TINJAUAN PUSTAKA
Coronavirus Virus merupakan suatu individu yang tidak dapat dideskripsikan sebagai hewan maupun tumbuhan. Jika hewan dan tumbuhan mengandung dua asam nukleat yaitu DNA dan RNA, sebaliknya virus hanya mengandung salah satunya. Asam nukleat tersebut dapat merangsang siklus replikasi virus secara lengkap. Virus hanya dapat bereplikasi dan hidup pada inang hidup, jika inang tersebut akhirnya mati maka virus akan berpindah pada sel yang masih hidup (Fenner et al 1993). Genus coronavirus termasuk ke dalam keluarga Togaviridae, mempunyai amplop yang tipis dengan diameter tubular nucleocapsid sebesar 9 nm. Genom dari virus genus ini terdiri dari single-stranded RNA dan memiliki berat yang tidak terdefinisikan. Pada strain yang menyerang manusia dapat menyebabkan demam, dan pada hewan, coronavirus dapat menyerang organ pernafasan, pencernaan atau dapat menyebabkan penyakit sistemik (Fenner et al 1974). Terdapat tiga serogrup coronavirus yang dapat menyerang mamalia dan unggas. Grup pertama termasuk di dalamnya adalah feline coronavirus (FCoV), canine coronavirus (CCV), transmissible gastroenteritis virus (TGEV) pada babi dan human coronavirus 229E. Grup kedua terdiri dari bovine coronavirus dan mouse hepatitis virus, sedangkan grup yang ketiga terdiri dari avian infectious bronchitis virus serta variasinya (Rottier dalam Garner et al 2008). Tidak semua kucing yang terinfeksi feline coronavirus mendapat feline infectious peritonitis. Hal ini disebabkan oleh mutasi virus yang bervariasi, dapat berubah menjadi ganas atau tidak, tergantung pada infeksi sekunder dan keadaan antibodi yang baik.
Feline Infectious Peritonitis Etiologi Feline Corona Virus (FCoV) adalah virus yang menyebabkan adanya gejala klinis yang ringan pada sebagian besar kucing. Tidak semua kucing yang terinfeksi coronavirus dapat terserang FIP.
Hal tersebut terjadi karena
kemampuan FCoV atau Feline Enteric Corona Virus (FECV) yang bermutasi menjadi FIP Virus dan menyebabkan kucing dapat terserang FIP. Infeksi tersebut dapat terjadi sangat fatal sehingga menyebabkan kematian (Anonim 2010). Transmisi virus ini melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau feses hewan tersebut. Coronavirus terakumulasi di feses dan saliva, sehingga rute faecal-oral merupakan penyebab infeksi primer dan meluas hingga saluran pernafasan.
Virus tersebut dapat bertahan dua sampai tiga minggu di suhu
ruangan dan permukaan kering, termasuk tempat pakan, mainan, kandang, tempat tidur dan pakaian. Jika induk yang bunting sebagai carrier, maka virus tersebut dapat diturunkan kepada anaknya (Anonim 2001).
Klasifikasi Berdasarkan bentuknya, FIP dibagi menjadi dua yaitu FIP basah (wet FIP atau effusive form) dan FIP kering (dry FIP atau noneffusive form). Effusive form merupakan kelanjutan dari bentuk kering FIP, namun kasus FIP basah lebih banyak terjadi daripada bentuk kering hingga mencapai 75% (Teymori 2009).
Gejala klinis Terdapat perbedaan gejala klinis antara FIP bentuk kering dengan bentuk basah.
Gejala klinis noneffusive form antara lain pertumbuhan yang sangat
lambat, berat badan turun, letargi, demam, kehilangan nafsu makan, terdapat gejala syaraf yaitu paralisis, kehilangan keseimbangan, tremor, retensi urin, konvulsi, perubahan tingkah laku, pupil ireguler serta daya hidup hanya satu tahun setelah tampaknya gejala. Sedangkan FIP basah memiliki gejala klinis yang relatif serupa dengan FIP kering yaitu berat badan menurun, demam, letargi, mukosa pucat karena anemia, namun gejala klinis yang khas adalah akumulasi cairan serofibrinous pada rongga-rongga tubuh seperti abdomen dan rongga thoraks. Lapisan serosa organ pencernaan, hati dan usus banyak terdapat granuloma yang bersifat translucent dan berdiameter dua milimeter (Carlton, McGavin 1995).
Diagnosa Cara diagnosa FIP relatif mudah baik melalui pemeriksaan fisik dan sejarah kesehatan serta tes laboratorium.
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan
melalui gejala klinis yang terlihat dan atau pemeriksaan patologi anatomi setelah hewan dilakukan nekropsi. Sedangkan pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan hemogram, untuk memeriksa kadar albumin dan globulin. Total protein serum menunjukkan adanya peningkatan kadar globulin dan penurunan kadar albumin.
Selain itu, terjadi non responsif anemia serta leukositosis dengan
absolut limfopenia dan neutrofilia (Pedersen 2009). Uji serologis spesifik terhadap produksi antibodi feline coronavirus menggunakan virus neutralization (VN), Indirect fluorescent antibody test (IFAT), Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA), Western blotting, MRI (Magnetic Resonance Imaging), PCR (Polimerase Chain Reaction).
Pratelli
(2008) menyatakan bahwa berbagai macam uji serologis yang digunakan, seperti IFAT, ELISA, VN, dan Western blotting memiliki validitas dan efektivitas yang baik untuk menguji adanya titer antibodi terhadap feline coronavirus. Hal ini ditunjukkan dengan hasil yang tidak berbeda nyata pada hasil positif yaitu berkisar anatara 96–98%, sedangkan pada hasil negatif antara 26-28%. Keberhasilan metode yang dilakukan, sangat tergantung pada tata cara dan teknik yang tepat (Pratelli 2008).
Patologi Pyogranuloma merupakan tipe lesio effusive FIP. Pyogranuloma terdiri dari debris nekrosa dan neutrofil yang dikelilingi sel fagosit dengan sedikit limfosit dan sel plasma. Cairan yang terakumulasi di sekitar lesio mengandung fibrin dan kaya akan protein. Akumulasi cairan pada omentum menyebabkan rongga perut membesar, phlebitis juga sering terlihat serta adanya infiltrasi berbagai macam sel radang. Tipe lesio noneffusive FIP lebih banyak bersifat granuloma namun tidak menutup kemungkinan terjadi lesio pyogranuloma. Lesio granuloma ini memiliki berbagai macam ukuran dan tersebar mulai dari mata hingga sistem syaraf pusat (Appel 1987).
Berdasarkan penelitian Garner et al (2008), musang yang terserang FIP memiliki gambaran histopatologi yang sama dengan kucing yang terserang FIP. Peradangan
pyogranuloma
yang
parah
mempengaruhi
bentuk
jaringan.
Peradangan bervariasi dari regional pyogranuloma yang menyebar sampai mikrogranuloma.
Dominasi sel radang yang menyertai peradangan tersebut
adalah netrofil dan makrofag, dengan sedikit limfosit dan sel plasma. Selain itu, juga terlihat berbagai tingkatan nekrosis dengan deposisi fibrin. Lesio tersebut dapat dideteksi di peritoneum, limfonodus, limpa, ginjal, hati, paru-paru, usus, pankreas,
lambung,
otak
dan
kelenjar
adrenal.
Nonsuppurative
meningoencephalitis dan suppurative atau nonsuppurative tubulointerstitial nephritis juga terdeteksi pada beberapa musang.
Lesio vaskulitis dengan
dominasi makrofag serta sedikit neutrofil dan limfosit tampak, sel darah tersebut berpindah dari pembuluh darah dan menempel pada endotel buluh darah (Kipar 2005).
Pengobatan Tidak ada pengobatan spesifik yang efektif terhadap penyakit ini. Antiviral seperti ribavirin dan immunomodulator seperti interferon dapat menghambat pertumbuhan virus namun obat tersebut tidak mempunyai efek terhadap kucing. Penggunaan antibiotik dan kortikosteroid akan menghilangkan beberapa gejala klinis dengan sementara tetapi tidak dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. Beberapa kucing dapat merespon dengan baik dan kembali sembuh namun keadaan tersebut sangat jarang terjadi. Perawatan yang baik, pengobatan simptomatik serta pengeluaran cairan dapat mengubah kondisi FIP basah menjadi FIP kering beberapa bulan kemudian. Vaksinasi live virus dilakukan untuk pencegahan dan kontrol terhadap penyakit tersebut diberikan secara intranasal (Gaskell, Bennett 2002).
Kucing Salah satu binatang yang termasuk karnivora mutlak adalah kucing. Domestic cat pertama kali diklasifikasikan sebagai Felis catus oleh Carolus Linnaeus pada tahun 1758.
Dikarenakan paham filogenetik modern dan
percampuran dengan kucing liar (Felis silvestris) maka kucing lokal dapat disebut dengan nama lain berdasarkan subspesiesnya yaitu Felis silvestris catus. Secara anatomis, kucing memiliki berat yang sama dengan anggota lain sesama genus Felis, antara empat sampai dengan lima kilogram dan memiliki struktur yang sama dengan mamalia-mamalia lain (Anonim 2010). Kucing secara fisologis dapat hidup pada suhu yang panas. Kucing adalah obligat karnivora dengan memakan daging untuk pemenuhan kebutuhan protein dalam tubuhnya (Bradshaw 1993). Pencernaan kucing sangat mudah beradaptasi dengan makanan berupa daging namun terbatas beradaptasi dengan makanan mengandung karbohidrat dan serat. Oleh sebab itu, kucing sering mengalami penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kelebihan protein. Selain itu, kucing juga sering mengalami keracunan akibat rodentisida, insektisida dan herbisida yang termakan.
Hati Anatomi hati Hati dan empedu merupakan organ asesoris sistem pencernaan.dan termasuk kelenjar terbesar yang ada di dalam tubuh; terletak di sebelah kanan lambung, langsung di bawah diafragma dan termasuk ke dalam daerah epigastrium. Hati menerima darah dari usus dan sirkulasi tubuh serta ditutupi oleh peritoneum.
Terdapat empat lobus pada hati, yaitu lobus dextra, lobus
sinistra, lobus quadratus dan lobus caudatus (Akers, Denbow 2008). Hati memiliki vaskularisasi ganda. Vena porta membawa darah penuh dengan nutrisi yang diserap dari usus dan organ tertentu, sedangkan arteri hepatika menyalurkan darah pada sel-sel hati dengan darah yang bersih yang mengandung oksigen.
Cabang-cabang dari kedua pembuluh darah tersebut
mengikuti jaringan ikat interlobularis di daerah portal.
Rangkaian pembuluh
darah ini menjamin sel-sel hati mendapat sirkulasi darah yang cukup (Dellmann, Brown 1992).
Gambar 1 Anatomi dan situs hati (http://www.hillspet.com/cat-care/catdiseases/normal-liver.html). Histologi hati Lobulus-lobulus hati memiliki bentuk heksagonal dengan vena centralis di tengah masing-masing lobulus dan terdapat segitiga portal diantara lobulus di daerah sudut. Setiap segitiga portal memiliki paling tidak satu vena dan arteri, buluh limfatik, duktus empedu, dan syaraf (Greep et al, 1954). Segitiga portal (segitiga Kiernan) merupakan unit fungsional yang terpusat pada saluran empedu di daerah portal. Empedu yang dihasilkan parenkim di sekitar daerah tersebut ditampung oleh saluran empedu di daerah saluran portal yang disebut duktus interlobularis (Dellmann, Brown 1992). Sel hati (hepatosit) berbentuk polihedral, intinya bulat terletak di tengah, nukleolus dapat satu atau lebih dengan kromatin yang menyebar. Sering tampak adanya dua inti, sebagai hasil pembagian yang tidak sempurna dari sitoplasma setelah terjadi pembelahan inti. Sitoplasma hepatosit agak berbutir, tetapi dapat tergantung pada perubahan nutrisi serta fungsi seluler (Dellmann, Brown 1992). Hepatosit menyusun sebagian besar komponen hati dan diantara susunan sel-sel tersebut ada celah-celah yang disebut sinusoid.
Gambar 2 Histologi hati (Ownby 2009).
Fungsi hati Sebagai organ yang sangat vital, hati mempunyai beberapa fungsi (Akers, Denbow 2008) : 1. Metabolisme karbohidrat, menjaga kadar glukosa dalam darah dan mengubah glukosa menjadi glikogen (glikogenesis). 2. Metabolisme lemak, termasuk kolesterol yang digunakan untuk membentuk garam empedu. 3. Metabolisme protein. 4. Detoksifikasi produk buangan, seperti antibiotik dan alkohol. 5. Sintesis garam empedu, yang berasal dari lemak di dalam usus. 6. Penyimpanan vitamin A, D, E, K dan mineral. 7. Fagositosis (sel Kupffer). 8. Aktivasi vitamin D (kombinasi antara kerja kulit dan ginjal).
Patologi hati Beberapa perubahan patologi hati diantaranya anomali pertumbuhan, degenerasi hepatoseluler, nekrosa, respon terhadap kerusakan, gagal hati dan tumor. Pada anomali pertumbuhan hati akan terbentuk intrahepatic congenital cysts yang mungkin berasal dari calon buluh empedu yang tidak terbentuk sempurna sedangkan bagian ekstrahepatik akan ditemukan gagalnya pembentukan buluh empedu (Biliary atresia) sedangkan penutupan pembuluh darah yang
menuju hati dan empedu juga dimasukkan ke dalam anomali pertumbuhan (Carlton, McGavin 1995). Degenerasi sel hati merupakan perubahan sel hati yang bersifat patologis. Sel akan mengalami atrofi, membesar (megalocytosis), bertambahnya jumlah retikulum endoplasma dalam sel, dan terdapat badan inklusi akibat reaksi sel terhadap infeksi virus. Pigmen yang berlebihan akan terlihat di bagian periportal hepatosit, hal ini disebabkan akumulasi melanin dalam hati. Selain melanin juga dapat terjadi kelebihan hemosiderin dan pigmen empedu yang menyebabkan berwarna hijau kebiruan. Tahap degenerasi yang lain adalah degenerasi hidropis, fatty liver dan amyloidosis. Hepatosit akan menghancurkan racun, aktivitas mikroorganisme, dan keadaan kekurangan nutrisi seperti hypoxia akan direspon oleh hati dalam bentuk nekrosa.
Jenis-jenis nekrosa yang terjadi antara lain nekrosa sel tunggal,
koagulasi nekrosa, lisis nekrosa, fokus nekrosa, periasinar nekrosa, midzonal nekrosa, periportal nekrosa, parasentral nekrosa dan multifokus nekrosa (Kelly 1993).