KAJIAN HISTOPATOLOGI HATI KUCING YANG TERPAPAR FELINE INFECTIOUS PERITONITIS (FIP)
GITA RIMA WIDYAMARTHA
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kajian Histopatologi Hati Kucing yang Terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka bagian akhir.
Bogor, Desember 2010
Gita Rima Widyamartha NIM B04060916
ABSTRACT GITA RIMA WIDYAMARTHA. Study of Histopathology Cat Liver with Infection of Feline Infectious Peritonitis (FIP). Supervised by EKOWATI HANDHARYANI and ADI WINARTO. This study was aimed to know the histopathological aspect of Feline Infectious Peritonitis (FIP) that was focused on its liver. In this study three cats, from October 2009 until June 2010, that were diagnose suffering FIP were used as case samples. An observation on gross lesion and histopathology were done based on the regular protocol of Pathology Laboratory of Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural University. The histopathological change of liver was evaluated with paraffin method and stained with Haematoxilin-Eosin dyes. The histopathological changes were observed under light microscope. The results showed that all evaluated livers were found in general congestion, inflammation multifocal, degeneration, necroses, inflamed cell infiltration. One of cases was found existing a secondary infection which appearing bacteria colonies in central vein lumen of lobules. In addition it also notes that pathological evaluation finding gave a general change of FIP on other organs such as hydropascites, icterus, perihepatitis, pancreatitis, gastroenteritis, and inflammation granulomatus in some organs. It could be conclude that congestion, degeneration and necroses are the main histopathological finding of the liver with FIP infection.
Keywords: FIP, histopathology, hydropsacites, liver
ABSTRAK GITA RIMA WIDYAMARTHA. Kajian Histopatologi Hati Kucing yang Terpapar Feline Infectious Peritonitis. Di bawah bimbingan EKOWATI HANDHARYANI dan ADI WINARTO. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi hati kucing yang terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP). Studi yang dilakukan ditemukan tiga ekor kucing, dari bulan Oktober tahun 2009 sampai dengan bulan Juni 2010, terdiagnosa terinfeksi FIP dan digunakan sebagai contoh kasus. Pengamatan pada gejala klinis dan histopatologi dilakukan berdasarkan prosedur rutin Laboratorium Patologi, Fakultas kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Perubahan histopatologi pada hati dievaluasi menggunakan metode parafin dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Perubahan histopatologi diamati di bawah mikroskop cahaya. Hasil gambaran histopatologi semua hati yang dievaluasi ditemukan adanya kongesti general, peradangan multifokus, degenerasi, nekrosa, dan infiltrasi sel radang. Satu kasus ditemukan infeksi sekunder dengan koloni bakteri di dalam lumen vena. Evaluasi patologi anatomi ditemukan perubahan umum pada penderita FIP di beberapa organ seperti hydropsacites, ikterus, perihepatitis, pankreatitis, gastroenteritis dan peradangan granulomatus. Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kongesti, degenerasi, dan nekrosa merupakan gambaran utama histopatologi hati yang terinfeksi FIP. Kata kunci : FIP, hati, histopatologi, hydropsacites.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KAJIAN HISTOPATOLOGI HATI KUCING YANG TERPAPAR FELINE INFECTIOUS PERITONITIS (FIP)
GITA RIMA WIDYAMARTHA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi
: Kajian Histopatologi Hati Kucing yang Terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP)
Nama
: Gita Rima Widyamartha
NRP
: B04060916
Disetujui
Drh. Ekowati Handharyani, MSi. Ph. D. APVet Ketua
Drh. Adi Winarto, Ph. D Anggota
Diketahui
Dr. Dra. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia serta hidayah-Nya skripsi ini berhasil diselesaikan dengan baik. Judul studi kasus yang dilaksanakan sejak Oktober tahun 2009 adalah Kajian Histopatologi Hati Kucing yang Terpapar Feline Infectious Peritonitis (FIP). Selama penyusunan skrpsi ini penulis telah mendapat berbagai bantuan baik materi, informasi, saran, serta dukungan moral dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Ibu Drh. Ekowati Handharyani MSi. Ph. D dan Bapak Drh. Adi Winarto, Ph. D selaku dosen pembimbing yang dengan ikhlas dan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
2.
Kedua orangtua tercinta Bapak Agus Widodo Mulyo dan Ibu Juni Martanti serta adik tersayang Mohammad Gilang Widyantoro atas dukungan, doa serta kesabaran yang telah diberikan dan tak pernah putus kepada penulis.
3.
Bapak Drh. Koesdiantoro Mohamad. M.Si selaku dosen pembimbing akademik, atas saran dan kesabaran dalam membimbing penulis selama masa perkuliahan.
4.
Seluruh dosen dan karyawan FKH IPB terutama staf Laboratorium Patologi dan Rumah Sakit Hewan yang telah banyak membantu dan memberikan ilmu kepada penulis dalam penulisan karya ilmiah maupun dalam masa perkuliahan.
5.
Keluarga besar Aesculapius 43 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas kebersamaan, dukungan, doa dan kenangan berharga serta tidak akan terlupakan selama studi di FKH. Semoga sukses selalu.
6.
Kakak-kakak Asteroidea 41 dan Goblet 42 atas ilmu, pengalaman dan saran yang telah diberikan serta adik-adikku Gianuzzi 44 atas kebersamaan selama ini.
7.
Keluarga Citra Islamic 2, Lingga, Kiki, Nunu, Dian dan Zatil atas segala kenangan dan kebersamaan selama tiga tahun ini. Semangat kawan.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan mohon maaf jika dalam proses penulisan skripsi ini terdapat kekurangan dan kesalahan.
Bogor, Desember 2010
Gita Rima Widyamartha
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pemalang, Jawa Tengah pada tanggal 29 Desember 1987. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Agus Widodo Mulyo dan Ibu Juni Martanti. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2000 di SD Negeri Tempursari,
Laweyan,
Surakarta.
Kemudian
pada
tahun
2003
penulis
menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 2, Jajar, Surakarta. Selanjutnya penulis lulus dari SMA Negeri 4, Manahan, Surakarta pada tahun 2006. Tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan memilih untuk melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Hewan IPB pada tahun kedua. Selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, penulis mengikuti berbagai organisasi internal kampus seperti Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia sebagai anggota, serta mengikuti Badan Eksekutif Mahasiswa sebagai anggota Departemen Komunikasi dan Informasi serta anggota Departemen Pendidikan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …..................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii PENDAHULUAN ………………………………………………………… Latar Belakang …………………………………………………... Tujuan ………….…...…………………………………………… Manfaat ………….……………………………………………….
1 1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………... Coronavirus ……………………………………………………… Feline Infectious Peritonitis ………..…………………………… Etiologi ……………………………………………………. Klasifikasi …………………………………………………. Gejala Klinis ………………………………………………. Diagnosa …………………………………………………... Patologi …………………………………………………..... Pengobatan ………………………………………………… Kucing ……………………………………………….…………... Hati ………………………………………………………………. Anatomi Hati ………………………………………………. Histologi Hati ……………………………………………… Fungsi Hati ……………………………………………….... Patologi Hati ………………………………………………..
3 3 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 8 9 9
METODE PENELITIAN..………………………………………………… Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………... Materi Penelitian ………………………………………………... Sampel Organ……………………………………………… Alat dan Bahan ……………………………………………. Metode Penelitian ……………………………………………….. Pembuatan Preparat Histopatologi ………………………… Pewarnaan Hematoksilin-Eosin …………………………… Pengamatan Menggunakan Mikroskop ……………………
11 11 11 11 11 12 12 12 13
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 14 SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 24 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 25
DAFTAR TABEL Halaman 1 Identitas kucing dengan kasus FIP….……...…………………….…………... 11 2 Patologi anatomi hati kucing yang terpapar FIP ………………………........... 16 3 Gambaran histopatologi hati kucing yang terpapar FIP pada kasus P/11/09…. 18 4 Gambaran histopatologi hati kucing yang terpapar FIP pada kasus P/36/09…. 19 5 Gambaran histopatologi hati kucing yang terpapar FIP pada kasus P/78/10…. 19
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Anatomi dan situs hati …….…………………………………………………. 8 2 Histologi hati ………………………………………………………………… 9 3 Hati, P/11/09, kongesti dengan balooning degeneration ……………………. 21 4 Hati, P/36/09, infeksi sekunder …………………………………………....... 21 5 Hati, P/36/09, fokus nekrosa, sel-sel hepatosit tidak beraturan dan berwarna eosinofilik ………………………………………………………… 22 6 Hati, P/78/10, infiltrasi sel radang di daerah pembuluh darah ……………… 22 7 Hati, P/78/10, infiltrasi sel radang dengan dominasi makrofag dan limfosit serta sedikit neutrofil ……………………………………………….. 23
PENDAHULUAN Latar Belakang Domestikasi Kucing (Felis domestica), menurut beberapa penelitian pertama dilakukan sekitar 2000 tahun sebelum masehi di Yunani Kuno. Sebagai hewan yang dapat hidup dimana saja serta mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya, kucing memiliki kemungkinan untuk terpapar berbagai macam penyakit, baik yang berasal dari agen infeksius maupun akibat sistem pemeliharaan yang kurang tepat. Penyakit tersebut tidak jarang bersifat zoonosis sehingga mampu ditularkan kepada manusia, terlebih pada kondisi yang tidak memungkinkan seperti gangguan pembentukan antibodi dan paparan yang terus menerus dari agen penyakit. Salah satu penyakit yang disebabkan oleh virus adalah Feline Infectious Peritonitis (FIP) (Verhoef 2003).
Oleh karena itu,
diperlukan cara diagnosa penyakit dengan pembuatan preparat histopatologi pada organ yang dicurigai terkena atau terdapat lesio. Salah satu penyakit yang disebabkan oleh virus adalah Feline Infectious Peritonitis (FIP).
Penyakit ini masih merupakan penyakit yang belum dapat
ditangani dengan hasil yang baik. Banyak kasus FIP yang berakhir pada kematian setelah ditemukan ascites dan kelemahan secara menyeluruh. Pada saat kini diketahui ada dua tipe FIP berdasarkan perubahan klinis yang ditemukan yakni tipe basah dan kering. Pencegahan merupakan pilihan utama dalam mengatasi kematian kucing yang menderita FIP, yaitu melalui vaksinasi karena pengobatan pada penderita FIP saat ini belum ditemukan. Informasi mengenai perubahan histopatologis dari organ-organ tubuh kucing penderita FIP belum banyak disampaikan terutama gambaran histopatologis dari organ hati. Pengamatan secara patologis dapat digunakan untuk peneguhan diagnosa FIP dari pemeriksaan gejala klinis. Hasil diagnosa secara patologi anatomi lebih mengarahkan pada pencegahan transmisi atau penularan pada kucing yang beresiko tinggi menderita FIP. Kurangnya informasi tentang perubahan secara histopatologis perlu dilakukan dengan pengkajian lebih jauh tentang perubahan yang terjadi di dalam organ hati. Pemahaman perubahan tingkat organ dan seluler
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tindak medis untuk mengurangi efek negatif yang ditimbulkan. Kajian histopatologis yang terjadi pada unsur penyusun jaringan dan organ diharapkan dapat memberikan data secara rinci ragam perubahan yang terjadi dengan pendekatan pewarnaan umum dan khusus. Histopatologi merupakan suatu cara pembuatan preparat histologi dari organ yang mengalami perubahan patologi. Pewarnaan Haematoxylin dan Eosin pada pembuatan preparat histopatologi digunakan untuk mengetahui lokasi peradangan yang ditandai dengan makrofag, neutrofil, limfosit dan sel plasma serta adanya lesio seperti nekrosa (Sharif et al 2010).
Tujuan Studi kasus yang dilakukan untuk mengetahui gambaran histopatologis hati kucing yang terserang Feline Infetious Peritonitis (FIP).
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data yang lebih rinci mengenai gambaran histopatologis organ hati yang terserang Feline Infetious Peritonitis (FIP) sehingga dapat digunakan sebagai referensi dalam mengambil tindakan medis pada kucing dengan diagnosa FIP.
TINJAUAN PUSTAKA
Coronavirus Virus merupakan suatu individu yang tidak dapat dideskripsikan sebagai hewan maupun tumbuhan. Jika hewan dan tumbuhan mengandung dua asam nukleat yaitu DNA dan RNA, sebaliknya virus hanya mengandung salah satunya. Asam nukleat tersebut dapat merangsang siklus replikasi virus secara lengkap. Virus hanya dapat bereplikasi dan hidup pada inang hidup, jika inang tersebut akhirnya mati maka virus akan berpindah pada sel yang masih hidup (Fenner et al 1993). Genus coronavirus termasuk ke dalam keluarga Togaviridae, mempunyai amplop yang tipis dengan diameter tubular nucleocapsid sebesar 9 nm. Genom dari virus genus ini terdiri dari single-stranded RNA dan memiliki berat yang tidak terdefinisikan. Pada strain yang menyerang manusia dapat menyebabkan demam, dan pada hewan, coronavirus dapat menyerang organ pernafasan, pencernaan atau dapat menyebabkan penyakit sistemik (Fenner et al 1974). Terdapat tiga serogrup coronavirus yang dapat menyerang mamalia dan unggas. Grup pertama termasuk di dalamnya adalah feline coronavirus (FCoV), canine coronavirus (CCV), transmissible gastroenteritis virus (TGEV) pada babi dan human coronavirus 229E. Grup kedua terdiri dari bovine coronavirus dan mouse hepatitis virus, sedangkan grup yang ketiga terdiri dari avian infectious bronchitis virus serta variasinya (Rottier dalam Garner et al 2008). Tidak semua kucing yang terinfeksi feline coronavirus mendapat feline infectious peritonitis. Hal ini disebabkan oleh mutasi virus yang bervariasi, dapat berubah menjadi ganas atau tidak, tergantung pada infeksi sekunder dan keadaan antibodi yang baik.
Feline Infectious Peritonitis Etiologi Feline Corona Virus (FCoV) adalah virus yang menyebabkan adanya gejala klinis yang ringan pada sebagian besar kucing. Tidak semua kucing yang terinfeksi coronavirus dapat terserang FIP.
Hal tersebut terjadi karena
kemampuan FCoV atau Feline Enteric Corona Virus (FECV) yang bermutasi menjadi FIP Virus dan menyebabkan kucing dapat terserang FIP. Infeksi tersebut dapat terjadi sangat fatal sehingga menyebabkan kematian (Anonim 2010). Transmisi virus ini melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau feses hewan tersebut. Coronavirus terakumulasi di feses dan saliva, sehingga rute faecal-oral merupakan penyebab infeksi primer dan meluas hingga saluran pernafasan.
Virus tersebut dapat bertahan dua sampai tiga minggu di suhu
ruangan dan permukaan kering, termasuk tempat pakan, mainan, kandang, tempat tidur dan pakaian. Jika induk yang bunting sebagai carrier, maka virus tersebut dapat diturunkan kepada anaknya (Anonim 2001).
Klasifikasi Berdasarkan bentuknya, FIP dibagi menjadi dua yaitu FIP basah (wet FIP atau effusive form) dan FIP kering (dry FIP atau noneffusive form). Effusive form merupakan kelanjutan dari bentuk kering FIP, namun kasus FIP basah lebih banyak terjadi daripada bentuk kering hingga mencapai 75% (Teymori 2009).
Gejala klinis Terdapat perbedaan gejala klinis antara FIP bentuk kering dengan bentuk basah.
Gejala klinis noneffusive form antara lain pertumbuhan yang sangat
lambat, berat badan turun, letargi, demam, kehilangan nafsu makan, terdapat gejala syaraf yaitu paralisis, kehilangan keseimbangan, tremor, retensi urin, konvulsi, perubahan tingkah laku, pupil ireguler serta daya hidup hanya satu tahun setelah tampaknya gejala. Sedangkan FIP basah memiliki gejala klinis yang relatif serupa dengan FIP kering yaitu berat badan menurun, demam, letargi, mukosa pucat karena anemia, namun gejala klinis yang khas adalah akumulasi cairan serofibrinous pada rongga-rongga tubuh seperti abdomen dan rongga thoraks. Lapisan serosa organ pencernaan, hati dan usus banyak terdapat granuloma yang bersifat translucent dan berdiameter dua milimeter (Carlton, McGavin 1995).
Diagnosa Cara diagnosa FIP relatif mudah baik melalui pemeriksaan fisik dan sejarah kesehatan serta tes laboratorium.
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan
melalui gejala klinis yang terlihat dan atau pemeriksaan patologi anatomi setelah hewan dilakukan nekropsi. Sedangkan pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan hemogram, untuk memeriksa kadar albumin dan globulin. Total protein serum menunjukkan adanya peningkatan kadar globulin dan penurunan kadar albumin.
Selain itu, terjadi non responsif anemia serta leukositosis dengan
absolut limfopenia dan neutrofilia (Pedersen 2009). Uji serologis spesifik terhadap produksi antibodi feline coronavirus menggunakan virus neutralization (VN), Indirect fluorescent antibody test (IFAT), Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA), Western blotting, MRI (Magnetic Resonance Imaging), PCR (Polimerase Chain Reaction).
Pratelli
(2008) menyatakan bahwa berbagai macam uji serologis yang digunakan, seperti IFAT, ELISA, VN, dan Western blotting memiliki validitas dan efektivitas yang baik untuk menguji adanya titer antibodi terhadap feline coronavirus. Hal ini ditunjukkan dengan hasil yang tidak berbeda nyata pada hasil positif yaitu berkisar anatara 96–98%, sedangkan pada hasil negatif antara 26-28%. Keberhasilan metode yang dilakukan, sangat tergantung pada tata cara dan teknik yang tepat (Pratelli 2008).
Patologi Pyogranuloma merupakan tipe lesio effusive FIP. Pyogranuloma terdiri dari debris nekrosa dan neutrofil yang dikelilingi sel fagosit dengan sedikit limfosit dan sel plasma. Cairan yang terakumulasi di sekitar lesio mengandung fibrin dan kaya akan protein. Akumulasi cairan pada omentum menyebabkan rongga perut membesar, phlebitis juga sering terlihat serta adanya infiltrasi berbagai macam sel radang. Tipe lesio noneffusive FIP lebih banyak bersifat granuloma namun tidak menutup kemungkinan terjadi lesio pyogranuloma. Lesio granuloma ini memiliki berbagai macam ukuran dan tersebar mulai dari mata hingga sistem syaraf pusat (Appel 1987).
Berdasarkan penelitian Garner et al (2008), musang yang terserang FIP memiliki gambaran histopatologi yang sama dengan kucing yang terserang FIP. Peradangan
pyogranuloma
yang
parah
mempengaruhi
bentuk
jaringan.
Peradangan bervariasi dari regional pyogranuloma yang menyebar sampai mikrogranuloma.
Dominasi sel radang yang menyertai peradangan tersebut
adalah netrofil dan makrofag, dengan sedikit limfosit dan sel plasma. Selain itu, juga terlihat berbagai tingkatan nekrosis dengan deposisi fibrin. Lesio tersebut dapat dideteksi di peritoneum, limfonodus, limpa, ginjal, hati, paru-paru, usus, pankreas,
lambung,
otak
dan
kelenjar
adrenal.
Nonsuppurative
meningoencephalitis dan suppurative atau nonsuppurative tubulointerstitial nephritis juga terdeteksi pada beberapa musang.
Lesio vaskulitis dengan
dominasi makrofag serta sedikit neutrofil dan limfosit tampak, sel darah tersebut berpindah dari pembuluh darah dan menempel pada endotel buluh darah (Kipar 2005).
Pengobatan Tidak ada pengobatan spesifik yang efektif terhadap penyakit ini. Antiviral seperti ribavirin dan immunomodulator seperti interferon dapat menghambat pertumbuhan virus namun obat tersebut tidak mempunyai efek terhadap kucing. Penggunaan antibiotik dan kortikosteroid akan menghilangkan beberapa gejala klinis dengan sementara tetapi tidak dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. Beberapa kucing dapat merespon dengan baik dan kembali sembuh namun keadaan tersebut sangat jarang terjadi. Perawatan yang baik, pengobatan simptomatik serta pengeluaran cairan dapat mengubah kondisi FIP basah menjadi FIP kering beberapa bulan kemudian. Vaksinasi live virus dilakukan untuk pencegahan dan kontrol terhadap penyakit tersebut diberikan secara intranasal (Gaskell, Bennett 2002).
Kucing Salah satu binatang yang termasuk karnivora mutlak adalah kucing. Domestic cat pertama kali diklasifikasikan sebagai Felis catus oleh Carolus Linnaeus pada tahun 1758.
Dikarenakan paham filogenetik modern dan
percampuran dengan kucing liar (Felis silvestris) maka kucing lokal dapat disebut dengan nama lain berdasarkan subspesiesnya yaitu Felis silvestris catus. Secara anatomis, kucing memiliki berat yang sama dengan anggota lain sesama genus Felis, antara empat sampai dengan lima kilogram dan memiliki struktur yang sama dengan mamalia-mamalia lain (Anonim 2010). Kucing secara fisologis dapat hidup pada suhu yang panas. Kucing adalah obligat karnivora dengan memakan daging untuk pemenuhan kebutuhan protein dalam tubuhnya (Bradshaw 1993). Pencernaan kucing sangat mudah beradaptasi dengan makanan berupa daging namun terbatas beradaptasi dengan makanan mengandung karbohidrat dan serat. Oleh sebab itu, kucing sering mengalami penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kelebihan protein. Selain itu, kucing juga sering mengalami keracunan akibat rodentisida, insektisida dan herbisida yang termakan.
Hati Anatomi hati Hati dan empedu merupakan organ asesoris sistem pencernaan.dan termasuk kelenjar terbesar yang ada di dalam tubuh; terletak di sebelah kanan lambung, langsung di bawah diafragma dan termasuk ke dalam daerah epigastrium. Hati menerima darah dari usus dan sirkulasi tubuh serta ditutupi oleh peritoneum.
Terdapat empat lobus pada hati, yaitu lobus dextra, lobus
sinistra, lobus quadratus dan lobus caudatus (Akers, Denbow 2008). Hati memiliki vaskularisasi ganda. Vena porta membawa darah penuh dengan nutrisi yang diserap dari usus dan organ tertentu, sedangkan arteri hepatika menyalurkan darah pada sel-sel hati dengan darah yang bersih yang mengandung oksigen.
Cabang-cabang dari kedua pembuluh darah tersebut
mengikuti jaringan ikat interlobularis di daerah portal.
Rangkaian pembuluh
darah ini menjamin sel-sel hati mendapat sirkulasi darah yang cukup (Dellmann, Brown 1992).
Gambar 1 Anatomi dan situs hati (http://www.hillspet.com/cat-care/catdiseases/normal-liver.html). Histologi hati Lobulus-lobulus hati memiliki bentuk heksagonal dengan vena centralis di tengah masing-masing lobulus dan terdapat segitiga portal diantara lobulus di daerah sudut. Setiap segitiga portal memiliki paling tidak satu vena dan arteri, buluh limfatik, duktus empedu, dan syaraf (Greep et al, 1954). Segitiga portal (segitiga Kiernan) merupakan unit fungsional yang terpusat pada saluran empedu di daerah portal. Empedu yang dihasilkan parenkim di sekitar daerah tersebut ditampung oleh saluran empedu di daerah saluran portal yang disebut duktus interlobularis (Dellmann, Brown 1992). Sel hati (hepatosit) berbentuk polihedral, intinya bulat terletak di tengah, nukleolus dapat satu atau lebih dengan kromatin yang menyebar. Sering tampak adanya dua inti, sebagai hasil pembagian yang tidak sempurna dari sitoplasma setelah terjadi pembelahan inti. Sitoplasma hepatosit agak berbutir, tetapi dapat tergantung pada perubahan nutrisi serta fungsi seluler (Dellmann, Brown 1992). Hepatosit menyusun sebagian besar komponen hati dan diantara susunan sel-sel tersebut ada celah-celah yang disebut sinusoid.
Gambar 2 Histologi hati (Ownby 2009).
Fungsi hati Sebagai organ yang sangat vital, hati mempunyai beberapa fungsi (Akers, Denbow 2008) : 1. Metabolisme karbohidrat, menjaga kadar glukosa dalam darah dan mengubah glukosa menjadi glikogen (glikogenesis). 2. Metabolisme lemak, termasuk kolesterol yang digunakan untuk membentuk garam empedu. 3. Metabolisme protein. 4. Detoksifikasi produk buangan, seperti antibiotik dan alkohol. 5. Sintesis garam empedu, yang berasal dari lemak di dalam usus. 6. Penyimpanan vitamin A, D, E, K dan mineral. 7. Fagositosis (sel Kupffer). 8. Aktivasi vitamin D (kombinasi antara kerja kulit dan ginjal).
Patologi hati Beberapa perubahan patologi hati diantaranya anomali pertumbuhan, degenerasi hepatoseluler, nekrosa, respon terhadap kerusakan, gagal hati dan tumor. Pada anomali pertumbuhan hati akan terbentuk intrahepatic congenital cysts yang mungkin berasal dari calon buluh empedu yang tidak terbentuk sempurna sedangkan bagian ekstrahepatik akan ditemukan gagalnya pembentukan buluh empedu (Biliary atresia) sedangkan penutupan pembuluh darah yang
menuju hati dan empedu juga dimasukkan ke dalam anomali pertumbuhan (Carlton, McGavin 1995). Degenerasi sel hati merupakan perubahan sel hati yang bersifat patologis. Sel akan mengalami atrofi, membesar (megalocytosis), bertambahnya jumlah retikulum endoplasma dalam sel, dan terdapat badan inklusi akibat reaksi sel terhadap infeksi virus. Pigmen yang berlebihan akan terlihat di bagian periportal hepatosit, hal ini disebabkan akumulasi melanin dalam hati. Selain melanin juga dapat terjadi kelebihan hemosiderin dan pigmen empedu yang menyebabkan berwarna hijau kebiruan. Tahap degenerasi yang lain adalah degenerasi hidropis, fatty liver dan amyloidosis. Hepatosit akan menghancurkan racun, aktivitas mikroorganisme, dan keadaan kekurangan nutrisi seperti hypoxia akan direspon oleh hati dalam bentuk nekrosa.
Jenis-jenis nekrosa yang terjadi antara lain nekrosa sel tunggal,
koagulasi nekrosa, lisis nekrosa, fokus nekrosa, periasinar nekrosa, midzonal nekrosa, periportal nekrosa, parasentral nekrosa dan multifokus nekrosa (Kelly 1993).
METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian Studi kasus dilakukan pada bulan Oktober tahun 2009 sampai Juni tahun 2010 di Laboratorium Histopatologi, Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut pertanian Bogor.
Materi penelitian Sampel Organ Bahan berasal dari tiga ekor kucing tanpa membedakan variasi ras dan umur.
Sampel organ hati diambil dengan mengikuti prosedur rutin nekropsi
Laboratorium Patologi FKH IPB.
Tabel 1 Identitas kucing dengan kasus FIP. No. 1
Kasus P/11/09
Identitas Nama : Pimpim Ras : Mix
2
P/36/09
Nama : Chiron Ras : Persia Jenis kelamin : jantan Umur : 9 tahun
3
P/78/10
Nama : Otong Ras : Siam Jenis kelamin : jantan Umur : 8 tahun
FIP ditetapkan berdasar pemeriksaan PA
Alat dan bahan Alat-alat yang dibutuhkan antara lain gelas objek, rak gelas objek, gelas penutup, cetakan blok parafin, pinset, tissue processor, mikrotom, inkubator, mikroskop cahaya, dan fotomikroskop sedangkan bahan-bahan yang dibutuhkan adalah larutan buffer formalin 10%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut, xylol, lithium karbonat, pewarna Mayer Hematoksilin, pewarna Eosin, parafin histoplast, dan Entellan.
Metode penelitian Penetapan diagnosa dilakukan dengan menyeleksi kasus FIP berdasarkan perubahan patologi anatomi. Kasus terpilih selanjutnya dievaluasi sebagai sampel dalam memperoleh organ hati. Organ hati dari kadaver kucing yang didapat baik dari hasil eutanasi maupun dari donor difiksasi dalam buffered neutral formalin 10%, dipisahkan dari organ yang lain untuk dilakukan proses pembuatan preparat histopatologi.
Selanjutnya, dilakukan proses rutin histopatologi dan diwarnai
dengan Hematoksilin dan Eosin (HE).
Pembuatan preparat histopatologi Pembuatan preparat histopatologi dimulai dengan trimming sampel organ hati dan didehidrasi di dalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat (alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut I dan II), xylol (I dan II) dan parafin (I dan II) dengan menggunakan tissue processor.
Pencetakan adalah suatu proses
penananaman jaringan dalam parafin sehingga terbentuk blok parafin. Proses ini dikerjakan dengan bantuan alat (embedding console) yang dilengkapi dengan hot plate dan tempat stock parafin cair sehingga pengaturan posisi jaringan dapat dilakukan dengan baik. Cetakan diisi dengan parafin cair kemudian jaringan diletakkan di dalamnya dengan menggunakan pinset. Blok parafin yang sudah setengah beku diberi label untuk memudahkan identifikasi jaringan. Tahap selanjutnya adalah pendinginan blok parafin pada suhu 4-50C (Samuelson 2007). Pemotongan jaringan dilakukan dengan menggunakan alat mikrotom dengan ketebalan irisan 4-5 µm.
Hasil potongan jaringan yang didapat
ditempelkan pada gelas objek dan dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 370C selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna (Samuelson 2007).
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) merupakan pewarnaan dengan menggunakan dua jenis zat warna, yaitu Mayer Hematoksilin dan Eosin. Pewarnaan HE dimulai dengan pencelupan pada larutan xylol I lalu berturut-turut xylol II, xylol III, alkohol absolut, alkohol 96 %, dan alkohol 70 % masingmasing selama satu menit dan dicuci dengan air selama tiga puluh detik.
Selanjutnya dilakukan pencelupan ke dalam pewarna Mayer Hematoksilin selama satu menit dilanjutkan dengan mencuci dengan air selama tiga puluh detik. Kemudian preparat dicelupkan tiga kali ke dalam lithium karbonat dan dibilas kembali dengan air selama tiga puluh detik.
Tahap selanjutnya dilakukan
pencelupan ke dalam Eosin selama dua menit tiga puluh detik dan dibilas kembali selam tiga puluh detik.
Kemudian dilakukan pencelupan kembali ke dalam
alkohol bertingkat mulai dari 70 %, 80 %, dan 96 % sebanyak sepuluh celupan untuk alkohol absolut dilakukan sebanyak lima belas celupan. Berikutnya, yang terakhir adalah melakukan pencelupan ke dalam xylol I, xylol II, xylol III dan xylol IV selama masing-masing satu menit dan selanjutnya dikeringkan dan ditutup dengan cover glass (Ellis 2003).
Pengamatan dengan menggunakan mikroskop Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran obyektif 10x sampai dengan 40x, pada beberapa bidang pandang hingga gambaran histopatologi dapat didiskripsikan secara jelas serta dimasukkan ke dalam tabel dengan tujuan membuat perbandingan antar kasus.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil seleksi kasus terpilih sebanyak tiga ekor kucing yang didiagnosa secara PA sebagai penderita FIP, yakni kasus pertama (P/11/09) kucing mix, kasus kedua (P/36/09) Kucing Persia jantan berusia sembilan tahun, dan kasus ketiga (P/78/10) Kucing Siam jantan delapan tahun. Anamnesa yang diperoleh untuk ketiga kucing antara lain mukosa kuning atau pucat, dehidrasi, mulut berbau, hipersalivasi, anoreksia, dispneu, dan mati beberapa jam sampai dua hari setelah dirawat. Tiga sampel kasus yang didapat menunjukkan bahwa kucing yang terinfeksi berjenis kelamin jantan dan berumur antara delapan sampai sembilan tahun dengan berbagai macam ras terutama ras murni. Hal ini sesuai dengan penelitian Pesteanu-Somogyi (2006) bahwa identifikasi semua kucing yang terdiagnosa FIP selama lebih dari enam belas tahun menunjukkan kucing jantan dengan ras murni (purebreed) memiliki prevalensi lebih tinggi terinfeksi FIP. Abyssinian, Bengal, Birman, Himalayan, Ragdoll, dan Rex memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan ras lainnya. Namun, masih menurut Pesteanu-Somogyi (2006) kucing muda memiliki resiko lebih besar terkena FIP sehingga berbeda dengan umur sampel yang berumur delapan sampai sembilan tahun. Hal ini mungkin disebabkan oleh imunitas yang dimiliki kucing yang berusia tua sudah menurun sedangkan pada kucing muda belum terbentuk sistem imunitas yang stabil setelah antibodi maternal hilang. Catatan hasil nekropsi yang diperoleh dari setiap kucing yang dievaluasi secara umum menunjukkan bahwa pada ketiga kasus ditemukan mukosa pucat dan ikterus, pneumonia, dan hepatitis serta multifokus nekrotik pada hati. Kemudian hydrothorax dan hydropsascites pada kasus yang kedua dan ketiga, serta ditemukan pankreatitis pada kasus yang pertama dan kedua. Perubahan lain yang juga ditemukan ialah subkutis ikterus, hipertropi ventrikel kiri, dilatasi ventrikel kanan, endokarditis, nefritis, enteritis, serositis, gastroenteritis, splenitis, serta vasa injectio otak. Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan pengamatan patologi anatomi menunjukkan ketiga kucing terinfeksi FIP.
Ikterus atau jaundice yang terjadi pada ketiga kasus disebabkan meningkatnya
kadar
bilirubin
pada darah
atau dapat
disebut
dengan
hiperbilirubinemia. Konsentrasi bilirubin yang tinggi yaitu lebih dari 2 mg/dl dapat memicu terjadinya jaundice, jaringan menjadi berwarna kuning khususnya pada jaringan yang banyak mengandung elastin, seperti aorta dan sklera. Terjadinya hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh produksi bilirubin yang meningkat akibat hemolisis. Lisisnya sel darah memberikan beban yang lebih berat pada hati menghasilkan bilirubin.
Penyebab lain ialah menurunnya
produksi, konjugasi, dan sekresi bilirubin oleh hepatosit akibat penyakit pada hati yang bersifat akut atau kronis serta terganggunya aliran empedu (cholestasis) (McGavin, Zachary 2007) sehingga ikterus yang terjadi pada kasus ini disebabkan oleh kerusakan hati terutama pada duktus empedu. Lisisnya sel darah kemungkinan dapat disebabkan oleh tingginya kadar tiroid dalam darah (hipertiroid). Lisisnya sel darah terutama sel darah merah (eritrosit) menyebabkan gangguan aliran oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen dalam jaringan disebut iskemia. Iskemia dan faktor lain dari luar seperti kebakaran dan trauma, racun bahan kimia, virus dan mikroorganisme lain serta toksinnya merupakan penyebab umum terjadinya nekrosa.
Fokus nekrosa
umumnya terlihat pada keadaan dengan infeksi bakteri, kapang, dan virus, serta mikroorganisme tersebut umumnya ditemukan pada analisis histologi jaringan (Cheville 2006). Perubahan patologi anatomi tidak hanya terjadi pada hati tetapi juga terjadi pada organ lain seperti ginjal, pankreas, limpa, bahkan sampai otak. Hal ini sesuai dengan penelitian Kipar et al (2005) yang menjelaskan bahwa tiga dari lima kucing yang diteliti terpapar FIP memperlihatkan lesi pyogranulomatus di berbagai organ, seperti hati, ginjal, pankreas, peritoneum dan limpa. Garner et al (2008) juga menjelaskan bahwa musang yang terpapar FIP menunjukkan adanya massa nodular pucat pada mesenterium, parenkim hati, limpa, dan ginjal serta terjadi efusi di intraabdominal. Virus FIP bereplikasi di daerah epitel saluran pernafasan atau daerah orofaring. Antibodi terhadap virus ini terbentuk dan virus menempati makrofag sebagai inangnya. Virus beredar ke seluruh tubuh melalui makrofag dan terlokasi
di dinding vena dan bagian perivaskuler. Virus bereplikasi kembali di daerah perivaskuler kemudian membentuk reaksi jaringan yang akan membentuk lesi klasik pyogranulomatus di berbagai organ, seperti hati, ginjal dan usus (Tilley, Smith 2000). Lesi sebagian besar terlihat pada organ di bagian rongga abdomen dan sedikit di bagian rongga thoraks hal ini sesuai dengan pernyataan Pedersen (2009) bahwa target jaringan virus FIP pertama kali menuju limfonodus di mesenterium, serosa usus, dan sebagian kecil pada pleura dan omentum. Beberapa virus juga tampak mencapai meningen terutama di bagian posterior ventral permukaan otak, ependima di sepanjang ventrikel, dura mater di sumsum tulang belakang dan uvea serta retina mata.
Tabel 2 Patologi anatomi hati kucing yang terpapar FIP. Kasus Patologi anatomi
P/11/09 1. mukosa kuning, scirrhous atrophy 2. pneumonia, suppurative (diffuse) 3. hipertropi ventrikel kiri, dilatasi ventrikel kanan 4. hepatitis, pembendungan (mild) 5. pankreatitis (moderate) 6. enteritis kataralis 7. nefritis supuratif (bilateral, severe)
P/36/09 1. mukosa ikterus, dehidrasi 2. subkutis ikterus, perlemakan banyak (obesitas) 3. pneumonia interstitialis 4. edema pulmonum 5. dilatasi ventrikel kanan, hipertropi ventrikel kiri 6. hydropascites, hydrothoraks 7. serositis (peritonitis) granulomatous 8. gastroenteritis 9. perihepatitis granulomatous 10. pankreatitis granulomatous 11. spleenitis granulomatous 12. kongesti ginjal dan vasa injectio otak
P/78/10 1. mukosa pucat 2. ulcus pada sudut pertemuan maxilla dan mandibula 3. endokarditis valvulus (kiri, mildmoderate) 4. pneumonia (severe, difus granulmatous) 5. hydrothoraks ± 200 ml (severe) 6. multifokus nekrotik pada hati disertai fibrin (mild) 7. ditemukan fibrin pada permukaan limpa 8. granulomatous nefritis (diffuse, severe, bilateral)
Hydropsascites atau edema yang terjadi di daerah peritoneum merupakan gambaran khas yang terlihat pada penderita FIP. Edema adalah akumulasi cairan di antara jaringan dan rongga tubuh. Edema dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
edema lokal dan edema umum. Edema lokal disebabkan oleh blokade limfatik, sedangkan edema umum disebabkan oleh mekanisme meningkatnya tekanan hidrostatik darah atau menurunnya tekanan osmotik koloid protein plasma. Menurut Cheville (2006), ascites adalah akumulasi cairan pada intraperitoneal akibat retensi ion natrium dan air, hipoalbunemia, dan menurunnya tekanan osmotik koloid. Ascites tidak selalu muncul pada kenaikan tekanan hidrostatik pada semua spesies, contohnya ligasi vena portal pada anjing tidak menyebabkan terjadinya akumulasi cairan di rongga peritoneum. Selain itu, edema juga dapat terjadi di antara jaringan. Ascites dapat mengindikasikan berbagai macam kondisi patologis seperti congestive heart failure, nefrosis, malignant neoplasma, dan peritonitis (Colville, Bassert 2008). Peritonitis pada kasus kedua berasosiasi pada pembesaran abdomen akibat hidrops acites. Peritonitis terlihat pada lebih dari 58% dan pleuritis sekitar 11% kucing dengan effusive FIP (Sharif 2010), dengan demikian pada kasus kedua kucing mengalami effusive FIP. Pada kasus ketiga, kucing juga mengalami effusive FIP karena diperoleh keadaan patologi anatomi berupa hydrothoraks sebanyak kurang lebih 200 ml. Sedangkan pada kasus pertama tidak ditemukan keadaan peritonitis maupun hydrothoraks sehingga dapat diartikan bahwa kucing tersebut menderita noneffusive FIP meskipun terdapat kemungkinan sudah berjalan menuju effusive FIP. Menurut Pedersen (2009), cairan yang ditemukan pada rongga abdomen berwarna sedikit kuning, keruh seperti berawan dan bersifat pekat (mucinous). Cairan tersebut mengandung banyak protein dan terlihat beberapa limfosit, neutrofil, dan sel plasma diertai adanya fibrin. Total protein yang terkandung antara 3,9 sampai 9,8mg/µl dengan kadar globulin 50 sampai 82% sedangkan total sel yang terhitung antara 1600 sampai 25000 per mikroliter. Efusi cairan karena infeksi FIP berwarna kuning terang sampai gelap dan dapat pula sedikit berwarna hijau tergantung tingkatan bilirubin dan biliverdin yang terkandung di dalamnya. Pemeriksaan mikroskopis organ hati pada ketiga kasus ditemukan peradangan multifokus yang disertai infiltrasi sel radang pada daerah porta, kongesti, degenerasi, dan nekrosa sedangkan koloni bakteri berbentuk batang ditemukan di dalam vena pada kasus yang kedua.
Koloni bakteri tersebut
kemungkinan berasal dari infeksi sekunder yang sudah terjadi pada kucing kedua dan tidak terjadi pada kucing pertama dan ketiga. Mekanisme efek sinergisme antara infeksi virus dan bakteri ialah merusak lapisan mukosa organ. Setelah lima sampai tujuh hari infeksi virus, fungsi fagositik akan menurun sehingga ada kemungkinan bakteri akan masuk dan menginfeksi.
Untuk itu dibutuhkan
vaksinasi sebagai pencegahan terhadap serangan virus dan menurunkan efek sinergisme antara virus dan bakteri (McGavin, Zachary 2007). Degenerasi diawali dengan perubahan morfologi sel diantaranya ukuran sel membesar, pucat, transparan dan relatif tidak berstruktur dan lisis. Degenerasi yang terjadi pada hati kucing yang terpapar FIP adalah degenerasi hidropis. Sel akan membengkak, air di sitoplasma akan keluar sehingga sitoplasma sel terlihat kosong. Degenerasi hidropis juga biasa disebut dengan ballooning degeneration. Pola degenerasi ini pada umumnya disebabkan oleh kebakaran, toksin bakteri dan penyakit viral epiteliotropik (Cheville 2006). Hasil pengamatan histopatologis terlihat adanya ballooning degeneration yang ditandai dengan sel-sel yang membengkak, kosong, dan sudah tidak memiliki inti sehingga dapat disimpulkan bahwa hati tersebut mengalami degenerasi.
Tabel 3 Gambaran histopatologi hati kucing yang terpapar FIP pada kasus P/11/09. Histopatologi Intralobular Interlobular Segitiga porta (vena porta) 1. peradangan + multifokus 2. nekrosa + + 3. kongesti + 4. infiltrasi sel + radang 5. karyomegali, + karyopiknotis 6. degenerasi + hidropis
Tabel 4 Gambaran histopatologi hati kucing yang terpapar FIP pada kasus P/36/09. Histopatologi Intralobular Interlobular Segitiga porta (vena porta) 1. kongesti + 2. edema (jarak + antar sel renggang) 3. koloni bakteri + 4. karyopiknotis + 5. degenerasi + hidropis 6. nekrosa + + Tabel 5 Gambaran histopatologi hati kucing yang terpapar FIP pada kasus P/78/10. Histopatologi Intralobular Interlobular Segitiga porta (vena porta) 1. peradangan + multifokus 2. infiltrasi sel + radang 3. kongesti + 4. degenerasi + hidropis 5. nekrosa + + Gambaran selanjutnya adalah kongesti atau pembendungan pada pembuluh darah vena. Kongesti menandakan adanya peningkatan aliran darah menuju jaringan dan sedikitnya darah yang dikembalikan ke pembuluh darah dari jaringan.
Kongesti pada segala keadaan hanyalah manifestasi dari beberapa
perubahan karakteristik aliran darah dan merupakan hal yang mendasari terjadainya proses patologis. Variasi jenis kongesti dipengaruhi oleh durasi (akut atau kronis) dan tingkat keparahan (lokal atau general) (Slauson, Cooper 2002). Kongesti seperti yang terlihat pada Gambar 3 terlihat dengan banyaknya pembendungan di bagian sinusoid dan hal tersebut tidak terlihat pada organ yang normal. Pembendungan menyebabkan warna organ menjadi lebih merah daripada keadaan normalnya sehingga terlihat bintik-bintik merah pada bagian yang mengalami kongesti.
Kongesti menyebabkan aliran darah menjadi terganggu
sehingga dapat terjadi degenerasi dan menuju ke arah nekrosa karena jaringan
kekurangan oksigen.
Kongesti umum yang terjadi pada organ kucing dapat
disebabkan oleh komplikasi dari segala pemicu. Vaskulitis akibat infeksi, kompensasi jantung dan paru pada kongesti yang berlanjut, kelemahan kontraksi jantung akibat adanya tamponade jantung, serta akibat kerusakan hati yang umum terjadi pada FIP dimana semua lesi patologi anatomi ini dapat ditemukan pada pemeriksaan nekropsi (Hartmann 2003). Gambaran selanjutnya adalah nekrosa, yang menampilkan bentuk sel hepatosit yang tidak beraturan. Inti tidak terlihat serta sitoplasma yang tidak terlihat seragam. Nekrosa merupakan kematian jaringan yang terjadi pada hewan hidup. Nekrosa terlihat dengan adanya koagulasi, pucat, banyaknya sel yang mati yang tekstur maupun warnanya tidak sama dengan sel normal pada umumnya (Cheville 2006). Fokus nekrosa yang ditunjukkan oleh Gambar 5 memperlihatkan kerusakan yang terpusat dengan sel-sel yang tidak beraturan dan di sekitar fokus nekrosa tersebut sel-sel hepatosit mulai mengalami kerusakan. Sel juga berwarna eosinofilik atau berwarna sedikit merah. Fokus nekrosa tersebut tidak hanya terlihat pada satu lokasi tetapi terdapat di sebagian besar lapang pandang (multifokus nekrosa). Penyakit penderitanya.
yang
disebabkan
oleh
virus
dapat
menekan
antibodi
Perubahan yang dapat dilihat pada pengamatan histopatologi
adalah infiltrasi sel radang, yaitu berkumpulnya sel-sel radang terutama pada daerah yang dekat dengan pembuluh darah untuk menyerang atau menghancurkan agen patogen yang ada di daerah tersebut. Sel yang berpengaruh pada infeksi akibat virus adalah limfosit.
Pada pengamatan hati yang terpapar FIP juga
ditemukan beberapa limfosit namun disertai dengan makrofag dan sel plasma. Proses berkumpulnya, pematangan dan pengeluaran virus dapat memicu adanya cytophatic effects, antara lain terbentuknya badan inklusi, sitolisis, dan fusi sel (Kreier, Mortensen 1990). Namun menurut Kipar et al (2005), karakteristik sel radang pada vaskulitis yang disebabkan FCoV didominasi oleh monosit (makrofag) dengan sedikit neutrofil dan limfosit. Lesio menunjukkan monosit menempel pada sel endotel atau keluar dari pembuluh darah melalui sirkulasi atau membentuk fokus peradangan pada dinding pembuluh darah. Perbedaan jumlah limfosit atau makrofag yang mendominasi pada infiltrasi sel radang penderita FIP
tidak berpengaruh pada tingkat keparahan penyakit karena keduanya dapat menandakan adanya antigen major histocompatibility complex (MHC) II yang disebabkan oleh FCoV. Gambaran mikroskopik hati yang terpapar FIP ditemukan infiltrasi sel radang, yaitu berkumpulnya sel-sel radang terutama pada daerah yang dekat dengan pembuluh darah. Pada pengamatan hati yang terpapar FIP juga ditemukan beberapa limfosit namun disertai dengan makrofag dan sel plasma. Menurut Takano et al (2009), neutrofil survival factors yang diproduksi oleh makrofag memiliki peran dalam perkembangan lesi pyogranulomatus selama infeksi FCoV.
K K 16 µm
Gambar 3 Hati, P/11/09, kongesti (K) dengan balooning degeneration (tanda panah). Pewarnaan HE.
L
16 µm
Gambar 4
Hati, P/36/09, infeksi sekunder. Bakteri berbentuk batang (tanda panah) di dalam lumen pembuluh darah (L). Pewarnaan HE.
N
64 µm
Gambar 5
Hati, P/36/09, fokus nekrosa (N), sel-sel hepatosit tidak beraturan dan berwarna eosinofilik. Pewarnaan HE.
B L B
200 µm
Gambar 6 Hati, P/78/10, infiltrasi sel radang (B) di daerah pembuluh darah. Lumen (L). Pewarnaan HE.
M L
N 32 µm
Gambar 7
Hati, P/78/10, infiltrasi sel radang dengan dominasi makrofag (M) dan limfosit (L) serta sedikit neutrofil (N). Pewarnaan HE.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan studi histopatologi hati pada ketiga kasus FIP dapat disimpulkan bahwa hati mengalami kongesti, degenerasi dan nekrosa hepatosit, disertai infiltrasi multifokus sel-sel radang yang didominasi oleh limfosit dan makrofag.
Saran Feline Infectious Peritonitis (FIP) termasuk penyakit yang sering dialami oleh kucing dan tidak dapat dideteksi lebih dini serta berakhir dengan kematian, untuk itu diharapkan adanya penelitian lebih lanjut tentang deteksi dini baik melalui gejala klinis maupun uji serologis sehingga penyakit tersebut dapat ditangani lebih dini.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2001. FIP transmission [terhubung berkala]. http://www.animal health channel.com /fip transmission. shtml. [07 Februari 2010]. Anonim. 2010. Feline corona virus [terhubung http://www.cathealth.com/InfX.htm. [07 Januari 2010].
berkala].
Appel MJ 1987. Virus Infections of Carnivores. Amsterdam : Elsevier Science Publishers B. V. Akers RM, Denbow DM. 2008. Anatomy and Physiology of Domestic Animals. Iowa : Blackwell Publishing. Bradshaw, J. 1993. The True Nature of The Cat. London : Boxtree Limited. Carlton WW, McGavin MD. 1995. Thomson’s special Veterinary Pathology Second Edition. Missouri : Mosby-Year Book, Inc. Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology Third Edition. Iowa : Blackwell Publishing. Colville T, Bassert JM. 2008. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians. Missouri : Mosby-Elsevier. Dellmann DH, Brown EM. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. Jakarta : UIPress. Ellis R. 2003. Hematoxylin and Eosin (H&E) Staining Protocol [terhubung berkala]. www.ihcworld.com. [11 November 2010]. Fenner F et al. 1974. The Biology of Animal Viruses. New York : Academic Press, Inc. Fenner F et al. 1993. Veterinary Virology Second Edition. California : Academic Press, Inc. Garner MM et al. 2008. Clinicopathologic features of a systemic coronavirusassociated disease resembling feline infectious peritonitis in the domestic ferret (Mustela putorius). Vet Pathol 45:236–246. Gaskell RM, Bennet M. 2002. Feline and Canine Infectious Disease. London : Blackwell Science Ltd. Greep RO et al. 1954. Histology. New York : The Blakiston Company, Inc.
Hartmann K, Binder C, Hirschberger J. 2003. Comparison of different tests to diagnose feline infectious peritonitis. Journal of veterinary medicine; 17(6):781-790. Kelly WR. 1993. Pathology of Domestic Animal Volume 2. California : Academic Press. Kipar A et al. 2005. Morphologic features and development of granulomatous vasculitis in feline infectious peritonitis. Vet Pathol 42:321–330. Kreier JP, Mortensen RF. 1990. Infection, Resistance, and Immunity. New York : Harper and Row Publishers, Inc. McGavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic Basis of Veterinary Disease 4th Edition. Missouri: Mosby. Pedersen NC. 2009. A review of feline infectious peritonitis virus infection: 19632008. J Feline Med Surg; April 2009: 225-258. Pedersen NC. 2009. A synopsis of feline infectiuos peritonitis virus infection [terhubung berkala]. www.vetmed.ucdavis.edu. [21 Desember 2009]. Pesteanu-Somogyi LD, Radzai C, Pressler BM. 2006. Prevalence of feline infectious peritonitis in specific cat breeds. J Feline Med Surg 8(1):1-5. Pratelli A. 2008. Comparison of serologic techniques for the detection of antibodies against feline coronaviruses. J Vet Diagn Invest 20:45–50. Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Missouri: Saunders. Sharif S et al. 2010. Diagnostic methods for feline coronavirus: a review. Vet Med Int. 2010: 09480. Slauson DO, Cooper BJ. 2002. Mechanisms of Disease a Textbook of Comparative General Pathology. Missouri: Mosby. Takano T et al. 2009. Neutrophil survival factors (TNF-alpha, GM-CSF, and GCSF) produced by macrophages in cats infected with feline infectious peritonitis virus contribute to the pathogenesis of granulomatous lesions [abstract]. Arch Virol. 154(5): 775-781. Tilley LP, Smith FWK. 2000. The Five-Minute Veterinary Consult. Misouri: Mosby. Teymori A. 2009. Feline infectious peritonitis (FIP) facts and information [terhubung berkala]. www.vet.cornell.edu/hfc. [07 Februari 2010].
Verhoef E. 2003. The Complete Encyclopedia of Cats. Lisse: Rebo Publishers.