TRADISI PERKAWINAN BADUY LUAR DENGAN BADUY DALAM (Studi Kasus Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh: AYI RUKMANA NIM 1112044100031
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 M/ 1438 H
5
ABSTRAK Ayi Rukmana 1112044100031, Tradisi Perkawinan Baduy Luar Dengan Baduy Dalam (Studi Kasus Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten) Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437/2016 x + 97 halaman. Studi ini bertujuan untuk menjelaskan tentang tradisi perkawinan Baduy Luar dengan Baduy Dalam dan interaksi Islam, adat dan hukum dalam masyarakat Sunda Wiwitan serta penerimaan hukum Islam. Secara metodelogis, penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Dengan menggunakan pendekatan etnogerafi, yang mana mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat, locus penelitian di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Labak Banten Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara : 1. wawancara kepada para pihak terkait atau narasumber yang dapat memberikan informasi terkait dengan penelitian yang peneliti bahas. 2. Observasi participant dengan cara peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mengetahui langsung bagaimana tradisi perkawinan Baduy Luar dengan Baduy Dalam Sumber data yang peneliti ambil dari berbagai sumber, data primer berupa wawancara dengan pihak-pihak terkait yang dapat memberikan data yang di butuhkan oleh peneliti, sedangkan data sekunder berasal dari karya-karya peneliti yang berkaitan dengan perkawinan Baduy Luar dengan Baduy Dalam Berdasarkan penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa perkawinan masyarakat Baduy dilakukan dengan tiga tahap lamaran dan selalu di jodohkan. Namun berbeda dengan masyarakat Baduy Panamping ada yang di jodohkan ada pula yang memilih sendiri calon pasangan nya dengan syarat persetujuan kedua belah pihak, namun unik nya perkawinan di Baduy Panamping bukan hanya dilaksanakan secara adat saja. Namun juga di lakukan di hadapan petugas pencatat perkawinan. Oleh karena itu banyak nya orang Baduy Panamping yang menikah dengan orang luar Baduy atau non Baduy, dengan kosekwensi harus keluar dari keadatannya. Dalam menjalani kehidupan seharihari, masyarakat Baduy juga tidak terlepas dari interaksi sosial antara masyarakat Baduy dengan masyarakt luar. Yang notabenenya mereka menganut keyakinan yang berbedam namun hidup dengan secara berdampingan, dan itu di buktikan dengan adanya pemukiman Baduy Muslim di Cicakal Girang.
Kata Kunci Pembimbing Daftar Pustaka
: Tradisi Perkawinan Baduy Luar Dengan Baduy Dalam : Dr. H. Abdul Halim, M.Ag :Tahun 1993 s.d. Tahun 2015
6
KATA PENGATAR
Puji dan sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Sang creator kehidupan, yang maha hidup lagi maha pintar. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua bapak H. Itok Rusmita dan Ibu Hj, Yulyana yang telah memberikan semangat dan motivasi untuk terus belajar dan menyelesaikan studi, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih saying-Nya kepada mereka. Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun sukur alhamdulilah berkat rahmat dan rida-Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah Dan Hukum. 3. Arip Purkon, M.a. Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum.
7
4. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Dosen pembimbing yang sangat bijaksana dan besar hati besedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini. 5. Bapak Jm. Muslimin, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik 6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan prodi al-Ahwalus Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. 7. Segenap jajaran staf dan kariawan akademik perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan sekripsi. 8. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis yaitu: Anshar Arif S, Ridwan Abdillah, Roni zuli P, Septian Dwites, Syah Ul Hak A, dan semua temanteman peradilan Agama Angkatan 2012 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang menjadi teman seperjuangan sebelum maupun ketikan di bangku perkulihan. 9. Teman-teman di Kuliah kerja nyata (KKN) SELARAS. Atiqoh Fatiah, Lia Yulianti, Ayif, Ivony, Nur Cholis, Budi dan lain-lain 10. Sahabat-sahabat Ikatan kelaurga besar Almizan (IKBA) Fikry Amarullah, Tb Wilda, El Hakim, Rifky Gustio Utama, Sofatillah Amin, dan masih banyak lagi sahabat-sahabat yang tidak bisa disebut namanya.
8
11. Saudara Anshar Arif Shofyan yang selalu memberikan semangat dan motivasi dan memberikan bantuan yang sangat membantu saya dalam menyelesaikan skripsi. 12. Sahabat-sahabat peradilan Agama PA A Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 13. Lia Amelia yang selalu memberikan dorongan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini Semoga amal baik mereka diterima dan dibalas oleh Allah SWT dengan sebaik-baik balasan. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca untuk kesempurnaan skripsi ini.
Ciputat, 12 Oktober 2016
Ayi Rukmana
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING…………………… ……... ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI…………………………………... iii LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………. iv ABSTRAK………………………………………………………… ……... v KATAPENGANTAR……………………………………………………... vi DAFTARISI…………………………………………………… …………. ix BAB I :
PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F. G. H.
BAB II :
SUNDA WIWITAN DAN KEHIDUPAN SOSIAL SUKU BADUY A. B. C. D. E.
BAB III :
Latar Belakang Masalah…………………… ……... 1 Identifikasi Masalah………………………………... 7 Pembatasan Masalah……………………………… 7 Rumusan Masalah………………………………….. 8 Tujuan dan Manfaat………………………………. 9 Metode Penelitian…………………………………. 10 Tinjauan Studi Terdahulu………………………… 12 Sistematika Penulisan……………………… ……... 18
Gambaran Umum Desa…………………….............. 18 Sejarah Suku Baduy……………………………….. 21 Adat Istiadat……………………………………….. 26 Sosial Budaya……………………………………… 32 Agama……………………………………………… 40
TRADISI PERKAWINAN SUKU BADUY A. B. C. D. E.
Perkawinan Suku Baduy…………………………… 47 Tahap Mencari Jodoh……………………………….59 Upacara Lamaran dan Penentuan Mahar………….. 59 Upacara Perkawinan……………………………….. 63 Waktu Perkawinan…………………………………. 67
10
BAB IV :
PERKAWINAN BADUY LUAR DENGAN BADUY DALAM A. Kedudukan Perkawinan Baduy Luar Dengan Baduy Dalam Serta Konsekwensi Bagi Pelaku Perkawinan………. 69 B. Interaksi Islam, Adat dan Hukum Dalam Masyarakat Sunda Wiwitan Serta Penerimaan Hukum Islam………….. 74
BAB V :
PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………… 89 B. Saran-Saran………………………………………… 90
DAFTAR PUSTAKA
11
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tradisi perkawinan Suku Baduy adalah perkawinan monogami, seorang laki-laki Baduy tidak boleh beristri lebih dari seorang dan perkawinan poligami merupakan suatu hal yang tabu, selain itu, perkawinan anak laki-laki yang pertama (kakak) dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir (adik) dari garis keturunan yang lain. Hal penting dalam sistem perkawinan masyarakat Baduy adalah seorang adik tidak boleh melangsungkan perkawinan (Ngarunghal)1, dalam perakteknya masyarakat Baduy tidak terdapat perbedaan antara sepupu persamaan dan sehingga ada kecenderungan dalam perkawinan itu terjadi dalam keluarga yang paling dekat, dapat terjadi sampai dengan sepupu tingkat keempat, istilah Baduy menyebut dengan baraya2. Perkawina yang ada di masyarakat Baduy, ternyata ada dua model proses perkawinan. Proses perkawinan yang di lakukan pada masyarakat
Baduy Tangtu dan Baduy
Panamping memiliki perbedaan, pada masyarakat Baduy Tangtu, ketika ke dua keluarga atau pihak telah sepakat untuk saling menjodohkan anaknya, maka sampai pada tujuan utama yakni melakukan perkawinan, biasanya mereka melakukan beberapa prosesi ritual ada yang sudah ditentukan secara turun temurun. Adapun prosesi ada pra-perkawinan yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Baduy adalah prosesi pelamaran atau dalam bahasa mereka disebut 1
Ngarunghal Adalah Perkawinan Melangkahi Kaka, Kata Melangkahi Berasal Dari Kata Langkah Yang Artinya Adalah Melewati atau Mendahului 2 Baraya Adalah Sodara, Atau Kerabat Terdekat.
12
dengan “lalamar” Dalam proses pelamaran, biasanya dilakukan sebanyak tiga tahap.3 Dalam masyarakat Baduy, masih berpegang kepada ketentuan tradisi lama anak laki-laki baru dikawinkan sekitar usia 23 tahun dan anak perempuan dalam usia 18 tahun. Pada dasarnya, di Kanekes urusan jodoh masih menjadi urusan orang tua. Hanya di penamping ada sedikit kelonggaran sebab anak kadangkadang ikut menentukan pilihannya, sama halnya dengan di tempat lain, di kanekes pun peristiwa perjodohan didahului oleh acara “lalamar” atau “ngalamar” (meminang)4. Namun permasalahannya bukan kepada sistem perkawinan monogami atau hal lain. Tetapi kepada bagaimana ketika perkawinan dari suku Baduy ini terjadi perkawinan antara Baduy Luar (Muslim) dengan Baduy Dalam (Sunda Wiwitan), apakah kemudian perkawinan tersebut menyandarkan kepada budaya mereka atau sebaliknya ikut kepada syarat perkawinan yang diatur dalam syariat Islam. Dan penyelenggaraan pernikahan masyarakat Baduy yang hanya di laksanakan pada Bulan kelima, enam dan tujuh saja. Suku Baduy merupakan sebuah suku yang berada di Provinsi Banten. Baduy adalah salah satu suku yang masih manjaga erat nilai dan norma serta tradisi atau adat istiadat masyarakat. Suku Baduy termasuk salah satu suku yang terisolir yang ada di Indonesia. Masyarakat Baduy sengaja mengasingkan diri, 3
K, Muhammad, Hakiki, “Upacara Perkawinan Orang Baduy”, Artikel di Akses pada 12 April 2016 dari (baduybantenheritage.blogspot.com). file:///D:/KULIAH/skripsi/skripsi/BADUY%20HERITAGE_%20__%20Upacara%20Perkawinan %20Orang%20Baduy.html. 4 Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) 1984/1985, h. 69.
13
mereka hidup mandiri dengan tidak mengharapkan bantuan dari orang luar. Mereka mengasingkan diri dan menutup diri dengan tujuan menghindari dari pengaruh budaya luar, yang akan masuk, untuk menjaga keaslian budaya mereka. Masyarakat suku Baduy salah satu masyarakat yang unik, keunikan itu tampak dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari rumah tempat tinggal mereka. Dan masyarakat Baduy penuh dengan kesederhanaan dan kepatuhan. Kesederhanaan masyarakat Baduy dapat dilihat dalam bentuk dan arah rumah yang seragam, sistem bercocok tanam, dan cara berpakainnya. Di perkampungan Baduy, antara rumah satu dengan yang lainnya ditata rapih dan semua menghadap ke selatan. Sistem bercocok tanam yang dilakukan juga masih sangat tradisional yaitu dengan cara berladang (ngahuma)5. Masyarakat Baduy mengenakan pakain sehari-hari yang terdiri dari lengkung atau ikel (ikat kepala), jamang kampret atau jamang kurung (baju lengan panjang tanpa kerah)6 Masyarakat Baduy memang merupakan salah satu kelompok suku pedalaman di Indonesia, yang punya kesan tersendiri, pendiriannya keras tapi tidak pernah merepotkan orang lain, dalam keadaan yang bagaimana pun. Orang Baduy tidak pernah hirau dengan adanya perubahan zaman serta datangnya pengaruh yang menggelitik sepanjang hari, pola hidup sederhana dan hidup mandiri telah menjadi kesepakatan bersama, kesederhanaannya telah menjadi jalan pintas hidupnya dalam menghadapi kenyataan. Masyarakat yang selalu
5
Ngahuma Juga Bisa Disebut Berladang Atau Menanm Padi di Ladang. Risna Bintari, “Sejarah Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Baduy Pasca Terbentuknya Provinsi Banten Tahun 2000”Vol . 1 No, 1 Tahun 2012 [ISSN 2252-6633], h. 19. 6
14
tampil tidak pernah meninggalkan ciri khasnya, dimanapun, berhadapan dengan siapa saja, tidak kenal pantasi dari variasi7 Pola hidup masyarakat Baduy Dalam dengan masyarakat Baduy Luar secara umum sama, namun pada hal-hal tertentu adanya perbedaan yang cukup mencolok. Di Baduy Dalam sangat dilarang memiliki dan menggunakan barangbarang elektronik, alat makan dan minum yang terbuat dari gelas, plastik dan barang-barang rumah tangga lainnya yang berasal dari luar. Rumah tidak boleh pakai paku, yakni hanya menggunakan pasak dan tali dari rotan dan hanya memiliki satu pintu. Mereka juga dilarang menggunakan alas kaki, baik sandal apalagi sepatu, bepergian dilarang menggunakan kendaraan jenis apa pun, dan dilarang menggunakan pakaian seperti orang luar Baduy, pendek kata, segala bentuk prilaku dan pola hidup yang berbau “modern” serta bertentangan dengan pikukuh karuhun8. Mereka tolak dan bagi yang melanggar akan mendapatkan sanksi hukum sesuai dengan hukum adat yang berlaku, 9 sedangkan masyarakat Baduy Luar, pola hidup mereka sudah mulai longgar dan terbuka karena memang aturan adatnya memberikan kelonggaran bila dibandingkan dengan hukum adat bagi masyarakat Baduy Dalam. Mereka mereka sudah banyak mengadopsi pola hidup atau gaya hidup masyarakat non Baduy ke dalam pola hidup mereka seharihari walaupin mereka selalu tetap menampilkan ciri khas kesukuan mereka.
7
Djoewisno, “Potret Kehidupan Masyarakat Baduy”,Orang-orang Baduy Bukan Suku Terasing Mereka Yang Mengasingkan Diri, Cipta Pratama ADV, pt, Cetakan Pertama, 1987, h. 134. 8 Pikukuh Karuhun, Sebuah Aturan Adat Yang Bersifat Mengikat Bagi Masyarakat Baduy 9 Aan Hasanah, Jurnal Wacana, Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat Minoritas (Studi atas Kearifan local Masyarakat Adat suku Baduy Banten), Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Volume XXI, Nomor 1 Tahun 2012, h. 215-216.
15
Secara adat memang masyarakat Baduy diikat oleh aturan yang melarang anggota masyarakatnya untuk tidak terpengaruh oleh kehidupan masyarakat luar yang menurut pandangan mereka adalah kehidupan yang dapat merusak budaya masyarakat Baduy. Tetapi bukan berarti bahwa masyarakat Baduy menutup diri sama sekali terhadap kontak dengan masyarakat sekitar mereka, ini terbukti dengan adanya kegiatan rutin yang salah satunya, setahun sekali mendatangi pemerintah provinsi untuk membawa upeti berupa hasil bumi mereka kepada Gubernur Banten, yang disebut “seba”.10 dan yang tak kalah pentingnya tentang kepatuhan dan ketaatan meraka pada suatu keyakinan, yaitu yakin pada keyakinan yang mereka anut (Sunda Wiwitan).11Sunda Wiwitan adalah Agama masyarakat Baduy yang menghormati roh Karuhun, Nenek Moyang. Wiwitan berarti jati, asal, pokok, pemula, pertama. Kepercayaan animisme masyarakat Baduy telah dimasuki unsur-unsur Agama Hindu dan Agama Islam. Pandangan hidup umat Sunda Wiwitan berpedoman pada Pikukuh, aturan Adat mutlak, Pikukuh adalah aturan dan cara bagaimana nenek moyang, Pikukuh ini merupakan orientasi, konsep-konsep dan aktifitasaktifitas religi masyarakat Baduy. Hingga kini Pikukuh Baduy tidak mengalami perubahan apa pun, sebagaimana yang termaktub di dalam buyut (pantangan tabu) titipan nenek moyang, buyut12, adalah segala sesuatu yang melanggar Pikukuh.13
10
Dewi Widowati dan Rahmi Mulyasih, Perubahan perilaku sosial masyarakat Baduy Terhadap Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Universitas Serang Raya, Jurnal Komunikasi, Volume 3, Sep-Des 2014, h. 4. 11 Aan Hasanah, Jurnal Wacana, Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat Minoritas (Studi atas Kearifan local Masyarakat Adat suku Baduy Banten), Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Volume XXI, Nomor 1 Tahun 2012, h. 220. 12 Buyut, Ibu Dari Nenek,
16
Semua sistem yang berada di suku Baduy berdasarkan pada Pikukuh sebuah aturan yang sudah digariskan oleh leluhur masyarakat Baduy, Pikukuh merupakan prinsip masyarakat
Baduy dalam
menjalankan segala
segi
kehidupannya. Aturan tersebut mengatur mana yang boleh dan tidak boleh, peraturan ini juga syarat akan suatu kegiatan dalam hitungan bulan tertentu, termasuk aturan penyelenggaraan perkawianan yaitu pada bulan kelima, keenam dan ketujuh, dalam sistem perkawinan masyarakat Baduy menganut sistem monogami, namun permasalahan yang akan di bahas oleh penulis bukan tentang sistem perkawinan monogami yang masyarakat Baduy anut. Tetapi bagaimana ketika perkawinan dari suku Baduy Dalam yang notabenenya menganut paham Sunda Wiwitan, terjadi perkawinan dengan Baduy Luar yang menganut agama Islam. Kejadian ini sangat menarik untuk di ketahui dan di pelajari lebih dalam, karana pernikahan antara Baduy Dalam dengan Baduy Luar jarang terjadi, namun ada sebagaian dari masyarakat Baduy yang melakukan perkawinan tesebut. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk mengangkat kedalam suatu permasalahan ini, dengan judul “Tradisi Perkawinan Baduy Luar (Muslim) dengan Baduy Dalam (Sunda Wiwitan) Studi Kasus di Desa Kanekes, Kec, Leuwidamar, Kab, Lebak, Banten.
13
Maskur Wahid, Jurnal Wacana, Sunda Wiwitan Baduy, Agama Penjaga Alam Lindung Desa Kanekes Banten.IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten,h. 10.
17
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana perkembangan Suku Baduy / Sunda Wiwitan di kalangan masyarakat Baduy (kanekes) ? 2. Bagaimana kedudukan perkawinan Baduy luar (Muslim), dengan Baduy dalam (Sunda Wiwitan), apakah menggunakan adat Baduy atau Hukum Islam ? 3. Seperti apa argumentasi ulama dan masyarakat melihat perkawinan tersebut dalam sudut pandang fiqih? 4. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dimata Hukum? 5. Bagaimana peroses perkawinan tersebut terjadi? 6. Apakah ada kosekuensi apabila mereka melakukan perkawinan tersebut? 7. Bagaimana pandangan para ulama tentang Sunda Wiwitan (Kanaekes)? 8. Adakah syarat-syarat ketentuan ketika terjadinya pernikahan Baduy luar dengan Baduy dalam? 9. Bagaimana tanggapan pemangku adat suku Baduy tentang perkawinan tersebut ? 10. Bagaimana proses pernikahan itu berlangsung? Adakah peran KUA dalam pernikahan tersebut? C. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar lingkup bahasannya tidak terlalu luas, maka penulis membatasi penelitian hanya sekitar pernikahan suku Baduy Luar dengan Baduy Dalam dan interaksi
18
Islam, adat, hukum dalam masyarakat Sunda Wiwitan Baduy serta penerimaan hukum Islam. 2. Perumusan Masalah Sesuai dengan uraian diatas maka penulis akan mengemasnya dalam bentuk pertanyaan di bawah ini : a. Bagaimana tradisi perkawinan Baduy Luar dan tradisi perkawinan Baduy Dalam? b. Bagaimana interaksi Islam, adat dan hukum dalam masyarakat Sunda Wiwitan serta penerimaan hukum Islam? D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut : a. Mengetahui tradisi perkawinan Baduy Luar dan Baduy Dalam b. Untuk mengetahui bagaimana interaksi Islam, adat dan hukum dalam masyarakat Sunda Wiwitan Baduy serta penerimaan hukum Islam
2. Manfaat Penelitian a. Secara akademis. Mengaplikasikan disiplin ilmu sesuai dengan program studi penulis, tambahan referensi guna penelitian lanjutan serta kontribusi untuk data perpustakaan
19
b. Secara praktis. Kontribusi hasanah bagi masyarakat Islam dan golongan education pada umumnya. Lebih khusus terhadap lembaga-lembaga yang menangani masalah perkawinan agar lebih merujuk pada aturan aturan yang ditetapkan E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Dalam penulisan skripsi ini penyusun menggunakan Field Reseacrh (Penelitian Lapangan).14 Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif15 penelitian
Kualitatif
merupakan
penelitian
yang
dilakukan
berdasarkan
paradigma, strategi, dan implementasi model secara kualitatif. Persfektif, strategi, dan model yang dikembangkan sangat beragam. 2. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi. Etnografi merupaka suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan.Etnografi berulangkali bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistematik mengenai semua kebudayaan manusia dan persfektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu.16Etnografi menjadi sebuah metode penelitian
14
Bahrul Ulum, Jurnal ilmiah “Nilai-nilai Demokrasi Dalam pengamgkatan Puun, Pada Masyarakat Hukum Adat Baduy,2014, h. 3. 15 Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta,: Rineka Cipta, 2008, h.20 16 James P, Spradley, Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth, ( Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 12.
20
yang unik karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu, etnografi dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu. pertama, untuk memahami rumpun manusia, Kedua, etnografi ditujukan guna melayani manusia, Metode etnografi adalah prosedur penelitian kualitatif untuk menggambarkan, menganalisa, dan menafsirkan unsurunsur dari sebuah kelompok budaya seperti pola perilaku, kepercayaan, dan bahasa yang berkembang dari waktu ke waktu. Fokus dari penelitian ini adalah budaya. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Kanekes Kec, Lewidamar Kab, Lebak Banten.Pemilihan sampel dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan keterwakilan etnis, latar belakang sejarah, dan faktor-faktor sosial kultural. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Wawancara dikenal pula dengan istilah interview adalah suatu proses Tanya jawab lisan, dalam mana 2 orang atau lebih berhadapan secara fisik. Yang satu dapat melihat muka yang lain dan mendengar dengan telinga sendiri dari suaranya. Peneliti akan melakukan interview kepada pelaku pernikahan Baduy Luar dengan Baduy Dalam dan narasumber yang tau dalam hal pernikahan tersebut Agar peneliti dapat mendapatkan informasi atau data yang cukup untuk kepentingan penelitian. Maka dari itu peneliti turut keterlibatan langsung dalam
21
masyarakat dalam kurun waktu tertentu agar peneliti mengetahui adat istiadat masyarakat tersebut dan mendapatkan informen yang pas untuk dilakukan interview oleh peneliti. Adapun narasumber yang akan peneliti wawancari sebagai berikut: 1) Jaro Sami 2) Jaro Saija 3) Narwan 4) Yardi 5) Jaro Daenah 6) Ayah Mursid 7) Jaro Saidi Putra 8) H. Abdul Rozak
b. Observasi Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sesuatu objek dengan sistematika fenomena yang diselidiki. Observasi dapat dilakukan sesaat ataupun mungkin dapat diulang, oleh sebab itu observasi hendanya dilakukan oleh orang yang tepat.
c. Dokumentasi Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang ditujukan kepada subyek peneliti dokumen yang diketik dapat berupa berbagai macam, tidak
22
hanya dokumen resmi tapi juga meliputi bahan hukum primer dan hukum sekunder, juga data yang diperoleh dari referensi atau literatur yang berkaitan dengan tema penelitian ini. F. Tinjauan Studi Terdahulu Kajian pustaka atau revieew terdahulu adalah menyediakan informasi tentang penelitian-penelitian atau karya-karya ilmiah lain yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti agar tidak terjadi duplikasi atau pengulangan dengan penelitian yang telah ada. Tabel 1.1 Tinjauan Studi Terdahulu
No Aspek Perbandingan 1
Judul Penelitian
Penelitian Terdahulu
Penelitian sekarang
1. Kiki Muhammad
Ayi Rukmana, Tradisi
Hakiki, Identitas
Perkawinan
Agama Orang Baduy,
Luar
Jurnal, Al-
Dengan Baduy Dalam
AdYaN/Vol.VI, No.
(Sunda
Wiwitan),
1/Jan-Juni/2011.
Skripsi,
Kosentrasi
2. Alfian Anwar,
Baduy (Muslim)
Peradilan
Agama,
Pernikahan
FSH
Jakarta.
Ngarunghal pada
2016.
Masyarajat Desa Karanggan Kabupaten Bogor Utara (Tinjauan Hukum Islam dan UU
UIN
23
No, 1 Tahun 1994. Skripsi, Kosentrasi Peradilan Agama, FSH UIN Jakarta, 2012 3. Yollanda Octavia, Resepsi Masyarakat Kabupaten Leabak Provinsi Banten Terhadap Upacara Seba Suku Baduy, Jurnal, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Dipenegoro Semarang 4. Risna Bintari, Sejarah Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Baduy Pasca Terbentuknya Propinsi Banten Tahun 2000, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Vol 1 No. 1 tahun 2012 [ISSN 2252-6633] 5. Ira Indrawardana, Berketuhanan Dalam
24
Perspektif Kepercayaan Sunda Wiwitan, Padjadjaran University, Bandung, Indonesia, 2014 2
Fokus Penelitian
1. Fokus pada Identitas Fokus pada Tradisi Agama/ kepercayaan perkawinan Masyarakat
Baduy Luar dengan Baduy
dan Adat Istiadat. 2. Fokus
pada
pernikahan Ngarunghal
pada
masyarakat
Desa
Karanggan Kabupaten
Bogor
Utara. 3. Fokus
terhadap
upacara Seba Suku Baduy. 4. Fokus
pada
perkembangan sosial ekonomi masyarakat Baduy
Pasca
terbentuknya Provinsi Banten tahun 2000 5. Fokus berketuhanan
pada dalam
perspektif kepercayaan Wiwitan
Baduy
Sunda
dalam.
25
3
Subjek/Objek
1. Masyarakat
Penelitian
Baduy 2. Masyarakat
Suku Masyarakat
Suku
Baduy Desa
Karanggan 3. Masyarakat
Suku
Baduy 4. Masyarakat
Suku
Baduy 5. Masyarakat Baduy 4
Metode penelitian
1. Penelitian lapangan
Penelitian lapangan
2. Penelitian lapangan 3. Penelitian lapangan 4. Penelitian lapangan 5. Penelitian lapangan 5
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui Identitas Mengetahui Agama Suku Baduy 2. Mengetahui
Dalam.
Ngarunghal 3. Mengetahui upacara Seba Suku Baduy. 4. Mengetahui perkembangan sosial ekonomi masyarakat Baduy. 5. Mengetahui
Wiwitan.
Baduy
tentang Luar dengan Baduy
pernikahan
kepercayaan
perkawinan
tradisi
Sunda
26
Dari beberapa skripsi dan jurnal wacana yang di tulis di atas baik yang di tulis oleh Alfian Anwar, maupun yang di tulis oleh yang lainnya, dapat disimpulkan bahwa meskipun skripsi dan jurnal diatas membahas tentang permasaahan adat suku Baduy, tetapi topik yang di angkat merupakan berbeda dengan apa yang akan di angkat oleh penulis, beda hal nya dengan skripsi yang penulis bahas, meskipun tema utamanya adalah suku Baduy, tetapi cakupan yang coba penulis analisis adalah perkawinan antara Baduy Luar denagan Baduy Dalam, dengan demikian jelas terdapat perbedaan antara topik yang penulis bahas dengan penulis di atas. G. Sistematika Penulisan Agar dalam penulisan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengembang, penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Dalam skripsi ini terdiri dari lima bab, dan setiap bab memiliki penjelasan dari masing masing bab tersebut, Skripsi ini di akhiri dengan daftar pustaka yang menjadi rujukan penulis dalam penulisan skripsi ini dan lampiran-lampiran. Adapun sistematika penulisan tersebut ialah sebagai berikut: BAB 1. Dalam bab ini, dimuat tentang latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, review studi terdahulu, dan sistemmatika penulisa. BAB II. Dalam bab ini, di bahas mengenai pengertian Sunda Wiwitan serta sosial Budaya masyarakat Baduy
27
BAB III.Dalam bab ini, Membahas Tradisi perkawinan Baduy dan tahapan proses perkawinan itu sendiri BAB IV.Dalam bab empat ini, penulis membahas tentang kedudukan perkawinan Baduy Luar dengan Baduy Dalam dan interaksi Islam, adt dan hukum perkawinan Sunda Wiwitan serta analisis penulis tentang perkawinan tersebut. BAB
V.
Dalam
bab
ini
terdiri
dari
kesimpulan
dan
saran
BAB II SUNDA WIWITAN DAN KEHIDUPAN SOSIAL SUKU BADUY A. Gambaran Umum Desa Wilayahmasyarakat Baduy memiliki luas sekitar 5,101,8 hektar, terletak disebelah Barat Pulau Jawa, di sekitar pegunungan Kendeng. Secara administrasi pemerintahan, wilayah ini dikukuhkan menjadi Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Desa Kanekes yang luasnya sekitar 5.102 hektar merupakan wilayah yang berbukit-bukit, berlembah curam, yang terletak pada ketinggian antara 500-1.200 m. Kampung-kampung Baduy berada pada ketinggian antara 800-1.200 m. Suhu udaranya sekitar 20-22 C, keadaan tanahnya selalu basah, lembab, dan berlumut. Sungai-sungai berbatu membelah hutan dan bukit serta melintasi beberapa wilayah pemukiman di antaranya Sungai Ciujung, Cibarani, Cimedang, Cibaduy yang mempersulit pejalan kaki untuk mencapai kampung-kampung tertentu dalam waktu singkat.1 Batas-batas wilayah Baduy sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bojong menteng, Desa Cisimeut, dan Desa Nayagati Kecamatan Leuwidamar, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Parakan Beusi, Desa Keboncau, dan Desa Karangnunggal, Kecamatan Bojong Manik, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cikate Kecamatan Cijaku, dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Karangcombong dan Desa Cilebang Kecamatan Muncang. Sedangkan batas-batas
1
Kusnaka Adimihardja, Orang Baduy di Banten Selatan Manusia air Pemelihara Sunga, Universitas Padjadjaran, 2000, h.49
28
29
alamnya sebelah Utara adalah Sungai Ciujung, sebelah Selatan Sungai Cidikit, sebelah Barat Sungai Cibarani, dan sebelah Timur Sungai Cisimeut. Topografi daerah masyarakat Baduy berbukit-bukit dengan kemiringan lereng rata-rata 45% sedangkan tinggi daerah dari permukaan laut berkisar antara 300-1200 meter dari permukaan laut dengan suhu berkisar 20°C – 22°C dan curah hujan berkisar 3000 mm/tahun keadaan tanah dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu pegunungan vulkanik di sebelah Utara, endapan tanah pegunungan di bagian tengah, dan campuran tanah pegunungan serta endapannya di bagian Selatan. Jenis tanahnya berupa latosol coklat, alluvial coklat, dan andosol. Sebagai suatu Desa, wilayah Baduy atau Desa Kanekes terdiri atas beberapa kampung yang terbagi menjadi dua kelompok besar, yakni Baduy Dalam dan Baduy Luar pola letak kampungnya di dekat sumber atau aliran air. Untuk Kampung yang telah padat dan tidak ada ruang lagi untuk membangun rumah, dilakukan pengembangan dengan membuat kampung baru, yang ditandai oleh keberadaan Saung Lisung.Pengembangan Kampung ini hanya terjadi di pemukiman Baduy Luar, sedangkan di Baduy Dalam jumlah Kampungnya tetep tidak berubah sepanjang masa, yakni hanya tiga. Bahwa pemukiman Baduy Dalam disebut sebagai Mandala Baduy yakni perkampungan yang warganya harus memegang teguh aturan adat atau Pikukuh
yang menjadi inti dasar
kehidupan orang Baduy. Ketiga Kampung ini dikenal juga dengan sebutan tanah larangan, yang berkaitan dengan indentifikasi teritorial antara Baduy Luar dengan Baduy Dalam.
30
Jumlah kampung di Baduy pada tahun 2009 sebanyak 58 kampung, 3 kampung di Baduy Dalam dan 55 kampung di Baduy Luar. Pada tahun 2002, jumlah kampungnya ada 50 kampung, dengan demikian dalam waktu 7 tahun telah terjadi penambahan kampung sebanyak 8 kampung, yakni Cicatang 2, Kaduketer 2, Cikadu 2, Cicakal Muara, Cicakal Tarikolot, Ciranca Kondang, Kenengai, dan Cikulingseng. Satu kampung di wilayah Baduy ditandai oleh satu buah Saung lisung2(tempat menumbuk padi) yang terletak di sebelah Utara kampung. Kampung-kampung yang termasuk ke dalam Baduy Dalam terletak di wilayah sebelah Selatan. Sedangkan kampung-kampung Baduy Luar terletak disebelah Timur, Barat, dan Utara. Jarak antara kampung bervariasi antara satu sampai lima kilometer yang dihubungkan dengan jalan setapak turun naik mengikuti kontur perbukitan. Batas antara Baduy Dalam dengan Baduy luar disebelah Utara adalah aliran Sungai Ciujung, di sebelah Barat adalah Gunung Pasir Angin dan Kiara Lawang.Batas kawasan ini disepakati bersama oleh orang Baduy. Kawasan yang meliputi luas sekitar 38,7% dari total seluruh wilayah Baduy atau sekitar 1,975 hektar. Sedangkan yang termasuk wilayah Baduy Luar sekitar 61,3% atau sekitar 3,127 hektar. Di sebelah Selatan wilayah Baduy terdapat mata air Sungai Ciujung yang merupakan hulu sungai yang cukup besar. Sungai Ciujung, Sungai Cibarani, Sungai Cibeuneng, Ciparahiang, dan sungai kecil lainnya. Sungai ini mengalir dari Selatan ke Utara melintas sebagian besar kampung-kampung Baduy, dan 2
Saung Lisung, Tempat Dimana Masyarakt Baduy Menumbuk Padi Atas Hasil Panen Yang Mereka Dapatkan.
31
terus mengalir melintas ibu Kota Kabupaten Rangkasbitung dan bermuara di pantai Utara Laut Jawa.Kekuatan hukum setatus wilayah Baduy ditetapkan dengan peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 tahun 2001 tentang perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Hak ulayat ini merupakan kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupan yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. 3 B. Sejarah Suku Baduy Asal usul orang Baduy merupkan bagian dari suku Sunda yaitu suku asli masyarakat Provinsi Jawa Barat dan sekarang menjadi Provinsi Banten, bahasa yang digunakan mereka juga bahasa sunda.4Diperkirakan mereka pindah di daerah terpencil di Gunung Kendeng ini pada abad 16, seiringan dengan keruntuhan Kerajaan Pajajaran.Karena pada zaman dahulu sebelum Islam masuk ke Jawa pengaruh agama Hindu dan Budha semakain kuat, termasuk Kerajaan Pajajaran.Tahun 1579 masuklah Islam untuk menghancurkan Pajajaran dan masyarakat disana berpindah ke agama Islam untuk menghancurkan Pajajaran dan masyarakat disana berpindah ke agama Islam.Ada sekelompok masyarakat yang 3
Gunggung Senoaji, Jurnal Wacana, “Masyarakat Baduy, Hutan, Dan Lingkungan” (Baduy Community, Forest, and Environment) Manusia dan Lingkungan, Universitas Bengkulu, Vol, 17, No,2, Juli 2010, h. 115-117. 4 Farukhi, Mengenal 33 Provinsi Indonesia : Banten, PT Sinergi Pustaka Indonesia: Jakarta, 2008, h.14-15
32
menolak untuk masuk kedalam Islam, kemudian dinamkaan suku Baduy. 5Mereka juga sering disebut orang-orang Kanekes, bahkan dalam referensi tertentu menyebut mereka sebagai orang Rawayan. Tarkait dengan sejarah Baduy memang cukup rumit.Kerumitan itu muncul karena ada beberapa versi yang masing-masing saling bertentangan. 1. Persfektif masyarakat Baduy Penyebutan mereka dengan sebutan Orang Baduy atau Urang Baduy sebagimana yang umum dilakukan oleh masyarakat luar atau peneliti sebenarnya tidaklah mereka sukai. Mereka lebih senang menyebut dirinya sebagai Urang Kanekes, Urang Rawayan, atau lebih Khusus dengan menyebut perkampungan asal mereka seperti, Urang Cibeo, Urang Cikartawana, Urang Tangtu , Urang Panamping. Penyematan mereka dengan sebutan Baduy yang sudah memeluk agama Islam penyebutan ini ditengarai sebagai sebutan ejekan terhadap mereka (Orang Baduy) berdasarkan beberapa alasan yakni kehidupan yang primitive, nomaden, ketergantungan pada alam, membuat mereka di samakan dengan kehidupan masyarakat Badui, Badawi atau Bedouin yang ada di daerah Arab. Dengan alasan ini lah kemudian istilah Baduy pun di bakukan dan lebih dikenal dibandingkan dengan istilah suku atau orang Kanekes itu sendiri. Begitu populernya istilah ini (Baduy) bagi masyarakat di luar Baduy membuat beberapa masyarakat di luar Baduy memberikan nama-nama kandungan alam dengan istilah Baduy, seperti penyebutan gunung yang ada diwilayah Baduy 5
Feri Prihantoro, Kehidupan Berkelanjutan Masyarakat Suku Baduy, Dalam Jurnal Asia Good ESD Practice Project, BINTARI, (Bina Karta Lestari), Foundation, 2006, h.2
33
dengan sebutan Gunung Baduy, dikenal juga Sungai Baduy. Bahkan menurut Pleyle kata “Baduy” sendiri mempunyai ciri yang khas sebagai kata dalam bahasa sunda seperti: tuluy, aduy, uruy, Dalam sumber yang lain penyebutan mereka dengan istilah Baduy, pertama kali disebutkan oleh orang Belanda ketika melakukan penjajahan di Indonesia. Orang belanda biasa menyebut mereka dengan sebutan
badoe’I,
badoej, badoewi, Urang Kanekes dan Urang Rawayan. Peneyebutan istilah di atas di dasari oleh beberapa alasan: pertama, istilah Baduy muncul karena berasal dari nama sebuah gunung Baduy yang kini menjadi tempat huniannya, alasan ini kemudian ditolak karena penyebutan gunung menjadi gunung Baduy muncul setelah mereka membuka areal perhutanan tersebut untuk dijadikan pemukiman, kedua, istilah Baduy berasal dari kata Budha yang kemudian berubah menjadi Baduy. Ketiga, ada juga yang mengatakan bahwa istilah Baduy berasal dari kata “Baduyut” karena di tempat ini lah banyak ditumbuhi pepohonan baduyut, sejenis beringin.Keempat, pendapat yang lain juga muncul bahwa penyebutan Baduy di ambil di ambil dari bahasa Arab Badui yang berarti berasal dari kata Badu atau Badawu yang artinya lautan pasir. Yakni berdasarkan kesamaan pola hidup yakni berpindah-pindah (nomaden) dari satu tempat ke tempat yang lain mengikuti keberadaan tempat persediaan kebutuhan hidup dalam hal ini keberadaan pangan. 2. Perspektif ahli sejarah
34
Berbeda dengan kepercayaan masyarakat Baduy tentang sejarah asal-usul mereka.Para ahli sejarah mempunyai pandangan yang ternyata juga berbeda versi prihal sejarah awal Baduy. Versi pertama menyatakan bahwa sejarah awal keberadaan masyarakat Baduy berasal dari kerajaan padjajaran. Pada sekitar abad ke -12 dan ke- 13 M, kerajaan pajajaran menguasai seluruh tanah pasundan meliputi Banten, Bogor, Priangan sampi ke wilayah Cirebon. Saat itu Kerajaan Padjajaran dikuasi oleh Raja bernama Prabu Bramaya Maisatandrama atau yang lebih dikenal dengan gelar Prabu Siliwangi. Ketika terjadi pertempuran sekitar abad ke 17 M antara kerajaan Banten melawan kerajaan Sunda. Kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun (keturunan Prabu Siliwangi) mengalami kekalahan yang cukup telak Karena itu lah Sang Perabu Pucuk Umun dengan beberpa punggawanya melarikan diri ke daerah hutan pedalaman. Dari sini lah kemudian mereka hidup menetap dan berkembangbiak menjadi komunitas yang kemudian kini disebut sebagai suku Baduy. Versi Kedua, berbeda dengan pendapat pertama di atas, komonutas Baduy bukanlah berasal dari sisa-sisa kerajaan Padjajaran yang melarikan diri, melankin penduduk asli dari daerah tersebut yang mempunyai daya tolak yang kuat terhadap pengaruh luar. Pendapat ini hamper sama dengan pendapat yang diyakini oleh masyarakat Baduy sendiri yang mengatakan bahwa mereka adalah masyarakat terpilih yang diberikan tugas oleh raja, untuk melakukan
35
mandala6(kawasan yang suci) di daerah kebuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang ) Jati Sunda atau Sunda Asli atau Sunda Wiwitan, yang kini di diami oleh masyarkat Baduy. Versi ketiga, jika kita coba komparasikan antara keyakinan sejarah masyarakat Baduy dengan penemuan para ahli sejarah (arkeolog, budayawan, dan sejarawan) terlihat perbedaan yang kontras bahwa bertolak belakang. Menurut catatan sejarah, berdasarkan proses sintesis dari penemuan prasasti, catatan perjalanan cerita rakyat mengenai Tatar Sunda, keberadaan masyarakat suku Baduy sendiri dikaitkan dengan keberadaan kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke- 16 bepusat di pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Menurut catatan para ahli sejarah, sebelum berdirinya Kesultanan Banten oleh Sultan Maulana Hasanuddin yang berada di wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan salah satu bagian terpenting dari kerajaan Sunda.Wilayah Banten pada saat itu adalah merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar yakni pelabuhan Karangantu. Sungai Ciujung yang berhulu di areal wilayah Baduy dan melewati Kabupaten Lebak dan Serang dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan sangat ramai digunakan sebagai alat transportasi untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman Banten. Melihat kondisi ini, penguasa wilayah tersebut (Banten Selatan) yakni Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan dengan alasan itu lah, maka sangat terlatih untuk
6
Mandala, Kawasan Suci Atau Tempat Pemujaan Masyarkat Baduy.
36
menjaga dan mengelola areal kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut membuat mereka harus menetap dengan waktu yang cukup lama. Dengan alasan ini, maka para ahli sejarah menetapkan bahwa asal mula masyarakat suku Baduy yang sampai sekarang eksis masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut berasal7 Adanya perbedaan pendapat tersebut membuat sebagian pengamat suku Baduy menduga bahwa pada masa yang lalu identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, sebagai alasan untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Padjajaran dan Banten. Ketiga pendapat ini memang sulit untuk dipadukan karena masing-masing (masyarakat Baduy dan ahli sejarah) mempunyai alasan tersendiri yang satu sama lainnya menganggap benar karena itu, langkah yang bijak adalah memberikan perbedaan pendapat itu sebagai sebuat realita sejarah yang menarik dan unik.8 C. Adat Istiadat Suku Baduy adalah sosok masyarakat yang dari waktu ke waktu tidak mengenal perubahan seperti masyarakat modern yang selalu mengikuti perkembangan zaman. Uniknya Suku Baduy ada di tengah-tengah masyarakat modern yang seiring perkembangan zaman bertambah pula gaya hidup praktisnya.
7
h. 123.
8
Kusnaka Adimihardja, Dinamika Budaya Lokal, (Bandung; Pusat Kajian LBPB, 2008),
Kiki Muhammad Hakiki, Identitas Agama Orang Baduy,Al-AdYaN/Vol, VI, No, 1/JanJuni/ 2011, h. 86-91.
37
Lain hal dengan masyarakat modern di sekeliling suku Baduy.suku Baduy merupakan generasi yang hidup penuh dengan kesederhanaan, ketaatan, keikhlasan, dalam mempertahankan dan melaksanakan tradisi serta amanat leluhurnya. suku Baduy menyadari demi tetap tegak berdirinya kesukuan mereka maka adat istiadat dan pusaka leluhur harus terus dijaga dan dilestarikan dengan diwariskan secara berkesinambungan kepada anak cucunya secara tegas dan mengikat.9 Sebutan Baduy merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “Orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo. Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda Banten.Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah.Orang Kanekes dalam, tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat
9
Yollanda Oktavia, Jurnal Wacana, “Resepsi Masyarakat Kabupaten Lebak Provinsi Banten Terhadap Upacara Seba Suku Baduy” Universitas Dipenegoro Semarang, h. 4.
38
istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.10 Masyarakat Baduy yang terdiri atas tiga kelompok yaitu tangtu, panamping dan dangka.Kelompok tangtu adalah kelompok yang disebut dengan kelompok Baduy Dalam yaitu kelompok Baduy yang paling ketat mengikuti peraturan adat.Pada kelompok ini terdapat tiga kampung yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.Ciri khasnya adalah mengenakan pakaian yang berwarna putih alami dan biru tua serta mengenakan ikat kepala putih. Kelompok kedua adalah Panamping atau yang sering disebut
dengan
Baduy Luar. Ciri khasnya adalah mengenakan pakaian dan ikat kepala warna hitam.Wilayahnya Baduy Luar mengelilingi Baduy Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.Kelompok ketiga adalah Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes tidak seperti Baduy Dalam dan Luar.Saat ini hanya ada 2 kampung yang tersisa yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Adapun keunikan yang ada di dalam berbagai unsur kegiatan sehari-hari, mulai dari cara berpakaian, cara bertani, bersosialisasi dan lain sebagainya. Adapun keunikan tersebut antara lain: 1. Tata cara berpakaian Cara berpakaian orang Baduy menunjukan jati diri mereka sebagai kelompok Baduy Luar atau Baduy Dalam.Masyarakat Baduy Luar mengenakan 10
Ita Suryani, Jurnal Wacana, “Menggali Keindahan Alam dan Kearifan Lokal Suku Baduy”, Akademi Komunikasi Bina Sarana Informatika, Vol, 13, No, 2 Desember 2014, h. 180181.
39
pakaian berwarna gelap, sedangkan Baduy Dalam mengenakan pakaian berwarna putih alami. Masyarakat Baduy Dalam mengenakan celana tanpa dijahit dan hanya dikuatkan dengan kait pengikat berwarna putih yang berfungsi sebagai penguat untuk masyarakat Baduy Luar mereka sudah mengenakan pakaian yang dijahit dengan mesin jahit, bahkan membeli pakaian yang sudah jadi. 2. Cara menanam padi Masyarakat Baduy hanya menanam satu kali dalam setahun, tidak seperti petani padi di Indonesia pada umumnya yang dapat menanam lebih dari satu kali dalam setahun.Oleh sebab itu, masyarakat Baduy hanya mengalami satu kali panen.Biasanya masa penentuan padi dilakukan menjelang musim penghujan tiba, serta tanaman padi di tanam di daerah berbukit dan terjal. 3. Bentuk rumah dan proses pembuatannya Bentuk rumah masyarakat Baduy sangatlah sederhana, terbuat dari bahanbahan seperti kayu yang berasal dari alamnya, bilik bamboo, atap rumbia, genting ijuk dan lain-lain yang sangat sederhana dengan semua rumah menghadap ke arah utara selatan secara logika memiliki proses pergantian dan penyinaran matahari yang sangat baik. Pada pagi hari sinar matahari masuk dari arah timur dan saat sore hari matahari masuk dari arah barat. Proses pembuatan rumah/membangun rumah selalu dikerjakan secara gotong royong. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Baduy memiliki rasa kebersamaan yang sangat tinggi. 4. Kepatuhan masyarakat terhadap aturan adat
40
Ada dua sistem pemerintahan yang digunakan oleh masyarakat Baduy, yaitu struktur pemerintahan nasional yang mengikuti aturan Negara Indonesia dan struktur pemerintahan adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercayai oleh masyarakat.Kedua sistem pemerintahan tersebut digabungkan dan dibagi perannya sedemikian rupa sehingga tidak ada benturan dalam menjalankan tugasnya. Seluruh masyarakat Baduy paham dan saling menghargai terhadap kedua sistem tersebut, sehingga mereka tahu harus kemana jika ada urusan atau permasalahan yang di hadapai dalam kehidupan sehari-hari Dalam pemerintahan nasional penduduk di Kanekes ini di pimpin oleh Jaro Pamarentah.Secara administratif Jaro Pamarentah itu bertanggung jawab terhadap sistem pemerintahan nasional yang ada di atasnya yaitu camat, tetapi secara adat bertanggung jawab kepada pemimpin tertinggi adat yaitu Puun.Puun dianggap pemimpin tertinggi untuk megatasi semua aspek kehidipan di dunia dan mempunyai hubungan dengan karuhun.Dalam kesatuan Puun tersebut terdapat senioritas yang ditentukan berdasarkan alur kerabat bagi peranan tertentu dalam pelaksanaan adat dan keagamaan Sunda Wiwitan Puun memiliki kekusaan dan kewibawaan yang sangat besar.Sehingga para pemimpin yang ada di bawahnya dan warga masyarakat Baduy tunduk dan patuh kepadanya. Bagi orang Baduy seorang pemimpin dalam pemerintahan berasal dari keturunan para Puun yang artinya, satu sama lain terikat oleh garis kerabat. 5. Cara hidup tradisional masyarakat Baduy yang sederhana dan penuh toleransi lebih melihat kehidupan jauh kedepan, sehingga tetap menjaga keberlanjutan hidupnya. Proteksi
41
terhadap lingkungan ditujukan untuk mempertahankan kehidupan mereka supaya tetap utuh dan dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri pandangan mereka dalam kelestarian
lingkuangan,
sama
dengan
pemikiran
dalam
pembangunan
berkelanjutan dimana mereka beranggapan bahwa kerusakan lingkungan atau perubahan terhadap bentuk lingkungan akan mengancam sumber kehidupan mereka yang berakibat dengan kelaparan dan kekurangan secara ekonomi lainnya. Kehancuran kehidupan akibat kerusakan lingkungan akan memicu kepunahan suku Baduy. Oleh sebab itu mereka juga melarang bahkan melawan pihak luar yang berusaha merusak lingkungan mereka. Untuk memproteksi lingkungan dari pengaruh dari luar banyak upaya yang dilakukan mereka dari yang besifat represif maupun preventif beberapa usaha preventif yang selama ini dilakukan adalah dengan tidak menerima bantuan pembangunan dari pihak mana pun yang diperkirakan dapat merusak kondisi lingkungan atau tatanan sosial mereka.Selain itu mereka juga terus mendesak pemerintah baik lokal maupun nasional untuk menjadikan kawasan mereka sebagai kawasan yang dilindungi dan didukung dengan peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah sehingga mengikat bagi orang di luar Baduy.Dalam kaitannya dengan usaha represif mereka secara tegas langsung menindak siapa saja yang berusaha merusak lingkungan mereka. Untuk mengendalikan penggunaan lahan oleh masyarakat, di Baduy tidak ada kepemilikan lahan.Lahan disana merupakan tanah adat yang digunakan secara bersama-sama.Di wilayah Baduy Dalam tidak ada sistem jual beli maupun sewa menyewa tanah, yang ada adalah kepemilikan tanaman, tanaman menjadi milik
42
orang yang menanam, sementara lahan tetap manjdi milik adat.Dengan sistem seperti itu adat dapat mengendalikan lahan dan peruntukannya.Lahan-lahan yang dapat digunakan sebagai ladang-ladang pertanian digunakan secara bergiliran oleh keluarga-keluarga disana untuk wilayah Baduy Luar ada sistem sewa menyewa lahan, tatepi tidak ada sistem jual beli lahan.Sewa menyewa dilakukan untuk lahan pertanian dengan sistem bagi hasil.Keluarga yang menyewa lahan membayar dengan hasil pertaniannya kepada pemilik lahan yang sebesarnya ditentukan dengan perjanjian pada awal menanam.11 D. Sosial Budaya Masyarakat Baduy merupakan kelompok masyarakat yang hidup terpisah dari lingkungan masyarakat luar dan kehidupannya masih sangat tradisional. Sejak ratusan tahun yang lalu, masyarakat Baduy sudah berhubungan dengan dan bergaul dengan masyarakat lain. Pada tahun 1960an keterbukaan masyarakat Baduy dengan orang luar mulai terlihat dengan memperbolehkan orang luar menginap dan berkomunikasi secara langsung dengan mereka. Pada tahun 1975, masyarakat Baduy mulai merespon bentuk pelayanan kesehatan modern yang merupakan program Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak. Namun, masyarakat Baduy masih sulit untuk menerima penerapan konsep dan pola hidup sehat yang sesuai dengan standar kesehatan nasional. Faktor utama yang menjadi kendala, yaitu kuatnya keyakinan masyarakat terhadap hukum adat,
11
Iwan Sugiwa, Jurnal Wacana, “Pengembangan Pariwisata Berbasis Keunikan Penduduk Lokal Di Wilayah Banten (Studi di Wilayah Baduy)” Vol, 12 Nom 2, Oktober 2015, h, 135-142
43
rendahnya tingkatan pendidikan karena warga Baduy dilarang bersekolah secara formal, dan rasa takut serta malu terhadap orang luar Masyarakat Baduy sebagai masyarakat tradisional dapat disebut juga sebagai masyarakat yang sedang berkembang.Hal ini terjadi tidak hanya karena perubahan yang sedang berlangsung, tetapi juga pikukuh atau adat istiadatnya yang mengalami pergeseran.12 Saat ini terlihat perbedaan yang jelas pada kehidupan masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam.Perubahan setatus masyarakat telah terjadi pada kehidupan masyarakat Baduy.Awalnya semua masyarakat Baduy harus ikut bertapa menjaga alam lingkungannya, sekarang ini hanya Baduy Dalam yang tugasnya bertapa. Masyarakat Baduy Luar tugasnya hanya ikut menjaga dan membantu tapanya orang Baduy Dalam, masyarakat Baduy Luar mulai diperbolehkan mencari lahan garapan ladang di luar wilayah Baduy dengan cara menyewa tanah, bagi hasil, atau membeli tanah masyarakat luar. Untuk menambah pendapatannya pada lahan mereka di luar Baduy.Interaksi ini berdampak pada perubahan tingkah laku dan pola hidup masyarakat Baduy.Masyarakat Baduy Luar sudah mulai memakai Baju buatan pabrik, kasur, gelas, piring, sendok, sandal jepit, sabun, sikat gigi, senter, dan patromak.Bahkan sudah cukup banyak masyarakat Baduy yang telah menggunakan telepon seluler. Larangan penggunaan kamera dan video camera hanya berlaku pada masyarakat Baduy Dalam hal kepemilikan lahan, yang semula semua lahanya milik adat,
12
Risna Bintari, Sejarah Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Baduy Pasca Terbentuknya Provinsi Banten Tahun 2000, Jurnal, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Vol. 1 Tahun 2012, h.20.
44
khusus di Baduy Luar telah menjadi milik perseorangan dan bisa diperjualkan sesama orang Baduy.13 terkait dengan identitas Baduy adalah adanya perbedaan yang cukup jelas, diantaranya terlihat dari segi cara mereka berpakain Kondisi ini memang benar adanya karena masyarakat Baduy mempunyai stratifikasi atau pelapisan sosial masyarakat yang cukup jelas. Stratifikasi ini diukur berdasarkan tingkat kualitas kepatuhan terhadap aturan adat Baduy atau nilai luhur kemandalaannya.Secara umum, pelapisan masyarakat Baduy di bagi menjadi tiga tingkatan.14 1. Baduy Tangtu Pemukiman Baduy Tangtu (Baduy Dalam) atau bagi masyarakat Baduy sendiri biasanya menyebutnya dengan sebutan Urang Tangtu, Urang Girang atau Urang Kajeroan yang berada di bagian selatan. Masyarakat Baduy Tangtu dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan nama kampung tempat tinggalnya, yaitu Kampung Cibeo atau Tangtu Parahiyangan. Kampung Cikeusik atau Tangtu Pada Ageung dan Kampung Cikartawana atau Tangtu Kadu Kujang.Keseluruhan wilayah kampung Baduy Tangtu ini disebut dengan Telu Tangtu (Tiga Tangtu).Jumlah penduduk masyarakat Baduy Tangtu kini diperkirakan berjumlah 800 orang. Penyebutan Baduy Tangtu atau Baduy Dalam secara bahasa di ambil dari bahasa Sansekerta.Kata “tangtu” merupakan kata benda yang bermakna; benang, 13
Gunggung Senoaji, Jurnal Wacana, “Masyarakat Baduy, Hutan, Dan Lingkungan” (Baduy Community, Forest, and Environment) Manusia dan Lingkungan, Universitas Bengkulu, Vol, 17, No,2, Juli 2010, h. 306-307. 14 Kiki Muhammad Hakiki, Jurnal Wacana, “Identitas Agama Orang Baduy” AlAdYaN/Vol, No, 1/Jan-Juni/2011, h. 91-94.
45
silsilah, cikal bakal.Dalam kamus bahasa sunda kuno, istilah “tangtu” berarti tempat atau kata sifat; pasti.Menurut kepercayaan masyarakat Baduy sendiri istilah “tangtu” bermakna sebagai tempat dan sekaligus pendahuluan atau cikal bakal baik dalam arti pangkal keturunan maupun pendiri pemukiman. Di setiap yang ada di Baduy Tangtu dipimpin oleh seorang Puun yang tugasnya mengurusi masalah kerohanian bukan keduniawian. Meskipun begitu, para Puun yang ada diwilayah Baduy Tangtu mempunyai wewenang yang lebih spesifik yakni Puun Tangtu Cibeo sebagai Sang Prabu, Puun Tangtu Cikeusik sebagai Sang Rama, dan Puun Tangtu Cikartawana sebagai Sang Resi. 2. Baduy Panamping Baduy Panamping atau juga disebut dengan Baduy Luar secara kuantitas penduduk merupakan kelompok terbesar.Baduy Luar atau mereka menyebutnya dengan sebutan Urang Panamping atau Urang Kaluaran menghuni areal sebelah utara Baduy. saat ini, masyarakat Baduy Luar tersebar di 26 kampung yakni Kampung Kaduketug, Cihulu, Sorokokod, Cigula, Karahkal, Gajeboh, Cicakal Girang, Cipaler, Cipiit, Cisagu, Babakan Ciranji, Cikadu, Cipeucang, Cujanar, Batubeulah, Cipokol, Pamoean, Kadukohak, Cisaban, dan Batara. Di setiap kampung yang ada di Baduy Panamping ini dipimpin oleh seorang kokolot lembur15(sesepuh kampung). Keberadaan penduduk Panamping menurut sejarahnya ada yang secara turun temurun menetap di situ, ada juga masyarakat pendatang atau pindahan dari wilayah Baduy Tangtu.Adanya migrasi ini disebabkan dua faktor; pertama, 15
Kokolot Lembur, Orang Yang Dituakan Atau Yang di Hormati di Masyarakat Baduy.
46
pindah atas kemauan sendiri disebabkan sudah tidak sanggup lagi hidup dilingkungan masyarakat Tangtu.Perpindahan model ini bagi masyarakat Baduy disebut dengan undur rahayu (pindah secara baik-baik) Kedua, pindah karena diusir dari wilayah Tangtu sebab telah melanggar adat. Meskipun begitu, antara warga
Tangtu dan Panamping secara hubungan kekerabatan mereka tidak
terputus walaupun berada status kewargaannya. Mereka tetap sesekali melakukan kunjungan satu sama lainnya demi membina keutuhan hubungan kekeluargaan. 3. Baduy Dangka Lapisan masyarakat Baduy yang ketiga adalah masyarakat Dangka. Keberadaan masyarakat kampung Dangka berdampingan dengan masyarakat luar Baduy. Bahkan dari segi berpakain, antara masyarakat Dangka dengan masyarakat luar Baduy sudah tidak terlihat lagi perbedaannya.Masyarakat Luar Baduy sudah tidak terlihat lagi perbedaannya.Masyarakat Dangka pun kini sudah banyak yang beragama Islam, bahkan memakai jilbab layaknya umat Islam lainya.Hanya dalam hal-hal tertentu mereka terkadang masih mengikuti aturan-aturan adat terutama ketika perayaan-perayaan tradisi Baduy yang dianggap sakral. Kehidupan di Baduy Dangka secara adat memang sudah jauh lebih longgar dibandingkan dengan Baduy Panamping sendiri.Karena keberadaan masyarakat Dangka pada mulanya berasal dari perpindahan masyarakat Panamping.
Hampir
sama
dengan
masyarakat
Panamping.
Keberadaan
masyarakat Dangka berasal dari dua faktor; Pertama, karena keinginan sendiri untuk pindah dari Panmping menjadi masyarakat yang hidup lebih bebas.Kedua, karena faktor adanya pengusiran dari Panamping akibat melanggar adat.
47
Meskipun begitu, warga Panamping setelah ia menjalani upacara penyucian dosa akibat melanggar ketentuan adat. Meskipun masyarakat Baduy secara tingkatan kewargaan terbagi atas tiga lapisan.Tangtu, Panamping dan Dangka. Akan tetapi setatus hubungan kekerabatan atau kekeluargaan satu sama lainnya tidak terputus. Orang Tangtu masih menganggap keluarga kepada anggota keluarganya meskipun mereka ada diwilayah Panamping atau Dangka sekalipun, begitu sebaliknya prinsip hidup seperti ini lah yang membuat keutuhan masyarakat Baduy sampai saat ini masih terjaga dengan baik. Akan tetapi perbedaan kewarganegaraan akan berpengaruh hanya dalam hal-hal tertentu seperti pernikahan, pengangkatan jabatan struktur pemerintahan. Masyarakat Baduy tidak mengenal sistem pendidikan atau sekolah formal.Adat melarang warganya untuk bersekolah formal. Mereka berpendapat bila orang Baduy besekolah akan bertambah pintar, dan orang pintar hanya akan merusak alam sehingga akan merubah semua aturan yang telah di tetapkan oleh karuhun.16 Pendekatan pendidikan di Baduy adalah non formal yang dilakukan dirumah-rumah maupuan di lapangan secara langsung.Tidak ada bangunan sekolah formal disana, meskipun demikian 40% masyarakatnya dapat membaca dan menulis.Selain menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa sehari-hari, mereka juga dapat berbicara dalam bahasa Indonesia.
16
Gunggung Senoaji, Dinamika Sosial dan Budaya Masyarakat Baduy Dalam Mengelola Hutan dan Lingkungan, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No 2, Agustus 2010, h, 304.
48
Mereka memiliki sistem pendidikan sendiri, dimana bagi anak-anak sebelum usia 10 tahun mereka dibimbing oleh orang tua masing-masing. Setelah usia 10 tahun, mereka belajar mengenai norma dan aturan yang berlaku di Baduy dengan berkelompok kecil. Kelompok-kelompok tersebut didasarkan pada kedekatan rumah mereka, dan dibimbing oleh seorang pemimpian atau Jaro yang ada di lingkungan dekat mereka.Umumnya tempat belajar mereka di rumah pemimpin mereka yang memiliki tempat luas, selain itu juga pelajaran lebih banyak dilakukan di alam secara langsung. Bagi mereka proses belajar dilakukan terus menerus dan tidak lagi dibatasi umur, siapa saja dapat datang kepada pemimpinnya atau belajar dengan orang lain yang lebih pintar kapan saja mereka membutuhkan. Materi atau substansi pendidikan yang diajarkan oleh mereka secara turun temurun pada dasarnya adalah sesuai dengan kebutuhan hidup saja.Aspek aturan hidup, ekonomi, sosial, serta lingkungan merupakan materi pelajaran yang diajarkan bagi semua masyarakat.Aspek ekonomi yang diajarkan hanya sederhana, yaitu belajar bercocok tanam dengan tetap menjaga keseimbangan alam. Semua laki-laki Baduy bisa bercocok tanam sesuai dengan cara bercocok tanam mereka. Perempuan baduy belajar menenun pakaian dan membuat gula aren.Pengetahuan sosial masyarakat diberikan untuk memahami struktur adat serta ritual-ritual yang harus dijalankan.Pelajaran mengenai menjaga kelestarian lingkungan ditujukan untuk tetap menjaga keutuhan bentuk alam.Mereka paham titik-titik mana yang tidak boleh dimanfaatkan dan tempat mana yang bisa
49
dimanfaatkan.Untuk menjaga kebersihan mereka menggunakan bahan-bahan alami dari tumbuhan sebagai pengganti sabun dan pasta gigi. Pendidikan non formal yang diajarkan sangat sederhana sekali, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup saja.Dituturkan oleh salah satu Jaro (pemimpin) bahwa mereka mendidik masyarakatnya bukan untuk menjadi pintar tetapi untuk menjadi jujur.Alam merupakan sumber ilmu yang disarikan oleh orang-orang tua dan diturunkan kepada anak-anak mereka.Prinsip dengan perubahan sekecil-kecilnya menjadi landasan pelajaran yang diajarkan kepada anak-anak.17 Masyarakat Baduy merupakan masyarakat tradisional Sunda yang kaya akan sumber kearifaan. Kerja keras sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging
bagi
mereka.
Masyarakat
menggantungkan hidupnya
pada
Baduy
khususnya
Baduy
Dalam,
pertanian tradisional, yaitu melakukan
perladangan berpindah. Di samping berladang dengan menanam padi.Padi harus ditanam menurutketentuan-ketentuan karuhun (leluhur). Padi hanya boleh ditanam di lahan kering tanpa pengairan yang disebut huma .18sumber pinghidupan mereka juga di peroleh dari usaha mencari madu lebah di hutan dan menanam atau memelihara beberapa tanaman lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak dapat di usahakan sendiri seperti ikan asin dan garam, mereka
17
Ade Luqman Hakim, Suku Baduy, Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, 2005,
h.10. 18
R. Cecep Eka Permana, Kearifan Lokal MAsyarakat Baduy Menghadapi Perubahan Sosial, Seminar Antar Bangsa Bersama Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Indonesia, (SEBUMI 3), 16-18 Desember 2010 di Universiti Kebangsaan Malaysa, h. 5.
50
melakukan kegiatan perdagangan.Orang Baduy menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak19. Pada saat pekerjaan diladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang untuk berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Penyelenggaraan usaha yang berorientasi pasar (perdagangan) sudah mulai dilakukan di rumah penduduk.Hampir di setiap kampung (Baduy Luar) ada warga yang berdagang, bahkan sudah mulai bermunculan pengusaha kecil maupun berkelompok membentuk jaringan kerja yang cukup luas. Perubahan pola hidup sebagian masyarakat Baduy tidak dapat terlepas dari peran orang-orang luar yang berkunjung ke Baduy.Pergaulan dengan dunia luar membuat masyarakat Baduy bersentuhan dengan teknologi modern yang selama ratusan tahun dilarang oleh Adat.Layaknya masyarakat kebanyakan, masyarakat Baduy saat ini sudah menonton televisi, menggunakan jam tangan, dan memiliki radio.Bahkan warga Baduy Luar sudah mempunyai telepon seluler atau ponsel.20 E. Agama Djajadiningrat, mengungkapkan bahwa agama dan kepercayaan yang ada di kebudayaan Sunda, sesungguhnya agama yang di peluk oleh orang Kanekes
19
Tengkulak, Pedagang Perantara Yang Membeli Hasil Bumi dan Sebagainya Dari Petani Atau Pemilik Pertama. 20 Risna Bintari, Sejarah Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Baduy Pasca Terbentuknya Provinsi Banten Tahun 2000, Jurnal, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Vol. 1 Tahun 2012, h.21.
51
yang pernah menjadi bahan pembicaraan di lingkungan Tweede Kamer (Parlemen)
Kerajaan Belanda.Pembicaraan
itu
didasarkan pada
laporan
Controlleur Afdeeling Lebak.Tahun 1907 yang menyatakan bahwa di daerahnya masih ada kelompok masyarakat beragama Hindu sebanyak 40 keluarga.Atas pertanyaan seorang Tweede Kamer, mentri Jajahan Belanda meminta keterangan lebih lanjut mengenai kebenaran isi laporan tersebut.Tentu yang dimaksud dengan kelompok orang Hindu itu ialah orang Kanekes.21 Baduy adalah masyarakat setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja, sebab masyarakatnya berkewajiban memelihara kabuyutan, tempat pemujaan nenek moyang, bukan Hindu atau Budha Kabuyutan di Desa Kanekes dikenal dengan Kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Wiwitan.22 Nama Sunda Wiwitan yang berarti “sunda mula-mula” adalah merupakan penyebutan untuk nama identitas agama orang Baduy. Penamaan ini muncul untuk menggambarkan bagaimana keyakinan itu adalah yang paling awal dari masyarakat Sunda Dalam literatur Sunda kuno. Sunda Wiwitan merupakan perubahan nama dari agama yang dianut oleh Wangsa Pajajaran. Jika dilihat dari sejarahnya penamaan agama Baduy menjadi Sunda Wiwitan bermula pada ritual pemujan mereka yang disimbolkan dengan Arca Domas sebagai leluhur mereka. Menurut mereka, dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kekuasaan 21
Edi S Ekadjati, Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah, Jilid I, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), h.62 22 Maskur Wahud, “Sunda Wiwitan Baduy” Agama Penjaga Alam Lindung di Desa Kanekes Banten, IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, h. 4-5.
52
yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alma), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, Konsep dan pengamalan keagamaan ditunjukan kepada pikukuh untuk mensejahtrakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Pada pelaksanaan ajaran Sunda Wiwitan di Kanekes, tradisi religius diwujudkan dalam berbagai upacara yang pada dasarnya memiliki empat tujuan utama: yaitu (1) menghormati para Karuhun atau nenek moyang: (2) menyucikan Pancar Bumi atau isi jagat dan dunia pada umumnya; (3) menghormati dan menumbuhkan atau mengawinkan Dewi Padi; dan (4) melaksanakan pikukuh Baduy (hukum ketentuan yang berlaku di Baduy) untuk mensejahtrakan inti jagat. Dengan demikian, mantra-mantra yang diucapkan sebelum dan selama upacara berisikan permohonan izin dan keselamatan atas perkenan karuhun, menghindari marabahaya, serta perlindungan untuk kesejahteraan hidup di dunia damai sejahtera.23 Mereka beriman kepada yang gaib, yang tidak bisa dilihat dengan mata, tetapi dapat diraba dengan hati.Nabi-nabi yang diimani secara eksplisit24 adalah Nabi Adam dan Nabi Muhammad mereka beriman kepada hidup, sakit, mati dan nasib adalah titipan.Umat Sunda Wiwitan menjalankan juga ritual ibadah sunah Rasul, yakni sunat atau khitan, masyarakat Baduy meyakini bahwa manusia yang pertama kali diciptakan di bumi ini berada di Kanekes sebagai inti jagat, pancar 23
Ira Indrawardana, Sunda Wiwitan Dalam Dinamika Zaman, Konferensi Internasional Budaya Sunda, Desember, 2011, h, 7 24 Eksplisit, Tegas, Gamblang, Tidak Tersembunyi, Tidak Bertele-tele, Tersurat, Jelas dan Tidak Mempunyai Gambaran Makna yang Kabur Dalam Berbagai hal : Isi Berita, Majalah, Koran, Pidato dan Linnya.
53
bumi. Karena itu, mereka melaksanakan ritual ibadah pemujaan di Sasaka Domas25sebagai penghormatan kepada roh karuhun, nenek moyang mereka mereka menyakini juga agamanya adalah Sunda Wiwitan, bukan Hindu ataupun Islam. Nabi Adam diyakini oleh umat Sunda Wiwitan sebagai simbol penciptaan manusia pertama yang berada di Sasaka Domas.Keyakinan seperti ini terdapat juga di dalam agama masyarakat jawa yang masih menghormati raja-raja, nenek moyang mereka. Antara Nabi Islam, Batara Hindu dan raja Jawa terdapat relasi geneologis, seperti termaktub di dalam pembukaan kitab Babad Tanah Jawa. Arca Domas dalam kepercayaan suku Baduy dianggap juga sebagai tempat berkumpulnya para leluhur atau nenek moyang mereka.Para leluhur tersebut selalu memantau dan menjaga anak keturunan suku Baduy.Mereka sering datang ke kampung-kampung melalui leuweung kolot yaitu hutan primer dan leuweung lembur yakni hutan kampung.Dengan adanya keyakinan ini pula maka konservasi hutan terjaga dengan baik.Kiblat ibadah pemujaan umat Sunda Wiwitan yaitu Arca Domas.Arca Domas berbentuk bangunan punden berunduk atau berterasteras sebanyak tujuh tingkatan.Setiap teras diberi hambaro, benteng yang terdiri atas susunan “menhir” (batu tegak) dari batu kali. Pada teras tingkat keempat terdapat menhir yang besardan berukuran tinggi sekitar 2 m pada tingkat teratas terdapat “batu jumping” dengan lubang bergaris tengah sekitar 90 cm, menhir dan “arca batu” Arca batu ini disebut Arca Domas, Domas berarti keramat, suci. Tingkatan teratas, semakin ke selatan undak-undakan semakin tinggi dan suci.Bangunan tua ini merupakan sisa peninggalan magalitik.Sebagai kiblat 25
Sasaka Domas Juga Disebut Pula Mandala Parahiyangan, Lokasi Sasaka Domas Ada di Hutan Larangan Pada Hulu Ciparahiyang,
54
ibadah.Arca Domas diyakini sebagai tanah atau tempat suci, keramat (sacral), para nenek moyang berkumpul. Di tanah suci umat Sunda Wiwitan melaksanakan ritual pemujaan Ritus muja adalah ziarah memanjatkan doa dan membersihkan obyek utama pemujaan Baduy. Ibadah ritual pemujaan di Arca Domas dipimpin oleh Puun.Tujuan ritus muja adalah untuk memuja para Karuhun, nenek moyang dan menyucikan pusat dunia. Ritual ini dilaksanakan selama tiga hari tanggal 16, 17 dan 18 pada bulan kalima.Waktu tiga hari ritual terbagi terdiri dari, dua hari untuk pergi dan pulang dan sehari untuk ibadah ritual muja. Setelah ritual muja, dilanjutkan dengan membersihkan dan membenahi pelataran teras.Sampai pada batu lumpang yang disebut Sanghyang Pangumbaran.Keadaan air di dalam “batu lumpang” adalah simbol keadaan alam Baduy. Jika airnya penuh dan jernih, menandakan akan turun hujan banyak, cuaca baik dan panen berhasil. Sebaliknya, jika air dangkal dan keruh menandakan kekeringan dan kegagalan panen pada keadaan “menhir” di puncak, jika dipenuhi lumut menandakan akan mendapatkan kesentosaan dan kesejahtraan dalam tahun bersangkutan, tetapi sebaliknya dapat memperoleh kesengsaraan dan kesulitan.26 Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy adalah seperti tertuang dalam ungkapan sebagai berikut:27 Gunung teu meunang dilebur
26
Yollanda Octavitri, Jurnal Wacan, Resepsi Masyarakat Kabupaten Lebak Provinsi Banten Terhadap Upacara Seba Suku Baduy, Universitas Diponegoro Semarang, h. 7-8. 27 R. Cecep Eka Permana, Kearifan Lokal MAsyarakat Baduy Menghadapi Perubahan Sosial, Seminar Antar Bangsa Bersama Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Indonesia, (SEBUMI 3), 16-18 Desember 2010 di Universiti Kebangsaan Malaysa, h.4.
55
Lebak teu meunang dirusak Larangan teu meunang dirempak Buyut teu meunang dipotong Pondok teu meunang disambungan Nu lain kudu dilainkeun Nu ulah kudu diulahkeun Nu enya kudu dienyakeun Artinya: “Gunung tidak boleh dihancurkan Lembah tidak boleh dirusak Larangan tidak boleh dilanggar Buyut tidak boleh diubah Panjang tidak boleh dipotong Pendek tidak boleh disambung Yang bukan harus ditiadakan Yang lain harus dilainkan Yang benar harus dibenarkan” Kesakralan nilai ajaran yang dimiliki oleh agama orang Baduy membentuk mereka secara berhati-hati dan patuh dalam menjalankan berbagai Pikukuh adat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh salah seorang pemangku adat Baduy bernama Ayah Mursid.28 Menurutnya; “Agama nu diangem ku masyarakat Baduy ngarana Agama Salam Sunda Wiwitan, nbina Adam Tunggal.Dina kayakinan Sunda Wiwitan kami mah teu kabagean parentah shalat seperti dulur-dulur sabab wiwitan Adam tugasna 28
2016.
Ayah Mursid, Tokoh Masyarakat Adat Cibeo, Wawancara Pribadi, Cibeo, 27 Juni
56
memelihara keseimbangan ieu alam, teu ngabogaan kitabna da ajarannaneurap jeng alam.Makana agama Salam Sunda Wiwitan ngan ukur keur urang Baduy”.
BAB III TRADISI PERKAWINAN SUKU BADUY A. perkawinan Suku Baduy Bagi masyarakat Baduy sendiri, perkawinan merupakan sesuatu yang sakral. Karena alasan itu, maka tata cara perkawinan pun dimulai dari proses peminangan sampai membina rumah tangga juga diatur dalam ketentuan adat Baduy yang mengikat. Bagi masyarakat Baduy, prinsip hidup berumah tangga adalah hidup selamanya. Dalam persepsi masyarakat Baduy, jika seseorang sudah menentukan pasangan hidupnya, maka ia harus lah bertanggung jawab terhadap keluarganya termasuk di dalamnya dilarang untuk menyakiti pasangan hidupnya dalam bentuk apa pun. Masyarakat Baduy meyakini bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting, dan wajib dilakukan oleh seluruh masyarakat Baduy tanpa terkecuali.Menurut meraka, perkawinan adalah merupakan hukum alam yang harus terjadi dan dilakukan oleh setiap manusia tanpa terkecuali. Orang Baduy menyebutnya perkawinan sebagai rukun hirup1, artinya bahwa perkawinan harus dilakukan, karena jika tidak maka ia akan menyalahi kodratnya sebagai manusia. Dalam pengertian lain perkawinan ialah yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan karena ikatan suami istri, dan
1
Rukun Hirup, Pedoman Hidup Masyarakt Baduy, Pagangan Hidup Dalam Menjalani Sebuah Kehidupan..
57
58
membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan peraturan pemerintah no 9 tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam, tidak menggunakan kata “nikah atau pernikahan”, tetapi mengggunakan kata “perkawinan”. Hal tersebut berarti bahwa makna nikah atau kawin berlaku untuk semua yang merupakan aktivitas persetubuhan. Karena kata “nikah” adalah bahasa arab, sedangkan kata “kawin” adalah bahasa Indonesia. Pada hakikatnya, akad nikah adalah pertalian yang teguh dan kuat dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga.2 Di dalam undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 seperti yang termaktub di dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa3 Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah akad yang sangat kuat (mitsaqon ghalidhan) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.4
2
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Pustaka Setia, Cet 1, Bandung , Desember 2011, h, 10 3 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung; ALUMNI, 1992), h, 88. 4 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta; Indonesia Legal Center Publising, 2007), h. 142.
59
Jika ditinjau dari segi adanya kepastian hukum dan pemakaian “nikah” dengan arti “perjanjian perikatan” persoalan pernikahan adalah persoalan manusia yang banyak seginya, mencakup seluruh segi kehidupan manusia, mudah menimbulkan emosi dan perselisihan. Karena itu adanya kepastian hukum bahwa telah terjadinya suatu perkawinan sangat diperlukan.Dalam hal ini telah terjadinya suatu aqad (perjanjian) pernikahan mudah diketahui dan mudah diadakan alat-alat buktinya sedang telah terjadinya suatu persetubuhan sulit mengetahuinya dan sukar membuktikannya.5 Terdapat banyak hikmah dalam pernikahan, pernikahan merupakan sarana terbaik untuk mendapatkan keturunan, menjaga keberlangsungan hidup dan dapat menghindari terputusnya nasab6 Dalam upacara perkawinan terdapat syarat rukun yang harus dipenuhi. Keduanya terdapat perbedaan. Rukun nikah adalah merupakan bagian dari hakikat akan kelangsungan perkawinan seperti laki-laki, perempuan, wali, saksi, dan sebagainya. Sedangkan syarat nikah adalah sesuatu yang pasti atau harus ada ketika perkawinan berlangsung.7 Jika seseorang ingin melangsungkan perkawinan tentu tidak terlepas dari rukun dan syarat sah nya perkawinan, perkawinan dianggap sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya. Rukun nikah merupakan bagaian dari segala hal yang terdapat dalam perkawinan yang wajib dipenuhi. Kalau tidak terpenuhi,
5
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta; Bulan Bintang, 1993), Cet. 3 h.2. 6 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Cet, 2, Jakarta : Cakrawala Publishing, 2011, h. 206. 7 Muhammad Asnawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta; Darussalam, 2004), h.50.
60
perkawinan tersebut dianggap batal. Dalam Kompilasi Hukum Islam (pasal 14) rukun nikah terdiri dari lima macam, yaitu adanya: 1. Calon suami 2. Calon istri 3. Wali nikah 4. Dua orang saksi 5. Ijab dan qabul Dalam Kompilasi Hukum Islam bab IV pasal 14, yang berisi tentang rukun dan syarat perkawinan adalah sebagai berikut;8 calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab kabul. Dalam Islam, dan syarat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, karena kebanyakan dari setiap aktivitas ibadah yang ada dalam agama Islam, senantiasa ada yang namanya rukun dan syarat, sehingga bisa dibedakan dari pengertian keduanya adalah syarat yang merupakan suatu hal yang harus ada dan terpenuhi sebelum melakukan suatu perbuatan, sedangkan rukun merupakan suatu hal yang harus ada atau terpenuhi pada saat perbuatan dilaksanakan. Kaitannya dengan perkawinan adalah bahwa rukun perkawinan merupakan sebagian dari hakikat perkawinan, seperti harus adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan, wali, akad nikah dan saksi. Semua itu adalah sebagian dari hakikat perkawinan dan tidak dapat terjadi suatu perkawinan kalau
8
Direktorat Pembinaan Badan Pradilan Agama Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta; Direktorat Pembinaan Badan Peradilan agama, 1992), h. 18.
61
tidak ada salah satu dari rukun perkawiann di atas. Maka yang demikian itu dinamakan perkawinan.9 Perkawinan merupakan bentuk silaturahmi yang signifikan dalam membentuk struktur masyarakat. Setelah terjadinya perkawinan, ada sepuluh implikasi mendasar, yaitu:10 1. Terbentuknya hubungan darah antara suami dan istri. 2. Terbentuknya hubungan darah orangtua dan anak. 3. Terbentuknya hubungan kekeluargaan dari pihak suami istri. 4. Terbentuknya hubungan kerabat dari anak-anak terhadap orangtua suami istri (mertua). 5. Terbentuknya hubungan waris-mewarisi. 6. Terbentuknya rasa saling membentuk dengan sesama saudara dan kerabat. 7. Terbentuknya keluarga yang luas. 8. Terbentuknya rasa solidaritas sosial di antara sesama keterunan. 9. Terbentuknya persodaraan yang panjang hingga akhir hayat. 10. Terbentuknya masyarakat yang berperinsip pada sikap yang satu yaitu satu ciptaan, satu darah, dan satu umat di mata Allah sang pencipta. Dalam aturan adat Baduy baik Tangtu maupun Panamping, praktek poligami sangat dilarang. Karena bagi masyarakat Baduy sendiri, menikah cukup satu kali seumur hidup,Terkecuali salah satu diantaranya meninggal maka ia diperbolehkan untuk menikah lagi. namun jika kita kaitkan dengan syariat Islam, 9
Muhammad Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta; PT, Hidakarya Agung, 1996), h. 34 10 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Pustaka Setia, Cet 1, Bandung , Desember 2011, h.67.
62
perbuatan poligami ditetapkan sebagai perbuatan yang dibolehkan atau mubah dan bukan wajib,
tetapi akan lebih baik hanya mempunyai seorang istri karena
perkawinan yang diajarkan Islam harus menciptakan suasana yang sakinah, mawwadah, warahmah. Praktek poligami bagi masyarakat Baduy justru akan membuat terpecahnya keutuhan masyarakat Baduy itu sendiri. Bahkan dalam ketentuan adat Baduy Tangtu, perceraian pun dilarang, akan tetapi dalam Baduy Panamping, sudah dikenal adanya perceraian, akan tetapi masih relatif sedikit. Dengan aturan adat yang ketat ini, maka hampir sulit menemukan pasangan suami istri yang bercerai seperti banyak yang terjadi dikalangan masyarakat luar Baduy. Dalam tata cara perkawinan yang diperaktekan masyarakat Baduy, dan demi untuk menjaga harmonisasi keluarga, maka aturan tentang batas usia minimal juga menjadi poin penting untuk pertimbangan oleh adat Baduy. Hal ini penting diatur, mengingat, dalam membina keluarga dibutuhkan mental yang kuat agar segala beban hidup berkeluarga dapat diselesaikan dengan tanpa mengorbankan keutuhan keluarga. Masyarakat Baduy masih berpegang kepada ketentuan tradisi lama, anak laki-laki baru dikawinkan sekitar usia 23 tahun dan anak perempuan dalam usia 18 tahun.11 Dalam hukum perkawinan, ketentuan batas usia minimal untuk melangsungkan perkawinan hanya terdapat pada pasal 15 ayat (1) yang menyebut ”untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur berdasarkan ketetapan pasal
11
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) 1984/1985, h. 69.
63
7 undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun’.12 Ketatnya aturan adat tentang batas minimal warga Baduy boleh melakukan pernikahan karena hal ini merupakan ajaran sakral sebagaimana tercatat dalam naskah Sanghiyang Siksakanda Ng Karesian pada tahun 1518 M. Di antara isinya ”ini
adalah:
lah
ketentuan
untuk
kita
menjodohkan
anak,
jangan
dikawinkanterlalu muda. Tidaklah baik menjodohkan anak di bawah umur, karena nanti kita terbawa salah dan nanti yang mengawinkannya disalahkan juga”13 Dalam masyarakat Baduy ada pelarangan pernikahan pada hari-hari tertentu, yaitu pada hari perayaan yang menurut masyarakat Baduy sangat sakral. Yaitu pada bulan Kawalu, Ngalaksa dan Seba.14 Setiap masyarat Baduy tentu harus mengikuti setiap aturan yang telah ditentukan oleh leluhur mereka, oleh karena itu setiap masyarakt Baduy di larang mengadakan acara perkawinan pada hari-hari yang telah di tentukan. Jika ada masyarat baduy yang melakukan nya maka akan di berikan sanksi. Di karenakan hari-hari tersebut sangat sakral dan wajib hukum nya untuk di ikuti oleh masyarat Baduy. Menurut Jaro Sami,15 jika ada masyarakat Baduy yang melanggar melanggar aturan adat makan akan diberikan sanksi, hukuman akan sisesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang 12
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta Selatan: Januari 2008), cet, 1, h.219 13 K. Muhammad Hakiki, Makna Perkawinan Bagi Orang Baduy, Persepsi Masyarakat Baduy Tentang Makna Perkawinan,Artikel diakses Pada 14 Juni 2016, file:///D:/BADUY%20HERITAGE%20%20%20%20Makna%20Perkawinan%20Bagi%20Orang% 20Baduy.htm 14 Jaro Saija, Kepala Desa Kanekes, Wawancara Pribadi, Lebak, Banten, 15 Januari 2016. 15 Jaro Sami, Tokoh Adat Baduy, Wawancara Pribadi, Cibeo, 27 Juni 2016
64
terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Puun untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu mulut antara dua atau lebih warga Baduy. Hukuman berat diperuntukan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Puun dan Jaro, masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy. Menariknya yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota. Kawalu, adalah acara dari sistem penanggalan suku Baduy yang mana berjumlah 12 bulan ada tiga bulan yang dianggap sakral karena menyangkut hari khusus keagamaan yaitu bulan kawalu pada bulan Kasa, Karo, Katiga (bulan ke 10, 11 dan 12). Kegiatan ini dimaksudkan untuk menyucikan dari secara lahir dan batin dengan melaksanakan puasa satu hari pada setiap bulan tetapi tidak sahur dan bukanya diatur dengan ketentuan adat. kawalu juga merupakan upacara adat masyarakat Baduy dilaksanakan dalam waktu sangat panjang sebagai peristiwa besar dalam mengakhiri tutup tahun. Seluruh kawasan dinyatakan tertutup bagi tamu yang mau masuk, di dalam
65
dilakukan pembersihan sebagai setandar ketaatan terhadap kepercayaan yang diyakini. Pasukan khusus dibentuk oleh Puun yang di dalamnya terdiri dari tokoh adat, untuk melaksanakan tugas pembersihan terhadap masyarakatnya. Oprasi dilakukan dari rumah ke rumah, untuk menyita dan menghancurkan barang yang dilarang. Dalam waktu 1 bulan kampungnya harus sudah dinyatakan bersih dari semua barang yang berupa perabotan dapur, perabotan rumah, perhiasan, pakain dan pajangan buatan pabrik, atau produksi dari luar kampung. Seperti pring, gelas, tatakan, cangkir, mangkok, barang elektronik dan tanaman pohon kopi dan cengkeh. Masyarakat pelanggar tetep diadili, sesuai dengan peraturan, dengan tidak pandang bulu. Setelah tugas oprasi selesai, lapor kepada Puun yang terus melakukan persiapan berikutnya, berziarah ke penembahan Arca Domas, upacara ziarah dilakukan secara khusus, yang dipimpin langsung oleh Puun Cikeusik, bersama rombongan yang terbatas. Biasanya 8 orang tokoh adat daro Cikeusik, Cibeo, Cikartawana. Semua rombongan yang berangkat harus berpuasa selama 2 hari 2 malam, dilakukan sejak berangkat sampai kembali. Perjalanan dimulai dari Kampung Cikeusik sebelum fajar, untuk tidak diketahui semua penghuni kampung. Setelah sampai ditempat penziarahan, rombongan membersihkan dirinya di pengumbahan batu lumpang, dan istirahat di Saung Talahap, sambil mengheningkan cipta. Kemudian Puun membersihkan makam-makam yang kotor oleh daun dan membetulkan bagian-bagian yang rusak atau berubah. Biasanya rombongan peserta membersihkan pelataran dengan ”sesapuan”, yang berlanjut kepada kirim
66
doa dan membaca mantra-mantra. Ziarah dilakukan pada tanggal 12-14 bulan Silih Mulud, menginap 2 malam di penziarahan. Setelah selesai mengadakan pertemuan dengan Puun Cibeo, Cikartawana bersama para tokohdan sesepuh adat, untuk menentukan hari yang tepat upacara kawalu Mitembeyan. Menurut perhitungan orang Baduy jatuh pada Sasih Kasa atau bulan Rajab melakukan pemetikan padi pertama istilahnya menjemput Dewi Sri. Pelaksanaanya dilakukan oleh Girang Serat, yang disaksikan warganya, menuai dua ikatan kecil, dibawa pulang dengan digendong, bersama iring iringan warganya. Dua ikatan padi yang melambangkan sepasang pengantin, diletakan di Bale Adat, di sekelilingnya sudah tersedia sesajen sirih sepenginangan, air putih dan dikukusi dengan asap kemenyan lengkap mantera-manteranya. Peristiwa ini merupakan isyarat kepada warga petani tibanya saat panen dan harus secara serentak turun keladang mengetem padi. Orang Baduy menyebutnya pesta panen, yang diwarnai kegembiraan. Setelah panen selesai padi-padi sudah sampe kerumah, dijemur, dibersihkan, dan diikat rapih. Selang sebulan jatuh pada tanggal 1 bulan Ruwah berjalan upacara Kawalu Tengah. Saat ini suara lesung bersahut-sahutan, kesenian Rendo, Kecapi dan tembang di setiap rumah, para petani terus mengurus hasil panennya, memilih tangkai-tangkai padi untuk benih, sambil membersihkan kelopak tangkai dan memisahkan butiran-butiran hampanya. Peristiwa ini setiap tahun hadir dengan versi yang sama, dipetik, dijemur, dibersihkan, digendong, diangin dan dimasukan lumbung itulah tahap-tahapan yang dikerjakan. Semua berjalan secara pasti, berjambat pada tradisi yang berkarat dalam aturan adat.
67
Ngalaksa. adalah suatu upacara suku Baduy yang tergolong sakral dan sangat di jaga kerahasian pada saat pelaksanaannya. Dengan isi kegiatan untuk mendoakan dan melaporkan jumlah warga khusus Baduy secara lahiriah dan batiniah kepada leluhur dan Yang Maha Kuasa. Kegiatan ngalaksa diselenggarakan pada akhir bulan ketiga yaitu bulan terakhir dalam kalender Kanekes dan berlangsung 7 hari lamanya sejak tanggal 21 bulan tersebut. Kegiatan ini diawali di kepuunan kemudian berantai sampai di seluruh kampung Panamping. Bahan pembuat laksa dibuat dari hasil huma. Yang paling menonjol dari kegiatan ngalaksa ini adalah unsur sakralnya sebab yang dijadikan inti tepung bahan laksa adalah beras dari 7 rumpun padi yang ditanam di pupuhunan ”huma serang” (di Tangtu) dan ”huma tuladan” (di panamping). Karenan pepohonan menjadi pusat seluruh ladang, di situlah menurut pandangan orang Kanekes terkumpul zat-zat terbaik yang terkandung dalam bumi. Nilai sakral inilah yang mengharuskan para petugas yang dilibatkan dalam pembuatan laksa harus berpuasa selama menyelesaikan tugasnya. Merekapun dipilih dari kalangan penduduk yang berpengalaman dan dikenal baik prilakunya. Di samping itu, ngalaksa merupakan penutup dari seluruh kegiatan pertanian untuk tahun yang bersangkutan. Seba, adalah kegiatan rutin masyarakat suku Baduy dan merupakan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun untuk menghadap pemerintah (Ratu dan Menak) secara resmi dengan tujuan utama menjalani mempererat silaturahmi, melaporkan situasi dan kondisi lingkungan suku Baduy sehingga terjalin kerja sama untuk saling mendoakan dan saling melindungi.
68
Upacara Seba sudah menjadi tradisi yang sifatnya wajib dilaksanakan setahun sekali pada bulan Safar awal tahun baru sesuai dengan penanggalan adat Baduy (berkisar bulan April-Mei pada tahun Masehi). Tujuan dari kegiatan ini adalah ekspresi rasa syukur dan penghormatan suku Baduy kepada pemerintah. Bentuk rasa syukur dan penghormatan ini dengan mempersembahkan sesuatu yang dianggap berharga (sesaji, dalam konteks ini adalah hasil panen) bagi suku Baduy untuk diberikan kepada pemerintah (dalam hal ini Bupati Kabupaten Lebak). Adapun mitos dibalik Upacara Seba yaitu Batara Tunggal dipercaya oleh suku Baduy sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Tempat kediamannya terletak di hulu sungai Ciujung dan Cisimeut. Tempat keramat tersebut oleh suku Baduy dinamakan Arca Domas, yang tertutup bagi siapapun kecuali pemimpin Suku Baduy atau Puun. Batara Tunggal menciptakan bumi yang berawal dari benda besar yang kental dan bening. Yang kemudian melebar dan berangsur-angsur mengeras. Asal mula terjadinya bumi dan terletak di wilayah Baduy, maka suku Baduy sangat meyakini wilayahnya sebagai pancar bumi atau inti jagat dan juga Sasaka Pusaka Buana atau pusat dunia yaitu Arca Domas. Arca Domas selain dianggap sebagai inti jagat, juga di anggap sebagai tempat diturunkannya cikal bakal orang Baduy dan manusia penghuni bumi lainnya. 16
16
Yollanda Octavitri, Resepsi Masyarakat Kabupaten Lebak Provinsi Banten Terhadap Upacara Seba Suku Baduy, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dipenegoro Semarang, 2010, h, 6.
69
B. Tahap Mencari Jodoh Pada dasarnya, di Kanekes urusan jodoh masih menjadi urusan orang tua. Hanya di Panamping ada sedikit kelonggaran sebab anak kadang-kadang ikut menentukan pilihannya, sama hal nya dengan di tempat lain, di Kanekes pun peristiwa perjodohan didahului oleh acara ”lalamar”atau ”ngalamar” (meminang). Dalam masa pacaran, biasa melakukan pertemuan pertemuan tetapi seperti orang yang tidak saling mengenal, istilahnya acuh tapi butuh. Berbicara hanya melalui mata, walupun gejolak perasaannnya luar biasa, karena ada rasa takut, malu, rikuh, untuk mengungkap terus terang, di samping adat menganggap tabu Orang ketiga dari pihak si bujang maupun si gadis, yang menjadi perantara juga sembunyi-sembunyi melakukan pertemuan, sampai pada saat pertunangan resmi baru ketahuan oleh umum,17 C. Upacara Lamaran dan Penentuan Mahar Lamaran merupakan langkah awal dari suatu pernikahan. Hal ini telah disyariatkan oleh Allah sebulum diadakannya akad nikah antara suami istri. Dengan maksud, supaya masing-masing pihak mengetahui pasangan yang akan menjadi pendamping hidupnya.18 Lamaran atau khitbah mengandung arti permintaan. Peminangan (lamaran) dilakukan sebagai permintaan secara resmi kepada wanita yang akan dijadikan calon istri atau melalui wali wanitanya itu. Sesudah itu baru dipertimbangkan apakah lamaran itu dapat diterima atau 17
Djoewisno, Potret Kehidupan Masyarakat Baduy, Orang-orang Baduy Bukan Suku Terasing Mereka yang Mengasingkan diri di Banten Selatan, Cetakan, Pertama 1987, h. 145. 18 Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita, (Jakarta; Al-Kautsar, 1998), cet 1, h. 398.
70
tidak.19yang menurut adat merupakan bentuk pernyataan dari satu pihak kepada pihak dengan maksud untuk mengadakan ikatan perkawinan. Khitbah ini pada umumnya dilakukan pihak laki-laki terhadap perempuan dan ada pula yang dilakukan oleh pihak perempuan. Dalam hukum Islam, tidak dijelaskan tentang cara-cara pinangan. Hal ini memberikan peluang bagi kita untuk mengikuti adat istiadat yang berlaku. Upacara pinangan atau tunangan dilakukan dengan berbagai variasi. Cara yang paling sederhana adalah pihak orangtua calon mempelai lakilaki mendatangi pihak calon mempelai perempuan dan mengutarakan maksudnya kepada calon besan. Dalam acara pertunangan biasanya tukar cincin.20 Sedangkan pada masyarakat Baduy, ketika ke dua keluarga atau pihak telah sepakat untuk saling menjodohkan anaknya, maka sampai pada tujuan utama yakni melakukan perkawinan, biasanya mereka melakukan beberapa prosesi ritual ada yang sudah ditentukan secara turun temurun. Adapun prosesi ada praperkawinan yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Baduy adalah prosesi pelamaran atau dalam bahasa mereka disebut dengan “lalamar” Dalam proses pelamaran, biasanya dilakukan sebanyak tiga tahap.21 Lamaran pertama, dilakukan di rumah pihak perempuan pada waktu sore hari. Proses lamaran ini dilakukan ketika anak-anak mereka masih berada di ladang. Biasanya pihak orang tua pria mendatangi rumah orang tua si perempuan dengan membawa sirih pinang sebagai simbol bahwa kedatangan mereka akan melamar anaknya. Setelah ada kesepakatan antara pihak laki-laki dan perempuan, 19
M. Ali Hasan, Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2003), cet, 1, h.23 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Pustaka Setia, Cet 1, Bandung , Desember 2011, h.70 21 K, Muhammad, Hakiki, “Upacara Perkawinan Orang Baduy”, Artikel di Akses pada 12 April 2016 dari (baduybantenheritage.blogspot.com). 20
71
maka pihak laki-laki pun mendatangi Jaro Tangtu dalam rangka bermusyawarah membicarakan maksudnya akan mengawinkan anaknya. Ketika berkunjung menemui Jaro Tangtu, pihak laki-laki biasanya membawa perlengkapan syirih atau nyirih dan bumbunya sebab di kanekes peristiwa ngalamar (meminang) itu masih dilaksanakan sesuai dengan arti harfiah; makan sirih, dalam bahasa mereka sebagai syarat wajib yang harus dilakukan dalam proses lamaran pertama. Tempat sirih pinang itu dibuat khususdari anyaman bambu, sedangkan yang akan di persembahkan kepada Puun diwadahi terpisah dalam bokor (sejenis bakul terbuat dari logam). Sirih pinang22 itu sementara disimpan di rumah Jaro untuk dikeluarkan pada waktunya. Acara pinangan dilangsungkan sore hari sekitar jam 18.30. tempat sirih pinang yang di tutupi dengan kain putih dikeluarkan dari rumah Jaro Tangtu, Dalam pertemuan ini, agenda yang dibicarakan adalah prihal penentuan waktu (hari, tanggal, dan bulan) untuk proses lamaran kedua Setelah pembicaraan itu selesai, maka Jaro Tangtu pun keesokan harinya membicarakan kepada Puun sebagai petinggi warga Baduy dalam rangka meminta petunjuk dan keputusan terkait dengan rencana salah satu warganya yang akan menikahkan anaknya. Lamaran kedua, bila maksud lamaran pihak pria diterima oleh orang tua pihak perempuan, maka delapan bulan kemudian, keluarga pihak pria dengan membawa calon pengantin pria mendatangi rumah calon istrinya. Pada lamaran tahap kedua ini, biasanya dilakukan acara nyereuhan atau dalam bahasa lain tukar cincin. Dalam acara lamaran kedua ini juga kembali dibicarakan terkait dengan 22
Sirih pinang, Adalah Warisan Budaya Indonesia Yang Dilakukan Dengan Mengunyah Bahan-Bahan Bersirih Seperti Pinang, Sirih, Gambing, Tembakau, Kapur, Cengkih.
72
waktu perkawinan.Dalam tahap kedua ini, seluruh warga Baduy Tangtu biasanya hadir untuk menjadi saksi. Proses lamaran tahap kedua ini dilakukan di tempat khusus namanya Balai Adat. Dalam sesi lamaran kedua ini, orang tua pihak pria menyerahkan anak yang akan dinikahkan untuk bekerja di ladang milik calon mertuanya. Ketika pihak perempuan merasa cocok dengan hasil kerja calon menantunya, maka biasanya diteruskan sampai enam bulan bahkan satu tahun. Hal ini dilakukan agar pihak perempuan mengetahui bahwa calon menantunya betul-betul bisa bekerja dan bisa bertanggungjawab atas keluarganya kelak. Ketika proses penilaian ini selesai, dan pihak perempuan merasa yakin atas kemampuan calon menantunya, maka proses lamaran ke tiga pun dilakukan.
Lamaran ketiga.Pada sesi lamaran ketiga ini, pihak laki-laki kembali mendatangi pihak perempuannya dengan maksud menegaskan keinginannya untuk menjodohkan anaknya. Pada proses lamaran ketiga ini, biasanya pihak lakilaki membawa seserahan berupa seperangkat kebutuhan dapur (alat-alat dapur) termasuk beras. Dalam sesi lamaran ketiga ini juga dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Puun dan perangkat adat Baduy. Acara dalam sesi lamaran ketiga ini masyarakat Baduy menyebutnya dengan proses seserenan atau dalam bahasa lain disebut dengan seserahan. Jika kita perhatikan, praktek serahserahan seperti ini memang bukanlah hal yang aneh, karena cara ini pun biasanya dilakukan oleh masyarakat di luar Baduy. Ada proses ritual yang menarik dalam acara tahap lamaran ketiga ini. Proses ini sangat sakral sehingga tidak boleh terlewatkan. Proses yang dimaksud adalah pembacaan syahadat adat yang dibacakan secara langsung oleh Puun
73
untuk
kedua
belah
pihak
yang
akan
melangsungkan
pernikahan.
pembacaansyahadat batin ini berfungsi sebagai sumpah setia agar pertalian jodoh mereka awet dan tidak ada perceraian dikemudian hari. D. Upacara Perkawinan Antara peristiwa meminang dan perkawinan tidak tentukan jangka waktunya karena hal itu tergantung dari kesiapan kedua pihak orang tua calon mempelai terutama pihak laki-laki. Tenggang waktu itu kadang-kadang sampai setahun. Setelah acara lamaran selesai, kawin adat ala tradisi Baduy pun dilakukan prosesi perkawinan Baduy biasanya dilakukan sampai tiga hari, pada hari pertama biasanya diisi dengan acara persiapan pra perkawinan dengan menyiapkan semua kebutuhan pesta perkawinan. Pada hari pertama ini juga semua kerabat baik dari pihak pria maupun wanita berkumpul di tempat pengantin.Pada hari kedua, diadakanlah upacara selamatan baik di rumah pria maupun wanita.Upacara ini dilakukan sebagai rasa syukur dan berdoa kepada Sang Batara Tunggal dan para Karuhun agar acara perkawinan tersebut dapat berjalan dengan lancer.Biasanya yang hadir dalam acara selamatan ini adalah kerabat terdekat dilingkungan masing-masing, pada upacara selametan ini dipimpin oleh tangkesan atau dukun kampung.Acara selametan ini dilakukan pada waktu menjelang malam hingga tengah malam.Pada waktu yang bersamaan juga diadakan upacara selamatan di Bale yang dihadiri oleh masing-masing utusan pihak pengantin.Acara ini dipimpin langsung oleh Puun, Jaro dan kerabat pihak pengantin.Acara ini dipimpin lansung oleh Puun. Pada acara ini, Puun memanjatkan doa-doa dan syahadat ala Baduy Syahadat tersebut berbunyi:
74
Asyhadu sahadat sunda Jaman Allah ngan sorangan Kaduana Nabi Muhammad Nu cicing dibumi anggarincing Nu calik, calikna di alam keueung Ngacacang dialam mokaha Salamat umat Muhammad Artinya; Asyhadu syahadat sunda Allah hanya satu Kedua para Rasul Ketiga Nabi Muhammad Keempat umat Muhammad Yang tinggal di dunia ramai Yang duduk di alam takut Menjelajah di alam nafsu Selamat umat Muhammad
Setelah acara selamatan pada hari kedua selesai, maka pada hari ketiganya adalah puncak dari acara perkawinan. Sebelum sang pengantin dibawa ke Balai Adat, biasanya si mempelai terlebih dahulu di rias dengan tatarias ala Baduy. Setelah itu, maka si mempelai wanita pun di bawa ke Balai Adat atau pendopo kepuunan. Acara ini dilakukan pada siang hari dengan langsung dipimpin oleh
75
Jaro Tangtu.Pada acar ini kegiatan yang dilakukan adalah ngabokor yakni penyerahan seperangkat sirih dan pinang yang diletakkan di atas bokor yang terbuat dari logam kepada Puun oleh Jaro.23 Nampaknya tidak hanya sirih pinang satu bokor yang diserahkan kepada Puun, sang kerabat pengantin pun kemudian menyerahkan sepering nasi dan ikannya kepada Puun. Setelah itu, Puun pun kemudian berdoa dan membaca mantra-mantra keselamatan yang kemudian ditiupkan kepada sepiring nasi yang disajikan tersebut.Setelah itu, sepiring yang sudah dibacakan mantra itu pun kemudian diserahkan kembali kepada sepasang pengantin tersebut. Setelah itu pun masing-masing pengantin saling menyuapi satu sama lain secara bersama-sama. Setelah itu, maka seluruh kerabat dan perangkat kepuunan yang terlibat pun kemudian makan bersama. Setelah makan bersama selesai, maka upacara pembasuhan kaki pengantin pria oleh pengantn wanita pun dimulai. Dalam upacara ini, pengantin wanita mengambil air ke pencuran dan sang suami pun menunggu di gelodog balai adat. Pembasuhan kedua kaki suami oleh sang istri dipercayai oleh masyarakat Baduy sebagai simbol tugas dan kesetiaan istri pada suami. Dengan dibasuhnya kaki suami oleh istrinya, maka berakhirlah rangkaian upacara perkawinan di Balai Adat. Setelah upacara adat di Balai Adat selesai, maka acara selanjutnya dengan diantarkan Jaro, upacara lanjutan pun dilakukan dirumah mempelai wanita, maka keduanya pun didudukan secara bersanding.Mereka pun diminta duduk
23
Jaro Sami, Tokoh Masyarakat Adat Cibeo, Wawancara Pribadi, Cibeo, 27 Juni 2016.
76
menghadap Jaro.Dan Jaro pun menggenggam ke dua ibu jari pasangan pengantin dan kemudian memantrainya. Setelah bacaan mantra oleh Jaro selesai, maka sejak saat itu mereka telah disahkan sebagai pasangan suami istri yang akan membina sebuah keluarga. Upacara ritual adat pun kemudian dilanjutkan pada malam hari.Seluruh kerabat pengantin diminta untuk datang dan menikmati menu makanan yang telah disiapkan.Di sela acara makan bersama, mereka dihibur oleh juru pantun. Tata cara perkawinan itu berlaku umum baik untuk penduduk Tangtu maupun untuk penduduk Panamping yang tidak mampu memenuhinya diberi kelonggaran melaksanakan akad nikah di depan penghulu secara Islam atas persetujuan Puun. Prosedur persyaratan di depan peghulu sama dengan kebiasaan di tempat lain kedua mempelai diantar oleh orang tua mereka pergi ke Kampung Cicakal Girang yaitu perkampungan orang Islam Baduy Panamping, hal ini diberikan oleh Puun dengan syarat mereka tidak beralih agama.24 masyarakat Baduy memandang bahwa perkawianan itu adalah suatu hal yang sangat suci karena merupakan proses ikatan lahir batin dua insan untuk membangun rumah tangga dari dunia sampai akhirat nanti. Oleh karena itu, keduanya harus terikat dalam kondisi satu hati, satu rasa, satu tujuan, satu adat istiadat, serta satu prinsip untuk menuju kehidupan masa depan yang harmonis, sejahtera lahir dan batin hukum adat melarang terjadinya perceraian pada setiap pasangan suami istri warga Baduy Dalam kecuali karena kematian. Mereka tidak mengenal dan mentolelir 24
70-72
suatu perselingkuhan ataupun poligami. Hal itu
Salah Danasasmita, Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes, 1984/1985, h.
77
termasuk pelanggaran berat dan merupakan kesalah fatal yang bisa menyebabkan pelakunya harus dan dikelurkan dari Baduy Dalam. Mereka harus saling setia sampai mati, tak pernah terdengar adanya percekcokan karena masing-masing sadar pada posisinya untuk saling menjaga kehormatan masing masing. 25 Bila seorang warga Baduy Dalam tidak ada jodohnya di Baduy Dalam (menurut hasil pilihan orang tua/ tokoh adat) maka boleh mengambil orang Baduy Luar untuk dijadikan dengan orang tersebut. Selanjutnya dan secara otomatis yang dipilih dan terpilih tersebut harus pindah menjadi anggota masyarakat Baduy Dalam dengan mengikuti segala aturan yang berlaku. Menurut Jaro Sami tokoh masyarakt Baduy Dalam Cibeo, jika terjadi kematian, maka warga Baduy Dalam Boleh melakukan perkawinan lagi dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut. Pertama, jika calonnya yang akan dikawini itu masih perawan atau perjaka maka tata cara perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan tahapan lamaran dan syarat-syarat di atas. Kedua, bila yang mau kawin tersebut janda atau duda maka proses tahapan lamaran bisa dipersingkat waktunya tidak harus menunggu satu tahun.26 E. Waktu Perkawinan Secara umum dan menyeluruh acara proses pelaksanaan perkawinan suku Baduy sama dan seragam, baik tentang penetapan waktu, tata caranya, dan tahapan proses ritualnya, termasuk syarat-syarat yang harus dipenuhi serta hal-hal yang menjadi pantangan/larangan. Dari hasil observasi yang dilakukan penulis
25
Jaro Sami, Kepala adat Kampung Cibeo, Wawancara Pribadi, Cibeo, 27 Juni 2016. Jaro Sami, Toko adat Masyarakat Baduy Dalam Cibeo, Wawancara Pribadi, Cibeo, 27 Juni 2016.. 26
78
secara khusus dan terus menerus selama beberapa bulan diseleraskan dengan hasil wawancara dari berbagai pihak yang dipandang perlu untuk diwawncarai, Waktu perkawinan dilaksanakan pada bulan kalmia, kanam, kapitu pada penanggalan Adat Baduy.waktu ini berlaku untuk warga Baduy Dalam dan Warga Baduy Luar. Pada ketiga waktu bulan tersebut diyakini merupakan bulan mustari (barokah) bagi pelaksanaan perkawinan. Khusus bagi warga Baduy Luar bila pada ketiga bulan tersebut tidak terjadwalkan maka bisa dilaksanakan pada bulan Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Lemah dan Hapit Kayu,tetapi lima bulan ini jarang di pilih dengan alasan pada bulan tersebut dianggap nilai kemustariannya kurang bila dibandingkan dengan ketiga bulan tadi serta sudah disebutkan dengan acara ngahuma (berladang). Biasanya pada bulan kelima tersebut dilaksanakan perkawinan bagi yang telah meninggal salah satu pasangannya, namun kemudian kawin lagi, khusus pada bulan Kasa, Karo, Katiga dan Sapar dilarang melaksanakan perkawinan karena bulan tersebut merupakan bulan khusus kegiatan adat Kawalu dan acara Seba.27
27
h.187.
Asep Kurnia, Ahmad Sihabudin, Saat nya Baduy Bicara, Jakarta; Bumi Aksara, 2010,
BAB IV PERKAWINAN BADUY LUAR DENGAN BADUY DALAM A. Kedudukan Perkawinan Baduy Luar Dengan Baduy Dalam Serta Kosekwensi Bagi Pelaku Perkawinan Tujuan dari sebuah perkawinan atau pernikahan adalah terciptanya suatu keadaan bersatunya dua insan yang berbeda yang tidak pernah mengenal satu sama lainnya namun dapat bertemu dan bersatu dalam sebuah ikatan yang disebut pernikahan, yang tentunya sesuai dengan perintah Allah yaitu untuk membina sebuah rumah tangga yang sakinah mawaddah warrahmah serta dapat memeliharakan putra atau putri yang shalih atau shalihah dan berguna bagi bangsa dan agamanya. Dalam
Undang-Undang No, 1 tahun 1974 bahwa tujuan
perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), tujuan dari perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Tujuan lain dari perkawinan dalam Islam ialah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan yaitu berhubungannya antara laki-laki dan wanita dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan rasa cinta kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan syara.1
1
Moh, Idris Romulya, Hukum Perkwinan Islam ;Suatu analisis dari Undang-Undang no, 1 tahun 1974 dan KHI, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996), cet ke 1, h.27.
79
80
Sahnya perkawinan telah diatur secara jelas sistematis dalam Undangundang Nomor 1 tahun 1974, dan perkawinan juga merupakan suatu perbuatan hukum perjanjian di lapangan hukum keluarga. Persoalannya adalah mengenai penafsiran untuk memahami maksud dan isi dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengenai sahnya perkawinan dan mengingat perkawinan juga merupakan suatu perbuatan hukum yang terjadi karena sebuah perjanjian di lapangan hukum keluarga, maka permasalahannya dapat ditentukan bagaimana sahnya perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditinjau dari sudut pandang hukum perjanjian, dengan harapan dapat diperoleh kejelasan mengenai sahnya perkawinan.2 Menurut kepala Desa Kanekes (Jaro Saija), tata cara perkwinan masyarakat Baduy Luar ada dua cara, yaitu ada yang seperti tata cara perkawinan Baduy Dalam, yaitu dijodohkan ada juga yang mencari jodoh sendiri, pernikahan untuk masyarakat Baduy Luar yang menggunakan tata cara pernikahan Baduy Dalam (dijodohkan), memiliki proses yang sama persis dengan langkah yang dilakukan oleh masyarakat Baduy Dalam.3 Sedangkan untuk langkah yang kedua, yaitu dengan cara mencari jodoh sendiri ada sedikit perbedaan . letak perbedaan tersebut adalah pihak laki-laki boleh mencari jodoh sendiri dengan bebas, baik yang satu kampung maupun beda kampung tanpa dijodohkan sebelumnya. Dalam artian bebas memilih dengan
2
Trusto Subekti, Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Ditinjau Dari Hukum Perjanjian, Jurnal , Dinamika Hukum, Vol, 10 No. 3 September 2010, h.332 3 Jaro Saija, Kepala Desa Kanekes, Wawancara Pribadi, Kanekes, 15 Januari 2016
81
persetujuan kedua belah pihak yang disepakati oleh tokoh adat/ masyarakat kampung masing-masing. Persyaratan dalam perkawinan masyarakat Baduy, baik dalam atau luar memiliki persyaratan yang sama dalam hal ritualismenya. Ada sedikit perbedaan bahwa pada proses perkawinan di Baduy Luar, calon mempelai laki-laki satu hari sebelum perkawinan diwajibkan/diharuskan membaca dahulu Sahadat Kanjeng Nabi Muhammad SAW di hadapan penghulu (naib/petugas KUA) terdekat. Kalau di Baduy Dalam tidak dikenal penceraian, di Baduy Luar dikenal adanya perceraian, tetapi bukan berarti poligami diperbolehkan. Prihal waktu pelaksanaan perkawinan tentu memiliki budaya dan aturan masing-masing sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Sesuai dengan aturan sistem penanggalan adat Baduy maka waktu pelaksanaan perkawinan di suku Baduy harus mengikuti penjadwalan yang sudah ditentukan dan bersifat baku, Upacara perkawinan masyarakat Baduy Dalam dilaksanakan pada bulan kalima, kanam dan kapitu (menurut penanggalan adat). Menurut tokoh adat (Jaro Saidi Putra)4 karena pada tiga bulan tersebut menurut keyakinan dan perhitungan mereka adalah waktu yang baik untuk pernikahan agar rumah tangganya selalu rukun, sejahtera lahir batin sampai akhir hayat. Sedangkang di Baduy Luar , selain pada bulan kalima, kanam, kapitumasih bisa dilaksanakan di bulan yang lainnya pada bulan kedelapan, kasalapan, kasapuluh, hapit lemah, atau pada bulan kasa, karo, dan katiga. Pada saat pengantin laki-laki yang hendak melaksanakan perkawinan di hadapan penghulu harus mempersiapkan diri menghafal: ta’udz, bismillah,
4
Jari Saidi Putra, Wawancara Pribadi, Kadu Ketuk, 29 Agustus 2016.
82
sahadatdan shalawatdalam bahasa Jawa Banten. Dalam hal tersebut orang tua pengantin wanitalah yang meminta kepada penghulu agar bersedia mewakili dirinya menikahkan anakanya kepada laki-laki calon suaminya dan juga mengitu rukun dan syarat sah nya perkawinan5 Syarat-syarat perkawinan dalam hukum adat, rukun dan syarat perkawinan sama dengan yang terdapat dalam hukum Islam, yaitu adanya calon mempelai laki-laki, calon mempelai wanita, wali nikah, adanya saksi dan dilaksanakan melalui ijab qabul. Sedangkan yang di maksud dengan syarat-syarat perkawinan di sini. Adalah syarat-syarat demi kelangsungan perkawinan tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1975 pasal 2 disebutkan: 1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan berdasarkan pada undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1, jelas bahwa perkawinan yang telah dilaksanakan suami istri menurut agama bukan Islam itu tetap sah, karena suami istri kedua mempelai saat itu masih beragama lain. Akan tetapi, setelah pasangan suami istri masuk Islam. Berdasarkan pasal 2 tersebut, pencatatan perkawinan bukanlah merupakan syarat yang menentukan sahnya suatu perkawinan sekalipun demikian, jika perhatikan dengan seksama penjelasan umum dari undang-undang perkawinan 5
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes…..h, 73.
83
yang menyebutkan, ”Dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” serta ketentuan pasal 2 ayat (2) dan pasal 10 ayat (1) PP Nomor 9 tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut, dapat di simpulkan bahwa sakalipun bukan merupakan syarat sahnya suatu perkawinan, pencatatan perkawinan memegang peran yang sangat menentukan dalam suatu perkawinan. Oleh karena itu ada nya masyarakat Baduy yang melakukan perkawinan di depan petugas pencatat perkawinan setempat.6Dalam Kompilasi Hukum Islam bahwasannya perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.7 Kekayaan budaya Baduy tampil lewat upacara perkawinan adatnya yang unik dan kaya makna. Prosesi perkawinan diwarnai keunikan tersendiri, tapi tak menghilangkan nuansa sakral dan khidmat banyak sekali hal yang membuat banyak penasaran mengenai makna yang ada didalam upacara adat perkawinan masyarakat Baduy. Selain kedua jenis sistem perkawinan di atas maka ada lagi yang di sebut pola perkawinan khusus. Yang dimaksud dengan pola perkawinan khusus adalah perkawinan yang terjadi antara warga Baduy dengan warga luar Baduy. Hukum adat mereka tidak melarang orang Baduy kawin dengan orang luar Baduy mungkin karena jodohnya harus seperti itu, tetapi dengan aturan sebagai berikut. ”Orang Baduy yang diperbolehkan kawin dengan orang luar Baduy baik laki-laki atau perempuan harus keluar secara resmi dari anggota kesukuannya dengan di 6 7
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga…h, 56 M. Ali Hasan, Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2003), cet, 1, h.125
84
doakan terlebih dahulu oleh tokoh adat demi keselamatan dan kebahagiaan rumah tangganya kelak di luar Baduy, sebab mereka memahami bahwa pilihan hidup seseorang tidak bisa dipaksakan. Kemudian ketika resmi sudah keluar maka proses dan tata cara perkawinan warga tersebut langsung mengikuti tata cara perkawinan sesuai dengan kepercayaan calon suami atau calon istri. Dengan harapan bahwa perkawinan masyarakat Baduy diakui secara sah oleh hukum adat atau pun hukum negara. Menurut hemat penulis, Jika dilihat dari ketentuan adat ini, ada beberapa pesan yang bisa ditemukan, pertama, masyarakat Baduy merasa penting adanya ketentuan proses perkawinan yang disahkan tidak hanya menurut adat, akan tetapi juga menurut agama konvensional dan hukum negara. Kedua, pola pernikahan seperti ini dilakukan oleh masyarakat Baduy sebagai rasa hormat akan kesultanan Banten yang pernah menjadi raja (penguasa) di tanah Banten yang bergama Islam termasuk didalamnya tanah Baduy, dan hal ini diwujudkan dengan ketentuan adat yang mengharuskan pernikahan masyarakat Baduy memakai cara adat dan hukum Islam. B. Baduy Muslim, Adat dan Hukum Dalam Masyarakat Sunda Wiwitan Serta Penerimaan Hukum Islam Oleh Komunitas Baduy Menurut sejarah hukum di Indonesia, peran hukum Islam dengan hukum adat mengalami berbagai persimpangan sebagai akibat dari politik hukum yang diterapkan oleh pemerintah Hinda Belanda. Hal ini masih terasa sampai masa pasca kemerdekaan. Tarik menarik hukum adat dengan hukum Islam dalam
85
lapangan hukum keluarga masih terasa dan menjadikan hukum Islam tidak berperan sebagaimana mestinya bagi mayoritas umat Islam di Indonesia.8 Istilah hukum adat pertama kali digunakan oleh Snouch Hurgronje karena hukum adat itu adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda yaitu ”adatrecht”, Snouch Hurgronje menggunakan istilah ”adatrecht” di dalam karyanya De atjehihers yang isinya membahas perihal adat istiadat suku bangsa Aceh.9 Adatrecht disini adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi bumi putera dan orang Timur Asing yang mempunyai upaya memaksa lagi pula tidak dikodifikasikan.10 Sedangkan kata adat itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti ”kebiasaan”.11 Kebiasaan yang dimaksud disini adalah semua perilaku yang dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat tersebut. Ahli hukum adat mempunyai definisi tentang pemahaman dan pengertian tentang hukum adat, diantaranya sebagai berikut: a. Prof, Bushar Muhammad, S.H. Hukum adat itu adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar-benar hidup di masyarakat itu, maupun yang 8
Yaswirman, Hukum Keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.257 9 A,Ridwan Halim, Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1989 ), cet, ke II, h.4. 10 Soerjono Soekanto dan Soleman B, Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta; CV, Rajawali, 1990), cet Ke IV, h.25. 11 A,Ridwan Halim, Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1989 ), h.83
86
merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenal
sanksi
atas
pelangggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat yaitu mereka mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu, ialah yang terdiri dari lurah, penghulu agama, pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.12 b. Prof, Dr, R, Soepomo Hukum adat itu ialah keseluruhan hukum yang tidak tertulis, dalam peraturan legislatif dan hidup sebagai konvensi dilembaga-lembaga negara serta hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim dan hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang di pertahankan dalam pergaulan hidup. Sedangkan Menurut Para Ahli Hukum Islam, yang mana mereka melihat bahwa prinsip-prinsip adat sebagai salah satu sumber hukum Islam yang sekunder. Artinya adat (’urf ) terjadi ketika sumber-sumber yang primer tidak memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang muncul.13 Seperti contoh, Imam Malik, dalam membina mazhabnya beliau lebih menitik berakan pada amaliah ulama Madinah, sebab syariat Islam banyak dilandaskan penetapan hukumnya atas ’urf atau adat masyarakat setempat, karena hal itulah mengapa adat istilah dapat dijadikan pertimbangan sebagai sumber hukum asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syariat Islam.
12
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat :Suatu Pengantar, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1994), cet, ke 8, h.64 13 Ratna Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Hukum adat di Indonesia, (Jakarta; INIS, 1998 ), h.8
87
Dalam praktiknya, ada beberapa syarat agar adat itu dapat dijadikan sebagai salah satu hukum Islam, berikut pemaparan : 1.
Untuk dapat diterima kedalam salah satu hukum Islam, adat tersebut harus dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat, serta mendapatkan pengakuan dari khalayak umum, maksudnya tidak bertentangan dengan hati nurani dan bisa diterima dengan akal sehat orang banyak
2.
Hal atau adat tersebut sudah ada sebelum atau ketika suatu hal akan dilaksankan yang berkenaan dengan adat itu sendiri.
3.
Adat tersebut memang sudah ada sebelum atau ketika suatu hal akan dilaksanakan yang berkenaan dnegan adat itu sendiri.
4.
Tidak ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua belah pihak, maksudnya adalah apapun itu mereka secara tidak langsung bersedia untuk mengikuti akan apa yang sudah menjadi ketetapan dalam adat mereka.
5.
Yang pastinya adat tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah dari Nabi Muhammad SAW, atau dengan kata lain, adat tersebut tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Dalam hal sering terjadi penggunaan atau pemakaian suatu adat istiadat di
suatu daerah, hal ini tidak terlepas dari pengaruh atau doktrin dari para sesepuh atau orang yang dihormati di daerah tersebut, selain mereka sendiri juga meyakini bahwa mereka memang patut untuk melaksanakan adat istiadat tersebut. Di beberapa daerah di Indonesia ada sebagian masyarakat yang mempunyai klan atau kelompok-kelompok mereka sendiri, mereka mempunyai marga atau garis identitas kelompok mereka sendiri.
88
Kaitannya dengan pernikahan adalah bahwa para klan atau kelompokklompok tersebut memasukan suatu adat istiadat yang wajib dilaksanakan oleh para pengikutnya atau para kerabatnya, ini ditunjukan untuk melestarikan adat istiadat dari klan mereka sendiri, karena dapat melahirkan generasi yang akan melanjutkan adat istiadat atau kebudayaan mereka.14Karena menurut Ter Haar sebuah pertikaian atau suatu perselisihan yang sudah lama berlangsung antara dua kerabat atau klan mereka.15 Di dalam pernikahan masyarakat adat yang dikaitkan dengan pengaruh hukum agama, ada tiga macam yang memungkinkan sah atau tidaknya pernikahan tersebut, antara lain sebagai berikut : 1.
Di dalam pernikahan masyarakat adat. Hukum perkawinan atau pernikahan Islam menjadi penentu untuk sah atau tidaknya suatu pernikahan, bahkan menolak segala hal yang berhubungan dengan ketentuan hukum adat, termasuk didalamnya upacara-upacara nikah.
2.
Suatu perkawinan atau pernikahan dapat dianggap sah apabila dalam akad nikahnya sudah dilakukan menurut hukum Islam. Walaupun sebelumnya atau sesudahnya tetap dilakukan upacara adat.
3.
Suatu perkawinan atau penikahan belum dianggap sah apabila perayaan upacara perkawinan secara adat belum dilakukan walaupun sebelumnya
14
Imam Sudiyat, Hukum Adat ;Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1981 ), Cet, Ke 2, h.107. 15 Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum adat, (Jakarta : Pradaya Paramita, 1974 ) h. 187
89
sudah dilakukan akad nikah secara Islam. Hal seperti ini terjadi di daerah paminggir (Lampung), Tepanuli, dan Minangkabau.16 Dalam proses penyebaran agama Islam di tataran Sunda, tidak seluruh wilayah tataran sunda menerima sepenuhnya, di beberapa tempat meski dalam lingkup kecil terdapat komunitas yang bertahan dalam ajaran leluhurnya seperti komunitas masyarakat di Desa Kanekes. Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang dikenal dengan masyarakat Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam dan terkungkung di satu wilayah religious yang khas, terpisah dari komunitas muslim Sunda dan tetap melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.17Namun dengan berjalan waktu, kini masyarakat Baduy ada sebagian yang sudah memeluk agama Islam Khusus nya masyarakat Baduy Dangka. Menurut Abdul Rozak,18Baduy Dangka juga bisa di sebut dengan pemukiman masyarakat Baduy muslim, dikarnakan mayoritas masyarakat Baduy Dangka sudah memeluk agama Islam. Baduy Dangka terletak di Kampung Cicakal Girang, secara letak geografis Cicakal Girang berada di Kecamatan Bojong Manik. Cicakal Girang adalah salah satu pemukiman yang tercatat resmi secara administrasi di Desa Kanekes sebagai tempat bermukimnya 11.000 jiwa Etnis Baduy dengan menempati urutan RW 08/RT 1,2 dan 3 serta tercantum pula pada feta tanah Ulayat Baduy yang dikukuhkan oleh PERDA No. 32 tahun 2001. Prihal
16
Surojo Wigbjadupuro, Pengantar Asas-Asas Hukum Adat, ( Jakarta; Gunung Agung 1982), cet, ke IV, h. 33. 17 Priksa Dadan Wildan, “Penyebaran Islam di Tatar Pasundan” Dalam Cik Hasan Bisri, dkk.Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Pasundan, (Bandung: Kaki Langit, 2005), h.56 18 H, Abdul Rozak, Wawancara Pribadi, Cicakal Girang, 29 Agustus 2016
90
Cicakal Girang ini di catatan perjalanan sejarah kesukuan Baduy memiliki cerita dan keunikan yang sangat berbeda dengan kampung-kampung lain yang berbeda di wilayah Tanah Ulayat Baduy dan dinyatakan sebagai kampung khusus yang direstui perbedaannya oleh tokoh adat Baduy. Pemukiman Cicakal Girang dibentuk oleh lelehur mereka untuk membuktikan bahwa etnis Baduy sejak dulu komitmen dengan tugas yang diembannya yaitu memelihara keharmonisan dan keseimbangan alam, Ngasuh Ratu Nyayak Manak. Apabila penulis terjemahkan, di dalam tugas tersebut terkandung makna bahwa Baduy siap untuk saling menghormati dan bekerja sama dengan dunia luar. Analisis dan observasi penulis ini didasarkan pada hasil penjelasan dan komentar para tokoh adat yang ada sekarang tentang tujuan serta asal usul dibentuknya pemukiman Cicakal Girang dengan memperbolehkan adanya perbedaan pola hidup dan keyakinan yang diadopsi dari budaya luar untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka di atas sebuah kesepakatan dan perjanjian. Itu semua sudah teruji kebenarannya dengan tetap terbinanya kerukunan, tetap saling menghargai, saling membatu bahkan saling tolongmenolong, hidup saling berdampingan jauh dari percekcokan, dan pertentangan walau hidup dengan keyakinan yang berbeda, toleransi, sikap persatuan dan kesatuan, kerja sama, horma menghormati dan harga menghargai di Etnis Baduy ternyata bukan hanya dalam teori, tetapi sudah diimplementasikan sejak lama pada kehidupan sehari-hari mereka.19
19
Asep Kurnia. Ahmad Sihabudin, Saatnya Baduy Bicara….h, 81.
91
Menurut Ayah Mursid, ” Sesuai jeung perjalanan sejarah Lembaga Hukum Adat Baduy, keur ngalengkepkeun hukum tatacara perkawinan warga Baduy Luar nu perlu dibacakeun Sahadat Nabi Muhammad, maka tokoh adat waktu haritangusulkeun ka sultanan Banten supaya aya patugas mun dijaman ayeuna mah nu disebut Naib Panghulu atawa KUA na keur ngabantu dina acara perkawinan. Teu lila datang utusan Sultan nu ngarana Ki Ahum. Supaya deukeut tur gampang neangan, Ki ahum ditempatkeun kana Adat Istiadat Baduy, di larang nyawah, ngangon atawa miara kebo, imah sederhana, tempat ibadah mangrupa bale-balean. Jadi awalna lain keur nga Islamkeun masyarakat Baduy, kusabab Ki Ahum tetep timetep hirup didinya trus boga katurunan anak incu buyut nepika turunan nu aya ayeuna jeng ngabogaan kayakinan agama Islam, munasabah atawa wajar mun ayeuna di Cicakal Girang warga ngagem Agama Islam. Pihak kami pihak kami teu kudu ewuh pkewuh da geus jadi hiji kaputusan nu ku kami kudu diterima jeung dipatuhkeun.20 Artinya: ” Sesuai dengan sejarah perkembangan lembaga hukum adat Baduy, untuk melengkapi hukum tatacara perkawinan warga Baduy Luar yang perlu dibacakan Sahadat Nadbi Muhammad, maka tokoh adat pada waktu itu mengusulkan pada kesultanan Banten supaya ada petugas, kalau di zaman sekarang di sebut naib, penghulu atau KUA nya untuk membantu dalam acara perkawinan. Tidak lama datang utusan Sultan yang bernama Ki Ahum, supaya dekat dan mudah menjemput Ki Ahum di tempatkan di Cicakal Girang, tetapi dengan beberapa amanat/ perjanjian, di antaranya harus mampu menghargai dan 20
2016.
Ayah Mursid, Tokoh Masyarakat Adat Cibeo, Wawancara Pribadi, Cibeo, 27 Juni
92
menyeimbangkan terhadap adat istiadat Baduy, dilarang bersawah, beternak atau memelihara kerbau, rumah harus sederhana, tempat ibadah hanya berupa Bale balean, jadi, awal nya bukan bertujuan untuk meng Islam kan masyarakat Baduy, karena Ki Ahum hidup menetap di Kampung itu terus memeliki keturunan, anak Islam, maka wajar kalau sekarang di Cicakal Girang penduduk memeluk Agama Islam. Pihak kami (Baduy) tidak harus kebingungan dan ketakutan karena sudah menjadi satu keputusan yang oleh kami harus diterima dan ditaati/ dijalankan. Jaro Sami menambahkan penjelasan mengenai Kampung Cicakal Girang, ”Nyaritakeun Cicakal Girang Keur kami mah sebenarna kaasup hiji kajadian anu anyar sebab dibentukna sangges ieu alam rame ku manusa nu ngakibatkeun ayana hubungan patali jeung kabutuhan. Ka wiwitan loba jalma lalar liwat anu boga kayakinan beda jeung masyarakat kami terus aya kajadian cilaka raja pati di lingkungan adat kami, eta jalma perlu diurus, dipulasara disucikeun ku tatacara kayakinana, sedangkeun kami beda kayakinan. Maka salain ngabantu ngalengkepkeun tatacara perkawinan di masyarakat kami, eta Ki Ahum ngabogaan tugas ti kasultanan keur ngabantu ngurus jalma luar nu pati ditanah adat kami. Tah eta tugas teh nepika ayeuna kudu dilaksanakeun ku panghulupanghulu Cicakal Girang mun aya kajadian maoteun warga luar di tanah Baduy.”21 Artinya; ”Menceritakan Cicakal Girang buat kami sebenarnya termasuk satu kejadian yang dianggap baru sebab dibentuknya setelah alam ini rame oleh manusia yang mengakibatkan adanya hubungan berkaitan dengan kebutuhan. Ke
21
Jaro Sami, Tokoh Masyarakat Adat Cibeo, Wawancara Pribadi, Cibeo, 27 Juni 2016.
93
tanah wiwitan banyak orang hilir mudik/berkunjung yang memiliki keyakinan berbeda dengan masyarakat kami, kemudian ada kejadian kecelakaan meninggal di wilayah adat kami, orang tersebut perlu diurus, diselamatkan, dan disucikan menurut tatacara keyakinannya, sedangkan kami berbeda keyakinan. Maka selain membantu melengkapi hukum tatacara perkawinan, Ki Ahum memiliki tugas dari kesultanan untuk membantu mengurus orang luar yang meninggal di kawasan kami (Baduy). Nah tugas itu sampai sekarang tetap harus dilaksanakan oleh penghulu-penghulu Cicakal Girang kalau ada kejadian warga luar meninggal di tanah adat Baduy.” Menurut Masyarakat Cibeo, Pola hidupan masyarakat Cicakal Girang tidak jauh berbeda dengan komunitas masyarakat di luar Baduy, baik itu dari cara berpakain, sampai ke masalah keyakinan. Di Kampung Cicakal Girang lah berbagai fenomena yang biasanya tabu dan dilarang bagi komunitas Baduy bermunculan. Di Cicakal girang saat ini sudah berdiri sekolah formal Madrasah Ibtidaiyah, Masjid, perumahan yang sudah permanen cara berpakaian yang sudah tidak lagi terikat dengan aturan adat Baduy. 22 Meskipun jelas sekali perbedaannya dengan karakteristik masyarakat Baduy Dalam, akan tetapi Kampung Cicakal Girang dijadikan oleh orang Baduy sebagai kampung khusus yang di restuiperbedaannya oleh tokoh-tokoh adat Baduy. Meskipun penduduk Baduy Cicakal Girang sudah banyak berbeda dengan komunitas Baduy Tangtu, akan tetapi, pola hidup mereka masih tetap sederhana. Kehidupan yang selalu dekat dengan alam masih tetap melekat dalam pola berfikir dan kehidupan mereka, 22
2016.
Narwan dan Yardi, Masyarakat Cibeo Kanekes, Wawancara Pribadi, Kanekes, 28 Juli
94
meskipun sampai saat ini sudah banyak kita jumpai rumah-rumah orang Baduy yang sudah permanen, akan tetapi tidak sedikit dapat kita jumpai tipe rumah yang masih sederhana. Rumah yang hanya berupa gubuk (anyaman bambu) beratap daun kirai (rumbia) ditambah injuk masih menjadi pemandangan yang khas di Kampung Cicakal Girang. Pakaian yang khas dan amat sederhana, seperti berbaju komprang tak berkerah yang dipadukan celana pendek atau kain sarung sebatas dengkul ditambah ikat kepala, masih menjadi pakaian yang sering di pakai oleh laki-laki Baduy Cicakal Girang. Sesuai dengan sejarah awal Kampung Cicakal Girang sebagai kampung bentukan para leluhur adat Baduy yang dijadikan tempat khusus pemukiman warga Baduy yang sudah mengalami perubahan akibat melanggar ketentuan adat. Maka suasana dikampung ini terasa harmonis. Dengan keberadaan kampung ini, nampaknya komunitas Baduy ingin menampilkan sebagai komunitas adat yang mencintai kedamaian Harmonisasi beragama yang ada diwilayah Baduy disebabkan oleh kuatnya mereka dalam memegang prinsip bahwa mereka berawal dari satu keturunan atau keluarga. Karena itu, meskipun mereka berbeda kepercayaan, mereka tetaplah satu keluarga yang utuh. Ada banyak bukti yang bisa diperlihatkan bagaimana kerukunan di antara mereka tetaplah utuh. Pertama, prinsip gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat sangat jelas terlihat dalam komunitas Baduy. Siapa pun dia, apa pun agamanya, tidak begitu penting. Ketika tetangganya membutuhkan bantuan, mereka sukarela saling membantu, misalnya, dalam membangun pemukiman. Orang Baduy secara bersama-sama secara
95
sukarela saling bergotong royong. Kedua, dalam hal ritual keagamaan. Meskipun kepercayaan mereka sudah berbeda, akan tetapi warga Baduy Muslim kerapkali mengikuti tradisi-tradisi atau ritual yang sudah diberlakukan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka. Misalnya dalam tradisi Seba. Warga Baduy Muslim kerap kali memperingatinya secara meriah. Hal ini menurut kepercayaan mereka merupakan tradisi yang harus terus dilestarikan sampai kapan pun sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas anugrah Tuhan yang telah diberikan kepada mereka.Ketiga, meskipun identitas keagamaan mereka bukan lagi sebagai penganut agama Sunda Wiwitan, akan tetapi hal itu tidak membuat hubungan kekerabatan mereka terputus. Identitas agama bagi kepercayaan orang Baduy bukan sebagai penghalang bagi mereka untuk memutuskan tali silaturahmi di antara mereka. Bahkan dalam kepercayaan orang Baduy, meskipun mereka saat ini sudah banyak berubah karena disebabkan pelanggaran adat atau pikukuh Baduy, akan tetapi dalam kepercayaan Baduy mereka tetaplah satu kesatuan yang utuh. Orang Baduy masih meyakini bahwa mereka adalah berasal dari satu keturunan yang tidak boleh terpecah hanya karena berbeda status atau kepercayaan. Bukti dari adanya kepercayaan ini terliat dari upacara Seba yang selalu dilakukan oleh orang Baduy setiap tahun sekali sebagai bentuk ungkapan rasa syukur dan pengakuan terhadap mereka yang berbeda. Kedekatan orang Baduy terhadap agama Islam bukanlah hal yang baru. Islam dan Baduy dalam catatan sejarah ternyata mempunyai hubungan yang kuat dan lama. Dalam kehidupan keseharian orang Baduy, meskipun secara identitas keagamaan mereka sudah berubah, akan tetapi terkadang dalam prilaku sehari-
96
hari baik itu cara berpakaian, bekerja, bahkan beribadah pun identitas ke budayaan mereka tidak hilang. Orang Baduy Muslim dalam hal adat masih tetap mereka ikuti, karena mereka menganggap sebagai warisan leluhur yang harus dijaga kelestarianya. Jika mengacu pada kriteria konversi agama yang dilakukan oleh orang Baduy masuk kategori konversi yang berlangsung melalui proses bertahap sesuai dengan perubahan diri yang berkesinambungan. Faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya konversi agama antara lain,disebabkan karena faktor perubahan status. Perubahan status yang terjadi dalam diri seseorang dapat menyebabkan terjadinya konversi agama. Apalagi perubahan itu terjadi secara mendadak. Seperti kepercayaan atau kawin dengan orang yang berlainan agama. Kondisi demikian juga terjadi pada beberapa orang Baduy. Meskipun dahulu adat Baduy melarang warganya untuk melangsungkan pernikahan dengan warga non Baduy. Akan tetapi saat ini sudah berubah. Orang Baduy mulai sadar bahwa perubahan akan tetap terjadi meskipun aturan adat sudah jelas melarang dengan ketat. Saat ini sudah dibentuk aturan adat (pikukuh) Baduy terkait dengan hukum perkwinan warga Baduy dengan warga non Baduy. Dalam aturan adat itu dijelaskan bahwa jika ada salah seorang warga baduy yang melangsungkan perkawinan dengan warga non Baduy, maka ia secara otomatis tidak diakui lagi sebagai warga Baduy. Identitas ke Budayaannya di cabut. Dari penelusuran dilapangan, saat ini sudah banyak warga Baduy yang berpindah agama menjadi Islam disebabkan karena mereka menikah dengan warga Baduy yang sudah beragama Islam atau warga non Baduy yang beragama Islam.
97
Jika mengamati sejarah suku Baduy dan perkembangannya sampai saat ini terutama terkait dengan keagamaannya sangatlah unik dan menarik. Ketika masa Orde Lama dan Orde Baru dengan kekuatan hegomoni negara melakukan intervensi terhadap praktek pengamalan keagamaan masyarakat dengan memilih agama resmi. Pendefinisian agama resmi oleh negara yang mengacu pada kepentingan agama ”resmi” dan yang membatasi diri, dalam kenyataannya telah membawa implikasi yang serius dalam pelanggaran hak keyakinan terutama bagi mereka penganut kepercayaan lokal seperti komunitas suku Baduy. Bahkan diskriminasi tersebut juga terjadi sampai saat ini. Masalah kebebasan mengekspresikan keyakinan agama terutama bagi kepercayaan-kepercayaan lokal termasuk di dalamnya agama orang Baduy masih sangat memprihatinkan. Para penganut kepercayaan tersebut dianggap tidak beragama sebelum masuk kedalam salah satu agama yang diakui oleh pemerintah. Wujud adanya hegomoni negara atas komunitas adat membuat mereka secara terpaksa melakukan pindah agama dengan memilih agama resmi yang sudah ditentukan oleh negara. Jika tidak demikian, identitas keagamaan mereka tidak di akui oleh negara. Bahkan dalam komunitas Baduy juga bisa dilihat bagaimana mereka secara berpura-pura memeluk agama islam, akan tetapi sebenarnya mereka tidak beragama Islam. Ke Islaman hanya sebagai sarana pengakuan atau mencari legalitas saja. Misalnya, dalam praktek perkawinan Baduy. Meskipun mereka tetap mengakui sebagai penganut agama ”Sunda Wiwitan” akan tetapi dalam aturan adat, pasangan suami istri yang sudah disahkan secara adat, diwajibkan menikah secara hukum Islam. Hal ini harus
98
dilakukan karena mereka menyadari bahwa komunitas Baduy adalah bagian dari warga Negara Indonesia. Karena itu, orang Baduy harus tunduk dan patuh dengan berbagai aturan yang sudah ditetapkan termasuk dalam hal tatacara perkawinan yang sudah ditetapkan dalam Undang-undang Perkwinan Negara Republik Indonesia. Dalam kehidupan kegamaan masyarakat Baduy, proses Islamisasi dilakukan secara berangsur-angsur dengan membutuhkan waktu yang sangat lama. Proses tersebut berlangsung secara alami sehingga individu tidak menyadari kapan keyakinan dan kepercayaan terbentuk dalam dirinya. Tidak ada peristiwa dramatis yang menyertai proses ini, karena proses ini lebih merupakan proses belajar sosial. Yang menariknya, meskipun masyarakat Baduy mengatakan bahwa mereka juga termasuk beragama Islam, akan tetapi faktanya keagamaan mereka masih bercampur dengan tradisi kepercayaan leluhur mereka. Karena alasan itu, maka wajar jika mereka masih tetap dianggap sebagai bukan penganut agama Islam yang sebenarnya.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dalam kesimpulan skripsi “Tradisi Perkawinan Baduy Luar Dengan Baduy Dalam” (Studi Kasus Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten) ini penulis ingin membagi kepada beberapa point penting yaitu: 1. Dalam proses perkawinan di Baduy melalui tiga tahapan lamaran. Tata cara perkawinan masyarakat Baduy Luar ada dua cara, yaitu ada yang seperti tata cara perkawinan Baduy Dalam, yaitu dijodohkan ada juga yang mencari jodoh sendiri, perkawinan untuk masyarakat Baduy Luar yang menggunakan tata cara perkawinan Baduy Dalam memiliki proses yang sama persis dengan langkah yang dilakukan oleh masyarakat Baduy Dalam. Sedangkan untuk langkah kedua, yaitu dengan cara mencari jodoh sendiri ada sedikit perbedaan . letak perbedaan tersebut adalah pihak laki-laki boleh mencari jodoh sendiri dengan bebas, baik yang satu kampung maupun beda kampung tanpa dijodohkan sebelumnya. calon mempelai laki-laki satu hari sebelum perkawinan diwajibkan/diharuskan membaca dahulu Sahadat Kanjeng Nabi Muhammad SAW di hadapan penghulu (naib/petugas KUA) terdekat. Kalau di Baduy Dalam tidak dikenal penceraian, di Baduy Luar dikenal adanya perceraian, tetapi bukan berarti poligami diperbolehkan. Prihal waktu pelaksanaan perkawinan tentu memiliki budaya dan aturan masing-masing
sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Sesuai
dengan aturan sistem penanggalan adat Baduy maka waktu pelaksanaan
99
100
perkawinan di suku Baduy harus mengikuti penjadwalan yang sudah ditentukan dan bersifat baku, Upacara perkawinan masyarakat Baduy Dalam dilaksanakan pada bulan kalima, kanam dan kapitu (menurut prnanggalan adat). Selain kedua jenis sistem perkawinan di atas maka ada lagi yang di sebut pola perkawinan khusus. Yang dimaksud dengan pola perkawinan khusus adalah perkawinan yang terjadi antara warga Baduy dengan warga luar Baduy. Namun jika masyrakat Baduy melakukan perkawinan tersebut maka kosekwensinya adalah harus keluar dari kesukuannya dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh adat. Mengenai kedudukan perkawinan Baduy Luar dengan Baduy Dalam dapat di simpulkan bahwa masyarakat baduy merasa penting adanya pengakuan bukan hanya secara adat namun juga secara hukum dan negara. 2. Hubungan sosial antara masyarakat Baduy dengan masyarakat luar ternyata sudah terjalin sangat lama, masayarakat Baduy hidup berdampingan dengan masyarakat luar Baduy, itu di buktikan dengan adanya perkampungan Baduy Muslim di Kanekes yang berlokasi di Cicakal Girang.
B. Saran-Saran 1. Untuk masyarakat Baduy khususnya, hendaknya agar lebih terbuka akan segala sesutu yang baru dan mungkin bertentangan dengan adat ataupun tradisi di daerah kalian. Karena hakikatnya tidak ada larangan untuk seseorang melakukan suatu hal yang baik (perkawinan), jangan terlalu di benturkan oleh adat dan tradisi, yang pada dasarnya hal tersebut sudah sangat tidak mungkin untuk diterapkan pada
101
masyarakat sekarang khususnya masyarakat Baduy yang sudah memeluk agama Islam dan umumnya masyarakat Baduy. 2. Kepada para sesepuh, ataupun orang yang dituakan di Desa Kanekes yang masih menjunjung tinggi nilai nilai adat istiadat dan tradisi di daerah masingmasing. Berikanlah pemahaman dan dasar-dasar ilmu agama kepada para masyarakat yang tinggal di daerah tersebut bahwasannya peting nya suatu perkawinan di anggap sah secara agama dan negara bukan hanya sah secara adat istiadat saja.
102
DAFTAR PUSTAKA
Aziz Muhammad Azzam, Abdul dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah, dan Thalak.Jakarta : Amzah, 2009, Cet. Ke-1. Asnawi Muhammad, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta; Darussalam, 2004. Ayubb Hasan Syaikh. Fiqih keluarga, Dar At Tauji wa An-Nashr Al Islamiyyah. Cet Ke 1. Mei 2001. Jakarta Timur. Alif Zaini Mohammad, Sachari Agus, Sabana Setiawan, Konsep Desain Venakular Dalam Bentuk Pagawean Barudak di Baduy Dalam, Institut Seni. Adimihardja Kusnaka, Orang Baduy di Banten Selatan Manusia air Pemelihara Sunga, Universitas Padjadjaran, 2000. Budaya Indonesia, Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung, Vol, 25 No, 4, Desember 2015. Basrowi, Suwandi, Memahami Penelitian Kuaitatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2008 Bintari Risma, Sejarah Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Baduy Pasca Terbentuknya Provinsi Banten Tahun 2000, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, vol, 1 No, 1yahun 2012 [ISSN 22526633]. Ekadjati Edi S, Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah, Jilid I, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995) Farukhi, Mengenal 33 Provinsi Indonesia : Banten, PT Sinergi Pustaka Indonesia: Jakarta, 2008 Hasanah Aan, Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat Minoritas (Studi atas Kearifan Lokal Masyarakat Adat Suku Baduy Banten), Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Analisis, Volume, XII, Nomor 1 Juni 2012. Hasan Mustofa, Pengantar Hukum Keluarga, Pustaka Setia, Desember 2011. Hasanah Aan, Jurnal, Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat Minoritas (Studi atas Kearifan local Masyarakat Adat suku Baduy Banten) Tahun 2012
103
Hasan Ali, M, Pedoman Hidup, Berumah Tangga dalam Islam, Cet Ke 1. Jakarta. Siraja 2003 Hadikusuma Hilman, Bahasa Hukum Indonrsia, Bandung; ALUMNI, 1992 cet. II Hakiki Muhammad Kiki, Identitas Agama Orang Baduy, Al-AdYaN/Vol, VI, No, 1/Jan-Juni/ 2011. Halim, A, Ridwan, Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1989. Haar, Tar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, 1974 Indrawardana Ira, Revitalisasi Budaya Sunda, Peluang dan Tantangan Dalam Dunia Global, Gedung Merdeka, 19-22 Desember 2011. Indrawardana Ira, Berketuhanan Dalam Perspektif Kepercayaan Sunda Wiwitan, Padjajaran University Bandung Indonesia, 30, 1, 2014. Jamaludin, Parmadi Ilham Ginanjar M, Kharisma Canggih M, Tinjauan Arsitektur interior Tradisonal Desa Kanekes, Institut Teknologi Nasional, Jurnal Desain Interior No, X, Vol, xx, Januari 2013. Kurnia Asep, Sihabudin Ahmad, Saatnya Baduy Bicara,Cettakan Pertama, Jakarta, Bumi Aksara, September, 2010. Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan agama Islam Departemen agama R.I th, 2001 Lukito, Ratna, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Hukum Adat di Indonesia, Jakarta; INIS, 1998. Muhammad, Bushar, Asas-Asas Hukum Adat ; Suatu Pengantar, Jakarta, Pradnya Paramita, 1994. Mukhtar Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet. 3. Octavia Yollanda, Resepsi Masyarakat Kabupaten Lebak Provinsi Banten, Universitas Diponogoro Semarang. Prodjohamidjojo, Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta; Indonesia Legal Center Publising, 2007 cet. II. Permana Eka Cecep, Kearfan Lokal Masyarakat Baduy Menghadapi Perubahan Sosial, Seminar Antarbangsa Bersama Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Indonesia (SEBUMI 3), !6-18 Desember 2010 dan
104
Masyarakat Baduy dan Pengobatan Tradisional Berbasis Tanaman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universtas Indonesia, Wacana, Vol, 11 No, 1 (April 2009). Pertanian Universitas Bengkulu, Manuia Dan Lingkungan, Vol, 17, No, 2, Juli 2010. Prihantoro Feri, Kehidupan Berkelanjutan Masyarakat Suku Baduy, Dalam Jurnal Asia Good ESD Practice Project, BINTARI, (Bina Karta Lestari), Foundation, 2006 Romulya, Moh, Idris, Hukum Perkawinan Islam, ; Suatu Analisis dari UndangUndang mo 1 tahun 1974 dan KHI, Jakarta, Bumi Aksara, 1996 Rasjid Sulaeman, Fiqih Islam, Sinar Baru Agrasindo, Bandung, September 2012. Cet Ke-57. Runidissukandar, Metodologi Penelitian, Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, Yogyakarta: PT Gadjah Mada University Press, Juni 2004 Spradley P james, Pengantar: Marzali Amri Metode Etnografi, Cet 1. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1997 Setiady Tolib, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Dalam Kajian Kepustakaan), Bandung: Alfabeta, Januari 2013. Senoaji Gunggung, Dinamika Sosial dan Budaya Masyarakat Baduy Dalam Mengelola Hutan dan Lingkungan, Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No, 2, Agustus 2010, Safei Ahmad Agus, Kearifan Sunda, Kearifan Semesta, Menelusuri jejak Islam Dalam Khazanah Budaya Sunda, UIN SGD Bandung, Jurnal Ilmiah Dakwah Vol, 5 No, 16 Juli-Desember, 2010. Soekanto, soerjono, Soleman B, Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, CV, Rajawali, 1990 Sudiyat, Imam, Hukum Adat; Sketsa Asas, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1981 Senoaji Gunggung, Masyarakat Baduy, Hutan dan Lingkungan,(Baduy Community, Forest and Environment), Jurusan Kehutanan Fakultas. Dan Prilaku Masyarakat Baduy Dalam Mengelola Hutan, Lahan dan Lingkungan di Banten Selatan, 2010. Dan Pemanfaatan Hutan dan lingkungan Oleh Masyarakat Baduy di Banten Selatan, Universitas Gadjah Mada,Manusia dan Lingkungan, Vol, XI, No 3, November 2004.
105
Sugiwa Iwan, Pengembangan Parawisata Berbasisi Keuinikan Penduduk Lokal di Wilayah Banten, Politeknik Negeri Jakarta, Vol, 12 No, 2 Oktober 2015. Sopa, Tradisi Ngadudukeun Pada Masyarakat Sunda Warukaum Kabupaten Bogor, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol, 7, No, 1, Desember 2010. Suryani Jaya Ade, Baduy Muslim Misi, Konversi, dan Identitas, Pusat Penelitian dan Penerbitan IAIN Sultan Maulana Hasanudin, Serang, 2013. Uwaidah, Muhammad kamil Syaikh, Fiqih Wanita, Edisi lengkap, Daarul Kutub Al-Ilmiyah.Cet Ke 1. April 2007 Yunus, M, Ahmad, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta : CV, Al-Hidayah, 1964 Yaswirman, Hukum Keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013)
Artikel dari Internet
Artikel di Kutip Pada 03 November 2015.Pukul. 22.00 WIB dari file:///C:/Users/Owner/Downloads/Lembaga%20Keilmuan%20dan%20Keb udayaan%20%20BADUY.htm. Ade Makrum K. Lembaga Keilmuan dan Budaya Maskur Wahid, Jurnal, Sunda Wiwitan Baduy, Agama Penjaga Alam Lindung Desa Kanekes Banten.IAIN sultan Maulana Hasanudin Banten Indrawardana Ira, Jurnal, Konferensi Internasional Budaya Sunda, Revitalisasi Bidaya Sunda, Peluang dan Tantangan Dalam Dunia Gelobal, Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman, Gedung Merdeka 19-22 Desember 2011 Asyraf Andy, Skripsi, Mahar Dan Paenre Dalam Adat Bugis, (Studi Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis di Hulukumba Sulawesi Selatan) Universitas Islam Negeri Jakarta, Tahun, 2015
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
:Sami
Umur
:53 Tahun
Pekerjaan
:Sesepuh Adat
Menerangkan bahwa : Nama
: Ayi Rukmana
NIM
: 1112044100031
Universitas
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fak / Jurusan : Syariah dan Hukum / Hukum Keluarga
Mahasiswa yang bersangkutan telah melakukan wawancara dalam rangka penyusunan skripsi sebagai penelitian dalam tugas akhir kuliah. Surat keterangan ini diberikan untuk dugunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, Narasumber
(
)
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
:Saija
Umur
:45 Tahun
Pekerjaan
:Kepala Desa
Menerangkan bahwa : Nama
: Ayi Rukmana
NIM
: 1112044100031
Universitas
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fak / Jurusan : Syariah dan Hukum / Hukum Keluarga
Mahasiswa yang bersangkutan telah melakukan wawancara dalam rangka penyusunan skripsi sebagai penelitian dalam tugas akhir kuliah. Surat keterangan ini diberikan untuk dugunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, Narasumber
(
)
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
:Narwan
Umur
:30 Tahun
Pekerjaan
:Petani
Menerangkan bahwa : Nama
: Ayi Rukmana
NIM
: 1112044100031
Universitas
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fak / Jurusan : Syariah dan Hukum / Hukum Keluarga
Mahasiswa yang bersangkutan telah melakukan wawancara dalam rangka penyusunan skripsi sebagai penelitian dalam tugas akhir kuliah. Surat keterangan ini diberikan untuk dugunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, Narasumber
(
)
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
:Yardi
Umur
:35 Tahun
Pekerjaan
:Petani
Menerangkan bahwa : Nama
: Ayi Rukmana
NIM
: 1112044100031
Universitas
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fak / Jurusan : Syariah dan Hukum / Hukum Keluarga
Mahasiswa yang bersangkutan telah melakukan wawancara dalam rangka penyusunan skripsi sebagai penelitian dalam tugas akhir kuliah. Surat keterangan ini diberikan untuk dugunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, Narasumber
(
)
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
:Daenah
Umur
:55 Tahun
Pekerjaan
:Sesepuh Adat
Menerangkan bahwa : Nama
: Ayi Rukmana
NIM
: 1112044100031
Universitas
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fak / Jurusan : Syariah dan Hukum / Hukum Keluarga
Mahasiswa yang bersangkutan telah melakukan wawancara dalam rangka penyusunan skripsi sebagai penelitian dalam tugas akhir kuliah. Surat keterangan ini diberikan untuk dugunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, Narasumber
(
)
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
:Mursid
Umur
:52 Tahun
Pekerjaan
:Sesepuh Adat
Menerangkan bahwa : Nama
: Ayi Rukmana
NIM
: 1112044100031
Universitas
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fak / Jurusan : Syariah dan Hukum / Hukum Keluarga
Mahasiswa yang bersangkutan telah melakukan wawancara dalam rangka penyusunan skripsi sebagai penelitian dalam tugas akhir kuliah. Surat keterangan ini diberikan untuk dugunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, Narasumber
(
)
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
:Saidi Putra
Umur
:49 Tahun
Pekerjaan
:Sesepuh Adat
Menerangkan bahwa : Nama
: Ayi Rukmana
NIM
: 1112044100031
Universitas
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fak / Jurusan : Syariah dan Hukum / Hukum Keluarga
Mahasiswa yang bersangkutan telah melakukan wawancara dalam rangka penyusunan skripsi sebagai penelitian dalam tugas akhir kuliah. Surat keterangan ini diberikan untuk dugunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, Narasumber
(
)
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
:H. Abdul Rozak
Umur
:55 Tahun
Pekerjaan
:Tokoh Masyarakat
Menerangkan bahwa : Nama
: Ayi Rukmana
NIM
: 1112044100031
Universitas
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fak / Jurusan : Syariah dan Hukum / Hukum Keluarga
Mahasiswa yang bersangkutan telah melakukan wawancara dalam rangka penyusunan skripsi sebagai penelitian dalam tugas akhir kuliah. Surat keterangan ini diberikan untuk dugunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, Narasumber
(
)