4
TINJAUAN PUSTAKA Tomato infectious chlorosis virus (TICV) TICV pertama kali ditemukan di lahan tomat California tahun 1993 (Duffus et al. 1994) dan setelah itu ditemukan pula di beberapa lahan tomat di Italia (Vaira et al. 2000; Parrella & Scassillo 2006), Spanyol (Font et al. 2002), Yunani (Dovas et al. 2002), dan Perancis (Dalmon et al. 2005). Di Asia, TICV telah terdeteksi pada tanaman tomat di Indonesia dan Jepang (Verhoeven et al. 2003; Hartono et al. 2003). Virus ini diketahui sebagai virus yang ditransmisikan oleh kutukebul pada tanaman tomat yang terinfeksi (Klaassen et al. 1995). Virus ini ditransmisikan khusus oleh kutukebul T. vaporariorum dan memiliki periode persisten selama 4 hari (Duffus et al. 1994; Wisler et al. 1996). Penyebaran virus ini sangat bergantung pada bantuan kutukebul T. vaporariorum untuk menularkan virus pada jaringan floem. TICV berbentuk panjang lentur, partikel berfilamen dengan ukuran sekitar 650 nm. Closterovirus ini menginduksi penyakit kuning pada bagian jaringan floem (Duffus et al. 1996). TICV merupakan kelompok genom bipartit RNA untai tunggal (ssRNA), dengan panjang genom RNA 1 dan RNA 2 berturut-turut yaitu 7.8 dan 7.4 kb (Liu et al. 2000). Penyakit kuning pada tanaman tomat telah menyebar di sentra pertanaman tomat di Magelang, Jawa Tengah. Penyakit dengan gejala yang sama juga telah dilaporkan di Purwakarta, Jawa Barat. Hasil pengamatan lapangan di Magelang mencatat rata-rata intensitas penyakit kuning-ungu antara 30% hingga 80% (Hartono & Wijornako 2007). Penyakit menguning daun (yellowing diseases) pada tomat dengan gejala mirip seperti yang ditemukan di Magelang dan Purwakarta telah dilaporkan di beberapa negara beriklim sedang sebagai anggota famili Closteoviridae ( Duffus et al. 1996). Penyakit kuning ini telah tersebar di rumah kaca California dan menginfeksi beberapa tanaman penting termasuk tomat (Lycopersicon esculentum L.), tomatilo (Physalis ixocarpa Brot.), kentang (Solanum tuberosum L.), selada (Lactuca sativa L.), dan bunga petunia (Petunia x hybrida Vilm.) (Li et al. 1998).
5
Gejala penyakit kuning pada tanaman tomat meliputi menguningnya daun, nekrosis, daun menggulung ke bawah, daun mengering dan rapuh diikuti dengan kehilangan hasil yang parah. Kehilangan hasil terjadi karena area fotosintesis pada daun yang berkurang. Gejala kuning tampak pada daun bagian bawah, pada daun bagian tengah, dan bahkan pada daun bagian atas (Anfoka & Abhary 2007). Gejala penyakit kuning yang disebabkan TICV tidak mudah dikenali karena virus-virus tersebut berada pada daun tua dan berkelompok dengan gejala yang disebabkan oleh kekurangan nutrisi (Dovas et al. 2002). Gejala virus ini secara alami terbatas pada jaringan floem, dan dengan konsentrasi virus rendah menyebabkan diagnosis sulit dilihat pada tanaman inang yang terinfeksi. Walaupun tidak tampak jelas gejala pada bunga dan buah tomat, tetapi produksi buah berkurang dengan mengecilnya ukuran buah dan menurunnya jumlah buah akibat berkurangnya daerah fotosintesis (Li et al. 1998). Tomato chlorosis virus (ToCV) ToCV pertama kali tersebar di negara bagian Florida sejak 1989 dan diduga virus ini sudah tersebar di Indonesia saat ini. Virus ini dengan cepat menyebar ke seluruh dunia dan sampai saat ini keberadaannya telah dilaporkan di banyak negara seperti di Taiwan (Tsai et al. 2004), Spanyol (Navas-Castillo et al. 2000; Lozano et al. 2006), Yunani (Kataya et al. 2008), dan Perancis (Masse et al. 2008). Virus ini ditransmisikan oleh kutukebul T. vaporariorum, B. tabaci biotipe A dan B, serta T. abutilonea dengan periode retensi 1-2 hari. ToCV dit ularkan oleh ketiga spesies serangga vektor di atas dengan sangat efisien secara semipersisten, sehingga kejadian penyakit kuning pada tanaman tomat sangat dipengaruhi oleh kepadatan populasi dan aktivitas serangga ini (Jacquemond et al. 2008). Efisiensi penularan bervariasi oleh vektor B. tabaci biotipe B (juga dikenal sebagai B. argentifolii Bellows & Perring) dan T. abutilonea yang lebih efisien menularkan ToCV daripada B. tabaci biotipe A atau T. vaporariorum (Wisler & Duffus 2001). ToCV merupakan kelompok RNA dengan panjang partikel 800-850 nm (Wintermantel et al. 2005). Virus ini mempunyai dua jenis genom berupa RNA utas tunggal RNA yaitu RNA 1 dan RNA 2 yang masing-masing berukuran 7.8 dan 8.2 kb. Menurut Martelli et al. (2000), RNA 1 mengkode dua jenis protein
6
yang terlibat dalam replikasi virus; sedangkan RNA 2 mengandung beberapa gen yaitu sebuah protein kecil yang hidrofobik, sebuah protein berukuran sekitar 60 kDa, dan dua jenis protein mantel yaitu CP dan CPm. Selubung protein minor (CPm) pada ToCV, yang membentuk bagian ekor/ujung virion memiliki peranan dalam penularan dengan kutukebul. CPm dari ToCV memiliki kespesifikan dengan reseptor T. vaporariorum dan B. tabaci. Menurut Wintermantel (2006), kespesifikan virus dan vektornya sangat ditentukan oleh reseptor yang ada pada stilet serangga dengan CP dari virus bersangkutan. Infeksi ToCV pada tanaman tomat menyebabkan klorosis yang pada awalnya terjadi pada daun-daun bagian bawah kemudian berkembang ke bagian pucuk, pada lamina daun di antara tulang daun mengalami klorosis (interveinal yellowing). Setelah munculnya vektor kutukebul, gejala ini berkembang dalam beberapa minggu. Daun menjadi tebal dan keriting, dan mudah rapuh jika dipatahkan. Virus ini dapat menyebar dengan cepat ke pertanaman di sekitar sumber virus sesuai dengan aktivitas kutukebul sebagai vektornya sehingga kejadian penyakit dalam satu kebun petani sering ditemukan mencapai lebih dari 90% (Navas-Castillo et al. 2000). Kehilangan hasil akibat infeksi virus ini di lapangan menyebabkan ukuran buah mengecil, jumlah buah berkurang saat panen, dan menurunnya umur tanaman (Wintermantel 2004). Infeksi Ganda (TICV dan ToCV) Persebaran TICV dan ToCV bergantung pada kutukebul. Kedua virus tersebut ditularkan kutukebul terpisah dari kelompok lain dari anggota famili Closteroviridae yang mempunyai serangga vektor kutudaun. Adanya infeksi ganda yang ditularkan oleh T. vaporariorum dan B. tabaci menandakan bahwa infeksi oleh satu virus tidak mencegah infeksi oleh virus yang kedua. Epidemik Crinivirus tidak hanya dipengaruhi oleh perpindahan serangga vektor tetapi juga oleh faktor persaingan pada tanaman inang. Kemungkinan bahwa persaingan masing-masing
virus
yang
menyebabkan
kemunculan
penyakit
kuning
dipengaruhi oleh jenis/spesies tanaman inang dan umur tanaman inang (Dalmon et al. 2008). Kedua virus tersebut ditemukan secara bersama-sama pada tanaman tomat di beberapa belahan dunia. Kedua virus tersebut juga menginfeksi sejumlah gulma
7
termasuk gulma Picris achioides L., tembakau Nicotiana glauca G., Cynara cardunculus L. dan beberapa tanaman hias yaitu tanaman cina aster dan petunia. Gejala penyakit yang disebabkan oleh TICV lebih parah pada tanaman indikator Nicotiana branthamina dan N. clevelandi berupa bercak klorosis pada tulang daun dibandingkan dengan yang diinduksi oleh ToCV. Gejala penyakit kuning yang disebabkan ToCV pada tanaman inang yaitu klorosis pada interval tulang daun tetapi tidak nekrosis, sedangkan TICV terlihat klorosis dan nekrosis (Duffus et al. 1994). Menurut Wisler et al. (1998) gejala penyakit kuning yang terinfeksi kedua virus tersebut terlihat daun menguning pada interval tulang daun, bercak nekrosis, daun menggulung ke bawah kemudian berkembang ke bagian atas. Penelitian tentang kisaran inang pada tanaman selada mengindikasikan bahwa TICV menginfeksi selada sedangkan ToCV tidak mampu menginfeksi tanaman selada (Parrella 2007). Tanaman kentang di rumah kaca rentan terhadap infeksi TICV dan ToCV yang mirip dengan gejala yang diinduksi oleh potato leafroll luteovirus (Famili Lutoeviridae, Genus Luteovirus) walaupun lahan tanaman kentang yang terinfeksi oleh kedua virus tersebut belum dilaporkan (Wisler et al. 1998). Kutukebul Kutukebul merupakan kelompok serangga yang berukuran kecil berwarna putih dan bertubuh lunak. Kutukebul termasuk ke dalam Famili Aleyrodidae, superfamili Aleyrodoidea, subordo Sternorrhyncha, ordo Hemiptera (Carver et al. 1991). Famili Aleyrodidae memiliki dua sub famili, yaitu Alerodicinae dan Aleyrodinae (Martin 1987). Saat ini jumlah spesies serangga famili Aleyrodidae yang pernah dideskripsikan sebanyak 1200 spesies. Kutukebul mengeluarkan lapisan lilin berwarna putih dari kelenjar khusus yang ada pada bagian abdomen. Nimfa maupun imago kutukebul biasanya memiliki lapisan lilin dengan berbagai bentuk. Lapisan lilin ini dapat digunakan sebagai dasar identifikasi karena penampilan dan pola dari lapisan lilin dapat membedakan antara satu spesies dengan spesies lain (Botha et al. 2000). Semua stadia kutukebul hidup dan makan di bagian bawah permukaan daun dan kutukebul ini mengeluarkan embun madu sebagai hasil sekresinya. Ekskresi berupa embun madu tersebut keluar dan seringkali tetesannya jatuh pada permukaan atas dan bawah daun tempat hidup kutukebul ini. Embun madu yang
8
telah menempel pada daun-daun itu dapat dijadikan media hidup cendawan lain yaitu Capnodium sp. atau dikenal sebagai embun jelaga (Hoddle 2004). Siklus hidup kutukebul terdiri dari empat fase perkembangan yaitu telur, nimfa,
pupa,
dan
imago. Kutukebul
bereproduksi
secara
seksual atau
partenogenesis. Serangga betina yang sudah dibuahi oleh serangga jantan meletakkan telurnya di permukaan daun. Ketika telur menetas, nimfa instar pertama kutukebul akan bergerak untuk mencari tempat menghisap makanan yang sesuai dan menetap disana. Pada stadia nimfa akhir, kutukebul menghentikan aktivitas makannya dan membentuk semacam kulit pupa sebagai tempat perlindungan proses menuju imago. Stadia ini disebut puparium, setelah melewati fase pupa kutukebul menjadi imago (Kalshoven 1981). Beberapa tahun belakangan, kutukebul telah menjadi masalah utama bagi para petani di seluruh dunia. Walaupun kutukebul dianggap sebagai grup serangga tropis, spesies berbahaya ini banyak sekali ditemukan di seluruh belahan lain dunia, terutama di daerah beriklim subtropis. Sepanjang abad ke-20, B. tabaci dan T. vaporariorum telah menjadi vektor patogen-patogen tertentu baik di rumah kaca maupun di lahan terbuka di wilayah beriklim hangat (Martin et al. 2000). Stadia nimfa dan imago kutukebul merupakan stadia yang menyebabkan kerusakan tanaman (Morales 2001). Sebagai vektor, kutukebul dilaporkan dapat menularkan sekitar tujuh kelompok virus yaitu closterovirus, geminivirus, carlavirus, potyvirus, nepovirus, luteovirus, dan virus DNA yang berbentuk batang (Markham et al. 1994). Di antara kelompok virus tersebut yang paling banyak ditularkan adalah closterovirus (Famili
Closteroviridae,
Genus
Crinivirus)
dan
geminivirus
(Famili
Geminiviridae, Genus Begomovirus) (Muniyappa & Reddy 1983, Wisler et al. 1998). Trialeurodes vaporariorum. T. vaporariorum umumnya dikenal sebagai kutukebul rumah kaca (greenhouse whitefly) yang memiliki habitat di daerah beriklim sedang di dunia (Kessing & Mau 2009). Kutukebul ini merupakan hama utama pada berbagai buah-buahan, sayur-sayuran, dan tanaman hias, yang sering ditemukan di rumah kaca dan tanaman hortikultura. Imago kutukebul panjangnya 1-2 mm dengan warna tubuh kekuningan dan memiliki empat sayap diselimuti
9
lilin hampir sejajar dengan permukaan daun. Imago ini sayapnya seperti tenda mengikuti seluruh tubuhnya, sayap menutupi tubuh dan sayap itu berbentuk segitiga (Smith 2009). Selama instar empat atau instar akhir (pupa) susunan mata dan jaringan tubuh menjadi terlihat, larva menebal dan muncul dari permukaan daun. Instar akhir ini sering disebut pupa karena imago kutukebul muncul dari fase ini. Lama stadium pupa berkisar antara 3-7 hari. Ciri khas pupa T. vaporariorum terutama pada bagian-bagian seperti: lingula, vasiform orifice, submargin papila. T. vaporariorum mempunyai barisan papila pada submarginnya, basal tungkai tengah dan belakang mempunyai seta yang kecil dan halus, dan lingulanya membulat (Martin 1987). Imago T. vaporariorum umumnya menetap pada daun-daun muda yang dekat pada titik tumbuh tanaman, dan meletakkan telur di tempat tersebut. Imago bertahan hidup pada suhu 22 sampai 25 oC, sedangkan pada suhu di atas 30 oC imago tidak mampu berkembang dan suhu di atas 35 oC imago akan mati (Smith 2009). Xie et al. (2006) menjelaskan bahwa T. vaporariorum memiliki kemampuan beradaptasi pada suhu dingin pada semua fase perkembangan dibandingkan dengan B. tabaci. Semua stadia hidupnya selain telur dan pupa menyebabkan kerusakan tanaman dengan memakan langsung, memasukkan stiletnya ke dalam tulang daun dan mengekstrak makanan dari sap floem (Wintermantel 2004). Cara makan nimfa yaitu dengan menghisap sap dari tanaman, protein ekstrak, nutrisi dan mengeluarkan gula, dimana keberadaan sap tersebut disebut dengan embun madu. Sebagai produk makanan, embun madu yang dikeluarkan dapat menjadi sumber utama kerusakan. Pada populasi yang tinggi, sejumlah embun madu yang diproduksi menyebabkan tanaman atau buah-buahan menjadi lengket, dan pertumbuhan embun jelaga menyebabkan terbatasnya sistem fotosintesis menjadi terhalang. Karakteristik yang lebih berpotensi berbahaya yaitu kemampuan imago menularkan beberapa virus tanaman. T. vaporariorum mampu menularkan beberapa penyakit virus tanaman (Cardona 2002). Bemisia tabaci. B. tabaci dikenal dengan nama umum kutukebul kapas, kutukebul tembakau, atau kutukebul ubi jalar (CABI 1999). Ciri-ciri morfologi
10
kutukebul ini yaitu: tubuh imago berwarna kuning, sayap tertutup oleh tepung berwarna putih, panjang tubuh 1-1,5 mm. Serangga ini memiliki siklus hidup sekitar 2 sampai 3 minggu (Kalshoven 1981). Nimfa dan pupa berwarna keputih-putihan dan bentuknya bervariasi tergantung pada substratnya, memiliki panjang 0,7 mm (Kalshoven 1981). Nimfa instar pertama tidak mempunyai peran yang penting dalam penyebaran virus tanaman (Costa 1969). Pada pupa terdapat dua bintik merah yang merupakan bakal mata pada fase imago. Kedua bintik merah itu terlihat melalui integumennya yang transparan (Hill 1987). Bentuk pupa bulat memanjang, bagian toraks agak melebar, dan cembung. Ruas-ruas abdomen tampak jelas. Pinggir kantung pupa tidak rata dan pada bagian dorsal terdapat tujuh pasang duri dan satu pasang pada ujung anal. Vasiform orifice berbentuk segitiga dan memanjang, operculum menutupi hampir seluruh bagian dari vasiform orifice (Martin 1987). Lama hidup imago betina sekitar 6 hari (Kalshoven 1981), tetapi juga bisa sampai 60 hari, sedangkan lama hidup imago jantan umumnya lebih pendek, yaitu antara 9-17 hari. Sayapnya terdiri dari dua pasang dan transparan seperti tenda dengan posisi saat istirahat terlihat menyempit ke depan (CABI 1999). B. tabaci ini beradaptasi pada suhu hangat yakni berkisar 14 sampai 35 oC, dengan suhu optimum sekitar 25 sampai 30 oC. Pada tanaman tomat, imago mampu hidup selama 10-15 hari pada suhu 28 sampai 30 o C, sedangkan imago betina mampu memproduksi sekitar 195 telur pada suhu 25 o C (Smith 2009). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas terbesar B. tabaci menyerang tanaman terjadi pada musim panas dan untuk daerah tropis populasi serangga ini banyak dijumpai pada musim kemarau. B. tabaci merupakan hama utama di berbagai pertanaman. Costa (1969) mengemukakan bahwa nimfa B. tabaci yang menyerang tanaman kedelai di Brasil dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut: nimfa dan imago adalah penghisap cairan pada floem menyebabkan jaringan daun kehilangan nitrisi; merusak sel dan jaringan daun akibat tusukan stilet; serangga tersebut mungkin mengeluarkan racun dan menyebabkan pembuluh daun lebih jelas kelihatan; sebagai vektor beberapa virus dan mungkin sebagai penyebar bakteri dan cendawan; dan ekskresi embun madu menyebabkan timbulnya embun jelaga.
11
Hubungan Virus dengan Serangga Vektornya Sebagian besar virus tanaman ditularkan oleh serangga vektor dan tergantung pada perilaku dan kapasitas penyebaran vektor tersebut untuk menyebarkan virus dari tanaman ke tanaman. Serangga vektor virus tanaman memiliki beberapa ordo (Hemiptera, Coleoptera, Thysanoptera, Orthoptera, Dermaptera, Lepidoptera, Diptera), akan tetapi Hemiptera merupakan kelompok vektor yang paling penting pada virus tanaman. Ordo-ordo tersebut dibagi ke dalam tiga subordo: Heteroptera (kepik), Auchenorrhyncha (tonggeret dan wereng) dan Sternorrhyncha (kutudaun, kutukebul, kutuputih, kutu loncat). Sebagian besar anggota subordo Auchenorrhyncha dan Sternorrhyncha termasuk vektor virus tanaman (Carver et al. 1991; Borror et al. 1996). Dari 1200 spesies kutukebul yang telah diteliti, hanya empat spesies (B. tabaci, T. vaporariorum, T. abutilonea, dan T. ricini Misra) ditemukan menularkan virus tanaman (J ones 2003). Virus ditularkan oleh kutukebul diklasifikasikan berdasarkan lamanya vektor mempertahankan virus. Klasifikasi ini dapat dibedakan antara nonpersisten jika kemampuan vektor menularkan virus hilang dalam beberapa menit atau beberapa jam, semi persisten jika kemampuan vektor menularkan virus hilang setelah beberapa jam, dan persisten jika kemampuan vektor untuk menularkan virus tersimpan untuk beberapa hari atau selama vektor tersebut hidup (Watson & Robers 1939, Sylvester 1956). Klasifikasi lain digunakan dalam menunjuk tempat retensi virus dalam vektor. Dalam hal ini virus dipertahankan pada ujung stilet yang disebut stylet-borne (Kennedy et al. 1962), sedangkan virus dipertahankan pada saluran pencernaan disebut foregut-borne (Nault & Ammar 1989). Hal ini menjelaskan bahwa virus non persisten merupakan stylet borne dan semi persisten adalah
foregut borne (Fereres & Moreno 2009). Hemiptera
memiliki bentuk mulut menusuk-menghisap yang berisi empat struktur tubular yang dinamakan stilet. Dua stilet maksila menghubungkan dua bentuk pembuluh utama, saluran makan dan kelenjar ludah. Dua stilet mandibulata terdiri dari aktivitas mekanik dan perpindahan secara bebas pada tiap-tiap penetrasi melalui ruang interselular (Forbes 1969).
12
Interaksi antara protein selubung virus dengan kutukebul terjadi saat penempelan partikel virus dengan reseptor sehingga virus dapat tertular. Virus akan berada dalam tubuh serangga vektor saat diakuisisi. Virus menuju sel epitel saluran pencernaan dan berasosiasi dengan kelenjar saliva serangga. Virus bersirkulasi dalam tubuh serangga sampai akhirnya virus mencapai ke stilet dan masuk ke dalam tanaman sehat saat vektor makan cairan floem. Virus tersebut memerlukan waktu akuisisi dan inokulasi satu jam hingga satu hari dan periode laten satu hari hingga beberapa minggu dalam tubuh serangga (Gray & Banerjee 1999). Beberapa istilah dalam penularan virus oleh serangga vektor yaitu transovarial merupakan kemampuan serangga dalam menularkan virus yang diturunkan pada telur serangga; transtadial adalah kemampuan serangga dalam menularkan virus dari stadia ke stadia selanjutnya. Periode makan akuisisi (PMA) adalah waktu yang dibutuhkan serangga untuk mengambil virus dari tanaman terinfeksi sedangkan periode makan inokulasi (PMI) adalah waktu yang dibutuhkan serangga untuk memindahkan virus ke tanaman sehat (Aidawati et al. 2002).