PERMAINAN SEBAGAI SARANA TRANSFER NILAI MULTIKULTUR PADA ANAK Wahyuni Kristinawati, M.Si., Psi. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana
[email protected] Anak adalah masa emas pembentukan kepribadian sekaligus penanaman nilai kehidupan, sehingga kesempatan untuk bergaul dengan rukun dalam lingkungan yang majemuk akan menjadi kesempatan yang bermakna dalam kehidupannya karena anak belajar untuk menerima perbedaan dan mengembangkan identitas diri yang kuat.Tulisan ini ditulis berdasar pengamatan dalam kegiatan anak-anak lintas iman dalam forum Kita Beda Kita Sama (KBKS). Hasil observasi menunjukkan bahwa permainan merupakan sarana yang cukup efektif dalam membangun komunikasi antar kultur, namun permainan bukanlah merupakan satu-satunya sarana. Akhirnya dalam proses membangun komunikasi antar kultur muncul kesadaran bahwa dialog verbal harus pula dimunculkan. Selanjutnya orang tua sebagai agen penting bagi anak harus pula lebih intensif dilibatkan dalam penanaman nilai multikultur ini.
A. Latar belakang Siapapun tidak dapat mengingkari bahwa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang majemuk. Masyrakatnya terdiri dari berbagai etnik, agama, ras, dan kelompok yang berbeda. Pada sebagian masyarakat harmonisasi atas keberbedaan itu dapat dicapai, namun pada sebagian masyarakat yang lain harmoni justru harus diawali dengan pertentangan, bahkan pertumpahan darah dan berbagai jenis pengorbanan. Berbagai konflik antar suku, agama, dan ras, pernah menjadi catatan sejarah bangsa Indonesia, antara lain kerusuhan agama
di
Situbondo, Tasikmalaya, Rengasdengklok dan daerah Jawa lainnya (Suseno dalam Syam, 2009), konflik antar etnik di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Maluku, dan Poso, dan juga teror atas nama agama. Penelitian di Kalimantan Barat yang dilakukan oleh tim dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menemukan bahwa konflik antara orang Melayu, Madura, dan Dayak tidak disebabkan oleh perbedaan motivasi antar etnik, hal ini berlawanan dengan hipotesis penelitian, karena ketiga suku ternyata memiliki urutan nilai motivasi yang sama pada ranking 1-4 yaitu konformitas, keamanan, baik hati, dan universalisme. Disimpulkan bahwa konflik antar ketiga etnik terjadi lebih pada lingkungan hidup mereka yang terisolasi secara geografis maupun budaya sehingga seluruh nilai motivasi lebih ditujukan kepada kelompok etnik mereka sendiri daripada menyeberang kelompok etnik lain (Sarwono, 2006).
1
Hasil penelitian Sarwono di atas memberi rujukan bahwa kesempatan untuk bergaul dengan komunitas yang berbeda dengan dirinya akan mengurangi potensi konflik antar kelompok. Pemahaman lintas budaya merupakan tonggak penting bagi masyarakat multietnik yang sehat, di mana setiap orang sadar akan perbedaan dan menghargai perbedaan itu. Pemahaman lintas budaya merupakan kemampuan seseorang untuk memahami perbedaan dan sadar akan adanya perbedaan budaya, serta mampu menerima adanya perbedaan itu. Pada hakekatnya mengurangi prasangka sama artinya dengan menumbuhkan pemahaman lintas budaya. Menumbuhkan pemahaman lintas budaya dan upaya-upaya mengurangi prasangka lainnya, bisa dilakukan di segenap aspek kehidupan, dimulai dari keluarga, lingkungan pertetanggaan, sekolah, organisasi, dan masyarakat secara lebih luas, dengan demikian kompleksitas dan kemajemukan diakui sebagai sebuah potensi konflik namun sesungguhnya juga sebuah kekuatan menuju pertumbuhan individu dan kelompok. Demi mencapai pemahaman tersebut, pendidikan multikultur pada anak merupakan salah satu cara yang perlu ditempuh. Pendidikan multikultur dikatakan sebagai pendidikan yang bersifat humanisasi-bukan hanya sosialisasi, dengan cara membantu anak didiknya; bukan hanya untuk menjadi warga negara yang baik tetapi juga manusia yang memiliki integrasi antara kapasitas dan sensibilitas intelektual, moral, dan merasa betah dalam dunia manusia yang kaya dan beranekaragam (Parekh, 2008). Pendidikan multikultur bertujuan melatih kemampuan anak untuk menerima keberbedaan sebagai sesuatu yang wajar. Dalam kesadaran ini anak menjadi lebih mampu untuk menerima dengan antusias teman-teman yang memiliki keyakinan yang berbeda maupun yang sama dengannya, suku yang berbeda maupun yang sama dengannya. Bagi kelompok minoritas (misal anak Muslim yang bersekolah di sekolah Kristen) penerimaan ini akan mendukung rasa percaya diri dan membuat lebih mudah yakin bahwa kelompok yang kuat memiliki ketulusan kepada kelompoknya sehingga lebih mudah untuk bersepakat daripada bertikai. Hal ini membentuk harmonisasi karena mereka lebih bebas memberi dukungan satu dengan yang lain bahkan merasa bangga terhadap komunitasnya dengan cara yang merdeka tanpa menekan pihak lain. Meski demikian, perlu diingat bahwa prinsip kesetaraan muncul jika dua pihak atau lebih memperoleh kesempatan dan hak yang sama, mendapat perlakuan yang setara, dan kalaupun ada perlakuan yang berbeda, perlakuan itu dapat dibenarkan oleh keadaan masing-masing.
2
Pendidikan multikultur memberi peluang lebih besar bagi seseorang untuk menjadi lebih sehat secara mental, namun karena subjek dari intervensi adalah anak, maka metode yang digunakanpun harus pula merujuk pada kondisi anak. Transfer nilai multikultur yang terjadi dalam upaya pendidikan multikultur pada anak haruslah menggunakan cara yang menyenangkan dan bisa diterima oleh anak, antara lain dalam bentuk permainan dengan anak-anak lain yang memiliki latar belakang yang beragam baik dalam hal tingkat sosial ekonomi, agama, dan suku.
B. Rumusan masalah Berdasar latar belakang tersebut, tulisan ini mengulas bagaimana permainan dapat menjadi sarana transfer nilai multikultur pada anak.
C. Metode Pengambilan Data Tulisan ini didasarkan pada pengalaman/keterlibatan langsung penulis pribadi, wawancara informal dengan pendamping anak, dan pengamatan (secara langsung dan dokumentasi foto) dalam beberapa kegiatan, yaitu: 1. Kegiatan bertema Ketupat Persahabatan pada bulan November 2007. Acara ini berisi, simulasi silaturahmi dengan sasaran mengenal tradisi perayaan hari raya Idul Fitri (termasuk simulasi Shalat Ied). 2. Kegiatan mengenal tradisi Natal bertema Cemara Kasih pada bulan. Januari 2008. Acara ini dilengkapi dengan pertunjukan Wayang Beber yang mengisahkan tentang kelahiran Tuhan Yesus di Padepokan Sanggar Ngesti Rahayu – Randuares, Kumpulrejo. 3. Pada tanggal 17 Mei 2009 bertempat di Pesantren Edi Mancoro, Gedangan-Tuntang, Kab. Semarang diadakan acara, ”Dolanan Bareng ning Pesantren” dengan kegiatan buka puasa dan permainan. 4. Kegiatan ”Dolan bareng polisi” pada tanggal 18 Juli 2009 yaitu kesempatan anak memiliki pengalaman langsung dengan Polisi di Kepolisian Resort Salatiga, mengenal siapa dan apakah pekerjaan mereka dan bermain bersama polisi dan teman-temannya. Semua kegiatan di atas adalah sebagian dari kegiatan anak-anak lintas iman dalam forum Kita Beda Kita Sama (KBKS), sebuah forum lintas SARA dengan visi menabur benih kesadaran dan penerimaan terhadap perbedaan untuk mencapai harmoni sejak usia dini.
3
KBKS diprakarsai oleh beberapa lembaga antara lain Lembaga Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan: www.percik.or.id, Gereja Kristen Jawa Salatiga, Pesantren Edi Mancoro di Kab.Semarang, dan Kelompok Belajar ”Cemara” di Salatiga. Anak-anak yang terlibat dalam kegiatan tersebut di atas berjumlah 30-50 anak dengan rentang usia 4 – 14 tahun, namun didominasi usia sekolah dasar. Selain variasi terkait usia, agama anak juga beragam yaitu Kristen, Katolik, dan Muslim (sebagian besar anak perempuan muslim menggunakan kerudung), dari suku Jawa (mayoritas), Cina, Sangir, dan campuran berbagai suku termasuk campuran Jawa-Australia. Tingkat sosial ekonomi anak juga beragam yang digambarkan dengan sebagian datang ke lokasi pertemuan dengan angkutan kota, mobil pribadi, maupun berjalan kaki.
D. Hasil dan pembahasan Sebagai bangsa yang majemuk, perbedaan tata nilai dan paradigma di antara masyarakat merupakan hal yang wajar terjadi. Di Indonesia, terdapat keyakinan pada suatu kelompok masyarakat bahwa sekolah dan negara berkewajiban mendorong individu (termasuk anak) untuk memiliki kebanggaan sebagai warga masyarakat dengan ’identitas nasional’ yang kuat dan kental. Ada juga yang beranggapan bahwa seharusnya pendidikan memberi dorongan kepada siswa untuk bangga akan dirinya sendiri, termasuk budaya dan etnis, agama, dan latar belakangnya. Ada kesamaan antara keduanya yaitu terjadi pembatasan lingkungan pertumbuhan dan ingin mempertahankan kelompoknya sendiri, baik bangsa, maupun suku atau agama, yang lebih dikenal dengan sebutan pendekatan monokultural. Pendekatan monokultural mengajarkan pada anak untuk menjadi bangga dan mempertahankan identitasnya sebagai bagian dari lingkungannya, tetapi di sisi lain pendekatan ini memiliki risiko lebih besar karena individu tidak memiliki rujukan pengalaman untuk menerima keberbedaan (Parekh, 2008). Tanpa toleransi, muncul kesulitan untuk memiliki empati, dan tanpa empati konflik dalam masyarakat akan mudah terpicu oleh stimulus netral sekalipun sebab pendidikan tolerensi dan empati dapat memperhalus kepekaan anak dan setiap individu untuk memahami dirinya sebagai bagian kecil dari sistem sosial yang lebih besar: keluarga, teman, masyarakat, bangsa, dunia. Sebaliknya pendidikan multikultural memberi kesempatan anak untuk memahami berbagai keberbedaan budaya, misalnya pengenalan suasana pesantren bagi anak-anak
4
Kristen atau anak Suku Sangir atau keturunan Australia yang belum pernah mengenal pesantren sebelumnya. Mereka diijinkan untuk mengerti (meski mungkin tidak memahami) kehidupan berbagai agama, dan berinteraksi dengan berbagai latar belakang teman sebaya, yang kemudian akan menolong ia dalam memahami diri secara lebih baik dan mampu menemukan jalan di antara bermacam-macam komunitasnya. Dalam proses yang demikian ini, sejak awal anak-anak sudah ditanamkan nilai-nilai untuk tidak saling berprasangka dan menghilangkan kecurigaan di dalam keberbedaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengembangan model pendidikan berbasis multikultural dapat menjadi salah satu metode efektif meredam konflik antar agama, suku, dan ras. Selain itu, pendidikan multikultur bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antar golongan (Tilaar dalam http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=3197). Proses multikulturisasi sebuah budaya dan kemunculan tradisi-tradisi baru saling berhubungan erat dan saling memperkuat satu sama lain. Seorang anak peserta kegiatan pernah bertanya kepada ibunya apakah benar dirinya akan masuk neraka karena pergi ke gereja dan pada akhirnya ia mengerti bahwa pada awalnya teman-temannya yang member pernyataan itu bahkan tidak mengetahui seperti apa gereja itu seperti halnya ia tidak pernah mengenal tentang pesantren dan sholat. Didasari rasa ingin tahu, rasa kagum,
ketidakpahaman, satu sama lain saling bertanya dan saling
merangsang pendapat, dan dengan demikian saling meminjamkan, memperluas pandangan, dan melangsungkan perubahan kecil maupun besar (Parekh, 2008). Maka, permainan memungkinkan digunakan sebagai sarana tranfer nilai multikultur pada anak karena pada dasarnya bermain bagi anak memberi kontribusi pada semua arena perkembangan. Melalui permainan yang dilakukannya, anak menstimulasi indra-indranya: penggunaan tangan, korordinasi mata dan gerak, dan memperoleh ketrampilan baru (Papalia, Olds, dan Feldman, 2001), termasuk ketrampilan sosial. Melalui permainan anak mengembangkan emosi dan perilaku prososial dalam kelompok sosialnya. Dalam relasi sosial ini ia belajar menyadari ’culture rules’ bagi ekspresi emosi yang sesuai, dan belajar mengenali kebiasaan atau perilaku orang lain yang mungkin berbeda dengan dirinya. Jenis-jenis aktivitas dan permainan yang dilakukan dalam berbagai kegiatan KBKS adalah menggambar, permainan kerjasama (misal: adu cepat membentuk kereta api dari formasi 4 anak, membentuk lampu lalu lintas dalam formasi 3 anak), dan permainan yang
5
memungkinkan relasi sosial dengan anak-anak lain (misal: simulasi silaturahmi).
Merujuk
pendapat Parten (dalam (Papalia, Olds, dan Feldman, 2001) aktivitas ini disebut associative play dan cooperative play. Sesuai tujuan konsep kegiatan, tidak satupun aktivitas yang memungkinkan anak bermain soliter atau bahkan paralel. Sedapat mungkin anak terlibat dan berbaur dengan sebanyak mungkin anggota kelompok yang lain. Misal dalam kegiatan menggambar, gambar yang dihasilkan adalah hasil kerja kelompok kecil yang diacak terdiri dari anak-anak berbagai latar belakang. Hasil pengamatan yang dilakukan dalam beberapa kegiatan menunjukkan bahwa anak sangat antusias dengan kegiatan dan permainan yang dilakukan, hal ini dikonfrimasi pula oleh pendamping anak dari kelompok belajar ”Cemara” bahwa beberapa anak menantikan pertemuan berikutnya. Selanjutnya ditemukan bahwa usaha untuk melakukan aktivitas lintas kelompok dalam permainan dapat tercapai namun masih sebatas dalam permainan tersebut saja. Pada proses-proses awal ini masih ditemui anak-anak yang belum merasa bebas untuk berbaur dengan anak di luar kelompoknya. Ketika anak berada dalam area bebas, sebagian besar anak masih lebih memilih kelompoknya sendiri: anak dari GKJ berkumpul dengan anak GKJ, anak dari pesantren berkumpul dengan anak dari pesantren, beberapa anak berbeda suku berbaur jika mereka memang telah mengenal dengan baik sebelum kegiatan. Deskripsi proses tersebut menunjukkan bahwa permainan berhasil memfasilitasi anak untuk tertarik datang dalam kegiatan dan dengan demikian bertemu dengan anak-anak dengan berbagai latar belakang. Kesempatan untuk menunggu teman muslim selesai mengambil air wudhu dan sholat sebelum berbuka puasa menolong anak Kristen untuk peka dan toleran dengan kebiasaan (mewakili keyakinan) agama lain. Demikian pula dalam mendengar cerita wayang tentang kelahiran Yesus menolong anak Muslim untuk tidak terlalu merasa aneh dengan kisah Tuhan yang menjadi manusia, yang diperkuat dengan permainan antara dua kelompok anak. Keceriaan dalam bermain akhirnya mempertipis kesenjangan di antara anak-anak, tidak hanya batas agama namun juga suku dan tingkat sosial ekonomi. Hal ini sesuai dengan rujukan Parekh (2008) bahwa pendidikan yang baik harus memperhadapkan anak tentang konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang hidup sukses, sistem keyakinan, dan bentuk kosneptualisasi pengalaman-pengalaman umum, dan mengajak anak memasuki semangat budaya lain, melihat dunia dengan cara lain, dan menghargai segala kekuatan dan keterbatasannya. Hubungan yang terjalin antar kelompok, dalam KBKS hal ini
6
difasilitasi oleh kegiatan bermain, secara teoritis diyakini mengurangi prasangka dan menghasilkan sikap antar kelompok dan streteotip yang lebih positif (Manstead dan Hwestone dalam http://psikologi-online.com/mengurangi-prasangka-etnik). Selanjutnya ditemukan bahwa pengkondisian merupakan hal yang penting bagi anak, nampak bahwa saat anak tidak dalam situasi bermain, mereka cenderung kembali melibatkan diri dengan kelompoknya semula dan tidak mempertahankan dirinya berbaur dengan kelompok lain. Pemilihan kelompok berdasar kesamaan memang diketahaui sebagai kecenderungan anak. Penelitian Hamm (2000) pada remaja Amerika-Asia, remaja AmerikaEropa, dan remaja Amerika-Afrika melaporkan bahwa kesamaan dalam hal penggunaan zat, orientasi akademis, dan identitas kesukuan meningkatkan pemilihan teman. Fenomena yang terlihat di dalam kegiatan KBKS bahwa sebagian besar anak masih berkumpul dengan kelompoknya menunjukkan bahwa masih diperlukan berbagai cara untuk meningkatkan kesamaan (similarity) di dalam perbedaan antar mereka, misalnya persamaan hobi, lokasi tempat tinggal, daripada perbedaan suku, agama, atau tingkat ekonomi. Selanjutnya kegiatan ini tidak melibatkan semua orang tua dari anak, dan ada pendamping yang meminta orang tua supaya mengijinkan anak dengan alasan ”anak akan bermain dengan teman-teman di kantor polisi” dan tidak dengan terbuka menyatakan bahwa anak akan beraktivitas bersama anak-anak berbagai suku, agama, dan sosial ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa ada asumsi bahwa orang tua tidak dianggap siap untuk menerima keberbedaan dan kesetaran antara kelompok, namun sejauh ini tidak pernah dilakukan upaya khusus untuk mengundang orang tua untuk saling berdialog.
E. Kesimpulan dan Saran Transfer nilai multikultur selayaknya dilakukan pada usia sedini mungkin, sehingga sejak dini anak mampu menginternalisasi nilai kesetaraan dalam perbedaan dan dengan demikian ikut menambah energi pribadinya untuk semakin peka dan toleran. Permainan merupakan salah satu sarana untuk melakukan transfer nilainya. Meski semangat untuk berbaur dan menerima kelompok lain belum sepenuhnya terjalin dalam pertemuan dalam forum KBKS, namun anak memiliki kesempatan mengenal kelomopok-kelompk yang berbeda dari dekat, hal ini diyakini akan mengurangi prasangka yang potensial muncul antar kelompok. Sebagai salah satu sarana, permainan hendaknya tidak berdiri sendiri debagai kegiatan tunggal.
7
Diperlukan pula percakapan terbuka dengan anak terkait tema-tema penerimaan, toleransi, dan saling menghormati sehingga sarana tranfer nilai tidak terbatas ada kegiatan permainan saja. Demikian juga orangtua sebagai significant others bagi anak karena anak menghabiskan lebih banyak eaktu di rumah dari pada dalam forum KBKS, perlu pula difasilitasi untuk turut serta melakukan transfer nilai ini.
Daftar Pustaka Hamm, H.V. 2000. Do birds of feather flock together? The variable bases for African American, Asian American, and European American adolescents’ selection of similar friends. Journal of Developmental Psychology. Vol 36, N0. 2, 209-219. American Psychological Association. Manstead dan Hwestone dalam http://psikologi-online.com/mengurangi-prasangka-etnik diunduh tanggal 22 Maret 2010. Papalia D.E., Olds, S.W., dan Feldman, R.D. 2001. Human development. Boston: McGraw Hill Inc. Parekh, B. 2008. Rethinking multikulturalism, keberagaman budaya dan teori politik. Terj.: Bambang Kukuh Adi. Yogyakarta: Kanisius. Sarwono, S.W. 2006. Psikologi prasangka orang Indonesia, kumpulan studi empirik prasangka dalam berbagai aspek kehidupan orang Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Syam, Nur. Tantangan multikulturalisme Indonesia, dari radikalisme menuju kebangsaan. Yogyakarta: Impulse. Tilaar, HAR. Pendidikan multikultural tanamkan sikap menghargai keberagaman dalam htpp://www.atmajaya.ac.id diunduh tanggal 15 September 2009.
8