KAJIAN HISTOPATOLOGIS PENGARUH VAKSIN Streptococcus agalactiae YANG DIRADIASI PADA ORGAN HATI DAN GINJAL MENCIT (Mus musculus)
GITA TRI WARDANI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Kajian Histopatologis Pengaruh Vaksin Streptococcus agalactiae yang Diradiasi pada Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus)” adalah karya saya sendiri dengan arahan Dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2012
Gita Tri Wardani B04080191
ABSTRACT GITA TRI WARDANI. Histopathological Study of Effect Irradiated Vaccine Streptococcus agalactiae on Liver and Kidney of Mice (Mus musculus). Under supervision of SRI ESTUNINGSIH and BOKY JEANNE TUASIKAL. This research was conducted to study the effect of irradiated vaccine Streptococcus agalactiae as attenuated vaccine (LD50) by gamma iradiation for the prevention of subclinical mastitis. The study was carried out on the liver and kidney of mice (Mus musculus). Twelve female mice were used in this study which divided into 4 groups, negative control (K); positive control (T); vaccine group (V); vaccine and challange group (VT). The treatment were done during pregnancy and challange post parturient (7 days), while vaccination gave during pregnancy with interval one week between first vaccination and boosting vaccine with 108cfu/ml/mice of S. agalactiae suspension a long four weeks. A week after parturient, mice were challange by S. agalactiae isolated from bovine subclinical mastitis case, dropped 50µl 108cfu/ml/teat on to orificium externa of mice mammary teat. One day after word followed by necropsy, samples were collected and fixed by Buffered Neutral Formalin 10% (BNF 10%) and procecced for histopathological slides. The parameters studied were counting of hepatocytes changes as degeneration, inflammation and necrosis both in central and portal vein region. These parameters also observed in kidney on glomerular and tubular part. Data were analized by ANOVA test and followed by Duncan test. The result showed that irradiated vaccine S. agalactiae did not have toxic effect on liver and kidney of mice that can be proved with have no significant different (p<0,05) compared between V group and K group include increase of degeneration, inflamatory cell, and cell death. Keywords : mice, irradiated vaccine, liver, kidney, histopathological.
RINGKASAN GITA TRI WARDANI. Kajian Histopatologis Pengaruh Vaksin Streptococcus agalactiae yang Diradiasi pada Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus). Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan BOKY JEANNE TUASIKAL. Produksi susu sapi perah di Indonesia masih sangat rendah, salah satu penyebabnya adalah kasus mastitis subklinis oleh bakteri Streptococcus agalactiae. Penanganan penyakit mastitis dengan antibiotik hanya akan meninggalkan residu pada susu serta resistensi mikroba, sehingga diperlukan metode peningkatan sistem imun dari tubuh sapi perah untuk melawan mastitis. Peningkatan sistem imun ini dapat diperoleh dengan pemberian vaksin. BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) telah mengembangkan vaksin baru dengan metode radiasi sinar gamma 17Gy menggunakan sumber 60Co pada S. agalactiae hingga mencapai Lethal Dose 50 (LD50). Keamanan vaksin ini perlu diteliti untuk mengetahui tingkat toksik vaksin tersebut terhadap tubuh hewan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek vaksin S. agalactiae yang diradiasi dengan sinar gamma untuk mencegah mastitis subklinis. Penelitian dilakukan pada hati dan ginjal mencit (Mus musculus). Dua belas mencit betina digunakan dalam penelitian ini yang dibagi dalam 4 kelompok, kontrol negatif (K); kontrol positif (T); kelompok vaksin (V); kelompok vaksin dan tantang (VT). Perlakuan diberikan selama masa kebuntingan dan ditantang setelah melahirkan (7 hari), selanjutnya vaksinasi diberikan selama kebuntingan dengan interval satu minggu antara vaksinasi pertama dan vaksin booster dengan suspensi 108cfu/ml/ekor S. agalactiae, vaksinasi dilakukan selama 4 minggu. Seminggu setelah melahirkan, mencit ditantang dengan S. agalactiae patogen yang berasal dari kasus sapi mastitis subklinis, diteteskan 50µl 108cfu/ml/puting pada orificium externa ambing mencit. Sehari kemudian mencit dinekropsi, lalu sampel diambil dan difiksasi dengan Buffered Neutral Formalin 10% (BNF 10%) serta diproses menjadi slide histopatologi. Parameter yang diamati dan dihitung adalah perubahan hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, sel radang dan nekrosis di area vena porta dan vena sentralis. Parameter yang diamati dan dihitung pada ginjal meliputi degenerasi hidropis, degenerasi lemak, degenerasi hyalin, dan nekrosa pada tubulus ginjal, sedang pada glomerulus diamati jarak kapsula-glomerulus, jumlah sel radang, dan luas glomerulus. Data dianalisis dengan uji ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa vaksin iradiasi S. agalactiae tidak memiliki efek toksik pada hati dan ginjal mencit yang dapat dibuktikan dengan tidak ada perbedaan nyata (p<0,05) antara kelompok V dan kelompok K dalam peningkatan degenerasi sel, sel radang dan kematian sel. Efek vaksin S. agalactiae yang diradiasi dan ditantang juga tidak menimbulkan perubahan patologis sel hati dan ginjal. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin S. agalactiae yang diradiasi aman digunakan. Kata kunci : mencit, vaksin iradiasi, hati, ginjal, histopatologi.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN HISTOPATOLOGIS PENGARUH VAKSIN Streptococcus agalactiae YANG DIRADISI PADA ORGAN HATI DAN GINJAL MENCIT (Mus musculus)
GITA TRI WARDANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi
: Kajian Histopatologis Pengaruh Vaksin Streptococcus agalactiae yang Diradiasi pada Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus) : Gita Tri Wardani : B04080191
Nama NIM
Disetujui,
(Dr. Drh. Sri Estuningsih, MSi, APVet)
(Dr. Drh. Boky Jeanne Tuasikal, MSi)
Pembimbing I
Pembimbing II
Diketahui :
(Drh. H. Agus Setiyono MS, Ph.D, APVet) Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi tentang “Kajian Histopatologis Pengaruh Vaksin Streptococcus agalactiae yang Diradiasi pada Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus)”. Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1 Dr. Drh. Sri Estuningsih, Msi. APVet selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi I atas segala bimbingan dan kesabaran selama penelitian dan penulisan skripsi. 2 Dr. Drh. Boky Jeanne Tuasikal, MSi selaku dosen pembimbing skripsi II atas segala bimbingan dan kesabaran selama penelitian dan penulisan skripsi. 3 Orang tua tercinta, Bapak Laseni (almarhum) dan ibu Sumriyah yang senantiasa mendoakan dan mencurahkan segenap kasih sayang pada penulis. 4 Saudara tercinta, Sofia Pratiwi SE, Nia Kurniati dan Latif Edi Wirawan yang senantiasa memberikan motivasi pada penulis. 5 Teman sepenelitian, Andrio, dan teman Patologi (Mohamad Jami Ramadhan dan Intan Junita) yang selalu memberikan semangat dan dukungan untuk mengerjakan penelitian. 6 Seluruh staf dan teknisi di Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang telah membantu penulis selama penelitian. 7 Sahabat-sahabat penulis (Fitria Apriliani, Iin Nuraeni, Euis Fajriati, Dwi Oktaviani, Niaka Mey Filina, Kusnul Chotimah, Ana Khovifah, Siti Astuti, Hastin Utami Damayantie, Kholis Afidatunnisa, Ruri Indrian, Rika Febri Annisa) dan Avenzoar 45 atas kebersamaan dan keceriaan yang selalu dihadirkan. 8 Semua pihak dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih atas kerjasama dan dukungannya. Akhir kata penulis berharap semoga penelitian dan skripsi ini dapat bermanfaat. Bogor, November 2012
Gita Tri Wardani
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 9 September 1989 di Blitar, Jawa Timur. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Laseni (Alm) dan Sumriyah. Pendidikan formal dimulai dari pendidikan dasar yang diselesaikan pada tahun 2002 di SDN Mojorejo 4 Madiun. Kemudian pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SMPN 3 Blitar. Dan pendidikan menengah umum diselesaikan pada tahun 2008 di SMAN 1 Blitar. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Kedokteran Hewan Melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2008. Selama perkuliahan penulis aktif sebagai pengurus dalam Forum Mahasiswa Indonesia Tanggap Flu Burung (FMITFB) tahun 2008-2009, Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia selama dua periode (2009-2010 dan 2010-2011), pengurus BEM FKH (2009-2010), pengurus PB IMAKAHI (2009-2010), pengurus IMAKAHI cabang FKH IPB selama dua periode (2009-2010 dan 2010-2011), dan pengurus DKM An-Nahl (2010-2011). Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Embriologi tahun ajaran 2009/2010 serta asisten mata kuliah Anatomi Veteriner I tahun ajaran 2010/2011.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... x DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xii PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 Latar belakang ................................................................................................. 1 Tujuan penelitian ............................................................................................. 3 Hipotesa penelitian ........................................................................................... 3 Manfaat penelitian ........................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 4 Streptococcus agalactiae .................................................................................. 4 Mastitis sub klinis ............................................................................................ 5 Vaksin iradiasi ................................................................................................. 7 Tinjauan tentang Hati Mencit ........................................................................... 8 Anatomi Hati Mencit .................................................................................... 8 Histologi Hati............................................................................................... 9 Fungsi Hati ................................................................................................ 10 Patologi Sel ................................................................................................ 11 Patologi Sel Hati ........................................................................................ 12 Tinjauan tentang Ginjal .................................................................................. 13 Anatomi Ginjal........................................................................................... 13 Histologi Ginjal .......................................................................................... 14 Fungsi Ginjal ............................................................................................. 15 Patologi Ginjal ........................................................................................... 15 BAHAN DAN METODE PENELITIAN ........................................................... 18 Waktu dan tempat penelitian .......................................................................... 18 Bahan dan materi penelitian ........................................................................... 18 Metode penelitian........................................................................................... 19 Pembuatan preaparat histopatologi ................................................................. 20 Pemeriksaan preparat histopatologis ............................................................... 21 Analisis data .................................................................................................. 22 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 23 viii
Gambaran Histopatologi Organ Hati Mencit .................................................. 23 Area Vena Sentralis.................................................................................... 23 Area Vena Porta ......................................................................................... 23 Gambaran Histopatologi Organ Ginjal Mencit ............................................... 32 Tubulus ginjal ............................................................................................ 32 Glomerulus ginjal ....................................................................................... 37 PENUTUP ......................................................................................................... 40 Simpulan ........................................................................................................... 40 Saran ................................................................................................................. 40 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 41 LAMPIRAN ...................................................................................................... 45
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1
Fungsi Tiap Segmen Ginjal ........................................................................ 15
2
Hasil perhitungan kelainan daerah vena sentralis hati setelah dilakukan vaksinasi dan uji tantang S. agalactiae ........................................................ 23
3
Hasil perhitungan kelainan daerah vena porta hati ....................................... 30
4
Hasil perhitungan kelainan tubulus ginjal setelah dilakukan vaksinasi dan ditantang S. agalactiae.......................................................................... 33
5
Hasil perhitungan kelainan glomerulus ginjal setelah dilakukan vaksinasi dan ditantang S. agalactiae .......................................................... 37
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
S.agalactie dengan pewarnaan Gram ........................................................ 4
2
Struktur ambing dan puting ..................................................................... 5
3
Skema Hati ............................................................................................ 10
4
Daerah Porta Hati Tikus dengan Pewarnaan HE, perbesaran 20x ............ 10
5
Glomerulus normal dikelilingi oleh tubulus ............................................ 14
6
Jadwal pemberian pretreatment .............................................................. 19
7
Jadwal booster dan vaksinasi pada kelompok hewan coba ...................... 20
8
Perbandingan gambaran histopatologi vena sentralis setelah dilakukan vaksinasi dan ditantang S. agalactiae. ..................................................... 29
9
Perbandingan gambaran histopatologi vena porta setelah dilakukan vaksinasi dan ditantang S. agalactiae. ..................................................... 32
10 Perbandingan gambaran histopatologi tubulus.. ...................................... 36 11 Perbandingan gambaran histopatologi glomerulus. ................................. 39
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman LAMPIRAN ...................................................................................................... 45 Lampiran Pengolahan data ................................................................................. 46 1 Vena sentralis .............................................................................................. 46 2 Vena Porta .................................................................................................. 48 3 Tubulus ....................................................................................................... 50 4 Glomerulus ................................................................................................. 52
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Susu merupakan sumber nutrisi protein hewani yang dapat menyediakan kebutuhan gizi tubuh. Dengan mengkonsumsi susu maka kemungkinan munculnya penyakit malnutrisi dan kekurangan kalsium dapat dihindari. Di Indonesia, konsumsi susu masih merupakan hal yang dianggap mewah dan hanya dapat dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Hal ini disebabkan minimnya produksi susu yang dihasilkan oleh peternakan sapi perah lokal di Indonesia. Produksi susu nasional hanya memenuhi permintaan domestik 25 persen dari jumlah konsumsi sekitar 700.000 ton per tahun (Kompas 2009). Rendahnya produksi tersebut disebabkan pendidikan dan pengetahuan para peternak yang masih rendah sehingga berdampak pada penurunan kualitas susu yang pada akhirnya ditolak oleh pengumpul. Penyebab lain rendahnya produksi susu adalah adanya penyakit mastitis yang mengakibatkan produksi susu turun, kualitas susu rendah, harga jual turun, susu ditolak karena tidak dapat memenuhi standar penerimaan susu, dan susu tidak layak konsumsi (Lukman et al. 2009). Radang ambing yang umum disebut dengan mastitis bukan hal baru lagi dalam dunia peternakan sapi perah di Indonesia. Mastitis merupakan masalah utama dalam tata laksana usaha peternakan sapi perah yang sangat merugikan, baik peternak sapi perah, industri pengolah susu dan konsumen (Sudarwanto 1999). Bentuk mastitis secara umum dibagi dua yaitu mastitis klinis dan mastitis subklinis. Mastitis klinis dapat dengan mudah dideteksi karena munculnya gejala klinis yang dapat diamati secara langsung, seperti perubahan susu yang dihasilkan, pembengkakan ambing disertai sakit, merah dan panas. Mastitis subklinis tidak menunjukkan gejala klinis baik pada ambing maupun pada susu yang dihasilkan (Lukman et al. 2009). Kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (9598%) dan menimbulkan banyak kerugian (Sudarwanto 1999). Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus merupakan dua bakteri utama penyebab mastitis subklinis (Wahyuni et al. 2005). Bakteri ini secara umum normal ada dalam ambing, namun dalam jumlah tertentu akan mengiritasi ambing sehingga
2
tidak menghasilkan susu yang baik, bahkan terhentinya produksi. Bakteri yang umum mencemari ambing biasanya dapat masuk ke dalam ambing melalui dua cara yaitu: diluar waktu pemerahan dan saat pemerahan. Kontaminasi dari S. agalactiae dapat diketahui secara langsung dari kondisi abnormal yang kasat mata (klinis) maupun kondisi abnormal yang tidak kasat mata (subklinis). Mastitis klinis biasa dapat ditangani dengan baik karena terlihat gejala peradangan ambing akibat bakteri. Berbeda dengan mastitis subklinis yang gejalanya menyerupai fenomena gunung es, dimana kondisi yang tampak sangat minim dibandingkan dengan kejadian kasus sesungguhnya (Lukman et al. 2009). Kasus mastitis subklinis termasuk penyakit yang sukar disembuhkan dan sulit ditangani karena selain gejalanya yang sukar terlihat, juga karena kebanyakan peternak sengaja menutup-nutupi agar susu sapi tidak ditolak oleh koperasi. Pengobatan dengan antibiotik akan beresiko meninggalkan residu pada susu. Untuk mengatasi mastitis subklinis diperlukan metode peningkatan respon imun dari dalam tubuh sapi, yaitu dengan membentuk antibodi dari sapi perah terhadap serangan mastitis. Pembentukan antibodi ini dapat dipicu dengan pemberian vaksin. Vaksin bakteri S. agalactiae dapat dibuat dengan metode dilemahkan (attenuated) ataupun dimatikan (killed). Metode pelemahan bakteri ini dapat ditempuh dengan berbagai cara, salah satunya dengan cara diradiasi. Beberapa mikroorganisme akan mati bila mendapat paparan radiasi dari sinar-sinar tertentu, termasuk jenis S. agalactiae. BATAN telah mengembangkan teknik baru pembuatan vaksin dengan menggunakan radiasi sinar gamma 17 Gray. Bakteri yang telah dilemahkan dengan LD50 (Lethal Dose 50) tersebut diujikan pada mencit untuk mengetahui efektifitas vaksin dalam menanggulangi mastitis. Apabila nantinya vaksin ini berhasil dalam membentuk antibodi sapi guna melawan mastitis, tetap diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui efek vaksin tersebut terhadap organ lain. Ginjal dan hati merupakan organ pendeteksi toksisitas dalam tubuh. Seluruh peredaran darah dalam tubuh akan melalui penyaringan di ginjal dan penetralan racun di hati (Guyton 2006). Dari kedua organ ini akan diketahui toksisitas dari suatu bahan asing yang dimasukkan dalam tubuh. Penelitian mengenai toksisitas
3
vaksin ini diperlukan untuk menyakinkan masyarakat keamanan penggunaan vaksin ini nantinya. Tujuan penelitian Menguji efek toksik vaksin S. agalactiae yang diradiasi terhadap perubahan histopatologi pada organ ginjal dan hati mencit (Mus musculus). Hipotesis penelitian H0 : Vaksin S. agalactiae yang diradiasi tidak memberikan efek toksik pada organ hati dan ginjal mencit. H1 : Vaksin S. agalactiae yang diradiasi memberikan efek toksik pada organ hati dan ginjal mencit. Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efek toksisitas vaksin S. agalactiae yang diradiasi sehingga penggunaan vaksin secara luas di masyarakat tidak dipertanyakan lagi keamanannya.
TINJAUAN PUSTAKA Streptococcus agalactiae S. agalactiae adalah bakteri Gram positif dengan ukuran koloni yang sangat kecil dan berwarna kebiruan pada medium Edward (Gambar 1). S. agalactiae merupakan penyebab terbesar dari kasus mastitis dan dapat dengan mudah berpindah pada satu sapi ke sapi lainnya saat proses pemerahan. Koloni bakteri ini biasa berada pada ambing walaupun terkadang berada pada puting dan kulit dari puting, terutama jika permukaan kulit mengalami perlukaan (Blowey dan Edmondson 2010).
Gambar 1 S. agalactiae dengan pewarnaan Gram (Anonim 2011). Klasifikasi berdasarkan Lehmann and Neumann 1896 (Uniprot 2012): Kingdom
: Bacteria
Phylum
: Firmicutes
Class
: Bacilli
Ordo
: Lactobacillales
Family
: Streptococcaceae
Genus
: Streptococcus
Spesies
: Streptococcus agalactiae
Mekanisme infeksi S. agalactiae dimulai dengan perlahan bakteri memasuki puting dari ambing karena kontaminasi cemaran lingkungan. Kontaminasi ini dapat dipicu oleh faktor kebersihan selama pemerahan, desinfeksi ambing setelah pemerahan, terapi pada sapi kering kandang, pemerahan susu yang kurang optimal, pengobatan kasus kronis dan pemerahan terhadap sapi lain (Blowey dan Edmondson 2010). Setelah masuk dalam epitel ambing, bakteri menempel pada sel inang, seperti ditunjukkan Gambar 2. Menurut Wibawan dan Laemmler
5
(1990), kemampuan bakteri untuk menempel pada sel inang diperantarai oleh komponen adhesin bakteri yang membantu perlekatan pada reseptor spesifik inang. S. agalactiae dengan hemaglutinin mempunyai kemampuan menempel pada sel epitel ambing yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak memiliki hemaglutinin. Melalui kemampuan adhesi inilah S. agalactiae terbebas dari pengaruh pembasuhan organ-organ sekresi sehingga tidak ikut keluar saat ambing diperah.
Gambar 2 Struktur ambing dan puting (Blowey dan Edmondson 2010). S. agalactiae memiliki kapsul yang tersusun dari asam sialat dan senyawa karbohidrat lainnya yang membentuk struktur oligosakarida. Kapsul ini sebagai salah satu faktor virulensi dari S. agalactiae yang berperan dalam mencegah fagositosis, menentukan ketahanan hidup dan mencegah proses pembunuhan bakteri (Wibawan dan Laemmler 1990). Mastitis Subklinis Mastitis adalah istilah bagi peradangan jaringan internal ambing dan merupakan penyakit yang paling banyak menyerang sapi perah. Mastitis merupakan penyakit yang kompleks pada sapi perah karena kausa, tingkat peradangan, lama sakit, dan akibat yang berbeda.
6
Faktor predisposisi mastitis pada puting adalah akibat pemerahan yang kasar, lantai kasar, lap yang kotor dan sikat yang keras. Penyebab lainnya adalah sanitasi yang buruk meliputi kandang, ternak, alat yang kotor serta pemerahan yang tidak bersih. Faktor terakhir adalah gizi buruk dengan kuantitas dan kualitas pakan yang rendah (Lukman et al. 2009). Ada dua tipe dasar mastitis yaitu contagious dan environtmental, dan yang paling banyak dilaporkan adalah contagious mastitis. Hal ini dapat dilihat dengan perhitungan sel somatik pada susu (Blowey dan Edmondson 2010). Sedangkan secara umum berdasarkan keadaan ambing dan susu, mastitis dibagi dalam dua kategori yaitu mastitis klinik dan mastitis subklinik.
Mastitis klinis ditandai
dengan gejala klinis perubahan susu yang dihasilkan, pembengkakan pada ambing, ambing merah, sakit dan panas (reaksi peradangan). Ditemukan pula adanya bakteri patogen dalam susu dan komposisi susu berubah. Menurut International Dairy Federation, mastitis subklinis adalah peradangan ambing yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel somatik (>400.000/ml) dan ditemukan bakteri patogen dalam susu pada masa laktasi normal (Lukman et al. 2009). Pada kasus mastitis subklinis tidak ditemukan adanya kelainan pada kondisi susu secara makroskopik namun jumlah produksi susu mengalami penurunan dibandingkan sapi normal. Kejadian mastitis subklinis menyerupai fenomena gunung es dimana puncak es yang terlihat (2-3%) adalah mastitis klinis sedang bagian gunung di bawah permukaan laut (97-98%) adalah mastitis subklinis. Hampir semua gejala klinis dari mastitis klinis adalah perkembangan dari mastitis subklinis (Lukman et al. 2009). Cara terbaik untuk mendiagnosa mastitis sub-klinis adalah dengan menghitung jumlah sel somatis (JSS) dan memeriksa kuman patogen. Peningkatan JSS mengindikasikan adanya gangguan terhadap sistem imun tubuh. Menghitung JSS dapat dilakukan dengan dua cara yakni secara langsung dan tidak langsung. Teknik secara langsung akan didapatkan nilai JSS/ml yang sebenarnya dengan contoh metodenya adalah metode Breed, Fossomatik, Coulter counter, Textular Analysis System (TAS) dan Laser. Sedangkan teknik secara tidak langsung hanya akan didapatkan perkiraan jumlah sel melalui reaksi kimia. Contoh metode tidak
7
langsung adalah CMT (Californian Mastitis Test), WST (Whiteside Test), AMP (Aulendorfer Mastitis Probe), WMT (Wisconsin Mastitis Test), Brabanter Mastitis Test, dan IPB-1 Test (Lukman et al. 2009). Vaksin yang Diradiasi Vaksin
adalah
suatu
suspensi
mikroorganisme
atau
substansi
mikroorganisme yang digunakan untuk menginduksi sistem imunitas. Pencegahan penyakit
infeksi dengan cara imunopropilaksis atau imunisasi/vaksinasi
merupakan suatu cara untuk meningkatkan imunitas seseorang terhadap invasi mikroorganisme patogen atau toksin. Imunisasi dapat terjadi secara alamiah dan buatan dimana masing-masing dapat diperoleh secara aktif maupun secara pasif. Imunisasi aktif terdiri dari aktif buatan seperti vaksinasi dan aktif alamiah yaitu infeksi virus dan bakteri. Adapun imunisasi pasif dibedakan atas dua cara, yaitu pasif buatan dengan pemberian antitoksin atau antibodi, dan pasif alamiah yaitu antibodi didapat melalui plasenta dan kolostrum. Berdasarkan cara pembuatan dan pengembangannya, vaksin dapat digolongkan menjadi beberapa macam yaitu: vaksin yang dilemahkan, dimatikan, toksoid, rekombinan, konjugasi, dan vaksin DNA (deoxyribonucleic acid) (Maksum 2010). Vaksin dengan mikroorganisme dilemahkan mengandung organisme hidup yang sudah tidak bersifat virulen. Vaksin hidup ini menyerupai mikroorganisme aslinya pada saat menimbulkan infeksi. Kekurangan dari vaksin yang dilemahkan adalah kemungkinan untuk bermutasi kembali menjadi virulen, sehingga vaksin ini tidak dianjurkan pada penderita immunokompromis. Mikroorganisme yang telah dilemahkan berasal dari mutan virus atau bakteri yang telah dilemahkan dengan berbagai cara, salah satunya dengan diberi sinar (iradiasi). Radiasi sinar gamma dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu imunogen yang potensial untuk vaksin dan memicu pembentukan antibodi yang optimal dalam menahan serangan infeksi parasit selanjutnya (Mendis 1991; Hook 2003). Pancaran radiasi sinar gamma dapat menimbulkan efek pada agen penyakit berupa virus, bakteri, protozoa dan cacing. Dalam pembuatan bahan vaksin, jenis radiasi yang biasanya digunakan adalah sinar gamma yang memiliki daya tembus tinggi dan panjang gelombang pendek (Hall 1994). Dosis iradiasi yang optimum akan menghancurkan DNA, sehingga membuat mikroorganisme tidak mampu
8
melakukan replikasi dan tidak menimbulkan infeksi. Hilangnya kemampuan infektif dari parasit memungkinkan untuk memperoleh bahan yang layak untuk pembuatan vaksin. Dengan demikian parasit dapat dinonaktifkan dengan mempertahankan sifat-sifat parasit seperti hemoaglutinasi, antigenisitas dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan percobaan, keberhasilan memperoleh bahan tidak aktif ini bergantung pada faktor eksternal seperti dosis radiasi, kecepatan sinar radiasi yang mengenai target (laju dosis), jenis radiasi, suhu dan sifat inang dimana parasit berada selama proses, dan juga karakteristik parasit itu sendiri seperti komposisi DNA inti atau pada sifat struktur molekulnya (Syaifudin et al. 2008). Tinjauan tentang Hati Mencit Anatomi Hati Secara anatomi, hati memiliki empat lobus yaitu kanan, kiri, caudate, dan quadrate, dimana lobus kanan memiliki ukuran setengah hingga dua per tiga dari keseluruhan volume hati. Terdapat pula empat segmen fungsional yang diklasifikasikan berdasarkan aliran darah dan aliran empedu. Hati diperantarai oleh beberapa ligamen yang berbeda. Ligamentum hepatoduodenal menghubungkan antara hati dengan area superior dari duodenum dan mendukung pembuluh darah serta duktus. Fisura transversa memisahkan lobus kanan dengan lobus kaudatus. Ligamen lainnya adalah ligamentum falciforme, ligamentum coronarium, ligamentum triangulare sinistrum
dan
ligamentum teres (Kanel dan Korula 1992). Salah satu fungsi hati adalah sebagai kelenjar sekretori penghasil empedu. Empedu memiliki fungsi penting dalam mencerna lemak. Saat tidak ada makanan di dalam duodenum, maka sphincter of oddi antara duktus empedu dan duodenum tertutup, dan empedu tidak dapat masuk saluran pencernaan melainkan disimpan dalam kantung empedu. Epitel dari kantung empedu menyerap sodium, chloride dan bicarbonate dari empedu sementara air diabsorbsi secara pasif. Pada spesies yang tidak memiliki kantung empedu seperti tikus, mencit dan kuda, sphincter of oddi tidak berfungsi dan empedu hanya disekresikan ke usus saat dan selama proses pencernaan (Cunningham 2002).
9
Histologi Hati Sel utama dari hati adalah hepatosit yang merupakan jaringan hidropis dan membentuk unit stuktural yang disebut hepatic lobules (lobulus hati). Hati juga dilindungi oleh jaringan serosa atau peritoneum yang terdiri atas jaringan ikat tipis yang selanjutnya membagi hati menjadi lobus dan lobulus. Selanjutnya, berdasarkan struktur anatomi lobulus hati juga disebut dengan classic liver lobule /lobulus klasik (Samuelson 2007). Lobulus hati memiliki struktur silindris dengan panjang antara 0,8 - 2 mm. Lobulus tersebut terdiri atas banyak rangkaian sel-sel hati/hepatosit yang secara radial mengelilingi vena sentralis seperti jari-jari pada roda (Gambar 3). Lobulus hati mengelilingi vena sentralis yang kosong. Vena porta menerima darah yang mengandung zat makanan hasil absorbsi dari usus menuju ke hati. Selanjutnya darah disalurkan melalui venous sinusoid yang berada di antara hepatic plate. Dari sini, darah akan masuk ke dalam vena sentralis dan selanjutnya mengalir ke vena hepatika lalu masuk vena cava. Empedu juga disekresi ke dalam canaliculi diantara hepatosit yang selanjutnya mengalir menuju saluran empedu (bile duct) di daerah perifer dimana terletak vena porta dan arteri hepatika. Saluran empedu, vena porta dan arteri hepatika membentuk struktur yang bernama portal triad (Gambar 4). Sel hati akan terpapar oleh aliran darah dari vena porta dan dari sisi lain oleh empedu. Diantara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Sinusoid vena terdiri atas dua tipe sel yaitu sel endotel dan sel Kupffer. Sel endotel merupakan sel pipih memanjang yang berfungsi menyaring molekul pada darah seperti glikoprotein dan secara langsung berkontak dengan hepatosit. Sel kuppfer merupakan sistem reticuloendothelial yang memiliki kemampuan untuk memfagosit mikrobakteria dan material asing dalam darah. Sel ini mempunyai inti yang besar dan pucat serta sitoplasma yang lebih banyak dengan cabang yang meluas atau melintang di dalam sinusoid hati (Kanel dan Korula 1992). Garis endothel memiliki pori yang sangat besar mencapai diameter 1 mikron. Hal ini menyebabkan adanya pertukaran substansi yang bebas dari plasma dengan cairan di sekeliling sel hati (Guyton 2006).
10
Gambar 3 Skema Hati (Cummings 2004).
Vena porta
Arteri hepatika
Duktus empedu
Gambar 4 Daerah Porta Hati Tikus dengan Pewarnaan HE, perbesaran 20x (Anonim 2012). Fungsi Hati Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh yang memiliki beberapa fungsi dasar yaitu: pembentukan empedu, penyimpanan dan pelepasan karbohidrat, pembentukan urea, pembuatan protein plasma, berhubungan dengan metabolisme lemak, inaktivasi sejumlah hormon polipeptida, pengurangan dan konjugasi
hormon
korteks
adrenal
dan
steroid
gonads,
sintesis
hidroksikolekalsiferol, detoksikasi banyak obat dan toksin (Ganong 1995).
25-
11
Hati sebagaimana fungsinya sebagai organ detoksikasi, maka berperan penting dalam menyaring zat toksik maupun benda asing yang masuk melalui darah (Guyton 2006). Patologi Sel Secara garis besar, proses patologi adalah peradangan dan penyembuhan. Proses peradangan merupakan respon terhadap perlukaan jaringan yang berguna untuk menghancurkan agen patologis. Karakteristik peradangan sel dapat berupa akumulasi eksudat purulen (neutrophils) dan granulomatous (monosit dan makrofag). Proses penyembuhan pada jaringan dapat berupa angiogenesis, fibrosis, dan regenerasi. Apabila proses ini tidak dapat berlangsung, maka terjadi nekrosa yaitu kematian jaringan (Cheville 2006). Kelainan morfologi secara fisiologis maupun patofisiologis dapat ditemukan sebagai perubahan pada sel. Perubahan tersebut terdiri dari dua tipe, yaitu : 1. Kerusakan sel yang masih dapat pulih kembali (Reversible cellular injury), yaitu kemampuan dimana sel dapat beradaptasi dan kembali pada fungsi normalnya (McGavin dan Zachary 2007). 2. Kerusakan sel yang tidak dapat pulih kembali (Irreversible cellular injury).
Tipe
ini
disebabkan
oleh
kerusakan
membran plasma,
pembengkakan lisosom, kehilangan DNA, kalsium masuk ke dalam sel, mitokondria bengkak dan bervakuol, serta amorphous densitas dalam mitokondria (Kemp et al. 2008; McGavin dan Zachary 2007). Pada keadaan ini, kerusakan tidak dapat dipulihkan. Dua faktor penting yang berperan pada kerusakan yang ireversibel adalah gangguan membran dan disfungsi mitokondria. Terdapat dua jenis kematian sel yang merupakan bentuk kerusakan sel ireversibel. Kedua jenis tersebut adalah apoptosis dan nekrosis. Apoptosis adalah kematian terprogram dari sel sebagai respon terhadap kerusakan DNA atau saat pertumbuhan dan perkembangan. Nekrosis adalah kematian yang tidak terkontrol akibat respon dari kerusakan sel (Kemp et al. 2008). Dua tipe utama dari nekrosis adalah nekrosa koagulatif yaitu tipe nekrosa dimana kerusakan protein lebih banyak daripada kerusakan enzim. Gambaran mikroskopis yang khas dari tipe ini adalah meningkatnya warna merah
12
(eosinophilia) pada sitoplasma dan menurunnya warna biru (basophilia) pada nukleus. Tipe ini dapat ditemukan pada organ yang memiliki kandungan lemak yang tinggi seperti otak dan biasa diikuti dengan nekrosa liquefaktif. Tipe kedua adalah nekrosa liquefaktif yaitu pada kondisi dimana kerusakan enzim lebih tinggi daripada kerusakan protein. Sel akan kehilangan bentuknya, kemudian makrofag akan memakan jaringan yang mati. Tipe ini biasa terjadi pada organ yang tinggi lemak dan rendah protein seperti otak atau organ dengan kadar enzim tinggi seperti pankreas. Nekrosa lemak merupakan perubahan dari jaringan adiposa karena trauma ataupun kekurangan enzim dari organ seperti pankreas. Kedua sebab ini dapat mengakibatkan rusaknya lemak dan pengeluaran asam lemak yang dapat dikombinasikan dengan kalsium (chalky deposit) (Kemp et al. 2008) Patologi Sel Hati Sebagai organ detoksikasi, hati memiliki peranan penting dalam menjaga kestabilan metabolisme tubuh. Paparan vaksin dapat berpengaruh pada hati karena vaksin akan masuk aliran darah dan mengalami proses metabolisme di hati. Toksik atau tidaknya vaksin, dapat diamati dari penampakan hati, baik secara anatomi maupun histopatologi. Perubahan patologi pada sel hati secara histopatologi dapat berupa: 1. Sel radang Saat mulai adanya peradangan, maka pembuluh kapiler menjadi abnormal dan endotel melemah. Sel endotel akan mengaktifkan prostaglandin sebagai vasodilatator, cytokine sebagai media pemanggil leukosit, dan faktor prokoagulasi. Jaringan perivaskular akan memicu keluarnya mediator peradangan seperti histamin, heparin, serotonin dan leukotrin. Selanjutnya aliran darah akan meningkat pada area yang mengalami peradangan. Dari kondisi inilah sel radang (leukosit) dan cairan masuk ke dalam jaringan karena endotel yang longgar (Cheville 2006). Sel radang yang hadir dapat menjadi indikator peradangan pada suatu jaringan. 2. Akumulasi sel
13
a. Macrovesicular steatosis: satu vakuol lemak besar di dalam sel hati. Hal ini biasa dikaitkan dengan penggunaan alkohol berlebih, obesitas dan diabetes melitus. b. Microvesicular steatosis: banyak vakuol kecil di dalam sel hati. Hal ini ada hubungannya dengan acute fatty liver karena kehamilan, Reye syndrome (pada anak dengan penyakit viral yang diobati aspirin), alkohol, dan obat-obatan seperti tetracycline (Kemp et al. 2008). 3. Degenerasi hidropis merupakan bentukan akut dari kebengkakan sel karena masuknya air ke dalam sitoplasma. Enzim protease mengaktifkan proses proteolisis yang membuat sitoplasma menjadi jernih (Cheville 2006). Dalam jumlah besar, bentukan ini merupakan salah satu indikator terpaparnya sel hati oleh zat toksik. 4. Kelainan pada perenkim dapat berupa atropi dan hyperplasia serta kelainan reversibel lainnya. a. Atropi hepatik baik lokal maupun tersebar merupakan akibat dari berkurangnya aliran vena porta atau tekanan pada sinusoid. Dengan adanya atropi, maka area lainnya akan meluas (regenerative hyperplasia) dan meningkatkan volume hati. b. Reversible hepatocellular biasa berkaitan dengan degenerasi hidropis, glycogen storage dan steatosis atau lipidosis dari sel hati (Dijk et al. 2007). 5. Kematian sel (nekrosa dan apoptosis) (Kemp et al. 2008). Tinjauan tentang Ginjal Anatomi Ginjal Ginjal memiliki banyak bentuk dan ukuran pada hewan. Karnivora dan ruminansia kecil memiliki bentuk menyerupai kacang dan permukaan yang halus. Setiap ginjal membentuk hilum, yaitu area dimana ureter meninggalkan ginjal dan sebagian besar darah dan pembuluh limpa serta nervus dapat keluar masuk. Ginjal memiliki kapsula tipis serta jaringan ikat yang terdiri dari kolagen, serat elastik, dan sel otot polos. Letak ginjal yang berada di superior dari retroperitoneum membuat strukturnya dibatasi oleh smooth serosal mesothelium. Ginjal juga
14
diselubungi jaringan adiposa (lemak perirenal) yang menutup batas ventral dan berada di regio hilum (Samuelson 2007). Histologi Ginjal Ginjal terdiri dari bagian korteks yang berwarna coklat kemerahan gelap dan area medulla yang lebih terang. Pada semua hewan domestik korteks terletak di sebelah luar medulla (Samuelson 2007). Setiap ginjal terdiri dari satu hingga dua juta nephron yang merupakan unit fungsional dari ginjal. Setiap nephron mencakup glomerulus, tubulus proksimal, tubulus distal, connecting segment dan duktus kolektifus (Gambar 5) (Lennan dan Cheng 2011). Cara kerja ginjal dalam membentuk urin adalah sebagai berikut : darah masuk dalam glomerulus dari nefron melalui afferent arteriole dan selanjutnya meninggalkan glomerulus melewati efferent arteriole. Glomerulus adalah jaringan dari 50 kapiler paralel yang dibungkus oleh capsula Bowman’s yang berfungsi sebagai filter cairan. Setelah darah melewati efferent arteriole dari glomerulus, kebanyakan dari darah tersebut mengalir melalui peritubular capillary network di sekitar tubulus nefron dan akhirnya kembali ke vena. Cairan yang terfiltrasi melalui glomerulus kemudian melewati proximal tubule, masuk segmen tipis yang disebut lengkung Henle, kemudian masuk distal tubuli dan terakhir dikumpulkan dalam tubulus kolektifus. Air yang melalui tubulus sebagian besar diserap kembali oleh peritubular capiller, adapun air dan materi yang tidak diserap kembali akan diekskresikan sebagai urin (Guyton 2006).
Tubulus
Glomerulus
Gambar 5 Glomerulus normal dikelilingi oleh tubulus (Lennan and Cheng 2011).
15
Fungsi Ginjal Ginjal pada hewan dan manusia memiliki dua fungsi utama, yang pertama untuk mengekskresi hasil akhir dari proses metabolisme tubuh, dan yang kedua mengontrol konsentrasi dari seluruh cairan tubuh. Setiap ginjal terdiri dari 1.000.000 nefron, dengan tiap nefron memiliki kemampuan untuk membentuk urin (Guyton 2006). Sebagai organ yang menjaga kestabilan cairan dan asam basa tubuh, maka ginjal berperan pula sebagai organ yang mendeteksi toksisitas dalam tubuh selain hati. Zat-zat asing yang masuk dalam peredaran darah, seluruhnya akan difiltrasi oleh ginjal dalam gomerulus dan direabsorbsi melalui tubulus ginjal. Hal ini membuat ginjal mudah mengalami gangguan apabila ada zat toksik yang masuk ke dalam tubuh. Ginjal menjadi salah satu parameter penting untuk mengetahui berbahaya atau tidaknya suatu zat/ vaksin yang diujikan pada hewan coba. Tabel 1 Fungsi Tiap Segmen Ginjal (Cunningham 2002) Struktur Fungsi Glomerulus Filtrasi darah Tubulus proksimal Bagian penting dalam mengabsorbsi cairan yang telah terfiltrasi Bagian tipis dari lengkung Henle’s Menjaga keseimbangan hipertonisistas dengan cara pertukaran cuntercurrent Bagian tebal dari lengkung Henle’s Reabsorbsi Na+, K+, Cl-, divalent ascendens kation, mengurangi cairan tubulus Tubulus distal Reabsorbsi NaCl dan kation divalent, mengurangi cairan tubulus Duktus kolektifus Kontrol akhir pengeluaran elektrolit, urea, acid-base, dan air Patologi Ginjal Respon terhadap peradangan pada ginjal biasanya dimulai dengan infiltrasi makrofag, proliferasi fibroblas, deposisi ECM (extra cellular matrix) dan terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu fase induksi, dimana sel epitel tubulus mengeluarkan Chemokine sehingga menyebabkan infiltrasi sel mononuklear (leukosit) dan mengeluarkan
pro-fibrogenetic cytokines untuk mengaktifkan
proliferasi fibroblasts. Tahap kedua adalah Matrix synthesis yang terus-menerus mengeluarkan dan mendeposisi pro-fibrogenetic cytokines. Tahap ketiga adalah Post-inflammatory phase yaitu penghentian stimulus inflamatori, memulai
16
proliferasi myofibroblasts dan terjadi transformasi Epithelial-mesenchymal (Ahsan dan Cheung 2003). Hadirnya agen asing akan menimbulkan perubahan yang dapat mengarah pada kematian sel. Perubahan sub letal ini dinamakan degenerasi yang merupakan akibat dari gangguan metabolisme. Lesio degeneratif pada ginjal meliputi lesio pada tenunan tubuli (tubulonephrosis) dan glomerulus (glomerulopathy). Kedua gangguan ini dapat disebabkan oleh kondisi septicemia, intoksikasi (nephrotoxic tubular necrosis), anoxemia (ischemic necrosis) dan peningkatan deposisi abnormal seperti concrements, protein, pigmen, atau lemak (Dijk et al. 2007). Beberapa parameter dapat diamati untuk mengetahui ada atau tidaknya kerusakan pada ginjal melalui dua aspek bagian ginjal tersebut. 1. Glomerulus a. Sel radang Hadirnya sel mononuklear (leukosit) dalam proses inflamasi (Ahsan dan Cheung 2003). Sel radang dalam jumlah melebihi normal di dalam glomerulus menunjukkan telah terjadi peradangan yang akut. Bila ditemukan dalam jumlah besar, dapat diindikasikan bahwa darah yang disaring ginjal mengandung agen berbahaya yang dapat mengganggu metabolisme ginjal. b. Jarak kapsula Bowman-glomerulus Glomerulus dibungkus oleh lapisan sel epitel yang disebut kapsula Bowman’s. Area diantara glomerulus kapsula Bowman’s disebut sebagai Bowman’s space dan merupakan tempat pengumpulan filtrat glomerulus yang selanjutnya akan disalurkan pada segmen pertama dari tubulus proksimal (Cunningham 2002). Cairan yang terfiltrasi oleh glomerulus dan kemudian masuk dalam Capsular space/ Bowmans space disebut glomerular filtrate dan terdiri dari air, garam, ion, glukosa dan albumin (McGavin dan Zachary 2007). Jarak kapsula Bowman-glomerulus
mengindikasikan
adanya
asosiasi
antara
penurunan kemampuan filtrasi glomerulus dengan perluasan lumen glomerulus, dimana lumen tubulus juga terisi oleh protein. Hal ini biasanya berkaitan dengan kasus imun kompleks glomerulonefritis
17
(Dijk et al. 2007). Semakin sempit jarak antara kapsula Bowmanglomerulus, maka kemampuan filtrasi akan menurun karena darah hasil fitrasi tidak dapat keluar melalui Bowman’s space, sehingga terjadi
gangguan
dalam
penyerapan
cairan
ginjal.
Semakin
menyempitnya jarak kapsula Bowman-glomerulus ini bisa disebabkan dua hal, membesarnya glomerulus, atau menyempitnya kapsula Bowman dan
bisa
pula
kombinasi
keduanya.
Vaksin
yang
mengandung agen berbahaya dapat menyebabkan peradangan pada glomerulus sehingga dapat mengganggu proses filtrasi tersebut. 2. Tubulus Perubahan pada tubulus dapat berupa degenerasi yaitu perubahan morfologi dan fungsi sel. Beberapa degenerasi spesifik intaseluler yang dapat terjadi di dalam sel adalah degenerasi hidropis, degenerasi lemak, degenerasi glikogen, dan badan inklusi. Perubahan yang dapat terjadi bervariasi, namun biasanya basofilik fragmen dapat disebabkan karena bakteri, protozoa dan deposit kalsium. Menurut McGavin dan Zachary 2007, histomorfologi dari nukleus dapat dibagi menjadi : a. Pyknosis yaitu keadaan dimana nukleus mengecil, gelap, homogen, dan bulat. Pyknosis bisa merupakan akibat dari gumpalan kromatin pada awal degenerasi. Kondisi ini biasa terjadi pada tubulus distal ginjal. b. Karryorhexis yaitu keadaan dimana pembungkus nukleus ruptur dan fragmen nukleus keluar ke sitoplasma. c. Karyolisis dimana nukleus menjadi pucat akibat terputusnya kromatin pada DNA dan RNA. Kondisi ini biasa terjadi pada sel epitel dari tubulus proksimal ginjal. d. Absence of nucleus yaitu tahap lanjutan dari karyolisis dimana nuleus benar-benar menghilang.
MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan hewan percobaan dilaksanakan mulai tanggal 27 November 2010 sampai 31 Januari 2011. Bahan dan materi penelitian Hewan coba Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 ekor mencit betina dalam periode bunting hingga melahirkan dengan berat badan rata-rata 3037 gram. Hewan coba dalam keadaan sehat fisik dan tidak pernah digunakan untuk penelitian lain. Bahan penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas; vaksin S. agalactiae yang diradiasi berasal dari BATAN, Albendazole 5% (obat cacing dosis 10mg/kgBB), Clavamox® (antibiotik dosis 250mg/kgBB), Flagyl® (anti protozoa dosis 50mg/kgBB), pelet, air minum, bahan kaos sebagai alas kandang, xylazin dosis 8 mg/kgBB, Ketamin dosis 20 mg/kgBB untuk anestesi, Buffer Neutral Formalin 10% (BNF 10%) untuk fiksasi organ mencit serta bahan-bahan lain yang digunakan untuk membuat preparat histopatologi ginjal dan hati mencit yaitu etanol 70%, 80%, 90%, etanol absolut, xylol, zat warna HE (Hematoxylin Eosin), parafin. Alat penelitian Alat yang digunakan yaitu 12 box plastik berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 40 cm, lebar 29 cm, tinggi 12 cm dengan tutup yang terbuat dari anyaman kawat untuk tempat pemeliharaan mencit selama penelitian, botol, sonde lambung, timbangan, spoit, alat bedah (gunting, skalpel, pinset, pin, alas bedah), pot plastik, alat-alat untuk membuat preparat histopatologi (alat dehidrasi yaitu automatic tissue processor, mikrotom, hot plate, inkubator, basket, gelas objek,
19
kaca penutup), digital eye piece camera, seperangkat komputer, software imageJ yang dapat di download pada Http://rsweb.nih.gov/ij/. Metode penelitian Persiapan hewan coba Setelah diperiksa kesehatannya secara fisik, mencit dimasukkan ke dalam kandang. Sebelum dikawinkan, seluruh mencit diberi albendazole 5% (obat cacing dosis 10mg/kgBB), antibiotik (Clavamox®) dosis 250mg/kgBB, dan antiprotozoa (Flagyl®) dosis 50mg/kgBB dengan waktu pemberian sebagai berikut : 2 hari
albendazole
5 hari
clavamox
2 hari
2 hari
albendazole
5 hari
flagyl
2 hari
kawin
Gambar 6 Jadwal pemberian pretreatment. Perlakuan hewan coba Setelah dilakukan pretreatment dan dikawinkan, mencit dibagi menjadi empat kelompok perlakuan, masing-masing kelompok terdiri dari 3 mencit betina. Keempat kelompok perlakuan tersebut adalah : Kontrol negatif (K) : mencit diberi pakan dan minuman ad libitum sampai partus. Kontrol positif (T) : mencit tidak divaksin, dan setelah partus langsung ditantang dengan bakteri S. agalactiae patogen dosis 108 cfu/ml/ekor sebanyak 500µl secara topikal (tetes) pada 5 pasang puting di abdomen. Vaksin (V)
: mencit divaksin dan dibooster dengan vaksin S. agalactiae LD50 dosis 108 cfu/ml/ekor secara intra peritoneal sebanyak 0,2 ml.
Vaksin tantang (VT): mencit divaksin dan dibooster dengan vaksin S. agalactiae LD50 dosis 108 cfu/ml/ekor secara intra peritoneal sebanyak 0,2 ml. Setelah partus ditantang dengan S. agalactiae patogen dosis 108 cfu/ml/ekor sebanyak 500µl secara topikal (tetes) pada 5 pasang puting di abdomen.
20
3 hari
4 hari
kawin vaksin
1 mggu
booster I
1 mggu
booster II
1 mggu
booster III
1 mggu
partus
1 hari
tantang
nekropsi
Gambar 7 Jadwal booster dan vaksinasi pada kelompok hewan coba. Setelah dipelihara hingga partus, kemudian ditantang bagi kelompok T dan VT, satu minggu kemudian mencit betina partus dianestesi untuk dinekropsi. Mencit dianestesi dengan xylazin dosis 8 mg/kgBB dan Ketamin dosis 20 mg/kgBB. Setelah teranesthesi, mencit diletakkan pada sebuah alas bedah dalam keadaan terlentang. Selanjutnya dilakukan pembedahan pada bagian abdomennya untuk melakukan pengambilan organ hati dan ginjal. Patologi anatomi mencit diamati. Organ dalam mencit kemudian dimasukkan dalam pot plastik berisi BNF 10% dan siap untuk dilakukan proses pembuatan preparat histopatologi. Pembuatan preparat histopatologi Organ hati dan ginjal yang telah difiksasi kurang lebih dua hari kemudian dipotong tipis. Potongan hati dan ginjal dengan ketebalan kurang lebih 3mm dimasukkan ke dalam tissue cassette dan di dehidrasi dengan merendam sediaan secara berturut-turut pada alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, lalu dijernihkan dalam xilol I, xilol II, dan diinfiltrasi pada parafin parafin I, dan parafin II. Masing-masing proses perendaman dilakukan selama 2 jam dalam mesin automatic tissue processor, Sakura (Japan). Jaringan dimasukkan ke dalam pencetak berisi parafin cair dengan bentuk blok dan disusun di tengah parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambah kembali hingga alat pencetak penuh dan dibiarkan hingga parafin mengeras. Selanjutnya, parafin yang berisi jaringan, dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 5 mikron. Hasil pemotongan yang berbentuk pita diletakkan diatas permukaan air hangat bersuhu 450celcius dengan tujuan menghilangkan lipatan-lipatan. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas obyek yang telah diolesi larutan albumin yang berguna untuk merekatkan sediaan. Setelah itu, preparat dikeringkan dalam inkubator bersuhu 600celcius semalam. Sediaan yang telah kering dimasukkan ke dalam xilol dua kali selama 2 menit. Kemudian sediaan direhidrasi yang dimulai dari alkohol absolut sampai
21
alkohol 80% dengan waktu masing-masing 2 menit. Selanjutnya sediaan dicuci pada air mengalir dan dikeringkan. Sediaan yang telah siap, diwarnai dengan pewarnaan Mayer’s Hematoksilin selama 8 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air lagi, dan akhirnya diwarnai dengan pewarna Eosin selama 2 menit. Untuk menghilangkan warna Eosin yang berlebihan, sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Kemudian sediaan dicelup ke dalam alkohol 90% sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut I 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xilol I selama 1 menit, dan xylol II selama 2 menit. Sediaan dikeringkan dahulu, lalu ditetesi dengan perekat Permount dan kemudian ditutup dengan cover glass dan dibiarkan selama beberapa menit hingga melekat sempurna. Setelah itu, preparat siap untuk diamati dan diambil gambar menggunakan kamera mikroskop. Identifikasi dan pengambilan gambar preparat dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pemeriksaan preparat histopatologis Pengamatan secara mikroskopik preparat histopatologis hati dan ginjal mencit betina menggunakan kamera mikroskop dengan perbesaran 40x10. Perubahan histopatologis yang diamati adalah adanya berbagai tipe degenerasi sel dan jumlah sel radang. Perhitungan dilakukan menggunakan program software imageJ. Pengamatan pada hati dilakukan dengan menghitung jumlah sel radang, jumlah sel degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa pada vena porta dan vena sentralis. Pengamatan dilakukan pada lima lapang pandang vena centalis dan lima lapang pandang vena porta dengan luas lapang pandang 15,106,6 um2. Sedangkan pengamatan pada ginjal dilakukan dengan memperhatikan aspek glomerulus dan tubulus ginjal. Pada glomerulus ginjal diamati jarak kapsulaglomerulus, jumlah sel radang dan jumlah glomerulus pada lima lapang pandang. Sementara pada tubulus ginjal diamati jumlah tubulus degenerasi, jumlah tubulus normal dan jumlah total tubulus pada lima lapang pandang mikroskop. Selanjutnya perhitungan berulang pada mencit yang berbeda.
22
Analisis data Data histopatologis yang didapatkan akan dianalisis secara deskriptif dengan menghitung persentase sel yang mengalami degenerasi dan kematian sel yang kemudian dilanjutkan dengan uji ANOVA.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Histopatologi Organ Hati Mencit Area Vena Sentralis Vaksin S. Agalactiae yang diradiasi harus aman bagi tubuh, dan tidak merusak organ. Keamanan vaksin ini dapat diamati dari preparat histopatologi organ hati karena hati merupakan organ pendeteksi toksisitas dalam tubuh. Seluruh peredaran darah dalam tubuh akan melalui penetralan racun di hati (Guyton 2006). Hasil pengamatan histopatologi menunjukkan adanya perubahan hepatosit di daerah vena sentralis. Perubahan yang ditemukan meliputi adanya sel radang, hepatosit mengalami degenerasi lemak dan hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis, sedangkan nekrosa tidak ditemukan. Hasil analisis statistik persentase kelainan hepatosit dan perubahan yang terjadi pada area vena sentralis disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil perhitungan kelainan daerah vena sentralis hati setelah dilakukan vaksinasi dan uji tantang S. agalactiae Jumlah hepatosit (persentase %) Kelompok Normal Sel radang Degenerasi Degenerasi Nekrosa hidropis lemak b a a K 78,9±6,3 15,9±4,5 4,8±2,7 0,3±0,2a 0,0a T 73,1±7,8b 23,8±8,2ab 3,0±0,9a 0,0a 0,0a b ab a a V 73,7±6,1 23,3±7,4 2,5±1,4 0,3±0,3 0,0a VT 60,6±3,2a 33,2±1,3b 5,4±1,7a 0,7±1,2a 0,0a Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). K= kontrol negatif; T= kontrol positif; V= vaksin; VT = vaksin tantang.
Berdasarkan analisis dari Tabel 2 diketahui bahwa jumlah hepatosit normal pada kelompok K, T, dan V menunjukkan nilai yang tinggi dan tidak berbeda nyata. Sementara kelompok VT menunjukkan nilai yang rendah. Hal ini dapat disebabkan mencit terpapar dua kali perlakuan yaitu di vaksin dan kemudian ditantang. Penggunaan vaksin tidak selalu bebas risiko. Residual virulen dan toksisitas, respon alergi, penyakit imunodefisiensi dari host, komplikasi neurologikal dan efek berbahaya pada fetus adalah beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan penggunaan vaksin (Tizard 2004). Jumlah sel normal berkurang pada kelompok VT ini karena banyak sel hati yang mengalami
24
degenerasi. Vaksin S. agalactiae telah mengalami radiasi hingga mencapai LD50 sehingga antigen masih dihasilkan oleh bakteri dalam jumlah yang rendah, meliputi antigen protein serotype c, R, X, polisakarida, protein hidrofobik dan hemaglutinin (Wibawan et al. 1995). Antigen tersebut meskipun sangat sedikit namun masih memungkinkan terjadinya degenerasi. Uji tantang yang diberikan akan menambah jumlah sel degenerasi kelompok ini karena antigen bakteri tantang masih murni. Jumlah hepatosit normal kelompok V tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kelompok lain. Vaksin diberikan tiga hari setelah mencit dikawinkan, dan di booster tiga kali pada hari ke 7, 14, dan 21. Jika antibodi masih rendah, maka perlu dilakukan vaksinasi ulang untuk mendapatkan efek booster karena titer antibodi (IgG) akan meningkat dengan adanya efek booster. Booster akan memberikan respon kronis terhadap hati. Respon ini tergantung pada toksisitas antigen yang terkandung di dalam vaksin, bila semakin tinggi tingkat toksin antigen, maka degenerasi yang terakumulasi akan semakin besar (Mori et al. 2009). Berbeda dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi, tidak menimbulkan kerusakan atau degenerasi yang parah pada hati. Hal ini dapat menunjukkan bahwa vaksin yang diberikan tidak berpengaruh terhadap jumlah hepatosit normal hati. Vaksin yang dicobakan pada mencit adalah berupa bakteri S. agalactiae 17 Gy dari kasus mastitis subklinis yang telah dilemahkan melalui radiasi dengan sinar gamma dari
60
Co(kobalt 60), dan merupakan dosis paling tepat yang dapat
melemahkan bakteri tersebut hingga mencapai LD50. Telah dilakukan berbagai penelitian bahwa protective immunity dalam melawan bakteri intracelluler tidak dapat diinduksi oleh vaksin killed bakteri. Hanya vaksin yang dibentuk dari bakteri yang dilemahkan yang dapat memberikan efek protektif. Hal inilah yang membedakan stimulasi sel T helper oleh bakteri hidup atau bakteri mati (Tizard 2004). Secara teknis iradiasi merupakan proses sederhana yang mampu mempertahankan sifat struktural mikroorganisme patogen tanpa menghancurkan antigen alamiah atau suatu adjuvant intrinsik. Iradiasi dapat mengubah agen penyakit patogen menjadi non patogen yang mampu menstimulasi sistem kekebalan dalam tubuh (Syaifudin et al. 2008). Vaksin bakteri dilarutkan dalam
25
pelarut NaCl fisiologis. Suatu materi hidup seperti sel, bila terkena sinar gamma akan mengalami kerusakan secara langsung atau tidak langsung. Efek langsung adalah terjadinya pemutusan ikatan senyawa-senyawa penyusun sel. Efek tidak langsung terjadi karena materi sel terbanyak adalah air yang apabila terkena sinar gamma akan mengalami hidrolisis dan menghasilkan radikal bebas. Radikal bebas yang akan menyebabkan kerusakan materi sel (Tetriana dan Sugoro 2007). Vaksin yang diuji dalam penelitian ini memakai pelarut isotonis yang tidak mengandung radikal bebas karena molekul air yang terpisah akibat radiasi bersifat reversible. Adapun bakteri penantang yang digunakan adalah isolat murni S. agalactiae patogen yang diisolasi dari kasus mastitis subklinis. Bakteri bahan vaksin yang diberikan juga akan menimbulkan respon buluh darah begitu diinjeksikan di intraperitoneal dan kemudian beredar secara sistemik. Zat yang diberikan secara injeksi intraperitoneal pada hewan percobaan akan masuk ke dalam vena sentralis melalui sel darah merah yang beredar secara sistemik (Pratheeshkumar dan Kuttan 2010). Injeksi intraperitoneal bahan yang mengandung produk bakteri seperti interleukin (IL)-1b, radikal bebas, nitrogen species, dan kalsium seluler akan mengaktifkan cytokines. Adanya sitokin atau bacterial Lipopolysaccaride (LPS) akan mengaktifkan Nitric oxide yang berperan dalam vasodilatasi, neurotransmisi koagulasi darah dan regulasi sistem imun yang akan memperparah respon inflamasi (Choi et al. 2009). Vasodilatasi ini menyebabkan zat yang diinjeksi secara intraperitoneal akan beredar sistemik melalui pembuluh darah. Aktifitas inflamasi oleh mediator peradangan dimulai dengan dilatasi pembuluh darah (arteriol, kapiler sampai vena) di sekitar penyebab radang atau jaringan yang rusak. Saat dilatasi, darah yang mengalir di daerah radang menjadi banyak dan memicu kontraksi dan retraksi sel endotel dinding kapiler yang menimbulkan celah antar endotel (Spector dan Spector 1988). Dari celah inilah banyak sel radang yang dapat masuk dalam jaringan sekitar radang. Parameter selanjutnya yang diamati adalah hadirnya sel radang pada daerah vena. Sel radang secara normal dapat ditemukan di area vena hati karena terbawa dalam sistem sirkulasi. Namun dalam jumlah tertentu, banyaknya sel radang akan memberikan efek negatif terhadap fungsi hati. Ditemukannya sel
26
radang selalu terkait dengan peradangan dimana sel endotel akan mengaktifkan prostaglandin sebagai vasodilatator, cytokine sebagai media pemanggil leukosit, dan faktor prokoagulasi (Cheville 2006). Interferon gamma (IFNγ) adalah mediator peradangan yang penting pada kerusakan hati sebagai bagian dari jaringan kompleks cytokine (McCullough 2006). Jenis sel radang yang ditemukan adalah limfosit dan makrofag. Pada vaksinasi, respon awal yang terjadi adalah munculnya antigen spesifik limfosit (Nonnecke et al. 2012). Dari hasil perhitungan, didapatkan bahwa antara keempat kelompok memiliki perbedaan angka jumlah sel radang yang cukup bevariasi secara statistik. Pada area vena sentralis (tabel 2) terdapat perbedaan nyata antara jumlah sel radang kelompok K dengan kelompok VT (p<0,05). Kelompok VT (Gambar 8) menunjukkan nilai peradangan yang paling tinggi diperkirakan karena pada kelompok ini sudah ada induksi vaksinasi sistemik yang menyebabkan hadirnya sitokin yang dapat mengaktifkan sel radang. Hal ini diperkuat oleh uji tantang yang meskipun bersifat lokal di kelenjar mamae, tetapi sitokin yang dimasukkan bersama suspensi bakteri dapat terbawa secara sitemik sehingga merangsang hadirnya sel radang. Vaksinasi menyebabkan sel radang menjadi sensitif, sehingga uji tantang berpengaruh terhadap kondisi sistemik. S. agalactiae memiliki kapsul yang tersusun dari asam sialat dan senyawa karbohidrat lainnya yang membentuk struktur oligosakarida. Kapsul ini sebagai salah satu faktor virulen dari S. agalactiae yang berperan dalam mencegah fagositosis, menentukan ketahanan hidup dan mencegah proses pembunuhan bakteri (Poeloengan 2009). Uji tantang diberikan sehari sebelum nekropsi dilakukan, sehingga diduga masih masih ada respon akut dari jaringan yang memicu terjadinya degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan munculnya sel radang pada hati. Kelompok T tidak menunjukkan peningkatan jumlah sel radang pada hati, hal ini disebabkan uji tantang yang diberikan bersifat lokal dengan cara diteteskan pada orificum externa puting mencit dengan bakteri isolat murni S. agalactiae. Bakteri akan dihadang oleh pertahanan lokal ambing yang terdiri dari organ lymphoid, sistem sel T, cytotoxic spesifik limfosit T, level IgG spesifik dan respon proliferasi dari sel mononuklear darah perifer (Tizard 2004; Prelog dan Zimmerhackl 2010). Selain itu pada kelompok T, sel radang tidak mengalami
27
sensitisasi akibat vaksinasi, sehingga tidak terjadi respon cepat sel radang. Bakteri S. agalactiae memiliki hemaglutinin yang merupakan faktor dalam proses adhesi, sebagai langkah awal kolonisasi bakteri pada permukaan sel epitel ambing. Pada penyakit yang bersifat subklinik, kemampuan menempel bakteri tampaknya lebih penting dari pada kemampuan invasi bakteri ke dalam jaringan dalam mekanisme infeksi, sehingga tidak dijumpai perubahan yang berarti pada jaringan ambing maupun gejala klinis yang muncul (Wahyuni et al. 2005). Hal ini menyebabkan jumlah sel radang kelompok T rendah karena bakteri tidak memasuki sistem sirkulasi umum yang sampai ke hati. Parameter toksisitas pada hati yang ketiga adalah terjadinya degenerasi hidropis yang merupakan manifestasi akut dari kebengkakan sel karena masuknya air ke dalam sitoplasma (Cheville 2006). Kebengkakan ini disebabkan oleh kerusakan membran plasma yang menyebabkan kebocoran membran plasma. Selanjutnya K+ dan enzim keluar sel, sementara Ca+, Na+, plasma protein, dan air masuk sel (McGavin dan Zachary 2007). Kelompok VT menunjukkan jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis paling tinggi meskipun tidak berbeda nyata dengan kelompok lainnya. Hal ini dapat terjadi karena mencit kelompok VT mendapat
perlakuan dua
kali.
Kebengkakan dari
sitoplasma
sel
hati
mengindikasikan terjadinya kerusakan hati secara akut maupun sub-akut. Degenerasi pada hati dapat disebabkan oleh adanya perubahan kromosom yang dapat diinduksi oleh toksisitas suatu agen, waktu paparan, dan interaksi agen asing dengan protein serta enzim yang bertentangan dengan mekanisme pertahanan sehingga dapat menyebabkan atropi dan nekrosis sel hati (Abdelhalim dan Jarrar 2011). Kerusakan pada hati biasanya berhubungan dengan oxidative stress dan reactive oxygen species (Moreno et al. 2008). Ketidakseimbangan reactive oxygen species dalam proses detoksifikasi akan memicu munculnya stres oksidatif sehingga menimbulkan degenerasi sel. Ada beberapa mekanisme seperti efek keracunan sel secara langsung oleh hippuric atau glyoxylic acid metabolites yang dapat merangsang terjadinya kerusakan sel (Ozcan 2007), pemicu lainnya adalah radiasi, zat kimia berbahaya dan obat-obatan. Vaksin dan tantang yang diberikan pada kelompok VT berpotensi mengandung agen toksisitas yang dapat memicu ketidak seimbangan reactive oxygen species, sehingga terjadi degenerasi
28
sel hati. Degenerasi hidropis merupakan respon awal terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik dan merupakan kerusakan sel karena adanya toksin yang masuk melalui membran sel sehingga mengakibatkan menurunnya produksi ATP dan terganggunya pengaturan ion sodium-potasium (Cheville, 2006), namun perubahan ini bersifat reversible. Parameter terakhir yang diamati adalah degenerasi lemak dari hepatosit. Akumulasi lemak atau trigliserida dalam sitoplasma dari hepatosit dikenal sebagai fatty liver, fatty change, atau hepatic lipidosis. Kelainan ini adalah lesio umum yang sering ditemukan pada hati. Kehadiran lemak tidak selalu mengindikasikan terjadinya proses patologi. Dalam jumlah kecil lemak dapat ditemukan pada hewan normal (Jones et al. 2006). Hepatosit sering diamati sehubungan dengan peningkatan trigliserida pada awal injury karena banyak fungsi hati yang berhubungan dengan metabolisme lemak. Akumulasi lemak berlebih akan menyebabkan lipidosis dan steatosis yang merupakan dampak dari masuknya trigliserida intraselluler di atas normal ke dalam sel. Hepatic steatosis (lipidosis hepatik, fatty liver, degenerasi lemak) dapat ditemukan dalam banyak kondisi fisiologi seperti adaptasi atau disfungsi patologi (Dunlop dan Malbert 2004) yang bisa dipicu oleh pemberian vaksin dan tantang. Penghitungan hepatosit yang mengalami degenerasi lemak pada keempat kelompok menunjukkan hasil yang hampir seragam dan tidak berbeda nyata (p>0,05). Degenerasi ini merupakan perubahan yang reversible dan dalam persentase rendah sehingga tidak berbahaya pada hati atau dapat kembali normal (McGavin dan Zachary 2007). Berikut disajikan perbedaan gambaran histopatologis area vena sentralis hati yang disajikan dalam Gambar 8.
29
a
T
K
c
c a
20 µm
20 µm
a
VT
V
c
c b
a 20 µm
20 µm
Gambar 8 Perbandingan gambaran histopatologi vena sentralis setelah dilakukan vaksinasi dan ditantang S. agalactiae. K = kontrol ; T = tantang ; V = vaksin ; VT = vaksin tantang, a = sel degenerasi hidropis; b = sel degenerasi vakuol; c = sel radang. Pewarnaan HE.
Area Vena Porta Sistem porta memiliki struktur yang unik dalam sirkulasi darah dimana sistem pembuluh darah membawa darah dari kapiler usus menuju kapiler hati. Vena porta membawa darah dari forestomach, glandular stomach, usus, limpa, dan pankreas. Sistem vaskular spesial ini penting sehubungan dengan fungsi hati sebagai organ detoksifikasi dan microbial clearance (Dunlop dan Malbert 2004). Nutrisi seperti glukosa, asam amino, vitamin dan mineral diserap dari usus halus dan disimpan atau dimetabolisme di hati selanjutnya dialirkan ke vena sentralis (Colville 2002; Kanel dan Korula 1992). Apabila terdapat zat berbahaya dalam makanan, maka area porta akan terpapar terlebih dahulu daripada area sentralis sehingga memungkinkan degenerasi yang terjadi lebih banyak. Berbeda halnya dengan pemberian vaksin yang masuk dalam sirkulasi darah. Pengamatan histopatologis mengenai perubahan sel hati pada area vena porta perlu dilakukan
30
untuk membandingkan paparan vaksin berpengaruh pada area porta juga atau hanya pada area vena sentralis saja. Hasil pengamatan histopatologi menunjukkan adanya perubahan hepatosit di daerah vena porta. Perubahan yang ditemukan meliputi adanya sel radang, hepatosit mengalami degenerasi lemak dan hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis, sementara nekrosa tidak ditemukan. Hasil analisis statistik persentase kelainan hepatosit dan perubahan yang terjadi pada area vena porta disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil perhitungan kelainan daerah vena porta hati setelah dilakukan vaksinasi dan uji tantang S. agalactiae Jumlah hepatosit (persentase %) Kelompok Normal Sel radang Degenerasi Degenerasi Nekrosa hidropis lemak ab a a K 73,4±11,3 21,7±9,9 4,6±2,1 0,1±0,2a 0,0a b a a a T 76,4±9,8 20,1±10,8 3,0±1,3 0,4±0,8 0,0a V 72,6±6,1ab 24,4±6,7a 6,8±2,0a 0,0a 0,0a a a a a VT 58,5±5,1 37,1±7,4 3,3±3,0 0,9±1,6 0,0a Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). K= kontrol negatif; T= kontrol positif; V= vaksin; VT= vaksin tantang.
Jumlah sel hepatosit normal hati pada area vena porta (Tabel 3) menunjukkan perbedaan antara keempat kelompok mencit. Kelompok VT menunjukkan jumlah sel normal yang rendah karena perlakuan yang diberikan memicu terjadinya degenerasi, sehingga jumlah sel normal berkurang. Jumlah sel radang pada area vena porta keempat kelompok mencit tidak menunjukkan perbedaan yang nyata akan hadirnya sel radang sehingga berdasarkan Cheville (2006), vaksin tersebut tidak menimbulkan peradangan. Namun tetap ada kecenderungan kelompok VT yang lebih banyak jumlah sel radangnya akibat terkena dua kali paparan zat asing yaitu divaksin dan ditantang. Vaksin diberikan melalui rute intraperitoneal pada mencit, proses ini mirip dengan injeksi subkutan. Mencit dengan injeksi subkutan di dorsal midline antara skapula akan menjadi bakterimia yang beredar di seluruh pembuluh darah post inokulasi (Colton et al. 2011). Banyaknya sel radang yang hadir di area vena porta pada kelompok VT karena adanya peradangan akibat dua kali perlakuan akan mengaktifkan mediator peradangan sitokin sebagai media pemanggil leukosit sehingga hadir sel radang di area vena hati.
31
Parameter selanjutnya yang dihitung adalah jumlah sel hati yang mengalami degenerasi hidropis. Keempat kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun cenderung tinggi pada kelompok V. Hal ini karena metabolit vaksin yang telah dilemahkan masih sedikit bersirkulasi sistemik dan menyebabkan lesio hati yang masih bersifat reversible. Perubahan sel hati mengalami degenerasi lemak pada area vena porta tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar keempat kelompok mencit. Degenerasi yang ditemukan juga dalam jumlah rendah serta bersifat reversible. Secara keseluruhan, lesio pada area vena porta lebih rendah dari area vena sentralis. Hal ini disebabkan vaksin yang diberikan berjalan melalui peredaran darah melalui arteri hepatika. Sesaat sebelum masuk vena sentralis, darah dari arteri hepatika akan bercampur dengan darah dari pencernaan yang melalui vena porta, kedua darah ini bertemu di area vena sentralis. Struktur histologi vena dan arteri berbeda. Arteri memiliki tunika media yang tebal dan membran elastis internal serta tunika adventisia yang terdiri dari kolagen dan serat elastis, sedangkan vena memiliki lebih sedikit otot polos dan serat elastis pada tunika media serta tunika adventisia yang lebih tebal (Bacha dan Bacha 2000). Hal ini menyebabkan darah dari arteri hepatika hanya menimbulkan lesio di area vena sentralis meskipun pembuluh darah ini berjalan bersama dengan vena porta. Berikut disajikan perbedaan gambaran histopatologis area vena porta hati antara keempat kelompok yang disajikan dalam Gambar 9.
32
K
T
c
c
b a
20 µm
a
V
c
a 20 µm
VT b c
20 µm
20 µm
a
Gambar 9 Perbandingan gambaran histopatologi vena porta setelah dilakukan vaksinasi dan ditantang S. Agalactiae. K = kontrol ; T = tantang ; V = vaksin ; VT = vaksin tantang, a = sel degenerasi hidropis; b = sel degenerasi vakuol; c = sel radang. Pewarnaan HE. Secara keseluruhan, sel normal, sel radang, sel degenerasi vakuol dan sel degenerasi hidropis yang terjadi pada sel hepatosit tidak spesifik berubah akibat vaksin maupun tantang (perlakuan). Hal ini dapat membuktikan bahwa vaksin iradiasi yang diberikan pada hewan coba mencit, tidak menyebabkan kelainan hati. Gambaran Histopatologi Organ Ginjal Mencit Tubulus ginjal Untuk melihat toksisistas pengaruh pemberian vaksin S. agalactiae yang diradiasi selain pada hati juga melalui pengamatan pada ginjal. Seluruh peredaran darah dalam tubuh akan melalui penyaringan di ginjal (Guyton 2006). Parameter yang dapat dilihat dari patologi ginjal adalah tubulus dan glomerulus ginjal. Semakin berbahaya suatu zat asing, maka lesio ginjal akan meningkat. Namun lesio ginjal merupakan lanjutan dari hati karena darah akan dinetralisasi dahulu di hati baru difiltrasi di ginjal. Apabila ginjal rusak akibat toksin yang bersirkulasi
33
melalui darah, maka hati akan mengalami kerusakan yang lebih parah. Hati menjadi organ yang sangat potensial menderita keracunan lebih dahulu sebelum organ lain (Santoso dan Nurliani 2006). Hasil pengamatan menunjukkan perubahan pada sel epitel tubulus ginjal setelah diberikan perlakuan. Terdapat perubahan sel epitel tubulus berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak, degenerasi hyalin dan nekrosa. Hasil analisis statistik persentase sel tubulus ginjal yang mengalami perubahan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil perhitungan kelainan tubulus ginjal setelah dilakukan vaksinasi dan ditantang S. agalactiae Jumlah tubulus (persentase %) Kelompok Normal Degenerasi Degenerasi Degenerasi Nekrosa hidropis lemak hyalin a ab a K 92,8±2,9 2,3±2,1 0,4±0,7 0,9±1,6 a 3,3±0,0a a b a a T 92,6±3,0 5,0±1,5 0,0 0,0 2,3±1,7a V 93,7±2,0a 0,9±0,6a 0,0a 1,4±2,1 a 3,8±1,1a a b a a VT 89,0±5,0 4,5±1,8 0,7±1.0 0,9±1 4,6±3,0a Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). K= kontrol negatif; T= kontrol positif; V= vaksin; VT= vaksin tantang.
Sistem tubuler ginjal meliputi tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang semuanya nanti akan berakhir di duktus kolektivus (McGavin dan Zachary 2007). Pengamatan preparat histopatologis yang dilakukan adalah menghitung area tubulus ginjal terutama bagian tubulus proksimal dan tubulus distal yang normal, mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, degenerasi hyalin dan nekrosa. Pada mamalia, darah dari arteri renalis dikirim ke afferent arteriole lalu masuk percabangan kapiler glomerulus. Kapiler ini selanjutnya bersatu menuju efferent arteriole yang membawa darah keluar dari glomerulus untuk kembali ke sirkulasi melalui vena renalis. Darah yang terfiltrasi di glomerulus kemudian masuk tubulus proksimal cabang tipis dari lengkung Henle’s thick ascending limb aparatus juxtaglomerulus tubulus kontortus distal connecting
segment duktus kolektivus
(Cunningham 2002). Vaksin yang diberikan secara injeksi intraperitoneal akan masuk ke ginjal melalui siklus tersebut. Dari hasil perhitungan, diketahui bahwa jumlah sel tubulus normal pada keempat kelompok menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p<0,05), namun cenderung lebih rendah pada kelompok VT. Nilai
34
tubulus normal kelompok VT yang rendah disebabkan mencit terpapar dua kali perlakuan yaitu di vaksin dan ditantang. Jumlah tubulus normal yang tinggi pada kelompok V menunjukkan bahwa vaksin yang diberikan tidak memberikan efek toksik sehingga tidak menyebabkan lesio pada sel tubulus normal ginjal. Hal ini disebabkan vaksin yang berasal dari mikroba dilemahkan (attenuated) telah berkurang faktor virulennya sehingga tidak lagi menyebabkan penyakit (Tizard 2004). Jumlah sel degenerasi hidropis pada tubulus ginjal menunjukkan peningkatan pada kelompok T dan VT, serta berbeda nyata (p<0,05) dengan kelompok V. Keadaan ini menjelaskan bahwa vaksin (kelompok V) yang digunakan tidak berpotensi menyebabkan lesio degenerasi hidropis pada sel tubuli ginjal seperti yang terjadi pada kelompok K. Adapun tingginya nilai degenerasi hidropis pada VT dan T dapat disebabkan karena mencit terdepres imunitasnya akibat tantang yang diberikan. Bakteri penantang yang telah dimetabolisme di hati akan mengalami filtrasi di ginjal sehingga mempengaruhi terjadinya degenerasi pada tubulus ginjal kedua kelompok ini. Degenerasi hidropis merupakan perubahan umum yang sering terjadi akibat adanya luka. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan ukuran dan volume sel oleh air karena kegagalan sel dalam mempertahankan homeostasis dan meregulasi pengeluaran cairan. Mekanisme pembengkakan sel pada kondisi akut biasanya akan menyebabkan kerusakan membran sel, kegagalan memproduksi energi, atau kerusakan enzim yang meregulasi ion channels dari membran. Kebengkakan sel merupakan respon terhadap gangguan homeostasis sel sebagai efek sekunder akibat respon mekanik, hypoxic, toxic, radikal bebas, viral, bacterial, dan kerusakan imun (McGavin dan Zachary 2007). Degenerasi hidropis tubuler tadi jika terus berlanjut akan diikuti vasokonstriksi arteriol glomerulus, lalu menyebabkan iskemik, diikuti dengan nekrosis tubulus (Prakoso 2008). Kondisi degenerasi hidropis ini merupakan perubahan yang reversible apalagi dalam persentase yang cukup kecil, sehingga tidak terlalu berbahaya bagi ginjal. Beberapa bakteri yang digunakan dalam vaksin memiliki kemampuan untuk melindungi diri dari enzim lysososom maupun makrofag. Mekanisme yang dapat terjadi pada sel antara lain bakteri dapat masuk dalam sitoplasma , bakteri
35
dapat mencegah terjadinya fusi antara lysosom dan phagosome, serta bakteri resisten terhadap enzim lysosomal. Beberapa hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan intraseluler (Tizard 2004). Kerusakan yang mungkin terjadi adalah degenerasi vakuol sel tubulus ginjal. Akumulasi lemak atau trigliserida dalam sitoplasma dari sel dikenal degenerasi lemak (Jones et al. 2006). Degenerasi vakuol pada tubulus tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada keempat kelompok mencit, namun terlihat peningkatan yang lebih tinggi pada kelompok VT. Hal ini wajar terjadi karena mencit mengalami dua kali perlakuan. Seperti halnya degenerasi hidropis, degenerasi vakuol dalam jumlah yang relatif rendah merupakan perubahan sel yang reversible sehingga tidak memberikan efek negatif terhadap ginjal. Degenerasi hyalin pada tubulus biasanya menunjukkan adanya material protein dalam sel yang diserap dari filtrat glomerulus yang melewati tubulus. Hal ini dapat mengindikasikan terjadinya kelainan ekskresi protein yang diserap oleh tubulus. Secara mikroskopik, sel epitel tubulus akan tampak seperti granul eosinophilik yang terang. Di dalam lumen, materi albumin ini akan nampak seperti presipitat terang yang berwarna merah muda (Smith et al.1975). Penyakit pada glomerulus akan merusak filtration barrier dan menurunkan kemampuan permeabilitas
selektif terhadap
protein.
Glomerulus
menjadi
meningkat
permeabilitasnya terhadap protein plasma yang lebih besar. Protein ini akan melewati filtration barrier dan tidak secara penuh diserap oleh tubulus sehingga diekskresikan dalam urin (proteinuria). Tubular proteinuria biasanya berhubungan dengan penyakit ginjal akut (keracunan dan hipoksia) namun dapat juga bersifat kongenital (Stockham dan Scott 2008). Keempat kelompok mencit menunjukkan nilai degenerasi hyalin yang tidak berbeda nyata, dengan standard deviasi yang tinggi. Hal ini disebakan tingginya variasi individu. Faktor penyebab antara lain adalah defisiensi oksigen, agen fisik, agen infeksius, ketidakseimbangan nutrisi, kelainan genetik, beban kerja yang berlebihan, disfungsi imunologi, bahan kimia, obat-obatan dan toksin (McGavin dan Zachary 2007). Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi kondisi mencit selama penelitian karena mencit yang digunakan bukanlah mencit SPF (Spesific Pathogen Free), sehingga mencit mungkin telah terpapar infeksi sebelum diadaptasi.
36
Sel nekrosa yang dihitung adalah berdasarkan terjadinya piknosis pada inti sel tubulus ginjal. Piknosis yaitu keadaan dimana nukleus mengecil, gelap, homogen, dan bulat. Piknosis merupakan lanjutan dari penggumpalan kromatin pada awal degenerasi dan biasanya terjadi pada nekrosa tubulus distal ginjal (McGavin dan Zachary 2007). Kelompok VT memperlihatkan angka sel piknosis yang lebih tinggi. Hal ini wajar terjadi, karena secara fisiologis sel memang memang mengalami pergantian atau kematian. Saat sel normal yang mengalami signal stres, radiasi, kerusakan DNA, dan deplesi oksigen, sel dapat beristirahat atau mengalami program cell death (apoptosis) atau keduanya. Protein PS3 yang merupakan tumor supressor sering muncul bila ada variasi eksogen/endogen signal kerusakan DNA akibat radiasi sinar γ, radiasi sinar Ultra Violet, bahan kimia dan stress oksidasi (Cunningham 2002). Secara keseluruhan nekrosa yang terjadi tidak berbeda nyata pada keempat kelompok mencit. Gambaran tubulus ginjal disajikan dalam Gambar 10.
K
b
T
d
a
a 20 µm
20 µm
V
b a
VT a T b c
20 µm
20 µm
Gambar 10 Perbandingan gambaran histopatologi tubulus.K = kontrol ; T = tantang ; V = vaksin ; VT = vaksin tantang, a = sel degenerasi hidropis; b = sel piknosis; c = sel degenerasi vakuol; d = sel degenerasi hyalin. Pewarnaan HE.
37
Glomerulus ginjal Hasil percobaan menunjukkan adanya perubahan pada daerah glomerulus ginjal berupa hadirnya sel radang dan perubahan ukuran kapsula dan glomerulus. Hasil analisis statistik persentase lesio disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil perhitungan kelainan glomerulus ginjal setelah dilakukan vaksinasi dan ditantang S. agalactiae Kelompok Jarak kapsulaJumlah sel radang Luas glomerulus glomerulus K 2,7±0,2a 3,2±1,2b 518,9±98,3a T 2,5±0,4a 3,5±0,6b 580,8±274,8a a ab V 2,6±0,5 2,3±0,6 468,8±70,1a VT 2,6±0,4a 1,7±0,2a 875,8±223,3a Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). K= kontrol negatif; T= kontrol positif; V= vaksin; VT= vaksin tantang.
Area diantara glomerulus dan kapsula Bowman’s disebut sebagai Bowman’s space dan merupakan tempat pengumpulan filtrat glomerulus yang selanjutnya akan disalurkan pada segmen pertama dari tubulus proksimal ginjal (Cunningham 2002). Semakin meluasnya Bowman’s space, maka semakin banyak filtrat yang masuk dalam tubulus proksimal. Namun hal ini dapat pula mengindikasikan terjadinya atropi glomerulus yang dapat membahayakan tubuh. Hasil perhitungan menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan secara statistik pada Bowman’s space kelompok K, T, V, dan VT. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin tidak bersifat toksik terhadap ginjal. Struktur kapiler glomerulus berfungsi dalam filtrasi glomerulus. Dinding dari Glomerular filtration barrier ini terdiri dari capillary endotelial cell, glomerular basement membran, dan glomerular epitelial sel (podosit) (Bacha dan Bacha 2000; Cunningham 2002). Banyaknya pembuluh darah yang mengisi glomerulus memungkinkan banyak ditemukan sel radang dalam glomerulus baik yang bersifat normal sebagai pertahanan lokal, maupun karena disfungsi patologi. Jumlah sel radang yang dapat dihitung pada area glomerulus ginjal menunjukkan perbedaan yang nyata antara VT dengan K. Kelompok VT memperlihatkan jumlah sel radang yang lebih sedikit daripada ketiga kelompok lainnya, sedang K tidak berbeda nyata dengan kelompok V dan T. Paparan faktor eksternal sangat mungkin menyebabkan variasi ini. Apabila dalam penelitian digunakan mencit SPF maka kemungkinan bias akan semakin kecil. Perubahan yang terjadi secara
38
morfologi pada glomerulus ginjal adalah nekrosis, proliferasi dari sel glomerulus dan kapsula Bowman’s, infiltrasi leukosit dan penurunan fungsi vaskular perfusion atau peningkatan vaskular permeability (McGavin dan Zachary 2007) yang secara histopatologi dapat dilihat dari peningkatan luasan Bowman’s space. Kelompok VT menunjukkan nilai luas glomerulus yang paling tinggi. Hal ini dapat disebabkan dilatasi pembuluh darah yang aktif akibat peningkatan aktifitas tubuh. Namun tidak ada perbedaan yang nyata antara keempat kelompok. Glomerular capillary tuft atau glomerular rete adalah jaringan dari cabang dan anastomose kapiler (Eurell dan Frappier 2006). Jaringan ini disuport oleh mesangial matrix yang disekresikan oleh sel mesangial. Sel mesangial mengekskresikan prostaglandin, cytokin, inflamasi mediator, sintesis colagen dan mesangial matrix serta memiliki fungsi fagositik (McGavin dan Zachary 2007). Semakin banyak agen yang beredar dalam darah, maka kinerja ginjal akan semakin berat. Endotelial sel akan mengalami hipertropi sehingga glomerulus ginjal tampak meluas. Hal inilah yang menyebabkan kelompok VT memiliki area glomerulus yang paling luas karena mencit kelompok ini terpapar dua agen yaitu vaksin S. agalactiae yang diradiasi dan tantang S. agalactiae patogen. Kerusakan primer glomerulus biasa muncul sebagai akibat dari deposisi imun kompleks, terjadinya thromboemboli dan bakteri emboli, virus, atau infeksi bakteri pada komponen glomerulus(McGavin dan Zachary 2007). Berikut disajikan perbedaan gambaran histopatologis area glomerulus ginjal. Gambaran area glomerulus disajikan dalam Gambar 11.
39
T
K
a
a b 20 µm
20 µm
V
VT a
a 20 µm
20 µm
Gambar 11 Perbandingan gambaran histopatologi glomerulus. K = kontrol ; T = tantang ; V = vaksin ; VT = vaksin tantang, a = sel radang, b = jarak kapsula-glomerulus. Pewarnaan HE. Secara keseluruhan, vaksin yang diberikan tidak berdampak buruk pada organ ginjal yang dapat diamati secara histopatologis dari area tubulus dan glomerulus ginjal. Kelompok V tidak menunjukkan perbadaan yang nyata dalam jumlah sel degenerasi, sel nekrosa nekrosa, sel radang dan perluasan glomerulus ginjal dengan kelompok K. Hal ini membuktikan bahwa vaksin iradiasi S. agalactiae yang digunakan dalam penelitian tidak bersifat toksik pada ginjal mencit.
PENUTUP Simpulan Vaksin S. agalactiae yang diradiasi tidak menyebabkan perubahan patologi permanen organ hati dan ginjal, sehingga aman digunakan. Efek vaksin S. agalactiae yang diradiasi menyebabkan perubahan patologis sel hati dan ginjal berupa degenerasi hidropis dan degenerasi lemak yang reversible. Saran Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang toksisitas vaksin iradiasi S. agalactiae menggunakan mencit SPF (Spesific Pathogen Free).
41
DAFTAR PUSTAKA Abdelhalim MAK, Jarrar BM. 2011. Gold nanoparticles induced cloudy swelling to hydropic degeneration, cytoplasmic hyaline vacuolation, polymorphism, binucleation, karyopyknosis, karyolysis, karyorrhexis and necrosis in the liver. Lipids in Health and Disease 10:166. Ahsan N, Cheung JY. 2003. Pathogenesis and molecular mechanisms of chronic allograft nephropathy. Renal Fibrosis 139:187–204. Anonim. 2012. Liver rat-hystology slide. [terhubung berkala]. http:www.histology world.com. (20 April 2012). Anonim. 2011. Bakteri Gram (+) Dan Bakteri Gram (-). [terhubung berkala]. http://www.dephicamunis.com. (17 Januari 2012). Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology. Ed Ke-2. USA: Lippincott William and Wilkins. hlm 115. Blowey RW and Edmondson P. 2010. Mastitis Control in Dairy Herds. Ed Ke-2. UK : CABI. hlm 6;35. Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. Ed Ke-3. USA: Blackwell Publishing. hlm 1;23. Choi SE et al. 2009. Effect of topical application and intraperitoneal injection of oregonin on atopic dermatitis in nc ⁄nga mice. Experimental Dermatology, 19, e37–e43. Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinery Technician. USA : Mosby Inc. hlm 252. Colton L, Zeidner N, Kosoy MY. 2011. Experimental infection of swiss webster mice with four rat bartonella strains: host specificity, bacteremia kinetics, dose dependent response, and histopathology. Comparative Immunology, Microbiology and Infectious Diseases 34: 465– 473. Cummings B. 2004. Liver Hystology. [terhubung berkala]. http://www.as.miami. edu. [20 April 2012]. Cunningham. 2002. Texbook of Veterinary Physiology. Ed Ke-3. USA: WB Saunders Company. hlm 31; 298; 431-432 ; 513. Dijk JE, Gruys E, Mouwen JMVM. 2007. Color Atlas for Veterinary Pathology. Second edition. Philadelphia: WB Saunders Company. hlm 44; 59-61.
42
Dunlop RH; Malbert CH. 2004. Veterinary Pathophysiology. Ed Ke-1. USA: Blackwell Publishing. hlm 371. Eurell JA, Frappier BL. 2006. Textbook of Veterinary Histology. Ed Ke-2. USA: Balcwell publishing. hlm 200. Fox SI. 2004. Human Physiology. Ed Ke-8. New york: McGraw-hill. hlm 575. Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisisologi Kedokteran. Ed ke-2 . Petrus Andrianto, penerjemah . Jakarta: EGC. hlm 50. Guyton AC. 2006. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-8. Philadelphia and London: WB Saunders Company. hlmn 769;903. Hall EJ. 1994. Radiobiology for Radiobiologist. Philadelphia: Lippincott Williams and Walkin. hlm 73. Hook, R.H., Green, T.J. and Stuart, M.K. 2003. Rheumatoid factor-like igm in Plasmodium berghei (Apicomplexa haemosporida) infections of Balb /C mice. Folia parasitologica 50: 176-182. Jones TC, Hunt RD, King NW. 2006. Veterinary Pathology. Ed Ke-6. USA: Blackwell Publishing. hlm 1092. Kanel GC, Korula. 1992. Atlas of Liver Pathology. Philadelphia: WB Saunders. hlm 3-5. Kemp WL, Burns DK, Grown TG. 2008. The Big Picture Pathology. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. hlm 16-17;274. Kompas. 2009. HKTI: Harusnya Bea Masuk Impor Susu 50 Persen. [terhubung berkala]. http://www.Kompas.com (16 Juni 2009). Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejono RR. 2009. Higiene Pangan. Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas kedokteran Hewan IPB. hlm 37-47. Lennan GT, Cheng. 2011. Atlas of Genitourinary Pathology. London: Springer. hlm 30. Maksum R. 2010. Imunologi dan Virologi. Jakarta: PT ISFI Penerbitan. hlm 5758.
43
McCullough CT,Tura BJ,Harrison DJ. 2006. Growth factor attenuation of IFNγmediated hepatocyte apoptosis requires p21waf1. International
Journal
Experimental Pathology 87: 275–281. McGavin MD, Zachary JF. 2007. Pathology Basis of Veterinary Disease. Fourth edition. Missouri: Mosby Elsevier. hlm 10-20; 10-20; 614; 359. Mendis KN. 1991. Malaria Vaccines Research. In Malaria: waiting for the vaccine, Ed. Targett GAT. England: John Wiley& Sons. hlm 13. Moreno MG, Rivera AR, Gordillo KR et al. 2008. Trolox down-regulates transforming growth factor-β and prevents experimental cirrhosis. Basic and Clinical Pharmacology and Toxicology 103: 476–481. Mori K, Kawamura K, Honda M, Sasaki N. 2009. Responses in children to measles vaccination associated with perirenal transplantation. Pediatrics International 51: 617–620. Nonnecke BJ, Waters WR,Goff JP, Foote MR. 2012. Adaptive immunity in the colostrum-deprived calf: response to early vaccination with mycobacterium bovis strain bacille calmette guerin and ovalbumin. Journal of Dairy Science 95 :221–239. Ozcan K, Ozen H, Karaman M. 2007. Nitrosative tissue damage and apoptotic cell death in kidneys and livers of naturally ethylene glycol (antifreeze)poisoned geese. Avian Pathology 36(4): 325-329. Poeloengan M. 2009. Aktivitas Air Perasan Dan Ekstrak Etanol Daun Encok Terhadap Bakteri Yang Diisolasi Dari Sapi Mastitis Subklinis. Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner. hlm 300. Prakoso RB. 2008. Pengaruh pemberian ekstrak kunyit (Curcuma domestica ) terhadap gambaran mikroskopis ginjal mencit balb/c
yang diberi
parasetamol [skripsi]. Semarang : Universitas Diponegoro. Pratheeshkumar P, Kuttan G. 2010. Protective role of vernonia cinerea l. Against gamma radiation_induced immunosupression and oxidative stress in mice. Human and Experimental Toxicology 30(8): 1022–1038. Prelog M, Zimmerhackl LB. 2010. Varicella vaccination in pediatric kidney and liver transplantation. Pediatric Transplantation 14: 41–47.
44
Riantama RI. 2008. Kajian patologi uji khasiat buah merah (pandanus conoideus) sebagai hepatoprotektor. [Skripsi] Bogor : IPB. Samuelson Don A. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Missouri: Saunders Elsevier. hlm 230. Santoso HB, Nurliani A. 2006. Efek doksisiklin selama masa organogenesis pada struktur histologi organ hati dan ginjal fetus mencit. Bioscientiae 3(1): 1527. Smith HA, Jones TC, Hunt RD. 1975. Veterinary Pathology. Ed ke-4. Philadelphia: Lea & Febringer. hlm 44. Sudarwanto, M. 1999. Usaha Peningkatan Produksi Susu Melalui Program Pengendalian Mastitis Subklinis.
Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu
Kesehatan Masyarakat Veteriner; Bogor 22 Mei 1999. Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology. Ed ke-2. USA: Blackwell Publishing. hlm: 458. Syaifudin M, Nurhayati S, Tetriana D. 2008.
Pengembangan vaksin malaria
dengan radiasi pengion. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008; Universitas Lampung, 17-18 November 2008. hlm 98-112. Tetriana D, Sugoro I. 2007. Aplikasi teknik nuklir dalam bidang vaksin. Buletin Alara: Volume 9 Nomor 1&2, 1 – 4. Tizard IR. 2004. Veterinary Imunology an Introduction. Ed Ke-7. USA: Elsevier. hlm 265; 236-242; 274. Uniprot
2012.
Species Streptococcus
agalactiae.
[terhubung
berkala].
http://www.uniprot.org/taxonomy/1311. (23 Mei 2012) Wahyuni AETH, Wibawan TIW, Wibowo MH. 2005. Karakterisasi hemaglutinin streptococcus agalactiae dan staphylococcus aureus penyebab mastitis subklinis pada sapi perah. Journal Sains Veteriner 23 : 2. Wibawan IT, Laemmler CH. 1990. Properties of Group B Streptococci with protein surface Antigen X and R. Journal Clinical Microbiology 28:28342836.
45
LAMPIRAN
46
Lampiran Pengolahan data 1 Vena sentralis Descriptives 95% Confidence Interval for Mean N selnormal
Std. Deviation Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minim Maxi um mum
Control
3
78.9000
6.31744
3.64737
63.2066
94.5934 73.90 86.00
Tantang
3
73.1333
7.30776
4.21914
54.9799
91.2868 68.00 81.50
Vaksin
3
73.7667
6.18897
3.57320
58.3924
89.1409 68.80 80.70
vaksin tantang
3
60.6333
3.28075
1.89414
52.4835
68.7832 58.40 64.40
12
71.6083
8.66849
2.50238
66.1006
77.1160 58.40 86.00
Control
3
15.7000
4.07308
2.35160
5.5819
25.8181 11.90 20.00
Tantang
3
23.8333
8.28573
4.78377
3.2504
44.4162 14.30 29.30
Vaksin
3
23.3333
7.44468
4.29819
4.8397
41.8270 14.80 28.50
vaksin tantang
3
33.2333
1.35031
.77960
29.8790
36.5877 31.90 34.60
12
24.0250
8.25074
2.38178
18.7827
29.2673 11.90 34.60
3
4.8667
2.75015
1.58780
-1.9651
11.6984
2.10
7.60
3
3.0000
.98489
.56862
.5534
5.4466
2.20
4.10
Vaksin
3
2.5667
1.43643
.82932
-1.0016
6.1350
1.50
4.20
vaksin tantang
3
5.4667
1.70392
.98376
1.2339
9.6994
3.70
7.10
12
3.9750
2.01951
.58298
2.6919
5.2581
1.50
7.60
3
.3000
.26458
.15275
-.3572
.9572
.00
.50
Total selradang
Mean
Total Degenerasihi Control dropis Tantang
Total Degenerasile Control mak tantang
3
.0000
.00000
.00000
.0000
.0000
.00
.00
vaksin
3
.3333
.35119
.20276
-.5391
1.2057
.00
.70
vaksin tantang
3
.7333
1.27017
.73333
-2.4219
3.8886
.00
2.20
12
.3417
.63455
.18318
-.0615
.7448
.00
2.20
Mean Square
F
Sig.
Total
ANOVA Sum of Squares selnormal
selradang
Between Groups
541.809
3
Within Groups
284.760
8
Total
826.569
11
Between Groups
463.842
3
Within Groups
284.980
8
Total
748.822
11
degenerasihidropis Between Groups
degenerasilemak
df
180.603 5.074 .029 35.595
154.614 4.340 .043 35.622
17.862
3
5.954 1.764 .232
Within Groups
27.000
8
3.375
Total
44.862
11
.816
3
.272
3.613
8
.452
Between Groups Within Groups
.602 .632
47
Descriptives 95% Confidence Interval for Mean N selnormal
Std. Deviation Std. Error
Upper Bound
Minim Maxi um mum
3
78.9000
6.31744
3.64737
63.2066
94.5934 73.90 86.00
Tantang
3
73.1333
7.30776
4.21914
54.9799
91.2868 68.00 81.50
Vaksin
3
73.7667
6.18897
3.57320
58.3924
89.1409 68.80 80.70
vaksin tantang
3
60.6333
3.28075
1.89414
52.4835
68.7832 58.40 64.40
12
71.6083
8.66849
2.50238
66.1006
77.1160 58.40 86.00
Control
3
15.7000
4.07308
2.35160
5.5819
25.8181 11.90 20.00
Tantang
3
23.8333
8.28573
4.78377
3.2504
44.4162 14.30 29.30
Vaksin
3
23.3333
7.44468
4.29819
4.8397
41.8270 14.80 28.50
vaksin tantang
3
33.2333
1.35031
.77960
29.8790
36.5877 31.90 34.60
12
24.0250
8.25074
2.38178
18.7827
29.2673 11.90 34.60
3
4.8667
2.75015
1.58780
-1.9651
11.6984
2.10
7.60
Total Degenerasihi Control dropis Tantang
3
3.0000
.98489
.56862
.5534
5.4466
2.20
4.10
Vaksin
3
2.5667
1.43643
.82932
-1.0016
6.1350
1.50
4.20
vaksin tantang
3
5.4667
1.70392
.98376
1.2339
9.6994
3.70
7.10
12
3.9750
2.01951
.58298
2.6919
5.2581
1.50
7.60
3
.3000
.26458
.15275
-.3572
.9572
.00
.50
3
.0000
.00000
.00000
.0000
.0000
.00
.00
vaksin
3
.3333
.35119
.20276
-.5391
1.2057
.00
.70
vaksin tantang
3
.7333
1.27017
.73333
-2.4219
3.8886
.00
2.20
4.429
11
Total Degenerasile Control mak tantang
Total Selnormal Duncan
Subset for alpha = 0.05 Kelompok
N
1
vaksin tantang
3
60.6333
tantang
3
73.1333
vaksin
3
73.7667
kontrol
3
78.9000
Sig.
1.000
2
.289
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Selradang Duncan Subset for alpha = 0.05 Kelompok
Lower Bound
Control
Total selradang
Mean
N
1
Control
3
15.7000
Vaksin Tantang
3 3
23.3333 23.8333
2
23.3333 23.8333
48
vaksin tantang
3
33.2333
Sig.
.148
.087
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Degenerasihidropis Duncan Subset for alpha = 0.05 Kelompok
N
1
Vaksin Tantang Control vaksin tantang Sig.
3 3 3 3
2.5667 3.0000 4.8667 5.4667 .107
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Degenerasilemak Duncan Subset for alpha = 0.05 Kelompok
N
1
Tantang Control Vaksin vaksin tantang Sig.
3 3 3 3
.0000 .3000 .3333 .7333 .244
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
2 Vena Porta Descriptives 95% Confidence Interval for Mean N selnormal
Std. Deviation Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Mini Maxi mum mum
kontrol
3
73.4333
11.37776
6.56895
45.1694 101.6972 62.90 85.50
tantang
3
76.4000
9.87877
5.70351
51.8598 100.9402 65.10 83.40
Vaksin
3
72.6667
6.12318
3.53522
57.4558
87.8775 65.60 76.40
vaksin tantang
3
58.5667
5.10327
2.94637
45.8894
71.2439 52.90 62.80
12
70.2667
10.23384
2.95426
63.7644
76.7689 52.90 85.50
kontrol
3
21.7667
9.95707
5.74872
-2.9681
46.5014 10.70 30.00
tantang
3
20.1333
10.81311
6.24295
-6.7279
46.9946 13.30 32.60
Vaksin
3
24.4667
6.76782
3.90740
7.6545
41.2789 19.20 32.10
vaksin tantang
3
37.1000
7.47262
4.31432
18.5370
55.6630 30.30 45.10
12
25.8667
10.30845
2.97579
19.3170
32.4163 10.70 45.10
3
4.6667
2.13620
1.23333
-.6399
9.9733
3.10
7.10
Total selradang
Mean
Total degenerasi kontrol hidropis tantang
3
3.0000
1.38924
.80208
-.4511
6.4511
2.10
4.60
Vaksin
3
2.8667
1.72143
.99387
-1.4096
7.1429
1.50
4.80
vaksin tantang
3
3.3333
3.02875
1.74865
-4.1905
10.8572
1.20
6.80
49
Total degenerasi kontrol lemak tantang
12
3.4667
1.98555
.57318
2.2051
4.7282
1.20
7.10
3
.1333
.23094
.13333
-.4404
.7070
.00
.40
3
.4667
.80829
.46667
-1.5412
2.4746
.00
1.40
Vaksin
3
.0000
.00000
.00000
.0000
.0000
.00
.00
vaksin tantang
3
.9667
1.67432
.96667
-3.1926
5.1259
.00
2.90
12
.3917
.88878
.25657
-.1730
.9564
.00
2.90
Total
ANOVA Sum of Squares Selnormal
570.887
3
Within Groups
581.160
8
1152.047
11
Between Groups
533.487
3
Within Groups
635.420
8
1168.907
11
6.107
3
2.036
Within Groups
37.260
8
4.658
Total
43.367
11
Between Groups
1.669
3
.556
Within Groups
7.020
8
.878
Total
8.689
11
Total Degenerasihidropis
Between Groups
Degenerasilemak
Selnormal Duncan Subset for alpha = 0.05 Kelompok
N
1
2
vaksin tantang
3
58.5667
vaksin kontrol tantang
3 3
72.6667 73.4333
72.6667 73.4333
3
Sig.
76.4000 .075
.621
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Selradang Duncan Subset for alpha = 0.05 Kelompok Tantang Control Vaksin vaksin tantang Sig.
N
1 3 3 3 3
20.1333 21.7667 24.4667 37.1000 .060
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Degenerasihidropis Duncan
Mean Square
Between Groups
Total Selradang
df
F
Sig.
190.296 2.620 .123 72.645
177.829 2.239 .161 79.428
.437 .733
.634 .614
50
Subset for alpha = 0.05 Kelompok
N
Vaksin Tantang vaksin tantang Control Sig.
1 3 3 3 3
2.8667 3.0000 3.3333 4.6667 .364
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Degenerasilemak Duncan Subset for alpha = 0.05 Kelompok
N
Vaksin Control Tantang vaksin tantang Sig.
1 3 3 3 3
.0000 .1333 .4667 .9667 .268
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
3 Tubulus Descriptives 95% Confidence Interval for Mean N selnekrosa
Std. Mean Deviation
Std. Error
Upper Bound Minimum Maximum
kontrol
3 3.3700
tantang
3 2.3433 1.76874 1.02118 -2.0505 6.7371
vaksin
3 3.5400 1.50622 .86962
vaksin tantang
3 4.6200 3.08832 1.78304 -3.0518
Total
.07550 .04359
Lower Bound
3.29
3.44
.91
4.32
-.2017 7.2817
2.00
5.01
12.291 8
1.85
7.95
2.2921 4.6446
.91
7.95
3 .4167
.72169 .41667 -1.3761 2.2094
.00
1.25
tantang
3 .0000
.00000 .00000
.0000
.0000
.00
.00
vaksin
3 .0000
.00000 .00000
.0000
.0000
.00
.00
vaksin tantang
3 .7767 1.00371 .57949 -1.7167 3.2700
.00
1.91
.00
1.91
degenerasilemak kontrol
Total degenerasihidro kontrol pis tantang
12 3.4683 1.85132 .53443
3.1825 3.5575
12 .2983
.62660 .18089
-.0998
.6965
.00
4.01
3 5.0100 1.54165 .89007
1.1803 8.8397
3.23
5.92
vaksin
3 .9467
.69429 .40085
-.7780 2.6714
.45
1.74
vaksin tantang
3 4.5333 1.82692 1.05477
-.0050 9.0717
2.66
6.31
12 3.2125 2.20944 .63781
Total
3 2.3600 2.09716 1.21080 -2.8496 7.5696
1.8087 4.6163
.00
6.31
3 .9633 1.66854 .96333 -3.1816 5.1082
.00
2.89
tantang
3 .0000
.00000 .00000
.0000
.0000
.00
.00
vaksin
3 .0000
.00000 .00000
.0000
.0000
.00
.00
degenerasihyalin kontrol
51
vaksin tantang Total selnormal
3 1.4533 2.13940 1.23518 -3.8612 6.7679 12 .6042 1.33016 .38398
3.91
-.2410 1.4493
.00
3.91
92.890 100.25 3 2.96560 1.71219 85.5230 0 70
89.65
95.47
3
92.650 100.24 3.05838 1.76576 85.0526 0 74
89.77
95.86
3
93.790 98.812 2.02191 1.16735 88.7673 0 7
91.55
95.48
3
89.080 101.65 5.06166 2.92235 76.5061 0 39
83.60
93.58
12
92.102 94.323 3.49575 1.00914 89.8814 5 6
83.60
95.86
kontrol tantang vaksin vaksin tantang Total
.00
ANOVA Sum of Squares selnekrosa
degenerasilemak
Between Groups
selnormal
2.607
Within Groups
29.881
8
3.735
Total
37.701
11
Between Groups
1.262
3
.421
Within Groups
3.057
8
.382
Total
4.319
11
32.509
3
10.836
Within Groups
21.189
8
2.649
Total
53.698
11
4.740
3
1.580
Within Groups
14.722
8
1.840
Total
19.462
11
Between Groups
38.709
3
12.903
Within Groups
95.714
8
11.964
134.423
11
Between Groups
Total Selnekrosa Duncan
Subset for alpha = 0.05 Kelompok
N
tantang kontrol vaksin vaksin tantang Sig.
1 3 3 3 3
2.3433 3.3700 3.5400 4.6200 .212
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Degenerasilemak Duncan Subset for alpha = 0.05 Kelompok Tantang
Mean Square 3
degenerasihidropis Between Groups
degenerasihyalin
df
7.820
N
1 3
.0000
F
Sig.
.698 .579
1.101 .403
4.091 .049
.859 .501
1.078 .411
52
Vaksin Control vaksin tantang Sig.
3 3 3
.0000 .4167 .7767 .186
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Degenerasihidropis Duncan Subset for alpha = 0.05 Kelompok
N
1
2
vaksin
3
.9467
kontrol vaksin tantang
3
2.3600
3
4.5333
Tantang
3
5.0100
Sig.
2.3600
.319
.092
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Degenerasihyalin Duncan Subset for alpha = 0.05 Kelompok
N
Tantang Vaksin Control vaksin tantang Sig.
1 3 3 3 3
.0000 .0000 .9633 1.4533 .252
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
4 Glomerulus Descriptives 95% Confidence Interval for Mean Std. Std. N Mean Deviation Error jarak Control KG
Lower Bound
Upper Bound
Minimu Maximu m m
3
2.7520 0
.285832
.16502 5
2.04195
3.46205
2.432
2.982
3
2.6013 3
.540286
.31193 4
1.25919
3.94348
2.092
3.168
vaksin tantang
3
2.6553 3
.430894
.24877 7
1.58493
3.72573
2.166
2.978
tantang tidak vaksin
3
2.5886 7
.456072
.26331 3
1.45572
3.72161
2.086
2.976
12
2.6493 3
.379502
.10955 3
2.40821
2.89046
2.086
3.168
3
6.4666 1.6825 2.914332 7 91
-.77294
13.70627
3.200
8.800
3
4.5333 3
2.65237
6.41429
4.000
5.400
Vaksin
Total selrad Control ang Vaksin
.757188
.43716 3
53
vaksin tantang
3
2.5333 3
.757188
.43716 3
.65237
4.41429
2.000
3.400
tantang tidak vaksin
3
6.6666 7
.986577
.56960 0
4.21587
9.11746
6.000
7.800
12
5.0500 .64485 2.233831 0 1
3.63069
6.46931
2.000
8.800
3
3.2543 .69494 1.203684 3 8
.26422
6.24445
2.000
4.400
3
2.3030 0
.605332
.34948 9
.79927
3.80673
1.909
3.000
vaksin tantang
3
1.7163 3
.251214
.14503 8
1.09228
2.34038
1.428
1.888
tantang tidak vaksin
3
3.5450 0
.645233
.37252 5
1.94215
5.14785
3.100
4.285
2.7046 .28905 1.001305 7 2
2.06847
3.34087
1.428
4.400
Total selrad Control angG Vaksin
Total
12
luasG Control
3
9.8458 84.32639 4.8685 775.1016 1194.0583 0E2 5 87E1 2 8
908.036 1074.974
3
9.4124 203.9036 1.1772 434.7172 1447.7667 2E2 47 38E2 6 4
788.036 1172.676
vaksin tantang
3
1.2506 181.9491 1.0504 798.6378 1702.6115 1040.602 1360.470 2E3 91 84E2 2 1
tantang tidak vaksin
3
1.0327 190.2983 1.0986 560.0547 1505.5092 8E3 35 88E2 3 7
888.588 1248.474
12
1.0523 192.0969 5.5453 930.2545 1174.3597 1E3 72 62E1 7 6
788.036 1360.470
Vaksin
Total jmlG Control
3
1.9333 3
.305505
.17638 3
1.17442
2.69225
1.600
2.200
3
2.0000 0
.200000
.11547 0
1.50317
2.49683
1.800
2.200
vaksin tantang
3
1.4666 7
.305505
.17638 3
.70775
2.22558
1.200
1.800
tantang tidak vaksin
3
1.9333 3
.503322
.29059 3
.68301
3.18366
1.400
2.400
12
1.8333 3
.370094
.10683 7
1.59819
2.06848
1.200
2.400
Vaksin
Total
ANOVA Sum of Squares jarakKG
Between Groups Within Groups Total
Selradang
selradangG
df
Mean Square
.050
3
.017
1.535
8
.192
1.584
11
Between Groups
33.663
3
11.221
Within Groups
21.227
8
2.653
Total
54.890
11
Between Groups
6.439
3
2.146
Within Groups
4.589
8
.574
11.029
11
Total
F
Sig.
.086
.966
4.229
.046
3.742
.060
54
luasG
jmlG
Between Groups
169900.510
3
56633.503
Within Groups
236013.205
8
29501.651
Total
405913.715
11
Between Groups
.547
3
.182
Within Groups
.960
8
.120
1.507
11
Total jarakKG Duncan
Subset for alpha = 0.05 Kelompok
N
1
tantang tidak vaksin 3 2.58867 Vaksin 3 2.60133 vaksin tantang 3 2.65533 Control 3 2.75200 Sig. .677 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Selradang Duncan Subset for alpha = 0.05 Kelompok
N
1
2
vaksin tantang 3 2.53333 Vaksin 3 4.53333 4.53333 Control 3 6.46667 tantang tidak vaksin 3 6.66667 Sig. .171 .162 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. selradangG Duncan Subset for alpha = 0.05 Kelompok
N
1
2
vaksin tantang 3 1.71633 Vaksin 3 2.30300 2.30300 Control 3 3.25433 tantang tidak vaksin 3 3.54500 Sig. .371 .090 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. luasG Duncan Subset for alpha = 0.05 Kelompok Vaksin Control
N
1 3 3
941.24200 984.58000
1.920
.205
1.519
.283
55
tantang tidak vaksin vaksin tantang Sig.
3 3
1032.78200 1250.62467 .072
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. jmlG Duncan Subset for alpha = 0.05 Kelompok
N
1
vaksin tantang 3 1.46667 Control 3 1.93333 tantang tidak vaksin 3 1.93333 Vaksin 3 2.00000 Sig. .114 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.