 17 21
KERANGKA PENELITIAN ........................................................................... 23 METODE PENELITIAN ................................................................................ Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ................................................. Contoh dan Metode Penarikan Contoh ................................................. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ...................................................... Pengolahan dan Analisis Data .............................................................. Definisi Operasional .............................................................................
27 27 27 28 29 33
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 37 Hasil ...................................................................................................... 37 Pembahasan ......................................................................................... 77 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 87 Simpulan ............................................................................................... 87 Saran .................................................................................................... 87 DATAR PUSTAKA ....................................................................................... 89 LAMPIRAN .................................................................................................. 95 Kuisioner Penelitian .............................................................................. 97 Riwayat Hidup ....................................................................................... 101
18
DAFTAR TABEL
1
Halaman Definisi keluarga sejahtera menurut tahapan dalam IKS ...................... 10
2
Status kesejahteraan keluarga berdasarkan Desa di Kecamatan Cicurug ......................................................................... 38
3
Sebaran usia ayah dan ibu berdasarkan status kesejahteraan keluarga ............................................................ 39
4
Sebaran lama pendidikan ayah dan ibu berdasarkan status kesejahteraan keluarga ............................................................ 40
5
Sebaran pekerjaan ayah dan ibu berdasarkan status kesejahteraan keluarga ....................................................................... 41
6
Sebaran contoh berdasarkan bidang pekerjaan orang tua pada keluarga asal .............................................................................. 42
7
Sebaran jumlah anak yang dimiliki keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan ........................................................................... 42
8
Sebaran usia dan jenis kelamin anak terakhir keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan ...................................................... 43
9
Rata-rata pendapatan per bulan keluarga contoh dan pendapatan per kapita keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan ............ 44
10 Sebaran contoh berdasarkan stabilitas pendapatan orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh .......................................... 45 11 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan dan kondisi rumah orang tua serta status kesejahteraan keluarga contoh ............. 46 12 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan lahan pertanian orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh .......................... 47 13 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan hewan ternak orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh .......................... 47 14 Sebaran contoh berdasarkan kemampuan literasi orang serta status kesejahteraan keluarga contoh ................................................. 48 15 Sebaran contoh berdasarkan status kesejahteraan keluarga asal dan status kesejahteraan keluarga contoh .......................................... 49 16 Sebaran keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan keluarga asal dan status kesejahteraan saat ini .................................. 50 17 Persentase status kesejahteraan keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu ................................ 51 18 Sebaran lama pendidikan formal contoh berdasarkan status dinamika kemiskinan ........................................................................... 52 19 Sebaran contoh berdasarkan warisan yang diterima dan status kesejahteraan keluarga ....................................................................... 53 20 Sebaran contoh berdasarkan warisan yang diterima dan dinamika kemiskinan yang dialami ..................................................................... 54 21 Sebaran contoh berdaarkan kategori skor nilai anak per dimensi
19
dan status kesejahteraan keluarga contoh .......................................... 55 22 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi ayah dan ibu mengenai nilai anak keseluruhan dan status kesejahteraan keluarga contoh .................................................................................. 56 23 Sebaran contoh berdasarkan persepsi orang tua mengenai nilai Ayah dan ibu serta status kesejahteraan keluarga contoh ................... 56 24 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi orang tua mengenai nilai ayah dan ibu serta persepsi ayah dan ibu mengenai nilia anak ............................................................................ 57 25 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi ayah dan ibu tentang nilai anak dan status dinamika kemiskinan ............................. 58 26 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi orang tua Terkait nilai ayah dan ibu serta status dinamika kemiskinan contoh .... 59 27 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi untuk tiap dimensi dan status kesejahteraan keluarga contoh ...................... 59 28 Sebaran perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak Berdasarkan status kesejahteraan ...................................................... 60 29 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu serta status kesejahteraan keluarga contoh .................................................................................. 61 30 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu serta kategori skor perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak ................................................. 62 31 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak berdasarkan status dinamika kemiskinan ................................................................ 62 32 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu dan status dinamika kemiskinan ...... 63 33 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga asal ayah, persepsi orang tua terkait nilai ayah, dan perilaku investasi orang tua terhadap ayah ..................................................................... 64 34 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga asal ibu, persepsi orang tua terkait nilai ibu, dan perilaku investasi orang tua terhadap ibu ........................................................................................ 65 35 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga contoh, persepsi ayah dan ibu terkait nilai anak, dan perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak ................................................................ 67 36 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga asal dan keluarga contoh, nilai anak serta perilaku investasi orang tua pada dua generasi keluarga ................................................................ 70 37 Ringkasan analisis regresi untuk faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak ........................ 72 38 Ringkasan analisis regresi untuk faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perilaku investasi ibu terhadap anak ........................... 74
20
39 Ringkasan analisis regresi logistik untuk faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kesejahteraan keluarga contoh ................................... 75 40 Ringkasan analisis regresi untuk faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pendapatan keluarga .................................................. 76 DAFTAR GAMBAR
1
Halaman Perangkap kemiskinan ........................................................................ 11
2
Alur transfer kemiskinan antar generasi ............................................... 13
3
Transfer nilai anak antargenerasi dalam keluarga dan kaitannya Dengan perilaku investasi orang tua terhadap anak ............................ 16
4
Kerangka berpikir penelitian ................................................................ 25
5
Skema cara penarikan contoh.............................................................. 28
DAFTAR LAMPIRAN
1
Halaman Daftar pertanyaan kuisioner ................................................................ 94
2
Riwayat hidup .................................................................................... 101
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kemiskinan dianggap sebagai permasalahan sosial dan ekonomi yang paling sulit untuk diselesaikan pada abad ini (Wagle 2008). Sekitar 320 hingga 433 juta penduduk dunia terjebak dalam perangkap kemiskinan (CPRC 2008). Mereka mengalami kemiskinan kronis (chronic poverty), yaitu suatu deprivasi untuk jangka waktu yang panjang, bahkan seringkali seumur hidup mereka (Moore 2005). Masalah kemiskinan juga masih menjadi persoalan yang mendapat prioritas utama di Indonesia. Untuk memenuhi target yang tercantum dalam Millenium Declaration, Indonesia dituntut untuk mengurangi setengah dari angka kemiskinan pada tahun 1990 (sekitar 15%) menjadi sekitar 7,5 persen pada tahun 2015. Menurut data BPS (2010), jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah sekitar 31,02 juta penduduk (13,33%), masih jauh dari target yang harus dicapai. Angka kemiskinan pada tahun 2010 merupakan yang terendah sejak 2004. Walaupun terjadi penurunan sejak 2006, namun angka penduduk miskin masih tergolong tinggi. Terlebih bila jumlah penduduk miskin dihitung dengan menggunakan
standar
kemiskinan
yang
digunakan
oleh
Bank
Dunia
(penghasilan per kapita per hari minimal $2), angkanya akan semakin besar yaitu 42 persen (World Bank 2006). Hal tersebut disebabkan oleh besarnya proporsi penduduk Indonesia yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan. Penelitian Widyanti et al. (2009) mengenai dinamika kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan data panel IFLS (Indonesian Family Life Survey) dari tahun 1993 hingga tahun 2000 menunjukkan bahwa 14 persen rumah tangga yang menjadi sampel mengalami kemiskinan kronis (selalu miskin). Sementara itu hasil pengolahan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) memperlihatkan bahwa selama periode Maret 2006 hingga Maret 2007, jumlah penduduk Indonesia yang selalu miskin adalah sebesar 18,6 juta orang (Urip 2008). Hal tersebut mengindikasikan proporsi penduduk Indonesia yang mengalami kemiskinan kronis tergolong tinggi. Anak yang lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga miskin kronis, memiliki kemungkinan 35 persen lebih tinggi untuk tetap miskin saat dewasa dibandingkan anak yang lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga yang tidak
2
miskin kronis (Pakpahan et al. 2009). Kemiskinan kronis menyebabkan individu dan keluarga terperangkap dalam lingkaran kemiskinan, sehingga investasi sumberdaya manusia yang dilakukan kurang. Kemiskinan tersebut akhirnya diturunkan kepada generasi selanjutnya karena rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang dihasilkan dalam keluarga pada generasi berikutnya (CPRC 2008). Investasi terhadap sumberdaya manusia, terutama dalam hal pendidikan, akan meningkatkan efisiensi ekonomi sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Schultz 1981). Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan angka kemiskinan (Siregar 2006). Selain itu, investasi terhadap sumberdaya manusia juga dapat menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan, sehingga berpotensi untuk menurunkan tingkat kemiskinan (Anderson & Hague 2007; Sitepu 2007). Dengan demikian, investasi sumberdaya manusia merupakan salah satu determinan tingkat kesejahteraan. Hasil penelitian Cho (2005) terkait program pengentasan kemiskinan Progressa di Meksiko menunjukkan bahwa program tersebut meningkatkan ratarata lama sekolah dan akumulasi sumberdaya manusia sehingga meningkatkan pendapatan seumur hidup sebesar 12 persen. Secara makro, tingkat pendidikan penduduk yang semakin tinggi terbukti berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan (Siregar & Widyanti 2008; Chaudry et al. 2010). Bukti empiris tersebut memperlihatkan bahwa akumulasi modal sosial (human capital) yang lebih besar, terutama pendidikan, berdampak pada peningkatan penghasilan sehingga dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan. Penelitian
Leibowitz
(1982)
dan
Hartoyo
(1998)
memperlihatkan
pentingnya peran keluarga dalam meningkatkan kualitas individu melalui investasi yang dilakukan orang tua terhadap anak. Keluarga, dalam hal ini orang tua, termotivasi untuk melakukan investasi terhadap anak mereka melalui sumberdaya yang dimilikinya dengan harapan anak-anak tersebut akan menjadi lebih sukses di masa depan (Hample 2010). Investasi orang tua terhadap anak dalam keluarga merupakan suatu hal yang bersifat krusial, terutama pada saat usia dini. Hal tersebut berkaitan dengan peran investasi sumberdaya manusia sebagai salah satu determinan tingkat kesejahteraan individu di masa depan. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia akibat kurangnya investasi akan menyebabkan individu terperangkap dalam
3
kemiskinan. Perangkap kemiskinan tersebut seringkali menyebabkan adanya transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku investasi orang tua terhadap anak pada dua generasi keluarga dan hubungannya dengan kemiskinan keluarga. Dengan demikian dapat dilihat pengaruh investasi sumberdaya manusia terhadap transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga.
Rumusan Masalah Data BPS pada tahun 2004 memperlihatkan bahwa 41,67 persen kepala rumah tangga miskin di Indonesia memiliki tingkat pendidikan tidak tamat SD, diikuti oleh tamat SD sebesar 38,36 persen (Rusastra & Napitupulu 2008). Lebih lanjut dijelaskan bahwa angka partisipasi sekolah anak-anak dari keluarga miskin lebih rendah dari anak-anak yang berasal dari keluarga tidak miskin, baik pada tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama. Sebaliknya, angka putus sekolah anak-anak dari keluarga miskin lebih tinggi dibandingkan anakanak dari keluarga tidak miskin untuk kedua jenjang pendidikan tersebut. Fenomena tersebut menunjukkan dua hal penting; pertama, kualitas sumberdaya manusia sangat menentukan status sosial ekonomi, salah satunya dilihat dari tingkat pendidikan; kedua, kesadaran pendudukan miskin untuk memperbaiki nasib keturunannya melalui investasi sumberdaya manusia (misalnya di bidang pendidikan) lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok tidak miskin. Hal tersebut memperlihatkan bahwa konsep mengenai nilai seorang anak belum dipahami sepenuhnya oleh lapisan masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin. Ciri yang menonjol dari keluarga miskin adalah jumlah anak yang banyak (ukuran keluarga yang besar), karena anak dinilai bukan sebagai aset (investasi) melainkan sumber faktor produksi (tenaga kerja) untuk menambah pendapatan keluarga (Rusastra & Napitupulu 2008). Hal tersebut didukung oleh penelitian Puspitawati et al. (2008) di Kabupaten Indramayu yang memperlihatkan bahwa 55,7 persen orang tua atau wali menyetujui bahwa anak adalah tenaga kerja keluarga. Akibatnya orang tua cenderung kurang mementingkan pendidikan anak dan
memilih
untuk
menjadikannya
sebagai
perekonomian keluarga (Puspitawati et al. 2009).
pekerja
untuk
membantu
4
Orang tua yang mendapatkan sedikit investasi dari orang tuanya – terutama dalam hal pendidikan – kurang termotivasi untuk melakukan investasi pada anaknya. Hal tersebut tercermin dari hasil penelitian Puspitawati et al. lainnya yang memperlihatkan bahwa sekitar 62,9 persen ayah dan 64,1 persen ibu dengan anak yang mengalami drop out dari sekolah mempunyai tingkat pendidikan sampai dengan tamat SD. Didukung dengan beberapa hasil penelitian
lain
(misal
Hartoyo
et
al.
2003;
Simanjuntak
2010)
yang
memperlihatkan rendahnya proporsi pengeluaran keluarga miskin untuk investasi terhadap anak, terutama dalam hal pendidikan dan kesehatan. Investasi sumberdaya manusia, terutama yang dilakukan oleh keluarga telah terbukti menjadi determinan tingkat kesejahteraan dan dapat mengurangi tingkat kemiskinan (Cho 2005; Anderson & Hague 2007; Sitepu 2007; Sitepu 2007; Siregar & Wahyuniarti 2008; Chaudry et al. 2010). Kurangnya investasi sumberdaya manusia berpotensi menyebabkan individu dan keluarga terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Anak-anak yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga miskin cenderung akan tumbuh menjadi individu yang juga miskin saat dewasa. Inilah gambaran transfer kemiskinan yang terjadi antargenerasi dalam keluarga. Berkaca pada fakta-fakta tersebut, penelitian ini berupaya untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut: 1. Apakah terjadi transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga yang dilihat dari dinamika kemiskinan pada dua generasi keluarga? 2. Adakah hubungan antara transfer kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga dengan nilai anak serta perilaku investasi orang tua pada anak, serta adakah hubungan antara persepsi orang tua tentang nilai anak dengan perilaku investasi orang tua pada anak pada dua generasi keluarga? 3. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi status kesejahteraan keluarga dan perilaku investasi orang tua pada anak dalam kaitannya dengan interaksi dua generasi keluarga?
Tujuan Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transfer kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga, serta pengaruh nilai anak
5
dan investasi pada anak terhadap transfer kemiskinan tersebut. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis dinamika kemiskinan pada dua generasi keluarga untuk melihat terjadinya transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga, 2. Menganalisis hubungan antara transfer kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga dengan nilai anak, serta perilaku investasi orang tua pada anak, 3. Menganalisis hubungan antara persepsi orang tua tentang nilai anak dengan perilaku investasi orang tua terhadap anak pada dua generasi keluarga, 4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status kesejahteraan keluarga dan investasi orang tua pada anak dalam kaitannya dengan interaksi dua generasi keluarga. Kegunaan Dengan
dilakukannya
penelitian
mengenai
transfer
kemiskinan
antargenerasi pada dua generasi keluarga serta keterkaitannya dengan nilai anak dan investasi orang tua pada anak, diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan keilmuan di bidang ekonomi keluarga, terutama berkaitan dengan pembahasan terkait masalah kemiskinan dan investasi orang tua terhadap anak. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
kontribusi
terhadap
upaya
penanggulangan
kemiskinan
di
Indonesia. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi pengambil keputusan untuk perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan Kemiskinan didefinisikan secara berbeda oleh berbagai pihak. Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan yang layak (kebutuhan dasar makanan maupun kebutuhan dasar bukan makanan) (Urip 2008). Lebih lanjut Urip (2008) menyatakan bahwa dalam menggolongkan penduduk ke dalam miskin atau tidak miskin, BPS membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan garis kemiskinan atau jumlah rupiah untuk konsumsi orang per bulan. Sementara itu, World Bank mendefinisikan kemiskinan dengan dimensi yang lebih luas. Kemiskinan adalah kondisi terjadinya kekurangan pada taraf hidup manusia secara fisik (kebutuhan dasar materi dan biologis termasuk kekurangan nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan perumahan) serta sosial (risiko kehidupan, kondisi ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri yang kurang) (Syafrian 2009). Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial yang diadakan di Kopenhagen pada tahun 1995 menyatakan bahwa kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumberdaya produktif, yang menjamin kehidupan yang berkesinambungan; keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial (Rahardjo 2006). Berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), kemiskinan bukan hanya berkaitan dengan pendapatan, tetapi juga mencakup kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin dan keterbatasan akses masyarakat miskin dalam penentuan kebijakan publik yang berdampak pada kehidupan mereka (Dharmawan et al. 2010). Dengan demikian, kemiskinan merupakan suatu permasalahan sosial yang kompleks karena menyangkut berbagai dimensi kehidupan. Chambers (1996) menyatakan bahwa kemiskinan (poverty) adalah konsep integrasi dari lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadap situasi darurat (state of
8
emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Sementara itu, Max Nef memaparkan enam macam jenis kemiskinan, yaitu: 1) kemiskinan subsistensi, 2) kemiskinan perlindungan, 3) kemiskinan pemahaman, 4) kemiskinan partisipasi 5) kemiskinan identitas, dan 6) kemiskinan kebebasan (Muttaqien 2006). Salim (1976) menyatakan bahwa ciri-ciri penduduk miskin adalah: 1) ratarata tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja, dan keterampilan, 2) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, 3) kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja), 4) kebanyakan berada di daerah pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area), dan 5) kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya. Schiller (2008) memaparkan tiga sudut pandang dalam melihat penyebab terjadinya kemiskinan. Sudut pandang pertama adalah flawed character yang menganggap kemiskinan disebabkan oleh individu bersangkutan. Berkaitan dengan seberapa besar upaya tiap individu untuk melakukan investasi sumberdaya manusia melalui pendidikan atau latihan. Sudut pandang kedua melihat kemiskinan sebagai akibat dari keterbatasan kesempatan (restricted opportunity) bagi individu yang bersangkutan. Hal tersebut biasanya berkaitan dengan diskriminasi ras, gender, dan kelas sosial. Kasus di Indonesia yang lebih relevan terkait dengan sudut pandang ini adalah pembangunan yang bias kota dan wilayah sehingga terjadi ketidakmerataan dan ketimpangan pembangunan. Sudut pandang yang terakhir menganggap kemiskinan disebabkan oleh kesalahan pemerintah sebagai pengambil kebijakan (big brother view). Kesalahan dari pemerintah bisa disebabkan oleh penerapan kebijakan yang tidak pro terhadap masyarakat miskin, maupun pelaksanaan program pengentasan kemiskinan yang justru membuat kelompok miskin menjadi semakin miskin (terkait sikap dan karakter mereka).
Standar Kemiskinan Menurut Sayogyo (1977), tingkat kemiskinan merupakan sesuatu yang dapat diukur sehingga munculah istilah garis kemiskinan. Terdapat beberapa konsep atau pendekatan yang dapat digunakan dalam menghitung angka
9
kemiskinan, diantaranya konsep kebutuhan dasar (the concept of minimum needs) dan konsep satuan pengukuran (unit of measure) (Schiller 2008). Konsep kebutuhan dasar diadopsi oleh BPS dan menjadi standar penentuan angka kemiskinan di Indonesia. BPS menggunakan suatu garis kemiskinan yang dinyatakan dalam rupiah untuk membedakan antara penduduk miskin dan bukan penduduk miskin. Nilai rupiah tersebut ditentukan berdasarkan nilai yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan. Kebutuhan minimum makanan adalah besarnya nilai rupiah yang dikeluarkan untuk dapat memenuhi kebutuhan minimum energi sebesar 2100 kalori per hari, sedangkan kriteria kebutuhan minimum bukan makanan adalah nilai rupiah yang dikeluaran untuk dapat memenuhi kebutuhan lainnya selain makanan misalnya perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya (Urip 2008). Sementara itu, konsep satuan pengukuran mengacu pada penjelasan dalam teori ekonomi bahwa kemampuan seseorang untuk memenuhi barang dan jasa tercermin dari daya beli (purchasing power) dan satuan mata uang merupakan pendekatan yang paling efektif untuk mengukur daya beli (Schiller 2008). Konsep tersebut yang diadopsi oleh World Bank untuk menjadi standar kemiskinan, dimana penduduk miskin adalah mereka yang berpenghasilan di bawah $2 per hari. Bubolz dan Sontag (1993) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan terminologi lain dari kualitas hidup manusia (quality of human life), yaitu suatu keadaan ketika terpenuhinya kebutuhan dasar serta terealisasinya nilai-nilai hidup. Mengingat kemiskinan merupakan kondisi dimana kebutuhan dasar manusia tidak terpenuhi, maka kesejahteraan merupakan konsep yang berkebalikan dengan kemiskinan. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merumuskan konsep keluarga sejahtera yang dikelompokan secara bertahap menjadi keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera tahap I, keluarga sejahtera tahap II, keluarga sejahtera tahap III, dan keluarga sejahtera tahap III plus. Sunarti (2008) menyatakan bahwa batasan operasional dari keluarga sejahtera adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan sosial, kebutuhan psikologis, kebutuhan perkembangan, dan kepedulian sosial. Untuk mengkategorisasikan keluarga ke dalam tahapan kesejahteraan, digunakan indikator kesejahteraan keluarga (IKS). Definisi keluarga sejahtera
10
menurut tahapan dalam indikator keluarga sejahtera ditunjukkan pada Tabel 1. Indikator kesejahteraan keluarga merupakan satu-satunya alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan di level keluarga yang digunakan di Indonesia (Sunarti 2008). Dengan mempertimbangan pengertian kemiskinan secara luas maka keluarga yang berada pada tahap pra keluarga sejahtera (Pra KS) dan keluarga sejahtera I (KS I) dapat digolongkan sebagai keluarga miskin. Keluarga pada tahap tersebut bukan hanya belum mampu memenuhi kebutuhan dasar, namun juga kebutuhan sosial psikologis seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan makanan yang bergizi. Hasil penelitian Rambe (2004) terhadap empat alat ukur kesejahteraan yaitu standar kemiskinan BPS, IKS BKKBN, pengeluaran pangan, dan ukuran subjektif, menunjukkan bahwa IKS dianggap paling baik. Alasannya adalah kemudahan dalam pengoprasian hingga ke level administrasi terendah dan dengan
cepat
dapat
mengklasifikasikan
keluarga
miskin.
Namun,
IKS
memunculkan masalah dalam menerjemahkan indikator sosial dan psikologis seperti menjalankan ibadah sesuai agamanya (Sunarti 2008).
Tabel 1 Definisi keluarga sejahtera menurut tahapan dalam IKS Tahap
Definisi Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. KS I Keluarga tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. KS II Keluarga yang selain dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya. KS III Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum dan kebutuhan sosial psikologisnya serta sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di lingkungan desa atau wilayahnya. KS Plus Keluarga yang selain telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dan kebutuhan sosial psikologisnya, dapat pula memenuhi kebutuhan pengembangannya, serta sekaligus secara teratur ikut menyumbang dalam kegiatan sosial dan aktif pula mengikuti gerakan semacam itu dalam masyarakat. Sumber: BKKBN (2004) Pra KS
Kemiskinan Kronis Hal yang menjadi ciri pembeda dari kemiskinan kronis (chronic poverty) dengan jenis kemiskinan lainnya adalah panjangnya durasi dari kemiskinan tersebut. Istilah kemiskinan kronis digunakan untuk menggambarkan kemiskinan
11
yang ekstrim yang terus berlangsung untuk waktu yang panjang – bertahuntahun, seumur hidup, bahkan berlangsung antargenerasi (CPRC 2008). Individu atau keluarga yang mengalami kemiskinan kronis biasanya terseret ke dalam perangkap kemiskinan yang menyebabkan terjadinya siklus kemiskinan sehingga mereka sulit untuk keluar dari kondisi tersebut. Menurut CPRC (2008) kelompok yang mengalami kemiskinan kronis biasanya mengalami berbagai deprivasi, mulai dari kemampuan yang kurang, kepemilikan aset yang rendah, dan termarjinalkan secara sosial politik. Ketidakberdayaan penduduk miskin untuk keluar dari kemiskinan disebabkan oleh terperangkapnya penduduk miskin dalam lingkaran kemiskinan (Dharmawan
et
al.
2010).
Rendahnya
pendapatan
penduduk
miskin
menyebabkan daya beli kurang. Akibatnya, pemenuhan terhadap kebutuhan dasar seperti pangan dan kesehatan tidak optimal yang berdampak pada rendahnya status kesehatan dan gizi. Hal tersebut akan menyebabkan tingginya tingkat morbiditas dan mortalitas pada penduduk miskin yang berpengaruh pada rendahnya partisipasi pendidikan. Sehingga akan berujung pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang ditunjukkan oleh rendahnya produktivitas dan pendapatan.
Fenomena
tersebut
seringkali
disebut
sebagai
perangkap
kemiskinan (Gambar 1). Penduduk miskin
Daya beli rendah
pendapatan rendah
Produktivitas masyarakat dan Negara rendah Prestasi sekolah rendah
Rendahnya kualitas: Pangan Kesehatan Perumahan/ lingkungan Pendidikan
Status kesehatan dan gizi rendah
Partisipasi pendidikan rendah Absensi meningkat Kecerdasan dan keterampilan rendah
Morbiditas dan mortalitas tinggi
Gambar 1 Perangkap kemiskinan (Dharmawan et al. 2010)
Dinamika Kemiskinan Poverty dynamics atau dinamika kemiskinan berkaitan dengan perubahan tingkat kesejahteraan (dari miskin menjadi tidak miskin atau sebaliknya) yang
12
dialami individu atau rumah tangga dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh kombinasi dari faktor struktural dan karakteristik individu dan rumah tangga, hingga faktor yang bersifat global (Moore 2005). Kajian mengenai dinamika kemiskinan biasanya mengkategorikan status kemiskinan rumah tangga ke dalam tiga kelompok, yaitu: miskin kronis (chronic poor), miskin sementara (transient poor), dan bukan kelompok miskin (tidak pernah miskin) (Hulme et al. 2001 dalam Widyanti et al. 2009). Sementara itu, Moore (2005) membagi status dinamika kemiskinan keluarga menjadi empat yaitu selalu miskin atau miskin kronis (always poor atau chronic poor), keluar dari kemiskinan (moved out of poverty), terjerumus ke dalam kemiskinan (moved into peverty), dan tidak pernah miskin (non-poor). Pendekatan dinamika kemiskinan yang dipaparkan sebelumnya berkaitan dengan kondisi kemiskinan suatu keluarga dalam jangka waktu tertentu (intrageneration). Status dinamika kemiskinan tersebut dapat diadapsi untuk menganalisis fenomena transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga. Status kemiskinan diantara dua generasi keluarga diperbandingkan sehingga bisa
diamati
kemiskinan
dinamika diantara keduanya. berdasakan
Moore
(2005)
Pembagian
dianggap
status dinamika
lebih
tepat
untuk
menggambarkan fenomena transfer kemiskinan antar generasi. Kemiskinan ditransfer antargenerasi bila status dinamika kemiskinan diantara dua generasi keluarga selalu miskin atau terjerumus ke dalam kemiskinan. Transfer Kemiskinan antar Generasi Kemiskinan tidak ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai satu paket, melainkan sebagai satu komplek faktor negatif dan positif yang
mempengaruhi
kemungkinan
seorang
individu
untuk
mengalami
kemiskinan. Pendekatan mata pencaharian atau aset sangat berguna untuk memahami transfer kemiskinan antar generasi (intergenerational transfer of poverty/ Intergenerational transmitted poverty atau IGT of poverty), dengan cara fokus pada terjadinya transfer atau tidak terjadinya transfer aset-aset yang berkaitan dengan kemiskinan dalam berbagai macam bentuk atau disebut capital (human capital, social-cultural capital, social-political capital, material capital, dan natural capital) (Moore 2005).
13
Menurut Moore (2001), kemiskinan yang terjadi antargenerasi dapat dilihat sebagai karakteristik dan juga penyebab dari kemiskinan kronis. Konsep penting dalam memahami transfer kemiskinan antargenerasi adalah: 1.
Unit analisis. Fokus pada private transmission dari individu dan keluarga dari satu generasi ke generasi selanjutnya atau transfer kemiskinan dalam, antara, atau melalui ranah publik atau komunitas, negara dan pasar.
2. Arah transfer. Transfer hanya dilakukan dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda atau terjadi juga sebaliknya. Terkait dengan hal tersebut, apakah terjadi juga tansfer „jump generation‟, misalnya dari kakek ke cucu atau sebaliknya. 3. Hal-hal yang ditransfer. Kemiskinan antar generasi dapat dipahami dengan baik bila fokus pada transfer, pencabutan (extraction) transfer, dan ketiadaan transfer pada berbagai bentuk modal atau capital (manusia, sosial budaya, sosial politik, keuangan atau materi, dan lingkungan alam), yang dapat menimbulkan kemiskinan baik kemiskinan multidimensional ataupun kemiskinan dalam konteks sempit. 4. Terjadinya transfer, pencabutan, atau kurangnya transfer dalam sejumlah atau seluruh capital dalam memastikan terjadinya IGT poverty.
Orang tua miskin
Dewasa miskin
Anak miskin Anak Anak Tidak miskin
Orang tua tidak miskin
Transfer kapital
Dewasa tidak misin
Life course effect
Gambar 2 Alur transfer kemiskinan antargenerasi (Moore 2005)
Hal-hal
yang
ditransfer
antargenerasi,
sehingga
kurangnya
atau
ketiadaan transfer tersebut menyebabkan kemiskinan antargenerasi terdiri dari modal finansial atau material, modal manusia (human capital), modal natural atau lingkungan, dan modal sosial budaya (Moore 2001). Sebagian besar penelitian selama ini lebih fokus pada modal manusia (human capital), terutama meliputi investasi orang tua terhadap pendidikan anak dan kesehatan serta gizi dan
14
sumberdaya finansial atau materi yang ditransfer antargenerasi melalui warisan dari generasi yang lebih tua kepada yang lebih muda (Hulme et al. 2001). Human capital atau modal manusia didefinisikan sebagai pengetahuan, keterampilan, kompetensi dan atribut-atribut lainnya yang ada pada diri individu yang dapat memfasilitasi terciptanya kesejahteraan pribadi, sosial, dan ekonomi (OECD 2004). Deacon dan Firebaugh (1988) mendefinisikan human capital dari individu atau keluarga sebagai total simpanan (stock) kapasitas manusia pada satu waktu tertentu yang mempengaruhi sumberdaya di masa depan dan penggunaannya. Syarif (1997) mendefinisikan kualitas sumberdaya manusia (SDM) sebagai gabungan dari karakteristik segenap sumberdaya yang ada dalam diri manusia, mencakup karakteristik fisik, akal, kalbu, dan nafsu yang menentukan derajat kehandalan manusia baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Sementara itu, aset material menurut Deacon dan Firebough (1988) adalah suatu kumpulan barang yang memiliki nilai. Rumah dan hal-hal lainnya yang dimiliki oleh rumah tangga merupakan bagian utama dari aset material keluarga, termasuk juga uang tunai atau deposito yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Aset material berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, baik konsumsi maupun investasi. Uang dan aset materi lainnya juga ditransfer antar generasi melalui pemberian hadiah atau warisan (gift dan bequest). Pewarisan modal finansial dan material tersebut dipengaruhi oleh budaya sosial dan norma yang berlaku di suatu masyarakat tertentu. Mas kawin dan kekayaan yang didapatkan setelah menikah merupakan bentuk yang penting dari transfer modal secara inter vivos dari modal material (Moore 2001).
Nilai Anak Dari segi sosial, nilai adalah kualitas dari suatu objek yang menyebabkan objek tersebut diinginkan dan dijunjung tinggi serta dianggap penting atau berharga. Dari segi ekonomi, nilai berwujud nilai tukar (harga) dan nilai guna (utilitas). Secara umum, nilai adalah sesuatu yang dianggap baik, berguna, dan penting bagi seseorang (Guharja et al. 1992). Deacon dan Firebaugh (1988) menyatakan bahwa nilai berkaitan dengan apa yang diinginkan atau dianggap berharga, menjadi kriteria utama dalam mencapai tujuan, sehingga menentukan keberlanjutan seluruh keputusan dan tindakan.
15
Hoffman dan Hoffman (1973) dalam Trommsdorff (2005) menyatakan bahwa nilai anak mengacu pada fungsi anak yang bisa diberikan kepada orang tua atau kebutuhan yang bisa dipenuhi oleh anak bagi orang tua. Konsep nilai anak menggunakan pendekatan gabungan antara faktor objektif (ekonomi) dan normatif juga pengaruh psikologis yang mempengaruhi perilaku fertilitas. Menurut Sam (2001) nilai anak dikonseptualisasikan sebagai konstruksi psikologis yang mengacu pada keuntungan yang diharapkan dari memiliki anak dan juga biaya serta kerugiannya. Secara spesifik, nilai anak dimaknai sebagai refleksi motivasi orang tua untuk memiliki dan membesarkan anak, dan di dalam motivasi tersebut termasuk juga tujuan personal dan pengalaman sosialisasi orang tua (Sam 2001). Deacon dan Firebaugh (1988) menyatakan bahwa keluarga memiliki tanggung jawab dalam hal perawatan dan perkembangan dari anggota keluarga tersebut. Sebagai penghasil sumberdaya manusia, keluarga juga diharapkan untuk berfungsi dengan baik agar dapat menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Investasi orang tua terhadap anak merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas, salah satunya melalui alokasi uang dan waktu untuk pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian, motivasi orang tua untuk membesarkan anak dengan baik, dipengaruhi oleh persepsi orang tua tentang nilai anak. Menurut Suckow dan Klaus (2002) nilai anak terdiri dari tiga dimensi, yaitu: nilai psikologis-emosional anak, nilai ekonomi-utilitarian anak, dan nilai sosial-normatif anak. Sam (2001) menjabarkan ketiga dimensi nilai anak tersebut. Disebutkan bahwa nilai psikologis mengacu pada kebahagiaan, kesenangan, dan kenyamanan atau sebaliknya ketidaknyamanan dan stres yang orang tua persepsikan dengan kehadiran seorang anak. Sementara itu nilai sosial mengacu pada keuntungan sosial atau justru ketidakberuntungan yang dipersepsikan orang tua dengan hadirnya seorang anak (misal penerimaan sosial dan status sosial saat pasangan mendapatkan anak; keberlanjutan keturunan). Sementara itu, nilai ekonomi anak merupakan alasan orang tua untuk memiliki anak secara ekonomi. Transfer nilai anak antargenerasi Kwast-Welfel et. al (2008) menyatakan bahwa transfer nilai antargenerasi menjadi suatu mekanisme utama untuk keberlanjutan suatu komunitas. Lebih
16
lanjut Grolnick et. al (1997) dalam Hayne et al. (2006) menyatakan bahwa nilai dan norma sosial diidentifikasi dan diinternalisasi melalui proses sosialisasi dan enkulturasi. Nilai anak ditransfer dari satu generasi ke generasi selanjutnya dalam keluarga melalui proses sosialisasi orang tua terhadap anak, dalam hal ini pengasuhan yang dilakukan orang tua terhadap anak.
Generasi I
Variabel personal Variabel hubungan Nilai : - anak - keluarga - individualisme/ kolektivisme)
Generasi II
-
Kualitas Hubungan Pengasuhan Investasi
Variabel personal Variabel hubungan Nilai : - anak - keluarga - individualisme/ kolektivisme)
Generasi III
-
Kualitas Hubungan Pengasuhan Investasi
Variabel personal Variabel hubungan Nilai : - anak - keluarga - individualisme/ kolektivisme)
-
Kualitas Hubungan Pengasuhan Investasi
Gambar 3 Transfer nilai anak antargenerasi dalam keluarga dan kaitannya dengan perilaku investasi orang tua terhadap anak (diadopsi dari Trommsdorff 2002)
Menurut Trommsdroff (2002), hubungan orang tua-anak merupakan bagian dari “developmental niche”, dimana orang tua melakukan sosialisasi terhadap anak sekaligus juga melakukan transfer nilai dan perilaku yang diharapkan pada diri anak. Lebih lanjut Kuczynski et al. dalam Trommsdroff (2002) menjelaskan bahwa hubungan orang tua-anak yang terjadi pada satu
17
generasi keluarga (misal antara ayah dan ibu dengan orang tuanya masingmasing) merupakan suatu syarat untuk perkembangan individu pada generasi selanjutnya (anak). Pada waktu yang bersamaan, ayah dan ibu merupakan hasil dari perkembangan individu dan dipengaruhi oleh hubungan orang-tua anak pada generasi sebelumnya (hubungan kakek-nenek dengan ayah atau ibu). Berdasarkan pada pengalaman yang dialami dari hubungan orang tuaanak (misal ayah dan ibu dengan orang tuanya masing-masing), anak (ayah dan ibu) akan mengembangkan ekspektasi, nilai, dan perilaku preferensi yang sifatnya cenderung stabil sepanjang waktu. Nilai dan perilaku preferensi tersebut diasumsikan mempengaruhi persepsi ayah dan ibu tentang nilai anak saat dewasa, termasuk terkait dengan keputusan fertilitas, persepsi subjektif tentang anak mereka, dan bentuk hubungan ayah dan ibu dengan anaknya (Trommsdroff 2002). Gambar 3 memvisualisasikan proses transfer nilai anak antar generasi dalam keluarga dan kaitannya dengan perilaku investasi orang tua teradap anak. Investasi Orang Tua pada Anak Schultz (1981) menyatakan bahwa faktor yang paling menentukan dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin bukanlah ruang, energi, dan tanah untuk pertanian, melainkan peningkatan kualitas manusia (human capital) dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Peningkatan kualitas manusia dilakukan melalui investasi sumberdaya manusia. Keluarga memegang peranan penting dalam memproduksi modal manusia seorang anak, investasi dalam modal manusia merupakan salah satu cara bagi keluarga untuk meningkatkan produktivitas marginal seorang anak sehingga akan meningkatkan kapasitas pendapatan anak tersebut (Taubman 1996). Deacon dan Firebough (1981) menyatakan bahwa suatu bagian yang signifikan dari pengembangan modal manusia didapat dari proses belajar secara sadar ataupun tidak sadar yang dilakukan dalam keluarga. Orang tua yang menggunakan waktunya untuk mengajarkan anaknya melakukan tugas tertentu akan berkontribusi terhadap pembentukan modal manusia seorang anak. Seperti halnya pendidikan formal, pelatihan yang dilakukan di rumah dapat berkontribusi besar terhadap kapasitas individu. Dengan demikian keluarga merupakan institusi pertama dan utama dalam pembangunan sumberdaya manusia. Hartoyo (1998) mendefinisikan investasi orang tua terhadap anak sebagai segala usaha, aktivitas, atau alokasi sumberdaya keluarga yang bertujuan untuk
18
meningkatkan kualitas anak sehingga diharapkan akan menjadi individu yang produktif saat dewasa. Menurut Bryant dan Zick (2006) investasi terhadap anggota keluarga yang berarti investasi terhadap sumberdaya manusia (human capital) memiliki banyak bentuk, namun cara yang paling umum untuk berinvestasi terhadap sumberdaya manusia adalah melalui pendidikan formal selain juga melalui kesehatan dan pengasuhan anak. Perilaku investasi pada anak dapat diukur dengan menghitung seberapa besar alokasi sumberdaya keluarga, khususnya sumberdaya uang dan waktu yang dicurahkan untuk anak (Hartoyo & Hastuti 2003). Lebih lanjut dijelaskan bahwa curahan sumberdaya keluarga pada anak dapat meningkatkan kualitas modal manusia pada diri anak sehingga kelak akan mempunyai produktivitas yang lebih baik. Oleh karena itu, alokasi waktu dan uang untuk anak dapat dipandang sebagai bentuk investasi, karena orang tua berharap anak memiliki produktivitas yang tinggi dan memberi manfaat lebih besar pada keluarga kelak (Hartoyo & Hastuti 2003). Sementara itu Bonke dan Andersen (2009) mengukur investasi orang tua pada anak dengan mengukur waktu investasi orang tua pada anak secara kuantitas dan kualitas. Waktu investasi orang tua pada anak secara kualitas dibedakan menjadi developmental dan non-developmental care. Developmental care didefinisikan sebagai keterlibatan orang tua dalam perkembangan intelektual, fisik, dan sosial anak, sementara kegiatan perawatan lainnya digolongkan ke dalam non-develomental. Developmental care meliputi: (a) aktivitas perawatan seperti memandikan dan memberi makan, (b) aktivitas bermain dan companionship seperti bermain aktif dan pasif serta aktivitas waktu luang lainnya bersama anak, (c) aktivitas terkait prestasi seperti menemani belajar, mengerjakan tugas, membaca bersama, dan aktivitas edukatif lainnya, serta (d) aktivitas sosial seperti mengunjungi tetangga, pembicaraan keluarga, aktivitas religius, dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial lainnya (Stafferd & Yeung 2005 dalam Bonke & Andersen 2008).
Pengeluaran Orang tua untuk Investasi pada Anak Investasi terhadap anak meliputi waktu yang dimiliki orang tua (parental time) dan pengeluaran yang dilakukan orang tua (parental expenditures) baik berupa barang ataupun jasa yang digunakan oleh anak. Pengeluaran dalam bentuk barang dan jasa yang dikonsumsi oleh anak meliputi perawatan
19
kesehatan, makanan yang sehat, pendidikan, pakaian anak, mainan anak, dan lain sebagainya (Bryant & Zick 2006). Hasil penelitian Haveman dan Wolfe (1995) memperkirakan bahwa orang tua di Amerika Serikat mengeluarkan setiap tahunnya $7.579 per satu anak berusia antara 0 hingga 18 tahun (berdasarkan dolar tahun 1992) untuk kebutuhan makanan, perumahan, transportasi, dan barang serta jasa lainnya. Temuan Shukul (2007) di India menunjukkan bahwa orang tua menghabiskan rata-rata Rs12,939 per anak tiap tahun untuk biaya pendidikan sebagai bentuk investasi pada anak. Temuan Simanjuntak (2010) pada keluaraga penerima PKH di Kecamatan Darmaga pada tahun 2008 hingga 2009 menunjukkan bahwa sekitar 55,3% dana bantuan digunakan untuk keperluan pendidikan, 15,5% untuk kebutuhan makanan, dan hanya 0.5% yang digunakan untuk keperluan kesehatan. Hasil penelitian Puspitawati et al. (2009) di Kabupaten Indramayu mengkalkulasikan bahwa rata-rata pengeluaran orang tua untuk pendidikan adalah sebesar Rp260.962,33 per bulan atau sekitar Rp3.131.547,90 per tahun.
Investasi Waktu Orang tua pada Anak Menurut Guhardja et al. (1989) hubungan alokasi waktu rumah tangga dengan lingkungan dipengaruhi oleh empat sistem, yaitu sistem ekonomi, sistem politik, sistem teknologi, dan sistem sosial budaya. Terdapat tiga kategori penggunaan waktu rumah tangga, yaitu: (a) waktu untuk aktivitas pasar, baik untuk upah maupun usaha sendiri, (b) waktu untuk pekerjaan rumah tangga, dan (c) waktu santai. Investasi waktu orang tua pada anak bukan hanya meliputi kegiatan merawat anak yang utama seperti memberi makan, memandikan, memakaikan baju, mengajarkan membaca, dan bermain bersama anak. Hal tersebut juga meliputi kegiatan merawat anak sekunder seperti menjaga anak sambil mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain. Dalam kegiatan tersebut, biasanya orang tua mengajarkan anak kemampuan tertentu (Bryant & Zick 2006). Data tren penggunaan waktu oleh ibu di Amerika Serikat dari tahun 2003 hingga 2008 menunjukkan bahwa dalam satu minggu, sekitar 13,8 jam dihabiskan untuk kegiatan merawat anak. Angka tersebut meningkat dari data pada tahun 1965 sebesar 10,2 jam dalam satu minggu. Sementara ayah menghabiskan waktu yang lebih sedikit dalam merawat anak, yaitu sekitar 7 jam dalam satu minggu (Bianchi 2010).
20
Investasi pada Anak Usia Dini Kualitas seorang individu pada usia dini sangat penting, bukan hanya untuk alasan apa yang terjadi pada usia tersebut namun juga untuk alasan masa depan. Kapabilitas yang dimiliki oleh individu dewasa sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang dirasakan pada saat usia dini. Investasi dalam pendidikan dan bentuk lainnya yang didapatkan pada masa kanak-kanak dapat meningkatkan kapabilitas seseorang di masa depan melalui dua cara. Pertama, hal tersebut secara langsung dapat membuat individu hidup lebih kaya dan memiliki lebih sedikit permasalah. Persiapan yang baik pada saat usia dini dapat meningkatkan kecakapan hidup seseorang. Kedua, individu yang dipersiapkan dengan baik saat usia dini akan lebih produktif secara ekonomi dan menghasilkan pendapatan yang lebih baik (Sen 1999). Meyers (1992) dalam Sunarti (2008) menekankan beberpa alasan pentingnya investasi dalam perkembangan anak sejak usia dini. Hal tersebut merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi anak untuk berkembang sampai potensi optimal. Selain itu, investasi dalam perkembangan anak usia dini juga berkaitan dengan nilai sosial dan moral, serta memberikan sumbangan ekonomi bila ditinjau dari produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan. Sejumlah penelitian membandingkan tingkat pengembalian dari investasi sumberdaya manusia pada tahapan umur yang berbeda dari perkembangan anak. Mayoritas menyimpulkan bahwa investasi pada anak usia dini menjamin keuntungan perkembangan secara kumulatif dimana sebaliknya – bila tidak dilakukan atau terjadi kekurangan – bisa menyebabkan kehilangan yang bersifat irretrievable
(tidak
bisa
dilakukan
kompensasi
pada
tahapan
usia-usia
selanjutnya) seperti dalam hal status gizi. Defisiensi pada usia dini akan menyebabkan kerusakan atau cacat (defect) secara fisik dan kognitif yang tidak dapat diperbaiki atau dikompensasi di tahapan usia selanjutnya (irreversible) yang berdampak pada produktivitas anak saat dewasa. Hal tersebut yang menyebabkan tingginya tingkat pengembalian investasi pada anak usia dini (Anderson & Hague 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi sedini mungkin pada anak dalam hal kesehatan dan asupan gizi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pengembalian jangka panjang (Alderman & King 2006). Laporan Bank Dunia pada tahun 2006 menyoroti masalah tingkat pengembalian yang tinggi dari investasi pada anak usia dini. Dijelaskan bahwa ketidakberuntungan dalam hal
21
kesempatan akan menurunkan akses bagi anak terhadap barang dan jasa yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal tersebut akan berdampak pada produktivitasnya dimasa yang akan datang dan turut mempengaruhi kemajuan negara yang ditandai dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi (World Bank 2005). Nilai Anak, Investasi Orang tua pada Anak, dan Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Bukti Empiris Sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang konsisten bahwa anak merupakan jaminan hari tua bagi orang tua (Hartoyo & Hastuti 2003; Kartino 2005; Puspitawati et al. 2009; Permatasari 2010; Mulyani 2010). Orang tua juga setuju bahwa mereka harus menyediakan pendidikan setinggi-tingginya bagi anak mereka agar kelak bisa menjadi individu yang berkualitas (Hartoyo & Hastuti 2003). Namun, hal tersebut berkebalikan dengan sebagian orang tua yang menyatakan bahwa anak merupakan tenaga kerja bagi keluarga yang diharapkan memberikan kontribusi ekonomi secara langsung bagi keluarga (Puspitawati et al. 2009; Permatasari 2010). Perbedaan orang tua dalam mempersepsikan nilai anak dipengaruhi oleh perbedaan status sosial ekonomi. Hasil penelitian Hartoyo dan Hastuti (2003) menyimpulkan bahwa persepsi orang tua tentang nilai anak berbeda antara keluarga buruh dengan keluarga juragan meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Keluarga juragan memberikan penilaian lebih tinggi dalam hal nilai sosial dan psikologis, sementara keluarga buruh menilai anak sebagai faktor produksi yang diharapkan memberi kontribusi ekonomi
pada keluarga (nilai ekonomi)
(Hartoyo 2003). Hartoyo dan Hastuti (2003) menambahkan bahwa perbedaan dalam mempersepsikan
nilai
anak
diduga
menjadi
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi perbedaan dalam hal pengeluaran keluarga untuk anak. Dengan demikian, persepsi orang tua tentang nilai anak menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku investasi orang tua terhadap anak. Persepsi orang tua mengenai nilai anak dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, tipe keluarga, status pekerjaan orang tua, dan pendidikan orang tua (Kartino 2005; Mulyani 2010). Selain nilai anak, investasi orang tua pada anak dalam bentuk uang dan waktu dipengaruhi secara positif oleh pengeluaran keluarga dan dipengaruhi
22
secara negatif oleh ukuran keluarga (Hartoyo 1998). Penelitian Puspitawati et al. (2009) menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan orang tua akan meningkatkan persepsi mereka terhadap pendidikan dasar sembilan tahun, meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan dasar anaknya, dan memperhatikan serta memprioritaskan pola asuh dan fasilitas belajar anak. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Leibowitz (1982) yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu berkorelasi positif dengan kualitas anak yang diukur dengan IQ. Kualitas anak akan semakin tinggi dengan meningkatnya investasi yang dilakukan orang tua terhadap anak (Leibowitz 1982; Hartoyo 1998). Lebih lanjut disimpulkan bahwa investasi orang tua dalam bentuk waktu berdampak positif terhadap kualitas anak yang diukur dari status gizi anak (Hartoyo 1998). Artinya, semakin banyak waktu yang dicurahkan orang tua untuk anak, terutama yang mendukung tumbuh kembangnya, akan semakin meningkatkan status gizi anak. Selain itu, investasi waktu orang tua pada anak juga diindikasikan memiliki pengaruh yang negatif terhadap investasi orang tua dalam bentuk uang kepada anak (Hartoyo 1998; Hartoyo & Hastuti 2003).
KERANGKA PEMIKIRAN
Keluarga merupakan institusi pertama dan utama dalam pengembangan sumberdaya manusia. Untuk menjalankan perannya tersebut, keluarga harus berfungsi dengan baik. Keberfungsian keluarga dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan (miskin atau tidak miskin). Pengembangan sumber daya manusia dalam keluarga dilakukan dengan mengalokasikan sumberdaya, terutama uang dan waktu yang dimiliki orang tua, untuk diinvestasikan pada diri anak dalam rangka meningkatkan produktivitasnya di masa depan. Dengan demikian, perbedaan tingkat kesejahteraan akan mempengaruhi besar sumberdaya yang dialokasikan untuk investasi pada diri anak. Gambar 4 menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia dalam diri ayah dan ibu, yang dapat dilihat dari karakteristik keduanya, dipengaruhi oleh upaya orang tuanya masing-masing untuk melakukan investasi sumberdaya manusia pada diri mereka. Investasi yang paling berpengaruh terutama adalah perilaku investasi orang tua pada ayah dan ibu saat keduanya berusia dini dan lama pendidikan formal yang ditempuh. Kualitas sumberdaya manusia pada diri ayah dan ibu pada akhirnya menentukan tingkat kesejahteraan keluarga yang dibentuk (keluarga contoh), selain juga pengaruh faktor eksternal lainnya seperti pengelolaan sumberdaya yang dilakukan dalam keluarga. Orang tua ayah dan ibu sebenarnya memiliki dua pilihan dalam melakukan
investasi
dalam
rangka
memaksimalkan
sumberdaya
yang
dimilikinya, yaitu investasi sumberdaya manusia pada diri anak atau investasi dalam bentuk aset material. Keputusan orang tua untuk berinvestasi pada diri anak dipengaruhi oleh adanya persepsi orang tua mengenai nilai anak, yaitu pemahaman orang tua mengenai manfaat dan risiko dari kehadiran anak seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Nilai anak terdiri dari tiga dimensi, yaitu nilai psikologis, nilai sosial, dan nilai ekonomi. Orang tua biasanya memiliki persepsi bahwa anak adalah sumber kebahagiaan dan jaminan bagi hari tua. Hal tersebut yang memotivasi orang tua untuk mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya pada diri anak. Selain tingkat kesejahteraan dan persepsi mengenai nilai anak, karakteristik keluarga lainnya seperti jumlah anak yang dimiliki keluarga juga turut mempengaruhi besarnya alokasi sumberdaya yang diinvestasikan pada anak.
24
Bagi ayah dan ibu ada dua hal yang didapatkan dari interaksi antara keduanya dengan orang tua masing-masing, terutama melalui kegiatan investasi yang dilakukan orang tua saat ayah dan ibu berusia dini. Pertama, menjamin pertumbuhan keduanya untuk menjadi individu yang produktif di masa depan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Kedua, sebagai sarana bagi ayah dan ibu untuk mengembangkan nilai yang akan mempengaruhi perilakunya di masa depan.
Termasuk
di
dalamnya
pengembangan
nilai
anak
yang
akan
mempengaruhi interaksi ayah dan ibu dengan anaknya seperti perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak. Nilai, termasuk di dalamnya nilai anak, ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam keluarga. Nilai anak mempengaruhi investasi orang tua terhadap anak. Sementara investasi yang dilakukan orang tua terhadap anak mempengaruhi kualitas sumber daya anak yang akan menentukan status kesejahteraan anak di masa depan. Investasi yang dilakukan orang tua terhadap anak juga dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya dalam keluarga atau status kesejahteraan keluarga. Artinya bagi keluarga miskin, alokasi sumberdaya yang dilakukan
akan
lebih
terbatas
dibandingkan
keluarga
dengan
status
kesejahteraan tidak miskin. Sehingga anak yang lahir dari keluarga miskin kemungkinan akan memiliki status kesejahteraan yang sama dengan orang tuanya di masa depan. Demikian gambaran fenomena transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga.
25
Keluarga Asal Ayah Karakteristik Kakek
Keluarga Asal Ibu
Karakteristik Nenek
Karakteristik Kakek
Karakteristik Nenek
Faktor Lainnya
Faktor Lainnya
Tingkat Kesejahteraan
Tingkat Kesejahteraan
Miskin
Perilaku Investasi Orang Tua pada Ayah
Tidak Miskin
Miskin
Warisan
Persepsi Orang Tua terkait Nilai Ayah
Persepsi Orang Tua terkait Nilai Ibu
Keluarga Contoh Kualitas Ayah
Kualitas Ibu
Tingkat Kesejahteraan Miskin
Tidak Miskin
Faktor Lainnya
Perilaku Investasi Ayah dan Ibu pada anak
Persepsi Ayah dan Ibu tentang nilai anak
Kualitas Anak Gambar 4 Kerangka berpikir penelitian
Keterangan: : variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti
Tidak Miskin
Perilaku Investasi Orang Tua pada Ibu
26
METODE PENELITIAN
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan antara cross sectional study, yaitu pengamatan yang dilakukan sekaligus pada satu waktu yang bersamaan, dengan retrospective study, menggali informasi masa lalu contoh. Sementara metode yang digunakan adalah survei dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data utama. Kabupaten Sukabumi dipilih sebagai lokasi penelitian secara purposive, dengan pertimbangan kemiskinan masih menjadi permasalah utama di wilayah ini. Penentuan lokasi penelitian selanjutnya dipilih dengan pertimbangan kecamatan dengan persentase keluarga miskin dan tidak miskin yang cukup berimbang. Alasannya, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan antara keluarga miskin dan tidak miskin. Dipilih Kecamatan Cicurug dengan pertimbangan rasio penduduk miskin dan tidak miskin di wilayah ini sekitar 0,6. Selanjutnya dipilih kelurahan atau desa di Kecamatan Cicurug yang juga memiliki jumlah penduduk miskin dan tidak miskin yang hampir berimbang, dan Desa Pasawahan dipilih sebagai lokasi penelitian. Waktu penelitian (meliputi persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan penulisan laporan) adalah sembilan bulan, dimulai dari Maret 2011 hingga November 2011.
Contoh dan Metode Penarikan Contoh Populasi penelitian ini adalah 894 keluarga yang bertempat tinggal di Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi yang mempunyai anak terakhir berusia balita. Contoh dalam penelitian ini adalah 60 keluarga terpilih yang dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan status sosial ekonomi, yaitu 30 keluarga miskin dan 30 keluarga tidak miskin. Penggolongan dilakukan berdasarkan data tahapan keluarga sejahtera BKKBN (Pra KS dan KS I digolongkan miskin, tahapan selanjutnya digolongkan tidak miskin). Penarikan contoh dilakukan dengan metode stratified random sampling dengan kriteria stratifikasi status kesejahteraan keluarga, setelah sebelumnya dipilih dua RW secara purposive dengan syarat jumlah keluarga yang memiliki balita tertinggi (terpilih RW 3 = 139 keluarga dengan balita dan RW 4=117 keluarga yang memiliki balita). Pemilihan contoh kemudian dilakukan dengan mengacak keluarga yang memenuhi kriteria di dua RW terpilih dengan proporsi
28
masing-masing 15 keluarga untuk setiap kriteria (15 keluarga miskin dengan anak balita dan 15 keluarga tidak miskin dengan anak balita untuk masingmasing RW), sehingga didapatkan total seluruh contoh penelitian adalah 60 keluarga.
Pemilihan Kab. Sukabumi
purposive
Kec. Cicurug purposive
Desa Pasawahan (keluarga dengan balita = 894)
RW 3 (keluarga yang memiliki balita = 139)
Keluarga miskin yang mempunyai anak terakhir balita
purposive
RW 4 (keluarga yang memiliki balita = 117)
Keluarga tidak miskin yang mempunyai anak terakhir balita
Keluarga miskin yang mempunyai anak terakhir balita
Keluarga tidak miskin yang mempunyai anak terakhir balita
purposive
Stratified random sampling
n = 15 keluarga
n = 15 keluarga
n = 15 keluarga
n = 15 keluarga
Gambar 5 Skema cara penarikan contoh
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini meliputi karakteritik sosiodemografi dan ekonomi keluarga contoh, persepsi orang tua dari kedua generasi keluarga menganai nilai anak (nilai psikologis, nilai sosial, dan nilai ekonomi), dan investasi orang tua terhadap anak (alokasi waktu dan uang) pada dua generasi keluarga. Pada generasi pertama, investasi orang tua (kakek dan nenek) terhadap anak (ayah dan ibu) dilihat dari perilaku investasi terhadap ayah dan ibu saat keduanya berusia dini, lama pendidikan formal ayah dan ibu, dan warisan yang diterima ayah dan ibu. Investasi orang tua terhadap anak pada generasi
29
kedua dilihat dari perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak saat ini yang berusia di bawah lima tahun. Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel dalam penelitian ini telah diuji reliabilitasya dengan nilai α-crobbach sebesar 0,653 (persepsi orang tua mengenai nilai ayah dan ibu), 0,712 (persepsi ayah dan ibu tentang nilai anak) 0,849 (perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu), dan 0,889 (perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak). Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap ayah dan ibu. Sementara itu, data sekunder yang meliputi gambaran umum wilayah dan data kependudukan didapatkan dari dokumen yang dimiliki pemerintah setempat. Tingkat kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu diukur dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada ayah dan ibu mengenai kondisi sosial ekonomi keluarganya pada saat mereka masih kanak-kanak. Indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan tersebut dipilih berdasarkan tingkat keterhandalannya terhadap variabel waktu karena tidak terpengaruh atau hanya sedikit terpengaruh oleh inflasi. Dengan demikian, bias waktu dalam hal penentuan kesejahteraan keluarga asal yang ditanyakan pada ayah dan ibu bisa diminimalisir. Indikator yang digunakan mengacu pada metode Family Life History yang dilakukan oleh Bottema, Siregar, dan Madiadipura (2008). Indikator-indikator tersebut adalah pekerjaan dan pendapatan kakek serta nenek yang dilihat dari tingkat stabilitasnya, kepemilikan serta kondisi rumah, kepemilikan tanah, kepemilikan ternak, dan pendidikan (kemampuan baca tulis). Sementara itu, tingkat kesejahteraan keluarga contoh dilihat dari data pentahapan Keluarga Sejahtera hasil pengukuran dengan Indikator Kesejahteraan Keluarga oleh BKKBN. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer yang sesuai. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan melakukan tabulasi data yang diperoleh dan analisis statistik inferensia melalui uji hubungan antar variabel yang ditentukan serta analisis regresi. Tahapan analisis data yang dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Karakteristik demografi, sosial, dan ekonomi individu serta keluarga dianalisis secara deskriptif. Jumlah anak pada kedua generasi keluarga
30
dikelompokan menjadi tiga kelompok (kategori keluarga asal ayah dan ibu: 2-4 anak, 5-7 anak, dan ≥8 anak; kategori keluarga contoh: >2 anak, 2-3 anak, dan 4-5 anak); usia ayah dan ibu dibagi menjadi empat kategori (<21 tahun, 21-30 tahun, 31-40 tahun, dan >40 tahun). Lama pendidikan ayah dan ibu dikelompokan menjadi empat kelompok yaitu: ≤6 tahun, 7-9 tahun, 10-12 tahun, dan >12 tahun. Sementara itu, pendapatan keluarga contoh per bulan dibagi menjadi lima kategori, yaitu >500 ribu, 500-999 ribu, satu juta-1999 ribu rupiah, 2000-2999 ribu rupiah, dan diatas tiga juta rupiah; sedangkan pendapatan per kapita per orang per bulan dibagi menjadi lima kategori yaitu >100 ribu, 100-199 ribu, 200-299 ribu, 300399 ribu, dan ≥400 ribu rupiah. Status kesejahteraan keluarga generasi I dikelompokan menjadi miskin dan tidak miskin (diukur dengan metode Family Life Hystory/FLH, skor FLH <4=miskin, skor FLH ≥4= tidak miskin). Status dinamika kemiskinan dibedakan menjadi empat, yaitu selalu miskin (keluarga asal dan keluarga contoh miskin), tidak pernah miskin (keluarga asal dan keluarga contoh tidak miskin), terjerumus miskin (keluarga asal tidak miskin, keluarga contoh miskin), dan keluar dari miskin (keluarga asal miskin, keluarga contoh tidak miskin). 2. Status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu (STATUS1A dan STATUS1B) dan keluarga contoh (STATUS2) dibedakan menjadi miskin dan tidak miskin, kemudian dianalisis secara deskriptif untuk melihat status dinamika kemiskinan (DINAMIKA) diantara kedua generasi keluarga tersebut. Status kesejahteraan keluarga orang tua dari ayah (STATUS1A) dan keluarga dari ibu (STATUS1B), diasumsikan mewakili status kesejahteraan keluarga saat ibu atau ayah berusia balita hingga saat ini. Dinamika kemiskinan antar kedua generasi keluarga tersebut dikategorikan berdasarkan Moore (2008), yaitu: a. Selalu miskin bila kedua generasi keluarga selalu berada dalam kondisi miskin b. Terjerumus ke dalam kemiskinan bila keluarga asal contoh tidak miskin namun keluarga contoh berstatus miskin c. Keluar dari kemiskinan bila keluarga asal contoh berstatus miskin namun keluarga contoh tidak miskin d. Tidak pernah miskin bila kedua generasi keluarga tidak pernah miskin
31
Transfer kemiskinan (TRANSFER) terjadi bila dinamika kemiskinan yang terjadi antar dua generasi keluarga adalah selalu miskin atau terjerumus ke dalam kemiskinan. 3. Terdapat dua nilai anak yang diukur dalam penelitian ini, yaitu persepsi ayah dan ibu mengenai nilai anaknya, dibedakan menjadi VOC2A yaitu nilai anak dimata ayah dan VOC2B yaitu nilai anak dimata ibu. Nilai anak diukur berdasarkan tiga aspek, yaitu psikologis, sosial, dan ekonomi. Hasil pengamatan terhadap nilai anak dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu rendah (<60%), sedang (60-80%), dan tinggi (>80%) seperti pengelompokan yang dilakukan oleh Hastuti et al. (2009). Diamati pula persepsi orang tua (kakek dan nenek) tentang nilai ayah dan ibu yang diukur dari persepsi ayah atau ibu tentang nilai dirinya (VOC1) dimata orang tua (nenek dan kakek), yang dibedakan menjadi VOC1A yaitu nilai ayah dimata orang tuanya dan VOC1B yaitu nilai ibu dimata orang tuanya. 4. Investasi orang tua terhadap anak yang diamati adalah perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak. Dibedakan menjadi perilaku investasi ayah terhadap anak (INVEST2A) dan perilaku investasi ibu terhadap anak (INVEST2B). Data INVEST2A dan INVEST2B kemudian diolah secara deskriptif (kategori seperti pada varaibel nilai anak). Selain itu, diamati pula investasi orang tua (kakek dan nenek) terhadap ayah dan ibu saat keduanya berusia dini. Investasi tersebut diukur dengan melihat lama pendidikan ayah (EDUA) atau ibu (EDUB), warisan yang diberikan kepada ayah (BEQUESTA) dan ibu (BEQUESTB), serta perilaku investasi orang tua terhadap ayah (INVEST1A) dan ibu (INVEST1B). Data investasi orang tua terhadap ayah dan ibu kemudian diolah secara deskriptif. Skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu dikelompokan dengan kategori yang sama seperti nilai anak. 5. Analisis deskriptif dengan menggunakan tabulasi silang digunakan untuk melihat keterkaitan antar variabel penelitian, yaitu karakteristik keluarga, nilai anak, dan investasi orang tua pada anak. Uji beda juga dilakukan untuk melihat perbedaan diantara kelompok contoh. 6. Hubungan antara VOC1A dengan VOC2A, VOC1B dengan VOC2B, dan VOC2A dengan VOC2B dianalisis dengan menggunakan uji korelasi untuk membuktikan terjadinya transfer nilai antargenerasi. Selain itu
32
variabel nilai anak juga dilihat hubungannya dengan status kesejahteraan dengan uji korelasi. 7. Hubungan antara variabel INVEST1A dengan INVEST2A, INVETS1B, dengan INVEST2B, INVEST2A dengan INVEST2B dianalisis dengan menggunakan uji korelasi. Selain itu, variabel perilaku investasi juga dihubungkan dengan status kesejahteraan dengan menggunakan uji korelasi. 8. Hubungan antarvariabel nilai anak dengan perilaku investasi serta status kesejahteraan diuji dengan menggunakan uji korelasi untuk melihat keterkaitan diantara variabel-variabel tersebut. 9. Faktor-faktor yang mempengaruhi status kesejahteraan keluarga contoh diuji dengan menggunakan regresi logistik, adapun persamaannya sebagai berikut: a + γ1STATUS1 + β1EDUA + β2INVEST1A + β3INVEST1B + γ2BEQUESTA + γ2BEQUESTB + β4AGE2A + ε Keterangan: a=konstanta, p=peluang untuk sejahtera (0=miskin, 1=tidak miskin) β=koefisien regresi, γ=koefisien dummy
11. Faktor-faktor (INCOME)
yang diuji
mempengaruhi
dengan
pendapatan
menggunakan
regresi
keluarga linear
contoh
berganda.
Persamaan regresinya adalah: INCOME
= a + b1STATUS1A + b2STATUS2 + b3INVEST1A + b4EDUA + b5EDUA + b6EDUB + b7BEQUESTA + b8BEQUESTB
Keterangan: a=konstanta, b=koefisien regresi
12. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak (INVEST2A) diuji dengan menggunakan regresi linear berganda. Persamaan regresinya adalah: INVEST2A = a + b1STATUS1A + b2STATUS2 + b3INVEST1A + b4EDUB + b5INCOME + b6INVEST2B + b7VOC1A + b8VOC2A + b9CHILD2 + b10AGEA Keterangan: a=konstanta b=koefisien regresi
33
13. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku investasi ibu terhadap anak (INVEST2A) diuji dengan menggunakan regresi linear berganda. Persamaan regresinya adalah: INVEST2B = a + b1STATUS1B + b2STATUS2 + b3INVEST1B + b4EDUB + b5INCOME + b7VOC1B + b8VOC2B + b9CHILD2 + b10AGEB Keterangan: a=konstanta, b=koefisien regresi
Definisi Operasional Keluarga contoh (FAMILY2) adalah keluarga yang menjadi fokus analisis utama penelitian ini, yaitu keluarga generasi kedua dari unit analisis yang memiliki anak terakhir berusia balita dan dibedakan berdasarkan status kesejahteraan (miskin dan tidak miskin) Keluarga asal atau origin family (FAMILY1) adalah keluarga tempat ayah dan ibu dari keluarga contoh berasal, sehingga terdapat dua keluarga asal yaitu keluarga asal ayah dan keluarga asal ibu Transfer kemiskinan (TRANSFER) adalah suatu fenomena terkait penurunan status kemiskinan antargenerasi keluarga yang disebabkan oleh tidak adanya atau kurangnya transfer modal (capital) antargenerasi keluarga tersebut yang diukur dengan pendekatan status dinamikan kemiskinan (DINAMIKA) Status
dinamika
kemsikinan
(DINAMIKA)
adalah
komparasi
status
kesejahteraan dua generasi keuarga yang dibedakan menjadi empat, yaitu selalu miskin (kedua generasi keluarga miskin), tidak pernah miskin (kedua generasi keluarga tidak miskin), terjerumus miskin (keluarga saat ini miskin, keluarga generasi sebelumnya tidak miskin), dan keluar dari kemiskinan (keluarga saat ini tidak miskin, keluarga generasi sebelumnya miskin). Transfer kemiskinan terjadi ketika status dinamika kemiskinan yang dialami adalah selalu miskin dan terjerumus miskin Jumlah anak keluarga ayah (CHILD1A) adalah jumlah anak yang dimiliki oleh orang tua ayah atau jumlah saudara kandung yang dimiliki ayah Jumlah anak keluarga ibu (CHILD1B) adalah jumlah anak yang dimiliki oleh orang tua ibu atau jumlah saudara kandung yang dimiliki ibu
34
Usia ayah (AGEA) adalah usia ayah saat dilakukan wawancara dalam satuan tahun Usia ibu (AGEB) adalah usia ibu saat dilakukan wawancara dalam satuan tahun Usia anak (AGE3) adalah usia anak terakhir keluarga contoh saat dilakukan wawancara dalam satuan tahun Kemampuan baca tulis (LITERACY1) adalah kemampuan literasi atau baca tulis orang tua ayah (LITERACY1A) dan ibu (LITERACY1B) Lama pendidikan ayah (EDUA) adalah lama pendidikan formal yang ditamatkan oleh ayah dalam satuan tahun Lama pendidikan ibu (EDUB) adalah lama pendidikan formal yang ditamatkan oleh ibu dalam satuan tahun Pekerjaan orang tua ayah (WORK1A) adalah aktivitas orang tua ayah yang menghasilkan uang sebagai sumber pendapatan keluarga yang dibedakan menjadi bidang pertanian dan non pertanian dan dianggap konstan sepanjang waktu Pekerjaan orang tua ibu (WORK1B) adalah aktivitas orang tua ibu yang menghasilkan uang sebagai sumber pendapatan keluarga yang dibedakan menjadi bidang pertanian dan non pertanian dan dianggap konstan sepanjang waktu Pekerjaan ayah (WORK2A) adalah aktivitas ayah yang menghasilkan uang sebagai sumber pendapatan keluarga Pekerjaan ibu (WORK2B) adalah aktivitas ibu yang menghasilkan uang sebagai sumber pendapatan keluarga Stabilitas pendapatan orang tua ayah (INCOME1A) adalah persepsi ayah terkait ketetapan nilai nominal pendapatan yang dihasilkan oleh orang tua setiap bulan saat ayah berusia dini dan dianggap konstan sepanjang waktu Stabilitas pendapatan orang tua ibu (INCOME1B) adalah persepsi ibu terkait ketetapan nilai nominal pendapatan yang dihasilkan oleh orang tua setiap bulan saat ibu berusia dini dan dianggap konstan sepanjang waktu Pendapatan keluarga (INCOME2) adalah total pendapatan yang diterima keluarga contoh setiap bulan dalam satuan Rupiah saat ibu berusia dini Status kesejahteraan keluarga asal ayah (STATUS1A) adalah persepsi ayah terkait tingkat kesejahteraan keluarga orang tuanya saat dirinya berusia
35
dini dan dianggap konstan sepanjang waktu. Diukur dengan kriteria family life history (FLH), dibedakan menjadi miskin dan tidak miskin Status kesejahteraan keluarga asal ibu (STATUS1B) adalah persepsi ibu terkait tingkat kesejahteraan keluarga orang tuanya saat dirinya berusia dini dan dianggap konstan sepanjang waktu. Diukur dengan kriteria family life history (FLH), dibedakan menjadi miskin dan tidak miskin Warisan yang diterima ayah (BEQUESTA) adalah aset material yang diberikan orang tua kepada ayah yang diukur berdasarkan ada atau tidaknya aset material yang diberikan tersebut Warisan yang diterima ibu (BEQUESTB) adalah aset material yang diberikan orang tua kepada ibu yang diukur berdasarkan ada atau tidaknya aset material yang diberikan tersebut Persepsi orang tua tentang nilai ayah (VOC1A) adalah persepsi orang tua tentang manfaat dan risiko dari kehadiran ayah dalam keluarga yang diukur dengan melihat persepsi ayah terkait nilai dirinya dimata orang tua Persepsi orang tua tentang nilai ibu (VOC1B) adalah persepsi orang tua tentang manfaat dan risiko dari kehadiran ibu dalam keluarga yang diukur dengan melihat persepsi ibu terkait nilai dirinya dimata orang tua Persepsi ayah tentang nilai anak (VOC2A) adalah persepsi ayah terkait manfaat dan risiko dari kehadiran anak dalam keluarga contoh Persepsi ibu tentang nilai anak (VOC2B) adalah persepsi ayah terkait manfaat dan risiko dari kehadiran anak dalam keluarga contoh Perilaku investasi orang tua terhadap ayah (INVEST1A) adalah persepsi ayah terkait manifestasi dari alokasi uang dan waktu yang dilakukan orang tua terhadap ayah saat dirinya berusia dini Perilaku investasi orang tua terhadap ibu (INVEST1B) adalah persepsi ibu terkait manifestasi dari alokasi uang dan waktu yang dilakukan orang tua terhadap ibu saat dirinya berusia dini Perilaku investasi ayah terhadap anak (INVEST2A) adalah manifestasi dari alokasi uang dan waktu yang dilakukan ayah terhadap anak saat ini Perilaku investasi ibu terhadap anak (INVEST2B) adalah manifestasi dari alokasi uang dan waktu yang dilakukan ibu terhadap anak saat ini
36
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji transfer kemiskinan yang terjadi pada dua generasi keluarga dan keterkaitannya dengan nilai anak serta perilaku investasi pada anak. Unit analisis dalam penelitian ini adalah dua generasi keluarga dan penggalian informasi dilakukan kepada ayah dan ibu yang merupakan responden dalam penelitian ini. Dalam pembahasan, contoh seringkali berdasakan status kesejahteraan keluarganya, miskin dan tidak miskin.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Cicurug merupakan wilayah paling utara dari Kabupaten Sukabumi dan berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Bogor. Dengan luas wilayah 4544 Ha, Kecamatan Cicurug dihuni oleh 116.210 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sekitar 31.324 atau rata-rata setiap rumah tangga terdiri dari empat orang. Berdasarkan data pentahapan kesejahteraan keluarga tahun 2010, terdapat 10.320 keluarga yang tergolong ke dalam keluarga miskin (pra KS dan KS-1), sisanya sekitar 18.027 tergolong tidak miskin (KS-2, KS-3 dan KS-3 plus). Distribusi status kesejahteraan keluarga berdasarkan desa di Kecamatan Cicurug ditunjukkan oleh Tabel 3. Desa
Pasawahan
merupakan
salah
satu
wilayah
yang
secara
administratif tergabung dalam wilayah Kecamatan Cicurug. Wilayah Desa Pasawahan memiliki luas 625 Ha (13,75% dari wilayah Kecamatan Cicurug) dan menjadi tempat tinggal bagi 9.235 jiwa penduduk yang terdiri dari 4.499 laki-laki dan 4.736 perempuan. Terdapat 2.241 keluarga yang hidup di wilayah ini, 1.065 diantaranya tergolong ke dalam keluarga miskin (pra-KS dan KS-1) berdasarkan data pentahapan keluarga sejahtera BKKBN tahun 2010. Hampir setengah kepala keluarga di Desa Pasawahan menamatkan pendidikan Sekolah Dasar. Kepala keluarga yang menamatkan pendidikan hingga sekolah menengah pertama dan atas masing-masing berjumlah sekitar seperempat dari total keseluruhan. Berdasarkan jenis pekerjaannya, sebagian besar kepala keluarga (35,21%) di wilayah Desa Pasawahan bekerja sebagai buruh. Hanya 5,64 persen kepala keluarga yang bekerja sebagai petani. Sejumlah industri makanan dan minuman serta garmen telah didirikan di wilayah Desa Pasawahan, seiring dengan keberadaan industri serupa di
38
beberapa wilayah lain di Kecamatan Cicurug. Hal tersebut membuka lapangan kerja baru bagi penduduk di Desa Pasawahan dan sekitarnya. Selain itu, fasilitas pendidikan yang didirikan di wilayah Desa Pasawahan dan Kecamatan Cicurug semakin meningkat seiring dengan semakin bertambahnya penduduk yang tinggal di wilayah ini.
Tabel 2 Status kesejahteraan keluarga berdasarkan Desa di Kecamatan Cicurug No
Desa
Status Kesejahteraan
Rasio miskin-
Miskin
Tidak miskin
tidak miskin
1.051
1.599
0,66
601
1.131
0,53
1
Cicurug
2
Nyangkowek
3
Benda
1.068
2.584
0,41
4
Pasawahan
1.065
1.356
0,79
5
Purwasari
849
1.311
0,65
6
Tenjoayu
607
1.243
0,49
7
Kutajaya
738
2.871
0,26
8
Nanggerang
654
768
0,85
9
Cisaat
1.046
1.156
0,90
10
Caringin
906
469
1,93
11
Tenjolaya
837
913
0,92
12
Bangbayang
527
850
0,62
13
Mekarsari
403
1.776
0,22
10.320
18.027
0,57
Total
Sumber: diolah dari data Kecamatan Cicurug dalam Angka
Karakteristik Keluarga Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak terakhir berusia balita. Fokus pembahasan terkait variabel yang diteliti dilakukan terhadap keluarga contoh yang merupakan keluarga generasi kedua dari unit analisis penelitia ini. Pembahasan tersebut diperkaya dengan informasi yang didapatkan dari keluarga generasi sebelumnya atau keluarga asal dari ayah dan ibu terkait dengan variabel yang diteliti. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai fenomena transfer kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga secara lebih jelas. Usia ayah dan ibu. Rata-rata usia ayah yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah 35,7 tahun (sd=6,6 tahun), sedangkan rata-rata usia ibu adalah 32 tahun (sd=5,7 tahun). Informasi pada Tabel 3 menunjukkan bahwa
39
lebih dari setengah ayah (53,3%) berusia antara 31 hingga 40 tahun, sehingga sebagian besar ayah dari keluarga contoh berada pada tahapan usia dewasa muda (18-40 tahun). Begitu pula dengan ibu, 48,3 persennya berada pada rentang kategori usia tersebut. Sementara itu, sekitar 23,3 persen ayah dan 5 persen ibu berada pada rentang usia lebih dari 40 tahun, yang berarti telah memasuki tahapan dewasa madya. Usia ibu dan ayah secara statistik berbeda nyata (t=-3,322; p<0,01).
Tabel 3
Sebaran usia ayah dan ibu berdasarkan status kesejahteraan keluarga (n=60 keluarga)
Kelompok Usia (tahun) Ayah <21 21-30 31-40 >40 Total Rata-rata Sd Ibu <21 21-30 31-40 >40 Total Rata-rata Sd
Miskin n
%
1 10 15 4 30
3,3 33,3 50 13,3 100
Tidak Miskin n %
n
%
0 3 17 10 30
1 13 32 14 60
1,7 21,7 53,3 23,3 100
33,7 6,6 1 16 12 1 30
37,7 6,1 3,3 53,3 40 3,3 100
30,8 5,7
0 10 56,7 33,3 100
Total
0 11 17 2 30
35,7 6,6 0 36,7 56,7 6,6 100
33,2 5,4
1 27 29 3 60
1,7 45 48,3 5 100 32 5,7
Usia ayah dari keluarga miskin memiliki rata-rata 33,7 tahun (sd=6,6 tahun), lebih muda dari rata-rata usia ayah dari keluarga tidak miskin (37,7 tahun; sd=6,1 tahun). Hasil uji beda menunjukkan usia ayah dari kedua kelompok kesejahteraan keluarga berbeda nyata (t=-2,458; p<0,05). Sementara itu, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara usia ibu dari kelompok miskin dengan tidak miskin (t=-1.694; p>0.05). Ibu dari keluarga miskin memiliki rata-rata usia 30,8 tahun (sd=5,7 tahun) dan ibu dari keluarga tidak miskin berusia rata-rata 33,2 tahun (sd=5,4 tahun). Pendidikan ayah dan ibu. Secara umum, ayah menempuh pendidikan formal yang lebih lama dibandingkan ibu. Ayah rata-rata menempuh 9,7 tahun pendidikan formal (sd=3,8), sementara ibu lebih rendah yaitu 8,4 tahun (sd=2,7). Sebesar 38,3 persen ayah pernah mengenyam atau menamatkan pendidikan di tingkat menengah atas, sementara pada kelompok ibu hanya 23,3 persen yang
40
mengalami hal tersebut. Hampir setengah ibu (46,7%) hanya menempuh atau menyelesaikan pendidikan formal setara sekolah dasar (Tabel 4).
Tabel 4
Sebaran lama pendidikan ayah dan kesejahteraan keluarga (n=60 keluarga)
Lama Sekolah (tahun) Ayah ≤6 7-9 10-12 >12 Total Rata-rata Sd Ibu ≤6 7-9 10-12 >12 Total Rata-rata Sd
Miskin n
%
14 10 6 0 30
46,7 33,3 20 0 100
status
n
%
2 7 17 4 30
16 17 23 4 60
26,7 28,3 38,3 6,7 100
6,7 23,3 56,7 13,3 100
Total
11,4 2,5 60 26,7 13,3 0 100
7,5 2,3
berdasarkan
Tidak Miskin n %
8 2,7 18 8 4 0 30
ibu
10 8 10 2 30
9,7 3,1 33,3 26,7 33,3 6,7 100
9,3 2,8
28 16 14 2 60
46,7 26,7 23,3 3,3 100 8,4 2,7
Baik ayah maupun ibu dari keluarga tidak miskin menempuh pendidikan formal yang lebih lama bila dibandingkan dengan ayah dan ibu dari kelompok miskin. Ayah dan ibu dari keluarga tidak miskin menempuh rata-rata pendidikan formal berturut-turut selama 11,4 tahun (sd=2,5 tahun) dan 9,3 tahun (sd=2,8 tahun). Sementara ayah dan ibu dari keluarga tidak miskin menempuh rata-rata pendidikan formal berturut-turut selama 8 tahun (sd=2,7 tahun) dan 7,5 tahun (sd=2,3 tahun). Hasil uji beda menunjukkan perbedaan yang nyata dalam hal lama pendidikan formal yang ditempuh ayah dari keluarga miskin dengan keluarga tidak miskin (t=-5,746; p<0,01) dan juga ibu dari keluarga miskin dengan ibu dari keluarga tidak miskin (t=-2,752; p<0,01). Pekerjaan ayah dan ibu. Hampir setengah ayah (46,7%) dalam penelitian ini bekerja sebagai buruh pabrik, sementara sebagian besar ibu (86,7%) tidak bekerja atau berperan sebagai ibu rumah tangga (Tabel 5). Walaupun karakteristik wilayah tempat penelitian adalah pedesaan, namun hanya sekitar seperempat responden ayah yang bekerja di bidang pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani. Hal tersebut disebabkan keberadaan industri yang telah menjangkau wilayah tempat penelitian dilakukan. Baik ayah dari kelompok keluarga yang berstatus miskin maupun tidak miskin, sebagian besar bekerja sebagai buruh pabrik (53,3% dan 40%). Sementara itu, ibu yang
41
bekerja dalam penelitian ini jumlahnya masih sedikit (sekitar 13%). Sehingga sebagian besar ibu kegiatannya lebih fokus pada kegiatan domestik keluarga.
Tabel 5
Sebaran pekerjaan ayah dan ibu berdasarkan status kesejahteraan keluarga (n=60 keluarga) Pekerjaan
Miskin
Ayah Petani/ buruh tani Buruh pabrik Wiraswasta Lainnya Total Ibu IRT Buruh pabrik Wiraswasta Lainnya Total
Karakteristik
lokasi
Tidak Miskin n %
n
%
36.7 53.3 0 10 100
5 12 11 2 30
16.7 40 36.7 6.7 100
16 28 11 5 60
26,7 46,7 18,3 8,3 100
93,3 3,3 3,3 0 100
24 0 4 2 30
80 0 13,3 6,7 100
52 1 5 2 60
86,7 1,7 8,3 3,3 100
n
%
11 16 0 3 30 28 1 1 0 30
penelitian
tengah
mengalami
Total
kecenderungan
perubahan dari wilayah dengan ciri pedesaan ke arah industri seperti dapat dilihat dari jenis pekerjaan ayah yang telah mengalami perubahan. Perubahan tersebut terlihat jelas bila pekerjaan ayah dibandingkan dengan pekerjaan orang tuanya pada keluarga generasi sebelumnya. Sebagian besar orang tua ayah dan ibu menggantungkan hidup pada pekerjaan di bidang pertanian. Lebih dari tiga perempat orang tua ayah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian, sementara itu pada keluarga ibu jumlahnya mencapai 61,7 persen (Tabel 6).
Tabel 6
Sebaran contoh berdasarkan bidang pekerjaan orang tua pada keluarga asal (n=60 keluarga)
Bidang Pekerjaan Keluarga Ayah Pertanian Nonpertanian Total Keluarga Ibu Pertanian Nonpertanian Total
Miskin
Tidak Miskin n %
n
%
86,7 13,3 100
20 10 30
66,7 33,3 100
46 14 60
76,7 23,3 100
80 20 100
13 17 30
43,3 56,7 100
37 23 60
61,7 38,3 100
n
%
26 4 30 24 6 30
Total
Jumlah anak. Sekitar 43,3 persen keluarga contoh memiliki dua hingga tiga anak. Rata-rata jumlah anak yang dimiliki keluarga contoh adalah 2,4 anak (sd=1,3 anak). Pada keluarga contoh yang tergolong miskin, sebagian besar memiliki satu atau dua hingga tiga anak. Begitu pula pada keluarga contoh yang
42
tidak miskin, sekitar 43,3 persen diantaranya memiliki dua hingga tiga orang anak. Informasi mengenai jumlah anak yang dimiliki keluarga contoh disajikan pada Tabel 7. Rata-rata jumlah anak keluarga miskin lebih rendah (M=2,2 anak; sd=1,3 anak) dibandingkan jumlah anak keluarga tidak miskin (M=2,6 anak; sd=1,4 anak). Hasil uji beda menunjukkan rata-rata jumlah anak keluarga miskin dengan tidak miskin tidak berbeda nyata (t=-1,160; p>0,05).
Tabel 7
Sebaran jumlah anak yang dimiliki keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan (n=60 keluarga)
Jumlah Anak <2 2-3 4-5 Total Rata-rata Sd
Miskin n 13 13 4 30
% 43,3 43,3 13,3 100 2,2 1,3
Tidak Miskin n % 9 30 13 43,3 8 26,7 30 100 2,6 1,4
Total n 22 26 12 60
% 36,7 43,3 20 100 2,4 1,3
Rata-rata jumlah anak keluarga contoh mengalami penurunan bila dibandingkan dengan keluarga generasi sebelumnya, baik dari pihak ayah maupun ibu. Keluarga asal ayah memiliki rata-rata jumlah anak sebanyak 5,2 orang (sd=2 orang), sementara pada keluarga asal ibu, rata-ratanya adalah 4,8 orang (sd=1,9 orang). Penurunan jumlah anak pada keluarga contoh saat ini bila dibandingkan dengan keluarga orang tuanya diduga disebabkan oleh pergeseran paradigma diantara dua generasi keluarga dalam hal jumlah anak dalam keluarga. Selain itu, keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan program keluarga berencana dapat menjadi faktor penyebab lainnya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah siklus keluarga yang masih akan dijalani oleh keluarga contoh memberikan kemungkinan bertambahnya jumlah anak. Usia dan jenis kelamin anak. Perbandingan jenis kelamin anak terakhir dari keluarga contoh sama besar antara laki-laki dan perempuan. Usia anak juga beragam antara satu hingga empat tahun. Persentase terbesar usia anak (30%) berada pada rentang dua hingga kurang dari tiga tahun (Tabel 8). Rata-rata usia anak terakhir dari keluarga contoh yang tergolong miskin adalah 2,7 tahun (sd=0,9 tahun). Sementara rata-rata usia anak terakhir dari keluarga contoh yang tidak miskin lebih tinggi yaitu 2,9 tahun (sd=1,2 tahun). Tidak terdapat perbedaan nyata antara rata-rata usia anak terakhir antara keluarga miskin dengan tidak miskin (t = -0,481; p>0,05).
43
Tabel 8
Sebaran usia dan jenis kelamin anak terakhir keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan (n=60 keluarga)
Kelompok Usia (tahun) dan Jenis Kelamin Usia 1-<2 2-<3 3-<4 ≥4 Total Rata-rata Sd Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Miskin
Tidak Miskin
Total
n
%
n
%
n
%
5 10 10 5 30
16,7 33,3 33,3 13,7 100
7 8 5 10 30
23,3 26,7 13,7 33,3 100
12 18 15 15 60
20 30 25 25 100
2,7 0,9 15 15 30
2,9 1,2 50 50 100
15 15 30
2,7 1,1 50 50 100
30 30 60
50 50 100
Pendapatan keluarga dan pendapatan per kapita. Istilah pendapatan mengacu pada aliran kompensasi ekonomi yang diterima dalam suatu periode tertentu (Schiller 2008). Dalam penelitian ini yang diamati adalah pendapatan per bulan keluarga, yaitu total keseluruhan pemasukan yang diterima keluarga baik melalui ayah, ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Secara keseluruhan, ratarata
pendapatan
per
bulan
keluarga
contoh
adalah
Rp1.650.500,00
(sd=Rp1.149.253,90). Lebih dari sepertiga keluarga contoh berpenghasilan antara Rp1.000.000,00 hingga Rp1.999.999,00 per bulan. Sementara itu, hanya 6,7 persen keluarga contoh yang berpenghasilan dibawah lima ratus ribu rupiah per bulan (Tabel 9). Rata-rata pendapatan per bulan keluarga miskin (M=Rp 849.333,30; sd= Rp237.209,80) lebih rendah bila dibandingkan pendapatan rata-rata keluarga tidak miskin (M=Rp2.451.666,70; sd=Rp1.141.421,00). Pengujian lebih lanjut menunjukkan rata-rata pendapatan kedua keluarga berbeda nyata (t=-7,528, p<0,01). Sebanyak 46,7 persen keluarga contoh yang tergolong miskin memiliki penghasilan total per bulan antara Rp500.000,00 hingga Rp999.999,00. Dengan persentase yang sama, keluarga contoh yang tidak miskin berpenghasilan antara Rp2.000.000,00 hingga Rp2.999.999,00 per bulan. Sementara itu, pendapatan per kapita merupakan hasil pembagian total pendapatan keluarga per bulan dengan jumlah anggota keluarga. Sebanyak 41 persen keluarga contoh memiliki pendapatan per kapita lebih dari sama dengan Rp400.000,00. Rata-rata pendapatan per kapita keseluruhan keluarga contoh adalah Rp400.244,00 per bulan (sd=Rp297.606,50). Angka tersebut lebih tinggi dari garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat tahun 2010 yaitu sebesar
44
Rp201.138,00 per kapita per bulan. Informasi mengenai hal tersebut terangkum pada Tabel 9.
Tabel 9
Rata-rata pendapatan per bulan keluarga contoh dan pendapatan per kapita keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan (n=60 keluarga)
Pendapatan Miskin (ribu rupiah) n % Pendapatan keluarga (dalam ribu rupiah) >500 4 13,3 500-999 14 46,7 1000-1999 12 40 2000-2999 0 0 ≥3000 0 0 Total 30 100 Rata-rata 849.333,3 Sd 237.209,8 Pendapatan per kapita (dalam ribu rupiah) >100 1 3,3 100-199 13 43,3 200-299 8 26,7 300-399 6 20 ≥400 2 6,7 Jumlah 30 100 Rata-rata 218.305,6 Sd 91.071,27
Tidak Miskin n %
n
Total
0 0 0 0 10 33,3 14 46,7 6 20 30 100 2.451.666,7 1.141.421
4 6.7 14 23,3 22 36,7 14 23,3 6 10 60 100 1.650.500 1.149.253,9
0 0 0 0 3 10 4 13.3 23 76.7 30 100 582.182,5 321.579,4
1 13 11 10 25 60
%
1.6 21.7 18.3 16.7 41.7 100 400.244 297.606,5
Sebanyak 43.3 persen keluarga contoh yang tergolong miskin memiliki pendapatan per kapita antara Rp 100.000,00 hingga Rp 199.999,00. Sementara itu, lebih dari tiga perempat keluarga contoh yang tidak miskin memiliki pendapatan per kapita lebih dari Rp 400.000,00. Rata-rata pendapatan per kapita keluarga contoh miskin adalah Rp218.305,60 (sd=Rp91.071,27), lebih rendah bila dibandingkan dengan pendapatan per kapita keluarga contoh tidak miskin (M=Rp582.182,5; sd=Rp321.579,40). Rata-rata pendapatan per kapita kedua kelompok keluarga juga berada di atas garis kemiskinan Jawa Barat. Rata-rata pendapatan per kapita kedua kelompok keluarga contoh secara statistik berbeda nyata (t=-5,963; p<0,01). Status Kesejahteraan Keluarga Status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu diukur dengan menggunakan metode Family Life History yang diadopsi dari Bottema et al. (2008). Terdapat enam indikator yang digunakan, yaitu stabilitas pendapatan, kepemilikan rumah, kondisi rumah, kepemilikan lahan pertanian, kepemilikan hewan ternak, dan kemampuan baca tulis.
45
Stabilitas pendapatan. Informasi mengenai stabilitas pendapatan orang tua ayah dan ibu dilihat dari jenis pekerjaan yang dilakukan oleh kakek dan atau nenek. Karena sebagian besar pekerjaan orang tua contoh bergerak di bidang pertanian, stabilitas akan bergantung pada kepemilkan lahan pertanian. Lebih dari setengah orang tua ayah memiliki pendapatan yang stabil, sementara 60 persen orang tua ibu memiliki pendapatan yang tidak stabil (Tabel 10). Orang tua ayah dan ibu yang tergolong tidak miskin cenderung memiliki pendapatan keluarga yang stabil (persentasenya masing-masing 86,7% dan 70%). Sebaliknya, sebagian besar orang tua dari ayah dan ibu yang tergolong miskin memiliki pendapatan yang tidak stabil (persentasenya berturut-turut sebesar 83,3% dan 90%).
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan stabilitas pendapatan orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga) Stabilitas pendapatan Keluarga Ayah Tidak stabil Stabil Total Keluarga Ibu Tidak stabil Stabil Total
Miskin
Tidak Miskin n %
n
%
83,3 16,7 100
4 26 30
13,3 86,7 100
29 31 60
48,3 51,7 100
90 10 100
9 21 30
30 70 100
36 24 60
60 40 100
n
%
25 5 30 27 3 30
Total
Kepemilikan dan kondisi rumah. Hampir seluruh orang tua ayah dan ibu menempati rumah dengan status kepemilikan milik pribadi. Hanya terdapat 6,7 persen orang tua ayah dan ibu yang menempati rumah dengan status kepemilikan bukan milik pribadi, seluruhnya merupakan orang tua dari ibu yang dikategorikan miskin (Tabel 11). Pada Tabel 11 terlihat bahwa sebagian besar orang tua dari ayah dan ibu yang tergolong miskin memiliki kondisi yang lebih buruk bila dibandingkan kondisi rumah lain di lingkungan sekitar (persentasenya berturut-turut adalah 80% dan 90%). Sebaliknya, keluarga orang tua dari ayah dan ibu yang berstatus tidak miskin sebagian besar memiliki kondisi rumah yang lebih baik atau sama saja bila dibandingkan dengan kondisi rumah lain di lingkungan sekitarnya (persentasenya masing-masing 80% dan 63,3%).
46
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan dan kondisi rumah orang tua serta status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga) Kepemilikan Rumah dan Kondisi Rumah Kepemilikan Rumah Keluarga Asal Ayah Bukan milik pribadi Milik pribadi Total Keluarga Asal Ibu Bukan milik pribadi Milik pribadi Total Kondisi Rumah Keluarga Asal Ayah Lebih buruk Sama saja/ lebih baik Total Keluarga Asal Ibu Lebih buruk Sama saja/ lebih baik Total
Miskin
Tidak Miskin
Total
n
%
n
%
n
%
0 30 30
0 100 100
0 30 30
0 100 100
0 60 60
0 100 100
4 26 30
13,3 86,7 100
0 30 30
0 100 100
4 56 60
6,7 93,3 100
24 6
80 20
6 24
20 80
30 30
50 50
27 3 30
90 10 100
11 19 30
36,7 63,3 100
38 22 60
63,3 36,7 100
Kepemilikan lahan pertanian. Wilayah pedesaan dicirikan dengan pertanian sebagai sumber penghasilan sehingga kepemilikan lahan pertanian dapat menentukan status sosial dan tingkat kesejahteraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal kepemilikan lahan pertanian, lebih dari setengah orang tua ayah tidak memiliki lahan pertanian, begitu pula pada keluarga ibu.
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan lahan pertanian orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga) Kepemilikan Lahan Pertanian Keluarga Ayah Tidak memiliki Memiliki Total Keluarga Ibu Tidak memiliki Memiliki Total
Miskin
Tidak Miskin n %
n
%
83,3 16,7 100
8 22 30
26,7 73,3 100
33 27 60
55 45 100
76,7 23,3 100
16 14 30
53,3 46,7 100
39 21 60
65 35 100
n
%
25 5 30 23 7 30
Total
Bla dibandingkan antara keluarga orang tua ayah dan ibu berdasarkan status kesejahteraan keluarga contoh, akan terlihat perbedaan yang cukup nyata dalam hal kepemilikan lahan pertanian. Persentase orang tua ayah dan ibu berstatus tidak miskin dalam hal kepemilikan lahan pertanian lebih tinggi (berturut-turut 73,3% dan 46,7%) bila dibandingkan orang tua ayah dan ibu yang
47
berstatus miskin (persentasenya masing-masing 16,7% dan 23,3%). Informasi mengenai hal tersebut disajikan pada Tabel 12. Kepemilikan ternak. Selain kepemilikan lahan pertanian, kepemilikan hewan ternak juga dianggap turut menentukan status sosial suatu keluarga di wilayah pedesaan. Kepemilikan ternak yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah ternak dengan nilai ekonomi yang tinggi seperti kambing, domba, sapi, atau kerbau. Seperti halnya kepemilikan lahan pertanian, lebih dari setengah orang tua ayah dan ibu dalam penelitian ini tidak memiliki hewan ternak (Tabel 13). Persentase kepemilikan ternak tertinggi ada pada orang tua ayah yang berstatus tidak miskin (56,7%). Sementara itu, persentase orang tua ibu miskin dalam hal kepemilikan ternak lebih tinggi bila dibandingkan orang tua dari ibu yang tidak miskin (persentasenya berturut-turut 50% dan 46,7%).
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan hewan ternak orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga) Kepemilikan Ternak Keluarga Ayah Tidak memiliki Memiliki Total Keluarga Ibu Tidak memiliki Memiliki Total
Miskin
Tidak Miskin n %
n
%
73,3 26,7 100
13 17 30
43,3 56,7 100
35 25 60
58,3 41,7 100
50 50 100
16 14 30
53,3 46,7 100
31 29 60
51,6 48,3 100
n
%
22 8 30 15 15 30
Total
Kemampuan literasi. Kemampuan membaca dan menulis orang tua ayah dan ibu menunjukkan akses keluarga pendahulunya terhadap pendidikan. Berbeda dengan kondisi saat ini, pendidikan – bahkan pendidikan dasar sekalipun – pada masa tersebut (sekitar 40 hingga 60 tahun yang lalu) merupakan sesuatu yang tidak setiap orang bisa dapatkan. Bergantung pada status sosial ekonomi keluarga pada masa tersebut. Sebagian besar orang tua ayah dan ibu memiliki kemampuan untuk membaca dan menulis (Tabel 14). Walau begitu, persentase orang tua ayah dan ibu yang tidak bisa membaca dan menulis angkanya masih cukup signifikan (masing-masing 18,3% dan 15%). Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan pada masa tersebut merupakan suatu hal yang sulit untuk diakses, terutama oleh kelompok miskin. Persentase orang tua yang mampu membaca dan menulis lebih tinggi pada orang tua ayah dan ibu tidak miskin (masing-masing 90% dan
48
93,3%) bila dibandingkan dengan orang tua ayah dan ibu miskin (berturut-turut 73,3% dan 76,7%).
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan kemampuan literasi orang serta status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga) Kemampuan Baca Tulis Keluarga Ayah Tidak Bisa Bisa Total Keluarga Ibu Tidak Bisa Bisa Total
Miskin
Tidak Miskin n %
n
%
26,7 73,3 100
3 27 30
10 90 100
11 49 60
18,3 82,7 100
23,3 76,7 100
2 28 30
6,7 93,3 100
9 51 60
15 85 100
n
%
8 22 30 7 23 30
Total
Dinamika Kemiskinan dan Transfer Kemiskinan Dari hasil pengukuran dengan menggunakan metode Family Life Hsitory, didapatkan status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu. Secara umum, lebih dari setengah keluarga asal ayah dan ibu berstatus tidak miskin dengan persentase masing-masing 55 persen dan 51,7 persen. Semenetara sisanya (45% keluarga asal ayah dan 48,3% keluarga asal ibu) digolongkan sebagai keluarga miskin. Status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu selanjutnya akan dibandingkan dengan status kesejahteraan keluarga contoh untuk dilihat kecenderungan terjadinya transfer kemiskinan pada dua generasi tersebut. Ayah dan ibu yang saat ini berstatus miskin, sebagian besar berasal dari keluarga yang juga berstatus miskin (persentasenya masing-masing 83,3%). Sebaliknya pada ayah dan ibu yang saat ini berstatus tidak miskin, sebagian besar berasal dari keluarga yang juga berstatus tidak miskin (persentasenya masing-masing 93,3% dan 86,7%). Hal tersebut menunjukkan kecenderungan terjadinya transfer kemiskinan dalam keluarga diantara dua generasi keluarga yang diamati dalam penelitian ini (Tabel 15). Pengamatan terhadap fenomena transfer kemiskinan antargenerasi dilakukan melalui pendekatan dinamika kemiskinan yang dialami oleh ayah dan ibu. Status dinamika kemiskinan dibagi menjadi empat, yaitu tidak pernah miskin, selalu miskin, terjerumus miskin, dan keluar dari kemiskinan. Tidak pernah miskin artinya pada dua generasi keluarga, status kesejahteraan contoh selalu tergolong tidak miskin. Sementara sebaliknya, selalu miskin artinya pada dua generasi keluarga contoh mengalami status yang sama yaitu miskin. Terjerumus miskin artinya ayah atau ibu mengalami perubahan status dari tidak miskin saat tinggal
49
bersama orang tua, menjadi miskin pada saat ini. Sebaliknya, keluar dari kemiskinan artinya berubah dari miskin saat tinggal bersama orang tua, menjadi tidak miskin saat membentuk keluarga baru di masa sekarang.
Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan status kesejahteraan keluarga asal dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga) Status Kesejahteraan Keluarga Ayah Miskin Tidak Miskin Total Keluarga Ibu Miskin Tidak Miskin Total
Miskin
Tidak Miskin n %
n
%
83,3 16,7 100
2 28 30
6,7 93,3 100
27 33 60
45 55 100
83,3 16,7 100
4 26 30
13,3 86,7 100
29 31 60
48,3 51,7 100
n
%
25 5 30 25 5 30
Total
Sebagian besar ayah mengalami status dinamika kemiskinan selalu miskin (41,7%) dan tidak pernah miskin (46,7%). Sekitar 3,3 persen ayah mengalami kondisi keluar dari kemiskinan dan 8,3 persen lainnya mengalami kondisi terjerumus ke dalam kemiskinan. Sementara itu, sebagian besar ibu juga mengalami status dinamika kemiskinan selalu miskin (41,7%) dan tidak pernah miskin (43,3%). Sisanya sebesar 8,3 persen ibu mengalami kondisi terjerumus ke dalam kemiskinan dan 6,7 persen lainnya mengalami kondisi keluar dari kemiskinan. Transfer kemiskinan terjadi ketika status dinamika kemiskinan antara dua generasi keluarga yang dialami adalah selalu miskin dan terjerumus menjadi miskin. Sebaliknya, bila status dinamika kemiskinan yang dialami adalah keluar dari kemiskinan dan tidak pernah miskin maka dapat disimpulkan transfer kemiskinan tidak terjadi. Dalam penelitian ini, jumlah contoh yang mengalami transfer kemiskinan dan tidak mengalami transfer kemiskinan sama besar baik pada keluarga ayah (masing-masing 30 keluarga) maupun pada keluarga ibu (masing-masing 30 keluarga). Hal tersebut disebabkan karena keluarga contoh dalam penelitian ini telah didesain berstatus miskin dan tidak miskin dengan proporsi sama besar. Dinamika kemiskinan dan perkawinan. Perkawinan bisa menjadi jalan bagi seorang individu untuk meningkatkan status sosialnya ataupun sebaliknya. Untuk mengamati fenomena tersebut, dapat dilakukan dengan membandingkan status kesejahteraan keluarga asal setiap pasangan (ayah dan ibu) dengan status kesejahteraan keluarga yang dibentuk saat ini (Tabel 16).
50
Keluarga contoh yang dibentuk dari ayah dan ibu yang sama-sama berasal dari keluarga miskin, seluruhnya juga berstatus miskin. Artinya, ayah dan ibu dari kelompok keluarga tersebut selalu berada dalam kondisi miskin (status dinamika kemiskinannya selalu miskin). Sementara itu, keluarga contoh yang dibentuk dari ayah yang berasal dari keluarga tidak miskin sementara ibu berasal dari keluarga miskin setengahnya berstatus miskin dan setengah lainnya berstatus tidak miskin. Dengan demikian, perkawinan justru menjerumuskan sebagian ayah dari keluarga yang tidak miskin ke dalam kemiskinan. Di lain pihak, perkawinan juga menjadi jalan bagi sebagian ibu untuk keluar dari kemiskinan.
Tabel 16 Sebaran keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan keluarga asal dan status kesejahteraan saat ini (n=60 keluarga) Ibu STATUS1
Miskin Ayah Tidak Miskin
Miskin STATUS2 Miskin Tidak miskin Sub Total Miskin Tidak miskin Sub Total Miskin Tidak miskin Total
n 21 0 21 4 4 8 25 4 29
Tidak Miskin STATUS2 Miskin Tidak miskin Sub Total Miskin Tidak miskin Sub Total Miskin Tidak miksin Total
Total n 4 2 6 1 24 25 5 26 31
STATUS2 Miskin Tidak miskin Sub Total Miskin Tidak miskin Sub Total Miskin Tidak miskin Total
n 25 2 27 5 28 33 30 30 60
Keluarga contoh yang dibentuk dari pernkawinan ibu yang berasal dari keluarga tidak miskin dengan ayah dari keluarga miskin, sebagian besar (67%) berstatus miskin. Keputusan menikah dengan ayah yang berstatus miskin, menyebabkan sebagian besar ibu terjerumus ke dalam kemiskinan. Namun ada pula ayah yang mengalami kenaikan status kesejahteraan karena menikah dengan ibu yang berasal dari keluarga tidak miskin. Sementara itu, keluarga contoh yang dibentuk dari pasangan ayah dan ibu dari keluarga tidak miskin, hampir seluruhnya berstatus tidak miskin. Menarik untuk dianalisis lebih lanjut, terdapat satu keluarga contoh yang dibentuk dari ayah dan ibu yang berasal dari keluarga tidak miskin namun saat ini statusnya berubah menjadi miskin. Ayah dari keluarga tersebut menempuh lama pendidikan formal selama sembilan tahun, beberapa tahun di bawah rata-rata lama pendidikan ayah dari keluarga tidak miskin (11,4 tahun). Sama halnya dengan lama pendidikan formal yang ditempuh ibu dari keluarga contoh tersebut.
51
Ayah dari keluarga contoh tersebut bekerja sebagai sopir, sementara ibu tidak bekerja dan keduanya tidak atau belum mendapatkan warisan dari orang tuanya. Informasi pada Tabel 17 memperlihatkan bahwa status kesejahteraan keluarga asal ayah lebih banyak menentukan kesejahteraan keluarga contoh saat ini. Persentase keluarga contoh yang tidak miskin lebih tinggi saat ayah berasal dari keluarga tidak miskin dibandingkan dengan keluarga yang dibentuk dari ayah yang berasal dari keluarga miskin. Bila dianalisis kembali karakteristik keluarga contoh dalam penelitian ini, sebagian besar keluarga menggantungkan penghidupan hanya kepada ayah saja. Dengan demikian, kualitas (human capital) dalam diri ayah akan sangat menentukan status kesejahteraan keluarga contoh. Kualitas ayah sangat bergantung pada investasi yang dilakukan oleh orang tua kepada dirinya. Sehingga status kesejahteraan keluarga asal ayah akan sangat berperan dalam menentukan status kesejahteraan keluarga contoh. Namun, diperlukan analisis lebih lanjut untuk lebih mendukung kesimpulan tersebut
Tabel 17 Persentase status kesejahteraan keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu (n=60 keluarga) Keluarga Asal Ayah Miskin Tidak miskin Miskin Tidak miskin
Ibu Miskin Miskin Tidak miskin Tidak miskin
Keluarga Contoh Miskin (%) Tidak Miskin (%) 100 0 50 50 67 33 4 96
Dinamika kemiskinan dan lama pendidikan ayah serta ibu. Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah lebih dari seperempat ibu yang tidak pernah miskin (30,8%) berpendidikan hingga tamat sekolah dasar. Sedangkan setengah dari ibu yang mengalami kondisi keluar dari kemiskinan menempuh pendidikan hingga pendidikan dasar dan setengahnya hingga tingkat menengah pertama (Tabel 18). Sementara itu, masing-masing setengah ayah yang mengalami kondisi keluar dari kemiskinan menempuh pendidikan hingga tingkat menengah pertama dan menengah atas. Artinya, tingkat pendidikan yang semakin tinggi dapat menjadi jalan untuk meningkatkan status kesejahteraan. Hampir setengah ayah yang terjerumus ke dalam kemiskinan menyelesaikan pendidikan formal hingga tingkat menengah atas, pada kelompok ibu jumlahnya mencapai seperlima.
52
Fakta tersebut berkebalikan dengan pendugaan sebelumnya, pendidikan yang lebih tinggi tidak selalu berkaitan dengan status kesejahteraan yang lebih baik.
Tabel 18 Sebaran lama pendidikan formal contoh berdasarkan status dinamika kemiskinan (n=60 keluarga) Lama Status Dinamika Kemiskinan Total Sekolah SM TM KM TPM (tahun) n % n % n % n % n % Ayah ≤6 12 48 2 40 0 0 2 7,1 16 26,7 7-9 9 36 1 20 1 50 6 21,4 17 28,3 10-12 4 16 2 40 1 50 16 57,2 23 38,3 >12 0 0 0 0 0 0 4 14,3 4 6,7 Total 25 100 5 100 2 100 28 100 60 100 Ibu ≤6 14 56 4 80 2 50 8 30,8 28 46,7 7-9 8 32 0 0 2 50 6 23 16 26,7 10-12 3 12 1 20 0 0 10 38,5 14 23,3 >12 0 0 0 0 0 0 2 7,7 2 3,3 Total 25 100 5 100 4 100 26 100 60 100 Keterangan: SM=selalu miskin; TM=terjerumus miskin; KM=keluar dari miskin; TPM=tidak pernah miskin
Warisan Sekitar 56,7 persen ayah dan 26,7 persen ibu mengaku mendapatkan warisan dari orang tuanya masing-masing. Sisanya ada yang memang tidak mendapatkan warisan dan ada juga yang belum mendapatkan warisan karena orang tuanya masih hidup. Tiga perempat warisan yang diterima ayah berupa tanah atau sawah, sementara pada ibu persentasenya mencapai setengahnya. Pada kelompok ayah, jumlah penerima warisan lebih banyak pada contoh dengan status kesejahteraan saat ini tidak miskin (76,5%). Sementara pada kelompok ibu, perbandingan penerima warisan sama besar antara contoh pada kategori miskin dan tidak miskin. Warisan dan dinamika kemiskinan. Bila dikaitkan dengan status dinamika kemiskinan contoh, sebagian besar warisan diberikan kepada contoh yang mengalami status tidak pernah miskin, baik pada kelompok ayah (76,5%) maupun ibu (50%). Warisan merupakan salah satu transfer capital yang dapat menghindakan kemiskinan dari satu generasi ke generasi sebelumnya. Tabel 19 memperlihatkan bahwa jumlah ayah yang mendapatkan warisan (n=17 atau 23,3%) lebih banyak bila dibandingkan dengan ibu (n=8 atau 13.3%)). Dari jumlah tersebut, sebaran terbanyak penerima warisan berada pada kategori dinamika kemiskinan tidak pernah miskin, baik untuk kelompok ayah (76.5%)
53
maupun kelompok ibu (50%). Sementara itu, 11,8 persen ayah dan seperempat ibu yang mendapatkan warisan ternyata mengalami kondisi terjerumus ke dalam kemiskinan. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya jaminan bahwa warisan akan mampu meningkatkan status kesejahteraan. Namun perlu digarisbawahi bahwa dalam penelitian ini tidak dianalisis besarnya warisan yang diterima.
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan warisan yang diterima dan status kesejahteraan keluarga (n=60 keluarga) Miskin
Warisan Ayah Rumah Tanah/sawah Uang tunai Total Ibu Rumah Tanah/sawah Uang tunai Total
Tidak Miskin n %
n
%
11,8 11,8 0 23,5
2 10 1 13
11,8 58,8 5,9 76,5
4 12 1 17
23,5 70,6 5,9 100
12,5 37,5 0 50
1 1 2 4
12,5 12,5 25 50
2 4 2 8
25 50 25 100
n
%
2 2 0 4 1 3 0 4
Total
Menarik untuk diperhatikan, tidak ada satupun contoh yang mengalami status dinamika kemiskinan keluarga keluar dari kemiskinan yang menerima warisan, baik pada kelompok ayah maupun ibu. Hal tersebut meperlihatkan bahwa kondisi keluar dari kemiskinan yang dialami bukan disebabkan karena adanya warisan.
Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan warisan yang diterimadan dinamika kemiskinan yang dialami (n=60 keluarga) Warisan SM
Status Dinamika Kemiskinan TM KM n % n %
Total TPM
n % n Ayah Rumah 1 5,9 1 5,9 0 0 2 Tanah/sawah 1 5,9 1 5,9 0 0 10 Uang tunai 0 0 0 0 0 0 1 Total 2 11,8 2 11,8 0 0 13 Ibu Rumah 0 0 1 12,5 0 0 1 Tanah/sawah 2 25 1 12,5 0 0 1 Uang tunai 0 0 0 0 0 0 2 Total 2 25 2 25 0 0 4 Keterangan: SM=selalu miskin; TM=terjerumus miskin; KM=keluar dari miskin; miskin
%
n
%
11,8 58,8 5,9 76,5
4 12 1 17
23,5 70,6 11,8 100
12,5 12,5 25 50
2 4 2 8
25 50 25 100
TPM=tidak pernah
54
Nilai Anak Konsep nilai anak mengacu pada persepsi orang tua mengenai manfaat dan kerugian memiliki anak. Nilai anak yang diukur dalam penelitian ini terdiri dari tiga dimensi, yaitu nilai psikologis, sosial, dan ekonomi. Sebagian besar ayah dan ibu pada semua kelompok keluarga contoh (miskin dan tidak miskin) mempersepsikan nilai anak pada kategori yang tinggi untuk dimensi psikologis. Persentase terbesar pada dua dimensi lainnya, dimensi sosial dan dimensi ekonomi, adalah kategori sedang hampir pada semua kelompok contoh. Hanya pada dimensi ekonomi, lebih dari setengah contoh ayah yang tidak miskin mempersepsikan nilai ekonomi anak yang tinggi (Tabel 21). Hasli uji One-Way ANOVA menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan diantara keempat kelompok contoh dalam hal dimensi psikologis dan sosial (p>0,05). Sementara itu pada dimensi nilai ekonomi, tedapat perbedaan diantara keempat kelompok responden (p<0,01). Hasil uji lebih lanjut menunjukkan nilai ekonomi anak antara ayah yang tidak miskin dengan ibu yang tidak miskin berbeda nyata (p<0,05).
Tabel 21 Sebaran contoh berdaarkan kategori skor nilai anak per dimensi dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga) Contoh
Dimensi Nilai Psikologis
Ayah
Nilai Sosial
Nilai Ekonomi
Nilai Psikologis
Ibu
Nilai Sosial
Nilai Ekonomi
Kategori Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total
Miskin n 0 8 22 30 1 26 3 30 0 23 7 30 0 7 23 30 1 23 6 30 2 25 3 30
% 0 26,7 73,3 100 3,3 86,7 10 100 0 76,7 23,3 100 0 23,3 76,7 100 3,3 76,7 20 100 6,7 83,3 10 100
Tidak Miskin N % 0 0 3 10 27 90 30 100 0 0 23 76,7 7 23,3 30 100 1 3,3 12 40 17 56,7 30 100 0 0 5 16,7 25 83,3 30 100 0 0 24 80 6 20 30 100 4 13,3 21 70 5 16,7 30 100
Total n 0 11 49 60 1 49 10 60 1 35 24 60 0 12 48 60 1 47 12 60 6 46 8 60
% 0 18,3 81,7 100 1,7 81,7 16,7 100 1,7 58,3 40 100 0 20 80 100 1,7 78,3 20 100 10 76,7 13,3 100
55
Secara keseluruhan lebih dari setengah ayah (51,7%) mempersepsikan nilai anak pada kategori tinggi, sementara 68,3 persen ibu mempersepsikan nilai anak pada kategori sedang. Pada kedua kelompok, ayah dan ibu, tidak terdapat responden yang mempersepsikan nilai anak pada kategori rendah. Rata-rata skor persepsi ayah mengenai nilai anak (M=36,4; sd=3,3) lebih tinggi dari ratarata skor nilai persepsi ibu mengenai nilai anak (M=35,5; sd=2,3). Walau begitu, hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara skor persepsi nilai anak ibu dan ayah (t=-1,840; p>0,05). Skor persepsi nilai anak contoh yang berstatus tidak miskin, baik ayah maupun ibu, lebih tinggi daripada contoh yang berstatus miskin (Tabel 22). Pada kategori ayah, rata-rata skor persepsi nilai anak ayah berstatus miskin adalah 35,2 (sd=3), sementara pada kelompok ayah tidak miskin rata-ratanya lebih tinggi yaitu sebesar 37,6 (sd=3,1). Rata-rata skor persepsi nilai anak ibu pada kelompok miskin adalah 34,7 (sd=2,5), lebih rendah dari rata-rata kelompok contoh ibu yang tidak miskin (M=36,2; sd=1,9). Hasil uji beda menunjukkan ratarata skor nilai anak ayah yang berstatus miskin dan tidak miskin berbeda nyata (t=-3,052; p<0,01), begitu pula pada kelompok contoh ibu (t = -2,491; p<0,05).
Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi ayah dan ibu mengenai nilai anak keseluruhan dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga) Nilai Anak
Miskin n
%
Tidak Miskin n %
Ayah Rendah 0 0 0 0 Sedang 17 56,7 12 40 Tinggi 13 43,3 18 60 Total 30 100 30 100 Rata-rata 35,2 37,6 Sd 3 3,1 Ibu Rendah 0 0 0 0 Sedang 24 80 17 56,7 Tinggi 6 20 13 43,3 Total 30 100 30 100 Rat-rata 34,7 36,2 Sd 2,5 1,9 Keterangan: Rendah = 15-26; sedang =27-36; tinggi = 37-45
Total n
%
0 29 31 60
0 48,3 51,7 100 36,4 3,3
0 41 19 60
0 68,3 31,7 100 35,5 2,3
Sementara itu, ayah dan ibu secara umum dipersepsikan memiliki nilai yang sedang di mata orang tuanya masing-masing. Hal tersebut terlihat dari skor rata-rata persepsi orang tua mengenai nilai ayah dan ibu (Tabel 23). Bila dibandingkan, skor rata-rata persepsi orang tua mengenai nilai ayah (M=36,3;
56
sd=3,5) lebih tinggi daripada persepsi orang tua mengenai nilai ibu (M=34,7; sd=3,2). Hasil uji beda menunjukkan rata-rata persepsi orang tua tentang nilai ibu dan ayah secara statistik berbeda nyata (t=-2,586; p<0,05).
Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan persepsi orang tua mengenai nilai ayah dan ibu serta status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga) Miskin Persepsi orang tua tentang nilai n % Ayah Rendah 0 0 Sedang 21 70 Tinggi 9 30 Total 30 100 Rata-rata 35 Sd 3,8 Ibu Rendah 0 0 Sedang 23 76,7 Tinggi 7 23,3 Total 30 100 Rata-rata 33,8 Sd 3,3 Keterangan: Rendah = 15-26; sedang =27-36; tinggi = 37-45
Tidak Miskin n %
n
Total %
0 10 20 30
0 31 29 60
0 51,7 48,3 100
0 33,3 66,7 100 37,5 2,8
0 17 13 30
36,3 3,5 0 56.7 43.3 100
0 40 20 60
35,5 2,9
0 66.7 33.3 100 34,7 3,2
Hasil analisis menunjukan bahwa lebih dari tiga perempat ayah yang mempersepsikan nilai anak pada kategori sedang, dipersepsikan bernilai sedang pula oleh orang tuanya. Begitu pula ayah dengan persepsi nilai anak pada kategori tinggi, sebesar 74,2 persen diantaranya juga dipersepsikan pada kategori tinggi oleh orang tuanya (Tabel 24). Hal senada juga terjadi pada kelompok ibu, 82,9 persen ibu yang mempersepsikan nilai anak pada kategori sedang, dipersepsikan oleh orang tuanya memiliki nilai anak pada kategori sedang
pula.
Sementara
itu,
lebih
dari
setengah
ibu
(68.4%)
yang
mempersepsikan tinggi nilai anak dipersepsikan memiliki nilai yang tinggi pula oleh orangtuanya. Bila dibandingkan skor antara persepsi orang tua mengenai nilai ayah dan ibu dengan skor persepsi ayah dan ibu mengenai nilai anak, tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara keduanya (t=-1,559; p>0,05). Lebih jauh lagi, bila dibandingkan skor rata-rata antara persepsi orang tua terkait nilai ayah dan ibu dengan skor persepsi ayah dan ibu mengenai nilai anak berdasarkan status kesejahteraan keluarga contoh, tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05). Terdapat kecenderungan, baik orang tua ayah dan ibu maupun ayah dan ibu mempersepsikan hal yang sama dalam hal nilai anak.
57
Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi orang tua mengenai nilai ayah dan ibu serta persepsi ayah dan ibu mengenai nilia anak (n=60 keluarga) Persepsi Orang Tua Terkait Nilai Ayah dan Ibu Ayah Rendah Sedang Tinggi Total Ibu Rendah Sedang Tinggi Total
Persepsi Ayah dan Ibu Tentang Nilai Anak Rendah Sedang Tinggi n % n % n %
n
%
0 0 0 0
0 0 0 0
0 23 6 29
0 79,3 20,7 100
0 8 23 31
0 25,8 74,2 100
0 31 29 60
0 51,7 48,3 100
0 0 0 0
0 0 0 0
0 34 7 41
0 82,9 17,1 100
0 6 13 19
0 31,6 68,4 100
0 40 20 60
0 66,7 33,3 100
Total
Nilai anak dan dinamika kemiskinan. Lebih dari setengah ayah yang berstatus tidak pernah miskin (60,7%) mempersepsikan nilai anak pada kategori tinggi, sama halnya dengan ayah yang berstatus selalu miskin (52%). Sementara itu, 42,3 persen ibu yang berstatus tidak pernah miskin dan 24 persen ibu yang berstatus selalu miskin juga mempersepsikan anak pada kategori tinggi. Jumlah tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan ibu yang mempersepsikan anak pada kategori sedang di masing-masing status dinamika kemiskinan (selalu miskin = 76%, tidak pernah miskin 57,7%). Informasi mengenai sebaran contoh berdasarkan kategori skor nilai anak dan status dinamika kemiskinan disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi ayah dan ibu tentang nilai anak dan status dinamika kemiskinan (n=60 keluarga) Nilai Anak
SM
n Ayah Rendah 0 Sedang 12 Tinggi 13 Total 25 Ibu Rendah 0 Sedang 19 Tinggi 6 Total 25 Keterangan: SM=selalu miskin; miskin
%
Status Dinamika Kemiskinan TM KM n % n %
Total
TPM n
%
n
%
0 48 52 100
0 5 0 5
0 100 0 100
0 1 1 2
0 50 50 100
0 11 17 28
0 39,3 60,7 100
0 29 31 60
0 48,3 51,7 100
0 76 24 100
0 5 0 5
0 100 0 100
0 2 2 4
0 50 50 100
0 15 11 26
0 57,7 42,3 100
0 41 19 60
0 68,3 31,7 100
TM=terjerumus miskin; KM=keluar dari miskin; TPM=tidak pernah
58
Seluruh ayah dan ibu yang mengalami kondisi terjerumus ke dalam kemiskinan mempersepsikan nilai anak pada kategori sedang. Untuk contoh dengan status dinamika kemiskinan keluar dari kemiskinan, persentase contoh yang berada pada kategori sedang dan tinggi sama besar, baik pada kelompok ayah (masing-masing 50%) maupun ibu (masing-masing 50%). Terlihat bahwa tidak terdapat kecenderungan hubungan antara persepsi ayah dan ibu mengenai nilai anak dengan status dinamika kemiskinan yang dialami oleh keduanya. Sekitar 67,9 persen orang tua ayah yang mengalami kondisi tidak pernah miskin, mempersepsikan nilai ayah pada kategori tinggi. Dengan jumlah yang hampir sama, 68 persen orang tua ayah yang mengalami kondisi selalu miskin mempersepsikan nilai ayah pada kategori sedang. Pada kelompok ibu, proporsi terbesar persepsi orang tua mengenai nilai ibu berada pada kategori sedang baik pada kelompok ibu yang selalu miskin (76%) maupun tidak pernah miskin (57,7%). Hal tersebut menunjukan tidak adanya kecenderungan hubungan antara persepsi orang tua terkait nilai ayah dan ibu dengan status dinamika kemiskinan yang dialami oleh ayah dan ibu (Tabel 26).
Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi orang tua terkait nilai ayah dan ibu serta status dinamika kemiskinan contoh (n=60 keluarga) Persepsi Status Dinamika Kemiskinan orang tua SM TM KM TPM tentang nilai n % n % n % n % Ayah Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0 Sedang 17 68 4 80 1 50 9 32,1 Tinggi 8 32 1 20 1 50 19 67,9 Total 25 100 5 100 2 100 28 100 Ibu Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0 Sedang 19 76 4 80 2 50 15 57,7 Tinggi 6 24 1 20 2 50 11 42,3 Total 25 100 5 100 4 100 26 100 Keterangan: SM=selalu miskin; TM=terjerumus miskin; KM=keluar TPM=tidak pernah miskin
Total n
%
0 31 29 60
0 51,7 48,3 100
0 40 20 60 dari
0 66,7 33,3 100 miskin;
Perilaku Investasi Orang Tua terhadap Anak Perilaku investasi yang diukur terdiri dari alokasi waktu orang tua terhadap
anak
serta
alokasi
uang
orang
tua
terhadap
anak
yang
dimanifestasikan dalam perilaku investasi yang dilakukan orang tua dalam aktivitas sehari-hari terkait interaksinya dengan anak. Perilaku aloksi waktu ayah dan ibu untuk anak pada umumnya berada pada kategori sedang. Kecuali pada
59
kelompok ibu tidak miskin, lebih dari setengah contoh pada kelompok tersebut memiliki skor perilaku investasi kategori alokasi waktu pada kategori tinggi (Tabel 27).
Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi untuk tiap dimensi dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga) Contoh
Dimensi Alokasi Waktu
Ayah Alokasi Uang
Alokasi Waktu Ibu Alokasi Uang
Kategori Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total
Miskin n 15 15 0 30 2 20 8 30 0 23 7 30 1 20 9 30
% 50 50 0 100 6,7 66,7 26,7 100 0 76,7 23,3 100 3,3 66,7 30 100
Tidak Miskin n % 3 10 26 86,7 1 3,3 30 100 0 0 9 30 21 70 30 100 0 0 12 40 18 60 30 100 0 0 8 26,7 22 73,3 30 100
Total n 18 41 1 60 2 29 29 60 0 35 25 60 1 28 31 60
% 30 68,3 1,7 100 3,3 48,3 48,3 100 0 58,3 41,7 100 1,7 46,7 51,7 100
Pada dimensi perilaku alokasi uang, sebaran paling tinggi untuk kelompok contoh berstatus miskin berada pada kategori sedang, baik untuk contoh ibu maupun ayah (masing-masing 66,7%). Sementara untuk kelompok berstatus tidak miskin, sebaran paling tinggi berada pada kategori tinggi dengan persentase masing-masing untuk ayah dan ibu adalah 70 persen dan 73,3 persen (Tabel 27). Hasil uji beda menunjukkan skor perilaku investasi untuk dimensi alokasi waktu dan uang pada seluruh kelompok contoh berbeda nyata (p<0,01). Skor perilaku investasi ibu secara umum memiliki rata-rata yang lebih tinggi (M=48,4; sd= 4,1) bila dibandingkan dengan skor rata-rata ayah (M=43,2; sd=4,8). Sebaran tertinggi pada kedua kelompok berada pada kategori sedang dengan persentase masing-masing 78,3 persen untuk kelompok ayah dan 53,3 persen untuk kelompok ibu (Tabel 28). Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara skor perilaku investasi ibu dan ayah (t=6,472; p<0,01)
60
Tabel 28 Sebaran perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak berdasarkan status kesejahteraan (n=60 keluarga) Perilaku Investasi
Miskin n
%
Tidak Miskin n %
Ayah Rendah 4 13.3 0 0 Sedang 26 86.7 21 70 Tinggi 0 0 9 30 Total 30 100 30 100 Rata-rata 39.9 46.4 Sd 3.4 3.7 Ibu Rendah 0 0 0 0 Sedang 24 80 8 26.7 Tinggi 6 20 22 73.3 Total 30 100 30 100 Rata-rata 46 50.8 Sd 3.4 3.2 Keterangan: Rendah = 20-35; Sedang =36-48; Tinggi = 49-60
Total n
%
4 47 9 60
6.7 78.3 15 100 43.2 4.8
0 32 28 60
0 53.3 46.7 100 48.4 4.1
Bila dibandingkan berdasarkan status kesejahteraan keluarga contoh, ayah dan ibu yang tidak miskin memiliki rata-rata skor perilaku investasi yang lebih baik daripada kelompok contoh ayah dan ibu dengan status miskin. Hasil uji beda menunjukkan perbedaan yang nyata dalam hal skor rata-rata perilaku investasi ayah miskin dengan tidak miskin (t=-7,077; p<0,01) serta ibu miskin dengan tidak miskin (t=-5,576; p<0,01). Penelitian ini juga turut menganalisis perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu saat keduanya berusia dini (hasil ditunjukkan pada Tabel 29). Hasil analisis menunjukkan bahwa orang tua ayah memiliki rata-rata skor perilaku investasi yang lebih rendah (M=40,9; sd=5) bila dibandingkan dengan skor perilaku investasi orang tua terhadap ibu (M=43,6; sd=4,4). Baik pada kelompok ayah maupun ibu, skor rata-rata perilaku investasi orang tua terhadap keduanya secara umum berada pada kategori sedang (persentasenya masingmasing 76,7% dan 83,3%). Hasil uji beda menunjukkan perbedaan yang nyata antara skor rata-rata perilaku investasi orang tua terhadap ibu dan ayah (t=3,962; p<0,01).
61
Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu serta status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga) Kategori Skor Miskin Perilaku Investasi orang tua terhadap n % Ayah dan Ibu Ayah Rendah 8 26,7 Sedang 21 70 Tinggi 1 3,3 Total 30 100 Rata-rata 38,1 Sd 4,5 Ibu Rendah 1 3,3 Sedang 28 93,3 Tinggi 1 3,3 Total 30 100 Rata-rata 41,6 Sd 3,1 Keterangan: Rendah = 20-35; sedang =36-48; tinggi = 49-60
Tidak Miskin
Total
n
%
n
%
1 25 4 30
3,3 83,3 13,3 100
9 46 5 60
15 76,7 8,3 100
43,7 3,9 1 22 7 30
40,9 5 3,3 73,3 23,3 100
2 50 8 60
3,3 83,3 13,3 100
45,6 4,6
43,6 4,4
Ayah dan ibu memiliki skor perilaku investasi yang lebih baik dibandingkan orang tuanya masing-masing. Bila dibandingkan antara skor perilaku investasi orang tua terhadap ibu dengan skor perilaku investasi ibu terhadap anak, dapat disimpulkan bahwa rata-rata skor keduanya secara statistik berbeda nyata (t=-6.292; p<0.01). Begitu pula dengan rata-rata skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah dengan rata-rata skor perilaku investasi ayah terhadap anak, keduanya juga berbeda nyata (t=-2.512; p<0.05).
Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu serta kategori skor perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak (n=60 keluarga) Perilaku Investasi Orang tua Ayah Rendah Sedang Tinggi Total Orang tua Ibu Rendah Sedang Tinggi Total
Perilaku Investasi Ayah dan Ibu Rendah Sedang Tinggi n % n % n %
n
%
3 1 0 4
5 1,7 0 6,7
6 38 3 47
10 63,3 5 78,3
0 7 2 9
0 11,7 3,3 15
9 46 5 60
15 76,7 8,3 100
0 0 0 0
0 0 0 0
1 30 1 32
1,7 50 1,7 53,3
1 20 7 28
1,7 33,3 11,7 46,7
2 50 8 60
3,3 83,3 13,3 100
Total
62
Perilaku investasi dan dinamika kemiskinan. Lebih dari sepertiga ayah yang mengalami kondisi tidak pernah miskin memiliki skor perilaku investasi terhadap anak pada kategori tinggi. Sementara ayah dengan status dinamika kemiskinan lainnya tidak ada yang memiliki skor perilaku investasi pada kategori tinggi. Hampir tiga perempat ibu dengan status tidak pernah miskin memiliki skor perilaku investasi terhadap anak pada kategori tinggi. Sedangkan pada kelompok contoh ibu dengan status dinamika kemiskinan selalu miskin, persentasenya hanya sebesar 20 persen (Tabel 31). Hal tersebut menunjukan kecenderungan hubungan antara skor perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak dengan status dinamika kemiskinan yang dialami keduanya.
Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak berdasarkan status dinamika kemiskinan (n=60 keluarga) Perilaku Investasi
SM
n Ayah Rendah 3 Sedang 22 Tinggi 0 Total 25 Ibu Rendah 0 Sedang 20 Tinggi 5 Total 25 Keterangan: SM=selalu miskin; miskin
%
Status Dinamika Kemiskinan TM KM n % n %
Total
TPM n
%
n
%
12 88 0 100
1 4 0 5
20 80 0 100
0 2 0 2
0 100 0 100
0 19 9 28
0 67,9 32,1 100
4 47 9 60
6,7 78,3 15 100
0 80 20 100
0 4 1 5
0 80 20 100
0 1 3 4
0 25 75 100
0 7 19 26
0 26.9 73.1 100
0 32 28 60
0 53.3 46.7 100
TM=terjerumus miskin; KM=keluar dari miskin; TPM=tidak pernah
Sebanyak 14,3 persen ayah yang berstatus tidak pernah miskin mendapatkan investasi pada kategori tinggi dari orang tuanya dilihat dari skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah. Tidak ada satupun ayah dengan status selalu miskin yang mendapatkan investasi pada kategori tinggi dari orang tuannya. Sebagian besar skor perilaku investasi orang tua ayah yang berstatus selalu miskin (68%) tergolong sedang (Tabel 32). Sementara itu, lebih dari seperempat ibu dengan status tidak pernah miskin
mendapatkan investasi
yang
tergolong
tinggi
dari orangtuanya,
sedangkan pada kelompok ibu yang selalu miskin persentasenya hanya sebesar empat persen. Terdapat kecenderungan hubungan antara skor perilaku investasi
63
yang dilakukan oleh orang tua terhadap ayah dan ibu dengan status dinamika kemiskinan yang dialami keduanya.
Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu dan status dinamika kemiskinan (n=60 keluarga) Perilaku Status Dinamika Kemiskinan Total Investasi SM TM KM TPM Orang Tua terhadap Ayah n % n % n % n % n % dan Ibu Ayah Rendah 8 32 0 0 0 0 1 3,6 9 15 Sedang 17 68 4 80 2 100 23 82,1 46 76,7 Tinggi 0 0 1 20 0 0 4 14,3 5 8,3 Total 25 100 5 100 2 100 28 100 60 100 Ibu Rendah 1 4 0 0 0 0 1 3,8 2 3,3 Sedang 23 92 5 100 4 100 18 69,2 50 83,3 Tinggi 1 4 0 0 0 0 7 27 8 13,3 Total 25 100 5 100 4 100 26 100 60 100 Keterangan: SM=selalu miskin; TM=terjerumus miskin; KM=keluar dari miskin; TPM=tidak pernah miskin
Hubungan Antarvariabel Karakteristik Keluarga Asal Ayah dan Ibu, Persepsi Orang Tua Mengenai Nilai Ayah dan Ibu, serta Perilaku Investasi Orang Tua terhadap Ayah dan Ibu Variabel-variabel yang berkaitan dengan karakteristik keluarga orang tua ayah dan ibu dianalisis dengan menggunakan uji korelasi untuk melihat keterkaitannya dengan variabel nilai anak dan perilaku investasi yang melibatkan ayah dan ibu dengan orang tuanya masing-masing (Tabel 33 dan Tabel 34). Status kesejahteraan keluarga orang tua ayah berhubungan positif dan nyata dengan perilaku investasi orang tua terhadap ayah (r=0,645; p<0,01). Artinya, semakin sejahtera keluarga, semakin baik skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah. Selain itu, status kesejahteraan keluarga ayah berhubungan positif nyata dengan lama pendidikan formal yang ditempuh ayah (r=0,545; p<0,01). Status kesejahteraan keluarga ayah juga berkaitan positif nyata dengan warisan yang diberikan kepada dirinya (r=0,420; p<0,01). Sedangkan jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga ayah (jumlah saudara kandung ayah) berhubungan posistif nyata dengan skor persepsi orang tua terkait nilai ayah (r=0,469; p<0,01).
64
Tabel 33 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga asal ayah, persepsi orang tua terkait nilai ayah, dan perilaku investasi orang tua terhadap ayah Variabel
1. Status kesejahteraan keluarga asal ayah 2. Jumlah saudara kandung ayah 3. Persepsi orang tua terkait nilai ayah 4. Perilaku investasi orang tua terhadap ayah 5. Warisan yang diterima ayah 6. Lama pendidikan ayah
Status kesejahteraan keluarga ayah
Jumlah saudara kandung ayah
Persepsi orang tua terkait nilai ayah
Perilaku investasi orang tua terhadap ayah
Warisan yang diterima ayah
1 -0,053
1
0,253
0,469
**
1
**
-0,010
0,358
1
**
0,093
0,084
-0,018
**
0,081
0,456
0,645 0,420 0,545
**
**
0,766
**
1 0,024
Sementara itu, persepsi orang tua mengenai nilai ayah berhubungan positif nyata dengan perilaku investasi orang tua terhadap ayah (r=0,358; p<0,01). Semakin tinggi skor persepsi orang tua terkait nilai ayah, maka skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah akan semakin tinggi pula. Persepsi orang tua terkait nilai ayah juga berhubungan positif dan nyata dengan lama pendidikan formal yang ditempuh ayah (r=0,456; p<0,01). Ini menunjukkan bahwa persepsi yang semakin baik dari orang tua mengenai nilai anak, mendorong orang tua untuk berinvestasi lebih banyak pada diri ayah. Baik dilihat dari skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah maupun alokasi sumberdaya untuk pendidikan yang dilihat dari lama pendidikan formal yang ditempuh oleh ayah. Sama halnya seperti pada kasus ayah, perilaku investasi orang tua terhadap ibu berhubungan nyata positif dengan status kesejahteraan keluarga orang tua ibu (r=0,307; p<0,05). Begitu pula dengan lama pendidikan formal yang ditempuh ibu, hubungannya nyata positif dengan status kesejahteraan keluarga orang tuanya (r=0,257; p<0,05). Investasi orang tua terhadap ibu, baik dalam bentuk perilaku maupun lama pendidikan, akan meningkat seiring dengan semakin sejahteranya keluarga asal ibu. Berbeda dengan hasil pada kasus ayah, warisan yang diterima ibu tidak berhubungan nyata dengan status kesejahteraan keluarga orang tua ibu (r=0,183; p>0,05). Walau begitu, arah hubungan keduanya positif seperti halnya pada kasus ayah.
65
Tabel 34 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga asal ibu, persepsi orang tua terkait nilai ibu, dan perilaku investasi orang tua terhadap ibu Variabel
1. Status kesejahteraan keluarga asal ibu 2. Jumlah saudara kandung ibu 3. Persepsi orang tua terkait nilai ibu 4. Perilaku investasi orang tua terhadap ibu 5. Warisan yang diterima ibu 6. Lama pendidikan ibu
Status kesejahteraan keluarga asal ibu
Jumlah saudara kandung ibu
Persepsi orang tua terkait nilai ibu
Perilaku investasi orang tua terhadap ibu
Warisan yang diterima ibu
1 0,053
1
0,172
-0,190
1
0,307*
-0,273*
0,206
1
0,183
0,068
-0,064
-0,029
1
0,257*
-0,310*
0,320*
0,653**
-0,188
Hasil pegujian menunjukkan bahwa jumlah anak yang dimiliki orang tua ibu atau jumlah saudara kandung ibu, berhubungan nyata negatif dengan perilaku investasi orang tua terhadap ibu (r=0,273; p<0,05) dan pendidikan formal yang ditempuh ibu (r=-0,310; p<0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa dibandingkan kondisi ayah, persaingan ibu dalam keluarga untuk mendapatakan investasi dari orang tua lebih berat ketika dikaitkan dengan jumlah anak dalam keluarga. Mengingat rata-rata jumlah saudara kandung yang dimiliki oleh kelompok contoh ayah lebih tinggi bila dibandingkan dengan ibu, dugaan selanjutnya mengarah pada ketimpangan nilai gender dalam keluarga antara anak perempuan dengan laki-laki. Ditambah dengan fakta bahwa pada keluarga ayah, hubungan antara jumlah anak dengan pendidikan formal yang ditempuh bersifat positif sementara sebaliknya pada keluarga ibu hubungannya negatif. Persepsi orang tua mengenai nilai ibu berhubungan nyata positif dengan pendidikan formal yang ditempuh ibu (r=0,320; p<0,05). Artinya semakin tinggi skor persepsi nilai ibu dimata orang tuanya, semakin lama pendidikan formal yang dijalani oleh ibu. Walaupun tidak nyata seperti pada kasus ayah, persepsi orang tua terkait nilai ibu dengan perilaku investasi berhubungan positif (r=0,206; p>0,05). Berbeda dengan hasil pada keluarga ayah, pada keluarga ibu skor persepsi orang tua tentang nilai ibu mempunyai hubungan yang negatif dengan jumlah anak atau jumlah saudara kandung ibu. Dua variabel yang merupakan
66
bagian dari investasi orang tua terhadap anak, yaitu lama pendidikan formal yang ditempuh oleh ibu dan perilaku investasi yang dilakukan orang tua terhadap ibu, memiliki hubungan yang nyata positif (r=0,653; p<0,01). Semakin tinggi skor perilaku investasi orang tua terhadap ibu, semakin lama pendidikan formal yang ditempuh oleh ibu. Hubungan Antarvariabel Karakteristik Keluarga Contoh, Persepsi Ayah dan Ibu Mengenai Nilai Anak, dan Perilaku Investasi Ayah dan Ibu terhadap Anak Hasil pengujian varibel-varibel yang berkaitan dengan keluarga contoh menunjukkan beberapa variabel yang berhubungan nyata dengan status kesejahteraan keluarga contoh (Tabel 36). Variabel-variabel tersebut yaitu, pendidikan ayah (r=0,608; p<0,01), pendidikan ibu (r=0,331; p<0,01), skor persepsi ayah tentang nilai anak (r=0,320; p<0,05), skor persepsi ibu tentang nilai anak (r=0,282; p<0,05), skor perilaku investasu ayah terhadap anak (r=0,693; p<0,01), skor perilaku investasi ibu terhadap anak (r=0,597; p<0,01), dan warisan yang diterima ayah (r=0,333; p<0,01). Bila variabel-variabel tersebut dibagi berdasarkan interaksi antara ayah dan ibu dengan generasi sebelumnya (kakek dan nenek) atau sesudahnya (anak), maka didapatkan dua kelompok variabel. Pertama adalah variabel yang melibatkan interaksi langsung antara ayah dan ibu dengan orang tuanya masingmasing, yaitu lama pendidikan formal ayah dan ibu serta warisan yang diterima oleh ayah. Kedua adalah variabel yang melibatkan interaksi antara ayah dan ibu dengan anaknya, yaitu persepsi keduanya terkait nilai anak dan perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak. Bila dianalisis lebih lanjut dan dikaitkan dengan status kesejahteraan keluarga contoh, kelompok variabel pertama dapat diduga hubungannya sebagai variabel yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga generasi contoh. Sementara kelompok variabel kedua, hubungannya dapat diduga sebagai akibat atau efek dari kondisi kesejahteraan keluarga contoh sehingga mempengaruhi interaksinya dengan anak. Namun dugaan tersebut harus dibuktikan dengan melakukan pengujian lebih lanjut. Jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga contoh berhubungan negatif dengan pendidikan ayah (r=-0,210; p<0,05) dan pendidikan ibu (r=-0,270; p>0,05). Semakin lama pendidikan formal yang ditempuh oleh ayah dan ibu, semakin sedikit jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga. Jumlah anak juga
67
berhubungan negatif – walaupun tidak nyata dan magnitudnya kecil – dengan perilaku investasi, baik ayah (r=-0,080; p>0,05) maupun ibu (r=-0,069; p>0,05). Terdapat perbedaan antara ayah dan ibu dalam hal persepsi keduanya tentang nilai anak dengan variabel jumlah anak keluarga contoh. Dalam kasus ayah, hubungan kedua variabel positif (r=0,075; p>0,05) sementara pada kasus ibu, keduanya berhubungan negatif (r=-0,016; p>0,05). Hasil ini mengarahkan pada pendugaan adanya perbedaan paradigma antara ayah dan ibu mengenai jumlah anak.
Tabel 35 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga contoh, persepsi ayah dan ibu terkait nilai anak, dan perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak Variabel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Status 1 kesejahteraan 1 Jumlah anak 0,160 Pendidikan 0,608** -0,210 ayah Pendidikan 0,331** -0,270* ibu 0.300* 0,702** Umur ayah 0.220 0,739** Umur ibu Persepsi ayah tentang nilai 0,320* 0,075 anak Persepsi ibu tentang nilai 0,282* -0,016 anak Perilaku investasi ayah 0,693** -0,080 terhadap anak Perilaku investasi ibu 0,597** -0,069 terhadap anak Warisan yang 0,333** 0,224 diterima ayah Warisan yang 0,000 0,285* diterima ibu Keterangan: 1: status kesejahteraan 2: jumlah anak 3: pendidikan ayah 4: pendidikan ibu 5: umur ayah 6: umir ibu
1 0,644**
1
-0,032
-0,177
1
-0,099
-0,196
0,906**
1
0,421** 0,333**
0,033
0.039
1
0,453** 0,332**
0,076
0.010
0,594**
1
0,693**
0,527**
0,060
-0.004
0,550**
0,427**
1
0,582** 0,482**
0,015
-0.043
0,344**
0,317*
0,764**
1
0,020
0,011
0,410*
0,407**
0,059
0,150
0,256*
0,132
1
-0,147
-0,199
0,152
0,295*
-0,003
-0,147
-0,145
-0,303*
0,080
7: persepsi ayah tentang nilai anak 8: persepsi ibu tentang nilaia anak 9: perilaku investasi ayah terhadap anak
10: perilaku investasi ibu terhadap anak 11: warisan yang diterima ayah
Sementara itu, lama pendidikan formal yang ditempuh oleh ayah ataupun ibu berhubungan nyata dan positif dengan persepsi ayah tentang nilai anak (r=0,421; p<0,01), persepsi ibu tentang nilai anak (r=0,332; p<0,01), perilaku investasi ayah terhadap anak (r=0,693; p<0,01), dan perilaku investasi ibu terhadap anak (r=0,482; p<0,01). Persepsi orang tua terkait nilai anak
68
berhubungan positif dan nyata dengan perilaku investasi, baik pada kelompok ayah (r=0,550; p<0,05) maupun ibu (r=0,317; p<0,01). Pendidikan formal yang semakin tinggi yang ditempuh oleh ayah dan ibu semakin meningkatkan skor persepsi nilai anak dan perilaku investasi orang tua terhadap anak. Skor persepsi nilai anak ayah dan ibu yang semakin tinggi juga akan meningkatkan skor perilaku investasi keduanya terhadapa anak. Masing-masing persepsi nilai anak ayah dan ibu, serta perilaku investasi ayah dan ibu saling berhubungan nyata positif. Hal yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah adanya hubungan yang nyata positif antara lama pendidikan formal yang ditempuh oleh ayah dan ibu (r=0,644; p<0,01). Hal ini semakin memperkuat dugaan sebelumnya yang mengarah pada kesetaraan status sosial antara ayah dan ibu. Terlebih lagi pada pembahasan sebelumnya didapatkan hasil bahwa lama pendidikan formal yang ditempuh oleh ayah dan ibu berhubungan erat dengan status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keluarga contoh dibentuk dari pasangan ayah dan ibu dengan status sosial ekonomi yang sama. Hubungan Antarvariabel Karakteristik Keluarga Asal Contoh dan Keluarga Contoh, Persepsi Nilai Anak serta Perilaku Investasi pada Dua Generasi Keluarga Status kesejahteraan keluarga asal ayah berhubungan erat dengan status kesejahteraan keluarga contoh (r=0,771; P<0,01). Hal tersebut mengindikasikan bahwa kemiskinan yang dialami oleh keluarga asal ayah dialami juga oleh keluarga contoh. Hasil tersebut semakin menguatkan fakta terjadinya transfer kemiskinan pada dua generasi keluarga, dalam hal ini dialami ayah. Sementara itu, ayah yang saat ini berstatus tidak miskin juga memiliki keluarga asal yang tidak miskin. Menunjukkan kondisi sebaliknya dari transfer kemiskinan (Tabel 37). Transfer kemiskinan berkaitan dengan ada atau tidak adanya transfer capital dari satu generasi keluarga ke generasi selanjutnya, baik dalam bentuk material maupun investasi sumberdaya manusia. Selain transfer capital, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat transfer hal lain diantara dua generasi keluarga, yaitu nilai. Nilai anak – yang merupakan persepsi orang tua mengenai manfaat dan kerugian memiliki anak – dipersepsikan sama oleh orang
69
tua pada dua generasi keluarga. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil korelasi antara persepsi orang tua tentang nilai ayah dan persepsi ayah tentang nilai anak yang berhubungan nyata positif (r=0,788; p<0,01). Selain itu, skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah juga berhubungan nyata dan positif dengan skor perilaku investasi ayah terhadap anak (r=0,595; p<0,01). Berkaitan dengan adanya transfer nilai yang terjadi diantara dua generasi keluarga dari garis keturunan ayah, berdampak pula pada kesamaan perilaku diantara kedua generasi tersebut. Artinya, apa yang ayah pelajari saat kecil dari perilaku investasi orang tua terhadap dirinya, turut dipraktekan
oleh
ayah
kepada
anaknya.
Walaupun
data
sebelumnya
menyebutkan bahwa rata-rata skor perilaku investasi ayah terhadap anak lebih tinggi dibandingkan perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan keduanya berbeda nyata. Dalam hal jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga asal ayah dan juga keluarga contoh, keduanya tidak berhubungan nyata (r=0,098; p>0,05). Telah disinggung sebelumnya mengenai adanya program pemerintah mengenai keluarga berencana dan perbedaan paradigma diantara kedua generasi keluarga mengenai jumlah anak, diduga sebagai penyebab perbedaan jumlah anak yang dimiliki oleh kedua generasi keluarga. Seperti halnya pada kasus ayah, status kesejahteraan dua generasi keluarga dari garis keturunan ibu juga berhubungan nyata positif (r=0,700; p<0,01). Hasil tersebut juga semakin menguatkan fakta terjadinya transfer kemiskinan di antara dua generasi keluarga tersebut. Transfer nilai – dalam hal ini nilai anak – juga terjadi di antara dua generasi keluarga dari garis keturunan ibu. Dilihat dari adanya hubungan nyata positif antara persepsi orang tua tentang nilai ibu dengan persepsi ibu tentang nilai anak (r=0,609; p<0,01). Skor perilaku investasi pada dua generasi keluarga dari garis keturunan ibu juga saling berhubungan nyata positif (r=0,265; p<0,01). Hal yang berbeda pada kasus ibu dibandingkan dengan kasus ayah adalah dalam hal hubungan jumlah anak pada dua generasi keluarga. Sebelumnya telah dibahas bahwa pada keluarga dari garis keturunan ayah, kedua variabel tidak berhubungan nyata. Sebaliknya, pada keluarga dari garis keturunan ibu keduanya berhubungan nyata positif (r=0,265; p<0,05). Artinya semakin banyak jumlah anak pada keluarga asal ibu, semakin banyak pula anak yang dimiliki pada contoh.
70
Tabel 36 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga asal dan keluarga contoh, nilai anak serta perilaku investasi orang tua pada dua generasi keluarga Kel. Contoh Kel. Asal Ayah 1. Status kesejahteraan 2. Persepsi orang tua tentang nilai ayah 3. Perilaku investasi orang tua terhadap ayah 4. Jumlah anak Ibu 1. Status kesejahteraan 2. Persepsi orang tua tentang nilai ibu 3. Perilaku investasi orang tua terhadap ibu 4. Jumlah anak
Persepsi ibu tentang nilai anak
Perilaku investasi ayah terhadap anak
Perilaku investasi ibu terhadap anak
Status kesejahteraan
Persepsi ayah tentang nilai anak
0,771**
0,320*
0,512**
0,068
0,329*
0,788**
0,521**
0,020
0,584**
0,339**
0,595**
0,240
-0,030
0,140
0,202
0,098
Jumlah anak
0,700**
0,031
0,347**
0,186
0,238
0,609**
0,279*
-0,099
0,478**
0,225
0,481**
-0,273*
0,045
-0,102
-0,004
0,265*
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Investasi Ayah dan Ibu terhadap Anak Pengujian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku investasi keluarga contoh dibagi menjadi dua, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku investasi ibu terhadap anak. Disetiap analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
variabel
dependen
dengan
menggunakan
regresi
linear
bergeanda, dibangun dua model yaitu model unrestricted dan restricted. Model unrestricted dibangun dengan memasukan seluruh variabel independen yang secara teoritis mempengaruhi variabel dependen dengan mengabaikan aspek koreksi terhadap model regresi seperti multikolinearitas. Dalam membangun model restricted, beberapa variabel kemudian dikeluarkan dengan mempertimbangkan aspek koreksi yang telah dibahas sebelumnya. Nilai R-square dari kedua model kemudian dibandingkan untuk melihat kehandalan dari model yang dibangun.
71
Model pertama dibangun untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak. Untuk unrestricted model, terdapat sepuluh variabel yang diduga mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak, diantaranya status kesejahteraan keluarga asal ayah, status kesejahteraan keluarga contoh, perilaku investasi orang tua terhadap ayah, lama pendidikan ayah, pendapatan keluarga contoh, persepsi orang tua tentang nilai ayah, persepsi ayah tentang nilai anak, jumlah anak keluarga contoh, dan usia ayah. Didapatkan nilai R-square untuk unrestricted model adalah 0,783 dan model secara statistik signifikan pada level 0,01. Artinya seluruh variabel menjelaskan 78,3 persen varian dari perilaku investasi ayah terhadap anak. Terdapat tiga variabel yang secara nyata mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak pada model unrestricted, yaitu status kesejahteraan keluarga contoh (p<0,05), pendapatan keluarga contoh (p<0,1), dan perilaku investasi ibu terhadap anak (p<0,01). Dalam membangun model regresi perlu dipertimbangkan keterpenuhan asumsi-asumsi model regresi, terutama berkaitan dengan multikolinearitas antar variabel dependen yang diduga mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak. Untuk itu, model awal yang telah dibangun dikoreksi sehingga menghasilkan model kedua yang disebut restricted model. Koreksi dilakukan dengan mengeluarkan enam variabel independen dari model dan tersisa empat variabel, yaitu status kesejahteraan keluarga generasi contoh, perilaku investasi orang tua terhadap ayah, perilaku investasi ibu terhadap anak, dan persepsi ayah tentang nilai anak. Keenam variabel yang dikeluarkan memiliki hubungan yang kuat dengan empat variabel tersisa, sehingga tidak perlu dimaukkan lagi ke dalam model karena telah terwakili oleh empat variabel tersisa. Didapatkan nilai R-square sebesar 0,740 untuk model kedua dan model secara statistik signifikan pada level 0,01. Perubahan R-square diantara kedua model kecil yang menunjukkan bahwa model restricted yang dibangun sama baiknya dengan model unrestricted dalam menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak walaupun beberapa variabel telah dikeluarkan dari model restricted. Keempat variabel independen yang diuji ke dalam model restricted mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak secara nyata dan positif. Beberapa variabel seperti perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan persepsi ayah terkait nilai anak pengaruhnya menjadi signifikan pada model
72
kedua setelah sebelumnya tidak berpengaruh signifikan pada model pertama. Beberpa variabel yang dikeluarkan saat membangun model kedua diduga memiliki pengaruh yang terlalu kuat terhadap variabel independen sehingga pengaruh variabel independen lainnya menjadi tidak terlihat (tidak signifikan).
Tabel 37 Ringkasan analisis regresi untuk faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak (n=60 keluarga) Model Variabel 1.
Konstanta
2.
Status kesejahteraan keluarga asal ayah (0=miskin, 1=tidak miskin) Status kesejahteraan keluarga contoh (0=miskin, 1=tidak miskin) Perilaku investasi orang tua terhadap ayah (skor) Lama pendidikan ayah (tahun) Pendapatan keluarga (Rp) Perilaku investasi ibu terhadap anak (skor) Persepsi orang tua tentang nilai ayah (skor) Persepsi ayah tentang nilai anak (skor)
3.
4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. Jumlah anak (anak) 11. Usia ayah (tahun)
Unrestricted B -0,831 (7,365)
Β
-1,587 (1,115)
-0,165
2,251 (1,243)
0,236*
0,68 0,071 (0,114) 0,104 0,082 (0,156) -7 0,196x10 0,196* (0,000) 0,520 0,440*** (0,106) 0,216 0,159 (0,155) 0,111 0,075 (0,177) -0,436 -0,121 (0,359) 0,051 0,070 (0,074) 17,726*** 0,783 0,739
F R-Square Adjusted R-Square Keterangan: B = Koefisien tidak terstandarisasi (standar eror di dalam kurung) Β = koefsisen terstandarisasi *= signifikan pada selang kepercayaan 90% **= signifikan pada selang kepercayaan 95% ***= signifikan pada selang kepercayaan 99
Restricted B -6,440 (5,337)
β
2,172 (0,889)
0,475**
0,141 (0,083)
0,147*
0,555 (0,105)
0,469***
0,377 (0,112)
0,254***
39,169*** 0,740 0,721
Interaksi orang tua dengan ayah saat dirinya berusia dini mempengaruhi interaksi ayah dengan anaknya saat ini terkait dengan perilaku investasi sumberdaya manusia. Semakin baik perlakuan yang diterima ayah saat kecil, maka perlakuan ayah terhadap anak juga akan semakin baik. Begitu pula dengan variabel persepsi ayah mengenai nilai anak; semakin baik persepsi ayah tentang nilai anak, maka semakin baik pula perilaku investasi ayah terhadap anak. Perilaku investasi pasangan atau ibu juga turut mempengaruhi perilaku
73
investasi ayah terhadap anak. Hal tersebut menunjukkan adanya konsensus yang berlaku diantara ayah dan ibu, salah satunya dalam hal alokasi sumberdaya untuk investasi sumberdaya manusia. Hasil lainnya menunjukkan bahwa pada keluarga yang lebih sejahtera, perilaku investasi ayah terhadap anak lebih baik. Semakin menguatkan hasil analisis sebelumnya mengenai adanya pengaruh status kesejahteraan terhadap perilaku investasi terhadap anak. Model
kedua
dibangun
untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi perilaku investasi ibu terhadap anak. Terdapat sembilan variabel yang diduga mempengaruhi perilaku investasi ibu terhadap anak (unrestricted model). Variabel-variabel tersebut adalah: status kesejahteraan keluarga asal ibu, status kesejahteraan keluarga contoh, perilaku investasi orang tua terhadap ibu, lama pendidikan ibu, pendapatan keluarga, persepsi orang tua tentang nilai ibu, persepsi ibu tentang nilai anak, jumlah anak keluarga contoh, dan usia ibu. Model ini memiliki nilai R-square sebesar 0,475 dan model secara statistik signifikan pada level 0,01, bermakna 47,5 persen varian perilaku investasi ibu terhadap anak dijelaskan oleh variabel-variabel yang dimasukan ke dalam model. Seperti halnya pada analisis regresi sebelumnya, model unrestricted yang telah dibangun dikoreksi agar memenuhi asumsi model regresi. Beberapa variabel dependen dikeluarkan karena mengalami multikolinearitas, sehingga pada model kedua atau model restricted yang dibangun tersisa empat variabel independen, yaitu status kesejahteraan keluarga contoh, perilaku investasi orang tua terhadap ibu, dan persepsi ibu terkait nilai anak, dan jumlah anak pada keluarga contoh. Nilai R-square pada model ini adalah 0,429 (signifikan pada level 0,01). Perubahan nilai R-square pada kedua model kecil sehingga dapat disimpulkan bahwa model kedua mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku investasi ibu terhadap anak sebaik model unrestricted walaupun beberapa variabel dikeluarkan dari model tersebut. Variabel yang secara signifikan mempengaruhi perilkau investasi ibu terhadapa anak adalah status kesejahteraan keluarga contoh (p<0,01) dan perilaku investasi orang tua terhadap ibu (p<0,1). Hasil tersebut semakin menguatkan fakta mengenai transfer nilai antargenerasi yang akhirnya mempengaruhi perilaku investasi terhadap anak. Pengalaman yang dirasakan ibu saat kecil dari interaksi yang dibangun dengan orang tuanya turut mempengaruhi interaksi ibu dengan anak dalam hal ini berkaitan dengan perilaku
74
investasi orang tua terhadap anak. Selain itu, didapatkan pula fakta bahwa status kesejahteraan keluarga contoh berpengaruh signifikan terhadap perilaku investasi yang dilakukan ibu terhadap anak.
Tabel 38 Ringkasan analisis regresi untuk faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perilaku investasi ibu terhadap anak (n=60 keluarga) Model Variabel 1.
Konstanta
2.
Status kesejahteraan keluarga asal ibu (0=miskin, 1=tidak miskin) Status kesejahteraan keluarga contoh (0=miskin, 1=tidak miskin) Perilaku investasi orang tua terhadap ibu (skor)
3.
4. 5.
Lama pendidikan ibu (tahun)
6.
Pendapatan keluarga (Rp)
7.
Persepsi orang tua tentang nilai ibu (skor) Persepsi ibu tentang nilai anak (skor)
8. 9.
Jumlah anak (anak)
10. Usia ibu (tahun) F R-Square Adjusted R-Square
Unrestricted B 35,437 (9,807)
Β
-0,965 (1,415)
-0,119
3,744 (1,963)
0,464
0,088 (0,139) 0,303 (0,240) -7 4,792x10 (0,000) 0,075 (0,175) 0,034 (0,253) 0,042 (0,494) -0,070 (0,116) 5,032*** 0,475 0,381
0,094
Restricted B 26,989 (7,451)
β
3,758 (0,983)
0,466***
0,210 (0,110)
0,226*
0,203 0,135 0,059 0,019 0,014
0,209 (0,189) -0,332 (0,321)
0,119 -0,109
-0,097 10,343*** 0,429 0,388
Keterangan: B = Koefisien tidak terstandarisasi (standar eror di dalam kurung) Β = koefsisen terstandarisasi *= signifikan pada selang kepercayaan 90% **= signifikan pada selang kepercayaan 95% ***= signifikan pada selang kepercayaan 99
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga Contoh Analisis regresi logistik digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga contoh, yang diukur berdasarkan status tahapan keluarga sejahtera BKKBN. Keluarga yang termasuk dalam kategroi praKS dan KS I dikategorikan sebagai keluarga miskin, sedangkan keluarga pada kategori lainnya digolongkan sebagai keluarga tidak miskin. Variabel-variabel yang dimasukan ke dalam model dan diduga mempengaruhi kesejahteraan keluarga contoh adalah status kesejahteraan keluarga asal ayah (untuk melihat bukti terjadinya transfer kemiskinan), pendidikan ayah, warisan yang diterima
75
ayah, warisan yang diterima ibu, perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu, serta usia ayah. Hasil pengujian menunjukkan bahwa model tersebut secara statistik signifikan (chi square=62,791; p<0,000, df=7). Didapatkan nilai Nagelkerke R Square sebesar 0,862 yang menunjukan hubungan yang kuat antara prediksi dan pengelompokan yang dilakukan. Keberhasilan prediski secara umum sekitar 91,7 persen (90% untuk menjadi miskin dan 93,3% untuk menjadi tidak miskin). Kriteria Wald menunjukkan bahwa variabel yang secara signifikan mempengaruhi status kesejahteraan keluarga contoh adalah status kesejahteraan keluarga asal ayah (p<0,05), lama pendidikan formal yang ditempuh ayah (p<0,05), dan perilaku investasi yang dilakukan orang tua terhadap ibu (p<0,05).
Tabel 39 Ringkasan analisis regresi logistik untuk faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga) Kesejahteraan Keluarga (0=miskin, 1=tidak miskin) B Exp (B) -43,767 0,000
Variabel Independen
1. Konstanta 2. Status kesejahteraan keluarga asal ayah (0=miskin, 1=tidak miskin) 3. Lama pendidikan ayah (tahun) 4. Perilaku investasi orang tua terhadap ayah (skor) 5. Perilaku invetsasi orang tua terhadap ibu (skor) 6. Warisan yang diterima ayah (0=tidak, 1=ya) 7. Warisan yang diterima ibu (0=tidak, 1=ya) 8. Umur ayah (tahun) Chi-square 2 Nagelkerke R Keterangan: *= signifikan pada selang kepercayaan 90% **= signifikan pada selang kepercayaan 95% ***= signifikan pada selang kepercayaan 99%
3,639
38,052*
0,728
2,071*
0,070
1,073
0,419
1,521*
3,222
25,088
1,252
3,499
0,223
1,249 62,791 0,862
Keluarga contoh dengan ayah yang berasal dari keluarga miskin, memiliki peluang 38 kali lebih besar untuk juga berstatus miskin. Sementara itu, semakin lama pendidikan formal yang ditempuh ayah, keluarga contoh akan lebih berpeluang untuk lebih sejahtera. Setiap kenaikan 1 tahun lama pendidikan formal ayah, keluarga contoh berpeluang dua kali lebih besar untuk tidak miskin. Terakhir,
variabel
yang
juga
berpengaruh
signifikan
terhadap
status
kesejahteraan keluarga contoh adalah perilaku investasi orang tua terhadap ibu.
76
Setiap kenaikan satu skor perilaku investasi orang tua terhadap ibu, keluarga contoh berpeluang 1,5 kali lebih besar untuk tidak miskin. Analisis regresi linear berganda juga dilakukan untuk melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi
pendapatan
total
keluarga
contoh
yang
juga
merepersentasekan kesejahteraan keluarga contoh. Terdapat dua model yang dibangun, yaitu unrestricted dan restricted model. Pada model unrestricted, terdapat delapan variabel yang diduga mempengaruhi pendapatan keluarga contoh, yaitu status kesejahteraan keluarga asal ayah, status kesejahteraan keluarga asal ibu, perilaku investasi orang tua terhadap ayah, perilaku investasi orang tua terhadap ibu, lama pendidikan ayah, lama pendidikan ibu, warisan yang diterima ayah, dan warisan yang diterima ibu. Model yang dibangun secara statistik signifikan pada level 0,01 dan memiliki nila R-square sebesar 0,476. Seperti halnya pada model regresi linear berganda lainnya, dilakukan koreksi terhadap model unrestricted agar model yang dibangun memenuhi asumsi model regresi. Karena terjadi multikolinearitas diantara beberapa variabel dependen, maka sebanyak tiga variabel diantaranya dikeluarkan dan tersisa empat variabel pada model restricted. Variabel-variabel yang tersisa adalah: status kesejahteraan keluarga ayah, perilaku investasi orang tua terhadap ibu, lama pendidikan formal yang ditempuh ayah, dan warisan yang diterima ayah. Model restricted yang dibangun juga secara statistik signifikan pada level 0,01 dengan nilai R-square sebesar 0,471. Perubahan nilai R-square yang kecil dan secara statistik tidak berbeda nyata menunjukkan bahwa model restricted yang dibangun sama baiknya dengan model unrestricted dalam menjelaskan faktorfaktor yang memepengaruhi pendapatan keluarga contoh, walaupun beberapa variabel telah dikeluarkan. Lama pendidikan formal yang ditempuh ayah berpengaruh positif nyata terhadap total pendapatan keluarga contoh (p<0,001). Setiap kenaikan satu tahun pendidikan formal yang dijalani ayah, meningkatkan total pendapatan keluarga sebesar Rp122.205,072. Selain lama pendidikan, status kesejahteraan keluarga asal ayah juga berpengaruh positif nyata terhadap total pendapatan keluarga (p<0,05).
77
Tabel 40 Ringkasan analisis regresi untuk faktor-faktor mempengaruhi pendapatan keluarga (n=60 keluarga)
yang
diduga
Model Variabel 1. Konstanta 2. Status kesejahteraan keluarga asal ayah (0=miskin, 1=tidak miskin) 3. Status kesejahteraan keluarga asal ibu (0=miskin, 1=tidak miskin) 4. Perilaku investasi orang tua terhadap ayah (skor) 5. Perilaku investasi orang tua terhadap ibu (skor) 6. Lama pendidikan ayah (tahun) 7. Lama pendidikan ibu (tahun) 8. Warisan yang diterima ayah (0=ya, 1=tidak) 9. Warisan yang diterima ibu (0=ya, 1=tidak) F R-square Adjusted R-square Keterangan:
Unrestricted β
B -2,060E6 (1,645E6) 688109,993 (416970,744)
0,300
69997,437 (297444,070)
0,031
5690,236 (42706,095)
0,025
30236,625 (36533,157) 133425,559 (53596,244) -43589,364 (68367,484) 3634,324 (317092,161) -123212,328 (367178,559) 5,782*** 0,476 0,393
Restricted B -1,665E6 (1,170E6)
β
774714,618 (307503,228)
0,338**
0,115
19984,965 (29337,312)
0,076
0,441
122205,072 (39359,094)
0,404***
-38124,194 (284951,679)
-0,015
-0,103 0,001 -0,037 12,241*** 0,471 0,432
B = Koefisien tidak terstandarisasi (standar eror di dalam kurung) Β = koefsisen terstandarisasi *= signifikan pada selang kepercayaan 90% **= signifikan pada selang kepercayaan 95% ***= signifikan pada selang kepercayaan 99
Pembahasan Dalam tulisan yang berjudul “Konteks dan Sifat/Arah Perubahan di Indonesia Memasuki Transisi Industrial”, dijelaskan bahwa masyarakat Indonesia dipersepsikan sedang mengalami perubahan dari mayarakat yang bercorak pertanian mengarah kepada masyarakat yang lebih industrial (Tjondronegoro 1999). Lebih lanjut dijelaskan bahwa hal tersebut akan berimplikasi pada berubahnya sumber penghasilan penduduk dan kegiatan anggota keluaga dalam mencari nafkah. Menurut Hasansulama (1983), masyarakat desa di Indonesia pada umumnya bercorak pertanian sebagai basis ekonomi utamanya. Hal tersebut
78
didukung dengan data mata pencaharian kepala keluarga asal ayah dan ibu dalam penelitian ini yang didominasi oleh pekerjaan di bidang pertanian. Namun pada keluarga contoh, jenis pekerjaan kepala keluarga di bidang pertanian berkurang hingga lebih dari setengahnya. Pekerjaan kepala keluarga pada keluarga contoh didominasi oleh profesi sebagai buruh pabrik, seiring dengan menjamurnya keberadaan industri di wilayah tempat penelitian di lakukan. Selain merubah jenis pekerjaan, perubahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat juga berimplikasi pada perubahan peran masing-masing anggota keluarga serta turut mempengaruhi besarnya ukuran keluarga (Soediono 1991). Meskipun dalam penelitian ini angka ibu yang bekerja di sektor publik tidak terlalu signifikan, namun perubahan ukuran keluarga jelas terlihat bila dibandingkan antara besar keluarga asal contoh dengan keluarga contoh. Rata-rata jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga contoh hampir setengah dari jumlah yang dimiliki oleh keluarga asal ayah maupun ibu. Hal tersebut diduga disebabkan oleh keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) yang dilakukan oleh pemerintah selama kurun waktu tiga dekade. Menurut Herarti (2004), keberhasilan program KB di Indonesia disebabkan oleh faktor komitmen politik yang kuat dan struktur administrtif yang baik dari pusat hingga level pedesaan. Berkaitan dengan jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga, perlu mempertimbangkan aspek nilai anak (Herarti 2004), yaitu persepsi orang tua mengenai manfaat dan biaya (benefit and cost) dari kehadiran anak dalam keluarga. Menurut Zhang dan Polachek (2007), kebijakan terkait dengan maslah populasi (seperti halnya Keluarga Berencana di Indonesia) dapat mempengaruhi persepsi masyarakat tentang nilai anak. Penelitian Herarti (2004) di Sumedang dan Subang menunjukkan bahwa norma keluarga kecil dengan dua anak sebagai bagian dari program KB telah diadopsi oleh keluarga. Fakta tersebut didukung dengan data dalam penelitian ini terkait dengan rata-rata jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga contoh. Berkaitan dengan nilai anak, dalam penelitian ini dimensi nilai psikologis anak paling menonjol bila dibandingkan dengan dimensi lainnya seperti nilai sosial dan ekonomi baik yang dipersepsikan oleh contoh maupun orang tua contoh. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada tahun 1975 pada orang Sunda, yang juga lebih menekankan pada aspek psikologis atau emosi dari persepsi tentang nilai anak, seperti kebahagiaan dan mempererat hubungan suami istri (Darroch, Meyer, & Singarimbun 1981).
79
Bila dibandingkan, skor persepsi ayah terkait nilai anak lebih tinggi bila dibandingkan dengan skor ibu (walaupun secara statistik skor keduanya tidak berbeda nyata). Menurut Thomson dan Sanchez (1988), perbedaan nilai anak antara ayah dan ibu bisa dianalisis dari perbedaan manfaat dan biaya dari hadirnya seorang anak bagi masing-masing pihak. Dalam penelitian ini, sebagian besar
ibu
berstatus
sebagai
ibu
rumah
tangga
yang
setiap
harinya
berkonsentrasi mengurusi ranah domestik seperti mengurus anak. Sementara itu ayah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja. Ketidak seimbangan pembagian peran untuk mengurus anak tersebut diduga menyebabkan ibu lebih banyak merasakan biaya dari kehadiran anak dibandingkan ayah. Sehingga skor persepsi nilai anak ibu lebih rendah bila dibandingkan ayah. Penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan skor yang nyata diantara kelompok contoh berstatus miskin dengan tidak miskin. Hasil korelasi menunjukkan bahwa status kesejahteraan keluarga contoh berhubungan positif dengan nilai anak. Temuan serupa juga dipaparkan oleh Soeparmanto (1980) dalam penelitian mengenai nilai anak di Madura dan Hartoyo (2003) dalam penelitian nilai anak di Indramayu antara keluarga juragan dengan keluarga buruh (rata-rata skor nilai anak kedua kelompok berbeda namun tidak nyata). Karakteristik keluarga lainnya yang juga berhubungan dengan nilai anak dalam penelitian ini adalah lama pendidikan yang ditempuh baik oleh ayah maupun ibu. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Soeparmanto (1980), Kartino (2005), dan Mulyani (2010). Hal menarik lainnya berkaitan dengan nilai anak adalah tidak terdapat perbedaan yang nyata antara skor persepsi orang tua mengenai nilai ayah dan ibu dengan skor persepsi ayah dan ibu mengenai nilai anak. Selain itu, terdapat hubungan yang nyata dan positif diantara keduanya variabel tersebut. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kedua generasi memiliki persepsi yang sama terhadap nilai anak. Hal tersebut membuktikan terjadinya transfer nilai anak antargenerasi dalam keluarga contoh. Seperti yang dijelaskan oleh Trommsdroff (2002), persepsi ayah maupun ibu mengenai nilai anak merupakan hasil dari interaksi ayah dan ibu sebelumnya dengan orang tuanya masing-masing dalam suatu hubungan orang tua-anak di keluarga asal. Model nilai anak antar generasi yang dikembangkan oleh Trommsdorff (2002) menunjukkan bahwa nilai yang dianut oleh individu – salah satunya nilai anak – mempengaruhi bagaimana hubungan orang tua dengan anak tersebut
80
berlangsung. Salah satu dimensi yang ada dalam hubungan orang tua dengan anak tersebut adalah investasi orang tua terhadap anak. Dengan kata lain, persepsi orang tua mengenai nilai anak mempengaruhi perilaku investasi orang tua terhadap anak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hubungan orang tua-anak yang terjadi pada generasi sebelumnya, akan mempengaruhi hubungan orang tuaanak pada generasi selanjutnya. Artinya, perilaku investasi yang dilakukan oleh orang tua terhadap ayah dan ibu akan mempengaruhi perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak. Hasil penelitian ini mendukung model yang dibangun oleh Tromsdorff (2002) mengenai transfer nilai anak antargenerasi dalam keluarga serta kaitannya dengan perilaku investasi orang tua terhadap anak. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa persepsi ayah terkait nilai anak berpengaruh terhadap perilaku investasi yang dilakukannya terhadap anak. Selain itu, perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak juga dipengaruhi oleh perilaku investasi orang tuanya masing-masing terhadap diri mereka sebelumnya. Penelitian ini juga mencoba membandingkan proses transfer nilai yang telah dijelaskan sebelumnya pada keluarga dengan status kesejahteraan yang berbeda. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam hal nilai anak pada keluarga contoh miskin dan tidak miskin. Namun hasil korelasi menunjukkan bahwa hanya status kesejahteraan keluarga contoh yang berhubungan dengan persepsi ayah dan ibu tentang nilai anak. Sementara status kesejahteraan keluarga asal masing-masing tidak berhubungan nyata dengan persepsi orang tua mengenai nilai ayah dan ibu. Menurut Deacon dan Firebough (1988), nilai berkaitan dengan kriteria utama seseorang yang menentukan proses pengambilan keputusan. Sementara itu. nilai anak merupakan konsep manfaat versus resiko yang dipersepsikan orang tua dari kehadiran seorang anak. Lebih lanjut, Sam (2001) menyatakan bahwa nilai anak merefleksikan motivasi orang tua untuk memiliki dan membesarkan anak. Dengan demikian, skor nilai anak menunjukan seberapa besar motivasi orang tua untuk mengurus dan membesarkan anak. Perilaku investasi orang tua terhadap anak bisa menjadi suatu indikator interaksi orang tua-anak yang dipengaruhi oleh persepsi orang tua mengenai nilai anak. Pengujian hubungan antara skor nilai anak dengan perilaku investasi orang tua terhadap anak pada dua generasi keluarga menunjukkan adanya hubungan positif nyata diantara keduanya. Mengingat skor nilai anak berbeda
81
antara keluarga dengan status kesejahteraan yang berbeda, hal yang sama juga terjadi pada skor perilaku investasi orang tua terhadap anak. Skor perilaku investasi orang tua yang tidak miskin lebih tinggi bila dibandingkan dengan contoh dari keluarga miskin. Didukung dengan hasil regresi linear yang menunjukkan bahwa status kesejahteraan keluarga contoh mempengaruhi perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa status kesejahteraan mempengaruhi perilaku investasi orang tua terhadap anak. Fakta
diatas
mendukung
pernyataan
Rahardjo (2006)
mengenai
permasalahan yang dihadapi golongan miskin terkait konsep investasi sumberdaya manusia. Penerapan konsep investasi membutuhkan adanya sumberdaya, hal yang menjadi kekurangan pada kelompok miskin. Pada kelompok ini, sumberdaya lebih difokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar – yang seringkali juga masih dirasakan kurang memadai. Sebelum membahas lebih lanjut keterkaitan antara kemiskinan dengan perilaku intervensi, akan dibahas terlebih dahulu mengenai fenomena transfer. Dalam konsep transfer kemiskinan antar generasi, kemiskinan terjadi karena tidak adanya atau kurangnya transfer capital dari satu generasi keluarga ke generasi berikutnya. Salah satunya adalah kurangnya atau tidak adanya transfer human capital melalui investasi yang dilakukan orang tua terhadap anak. Hampir seluruh ayah dan ibu pada keluarga contoh memiliki status kesejahteraan yang sama dengan status keluarga asalnya. Bila dikaitakan dengan konsep transfer capital, terlihat perbedaan yang jelas diantara kedua kelompok tersebut. Dari segi lama pendidikan formal yang ditempuh, contoh yang tidak pernah miskin menempuh pendidikan hingga level menengah atas bahkan perguruan tinggi. Sementara kelompok yang selalu miskin sebagian besar hanya menamatkan pendidikan dasar. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa lama pendidikan (terutama ayah) berpengaruh nyata terhadap status kesejahteraan keluarga contoh. Hal tersebut mendukung temuan sebelumnya dari Siregar & Wahyuniarti (2008) dan Chaudry et al. (2010) mengenai efek negatif lama pendidikan terhadap tingkat kemiskinan. Transfer capital juga bisa dilihat dari warisan yang diberikan oleh generasi orang tua kepada ayah dan ibu. Walaupun penelitian ini tidak menganalisis lebih jauh besarnya warisan dan dampaknya terhadap status kesejahteraan, namun dari aspek ada atau tidaknya transfer capital melalui pemberian warisan, terlihat
82
kecenderungan hubungan negatif anatara warisan dengan transfer kemiskinan. Melalui uji korelasi terlihat bahwa warisan, terutama yang diterima oleh ayah berhubungan dengan status kesejahteraan keluarga contoh secara nyata dan positif. Menurut Deolalikar & Singh (1990) diacu dalam Quisumbing (1995). Transfer kekayaan melalui warisan dapat mempengaruhi ketidakmerataan pada generasi selanjutnya, bergantung pada efek warisan tersebut terhadap akumulasi kekayaan seumur hidup. Fenomena menarik yang perlu juga mendapat sorotan adalah sebagian besar keluarga contoh yang tidak mengalami perubahan status dari keluarga pendahulunya, dibentuk dari ayah dan ibu yang memiliki status kesejahteraan yang sama. Keluarga contoh yang saat ini miskin sebagian besar beranggotakan ayah dan ibu yang berasal dari keluarga miskin juga. Sebaliknya, keluarga contoh yang saat ini tidak miskin terdiri dari ayah dan ibu yang berasal dari keluarga yang tidak miskin pula. Artinya, terjadi kecenderungan perkawinan antar pasangan dengan status sosial ekonomi yang sama pada keluarga contoh. Dalam ilmu Sosiologi, hal tersebut dikenal dengan istilah homogamy (Collins & Coltrane 1996). Hanya sebagian kecil ayah dan ibu yang mengalami perubahan status dari generasi pendahulunya – merujuk pada konsep dalam Sosiologi mereka mengalami apa yang disebut dengan mobilitas sosial. Mereka terbagi menjadi dua kelompok: kelompok pertama mengalami penurunan status (terjerumus miskin) dan yang lainnya mengalami kenaikan status (keluar dari miskin). Hal yang menarik adalah fenomena yang menunjukkan bahwa contoh (ayah maupun istri) yang mengalami penurunan status menempuh lama pendidikan hingga tingkat menengah atas – sebanding dengan pendidikan contoh yang tidak pernah miskin pda umumnya. Selain itu, kelompok ini juga mendapatkan warisan dari keluarga pendahulunya. Tentu hal tersebut mencederai pernyataan sebelumnya mengenai efek negatif tingkat pendidikan terhadap kemiskinan dan pengaruh positif warisan terhadap kesejahteraan. Untuk menjelaskan hal tersebut bisa dilihat dari sudut pandang flawed character atau karakter yang cacat (Schiller 2008). Sudut pandang ini melihat individu sebagai pemegang kontrol utama status sosial ekonominya. Mengapa mereka menjadi miskin, penyebabnya karena perilaku mereka yang tidak atau kurang menunjukkan upaya-upaya untuk mendapatkan status sosial ekonomi yang lebih baik. Walaupun orang tuanya telah memberikan transfer capital yang
83
baik bagi diri ayah atau ibu melalui pendidikan dan pemberian warisan, namun bila individunya kurang mampu memanfaatkan hal tersebut dengan baik, hal tersebut menjadi sia-sia. Sementara itu, bukan warisan yang menyebabkan terjadinya kenaikan status pada beberapa contoh (ayah maupun ibu), karena memang mereka berasal dari keluarga dengan status miskin. Pada kelompok ayah yang mengalami hal tersebut, pendidikan yang lebih tinggi terlihat sebagai faktor penyebab keluarnya mereka dari kemiskinan. Sementara itu pada kelompok ibu yang mengalami hal tersebut, pendidikan terlihat bukan merupakan faktor penyebab utama. Bila ditelaah lebih lanjut, ibu yang mengalami kondisi keluar dari kemiskinan menikah dengan ayah yang tidak pernah miskin. Fenomena yang sama juga sebenarnya terjadi pada kelompok ayah, namun dengan status pendidikan yang berbeda dengan ibu yang mengalami kondisi yang sama. Bagi ayah, untuk bisa menikah dengan ibu yang memiliki status kesejahteraan yang lebih tinggi dari dirinya, diperlukan upaya peningkatan karkteristik sosial ekonomi seperti pendidikan. Sementara pada kelompok ibu hal tersebut tidak terjadi. Dengan demikian, ibu cenderung lebih mudah untuk mengalami kenaikan status sosial melalui perkawinan. Chen et al. (2009) menjelaskan fenomena diatas disebabkan karena adanya cinderella effect. Lebih lanjut dijelaskan bahwa psosisi wanita yang diidamkan dalam pasar perkawinan cenderung kurang ditentukan oleh karakteristik sosial ekonomi mereka seperti kekayaan dan pendapatan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa atribut yang menjadi pertimbangan bagi lakilaki dan perempuan dalam memilih pasangan sangat berbeda. Perempuan memberi penekanan pada pendapatan dan pendididikan. Sementara laki-laki pada umumnya mempertimbangkan tampilan pasangannya secara fisik. Menurut Collins dan Coltrane (1996) laki-laki cenderung bersikap dengan berlandaskan perasaan cinta mereka yang terjadi secara spontan dalam mencari pasangan. Sementara itu perkawinan akan sangat menentukan status sosial dan ekonomi kebanyakan wanita, sehingga mereka akan melakukan apa yang disebut “emotion work”. Wanita lebih “mengarahkan” dan “membentuk” perasaan mereka terhadap laki-laki yang dinilai “tepat”. Diluar itu semua, hal terpenting untuk mendapatkan perhatian adalah efek interaksi orang tua-anak terhadap status kesejahteraan keluarga anak selanjutnya. Status kesejahteraan keluarga contoh dipengaruhi oleh investasi
84
yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak, baik melalui pendidikan maupun perilaku investasi orang tua saat anak berusia dini. Hasil tersebut sejalan dengan temuan yang didapatkan oleh Leibowtz (1988), dimana pendapatan seseorang di masa depan ditentukan oleh tingkat pendidikan dan pengalaman yang didapatkan saat kecil. Dengan demikian investasi terhadap anak menjadi determinan status kesejahteraan anak di masa depan. Telah disinggung sebelumnya bahwa konsep investasi sumberdaya manusia ini menjadi suatu permasalahan tersendiri bagi kelompok miskin karena terbatasmya sumberdaya yang dimiliki. Hasil penelitian ini membuktikan hal tersebut, keluarga contoh dengan ayah yang berasal dari keluarga asal berstatus miskin berpeluang 38 kali lebih tinggi untuk juga berstatus miskin. Dua konsep lain tentang kemiskinan (Schiller 2008) mengindikasikan dibutuhkannya peran dari lingkungan luar, terutama pemerintah untuk memberikan kesempatan yang sama kepada keluarga miskin agar mampu melakukan investasi kepada anaknya. Program pengentasan kemiskinan yang ada di Indonesia saat ini telah mengarah pada konsep tersebut, membantu kelompok miskin untuk berinvestasi terhadap anak dalam hal pendidikan dan kesehatan seperti Program Keluarga Harapan (PKH). Namun yang kurang menjadi perhatian adalah tentang kemungkinan adanya flawed character yang tercermin dari budaya kemiskinan. Menurut Moore (2001) budaya kemiskinan tersebut juga turut mempengaruhi terjadinya transfer kemiskinan antar generasi. Hasil temuan Simanjuntak (2010) pada keluaraga penerima PKH di Kecamatan Darmaga pada tahun 2008 hingga 2009 menunjukkan bahwa alokasi bantuan dana untuk investasi tergolong rendah dan peningkatan justru terjadi dalam hal kepemilikan aset. Diperlukan suatu terobosan kebijakan yang mampu mengubah hal tersebut seperti pemberian bimbingan manajemen keuangan bagi keluarga miskin penerima bantuan. Keterbatasan Penelitian Unit analisis dalam penelitian ini adalah dua generasi keluarga, namun informasi mengenai dua keluarga tersebut dalam penelitian ini hanya didapatkan dari keluarga contoh (generasi kedua) karena alasan keterbatasan sumberdaya. Hal tersebut memungkinkan adanya bias dari jawaban yang diberikan, terutama mengenai informasi yang terkait dengan keluarga asal contoh. Selain itu, penelitian ini menyederhanakan status kesejahteraan keluarga asal contoh
85
melalui pengamatan saat contoh berusia dini dan dianggap konstan dari waktu ke waktu, mengabaikan fakta kemungkinan terjadinya dinamika kemiskinan yang terjadi secara internal pada keluarga contoh. Hal tersebut terkait dengan keterbatasan alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga hanya menganalisis terjadinya transfer kapital dari keluarga asal kepada ayah dan ibu dari keluarga contoh sebagai penentu utama status kesejahteraan keluarga contoh, tanpa memperhatikan proses lainnya yang juga turut mempengaruhi keluarga contoh. Selain itu, beberapa proses transfer kapital mungkin masih akan terjadi dan akan berpengaruh berbeda dengan hasil yang dipaparkan saat ini. Misalkan, beberapa contoh yang masih memiliki orang tua memiliki peluang mendapatkan warisan di masa yang akan datang. Karena pada dasarnya perilaku investasi sumberdaya manusia merupakan proses yang terjadi terus menerus sepanjang hidup, dan penelitian ini hanya memfokuskan proses tersebut pada satuan waktu tertentu untuk mempermudah proses analisis.
86
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Analisis pada dua generasi keluarga dalam penelitian ini menunjukkan terjadinya perubahan dalam struktur keluarga terkait dengan perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat. Perubahan tersebut dapat dilihat dari jenis mata pencaharian ayah dan jumlah anak yang dimiliki keluarga. perubahan jenis pekerjaan disebabkan makin berkembangnya industri di lokasi penelitian, sementara perubahan jumlah anak diduga disebabkan oleh keberhasilan program Keluarga Berencana dan internalisasi norma program tersebut di kalangan masyarakat. Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai anak berpengaruh terhadap perilaku investasi orang tua terhadap anak. Kedua variabel tersebut juga dipengaruhi oleh status kesejahteraan keluarga. Artinya pada keluarga yang tidak miskin, investasi yang dilakukan terhadap anak lebih baik dibandingkan keluarga miskin. Penelitian ini menunjukkan bahwa investasi orang tua terhadap anak (pendidikan dan perilaku investasi saat usia dini) juga merupakan determinan status kesejahteraan keluarga anak di masa depan. Karena keluarga miskin kurang bisa memberikan investasi yang memadai, penelitian ini mengindikasikan keluarga contoh yang memiliki ayah dengan status keluarga sebelumnya miskin, berpeluang 38 kali lebih besar untuk juga tetap miskin. Oleh karena itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga yang saat ini miskin berasal terdiri dari ayah dan ibu yang berasal dari keluarga asal yang juga miskin. Sebaliknya, sebagian besar keluarga yang saat tidak miskin beranggotakan ayah dan ibu yang berasal dari keluarga asal yang tidak miskin. Sementara itu, beberapa contoh mengalami mobilitas sosial karena perubahan status kesejahteraan. Pada contoh ayah, hal tersebut lebih disebabkan oleh lama pendidikan yang lebih tinggi. Sementara pada contoh ibu, penyebabnya karena pernikahan dengan pasangan yang lebih sejahtera.
Saran Investasi orang tua terhadap anak, baik melalui pendidikan maupun perilaku investasi pada usia dini, terbukti merupakan determinan status kesejahteraan anak di masa depan. Sementara itu keterbatasan sumberdaya menjadikan kelompok miskin tidak mampu memberikan investasi yang memadai
88
bagi anaknya, sehingga pada kahirnya terjadi fenomena rantai kemiskinan. Oleh karena itu, pemerintah perlu membantu sekaligus mendorong penduduk miskin untuk melakukan investasi terhadap anak, terutama dalam bidang pendidikan melalui pemberian kesempatan yang sama kepada semua pihak. Selain itu perlu diperhatikan mengenai aspek budaya kemiskinan dalam pemberian bantuan agar semakin efektif sesuai dengan tujuannya. Sejumlah penelitian lainnya menyebutkan bahwa migrasi menjadi salah satu upaya meningkatkan kualitas modal manusia dalam diri individu dan variabel tersebut tidak dianalisis dalam penelitian ini. Penelitian selanjutnya diharapkan bisa melengkapi keterbatasan ruang lingkup analisis tersebut. Selain itu, penelitian yang dilakukan pada latar belakang seting sosial ekonomi masyarakat yang berbeda (misal keluarga di perkotaan) akan semakin memperkaya khazanah ilmu pengetahuan terkait masalah transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga. Peningkatan juga perlu dilakukan dalam hal perbaikan metode dan perluasan aspek pengamatan terhadap hal-hal yang belum diamati dan dianalisis dari penelitian ini.
89
DAFTAR PUSTAKA
Anderson E, Hague S. 2007. The impact of investing in children: assesing the cross country econometric evidance. Working Paper 280. London: Overseas Development Institute. [BKKBN]. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2004. Pendataan keluarga: selayang pandang. http://bkkbn.go.id/Webs/DetailRubrik.php?MyID=344 [11 April 2011] [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2009. Kecamatan Cicurug dalam angka. Sukabumi: BPS Kabupaten Sukabumi. . 2010. Profil kemiskinan di Indonesia Maret 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan01jul10.pdf [3 Oktober 2010] . 2009. Statistik Kabupaten Sukabumi 2009. Sukabumi: BPS Kabupaten Sukabumi. http://sukabumikab.bps.go.id/data/ksda/2009/3.1.5.pdf [18 Oktober 2010] Bonke J, Andersen GE. 2009. Parental investment in children: how educational homogamy and bargaining affect time allocation. Odense: University Press of Southern Denmark. Bottema T, Masdjidin S, Madiadipura H. 2009. Family life history as a tool in the study of long-term dynamics of poverty: an exploration. Di dalam: Rusastra, Pasaribu, Yusdja Y. Editor. Land and Household Economy 1970-2005. Bogor: Indonesian Center for Agriculture Socio-Economic and Policy Studies. Bryant WK, Zick CD. 2006. The Economic Organization of the Household, Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press. Chambers R. 1996. Participatory Rural Apraisal: Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Chaudhry IS, Malik S, Hassan A, Faridi MZ. 2010. Does education alleviate poverty? Empirical evidence from Pakistan. IRJFE: Issue 52 (2010). Chen N, Concini P, Perroni C. 2009. Intergenerational mobility of migrants: is there a gender gap? http://www.ecares.org/ecare/personal/conconi$/web/gss.pdf [4 Oktober 2011] Cho Y. (2005). Investment in children’s human capital: implications of PROGRESA. Soul: Korea Development Institute. http:// citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.61.3710&rep.. [26 September 2010] Collin R, Coltrane S. 1995. Sociology of Marriage and The Family: Fourth Edition. Chicago: Nelson-Hall Publishers.
90
[CPRC]. Chronic Poverty Research Center. 2008. Escaping poverty traps. The Chronic Poverty Report 2008-09. http://www.chronicpoverty.org/uploads/publication_files/CPR2_ReportFull. pdf [1 Oktober 2010] Darroch RK, Meyer PA, Singarimbun M. 1981. Two are not enough: The value of children to Javanese and Sundanese parents. Papers of the East-West Population Institute, No. 60-D. Deacon RE, Firebaugh FM. 1988. Family Resource Management: Principles and Application. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Dharmawan et al. 2010. Rencana Riset Kemiskinan Kemiskinan 2010. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Guhardja S. et al. 1992. Diktat Manajemen Sumberdaya Keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Hample K. 2010. Intergenerational transfer of human capital among immigrants families. Illinois: Illinois Wesleyan University. www.iwu.edu/economics/PPE18/3Hample.pdf [16 Oktober 2010] Hartoyo. 1998. Investmenting in children: study of rural families in Indonesia. [Disertasi]. Blacksburg: Virginia Tech University. Hartoyo, Hastuti D. Perilaku investasi pada anak keluarga nelayan dan implikasinya terhadap pengentasan kemiskinan. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Hasansulama MI, Mahmudin E, Sugarda TJ. 1983. Sosiologi Pedesaan. Jakarta: Depdikbud. Haveman R, Wolfe B. 1997. The determinants of children’s attainments: a review of methods and findings. Journal of Economic Literature: Vol. 33 No. 4, 1829-1878. Haynie M, Lalonde RN, Lee N. 2006. Parent-child value transmission among Chinese immigrants to North America: the case of traditional mate preferences. Cultural Diversity and Ethnic Minority Psychology: Vol. 12, No. 2, 230 –244. Herarti R. 2004. Family planning decision-making: case studies in West Java, Indonesia. The 12th Biennial Conference of the Australian Population Association. Hulme D, Moore K, Sheperd A. 2001. Chronic poverty: meanings and analytical frameworks. CPRC: Working Paper 2. Kartino T. 2005. Nilai anak dan kualitas pengasuhan anak usia sekolah pada keluarga nelayan di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
91
Latifah EW. 2010. Analisis persepsi, sikap, dan strategi koping keluarga miskin terkait program konversi minyak tanah ke LPG di Kota Bogor.[Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Leibowitz A. 1982. Home investment in children. Economics of the Family: Marriage, Children, and Human Capital. Editor: Theodore W. Schultz. Chicago: The University of Chicago Press. Moore K. 2001. Frameworks for understanding the intergenerational transmission of poverty and well-being in developing countries. CPRC: Working Paper 8. . 2005. Thinking about youth poverty through the lenses of chronic poverty, life-course poverty and intergenerational poverty. CPRC Working Paper 57. http://www.chronicpoverty.org/uploads/publication_files/57Moore.pdf [1 Oktober 2010] Mulyani SR. 2010. Studi nilai anak, jumlah anak yang diinginkan, dan keikutsertaan keluarga dalam program KB di Desa Bojongrangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Muttaqien. 2006. Paradigma baru pengentasan kemiskinan: rekonstruksi arah pembangunan menuju masyarakat yang berkeadilan, tebebaskan, dan demokratis. Menuju Indonesia Sejahtera. Editor: Rahardjo MD. Jakarta: Khanata Pakpahan YM, Suryadarma D, Suryahadi A. 2009. Destined for destitution: intergenerational poverty persistence in Indonesia. Jakarta: SMERU Research Institute. http://www.smeru.or.id/report/workpaper/intergenpoverty/intergenpoverty. pdf [26 September 2010] Permatasari D. 2010. Pengaruh persepsi pendidikan dan nilai anak terhadap alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Puspitawati H, Sarma M, Hartoyo, Latifah M, Herawati T. 2009. Survei Kepuasan Terhadap Pelayanan Pendidikan Dasar yang Disediakan Oleh Sistem Desentralisasi Sekolah. Kerjasama LPPM-IPB dan ADB-PRMAP BAPPENAS. Quisumbing AR. 1995. The extended family and intrahousehold allocation: Inheritance and investment in children in the rural Philippines. FCND Discussion Paper No. 3. Rahardjo MD. 2006. Menuju Indonesia Sejahtera: Upaya Konkret Pengentasan Kemiskinan. Jakarta: Khanata Rusastra IW, Napitupulu TA. 2008. Karakteristik wilayah dan keluarga miskin di pedesaan: basis perumusan intervensi kebijakan. Di dalam: Yusdja et al.,
92
editor. Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Salim E. 1974. Masalah Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI. Sam DL. 2001. Value of children: effects of globalization on fertility behavior and child-rearing practices in Ghana. Research Review NS 17.2 (2001) 5-16. Sayogyo. 1977. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Bogor: LPSP, IPB. Schiller BR. 2008. The Economics of Poverty and Discrimination. New Jersey: Prantice Hall. Schultz TW. 1981. Investing in People: The Economics of Population Quality. Berkeley: University of California Press. Sen AK. 1999. Investing in early childhood: its role in development. Breaking The Poverty Cycle: Investing in Early Childhood. Paris: Inter-American Development Bank Simanjuntak M. 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga dan prestasi belajar anak pada keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH). [Tesis]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Siregar H, Wahyuniarti D. 2008. Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Di dalam: Yusdja et al., editor. Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Siregar H. 2006. Perbaikan struktur dan pertumbuhan ekonomi: mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja. Jurnal Ekonomi Politik dan Keuangan. Jakarta: INDEF. Sitepu RK. 2007. Dampak investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soeparmanto P. 1980. Perception of the value of children by parents in relation to fertility among the Maduran People in Kamal, Bangkalan Regency, Madura. SEAPRAP Research Report No. 78. Suckow J, Klaus D. 2002. Value of children www.iwu.edu/economics/ [4 Oktober 2010]
in
six
cultures.
Sunarti E. 2008. Naskah Akademik: Indikator Keluarga Sejahtera. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Syafrian D. 2009. Kemiskinan struktural: peran dan kegagalan negara. http://dzulfian.myblogrepublika.com/index.php/tag/standar-kemiskinan/ [21 Februari 2010]
93
Syarif H. 1997. Membangun Sumberdaya Manusia Berkualitas: Suatu Telaahan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: GMSK, IPB. Taubman P. 1996. The roles of the family in the formation of offsprings’ earnings and income capacity. Household And Family Economics. Editor: Menchik PL. Boston: Kluwer Academic Publisher. Tjondronegoro SMP. 1999. Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud. Trommsdorff G. 2002. Value of children and intergenerational relations: A crosscultural study. Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia Bulletin 1 (2002). pp. 6-14. Urip S. 2008. Perkembangan jumlah pendudk miskin dan faktor penyebabnya. Di dalam: Yusdja et al., editor. Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Wagle U. 2008. Multidimensional Poverty Measurement: Concepts and Applications. New York: Springer Widyanti W, Suryahadi A, Sumarto S, Yumna A. 2009. The relationship between chronic poverty and household dynamics: evidence from Indonesia. Jakarta: SMERU Research Institute. World Bank. 2004. Reducing poverty. Jakarta: World Bank. World Bank. 2004. Reducing poverty. Jakarta: World Bank. . 2010. Human development index: Indonesia. http://hdrstats.undp.org/en/countries/profiles/IDN.html [1 Desember 2010]
95
LAMPIRAN
96
97
Lampiran 1: Daftar pertanyaan kuisioner KRAKTERISTIK KELUARGA CONTOH DAN KELUARGA ASAL o Identitas keluarga (nama, hubungan antar anggota keluarga, umur, lama pendidikan) o Pekerjaan dan pendapatan anggota keluarga (untuk keluarga asal pekerjaan ditanyakan berdasarkan bidang, pertanian atau non pertanian dan pendapatan berdasarkan stabilitasnya, stabil atau tidak stabil per bulan)
PERSEPSI ORANG TUA TERKAIT NILAI ANAK o Nilai psikologis -
Anak memperkuat hubungan suami-istri
-
Persepsi kehadiran anak sebagai beban keluarga
-
Anak sebagai sumber stress
-
Anak sebagai jaminan rasa aman hari tua
-
Anak sebagai sumber kepuasan
o Nilai sosial -
Anak sumber penghargaan keluarga di mata masyarakat
-
Keharusan dalam memiliki anak bagi keluarga
-
Pendidikan anak dan penghargaan masyarakat bagi keluarga
-
Perilaku anak dan nama baik keluarga
-
Kekhawatiran akan perilaku anak
o Nilai ekonomi -
Kuantitas anak dan besar tanggungan keluarga
-
Anak dan kontribusi ekonomi bagi keluarga
-
Persepsi terkait pembiayaan anak
-
Kemauan meluangkan waktu untuk mengurus anak
-
Anak dan tugas rumah tangga
PERILAKU INVESTASI AYAH DAN IBU TERHADAP ANAK o Perilaku alokasi waktu -
Memandikan anak
-
Menyiapkan sarapan
-
Mendampingi anak makan
98
-
Mengajak anak memasak
-
Mengajak anak bersosialisasi
-
Membawa anak ke posyandu
-
Merawat saat anak sakit
-
Mengajak anak ke pengajian atau kegiatan ibadah lain
-
Mengajak anak olahraga
-
Mencuci rambut anak secara teratur
o Perilaku alokasi uang -
Menyediakan makanan pokok yang bergizi untuk anak
-
Menyediakan buah untuk anak
-
Menyediakan susu untuk anak
-
Membawa anak ke dokter atau fasilitas kesehatan lain saat sakit
-
Membelikan mainan sesuai umur
-
Menabung untuk pendidikan anak
-
Menyediakan obat di rumah
-
Menyediakan kayu putih dan bedak
-
Memberikan uang jajan setiap hari
-
Membelikan vitamin
FAMILY LIFE HISTORY o
Jenis pekerjaan dan stabilitas pendapatan yang didapat per bulan
o
Status kepemilikan rumah dan konsisi rumah dibandingkan dengan rumah lainnya di lingkungan sekitar
o
Kepemilikan lahan pertanian
o
Kepemilikan hewan ternak (kerbau, sapi, kambing, atau domba)
WARISAN o
Satus penerimaan warisan oleh contoh (berupa rumah, tanah, uang, atau hewan ternak)
PERILAKU INVESTASI ORANGTUA TERHADAP AYAH DAN IBU (SAAT KEDUANYA BERUSIA BALITA) o Perilaku alokasi waktu -
Memandikan ayah atau ibu
-
Menyiapkan sarapan untuk ayah atau ibu
99
-
Mendampingi ayah atau ibu makan
-
Mengajak ayah atau ibu memasak
-
Mengajak ayah atau ibu bersosialisasi
-
Membawa ayah atau ibu ke posyandu
-
Ada waktu khusus untuk saling bercengkrama
-
Membacakan cerita sebelum tidur
-
Berolahraga bersama
o Perilaku alokasi uang -
Menyediakan makanan pokok yang bergizi untuk ayah atau ibu
-
Menyediakan buah untuk ayah atau ibu
-
Menyediakan sandal untuk bermain
-
Membelikan pakaian baru saat lebaran
-
Membawa ke dokter saat sakit
-
Memberi hadiah atau ucapan selamat saat ulang tahun
-
Menyediakan kayu putih dan bedak
-
Memberikan uang jajan setiap hari
-
Membelikan vitamin
100
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 9 Agustus 1989 dari pasangan Engkos Kosasih dan Enung Nurhayati (alm). Penulis merupakan anak ke empat dari empat bersaudara, penulis memiliki dua orang kakak laki-laki dan satu orang kakak perempuan. Penulis tinggal di Cicurug, Kabupaten Sukabumi, tempat dimana penulis tumbuh dan dibesarkan. Pendidikan dasar diselesaikan penulis di SD Negeri Cisaat 2 pada tahun 2001. Penulis kemudian mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikan di SMP Internat Al Kausar dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan menengah dilanjutkan di SMA Negeri 1 Cibadak hingga tahun 2007. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, diantaranya: Koran Kampus IPB sebagai reporter (2007-2008), anggota dari Forum for Scientific Study (FORCES) (2007-2008), Koran Kampus IPB sebagai redaktur pelaksana 2 (2008-2009), staf HRD HIMAIKO (2008-2009), Pimpinan Umum Koran Kampus IPB (2009-2010), dan sekretaris English Club HIMAIKO (2009-2010). Penulis pernah juga menjadi asisten praktikum untuk beberapa mata kuliah seperti Perilaku Konsumen (2009-2012), Sosiologi Umum (2009-2010), dan Manajemen Sumberdaya Keluarga (2011-2012). Penulis merupakan salah satu grantee dalam program Indonesian English Language Study Program (IELSP) batch 7, program belajar intensif Bahasa Inggris selama dua bulan di University of Arizona, Amerika Serikat pada tahun 2010. Penulis juga pernah menjadi juara I Sineaste Award, kompetisi film domumenter pertanian pada tahun 2010. Prestasi lainnya yang pernah ditoreh oleh penulis antara lain: Juara III essay writing competition yang diselenggarakan Yayasan Anak Bangsa pada tahun 2009, Juara I lomba Koran kecil Journalistic Fair 2008, Mahasiswa Berprestasi Departemen IKK tahun 2010 dan 2011, Mahasiswa berprestasi II Fakultas Ekologi Manusia tahun 2011, Mahasiswa berprestasi Karya Salemba Empat IPB 2011, dan dua kali mendapatkan pendanaan untuk Program Kreativitas Mahasiswa (2009 dan 2011).
102