“Tirta Budaya Situ” A New Concept of Multifunction Urban
Lake Water Culture
25 Agustus 2015 09:00-16:00 Ruangan PDII lantai 2 LIPI Pusat
Diselenggarakan oleh
Research Institute for Humanity and Nature bekerjasama dengan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Sponsor utama
Jadwal Acara Second Toyota Foundation’s Workshop “Tirta Budaya Situ” A New Concept of Multifunction Urban Lake Water Culture Hari/Tanggal
: Selasa, 25 Agustus 2015
Tempat
: Ruangan PDII lantai 2 LIPI Pusat Jalan Gatot Subroto no 10 Jakarta Selatan
Program 09:00-09:30 Registrasi Bagian pertama 09:30-12:30 09:30-10:00
Pembukaan 09:30-09:45 -Sambutan wakil RIHN (Abe Kenichi) 09:45-10:00 -Kepala LIPI sekaligus pembukaan
10:00-10:35
Konsep “Tirta Budaya Situ” dan Kriteria Penilaian Ami A. M. (RIHN)
10:35-11:05
Hermono Sigit (KLHK)
11:05-12:30
Pembahasan mengenai Kriteria Penilaian “Tirta Budaya Situ” Fasilitator: Cynthia Henny 11:05-11.10 11:10-11:15
2. Hadi Susilo Arifin (IPB)
11:15-11:20
3. Herry Yogaswara (LIPI)
11:20-11:25
4. Fitrie A. N. (Unesco Jakarta Office)
11:25-11:30
5. Nirwono Yoga (Universitas Trisakti)
11:30-12:30 12:30-13:30
Pembahas: 1. Alinda Zain (IPB)
Diskusi
Ishoma
Bagian kedua 13:30-16:00 13:30-13:50
Joko Mulyono (PSDA PUPR)
13:50-14:10
Iskandar (BBWS)
14:10-14:30
Parlindungan Purba (Ketua Komite II DPD-RI)
14:30-15:30
Pembahasan Identitas “Tirta Budaya Situ” Fasilitator: Gutomo Bayu Aji 14:30-14:35 14:35-14:40
2. Hadi Susilo Arifin (IPB)
14:40-14:45
3. Herry Yogaswara (LIPI)
14:45-14:50
4. Fitrie A. N. (Unesco Jakarta Office)
14:50-14:55
5. Nirwono Yoga (Universitas Trisakti)
14:55-15:30
1
Pembahas: 1. Alinda Zain (IPB)
Diskusi
15:30-15:50
Pembentukan Forum Persahabatan Peduli Situ Jabodetabek (Bayu)
15:50-16:00
Penutupan (Deputi IPSK LIPI)
Situ/waduk di Jabodetabek ada sekitar 1000 buah (laporan JICA, 2013). Situ/waduk tersebut banyak yang terbengkalai, tidak terurus, tidak dimanfaatkan bahkan hilang. Sejak terjadinya musibah situ Gintung, banyak situ/waduk yang direhabilitasi pada tahun 2010-2011. Apalagi setelah DKI Jakarta mulai memanfaatkan situ/waduk untuk mengurangi banjir dengan merehabilitasi dan mengeruk waduk Pluit dan waduk Riario, daerah-daerah lain di Jabodetabek juga turut membenahi situ/waduk di daerahnya masing-masing. Dengan membaiknya kondisi fisik situ/waduk, perlu pengelolaan yang rutin untuk menjaga kualitas air dan mengurangi pencemaran. Walaupun pemeliharaan situ/waduk itu adalah kewajiban pemerintah, namun seperti yang telah terjadi selama ini dana-dana dari pemerintah untuk pemeliharaan tidak selalu tersedia. Oleh sebab itu, partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan situ/waduk tersebut sangatlah penting.
Namun
demikian,
pemeliharaan
yang
rutin
dan
kegiatan-kegiatan
masyarakat memerlukan dana dan tidak bisa hanya menggantungkan pada sumbangan sukarela masyarakat saja. Untuk
mendukung
keberlangsungan
pemanfaatan
situ/waduk
oleh
masyarakat sehingga masyarakat merasa butuh dan merasa ada keterkaitan dengan situ/waduk, kami Research Institute for Humanity and Nature bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, akan menyelenggarakan workshop/lokakarya yang bertema “Tirta Budaya Situ” A New Concept of Multifunction Urban Lake Water Culture. Di dalam workshop tersebut kami ingin mengusulkan suatu konsep untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya situ/waduk. Konsep tersebut yaitu situ/waduk mempunyai suatu identitas ‘Tirta Budaya’. Apabila suatu situ/waduk sudah ditetapkan dan diakui memiliki identitas sebagai situ/waduk ‘Tirta Budaya Situ’ berarti situ/waduk tersebut telah lulus evaluasi kriteria-kriteria penilaian tertentu. Situ/waduk yang sudah mempunyai identitas ‘Tirta Budaya Situ’ berarti masyarakat sekitar dan pemerintah daerah situ/waduk tersebut sudah bekerjasama dan peduli akan pelestarian situ/waduk, masyarakat dan pemerintah daerah sudah memelihara situ/waduk secara teratur dan
2
ada kegiatan pemanfaatannya oleh masyarakat. Situ/waduk yang sudah ditetapkan dan diakui oleh Pemerintah Pusat menjadi salah satu situ yang beridentitas ‘Tirta Budaya Situ’ dapat lebih mudah untuk bermitra dengan perusahaan/industri di daerahnya sehingga perusahaan/industri dapat memberikan bantuan CSR untuk pengelolaan dan kegiatan masyarakat di sekitar situ/waduk tersebut secara kontinyu/rutin. Tentu saja kegiatan masyarakat tersebut harus berkaitan pemeliharaan, pelestarian, dan pemanfaatan situ/waduk. Untuk mendapatkan mitra perusahaan/industri, pemerintah daerah dapat membantu mencarikan mitranya atau masyarakat mengajukan proposal kepada perusahaan sehingga perusahaan berminat menjadi mitra. Tentu saja perusahaan juga harus mempunyai manfaat dalam kerjasama bermitra ini dengan cara pada saat kegiatan dapat beriklan dengan gratis atau memberi bangku-bangku beriklan untuk duduk di ruang terbuka hijau di sekitar situ/waduk. Dalam workshop “Tirta Budaya Situ” A New Concept of Multifunction Urban Lake Water Culture ini akan dibahas kriteria-kriteria penilaian apa saja yang perlu diusulkan agar kriteria-kriteria ini sesuai dengan keadaan situ/waduk, kondisi masyarakat di sekitarnya, keinginan masyarakat dan pemerintah daerah. Dalam workshop ini akan dilaksanakan pembahasan kriteria-kriteria yang kami sampaikan oleh para pakar dan berdiskusi atas masukan-masukan dari para pembahas, peserta serta wakil rakyat di parlemen yang hadir. Kami ingin berdiskusi dengan para peserta agar tujuan pemberian identitas situ/waduk ‘Tirta Budaya’ tercapai. Workshop ini juga diharapkan dapat menjadi ajang pertemuan berbagai stakeholder yang terkait dengan situ/waduk, masyarakat, pemerintah, para pakar, LSM, dll. Kegiatan workshop “Tirta Budaya Situ” A New Concept of Multifunction Urban Lake Water Culture yang akan dilaksanakan oleh Research Institute for Humanity and Nature bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI menyediakan sarana interaksi antara berbagai stakeholder situ/waduk di Jabodetabek dan membahas usulan kriteria penilaian penetapan identitas “tirta Budaya Situ” yang merupakan salah satu cara untuk memecahkan masalah pelestarian situ dan waduk di Jabodetabek.
3
Ami A. Meutia
4
Masyarakat & Pemerintah Daerah
Membersihkan & menjaga situ/waduk
Acara-acara
Rendah
Evaluasi (KLHK) Tinggi
Sertifikat “Tirta Budaya Situ”
Sertifikat “Tirta Budaya Situ”
Sektor Swasta (CSR)
Masalah
Kebutuhan
Sumber
Hadiah
Sistem ekonomi, pendidikan, perikanan, teknologi, dll.
Solusi
Investasi
Potensi
Pengelolaan situ/waduk yang berkelanjutan
5
Pengem balian
6
MULTI-FUNCTIONALITY OF URBAN LAKES (SITU AND WADUK) IN JABODETABEK - focused on water purification and flood mitigation effect○Koshi Yoshida(Ibaraki University,
E-mail:
[email protected])
Background In this study, we focused on multi-functionality of urban lakes (situ and waduk) which is naturally or artificially developed. Recently, land use of JBODETABEK was drastically changed (shown in Figure1), and about 1000 urban lakes have been existed before, however number of them decreased around 300 until now. Reduction of urban lakes will accelerate the degradation of water environment in Jakarta, because urban lakes have multi-functionality for keeping water environment in suitable condition. Therefore, to conserve those lakes in adequate condition and in sustainable, quantitative evaluation of multi-functionalities were quite important in the view point of water purification and flood control in this region. Figure 1. Land use map of JABODETABEK in 1930 and 2000 20 18
T‐N(mg/L)
To evaluate water quality condition, lake waters were sampled at the inlet and outlet of urban lakes (shown in Figure3). Field observation was conducted in rainy season (March 2014) and dry season (August 2014) to grasp the influence of water discharge from upstream area. Measured water quality parameters are soil sediment (SS), total nitrogen (TN), nitrate nitrogen (NO3-N), ammonium nitrogen (NH4-N), chemical oxygen demand (COD), dissolved oxygen (DO), water temperature and PH. To calculate water purification rate, we assumed that discharges of inflow and outflow are balanced.
IN OUT
14 12 10 8
65% 64% -1.5% 27% 10% 41%
6 4 2 0
March
20 18
-7.8%
T‐N(mg/L)
16 12
72%
91%
10
IN OUT
89%
14
8 6
77% -10%
8%
61%
4 2
① ② ③ ④ ⑤ ⑥ ⑦ ⑧ ⑨
August
Figure4. Observed TN concentration at inlet and outlet of each urban lake in rainy season (March) and dry season (August) 7.0
NH4-N NH4 NO3-N NO3
6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0
①IN ①OUT ②IN ②OUT ③IN1 ③IN2 ③OUT ④IN1 ④IN2 ④OUT ⑤IN ⑤OUT ⑥IN ⑥OUT ⑦IN ⑦OUT ⑧IN ⑧OUT ⑨IN1 ⑨OUT
0.0
March
7.0
Table 1. General information of surveyed urban lakes
NH4 NH4-N NO3-N NO3
6.0
storage volume catchment area (m3) (km2) 1,780,550 32.4 23,940 235,582 1.49 67,520 5.56 81,503 0.41 244,006 0.64 238,000 2.82 173,280 1.61 1,030,250 0.78
4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
August
Figure5. Observed NO3-N and NH4-N concentration at inlet and outlet of urban lakes in rainy season and dry season
Figure3. Inlet and outlet of situ Gintung
12.0
Flood Mitigation
7
Q 流量(m3/s)
200.0
3.0
Gintung
6.0
300.0
0.0
4.0
100.0
91.0% 2.0
200.0
0.0
300.0
Cihuni 8.0
0.0
Figure6. Land use extraction of Tonjong catchment area 6.0
流量(m Q 3/s)
.
(1) . where Qin is runoff from catchment area, P is Rainfall, S is the potential maximum soil moisture retention after runoff begins. S is calculated by eq(2). 10 (2) S where CN is runoff curve number which having a range from 30 to 100; lower numbers indicate low runoff potential while larger numbers are for increasing runoff potential. In this study, CN number were evaluated from land use and soil characteristic condition from GIS analysis. At first, catchment area of each urban lakes were evaluated from DEM(Digital Elevation Map) and then, land use and FAO soil data were extracted by catchment boundary (shown in Figure6). Paddy water storage also considered in runoff calculation.
100.0
00.6%
6.0
0.0
Q 3/s) 流量(m
In this study, rainfall data of February 2007 was used which had 440 mm during 1 Feb to 2 Feb 2014. Flood in Feb 2007 was most severe one historically. The runoff curve number is based on the area's hydrologic soil group, land use, treatment and hydrologic condition. The basic assumption of the SCS curve number method is that, for a single storm, the ratio of actual soil retention after runoff begins to potential maximum retention is equal to the ratio of direct runoff to available rainfall. This relationship, after algebraic manipulation and inclusion of simplifying assumptions, results in the following eq(1).
0.0
9.0
降雨量(mm/3h) rain
Pluit Hutan Kota Surenseng Gintung Babakan Kerapa Dua Wetan Rawa Dongkal Binong Tonjong Cihuni
depth (m) 2.39 1.71 9.82 2.11 1.49 2.03 1.4 1.2 3.17
①IN ①OUT ②IN ②OUT ③IN1 ③IN2 ③OUT ④IN1 ④IN2 ④OUT ⑤IN ⑤OUT ⑥IN ⑥OUT ⑦IN ⑦OUT ⑧IN ⑧OUT ⑨IN1 ⑨IN2 ⑨OUT
① ② ③ ④ ⑤ ⑥ ⑦ ⑧ ⑤
area of lake (m2) 745,000 14,000 23,990 32,000 54,700 120,200 170,000 144,400 325,000
(mg/L)
5.0
shoreline (km) 4.14 0.53 4.28 3.69 1.35 1.75 1.99 2.93 2.08
30%
0
Figure 2. Location of surveyed urban lakes ①Pluit, ②Hutan Kota Surenseng, ③Gintung, ④Babakan, ⑤Kerapa Dua Wetan, ⑥Rawa Dongkal, ⑦Binong, ⑧Tonjong, ⑨Cihuni
Name
29% -80%
① ② ③ ④ ⑤ ⑥ ⑦ ⑧ ⑨
降雨量(mm/3h) rain
20km
35%
16
(mg/L)
0km
Water Quality Purification
100.0
19.1%
4.0
200.0
2.0 0.0 2007/2/1 0:00
2007/2/1 15:00
2007/2/2 6:00
降雨量(mm/3h) rain
Target Lakes
300.0 2007/2/2 21:00
Tonjong Photo1. Outlet of Gintung
Photo2. Outlet of Cihuni
Figure7. Inflow and outflow discharge from 2/1 0:00 to 2/2 24:00 in 2007
Conclusion As a results, most of lakes have effective function to purify the wastewater flowing from upstream area and to mitigate flood discharge outflowing to downstream region. The negative impacts of urbanized catchment area can be minimized by optimizing the function of urban lakes such as flood control, ground water recharge and water purification. The solution of the problems requires a comprehensive management plan that is not only effective in maintaining the stability of lake ecosystem but also effective in improving urban life.
Pengelolaan Situ sebagai Danau Urban Berbasis Pendekatan Ekosistem di Megapolitan Jakarta CYNTHIA HENNY*, AMI A. MEUTIA ** dan R. KURNIAWAN* *Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, Cibinong, Indonesia; ** Research Institute for Humanity and Nature (RIHN), Kyoto, Jepang Situ di wilayah Jakarta megapolitan (JABODETABEK) walau merupakan sumber daya air alternatif dengan multifungsi namun mempunyai multi masalah dan terabaikan. Tidak sedikit jumlah situ yang berubah fungsi akibat perubahan lahan dari tekanan urbanisasi. Multifungsi Situ: Penampung air (sumber air baku air bersih), Pengontrol banjir, Penyejuk kota, Ruang terbuka hijau, Ekowisata, Rekreasi memancing, Budidaya ikan dsb. Multimasalah: Berubah fungsi, Pendangkalan, Penyusutan (area), Pencemaran (toksik polutan) (tempat buangan limbahpadat dan cair), Eutrofikasi (pencemaran algae), Penutupan area dengan tanaman air Salah pengelolaan atau pengelolaan tidak tepat sasaran menyebabkan permasalahan tidak teratasi
Pengelolaan Situ mendukung multifungsi situ apabila didukung dan dijaga keberadaan komponen ekosistem situ (danau kecil) Perbedaan tipe area sempadan dan penataan area pantai sangat berpengaruh terhadapkualitas air dan permasalahan eutrofikasi. Situ di wilayah urban dengan padat perumahan/penduduk dan tidak ada penanganan limbah/buangan dan aliran permukaan dari air hujan mempunyai kualitas sir yang buruk, tercemar berat toksik poluatan, organik, nutrien dan eutrofikasi oleh alga dan penutupan permukaan oleh tanaman apung Situ di wilayah yang jarang penduduk/perumahan, dengan area sempadan yang masih alami dengan berbagai jenis tanaman (area terbuka hijau) juga penataan pantai dengan tanaman serta keberadaan tanaman air tegak dan terendam mempunyai kualitas air yang baik dengan pencemaran nutrien dan organik lebih rendah juga permasalah eutrofikasi yang lebih kecil
Posfor merupakan salah faktor kunci dari pencemar nutrien yang harus dikontrol dari buangan limbah yang masuk ke situ Pengolahan limbah dari aliran buangan yang masuk ke Situ harus di olah baik dengan sistem pengolahan atau menggunakan teknologi remediasi (ekoteknologi – lahan basah buatan (sistem wetland) Sempadan danau dan area pantai sebagian besar harus ditata secara alami dengan ditanami berbagai jenis tanaman dan dijaga tanaman air tegak dan terendam diwilayah littoral situ
8
Kandungan Coliform dan E. coli di Beberapa Situ/Waduk di Jakarta Megacity Ami A. Meutia*, Cynthia Henny** & Riki Kurniawan** *Research Institute for Humanity and Nature **Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Situ/waduk, alam atau buatan di Jakarta Megacity (Jabodetabek) telah memainkan peran penting dalam irigasi, pengendalian banjir dan pengisian kembali air tanah sejak lama. Selama beberapa dekade, ini situ/waduk menderita karena perkembangan pesat yang tidak direncanakan, urbanisasi dan hunian ilegal. Oleh karena itu, fungsi sebenarnya dari situ/waduk belum diaktifkan dalam kondisi optimal. Selain itu, karena kelalaian pemerintah dan rendahnya kesadaran masyarakat, hampir semua situ/waduk telah tercemar dan penuh dengan limbah yang tidak diolah dan limbah padat. Akibatnya, situ/waduk menjadi tempat berkembang biak bakteri patogen, terutama salah satu yang menyebabkan gastroenteritis yang ditularkan melalui air. Penyakit pasca banjir adalah salah satu masalah yang paling serius di antara insiden meningkat yang datang setelah banjir. Konsekuensi kesehatan masyarakat terhadap banjir termasuk wabah penyakit akibat kontaminasi sumber air oleh limbah dan bahan kimia beracun. Air banjir bercampur dengan bakteri patogen di situ/waduk dapat memacu penyakit, termasuk diare. Dari fakta yang dijelaskan di atas, maka dianggap penting untuk mengetahui tentang kesehatan lingkungan situ/waduk, yang berkaitan dengan ekosistem perkotaan, dengan menggunakan indikator total coliform dan bakteri E.coli di megacity Jakarta. Gambar 1 menunjukkan bahwa tingkat bakteri coliform total beberapa situ/waduk di megacity Jakarta meningkat setiap tahun. Pada tahun 2009, hanya tujuh situ/waduk yang memiliki konsentrasi tinggi standar jumlah coliform melebihi kualitas air. Pada tahun 2010, sepuluh situ/waduk memiliki konsentrasi tingkat tinggi total coliform. Selain itu, pada tahun 2011 kondisi buruk meningkat dengan 12 situ/waduk memiliki jumlah coliform di atas standar. Untuk E. coli, pada tahun 2009 dan 2010, sembilan situ/waduk memiliki tingkat tinggi di atas standar. Untuk E. coli, pada tahun 2009 dan 2010, sembilan situ/waduk memiliki kandungan tinggi di atas standar, meskipun tingkatnya bervariasi. Namun, pada tahun 2011, terjadi kenaikan kandungan E. coli di banyak situ/waduk, seperti 12 situ/waduk memiliki tingkat E. coli di atas standar.
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 2 menunjukkan jumlah bakteri coliform situ/waduk di megacity Jakarta yang memperlihatkan bahwa tingkat tinggi total coliform juga bisa ditemukan di kota-kota lainnya. Kandungan tinggi total coliform dapat ditemukan di kota-kota lain di sekitar Jakarta (Bogor Kota, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Tangerang Selatan Kota, Tangerang Selatan Kabupaten, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi). Tidak ada situ/waduk di kota-kota tersebut yang memiliki kadar total coliform dibawah standar. Meskipun memiliki kandungan total coliform yang tinggi, kandungan E. coli dari situ/waduk masih dalam standar.
9
COMPOSITION OF AQUATIC PLANT AND RIPARIAN VEGETATION IN SEVERAL URBAN LAKES IN MEGACITY JAKARTA Riky Kurniawan, Cynthia Henny, Ami A. Meutia Research Centre for Limnology-Indonesian Institute of Sciences, Cibinong 16911 Research Institute for Humanity and Nature-Japan Email Correspondence:
[email protected]
Urban lakes in Megacity Jakarta are commonly called by the term “situ” by the local people Some of the significant functions of these water bodies are for domestic use, irrigation, fishery, flood control, recreation, and as habitat for variety of aquatic lives Aquatic plants and Riparian vegetation have known to reduced the sedimentation and improved water quality in urban lakes by reducing solids and contaminants from the storm water run off and sewerage Aquatic plants or more frequently referred as aquatic macrophytes are the plantations which mostly live in aquatic environment and are adapted to such condition. These plants may half or totally emerge inside the water (Uno et al., 2001). Aquatic plants has an important role as one of food source for fish, because Eichhornia crassipes, Myriophyllum verticillatum, or Hydrilla verticillata would attached by benthos (shrimp, mollusk, crab) which is a food source for some species of fish living in urban lakes
In addition, aquatic plant also play role as a spawning ground, a nursery ground, or shelter ground for fish from predators. Finally, fish would assembled around the aquatic plants. In conclusion, aquatic plant has an important ecological connectivity with fish living in urban lakes Riparian vegetation is generally composed of forest but may include other vegetation types such as scrub (Salemi, et al., 2012). Riparian vegetation has an important role for biodiversity, landscape, water quality, natural depuration, bank side stability, etc (Recchia et al., 2010) Riparian has an important role play to reduce the rate of sedimentation and also can reduce water pollutions in river or lake. Riparian also very important in the management of urban lakes because riparian occupy or always live in the river sides or urban lakes. The plant having powerful roots that they can restrain landslide so that erotion does not occur. Some types of riparian plants growing in water and had a rooting attached to mud and can hold of mud (Wiriadinata and Setyowati, 2003)
Eichhornia crassipes
Salvinia sp
Ludwigia sp.
Ipomoea aquatica
Cerbera manghas
Artocarpus sp.
Muntingia calabora
Musa sp.
Figure 1. Sampling Location in 11 Urban Lakes
Illustration for Good Condition in Urban Lakes (www.thepond.com)
10
Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Situ Pengamatan pada Beberapa Situ di Jabodetabek Gutomo Bayu Aji Pusat Peneltiian Kependudukan – LIPI (
[email protected])
Pertanyaan Bagaimana peran masyarakat dan keterlibatan mereka dalam pengelolaan Situ? Tujuan Mengetahui partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Situ Metodologi Review literature, observasi dan wawancara (18 situ di Jabodetabek) Temuan Situ-situ di Jabodetabek telah mengalami perubahan fungsi dari fungsi utama irigasi pertanian menjadi pengendalian banjir Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan situ mengalami perubahan dari peran tradisional dengan keterlibatan yang intensif menjadi kurang berperan dan terlibat Perubahan partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor perkembangan kota, perubahan fungsi lahan dan aturan pengelolaan situ yang kurang memberi otoritas serta ruang partisipasi masyarakat Lahan di sekitar situ semakin dikuasai oleh pengembang untuk keperluan pengembangan kota Kesimpulan Situ-situ di Jabodetabek mengalami perubahan fungsi dari irigasi pertanian menjadi pengendalian banjir. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain pengembangan kota, alih fungsi lahan dan aturan pengelolaan situ yang kurang memberikan ruang partisipasi masyrakat. Banyak situ yang tidak dikelola dengan baik sehingga fungsinya semakin menurun. Pemerintah belum dapat sepenuhnya mengelola situ dengan baik. Sementara itu partisipasi masyarakat semakin berkurang karena faktor-faktor tersebut berimplikasi pada pembatasan otoritas, peran serta keterlibatan dalam pengelolaan situ. Saran Partisipasi masyarakat perlu diberi ruang yang lebih luas dalam pengelolaan situ Output Kriteria partisipasi 1
2
3
Hubungan dengan komunitas Keterlibatan stakeholder Manfaat bagi masyarakat
5 Dikelola oleh komunitas
4 Dipertahankan oleh komunitas
Keterlibatan multistakeholder Memberikan manfaat bagi banyak pihak
Keterlibatan mutlti-stakeholder kurang Memberikan manfaat bagi masyarakat setempat
Parameter 3 Dipertahankan oleh sebagian kecil kelompok Keterlibatan stakeholder hanya kelompok kecil Memberikan manfaat bagi sebagian kecil kelompok masyarakat
2 Tidak dipertahankan oleh komunitas Stakeholder yang terlibat hanya pemerintah Kurang memberikan manfaat bagi masyarakat setempat
1 Dibiarkan oleh komunitas Tidak ada keterlibatan stakeholder Tidak memberikan manfaat
12
Suatu Tinjauan Sejarah Situ dan Waduk di JABODETABEK Hiroko Matsuda, Dr. Seandainya kita memperhatikan sejarah pengairan di Pulau Jawa, tentu kita bisa memudik ke zaman kuno. Jika berdasarkan pada tulisan yang diukir pada muka batu yang ditemukan di dekat Tanjung Priok, maka dapat diketahui bahwa pembangunan saluran pengairan sudah dilaksanakan di bawah perintah Raja Punawarman pada abad ke-5, yaitu masa Kerajaan HinduTarumanegara. Sesudah kota Batavia dibagun oleh pemerintahan VOC pada abad ke-17, pemerintah mulai mengajak karyawan VOC dan penduduk agar menangani pertanian, khususnya penanaman padi di wilayah sekitarnya untuk meningkatkan produksi makanan di kota dan menambah jumlah penduduk yang menetap di wilayah Batavia. Menurut peta-peta yang dilukis pada abad ke-18, dapat ditemukan beberapa kolam dan danau di hulu sungai seperti Sungai Kurkut, Sungai Grogal, Sungai Pesanggrahan dan sebagainya. Oleh karena terdapat ratusan sumber air di kaki gunung, lereng-lereng dan cekungan-cekungan di wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane yang ketinggiannya di antara sekitar 250 m di Buitenzorg (Bogor) dengan 3 m di pusat kota Batavia (Jakarta) dari permukaan laut, maka kemungkinan besar kolam dan danau tersebut terbentuk secara alamiah. Namun demikian pemerintah VOC mulai membangun saluran pengairan dari daerah Buitenzorg (Bogor) pada pertengahan abad ke-18 dan sebagian kolam dan danau mulai diatur oleh pemerintah VOC, penduduk setempat serta migran dengan membangun bendungan, tanggul dan pintu air. Suatu peta yang dilukis oleh seorang insinyur pemerintah Batavia pada tahun 1801 menunjuk sudah adanya suatu situ besar dan saluran pengairan di Cimanggis. Pada abad ke-19 kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang Situ yang ditemukan dalam peta sekitar 1930 menggalakkan penanaman padi secara lebih aktif mengakibatkan saluran pengairan dibangun dan diperpanjangkan di wilayah sungai Ciliwung-Cisadane. Sehubungan dengan itu, barangkali situ-situ baru dibangun dengan membendung aliran sungai kecil di lembah dan membangun tanggul sekeliling rawa atau cekungan. Seorang insinyur teknik sipil menulis laporan tentang tata air di wilayah Batavia di mana terdapat keterangan mengenai dibangunnya bendungan untuk pengairan dan dibentuk Situ Pitara pada tanhun 1855. Jika membanding peta-peta yang dibuat pada 1900-1911 dengan peta-peta yang dibuat pada sekitar tahun 1930, maka dapat diketahui beberapa situ baru dibangun dengan membendung lembah dan cekungan. Di antaranya terdapat Situ Tonjong, Stu Cihuni dan Situ Rawa Binong. Setelah Kemerdekaan Indonesia mulailah pembangunan waduk untuk mengendali banjir daerah perkotaan di Jakarta. Waduk dalam bahasa Jawa itu sebenarnya sama dengan situ yang digunakan untuk pengairan. Namun demikian, di wilayah Jabodetabek kata waduk biasanya diberikan kepada danau yang dibangun dalam rangka pengendalian pembuangan air hujan dan banjir yang menerapkan sistem Polder sebagai penataan air di kota. Pembangunan waduk tersebut dikaitkan dengan pembangunan perumahan yang menampung penduduk bertambah semakin banyak pada waktu itu. Pada sekitar tahun 1951 sudah dibangun Waduk Grogol. Selanjutnya pada tahun 1960-an telah dibuat rencana penataan air oleh tim Komando Proyek Banjir di Jakarta. Beberapa waduk seperti Waduk Pluit, Waduk Melati, Waduk Setiabudi, Waduk Tebet dan Waduk Pulo Mas direncanakan dalam perencanaan tersebut. Sedangkan di daerah sekitar kota juga terlihat perubahan tata guna tanah yang dinamis dan pesat mulai dari tahun 1970-an. Menurut statistik dinas pemerintah luas lahan sawah merupakan sekitar 2300 ㎢ pada tahun 1930 dan 1976. Tetapi angka ini semakin menurun menjadi sekitar 1970 ㎢ pada tahun 1990 dan selanjutnya menjadi kurang-lebih 1470 ㎢ pada tahun 2000. Selain itu, luas perkebunan karet di Jabdetabek juga berubah dari kira-kira 700 ㎢ menjadi 300 ㎢ menurut perkiraan dari statistik. Perubahan tata guna tanah sedemikian rupa mengakibatkan berubahnya lingkuan situ-situ di wilayahnya. Di kebanayakan situ kualitas air memburuk dan fungsi seperti pengairan, perikanan dan kebudayaan air bagi masyarakat sekelilingnya tidak bermanfaat secukupnya. Terdapat juga situ-situ yang menyusut dan mendangkal, bahkan ada yang ditimbun dan hilang. Walaupun begitu, fungsi menampung air untuk persediaan air tanah serta meredam banjir semakin diperhatikan secara umum. Rencana Kopro Banjir 1960-an Hasil Penelitian Nama Situ dan Waduk Pluit Hutan Kota Srengseng
13
Sejarah
Penggunaan Tanah Utama Daerah Sekeliling Situ Dahulu Sekarang
dibuat pada tahun 1960-an oleh pemerintah
tambak ikan
perumahan dan pemukiman
dibuat oleh propinsi DKI Jakarta
pembuangan sampah
taman umum
Gintung
sudah ada pada abad 19
kebun
pemukiman dan perumahan
Babakan
sudah ada pada abad 19
kebun dan sawah
pemukiman
Kelapa Dua Wetan
sudah ada pada abad 19
kebun dan sawah
pemukiman
Rawa Dongkal
sudah ada pada abad 19
kebun karet dan sawah
perumahan
Binong
rawa dibendung oleh penduduk pada sekitar 1920
kebun dan sawah
perumahan
Tonjong
sawah dibendung pada sekitar tahun 1910
kebun karet dan sawah
perumahan dan empang
Cihuni
sawah dibendung pada sekitar 1910
kebun karet dan sawah
perumahan
Rawa Pondok
rawa dibendung sebelum tahun 1903
sawah
sawah dan pabrik
CATATAN