PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TUMBUHAN OBAT ANTIMALARIA Quassia indica TERHADAP TOKSIKOPATOLOGI ORGAN HATI DAN GINJAL MENCIT (Mus musculus)
DEWI AYU AGUSTIYANTI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRACT DEWI AYU AGUSTIYANTI. Toxicopathology Effect of Mouse’s Liver and Kidney on Quassia indica Extracts Distribution as Antimalarial. Supervised by HERNOMOADI HUMINTO and PRAPTIWI. The aim of this research was to study the toxicopathology effect of Quassia indica act of distributing with various level doses in the liver and kidney of mice (Mus musculus). 25 mice (Mus musculus) separated into 5 groups which were adapted for two weeks before using in this experiment. Four groups were received Quassia indica extract at various level doses, of 1, 10, 100, and 1000 mg/kg body weight, and one group of mice acted as control which received with Carboxymethocellulose (CMC-Na). After receiving Quassia indica for seven days the mice then were euthanized with over dose of ether. The liver and kidney were taken and samples fixated in Buffer Neutral Formalin 10% solution for 48 hours then the making of histopathology slides. Histopathology slides stained with Haematoksilin Eosin and observed with video-photo microscope. In the liver, observation was founded the cell with degeneration and apoptotic around vena porta and vena centralis, and in the kidney was founded degeneration and apoptotic of tubule epithelium, glomerular atrophy and protein sedimentation. Based on the result and analized with statistic method can be concluded that the distribution of Quassia indica extract with 1000 mg/kg BW doses could emerge a significant lesion on the liver and kidney of mice (Mus musculus). Keywords: antimalarial, Quassia indica extract, liver and kidney toxicopathology, mice (Mus musculus)
ABSTRAK DEWI AYU AGUSTIYANTI. Pengaruh Pemberian Ekstrak Tumbuhan Obat Antimalaria Quassia indica Terhadap Toksikopatologi Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus). Dibimbing oleh HERNOMOADI HUMINTO dan PRAPTIWI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksikopatologi organ hati dan ginjal mencit (Mus musculus) akibat pemberian ekstrak Quassia indica dengan dosis bertingkat. Sebanyak 25 ekor mencit (Mus musculus) dibagi dalam 5 kelompok yang terdiri atas empat kelompok yang diberi ekstrak Quassia indica dengan dosis bertingkat yaitu 1, 10, 100, dan 1000 mg/kg BB, serta satu kelompok mencit sebagai kontrol yang diberi Carboxymethocellulose (CMC-Na). Masingmasing kelompok perlakuan terdiri atas lima ekor mencit. Pemberian ekstrak Quassia indica dilakukan selama 7 hari berturut-turut. Mencit kemudian dieuthanasi dengan eter dan diambil organ hati dan ginjalnya, lalu difiksasi dalam Buffer Neutral Formalin 10% selama 48 jam. Sediaan histopatologi diwarnai dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin dan diamati dengan menggunakan video foto mikroskop. Hasil pengamatan menunjukkan hati mengalami degenerasi dan apoptosis disekitar vena porta dan vena sentralis, sedangkan pada ginjal selain degenerasi dan apoptosis tubuli, juga diamati adanya atrofi glomerulus dan endapan protein. Berdasarkan pengamatan dan hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak Quassia indica dengan dosis 1000 mg/kg BB dapat menimbulkan kerusakan yang signifikan pada organ hati dan ginjal mencit (Mus musculus). Kata kunci : antimalaria, ekstrak Quassia indica, toksikopatologi hati dan ginjal, mencit (Mus musculus)
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TUMBUHAN OBAT ANTIMALARIA Quassia indica TERHADAP TOKSIKOPATOLOGI ORGAN HATI DAN GINJAL MENCIT (Mus musculus)
DEWI AYU AGUSTIYANTI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Skripsi
Nama NRP
: Pengaruh Pemberian Ekstrak Tumbuhan Obat Antimalaria Quassia indica Terhadap Toksikopatologi Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus). : Dewi Ayu Agustiyanti : B04104116
Disetujui
drh. Hernomoadi Huminto, MVS
Dr. Praptiwi, MAgr
Pembimbing Penelitian I
Pembimbing Penelitian II
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan FKH-IPB
Tanggal Lulus :
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 15 Agustus 1986 sebagai anak pertama dari lima bersaudara pasangan Bapak Sugiarto dan Ibu Neneng Atikah. Pendidikan penulis diawali di TK Bhakti PUSPIPTEK pada tahun 19911992. Kemudian melanjutkan pendidikan di SDN PUSPIPTEK pada tahun 19921998, SLTPN 4 Serpong pada tahun 1998-2001 dan SMA Negeri 1 Bogor pada tahun 2001-2004. Pada tahun 2004 penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di jenjang perguruan tinggi, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya Himpro Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik serta Himpro Ruminansia. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi yang berjudul : “Pengaruh Pemberian Ekstrak Tumbuhan Obat Antimalaria Quassia indica Terhadap Toksikopatologi Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus)” dengan bimbingan dari drh. Hernomoadi Huminto, MVS. dan Dr. Praptiwi, M.Agr.
KATA PENGANTAR Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya bagi seluruh alam semesta serta atas bimbingan ruhani sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir berupa penulisan skripsi guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Institut Pertanian Bogor. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. drh. Hernomoadi Huminto, MVS. selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, nasihat, dan pengarahannya serta ilmu yang tidak pernah habis diberikan. 2. Dr. Praptiwi, MAgr. selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, nasihat dan pengarahan serta kesabarannya. 3. Dr. drh. Eva Harlina, MSi. selaku dosen penilai dan Dr. drh. Hj. Umi Cahyaningsih, MS. selaku dosen penguji atas segala saran, kritik, dan penilaian yang bermanfaat. 4. drh. Yudi Riyadi, MSi. selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan dan nasihatnya. 5. Kepada Ayah dan Ibu : Sugiarto dan Neneng Atikah atas doa, kasih sayang dan dukungan yang selalu diberikan, baik moril dan materil. 6. Kepada adik-adikku (Didit, Dinda, Danu, dan Dandi) atas doa dan kasih saying yang diberikan. 7. Kepada Fajarrullah Fathoni yang selalu setia menemani dan membantu penulis dari awal penyusunan tugas akhir sampai terselesaikannya skripsi ini. 8. Kawan-kawan tercinta ‘Vet Angel’ (Iya, Inge, Atha, Dhe, Chamut dan Na) untuk semangat, canda tawa, doa, dukungan dan nasihat sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan baik. 9. Teman seperjuangan Chamut yang tiada henti memberi bantuan, semangat dan dukungan hingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.
10. Kepada seluruh staf dan pegawai bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan . 11. Teman-teman Asteroidea ’41 yang selalu kompak dan terus berjuang untuk wisudanya. 12. Pihak-pihak yang tidak mungkin untuk disebutkan satu persatu yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari dalam penulisan ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna menyempurnakan karya tulis ini. Akhir kata penulis ucapkan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan dan membutuhkannya.
Bogor, November 2008
Dewi Ayu Agustiyanti
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………..
x
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….
xi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………..
xii
PENDAHULUAN …………………………………………………………
1
Latar Belakang …………………………………………………….. Tujuan Penelitian ………………………………………………….. Manfaat Penelitian …………………………………………………. Hipotesis …………………………………………………………....
1 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………….. Quassia indica ……………………………………………………… Biologi Umum ………………………………………………… Kandungan …………………………………………………….. Penyakit Malaria ……………………………………………………. Siklus Hidup Plasmodium sp. ………………………………………. Mencit (Mus musculus) …………………………………………….. Biologi Umum …………………………………………………. Karakteristik Fisiologis ………………………………………… Hati ………………………………………………………………….. Anatomi dan Fisiologi Hati ……………………………………. Histologi Hati …………………………………………………... Intoksikasi Hati ………………………………………………… Ginjal ………………………………………………………………... Anatomi dan Fisiologi Ginjal ………………………………….. Histologi Ginjal ………………………………………………… Intoksikasi Ginjal ……………………………………………….
4 4 4 6 7 7 9 9 10 10 10 12 15 17 17 18 21
BAHAN DAN METODE ………………………………………………….. Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………………….. Bahan dan Alat ………………………………………………………. Metode Penelitian …………………………………………………….
23 23 23 23
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pemberian Ekstrak Quassia indica Terhadap ToksikopatologiOrganHatiMencit ………………………..…………. 26 Perbandingan Lesio Hepatosit di Sekitar Vena Porta dan Vena Sentralis Akibat Pemberian Ekstrak Quassia indica …………. 32 Pengaruh Pemberian Ekstrak Quassia indica Terhadap Toksikopatologi Organ Ginjal Mencit ……………………………… 34 KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………….
42
Kesimpulan …………………………………………………………. 42 Saran ………………………………………………………………… 42
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
43
LAMPIRAN ………………………………………………………………...
47
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4
Persentase Lesio Hepatosit Mencit yang diberi Ekstrak Quassia indica ……………………………………………………
27
Persentase Lesio Hepatosit Pada Vena Porta dan Vena Sentralis ……………………………………………………..
32
Hasil Pemeriksaan Histopatologi Glomerulus Mencit yang diberi Ekstrak Quassia indica ……………………………………..
36
Hasil Pemeriksaan Histopatologi Tubuli Ginjal Mencit yang diberi Ekstrak Quassia indica ……………………………….
36
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Quassia indica ………………………………………………………
5
2
Siklus Hidup Plasmodium sp. ………………………..……………..
8
3
Gambaran Sistem Asinus Hati ………………………………………
13
4
Histologi Hati Area Vena Centralis …………………………………
14
5
Histologi Hati Area Vena Porta ……………………………………..
14
6
Histologi Ginjal ……………………………………………………… 20
7
Histologi Glomerulus Ginjal ………………………………………… 20
8
Gambaran Histopatologi Hati yang diberi Ekstrak Q. indica ……….. 26
9
Gambaran Histopatologi Hati yang diberi Ekstrak Q. indica ……….. 27
10
Diagram Persentase Lesio Hepatosit Pada Vena Porta dan Vena Centralis …………………………………………………..
28
Diagram Perbandingan Lesio Hepatosit Pada Vena Porta dan Vena Centralis ……………………………………………………….
33
11 12
Gambaran Histopatologi Jaringan Ginjal dengan Perlakuan Ekstrak Quassia indica …………………………………… 35
13
Gambaran Histopatologi Tubulus Ginjal dengan Perlakuan Ekstrak Quassia indica …………………………………… 35
14
Diagram Persentase Lesio Glomerulus ……………………………… 38
15
Diagram Persentase Lesio Tubulus ………………………………….. 39
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Bagan Pembuatan Sediaan Histopatologi …………………………
48
2
Pewarnaan Hematoksilin Eosin ……………………………………
49
3
Hasil Uji ANOVA ………………………………………………….
50
4
Hasil Uji Duncan …………………………………………………..
58
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia terletak pada garis khatulistiwa yang memiliki berbagai macam sumber daya hayati. Manusia telah memanfaatkan sumber daya hayati dengan sebaik mungkin. Salah satu sumber daya hayati yang sering digunakan adalah tumbuhan, diantaranya dimanfaatkan sebagai obat. Dari 40 ribu jenis flora yang tumbuh di dunia, 30 ribu diantaranya tumbuh di Indonesia. Sekitar 26% telah dibudidayakan dan sisanya sekitar 74% masih tumbuh liar di hutan-hutan. Dari sejumlah tumbuhan yang telah dibudidayakan tersebut, lebih dari 940 jenis digunakan sebagai obat tradisional (Syukur dan Hernani 2002). Di antara berbagai jenis tumbuhan obat tersebut, beberapa ada yang dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk penyakit malaria. Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tidaklah tanpa alasan, disamping khasiatnya yang telah banyak teruji dan terbukti, efek samping dari tumbuhan obat pun sangat minim. Penggunaan tumbuhan obat untuk penyembuhan akan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan obat kimia (Wijayakusuma 2005). Obat merupakan bentuk sediaan tertentu yang berasal dari bahan obat yang dapat digunakan pada hewan dan manusia, sedangkan bahan obat merupakan zat aktif atau berupa zat kimia yang dapat berfungsi untuk mencegah, meringankan atau mengenali penyakit. Semua obat yang masuk ke tubuh bersifat toksik, dan dikatakan sebagai obat apabila zat tersebut masuk ke dalam tubuh senilai dengan ambang batas zat tersebut maksimal diabsorbsi dan bekerja tanpa menimbulkan gejala klinis yang bersifat kontradiktif. Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak sekali proses dan kebanyakan proses sangat rumit. Umumnya hal ini didasari suatu rangkaian reaksi, yang dibagi kedalam 3 fase, yaitu fase farmaseutik, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik. Obat masuk kedalam tubuh, mengalami berbagai macam proses, yaitu librasi, absorbsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di target organ dan menimbulkan efek. Kemudian mengalami metabolisme, untuk selanjutnya dengan atau tanpa biotransformasi obat diekskresi kembali dari dalam tubuh (Ganiswara 1995). Pemberiannya pun
dapat dilakukan dengan berbagai macam
cara,
yaitu dengan
peroral,
intramuskular, intravena, inhalasi, perenteral dan sebagainya. Malaria ditemukan hampir di seluruh bagian dunia dan merupakan penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah utama kesehatan penduduk dunia. Penyakit ini tidak hanya menyerang di daerah tropis, tetapi juga daerah subtropis (Sutarno 2005). Penyebab malaria adalah parasit protozoa darah yang disebut Plasmodium. Dari beberapa spesies yang diketahui, P. falciparum merupakan yang paling berbahaya hingga dapat menyebabkan kematian (Noerhayati 1990, Mulyaningsih 2002). Upaya pengobatan penderita malaria dengan klorokuin sudah lama diterapkan, namun diketahui lebih lanjut bahwa P. falciparum resisten terhadap klorokuin tersebut. Resistensi parasit malaria terhadap beberapa obat modern banyak terjadi, oleh karena itu digunakan obat tradisional sebagai alternatif untuk mengobati malaria (Yoshiharu 2001). Salah satu tumbuhan obat yang perlu diteliti dan dikembangkan adalah Quassia indica yang berasal dari suku Simaroubaceae. Tumbuhan dari suku Simaroubaceae telah digunakan secara luas untuk pengobatan tradisional pada penyakit malaria, kanker, disentri, dan beberapa penyakit lain di beberapa negara di dunia (Anonimus 2007). Bioaktivitas tumbuhan berhubungan dengan kandungan kimia yang terdapat dalam tumbuhan tersebut, yaitu senyawa alkaloid, xanthin, brucein, dan quassinoid golongan tripertenoid yang menunjukkan aktifitas biologi seperti antitumor, anti malaria, anti ulser, anti piretik, fitotoksik, antiviral dan antihelmintik (Robinson 1991). Aktivitas dari beberapa quassinod dapat
menekan
pertumbuhan
P.
falciparum
sebagai
antimalaria,
juga
menunjukkan toksisitas yang menghambat sintesis protein parasit (Anonimus 2007). Sebuah penelitian yang telah dilakukan di Philipina, menggunakan tumbuhan obat tersebut untuk pengobatan penyakit malaria sebagai pengobatan alternatif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa aktifitas antiplasmodial dari Q. indica dapat menekan pertumbuhan parasit (Quisumbing 1978). Selain itu diketahui pula dari studi pemanfaatan obat secara tradisional oleh masyarakat dari berbagai suku di Propinsi Bengkulu, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur telah dilakukan. Salah satu obat tersebut yaitu Q. indica yang mulai terancam kelestariannya, yang memang berguna untuk
mengatasi malaria dan juga sakit perut (Anonimus 1999). Nilai dari aktifitas ekstrak ditentukan oleh selektifitasnya melawan Plasmodium falciparum di dalam perbandingan efek sitotoksiknya melawan sel tubuh manusia (Pouplin et al. 2006)
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ekstrak alkohol batang Q. indica dengan dosis bertingkat selama 7 hari dapat menimbulkan efek tosikopatologi pada organ hati dan ginjal.
Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan informasi mengenai tingkatan dosis berapa dari ekstrak alkohol batang Q. indica yang tidak memberikan efek toksik.
Hipotesis Hipotesis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : H0
: Ekstrak Q. indica tidak menimbulkan perubahan patologi yang signifikan terhadap organ hati dan ginjal mencit.
H1
: Ekstrak Q. indica menimbulkan perubahan patologi yang signifikan terhadap organ hati dan ginjal mencit.
TINJAUAN PUSTAKA Quassia indica Biologi Umum Quassia indica termasuk ke dalam suku Simaroubaceae. Tumbuhan ini memiliki daerah penyebaran pada daerah dengan ketinggian yang rendah (Anonimus 2007b). Distribusi tumbuhan ini dapat mencapai Madagaskar, Pulau Comoros, Asia, India, Sri Lanka, Myanmar, Indo-China, Thailand, Malaysia sampai ke Papua New Guinea dan Pulau Solomon (tetapi tidak sampai ke Pulau Jawa dan Sunda). Di Kalimantan ditemukan di sepanjang pulau. Di Pulau Kalimantan, tumbuhan ini memiliki nama lokal yang bermacammacam, yaitu gatep pait, humbi, kacang-kacang, kayu pahit, kelpahit, kepait, manunggal, pait-pait (Anonimus 2006). Selain mempunyai nama daerah, tumbuhan ini pun memiliki nama lain, diantaranya Manungala pendula, Niota tetrapetala dan Samadera indica (Anonimus 2007b). Tumbuhan ini dapat tumbuh sampai ketinggian 20 m. Batang pohonnya berwarna pucat dan memanjang. Batang tumbuhan ini membengkok tidak teratur. Kayunya ringan dan lunak. Daunnya berbentuk elips sederhana, bulat seperti telur dengan panjang daun sekitar 5-25 cm dan lebar sekitar 20cm dan ujung agak membulat. Bunganya banyak, berwarna kuning kemerahan, pada bagian atas tebal dan padat serta memiliki tangkai yang pendek (Anonimus 2007b). Buahnya berwarna kuning kemerahan, memiliki 1-4 karpel, masing-masing buah memiliki biji yang berbentuk elips dengan bentuk tipis unilateral pada bagian atasnya. Buah memiliki panjang 4-5 cm, luas 2,5-3,7 cm dan tebalnya 1,3-1,9 cm. Kayu pahit merupakan anti klorik dan anti hipertensif serta dapat mengobati penyakit kulit dan sakit perut, sampai demam. Daunnya dapat digunakan sebagai shampo rambut dan untuk menyembuhkan kerusakan kulit. Akarnya pula boleh digunakan sebagai tonik dan mengobati sakit perut (Goh 1995). Hampir semua bagian dari tumbuhan ini dapat dimanfaatkan oleh manusia. Di Malaysia, masyarakat menggunakan kayunya untuk membuat kerajinan tangan atau membuat gagang pisau. Air rebusan dari kulit kayunya dapat digunakan
untuk mengobati demam, mengobati penyakit kulit, juga sebagai tonik. Bijinya dapat digunakan untuk mengobati penyakit asthma, rheumatik dan sakit perut, juga sebagai obat emetika dan purgative, serta kadang-kadang digunakan sebagai obat demam yang disebabkan karena kerusakan pada empedu. Selain itu tumbuhan ini dapat digunakan sebagai racun serangga (insektisida organik) dan anti serum (Anonimus 2006).
(a)
(b)
(d)
(c)
Gambar 1 Daun dan Bunga Quassia indica (a), pohon Q. indica (b), daun Q. indica (c), buah Q. indica (d). Sumber : Anonimus 2007b
Berdasarkan Anonimus (2007b), secara umum taksonomi Quassia indica adalah : Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Suku : Simaroubaceae Genus : Quassia Spesies: Quassia indica
Kandungan Tumbuhan ini mengandung lemak dan asam lemak tinggi, sterol dan triterpenoid, alkaloid, quassinoid, gula pereduksi, glikosida steroid, brucein, xanthin, dan flavonoid (Anonimus 2007a). Lima jenis quassinoid yang telah dikenal, samaderines, indaquassin, dan simarinolide, quassinod glycoside, dan 2O-glucosylsamaderine
diisolasi
dari
batang
Q.
indica
(Simaroubaceae).
Quassinoid memperlihatkan kemampuannya sebagai penghambat pertumbuhan parasit melawan parasit penyebab penyakit malaria yaitu Plasmodium falciparum (chloroquine resistant-K1 strain). Samaderines, seperti halnya indaquassin, bersifat menghambat aktifitas in vitro sel endotelial-neutrophil leukosit serta untuk memperlihatkan aktivitas anti-inflamasi (Lemmens 2003). Dari berbagai macam kandungan yang terdapat pada tumbuhan tersebut, senyawa alkaloid, xanthin, dan quassinoid merupakan senyawa yang dapat menunjukkan aktivitas antimalaria. Kandungan senyawa lain seperti flavonoid yaitu dapat menunjukkan aktivitas antioksidasi, yang merupakan komponen aktif tumbuhan untuk pengobatan tradisional dalam pengobatan gangguan fungsi hati. Alkaloid pun dapat digunakan sebagai senyawa penolak serangga dan antifungi. Triterpenoid merupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat yang dapat digunakan dalam pengobatan penyakit diabetes, gangguan menstruasi, gangguan kulit, kerusakan hati, dan malaria (Robinson 1991).
Penyakit Malaria Malaria merupakan masalah utama kesehatan penduduk, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Penyakit malaria tidak hanya menyerang daerah tropis, tetapi juga subtropis diseluruh dunia dan kematian banyak terjadi pada daerah-daerah endemik malaria, antara lain negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, India, Meksiko, Amerika Tengah dan negara-negara Afrika. Malaria atau disebut pula paludisme, demam intermitens, panas dingin, demam rawa, demam pantai, demam tropik, dan “ague”. Istilah malaria diambil dari bahasa Italia yaitu mal (buruk) dan aria (udara). Disebabkan oleh parasit yang disebut Plasmodium, yang merupakan suatu protozoa darah yang tergolong ke dalam kelas Sporozoa. Di Indonesia, ditemukan 4 spesies penyebab penyakit malaria pada manusia yaitu Plasmodium falciparum, P. vivax, P. malariae, dan P. ovale. Diantara ke empat macam parasit tersebut yang paling banyak ditemukan yaitu P. falciparum dan P. vivax, sedangkan yang paling berbahaya adalah P. falciparum (Brown 1979). Terdapat pula jenis lain yaitu P. berghei yang merupakan parasit dari genus Plasmodium yang bersifat parasitik pada sel darah merah yang dapat menyebabkan penyakit malaria pada rodent (mencit). P. berghei mempunyai siklus hidup maupun morfologi sama seperti parasit malaria pada manusia, dalam hal ini yang berbeda hanya inangnya saja. Selain itu, penyakit malaria dapat ditemukan pada unggas yang disebabkan oleh berbagai jenis Plasmodium seperti Plasmodium gallinaceum, P. juxtanucleare, P. relicticum, P. durae, P. circumflexum, P. fallax, dan P. rouxi. Penyakit malaria ditularkan oleh vektor seperti nyamuk Anopheles (pada manusia dan rodent) serta nyamuk agas dan lalat (pada unggas) (Levine 1990).
Siklus Hidup Plasmodium Siklus hidup parasit malaria terdiri dari siklus aseksual yang berlangsung pada induk semang vertebrata dan siklus seksual yang berlangsung pada induk semang avertebrata. Skizogoni akan berlangsung dalam tiga tahap yaitu skizon pra-eritrosit, skizon eritrosit, dan skizon eksoeritrosit. Sporozoit yang berasal dari kelenjar saliva nyamuk dipindahkan kepada inang melalui gigitan nyamuk tersebut yang mengandung parasit malaria. Sporozoit memasuki aliran darah
dengan cepat, lalu masuk ke dalam hati dan menembus hepatosit serta menetap dalam sel hati tersebut dan bermultiplikasi. Sporozoit selanjutnya kembali ke dalam darah dan menembus eritrosit, kemudian melepaskan merozoit yang menginfeksi kembali organ hati atau mikrogametosit dan makrogametosit yang tidak melakukan aktifitas selanjutnya pada inang. Nyamuk lain menghisap darah inang ketika gametosit matang ditemukan dalam darah, perkembangan mereka berlanjut dalam usus atau lambung nyamuk, dimana terjadi pelepasan flagella dan menjadi mikrogamet serta proses fertilisasi dari makrogamet. Zigot yang terbentuk berkembang menjadi ookinet dan menembus dinding epitel usus. Ookinet membulat dan terbentuk ookista. Sporogoni yang berada di dalam ookista menghasilkan banyak sporozoit, selanjutnya terjadi ruptura ookista. Sporozoit menuju kelenjar saliva untuk menggigit inang yang lain (Soulsby 1982).
Gambar 2 Siklus hidup Plasmodium sp. Sumber : www.wehi.edu.au/MalDB-www/Plasmodium.gif.
Mencit (Mus musculus) Biologi Umum Mencit merupakan salah satu hewan laboratorium atau hewan percobaan. Hewan ini paling kecil diantara jenisnya dan memiliki galur mencit yang berwarna putih. Mencit termasuk hewan pengerat (rodentia) yang dapat dengan cepat berkembang biak. Pemeliharaan hewan ini pun relatif mudah, walaupun dalam jumlah yang banyak. Pemeliharaannya ekonomis dan efisien dalam hal tempat dan biaya. Mencit memiliki variasi genetik cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik (Malole dan Pramono 1989).
Taksonomi mencit adalah sebagai berikut (Ballenger 1999) : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mammalia
Subkelas
: Theria
Ordo
: Rodentia
Sub ordo
: Sciurognathi
Famili
: Muridae
Subfamili
: Murinae
Genus
: Mus
Species
: Mus musculus
Mencit laboratorium merupakan strain mencit yang telah dikembangkan oleh ahli genetik dari peternak mencit peliharaan sejak 100 tahun silam (Pen 1999). Manusia telah mengembangkan mencit selama 4000 tahun di Mesir, Yunani dan Cina. Mencit laboratorium mempunyai berat badan kira-kira sama dengan mencit liar yang banyak ditemukan di dalam gedung dan rumah yang dihuni manusia, dengan berat badan bervariasi 18-20 gram pada umur empat minggu. Tetapi setelah diternakkan secara selektif selama delapan puluh tahun
yang lalu, sekarang ada berbagai warna bulu dan timbul banyak galur dengan berat badan berbeda-beda (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Mencit putih memiliki bulu pendek halus berwarna putih serta ekor berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang daripada badan dan kepala. Mencit memiliki warna bulu yang berbeda disebabkan oleh perbedaan proporsi darah dengan mencit liar dan memiliki kelenturan pada sifat-sifat produksi dan reproduksinya (Nafiu 1996).
Karakteristik fisiologis Mencit bila diperlakukan dengan halus akan mudah dikendalikan, sebaliknya bila diperlakukan kasar mereka akan menjadi agresif atau bahkan menggigit. Mencit dapat mencapai umur 2-3 tahun, tetapi terdapat perbedaan besar dalam usia maksimal di berbagai galur mencit terutama karena perbedaan dalam kepekaan penyakit (Malole dan Pramono 1989). Menurut Malole dan Pramono (1989), data biologis mencit laboratorium : Lama hidup
: 1-2 tahun, bisa sampai 3 tahun
Berat badan
: 20-40 gr untuk jantan, 18-35 gr untuk betina
Berat lahir
: 0,5-1,0 gr
Suhu tubuh
: 35-390 C
Pernafasan
: 140-180/menit, turun menjadi 80/menit dengan anastesi, naik sampai 230/menit jika stress.
Denyut jantung: 600-650/menit, turun hingga 350/menit dengan anastesi, dan naik 750/menit jika stress. Tekanan darah : 130-160 sistol
Hati Anatomi dan Fisiologi Hati Hati adalah organ terbesar dalam tubuh (Ressang 1984). Organ ini terletak di rongga perut sebelah kanan, tepat di bawah diafragma, berwarna merah kecoklatan. Hati terdiri dari beberapa lobus, tergantung pada spesies hewannya. Hati secara umum dapat dibagi menjadi tiga lobus, bagian kanan lebih besar daripada bagian kiri, dan bagian kaudal yang lebih kecil terletak pada bagian
posterior (Underwood 1992). Pada mencit, terdapat empat lobus (medial, lateral kiri, lateral kanan, dan kaudal) (Harada et al. 1999). Hati memiliki tiga jaringan penting yaitu saluran empedu, susunan pembuluh darah dan sel parenkim (Lu 1995). Hati mempunyai selubung peritoneum dan menerima darah dari vena porta dan arteri hepatika yang akan menyuplai 40-50% oksigen dan lebih kurang setengah dari sirkulasi menuju hati. Percabangan-percabangan vena porta, arteri hepatika dan saluran empedu akan bergabung dalam suatu daerah trias porta (segitiga Kiernand). Sedangkan darah keluar dari hati melalui vena hepatika yang masuk ke dalam vena cava caudalis (Ressang 1984, Underwood 1992). Di antara hepatosit terdapat saluran halus empedu (kanalikuli empedu). Sel hati (hepatosit) menyerap bahan pembentuk cairan empedu dari darah dalam sinusoid dan produk empedu keluar dari hepatosit melalui kanalikuli empedu. Kanalikuli-kanalikuli akan bergabung menjadi duktus hepatikus. Cairan empedu yang dibentuk hepatosit tidak bercampur dengan darah karena masing-masing mengalir di dalam saluran yang berbeda. Empedu akan disalurkan dari kantung empedu ke duodenum melalui duktus koledokus (Guyton dan Hall 1997). Menurut Dellmann dan Brown (1992), hati memiliki fungsi yang kompleks, yaitu fungsi ekskresi, fungsi sekresi (empedu), fungsi penyimpan (lipid, vitamin A dan B, glikogen), fungsi sintesa (fibrinogen, komplemen, globulin, albumin, faktor pembekuan darah), fungsi fagositosis (partikel benda asing), fungsi detoksifikasi, fungsi konjugasi/penggabung (substansi racun, hormon steroid), fungsi esterifikasi (asam lemak bebas hingga trigliserida), fungsi metabolisme (protein, karbohidrat, lemak, hemoglobin, obat), dan fungsi hemopoietik. Fungsi detoksifikasi hati yaitu sebagai penawar racun produk buangan metabolisme. Produk buangan metabolisme itu dapat berasal dari usus, toksintoksin, kuman dan kelebihan hormon, juga dapat berasal dari penggunaan obat obatan contohnya kamfer, fenol, asam benzoate, morfin dan barbiturate (Ressang 1984). Pada saat melakukan fungsi detoksifikasi, hepatosit dapat mengalami resiko terpapar bahan metabolit yang toksik dan menderita kerusakan. Selain itu bila fungsi hati sedang terganggu dan banyak hepatosit rusak maka bahan toksik
dapat meracuni sistem organ tubuh selain hati karena tidak mengalami detoksifikasi di hati. Hati merupakan organ yang sangat penting dalam tubuh dan memiliki daya cadangan yang sangat besar, karena fungsinya yang dapat membantu dalam mengatur proses homeostatis dalam tubuh. Kerusakan pada hati dapat menyebabkan gangguan pada fisiologis dan metabolismenya (Hayes 2007).
Histologi hati Sel hati (hepatosit) berbentuk polihedral, berdiameter 20-25 mikron pada hewan dewasa, sedangkan pada hewan muda sekitar 2-7 mikron. Inti bulat ditengah-tengah dan kadang-kadang tampak lebih dari satu inti (Hartono 1992). Hepatosit tersebut berbentuk radial di sekeliling vena sentralis. Diantara deretan hepatosit terdapat suatu saluran sinusoid yang menuju vena sentralis. Saluran ini merupakan suatu sistem sinusoidal, yang membawa darah dari pembuluh portal menuju vena sentralis dan pembuluh empedu. Tiap lobus dari hati ditutupi oleh kapsul lapis serosa yang khusus (viseral peritoneum) dengan lapisan tipis jaringan ikat di bawahnya. Jaringan ikat dari kapsula meluas hingga ke lobulus hati, seperti jaringan penghubung interlobular untuk mengelilingi lobulus-lobulus hati serta mendukung sistem vaskularisasi dan saluran empedu. Serabut retikuler berfungsi mengelilingi sel hati dan sinusoid. Sel otot polos berada pada kapsula dan jaringan penghubung interlobular. Jaringan penghubung interlobular sulit diamati, kecuali pada babi karena jaringan penghubung interlobularnya memiliki septa yang jelas. Area luar yang mendukung jaringan penghubung interlobular diantaranya seperti pembuluh limfe, cabang arteri hepatika, cabang vena porta dan duktus empedu muncul melalui beberapa bagian di hati. Kumpulan dari beberapa pembuluh dan duktus bersama-sama dengan jaringan penghubung yang mendukungnya disebut saluran porta (Dellmann dan Brown 1992). Struktur hati secara anatomik dapat dipandang secara mikroskopik dari dua pendapat, yaitu terdiri atas sistem lobulus dan sistem asinus. Sistem lobulus hati berbentuk heksagonal yang terdiri dari vena porta, arteri hepatika dan duktus empedu (membentuk segitiga Kiernand) yang terletak pada tepi lobulus. Darah dari segitiga Kiernand mengalir ke arah vena sentralis dihubungkan melalui kapiler sinusoid. Hepatosit tepi sinusoid mendapatkan darah dari aliran sinusoid tersebut.
Hepatosit dalam lobulus dibagi ke dalam tiga daerah. Daerah periportal meliputi hepatosit yang berdekatan dengan segitiga Kiernand. Daerah midzonal meliputi hepatosit yang berada pada pertengahan antara segitiga Kiernand dan vena sentralis. Dan daerah sentrilobular terdiri dari daerah hepatosit yang berdekatan dengan vena sentralis. Sistem asinus hepatik berdasar kepada segitiga Kiernand dengan unit sel asinar yang dibentuk oleh vena porta dan arteri hepatik yang menghubungkan dengan segitiga Kiernand berikutnya melalui penetrasi terhadap vena-vena. Unit asinar tersusun atas tiga zona. Zona 1 terdiri dari hepatosit yang terdekat dengan vena-vena kecil yang berada di sekitar segitiga Kiernand. Zona dua memiliki daerah yang berada pada pertengahan antara vena-vena kecil dan ujung vena hepatik. Dan zona tiga terdiri dari area yang terdekat dengan ujung vena hepatik. Zona dari sistem asinus, secara anatomi sangat mirip dengan daerah pada unit sistem lobulus (Plumlee 2004), hanya saja penamaan daerah-daerah tersebut terbalik dengan sistem lobulus. Hepatosit daerah sentrolobular adalah daerah periasinar dan hepatosit perilobular adalah daerah sentroasinar atau periportal.
Gambar 3 A. Sistem asinus hati yang terdiri dari 3 zona, yaitu zona 1, zona 2, dan zona 3. B. Sistem lobulus hati yang tersusun atas vena porta, arteri hepatika, dan duktus empedu. Sumber : Underwood 1992
Gambaran mikroskopik hati mencit
Gambar 4 Histologi hati area vena sentralis Sumber : www.deltagen.com
Gambar 5 Histologi hati area vena porta Sumber : www.deltagen.com
Intoksikasi Hati Hati merupakan organ kelenjar yang terbesar dan sangat penting dalam tubuh dengan memiliki daya cadangan yang sangat besar, karena fungsinya yang dapat membantu dalam mengatur proses homeostatis dalam tubuh. Kerusakan pada hati dapat menyebabkan gangguan fisiologis dan metabolisme. Akibatnya, kerusakan hati dari yang tergolong ringan pada hewan, tidak menimbulkan gejala klinis yang nyata (Plumlee 2004). Hati memiliki keistimewaan karena memiliki sirkulasi yang berlainan dari alat tubuh. Namun, karena keistimewaannya itulah hati merupakan organ yang mudah mengalami kerusakan (Ressang 1984). Hati menerima 80% suplai darah dari vena porta sehingga memungkinkan zat-zat toksik yang diserap ke darah portal dari usus halus ditransportasikan ke hati. Kerusakan hati juga dapat terjadi karena sel hati terlibat dalam metabolisme obat-obatan sehingga dapat menimbulkan efek toksik pada fungsi vital hati (Underwood 1992). Kerusakan yang terjadi pada hati dapat bersifat sementara dan tetap. Sel akan mengalami perubahan untuk beradaptasi mempertahankan hidup dengan kerusakan yang bersifat sementara, dan dapat pulih kembali (reversibel). Kerusakan ini tergolong non-letal dan perubahan ini biasa disebut degenerasi. Umumnya yang sering menunjukkan perubahan ini adalah sel-sel yang secara metabolik aktif seperti pada ginjal, hati, dan jantung. Degenerasi melibatkan sitoplasma sel, isi cairan sel bertambah dan membengkak, sedangkan nukleus mempertahankan integritas selama sel tidak mengalami cedera yang parah. Bila kerusakan parah (letal), maka inti sel akan mengalami piknosis, rheksis, dan karyolisis. Selain degenerasi, sel juga sering mengalami akumulasi terutama akumulasi protein di dalam sitoplasmanya (Carlton dan McGavin 1995). Beberapa jenis lesio hati akibat senyawa racun adalah degenerasi lemak, degenerasi hidropis, nekrosis dan bila kronis sirosis (Lu 1995). Degenerasi merupakan keadaan dimana hati kehilangan struktur dan fungsi normalnya. Degenerasi hidropis, degenerasi lemak degenerasi berbutir, albuminoid atau parenkim, sering terlihat pada proses-proses septik atau toksik. Gambaran makroskopik pada hati terlihat membesar dan tepinya membulat, konsistensinya rapuh sedangkan bidang sayatannya berwarna belang atau beraspek seperti telah
dimasak. Degenerasi hidropis merupakan kondisi dimana terdapat air dalam jumlah yang lebih banyak terakumulasi dalam sitoplasma sel. Degenerasi lemak merupakan perubahan morfologi dan penurunan fungsi organ hati yang disebabkan oleh akumulasi lemak dalam sitoplasma hepatosit. Degenerasi lemak pada hati menunjukkan bahwa di dalam tubuh terdapat ketidakseimbangan proses normal metabolisme sehingga mempengaruhi kadar lemak di dalam dan di luar jaringan hati (Jones et al. 2006). Tipe kematian sel dapat terjadi secara nyata melalui dua jalur yaitu apoptosis dan nekrosa. Nekrosis terjadi akibat adanya perlukaan secara langsung pada organel sel dan mengawali terjadinya penurunan yang tidak teratur pada perubahan morfologi sel yang bervariasi dari lisis hingga terjadinya koagulasi protein sel (Cheville 2006). Nekrosis merupakan kematian sel hati. Nekrosis dapat bersifat lokal (sentral, midzonal, perifer) atau masif (Lu 1995). Jika terjadi kerusakan sel yang parah atau berlangsung lama, sel akan mencapai suatu titik dimana sel tidak dapat lagi mengkompensasi dan tidak dapat melangsungkan metabolisme. Pada keadaan ini sel bersifat irreversibel dan mati. Nekrosa sentrolobuler terjadi terutama di sekitar vena sentralis karena pengaruh toksin dari aliran darah (Ressang 1984, Plumlee 2004). Nekrosa ditandai dengan bengkaknya sel karena upaya membran plasma mengatur lesio mekanisme keluar masuknya ion dan air. Nekrosa melibatkan sekelompok besar sel dalam jaringan dan menghasilkan molekul-molekul pra peradangan sehingga akan diinfiltrasi oleh sel-sel radang. Sitoplasma dari sel nekrosa akan terlihat lebih asidofilik (merah) yang disebabkan denaturasi protein sitoplasma dan kerusakan lisosom. Khromatin inti menggumpal, inti mengecil dan berwarna biru yang dikenal dengan proses piknosis. Inti piknosis dapat pecah menjadi bagian-bagian kecil (karyorrhexis) atau menghilang (karyolisis) (Cheville 2006). Apoptosis atau programme cell death dapat dibedakan dengan nekrosis. Pada nekrosis sel tidak mengalami kematian secara alami dalam siklus hidup sel tersebut (Plumlee 2004), sedangkan apoptosis sel mengalami kematian yang bersifat fisiologis (perkembangan normal) dan patologis (akibat agen infeksius atau toksik) serta melibatkan sel secara individu tanpa menghasilkan produk sel (sitokin) pra peradangan. Dengan demikian sel yang mengalami apoptosis tidak
menstimuli peradangan. Apoptosis ditandai dengan sel yang menyusut, mitokondria pecah dan dibebaskannya sitokrom-c membentuk blebs seperti gelembung pada permukaan sel, khromatin (protein DNA) dalam nukleus terurai, sel pecah menjadi pecahan-pecahan kecil (badan apoptosis) namun membran sel tetap utuh. Badan apoptosis nantinya akan difagosit oleh makrofag (Cheville 2006). Sirosis hati merupakan kelanjutan dari nekrosis yang tersebar luas di banyak lobulus hati, karena kurangnya mekanisme regenerasi dan bisa juga didukung oleh tidak cukupnya aliran darah dalam hati. Sirosis hati ditandai oleh adanya septa kolagen yang tersebar di sebagian besar hati (Lu 1995).
Ginjal Anatomi dan Fisiologi Ginjal Pada hampir semua spesies mamalia, ada dua ginjal dilihat dari tepi berbentuk mirip kacang kedelai, terletak di retroperitoneum dengan posisi keduanya mendatar pada kedua tepi otot lumbar atau menggantung pada dorsal abdomen. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit lebih cranial dibandingkan ginjal kiri. Pada ginjal, arteri dan vena, pembuluh limfe, syaraf dan ureter berjalan melewati lekukan ginjal atau hilus. Permukaan ginjal ditutupi oleh jaringan ikat kapsula, dimana terutama tersusun oleh serabut kolagen, tetapi dapat juga tersusun dari otot polos dan pembuluh darah (Verlander 2002). Jika ginjal dibagi dua dari permukaan ke arah hillus, tiga daerah utama yang dapat digambarkan yaitu korteks di bagian luar, medulla di bagian tengah dan rongga pelvis ginjal di bagian dalam. Medulla ginjal terbagi atas beberapa massa jaringan berbentuk kerucut yang disebut piramida ginjal. Dasar dari setiap piramida dimulai pada perbatasan antara korteks dan medulla serta diakhiri pada papilla yang menonjol ke dalam ruang pelvis ginjal, yaitu daerah penampungan sementara berbentuk corong yang merupakan pangkal dari ureter (Guyton dan Hall 1997). Nefron merupakan unit fungsional terkecil dari ginjal. Produksi urin dilakukan dalam nefron tersebut, yang tersusun atas glomerulus dan berbagai tubulus yang membentuk saluran seperti tubulus proksimal dan tubulus distal.
Fungsi dari nefron adalah untuk membersihkan atau menjernihkan plasma darah dari substansi yang tidak diinginkan oleh tubuh (Guyton dan Hall 1997). Kebanyakan orang telah mengenal satu fungsi ginjal yang terpenting, yaitu membuang bahan-bahan sampah tubuh dari hasil pencernaan atau yang diproduksi oleh metabolisme. Fungsi kedua adalah mengontrol volume dan komposisi cairan tubuh (Guyton dan Hall 1997). Pada umumnya fungsi ginjal adalah untuk mempertahankan keseimbangan susunan darah dengan : 1. Mengeluarkan kelebihan air dalam tubuh terutama dari depo interstitium. 2. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme sebagai ureum, asam kemih, alantoin, ammonia, asam hipurat, dan metabolit-metabolit triptofan. 3. Mengeluarkan garam-garam anorganik yang kebanyakan berasal dari makanan. 4. Mengeluarkan bahan-bahan asing yang terlarut dalam darah, contohnya pigmenpigmen darah atau pigmen-pigmen yang terbentuk di dalam tubuh. Selain itu ginjal juga mempunyai enzim tertentu yang dapat membantu dalam proses metabolisme, detoksifikasi, dan biotransformasi dari xenobiotik (Maronpot 1999). Ginjal dapat melakukan tugas-tugas tersebut di atas karena fungsi saring pada glomeruli, karena daya serap kembali daripada tubuli serta karena fungsi sekretorik sel-sel tubuli (Ressang 1984).
Histologi Ginjal Pada pemotongan membujur ginjal terdapat parenkim yang terbagi menjadi bagian luar yang berwarna merah gelap disebut korteks dan bagian dalam yang lebih cerah disebut medula. Pada bagian korteks tersebut lebih banyak mengandung nefron. Nefron merupakan unit fungsional dan struktural dari ginjal, ribuan nefron terdapat pada setiap ginjal. Jumlah nefron dari tiap-tiap spesies hewan sangat bervariasi, anjing mempunyai sekitar 400.000 per-ginjal, sedangkan kucing 200.000 per-ginjal (Dellman dan Brown 1998). Pada dasarnya nefron terdiri atas sebuah glomerulus dimana cairan tersebut difiltrasi dan sebuah tubulus yang panjang dimana cairan filtrasi tersebut diubah menjadi urin dalam perjalanan ke pelvis renis (Guyton dan Hall 1997). Nefron dapat diklasifikasikan berdasarkan
lokasi glomerulus pada korteks, contohnya superfisial (dekat dengan kapsula), midkortikal, atau juxtamedullary (dekat dengan medulla), atau berdasarkan panjang dari loop of Henle seperti short-looped dan long-looped. Short-looped nefron pada umumnya terletak pada superfisial atau midkortikal glomerulus dan tubulus yang hanya meluas sampai ke bagian luar medulla sebelum kembali lagi ke dalam korteks. Sedangkan long-looped nefron terletak pada juxtamedullary glomerulus dan tubulus yang meluas hingga ke bagian dalam medulla sebelum kembali ke dalam korteks. Kebanyakan spesies memiliki kedua loop nefron tersebut. Pada kucing, anjing, dan beberapa spesies yang hidup pada daerah beriklim panas hanya memiliki long-looped nefron, yang dapat menyimpan air dengan lebih efisien daripada short-looped nefron, sedangkan pada hewan yang hidup dalam air hanya memiliki short- looped nefron. Tiap ginjal mendapat suplai darah dari arteri renalis yang masuk dari bagian hilus renalis. Arteri renalis kemudian bercabang secara progresif membentuk arteri interlobularis, arteri aciformes (arcuata), arteri interlobularis (arteri radialis), dan arteriol afferent (vas afferent) yang menuju ke kapiler glomerulus dalam glomerulus (Guyton dan Hall 1997). Dan pada glomerulus inilah dimulai proses pembentukan urin, contohnya pada hewan besar, dimana kira-kira 800 liter dari cairan plasma, mengalami filtrasi sejumlah 180 liter, sebagian besar dari cairan tersebut di reabsorbsi di tubulus (Underwood 1992). Ujung distal kapiler dari setiap glomerulus bergabung untuk membentuk arteriol efferent (vas efferent), yang menuju ke jaringan kapiler kedua, yaitu kapiler peritubular, yang mengelilingi tubulus ginjal. Tiap glomerulus menerima darah dari arteriol afferent yang kemudian menuju ke kapiler glomerulus, sedangkan darah meninggalkan glomerulus melalui arteriol efferent dan menuju ke kapiler peritubular. Kapiler peritubular melapisi seluruh tubulus dan mengembalikan material seperti air, ionion dan nutrisi yang dipompa melewati epitel tubulus (Guyton dan Hall 1997, Verlander 2002).
Gambaran mikroskopik ginjal mencit
Gambar 6 Histologi ginjal Sumber: www.deltagen.com
Gambar 7 Histologi Glomerulus Ginjal. AA, afferent arteriole; DT, distal tubule; EA, efferent arteriole; EMC, extraglomerular mesangial cells; GC, glomerular capillaries; IMC, intraglomerular messangial cells; JC, juxtaglomerular cells; MD, macula densa; P, podocyte; US, urinary space. Sumber : Samuelson 2007
Intoksikasi Ginjal Gangguan pada ginjal dalam melakukan fungsinya akan sangat mempengaruhi pembuangan zat-zat yang tidak diperlukan tubuh, dan mungkin zat-zat yang tertimbun tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Kerja utama ginjal adalah memproduksi urin sehingga urin merupakan jalur utama ekskresi sebagian besar senyawa racun. Hal ini yang menyebabkan ginjal sebagai organ sasaran utama efek toksik (Lu 1995). Perubahan patologi yang dapat terjadi pada ginjal antara lain nephrosis (nefrosa) yaitu peradangan pada ginjal yang disebabkan oleh gangguan pertukaran zat. Nefrosa dapat dibagi menjadi tubulo-nephrosis dan glomerulo-nephrosis. Tubulo-nephrosis disebabkan oleh perubahan pada epitel tubuli karena tubuli selain berfungsi sebagai sekresi juga berfungsi sebagai reasorbsi. Yang termasuk dalam tubulo-nephrosis antara lain degenerasi hidropik vakuoler yang disebabkan oleh gangguan metabolisme air dan protein dalam sel, degenerasi hialin, nefrosa hipokhloremik dan sebagainya. Glomerulo-nephrosis yaitu perubahan yang bersifat radang pada glomerulus, yang disebabkan gangguan pra-renal dan humoral (Ressang 1984). Pada ginjal dapat terjadi kematian sel, baik dalam bentuk apoptosis maupun nekrosa. Sama halnya yang terjadi pada sel hepatosit hati, pada ginjal pun terjadi hal yang sama pada sel tubuli. Nekrosa merupakan kematian sel dan jaringan yang terjadi pada hewan yang hidup. Jaringan nekrotik tampak secara makro seperti noktah atau bercak yang pucat secara mikroskopik dalam pewarnaan HE, massa sel yang mengalami koagulasi pada jaringan yang mati akan berwarna lebih eosinofilik dibandingkan sel-sel yang normal. Pada umumnya nekrosa disebabkan oleh iskhemia dan beberapa agen eksogen, termasuk agen fisik (trauma dan luka bakar), racun kimia, virus, mikroorganisme lain dan racun-racunnya (Cheville 2006). Sel tubuli ginjal pun dapat mengalami kerusakan sel yang reversibel, yang disebut degenerasi. Perubahan pada sel tersebut masih dapat pulih atau normal kembali apabila intoksikasi toksin dihentikan, namun apabila terus berlanjut akan mencapai suatu keadaan dimana terjadi pula kematian sel. Degenerasi hidropis secara mikroskopik terlihat adanya celah kosong dan terkadang terjadi di sekitar
nukleus dan bintik-bintik sitoplasma terdesak ke belakang terhadap perifer dari sel (Jones et al. 2006). Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh gangguan metabolisme air dan protein dalam sel (Ressang 1984). Akumulasi protein pada sitoplasma sel biasanya berbentuk butiran-butiran eosinofil yang khas, sepert butiran-butiran hialin. Akumulasi protein biasanya dihubungkan dengan degenerasi butir hialin, namun sebenarnya itu bukan merupakan perubahan akibat degenerasi. Secara sederhana hal tersebut merupakan gambaran dari meningkatnya penyerapan protein dari isi lumen tubuli oleh epitel tubuli proksimal dan distal. Biasanya sering terlihat di bagian sitoplasma sel epitelial dari tubulus proksimal ginjal. Plasma protein yang keluar dari kapiler glomerulus yang abnormal akan di reabsorbsi secara pinositosis pada lumen tubulus oleh sel-sel tubulus (Jones et al. 2006). Degenerasi butir hialin dapat menjadi indikasi bahwa terdapat zat toksik yang lolos dari filter glomerulus dan setelah terabsorbsi oleh epitel tubuli, dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal tersebut.
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai dari November 2007 sampai Mei 2008 di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan sebanyak 25 ekor, pakan mencit, sekam sebagai alas untuk mencit, ekstrak alkohol Q. indica, antibiotik, obat cacing, eter, Buffer Neutral Formalin 10%, alkohol absolut, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, xylol, paraffin cair, Mayers Hematoksilin, Lithium carbonat, eosin, CMC-Na. Peralatan yang digunakan adalah kandang mencit, tempat makan dan minum, kertas label, kapas, gunting, pinset, pisau skalpel, spoit, sonde lambung, kantung plastik tempat spesimen, sarung tangan, gelas objek, cover glass, mikroskop, mikrotom, timbangan digital, kaset jaringan, dan video foto mikroskop.
Metode Penelitian 1. Persiapan kandang dan adaptasi mencit Sebelum mencit digunakan untuk penelitian, terlebih dahulu disiapkan kandang yang terbuat dari boks plastik yang dimodifikasi dan ditutup dengan kawat. Kandang diberi sekam agar mencit tidak kedinginan yang diganti setiap 3 hari sekali. Mencit dibagi dalam 5 kandang masing-masing berisi 5 ekor yang akan menerima perlakuan ekstrak empat dosis bertingkat dan satu grup sebagai
perlakuan
kontrol.
Sebelum
melakukan
perlakuan
mencit
diadaptasikan terlebih dahulu. Mencit diberi perlakuan antibiotik berupa Ampicillin dengan dosis IU 125mg/5ml diberikan 1 kali selama 3 hari dan obat cacing dengan kandungan zat aktif pyrantel pamoate dosis 0,1ml diberikan 1 kali pada hari pertama adaptasi mencit untuk menghilangkan
perubahan-perubahan yang tidak spesifik pada jaringan akibat agen-agen infeksius. 2. Perlakuan terhadap mencit Setelah perlakuan adaptasi selama 2 minggu, masing-masing kelompok diberi konsentrasi ekstrak Q. indica yang berbeda. Pemberian dilakukan dengan menggunakan sonde lambung dengan dosis bertingkat yaitu 1000-10010-1 mg/kg BB yang dilarutkan dengan Carboxymethocellulose (CMC-Na) dalam 0,1 ml/mencit selama 7 hari. 3. Nekropsi Setelah pemberian ekstrak selama 7 hari, kemudian dilakukan nekropsi. Sebelum dilakukan nekropsi, terlebih dahulu mencit dibius dengan menggunakan eter sampai over dosis. Setelah terbius, rongga abdomen mencit dibuka untuk mengambil sampel hati dan ginjal yang kemudian difiksasi dalam Buffer Neutral Formalin 10% (pH netral) pada suhu ruang selama 48 jam. 4. Pembuatan preparat histologi Organ hati dan ginjal dari setiap sampel yang telah dinekropsi, ditriming dengan tebal ±0,3 cm, kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassette, jaringan kemudian didehidrasi dengan alkohol bertahap dan diinfiltrasi paraffin dengan bantuan alat automatic tissue processor. Selanjutnya dilakukan proses embedding, yaitu proses penanaman organ ke dalam paraffin dan dibiarkan hingga mengeras dalam cetakan blok paraffin. Blok tersebut disimpan dalam refrigerator (4-60C) sebelum diiris dengan mikrotom. Setiap blok paraffin diiris dengan mikrotom dengan ketebalan 3 mikron. Paraffin yang telah dipotong diletakkan di atas air hangat agar jaringan tersebut tidak mengkerut, lalu potongan jaringan tersebut diletakkan di atas gelas objek yang telah diberi perekat putih telur. Jaringan yang telah diletakkan di atas gelas objek disimpan dalam inkubator selama ±24 jam. Kemudian dilanjutkan dengan pewarnaan HE (Hematoxylin Eosin). 5. Pengamatan histopatologi dan uji statistik Preparat yang telah siap untuk diamati, dapat segera dilakukan pengamatan histopatologi. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan
mikroskop cahaya serta dapat dibantu dengan menggunakan video foto mikroskop dengan pembesaran 400x. Terhadap preparat tersebut, dilakukan penghitungan jumlah perubahan sel pada jaringan. Pengamatan pada organ hati dilakukan dengan menghitung jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, apoptosis, dan sel hati yang normal di sepuluh lapang pandang sekitar vena sentralis dan di sepuluh lapang pandang sekitar vena porta. Pada masing-masing lapang pandang dihitung jumlah sel hati (hepatosit) yang mengalami degenerasi dan apoptosis kemudian dibagi dengan jumlah hepatosit dalam satu lapang pandang. Hasil yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan uji ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui tingkat signifikan antar kelompok kontrol dan perlakuan. Pada ginjal, dilakukan pengamatan terhadap perubahan glomerulus dan sel epitel tubuli, serta sel epitel tubuli yang normal. Perubahan yang terjadi pada epitel sel tubuli dapat berupa degenerasi dan apoptosis serta ada tidaknya endapan protein pada tubuli proksimal ginjal. Sedangkan pada glomerulus, dapat diamati atrofi glomerulus dan adanya endapan protein pada glomerulus tersebut. Sama halnya dengan hati, pada ginjal dilakukan pula pengamatan terhadap 20 lapang pandang di daerah sekitar glomerulus. Pada masingmasing lapang pandang tersebut, dihitung jumlah total sel epitel tubuli ginjal yang mengalami degenerasi, apoptosis dan persentase tubuli dengan endapan protein dan dan dibagi dengan jumlah sel epitel tubuli dalam satu lapang pandang. Sedangkan pada glomerulus, perubahan yang terjadi antara lain berupa atrofi anyaman glomerulus dan adanya endapan protein pada ruang Bowman. Hasil penghitungan dicari persentasenya dan dirata-ratakan antar kelompok perlakuan. Hasil yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan uji ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui tingkat perbedaan antara kelompok kontrol dan perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh
Pemberian
Ekstrak Quassia indica Terhadap Perubahan
Histopatologi Hati Mencit Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi organ hati mencit pada kelima kelompok baik pada perlakuan maupun kontrol ditemukan adanya perubahan pada parenkim maupun interstitium. Perubahan pada parenkim terjadi pada sel hati (hepatosit) berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan kematian sel tanpa peradangan (apoptosis). Pada interstitium terjadi perubahan berupa kongesti dan perluasan sinusoid. Kongesti dan perluasan sinusoid dapat dimungkinkan karena penggunaan eter anestetikum yang over dosis. Eter merupakan anastetik umum yang sangat kuat, dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit, menekan kontraktilitas otot jantung dan pembuluh darah organ-organ (Ganiswara 1995). Dengan demikian adanya kongesti pada sinusoid tidak dijadikan sebagai parameter dalam perubahan mikroskopis akibat pemberian ekstrak Q. indica.
Gambar 8 Gambaran histopatologi jaringan hati yang diberi ekstrak Quassia indica. Lesio hepatosit berupa : Apoptosis (A) dan Degenerasi hidropis (B), Dosis 100 mg/kg BB. Pewarnaan HE; Bar:2µm
Gambar 9 Gambaran histopatologi jaringan hati yang diberi ekstrak Quassia indica. Lesio hepatosit berupa Degenerasi lemak (A), Apoptosis (B), dan Kongesti (C). Dosis 1000 mg/kg BB. Pewarnaan HE; Bar:2µm Untuk membandingkan lesio antara kelompok kontrol dan perlakuan maka dilakukan penghitungan persentase jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan apoptosis di sekitar vena sentralis dan vena porta. Hasil perhitungan dan analisis statistik persentase jumlah hepatosit yang mengalami lesio degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan apoptosis di sekitar vena sentralis dan vena porta tersebut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Persentase lesio hepatosit mencit yang diberi ekstrak Quassia indica Persentase Lesio Hati Dosis Normal Degenerasi Degenerasi Apoptosis (mg/kg) Hidropis lemak Kontrol 56.216±6.376a 4.944±1.918a 15.256±8.272b 23.583±0.567b 1 53.226±4.921a 6.787±3.668a 12.267±3.416bc 27.719±3.548b a a bc 10 54.282±4.547 9.805±3.889 4.445±1.958 31.469±2.173b a a c 100 57.498±3.629 6.392±0.925 2.844±1.209 33.266±2.449b a b a 4.528±3.306 1000 25.673±2.928 36.336±9.093 33.463±10.839a Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan P<0,05
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa lesio berupa degenerasi hidropis menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada tiap kelompok perlakuan dengan
kelompok kontrol. Degenerasi lemak terjadi pada kelompok perlakuan dengan dosis 1000 mg/kg BB, sedangkan pada kelompok perlakuan dengan dosis 1 dan 10 mg/kg BB tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kelompok kontrol. Lesio berupa apoptosis hanya terjadi pada kelompok perlakuan dosis 1000 mg/kg BB. Perbandingan persentase lesio hepatosit yang terjadi pada vena sentralis dan vena porta disajikan dalam diagram batang berikut :
Gambar 10 Diagram lesio hepatosit pada vena centralis (biru) dan vena porta (merah) pada hati mencit yang diberi ekstrak Quassia indica.
Hasil perhitungan statistik menunjukkan persentase hepatosit normal pada tiap kelompok cenderung sama, perbedaan yang nyata hanya tampak pada kelompok dosis 1000 mg/kg (p<0,05). Persentase sel normal paling tinggi terdapat pada kelompok kontrol, sedangkan persentase sel normal paling rendah terdapat pada kelompok dosis 1000 mg/kg BB. Dosis ini merupakan dosis tertinggi, sehingga kelainan hepatosit kemungkinan akibat pengaruh toksin ekstrak Q. indica. Degenerasi hidropis merupakan kelainan sel yang terjadi secara umum, baik pada kelompok kontrol maupun pada kelompok perlakuan. Lesio degenerasi
lemak terjadi pada semua kelompok perlakuan, namun kelompok dosis 1000 mg/kg BB menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) dibandingkan kontrol maupun kelompok perlakuan lainnya. Hal ini terjadi karena kandungan bahan aktif ekstrak tumbuhan tersebut yang menyebabkan terjadinya degenerasi lemak pada hepatosit. Lesio degenerasi lemak paling parah terjadi pada dosis paling tinggi, yaitu 1000 mg/kg BB yang menunjukkan bahwa tingginya konsentrasi dosis yang diberikan telah menimbulkan degenerasi lemak. Kelompok dosis 100 mg/kg BB berbeda nyata dengan kelompok kontrol dan kelompok dosis 1000 mg/kg BB. Hal ini menunjukkan bahwa sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak pada mencit kelompok 100 mg/kg BB lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kemungkinannya mencit-mencit pada kelompok tersebut lebih sehat daripada kelompok kontrol dan tidak diakibatkan oleh bahan aktif yang terkandung dalam Q. indica. Lesio berupa apoptosis pun terjadi pada semua kelompok, namun pada kelompok dosis 1000 mg/kg BB menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) dengan kelompok kontrol. Pada kelompok kontrol, hepatosit yang mengalami apoptosis lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa kematian sel hepatosit mencit diakibatkan oleh zat toksik yang berasal dari ekstrak Q. indica. Dosis 1000 mg/kg BB merupakan dosis tertinggi, sehingga konsentrasi kandungan senyawa toksik pun semakin tinggi sehingga menyebabkan kerusakan sel yang paling banyak. Pada kelompok kontrol pun ditemukan adanya apoptosis. Kondisi ini normal terjadi sebagai upaya hepatosit untuk beradaptasi menghadapi lingkungannya di dalam organ hati. Apoptosis atau kematian sel terprogram merupakan mekanisme homeostatik yang terkontrol secara genetik untuk mengeliminasi sel yang sudah tidak dipergunakan yang dapat menyebabkan kerusakan pada organ (Cheville 2006). Degenerasi merupakan salah satu tanda awal terjadinya kerusakan hati akibat toksin dan kerusakan non fatal yang bersifat sementara (reversible), dan sel masih dapat pulih atau normal kembali apabila paparan toksin dihentikan (Harada et al. 1999). Degenerasi hidropis, biasa dikenal sebagai hydrops merupakan kondisi dimana sel menerima cairan lebih banyak dari normalnya sehingga sitoplasma sel membengkak (Jones et al. 2006). Terjadinya akumulasi cairan
dikarenakan kerusakan pompa keluar masuknya ion sodium-potasium dari dan ke dalam hepatosit. Secara normal tiga ion sodium akan dipompa keluar hepatosit untuk setiap dua molekul potassium yang dipompa ke dalam hepatosit. Akan tetapi, karena membran hepatosit mengalami kerusakan maka menyebabkan ion sodium lebih banyak tertinggal di dalam dan terjadi osmosis sehingga cairan yang ada disekitar hepatosit akan merembes masuk ke dalam sitoplasma dan mengakibatkan kebengkakan sel (Cheville 2006, Carlton dan McGavin 1995). Degenerasi hidropis umum terjadi di hepatosit pada kasus-kasus kejadian penyakit, saat kekurangan nutrisi, ketuaan maupun saat hepatosit beradaptasi pada peningkatan metabolisme hati (Kelly 1993). Secara mikroskopik terlihat adanya rongga yang kosong, seringkali mengelilingi nukleus. Sitoplasma yang terwarnai terdesak sampai ke bagian perifer sel sehingga terlihat berwarna (Jones et al. 2006). Degenerasi hidropis merupakan kejadian fisiologis yang adaptif tergantung pada tinggi rendahnya tingkat metabolisme hati. Selain mengalami degenerasi hidropis, hepatosit juga mengalami degenerasi lemak. Lesio ini terjadi pada semua kelompok, baik perlakuan maupun kontrol. Degenerasi lemak dapat terjadi pada organ hati, ginjal dan jantung (Jones et al. 2006). Degenerasi lemak merupakan perubahan morfologi dan penurunan fungsi organ hati yang disebabkan oleh akumulasi lemak dalam sitoplasma hepatosit. Degenerasi lemak pada hati menunjukkan bahwa di dalam tubuh terdapat ketidakseimbangan proses metabolisme sehingga mempengaruhi kadar lemak sel. Akumulasi lemak ke dalam sel hati biasanya terjadi bila terlalu banyak asupan asam lemak bebas ke dalam sel hati, peningkatan pembentukan lipid di dalam sel hati akibat toksin yang merusak jalur ekspor lemak keluar dari hati, hipoksia kronis yang menghambat kerja enzim pada metabolisme lemak, dan adanya peningkatan mobilisasi lemak dari jaringan adiposa. Degenerasi lemak dapat terjadi secara fisiologis tergantung dari pakan dan aktivitas metabolik hati. Dari berbagai penyebab, adanya toksin yang masuk ke dalam tubuh mencit, merupakan penyebab utama terjadinya degenerasi lemak dalam penelitian ini. Zat toksik tersebut merusak jalur ekspor lemak, sehingga terakumulasi dalam hati dan menyebabkan degenerasi lemak pada hati. Degenerasi lemak disebabkan oleh defisiensi nutrisi seperti cholin atau prekursornya juga dapat menjadi pemicu
lemak tidak mampu untuk diekspor keluar hepatosit (Cheville 2006, Jones et al. 2006). Pada hepatosit pun ditemukan adanya apoptosis, dimana lesio paling banyak ditemukan pada kelompok dosis 1000 mg/kg BB. Hal ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi zat toksik yang masuk ke dalam tubuh mencit. Mekanisme kematian sel dapat terjadi secara apoptosis dan nekrosa. Nekrosis terjadi akibat adanya perlukaan secara langsung pada organel sel, mengawali terjadinya penurunan jumlah sel yang tidak teratur dan perubahan morfologi sel yang bervariasi dari lisis hingga terjadinya koagulasi protein sel (Cheville 2006). Nekrosa melibatkan sekelompok besar sel dalam jaringan dan menghasilkan molekul-molekul pra peradangan sehingga akan diinfiltrasi oleh sel-sel radang. Hal inilah yang membedakan nekrosa dengan tindakan bunuh diri sel yang sering disebut apoptosis. Perubahan sitoplasma diikuti dengan tiga perubahan yang terjadi pada nukleus, yaitu karyolisis (inti sel menghilang), karyoreksis (inti sel hancur), dan piknosis (inti sel mengkerut) (Cheville 2006, Hayes 2007). Pada apoptosis, sel mengalami kematian yang bersifat fisiologis (perkembangan normal) dan patologis (akibat agen infeksius atau toksik) serta melibatkan sel secara individu tanpa menghasilkan produk sel (sitokin) pra peradangan. Dengan demikian sel yang mengalami apoptosis tidak menstimuli peradangan. Apoptosis ditandai dengan sel yang menyusut, mitokondria pecah dan dibebaskannya sitokrom-c membentuk blebs seperti gelembung pada permukaan sel, khromatin (protein DNA) dalam nukleus terurai, sel pecah menjadi pecahan-pecahan kecil (badan apoptosis) namun membran sel tetap utuh. Dari hasil pemeriksaan mikroskopis, hepatosit yang mengalami apoptosis lanjut memperlihatkan sel yang sudah mengkerut, mengambil warna hematoksilin biru gelap dengan halo tanpa warna disekitarnya. Apoptosis yang masih dini memperlihatkan struktur sel dengan sitoplasma jelas karena lebih eosinofilik dan memiliki inti basofilik dengan membran inti yang telah mengalami pengkeriputan (Cheville 2006). Apoptosis merupakan proses yang cepat. Badan-badan apoptotik difagositasi oleh sel-sel sekitarnya, baik itu makrofag maupun sel-sel jaringan seperti epitelia maupun endotel dan didegradasikan oleh fagolisosom. Karena sel apotosis tidak membebaskan konstituen seluler maka sel-sel tersebut tidak
menimbulkan reaksi inflamasi. Racun tertentu, obat-obatan, hipertermia, hipoksia, dan iradiasi juga dapat menyebabkan terjadinya apoptosis. Adanya intoksikasi toksin dapat menstimuli aktivasi enzim endonuklease dan protease yang dihasilkan sel dan bersifat menghancurkan sel pembentuknya sehingga kejadian apoptosis dapat meningkat (Cooper 2002).
Perbandingan Lesio Hepatosit di Sekitar Vena Porta dan Vena Centralis Akibat Pemberian Ekstrak Quassia indica Berdasarkan hasil pengamatan pada vena porta dan vena sentralis didapatkan kerusakan hepatosit terjadi baik pada vena porta maupun vena sentralis. Untuk mengetahui perbedaan persentase lesio hepatosit maka jumlah hepatosit dihitung per lapang pandang di sekitar vena sentralis dan vena porta. Hasil penghitungan dan analisis statistik lesio hepatosit pada vena porta dan vena sentralis disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Persentase lesio hepatosit pada vena porta dan vena sentralis Persentase Lesio Hati Dosis
Lokasi
Normal
Degenerasi
(mg/kg) Kontrol
1
10
100
1000
Degenerasi Lemak
Apoptosis
Hidropis vc
56.334±5.670
a
5.433±2.154a
15.416±8.907b
22.817±2.752b
vp
56.098±7.095a
4.456±1.692a
15.097±8.114b
24.349±1.638b
vc
53.719±5.832a
6.915±3.526a
10.088±1.562bc
29.278±4.839b
vp
52.734±5.108a
6.659±4.167a
14.447±6.006b
26.159±2.674b
vc
53.965±6.557a
9.833±5.353a
4.506±1.949bc
31.695±1.789b
vp
54.598±3.391a
9.776±3.099a
4.383±2.081b
31.242±2.863b
vc
57.184±2.991a
6.454±1.756a
2.163±1.353c
34.198±2.028b
vp
57.812±4.735a
6.331±1.123a
3.524±1.276b
32.333±3.014b
vc
24.385±3.945b
4.509±2.115a
36.084±34.229a
35.021±10.789a
vp
26.961±2.166b
4.546±4.541a
30.589±9.677a
37.905±11.007a
Keterangan : - huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan P<0,05 - vc : vena sentralis ; vp : vena porta
Berikut ini merupakan diagram yang menunjukkan perbandingan lesio pada vena sentralis dan vena porta pada hati mencit yang diberi ekstrak Q. indica (Gambar 9) :
Gambar 11 Diagram persentase lesio hepatosit mencit pada vena centralis (vc) dan vena porta (vp) berupa degenerasi hidropis/DH (hijau), degenerasi lemak/DL (ungu), apoptosis/Ap (merah), dan normal/N (biru). Pada umumnya kerusakan hepatosit dimulai dari vena porta yang kemudian meluas hingga ke vena sentralis. Hal ini berkaitan dengan aliran vaskularisasi hati dimana hati mendapat suplai darah yang berasal dari saluran pencernaan dan arteri hepatika. Sari-sari makanan ini kemudian ditransport melalui vena porta yang selanjutnya menuju sinusoid-sinusoid dan berakhir pada vena sentralis. Hepatosit yang terletak di bagian perifer lobulus akan terlebih dulu berinteraksi dengan bahan-bahan yang bersifat toksik dibandingkan dengan yang
berada di tengah lobulus atau di sekitar vena sentralis (Maclachlan dan Cullen 1995). Pada kejadian ini, kerusakan hepatosit terjadi di sekitar vena porta maupun vena sentralis. Keduanya mengalami kerusakan yang sama yaitu degenerasi lemak dan apoptosis. Hal ini disebabkan oleh kandungan bahan aktif ekstrak Q. indica yang menyebabkan kerusakan pada kedua sisi lobulus. Kemungkinan yang terjadi karena bahan toksik Q. indica memiliki konsentrasi tinggi di dalam aliran darah hati (dosis 1000 mg/kg BB), sehingga tidak habis saat diabsorbsi oleh hepatosithepatosit sekitar portal dan masih berlebihan pula untuk dapat merusak hepatosithepatosit sekitar vena sentralis. Pemberian ekstrak Q. indica dosis 1000 mg/kg BB lebih menimbulkan kerusakan hepatosit berupa degenerasi lemak dan apoptosis yang berbeda nyata dengan kontrol. Bahan aktif yang terkandung dalam ekstrak tumbuhan tersebut memiliki potensi merusak pada dosis 1000 mg/kg BB tetapi tidak pada dosis 100 mg/kg BB.
Pengaruh
Pemberian
Ekstrak Quassia indica Terhadap Perubahan
Histopatologi Organ Ginjal Mencit Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi organ ginjal mencit pada kelima kelompok baik pada perlakuan maupun kontrol ditemukan adanya perubahan pada parenkim maupun interstitium. Perubahan parenkim terjadi baik pada glomerulus maupun tubulus. Perubahan yang terjadi pada glomerulus terlihat timbulnya endapan protein dan atrofi glomerulus (Gambar 10), sedangkan pada tubulus terlihat adanya apoptosis, degenerasi hidropis epitel tubuli proksimal serta adanya endapan protein pada epitel tubuli (Gambar 11). Pada interstitium terjadi perubahan
berupa
kongesti.
Kongesti
penggunaan eter sebagai euthanasia.
kemungkinan
besar
dikarenakan
Gambar 12 Gambaran histopatologi jaringan ginjal dengan perlakuan ekstrak Quassia indica. Endapan protein pada glomerulus (A), atrofi glomerulus (B). Dosis 1000 mg/kg BB. Pewarnaan HE. Bar: 2µm.
Gambar 13
Gambaran histopatologi tubulus ginjal dengan perlakuan ekstrak Quassia indica. Apoptosis (A), Degenerasi hidropis (B), dan endapan protein tubuli (C). Dosis 100 mg/kg BB. Pewarnaan HE. Bar: 2µm
Untuk membandingkan derajat keparahan lesio pada glomerulus dan tubuli ginjal akibat pemberian ekstrak Q. indica maka dilakukan penghitungan persentase jumlah glomerulus yang mengalami atrofi dan berisi endapan protein
serta penghitungan jumlah tubulus yang epitelnya mengalami degenerasi hidropis dan apoptosis serta tubulus yang berisi endapan protein. Hasil perhitungan dan analilis statistik pada lesio tersebut disajikan dalam Tabel 3 dan 4.
Tabel 3 Hasil pemeriksaan histopatologi glomerulus mencit yang diberi ekstrak Quassia indica Persentase Lesio Glomerulus Dosis
Normal
Endapan Protein
Atrofi
Kontrol
58.33±19.663a
28.33±19.663a
13.33±19.663b
1
74.33±12.363a
14.67±14.614a
10±12.363b
10
72.67±16.208a
15.33±12.848a
11±6.534b
100
65±11.050a
23.75±17.334a
11.25±7.487b
(mg/kg)
18.33±11.941a 1000 35±34.074b 46.67±23.883a Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan P<0,05
Tabel 4 Hasil pemeriksaan histopatologi tubuli ginjal mencit yang diberi ekstrak Quassia indica Persentase Lesio Tubulus Dosis
Normal
Degenerasi Hidropis
Apoptosis
Endapan Protein
Kontrol
67.478±1.165a
6.997±2.177a
21.806±1.037c
3.718±0.553a
1
66.871±2.638a
8.715±2.279a
21.408±1.522c
3.005±0.585ab
10
62.291±3.793ab
7.513±1.615a
27.596±4.359bc
2.599±0.384b
100
58.912±7.016bc
6.284±0.437a
31.726±6.590ab
3.077±0.522ab
1000
53.093±1.551c
8.460±2.030a
35.424±1.839a
3.023±0.465ab
(mg/kg)
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan P<0,05
Berdasarkan hasil penghitungan lesio endapan protein pada glomerulus, pada kelompok kontrol memiliki jumlah lesio yang paling tinggi, sedangkan pada kelompok perlakuan memiliki jumlah lesio yang lebih sedikit. Lesio endapan protein paling sedikit ditemukan pada kelompok dosis 1 mg/kg BB. Setelah dilakukan uji statistik, hasil yang didapatkan tidak beda nyata antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Hal ini kemungkinan disebabkan karena
daya tahan tubuh mencit yang berbeda-beda selama penelitian, sehingga efek dari paparan zat toksin yang masuk ke dalam tubuh tiap mencit pun berbeda-beda. Faktor lain yang mempengaruhi hal ini adalah adanya gangguan metabolisme lain yang tidak spesifik, misalnya akibat pengaruh lingkungan seperti kondisi ruangan yang tidak steril yang memungkinkan mencit terpapar infeksi penyakit yang tidak spesifik. Pada atrofi glomerulus, berdasarkan hasil perhitungan didapatkan lesio tertinggi pada kelompok dosis 1000 mg/kg BB. Hasil ini berbeda nyata antara kelompok dosis 1000 mg/kg BB dengan kelompok kontrol. Pemberian senyawa toksin yang terkandung dalam ekstrak Q. indica pada dosis 1000 mg/kg BB selama 7 hari menyebabkan terjadinya pengecilan ukuran glomerulus (atrofi). Filter glomerulus yang mengalami pengecilan akan menyebabkan terjadinya gangguan fungsi ginjal, akibatnya darah dan proteinnya lebih banyak dapat lolos melalui filter glomerulus yang tidak atrofi (normal) dan berada di ruang Bowman. Tabel 4 menyajikan hasil pemeriksaan histopatologi tubuli ginjal. Lesio tubuli berupa degenerasi hidropis tidak disebabkan oleh pemberian ekstrak Quassia indica, karena dari hasil perhitungan yang didapat menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan antara kelompok kontrol dan perlakuan. Pada lesio endapan protein tubulus, perbedaan yang nyata tampak pada dosis 10 mg/kg BB, namun persentase kelompok dosis 10 mg/kg BB lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok dosis perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi mencit yang berbeda-beda selama penelitian. Kerusakan tubuli ginjal kemungkinan disebabkan oleh senyawa-senyawa yang bersifat nefrotoksik yang terkandung dalam ekstrak Q. indica. Bahan nefrotoksik tersebut merusak ginjal dengan menimbulkan apoptosis pada epitelium tubuli sehingga protein hasil filtrasi glomerulus tidak dapat diserap optimum. Derajat perubahan tersebut bergantung pada sifat dan jumlah senyawa yang masuk ke dalam aliran darah, karena efektivitas toksin sangat bergantung pada tiga faktor yaitu jenis senyawa, konsentrasi dan target organ (Hock et al. 2005). Dengan masih cukup tingginya persentase tubulus normal berarti bahwa ginjal masih mampu untuk melakukan proses filtrasi dan reabsorbsi protein. Kemungkinan kerusakan yang terjadi pada tubulus ginjal ini disebabkan oleh senyawa toksik yang lolos dari
filter dan berimplikasi pada terganggunya normalitas epitel tubulus. Perubahan pada ginjal mengakibatkan gangguan sekresi dan absorbsi. Glomerulus dengan fungsi normal tidak dapat dilalui oleh molekul-molekul protein yang berukuran besar. Pada keadaan disfungsi glomerulus karena bahan-bahan toksik, bahanbahan asing (termasuk yang toksik) akan lolos dengan mudah dan masuk ke tubuli dalam jumlah yang berlebihan. Proses selanjutnya akan menyebabkan degenerasi atau kematian sel pada epitel tubuli. Perubahan pada glomerulus yang diberi ekstrak Q. indica digambarkan dalam Gambar 12 sedangkan lesio pada tubulus ditunjukkan pada Gambar13.
Gambar 14 Diagram persentase lesio glomerulus berupa atrofi (biru), endapan protein (merah) dan normal (hijau) pada ginjal mencit yang diberi ekstrak Quassia indica.
Gambar 15 Diagram persentase lesio tubuli berupa degenerasi hidropis (hijau), apoptosis (merah), endapan protein (ungu) dan normal (biru) pada ginjal mencit yang diberi ekstrak Quassia indica. Perubahan yang terjadi pada glomerulus akibat pemberian ekstrak Q. indica dapat dilihat pada Gambar 8 dimana perubahan yang terjadi berupa atrofi dan endapan protein. Ginjal merupakan organ toksisitas utama yang berhubungan dengan fungsinya dalam filtrasi, ekskresi dan metabolisme dari xenobiotik. Proses fisiologis yang terjadi di dalam ginjal akan mengeliminasi zat-zat kimia yang bersifat toksik dari tubuh. Beberapa bahan kimia dapat berubah menjadi hepatotoksik setelah dimetabolisme di hati dan menjadi nefrotoksik setelah melalui tubulus. Munculnya atrofi glomerulus menggambarkan adanya reaksi antara makromolekul yang terfiltrasi dengan dinding filter glomerulus. Atrofi glomerulus ditandai dengan mengecilnya glomerulus dalam kapsula Bowman sehingga ruang diantara glomerulus dan kapsula Bowman makin melebar. Atrofi glomerulus dapat terjadi akibat masuknya senyawa-senyawa yang bersifat toksik ke dalam filter glomerulus, yang menyebabkan pengecilan morfologi dan aktivitas sel-sel tubuli yang menjadi barier dari filter glomerulus seperti endotel, membran basal dan podosit (epitel). Resiko yang dapat terjadi filter akan lebih menyempit
sehingga aliran darah lebih terhambat untuk melaluinya. Darah akan lebih banyak melalui glomerulus yang masih normal dan terjadi kelebihan protein di ruang Bowman (Carlton dan McGavin 1995). Glomerulus yang mengalami atrofi akan mengalami penyusutan dan lebih kecil dari ukuran sebelumnya. Atrofi dapat terjadi dengan dua cara, yaitu 1) melalui penurunan jumlah dari sel yang utama, nekrosa menyebabkan hilangnya sel normal yang ada. Perkembangan atrofi seperti pada proses tersebut dinamakan numerical atrophy. Hasil yang sama pun dicapai dengan 2) penurunan ukuran dari tiap komponen sel, yang disebut quantitative atrophy. Biasanya perubahan ini lebih sering terjadi pada jaringan parenkim dibandingkan dengan interstitium. Atrofi dapat terjadi pada berbagai organ atau jaringan, melibatkan seluruh organ atau hanya sel tunggal (Jones et al. 2006). Akibat atrofi glomerulus, protein dengan berat molekul lebih besar akan lolos menjadi pra-urin dan dengan kerusakan epitelium tubuli, makin banyak protein yang berada dalam lumen tanpa dapat direabsorbsi. Pembentukan endapan protein pada ginjal sering ditemukan. Endapan protein dapat terjadi pada membran basal tubuli ataupun glomerulus. Dalam keadaan lanjut glomerulus dapat berubah menjadi bola-bola protein yang homogen dan mempunyai sedikit inti, disertai dengan lemak dalam dinding kapiler-kapilernya. Apabila terjadi disfungsi glomerulus maka bahan-bahan asing termasuk molekul-molekul protein akan melalui ruang Bowman dan akhirnya akan masuk ke lumen tubulus yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada tubulus (Jones et al. 2006). Endapan protein didepositkan dalam dinding kapiler glomerulus
yang
menyebabkan lolosnya protein plasma ke dalam urin. Adanya endapan protein dalam lumen tubulus ginjal adalah indikator gangguan reabsorbsi bahan-bahan yang masih diperlukan oleh tubuh termasuk massa protein (Hartono 1992). Degenerasi hidropis merupakan kerusakan sel yang bersifat sementara. Akumulasi cairan di dalam sel menyebabkan kebengkakan pada organel-organel sel. Kebengkakan endoplasmik retikulum akan menghambat sintesa protein, sehingga ribosom terlepas dari rough endoplasmik retikulum (RER). Karena sel gagal memperoleh energi yang bersumber dari mekanisme aerobik, maka sel berusaha memperoleh energi dengan sumber mekanisme anaerobik (glikolisis).
Perubahan sel pada tahap ini merupakan respon adaptasi agar sel tetap bertahan hidup (Cheville 2006). Bahan aktif yang bersifat toksik dari ekstrak alkohol Q. indica terhadap organ hati mencit dengan dosis 1000 mg/kg BB selama 7 hari, telah merusak hepatosit dengan morfologi berupa degenerasi lemak dan apoptosis. Pada bahan aktif toksik tersebut setelah diekskresikan melalui ginjal masih merusak dan menyebabkan atrofi glomerulus dan merusak epitel tubuli proksimal. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Praptiwi (komunikasi pribadi) didapatkan ED50 dari ekstrak Q. indica yang mematikan 50% Plasmodium berghei secara in vivo sebesar 115,5 mg/kg BB, sehingga untuk mematikan 100% Plasmodium berghei diperlukan dosis dua kali lebih besar yaitu 231 mg/kg BB. Dosis tersebut sudah mendekati level toksik, sehingga penggunaannya harus memperhatikan terhadap adanya kerusakan hati dan ginjal. Dengan demikian pemakaian ekstrak Q. indica untuk pengobatan malaria harus di bawah dosis 1000 mg/kg BB. Kemungkinan lain untuk pemakaian dosis Q. indica yang efektif terhadap Plasmodium tersebut, masih dapat dilakukan apabila lama pemakaian di bawah tujuh hari. Selain itu ekstrapolasi dosis yang toksik pada mencit untuk diaplikasikan pada manusia masih harus menggunakan hewan coba spesies lain.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil maka dapat disimpulkan bahwa : 1.
Pemberian ekstrak Q. indica dosis 1000 mg/kg BB selama 7 hari menimbulkan perubahan toksisitas yang signifikan terhadap hati berupa degenerasi lemak dan apoptosis.
2.
Pemberian ekstrak Q. indica dosis 1000 mg/kg BB selama 7 hari menimbulkan perubahan toksisitas yang signifikan terhadap ginjal berupa apoptosis sel tubulus proksimal dan atrofi glomerulus.
Saran 1.
Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk mengidentifikasi senyawa toksik pada ekstrak Quassia indica.
2.
Perlu studi lebih lanjut dalam pembuatan ekstrak sehingga senyawa toksik yang terkandung di dalam tanaman dapat diminimalisir.
3.
Perlu dilakukan pemisahan antara komponen yang bersifat toksik dengan komponen yang dapat membunuh parasit Plasmodium.
4.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan hewan coba yang mempunyai sensitivitas toksin yang berbeda seperti pada kelinci dan primata.
DAFTAR PUSTAKA Anonimus 1994. Indonesian Medicinal Plants. http://www.elsevier.nl/inca/Publications/store/2/7/3. [3 Maret 2008] Anonimus 1999. Samadera indica. http://www.efloras.org/object_page.aspx?object_id=59316&flora_id=1 2. [23 Januari 2008] Anonimus 2006. www.aluka.org/action/doBrowseResults?t=404567&sa=1&sa=1&st=1 55873&execbr= - [15 Maret 2008] Anonimus 2007a. Memorias do Instituto Oswaldo. http:/memorias.ioc.fiocruz.br/57922drs.htm. [5 September 2007] Anonimus 2007b. Quassia indica. http.//en.Wikipedia.org/wiki/Quassia. [ 26 Maret 2008 ]. Ballenger
L.
1999.
Mus
musculus.
Animal
Diversity
Web. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Mus_musculus.html. [2 Maret 2008].
Brown HW. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. Rukmono B et al., penerjemah. Jakarta: PT Gramedia. Carlton WW, McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. St. Louis. Mosby-Year Book, Inc. Hal 81-109. Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. 3rd ed. United States of America : Iowa State University Press. Hal 6-42. Cooper BJ, Slauson. 2002. Mechanisms of Disease A Textbook of Comparative General Pathology. Edisi ke-3. Mosby. USA. Hal 33-72. Dellman HD, Brown EM. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. Edisi 5. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Fox JG, BJ Cohen, FM Loew. 1984. Laboratory Animal Medicine. Academic Press, Inc. Orlando, Florida. Ganiswara S G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4. Jakarta: Gaya baru. Hal 116-117.
Goh SH, CH Chuah, JSL Moh, E. Soepadmo. 1995. Malaysian Medicinal Plants for The Treatment of Cardiovascular Disease. Journal of Ethnobotany (251): 183-187 Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Kedokteran. Edisi 7. Buku Kedokteran EGC . Jakarta. Harada T, Enomoto A, Boorman GA, Maronpot RR. Liver and Gallbladder. In: Maronpot RR. 1999. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. Edisi 1. Cache River Press. Hlm 119-136. Hartono. 1992. Histologi Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hayes MA. 2007. Pathophysiology of The Liver. Saunder Company, USA. Hal 114-139. Hock B, Elstner EF. 2005. Plant Toxicology. Edisi 4. Marce Dekker. New York. Jones, Thomas C, Ronald DH, Norval WK. 2006. Veterinary Pathology. Edisi ke-6. Blackwell Publishing. United State of America. Hal 17-79 Jubb KVF, Kennedy PC, Peter C. 1993. Pathology of Domestic Animal. Academic Press. London. Kelly WR. in: Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N. 1993. Pathology of Domestic Animals. 4th Vol 2. London: Academic Press. hlm. 319-406. Lemmens RHMJ, N. Bunyapraphatsara. 2003. Quassia L. in Prosea Plant Resources of South-East Asia 12 (2) Medicinal and Poisonous Plants. Ed2. Hal 463-466. Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Edisi 2. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Malole MBM dan CSU Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Maronpot RR. 1999. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. Edisi ke1. Cache River Press. MacLachlan NJ, Cullen JM. In: Carlton WM, McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. Edisi 2. Mosby. A Times Mirroc Co. Hal 81-108.
Mulyaningsih B, Sudarsono. 2002. Penentuan Aktifitas Antimalaria Minyak dari Biji Mimba yang Diberikan Per-Oral pada Hewan Uji Mencit. Jurnal Kedokteran YARSI. Jakarta. Hal 17-24 Nabib
R. 1987. Patologi Khusus Veteriner. Edisi 2. Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nafiu LO. 1996. Kelenturan fenotipik mencit (Mus musculus) terhadap ransum berprotein rendah. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Noerhayati. 1990. Pemberantasan Penyakit Parasitik pada Manusia di Jawa Tengah dan DIY serta Permasalahannya. Seminar Nasional Parasitologi. Salatiga. Penn D. 1999. A Mouse Primer. http:www.stormybiology.utah.edu./lab/mouse primer.html. [ 4 Februari 2008 ] Pouplin JN et al. 2006. Anti Malarial And Cytotoxic Activities of Ethnopharmacologically Selected Medicinal Plants From South Vietnam. Journal of Ethnopharmacology (109): 417-427. Plumlee Konnie H. 2004. Clinical Veterinary Toxicology. USA : Mosby. Quisumbing E. 1978. Medicinal Plants of the Philippines. Katha Publishing Co. Quezon City, the Philippines. 1262 pp. Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi 2. Percetakan Bali. Denpasar. Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi ke-6. Penerjemah Prof Dr. Kosasih Admawinata, FMIPA ITB. Hal 139-152. Samuelson Don A. 2007. Text Book of Veterinary Histology. Urinary System. University of Florida, Gainesville, Florida. Hal 371-396. Smith BJ, S Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. London: Bailliere Tindall. Spector WG, TD Spector. 1993. Pengantar Patologi Umum. Edisi 3. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Sutarno. 2005. Uji Antimalaria Ekstrak Buah Morinda citrifolia dan Aktifitas Makrofag pada Mencit setelah diinfeksi Plasmodium berghei. Majalah Biofarmasi Vol. 3 (2). Universitas Negeri Surakarta : Surakarta. Hal 61-69. Syukur C, Hernani. 2002. Budi Daya Tanaman Obat Komersial. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm. 1-15. Underwood JCE. 1992. General and Systematic Phatology. University of Sheffield Medical School. Sheffield. Verlander JW. Renal Physiology. In: Cuningham. 2002. Textbook Veterinary Phisiology. Edisi 3. WB Saunder Company. Philadelpia. Wijayakusuma H. 2005. Menumpas Penyakit Kewanitaan dengan Tanaman Obat. Jakarta: Puspa Swara. hlm. 1-2. Yoshiharu, Teruhiko, et al. 2001. Chemical Studiens on Medicinal Plant in Kalimantan. Prosiding Symposium Nasional Tanaman Obat dan Aromatik. Hal 17-30.
Lampiran 1 Bagan Pembuatan Sediaan Histopatologi
Sampling organ
Fiksasi BNF 10% selama 6-24 jam
Dehidrasi Alkohol 70%, 80%, 90%, Alkohol absolut I, dan Alkohol absolut II masingmasing 2 jam
Clearing Xylol I dan Xylol II masing-masing 2 jam
Embedding Penanaman jaringan dalam paraffin pada suhu 500C
Sectioning Pemotongan jaringan menggunakan mikrotom setebal 2µm
Mounting Penempelan jaringan pada gelas objek
Staining Pewarnaan
Lampiran 2 Pewarnaan Hematoksilin Eosin Xylol I, 2 menit
↓ Xylol II, 2 menit
↓ Alkohol absolut, 2 menit
↓ Alkohol 95%, 1 menit
↓ Alkohol 80%, 1 menit
↓ Cuci dengan air kran, 1 menit
↓ Mayer’s Haematoksilin, 8 menit
↓ Cuci dengan kran, 30 detik
↓ Lithium carbonat, 15-30 detik
↓ Cuci dengan air kran, 2 menit
↓ Eosin 2-3 menit
↓ Cuci dengan 95%, 10 celupan
↓ Alkohol absolut I, 10 celupan
↓ Alkohol absolut II, 2 menit
↓ Xylol I dan II, 1 menit
↓ Tutup dengan cover glass
Lampiran 3 Hasil Uji ANOVA
Hasil Uji ANOVA Lesio Hepatosit
General Linear Model: Persentase Normal Factor
Type
Levels
Dosis
fixed
5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Analysis of Variance for %N, using Adjusted SS for Tests Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
Dosis
4
1224,01
1224,01
306,00
12,61
0,000
Error
15
363,99
363,99
24,27
Total
19
1588,00
S = 4,92607
R-Sq = 77,08%
R-Sq(adj) = 70,97%
Unusual Observations for %N Obs
%N
Fit
SE Fit
Residual
St Resid
18
34,1982
44,3886
2,8441
-10,1904
-2,53 R
19
54,6770
44,3886
2,8441
10,2884
2,56 R
R denotes an observation with a large standardized residual.
General Linear Model: Persentase Apoptosis Factor
Type
Levels
Dosis
fixed
5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Analysis of Variance for %NK, using Adjusted SS for Tests Source
DF
Seq SS
Adj SS
Adj MS
F
P
Dosis
4
1224,01
1224,01
306,00
12,61
0,000
Error
15
363,99
363,99
24,27
Total
19
1588,00
S = 4,92607
R-Sq = 77,08%
R-Sq(adj) = 70,97%
Unusual Observations for %NK Obs
%NK
Fit
SE Fit
Residual
St Resid
18
65,8018
55,6114
2,8441
10,1904
2,53 R
19
45,3230
55,6114
2,8441
-10,2884
-2,56 R
R denotes an observation with a large standardized residual.
General Linear Model: Persentase Degenerasi Hidropis Factor Dosis
Type fixed
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Analysis of Variance for %DH, using Adjusted SS for Tests Source Dosis Error Total
DF 4 15 19
Seq SS 84,11 304,35 388,46
Adj SS 84,11 304,35
Adj MS 21,03 20,29
F 1,04
P 0,421
S = 4,50447 R-Sq = 21,65% R-Sq(adj) = 0,76% Unusual Observations for %DH Obs %DH Fit SE Fit Residual St Resid 12 20,9490 11,9463 2,0145 9,0027 2,23 R R denotes an observation with a large standardized residual.
General Linear Model: Persentase Degenerasi Lemak Factor Dosis
Type fixed
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Analysis of Variance for %DL, using Adjusted SS for Tests Source Dosis Error Total
DF 4 15 19
Seq SS 8049,5 1505,3 9554,8
Adj SS 8049,5 1505,3
Adj MS 2012,4 100,4
F 20,05
P 0,000
S = 10,0176 R-Sq = 84,25% R-Sq(adj) = 80,04% Unusual Observations for %DL Obs %DL Fit SE Fit Residual St Resid 18 39,5629 64,0449 5,7837 -24,4820 -2,99 R 19 85,4096 64,0449 5,7837 21,3647 2,61 R R denotes an observation with a large standardized residual.
Hasil Uji ANOVA Lesio Vena Centralis
General Linear Model: Persentase Normal Factor Dosis
Type fixed
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Analysis of Variance for %N, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Dosis 4 1487,75 1487,75 371,94 12,36 0,000 Error 15 451,28 451,28 30,09 Total 19 1939,03 S = 5,48503 R-Sq = 76,73% R-Sq(adj) = 70,52% Unusual Observations for %N Obs %N Fit SE Fit Residual St Resid 18 32,5172 41,9670 3,1668 -9,4498 -2,11 R 19 53,8979 41,9670 3,1668 11,9309 2,66 R R denotes an observation with a large standardized residual.
General Linear Model: Persentase Apoptosis Factor Dosis
Type fixed
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Analysis of Variance for %NK, using Adjusted SS for Tests
Source Dosis Error Total
DF 4 15 19
Seq SS 1487,75 451,28 1939,03
S = 5,48503
Adj SS 1487,75 451,28
R-Sq = 76,73%
Adj MS 371,94 30,09
F 12,36
P 0,000
R-Sq(adj) = 70,52%
Unusual Observations for %NK Obs %NK Fit SE Fit Residual St Resid 18 67,4828 58,0330 3,1668 9,4498 2,11 R 19 46,1021 58,0330 3,1668 -11,9309 -2,66 R R denotes an observation with a large standardized residual.
General Linear Model: Persentase Degenerasi Hidropis Factor Dosis
Type fixed
Analysis of Source DF Dosis 4 Error 15 Total 19
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Variance for %DH, using Adjusted SS for Tests Seq SS Adj SS Adj MS F P 83,64 83,64 20,91 0,79 0,552 399,34 399,34 26,62 482,98
S = 5,15974
R-Sq = 17,32%
R-Sq(adj) = 0,00%
Unusual Observations for %DH Obs %DH Fit SE Fit Residual St Resid 12 25,9671 12,1941 2,3075 13,7730 2,98 R R denotes an observation with a large standardized residual.
General Linear Model: Persentase Degenerasi Lemak Factor Dosis
Type fixed
Analysis of Source DF Dosis 4 Error 15 Total 19
S = 9,69059
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Variance for %DL, using Adjusted SS for Tests Seq SS Adj SS Adj MS F P 8013,7 8013,7 2003,4 21,33 0,000 1408,6 1408,6 93,9 9422,3
R-Sq = 85,05%
R-Sq(adj) = 81,06%
Unusual Observations for %DL Obs %DL Fit SE Fit Residual St Resid 2 36,5777 20,6260 5,5949 15,9517 2,02 R 18 39,0141 63,1372 5,5949 -24,1232 -3,05 R 19 81,7308 63,1372 5,5949 18,5936 2,35 R R denotes an observation with a large standardized residual.
Hasil Uji ANOVA Lesio Vena Porta
General Linear Model: Persentase Normal Factor Dosis
Type fixed
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Analysis of Variance for %N, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Dosis 4 993,83 993,83 248,46 10,04 0,000 Error 15 371,25 371,25 24,75 Total 19 1365,08 S = 4,97490
R-Sq = 72,80%
R-Sq(adj) = 65,55%
Unusual Observations for %N Obs %N Fit SE Fit Residual St Resid 18 35,8792 46,8101 2,8723 -10,9310 -2,69 R 19 55,4560 46,8101 2,8723 8,6459 2,13 R R denotes an observation with a large standardized residual.
General Linear Model: Persentase Apoptosis Factor Dosis
Type fixed
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Analysis of Variance for %NK, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Dosis 4 993,83 993,83 248,46 10,04 0,000 Error 15 371,25 371,25 24,75 Total 19 1365,08 S = 4,97490 R-Sq = 72,80% R-Sq(adj) = 65,55% Unusual Observations for %NK Obs %NK Fit SE Fit Residual St Resid 18 64,1208 53,1899 2,8723 10,9310 2,69 R 19 44,5440 53,1899 2,8723 -8,6459 -2,13 R R denotes an observation with a large standardized residual.
General Linear Model: Persentase Degenerasi Hidropis Factor Dosis
Type fixed
Analysis of Source DF Dosis 4 Error 15 Total 19
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Variance for %DH, using Adjusted SS for Tests Seq SS Adj SS Adj MS F P 86,78 86,78 21,69 0,98 0,446 331,11 331,11 22,07 417,89
S = 4,69832 R-Sq = 20,77% Unusual Observations for %DH Obs %DH Fit SE Fit 6 17,1144 8,5328 2,1012 20 16,9064 7,7208 2,7126
R-Sq(adj) = 0,00% Residual 8,5816 9,1855
St Resid 2,04 R 2,39 R
R denotes an observation with a large standardized residual.
General Linear Model: Persentase Degenerasi Lemak Factor Dosis
Type fixed
Analysis of Source DF Dosis 4 Error 15 Total 19
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Variance for %DL, using Adjusted SS for Tests Seq SS Adj SS Adj MS F P 8161,4 8161,4 2040,3 16,91 0,000 1810,3 1810,3 120,7 9971,7
S = 10,9858 R-Sq = 81,85% R-Sq(adj) = 77,00% Unusual Observations for %DL Obs %DL Fit SE Fit Residual St Resid 18 40,1116 64,9525 6,3427 -24,8409 -2,77 R 19 89,0883 64,9525 6,3427 24,1358 2,69 R R denotes an observation with a large standardized residual.
Hasil Uji ANOVA Lesio Glomerulus General Linear Model: Persentase Normal Factor Dosis
Type fixed
Analysis of Source DF Dosis 4 Error 15 Total 19
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Variance for %NG, using Adjusted SS for Tests Seq SS Adj SS Adj MS F P 3633,3 3633,3 908,3 6,50 0,003 2096,7 2096,7 139,8 5730,0
S = 11,8228 R-Sq = 63,41% R-Sq(adj) = 53,65% Unusual Observations for %NG Obs %NG Fit SE Fit Residual St Resid 19 60,0000 35,0000 6,8259 25,0000 2,59 R R denotes an observation with a large standardized residual.
General Linear Model: Persentase Atrofi Factor Dosis
Type fixed
Analysis of Source DF Dosis 4 Error 15 Total 19
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Variance for %AT, using Adjusted SS for Tests Seq SS Adj SS Adj MS F P 1272,92 1272,92 318,23 4,07 0,020 1172,08 1172,08 78,14 2445,00
S = 8,83962 R-Sq = 52,06% R-Sq(adj) = 39,28% Unusual Observations for %AT Obs %AT Fit SE Fit Residual St Resid 18 50,0000 33,3333 5,1036 16,6667 2,31 R R denotes an observation with a large standardized residual.
General Linear Model: Persentase Endapan Protein Factor Dosis
Type fixed
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Analysis of Variance for %EP, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Dosis 4 472,92 472,92 118,23 1,25 0,333 Error 15 1422,08 1422,08 94,81 Total 19 1895,00 S = 9,73681
R-Sq = 24,96%
R-Sq(adj) = 4,94%
Hasil Uji ANOVA Lesio Tubulus General Linear Model: Persentase Normal Factor Dosis
Type fixed
Analysis of Source DF Dosis 4 Error 15 Total 19
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Variance for %N, using Adjusted SS for Tests Seq SS Adj SS Adj MS F P 663,83 663,83 165,96 9,28 0,001 268,35 268,35 17,89 932,19
S = 4,22969 R-Sq = 71,21% R-Sq(adj) = 63,54% Unusual Observations for %N Obs %N Fit SE Fit Residual St Resid 15 73,4187 64,9897 2,1148 8,4289 2,30 R 16 57,1761 64,9897 2,1148 -7,8136 -2,13 R R denotes an observation with a large standardized residual.
General Linear Model: Persentase Apoptosis Factor Dosis
Type fixed
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Analysis of Variance for %NK, using Adjusted SS for Tests Source Dosis Error Total
DF 4 15 19
Seq SS 663,83 268,35 932,19
Adj SS 663,83 268,35
Adj MS 165,96 17,89
F 9,28
P 0,001
S = 4,22969 R-Sq = 71,21% R-Sq(adj) = 63,54% Unusual Observations for %NK Obs %NK Fit SE Fit Residual St Resid 15 26,5813 35,0103 2,1148 -8,4289 -2,30 R 16 42,8239 35,0103 2,1148 7,8136 2,13 R R denotes an observation with a large standardized residual.
General Linear Model: Persentase Degenerasi Hidropis Factor Dosis
Type fixed
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Analysis of Variance for %DH, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P Dosis 4 26,070 26,070 6,518 1,19 0,356 Error 15 82,362 82,362 5,491 Total 19 108,432 S = 2,34324 R-Sq = 24,04% R-Sq(adj) = 3,79% Unusual Observations for %DH Obs %DH Fit SE Fit Residual St Resid 5 14,4522 10,1455 1,0479 4,3067 2,05 R R denotes an observation with a large standardized residual.
General Linear Model: Persentase Endapan Protein Factor Dosis
Type fixed
Analysis of Source DF Dosis 4 Error 15 Total 19
Levels 5
Values 1%; 10%; 100%; 1000%; Kontrol
Variance for %EP, using Adjusted SS for Tests Seq SS Adj SS Adj MS F P 217,14 217,14 54,28 3,97 0,022 205,25 205,25 13,68 422,39
S = 3,69913 R-Sq = 51,41% R-Sq(adj) = 38,45% Unusual Observations for %EP Obs %EP Fit SE Fit Residual St Resid 2 21,0399 27,1465 2,1357 -6,1066 -2,02 R R denotes an observation with a large standardized residual.
Lampiran 4 Hasil Uji Duncan Hasil Uji Duncan Lesio Hepatosit Duncan's Multiple Range Test for Normal Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
15
Error Mean Square
24.26614
Harmonic Mean of Cell Sizes
3.797468
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
A
56.216
3
Kontrol
53.226
5
1%
57.498
4
100%
A
54.282
5
10%
B
25.673
3
1000%
A A A A A
Duncan's Multiple Range Test for Apoptosis Alpha Error Degrees of Freedom
0.05 15
Error Mean Square
24.26614
Harmonic Mean of Cell Sizes
3.797468
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
A
33.463
3
1000%
B
31.469
5
10%
33.266
4
100%
27.719
5
1%
23.583
3
Kontrol
B B B B B B
Duncan's Multiple Range Test for Degenerasi Lemak Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
15
Error Mean Square
100.353
Harmonic Mean of Cell Sizes
3.797468
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
A
36.336
3
1000%
B
15.256
3
Kontrol
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
12.267
5
1%
4.445
5
10%
2.844
4
100%
B C
B
C
B
C
B
C C
Hasil Uji Duncan Lesio Vena Centralis Duncan's Multiple Range Test for Normal Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
15
Error Mean Square
30.08553
Harmonic Mean of Cell Sizes
3.797468
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
A
56.334
3
Kontrol
53.719
5
1%
53.965
5
10%
A A A A A
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
A
57.184
4
100%
B
24.385
3
1000%
Duncan's Multiple Range Test for Apoptosis Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
15
Error Mean Square
30.08553
Harmonic Mean of Cell Sizes
3.797468
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
A
35.021
3
1000%
B
34.198
4
100%
31.695
5
10%
29.278
5
1%
22.817
3
Kontrol
B B B B B B
Duncan's Multiple Range Test for Degenerasi Lemak Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
15
Error Mean Square
93.90758
Harmonic Mean of Cell Sizes
3.797468
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
A
36.084
3
1000%
B
15.416
3
Kontrol
10.088
5
1%
4.506
5
10%
2.163
4
100%
B C
B
C
B
C
B
C C
Hasil Uji Duncan Lesio Vena Porta Duncan's Multiple Range Test for Normal Alpha Error Degrees of Freedom
0.05 15
Error Mean Square
24.74967
Harmonic Mean of Cell Sizes
3.797468
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
A
56.098
3
Kontrol
52.734
5
1%
57.812
4
100%
A
54.598
5
10%
B
26.961
3
1000%
A A A A A
Duncan's Multiple Range Test for Apoptosis Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
15
Error Mean Square
24.74967
Harmonic Mean of Cell Sizes
3.797468
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
A
37.905
3
1000%
B
31.242
5
10%
32.333
4
100%
B B
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
26.159
5
1%
24.349
3
Kontrol
B B B B
Duncan's Multiple Range Test for Degenerasi Lemak Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
15
Error Mean Square
120.6883
Harmonic Mean of Cell Sizes
3.797468
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
A
30.589
3
1000%
B
15.097
3
Kontrol
14.447
5
1%
4.383
5
10%
3.524
4
100%
B B B B B B
Hasil Uji Duncan Lesio Glomerulus Duncan's Multiple Range Test for Normal Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
15
Error Mean Square
139.7778
Harmonic Mean of Cell Sizes
3.797468
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
A
75.000
5
1%
73.000
5
10%
65.000
4
100%
A
58.333
3
Kontrol
B
35.000
3
1000%
A A A A A
Duncan's Multiple Range Test for Atrofi Alpha Error Degrees of Freedom
0.05 15
Error Mean Square
78.13889
Harmonic Mean of Cell Sizes
3.797468
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
A
33.333
3
1000%
B
13.333
3
Kontrol
11.250
4
100%
11.000
5
10%
10.000
5
1%
B B B B B B
Hasil Uji Duncan Lesio Tubulus Duncan's Multiple Range Test for Normal Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
15
Error Mean Square
17.89027
Harmonic Mean of Cell Sizes
3.797468
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A A
Mean
N
66.871
5
Dosis 1%
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
67.478
3
Kontrol
A
62.291
5
10%
C
58.912
4
100%
53.093
3
1000%
A A B B B
C C
Duncan's Multiple Range Test for Apoptosis Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
15
Error Mean Square
17.89027
Harmonic Mean of Cell Sizes
3.797468
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
35.424
3
1000%
A
31.726
4
100%
C
27.596
5
10%
A A B B B
C
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping C
Mean
N
Dosis
21.806
3
Kontrol
21.408
5
1%
C C
Duncan's Multiple Range Test for Endapan Protein Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
15
Error Mean Square
13.68359
Harmonic Mean of Cell Sizes
3.797468
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
Dosis
3.718
3
Kontrol
3.077
4
100%
3.005
5
1%
2.599
5
10%
3.023
3
1000%
A B
A A
B
A A
B B B
A