PERSEPSI KOMUNITAS ADAT BADUY LUAR TERHADAP KEBUTUHAN KELUARGA DI KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN
AHMAD SIHABUDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Persepsi Komunitas Adat Baduy Luar terhadap Kebutuhan Keluarga di Kabupaten Lebak Provinsi Banten” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Oktober 2009
Ahmad Sihabudin NRP: I362060021
ii
ABSTRACT AHMAD SIHABUDIN, The Perception of Ethnic Community of Outer Baduy about the Family Needs in Lebak Regency, Banten Province. Under the supervision of BASITA GINTING SUGIHEN as Advisory Committee Chairman; DJOKO SUSANTO and PANG S. ASNGARI as members of the Committee. Baduy community is one of the ethnic communities who still adheres to tradition and tends to be reclusive. So, it is called Komunitas Adat Terpencil (Closed Ethnic Community). The objectives of this study are (1) to get the description of the family needs of the Outer Baduy Community, (2) to analyze determinant factors that influence the perception of the Outer Baduy Community about their families’ needs; and (3) To get tentative models of Planned Changes, such as intervention, and things that need to be intervened to raise the standard of living of Outer Baduy Community’s Families. This research is conducted in fifteen kampungs (villages) of Outer Baduy in Lebak Regency using survey method. The findings of the study are (1) Perception of Heads of Families of Outer Baduy Community in the Lower West and Middle West on Families’ needs; physiology, sence of safety, sense of love , and sense of group appreciation is high, but in Kaduketug strip those needs are considered average; (2) The satisfaction of Heads of Outer Baduy Community families in the Lower West and Middle West on Family needs; physiology, sense of safety, sense of love and group appreciation is high, but in Kaduketug’s strip the satisfaction on physiology is high, sense of love and sense of belonging by the group; (3) the efforts of heads of families in Lower West in cropping, trading, hunting, and working for others and making handycrafts have highly correlated to the perception of heads of families on basic needs, sense of safety, sense of love; (4) the motive to gain knowledge is highly correlated to the perception of heads of families on basic needs, sense of safety, sense of love and sense of belonging to the group ; (5) Social Interactio n through interpersonal communication and the agents of changes is highly correlated to the perception of heads of families on basic needs, sense of safety, sense of love, and sense of belonging to the group; (6) the value of social culture on work, nature and relationships with other people is highly correlated to the perception of heads of families on basic needs, sense of safety, sense of love, and sense of belonging to the group. To develop strategies and policies to meet the needs of SCC family of Baduy can be created by raising the standard of living by providing a centre of business practice, discussion forum (informative community group), escalation of business facilities, community participation, the support of opinion leaders in Baduy community, private support, and high motive and the awareness to change. ____________________ Key Words : Community of Baduy Custom, Perception, Family Needs.
iii
RINGKASAN AHMAD SIHABUDIN, Persepsi Komunitas Adat Baduy Luar terhadap Kebutuhan Keluarga di Kabupaten Le bak Provinsi Banten. Dibimbing oleh BASITA GINTING SUGIHEN sebagai Ketua; DJOKO SUSANTO dan PANG S. ASNGARI sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Masyarakat Baduy adalah salah satu komunitas etnik yang masih memegang tradisi dan cenderung tertutup, atau dala m istilah sekarang Komunitas Adat Terpencil (KAT). Pengertian KAT, adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik. Komunitas Adat Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan tradisi leluhur, sedangkan Baduy Luar cenderung sudah menerima perubahan, serta nilai- nilai dari luar. Tujuan penelitian adalah: (1) Memperoleh gambaran persepsi KAT pada kebutuhan keluarga masyarakat Baduy Luar, (2) Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat Baduy Luar terhadap kebutuhan keluarganya; dan (3) Mendapatkan suatu model perubahan terencana, macam intervensi, dan hal- hal yang perlu di intervensi untuk memenuhi kebutuhan keluarga Komunitas Adat Baduy Luar. Penelitian ini dirancang dengan metode survei, dengan tujuan mendeskripsikan, mengeksplanasi (expalanatory), dan mengeksplorasi serta menjelaskan tujuan, termasuk menjelaskan pengaruh dan hubungan antar peubah lewat pengujian hipotesis. Penelitian ini dilaksanakan di Pemukiman Komunitas Adat Terpencil Baduy yang berjumlah 58 kampung, yang terdiri dari 3 Kampung termasuk Baduy Dalam yaitu Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana, dan 55 Kampung Baduy Luar sesuai dengan Perda No. 32 Kabupaten Lebak tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Fokus penelitian dilakukan hanya pada Baduy Luar Hasil Penelitian adalah: (1) Persepsi kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar di jalur Bawah Barat dan Tengah Barat pada kebutuhan keluarga; fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai kelompok adalah tinggi, di jalur Kaduketug pada kebutuhan tersebut adalah sedang; (2) Kepuasan kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar di jalur Bawah Barat dan Tengah Barat pada kebutuhan keluarga: fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai kelompok adalah tinggi, di jalur Kadukteug kepuasan pada kebutuhan fisiologi adalah tinggi, rasa aman rendah, dicintai, dimiliki sedang, dan dihargai sedang; (3) Usaha-usaha kepala keluarga di jalur Bawah Barat dalam berladang, berjualan, berburu, bekerja pada orang lain, dan membuat kerajinan berhubungan nyata dengan persepsi kepala keluarga pada kebutuhan dasar, kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan kebutuhan dihargai yang dirasakannya, dan persepsi terhadap kepuasan kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan dihargai; (4) Motif memperoleh pengetahuan berhubungan nyata dengan persepsi kepala keluarga pada kebutuhan dasar, kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan kebutuhan dihargai yang dirasakannya, dan persepsi
iv
pada kepuasan kebutuhan dasar rasa aman, kebutuhan dicintai, dan dihargai; (5) Interaksi sosial melalui komunikasi interpersonal dan dengan agen pembaharu berhubungan nyata dengan persepsi kepala keluarga pada kebutuhan dasar, kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan kebutuhan dihargai yang dirasakannya, dan persepsi pada kepuasan kebutuhan dasar rasa aman, kebutuhan dicintai, dan dihargai; dan (6) Nilai sosial budaya tentang hakekat kerja, hakekat alam, dan hakekat hubungan dengan sesama berhubungan nyata dengan persepsi kepala keluarga pada kebutuhan dasar, kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan kebutuhan dihargai yang dirasakannya, dan persepsi pada kepuasan kebutuhan dasar rasa aman, kebutuhan dicintai, dan dihargai. Strategi dan kebijakan peningkatan pemenuhan kebutuhan keluarga KAT Baduy dapat diciptakan melalui peningkatan standar kebutuhan keluarga, dengan membuat pusat latihan usaha, forum disksusi (kelompok informasi masyarakat), peningkatan fasilitas usaha, partisipasi masyarakat, dukungan tokoh adat, dukungan swasta, dan motif dan kesadaran ingin berubah yang tinggi. Kesimpulan yang diperoleh: persepsi kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar di jalur Bawah Barat dan Tengah Barat pada kebutuhan keluarga yang dirasakan; fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai kelompok adalah tinggi, di jalur Kaduketug pada kebutuhan tersebut adalah sedang; Dan Kepuasan kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar di lokasi Bawah Barat dan Tengah Barat pada kebutuhan keluarga; fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai kelompok adalah tinggi, di lokasi Kadukteug kepuasan pada kebutuhan fisiologi adalah tinggi, rasa aman rendah, dicintai dan dimiliki sedang, dihargai sedang; Usaha-usaha kepala keluarga di jalur Bawah Barat dalam berladang, berjualan, berburu, bekerja pada orang lain, dan membuat kerajinan, Motif, Interaksi sosial, Nilai sosial budaya berhubungan nyata dengan persepsi kepala keluarga pada kebutuhan dasar, kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan kebutuhan dihargai yang dirasakannya, dan persepsi terhadap kepuasan kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan dihargai. Agar kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan rasa aman, dan dicintai dapat ditingkatkan, diperlukan upaya dari Pemda untuk lebih memberikan pengakuan atas eksistensi KAT Baduy. Agen pembaharu supaya ditingkatkan kompetensinya agar mampu berinteraksi sosial lebih berkualitas dengan masyarakat Baduy Luar. Diperlukan pengembangan strategi agar perubahan terencana dapat dilakukan untuk lebih memenuhi kebutuhan keluarga komunitas adat Baduy Luar, yaitu dengan membentuk forum kelompok diskusi yang didukung oleh lembaga adat dan pemerintah daerah, dan dukungan agen pembaharu pada usaha dan pola produksi, dan membangkitkan motif atau dorongan untuk berubah. Kata Kunci : Komunitas Adat Baduy, Persepsi, Kebutuhan Keluarga
v
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vi
PERSEPSI KOMUNITAS ADAT BADUY LUAR TERHADAP KEBUTUHAN KELUARGA DI KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN
AHMAD SIHABUDIN
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 vii
Judul Disertasi
: Persepsi Komunitas Adat Baduy Luar Terhadap Kebutuhan Keluarga di Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
Nama
: Ahmad Sihabudin
NRP
: I362060021
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Ketua
Prof. Dr. Pang S. Asngari Anggota
Prof (Ris ). Dr. Djoko Susanto, SKM. Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.
Tanggal Ujian:
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus:
viii
PRAKATA Hanya kata puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya berupa ilmu pengetahuan, sehingga naskah disertasi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang direncanakan, berkat bimbingan dan arahan komisi pembimbing Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA, Prof (Ris). Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, dan Prof. Dr. Pang. S. Asnga ri, yang dengan tulus, sabar, dan penuh pengertian yang tiada batas dalam membimbing, sejak penyusunan rencana penelitian sampai dengan penyelesaian disertasi ini, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih dan semoga semua kebaikan dan keikhlasan Bapak menjadi amal baik, dan Allah SWT membalas dengan syurgaNya Amin. Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS sebagai Dekan Sekolah Pascasarjana yang telah memberi kesempatan menempuh studi di IPB. Terimakasih dan hormat saya kepada Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku Ketua Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, dan Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc selaku Ketua Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan beserta staf yang telah banyak memberikan pelayanan administrasi akademik dan kemahasiswaan, dan penulis juga sampaikan terimakasih kepada seluruh dosen di Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan yang telah membantu dan memberi kontribusi ilmu pengetahuan selama penulis belajar. Tak lupa penulis juga mengucapakan terimakasih kepada Prof. Dr. Iberamsyah, MS, Dr. Ir. Rosmawati Sudibyo, dan Dr. Udi Rusadi, MS. yang memberi rekomendasi kepada penulis untuk belajar di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada yang terhormat Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Prof. Dr. Ir. Rahman Abdullah, M.Sc. sebagai atasan penulis yang telah banyak membantu dan mendukung, sehingga penulis tetap semangat dan penuh percaya diri dalam menyelesaikan studi. Penghargaan yang tinggi juga saya ucapkan kepada kolega kerja di FISIP Untirta, para Pembantu Dekan, Ketua Program
ix
Studi, dan staf yang dengan tulus berbagi tugas dengan penulis semoga ketulusan dan keikhlasan Bapak Ibu dapat ganjaran amal baik dari Allah SWT. Tak lupa terimakasih kepada saudara Aming, Benbela, Ilham, Herman, yang telah membantu selama penelitian lapangan, juga pada Ayah Mursid (Jaro Cibeo / Baduy Dalam) yang banyak membantu memberikan fasilitas akomodasi dan diskusi tentang komunitas Baduy selama penelitian berlangsung. Kepada kedua orang tua, Bapak H.M. Ma’sum S. Salim, Ibunda Hj. Ratnasari yang tercinta, penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga atas segala doa yang selalu Bapak Ibu panjatkan untuk penulis agar tetap sehat, dan semangat menyelesaikan sekolah. Sangat khusus kepada Isteri tercinta Dra. Hj. Rahmiati Fattah, serta anak-anakku: Umar Shalahuddin, M. Miftah Fahmi, dan M. Dylan Ibaidillah Arrasyidi yang selalu menjadi pendorong luar biasa, dan sumber inspirasi penulis. Bapak hanya bisa bilang, ”Bapak sangat berterimakasih dan sangat menyayangi kalian.” Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Abah dan Ibu mertua H. Abdul Fattah Sulaiman, dan Hj. Nurya ni yang selalu mendorong penulis dalam penyelesaian studi. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh kawan-kawan angkatan 2006 Program S2, dan S3, terutama pada Drs. Dirlanuddin, M.Si. Johanis Kamagi, S.Ip., M.Si., Drs. Oos. M Anwas, M.Si. yang telah memberi dorongan baik selama proses kuliah maupun saat penulisan disertasi, kalian adalah sahabat masa suka duka kuliah di PPN yang telah banyak memberi warna pengetahuan dan pengalaman yang akan penulis terus kenang. Juga pada Kanda Drs. Dolfi Suawa, M.Pd., adinda Drs. Suparno Jaya, M.Pd, dan Dr. Suaib Amiruddin, M.Si. yang selalu memberikan dorongan, dan penghiburan. Sebagai ungkapan syukur izinkan penulis menyampaikan pikukuh Baduy, ”mipit kudu amit, ngala kudu menta, nyaur kudu diukur, nyabda kudu diunggang, ulah ngomong segeto-geto, ulah lemek sadaek-daek, ulah maling papanjingan” (memetik harus izin, mengambil harus meminta, bertutur
x
haruslah
diukur,
berkata
haruslah
dipertimbangkan,
jangan
berkata
sembarangan, jangan berkata semaunya, jangan mencuri walau kekurangan). Akhirnya dengan rendah hati dan segala keterbatasan, penulis sampaikan disertasi ini semoga bermanfaat bagi semua yang membutuhkan. Segala
saran
kritik
yang
konstruktif
sangat
diharapkan
untuk
penyempurnaannya. Semoga Allah SWT selalu memberikan rakhmat, dan hidayahNya kepada kita semua.
Bogor, Oktober 2009
Ahmad Sihabudin
xi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Petir, Kabupaten Serang, Banten tanggal 4 Juli 1965 sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara keluarga Bapak H. Moh. Ma’sum S. Salim dan Ibu Hj. Ratnasari. Menyelesaikan sekolah pada SD Negeri 4 tahun 1977, SMP Negeri 1 tahun 1981, dan SMA Negeri 1 tahun 1984 di Kota Tangerang d.h. Kabupaten Tangerang. Meraih gelar Sarjana Komunikasi (S1) Jurusan Ilmu Penerangan di FIKOM Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta d.h. Sekolah Tinggi Publisistik tahun 1990. Meraih gelar Magister Sains (S2) tahun 1994, Bidang Kajian Utama Ilmu Komunikasi pada Program Pascasarjana Univesitas Padjadjaran Bandung dan berstatus sebagai Dosen Tugas Belajar dari IISIP Jakarta. Tahun 2006 mendaftar sebagai mahasiswa S3, di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis bekerja sebagai Dosen tetap IISIP Jakarta sejak 1991 s.d. tahun 2002. Pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Ilmu Penerangan tahun 1996, Pembantu Dekan
Bidang Akademik 1998, dan Dekan Fakultas Ilmu
Komunikasi tahun 2000 s.d. 2002 di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Tahun 2002 mengundurkan diri sebagai Dekan dan Dosen tetap IISIP Jakarta. Menjadi Dosen luar biasa di FIKOM Universitas Mercubuana, Universitas Budi Luhur, dan FIKOM IISIP Jakarta sampai dengan tahun 2007. Sejak tahun 2002 tercatat sebagi Dosen tetap di FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), dan berstatus sebagai Dosen Pegawai Negeri Sipil Jabatan Fungsional Lektor Kepala, pangkat saat ini Penata Tingkat I/IIIc, dan terhitung Desember 2007 mendapat tugas tambahan sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, di bebas tugaskan sebagai Dekan FISIP Untirta, 4 Mei 2009. Karya ilmiah yang dipublikasikan dalam empat tahun terakhir antara lain; Menulis buku ”Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multi-Dimensi”. Diterbitkan: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP – Untirta. Serang Tahun 2007. ”Prasangka Sosial dan Efektivitas Komunikasi Antar Kelompok (Studi xii
Tentang Pengaruh Prasangka Sosial Terhadap Efektivita Komunikasi Antar Kelompok Baduy Luar, Baduy Dalam dan Masyarakat Ciboleger Lebak Banten)”. Jurnal Komunikasi ”Mediator” Terakreditasi. Vol 1/No.1/2008, Unisba Bandung. Merupakan bagian dari hasil Penelitian Fundamental Tahun 2007. ”Tantangan Masa Depan Program Studi Ilmu Komunikasi”. Jurnal Ilmu Komunikasi FISIP Untirta. Vol.1 No.1. Desember 2005. ”Saluran Komunikasi Dalam Pilkada”. Jurnal Ilmu Komunikasi FISIP Untirta. Vol.2 No.2. Desember. 2006. ”Strategi Pendidikan Dengan Pendekatan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Untuk
Komunitas
Adat
Terasing.”
Jurnal
Teknodik.
No.
20/XI/Teknodik/ April/2007. Departemen Pendidikan Nasional. Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan. Dua artikel yang merupakan bagian disertasi ini telah diterima redaksi dan akan dimuat pada: Jurnal Penyuluhan Fema IPB untuk artikel berjudul (1) ”Persepsi Komunitas Adat Baduy terhadap Kebutuhan Keluara di Kabupaten Lebak Provinsi Banten,” dan (2) Pengaruh Interaksi Sosial Komunitas Adat Baduy Luar terhadap Persepsinya pada Kebutuhan Keluarga. Saat ini tengah melakukan penelitian dengan judul “Model Revitalisasi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten”. Hibah Bersaing Direktorat DP2M Tahun Anggaran 2008/2009. Penulis menikah dengan Dra. Hj. Rahmiati Fattah, dan telah dikarunia tiga orang putra: Umar Shalahuddin, M. Miftah Fahmi, dan M. Dylan Ibaidillah Arrasyidi.
xiii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ........................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................
xvi
PENDAHULUAN ............................................................................
1
Latar Belakang .............................................................................
1
Masalah Penelitian ......................................................................
3
Tujuan Penelitian ..........................................................................
6
Kegunaan Penelitian ....................................................................
6
Definisi Istilah .............................................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
9
Komunitas Adat Terpencil Baduy
..............................................
9
Gambaran Umum dan Sekilas Asal Usul Orang Baduy …………
10
Luas Wilayah, Kondisi Tanah dan Tata Guna Lahan
………….
13
Sistem Sosial dan Pemerintahan Masyarakat Baduy ……………
14
Kepercayaan Orang Baduy ………………………………………
19
Gejala Perubahan Sosial di Baduy ……………………………….
21
Kebutuhan Hidup Keluarga ……………………………………..
27
Persepsi …………………………………………………………..
32
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi …………………… .
33
Usaha Pemenuhan Kebutuhan Keluarga …………………………
36
Motif Memperoleh Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan ……...
37
Interaksi Sosial ……………………………………………………..
40
Nilai Sosial Budaya ……………………………………………….
42
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ……………………….
47
Kerangka Berpikir
……………………………………………….
47
Hipotesis Peneltian ………………………………………………
49
METODE PENELITIAN
…………………………………………
50
Rancangan Penelitian ……………………………………………
50
xiv
Lokasi, Objek, dan Waktu Penelitian ……………………………
50
Populasi dan Sampel Penelitian ………………………………….
50
Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian ……………………
53
Pengumpulan Data ………………………………………….
53
Instrumen Penelitian ………………………………………..
54
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
……………………….
56
Analisis Data ………………………………………………..
57
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………..
59
Deskripsi Lokasi Penelitian
…………………………………….
59
Geografis ………………………………………………………...
60
Administratif ……………………………………………………
59
Demografi ……………………………………………………….
62
Deskripsi Karaktersitik Kepala Keluarga KAT Baduy Luar ……
64
Deskripsi Usaha dan Pola Produksi KAT Baduy Luar ………….
66
Deskripsi Motif Untuk Memenuhi Kebutuhan Keluarga …………
68
Deskripsi Interaksi Sosial ………………………………………...
70
Deskripsi Nilai Sosial Budaya ……………………………………
72
Persepsi Terhadap Kebutuhan Keluarga yang Dirasakan ……….
75
Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan Kebutuhan Keluarga.
77
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang dirasakan ………………………………
80
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan pada Kebutuhan Keluarga …………………………….
85
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang dirasakan di Lokasi Bawah Barat ……….
90
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan pada Kebutuhan Keluarga. di Lokasi Bawah Barat ……..
95
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang dirasakan di Lokasi Tengah Barat ……..
100
xv
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan pada Kebutuhan Keluarga. di Lokasi Tengah Barat ……
106
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang dirasakan di Lokasi Kaduketug ……….
110
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan pada Kebutuhan Keluarga. di Lokasi Kaduketug ….……
116
Pembahasan Umum ..........................................................................
120
Strategi Peningkatan Kebutuhan Keluarga KAT Baduy ....................
142
KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
147
Kesimpulan .......................................................................................
147
Saran .................................................................................................
147
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
149
LAMPIRAN ...........................................................................................
155
xvi
DAFTAR TABEL Halaman 1
Lokasi Penelitian ...................................................................................
52
2
Kisi-Kisi Penyusunan Instrumen ..........................................................
55
3
Penduduk Baduy Tahun 1994Menurut Kelompok Usia ....................
63
4
Jumlah Kepala Keluarga KAT Baduy Luar Menurut Karakteristik Sosial .............................................................................
64
Jumlah KAT Baduy Luar Seluruh lokasi menurut Karakteristik Sosial ...............................................................................
66
Jumlah kepala keluarga Baduy Luar menurut Usaha dan Pola Produksi di masing- masing lokasi ..............................
67
7
Jumlah kepala keluarga Menurut Usaha dan Pola Produksi ................
68
8
Jumlah kepala keluarga Berdasarkan Jalur Masuk ke Baduy Dalam menurut Motif dalam memenuhi kebutuhan keluarga .........................
69
Motif kepala keluarga pada pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam memenuhi kebutuhan keluarga .................................................
70
10 Interaksi sosial keluarga berdasarkan Jalur Masuk ke Baduy Dalam ..................................................................................
71
11 Interaksi Sosial kepala keluarga dalam memenuhi Kebutuhan Keluarga ...........................................................................
72
12 Nilai Sosial Budaya kepala keluarga menurut lokasi jalur masuk ke Baduy Dalam .................................................
73
13 Nilai Sosial Budaya kepala keluarga keseluruhan Responden ..........
74
14 Persepsi kepala keluarga Terhadap Kebutuhan Keluarga yang dirasakan menurut Jalur Masuk ke Baduy Dalam ............................
75
15 Jumlah kepala keluarga Seluruh Lokasi Menurut Persepsi yang dirasakan tentang Kebutuhan Keluarga ............................................
77
16 Persepsi pada Kepuasan Kebutuhan Keluarga Berdasarkan Jalur Masuk ke Baduy Dalam ..................................................................
78
5
6
9
xvii
17 Persepsi kepala keluarga terhadap Kepuasan Kebutuhan Keluarga di semua lokasi ...............................................................................
80
18 Hubungan antara karakteristik sosial, usaha, motif,interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan persepsi kepala keluarga terhadap kebutuhan keluarga yang dirasakan di semua lokasi ......................
81
19 Hubungan Antara karkateristik sosial, usaha, motif, interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan Pesepsi kk terhadap kepuasan kebutuhan keluarga di semua lokasi ................................................
86
20 Hubungan Antara karakteristik sosial, usaha, motif, interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan Pesepsi kepala keluarga terhadap kebutuhan keluarga yang dirasakan di lokasi Bawah Barat ...............
91
21 Hubungan Antara karakteristik sosial, usaha, motif, interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan Pesepsi kepala keluarga terhadap kepuasan kebutuhan keluarga di lokasi Bawah Barat .......................
96
22 Hubungan Antara karakteristik sosial, usaha, motif, interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan Pesepsi kepala keluarga terhadap kebutuhan keluarga yang dirasakan di Lokasi Tengah Barat .............. 101 23 Hubungan Antara karakteristik sosial, usaha, motif, interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan Pesepsi kepala keluarga terhadap kepuasan kebutuhan keluarga di Lokasi Tengah Barat .......................
107
24 Hubungan Antara karakteristik sosial, usaha, motif, interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan Pesepsi kepala keluarga terhadap kebutuhan keluarga yang dirasakan di Lokasi Kaduketug ...............
111
25 Hubungan Antara karakteristik sosial, usaha, motif, interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan Pesepsi kepala keluarga terhadap kepuasan kebutuhan keluarga di Lokasi Kaduketug .........................
117
26 Sistem Kalender dan aktivitas Warga Baduy ……………………...
123
xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Struktur Organsasi KAT Baduy ............................................................
19
2
Pembentukan Persepsi .........................................................................
35
3
Hubungan antar Peubah Penelitian ........................................................
48
4
Peta Wilayah Desa Kanekes ..................................................................
60
5
Strategi Peningkatan Kebutuhan Keluarga KAT Baduy ........................ 144
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Data Penyebaran Penduduk Desa Kanekes Tahun 2008 ............
155
2
Uji Reliabilitas .........................................................................
157
3
Hasil Analisis Korelasi ..............................................................
158
4
Kuisioner ..................................................................................
185
xx
PENDAHULUAN
Latar Belakang Bangsa Indonesia terkenal dengan kemajemukannya yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan hidup bersama dalam negara kesatuan RI dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dalam keanekaragaman tersebut ada sekelompok masyarakat / suku bangsa yang secara relatif sudah lebih dahulu maju. Tetapi ada juga yang belum maju dan malahan tertinggal dengan masyarakat lainnya. Perubahan sosial dalam masyarakat baik secara vertikal maupun horizontal juga dapat menimbulkan ketertinggalan dan keterpencilan pada sekelompok masyarakat tertentu karena lokasi yang terpencil serta sulit mendapatkan akses pelayanan dari luar. Bahkan mungkin yang terpenting dari kemajemukan masyarakat dan kekayaan kebudayaan yang memerlukan perhatian adalah: masih jutaan anakanak negeri yang diidentifikasi sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT) adalah pewaris keterbelakangan, ketertinggalan, dan kemiskinan masyarakat Indonesia. Bahkan masyarakat global melihat KAT dalam perspektif yang sama. Tanpa kita menyadari, sebenarnya anak-anak negeri dalam KAT yang hidup dalam kemiskinan selalu melahirkan kemiskinan. Salah satu masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam rangka pembangunan masyarakat di Indonesia adalah Komunitas Adat Terpencil. Komunitas ini bermukim di berbagai pelosok wilayah. Data menginformasikan bahwa KAT terdapat hampir di seluruh wilayah Nusantara, mulai dari Sabang di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) hingga Merauke di Provinsi Papua. Sebagian kecil suku yang tergolong KAT dilihat dari provinsi asal antara lain: Suku Gayo (NAD), Suku Anak Dalam (Jambi), Suku Dayak Sekadau (Kalimantan Barat), Suku Dayak Meratus (Kalimantan Selatan), Suku Baduy (Banten), Suku Tengger (Jawa Timur), Suku Loitas (Nusa Tenggara Timur), dan Suku Ekagi (Papua). Menciptakan dan mengembangkan strategi pengembangan masyarakat yang nyata diperlukan keberanian demi membawa kemajuan memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat yang teridentifikasi ke dalam KAT. Warga KAT 1
2 sebagaimana lazimnya masyarakat pada umumnya mereka juga menginginkan perubahan, perubahan dalam kualitas kemanusiaannya. Namun kemampuan mereka sendiri tidak mendukung atau mustahil untuk melakukan perubahan, untuk memperbaiki nasib. Harus ada intervensi atau campur tangan pihak lain dari luar KAT. Adalah jelas warga KAT antara lain ingin menapaki pendidikan yang lebih baik, memiliki kondisi kesehatan yang lebih sehat, lebih bersih, sandang pangan yang mencukupi, dan hidup dalam kelembutan tidak dalam kekerasan kehidupan seperti yang mereka jalani. Memperhatikan data yang ada, jumlah KAT yang dikategorikan terpencil di Indonesia dengan persebarannya adalah sebanyak 205.029 KK atau sekitar 1.025.000 jiwa, sedangkan jumlah yang sedang diberdayakan 8.338 KK / lokasi dan jumlah yang sudah diberdayakan 51.398 KK / lokasi. Visi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil adalah: kesejahteraan sosial Komunitas Adat Terpencil yang mandiri di dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan. KAT yang kini berjumlah sekitar 1,1 juta jiwa bukan jumlah yang sedikit. KAT masih terisolasi, miskin, dan lemah (Abdullah, 2004). Dalam Pasal 2 Keppres No. 111/1999 tentang pembinaan kesejahteraan sosial komunitas adat terpencil diamanatkan sebagai berikut : ”Pembinaan kesejahteraan sosial komunitas adat terpencil bertujuan untuk memberdayakan komunitas adat terpencil dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan agar mereka dapat hidup secara wajar baik jasmani, rohani, dan sosial sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan, yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan adat istiadat setempat.” Berdasarkan keputusan di atas penelitian ini mencoba mengkaji salah satu KAT yang ada di Indonesia, yaitu suku Baduy Luar. Secara administratif wilayah Baduy atau biasa pula disebut wilayah “Rawayan” atau wilayah “Kanekes” termasuk dalam Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (dulu masuk wilayah Jawa Barat). Wilayah yang dihuni orang Baduy berada pada kawasan Pegunungan Kendeng yang sebagian merupakan hutan lindung. Masyarakat Baduy adalah salah satu etnik yang dapat dikatakan sebaga i komunitas yang masih memegang tradisi dan cenderung tertutup, atau dalam
3 istilah sekarang Komunitas Adat Terpencil sebagai pengganti istilah Masyarakat Terasing. Misi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil adalah: Meningkatkan harkat dan martabat Komunitas Adat Terpencil, meningkatkan kualitas hidup Komunitas Adat Terpencil, memperkuat pranata dalam jaringan sosial, mengembangkan sistem kehidupan dan penghidupan yang berlaku pada Komunitas Adat Terpencil, dan meningkatkan peranserta dan tanggung jawab sosial masyarakat dalam proses pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Sebaga imana dikemukakan oleh Kusdinar (2004), di Kabupaten Lebak, KAT terdapat di Kecamatan Leuwidamar dan Kecamatan Cibeber. Salah satu komunitas adat tersebut adalah Suku Baduy yang terdapat di wilayah Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar. Masyarakat Baduy terdiri dari “Baduy Dalam” dan “Baduy Luar.” “Baduy Dalam” terdiri dari tiga kampung yaitu kampung Cikeusik, Kampung Cikertawarna, dan Kampung Cibeo yang masing- masing dipimpin oleh seorang pimpinan adat atau yang biasa disebut Pu’un. “Baduy Luar” tersebar di 51 kampung, antara lain: Kadu Ketug, Kadu Keter, Gajeboh, Kadu Kohak, Cipiit, dan Kadu Jangkung. Selain di wilayah Baduy, Komunitas Adat Terpencil terdapat pula di wilayah lain, tepatnya di wilayah Lebak Selatan yaitu di Kecamatan Cibeber yang terdapat masyarakat yang patuh dan taat pada lembaga “kaolotan” seperti yang terdapat dalam “kaolotan” Cisungsan, Citorek, Cisitu, Cipanas, dan Bayah.
Masalah Penelitian Sebagaimana lazimnya masyarakat pada umumnya, komunitas Baduy juga membutuhkan pengembangan diri, membutuhkan perubahan, dan terutama dalam hal kebutuhan keluarga baik sandang, pangan, papan, dan kebutuhan sekunder dan tersier lainnya. Ini terlihat dalam komunitas Baduy Luar yang sudah terlihat dinamika perubahannya dibandingkan dengan saudaranya Baduy Dalam yang secara adat masih memegang sangat teguh tradisi leluhur. Baduy Luar meskipun dianggap oleh orang Baduy Dalam sebagai pelanggar adat, namun demikian bila diperhatikan tata cara kehidupannya masih memegang tradisi yang kuat.
4 Secara umum yang membedakan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar adalah sebagai berikut:. Baduy Luar relatif sudah mau menerima inovasi dan modernisasi dari luar sedangkan Baduy Dalam belum dapat menerima hal- hal yang berbau teknologi dan modernisasi. Meskipun demikian kehidupan secara sosial dan ekonomi, komunitas Baduy Luar tidak jauh berbeda dengan Baduy Dalam. Artinya, mereka masih memerlukan pengembangan dan pemberdayaan dalam berbagai segi kehidupan, sesuai dengan yang diamanatkan Keppres No. 111/1999. Gejala lain yang tampak pada masyarakat Baduy Luar adalah dalam hal cara memenuhi kebutuhan keluarga lebih bervariasi selain bertani dan berladang ada yang membantu mengerjakan lahan orang lain, berjualan, dan membantu memasarkan hasil- hasil produk baik pertanian dan kerajinan sesama warga Baduy Luar. Mengingat sifat dan karakter masyarakat ini termasuk yang menutup diri terhadap hal- hal yang berasal dari luar komunitasnya. Secara umum dan pada hakikatnya masyarakat manapun membutuhkan perubahan dalam pengertian perubahan kehidupan yang lebih baik, baik pengetahuan, keterampilan dan sikap mental. Pengemb angan dan perubahan ini harus memperha tikan hal- hal yang tidak bertentangan dengan adat istiadat mereka. Mengingat potensi alam yang dimiliki komunitas ini cukup banyak, seperti aspek pertanian, mereka kebanyakan menanam padi padahal dapat juga menanam sejenis atau berbagai palawija, hasil hutan misalnya madu, bahan baku untuk membuat gula aren, dan kerajinan tangan berupa tas (jarog). Khusus untuk kerajinan, pengamatan peneliti, model dan karyanya sudah mulai bervariasi mulai dari tas khasnya (jarog) sampai tempat handphone sudah mereka buat, tinggal masalah memasarkan, dan cara mereka menjualnya. Potensi komunitas Baduy sebenarnya cukup besar untuk dapat hidup lebih baik dari saat ini. Komunitas Baduy sebagai masyarakat yang taat menjunjung adat dan nilai- nilai leluhurnya, salah satu tradisinya adalah hasil ladang berupa padi tidak boleh dijual karena merupakan pantangan bagi seluruh orang Baduy, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar, maka yang terpenting adalah memberikan informasi yang dapat membantu mereka memanfaatkan sumber daya dan potensi yang ada
5 dalam lingkungannya, tanpa mengganggu tradisinya. Hal ini dapat dianggap sebagai kendala, ini juga memerlukan penyelidikan yang lebih mendalam. Mengacu pada latar belakang masalah yang diuraikan, Komunitas Adat Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan tradisi leluhur, sedangkan Baduy Luar cenderung sudah menerima perubahan, serta nilai- nilai dari luar. Berangkat dari gejala tersebut peneliti memfokuskan penelitian pada komunitas Baduy Luar, karena mereka meskipun secara adat dianggap orang-orang yang melanggar adat, tidak loyal pada adat dan tradisi leluhurnya tetapi secara umum kehidupan mereka relatif sama dengan masyarakat Baduy Dalam. Gejala tersebut menarik untuk dikaji lebih jauh dan dipertanyakan alasan itu terjadi dan dilakukan oleh orang-orang Baduy yang sekarang disebut Baduy Luar. Terdapat beberapa gejala yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu masalah filosofis sistem nilai yang dianut oleh Komunitas Baduy dan bagaimana mereka mempersepsi kebutuhan keluarga. Beberapa hal yang menjadi permasalahan filosofis antara lain adalah: (1) Kepercayaan dan sistem nilai yang dianut oleh suku Baduy menghambat proses perubahan yang bisa memajukan taraf kehidupan mereka. (2) Tradisi yang ada menjadikan mereka tertutup dengan dunia luar. (3) Kurangnya sumber daya manusia yang mengelola sumber daya alam yang ada. Dari sisi pemerintah sebagai pembuat kebijakan perlu dikaji hal- hal sebagai berikut: (1) kurangnya upaya dari pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia masyarakat Baduy agar mereka dapat mengelola potensi alam yang mereka miliki. (2) kurang dan tertutupnya
akses berbagai informasi
yang memudahkan
masyarakat baduy untuk maju, baik dalam bentuk komunikasi interpersonal, maupun kelompok, dengan memanfaatkan lembaga sosial yang ada. (3) kurang atau hampir tidak adanya berbagai pelatihan dan pemberdayaan dari pemerintah bekerja sama dengan masyarakat yang sudah terdidik agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat Baduy.
6 Dari beberapa permasalahan yang ada, ditambah sifat dan hakekat manusia yang selalu berusaha untuk berubah, dan hakekat manusia yang selalu berusaha memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan dirinya maupun keluarganya, maka masalah penelitian yang dipertanyakan adalah: (1) Bagaimana persepsi kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar terhadap kebutuhan keluarga nya? (2) Faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi persepsi kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar terhadap kebutuhan keluarga nya? (3) Bagaimana strategi perubahan terencana untuk meningkatkan kesejahteraan kebutuhan keluarga kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar?
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah : (1) Mengkaji persepsi kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar terhadap kebutuhan keluarga. (2) Mengkaji faktor- faktor yang mempengaruhi persepsi kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar terhadap kebutuhan keluarga nya. (3) Mengembangkan strategi perubahan terencana untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga Komunitas Adat Baduy Luar.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini merupakan media proses belajar dalam mengaplikasikan konsep-konsep teori dan model dalam pengembangan komunitas adat terpencil, yang didasarkan pada teori dan pengamatan (empirik). Kegunaan penelitian ini sebagai berikut: (1) Dari segi keilmuan hasil penelitian ini diharapkan sebagai khazanah untuk memperkaya kajian ilmu penyuluhan pembangunan. Diharapkan adanya perluasan segi-segi teoritis penyuluhan pembangunan yang dapat menunjang penelitian sejenis pada masa yang akan datang. (2) Dari segi terapan, hasil penelitian ini diharapkan berma nfaat untuk menangani masalah- masalah Komunitas Adat Terpencil, khususnya pada masyarakat
7 Baduy, maupun masyarakat
dalam kategori adat terpencil lainnya yang
memiliki karakteristik yang sama. (3) Sebagai masukan bagi pemerintah Kabupaten Lebak – Banten, dan Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Departemen Sosial RI, dalam menyusun kebijakan tentang pembangunan komunitas adat terpencil Baduy Luar yang berorientasi kesejahteraan dan kelestarian adat dan lingkungan.
Definisi Istilah Definisi dan pengukuran dari peubah yang ada disajikan agar makna penelitian dapat dipahami secara bersama: (1) Komunitas Adat Terpencil adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik. (2) Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Kanekes
Kecamatan
Leuwidamar,
Kabupaten
Lebak
yang
mempunyai ciri kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum. (3) Persepsi adalah pengertian dan penafsiran makna informasi yang diterima peralatan pancaindera, yang diukur dari pemahaman orang baduy pada kebutuhan hidup keluarga. (4) Kebutuhan keluarga orang Baduy Luar adalah, kebutuhan fisiolojik, rasa aman, rasa memiliki dan dimiliki, dan harga diri. (5) Karakteristik masyarakat Baduy Luar adalah pendapatan rumah tangga, usia, dan jumlah anggota keluarga. (6) Motif adalah hal yang mendorong Orang Baduy Luar untuk lebih memiliki pengetahuan, percaya diri, dan lebih terampil dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. (7) Usaha dan Pola produksi adalah usaha orang Baduy Luar memenuhi kebutuhan keluarganya. (8) Nilai-nilai budaya adalah konsep-konsep yang hidup dalam pikiran aktivitas masyarakat Baduy Luar mengenai hal-hal yang mereka anggap paling agung dalam hidup, sehingga berfungsi sebagai
8 pedoman dalam berperilaku
dalam
hidupnya. Penelitian
ini
menggunakan konsep yang dikembangkan Clide Kluckon dan F.L Strodtbeck (Koentjaraningrat, 2004) yaitu tentang: (a) Hakekat hidup manusia, adalah pandangan masyarakat Baduy, bahwa hidup suatu ha l yang baik, buruk, atau menerima apa adanya. (b) Hakekat karya manusia, adalah pandangan tentang bekerja sebagai sesuatu
yang
memberikan
kedudukan
terhormat
dan
menghargainya (c) Hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, adalah pandangan bahwa masa la lu, masa depan atau waktu sekarang adalah waktu yang terpenting (d) Hakekat dari kedudukan manusia dengan alam semesta, adalah pandangan masyarakat Baduy tentang alam bahwa alam dan sekitarnya berupa gunung, hutan dan air perlu dihormati, dan dijaga. (e) Hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya, adalah pandangan bahwa hubungan dengan sesamanya adalah amat penting. (9) Interaksi sosial, adalah interaksi masyarakat Baduy Luar dengan kelompoknya, masyarakat luar atau wisatawan, aparat pemerintah, dan keterdedahan oleh media, diukur frekuensi interaksinya.
9 TINJAUAN PUSTAKA Komunitas Adat Terpencil Baduy Menurut Adimihardja (2007) komunitas adat sebagai bagian dari masyarakat Indonesia adalah kelompok masyarakat yang terisolasi, baik secara fisik, geografi, maupun sosial budaya. Sebagian besar komunitas ini bertempat tinggal di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Pranata sosial dalam komunitas adat ini umumnya bertumpu pada hubungan kekerabatan yang sangat terbatas dan homogen. Kehidupan mereka sehari- hari masih didasarkan pada interaksi tradisional yang bersifat biologis darah dan ikatan tali perkawinan. Abdullah (2004) berpendapat kelompok masyarakat inilah yang dikategorikan sebagai Komunitas Adat yang masih hidup terpencil, keterpencilan itu ada 2 (dua) aspek yaitu secara eksternal: kenapa pihak luar belum atau sulit memberikan akses pelayanan sosial dasar pada mereka. Secara internal: Kenapa mereka belum dan atau sulit mendapatkan akses pelayanan sosial dasar. Pengertian Komunitas Adat Terpencil
(KAT) dalam surat Keputusan
Presiden No 111 tahun 1999, adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik. Berdasarkan pengertian tersebut, maka kelompok masyarakat tertentu dapat dikategorikan sebagai Komunitas Adat Terpencil jika terdapat ciri-ciri umum yang berlaku universal sebagai berikut: (a) Berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen. (b) Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan. (c) Pada umumnya lokasinya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau. (d) Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi sub-sisten. (e) Peralatan teknologinya sederhana, sangat tradisionil (f) Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi. (g) Akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik terbatas. Dengan demikian maka berdasarkan pengertian, dan gambaran ciri-ciri KAT dalam Keppres No. 111 Tahun 1999, Komunitas Adat Terpencil dapat dikelompokkan berdasarkan habitat, dan atau lokalitas sebagai berikut:
10 (a) Dataran tinggi / pegunungan; (b) Dataran rendah; Daerah rawa; Daerah aliran sungai (c) Daerah pedalaman; Daerah perbatasan; (e) Di atas perahu; Pantai dan di pulau-pulau kecil. Komunitas Adat Terpencil juga dapat dikategorikan orbitasinya sebagai berikut: Kelana, Menetap Sementara, dan Menetap. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa komunitas adat terpencil adalah kelompok masyarakat yang masih terbatas mendapatkan berbagai akses pelayanan dasar sosial yang disebabkan secara geografis sulit dijangkau, dan cenderung sifat masyarakatnya tertutup.
Gambaran Umum dan Sekilas Asal Usul Orang Baduy Sebutan “Orang Baduy” atau ”Urang Baduy” yang digunakan untuk kelompok masyarakat ini bukan berasal dari mereka sendiri. Penduduk wilayah Banten Selatan yang sudah beragama Islam, biasa menyebut masyarakat yang suka berpindah-pindah seperti halnya orang Badawi di Arab, dengan sebutan “Baduy”. Orang-orang Belanda seperti Hoevell, Jacobs, Meijer, Penning, Pleyte, Trcht, dan Geise menyebut mereka badoe’i, badoej, badoewi, dan orang kanekes seperti dikemukakan dalam laporan- laporannya. Sekitar tahun 1980-an, ketika KTP (Kartu Tanda Penduduk) diberlakukan di sini, hampir tidak ada yang menolak dengan sebutan Orang Baduy. Walaupun, sebutan diri yang biasa mereka gunakan adalah Urang Kanekes, Urang Rawayan, Urang Tangtu (Baduy Dalam) dan Urang panamping (Baduy Luar). Nama “Baduy” mungkin diambil dari nama sungai Cibaduy dan nama gunung Baduy yang kebetulan berada di wilayah Baduy (Garna, 1993a:120). Salah satu tulisan paling awal mengenai komunitas Baduy berasal dari laporan C.L Blume ketika melakukan ekspedisi botani ke daerah tersebut pada tahun 1822, ia menulis: “…dipangkuan sebuah rangkaian pegunungan, yang menjulang tinggi di Kerajaan Bantam di Jawa Barat... kami mendapatkan beberapa kampong pribumi, yang dengan sengaja bersembunyi dari penglihatan orang-orang luar… Di sebelah Barat dan di Selatan gunung itu… yang tidak dimasuki
11 oleh ekspedisi Hasanuddin… dalam kegelapan hutan yang lebat, mereka masih dapat memuja para dewa mereka selama berabad-abad…” Menurut Blume, komunitas Baduy beasal dari Kerajaan Sunda Kuno, yaitu Pajajaran, yang besembunyi, ketika kerajaan ini runtuh pada awal abad ke17 menyusul bergeloranya ajaran Islam dari Kerajaan Banten. (Garna, 1993b:144). Kisah yang hampir sama muncul dalam cerita rakyat di daerah Banten. Kisah tersebut menceritakan bahwa dalam suatu pertempuran, Kerajaan Pajajaran tidak dapat membendung serangan Kerajaan Banten. Pucuk pimpinan Pajajaran saat itu, Prabu Pucuk Umun (keturunan Prabu Siliwangi), beserta punggawa yang setia berhasil lolos meninggalkan kerajaan dan masuk ke dalam hutan belantara. Akhirnya mereka tiba di daerah Baduy sekarang ini dan membuat pemukiman di sana.(Djuwisno, 1987:1-2) Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1925, menyangkal teori tersebut. Menutur dia, mereka adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b:146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan mereka berasal dari orang-orang pelarian Kerajaan Pajajaran. Manurut Danasasmita dan Djatisunda (1986:4-5) Orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya diwajibkan memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kabuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Asli atau Sunda Wiwitan (wiwitan = asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun di bernama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiska, yaitu raja Sunda ke-13, keturunan Sri Jayabupati, generasi kelima. Apabila kita menanyakan mengenai asal usul orang Baduy, jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan ketur unannya, termasuk warga Baduy
12 mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Pendapat mengenai asal- usul orang Baduy tersebut adalah berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minimal keberadaannya. Masyarakat Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim disebut sebagai Kerajaan Pajajaran, pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih enam ratus tahun yang lalu. Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian penting dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang). Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000:47-59). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh- musuh Pajajaran. Dalam Pasal 11 Angka 6 Perda Kabupaten Lebak No. 32 tahun 2001, yang dimaksud dengan masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang mempunyai ciri kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum.
13
Luas Wilayah, Kondisi Tanah dan Tata Guna Lahan di Baduy Menurut laporan A.J. Span (1987) dan B van Tricht (1929) dalam Permana (2006:19) pada akhir abad ke-18 wilayah Baduy terbentang mulai dari Kecamatan Leuwidamar sekarang sampai ke pantai selatan. Batas desa seperti yang ada sekarang ini dibuat pada permulaan abad ke-20 bersamaan dengan pembukaan perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya. Sementara itu menurut perkiraan Judhistira K Garna, luas wilayah Baduy meliputi beberapa kecamatan, seperti Muncang, Sajra, Cimarga, Maja, Bojong Manik, dan Leuwidamar. Hal ini didasarkan atas kesamaan kepercayaan Sunda Lama dan pertalian kerabat masyarakat yang menempati daerah-daerah tersebut. Wilayah Baduy terus dipersempit pada masa Kesultanan Banten dalam rangka penyebarluasan agama Islam, Garna, (1993), Permana (2006:19) Menurut Permana (2006:19) luas wilayah Baduy secara umum dapat dibagi menjadi tiga macam tata guna lahan, yaitu lahan usaha pertanian, hutan tetap, dan permukiman. Lahan usaha pertanian terbesar dalam penggunaan lahan, yakni mencapai 2,585,29 ha atau 50,67%. Lahan ini terdiri atas lahan yang ditanam / diusahakan 709,04 ha atau 13,90% dan lahan yang tidak ditanam (bera) seluas 1.876,25 ha atau 36,77%. Penggunaan lahan terkecil adalah untuk pemukiman, yang hanya meliputi 24,50 ha atau 0,48%. Adapun sisanya, seluas 2.492 ha atau 48,85%, merupakan hutan tetap sebagai hutan lindung yang tidak boleh digarap untuk dijadikan lahan pertanian. Dalam dua dekade terakhir, belum ada catatan khusus tentang tata guna lahan, namun dapat dipastikan lahan permukiman bertambah. Menurut catatan Kantor Desa Kanekes tahun 2008, jumlah kampung di Baduy sudah mencapai 57 kampung. Berdasarkan jenis tanah, umumnya wilayah Baduy tergolong dalam jenis latosol coklat. Sifat tanah latosol ini termasuk ke dalam kelas tekstur liat (clay), tersusun oleh pertikel-pertikel berfraksa liat 56,9%, debu 32,2%, dan pasir 10,9%. Hal ini juga menandakan bahwa jenis tanah yang ada di wilayah Baduy ini peka terhadap erosi, Purnomohadi (1985) (Permana, 2006:18).
14 Curah hujan rata-rata tahunan selama dasawarsa terakhir umumnya melebihi 3000 mm/tahun hingga 4000 mm/tahun. Curah hujan disini kebih tinggi dibandingkan denga wilayah-wilayah di Leuwidamar lainnya. Menurut metode klasifikasi iklim Koppen, wilayah Baduy termasuk kelas AW, yang berarti ada bulan-bulan kering degan curah hujan < 60 mm dan suhu udara rata-rata bulanan > 18 derajat C. Kelas AW juga menunjukkan perbedaan yang nyata antara musim hujan dan kemarau. Bulan-bulan kering antara Juni sampai September, sedangkan bulan-bulan lain merupakan bulan basah. Purnomohadi (1985) (Permana, 2006:18).
Sistem Sosial dan Pemerintahan Masyarakat Baduy Secara umum, masyarakat Baduy terbagi menjadi tiga kelompok, yakni tangtu (pendahulu, cikal bakal, pokok); panamping (pinggir, buangan); dan dangka (rangka, kotor). Tangtu dan pana mping berada di wilayah desa Kanekes, sedangkan dangka terdapat di luar desa Kanekes. Bila dilihat dari tingkat ketaatan pada adat, maka tangtu lebih tinggi dari panamping, dan panamping lebih tinggi dari dangka. Meski demikian, pengelompokan yang sering digunakan adalah tangtu merujuk pada masyarakat Baduy Dalam, sedangkan panamping dan dangka merujuk pada masyarakat Baduy Luar. Baduy Dalam (disebut juga Baduy Jero, Urang kajeroan) sebagai pemegang adat yang teguh, memiliki tiga kampung, yaitu (1) Cikeusik, disebut juga Tangtu Pada Ageung, (2) Cibeo, disebut juga Tangtu Parahiyang, dan (3) Cikartawana, disebut juga Tangtu Kujang. Ketiga kampung suci ini disebut juga sebagai telu tangtu (tiga tangtu). Sebutan lain untuk masyarakat tangtu adalah Urang Rawayan. Menurut orang Baduy sebutan itu disebabkan oleh adanya rawayan “jembatan” yang dilalui jika keluar- masuk wilayah tangtu. Jumlah perkampungan Baduy Luar terdiri dari 55 Kampung dalam Data Penyebaran Penduduk Desa Kanekes Tahun 2008. Bila melihat Perda Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang Hak Ulayat Masyarakat Baduy, ada 51 Kampung.
15 Seluruh Perkampungan Baduy Luar tersebar di sebelah Barat, Timur, dan Utara dari Baduy Dalam. Di sebelah Selatan tidak ada pemukiman/kampung, kecuali Sasaka Domas tempat atau objek pemujaan yang dianggap paling suci bagi Orang Baduy (Danasasmita, 1986; Garna, 1993,Permana,2001). Tanah tempat masyarakat tangtu berdiam dianggap suci oleh orang Baduy, oleh karenanya wilayah tangtu disebut daerah “Tanah Larangan”, yaitu daerah yang dilindungi dan tidak boleh sembarangan orang masuk dan berbuat sekehendak di wilayah tersebut. Ada beberapa hal yang ditabukan misalnya dilarang menghidupkan peralatan elektronik seperti radio, bertelepon, memotret, dan merekam baik audio maupun visual. Penamping menurut orang Baduy, berasal dari kata tamping yang berarti kata kerja ‘buang’; jadi penamping berarti ‘pembuangan’. Dengan kata lain, penamping merupakan tempat bagi orang tangtu yang dibuang atau dikeluarkan karena melanggar adat. Pendapat lain mengatakan bahwa penamping berarti pinggir atau daerah pinggiran. Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yakni sistem nasional dan sistem tradisional (adat). Dalam sistem nasional, masyarakat Baduy termasuk dalam wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Seperti halnya daerah lain di Indonesia, setiap desa terdiri atas sejumlah kampung. Di daerah Baduy, kampung-kampug tersebut terbagi menjadi kampung tangtu, kampung penamping, dan kampung dangka. Kecuali kampung tangtu, terdapat juga RK (Rukun Kampung) yang disebut kokolot lembur. Desa Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut jaro pamarentah (awalnya disebut Jaro Warega, dan pada zaman kolonial disebut Jaro Gubernemen). Seperti kepala desa atau lurah desa lain, ia berada di bawah camat, kecuali untuk urusan adat yang tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional (adat) yang disebut Puun. Uniknya, bila desa lain dipilih oleh warga, untuk Desa Kanekes yang menunjuk Puun, baru kemudian diajukan kepada Bupati melalui Camat untuk dikukuhkan sebagai kepala Desa. Secara tradisional pemerintahan pada masyarakat Baduy bercorak kesukuan disebut Kapuunan, dan Puun menjadi pimpinan tertinggi. Puun di
16 wilayah Baduy ada tiga, masing- masing Puun Cikeusik, Puun Cibeo, dan Puun Cikartawana. Puun-Puun ini merupakan “tritunggal”, karena selain berkuasa di daerah masing- masing, juga secara bersama-sama memegang kekuasaan pemerintahan tradisional. Walaupun merupakan satu kesatuan kekuatan, ketiga Puun tersebut juga mempunyai wewenang tugas berlainan. Menurut Permana, (2006:34) wewenang Kepuunan Cikeusik menyangkut urusan keagamaan dan ketua pengadilan adat, yang menentukan pelaksanaan upacara-upacara (seren tahun, kawalu, seba) dan memutuskan bagi para pelanggar adat. Wewenang Kepuunan Cibeo menyangkut pelayan kepada warga dan tamu ke kawasan Baduy, termasuk pada urusan administrator tertib wilayah, pelntas batas, dan berhubungan dengan daerah luar. Adapun wewenang Puun Cikartawana menyangkut urusan pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan, atau sebagai badan pelaksana langsung di lapangan yang memonitor permasalahan yang berhubungan dengan kawasan Baduy. Para Puun dibantu oleh Jaro (pelaksana harian Kapuunan), Girang Seurat (pemangku adat), Baresan (keamanan), dan Ta ngkesan (kepala dukun). Di Baduy Luar tidak ada Puun, pemimpin tertinggi di sini dipegang oleh Jaro (sebagai kepala kampung) beserta pembantu-pembantunya (Garna, 1993, Permana, 2001). Dalam lembaga Kapuunan terdapat beberapa jabatan antara lain: Puun; Girang Serat; Baresan; Jaro; Palawari; dan Tangkesan. Berikut penjelasan singkat masing- masing jabatan, sebagaimana dikemukakan Permana (2006:3537), dan wawancara dengan Ayah Mursid (Wakil Jaro Tangtu) November 2008. Puun merupakan jabatan tertinggi dalam wilayah tangtu. Menurut pikukuh (peraturan adat), jabatan itu berlangsung turun temurun, kecuali bila ada hal lain yang tidak mungkinkannya. Jabatan puun boleh diwariskan kepada keturunannya atau kerabat dekatnya. Lama jabatan tidak ditentukan, pada dasarnya dinilai berdasarkan ma mpu tidaknya seseorang menjalankan jabatannya. Ada yang menjabat sampai tutup usia, namun kebanyakan mengundurkan diri karena usia tua. Dalam wilayah tangtu, puun selalu berlaku formal, sehingga berlaku “protokol” kapuunan, kecuali bila berada di ladang, ia yang akan berlaku sebagai warga biasa. Oleh karena itu, untuk bertemu puun bukan dalam rangka “dinas”, biasanya dilakukan di saung huma ’pondokan di ladang’. Sehubungan
17 dengan jabatannya puun harus menempati “rumah dinas”. Lokasi rumah puun berada di daerah sakral, yaitu terletak paling selatan di dalam suatu pemukiman, tidak boleh ada rumah lain di selatan rumah puun. Girang seurat, atau kadang disebut seurat saja, merupakan jabatan tertinggi kedua setelah puun. Girang seurat merup akan “sekretaris” puun atau pemangku adat dan juga bertugas mengurus huma serang ‘ladang bersama’ dan menjadi penghubung serta pembantu utama puun. Setiap orang yang mau bertemu puun harus melalui girang seurat. Tamu dari luar lebih sering dihadapi girang seurat yang bertindak mewakili puun. Jabatan pembantu puun hanya ada di tangtu Cikeusik dan Cibeo, sedangkan di Cikartawana tugas tersebut dilaksanakan oleh kokolot ‘tetua kampung’. Baresan adalah semacam petugas keamanan kampung yang bertugas dan bertanggung jawab dalam bidang ketertiban. Mereka termasuk dalam anggota sidang kapuunan atau semacam majelis yang berangotakan sebelas orang di Cikeusik, sembilan orang di Cibeo, dan lima orang di Cikartawana. Mereka juga dapat menggantikan puun menerima tamu ya ng akan menginap dan dalam berbagai upacara adat. Jaro, merupakan pelaksana harian urusan pemerintahan kepuunan. Tugas jaro sangat berat karena meliputi segala macam urusan. Ada empat jabatan jaro, yakni jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertugas sebagai pengawas pelaksana hukum adat warga tangtu. Ia bekerjasama dengan girang seurat mendampingi puun dalam kegiatan upacara adat atau menjadi utusan kepala adat ke luar Desa Kanekes. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang berada di dalam dan di luar Desa Kanekes. Ia juga bertugas menyadarkan kembali orang tangtu yang dibuang karena melanggar adat. Jaro dangka berjumlah sembilan orang, yaitu tujuh orang berada di luar Desa, dan dua lainnya berada di desa. Kesembilan jaro dan ditambah dengan tiga orang jaro tangtu disebut dengan jaro duabelas, dikepalai oleh salah seorang diantaranya dan disebut jaro tanggungan duabelas. Jaro pamarentah bertugas sebagai penghubung antara pemerintahan adat dengan dan masyarakat Baduy dengan pemerintah, dan bertindak sebagai Kepala
18 Desa Kanekes yang berkedudukan di Kaduketug. Dalam tugasnya ia dibantu dengan pangiwa, carik, dan kokolot lembur. Palawari, merupakan kelompok khusus (semacam panitia tetap) yang bertugas pembantu, pesuruh, dan perantara dalam berbagai kegiatan upacara adat. Mereka mendapat tugas dari tangkesan mengenai hal- hal yang berkaitan dengan persiapan dan pelaksanaan suatu upacara adat. Sewaktu melaksanakan upacara, mereka inilah yang bertugas menyediakan makanan untuk semua petugas, dan warga yang terlibat dalam upacara tersebut. Tangkesan merupakan “menteri kesehatan” atau dukun kepala dan sebagai “atasan” dari semua dukun yang ada di baduy. Dialah juru ramal bagi segala aspek kehidupan orang baduy. Ia terlibat dalam penentuan orang yang pantas menjadi puun. Oleh karena itu, mereka menjabatnya harus cendikia dan menguasai ilmu obat-obtan, dan mantera- mantera, serta memberi restu kepada orang yang ingin menjadi dukun. Sekalipun tangkesan dapat memberi nasehat pada puun dan menjadi tempat bertanya bagi puun, jabatan ini dapat dipegang oleh orang Baduy Luar, biasanya keturunan dari tangkesan sebelumnya. Pada masyarakat Baduy dikenal beberapa istilah untuk menyebut dukun, yaitu paraji ’dukun beranak’, panghulu (dukun khusus mengurus orang meninggal), bengkong jalu (dukun sunat untuk pria), dan bengkong bikang (dukun sunat untuk wanita). Berikut struktur kepemimpinan (pemerintahan tradisionil) dalam komunitas Baduy.
19
Puun
tangkesan
Girang Seurat
Jaro dangka/ jaro 12
Jaro Tangtu
Baresan
Jaro Pamarentahan
Pangiwa & Carik
Kokolot Adat
Palawari
Masyarakat Baduy Dalam
Masyarakat Baduy Luar
Keterangan : ----------------------- : garis perintah dalam upacara adat ________________ : garis perintah dan konsultasi
Gambar 1. Struktur organisasi Komunitas Adat Baduy Sumber : Permana (2006)
Kepercayaan Orang Baduy Pada dasarnya kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh nenek moyang. Menurut Bupati Serang P.A.A. Djajadiningrat (1908), berdasarkan keterangan dari kokolot kampung Cikeusik bernama Naseni, orang Baduy bukanlah penganut agama Hindu, Budha, atau pun Islam, melainkan animisme, yakni kepercayaan yang memuja roh atau arwah nenek moyang. Hanya saja dalam kepercayaan tersebut sekarang telah dimasuki oleh unsurunsur agama Hindu dan juga Islam (Ekadjati, 1995:72). Sebagian besar upacara keagamaan orang Baduy tidak lepas dari hubungannya dengan padi dan perladangan. Sistem kalender atau penanggalan orang Baduy pun berkaitan erat dengan tata urutan kegiatan mereka. Awal penyiapan lahan ladang, yang dikenal dengan kegiatan narawas dan nyacar, juga merupakan awal masuknya tahun baru orang Baduy, yaitu bulan kapat.
20 Awal bulan pertama tiap permulaan tahun dalam istilah orang Baduy sering dikatakan nanggalkeun kidung (awal kemunculan bintang kidang atau bintang waluku). Menurut pengetahuan orang Baduy, awal tahun harus jatuh pada saat matahari sedang berada di belahan bumi utara, yang dalam istilah mereka disebut matapoe geus dengkek ngaler ‘matahari sudah condong ke utara’. Saat itu keadaan tanah sudah “dingin” sehingga sudah siap untuk kegiatan perladangan. Dalam penentuan waktu, orang Baduy juga menggunakan alat bantu yang disebut kolenjer, yakni kalender tradisionil, terbuat dari kulit kayu, berisikan penentuan hari, tanggal, bulan, dan tahun, bahkan juga dilengkapi dengan ramalan-ramalan waktu dan arah yang baik dan buruk (Danasasmita dan Djatisunda, 1986:39). Pusat pemujaan mereka berada di puncak gunung yang disebut Sasaka Domas atau Sasaka Pusaka Buana. Objek pemujaan ini pada dasarnya sisa peninggalan megalitik berupa bangunan berundak atau berteras-teras dengan sejumlah menhir dan arca di atasnya. Inilah yang dianggap oleh orang Baduy sebagai tempat karuhun, nenek moyang, berkumpul. Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy adalah “tanpa perubahan apapun”, seperti tertuang dalam buyut titipan karuhun (Garna, 1988:53, 1993:139) sebagai berikut: Buyut nu dititipkeun ka puun Negara satelung puluh telu Bangsawan sawidak lima Pancer salawe nagara Gunung teu meunang dilebur Lebak teu meunang dirempak Buyut teu meunang dirobah Lojor teu meunang dipotong Pondok teu menang disambung Nu lain kudu di lainkeun Nu ulah kudu diulahkeun Nu enya kudu dienyakeun (buyut yang dititipkan kepada puun
negara tigapuluhtiga sungai enampuluhlima pusat duapuluhlima negara gunung tak boleh dihancur lembah tak boleh dirusak larangan tak boleh dilanggar buyut tak boleh diubah panjang tak boleh dipotong pendek tak boleh disambung yang bukan harus ditiadakan yang lain harus dipandang lain yang benar harus dibenarkan.
Istilah buyut di sini mengandung pengertian semacam tabu atau pantangan. Menurut orang Baduy buyut sesungguhnya berarti segala sesuatu yang melanggar pikukuh, terbagi atas buyut adam tunggal dan buyut nahun. Buyut adam tunggal berarti tabu pokok beserta tabu-tabu kecil lainnya (tanpa
21 kecuali) yang berlaku untuk orang tangtu, sedangkan buyut nahun merupakan tabu berdasarkan hal- hal pokok saja dan berlaku untuk orang penamping atau dangka. Contoh, tabu bagi orang tangtu mengolah pertanian menjadi sawah dan menanam tanaman tertentu seperti kopi dan cengkeh; namun orang penamping dan dangka, walaupun tabu pertanian bersawah diikuti, juga menanam kopi dan cengkeh. Konsep penting lain dari kepercayaan orang Baduy adalah karuhun dan pikukuh adalah generasi pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di Sasaka Domas, yaitu tempat suci di hutan tua di hulu Sungai Ciujung. Karuhun dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya, menengok keturunannya melalui jalan hutan kampung (leuweung lembur), Para puun, menurut keyakinan ini, bukan hanya pemimpin tertinggi melainkan merupakan keturunan karuhun yang langsung mewakili mereka di dunia. Dalam kaitan dengan konsep karuhun, ada konsep guriang, sanghyang, dan wangatua. Guriang dan sanghyang dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi keturunannya dari segala marabahaya, baik gangguan orang lain maupun makhlukmakhluk halus yang jahat. Adapun wangtua adalah roh atau penjelmaan roh ibu bapak yang sudah meninggal dunia (Garna, 1993a:140, 1994:15). Pikukuh, merupakan aturan dalam sunda wiwitan yang tidak terlepas dari ketentuan untuk (1) ngabaratakeun ’melakukan tapa terhadap inti jagat dan dunia’, (2) ngareremokeun ’menghormati dengan menjodohkan dewi padi yang disebut sanghyang asri’, dan (3) mengekalkan pikukuh dengan melaksanakan semua ketentuan yang ada (Garna, 1994:15).
Gejala Perubahan Sosial di Baduy Tidaklah mudah untuk menggambarkan secara selintas tentang perubahan sosial di Indonesia; mungkin lebih baik membahas tentang perubahan sosial secara makro yang lebih berupa potret kelompok masyarakat. Kelompok yang seringkali disebut ”masyarakat terpencil” dikategorikan sebagai masyarakat yang tertinggal oleh proses perubahan sosial, atau yang relatif terbelakang kehidupannya. Kelompok ini biasanya diangap tidak maju, alam pikirannya bersahaya dan kuat memegang tradisi, bahkan diangap tak termasuk kelompok etnik tempat bermukimnya.
22 Masyarakat dalam pandangan teori evolusi, perspektif ini merupakan perspektif yang paling awal dalam sosiologi. Didasarkan pada karya Comte (1798-1857) dan Spencer (1820-1903), perspektif ini memberikan keterangan tentang cara masyarakat manusia berkembang dan tumbuh. Menurut Horton dan Hunt (1991:17), perspektif ini digunakan untuk mencari pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda, untuk mengetahui ada tidaknya urutan umum yang dapat ditemukan. Mungkin mereka bertanya apakah faham komunisme Cina akan berkembang sama seperti faham komunisme Rusia, atau apakah pengaruh proses industrialisasi terhadap keluarga di negara berkembang akan sama dengan yang ditemui di negara Barat? Bila dikaitkan dengan masalah penelitian, perspektif ini dapat juga menjelaskan perkembangan komunitas adat Baduy Luar. Perspektif evolusioner adalah perspektif yang aktif, sekalipun bukan perspektif utama dalam sosiologi. Perubahan merupakan proses yang terus menerus terjadi dalam setiap masyarakat. Proses perubahan itu ada yang berjalan sedemikian rupa sehingga tidak terasa oleh mayarakat pendukungnya. Gerak perubahan yang sedemikian itu disebut evolusi. Sosiologi mempunyai gambaran adanya perubahan evolusi masyarakat dari masyarakat sederhana ke dalam masyarakat modern. Proses gerak perubahan tersebut ada dalam satu rentang tujuan ke dalam masyarakat modern. Manurut
Comte,
Martindale
(Amiruddin,
2008:37),
mengenai
perkembangan masyarakat, yakni: Pertama, masyarakat berkembang secara linier (searah), yakni dari primitif ke arah masyarakat yang lebih maju. Kedua, proses evolusi yang dialami masyarakat mengakibatkan perubahan-perubahan yang berdampak terhadap perubahan nilai- nilai dan berbagai anggapan yang dianut masyarakat. Ketiga pandangan subyektif tentang nilai dibaurkan dengan tujuan akhir perubahan sosial. Hal ini terjadi karena masyarakat modern merupakan bentuk masyarakat yang dicita-citakan memiliki label yang baik dan lebih sempurna, seperti kemajuan, kemanusiaan, dan sivilisasi. Keempat, perubahan sosial yang terjadi dari masyarakat sederhana ke arah masyarakat modern berlangsung lambat, tanpa menghancurkan fondasi yang membangun masyarakat, sehingga memerlukan waktu yang panjang.
23 Menurut Micklin (1973), tiap sistem sosial
secara terus-menerus
mengikuti perubahan, oleh karena lingkungan selalu mengalami perubahan terus menerus. perubahan pada umumnya adalah sebuah perubahan, pengaruh tersebut dapat berasal dari fisik atau lingkungan, misalnya; (1) Teknologi sebagai penyebab perubahan sosial Teknologi tidak hanya membuat berbagai hal menjadi lebih sederhana atau lebih efisien atau lebih cepat tetapi juga membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Baldriges (1975) menyatakan bahwa yang dapat diubah dan disempurnakan oleh teknologi: (a) Perubahan pada
teknologi
agrikultur yang menghasilkan surplus
makanan bagi pertumbuhan yang penting dari kota. (b) Perubahan pada teknologi senjata yang sering merepotkan negara- negara dan kerajaan. (c) Pengenalan tentang tenaga uap yang mendorong dunia ke dalam revolusi industri, dan (d) Penemuan dari mesin pemisah biji kapas yang menghidupkan kembali perdagangan dan membantu sejarah manusia kembali. (2) Gerakan massa Di dalam suatu masyarakat ada sub-sub kelompok tertentu sebagai suatu pergerakan sosial, yang sangat kuat dan aktif bahwa mereka dapat memulai perubahan sosial atau mempercepat perubahan. Yang mungkin dapat digolongkan seperti seorang reaksioner, konservatif, penganut pembaharuan, dan revolusioner (Storer,1980) (3) Adanya nilai- nilai dan gagasan baru. Perubahan sosial terjadi ketika ada gagasan yang baru dan nilai-nilai baru. Gagasan dan nilai-nilai baru memungkinkan mereka untuk hidup menjadi lebih selaras dengan lingkungan yang berubah. (4) Perubahan pada transportasi dan komunikasi. Telah ada suatu tambahan kecepatan (akselerasi) dari perubahan transportasi dan komunikasi dari masa lalu sampai dengan saat ini. oleh karena perubahan ini, orang bisa menaklukkan ruang dan waktu (Amiruddin, 2008:39-41).
24 Menurut Soekanto (1974) faktor yang mendorong adanya perubahan dalam suatu masyarakat adalah: (a) Kontak dengan kebudayaan lain, (b) Sistem pendidikan yang maju, (c) Sikap menghargai hasil karya seseorang dan ada keinginan untuk maju, (d) Toleransi terhadap pembuatan yang menyimpang, sistem terbuka dalam lapisan masyarakat, (e) Pendudukan yang heterogen, (f) Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu, (g) Disorganisasi dalam masyarakat, (h) Sikap mudah menerima, dan (i) Sikap modern. Soekanto (1974) juga menjelaskan bahwa faktor yang dianggap penghambat adanya perubahan dalam suatu masyarakat adalah: (1) Hambatan Budaya. Hambatan budaya menuju ke perubahan sosial dibagi lagi ke dalam tiga nilai- nilai kelompok dan sikap, struktur budaya. Nilai- nilai dan sikap mempunyai komponen sebagai berikut: tradisi, fatalisme, budaya etnosentris, kebanggaan dan martabat, norma-norma dari kesederhanaan, nilai relatif dan takhyul. (2) Tradisi. Tradisi akan membentuk arah yang stabil tentang kultur sebagai memelihara keadaan tetap pada suatu saat tertentu dari suatu kelompok sosial. (3) Fatalisme. Fatalisme adalah suatu kecenderungan yang lebih lazim di dalam negara-negara yang lemah/miskin. (4) Budaya etnosentris. Budaya etnosentris adalah kecenderungan dari orangorang untuk tak mengindahkan inovasi apapun karena mereka sangat percaya kepada kepercayaan mereka. (5) Kebanggan dan martabat. Kebanggaan dan martabat atau kebenaran bisa merupakan suatu penghalang untuk maju. (6) Nilai relatif. Nilai relatif tidak bisa menghapuskan prasangka orang-orang persis sama benar berubah. (7) Penghalang sosial untuk berubah.
Penghalang sosial untuk berubah.
menggolongkan kesetiakawanan, sumber dari otoritas, dan karakteristik dari
25 struktur sosial adalah di antara penghalang sosial yang spesific untuk berubah. (8) Sumber Otoritas. Sumber otoritas didalam lembaga yag kuat seperti keluarga, struktur politik di pemerintahan, dan pengaruh individu yang dipengaruhi bakat luar biasa. (9) Karakteristik dari struktur sosial.
Karakteristik struktur sosial seperti
kasta/suku bangsa dan penghalang kelas membuat perubahan mustahil terutama berasal dari lapisan bawah . (10) Penghalang psikologis. Foster (1973) menggolongkan penghalang yang psikologis ke dalam dua kategori yang utama, perbedaan persepsi budaya tentang permasalahan komunikasi. Menurut Garna (1992:96), yang penting dalam membahas masyarakat terpencil ialah: pertama, kelompok tersebut tidaklah statis seperti dianggap orang atau memiliki alam pikiran bersahaja yang dipengaruhi oleh tradisi, ataupun tidak memiliki kepercayaan. Hal kedua ialah seperti tampak pada pengertian tentang masyarakat terpencil sebagai konsep kerja atau operasional para penyuluh masyarakat berubah dari waktu ke waktu. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan pandangan pemerintah sebagai pendorong pembangunan; memang perubahan telah berlangsung sebagai akibat pengaruh luar serta kehendak mereka sendiri, atau terpaksa dilakukan sebagai solusi penyelamatan diri. Dilihat dari perspektif perubahan sosial, jelaslah bahwasanya masyarakat yang ”sederhana” pun tidak statik tetapi dinamik. Garna (1992:96) berpendapat bahwa kontak warga masyarakat luar memungkinkan suatu kelompok masyarakat me ngalami perubahan sosial, dalam waktu cepat atau melalui kurun waktu panjang, tergantung oleh berbagai aspek dorongan dari dalam dan luar masyarakat. Dalam kurun waktu ratusan tahun misalnya, kelompok orang Baduy di Banten tidak statis seperti dianggap orang tetapi telah mengalami perubahan sosial pada berbagai unsur kehidupan mereka. Adapun masalah apakah perubahan sosial itu bermanfaat dan mendorong peningkatan kualitas kehidupan mereka, perlu diamati dari sisi pandang dan kepentingan mana hal itu berlaku? Sebagaimana berlangsung pada akhir-akhir ini oleh pengaruh dan kepentingan
26 luar yang deras melanda mereka telah berdampak kepada struktur sosial penting, yaitu terjadi krisis dalam sistem kepemimpinan mereka. Padahal para pemimpin inti Orang Baduy sendiri belum bersedia mengubah otoritas mereka sebagai pemimpin adat, agama, dan sosial kepada kekuasaan lain (Garna, 1992:96). Dalam upaya memahami dan mengembangkan kelompok masyarakat terpencil yang masih banyak tersebar di Indonesia, kiranya tidak hanya antropolog dan sosiolog saja yang dapat berperan. Ilmu Penyuluhan dapat mempelajari tentang hakekat perubahan perilaku dan penggalian potensi baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya, atau ilmu ekonomi pun dapat mempelajari tentang hakekat subsisten, pengaruh ekonomi kota, mitos kerja dan kerjasama, serta sistem logistik padi huma di leuit (lumbung padi) secara mikro guna menyusun model- model koperasi, logistik, dan ekonomi subsisten misalnya. Menurut Garna (1992:97), untuk mengawali operasionalisasi kajian perlu mengubah anggapan, misalnya tentang istilah ”masyarakat terasing atau terpencil” menjadi sukubangsa berkembang, yang mengandung adanya proses dan tahapan dalam perubahan sosial yang sesuai dengan kenyataan masyarakat tersebut. Menurut Sihabudin dan Amiruddin (2007) survey tentang prasangka antar kelompok di Baduy, masyarakat masih ragu-ragu dan samar-samar tentang perubahan, dan mereka sebenarnya tidak anti pada perubahan, asalkan perubahan tersebut tidak mengubah tatanan adat. Termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan keluarga. Dari uraian tersebut tampak jelas bahwa tradisi itu sebenarnya adalah dunia sosial mereka yang paling mereka kenali dan yakini. Kelenturan budaya yang seringkali mencuat dalam peristiwa kontak budaya tidak saja memberikan peluang adaptasi terhadap ruang dan waktu kehidupan yang sedang serta akan mereka jalani, tetapi akal budi mereka sebagai manifestasi dari kearifan tradisionil. Gejala perubahan pada Orang Baduy menurut Garna (1993:97), terjadi yaitu mulai dari masa pra Islam, masa Islam, masa Penjajahan, dan setelah tahun 1945 perubahan yang terjadi pada wilayah enklaf Baduy, ekonomi subsisten
27 menjadi ekonomi kota, kepala pemerintahan dari Jaro Gubernemen menjadi kepala Desa, Pesta Kawalu menjadi Seba, Seba Sultan Banten menjadi Seba Pemerintah. Demikian penjelasan dan gambaran komunitas adat Baduy menge nai asal usul,
kondisi
wilayah,
sistem
kepercayaan,
pemerintahan,
dan
gejala
peruabahannya. Masyarakat Baduy dapat dikelompokan sebagai masyarakat yang termasuk dalam kriteria Komunitas Adat Terpencil sebagaimana dikemukakan dalam Keppres No.111/1999, juga pendapat-pendapat ahli. Selanjut nya akan dijelaskan konsep dan peubah-peubah yang terkait dengan masalah penelitian. Kebutuhan Hidup Keluarga Seperti semua lembaga, keluarga adalah suatu sistem norma dan tata cara yang diterima untuk menyelesaikan sejumlah tugas penting. Mendefinisikan keluarga tidak begitu mudah karena istilah ini digunakan dengan berbagai cara. Suatu keluarga mungkin merupakan: (1) suatu kelompok yang mempunyai nenek moyang yang sama, (2) suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah atau perkawinan, (3) pasangan perkawinan dengan atau tanpa anak, (4) pasangan tanpa nikah yang mempunyai anak, dan (5) satu orang dengan beberapa anak (Horton dan Hunt, 1991). Para anggota suatu komune mungkin menyebut dirinya keluarga. Tetapi pada umumnya tidak mampu tinggal dalam sebuah rumah di suatu daerah yang ditetapkan sebagai daerah “tempat tinggal keluarga tunggal.” Contoh lain kalau sejumlah mahasiswa menyewa dan tinggal bersama dalam sebuh rumah di daerah semacam itu, maka mereka akan menemukan bahwa definisi sebuah keluarga adalah penting. Pasangan kumpul kebo yang hidup bersama tanpa nikah tidak diakui sebagai keluarga oleh Biro Sensus Amerika Serikat (Horton dan Hunt, 1991). Pengertian emosional yang sangat mendalam mengenai hubungan keluarga bagi hampir semua anggota masyarakat telah diobservasi sepanjang sejarah peradaban ummat manusia. Para ahli filsafat dan analisis sosial telah melihat bahwa masyarakat adalah struktur yang terdiri dari keluarga, dan bahwa keanehan-keanehan suatu masyarakat tertentu dapat digambarkan dengan
28 menjelaskan hubungan kekeluargaan yang berlangsung di dalamnya (Goode, 1985). Bila kita berbicara mengenai keluarga, biasanya kita akan langsung berpikir tentang suami isteri, anak-anak mereka dan kadang-kadang seorang sanak saudara lain. Karena keluarga didasarkan pada pertalian perkawinan atau kehidupan suami- isteri, maka disebut keluarga kehidupan suami isteri (conjungal family), Namun istilah itu lebih sering diacu pada keluarga batih (nuclear family). Keluarga hubungan kerabat sedarah (consanguine family) tidak didasarkan pada pertalian kehidupan suami isteri, melainkan pada pertalian darah dari sejumlah orang kerabat. (Horton dan Hunt 1991). Dalam masyarakat pada umumnya ada dua tipe keluarga, keluarga yang terdiri atas ibu, bapak dan anak-anak, serta keluarga yang terdiri atas satu orang tua dan anak-anak. Kedua tipe keluarga tersebut terdapat pada semua lapisan kelas sosial Horton dan Hunt (1990:12). Dalam penelitian ini difokuskan pada tipe keluarga inti (nuc lear) yaitu ayah- ibu, dan anak-anak pada Komunitas Adat Baduy Luar. Setiap komunitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan memiliki cara yang
berbeda-beda untuk memenuhi kebutuhannya dalam hidup. Suatu
kenyataan dalam komunitas Baduy, sebagaimana telah dikemukakan terdahulu masyarakat Baduy terdiri dari Baduy Dalam dan Baduy Luar. Hal ini bila kita kaji dari perspektif kebutuhan masyarakat, ada kebutuhan yang tidak terpenuhi di dalam komunitas keluarga Baduy Dalam, mereka coba penuhi di lingkungan Baduy Luar. Sebelum memahami kebutuhan hidup keluarga dan faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan hidup, maka perlu memahami pengertian “kebutuhan” dan “kebutuhan hidup keluarga.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) kebutuhan berasal dari kata “butuh” yang berarti sangat perlu menggunakan atau memerlukan, sehingga kebutuhan diartikan yang dibutuhkan. Doyal dan Ian (1991) mendefinisikan secara operasional, bahwa kebutuha n muncul karena ada ketidakseimbangan dalam diri seseorang terhadap sesuatu, dan ini akan melahirkan motif untuk bertindak. Slamet (2003) membedakan antara kebutuhan
29 dengan keinginan. Kebutuhan bila tidak terpenuhi akan menimbulkan ketidakseimbangan pada fisiologis dan psikologisnya. Manusia yang hidup bermasyarakat membutuhkan hal- hal yang dapat menunjang dan menjalankan proses kehidupan, sedangkan kebutuhannya itu adalah bersifat sejagat, artinya kebutuhan merupakan berbagai hal yang harus dipenuhi manusia untuk dapat melangsungkan kehidupannya dan untuk dapat hidup lebih baik. Menurut Huntington (Garna, 2007:18) berbagai kebutuhan manusia itu dapat dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu: (1) Kebutuhan
utama
atau
primer,
kebutuhan
yang
kemunculannya
bersumber pada aspek biologi atau organisma tubuh manusia, seperti makanan dan minuman, perlindungan dari iklim, istirahat, dan kesehatan. (2) Kebutuhan sosial atau kebutuhan sekunder, kebutuhan yang terwujud sebagai akibat atau hasil dari usaha memenuhi kebutuhan primer, dan yang harus dipenuhi dengan melibatkan sejumlah orang, seperti berhubungan dengan sesama, kegiatan yang dilakukan bersama, sistem pendidikan, dan keteraturan serta kontrol sosial. (3) Kebutuhan integratif, kebutuhan yang muncul dan terpencar dari hakekat manusia sebagai makhluk berfikir dan bermoral, yang fungsinya menggabungkan berbagai kebutuhan dan perangkat tingkah lakunya menjadi suatu sistem yang bulat serta menyeluruh dan masuk akal bagi para pendukung kebudayaannya, seperti perasaan tentang yang benar dan yang salah, ungkapan perasaan bersama, rasa keyakinan diri, rekreasi dan hiburan. Dalam memenuhi kebutuhan dan manfaat pada proses kehidupan manusia maka kebudayaan dapat dilihat sebagai keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial, yang terdiri dari perangkat model- model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan melakukan interpretasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong serta melaksanakan tindakan yang diperlukan, Spradley (1972) (Garna, 2007:18). Kadar dan arah perubahan suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh kebutuhan yang dianggap perlu oleh para anggota masyarakat itu. Menurut Horton dan Hunt (1990:221), “kebutuhan” bersifat subyektif. Kebutuhan
30 dianggap nyata jika orang merasa bahwa kebutuhan itu memang nyata. Di banyak bagian dunia yang terbelakang dan kekurangan pangan orang bukan saja memiliki kebutuhan obyektif akan tambahan pangan, tetapi juga memerlukan berbagai jenis pangan, terutama sayur-sayuran, dan kacang-kacangan. Perubahan di bidang pertanian yang menghasilkan tambahan pangan lebih mudah diterima daripada yang menghasilkan berbagai jenis pangan, karena orang menganggap tidak perlu. Jika orang belum merasa butuh, maka orang akan tetap menolak perubahan; hanya kebutuhan ya ng dianggap perlu oleh masyarakat yang memegang peran menentukan. Contoh beberapa penemuan praktis, ritsleting (kancing tarik) ditemukan pada tahun 1891, tetapi diabaikan hampir seperempat abad. Ban angin ditemukan dan dipatenkan pada tahun 1845, tetapi tidak mendapat perhatian hingga saat kepopuleran sepeda menimbulkan kesadaran akan betapa pentingnya ban angin tersebut, kemudian ban angin ditemukan kembali oleh Dunlop pada tahun 1888 (Horton dan Hunt, 1990). Slamet (2003) berpendapat bahwa orang tidak akan sadar terhadap kebutuhannya kalau dia belum mampu mengevaluasi kondisi dirinya sendiri. Dikatakannya, harus ada suatu strategi pemberdayaan yang dapat menyadarkan orang dalam mengevaluasi dirinya sehingga dapat mengetahui kemampuankemampuan
dan
kelemaha n-kelemahannya
dan
akhirnya
akan
mampu
mengidentifikasi kebutuhannya sendiri atau karakteristik pribadinya. Dari pendapat tersebut bila dijelaskan dalam perspektif kebutuhan, menurut Maslow (Maryani, 2007), masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, ketika tidak terpenuhi mereka mencari sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhannya. mengidentifikasi hirarki kebutuhan yang menurutnya memainkan peran sangat penting dalam motivasi manusia. Orang yang lelah, lapar, dan kesakitan akan termotivasi untuk mendapatkan kebutuhan fisiologi / biologis sebelum menjadi tertarik untuk mencari kebutuhan yang lain. Menurut Maslow (Alwisol, 2004), semua manusia mempunyai kebutuhan dasar umum yang terdiri atas beberapa tingkatan yakni tingkatan kebutuhan dasar fisik harus terpenuhi lebih dulu atau sekurang-kurangnya sebagian terpenuhi agar kehidupan terus berlanjut. Lebih jauh Maslow berpendapat, bahwa orang akan
31 berusaha keras untuk meme nuhi kebutuhannya, karena mempunyai dorongan atau motivasi untuk mencapai potensi setinggi-tingginya. Konsep hirarki kebutuhan Maslow diartikan sebagai proses atau sistem yang menempatkan materi dan orang menurut derajat pentingnya. Hirarki kebutuhan adalah penempatan persyaratan atau keperluan fungsi manusia berdasarkan derajat (urutan) tingkatan pentingnya. Ia mengembangkan suatu tingkatan atau hirarki kabutuhan manusia terdiri lima kategori, yaitu kebutuhan fisiologi, keselamatan, sosial, harga diri, dan aktualisasi diri. Semua kebutuhan ini merupakan bagian penting dari sistem manusia, tetapi kebutuhan fiosiologi merupakan kebutuhan primer karena bila tidak terpenuhi akan mempengaruhi pada kebutuhan lainnya. Jika kebutuhan fisiologis sudah terpenuhi maka kebutuhan kesela matan merupakan prioritas selanjutnya, begitu seterusnya sampai pada tingkatan teratas, yaitu aktualisasi diri. Semua kebutuhan ini terdapat dalam setiap individu, tetapi prioritas dapat berubah dengan waktu, tempat, dan kegiatan individu. Tingkat kebutuhan yang lebih tinggi adalah kebutuhan rasa aman dan nyaman, kebutuhan dicintai dan dimiliki, kebutuhan harga diri serta kebutuhan perwujudan diri. Tingkat kebutuhan tersebut merupakan rangkaian yang tidak dapat
dipisahkan
dan
saling
mempengaruhi
karena
setiap
manusia
membutuhkannya. Misalnya pada sistem sosial Orang Baduy, prioritas utamanya adalah kebutuhan fisiologisnya, namun tidak dipungkiri bahwa kebutuhan selanjutnya adalah rasa aman, kasih sayang, dan aktualisasi diri sesuai dengan kondisi taraf kehidupannya. Pendapat Maslow tersebut bila dikaitkan dengan masalah penelitian, adalah kebutuhan fisiologi, rasa aman, kasih sayang keluarga masyarakat Baduy Luar. Sebagaimana dikemukakan Maslow aspek motivasi menentukan kebutuhan mereka. Dengan kata lain yang mendorong komunitas Baduy Luar untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan hal-hal yang mereka butuhkan tersebut.
32
Persepsi Orang awam mengatakan persepsi adalah kesan kita terhadap suatu obyek, bisa keadaan, benda, atau suatu peristiwa. Ada beberapa definisi persepi yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Litterer ( Asngari, 1984) persepsi adalah “the understanding or view people have of things in the world around them,” sedangkan Hilgard (Asngari, 1984), menyebutkan bahwa “perception in the process of becoming aware of objection.” Combs, Avila dan Purkey (Asngari, 1984) mendefinisikan persepsi sebagai berikut: “Perception is the interpretation by individuals of how things seem to them, especially in reference to how individuals view themselves in relation to the world in which they are involved.” Dilain pihak Allport (Asngari, 1984) menyebutkan bahwa: “it (perception) has something to do with awareness of the objects or condition about us. It is dependent to a large extent upon the impression these objects make upon our senses. It is the way things look to us, or the way they sound feel,taste or smell. But perception also involves, to some degress, and understanding awarness, a “meaning” or a “recognition” of these objects.” Menurut Rakhmat (2004:51) persepsi adalah pengalaman tentang obyek,
peristiwa,
atau
hubungan- hubungan
yang
diperoleh
dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Menurut Desederato (Rakhmat, 2004:51) persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Ada hubungan sensasi dengan persepsi, sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi dan memori. Maramis (2006) menjelaskan bahwa persepsi merupakan keseluruhan proses mulai dari stimulus (rangsangan) yang diterima pancaindera (hal ini dinamakan sensasi), kemudian stimulus diantar ke otak yang didekode serta diartikan dan selanjutnya mengakibatkan pengalaman yang disadari. Ada yang mengatakan bahwa persepsi merupakan stimulus yang ditangkap oleh pancaindera individu, lalu diorga nisasikan dan kemudian diinterpretasikan, sehingga individu menyadari dan mengerti sesuatu yang diindera itu. Ada yang
33 dengan singkat mengatakan: persepsi adalah memberikan makna pada stimulus inderawi. Informasi yang sampai kepada seseorang menyebabkan individu yang bersangkutan
membentuk
persepsi,
dimulai
dengan
pemilihan
atau
menyaringnya, kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi kesatuan yang bermakna dan akhirnya terjadilah interpretasi mengenai informasi itu. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam dan dahulu memegang peranan yang penting. Dengan demikian makna tersebut sangat penting bagi pengertiannya. Dari beberapa pengertian tersebut dapat dipahami penulis bahwa persepsi adalah proses pengertian dan penafsiran makna informasi yang diterima peralatan pancaindera kita, dalam proses pemberian makna dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor personal dan faktor situasional.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Proses terbentuknya persepsi, menurut Krech dan Crutchfield (Rakhmat, 2004:55-59) ditentukan oleh faktor fungsional dan faktor struktural. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal lain yang termasuk hal- hal apa yang kita sebut sebagai faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli tetapi krakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli itu. Faktor yang mempengaruhi persepsi lazim disebut sebagai kerangka rujukan (frame of reference). Persepsi bersifat selektif secara fungsional. Artinya, obyek-obyek yang mendapat perhatian khusus yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya adalah obyek-obyek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. Contoh pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya. Bila orang lapar duduk di restoran, tentunya yang pertamakali dilihat adalah makanan, nasi, lauk-pauk dan baru kemudian minumannya. Kebutuhan biologis menyebabkan kebutuhan yang berbeda. Faktor struktural yang menentukan persepsi, berasal dari semata- mata dari sifat stimuli dan efek-efek yang ditimbulkannya pada sisem saraf individu. Para psikolog Gestalt seperti Kohler, Wartheimer dan Koffka (1959) (Rakhmat,
34 2004:55-59), merumuskan prinsip-prinsip persepsi yang bersifat structural. Prinsip ini kemudian terkenal dengan teori Gestalt. Menurut teori ini bila kita mempersepsi sesuatu, kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan. Studi-studi tentang persepsi pernah dilakukan oleh Biever mengenai peranan penyuluh pertanian, Biever (Asngari, 1984) (1957:1942) mendapatkan bahwa umur responden berpengaruh nyata pada persepsi terhadap peranannya. Biever juga mengemukakan bahwa ada kaitan antara persepsi dengan pendidikan. Demikian pula dengan penemuan Griffith (Asngari, 1984) (1961:374) yang menunjukkan adanya kaitan antara persepsi dan umur. Pada penelitian Beaver (Asngari, 1984:13) mengenai persepsi ’county extention comittee members’ dan penyuluh pertanian pada penyusunan program penyuluhan,
menunjukkan
hasil
bahwa
tingkat
pendidikan
tidak
ada
hubungannya dengan persepsinya. Hasil yang sama dengan Beaver ditemukan oleh Griffith (Asngari, 1984:13) yakni umur secara nyata tidak ada kaitannya dengan persepsinya terhadap kegunaan lembaga penyuluhan. Selain itu, White (Asngari, 1984:13) dalam penelitiannya menemukan tidak ada hubungan antara persepsi dengan lamanya pengalaman bekerja dan tingkat pendidikan formal respondennya. Menurut Litterer (Asngari, 1984:23), ada keinginan atas kebutuhan manusia untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat ia hidup, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya. Orang bertindak sebagian dilandasi oleh persepsi mereka pada suatu situasi. Dilain pihak menurut Stogdill, Hillgard, dan Sanders et al., 1966:53 (Asngari, 1984:12) pengalamannya berperan pada persepsi orang itu. Menurut Litterer (Asngari, 1984:12), menunjukkan bahwa persepsi orang dipengaruhi oleh pandangan seseorang pada suatu keadaan, fakta atau tindakan. Karena itu, individu perlu mengerti dengan jelas tugas dan tanggung jawab yang dipikulkan kepadanya. Litterer (Asngari, 1984:12) lebih jauh berpendapat, “One of the basic factors in perceptions is the ability of people to take a limited number of facts and pieces of information and fit them into a whole picture. This process of closure plays a central role in perception.”
35 Walaupun seseorang hanya mendapat bagian-bagian informasi, dia dengan cepat menyusunnya menjadi suatu gambaran yang menyeluruh. Menurut Litterer (Asngari, 1984:12),
Orang itu akan menggunakan informasi yang
diperolehnya untuk menyusun gambaran menyeluruh. Pembentukan persepsi, menurut Litterer, ada tiga mekanisme : selectivity, closure, and interpretation ( Asngari, 1984: 17-18). Secara skema tis, ditunjukkan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Pembentukan Persepsi menurut Literer , (Asngari:1984)
Informasi yang sampai kepada seseorang menyebabkan individu yang bersangkutan
membentuk
persepsi,
dimulai
dengan
pemilihan
atau
menyaringnya, kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi kesatuan yang bermakna, dan akhirnya terjadilah interprestasi mengenai fakta keseluruhan informasi itu. Pada fase interprestasi ini, Pengalaman masa silam dan dahulu memegang peranan yang penting. Litterer (Asngari, 1984:13), menekankan bahwa persepsi seseorang terhadap sesuatu yang dianggap berarti atau bermakna, tidak akan mempengaruhi perilakunya. Sebaliknya, bila ia beranggapan bahwa hal tersebut di pandang nyata, walau kenyataanya tidak benar atau tidak ada, akan mempengaruhi perilakunya atau tindakannya. Bila dikaitkan dengan masalah penelitian adalah persepsi komunitas adat Baduy Luar terhadap kebutuhan hidup keluarga.
36
Usaha Pemenuhan Kebutuhan Keluarga Sebagaimana kita ketahui setiap kelompok masyarakat khususnya keluarga selalu berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya, khususnya kebutuhan fisiologi. Kebutuhan fisiologi diperoleh secara tidak langsung melalui usaha atau bekerja, baik disektor formal menjadi pegawai maupun nonformal bekerja secara mandiri, misalnya bertani, berladang, berniaga, atau membuat kerajinan hasilnya untuk dijual. Usaha pemenuhan kebutuhan keluarga bagi komunitas adat terpencil biasanya mereka dengan cara memanfaatkan alam dan lingkungan yaitu dengan cara bertani, berladang, berburu, dan membuat kerajinan. Menurut Garna (1993), mata pencaharian orang Baduy sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Menurut Permana (2006:41), mata pencaharian orang Baduy berfokus pada berladang dengan menanam padi. Padi merupakan hal yang tidak terpisahkan dari dunia mereka yang dilambangkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Padi harus ditanam menurut ketentuan-ketentuan karuhun, yaitu seperti cara yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Padi hanya boleh di tanam di lahan ladang kering tanpa pengairan yang disebut huma. Padi pun tidak boleh dijual dan harus disimpan dengan baik untuk keperluan sehari-hari sendiri. Untuk kebutuhan sehari- hari, orang Baduy juga menanam atau memelihara beberapa jenis tanaman lain. Tanaman yang merata adalah kawung (enau/aren). Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan. Orang penamping (Baduy Luar) seringkali mengerjakan huma di luar Desa Kanekes atau di luar wilayah Baduy yang dibeli atau dikerjakan dengan bagi hasil (padi), atau dengan membayar sewa berupa uang dan padi. Hal itu dilakukan sewaktu menunggu rotasi pemakaian lahan huma dan untuk menambah padi mereka (Permana, 2006:42). Selain itu menurut Iskandar (1992) di sela-sela waktu berladang saat berisirahat di rumah huma membuat perkakas untuk keperluan rumah tangga, jarog (tas khas Baduy) biasanya untuk dijual.
37 Dari uraian tersebut, usaha yang dilakukan masyarakat Baduy untuk memenuhi kebutuhan keluarga, umumnya adalah bertani atau berladang padi, berjualan hasil hutan, bekerja pada orang lain, berburu, dan membuat kerajinan.
Motif Memperoleh Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan Berusaha Sebagaimana dikemukakan di atas salah satu faktor yang menentukan persepsi pada kebutuhan masyarakat adalah karakteristik masyarakat, nilai sosial budaya, dan motif atau sesuatu yang mendorong untuk melakukan sesuatu. Menurut Abdurahman (2008) Secara etimologi, motif dalam bahasa Inggris motive, berasal dari motion, yang berarti “gerakan” atau “sesuatu yang bergerak”, yang menunjuk pada gerakan manusia sebagai “tingkah laku”. Dalam psikologi motif berarti rangsangan pembangkit tenaga bagi terjadinya tingkah laku itu. Dalam motif, pada umumnya terdapat dua unsur pokok, yaitu kebutuhan dan tujuan. Proses interaksi timbal balik antara kadua unsur ini terjadi dalam tubuh manusia, walaupun dapat dipengaruhi oleh hal- hal dari luar diri manusia. Karena itu, bisa saja terjadi perubahan motivasi dalam waktu singkat. Sedangkan menurut Dister (Abdurahman, 2008), setiap tingkah laku manusia adalah hasil dari hubungan timbal balik antara tiga faktor, yaitu: (1) Dorongan spontan manusia, yaitu dorongan yang tidak ditimbulkan dengan sengaja. Seperti dorongan seksual, nafsu makan dan kebutuhan akan tidur. (2) Ke-aku-an manusia, di mana manusia menyetujui dorongan spontan tadi untuk menjadi miliknya, sehingga kemudian menjadi sebuah “kejadian”. Misalnya dengan menunda makan, walaupun ia merasa lapar. (3) Lingkungan hidup manusia. Padmowiharjo (1994) mengemukakan bahwa motif dalam bentuk kata kerja motivasi, yang berasal dari dua kata motif dan asi (action). Motif berarti dorongan dan asi berarti usaha. Motivasi dapat diartikan usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan.
38 Motif akan timbul bila usaha-usaha yang dilakukannya berkaitan dengan kebutuhannya. Kebutuhan merupakan variabel yang paling kuat untuk membentuk motif, mendorong timbulnya tindakan dan berada dalam diri manusia. Tingkah laku bermotivasi dapat dirumuskan sebaga i: “tingkah laku yang dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan diarahkan pada pencapaian suatu tujuan agar suatu kebutuhan dapat terpenuhi”. Rumusan tersebut mengandung beberapa unsur yang membentuk “motivational cycle”. Kebutuhan merupakan suatu yang fundamental bagi kodrat manusia individual. Motif di samping merupakan dorongan fisik, juga orientasi kognitif elementer yang diarahkan pada pemuasan kebutuhan. Energi seperti ini bukan tanpa tatanan. Ada suatu hubungan dunamis antara motivasi dan tujuan. Kebutuhan pada manusia sebagai motivator membentuk suatu hierarki yang terdiri atas physiological needs, safety needs, belongingness and love needs, esteem needs, dan self actualization needs. Menurut Maslow, kebutuhan dasar harus lebih dahulu terpenuhi sebelum beranjak pada kebutuhan psikologis (Abdurahman, 2008). Menurut Amanah (2006), motivasi seseorang dapat mengarahkan perilaku seseorang untuk bertindak. Motivasi adalah proses mendorong, mengarahkan dan memelihara perilaku manusia untuk mencapai tujuan. Hersey dkk (1996) mengemukakan bahwa motivasi adalah kemauan untuk bertindak atau pembentuk perilaku. Jadi motivasi adalah kemauan atau i’tikad seseorang untuk bertindak. Mulyadi (2007) mengemukakan bahwa terdapat tipe orang yang fatalistik sehingga kurang respon terhadap perubahan, cenderung menunggu dan menuruti ajakan orang lain serta pasrah terhadap nasibnya sendiri. Namun ada pula tipe orang yang optimis yang melihat sesuatu serba mungkin, cukup respon terhadap perubahan, sehingga lebih cepat melakukan evaluasi diri dan lebih mampu mengidentifikasi kebutuhannya sendiri. Watson, dan Westley (1960) mengemukakan tentang kekuatan pendorong (motivational forces) (Asngari, 2001) sebagai berikut: (a) Ketidak puasan masyarakat terhadap situasi yang ada, (b) Ada kesenjangan what is dan what might be,
39 (c) Ada tekanan dari luar sistem sosial sehingga SDM-klien berkeinginan menyesuaikan diri, dan (d) Adanya kebutuhan meningkatkan efisiensi. Mardikanto (1993) menjelaskan perihal kebutuhan manusia, bahwa hal yang utama adalah felt needs daripada real needs. Penekanan pada uraian di atas adalah perlunya felt needs bagi masyarakat, agar harapan untuk berpartisipasi dalam program pemerintah dan tingkat kesejahteran masyarakat semakin baik. Menurut McClelland (1986:4) setiap kelompok ada keinginan untuk berubah dan maju dalam berbagai aspek kehidupan, namun kenyataannya ada yang mudah dan cepat maju ada yang sangat lambat, ini disebabkan oleh pengaruh virus mental need for Achievement (n Ach) kebutuhan untuk meraih hasil dan prestasi. Dalam konteks perolehan informasi dan pengetahuan ada beberapa motif. Seperti dikemukakan oleh Katz, et.al (1974:75), karena beragamnya kebutuhan sosial dan psikologis individu, maka para ahli mengumpulkan dan mendata motif- motif mengapa orang mencarai informasi. motif- motif yang ada dari setiap individu banyak sekali dan berbeda-beda satu sama lain. Salah satunya motif orientasi kognitif yaitu kebutuhan akan informasi, surveillance, atau eksplorasi realitas. Blumler dan Katz berpendapat (Effendy, 2000:294), kebutuhan individual (individual’s needs) dikategorisasikan sebagai cognitive needs, affective needs, personal integrative needs, social integrative needs, dan escapist needs. Penjelasan dari setiap ketegori sebagai berikut: (1) Cognitive needs (Kebutuhan kognitif), kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan informasi, pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan. Kebutuhan ini didasarkan pada hasrat untuk menguasai lingkungan; juga memuaskan rasa penasaran kita dan dorongan untuk penyelidikan kita. (2) Affective needs (Kebutuhan afektif), kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan pengalaman-pengamalan yang estetis, menyenangkan, dan emosional.
40 (3) Personal integrative needs (Kebutuhan pribadi secara integratif) kebutuhan
yang
berkaitan
dengan
peneguhan
kredibilitas,
kepercayaan, stabilitas, dan status individual. Hal- hal tersebut diperoleh dari hasrat akan harga diri. (4) Social integrative needs Kebutuhan sosial secara integratif), kebutuhan yang berkaitan dengan dengan peneguhan kontak dengan keluarga, teman dan dunia. Hal-hal tersebut didasarkan pada hasrat untuk berafiliasi. (5) Escapist needs (Kebutuhan pelepasan), kebutuhan yang berkaitan dengan pelepasan, dan hasrat akan keanekaragaman. Dari uraian tersebut ada beberapa dorongan yang muncul dari setiap individu untuk memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan, yaitu mulai dari dorongan kognitif, afektif, personal dan sosial integratif, dan kebutuhan pelepasan, terkait pada dorongan seseorang untuk melakukan sesuatu, bila dikaitkan dengan masalah penelitian motif disini adalah motif orang Baduy untuk memperoleh pengetahuan, dorongan dalam menyikapi suatu hal, dan dorongan memperoleh informasi keterampilan yang dapat menambah usaha memenuhi kebutuhan keluarga.
Interaksi Sosial Sebagaimana tela h dikemukakan di depan bahwa terbentuknya persepsi, ditentukan oleh faktor fungsional dan faktor strutural. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal lain yang termasuk hal- hal apa yang kita sebut sebagai faktor personal, salah satunya adalah interaksi sosialnya. yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli tetapi krakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli itu. Krech dan Crutchfield (Rakhmat, 2004). Interaksi sosial adalah titik awal berlangsungnya suatu peristiwa sosial. Menurut Gillin dan Gillin (Kolopaking dkk, 2003), interaksi sosial merupakan hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok manusia.
41 Calhoun (Kolopaking dkk, 2003) berpendapat, interaksi sosial dapat pula dilihat sebagai proses dimana orang mengorientasikan dirinya pada orang lain dan bertindak sebagai respon terhadap apa yang dikatakan dan dilakukan oleh orang lain. Interaksi sosial mempuyai tujuan tertentu. Orang bertindak dan bereaksi terhadap yang lain dalam rangka mencapai tujuan. Dalam beberapa interaksi partisipan mempunyai tujuan yang berbeda. Suatu interaksi sosial tidak akan terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat (Soekanto, 1974) yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Kontak antara orang-perorang menurut Rakhmat (2004:118-124) dapat dikatakan sebagai kegiatan komunikasi interpersonal, hubungan beberapa orang yang terjadi diantara mereka dapat dikatakan sebagai komunikasi kelompok, kontak dengan media apakah suratkabar, televisi dan lain- lain dapat dikatakan sebagai proses komunikasi massa. Artinya kontak bisa saja terjadi baik dengan manusia maupun benda. Menurut Kolopaking dkk (2003:10) kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu: (a) antara orang perorangan, misalnya antara seorang anak dengan temannya, (b) antara orang perorangan dengan suatu kelompok, misalnya antara seorang anak dengan keluarganya, dan (c) antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya, misalnya antara kelompok mahasiswa asal Semarang dengan kelompok mahasiswa asal Malang. Jadi suatu peristiwa sosial disebut interaksi sosial bila terjadi kontak antara orang-perorangan dengan seorang atau kelompok, dan terjadi pertukaran pesan atau melakukan komunikasi. Interaksi tidak selamanya harus dengan orang adakalanya juga berinteraksi dengan benda atau sesuatu. Seperti televisi, siaran radio, surat kabar atau media massa, dan lain- lain. Dari uraian di atas bila dikaitkan dengan masalah penelitian adalah interaksi Komunitas Baduy Luar yang meliputi interaksinya dengan diantara sesama mereka, interaksi dengan orang diluar mereka termasuk agen pembaharu, dan interaksi mereka dengan media, atau kegiatan mereka dalam melakukan komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, dan interaksi mereka dengan media.
42 Nilai Sosial Budaya Masyarakat Baduy Nilai merupakan sesuatu yang abstrak dan biasanya dianggap agung dan luhur oleh orang yang meyakininya, dan bila dapat diwujudkan ia akan memperoleh kebahagiaan. Secara filosofis nilai menurut Spranger (Adisububroto, 1993: 13-17) nilai erat kaitannya dengan kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sistem nilai, kebudayaan merupakan kumpulan nilai yang tersusun menurut struktur tertentu. Nilai hidup adalah salah satu penentu kepribadian, karena merupakan sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita yang berusaha diwujudkan, dihayati, dan didukung individu. Menurut Spranger sikap hidup seseorang ditentukan oleh nilai yang paling dianggap tinggi, atau nilai hidup yang paling bernilai. Dari sudut pandang antropologi nilai menurut Kluckhon (Koentjaraningrat, 2004:2731) merupakan suatu konsepsi yang secara eksplisit dapat membedakan individu atau kelompok, karena memberi ciri khas pada individu dan kelompok. Dalam perspektif psikologi Munn (Mulyana, 2004:7-30) berpendapat nilai merupakan aspek kepribadian, sesuatu yang dipandang baik, berguna atau penting dan diberi bobot tertinggi oleh seseorang. Sihabudin (2007: 23) berpendapat nilai, adalah seperangkat aturan yang terorganisasikan untuk membuat pilihan-pilihan, dan mengurangi konflik dalam suatu masyarakat. Nilainilai memiliki aspek evaluatif dan sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Dimensi evaluatif ini meliputi kualitas-kualitas seperti, kemanfaatan, kebaikan, estetika, kebutuhan
dan
kesenangan.
Geert
Hofstede
(Dananjaya,
1986:65)
mengemukakan bahwa nilai suatu kecenderungan luas untuk lebih menyukai atau memilih keadaan-keadaan tertentu dibanding dengan yang lain. Nilai merupakan suatu perasaan yang mendalam yang dimiliki oleh anggota masyarakat yang akan sering menentukan perbuatan atau tindak tanduk perilaku anggota masyarakat. Berdasarkan pendapat di atas nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik, berguna atau penting dan menjadi pedoman dalam bersikap serta berperilaku dalam hidupnya. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekonomi dan politik dan
43 teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Ada orang yang berbicara bahasa sunda, memakan ular, menghindari minuman keras terbuat dari anggur, menguburkan orang mati, berbicara melalui telepon atau meluncurkan roket ke bulan (Sihabudin, 2007:13). Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna dan diwariskan dari generasi ke generasi, melalui usaha individu dan kelompok. Budaya mena mpakkan diri, dalam; pola-pola bahasa dan bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku; gaya berkomunikasi; obyek materi, seperti rumah, alat dan mesin yang digunakan dalam industri dan pertanian, jenis transportasi dan alat-alat perang (Sihabudin, 2007:14). Dari uraian tersebut dapat dipahami, budaya sebagai pedoman hidup dalam memenuhi kebutuhan sosial mencakup: (1) perwujudan ide- ide, gagasan, nilai- nilai, norma- norma, peraturan dan hukum; (2) aktivitas dan tindakan berpola dari manusia untuk masyarakat, dan (3) perwujudan semua hasil karya manusia. Menurut Koentjaraningrat (2004:25), suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi prilaku manusia. Sistem-sistem tata tata prilaku manusia lain yang tingkatnya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma- norma semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai budaya. Dari definisi tersebut maka nilai sosial budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik, berguna atau pentng, dan diberi bobot tertinggi oleh individu atau kelompok masyarakat dan menjadi referensi (kebiasaan, tata prilaku dan adat istiadat), dalam bersikap dan berprilaku dalam hidupnya. Menurut Kluckhon dan Strodtbeck (Koentjaraningrat, 2004:28), semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia terdiri dari lima masalah pokok: (1) masalah mengenai hakekat dari hidup manusia (MH), (2) masalah mengenai hakekat dari karya manusia (MK), (3) masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (MW), (4) masalah mengenai hakekat
44 dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (MA), dan (5) masalah mengenai dari hubungan manusia dengan sesamanya (MM). Dari 5 konsep tersebut Koetjaraningrat (2004) menjelaskan lebih jauh bahwa berbagai kebudayaan di dunia itu mengkonsepkan masalah-masalah universal tersebut di atas dapat berbeda-beda, walaupun untuk berva riasi terbatas adanya. Biasanya agama-agama memberikan tuntunan terhadap seseorang sehingga terbentuk persepsinya tentang hakekat hidup. Berikut penjelasan tentang 5 konsep tersebut. Hakekat dari hidup manusia (MH), ada kebudayaan yang memandang hidup manusia itu pada hakekatnya suatu hal yang buruk, kesengsaraan dan menyedihkan, dan karena itu harus dihindari. Hidup untuk menebus dosa, menerima apa adanya. Ada pula yang memandang hidup itu pada hakekatnya buruk, dan sebagainya. Hakekat tentang karya manusia (MK), ada yang memandang bekerja sebagai sesuatu yang memberikan kedudukan terhormat atau mempunyai arti bagi kehidupan. Ada pula yang menganggap bahwa bekerja itu adalah pernyataan tentang kehidupan, bekerja adalah intensifikasi kehidupan untuk menghasilkan lebih banyak kerja lagi, dan berbagai macam konsep lain yang menunjukkan bagaimana manusia hidup dalam kebudayaan tertentu memandang dan menghargainya. Hakekat waktu (MW), ada kebudayaan yang menganggap bahwa masa lalu adalah baik karena memberikan pedoman kebijaksanaan hidup. Ada yang menganggap bahwa orientasi kedepan itulah yang terbaik, dalam kebudayaan seperti itu perencanaan hidup suatu hal yang penting. Ada juga kebudayaan yang memandang berbeda , waktu sekarang adalah yang terpenting. Hakekat hubungan manusia dengan alam (MA), ada yang memandang alam ini sebagai sesuatu yang potensial dan dapat memberikan kehidupan dengan cara mengolahnya. Selanjutnya, ada yang memandang alam ini sebagai suatu yang harus dipelihara atau dijaga kelestariannya sehinga harus diikuti saja hukum- hukumnya, dan ada pula yang memandang alam ini sebagai suatu yang sakral dan maha dasyat sehingga manusia itu pula hakekatnya hanya bisa pasrah dan menerima sebagaimana adanya.
45 Hakekat hubungan dengan sesama manusia (MM), ada kebudayaan yang menanamkan pada anggota masyarakatnya suatu pandangan bahwa hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya adalah amat penting. Pola kelakuannya, manusia yang hidup dalam kebudayaan seperti itu akan berpedoman kepada tokoh-tokoh pemimpin dan para senior, sehingga seorang atasan selalu jadi panutan bagi warganya. Ada yang menanamkan pandangan bahwa hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya sebagai hal yang terbaik.
Sebaliknya
ada
kebudayaan
yang
berorientasi
untuk
tidak
menggantungkan diri pada orang lain. Kebudayaan seperti itu individualisme amat dipentingkan dan sangat meghargai orang yang mencapai banyak tujuan dalam hidupnya dengan hanya sedikit bantuan orang lain. Dari uraian tersebut Koentjaraningrat (2004:34) mencatat nilai budaya yang dianggap penting yang dapat dipakai untuk menunjang pembangunan adalah (1) nilai budaya yang berorientasi ke masa depan, (2) nilai budaya yang berhasrat mengeksplorasi lingkungan alam, (3) nilai budaya yang menilai tinggi hasil dari karya manusia, dan (4) nilai budaya tentang pandangan terhadap sesama manusia. Dari sistem nilai budaya yang diuraikan dan bersifat universal tersebut di atas,
lalu bagaimana nilai budaya masyarakat Baduy? Dalam penelitian ini
konsep mengenai nilai budaya dibatasi pada konsep mengenai hakekat hidup, hakekat tentang kerja, , hakekat tentang alam, dan hakekat hubungan dengan sesama. Dapat dilihat dari pikukuh (adat aturan) Baduy sebagaimana dikemukakan Garna (1992) sebagai berikut, lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung) menunjukkan pola pikir positif yang normatif. Dalam hukum adalah pedoman hidup warga masyarakat itu bukan hanya milik orang modern saja. Apabila orang modern berpikir, bersikap dan berabstraksinya itu dinyatakan dengan bahasa, demikian pada orang Baduy bahasa tidak hanya alat komunikasi belaka tetapi menyimpan khazanah dan pengetahuan serta misteri sejarah kehidupan mereka. Menurut Mulyanto dkk (2006:15), konsep kebersamaan, hub ungan antar sesama manusia, bagi orang Baduy penting untuk menjujung tinggi harkat dan
46 martabat. Rumah, pakaian dan pakaian sehari- hari menunjukan kesamaan. Tidak ada perbedaan antara “penguasa” dan “rakyat biasa” dan tidak ada perbedaan pula antara yang “kaya” dan yang “miskin”. Tidak ada perselisihan dan permusuhan. Sebagaimana nilai kebersamaan dibawah ini: teu meunang pajauh-jauh leungkah pahareup-hareup ceurik pagaet-gaet lumpat Terjemahan : tidak boleh berjauh-jauh langkah berhadapan nangis berdekatan lari undur nahan tembong pundung datang nahan tembong tarang Terjemahan : pergi jangan perlihatkan kekecewaan, datang jangan perlihatkan kesombongan Dari konsep nilai kebersamaan Komunitas
Adat Baduy, kebersamaan
telah menjadi cita-cita bersama masyarakat Baduy. Hal ini terlihat dalam kegiatan gotong royong yang selalu dilaksanakan, mulai dari membuat jembatan, membuat rumah, membuat saung lisung, ronda malam, bahkan aktivitas perladangan, seperti ngaseuk serang, dan upacara adat lainnya.
47 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir Perubahan merupakan proses yang terus menerus terjadi dalam setiap masyarakat. Proses perubahan itu ada yang berjalan sedemikian rupa sehingga tidak terasa oleh mayarakat pendukungnya. Gerak perubaha n yang sedemikian itu disebut evolusi. Sosiologi mempunyai gambaran adanya perubahan evolusi masyarakat dari masyarakat sederhana ke dalam masyarakat modern. Proses gerak perubahan tersebut ada dalam satu rentang tujuan ke dalam masyarakat modern. Dari seluruh uraian dalam tinjauan pustaka tersebut, bahwa perubahan sosial akan dan selalu terjadi di dalam suatu masyarakat manapun termasuk dalam Komunitas adat, perubahan ini bisa terjadi baik secara terencana maupun alamiah. Persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang berasal dari dalam diri orang atau dalam hal ini masyarakat maupun dari luar dirinya yaitu lingkungannya. Persepsi masyarakat terhadap kebutuhan keluarga itu dipengaruhi oleh karakteristik masyarakatnya sendiri, usaha-usaha pemenuhan kebutuhan, motif, interaksi sosial, dan sistim nilai budaya. Peubah-peubah tersebut terpilih karena berdasarkan tinjauan teoritis bahwa persepsi masyarakat terhadap kebutuhan keluarga itu ditentukan juga oleh karakteristik masyarakatnya sendiri, usaha- usaha pemenuhan kebutuhan, motif, interaksi sosial, dan sistim nilai budaya. Kerangka berpikir dan hubungan antar peubah penelitian seperti terlihat pada Gambar 3. Hal–hal yang mempengaruhi persepsi komunitas adat Baduy Luar terhadap kebutuhan keluarga adalah: (1) Karakteristik orang Baduy Luar yang dilihat dari (a) Usia, (b) Jumlah anggota keluarga, dan (c) Jumlah Penghasilan; (2) Usaha-Usaha pemenuhan kebutuhan keluarga : (a) Berladang, (b) Berjualan, (c) Berburu, (d) Bekerja pada orang lain, dan (e) Membuat kerajinan.; (3) Motif: (a) Motif memperoleh pengetahuan, (b) Motif menyikapi kebutuhan, dan (c) Motif memperoleh keterampilan; (4) Interaksi Sosial: (a) interaksi dengan sesama / komunikasi interpersonal, (b) interaksi dengan agen pembaharu, dan (c) interaksi dengan media; dan (5) Nilai Sosial Budaya : (a) Hakekat dari hidup manusia, (b) hakekat dari karya manusia,
48 (c) masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan (d) masalah mengenai hub ungan manusia dengan sesamanya.
Karakteristik Orang Baduy Luar (X1): X1.1 Pendapatan rumah tangga. X1.2 Usia X1.3 Jumlah anggota keluarga
Usaha-usaha orang Baduy (X2 ): X2.1 Berladang X2.2 Berjualan X2.3 Berburu X2 4 Bekerja pada orang lain X2.5 Kerajinan
Motif (X3 ): X3.1 Motif mencari pengetahuan X3.2 Motif menyikapi kebutuhan keluarga X3.3 Motif mencari keterampilan
Persepsi Orang Baduy Luar Terhadap Kebutuhan Keluarga: Kebutuhan Hidup diukur yang dirasakan dan kepuasaannya (Y1): Kebutuhan yang dirasakan Y1.1 Fisiologi Y1.2 Rasa aman Y1.3.Dicintai dan dimiliki Y1.4 Dihargai
(Y2): Kepuasannya pada kebutuhan keluarga. Y2.1 Fisiologi Y2.2 Rasa aman Y2.3.Dicintai dan dimiliki Y2.4 Dihargai
Interaksi Sosial (X4): X4.1 Komunikasi Interpersonal, X4.2 Hub dg Agen Pembaharu X4.3 Hub dengan media Nilai Sosial Budaya (X5) : X5.1. Hakekat hidup, X5.2. Hakekat kerja (karya), X5.3. Hakekat alam semesta X5.4. Hakekat hububungan dengan sesama.
Kualitas Hidup Orang Baduy Luar Baik
Gambar 3: Hubungan antar Peubah Penelitian
Masyarakat Sejahtera
49 Persepsi komunitas adat Baduy pada kebutuhan keluarga dilihat dari kebutuhan dasar (fisiologi), rasa aman, dicintai dan dimiliki, penghargaan diri yang dirasakan dan kepuasannya. Keseluruhan peubah-peubah ini diamati dan diteliti, dianalisis, dan dikaji hubungan- hubungan dan pengaruhnya serta diinterpretasikan untuk menjawab masalah penelitian dan tujuan penelitian.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan permasalahan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan kerangka berpikir, maka hipotesis penelitian dirumuskan: (1) Terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik sosial, usaha pemenuhan kebutuhan keluarga, motif, interaksi sosial, dan nilai budaya Orang Baduy Luar dengan persepsi kepala keluarga tentang kebutuhan keluarga yang dirasakan. (2) Terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik sosial, usaha pemenuhan kebutuhan keluarga, motif, interaksi sosial, dan nilai budaya Orang Baduy Luar dengan persepsi kepala keluarga tentang kepuasannya pada kebutuhan keluarga.
50
Sosial Ekonomi Orang Baduy Luar X1: X1.1 Pendapatan rumah tangga. X1.2 Usia X1.3 Jumlah anggota keluarga Usaha-usaha pemenuhan kebutuhan keluarga X2 : X2.1 Berladang X2.2 Berjualan X2.3 Berburu X2 4 Bekerja pada orang lain X2.5 Kerajinan Motif X3 : X3.1 Motif mencari pengetahuan X3.2 Motif menyikapi kebutuhan keluarga. X3.3 Motif mencari keterampilan
Persepsi Orang Baduy Luar Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Keluarga: Kebutuhan Hidup diukur yang dirasakan dan kepuasaannya (Y1 / Y2): Y1.1 Fisiologi Y1.2 Rasa aman Y1.3.Dicintai dan dimiliki Y1.4 Dihargai
Interaksi Sosial X4 : X4.1 Komunikasi Interpersonal, X4.2 Hub dgn Agen Pembaharu X4.3 Hub dengan media
Nilai Sosial Budaya X5 : X5.1. Hakekat hidup, X5.2. Hakekat kerja (karya), X5.3. Hakekat alam semesta X5.4. Hakekat hububungan dengan sesama.
Kualitas Hidup Orang Baduy Luar Baik
Gambar 3: Hubungan antar Peubah Penelitian
Masyarakat Sejahtera
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang dengan metode survey. Teknik penelitian survey menurut Singarimbun dan Effendi (2005:34), dapat dilakukan dengan tujuan mendeskripsikan,
menerangkan
(explanatory), dan
mengeksplorasi
serta
menjelaskan tujuan, termasuk menjelaskan pengaruh dan hubungan antar peubah lewat pengujian hipotesis.
Lokasi, Objek dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pemukiman Komunitas Adat Terpencil Baduy yang berjumlah 58 kampung, yang terdiri dari 3 Kampung termasuk Baduy Dalam yaitu Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana, dan 55 Kampung Baduy Luar sesuai dengan Perda No. 32 Kabupaten Lebak Tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Fokus penelitian dilakukan hanya pada Baduy Luar maka hanya 55 kampung Baduy Luar, dan Masyarakat Baduy yang menetap di Luar Baduy, yaitu Desa Leuwidamar dan Desa Bojong Menteng. Secara administratif
wilayah Baduy sekarang termasuk dalam Desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, Pemerintahan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Luasnya sekitar 5.101,85 hektar, lebih kecil daripada masa- masa sebelumnya. Lamanya penelitian ini kurang lebih 6 bulan dan pelaksanaan pengumpulan data dimulai sejak November 2008.
Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah kepala keluarga Baduy Luar. Kerangka sampel penelitian ini ada dibagi menurut tipologi kepala keluarga berdasarkan letak geografis Kampung tempat tinggalnya. Letak geografis yang dimaksud adalah kampung-kampung yang berada dalam lintasan jalan menuju kampung Baduy Dalam (Cibeo, Cikatawana, dan Cikeusik. Jalur lintasan menuju Baduy Dalam ada beberapa lintasan, namun yang biasa dilalui dan kerap disebut oleh masyarakat Baduy, adalah lewat “Handap Kulon” (Bawah Barat), “Teungah Kulon” (Tengah Barat), “Teungah Luhur” (Tengah Atas), jalur ini sebenarnya 50
51 terusan dari jalur Tengah Barat. Semua jalur atau perjalanan menuju Baduy Dalam untuk para pengunjung mulai dari Kampung Kaduketug (Pusat Pemerintahan Desa Kanekes). Jalur Bawah Barat antara lain melalui Kampung: Kaduketug, Babakan Kaduketug, Cicatang, Balimbing, Gajeboh. Kampung-kamp ung ini merupakan kampung terluar atau terjauh dari Kampung Baduy Dalam; Jalur Tengah Barat melalui Kampung: Kaduketug, Babakan Kaduketug, Balimbing, Marenggo, Cicakal Leuwi Buleud; Jalur Tengah Atas melalui kampung: Kaduketug, Cicakal LeuwiBuleud, Cipaler, Cipiit, Cilingsuh, Cijengkol, Cikadu. Kampung-kampung ini dapat dkatakan ditengah-tengah antara terdekat dan terjauh dari Baduy Dalam. Cijengkol, Cijanar, Cijangkar, dan Cisaban merupakan kampung-kampung terdekat dengan Kampung Baduy Dalam. Dari penjelasan di atas peneliti memilih Kampung yang paling dekat dengan posisi geografis Baduy Dalam, kemudian kampung yang jaraknya paling jauh dari kampung Baduy Dalam atau terluar, dan kategori ketiga adalah kampung-kampung yang berada diantara kampung Baduy Luar terdalam dan terluar. Kampung-kampung di Baduy Luar (Desa Kanekes) kondisinya relatif homogen, homogen dilihat dari bentuk rumahnya, posisi rumah seluruhnya menghadap Utara dan Selatan dan saling berhadap-hadapan, berkelompok, bidang usaha, selain itu cara berpakaian juga homogen mengikuti adat dan sistem nilai yang berlaku. Berdasarkan kondisi tersebut maka penulis menetapkan sampel kampung dengan Cluster Random Sampling. Cluster ditentukan berdasarkan jalur masuk menuju Kampung Baduy Dalam. Pintu masuk Baduy Dalam dari arah Utara, menurut adat Baduy Utara adalah Depan dan Selatan adalah Belakang, secara adat kita harus masuk lewat “depan bila memasuki rumah.” Jadi masuk perkampungan Baduy mulai dari Utara menuju Selatan. Ada tiga jalur menuju Baduy Dalam sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dengan pertimbangan kampung di Baduy Luar cenderung homogen maka ditetapkan 15 kampung secara acak yang berada di jalur menuju Baduy Dalam, Jalur Handap Kulon” (Bawah Barat) 6 Kampung. Jalur “Teungah Kulon”
52 (Tengah Barat), “Teungah Luhur” (Tengah Atas), jalur ini sebenarnya terusan dari jalur Tengah Barat 8 Kampung. Dan Kampung Kaduketug (ibu kota Desa Kanekes / Pusat pemerintahan) sebagai kampung ya ng palng terluar dari Baduy Dalam dan berbatasan langsung dengan masyarakat umum. Setiap kampung diambil 12 sampel, kecuali di Kampung Kaduketug (ibu kota Desa Kanekes / Pusat pemerintahan) 14 sampel jadi seuruhnya 182 sampel. Kampung-Kampung tersebut, penulis kelompokkan ke dalam tiga lokasi penelitian seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Lokasi Penelitian Lokasi a (Bawah Barat) Kampung n 1. Babakan Kaduketug 2. Balimbing 3. Marenggo 4. Cicakal Leuwi Buleud 5. Cicatang 6. Gajeboh Jumlah
12 KK 12 KK 12 KK 12 KK 12 KK 12 KK 72 KK
Lokasi b (Tengah Barat) Kampung n 1. Cipaler 2. Cipiit 3. Cilingsuh 4. Cijengkol 5. Cikadu 6. Cijanar 7. Cijangkar 8. Cisaban
12 KK 12 KK 12 KK 12 KK 12 KK 12 KK 12 KK 12 KK 96 KK
Lokasi c (Kaduketug) Kampung n Kaduketug
14 KK
14 KK
Sebagaimana dikemukakan di atas teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan cara teknik acak gugus satu langkah (cluster random sampling), artinya sampel diambil berdasarkan gugus terpilih mengingat komunitas Baduy Luar tersebar pada 55 kampung (gugus), langkah petama mengambil enam kampung secara acak di Jalur Handap Kulon” (Bawah Barat), delapan kampung di jalur “Teungah Kulon” (Tengah Barat), “Teungah Luhur” (Tengah Atas), dan satu kampung Kaduketug (ibu kota Desa Kanekes / Pusat pemerintahan). Selanjutnya pada setiap kampung / gugus terpilih, dilakukan lagi acak pada 12 orang kepala keluarga, mengingat rumah orang Baduy saling berhadapan selalu ke arah Utara dan ke arah Selatan, diambil masing- masing enam kepala keluarga dengan menghitung satu interval tiap rumah terpilih.
53 Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian Pengumpulan Data Data primer dikumpulkan melalui daftar pertanyaan dengan Skala Likert berbentuk semantic differential. Tambahan informasi terhadap daftar pertanyaan yang telah dikumpulkan dilakukan melalui wawancara. Data yang dikumpulkan atau diukur adalah data yang digunakan untuk mendapakan jawaban dari tujuan dan hipotesis yang telah disusun. Jadi data yang dikumpulkan adalah data mengenai karateristik individu, motif, interaksi sosial, nilai budaya dan persepsi mereka terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga Orang Baduy Luar. Data sekunder yang berkaitan dengan variabel penelitian bersumber dari pustaka, rekaman, keterangan lisan dari pakar yang me ngetahui tentang masalah yang diteliti. Sumber data primer diperoleh secara langsung dari kepala kampung atau yang menjadi pimpinan dalam kampung tersebut. Kuesioner digunakan sebagai pedoman wawancara dalam mengumpulkan data primer mengingat komunitas Baduy kebanyakan tidak bisa baca tulis, kecuali yang dapat membaca diminta untuk mengisi sendiri. Keseluruhan data yang dikumpulkan pada dasarnya adalah data yang terkait dengan persepsi kepala keluarga Baduy Luar terhadap kebutuhan keluarga yang dirasakan kepuasannya, Karakteristik kepala keluarga, usaha-usaha kepala keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga, motif kepala keluarga, Interaksi sosial, nilai sosial budaya komunitas adat Baduy. Data yang diperoleh dari operasional peubah-peubah adalah sebagai berikut: Karakteristik kepala keluarga (X1): Pendapatan rumah tangga (X1.1); Usia (X1.2); Jumlah anggota keluarga (X1.3). Usaha-usaha kepala keluarga (X2): Berladang (X2.1); Berjualan (X2.2); Berburu (X2.3); Bekerja pada orang lain (X2.4); Motivasi kepala keluarga (X3): Motivasi kepala keluarga pada Pengetahuan (X3.1); Motivasi kepala keluarga pada sikap pemenuhan kebutuhan keluarga (X3.2); Motivasi kepala keluarga pada keterampilan berusaha (X3.3).
54 Interaksi Sosial (X4): Interaksi dengan sesama KK / melakukan komunikasi interpersonal (X4.1); Interaksi dengan media massa (X4.2); Interaksi dengan agen pembaharu (X4.3). Nilai sosial budaya (X5): Hakekat hidup manusia (X5.1); Hakekat bekerja / berkarya (X5.2); Hakekat hubungan manusia dengan alam dan lingkungan (X5.3); Hakekat hubungan manusia dengan sesama (X5.4). Persepsi kepala keluarga terhadap kebutuhan hidup keluarga yang dirasakan (Y1): Kebutuhan fisiologi / dasar (Y1.1); Kebutuhan keamanan (Y1.2); Kebutuhan dicintai dan dimiliki (Y1.3); Kebutuhan diharga i (Y1.4). Persepsi kepala keluarga terhadap kebutuhan hidup keluarga, diukur pada kepuasannya (Y2): Kebutuhan fisiologi / dasar (Y2.1); Kebutuhan keamanan (Y2.2); Kebutuhan dicintai dan dimiliki (Y2.3); Kebutuhan dihargai (Y2.4).
Instrumen Penelitian Instrumen atau alat ukur yang digunakan untuk mengukur peubah-peubah yang ada adalah dengan skala Likert. Jawaban setiap item instrumen menggunakan skala Likert. Skala Likert atau metode rating yang dijumlahkan merupakan teknik skala yang menggunakan distribus i respons sebagai dasar penentuan nilai skalanya. setiap pernyataan yang telah ditulis dapat disepakati sebagai pernyataan yang favorable (positif) atau pernyataan yang unfavorable (negatif) (Azwar, 2003:127). Dapat juga berarti mempunyai gradasi sangat memahami sampai tidak memahami. Selain itu digunakan skala Guttman; skala pengukuran tipe ini diperoleh jawaban yang tegas, yaitu ”ya-tidak,” ”benarsalah,” ”positif- negatif,” dan lain- lain, dengan disertai pertanyaan yang bersifat terbuka untuk mendapatkan gambaran dan penjelasan yang mendalam (Nazir, 2003:340). Kategori dan indikator dari peubah-peubah sosial ekonomi Orang Baduy Luar, Usaha orang Baduy Luar dalam memenuhi kebutuhan keluarga, kebutuhan Orang Baduy, dan persepsi Orang Baduy terhadap pemenuha n kebutuhan keluarga. Kisi-kisi penyusunan instrumen, dapat dilihat pada Tabel 2.
55 Tabel 2 Kisi-Kisi Penyusunan Instrumen Peubah
Dimensi Peubah
1
2
Pernyataan operasional (Indikator) 3
Skala data / Instrumen 4
Karakteristik Sosial ekonomi Orang Baduy Luar (X1):
a.Pendapatan rumah tangga, b.Usia, c.Jumlah anggota keluarga,
1. Penghasilan KK setiap bulan 2.Tua, Dewasa, remaja; 3.Suami Isteri tanpa anak, dengan anak, sendiri;
Ordinal / Pertanyaanpertanyaan
Usaha-usaha untuk memenuhi Kebutuhan Keluarga (X2) :
Berladang Berjualan Berburu Bekerja pada orang lain Membuat kerajinan
usaha berladang usaha berjualan usaha berburu usaha bekerja pada orang lain usaha membuat kerajinan
Ordinal / Wawancara terstruktur, dan kuesioner skala sikap.
1. Keinginan menjadi tahu dan lebih tahu; 2. Keinginan menjadi lebih percaya diri; 3. Keinginan menjadi lebih mampu melakukan sesuatu
Wawancara terstruktur, dan kuesioner skala sikap.
1. frekuensi bertemu dengan sesama komunitas, 2. frekuensi dengan penyuluh, 3. lama mendengar radio, baca suratkabar. 4. frekuensi bertemu orang luar (wisatawan), frekuensi ke luar kampung.
Ordinal / Wawancara terstruktur, dan kuesioner skala sikap.
a. Pengetahuan Motif Orang Baduy Luar (X3)
b. Menyikapi kebutuhan keluarga c. Keterampilan
Interaksi sosial (X4):
a. Komunikasi interpersonal b. Hubungan dengan agen pembaharu c. Terpaan media d.hubungan dengan lingkungan luar.
Nilai Sosial Budaya X5 :
a. Hakekat hidup,
b. Hakekat kerja (karya), c. Hakekat alam,
d. Hakekat hubungan
1. Hidup itu buruk, 2. Hidup itu baik, 3. Hidup itu harus ikhtiar, 1. Kerja itu hidup 2. kerja itu kewajiban, 3. kerja itu hak 1.Manusia tunduk pada alam 2.Berusaha menjaga alam 3.Berusaha menguasai alam
1. orientasi vertikal;
Ordinal / Wawancara terstruktur, dan kuesioner skala sikap
56 antarsesama.
Persepsi pada pemenuhan kebutuhan keluarga Y1/ Y2: Diukur kebutuhan dengan menanyakan yang dirasakan dan kepuasannya pada setiap tingkat kebutuhan.
a. Fisiologi . b. Rasa aman
c. Dicintai dan dimiliki
d. Dihargai
2. orientasi saling asah,asih, asuh 3. orientasi individual. 1. Sandang, pangan, papan; 2. Ketentraman kampung, rumah tangga, lingkungan, 3. Suami, isteri, anakanak, Orang tua, tetangga, kepala kampung / jaro, pemerintah. 4. Hasil pertanian, kerajinan, pendapat, Adat istiadat, lingkungan.
Ordinal/ Wawancara terstruktur, dan kuesioner skala sikap
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Ada dua macam validitas: validitas internal dan eksternal. Validitas internal menekankan pada seberapa jauh alat ukur dapat mengumpulkan kebenaran yang hendak diungkapkan dari suatu sampel? Validitas eksternal, menekankan sampai seberapajauh kebenaran yang telah diperoleh tadi, berlaku umum bagi suatu populasi yang sedang diselidiki? Jadi, validitas eksternal menekankan generalizability hasil- hasil pengukuran dari suatu sampel, kembali ke populasi yang diamati. Selain validitas internal dan eksternal ada: validitas isi (content validity), validitas kriteria (criterion related validity), dan validitas konstrak (construct validity). Validitas isi yakni kecukupan sampel isi suatu alat ukur: Substansi alat ukur, bahan alat ukur, dan topik-topik alat ukur. Untuk menguji validitas konstruk, dapat digunakan pendapat ahli (expert judgement). Dalam hal ini setelah instrumen dikons truksi tentang apsek-aspek yang akan di ukur dengan berlandaskan teori tertentu, kemudian dikonsultasikan dengan ahli yang relevan. Untuk instrumen yang berbentuk test, pengujian validitas isi (content validity) dapat dilakukan dengan membandingkan antara isi instrumen dengan materi pelajaran yang telah diajarkan. Secara teknis, pengujian validitas konstruk dan validitas isi dapat dibantu dengan menggunakan kisi-kisi instrumen atau matrik pengembangan instrumen (Sugiyono, 2006:146). Dalam kisi-kisi itu
57 terdapat variabel yang diteliti, indikator sebagai tolok ukur dan nomor butir pertanyaan atau pernyataan yang telah dijabarkan dari indikator. Dengan kisi-kisi instrumen pengujian validitas lebih mudah dilakukan. Pengujian reliabilitas instumen dapat dilakukan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal, pengujian dapat dilakukan dengan test-retest (stability), equivalent, gabungan keduanya, serta internal consistency dengan teknik belah dua (split half) yang dianalisis dengan rumus Spearman Brown. Dimana skor total antara kelompok ganjil dan genap dicari korelasinya, selanjutnya dimasukkan dalam Rumus Spearman Brown sebagai berikut:
2 . rb ri = 1 + rb (Sugiyono, 2006)
Hasil uji reliabilitas Keseluruhan Item diperoleh dapat dilihat sebagai berikut:
r. tot
2 X 0,352 = ------------------------1 + 0,352 = 0,522 (sangat nyata)
Analisis Data Data hasil penelitian diproses melalui tahap-tahap : pemisahan berdasarkan kelompok; pemindahan data dari daftar pertanyaan ke tabel-tabel dalam buku kerja atau work sheet; pemeriksaan kelengkapan data yang telah dihitung skor akhir; dan pemindahan skor ke dalam tabel hasil penelitian dengan bantuan program komputer. Pengujian hipotesis dilakukan dengan teknik analisis korelasi sederhana sekaligus mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul. Karena penggunaannya pada sampel, maka analisis yang digunakan adalah statistik deskriptif seperti penyajian data melalui tabel, grafik, diagram, modus,
58 median, mean, dan seterusnya, dan infrensial (parametris Untuk menguji korelasi menggunakan uji korelasi Pearson product moment dengan formulanya: ?xy rxy = v (? x²) (? y²) Dimana: rxy = hubungan x dengan y ? xy = jumlah hasil dari x dan y ? x² = jumlah x yang dikuadratkan ? y² = jumlah y yang dikuadratkan
Perhitungan dengan menggunakan rumus ini adalah untuk menguji hipotesis hubungan.
59
Dukungan Lembaga Adat dan Pemerintah Daerah
Forum Diskusi Komunitas Adat Baduy
Standar Kebutuhan Dasar Keluarga Dukungan Agen Pembaharu dan Penyuluhan
Usaha-usaha dan Pola Produksi KAT Baduy Luar
Dorongan ingin Berubah
Kepuasan pada Kebutuhan Keluarga
Derajat Kebutuhan Keluarga yang Optimal
Gambar 5: Strategi Peningkatan Kebutuhan Keluarga KAT Baduy
Peningkatan Kesejahteraan KAT Baduy
60
Gambar 5
61
Sosial Ekonomi Orang Baduy Luar X1: X1.1 Pendapatan rumah tangga. X1.2 Usia X1.3 Jumlah anggota keluarga Usaha-usaha pemenuhan kebutuhan keluarga X2 : X2.1 X2.2 X2.3 X2 4 X2.5
Berladang Berjualan Berburu Bekerja pada orang lain Kerajinan
Motif X3 : X3.1 Motif mencari pengetahuan X3.2 Motif menyikapi kebutuhan keluarga. X3.3 Motif mencari keterampilan
Persepsi Orang Baduy Luar Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Keluarga: Kebutuhan Hidup diukur yang dirasakan dan kepuasaannya (Y1 / Y2): Y1.1 Fisiologi Y1.2 Rasa aman Y1.3.Dicintai dan dimiliki Y1.4 Dihargai
Interaksi Sosial X4 : X4.1 Komunikasi Interpersonal, X4.2 Hub dgn Agen Pembaharu X4.3 Hub dengan media
Nilai Sosial Budaya X5 : X5.1. Hakekat hidup, X5.2. Hakekat kerja (karya), X5.3. Hakekat alam semesta X5.4. Hakekat hububungan dengan sesama.
Kualitas Hidup Orang Baduy Luar Baik
Masyarakat Sejahtera
62
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Lokasi Penelitian Geografis Masyarakat Baduy bermukim di wilayah Barat Pulau Jawa, Banten Selatan daerah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng (900 meter dari permukaan laut). Secara geografis, lokasi masyarakat Baduy ini terletak pada 6 27’27’’ – 6 30’ Lintang Utara (LU) dan 108 3’ 9’’ – 106 4’55’’ Bujur Timur (BT). Topografi
wilayahnya
berbukit-bukit,
tersusun
oleh
sambung
menyambung bukit. Perkampungan biasanya berada di wilayah lembah bukit, dengan kemiringan rata-rata 49,1%, kemiringan lereng paling datar sebesar 0%, dan paling curam 155% (Purnomohadi, 1986:38). Sungai yang besar mengalir di wilayah ini adalah sungai Ciujung, yang hulunya berasal dari daerah-daerah hutan di bagian selatan wilayah Baduy Dalam. Sedangkan aliran airnya mengalir ke bagian hilir melintasi sebagian besar perkampungan-perkampungan Baduy, terus ke luar melintasi daerah-daerah lainnya di luar Baduy, melintasi ibu kota Kabupaten, Rangkasbitung dan bermuara di pantai utara laut Jawa dekat wilayah Jakarta.
Administrasi Secara administratif
wilayah Baduy sekarang termasuk dalam Desa
Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Luasnya sekitar 5.101,85 hektar, lebih kecil daripada masa- masa sebelumnya yang terbentang hingga perbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor dan Sukabumi. Jarak dari ibukota kabupaten di Rangkasbitung ke kecamatan Leuwidamar lebih kurang 37 km. Wilayah Baduy berbatasan dengan daerah-daerah lain; di sebelah utara berbatasan dengan Desa Cibungur dan Desa Cisimeut, Kecamatan Leuwidamar; di sebelah timur berbatasan dengan Desa Sobang, Kecamatan Cipanas; di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cigemblong, Kecamatan Bayah; dan di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Karangnunggal, Kecamatan Bojongmanik (Gambar 4).
59
60 Sebagai suatu desa, Baduy atau Kanekes terdiri atas beberapa kampung yang terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Kampung-kampung yang tergolong dalam Baduy Dalam berada pada wilayah sebelah selatan, sedangkan kampung-kampung Baduy Luar di sebelah Timur, Barat, dan Utara. Kampung-kampung tersebut umumnya berada ditepi atau dekat sungai. Jarak antarkampung bervariasi antara 0,5 – 5 km, dihubungkan dengan jalan-jalan setapak turun naik mengikuti kontur perbukitan.
Gambar 4: Peta Wilayah Desa Kanekes
61 Perjala nan menuju wilayah kecamatan Leuwidamar, dari ibukota kabupaten dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi atau umum. (sejenis angkot dan minibus), setelah melewati ibukota kecamatan Leuwidamar, untuk sampai ke daerah perbatasan Baduy di Ciboleger dapat melintasi dua jalur perjalanan, yaitu melalui desa Cibungur atau melewati desa Cisimeut sampai ke daerah perbatasan Baduy di Ciboleger. Pada lintasan pertama jaraknya agak jauh dan melintasi perbukitan yang agak curam, tetapi mobil masih dapat melintasi daerah ini, karena sudah di aspal. Sedangkan jalur kedua melintasi daerah Cisimeut, jalannya datar dan pendek, tetapi harus menyebrang sungai Cisimeut. Pada musim kemarau airnya dangkal, sehingga dapat melintasi sungai itu. Tetapi bila musim hujan, air sungai Cisimeut besar, kendaraan mobil tidak bisa melintasi wilayah ini, kendaraan motor dan pejalan kaki dapat melintasi jembatan gantung dari kayu dan bambu. Untuk mencapai lokasi Baduy, orang harus menemp uh perjalanan kaki lewat jalan setapak untuk perkampungan Baduy Luar antara 0,4 – 6 km, dan kurang lebih 12 km perkampungan Baduy Dalam. Desa Kanekes dapat dicapai melalui berbagai arah, yaitu dari arah Utara di Ciboleger Desa Bojongmenteng; Barat Laut dari Desa Cijahe, Desa Pasir Nangka Kecamatan Bojongmanik; Timur Laut dari Cakueum Desa Nayagati; dan Timur dari Desa Karang Combing Kecamatan Muncang. Tetapi bagi pengunjung dan wisatawan diwajibkan melalui Ciboleger, dari sinilah paling mudah dilakukan karena terdapat kendaraan umum dan memudahkan untuk melapor ke Kepala desa Kanekes di Kaduketug dengan mengisi daftar tamu. Kaduketug sebagai kampung yang langsung berbatasan dengan Ciboleger, banyak terdapat tengkulak yang menerima hasil bumi dari Desa Kanekes dan pedagang yang menyediakan kebutuhan orang Baduy. Melalui Ciboleger banyak warga komunitas Baduy yang akan berpergian ke
wilayah lain baik untuk
melakukan kegiatan perekonomian, maupun untuk urusan sosial lainnya, atau berkunjung ke daerah lain. Selain itu Ciboleger juga tempat memulai perjalanan menuju baik ke Baduy luar maupun baduy dalam, ibaratnya pintu masuk utama ke Kanekes.
62 Demografi Menurut catatan Puskesmas dan Kantor Desa Kanekes tahun 2008, jumlah kampung di Baduy sudah
mencapai 55 kampung Baduy Luar, ada
penambahan 4 kampung. Dalam Perda No.32 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Mendiami 51 Kampung yaitu: (1) Kampung Kaduketug; (2) Kampung Cipondok; (3) Kampung Babakan Kaduketug; (4) Kampung Kadukaso; (5) Kampung Cihulu; (6) Kampung Balimbing; (7) Kampung Marenggo; (8) Kampung Gajeboh; (9) Kampung Leuwibeleud; (10) Kampung Cipaler; (11) Kampung Cipaler Pasir; (12) Kampung Cicakal Girang; (13) Kampung Babakan Cicakal Girang; (14) Kampung Cipiit; (15) Kampung Cilingsuh; (16) Kampung Cisagu; (17) Kampung Cijanar; (18) Kampung Ciranji; (19) Kampung Babakan Eurih; (20) Kampung Cisagulandeuh; (21) Kampung Cijengkol; (22) Kampung Cikadu; (23) Kampung Cijangkar; (24) Kampung Cinangs ih; (25) Kampung Batubeulah;
(26) (27) (28) (29) (30) (31) (32) (33) (34) (35) (36) (37) (38) (39) (40) (41) (42) (43) (44) (45) (46) (47) (48) (49) (50) (51)
Kampung Bojong Paok; Kampung Cangkudu; Kampung Cisadane; Kampung Cibagelut; Kampung Cibogo; Kampung Pamoean; Kampung Cisaban; Kampung Babakan Cisaban; Kampung Leuwihandap; Kampung Kaneungay; Kampung Kadukohak; Kampung Ciracakondang; Kampung Panyerangan; Kampung Batara; Kampung Binglugemok; Kampung Sorokohod; Kampung Ciwaringin; Kampung Kaduketer; Kampung Babakan Kaduketer; Kampung Cibongkok; Kampung Cikopeng; Kampung Cicatang; Kampung Cigula; Kampung Karahkal; Kampung Kadugede; Kampung Kadujangkung.
Data Demografi orang Baduy pada Tahun 1966 berjumlah 3935 orang , Tahun 1969 menjadi 4.063, Pada Tahun 1980 menurun menjadi 4.057 orang. Tahun 1984 berjumlah 4.587 orang, dan tahun 1986 berjumlah 4850 orang (Garna, 1985, 1987, 1993). Tahun 1994 berjumlah 6.483 orang, dan Tahun 2004 tercatat 7.532 orang. Berdasarkan perhitungan terakhir, penduduk Baduy terdiri dari 3697 pria dan 3835 wanita. Di antara jumlah tersebut terdapat 340 bayi (0 – 11 bulan) dan 462 balita (1 – 5 tahun) (Permana, 2006:23). Angka penduduk Baduy tahun 1994 terlihat jauh melonjak di banding tahun 1993 sebagai akibat perhitungan kembali secara menyeluruh penduduk
63 diseluruh wilayah desa Kanekes. Di akui oleh Carik desa Kanekes bahwa angka beberapa tahun sebelumnya merupakan penambahan atau pengurangan bila ada laporan kelahiran atau kematian dari kampung bersangkutan. Laju pertambahan penduduk, dan pemekaran atau bertambahnya jumlah perkampungan di Baduy Luar secara keseluruhan, berdasarkan data yang diperoleh dari profil desa Kanekes, dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Leuwidamar, jumlah data penduduk dan penyebaran pada setiap Kampung baik di Baduy Luar maupun Baduy Dalam sampai dengan Tahun 2008. Saat ini Jumlah Kampung Baduy Luar 55 kampung, dan Tiga Kampung Baduy Dalam (Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik), dengan jumlah kepala keluarga 2.726 orang, terdiri dari pria 5.500 orang, dan wanita 5.441 orang, jumlah keseluruhan penduduk baduy luar dan baduy dalam 10.941 orang. Bila dibandingkan dengan data Tahun 1994 penduduk pria tetap masih lebih banyak dari wanita. Berikut penyebaran jumlah penduduk pada setiap kampung secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 1. Secara rinci gambaran mengenai pendud uk tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Penduduk Baduy Tahun 1994 Menurut Kelompok Usia
Kelompok Usia
Pria
Wanita
Jumlah
0 - 5 6 - 10 11 - 15 16 - 20 21 - 25 26 - 30 31 - 35 36 - 40 41 - 45 46 - 50 51 - 55 56 - 60 61 - keatas
671 610 288 204 144 271 200 241 189 140 70 110 210
674 453 253 277 259 269 176 295 101 119 60 101 107
1.345 1.063 541 481 403 540 376 536 290 259 130 211 308
Total
3.339
3.144
6.483
Sumber: Permana (2006)
Berdasarkan perhitungan tahun 2008, populasi penduduk umumnya didominasi oleh penduduk Baduy Luar. Penduduk Baduy Dalam menurut catatan tersebut berjumlah 1144 orang, terdiri atas 451 orang warga Cikeusik, 177 orang
64 warga Cikartawana, dan 516 orang warga Cibeo. Hal ini berarti penduduk Baduy Dalam hanya 10.5% saja dari keseluruhan penduduk Baduy. Gejala pertumbuhan penduduk cukup menarik perhatian, naik turun pertumbuhan penduduk kemungkinan besar diakibatkan oleh adanya perkawinan yang terlalu dekat di antara kelompok mereka.
Deskripsi Karakteristik Kepala Keluarga KAT Baduy Luar Karakteristik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ciri-ciri internal dan eksternal yang melatar belakangi persepsi Orang Baduy Luar terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga. Deskripsi karakteristik ini terbatas pada: (1) Sosial Ekonomi, menyangkut usia, penghasilan, dan jumlah angota keluarga; (2) Nilai-nilai Budaya; dan (3) Interaksi Sosial. Penggambaran karaktersitik ini dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan lokasi penelitian yaitu Jalur Bawah Barat (lokasi a), Jalur Tengah Barat (lokasi b), dan Jalur Kaduketug (lokasi c) sebagai ibukota Desa Kanekes tempat memulai perjalanan menuj u Baduy Dalam. Berikut deskripsi Kepala keluarga di setiap lokasi penelitian, di sajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 Jumlah Kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar menurut Karakteristik Sosial No
Karakteristik Sosial
1
Pendapatan Rumah Tangga
2
Usia
3
Jumlah Anggota Keluarga
Kategori
< 1 juta/bulan 1-2 juta /bulan > 2 juta/bulan Total Muda (19-25 tahun) Sedang (26-45tahun) Tua (> 45 tahun) Total Kecil (3-4 orang) Sedang (5 orang) Besar (> 6 orang) Total
Lokasi a
Lokasi b
Lokasi c
(Bawah Barat)
(Tengah Barat)
(Kaduketug)
n= 72 Jum % lah 38 52.8 27 37.5 7 9.7 72 100 52 72.2 13 18.1 7 9.7 72 100 4 5.6 9 12.5 59 81.9 72 100
n = 96 Jum % lah 94 97.9 2 2.1 0 0 96 100 54 56.3 23 23.9 19 19.8 96 100 11 11.5 20 20.8 65 67.7 96 100
n = 14 Jum lah 2 7 5 14 2 11 1 14 2 0 12 14
% 14.3 50.0 35.7 100 14.3 78.6 7.1 100 14.3 0 85.7 100
65 Dari data tersebut terlihat ada perbedaan penghasilan pendapatan rumah tangga untuk setiap jalur atau lokasi penelitian, lokasi Kaduketug cenderung lebih tinggi penghasilannya dibanding Lokasi a dan Lokasi b. Pada lokasi a dan b umumnya berpenghasilan di bawah 1 juta/bulan, sedangkan di Kaduketug penghasilan kepala keluarga sebagian besar di atas satu jut a sampai 2 juta setiap bulannya, karena lokasi Kaduketug secara geografis berbatasan langsung dengan desa-desa lain, dan akses ke desa-desa lain dan wilayah luar Baduy berada di lokasi ini. Para pengunjung atau wisatawan yang berkunjung melalui Kaduketug, mungkin menjadi salah satu faktor penghasilan kepala keluarga lebih tinggi dibanding dengan dua lokasi lainnya, atau karena faktor jumlah anggota keluarga yang cenderung jumlahnya banyak untuk masing- masing keluarga di lokasi Bawah Barat dan Tengah Barat. Usia kepala keluarga sebagian besar di lokasi a dan b adalah berusia muda yaitu antara 19-25 tahun, sedangkan di lokasi Kaduketug sebagian besar usia kepala keluarga adalah sedang yaitu antara 26-45 tahun. Hal ini dimungkinkan karena letak geografis Kaduketug yang secara langsung berbatasan dengan perkampungan umum sehingga mungkin ada pengaruh dari kampung lain untuk tidak menikah pada usia muda. Jumlah anggota keluarga dalam setiap keluarganya di seluruh lokasi baik Kaduketug maupun lokasi a dan b, sebagian besar jumlah anggota keluarga di atas 6 orang. Dalam konsep masyarakat Baduy bahwa jumlah keluarga tidak dibatasi harus berapa jumlahnya, selama pasangan suami isteri itu sehat dan mampu membiayai keluarganya. Karakteristik kepala keluarga pada setiap lokasi penelitan, dapat dilihat pada Tabel 5. Bila dilihat secara menyeluruh pendapatan rumah tangga kepala keluarga cenderung rendah yaitu di bawah 1 juta Rupiah, Usia cenderung sebagian besar berusia muda, dan jumlah anggota keluarga cenderung besar, yaitu berjumlah di atas 6 orang. Data tersebut bila kita lihat melalui konsep keluarga sejahtera yang memiliki beberapa indikator seperti dari BPS berdasar tingkat kecukupan kebutuhan fisik minimum pangan rumah tangga 2100 kalori per orang. Indikator Departemen Sosial keluarga miskin tidak memiliki matapencaharian dengan penghasilan rendah. Departemen Pertanian
petani dan nelayan beserta
66 keluarganya yang pendapatanya di bawah garis kemiskinan (yaitu 320 kg setara beras/th/kapita, Sayogyo) (Sumarti, 1999:27). Meskipun penghasilannya relatif kecil, namun kebutuhan rumah tangganya cukup terpenuhi, karena setiap kepala keluarga biasanya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya yaitu dengan cara memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan yang ada di sekitar perkampungan, seperti hasil ladang, dan hutan.Artinya konsep keluarga sejahtera dengan beberapa indikator mungkin tidak sepenuhnya berlaku dalam masyarakat Baduy. Tabel 5 Jumlah Kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar Seluruh Lokasi menurut Karakteristik Sosial n = 182 No 1
Karakteristik Sosial Pendapatan Rumah Tangga
2
Usia
3
Jumlah Anggota Keluarga
Kategori < 1 juta/bulan 1-2 juta /bulan > 2 juta/bulan Total Muda (19-25 tahun) Sedang (26-45 tahun) Tua (> 45 tahun) Total Kecil (3-4 orang) Sedang (5 orang) Besar (> 6 orang) Total
Jumlah 134 36 12 182 108 47 27 182 17 29 136 182
% 73.6 19.8 6.6 100.0 59.4 25.8 14.8 100.0 9.3 15.9 74.7 100.0
Deskripsi Usaha dan Pola Produksi KAT Baduy Luar Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, masyarakat Baduy Luar melakukan usaha-usaha dan kegiatan produksi yang menghasilkan barang kebutuhan sendiri dan dijual untuk mendapatkan uang, untuk digunakan membeli kebutuhan yang tidak tersedia di kampung mereka, beberapa usaha dan kegiatan aktivitas produksi yang dilaksanakan meliputi berladang, berjualan, berburu, bekerja pada orang lain, dan membuat kerajinan, seperti tampak dalam Tabel 6. Sebagian besar kepala keluarga (lebih dari 50%) menyatakan usaha-usaha yang dilakukan kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga baik berladang, berjualan, berburu, bekerja pada orang lain, dan membuat kerajinan hampir di seluruh lokasi penelitian baik di lokasi Bawah Barat, Tengah Barat,
67 dan Kaduketug dianggap penting, artinya dapat dikatakan kepala keluarga dalam berusaha untuk me menuhi kebutuhan keluarga itu hal yang seharusnya dilakukan oleh setiap kepala keluarga baik melalui berladang, berjualan, berburu, bekerja pada orang lain, dan membuat kerajinan penting untuk keluarga, bila melihat data tersebut dapat dikatakan kepala keluarga sangat giat dan rajin dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Tabel 6 Jumlah Kepala Keluarga Baduy Luar menurut Usaha dan Pola Produksi di masing-masing lokasi
No
Usaha dan Pola Produksi
1
Berladang
2
Berjualan
3
Berburu
4
Bekerja pada Orang Lain Membuat Kerajinan
5
Kategori
Penting Kurang Penting Tidak Penting Total Penting Kurang Penting Tidak Penting Total Penting Kurang Penting Tidak Penting Total Penting Kurang Penting Tidak Penting Total Penting Kurang Penting Tidak Penting Total
Lokasi a
Lokasi b
(Bawah Barat)
(Tengah Barat)
n= 72 Jumlah % 55 76.4 11 15.3 6 8.3 72 100 49 68.1 18 25.0 5 6.9 72 100 44 61.1 17 23.6 11 15.3 72 100 46 63.8 18 25.0 8 11.2 72 100 48 66.7 20 27.8 4 5.5 72 100
n = 96 Jumlah % 79 82.3 14 14.6 3 3.1 96 100 57 59.4 32 44.4 7 7.2 96 100 44 45.8 44 45.8 8 8.4 96 100 80 83.3 16 16.7 0 0 96 100 79 82.3 13 13.5 4 4.2 96 100
Lokasi c (Kaduketug) n = 14 Jumlah % 6 42.9 6 42.9 2 14.2 14 100 8 57.2 5 35.7 1 7.1 14 100 4 28.5 8 57.2 2 14.3 14 100 5 35.7 7 50.0 2 14.3 14 100 5 35.7 7 50.0 2 14.3 14 100
Ada trend pada masyarakat Baduy Luar dalam memenuhi kebutuhan keluarganya adalah bekerja pada orang lain yaitu sebagai penggarap lahan / ladang yang berada di luar wilayah Baduy misalnya di Desa Bojong Menteng dan kampung-kampung sekitarnya yang masih berdekatan dengan wilaya h Baduy. Ada juga yang membantu menjualkan hasil ladang atau ramuan berupa gula, hasil kerajinan sesama orang Baduy itu sendiri. Keseluruhan data usaha dan pola produksi kepala keluarga Baduy Luar seperti pada Tebel 7.
68 Tabel 7 Jumlah Kepala Keluarga menurut Usaha dan Pola Produksi n = 182 No
Usaha dan Pola Produksi
1
Berladang
2
Berjualan
3
Berburu
4
Bekerja pada Orang Lain
5
Membuat Kerajinan
Kategori Penting Kurang Penting Tidak Penting Total Penting Kurang Penting Tidak Penting Total Penting Kurang Penting Tidak Penting Total Penting Kurang Penting Tidak Penting Total Penting Kurang Penting Tidak Penting Total
Jumlah
%
140 31 11 182
76,9 17,1 6.0 100,0
114 55 13 182
62,6 30,2 7,1 100,0
92 69 21 182
50,5 37,9 11,5 100,0
131 41 10 182
72,0 22,5 5,5 100,0
132 40 10 182
72,5 22,0 5,5 100,0
Dari data tersebut terlihat usaha yang paling menjadi andalan adalah berladang, membuat kerajinan, dan bekerja pada orang lain dilihat dari jumlah persentasi usaha dan pola produksi kepala keluarga Baduy Luar, meskipun demikian usaha-usaha lain baik berburu maupun berjualan tetap cenderung dianggap penting untuk kebutuhan keluarga. Data tersebut menunjukan bahwa kerajinan dan bekerja pada orang lain dianggap penting karena dapat membantu memenuhi kebutuhan keluarga, sebagai mata pencaharian tambahan. Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa mata pencaharian utama masyarakat Baduy adalah berladang. Mata pencaharian lainnya seperti berburu, adalah merupakan pekerjaan sampingan saja di waktuwaktu luang, sewaktu mereka tidak sibuk kerja di ladang. Deskripsi Motif untuk Memenuhi Kebutuhan Keluarga Motif atau hal yang mendorong kepala keluarga untuk menambah pengetahuan, menyikapi pemenuhan kebutuhan keluarga, dan keterampilan yang dapat membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Secara umum hal yang
69 mendorong mereka untuk memperoleh pengetahuan, menyikapi keadaan dan menambah keterampilan usaha, mereka peroleh dorongan dari kawan sesama, isteri, pemuka adat / jaro, dan berasal dari luar lingkungan saat mereka berinteraksi dengan lingkungan di luar Baduy, dan orang-orang yang datang ke pemukiman mereka. Berikut Distribudi frekuensi motivasi kepala keluarga pada pengetahuan,
sik ap, dan keterampilan dalam memenuhi kebutuhan keluarga
untuk masing- masing jalur seperti tampak pada Tabel 8.
Tabel 8 Jumlah Kepala Keluarga Berdasarkan Jalur Masuk ke Baduy Dalam menurut Motif dalam Memenuhi Kebutuhan Keluarga No
Motif
1
Memperoleh Pengetahuan
2
Menyikapi Kebutuhan Keluarga
3
Memperoleh Keterampilan
Kategori
Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
Lokasi a
Lokasi b
(Bawah Barat)
(Tengah Barat)
n= 72 Jumlah 31 32 9 72 27 36 9 72 12 56 4 72
% 43.1 44.4 12.5 100 37.5 50.0 12.5 100 16.7 77.8 5.5 100
n = 96 Jumlah % 34 35.4 58 60.4 4 4.2 96 100 46 47.9 41 42.7 9 9.4 96 100 31 32.3 57 59.4 8 8.3 96 100
Lokasi c (Kaduketug) n = 14 Jumlah % 4 28.5 3 21.5 7 50.0 14 100 4 28.6 8 57.1 2 14.3 14 100 2 14.3 8 59.1 4 28.6 14 100
Dari tiga lokasi penelitian terlihat motif memperoleh pengetahuan, menyikapi kebutuhan keluarga, dan memperoleh keterampilan cenderung tinggi, meskipun sebagian besar cenderung motif kepala keluarga pada kategori sedang untuk ketiga motif tersebut. Artinya tetap ada dorongan dalam setiap diri kepala keluarga untuk dapat lebih maju dalam hal memenuhi kebutuhan keluarga seperti tampak pada data tabel tersebut di atas. Bila melihat setiap lokasi penelitian untuk motif memperoleh pengetahuan di lokasi b atau Tengah Barat cenderung lebih baik dibandingan dengan dua lokasi lainnya. Motif menyikapi kebutuhan keluarga cenderung relatif sama motivasinya baik di lokasi Bawah Barat, Tengah Barat, dan Kaduketug. Motif memperoleh pengetahuan di lokasi Bawah Barat cenderung lebih tinggi motivasinya dibandingkan dengan lokasi Tengah Barat dan Kaduketug.
70 Motif memperoleh pengetahuan,
menyikapi, dan keterampilan dalam
memenuhi kebutuhan keluarga di seluruh lokasi seperti tampak dala m Tabel 9. Data tersebut menunjukkan bahwa motif
menyikapi kebutuhan keluarga dan
memperoleh keterampilan dianggap lebih penting dibandingkan dengan motif menambah pengetahuan. Tabel 9 Motif Kepala keluarga Pada Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan dalam Memenuhi Kebutuhan Keluarga n=182 No 1
Motif
Memperoleh Pengetahuan
2
Menyikapi Kebutuhan Keluarga
3
Memperoleh Keterampilan
Dimensi Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
Jumlah 69 93 20 182 77 85 20 182 45 121 45 182
% 37,9 51,1 11,0 100,0 42,3 46,7 11,0 100,0 24,7 66,5 8,8 100,0
Artinya ada dorongan ingin berubah pada masyarakat Baduy Luar dalam berusaha untuk meningkatkan kebutuhan keluarga. Bila melihat hasil kerajinan yang diproduksi sudah mulai berorientasi pada pasar seperti yang dulu hanya membuat “jarog” yaitu tas khas Baduy, sekarang sudah mulai membuat tas handphone, madu mulai dikemas dengan botol yang cukup menarik, dan gula aren sudah ulai dikembangkan menjadi gula semut dikemas dengan botol-botol kecil. Deskripsi Interaksi Sosial Karakteristik interaksi kepala keluarga Baduy Luar adalah interaksi yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari terutama menyangkut masalah kegiatan pemenuhan kebutuhan keluarga, yang menjadi fokus perhatian interaksi sosial disini adalah komunikasi interpersonal antar sesama kepala keluarga Baduy Luar, media komunikasi, dan interaksi dengan agen pembaharu. Data dapat dilihat pada Tabel 10.
71
Tabel 10 Interaksi Sosial Kepala Keluarga Berdasarkan Jalur Masuk ke Baduy Dalam
No
Interaksi Sosial
1
Komunikasi Interpersonal
2
Penggunaan Media
3
Agen Pembaharu
Dimensi
Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
Lokasi a (Bawah Barat) n= 72 Jumlah % 44 61.1 25 34.7 3 4.2 72 100 24 33.3 36 50.0 12 16.7 72 100 25 34.7 39 54.2 8 11.1 72 100
Lokasi b (Tengah Barat) n = 96 Jumlah % 70 72.9 22 22.9 4 4.2 96 100 41 42.7 36 37.5 19 19.8 96 100 68 70.8 16 16.7 12 12.5 96 100
Lokasi c (Kaduketug) n = 14 Jumlah % 2 14.3 8 57.1 4 28.6 14 100 6 42.9 7 50.0 1 7.1 14 100 3 21.4 11 78.6 0 0 14 100
Tabel 10 menggambarkan bahwa Interaksi Sosial dalam bentuk komunikasi interpersonal baik di Jalur Bawah Barat, Tengah Barat, sebagian besar menyatakan tinggi atau sering melakukan berdiskusi, di antara sesama mereka untuk membahas berbagai persoalan kebut uhan keluarga. Data tersebut juga menunjukkan di lokasi bawah barat interaksi yang paling tinggi atau sering dilakukan adalah melalui komunikasi interpersonal. Di Lokasi Bawah Barat selain komunikasi interpersonal kerap kali juga berinteraksi dengan agen pembaharu, sedangkan di Kaduketug kecenderungan interaksi sosial yang terjadi baik melalui komunikasi interpersonal, dengan media, dan agen pembaharu
cenderung interaksinya adalah sedang atau jarang. Artinya ada
perbedaan orientasi interaksi sosial untuk setiap jalur atau lokasi penelitian. Data interaksi sosial kepala keluarga Baduy Luar di seluruh lokasi baik melalui Komunikasi interpersonal, dengan media, dan agen pembaharu. Seperti pada Tabel 11. Melihat data tersebut komunikasi interpersonal diantara sesama kepala keluarga Baduy luar paling sering dilakukan untuk membahas berbagai persoalan kebutuhan keluarga. Data di seluruh lokasi menunjukkan bahwa kegiatan interaksi sosial yang paling tinggi atau dianggap penting oleh kepala keluarga adalah kegiatan komunikasi interpersonal diantara sesama mereka (kepala
72 keluarga), dan interaksi dengan agen pembaharu. Hal ini juga dikarenakan kebiasan masyarakat Baduy dalam melakukan beberapa aktivitas keseharian mereka cenderung berkelompok, seperti berladang, melakukan perjalanan keluar kampung untuk berjualan atau aktivitas lain biasanya mereka pergi bersama-sama antara 2 sampai 4 orang. Di sela-sela waktu tersebut biasanya mereka berbicara. (ngobrol). Tabel 11 Interaksi Sosial Kepala Keluarga dalam Memenuhi Kebutuhan Keluarga n = 182 No 1
Interaksi Sosial Komunikasi Interpersonal
2
Penggunaan Media
3
Agen Pembaharu
Kategori Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total Tinggi Sedang Rendah Total
Jumlah 116 55 11 182 71 79 32 182 96 66 20 182
% 63,7 30,2 6,0 100,0 42,3 46,7 11,0 100,0 52,7 36,3 11,0 100,0
Deskripsi Nilai Sosial Budaya Nilai budaya yang diamati adalah: (1) hakekat hidup, (2) hakekat kerja (berkarya), (3) hakekat tentang alam, dan (4) hakekat interaksi dengan sesama. Distribusi frekuensi pernyataan kepala keluarga pada nilai budaya untuk setiap jalur dapat dilihat pada Tabel 12. Nilai-nilai budaya dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui orientasi dan aspirasi kepala keluarga KAT Baduy Luar terhadap persepsi mereka terhadap kebutuhan keluarga, pada kepuasan, dan yang dirasakannya. Nilai-nilai emik adalah produk budaya yang bersifat khas budaya setempat (Matsumoto, 2004). Dalam konteks masyarakat Baduy, teridentifikasi ada beberapa nilai yang mempengaruhi masyarakatnya untuk menghargai perilaku. Seluruh nilai- nilai emik yang tercermin disetiap ajaran dan peribahasa Baduy tidak ada yang tertulis, karena orang Baduy menyakini lebih dulu cerita
73 daripada tulisan. Sistim nilai budaya merupkan pedoman yang dianut dan berfungsi menjadi pedoman semua anggota Komunitas Adat Baduy. Tabel 12 Nilai Sosial Budaya Kepala Keluarga menurut Lokasi Jalur Masuk ke Baduy Dalam
No
Nilai Sosial Budaya
1
Hakekat Hidup
2
Hakekat Bekerja/ berkarya
3
Hakekat Alam
4
Hakekat interaksi dengan sesama
Kategori
Sangat baik Baik Kurang baik Total Sangat Penting Penting Kurang Penting Total Sangat Penting Penting Kurang Penting Total Sangat Penting Penting Kurang Penting Total
Lokasi a (Bawah Barat) n= 72 Jum % lah 11 15.3 57 79.2 4 5.5 72 100 60 83.3 11 15.3 1 1.4 72 100 46 63.9 20 27.8 6 8.3 72 100 46 63.9 22 30.5 4 5.6 72 100
Lokasi b (Tengah Barat) n = 96 Jum % lah 9 9.4 87 90.6 0 0 96 100 95 98.9 1 1.1 0 0 96 100 59 61.5 37 38.5 0 0 96 100 76 79.1 16 16.7 4 4.2 96 100
Lokasi c (Kaduketug) n = 14 Jum lah 1 9 4 14 9 3 2 14 6 7 1 14 7 6 1 14
% 7.2 64.3 28.5 100 64.3 21.4 14.3 100 42.9 50.0 7.1 50.0 42.9 7.1 100
Dari data tersebut terlihat keseluruhan aspek nilai sosial budaya baik hakekat hidup, hakekat kerja (berkarya), hakekat tentang alam, dan hakekat interaksi dengan sesama disetiap lokasi cenderung dianggap penting dan baik, kalau melihat persentasi hakekat bekerja dan berkarya yang dianggap paling penting pada setiap lokasi penelitian baik di lokasi Bawah Barat, Tengah Barat, dan Kaduketug, artinya bahwa bekerja (berkarya) di ladang, mencari hasil hutan yang dapat dimanfaatkan seperti madu, nira dan meramunya untuk dibuat gula memiliki makna penting bagi orang Baduy dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Hakekat hidup di dunia, sebagian besar kepala keluarga (lebih dari 60%) cenderung menyatakan hidup di dunia adalah sedang atau baik untuk seluruh lokasi penelitian. Data nilai sosial budaya di seluruh lokasi penelitian, dapat dilihat pada Tabel 13 sebagai berikut.
74 Tabel 13 Nilai Sosial Budaya Kepala Keluarga Keseluruhan Responden n = 182 No 1
Nilai Sosial Budaya Hakekat Hidup
2
Hakekat Bekerja (berkarya)
3
Hakekat Alam
4
Hakekat interaksi dengan sesama
Dimensi Sangat baik Baik Kurang baik Total Sangat Penting Penting Kurang Penting Total Sangat Penting Penting Kurang Penting Total Sangat Penting Penting Kurang Penting Total
Jumlah 21 153 8 182 164 15 3 182 111 64 7 182 129 44 9 182
% 11,5 84,1 4,4 100 90,1 8,2 1,2 100,0 61,0 35,2 3,8 100,0 70,9 24,2 4,9 100
Tentang hakekat berinteraksi dengan sesama memaknai sangat penting berinteraksi dengan sesama anggota kepala keluarga, Jaro (kepala kampung), manteri kesehatan, dan wisatawan yang berkunjung ke Baduy. Hakekat tentang alam dan lingkungan di seluruh lokasi memaknai sangat penting, bahwa alam dan lingkungan sekitar seperti hutan, sungai, huma, ladang, dan tumbuh-tumbuhan yang ada memiliki makna penting bagi orang Baduy karena sebagian besar hidup dalam hal ini untuk memenuhi kebutuhan keluarga sebagian besar diperoleh dari alam dan lingkungan. Dari Tabel 13 aspek nilai sosial budaya di seluruh lokasi terlihat pada umumnya seluruh aspek nilai budaya baik hakekat hidup, hakekat kerja (berkarya), hakekat tentang alam, dan hakekat interaksi dengan sesama. Dipersepsi sangat penting namun bila dilihat persentasinya hakekat kerja dan hakekat interaksi dengan sesama dipersepsi sangat penting bila dibandingkan aspek nilai sosial budaya yang lain, artinya kepala keluarga Baduy Luar menganggap bahwa hakekat bekerja dan hakekat interaksi dengan sesama itu sangat penting. Menurut Mulyanto, dkk (2006:15), konsep kebersamaan, hubungan antar sesama manusia, bagi orang Baduy. Rumah, dan pakaian sehari- hari menunjukan
75 kesamaan. Tidak ada perbedaan antara “penguasa” dan “rakyat biasa” dan tidak ada perbedaan pula antara yang “kaya” dan yang “miskin.”
Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang Dirasakan Persepsi kepala keluarga terhadap kebutuhan keluarga yang dirasakan (Y1) terdiri dari sub peubah kebutuhan dasar / fisiologi (Y1.1), kebutuhan rasa aman (Y1.2), kebutuhan dicintai dan dimiliki (Y1.3), dan kebutuhan dihargai kelompok (Y1.4). Sub peubah kebutuhan dasar terdiri dari dimensi pakaian, rumah, makanan, dari kebutuhan dasar ini mana yang dirasakan sangat penting dalam persepsi kepala keluarga Baduy Luar. Tabel 14 memberikan gambaran tentang persepsi kepala keluarga terhadap kebutuhan keluarga yang dirasakan untuk setiap jalurnya. Tabel 14 Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang dirasakan menurut Lokasi Jalur Masuk ke Baduy Dalam
1
Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Fisiologi
2
Rasa aman
3
Dicintai dan dimiliki
4
Dihargai
No
Kategori
Baik Kurang Baik Buruk Total Baik Kurang Baik Buruk Total Baik Kurang Baik Buruk Total Baik Kurang Baik Buruk Total
Lokasi a (Bawah Barat) n= 72 Jumlah %
Lokasi b (Tengah Barat) n = 96 Jumlah %
Lokasi c (Kaduketug) n = 14 Jumlah %
42 28 2 72
58.3 38.9 2.8 100
67 23 6 96
69.8 23.9 6.3 100
1 10 3 14
7.2 71.4 21.4 100
53 18 1 72
73.6 25.0 1.4 100
88 6 2 96
91.7 6.2 2.1 100
2 7 5 14
14.3 50.0 35.7 100
51 21 0 72
70.8 29.2 0 100
68 26 2 96
70.3 27.1 2.7 100
1 11 2 14
7.1 78.6 14.3 100
57 13 2 72
79.2 18.1 2.7 100
90 6 0 96
93.7 16.3 0 100
3 10 1 14
21.4 71.4 7.2 100
76 Dari tabel tersebut terlihat distribusi frekuensi persepsi Kepala keluarga KAT Baduy Luar terhadap kebutuhan fisiologi / dasar yang meliputi kebutuhan pada rumah, pakaian, dan makanan, di lokasi Bawah Barat (Lokasi a), dan Tengah Barat (Lokasi b) cenderung persepinya baik pada kebutuhan dasar atau dirasakan memadai, sedangkan di Kaduketug persepsinya adalah kurang baik. Persepsi kepala keluarga terhadap kebutuhan rasa aman yang meliputi rasa aman di rumah, di kampung, keluar kampung, dan saat berusaha, di lokasi Bawah Barat dan Tengah Barat ini menyatakan persepinya baik pada kebutuhan rasa aman atau dirasakan memadai, sedangkan di Kaduketug persepsinya adalah kurang baik. Persepsi terhadap kebutuhan dicintai dan dimiliki meliputi; keluarga, kepala kampung, sesama kepala keluarga, rasa dicintai dan dimiliki keluarga, kepala kampung, dan sesama anggota kelompok. Persepsi kepala keluarga di lokasi Bawah Barat dan Tengah Barat adalah baik atau dirasakan memadai. sedangkan di Kaduketug persepsinya adalah kurang baik. Kebutuhan dihargai meliputi perhatian keluarga, kepala kampung, sesama kepala keluarga. Persepsi kepala keluarga di lokasi Bawah Barat dan Tengah Barat adalah baik atau dirasakan memadai, sedangkan di Kaduketug persepsinya adalah kurang baik. Dari ketiga lokasi penelitian yang paling baik persepsi yang dirasakannya memadai adalah pada kebutuhan dicintai dan dimiliki, dan kebutuhan dihargai khususnya di lokasi a dan b. Data di seluruh lokasi penelitian, persepsi kepala keluarga terhadap kebutuhan keluarga baik pada kebutuhan fisiologi, kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai dan dimiliki, dan kebutuhan dihargai yang dirasakan kepala keluarga sebagian besar persepsinya adalah baik atau memadai. Data lengkapnya seperti dalam Tabel 15. Kebutuhan akan pangan, sandang, papan, dan perabotan rumah tangga, bagi kepala keluarga Baduy luar sudah dirasakan memadai, hal ini karena umumnya kebutuhan mereka relatif sederhana. Kenyamanan yang dirasakan saat ini memadai karena ada rasa kebersamaan, dan rasa tanggung jawab baik pada keluarga maupun pada kampung yang mereka tinggali, dan saling menjaga saat
77 mereka berusaha atau berjualan keluar kampung untuk memasarkan produk yang mereka hasilkan. Tabel 15 Jumlah Kepala Keluarga Seluruh Lokasi Menurut Persepsi yang dirasakan Tentang Kebutuhan Keluarga n=182 No 1
Persepsi Kepala keluarga terhadap kebutuhan Fisiologi
2
Rasa aman
3
Dicintai dan dimiliki
4
Dihargai
Kategori Baik Kurang Baik Buruk Total Baik Kurang Baik Buruk Total Baik Kurang Baik Buruk Total Baik Kurang Baik Buruk Total
Jumlah
%
110 61 11 182 143 31 8 182 120 58 4 182 150 29 3 182
60,4 33,5 6,0 100 78,6 17,0 4,4 100,0 65,9 31,9 2,2 100 70,9 24,2 4,9 100
Kebutuhan dicintai dan dimiliki dirasakan memadai oleh kepala keluarga, hal ini karena rasa saling menjaga dan memperhatikan diantara sesama anggota keluarga, anggota kelompok, dan antara kepala keluarga dengan kepala kampung adalah suatu implementasi nilai budaya yang berkembang di dalam Komunitas Adat Baduy Luar. Saling menghargai diantara kepala keluarga juga telihat dalam kehidupan sehari- hari seperti saat berladang, berjualan, membuat gula aren terlihat ada saling membantu diantara mereka. kebutuhan dihargai melip uti perhatian keluarga, kepala kampung, sesama kepala keluarga.
Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan Kebutuhan Keluarga Peubah persepsi kepala keluarga terhadap kepuasannya pada kebutuhan keluarga (Y2) terdiri dari sub peubah kebutuhan dasar / fisiologi (Y2.1), kebutuhan rasa aman (Y2.2), kebutuhan dicintai dan dimiliki (Y2.3), dan kebutuhan dihargai kelompok (Y2.4). Sub peubah kebutuhan dasar terdiri dari dimensi pakaian, rumah, makanan; sub peubah rasa aman terdiri dari rasa aman
78 di rumah, di kampung, dan saat berusaha; sub peubah dicintai dan dimiliki terdiri dari dicintai keluarga, kawan sesama kepala keluarga, dan pemuka adat; dan sub peubah di hargai terdiri dari dihargai keluarga, kawan sesama kepala keluarga, dan pemuka adat. Dari masing- masing sub peubah tersebut, Tabel 16 memberi gambaran tentang persepsi Kepala Keluarga pada kepuasan kebutuhan keluarga pada setiap lokasinya. Dari Tabel 16 terlihat distribusi frekuensi persepsi Kepala keluarga KAT Baduy Luar pada kepuasan kebutuhan fisiologi yang meliputi kebutuhan pada rumah, pakaian, dan makanan di seluruh lokasi baik Bawah Barat, Tengah Barat, dan Kaduketug persepsinya baik atau kepuasannya memadai. Untuk kebutuhan rasa aman di lokasi Bawah Barat, Tengah Barat persepsi kepala keluarga adalah baik atau kepuasannya memadai pada kebutuhan rasa aman, sedangkan di Kaduketug persepsi kepala keluarga adalah buruk atau kepuasannya tidak memadai pada kebutuhan rasa aman.
Tabel 16 Persepsi pada Kepuasan Kebutuhan Keluarga Berdasarkan Jalur Masuk ke Baduy Dalam
1
Persepsi Kepala keluarga terhadap kebutuhan Fisiologi
2
Rasa aman
3
Dicintai dan dimiliki
4
Dihargai
No
Kategori
Baik Kurang Baik Buruk Total Baik Kurang Baik Buruk Total Baik Kurang Baik Buruk Total Baik Kurang Baik Buruk Total
Lokasi a (Bawah Barat) n= 72 Jumlah %
Lokasi b (Tengah Barat) n = 96 Jumlah %
Lokasi c (Kaduketug) n = 14 Jumlah %
72 0 0 72
100 0 0 100
96 0 0 96
100 0 0 100
11 2 1 14
78.6 14.3 7.1 100
45 13 14 72
62.5 18.1 19.4 100
85 10 1 96
88.5 10.4 1.1 100
1 5 8 14
7.1 35.8 57.1 100
45 26 1 72
62.5 36.1 1.4 100
85 8 3 96
88.5 8.3 3.2 100
1 13 0 14
7.1 92.9 0 100
43 16 13 72
59.7 22.2 18.1 100
90 4 2 96
93.7 4.2 2.1 100
1 7 6 14
7.1 50.0 42.9 100
79 Persepsi terhadap kebutuhan dicintai dan dimiliki meliputi; keluarga, kepala kampung, sesama kepala keluarga, rasa dicintai dan dimiliki keluarga, kepala kampung, dan sesama anggota kelompok. Persepsi kepala keluarga di lokasi Bawah Barat dan Tengah Barat adalah baik atau dirasakan memadai. sedangkan di Kaduketug persepsinya terhadap kebutuhan dicintai dan dimiliki adalah kurang baik. Kebutuhan dihargai meliputi perhatian keluarga, kepala kampung, dan sesama kepala keluarga. Persepsi kepala keluarga di lokasi Bawah Barat dan Tengah Barat adalah baik atau kepuasannya memadai, sedangkan di Kaduketug persepsinya terhadap kebutuhan dihargai adalah kurang baik atau kepuasan kepala keluarga kurang memadai. Dari hasil analisis tersebut di ketiga lokasi penelitian umumnya persepsi pada kepuasan kebutuhan fisiologi adalah baik, bila melihat angka persentase hampir seluruh kepala keluarga merasa puas pada kebutuhan keluarganya. Artinya apakah karena aspek nilai sosial budaya yang mereka anut bahwa hidup itu apa adanya, tidak harus berlebihan. Kebutuhan rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai di kedua lokasi baik di bawah barat dan tengah barat cenderung kepala keluarga merasa puas pada kebutuhan tersebut. Sedangkan di Kaduketug untuk ketiga kebutuhan tersebut cenderung kepala keluarga persepsinya adalah kurang baik. Hal ini dikarenakan mungkin letak kampung kaduketug yang berbatasan langsung dengan perkampungan umum, dan sebagai pintu gerbang manuju Kampung-kampung Baduy lainnya. Kaduketug sebagai pusat pemerintahan Desa Kanekes / Baduy sering menjadi transit dan lalu lalang pengunjung atau wisatawan. Hal tersebut bukan tidak mungkin berpengaruh terhadap cara pandang atau persepsi kepala keluarga pada kebutuhan keluarganya. Persepsi seluruh kepala keluarga terhadap kepuasan kebutuhan keluarga, dapat dilihat pada Tabel 17. Persepsi kepala keluarga terhadap kepuasan kebutuhan fisiologi yang meliputi kebutuhan pada rumah, pakaian, dan makanan; kepuasan kebutuhan rasa aman yang meliputi rasa aman di rumah, di kampung, keluar kampung, dan saat berusaha; kepuasan kebutuhan dicintai dan dimiliki; dan kepuasan kebutuhan dihargai meliputi perhatian keluarga, kepala kampung,
80 sesama kepala keluarga persepinya adalah baik atau kepuasannya pada kebutuhan-kebutuhan tersebut sudah memadai, Jadi pada umumnya seluruh kepala keluarga menyatakan mereka puas pada kebutuhan keluarga yang diperoleh sekarang. Tabel 17 Persepsi Kepala Keluarga Terhadap Kepuasan Kebutuhan Keluarga di Semua Lokasi n=182 No
Persepsi Kepala keluarga terhadap kepuasan kebutuhan
1
Fisiologi
2
Rasa aman
3
Dicintai dan dimiliki
4
Dihargai
Kategori Baik Kurang Baik Buruk Total Baik Kurang Baik Buruk Total Baik Kurang Baik Buruk Total Baik Kurang Baik Buruk Total
Jumlah
%
179 2 1 182 131 28 23 182 131 47 4 182 134 27 21 182
98.4 1.1 0.5 100.0 72.0 15.4 12.6 100.0 72.0 25.8 2.2 100.0 73.6 14.8 11.5 100.0
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang Dirasakan Hubungan antara sub peubah karakteristik sosial (X1): pendapatan (X1.1), usia (X1.2), dan jumlah anggota keluarga (X1.3); Usaha kepala keluarga (X2): berladang (X2.1), berjualan (X2.2), berburu (X2.3), bekerja pada orang lain (X2.4), dan kerajinan (X.5); Motif kepala keluarga (X3): pengetahuan (X3.1), menyikapi kebutuhan keluarga (X3.2), dan ketrampilan (X3.3); Interaksi sosial (X4): komunikasi interpersonal (X4.1), media komunikasi (X4.2), dan agen pembaharu (X4.3); sub peubah nilai sosial budaya (X5): hakekat hidup (X5.1), hakekat bekerja (X5.2), hakekat alam (X5.3), dan hakekat hubungan dengan sesama (X5.4), dengan persepsi kepala keluarga terhadap kebutuhan keluarga yang dirasakan (Y1) meliputi: kebutuhan dasar (fisiologi) (Y1.1), kebutuhan rasa
81 aman (Y1.2), kebutuhan dicintai dan dimiliki (Y1.3), dan kebutuhan dihargai (Y1.4). Analisis menggunakan korelasi Pruduct Moment (Person) dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang Dirasakan di semua lokasi n = 182
No
Peubah X
Persepsi terhadap Kebutuhan yang dirasakan (Y1) Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan dasar rasa aman dicintai dihargai (Y1.1) (Y1.2) (Y1.3) (Y1.4)
Karakteristik Sosial (X1) Pendapatan (X1.1) -0.421 -0.481 0.339** Usia (X1.2) -0.085 -0.154 -0.246 Jumlah anggota Keluarga -0.109 -0.101 0.048 (X1.3) Usaha-usaha Orang Baduy (X2) 4 Berladang (X2.1) 0.393** 0.351** 0.344** 5 Berjualan (X2.2) 0.233** 0.184* 0.078 6 Berburu (X2.3) 0.164* 0.172* 0.195** 7 Bekerja pd Orang (X2.4) 0.191** 0.383** 0.379** 8 Kera jinan (X2.5) 0.293** 0.262** 0.350** Motif (X3) 9 Pengetahuan (X3.1) 0.243** 0.268** 0.159* 10 Menyikapi kebutuhan 0.055 0.090 0.090 keluarga (X3.2) 11 Keterampilan (X3.3) 0.059 0.103 0.141 Interaksi Sosial (X4) 12 Kom interpersonal (X4.1) 0.328** 0.415** 0.435** 13 Media (X4.2) 0.060 0.044 0.031 14 Agen Pembaharu (X4.3) 0.075 0.223** 0.363** Nilai Sosial Budaya (X5) 15 Hakekat Hidup (X5.1) 0.160* 0.168* 0.152* 16 Hakekat Kerja (X5.2) 0.257** 0.497** 0.353** 17 Hakekat Alam (X5.3) 0.405** 0.291** 0.197* 18 Hakekat Hub dg sesama 0.409** 0.402** 0.231** (X5.4) Keterangan: ** taraf nyata 0,01; * taraf nyata 0,05. Pedoman interpretasi koefisien korelasi sbb: 0,0 – 0,20 hubungan sangat lemah ; 0,21 – 0,40 hubungan lemah; 0,1 – 0,60 hubungan cukup kuat; 0,61 – 0,80 hubungan kuat; 1. 2 3
-0.457 -0.113 0.096
0.350** 0.090 0.142 0.445** 0.406** 0.322** 0.076 0.061 0.507** 0.202** 0.309** 0.177* 0.378** 0.312** 0.224**
Dari data tersebut terlihat ada beberapa korelasi yang nyata dan positif, dan ada juga yang korelasinya cenderung sangat lemah. Berikut deskripsi kecenderungan hubungan antar variabel, dengan hanya memperhatikan angka
82 koefisien korelasi yang cenderung besar nilainya / lebih kuat dibandingkan nilai koefisien lainnya. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa antara peubah karaktersitik sosial dengan persepsi terhadap kebutuhan keluarga yang dirasakan terdapat hubungan yang nyata (negatif) antara pendapatan rumah tangga (r = -0.421), usia (r = 0.085), dan jumlah anggota keluarga (r= -0.109) dengan persepsi pada kebutuhan dasar yang dirasakan (Y1.1), ini artinya semakin tinggi pendapatan, usia dan jumlah anggota keluarga semakin buruk persepsinya pada kebutuhan dasar yang dirasakan. Hubungan negatif juga terjadi untuk semua hubungan antara peubah sosial ekonomi dengan persepsi pada kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan kebutuhan dihargai. Kecuali antara hubungan pendapatan rumah tangga (r= 0.339), jumlah anggota keluarga (r= 0.048) dengan persepsi pada kebutuhan dicintai yang dirasakan, hubungannya nyata positif. Artinya semakin tinggi/baik pendapatan rumah tangganya, jumlah anggota keluarganya maka semakin baik persepsinya pada kebutuhan dicintai atau dirasakan memadai. Hubungan yang nyata meskipun lemah yaitu antara jumlah anggota keluarga (r= 0.096) dengan persepsi pada kebutuhan dihargai yang dirasakan. Artinya semakin tinggi jumlah anggota keluraga, semakin baik persepsinya pada kebutuhan dihargai. Peubah usaha-usaha (X2) secara keseluruhan memiliki hubungan yang nyata dan positif dengan persepsi kebutuhan keluarga yang dirasakan. Hubungan antara usaha melalui berladang (r= 0.393) dengan perasaan terpenuhinya kebutuhan dasar (fisiologi), berjualan (r= 0,233) dengan perasaan terpenuhinya kebutuhan dasar (fisiologi), berburu (r=195) dengan perasaan terpenuhinya kebutuhan rasa dicintai dan dimiliki keluarga, bekerja pada orang lain (r= 0.445) dengan perasaan terpenuhinya kebutuhan dihargai, dan Kerajinan (r= 0.350) dengan kebutuhan dicintai, dan (r = 0.406) kebutuhan dihargai. Jadi bila upaya berladang, berjualan, berburu, bekerja pada orang lain, dan membuat kerajinan meningkat, maka persepsinya pada tepenuhinya kebutuhan fisisiologi, rasa aman, dicintai dan dihargai juga akan dirasakan baik atau memadai. Motif atau dorongan kepala keluarga untuk melakukan sesuatu secara keselur uhan memiliki hubungan yang nyata dan positif. Hubungan antara motif
83 menambah
pengetahuan
memperoleh
pengahasilan
kebutuhan
keluarga
(r= 0.322) dengan perasaan terpenuhinya kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok. Motif menyikapi dalam menambah penghasilan kebutuhan keluarga (r=0.090) dengan perasaan terpenuhinya kebutuhan rasa aman keluarga. Motif menyikapi
berusaha dalam menambah pengahasilan kebutuhan keluarga
(r=0.090) dengan perasaan terpenuhinya kebutuhan dicintai dan dimiliki keluarga. Motif menambah keterampilan menambah penghasilan kebutuhan keluarga (r= 0.141), dengan perasaan terpenuhinya kebutuhan dicintai dan dimiliki keluarga. Jadi bila motif untuk menambah pengetahuan, menyikapi kebutuhan keluarga,
dan
menambah
keterampilan
dalam
mendapatkan
tambahan
penghasilan kebutuhan keluarga meningkat, maka persepsi yang dirasakan kepala keluarga pada kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok, kebutuhan dicintai dan dimiliki keluarga persepsinya akan baik. Artinya, pada masyarakat Baduy juga ada dorongan untuk menjadi lebih baik terlihat dari usahanya untuk selalu berusaha menambah pengetahuan, memperbaiki sikap cara berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, dan selalu berusaha menambah keterampilan dalam menambah penghasilan untuk kebutuhan keluarga. Interaksi sosial melalui; kegiatan komunikasi interpersonal terdapat hubungan yang nyata positif dengan; kebutuhan dasar (r= 0.328), kebutuhan rasa aman (r= 0.415), kebutuhan dicintai (r= 0.435), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0,507). termasuk hubungan yang cukup kuat. Dengan demikian semakin baik komunikasi interpersonal yang dilakukan, maka persepsi pada kebutuhan keluarga baik fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai yang dirasakan akan baik atau memadai. Interaksi sosial melalui; media massa terdapat hubungan yang nyata postif dengan; kebutuhan dasar (r= 0.060), kebutuhan rasa aman (r= 0.044), kebutuhan dicintai (r= 0.031), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok (r= 0,202) termasuk hubungan yang lemah. Jadi bila upaya komunitas adat untuk melakukan penggunaan / interaksi dengan media meningkat, maka persepsi kepala keluarga pada kebutuhan dasar, rasa aman, dicintai dan dimiliki keluarga, dan kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok yang dirasakan baik atau akan meningkat.
84 Hubungan yang nyata juga terjadi, hanya hubungannya lemah yaitu antara interaksi agen pembaharu dengan kebutuhan dasar (r= 0.075), kebutuhan rasa aman (r= 0.223), kebutuhan dicintai (r= 0.363), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0,309).Dengan demikian jika interaksi dengan agen pembaharu meningkat, maka persepsi kepala keluarga pada kebutuhan dasar, rasa aman, dicintai dan dimiliki keluarga, dan kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok adalah baik atau dirasakan memadai. Korelasi antara nilai sosial budaya dengan persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan. Data menunjukkan terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya hakekat hidup dengan seluruh persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan. Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang hidup meningkat, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan akan meningkat baik. Meskipun hubungannya sangat lemah karena nilai koefisiennya di bawah r = 0.200. Terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya hakekat bekerja dengan seluruh persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan (kebutuhan dasar r= 0.257), (kebutuhan rasa aman r= 0.497), (kebutuhan dicintai dan dimiliki r= 0.353), dan (kebutuhan dihargai r= 378). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang bekerja meningkat, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan baik atau akan meningkat. Meskipun hubungannya lemah. Data menunjukkan hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya mengenai hakekat alam dengan seluruh persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan (kebutuhan dasar r= 0.405), (kebutuhan rasa aman r= 0.291), (kebutuhan dicintai dan dimiliki r= 0.197), dan (kebutuhan dihargai r= 312). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang alam meningkat, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan baik atau akan meningkat. Termasuk hubungan yang cukup kuat. Terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya mengenai hakekat hubungan dengan sesama dengan seluruh persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan (kebutuhan dasar r= 0.409), (kebutuhan rasa aman r= 0.402), (kebutuhan dicintai dan dimiliki r= 0.231), dan (kebutuhan dihargai r=
85 0.224). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat hubungan dengan sesama meningkat, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan baik atau akan meningkat. Termasuk hubungan yang cukup kuat.
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan pada Kebutuhan Keluarga Hubungan antara sub peubah karakteristik sosial (X1): pendapatan (X1.1), usia (X1.2), dan jumlah anggota keluarga (X1.3); Usaha kepala keluarga (X2): berladang (X2.1), berjualan (X2.2), berburu (X2.3), bekerja pada orang lain (X2.4), dan kerajinan (X.5); Motif kepala keluarga (X3): pengetahuan (X3.1), menyikapi kebutuhan keluarga (X3.2), dan ketrampilan (X3.3); Interaksi sosial (X4): komunikasi interpersonal (X4.1), media komunikasi (X4.2), dan agen pembaharu (X4.3); sub peubah nilai sosial budaya (X5): hakekat hidup (X5.1), hakekat bekerja (X5.2), hakekat alam (X5.3), dan hakekat hubungan dengan sesama (X5.4), dengan persepsi kepala keluarga terhadap kepuasan pada kebutuhan keluarga (Y2) meliputi: kebutuhan fisiologi (Y2.1); kebutuhan rasa aman (Y2.2); kebutuhan dicintai dan dimiliki (Y2.3); dan kebutuhan dihargai (Y2.4). Hasil analisis menggunakan korelasi Pruduct Moment (Person) dapat dilihat pada Tabel 19. Terlihat ada beberapa korelasi yang nyata dan positif, dan ada juga yang korelasinya cenderung lemah. Berikut deskripsi kecenderungan hubungan antar peubah, dengan memperhatikan angka koefisien korelasi yang cenderung besar nilainya / lebih kuat dibandingkan nilai koefisien lainnya. Hasil uji korelasi menunjukkan hubungan yang nyata (positif) antara pendapatan rumah tangga (r = 0.016) dengan persepsi kepuasannya pada kebutuhan fisiologi. Jadi semakin tinggi pendapatan rumah tangga maka persepsi kepuasannya pada kebutuhan dasar baik. meskipun hubungannya sangat lemah. Sedangkan hubungan antara pendapatan rumah tangga dengan kebutuhan rasa aman, dicintai, dan kebutuhan dihargai terdapat hubungan nyata negatif. Artinya bila pendapatan rumah tangga meningkat maka persepsinya pada kepuasan kebutuhan rasa aman, dicintai, dan kebutuhan dihargai buruk atau menurun.
86 Tabel 19 Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan Kebutuhan Keluarga di semua lokasi n = 182
No
Peubah X
Persepsi terhadap Kepuasan Kebutuhan (Y2) Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan dasar Rasa Aman dicintai dihargai (Y2.1) (Y2.2) (Y2.3) (Y2.4)
Karakteristik Sosial (X1)
1. 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pendapatan (X1.1) Usia (X1.2) Jumlah anggota Keluarga (X 1.3) Usaha-usaha orang baduy (X2) Berladang (X2.1) Berjualan (X2.2) Berburu (X2.3) Bekerja pd Orang (X2.4) Kerajinan (X2.5) Motif (X3) Pengetahuan (X3.1) Menyikapi kebutuhan keluarga (X3.2) Keterampilan (X3.3) Interaksi Sosial (X4) Kom interpersonal (X4.1) Media (X4.2) Agen Pembaharu (X4.3)
0.016 0.050 0.219**
-0.600** 0.001 -0.093
-0.529** 0.037 -0.035
-0.600** 0.036 -0.011
0.098 0.157* 0.159* -0.018 0.036
0.471** 0.226** 0.352** 0.572** 0.484**
0.380** 0.061 0.198** 0.445** 0.414**
0.435** 0.146* 0.199** 0.542** 0.451**
0.145 0.012
0.375** 0.121
0.233** 0.037
0.356** 0.032
0.109
0.132
0.116
0.144 0.116 0.121 0.075
0.423** 0.053 0.298**
0.392** -0.003 0.351**
0.464** 0.165* 0.353**
Hakekat Hidup (X5.1) 0.116 0.423** 0.109 Hakekat Kerja (X5.2) 0.377** 0.520** 0.404** Hakekat Alam (X5.3) 0.069 0.293** 0.238** Hakekat Hub dg sesama 0.195* 0.341** 0.292** (X5.4) Keterangan: ** taraf nyata 0.01; * taraf nyata 0.05. Pedoman interpretasi koefisien korelasi sbb: 0.0 – 0.20 hubungan sangat lemah ; 0.21 – 0.40 hubungan lemah; 0.1 – 0.60 hubungan cukup kuat; 0.61 – 0.80 hubungan kuat;
0.183* 0.505** 0.290** 0.361**
Nilai Sosial Budaya (X5)
15 16 17 18
Usia (X1.2) secara keseluruhan memiliki hubungan yang nyata dengan persepsi kepuasan pada kebutuhan fisiologi (r= 0.050), kebutuhan rasa aman (r= 0.001), kebutuhan dicintai (r= 0.037), kebutuhan dihargai (r= 0.036). Jadi semakin tinggi usia maka persepsi kepuasannya baik pada kebutuhan dasar, rasa aman, dicintai, dan dihargai meskipun hubungannya sangat lemah. Juga terdapat hubungan yang nyata meskipun lemah yaitu antara jumlah anggota keluarga (r= 0.219) dengan persepsi kepuasannya pada kebutuhan dasar.
87 Artinya semakin tinggi jumlah anggota keluraga, semakin baik persepsi kepuasannya pada kebutuhan dasar, hubungannya termasuk lemah. Sedangkan hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan kebutuhan rasa aman, dicintai dan kebutuhan dihargai, hubungannya negatif. Peubah usaha-usaha (X2) secara keseluruhan memiliki hubungan yang nyata dan positif dengan persepsi kepuasan pada kebutuhan keluarga. Hubungan antara usaha berladang (r= 0.471)
dengan tingkat kepuasan terpenuhinya
kebutuhan rasa aman keluarga, dan hubungan tersebut cukup kuat. Jadi upaya berladang ada hubungan dengan persepsi kepuasannya pada kebutuhan rasa aman keluarga. Usaha berjualan (r=0,226) dengan persepsi kepuasannya pada kebutuhan rasa aman, berburu (r= 0.352) dengan persepsi kepuasannya pada kebutuhan rasa aman keluarga, bekerja pada orang lain (r=0.572) dengan persepsi kepuasannya pada kebutuhan rasa aman, dan usaha kerajinan (r= 0.484) dengan persepsi kepuasannya pada kebutuhan rasa aman, Jadi bila upaya berladang, berjualan, berburu, bekerja pada orang lain, dan membuat kerajinan meningkat, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan rasa aman adalah baik atau meningkat. Secara keseluruhan hubungan antara usaha-usaha dengan persepsi pada kepuasan kebutuhan keluarga hubungannya nyata dan positif. Jadi bila upaya berladang, berjualan, berburu, bekerja pada orang lain, dan membuat kerajinan meningkat, maka persepsi kepuasannya pada kebutuhan fisisiologi, rasa aman, dicintai dan dihargai juga baik atau meningkat. Motif atau dorongan kepala keluarga untuk melakukan sesuatu secara keseluruhan memiliki hubungan yang nyata dan positif. Seperti hubungan antara motif dalam menambah pengetahuan memperoleh penghasilan kebutuhan keluarga (r= 0.375), dengan kepuasan terpenuhinya kebutuhan rasa aman. Motif menyikapi kebutuhan keluarga (r=0.121), dengan persepsi kepuasannya pada kebutuhan rasa aman keluarga. Motif menambah keterampilan untuk menambah penghasilan kebutuhan keluarga (r= 0.132), dengan persepsi kepuasanya pada kebutuhan dicintai dan dimiliki keluarga.
88 Jadi bila dorongan untuk menambah pengetahuan, menyikapi dalam mendapatkan tambahan pengahasilan kebutuhan keluarga meningkat, maka persepsi kepuasannya pada kebutuhan rasa aman keluarga akan meningkat. Dan bila
dorongan
menambah
keterampilan
dalam
mendapatkan
tambahan
penghasilan kebutuhan keluarga meningkat, maka persepsi kepuasannya pada kebutuhan dicintai dan dimiliki keluarga baik atau akan meningkat. Artinya pada masyarakat baduy juga ada dorongan untuk menjadi lebih baik terlihat dari usahanya untuk selalu berusaha menambah pengetahuan, memperbaiki sikap berusaha dalam memenuhi kebutuhan keluarga, dan selalu berusaha menambah keterampilan dalam menambah penghasilan untuk kebutuhan keluarga, khususnya kebutuhan rasa aman. Interaksi sosial melalui; kegiatan komunikasi interpersonal terdapat hubungan yang nyata positif dengan persepsi kepuasanya pada kebutuhan dasar (r= 0.116), kebutuhan rasa aman (r= 0.423), kebutuhan dicintai (r= 0.392), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0,464).
termasuk hubungan yang
cukup kuat. Dengan demikian semakin baik komunikasi interpersona l yang dilakukan, maka persepsinya semakin baik pada kepuasan kebutuhan keluarga baik fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai. Interaksi sosial melalui; media massa terdapat hubungan yang nyata postif dengan persepsi kepuasanya pada; kebutuhan dasar (r= 0.121), kebutuhan rasa aman (r= 0.053), kebutuhan dicintai (r= -0.031), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0,165). termasuk hubungan yang lemah. Jadi bila upaya komunitas adat Baduy untuk melakukan interaksi dengan media meningkat, maka persepsi kepuasannya pada kebutuhan dasar, rasa aman, dicintai dan dimiliki keluarga, dan kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok kepuasannya akan meningkat. Hubungannya termasuk kategori sangat lemah. Hal ini dapat dipahami karena akses media ke Baduy sangat terbatas, dan umumnya mereka tidak dapat membaca huruf latin. Terdapat hubungan yang nyata antara interaksi agen pembaharu dengan kebutuhan dasar (r= 0.075), kebutuhan rasa aman (r= 0.223), kebutuhan dicintai (r= 0.363), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0,309). termasuk
89 hubungan yang lemah. Dengan demikian jika interaksi dengan agen pembaharu meningkat, maka persepsi pada kebutuhan dasar, rasa aman, dicintai dan dimiliki keluarga, dan kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok yang dirasakan akan baik. Data menunjukkan terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya hakekat hidup dengan seluruh persepsi pada kepuasan kebutuhan keluarga (kebutuhan dasar r= 0.116), (kebutuhan rasa aman r= 0.423), (kebutuhan dicintai dan dimiliki r= 0.109), dan (kebutuhan dihargai r= 0.183). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang hidup meningkat, maka persepsi pada kepuasan kebutuhan keluarga baik atau meningkat. Terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya hakekat bekerja dengan seluruh persepsi kepuasan pada kebutuhan keluarga (kebutuhan dasar r= 0.377), (kebutuhan rasa aman r= 0.520), (kebutuhan dicintai dan dimiliki r= 0.404), dan (kebutuhan dihargai r= 0.505). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang bekerja meningkat, maka persepsi pada kepuasan kebutuhan keluarga baik atau akan meningkat. Hasil analisis juga menunjukkan hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya mengenai hakekat alam dengan seluruh persepsi kepuasannya pada kebutuhan keluarga (kebutuhan dasar r= 0.069), (kebutuhan rasa aman
r=
0.293), (kebutuhan dicintai dan dimiliki r= 0.238), dan (kebutuhan dihargai r= 290). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang alam meningkat, maka persepsi kepuasannya pada kebutuhan keluarga juga baik atau akan meningkat. Terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya mengenai hakekat hubungan sesama dengan seluruh persepsi kepala keluarga terhadap kepuasannya pada: kebutuhan dasar (r= 0.195), kebutuhan rasa aman (r= 0.343), kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= 0.292), dan kebutuhan dihargai (r= 0.361). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat hubungan dengan sesama meningkat, maka persepsi kepuasan pada kebutuhan keluarga baik atau akan meningkat.
90 Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang Dirasakan di Lokasi Bawah Barat Hubungan antara sub peubah karakteristik sosial (X1): pendapatan (X1.1), usia (X1.2), dan jumlah anggota keluarga (X1.3); Usaha kepala keluarga (X2): berladang (X2.1), berjualan (X2.2), berburu (X2.3), bekerja pada orang lain (X2.4), dan kerajinan (X.5); Motif kepala keluarga (X3): pengetahuan (X3.1), menyikapi kebutuhan keluarga (X3.2), dan ketrampilan (X3.3); Interaksi sosial (X4): komunikasi interpersonal (X4.1), media komunikasi (X4.2), dan agen pembaharu (X4.3); sub peubah nilai sosial budaya (X5): hakekat hidup (X5.1), hakekat bekerja (X5.2), hakekat alam (X5.3), dan hakekat hubungan dengan sesama (X5.4), dengan persepsi kepala keluarga terhadap kebutuhan keluarga yang dirasakan (Y1) meliputi: kebutuhan dasar (fisiologi) (Y1.1), kebutuhan rasa aman (Y1.2), kebutuhan dicintai dan dimiliki (Y1.3), dan kebutuhan dihargai (Y1.4). Analisis menggunakan korelasi Pruduct Moment (Person) dapat dilihat pada Tabel 20. Dari data tersebut terlihat ada beberapa korelasi yang nyata dan positif, dan ada juga yang korelasinya cenderung sangat lemah. Berikut deskripsi kecenderungan hubungan antar peubah, dengan memperhatikan angka koefisien korelasi yang cenderung besar nilainya lebih kuat dibandingkan nilai koefisien lainnya. Hasil uji korelasi di lokasi Bawah Barat menunjukkan terdapat hubungan yang nyata (negatif) antara pendapatan rumah tangga dengan kebutuhan fisiologi /dasar (r = -0.421), kebutuhan rasa aman (r= -0.485), kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= -0.463), dan kebutuhan dihargai (r= -0.402). Ini artinya semakin tinggi pendapatan rumah tangga, maka persepsi pada kebutuhan fisiologi /dasar, kebutuhan dicintai dan dimiliki, kebutuhan dihargai yang dirasakan semakin buruk atau menurun. Hubungan negatif juga terjadi antara usia dengan semua persepsi yang dirasakan pada kebutuhan keluarga. Jumlah anggota keluarga (r= -0.166) dengan persepsi pada kebutuhan dasar yang dirasakan (Y1.1), dengan kebutuhan rasa aman (r= -0.147). ini artinya semakin banyak jumlah angota keluarga, semakin
91 buruk persepsinya pada kebutuhan dasar dan rasa aman yang dirasakan atau menurun. Tabel 20 Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang Dirasakan di Lokasi Bawah Barat n = 72
No
Peubah X
Persepsi terhadap Kebutuhan yang dirasakan (Y1) Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan dasar Rasa Aman dicintai dihargai (Y1.1) (Y1.2) (Y1.3) (Y1.4)
Karakteristik Sosial (X1)
1. 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pendapatan (X1.1) Usia (X1.2) Jumlah anggota Keluarga (X1.3) Usaha-usaha Orang Baduy Luar (X2). Berladang (X2.1) Berjualan (X2.2) Berburu (X2.3) Bekerja pd Orang lain (X2.4) Kerajinan (X2.5) Motif (X3). Pengetahuan (X3.1) Sikap (X3.2) Keterampilan (X3.3) Interaksi Sosial (X4). Komunikasi Interpersonal (X4.1) Media (X4.2) Agen Pembaharu (X4.3)
-0.525** 0.00 -0.166
-0.485** -0.155 -0.147
-0.463** -0.146 0.054
-0.402** -0.115 0.158
0.358** 0.187 0.192 0.327**
0.451** 0.342** 0.397** 0.616**
0.458* 0.241* 0.313** 0.493**
0.534* 0.251* 0.223 0.499**
0.409**
0.306**
0.509**
0.455**
0.363** 0.038 0.086
0.347** 0.220 0.204
0.423** 0.150 0.156
0.429** 0.141 -0.007
0.362**
0.425**
0.371**
0.483**
0.049 0.341**
0.056 0.445**
0.111 0.480**
0.284** 0.451**
Nilai Sosial Budaya (X5).
15 16
Hakekat hidup (X5.1) 0.176 0.127 0.140 Hakekat Kerja / Karya 0.194 0.582** 0.453** (X5.2) 17 Hakekat Alam (X5.3) 0.345** 0.367** 0.269* 18 Hakekat hubungan 0.368** 0.570** 0.372** Sesama (X5.4) Keterangan: ** taraf nyata 0.01; * taraf nyata 0.05. Pedoman interpretasi koefisien korelasi sbb: 0.0 – 0.20 hubungan sangat lemah ; 0.21 – 0.40 hubungan lemah; 0.1 – 0.60 hubungan cukup kuat; 0.61 – 0.80 hubungan kuat;
0.042 0.405** 0.509** 0.322**
Peubah usaha-usaha (X2) secara keseluruhan memiliki hubungan yang nyata dan positif dengan persepsi kebutuhan keluarga yang dirasakan. Seperti hubungan antara usaha melalui berladang dengan; kebutuhan dasar (r= 0.358), kebutuhan rasa aman (r= 0.451), kebutuhan dicintai (r= 0.458), dan kebutuhan
92 dihargai keluarga/kelompok, (r= 0,534), termasuk hubungan yang cukup kuat. Dengan demikian semakin baik usaha berladang yang dilakukan, maka persepsi pada kebutuhan keluarga baik fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai yang dirasakan akan semakin baik. Hubungan nyata dan positif antara usaha berjualan dengan kebutuhan dasar (r= 0.187), kebutuhan rasa aman (r= 0.342), kebutuhan dicintai (r= 0.241), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0,251), termasuk hubungan yang lemah. Namun demikian hubungannya nyata positif, artinya semakin baik usaha berjualan yang dilakukan, maka persepsi pada kebutuhan keluarga baik fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai yang dirasakan akan semakin baik. Terdapat hubungan nyata dan positif antara: usaha melalui berburu dengan; kebutuhan dasar (r= 0.192), kebutuhan rasa aman (r= 0.397), kebutuhan dicintai
(r= 0.313), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0.223);
usaha melalui bekerja pada orang lain dengan; kebutuhan dasar (r= 0.327), kebutuhan rasa aman (r= 0.616), kebutuhan dicintai (r= 0.493), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0.499); usaha me mbuat kerajinan dengan; kebutuhan dasar (r= 0.409), kebutuhan rasa aman (r= 0.306), kebutuhan dicintai (r= 0.509), dan kebutuhan diharga i keluarga/kelompok, (r= 0.455). Dengan demikian semakin baik usaha berburu, bekerja pada orang lain, dan membuat kerajinan yang dilakukan, maka persepsi pada kebutuhan keluarga baik fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai yang dirasakan akan semakin baik. Motif atau dorongan kepala keluarga di lokasi Bawah Barat untuk melakukan sesuatu secara keseluruhan memiliki hubungan yang nyata dan positif. Seperti antara motif dalam menambah pengetahuan memperoleh penghasilan kebutuhan keluarga (r= 0.429), dengan persepsi yang dirasakan terpenuhinya kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok. Motif menyikapi dalam menambah penghasilan kebutuhan keluarga (r=0.220), dengan persepsi yang dirasakan terpenuhinya kebutuhan rasa aman keluarga. Motif menambah keterampilan penghasilan kebutuhan keluarga (r= 0.141), dengan persepsi yang dirasakan terpenuhinya kebutuhan rasa aman keluarga.
93 Jadi bila upaya untuk menambah pengetahuan, menyikapi kebutuhan, dan menambah keterampilan dalam mendapatkan tambahan penghasilan kebutuhan keluarga meningkat, maka persepsinya yang dirasakan pada kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok, dan kebutuhan rasa aman baik atau akan meningkat. Artinya pada masyarakat baduy di lokasi Bawah Barat juga ada dorongan untuk menjadi lebih baik terlihat dari usahanya untuk selalu berusaha menambah pengetahuan, memperbaiki sikap cara berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, dan selalu berusaha menambah keterampilan dalam menambah penghasilan untuk kebutuhan keluarga. Interaksi sosial dilokasi Bawah Barat, terdapat hubungan nyata postif antara kegiatan komunikasi interpersonal dengan kebutuhan dasar (r= 0.362), kebutuhan rasa aman (r= 0.425), kebutuhan dicintai (r= 0.371), dan kebutuhan diharga i keluarga/kelompok, (r= 0,483). Hubungan antara pemanfaatan media massa dengan kebutuhan dasar (r= 0.049), kebutuhan rasa aman (r= 0.056), kebutuhan dicintai (r= 0.111), dan kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok, (r= 0.284), hubungannya nyata postif.
Antara agen pembaharu terdapat
hubungan yang nyata postif dengan kebutuhan dasar (r= 0.341), kebutuhan rasa aman (r= 0.445), kebutuhan dicintai (r= 0.480), dan kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok, (r= 0.451) termasuk hubungan yang cukup kuat. Dengan
demikian
semakin
baik
interaksi
melalui
komunikasi
interpersonal, dengan media, dan dengan agen pembaharu yang dilakukan kepala keluarga, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan baik fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai keluarga dan kelompok akan baik. Meskipun demikian di Jalur Bawah Barat hubungan yang nyata dan kuat adalah interaksi kepala keluarga melalui komunikasi interpersonal yaitu berdiskusi diantara sesama kepala keluarga, dan interaksi dengan agen pembaharu. Dengan media hubungannya lemah, hal ini bisa dipahami karena akses media ke Baduy itu kurang kalaupun ada hanya dengan media elektronik radio atau televisi saat mereka berpergian, dengan media cetak interaksi jarang dilakukan karena umumnya mereka tidak dapat membaca aksara latin. Analisis korelasi antara nilai sosial budaya dengan persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan, menunjukkan hubungan nyata positif antara
94 nilai sosial budaya hakekat hidup dengan seluruh persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan, seperti dengan kebutuhan dasar (r= 0.176), kebutuhan rasa aman (r= 0.176), kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= 0.140), dan kebutuhan dihargai (r= 0.042).
Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang
hidup baik, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan akan baik atau meningkat. Meskipun hubungannya sangat lemah karena nilai koefisiennya di bawah r=0.200. Terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya hakekat bekerja dengan seluruh persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan (kebutuhan dasar r= 0.194), (kebutuhan rasa aman r= 0.127), (kebutuhan dicintai dan dimiliki r= 0.140), dan (kebutuhan dihargai r= 405). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang bekerja baik atau meningkat, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan akan baik atau meningkat. Meskipun hubungannya lemah, kecuali hubungan kebutuhan dihargai cukup kuat. Hasil analisis juga menunjukkan hubungan nyata positif antara nilai sosial budaya mengenai hakekat alam dengan seluruh persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan (kebutuhan dasar r= 0.345), (kebutuhan rasa aman r = 0.367), (kebutuhan dicintai dan dimiliki r= 0.269), dan (kebutuhan dihargai r = 509). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang alam baik atau meningkat, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan akan
baik atau
meningkat. Termasuk hubungan yang cukup kuat. Terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya mengenai hakekat hubungan antar sesama dengan seluruh persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan (kebutuhan dasar r= 0.368), (kebutuhan rasa aman r= 0.570), (kebutuhan dicintai dan dimiliki r= 0.372), dan (kebutuhan dihargai
r= 0.322).
Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat hubungan dengan sesama baik atau meningkat, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan baik atau akan meningkat. Termasuk hubungan yang cukup kuat. Dari hasil analisis terlihat, korelasi yang terjadi cukup kuat adalah hubungan antara hakekat bekerja dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan rasa aman, korelasi antara hakekat alam dengan persepsi yang dirasakan pada
95 kebutuhan dihargai, korelasi antara hakekat hubungan sesama dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan rasa aman. Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan pada Kebutuhan Keluarga di Lokasi Bawah Barat Dalam Tabel 21 terlihat ada beberapa korelasi yang nyata dan positif, ada juga yang korelasinya cenderung sangat lemah, dan negatif. Berikut deskripsi kecenderungan hubungan antar variabel, dengan hanya memperhatikan angka koefisien korelasi yang cenderung besar nilainya / lebih kuat dibandingkan nilai koefisien lainnya. Hasil uji korelasi di Jalur Bawah Barat menunjukepala keluargaan terdapat hubungan yang nyata (negatif) antara pendapatan rumah tangga dengan persepsi kepala keluarga pada kepuasan kebutuhan fisiologi /dasar (r = -0.157), kebutuhan rasa aman (r= -0.622), kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= -0.612), dan kebutuhan dihargai (r= -0.595). Ini artinya semakin tinggi pendapatan rumah tangga, maka persepsi kepala keluarga pada kepuasan kebutuhan fisiologi /dasar, kebutuhan dicintai dan dimiliki, kebutuhan dihargai semakin buruk atau kepuasannya menurun. Hubungan negatif juga terjadi antara usia (r= -106) dengan persepsi kepala keluarga pada kepuasan kebutuhan fisiologi /dasar, sedangkan dengan persepsi kepala keluarga pada kepuasan kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan kebutuhan dihargai hubungannya nyata positif, tetapi lemah.
Terdapat
hubungan nyata negatif antara jumlah anggota keluarga dengan persepsi kepala keluarga pada kepuasan kebutuhan fisiologi /dasar (r = -0.106), kebutuhan rasa aman (r= -0.184), kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= -0.130). Ini artinya semakin tinggi usia, maka persepsi kepala keluarga semakin buruk atau kepuasannya menurun. pada kebutuhan fisiologi /dasar, kebutuhan dicintai dan dimiliki. Hubungan antara usia dengan kebutuhan dihargai hubungannya nyata positif (r= 0.259) tetapi lemah.
96 Tabel 21 Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan Kebutuhan Keluarga di Lokasi Bawah Barat n = 72
No
Peubah X
Persepsi terhadap kepuasan Kebutuhan (Y2) Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan dasar Rasa Aman dicintai dihargai (Y2.1) (Y2.2) (Y2.3) (Y2.4)
Karakteristik Sosial (X1)
1. 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pendapatan Usia Jumlah anggota Keluarga Usaha-usaha Orang Baduy Luar (X2). Berladang (X2.1) Berjualan (X2.2) Berburu (X2.3) Bekerja pd Orang lain (X2.4) Kerajinan (X2.5) Motif (X3). Pengetahuan (X3.1) Sikap (X3.2) Keterampilan (X3.3) Interaksi Sosial (X4) Komunikasi Interpersonal (X4.1) Media (X4.2) Agen Pembaharu (X4.3)
-0.157 -0.046 -0.106
-0.622** 0.010 -0.184
-0.612** 0.103 -0.130
-0.595** 0.020 0.259*
0.071 0.143 0.149 -0.078
0.532** 0.400** 0.487** 0.702**
0.481** 0.181 0.248* 0.580**
0.507** 0.223 0.294* 0.603**
0.148
0.770**
0.690**
0.666**
0.020 0.183 -0.074
0.578** 0.165 0.021
0.458** 0.000 0.007
0.469** 0.041 0.065
0.135
0.497**
0.468**
0.559**
-0.206 -0.005**
0.021 0.404**
0.183 0.451**
0.234* 0.505**
Nilai Sosial Budaya (X5)
15 16
Hakekat hidup (X5.1) 0.189 0.127 0,140 Hakekat Kerja / Karya 0.194 0.234* 0.104 (X5.2) 17 Hakekat Alam (X5.3) 0.210 0.347** 0.275* 18 Hakekat hubungan 0.034 0.496** 0.513** Sesama (X5.4) Keterangan: ** taraf nyata 0,01; * taraf nyata 0,05. Pedoman interpretasi koefisien korelasi sbb: 0,0 – 0,20 hubungan sangat lemah ; 0,21 – 0,40 hubungan lemah; 0,1 – 0,60 hubungan cukup kuat; 0,61 – 0,80 hubungan kuat;
0,042 0.164 0.370** 0,555**
Peubah usaha-usaha (X2) secara keseluruhan memiliki hubungan yang nyata dan positif dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga. Seperti hubungan antara usaha melalui berladang dengan; kebutuhan dasar (r= 0.071), kebutuhan rasa aman (r= 0.532), kebutuhan dicintai (r= 0.481), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0,507), termasuk hubungan yang cukup kuat, dengan demikian semakin baik usaha berladang yang dilakukan,
97 maka persepsi kepala keluarga pada kepuasan kebutuhan keluarga baik fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai baik. Hubungan nyata dan positif antara usaha berjualan dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan dasar (r= 0.143), kebutuhan rasa aman (r= 0.400), kebutuhan dicintai (r= 0.181), dan kebutuhan dihargai keluarga / kelompok, (r= 0.223), termasuk hubungan yang lemah, namun hubungannya nyata positif, artinya semakin baik usaha berjualan yang dilakukan, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga baik fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai baik. Hubungan antara usaha melalui berburu dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada; kebutuhan dasar (r= 0.149), kebutuhan rasa aman (r= 0.487), kebutuhan dicintai (r= 0.248), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0,294); usaha melalui bekerja pada orang lain dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada; kebutuhan dasar (r= -0.078), kebutuhan rasa aman (r= 0.702), kebutuhan dicintai (r= 0.580), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0,603); usaha membuat kerajinan dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan; kebutuhan dasar (r= 0.148), kebutuhan rasa aman (r= 0.770), kebutuhan dicintai (r= 0.690), dan kebutuhan dihargai keluarga / kelompok, (r= 0,666), hubungannya nyata dan positif Dengan demikian semakin baik usaha berburu, bekerja pada orang lain, dan membuat kerajinan yang dilakukan, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga baik fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai baik. Ada kecenderungan di jalur Bawah Barat hubungan antara usaha bekerja pada orang lain dan usaha membuat kerajinan dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai dan dihargai, hubugannya kuat. Motif atau dorongan kepala keluarga di jalur Bawah Barat untuk melakukan sesuatu secara keseluruhan memiliki hubungan nyata dan positif. Seperti hubungan antara motif dalam menambah pengetahuan memperoleh penghasilan keluarga dengan persepsi kepala keluarga pada kepuasan kebutuhan rasa aman (r= 0.578), dan kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok (r= 0.469). Motif menyikapi menambah penghasilan keluarga dengan persepsi kepuasan
98 kepala keluarga pada kebutuhan dasar (r=0.183), dan rasa aman keluarga (r= 0.165). Motif menambah keteramp ilan untuk menambah penghasilan kebutuhan keluarga (r= 0,141), dengan persepsi kepala keluarga pada kepuasan kebutuhan kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok. Jadi bila upaya untuk menambah pengetahuan, menyikapi kebutuhan keluarga,
dan
menambah
keterampilan
dalam
mendapatkan
tambahan
penghasilan keluarga meningkat, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan dasar, dihargai keluarga dan kelompok, dan kebutuhan rasa aman baik. Artinya pada masyarakat Baduy di jalur Bawah Barat juga ada dorongan untuk menjadi lebih baik terlihat dari usahanya untuk selalu berusaha menambah pengetahuan, memperbaiki sikap cara berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, dan selalu berusaha menambah keterampilan dalam menambah penghasilan untuk kebutuhan keluarga. Meskipun hubungannya lemah, kecuali untuk motif mencari pengetahuan dengan rasa aman keluarga hubungannya kuat. Interaksi sosial melalui; kegiatan komunikasi interpersonal terdapat hubungan yang nyata postif dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada; kebutuha n dasar (r= 0.135), kebutuhan rasa aman (r= 0.497), kebutuhan dicintai (r= 0.468), dan kebutuhan dihargai keluarga / kelompok, (r= 0,559); antara media massa terdapat hubungan yang nyata postif dengan persepsi kepala keluarga pada; kepuasan kebutuhan rasa aman (r= 0.021), kebutuhan dicintai (r= 0.183), dan kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok, (r= 0,234); sedangkan dengan kebutuhan dasar negatif (r= -0.206). Antara agen pembaharu terdapat hubungan yang nyata positif dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan rasa aman (r= 0.404), kebutuhan dicintai (r= 0.451), dan kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok, (r= 0.505); termasuk hubungan yang cukup kuat. Dengan
demikian
semakin
baik
interaksi
melalui
komunikasi
interpersonal, dengan media, dan dengan agen pembaharu yang dilakukan, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga baik rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai keluarga dan kelompok baik. Kecuali dengan kebutuhan dasar negatif (r= -0.005).
99 Meskipun demikian di lokasi Bawah Barat kepuasan yang nyata dan kuat adalah interaksi antara kepala keluarga melalui komunikasi interpersonal yaitu berdiskusi diantara sesama kepala keluarga, dan interaksi dengan agen pembaharu. Dengan media terjadi hanya hubungannya lemah, hal ini bisa dipahami karena akses media ke Baduy itu kurang kalaupun ada hanya dengan media elektronik radio atau televisi saat mereka berpergian, dengan media cetak interaksi jarang dilakukan karena umumnya mereka tidak dapat membaca aksara latin. Analisis korelasi antara nilai sosial budaya dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga. Data menunjukkan hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya hakekat hidup dengan seluruh persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga, seperti dengan kebutuhan dasar (r= 0.189), kebutuhan rasa aman (r= 0.127), kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= 0.140), dan kebutuhan dihargai (r= 0.042).
Jadi bila nilai sosial budaya
mengenai hakekat tentang hidup meningkat, maka persepsi kepala keluarga pada kepuasan
kebutuhan
pada
kebutuhan
keluarga
meningkat.
Meskipun
hubungannya sangat lemah karena nilai koefisiennya di bawah r=0.200. Terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya hakekat bekerja dengan seluruh persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan; kebutuhan dasar (r= 0.194), kebutuhan rasa aman (r= 0.234), (kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= 0.104), dan kebutuhan dihargai (r= 0.164). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang bekerja meningkat, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan akan meningkat, meskipun hubungannya lemah. Hasil analisis juga menunjukkan hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya mengenai hakekat alam dengan seluruh persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan; kebutuhan dasar (r= 0.210), kebutuhan rasa aman (r= 0.347), kebutuhan dicintai dan dimiliki r= 0.275, dan kebutuhan dihargai (r= 0.370). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang alam meningkat, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga baik atau akan meningkat.
100 Terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya mengenai hakekat hubungan dengan sesama dengan seluruh persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan; kebutuhan dasar (r= 0.034), kebutuhan rasa aman (r= 0.496), kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= 0.513), dan kebutuhan dihargai (r= 0.555). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat hubungan dengan sesama meningkat, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga baik atau akan meningkat, termasuk hubungan yang cukup kuat. Dari korelasi yang terjadi cukup kuat adalah hubungan antara hakekat bekerja dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan rasa aman, korelasi antara hakekat alam dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan dihargai, hubungan antara hakekat hubungan dengan sesama dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan dihargai. Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang Dirasakan di Lokasi Tengah Barat Dari hasil uji korelasi terlihat ada beberapa hubungan yang nyata dan positif, dan ada juga yang korelasinya cenderung sangat lemah, dapat lihat pada Tabel 22. Berikut deskripsi kecenderungan hubungan antar variabel, dengan hanya memperhatikan angka koefisien korelasi yang cenderung besar nilainya / lebih kuat dibandingkan nilai koefisien lainnya. Hasil uji korelasi di lokasi Tengah Barat terdapat hubungan nyata (negatif) antara pendapatan rumah tangga dengan kebutuhan fisiologi/dasar (r = -0.155), kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= -0.198), dan kebutuhan dihargai (r= -0.038). Ini artinya semakin tinggi pendapatan rumah tangga, maka persepsi kepala keluarga pada kebutuhan fisiologi/dasar, kebutuhan dicintai dan dimiliki, dan kebutuhan dihargai yang dirasakan tidak baik atau menurun. Sedangkan hubungan nyata positif antara pendapatan dengan kebutuhan rasa aman (r= 0.041), hubugannya sangat lemah.
101 Tabel 22 Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang Dirasakan di Lokasi Tengah Barat n = 96 Persepsi terhadap Kebutuhan yang dirasakan No
Peubah X
Kebutuhan dasar
(Y1.1)
Kebutuhan Rasa Aman (Y1.2)
(Y1) Kebutuhan dicintai (Y1.3)
Kebutuhan dihargai (Y1.4)
Karakteristik Sosial (X1)
1. 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pendapatan (X1.1) Usia (X1.2) Jumlah anggota Keluarga (X1.3) Usaha-usaha Orang Baduy Luar (X2). Berladang (X2.1) Berjualan (X2.2) Berburu (X2.3) Beke rja pd Orang lain (X2.4) Kerajinan (X2.5) Motif (X3) Pengetahuan (X3.1) Sikap (X3.2) Keterampilan (X3.3) Interaksi Sosial (X4) Komunikasi Interpersonal (X4.1) Media (X4.2) Agen Pembaharu (X4.3)
-0.155 -0.061 -0.059
0.041 -0.130 -0.098
-0.198 -0.258* 0.145
-0.038 -0.119 0.211*
0.282** 0.284** 0.141 -0.133
0.054 0.100 -0.146 -0.127
0.162 -0.045 0.138 0.331**
0.068 0.009 0.085 0.231*
0.081
-0.123
0.140
0.229*
0.062 -0.040 -0.077
-0.097 -0.180 -0.221
-0.174 0.018 0.111
0.089 -0.045 0.105
0.130
0.097
0.363**
0.483**
0.162 -0.164**
0.086 -0.047
0.051 0.337**
0.308** 0.214*
Nilai Sosial Budaya (X5)
15 16
Hakekat hidup (X5.1) 0.017 -0.006 -0.013 Hakekat Kerja / Karya -0.063 -0.029 0.139 (X5.2) 17 Hakekat Alam (X5.3) 0.448** 0.125 0.103 18 Hakekat hubungan 0.444** 0.136 0.099** Sesama (X5.4) Keterangan: ** taraf nyata 0,01; * taraf nyata 0,05. Pedoman interpretasi koefisien korelasi sbb: 0,0 – 0,20 hubungan sangat lemah ; 0,21 – 0,40 hubungan lemah; 0,1 – 0,60 hubungan cukup kuat; 0,61 – 0,80 hubungan kuat;
0.083 0.397** 0.061 -0.124
Hubungan negatif juga terjadi antara usia dengan semua persepsi pada kebutuhan keluarga ya ng dirasakan. Jumlah anggota keluarga (r= -0.059) dengan persepsi pada kebutuhan dasar yang dirasakan (Y1.1), dengan kebutuhan rasa aman (r= -0.098). ini artinya semakin banyak jumlah angota keluarga, semakin buruk persepsinya pada kebutuhan dasar dan rasa aman yang dirasakan.
102 Hubungan nyata positif, antara jumlah keluarga dengan persepsi pada kebutuhan dicintai (r= 0.145), dan kebutuhan dihargai (r= 0.211) yang dirasakan, tetapi hubungannya lemah. Peubah usaha-usaha (X2) secara keseluruhan memiliki hubunga n yang nyata dan positif dengan persepsi kebutuhan keluarga yang dirasakan. Seperti hubungan antara usaha melalui berladang dengan persepsi yang dirasakan pada; kebutuhan dasar (r= 0.282), kebutuhan rasa aman (r= 0.054), kebutuhan dicintai (r= 0.162), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0,068), termasuk hubungan yang lemah. Dengan demikian semakin baik usaha berladang yang dilakukan, maka persepsi pada kebutuhan keluarga baik fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai yang dirasakan akan baik. Diantara hubungan yang terjadi, korelasi antara berladang dengan kebutuhan dasar yang paling kuat. Hubungan antara usaha berjualan dengan; kebutuhan dasar (r= 0.284), kebutuhan rasa aman (r= 0.100), kebutuhan dihargai keluarga/kelompok (r= 0.009), namun demikian hubungannya lemah. Artinya semakin baik usaha berjualan yang dilakukan, maka persepsi pada kebutuhan keluarga baik fisiologi, rasa aman, dan dihargai yang dirasakan akan baik. Korelasi dengan kebutuhan dicintai negatif (r= -0.045). Terdapat hubungan nyata dan positif antara: usaha melalui berburu dengan persepsi yang dirasakan pada; kebutuhan dasar (r= 0.141), kebutuhan rasa aman
(r= 0.397), dan kebutuhan dihargai keluarga / kelompok (r= 0,085);
korelasi dengan kebutuhan dicintai (r= 0.138). Terdapat hubungan nyata dan negatif antara usaha bekerja pada orang lain dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan dasar (r= -0.133), dan kebutuhan rasa aman (r= -0.127). artinya semakin baik usaha bekerja pada orang lain
dilakukan, maka persepsi yang
dirasakan pada kebutuhan keluarga baik fisiologi, dan rasa aman tidak baik. Hubungan nyata dan positif antara usaha melalui bekerja pada orang lain dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan dicintai (r= 0.331), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok (r= 0.231), dan terdapat hubungan nyata dan positif antara usaha membuat kerajinan dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan dasar (r= 0.081), kebutuhan dicintai (r= 0.140), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0,229). Sedangkan dengan kebutuhan rasa aman
103 (r= -0.123) korelasinya negatif. Artinya semakin baik usaha bekerja pada orang lain
dilakukan, maka persepsi yang dirasakan pada kebutuhan dicintai dan
kebutuhan dihargai akan baik atau memadai. Kecuali kebutuhan rasa ama n yang dirasakannya kurang baik. Dengan demikian semakin baik usaha berburu, bekerja pada orang lain, dan membuat kerajinan yang dilakukan, maka persepsi pada kebutuhan keluarga baik fisiologi, dicintai dan dimiliki, dan dihargai yang dirasakan akan baik. Kecuali dengan kebutuhan rasa aman, semakin meningkat usaha bekerja pada orang lain, dan usaha membuat kerajinan yang dilakukan, maka persepsi yang dirasakan kepala keluarga pada kebutuhan rasa aman tidak baik. Motif atau dorongan kepala keluarga di lokasi Tengah Barat untuk melakukan sesuatu secara keseluruhan, ada yang memiliki hubungan yang nyata dan positif, dan juga negatif. Seperti terdapat hubungan nyata antara motif dalam memperoleh pengetahuan dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan dasar (r= 0.062), kebutuhan dihargai (r= 0.089), sedangkan dengan kebutuhan rasa aman (r= -0.097), dan kebutuhan dicintai (r= -0.174) hubungannya negatif. Artinya semakin tinggi motif memperoleh pengetahuan maka semakin baik persepsi yang diarasakan pada kebutuhan dasar dan dihargai keluarga, tetapi hubungannya lemah. Sedangkan pada kebutuhan dicintai dan rasa aman persepsi yang dirasakan tidak baik. Motif menyikapi kebutuhan keluarga dalam menambah penghasilan kebutuhan keluarga hubungannya negatif, dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan dasar (r= -0.040), rasa aman keluarga (r= -0.180), kebutuhan dihargai kelompok dan keluarga (r = -0.045). Hubugan positif hanya dengan kebutuhan dicintai tetapi sangat lemah (r= 0.018). Dengan demikian semakin tinggi motif sikap cara berusaha menambah penghasilan, tetapi pesepsi yang dirasakan pada kebutuhan dasar, rasa aman, dan dihargai kelompok dan keluarga tidak baik, sedangkan dengan kebutuhan dicintai persepsi yang dirasakan adalah baik. Terdapat hubungan nyata antara motif dalam memperoleh keterampilan dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan dicintai (r= 0.111), kebutuhan dihargai (r= 0.105), hubungan negatif dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan dasar (r= -0.077), rasa aman (r= -0.221). Jadi bila upaya untuk
104 menambah keterampilan dalam mendapatkan tambahan penghasilan kebutuhan keluarga meningkat, maka persepsi yang dirasakan akan baik pada kebutuhan dicintai dan dihargai, sedangkan persepsinya negatif untuk kebutuhan dasar dan rasa aman. Artinya pada masyarakat baduy di jalur Tengah Barat juga ada dorongan untuk menjadi lebih baik. Terlihat dari usahanya untuk selalu berusaha menambah pengetahuan, memperbaiki sikap cara berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, dan selalu berusaha menambah keterampilan dala m menambah penghasilan untuk kebutuhan keluarga, meskipun dorongan untuk mencari pengetahuan sikap dan menambah keterampilannya lemah. Interaksi sosial melalui; kegiatan komunikasi interpersonal terdapat hubungan yang nyata postif dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan dasar (r= 0.362), kebutuhan rasa aman (r= 0.097), kebutuhan dicintai (r= 0.363), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0.483). Artinya bila interaksi diskusi meningkat maka persepi yang dirasakan baik pada kebutuhan keluarga, meskipun hubungannya lemah, kecuali pada kebutuhan dihargai dan dicintai cukup kuat. Antara media massa terdapat hubungan yang nyata postif dengan persepsi yang dirasakan
pada kebutuhan dasar (r= 0.162), kebutuhan rasa aman
(r= 0.086), kebutuhan dicintai (r= 0.051), dan kebutuhan diharga i keluarga dan kelompok, (r= 0.308); Artinya bila interaksi dengan media meningkat maka persepi yang diarasakan baik pada kebuituhan keluarga, meskipun hubungannya sangat lemah, kecuali pada kebutuhan dihargai kelompok dan keluarga cukup kuat. Interaksi dengan agen pembaharu terdapat hub ungan yang nyata postif dengan kebutuhan dicintai (r= 0.337), kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok kebutuhan rasa aman (r= 0.214). Artinya bila interaksi dengan agen pembaharu meningkat maka persepi yang diarasakan baik pada kebutuhan dihargai keluarga, dan dicintai meskipun hubungannya lemah. Sedangkan korelasi dengan kebutuhan dasar dan rasa aman negatif. Di Jalur Tengah Barat hubungan yang nyata dan kuat adalah interaksi kepala keluarga dengan melalui komunikasi interpersonal yaitu, berdiskusi
105 diantara sesama kepala keluarga, dan interaksi dengan agen pembaharu, dengan media hubungannya lemah, hal ini bisa dipahami karena akses media ke Baduy itu kurang kalaupun ada hanya dengan mdia elektronik radio atau televisi saat mereka berpergian, dengan media cetak interaksi jarang dilakukan karena umumnya mereka tidak dapat membaca aksara latin. Data menunjukkan umumnya terdapat hubungan yang nyata positif tetapi lemah. Seperti antara nilai sosial budaya hakekat hidup dengan seluruh persepsi yang dirasakan pada kebutuhan dasar (r= 0017), kebutuhan dihargai (r= 0.083), hubungannya sangat lemah. Dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan rasa aman (r= -0.006), kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= -0.013), hubungannya negatif. Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang hidup meningkat, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan akan meningkat Meskipun hubungannya sangat lemah karena nilai koefisiennya di bawah r= 0.200. Terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya hakekat bekerja dengan seluruh persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan (kebutuhan dicintai dan dimiliki r= 0.139), (kebutuhan dihargai r= 0.397). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang bekerja meningkat, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan akan meningkat. Dengan kebutuhan dasar dan kebutuhan rasa aman hubungannya negatif. Hasil analisis juga menunjukkan hubungan nyata positif antara nilai sosial budaya mengenai hakekat alam dengan seluruh persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan (kebutuhan dasar r= 0.448), (kebutuhan rasa aman
r= 0.125),
(kebutuhan dicintai dan dimiliki r= 0.103), dan (kebutuhan dihargai r= 0.061). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang alam meningkat, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan akan baik. Juga terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya mengenai hakekat hubungan dengan sesama dengan seluruh persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan, (kebutuhan dasar r= 0.444), (kebutuhan rasa aman r= 0.136), (kebutuhan dicintai dan dimiliki r= 0.099), Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat hubungan dengan sesama meningkat, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan baik atau akan meningkat. Termasuk hubungan ya ng cukup kuat, kecuali dengan kebutuhan dihargai kelompok dan
106 keluarga.Dari korelasi yang terjadi cukup kuat adalah hubungan antara hakekat bekerja dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuha n dihargai, korelasi antara hakekat alam dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan dihargai.
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan pada Kebutuhan Keluarga di Lokasi Tengah Barat Hasil uji korelasi di Jalur Tengah Barat menunjukkan hubungan yang nyata (positif) antara pendapatan rumah tangga dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan (Y2) fisiologi /dasar (r = 0.051), kebutuhan rasa aman (r= 0.049), kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= 0.035), dan kebutuhan dihargai (r= 0.030). Ini artinya semakin tinggi pendapatan rumah tangga, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan fisiologi /dasar, kebutuhan dicintai dan dimiliki, kebutuhan dihargai semakin baik, tetapi hubungannya sangat lemah. Data keseluruhan seperti terlihat pada Tabel 23. Hubungan negatif terjadi antara usia (r= -0.050) dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan fisiologi /dasar, sedangkan dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan kebutuhan dihargai hubungannya nyata positif, tetapi hubungannya sangat lemah. Terdapat hubungan nyata positif antara jumlah anggota keluarga dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan fisiologi /dasar (r = 0.031), kebutuhan rasa aman (r= 0.100), kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= 0.110), kebutuhan dihargai (r = 0.170). Artinya semakin tinggi jumlah angota keluarga, maka persepsi kepuasan kepala keluarga semakin baik, tetapi hubungannya sangat lemah. Peubah usaha-usaha (X2) secara keseluruhan memiliki hubungan yang nyata dan positif dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga. Seperti hubungan antara usaha melalui berladang dengan; kebutuhan dasar (r= 0.454), kebutuhan rasa aman (r= 0.156), kebutuhan dicintai (r= 0.275). Dengan demikian semakin baik usaha berladang yang dilakukan, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga baik fisiologi, rasa aman,
107 dicintai dan dimiliki ádalah baik. termasuk hubungan yang cukup kuat, kecuali dengan kebutuhan dihargai (r= -0,091) hubungannya negatif. Tabel 23 Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan pada Kebutuhan Keluarga di Lokasi Tengah Barat n = 96
No
Peubah X
Persepsi terhadap kepuasan Kebutuhan (Y2) Kebutu Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan han dasar Rasa Aman dicintai dihargai (Y2.1) (Y2.2) (Y2.3) (Y2.4)
Karaktersitik Sosial (X1)
1. 2 3
Pendapatan (X1.1) 0.051 0.049 0.035 Usia (X1.2) -0.050 0.027 0.041 Jumlah anggota Keluarga 0.031 0.100 0.110 (X1.3) Usaha-usaha Orang Baduy Luar (X2). 4 Berladang (X2.1) 0.454** 0.156 0.275** 5 Berjualan (X2.2) 0.195 -0.027 0.153 6 Berburu (X2.3) 0.251* 0.162 0.096 7 Bekerja pd Orang lain 0.000 0.108 0.054 (X2.4) 8 Kerajinan (X2.5) 0.079 0.045 0.015 Motif (X3) 9 Pengetahuan (X3.1) -0.013 -0.072 0.028 10 Sikap (X3.2) 0.028 -0.022 -0.136 11 Keterampilan (X3.3) -0.006 0.096 -0.058 Interaksi Sosial (X4) 12 Komunikasi Interpersonal 0.278** 0.160 0.250* (X4.1) 13 Media (X4.2) 0.105 -0.121 0.194 14 Agen Pembaharu (X4.3) 0.041 0.177 0.029 Nilai Sosial Budaya (X5) 15 Hakekat hidup (X5.1) 0.111 0,026 0,078 16 Hakekat Kerja / Karya -0.036 0.203* -0.025 (X5.2) 17 Hakekat Alam (X5.3) 0.259* 0.178 0.182 18 Hakekat hubungan 0.111 0.023 0.000 Sesama (X5.4) Keterangan: ** taraf nyata 0,01; * taraf nyata 0,05. Pedoman interpretasi koefisien korelasi sbb: 0,0 – 0,20 hubungan sangat lemah ; 0,21 – 0,40 hubungan lemah; 0,1 – 0,60 hubungan cukup kuat; 0,61 – 0,80 hubungan kuat;
0.030 0.101 0.170
-0.091 0.007 -0.123 -0.093 -0.090 - 0.072 0.203* -0.004 -0.119 -0.075 -0.124 0,067 -0.021 -0.165 -0.100
Hubungan antara usaha berjualan dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada; kebutuhan dasar (r= 0.195), kebutuhan dicintai (r= 0.181),
108 kebutuhan dihargai (r= 0.007) hubungannya sangat lemah. Namun demikian hubungannya nyata positif, artinya semakin baik usaha berjualan yang dilakukan, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan dasar, dicintai, dan dihargai baik. Hubungan antara usaha melalui berberburu dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan dasar (r= 0.251), kebutuhan rasa aman (r=0.162),
kebutuhan
dicintai
(r=0.096),
dan
kebutuhan
dihargai
keluarga/kelompok, (r= -0,123); usaha melalui bekerja pada orang lain dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan; kebutuhan dasar (r= 0.000), kebutuhan rasa aman (r= 0.108), kebutuhan dicintai (r= 0.054), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r=-0,093); usaha membuat kerajinan dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan; kebutuhan dasar (r= 0.079), kebutuhan rasa aman (r= 0.045), kebutuhan dicintai (r= 0.015), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= -0,090), Dengan demikian semakin baik usaha berburu, bekerja pada orang lain, dan membuat kerajinan yang dilakukan, maka kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga baik fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki baik, tetapi hubungannya lemah, kecuali dengan kebutuhan dihargai negatif hubungannya. Motif atau dorongan kepala keluarga di jalur Tengah Barat untuk melakukan sesuatu secara keseluruhan ada yang memiliki hubungan yang nyata positif dan juga negatif. Seperti antara motif dalam menambah pengetahuan memperoleh pengahasilan kebutuhan keluarga dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan rasa dicintai (r= 0.028), motif menyikapi kebutuhan keluarga dalam menambah penghasilan, dengan kebutuha n rasa aman, dihargai keluarga (r= 0.203). Motif menambah keterampilan untuk menambah penghasilan kebutuhan keluarga (r= 0,096), dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan kebutuhan rasa aman keluarga. Jadi bila upaya untuk menambah pengetahua n, sikap cara, dan menambah keterampilan dalam mendapatkan tambahan pengahasilan keluarga meningkat, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan dasar, dihargai keluarga dan kelompok, dan kebutuhan rasa aman baik, tetapi hubungan-hubungan antar peubah sangat lemah.
109 Artinya pada masyarakat baduy di jalur Bawah Barat juga ada dorongan untuk menjadi lebih baik terlihat dari usahanya untuk selalu berusaha menambah pengetahuan, memperbaiki sikap cara berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, dan selalu berusaha menambah keterampilan dalam menambah penghasilan untuk kebutuhan keluarga. Meskipun umumnya hubungan sangat lemah. Interaksi sosial melalui; kegiatan komunikasi interpersonal terdapat hubungan yang nyata positif dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan; kebutuhan dasar (r=0.278), kebutuhan rasa aman (r=0.160), kebutuhan dicintai (r=0.250), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok hubungannya negatif (r= -0.119). Interaksi dengan media terdapat hubungan nyata positif dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada; kebutuhan dasar (r= 0.105), kebutuhan dicintai (r= 0.194), dan kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok. Artinya semakin baik interaksinya dengan media radio, tv, koran, maka semakin baik persepsinya pada kebutuhan dasar, dicintai, dan dihargai meskipun hubungannya sangat lemah. Hubungan dengan rasa aman negatif. Hubungan antara agen pembaharu dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan rasa aman (r= 0.117), kebutuhan dicintai (r= 0.029). Dengan demikian semakin baik interaksi melalui komunikasi interpersonal, dengan media (radio, televisi, suratkabar), dan dengan agen pembaharu (manteri kesehatan, guru, bidan, carik desa, wisatawan) yang dilakukan, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga baik rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai keluarga dan kelompok baik, tetapi hubungannya sangat lemah. Di lokasi Tengah Barat hubungan yang nyata adalah interaksi antara kepala keluarga melalui komunikasi interpersonal atau berdiskusi di antara sesama kepala keluarga dengan kebutuhan dasar, tetapi hubungannya sangat lemah. Hasil analisis untuk peubah interaksi umumnya hubungan yang terjadi sangat lemah. Analisis korelasi antara nilai sosial budaya dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuha n keluarga. Data menunjukkan terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya hakekat hidup dengan seluruh
110 persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga, seperti dengan kebutuhan dasar (r= 0.111), kebutuhan rasa aman (r= 0.026), kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= 0.078), dan kebutuhan dihargai (r= 0.067). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang hidup meningkat, maka persepsi kepuasan kepala keluarga
pada
kebutuhan
keluarga
meningkat
baik.
Meskipun
hubungannya sangat lemah karena nilai koefisiennya di bawah r=0.200. Terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya hakekat bekerja dengan seluruh persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan; (kebutuhan rasa aman r= 0.203), Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang bekerja meningkat, maka persepsi pada kebutuhan rasa aman keluarga yang dirasakan baik. Meskipun hubungannya lemah. Korelasi negatif dengan kebutuhan, kebutuhan dicintai dan dimiliki, dan kebutuhan dihargai. Hasil analisis juga menunjukepala keluargaan hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya mengenai hakekat alam dengan seluruh persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan; kebutuhan dasar (r= 0.259), kebutuhan rasa aman (r= 0.178), kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= 0.182), Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang alam, hubungannya sangat lemah. Terjadi hubungan negatif pada kebutuhan dihargai. Terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya mengenai hakekat hubungan dengan sesama, dengan seluruh persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan; kebutuhan dasar (r= 0.111), kebutuhan rasa aman (r= 0.023), kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= 0.000). Dan hubungan negatif pada kebutuhan dihargai. Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat hubungan dengan sesama baik, maka persepsinya pada kebutuhan dasar, rasa aman, dan dicintai baik, tetapi seluruh hubungannya sangat lemah.
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang Dirasakan di Lokasi Kaduketug Dari hasil uji korelasi terlihat ada beberapa hubungan nyata dan positif, juga yang korelasinya cenderung sangat lemah, dan yang korelasinya negatif data dapat dilihat pada Tabel 24. Berikut deskripsi kecenderungan hubungan antar
111 peubah, dengan hanya memperhatikan angka koefisien korelasi yang cenderung besar nilainya atau lebih kuat dibandingkan dengan nilai koefisien lainnya. Tabel 24 Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang Dirasakan di Lokasi Kaduketug n = 14 Persepsi terhadap Kebutuhan yang dirasakan (Y1) No
Peubah X
Kebutuhan dasar (Y1.1)
Kebutuhan Rasa Aman (Y1.2)
Kebutuhan dicintai (Y1.3)
Kebutuhan dihargai (Y1.4)
-0.323 -0.347 -0.113
-0.056 -0.050 0.173
0.281 -0.024 0.383
0.118 0.043 0.113
0.708** 0.221 -0.155 0.088
0.281 0.254 0.237 -0.056
0.287 0.125 -0.454 -0.182
-0.311 -0.221 -0.279 -0.088
0.294
0.416
0.281
0.118
0.092 0.496 0.372
0.414 0.237 0.261
-0.039 0.035 -0.279
0.382 -0.279 -0.372
0.372
0.427
0.210
0.062
-0.519 0.145
0.186 0.166
-0.165 0.082
0.065 -0.483
Karakteritik Sosial (X1).
1. 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pendapatan (X1.1) Usia (X1.2) Jumlah anggota Keluarga (X1.3) Usaha-usaha Orang Baduy Luar (X2). Berladang (X2.1) Berjualan (X2.2) Berburu (X2.3) Bekerja pd Orang lain (X2.4) Kerajinan (X2.5) Motif (X3) Pengetahuan (X3.1) Sikap (X3.2) Keterampilan (X3.3) Interaksi Sosial (X4) Komunikasi Interpersonal (X4.1) Media (X4.2) Agen Pembaharu (X4.3) Nilai Sosial Budaya (X5)
15 16
Hakekat hidup (X5.1) 0.142 0.068 0.220 Hakekat Kerja / Karya 0.568* 0.362 0.320 (X5.2) 17 Hakekat Alam (X5.3) 0.390 0.360 -0.165 18 Hakekat hubungan 0.191 0.559* 0.107 Sesama (X5.4) Keterangan: ** taraf nyata 0,01; * taraf nyata 0,05. Pedoman interpretasi koefisien korelasi sbb: 0,0 – 0,20 hubungan sangat lemah ; 0,21 – 0,40 hubungan lemah; 0,1 – 0,60 hubungan cukup kuat; 0,61 – 0,80 hubungan kuat;
0.355 -0.189 -0.162 0.255
Terdapat hubungan yang nyata (negatif) antara pendapatan rumah tangga dengan kebutuhan fisiologi/dasar (r = -0.323), kebutuhan rasa aman (r= -0.056), Ini artinya semakin tinggi pendapatan rumah tangga, maka persepsi yang dirasakan kepala keluarga pada kebutuhan fisiologi/dasar, dan rasa aman tidak
112 baik, sedangkan hubungan antara pendapatan dengan kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= 0.281), dan kebutuhan dihargai (r= 0.118), artinya semakin tinggi pendapatan maka persepsi yang dirasakan kepala keluarga pada kebutuhan dicintai dan dihargai baik, tetapi hubungannya lemah. Hubungan negatif juga terjadi antara usia dengan semua persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan, kecuali persepsi yang dirasakan kepala keluarga pada kebutuhan dihargai tetapi hubungannya sangat lemah (r= 0.043). Terdapat hubungan nyata positif antara jumlah anggota keluarga dengan persepsi pada kebutuhan rasa aman (r= 0.173), kebutuhan dicintai (r= 0.287), kebutuhan dihargai (r=0.113). ini artinya semakin banyak jumlah angota keluarga, maka persepsi yang dirasakan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga tersebut baik, tetapi hubungannya lemah. Sedangkan dengan kebutuhan fisiologi / dasar korelasinya negatif. Peubah usaha- usaha kepala keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga secara keseluruhan ada yang memiliki hubungan yang nyata dan positif dan juga negatif dengan persepsi dirasakan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga. Seperti terdapat hubungan nyata positif antara usaha melalui berladang dengan; kebutuhan dasar, (r= 0.708), hubungannya kuat. Kebutuhan rasa aman (r= 0.281), kebutuhan dicintai (r= 0.287). Dengan demikian semakin baik usaha berladang yang dilakukan, maka persepsi yang dirasakan pada kebutuhan keluarga baik fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki adalah baik, sedangkan dengan kebutuhan dihargai korelasinya negatif. Hubungan nyata dan positif antara usaha berjualan dengan persepsi yang dirasakan kepala keluarga pada kebutuhan; kebutuhan dasar (r= 0.221), kebutuhan rasa aman (r= 0.254), kebutuhan dicintai (r= 0.125), termasuk hubungan yang lemah. Namun demikian hubungannya nyata positif, artinya semakin baik usaha berjualan yang dilakukan, maka persepsi yang dirasakan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga baik fisiologi, rasa aman, dan dicintai dan dimiliki baik. Korelasinya negatif dengan kebutuhan dihargai. Terdapat hubungan nyata dan positif antara usaha melalui berburu dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan rasa aman (r= 0.237), dan hubungan
113 negatif dengan kebutuhan dasar (r= -0.155), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok (r=-0,279); kebutuhan dicintai (r= -0.454). Hubungan nyata dan negatif antara usaha melalui bekerja pada orang lain dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan rasa aman (r= -0.056). kebutuhan dicintai (r= -0.182), kebutuhan dihargai
keluarga/kelompok,
(r= -0.088). Artinya semakin baik usaha bekerja pada orang lain dilakukan, maka persepsi yang dirasakan pada kebutuhan keluarga baik rasa aman, dicintai dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok tidak baik. Hubungan nyata dan positif antara usaha melalui bekerja pada orang lain dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan fisiologi / dasar (r= 0.088) namun sangat lemah. Terdapat hubungan nyata dan positif antara usaha membuat kerajinan dengan persepsi yang dirasakan pada; kebutuhan dasar (r= 0.294), kebutuhan dicintai (r= 0.416), dan kebutuhan dicintai (r=0.281), kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0,118). Hubungannya lemah, kecuali dengan kebutuhan dicintai dan dihargai keluarga. Motif sikap cara berusaha dalam menambah penghasilan kebutuhan keluarga hubungannya positif, dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan dasar (r= 0.496), rasa aman keluarga (r= 0.237), kebutuhan dicintai (r= 0.035). Dengan demikian semakin tinggi motif sikap cara berusaha menambah penghasilan, maka pesepsi yang dirasakan pada kebutuhan dasar, rasa aman, dan kebutuhan dicintai baik. Sedangkan dengan kebutuhan dihargai kelompok/ keluarga negatif. Hubungan nyata positif antara motif dalam memperoleh keterampilan dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan dasar (r= 0.372), rasa aman (r= 0.261). Kebutuhan dicintai (r=-0.279), kebutuhan dihargai (r=-0.372), hubungan negatif dengan persepsi yang dirasakan. Jadi bila upaya untuk menambah keterampilan dalam mendapatkan tambahan pengahasilan kebutuhan keluarga meningkat, maka persepsi yang dirasakan akan baik pada kebutuhan dasar dan rasa aman, sedangkan persepsinya negatif untuk kebutuhan dicntai dan dihargai. Artinya pada masyarakat baduy di jalur Kaduketug juga ada dorongan untuk menjadi lebih baik terlihat dari usahanya untuk selalu berusaha menambah pengetahuan, memperbaiki sikap cara
114 berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, dan selalu berusaha menambah keterampilan dalam menambah penghasilan untuk kebutuhan keluarga. Dorongan ini kuat khususnya untuk memperoleh kebutuhan fisiologi. Bila melihat angkaangka koefisien korelasi yang sangat dibutuhkan adalah kebutuhan fisiologi atau dasar. Interaksi sosial melalui; kegiatan komunikasi interpersonal terdapat hubungan yang nyata positif dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan dasar (r= 0.372), kebutuhan rasa aman (r= 0.427), kebutuhan dicintai (r= 0.210), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0,062). artinya bila interaksi diskusi meningkat maka persepi yang diarasakan baik pada kebutuhan dasar keluarga, dan rasa aman. Hubungannya cukup kuat, kecuali pada kebutuhan dihargai sangat lemah. Antara media massa dengan kebutuhan keluarga terdapat hubungan yang nyata positif namun lemah dan negatif dengan persepsi yang dirasakan pada; kebutuhan dasar (r= -0.519), kebutuhan rasa aman (r= 0.186), kebutuhan dicintai (r= -0.165), dan kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok, (r= 0,065); Artinya bila interaksi dengan media meningkat maka persepi yang diarasakan baik pada kebutuhan keluarga, meskipun hubungannya sangat lemah, kecuali pada kebutuhan dasar dan kebutuhan dicintai negatif. Interaksi dengan agen pembaharu juga terdapat hubunga n yang nyata positif tetapi lemah, dan ada juga hubungan negatif dengan persepsi yang dirasakan pada; kebutuhan dasar (r= 0.145), kebutuhan rasa aman (r= 0.166), kebutuhan dicintai (r= 0.086), Artinya bila interaksi dengan agen pembaharu meningkat maka persepi yang diarasakan baik pada kebutuhan dasar, rasa aman, dan dicintai meskipun sangat lemah. Sedangkan korelasi dengan kebutuhan dihargai negatif. Dari uraian di atas di lokasi Kaduketug interaksi sosial yang terjadi, baik dengan diskusi, media, dan agen pembaharu tidak ada hubungan yang nyata dan kuat, dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan keluarga, cenderung hubungannya sagat lemah, dan hubungannya negatif. Hubungan antara nilai sosial budaya dengan persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan di jalur Kaduketug. Data menunjukkan umumnya
115 terdapat hubungan yang nyata positif tetapi lemah, antara nilai sosial budaya mengenai hakekat hidup dengan seluruh persepsi yang dirasakan pada kebutuhan dasar (r= 0.142), rasa aman (r= 0.068), kebutuhan kebutuhan dicintai / dimiliki (r= 0.220), dan kebutuhan dihargai (r= 0.355). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang hidup meningkat, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan akan meningkat. Meskipun hubungannya cenderung lemah. Terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya hakekat bekerja dengan seluruh persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan kebutuhan dasar (r= 0.568), rasa aman (r= 0.362). dicintai dan dimiliki (r= 0.320) artinya bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang bekerja meningkat, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan akan meningkat, kecuali dengan kebutuhan dihargai korelasinya negatif. Hasil analisis juga menunjukkan hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya mengenai hakekat alam dengan seluruh persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan (kebutuhan dasar r= 0.390), (kebutuhan rasa aman
r=
0.360). Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang alam meningkat, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan akan baik. Kecuali korelasi dengan kebutuhan dicintai dan dimiliki), dan kebutuhan dihargai negatif. Terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya mengenai hakekat hubungan dengan sesama dengan seluruh persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan, yang cenderung kuat pada kebutuhan rasa aman (r = 0.559) korelasi dengan kebutuhan lainnya cenderung lemah. Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat hubungan dengan sesama meningkat, maka persepsi pada kebutuhan keluarga yang dirasakan baik atau akan meningkat hanya pada kebutuhan rasa aman, yang meningkat hanya lemah. Dari korelasi yang terjadi cukup kuat adalah hubungan antara hakekat bekerja dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan dasar, korelasi antara hakekat hubungan dengan sesama dengan persepsi yang dirasakan pada kebutuhan rasa aman.
116 Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan pada Kebutuhan Keluarga di Lokasi Kaduketug Hasil uji korelasi di Kaduketug menunjukkan terdapat beberapa hubungan yang nyata (positif), dan juga negatif seperti dalam Tabel 26. Hubungan antara pendapatan rumah tangga dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan (Y2) fisiologi /dasar (r = 0.694), kebutuhan rasa aman (r= 0.423), dan kebutuhan dihargai (r= 0.360). Ini artinya semakin tinggi pendapatan rumah tangga, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan fisiologi /dasar, kebutuhan rasa aman, dan kebutuhan dihargai baik. Korelasinya kuat, kecuali kebutuhan dihargai, sedangkan dengan kebutuhan dicintai negatif. Hubungan positif terjadi antara usia dengan seluruh persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan fisiologi/dasar (r= 0.720), rasa aman (r= 0.623), kebutuhan dihargai (r= 0.420), korelasinya kuat, sedangkan kebutuhan dicintai sangat lemah. Terdapat hubungan nyata positif antara jumlah anggota keluarga dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan fisiologi/dasar (r =0.842), kebutuhan rasa aman (r= 0.326), kebutuhan dicintai dan dimiliki (r= 0.113), kebutuhan dihargai (r = 0.430). Artinya semakin tinggi jumlah angota keluarga, maka persepsi kepuasan kepala keluarga baik. Hubungannya sangat kuat khususnya dengan kebutuhan dasar. Peubah usaha-usaha (X2) secara keseluruhan memiliki hubungan yang nyata dan positif dan negatif dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga. Seperti hubungan antara usaha melalui berladang dengan; kebutuhan dasar, kebutuhan dicintai (r= 0.283), korelasi dengan kebutuhan lainnya sangat lemah. Hubungan nyata dan positif antara usaha berjualan dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan dasar (r= 0.580) korelasinya cukup kuat, sedangkan korelasi dengan rasa aman, dicintai, dan dihargai keluarga dan kelompok sangat lemah. Terdapat hubungan nyata dan positif antara usaha melalui berburu dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan; kebutuhan dasar (r= 0.488), korelasinya cukup kuat, sedangkan korelasi dengan rasa aman, dicintai, dan
117 dihargai keluarga dan kelompok sangat lemah. Usaha melalui bekerja pada orang lain dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan yang tampak nyata yaitu korelasi dengan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= 0.360). Korelasi dengan kebutuhan dasar), kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai hubungannya cenderung sangat lemah. Tabel 25 Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan pada Kebutuhan Keluarga di Lokasi Kaduketug n = 14
No
Peubah X
Persepsi terhadap kepuasan Kebutuhan (Y2) Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan dasar Rasa Aman dicintai dihargai (Y2.1) (Y2.2) (Y2.3) (Y2.4)
Karakteristik Sosial (X1)
1. 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pendapatan Usia Jumlah anggota Keluarga Usaha-usaha Orang Baduy Luar (X2) Berladang (X2.1) Berjualan (X2.2) Berburu (X2.3) Bekerja pd Orang lain (X2.4) Kerajinan (X2.5) Motif (X3) Pengetahuan (X3.1) Sikap (X3.2) Keterampilan (X3.3) Interaksi Sosial (X4) Komunikasi Interpersonal (X4.1) Media (X4.2) Agen Pembaharu (X4.3)
0.694** 0.720** 0.842**
0.423 0.623* 0.326
-0.088 0.043 0.113
0.360 0.420 0.430*
0.025 0.580* 0.488 -0.386
-0.163 0.091 0.357 0.254
0.283 0.221 -0.062 -0.088
0.072 0.280 0.131 0.360
-0.206
-0.423
-0.088
-0.161
0.161 -0.081 0.271
0.066 -0.357 0.00
-0.253 -0.062 0.062
0.399 0.236 0.052
-0.108
0.535*
0.062
-0.131
0.681** 0.253
0.467 0.139
-0.162 0.531
0.342 0.306
Nilai Sosial Budaya (X5)
15 16
Hakekat hidup (X5.1) 0.031 -0,306 -0.391 Hakekat Kerja / Karya 0.497 0.078 0.189 (X5.2) 17 Hakekat Alam (X5.3) 0.085 -0.093 -0.162 18 Hakekat hubungan 0.529 -0.183 -0.191 Sesama (X5.4) Keterangan: ** taraf nyata 0,01; * taraf nyata 0,05. Pedoman interpretasi koefisien korelasi sbb: 0,0 – 0,20 hubungan sangat lemah ; 0,21 – 0,40 hubungan lemah; 0,1 – 0,60 hubungan cukup kuat; 0,61 – 0,80 hubungan kuat;
-0.015 0.080 -0.041 0.027
118 Hubungan usaha membuat kerajinan dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga korelasinya semua negatif, yaitu baik dengan kebutuhan dasar (r= -0.206), kebutuhan rasa aman (r= -0.423), kebutuhan dicintai (r= -0.088), dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok, (r= -0,161). Ini artinya semakin baik dan meningkat usaha kerajinan, semakin tidak berarti apa-apa persepsi kepuasan kepala keluarga pada seluruh kebutuhan keluarga. Motif atau dorongan kepala keluarga di jalur Kaduketug untuk melakukan sesuatu secara keseluruhan ada yang memiliki hubungan yang nyata positif dan juga negatif. Analisis dilakukan dengan hanya memperhatikan angka koefisien korelasi yang cenderung besar nilainya / lebih kuat dibandingkan nilai koefisien lainnya. Seperti antara motif dalam menambah pengetahuan memperoleh penghasilan kebutuhan keluarga dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan dihargai (r = 0.399), motif menyikapi berusaha dalam menambah penghasilan kebutuhan keluarga seluruh korelasi negatif kecuali persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan dihargai keluarga (r= 0.236). Motif menambah keterampilan untuk menambah penghasilan kebutuhan keluarga (r= 0.271), dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan dasar. Jadi bila upaya untuk menambah pengetahuan, sikap cara, dan menambah keterampilan dalam mendapatkan tambahan penghasilan keluarga meningkat, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan dasar, dan dihargai keluarga baik, tetapi hubungannya lemah. Artinya pada masyarakat baduy di jalur Kaduketug juga ada dorongan untuk menjadi lebih baik terlihat, dari usahanya terlihat adalah dorongan memperoleh pengetahuan yang lebih kuat dibandingkan dengan dorongan sikap dan menambah keterampilan. Hal ini dapat dipahami karena kepala keluarga di Kaduketug sering berjumpa dengan orang-orang yang datang sebagai tamu atau wisatawan ke Baduy, karena Kaduketug sebagai pintu gerbang masuk ke wilayah Baduy. Interaksi sosial baik melalui komunikasi interpersonal, media, dan dengan agen pembaharu hubungannya dengan persepsi terhadap kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga ada yang berkorelasi positif, dan ada juga yang negatif. Analisis dilakukan dengan hanya memperhatikan angka koefisien korelasi yang cenderung besar nilainya / lebih kuat dibandingkan nilai koefisien
119 lainnya. Seperti antara Interaksi sosial melalui; kegiatan komunikasi interpersonal terdapat hubungan yang nyata positif dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan rasa aman (r= 0.535) korelasinya cukup kuat. Korelasi dengan kebutuhan dasar negatif. Dengan kebutuhan dicintai dan kebutuhan dihargai keluarga/kelompok cenderung sangat lemah. Antara media massa terdapat hubungan yang nyata postif dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan; kebutuhan dasar (r= 0.681), kebutuhan rasa aman (r= 0.467) korelasinya kuat. Dengan kebutuhan dicintai korelasinya negatif dan dengan kebutuhan dihargai keluarga dan kelompok korelasinya lemah. Antara agen pembaharu terdapat hubungan yang nyata postif dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan dicintai (r= 0.531) korelasinya kuat. Korelasi dengan kebutuhan dasar, rasa aman, dan dihargai lemah. Dengan
demikian
semakin
baik
interaksi
melalui
komunikasi
interpersonal, dengan media, dan dengan agen pembaharu yang dilakukan, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga baik kebutuhan dasar, rasa aman, dan dicintai adalah baik. Meskipun demikian di Jalur Kaduketug kepuasan yang nyata dan lebih dari kepuasan yang lain adalah interaksi antara kepala keluarga dengan media yaitu memanfaatkan media massa, berdiskusi diantara sesama kepala keluarga dengan kebutuhan dasar juga cukup kuat. Di Jalur Kaduketug akses media lebih baik karena berbatasan dengan desa-desa lain, dan sebagai gerbang atau pintu masuk ke perkampungan Baduy. Analisis korelasi antara nilai sosial budaya dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga, ada yang positif dan ada juga negatif. Data menunjukkan antara hakekat hidup hubungannya dengan seluruh persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga negatif kecuali dengan kebutuhan dasar (r= 0.031), pada kebutuhan keluarga tidak berarti apa-apa atau tidak baik. Terdapat hubungan nyata positif antara nilai sosial budaya hakekat bekerja dengan seluruh persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan keluarga; korelasi yang kuat dengan kebutuhan dasar (r= 0.497), dengan kebutuhan lainnya sangat lemah, dapat dilihat pada Tabel 26. Jadi bila nilai sosial
120 budaya mengenai hakekat tentang bekerja meningkat, maka persepsi pada kebutuhan dasar keluarga baik. Hasil analisis menunjukkan hubungan yang nyata negatif antara nilai sosial budaya mengenai hakekat alam dengan seluruh persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan; kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai dan dimiliki, dan kebutuhan dihargai. Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat tentang alam kurang baik, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan tersebut tidak baik. Kecuali dengan kebutuhan dasar, hubungannya sangat lemah. Terdapat hubungan yang nyata positif antara nilai sosial budaya mengenai hakekat hubungan antar sesama dengan persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan; kebutuhan dasar (r= 0.529), kebutuhan dihargai
(r= 0.027), dan
hubungan negatif pada kebutuhan rasa aman, dan dicintai. Jadi bila nilai sosial budaya mengenai hakekat hubungan dengan sesama meningkat, maka persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan rasa aman, dicintai dan dihargai adalah buruk atau menurun, hanya persepsi kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan dasar yang baik.
Pembahasan Umum Karakteristik Kepala keluarga Pendapatan rumah tangga kepala keluarga Baduy paling banyak 73,6% berpenghasilan <1juta/bulan, 19,8% penghasilannya 1-2juta/bulan, dan hanya 6,6% yang berpenghasilan di atas 2 juta/bulan. Dapat dikatakan sebagian besar kepala keluarga berpenghasilan di bawah 1 juta/bulan. Namun demikian bila melihat kondisi dan kebutuhan mereka, pengamatan penulis rata-rata mereka menghabiskan keuangan di atas 1 juta untuk setiap keluarga,
sebagian
kekurangan untuk menutupi kebutuhan mereka di penuhi oleh lingkungan dalam hal ini hasil ladang dan sumber daya alam yang ada di hutan, seperti aren, madu, buah durian, rambutan, kemiri, dan tanaman lainnya. Usia kepala keluarga di ketiga jalur, menunjukepala keluargaan paling banyak 59.3% berusia muda (antara 19 Tahun s.d. 25 Tahun), sedang (antara 26 s.d. 45 tahun) 25.8%, dan berusia tua (di atas 45 tahun) 14,8%. Bila melihat data
121 tersebut sebagian besar kepala keluarga KAT Baduy berusia antara 19 tahun s.d. 25 tahun. Karena umumnya mereka menikah rata-rata setelah berumur 17 tahun, usia tersebut dianggap sudah dapat memikul tanggung jawab, sudah dapat mengolah ladang sendiri, dan melakukan aktivitas lain seperti mencari hasil hutan, membuat perkakas kebutuhan berladang dan berumah tangga seperti menganyam membuat centong, siduk dan lain- lain. Jumlah anggota keluarga di seluruh jalur, dalam setiap keluarga inti dilihat dari jumlah anak, kepala keluarga, dan isteri atau tanpa isteri, paling banyak 74,7% jumlah anggota keluarga besar (>6orang), jumlah anggota keluarga sedang (5 orang) 15,9%, dan jumlah anggota keluarga kecil (3-4 orang) 9.3%. Jadi jumlah anggota keluarga dalam komunitas adat Baduy umumnya di atas 6 orang dari hasil wawancara dan pengamatan kebanyakan setiap keluarga memiliki anak 4 orang.
Usaha dan Pola Produksi Usaha dan pola produksi kepala keluarga di lokasi Bawah Barat (a) sebagian besar (76,4%) menyatakan berladang adalah penting; berjualan 68.1%; berburu 61.1%; bekerja pada orang lain 63.8%; dan membuat kerajinan 66.7% menyatakan penting. Usaha dan pola produksi di lokasi Tengah Barat (b) sebagian besar (82.3%) menyatakan berladang adalah penting; berjualan 59.4%; berburu 45.8%; bekerja pada orang lain penting 83.3%; dan membuat kerajinan 82.3% menyatakan penting. Usaha dan pola produksi di lokasi Kaduketug atau ibukota Desa Kanekes ini umumnya lebih bervariasi responnya baik untuk berladang, berburu, bekerja pada orang lain, dan membuat kerajainan. Seperti untuk berladang 42.9% kepala keluarga menyatakan penting, dan sebanyak 42.9% kepala keluarga menyatakan kurang penting; berjualan 57.2%; berburu sebagian besar (57.2%) menyatakan penting; bekerja pada orang lain sebagian kepala keluarga (50.0%) menyatakan kurang penting; dan membuat kerajinan sebagian kepala keluarga (50.0%) menyatakan kurang penting.
122 Dari data tersebut terlihat sedikit ada perbedaan baik dijalur a, b, dan c dari aspek usaha dan pola produksi untuk memenuhi kebutuhan keluarga di jalur a, dan b berladang, berjualan dan membuat kerajinan mejadi hal yang penting untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sementara di Kaduketug yang menonjol dan cenderung dianggap penting adalah berjualan. Hal ini karena akses di Kaduketug lebih terbuka dan banyak berbatasan dengan desa lain, dan juga merupakan pintu gerbang ke perkampungan Baduy, maksudnya seluruh tamu atau pengunjung yang akan masuk ke wilayah Kanekes, baik ke Baduy Dalam maupun ke Baduy Luar melalui Kaduketug. Data juga menunjukkan ada persamaan untuk jalur Bawah Tengah, dan Tengah Barat cenderung menganggap penting membuat kerajinan, sedangkan kepala keluarga di Kaduketug menganggap kurang penting membuat kerajinan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk seluruh jalur, paling banyak (76,9%) menganggap penting berladang sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga, 17,0% menganggap kurang penting, dan hanya 6,0% menganggap tidak penting berladang dalam hal memenuhi kebutuhan keluarga. Karena hampir setiap orang Baduy mengatakan bahwa berladang adalah mata pencaharian pokok untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga mereka. Artinya berladang bagi orang Baduy hal yang sangat penting karena berhubungan dengan adat, dan memiliki ritual khusus. Berladang ibarat ibadah dan sakral bagi komunitas adat Baduy. Orang Baduy merupakan peladang murni. Berladang merupakan tumpuan pokok mata pencaharian mereka. Sistem perladangan yang dikenal berupa perladangan berpindah (Iskandar, 1992:29). Aktivitas berladang disebut ngahuma. Bagi warga Baduy yang sudah berkeluarga, wajib memiliki huma sendiri dan mematuhi tata aturan perladangannya. Tradisi orang Baduy mengenal 5 macam huma berdasarkan fungsinya, yakni huma serang, huma puun dan kokolot, huma tangtu, huma tuladan, serta huma panamping. Huma serang merupakan huma adat milik bersama. Penggarapan huma ini dikerjakan secara bersama-sama oleh segenap masyarakat Baduy, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar, dipimpin oleh pimpinan adat atau puun dengan waktu yang sudah ditetapkan oleh lembaga adat.
123 Berikut ini dalam Tabel 26, adalah aktivitas dan jadwal kegiatan warga Baduy selama 1 tahun. Tabel 26 Siste m Kalender dan Aktivitas Warga Baduy 2008-2009 Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Baduy Sapar / Kapat Kalima Kanem Katujuh Kadalapan Kasalapan Kasapuluh Hapit-lemah Hapit-kayu Kasa Karo Katiga
Sebagaimana
Sunda Kasa Karo Katiga Kapat Kalima Kanem Kapitu Kawalu Kasonga Kasadasa Desta Sada
dikemukakan
Masehi Mei 2008 Juni 2008 Juli 2008 Agustus 2008 September 2008 Oktober 2008 November 2008 Desember 2008 Januari 2009 Februari 2009 Maret 2009 April 2009
oleh
Aktivitas Seba, narawas, nyacar Inisiasi, perkawinan, muja Nukuh,selametan Ngaduruk, Ngaseuk serang Ngaseuk huma puun Ngaseuk huma tangtu Ngaseuk huma warga Mipit Semi panen Kawalu tembeuy Kawalu panengah Kawalu tutug, ngalaksa
Mulyanto,
Prihartanti,
dan
Moordiningsih, (2006:12). Narawas, artinya mencari atau memilih lahan untuk dijadikan huma. Nyacar, berarti menebas rumput atau semak belukar. Nukuh, berarti mengeringkan rumput dan hasil tebasan lainnya. Ngaduruk adalah kegiatan membakar sampah yang telah dikumpulkan pada kegiatan nukuh. Ngaseuk, artinya membuat lubang kecil dengan menggunakan aseukan (penugal) untuk mananam benih padi. Menugal dilakukan oleh pria, sedangkan memasukepala keluargaan benih padi ke dalam lubang tugalan dilakukan oleh perempuan. Ngirab sawan, membersihkan sampah bekas ranting dan daun atau tanaman lain yang mengganggu tanaman padi yang sedang tumbuh. Mipit adalah kegiatan pertama kali memetik atau menuai padi. Tiga bulan saat pemanenan tersebut sering pula dikenal dengan bulan kawalu. Penelitian ini dilakukan pada bulan ngaseuk huma warga sampai menjelang bulan kawalu tembeuy. Dibuat, berarti menuai atau memotong padi (panen). Ngunjal, artinya mengangkut hasil panen padi dari huma ke lumbung padi. Nganyaran, upacara makan nasi baru atau nasi pertama kali hasil dibuat di huma serang. Seluruh tata urutan perladangan di ikuti oleh masyarakat Baduy. Dari uraian tersebut, kegiatan dan aktivitas berladang, dapat dikatakan sebagai kegiatan yang dapat dikatakan cara orang baduy dalam memenuhi kebutuhan keluarga, segala runtutan kegiatan yang berkenaan dengan huma
124 serang, mulai ngaseuk serang sampai ngunjal. Setelah huma serang, kemudian huma puun dan kokolot. Merupakan upaya pemenuhan kebutuhan baik kebutuhan lahir maupun bathin berupa penerapan nilai budaya oleh warga. Runtutan dan keterlibat individu sebagai anggota komunitas adat wajib, bila tidak sistem kebudayaan Baduy tidak akan berfungsi dengan baik, karena berangkatnya segala upacara adat di Baduy berawal dari hasil perladangan, terutama huma serang. Untuk kebutuhan sehari- hari, orang Baduy juga menanam atau memelihara beberapa jenis tanaman lain. Tanaman yang merata adalah kawung (enau/aren). Usaha berjualan di seluruh jalur paling banyak 62,6% menganggap penting sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga, 30,2% menganggap sedang, dan hanya 7,1% menganggap rendah berjualan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Artinya data tersebut menunjukkan berjualan hal yang penting bagi kepala keluarga Baduy Luar untuk kebutuhan keluarga meskipun komoditas yang mereka jual terbatas seperti madu, gula, kerajinan jarog berupa tas khas Baduy. Sering terlihat orang Baduy berusaha memasarkan dagangannya antara lain ke kota Rangkasbitung, Bogor, Serang, Tangerang, dan Jakarta. Umumnya yang di jual keluar Baduy adalah golok, madu, dan jarog (tas khas Baduy), Tanaman yang banyak dijumpai di daerah Baduy dan memiliki nilai ekonomis seperti kelapa, jagung, rambutan, picung / kluwek, langsat, jatake / gandaria, kuini, petai, kadu / durian. Di antara tanaman tersebut hanya durian dan petai yang dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan uang, sementara yang lain hanya untuk keperluan sendiri. Buah picung, selain untuk makanan, juga dijadikan minyak sebagai bahan bakar lampu tradisionil. Pentingnya berburu dan meramu dalam memenuhi kebutuhan keluarga bagi kepala keluarga di seluruh jalur paling banyak 50,5% menganggap penting, 37,9% menganggap kurang penting, dan 11,5% menganggap tidak penting. Berburu bagi masyarakat Baduy sebenarnya sebatas mencari sarang lebah dan tawon untuk diambil madunya, dan menjerat burung. Jarang sekali orang Baduy berburu hewan berkaki empat karena secara adat dilarang. Kecuali untuk keperluan upacara misalnya saat Kawalu.
125 Untuk keperluan hidangan upacara Kawalu (Hari Raya), orang Baduy di bolehkan menangkap hewan, di sebut lanjak untuk hewan darat dan punday untuk hewan air. Hewan yang boleh di lanjak terbatas pada peucang ‘kancil’, buut ‘tupai’, dan mencek ‘menjangan’. Adapun hewan yang boleh di punday adalah soro, kancra, paray, dan hurang ‘udang’ (Permana, 2006:43). Selain berburu orang Baduy Luar juga meramu nira yang diambil dari pohon kawung (enau) yang umumnya di tanam selain padi (enau), yang di ambil airnya (nira). Dari niranya, orang penamping (Baduy Luar) membuat gula yang dapat di tukar atau dijual. Sementara itu, bagi orang tangtu tabu membuat gula. Nira kawung hanya dijadikan minuman yang disebut wayu (sejenis tuak). Keperluan gula bagi orang tangtu dapat diperoleh dari orang penamping. Tanaman lain yang juga banyak dijumpai di darah Baduy adalah kelapa, jagung, rambutan, picung / kluwek, langsat, jatake / gandaria, kuini, petai, kadu / durian. Diantara tanaman tersebut hanya durian dan petai yang dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan uang, sementara yang lain hanya untuk keperluan sendiri. Buah picung, selain untuk makanan, juga dijadikan minyak sebagai bahan bakar lampu tradisionil. Tanaman yang dilarang di wilayah Baduy, terutama di daerah tangtu, adalah kopi, lada, dan cengkeh. Bekerja pada orang lain dalam hal ini adalah membantu mengerjakan ladang orang lain atau ladang milik penduduk disekitar luar Desa Kanekes, atau membantu menjualkan hasil ladang atau ramuan berupa gula orang Baduy itu sendiri. Paling banyak 72,0% menganggap hal tersebut penting, 22,5% menganggap sedang, dan dan 5,5% menganggap rendah bekerja pada orang lain. Artinya sebagian besar memandang penting bekerja pada orang lain sebagai penambah penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, hal ini tampak terlihat setiap hari lalu lalang orang Baduy menuju Ciboleger selain melakukan berbagai aktivitas antara lain adalah menuju ladang milik masyarakat sekitar yang menjadi garapan mereka. Kerajinan sebagai usaha dalam memenuhi kebutuhan keluarga bagi kepala keluarga di seluruh jalur, paling banyak 72,5% menganggap penting, 22,0% menganggap sedang, dan hanya 5,5% menganggap rendah atau tidak penting. Kerajinan tangan yang cukup terkenal dari daerah Baduy adalah rajutan
126 ”kantung koja” atau ”jarog” yang dimuat dari serat kayu atau benang. Sedangkan kaum wanitanya biasanya menenun kain tradisionil. Mata pencaharian orang penamping “Baduy Luar” lebih bervariasi dibanding orang tangtu. Orang penamping sekarang ada yang biasa berdagang pakaian, rokok, gula garam, ikan asin, mie instant, dan hasil hutan atau hasil huma lainnya. Mereka juga ada yang biasa membeli benang dan kain batik “corak Baduy” di Pasar Pagi atau Tanah Abang Jakarta, dan Majalaya Bandung (Jawa Barat), kemudian menjualnya di daerah Baduy. Sering pula orang penamping berdagang pakaian, madu, dan kerajinan Baduy ke luar wilayah Baduy hingga Bogor, Bandung, dan Jakarta. Berkaitan dengan usaha orang Baduy dalam memenuhi kebutuhan keluarga, menurut Iskandar (1992:29), bahwa mata pencaharian utama orang Baduy adalah berladang. Sedangkan mata pencaharian lainnya, seperti berburu binatang, membuat kerajinan tangan dan berdagang adalah merupakan pekerjaan sampingan saja di waktu-waktu luang, sewaktu mereka tidak sibuk kerja di ladang. Kerajinan tangan yang cukup terkenal dari daerah Baduy adalah rajutan ”kantung koja” atau ”jarog” yang dibuat dari serat kayu atau benang. Sedangkan kaum wanitanya biasa menenun kain tradisionil.
Motif Kepala Keluarga Memperoleh Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan Motif mencari pengetahuan di lokasi Bawah Barat (a), paling banyak (44.4%) motifnya sedang, untuk motif menyikapi kebutuhan keluarga paling banyak (50.0%) menyatakan motifnya sedang, motif menambah keterampilan paling banyak (77.8%) motifnya sedang. Di lokasi Tengah Barat motif mencari pengetahuan paling banyak (60.4%) menyatakan motifnya sedang, motif menyikapi kebutuhan keluarga paling banyak (47.9%) motifnya tinggi, motif menambah keterampilan paling banyak 59.4% motifnya sedang dalam menambah keterampilan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di Kaduketug sebagian kepala keluarga (50.0%) motifnya rendah. Motif menyikapi kebutuhan hidup paling banyak (57.1%) adalah sedang. Motif
127 menambah keterampilan paling banyak (59.1%) adalah sedang, dalam menambah keterampilan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Data tersebut menunjukkan di jalur Bawah Barat dan Tengah Barat ada persamaan motif memperoleh pengetahuan yakni cenderung menganggap kurang penting, sedangkan di Kaduketug motifnya cenderung rendah atau menganggap tidak penting pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk motif menyikapi cara berusaha dalam menambah penghasilan kebutuhan keluarga di jalur Bawah Barat dianggap kurang penting oleh kepala keluarga, sedangkan di jalur Tengah Barat, dan Kaduketug cenderung kepala keluarga menyatakan kurang penting. Motif kepala keluarga memperoleh keterampilan pada setiap jalur sama yaitu cenderung menyatakan kurang penting. Keseluruhan data motif pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai upaya kepala keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga paling banyak menyatakan kurang penting, untuk semua aspek baik pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Hal ini karena komunitas adat Baduy Luar dalam hal belajar dan memepelajari segala sesuatu untuk bertahan hidup dan mengahadapi segala kemungkinan dalam hidup mereka peroleh dari adat dan nilai- nilai yang berlaku. Hasil penelitian Mulyanto dkk (2006:13), dan hasil wawancara dengan pemuka adat terkait dengan nilai budaya komunitas adat Baduy tentang pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh secara formal antara lain pandangan mereka: Pandangan tentang sekolah. Sekolah formal dilarang oleh adat, pertama, karena menurut jaro Cibeo, cukup bagi orang Baduy mengurus wiwitan, yaitu mengurus adat. Sekolah formal itu untuk orang luar dan biarkan orang luar yang mengurus negara. Kedua, kalau orang sudah sekolah, nanti pintar, kalau sudah pintar akan cenderung berbuat semaunya yang dikhawatirkan banyak melanggar adat dan etika yang berlaku.
Interaksi Sosial Interaksi Sosial di lokasi Bawah Barat (a) sebagian besar kepala keluarga (61.1%)
meyatakan
sering
melakukan
berdiskusi
atau
berkomunikasi
interpersonal. Dalam memanfaatkan media sebagian kepala keluarga (50.0%) cenderung menyatakan kadang-kadang memanfaatkan media. Berinteraksi
128 dengan agen pembaharu paling banyak (54.2%), dan menyatakan kadang-kadang berinteraksi. Di lokasi Tengah Barat (b) sebagian besar kepala keluarga (72.9%) menyatakan sering mereka melakukan berdiskusi dengan sesamanya. Sebagian besar kepala keluarga (42.7%) menyatakan sering memanfaatkan media. Dengan para agen pembaharu paling banyak (70.8%) adalah sering. Di Jalur Kaduketug (c) paling banyak kepala keluarga (50.0%) menyatakan kadang-kadang mereka lakukan berdiskusi Memanfaatkan media sebagian kepala keluarga (57.1%) menyatakan kadang-kadang. dan interaksi dengan para agen pembaharu paling banyak (78.6%) menyatakan atau kadangkadang mereka berinteraksi. Dari deskripsi untuk setiap jalur dapat dikemukakan ada perbedaan mengenai komunikasi interpersonal atau diskusi diantara kepala keluarga untuk Jalur Bawah Barat, Tengah Barat, dan Kaduketug. Pada dua jalur dianggap penting dan sering dilakukan sedangkan di Kaduketug cenderung jarang dilakukan. Jalur Tengah Barat cenderung tinggi interaksinya dengan media, sedangkan Bawah Barat dan Kaduketug sama cenderung sedang interaksinya dengan media. Dan interaksi dengan agen pembaharu di lokasi Tengah Barat cenderung tinggi interaksinya dengan agen pembaharu, sedangkan Bawah Barat dan Kaduketug sama cenderung sedang interaksinya dengan pembaharu. Data tersebut menunjukepala keluargaan bahwa Komunikasi interpersonal diantara mereka sangat penting, diskusi biasanya dilakukan di ladang saat beristirahat, dan dalam perjalanan menuju kota atau Kampung Ciboleger karena biasanya mereka melakukan perjalanan secara berkelompok antara 4 sampai 7 orang. Diskusi juga biasa dilakukan di rumah salah seorang kepala keluarga biasanya malam antara pukul 19:00 sampai Pukul 21:00. Dalam hal interkasi dengan media data tersebut menunjukepala keluargaan bahwa interaksi kepala keluarga Baduy Luar dengan media kadangkadang saja mereka lakukan, karena meskipun di Baduy Luar relatif sudah terbuka dan di bolehkan memiliki media berupa televisi, radio, tetapi umumnya mereka tidak memiliki media tersebut, kalaupun ada sangat sedikit yang memilikinya. Kampung Gajeboh, Balimbing, Kaduketug, Kampung ini sangat
129 terbuka karena umumnya para pelancong yang datang ke Baduy biasanya mereka menginap di perkampungan tersebut, pengamatan penulis hanya ada lima rumah yang memiliki radio, dapat dikatakan media tersebut jarang dimiliki oleh mereka. Media yang biasanya mereka gunakan umumnya radio, televisi biasanya mereka sering berinteraksi saat pergi menuju ke kota, atau di Ciboleger kampung perbatasan dengan Desa Kanekes, biasanya mereka menonton saat istirahat di kedai yang berfungsi tempat istirahat / shelter wisatawan yang hendak menuju perkampungan Baduy. Sedangkan suratkabar sangat jarang mereka gunakan, hanya beberapa orang saja yang menggunakan. Meskipun tidak berpendidikan formal, sebagian masyarakat bisa membaca, menulis, dan berhitung. Hal tersebut dipelajari dari pengunjung yang datang ke Baduy. Bukti tulisan masyarakat Baduy terlihat pada kayu-kayu di rumahnya, yang ditulis menggunakan arang. Tulisan yang ditulis yaitu nama mereka sendiri. Selain belajar dari interaksi dengan pengunjung, orang Baduy juga mengenal huruf dari abjad hanacaraka dan kolenjer (huruf-huruf sunda kuno). Karena meskipun mereka bisa membaca huruf latin, tetapi mereka bila ditanyakan hal itu mereka menjawab biasanya tidak dapat membaca. Hal ini terkait dengan nilai adat yang mereka pegang. Biasanya hanya untuk mereka sendiri. Interaksi dengan agen pembaharu dianggap hal yang penting karena mereka menganggap bila bertemu dengan orang-orang di luar komunitas mereka merupakan hal yang dapat memberikan pengalaman dan pengetahuan bagi mereka, dan juga merasa senang para kepala keluarga melakukan interaksi dengan agen pembaharu.
Nilai Sosial Budaya Nilai Sosial Budaya di lokasi Bawah Barat (a) mengenai hakekat hidup di dunia baik dan buruk. Paling banyak 79.2% kepala keluarga menyatakan kurang baik tentang hakekat hidup, hakekat bekerja sebagian besar (83.3%) menyatakan adalah penting, hakekat tentang alam dan lingkungan paling banyak (63.9%) mengatakan penting, hakekat berinteraksi dengan sesama paling banyak (63.9%) mengatakan penting.
130 Nilai Sosial Budaya di lokasi Tengah Barat (b) mengenai hakekat hidup di dunia baik dan buruk. Sebagian besar kepala keluarga (90.6%) menyatakan kurang baik, memaknai hakekat bekerja hampir seluruhnya (98.9%) menyatakan penting, hakekat tentang alam sebagaian besar (61.5%) menyatakan penting, dan hakekat hubungan dengan sesama sebagian besar (79.1%) menyatakan penting. Nilai Sosial Budaya di Jalur Kaduketug (c) mengenai hakekat hidup di dunia baik dan buruk. Paling banyak (64.3%) kepala keluarga menyatakan kurang baik, tentang hakekat kerja sebagian besar (64.3%) menyatakan penting, mengenai hakekat alam sebagian kepala keluarga (50.0%) memaknai alam kurang penting, dan mengenai hakekat hubungan dengan sesama sebagian (50.0%) menyatakan penting. Terlihat ada persamaan makna tentang hakekat hidup untuk setiap jalur cenderung menyatakan sedang atau kurang setuju mengatakan baik. Data juga menunjukepala keluargaan seluruh kepala keluarga disetiap jalur cenderung memaknai hakekat bekerja itu sangat penting. Mengenai hakekat alam dan lingkungan, ada kecenderungan di Jalur Bawah Barat dan Tengah Barat memaknai alam sangat penting, sedang di Kaduketug cenderung memaknainya sedang atau penting. Dan ada kecenderungan seluruh kepala keluarga di setiap jalur memaknai hakekat hubungan dengan sesama itu tinggi atau sangat penting. Diseluruh jalur kepala keluarga cenderung mengatakan bahwa hidup itu kurang setuju baik. Hal ini disebabkan orientasi hidup mereka pada kesederhanaan dan apa adanya mereka hidup sangat tergantung dan terikat oleh adat, sehingga cenderung terlihat kaku meskipun sesungguh mereka tidak demikian, hal ini yang membuat mereka cenderung memaknai hidup kurang setuju sebagai sesuatu yang baik. Sebagai contoh meskipun ini hanya berlaku bagi orang Baduy Dalam tentang alat transportasi. Selain sekolah, keseragaman pandangan orang Baduy juga ada ketika merespon transportasi modern, seperti mobil, motor atau kereta. Namun, konformitas terhadap larangan penggunaan alat transportasi ini, hanya ada di Baduy Dalam saja. Bagi orang Baduy Dalam naik kendaraan merupakan salah satu pantangan, karena hal itu sudah melanggar adat dan akan dihukum adat (Mulyanto, dkk 2006:15).
131 Larangan tersebut membuat para tokoh adat, termasuk puun melarang pula orang-orang tangtu berjalan terlalu jauh, seperti ke Jakarta atau ke Tangerang, karena khawatir jika nanti lelah kemudian naik mobil, lalu akhirnya terjadi pelanggaran adat. Meskipun tidak diikuti oleh para tokoh adat, orang Baduy akan mengaku sendiri jika dirinya melakukan kesalahan dengan naik kendaraan. Contoh lain mengenai nilai budaya yaitu Pandangan tentang menjual padi. Prinsip dari orang Baduy adalah dari pada menjual lebih baik membeli. Padi dari huma tidak difokuskan untuk makan sehari- hari tapi untuk antisipasi hari tua. Adanya keseragaman pemahaman pada prinsip ini membuat ketahanan pangan masyarakat Baduy menjadi sangat kuat. Dari prinsip-prinsip hidup itu yang sangat kuat mereka pegang yang mugkin menjadikan seolah-olah hakekat hidup itu dimaknai kurang setuju baik. Hampir semua orang Baduy Luar memaknai berkerja (berkarya) adalah suatu keharusan dan kewajiban yang dijalani oleh semua orang Baduy. Hal tersebut bila memperhatikan anggota keluarga dalam keluarga Baduy Luar mulai anak-anak dan isteri membantu pekerjaan kepala keluarga, seperti anak-anak lakilaki biasanya diajak untuk pergi ke ladang tidak hanya semata- mata bekerja tetapi diajarkan beberapa hal bagaimana cara mengolah tanah seperti yang di anjurkan adat dengan tidak “melukai bumi” dengan tidak mencangkulnya tetapi hanya dengan cara melubangi tanah, membersihkan semak dan perdu-perdu, selain itu di ajarkan bagaimana memanfaatkan hasil hutan mencari madu, buah picung, nira, buah atep “kolang-kaling,” menjaring burung, menangkap “buut” bajing. Selain itu juga diajarkan bagiamana mengolah nira menjadi gula. Sementara isteri biasanya membantu merapikan hasil ladang dengan membantu mensortir / memilih hasil ladang untuk dijual, seperti mensortir jahe, umbi- umbian, hasil kebun seperti petai, buah picung “keleuweuk,” kemiri, membungkus gula dengan daun pisang, dan tentuya pekerjaan rumah tangga. Selain itu dalam mengisi waktu luang biasanya mereka menenun. Aktivitas daur hidup Berdasarkan hasil observasi di salah satu perkamp ungan Baduy, Kampung Marenggo, Balimbing, Kaduketug, umumnya kehidupan sehari- hari orang Baduy berjalan secara rutin, mulai dari bangun tidur,
132 makan, ke huma, sampai tidur lagi. Hari istirahat atau libur orang Baduy adalah hari Selasa. Berikut aktivitas keseharian orang Baduy: Isuk-isu, membereskan rumah, persiapan masak, ada yang mulai berangkat ke huma; Rangsang, memasak, mencuci, mengasuh anak, ke huma; Tengari pulang ke rumah untuk makan, atau makan di huma; Lingsir, akhir kerja di huma, istirahat di huma atau langsung pulang ke rumah; Burit, pulang ke rumah dari huma, mandi, makan; Sareureuh buda, anak-anak istirahat dan tidur, dewasa masih berbincang-bincang di sosoro rumah; Sareureuh kolot orang tua dan dewasa istirahat, mulai tidur; Tengah peuting orang dewasa tidur, ronda malam bergerak; Janari leutik, bangun tidur bersiap ke huma / masih tidur Demikian aktivitas produksi dan kegiatan sehari- hari orang Baduy dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dari deskripsi tersebut terlihat adanya ke-konsistenan dalam melakukan berbagai aktivtas kehidupan, yang dapat dikatakan implementasi dari nilai budaya yang mereka anut dan pegang dalam menjalani kehidupan. Kepala keluarga di seluruh jalur memaknai bahwa alam itu sangat penting dan bermakna bagi kehidupan mereka. Kecintaan dan penghormatan orang Baduy pada alam terlihat dalam berbagai aktivitas kehidupan terutama saat akan melakukan perladangan, berhuma, selalu ada upacara yang tujuannya sebenarnya menghormati alam, karena mereka sangat mejaga keseimbanga n alam, seperti, upacara ngawalu, ngalaksa, dan seba. Ada tiga kegiatan upacara terkait dengan kegiatan perladangan yang harus diselenggarakan oleh orang Baduy. Ngawalu, adalah upacara dalam rangka “kembalinya” padi dari ladang ke lumbung dilakukan sebanyak tiga kali, masing- masing sekali dalam tiap-tiap bulan kawalu. Kawalu awal disebut kawalu tembeuy atau kawalu mitembeuy, kemudian kawalu tengah, dan terakhir kawalu tutug. Ngalaksa, berarti kegiatan atau upacara membuat laksa, semacam mi tetapi lebih lebar, seperti kuetiaw yang terbuat dari tepung beras. Keterlibatan warga sangat dijunjung tinggi pada saat upacara ngalaksa karena upacara ini menjadi tempat perhitungan jumlah jiwa penduduk Baduy. Bahkan, bayi yang baru lahir maupun janin yang masih didalam kandungan juga akan masuk hitungan ketika upacara ngalaksa. Oleh karena sifatnya yang sakral, maka
133 upacara ngalaksa dan kawalu tidak boleh disaksikan oleh orang luar, termasuk peneliti. Selain itu bentuk penghormatan mereka pada alam terlihat pada rumahrumah mereka seperti Pemakaian paku dilarang bagi rumah orang Baduy Dalam, tetapi untuk Baduy Luar ada yang menggunakan ada yang tidak, dan tanah tidak boleh diratakan, karena orang Baduy berprinsip melestarikan alam, maka segalanya harus mengikuti kehendak alam, semua bentuk rumah seragam karena agar tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin, jadi semuanya sama. Adapun teknis pembuatan rumah dikerjakan secara gotong royong. Kepala keluarga hampir seluruhnya cenderung memaknai bahwa beinteraksi dengan sesama sangat penting dan bermakna bagi kehidupan mereka. Komunitas adat Baduy sebenarnya bukanlah masyarakat yang sangat menutup diri dari orang luar, mereka bebas berinteraksi dengan siapapun, kecuali kaum wanitanya bila diajak berbicara cenderung me nghindar, dengan alasan nunggu orang tua atau suami, hal ini menurut penulis adalah nilai positif dan etika yang umum berkembang di masyarakat Baduy dan masyarakat pada umumnya. Menurut Mulyanto, dkk (2006:15), konsep kebersamaan, dan hubungan antar sesama manusia bagi orang Baduy penting untuk menjujung tinggi harkat dan martabat. Rumah, pakaian dan pakaian sehari- hari menunjukan kesamaan. Tidak ada perbedaan antara “penguasa” dan “rakyat biasa” dan tidak ada perbedaan pula antara yang “kaya” dan yang “miskin”. Tidak ada perselisihan dan permusuhan. Sebagaimana nilai kebersamaan dibawah ini: teu meunang pajauh-jauh leungkah pahareup-hareup ceurik pagaet-gaet lumpat Terjemahan : tidak boleh berjauh-jauh langkah berhadapan nangis berdekatan lari undur nahan tembong pundung datang nahan tembong tarang Terjemahan : pergi jangan perlihatkan kekecewaan, datang jangan perlihatkan kesombongan
134 Salah satu upacara yang berkaitan dengan interaksi yaitu Seba, berasal dari kata nyaba artinya menyapa yang mengandung pengertian datang mempersembahkan laksa disertai hasil bumi lainnya kepada penguasa nasional. Substansi seba adalah silaturrahmi pemerintahan adat kepada pemerintah nasional seperti camat, bupati dan gubernur yang diadakan setahun sekali. Dari konsep nilai kebersamaan Komunitas
Adat Baduy, kebersamaan
telah menjadi cita-cita bersama masyarakat Baduy. Hal ini terlihat dalam kegiatan gotong royong yang selalu dilaksanakan, mulai dari membuat jembatan, membuat rumah, membuat saung lisung, ronda malam, bahkan aktivitas perladangan, seperti ngaseuk serang, dan upacara adat lainnya. Dari uraian tersebut Kepala Keluarga KAT Baduy Luar dalam menjalankan berbagai aktivitas hidup masih sangat dipengaruhi oleh nilai- nilai budaya yang mereka pegang dan jalankan secara konsekwen. Seperti konsep saling mengahargai antar sesama, perilaku saling menghargai antar sesama warga sangat dijaga. Sekalipun tidak ada aturan tertulis, namun etika publik selalu dikedepankan, seperti dalam bait pikukuh adat di bawah ini, mipit kudu amit ngala kudu menta nyaur kudu diukur nyabda kudu diunggang ulah ngomong segeto-geto ulah lemek sadaek-daek ulah maling papanjingan Terjemahan bebas : memetik harus ijin mengambil harus meminta bertutur haruslah diukur berkata haruslah dipertimbangkan jangan berkata sembarangan jangan berkata semaunya jangan mencuri walau kekurangan
Paham kebersamaan bagi masyarakat Baduy (Komunalisme) tidak berarti wilayah individu yang privat tercerabut. Baduy mengakui kepemilikan individu harus dihargai dan dijunjung tinggi, sehingga kemerdekaan orang lain diberi ruang sekaligus menjadi batas kemerdekaan individu. Seperti dalam bait: jangan
135 berkata sembarangan karena akan menyakiti orang lain, jangan mencuri walaupun kekurangan, jika butuh lebih baik meminta baik-baik. Kekompakan kelompok akan terjaga dengan adanya penghargaan antara satu sama lain.
Persepsi Kepala Keluarga pada Kebutuhan Keluarga Persepsi terhadap kebutuhan keluarga yang dirasakan di lokasi Bawah Barat (a) kebutuhan fisiologi / dasar Paling banyak 58.3% persepinya baik, kebutuhan rasa aman paling banyak 73.6% menyatakan persepinya baik, kebutuhan dicintai dan dimiliki meliputi paling banyak 70.8% dipersepsi baik atau dirasakan memadai. Kebutuhan dihargai paling banyak 79.2% dipersepsi baik atau dirasakan memadai. Persepsi terhadap kebutuhan keluarga yang dirasakan di lokasi Tengah Barat (b) sebagian besar kepala keluarga persepinya baik yaitu 69.8% pada kebutuhan dasar, pada kebutuhan rasa aman persepinya tinggi 91.7%, untuk kebutuhan dicintai dan dimiliki persepsinya baik yaitu, 70.3%, dan kebutuhan dihargai hampir seluruh kepala keluarga yaitu, 93.7% menyatakan persepsinya baik atau dirasakan memadai. Persepsi terhadap kebutuhan keluarga yang dirasakan di Kaduketug (c) Untuk kebutuhan fisiologi 71.4% persepinya kurang baik, pada kebutuhan rasa aman 50.0% persepinya sedang kurang baik, sebanyak 78.6% kepala keluarga mempersepsi kurang baik untuk kebutuhan dicintai dan dimliki keluarga, dan kebutuhan dihargai juga persepsi kepala keluarga kurang baik sebanyak 71.4% atau dirasakan kurang memadai. Dari deskripsi masing- masing jalur, dapat disimpulkan di dua jalur yaitu bawah barat (a), tengah barat (b) untuk kebutuhan dasar cenderung persepsinya sama yaitu baik, sedangkan jalur Kaduketug cenderung persepsinya kurang baik. Untuk kebutuhan rasa aman di kedua jalur cenderung persepsinya sama yaitu baik, sedangkan di Kaduketug cenderung persepsinya kurang baik. Kebutuhan dicintai dan dimiliki kedua jalur a dan b, cenderung persepsinya sama yaitu baik, sedangkan Kaduketug persepsinya kurang baik. Dan kebutuhan dihargai baik a dan b di kedua jalur cenderung persepsinya sama yaitu baik, sedangkan Kaduketug cenderung persepsinya kurang baik.
136 Jadi dari ketiga jalur yang persepsinya berbeda pada kebutuhan keluarga yang dirasakan hanya kepala keluarga di Kaduketug menyatakan persepsinya kurang baik atau dirasakan kurang memadai, sedangkan untuk kepala keluarga di lokasi Bawah Barat dan Tengah Barat sama menyatakan persepsinya baik atau dirasakan memadai. Data tersebut menunjukkan bahwa seluruh kepala keluarga cenderung persepsinya terhadap kebutuhan dasar yang dirasakannya saat ini memadai baik pakaian, rumah, dan makanan. Hal ini menurut pengamatan dan wawancara bagi kepala keluarga kebutuhan tersebut sudah memadai karena adat mengajarkan pada
mereka
untuk
tidak
berlebihan
harus
secukupnya.
Sebagaimana
dikemukakan dalam adat dan nilai- nilai Baduy mengenai kebermaknaan hidup. Menurut Mulyanto, Prihartanti, Moordiningsih (2006:15), orang Baduy menganggap hidup harus dijalani dengan sederhana, semampunya, dan sewajarnya. Pertama, hidup adalah untuk mencari kebahagian, bukan untuk mengejar materi. Kedua, tercukupi kebutuhan fisik; makan cukup, pakaian ada, dan bisa berbakti kepada orang tua. Ketiga, untuk mencari bahagia maka harus jujur, benar, dan pintar. Pintar saja tapi tidak benar, hal itu tidak indah. oleh karenanya jangan ada syirik, licik, jangan memfitnah, jangan berbohong, jangan selingkuh. Percuma hidup kalau hanya jadi tukang menipu dan menindas orang lain. Saling harga menghargai diantara keluarga inti, sesama anggota kelompok Komunitas Baduy Luar, dan kepala kampung. Terjadi di lingkungan KAT Baduy Luar. Saling menghargai adalah salah satu norma nilai budaya yang berpengaruh terhadap perilaku masyarakat Baduy.
Persepsi Kepuasan Kepala Keluarga pada Kebutuhan Keluarga Persepsi Kepuasan Terhadap Kebutuhan Keluarga di Jalur Bawah Barat (a) pada kepuasan kebutuhan fisiologi / dasar seluruhnya 100% persepinya baik atau kepuasan kebutuhan fisiologinya memadai. Untuk kebutuhan rasa aman sebanyak 62.5% kepala keluarga persepinya baik, kebutuhan dicintai dan dimiliki sebagian besar kepala keluarga yaitu, 62.50% persepsinya baik, dan kebutuhan
137 dihargai paling banyak 59.7% kepala keluarga mempersepsi kepuasannya baik atau memadai. Persepsi Kepuasan Terhadap Kebutuhan Keluarga di Jalur Tengah Barat (b) kebutuhan fisiologi. seluruh kepala keluarga 100% persepinya baik, sebagian besar kepala keluarga
88.5% persepinya baik pada kebutuhan rasa aman,
kebutuhan dicintai dan dimiliki keluarga paling banyak 88.5% kepala keluarga persepsiya baik, dan 93.7% persepsinya baik pada kebutuhan dihargai. Persepsi Kepuasan Terhadap Kebutuhan Keluarga di Jalur Kaduketug (c) paling banyak 78.6% kepala keluarga persepinya baik. Sebagian kepala keluarga (57.1 %) persepinya buruk pada kebutuhan rasa aman. Hampir seluruh kepala keluarga sebanyak 92.9% persepsinya kurang baik, dan kebutuhan dihargai sebagian kepala keluarga 50.0% persepsinya kurang baik. Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan, hampir seluruh kepala keluarga disetiap jalur persepsinya baik terhadap kepuasannya pada kebutuhan dasar. kepala keluarga yang kepuasan keamanannya kurang terpenuhi hanya pada kepala keluarga di Kaduketug. Persepsi kepuasan kebutuhan dicintai dan dimiliki kepala keluarga pada jalur Bawah Barat dan Tengah Barat cenderung kepuasannya baik, di Kaduketug kepuasannya kurang baik. Ada kecenderungan hampir seluruh kepala keluarga merasa persepsinya puas pada kebutuhan dihargai. Artinya apa yang mereka saat ini peroleh dan terima baik pakaian, rumah, dan makanan dianggap sudah memadai. Dari pengamatan peneliti kaitannya dengan kebutuhan fisiologi terlihat bahwa kesederhanaan dan kebersamaan dalam kelompok sangat terlihat baik dalam penampilan (berpakaian), rumah, dan makanan yang dikonsumsinya. Pola pemenuhan kebutuhan dasar komunitas adat baduy luar kegiatan sehari- hari masyarakat Baduy Luar masih bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok / dasar, yaitu pangan, sandang, papan, dan sosial. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui sarana memanfaatkan sumberdaya alam setempat, dan mengintroduksi produk-produk dari luar.
138 (a) Pangan Seperti telah dikemukakan di muka bahwa Padi merupakan hal yang tidak terpisahkan dari dunia mereka yang dilambangkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Pada umumnya masyarakat Baduy mengkonsumsi nasi, dan sebagai lauknya
ikan asin,
sambal, sayur bening, Sayuran biasanya kacang
panjang, labusiam, oyong, dan terbiasa juga mengkonsumsi ikan pindang (cue), tahu, tempe, mie instan. Untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti ikan asin, ikan cue, terasi, minyak goreng, garam, gula putih, mereka peroleh di Ciboleger (tapal batas) antara tanah ulayat Baduy dengan masyarakat umum, atau dapat juga pergi ke Rangkas Bitung.
(b) Perumahan Tempat Tinggal Kebutuhan setelah pangan adalah kebutuhan akan rumah. Rumah merupakan tempat mereka berteduh, melakukan aktivitas keluarga, mend idik anak, dan untuk melakukan pertemuan. Berdasarkan pengamatan, rumah orang Baduy nampak seragam. Semua terdiri dari kayu, bambu, kiray “daun rumbia”, ijuk pohon aren, rotan dan batu yang diperoleh dari alam sekitar. Hasil pengamatan rumah-rumah masyarakat Baduy berbentuk panggung, oleh karenanya terdapat kolong antara lantai rumah dan tanah dengan ketinggian antara 50-70 cm. Rumah orang Baduy besarnya sekitar 7X5 meter pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu sosoro dan tepas ’bagian luar’, imah dan musung ’bagian tengah’, serta parak ’bagian dapur’. Semuanya disekat dengan bilik. Ciri khasnya rumah orang : (1) selalu menghadap utara-selatan, (2) tidak menggunakan tembok, kaca, (3) tidak ada jendela. Untuk sirkulasi udara dan penerang ruangan, hanya terdapat lubang kecil pada bilik dinding rumahnya, (4) tidak memiliki pagar pembatas halaman rumah, (5) di tangtu atau Baduy Dalam, lahan yang digunakan membangun rumah tidak diratakan terlebih dahulu sehingga konstruksinya disesuaikan dengan struktur tanah, dan (6) di panamping atau Baduy Luar, tanah yang digunakan untuk membangun rumah, diratakan terlebih dahulu. (Mulyanto, Prihartanti, Moordiningsih, 2006:12).
139 (c) Pakaian Hasil pengamatan, pakaian warga Baduy Luar terdiri dari tiga bagian: (1) ikat kepala, (2) baju, dan (3) kain sarung atau calana komprang, sejenis celana pendek berukuran sebatas lutut. Warna khas pakaian warga Baduy Luar adalah hitam dan biru tua bermotif batik atau bergaris putih. Kain pakaian yang digunakan biasanya datang dari luar Baduy, seperti dari pasar Rangkasbitung, Tanah Abang Jakarta atau daerah lain yang kemudian di jahit dan ditenun sendiri. Pakaian disebut jamang komprang atau mirip dengan baju orang tangtu (Baduy Dalam) hanya saja berkancing dan biasa memakai dua lapis, bagian dalam berwarna putih alami, sedangkan bagian luar berwarna hitam atau biru tua. Calana komprang yang dikenakan laki- laki Baduy Luar juga berwarna hitam atau biru tua. Adapun pakaian perempuan Baduy Luar adalah kebaya berwarna biru dan kain dengan warna yang sama. Bahan pakaiannya juga diperoleh dari luar daerah. Namun, pakaian pada orang panamping baik lelaki maupun perempuan, hampir serupa dengan pakaian yang digunakan oleh masyarakat pedesaan di Banten umumnya. Lebih jauh mengenai pakaian orang Baduy khususnya orang Baduy Dalam (Orang Tangtu) menurut Mulyanto, Prihartanti, Moordiningsih, (2006:12), dan hasil pengamatan dan wawancara sebagai tambahan informasi, pakaian Baduy Dalam berwarna putih dan hitam. Bahannya dibuat sendiri dari serat daun pelah yang ditenunkan oleh warga panamping. Lelaki tangtu menutupi tubuhnya dengan tiga bagian, yaitu: (1) ikat kepala berwarna putih (kecoklatan) yang sering disebut iket, telekung atau romal terbuat dari kain berbentuk segitiga, (2) baju berwarna putih, dan (3) sejenis kain sarung dengan panjang sekitar 30-40 cm, berwarna biru tua. Baju yang dikenakan berlengan panjang, seperti kaos, tanpa kerah dan kancing. Sejenis kain sarung yang berfungsi sebagai penutup tubuh bagian bawah disebut aros, biasa dikenakan dengan cara dililitkan di pinggang kemudian diikat memakai tali dari kain, mirip ikat pinggang dengan ukuran sampai lutut. Lelaki Baduy Dalam (tangtu) tidak mengenakan celana dalam.
140 Adapun pakaian perempuan tangtu terdiri dari (1) kemben ”sejenis selendang” yang digunakan untuk menutup tubuh bagian atas atau baju kaos, dan (2) lunas atau kain untuk menutupi tubuh bagian bawah. Seringkali di kalangan orang tua, hanya menggunakan kain lunas saja. Perempuan tangtu juga tidak mengenakan pakaian dalam. Pada umumnya cara berpakaian orang Baduy, baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam, adalah sama seragam Baduy Luar menggunakan corak warna hitam dan biru tua bermotif batik atau bergaris putih. Baduy Dalam berwarna putih dan hitam. Meskipun ada orang Baduy Luar ada yang sudah menggunakan pakaian seperti bukan orang Baduy tapi jumlahnya sangat sedikit. Keseragaman orang Baduy dalam berpakaian ini dilakukan karena: (1) Merupakan ajaran dari leluhur harus seragam. (2) Ciri khas kelompok, kalau tidak seragam nanti tertukar antara orang Baduy dengan orang non Baduy dan intinya jangan sampai menyerupai penampilan orang luar. (3) Warna hitam-putih sebagai lambang dari waktu malam dan siang. Artinya manusia itu jangan terlalu banyak pikiran, sebab alam saja hanya ada dua pilihan: malam atau siang; ada senang, ada susah; ada gelap ada terang, dan itu abadi. (4) Baik orang tangtu maupun panamping tidak beralas kaki, hal ini dilakukan karena:
Pertama, ketentuan mutlak leluhur jadi harus
seragam. Kedua, kalau pakai alas kaki, nanti menghilangkan ciri khas Baduy. Ketiga, kondisi geografis dapat membuat alas kaki cepat putus, dan karena hutan, pakai alas kaki juga percuma karena kaki akan tetap kotor. Keempat, merasakan alam karena menggambarkan keseimbangan dan kelestarian alam. Makna hidup orang Baduy yang sederhana namun memiliki kualitas penghayatan yang dalam, kemudian menjadi satu panduan perilaku komunal. Pada saat bersamaan mengarah pada kesetaraan dan saling menghargai antara sesama. Adanya dorongan untuk mempertahankan identitas kelompok me njadi kekuatan munculnya perilaku konformitas.
141 Kepala keluarga mempersepsi rasa aman rasa, dicintai dan dimiliki, dan dihargai saat ini memadai baik di rumah, di kampung, di luar kampung, dan saat berusaha. Artinya kepuasan yang dirasakan saat ini karena ada rasa kebersamaan, dan rasa tanggung jawab baik pada keluarga maupun pada kampung yang mereka tinggali, dan saling menjaga saat mereka berusaha atau berjualan keluar kampung untuk memasarkan produk yang mereka hasilkan. Basis ideologi Baduy tercermin dalam setiap doktrin-doktrin turunan Sunda Wiwitan yang terdiri dari pikukuh sapuluh, konsep tanpa perubahan, nilainilai kebersamaan, dan saling menghargai yang semuanya mempengaruhi bagaimana cara orang-orang Baduy memandang kehidupan. Dalam doktrin tersebut terkandung nilai- nilai yang lebih menghargai perilaku kebersamaan ”seiya sekata” dibanding nilai- nilai yang mendorong kemandirian, sehingga perilaku derap langkahnya cenderung seragam.
Korelasi antar Peubah Diseluruh jalur lokasi penelitian korelasi antara peubah usaha-usaha, interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan persepsi pada kebutuhan yang dirasakan. Seperti usaha berladang, usaha berjualan, dan hakekat interaksi dengan sesama berkorelasi nyata (r= 0.393) dengan terpenuhi kebutuhan dasar /fisiologi keluarga. Juga terlihat hakekat kerja (r= 0.497) dengan kebutuhan rasa aman. Ada korelasi juga antara berburu, keterampilan, dan interaksi media, dengan kebutuhan dicintai. Selain itu juga terlihat korelasi antara bekerja pada orang lain, usaha kerajinan, (r= 0.445) dengan kebutuhan dihargai. motivasi mencari pengetahuan, melakukan komunikasi interpersnal, hubungan dengan agen pembaharu, hakekat hidup, dan hakekat tentang alam, (r= 0.378) dengan kebutuhan dihargai. Dari korelasi yang terjadi tampak kebutuhan dihargai paling banyak berkorelasi dan memiliki nilai koefisien korelasi yang tinggi dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan lain (kebutuhan fisiologi, rasa aman, dan dicintai /dimiliki) , artinya kebutuhan dan keinginan dihargai adalah sesuatu yang sangat diharapkan oleh Kepala keluarga Baduy Luar. Hal ini wajar karena segala
142 aktivitas yang dilakukan manusia atau masyarakat pada akhirnya membutuhkan Kebutuhan ini. Korelasi antar peubah bebas dengan persepsi pada kepuasan kebutuhan keluarga, dari deskripsi data korelasi di atas terlihat usaha berladang, usaha berjualan, berburu, bekerja pada orang lain, usaha kerajinan, motif mencari pengetahuan, motif menyikapi keadaan, hakekat hidup, hakekat kerja dan hakekat tentang alam berkorelasi nyata (r= 0.572) dengan kepuasan terpenuhi kebutuhan rasa aman. Motif memperoleh keterampilan berkorelasi nyata (r= 0. 375) dengan kebutuhan rasa aman. Dan Interaksi dengan sesama melalui komunikasi interpersonal, interaksi dengan agen pembaharu, interaksi dengan media berkorelasi nyata dengan kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan dihargai. Dari korelasi yang terjadi tampak kepuasan kebutuhan rasa aman paling banyak berkorelasi dan memiliki nilai koefisien korelasi yang tinggi dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan lain, kebutuhan dihargai, dan kebutuhan dasar. Sedangkan kepuasan kebutuhan dicintai cenderung lemah korelasinya dibandingkan dengan kebutuhan lainnya. Artinya bagi kepala keluarga Baduy Luar kebutuhan adanya rasa aman sangat diharapkan melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Strategi Peningkatan Kebutuhan Keluarga Komunitas Adat Terpencil Baduy Mengacu pada hasil penelitian didasari harapan dan keinginan komunitas Baduy pada pemenuhan nyata (real need), yaitu kebutuhan dasar / fisiologi, kebutuhan rasa aman, dan kebutuhan dihargai. Hal tersebut membutuhkan upaya yang sungguh-sungguh. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki makna yang cukup luas dalam kehidupan masyarakat umumnya. Kebutuhan ingin dihargai memiliki nilai yang lebih berarti dan penting bagi komunitas Baduy dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya (kebutuhan fisiologi, rasa aman, dan dicintai /dimiliki), artinya kebutuhan dan keinginan dihargai adalah sesuatu yang sangat diharapkan oleh Kepala keluarga Baduy Luar. Dalam hal usaha memenuhi kebutuhan keluarga berladang masih menjadi andalan utama dibandingkan dengan usaha lainnya (berjualan, berburu, dan bekerja pada orang
143 lain). Hasil penelitian juga menunjukkan motif atau dorongan untuk memperoleh pengetahuan memenuhi kebutuhan keluarga yang tinggi. Serta pengaruh nilai sosial budaya yang kuat pada pembentukan pesepsi baik yang dirasakan maupun kepuasannya pada kebutuhan keluarga. Masyarakat Baduy merupakan contoh komunitas masyarakat yang selalu menjaga tata keseimbangan alam, sehingga hutan bagi mereka merupakan kawasan teramat penting yang harus dijaga kelestariannya. Pengertian hutan bagi masyarakat Baduy adalah “hutan titipan” dan bersifat agamis yakni berfungsi sebagai sarana utama dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dan upacara keagamaan. Selanjutnya “hutan titipan” dikatakan sebagai dan bersifat agamawi yakni berfungsi sebagai sarana utama dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dan upacara keagamaan. Selanjutnya “hutan titipan” dikatakan sebagai hutan adat. Luas hutan adat yang dikelola oleh masyarakat Baduy adalah seluas 5.105,85. Berladang adalah usaha utama orang Baduy, maka pada sektor pertanian ini kebijakan yang diambil adalah peningkatan produksi pertanian tanaman pangan jenis padi ladang dengan intensifikasi pengunaan lahan sehingga potensi pembukaan hutan pada sistem ladang berpindah yang tidak sesuai dengan adat masyarakat Baduy yang sangat menjaga keseimbangan alam dapat dihindari. Kebijakan ini perlu karena seperti diketahui bahwa pada saat ini untuk jenis padi ladang, wilayah Baduy merupakan salah satu penghasil padi ladang di Desa Kanekes yang merupakan desa dengan potensi ekspor untuk jenis tanaman padi ladang,
ini
menunjukkan
bahwa
daerah
tersebut
mengalami
surplus
produksi/potensial (Kusdinar, 2004). Mengacu pada temuan penelitian, bahwa nilai sosial budaya sangat berpengaruh pada tata cara dan perilaku kepala keluarga Baduy dan Komunitas Adat, temuan lainnya adalah adanya kebiasan kepala keluarga dalam berkomunikasi secara interpersonal diantara sesama kepala keluarga dalam bentuk obrolan dan diskusi, selain itu juga mereka
umumnya selalu
berkelompok, dan berinteraksi dengan pengunjung, manteri dan jaro. Selain itu ada motivasi yang kuat dalam diri kepala keluarga untuk memperoleh
144 pengetahuan dan keterampilan. Berikut strategi peningkatan kebutuhan keluarga Baduy disajikan pada Gambar 5.
Dukungan Lembaga Adat
Forum Diskusi Komunitas Adat Baduy
Dukungan Agen Pembaharu Internal : Jaro, kepala kampung, dan KK yang kosmopolit
Usaha-usaha dan Pola Produksi KAT Baduy Luar
Standar Kabutuhan Dasar Keluarga Dorongan ingin Berubah
Kepuasan pada Kebutuhan Keluarga, dan Derajat Kebutuhan Keluarga yang Optimal
Gambar 5: Strategi Peningkatan Kebutuhan Keluarga KAT Baduy
Peningkatan Kesejahteraan KAT Baduy
145 Strategi yang digambarkan dalam gambar 5 tersebut, maksudnya adalah forum diskusi komunitas adat tersebut dikembangkan atau di lembagakan dari kebiasaan mereka selalu berinteraksi dalam bentuk komunikasi interpersonal “ngobrol” di sela-sela waktu istirahat setelah makan malam, dan juga kebiasaan berkelompok dalam beberapa aktivitas hidup seperti berjualan, berladang. Forum diskusi ini tentunya harus didukung oleh lembaga adat, yang dimaksud lembaga adat disini adalah kepala kampung atau kokolot kampung dan Jaro, juga para agen pembaharu yaitu, petugas kesehatan, kepala keluarga yang memiliki pengetahuan lebih baik karena sering melakukan interaksi dengan dunia luar, bisa juga kepala kampung, dan Jaro. Forum kelompok diskusi yang didukung oleh lembaga adat dan pemerintah daerah, dan dukungan agen pembaharu, serta dorongan yang beasal dari setiap kepala keluarga
untuk berubah seperti temuan penelitian motif untuk
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan untuk menambah kebutuhan keluarga, dengan tujuan menambah gairah dan semangat orang Baduy dalam melakukan usaha dan pola produksi. Demikian strategi dalam peningkatkan kebutuhan keluarga KAT Baduy. Kebijakan lain yang perlu diimplemantasikan salah satunya adalah kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan bidang pertanian yang juga berhubungan dengan bidang pariwisata adalah berupa upaya memasukan upacara “Seba” (persembahan sebagian hasil bumi kepada Bupati dan Gubernur) ke dalam kalender Pariwisata Pemerintah Kabupaten Lebak. Upaya “Seba” menurut budaya dan falsafah KAT Baduy dan Banten Selatan adalah sebaga i sidang istimewa evaluasi hasil pertanian dan rencana pertanian setahun yang akan datang dimana dalam upacara ini Olot atau pun Puun bertindak sebagai pemutus perkara dan semua petani patuh pada putusan yang diambil baik yang berkaitan dengan saat mulai menggarap sawah atau ladang, menebar benih dan memanen. Semua diputuskan “olot” atau pun puun setelah mendengar saran dari para aparat dinas teknis. Kebijakan penanganan KAT yang diambil adalah dalam upaya pencapaian visi Kabupaten Lebak yakni “Kabupaten Lebak menghasilkan produk pertanian yang optimal dan tersedianya pelayanan dasar yang memadai, serta
146 peran aktif masyarakat dengan dukungan pemerintahan yang bersih pada tahun 2010.” Untuk itu kebijakan penanganan KAT yang diambil merupakan bagian integral dalam segala kebijakan bidang pembangunan lain seperti bidang hukum, bidang pertanian, bidang kehutanan dan perkebunan, bidang kependudukan, bidang kesehatan, bidang pertanahan dan bidang pariwisata. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Lebak dalam Penanganan Komunitas Adat Baduy. Kebijakan penanganan KAT tediri dari (1) kebijakan yang terintegrasi dalam kegiatan rutin yang merupakan bagian dari program suatu Dinas Instansi, dan (2) kebijakan yang secara khusus mengatur dan menempatkan KAT sebagai arah kebijakan yang lebih spesifik. Berikut adalah beberapa kebijakan yang ada baik secara khusus atau secara umum membahas tentang KAT. Dalam bidang hukum ditujukan dalam rangka penegakan supremasi hukum dan penegakan Martabat dan Hak Azasi Manusia. Untuk itu produk hukum yang diputuskan oleh Pemerintah Kabupaten Lebak yang menyangkut Komunitas Adat Terpencil Baduy adalah dalam rangka pengakuan hak, persamaan serta kesetaraan Hak Masyarakat Adat Baduy dalam Hukum dan hak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan hidup bermasyarakat dan bernegara. Beberapa produk hukum yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Lebak yang secara langsung mempengaruhi hajat hidup masyarakat adat Baduy adalah: (1) Perda No. 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak. (2) Perda No. 31 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak. (3) Perda No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Keputusan Bupati Lebak No. 590 / Kep. 233 / Huk / 2002 tentang Penetapan Batas-Batas Detail Tanah Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Kebijakan dalam bidang penegakan hukum ini selain sebagai alat dalam memperjuangkan dan melindungi wilayah Baduy, juga mempunyai multiplier effect terhadap bidang pembangunan lainnya.
147 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan (1) Persepsi kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar terhadap kebutuhan keluarga baik pada kebutuhan fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai kelompok di ketiga lokasi tergolong baik. Persepsi terhadap kebutuhan yang sangat dirasakan dan belum memenuhi kepuasan mereka adalah kebuuhan dihargai. (2) Nilai sosial budaya, interaksi sosial, motivasi kepala keluarga adalah faktor- faktor yang ikut menentukan pesepsi kepala keluarga terhadap kebutuhan keluarga. Memahami persepsi mereka menjadi hal yang penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga. (3) Strategi peningkatan kesejahteraan kebutuhan keluarga masyarakat Baduy Luar dengan membuat forum diskusi atau melembagakan secara semi formal tradisi yang berkembang di kalangan mereka, yaitu dinamika hidup bekelompok, dan kebiasaan mereka berkumpul saat menjelang malam hari.
Saran (1) Agar kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan rasa aman, dan dihargai dapat ditingkatkan, diperlukan upaya dari Pemda untuk lebih memberikan pengakuan atas eksistensi KAT Baduy Luar, dengan menjalankan sepenuhnya Perda tentang Hak Ulayat Masyarakat Baduy Luar yang telah ada, yaitu memberi perlindungan hak tanah dan lingkungannya dengan menindak para pelanggar tanah, penebang liar, dan pemilik ternak seperti kambing, kerbau yang dengan sengaja ternaknya masuk ke tanah masyarakat Baduy. (2) Kompetensi
agen
pembaharu
supaya
ditingkatkan
agar
mampu
berinteraksi sosial lebih berkualitas denga n masyarakat Baduy Luar, yaitu dengan memahami tradisi orang Baduy yang kerap kali hidup berkelompok dan ”ngobrol” atau diskusi, interaksi dapat dilakukan
148 melalui kebiasaan tersebut, dan lebih sering melakukan kunjungan dan berinteraksi dengan masyarakat Baduy Luar menggunakan dialek dan bahasa setempat. (3) Diperlukan pengembangan strategi agar perubahan terencana dapat dilakukan untuk lebih memenuhi kebutuhan keluarga komunitas adat Baduy Luar, yaitu dengan membentuk forum kelompok diskusi yang didukung oleh lembaga adat dan pemerintah daerah, dan dukungan agen pembaharu untuk membangkitkan motif atau dorongan untuk berubah, dalam meningkatkan kualitas kebutuhan keluarga.
149
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan (4) Persepsi kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar di lokasi Bawah Barat dan Tenga h Barat pada kebutuhan keluarga: kebutuhan fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai kelompok adalah baik; di lokasi Kaduketug pada kebutuhan tersebut persepsinya adalah kurang baik. (5) Kepuasan kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar di jalur Bawah Barat dan Tenga h Barat pada kebutuhan keluarga: kebutuhan fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai kelompok adalah baik. Di lokasi Kadukteug kepuasan pada kebutuhan fisiologi adalah baik, rasa aman tidak baik, dicintai / dimiliki, dan dihargai adalah kurang baik. (6) Usaha-usaha kepala keluarga di jalur Bawah Barat usaha berladang, berjualan, berburu, bekerja pada orang lain, dan membuat kerajinan berhubungan nyata dengan persepsi kepala keluarga pada kebutuhan dasar, kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan kebutuhan dihargai yang dirasakannya, dan persepsi terhadap kepuasan kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan dihargai. (7) Motif memperoleh pengetahuan berhubungan nyata dengan persepsi kepala keluarga pada kebutuhan dasar, kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan kebutuhan dihargai yang dirasakannya, dan persepsi pada kepuasan kebutuhan dasar, rasa aman, kebutuhan dicintai, dan dihargai. (8) Interaksi sosial melalui komunikasi interpersonal dan dengan agen pembaharu berhubungan nyata dengan persepsi kepala keluarga pada kebutuhan dasar, kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan kebutuhan dihargai yang dirasakannya, dan persepsi pada kepuasan kebutuhan dasar rasa aman, kebutuhan dicintai, dan dihargai. (9) Nilai sosial budaya tentang hakekat kerja, hakekat alam, dan hakekat hubungan dengan sesama berhubungan nyata dengan persepsi kepala keluarga pada kebutuhan dasar, kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai,
150 dan kebutuhan dihargai yang dirasakannya, dan persepsi pada kepuasan kebutuhan dasar rasa aman, kebutuhan dicintai, dan dihargai.
Saran (4) Agar kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan rasa aman, dan dicintai dapat ditingkatkan, diperlukan upaya dari Pemda untuk lebih memberikan pengakuan atas eksistensi KAT Baduy. (5) Kompetensi agen pembaharu supaya ditingkatkan agar mampu berinteraksi sosial lebih berkualitas dengan masyarakat Baduy Luar. (6) Diperlukan pengembangan strategi agar perubahan terencana dapat dilakukan untuk lebih memenuhi kebutuhan keluarga komunitas adat Baduy Luar, yaitu dengan membentuk forum kelompok diskusi yang didukung oleh lembaga adat dan pemerintah daerah, dan dukungan agen pembaharu untuk membangkitkan motif atau dorongan untuk berubah, dalam meningkatkan kualitas kebutuhan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Natsir., 2004. Penanganan Komunitas Adat Terpencil Di Indonesia Metode Dan Pendekatan. Prosiding Seminar Pengembangan Kawasan Tertinggal Berbasis Komunitas Adat Terpencil. Jakarta. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal BAPPENAS. Abdurahman., 2008. http://abdurrahman com/2008/10/09/teori- motivasi/
binsaid.wordpress.
Abraham, Francis., 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori Umum Pembangunan. Yogjakarta.Tiara Wacana. Adimihardja, Kusnaka., 2007. Dinamika Budaya Lokal. Bandung. CV. Indra Prahasta dan Pusat Kajian LBPB. __________.2000. Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai, Jakarta. Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, JanApril 2000, FISIP Universitas Indonesia. Adisubroto, D. 1993. Nilai Sifat dan Fungsinya. Buletin Psikologi 2: 13-17. Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Malang. Universitas Muhamadiyah Malang Press. Amanah, Siti. 2006. Pengembangan Masyarakat Pesisir Berdasarkan Kearifan Lokal: Kasus Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Bogor. IPB. Amiruddin, Suaib. 2008. Komersialisasi Produksi dan Adatasi Penerapan Teknologi dalam Peningkatan Sosial Ekonomi pada Komunitas Nelayan Patorani di Sulawesi Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana. Bandung.Universitas Padjadjaran. Anonimous. 1999. Keppres No. 111/1999 Tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Jakarta. Direktorat Pembinaan Komunitas Adat Terpencil. Departemen Sosial RI. Anonimous. 1990. Perda No. 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak. Anonimous. 2001. Perda No. 31 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak. Anonimous. 2001. Perda No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
149
Anonimous. 2002. Keputusan Bupati Lebak No. 590 / Kep. 233 / Huk / 2002 tentang Penetapan Batas-Batas Detail Tanah Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Anonimous. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Balai Pustaka. Asngari, Pang. S., 1984. “Persepsi Direktur Penyuluhan Tingkat ”Karesidenan” dan Kepala Penyuluh Pertanian Terhadap Peranan dan Fungsi Lembaga Penyuluhan Pertanian Di Negara Bagian Texas Amerika Serikat.” Media Peternakan Tahun 1984. Volume 9. No.2. Bogor. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. ______,
2001. Peranan Agen Pembaruan/Penyuluh Dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis. Orasi Ilmiah Guru Besar. Bogor. Fakultas Peternakan. IPB.
Azwar, Saifuddin. 2003. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi ke-2, cetakan VII. Yogjakarta. Pustaka Pelajar. Dananjaya, A.A. 1986. Sistem Nilai Manajer Indonesia. Jakarta. PT. Pustaka Binaan Presindo. Danasasmita, Saleh., dan Djatisunda, Anis. 1986. Kehidupan Masyarakat Kenekes. Bandung. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Djoewisno, MS., 1987. Potret Kehidupan Masyarkat Baduy. Jakarta. Khas Studio. Doyal, L. dan Gough, Ian. 1991. A Theory of Human Need. London. MacMillan Education. Durkheim, Emile. 1964. The Division. Of Labor Society. Terjemahan George Simpson. New York. The Free Press. Effendy, Onong Uchyana. 2000. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. Ekadjati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta. Pustaka Jaya. Garna, Judistira, K., 1993a. Masyarakat Baduy di Banten., dalam Koentjaraningrat (ed) Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta. Depsos RI, Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, dan Gramedia.
150
________., 1993b. Orang Baduy di Jawa: Sebuah Studi Kasus Mengenai Adaptasi Suku Asli Terhadap Pembangunan., dalam Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes (peny). Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. ________.,1994. Masyarakat Tradisional Banten dan Upaya Pelestarian NilaiNilai Budaya. Serang. Makalah pada Seminar PuncakPuncak Perkembangan Warisan Budaya Banten. Forum Ilmiah Festival Banten 1994. Serang 28-29 Agustus. ________., 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial. Bandung. Penerbit Program Pascasarjana. Universitas Padjadjaran. ________.,1985., Masyarakat Baduy dan Siliwangi (Menurut Anggapan OrangOrang Baduy Masa Kin). Jakarta. Dewan Nasional Untuk Kesejahteraan Sosial, Depsos RI – Gramedia. ________.,2007., Sistim Budaya Indonesia. Bandung. The Judistira Garna Foundation dan Primaco Akademika. Giddens, Anthony. 2003. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Suatu Analisis Karya-Karya Marx, Durkeim, Dan Max Weber. Jakarta: UI Press. ________., 1986. The Constitution of Society, The Outline of The Theory of Structuration. Cambridge UK .Polity Press. . Goode, William J., 1985. Sosiologi Keluarga. Edisi Pertama. Alih Bahasa oleh: Lailahanoum Hasyim. Penyunting: Sahat Simamora. Jakarta. PT. Bina Aksara. Griffith, P. W. August. 1961. Formula Feed Operations: Perception of the Kansas Agricultural Extention Service. Dissertation Abstracts. Wisconsin University Haferkamp, H. dan N.J. Smelser. (Eds). 1992. Social Change and Modernity. Los Angles California. California University Press. Hersey, Paul, Kenneth H. Blanchard, dan Dewey E Johnson. 1996. Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources. Edisi Ketujuh. Upper Saddle River, New York: Prentice Hall. Hoogvelt, Anki M.M. 1985. Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang. Alih bahasa: Alimandan. Jakarta. PT. Rajawali Pers. Horton, Paul B., dan Chester L. Hunt. 1991. Sosiologi Jilid I. Edisi Keenam. Alih Bahasa Oleh: Aminudin Ram dan Tita Sobari. Jakarta. Penerbit Erlangga.
151
________.. 1990. Sosiologi Jilid II. Edisi Keenam. Alih Bahasa Oleh: Aminudin Ram dan Tita Sobari. Jakarta. Penerbit Erlangga. Iskandar, Johan., 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia. Studi Kasus Dari Daerah Baduy Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta. Penerbit Djambatan. Katz, Elihu., Blumler, Jay G. Gurevitch, Michael. 1974. London. Utilization Communication, Current Perspectives on Gratification Research. Sage Publication. Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke21. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Kolopaking, Lala. M. (editor). 2003. Sosiologi Umum. Bagian Ilmu-Ilmu Sosial. Komunikasi dan Ekologi Manusia. Jurusan Sosek Faperta. IPB. Kusdinar, Aan., 2004. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Lebak dalam Penanganan Komunitas Adat Terpencil Baduy. Prosiding Seminar Pengembangan Kawasan Tertinggal Berbasis Komunitas Adat Terpencil. Jakarta. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal BAPPENAS. Lauer, Robert H. 1993. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Alih Bahasa: Alimandan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, Maramis W.F. 2006. Ilmu Perilaku Dalam Pelayanan Kesehatan. Surabaya: Airlangga University Press. Mardikanto, Totok, 1993. Dasar-Dasar Penyuluhan Pertanian. Surakata: Universitas Sebelas Maret Press. Martindale, Dole. 1960. The Nature ang Types of Sociological Theory. Boston: Houhton Mifflin. Maryam, Maryani, dan Rochimah, Fitriani. 2007. Kebutuhan Dasar Manusia Berdasarkan Hierarki Maslo dan Penerapannya Dalam Keperawatan. Jakarta. Penerbit Semesta Media. Matsumoto, D. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta. Penerbit Pustaka Pelajar. McClelland, David. 1986. Dorongan Hati menuju Modernisasi. Dalam buku Modernisasi Dinamika Pertumbuhan. Editor Myron Weiner. Gajahmada University Press. Yogjakarta. Mulyadi, 2007. “Pengadopsian Inovasi Pertanian Suku Pedalaman Arfak. (Kasus di Kabupaten Manokwari, Papua Barat).” Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Bogor. IPB.
152
Mulyanto , Nanik Prihartanti, dan Moordiningsih. 2006. Perilaku Konformitas Masyarakat Baduy. http://eprints.ums.ac.id/650/1/1PERILAKU_KONFORMITASBaduy.doc. download, 19 januari 2009. Mulyana, Rohmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung. Penerbit Alfabeta. Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Cetakan kelima. . Jakarta. Ghalia Indonesia. Padmowihardjo, Soedijanto., 1994. Materi Pokok Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka. Paloma, M. 1992. Sosiologi Kontemporer. Alih Bahasa: Alimandan. Jakarta: Rajawali Press. Pasya. Gurniwan Kamil. 2005. “Strategi Hidup Komunitas Baduy di Kabupaten Lebak Banten.” Disertasi. Program Pascasarjana. Bandung.Universitas Padjadjaran. Permana, R. Cecep Eka. 2006. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta. Wedata Widya Sastra. Purnomohadi, Srihartiningsing. 1985. Sistem Interaksi Sosial-Ekonomi dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Oleh Masyarakat Badui di desa Kanekes, Banten Selatan. Bogor. Tesis. Pascasarjana Jurusan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Institut Pertanian Bogor. Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Psikologi Komunikasi. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya. Ritzer, George, dan Goodman, Douglas. 2004. Modern Sosiological Theory. Alih bahasa: Alimandan. Jakarta: Frenada Media. Slamet, Margono. 2003. ”Pemberdayaan Masyarakat”. Dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Diedit oleh: Ida Yustina dan Sudrajat. Bogor. IPB Press. Soekanto, Soeryono. 1984. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta. Ghalia Indonesia. ________., 1974. Sosiolog: Suatu Pengantar. Jakarta. CV. Rajawali. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, (Ed). 2006. Metode Penelitian Survai. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES.
153
Sihabudin, Ahmad., 2007. Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif MultiDimensi. Serang. Diterbitkan oleh: Departemen Ilmu Komunikasi. FISIP-Untirta. Sihabudin, Ahmad. dan Amiruddin, Suaib. 2008. ”Prasangka Sosial dan Efektivitas Komunikasi Antar Kelompok (Studi Tentang Pengaruh Prasangka Sosial Terhadap Efektivitas Komunikasi Antar Kelompok Baduy Luar, Baduy Dalam, dan Masyarakat Ciboleger Kabupaten Lebak Provinsi Banten).” Bandung. Mediator Jurnal Komunikasi. FIKOM. Universitas Islam Bandung. Soewarsono dan Alvin Y, So. Alvin Y. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta. Penerbit LP3ES. Sugiyono.,2006. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Sumarti MC, Titik. 1999. Persepsi Kesejahteraan dan Tindakan Kolektif Orang Jawa Dalam Kaitannya dengan Gerakan Masyarakat Dalam Pembangunan Keluarga Sejahtera di Pedasaan. Disertasi. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sumodiningrat, G. 1996. Memberdayakan Masyarakat. Kumpulan Makalah tentang Inpres Desa Tertinggal. Jakarta: Penakencana Nusadwipa. Todaro, Michael P. 1983. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Jakarta: Balai Aksara. Vago, Steven. 1989. Social Change. Limited.
Sydney: Prentice-Hall of Australia Pty.
154
LAMPIRAN 1 DATA PENYEBARAN PENDUDUK DESA KANEKES (BADUY) TAHUN 2008 No
Nama Kampung
Jumlah KK 44
Pria
Wanita
Jumlah
73
60
133
1
Kaduketug I
2 3
Cipondok Kaduketug II (Babakan Kaduketug) Kadukaso Cihulu JUMLAH Marenggo
59 112
124 214
102 190
226 404
9 66 290 44
16 121 548 112
12 113 477 96
28 234 1025 208
Gajeboh Balimbing Cigula JUMLAH Kadujangkung.
40 89 39 212 84
83 224 71 490 171
93 212 81 482 162
176 436 152 972 333
Karahkal Kadugede JUMLAH Kaduketer I
23 69 196 63
34 122 327 146
62 120 344 119
96 242 671 265
Kaduketer II (Babakan Kaduketer) Cicatang I Cicatang II Cikopeng Cibongkok JUMLAH Sorokokod
18
50
34
84
14 34 45 12 186 89
34 64 95 22 411 194
40 54 75 21 343 186
74 118 170 43 754 380
Ciwaringin Cibitung Batara Panyerangan JUMLAH Cisaban I
41 14 62 78 284 152
83 25 115 50 467 316
85 28 128 48 475 309
168 53 243 98 942 625
Cisaban II (Babakan Cisaban) Leuwihandap Kadukohak Ciracakondang Kaneungai JUMLAH
70
138
132
270
66 87 8 10 393
108 178 21 16 777
93 157 19 16 726
201 335 40 32 1503
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
155
Keterangan RW. RT: 01/01 01/02 01/03 01/04 01/05 RW. RT: 02/01 02/02 02/03 02/04 RW. RT: 03/01 03/02 03/03 RW. RT: 04/01 04/02 04/03 04/04 04/05 04/06 RW. RT: 05/01 05/02 05/03 05/04 05/05 RW. RT: 06/01 06/02 06/03 06/04 06/05 06/06
No 30
Cicakal Muara
Jumlah KK 78
31 32 33
Cicakal Tarikkolot Cipaler I Cipaler II JUMLAH Cicakal Girang I
5 98 38 219 49
6 180 72 386 89
8 191 90 424 92
14 371 162 810 181
Babakan Cicakal Girang Cicakal Girang II Cipiit Lebak Cipiit Tonggoh JUMLAH Cikadu /Cinangsi
18
31
37
68
26 20 41 154 61
38 42 102 302 97
47 42 118 336 123
85 84 220 638 220
Cikadu I Cijangkar Cijengkol Cilingsih JUMLAH Cisagu I
60 6 38 15 180 43
114 17 96 31 355 79
110 17 99 27 376 78
224 34 195 58 731 157
Cisagu II Babakan Eurih Cijanar JUMLAH Ciranji
22 16 61 142 47
59 53 122 313 83
50 49 133 310 83
109 102 255 623 166
Cikulingseng Cicangkudu Cibagelut JUMLAH Cisadane
12 14 19 92 60
20 19 40 162 101
25 23 36 167 116
45 42 76 329 217
Batu Beulah Cibogo Pamoean JUMLAH Jumlah Seluruh Penduduk Baduy Luar
37 78 47 222 KK
71 115 80 367 Pria
57 148 111 432 Wanita
128 263 191 799
34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
1 2 3
Nama Kampung
Pria
Wanita
Jumlah
128
135
263
2466
4945
4892
9797
KAMPUNG BADUY DALAM CIBEO
117
263
253
516
CIKARTAWANA CIKEUSIK JUMLAH
40 103 260
91 241 595
86 210 549
177 451 1144
Jumlah Total
2.726
5.500
5.441
10.941
(Sumber: Puskesmas Leuwidamar dan Profil Desa Kanekes, 2008).
156
Keterangan RW. RT: 07/01 07/02 07/ 03 07/04 RW. RT: 08/01 08/02 08/03 08/04 08/05 RW. RT: 09/01 09/02 09/03 09/04 09/05 RW. RT: 10/01 10/02 10/03 10/04 RW. RT: 12/01 12/02 12/03 12/04 RW. RT: 04/01 04/02 04/03 04/04
RW. RT: 11/01 11/02 11/03
LAMPIRAN 2 UJI RELIABILITAS dengan Product Moment (Pearson) Correlations No Ganjil
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
No Genap Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
No Ganjil 1
No Genap .352** .010 53 53 .352** 1 .010 53
53
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
157