TINJAUAN PUSTAKA Pengenalan Ular berbisa Famili Elapidae O'Shea (1996) menjelaskan bahwa di Papua terdapat enam famili ular yaitu Acrochordidae (filesnakes), Boidae (jenis ular sanca), Colubridae (ular pohon, ular air dan ular tanah), Elapidae (ular berbisa terestrial), Hydrophiidae (ular laut), dan Typhlopidae (ular buta). Micropechis ikaheka merupakan salah satu jenis ular dari famili Elapidae. Famili ini merupakan kelompok ular berbisa yang sangat mematikan disamping famili Viperidae dan Hydropidae. Ular dari famili Elapidae dan lainnya mempunyai bahan racun saraf atau neurotoksin dan bahan racun darah atau haematoksin (O’Shea 1996). Neurotoksin merupakan suatu toksin yang berperan secara spesialisasi pada sel syaraf-neuron, sedangkan haematoksin bekerja pada sel darah. Pada umumnya (neurotoxin) saling berinteraksi dengan protein membran dan kanal ion. Banyak dari bisa (sengitan) dan toksin lain digunakan organisma dalam pertahanan melawan hewan lain. Suatu efek umum adalah kelumpuhan yang
ekstrim dan sangat cepat. Contoh neurotoxin meliputi
tetrodotoxin (pada ikan buntal), batrachotoxin (pada ikan lele) dan komponen dari venom (bisa atau sengitan) dalam lebah, laba-laba dan kalajengking (Schenk 1995). Kedudukan ular M. ikaheka dalam taksonomi menurut O’Shea (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Reptilia
Ordo
: Squamata
Subordo
: Serpentes
Famili
: Elapidae
Micropechis diwakili hanya oleh satu jenis. Selain M. ikaheka, ular lain yang termasuk famili Elapidae antara lain kobra, mamba, taipan, dan ular death adders. Famili elapidae dilengkapi dengan taring yang pendek dan kokoh pada
6 rahang atas bagian depan. Kajian taksonomi ular M. ikaheka dijelaskan dalam O’Shea (1996). Ular M. ikaheka pernah diperkenalkan sebelumnya menjadi dua subspesis yaitu M. ikaheka fasciatus dan M.i. ikaheka, tetapi cakupan distribusi dari kedua subspesies ini terus diperdebatkan. M. i. fasciatus direkam sebagai jenis endemik pulau Aru (Klemer, 1963 diacu dalam O’Shea 1996), tetapi kemudian oleh
Loveridge (1948) diacu dalam O’Shea (1996) dikemukakan
bahwa daerah asal M.i. fasciatus juga mencakup pulau Aru sampai Aitape (West Sepik) dan Gusiko (Morobe) PNG sedangkan M. i. ikaheka dibatasi pada daerah Irian Jaya (sekarang Papua) berdasarkan spesimen dari Fak Fak. Loveridge mempertimbangkan spesimen Aitape dan Gusiko berdasarkan banyak sedikitnya pita (band), jumlah sisik ventral 180-185 dan sisik subcaudal 37-39, tetapi jumlah ini sangat tumpang tindih dengan jumlah sisik yang diperoleh dari spesimen Fakfak. Jumlah sisik diperoleh dari sampel yang sangat sedikit, sehingga ketika dibandingkan dengan jumlah sisik spesimen type dari Dore, dihubungkan dengan karakteristik dari spesimen yang tidak memiliki pita (band), mereka dilengkapi data yang tidak cukup untuk membedakan antara kedua subspesies di daratan utama New Guinea. Jadi ular putih (small-eyed) yang diacu hingga sekarang adalah M. ikaheka, tidak dengan petunjuk subspesies yang manapun. Selanjutnya, Loveridge juga menyebutkan jenis yang ketiga yaitu M.i. elapoides dari kepulauan Salomon yang saat ini diperkenalkan sebagai jenis yang terpisah yaitu Loveridgelaps elpoides.
Deskripsi Morfologi Ular Micropechis ikaheka M. ikaheka memiliki bentuk badan bulat, gemuk dengan ekor yang relatif pendek. Batasan kepala dan leher hanya berbeda sedikit dan kepala lebih luas dari leher, mata sangat kecil dengan pupil yang bulat, O’Shea (1996). Rooij (1917) menjelaskan bahwa M. ikaheka memiliki warna dorsal hitam dan kuning, kadang dengan pita-pita melintang yang tidak teratur. Dijelaskan pula bahwa sisik warna hitam dikelilingi warna kuning, kepala dan ekor berwarna hitam. Permukaan sisik ventral kuning, kadang beberapa sisik dilapisi warna hitam. Oleh masyarakat lokal Papua, M. ikaheka diberi nama lokal ular putih. Mereka menyebutnya ular putih oleh karena ular ini memiliki warna yang terang.
7
Warna sisik merupakan variabel lokal. Populasi dengan warna yang bervariasi
menempati
beberapa
tempat
yang
terpisah.
O’Shea
(1996)
menyebutkan bahwa populasi bagian utara memiliki warna yang berbeda dengan populasi di selatan. Populasi utara umumnya memiliki warna kepala abu-abu agak terang hingga gelap (light to dark grey) dan berbeda dari leher yang kuning atau krem, yang tidak bernoktah. Spesimen bagian selatan memiliki tipe sisik dengan pigmen lebih gelap. Sisik gelap sepanjang badan lebih lanjut ke arah bawah tubuh sampai setengah tubuh (midbody) adalah pigmen warna merah atau coklat. Kadang-kadang dengan pita-pita hitam yang dikelilingi warna kuning. Jarak dan frekuensi pita (crossband) bertambah banyak ke arah posterior hingga ekor yang semuanya gelap. Pigmen sisik ventral adalah kuning krem dan dikelilingi warna hitam atau coklat. Maksimum panjang ular M. ikaheka
adalah
1.0-1.5 m
atau 2.0 m
(spesimen dari Kar Kar dan Sepik-PNG). Jumlah sisik dorsal hingga melingkar setengah tubuh (DMB : dorsal at midbody) 15, semua sisik halus (tidak berlunas); sisik ventral (VS : ventral scales) 178-223; sisik sub ekor (SC : subcaudals) 3755, semua berpasangan; sisik anal berpasangan (divided);
sisik supralabial
sebanyak 6 dengan sisik ke 3 dan 4 kontak dengan mata dan temporolabial antar 5 dan 6; sisik loreal dan subocular tidak ada (Rooij 1917; O’Shea 1996).
Habitat, Kebiasaan Hidup dan Penyebaran Ular M. ikaheka Famili Elapidae tersebar luas di wilayah Asia-Australia dan merupakan kelompok ular paling dominan di Australia (Muller 2005). Ular famili Elapidae merupakan elemen fauna ular yang dominan di New Guinea. Sekitar 36% ular terestrial Papua New Guinea (PNG) adalah elapid, dan sekitar 59% terdapat di daerah New Guinea (O’Shea 1996). Micropechis diwakili hanya oleh satu jenis seperti dijelaskan sebelumnya. Mereka tersebar luas mulai dari dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian 1500 m dpl (Rooij 1917; O’Shea 1996). Penyebaran M. ikaheka di Papua meliputi Pegunungan Arfak, wilayah kepala burung (vogelkop) dan termasuk sebagian
dari pulau di bagian utara, tenggara dan barat. Beberapa
8 tempat hidup ular ini juga disebutkan dalam Rooij (1917), antara lain Pulau Batanta, Sorong, Fak Fak, Andai, Mansinam, Gunung Arfak, Mios Nom, Yapen, Mimika dan beberapa daerah lainnya. Berdasarkan Krey (2003), M. ikaheka juga ditemukan di Pulau Waigeo Kepulauan Raja Ampat. Pada penelitian lainnya di Pulau Salawati dan Batanta ditemukan juga ular M. ikaheka (Farid dan Burhan 2005). Ular M. ikaheka beraktifitas pada malam hari (spesies nokturnal) pada lantai hutan (Krey 2003). Ular ini menangkap mangsa dan melakukan aktifitas lainnya pada malam hari dan pada siang hari mereka beristirahat. Menurut O’Shea (1996), ular M. ikaheka pada umumnya adalah nokturnal tetapi kadang juga aktif pada siang hari. Reptil tersebar pada daerah-daerah padang rumput, padang gurun, daerah basah/lembab, hutan beriklim sedang, hutan tropis, pulau, laut, gunung-gunung, daerah pemukiman dan daerah pinggiran pemukiman (O'Shea dan Holliday 2001). Setiap jenis reptil menggunakan secara spesifik setiap habitat yang ada, seperti habitat ular M. ikaheka yang terbatas pada area hutan hujan (rainforest), rawa dan habitat serupa mulai dari permukaan laut hingga ketinggian 1500 meter (O’Shea 1996). Ular ini juga tinggal atau menghuni gundukan atau tumpukan sekam kelapa (Cocos nucifera) yang dibuang dalam perkebunan. Kebiasaan hidup M. ikaheka adalah menghuni sampah dedaunan, bagian dalam tumbuhan-tumbuhan yang membusuk pada lahan lepas.
Umur dan Jenis Kelamin Reptil Abouheif dan Fairbairn (1997) menjelaskan bahwa diferensiasi seksual dalam ukuran dan morfologi adalah luas pada Kingdom Animal. Pada hewanhewan seperti ikan, insekta, amphibi dan reptil yang berkelamin betina memiliki ukuran tubuh lebih besar dari pada jantan. Umur reptil umumnya diketahui berdasarkan pada ukuran SVL (snout to vent length) tetapi ini umumnya berlaku bagi sejumlah reptil muda. Banyak reptil dapat diketahui jenis kelaminnya pada saat musim kawin dengan meningkatnya aktifitas jantan, dan juga dapat melalui determinasi warna atau perbedaan morfologi (Sutherland 2000). Kadal jantan sering lebih terang warnanya daripada betina. Banyak jenis dapat juga diketahui
9 kelaminnya melalui hemipenis jantan yang mungkin keluar dari bagian kloaka (vent) bila ditekan. Banyak kadal jantan juga memiliki tonjolan penial (sisik pada dasar ekor) dan juga femoral pores (pori-pori pada susunan sisik posterior vemur) (Sutherland 2000). Sama halnya dengan kadal, jenis kelamin ular dapat diketahui dengan mengamati beberapa ciri morfologi selain dengan cara menekan bagian sekitar kloaka (vent). Sutherland (2000) menjelaskan umur dan jenis kelamin ular pada umumnya dapat diketahui dengan mengamati beberapa karakter morfologinya. Ular betina cenderung memiliki batas tubuh yang jelas lebih luas hingga batas ekor yang meruncing, sedangkan jantan cenderung memiliki ekor yang panjang dan seperti terbagi dua dari total panjang ekor (Gambar 2).
Sumber : Sutherland (2000)
Gambar 2 Sketsa umum perbedaan jenis kelamin pada ular
Karakteristik seperti pada Gambar 2 di atas tentunya tidak berlaku pada semua jenis ular. Banyak ular tidak dapat ditentukan jenis kelaminnya baik dari bentuk dan ukuran tubuh maupun warna. Karateristik yang tidak umum ini juga dijelaskan oleh Shine (1981), yaitu pada umumnya ular betina memiliki ukuran panjang dari ujung mulut hingga kloaka (UMK) yang lebih panjang dari jantan, tetapi pada berapa jenis ular karakter ini tidak ditemukan. Shine (1981) juga menemukan tidak adanya dimorfisme seksual berdasarkan panjang SVL pada kelompok ular berbisa (Drysdalia spp) di Australia dan menurutnya kondisi ini merupakan karakteristik dari banyak jenis ular elapid.
10 Kulit dan Sisik Ular Sisik ular seperti reptil pada umumnya, bertumbuh dari lapisan atas (top layer) atau epidermis kulit (Hildebrand 1974; Hikman et al. 2001; Tylor dan O’Shea 2004). Ular seperti binatang melata lainnya, tubuh mereka ditutupi dalam sisik yang melindungi mereka dari abrasi dan dehidrasi. Sisik bagian atas dan samping ular lebih kecil dan halus dibanding sisik pada sisi perut yang tebal dan besar. Sisik tebal dan besar pada perut ini disebut scutes, yang membantu melindungi dan mendukung jaringan yang kontak langsung dengan dasar seperti tanah, batu, batang pohon dan sebagainya (Tylor dan O’Shea 2004). Terdapat beberapa jenis sisik yaitu sisik berlunas (keeled scales) dan sisik yang licin atau tidak berlunas (smooth scales), dimana sisik berlunas membantu ular untuk menahan permukaan, sedangkan sisik tak berlunas membuat kemudahan bagi ular untuk melewati tekanan ruang atau celah yang sempit (Tylor dan O’Shea 2004). Sisik reptil umumnya sangat berwarna-warni dan terorganisir dalam pola yang menarik. Warna sisik muncul dari pigmen pada sisik dan juga dengan cara sisik memantulkan cahaya (Tylor dan O’Shea 2004; Hildebrand 1974 ). Menurut Withers dan O’Shea (1993), warna dari reptil teresterial beragam dan pigmentasinya sangat kompleks, tetapi lebih sedikit pada kelompok fusorial. Warna sering berhubungan dengan kamuflase, thermoregulasi, proteksi terhadap sinar ultraviolet, interaksi tingkah laku dan dimorfisme seksual. Dijelaskan pula bahwa warna berada dibawah kontrol fisiologi (neural atau endocrinal). Warna gelap membantu ular untuk menyerap panas selama cuaca lebih dingin. Tylor dan O’Shea (2004) dan Mattison (2005) menjelaskan teori umum bahwa pada cuaca dingin (termasuk ketinggian tempat) menyebabkan warna menjadi gelap karena pigmen hitam menyerab panas lebih efisien. Ular muda kadang-kadang berbeda warna dari induknya, tetapi tidak diketahui mengapa. Meskipun ular sering diuraikan sebagai sesuatu yang licin, kulit mereka benar-benar sangat kering. Tidak seperti binatang lainnya, ular selalu kontinyu untuk bertumbuh sampai hari mereka mati. Sebagai konsekuensi, ular secara periodik pada waktu tertentu mengganti kulit (shedding scales) mereka, suatu proses yang disebut ecdysis. Sebelum pergantian kulit, ular nampak berwarna sedikit kebiru-biruan dan mata nampak keabuan seperti tertutup awan. Taylor dan
11 O’Shea (2004), menjelaskan sekitar 6 kali setahun, seekor ular dewasa terlihat menggeliat karena menuanya kulit sampai memunculkan sebuah kulit baru di bawahnya yang berkilau. Ular hanya merontokan sisik dan kulitnya pada saat sebuah lapisan baru dari sisik dan kulit tumbuh di bawah kulit tua.
Manfaat Ular bagi Masyarakat Papua Sejak dahulu ular telah dikaitkan dengan kejahatan dan dosa, maka oleh perasaan inilah kebanyakan orang akan merasa geli atau takut terhadap ular. Reaksi spontan biasanya terjadi dan orang tidak segan-segan membunuh ular tanpa memikirkan apakah itu ular dari jenis yang berbisa atau tidak. Walaupun demikian, ular juga memiliki manfaat yang cukup penting, seperti di Papua, beberapa suku memanfaatkan ular sebagai bahan makanan dan pengobatan. Suku Arfak di daerah Mokwam Kabupaten Manokwari selain memakan daging ular M. ikaheka, mereka juga memanfaatkan lemak ular ini sebagai bahan pengobatan tradisional. Lemak tubuh ular ini diekstrak menjadi minyak dan digunakan sebagai obat gosok untuk mengobati otot pembengkakan (Sutarno 2005).
yang mengalami