3
TINJAUAN PUSTAKA Tristaniopsis merguensis Griff. 1) Nomenklatur dan Nama lokal. T. merguensis pertama kali dideskripsikan oleh Griffit pada tahun 1812 dengan spesimen yang berasal dari Burma (Hooker & Jackson 1960). Griffit menyebutnya dengan Tristania merguensis. Tahun 1982 dilakukan revisi terhadap genus Tristania, dan Tristania merguensis berubah menjadi Tristaniopsis merguensis (Wilson & Waterhouse 1982). Terdapat beberapa sinonim untuk spesies ini yaitu: Tristania merguensis, Tristania backhuizenni Back, Tristania maingayi, Tristania subauriculata dengan beberapa nama lokal yaitu pelawan tudak (Belitung), pelawan bukit (Malaysia), nyakamaung (Myanmar), kha nang (Thailand) (Sosef & Prawirohatmodjo 1998). 2) Deskripsi T. merguensis merupakan spesies pohon dengan batang berwarna merah dan bagian kulit luar mengelupas (Gambar 1a). Duduk daun berseling, jarang berhadapan. Ujung daun tumpul sampai membulat. Pangkal daun meruncing ke arah tangkai daun. Tangkai daun bersayap. Panjang daun antara 10 cm – 15 cm dan lebar 3 cm – 5 cm (Gambar 1b). Permukaan daun kasar, tidak berambut. Bunga majemuk, padat, putih (Gambar 1c). Ibu tangkai bunga di ketiak daun, berambut. Kelopak berbentuk tabung menyatu dengan bagian lobus yang tajam, berambut. Mahkota 5 berlekatan. Benang sari banyak, berhadapan dengan mahkota, 5 kelompok. Ovari tenggelam atau setengah tenggelam, 3 ruang. Buah kapsul dengan 3 lokus. Biji bersayap (Gambar 1d dan e) (Ridley 1922).
4
(a)
(b)
(d)
(c)
(e) Gambar 1 Morfologi T. merguensis. (a) batang, (b) daun, (c) bunga, (d) buah, (e) buah yang pecah saat kering.
5
3) Klasifikasi Klasifikasi dari T. merguensis menurut The International Plant Names Index (IPNI) (http://data.gbif.org 2010) adalah sebagai berikut: Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Myrtales
Famili
: Myrtaceae
Genus
: Tristaniopsis
Spesies
: T. merguensis (Griff.) Peter G. Wilson & J.T. Waterhouse
4) Persebaran T. merguensis tersebar di selatan Myanmar, selatan Thailand, Malaysia, Sumatera, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Jawa Barat dan Kalimantan (Sosef & Prawirohatmodjo 1998). Tristaniopsis dapat tumbuh pada daerah dataran rendah, pegunungan sampai dengan ketinggian 1300 mdpl., juga terdapat di sepanjang aliran sungai dan daerah berbatu. 5) Pertumbuhan dan Perkembangan Tidak banyak informasi mengenai pertumbuhan dan perkembangan T. merguensis, baik dari periode germinasi maupun fase dewasanya. Namun pada umumnya karakteristik Tristaniopsis perbanyakannya adalah dengan biji. 6) Pemanfaatan T. merguensis ini sering dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai kayu bakar karena menghasilkan api yang bagus, panas lebih lama dan abu yang sedikit. Kayu T. merguensis sangat kuat (Muslich & Sumarni 2008), sehingga masyarakat memanfaatkannya sebagai bahan bangunan dan bahan pembuat kapal. Petani lada juga memanfaatkan batang T. merguensis ini sebagai tajar dari tanaman lada mereka. Selain itu, nektar bunga T. merguensis merupakan makanan bagi lebah yang menghasilkan madu pahit. Selama ini masyarakat mengambil madu pahit dari sarang lebah madu yang ada pada T. merguensis maupun pohon lain yang ada di sekitarnya.
6
T. merguensis merupakan inang jamur edible pelawan yang tumbuh di sekitar sistem perakaran pohon tersebut. Diduga jamur pelawan merupakan mikoriza yang membutuhkan T. merguensis sebagai inangnya. Selama ini jamur pelawan hanya muncul satu kali sampai dua kali dalam setahun, sesaat setelah terjadinya musim panas yang cukup lama, menjelang datangnya musim hujan (Triadiati 24 Februari 2010, komunikasi pribadi). Mikoriza Mikoriza merupakan salah satu bentuk interaksi mutualistik antara jamur atau cendawan dengan akar tumbuhan yang menginfeksi dan mengkoloni akar tumbuhan tersebut namun tidak menimbulkan nekrosis (Agarwal & Sah 2009). Mikoriza dapat dibedakan atas dua macam yaitu: 1) Ektomikoriza, jamur atau cendawan yang berkembang di permukaan luar akar dan di antara sel-sel kortek akar; 2) Endomikoriza, jamur atau cendawan yang berkembang di dalam akar di antara dan di dalam sel kortek akar (Smith & Read 1997). Asosiasi simbiotik antara mikoriza dan akar tanaman tersebar luas di lingkungan alam dan dapat memberikan berbagai manfaat bagi tanaman inang, diantaranya: memperbaiki nutrisi berupa hara, meningkatkan ketahanan terhadap hama, meningkatkan daya tahan terhadap kekeringan, toleransi terhadap logam berat dan perbaikan struktur tanah (Setiadi
2003; Yano & Takaki 2005;
Gosling et al.
2006). Tanaman yang dikolonisasi oleh mikoriza memperlihatkan respon positif terhadap pemberian fosfor anorganik (Antunes et al. 2007). Tanaman yang diinokulasi dengan mikoriza umumnya memiliki sistem perakaran yang lebih luas, karena hifa cendawan lebih panjang dan dapat menyebar secara cepat di dalam tanah (Liu et al. 2000). Mikoriza mempunyai potensi yang baik dalam proses pertumbuhan dan perkembangan benih maupun anakan tumbuhan tingkat tinggi melalui penyerapan hara immobil (Yu et al. 2005) dan peningkatan ketahanan terhadap kekeringan (Lee et al. 2008). Saat ini penelitian ektomikoriza telah meluas sampai pada kajian pupuk hayati, bahkan sampai pada ektomikoriza jamur pelawan pada akar pohon T. merguensis yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
7
Sistem perakaran T. merguensis
Gambar 2 Jamur pelawan Analisis Vegetasi Analisis vegetasi adalah cara memperlajari susunan dan bentuk vegetasi atau masyarakat tumbuhan (Soerianegara & Indrawan 2005). Berdasarkan analisis vegetasi dapat ditentukan beberapa besaran yang akan memberikan gambaran tentang keseluruhan kondisi hutan (Indriyanto 2006) diantaranya: 1. Kerapatan dan kerapatan relatif. Kerapatan adalah nilai yang menunjukkan jumlah individu dari spesiesspesies yang menjadi anggota suatu komunitas tumbuhan dalam luasan tertentu. Sementara kerapatan relatif menunjukkan persentase dari jumlah individu spesies tersebut dalam komunitasnya. 2. Frekuensi dan frekuensi relatif. Frekuensi adalah besaran yang menyatakan derajat penyebaran spesies dalam komunitasnya. Frekuensi relatif memperlihatkan persentase dari frekuensi spesies tersebut dalam komunitasnya. 3. Luas penutupan atau dominansi dan dominansi relatif. Dominansi adalah besaran yang digunakan untuk menyatakan derajat penguasaan ruang atau tempat tumbuh, berapa luas areal yang ditumbuhi oleh spesies tumbuhan. 4. Indeks Nilai Penting (INP). Indeks Nilai Penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat penguasaan spesies tertentu dalam suatu komunitas.
8
INP untuk spesies tumbuhan bawah dan anakan pohon merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif dan frekuensi relatif. Sedangkan INP untuk pohon fase dewasa adalah penjumlahan dari kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif. 5. Indeks kesamaan komunitas Merupakan suatu koefisien untuk mengetahui kesamaan spesies tumbuhan di dua lokasi yang berbeda. Krebs (1989) mengelompokkan indeks kesamaan komunitas kedalam empat kategori, yaitu≥75% : (sangat tinggi), 50
-75%
(tinggi), 25-50% (sedang), dan ≤ 25% (rendah). Nilai
lain
yang
menggambarkan
suatu
ekosistem
adalah
nilai
keanekaragaman (Diversity), kekayaan (Richness), dan kemerataan spesies tumbuhan (Eveness) (Ludwig & Reynolds 1988). Menurut Barbour et al. (1987) Indeks Keanekaragaman Shanon dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu : H > 2 (rendah), 2 < H < 3 (sedang), 3 < H < 4 (tinggi), dan H > 4 (sangat tinggi). Kemerataan dari persebaran spesies berkisar antara 0 – 1. Semakin nilai mendekati 1 berarti kemerataan akan menjadi maksimum dan homogen. Nilai kemerataan spesies akan maksimum jika semua spesies mempunyai jumlah individu yang sama pada setiap satuan sampel. Struktur hutan dapat dilihat dari stratifikasi atau pelapisan tajuk. Stratifikasi atau pelapisan tajuk merupakan susunan tumbuhan secara vertikal dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Menurut Soerianegara dan Indrawan (2005), stratifikasi disebabkan oleh: 1.
Persaingan. Persaingan terjadi akibat adanya kompetisi yang berlangsung dalam suatu masyarakat tumbuhan atau spesies pohon yang ada. Akibat kompetisi ini akan muncul pohon yang mampu bersaing, memiliki pertumbuhan yang kuat, dan menjadi spesies dominan dari spesies lain. Individu yang dominan tersebut akan mencirikan vegetasi hutan yang bersangkutan.
2.
Sifat toleransi spesies. Sifat toleransi ini sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari. Spesies yang toleran mendapatkan kesempatan ruang tumbuh dengan radiasi sinar
9
matahari yang penuh. Sedangkan spesies yang intoleran akan mendapatkan naungan dari spesies yang toleran.
Soerianegara dan Indrawan (2005) menyatakan bahwa stratifikasi tajuk dalam hutan hujan tropis dipisahkan oleh lima stratum, yaitu: 1.
Stratum A, merupakan lapisan teratas terdiri dari pohon dengan tinggi lebih dari 30 m.
2.
Stratum B, terdiri dari pohon dengan tinggi 18-30 m.
3.
Stratum C, terdiri dari pohon-pohon yang mempunyai tinggi 4-18 m.
4.
Stratum D, terdiri dari lapisan perdu dan semak yang mempunyai tinggi 1-4 m, termasuk di dalamnya adalah pohon muda, palma kecil, herba besar dan paku-pakuan besar.
5.
Stratum E, terdiri dari lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah atau lapisan lapangan yang mempunyai tinggi 0-1 m.
Individu-individu dalam populasi dan komunitas dapat menyebar menurut tiga pola, yaitu: acak, seragam, dan mengelompok (Ludwig & Reynolds 1988; Krebs 1989; Odum 1994).
Pola sebaran merupakan bentuk apresisasi dari
interaksi yang terjadi dalam suatu komunitas, yang biasa disebut dengan asosiasi. Hampir semua spesies tumbuhan berada dalam asosiasi yang kompleks untuk melengkapi fase-fase dalam siklus hidupnya (Widyatmoko 2001). Asosiasi yang terjadi pada komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan dapat berupa asosiasi negatif dan positif. Asosiasi negatif yang dapat terjadi pada masyarakat tumbuhan adalah kompetisi, amensalisme, ataupun parasitisme; sedangkan bentuk positif adalah komensalisme, protokooperasi, dan mutualisme (Setiadi & Tjondronegoro 1989).