TINJAUAN PUSTAKA Probiotik Akuakultur Probiotik secara umum didefinisikan sebagai suplemen makanan dalam bentuk mikroba hidup yang dapat menguntungkan inang dengan menjaga keseimbangan mikrobiota saluran pencernaan. Definisi ini ditujukan untuk hewan terestrial dan manusia. Menurut Verschuere et al. (2000), definisi probiotik tersebut membutuhkan beberapa pertimbangan apabila ditujukan untuk akuakultur karena adanya perbedaan karakter lingkungan perairan dengan terestrial. Berbeda dengan manusia dan hewan terestrial, keberadaan mikroorganisme pada saluran pencernaan organisme akuatik tidak berada sebagai suatu entitas tersendiri, akan tetapi secara konstan berhubungan dengan mikroorganisme pada lingkungannya. Oleh karena itu kehadiran bakteri pada lingkungan akuatik berpengaruh terhadap komposisi mikrobiota pada saluran pencernaan dan begitu pula sebaliknya. Pada hewan teresterial awal kolonisasi bakteri pada anak bersumber dari kontak dengan induknya, sementara spesies akuatik
telur diletakkan di air
sehingga kolonisasi primer pada telur dan larva berasal dari mikroba lingkungan. Lebih dari itu, larva atau hewan akuatik yang baru lahir sistem percernaannya belum berkembang dan belum memiliki komunitas mikroba baik pada saluran pencernaan, insang maupun pada kulitnya. Oleh karena itu,
tahap awal
perkembangan larva akuatik bergantung mikrobiota primer yang bersumber dari perairan lingkungan budidaya (Verschuere et al. 2000). Karakteristik
mikroba
probiotik
adalah
kemampuannya
untuk
mengkolonisasi saluran pencernaan inang, akan tetapi mikrobiota saluran intestinal pada hewan akuatik berubah dengan cepat karena secara konstan berhubungan dengan aliran mikroba yang berasal dari air dan makanan (Abidi 2003). Berdasarkan pernyataan di atas bahwa interaksi antara mikrobiota, termasuk probiotik, dan inang tidak hanya dibatasi pada saluran pencernaan. Bakteri probiotik seharusnya dapat aktif pada insang atau kulit inangnya, tetapi juga aktif pada lingkungan perairan. Dengan demikian, probiotik untuk lingkungan akuatik didefinisikan sebagai mikroba hidup yang menguntungkan bagi inang dengan memodifikasi
6
hubungan komunitas mikroba yang berasosiasi dengan inang atau lingkungannya, meningkatkan penggunaan pakan atau nilai nutrisi, memacu respon inang terhadap penyakit, atau dengan meningkatkan kualitas lingkungan perairan (Verschuere et al. 2000). Berdasarkan definisi di atas, probiotik mikroba memiliki peran yang sangat penting pada akuakultur, khususnya menyangkut pengaruhnya terhadap produktivitas, sumber nutrisi hewan akuatik, kualitas air, pengendalian penyakit dan perbaikan lingkungan (Wang et al. 2008; Verschuere et al. 2000). Secara umum prosedur
seleksi dan pengembangan probiotik
untuk
akuakultur terdiri atas 6 tahapan (Gomez-Gil et al. 2000), yakni (1) pengumpulan informasi dari literatur serta di lapangan, seperti informasi operasional tambak atau tanki pembenihan (hatchery),
manajemen produksi dan pengendalian
penyakit, (2) pengumpulan atau isolasi kandidat probiotik potensial dari pool atau sumber terbaiknya (indigenous/putative probiotics), yaitu dari inang, pakan alami maupun dari lingkungan budidaya, (3) seleksi dan evaluasi kemampuan calon probiotik potensial, (4) penilaian patogenisitas probiotik potensial, (5) pengujian skala laboratorium termasuk melihat pengaruh kandidat probiotik secara in vivo terhadap variabel imunologi, sintasan dan keragaan inang, dan (6) analisis ekonomi (cost/benefit analysis). Probiotik dapat diberikan pada inang atau ditambahkan ke lingkungan akuatik lewat beberapa cara, yaitu pemberian melalui pakan hidup (Gomez-Gil et al. 1998), perendaman (Gram et al. 1999), pemberian pada air budidaya (Moriarty 1998), dan penambahan pada pakan buatan (Rengpipat et al. 2000). Probiotik sebagai Pemacu Pertumbuhan Sebelum melakukan seleksi mikroba probiotik, pemahaman mengenai mekanisme kerja probiotik adalah sangat penting karena merupakan dasar untuk menentukan kriteria seleksi yang diinginkan. Salah satu mekanisme aksi (mode of action) dari suatu probiotik akuakultur untuk menghasilkan efek yang menguntungkan bagi inang adalah menyediakan nutrisi esensial dan membantu sistem pencernaan inang melalui kontribusi enzimatik (Xiang-Hong 1998; Verschuere et al. 2000; Balcazar et al.
7
2006, 2008; Kesarcodi-Watson et al. 2008; Qi et al. 2009). Kontribusi enzimatik dari bakteri probiotik bagi inang adalah berupa peningkatan aktivitas enzim-enzim pencernaan seperti amilase, protease dan lipase (Ziaei-Nejad et al. 2006; Wang 2007; Suzer et al. 2008) dan produksi enzim pemecah komplek polisakarida penyusun dinding sel pakan, seperti selulase, agarase, karaginase, alginat lyase (Erasmus et al. 1997; Foster et al. 1999). Zhou et al. (2009) mempelajari pengaruh pemberian Bacillus coagulans SC8168 terhadap aktivitas enzim pencernaan pada berbagai fase perkembangan larva udang Penaeus vannamae.
Hasilnya menunjukkan bahwa pemberian
probiotik tidak memberikan pengaruh terhadap aktivitas enzim protease, amilase dan lipase pada fase awal larva (Z3 dan M3), akan tetapi pengaruhnya menjadi sangat berbeda nyata dengan kontrol setelah fase postlarva (PL1-2). Pakan utama udang pada fase awal larva adalah bentik diatom dan plankton yang kaya akan enzim-enzim protease, amilase dan lipase, sehingga pemberian probiotik pada fase ini tidak menunjukkan pengaruh terhadap peningkatan aktivitas enzimatis pada saluran pencernaan larva. Wang et al. (2008) menggunakan probiotik Enterococcus faecum dengan konsentrasi 1 x 107 cfu/ml pada tilapia selama 40 hari pemeliharaan. Tilapia yang diberi probiotik menunjukkan berat badan akhir dan pertambahan berat harian secara nyata lebih baik bila dibandingkan kontrol. Ziaei-Nejad et al. (2006) menggunakan variabel rasio konversi pakan (Feed conversion ratio, FCR) dan laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate, SGR) untuk menilai pengaruh pemberian probiotik Bacillus spp. terhadap performa pertumbuhan udang putih India. Pemberian probiotik baik pada tahap pembenihan maupun pada pembesaran menunjukkan rasio konversi pakan, laju pertumbuhan spesifik dan berat akhir yang lebih tinggi dibandingkan kontrol yang tidak mendapatkan probiotik. Rengpipat et al. (2000) melaporkan bahwa pemberian beragam bentuk probiotik Bacillus S11 – dalam bentuk sel segar, sel segar dalam larutan fisiologis, dan sel liofilisasi - tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan udang galah, akan tetapi pemberian probiotik dapat meningkatkan secara nyata pertumbuhan bila dibandingkan dengan udang galah kontrol.
8
Penelitian Probiotik untuk Moluska Laporan hasil penelitian mengenai probiotik untuk moluska tidak sebanyak pada ikan dan udang. Meskipun demikian, laporan tersebut mengisyaratkan bahwa pemberian probiotik menunjukkan pengaruh yang menguntungkan bagi moluska.
Pengaruh tersebut dapat berupa peningkatan
survival rate dan kebugaran, reduksi mortalitas larva serta peningkatan pertumbuhan (Tabel 1). Prado et al. (2010) menyebutkan bahwa bakteri Alteromonas galur
CA2 yang diberikan bersama algae, mampu meningkatkan
keragaan sebesar 16-21% dan sintasan sebesar 21-22% pada larva tiram pasifik (Crassostrea gigas). Sementara itu Gibson et al. (1998) menggunakan galur A. media A199 sebagai probiotik untuk larva tiram Pasifik
dalam usaha
mengendalikan infeksi Vibrio tubiashii, terbukti mampu menurunkan mortalitas secara signifikan bila dibandingkan kontrol. Erasmus et al. (1997) melaporkan bahwa bakteri penghuni saluran pencernaan H. midae
mampu memecah komplek polisakarida dari Ecklonia
maxima dan Gracilaria gracilis, alga utama yang dikomsumsi abalon tersebut. Menurutnya, kelompok bakteri enterik memainkan peranan penting bagi penyediaan nutrisi abalon dengan menghidrolisis komplek polisakarida menjadi molekul sederhana yang dapat diserap oleh abalon. Lebih lanjut Erasmus et al. (1997) menyebutkan bahwa bakteri-bakteri tersebut memproduksi enzim yang dapat mendegradasi agar-agar, karagenan dan alginat. Macey dan Coyne (2005) telah menyeleksi bakteri dan khamir dari perut H. midae dan setelah diaplikasikan pada budidaya abalon dapat meningkatkan pertumbuhan hingga 34% bila dibandingkan dengan abalon kontrol. Galur
V. halioticoli diketahui merupakan mikroflora utama yang
menghuni perut dari beberapa spesies siput Haliotis (Sawabe et al. 1998; Tanaka et al. 2002), yaitu berkisar antara 40 -64 % dari total komunitas bakteri heterotrof yang dapat dikulturkan (culturable) dengan jumlah sel antara 103 hingga 107 CFU/g perut siput Haliotis (Sawabe et al. 2003; Thompson et al. 2004). Vibrio halioticoli dapat memproduksi asam asetat dan asam format dalam jumlah besar, yang diduga digunakan sebagai sumber energi atau prekursor sintesis protein oleh abalon (Thompson et al. 2004) sehingga dipertimbangkan bahwa terdapat
9
hubungan mutual antara V. halioticoli dengan abalon. Selain itu Tanaka et al. (2002) melaporkan bahwa V. halioticoli menghasilkan enzim poliguluronat lyase, suatu enzim yang mengkatalisis degradasi komponen dinding sel rumput laut coklat yang merupakan makanan utama siput Haliotis. Tabel 1. Penelitian probiotik pada moluska laut Spesies abalon Probiotik
Pengaruh
Referensi
Pecten ziczac
Aktivitas antibakteri
Lodeiros et al. (1989)*
C. gigas
Flavobacterium sp. P14 Alteromonas sp. CA2
Peningkatan sintasan larva
C. gigas
Alteromonas sp. CA2
Peeningkatan laju pertumbuhan
Argopecten purpuratus A. purpuratus
Alt. haloplanktis
Proteksi dari infeksi
Douillet & Langdon (1993)* Douillet and Langdon 1994* Riquelme et al.(1996)*
INH
A. purpuratus H. midae C. gigas
Vibrio sp. C33 Microbial gut Aeromonas media A199
Aktivitas antibakteri (Vibrio anguillarum- like) Peningkatan sintasan larva Aktivitas enzim Peningkatan sintasan larva
Erasmus et al. 1997 Gibson et al. 1998
A. purpuratus
Vibrio sp. C33
C. gigas
S21
Pecten maximus
Roseobacter gallaeciensis BS107 Vibrio sp. C33 Pseudomonas sp. 11 Bacillus sp. B2 Pseudoalteromonas sp. Phaeobacter gallaeciensis Vibrio midae
A. purpuratus P. maximus Ostrea edulis H. midae H. midae H. gigantea H. gigantea
Pseudoalteromonas sp. C4 Lactobacillus sp. a3 Pediococcus sp.Ab1
Aktivitas antibakteri (Vibrio tubiashii) Antibacterial activity (Vibrio anguillarum- like) Enhancement of survival rate Aktivitas antibakteri (Vibrio alginolyticus) Peningkatan sintasan larva
Avendano & Riquelme (1999)* Nakamura et al. (1999)* Ruiz-Ponte et al. (1999)*
Aktivitas antibakteri Peningkatan sintasan larva
Riquelme et al.2001
Peningkatan sintasan larva Peningkatan sintasan larva
Longeon et al. 2004 Prado (2006)*
Perbaikan komposisi mikroba usus Peningkatan sintasan larva Peningkatan sintasan larva
Macey & Coyne 2005, 2006
Kemampuan kolonisasi Aktivitas enzim dan produksi asam lemak rantai pendek
Doeschate & Coyne 2008 Iehata et al. 2009 Iehata et al. 2010
*dikutip dari Prado et al. 2010 Baru-baru ini dilaporkan bahwa Pseudoalteromonas sp. galur C4 yang diisolasi dari saluran pencernaan H. midae telah digunakan sebagai probiotik untuk meningkatkan laju pertumbuhan abalon tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa Pseudoalteromonas sp. galur C4 dapat memperbaiki status nutrisi, daya
10
cerna pakan alami dan meningkatkan laju pertumbuhan juvenil H. midae (Doeschate dan Coyne 2008). Suplementasi bakteri probiotik (dalam hal ini bakteri agarolitik) dipandang sebagai strategi yang tepat dalam memperbaiki pertumbuhan H. asinina, yaitu dengan membantu sistem pencernaan inang dalam mendegradasi agar-agar menjadi senyawa sederhana yang dapat diserap oleh abalon. Nutrisi untuk Pertumbuhan Abalon Kebutuhan pakan dan nutrisi abalon berbeda mengikuti tahapan perkembangan atau siklus hidupnya. Sebelum fase penempelan (settling) pada substrat, larva bersifat lecithotrophic, yaitu mengabsorbsi
yolk sack dan
menyerap bahan organik terlarut dari lingkungannya (Takami 2002). Setelah yolk sack habis (hari ke-4 sampai ke-5), larva akan mencari tempat yang cocok untuk menempel pada substrat, bermetamorfose menjadi juvenil dan memulai siklus hidupnya sebagai biota bentik dengan memakan bentik diatom, bakteri dan mikroalga yang menempel pada permukaan substrat (Setyono 2009). Juvenil abalon H. asinina akan tumbuh dan mencapai ukuran panjang cangkang sekitar 10 mm dalam waktu 3-5 bulan dan sudah dapat memakan makroalga (Setyono, 2008). Capinpin dan Corre (1996) melaporkan bahwa laju pertumbuhan juvenil abalon H. asinina di Filipina yang diberi pakan buatan dan heteroclada lebih cepat bila dibandingkan dengan
alga merah G.
Kappaphycus
alvarezii
selama 120 hari pengamatan, akan tetapi pada periode pengamatan yang lebih lama (360 hari) menunjukkan bahwa G. heteroclada dapat memicu pertumbuhan abalon lebih baik, sehingga dipertimbangkan sebagai pakan terbaik untuk budidaya abalon di Filipina. Pertumbuhan abalon Lombok yang dipelihara secara indoor pada Balai Budidaya Laut Lombok yang diberi pakan tunggal Gracilaria sp. lambat dan dibutuhkan waktu pemeliharaan 13 bulan untuk mencapai ukuran 40 cm (Gambar 1). Kandungan nutrisi Gracilaria sp. yang rendah diduga sebagai penyebab lambatnya pertumbuhan abalon. Menurut Soegiarto dan Sulistijo (1985) kandungan nutrisi Gracilaria sp. adalah kadar air 19.01%, protein kasar 4.17%,
11
karbohidrat 42.59% (termasuk di dalamnya agar-agar), lemak 9.54%, serat kasar 10.51%, dan abu 14.18%. 4.5
Panjang cagkang (cm)
4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
2
4
6
8
10
12
14
waktu (bulan) Gambar 1. Kurva pertumbuhan abalon Lombok yang dipelihara secara indoor dan diberi pakan Gracilaria sp. selama 13 bulan pengamatan. Pertumbuhan diukur berdasarkan panjang cangkang (Sofyan et al. 2005) Kebutuhan
energi
metabolisme
abalon
utamanya
diperoleh
dari
karbohidrat (Picos-Garcia et al. 2000) dan ini dapat dipenuhi abalon dengan mengkonsumsi pakan alamiah yang mengandung karbohidrat sebanyak 30-60% (Olin dan McBridge 2000). Komponen utama karbohidrat yang ditemukan pada Gracilaria adalah agar-agar yang berkisar antara 17,0-47,34 % (Soegiarto dan Sulistijo 1985). Kandungan agar-agar pada Gracilaria blodgetti dari pulau Lombok adalah 30% (Angka dan Suhartono 2000). Karbohidrat pada pakan buatan untuk abalon adalah dekstrin sebesar 49.3% (Britz 1996) atau campuran 21% dekstrin dan 23% pati (Knaeur et al. 1996). Fallu (1991) menyatakan bahwa jika karbohidrat tidak tersedia dalam jumlah cukup dalam pakan, maka abalon akan mengalihkan beberapa building block seperti asam amino dan asam lemak tidak jenuh untuk dibakar menjadi energi. Mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi melalui penambahan karbohidrat dalam jumlah yang tepat disebut protein sparing. Tingkat konsumsi nitrogen tercerna secara nyata berpengaruh pada laju pertumbuhan abalon, dan ini berarti nitrogen merupakan nutrien pembatas bagi pertumbuhan
abalon
(Fleming
1995).
Bautista-Teruel
et
al.
(2003)
12
membandingkan berbagai sumber protein hewani dan tanaman terhadap pertumbuhan juvenil H. asinina. Sumber protein yang digunakan meliputi tepung ikan, tepung udang, tepung kedelai tanpa lemak dan spirulina.
Mereka
menyimpulkan bahwa laju pertumbuhan terbaik dicapai pada pemberian pakan dengan kombinasi protein hewani dan tanaman. Kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan abalon secara umum sama dengan hewan laut lainnya, yaitu karbohidrat, protein dan lemak. Akan tetapi, menurut Olin dan McBridge (2000), abalon membutuhkan nutrisi spesifik untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. Komposisi nutrisi pakan abalon terdiri atas 30% protein dalam bentuk tepung kedelai bebas lemak, kasein ataupun tepung ikan. Bautista-Teruel el al. (2003) menyatakan bahwa kebutuhan protein pada pakan harus cocok, mudah dicerna dan memiliki komposisi asam amino yang seimbang. Komposisi asam amino esensial dalam pakan dirancang sesuai dengan profil asam amino esensial pada tubuh abalon (% total AAE) yaitu arginin 15.9; histidin 3.7; ileusin 8.2; leusin 14.0; lisin 12.5; metionin+sistin 9.1; fenilalanin+tirosin 15.5; threonin 10.1; triptofan 1.7; dan valin 9.3 (Knaeur et al. 1996). Lemak memegang peranan penting dalam nutrisi abalon sebagai penyedia asam lemak esensial (EFA), khususnya asam lemak tak jenuh (high unsaturated fatty acid, HUPA)
seperti asam lemak eikosapentanoat (20: 5n-3) dan
dokosaheksanoat (22:6n-3) (Uki et al. 1986). Kebutuhan lemak pada pakan berkisar antara 3-5% yang biasanya bersumber dari minyak ikan atau minyak sayur (Olin dan McBridge 2000).
Kandungan lemak dari alga sebagai pakan
alami abalon umumnya rendah, tetapi kaya cadangan karbohidrat. Meskipun demikian, abalon memiliki kemampuan
untuk mensintesis asam lemak dari
sumber karbohidrat (Mai et al. 1995).
Sistem Pencernaan pada Abalon Organ pencernaan pada abalon terdiri atas mulut, radula, oesophagus, tembolok, lambung, usus, dan anus serta kelenjar pencernaan berupa hepatopankreas (Gambar 2) (Fallu 1991). Mulut dan radula berfungsi untuk memotong, mengerat dan menelan rumput laut. Tembolok atau disebut juga lambung I, berfungsi sebagai tempat penyimpanan makanan sementara, juga
13
sebagai tempat pertamakali berlangsungnya pencernaan secara kimiawi. Di dalam tembolok dihasilkan hasilkan enzim-enzim enzim yang sama seperti yang terdapat pada lambung, yaitu protease dan karbohidrase (Macey dan Coyne 2005). Lambung dan usus merupakan tempat utama terjadinya pencernaan secara kimiawi. Hepatopankreas (sel-sel pankreas berdifusi di antara sel-sel sel hati) merupakan organ penting yang mensekresikan bahan (enzim) yang berperan dalam proses pencernaan (Affandi et al. 2005). Enzim-enzim enzim yang diproduksi
oleh hepatopankreas terdiri atas
protease, selulase, alginat lyase, laminarinase, laminarinase, agarase dan karagenase (Erasmus et al. 1997)
Gambar 2. Abalon Haliotis asinina dan representasi saluran pencernaan (Fallu 1991) Secara umum herbivora laut membutuhkan mekanisme untuk melepas dan mencerna polisakarida struktural dan simpanan pada alga. Ada 3 mekanisme yang dapat dilakukan, yaitu 1) secara mekanik menggunakan bagian radula dan mulut, 2) secara biokimia, menggunakan sistem enzimatik dari saluran pencernaan untuk mendegradasi secara ekstraseluler bahan-bahan bahan yang telah ditelan, itelan, dan 3) secara mikrobial, oleh bakteri saluran pencernaan (Foster et al. 1999) Enzim merupakan molekul polimer yang beragam yang dihasilkan oleh sel hidup dan terlibat dalam setiap reaksi biokimia, mulai dari konversi energ energi, metabolisme makanan, mekanisme pertahanan sel, komunikasi antar sel, sampai ke pewarisan sifat keturunan (Suhartono 1989).
Enzim adalah protein yang
disintesis di dalam sel dan ada yang dikeluarkan dari dalam sel penghasilnya melalui proses eksositosis. Enzim yang disekresikan ke luar digunakan untuk pencernaan di luar sel (di dalam rongga pencernaan) atau disebut extracellular digestion,, sedangkan enzim yang dipertahankan di dalam sel digunakan untuk
14
pencernaan di dalam sel itu sendiri atau disebut intracellular digestion (Affandi et al. 2005). Enzim pencernaan yang disekresikan dalam rongga pencernaan berasal dari sel-sel mukosa tembolok-lambung, hepatopankreas, dan mukosa usus, Enzim-enzim tersebut berperan dalam hidrolisis protein, lemak dan karbohidrat. Sel-sel mukosa lambung menghasilkan enzim protease dengan aktivitas proteolitik optimal pada pH rendah. Cairan pankreas kaya akan tripsin, yaitu suatu protease yang aktivitasnya optimal pada kondisi alkalis, disamping itu juga menghasilkan amilase, maltase, dan lipase. Usus terutama menghasilkan enzimenzim penghidrolisis protein, lemak dan karbohidrat yang aktif pada pH netral dan sedikit alkalis. Menurut Erasmus et al. (1997) bahwa komposisi enzim dalam cairan pencernaan berhubungan dengan makanan yang dimakan oleh abalon. Aktivitas enzim pencernaan adalah suatu indikator yang baik untuk menentukan kapasitas pencernaan. Aktivitas yang tinggi secara fisiologis mengindikasikan bahwa larva siap untuk memproses pakan dari luar. Aktivitas enzim pencernaan meningkat dengan bertambahnya umur larva. Peningkatan ini disebabkan oleh semakin sempurnanya organ penghasil enzim (Gawlicka et al. 2000). Degradasi alga secara enzimatik pada moluska sangat penting karena mereka memiliki enzim-enzim karbohidrase dengan spesifitas substrat yang luas dan efisiensi katalitik yang lebih tinggi dibandingkan krustasea, ekinodermata dan annelida (Foster et al. 1999). Moluska memiliki kemampuan untuk mencerna selobiosa, amilosa, glikogen, laminarin, CM selulase, kitin (Foster et al. 1999), agar-agar, alginat, karagenan (Erasmus et al. 1997; Gomez-Pinchetti dan GarciaReina 1993).
Penelitian aktivitas enzim-enzim karbohidrase pada abalon telah
banyak dilaporkan (Tabel 2). Sejumlah laporan menyebutkan bahwa abalon H. midae dan H. discus hannae
memiliki beragam enzim polisakarida hidrolase dalam saluran
pencernaannya yang dapat menghidrolisis komplek polisakarida dari rumput laut (Fleming et al. 1996). Menariknya enzim-enzim pendegradasi komponen alga tersebut aktivitasnya secara dominan berada pada lokasi yang berbeda. Alginat lyase dan selulase dominan pada lambung, sedangkan agarase dan karagenase
15
ditemukan dominan pada usus abalon (Erasmus et al. 1997). Pada abalon tropis yang umumnya mengkonsumsi alga merah yang kaya agar-agar dan karagenan seperti Gracilaria dan
Euchema kemungkinan distribusi enzim-enzim
penecernaan berbeda lokasi dominansinya dengan dengan abalon temprate yang mengkonsumsi alga coklat yang kaya alginat. Tabel 2. Enzim-enzim pencernaan pada abalon Aktivitas Amilase, emulsin, glikogensase, laktase, lipase, maltase, pepsin, sukrase, urease Amilase, lipase, protease Protease Agarase, alginase, selulase Kimotripsin, tripsin Amilase, lipase, protease Agarase, alginase, karagenase, laminarinase Kimotripsin, tripsin, protease Kimotripsin, tripsin, protease, karboksipeptidase Kimotripsin, tripsin, protease, fosfatase Kimotripsin, tripsin, proteinase asam, aminopeptidase Protease Selulase, lisozim, tripsin, protease asam, aminopeptidase, lipase, fosfohidrolase Protease, tripsin, amilase, lipase Alginat lyase Alginat lyase
Spesies abalon
Referensi
Tidak spesifik
Albrecht (1921)*
H. rufescens H. discus hannai H. coccinea conariensis H. rufescens H. midae H. midae
McLean (1970)* Cho et al.(1983)* Gomez-Pinchetti & GarciaReina (1993) Groppe & Morse (1993)* Knaeur et al. (1996) Erasmus et al. (1997)
H. fulgens
Serviere-Zaragosa et al. (1997)* Hernandes-Santoyo et al. (1997)* Picos-Garcia et al. (2000)
H. fulgens H. fulgens H. fulgens H. midae H. rufescens H. fulgens H. midae H. gigantea
Garcia-Carreno et al. (2003) Macey & Coyne (2005) Garcia-Esquifel & Felback (2006) Viana et al. (2007) Doeschate & Coyne (2008) Iehata et al. (2010)
*dikutip dari Picos-Garcia et al. (2000). Menurut Erasmus et al. (1997), bakteri pada saluran pencernaan H. midae berperan dalam fungsi fisiologis saluran pencernaan, yakni dapat memproduksi beragam enzim
yang dapat memecah agar-agar, alginat, karaginan dan pati
menjadi molekul yang lebih sederhana, sehingga bakteri ini diduga membantu menyediakan nutrisi bagi inang.
16
Bakteri Pendegradasi Agar--Agar dan Enzim Agarase Polisakarida alga merupakan sumber karbon krusial bagi sejumlah bakteri laut yang mensekresi enzim agarolitik (Flament et al. 2007). Di antara bakteri tersebut, Gammaproteobacteria, Gammaproteobacteria Bacterioidetes, dan Planctomycetes adalah pemain kunci dalam siklus karbon global di lautan, mereka mendegradasi dinding sel alga melalui sekresi enzim m glikosida hidrolase spesifik. spesifik Daur ulang biomassa alga merah melibatkan bakteri yang dapat me memproduksi mproduksi enzim agarase dan karagenase (Michel et al.. 2006). 2006) Bakteri yang memproduksi enzim agarase, suatu enzim glikosida hidrolase (GH) yang menghidrolisis agarosa, agaro , pertama kali diisolasi dari air laut oleh Gran pada tahun 1902. Sejak saat itu sejumlah bakteri agarolitik berhasil diisolasi terutama dari lingkungan laut, baik itu dari badan air, sedimen maupun yang berasosiasi dengan alga merah (Michel et al. 2006). Sebagian besar dari bakteri bakteribakteri tersebut masuk kedalam genus Agarivorans, Alterococcus, Alteromonas, Cytophaga, Microbulbifer, Microscilla, Pseudoalteromonas, dan Pseudomonas (Eckborg et al. 2006; Michel et al. al 2006). Berdasarkan mekanisme aksinya terhadap agarosa,, enzim hidrolitik yang mendegradasi agarosa diklasifikasikan kedalam dua kelompok yaitu α-agarase α agarase yang memotong ikatan α-1,3 1,3 dari agarosa agaros dan β-agarase agarase yang memotong ikatan ββ1,4 dari agarosa (Sugano et al.. 1993) (Gambar 3).
Gambar 3. Posisi pemotongan agarosa agaros oleh enzim α-agarase dan β-agarase agarase (Eckborg 2005) β-agarase menghidrolisis ikatan β-(14) β agarosa dan serangkaian oligosakarida
yang berhubungan dengan
menghasilkan
neoagarobiosa (O O-3,6-
17
anhidro-α-L-galaktopiranosil-(13)-D-galaktosa) (Allouch et al. 2003; Michel et al. 2006). Berdasarkan sekuen gen glikosida hidrolase, ada tiga family β-agarase yaitu GH-16, GH-50 dan GH-86. Family GH-16 ditemukan sangat melimpah dengan β-agarase yang berasal dari Streptomyces coelicolor A3, Aeromonas sp., Pseudomonas sp. ND137, Pseudoalteromonas CY24, Pseudoalteromonas atlantica ATCC 19262, dan dari Zobellia galactanivorans Dsij. Family GH-50 mengandung dua β-agarase dari Vibrio sp. JT0107, sedangkan family GH-86 mengandung β-agarase dari P. alantica (Allouch et at. 2003). Tahapan reaksi degradasi agarosa oleh β-agarase terkarakterisasi dengan baik pada Pseudoalteromonas atlantica ATCC 19262. Pada bakteri ini terdapat dua jenis β-agarase yang bekerja secara sekuensial. Enzim ekstraseluler endo-βagarase I memiliki aktivitas mendepolimerisasi agarosa menjadi neoagarotetrosa sebagai produk akhir. Neoagarotetrosa kemudian akan dihidrolisis lebih lanjut oleh 2 enzim periplasmik,
β-agarase II (lebih dikenal dengan sebutan
neoagarotetrosa hidrolase) dan neoagarobiose hidrolase, yang menghasilkan produk akhir berupa 3,6-anhidro-L-galaktosa dan D-galaktosa (Vera et al. 1998; Michel et al. 2006). Berbeda halnya dengan β-agarase yang dihasilkan oleh banyak kelompok bakteri, enzim α-agarase diketahui hanya dihasilkan oleh Alteromonas agaroliticus GJIB. Sistem agarolitik pada bakteri ini terdiri atas 2 enzim yaitu suatu α-agarase yang memecah ikatan α-(1,3) dari agarosa menjadi oligosakarida dalam bentuk agarobiosa dan enzim β-galaktosidase spesifik untuk kehadiran 3,6-anhidro-L-galaktosa sebagai produk akhir (Vera et al. 1998).
Interaksi Biologi Bakteri di Alam Banyak interaksi mikroorganisme-invertebrata diketahui sangat penting di lingkungan akuatik. Interaksi mikroorganisme-invertebrata bisa dipastikan adalah sebagai ‘pemangsa-dimangsa’, yang mana invertebrata memanfaatkan secara langsung mikrobiota sebagai sumber makanan. Dapat juga terjadi sinergisme, yang mana invertebrata memudahkan kolonisasi bakteri
melalui pemecahan
bahan organik secara mekanik atau mengkonsentrasikannya dalam bentuk pelet
18
feses, sementara mikrobiota memprakondisikan bahan makanan sebelum ditelan atau dicerna oleh invertebrata. Aktivitas invertebrata, seperti produksi substansi bakteriosidal
mungkin
dapat
menghambat
atau
memicu
pertumbuhan
mikroorganisme, sedangkan mikroba dilaporkan dapat menghambat aktivitas invertebrata seperti sebagai parasit atau patogen aktif (Harris 1993). Istilah simbiosis digunakan untuk menunjukkan hubungan yang khusus diantara dua organisme. Dalam arti luas, simbiosis dipandang sebagai hal yang menguntungkan karena mereka menjaga keseimbangan ekologi. Terdapat beragam bentuk interaksi di antara dua populasi mikroorganisme di alam, yaitu netralisme,
komensalisme,
sinergisme
atau
protokooperasi,
mutualisme
(simbiosis), kompetisi, predasi dan parasitisme (Atlas dan Bartha 1998). Interaksi simbiotik bakteri juga banyak ditemukan dalam saluran pencernaan hewan seperti rayap, ruminansia, dan gastropoda.
Menurut Madigan
et al. (2009), beberapa bakteri rumen dapat menghidrolisis selulosa menjadi monosakarida yang selanjutnya diubah menjadi asam lemak rantai pendek. Bakteri selulolitik anaerob yang populasinya melimpah di rumen adalah Fibrobacter succinogenes dan Ruminococcus albus.
Produk fermentasi dari
bakteri polisakarolitik pada rumen digunakan sebagai sumber energi oleh kelompok bakteri lain. Suksinat diubah menjadi propionat dan CO2 oleh Schwatzia, dan asam laktat difermentasi menjadi asam asetat oleh Selenomonas dan Megasphaera. Pengembangan industri budidaya perairan dewasa ini dihadapkan pada sejumlah isu penting seperti peningkatan laju resistensi antibiotik, budidaya ramah lingkungan dan alasan kesehatan. Oleh karena itu, pendekatan atau metode yang ramah lingkungan dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit pada industri budidaya perairan mutlak diperlukan (Marques et al. 2006). Sejumlah teknik yang telah diaplikasikan pada akuakultur antara lain
probiotik, imunostimulan,
bakteriosin, dan analisis quorum sensing (Vershuere et al. 2000; Balcazar et al. 2006). Menurut Marques et al. (2006), aplikasi dari semua teknik di atas harus didasarkan
pada pemahaman baik tentang mekanisme yang terlibat serta
konsenkuensinya bagi bakteri maupun inangnya. Salah satu bagian yang esensial
19
untuk memahami hal tersebut adalah dengan mempelajari ‘interaksi inangmikrobial’. Strategi kunci untuk mempelajari interaksi tersebut adalah dengan hewan coba yang bebas dari semua mikroba (gnotobiotic condition) dan kemudian mengevaluasi pengaruh penambahan kultur tunggal atau campuran ataupun senyawa kimia tertentu.
mikroba