TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Embrio Mencit tergolong hewan pluripara (beranak banyak). Fertilisasi terjadi pada saluran oviduct, pada kantong fertilisasi. Sekitar 58 juta sperma dimasukkan dalam saluran reproduksi betina untuk setiap ejakulasi (Hogan et al. 1986). Zigot yang terbentuk dari hasil fertilisasi akan terus membelah menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel. Pada tahap awal embriogenesis ini masing-masing blastomer punya potensi untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu baru (totipoten). Pada tahap selanjutnya blastomer akan memposisikan dirinya menjadi dua bagian, bagian dalam yang nantinya akan berkembang menjadi inner cell mass (ICM) dan bagian luar menjadi trophoblas. Keadaan ini potensi blastomer menurun memasuki kondisi pluripoten. Sel-sel bagian dalam akan membentuk gap junctions untuk komunikasi intersel, sedangkan sel-sel bagain luar akan berhubungan satu dengan yang lain (tight junctions). Kondisi demikian memungkinkan embrio morula kompak untuk membentuk blastocoel dan berkembang menjadi blastosis, blastosis lanjut, embrio hatching dan embrio hatched (Hafez & Hafez 2000; Senger 1999). Embrio memerlukan kondisi lingkungan yang sesuai bagi dirinya untuk dapat h n b u h dan berkembang. Pada mencit secara in vivo zigot, embrio tahap ceavage dan morula berada dalam saluran oviduct. Embrio berada dalam uterotuba1 junction setelah embrio mencapai tahap morula kompak. Dan pada tahap
tahap selanjutnya embrio berkembang dalam uterus (Gambar 1). Pada kultur in vitro, embrio ditempatkan pada lingkungan yang dibuat sedemikian rupa sehingga
menyerupai kondisi alamiahnya dalam tubuh induk. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup embrio yang diproduksi secara in vitro, diantaranya: komposisi medium, kualitas oosit, genotip embrio, dan faktor lingkungan lainnya (Farin et al. 2001; Hogan et al. 1986).
butsa or
12 I'M
I,M
Ovulation and
- - fmili~linn
around midpoint ol d a ~cycle l
Kom
I2 l't,! Zcril 1.5dilq~p.c.
-
NOO~
I2 PM 2.5d;rysp.c
- Noon Compaction
12 PI,!
3.!>days p.c.
- Xnnn 17 P1.1
(--'-.-4.5 days PA
-
N'wl
Gambar 1 Perkeinbangan embrio in vivo preimplantasi. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan medium yang dapat menjamin keberlangsungan perkembangan embrio in viho. Potassium simplex
optimized medium (KSOM) merupakan medium bebas protein yang sudah terbukti mampu menjamin perkembangan embrio mencit. Penambahan asam amino dimaksudkan untuk memperbaiki angka blastosis, hatching dan jurnlah sel tiap blastosis akibat peran asam amino dalam merangsang proliferasi sel trophoblas maupun ICM (Bigger et al. 2000). Transisi morfologi zigot hingga mencapai tahap blastosis, gastrulasi dan implantasi memerlukan dua ha1 penting yaitu pertumbuhan dan pembentukan
pola. Perubahan ini melibatkan serangkaian pembelahan sel untuk membentuk morula, deferensiasi sel membentuk dua bagian sel (trophoblas dan inner cell mass (ICM) (Bigger et al. 2000).
Embrio yang diproduksi in vitro mempunyai beberapa karakteristik pertumbuhan dan morfologi yang unik dibandingkan in vivo. Pertumbuhan ratarata zigot yang dikultur in vitro tampak lambat. Embrio jantan cenderung tumbuh lebih cepat dari pada betina (Boediono el al. 2003). Morula yang diproduksi in vitro memiliki kompaksi yang kurang tegas, kualitas dari penggabungan
blastomer, terlihat droplet lemak dalam embrio, dan ruang perivitelin lebih sempit (Farin et al. 2001) Zona pelusida
Semua sel telur mamalia dikelilingi oleh matriks ekstraseluler aseluler, zona pelusida Zona mencit tersusun atas tiga jenis glikoprotein, ZP1, ZP2, dan ZP3 yang berperan sebagai perantara dalam pengikatan dengan protein membran plasma spermatozoa (Burks & Saling 1992). Pembentukan sel kelamin betina atau oosit dimulai sejak prenatal. Sel-sel primordial akan berdeferensiasi menjadi oogonia untuk selanjutnya berkembang menjadi oosit primer dengan sel epitel pipih di sekelilingnya. Saat memasuki masa pubertas sel epitel pipih berubah menjadi kuboid, yang dikenal dengan folikel primer. Pada masa inilah lapisan aseluler dari sel-sel folikel diendapkan pada permukaan oosit untuk membentuk zona pelusida. Pada proses fertilisasi, zona pelusida berfungsi sebagai pertahanan terhadap spermatozoa yang bersifat spesifik untuk spesies tertentu dan mencegah fertilisasi polispermi. Pada tahap selanjutnya zona pelusida berperan sebagai perlindungan mekanik, memelihara keutuhan embrio (blastomer) dan membantu transpor disepanjang saluran oviduct (Hsieh et al. 2002; Sheen et al. 2001). Ketebalan zona pada masing-masing species berbeda-beda, bahkan dalam species yang sama dapat juga berbeda. Suksesnya proses hatching terkait dengan adanya penipisan dan elastisitas zona pelusida. Sebelum hatching terjadi, keelastisan zona pelusida memungkinkan blastosis untuk berkontraksi dan berkembang lebih lanjut (expand). Ketebalan zona pelusida akan semakin
berkurang seiring dengan bertambahnya ukuran blastosis dan adanya kerja zona
lysine yang diproduksi oleh uterus (Hsieh et al. 2002). Kegagalan hatching sebagian besar dikarenakan kondisi abnormal yang mengubah kualitas zona pelusida, seperti pengerasan dan ketebalan zona pelusida, dengan elastisitas yang kurang. Kondisi ini dapat ditemukan pada embrio dari wanita berumur lebih dari 38 tahun, pada wanita yang memiliki konsentrasi FSH tinggi dalam serum, dan diinduksi oleh te~paparnyaembrio pada kondisi kultur in
vitro yang kurang optimal (Nakayarna et al. 1999). Penorehan zona pelusida selalu berhubungan dengan pengaruh positif dan negatif
yang
dapat ditimbulkan.
Beberapa teknik manipulasi, seperti
Intracytoplasinic Sperm Injection (ICSI) ataupun Subzonal Sperm Insertion (SUZI) tidak menyebabkan gangguan zona pelusida secara substantial. Lain halnya dengan biopsi blastonier yang dapat mengubah stabilitas zona secara permanen. Modifikasi ketebalan dan keutuhan zona tidak hanya mempengaruhi fertilisasi secara normal, tetapi juga pada cleavage, kompaksi, pembentukan blastosis dan hatching. Pengubahan zona akan nyata peranannya setelah kultur in
vifro dengan periode lebih lama, selama transfer embrio atau mengubah kemarnpuan untuk implantasi (Boediono et al. 2001; Cohen et al. 1992a).
Hatclting Berbantuan Hatching berbantuan merupakan salah satu manipulasi yang dapat dilakukan pada embrio preimplantasi sebagai upaya unt~dcmembantu embrio blastosis agar dapat keluar dari zona pelusida (hatching). Banyak metode yang telah dikembangkan pada hatching berbantuan, antara lain mekanik, kimiawi, laser dan enzimatik. Teknik-teknik hatching berbantuan pada dasarnya membuat pembukaan kecil pada zona pelusida embrio. Teknik-teknik ini telah dikembangkan lebih dari 10 tahun yang lalu untuk mengatasi rendahnya rata-rata implantasi embrio berkenaan dengan abnormalitas zona pelusida (zona hardening dan atau zona
thickening) pada beberapa embrio yang diproduksi in vitro. Partial zona dissection (PZD) dengan jarurn tipis, penipisan (zona thinning) dan pengeboran (zona drilling) zona pelusida dengan menggunakan acid
@rode's solution dan metode laser telah dilaporkan efektif untuk keberlangsungan proses hatching in vitro. Dan telah dilaporkan dapat memperbaiki rata-rata kebuntingan dan implantasi embrio setelah ditransfer ke resipien (Scl~ieveet al. 2000). Manipulasi zona dengan cara partial zona dissection dilakukan di bawah mikroskop inverted. Embrio ditempatkan pada microdrop ditutupi mineral oil. Pengendalian embrio dilakukan menggunakan pipet holding pada posisi jam 9 dan pipet mikro ditusukkan pada zona pelusida dari posisi jam 1 hingga menembus posisi jam 11. Dan zona ditoreh dengan menggesekkan bagian zona pada pipet mikro dengan bagian luar pipet holding (Parikh et al. 1996). Hal yang mengunhmgkan dari penggunaan hatching berbantuan metode laser adalah manipulasi zona pelusida dapat dilakukan tanpa menyentuh secara langsung pada sel, tidak adanya pengaruh toksik pada embrio dan berkurangnya handling. Hatching berbantuan dengan laser memungkinkan microdrilling bekerja cepat tanpa kontak langsung dengan embrio, sehingga menjadi lebih effisien, tepat, lebih aman, dan bebas bahan kimia untuk hatching bantuan. Namun demikian, sistem laser ini mahal dan mempunyai pengaruh mutagenik pada embrio (Hsieh et al. 2002). Efektivitas hatching berbantuan sudah banyak diujikan pada embrio manusia, seperti pada wanita yang telah berumur lebih dari 38 tahun dan wanita yang telah mengalami kegagalan IVFtICSI-ET beberapa kali, untuk meningkatkan rata-rata kehamilan. Namun demikian kekhawatiran terjadinya kembar identik pada wanita yang menjalani program IVF-ET dan beberapa hewan percobaan akibat manipulasi secara kimiawi dan mekanik terhadap zona pelusida masih membayanginya (Parikh et al. 1996; Schieve et al. 2000). Kejadian kembar identik setelah perlakuan hatching berbantuan lebih tinggi dibandingkan kejadian secara alami. Hal ini dapat terjadi oleh dua sebab, pertanla disebabkan terlalu sempitnya lubang yang dibuat pada zona sehingga blastosis hatching terperangkap pada celah zona pelusida, bagian dari blastosis masing-masing akan berkembang menjadi individu yang identik. Kedua disebabkan oleh hatching premature dari blastomer, karena lepasnya blastomer saat lubang yang dibuat pada embrio tahap awal terlalu besar (Sheen et al. 2001).
Hu (1996) melaporkan bahwa, kerusakan embrio selama pelaksanaan hatching berbantuan dapat terjadi jika embriologis tidak terampil atau terlalu
besamya jarum hatching yang digunakan dalam manipulasi zona pelusida dengan metode kimiawi. Pemilihan teknik manipulasi zona dan alat yang digunakan serta tahap pertumbuhan embrio merupakan penentu keberhasilan hatching berbantuan pada suatu embrio. Selain itu keterampilan embriologis juga tak kalah penting untuk mendukung keberhasilan program hatching berbantuan yang diberikan. Transfer Embrio
Reproduksi yang merupakan serangkaian proses, dipengaruhi oleb dua faktor, yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar. Kedua faktor ini hams saling menunjang agar reproduksi berjalan normal. Penerapan bioteknologi dalam bidang reproduksi, termasuk transfer embrio sudah lama dilakukan manusia sebagai upaya untuk mendapatkan individu baru yang bermutu genetik tinggi dan juga mampu memelihara keberlangsungan hidup suatu peternakan (Hardopranjoto 1995). Keberhasilan program transfer embrio terhadap resipien diperlukan multifaktor pendukung, antara lain faktor interaksi hormonal, biokemikal dan fisiologi. Hal yang mempengaruhi program transfer embrio produksi in vitro diantaranya: sinkronisasi tahap perkembangan embrio dengan siklus estrus resipien, jurnlah embrio yang ditransfer, kondisi resipien dan teknisinya serta faktor lingkungan yang lain seperti stres kepanasan (Farin et al. 2001). Sinkronisasi berahi merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk menseragamkan atau mengendalikan siklus berahi sekelompok ternak sehingga berahi terjadi bersamaan pada waktu yang dikehendaki. Tahapan ini perlu dilakukan pada program transfer embrio untuk menyesuaikan antara umur embrio dan kondisi uterus resipien, sehingga embrio mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru (Toelihere 1985). Ada dua dasar metode sinkronisasi berahi yang dapat diterapkan, yaitu dengan memperpanjang atau memperpendek fase luteal dari siklus berahi hewan temak. Sinkronisasi dengan cara memperpanjang fase luteal dapat dilakukan dengan pemberian progesterone dari luar. Upaya untuk memperpendek fase luteal
dapat dilakukan dengan meregresikan corpus luteum dengan preparat luteolitik. Berahi dan ovulasi dapat juga disinkronisasi dengan pemberian kombinasi progestagen dan preparat luteolitik. Pendekatan ini digunakan preparat luteolitik untuk melisiskan corpus luteum dan progestogen untuk meniru kerja progesteron dan mencegah estrus sampai peinberiannya dihentikan (Hafez & Hafez 2000). Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan sinkronisasi berahi, antara lain untuk menghemat tenaga inseminator, memudahkan managemen petemakan, menyesuaikan permintaan pasar dengan produksi petemakan, dan untuk tujuan transfer embrio dalam ha1 menyerentakkan stadium siklus berahi antara hewan pemberi (donor) dan hewan penerima (resipien) (Toelihere 1985). Transfer embrio dapat dilakukan dengan dua cara, 1) transfer bedah dan 2) transfer non-bedah. Transfer bedah dengan teknik laparotomi melalui
midventral atau melalui flank dilakukan di bawah anastesi umum atau anastesi lokal (paravertebral blok). Teknik transfer bedah ini umumnya dipilih untuk hewan kecil (kambing, domba, mencit). Teknik non-bedah melalui transcervical dengan memasukkan cassou transfer gun sampai cervix dibawah palpasi rektal dan diawali anastesi epidural. Teknik transfer non-bedah sering digunakan untuk hewan besar (sapi, kuda) (Gordon 1994; Hafez & Hafez 2000). Transfer embrio pada mencit dilakukan melalui bedah punggung. Transfer embrio pada mencit umumnya ada dua cara, yaitu transfer melalui oviduct untuk embrio 2 sel - morula dan transfer melalui uterus untuk embrio tahap blastosis. Transfer uterin dilakukan dengan mengisolasi uterus dari cavum abdominalis sehingga memudahkan untuk melakukan transfer embrio. Keberadaan zona pelusida pada embrio yang ditransfer melalui oviduct mutlak diperlukan agar implantasi tidak terjadi pada saluran oviduct. Transfer embrio melalui uterus keberadaan zona pelusida bukanlah suatu keharusan, embrio berzona pelusida maupun tidak bisa ditransfer. Transfer embrio pada mencit menggunakan pipet pasteur yang telah dibengkokkan. Embrio ditempatkan sedemikian rupa dalam pipet Pasteur sehingga memudahkan saat transfer (Gambar 2). Idealnya 5-7 embrio dapat ditransfer pada tiap mencit resipien. Jika hanya 1-2 embrio dalarn uterus akan
didapat n~encityang lahir ukurannya sangat besar, tapi jika jumlah embrio yang ditransfer terlalu banyak (lebih dari 10 embrio) maka beberapa akan lahir dengan ukuran yang kecil dan beresiko untuk steril (Hogan 1986).
Garnbar 2 Pipet Pasteur. A. Posisi embrio dalam pipet Pasteur, B. Pipet Pasteur yang telah di zngkokkan, C. Posisi pipet pasteur s ~ditusukkan t pada uterus. Kebuntingan setelah transfer embrio yang diproduksi menggunakan berbagai sistem kultur yang berbeda sudah banyak dilaporkan. Rata-rata kebuntingan yang mengikuti program transfer embrio berkisar antara 45-75%. Hal ini dipengaruhi oleh operator, sistem kultur, kualitas embrio, embrio segartbeku, total embrio yang ditransfer pada setiap resipien, tahap perkembangan embrio, hewan penerima (resipien), sinkronisasi siklus estrus antara resipien dan hewan donor serta faktor lingkungan lainnya. Angka implantasi dan angka kebuntingan hasil transfer embrio tahap blastosis pada manusia lebih tinggi dari pada cleavage, karena embrio (tahap blastosis) yang ditransfer akan lebih terseleksi. Sinkronisasi embrio-uterus lebih baik, kontraksi uterus menurun dan mucus cervix menurun pada hari ke-5 dibandingkan dengan hari ke-3 (Gordon 1994, Milki et al. 2002; Urman et al. 2002). Pada mencit, secara umum 50-75% embrio normal dapat berkembang setelah ditransfer ke resipien (Hogan 1986).
Hilangnya kebuntingan lebih banyak terjadi selama periode embrional (konseptus sampai akhir organogenesis) dari pada periode fetal (differensiasi organ sampai partus atau periode neonatal (dari partus sampai hari ke-28 diluar uterus, pada sapi). Hilangnya kebuntingan pada masa awal embrional tersebut berhubungan dengan pelepasan interferon sapi dan pengenalan induk terhadap kebuntingan (maternal recognation of pregnancy). Hafez & Hafez (2000) menulis, pada hewan ruminansia (sapi dan domba) dan nonruminansia sebelum melekat pada endometrium, blastosis mensekresikan substansi yang dapat memperpanjang masa siklus corpus luteum (sebagai penghasil progesterone) melebihi periode siklus estrus. Pada periode fetus (hari ke-42 sampai 280 kebuntingan), hilangnya kebuntingan tetap lebih tinggi pada program transfer embrio produksi in vitro dari pada in vivo saat dilakukan diagnosis pada hari ke-35 sampai 65 kebuntingan. Abortus pada pertengahan sampai akhir kebuntingan sebanyak 7-13% pada sapi akibat embrio produksi in vitro, tetapi ada pula yang menyebutkan 20% atau lebih. Beberapa faktor yang mempengaruhi perbumbuhan fetus selama pertengahan akhir antara lain nutrisi induk, kapasitas uterus, ukuran placenta, lingkungan hormonal selama periode pre- atau post-implantasi dan ekspresi factor pertumbuhan fetus dan maternal (Farin 2001). Pada akhir proses reproduksi (partus) oxytocin memegang peranan penting. Partus merupakan serentetan proses fisiologis yang berhubungan dengan pengeluaran anak dan placenta dari induk pada akhir masa kebuntingan. Partus melibatkan kejadian-kejadian komplek, ha1 yang menentukan keberhasilan proses tersebut antara lain relaksasi dan dilatasi cervix, aktivitas myometrium, pencapaian presentasi dan postur yang benar dari fetus, pengeluaran fetus, pelepasan dan pengeluaran placenta (Taverne 1992). Ada banyak aspek yang berperan untuk mengakhiri masa kebuntingan. Proses partus diatur oleh interaksi hormonal yang kompleks, syaraf dan faktor mekanik. Beberapa teori dapat dike~nukakan sebagai pemula partus, yaitu p e n m a n kadar progesteron, peningkatan kadar estrogen dan volume uterus, pelepasan oxytocin dan PGF2, serta ~engaktifanporos hipotalamus-hipofisisadrenal fetus. Pelepasan PGF2,
akan merangsang terjadinya kontraksi
myometrium dan lisisnya corpus luteum sehingga terjadi kemerosotan progesteron. Pengaktifan poros hipotalamus-hipofisis-adrenal fetus menyebabkan kortikosteroid fetus yang juga berakibat menurunkan kadar progesteron, meningkatkan estrogen, dan pelepasan PGF2, yang akan merangsang kontraksi myometrium. Keadaan inilah yang menyebabkan partus terjadi (Hafez & Hafez
2000; Toelihere 1985).