KAJIAN TOKSIKOPATOLOGI HATI DAN GINJAL MENCIT (Mus musculus) PADA PEMBERIAN EKSTRAK TANAMAN OBAT ANTIPLASMODIUM Ailanthus altissima
CHAIRUNNISA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ABSTRACT CHAIRUNNISA. Toxicopathology examination of mouse’s (Mus musculus) liver and kidney on antiplasmodium medicinal plant Ailanthus altissima extracts. Supervised by DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and PRAPTIWI. The aim of this research was to find out the toxicity effect from various level doses of the Ailanthus altissima extracts in liver and kidney of the mouse. The research used five groups of five mice, which were adapted for two weeks before using in this experiment. During adaptation period, all the mice received antibiotic and antihelminthic to avoid any unspecific lesion due to other agent. Four groups were received A. altissima extract at various level doses, of 1, 10, 100, and 1000 mg/kg body weight, and one group of mice acted as control which received Carboxymethocellulose (CMC-Na). After receiving A. altissima for seven days the mice then were euthanized with over dose of ether. The liver and kidney were taken and fixed within Buffer Netral Formalin (BNF) 10% solution. Histopathology slides were processed, stained with Hematoxylline Eosin and observed with video photo microscope. The lesion of cell death and degeneration of hepatocytes and epithelium of kidney proximal tubule were counted. The glomerular lesion such atrophy and protein sedimentation were also counted. The percentage of the lesions were analyzed statistically with the ANOVA test, continued with Duncan test. The result of this research showed that the dose of 10, 100, and 1000 mg/kg BW A. altissima extract for seven days did not cause any alteration on the liver, while increased the kidneys’s tubules epithelial cells lesion. This study suggested, the consumption of A. altissima as antiplasmodium should be cautions because the plant gave the toxic effect in kidney. Keyword: antiplasmodium, Ailanthus altissima extracts, medicinal plant, liver and kidney toxicopathology, mouse (Mus musculus)
ABSTRAK CHAIRUNNISA. Kajian Toksikopatologi Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus) Pada Pemberian Ekstrak Tanaman Obat Antiplasmodium Ailanthus Altissima. Dibimbing oleh DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan PRAPTIWI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat toksik dari dosis bertingkat ekstrak Ailanthus altissima pada hati dan ginjal mencit. Penelitian menggunakan lima kelompok mencit yang terdiri atas empat kelompok yang diberi ekstrak A. altissima dengan dosis bertingkat, yaitu dosis 1, 10, 100, dan 1000 mg/kg BB, serta satu kelompok mencit sebagai kontrol yang diberi Carboxymethocellulose (CMC-Na). Masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas lima ekor mencit. Pemberian ekstrak A. altissima dilakukan selama tujuh hari terhadap mencitmencit tersebut. Sebelumnya dilakukan adaptasi dengan pemberian pakan secara teratur serta pemberian obat cacing dan antibiotik. Mencit kemudian dieuthanasi dengan eter dan diambil organ hati dan ginjalnya. Sampel organ difiksasi dalam Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, kemudian dilakukan proses pembuatan sediaan histopatologi, yang diberi pewarnaan Hematoksilin Eosin dan dilakukan pengamatan dengan video foto mikroskop. Pengamatan histopatologi dilakukan dengan menghitung persentase degenerasi dan kematian sel pada sel tubuli proksimal ginjal dan sel hati di sekitar vena porta dan vena sentralis, persentase endapan protein pada tubuli proksimal ginjal, serta persentase atrofi dan endapan protein pada glomerulus. Hasil yang didapat dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji ANOVA, dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak A. altissima pada dosis 10, 10, dan 1000 mg/kg BB selama 7 hari tidak menimbulkan perubahan pada hati, tetapi meningkatkan perubahan patologi pada epitel tubuli ginjal. Oleh karena itu, jika obat ini digunakan oleh penderita malaria, disarankan untuk berhati-hati karena memberi efek toksik pada ginjal. Kata kunci: antiplasmodium, ekstrak Ailanthus altissima, tanaman obat, toksikopatologi hati dan ginjal, mencit (Mus musculus)
KAJIAN TOKSIKOPATOLOGI HATI DAN GINJAL MENCIT (Mus musculus) PADA PEMBERIAN EKSTRAK TANAMAN OBAT ANTIPLASMODIUM Ailanthus altissima
CHAIRUNNISA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul
: Kajian Toksikopatologi Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus) pada Pemberian Ekstrak Tanaman Obat Antiplasmodium Ailanthus altissima. : Chairunnisa : B 04104104
Nama NRP
Disetujui
drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD Pembimbing Penelitian I
Dr. Praptiwi, M.Agr Pembimbing Penelitian II
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 14 November 1985 di Tangerang, Banten. Penulis adalah anak kelima dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak H.M. Syafruddin, MSc. dan Ibu Hj. Ratu Shalhah. Pendidikan formal dimulai dari pendidikan taman kanak-kanak yang diselesaikan pada tahun 1992 di TK Pertiwi Tangerang. Kemudian pendidikan dasar yang diselesaikan pada tahun 1998 di SDN 18 Tangerang. Selanjutnya pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SMPN 1 Tangerang dan pendidikan lanjutan menengah atas yang diselesaikan pada tahun 2004 di SMU Islamic Village Tangerang. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur USMI pada tahun 2004. Selama perkuliahan penulis aktif dalam Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Ruminansia dan menjadi sekretaris HIMPRO HKSA pada tahun ajaran 2006/2007.
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah S.W.T atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul Kajian Toksikopatologi Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus) pada Pemberian Ektrak Tanaman Obat Antiplasmodium Ailanthus altissima telah selesai. Dengan selesainya skripsi ini,penulis mengucapkan terima kasih sebesarbesarnya kepada : 1. Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD dan Dr. Praptiwi, M.Agr selaku dosen pembimbing atas segala arahan, saran, bimbingan, kesabaran, dan waktu yang diluangkan selama proses penulisan skripsi ini. 2. Dr.drh.Eva Harlina, MSi selaku dosen penilai dan Dr.drh.Hj.Umi Cahyaningsih, MS selaku dosen penguji atas saran, kritik, dan penilaiannya. 3. Seluruh staf dan teknisi di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang membantu penulis selama penelitian. 4. Drh. Tutuk Astyawati, MS selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan yang telah diberikan selama perkuliahan. 5. Kedua orang tua: Bapak H.M Syafruddin, MSc Dan Ibu Hj. Ratu Shalhah serta seluruh keluarga yang telah memberikan kasih sayang, doa dan dukungan, moril serta materiil. 6. Sahabat setia yang berjuang bersama dalam penyelesaian tugas akhir ini, Dewi Ayu Agustiyanti. 7. Sahabat terbaik (Inge, Dhe, Ata, Iya, Na) atas kesetiaannya dalam suka maupun duka, serta semangat yang selalu diberikan selama 4 tahun ini. 8. Asteroidea ”41” dan almamater tercinta. 9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Bogor, November 2008 Chairunnisa
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………… ix DAFTAR GAMBAR …………………………………………………...
x
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
xi
PENDAHULUAN ……………………………………………………… Latar Belakang ............................................................................... Tujuan Penelitian ........................................................................... Manfaat Penelitian ......................................................................... Hipotesa .........................................................................................
1 1 2 2 2
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... Ailanthus altissima ........................................................................ Habitat ............................................................................... Morfologi .......................................................................... Taksonomi ......................................................................... Khasiat dan kegunaan ........................................................ Sifat toksik tanaman .......................................................... Tinjauan Tentang Penyakit Malaria .............................................. Siklus Hidup Plasmodium ………………………………………. Mekanisme Kerja Obat Antiplasmodium ……………………….. Mencit (Mus musculus) ………………………………………….. Biologi Mencit …………………………………………... Anatomi dan Fisiologi Hati ……………………………………… Histologi Hati ................................................................................. Intoksikasi Hati .............................................................................. Anatomi dan Fisiologi Ginjal ........................................................ Histologi Ginjal ............................................................................. Intoksikasi Ginjal ..........................................................................
3 3 3 4 5 5 6 7 7 8 9 10 11 12 15 18 19 20
MATERI DAN METODE ……………………………………………. Waktu dan tempat ......................................................................... Bahan dan alat .............................................................................. Metode penelitian .........................................................................
23 23 23 23
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... Pengaruh Pemberian Ekstrak Ailanthus altissima terhadap Perubahan Histopatologi Hati Mencit ........................................... Perbandingan Lesio Hepatosit di Sekitar Vena Porta dan Vena Sentralis Akibat Pemberian Ekstrak A. altissima ……........ Pengaruh Pemberian Ekstrak A. altissima Terhadap Perubahan Histopatologi Organ Ginjal Mencit …………….........
26 26 32 35
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... Kesimpulan ................................................................................... Saran ............................................................................................
43 43 43
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
44
LAMPIRAN .............................................................................................
47
DAFTAR TABEL Halaman 1
2
3
4
Persentase lesio hepatosit mencit yang diberi ekstrak Ailanthus altissima ………………………………………………
27
Persentase lesio hepatosit pada vena porta dan vena sentralis yang diberi ekstrak A. altissima ....................................................
33
Hasil pemeriksaan histopatologi glomerulus mencit yang diberi ekstrak A. altissima ………………...............................................
37
Hasil pemeriksaan histopatologi tubuli ginjal mencit yang diberi ekstrak A. altissima …………………………….................
37
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Pohon Ailanthus Altissima …………………………………......... 3
2(A) (B)
Batang A. Altissima ………………………………….................... 4 Ranting Pohon A. Altissima ……………………………………... 4
3(A) (B)
Daun A. Altissima …………………………………...................... Bunga A. Altissima ……………………………………................
4
Histologi Vena Sentralis Hati ………………………………........ 14
5
Histologi Vena Porta Hati ………………………………….........
14
6
Histologi Ginjal ………………………………….........................
20
7
Gambaran Histopatologi Jaringan Hati yang Diberi Ekstrak A. altissima ....................................................................................
23
Gambaran Histopatologi Jaringan Hati yang Diberi Ekstrak A. altissima …………………………………................................
24
8
5 5
9
Diagram Persentase Lesio Hepatosit Mencit …………………..... 29
10
Diagram Lesio Hepatosit pada Vena Sentralis dan Vena Porta...............................................................................
34
Gambaran Histopatologi Jaringan Ginjal Mencit Akibat Pemberian Ekstrak A. altissima dosis 1000 mg/kg BB ………….
36
Gambaran Histopatologi Jaringan Ginjal Mencit Akibat Pemberian Ekstrak A. altissima dosis 100 mg/kg BB …………...
36
13
Diagram Persentase Lesio Glomerulus ………………………….
39
14
Diagram Persentase Lesio Tubuli Ginjal ……………………......
39
11
12
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Bagan Pembuatan Sediaan Histopatologi ……………………...... 47
2
Pewarnaan Hematoksilin Eosin …………………………………. 48
3
Analisis Data Lesio Organ Hati dan Ginjal (ANOVA) ................. 49
4
Analisis Data Lesio Organ Hati dan Ginjal (Uji Duncan) ………. 57
PENDAHULUAN Latar Belakang Di Indonesia obat tradisional telah digunakan secara meluas dan turuntemurun. Pada umumnya obat tradisional digunakan untuk pencegahan, pengobatan, dan menambah daya tahan tubuh. Di dalam sistem kesehatan nasional, obat tradisional digunakan sebagai obat di samping obat modern dan sarana kesehatan lainnya. Obat dapat didefinisikan sebagai bahan yang menyebabkan perubahan biologis melalui proses kimia. Dalam arti luas, obat ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup. Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di reseptor dan menimbulkan efek. Selanjutnya, dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh (Ganiswarna 1995). Tumbuhan masih merupakan sumber utama dalam pencarian obat baru termasuk juga sebagai antimalaria. Penyakit malaria banyak ditemukan di wilayah tropis seperti Indonesia. Penyakit ini sangat jarang berakibat kematian, tetapi dapat menurunkan produktivitas bagi penderitanya. Penyakit menular ini disebabkan oleh protozoa yang bernama Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk jenis tertentu. Jenis nyamuk yang sering menularkannya adalah nyamuk Anopheles. Beberapa jenis Plasmodium yang menyebabkan malaria pada manusia yaitu Plasmodium vivax, P. malariae, dan P. falciparum Jenis malaria terakhir ini paling serius, bahkan bisa berakhir dengan kematian (Najib et al. 1999). Selain pada manusia penyakit malaria juga sering terjadi pada hewan, terutama unggas dan rodensia. Plasmodium yang dapat menyebabkan malaria pada unggas yaitu P. gallinaceum, sedangkan Plasmodium pada rodensia yaitu P. berghei (Cheng 1973). Di samping obat-obatan medis, beberapa tumbuhan juga dikenal bisa membantu penderita malaria melawan penyakitnya, antara lain tumbuhan dari suku Simaroubaceae (Burrows 2001). Tumbuhan dari suku Simaroubaceae yang mengandung triterpen terdegradasi menunjukkan beberapa aktivitas biologis sebagai antitumor, fitotoksik, antiviral, dan antihelmintik.
Aktivitas antimalaria pada beberapa quassinoid seperti brusatol, glaucarubinone, dan quassin telah dibuktikan sebelumnya (Wright 2005). Salah satu jenis tumbuhan dari suku Simaroubaceae yang digunakan sebagai obat malaria adalah Ailanthus altissima. Tumbuhan ini sudah digunakan sebagai tumbuhan obat tradisional di Cina. Para ahli kimia di Asia dan Eropa telah menemukan beberapa unsur bahan-bahan kimia aktif yang terkandung di dalam batang tumbuhan Ailanthus. Bahan-bahan kimia tersebut meliputi quassin, saponin, dan ailanthone yang dikenal sebagai zat aktif antimalaria (Burrows 2001). Dari sebuah studi ethnofarmakologi di Perancis menyebutkan bahwa golongan quassinoid yang diisolasi dari batang dan akar pada P. sprucei lebih aktif daripada quinine dan chloroquinine dengan aktivitas mencakup mikromolar. Beberapa quassinoid juga telah dikenal sebagai komponen tumbuhan yang dapat menghambat pertumbuhan P. falciparum dalam suatu kultur jaringan dengan konsentrasi nanomolar (Kuo et al. 2004). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat toksik dari dosis bertingkat ekstrak Ailanthus altissima pada hati dan ginjal mencit.
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi tentang sifat toksik dari ekstrak Ailanthus altissima pada hewan coba mencit (Mus musculus).
Hipotesis Hipotesis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: H0
: Ekstrak Ailanthus altissima tidak menimbulkan perubahan patologi yang signifikan terhadap organ hati dan ginjal mencit.
H1
: Ekstrak Ailanthus altissima dapat menimbulkan perubahan patologi yang signifikan terhadap organ hati dan ginjal mencit.
TINJAUAN PUSTAKA Ailanthus altissima Habitat Ailanthus altissima termasuk ke dalam suku Simaroubaceae. Tumbuhan ini dikenal dengan istilah “tree of heaven”, “palem ghetto”, atau “chouchun”. Ailanthus berasal dari negara Cina, Taiwan dan Korea Utara. Tumbuhan ini tersebar di Asia Timur bagian selatan sampai Australia bagian utara (Anonimus 2008). Di Pennsylvania dan seluruh wilayah timur laut Amerika, tumbuhan Ailanthus tumbuh secara alami di area perkotaan yang padat penduduk, dan juga dapat tumbuh di mana saja, seperti di lahan kosong, jalan kecil, trotoar, tempat parkir, sepanjang jalan kereta, dan jalan raya. Tumbuhan ini umumnya juga dapat ditemukan di ladang, tepi jalan, dan di tepi hutan (Rhoads dan Timothy 2000). Di Indonesia A. altissima ditemukan di Kalimantan Timur (Praptiwi 2008, komunikasi pribadi). A. altissima merupakan tumbuhan yang pertumbuhannya sangat cepat, dapat tumbuh di daerah beriklim tropis maupun subtropis, dalam satu tahun dapat menghasilkan bibit sebanyak 350.000 bibit. Tumbuhan ini juga memproduksi toksin yang dapat mencegah pertumbuhan spesies tumbuhan lain (Anonimus 2008).
Gambar 1 Pohon Ailanthus altissima (sumber: www.wikipedia.org/wiki/Ailanthus_altissima).
Morfologi Ailanthus altissima Ailanthus berukuran kecil hingga sedang. Tinggi pohon mencapai 80-100 kaki atau sekitar 25-30 meter (Gambar 1). Diameter batang berukuran 1 meter (Clair dan Bory 1990). Kulit kayu berwarna abu-abu pucat dan berstruktur halus (Gambar 2A). Bagian ranting berwarna cokelat terang dan halus, struktur ini terutama ditemukan di musim dingin. Pada ranting yang masih muda strukturnya cukup kuat dan ditutupi oleh rambut-rambut halus. Kayunya lunak, rapuh, tidak halus, dan berwarna putih krem hingga cokelat terang (Gambar 2B). Daunnya berukuran besar, dengan panjang mencapai 30-60 cm dan tersusun atas 11-25 lembar daun. Setiap lembar daun mempunyai permukaan yang bergerigi dan berkelenjar (Gambar 3A). Bentuk dan struktur daun tersebut merupakan ciri khas yang digunakan untuk membedakan A. altissima dengan spesies lainnya (Rhoads 2000). Pucuk daun relatif kecil, bahkan bagian ujung pucuknya tidak ada. Daun yang telah hancur akan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Bunganya memiliki panjang 0.5 cm dan bentuknya besar, dengan bagian ujung panikel berwarna hijau terang (Gambar 3B). Benang sari bunga berbau busuk. Setiap pohon menghasilkan ratusan bunga dalam satu tahun. Pada umumnya tumbuhan ini berbunga pada bulan Juni atau Juli. Buah dari pohon Ailanthus berukuran 3-8 cm. Masing-masing buah terdiri atas satu biji. Biji Ailanthus matang pada akhir musim panas atau awal musim hujan, strukturnya tebal, berwarna pink dan dapat bertahan hingga musim dingin. Setiap kumpulan buahnya terdiri atas ratusan biji (Burrows 2001).
A Gambar 2 Batang (A) dan ranting (B) A. altissima (sumber: www.wikipedia.org/wiki/Ailanthus_altissima).
B
A
B
Gambar 3 Daun (A) dan Bunga (B) A. altissima (sumber: www.wikipedia.org/wiki/Ailanthus_altissima). Taksonomi Ailanthus altissima Menurut Swingle (1916), secara umum taksonomi Ailanthus altissima adalah: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Sapindales
Suku
: Simaroubaceae
Genus
: Ailanthus
Spesies
: Ailanthus altissima
Khasiat dan Kegunaan Tanaman Tumbuhan yang berasal dari suku Simaroubaceae dapat digunakan sebagai agen terapeutik, misalnya sebagai antidysentri dan antihelmintik. Pada dasarnya tumbuhan yang termasuk ke dalam suku Simaroubaceae dipercaya dapat digunakan sebagai obat tradisional, terutama sebagai antimalaria. Beberapa tumbuhan yang telah diketahui sebagai antimalaria yaitu Ailanthus altissima, Irvingia malayana, Picrasma javanica, Quassia indica, dan Quassia amara. Dua komponen penting tumbuhan suku Simaroubaceae yang menunjukkan aktivitas sebagai antimalaria yaitu quassin dan glaucarubin (Nooteboom 1972). Di Cina, Ailanthus mempunyai suatu sejarah yang panjang. Hal ini tercatat dalam kamus Cina yang paling tua dan masih ada hingga sekarang. Selain itu ada juga yang tidak tertulis dalam teks medis. Diketahui bahwa A. altissima digunakan untuk mengatasi sakit kepala dan kerontokan rambut. Sejak zaman
dinasti Tang, A.
altissima telah dikenal sebagai tanaman herbal yang dapat
mengobati abses dan perdarahan. Saat ini akar, batang dan daunnya masih digunakan di dunia kedokteran maupun obat tradisional Cina sebagai suatu astringen, juga untuk pengobatan penyakit disentri, hemorhagi intestinal, menorhagia, dan spermatorhea (Burrows 2001). Di Amerika, kayu Ailanthus kadang-kadang digunakan untuk arang dan kayu bakar karena berkualitas rendah (Duke 1983). Batang tumbuhan ini juga digunakan untuk membuat lemari, selulosa, perabot rumah tangga, dan peralatan kerja. Disamping itu, tumbuhan ini dapat digunakan sebagai pengendali erosi dan sebagai pohon pelindung. Daunnya digunakan sebagai campuran sena dan belladonna yang berfungsi sebagai obat pelangsing tubuh (Clair dan Bory 1990). Racun yang dihasilkan oleh batang dan daun A. altissima sedang diteliti sebagai obat pembasmi hama tanaman yang alami (Duke 1983). Bagian tumbuhan yang direndam dalam air dapat digunakan sebagai cairan insektisida (Clair dan Bory 1990). Dalam 100 gram biji Ailanthus mengandung 27,5 – 27,6 gram protein dan 55,5 – 59,1 gram lemak. Batangnya mengandung oleoresin, resin, beberapa mucilage, ceryl alkohol, ailanthin, quassin, kristal kalsium oksalat, dan isoquercetin (quercetin 3-glycosida), tannin, phlobaphene, ceryl palmitat, saponin dan neoquassin (Duke 1983). Bagian kulit batang A. atissima mengandung lemak dan asam lemak tinggi, sterol dan quassinoid golongan triterpenoid, gula pereduksi, glikosida steroid, flavonoid, saponin (Praptiwi 2008, komunikasi pribadi). Pada bagian tersebut komponen ekstrak A. Altissima yang efektif bekerja sebagai antimalaria adalah quassinoid golongan triterpenoid (Robinson 1995). Ailanthus juga diketahui mengandung ailanthone, yaitu zat kimia allopathic yang dapat digunakan sebagai antimalaria (Burrows 2001). Selain itu, Ailanthus juga mempunyai aktivitas sebagai anti virus dan sel kanker (Heisey 1996).
Sifat Toksik Tanaman Suatu observasi yang telah dilakukan membuktikan bahwa Ailanthus mengandung zat quinone yang bersifat iritan dan dapat menimbulkan sakit kepala, nausea, rhinitis, dan konjungtivitis, sedangkan serbuk sarinya dapat menyebabkan
demam (Clair dan Bory 1990). Dua macam quassinoid yaitu ailanthone dan 6 alpha-tigloxychaparrinone yang diisolasi dari ekstrak aktif A. altissima menunjukkan aktivitasnya melawan P. falciparum yang resisten dan sensitif terhadap klorokuin secara in vitro (Lewis et al. 2003). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Praptiwi (komunikasi pribadi) didapatkan dosis ED50 dari ekstrak A. altissima yang mematikan 50% P. berghei secara in vitro sebesar 112,42 mg/kg BB.
Tinjauan Tentang Penyakit Malaria Di antara semua penyakit pada hewan dan manusia, malaria merupakan salah satu penyakit yang telah tersebar luas, dan kadang-kadang dapat menimbulkan kematian..Penyakit malaria disebabkan oleh parasit protozoa genus Plasmodium. Penyakit ini sering ditularkan melalui gigitan nyamuk jenis tertentu. Jenis nyamuk yang sering menularkannya adalah nyamuk Anopheles. Beberapa jenis Plasmodium yang menyebabkan malaria pada manusia yaitu Plasmodium vivax, P. malariae, P. falciparum, P. ovale (Noble dan Noble 1989). Selain pada manusia penyakit malaria juga sering terjadi pada hewan, terutama unggas dan rodensia. Plasmodium yang dapat menyebabkan malaria pada unggas yaitu P. gallinaceum, sedangkan yang menyebabkan malaria pada rodensia adalah P. berghei (Cheng 1973).
Siklus Hidup Plasmodium Daur hidup Plasmodium dimulai dari zigot di dalam lambung nyamuk betina. Zigot tersebut aktif dan bergerak di dalam dinding lambung dan usus halus. Parasit pada stadium ini dinamakan ookinet. Di bawah epitel usus, ookinet membulat, membentuk kista disebut ookista, yang di dalamnya terbentuk sporozoit. Fase sporozoit memerlukan waktu 7 sampai 10 hari, dan pada saat itu infektifitas sporozoit naik lebih dari 10.000 kali. Sporozoit memasuki seluruh tubuh nyamuk, dan beberapa diantaranya masuk ke dalam kelenjar ludah. Posisi ini berada pada posisi yang baik untuk menginfeksi hospes berikutnya, jika nyamuk menghisap darah hospes tersebut (Noble dan Noble 1989).
Apabila sporozoit-sporozoit dimasukkan oleh nyamuk ke dalam darah manusia, maka dimulailah serangkaian daur hidup yang melibatkan bermacammacam sel dan jaringan. Sporozoit-sporozoit ini menandai berakhirnya fase seksual. Selanjutnya sporozoit segera masuk ke dalam berbagai sel jaringan, misalnya parenkim hati dan makrofag tertentu. Fase ini dikenal sebagai fase eksoeritrositik karena organisme tersebut belum memasuki eritrosit. Pada fase ini sporozoit disebut tropozoit, yang mengalami skizogoni, pecah, dan membebaskan merozoit jaringan. Merozoit ini dapat memasuki sel-sel jaringan yang lain dan mengulangi daur hidupnya. Merozoit yang masuk ke dalam darah akan memasuki eritrosit dan mulai dengan fase eritrositik. Peristiwa ini dinamakan merogoni, yang kemudian diulangi kembali (Noble dan Noble 1989). Plasmodium yang telah menjadi merozoit akan keluar dengan merusak eritrosit, lalu masuk ke dalam eritrosit lain dan mengulangi proses perkembangbiakan. Beberapa merozoit di dalam eritrosit berkembang menjadi bentuk-bentuk seksual yang tumbuh menjadi makrogametosit jantan atau makrogametosit betina. Apabila nyamuk menggigit manusia atau hewan pada stadium ini, gametosit-gametosit akan tertelan ke dalam lambung nyamuk dan akan mengalami pematangan menjadi mikrogamet. Mikrogamet-mikrogamet yang terbentuk
seperti
flagellata
muncul
dari
mikrogametosit.
Terbentuknya
mikrogamet ini disebut eksflagelasi. Gametosit keluar dari eritrosit dan eksflagelasi biasanya terjadi apabila darah tersentuh oleh udara. Lingkungan di dalam usus nyamuk tidak diperlukan dalam terjadinya eksflagelasi. Penurunan tekanan CO2 dalam darah dan peningkatan pH merupakan hal yang sangat penting. Mikrogamet yang terlepas akan bergerak seperti sel sperma. Pada kondisi ini terjadi fertilisasi, dan zigot yang terbentuk mengakhiri daur hidup Plasmodium (Noble dan Noble 1989).
Mekanisme Kerja Obat Antiplasmodium Berdasarkan
kerjanya
pada
tahapan
perkembangan
Plasmodium,
antimalaria dibedakan atas skizontosid jaringan dan darah; gametosid dan sporontosid. Dengan klasifikasi ini antimalaria dipilih sesuai dengan tujuan
pengobatan,
yaitu
mengendalikan
serangan
klinis,
pengobatan
supresi,
pencegahan kausal, pengobatan radikal, dan gametositosid (Ganiswarna 1996). Untuk mengendalikan serangan klinis digunakan skizontosid darah yang bekerja terhadap merozoit di eritrosit (fase eritrosit). Dengan demikian tidak terbentuk skizon baru dan tidak terjadi penghancuran eritrosit yang menimbulkan gejala klinis seperti demam. Pengobatan supresi ditujukan untuk menyingkirkan semua parasit dari tubuh hospes dengan memberikan skizontosid darah dalam waktu lama, lebih lama dari masa hidup parasit. Pencegahan kausal dapat mencegah terjadinya serangan klinis dengan mematikan sporozoit atau menghentikan fase eritrosit, sehingga tahap infeksi dapat dicegah dan transmisi selanjutnya dihambat. Pada pencegahan ini digunakan skizontosid jaringan yang bekerja pada skizon yang baru memasuki jaringan hati (Ganiswarna 1996). Pengobatan radikal dimaksudkan untuk memusnahkan parasit dalam fase eritrosit dan eksoeritrosit, untuk itu digunakan kombinasi skizontosid darah dan jaringan. Gametositosid membunuh gametosit yang berada dalam eritrosit sehingga transmisi ke nyamuk dihambat. Sporontosid menghambat perkembangan gametosid, yang selanjutnya di tubuh nyamuk yang menghisap darah penderita, sehingga rantai penularan terputus (Ganiswarna 1996).
Mencit (Mus musculus) Mencit (Mus musculus) adalah hewan pengerat yang cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, memiliki variasi genetik yang cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya yang terkarakteristik dengan baik. Selain itu, hewan rodensia ini lebih ekonomis dan efisien dalam hal tempat dan biaya pemeliharaannya. Oleh karena itu mencit sering digunakan sebagai hewan coba atau hewan laboratorium. Untuk penelitian kesehatan umumnya dan gizi khususnya, mencit putih merupakan model hewan coba yang baik karena mudah ditangani, dapat diperoleh dalam jumlah banyak dan memberi hasil ulangan yang cukup dipercaya (Malole dan Pramono 1989). Menurut Ballenger (1999) taksonomi mencit adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Subkelas
: Theria
Ordo
: Rodensia
Suborder
: Sciurognathi
Family
: Muridae
Subfamily
: Murinae
Genus
: Mus
Spesies
: Mus musculus Menurut Malole dan Pramono (1989) data biologis mencit adalah sebagai
berikut: •
Berat badan dewasa
: 20-40 gr (jantan), 20-40 gr (betina)
•
Berat lahir
: 0,5-1,0 gr
•
Suhu tubuh
: 36,5-38 0C
•
Pernapasan
: 94-163/menit
•
Denyut jantung
: 325-780/menit
•
Volume darah
: 76-80 ml/kg
•
Tekanan darah
: 113-147/81-105 mgHg
•
Konsumsi makanan
: 15 gr/100 gr BB/hari
•
Konsumsi minum
: 15 ml/100 gr BB/hari
•
Jumlah anak/kelahiran
: 10-12 ekor
Anatomi dan Fisiologi Hati Hati merupakan kelenjar tubuh yang paling besar (Dellmann dan Brown 1992). Hati yang normal terdiri atas jaringan yang berwarna merah kecoklatan dan memiliki permukaan yang berbutir halus (MacLachlan dan Cullen 1995). Hati terdiri atas beberapa lobus, tergantung pada spesiesnya. Pada mencit, hati terdiri atas empat lobus utama yang satu sama lain saling behubungan dan tergabung di bagian dorsal. Keempat lobus tersebut ialah lobus median, lobus lateral kiri, lobus lateral kanan, dan lobus kaudal. Lobus median terbagi menjadi dua bagian, lobus median kiri dan lobus median kanan, yang dibatasi oleh bifurcatio yang dalam. Lobus lateral kiri tidak bercabang, sedangkan lobus lateral kanan secara horizontal
terbagi menjadi dua bagian, yaitu lobus lateral kanan anterior dan lobus lateral kanan posterior. Lobus kaudal terdiri atas dua bentuk lembaran lobus dorsal dan ventral yang letaknya dekat dengan esofagus (Harada et al. 1999). Vena porta dan vena hepatika adalah pembuluh darah yang berasal dari usus yang membawa nutrisi dan zat-zat lain yang telah diserap oleh usus. Setelah sampai di aliran darah portal, nutrisi tersebut akan diolah dan diserap kembali, kemudian dikeluarkan melalui aliran darah dalam bentuk bahan baru (Hartono 1992). Hati tersusun oleh tiga jaringan, yaitu buluh empedu, pembuluh-pembuluh darah, dan sel hepatosit. Saluran empedu, arteri dan vena porta bergabung dalam satu area trias porta yang dikenal dengan nama segitiga Kiernand. Empedu disalurkan dari hati ke duodenum melalui saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik (Guyton dan Hall 1997). Hati memiliki berbagai macam fungsi yang sangat kompleks. Hati berfungsi sebagai kelenjar eksokrin dan endokrin. Sebagai kelenjar eksokrin, hati berfungsi dalam sintesa dan sekresi empedu dan kolesterol. Sebagai kelenjar endokrin, hati mensintesa dan mensekresi glukosa dan protein ke dalam darah. Hati melakukan fungsinya yang penting, yaitu melakukan metabolisme protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral terutama besi, tembaga, dan zinc, hemoglobin, obat, steroid, serta deiodinasi triiodothyronine dan thyroxine. Selain itu, hati berfungsi dalam detoksikasi racun dan fagositosis benda asing. Hepatosit berhubungan dengan banyak asam amino, lipid, karbohidrat, vitamin, mineral dan xenobiotik yang diabsorbsi melalui saluran pencernaan. Beberapa nutrisi dimetabolisme dan didistribusi ke dalam darah dan empedu (Harada et al.1999). Hati mempunyai fungsi dalam mengatur kadar glukosa dalam darah. Glukosa akan diteruskan ke hati melalui vena porta. Sebagian dari glikogen yang disimpan akan dipecah dalam hati menjadi glukosa darah. Apabila terjadi gangguan pada hati akan menyebabkan terjadinya hiperglikemia atau hipoglikemia (Ganiswarna 1995). Glukosa dan aseto asetat adalah sumber energi utama yang disekresi oleh hati. Hati juga mensintesa lemak untuk disimpan di dalam tubuh. Hati berperan penting dalam metabolisme dan penyimpanan vitamin dan mineral, terutama besi, tembaga, dan zinc. Hati melakukan metabolisme asam empedu, mengubah
kolesterol menjadi asam empedu, sekresi asam empedu, dan memindahkan asam empedu dari vena porta dan arteri hepatika (Harada et al.1999).
Histologi Hati Secara histologi, struktur dan komponen selular hati mencit pada dasarnya sama seperti struktur mamalia lainnya. Hati terdiri atas beberapa komponen selular, seperti sel hepatosit (sel parenkim), sel-sel sinusoidal (sel endotel, sel Kupffer, fat-storing, dan sel pit), sel hematopoietik, sel saraf, pembuluh darah dan limfe. Lobus hati dibungkus oleh kapsula. Lobus hati terdiri atas kapsula fibrosa dan kapsula serosa. Kapsula dibungkus oleh peritoneum, namun ada beberapa area kapsula yang dapat berhubungan langsung dengan diafragma dan organ visera pada dinding abdomen posterior. Asinus hepatik dibagi menjadi tiga zona, yaitu zona periportal, midzonal, dan sentrolobular. Hepatosit pada zona periportal berdekatan dengan pembuluh afferent, sehingga menerima darah yang kaya oksigen dan nutrisi, sedangkan sel di sekitar zona sentrolobular berada di distal mikrosirkulasi penerima darah yang mengandung gas dan metabolit. Hal ini menyebabkan zona sentrolobular memiliki tingkat sensitifitas yang lebih tinggi. Midzonal merupakan zona transisi dari kedua zona tersebut (Harada et al. 1999). Hepatosit berbentuk polihedral, intinya bulat terletak di tengah, terdapat satu atau lebih nukleolus dengan kromatin yang menyebar. Sering pula terlihat adanya dua inti sebagai hasil pembelahan yang tidak sempurna dari sitoplasma (Dellmann dan Brown 1992). Sitoplasma hepatosit agak berbutir, tetapi bentuk ini dapat tergantung pada fungsi selular, status nutrisi dan metode fiksasi. Hepatosit tersusun atas lempeng-lempeng sel hati yang mengelilingi vena sentralis (Harada et al. 1999). Hepatosit memiliki enam atau lebih permukaan dan terdapat tiga bentuk yang berbeda; 1) permukaan yang berhadapan dengan ruang perisinusoid, dimana pada permukaan bebasnya tumbuh mikrovili; 2) permukaan yang berbatasan dengan kanalikuli empedu; dan 3) permukaan yang saling berhadapan antar hepatosit yang bersebelahan dan memiliki gap-junction dan desmosom (Dellmann dan Brown 1999). Hepatosit pada mencit dewasa biasanya terdiri atas runtuhan lemak yang lebih banyak terdapat di sentrolobular daripada di area periportal (Harada et al. 1999).
Vaskularisasi hati berkaitan langsung dengan multifungsinya. Dalam memasuki hati, vena porta yang berasal dari usus dan arteria hepatika yang berasal dari aorta, langsung bercabang-cabang menuju lobus yang disebut arteria atau vena interlobaris, seterusnya bercabang-cabang lagi membentuk arteria dan vena interlobularis yang terdapat di daerah portal atau segitiga Kiernand. Sebagian besar darah dari arteria interlobularis membentuk pleksus kapiler di daerah portal dan diserap oleh cabang-cabang vena porta. Hanya sebagian kecil darah mencapai sinusoid secara langsung melalui arteriol yang merupakan cabang dari arteria interlobularis. Sinusoid merupakan pembuluh darah kapiler yang mengisi lobulus yang membawa darah dari arteria dan vena interlobularis, kemudian menuju vena sentralis. Dinding sinusoid memiliki banyak celah karena dindingnya terdiri atas endotel dan sel-sel makrofag besar dan aktif yang disebut sel Kupffer yang berasal dari monosit. Darah meninggalkan lobulus melalui vena sentralis atau venula hepatika terminalis yang dilapisi oleh endotel dengan lamina basalis dan adventisia tipis, kemudian langsung berhubungan dengan sinusoid. Vena sentralis berhubungan dengan vena sublobularis atau vena interkalatus di tepi lobulus. Kedua vena tersebut terdapat di sepanjang basis lobulus, di mana sebagian bergabung membentuk vena penampung (collecting vein) yang nantinya bergabung menjadi vena hepatika (Dellmann dan Brown 1992).
Gambar 4 Histologi vena sentralis hati (sumber: www.deltagen.com)
Gambar 5 Histologi vena porta hati (sumber: www.deltagen.com)
Intoksikasi Hati Hati memiliki cadangan fungsi dan kapasitas pertumbuhan yang berlebih. Pada hewan yang sehat, lebih dari dua pertiga parenkim hati dapat berpindah tanpa merusak fungsi hati secara signifikan, dan pada beberapa hari kemudian massa hati yang normal ini dapat tumbuh kembali. Kerusakan hati yang terjadi pada semua spesies tanpa memperhatikan penyebabnya, cenderung menghasilkan tanda klinis yang sama. Akan tetapi kerusakan-kerusakan ini hanya terjadi saat cadangan hati dan kapasitas pertumbuhannya sangat besar atau saat empedu mengalami obstruksi. Istilah gangguan hepatik dinyatakan sebagai hilangnya fungsi normal hati yang mengakibatkan kerusakan hati akut atau kronis. Bagaimanapun juga seluruh fungsi hati biasanya tidak hilang dalam waktu yang sama (MacLachlan dan Cullen 1995). Kerusakan yang terjadi pada hati biasanya disebabkan oleh racun. Hal ini dikarenakan hati merupakan tempat detoksikasi racun. Ada dua hal yang menyebabkan hati terkena racun. Pertama, hati menerima kurang lebih 80% suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal,
sehingga memungkinkan zat-zat toksik yang berasal dari tumbuhan, fungi, bakteri, logam, mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal ditransportasikan ke hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang mampu melakukan biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen maupun endogen untuk dieliminasi oleh tubuh (Carlton dan McGavin 1995). Semua kejadian penyakit adalah reaksi tubuh akibat kerusakan pada sel yang bermula dari kerusakan organel sel. Untuk mengetahui adanya kerusakan tersebut diperlukan pengetahuan mengenai fungsi dan disfungsi masing-masing organel sel. Kerusakan pada sel yang paling umum adalah gangguan yang mengakibatkan kerusakan membran sel. Fungsi utama membran sel adalah mengatur integritas sel, berhubungan dengan lingkungan ekstraselular, sebagai perlintasan ion-ion (sodium, potasium) melalui saluran permeabel atau bagian yang dilalui molekul kompleks secara pinositosis atau fagositosis. Beberapa gangguan dapat menyebabkan fungsi membran sel tidak berjalan dengan baik bahkan dapat menyebabkan kematian sel. Mitokondria merupakan bagian utama sebagai penyedia energi dalam sel dengan menghasilkan ATP melalui proses fosforilasi oksidatif. Gangguan pada penyediaan energi akan mempengaruhi seluruh fungsi selular. Organel sel yang mengontrol seluruh aktivitas sel termasuk sintesa DNA adalah
nukleus. Adanya kerusakan pada nukleus dapat
mengakibatkan kematian sel yang terjadi karena gangguan sintesa DNA Apabila kerusakan pada organel-organel tersebut terjadi terus-menerus akan menyebabkan terjadinya degenerasi (Macfarlane et al. 2000). Degenerasi melibatkan sitoplasma sel, isi cairan sel bertambah dan membengkak. Selain degenerasi, sel juga sering mengalami akumulasi terutama akumulasi protein di dalam sitoplasmanya. Jika terjadi kerusakan sel yang parah atau berlangsung lama, sel akan mencapai suatu titik dimana sel tidak dapat lagi melangsungkan metabolisme. Pada keadaan ini sel bersifat irreversible dan mati (Plumlee 2004). Pada kematian sel, nukleus akan mengalami piknotis, rheksis, dan karyolisis (Carlton dan McGavin 1995). Degenerasi hidropis adalah kerusakan sel akibat adanya toksin yang masuk melalui membran sel, kemudian toksin ini akan merusak membran sel. Kerusakan pada membran sel akan menurunkan produksi ATP yang dihasilkan di mitokondria dan pengurangan pompa sodium, sehingga keseimbangan pengaturan
ion sodium-potasium intraselular terganggu (Cheville 2006). Kegagalan dalam mengatur keseimbangan ion sodium intraselular mengakibatkan masuknya sejumlah cairan secara berlebih ke dalam sel. Peningkatan cairan intraselular tersebut menyebabkan kebengkakan pada sel, termasuk mitokondria dan retikulum endoplasmik kasar. Pada sel yang mengalami degenerasi hidropis nukleus biasanya tidak berpindah ke bagian perifer sel, sedangkan pada degenerasi lemak nukleus akan berpindah ke bagian perifer sel (Jones et al. 2006). Degenerasi hidropis dicirikan dengan adanya sitoplasma yang membesar, pucat dan kotor serta sinusoid atau ruang perisinusoid yang menyempit. Perubahan ini dapat bersifat reversible, sehingga sel dapat kembali normal jika paparan toksin dihentikan. Pada beberapa kasus, degenerasi hidropis dapat terjadi bersama dengan degenerasi lemak (Harada et al. 1999). Degenerasi lemak merupakan perubahan morfologi dan penurunan fungsi organ hati yang disebabkan oleh akumulasi lemak dalam sitoplasma hepatosit. Degenerasi lemak pada hati menunjukkan bahwa di dalam tubuh terdapat ketidakseimbangan proses normal metabolisme sehingga mempengaruhi kadar lemak di dalam dan di luar jaringan hati (Jones et al. 2006). Degenerasi lemak dapat terjadi pada jaringan selain jaringan lemak, terutama jaringan pada organ parenkimatosa, otot rangka, dan jantung, dimana jaringan tersebut memiliki laju metabolik yang tinggi (Macfarlane et al. 2000). Di hati lemak akan terlihat seperti droplet pada sitoplasma sel epitel. Terkadang bentuk droplet terdapat dalam jumlah banyak yang merupakan gabungan dari beberapa droplet baik dalam ukuran besar ataupun kecil dan terdiri atas beberapa sitoplasma. Droplet lemak tampak seperti rongga kosong yang jernih ataupun hampir jernih, tidak berwarna dan berbentuk bulat dalam potongan jaringan normal, sedangkan inti sel tidak mengalami perubahan. Biasanya semua bagian dari hati memiliki dampak yg hampir sama. Selain disebabkan karena toksemia dan anoksemia, degenerasi lemak juga disebabkan karena defisiensi nutrisi, ketiadaan enzim pankreas, diet yang terlalu tinggi kadar lemak dan rendah protein (Jones et al. 2006). Kematian sel terjadi secara nyata melalui dua proses, yaitu nekrosa dan apoptosis. Nekrosa hati adalah kematian sel hati yang bersifat menyeluruh, biasanya ditemukan sel radang dan sitoplasma sel akan terlihat asidofilik (Lu
1995). Nekrosa melibatkan sekelompok besar sel dalam jaringan. Nekrosa ditandai dengan kromatin inti menggumpal, inti mengecil dan berwarna biru yang dikenal dengan proses piknosis. Inti piknosis dapat pecah menjadi bagian-bagian kecil (karyorrheksis) atau menghilang (karyolisis) (Cheville 2006). Nekrosa hepatoselular adalah suatu kematian sel yang lebih spesifik, umumnya ditemukan fokus kecil pada mencit dewasa (Harada et al. 1999). Lain halnya dengan apoptosis, yang merupakan salah satu proses kematian sel yang terjadi secara alami. Pada proses terjadinya apoptosis sel yang tidak berguna, abnormal ataupun tidak dikehendaki akan tereliminasi. Apoptosis merupakan proses yang cepat, biasanya mempengaruhi sel-sel yang tersebar di suatu populasi sel (Macfarlane et al. 2000). Pada kajadian apoptosis sel mengalami kematian yang bersifat fisiologis (perkembangan normal) dan patologis (akibat agen infeksius atau toksik) serta melibatkan sel secara individu tanpa menghasilkan produk sel (sitokin) pra-peradangan. Pada proses kematian ini terjadi perubahan metabolik aktif di dalam sel yang mengakibatkan sitoplasma dan nukleus mengalami kondensasi. Sel akan menyusut, mitokondria pecah, khromatin (protein DNA) dalam nukleus terurai. Sel akan hancur dan berubah menjadi badan apoptotik, kemudian masing-masing badan apoptotik dikelilingi oleh membran sel, namun membran sel masih tetap utuh. Badan apoptotik nantinya akan difagosit oleh makrofag (Cheville 2006). Beberapa badan apoptotik mengandung materi inti. Sel-sel yang mengelilingi badan apoptotik bergerak bersamaan untuk mengisi ruang yang kosong. Adanya membran plasma yang mengelilingi badan apoptotik menunjukkan tidak adanya inflamasi (Macfarlane et al. 2000). Dengan demikian sel yang mengalami apoptosis tidak menstimuli peradangan (Cheville 2006).
Anatomi dan Fisiologi Ginjal Ginjal mencit memiliki tekstur yang halus, berwarna merah kecoklatan, dan menggantung bebas pada dorsal dinding tubuh dikelilingi oleh jaringan adiposa. Ginjal mamalia terletak di bagian retroperitoneum, berbatasan dengan os vertebrae lumbalis. Pada sisi medial setiap ginjal merupakan daerah lekukan yang disebut hilus. Daerah tersebut merupakan tempat lewatnya arteri dan vena renalis, cairan limfatik dan ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesica urinaria.
Pembentukan urin dimulai di dalam glomerulus dengan cara memfiltrasi sejumlah besar cairan dan zat terlarut, kecuali protein plasma. Hasil filtrasi kemudian dialirkan menuju ke ruang Bowman (Guyton dan Hall 1997). Secara singkat ginjal mempunyai 5 fungsi, yaitu: 1) membentuk urin dengan tujuan mengeliminasi sisa metabolisme; 2) regulasi asam-basa, terutama melalui penyerapan kembali bikarbonat dari filtrasi glomerulus; 3) reabsorbsi air oleh tubuli proksimal melalui mekanisme arah berlawanan pada ansa Henle, aktivitas hormon antidiuretik di tubuli distal, dan kadar urea yang tinggi dalam medulla; 4) pengaturan konsentrasi ion potassium secara normal melalui reabsorbsi pasif di tubuli proksimal dan sekresi tubuli di tubuli distal di bawah pengaruh aldosteron; 5) fungsi endokrin melalui erythropoietin, renin-angiotensin, dan vitamin D. Erythropoietin dihasilkan oleh ginjal untuk memproduksi eritrosit. Renin dihasilkan oleh sel di aparatus juxtaglomerular yang menstimulasi produksi angiotensin, mengatur tekanan darah ginjal, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal, sehingga reabsorbsi sodium meningkat. Vitamin D ditemukan dalam ginjal dalam bentuk 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitriol). Komponen ini digunakan untuk absorbsi kalsium oleh sistem pencernaan (Confer dan Roger 1995). Ginjal juga berperan dalam menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan mengatur tekanan darah. Hasil metabolisme akan dibuang dari tubuh melalui ginjal dalam bentuk urin, dan ditampung sementara dalam vesica urinaria kemudian dibuang melalui uretra (Dellman dan Brown 1992).
Histologi Ginjal Seluruh bagian ginjal dibungkus oleh kapsula, kecuali hilus renalis (Hartono 1992). Kapsula fibrosa yang menutupi ginjal secara normal dapat terlepas dengan mudah dari permukaan ginjal tersebut (Confer dan Roger 1995). Di bawah kapsula terdapat korteks renalis dan tubuli kontortus. Medulla renalis dibentuk oleh piramida-piramida yang bagian apeksnya mengarah ke pusat ginjal (Hartono 1992). Dasar dari setiap piramida dimulai pada perbatasan antara korteks dan medulla serta diakhiri pada papilla yang menonjol ke dalam ruang pelvis
renalis (Guyton dan Hall 1997). Parenkim ginjal yang bercabang masuk ke dalam korteks dan medulla (Confer dan Roger 1995). Ginjal dibagi menjadi dua daerah utama, yaitu korteks di bagian luar dan medulla di bagian dalam (Guyton dan Hall 1997). Secara normal korteks berwarna merah gelap hingga coklat. Medulla berwarna abu-abu pucat dan memiliki papilla (Confer dan Roger 1995). Ginjal manusia terdiri atas enam papilla (Guyton dan Hall 1997). Mencit hanya memiliki satu papilla (Seely 1999). Pada ujung papilla, arteri renalis masuk ke dalam ginjal melalui hilus renalis bersama dengan ureter dan vena renalis, kemudian bercabang-cabang secara progresif menjadi arteri interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobularis (arteri radialis), dan arteriol afferen yang menuju ke kapiler glomerulus. Kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel, dan seluruh glomerulus dibungkus oleh kapsula Bowman. Cairan yang difiltrasi dari kapiler glomerulus mengalir ke dalam kapsula Bowman dan kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang terletak pada korteks ginjal (Guyton dan Hall 1997). Dari tubulus proksimal, cairan mengalir ke ansa Henle yang masuk ke dalam medula renal. Setiap lengkung terdiri atas cabang desenden dan asenden. Di tengah perjalanan kembali cabang asenden dari lengkung tersebut menuju korteks, dindingnya menjadi tebal seperti bagian lain dari sistem tubular. Ujung cabang asenden yang tebal merupakan bagian yang pendek, yang sebenarnya merupakan plak pada dindingnya, dan dikenal sebagai makula densa. Makula densa berperan penting dalam mengatur fungsi nefron. Setelah makula densa, cairan memasuki tubulus distal yang terletak pada korteks renal, seperti tubulus proksimal. Tubulus ini kemudian dilanjutkan dengan tubulus rektus dan tubulus kolingentes kortikal, yang menuju ke duktus kolingentes kortikal. Duktus kolingentes bergabung membentuk duktus yang lebih besar secara progresif yang akhirnya mengalir menuju pelvis renal melalui ujung papilla renal. Pada akhirnya urin yang terbentuk akan diekskreikan melalui ureter (Guyton dan Hall 1997).
Gambar 6 Histologi ginjal (sumber: www.deltagen.com) Intoksikasi Ginjal Ginjal adalah organ utama yang memiliki toksisitas spesifik karena keunikan fungsinya dalam filtrasi, metabolisme, dan mengekskresi xenobiotik. Ginjal juga memiliki kemampuan untuk memisahkan ikatan protein dengan racun. Beberapa zat kimia bersifat toksik terhadap ginjal apabila telah masuk ke dalam sel epitel tubuli ginjal. Senyawa-senyawa kimia tersebut diekskresi bersama urin melalui ginjal. Selama proses ekskresi, kerusakan pada sel tubuli ginjal dapat terjadi karena paparan obat yang konsentrasinya lebih tinggi daripada yang ditemukan di plasma. Berbagai macam faktor seperti keturunan, jenis kelamin, umur, rute pemberian obat atau kondisi penambahan cairan tubuh dapat mempengaruhi toksisitas ginjal (Seely 1999). Peranan ginjal dalam homeostasis tubuh sangat vital sehingga setiap gangguan fungsinya segera dicerminkan dalam gangguan cairan tubuh, bahkan bisa disertai kematian apabila gangguan tersebut sudah sangat parah (Spector dan Spector 1993). Tubulus proksimal merupakan bagian yang paling mudah mengalami perlukaan akibat iskemia dan zat toksik. Hal ini dikarenakan pada tubulus proksimal terjadi proses absorbsi dan sekresi, sehingga kadar zat toksik
lebih tinggi. Selain itu kadar sitokrom P-450 yang digunakan untuk mengaktifkan zat toksik berada pada konsentrasi yang cukup tinggi (Lu 1995). Seperti halnya kerusakan pada sel hati, kerusakan pada sel tubuli ginjal dan sel epitel kapiler glomerulus juga bermula dari kerusakan organel-organel sel. Pada glomerulus dapat terjadi atrofi akibat masuknya senyawa-senyawa yang bersifat toksik ke dalam ginjal. Atrofi adalah proses penyusutan, pembuangan sebuah organ atau jaringan sehingga bentuk dan ukuran organ atau jaringan tersebut menjadi lebih kecil. Pada awalnya kerusakan glomerulus ini dikarenakan organel-organel sel epitel pada kapiler glomerulus tidak melakukan fungsinya dengan baik. Semakin banyak sel epitel yang rusak mengakibatkan hilangnya jumlah sel maupun komponen sel pada kapiler glomerulus, sehingga permeabilitas kapiler meningkat. Peningkatan permeabilitas kapiler ini menyebabkan perluasan ruang Bowman. Kerusakan seperti ini dinamakan atrofi glomerulus. Adanya tekanan pada sel-sel yang berdekatan di glomerulus juga dapat menyebabkan terjadinya atrofi (Macfarlane et al. 2000). Apabila sebuah organ memiliki sebuah kapsul yang mengkerut atau bergelombang dapat mengindikasikan bahwa kandungan organ tersebut telah mengalami atrofi (Jones et al. 2006). Pada kerusakan sel epitel tubuli terjadi akibat masuknya toksin yang menyebabkan kerusakan membran sel, yang ditandai dengan penurunan ATP untuk penyediaan energi. Dalam hal ini ATP dibutuhkan untuk proses reabsorpsi zat-zat dan cairan dalam tubulus. Kerusakan pada membran sel akan menurunkan produksi ATP yang dihasilkan di mitokondria dan pengurangan pompa sodium, sehingga keseimbangan pengaturan ion sodium-potasium intraselular terganggu (Cheville 2006). Kegagalan dalam mengatur keseimbangan ion sodium intraselular mengakibatkan masuknya sejumlah cairan secara berlebih ke dalam sel. Peningkatan cairan intraselular tersebut menyebabkan kebengkakan pada sel, termasuk mitokondria dan retikulum endoplasmik kasar (Jones et al. 2006). Pada sel yang mengalami kerusakan tersebut dinamakan degenerasi hidropis epitel tubuli. Secara mikroskopis, degenerasi tubuli dapat nampak sebagai kerusakan yang ringan dan sulit untuk dideteksi karena jarak antar sitoplasma yang terwarnai dan vakuol pada epitel tubuli yang terlihat menyatu (Seely 1999).
Di dalam kapiler glomerulus terjadi proses filtrasi plasma protein. Jika plasma protein tersebut melewati glomerulus yang mengalami kerusakan, maka plasma protein tidak difiltrasi dengan baik sehingga plasma protein akan terakumulasi di glomerulus (Cheville 2006). Bagian kapiler glomerulus yang abnormal akan mengeluarkan plasma protein dan di reabsorbsi secara pinositosis di lumen tubulus. Jika resorpsi melebihi kebutuhan, maka protein akan terakumulasi pada sitoplasma sel. Biasanya akumulasi protein sering terlihat di bagian sitoplasma sel epitel pada tubulus proksimal ginjal. Proses masuknya protein ke dalam sel yaitu diawali dengan adanya gelembung pinositotik yang bergabung dengan lisosom, kemudian protein tersebut dicerna. Jika kebocoran protein melebihi kapasitas untuk penyerapan sel, maka akan muncul albumin yang eosinofilik ataupun bentukan seperti hialin pada lumen tubulus. Akumulasi protein pada sitoplasma sel biasanya berbentuk butiran-butiran eosinofil yang khas, seperti butiran-butiran hialin. (Jones et al. 2006). Proses kematian sel epitel tubuli ginjal juga dapat terjadi melalui dua proses, yaitu apoptosis dan nekrosa. Nekrosa dapat diketahui dengan jelas karena adanya eosinofilia sitoplasma yang kuat dan perubahan bentuk inti sel menjadi piknotis atau karyoreksis. Nekrosa sel epitel tubuli dapat disebut sebagai hilangnya bahan pelengkap membran basal sel dan terjadinya deskuamasi pada lumen tubuli (Seely 1999). Sama halnya dengan nekrosa pada sel hati, nekrosa pada sel epitel tubuli ginjal juga melibatkan sekelompok besar sel dalam jaringan, disertai dengan proses peradangan, ditandai dengan kromatin inti menggumpal, inti mengecil dan berwarna biru yang dikenal dengan proses piknosis. Inti piknosis dapat pecah menjadi bagian-bagian kecil (karyorrheksis) atau menghilang (karyolisis). Adapun apoptosis sel pada epitel tubuli ginjal mengalami kematian yang bersifat fisiologis (perkembangan normal) dan patologis (akibat agen infeksius atau toksik) serta melibatkan sel secara individu tanpa menghasilkan produk sel (sitokin) pra peradangan. Pada proses kematian ini sel akan menyusut, mitokondria pecah, khromatin (protein DNA) dalam nukleus terurai. Sel akan hancur dan berubah menjadi badan apoptotik. Badan apoptotik nantinya akan difagosit oleh makrofag. Dengan demikian sel yang mengalami apoptosis tidak menstimuli peradangan (Cheville 2006).
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2007 sampai dengan Mei 2008 di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit sebagai hewan coba sebanyak 25 ekor, pakan mencit, ekstrak alkohol Ailanthus altissima, antibiotik, obat cacing, eter, alkohol (70%, 80%, 90%, Alkohol absolut I, dan Alkohol absolut II), Mayer’s Hematoksilin, eosin, lithium karbonat, xylol (I, II) dan BNF 10% (buffer netral formalin). Alat yang digunakan antara lain kandang mencit, timbangan digital, botol tempat minum, kertas label, kapas, gunting, pinset, pisau scalpel, spoit, sonde lambung, plastik tempat spesimen, mikrotom, gelas objek, cover glass, mikroskop, dan video foto mikroskop.
Metode Penelitian 1. Persiapan dan adaptasi Sebelum mencit digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian, terlebih dahulu disiapkan kandang yang terbuat dari boks plastik yang diberi penutup dari kawat. Kandang diberi sekam agar mencit tidak kedinginan. Sekam tersebut diganti setiap 3 hari sekali. Mencit dibagi dalam 5 kelompok perlakuan, masing-masing perlakuan berisi 5 ekor mencit. Empat grup mencit akan menerima ekstrak dengan dosis bertingkat, satu grup mencit lainnya diberikan kontrol. Sebelum melakukan perlakuan mencit diadaptasikan dahulu dengan memberikan pakan dan minum secara teratur, kemudian memberikan antibiotik Ampicilin dosis IU 125mg/5ml diberikan 1 kali selama 3 hari, dan obat cacing yang mengandung Pyrantel palmoat dengan dosis 0,1ml diberikan 1 kali pada hari pertama untuk menghindari terjadinya infeksi bakteri dan parasit.
2. Perlakuan terhadap mencit Setelah melakukan adaptasi terhadap mencit selama 2 minggu, dilakukan pemberian ekstrak A. altissima dengan menggunakan sonde lambung dengan dosis bertingkat, yaitu 1000-100-10-1 mg/kg BB yang telah dilarutkan dengan Carboxymethocellulose
(CMC-Na).
Carboxymethocellulose
(CMC-Na)
berfungsi untuk menjaga viskositas ekstrak tanpa terbentuk gelatin. Carboxymethocellulose ini bersifat toksik tetapi tetap dimanfaatkan dalam produk pangan karena belum ada zat penggantinya. Kelompok mencit yang dijadikan kontrol hanya diberi Carboxymethocellulose (CMC-Na). Setiap mencit diberikan ekstrak A. altissima dan CMC-Na sebanyak 0,1 ml/ekor selama 7 hari. 3. Nekropsi Setelah pemberian ekstrak selama 7 hari, mencit-mencit tersebut dimatikan dengan menggunakan eter over dosis. Setelah hewan mati, kemudian dilakukan nekropsi untuk mengambil sampel organ hati dan ginjal. Setelah dikeluarkan, organ hati dan ginjal disimpan dalam plastik yang berisi buffer netral formalin (BNF) 10% pada suhu ruangan selama 24 jam. 4. Pembuatan preparat histopatologi Setelah hati dan ginjal terfiksasi, kedua organ kemudian ditriming dengan ketebalan ±0,5 cm, kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassette. Jaringan dari hati dan ginjal tersebut kemudian dihilangkan kandungan airnya dan diinfiltrasi parafin dengan menggunakan alat automatic tissue processor. Proses selanjutnya adalah embedding, yaitu proses penanaman organ ke dalam parafin dan dibiarkan hingga mengeras dalam cetakan blok parafin. Hasil cetakan blok tersebut disimpan dalam refrigerator (4-60C). Setelah itu, setiap blok parafin diiris dengan mikrotom dengan ukuran 3 µm. Setelah dipotong, jaringan tersebut diletakkan di atas air hangat agar jaringan tidak mengkerut, kemudian potongan itu diletakkan di atas gelas objek. Gelas objek dengan potongan jaringan disimpan di dalam inkubator selama ±24 jam. Proses pewarnaan dilakukan setelah gelas objek dikeluarkan dari inkubator. Pewarnaan yang digunakan adalah pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin).
5. Pengamatan histopatologi dan uji statistik Pengamatan histopatologi dilakukan dengan mikroskop cahaya dan video foto mikroskop dengan pembesaran 400x. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah perubahan patologi pada jaringan hati dan ginjal yang diamati dengan luasan 13 x 15,5 µm2 (diukur dengan video foto mikroskop). Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, nekrosa, dan sel hepatosit normal di sekitar sepuluh lapang pandang vena sentralis dan sepuluh lapang pandang vena porta. Selain itu, pengamatan dilakukan di sekitar dua puluh lapang pandang tubuli proksimal dan di sekitar dua puluh lapang pandang glomerulus ginjal dengan menghitung jumlah epitel tubuli yang mengalami degenerasi hidropis, nekrosa, dan endapan protein, serta glomerulus yang mengalami atrofi dan endapan protein. Semua data yang diperoleh kemudian dipersentasikan dan dianalisis dengan uji ANOVA untuk membandingkan signifikansi perlakuan antar kelompok, dan dilanjutkan dengan uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemberian Ekstrak Ailanthus altissima terhadap Perubahan Histopatologi Hati Mencit Dari hasil pengamatan histopatologi pada hati mencit ditemukan adanya beberapa lesio yang terjadi di area sekitar vena sentralis dan vena porta. Lesiolesio tersebut terjadi pada kelompok perlakuan maupun kontrol berupa nekrosa, degenerasi hidropis, dan degenerasi lemak (Gambar 7). Di samping itu, terdapat perluasan sinusoid di sekitar vena sentralis (Gambar 8). Akan tetapi, perluasan sinusoid ini tidak dijadikan parameter dalam perubahan mikroskopis akibat pemberian ekstrak A. altissima.
Gambar 7 Gambaran histopatologi jaringan hati yang diberi ekstrak A. altissima dosis 1 mg/kg BB. Lesio hepatosit di sekitar vena sentralis berupa: degenerasi lemak (panah A) dan nekrosa dengan inti piknotis (panah B), dilatasi sinusoid (panah C), dan degenerasi hidropis (panah D). Pewarnaan HE; Bar: 2 µm.
Gambar 8 Gambaran histopatologi jaringan hati yang diberi ekstrak A. altissima dosis 1 mg/kg BB. Lesio hepatosit di sekitar vena porta berupa: degenerasi lemak (panah A) dan nekrosa (panah B). Pewarnaan HE; Bar: 2 µm. Perbandingan lesio antara kelompok perlakuan dan kontrol dapat diketahui melalui penghitungan persentase jumlah sel yang mengalami lesio pada 10 lapang pandang luas 13x15,5 m2. Hasil penghitungan kemudian dianalisa dengan metode statistika menggunakan uji ANOVA sebagai cara untuk mengetahui tingkat perbedaan dari masing-masing kelompok perlakuan dan kontrol. Apabila dari hasil uji ANOVA ditemukan adanya tingkat perbedaan yang
nyata, maka
dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil penghitungan persentase jumlah hepatosit yang mengalami lesio-lesio tersebut ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Persentase lesio hepatosit mencit yang diberi ekstrak A. altissima. Dosis (mg/kg BB) Kontrol 1 10 100 1000
Persentase Lesio Hepatosit Degenerasi Degenerasi Hidropis Lemak 37.38±9.38ab 25.51±16.12a 2.81±1.17a 32.11±3.79a 40.19± 5.75b 1.12±0.40a 45.30±3.40b 17.38± 6.53a 3.02±1.48a b a 40.98±8.96 27.53±12.64 2.27±0.61a 44.13±3.78b 22.39± 6.60a 2.75±0.87a Normal
Nekrosa 34.30±7.60a 26.58±3.74ab 34.30±4.51a 29.22±4.64ab 30.74±3.45ab
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan nilai-p <0,05 Persentase lesio degenerasi hidropis pada kelompok perlakuan dosis 1 dan 100 mg/kg BB lebih tinggi daripada kontrol, sedangkan pada kelompok perlakuan dosis 10 dan 1000 mg/kg BB mempunyai persentase lebih rendah daripada kontrol. Hasil uji statistik memperlihatkan perbedaan yang signifikan antara dosis 1 mg/kg BB dibandingkan dengan kontrol (p<0,05). Lesio yang terjadi pada kelompok perlakuan dosis 1 mg/kg BB kemungkinan karena kondisi patofisiologis mencit yang berbeda-beda selama penelitian. Selain itu, lesio degenerasi hidropis bisa berlanjut ke nekrosa. Pada dosis lebih tinggi proses akan lebih akut dan langsung menyebabkan lesio nekrosa. Lesio degenerasi lemak pada kelompok perlakuan 1, 100, dan 1000 mg/kg BB memiliki persentase yang lebih rendah daripada kontrol, sedangkan pada kelompok perlakuan dosis 10 mg/kg BB memiliki persentase yang lebih tinggi daripada kontrol. Akan tetapi hasil uji statistik memperlihatkan perbedaan yang tidak nyata diantara kelompok perlakuan dengan kontrol (p>0,05). Persentase hepatosit yang mengalami nekrosa pada kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih rendah
dibandingkan
kontrol. Sementara dari hasil uji statistik
memperlihatkan kelompok perlakuan tidak berbeda nyata dengan kontrol (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak A. altissima tidak menimbulkan perubahan yang nyata pada mencit kelompok perlakuan. Persentase lesio hepatosit yang terjadi pada masing-masing perlakuan ditunjukkan dalam diagram batang berikut:
Persentase Lesio Hepatosit 100% 90% 80%
Lesio (%)
70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Kontrol
1
10
100
1000
Dosis (mg/kg)
Gambar 9 Diagram persentase lesio hepatosit mencit berupa degenerasi lemak (hijau), degenerasi hidropis (kuning), nekrosa (merah), dan normal (biru). Pada gambar 9 ditemukan adanya perubahan hepatosit berupa degenerasi maupun nekrosa yang terjadi di seluruh kelompok perlakuan maupun kontrol. Lesio degenerasi hidropis dan degenerasi lemak bersifat reversible, artinya sel yang telah rusak dapat kembali normal jika penyebab kerusakan sudah tidak ada. Degenerasi hidropis yang terjadi pada kelompok kontrol dianggap terjadi karena mencit yang digunakan bukan mencit Spesific Pathogen Free (SPF) sehingga wajar jika ditemukan gangguan metabolisme yang bersifat tidak spesifik. Apabila tidak ditemukan perbedaan yang signifikan secara statistik pada kelompok perlakuan dan kontrol maka perubahan tersebut dianggap terjadi karena gangguan yang tidak spesifik. Pada diagram di atas, persentase nekrosa pada dosis 1, 10, 100 dan 1000 mg/kg BB tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan kontrol. Pada hasil uji statistik juga memperlihatkan perbedaan yang tidak nyata antara kelompok perlakuan dengan kontrol. Kerusakan sel dimulai dari membran sel, karena membran sel merupakan organel sel yang pertama kali berkontak dengan lingkungan ekstraselular. Selain itu, membran sel merupakan tempat lewatnya ion-ion (sodium-potasium) dan molekul kompleks. Kerusakan membran sel akibat toksin dapat menyebabkan ion sodium banyak disimpan di dalam sel, sehingga terjadi penarikan cairan
ekstraseluler ke dalam sel dan menyebabkan kebengkakan sel (Cheville 1999). Sel yang membengkak dihasilkan dari pemasukkan air yang berlebih akibat peningkatan muatan osmotik intraselular. Peningkatan muatan osmotik ini dihasilkan dari aktivitas molekul-molekul yang bekerja dalam metabolisme seluler. Selain itu, kebengkakan sel dapat terjadi akibat hilangnya kemampuan sel normal dalam mengatur pergerakan ion-ion dan air yang melewati membran sel. Kondisi ini diikuti dengan hancurnya produk-produk ATP dan kreatin fosfat seperti laktase. Sel membutuhkan ATP-ase untuk mengaktifkan pompa sodiumpotasium dalam pengaturan keluar dan masuknya ion. Pada keadaan normal tiga molekul sodium dipompa keluar sel untuk setiap dua molekul potasium yang dipompa ke dalam sel (Cooper dan Slauson 2002). Kebengkakan sel tersebut dinamakan degenerasi hidropis, yang merupakan kerusakan sel bersifat sementara (reversible), sehingga sel dapat kembali normal bila intoksikasi dihentikan (Cooper dan Slauson 2002). Kerusakan lain yang terjadi adalah degenerasi lemak. Lesio hepatosit ini terjadi pada semua kelompok perlakuan termasuk kontrol. Akumulasi lemak terjadi karena ketidakmampuan jaringan bukan lemak untuk memetabolik sejumlah lipid yang ada karena penurunan aktivitas enzim seluler (Macfarlane et al. 2000). Pelepasan asam lemak bebas secara berlebihan dari jaringan adiposa mengakibatkan peningkatan jumlah asam lemak di hati. Asam-asam lemak terakumulasi dan disimpan sebagai trigliserida di retikulum endoplasmik halus. Defisiensi metionin atau kolin menyebabkan lemak diubah menjadi digliserida dan trigliserida. Trigliserida dibawa dalam vakuola-vakuola globula lemak dan bergabung dengan apoprotein yang disintesa di retikulum endoplasmik kasar membentuk lipoprotein. Lipoprotein dan Low Density Lipoprotein (LDL) mengalami hidrolisa menjadi kolesterol, fosfolipid, kemudian dikeluarkan dalam bentuk Very Low Density Lipoprotein (VLDL). Akumulasi trigliserida oleh hepatosit menyebabkan gangguan sekresi lipoprotein dari hati. Gangguan sintesis apoprotein berkaitan dengan kemampuan hepatosit untuk mensintesa lipoprotein yaitu bentukan trigliserida ketika diekskresikan di hati. Mekanisme ini terlibat dalam perubahan lemak pada waktu lapar atau diet kalori yang tinggi, dimana asam lemak bebas dimobilisasikan dari tempat penyimpanan lemak tubuh dan
ditransportasikan ke hati untuk sintesis glukosa (glukoneogenesis) sebagai sumber energi. Berbagai macam bahan beracun tarmasuk etionin, karbon tetraklorida, uromisin, dan fosfor dapat merusak retikulum endoplasmik kasar dan berkaitan dengan sintesis protein (Cooper dan Slauson 2002). Dengan demikian, kemungkinan degenerasi lemak terjadi karena kerja enzim dalam metabolisme lemak dihambat oleh senyawa yang terkandung dalam ekstrak A. altissima. Akan tetapi senyawa tersebut menimbulkan kerusakan yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini dikarenakan degenerasi lemak bersifat reversible, artinya sel yang telah rusak dapat kembali normal jika paparan toksin dihentikan. Perubahan mikroskopis pada jaringan yang mati akibat proses otolisis antemortem dinamakan nekrosa. Berbagai macam perubahan ringan yang mengindikasikan adanya nekrosa terlihat di inti sel yang mati. Perubahan tersebut berhubungan dengan keadaan yang mencirikan penampilan mikroskopis yang spesifik pada nukleus. Dari hasil pemeriksaan histopatologi ditemukan beberapa sel yang mengalami nekrosa, sedangkan pada hasil penghitungan dengan uji statistik menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Beberapa bentuk perubahan nekrosa yang ditemukan pada pemeriksaan histopatologi adalah piknotis dan karyolisis. Piknotis merupakan salah satu perubahan yang umum yang terjadi saat kematian sel, tetapi tidak semua sel-sel yang mengalami kematian terlihat piknotis. Nukleus yg mengalami piknotis ukurannya mengecil, bulat dan ketika diwarnai dengan Hematoksilin Eosin warnanya terlihat homogen biru kehitaman sampai hitam (hiperkromatik). Perubahan ini terjadi karena asam nukleat dari kromatin telah diurai secara enzimatis oleh nukleoprotein yang terdapat di dalamnya, sedangkan nukleus yang lebih asam akan menarik lebih banyak basa dari Hematoksilin. Pada inti yang mengalami piknotis terjadi pemendekan kromatin dan dibatasi oleh membran nukleus yang rusak. Selain itu, bahan pemisah antara eukromatin dan heterokromatin akan berkurang. Karyolisis adalah proses pecahnya atau lisisnya kromatin nukleus pada kematian sel oleh pelepasan nukleus akibat kebocoran lisosom. Kromatin yang telah pecah akan menyebar keluar melalui membran nukleus yang bocor menuju ke sitosol dan cairan
interstisial. Ketika proses karyolisis telah sempurna membran nukleus menghilang (Jones et al. 2006).
Perbandingan Lesio Hepatosit di Sekitar Vena Porta dan Vena Sentralis Akibat Pemberian Ekstrak A. altissima Berdasarkan hasil pengamatan pada vena porta dan vena sentralis ditemukan kelainan hepatosit berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosa pada setiap kelompok perlakuan. Kerusakan hepatosit umumnya dimulai dari vena porta yang kemudian meluas pada vena sentralis. Hal ini dikarenakan vaskularisasi dari saluran pencernaan menuju ke hati melalui vena porta. Apabila darah dari saluran pencernaan mengandung toksin maka lesio awal pada hepatosit akan ditemukan di sekitar vena porta. Setelah melewati vena porta toksin tersebut akan dimetabolisme oleh hati. Hasil metabolisme akan dibawa oleh aliran darah melewati sinusoid menuju vena sentralis. Metabolit toksin tersebut akan menyebabkan terjadinya kerusakan hepatosit di sekitar vena sentralis (Macfarlane et al. 2000). Untuk mengetahui perbandingan persentase lesio hepatosit pada vena porta dan vena sentralis maka jumlah hepatosit dihitung per lapang pandang pada daerah sekitar vena sentralis dan vena porta. Hasil penghitungan lesio hepatosit ini disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Persentase lesio hepatosit pada vena porta dan vena sentralis yang diberi ekstrak A. altissima. Dosis Lokasi (mg/kg BB)
Persentase Lesio Hati Normal Degenerasi Hidropis
Degenerasi Lemak
Nekrosa
vc 38.07±10.38ab 24.87±16.75b 3.06±1.08ab 34.00±7.20a vp 36.69±8.62ab 26.14±15.72b 2.57±1.38a 34.60±8.21a 1 vc 34.01±3.88a 36.58±7.71a 1.26±0.69a 28.15±4.69a vp 30.21±4.78a 43.81±5.76a 0.97±0.37a 25.01±3.00a 10 vc 46.86±3.06b 14.01±5.36b 3.51±2.03ab 33.62±4.27a vp 43.74±3.97b 20.75±7.72b 2.53±0.98a 32.98±4.76a 100 vc 42.68±8.95b 24.94±12.59b 2.40±1.12a 29.98±4.52a vp 39.28±9.41b 30.12±13.12ab 2.15±0.66a 28.45±5.25a 1000 vc 46.16±3.84b 17.40±4.46b 3.27±1.21ab 33.17±3.31a vp 42.09±4.60b 27.38±9.25b 2.23±0.56a 28.30±4.49a Keterangan : - Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan nilai-p <0,05 - vc : vena sentralis ; vp : vena porta Kontrol
Berdasarkan uji statistik persentase lesio hepatosit berupa degenerasi lemak di sekitar vena porta dan vena sentralis pada masing-masing kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol (p>0,05), sedangkan hasil uji statistik persentase lesio degenerasi hidropis terdapat perbedaan yang nyata antara dosis 1 mg/kg BB dengan kontrol. Begitu pula dengan persentase sel yang mengalami nekrosa menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol (p>0,05). Pada dosis 1, 10, 100, dan 1000 mg/kg BB persentase sel yang mengalami nekrosa lebih rendah dibandingkan kontrol, sedangkan persentase sel normal pada dosis tersebut lebih tinggi daripada kontrol. Perbedaan nilai ini terjadi akibat variasi respon hepatosit mencit setiap kelompok perlakuan terhadap paparan senyawa toksin. Dari Tabel 2 persentase lesio hepatosit berupa degenerasi hidropis lebih banyak ditemukan di daerah sekitar vena porta dibandingkan daerah sekitar vena sentralis. Hal ini disebabkan toksin yang masuk ke hati melalui aliran darah dari usus langsung menuju vena porta, sehingga vena porta lebih dahulu terpapar toksin dibandingkan vena sentralis. Hal ini yang menyebabkan terjadi kerusakan sel berupa degenerasi, yaitu degenerasi hidropis. Akan tetapi lesio degenerasi lemak dan nekrosa memiliki persentase lebih tinggi di sekitar vena sentralis dibandingkan di sekitar
vena porta. Hal ini dikarenakan senyawa metabolit yang dimetabolisme oleh hati dibawa menuju vena sentralis, dan karena toksin yang masuk telah merusak vena porta, sehingga enzim-enzim di dalam hati tidak dapat mematabolisme lemak. Dengan demikian terjadi akumulasi di vena sentralis. Oleh karena itu, kerusakan degenerasi lemak lebih banyak terjadi di sekitar vena sentralis. Hepatosit pada mencit dewasa biasanya terdiri atas droplet lemak yang lebih banyak terdapat di sentrolobularis daripada di area periportal (Harada et al. 1999). Perbandingan lesio hepatosit pada vena sentralis dan vena porta yang diberi ekstrak A. altissima ditunjukkan juga melalui diagram batang berikut ini (gambar 10). Perbandingan Lesio Hepatosit pada Vena Sentralis dan Vena Porta
100% 80%
Lesio (%)
60% 40% 20% 0% VC
VP
VC
Kontrol
VP 1
VC
VP
VC
10
VP 100
VC
VP
1000
Dosis (mg/kg BB)
Gambar 10 Diagram lesio hepatosit pada vena sentralis (vc) dan vena porta (vp) berupa degenerasi lemak (hijau), degenerasi hidropis (kuning), nekrosa (merah) dan hepatosit normal (biru) pada hati mencit yang diberi ekstrak A. altissima. Dari diagram batang pada gambar 10 menunjukkan adanya lesio hepatosit berupa degenerasi hidropis yang lebih banyak ditemukan di daerah sekitar vena porta. Walaupun persentase sel yang mengalami degenerasi lemak lebih banyak terjadi di sekitar vena sentralis, tetapi pada diagram di atas tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini dikarenakan lesio degenerasi hidropis dan degenerasi
lemak
merupakan
lesio
yang
bersifat
reversible,
sehingga
kemungkinan lesio degenerasi hidropis pada vena sentralis telah berkurang dan
beberapa sel telah kembali normal. Pada diagram di atas juga memperlihatkan persentase sel yang mengalami nekrosa di sekitar vena porta dan vena sentralis berbanding lurus dengan persentase sel normal di sekitar vena porta maupun vena sentralis. Hal ini menunjukkan bahwa lesio hepatosit kontrol dan lesio hepatosit kelompok perlakuan menunjukkan kecenderungan yang sama, sehingga metabolit yang berasal dari ekstrak A. altissima tidak berpotensi sebagai toksikan pada sel hati.
Pengaruh Pemberian Ekstrak A. Histopatologi Organ Ginjal Mencit
altissima
Terhadap
Perubahan
Unit fungsional ginjal disebut sebagai nefron yang terdiri atas glomerulus dan sistem tubular yang bergabung menjadi suatu duktus. Glomerulus merupakan suatu kompleks kapiler yang saling berikatan membentuk mesangium yang mengandung matriks glikoprotein (MacLachlan dan Cullen 1995). Pada keadaan normal glomerulus tidak dapat dilalui oleh molekul protein berukuran besar. Akan tetapi apabila terjadi disfungsi glomerulus yang disebabkan oleh bahan-bahan toksik, maka bahan-bahan toksik tersebut dapat melewati glomerulus dengan mudah dan masuk ke dalam tubuli dengan jumlah yang tidak normal (Seely 1999). Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi ginjal mencit menunjukkan adanya kerusakan pada glomerulus dan tubulus. Kerusakan yang terjadi pada glomerulus berupa atrofi (Gambar 11) dan endapan protein dalam ruang Bowman (Gambar 12), sedangkan lesio yang terjadi pada tubulus meliputi nekrosa, degenerasi hidropis (Gambar 11), dan endapan protein (Gambar 12). Pada bagian interstisium terdapat kongesti (Gambar 12) yang kemungkinan terjadi karena hewan dimatikan dengan eter over dosis.
Gambar 11 Gambaran histopatologi jaringan ginjal mencit akibat pemberian ekstrak A. altissima dosis 1000 mg/kg BB. Lesio glomerulus berupa atrofi (panah A), nekrosa epitel tubuli (panah B) dan degenerasi hidropis sel epitel tubuli (panah C). Pewarnaan HE; Bar 2µm.
Gambar 12 Gambaran histopatologi jaringan ginjal mencit yang diberi ekstrak A. altissima dosis 100 mg/kg BB. Endapan protein glomerulus (panah A), endapan protein pada tubuli (panah B), kongesti interstitium (panah C). Pewarnaan HE; Bar: 2µm.
Untuk mengetahui tingkat keparahan lesio pada glomerulus dan tubuli ginjal akibat pemberian ekstrak A. altissima maka dilakukan penghitungan persentase glomerulus yang mengalami atrofi dan endapan protein, persentase tubuli yang mengalami degenerasi hidropis dan nekrosa, serta persentase tubuli yang mengalami endapan protein. Hasil penghitungan persentase disajikan pada Tabel 3 dan 4. Tabel 3 Hasil pemeriksaan histopatologi glomerulus mencit yang diberi ekstrak A. altissima. Persentase Lesio Glomerulus Dosis (mg/kg BB) Normal Endapan Protein Atrofi a a Kontrol 75±9.35 16±4.18 9±6.52a 1 77±5.70a 11±6.52a 12±4.47a 10 76±6.52a 14±7.42a 10±3.54a 100 69±10.84a 19±4.18a 12±8.37a 1000 63±8.37a 18±6.71a 19±4.18a Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan nilai-p <0,05 Tabel 4 Hasil pemeriksaan histopatologi tubuli ginjal mencit yang diberi ekstrak A. altissima. Persentase Lesio Tubulus Dosis Normal Degenerasi Nekrosa Endapan (mg/kg BB) Hidropis Protein a ab a Kontrol 85.90±0.69 1.96±0.52 10.93±0.41 1.20±0.34a a a a 1 85.72±2.09 2.48±0.76 10.87±2.12 0.92±0.24a 10 76.42±5.24b 1.29±0.49b 21.28±5.36b 1.02±0.18a c b b 100 58.94±5.68 1.42±0.46 38.70±5.55 0.94±0.15a 1000 50.49±3.83d 2.11±0.59ab 46.04±3.97b 1.37±0.35a Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan nilai-p <0,05 Berdasarkan hasil penghitungan lesio endapan protein pada glomerulus, persentase lesio kelompok perlakuan dosis 1 dan 10 mg/kg BB lebih rendah daripada kontrol, sedangkan kelompok perlakuan dosis 100 dan 1000 mg/kg BB memiliki persentase yang lebih tinggi daripada kontrol. Akan tetapi setelah dilakukan uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata di antara kelompok perlakuan dosis 1, 10, 100, 1000 mg/kg BB jika dibandingkan dengan kontrol. Begitu pula dengan atrofi glomerulus yang menunjukkan perbedaan yang
tidak signifikan antara kelompok perlakuan dengan kontrol, sedangkan jumlah kerusakan yang terjadi pada kelompok perlakuan dosis 1, 10, 100, dan 1000 mg/kg BB lebih banyak dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan pada setiap kelompok perlakuan cenderung terjadi kerusakan ringan dan memberikan respon patofisiologis mencit yang berbeda-beda. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa persentase lesio degenerasi hidropis tubuli di antara kelompok perlakuan dosis 10 dan 100 mg/kg BB lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan dosis 1 dan 1000 mg/kg BB. Akan tetapi, hasil uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol. Perbedaan persentase terjadi akibat lesio degenerasi hidropis bersifat reversible, sehingga lesio dapat menurun atau meningkat tergantung pada tingkat keparahan lesio yang terjadi pada sel-sel epitel tubuli tersebut. Kerusakan sel berupa nekrosa antara kelompok dosis 10, 100, dan 1000 mg/kg BB menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kelompok kontrol, sedangkan kelompok dosis 1 mg/kg BB tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kelompok kontrol. Lesio nekrosa pada tubuli ginjal tersebut kemungkinan terjadi karena senyawa-senyawa yang bersifat nefrotoksik yang terkandung dalam ekstrak A. altissima. Efektivitas toksin sangat bergantung pada tiga faktor yaitu 1) jenis senyawa, 2) konsentrasi, dan 3) target organ, sehingga derajat keparahan terhadap lesio yang ditimbulkan bergantung pada ketiga faktor tersebut (Hatzios 2005). Perubahan yang terjadi pada glomerulus dan tubuli ginjal akibat pemberian ekstrak A. altissima dapat dilihat melalui diagram batang berikut:
Persentase Lesio Glomerulus 100% 90% 80%
Lesio (%)
70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Kontrol
1
10
100
1000
Dosis (mg/kg BB)
Gambar 13 Diagram persentase lesio glomerulus berupa endapan protein (kuning), atrofi (merah) dan glomerulus normal (biru) pada ginjal mencit yang diberi ekstrak A. altissima. Persentase Lesio Tubulus 100%
Lesio (%)
80% 60% 40% 20% 0% Kontrol
1
10
100
1000
Dosis (mg/kg)
Gambar 14 Diagram persentase lesio tubuli berupa degenerasi endapan protein (hijau), degenerasi hidropis (kuning), nekrosa (merah), dan tubuli normal (biru) pada ginjal mencit yang diberi ektrak Ailanthus altissima.
Dari diagram batang pada gambar 13 memperlihatkan persentase glomerulus yang mengalami endapan protein meningkat pada dosis 100 dan 1000 mg/kg BB, sedangkan persentase atrofi glomerulus telah mengalami peningkatan pada dosis 1 mg/kg BB. Akan tetapi peningkatan yang terjadi pada kedua lesio tidak signifikan jika dibandingkan dengan peningkatan lesio nekrosa yang terjadi pada tubulus. Pada gambar 13 juga memperlihatkan adanya persentase glomerulus normal pada setiap kelompok perlakuan maupun kontrol yang lebih tinggi jika dibandingkan persentase lesio glomerulus. Kerusakan pada sel tubuli ginjal dan sel epitel kapiler glomerulus juga bermula dari kerusakan organel-organel sel. Pada glomerulus dapat terjadi atrofi akibat masuknya senyawa-senyawa yang bersifat toksik ke dalam ginjal. Atrofi adalah proses penyusutan, pembuangan sebuah organ atau jaringan sehingga bentuk dan ukuran organ atau jaringan tersebut menjadi lebih kecil. Pada awalnya kerusakan glomerulus ini dikarenakan organel-organel sel epitel pada kapiler glomerulus tidak melakukan fungsinya dengan baik. Semakin banyak sel epitel yang rusak mengakibatkan hilangnya jumlah sel maupun komponen sel pada kapiler glomerulus, sehingga permeabilitas kapiler meningkat. Kerusakan seperti ini dinamakan atrofi glomerulus (Macfarlane et al. 2000). Atrofi glomerulus dicirikan dengan adanya glomerulus yang mengecil dalam ruang Bowman sehingga ruang di antara kapsula Bowman dan glomerulus semakin meluas (Jones et al. 2006). Glomerulus berfungsi dalam memfiltrasi darah dan menghasilkan filtrat yang bebas protein. Adanya akumulasi protein dalam ruang Bowman dan mesangium mengindikasikan adanya permeabilitas kapiler yang meningkat sehingga molekul protein yang besar menembus filter (Cotran dan Kumar 1989). Dalam keadaan normal hanya sedikit filtrat protein yang ditemukan pada glomerulus, dan filtrat tersebut akan di reabsorbsi oleh sel epitel dari tubulus proksimal. Ketika konsentrasi protein tinggi dalam filtrat, yaitu pada kejadian proteinuria, misalnya pada kerusakan glomerulus, protein tersebut akan diangkut oleh sel epitel dari tubulus proksimal ke dalam vesikel dimana pada pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin) akan terlihat seperti butir-butir hialin dalam sitoplasma. Vesikel tersebut akan bergabung dengan lisosom untuk membentuk fagolisosom, dimana protein di metabolisme (McGavin dan James 2007).
Masuknya senyawa toksin yang terkandung di dalam ekstrak A. altissima sedikit berpengaruh terhadap laju filtrasi glomerulus, sehingga persentase kerusakan yang muncul lebih rendah dibandingkan dengan persentase glomerulus yang normal, hal ini dapat dilihat pada gambar 13. Diagram batang pada gambar 14 memperlihatkan adanya lesio di tubuli proksimal ginjal berupa degenerasi hidropis, nekrosa, dan endapan protein. Persentase lesio degenerasi hidropis dan endapan protein di tubuli proksimalis menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (p>0,05). Sama halnya dengan degenerasi hidropis pada hepatosit, degenerasi hidropis pada sel tubuli ginjal dicirikan dengan adanya pembengkakan pada sitoplasma, bersifat sementara (reversible) dan sel dapat kembali normal apabila paparan toksikan dihentikan (Cooper dan Slauson 2002; Seely 1999). Pada kerusakan sel epitel tubuli terjadi akibat masuknya toksin yang menyebabkan kerusakan membran sel, yang ditandai dengan penurunan ATP untuk penyediaan energi. Dalam hal ini ATP dibutuhkan untuk proses reabsorpsi zat-zat dan cairan dalam tubulus. Kerusakan pada membran sel akan menurunkan produksi ATP yang dihasilkan di mitokondria dan pengurangan pompa sodium, sehingga keseimbangan pengaturan ion sodiumpotasium intraselular terganggu (Cheville 2006). Kegagalan dalam mengatur keseimbangan ion sodium intraselular mengakibatkan masuknya sejumlah cairan secara berlebih ke dalam sel. Peningkatan cairan intraselular tersebut menyebabkan kebengkakan pada sel, termasuk mitokondria dan retikulum endoplasmik kasar (Jones et al. 2006). Pada sel yang mengalami kerusakan tersebut dinamakan degenerasi hidropis epitel tubuli. Adanya gangguan pada tubuli mengakibatkan daya selektifitas tubuli menurun sehingga mempengaruhi homeostasis tubuh (Hatzios 2005). Endapan protein yang terjadi pada kelompok perlakuan dan kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini berkaitan dengan endapan protein yang terjadi di glomerulus juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0,05), karena proses terjadinya akumulasi protein dimulai di glomerulus kemudian akan menembus ke tubuli proksimal. Lesio nekrosa yang terjadi di tubuli proksimal ginjal akibat pemberian ekstrak A. altissima menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kontrol, hal ini terlihat pada gambar 14 yang memperlihatkan
persentase lesio nekrosa yang lebih banyak terjadi pada dosis 10, 100, dan 1000 mg/kg BB sehingga pada dosis ini ekstrak A. altissima bersifat nefrotoksik. Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa menurut Lu (1995) tubulus proksimal merupakan bagian yang paling mudah mengalami kerusakan akibat zat toksik karena pada tubulus proksimal terjadi proses absorbsi dan sekresi, sehingga perbedaan lesio di tubuli proksimal lebih signifikan dibandingkan lesio yang terjadi di glomerulus. Berdasarkan hasil penghitungan persentase jumlah lesio pada organ hati dan ginjal yang disajikan dalam data tabel maupun diagram batang menunjukkan adanya perubahan berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak, nekrosa, endapan protein, dan atrofi. Dari seluruh lesio yang ditemukan hanya lesio nekrosa yang memberikan perbedaan yang signifikan di antara kelompok perlakuan dan kontrol, sehingga timbulnya lesio-lesio tersebut diduga karena senyawa toksin yang berasal dari ekstrak A. altissima memiliki efek toksik dan dapat pula dikarenakan faktor kondisi patofisiologis mencit yang berbeda-beda pada masing-masing kelompok perlakuan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Praptiwi (komunikasi pribadi) didapatkan dosis ED50 dari ekstrak A. altissima yang mematikan 50% P. berghei secara in vitro sebesar 112,42 mg/kg BB, sehingga untuk mematikan 100% P. berghei diperlukan dosis dua kali lebih besar yaitu 224,84 mg/kg BB. Dosis ini terletak pada level toksik antara 100 sampai 1000 mg/kg BB. Apabila ekstrak A. altissima diaplikasikan sebagai obat antimalaria, maka disarankan untuk berhati-hati karena memberi efek toksik pada ginjal.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak A. altissima pada dosis 10, 100, dan 1000 mg/kg BB selama 7 hari tidak menimbulkan perubahan pada hati, tetapi meningkatkan perubahan patologi pada epitel tubuli ginjal.
Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi senyawa toksik pada ekstrak A. altissima. 2. Perlu studi lebih lanjut dalam menentukan pelarut saat pembuatan ekstrak A. altissima sehingga dapat meminimalisir senyawa toksik yang terkandung dalam tumbuhan A. altissima. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan hewan coba yang memiliki sensitivitas toksin yang berbeda, misalnya pada kelinci dan tikus.
DAFTAR PUSTAKA Anonimus 2008. Ailanthus altissima. http://www.issg.org/database/species/ecology.asp. [2 Maret 2008]. Ballenger L. 1999. Mus musculus. Animal Diversity Web. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Mus_m usculus.html. [2 Maret 2008]. Burrows GE . 2001. Toxic Plants of North America. Iowa State University Press. United States of America. hlm 1242. http://.en.wikipedia.org/wiki/Ailanthus_altissima [17 Desember 2007]. Carlton WW, McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. Mosby-Year Book, Inc. St. Louis. Cheng TC. 1973. General Parasitology. Academic Press. Florida. hlm 257-261. Cheville NF. 2006. Cell Death and Cell Recovery. In: Introduction to Veterinary Pathology Edisi 3. Blackwell Publishing. United State of America. hlm 15-44. Clair MD, Bory G. 1990. Influence of Reproductive Effort on Foliar Morphology Structure and Functioning in Ailanthus altissima. Phytomorphology 40(12): 131-143. International Society of Plant Morphologists. Delhi. Confer AW, Roger JP. 1995. The Urinary System. In: Carlton WM and McGavin MD. Thompson’s Special Veterinary Pathology. Edisi ke-2. Mosby. A Times Mirroc Co. hlm 209-230. Cooper BJ, Slauson DO. 2002. Mechanisms of Disease: A Textbook of Comparative General Pathology. Edisi ke-3. Mosby. Amerika. Cotran RS, Kumar VRS. 1989. Pathology Basis of Disease. Edisi 4. WB Saunders Company. Philadelphia. Dellman HD, Brown EM. 1992. Sistem Pencernaan. Dalam: Buku Teks Histologi Veteriner. Edisi ke-3. Universitas Indonesia Press. Jakarta. hlm 392-404.
Duke JA. 1983. Ailanthus altissima (Mill). Swingle. Handbook of Energy Crops. Purdue University Center for New Crops and Plant Products. http://www.hort.purdue.edu/newcrop/duke_energy/Ailanthus_altissima.ht ml. [2 Maret 2008]. Ganiswarna SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-9. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Harada T, Enomoto A, Boorman GA, Maronpot RR. 1999. Liver and Gallbladder. In: Maronpot RR. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. Edisi ke1. Cache River Press. hlm 119-135. Hartono. 1992. Histologi Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hatzios KK. 2005. Metabolism and Elimination of Toxicants. In: Hock B dan Elstner EF. Plant Toxicology. Edisi ke-4. Marce Dekker. New York. hlm 469-471. Heisey RM. 1996. Identification of An allelopathic Compound from Ailanthus altissima (Simaroubaceae) and Characterization of Its Herbicidal Activity. American Journal of Botany 83(2): 192-200. University of Pennsylvania Press. Philadelphia, PA. http://www.invasivepecies.gov [2 Maret 2008]. Jones TC, Ronald DH, Norval WK. 2006. Veterinary Pathology. Edisi ke-6. Blackwell Publishing. United State of America. Kuo et al. 2004. Plant of the family Simaroubaceae. Memorias do Instito Oswaldo Cruz. 3:102. Lewis WH, Bikoff RE, Casper SJ, Oksman A, Goldberg DE, Okunade AL. 2003. Antiplasmodial Activity of Extracts and Quassinoids Isolated From Seedlings of Ailanthus altissima (Simaroubaceae). Phytotherapy research : PTR. Juni 2003;17(6):675-7. http://www.nextbio.com. [15 Agustus 2008]. Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Edisi ke-2. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Macfarlane PS, Robin R, Robin C. 2000. Pathology Illustrated. Edisi ke-5. Churchill Livingstone. London. MacLachlan NJ, Cullen JM. 1995. Liver, Billiary System, and Exocrine Pancreas. In: Carlton WM and McGavin MD. Thompson’s Special Veterinary Pathology. Edisi ke-2. Mosby. A Times Mirroc Co. Amerika. Hlm 81-108. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. McGavin MD, James FZ. 2007. Pathologic Basis of Veterinary Disease. Edisi ke4. Mosby Elsevier. Amerika. Noble ER, Noble GA. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan. Edisi ke-5. UGM Press. Yogyakarta. Nooteboom HP. 1972. Simaroubaceae. Di dalam: Steenis CGGJV, editor. Flora Malesiana. Volume ke-6. Wolters-Noordhoff Publishing. Netherlands. hlm 193-194. Rhoads AF, Timothy AB. 2000. The Plants of Pennsylvania: An Illustrated Manual. University of Pennsylvania Press, Philadelphia, PA. http://www.invasivespecies.gov [2 Maret 2008]. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB. Bandung. hlm 151-154 Seely JC. 1999. Kidney. In: Maronpot RR. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. Edisi ke-1. Cache River Press. hlm 207-226. Spector WG, Spector TD. 1993. Pengantar Patologi Umum. Edisi ke-3. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Swingle WT. 1916. The Early European History and The Botanical Name of The Tree of Heaven, Ailanthus altissima. Journal of The Washington Academy of Sciences (6): 409-498. Wright CW. 2005. Traditional Antimalarials and The Development of Novel Antimalarial Drugs. Journal of Ethnopharmacology (100): 67-71.
Lampiran 1 Bagan Pembuatan Sediaan Histopatologi
Sampling organ / Trimming Jaringan diinsisi tipis setebal 0,5 cm
↓ Fiksasi BNF 10% selama 6-24 jam
↓ Dehidrasi Alkohol 70%, 80%, 90%, Alkohol absolut I, dan Alkohol absolut II masingmasing 2 jam
↓ Clearing Xylol I dan xilol II masing-masing 2 jam
↓ Embedding Penanaman jaringan dalam paraffin pada suhu 56oC
↓ Sectioning Pemotongan jaringan menggunakan mikrotom setebal 3 µm
↓ Mounting Penempelan jaringan pada gelas objek
↓ Staining Pewarnaan dengan Hematoksilin Eosin
Lampiran 2 Pewarnaan Hematoksilin Eosin
Xylol I, 2 menit
↓ Xylol II, 2 menit
↓ Alkohol absolut, 2 menit
↓ Alkohol 95%, 1 menit
↓ Alkohol 80%, 1 menit
↓ Cuci dengan air keran, 1 menit
↓ Mayer’s Hematoxylline, 8 menit
↓ Cuci dengan air keran, 30 detik
↓ Lithium karbonat, 15-30 detik
↓ Cuci dengan air keran, 2 menit
↓ Eosin 2-3 menit
↓ Cuci dengan alkohol 95%, 10 celupan
↓ Alkohol absolut I, 10 celupan
↓ Alkohol absolut II, 2 menit
↓ Xylol I dan II, 1 menit
↓ Tutup dengan cover glass menggunakan perekat permount
Lampiran 3 Hasil Uji ANOVA Hasil Uji ANOVA Lesio Hepatosit One-way ANOVA: Persentase Normal Source dosis Error Total
DF 4 20 24
S = 6.458
Level 1000mg/kg BB 100mg/kg BB 10mg/kg BB 1mg/kg BB kontrol
SS 575.8 834.0 1409.9
MS 144.0 41.7
F 3.45
R-Sq = 40.84%
N 5 5 5 5 5
Mean 44.125 40.983 45.301 32.112 37.379
P 0.027
R-Sq(adj) = 29.01%
StDev 3.783 8.959 3.402 3.794 9.379
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---+---------+---------+---------+-----(--------*--------) (--------*-------) (--------*-------) (--------*-------) (-------*--------) ---+---------+---------+---------+-----28.0 35.0 42.0 49.0
Pooled StDev = 6.458
One-way ANOVA: Persentase Nekrosa Source dosis Error Total
DF 4 20 24
S = 5.010
Level 1000mg/kg BB 100mg/kg BB 10mg/kg BB 1mg/kg BB kontrol
SS 222.8 502.0 724.8
MS 55.7 25.1
F 2.22
R-Sq = 30.74%
N 5 5 5 5 5
Mean 30.735 29.215 34.298 26.579 34.299
P 0.104
R-Sq(adj) = 16.88%
StDev 3.448 4.639 4.505 3.742 7.602
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ------+---------+---------+---------+--(--------*---------) (--------*---------) (---------*--------) (--------*---------) (---------*--------) ------+---------+---------+---------+--25.0 30.0 35.0 40.0
Pooled StDev = 5.010
One-way ANOVA: Persentase Degenerasi Hidropis Source dosis Error Total
DF 4 20 24
S = 10.38
SS 1448 2156 3603
MS 362 108
F 3.36
R-Sq = 40.18%
P 0.029
R-Sq(adj) = 28.21%
Level 1000mg/kg BB 100mg/kg BB 10mg/kg BB 1mg/kg BB kontrol
N 5 5 5 5 5
Mean 22.39 27.53 17.38 40.19 25.51
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ----+---------+---------+---------+----(-------*-------) (-------*-------) (-------*--------) (-------*--------) (-------*-------) ----+---------+---------+---------+----12 24 36 48
StDev 6.60 12.64 6.53 5.75 16.12
Pooled StDev = 10.38
One-way ANOVA: Persentase Degenerasi Lemak Source dosis Error Total
DF 4 20 24
SS 11.717 19.439 31.156
S = 0.9859
MS 2.929 0.972
F 3.01
R-Sq = 37.61%
Level 1000mg/kg BB 100mg/kg BB 10mg/kg BB 1mg/kg BB kontrol
N 5 5 5 5 5
Mean 2.7527 2.2738 3.0188 1.1160 2.8143
P 0.043
R-Sq(adj) = 25.13%
StDev 0.8740 0.6093 1.4827 0.4047 1.1672
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --------+---------+---------+---------+(---------*--------) (--------*--------) (--------*--------) (--------*--------) (--------*--------) --------+---------+---------+---------+1.0 2.0 3.0 4.0
Pooled StDev = 0.9859
Hasil Uji ANOVA Lesio Hepatosit Vena Centralis One-way ANOVA: Persentase Normal Source dosis Error Total
DF 4 20 24
S = 6.736
SS 598.3 907.5 1505.8
MS 149.6 45.4
R-Sq = 39.74%
F 3.30
P 0.031
R-Sq(adj) = 27.68% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev
Level 1 mg/kg BB 10 mg/kg BB 100 mg/kg BB 1000 mg/kg BB kontrol
N 5 5 5 5 5
Mean 34.014 46.858 42.684 46.164 38.068
Pooled StDev = 6.736
StDev +---------+---------+---------+--------3.882 (--------*--------) 3.057 (--------*--------) 8.947 (--------*--------) 3.835 (--------*--------) 10.378 (--------*--------) +---------+---------+---------+--------28.0 35.0 42.0 49.0
One-way ANOVA: Persentase Nekrosa Source dosis Error Total
DF 4 20 24
S = 4.969
SS 186.2 493.7 679.9
MS 46.5 24.7
F 1.89
R-Sq = 27.38%
Level 1 mg/kg BB 10 mg/kg BB 100 mg/kg BB 1000 mg/kg BB kontrol
N 5 5 5 5 5
Mean 28.144 35.618 29.978 33.168 33.996
P 0.152
R-Sq(adj) = 12.86%
StDev 4.690 4.268 4.518 3.314 7.199
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---+---------+---------+---------+-----(--------*---------) (--------*---------) (--------*--------) (--------*---------) (--------*--------) ---+---------+---------+---------+-----25.0 30.0 35.0 40.0
Pooled StDev = 4.969
One-way ANOVA: Persentase Degenerasi Hidropsis Source dosis Error Total
DF 4 20 24
S = 10.46
SS 1511 2188 3699
MS 378 109
F 3.45
R-Sq = 40.85%
Level 1 mg/kg BB 10 mg/kg BB 100 mg/kg BB 1000 mg/kg BB kontrol
N 5 5 5 5 5
Mean 36.58 14.01 24.94 17.40 24.88
P 0.027
R-Sq(adj) = 29.02%
StDev 7.71 5.36 12.59 4.46 16.75
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ------+---------+---------+---------+--(-------*--------) (-------*-------) (-------*-------) (-------*--------) (-------*-------) ------+---------+---------+---------+--12 24 36 48
Pooled StDev = 10.46
One-way ANOVA: Persentase Degenerasi Lemak Source DF dosis 4 Error 20 Total 24 S = 1.300
SS MS F P 16.34 4.08 2.42 0.083 33.81 1.69 50.15 R-Sq = 32.58% R-Sq(adj) = 19.10%
Level 1 mg/kg BB 10 mg/kg BB 100 mg/kg BB 1000 mg/kg BB kontrol
N 5 5 5 5 5
Mean 1.260 3.506 2.400 3.270 3.060
Pooled StDev = 1.300
StDev 0.686 2.025 1.118 1.207 1.083
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev +---------+---------+---------+--------(----------*---------) (---------*---------) (---------*---------) (---------*---------) (----------*---------) +---------+---------+---------+-------0.0 1.2 2.4 3.6
Hasil Uji ANOVA Lesio Hepatosit Vena Porta One-way ANOVA: Persentase Normal Source dosis Error Total
DF 4 20 24
S = 6.672
SS 564.8 890.4 1455.2
MS 141.2 44.5
F 3.17
R-Sq = 38.81%
Level 1 mg/kg BB 10 mg/kg BB 100 mg/kg BB 1000 mg/kg BB kontrol
N 5 5 5 5 5
Mean 30.208 43.746 39.282 42.084 36.692
P 0.036
R-Sq(adj) = 26.57%
StDev 4.782 3.969 9.410 4.598 8.620
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ------+---------+---------+---------+--(--------*--------) (-------*--------) (--------*--------) (--------*--------) (-------*--------) ------+---------+---------+---------+--28.0 35.0 42.0 49.0
Pooled StDev = 6.672
One-way ANOVA: Persentase Nekrosa Source dosis Error Total
DF 4 20 24
S = 5.418
SS 300.5 587.1 887.6
MS 75.1 29.4
F 2.56
R-Sq = 33.85%
P 0.070
R-Sq(adj) = 20.62%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level 1 mg/kg BB 10 mg/kg BB 100 mg/kg BB 1000 mg/kg BB kontrol
N 5 5 5 5 5
Mean 25.014 32.978 28.452 28.304 34.602
StDev 2.998 4.764 5.248 4.490 8.210
+---------+---------+---------+--------(---------*---------) (---------*---------) (---------*---------) (----------*---------) (---------*---------) +---------+---------+---------+--------20.0 25.0 30.0 35.0
Pooled StDev = 5.418
One-way ANOVA: Persentase Degenerasi Hidropis Source dosis Error Total
DF 4 20 24
S = 10.93
SS 1487 2391 3877
MS 372 120
F 3.11
R-Sq = 38.34%
P 0.038
R-Sq(adj) = 26.01%
Individual 95% CIs For Mean Based on
Level 1 mg/kg BB 10 mg/kg BB 100 mg/kg BB 1000 mg/kg BB kontrol
N 5 5 5 5 5
Mean 43.81 20.75 30.12 27.38 26.14
StDev 5.76 7.72 13.12 9.25 15.72
Pooled StDev -+---------+---------+---------+-------(--------*-------) (-------*--------) (-------*--------) (--------*-------) (--------*-------) -+---------+---------+---------+-------12 24 36 48
Pooled StDev = 10.93
One-way ANOVA: Persentase Degenerasi Lemak Source dosis Error Total
DF 4 20 24
SS 8.456 15.009 23.465
S = 0.8663
MS 2.114 0.750
R-Sq = 36.04%
F 2.82
P 0.053
R-Sq(adj) = 23.24% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev
Level 1 mg/kg BB 10 mg/kg BB 100 mg/kg BB 1000 mg/kg BB kontrol
N 5 5 5 5 5
Mean 0.9740 2.5300 2.1440 2.2340 2.5680
StDev --------+---------+---------+---------+0.3617 (-------*-------) 0.9805 (-------*-------) 0.6584 (-------*--------) 0.5639 (-------*-------) 1.3815 (-------*-------) --------+---------+---------+---------+1.0 2.0 3.0 4.0
Pooled StDev = 0.8663
Hasil Uji ANOVA Lesio Glomerulus One-way ANOVA: Persentase Normal Source Dosis Error Total
DF 4 20 24
S = 8,367
Level 1% 10% 100% 1000% Kontrol
N 5 5 5 5 5
SS 700,0 1400,0 2100,0
MS 175,0 70,0
F 2,50
P 0,075
R-Sq = 33,33%
R-Sq(adj) = 20,00%
Mean 77,000 76,000 69,000 63,000 75,000
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+-------(---------*---------) (---------*---------) (---------*---------) (---------*---------) (---------*---------) -+---------+---------+---------+-------56,0 64,0 72,0 80,0
Pooled StDev = 8,367
StDev 5,701 6,519 10,840 8,367 9,354
One-way ANOVA: Persentase Atrofi Source Dosis Error Total
DF 4 20 24
S = 5,701
Level 1% 10% 100% 1000% Kontrol
SS 306,0 650,0 956,0
MS 76,5 32,5
F 2,35
R-Sq = 32,01%
N 5 5 5 5 5
Mean 12,000 10,000 12,000 19,000 9,000
P 0,089
R-Sq(adj) = 18,41%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ----+---------+---------+---------+----(--------*--------) (--------*--------) (--------*--------) (--------*--------) (--------*--------) ----+---------+---------+---------+----6,0 12,0 18,0 24,0
StDev 4,472 3,536 8,367 4,183 6,519
Pooled StDev = 5,701
One-way ANOVA: Persentase Endapan Protein Source Dosis Error Total
DF 4 20 24
S = 5,958
Level 1% 10% 100% 1000% Kontrol
SS 206,0 710,0 916,0
MS 51,5 35,5
F 1,45
R-Sq = 22,49%
N 5 5 5 5 5
Mean 11,000 14,000 19,000 18,000 16,000
StDev 6,519 7,416 4,183 6,708 4,183
P 0,254
R-Sq(adj) = 6,99%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---------+---------+---------+---------+ (----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) ---------+---------+---------+---------+ 10,0 15,0 20,0 25,0
Pooled StDev = 5,958
Hasil Uji ANOVA Lesio Tubulus One-way ANOVA: Persentase Normal Source dosis Error Total
DF 4 20 24
S = 3.978
SS 5164.1 316.5 5480.6
MS 1291.0 15.8
R-Sq = 94.22%
F 81.57
P 0.000
R-Sq(adj) = 93.07%
Level 1000mg/kg BB 100mg/kg BB 10mg/kg BB 1mg/kg BB kontrol
N 5 5 5 5 5
Mean 50.493 58.937 76.418 85.721 85.897
StDev 3.826 5.675 5.241 2.086 0.692
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+-------(--*--) (--*--) (--*--) (--*---) (---*--) -+---------+---------+---------+-------48 60 72 84
Pooled StDev = 3.978
One-way ANOVA: Persentase Nekrosa Source dosis Error Total
DF 4 20 24
S = 3.998
Level 1000mg/kg BB 100mg/kg BB 10mg/kg BB 1mg/kg BB kontrol
SS 5198.8 319.8 5518.6
MS 1299.7 16.0
R-Sq = 94.21%
N 5 5 5 5 5
Mean 46.036 38.696 21.276 10.874 10.935
F 81.29
P 0.000
R-Sq(adj) = 93.05%
StDev 3.968 5.549 5.361 2.119 0.409
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ----+---------+---------+---------+----(--*--) (--*--) (--*--) (--*--) (--*--) ----+---------+---------+---------+----12 24 36 48
Pooled StDev = 3.998
One-way ANOVA: Persentase Degenerasi Hidropsis Source dosis Error Total
DF 4 20 24
S = 0.5749
Level 1000mg/kg BB 100mg/kg BB 10mg/kg BB 1mg/kg BB kontrol
SS 4.868 6.611 11.479
MS 1.217 0.331
F 3.68
R-Sq = 42.41%
N 5 5 5 5 5
Mean 2.1050 1.4240 1.2911 2.4838 1.9648
Pooled StDev = 0.5749
P 0.021
R-Sq(adj) = 30.89%
StDev 0.5931 0.4611 0.4867 0.7600 0.5234
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -------+---------+---------+---------+-(--------*--------) (--------*--------) (--------*-------) (--------*--------) (--------*--------) -------+---------+---------+---------+-1.20 1.80 2.40 3.00
One-way ANOVA: Persentase Endapan Protein Source dosis Error Total
DF 4 20 24
S = 0.2644
Level 1000mg/kg BB 100mg/kg BB 10mg/kg BB 1mg/kg BB kontrol
SS 0.7217 1.3983 2.1200
MS 0.1804 0.0699
R-Sq = 34.04%
N 5 5 5 5 5
Mean 1.3661 0.9436 1.0153 0.9220 1.2034
Pooled StDev = 0.2644
F 2.58
P 0.069
R-Sq(adj) = 20.85%
StDev 0.3520 0.1452 0.1807 0.2372 0.3401
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---+---------+---------+---------+-----(---------*---------) (---------*---------) (---------*--------) (---------*---------) (---------*---------) ---+---------+---------+---------+-----0.75 1.00 1.25 1.50
Lampiran 4 Hasil Uji Duncan Hasil Uji Duncan Lesio Hepatosit Duncan's Multiple Range Test for Degenerasi Hidropis
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
20
Error Mean Square
120
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
25.51
5
Kontrol
40.19
5
1
A
17.38
5
10
A
27.53
5
100
A
22.39
5
1000
A
B
Dosis
Hasil Uji Duncan Lesio Hepatosit Vena Sentralis Duncan's Multiple Range Test for Degenerasi Hidropis
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
20
Error Mean Square
109
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
B
24.88
5
Kontrol
36.58
5
1
B
14.01
5
10
B
24.94
5
100
B
17.40
5
1000
A
Dosis
Hasil Uji Duncan Lesio Hepatosit Vena Porta Duncan's Multiple Range Test for Degenerasi Hidropis
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
20
Error Mean Square
120
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping B
A
Mean
N
Dosis
26.14
5
Kontrol
43.81
5
1
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
A
Mean
N
Dosis
B
20.75
5
10
B
30.12
5
100
B
27.38
5
1000
Hasil uji Duncan Lesio Tubulus Duncan's Multiple Range Test for Normal
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
20 15.8
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
A
85.897
5
Kontrol
A
85.721
5
1
B
76.418
5
10
C
58.937
5
100
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
D
50.493
5
1000
Duncan's Multiple Range Test for Nekrosa
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
20 16.0
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Dosis
A
10.935
5
Kontrol
A
10.874
5
1
B
21.276
5
10
B
38.696
5
100
B
46.036
5
1000