TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Mengenai Banjir Definisi Banjir Banjir dalam pengertian umum adalah debit aliran air sungai dalam jumlah yang tinggi, atau debit aliran air di sungai secara relatif lebih besar dari kondisi normal akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat tertentu terjadi secara terus menerus, sehingga air tersebut tidak dapat ditampung oleh alur sungai yang ada,
maka
air
melimpah
keluar
dan
menggenangi
daerah
sekitarnya
(Peraturan Dirjen RLPS No.04 thn 2009). Banjir merupakan peristiwa dimana daratan yang biasanya kering (bukan daerah rawa) menjadi tergenang oleh air, hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan kondisi topografi wilayah berupa dataran rendah hingga cekung. Selain itu, terjadinya banjir juga dapat disebabkan oleh limpasan air permukaan (runoff) yang meluap dan volumenya melebihi kapasitas
pengaliran
sistem
drainase
atau
sistem
aliran
sungai.
Terjadinya bencana banjir juga disebabkan oleh rendahnya kemampuan infiltrasi tanah, sehingga menyebabkan tanah tidak mampu lagi menyerap air. Banjir dapat terjadi akibat naiknya permukaan air lantaran curah hujan yang diatas normal, perubahan suhu, tanggul/bendungan yang bobol, pencairan salju yang cepat, terhambatnya aliran air di tempat lain (Ligal, 2008). Penyebab banjir dan lamanya genangan bukan hanya disebabkan oleh meluapnya air sungai, melainkan oleh kelebihan curah hujan dan fluktuasi muka air laut khususnya dataran aluvial pantai, unit-unit geomorfologi seperti daerah rawa, rawa belakang, dataran banjir, pertemuan sungai dengan dataran aluvial
Universitas Sumatera Utara
merupakan tempat-tempat rentan banjir (Dibyosaputro, 1984). Sedikitnya ada lima faktor penting penyebab banjir di Indonesia yaitu faktor hujan, faktor hancurnya retensi Daerah Aliran Sungai (DAS), faktor kesalahan perencanaan pembangunan alur sungai, faktor pendangkalan sungai dan faktor kesalahan tata wilayah dan pembangunan sarana dan prasarana (Maryono, 2005). Beberapa aspek yang terkait dengan kemungkinan terjadinya banjir pada suatu wilayah diantaranya adalah litologi (tipe dan tekstur batuan), penggunaan lahan, intensitas hujan, kemiringan lereng, karakteristik aliran (orde aliran), dan deformasi lahan akibat tektonik (morfotektonik) (Sukiyah, 2004).
Jenis-jenis Banjir Ada dua peristiwa banjir, pertama peristiwa banjir/genangan yang terjadi pada daerah yang biasanya tidak terjadi banjir dan kedua peristiwa banjir terjadi karena limpasan air banjir dari sungai karena debit banjir tidak mampu dialirkan oleh alur sungai atau debit banjir lebih besar dari kapasitas pengaliran sungai yang ada (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002). Kelebihan air yang menggenangi suatu daerah yang biasanya kering terjadi sebagai akibat kapasitas sungai tidak mampu menampung air yang mengalir di atasnya atau berlebihnya air hujan lokal. Kelebihan air hujan lokal yang menyebabkan banjir dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu telah jenuhnya tanah di tempat tersebut dan masih tingginya ketinggian muka air di dalam alur sungai. Kejenuhan tanah yang tinggi akan menyebabkan tingkat penyerapan tanah (infiltrasi) jadi rendah sehingga aliran permukaan (surface runoff) menjadi tinggi. Tingginya aliran permukaan sebagai akibat hujan berlebih tersebut dapat ditampung oleh badan sungai. Akibat air berlebih (banjir)
Universitas Sumatera Utara
sebagai akibat luapan air sungai ataupun hujan lokal maka akan menyebabkan terbentuknya bentukan banjir dan dalam skala yang lebih luas lagi masuk dalam kelas bentukan fluvial (Somantri, 2008). Ligal (2008), menyebutkan bahwa banjir terdiri dari tiga jenis, yaitu : 1. Banjir kilat Banjir kilat/dadakan biasanya didefinisikan sebagai banjir yang terjadi hanya dalam waktu kurang dari 5 jam sesudah hujan lebat mulai turun. Umumnya banjir dadakan akibat meluapnya air hujan yang sangat deras, khususnya bila tanah bantaran sungai rapuh dan tak mampu menahan cukup banyak air. Penyebab lain adalah kegagalan bendungan/tanggul menahan volume air (debit) yang meningkat, perubahan suhu menyebabkan berubahnya elevasi air laut dan atau berbagai perubahan besar lainnya di hulu sungai termasuk perubahan fungsi lahan. Kerawanan terhadap banjir dadakan akan meningkat bila wilayah itu merupakan lereng curam, sungai dangkal dan pertambahan volume air jauh lebih besar daripada yang tertampung. 2. Banjir luapan sungai Luapan sungai berbeda dari banjir dadakan karena banjir ini terjadi setelah proses yang cukup lama, meskipun proses itu bisa jadi lolos dari pengamatan sehingga datangnya banjir terasa mendadak dan mengejutkan. Selain itu banjir luapan sungai kebanyakan bersifat musiman atau tahunan dan bisa berlangsung selama berhari-hari atau berminggu-minggu tanpa berhenti. Penyebabnya adalah hutan gundul, kelongsoran daerah-daerah yang biasanya mampu menahan kelebihan air ataupun perubahan suhu/musim, atau terkadang akibat kedua hal itu sekaligus. Banjir terjadi sepanjang sistem sungai dan anak-anak sungainya,
Universitas Sumatera Utara
mampu membanjiri wilayah luas dan mendorong peluapan air di dataran rendah, sehingga banjir yang meluap dari sungai-sungai selain induk sungai biasa disebut banjir kiriman. Besarnya banjir tergantung kepada beberapa faktor, diantaranya kondisi-kondisi tanah (kelembaban tanah, vegetasi, perubahan suhu/musim, keadaan permukaan tanah yang tertutup rapat oleh bangunan batu bata, blok-blok semen, beton, pemukiman/perumahan dan hilangnya kawasan-kawasan tangkapan air/alih fungsi lahan. 3. Banjir pantai Banjir yang membawa bencana dari luapan air hujan sering makin parah akibat badai yang dipicu oleh angin kencang sepanjang pantai. Air payau membanjiri daratan akibat satu atau perpaduan dampak gelombang pasang, badai, atau tsunami (gelombang pasang). Sama seperti banjir luapan sungai, hujan lebat yang jatuh di kawasan geografis luas akan menghasilkan banjir besar di lembahlembah pesisir yang mendekati muara sungai (Ligal, 2008).
Faktor-Faktor Penyebab Banjir Menurut Kodoatie dan Sugiyanto (2002), faktor penyebab terjadinya banjir dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu banjir alami dan banjir oleh tindakan manusia. Banjir akibat alami dipengaruhi oleh curah hujan, fisiografi, erosi dan sedimentasi, kapasitas sungai, kapasitas drainase dan pengaruh air pasang. Sedangkan banjir akibat aktivitas manusia disebabkan karena ulah manusia yang menyebabkan perubahan-perubahan lingkungan seperti : perubahan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan pemukiman di sekitar bantaran,
Universitas Sumatera Utara
rusaknya drainase lahan, kerusakan bangunan pengendali banjir, rusaknya hutan (vegetasi alami), dan perencanaan sistim pengendali banjir yang tidak tepat. 1. Penyebab banjir secara alami Yang termasuk sebab-sebab alami diantaranya adalah : a. Curah hujan Oleh karena beriklim tropis, Indonesia mempunyai dua musim sepanjang tahun, yakni musim penghujan dan musim kemarau. Pada musim hujan, curah hujan yang tinggi berakibat banjir di sungai dan bila melebihi tebing sungai maka akan timbul banjir atau genangan. b. Pengaruh fisiografi Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi dan kemiringan daerah pengaliran sungai (DPS), kemiringan sungai, geometrik hidrolik (bentuk penampang seperti lebar, kedalaman, potongan memanjang, material dasar sungai), lokasi sungai dan lain-lain merupakan hal-hal yang mempengaruhi terjadinya banjir. c. Erosi dan Sedimentasi Erosi di DPS berpengaruh terhadap pengurangan kapasitas penampang sungai. Besarnya sedimentasi akan mengurangi kapasitas saluran sehingga timbul genangan dan banjir di sungai. d. Kapasitas sungai Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai dapat disebabkan oleh pengendapan berasal dari erosi DPS dan erosi tanggul sungai yang berlebihan. Sedimentasi sungai terjadi karena tidak adanya vegetasi penutup dan adanya penggunaan lahan yang tidak tepat. Sedimentasi menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
terjadinya agradasi dan pendangkalan pada sungai, hal ini dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas tampungan sungai. Efek langsung dari fenomena ini menyebabkan meluapnya air dari alur sungai keluar dan menyebabkan banjir. e. Kapasitas drainasi yang tidak memadai Hampir semua kota-kota di Indonesia mempunyai drainasi daerah genanga yang tidak memadai, sehingga kota-kota tersebut sering menjadi langganan banjir di musim hujan. f. Pengaruh air pasang Air pasang laut memperlambat aliran sungai ke laut. Pada waktu banjir bersamaan denganair pasang yang tinggi maka tinggi genangan atau banjir menjadi besar karena terjadi aliran balik (backwater). 2. Penyebab banjir akibat aktifias manusia Yang termasuk sebab-sebab banjir karena t indakan manusia adalah : a. Perubahan kondisi DAS Perubahan kondisi DAS seperti penggundulan hutan, usaha pertanian yang kurang tepat, perluasan kota, dan perubahan tataguna lainnya dapat memperburuk masalah banjir karena meningkatnya aliran banjir. a. Kawasan kumuh dan sampah Perumahan kumuh di sepanjang bantaran sungai dapat menjadi penghambat aliran. Masyarakat membuang sampah langsung ke alur sungai, sehingga dapat meninggikan muka air banjir disebabkan karena aliran air terhalang.
Universitas Sumatera Utara
b. D r a i n a s i l a h a n Drainasi perkotaan dan pengembangan pertanian pada daerah bantaran banjir akan mengurangi kemampuan bantaran dalam menampung debit air yang tinggi. c. Kerusakan bangunan pengendali air Pemeliharaan yang kurang memadai dari bangunan pengendali banjir sehingga menimbulkan kerusakan dan akhirnya tidak berfungsi dapat meningkatkan kuantitas banjir. d. Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat Beberapa sistem pengendalian banjir memang dapat mengurangi kerusakan akibat banjir kecil sampai sedang, tetapi mungkin dapat menambah kerusakan selama banjir-banjir yang besar. Semisal, bangunan tanggul sungai yang tinggi. Limpasan pada tanggul ketika terjadi banjir yang melebihi banjir rencana dapat menyebabkan keruntuhan tanggul. Hal ini mengakibatkan kecepatan aliran yang sangat besar melalui tanggul yang bobol sehingga menibulkan banjir yang besar. e. Rusaknya hutan (hilangnya vegetasi alami) Penebangan pohon dan tanaman oleh masyarakat secara liar (illegal logging), tani berpindah-pindah dan permainan rebiosasi hutan untuk bisnis dan sebagainya menjadi salah satu sumber penyebab terganggunya siklus hidrologi dan terjadinya banjir.
Universitas Sumatera Utara
Daerah Rawan Banjir Daerah rawan banjir adalah daerah yang mudah atau mempunyai kecenderungan untuk terlanda banjir. Daerah tersebut dapat diidentikasi dengan menggunakan pendekatan geomorfologi khususnya aspek morfogenesa, karena kenampakan seperti teras sungai, tanggul alam, dataran banjir, rawa belakang, kipas aluvial, dan delta yang merupakan bentukan banjir yang berulang-ulang yang merupakan bentuk lahan detil yang
mempunyai topografi datar
(Dibyosaputro, 1984). Kawasan rawan banjir merupakan kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana banjir sesuai karakteristik penyebab banjir. Menurut Isnugroho (2006) dalam Pratomo (2008),
kawasan banjir
tersebut dapat dikategorikan menjadi empat tipologi sebagai berikut : a. Daerah Pantai Daerah pantai merupakan daerah yang rawan banjir karena daerah tersebut merupakan dataran rendah yang elevasi permukaan tanahnya lebih rendah atau sama dengan elevasi air laut pasang rata-rata (mean sea level) dan tempat bermuaranya sungai yang biasanya mempunyai permasalahan penyumbatan muara. b. Daerah Dataran Banjir (Floodplain Area) Daerah dataran banjir (floodplain area) adalah daerah di kanan-kiri sungai yang muka tanahnya sangat landai dan relatif datar, sehingga aliran air menuju sungai sangat lambat yang mengakibatkan daerah tersebut rawan terhadap banjir baik oleh luapan air sungai maupun karena hujan local. Kawasan ini umumnya terbentuk dari endapan lumpur yang sangat subur sehingga merupakan daerah
Universitas Sumatera Utara
pengembangan (pembudidayaan) seperti perkotaan, pertanian, permukiman dan pusat kegiatan perekonomian, perdagangan, industri, dll. c. Daerah Sempadan Sungai Daerah ini merupakan kawasan rawan banjir, akan tetapi, di daerah perkotaan yang padat penduduk, daerah sempadan sungai sering dimanfaatkan oleh manusia sebagai tempat hunian dan kegiatan usaha sehingga apabila terjadi banjir akan menimbulkan dampak bencana yang membahayakan jiwa dan harta benda. d. Daerah Cekungan Daerah cekungan merupakan daerah yang relatif cukup luas baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Apabila penataan kawasan tidak terkendali dan sistem drainase yang kurang memadai, dapat menjadi daerah rawan banjir. Kawasan-kawasan rawan banjir menurut Isnugroho (2006) tersebut diilustrasikan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Tipologi Kawasan Rawan Banjir
Universitas Sumatera Utara
Parameter Penentu Kerawanan Banjir Beberapa parameter yang memberikan pengaruh signifikan terhadap tingkat kerawanan banjir adalah : 1. Bentuk Lahan Lahan yaitu sebuah daerah dipermukaan bumi dengan sifat yang sangat bervariasi dalam berbagai faktor keadaan topografi, sifat atmosfer, tanah, geologi, geomorfologi, hidrologi, vegestasi. Bentang lahan (land scape) merupakan wujud luar permukaan bumi yang dapat dilihat dengan mata termasuk ciri-cirinya dan dapat dibedakan satu sama lainnya. Bentuk lahan (landform) adalah kenampakan medan yang dibentuk oleh proses-proses alami, memiliki komposisi, karakteristik fisik dan visual, misalnya dataran, cekungan, perbukitan, pegunungan, vulkan (gunung api). Unit lahan (land unit) adalah suatu lahan yang mempunyai kondisi semacam yaitu memilki kesamaan dengan iklim, relief, erosi, pola drainase, tanah, material pembentuk, vegetasi dan penggunaannya. Penutup/tutupan lahan (land cover) yaitu vegetasi dan konstruksi artifisial yang menutup permukaan lahan dan berkaitan dengan kenampakan permukaan bumi seperti bangunan, danau dan vegetasi. Penggunaan lahan (land use) adalah semua jenis kegiatan yang menggunakan lahan untuk semua aktivitas baik itu berkebun, bertani, mendirikan bangunan, perumahan dan lain-lain (Fachrurazi, 2010). Kajian mengenai bentuk lahan sekaligus dapat mewakili kondisi kemiringan lereng, kondisi drainase dan secara umum dapat juga mengenai kondisi tanah yang ada. Letak dan lokasi bentuk lahan tersebut dapat digunakan sebagai salah satu parameter wilayah yang berpotensi banjir secara umum dan
Universitas Sumatera Utara
dapat dipetakan (Raharjo, 2008). Beberapa sistem klasifikasi landform yang sudah dikenal di antaranya adalah: a. Klasifikasi landform menurut Cristian dan Stewart (1968) yang dikembangkan di CSIRO (Australia) dengan menggunakan pendekatan land system. Sistem klasifikasi ini didasari atas aspek geomorfologi, iklim, dan penutupan lahan. Karenanya, bentukan permukaan bumi dengan proses pembentukan dan evolusi yang sama, tetapi terdapat pada keadaan iklim dan penutupan (land cover) yang berbeda, akan merupakan land system yang berbeda. Dalam sistem ini digunakan nama-nama tempat sebagai nama sistem lahannya. Misalnya: Apalachian land system. Penggunaan nama-nama tempat ini dapat memudahkan pengenalan, namun dari segi sistematika akan terjadi kerancuan dan akan terdapat banyak sekali satuan lahan, khususnya bagi Indonesia. b. Klasifikasi landform menurut Desaunettes (1997) yang menggunakan pendekatan fisiografik dan bentuk wilayah. Sistem klasifikasi ini yang di uraikan dalam buku ”Catologue of landforms for Indonesia” telah banyak di gunakan di pusat penelitian tanah dan agroklimat (Puslittanak) dan instansi lain, dan merupakan sumber utama dalam penyusunan sistem klafisikasi lahan untuk Proyek LREP-I tahun 1985-1990. c. Klasifikasi landform menurut Van Zuidam dan Zuidam-Cancelado (1979) dengan metode Terrain Analysis yang menggunakan dasar utama geomorfologi disertai dengan keadaan bentuk wilayah, stratigrafi, dan keadaan medan. Sistem klasifikasi terrain ini dikembangkan dan digunakan di ITC-Enschede, Belanda.
Universitas Sumatera Utara
d. Klasifikasi landform menurut Buurman dan Balsem (1990) yang menggunakan pendekatan satuan lahan (land unit) : digunakan dalam Proyek LREP-I untuk survei sumberdaya lahan tingkat tinjau (reconnaissance) skala 1 : 250.000 di P.Sumatera. Dalam kategori paling tinggi, pembagian landform dalam LREP-I ini berupa grup-grup fisiografi yang pada dasarnya berdasarkan proses geomorfik. Namun masih terdapat grup fisiografi yang masih tidak konsisten dalam penamaannya, yaitu Grup Perbukitan (Hill), Grup Pegunungan (Mountain), dan Grup Dataran (Plain), yang menggunakan terminologi bentuk wilayah (relief). Di samping itu, karena sistem ini digunakan khusus untuk Pulau
Sumatera,
maka
muncul
grup-grup
fisiografi
khusus
karena
kekhasannya, yaitu: Grup Dataran Tuf Masam (Acid Tuff Plain) dan Grup Tuf Toba Masam (Toba Acid Tuff). Untuk kajian tentang banjir bentuk lahan mempunyai peranan yang cukup penting, hal tersebut dikarenakan bentuk lahan merupakan salah satu wahana tempat berlangsungnya proses air mengalir yang berasal dari input hujan sampai ke laut. Daerah yang sangat terpengaruh adanya banjir adalah daerah dengan relief datar dan landai seperti dataran alluvial, teras sungai erosional, teras marin dan dataran nyaris. Daerah banjir biasa terdapat bentuk lahan fluvial marin dan fluviomarin. Bentuk lahan marin yang didominasi oleh rawa merupakan daerah rendah sehingga rentan terhadap banjir. Bentuk lahan yang merupakan indikator sering dilanda banjir adalah dataran banjir, teras marin, rawa dan rawa belakang (Somantri, 2008). Wilayah rawan banjir secara geomorfologis dicirikan oleh morfologi bentuk lahan yang cekung atau datar dan morfoaransemennya yang berasoasiasi dengan sungai dengan pola aliran meander atau braided. Satuan-
Universitas Sumatera Utara
satuan bentuk lahan yang terletak di sekitar saluran sungai dan terbentuk karena proses fluvial pada prinsipnya merupakan wilayah rawan banjir (Sartohadi, 2003). Unit bentuk lahan dataran banjir merupakan suatu daerah di sekitar sungai dan sering terkena banjir, daerah tersebut merupakan wilayah luapan sungai. Wilayah yang memiliki sub bentuk lahan alluvial (wilayah dengan fisiografi landai, mempunyai tingkat sedimen tinggi, merupakan daerah bawah yang mempunyai tingkat timbunan aliran atau kerapatan aliran kecil serta secara langsung dipengaruhi aliran air atau proses fluvial) merupakan daerah yang sering tergenang banjir. Sub bentuk basin alluvial, dataran pasang surut, jalur aliran sungai, pesisir pantai, teras marin dan tubuh air merupakan suatu daerah yang sering tergenang atau selalu tergenang. Dataran pasang surut sebenarnya mempunyai sifat permeabilitas atau infiltrasi yang besar, karena materialnya berupa pasir. Akan tetapi daerah tersebut sering terjadi banjir luapan terutama di kiri kanan sungai utama akibat adanya intrusi air laut. Sub bentuk lahan kerucut volkan, pegunungan volkan, perbukitan karst, perbukitan tektonik, perbukitan volkan merupakan wilayah dengan tingkat angka pengaliran cukup tinggi, dengan kandungan material keras dan cenderung kedap air sehingga tidak ada air yang tertampung pada cekungan. Pada wilayah tersebut sangat jarang bahkan hampir tidak mungkin terjadi banjir kecuali banjir karena ketidakmampuan lahan dan ketidakadaannya konservasi air, tanah dan lahan (Raharjo, 2008). Bentuk lahan yang berbukit jarang mengalami banjir karena memiliki kemiringan relatif yang curam sehingga sebagian besar air hujan langsung mengalir menjadi aliran permukaan. Akan tetapi, aliran permukaan ini tidak menyebabkan banjir karena hanya mengalir ke daerah-daerah yang lebih rendah.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, sebagian kecil air hujan mengalami infiltrasi masuk ke dalam tanah (Somantri, 2008).
2. Kemiringan Lereng Kemiringan lereng mempengaruhi jumlah dan kecepatan limpasan permukaan, drainase permukaan, penggunaan lahan dan erosi. Diasumsikan semakin landai kemiringan lerengnya, maka aliran limpasan permukaan akan menjadi lambat dan kemungkinan terjadinya genangan atau banjir menjadi besar, sedangkan semakin curam kemiringan lereng akan menyebabkan aliran limpasan permukaan menjadi cepat sehingga air hujan yang jatuh akan langsung dialirkan dan tidak menggenagi daerah tersebut, sehingga resiko banjir menjadi kecil (Pratomo, 2008). Semakin landai daerah maka tingkat kerawanan banjir tinggi begitu pula sebaliknya (Raharjo, 2008).
3. Jenis Tanah dan Infiltrasi Tanah Permasalahan dalam menentukan seberapa serius tingkat kerawanan banjir dapat ditentukan dari analisis profil tanah. Perkembangan profil tanah yang dicirikan oleh kondisi aquik, hidroksimorfik, fluventik adalah ciri-ciri satuan tanah yang secara berturut-turut menggambarkan wilayah yang paling rawan hingga kurang rawan terhadap bahaya banjir. Dengan demikian, melalui pendekatan geomorfologi tanah wilayah rawan banjir dapat ditentukan secara lebih mudah dan cepat namun tetap mempunyai akurasi tinggi. Satuan tanah yang terbentuk di wilayah rawan banjir pada umumnya tergolong pada ordo Entisols dan subordo Fluvents. Perlapisan material tanah yang menyusun Fluvents
Universitas Sumatera Utara
menggambarkan sifat dan karakteristik banjir yang pernah terjadi. Material kasar dan sortasi buruk menunjukkan bahwa banjir yang sering melanda bersifat mempunyai aliran yang cepat. Ketebalan lapisan material tanah pada setiap perlapisan tanah Fluvents menunjukkan lama kejadian banjir (Sartohadi, 2003). Dalam proses air mengalir ke permukaan tanah ada sebagian yang mengalir sebagai aliran permukaan dan ada juga air yang meresap ke dalam tanah, perkolasi menjadi aliran bawah permukaan dan air tanah. Tingkat kemampuan permukaan dalam mempengaruhi proses infiltrasi air ke dalam tanah sangat besar ditentukan oleh jenis tanah. Tekstur tanah turut menentukan tata air dalam tanah berupa kecepatan infiltrasi, penetrasi dan kemampuan pengikatan air oleh tanah serta merupakan satu-satunya sifat fisik tanah yang tetap dan tidak mudah diubah oleh tangan manusia jika tidak ditambah dari tempat lain. Infiltrasi tanah adalah perjalanan air kedalam tanah sebagai akibat gaya kapiler dan grafitasi. Proses terjadinya infiltrasi melibatkan beberapa proses yang saling berhubungan yaitu proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah, tertampungnya air hujan tersebut kedalam tanah dan proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain yang dipengaruhi oleh tekstur, struktur, kelembaban, organisme, kedalaman dan vegetasi (Asdak, 2004 dalam Pratomo, 2008). Kelebihan air yang menggenangi suatu daerah yang biasanya kering terjadi sebagai akibat kapasitas sungai tidak mampu menampung air yang mengalir di atasnya atau berlebihnya air hujan lokal. Kelebihan air hujan lokal yang menyebabkan banjir dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu telah jenuhnya tanah di tempat tersebut dan masih tingginya ketinggian muka air di dalam alur sungai. Kejenuhan yang tinggi akan menyebabkan tingkat penyerapan (infiltrasi) jadi
Universitas Sumatera Utara
rendah sehingga aliran permukaan (surface runoff) menjadi tinggi. Tingginya aliran permukaan sebagai akibat hujan berlebih tersebut dapat ditampung oleh badan sungai. Akibat air berlebih sebagai luapan air sungai ataupun hujan lokal maka akan menyebabkan terbentuknya bentukan banjir dan dalam skala luas masuk dalam kelas bentukan asal fluvial (Sartohadi, 2003). Kapasitas infiltrasi beberapa tipe tekstur tanah berdasarkan pengukuran lapangan yang dilakukan Kohnke and Bertrand (1959) adalah pasir berlempung (25-50 mm/jam), lempung (12,5-25 mm/jam), lempung berdebu (7,5-15,0 mm/jam), lempung berliat (0,5-2,5 mm/jam) dan liat (<0,5 mm/jam) (Arsyad, 2006).
4. Intensitas Hujan Hujan adalah peristiwa jatuhnya cairan (air) dari atmosfer ke permukaan bumi. Hujan berperan menentukan proses sistem hidrologi dalam suatu kawasan, bagaimana karakteristik hujannya dan mempelajari cara menghitung rata-rata hujan pada suatu kawasan dengan berbagai model penghitungan rata-rata curah hujan. Intensitas curah hujan biasanya dinyatakan oleh jumlah curah hujan dalam satuan waktu mm/jam. Jadi intensitas hujan berarti jumlah presipitasi atau curah hujan dalam waktu relatif singkat (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).
Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (catchment area, watershed) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
Universitas Sumatera Utara
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis kedalam Sub DAS – Sub DAS. Daerah aliran sungai (DAS) dapat dipandang sebagai sistem alami yang menjadi tempat berlangsungnya prosesproses biofisik hidrologis maupun kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang kompleks (P.39/Menhut-II/2009). Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen yang saling berintegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan. Daerah aliran sungai dapat dianggap sebagai suatu ekosistem. Daerah aliran sungai dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir berdasarkan ekosistemnya. 1) DAS bagian atas (hulu), daerah ini berfungsi sebagai daerah konservasi tanah dan air, kawasan lindung dan resapan air serta kontrol terhadap erosi. Daerah hulu mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi dan kemiringan lahan lebih besar. 2) DAS bagian tengah, daerah ini berfungsi sebagai daerah untuk pengumpulan, penyimpanan, pengalokasian, pendistribusian serta pengendalian banjir. Daerah tengah merupakan transisi dari bagian hulu ke hilir. 3) DAS bagian bawah (hilir), daerah ini berfungsi sebagai daerah kontrol banjir dan drainase serta pencegahan intrusi air laut. Daerah hilir merupakan daerah pemanfaatan dengan kerapatan drainase lebih keci dan kemiringan lahan kecil sampai dengan sangat kecil. (Asdak, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Pengalihan fungsi lahan yang semula adalah areal golongan hutan menjadi areal perkebunan masyarakat, mengundang bertumbuhkembangnya pemukiman masyarakat. Keadaan ini memberikan sumbangan yang besar terhadap kerusakan DAS Ular terutama bagi kelancaran aliran air Sungai Ular. Hal ini disebabkan karena Sungai Ular harus menanggung beban limbah domestik secara langsung ke badan sungai. Demikian halnya masih seringnya campur tangan masyarakat pinggiran sungai dengan harapan lahannya semakin besar, keadaan ini mengakibatkan lebar sungai semakin menyempit. Bagian tengah dan hilir dominan menjadi areal terbuka, areal ini dipenuhi aktivitas penambang bahan galian C yang banyak menggali pinggiran Sungai Ular, kegiatan tersebut berakibat melebarnya permukaan dan semakin dalamnya alur sungai tersebut. Besarnya luasan DAS Ular yang berfungsi sebagai hutan untuk tempat simpanan air menjadi tidak layak. Pada musim penghujan air akan secara cepat mengalir ke hilir sehingga dapat menyebabkan banjir sedangkan pada musim kemarau simpanan air menjadi minimal (Suroto, 2008).
Sistem Informasi Geografis SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Sistem informasi geografis merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi, yaitu
Universitas Sumatera Utara
1. Data Input : mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini juga mengkonversi atau mentransformasikan format data asli ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG. 2. Data Output : menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagaian basisdata baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy seperti : tabel, grafik, peta dan lain-lain. 3. Data Management : mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, diupdate dan diedit. 4. Data Manipulation & Analysis : menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan permodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. (Prahasta, 2001). Analisis SIG mengenai fenomena permukaan lahan dapat dimodelkan dalam kaitannya untuk mencari lokasi-lokasi yang rawan terhadap banjir yaitu dengan mendasarkan pada sifat-sifat air dipermukan lahan. Sajian dalam SIG dapat berupa manipulasi data yang berupa spasial serta data yang berupa atribut, serta mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan memodelkan suatu 3D permukaan sebagai DEM (Digital Elevation Model : Model Digital Ketinggian) ; DTM (Digital Terrain model : Model Digital Permukaan) atau TIN (Triangular Irregular Network : jaringan bersegitiga yang tidak beraturan). Berbagai kepentingan yang berkaitan dengan sumberdaya air dapat dianalisa dan dimodelkan, misalnya seperti saluran air, konsentrasi aliran air, akumulasi aliran air, arah aliran air permukaan, wilayah pengendapan, zonasi satuan Sub DAS
Universitas Sumatera Utara
(Daerah Aliran Sungai), serta daerah dataran banjir. Penentuan daerah rawan banjir dengan menggunakan data citra penginderaan jauh dan SIG (Sistem Informasi Geografis) dilakukan dengan mengidentifikasi wilayah-wilayah yang mempunyai respon terhadap penggenangan di permukaan (Raharjo, 2009). Terdapat dua model dalam data spasial, yaitu model data raster dan model data vektor. Model data raster mempunyai struktur data yang tersusun dalam bentuk matriks atau piksel dan membentuk grid. Setiap piksel memiliki nilai tertentu dan memiliki atribut tersendiri, termasuk nilai koordinat yang unik. Tingkat keakurasian model ini sangat tergantung pada ukuran piksel atau biasa disebut dengan resolusi. Model data ini biasanya digunakan dalam remote sensing yang berbasiskan citra satelit maupun airborne (pesawat terbang). Selain itu model ini digunakan pula dalam membangun DEM dan DTM. Model data vektor merupakan model data yang paling banyak digunakan, model ini berbasiskan pada titik (point) dengan nilai koordinat (x,y) untuk membangun obyek spasialnya. Obyek yang dibangun terbagi menjadi tiga bagian lagi yaitu berupa titik (point), garis (line), dan area (polygon) (Gumelar, 2007). Metode induksi dapat digunakan dalam menetapkan kawasan rawan banjir dengan menggunakan sistem informasi geografis. Metode induksi dimulai dengan memberikan penilaian terhadap parameter-parameter yang diduga berpereran dalam pemecahan suatu masalah, selanjutnya melakukan analisis dan berakhir pada target yaitu suatu kondisi yang memungkinkan mengambil keputusan untuk pemecahan suatu masalah. Untuk aplikasinya terhadap banjir, secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan adalah 1) Inventarisasi dan preparasi parameter yang berperan menimbulkan banjir, 2) Memberikan bobot dan nilai terhadap
Universitas Sumatera Utara
parameter yang berperan menimbulkan banjir, 3) Memberikan penilaian terhadap kondisi lahan ditinjau dari berbagai parameter yang diduga berperan, 4) Melakukan superimpose diantara berbagai parameter yang telah ditetapkan, 5) Analisis hasil superimpose dan 6) Pengambilan keputusan untuk pemecahan masalah dalam hal penentuan kawasan berpotensi banjir (Sukiyah, dkk., 2004). Parameter yang dipilih harus didasarkan pada perkiraan bahwa aspek tersebut secara fisik cukup berpengaruh terhadap terjadinya banjir disamping kemudahan perolehan data, karena yang lebih ditekankan adalah metode analisisnya. Masing-masing parameter diberi bobot 0 (nol) hingga 5 (lima) (Howard dan Remson (1973) dalam Sukiyah, dkk., (2004). Setiap unsur dalam masing-masing parameter diberi nilai sesuai dengan kondisinya. Superimpose dilakukan dengan memanfaatkan GIS software berformat data vektor. Hasil superimpose terhadap data parameter yang berperan dapat dimunculkan atau dikonversikan dalam bentuk grafis yang mewakili data spasial. Citra penginderaan jauh SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) merupakan salah satu jenis citra yang mempunyai kegunaan dalam analisis model elevasi. SRTM menggunakan teknologi SAR (Synthetic Aperture Radar). SRTM memiliki struktur data yang sama seperti format grid, yaitu terdiri dari sel-sel yang setiap sel memiliki nilai ketinggian. Nilai ketinggian pada SRTM adalah nilai ketinggian dari datum WGS 1984. Informasi yang diidentifikasi dari citra penginderaan jauh mengenai parameter penyebab banjir dilakukan analisis dengan menggunakan
teknologi
SIG
guna
mengetahui
daerah
rawan
banjir
(Raharjo, 2009).
Universitas Sumatera Utara