TINJAUAN PUSTAKA Infectious Bursal Disease (IBD) merupakan penyakit pada ayam yang pertama kali dilaporkan oleh Cosgrove pada tahun 1962 berdasarkan kasus yang per terjadi pada tahun 1956 di Desa Gumboro-Delaware, negara bagian Amerika terj Serikat. Sesuai dengan nama daerah asal ditemukannya, penyakit ini dikenal juga Ser sebagai penyakit gumboro. sse eebb Etiologi IBD E t Virus penyebab IBD yang dikenal saat ini terdiri atas 2 serotipe, yaitu 1 dan serotipe 2 yang dapat menginfeksi ayam dan kalkun. Serotipe 1 sserotipe se er yang yya an pertama kali ditemukan disebut dengan strain klasik yang bersifat patogen ddan da an strain yang ditemukan kemudian di daerah Amerika merupakan strain varian yang yya an sangat ganas, variant A, B, C, dan E. Selain itu, serotipe 1 mempunyai strain yang yya an sangat ganas, yaitu virus very virulent IBD (vvIBD), yang saat ini sudah dibuat vaksin komersial dengan sifat vaksin IBD mild, vaksin IBD bbanyak ba an Intermediate, dan vaksin Intermediate plus, atau hot Intermediate. Kedua serotipe IIn nnt dapat dda ap dibedakan dengan uji VN tetapi tidak dapat dibedakan dengan uji FAT dan ELISA (Lukert & Saif 2003). Virus IBD berdiameter 55 nm, merupakan virus EL yang tidak memiliki amplop dan dikelilingi oleh protein capsid yang berbentuk yan ikosahedral (Hirai & Shimakura 1974). Virus ini tergolong dalam famili iko Birnaviridae. Sesuai dengan namanya, virus ini terdiri atas 2 segmen utas ganda Bir RNA, yaitu segmen A yang mempunyai ukuran 3300 pasang basa, yang terdiri RN atas 2 bagian yaitu A1 dan A2. A1 merupakan penyandi protein VP2 (40 kD), ata VP3 VP V P (32 kD), VP4 (28 kD). VP2 dan VP3 membentuk capsid virus, VP2 membentuk bagian luar capsid, sedangkan VP3 membentuk bagian dalam capsid. me m VP4 merupakan protease virus. Sementara itu, A2 merupakan penyandi V VP protein VP5 (17 kD) yang kemungkinan terlibat dalam nnonstructructural no o pelepasan virus dari sel serta berperan dalam menghambat proses apoptosis pada ppe el tahap ttah ta ah awal infeksi virus IBD (Meihong & Vakharia 2006). Segmen B yang lebih kecil mempunyai 2800 pasangan basa, penyandi VP1 (van den bberukuran be er Berg Be B e 2000).
8
Protein VP2 dan VP3 merupakan protein utama yang terdiri atas 51% dan Pro 40% da dari total protein dan mengandung epitop penetralisasi. Protein VP2 mempunyai epitop yang spesifik, yang mengandung sedikitnya 3 epitop yang mem mpun bebas, bertanggung jawab menginduksi antibodi penetralisasi (Becht et al. bebaas, yang y 1998). penelitian Raharjo & Suwarno (2005) menunjukkan bahwa protein 19988). Hasil H virus IBD lokal mampu menginduksi pembentukan antibodi dan dapat VP2 vir bereaksi berea aksi ak si secara spesifik dengan antibodi ayam hasil vaksinasi maupun infeksi alam. Varian alam virus IBD mengikat reseptor sel B bursa fabricius melalui alam m. V protein prote ein VP2 V (Boot et al. 2000). Variasi antigenik virus IBD banyak dipelajari dengan perubahan beberapa asam amino pada gen VP2 (Vakharia et al. deng gann melihat m 1994). Pada gen VP2 terdapat bagian residu Gln pada posisi 253 (Gln253), 1994 4).. P Asp279, Asp2 279 79, dan Ala284 yang menentukan tingkat keganasan virus dan sel tropisme (Brandt (Bran ndt et e al. 2001). Epidemiologi IBD Epid dem mi Pada Paad awalnya IBD ditemukan di daerah Delaware, Amerika pada tahun P 1956, kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia baik di Amerika (Scanavini 1956 6, kke e al. 2004), et al l. 220 00 Eropa (Kabell et al. 2005), Afrika, Australia (Ignjatovic et al. 2004), dan Asia (Jindal et al. 2010) termasuk Indonesia (Parede et al. 2003) yang disebabkan diseb babk oleh virus IBD klasik maupun virus vvIBD. Virus varian yang sangat ganas tidak ditemukan di Australia (Ignjatovic et al. 2004). gana as vvIBD vv Angka morbiditas dan angka mortalitas IBD bervariasi bergantung pada An IBD dan macam unggas yang terserang. Burung unta, itik, angsa, strainn virus vi burung buru ung ppuyuh, kalkun, dan burung merpati dapat terinfeksi virus IBD (Kasanga et 2008; al. 20 008 08; Oladele et al. 2009). Namun, lesi yang ditimbulkan pada itik dan burung puyuh puyu uh yyang a diinfeksi dengan virus vvIBD, lebih ringan dibandingkan lesi yang terjadi terjad di ppada a ayam. Edema, fibroplasia, dan kista tidak ditemukan pada kalkun dan et al. 2007). Hal ini menunjukkan bahwa ayam lebih peka daripada itik ((Mendez Meen M unggas lain. Namun demikian, faktor apa yang menyebabkan ayam lebih ungg gas as yang y pekaa dari dar ar pada unggas lainnya, hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Angka mortalitas mencapai 56,09% pada ayam pedaging dan 25,08% pada An (Zeleke et al. 2005). Angka mortalitas dilaporkan lebih tinggi pada ayam m ppetelur e
9
waktu musim dingin daripada musim semi (Farooq et al. 2003) atau musim panas wa dan musim hujan (Jindal et al. 2010). Hal ini dapat dipahami karena suhu udara yang ekstrim (terlalu dingin atau terlalu panas) menyebabkan ayam mudah stres yan sehingga ayam mudah terinfeksi oleh berbagai virus. seh Pada infeksi buatan, angka morbiditas IBD mencapai 60% (Jeon et al. 2008). Bahkan angka morbiditas dapat mencapai 100% dan angka mortalitas 45% 20 pada ppa ad ayam SPF umur 5 minggu yang diinfeksi dengan isolat virus vvIBD asal Indonesia, yaitu isolat Tasik-94 (Ignjatovic et al. 2004). Inokulasi strain 2050/97IIn nd Gm G m 11 virus IBD pada ayam SPF dengan cara tetes mata menyebabkan kematian 100% (Scanavini et al. 2004). Angka morbiditas dan angka mortalitas pada 110 0 infeksi buatan pada ayam SPF umumnya tinggi karena ayam SPF tidak iin nf mempunyai antibodi maternal. Infeksi buatan menimbulkan lesi yang lebih parah me m dibandingkan dengan lesi yang disebabkan infeksi alam karena pada percobaan di ddi ib laboratorium, virus IBD diaplikasikan langsung pada ayam melalui tetes mata, lla ab hidung atau per oral, dengan dosis yang infektif, sehingga semua ayam terpapar hhi iid langsung dengan virus IBD. lla an Patogenesis IBD P a Patogenesis adalah jalannya virus sehingga menimbulkan lesi, yang dapat menyebabkan kematian, penyakit atau efek imunosupresif pada ayam. Penyakit me IBD menyerang ayam umur 3-6 minggu pada saat perkembangan bursa fabricius mencapai optimum. Pada saat yang sama, antibodi asal induk mulai menurun, me sehingga ayam rentan terhadap infeksi virus IBD. Sebaliknya, penyakit IBD tidak seh membahayakan bagi ayam yang telah mengalami regresi bursa fabricius, karena me target sel infeksi virus IBD adalah sel limfoid bursa fabricius (Tanimura et al, tta ar 11995). 19 9 Infeksi virus IBD menyebabkan kerusakan pada bursa fabricius berupa nekrosis dan apoptosis pada sel limosit B. Infeksi pada umumnya terjadi melalui nne ek jalan jja al oral bersama pakan atau air minum yang tercemar virus, masuk ke dalam usus. uus su Virus kemudian ditangkap oleh sel-sel makrofag atau limfosit sebagai APC. Keberadaan virus IBD dapat dideteksi 13 jam pascainfeksi pada sebagian besar Ke K folikel limfoid bursa fabricius (van den Berg 2000). Makrofag yang teraktivasi fol ffo ol
110 0
IBD melepaskan sitokin, yaitu 71)Į dan IL12 yang memicu Th untuk viruss IB berdiferensiasi menjadi Th1. Th1 memproduksi IL2 dan IFN-Ȗ (Interferon- Ȗ). berdi ifere sel natural killer (NK). Sementara itu IL122 EHUVDPD71)ĮPHQLQJNDWNDQDNWLYitas EHU INF-Ȗ PHPLFX DNWLvasi CTL yang kemudian mengekspresikan Fas IL2 bersama bers yang dapat menimbulkan apoptosis pada sel target yang mengekspresikan ligan n yan 2006). Fas (Plumeriastuti (Plum Setelah 16 jam pascainfeksi, terjadi viremia kedua, diikuti replikasi virus Seet S padaa organ org lainnya yang dapat menimbulkan kematian (van den Berg, 2000). Penyebab Peny yeb ebab kematian belum diketahui secara pasti. Namun demikian, pada fase akut teramati teram mattii gejala sindroma septic shock, yaitu terjadi respons imun yang berlebihan. Di ddalam allaam m serum darah ayam ditemukan konsentrasi TNF-Įberlebihan, kemudian diikuti kematian (Sharma et al. 2001 diacu dalam Asraf 2005). diiku uti tterjadinya e Infeksi virus vvIBD menyebabkan kerusakan yang parah hingga terjadi IInnf n deplesi deple esi sel limfoid pada folikel limfoid bursa fabricius sehingga ukurannya terlihat hingga mencapai 1/4-1/5 ukuran bursa fabricius ayam kontrol. terlih hat at mengecil m Bila tidak tid ida terjadi persembuhan pada bursa fabricius ayam, produksi antibodi oleh id terhambat. Infeksi virus IBD menyebabkan sel makrofag dan sel sel B akan a ak heterofil heter rofil ffiil mengalami nekrosis dan apoptosis dalam jumlah besar, sehingga menyebabkan fungsi fagositosis yang menurun (Lam 1998). Kedua kondisi meny yeba tersebut terse ebut menyebabkan ayam yang terinfeksi virus IBD menjadi imunosupresif. Pada Pad organ timus, infeksi virus IBD pada ayam DOC SPF, menyebabkan atrofi korteks timus pada 2-10 hari pascainfeksi. Repopulasi sel limfoid pada atrof fi ko timus timu us
terjadi pada 13 hari pascainfeksi. Proliferasi sel RES, dan penurunan t
jumlah juml lah sel s limfoid di bagian korteks ditemukan pada timus yang mengalami atrofi. Populasi makrofag meningkat pada 4-7 hari pascainfeksi (Tanimura et al. atrof fi. P o 1995). Sel positif mengandung antigen terdeteksi pada sel timus di bagian korteks 1995 5)).. S medula dan me m ed organ timus pada 1 dan 2 hari pascainfeksi. Mulai umur 3 hari banyak timus sel ti im muus yang yang lisis sehingga antigen juga terdeteksi di dalam sel RES mulai 3-7 ha hhari ari ri pascainfeksi. Antigen virus IBD tidak terdeteksi pada foci sel timus yang mengalami meng gaallam a piknotik. Sel yang mengalami apoptosis terlihat meningkat di bagian korteks. korte ekss.. Reaksi inflamasi, seperti infiltrasi heterofil tidak terlihat di sekitar sel apoptosis (Tanimura & Sharma, 1998). yangg mengalami me
11
Penurunan jumlah sel limfosit di dalam pusat germinativum terjadi pada organ limpa, sel limfoid ditemukan di sekitar pembuluh darah arteri dan periorg ellipsoid lymphoid sheaths, serta ditemukan infiltrasi sel heterofil dan peningkatan ell jumlah makrofag. Antigen virus IBD terdeteksi mulai 1 hari sampai 7 hari jum pascainfeksi pada pusat germinativum, pulpa merah, dan peri-ellipsoid lymphoid pas sheaths (Tanimura et al. 1995). she Gejala Klinis IBD Ge G Gejala klinis yang terlihat sangat bergantung pada strain virus IBD yang menginfeksi ayam, jumlah partikel virus, umur, galur ayam, rute inokulasi, dan me m keberadaan antibodi penetralisasi (Muller et al. 2003). Gejala klinis yang parah kke eb kemungkinan disebabkan respons proinflamasi yang tinggi pada saat infeksi kke em et al. 2010). Virus IBD yang masuk ke dalam tubuh ayam ditangkap ((Acribasi A makrofag, yang kemudian melepaskan sitokin yang menimbulkan respons ma m inflamasi. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi virus IBD adalah ayam inf iin n llesu, le es nafsu makan menghilang, dan sayap menggantung (Park et al. 2009; Acribasi et al. 2010). Selain itu juga sering ditemukan gejala diare, serta kotoran Ac A c yang yya an menempel pada kloaka (Parede et al. 2003). Pada ayam muda tanpa antibodi maternal, gejala klinis mulai terlihat 48 jam pascainfeksi dan gejala klinis semakin ma parah pada 56-72 jam pascainfeksi (William & Davison 2005). Sementara itu, par pada ayam yang divaksinasi, gejala klinis terlihat 3 hari pascatantang, dan ayampad ayam tersebut mati setelah 2-3 hari memperlihatkan gejala klinis (Park et al. aya 2009). Ayam yang bertahan hidup, pertumbuhan menjadi terhambat dan sering 20 kali ditemukan gejala penyakit lain seperti Newcastle Disease, Coli Bacillosis, kal Coccidiosis (Muller et al. 2003). Co C o Wabah IBD akut yang disebabkan virus IBD klasik yang menyerang ayam pedaging umur > 3 minggu ditandai dengan angka morbiditas yang tinggi. Secara ped ppe e klinis terlihat ada penyembuhan setelah 5-7 hari ayam sakit. Infeksi pada ayam kkl li yang yya an mempunyai antibodi maternal menunjukkan gejala subklinis, namun lesi terlihat secara histopatologik (Lukert & Saif 2003). tter te er
112 2
Gambaran Gam mbar Organ Normal dan Patologik Infeksi Virus IBD Gambaran Normal Organ Bursa Fabricius Ga Bursa fabricius adalah organ limfoid primer pada ayam atau jenis unggas Bu lainnya lainn nya yang terletak di bagian dorsokaudal dari kolorektal unggas. Bursa fabricius fabriicius berbentuk bulat agak memanjang, menyerupai kantong yang dibatasi oleh dinding yang terdiri atas tunika serosa, tunika muscularis, dan tunika diin n mukosa. mukosa sa. Tunika mukosa membentuk tonjolan ke arah dalam bursa fabricius sa membentuk plika yang dibatasi oleh epitel silindris sebaris, dengan ukuran yang mem mben en bervariasi. bervaariiaas Rata-rata dalam satu bursa terdapat 10-20 plika. Dalam setiap plika berisi limfoid kurang lebih sebanyak 820 (Olah & Glick, 1978). Folikel berissi folikel fo limfoid atas limfosit B 85-95%, limfosit T < 4%, sisanya adalah sel lainnya limfo oid terdiri t seperti makrofag atau sel dendritik atau RES (Khan & Hashimoto 1996 diacu seperrti m dalam Kim et al. 2000). mK Folikel limfoid pada bursa fabricius dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu Foo F folikel besar yang mempunyai batas antara korteks dan medula dan folikel folikkel limfoid li limfoid limfo oid kkecil yang tidak mempunyai batas antara korteks dan medula yang jelas, merupakan meru uppaak prekusor folikel limfoid yang lebih besar. Pada saat terjadi infeksi viruss IBD semasa embrio, kedua jenis folikel limfoid dapat hilang. Sel B secara cepat dengan struktur yang normal di dalam folikel limfoid yang cepaat berproliferasi be lebihh besar, bes yang berkorelasi dengan pemulihan respons antibodi secara parsial. Folikel Folik kel llimfoid yang lebih kecil tidak mampu memproduksi sel B yang responsif terhadap terhaadap antigen (Withers et al. 2006). Pada Pad masa embrio, sel limfosit B memasuki bursa dalam 2 tahap perkembangan yang berbeda, beberapa sudah terkandung dalam sel induk, perkem em mb sebagian sebaagi gian yang lain telah mengalami maturasi di luar bursa fabricius (Lebaqo & Ritter dan keberadaan sel B dalam folikel limfoid bursa fabricius baru Ritteer 11979), 9 terdeteksi terdeeteks ek ks ketika embrio berumur 14 hari. Gambaran Organ Imun pada Embrio Ayam Gaa G Sistem imun pada awal masa embrio berpusat di yolk sac, yaitu tempat Si Si Sis pertama pertaama terjadinya hematopoiesis dan terbentuknya makrofag. Imunoglobulin (Ig) asal induk ind nnddu ditransfer ke kuning telur untuk melindungi embrio ayam dari infeksi
13
oleh parasit, bakteri atau virus (Fellah et al. 2008). Imunoglobulin ini terdeteksi ole pertama kali di yolk sac pada umur embrio 11, dan 12 hari. Selanjutnya bursa per fabricius sebagai organ imun diduga baru berfungsi pada waktu embrio berumur fab 14 hari, karena pada umur tersebut keberadaan imunoglobulin pada bursa fabricius baru dapat terdeteksi. fab Gambaran Patologi Anatomi (PA) IBD Perubahan patologi anatomi oleh virus IBD sangat menciri pada organ bursa Perubahan patologi anatomi pada ayam yang diinfeksi virus IBD ffabricius. fa ab pada strain ayam dan isolat virus yang digunakan. Pada tahap awal bbergantung e er ditemukan edema, yaitu 2-7 hari pascainfeksi (Acribasi et al. 2010), berupa cairan ddi it gelatin yang menutup lapis mukosa. Bursa fabricius kemudian membesar pada gge el umur uum m 10 hari pascainfeksi karena adanya eksudat pada lumen bursa yang awalnya kemerahan yang pada tahap berikutnya menjadi berwarna kekuningan bberwarna be er dan dda an ditemukan bintik-bintik perdarahan pada limpa (Rautenschlein et al. 2007). Perdarahan juga ditemukan pada otot dada dan otot paha mulai umur 2 hari Pe P er 7 hari pascainfeksi (Acribasi et al. 2010). Pada 7 hari pascainfeksi, bursa hhingga hi hin i ayam yang diinfeksi virus vvIBD terlihat mengecil dibandingkan bursa ffabricius fa aab fabricius ayam kontrol, demikian juga pada 14 hari pascainfeksi. Jika terjadi fab penyembuhan, ukuran bursa kembali normal pada 21 hari pascainfeksi. pen Mekanisme terjadinya perdarahan pada infeksi virus vvIBD belum diketahui Me dengan pasti. Perdarahan terjadi karena kerusakan pada dinding pembuluh darah den kapiler atau vena atau jika terjadi gangguan pada sistem pembekuan darah. kap Perubahan Histopatologik IBD Virus IBD dari strain yang amat ganas (virus vvIBD) menyebabkan lesi yang yya an parah, yang dapat teramati pada timus, limpa, bursa fabricius, hati, ginjal, proventrikulus, lambung otot, dan seka tonsil. Hiperplasia terjadi 6 jam jjantung, ja an pascainfeksi pada seka tonsil (Oladele et al. 2009). Nonuya et al. (1992) ppa as melaporkan bahwa nekrosis sel timus terjadi secara ekstensif. Kumpulan me m sel dengan inti yang piknotik ditemukan pada area nekrosis, sel debris, kkelompok el dan dda an reaksi fagosistosis ditemukan pada sel RES. Kapsula menebal dan daerah melebar yang disebabkan edema. Sel limfosit banyak yang menghilang aantarlobus an nt
114 4
diganti digan nti dengan sel makrofag dan sel heterofil menunjukkan adanya reaksi peradangan perad dang pada limpa dan sekal tonsil. Reaksi peradangan juga ditemukan pada ginjal, dan sekal tonsil. Lesi yang khas ditemukan pada sumsum ginja al, paru-paru, p tulang. Sel hematopoietik banyak yang menghilang diganti dengan jaringan lemak tulan ng. S dan bany banyak ditemukan nekrosis serta sisa-sisa reruntuhan sel. Daerah sinusoid diinfiltrasi diinf filtra oleh sel makrofag dan sel heterofil. Perubahan yang paling parah teramati pada bursa fabricius. Lesi pada bursa Peer P fabricius fabriiciu iiuus ditandai dengan
edema dan pengosongan sel limfoid pada folikel
limfoid, limfooidd,, akumulasi heterofil pada folikel limfoid, fibroplasia pada jaringan ikat di antara limfoid, dan proliferasi sel epitel retikuler (Park et al. 2009). antarra folikel fo Degenerasi dan nekrosis limfosit terjadi pada 24 jam pascainfeksi di bagian Degeenneer medula meduulaa folikel limfoid bursa fabricius (Wang et al. 2008). Tahap selanjutnya terjadii penurunan jumlah sel limfoid pada folikel limfoid bursa fabricius bahkan p beberapa bebeeraapa folikel limfoid bursa fabricius terlihat kosong (Rautenschlein et al. 2007). Banyaknya folikel limfoid yang kosong menyebabkan bursa fabricius 20077).. B terlihat terlih hat at mengecil. Fibroplasia dan kista pada folikel limfoid bursa fabricius ditemukan ditem muka k 72 jam pascainfeksi (Oladele et al. 2009). Infiltrasi sel heterofil teramati teram mati t pada 2 dan 3 hari pascainfeksi (Acribasi et al. 2010). Populasi RES meningkat meniingk pada 1-5 hari pascainfeksi (William & Davison 2005). Replikasi virus mengakibatkan kerusakan yang parah pada sel limfoid pada Re bagian dan korteks dari folikel limfoid pada bursa fabricius. Apoptosis bagiaan medula m yangg terjadi pada sel B di sekitar sel terinfeksi memperparah perubahan morfologi terj bursaa fab fabricius (Tanimura et al. 1995). Diagnosis Diag gnooss IBD Diagnosis IBD dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis serta perubahan Diia D patologi patollogi gi anatomi dan histopatologi. Perubahan patologi yang patognomonik adalah yang ditemukan pada bursa fabricius. Namun, diagnosis IBD adalaaahh perubahan p sebagai sebag gai penyebab primer perlu ditunjang dengan teknik diagnosis yang lain ga karena karen naa ggejala infeksi virus IBD dapat dikelirukan dengan infeksi reovirus yang n juga menyebabkan nekrosis sel limfoid pada bursa fabricius (Schat & Skinner men e 2008). Hal ini bisa diatasi dengan pewarnaan imunohistokimia, untuk mendeteksi 2008 8)).. H
15
keberadaan antigen virus IBD pada organ. Antigen virus IBD dapat dideteksi 3 keb jam pascainfeksi pada bagian korteks folikel limfoid bursa fabricius. Antigen terdeteksi pada sel RES di dalam folikel limfoid bursa fabricius dan pada sel ter epitel 96 jam pascainfeksi (Oladele et al. 2009). Keberadaan antigen virus IBD epi pada bursa fabricius berkorelasi dengan terjadinya lesi pada bursa fabricius pad (Rautenshlein et al. 2005). Antigen virus IBD juga terdeteksi pada organ timus, (R limpa, seka tonsil, sel epitel tubulus dan glomerulus ginjal, lapis mukosa dan llim li im kelenjar pada proventrikulus serta pada sel Kupffer di hati (Oladele et al. 2009). kke el Antigen virus IBD juga terdeteksi pada itik dan kalkun yang diinfeksi dengan An A n virus vvi ir IBD, namun demikian jumlah antigen yang terdeteksi hanya sedikit (Oladele eett aal. 2009). Diagnosis infeksi virus IBD dapat juga dilakukan dengan mengisolasi virus penyebab yang ditumbuhkan pada telur ayam berembrio atau biakan jaringan, ppe en nnamun na am diperlukan waktu lama dan tidak semua strain virus IBD dapat tumbuh di telur atau biakan jaringan. Teknik uji netralisasi virus digunakan untuk ttel te e mendeteksi virus IBD, dan dari hasil deteksi dapat dibedakan antara virus IBD me m klasik kkl la dan virus IBD varian. Teknik Antigen-capture Elisa dapat digunakan untuk membedakan antara virus IBD sangat virulent dan IBD yang kurang patogen. m e Sementara itu, teknik RT-PCR dapat membedakan serotipe virus IBD, sedangkan Se subtipe virus IBD dapat dibedakan dengan real time RT-PCR. sub Metode yang sekarang sering digunakan untuk mendeteksi virus IBD adalah teknik RT-PCR (Mittal et al. 2005), namun biaya yang diperlukan saat ini masih tek tergolong mahal. Virus IBD dapat dideteksi pada jaringan yang telah dibuat blok ter parafin dengan real time RT-PCR dan hasilnya menunjukkan bahwa ada korelasi par aantara an nntt lesi dan hasil deteksi (Hamoud & Villegas 2006). Diagnosis Deferensial IBD Di D i Beberapa penyakit penyebab imunosupresif menimbulkan gejala yang mirip dengan infeksi virus IBD, sehingga menyebabkan kesulitan menegakkan dde en mencari penyebab primer infeksi. Salah satu di antaranya adalah infeksi ddiagnosis di ia pada ayam yang menimbulkan lesi pada bursa fabricius seperti lesi yang rreovirus re eo ditemukan pada infeksi virus IBD. Lesi yang ditemukan adalah atrofi bursa ddi it it
116 6
fabricius fabri icius yang ditandai dengan deplesi limfoid dan fibroplasias, proliferasi makrofag makr rofag dan infiltrasi sel heterofil ringan, juga ditemukan deplesi sel limfoid folikel limfoid bursa fabricius. Makrofag dengan sitoplasma yang berbusa, padaa foli kistaa yang yan dikelilingi epitel silindris sebaris ditemukan pada folikel limfoid (Songserm (Son ngser et al, 2003). Namun demikian, pada infeksi Reovirus juga ditemukan Lieberkuhn pada usus, yang tidak ditemukan pada infeksi IBD. dilatasi kripta k Perdarahan Perd dar arah ah pada otot dan atrofi bursa fabricius juga ditemukan pada infeksi CAV. fabricius ditemukan pada ayam umur 14 hari yang terinfeksi CAV Atrofii bursa bu secara Namun demikian, pada CAV juga ditemukan aplasia sumsum secar ra vertikal. v tulang menjadi berwarna kekuningan (Rosenberger & Cloud, 1998) yang tulan ng yang y pada infeksi IBD. tidakk ditemukan ddiite t Kontrol Kon ntro rol o IBD Penyakit yang disebabkan virus seperti IBD tidak dapat diobati, sehingga Peen P dilakukan vaksinasi secara rutin, seperti yang telah dilakukan di banyak perluu ddi il negara. dan pencegahan penyakit IBD yang efektif adalah dengan nega araa. Pengendalian P menerapkan program biosekuritas di antaranya adalah dengan melakukan program mene era rap vaksinasi vaksin nas yang teratur, diikuti dengan deteksi titer antibodi untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi dengan uji SN atau ELISA (OIE 2008). kebe erhas Vaksinasi pada ayam pembibit merupakan langkah terpenting untuk Va mengendalikan IBD, karena antibodi yang diproduksi induk akan diturunkan meng gend melalui mela alui telur kepada anak. Antibodi maternal dengan titer yang baik akan memproteksi ayam melawan penyakit IBD pada usia dini. mem mprot Vaksinasi IBD pada ayam pedaging umumnya dilakukan hanya satu kali Va yaitu u pa ppada ad minggu ke-3. Sedangkan vaksinasi IBD pada ayam petelur diberikan beberapa bebe era rapa p kali. Sebagai contoh program vaksinasi ditampilkan pada Tabel 1. Monitoring titer antibodi perlu dilakukan secara rutin untuk mengetahui M Mo apakah telah memberikan respons yang baik atau untuk mengetahui aplikasi apak kah ah ayam a dilakukan dengan benar atau belum. vaksin inn sudah su
17
Tabel 1 Jadwal vaksinasi IBD pada ayam petelur Vaksinasi
Umur ayam
Jenis vaksin
I.
12-15 hari
aktif
II.
30-33 hari
aktif
III.
85 hari
inaktif
IV
38-40 minggu
inaktif
*Sumber : Butcher & Milles (2003)
Pencegahan dan pengendalian penyakit IBD pada ayam pedaging komersial diperlukan untuk mencegah penyakit IBD yang bersifat klinis. Ada tiga kategori ddi ip vaksin vva aak yang digolongkan berdasarkan patogenisitasnya, yaitu mild, intermediate, dan dda an Intermediate plus/ Intermediate hot. Tipe vaksin IBD Intermediate paling digunakan. Vaksin ini dapat menstimulasi ayam pedaging memproduksi uumum um m antibodi lebih awal dari pada tipe vaksin mild, tanpa menyebabkan kerusakan aan nnt bursa bbu ur fabricius, seperti pada tipe vaksin Intermediate plus (OIE 2008), karena vaksin Intermediate mampu menembus kekebalan antibodi maternal. Namun vva a ak demikian, saat ini vaksin Intermediate tampaknya tidak dapat melindungi ayam dde em dari infeksi virus vvIBD. Vaksin yang digolongkan ke dalam vaksin Intermediate dar plus atau hot vaccine, telah banyak digunakan peternak untuk mencegah infeksi plu virus vvIBD di Indonesia. vir
Umumnya vaksin tersebut
diimpor dan sebelum
beredar telah diuji potensinya di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat ber Hewan (Syahroni B 30 Agustus 2010, komunikasi pribadi). Bolis et al. (2003) He melaporkan me
bahwa
aplikasi
vaksin
hot
intermediate
Moulthrop
G603
menimbulkan lesi 1 dari 7 ekor ayam pedaging yang divaksin pada umur 14 hari, me m e sementara vaksin 288E tidak menimbulkan lesi (Bolis et al. 2003). Selanjutnya sse em dinyatakan bahwa vaksin tipe hot Intermediate (Intermediate plus) protektif dan ddi in tidak tti id menimbulkan kerusakan bursa fabricius yang lebih parah saat ditantang dengan virus vvIBD. Sementara itu, Rautenschlein et al. (2005), menyatakan dde en bahwa vaksinasi dengan virus IBD Intermediate plus pada ayam broiler umur 12 bba a ah hari hha a menyebabkan lesi ar
dengan skor
3 (51-75% folikel limfoid mengalami
pada bursa fabricius ayam 14 hari pascavaksinasi, dan antigen baru ddeplesi) de ep
118 8
terdeteksi terde eteks 21 hari pascavaksinasi. Jika vaksinasi dilakukan pada umur 14 hari, lesi dan antigen antig telah terdeteksi mulai 7 hari pascavaksinasi dan masih terdeteksi pada 21 pascavaksinasi. paasca Waktu vaksinasi bergantung pada titer antibodi maternal pada anak ayam. Wa Titerr antibodi maternal yang tinggi akan menetralisasi virus yang berasal dari ant vaksin, ssehingga hanya sedikit respons kekebalan aktif yang akan dihasilkan. Faktor Fakto or ini or i yang menyebabkan ayam akan mudah terinfeksi penyakit karena antibodi antibboddii menurun, dan vaksinasi kemungkinan menjadi tidak efektif jika ayam terkontaminasi dengan virus IBD lapang yang virulen. terkoonttaam Vaksinasi IBD pada embrio merupakan alternatif vaksinasi yang V Va memberikan kelebihan dibandingkan vaksinasi pascamenetas yang umum mem mbeerri digunakan. digun naka Hal ini disebabkan karena pada vaksinasi in ovo, titer antibodi maternal mateern nal
tidak perlu dimonitor untuk menentukan kapan vaksinasi harus
dilakukan. dilakkukkaa Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa vaksinasi in ovo dengan yang telah diatenuasikan tidak merusak bursa fabricius dan dapat deng gann virus v memberikan proteksi hingga 100% pada ayam yang ditantang ketika berumur 3 mem mber eri minggu et al. 2007). ming ggu gu (Moura ( Meskipun vaksinasi menyebabkan perubahan HP pada organ bursa M Me fabricius, fabriicius namun penyembuhan lebih cepat terjadi pada ayam yang divaksin in ovo daripada yang divaksin pascamenetas (Rautenschlein & Haase 2005). dar Kelemahan Keleemah vaksin ini adalah memerlukan alat vaksin masal dan ukuran telur yang seragam serag gam supaya aplikasi vaksin tepat pada posisi yang diinginkan. Selain vaksinasi pelaksanaan terhadap program biosekuritas yang lainnya Sel juga mer merupakan faktor yang penting dalam meminimalkan kerugian akibat infeksi IBD.. U Upaya untuk melaksanakan biosekuritas dengan melakukan desinfeksi p terhadap terhaad adaap p orang, peralatan atau kendaraan yang melintas antarkandang pada ayam pedaging pedaagi giing n komersial perlu dikontrol sehingga berjalan efektif untuk menurunkan paparan papaaraan dari agen infeksi. Fenol dan formaldehid telah terbukti efektif digunakan untukk desinfeksi tempat yang terkontaminasi. ddee Antibiotik dengan jumlah seminimal mungkin diberikan pada kasus IBD An yang infeksi sekunder bakteri, namun tidak disarankan pada kasus yang g ddisertai is disertai kerusakan ginjal yang sangat parah. Pemberian larutan elektrolit diserrtai ai dengan d
19
atau multivitamin sangat bermanfaat pada kasus penyakit yang berlangsung lama ata yang disertai penurunan nafsu makan. Ventilasi yang baik, suhu ruangan yang yan hangat dan air minum yang bersih akan mengurangi kematian. han Setelah ayam dipanen, kandang harus dikosongkan dari semua unggas. Semua sekam, sisa pakan harus dibuang, kandang harus dibersihkan dan Se didesinfeksi. Fumigasi perlu dilakukan menggunakan formaldehyde dan kalium did permanganate. Kandang harus dikosongkan minimal 3 minggu setelah dilakukan ppe er ffumigasi. fu um Situasi IBD di Indonesia Si S it Keberadaan IBD di Indonesia pertama kali diketahui secara serologik. Ayam yang menunjukkan hasil serologi positif tidak menunjukkan gejala klinis. Ay A y Penyebaran penyakit ini sudah sampai di Indonesia pada tahun 1980, ketika Pe P een ditemukan kasus IBD yang pertama di daerah Sawangan, Kabupaten Bogor, Jawa ddi it Barat Ba B a (Partadiredja et al. 1983). Secara klinis ayam yang terserang menunjukkan gejala penyakit Newcastle Disease, namun demikian hasil pemeriksaan anatomi gge ej patologik ditemukan juga gejala IBD. Penyakit juga dilaporkan terjadi di Bali ppa at pada ppa ad tahun 1982 dan di Nusa Tenggara Barat pada tahun 1983 (Santhia 1996). Semenjak terjadi wabah IBD di Jawa Tengah pada tahun 1991, penyakit ini secara cepat menyebar ke semua kepulauan Indonesia dalam waktu 6 bulan sec (Unruh 1997 diacu dalam Soedijar & Malole 2004). Kejadian dilaporkan meluas (U di Sulawesi, Maluku, Irian, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat pada tahun 1992 (Darmadi & Muhammad 1993 diacu dalam Soedijar dan Malole 2004; tah Santhia 1996). Semenjak itu, kasus gumboro sering ditemukan di lapangan hingga San kini, kki in baik yang berbentuk klinis maupun yang berbentuk subklinis. Kasus IBD tersebut ditemukan menyerang ayam pedaging, ayam petelur, maupun ayam lokal. Angka morbiditas tertinggi ditemukan pada ayam petelur, m a yaitu yya ai 98,78%, disusul ayam pedaging 52,48% dan terendah pada ayam lokal, yaitu Sementara itu, angka mortalitas dilaporkan tertinggi terjadi pada ayam 99,58%. 9, ,5 38,34%, disusul ayam pedaging 23,87%, dan angka morbiditas terendah ppetelur pe et pada ppa ad ayam lokal, yaitu 5,6% (Santhia 1996).
2200
Prevalensi IBD di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Berdasarkan Pre laporan (2009) tercatat kasus IBD menyerang 20.548 ekor ayam pada laporran Ditjennak D tahunn 2006, kemudian menurun pada tahun 2007 dan 2008, yaitu sebanyak 9.382 20 ekor dan 2.456 ekor. Meskipun data menunjukkan jumlah ayam yang terserang viruss IBD rendah, namun >75% sampel-sampel yang dikirim ke bagian Patologi FKH-IPB, FKH H-IPB ditemukan gejala IBD (Agungpriyono DR 20 Desember 2008, komunikasi komuuni nik pribadi).