Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
TINJAUAN SPASIAL ANALISIS EKONOMI USAHATANI PADA LAHAN PERTANIAN TERKONVERSI DI KABUPATEN SLEMAN Oleh Rika Harini, M.Hanafi Nurdin, Lucky Aprilia Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak Peningkatan konversi lahan pertanian yang terjadi saat ini semakin mendapat perhatian dari para ahli maupun pemerintah terutama pengambil kebijakan masalah pangan. Konversi lahan sawah yang merupakan lahan pertanian produktif akan menimbulkan dampak negatif terhadap kelangsungan sistem pertanian dan ketahanan pangan. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui tingkat konversi lahan pertanian di Kabupaten Sleman dan untuk mengetahui nilai ekonomi usahatani kegiatan usahatani secara spasial di Kabupaten Sleman. Penelitian ini mencakup kegiatan berupa analisis data sekunder dan terutama data primer yang diperoleh dari wawancara petani mengenai kegiatan usahatani untuk mengetahui tingkat keuntungan kegiatan usahatani melalui metode cost-benefit analysis dan nilai total revenue. Penentuan lokasi dan responden didasarkan pada data konversi lahan pertanian yang diperoleh BPS berupa data time series dan juga overley peta penggunaan lahan digital Kabupaten Sleman. Lokasi penelitian dibagi menjadi 3 zone wilayah menurut luas lahan sawah yang terkonversi berdasarkan klasifikasi menurut Starguss. Hasil penelitian menunjukkan terjadi variasi konversi lahan pertanian di kabupaten Sleman. Terdapat 6 Kecamatan dengantingkat konversi tinggi dan rendah dan 5 kecamatan konversi sedang. Analisis ekonomi menunjukkan bahwa pada wilayah zone 1 nilai kegiatan usahatani paling rendah (Rp. 2.480.521/ha/ tahun) dan yang paling tinggi (9.144.173/ha/tahun) adalah pada wiulayah zone 3 atau pada wilayah dengan tingkat konversi lahan pertanian rendah Kata Kunci: Analisis ekonomi, usahatani, lahan pertanian terkonversi
PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor perekonomian yang menyediakan lapangan kerja terbesar tetapi sumbangan terhadap pembentukan produksi nasional kurang dari 20% (Sutrisno,2003). Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani menyebabkan
hasil yang diperoleh dari usahatani tidak sebanding dengan
biaya yang dikeluarkan (input) dalam usahatani. Adanya kebijakan pemerintah yang memberikan kelonggaran terhadap pihak swasta untuk mengembangkan bisnis di luar pertanian (perdagangan maupun perumahan) menyebabkan kondisi sektor pertanian terancam keberadaannya.
Otonomi daerah juga menjadi salah satu
pemicu timbulnya konversi lahan pertanian. 475
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
Dampak konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian menyangkut dimensi yang sangat luas, selain penurunan produksi pangan, karena terkait dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Arah perubahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian serta pembangunan pertanian baik di tingkat regional maupun nasional (Rahmanto,2006). Selain aspek ekonomi yang secara nyata timbul akibat konversi lahan pertanian, kerugian sosial jangka panjang juga akan terjadi diantaranya adalah (1) penurunan produksi pangan, (2) degradasi agro ekosistem, (3) degradasi tradisi dan
budaya pertanian, (4)
sempitnya garapan usahatani dan (5) turunnya kesejahteraan petani. Fenomena konversi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Sleman perlu mendapat perhatian. Luas lahan sawah dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan, pada tahun 1987 luas lahan sawah 46,08% turun menjadi 33,11% pada tahun 2006. Penurunan lahan sawah tersebut diikuti dengan peningkatan luas lahan terbangun dari 18,68% menjadi 40,22% . Kondisi tersebut terjadi sebagai dampak urban sprawl, yaitu perkembangan fungsi kota yang merembet ke daerah pinggiran kota. Pertumbuhan ekonomi dan jasa non pertanian yang terus berkembang seperti pembangunan fasilitas pendidikan dan pusat-pusat perdagangan (mall, ruko, rumah makan) serta perumahan menyebabkan konversi lahan pertanian ke non pertanian di Kabupaten Sleman tidak dapat dihindarkan. Pada hakekatnya analisis biaya manfaat dapat digunakan sebagai penyaring apakah suatu
kegiatan, apakah kegiatan
tersebut dapat dilakukan atau tidak
(Suparmoko, 1997). Cost benefit analysis melihat dari segi efesiensi, dan juga sosial dan ekonomi dari suatu kegiatan (pertanian) yang dilakukan oleh masyarakat. Melalui analisis cost-benefit dapat diketahui nilai keuntungan yang diperoleh dari kegiatan pertanian dan juga uji kelayakan
ekonomi dari kegiatan pertanian.
Berdasarkan kondisi tersebut maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah (1) Mengkaji tingkat konversi lahan pertanian di Kabupaten Sleman dan penentuan zone wilayah terkonversi dan (2) Mengetahui tingkat keuntungan usahatani dari sisi ekonomi pada setiap zone wilayah konversi lahan pertanian di Kabupaten Sleman Analisa ekonomi kegiatan pertanian merupakan upaya untuk membandingkan biaya-biaya dengan manfaatnya dan menentukan kegiatan pertanian yang mempunyai keuntungan yang layak. Biaya adalah segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan, sedangkan manfaat adalah segala sesuatu yang membantu suatu tujuan. Pada kenyataannya tujuan seseorang dalam melakukan suatu kegiatan tidak hanya satu. Bagi petani tujuan pokok
dalam kegiatan yang dilakukan adalah
476
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
mengusahakan agar keluarga hidup berkecukupan, menyekolahkan anak sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Seorang petani tidak mengikuti pola tanam tertentu, tetapi mengikuti cara yang menguntungkan baik dari segi waktu maupun hasil yang diperoleh. Petani terkadang enggan menanam varietas baru dengan hasil tinggi dan mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga. Mereka tetap menanam varietas lama yang biasa ditanam untuk menghindari resiko gagal panen. Pertimbangan tersebut mempengaruhi pilihan petani mengenai pola penanaman dan kapasitas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan pertanian.
Tambahan manfaat neto
merupakan tujuan maksimum dari suatu kegiatan pertanian. Banyaknya keluarga petani yang dapat hidup layak dari kegiatan pertanian merupakan suatu indikator keberhasilan kegiatan pertanian. Hampir dalam sumua analisa proyek, biaya lebih mudah diperhitungkan (dinilai) dibandingkan dengan manfaat proyek. Setiap pengujian biaya harus perlu ditekankan, mengenai dampak pembiayaan terhadap berkurangnya manfaat neto petani atau pendapatan nasional. Biaya-biaya proyek pertanian meliputi : penggunaan barang-barang fisik (saluran irigasi, pupuk, obat-obatan untuk meningkatkan produksi), tenaga kerja (keluarga, upahan) dan tanah (Gittinger, 1991). Manfaat nyata dari kegiatan pertanian diperoleh dari suatu kenaikan nilai produksi atau pengurangan biaya. Suatu proyek irigasi mampu memperlancar kegiatan pertanian sehingga petani memperoleh manfaat dengan adanya irigasi tersebut yaitu dengan peningkatan produksi pertanian. Subsidi pemerintah, kredit lunak untuk usahatani juga merupakan kegiatan yang bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian yang secra langsung berpengaruh pada peningkatan pendapatan petani. Manfaat nyata lain selain peningkatan produksi adalah perbaikan kualitas produksi, perubahan lokasi penjualan, teknologi (mekanisasi pertanian), transportasi. Suparmoko (1997) menjelaskan bahwa terdapat beberapa macam manfaat (benefit) dan biaya (cost) dari suatu sumberdaya. Manfaat dan biaya real merupakan manfaat dan baiya adanya sumberdaya yang timbul bagi seseorang yang tidak diimbangi oleh manfaat dan biaya dari pihak lain. Sebaliknya ada yang termasuk manfaat dan biaya semu (pecunary benefits and cost), manfaat dan biaya yang diterima seseorang dengan mengorbankan masyarakat lain dengan adanya kegiatan tersebut. Manfaat
dan biaya langsung (direct)
yang diterima seseorang dari
sumberdaya dan ada yang bersifat tidak langsung (indirect). Selain itu dalam real benefit and cost terbagi menjadi manfaat dan biaya yang bersifat tangible dan yang intangible serta manfaat dan biaya internal dan eksternal. Melalui cost benefit analysis pada kegiatan pertanian, dapat diketahui nilai keuntungan yang diperoleh dari kegiatan tersebut. Secara tidak langsung merupakan
477
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
bahan pertimbangan dalam membuat keputusan mengenai kegiatan pertanian apakah layak atau tidak ditinjau dari segi ekonomi/pendapatan petani. Analisis ini juga dapat digunakan sebagai evaluasi kegiatan yang dapat menganggu lingkungan hidup dan untuk kepentingan umum. Konsep dasar cos-benefit ini sangat sederhana yaitu mengenali manfaat dan biaya atas suatu kegiatan sumberdaya, kemudian diukur berdasarkan ukuran yang dapat diperbandingkan. Apabila benefit lebih besar daripada costnya maka kegiatan tersebut menuju ke alokasi faktor produksi yang lebih efisien. Hasil penelitian yang dilakukan Kusumastanto (2000) mengenai pengelolaan sumberdaya mangrove menunjukkan bahwa
nilai ekonomi
dari sumberdaya
mangrove sebesar US$ 1,462,847,958/ha/tahun. Sedangkan analisis biaya-manfaat pengelolaan hutan secara lestari sebesar US$ 17,391.78 per ha dan Net B/C sebesar 5,96.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya hayati
memberikan net-benefit secara kontinyu, sehingga pemanfaatan sumberdaya ini harus dikelola sedemikian rupa dan dijaga kelestariannya agar keseimbangan secara alamiah tidak terganggu. Penelitian Irham dan Kanada tahun 1998 dan 2001 di Jepang menunjukkan
bahwa sumberdaya pertanian memiliki pengaruh lingkungan yang
positif dalam hal penyediaan landskap serta pemandangan dan panorama indah yang menciptakan kenyamanan terhadap penduduk sekitarnya. Nilai total lingkungan lahan pertanian sebesar 25,9 trilyun yen, lingkungan hutan 23,2 trilyun yen. Nilai tersebut tiga kali lebih besar dari Produk Domestik Bruto pertanian sehingga upaya melindungi lahan pertanian dan hutan sangat diperlukan. Henn, P (2001) melakukan penelitian di Cuba mengenai penilaian ekonomi pertanian kota dengan menggunakan metode CVM. Daerah penelitian di bagi menjadi 2 dengan 127 responden. Hasil penelitian menunjukkan dari 24.387 hektar lahan pertanian yang dikelola maka nialai ekonomi setiap tahunnya $ 344.000, akan tetapi jika ada perbaikan irigasi dan pencegahan terhadap pencurian naik menjadi
$ 503.500. Pengukuran terhadap alokasi
sumberdaya alam yang didasarkan nilai ekonomi sebenarnya yang di ukur adalah net economic benefit dari barang dan jasa. Konversi Lahan Pertanian Fenomena konversi lahan terjadi sebagai akibat meningkatnya kebutuhan akan ruang untuk tempat tinggal maupun pemenuhan kebutuhan hidup. Berdasarkan kebutuhan hidup, orang akan cenderung memnfaatkan lahan untuk kegiatan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Faktor lokasi akan menjadi pertimbangan bagi setiap orang dalam memanfaatkan lahan. Secara umum lokasi dapat merupakan faktor yang menentukan perkembangan ekonomi suatu wilayah. Masalah konversi lahan
478
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
pertanian menjadi suatu dilema bagi Pemerintah Daerah yang ingin mengembangkan proyek-proyek industri, sedangkan di sisi lain perlu melindungi petani dan tetap mempertahankan swa sembada padangan di daerahnya. Pada umumnya sektor industri lebih dikembangkan dibandingkan dengan sektor pertanian, karena sektor industri dianggap mampu lebih memberikan sumbangan pendapatan asli daerah dan menciptakan kesempatan
kerja yang lebih besar dibandingkan dengan sektor
pertanian. Efek langsung dari konversi bentuk pemanfaatan lahan pertanian adalah berkurangnya lahan pertanian yang secara langsung berpengaruh pada penurunan produksi pertanian. Selama kurun waktu 10 tahun terakhir di daerah pinggiran Kota Yogyakarta yang terletak di bagian selatan tercatat pengurangan lahan persawahan seluas 6,25 hektar/tahun, pada bagian utara seluas 4,95 hektar/tahun dan bagian barat seluas 4,83 hektar/tahun dan bagian lainnya tergolong lambat ( Yunus, 2001). Penurunan luas lahan
persawahan diprediksikan terjadi
pada desa-desa yang
berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta, apabila tidak ada intervensi pemerintah secara langsung untuk melindunginya. Sektor pertanian saat ini masih tetap diperlukan mengingat peranan sektor ini sebagai penampung tenaga kerja sangat besar. Usaha untuk memperkecil laju penurunan pertumbuhan pertanian seiring dengan penurunan aliran investasi ke sektor pertanian perlu dilakukan. Melalui peningkatan efisiensi, investasi dan pengembangan komoditas andalan diharapkan sektor pertanian mempunyai kemampuan dalam
meningkatkan
pendapatan dan kesempatan kerja sehingga
sektor pertanian bisa tetap bertahan.
Selain itu juga
dapat dilakukan melalui
pengembangan sub sektor pertanian
yang mempunyai dampak terhadap nilai
tambah yang tinggi terhadap sektor lainnya (Nizwar, et al, 1998). Menurut Irawan et al (2000) dalam skala makro terjadi perkembangan ekonomi wilayah, sementara secara miko (petani penjual lahan pertanian) berdampak positif (1) Petani mampu membeli lahan pertanian baru yang lebih luas walaupun lokasi lebih jauh, (2) Adanya perubahan mutu kualitas hidup dengan perbaikan rumah tinggal, (3) Pertambahan aset non tanah atau tabungan dan (4) Peningkatan sumberdaya manusia lewat pengalokasian uang hasil penjualan lahan untuk biaya pendidikan anak. Secara teoritis konversi lahan pertanian dapat menimbulkan dampak berupa kerugian, terutama hilangnya lahan produktif penghasil beras, di samping tidak dipungkiri
membawa manfaat-manfaat
secara
ekonomi. Dengan
demikian,
sesungguhnya tidak mudah untuk membuat perhitungan tentang manfaat dan kerugian akibat konversi lahan sawah ini, apalagi cukup banyak juga manfaat dan kerugian yang sifatnya intangible. Sumaryanto et al. (1994) menyatakan dampak
479
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
negatif (kerugian) akibat konversi lahan terutama adalah pada sisi hilangnya “peluang” memproduksi hasil pertanian di lahan sawah yang terkonversi, yang besarnya berbanding lurus dengan luas lahannya. Jenis kerugian tersebut mencakup produksi pertanian dan nilainya, pendapatan usahatani, dan kesempatan kerja pada usahatani. Selain itu juga hilangnya peluang pendapatan dan kesempatan kerja pada kegiatan ekonomi yang tercipta secara langsung maupun tidak langsung dari kaitan ke depan (forward linkage) maupun ke belakang (backward linkage) dari kegiatan usahatani tersebut, misalnya usaha traktor dan penggilingan padi.. Selain kerugian-kerugian sebagaimana telah disebut di atas, konversi lahan juga berdampak pada kerusakan lingkungan. Dengan hilangnya lahan pertanian maka peranannya sebagai permukaan resapan dan penampung kelebihan air limpasan tidak akan berfungsi lagi. Dalam skala yang luas secara teoritis akan meningkatkan degradasi sumber daya air di kawasan lahan yang terkonversi, bahkan menjangkau wilayah yang lebih luas. Kerugian yang terjadi secara tidak langsung
adalah
meningkatnya pencemaran, banjir, pengurangan luas lahan pertanian bagi petani (petani gurem). Konversi lahan sawah juga memberikan banyak manfaat. Hasil ini didasarkan pada fakta bahwa sebagai bagian dari sumberdaya ekonomi, lahan akan dialokasikan pada penggunaan yang menghasilkan land rent (nilai ekonomi) tertinggi. Dengan demikian konversi lahan dikatakan memberi manfaat tertinggi apabila perubahan tersebut dapat memberikan peningkatan kesejahteraan bagi petani. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan melalui metode survai yang akan dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Data yang digunakan adalah data sekunder dan terutama data primer. Hasil penelitian akan ditampilkan dalam bentuk tabel dan peta untuk lebih memberikan gambaran secara spasial tentang nilai ekonomi usahatani di Kabupaten Sleman. Pemilihan responden dalam penelitian berdasarkan pada luas lahan pertanian yang terkonversi yang dibagi menjadi 3 zone wilayah. Jumlah responden ditentukan secara quota sampling yaitu 30 responden untuk setiap zone daerah penelitian, sehingga dalam penelitian ini total responden adalah 90 orang. Pada saat penelitian responden yang dipilih adalah penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Responden dipilih secara acak setelah dari populasi petani yang ada di wilayah kajian. Dalam penelitian ini akan digunakan beberapa metode
untuk menjawab
setiap tujuan penelitian. Penentuan luas lahan sawah yang terkonversi digunakan data time series yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik
480
Kabupaten Sleman.
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
Perhitungan nilai ekonomi usahatani digunakan model nilai guna langsung adalah keseluruhan nilai output yang berasal dari penerimaan tunai hasil penjualan usahatani, baik yang dijual maupun yang di konsumsi sendiri. Biaya usahatani meliputi biaya pemeliharaan, pembibitan, pupuk/obat, pengairan dan pasca panen. Analisis
biaya – manfaat ini digunakan untuk melihat kelayakan usaha secara
finansial. Selain itu untuk mengetahui tingkat keuntungan dari kegiatan pertanian digunakan analisis tingkat keuntungan pendapatan. Keuntungan disini merupakan selisih antara penerimaan total (total revenue) dengan biaya total (total cost). Secara matematis dirumuskan sebagai berikut : = TR - TC Keterangan : = Tingkat keuntungan TR = Total penerimaan TC = Total biaya
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Penentuan Zone Konversi Lahan Pertanian Konversi lahan pertanian merupakan suatu fenomena yang tidak bisa dihindari.
Keterbatasan
sumberdaya
lahan,
pertumbuhan
penduduk
dan
pertumbuhan ekonomi merupakan faktor yang menyebabkan konversi lahan pertanian (Irawan,2005). Luas lahan yang tersedia terbatas, adanya peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan lahan untuk kegiatan pertanian maupun non pertanian. Sementara laju pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong untuk permintaan lahan non pertanian yang lebih tinggi. Meningkatnya kelangkaan lahan akibat pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian. Terjadinya konversi lahan pertanian tersebut merupakan bagian dari pembangunan. Pembangunan ekonomi akan membutuhkan lahan yang digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana transportasi, kawasan industri dan perdagangan serta sarana publik yang lain. Pertumbuhan penduduk akan menyebabkan peningkatan kebutuhan lahan untuk perumahan (Simatupang dan Irawan, 2003). Proses konversi lahan pertanian yang terjadi di wilayah Kabupaten Sleman berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain. Alasan dalam mengkonversi lahan pertanian juga berbeda-beda. Petani melakukan konversi lahan pertanian karena harga lahan yang tinggi, lokasi lahan, menambah penghasilan, dan membuat rumah yang diwariskan untuk anak (Harini,2012). Dalam penelitian ini untuk mengetahui luasan konversi lahan pertanian dilakukan dengan melalui overlay citra satelit dan peta penggunaan lahan Kabupaten sleman. tersebut diatas akan digunakan sebagai dasar kajian penentuan lokasi 481
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
konversi lahan di Kabupaten Sleman. Wilayah kajian dibagi menjadi menjadi 3 zone wilayah berdasarkan luasan lahan pertanian yang terkonversi, yaitu konversi rendah, sedang dan konversi tinggi. Ketiga wilayah tersebut untuk selanjutnya menjadi dasar analisis pada setiap kajian mengenai konversi lahan pertanian. Penetapan zone tersebut dimaksudkan agar diperoleh gambaran secara spasial terhadap pengaruh konversi lahan pertanian terhadap nilai ekonomi pada setiap wilayah di Kabupaten Sleman. Analisis spasial yang dimaksud adalah perbedaan konversi lahan pertanian terhadap nilai ekonomi
pada setiap zone wilayah. Pembagian zone wilayah
ditentukan secara administrasi pada level kecamatan, sehingga dari 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Sleman dibagi berdasarkan luas lahan pertanian yang terkonversi yang kemudian sebagai zone wilayah terkonversi. Tabel 1 Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Sleman No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Luas Lahan Pertanian 1983 2013 1.472 1.408 1.499 1.421 1.534 1.507 1.504 1.393 1.376 1.079 1.348 988 868 506 1.432 1.216 1.681 1.483 1.923 1.668 2.155 1.897 2.108 1.741 1.956 1.577 1.946 1.571 1.599 1.468 1.815 1.633 1.171 1.083
Kecamatan Moyudan Minggir Seyegan Godean Gamping Mlati Depok Berbah Prambanan Kalasan Ngemplak Ngaglik Sleman Tempel Turi Pakem Cangkringan
Konversi lahan 1983-2013 64 78 27 111 297 360 362 216 198 255 258 367 379 375 131 182 88
Sumber : Analisis Data Primer
Hasil penelitian menunjukkan terjadi variasi konversi lahan pertanian antar kecamatan di wilayah Kabupaten Sleman. Dalam kurun waktu 30 tahun (1983-2013) konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian paling tinggi (379 ha) adalah di Kecamatan Sleman dan terendah (27 ha) di Kecamatan Seyegan (lihat Tabel 1). Berdasarkan
kondisi
tersebut
menunjukkan
bahwa
seiring
dengan
perkembangan waktu konversi lahan pertanian tidak hanya terfokus pada wilayah pinggiran kotasaja akan tetapi menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Sleman. Seperti hasil Penelitian Yunus (2001) terjadi perkembangan kota yang mengarah ke bagian Sleman bagian utara dan
timur. Fenomena urban Sprawl terjadi pada
wilayah di Kabupaten Sleman. Pertumbuhan konversi lahan pertanian tertinggi 482
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
terjadi di Kecamatan Kalasan, kemudian Kecamatan Ngaglik dan Kecamatan Pakem. Pada Kecamatan Depok yang merupakan wilayah dengan tingkat konversi lahan pertanian tinggi, jika dilihat tingkat pertumbuhan konversi hanya 0,09%. Pertumbuhan konversi yang terjadi di Kecamatan Depok yang demikian terjadi karena luas lahan pertanian jumlahnya sedikit sehingga pertumbuhan konversinya juga rendah. Sebagai ibu kota kabupaten pada wilayah Kecamatan Sleman pertumbuhan konversi lahan pertanian tinggi yaitu 0,12%. Konversi lahan yang dilakukan digunakan selain untuk pembangunan gedung perkantoran pemerintah daerah juga untuk pembanguan perumahan dan aktivitas perdagangan. Konversi lahan yang terjadi di luar pinggiran kota terjadi karena peningkatan jumlah penduduk yang menyebabkan peningkatan kegiatan ekonomi, sosial dan jasa. Gambar 1 menunjukkan peta perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanaian ke non pertanian yang merupakan dasar penentuan luasan konversi lahan pertanian di Kabupaten Sleman.
Gambar 1. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Sleman 1983-2013
Analisis spasial merupakan salah satu tujuan utama dalam penelitian ini. Dasar yang digunakan untuk analisis spasial adalah penentuan wilayah kajian. Penelitian ini akan dibagi menjadi 3 lokasi (zone) berdasarkan tinggi rendahnya lahan pertanian
483
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
yang terkonversi pada masing-masing kecamatan di Kabupaten Sleman. Secara relatif dapat diketahui konversi terendah adalah 27 ha dan konversi tertinggi 379 ha Hasil perhitungan kelas didapatkan range kelas sebesar 117,33, sehingga batas klasifikasi setiap zone wilayah penelitian adalah: Klasifikasi rendah
27 – 144
Klasifikasi sedang
145 - 262
Klasifikasi tinggi
263 - 379
Tabel 2. Hasil Klasifikasi Zone Wilayah Konversi Lahan di Kabupaten Sleman No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Zone
Kecamatan Gamping Mlati Depok Ngaglik Sleman Tempel Berbah Kalasan Prambanan Ngemplak Pakem Moyudan Seyegan Minggir Godean Turi Cangkringan
1 (Konversi Tinggi)
2 (Konversi Sedang)
3 (Konversi Rendah)
Sumber :Analisis Data Primer
Tabel 2 menunjukkan kecamatan yang termasuk klasifikasi tinggi atau zone 1 adalah merupakan wilayah zone bingkai kota (Zobikot),
kecamatan dengan
klasifikasi sedang atau zone 2 adalah merupakan wilayah zone bingkai kota-desa (Zobikodes) dan kecamatan dengan klasifikasi rendah atau zone 3 adalah merupakan wilayah zone bingkai desa-kota (Zobideskot) (Yunus, 2000). Dalam penelitian ini pembagian wilayah disebutkan hanya dengan istilah zone 1, zone 2 dan zone 3. Terdapat 6 kecamatan yang termasuk ke dalam zone 1 atau kecamatan dengan tingkat konversi lahan pertanian tinggi, sedangkan zone 2 yang merupakan wilayah dengan tingkat konversi lahan pertaniansedang ada 5 kecamatan dan terdapat 6 kecamatan dengan tingkat konversi lahan pertanian rendah atau zone 3. Wilayah zone 1 meliputi Gamping, Mlati, Depok, Ngaglik, Sleman dan Tempel. Pada wilayah zone 2 meliputi 5 kecamatan yaitu Berbah, Kalasan, Prambanan, Ngemplak dan Pakem. Kecamatan dengan konversi rendah (zone 3) meliputi Kecamatan Moyudan,
484
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
Minggir, Seyegan, Godean, Turi dan cangkringan. Secara spasial dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Peta Zone Konversi Lahan Pertanian Kabupaten Sleman1983-2013 Penilaian Ekonomi Usahatani Analisis ekonomi berhubungan dengan efisiensi ekonomi, distribusi pendapatan, dan pemenuhan kebutuhan dasar. Dalam analisis ekonomi perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian oleh karena perekonomian dihadapkan pada kenyataankenyataan bahwa harga pasar tidak mencerminkan nilai ekonomi atau nilai sosial yang sesungguhnya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam analisis ekonomi khususnya pada negara yang sedang berkembang. Dalam hal ini terkait dengan
penilaian
ekonomi total kegiatan usahatani padi di wilayah Kabupaten Sleman adalah sebagai berikut : a. Harga pasar telah dipengaruhi oleh kebijakan perdagangan yang bersifat protektif. b. Adanya pengangguran karena adanya peraturan upah minimum, tekanan serikat pekerja, sehingga tenaga kerja yang bertambah menjadi mahal. c. Subsidi terhadap harga dan suku bunga. Adanya distrorsi pasar akibat masalah politik yang tidak bisa diatasi dengan kebijakan ekonomi maka untuk memperbaiki efisiensi ekonomi dan pemerataan
485
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
sosial dalam pengambilan keputusan harus dibuat berdasarkan shadow prices. Shadow prices merupakan harga yang mencerminkan nilai ekonomi yang sebenarnya dari sumberdaya. Terdapat beberapa unsur yang berbeda dalam penilaian antara analisis finansial dan analisis ekonomi yaitu harga dan transfer. Dalam analisis ekonomi harga yang dipakai adalah shadow prices atau accounting prices yaitu harga yang menggambarkan nilai ekonomi yang sesungguhnya dari unsur-unsur biaya maupun hasil, sedangkan dalam analisis finansial selalu dipakai harga pasar. Penentuan harga bayangan output dan input dibedakan ke dalam barang atau jasa yang diperdagangkan secara internasional (tradeable) dan yang tidak diperdagangkan secara internasional (non tradeable). Barang atau jasa yang tradeable dibedakan antara yang diimpor atau diekspor, yang dihitung berdasarkan harga di perbatasan (border price) dengan memperhitungkan semua biaya-biaya yang terjadi antara harga di tempat usaha atau di lingkungan proyek dengan harga dimana c.i.f (cost insurance freight) atau f.o.b (free on board) dicatat (Gittinger, 1986). Barang yang diimport harga bayangannya adalah harga c.i.f. yang telah dikalikan dengan harga bayangan nilai tukar (shadow exchange rate) ditambah dengan biaya tataniaga dari pelabuhan pengimpor ke lokasi usaha. Barang yang diimport harga bayangannya adalah harga c.i.f yang telah dikalikan dengan harga bayangan nilai tukar (shadow exchange rate) ditambah dengan biaya tataniaga yaitu biaya penanganan di pelabuhan pengimpor dan biaya pengangkutan ke lokasi usaha. Sedangkan barang yang dieksport harga bayangannya adalah harga f.o.b yang telah dikalikan dengan harga bayangan nilai tukar (shadow exchange rate) dikurangi dengan biaya tataniaga yaitu biaya penanganan di pelabuhan pengekspor dan biaya pengangkutan dari lokasi usaha ke pelabuhan pengekspor. Input yang biasa dinilai dengan shadow prices adalah (i) valuta asing, (ii) tenaga tidak terdidik, (iii) modal, dan (iv) tradeable yaitu (a) barang dan jasa yang diperdagangkan secara internasional, (b) merupakan substitusi dekat dari (a), dan (c) yang memenuhi kedua syarat di atas tetapi karena adanya larangan perdagangan tidak diekspor atau diimpor(Gitingger,1986). Dalam penelitian ini biaya-biaya yang diperlukan dalam kegiatan usahatani tidak semuanya ditentukan melalui harga bayangan (shadow price). Biaya–biaya yang dapat langsung dinilai
dengan harga pasar. Penilaian ekonomi terhadap
kegiatan di sektor pertanian didasarkan pada hasil atau pendapatan yang diperoleh oleh responden pada saat melakukan kegiatan pertanian. Penilaian ekonomi dihitung dalam waktu satu tahun per hektar lahan pertanian. Nilai konversi lahan pertanian pada zone 1 yaitu merupakan wilayah dengan tingkat konversi lahan pertanian tinggi, kemudian zone 2 atau wilayah dengan konversi lahan pertanian sedang dan zone 3 atau pada wilayah dengan tingkat konversi lahan pertanian
486
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
rendah. Hasil penelitian Harini (2012) menunjukkan bahwa jenis lahan pertanian tidak berpengaruh terhadap konversi lahan pertanian di wilayah Kabupaten Sleman. Lahan sawah atau lahan tegal dan pekarangan jika lokasi lahan dekat dengan pusat kota harga lahan yang ditawarkan akan tinggi. Faktor kesuburan lahan (Teori David Richardo) tidak berlaku dalam kegiatan konversi lahan pertanian ini. Hasil yang diperoleh dari kegiatan non pertanian baik lahan sawah maupun tegal dan pekarangan ternyata lebih menguntungkan dibandingkan untuk kegiatan pertanian pada setiap zone penelitian. Seperti halnya teori Von Thunen yang dikembangkan oleh Alonso (1971) faktor lokasi akan menentukan harga lahan yang secara langsung juga akan berpengaruh terhadap kegiatan yang dilakukan oleh penduduk terutama untuk aktivitas non pertanian. Hasil perhitungan
secara ekonomi menunjukkan bahwa dari ketiga zone
penelitian terjadi perbedaan dalam setiap biaya yang dikeluarkan dalam usahatani sehingga secara langsung berpengaruh terhadap pendapatan dan keuntungan usahatani. Tabel 7.10 merupakan hasil perhitungan nilai pendapatan dan keuntungan usahatani padi di Kabupaten Sleman yang belum memperhitungkan biaya dan manfaat lingkungan. Pada zone 1 dalam kegiatan usahatani padi biaya yang dikeluarkan paling tinggi dibandingkan dengan wilayah zone 2 maupun zone 3. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada wilayah zone 1 yang merupakan wilayah konversi lahan pertanian tinggi dimana lokasi lahan sawah sebagian besar berada di daerah pinggiran kota untuk kegiatan pertanian diperlukan biaya yang lebih besar. Selain berada daerahpinggiran kota lokasi inisebagian besar juga dekat dengan pusat perdangan, pusat pemerintahan maupun aktivitas sosial ekonomi yang mengarah kekotaan.
Usaha ekonomi yang cenderung mendekati ke kotaan biasanya
memerlukan biaya yang lebih tinggi karena untuk memperoleh akses sumberdaya juga tidak lebih mudah jika dibandingkan dengan daerah perdesaan. Demikian juga dalam kegiatan usahatani sebagai contoh untuk mengupah tenaga kerja di daerahpertanian kota upahnya juga akan lebih mahal jika dibandingkan dengan di desa apalagi untuk mencari tenaga kerja di sektor pertanian di daerah perkotaan juga relatif sulit karena sedikit yang bekerja di sektor itu. Biaya usahatani menurun berdasarkan lokasi konversi lahan pertanian. Semakin rendah konversi lahan pertanian biaya yang dikeluarkan petani semakin rendah. Hal ini karena pada wilayah dengan tingkat konversi lahan pertanian yang rendah sebagian besar terletak pada daerah perdesaan. Produksi hasil pertanian pada wilayah zone 1 paling tinggi jika dibandingkan dengan zone 2 maupun zone 3. {ada zone 1 sebesar 20.305.272 kg, kemudian disusul zone 3 yaitu 19.362.490 kg dan yang paling rendah zone 2 yaitu 16.189.798 kg (lihat
487
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
Tabel 7.10). Jika dilihat nilai keuntungan usahatani
pada
wilayah zone 3
keuntngannya paling tinggi, kemudian wilayah zone 2 dan yang paling rendah tingkat keuntungan usahatani adalah zone 1 atau wilayah dengan tingkat konversi lahan pertanian rendah. Hal ini kemungkinan pada wilayah zone 3 walaupun terjadi konversi lahan pertanian dan aktivitas diluar pertanian juga berlangsung akan tetapi kegiatan pertanian tetap merupakan pekerjaan utama dan jarang yang memiliki pekerjaan sampingan. Untuk mendapatkan hasil keuntungan yang lebih maka patani berusaha untuk melakukan kegiatan pertanian semaksimal mungkin sehingga hasilnya dapat lebih tinggi dibandingkan zone 1 dan zone 2. Tabel 3. Analisis Finansial Usahatani Padi PerHektar di Kabupaten Sleman No.
Uraian
Zone 1
Zone 2
Zone 3
1.
Nilai Produksi Biaya Variabel (bibit, pupuk, tenaga kerja luar keluarga, irigasi) Biaya tetap pajak Biaya tetap sewa tanah Total tenaga kerja keluarga (Rp) Total Biaya (2+3+4+5) (Rp) Keuntungan usahatani ( Rp/Ha) 1-6
20.305.272 1.376.634
16.189.798 947.586
19.362.490
5.302.540 5.955.396 5.190.182 17.824.751 2.480.521
5.928.979 1.229.891 1.446.747 9.553.202 6.636.596
2,896,001 3.715.569 1.796.617 10.218.317 9.144.173
2. 3. 4. 5. 6. 7.
3.907.681
Sumber : Analisis Data Primer
SIMPULAN 1. Terjadi variasi konversi lahan pertanian selama 30 tahun di 17 kecamatan Kabupaten Sleman. Konversi Paling tinggi terjadidi Kecamatan Sleman sedangkan terendah di Kecamatan Seyegan 2. Secara spasial dapat diketahui bahwa terdapat 6 kecamatan dengan tingkat konversi lahan pertanian tinggi, 5 kecamatan dengan konversi sedang dan 6 kecamatan dengan konversi rendah. Pada kecamatan dengan konversi tinggi sebagian besar berada di wilayah pinggiran Kota Yogyakarta sedangkan yang konversi rendah berada jauh dari wilayah Kota Yogyakarta. 3. Nilai ekonomi usahatani padawilayah zone 1 paling rendah kemudian zone2 dan yang paling tinggi pada wilayah zone 3
DAFTAR PUSTAKA Bintarto, H. Surastopo. 1984. Metode Analisa Geografi. LP3ES. Yogyakarta. Gittinger, 1997. Dasar-Dasar Evaluasi Proyek Pertanian. Pustaka Press. Bandung 488
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014
Greenland D.1983. Guidelines for Modern Resource Management Soil, Land, Water, Air. A Bell & Evanston. San Fransisco, London . Henn, Patrick 2001. The value of Urban Agriculture the Contingent Valuation Method Applied in Havana, Cuba. Department of Agricultural Economics, McGill University, Montreal, Canada. Jayadinata, Johara T. 1992. Tataguna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah. Penerbit ITB Bandung. Kusumanstanto, Tridoyo, 2000. “Akuntasi Sumberdaya Hayati Pesisir dan Lautan : Studi Kasus Selat Malaka”. Disampaikan pada Seminar On NRA Environmmental Economics. PPLH UGM kerjasama dengan CEPI Kanada , sabtu 29 April. Yogyakarta. Malingreu, Jean Paul dan Rasalia Cristiani. 1981. Land Cover/Land Use Clasification for Indonesia. The Indonesian Journal of Geography Vol.11 no.41. Fakultas Geografi. UGM, Yogyakarta. Nizwar Syafa'at et al. 1998. “Identifikasi komoditas Andalan dan Analisis dampak Investasi Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Nasional”. Majalah AgroEkonomi Vol V/No I Des/ 1998. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian UGM. Pakpahan, A., Sumaryanto, N. Syafa’at, S. Friyatno, Saktyanu, K.D dan R.P. Somaji. 1993. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Nonpertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Rahmanto Bambang. Bambang I. dan Nur Khoiriyah Agustin. 2006. “ Multifungsi Lahan Sawah di Jawa”. dalam Journal sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (SOCCA). Ekonomi dan Degradasi Lingkungan. Volume 6 Nomor 2 : 199-210, Juli 2006. Bali. Sitorus, Santun R.P. 1985.Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito. Bandung. Soetrisno, Noer. 2003. Wajah Koperasi tani dan nelayan di Indonesia : Sebuah Tinjauan Kritis. Jurnal Ekonomi Rakyat Tahun II No 5 Agustus 2003. Sumaryanto, N.Syafa’at, M.Ariani, dan S. Friyatno. 1995. ”Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Nonpertanian”. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Pene-litian Sosial Ekonomi Pertanian bekerjasama dengan Proyek Pembinaan Kelem-bagaan Penelitian Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Suparmoko, 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pusat Studi Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Yunus, Hadi Sabari.2001. “Perubahan Pemanfaatan Lahan Di Daerah Pinggiran Kota: Kasus di Pinggiran Kota Yogyakarta”. Disertasi. UGM.Yogyakarta . Vink, A.P.A., 1975. Land Use in Advancing Agriculture. Springers. Verlag, New York.
489