TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer Pada umumnya produktivitas primer dianggap sebagai padanan fotosintesis, walaupun sejumlah kecil produktivitas primer dapat dihasilkan oleh bakteri kemosintetik (Nybakken 1988). Terdapat hubungan yang positif antara kelimpahan fitoplankton dengan produktivitas primer, jika kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tinggi, maka perairan tersebut cenderung mempunyai produktivitas yang tinggi pula (Raymont 1963). Odum
(1971)
mendefinisikan
produktivitas
primer
sebagai
derajat
penyimpanan energi matahari dalam bentuk bahan organik, sebagai hasil fotosintesis dan kemosintesis dari produsen primer. Produktivitas primer diistilahkan sebagai laju fiksasi karbon (sintesis organik) di dalam perairan dan biasanya diekspresikan sebagai gram karbon yang diproduksi per satuan waktu (Kennish 1990). Hal yang sama dikemukakan oleh Levinton (1982) dan Barnabe dan Barnabe (2000), bahwa produktivitas adalah jumlah yang dihasilkan oleh organisme hidup per satuan waktu dan sering diestimasi sebagai jumlah karbon yang terdapat di dalam material hidup dan secara umum dapat dinyatakan sebagai gram karbon yang dihasilkan dalam satuan meter kuadrat kolom air per hari (g C/m 2/hari) atau sebagai gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (g C/m 3/hari). Produktivitas primer merupakan sumber utama energi bagi proses metabolik yang terjadi dalam perairan. Pada ekosistem perairan sebagian besar produktivitas primer dihasilkan oleh fitoplankton (Kennish 1990; Barnabe dan Barnabe 2000). Aliran energi dalam ekosistem perairan dimulai dengan fiksasi energi oleh fitoplankton
melalui
proses
fotosintesis.
Melalui
proses
ini
fitoplankton
mengakumulasi energi, energi yang diakumulasi oleh fitoplankton inilah yang disebut produksi atau secara lebih spesifik disebut produksi primer (Sumich 1994). Produktivitas dibedakan atas dua, yaitu produktivitas primer kotor (Gross Primary Production) dan produktivitas primer bersih (Net Primary Production). Produktivitas primer kotor adalah laju produksi primer zat organik secara keseluruhan, termasuk yang digunakan untuk respirasi, sedangkan produktivitas primer bersih adalah laju produktivitas primer zat organik setelah dikurangi dengan yang digunakan untuk respirasi (Nybakken 1988). Pengukuran produktivitas primer fitoplankton merupakan satu syarat dasar untuk mempelajari struktur dan fungsi ekosistem perairan. Metode yang digunakan untuk pengukuran produktivitas primer fitoplankton pertama kali menggunakan metode O 2 yang diperkenalkan oleh Garder dan Gran serta metode 14C oleh Steemann Nielsen dengan menggunakan tiga tipe metode inkubasi, yaitu inkubasi in situ, simulasi in situ dan metode cahaya (Gocke dan Lenz 2004). Inkubasi in situ pada umumnya lebih mendekati kondisi alam dan dianggap sebagai metode yang lebih dipercaya (Gocke dan Lenz 2004). Nilai produktivitas primer fitoplankton dengan menggunakan metode O2 tipe inkubasi in situ telah banyak dilakukan pada beberapa perairan dunia dan memperlihatkan nilai yang bervariasi (Tabel 1). Produktivitas primer fitoplankton dalam suatu perairan dipengaruhi oleh faktor fisika, kimiawi dan biologi. Faktor-faktor tersebut meliputi cahaya, suhu, sirkulasi massa air, unsur hara dan grazing oleh zooplankton (Kennish 1990).
Tabel 1. Nilai produktivitas primer dengan metode oksigen (O 2) di beberapa wilayah tropik dan temperate Daerah
Produkti fitas primer
Sumber
Perairan Tropik Delta Upang ( Indonesia) - Tahun 1975 Selat Malaka (Indonesia) - Tahun 1980 Teluk Lampung - Bagian dalam, 1999 - Bagian dalam, 1999 Teluk Jakarta - Bagian dalam, 1983 - Bagian tengah, 2000–2001 - Bagian tengah, 1983 Perairan Pantai Bekasi - Muara sungai - 2– 3 km kearah laut - 4–5 km kearah laut Perairan Pantai Luwu - Tahun 2003 Teluk Lingayen, Philipina - Bagian lepas pantai - Bagian dalam (Bolinao) Perairan Temperate Teluk False - Perairan pantai, musim semi Oudekraal - musim semi dan gugur - musim dingin - perairan pantai, kedalaman 20 m Teluk Table - musim semi dan gugur Teluk Saldanha - Musim dingin - musim semi dan panas Teluk Sylt-Romo - Tahun 1994–1995
Catatan :
#
3
g C/m /tahun,
440 #
Kaswadji (1976) in Damar (2003)
180 #
Praseno (1980) in Damar (2003)
140 # 305 #
Tambaru (2000) Sunarto (2001)
602 # 98 # 110 #
Nontji (1984) Nontji (1984) Nontji (1984)
428 # 333 # 305 #
Kaswadji et al. (1993) Kaswadji et al. 1993) Kaswadji et al. (1993)
205 #
Indriani 2004
933 ## 167 ##
McManus et al. (2001) in Damar (2003) McManus et al. (2001) in Damar (2003)
3.7 ###
Brown et al. (1979) in Shannon dan Pilar (1986)
2.4 ### 1.9 ###
Brown (1980) in Shannon dan Pilar (1986) Brown (1984) in Shannon dan Pilar (1986)
2.6 ###
Carter (1982, 1983) in Shannon dan Pilar (1986)
4.0 ###
Brown (1984) in Shannon dan Pilar (1986)
1.9 ### 6.3 ###
Mostert, in Shannon dan Pilar (1986)
160 ### ##
2
g C/m /tahun,
Asmus et al. (1998) in Tillmann et al. (2000) ###
g C/m2/hari.
Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN) Nitrogen inorganik terlarut di perairan terdiri dari ammonia-nitrogen (NH 3-N), nitrat-nitrogen (NO 3 -N), dan nitrit -nitrogen (NO 2 -N). Nitrogen dalam laut di dapatkan dalam 5 tingkat oksidasi, dan dari kelima tingkatan tersebut yang melimpah dan
aktif adalah ion nitrat, berturut-turut menyusul nitrit dan ammonia (Libes 1992; Valiela 1984). Sumber nitrogen di laut terbesar berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik (Dawes 1981). Meskipun nitrogen ditemukan berlimpah di lapisan atmosfer akan tetapi unsur ini tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh makhluk hidup. Untuk dapat dimanfaatkan nitrogen dari atmosfir yang masuk ke dalam perairan difiksasi (diserap) oleh sebagian bakteri atau fitoplankton menjadi senyawa-senyawa tertentu, seperti NH 3, NH4 dan NO 3 (Valiela 1984). Sumber lain nitrogen di laut berasal dari zona dalam perairan yang disebut sebagai produksi baru terutama dalam bentuk nitrat-nitrogen (NO 3 -N) yang masuk ke zona euphotik yang terangkut melalui vertikal mixing dan upwelling (Tett dan Edwards 1984; Lalli dan Parsons 1993) (Gambar 2). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH4 -N dari pada NO 3 -N karena lebih banyak dijumpai dalam kondisi aerobik maupun anaerobik. N2-N Fitoplankton N
F iksasi Nitrogen grazing
NH 4+ − N
singking, mixing
Zooplankton N
NO3− − N ekskresi mixing upwelling
Gambar 2. Siklus nitrogen di zona eufotik (Tett dan Edwards 1984; Lalli dan Parsons 1993).
Kebanyakan spesies fitoplankton dapat mengasorbsi ammonium, ammonia, nitrat, maupun nitrit, tetapi jika ketiganya tersedia, fitoplankton pada umumnya lebih menyukai ammonium (Raymont 1963; Riley dan Chester 1971; Millero dan Sohn 1991; Libes 1992). Laju penyerapan nitrogen lebih cepat dari sel fitoplankton yang berukuran kecil daripada yang berukuran besar (Eppley et al. 1969; Fricble et al. 1978 in Smith and Kalf 1983; Harrison et al. 2004) (Gambar 3).
NH4 +
35%
Fitoplankton < 2 µm
55%
16%
Urea
NH inhibition (38–70 %)
8%
24% 11%
3 4
20%
Fitoplankton > 2 µm
10%
NO3
Fe Limitation
21%
Gambar 3. Penyerapan dari tiga sumber nitrogen (NH4, Urea, NO3) oleh dua ukuran fitoplankton yang berbeda (Varela 1997; Varela dan Harrison 1999 in Harrison et al. 2004).
Fosfor Inorganik Terlarut (DIP) Ortofosfat adalah bentuk fosfor yang secara langsung dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik. Sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis untuk membentuk ortofosfat sebelum dimanfaatkan sebagai fosfor. Fosfor merupakan salah satu unsur penting dalam pertumbuhan dan metabolisme tubuh diatom. Fosfat dapat menjadi faktor pembatas, baik secara temporal maupun spasial (Raymont 1963). Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, kadarnya lebih kecil daripada nitrogen, karena sumber fosfor yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan sumber nitrogen. Sumber fosfor alami yang terdapat di dalam air berasal dari pelapukan batuan mineral dan hasil dekomposisi organisme yang telah mati,
sedangkan sumber antropogenik fosfor berasal dari limbah industri dan domestik, limbah deterjen, serta limpasan limbah pertanian yang menggunakan pupuk (Libes 1992). Soegiarto dan Birowo (1975) menyatakan kandungan fosfat pada lapisan permukaan lebih rendah dari lapisan di bawahnya, sehingga kandungan fosfat yang tinggi di lapisan permukaan dapat dipakai sebagai indikasi terjadinya proses penaikan massa air. Kandungan fosfat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton berada pada kisaran 0.27–5.51 ppm (Bruno et al. 1979 in Widjaja et al. 1994). Fosfat mempengaruhi komposisi fitoplankton, pada perairan yang memiliki nilai fosfat rendah (0,00–0,02 ppm) akan dijump ai dominansi diatom terhadap fitoplankton yang lain, dan pada perairan dengan nilai fosfat sedang (0,02–0,05 ppm) akan banyak dijumpai jenis Chlorophyceae, sedangkan pada perairan dengan nilai fosfat tinggi (>0,10 ppm) akan didominasi oleh Cyanophyceae (Moyle 1946 in Kaswadji 1976).
Silikat
Silika atau silika dioksida (SiO 2) merupakan bagian yang penting dalam pertumbuhan struktur silikoflagelata seperti diatom, radiolaria dan sponge. Menurut Millero dan Sohn (1991) silika di laut rata-rata 50% dalam bentuk anorganik dan sisanya kebanyakan menjadi kalsium karbonat (CaCO3). Silikat di perairan terdapat dalam bentuk larutan asam silikat, dalam bentuk biota (dinding sel diatom), silikoflagellata dan radiolaria, baik yang hidup maupun yang mati (Spencer 1975). Bagi diatom, silikat merupakan nutrien yang sangat penting untuk membangun dinding selnya dan mengasimilasi sejumlah besar silikat untuk disintesis menjadi struktur sel. Silikat diserap dalam bentuk ortosilikat yang pelarutan dan
penguraiannya dipengauhi oleh karbondioksida bebas dan asam-asam organik dalam perairan (Chen 1971). Spencer (1975) mengemukakan dalam air laut silikon kemungkinan berada dalam bentuk Si(OH)4. Unsur silikat terdapat sebagai silikat dalam air laut dan mungkin juga dalam bentuk larutan sejati sebagai ion-ion silikat (Raymont 1963). Diatom menutupi dirinya dengan kerangka transparan yang merupakan timbunan dari sebagian besar silikat dalam bentuk senyawa-senyawa SiO 2 (Black 1986). Distribusi silikat di perairan tergantung pada ol kasi dan kedalaman perairan. Distribusi silikat di perairan pantai biasanya lebih tinggi daripada di laut terbuka karena pengaruh oleh aliran sungai. Di laut terbuka kandungan silikat akan meningkat bila kedalaman meningkat. Di perairan laut konsentrasi silikat bervariasi dari 0–0.05 mg/L (Dawes 1981), atau 0–200 µM (Millero dan Sohn 1991).
Fitoplankton Parson et al. (1984) mengatakan bahwa terdapat 13 kelas dari fitoplankton yang terdapat di laut yang terdiri dari Cyanophyceae (alga biru hijau), Rhodophyceae (alga
merah),
Bacillarophyceae
(Diatom),
Cryptophyceae
(Cryptomonads),
Dinophyceae (Dinofllagellata), Chrysophyceae (Chrysomonads, Silicoflagellata), Haptophyceae atau Prymnesiophyceae (Coccolithophorids, Prymnesiomonads), Raphidiophyceae Eustigmatophyceae,
(Choromonadea),
Xanthophyceae
Euglenophyceae
(alga
(Euglenoids),
kuning
hijau),
Prasinophyceae
(Prasinomonads), dan Chlorophyceae (alga hijau). Tetapi hanya 4 kelas saja yaitu Bacillariophyceae, Cryptophyceae, Dinophyceae, dan Haptophyceae yang memegang peranan penting dalam total standing stok fitoplankton di laut. Akan tetapi kelompok
fitoplankton yang mempunyai kelimpahan tertinggi di ekosistem laut adalah dari kelas diatom (Sze 1993). Nybakken (1988) mengemukakan jenis fitoplankton yang sering dijumpai di laut dalam jumlah besar adalah Diatom dan Dinoflagellata. Fitoplankton yang minoritas di laut ialah berbagai jenis alga hijau biru (Cyanophyceae), kokolitofor (Coccolithophorids),
dan
silikoflagellata
(Dyctyochaceae,
Chrysophyceae)
(Nybakken 1988; Romimohtarto dan Juwana 1999). Nontji (1984) mengatakan bahwa fitoplankton dengan kelimpahan tinggi umumnya terdapat di perairan sekitar muara sungai, dimana terjadi proses penyuburan karena masuknya nutrien dari daratan yang dialirkan oleh sungai ke laut. Fitoplankton umumnya lebih padat di perairan dekat pantai dan makin berkurang pada perairan yang ke arah laut lepas, selain itu penyebarannya tidak merata melainkan hidup secara berkelompok (Arinardi et al. 1997). Goldman dan Horne (1983) dan Wetzel (1983) mengemukakan dominasi suatu jenis fitoplankton pada suatu perairan dapat diganti oleh jenis lain, disebabkan berubahnya kondisi fisik kimia perairan. Kondisi lingkungan yang merupakan faktor penentu keberadaan fitoplankton adalah suhu, salinitas, cahaya matahari, pH, kekeruhan, konsentrasi nutrien, dan berbagai senyawa lainnya (Nybakken 1988).
Klorofil-a Klorofil-a dengan rumus kimia C55H72O 5N4 Mg (Weyl 1970) merupakan salah satu pigmen fotosintesa yang paling penting bagi tumbuhan yang ada di perairan khususnya fitoplankton (Parsons et al. 1984; Susilo 1999). Klorofil-a terdapat dalam jumlah banyak pada fitoplankton (Harborne 1987), sehingga sering digunakan untuk
mengukur biomass fitoplankton (Strickland dan Parsons 1965) dan dapat digunakan sebagai petunjuk nilai potensi fotosintetik di perairan (Wiadnyana 1997). Pada perairan laut fitoplankton memegang peranan terpenting sebagai produsen primer, karena merupakan komponen utama tumbuhan yang mengandung klorofil. Pigmen fitoplankton yang sering digunakan dalam mempelajari produktivitas perairan adalah klorofil-a (Strickland dan Parsons 1965). Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi unsur hara. Unsur hara memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasi akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman (Millero dan Sohn 1991).
Cahaya Parsons et al. (1984) mengatakan bahwa aspek dasar dari cahaya yang penting secara biologi adalah kuantitas dan kualitasnya. Kedua karakter ini berfluktuasi di laut, bergantung kepada waktu (harian, musiman, dan tahunan), ruang (perbedaan lokasi di bumi dan kedalaman), kondisi cuaca, penyebaran sudut datang termasuk arah perubahan maksimum dan tingkat difusi, dan polarisasi. Cahaya merupakan sumber energi dalam fotosintesis. Proses fotosintesis di dalam perairan hanya dapat berlangsung jika ada cahaya sampai pada kedalaman tertentu dimana fitoplankton berada. Pada tahap awal cahaya matahari ditangkap oleh fitoplankton, kemudian energi ini digunakan untuk aktivitas proses fotosintesis.
Tidak semua radiasi
elektromanetik yang jatuh pada tumbuhan berfotosintesis dapat diserap, tetapi hanya cahaya tampak (visible light) yang memiliki panjang gelombang berkisar antara 400–720 nm yang diabsorpsi dan digunakan untuk melakukan aktivitas fotosintesis (Lalli dan Parsons 1993).
Ruttner (1973) mengatakan bahwa makin dalam penetrasi cahaya ke dalam perairan menyebabkan semakin besar daerah dimana proses fotosintesis dapat berlangsung, sehingga kandungan oksigen terlarut masih tinggi pada lapisan air yang lebih dalam. Penetrasi cahaya matahari dalam air, semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman (Gambar 4). Fotosintesis (gC/m2 /hari)
Kedalaman (m)
Kedalaman (m)
Penetrasi Cahaya (%)
Respirasi
Gambar 4. Grafik distribusi vertikal cahaya dan fotosintesis di perairan (Lalli dan Parsons 1993; Mann dan Lazier 1996).
Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi). Di atas nilai optimum, cahaya merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi), sedangkan dibawahnya merupakan cahaya pembatas (limitasi) sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi (Mann 1982; Parsons et al. 1984; Valiela 1984). Kennish (1990) mengatakan bahwa intensitas cahaya yang masuk di perairan sangat dipengaruhi oleh banyaknya padatan tersuspensi, jasad renik yang melayang, kekeruhan dan warna air. Intensitas cahaya ini semakin melemah saat penetrasi ke dalam kolom air. Hukum Lambert-Beer (Foog 1975; Parsons et al. 1984) dapat digunakan untuk menghitung besarnya tingkat absorpsi cahaya yang ditunjukkan oleh besarnya koefisien absorbsi, yaitu :
Iz = Io e-kz Dimana Iz adalah intensitas cahaya pada suatu kedalaman z, Io adalah intensitas cahaya pada permukaan air, e adalah bilangan dasar logaritma (2,7), dan k adalah koefisien absorbsi. Respon fitoplankton terhadap intensitas cahaya juga sangat dipengaruhi oleh pigmen yang dikandungnya. Perbedaan pigmen yang dikandung antara jen is fitoplankton menyebabkan perbedaan intensitas cahaya yang diabsorbsi. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat efisiensi fotosintesis. Spektrum cahaya yang terpenting dalam mengontrol fotosintesis fitoplankton adalah yang mempunyai panjang gelombang 400–700 nm, atau yang dikenal dengan photosynthetically active radiation (PAR) (Kennish 1990; Lalli dan Parsons 1993).
Suhu Suhu merupakan salah satu faktor fisika yang dapat mempengaruhi fotosintesis dan pertumbuhan fitoplankton. Suhu berpengaruh pada sistem biologi melalui dua cara. Pertama suhu, berpengaruh terhadap kecepatan reaksi-reaksi secara enzimatik dalam tubuh organisme. Kedua, suhu berpengaruh terhadap proses respirasi organisme. Peningkatan suhu pada batas kisaran toleransi akan meningkatkan laju metabolisme dan aktivitas fotosintesis fitoplankton. Peningkatan suhu sebesar 10 oC akan menyebabkan peningkatan laju fotosintesis sebesar dua kali lipat (Kennish 1990). Dalam proses fotosintesis di laut, suhu dapat berpengaruh secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung yaitu mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis, sedangkan pengaruh tidak langsung yaitu dapat mengubah
struktur hidrologi perairan, seperti kerapatan air yang akhirnya mempengaruhi laju penenggelaman fitoplankton (Raymont 1963; Tomascik et al. 1997). Soegiarto dan Birowo (1975) mengemukakan bahwa keadaan sebaran suhu secara horisontal di perairan Indonesia memperlihatkan variasi tahunan yang kecil namun masih memperlihatkan adanya perubahan musiman. Hal tersebut, berhubungan dengan yang dikemukakan oleh Damar (2003) bahwa suhu perairan tropik menunjukkan variasi harian yang kecil (siang dan malam), termasuk fluktuasi musiman. Selanjutnya dinyatakan bahwa kisaran suhu tahunan perairan berkisar dari 29.1–30.0°C. Suhu dalam lautan bervariasi sesuai dengan kedalaman. Massa air permukaan di wilayah tropik panas sepanjang tahun, yaitu 20–30 oC. Suhu lapisan permukaan di perairan Indonesia berkisar antara 26–30 oC, lapisan termoklin berkisar antara 9–26 oC dan pada lapisan dalam berkisar antara 2–8 oC (Soegiarto dan Birowo 1975).
Salinitas Berdasarkan salinitas dikenal dua jenis fitoplankton, yaitu yang bersifat stenohaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang sempit) dan euryhaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar). Salinitas mempengaruhi fitoplankton dalam hal densitas dan stabilitas dari kolom air. Peningkatan kedalaman akan menurunkan suhu dan meningkatkan salinitas, hal ini menyebabkan densitas meningkat sehingga mempengaruhi laju penenggelaman fitoplankton dan akan mempunyai stratifikasi yang kuat dengan lapisan pegat (discontinuity) yang tajam, akan sukar ditembus oleh fitoplankton (Raymont 1963). Kaswadji et al. (1993) mengatakan bahwa variasi salinitas mempengaru hi laju fotosintesis (terutama di daerah estuari), khususnya pada fitoplankton yang hanya bisa
bertahan pada batas-batas salinitas yang kecil. Sachlan (1982) mengatakan bahwa salinitas yang cocok bagi fitoplankton adalah lebih dari 20‰. Salinitas seperti ini memungkinkan fitoplankton dapat bertahan hidup, memperbanyak diri, dan aktif melakukan fotosintesis (Nair dan Thampy 1980).
pH Wardoyo (1982) mengatakan bahwa pH sangat mempengaruhi kehidupan makhluk hidup termasuk fitoplankton. Selain itu pH merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan produktivitas suatu perairan, dan pH yang ideal untuk kehidupan fitoplankton dalam perairan adalah 6,5–8,0 (Pescod 1973). pH permukaan laut sangat stabil biasanya berkisar antara 8.1 dan 8.3 (Reid 1961). Swingle (1969) mengatakan bahwa pada perairan yang berkondisi asam dengan pH kurang dari 6, fitoplankton tidak akan hidup dengan baik. Perairan dengan nilai pH lebih kecil dari 4 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk hidup, sedangkan pH lebih dari 9,5 merupakan perairan yang sangat basa dapat pula menyebabkan kematian dan mengurangi produktifitas (Wardoyo 1982). Air yang bersifat basa dan netral cenderung lebih produktif dibandingkan dengan air yang bersifat asam (Hickling 1971). Fitoplankton dapat hidup subur pada pH 7–8 asalkan terdapat cukup mineral di dalam suatu perairan (Sachlan 1982), sedangkan pH optimal untuk perkembangan diatom berkisar dari 8.0–9.0 (Ray dan Rao 1964).