BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sirosis Hati Sirosis hati merupakan perjalanan patologi terakhir dari kerusakan hati kronik akibat berbagai macam penyakit hati. Ada banyak keadaan yang akan menyebabkan SH yang dapat kita lihat pada Tabel 2.1 (Choudhury, 2006). SH sering tanpa gejala dengan prevalensi 4-10% dari pemeriksaan autopsi. Jumlah pasien yang menderita SH di German diperkirakan sekitar 600.000 – 700.000 dengan kematian 25.000 pertahun (peringkat ke-9 penyebab kematian dan ke-5 untuk kelompok usia 45-65 tahun) (Kuntz, 2008). Pada masyarakat di Amerika Utara prevalensinya sekitar 3.6 per 1.000 (Choudhury, 2006), Prevalensi SH di Indonesia dari beberapa laporan rumah sakit umum hanya berdasarkan diagnosis klinis didapatkan prevalensi SH sekitar 3.5% (4.044 pasien) dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam (115.783 pasien) (Kusumobroto, 2007). Progesivitas kerusakan hati ini dapat berlangsung dalam beberapa minggu sampai beberapa tahun (Kuntz, 2008).
Tabel 2.1 Etiologi Sirosis Hati (Choudhury, 2006) 1. Hepatitis C Kronis (26%) 2. Penyakit Alkoholik hati (21%) 3. Penyebab kriptogenik (18%)* 4. Hepatitis B ± Hepatitis D (15%) 5. Penyebab lain : • Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkohol • Hemokromatosis • Penyakit Wilson • Defisiensi α-1-antitripsin • Hepatitis autoimun • SH Bilier Primer • SH Bilier Sekunder • Kolangitis Sklerosing Primer • Sindroma Budd-Chiari
Universitas Sumatera Utara
• Akibat obat ( Metotreksat, amiodarone) *bisa termasuk beberapa kasus dari Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkohol
WHO memberi batasan histologi SH sebagai proses kelainan hati yang bersifat difus, ditandai fibrosis dan perubahan bentuk hati normal ke bentuk nodul-nodul abnormal (Kusumobroto, 2007). Pada pasien dengan kemungkinan SH perlu dilakukan 3 pendekatan yaitu: 1. Menegakkan diagnosis SH Diagnosis kemungkinan SH dapat dibuat berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik atau pemeriksaan laboratorium rutin namun kebanyakan dari perubahan klinis dan pemeriksaan laboratorium ini tidak spesifik. Diagnosis SH yang paling akurat dalah biopsi hati namun tidak selalu perlu dilakukan pada semua kasus tetapi dapat dengan dijumpainya gagal hati, komplikasi dari SH dan hipertensi portal. 2. Menentukan penyebab SH 3. Evaluasi prognosis pasien. (Choudhury, 2006), (Dancygier, 2010) Tabel 2.2 Gambaran Klinis dan Kelainan Laboratorium pada Sirosis Hati (Choudhury, 2006) Pemeriksaan Klinis
Kelainan Laboratorium
-
Spider angioma
-
Hiperbilirubin
-
Palmar eritema
-
Peningkatan aminotransferase
-
Kontraktur Dupuytren
-
Peningkatan alkali fosfat
-
Muehrcke’s dan Terry’s nail
-
Hipoalbumin
-
Ginekomasti
-
Profil kelainan koagulasi
-
Hilangnya rambut aksial dan pubis
-
Trombositopenia
-
Atrofi testikular
-
Peningkatan A-glutamil
-
Asites
-
Hepatomegali
-
Hiperglobinemia
-
Splenomegali
-
Hiponatremia
-
Kaput medusa
-
Fetor hepaticus
-
Asterexis
-
Cruveilhier Baumgarten
transpeptidase
Universitas Sumatera Utara
2.2.
Prognosis Sirosis Hati Model prognosis sangat berguna untuk memperkirakan keparahan
penyakit, dan harapan hidup dan hal ini dipakai untuk membuat keputusan mengenai terapi spesifik. Sejumlah besar penyakit-penyakit kronis, termasuk SH, membutuhkan suatu alat untuk memprediksi hasil akhir. SH termasuk kelompok dengan kondisi berat yang mana pada prinsipnya harapan hidup merupakan hasil akhir. Pasien SH kompensata mempunyai harapan hidup lebih lama bila tidak berkembang menjadi dekompesata. Pasien SH kompensata memiliki harapan hidup 10 tahun sekitar 45 sampai 50%. Kompensasi jangka panjang bisa dipertahankan sekitar 40-45% dari kasus. Pada pasien terkompensasi akan terjadi komplikasi berat sekitar 55-60% dan dekompensasi terjadi 45-50% dari kasus. Angka harapan hidup rerata SH kompensata 8.9 tahun sementara itu SH dekompensata hanya 1.6 tahun. Prognosis pasien SH tergantung pada 2 hal yaitu: tingkat keparahan dari gagal hati dan adanya komplikasi dari SH. Skor prognosis pada SH bukan hanya untuk memperkirakan kemungkinan kematian pada jangka waktu yang ditentukan akan tetapi juga menggambarkan perkiraan kuantitatif dari sisa fungsi hati dan kemampuan untuk bertahan dengan pembedahan atau terapi intervensi agresif lainnya. (Durand dkk, 2005), (Huo dkk, 2008), (Dancygier, 2010).
Gambar 2. 1 Harapan hidup pasien SH dekompensata dan kompensata (Dancygier, 2010)
Universitas Sumatera Utara
2.2.1 Skor Prognosis Child Pugh Konsep Dasar Skor Child yang pertama skor Child-Turcotte melibatkan 5 variabel (bilirubin, albumin, asites, ensefalopati dan status nutrisi) dikategorikan menjadi 3 grup dengan tingkatan keparahan penyakit (Tabel 2.3) (Guha, 2007), (Durand dkk, 2005). Tabel 2.3 Skor Child Turcotte (Guha, 2007) Variabel
A
B
C
Bilirubin serum (mg/100ml)
< 2.0
2.0-3.0
>3.0
Albumin serum (gr/100ml)
>3.5
3.0-3.5
<3.0
Asites
-
Mudah dikontrol
Sulit dikontrol
Gangguan neurologi
-
Minimal
Berat, koma
Sangat baik
Baik
Buruk
Nutrisi
Skor Child-Turcotte dimodifikasi 10 tahun kemudian dengan skor Child Pugh (Tabel 2.4) dengan menggantikan status nutrisi dengan waktu protrombin atau Internasional Normalized Ratio (INR) dan juga nilai terendah albumin dari 3.0 menjadi 2.8 gr/dl. Variabel dari Child Pugh menggambarkan fungsi hati dalam hal sintesis (albumin dan protrombin) dan ekskresi (bilirubin) (Durand dkk, 2005), (Choudhury, 2006). Tabel 2.4 Skor Child Pugh (Choudhury, 2006) Parameter
Nilai
Nilai
Nilai
1
2
3
Asites
(-)
Ringan
Sedang
Bilirubin, mg/dL
<2
2-3
>3
Albumin, gr/dL
>3.5
2.8-3.5
<2.8
- Memanjang (detik)
1-3
4-6
>6
- INR
<1.7
1.8-2.3
>2.3
(-)
Derajat I-II
Derajat III-IV
Protrombin time
Ensefalopati
Child A skor : 5-6, Child B skor : 7-9, Child C skor :10-15 Catatan : harapan hidup 2 tahun : Child A (85%), Child B (60%) dan Child C (35%)
Universitas Sumatera Utara
Nilai prognosis dari Skor Child Pugh telah ditunjukkan pada banyak kondisi yang melibatkan SH lebih dari 30 tahun. Analisis multivariat yang mengunakan skor Child Pugh telah menunjukkan bahwa skor Child Pugh memiliki nilai prognosis independen pada keadaan asites, ruptur varises esofagus, ensefalopati subklinis, karsinoma hepatoseluler, pembedahan hati, SH alkoholik, SH dekompensata yang berhubungan dengan virus Hepatitis C, kolangitis sklerosis primer dan sindrom Budd-Chiari. Aplikasi Penggunaan skor Child Pugh terutama untuk mengklassifikasikan atau memilih pasien untuk analisa prognosis, untuk penilaian retrospektif dari pemberian terapi atau untuk randomized control trial (RCT). Skor Child Pugh secara klinis digunakan secara luas sebagai deskripsi sederhana atau indikator prognosis dan sering berhubungan dengan indikator lain. Keterbatasan Keterbatasan pertama dari Child Pugh berhubungan dengan fakta bahwa 5 komponen dasar dari Skor Child Pugh telah dipilih secara empirik. Variabelvariabelnya tidak semua memiliki pengaruh independen, seperti albumin dan faktor koagulasi keduanya disintesis di hati dan keduanya sangat kuat saling berhubungan. Keterbatasan kedua mengenai nilai ambang batas dari variabel kuantitas yang belum ada bukti batasan tersebut berhubungan dengan mortalitas. Keterbatasan ketiga bahwa kekuatan yang sama dari tiap variabel yang bisa menjadikan penilaian yang berlebihan atau sebaliknya terabaikan dampak sebenarnya variabel tersebut. Keterbatasan keempat adalah karena pada kenyataannya faktor prognosis yang penting tidak diperhitungkan seperti adanya keterlibatan fungsi ginjal dan hipertensi portal. Terakhir Child Pugh tidak memperhitungkan penyebab SH, kemungkinan koeksistensi beberapa faktor dan proses kerusakan yang menetap seperti penyalahgunaan alkohol, replikasi virus Hepatitis B atau Hepatitis C yang sedang berlangsung atau aktivitas peradangan dari hepatitis autoimun (Durand dkk, 2005), (Huo dkk, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Skor Prognosis Model of Endstage Liver Disease (MELD) Konsep dasar Persoalan yang kompleks dari indikasi optimal untuk transplantasi dan prioritas dari pemilihan transplantasi hati telah menjadi pendorong dari perkembangan dan perluasan dari skor MELD. Skor MELD awalnya dibuat dengan tujuan untuk memprediksi harapan hidup setelah dilakukan Transjugular intrahepatic porto-systemic (TIPS) yang keadaannya bisa berbeda dari yang kandidat transplantasi. Skor MELD terdiri dari 4 variabel objektif yang memiliki pengaruh signifikan dan independen terhadap harapan hidup yaitu bilirubin, kreatinin, INR dan penyebab dari SH (alkoholik dan kolestatis dibandingkan penyebab lain) (Tabel 2.5). Secara statistik kuantitas dari nilai variabel dan kekuatan tiap variabel ditransformasikan dan akhirnya didapatkan skor MELD : R=0. Namun skor ini tidak bisa secara langsung menentukan harapan hidup pasien walaupun nilai bilirubin, kreatinin dan INR telah didapatkan dalam klinis. Selama bertahun-tahun penempatan dari transplantasi hati berdasarkan waktu menunggu namun berdasarkan penelitian yang penting hal ini tidak sesuai sehingga dibutuhkan kriteria lain yang efisien dan adil dalam penempatan organ. Penelitian selanjutnya dengan sedikit modifikasi skor MELD (diuji pada populasi pasien SH berbeda). Penelitian ini menunjukkan bahwa skor MELD adekuat memprediksi mortalitas di rumah sakit sama baiknya dengan pasien rawat jalan. Validitas Variabel skor MELD telah dipilih dari populasi yang ditentukan dan telah divalidasi kemudian di sampel independen. Penelitian telah mengkonfirmasi bahwa MELD adalah skor resiko kuat pada pasien yang akan menjalani TIPS dengan statistik c untuk 1 tahun harapan hidup sekitar 0.70. Skor MELD telah diuji pada kondisi gagal hati akut dan pengulangan segera transplantasi pada kegagalan transplantasi. Aplikasi Skor MELD telah diaplikasikan dalam mengurutkan kandidat untuk transplantasi.
Universitas Sumatera Utara
Keterbatasan Skor MELD dan Child Pugh memiliki beberapa keterbatasan yang sama. Keterbatasan pertama walaupun sudah menggunakan analisa multivariat namun data dasarnya tetap secara empiris sehingga variabel yang penting belum diperhitungkan dalam analisanya. Hal kedua adalah mengenai variabel pada MELD, variabelnya bersifat objektif berlawanan dengan ensefalopati yang dipengaruhi secara subjektif. Variabel nilai kreatinin dan bilirubin bisa berubah dengan intervensi terapi (terutama diuretik), sepsis dan hemolisis. Pemilihan variabel INR dibandingkan petanda koagulasi lain yang menjadi bahan kontroversial karena beberapa pusat pelayanan tidak memakai INR pada pasien SH. Keterbatasan lain skor MELD telah ditetapkan dari populasi yang menjadi kandidat TIPS jadi walaupun MELD sudah terbukti sebagai skor prognosis yang efisien dan kuat pada kandidat transplantasi namun mungkin skor ini secara spesifik disesuaikan pada transplantasi hati belum lebih efektif pada kondisi lain. Evaluasi prospektif dari skor MELD pada situasi yang berbeda atau perbedaan intervensi terapeutik bisa menimbulkan nilai ambang batas yang berbeda, membuat proses pengambilan keputusan yang lebih rumit jika dibandingkan pemakaian secara universal kelompok-kelompok Child Pugh. Keterbatasan yang prinsip dari skor MELD adalah membutuhkan komputerisasi dan memiliki keterbatasan dalam praktek sehari-hari. (Durand dkk, 2005), (Huo dkk, 2008). Tabel 2.5 Skor MELD (Kusumobroto, 2007) Skor MELD : 3.8*log [bilirubin] + 11.2*log [INR] + 9.6* [kreatinin] + 6.4 Interval skor MELD = 6-40 Untuk menilai kandidat penerima donor transplantasi hati
2.2.3 Perbandingan Skor prognosis MELD dan Child-Pugh Karakteristik dari prinsip skor MELD dan Child Pugh dapat kita lihat di Tabel 2.6 Tabel 2.6 Perbandingan Skor Child Pugh dan MELD (Durand dkk, 2005) Komponen
Child Pugh
MELD
Jumlah variabel
5
3
Kuantitas variabel
3/5
3/3
Pemilihan variabel
Empirik
Statistik
Universitas Sumatera Utara
Kekuatan variabel berdasarkan
Tidak
Ya
Dampak “batas” dari kuantitas
Ada
Tidak
Transformasi logaritma
Tidak
Ya
Perlu komputerisasi
Tidak
Ya
Variabel dipengaruhi penilain personal
Ya
Tidak
Tipe skor
diskret
Kontinu
pengaruhnya
Dalam membuat keputusan dalam penanganan secara individu, kelebihan MELD dibandingkan Child Pugh menjadi lebih sedikit terbukti karena perlunya komputerisasi sementara itu Child Pugh lebih mudah dipakai. Hasil temuan yang mengejutkan bahwa keakuratan MELD dalam memprediksi hasil akhir dari pasien SH tidak selalu lebih baik dari skor Child Pugh (dan bisa lebih inferior) pada Tabel 2.7 (Durand dkk, 2005), (Huo dkk, 2008), Tabel 2.7 Perbandingan keakuratan Child dan MELD (Durand dkk, 2005) Penelitian
Thn
Populasi penelitian
Pasien
Hasil Akhir
Statistic i Child
MELD
Mortal. Kamath PS et al.
2001
TIPS
282
3 bulan
0.84
0.87
Angermayr B et al.
2002
TIPS
475
1 bulan
0.78
0.73
3 bulan
0.7
0.72
1 tahun
0.66
0.66
1 bulan
0.71
0.72
3 bulan
0.67
0.73
1 tahun
0.74
0.73
Schepke M et al.
2003
TIPS
162
Botta F et al.
2003
SH
129
1 tahun
0.69
0.67
Wiesner RH et al.
2003
SH, Transplantasi hati
3437
3 bulan
0.76
0.83
Degre D et al.
2004
SH, Transplantasi hati
137
3 bulan
0.72
0.70
Said A et al.
2004
Penyakit hati kronis
1611
3 tahun
0.83
0.79
Statistik indeks (i) menggambarkan karakteristik kurva ROC yang memetakan sensitivitas terhadap 1-spesifivitas. Validitas skor meningkat jika i mendekati 1.
2.3
Malnutrisi Malnutrisi didefinisikan sebagai ketidakadekuatan nutrisi bisa berarti
kurang nutrisi ataupun berlebihan. Istilah malnutrisi umumnya dipakai untuk menggambarkan suatu keadaan tidak adekuatnya protein, kalori atau keduanya dan lebih tepatnya disebut KKP. KKP terjadi dengan jalur yang berbeda, yaitu
Universitas Sumatera Utara
KKP primer dan sekunder. KKP primer disebabkan oleh tidak adekuatnya asupan protein dan/atau kalori atau kadang-kadang karena rendahnya kualitas asupan protein. KKP sekunder disebabkan oleh penyakit atau cedera. Penting mengetahui komposisi tubuh dan jenis jaringan yang hilang atau berkurang dari penurunan berat badan karena malnutrisi dalam menentukan pembagian patologis. Lean body mass (LBM) tempat menghasilkan energi lebih dari 95% yang merupakan tempat metabolisme terbesar yang mempertahankan hemostatis dan kompartemen inilah yang paling penting dipertahankan. LBM bisa dibagi menjadi kompartemen protein somatik dan viseral, sel darah dan tulang, dan lean mass ekstraseluler, seperti plasma dan matriks tulang (Gambar 2.2). Penyakit atau cedera akan meningkatkan kebutuhan kalori dan protein dan akhirnya berakibat pada katabolisme protein yang tidak sebanding dengan sintesisnya. Hal ini akan menyebabkan mobilisasi asam amino dari otot skelet akan digunakan sebagai sumber kalori melalui glukoneogenesis dan asam amino ini juga diambil oleh hati dan organ viseral lainnya. Keadaan ini menyebabkan pergeseran asam amino dari kompartemen somatik ke viseral dan pada kondisi semistarvation atau total maka jaringan adiposa menjadi sumber energi yang dominan. Oleh karena itu perubahan metabolisme akibat cedera atau penyakit menimbulkan hilangnya proporsi massa otot yang sebanding atau melebihi hilangnya fat mass (FM). Hilangnya LBM awalnya terutama dari kompartemen protein somatik namun dengan menetapnya stress maka akan melibatkan kompartemen protein visceral (Mason, 2010). Malnutrisi kronik ditandai dengan penurunan progresif dari lean body mass = free fat mass (FFM) atau sarkopenia dan FM. Penurunan berat badan dan BMI tidak sensitif untuk mendeteksi hilangnya FFM sehingga penilaian komposisi tubuh merupakan teknik yang bermanfaat dalam mengetahui status nutrisi. (Thibault dan Pirchard, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Analisa komposisi tubuh pasien dewasa sehat (Mason, 2010) Penilaian gizi adalah suatu proses yang digunakan untuk mengevaluasi status nutrisi, mengidentifikasi malnutrisi dan menentukan individu mana yang sangat membutuhkan bantuan gizi. Penilaian status gizi terdiri dari 4 komponen : riwayat
nutrisi,
penilaian
fisik,
pengukuran
antropometri
dan
analisis
laboratorium. Riwayat nutrisi meliputi penurunan berat badan, asupan makanan, adanya malabsorpsi, adanya defisiensi nutrien tertentu, dampak penyakit dengan kebutuhan nutrisi dan status fungsional. Pemeriksaan fisik termasuk di dalamnya status hidrasi, deplesi jaringan, fungsi otot dan defisiensi nutrien tertentu. Pengukuran antropometrik merupakan pengukuran tubuh manusia dan yang penting meliputi tinggi badan dan berat badan yang selanjutkan diukur BMI. Pengukuran lipatan kulit memberikan suatu penilaian dari lemak tubuh yang sering digunakan adalah lipatan kulit pada otot trisep lengan atas (triceps skinfold/TSF).
Lingkar
otot
lengan
(arm
muscle
circumference/AMC)
menggambarkan massa otot . Hal ini ditentukan dengan mengukur lingkar lengan (AC= arm circumference) dan TSF pada lengan atas. Untuk pemeriksaan laboratorium bisa dengan kadar protein serum yaitu albumin (penurunan kadar albumin serum sering pada penyakit hati dan nefrosis), transferin, prealbumin dan retinol-binding protein (RBP), jumlah limfosit total, creatinin hight index (CHI) dan keseimbangan nitrogen negatif, (Moore, 1997) (Mason, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.8 Klassifikasi Status Nutrisi dengan BMI pada Dewasa (Mason, 2010) Body Mass Index (kg/m2)
Status Nutrisi
<16.0
Malnutrisi berat
16.0 – 16.9
Malnutrisi sedang
17.0 – 18.4
Malnutrisi ringan
18.5 – 24.9
Normal
25.0 – 29.9
Overweight
30.0 – 34.9
Obesitas kelas I
35.0 – 39.9
Obesitas kelas II
≥ 40
Obesitas kelas III
Tabel 2.9 Klassifikasi Stadium Malnutrisi (Yovita dkk, 2004)
2.4
Malnutrisi pada SH Hati berperan penting dalam mempengaruhi status nutrisi terutama melalui
produksi asam empedu dan fungsinya sebagai perantara metabolisme protein, karbohidrat, lemak dan vitamin sehingga penderita panyakit hati sangat mungkin terjadi gangguan metabolisme zat makanan dengan segala akibatnya (Setiawan, 2007) (Balbino dan Silva, 2012). Istilah malnutrisi dan metode pengukuran pada SH belum jelas dan tidak ada definisi standar tentang istilah ini. Malnutrisi pada SH terutama ditandai dengan penurunan protein viseral (kadar albumin serum yang lebih rendah) maupun defisiensi protein somatik yang bermanifestasi sebagai contoh penurunan massa otot dan sel tubuh dan disertai kelemahan otot dan gangguan kualitas hidup. Sarkopenia atau hilangnya massa otot, penurunan massa lemak dan kurangnya kedua hal tersebut baik massa otot dan lemak atau
Universitas Sumatera Utara
kaheksia telah dilaporkan pada pasien SH. (Dasarathy dkk, 2011) (Norman dan Pirlich, 2010). Malnutrisi dipertimbangkan sebagai salah satu faktor prognosis yang penting pada SH dan mengingatkan klinisi untuk tanggap sama seperti terhadap komplikasi SH seperti ensefalopati hepatik dan asites. Kepentingan klinis dari malnutrisi ini dikarenakan pasien yang malnutrisi memiliki prevalensi morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dan intervensi dini dalam mengatasi kekurangan nutrisi bisa memperpanjang angka harapan hidup, memperbaiki kualitas hidup, mengurangi komplikasi dan persiapan lebih baik untuk transplantasi hati. (Tsiaousi dkk, 2008), (McCullough, 2006).
Gambar 2.3 Malnutrisi sebagai prediktif dari harapan hidup pasien SH. Angka harapan hidup dengan MMC dibawah persentil ke 5 (kelompok 1), ke 10 (kelompok 2), dan ke 75 (kelompok 3) dan di atas persentil ke-75 (kelompok 4). P>.001 pada 6, 12 dan 24 bulan antara pasien dengan malnutrisi berat dan sedang (kelompok 1 dan 2) dan mereka yang normal dan nutrisi berlebih (kelompok 3 dan 4). (O’Brien dan Williams, 2008)
2.4.1
Prevalensi Malnutrisi pada SH Malnutrisi hampir didapati pada keseluruhan penyakit hati stadium akhir.
Awalnya penelitian malnutrisi pada penyakit hati kronik lebih difokuskan pada pasien SH alkoholik namun ternyata prevalensi KKP meningkat semua bentuk SH
Universitas Sumatera Utara
(Gambar 2.4). Pada penyakit hati alkoholik, prevalensi KKP bisa sampai 80% tergantung dari tingkat keparahan penyakit namun insidensi dan tingkatan KKP ternyata sangat sama pada pasien penyakit hati kronik dengan alkoholik maupun bukan alkoholik. Prevalensi malnutrisi pada pasien yang menunggu transplantasi hati hampir 100%, pada pasien SH sekitar 80% dan bahkan pada beberapa uji klinis pada pasien dengan kategori Child Pugh A didapatkan prevalensi malnutrisi mencapai 25%. KKP jarang dijumpai pada pasien stadium sebelum SH dari penyakit hati kecuali pada keadaan obstruksi biliar ektrahepatik. Pada satu penelitian dilaporkan adanya malnutrisi pada pasien SH kompensata Child Pugh A sekitar 20% dan 50-60% pada pasien dekompensata Child Pugh C. Perbedaan laporan prevalensi dipengaruhi oleh bagaimana dilakukannya pemeriksaan status nutrisi (Matos dkk, 2002) (Tsiaousi dkk, 2008), (McCullough, 2006).
Gambar 2.4 : Prevalensi KKP pada SH alkoholik dan bukan alkoholik (McCullough,2006) 2.4.2
Etiologi Malnutrisi pada SH Ada banyak alasan potensial kenapa malnutrisi terjadi pada penyakit hati
tahap lanjut, namun yang paling penting adalah asupan diet yang kurang (Matos dkk, 2002). Faktor-faktor yang menyebabkan malnutrisi pada penyakit hati : a. Gangguan pencernaan: Asupan nutrisi kurang adekuat sering terjadi akibat gangguan pencernaan itu sendiri atau adanya pembatasan asupan makanan selama dirawat di rumah sakit. Gejala gangguan pencernaan pada pasien SH antara lain anoreksia, mual, muntah dan rasa cepat kenyang (perut penuh).
Universitas Sumatera Utara
b. Pembatasan asupan garam dan makanan: pasien SH dengan asites biasanya diberikan diit rendah garam yang tentu akan mengurangi selera makan penderita. Asupan protein juga sering dibatasi pada pasien dengan ensefalopati atau sindrom hepatorenal yang tentunya juga dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi. c. Perubahan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein: perubahan utama adalah terjadinya hipermetabolisme dengan akibat peningkatan keluaran energi dan peningkatan stress. d. Perubahan metabolisme karbohidrat: hati mengatur metabolisme karbohidrat dengan cara pembuatan, penyimpanan dan pemecahan kembali glikogen. Hati berperan mengupayakan agar kadar glukosa darah dalam keadaan normal dan jika glukosa kurang maka hati akan memecah glikogen. Cadangan glikogen berkurang maka terjadi proses glukoneogenesis dengan bahan asam amino sehingga terjadi pemecahan protein dan menyebabkan malnutrisi. e. Perubahan metabolisme lemak: pada SH sintesis dan eskresi asam empedu menurun dengan akibat akan terjadinya asupan lemak menurun dan terjadi mobilisasi cadangan lemak dan menyebabkan malnutrisi. f. Perubahan metabolisme protein: gangguan metabolisme protein merupakan kelanjutan dari asupan bahan energi yang kurang, glukoneogenesis dan lipolisis yang berlebihan dengan akibat pemakaian cadangan protein yang berlebihan. Hal ini menyebabkan degradasi protein otot sehingga asam amino glukogenik terutama asam amino rantai cabang dilepaskan selanjutnya dengan proses tranaminasi terbentuk alanin. Alanin ini yang akan menghasilkan glukosa sebagai sumber energi (Setiawan, 2007). Tabel 2.10 Etiologi Malnutrisi pada Sirosis Hati (McCullogh, 2006) Pasien rawat jalan
Faktor Etiologi dari Malnutrisi pada SH Diet yang tidak adekuat Kuantitas Iatrogenik (Pembatasan protein, restriksi cairan/garam) Malabsorpsi Defisiensi garam empedu dan pankreas Anoreksia, mual dan muntah Efek dari toksisitas alkohol
Universitas Sumatera Utara
Perubahan metabolisme protein dan kalori
Pasien rawat inap
Keadaan puasa
Oksidasi asam amino Percepatan oksidasi lemak dan glukoneogenesis Peningkatan pemecahan protein Penurunan sintesis protein Tes diagnostik Perdarahan saluran cerna Perubahan status neurologi
Sterilisasi dan toksisitas neomisin Diet yang tidak enak Komplikasi pemberat 2.4.3 Dampak Malnutrisi pada pasien SH Beberapa penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa malnutrisi pada SH mempengaruhi harapan hidup, kualitas hidup dan terjadinya komplikasi pada SH (Periyalwar dan Dasarathy, 2012). Dampak malnutrisi terhadap harapan hidup Dampak malnutrisi pada harapan hidup pasien SH telah diteliti pada 13 penelitian (Muller dkk, 1992; Deschenes dkk, 1997; Selberg dkk, 1997; Bathgate dkk, 1999; Le Cornu dkk, 2000; Alvares-da-Silva & Reverbel da, 2005; Shahid dkk, 2005; Bilboa dkk, de Carvalho dkk, 2010; Englesbe dkk, 2010; Fiqueredo dkk, 2010; Merli dkk, 2010; Montano-Loza, 2011) dengan keseluruhan sampel 1187 pasien didapatkan prevalensi malnutrisi sebelum transplantasi sekitar 9.4%-69.0%. Malnutrisi meningkatkan morbiditas dan mortalitas, termasuk penolakan segera setelah transplantasi dan lama rawatan intensif lebih lama. Secara statistik dijumpai hubungan bermakna antara tingkat keparahan malnutrisi dan mortalitas. (Periyalwar dan Dasarathy, 2012). Dampak malnutrisi dengan transplantasi barubaru ini juga mendapatkan bahwa status nutrisi yang buruk merupakan masalah yang umum dihadapi oleh pasien yang menunggu transplantasi hati dan merupakan faktor risiko untuk morbiditas dan mortalitas setelah transplantasi. Keadaan nutrisi akan memburuk secara cepat selama periode setelah operasi karena stress dari prosedur bedah, terapi imunosupressif dan pada beberapa pasien dengan disfungsi hati atau ginjal atau dengan sepsis (Gero dkk, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Dampak malnutrisi terhadap kualitas hidup Dampak malnutrisi terhadap kualitas hidup telah diteliti pada 7 penelitian (Arguedas dkk, 2003; Poon dkk, 2004; Poupon dkk, 2004; Kalaitzakis 2006; Norman dkk, 2006; Les dkk, 2010; Wunsch dkk, 2011) dengan jumlah sampel 1104 pasien didapatkan prevalensi malnutrisi19%-59%. Pasien dengan malnutrisi secara statistik meningkatkan gejala gastrointestinal dan menurunkan kualitas hidup dengan kuisioner Chronic Liver Disease Questionnaire (CLQD), Short Form (SF)-36 dan Notthingham Health Profile (NHP) (Periyalwar dan Dasarathy, 2012). Dampak Malnutrisi dengan komplikasi klinis SH Komplikasi utama yang dikenal mengancam jiwa pada SH yang meliputi asites, spontaneous bakteri peritonitis, hipertensi portal dan perdarahan gastrointestinal, hepatik ensefalopati dan sindrom hepatorenal dan semua ini dipengaruhi oleh malnutrisi. Namun hanya sedikit penelitian secara sistematis mengevaluasi dampak malnutrisi terhadap terjadinya dan pemberatan komplikasi.
Dampak
malnutrisi terhadap komplikasi SH telah diteliti pada 7 penelitian ( Asites oleh Campillo dkk, 2003; Semua komplikasi oleh Alvares-da-Silva & Reverbel da, 2005; HE oleh Kalaitzakis dkk, 2007; Hipertensi Portal oleh Sam & Nguyen, 2009; Hipertensi Portal oleh Montomoli dkk, 2010; SBP oleh Merli dkk, 2010; HE oleh Ndraha dkk, 2011; Semua komplikasi oleh Hulsman dkk, 2011) dengan sampel 751 pasien didapatkan prevalensi malnutrisi 6.1%-67.0%. Komplikasi SH yaitu asites, SBP, hipertensi portal, sindrom hepatorenal dan HE secara statistik signifikan meningkat pada malnutrisi (Periyalwar dan Dasarathy, 2012).
2.4.4
Penanganan Malnutrisi pada SH Karakteristik utama dari malnutrisi pada SH adalah menurunnya protein
viseral (kadar albumin serum rendah) sejalan dengan defisiensi protein somatik yang bermanifestasi sebagai contoh penurunan massa otot dan sel tubuh dan akan disertai dengan kelemahan otot dan penurunan kualitas hidup. Delapan penelitian telah melaporkan perubahan komposisi tubuh setelah dilakukan TIPS terhadap 152 pasien yang dipantau 3-12 bulan didapatkan perbaikan dari FFM (Dasarathy dkk, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.11 Penanganan Malnutrisi pada Penyakit Hati (McCullogh, 2006) Keadaan Klinis
Protein (g/kg/ hari) 1.0-1.5
Kalori (kcal/k g/hari) 30-40
%KH
%Lemak
67-80
20-33
1.0-1.2
30-40
67-80
20-33
3. SH ( dengan komplikasi) a. Malnutrisi
1.2-1.8
40-50
72
28
b. Kolestatis
1.0-1.5
30-40
73-80
20-27
c. Encefalopati Grade 1 atau 2 Grade 3 atau 4
0.5-1.2 0.5
25-40 25-40
75 75
25 25
1.2-1.8
30-50
70-80
20-30
1.0
30-35
>70
≤30
1. Hepatitis (akut atau kronik) 2. SH ( tanpa komplikasi)
4.Transplantasi hati a. Sebelum transplantasi b. Sesudah transplantasi
2.5
Target Nutrisi
Pencegahan malnutrisi Meningkatkan regenerasi Pencegahan malnutrisi Meningkatkan regenerasi
Mengembalikan ke status nutrisi normal. Pencegahan malnutrisi Penanganan malabsorpsi lemak Mempertahankan kebutuhan nutrisi tanpa mencetuskan ensefalopati
Mengembalikan ke status nutrisi normal. Mencapai dan mempertahankan berat badan ideal
Pemeriksaan Status Nutrisi Pasien SH Tujuan dari penilaian gizi adalah untuk mengidentifikasi KKP yang bisa
hampir tidak kelihatan namun sebagian besar kasus terdeteksi ketika penilaian gizi yang sistematis dilakukan. Contoh malnutrisi kalori yang hampir tidak terlihat tapi secara klinis signifikan ditemukan pada SH alkoholik Child Pugh A yang biasanya muncul dengan gizi baik. Salah satu kriteria untuk menentukan status kelas Child Pugh A adalah kadar albumin serum normal namun dengan wholebody nitrogen telah menunjukkan bahwa lebih dari setengah dari kelas A tersebut individu memiliki kurang dari 80% protein tubuh total yang merupakan ambang batas yang jika dibawahnya meningkatkan morbiditas terkait malnutrisi. Penilaian status nutrisi dengan kadar albumin memiliki keterbatasan karena biasanya
Universitas Sumatera Utara
memang menurun pada penyakit hati lanjut dan berfluktuasi selama terjadi peradangan (Mason, 2010 ) (Balbino dan Silva, 2012). Pada stadium awal penyakit hati parameter-parameter pengukuran nutrisi objektif yang biasa dapat digunakan untuk mengetahui status nutrisi. Namun jika dijumpai tanda dari penyakit hati stadium akhir maka parameter objektif tidak selalu sahih. Pada satu penelitian yang mencari hubungan antara pengukuran antropometri, kadar prealbumin dan transferin serum dalam mengevaluasi status nutrisi pada 30 pasien SH didapatkan adanya hubungan prealbumin dan transferin dengan Child Pugh. Namun tidak dijumpai antara hubungan antara Child Pugh dengan pengukuran antropometrik sehingga tidak dianjurkan untuk dipakai dalam menilai status nutrisi. Beberapa pemeriksaan yang lebih spesifik bisa dilakukan dengan menilai komposisi tubuh adalah dual energy X-ray absorptiometry (DEXA), Deuterium Oxide dilution in vivo neutron activation analysis (IVNAA) dan bioelectrical impedance analysis. BIA dibandingkan DEXA dan IVNAA lebih sederhana, tidak invasif, tidak mahal dan metode yang cepat menilai body cell mass (BCM). BIA telah menunjukkan sebagai alat yang sahih dalam menilai KKP dengan mendeteksi penurunan BCM pada pasien SH terutama yang tanpa asites dijumpai hubungan yang sangat baik dan sangat signifikan antara BCM yang diukur dengan BIA dengan BCM yang diukur dengan kadar total kalium (Pirlich dkk, 2000), (Yovita dkk, 2004) (Campillo, 2010).
2.6
Bioelectrical impedance analysis (BIA) Penilaian komposisi tubuh adalah teknik yang bermanfaat untuk menilai
status gizi. Pertama penilaian ini bisa mengevaluasi status nutrisi melalui pengukuran FFM dan kedua melalui pengukuran FFM dan phase angle dengan BIA dapat menilai prognosa dan hasil akhir. Pengukuran parameter komposisi tubuh seperti fat tissue mass, lean body mass (LBM), body cell mass (BCM), total body water (TBW) dan extracellular water (ECW) dapat dengan DEXA yang memberikan gambaran detil dan distribusi fat tissue mass, free fat mass (FFM) dan bone mineral content namun DEXA biayanya mahal dan tidak bisa sering diulangi karena radiasi. Oleh karena itu BIA yang relatif murah dan non invasif
Universitas Sumatera Utara
telah dipakai dalam pengukuran TBW, ECW, FFM (Thibault dan Pichard, 2011), (Jaffrin, 2009), (Lee dan Gallagher, 2000), (Kotler dkk, 1996).
Prinsip BIA Metode ini berdasarkan kemampuan tubuh dari tubuh menghantarkan listrik dan dengan BIA akan mengukur perubahan arus listrik jaringan tubuh yang didasarkan pada asumsi bahwa jaringan tubuh adalah merupakan konduktor silinder ionik dimana lemak bebas ekstrasellular dan intrasellular berfungsi sebagai resistor dan kapasitor. Arus listrik dalam tubuh adalah jenis ionik dan berhubungan dengan jumlah ion bebas dari garam, basa dan asam, juga berhubungan dengan konsentrasi, mobilitas, dan temperatur medium. Jaringan terdiri dari sebagian besar air dan elektrolit yang merupakan penghantar listrik yang baik, sementara lemak dan tulang merupakan penghantar listrik yang buruk. Resistance (R) dari materi konduksi yang homogen dari daerah penampangnya adalah sebanding dengan panjangnya (L) dan berbanding terbalik dengan luas penampangnya (A), (Gambar 3) (Balbino & Silva, 2012) (Kyle dkk, 2004).
Gambar 2.5 Prinsip BIA dari karakteristik fisik komposisi tubuh (Kyle dkk, 2004) Tubuh memang bukan suatu silinder yang seragam dan konduktivitasnya tidak seragam tetapi secara empiris hubungan ini dapat ditetapkan dengan hasil bagi (Lenght2/R) dan volume air yang terdiri dari elektrolit sebagai penghantar listrik dalam tubuh. Masalah yang lain tubuh memiliki dua tipe R yaitu Capasitative R (reactance) dan Resistive R (biasa disebut Resistance). Resistance merupakan tahanan frekuensi arus listrik yang dihasilkan oleh cairan intrasel dan ekstrasel sedangkan capacitance merupakan tahanan frekuensi arus listrik yang
Universitas Sumatera Utara
dihasilkan oleh jaringan dan membran sel. Impedance adalah istilah dari kombinasi Capasitanse dan Resistive (Gambar 4) (Kyle dkk, 2004), (Goswami dkk, 2007).
Gambar 2.6 Pemasangan standar dari elektroda BIA di tangan dan kaki. (Kyle dkk, 2004), (Goswami dkk, 2007) 2.6.1 Parameter BIA dalam penentuan komposisi tubuh Body Cell Mass (BCM) BCM didefinisikan sebagai massa intraselular dalam tubuh, yang terutama berisi kalium tubuh (98-99%). BCM pada hakekatnya merupakan massa dari seluruh elemen sel di dalam tubuh, oleh karena itu merupakan komponen aktif dari metabolism tubuh. Pada individu normal, pada jaringan otot terdiri dari sekitar 60% BCM, jaringan organ sekitar 20% BCM, dan sisanya 20% terdapat pada sel darah merah dan jaringan seperti adiposit, tendon, tulang dan tulang rawan. BCM merupakan kompartemen kaya protein yang dipengaruhi keadaan katabolik dan kehilangan BCM berhubungan dengan prognosis yang buruk. Free Fat mass (FFM) FFM adalah semua yang bukan lemak tubuh yang merupakan kombinasi dari Body Cell Mass (BCM) dan Extracellular Mass (ECM). Fat Mass (FM) Lemak adalah tempat penyimpanan energi di dalam tubuh. Fat Mass (FM) sama dengan berat badan aktual dikurangi dengan Fat free Mass (FFM). Nilai normalnya pengaruhi oleh umur dan jenis kelamin.
Universitas Sumatera Utara
Resting Metabolic Rate (RMR) Energi merupakan kebutuhan pokok bagi proses biologik. Tanpa energi, proses dasar biologik bagi kehidupan tidak terjadi. Metabolisme terjadi melalui 2 fase yang berbeda: 1). Katabolisme, badan memecah makanan dan menghasilkan energi dan disimpannya dalam ikatan atomnya. 2). Anabolisme, di mana bagian komponen dan energi itu digunakan untuk membangun jaringan yang baru dan melakukan fungsi dasar hidup. RMR adalah jumlah energi dalam tubuh yang dibutuhkan setiap hari untuk melakukan fungsi dasar hidup
(Lukaski,1985),
(Kyle dkk, 2004).
Gambar 2.7 Skema diagram dari FFM, TBW, ICW, ECW dan BCM (Kyle dkk, 2004) Tabel 2. 12 Nilai rerata kompartemen komposisi tubuh (Thibault dan Pichard, 2012) Kompartemen seluruh tubuh
Kompartemen spesifik
Tingkat kompertemen
Persentase dari TBW
Nilai absolute pada 70 kg Protein Tubuh Molecular 13 9 FFM ICW Selular 36 25 (termasuk ECW Selular 24 17 TBW) Jaringan Tulang Jaringan 7 5 ACM Selular 49 34 TBW Molecular 60 42 Total FFM Seluruh tubuh 80 56 20 14 FM ACM= active cell mass, ECW= extracellular water, ICW= intracellular water, TBW= total body water.
Phase angle Dari keseluruhan dampak yang diperlihatkan tubuh terhadap perubahan arus ada dua yaitu Resistance dan Reactance (Xc). FFM di tubuh manusia
Universitas Sumatera Utara
mewakili resistance dan BCM sebagai reactance. Phase angle
merupakan
metode pengukuran secara linier hubungan antara resistance dan reactance pada rangkaian seri atau parallel. Phase angle = sudut (reactance/resistance). Nilai phase angle dari 0-90’, 0’ jika sirkuit hanya resistive (sistem tanpa membrane sel) dan 90’ jika sirkuit hanya capacitive (semua membrane tanpa cairan). Phase angle 45’ menggambarkan jumlah reactance dan resistance sama, nilai yang lebih rendah menandakan reactance yang rendah dan kematian sel atau kerusakan permebilitas membrane sel. Nilai phase angle yang normal pada pasien yang sehat berbeda berdasarkan jenis kelamin dan ras (Tabel 2.13) (Kyle dkk, 2004).
Tabel 2.13 Data BIA pada 419 orang sehat di Malaysia (Wong, 2004)
2. 7
Manfaat Prognosis dari BIA KKP berhubungan dengan prognosis buruk pada penyakit hati kronis dan
untuk mengetahui malnutrisi protein pada pasien SH diperlukan pengukuran yang sahih. BIA merupakan pemeriksaan yang sensitif, aman dan tidak mahal yang dapat menentukan status nutrisi dan dengan BIA dapat ditentukan BCM yang dapat memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan yang tersedia lainnya yang kurang akurat seperti antropometri atau pendekatan kreatinin. BIA telah divalidasi untuk penilaian dari komposisi tubuh dan status nutrisi pada berbagai populasi termasuk pasien kanker (Setiawan, 2007), (Balbino dan Silva, 2012), (Pirlich dkk, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Malnutrisi ditandai dengan perubahan integritas membran sel dan perubahan pada keseimbangan cairan oleh karena itu pengukuran komposisi tubuh merupakan komponen penting dari keseluruhan evaluasi nutrisi. BIA mengukur komponen resistance dan capacitance tubuh yang mana akan menggambarkan phase angle yang merefleksikan kontribusi dari cairan (resistance) dan membran sel (capacitance) dari tubuh. Phase angle telah ditemukan sebagai faktor prognosis
pada beberapa keadaan klinis seperti infeksi HIV, SH, PPOK,
hemodialisis, sepsis dan kanker paru (Gupta dkk, 2004) (Balbino dan Silva, 2012). Phase angle merupakan indikator prognosis pada pasien dengan kanker stadium lanjut seperti kolorekti lanjut. Pada pasien kanker paru non small sel stage IIIB dan IV didapati phase angle BIA merupakan indikator prognosis independen dan intervensi nutrisi memperbaiki phase angle bisa potensial membawa perbaikan harapan hidup pasien (Silvana dkk, 2009),(Gupta dkk, 2009), (Gupta dkk, 2004). BIA phase angle juga merupakan indikator potensial pada kanker kolorekti tahap lanjut dan bahkan pada pada kanker pankreas tahap lanjut phase angle merupakan indikator prognosis yang kuat (Gupta,Lis, dkk, 2004), (Gupta dkk, 2008). Saat ini parameter-parameter BIA juga telah dipakai pada pasien PPOK dan juga parameter phase angle distandarisasi sebagai faktor prognosis harapan hidup pada pasien kanker. (Paiva dkk, 2011), (Walter-Kroker dkk, 2011). Pada pasien SH satu penelitian yang melibatkan pasien sehat, pasien yang dirawat di rumah sakit dan pasien dengan SH ditemukan pada pasien SH dijumpai peranan prognosis dari phase angle jika phase angle <5.4 memiliki harapan hidup secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan pasien lain, Gambar 2.8 (Selberg, 2002), (Schloerb, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.14 Statistik dari Dampak Prognosis Phase angle (disadur Norman dkk, 2012) Populasi n Nilai Dampak klinis pada pasien dengan nilai Penelitian ambang dibawah ambang batas batas 75 Penurunan harapan hidup: perkiraan parameter HIV 5.6 dengan test LR: -0.799, p<0.0001 469 Penurunan harapan hidup: 463 hari vs 670 hari, HIV 5.3 p<0.0001 63 Penurunan harapan hidup: OR=1.25, p=0.04 Kanker 4.5 Stadium IIIB 3.7 vs 12.1 bulan, Stadium IV: 1.4 vs Paru 5.0 bulan 52 Penurunan harapan hidup: 8.6 vs 40.4 bulan, Kanker 5.57 p=0.0001, peningkatan mortalitas Kolorekti RR:10.7(p=0.007) 58 Penurunan harapan hidup: 6.3 vs 10.2 bulan, Kanker 5.08 p=0.02 Pankreas Reduksi dari RR 0.75 tiap 1 259 Penurunan harapan hidup: 23.1 vs 49.9 bulan, Kanker 5.6 p=0.031, Reduksi dari RR 0.82 tiap 1 Payudara 131 HD* L: 4.5 Penurunan 2 tahun harapan hidup, 59.3% vs 91.3% P: 4.2 p<0.0, peningkatan mortalitas: RR:2.6, p<0.0001 3009 Peningkatan mortalitas: RR:2.2, p<0.05 HD* 3.0 3.0-4.0 Peningkatan mortalitas: RR:1.3, p<0.05 Penurunan harapan hidup 5 tahun (p=0.004); Peritoneal 53 6.0 RR=0.536, p=0.01 Dialisis 305 Penurunan harapan hidup 4.5 tahun, p<0.01 SH 5.4 1071 Peningkatan 4x mortalitas di RS dari 20% Geriatri 3.5 HD = Hemodialisis
Gambar 2.8 Waktu harapan hidup pasien SH dikelompokkan dengan phase anglenya. (Selberg, 2002)
Universitas Sumatera Utara