TINJAUAN PUSTAKA Sorghum Sorghum manis (Sorghum bicolor L. moench) mempunyai bentuk biji yang lebih kecil dari jenis sorghum biji, yaitu sekamnya panjang dan dengan warna biji yang putih dan coklat. Sorghum ini telah dimanfaatkan sebagai makanan ternak, sirup, gula, pengental, dan alkohol. Sorghum sebagai bahan pangan telah dimanfaatkan untuk makanan pokok (beras sorghum) di daerah tertentu (Pulau Jawa), campuran pembuatan makanan selingan (kue, biskuit dan roti) dan makanan lainnya seperti tape. Sorghum sebagai produk pangan telah diolah lebih lanjut dengan cara giling kering menjadi beras sorghum dan tepung, dengan giling basah mendapatkan pati, dan dekstrose (Hubeis 1984). Sorghum (Sorghum bicolor L. moench) termasuk ke dalam famili gramineae dan sub famili panicoideae berasal dari Afrika. Tanaman ini mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1925. Sorghum dikenal di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda, seperti cantel di Jawa Tengah dan Jawa Timur, jagung cantrik di Jawa Barat dan batara tojeng di Sulawesi Selatan. Sorghum mulai berkembang baik sejak tahun 1973, terutama di Demak, Kudus, Grobogan, Purwodadi, Lamongan, dan Bojonegoro (Suprapto dan Mudjisihono 1987). Tanaman sorghum dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman sorghum (Soeranto 2010) Kulit biji sorghum ada yang putih, merah, atau coklat. Sorgum putih disebut sorghum kafir dan yang berwarna merah atau cokelat biasanya termasuk varietas
5
feterita. Biji sorghum yang berwarna putih atau lebih terang akan menghasilkan tepung sorghum yang berwarna lebih putih, dan tepung ini cocok digunakan untuk berbagai jenis makanan. Biji sorghum yang berwarna lebih gelap akan menghasilkan tepung yang berwarna lebih gelap dengan rasa yang pahit. Tepung jenis ini tidak cocok untuk bahan pangan, akan tetapi lebih cocok untuk bahan dasar pembuatan minuman (Mudjisihono 1990). Pada umumnya biji sorgum berbentuk bulat dengan ukuran biji kira-kira 4 x 2,5 x 3,5 mm. Berat biji bervariasi antara 8 mg-50 mg, rata-rata berat 28 mg. Berdasarkan ukurannya sorghum dibagi atas : sorghum biji kecil (8-10 mg), sorghum biji sedang ( 12-24 mg), dan sorghum biji besar (25-35 mg). Warna biji ini merupakan salah satu kriteria menentukan kegunaannya. Varietas yang berwarna lebih terang akan menghasilkan tepung yang lebih putih dan tepung ini cocok untuk digunakan sebagai makanan lunak, roti dan lain-lainnya (Laimeheriwa 1990). Gambar penampang membujur biji sorghum dapat dilihat pada Gambar 2.
Keterangan: P =Perikar TE=Testa AL=Aleuron E =Endosperma PE=Peripheral endosperm FE=Floury endosperm HE=Horny endosperm GE=Germ (lembaga) HL=Hilar layer
Gambar 2. Penampang membujur biji sorghum (Hubeis 1984) Menurut Suprapto dan Mudjisihono (1987), hasil analisis kimia biji utuh sorghum memiliki kandungan pati sebesar 73,8 %, protein 12,3 %, lemak 3,6 %, abu 1,65 %, dan serat pangan sebanyak 2,2 %. Sorghum memiliki sifat fisik dengan panjang 3-15 mm, lebar 2,5-4,5 mm, dan berat 23 mg/biji (Muchtadi dan Sugiono
6
1989). Menurut Suarni (2004), biji sorghum dapat diolah menjadi tepung dan bermanfaat sebagai bahan substitusi terigu. Menurut Leder (2004), sorghum merupakan sumber serat pangan yang baik, terutama serat pangan tidak larut sebanyak 86,2%. Sorghum juga mengandung senyawa anti nutrisi, terutama tanin yang menyebabkan rasa sepat sehingga tidak sukai konsumen (Suarni 2004). Kulit biji sorghum yang berwarna coklat dapat diartikan sebagai sorghum berkadar tanin tinggi. Tanin dalam biji sorghum dapat bertindak sebagai zat anti nutrisi serta dapat menimbulkan rasa pahit pada produk yang dihasilkan. Oleh karena itu selama pengolahan bijinya, senyawa tanin ini perlu dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali (Mudjisihono 1990). Menurut Suprapto dan Mudjisihono (1987), adanya tanin dalam biji sorghum telah lama diketahui dapat mempengaruhi fungsi asam-asam amino dan kegunaan dari protein. Tanin merupakan senyawa kimia yang termasuk golongan senyawa polifenol. Dalam biji sorghum senyawa ini terletak dalam lapisan kulit biji, terutama dalam lapisan perikarp dan lapisan testa. Kadar tanin dalam biji sorghum berkisar antara 0,4-3,6 persen yang sebagian besar terdapat dalam lapisan testa. Sorghum merupakan jenis serealia yang bebas gluten sehingga baik untuk penderita penyakit celiac (suatu penyakit yang harus mengkonsumsi makanan bebas
gluten).
Sorghum
juga
merupakan
sumber
potensial
penting
dari
nutraceuticals fenolat dan antioksidan sebagai penurun kolesterol (Taylor et al 2006). Kandungan gizi sorghum dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Kandungan gizi tepung sorghum dan jenis serealia lain
Sorghum
Kalori (kal) 339
Protein (g) 11,3
Dalam 100 g bahan pangan Lemak KH Serat Ca (g) (g) (%) (mg) 3,3 74,6 6,3 28
P (mg) 350
Fe (mg) 4,4
Terigu
364
10,3
1,0
76,3
2,7
15
108
4,6
Beras
130
2,7
0,3
77,1
0,4
10
43
1,2
Jagung
365
9,4
4,7
74,3
7,3
7
210
2,7
Bahan pangan
Sumber: USDA, 2009 Data diatas menunjukkan bahwa keistimewaan tepung sorghum memiliki nilai protein yang paling tinggi diantara jenis pangan serealia lain. Selain itu, sorghum juga memiliki kadar serat pangan dan kadar zat besi (Fe) yang tinggi.
7
Beberapa pemanfaatan tepung sorghum dalam olahan pangan dengan substitusi tepung terigu diantaranya untuk cookies 50-75%, cake 30-50%, roti 2025%, mie 15-20% (Suarni 2004), dan pembuatan wafel 30% tepung sorghum disubstitusi dengan 70% tepung terigu dihasilkan seperti wafel 100% terigu (Dewi 2000). Sorghum jenis ketan biasanya dimanfaatkan menjadi makanan tradisional seperti tape, jadah, wajik, lemper, dan rengginang (Suprapto dan Mudjisihono 1987). Teknologi pengolahan sorghum cukup sederhana, murah, dan mudah dilakukan baik oleh industri skala rumah tangga maupun industri kecil. Untuk meningkatkan kegunaan sorghum sebagai sumber pangan, perlu diketahui batas maksimal penambahan tepung sorghum ke dalam adonan, sehingga masih dapat menghasilkan produk olahan dengan kualitas baik. Pada produk yang dihasilkan dari substitusi tepung sorghum dan terigu dihasilkan warna olahan yang tidak sukai oleh konsumen (Suarni 2004). Pati dalam biji sorghum sekitar 83% terdapat dalam endosperm, 13,4% dalam lembaga dan 34,6% dalam kulit biji. Sorghum dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu jenis ketan dan jenis beras. Kadar amilosa jenis beras rata-rata 25%, sedangkan untuk jenis ketan sekitar 2% (Suprapto dan Mudjisihono 1987). Kandungan pati sorghum berbanding terbalik dengan kandungan proteinnya, artinya jika kandungan proteinnya tinggi maka kandungan patinya rendah. Pati sorghum mengandung sekitar 20-30% amilosa dan 70-80% amilopektin (Muchtadi et al 1988). Kadar amilosa tepung sorghum lebih rendah dibandingkan terigu, sehingga makin tinggi tingkat substitusi makin rendah kandungan amilosa tepung campuran. Konsistensi gel tepung sorghum lebih rendah dibandingkan tepung terigu. Oleh karena itu, makin tinggi penambahan tepung sorghum, konsistensi gel adonan semakin rendah atau adonan mengeras (Suarni 2004). Protein dalam biji sorgum dapat dibagi menjadi dua golongan pokok, yaitu protein yang berada dalam lembaga dan protein yang tersimpan dalam endosperm. Senyawa protein pada sorghum banyak terdapat pada lapisan atas endosperm atau di bawah kulit biji. Kandungan asam-asam amino tertentu seperti lisin, triptofan, dan treonin dalam protein sorghum rendah. Seperti dalam biji-bijiannya, protein dalam biji sorghum dapat dicirikan menjadi tiga jenis yaitu albumin, globulin, dan prolamin (Suprapto dan Mudjisihono 1987).
8
Lemak dalam biji sorghum rata-rata 3,6%, pada sekam 4,9%, endosperm 0,63% dan lembaga 18,9% dari berat biji. Distribusi asam-asam lemak dalam biji sorghum meliputi asam lemak utama seperti palmitat 11-13%, asam oleat 30-45%, dan asam linoleat 33-49%. Lemak dalam biji sorghum sangat berguna bagi hewan dan manusia, tetapi dapat menyebabkan bau yang tidak enak dan ketengikan dalam produk bahan makanan (Suprapto dan Mudjisihono 1987). Snack bar Selain dari makanan pokok, ketersediaan zat-zat gizi juga bisa berasal dari makanan kudapan, selingan, atau camilan (snack). Camilan biasanya dikonsumsi di antara dua waktu makanan utama, yaitu antara makan pagi dan makan siang atau antara makan siang dan makan malam. Snack bisa berupa makanan tradisional buatan sendiri atau makanan modern hasil kreasi industri pangan. Snack tradisional misalnya pisang goreng, lemper, risoles, dan getuk. Namun dewasa ini semakin banyak orang yang menjatuhkan pilihan pada snack produksi industri pangan yang tersedia secara luas di pasar (Astawan 2010). Snack yang sehat tidak hanya kaya akan energi, tapi sebaiknya juga mengandung protein, aneka vitamin, aneka mineral, serat pangan, dan komponen bioaktif
pendongkrak
kesehatan.
Selain
itu,
hindari membeli
snack
yang
mengandung bahan tambahan pangan (food additives), seperti pemanis, pewarna, dan pengawet yang tidak sesuai aturan (Astawan 2010). Makanan ringan atau dikenal dengan sebutan snack food adalah makanan yang dikonsumsi diantara waktu makan utama dan umumnya sudah merupakan bagian yang tidak ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama pada kalangan anak-anak dan remaja (Muchtadi et al 1988). Menurut Matz (1977) produk makanan ringan dibagi ke dalam beberapa kategori, diantaranya snack berbasis popcorn, keripik yang dibuat dari adonan, snack yang mengembang, snack gurih panggang, snack manis panggang, snack berbasisi kacang-kacangan, keripik kentang, snack berbasis daging-dagingan, snack berbasis buah-buahan dan snack jenis lainnya. Snack campuran kacang dan buah-buahan kering yang saat ini populer di berbagai negara adalah yang berbentuk bar, lazim disebut snack bar (Astawan 2010). Jenis sebutan snack bar lain adalah granola bar, energi bar, protein bar, muesli bar. Muesli bar adalah camilan ringan yang terbuat dari kacang-kacangan
9
atau buah-buahan kering dengan bentuk dan ukuran yang beragam. Makanan jenis ini sebaiknya dari buah-buahan yang sudah dipanggang. Pada umumnya memiliki ukuran yang kecil, karena kandungan kalorinya kurang dari 600kJ, lemaknya kurang dari 5 gram, dan gulanya kurang dari 9 gram (Achmad 2010). Meski dulunya dikenal sebagai makanan para atlet snack bar ini lebih dikenal dengan nama energi bar dan kini banyak disantap oleh orang biasa. Beragam jenis energi bar dijual di pasar telah diperkaya oleh vitamin dan mineral, sehingga tidak mengherankan, banyak orang memanfaatkannya sebagai makanan diet, bahkan pengganti makan siang dan makan malam. Selain kaya gizi, variasi cita rasa, energi bar yang manis legit juga sukses menjadikan jenis makanan ini diminati sebagai kudapan di sela-sela waktu makan. Cukup makan satu batang, perut sudah kenyang dan kebutuhan gizi sepanjang hari terpenuhi (Novita 2010). Energi bar diciptakan awal tahun 1980-an oleh Brian Maxwel, seorang pelari maraton olimpiade, dan istrinya Jennifer, seorang ahli nutrisi. Setelah melakukan sejumlah percobaan dengan menggunakan bahan-bahan alami, keduanya berhasil menciptakan makanan sederhana yang kaya gizi dan mampu menyediakan energi tinggi sehingga dapat meningkatkan performa di lapangan. Singkat kata, makanan yang diberi nama power bar ini populer di kalangan atlet, terutama mereka yang hendak bertanding. Power Bar yang diciptakan Maxwel adalah solusi yang mereka cari. Sejak itu, berbagai produsen makanan berlomba-lomba menciptakan energi bar dalam berbagai varian rasa dan kandungan nutrisi (Novita 2010). Komposisi sepotong energi bar terdiri dari bahan dasar gandum, beras, madu, serta buah-buahan kering yang merupakan jenis karbohidrat kompleks, sehingga mampu menghasilkan kalori cukup besar dan tahan lama (Novita 2010). Snack bar dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Snack bar (Novita 2010)
10
Umumnya, energi bar terdiri dari 70% karbohidrat, 20% protein, dan 10% atau kurang kandungan lemak. Dalam perkembangannya, energi bar kini diperkaya (difortifikasi) berbagai jenis vitamin dan mineral. Jenis mineral yang ditambahkan umumnya kalsium, magnesium, atau zat besi. Dengan tujuan menambah cita rasa, energi bar dibubuhi gula ataupun pemanis buatan, serta bahan pengaya rasa, seperti cokelat dan kayu manis. Supaya tidak membosankan, energi bar kini tampil dalam aneka cita rasa. Misalnya, rasa pisang almond, cokelat mint, pai apel, mentega kacang, dan buah beri (Novita 2010). Energi bar dikonsumsi untuk memperoleh asupan energi sebagai bahan bakar untuk beraktivitas. Jadi, kandungan karbohidrat atau lemak di dalamnya mesti cukup tinggi. Karena itu, semestinya di dalam kemasan energi bar tertera kandungan karbohidrat 50%-60%, protein 10%-15%, dan kandungan serat pangan 25%-30%. Komposisi tersebut didasari oleh konsep gizi seimbang. Saat ini banyak orang salah kaprah mengartikan segala bentuk makanan sehat dalam kemasan sebagai energi bar. Padahal, berdasarkan komposisi zat gizi di dalamnya, makanan sehat itu ada yang disebut sebagai energi bar, protein bar, atau diet bar (Novita 2010). Diet bar kandungan gizi yang paling tinggi di dalamnya adalah serat pangan. Itu sebabnya, diet bar tidak cocok dikonsumsi untuk tujuan menambah tenaga. Sebaiknya memilih makanan sehat sebagai kudapan, yaitu diet bar yang kaya serat pangan. Energi bar boleh dikonsumsi sebagai pengganti makan siang atau makan malam, asalkan jumlah kalorinya tepat. Rata-rata, seseorang membutuhkan 300-600 kalori untuk makan siang, sesuai dengan berat badan dan jenis aktivitasnya. Jika sepotong energi bar mengandung 200 kalori, maka butuh dua potong supaya bisa memenuhi jumlah kalori yang diperlukan (Novita 2010). Serat Pangan Serat pangan adalah kelompok polisakarida dan polimer lain yang tidak dapat dihidrolisis oleh sistem gastrointestinal (enzim pencernaan) bagian atas tubuh manusia. Serat pangan digolongkan menjadi dua yaitu serat pangan larut dan serat pangan tidak larut. Serat pangan larut terdiri atas gum, pektin, dan sebagian kecil hemiselulosa larut. Serat pangan tidak larut terdiri atas selulosa, lignin, sebagian besar hemiselulosa, sejumlah kecil kutin dan lilin tanaman, serta senyawa pektat
11
yang tidak larut (Hartoyo 2008). Serat yang larut air bermanfaat untuk menurunkan kadar kolesterol, penurunan penyerapan glukosa, mengurangi penyakit jantung dan diabetes. Serat tidak larut berfungsi menjaga keseimbangan flora usus, mencegah konstipasi dan kanker usus besar (Jahari dan Sumarno 2002) Rekomendasi konsumsi serat pangan : 10-13 g/1000 kkal, sehingga untuk konsumsi sekitar 2100 kkal dibutuhkan serat pangan sebesar 25 g serat per orang per hari. Serat pangan ini dapat diperoleh dari sayuran, buah-buahan, serealia, bijibijian, aditif pangan dan suplemen pangan (Hartoyo 2008). Menurut Koeswara (2010) jumlah serat pangan yang harus dikonsumsi oleh orang dewasa adalah 20– 35 g/hari atau 10–15 g/1000 kkal. Kebutuhan serat pangan pada masyarakat Indonesia menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004), adalah sebanyak 19-30 gr/kap/hari. Efek fisiologis dari serat pangan diantaranya : meningkatkan sifat kamba dari feses, meningkatkan produksi asam lemak rantai pendek, menurunkan kolesterol, trigliserida dan glukosa darah. Potensial efek serat pangan dalam pencegahan penyakit diantaranya : penyakit jantung koroner, resiko kanker, osteoporosis, diabetes melitus, divertikulosis, dan mencegah konstipasi (Hartoyo 2008). Serat pangan sering dibedakan atas kelarutannya dalam air. Serat pangan total (TDF atau Total Dietary Fiber) terdiri atas komponen serat pangan larut air (Soluble Dietary Fiber atau SDF) dan serat pangan tidak larut air (Insoluble Dietary Fiber atau IDF). SDF adalah serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau panas serta dapat terendapkan oleh air : etanol dengan perbandingan 1:4. IDF diartikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas atau dingin. Serat pangan yang tidak larut dalam air adalah komponen struktural tanaman, sedangkan yang larut adalah non komponen struktural. Serat pangan yang tidak larut dalam air banyak terdapat pada kulit gandum, biji-bijian, sayuran dan kacang-kacangan. Serat pangan yang larut dalam air biasanya berupa gum dan pectin (Koeswara 2010). Serat pangan tidak larut (IDF) bermanfaat dalam mengatasi sembelit, mencegah kanker terutama kanker kolon dan mengontrol berat badan. Kanker usus besar (kolon) disebabkan oleh kontak sel-sel mukosa usus besar dengan zat-zat karsinogen, terutama jika kontak tersebut terjadi dalam waktu yang lama dengan konsentrasi senyawa karsinogen yang tinggi. Senyawa karsinogen berasal dari makanan yang mengandung prekursor. Pada sistem pencernaan, senyawa
12
prekursor dapat dirubah menjadi senyawa-senyawa karsinogen oleh enzim pencernaan dan aktivitas flora usus. Kontak senyawa karsinogen dengan sel usus, dapat merubah sel-sel usus menjadi sel-sel kanker (Koeswara 2010). Bila orang mengkonsumsi sedikit makanan yang berserat, maka feses yang terbentuk dalam usus besarnya kecil-kecil dan teksturnya keras. Bentuk feses semacam ini, menyebabkan konsentrasi zat karsinogenik yang mungkin ada di dalamnya pekat (konsentrasi tinggi), sedangkan bentuk feses yang kecil dengan tekstur yang keras menyebabkan transit makanan (waktu yang dibutuhkan sejak di makan sampai di buang menjadi feses) menjadi lama. Akibatnya di dinding usus besar yang dapat menyebabkan terbentuknya sel-sel kanker (Koeswara 2010). Serat pangan mempunyai daya serap air yang tinggi. Adanya serat makanan dalam feses menyebabkan feses dapat menyerap air yang banyak sehingga volumenya menjadi besar dan teksturnya menjadi lunak. Volume feses yang besar dengan tekstur lunak dapat mengencerkan senyawa karsinogen yang terkandung di dalamnya, sehingga konsentrasinya jauh lebih rendah. Dengan demikian akan terjadi kontak antara zat karsinogenik dengan konsentrasi yang rendah dengan usus besar, dan kontak ini pun terjadi dalam waktu yang lebih sing kat, sehingga tidak memungkinkan terbentuknya sel-sel kanker (Koeswara 2010). Klaim high fiber, hanya boleh digunakan untuk produk yang paling tidak mengandung serat makanan 5 gram per 100 gram (padat) atau 100 ml (cairan) dan memenuhi persyaratan sebagai produk pangan low fat, atau kandungan lemaknya dinyatakan berdampingan dengan klaim kaya serat pangan. Istilah good source of fiber menyatakan bahwa produk tersebut paling tidak mengandung mengandung serat pangan 2,5-4,9 gram per penyajian. Jika kita melihat istilah more atau added fiber, maka paling tidak produk tersebut mengandung mengandung serat pangan 2,5 gram per penyajian (Hariyadi 2005). Sumber serat pangan didapatkan dari berbagai golongan bahan pangan, namun terdapat lima golongan bahan pangan yang memberikan sumbangan serat pangan yang signifikan yaitu sesuai urutannya : 1. Serealia, 2. Buah, 3. Sayuran, 4. Kacang-kacangan, 5. Buah-buahan. Di Kota, di Indonesia sumbangan serat pangan dari kelima golongan tersebut sebesar 94,9% dari rata-rata konsumsi serat pangan di Kota, sedangkan di Desa 91,6% dari rata-rata konsumsi serat pangan di Desa. Persentase sumbangan serat pangan, golongan serealia merupakan penyumbang
13
terbesar serat pangan yaitu sekitar sepertiga (36,2%) dari konsumsi serat, sedangkan dari bahan pangan lainnya menyumbang antara 10%-17% atau sekitar separuh dari sumbangan yang diberikan oleh serealia (Jahari dan Sumarno 2002). Bioavailabilitas Zat Besi Bioavailabilitas zat besi didefinisikan sebagai jumlah zat besi dari bahan pangan yang ditransfer dari lumen usus ke dalam darah. Bioavailabilitas zat besi sangat terkait dengan proses absorpsi zat besi dalam usus halus sehingga istilah bioavailibilitas zat besi dapat disamakan dengan absorpsi dalam usus (Latunde dan Neale 1986). Metode dapat dilakukan secara in vitro maupun in vivo. Metode in vitro dilakukan berdasarkan sistim pencernaan secara enzimatis (Palupi et al 2010). Metode in vitro untuk menentukan ketersediaan zat besi merupakan metode yang sederhana, cepat dan tidak memerlukan biaya mahal. Metode tersebut dilakukan dengan mencontoh proses pencernaan yang terjadi dalam gastrointestinal menggunakan enzim yang tersedia secara komersial (Muchtadi et al 1992). Pengukuran bioavailabilitas zat besi secara in vitro dapat dinilai sebagai zat besi yang terionisasi terlarut dan terdialisis. Pengukuran secara in vitro ini merupakan simulasi dari kondisi fisiologis pencernaan dengan menggunakan enzim pepsin dan pankreatin, dengan prinsip dialisis yaitu dengan pemisahan molekul terlarut berdasarkan berat molekulnya secara difusi (Latunde dan Neale 1986). Kecukupan zat besi remaja putri dengan kisaran usia 10-19 tahun, menurut Angka Kecukupan Gizi orang Indonesia (AKG 2005) adalah 26 mg. Zat besi dalam tubuh merupakan bagian dari hemoglobin yang berfungsi sebagai pembawa oksigen dalam darah. Untuk memelihara keseimbangan hemoglobin dalam darah terdapat feritin dan hemosiderin sebagai tempat penyimpanan zat besi. Apabila konsumsi zat besi dari bahan pangan tidak cukup, maka zat besi dari feritin dan hemosiderin dimobilisasi untuk mempertahankan hemoglobin dalam keadaan normal. Feritin dan hemosiderin banyak ditemukan dalam organ hati, limfa dan sumsum tulang belakang (Palupi et al 2010). Menurut Muchtadi et al (1992), zat besi dalam bahan pangan diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu heme dan non heme. Kecepatan penyerapan zat besi oleh tubuh lebih tinggi dibandingkan zat besi non heme. Namun demikian sebagian besar bahan pangan mengandung zat besi non heme, oleh karena itu bentuk non
14
heme menyumbang kebutuhan zat besi tubuh dalam jumlah yang relatif lebih banyak. Sehubungan dengan ketersediaan zat besi secara biologis, terdapat beberapa faktor pendorong dan penghambat penyerapan zat besi di dalam tubuh (Palupi et al 2010). Menurut Latunde dan Neale (1986), faktor yang mempengaruhi ketersediaan biologis zat besi dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu faktor endogen (kondisi tubuh) dan faktor eksogen (zat makanan). Faktor endogen yaitu : kebutuhan tubuh, dan sekresi saluran cerna. Faktor eksogen meliputi berbagai komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan zat besi, yaitu : kandungan zat besi bahan pangan, bentuk zat besi dalam bahan pangan, faktor pendorong dan faktor penghambat absorpsi besi yang berasal dari bahan makanan. Faktor-faktor pendorong penyerapan zat besi adalah asam askorbat dan suatu senyawa yang belum teridentifikasi namun terdapat di dalam daging, ikan dan unggas. Selain itu asam-asam organik juga dapat meningkatkan penyerapan zat besi, diantaranya adalah: asam malat, sitrat, suksinat, laktat dan tartarat. Sebagai bahan pereduksi, asam askorbat akan melindungi zat besi dari pembentukan ferihidroksida yang bersifat tidak larut. Selain itu juga dapat membentuk kelat Feaskorbat yang bersifat tetap larut meskipun terjadi peningkatan pH dalam sistem pencernaan usus halus (Palupi et al 2010). Pengaruh asam askorbat dalam memperkuat penyerapan zat besi hanya terjadi apabila dikonsumsi bersama-sama dalam bahan pangan. Pemberian asam askorbat 4-6 jam setelah mengonsumsi bahan pangan tidak akan berpengaruh terhadap penyerapan zat besi. Sebaliknya, asam askorbat yang dikonsumsi bersama-sama dalam bahan pangan akan meningkatkan penyerapan sebesar 3-6 kali. Asam askorbat yang telah teroksidasi hampir tidak berpengaruh dalam memperkuat penyerapan zat besi. Selain itu, terdapat faktor dalam daging, ikan dan unggas (meat fish poultry (MFP) factor) yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi (Palupi et al 2010). Meat faktor berperan dalam meningkatkan penyerapan zat besi bentuk heme maupun non heme (Muchtadi et al 1992). Hal tersebut diduga karena faktor MFP akan bereaksi dengan senyawa-senyawa yang dapat menghambat penyerapan zat besi, seperti fitat dan ion-ion hidroksil (Palupi et al 2010).
15
Senyawa-senyawa yang termasuk sebagai inhibitor penyerapan zat besi antara lain tanin, fitat, polifenol, oksalat dan serat pangan (Palupi et al
2010)
(Latunde dan Neale 1986). Tanin yang banyak terdapat di dalam teh merupakan inhibitor potensial karena dapat mengikat zat besi secara kuat membentuk Fe-tanat yang bersifat tidak larut. Fitat pada kulit serealia diketahui dapat menghambat penyerapan zat besi. Penghilangan fitat dalam bahan pangan dapat meningkatkan penyerapan zat besi hingga 3 kali. (Palupi et al 2010). Selain itu, serat pangan juga dapat menghalangi penyerapan zat besi dengan beberapa mineral lainnya. Menurut Yuanita (2008) bahwa diet tinggi serat pangan
memberi
efek
fisilogis
yang
positif,
namun
juga
menyebabkan
ketidaktersediaan mineral Fe terutama disebabkan karena kemampuan serat pangan mengikat Fe. Afinitas pengikatan Fe dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain komponen bahan pangan, proses pengolahan dan pH medium. Pengikatan mineral oleh serat pangan dapat terjadi melalui beberapa pola interaksi yaitu adsorpsi permukaan, pertukaran kation dan pembentukan senyawa kompleks. Meskipun demikian, efek serat pangan terhadap penyerapan zat besi masih relatif kecil dibandingkan tanin dan fitat (Palupi et al 2010). Selain senyawa lain yang terdapat dalam bahan pangan, cara pengolahan bahan pangan juga dapat mempengaruhi penyerapan zat besi. Pengolahan bahan pangan seringkali menyebabkan terjadinya perubahan bentuk kimia zat besi atau mineral lain yang akan mempengaruhi ketersediaannya. Selain pengolahan, selama penyimpanan bahan pangan juga dapat terjadi berbagai perubahan bentuk senyawa kimia (Palupi et al 2010). Ketersediaan zat besi FeSO4 yang disimpan dalam jangka waktu lama akan menjadi menurun. Ketersediaan zat besi juga dipengaruhi oleh mineral-mineral lain yang terdapat bersama-sama dalam bahan pangan. Mineral-mineral tersebut saling berkompetisi dalam melintasi dinding usus. Interaksi antara mineral yang satu dengan lainnya akan mempengaruhi penyerapan
ion-ion mineral dalam saluran
pencernaan. Interaksi yang terjadi dapat bersifat sinergis, saling memperlancar penyerapan, atau antagonis, memperlambat atau menghambat penyerapan salah satu mineral oleh mineral yang lain (Palupi et al 2010). Bioavailabilitas secara in vitro, dilakukan simulasi pencernaan dalam wadah menggunakan bufer enzim pencernaan yaitu pepsin secara tunggal atau diikuti
16
dengan tripsin sendiri atau bersama dengan kimotripsin dalam bufer dengan pH yang sesuai. Analisis yang dapat dilakukan sangat bervariasi tergantung dari metode analisis kimia yang tersedia, tetapi secara singkat pertama-tama dilakukan pengabuan lalu pengenceran dan diukur dengan spektrofotmeter pada panjang gelombang yang sesuai (Palupi et al 2010). Analisis ketersediaan zat besi secara in vitro didasarkan atas prinsip bahwa zat besi yang telah dicerna dalam sistem pencernaan oleh enzim-enzim pencernaan akan diserap melintasi dinding usus yang disimulasikan dengan kantong dialisis berukuran 6000-8000 MWCO (moleculer weight cut of) yang menyerupai usus. Zat besi yang dapat melintasi dinding usus (kantong dialisis) direaksikan dengan senyawa pewarna dan intesitas warna yang terbentuk diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 533 nm (Palupi et al 2010). Remaja Puteri Menurut Stang (2008) istilah remaja (adolescence) adalah salah satu periode yang paling menarik namun menantang dalam pembangunan manusia. Umumnya dianggap sebagai periode kehidupan yang terjadi antara 12 dan 21 tahun. Monks, Knoers dan Haditono (2001) dalam Mar’at (2009) membedakan masa remaja atas empat bagian yaitu : (1). Masa pra-remaja atau pra-pubertas (usia 10-12 tahun) (2). Masa remaja awal atau pubertas (usia 12-15 tahun) (3). Masa remaja pertengahan (usia 15-18 tahun), dan (4). Masa remaja akhir (usia 18-21 tahun). Masa remaja adalah masa pertumbuhan. Pertumbuhan terjadi baik secara fisik, yang ditandai dengan berkembangnya jaringan-jaringan dan organ tubuh yang membuatnya lebih berisi maupun secara kejiwaan, yaitu kelabilan emosi karena merupakan masa transisi dari jiwa kanak-kanak menuju dewasa (Garwati dan Wijayati 2010). Arisman (2004) mengatakan bahwa masa remaja merupakan jalan panjang yang menjembatani periode kehidupan anak dan dewasa, yang berawal pada usia 9-10 tahun dan berakhir di usia 18 tahun. Masa ini merupakan sebuah dunia yang lengang dan rentan dalam artian fisik, psikis, sosial, dan gizi. Pertumbuhan yang disertai dengan perubahan fisik, memicu berbagai kebingungan. Golongan remaja
17
rentan akan adanya berbagai pengaruh dari luar yang dapat dengan mudah langsung diikuti. Determinan utama bagi remaja adalah berasal dari teman sebaya. Terdapat tiga kekuatan dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi remaja, yaitu salah satunya adalah keluarga, sekolah dan lingkungan sosial. Melalui berbagai macam media massa, remaja berkenalan dengan berbagai macam peristiwa yang terjadi dalam masyarakat sehingga akan mempengaruhi perkembangan kepribadian remaja (Khumaidi 1989). Berkaitan dengan perkembangan fisik, remaja adalah masa ketika seseorang mulai memperhatikan keadaan tubuhnya dan sering gelisah jika mendapati tubuh mereka ternyata tidak ideal. Banyak cara dilakukan oleh remaja untuk mendapatkan bentuk tubuh yang menurut mereka lebih bagus dan menarik. Menurut Garwati dan Wijayati (2010) berawal dari pemikiran inilah, kemudian banyak remaja akhirnya terjebak pada pola makan yang tidak sehat. Mereka mengurangi porsi makan, bahkan memangkas jadwal makan. Makan pun menjadi dua kali atau bahkan hanya satu kali sehari. WHO (2005) mengemukakan bahwa kerangka konseptual dan faktor penyebab masalah gizi pada remaja adalah kurang konsumsi pangan, faktor gaya hidup, penyakit infeksi dan masalah kesehatan lainnya. Kurang konsumsi pangan disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor psikologi dan faktor sosial ekonomi. Faktor psikologi adalah pola makan, kebiasaan makan, gangguan makan dan faktor sosial ekonomi seperti akses terhadap pangan dan ketersediaan pangan. Kurang konsumsi pangan menyebabkan kekurangan zat gizi makro dan mikro serta berbagai penyakit kronik yang menyertainya. Kebiasaan makanan yang terlihat lebih sering di kalangan remaja termasuk konsumsi yang tidak teratur makan, ngemil, makan di luar rumah, dan diet (Stang 2008). Remaja di Amerika Serikat sebanyak 87-88% yang berusia 12-18 tahun mengkonsumsi setidaknya satu snack per hari (12-14 asupan kalori), dengan kontribusi makanan ringan sekitar 25% setiap hari. Hasil penelitian menunjukkan remaja wanita lebih sering ngemil dibandingkan pria. Akibatnya, dengan ngemil dapat membuat para remaja kelebihan berat badan dan obesitas (Savige et al 2007).